TINJAUAN ATAS KEBIJAKAN NASIONAL UNTUK KEAMANAN ENERGI: Upaya Menciptakan Energi Hijau dan Pemanfaatan EBT1 M. Rifqi Muna, PhD., MDefStu.2
PENGANTAR Tema Konggres Ilmu Pengetahuan Nasional (KIPNAS) ke X saat ini adalah “Pemanfaatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dalam Membangun Kemandirian serta Kedaulatan bangsa dan Negara di Tengah Perubanan Global”. Di dalam payung tema besar tersebut, panduan (ToR) KIPNAS ini juga menyatakan secara tegas akan fokus kepada “Kedaulatan Energi” sebagai tema sentralnya. Penulis melihat bahwa tema sentral yang mengusung tujuan untuk “membangun kemandirian serta kedaulatan bangsa” merupakan tema yang sangat krusial bangsa Indonesia untuk dibahas pada KIPNAS saat ini. Tema yang lugas ini memberikan insight bahwa persoalan kemandirian serta kedaulatan bangsa, termasuk dalam aspek energi, sangatlah krusial dihadapi leh Indonesia di dalam percaturan global yang semakin kompetitif. Kompetisi global yang semakin kompleks, secara riil hanya akan dimenangkan oleh negara-negara dan aktor internasional yang melandaskan segala aspeknya kepada pemanfaatan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kapasitas untuk terus melakukan inovasi-inovasi kreatif, serta adanya komitmen politik yang mendukungnya. Pada sisi lain, kenyataan juga menunjukkan bahwa negara-negara yang maju, selain mereka menguasai teknologi, banyak yang tidak memiliki kekayaan alam maupun sumber energi klasik (fossil) yang melimpah seperti Jepang, Korea Selatan dan Singapura. Inonisnya, negara-negara yang memiliki kekayaan sumber alam dan energi melimpah justru merupakan negara-negara yang tidak mengalami pembangunan secara baik dan bahkan terbelakang. Sering disebutkan bahwa kekayaan alam dan atau energi yang dimiiki itu justru menjadi sumber malapetaka (resources curse) dan bukannya menjadi berkah bagi pembangunan bangsa tersebut. Memang, persoalan kemajuan dan kemandirian bangsa atas kekayaan energi yang dimilikinya berkait erat dengan sejarah politik dan ekonomi masing-masing negara, dalam hal ini adalah sejarah kolonialisme yang telah melakukan penghisapan atas kekayaan alam negera jajahan. Namun demikian, ketika dekolonisasi terjadi, dan negara-negara mengalami kemerdekaan, hubungan asimmetris antara negara-negara yang baru merdeka dengan negara-negara maju tidak begitu saja berubah. Negaranegara maju dengan kemajuan sistem bisinis internasional yang dilakukan oleh perusahan-perusahaan raksasa multinasional (Multinational Corporations –MNCs) secara efektif mampu melanjutkan pola-pola eksploitasi sumber-sumber alam dan
1
Makalah untuk Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional (KIPNAS) ke X, Jakarta November 2011 Riefqi Muna, PhD., Peneliti, Bidang Politik Internasional, Pusat Penelitian Politik, LIPI. Contact: Widya Graha LIPI, Jl. Gatot Subroto KAV-10, Jakarta -12710. Email:
[email protected] Twitter: @RiefqiMuna 2
1
energi di berbagai belahan dunia secara efekttif.3 Proses eksploitasi secara global tersebut dilakukan atas dukungan penuh oleh negara-negara maju untuk memastikan keamanan akan sumber alam, bahkan dalam konteks energi adalah keamanan energi dengan terjaminnya supply yang murah dan berkelanjutan, dan jika perlu, negaranegara besar tidak segan-segan menggunakan cara-cara militer untuk memastikan terjaminnya akses atas energi tersebut.
TINJAUAN FILOSOFIS Para teoritisi ilmu sosial, terutama sosiologi pembangunan, telah sejak lama memperhatikan akan persoalan demikian dengan menyoroti persoalan pembangun keterbelakangan “development of underdevelopment”, bahkan terus terjadinya ketergantungan negara-negara berkembang atas negara-negara maju sehingga kemandirian dan apalagi kedaulatan dalam pengertian multi-facet sulit untuk ditegakkan. Kondisi demikian, pada saat ini semakin sulit lagi bagi negara-negara berkembang untuk bergerak karena tatanan sistem ekonomi politik internasional yang secara hegemonik didominasi oleh sistem ekonomi pasar yang membuka kekuatan modal atas suluruh akses komoditas dan jasa di seluruh penjuru dunia. Kondisi demikian oleh Immanuel Wallerstein4 disebutnya sebagai sistem ekonomi dunia yang kapitalistik yang telah dimulai sejak awal penjajanah abad ke XVI dan terus berlangsung hingga saat ini –suatu sistem dunia (world systems). Sistem yan mengikuti sistem ekonomi liberal tersebut telah menciptakan pembangunan yang tidak merata, yang disebutkan oleh Samir Amin sebagai unequal development.5 Di dalam kondisi demikian, upaya penting untuk dilakukan adalah mengurangi, karena tidak dapat memutuskan ketergantungan negara pinggiran (satellite atau pheriphery) terhadap negara-negara pusat (metropol atau centre). Salahsatunya adalah melalui menguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi serta adanya kepemihakan kepada bangsa sendiri yang bukan pada hanya tataran retorik, namun secara riil dilakukan oleh negara dengan segenap sistem birokrasinya. Dengan demikian, pemerintah merupakan tameng utam bagi pembelaan kepentingan dan perlindungan kedaulatan nasional, bukan justru mendukung kepentingan ekonomi/energi negara dan kepentingan asing yang dilakukan dan bersembungi di belakang ideologi pasar bebas (bukannya pasar yang fair –fair market, fair trade) yang hanya memberikan keuntungan kepada pihak yang kuat. Dengan kata lain, fator kepemininan nasional dan teta kelola pemerintahan yang baik dalam sektor energi yang kita bahas dalam tema ini, yaitu pengelolaan energi akan sangat menentukan bagi keamanan, kemandirian dan kedaulatan energi Indonesia.
3
Terlebih lagi, persoalan yang dihadapi oleh negara-negara baru tersebut adalah kemerdekaan politik sering tidak diikuti dengan pembebasan cara berfikir yang tetap mengikui pola-pola penjajah yang eksploitatif dan feudal. 4 5
Immanuel Wallerstein, The Essential Wallerstein. New York: The New Press, 2000 Samir Amin, Imperialism and Unequal Development. Monthly Review Press, 1979.
2
Pelepasan dari dominasi kekuatan negara-negara metropol tersebut juga berkait dengan strategi kebudayaan, yaitu membangun pola berfikir yang emansipatoris, 6 yang membangun kesadaran bermartabat dan berperadaban, yang dibangun dengan sistem pendidikan yang mempu membebaskan cara berfikir sebagai pribadi dan bangsa yang bermartabat dan merdeka, bukannya berlangsungnya cara berfikir yang kolonialistik terhadap sistem nasional dalam kehidupan politik zaman kemerdekaan. Sehingga untuk pembebasan dan kemerdekaan yang sebenarnya, diperlukan dekolonisasi atas cara berfikir dan kesadaran (decolonizing the minds and consciousness) Relefansi pemikiran ini bagi upaya membangun keamanan energi, kemandirian dan kedaulatan energi adalah keterkaitan cara berfikir dengan kebijakan yang diambil. Apakah kebijakan tersebut bener-benar membawa kemandirian energi sebagai bentuk dari kedaulatan energi ataukah justru membiarkan saja praktek-praktek yang merugikan kepentingan nasional untuk mencapai keamanan energi.
KEAMANAN, KEMANDIRIAN DAN KEDAULATAN ENERGI Persoalan keamanan energi memiliki variable yang kompleks berkaitan dengan kebijakan energi serta pertemuan (nexus) dengan aspek ekonomi, politik, teknologi, sumber daya alam, pasar dan sebagainya. Terlebih lagi persoalan energi merupakan kepentingan semua negara di dunia. Sehingga dapat dikatakan bahwa energi bukanlah merupakan komoditas biasa, namun merupakan komoditas strategis mengingat seluruh sistem dan dinamika kehidupan manusia dan negara tergantung kepada bahan yang satu ini sebagai urat nadi kehidupan pada hampir semua sektor. Oleh karena itu, persoalan kebijakan dan keamanan energi yang berkesinambungan menjadi keniscayaan bagi keberlangsungan dan terjaminnya dinamika suatu bangsa. Persoalan keamanan nasional kini tidak lagi hanya dapat difokuskan kepada aspek keamanan tradisional, yaitu militer, tetapi meyangkut berbagai aspek yang krusial bagi survival suatu negara dan manusia di dalamnya. Dalam pemahaman demikian, fokus kepada keamanan militer yang ditujukan untuk mempertahankan kedaulatan, menjaga wilayah dan perlindungan terhadap warga negara tidak lagi memadai untuk menjaga kelangsungan bangsa dan negera. Namun keamanan mencakup aspek yang luas dan komprehensive mencakup keamanan sektor pada energi. Keamanan energi merupakan perhatian global. Keberadaan Energi merupakan prasyarat bagi perjalannya mesin industri, berjalannya ekonomi dan dinamika 6
Lihat misalnya karya Paulo Feaire, Paedagogy of the Oppressed. (30th Anniversary Edition), New York-London: Continuum, 2000. Karya ini diakui sebagai pemikiran yang mendorong kebebasan bermartabat, sebab tidak semua proses pendidikan menghasilkan manusia yang yang tercerahkan. Kitakan oleh Paulu Fraire bahwa: merupakan ironi, orang tertindas seperti dalam konteks kolonialisme, ketika ia merdeka sering tidak bisa melepaskan dirinya dari perilaku tersebut dan justru melakukan represi atas bangsnya sendiri – The oppressed, instead of striving for liberation, tend themselves to become oppressors.
3
seluruh masyarakat pada seluruh sistem aktivitas manusia modern. Oleh karena itu ketergantungan kepada suatu jenis energi seperti minyak menjadikan suatu negara rapuh (vulnerable) terhadap suatu hempasan krisis energi maupun suatu serangan non-militer melalui blokade energi. Vulnerability atas sistem energi dalam supply chain dari produksi sampai kepada penggunaan dihadapkan pada resiko-risiko untuk terjadinya disruptions yang dapat menyebabkan terhentinya atau hancurnya aktivitas industri/ekonomi yang berdampak luas bagi ekonomi krisis dan sosial. Bahkan, kompetisi untuk memiliki sumber energi dan pengamanan sistem logistiknya telah memunculkan perang yang melibatkan kekuatan militer. Tingkatan dari “perang” ini dapat dilihat dari tingkatan-tingkatannya baik terbatas, maupun skala besar yang melibatkan kekuatan militer superpower. Selain itu, tidak sedikit kompetisi atas energi tersebut memicu ketegangan dan konflik antar negara-negara sehingga menciptakan instabilitas regional. Keamanan energi dan prinsip keberlanjutan dengan demikian merupakan kondisi yang tidak bisa ditawar-tawar bagi pembangunan dan kemandirian Indonesia secara berkelanjutan. Hal ini menunjukkan bahwa konsep keamanan energi mendasarkan kepada konsep keamanan yang kini telah dimaknai secara umum yang bukan hanya berdimensi militer. Dalam konteks demikian, perlu melihat persoalan keamanan energi di dalam kerangka kebijakan keamanan nasional. Pengembangan EBT, dengan demikian, tidak juga berarti mengurangi Kebijakan keamanan nasional mengandung tiga aspek utama yaitu: (1) apa yang harus dilindungi, (2) Apakah resiko-resiko yang mungkin timbul jika perlindungan tidak dilakukan, serta (3) Bagaimana melakukan peengamanannya.7 Pada dasarnya, kebijakan keamanan akan berusaha untuk melakukan risk-minimalisation atau menurunkan resiko sekecil-kecilnya jika suatu kondisi yang tidak diinginkan terjadi baik secara mendak ataupun secara bertahap. Ad. 1. Bagi negara maju, suply energi merupakan aspek dominan mengenai apa yang harus dilindungi. Pada hampir semua negara maju dan semua negara di dunia, minyak masih merupakan bahan bakar utama dalam kebutuhan energi nasionalnya. Minyak merupakan bahan bakar strategis sebab ia yang menggerakkan hampir selururh roda perekonomiaan dan kehidupan. Oleh karena itu, menyelamatkan minyak merupakan kondisi yang mendasar bagi setiap keamanan nasional suatu negara dan kesejahteraan ekonominya. Bagi Indonesia sebagai negara produsen, keadaan akan kemandirian akan minyak berikut kedaulatan akan minyak menjadi kondisi yang tidak bisa ditawar sebab ia merupakan elemen dari kekuatan nasioal yang harus dilindungi. Sebab penguasaan oleh pihak asing atas minyak Indonesia secara riil merupakan kelemahan bagi Indonesia secara sistemik. Ad. 2. Perlindungan terhadap minyak bagi negara pengimpor adalah kemungkinan terganggunya supplay atas minyak dalam bentuk apapun juga baik dikarenakan faktor teknis, alam maupun politis. Secara tenis maupun politis bagi negara pengasil minyak seperti Indonesia tentunya upaya melindungi penguasaan minyak secara hegemonik oleh kekuatan asing merupakan hal yang sangat mendasar. Selain itu 7
D. von Hippel, et.al., “Energy Security and Sustainability in Northeast Asia”, in Energy Policy, 2009. doi:10.1016/j.enpol.2009.07.001.
4
mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan yang luas, selain pemenuhan atas independensi dan kedaulaan energi, maka di dalam negeri, kepastian akan jaminan akan berlangsungnya supplay minyak ke seluruh wilayah nusantara menjadi sangat relevan. Di sinilah tantangannya, sebab sistem distribusi minyak Indonesia yang bersifak kepulauan ini merupakan yang paling kompleks di seluruh dunia. Ad. 3. Upaya melindungi keamanan energi berkaitan erat dengan bagaimana kebijakan negara di disain dan bagaimana menerapkannya. Secara hierarkis, negara mendesain visi ke depan tantang keamanan energi yang berujuan untuk memastikan independensi dan kedaulatan energi. Visi tersebut diturunkan ke dalam Strategi Nasional mengenai keamanan energi termasuk peta jalan (road-map) untuk menuju ke arah tersebut. Oleh karena itu, cara perlindungan tersebut melibatkan kerangka pemikiran komprehensif dan interdisipliner mengenai keamaan energi sertba bagaimana sebuah kebijakanb tersebut merefleksikan kepentingan nasional akan perlunya jaminan akan keamanan energi. Langkah menuju keamanan energi bukan hanya bersifat teknis, namun ia harus dimulai dengan kebijakajn visioner dan dipastikan untuk penerapannya secara konsekuen dengan sistem enforcement yang kuat. Ia memerlukan komitmen semua pihak dari pemimpin nasional dan segenap aparaturnya dan bukannya business as usual. Oleh karena itu, mengingat persoalan energi ini melibatkan aktor-aktor internasional dan kekuatan ekonomi raksaya enegri dunia, maka diperlukan keahlian di dalam melakukan diplomasi dan negosiasi atas penanganan keamanan energi. Pada tingkat teknis, ia merupakan sistem pendukung atau pelaksana dari mekanisme dan proses untuk manajemen energi nasional. Meskipun keamanan energi dikedepankan sebagi suatu konsep dan sekaligus kebijakan, memang, banyak para ahli energi yang manolak konsep national energy independence (kemandirian energi nasional) karna kenyataan bahwa negara-negara telah terkait di dalam sistem perdagangan dunia yang saling tergantung (interdependence) satu sama lain di dalam pasar energi dunia.8 Ini sangat difahami sebab energi dunia dikuasai le negara-negara maju termasuk diskursus dan perkembangan konsep keamanan energi yang didiminasi oleh mereka. Berbagai negara di dunia serta lembaga-lembaga energi internasional menfokuskan kepada persoalan keamanan energi dari perspektif dan kepentingan masing-masing, dan oleh karenanya rumusan tentang keamanan energi bagi Indonesia haruslah merupakan kondisi keamanan energi yang sesuai dengan karakteristik dan kenyataan obyektif akan kebutuhan energi dengan berbagai kompleksitas kondisi geografis, politik, sosial, ekonomi, lingkungan dan sebagainya. Di sinilah posisi Indonesia di dalam mendesain keamanan energi merupakan bagian dari perjuangan Indonesia untuk menggapai kemerdekaan sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi untuk mencipakan kemakmuran bangsa Indonesia. Memang di dalam dunia yang semakin interdenden bisa dikatakan tidak mudah, namun di sinilah posisi Indonesia yang harus diperjelas dan diperjuangkan bukan hanya mengikuti kemaan negara besar yang secara hegemonik dipaksakan melalui softpower-nya. Namun jika 8
Gawdad Bahgat, “Energy Security: What does it mean? And how can we achieve it?”, dalam The Journal of Social, Political, and Economic Affairs. Spring 2008 Vo. 33, No.1. hal. 85.
5
kondisi tertentu terjadi negara maju akan menggunakan tekanan-tekanan politik untuk memaksakan kontrol dan memeastikan akses atas supplay energinya. Ilustrasi di atas semakin memperjelas bahwa upaya untuk menjamin keamanan energi nasional Indonesia untuk terbebaskan dari hegemoni da tekanan pihak negara maju merupakan keadaan yang tidak bisa ditawar-tawar, sebab ia merupakan kondisi dasar (survival) bagi keberadaan energi secara berkelanjutan. Oleh karena itu, makna tentang keamanan energi bukan sekedar “availability of sufficient supplies at affordable price” tetapi juga menyangkut bagamana prinsip-prinsip fairness di dalam suatu kontrak karya maupun perhitungan akan aspek “kedaulatan energi”. Kedaulatan energi akan dapat menjadikan Indonesia berkembang menjadi negara yang bermartabat di dunia internasional, tidak dipermainkan oleh kekuatan asing yang memiliki kepentingan melalui perusahaan-perusahaan minyak besar dunia, sehinga tercipta pembangunan nasional dengan tumbuhnya terdapatnya kemampuan domestik (anak bangsa) di dalam mengelola sumber alamnya sendiri. Kekuatiran demikian menjadi sangat beralasan sebab secara internasional telah terjadi apa yang disebutnya hegemoni atau dominasi negara maju (melalui perusahaan-perusahaan minyak raksasa) terhadap negera-negara berkembang yang memiliki sumber energi yang melimpah. Bahkan suatu laporan menyebutnya sebagai kenyataan dominasi kapitalisme global terhadap negara produsen energi di pinggiran.9 Dalam konteks Indonesia sinyalemen atas dominasi asing juga telah mendapat sorotan luas di dalam berbagai forum forum diskusi dan wacana media massa selain dalam kajian khusus, yang menyatakan bahwa industri migas Indonesia berada di bawah bendera asing.10 Persoalan keamanan energi bukan sekedar persoalan teknis perhitungan atas terjaminnya supply energi bagi pihak yang memerlukan, namun lebih dari itu berkait erat dengan kepentingan-kepentingan para pihak sesuaai dengan status masingmasing apakah sebagai negara konsumen, produsen, perusahaan, serta apakah negera tersebut maju atau berkembang dan lain sebagainya. Pada masa lalu, minyak pernah digunakan sebagai senjata pada tahun 1970an saat terjadi perang Arab-Israel saat OPEC melakukan tekanan terhadap AS atas dukungannya terhadap Israel dan terbukti efektif. Kasus perang Barat atas penggulingan Muammar Qaddafi di Libya serta operasi militer di Afghanistan, bahkan, saat ini, rencana penggempuran oleh Isarel terhadap Iran –kesemuanya itu memiliki perkaitan dengan persoalan energi. Dalam beberapa kasus, upaya penguasaan atau pemaksaan akses terhadap sumber nergi yang dimiliki suatu negara atau kawasan dilakukan dengan langkah diplomasi mikiter. Namun merupakan anomaly bagi Indonesia, tanpa digunakannya tekanan 9
Lihat misalnya Anna Zalik, “Liquified Natural Gas and Fossil Capitalism”, dalam Monthly Review, November 2008, Vol.60, No.6, hal. 41-51; Bruce Piasecki (book review) atas Simon Bromley, American Hegemony and World Oil: The Industry, the State System, and the World Economy. University Park: Pennsylvania State University Press, 1991, dalam the Americam Political Science Review. June 1992, Vo. 86, No. 2 hal. 572-573; Lihat juga David E. Spiro, The Hidden Hand of American Hegemony: Ptrodollar Recycling and International Market. Ithaca, N.Y.,: Cornell University Press, 1999, sebagaimana direview oleh Michael Michael R Adamson, dalam Business History Review. Summer 2000, Vo.74, No.2, hal 344-348; Lihat juga: James Ferguson, “Seeing Like an Oil Company: Space, Security, and Global Capital in Neoliberal Africa”, dalam American Anthropologist, September 2005, Vol. 107, No.3. 10 M. Kholid Syeirazi, Di Bawah Bendera Asing: Liberalisasi Industri Migas di Indonesia. Jakarta: LP3ES, 2009.
6
militer ataupun brinkmanship yang lain, sumber alam dan kekayaan energi telah dengan begitu mudahnya diberikan kepada pihak asing yang memiki modal dan teknologi –dan tidak kurang yang prosesnya tidak diketahui secara baik (transparan) oleh masyarakat awam dan bahkan tidak diketahui oleh kalangan parlemen sekalipun.11
KONDISI INDONESIA Kondisi yang terjadi di Indonesia tidak jauh dari apa yang penulis gambarkan di dalam pengantar tersebut, sebab secara prinsip dan praktis Indonesia telah masuk ke dalam tatanan ekonomi pasar (liberal ataupun neo-liberal). Penguasaan pihak asing atas kekayaan alam nasional, terutama sector minyak dan gas menunjukkan indikasi kea rah tersebut, belum eksploitasi kekayaan alam lainnya yang masih belum sepenuhnya memihak kepada bangsa Indonesia sebagai pemiliki tradisional atas kekayaan alam yang ada di bumi Indonesia. Rendahnya keseriusan untuk memperkuat posisi tawar (bargaining) dalam pengelolaan energi nasional juga menjadi persoalan penting bagi arah masa pemenuhan dan pengelolaan energi nasional yang secara lansung akan berimplikasi kepada persoalan kemandirian, keamanan dan apalagi kedaulatan energi nasional. Persoalan keamanan energi bukan sekedar persoalan teknis perhitungan atas terjaminnya supply energi bagi pihak yang memerlukan, namun lebih dari itu berkait erat dengan kepentingan-kepentingan para pihak sesuaai dengan status masingmasing apakah sebagai negara konsumen, produsen, perusahaan, serta apakah negera tersebut maju atau berkembang dan lain sebagainya. Pada masa lalu, minyak pernah digunakan sebagai senjata pada tahun 1970an saat terjadi perang Arab-Israel saat OPEC melakukan tekanan terhadap AS atas dukungannya terhadap Israel dan terbukti efektif. Energy security merupakan payung istilah bagi banyak pihak yang berkepentingan terhadap energi, pertumbuhan ekonomi dan kekuatan politik.12 Keamanan energi dapat dilihat dari aspek teknologi, sumber alam, ekonomi, ataupun politik. Sedangkan dari sisi aktor terbagi ke dalam kelompok produsen, perusahaan, atau konsumen. Bagi Indonesia, tentulah perhatian akan keamanan energi haruslah memperhatikan kondisi domestik dan dinamika internasional namun amanat konstitusi menekankan bahwa tujuan akhirnya adalah tercapai kemakmuran bagi segenap rakyat Indonesia. Tentulah, tujuan akhir energi untuk menjadikan Indonesia yang maju, sejahtera dan kuat tersebut secara saintifik proses yang ditempuh juga semestinya dilakukan dengan menghindari ancaman dan resiko yang timbul. Arguman bahwa yang penting tujuan akhir tercapai, walaupun mayoritas proses eksploitasi dilakukan oleh pihak asing sperti Chevron, Exxon, BP, Conoco Phillips dan sebagainya mengandung banyak kelemahan. Hal ini secara rasional dapat diperhitungkan sebab sebagian besar pelaku energi berada di tangan asing yang tentu 11
Hasil diskusi dengan anggota DPR, Komisi I. Jakub M. Godzmirski, National Energy Security Debates: Proposing a New Explanatory Model. Lund Energy Security Conference, September 24-25, 2007. 12
7
akan lebih mengutamakan kepentingan bisnis ya dan negara besar yang melindunginya. Di sinilah resiko serta kelemhanan yang dialami Indonesia dengan terhadinya hegemoni asing dalam sektor energi.
Posisi Perusahaan Minyak MNCs dan Pertamina dalam Produksi Minyak Bumi Indonesia (MBOPD)
Memperhatikan kepada kenyataan di atas maka pertanyaan sederhanyanya adalah sebarapa terjamin keamanan energi Indonesia? Dari berbagai diskusi dengan nara sumber, baik wawancara maun dalam bentuk FGD, serta data lapangan menjukkan bahwa keamanan energi Indonesia saat ini serta dua dekade mendatang masih sangat rentan. Kerentanan ini teruatama berkaitan dengan:
Dominasi asing di dalam eksploitase energi nasional, terutama minyak. Kontrak karya yang belum menguntungkan. Lemahnya visi keamaan energi yang didisain oleh pemerintah Belum terintegrasinya kelembagaan dalam pengelolaan hulu maupun hilir. Peraturan-peraturan masih bersifat ad-hoc dan perancanaan yang lemah Lemahnya sistem kontrol dan tatakelola yang baik (good governance) dalam sektor energi
Di dalam keadaan demikian, maka upaya Indonesia untuk keluar dari indikasi di atas, diperlukan upaya konsisten selain memperbaiki keadaan yang saat ini terjadi, perhatian perlu difokuskan ke masa depan. Dalam hal ini fokus perlu diperkuat kepada pengembangan EBT dan Energi Hijau. Masa depan ketersediaan energi akan berkait erat dengan sejauhmana penguasaan teknologi dalam harnessing energy.
8
TREN KEBIJAKAN ENERGI13 Sejak jaman Belanda, energi, khususnya energi minyak dan batubara, menjadi salah satu isu yang menarik bagi siapapun yang berusaha menguasai Indonesia. Salah satu alasan kuat pendudukan pada umumnya karena faktor kepentingan jaminan pasokan minyak untuk negerinya dan untuk kekuatan angkatan bersenjatanya. Penjajahan Jepang di Indonesia pada waktu itu sempat menguasai ladang-ladang minyak di Sumatera Selatan, tengah, Cepu dan Balikpapan. Penguasaan tersebut erat kaitannya dengan aktivitas melanjutkan gerakan militer untuk menguasai kawasan Asia Pasifik. Selain juga, penguasaan minyak pada waktu itu dapat dijadikan simbol kekuasaan dan keberlanjutan (the symbol of power and continuity). Bahkan dalam sejarah pertempuran menjelang kemerdekaan Indonesia, perebutan kilang minyak menjadi salah sasaran perebutan Indonesia dengan Jepang dan Belanda. Namun setelah kemerdekaan Indonesia Indonesia mulai berusaha agar sumber daya energi yang ada dapat dikelola dan menghasilkan bagi bangsa dan negara. Dengan adanya UU No. 11 tahun 1967 tentang Pertambangan dan UU No. 1 Thuan 1967 tentang Penanaman Modal Asing telah memberikan kesempatan kepada para investor asing untuk menanamkan modalnya selain pada aktivitas pertambangan umum juga pertambangan yang terkait dengan sumber energi, seperti minyak, gas dan batubara. Sejak saat itu diharapkan Indonesia mampu mengembangkan diri dan memenuhi kebutuhan pasokan energi dalam negerinya dan dapat mengespor untuk pemasukan devisa negara. Kekuatan energi yang dimiliki Indonesia dapat dipetakan dalam tabel di bawah ini, dimana energi dari fosil, seperti minyak bumi, gas dan batubara masih menempati sumber-sumber dan cadangan nasional yang sampai saat ini lebih dari 50 persen dari seluruh lebutuhan energi nasional. Meskipun bila di lihat dari tabel enerfi non-fosil, telah ada difersifikasi yang banyak, tetapi belum banyak sumber-sumber dan cadangan yang dapat dijadikan bagian lain dari tumpuan keamanan energi nasional. Energi merupakan motor penggerak pembangunan bangsa dan negara Indonesia yang utama. Untuk itu, upaya mengembangkan kebijakan energi dari waktu ke waktu mengalami perubahan. Bila dilihat secara umum, sejak tahun 1981 hingga 2008, kebijakan utama energi nasional bertumpu pada intensifikasi, difersifikasi dan konservasi. Meskipun di awal sempat ada upaya indeksisasi dan pada tahun 1998 ada upaya menambahkan kebijakan harga energi dan lingkungan, namun pada tahun 2003 kembali penekanan pada tiga hal tersebut. Kebijakan utama tersebut didukung dengan kebijakan penunjang yang banyak menekankan pada iklim investasi. Namun demikian, sejak tahun 1998 terlihat ada upaya kebijakan yang menekankan pad standarisasi dan infrastruktur. Perkembangan
13
Bagian ini penulis adaptasi dari Tri Nuke Pujiastuti, “Dnamikaa Kebijakan Energi di Indonesia”, dalam Riefqi Muna et.al., Keamanan Energi Indonesia: Perspektif Ekonomi Politik. Jakarta: LIPI Press, 2010, hal. 79-100
9
kebijakan sedikit bergeser pada upaya memperhatikan kepentingan masyarakat miskin. Meskipun sepertinya setiap periode terlihat telah ada konsentrasi tertentu pada upaya mengembangkan energi di Indonesia, tetapi pada kenyataan persoalan distribusi dan konservasinya tidak pernah berubah, apalagi masih besarnya ketergantungan energi pada energi tidak terbarukan masih besar. Pemerintah dengan UU Migas 2001 sudah mulai mengedepankan aspek pasar dalam regulasinya, secara makro kebijakan energi Indonesia masih perlu peran besar pemerintah. Stabilitas harga Migas dunia yang sangat fluktuatif mendorong pemerintah menjamin hal itu tidak menimbulkan guncangan besar. Peran pemerintah juga menjadi tidak bisa diabaikan dalam hal koordinasi pengembangan energi yang terpengaruh kebijakan otonomi daerah. Persoalan birokrasi yang dapat mempengaruhi persoalan distribusi tidak bisa dianggap remeh. Dalam kondisi tersebut, pasar energi di Indonesia belum bisa dikatakan terbentuk. Pemerintah masih harus menjadi tumpuan penting bagi terbangunnya infrastruktur yang lebih mapan.14 Di dunia internasional kerjasama energi juga dilakukan di tingkat pemerintah yang tidak berarti mengecilkan peran swasta. Pemerintah masih dominan dalam banyak pengembangan energi di kawasan Asia dikarenakan peran energi yang strategis dan perlunya pengembangan infrastruktur yang tidak akan sanggup dibebankan kepada swasta.15 Trend kebijakan pada tahun 2003 tersebut di atas merupakan cikal bakal kebijakan yang memberikan porsi perhatian kepada masyarakat miskin. Sebagaimana pernah ditegaskan oleh Mentri ESDM pada bulan September 2005, bahwa industri energi nasional masih belum berkembang secara optimal, dikarenakan antara lain Indonesia belum sepenuhnya mempunyai infrastruktur energi yang memadai. Ditambah harga energi kurang mencapai nilai ekonomis serta pemanfaatan energi yang belum efisien. Kondisi demikian mengakibatkan penggunaan energi mix menjadi timpang, pemanfaatan gas terbatas, batubara belum optimal, pengembangan energi alternatif terhambat, sehingga akan mempercepat net importer minyak bumi dan subsidi BMM semakin bengkak.16 Bila dilihat dari data ESDM tahun 2005, maka dapat dilihat selain penggunaan BBM masih berkisar 55%, gas 31%, batubara 14%, tenaga air 4%, dan panas bumi 1%. Kebijakan ke depan menginginkan adanya pengurangan penggunaan minyak bumi sampai 10-15% dan beralih ke jenis energi lainnya. Melihat rencana yang demikian, sementara konsumsi energi relatif tinggi mencapai sekitar 7% per tahun, dan sejak 2001, sektor industri menjadi konsumen energi terbesar, sebenarnya pengembangan energi alternatif atau divestifikasi energi yang terbarukan akan lebih memungkinkan. Mengingat sektor industri cenderung akan mampu menopang investasinya. Namun demikian, kembali lagi kebijakan energi terbarukan masih setengah hati, apalagi cenderung ditunjang pernyataan-pernyataan dari lembaga-lembaga penelitian yang selalu menunjukan angka investasi yang tinggi untuk energi terbarukan. Di sini menimbulkan psikologis atau keengganan di 14
15
16
Eddy Satriya, “Indonesia’s Energy: Regulation In Transition”, Draft awal, 31 Oktober 2004, diunduh dari www.bappenas.go.id, 24 Januari 2011. Progress Report by Indonesia In the Energy Security Cooperation, www.qatar-conferences.org/ asian/pdf/progress.pdf, diunduh pada tanggal 24 Januari 2009 “Penantian Panjang Lahirnya UU Energi”, Tambang, September 2005, hlm.8-9.
10
kalangan pengusaha, meskipun beberapa perusahaan pertambangan, misalnya, telah memelopori pengembangan energi terbarukan yang dapat diolah oleh masyarakat lewat dana bergulir, seperti melalui kegiatan CSR. Melalui Perpres No.5 tahun 2006 Presiden mencanangkan kebijakan energi, yang mana arah kebijakan keamanan energi di Indonesia yang semula masih lebih banyak tergantung pada energi yang tidak terbarukan, pada tahun 2025 diharapkan telah dicapai kebijakan keamanan energi yaitu energi mix, yaitu adanya keseimbangan ketergantungan antara energi tidak terbarukan dan terbarukan . Arah Keamanan Energi Indonesia 2025
Sumber: ESDM, 2007 Kemudian diperkuat dengan diterbitkannya Undang-Undang No. 30 Tahun 2007 tentang Energi, bahwa dijelaskan pada pasal 2 tentang asas dan tujuan, bahwa energi di Indonesia seharusnyalah dikelola berdasarkan kemanfaatannya, rasionalitas, efisiensi berkeadilan, peningkatan nilai tambah, keberlanjutan, kesejahteraan masyarakat, pelestarian fungsi lingkungan hidup, ketahanan nasional dan keterpaduan dengan mengutamakan kemampuan nasional. Dalam rangka itu dan mendukung pembangunan nasional, maka dibuatlah tujuan pengelolaan energi. Secara umum di beberapa negara, seperti Amerika Serikat melalui US Energy Act 2005, Jepang dalam dokumen Report on the Concept of National Comprehensive Security tahun 1980, China dengan kebijakan membentuk tiga BUMN minyak skala besar sejak tahun 1980, dan Brasil yang telah berhasil mengembangkan bioethanol dengan memanfaatkan sari tebu, pada dasarnya telah memulai bagaimana membangun keamanan energi negerinya, termasuk dengan kebijakan ekspansi minyak dan gas ke banyak negara dunia termasuk ke Indonesia.17 Kecenderungan perkembangan kebijakan keamanan energi juga mengarah pada upaya untuk mempertimbangkan kelestarian lingkungan. 17
Lihat http://www.globalissues.org/energy/#Oilandotherfossilfueldepletion, http://www.indobiofuel.com/biodiesel.php
11
dan
Indonesia sebagai salah satu pemasok dan sekaligus pengimpor berbagai macam energi dunia saat ini sangat sensitif dengan persoalan energi yang terjadi, khususnya dengan minyak bumi dan gas. Indonesia menjadi negara pengimpor minyak sejak 2004 hingga kini. Sementara konsumsi minyak Indonesia terus meningkat dari 50,7 juta ton pada tahun 2000 menjadi 54,4 juta ton pada 2007. kondisi itu tidak dibarengi dengan peningkatan sektor produksi. Penurunan produksi yang signifikan terjadi dari angka produksi 71,5 juta ton pada 2000 menjadi hanya 47,4 juta ton pada 2007. Penurunan itu terkait dengan tidak adanya penemuan sumber cadangan baru di tahun belakangan ini. Ekplorasi sumber minyak baru menurun drastis semenjak Krisis Finansial 1997/1998. Pada tahun 2007, sumber cadangan minyak Indonesia tercatat sebanyak 4,4 juta barel, yang merupakan 0,4% cadangan minyak dunia.18 Beberapa pemikiran di Bappenas dan telah menjadi sasaran kedepan dalam RPJPN 2005-2025 yaitu salah satunya tentang persoalan energi masih menjadi salah satu fokus perhatian, mengingat keterdapatan energi utama yaitu minyak bumi (diketahui 86,9 milyar, terbukti 5,8 milyar, prod. 500 jt/th), gas bumi (diketahui 384,7 TCF, terbukti 90 TCF, prod. 3TCF/th) dan batubara (diketahui 50 milyar ton, terbukti 5 milyar, prod. 100 jt ton/th) Kebijakan energi harus dibuat dalam jangka panjang, mengingat peningkatan nilai tambah energi juga bersifat jangka panjang, apakah itu pengembangan teknologi, investasi dan pengembangan manusianya. Dengan fenomena yang telah dipaparkan di atas, Indonesia saat ini memasuki masa krisis energi. Keadaan semakin diperburuk ketika banyak pihak mempersoalkan belum adanya payung hukum di sektor energi, kecuali yang bersifat sangat sektoral. Walaupun UU energi masih terbatas pada wacana di lingkungan eksekutif maupun legislatif, pemerintah sebenarnya telah membuat kebijakan energi nasional (KEN) untuk mengatasi berbagai persoalan energi, seperti mengurangi ketergantungan pada BBM yang sangat tinggi mencapai 50-55% dari konsumsi energi. Bila ditinjau dari kebijakan keamanan energi nasional yang digulirkan pada 2006, sebenarnya Indonesia telah memiliki arah yang cukup jelas dalam hal ini. Namun kebijakan ini belum cukup dijabarkan, termasuk mengenai operasionalnya. Hal itu dipertegas kembali oleh Presiden SBY pada Mei 2007 bahwa kemandirian energi nasional penting dilaksanakan demi terciptanya keamanan pemenuhan energi. Keamanan tersebut dikuatkan dalam 3 pilar utama yaitu: Pertama, terus mengembangkan konservasi energi, diversivikasi energi dan efisiensi energi. Kedua, kebijakan UU, PP atau Perda yang mendukung pembangunan energi. Ketiga, berkembangnya inovasi teknologi.
18
Raymond Atje and Indira Hapsari, Energy Security: An Indonesian Perspective, http://www.rsis-ntsasia.org/activities/conventions/2008-beijing/atje.pdf
12
ENERGI HIJAU & EBT “Energi Hijau” (green energy) merupakan istilah yang menggambarkan sumber daya dan energi yang dianggap ramah lingkungan. Definisi energi hijau menyiratkan bahwa sebagai tujuan jangka panjang, yang memberikan sumbangan penting bagi pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Hal ini karena mencapai pembangunan berkelanjutan memerlukan penggunaan sumber daya energi dan teknologi yang tidak merugikan lingkungan, dampak ekonomi dan sosial yang merugikan. Konsep pembangunan berkelanjutan diperkenalkan pada tahun 1980, yang dipromosikan melalui Komisi Dunia tentang Lingkungan dan Pembangunan (Komisi Brundtland) yang dicapai pada Konferensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan di Rio de Janeiro di 1992. Istilah pembangunan berkelanjutan didefinisikan oleh Komisi Brundtland sebagai “development that meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs”19 atau “pembangunan yang memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri". Definisi ini berisi dua konsep kunci: kebutuhan, yang berarti "khususnya kebutuhan esensial kaum miskin di dunia", dan keterbatasan, yang berarti "pembatasan yang dipaksakan oleh kemajuan teknologi dan organisasi sosial atas kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan saat ini dan masa depan”. Dengan demikian, faktor green (hijau, ramah lingkungan) atau pembangunan berkelanjutan mencakup faktor lingkungan, sosial dan ekonomi, dianggap sebagai kunci untuk solusi arus lingkungan, masalah ekonomi dan perkembangan, dan telah berkembang menjadi cetak biru untuk merekonsiliasi kebutuhan ekonomi, sosial dan lingkungan. Jelaslah bahwa sumber energi tunggal seperti bahan bakar fosil terbatas dan dengan demikian tidak sesuai dengan karakteristik yang diperlukan untuk keberlanjutan, sementara yang lain, seperti sumber energi terbarukan, koheren dengan pembangunan berkelanjutan dalam jangka panjang. Energi Hijau merupakan suatu sistem atau banyak sistem energi yang yang tidak memiliki pengaruh negative terhadap lingkungan, dampak ekonomi dan sosial, disebut sebagai energi hijau. Dan setiap sistem energi yang menurunkan dampak buruk atau mengurangi pengaruh buruk secara minimum terhadap lingkungan bisa dianggap sebagai energi "hijau".20 Dengan demikian sistem energi hijau mencakup unsur-unsur penting yang mempengaruhi dampak dari penggunaan energi, mulai dari alternatif hijau dan sumber-sumber energi terbarukan, dan teknologi terkait dengan konversi energi. Dalam konteks untuk pengembangan Energi Hijau atau Green Energy, tampak bahwa Blueprint Pengelolaan Energi Nasional 2005-20015 yang diterbitkan tahun 2005 secara makro, sebagai sebuah sistem, telah mendisain energi hijau dan EBT termasuk di dalamnya.
19
Our Common Future: Report of the World Commission on Environment and Sustainable Development. Chapter 2: Toward Sustainable Development: http://www.un-documents.net/ocf02.htm Acessed 8 November 2011. 20 Xianguo Li (ed.), Green Energy: Basic Concepts and Fundamentals. Springer-Verlaag: London, 2011.
13
Table: Milestone Pengembangan EBT21 Jenis Energi BBN
Unit
Kilo liter Kilo Bioetanol liter Pure Plant Kilo Oil liter Biomassa MW (lainnya) Panas MW Bumi MW Angin Biodiesel
Surya
MW
PLTA (kecil/ MW mini/mikro) PLTA MW (besar)
2007 2010
133
2015
2020
482.000 1.700.000 5.784.000
2025
Potensi (MW)
14.819.00 0
296.000 1.112.000 3.624.000 9.106.000 208.000 1.016.000 2.644.000 5.901.500 445
500
590
710
870
49.810
1.052 1.260
4.156
7.788
12.332
28.000
2
4
40
128
256
12
25
75
324
580
9.290 4,8 kWh/m2/h ari
210
245
417
760
1.425 76.170
4.200 4.380
6.069
8.940
10.940
Dilihat dari Blueprint pengembangan energi nasional, sebenarnya target prosentasi EBT pada tahun 2025 masih terbatas, yakni 17 persen dari pengolaan keseluruhan energi nasional. Dengan demikian, sebenarnya target tersebut masih rendah yang disebabkan oleh keterbatasan-ketarbatasan yang ada termasuk penguasaan teknologi. Dilaporkan dari BluePrint EBT bahwa: 22
Pemenuhan kebutuhan energi pada umumnya masih berasal dari energi fosil, sedangkan energi non-fosil/EBT masih rendah. Penetapan harga energi fosil belum mencerminkan harga keekonomiannya, sehingga harga energi terbarukan masih sulit bersaing. Terbatasnya insentif untuk pengguna EBT dan teknologienergi yang efisien Secara nasional, ketersediaan sumber EBT tersebar dan untuk beberapa jenis energi misalnya panas bumi dan air skala besar terletak pada daerah yang konsumsi energinya masih rendah. Kapasitas nasional terhadap penguasaan teknologi EBT dan konservasi energi masih terbatas, sehingga sebagian besar masih tergantung pada teknologi negara maju.
21
Dadan Kusdiana, Blueprint Pengembangan Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi. Dirjen LPE, Kem ESDM, 2010 22 Dadan Kusdiana, Ibid.
14
Rendahnya pemahaman masyarakat mengenai EBT dan budaya hemat energi Pengaruh Isu lingkungan dan prinsip pembangunan berkelanjutan semakin mendorong pengembangan dan pemanfaatan EBT dalam berbagai skala.
Sistem Enegi Hijau sebagaimana disistematisasikan oleh Xiangou Li mencakup aspek-aspek sebagai tergambar dalam diagram di bawah ini:
Sumber: Xiangou Li (2011). Green Energy: Basic Concepts and Fundamentals, p. 14
FAKTOR IPTEK DAN R&D Pengembangan keamanan dan kedaulatan energi dalam bernagai aspek, baik sumber energi fosil maupun terbarukan akan terkait dengan penguasaan teknologi terkait. Sektor energi bersifat padat teknologi, dan ketergantungan akan teknologi dan pemilik modal menjadikan posisi Indonesia rentan (vulnerable) jika terjadi suatu goncangan. Pada sektor energi fossil, penguasaan teknologi oleh operator asing serta negosiasi bagi hasil terkait telah meletakkan Indonesia ke dalam posisi yang rendah daam tawar-menawar pengelolaannya. Sebagai contoh, eksplorasi minyak offshore, dahulu masih sangat terbatas pada kawasan yang relaf dangkal. Namun, saat ini, dengan kemajuan teknologi memungkinkan eksloitasi dilakukan pada wilayah perairan dalam dengan kalkulasi keuntungan atas eksploitasi tersebut. Pengembangan Kebijakan Teknologi untuk Energi Hijau dan berkelanjutan secara garis besar mencakup berbagai aspek sebagaimana digambarkan dalam diagram di bawah ini:
15
Route to Sustaineble Green Energy-based technology and Policy
Sumber: Ibrahim Dincer & March Rosen, “Energy Analysis of Green Energy Systems”, dalam Xiangou Li, Ibid, hal. 22 Begitu juga pada sektor Energi Hijau sampai saat ini semua pihak di dunia masih terus berpacu untuk menemukan teknlogi yang lebih efisien dan murah untuk dapat memproduksi energi baru dan terbarukan. Perkembangan sistem teknologi bisa bersifat eksponensial, dan semua negara melakukan kegiatan R&D secara terus menerus yang secara terus menerus akan terjadi inovasi-inovasi. Dengan demikian, diperlukan: Pertama, pengembangan penguasaan IPTEK yang diperkuat oleh R&D untuk menghasilkan perbaikan ataupun penemuan atas sistem teknologi yang mendukung bagi pengembangan seektor energi terutama EBT dalam konteks mengembangkan energi hijau. Kedua, pemantauan atau horizon scanning atas perkembangan yang terjadi di dunia luar berkaitan dengan berbagai sistem terkait dengan Energi Hijau dan EBT. Langkah untuk mengetahui state of the art dari perkembangan teknologi untuk energi sangat penting untuk mengetahui dinamika global dan Indonesia dapat memanfaatkannya. Penataan regulasi dan ikebijakan penerintah yang kondusif bagi upaya membangun keamanan energi menuju ketahanan dan kedaulatan energi. Tanpa adanya komitmen politik yang memback-up proses pertumbuhan dan arahan untuk bidang energi, maka akan sagat sulit kita melihat perubahan-perubahan itu.
16
KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Dengan pendekatan perspektif keamanan nasional (national security), paper ini mencoba mengkaji persoalan keamanan energi terutama dalam konteks kebijakan Enegi Hijau dan EBT. Strategi Nasional Keamanan Energi 2006-2025 masih memerlukan mekanisme bagi implementasi dan penegakan hukum. Indonesia merupakan negara penghasil energi, namun pada saat yang sama juga importir energi, dan perusahaan-perusahaan energi multinasional mendominasi eksploitasi energi nasional. Hal ini mengandung resiko bagi keamanan energi jika terjadi suatu kejutan (shock) internasional sebagai akibat dominasi asing terhadap sumber daya energi nasional. Dalam konteks Energi Hijau dan EBT, target yang direncanakan tahun 2025 sebenarnya sudah rinci, namun prosentasenya masih kecil, dan ketergantungan akan minyak dan batubara masih tinggi. Sebagai sebuah sistem energi, maka Energi Hijau memerlukan perencanaan yang sistemik didukung oleh komitmen pemerintah dan semua pihak. Oleh karena itu, arah kebijakan energi nasional ke depan serta pengelolaannya perlu memperhatikan aspek penguatan keamanan energi nasional. Penguatan keamanan energi nasional ini dilakukan dengan kerangka kebijakan strategis yang visioner serta penguatan kapasitas negara untuk dapat melaksanakan kerangka strategis tersebut. Selain itu, penguatan keamanan energi nasional diperlukan dengan memperkuat kedudukan Indonesia di dalam kontrak pengelolaan dan bagi hasil untuk mengurangi ketergantungan Indonesia pada operator asing. Kondisi demikian diperlukan untuk memperkuat independensi energi Indonesia sebagai negara penghasil energi besar (kekayaan alam yang melimpah) serta memperkuat kedaulatan nasional atas sumber daya energi untuk mewujudkan cita-cita konstitusi. Meski pemerintah telah memiliki strategi energi jangka panjang, namun dari semua dokumen kebijakan yang ada, tidak ada pernyataan yang tegas dan jelas mengenai keamanan energi yang menjamin bagi kelangsungan energi Indinesia. Bahkan, regulasi tentang bidang energi tidak ada klausul yang secara tegas menyatakan perlunya memastikan akan kedaulatan energi yang merupakan bentuk dari posisi bangsa berdaulat akan sumber dan kekayaan energi yang dimiliki. Sebagai akibatnya, praktek pengelolaan energi, dengan mudahnya didominasi oleh kekuatan asing – bahkan sampai kepada energi panas bumi yang akhir-akhir ini dikembangkan. Dengan demikian, pengelelolaan energi nasional perlu menfokuskan kepada tatakelola pemerintahan yang bersih (good governance) untuk memaksimalkan potensi dan terjadinya distribusi dan pengelolaan energi yang adil dan transparan untuk pembangunan Indonesia secara berkelanjutan dan bukannya justru menciptakan kerusakan bagi ekosistem dan lingkungan. Di sinilah, perhatian akan Energi Hijau akan sangat menentukan bagi keselamatan lingkunangan. Selain, pengembangan EBT merupakan alternatif untuk mengurangi ketergantungan atas energi tak-terbaharukan. Visi dan blueprint pengembangan sektor EBT perlu dipersiapkan secara matang sebagai acuan memperkuat energi nasional ke depan yang lebih ramah lingkungan.
17
Indikator ketergantungan energi Indonesia sejak 2005-2007 menunjukan kenaikan dengan tambahan kebutuhan minyak bumi mulai harus diimpor. Dengan kondisi industri yang masih belum mapan, hal itu jelas menimbulkan kecemasan. Industri yang dimiliki Indonesia dituntut untuk terus berkembang sementara perubahan status dari eksportir kepada importir minyak bumi menuntut perubahan persepektif dalam perumusan strategi keamanan energi. Keamanan energi Indonesia melihat diversfikasi energi dan pembentukan distribusi domestik sebagai persoalan penting. Program diversifikasi yang dilakukan meliputi alih sumber energi dari minyak bumi sebagai pasokan utama kepada sumber non-minyak bumi, selain juga kedepannya kepada bentuk energi terbarukan. Juga, persoalan keamanan energi bukan hanya dan tidak semata dalam perspektif kebutuhan pasokan energi dan industri menjadi peluang Indonesia untuk lebih menerjemahkan strategi keamanan energinya lebih menyeluruh. Kebutuhan energi dan perdagangan energi yang sehat jelas sebuah solusinya. Efisiensi energi juga merupakan isu penting terkait dengan persoalan perubahan iklim. Dalam konteks yang saling terkait tersebut keamanan energi tidak bisa melepaskan sisi intermestik dari pasar energi global. Keguncangan keamanan energi global akan berdampak pada kondisi keamanan energi domestic, yang selanjutnya pertumbuhan ekonomi nasional yang menjadi sasaran lanjut dari strategi keamanan energi Indonesia. Dalam konteks demikian sekuritisasi keamanan energi di Indonesia sepatutnya diletakan dalam kerangka kedaulatan energi nasional. Akhirnya, untuk mengejar ketertinggalan yang selama ini terjadi, perhatian dan dukungan negara untuk mengembangkan IPTEK dan riset-riset berkaitan dengan keenergian menjadi semakin krusial. Kelemahan akan penguasaan teknologi sering menjadi alas an bagi masukknya dominasi asing di sektor energi non-nenewable seperti selama ini terjadi. Sementara itu riset dan inovasi teknologi untuk Energi Hijau dan EBT masih juga tertinggal. Jika pemerintah tidak mendukung penguatan riset di sektor energi, baik untuk non-renewable maupun energy renewable, maka tidak menutup kemungkinan bahwa untuk masa ke depan, teknologi Energi Hijau dan EBT tersebut juga akan dikuasasi oleh pihak asing, sehingga bangsa Indonesia hanya gigit jari.
B. Saran-Saran 1. Untuk membangun keamanan energi serta terciptanya kedaulatan energi memerlukan pemahaman yang mendasar akan perlunya kemandirian bangsa dalam penguasaan dan pemanfaat sumber energi dalam negeri di tengah dinamika dan tekanan ekonomi global. Suatu posisi tawar Indonesia mesti dibangun dengan kemampuan dan penguasaan teknologi serta cara berfikir yang mendedepankan kesejahteraan bangsa. 2. Persoalan energi perlu mendapatkan perhatian secara lebih seksama di dalam mendesain sistem dan kebijakan dengan upaya untuk mewujudkan kedaulatan energi dilakukan salah satunya dengan penerapan mekanisme pasar dalam struktur energi nasional bukan berarti menyisihkan pelaku energi domestik.
18
3. Penguatan terhadap kapasitas pelaku energi dalam negeri merupakan kondisi yang tidak bisa ditawar lagi, sebagai sebuah pemihakan negara kepada bangsa sendiri dan melepaskan dari hegemoni aktor energi global. 4. Upaya menciptakan Energi Hijau selain dirumuskan ke dalam blueprint, ia memerlukan perangkat untuk melaksanaan yang memberikan pemihakan kepada pelaku usaha dalam negeri dan mendorong kemampuan pengembangan IPTEK dan R&D sebagai tulang punggung penguasaan teknologi. 5. Penanganan keamanan energi nasional memerlukan penguatan kelembagaan dengan kewenangan yang jelas. Dengan demikian kelembagaan yang menangani energi, dalam hal ini, Dewan Energi Nasional (DEN) perlu dilengkapi dengan kewenangan dan kapasitas dibandingkan kondisi saat ini. 6. Strategi untuk mengembangkan energi terbarukan harus lebih bisa membuka kesempatan kepada Indonesia untuk mendapatkan dukungan internasional berkaitan dengan Clean Development Mechanism (CDM). 7. Pengembangan blueprint energi nasional Indonesia ke depan perlu dilakukan secara transparan dan partisipatoris untuk menjamin kredibilitas suatu kebijakan dengan tujuan untuk memaksimalkan kepentingan rakyat dan pembangunan nasional yang bertumpu kepada kekuatan dari dalam serta meminimalisir campur tangan kepentingan pihak asing dalam perumusan kebijakan sektor energi.
19