Review Kebijakan Energi untuk Mendukung Pemanfaatan Energi Terbarukan Mohamad Sidik Boedoyo
Pusat Teknologi Pengembangan Sumberdaya Energi, BPPT, Jakarta Email:
[email protected] Abstract In order to reduce oil subsidies are increasing burden on the budget, the Indonesian government set some programs include energy diversification, as fuel substitution, utilization of renewable energy in power generation, as well as higher fuel prices approaching economic value in the begining of 2013. Considering the fuel consumption is increasing, while the exchange rate of the rupiah against foreign currencies down, programs and policies in the development of new and renewable energy resources need to be reviewed either because of changes in economic value and in stages and target achievement. This paper seeks to evaluate some of the policies in the development of renewable energy, and provide review and input for policy and decision-makers, investors and other energy related institutions. Keywords: subsidy, renewable energy, policy 1. Pendahuluan Indonesia dikaruniai berbagai jenis sumber daya energi baik energi fosil, minyak bumi, gas bumi dan batubara maupun energi terbarukan seperti tenaga air, panas bumi, angin, surya, samudera, maupun biomasa dalam jumlah cukup memadai namun tersebar. Konsumsi energi tumbuh pesat seiring dengan pertumbuhan penduduk dan perekonomian. Sebagian besar beban konsumsi berada di Jawa, yang dihuni oleh sekitar 60% penduduk serta kepadatan industri yang tinggi, sementara sumberdaya energi yang dimiliki sangat terbatas. Pertumbuhan perekonomian nasional dan kesejahteraan penduduk secara langsung meningkatkan kebutuhan energi pada berbagai sektor , seperti sektor industri, rumah tangga, komersial, transportasi dan pembangkit tenaga listrik. Pertumbuhan kebutuhan energi ini meningkatkan konsumsi energi fosil, termasuk minyak bumi yang cadangannya sangat terbatas dan saat ini produksinya sudah tidak mencukupi kebutuhan kilang dalam negeri. Bahan bakar
minyak sebagai produk kilang dalam negeripun tidak dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri ingga harus diimpor. Sementara itu batubara yang menjadi sumber energi utama pada pembangkit tenaga listrik sebagian besar produksinya diekspor ke luar negeri, walaupun batubara merupakan sumber pencemaran utama, baik untuk lingkungan global maupun lingkungan lokal. Demikian juga dengan gas bumi, walaupun diyakini gas buang atau emisi yang dihasilkan lebih bersih daripada batubara, tetapi cadangannya pun terbatas dan saat ini masih lebih banyak yang diekspor daripada digunakan dalam negeri. Potensi sumber energi di Indonesia mempunyai karakteristik cadangan energi fosil yang besar, ekspor sumber daya energi berperan vital terhadap ekonomi nasional, ekonomi domestik sangat sensitif terhadap fluktuasi harga energi di pasar dunia, dan permintaan terhadap energi final di dalam negeri tumbuh dengan pesat, sementara pemanfaatan sumberdaya energi terbarukan masih sangat kecil dan belum optimal.
105
Prosiding Seminar dan Peluncuran Buku Outlook Energi Indonesia 2013 Dalam rangka mengurangi dominasi minyak bumi dan bahan bakar minyak yang sampai saat ini masih diberi subsidi, pemerintah berupaya mengembangkan sumberdaya energi baru dan terbarukan melalui Peraturan Presiden Nomor 5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN). KEN menyatakan tentang sasaran pada tahun 2025 yaitu elastisitas energi kurang dari 1, dan bauran energi untuk EBT mendapat porsi sebesar 17% terhadap konsumsi energi primer nasional. Dalam kaitan ini, pada makalah ini dibahas tentang kondisi energi di Indonesia, kebijakan energi yang ada, permasalahan yang ada dalam pengembangan energi baru dan terbarukan, kemungkinan pengembangan energi terbarukan di masa mendatang serta langkah atau strategi energi yang dapat dilaksanakan agar pengembangan energi dapat dilaksanakan secara optimal. 2. Metoda Evaluasi Kebijakan Energi dalam Pengembangan Energi Terbarukan Untuk mengakaji apakan suatu kebijakan dalam rangka pengembangan pemanfaatan sumberdaya energi terbarukan sudah tepat, masih sesuai, harus dipertajam atau malah dihapuskan, maka perlu dilaksanakan eveluasi terhadap kebijakan-kebiijakan yang telah dikeluarkan tersebut. Langkah analisis tersebut antara lain dengan mempertimbangkan kondisi yang ada saat ini, potensi sumberdaya energi yang dimiliki, keekonomian dari sumberdaya tersebut, target pengembangan energi, proyeksi kebutuhan energi masa mendatang, kemungkinan-kemungkinan lain yang dapat mendorong atau menghambat penyediaan energi, khususnya energi terbarukan serta kondisi yang diharapkan. Dalam hal ini kondisi
yang diharapkan ialah terwujudnya ketahanan energi nasional, sementara target yang diharapkan adalah elastisitas penggunaan energi kurang dari 1, dan taget bauran energi sesuai dengan KEN (Perpres No. 5, 2006). Gambar 1. menunjukkan aliran atau langkah dalam melakukan evaluasi kebijakan dalam pengembangan energi baru dan terbarukan. Langkah evaluasi kebijakan pengembangan EBT merupakan rangkaian langkah sebagai berikut: a. Kondisi energi saat ini yang meliputi potensi dan cadangan energi baik energi fosil maupun energi terbarukan, produksi dan konsumsi energi sektoral sera pembangkitan tenaga listrik dari tahun 2000 sampai tahun 2011. b. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan dalam rangka pengembangan pemanfaatan sumberdaya EBT. Kebijakan-kebijakan ini meliputi target yang harus dicapai, serta peraturan perundangan dan insentif yang diharapkan akan dapat mendorong pemanfaatan EBT dalam upaya mengurangi dominasi pemanfaatan energi fosil. c. Evaluasi dilaksanakan dengan melihat dan memperhatikan kondisi dan situasi yang mempengaruhi keberhasilan kebijakan yang telah diambil untk pencapaian kondisi yang diharapkan di masa mendatang. Kondisi yang diharapkan adalah tercapainya ketahanan dan kemandirian energi. d. Hasil evaluasi akan memberikan saran untuk perubahan target pencapaian pemanfaatan EBT serta saran untuk perubahan dan perbaikan dalam kebijakan yang telah dikeluarkan.
1. Gambar 1. Langkah evaluasi kebijakan pengembangan EBT
1
Prosiding Seminar dan Peluncuran Buku Outlook Energi Indonesia 2013
3. Kondisi Energi Saat Ini dan Permasalahannya 3.1. Konsumsi Energi Sektoral Konsumsi energi final pada kurun waktu 2000-2011 meningkat dari 739 juta SBM pada tahun 2000 menjadi 1.004 juta SBM pada tahun 2011 atau meningkat rata-rata 2,8% per tahun. Pada tahun 2000, konsumsi energi final terbesar adalah sektor rumah tangga diikuti sektor industri, transportasi, lainnya, dan komersial. Namun mulai tahun 2009 sektor industri menduduki peringkat pertama menggeser posisi sektor rumah tangga dan mulai tahun 2006 sektor komersial menggusur sektor lainnya. Sektor lainnya merupakan gabungan antara subsektor pertanian, konstruksi, dan pertambangan. 1200
1000
I ndustri Tranporta si
Ruma h-Tangga Komersi a l
La i n-l a i n
Juta SBM
800 600 400 200 0 2001
2003
2005
2007
2009
2011
Gambar 2. Konsumi energi final sektoral di Indonesia dengan biomasa[2] 1200 1000
I ndustri Tranporta si La i n-l a i n
Ruma h-Tangga Komersi a l
Juta SBM
600 400 200 0 2003
2005
3.2. Konsumsi Energi Pembangkitan Tenaga Listrik Disamping energi final untuk sektoral yang termasuk di dalamnya energi listrik, perlu ditunjukkan konsumsi energi final untuk pembangkitan listrik seperti ditunjukkan pada Tabel Tabel 1. Gambaran tentang konsumsi energi sebagai bahan bakar pembangkit listrik ini adalah untuk menunjukkan potensi substitusi energi yang dapat dilakukan di pembangkitan listrik. Jenis konsumsi energi fosil untuk pembangkit listrik yang terbesar adalah batubara, disusul oleh minyak solar (HSD), gas bumi dan minyak bakar. Sedangkan pangsa energi terbarukan untuk pembangkitan listrik total mencapai 16% (16 TWh) pada tahun 2000 dan menjadi 12% (22 TWh) pada tahun 2011. 3.3. Potensi Sumberdaya Energi
800
2001
menjadi industri (32%), rumah tangga (29%), transportasi (25,0%), komersial (3%), dan lainnya (2%). Jika konsumsi biomasa sebagai energi non-komersil tidak dipertimbangkan dalam konsumsi energi final sektoral, maka konsumsi energi sektor rumah tangga menduduki peringkat ketiga setelah sektor industri dan transportasi. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa sektor Industri dan transportasi merupakan sektor yang harus diperhitungkan dalam pemanfaatan energi fosil.
2007
2009
2011
Gambar 3. Konsumsi energi final sektoral tanpa biomasa[2] Pangsa konsumsi energi final termasuk konsumsi biomasa tahun 2001 menunjukkkan sektor rumah tangga (38%), industri (32%), transportasi (18%), lainnya (4%), dan komersial (3%). Komposisi ini berubah pada tahun 2011
a. Potensi Sumberdaya Energi Fosil Potensi sumberdaya energi Indonesia bermacam-macam dari sumberdaya energi fosil yang terdiri dari minyak, gas dan batubara, sampai ke sumberdaya energi terbarukan antara lain panas bumi, hidro, biomasa, angin, surya, dan samudera disamping itu juga memiliki potensi energi baru seperti coal bed methane, shale gas, dan uranium. Potensi minyak bumi sangat terbatas, dengan tingkat pemakaian seperti saat ini produksi hanya bertahan 11 tahun, gas bumi hanya 32 tahun, sedangkan batubara 85 tahun. Persoalannya ialah kebutuhan energi terus meningkat dengan cepat sementara cadangan 107
Prosiding Seminar dan Peluncuran Buku Outlook Energi Indonesia 2013 Tabel 1. Konsumsi energi final pada pembangkitan tenaga listrik[1] Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Coal (Ton) 13,135,584 14,027,713 14,054,377 15,260,305 15,412,738 16,900,972 19,084,438 21,466,348 20,999,521 21,604,464 23,958,699 27,434,163
HSD 3,141,917 3,575,348 4,625,521 5,024,362 6,299,706 7,626,201 7,586,916 7,874,290 8,127,546 6,365,116 6,887,455 8,943,880
IDO Kilo Liter 23,146 30,457 40,682 31,573 36,935 27,581 23,977 13,558 28,989 11,132 6,895 13,923
FO 1,858,568 1,793,283 2,300,603 2,557,546 2,502,598 2,258,776 2,387,622 2,801,128 3,163,954 3,032,657 2,430,584 2,509,047
tidak bertambah sehingga akan cepat habis. Oleh karena itu sumberdaya energi yang ada harus dicadangkan untuk menjamin keperluan di masa mendatang. Dilain pihak ekspor energi merupakan sebagian dari sumber devisa negara, sehingga pengurangan atau penghentian ekspor dapat mengganggu perekonomian secara luas. Langkah yang sedang diupayakan ialah melaksanakan diversifikasi energi dari energi fosil ke energi terbarukan. Tabel 2. Potensi sumberdaya energi fosil
Cadangan/ Produksi Sumberdaya per tahun 1. Minyak 4 Milyar Barel 347 Juta Barel 2. Gas 104,71 TSCF 3212 BSCF 3. Batubara 28 Milyar Ton 329 Juta Ton 4. CBM 453 TSCF 5. Shale gas 574 TSCF Sumber : Ditjen EBTKE, 2013
No. Jenis Energi
Rasio Cad/prod. 11 Thn 32 Thn 85 Thn -
Tabel 3. Potensi sumberdaya energi terbarukan No. Sumber Energi
Kapasitas Terpasang 1.341 MW 1 Panas bumi 16.502 MW (Sampai Mei 2013 2 Hidro 75.000 MW 7.059 MW 3 Mini-Mikro 769,7 512 MW 1.364 Mwe 4 Biomasa 13.662 MWe 75,5 MWe (On Grid) 2 5 Energi surya 4,80 kWh/m /h 42,78 MW 6 Energi angin 3-6 m/detik 1,33 MW 34.112 Ton 7 Uranium*) 30 MW e.q. 1 GW 170 Th 8 Samudera 43.000 MW Keterangan: *) Kalbar 24.112 ton dan Kaltim 10.000 ton. Sumber : Ditjen EBTKE, 2013
108
Potensi
Natural Gas MMSCF 228,838 222,421 192,927 184,304 176,436 143,050 157,894 171,209 181,661 266,539 283,274 285,722
Coal
HSD
56.18 59.99 60.10 65.26 65.91 72.28 81.62 91.80 89.81 92.39 102.46 117.32
20.38 23.19 30.01 32.59 40.87 49.47 49.22 51.08 52.72 41.29 44.68 58.02
IDO FO Juta SBM 0.15 12.94 0.20 12.48 0.27 16.01 0.21 17.80 0.24 17.42 0.18 15.72 0.16 16.62 0.09 19.50 0.19 22.02 0.07 21.11 0.05 16.92 0.09 17.47
Natural Gas 41.10 39.95 34.65 33.10 31.69 25.69 28.36 30.75 32.63 47.87 50.88 51.32
b. Potensi Sumberdaya Energi Terbarukan Sumberdaya energi terbarukan meliputi panas bumi, hidro, mikro hidro, biomasa, surya, angin, samudera dan uranium. Sebagai negara kepulauan dan terletak di katulistiwa, Indonesia memiliki energi samudera yang sangat besar meliputi arus laut, pasang surut, gelombang dan perbedaan panas yang dapat dimanfaatkan dalam pembangkitan listrik. Sampai saat ini belum ada pembangkit listrik yang digerakkan oleh energi samudera secara komersial, dan hanya beberapa penelitian tentang pembangkit arus laut dengan skala kecil. Permasalahan yang ada berkisar dari biaya investasi yang mahal, instalasi dan perawatan yang sulit dan tidak dapat dilakukan sendiri oleh penduduk. 3.4. Permasalahan di Bidang Energi Indonesia merupakan negara yang sedang berkembang, juga negara kepulauan dan terletak diantara 2 benua, di dalam lintasar ekuator serta dikelilingi oleh 3 lempeng bumi yaitu Eurasia plate, Indo-Australia plate serta Pacific plate. Kondisi-kondisi ini memberikan berkah potensi energi terbarukan yang besar serta sektor perikanan dan pertanian yang baik, tetapi juga persoalan bagi Indonesia sebagai berikut: a. Permasalahan Umum 1) Pertumbuhan penduduk yang tidak merata dan sebagian besar tinggal di pulau Jawa yang hanya 6% luas daratan Indonesia.
Prosiding Seminar dan Peluncuran Buku Outlook Energi Indonesia 2013
2) Cadangan sumber energi yang potensial terletak di luar Jawa sementara pusat kebutuhan ada di Jawa. 3) Cadangan energi fosil terutama minyak bumi sangat terbatas tidak dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri, sementara gas bumi dan batubara sebagian besar diekspor sehingga dapat menguras cadangannya dan akan berpengaruh pada ketahanan energi di masa mendatang. 4) Pertumbuhan antar pulau yang tidak merata, dengan wilayah barat yang padat penduduk lebih berkembang dari wilayah timur dengan penduduk yang jarang kurang berkembang. 5) Sebagai negara kepulauan dengan 5 pulau besar dan sekitar 3000 pulau kecil transportasi orang dan barang, serta penyediaan utilitas termasuk tenaga listrik sulit sehingga menjadi kendala dalam pencapaian target rasio kelistrikan. b. Permasalahan Sektoral 1) Di sektor rumah tangga, pengurangan subsidi minyak tanah dengan konversi ke LPG secara umum berhasil, dan menyisakan persoalan pengadaan LPG yang sebagian besar diimpor, adanya dua harga LPG yang menimbulkan pengoplosan dari tabung 3 kg ke 12 kg. 2) Di sektor industri, UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang mewajibkan industri pertambangan mineral untuk melaksanakan pengolahan bahan tambang sebelum di ekspor selambatlambatnya tahun 2014 akan meningkatkan kebutuhan energi dan mempengaruhi perencanaan pasokan bahan bakar dan kelistrikan ke wilayah pertambangan . 3) Permasalahan di sektor transportasi antara lain adalah kurang lengkapnya infrastruktur transportasi khususnya angkutan darat, diantaranya penyiapan angkutan masal seperti bus publik, subway maupun monorail. Kendala pada pengembangan kendaraan CNG meliputi, biaya investasi dan operasional SPBG yang mahal, tingginya harga converter kit, serta margin keuntungan yang belum menarik bagi investor. Mobil listrik yang dianggap sebagai salah satu solusi angkutan
perkotaan yang bersih dan efisien, pengembangannya masih terkendala kemampuan jelajah yang pendek, unit penyimpan daya listrik yang mahal dan berumur pendek 2 – 3 tahun serta waktu pengisian yang lama. Diluncurkannya mobil Low Cost and Green Car (LCGC) yang “murah” dan “irit bahan bakar” akan dapat mendorong penjualan dan penggunaan mobil pribadi, tetapi menambah beban pada infrastruktur jalan, dan meningkatkan penggunaan bahan bakar minyak. 4) Permasalahan di pembangkitan tenaga listrik saat ini dan masa mendatang adalah penggunaan batubara yang diprediksi masih akan memegang peranan yang besar, dengan lokasi yang layak untuk pengembangannya di Pulau Jawa sangat terbatas. Sehingga pengangkutan dan penimbunan batubara menjadi persoalan yang komplek disamping timbulnya masalah lingkungan akibat pencemaran. Pengembangan gas bumi masih terkendala oleh infrastruktur serta penyediaan gasnya. PLTN dapat menjadi solusi karena kapasitas per unitnya yang besar, tetapi biaya investasi yang tinggi serta adanya hambatan sosial sehingga masih menjadi kendala. 3.5. Kebijakan Energi Dalam Pengembangan Energi Terbarukan Peningkatan konsumsi BBM dibarengi penurunan nilai rupiah terhadap valuta asing, menyebabkan subsidi energi khususnya BBM terus meningkat. Dalam upaya pengurangan tekanan dari subsidi BBM, Pemerintah Indonesia bertekat untuk mengembangkan penggunaan sumberdaya energi terbarukan sebagai substitusi BBM maupun dalam pembangkitan tenaga listrik. Berbagai kebijakan pemerintah baik dalam Undang Undang, Perpres, Inpres maupun Kepmen telah dikeluarkan oleh Pemerintah baik sebagai regulator maupun sebagai insentif untuk mendorong pemanfaatan energi terbarukan, sebagai berikut:
109
Prosiding Seminar dan Peluncuran Buku Outlook Energi Indonesia 2013
4.
Faktor yang Berpengaruh pada Target Kebijakan Energi
4.1. Proyeksi Kebutuhan Energi Sektoral dan Per Jenis Energi Proyeksi kebutuhan energi sektoral dari hasil perhitungan dengan model Markal menunjukkan bahwa sektor industri dari tahun 2012 sampai 2030 merupakan sektor dengan kebutuhan energi terbesar, disusul transportasi,
110
rumah tangga, komersial dan sektor lainnya. Pertumbuhan tahunan setiap sektor diatas berturut-turut adalah 5,8%, 6,3%, 5,8%, 7,4% dan 7,3%, dengan laju pertumbuhan tertinggi adalah sektor komersial dan lainnya walaupun dari konsumsi awal yang paling rendah. Pendalaman terhadap sektor-sektor tersebut menunjukkan bahwa pada tahun 2025 sektor industri menggunakan BBM sebesar 19%, gas 24%, batubara 33%, listrik 16% dan biomasa sebesar 7% dari total konsumsi energi sektor industri. Sementara itu sektor transportasi menggunakan BBM sebesar 80%, BBN sebesar 19%, CNG sebesar 1% dan listrik sebesar 0,04% terhadap total kebutuhan energi sektor transportasi. 2500
Lainnya Komersial Rumah Tangga Transportasi Industri
Juta SBM
2000
1500
1000
500
0 2012 2014 2016 2018 2020 2022 2024 2026 2028 2030
Gambar 4. Proyeksi konsumsi energi sektoral[2] 3000 2500
BBM
Batubara
Listrik
Gas + LPG
BBN
Biomasa
2000
J u ta S B M
1) Undang Undang No 7 Tahun 2003 tentang panas bumi yang mengatur pengelolaan panas bumi. 2) Kebijakan energi yang masih berlaku adalah yang tertuang pada Perpres Nomor 5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang bertujuan untuk mewujudkan ketahanan energi serta pencapaian sasaran elastisitas lebih kecil dari 1% pada tahun 2025, dan bauran energi untuk pemanfaatan energi terbarukan lebih besar dari 17% terhadap total pasokan energi primer pada tahun 2025. 3) Kebijakan Energi Nasional ini kemudian disusul oleh Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 2006 tentang penyediaan dan pemanfaatan biofuel (bahan bakar nabati) sebagai bahan bakar lain dan Instruksi Presiden Nomor 2 tahun 2006 tentang penyediaan dan pemanfaatan batubara yang dicairkan sebagai bahan bakar lain. 4) Permen ESDM Nomor 4 Tahun 2012 tentang harga pembelian listrik energi terbarukan skala kecil dan menengah oleh PT PLN Persero yang diperbarui dengan Permen ESDM Nomor 19 Tahun 2013. 5) Permen ESDM Nomor 32 Tahun 2008 tentang Mandatori penggunaan BBN yang diperbarui dengan Permen ESDM Nomor 25 tahun 2013 dengan target mandatori yang lebih besar. 6) Permen ESDM No. 17 Tahun 2013 menetapkan harga jual listrik PLTS fotovoltaik ke PT PLN (Persero) maksimum 25 sen USD/kWh dan dapat meningkat menjadi maksimum 30 sen USD/kWh jika TKDN sekurang-kurangnya 40%.
1500 1000 500 0 2012
2014
2016
2018
2020
2022
2024
2026
2028
2030
Gambar 5. Proyeksi konsumsi energi per jenis[2] 4.2. Proyeksi Kebutuhan Energi Per Jenis Energi Gambaran konsumsi energi secara total menunjukkan bahwa pada tahun 2025 konsumsi energi final didominasi oleh BBM sebagai konsumsi terbesar (36%), disusul listrik (17%), gas (15%), batubara (14%), biomasa (10%) dan BBN (8%) terhadap konsumsi energi nasional.
Prosiding Seminar dan Peluncuran Buku Outlook Energi Indonesia 2013
Tabel 4. Subsidi energi dan APBN 2010
2011
2012
2013
Target 88,9
Realisasi 82,4
Target 129,7
Realisasi 164,7
Target 137,4
Realisasi 211,9
APBN 168,0
APBN-P1 209,9
Volume BBM
36,5
38,2
40,5
42,6
40,0
44,5
46,0
48,0
Listrik
55,8
62,8
65,6
90,5
64,9
94,6
89,8
100,0
144,7
145,2
195,3
255,2
202,3
306,5
257,8
309,9
1009,5
1.042,1
1202,1
1.295,0
1.418,5
1.548,3
1.683,0
1726,2
19%
15%
BBM + LPG
Subsidi Energi APBN
Rasio SE pd APBN 14% 13% 16% 19% 14% Sumber: Data Pokok APBN 2010, 2011, 2012, 2013 dan APBN-P 2013
Hal ini menunjukkan juga bahwa konsumsi BBM yang sebagian pengadaannya saat ini diimpor merupakan suatu peluang untuk diversifikasi, disamping gas dan LPG sementara batubara sebagai energi final yang “hanya” 14% sebenarnya sebagian besar dimanfaatkan untuk pembangkitan tenaga listrik. 4.3. Kondisi yang Mempengaruhi Target dan Kebijakan Energi a. Subsidi Energi dan Kenaikan Harga BBM Pada awal tahun 2013 pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2013 menetapkan penyesuaian harga eceran BBM dengan harga minyak solar naik dari Rp. 4.500 menjadi Rp. 5.500 dan premium dari Rp. 4.500 naik menjadi Rp. 6.500. Realisasi subsidi energi yang mencapai 19% terhadap APBN 2012 menjadi suatu tanda bahwa subsidi sudah akan membahayakan APBN dan dapat mengganggu jalannya pembangunan, dengan menaikkan harga BBM maka alokasi untuk dana pembangunan dapat lebih ditingkatkan. b. Mandatori Pemanfaatan BBM pada Sektor Transportasi, Industri dan Pembangkit Listrik Pada saat harga minyak melonjak dengan tajam pada tahun 2007, maka pemanfaatan bahan bakar nabati dianggap menjadi suatu solusi dalam menurunkan subsidi BBM dengan pengurangan impor BBM, sekaligus meningkatkan ketahanan energi nasional. Untuk mendorong program tersebut diturunkan
17%
Peraturan Menteri ESDM Nomor 32 Tahun 2008 yang menetapkan mandatori penggunaan BBN yang terdiri dari biodiesel, bioethanol dan PPO (minyak nabati murni). Ternyata pelaksanaan dari program ini tidak berjalan dengan lancar yang disebabkan oleh turunnya harga minyak mentah serta naiknya harga CPO yang menjadi bahan baku biodiesel, sementara bioethanol dengan bahan baku tetes tebu mempunyai produksi yang sangat terbatas dan sebagian besar produksi diserap oleh industri kimia dan untuk ekspor. Hal ini menyebabkan pemanfaatan kedua bahan ini sebagai substitusi BBM harus disubsidi. Kedua kondisi diatas ternyata tidak berjalan sebagaimana mestinya karena volume BBM sektor transportasi diprediksi akan terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah kendaraan, sementara terjadi penurunan nilai konversi rupiah terhadap valuta asing dari Rp. 9000 per USD pada awal tahun 2013 menjadi sekitar Rp. 11.000 per USD pada akhir 2013 dan diperkirakan nilai rupiah akan tetap turun pada tahun 2014. Kondisi di atas menyebabkan subsidi BBM tidak akan dapat turun bahkan akan naik walaupun harga premium dan solar telah dinaikkan. Hal ini mendorong pemerintah untuk lebih meningkatkan target pemanfaatan dan penyerapan BBN untuk substitusi BBM melalui Permen ESDM Nomor 25 Tahun 2013 dengan pemanfaatan minimum biodiesel untuk transportasi dan industri tahun 2025 dinaikkan dari 15% menjadi 20%, sedangkan pembangkit listrik dari 20% menjadi 30%.
111
Prosiding Seminar dan Peluncuran Buku Outlook Energi Indonesia 2013 Tabel 5. Mandatori pemanfaatan BBN dan realisasi (1000 kl)[3] 2011 Mandatori Keseluruhan Mandatori pada Transportasi PSO Realisasi Persentase
Biodiesel 2012*) 2013**)
2014
2011
Bioetanol***) 2012 2013
2014
1.297,0
1.641,0
2.017,0
2.734,0
694,0
968,0
1.167,0
1.334,0
5907
694,4
1.202,3
1.644,0
229,6
244,1
146,0
164,8
358,8 60,75%
669,4 96,39%
604,2 50,25%
-
-
-
-
-
Keterangan: *) Persentase pencampuran biodiesel pada solar sebesar 7.5% sejak tanggal 15 Februari 2012. **) Realisasi s.d. 30 September 2013. Sejak 1 September 2013, persentase pencampuran biodiesel pada solar ditingkatkan menjadi 10%. ****) Belum ada realisasi pemanfaatan bioetanol
5. Evaluasi Terhadap Kebijakan Pengembangan Energi Terbarukan Sesuai dengan aliran atau langkah dalam pelaksanaan evaluasi terhadap kebijakan dalam pengembangan energi terbarukan pada bab 2, maka kebijakan yang ada akan dievaluasi berdasarkan kondisi saat ini dalam arti realisasi kebijakan yang ada, kondisi yang mempengaruhi dan kondisi yang diinginkan berupa target bauran, kemandirian dan ketahanan energi nasional. Pada analisis kebijakan dalam pengembangan energi terbarukan ini, bahasan diarahkan pada beberapa aturan kebijakan sebagai berikut: 1) Kebijakan energi tertuang pada Perpres Nomor 5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang bertujuan untuk mewujudkan ketahanan energi, pencapaian sasaran elastisitas dan bauran energi tahun 2025. 2) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2006 tentang penyediaan dan pemanfaatan biofuel (bahan bakar nabati) sebagai bahan bakar lain 3) Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2006 tentang penyediaan dan pemanfaatan batubara yang dicairkan sebagai bahan bakar lain. 4) Undang Undang No 7 Tahun 2003 tentang panas bumi yang mengatur pengelolaan panas bumi. 5) Permen ESDM Nomor 4 Tahun 2012 yang diperbarui dengan Permen ESDM Nomor 19 Tahun 2013, tentang harga pembelian listrik
112
energi terbarukan skala kecil dan menengah oleh PT PLN Persero. 6) Permen ESDM Nomor 32 Tahun 2008 yang diperbarui dengan Permen ESDM Nomor 25 tahun 2013 dengan target tentang Mandatori penggunaan BBN yang lebih besar dari sebelumnya. 7) Permen ESDM No. 17 Tahun 2013 menetapkan harga jual listrik PLTS fotovoltaik ke PT PLN (Persero). Hasil evaluasi terhadap kebijakankebijakan diatas dipaparkan pada Tabel 6. memberi gambaran tentang langkah-langkah yang dapat dilaksanakan untuk perbaikan terhadap kebijakan yang ada sebagai masukan bagi penyusun dan pengambil keputusan, investor, akademisi dan pengkaji lainnya. 6. Kesimpulan Hal yang dapat disimpulkan dari evaluasi terhadap kebijakan-kebijakan dalam pengembangan energi baru dan terbarukan adalah sebagai berikut. 1) Pencapaian target pemanfaatan EBT sesuai dengan target Kebijakan Energi Nasional dalam Perpres No. 5 Tahun 2006 secara satu persatu sulit dicapai, walaupun secara keseluruhan mungkin dapat dicapai. 2) Pengembangan panas bumi akan sulit dicapai karena walaupun Indonesia memiliki potensi sumberdaya yang terbesar di dunia 29 GWe, tetapi cadangan terbuktinya selama 10 tahun terakhir hamper tidak berubah yaitu sekitar 2 GWe. Oleh karena itu dalam pengembangan PLTP untuk mencapai target 5% dari total
Prosiding Seminar dan Peluncuran Buku Outlook Energi Indonesia 2013
energi primer tahun 2025, pengembangannya agar difokuskan pada peningkatan cadangan terbukti panas bumi. 3) Dalam pengembangan BBN, kendala utama adalah belum adanya suatu mekanisme dalam pengaturan produksi dan distribusi CPO/BBN di Indonesia. Perlu suatu institusi meliputi pihak pemerintah, produsen CPO/biodiesel agar Indonesia sebagai produsen CPO terbesar di dunia mempunyai daya tawar dan mampu mengatur distribusi dan harga CPO dunia sekaligus memenuhi kebutuhan biodiesel di dalam negeri. 4) Ketersediaan lahan yang saat ini belum dimanfaatkan dapat meningkatkan produksi CPO serta target pemanfaatan biodiesel dalam substitusi BBM Perpres No. 5 Tahun 2006. 5) Pengembangan PLTS, sampah (zero waste) maupun landfill perlu memperhitungkan insentif lain selain penerapan feed-in tariff agar dicapai kondisi usaha yang menguntungkan bagi investor sekaligus mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pendapatan daerah.
[2] BPPT, 2013, Output Model BPPT-MEDI dan Model MARKAL, Laporan internal tidak dipublikasi, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Jakarta. [3] Kemenkeu, Data Pokok APBN 2010, 2011, 2012, 2013 dan APBN-P 2013, Jakarta. [4] Reksowardoyo, I.K., 2006, Pemanfaatan Biodiesel dan Bioethanol untuk Transportasi, Laboratorium Motor Bakar dan Sistem Propulsi, Workshop Nasional Bisnis Biodisel dan Bioethanol di Indonesia, ITB, Jakarta, 21 Nov. 2006. [5] PLN, 2011, Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT. PLN (Persero), Jakarta. [6] Menko Perekonomian, 2011, Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta. [7] Wahid, et al, 2011, Kajian Kebijakan dan Keekonomian (Feed-In Tariff) Energi Baru dan Terbarukan dalam Rangka Mencapai Sasaran 25% pada Tahun 2025, Laporan Akhir Insentif Ristek 2011, Jakarta.
Daftar Pustaka [1] Pusdatin ESDM, 2012, Handbook of Energy & Economic Statistics of Indonesia 2012, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Jakarta.
113
Prosiding Seminar dan Peluncuran Buku Outlook Energi Indonesia 2013
121