146 DINAMIKA KEBIJAKAN DIVERSIFIKASI ENERGI DI INDONESIA: Analisis Kebijakan Pengembangan Energi Terbarukan Di Indonesia
Fery Triatmojo Staf Pengajar Jurusan Administrasi Negara FISIP Universitas Lampung Email ;
[email protected]
ABSTRACT Indonesia's energy system is facing serious challenges. In at least three major groups, namely the national energy issues are still low electrification rate, dependence on fossil energy sources, and low utilization of renewable energy. Indonesia's energy policy has actually put energy diversification program. Various national energy policy of the government since 1981, always include energy diversification program as one of its main programs. Unfortunately, a variety of energy diversification program was difficult to see the results. Energy diversification policy failures in Indonesia seen from the slow growth of non-oil energy and high fuel consumption. Keyword; Diversified Energy, National Energy Policy, New-Renewable Energy. PENDAHULUAN Sistem energi Indonesia saat ini sedang menghadapi tantangan serius. Setidaknya dalam tiga kelompok besar permasalahan energi nasional yaitu tingkat elektrifikasi yang masih rendah, ketergantungan pada sumber energi fosil, dan rendahnya pemanfaatan energi baru terbarukan. Untuk mengejar kebutuhan energi dimasa mendatang kebijakan yang harus dilakukan adalah dengan mengintegrasikan energi yang terbarukan dan tak terbarukan, dengan perubahan komposisi penggunaan yang semakin besar pada jenis energi yang terbarukan. Namun yang tidak kalah pentinggnya adalah keseriusan dalam pendukung penyediaan energi dimasa mendatang yang tercermin dari sinkronisasi antara program pengembangan teknologi energi dengan penyediaan dana yang cukup potensial sehingga tidak menimbulkan masalah publik. Ketimpangan kondisi persediaan energi dengan kebutuhan energi nasional, terutama sektor migas dan upaya pemenuhan kebutuhan energi nasional secara berkelanjutan merupakan permasalahan utama bangsa ini pada bidang energi. Mutlak diperlukan upayaupaya strategis dalam bidang penciptaan
energi baru dan terbarukan, dukungan yang kuat dan sinergi kebijakan pengembangan ipteks untuk bidang energi. Menjadi tidak kalah penting pula adalah upaya yang memastikan efektifitas kebijakan diversifikasi, efisiensi dan konversi energi. Mempertahankan keamanan pasokan energi dalam jangka panjang merupakan tugas berat di tengah kemampuan pasokan minyak bumi dalam memenuhi kebutuhan energi nasional yang kian terbatas. Hal ini tentu tidak terlepas dari begitu cepatnya transisi energi yang dialami oleh Indonesia. Di tahun 1990 rasio konsumsi dan produksi minyak mencapai 0,55 namun demikian di tahun 2004 rasio ini sudah mencapai sekitar 0,92. Hasil ini dapat terjadi karena dua sebab. Pertama, tingkat produksi minyak Indonesia terus mengalami penurunan. Kedua, tingkat konsumsi minyak sebagai sumber energi primer terus menunjukkan peningkatan yang lebih besar dibandingkan dengan tingkat produksi. Sebagai konsenkuensinya, tingkat impor minyak terus mengalami peningkatan dan pada sisi lainnya ekspor terus mengalami penurunan. Hingga saat ini BBM masih menjadi pemasok tersebesar kebutuhan energi nasional dengan kontribusi total
146
147 Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan, Vol.4, No.2, Juli-Desember 2013 terhadap total energi primer mencapai 59%. Hal ini mengindikasikan jika dalam jangka panjang sumber minyak baru tidak dieksplorasi dan dimanfaatan, demikian juga energi alternatif pengganti BBM tidak berhasil dikembangkan maka dalam jangka waktu kurang dari 20 tahun Indonesia akan mengalami krisis energi. Energi memainkan peran yang sangat penting dalam semua sektor kehidupan (industri, transportasi, rumah tangga, komersial, dan lain-lain). Persoalan yang sering muncul dalam konsumsi energi pada sektor rumah tangga adalah adanya disparitas (perbedaan) dalam konsumsi energi dan aksesibilitas terhadap sumber energi. Karakteristik konsumsi energi pada sektor rumah tangga di Indonesia adalah adanya dominasi dalam konsumsi energi non komersial, dominasi kelompok rumah tangga kaya dalam konsumsi energi komersial, rendahnya porsi rata-rata pengeluaran rumah tangga untuk energi dibandingkan rata-rata pengeluaran secara umum, serta cukup signifikannya rata-rata pertumbuhan per tahun dari konsumsi energi komersial pada sektor rumah tangga. Terwujudnya sistem energi yang berkelanjutan akan mampu memberikan ketahanan energi nasional yang merupakan salah satu pondasi ketahanan nasional. Ketahanan energi nasional tersebut mencakup pengertian kemampuan Indonesia untuk memenuhi kebutuhan energinya sendiri sehingga memiliki derajat kebebasan setinggi mungkin terhadap pengaruh asing terhadap sektor yang merupakan urat nadi kedaulatan tersebut. Di lain sisi, kebijakan pembangunan negeri ini juga masih belum menunjukkan keberpihakan pada strategi pengurangan BBM dan penghematan energi. Pembangungan infrastruktur masih menghasilkan pemborosan energi dan ketergantungan yang sangat besar pada BBM. Pasokan energi Indonesia sebesar 49% dipenuhi dari minyak bumi, sementara porsi gas bumi dan batubara masing-masing adalah 23% dan 18%. Porsi total ketiga sumber energi fosil tersebut mencapai 90% (Anonim, 2005).
ADMINISTRATIO
Ketergantungan tersebut memunculkan masalah-masalah peningkatan kelangkaan ketersediaan sumber energi fosil, ketimpangan distribusi lokasi cadangan energi fosil, harga minyak bumi yang fluktuatif-spekulatif tapi cenderung naik, potensi konflik berlatar belakang energi fosil, dan masalah lingkungan akibat konsumsi energi fosil. Dalam masalah lingkungan saja tercakup di dalamnya fenomena pemanasan global yang memunculkan sangat banyak masalah serius. Kebijakan energi Indonesia sebenarnya telah memasukkan program diversifikasi energi untuk mengurangi konsumsi minyak bumi dari total konsumsi energi di Indonesia. Berbagai kebijakan energi nasional yang dikeluarkan pemerintah sejak tahun 1981, selalu memasukkan program diversifikasi energi sebagai salah satu program utamanya. Sayangnya, berbagai program diversifikasi energi itu sukar dilihat hasilnya. Kegagalan kebijakan diversifikasi energi di Indonesia terlihat dari lambatnya pertumbuhan energi non-BBM dan masih tingginya konsumsi BBM. Bahkan, konsumsi BBM Indonesia naik terus setiap tahunnya, meskipun besaran persentasenya berkurang terhadap total energi nasional. Konsumsi energi di Indonesia (PIE, 2002) menunjukkan bahwa pada tahun 1990 pengunaan BBM mencapai 76% dari total energi final nasional, sementara di tahun 2003 BBM masih menyumbang 63%. Jika dikonversi dalam barel per hari, konsumsi minyak Indonesia naik secara signifikan dari hanya 621 ribu barel per hari pada tahun 1990 menjadi 1,132 juta barel per hari di tahun 2003 (BP world energy 2007). Di lain sisi, gas alam dan batu bara yang diharapkan dapat menjadi sumber energi alternatif di Indonesia mengalami kenaikan yang tidak signifikan dari 10% di tahun 1990 menjadi 17% di tahun 2003 untuk gas alam, dan batubara dari 4,5% di tahun 1990 menjadi hanya 8% di tahun 2003. Keadaan yang jauh berbeda dapat dilihat pada negara tetangga Malaysia yang secara drastis mampu menurunkannya. Dalam rentang waktu hanya tiga tahun, antara tahun 2000 dan
ISSN : 2087-0825
Fery Triatmojo; Dinamika Kebijakan Diversifikasi Energi di Indonesia 148
2003, Malaysia mampu menurunkan secara drastis konsumsi minyak bumi dari 53,1% menjadi di bawah 10%, sementara gas bumi naik dari 37,1% menjadi 71%. Batu bara dan PLTA naik dari 4,4% dan 5,4% menjadi 10% dan 11,9% (Abdur Rahman, 2005). Suatu periode transisi dari dominasi energi fosil (khususnya bahan bakar minyak) ke sumber-sumber energi terbarukan harus dilalui. Sejarah menunjukkan bahwa diperlukan sekitar 60 tahun untuk beralih dari ketergantungan pada suatu sumber energi ke sumber lain; dari ketergantungan pada kayu bakar ke ketergantungan pada batubara dan dari ketergantungan pada batubara ke ketergantungan utamanya pada minyak bumi (Aitken, 2003). Untuk menuju era dimana sumber energi terbarukan berporsi dominan dalam sistem energi nasional maupun global, dibutuhkan pula periode yang serupa. Berthold dan Dewey (2004), menyebut antara 70 hingga 120 tahun terhitung sejak teknologinya diaplikasikan di lapangan. Dan diperlukan dorongan multi dimensi sebagai lingkungan kondusif guna melakukan transisi energi karena transisi dari sistem energi satu ke sistem energi lain dipacu oleh kombinasi antara berbagai faktor: energi, ekonomi, teknologi, dan institusi (Cleveland, 2000). Namun, tersedianya lingkungan yang kondusif hanya dapat mewujud jika seluruh stakeholder yang berperan dalam pengembangan pemanfaatan energi terbarukan bergerak dalam arah mendukung yang sama. Mereka adalah anggota badan legislatif, ahli ekonomi makro dan pembangunan di pemerintahan, otoritas atau kementrian di bidang energi, badan regulasi energi, badan koordinasi pasar, badan/kementrian pemerintah di luar wilayah energi, industri pemasok energi, para pengusaha dan berbagai industri, industri peralatan energi dan alat-alat pengguna energi, institusi kredit, LSM dan organisasi kemasyarakatan, spesialis
energi dan konsultan, dunia akademis dan organisasi peneliti, serta media (Johansson dan Goldemberg, 2002). Di antara mereka harus muncul kesepakatan akan vitalnya energi terbarukan. Kesepakatan itulah yang bisa mendasari lahirnya kebijakan yang dibutuhkan. Akhirnya, nampak diperlukan kajian anilitis akademik dan empirik secara mendalam untuk memahami berbagai permasalahan-permasalahan kebijakan energi nasional tersebut. Berangkat dari berbagai paparan-paparan di atas, maka kajian sederhana yang hendak dibahas dari tulisan ini adalah bagaimanakah “Nasib” Kebijakan Diversifikasi Energi Nasional jika dilihat dari regulasi, legislasi dan program yang sedang dan telah dilakukan? Dan Bagaimana Feasibitas kebijakan dan program diversifikasi energi? PEMBAHASAN Bauran Sumberdaya & Konsumsi Energi Dunia Bauran sumberdaya energi dunia menunjuk pada situasi ketimpangan penggunaan sumberdaya energi. Masyarakat dunia masih sangat tergantung dengan sumberdaya energi fosil. Tiga bentuk energi fosil yang menjadi tumpuan masyarakat dunia adalah minyak bumi, gas dan batubara. Ketiga sumberdaya energi ini mendominasi sumber-sumberdaya energi lainnya. Bauran energi yang didominasi tiga sumber energi primer ini menjadikan adanya persaingan yang kuat antara negara-negara maju untuk menguasi pasaran energi ketiganya. Negara-negara maju dan penghasil energi berusaha memonopoli pasar energi dunia. Pada sisi lain, permintaan yang besar terhadap energi fosil pada akhirnya tidak mampu diimbangi ketersediaan energi yang memadai. Gambaran bauran penggunaan energi dunia dapat dilihat pada grafik berikut.
Gambar 1. Bauran sumberdaya energi dunia
ADMINISTRATIO
ISSN : 2087-0825
149 Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan, Vol.4, No.2, Juli-Desember 2013
Pada gambar tersebut, terlihat bahwa Minyak bumi menjadi sumber energi utama dunia, disusul dengan gas dan batubara. Sumberdaya energi lain seperti nuklir, panas bumi dan energi non-fosil lainnya belum banyak dilirik oleh masyarakat dunia. Tingginya permintaan dunia terhadap minyak, gas dan batubara berdampak pada fluktuasi harga yang cenderung naik. Kondisi Energi Nasional Kondisi ketergantungan masyarakat dunia terhadap energi fosil terutama minyak bumi, gas dan batubara juga dirasakan oleh Indonesia. Bahkan bauran energi nasional jauh lebih homogen
dibanding dengan bauran energi dunia. Masyarakat Indonesia masih sangat tergantung pada minyak bumi yakni sebesar 51,66% melebihi kebutuhan minyak dunia sebesar 36%. Dalam jangka panjang, ketergantungan Indonesia terhadap energi fosil akan berdampak tidak baik terhadap keamanan energi nasional. Sifat energi fosil yan tidak dapat diperbaharuai akan menyebabkan goncangan kebutuhan energi nasional. Dalam jangka waktu tertentu, sumberdaya energi ini tentu akan habis, padahal permintaan terhadap energi tersebut semakin tinggi. Cadangan energi fosil Indonesia secara lebih detail terlihat pada gambar berikut.
Gambar 6. Cadangan energi fosil Indonesia
Sumber: Kementerian ESDM Di sisi lain, keuntungan besar pasar energi fosil nasional ternyata tidak dinikmati oleh masyarakat. Keuntungan perdagangan energi minyak dan gas Indonesia lebih banyak digunakan untuk menutupi biaya operasional eksploitasi. Biaya eksploitasi ini dominasi utamanya
ADMINISTRATIO
untuk pembelian teknologi dalam bentuk cost recovery USD 22 juta per hari ~ Rp 200 milyar per hari. Devisa sebanyak ini mayoritas ditransfer ke luar negeri, karena memang teknologinya import. Situasi ini tergambar pada grafik berikut.
ISSN : 2087-0825
Fery Triatmojo; Dinamika Kebijakan Diversifikasi Energi di Indonesia 150
Gambar 7. Cost Recovery dan profit margin energi fosil nasional 7000
90
6000
80
MM US$
4000
60 50
3000
40 30
2000
Percentage
70
5000
20
1000
10 0
0 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Cost Recov ery
Profit margin
Sumber: BP Migas
Sisi Permintaan Dan Pasokan Energi Fenomena yang menarik terkait dengan konsumsi energi di sektor rumah tangga dalam kurun waktu 1990-2005 adalah sisi pertumbuhan (growth) untuk masing-masing jenis energi. Konsumsi terhadap energi komersial (minyak tanah, LPG, Gas bumi dan listrik) di sektor rumah tangga memang masih kecil dari sisi jumlah, namun dari sisi rata-rata pertumbuhan per tahun terlihat sangat signifikan, yaitu minyak tanah sebesar 3,14%, LPG sebesar 7,77%, gas bumi sebesar 9,45% dan listrik sebesar 10,04%. Sedangkan rata-rata pertumbuhan per tahun untuk konsumsi kayu bakar hanya sebesar 1,70% meskipun secara jumlah konsumsinya cukup besar. Untuk arang, rata-rata pertumbuhan konsumsi per tahun justru bernilai negatif yaitu sebesar -6,80%. Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (2006) mencatat terjadinya pertumbuhan yang cukup substansial dalam permintaan energi final (termasuk biomassa) di Indonesia pada kurun waktu 1990-2005, yaitu dengan rata-rata pertumbuhan konsumsi sebesar 4,08% per tahun. Pada akhir tahun 2005, konsumsi energi final di Indonesia mencapai angka sekitar 816.762 ribu SBM. Jika biomassa turut diperhitungkan, maka terlihat
ADMINISTRATIO
adanya dominasi sektor rumah tangga dan komersial dalam konsumsi energi final sedangkan jika biomassa tidak diperhitungkan, maka sektor industri yang mendominasi. Permintaan energi final diproyeksikan akan terus meningkat, seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, pertumbuhan ekonomi, perubahan gaya hidup (life style) maupun peningkatan standar kesejahteraan sosial. Studi Comprehensive Assessment of Diferent Energy Source for Electricity Demand (CADES) (2000) memproyeksikan bahwa permintaan energi akan mengalami pertumbuhan dimulai sekitar 4.028 Peta Joule pada tahun 2000 dan mencapai angka sekitar 8.200 Peta Joule pada tahun 2025. Pertumbuhan yang substansial dalam permintaan energi nasional ini tentu akan menjadi tantangan besar bagi sektor pasokan energi Indonesia. Minyak menjadi jenis energi yang dominan dalam bauran pasokan energi pada kurun waktu 1990-2005, disusul oleh biomassa dan gas, seperti terlihat pada Gambar 11. Pada akhir tahun 2005, pasokan minyak tercatat sebesar 524.045 ribu SBM, gas sebesar 212.790 ribu SBM dan biomassa sebesar 270.122 ribu SBM. Melihat tantangan yang besar bagi sektor pasokan
ISSN : 2087-0825
151 Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan, Vol.4, No.2, Juli-Desember 2013 energi Indonesia, maka simulasi neraca permintaan dan pasokan energi yang dikembangkan harus mempostulatkan pengembangan dan diversifikasi semua opsi energi termasuk energi baru dan terbarukan Kebijakan Diversifikasi Energi Nasional Diversifikasi energi Indonesia sebagai aset luar biasa pengembangan teknologi energi nasional. Sangat sedikit negara di Dunia yang punya keberagaman (diversity) jenis sumber energinya, Pada umumnya keberagaman luar biasa ini tidak diikuti dengan jumlah (volume) yang besar per jenisnya, Keberagaman ini menjadi aset luarbiasa untuk pengembangan teknologi energi berskala dunia, aset luar biasa untuk pendidikan berbasis pengembangan teknologi energi berlevel dunia. Berbagai teknologi energi baru terbarukan diperkirakan akan berkembang secara komersial dan kompetitif terhadap energi konvensional. Teknologi sel bahan bakar akan diproduksi secara komersial yang dapat menggantikan pembangkit listrik skala kecil. Teknologi nuklir fisi yang baru akan berkembang sehingga berpotensi untuk
lebih banyak dimanfaatkan. Teknologi hidrogen, Ocean Thermal Energy Conversion (OTEC), Magneto Hydro Dynamics (MHD), Dimethyl Ether (DME), Gas to Liquid (GTL), Oil Shale, sel bahan bakar, bio diesel, Coalbed Methane (CBM) dan Coal Liquifaction diperkirakan mempunyai potensi sebagai energi baru. Seperti halnya pemerintahpemerintah sebelumnya, saat ini pemerintah juga turut memperlihatkan niatnya dalam usaha diversifikasi energi nasional. Pemerintah menyadari ketergantungan yang tidak sehat dalam bidang energi terhadap minyak dan gas. Oleh karenanya, pemerintah mencoba mengintervensi perubahan bauran energi nasional melalui kebijakan publik. Pada tahun 2006 pemerintah mengeluarkan Perpres No. 5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional. Muatan kebijakan energi pada produk peraturan ini pada dasarnya adalah keamanan energi melalui diversifikasi energi nasional. Proyeksi bauran Jenis Energi pada konsumsi energi nasional Tahun 2025 berdasarkan kebijakan tersebut adalah:
Tabel 1. Konsumsi Bahan Bakar Nasional No.
Jenis Bahan Bakar
Peranan Terhadap Konsumsi Tahun 2025
1
Minyak Bumi
≤ 20%
2
Gas Bumi
30%
3
Batubara
33%
4
Biofuel
5%
5
Panas Bumi
5%
6
Energi Baru Lainnya
5%
7
Batubara Yang Dicairkan
2%
Dalam konteks diversifikasi energi, Pemerintah juga telah mengeluarkan berbagai kebijakan terkait energi baru terbarukan yaitu (1) Undang-undang No.: 30/2007 tentang Energi; (2) Undang-
ADMINISTRATIO
undang No.: 27/2003 tentang Panas Bumi; (3) Kebijakan Energi Nasional (Perpres No. 5/2006); (4) Pedoman Pembangkit Listrik Energi Terbarukan Skala Kecil (Kepmen ESDM No. 1122
ISSN : 2087-0825
Fery Triatmojo; Dinamika Kebijakan Diversifikasi Energi di Indonesia 152
K/30/MEM/2002); (5) Pedoman Pembangkit Listrik Energi Terbarukan Skala Medium (Permen ESDM No. 002/2006); (6) Pengembangan Bahan Bakar Nabati (Inpres No. 1/2006). UU No. 17 Tahun 2007 tentang RPJPN 2005-2025 Bab IV.1.2. Bagian D. No. 32 dinyatakan bahwa pengembangan diversifikasi energi untuk pembangkit listrik yang baru terutama pada pembangkit listrik yang berbasis batubara dan gas secara terbatas dan bersifat jangka menengah dan dalam jangka panjang akan mengedepankan energi terbarukan, khususnya bioenergi, geothermal, tenaga air, tenaga angin, tenaga surya, bahkan tenaga nuklir dengan mempertimbangkan faktor keselamatan secara ketat; Pengembangan sumber-sumber energi alternatif seperti energi nuklir, panas bumi, biomassa, biogas, mikrohidro, energi matahari, arus laut dan tenaga angin Memerhatikan komposisi penggunaan energi (diversifikasi) yang optimal bagi setiap jenis energi. Diperlukan pengawasan dan monitoring yang efektif bagi pelaksanaan peraturan-peraturan tersebut. Pengawasan dilakukan untuk menjamin bahwa amanat konstitusi serta UU yang telah ditetapkan benar-benar dilakanakan; Peningkatan Pengawasan terhadap kinerja pengelolaan dan pemanfaatan sumber energi semakin diperlukan, akibat semakin kompleksnya permasalahan sektor energi nasional, terutama dikaitkan dengan beberapa hal berikut: belum optimalnya pengelolaan sumber energi, yang dapat dilihat antara lain melalui beberapa indikator seperti, perkembangan cadangan dan tingkat produksi; belum optimalnya alokasi pemanfaatan sumber energi, yang dapat dilihat dari beberapa indikator, antara lain, tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap BBM, volume gas bumi dan batubara untuk ekspor masih terlalu besar yang menyebabkan terjadinya kekurangan pasokan untuk kebutuhan di dalam negeri serta rendahnya share energi yang berasal dari sumber energi baru dan terbarukan, yaitu di bawah 10%
ADMINISTRATIO
di dalam total energy (primer) mix nasional. Terdapat beberapa obyek strategis yang bisa dijadikan pengawasan. Obyek Pelaksanaan pengawasan di dalam pengelolaan dan pemanfaatan energi, terutama pada beberapa aspek berikut: Proporsionalitas pengembangan berbagai sumber energi; Efisiensi manajemen pengelolaan di sektor energi; Perkembangan cadangan dan produksi energi; Pemenuhan kebutuhan energi di dalam negeri; Akses masyarakat terhadap energi; Optimalisasi penerimaan negara dari sektor energi; Kemampuan SDM dan tingkat penyerapan tenaga kerja domestik di sektor energi; Kemampuan industri dan tingkat kemandirian di dalam pengelolaan sektor energi; Perlindungan lingkungan hidup Pengembangan Energi Baru Terbarukan Pemerintah, melalui Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sudah menyiapkan konsep untuk energi terbarukan, pengganti sumber energi bersumber dari bahan bakar minyak (BBM). LIPI bersama lembaga riset lainnya di antaranya BPPT, BATAN, akan menjadikan hidrogen dan metanol dalam satu paket. Saat ini LIPI lebih fokus dalam merancang produksi hidrogen dan metanol di Indonesia dalam jumlah besar, dan hargannya murah. Produksi metanol di Indonesia lebih visibel, aman, dan dari segi pemasaran ada konsumennya. Demikian juga dengan infrastruktur juga sudah ada. Metanol yang akan diproduksi nantinya akan bersumber dari sampah, batubara, dan limbah industri otomotif. Hasil buangan batu bara di langit bisa ditangkap dan dijadikan hidrogen serta metanol, sehingga produksi emisi baru bara bersih tanpa karbon. Demikian juga dengan pengolahan sampah akan menghasilkan gas metan dan hidrogen yang potensial, yang nantinya akan dikonversi sebagai energi listrik. Pada dasarnya LIPI membuat konsep yang disesuaikan dengan konsep di setiap wilayah dalam konversi ini. Jakarta misalnya bisa membuat gas metan dan hidrogen dari sampah. Sedangkan daerah penghasil batu bara bisa memanfaatkan
ISSN : 2087-0825
153 Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan, Vol.4, No.2, Juli-Desember 2013 limbah yang dibuang itu menjadi metanol dan hidrogen. Kalau daerah yang banyak anginnya seperti NTT, cocoknya energi angin atau energi surya, dan sebagainya. Telah digagas pula untuk membuat penyimpanan hidrogen dan metanol dalam skala besar, termasuk distribusi dan pemasarannya. LIPI pun merancang pembuatan fuel cell. Energi fuel cell merupakan energi alternatif di masa mendatang yang sedang dikembangkan, dan bisa menjadi pengganti energi dari bahan bakar minyak (BBM). Energi fuel cell yang berbahan bakar hidrogen punya keunggulan sifat transportable, ramah lingkungan, dan mempunyai efisiensi tinggi. Fuel cell ini akan digunakan pada kendaraan bermotor, laptop, ponsel, rumah tangga, maupun power plant besar. keistimewaannya tidak menimbulkan polusi, tidak ada bunyi, dan efisien dibandingkan energi lainnya. Apalagi energi fuel cell berpeluang memberikan perubahan yang besar dalam konsep penggunaan energi, karena keunggulannya teknologi itu berbasis hidrogen, dan sering disebut sebagai microchip di bidang energi. Fuel cell diciptakan pertama kali oleh Sir William Grove pada tahun 1839. Grove menemukan bahwa ternyata air bisa terurai menjadi hidrogen dan oksigen ketika diberi arus listrik. Proses ini kemudian dinamakan elektrolisis. Ia lalu berhipotesis bahwa jika proses tersebut dibalik untuk menghasilkan listrik dan air. Lima puluh tahun kemudian, Ludwig Mond dan Charles Langer memopulerkan istilah fuel cell ketika sedang membuat model praktis untuk menghasilkan listrik. Fuel cell pada dasarnya adalah alat konversi energi elektrokimia. Ia mampu mengubah senyawa hidrogen dan oksigen menjadi air, dan dalam prosesnya menghasilkan listrik. Beda dengan baterai yang mengubah semua senyawa kimia di dalam tubuhnya menjadi listrik dan kemudian habis sehingga harus dibuang atau mesti diisi ulang memakai catuan daya, senyawa kimia di fuel cell terus mengalir di dalam selnya secara konstan sehingga tidak pernah mati. Pemerintah juga melakukan edukasi kepada masyarakat bahwa pengolahan
ADMINISTRATIO
energi alternatif untuk dijadikan energi listrik non BBM memiliki nilai jual tinggi. Bila di daerah itu bisa mengolah energi alternatif, dan kapasitasnya lebih bisa dijual ke PLN. Daerah pun punya pendapatan lain dari penjualan energi alternatif ini. Gambaran harga hidrogen saat ini dalam skala produksi US$3,5 per kilogram, artinya untuk satu kilogram hidrogen sama dengan empat liter bensin. Namun dalam perkembangannya harga akan diturunkan menjadi US$1,5. Artinya harga hidrogen tidak sampai US$1 seperti harga premium saat ini di pasar internasional. Jelas lebih murah dan ekonomis. Diakuinya produksi hidrogen di dunia kian sedikit, namun tren kenaikan harga minyak dunia terus meroket, hidrogen akan menjadi primadona. Harganya pun sangat kompetitif. Harganya akan terus naik apabila harga minyak terus meroket. Apalagi untuk Indonesia, hidogren itu sangat visibel. Banyak sumber yang bisa diproduksi menjadi hidrogen, dari sampah, biomassa, gas alam, dan sebagainya. Dan energi yang dihasilkan lebih bersih. Menurutnya penggunaan hidrogen ini juga akan membantu pengurangan emisi karbon yang dihasilkan oleh energi fosil seperti sekarang ini. Selain upaya pengembangan sumberdaya energi diatas, pemerintah juga melakukan upaya sistematis untuk mengembangkan beberapa sumber energi non-fosil lainnya yaitu Biofuel. Biofuel adalah bahan bakar dari sumber hayati, sebagai contoh bioetanol, biodiesel, dan bio-oil. Bioetanol dimanfaatkan untuk mengurangi konsumsi nasional premium. 10% Bioetanol dicampur dengan 90% premium disebut Gasohol E-10. Biodiesel dimanfaatkan untuk mengurangi konsumsi nasional solar. 10% Biodiesel dicampur dengan 90% solar disebut Biodiesel B-10. Bio-oil atau Pure Plant Oil (PPO) dimanfaatkan secara langsung untuk mengurangi konsumsi solar industri, minyak diesel, dan minyak bakar. 50% Bio Oil dicampur dengan 50% solar disebut P-50. Pemakaian biofuel pada 2010 ditargetkan 10% terhadap konsumsi nasional premium, minyak solar, dan minyak tanah (kerosene).
ISSN : 2087-0825
Fery Triatmojo; Dinamika Kebijakan Diversifikasi Energi di Indonesia 154
Tabel 2. Proyeksi Kebutuhan Bioetanol untuk Substitusi Premium Tahun 2006-2010 Kebutuhan Premium @ ( juta kl )
Tahun
Kebutuhan Bioetanol untuk Substitusi Premium ( x 1000 kl ) 10%
5%
3%
2%
2006
17,08
1.708
854
512
342
2007
17,46
1.746
873
524
349
2008
17,81
1.781
890
534
356
2009
18,17
1.817
908
545
363
2010
18,53
1.853
926
556
371
Sumber: Kajian BPPT, 2006 Ket. @ laju konsumsi premium sebesar 2% per tahun (Sumber: Dep. ESDM, koreksi terhadap proyeksi konsumsi BBM sebelum pengurangan subsidi) Saat ini jumlah produksi etanol teknis yang ada 177.500 kL/tahun, dimana 62.500 kL untuk keperluan dalam negeri, sisanya 115.000 kL diekspor. Adapun
Produsen bioetanol kualitas FGE yang diharapkan sudah beroperasi pada tahun 2006 – 2010, antara lain:
Tabel 3. Kapasitas Produksi Bioetanol Tahun
Produsen
Lokasi
Kapasitas ( Total Suplai ( kl ) kl )
2006
PT. Molindo Raya
Jatim
10.000
10.000
2007
BPPT
Lampung
2.000
12.000
2008
PT. Indo Lampung Distilery Lampung PT. Medco Etanol Lampung PT. Molindo Raya Jatim
20.000 22.000 40.000
94.000
PT. Molindo Raya PT. Etanol Indonesia Sampoerna Group
Lampung Banten -
40.000 35.000 60.000
229.000
PT. Indo Acidatama
Lampung
50.000
279.000
2009
2010
Sumber: Kajian BPPT, 2006 Untuk memenuhi sumber bahan baku energi, ada beberapa Lahan Ubikayu yang Berpotensi untuk Diintensifikasi, yaitu: Table 4. Daerah Penghasil Ubi Kayu Luas *)
ADMINISTRATIO
Jumlah Produksi (ton) Kenaikan
Pabrik Luas lahan
ISSN : 2087-0825
155 Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan, Vol.4, No.2, Juli-Desember 2013 Propinsi
Sumut
Lahan Panen (hektar) 42.214
pada tahun 2005 *) 527.423
Setelah **) Jumlah Intensifikasi Produksi (ton) 1.055.350 527.927
yang bisa yang Disuplai intensifikasi @) (hektar) 2 9.360
Sumsel
16.647
207.738
416.175
208.437
1
4.680
Lampung
264.919
4.991.950 6.622.975
1.631.025
6
28.080
Jabar
114.198
2.009.555 2.854.950
845.395
3
14.040
Jatim
250.296
3.994.143 6.257.400
2.263.257
9
42.120
NTT
81.921
848.611
1.392.657
544.046
2
9.360
Sulsel
25.768
440.030
642.700
202.670
1
4.680
Sultra
15.539
263.616
388.475
124.459
0
-
Jumlah
811.422
13.283.066 20.286.050 6.922.584
24
112.320
Sumber: Kajian BPPT, 2006 Tabel 5. Daerah yang Berpotensi untuk Ekstensifikasi
Propinsi
Luas Lahan (hektar)
Sumut
23.000
Proyeksi Jumlah Produksi (ton/tahun) 575.000
Sumsel
37.000
Sumbar
Potensi Produksi Pabrik yang BIOETANOL Disuplai *) (KL/tahun) (unit) 88.400
5
925.000
142.300
8
19.500
487.000
75.000
4
Lampung
47.000
1.175.000
180.700
10
Jateng
29.000
750.000
115.000
6
Jabar
42.000
1.050.000
161.500
9
Jatim
33.000
825.000
126.900
7
DIY
9.500
237.500
34.500
2
NTT
25.000
625.000
96.000
5
Sulsel
38.000
950.000
146.100
8
Sultra
33.000
630.000
126.900
7
Kaltim
18.000
396.000
60.900
3
Jumlah
336.000
8.400.000
1.292.308
71
Sumber: Kajian BPPT, 2006 a. Produksi Biodiesel (Tanpa Intervensi Pemerintah) Ada lebih dari 10 PMDN dan PMA yang telah mendaftar ke BKPM untuk membangun Pabrik biodiesel di Indonesia Kapasitas total yang direncanakan hingga tahun 2010 adalah 1.4 juta kl
ADMINISTRATIO
Mayoritas bahan baku adalah CPO dengan lokasi Riau dan Jabodetabek Hampir semuanya berorientasi ekspor Oleh karena itu pemerintah sebaiknya berkonsentrasi membuka lahan baru kelapa sawit dan jarak pagar untuk penciptaan lapangan kerja dan membangun
ISSN : 2087-0825
Fery Triatmojo; Dinamika Kebijakan Diversifikasi Energi di Indonesia 156
pabrik biodiesel di luar proyek yang telah diumumkan oleh swasta tersebut.
b. Potensi Pemenuhan Kebutuhan Bio-OIL untuk Substitusi Solar dan Kerosin Tahun 2010, Bahan Baku Kelapa Sawit Jml Pabrik
Lokasi/Kabupaten Provinsi NAD RIAU/KEPRI JAMBI SUMATERA SELATAN KALIMANTAN BARAT KALIMANTAN TENGAH KALIMANTAN SELATAN KALIMANTAN TIMUR IRJABAR/PAPUA
2007 5,000 5,000 25,000 20,000 50,000 25,000 8,000 64,000 17,000
2008 3,000 3,000 25,000 20,000 50,000 25,000 8,000 50,000 17,000
Areal (ha) 2009 3,000 3,000 30,000 20,000 50,000 30,000 8,000 50,000 16,000
Jumlah
2010 3,000 3,000 35,000 26,000 64,000 35,000 4,000 50,000 7,000
Jumlah 14,000 14,000 115,000 86,000 214,000 115,000 28,000 214,000 57,000 857,000
50,000 100,000 Ton/thn Ton/thn
1 1 4 2 5 4 2 5 2 26
2 2 5 2 5 1 17
c. Potensi Pemenuhan Kebutuhan Bio-OIL untuk Substitusi Solar dan Kerosin Tahun 2010, Bahan Baku Jarak Pagar 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Propinsi Total Lahan Sumatera Barat 785,458 Jambi 1,211,418 Sumatera Selatan 3,759,991 Lampung 1,491,777 Jawa Barat 983,022 Jawa Tengah 907,870 Daerah Istimewa Yogyakarta 77,680 Jawa Timur 1,790,438 Banten 287,706 Nusa Tenggara Barat 590,882 Nusa Tenggara Timur 1,750,888 Sulawesi Utara 682,315 Sulawesi Tengah 880,525 Sulawesi Selatan 1,171,670 Sulawesi Tenggara Gorontalo Papua JUMLAH
1,220,906 303,847 5,137,186 23,033,579
Pabrik PPO Jarak ha Produksi Jarak 30,000 ton/tahun 44,000 70,400 1 44,000 70,400 1 50,000 80,000 1 154,000 246,400 5 44,500 71,200 1 42,000 67,200 1 42,500 42,000 42,000
68,000 67,200 67,200
1 1 1
185,000
296,000
5
185,000 123,000 65,000 107,500
296,000 196,800 104,000 172,000
5 3 2 3
107,000 137,500 46,000 1,461,000
171,200 220,000 73,600 2,337,600
3 4 1 39
Kendala Pengembangan Energi Baru Terbarukan Penggunaan energi terbarukan belum besar, kecuali tenaga air, karena belum kompetitif dibandingkan dengan energi konvensional. Harga listrik yang dibangkitkan dari PLTS, PLTB, PLTMH dan PLT energi terbarukan lainnya masih lebih tinggi daripada yang dibangkitkan dengan BBM. Sampai tahun 2002, kapasitas terpasang dari PLTS sebesar 5 MW, dari PLTB sebesar 0,5 MW, dari PLTMH sebesar
ADMINISTRATIO
54 MW dan dari PLT terbarukan lainnya (biomassa) sebesar 302,5 MW. Potensi panas bumi dan tenaga air sangat besar dan tidak dapat diekspor serta merupakan energi bersih, sedangkan penggunaannya relatif masih sedikit. Kendala pembangunan kedua jenis energi tersebut adalah lokasinya yang jauh dari lokasi konsumen yang sudah berkembang. Di samping itu, pembangunan PLTA skala besar membutuhkan pembebasan lahan yang sangat luas dan menimbulkan
ISSN : 2087-0825
157 Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan, Vol.4, No.2, Juli-Desember 2013 dampak lingkungan yang besar. Hal tersebut tentu saja mempunyai konsekuensi biaya yang cukup besar pula. Tingkat akseptansi masyarakat terhadap pemanfaatan energi nuklir untuk pembangkitan tenaga listrik masih rendah, karena sosialisasi pemanfaatan energi nuklir masih terbatas. Padahal energi nuklir adalah energi yang aman, ramah lingkungan dan ekonomis. Potensi sumber energi terbarukan lainnya a.l. energi surya, energi angin, dan biomassa besar tetapi pemanfaatannya masih terbatas, karena harganya yang belum kompetitif terhadap energi konvensional. Sayangnya, sebagian besar teknologi energi masih belum berkembang dan belum dikuasai sehingga ketergantungan terhadap luar negeri sangat besar. Selain itu, peranan penelitian dan pengembangan dalam transfer teknologi energi dari luar ke dalam negeri masih terbatas. Kebijakan yang mampu mendorong transfer teknologi dalam membantu menciptakan keamanan pasokan energi di dalam negeri belum kondusif.
dari lambatnya pertumbuhan energi nonBBM dan masih tingginya konsumsi BBM. Diversifikasi energi Indonesia sebagai aset luar biasa bagi pengembangan teknologi energi nasional. Sangat sedikit negara di Dunia yang punya keberagaman jenis sumber energinya, Pada umumnya keberagaman luar biasa ini tidak diikuti dengan jumlah (volume) yang besar per jenisnya, Keberagaman ini menjadi aset luarbiasa untuk pengembangan teknologi energi berskala dunia, aset luar biasa untuk pendidikan berbasis pengembangan teknologi energi berlevel dunia. Dimungkinkan Produksi Biodiesel Tanpa Intervensi Pemerintah.Ada lebih dari 10 PMDN dan PMA yang telah mendaftar ke BKPM untuk membangun Pabrik biodiesel di Indonesia, hampir semuanya berorientasi ekspor, pemerintah bisa membuka lahan baru kelapa sawit dan jarak pagar untuk penciptaan lapangan kerja dan membangun pabrik biodiesel di luar proyek yang telah diumumkan oleh swasta tersebut. DAFTAR PUSTAKA
KESIMPULAN Sistem energi Indonesia saat ini sedang menghadapi tantangan serius. Setidaknya dalam tiga kelompok besar permasalahan energi nasional yaitu tingkat elektrifikasi yang masih rendah, ketergantungan pada sumber energi fosil, dan rendahnya pemanfaatan energi baru terbarukan. Bauran energi nasional jauh lebih homogen dibanding dengan bauran energi dunia. Masyarakat Indonesia masih sangat tergantung pada minyak bumi yakni sebesar 51,66% melebihi kebutuhan minyak dunia sebesar 36%. Kebijakan energi Indonesia sebenarnya telah memasukkan program diversifikasi energi untuk mengurangi konsumsi minyak bumi dari total konsumsi energi di Indonesia. Berbagai kebijakan energi nasional yang dikeluarkan pemerintah sejak tahun 1981, selalu memasukkan program diversifikasi energi sebagai salah satu program utamanya. Sayangnya, berbagai program diversifikasi energi itu sukar dilihat hasilnya. Kegagalan kebijakan diversifikasi energi di Indonesia terlihat
ADMINISTRATIO
Budiarto,
Rachmawan. 2009. Potensi Energi Limbah Pabrik Kelapa Sawit. Jurusan Teknik Fisika, Fakultas Teknik – Universitas Gadjah Mada
Hartarto,
Airlangga. Pengawasan Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumber Energi bagi Sebesarbesarnya kemakmuran rakyat Disampaikan pada: Seminar, “Quo Vadis Energi Nasional” Harian Umum Suara Pembaruan Jakarta, 3 Desember 2008
Kementerian Negara Riset Dan Teknologi, Badan Pengkajian Dan Penerapan Teknologi. 2008. Pembangunan kebun energi dan industri pengolahannya dalam rangka substitusi BBM dan pembangunan ekonomi nasional. Nurhandoko, Bagus Endar Energy-diversity
B. 2008. indonesia
ISSN : 2087-0825
Fery Triatmojo; Dinamika Kebijakan Diversifikasi Energi di Indonesia 158
sebagai penopang ketahanan energi nasional dan potensi pengembangan tekno energi berskala dunia. Bandung Rohi, Daniel. 2008. Pemetaan Potensi dan Pemanfaatan Sumber Energi Alternatif dalam Mendukung Kelistrikan Nasional. Jurusan Teknik Elektro, Fakultas Teknologi Industri. Salim, Nasrullah. 2003 Pengembangan Energi Terbarukan: Belajar dari Keberhasilan India. Kompas (20 Oktober 2003) revisi terakhir : 24 November 2003 http://www.energi.lipi.go.id/ utama.cgi?cetakartikel&10668 33780 Sambodo,
Maxensius Tri. Ketahahan Energi Nasional dan Reformasi Sektor Transportasi. Terbit Pada Bisnis Indonesia 13 Maret 2007
Yuliar, Brian. Melirik Kebijakan Energi Terbarukan di Jepang Yuliarto,
Brian. Gagalnya Kebijakan Energi. Artikel ini dimuat dalam Harian Pikiran rakyat 14 Mei 2008, diakses pada http://dosen.tf.itb.ac.id/ brian/2008/ 06/02/gagalnyakebijakan-energi/
Yusgiantoro, Purnomo. Pengembangan energi baru terbarukanuntuk Pembangkit Tenaga Listrik dan Transportasi. Makalah disampaikan pada:Dialog Interaktif Peranan Energi Terbarukan untuk Pembangkit Tenaga Listrik dan TransportasiJakarta, 19 Mei 2008 Sumber Lain: Undang-undang No.: 30/2007 tentang Energi Kebijakan Energi Nasional (Perpres No. 5/2006) Blueprint Pengelolaan Energi Nasional 2005-2025.
ADMINISTRATIO
ISSN : 2087-0825
159 Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan, Vol.4, No.2, Juli-Desember 2013
ADMINISTRATIO
ISSN : 2087-0825