KEBIJAKAN FASILITAS PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS PENYERAHAN TETES TEBU UNTUK MENDUKUNG KEBIJAKAN ENERGI NASIONAL Lia Rukmaya1 dan Titi Muswati Putranti2 1. Departemen Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia 2. Departemen Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
[email protected],
[email protected] ABSTRAK Penelitian ini membahas mengenai perlunya kebijakan fasilitas Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas penyerahan tetes tebu untuk mendukung kebijakan energi nasional. Hal tersebut dikarenakan belum adanya kebijakan pajak yang kondusif bagi industri konversi energi seperti bioetanol. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan termasuk dalam penelitian cross sectional dengan teknik pengumpulan data berupa studi literatur dan studi lapangan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan dan menganalisis kebijakan PPN atas penyerahan tetes tebu ditinjau dari prinsip evaluasi kebijakan pajak yang baik, alasan diperlukannya kebijakan fasilitas pembebasan PPN, hambatan yang ditemukan dan upaya mengatasinya dalam pemberian kebijakan fasilitas PPN atas penyerahan tetes tebu, serta menjelaskan pengalaman Brasil dalam mengembangkan bioetanol khsususnya dari tebu. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa untuk mencapai kebijakan energi nasional maka diperlukan adanya pemberian fasilitas berupa pembebasan PPN atas penyerahan tetes tebu. Kata kunci: PPN; kebijakan pajak; pembebasan.
THE FACILITY OF VALUE ADDED TAX POLICY ON MOLASSES IN SUPPORTING THE NATIONAL ENERGY POLICY ABSTRACT This research discusses the need for facility policies Value Added Tax (VAT) policy on molasses in supporting the national energy policy. That is because the absence of conducive VAT policy to energy conversion industries, such as bioethanol. This research conducted by a qualitative approach and cross-sectional study with literature review and field research as data collection techniques. The purpose of this research are to describes and analyzes the VAT policy on molasses in terms of the principle of good tax policy evaluation, reasons of the need for VAT exemption, the existing barriers and how to overcome those barriers in order to exempt molasses from tax under VAT, and also describes the experience that Brazil has in developing bioethanol made from sugarcane. The results of this research concludes, that in order to achieve the national energy policy, the state needs the VAT exemption as an incentive or facility of VAT policy on molasses. Keywords: VAT; tax policy; exemption.
Kebijakan fasilitas…, Lia Rukmaya, FISIP UI, 2014
Pendahuluan Konsumsi energi Indonesia yang meningkat secara historikal dengan pertumbuhan ratarata 3,09 persen pertahun dari tahun 2000 hingga 2010 (Dewanto, 2013). Meningkatnya jumlah konsumsi energi dalam negeri tersebut ternyata tidak diimbangi dengan jumlah energi yang tersedia. Persediaan energi saat ini sangat terbatas, oleh karena itu pemerintah melakukan kebijakan impor energi berupa bahan bakar fosil seperti minyak bumi untuk memenuhi permintaan energi yang ada. Pemerintah setiap tahunnya juga harus mengeluarkan anggaran untuk melakukan sudsidi energi agar energi yang dijual di pasar dalam negeri dijual dengan harga yang layak sehingga masyarakat mampu membelinya. Namun, jumlah subsidi energi yang dianggarkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) cenderung meningkat setiap tahunnya dan cukup besar sehingga menyebabkan ruang gerak APBN terusmenerus menjadi lebih sempit dalam proses pengembangan infrastruktur fisik (LKPP dan APBN, 2013). Selain masalah jumlah minyak bumi di Indonesia yang terbatas dan terbebaninya APBN baik untuk impor minyak ataupun subsidi, krisis lingkungan hidup seperti kerusakan lingkungan, pencemaran lingkungan, dan efek-efek pemanasan global juga menjadi ancaman diberbagai wilayah di Indonesia (Daruri, 2013). Oleh sebab itu, pemerintah Indonesia didorong untuk menemukan solusi yang dapat memberikan jalan keluar dari krisis energi dan lingkungan. Peraturan Presiden (Perpres) No. 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasiona merupakan keputusan cerdas yang pantas disambut baik sebagai langkah untuk membuat konservasi energi gerakan nasional. Melalui Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 32 Tahun 2008, pemerintah memperkenalkan bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain pengganti BBM dalam bentuk biodiesel dan bioetanol. Namun sejak tahun 2006, realisasi pemanfaatan BBN di Indonesia masih jauh dari target yang telah ditetapkan dalam Permen No. 32 Tahun 2008, terutama pemanfaatan fuel grade ethanol (FGE). Hal tersebut disebabkan oleh kecilnya keekonomian dan produksi bioetanol di pasar dalam negeri. Bioetanol pada umumnya dapat diproduksi dengan menggunakan bahan baku dari komoditas berpati, namun produksi bioetanol di Indonesia lebih banyak menggunakan limbah cair pabrik gula, yaitu tetes tebu (molasse). Tetes tebu di Indonesia tersebut dihasilkan baik dari hasil pertanian berupa tebu ataupun dari raw sugar yang selama ini diimpor Indonesia untuk diproduksi menjadi gula rafinasi. Meningkatnya realisasi impor raw sugar tahun 2013 menjadi 3.019.000 ton dari tahun 2012 yang hanya sebesar 2.579.842 ton, tidak menjamin adanya pasokan tetes tebu untuk produksi bioetanol dalam negeri (AGI, 2013). Industri
Kebijakan fasilitas…, Lia Rukmaya, FISIP UI, 2014
bioetanol dalam negeri ternyata mengalami kesulitan untuk memasok tetes tebu sebagai bahan baku industri. Kondisi tersebut diperparah dengan perilaku pabrik gula yang lebih memilih untuk mengekspor tetes tebu (molasse) ke luar negeri seperti Malaysia dan Thailand karena harga pasar global tetes tebu jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan pasar dalam negeri, yaitu mencapai US$130-$150 per ton. Hal tersebut mengakibatkan pasokan bahan baku industri bioetanol menjadi berkurang dan produksi BBN berupa bioetanol di dalam negeri pun sangat terbatas (Sekretariat Negara, 2014). Selain tetes tebu yang banyak diekspor, produsen bioetanol dalam negeri pun lebih banyak mengekspor produk bioetanolnya ke Thailand dan Filipina. Hal tersebut karena produsen bioetanol rugi jika produknya dijual di dalam negeri dengan harga yang jauh lebih murah jika dibandingkan dengan biaya produksi bioetanol itu sendiri (Aazim, 2013). Dalam proses produksi, produsen bioetanol akan menghasilkan hydrous ethanol, yaitu etanol dengan 96 persen alcohol. Dibutuhkan total biaya sebesar USD 282 untuk memproduksi hydrous ethanol. Akan tetapi, untuk dapat digunakan sebagai bahan bakar (fuel grade), maka hydrous ethanol tersebut harus dikonversikan terlebih dahulu menjadi anhydrous ethanol agar mengandung 99 persen alcohol. Biaya konversi produksi dari hydrous ethanol menjadi anhydrous ethanol adalah senilai 10 (sepuluh) persen atau koefiesien 1.10. Maka apabila harga tetes tebu yang dibeli oleh produsen bioetanol seharga US$100-$130 per metrik ton, maka dibutuhkan USD 682 - USD 826 untuk memproduksi anhydrous ethanol untuk setiap satu kilo-liter (kL) atau setara dengan Rp 8.500-13.000 per liter. Sementara apabila dipasarkan di dalam negeri, maka harga indeks pasar (HIP) produk bioetanol untuk fuel grade ethanol yang berlaku sebesar Rp 7.300 per liter. Harga tersebut lebih murah jika dibandingkan dengan biaya produksi produsen bioetanol. Bahkan, harga Rp 7.300 per liter tersebut juga belum dapat bersaing dengan harga BBM bersubsidi yang berlaku saat ini, yaitu jenis premium Rp 6.500 per liter dan solar Rp 5.500 per liter (Per 22, 2013). Alasan tersebut mengakibatkan industri lebih memilih memproduksi hydrous ethanol sebagai bahan baku industri lain seperti cat dan tinta, serta memasarkannya ke luar negeri (Dhany, 2013). Masalah-masalah energi yang ada saat ini di Indonesia timbul karena belum adanya dukungan pemerintah secara optimal baik di sektor energi, sosial, ekonomi, pajak, dan budaya. Kebijakan sektor energi ini jelas tidak dapat berdiri sendiri mengingat ada banyak sekali pihak yang terlibat, sehingga memerlukan kebijakan lain untuk dapat mendukung tercapainya program renewable energy. Tentunya, kebijakan pendukung tersebut harus bersifat ‘mendorong’ dan ‘memudahkan’ bagi seluruh pihak yang terlibat (Investasi Energi 2012). Jika dilihat dari sektor perpajakan, beberapa kebijakan pajak telah ada dalam rangka
Kebijakan fasilitas…, Lia Rukmaya, FISIP UI, 2014
mendukung pengembangan industri energi terbarukan, seperti Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.176/PMK.011/2009, PMK No. 175/PMK.011/2013, dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 31 Tahun 2007. Namun sayangnya, kebijakan-kebijakan tersebut belum kondusif dan tidak banyak memberikan kemudahan bagi produsen industri konversi energi seperti bioetanol (fuel grade ethanol). Agar dapat berkembang, industri bioetanol memerlukan insentif pajak khusus yang mendukung, salah satunya dalam bentuk insentif PPN. Sebagai salah satu jenis pajak yang terutang dalam proses rantai produksi bioetanol, PPN atas penyerahan tetes tebu dapat diubah menjadi kebijakan yang bersifat insentif dan sesuai untuk mendorong pengembangan industri bioetanol dalam negeri. Insentif pada sektor PPN ini tentunya akan mereduksi beban pajak dan biaya yang dikeluarkan oleh produsen bioetanol. Hal tersebut karena 40 (empat puluh) sampai dengan 60 (enam puluh) persen dari biaya produksi yang dikeluarkan produsen adalah biaya pembelian tetes tebu sebagai bahan baku (APROBI, 2013). Oleh karena itu dapat dibayangkan bahwa jumlah PPN yang terhutang dan yang harus dibayarkan atas penyerahan tetes tebu pun cukup besar. Berdasarkan permasalahan tersebut, penelitian ini bertujuan untuk: a. Menjelaskan dan menganalisis mengenai kebijakan PPN atas penyerahan tetes tebu (molasse) ditinjau dari prinsip kebijakan pajak yang baik. b. Menjelaskan alasan diperlukannya kebijakan fasilitas pembebasan PPN, hambatanhambatan yang ditemukan dan upaya mengatasi hambatan-hambatan tersebut dalam pemberian kebijakan fasilitas PPN atas penyerahan tetes tebu (molasse). c. Menjelaskan dan menganalisis pengalaman Brasil dalam mengembangkan bioetanol khsusunya dari dari tebu (sugarcane).
Tinjauan Teoritis Dalam penelitian ini, terdapat beberapa konsep yang membentuk kerangka berpikir yaitu konsep Pajak Pertambahan Nilai (PPN), kebijakan pajak yang baik dari American Institute of Certified Public Accountants (AICPA), supply side tax policy, dan pengecualian dari pengenaan PPN. Berkaitan dengan PPN, PPN atau Value Added Tax pada dasarnya merupakan Pajak Penjualan yang dipungut beberapa kali (multi stage levies) atas dasar nilai tambah yang timbul pada semua jalur produksi dan distribusi (Rosdiana, Irianto dan Putranti, 2011, 66). Ebrill, dkk (2001, 3) berpendapat bahwa nilai tambah tercermin pada selisih harga penjualan dengan harga pembelian. Nilai tambah adalah semua biaya yang dikeluarkan dalam memproduksi suatu barang atau menjual kembali barang tersebut. PPN sendiri memiliki legal
Kebijakan fasilitas…, Lia Rukmaya, FISIP UI, 2014
character berupa general, indirect dan on consumption. Sehubungan dengan kebijakan pajak yang baik dari AICPA, hanya empat dari sepuluh prinsip yang ada digunakan dalam penelitian ini, yaitu certainty, neutrality, economic, growth and efficiency, dan appropriate government revenues (AICPA, 2010, 8-12). Supply side tax policy (Rosdiana dan Irianto, 2012, 85-86) adalah kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan kinerja pasar dengan cara meningkatkan kapasitas ekonomi untuk memproduksi sehingga kurva permintaan akan naik. Kebijakan ini dapat digunakan untuk mengurangi ketidaksempurnaan pasar. Tujuannya agar dapat meningkatkan produksi sehingga dapat membuka lapangan kerja. Konsep pengecualian dari pengenaan PPN yang digunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu exemption dan zero rating. Pembebasan merupakan metode pengecualian dari pengenaan PPN atas suatu penyerahan barang atau jasa yang terjadi karena adanya penyerahan yang tidak terutang, sehingga PPN yang telah dibayarkan pada pengusaha pada saat pembelian barang dan jasa yang berkaitan dengan penyerahan barang atau jasa yang dibebaskan dari PPN tidak dapat dikreditkan (Brederode, 2009, 127). Schenk dan Oldman (2007, 50) mengatakan bahwa zero rating adalah mekanisme dalam sistem PPN dimana pajak dapat seluruhnya dihilangkan dari barang atau jasa tertentu atau dari transaksi tertentu. Konsep-konsep tersebut yang membentuk kerangka pemikiran sehingga alur pada penelitian ini dimulai dengan mengidentifikasi kondisi dan isu-isu terkait energi Indonesia sehingga Indonesia diwajibkan menggunakan bahan bakar nabati, kemudian melakukan analisis terhadap pasar tetes tebu sebagai bahan baku produksi bioetanol. Langkah terakhir adalah menganalisis konsep PPN atas penyerahan tetes tebu berdasarkan konsep kebijakan pajak yang baik dari American Institute of Certified Public Accountants (AICPA) serta mengaitkan fasilitas pembebasan PPN yang dibutuhkan produsen bioetanol dengan konsep supply side tax policy.
Metode Penelitian Pendekatan kualitatif dipilih karena adanya keinginan untuk memeroleh pemahaman menyeluruh dan utuh tentang fenomena yang diteliti yaitu mengenai kebijakan fasilitas PPN atas penyerahan tetes tebu untuk mendukung kebijakan energi nasional (Creswell, 1994, 93). Jika dianalisis dari tujuannya, penelitian ini termasuk ke dalam penelitian deskriptif karena bertujuan mendeskripsikan dan menyajikan gambaran yang lengkap mengenai kebijakan fasilitas PPN atas penyerahan tetes tebu untuk mendukung kebijakan energi nasional.
Kebijakan fasilitas…, Lia Rukmaya, FISIP UI, 2014
Penelitian ini bersifat murni, yaitu penelitian tanpa disponsori pihak manapun dan berdasarkan keinginan peneliti untuk melakukan penelitian sejak Februari hingga Mei 2014. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi lapangan dan literature. Studi lapangan dilakukan melalui wawancara mendalam dengan Direktorat Jendral Pajak (DJP), Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Badan Kebijakan Fiskal (BKF), produsen bioetanol, Asosiasi Gula Indonesia (AGI), Asosiasi Produsen Bioetanol Indonesia (APROBI), dan kalangan akademisi di bidang perpajakan. Sementara informasi data sekunder diperoleh melalui studi literatur, seperti penelitianpenelitian sebelumnya dan sumber terkait lainnya mengenai kebijakan fasilitas PPN atas penyerahan tetes tebu untuk mendukung kebijakan energi nasional (Creswell, 1994, 155).
Hasil Penelitian PPN atas tetes tebu memang positif terhadap penerimaan, terutama jika dilihat sebagai dampak penerimaan jangka panjang. Meskipun demikian, PPN tersebut menambah beban produsen bioetanol dalam rangka berproduksi. Oleh karena itu pemberian fasilitas pembebasan PPN atas penyerahan tetes tebu merupakan salah satu insentif yang dinilai paling kondusif dan solutif dari adanya kegagalan pasar dalam mengendalikan mekanisme harga tetes tebu yang tinggi di pasar dalam negeri. Meskipun demikian, pemberian fasilitas pembebasan menghadapi sejumlah hambatan, seperti: dampak Pajak Masukan terkait yang tidak dapat dikreditkan apabila penyerahan tetes tebu dibebaskan serta masalah distorsi netralitas dan diskriminasi terhadap komoditas lain yang sejenis. Solusi yang tepat dan sinergis untuk memecahkan hambatan-hambatan tersebut adalah menerapkan sistem deemed tax credit dan pemberian fasilitas pembebasan PPN dalam bentuk temporary policy.
Pembahasan PPN atas penyerahan tetes tebu secara umum diatur dalam UU No. 42 Tahun 2009. Walaupun saat ini belum ada pengaturan khusus yang menyatakan bahwa produk sampingan atau limbah memiliki status hukum yang sama dengan produk utamanya sehingga terutang PPN, selain KEP-87/PJ./2002. Namun, status tetes tebu tersebut dapat diketahui melalui cara lain, yaitu penafsiran sistematis dan yurisprudensi. Sistem UU PPN bersifat negatif list, oleh karena itu, secara sistematis, seluruh penyerahan barang dan jasa yang tidak tercantum dalam Pasal 4A merupakan BKP dan secara otomatis menjadi objek PPN. Sementara penafsiran yurisprudensi dapat dilakukan dengan merujuk pada Putusan Mahkamah Agung Republik
Kebijakan fasilitas…, Lia Rukmaya, FISIP UI, 2014
Indonesia Nomor Put-42719/PP/M.IV/16/2013 yang menjelaskan bahwa produk utama maupun produk sampingannya (afval dan uitfal) mempunyai status hukum yang sama. Oleh sebab tetes tebu dan gula mempunyai status hukum yang sama, maka atas penyerahan tetes tebu diperlakukan sama dengan penyerahan gula, yaitu terutang sebesar 10 (sepuluh) persen. Melihat dinamika pasar tetes tebu dalam negeri dimana kebanyakan tetes tebu dalam negeri diekspor sementara harga tetes tebu yang dijual di pasar dalam negeri tinggi harganya, sesuai dengan asas netralitas, agar sumber daya optimal, maka pajak harus dapat mendorong dan mengendalikan sumber daya tersebut. Caranya yaitu dengan menetapkan tarif tunggal dan seragam (single tax rate). Tarif PPN yang sama antara bahan baku bioetanol, yaitu tetes tebu, dengan bahan baku industri lainnya ditetapkan sebesar 10 (sepuluh) persen. Apabila tarif PPN yang berlaku berbeda, maka akan dapat menganggu netralitas ekonomi dan mempengaruhi dinamika pasar serta memperkecil kemungkinan adanya investasi terutama dibidang industri bioetanol khusus energi. Oleh sebab itu, tarif pengenaan PPN yang berlaku pada bahan baku industri bioetanol besarnya sama dengan industri lain, maka netralitas ekonomi pun akan terjamin dan mekanisme pasar akan lebih efisien. Penetapan single tax rate sebesar 10 (sepuluh) pada PPN atas penyerahan tetes tebu juga dapat mengendalikan dan mendorong keberadaan tetes tebu itu sendiri di pasar dalam negeri. Namun, nyatanya pengenaan PPN atas penyerahan tetes tebu memberatkan produsen sehingga mempengaruhi pola perusahaan bioetanol dari separated entity menjadi single entity, untuk mereduksi beban dan biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan bioetanol dalam berproduksi. Oleh karena itu, walaupun PPN atas penyerahan tetes tebu memang positif terhadap penerimaan Negara, akan tetapi dengan dinamika pasar yang ada saat ini, pemerintah harus dapat mengubah pola pandang terhadap PPN atas tetes tebu tersebut. Hal tersebut dilakukan jika pemerintah ingin industri bioetanol sektor energi berkembang di Indonesia. Selain itu, PPN atas penyerahan tetes tebu tersebut menimbulkan dilema pertumbuhan dan efisiensi ekonomi dari sisi produsen bioetanol. Harga tetes tebu yang tinggi tidak membuat produsen lantas meninggalkan tetes tebu dan menggunakan komoditas berpati lainnya sebagai bahan baku bioetanol. Komoditas berpati yang dapat menjadi pengganti (subtitusi) tetes tebu untuk memproduksi bioetanol diantaranya, adalah padi, ubi, singkong, dan jagung. Alasannya adalah karena barang pengganti tersebut membutuhkan pre-treatment sebelum diproduksi menjadi tetes tebu. Proses pre-treatment membuat cost production yang dikeluarkan oleh produsen untuk memproduksi bioetanol dari barang pengganti tersebut lebih besar dan membutuhkan waktu yang lama jika dibandingkan dengan memproduksi bioetanol dari tetes tebu. Kondisi tersebut membuat produsen bioetanol tidak diuntungkan baik dari segi
Kebijakan fasilitas…, Lia Rukmaya, FISIP UI, 2014
biaya dan waktu. Melihat kondisi industri bioetanol dalam negeri tersebut, tentunya ini akan mempengaruhi pembentukan modal dan investasi pada industri bioetanol khususnya dibidang energi. Awal mula mandeknya kebijakan energi nasional ini adalah karena harga jual tetes tebu di dalam negeri tinggi. Meskipun begitu, dalam menghadapi masalah tersebut, pemerintah belum memberikan usaha yang optimal untuk menstabilkan harga atau bahkan mengeluarkan kebijakan ekonomi terkait dengan penetapan harga tetes tebu. Hingga saat ini, belum ada kebijakan yang sengaja ditetapkan pemerintah terkait harga tetes tebu khusus untuk industri sektor energi. Sementara kebijakan pajak yang telah diberikan hanya berupa PMK No.176/PMK.011/2009 Tentang Pembebasan Bea Masuk Atas Impor Mesin Serta Barang Dan Bahan Untuk Pembangunan Atau Pengembangan Industri Dalam Rangka Penanaman Modal, PMK No. 175/PMK.011/2013 Tentang Pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 Sehubungan Dengan Pembayaran Atas Penyerahan Barang Dan Kegiatan Di Bidang Impor Atau Kegiatan Usaha Di Bidang Lain, dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 31 Tahun 2007 Tentang Impor Dan Atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu Yang Bersifat Strategis Yang Dibebaskan Dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Ketiga kebijakan pajak tersebut memang berhasil meningkatkan kinerja industri energi seperti gas alam, air, dan listrik, namun rupanya belum kondusif terhadap produsen bioetanol sektor energi. Oleh sebab belum diaturnya tetes tebu oleh pemerintah, pabrik gula yang menghasilkan tetes tebu dapat dengan secara bebas menjual tetes tebu sesuai dengan kehendaknya. Tidak diaturnya tetes tebu terutama terkait dengan kebutuhan energi nasional mengartikan bahwa pemerintah belum memberikan support yang optimal. Belum adanya support dari pemerintah terkait harga tetes tebu ini membuat produsen bioetanol alih-alih gulung tikar dan terkena dampaknya (Tutup Pabrik, 2014). Salah satu produsen yang harus tutup produksi selama beberapa waktu akibat harga tetes tebu yang melonjak tinggi adalah PT ABC. Hal tersebut sangat disayangkan mengingat PT ABC merupakan salah satu produsen bioetanol yang berkomitmen untuk mendukung kebijakan energi nasional dan terlaksananya rencana program konsumsi BBN sebesar 60 (enam puluh) persen di tahun 2030 yang dicanangkan dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Hingga kini, hanya ada beberapa produsen bioetanol yang masih dapat bertahan dengan kondisi pasar tetes tebu dalam negeri yang harganya mahal dan terbatas, salah satu diantaranya adalah PT XYZ. Adapun gambaran mengenai harga tetes tebu selama tahun 2013 sebagai beikut:
Kebijakan fasilitas…, Lia Rukmaya, FISIP UI, 2014
Tabel 5.2 Harga Tender Tetes PT KPBN (Musim Panen 2013) Tanggal Tender
Harga Tender Rp/Ton (Excl PPn 10%)
25 April 2013 8 Mei 2013 24 Mei 2013 7 Juni 2013 28 Juni 2013 5 Juli 2013 21 Agustus 2013 30 Agustus 2013 13 September 2013
1,053,000.00 1,080,000.00 1,115,000.00 1,132,000.00 1,148,000.00 1,158,000.00 1,150,000.00 1,162,000.00 1,175,050.00
Dalam Kurs USD USD USD USD USD USD USD USD USD USD
115.00 110.00 114.00 117.00 115.00 116.00 114.00 110.00 112.00
Sumber: PT KPBN, 2013
Harga tender tetes tebu pada Tabel 5.2 belumlah termasuk PPN sebesar 10 (sepuluh) persen. Melalui harga yang berkisar di atas USD 110 per ton, maka dapat dihitung bahwa setiap PPN yang dibayarkan ketika membeli tetes tebu sebagai bahan baku industri bioetanol untuk berproduksi, perusahaan harus mengeluarkan hingga USD 12. Sedangkan untuk memproduksi 1 (satu) liter bioetanol dengan kadar alchohol 96 persen (hydrous ethanol.), perusahaan harus membeli 3,75 kg molasses atau tetes tebu dengan biaya sebesar sebesar USD 282. Namun, untuk dapat digunakan sebagai bahan bakar (fuel grade), maka hydrous ethanol tersebut harus dikonversikan menjadi anhydrous ethanol agar mengandung 99 persen alcohol. Biaya konversi tersebut adalah sebesar 10 (sepuluh) persen atau koefiesien 1.10. Jika harga tetes tebu yang dibeli oleh produsen bioetanol seharga US$100-$130 per metrik ton, maka dibutuhkan USD 682 - USD 826 untuk memproduksi bioetanol untuk setiap satu kiloliter (kL) atau setara dengan Rp 8.500-13.000 per liter untuk memproduksi bioetanol. Harga tersebut jauh lebih mahal ketimbang HIP bioetanol dalam negeri Rp 7.300 per dan tidak dapat bersaing dengan harga BBM bersubsidi yang murah, yaitu jenis premium Rp 6.500 per liter dan solar Rp 5.500 per liter (Per 22, 2013). Oleh sebab itu dari produsen-produsen bioetanol yang bertahan, tidak satu pun produsen yang memproduksi anhydrous ethanol dengan fuel grade dan men-supply-nya ke Pertamina untuk dijadikan BBN sejak tahun 2009. Semua produsen tersebut hanya memproduksi hydrous ethanol yang hanya dapat digunakan sebagai bahan baku kosmetik, pharmachy, dan makanan. Bahkan PT XYZ hanya memproduksi anhydrous ethanol untuk menghasilkan isopropil alchohol yang digunakan sebagai bahan baku untuk cat dan tinta. Melihat mekanisme pasar bioetanol tersebut, secara teori, intervensi mekanisme pasar (atau harga) dapat dilakukan oleh pemerintah sebagai bentuk alasan politik, walaupun
Kebijakan fasilitas…, Lia Rukmaya, FISIP UI, 2014
intervensi politik oleh pemerintah tersebut dapat menimbulkan regresivitas PPN. Intervensi tersebut dapat diberikan dalam bentuk kebijakan pajak. Kebijakan pajak yang digunakan pemerintah itu dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah ekonomi yang sedang dihadapi dikenal dengan kebijakan pajak diskresioner atau discretionary tax policy, yaitu mencakup langkah-langkah pemerintah untuk mengubah sistem pemungutan PPN-nya. Terdapat dua macam cara yang dapat digunakan pemerintah untuk menjalankan kebijakan tersebut yaitu membuat perubahan-perubahan atas pengeluarannya dan membuat perubahan-perubahan atas pajak yang dipungutnya. Kebijakan pajak sebagai alasan politik yang harus dilakukan dalam kasus ini adalah membuat perubahan-perubahan atas pajak yang dipungutnya, yaitu dalam bentuk memberikan insentif pajak berupa pembebasan PPN atas penyerahan tetes tebu dari pabrik gula ke produsen bioetanol. Selain untuk membantu dengan cara mereduksi beban pajak produsen bioetanol akibat harga bahan baku yang tinggi, pemerintah dapat mendukung eksistensi produsen bioetanol sampai saat dimana industri bioetanol stabil dan kebijakan energi nasional dapat tercapai. Hal tersebut juga sesuai dengan tujuan adanya fasilitas pembebasan PPN yaitu memberikan kemudahan sumber daya dan bahan baku untuk produsen, jika dilihat dari sisi ekonomi mikro. Pembebasan PPN atas penyerahan tetes tebu yang secara khusus diberikan kepada bidang energi ini diharapkan akan mempengaruhi mekanisme pasar tetes tebu dalam negeri sejauh permintaan tetes tebu benar-benar elastis terhadap harga. Pembebasan akan mempengaruhi konsumsi industri bioetanol dalam negeri terhadap tetes tebu. Diharapkan konsumsi tetes tebu untuk bidang energi akan naik dan meningkatkan produktivitas fuel grade ethanol pada pasar dalam negeri. Akan tetapi, dengan adanya intervensi dari pemerintah berupa pemberian insentif pajak, maka secara tidak langsung PPN atas penyerahan tebu ini tidak lagi netral. Pemberian insentif PPN merupakan kebijakan pajak diskresioner yang dapat secara sengaja dibuat untuk tidak menetralkan konsep PPN. Walaupun tidak dibenarkan secara teori, karena sifatnya yang tidak netral, namun secara praktik, hal tersebut dapat dilakukan selama ada tujuan ekonomi pembangunan yang jelas. Sesuai dengan teori ekonomi makro, maka dengan tercapainya kebijakan energi nasional, industri di bidang energi pun juga secara bersamaan akan mudah menarik investasi asing. Hal tersebut nantinya akan mendorong terlaksananya pertumbuhan dan pembangunan ekonomi yang baik bagi Indonesia. Oleh sebab itu, dalam hal mengurangi ketidaksempurnaan pasar tetes tebu, maka kebijakan yang dapat diambil adalah dalam bentuk supply side tax policy. Hal tersebut dilakukan untuk dapat meningkatkan kapasitas produksi produsen bioetanol. Kebijakan yang diarahkan untuk pabrikan, kebijakan tersebut akan dapat meminimalisir distorsi dalam pasar,
Kebijakan fasilitas…, Lia Rukmaya, FISIP UI, 2014
yang diakibatkan oleh pengaruh harga, subsidi, dan tarif pajak, serta akan mendorong investasi dan produksi dengan cara membuat bekerjanya insentif terhadap pasar bebas. Dari sudut pandang tradisional atau basic view, kebijakan perpajakan tersebut dapat menciptakan wedges (piuh/putar-balik) yang terjadi karena adanya perbedaan harga produsen antara sebelum dan sesudah pemerintah mengenakan pajak. Piuh ini mengakibatkan efek substitusi negatif yang mendistorsi perilaku ekonomi produsen dan penyedia (supplier) faktor-faktor produksi. Apabila harga tetes tebu akibat adanya pajak menjadi lebih tinggi, juga lebih mahal dibandingkan dengan barang substitusi, maka produsen akan cenderung membeli sedikit tetes tebu tersebut dan lebih banyak barang substitusi lain. Akan tetapi pada kenyataannya dilema pasar juga dialami oleh barang subtitusi tetes tebu, seperti singkong, jagung, ubi, dan lainnya. Barang tersebut merupakan barang kebutuhan pangan yang telah mempunyai pasar sendiri sehingga akan sulit bagi sektor energi untuk mengintervensi pasar sektor pangan yang telah ada tersebut. Untuk menghilangkan piuh tersebut, maka diperlukan adanya penghilangan atau pembebasan PPN atas penyerahan tetes tebu. Pembebasan tersebut merupakan eksepsi atau pengecualian dari peraturan pemungutan PPN yang telah dibuat oleh pemerintah dan konsep dari PPN itu sendiri. Tujuan diberikannya insentif berupa fasilitas pembebasan PPN ini adalah untuk memberikan suntikan pertumbuhan ekonomi, produksi dan investasi pada bidang energi. Melalui pembebasan PPN atas penyerahan tetes tebu, beban yang harus dikeluarkan oleh produsen bioetanol dalam membeli bahan baku akan berkurang. Harga tanpa PPN membuat harga jual tetes tebu yang dibeli oleh produsen menjadi lebih murah, dengan begitu produsen akan lebih banyak membeli tetes tebu dan memproduksi bioetanol sesuai dengan kapasitas penuh yang dimiliki oleh mesin pabriknya sehingga dapat menghasilkan produk bioetanol lebih banyak lagi. Hal tersebut sejalan dengan konsep dari keunggulan PPN yang secara ekonomis PPN dapat digunakan sebagai instrumen kebijakan fiskal untuk mempengaruhi produksi dan konsumsi. Pemerintah dapat menurunkan tarif PPN atau melakukan pembebasan PPN sesuai dengan Pasal 16B UU PPN No. 42 Thaun 2009 sehingga harga jual barang menjadi lebih murah. Efek domino yang diharapkan dengan adanya kebijakan tersebut adalah agar permintaan tetes tebu naik, sehingga pada akhirnya pabrik gula akan meningkatkan produksinya sebagai respon dari tingginya permintaan. Adanya insentif pajak berupa pembebasan PPN atas penyerahan tetes tebu yang terutang ketika produsen bioetanol membeli tetes tebu kepada pabrik gula merupakan hal yang ditunggu-tunggu oleh produsen bioetanol. Walaupun pemberian fasilitas PPN tersebut dianggap tidak netral dari sisi konsep PPN itu
Kebijakan fasilitas…, Lia Rukmaya, FISIP UI, 2014
sendiri, namun secara prinsip produktivitas dan efisiensi ekonomi diperbolehkan. Secara konseptual pajak memiliki prinsip mempengaruhi yang tujuan agar dapat mengatur masyarakat. Walaupun prinsip tersebut tidak netral, namun konsep influence dan behavior tersebut terkadung dalam fungsi regulerend pajak tersebut. Pada kenyataannya, pajak juga digunakan sebagai instrumen untuk mencapai tujuan tertentu melalui fungsi regulerend-nya. Berkaitan dengan hal tersebut, pemberian fasilitas pajak berupa pembebasan PPN atas penyerahan tetes tebu merupakan cerminan dari fungsi regulerend pajak guna tercapainya tujuan-tujuan tertentu yang ditetapkan pemerintah. Ditujukan untuk memberikan kemudahan bagi kegiatan ekonomi yang berprioritas tinggi dalam skala nasional, mendorong perkembangan dunia usaha dan meningkatkan daya saing, mendukung pertahanan nasional, serta memperlancar pembangunan nasional, pemberian fasilitas PPN Pasal 16B berupa pembebasan PPN dan PPN terutang tidak dipungut akan mempengaruhi fungsi penerimaan pajak. Pemberian fasilitas PPN tersebut tentunya akan mengurangi potensi penerimaan yang seharusnya masuk ke dalam kas Negara. Pengimplementasian Pasal 16B dalam UU PPN tersebut sebagai manifestasi dari fungsi regulerend pajak untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Apabila tujuan telah ditetapkan, maka pemerintah menggunakan pajak sebagai alat atur (regulating) agar tujuan tersebut tercapai. Akan tetapi, pembebasan yang merupakan salah satu jenis exception dalam konsep pajak layaknya tidak diberikan dalam jangka waktu yang panjang. Oleh sebab itu Jika kebijakan pembebasan PPN dalam bidang energi ini benar-benar dapat direalisasikan, maka harus diberikan dalam bentuk temporary policy, artinya bersifat sementara. Kebijakan ini berlaku hanya sampai tujuan pemerintah sebagai alasan melakukan pembebasan PPN tercapai. Apabila telah tercapai, maka sudah selayaknya fungsi penerimaan PPN dikembalikan seperti semula, artinya penyerahan atas tetes tebu tetap terutang PPN sebesar 10 (sepuluh) persen dan pembebanan dalam penerimaan Negara atas pembebasan PPN tersebut dihapuskan. Hal tersebut selaras dengan pernyataan Suwardi yang menjelaskan kepada penulis bahwa temporary tax policy pernah diberikan oleh pemerintah terkait dengan komoditi minyak goreng. Sebagaimana yang melekat dalam fungsi pajak, yaitu penerimaan Negara. Walaupun adanya pemberian fasilitas pembebasan, pihak DJP menilai bahwa harus ada potensi penerimaan yang dapat menggantikannya. Dilihat dari alasan banyaknya tetes tebu yang diekspor ke pasar luar negeri, maka untuk mengimbangi potensi penerimaan yang hilang akibat adanya pembebasan PPN atas penyerahan tetes tebu ini, maka Saroyo Atmosudarmo selaku Mantan Direktur Jenderal Pajak Direktur PPN dan PTLL yang juga seorang akademisi,
Kebijakan fasilitas…, Lia Rukmaya, FISIP UI, 2014
juga berpendapat bahwa akan lebih baik jika ada rekomendasi lain dari fungsi regulerend yang dapat ditetapkan pemerintah. Rekomendasi yang diberikannya adalah dalam bentuk pengenaan bea keluar bagi komoditas tetes tebu yang hendak diekspor. Bea keluar atas ekspor tetes tebu yang direkomendasikan oleh Saroyo Atmosudarmo tentunya akan memberikan arus positif pada penerimaan Negara. Tidak hanya itu, bea keluar tersebut menurut Saroyo Atmosudarmo dapat menggantikan beban yang harus dikeluarkan pemerintah dalam memberikan pembebasan PPN atas penyerahan tetes tebu. Meskipun demikian, apabila penetapan bea keluar atas ekspor tetes tebu benar-benar diberlakukan, tentunya tidak semata-mata hanya melihat sisi positif penerimaan. Bea keluar ini harus menjadi alat atau instrumen yang mengatur sekaligus membatasi penjualan tetes tebu di luar pasar dalam negeri. Proses pemberian fasilitas pembebasan oleh pemerintah bukan tanpa hambatan. Hambatan justru terletak pada dampak yang diberikan pada pemberian fasilitas pembebasan PPN ini, seperti masalah Pajak Masukan yang tidak bisa dikreditkan.Adanya pembebasan PPN atas penyerahan tetes tebu ini membuat pembeli atau konsumen akan tetap menanggung beban PPN, yaitu sebesar yang telah terutang pada mata rantai produksi dan distribusi sebelumnya. Beban PPN ini akhirnya menjadi tanggungan pembeli karena digeser secara bertahap dalam tiap mata rantai produksi dan distribusi. Keuntungan dari fasilitas PPN Dibebaskan yang diterima hanya sebesar PPN atas nilai tambah pada level pemberian fasilitas itu saja. Sedangkan PPN atas nilai tambah mata rantai sebelumnya tetap menjadi tanggungan pembeli. Semakin panjang rantai produksi dan distribusi sebelum mendapat fasilitas PPN Dibebaskan, semakin besar pula pajak yang ditanggung atau semakin kecil pula efek keuntungan yang diperoleh dari pemberian fasilitas pembebasan ini. Pada saat pabrik gula membeli tebu dari petani, pabrik gula dibebaskan dari pengenaan PPN atas penyerahan tebu tersebut. Hal itu karena tebu adalah salah satu komoditi hasil pertanian dan perkebunan yang diperlakukan sebagai barang strategis sesuai dengan PP No. 31 Tahun 2007, sehingga atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN. Berdasarkan PP tersebut, Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan tebu tersebut tidak dapat dikreditkan. Sehingga ketika diolah menjadi gula dan tetes tebu, nilai tambah yang terkandung dalam tetes tebu tersebut tidak hanya nilai tambah proses pengolahan tebu menjadi gula dan tetes tebu, namun juga mengandung beban PPN atas nilai tambah mata rantai sebelumnya yang tidak dapat dikreditkan. Hal tersebut dapat diatasi dengan konsep deemed tax credit, yaitu mekanisme dimana Pajak Masukan atas pembelian barang dan/atau perolehan jasa untuk menghasilkan BKP yang atas penjualan barang tersebut dibebaskan
Kebijakan fasilitas…, Lia Rukmaya, FISIP UI, 2014
PPN, tetap dapat dikreditkan namun dengan persentase tertentu, misalnya 5 (lima) persen dari total Pajak Masukan untuk menghasilkan barang produksi. Perhitungan persentase tersebut biasanya berdasarkan persentase dari nilai-nilai yang terutang dan yang dibebaskan dalam suatu periode. Persentase dari nilai-nilai terutang tersebut dibulatkan ke bilangan bulat terdekat (misalnya 5,2% menjadi 6%). Dalam situasi tertentu metode lain yang berkaitan dapat digunakan (EY, 2012, 469). Salah satu yang menganut sistem deemed tax credit ini adalah Belanda. Di Indonesia sendiri, penerapan sistem deemed tax credit diadopsi oleh PMK 78/PMK.03/2010 jo. PMK 21/PMK.011/2014. Walau memiliki metode yang sedikit berbeda dengan yang berlaku di Belanda, pada PMK 78/PMK.03/2010 jo. PMK 21/PMK.011/2014 tersebut Pajak Masukan dihitung dengan menggunakan pedoman penghitungan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan sesuai dengan yang dijelaskan pada Lampiran PMK tersebut. Tidak hanya itu, perubahan PMK 78/PMK.03/2010 menjadi PMK 21/PMK.011/2014 dengan penambahan Pasal 2A menyatakan bahwa pengusaha yang menghasilkan barang yang penyerahannya tidak terutang PPN kemudian barang tersebut diolah lagi baik dengan unit pengolahan milik sendiri maupun titip olah kepada pengusaha lain sehingga menghasilkan barang yang seluruh penyerahannya terutang pajak, maka seluruh Pajak Masukan yang sudah dibayar dapat dikreditkan. Melalui ketentuan tersebut, produsen gula ataupun produsen bioetanol yang menikmati fasilitas pembebasan PPN tidak perlu membebankan Pajak Masukan atas barang yang dibebaskan ke dalam harga jual produk. Hambatan proses pemberian fasilitas pembebasan PPN atas penyerahan tetes tebu lainnya adalah terkait dengan status hukum pajak gula dan tetes tebu itu sendiri. Apabila salah satu dari dua komoditi yang mempunyai status hukum yang sama tersebut mendapatkan suatu kemudahan berupa fasilitas pembebasan PPN, maka akan mendiskriminasi komoditi lain yang sejenis. Untuk itu, seperti telah diungkapkan oleh Saroyo Atmosudarmo sebelumnya, kebijakan pembebasan PPN atas penyerahan tetes tebu ini harus diberikan dalam bentuk temporary policy. Artinya, kebijakan tersebut harus bersifat sementara dan tidak boleh terusmenerus diberlakukan. Kebijakan pemberian fasilitas PPN dalam bentuk pembebasan PPN tersebut dilakukan pada bidang energi semata-mata untuk mendorong produsen bioetanol memproduksi lebih banyak bioetanol untuk memenuhi kebutuhan BBN dalam negeri demi tercapainya kebijakan energi nasional. Apabila hal tersebut telah tercapai, maka pemerintah wajib untuk membalikkan keadaan sesuai dengan tempatnya dimana penyerahan tetes tebu kembali terutang PPN. Sehingga diskriminasi dapat dihindari.
Kebijakan fasilitas…, Lia Rukmaya, FISIP UI, 2014
Sulitnya mendefinisikan konsumen sebagai sasaran pemberian kebijakan ini juga merupakan hambatan yang dihadapi pemerintah selanjutnya. Sulitnya mendefinisikan konsumen sebagai beneficiary fasilitas PPN dapat diatasi apabila dilakukan pengawasan yang ketat dalam rantai produksi dan distribusi. Pengawasan berdasarkan Saroyo Atmosudarmo dapat dilakukan pada pabrikan dan wholesale, yang secara jumlah lebih sedikit dibandingkan melakukan pengawasan tingkat akhir pada konsumen, sehingga memudahkan sistem pengawasan. Pengawasan tersebut seharusnya disyaratkan dan disarankan kepada pemerintah agar tidak menyimpang dari tujuan pemberian fasilitas. Pengawasan tersebut juga berguna untuk mengetahui apakah para penjual yang telah diberikan fasilitas pembebasan PPN telah menurunkan harga jual produk yang dijual tersebut. Pemberian kebijakan PPN atas penyerahan tetes tebu ini dinilai dapat membantu dari sisi produsen. Meskipun demikian, persoalan lainnya adalah bahwa beda antara harga bahan baku internasional dan harga bahan baku yang dapat di beli di Indonesia memiliki gap yang terlalu jauh. Walaupun PPN 10 (sepuluh) persen dibebaskan, namun harga masih terlalu tinggi, produsen dianggap masih belum dapat bersaing, dan kebijakan energi nasional masih belum dapat tercapai. Oleh karena itu, pemberian kebijakan PPN berupa pembebasan atas penyerahan tetes tebu, ini tidak semata-mata memerlukan dukungan pemerintah saja, namun lebih jauh lagi, perlu didukung oleh pihak-pihak terkait. Diperlukan pembenahan aturan mengenai harga indeks pasar bioetanol agar dapat menguntungkan baik produsen maupun pihak Pertamina, sebagai pemegang hak monopoli pencampuran BBN. Selain itu, terkait dengan konsumen sebagai beneficiary fasilitas PPN yang telah disinggung sebelumnya dan juga terkait dengan konsep PPN sebagai tax on consumption, harus diperhatikan bahwa apabila diberikan insentif PPN, maka konsumen akhir haruslah menjadi pihak yang dapat memanfaatkan dan menikmatimati efek yang diberikan dari insentif atau fasilitas PPN tersebut. Artinya, apabila PPN atas penyerahan tetes tebu di bebaskan, maka produsen bioetanol harus dapat menurunkan harga jual produk bioetanol mereka untuk dapat dijual murah di pasar dalam negeri. Oleh karena itu, diperlukan kajian lebih mendalam untuk mengetahui cost dan benefit yang dihasilkan apabila pembebasan tersebut diterapkan. Sebagai lembaga yang diberada di bawah Kementerian Keuangan dan mempunyai tugas merumuskan dan melaksanakan kebijakan di bidang perpajakan, DJP memberikan dukungan dalam bentuk melakukan kajian mendalam terkait pemberian fasilitas pembebasan PPN atas penyerahan tetes tebu. Pengalaman Brasil dalam bidang energi menjadi suatu pelajaran yang berharga bagi kebijakan energi nasional Indonesia. Hanya dengan menciptakan kebijakan ekonomi dan
Kebijakan fasilitas…, Lia Rukmaya, FISIP UI, 2014
rezim perpajakan yang kondusif bagi produsen bioetanol, pemerintah dapat menciptakan iklim investasi yang baik bagi kemajuan industri bioetanol. Pemerintah Brasil yang sigap dan konsistem dalam menangani masalah energi di Brasil, membuat Negara tersebut patut dijadikan contoh negera pelopor renewable energy yang baik. Melalui PróÁlcool Programme, Brasil berhasil menggunakan bioetanol sebagai BBN dalam ekonomi utama Negaranya. Keberhasilan Brasil tersebut salah satunya merupakan hasil dari berbagai kebijakan perpajakan yang kondusif bagi produsen bioetanol, salah satunya dalam bentuk pembebasan ICMS atau PPN atas seluruh produk yang digunakan untuk memperoduksi bioetanol. Sayangnya dukungan pemerintah Indonesia terkait bidang kebijakan energi nasional belum sebaik dan sekondusif pemerintah Brasil. Pemerintah Indonesia masih perlu banyak belajar dari Brasil terkait kebijakan-kebijakan pendukung agar kebijakan energi nasional tidak sia-sia, salah satunya adalah di bidang perpajakan.
Simpulan Melalui penafsiran sistematik terhadap UU No. 42 Tahun 2009 dan penafsiran yurisprudensi terhadap Put-42719/PP/M.IV/16/2013, tetes tebu merupakan barang kena pajak karena baik produk utama (afval) maupun produk sampingan (uitfal), mempunyai status hukum yang sama. Sehingga atas penyerahannya dikenakan PPN sebesar 10 (sepuluh) pesen. Penetapan single tax rate tersebut dilakukan untuk dapat mengendalikan dan mendorong keberadaan tetes tebu itu sendiri di pasar dalam negeri. Namun, nyatanya PPN atas penyerahan tetes tebu tersebut memberatkan produsen sehingga mempengaruhi pola perusahaan bioetanol dari separated entity menjadi single entity, untuk mereduksi beban dan biaya yang harus dikeluarkan. Oleh karena itu, walaupun PPN atas penyerahan tetes tebu memang positif terhadap penerimaan Negara, akan tetapi dengan dinamika pasar yang ada saat ini, pemerintah harus dapat mengubah pola pandang terhadap PPN atas tetes tebu tersebut. Pemberian fasilitas pembebasan PPN atas penyerahan tetes tebu merupakan salah satu insentif yang dinilai paling kondusif dan solutif dari adanya kegagalan pasar dalam mengendalikan mekanisme harga tetes tebu di pasar dalam negeri. Meskipun demikian, pemberian fasilitas pembebasan menghadapi sejumlah hambatan, seperti: Pajak Masukan terkait yang tidak dapat dikreditkan, masalah pengawasan, dan distorsi netralitas dan diskriminasi terhadap komoditas lain yang sejenis. Solusi yang tepat dan sinergis untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut adalah menerapkan sistem deemed tax credit dan
Kebijakan fasilitas…, Lia Rukmaya, FISIP UI, 2014
pemberian fasilitas pembebasan PPN dalam bentuk temporary policy. Agar kebijakan energinasional ini dapat tercapai, tidak salah jika pemerintah berkaca kepada Brasil yang telah lebih dulu menggunakan bioetanol sebagai bahan bakar alternatif. Melalui PróÁlcool Programme, Brasil berhasil menggunakan bioetanol sebagai BBN dalam ekonomi utama Negaranya. Keberhasilan Brasil tersebut salah satunya merupakan hasil dari berbagai kebijakan perpajakan yang kondusif bagi produsen bioetanol, salah satunya dalam bentuk pembebasan ICMS atau PPN atas seluruh produk yang digunakan untuk memperoduksi bioetanol.
Saran Rekomendasi dan saran yang dapat diberikan adalah: 1. Pemberian fasilitas PPN atas tetes tebu diperlukan untuk melindungi industri bioetanol dalam negeri. Jika dirancang dengan baik dan tepat, fasilitas pajak tersebut tentunya dapat memberikan pengaruh positif yang besar kepada produsen, diantaranya dapat meningkatkan aliran kas (cash flow) perusahaan atau industri konversi energi dalam bentuk bioetanol. 2. Agar tidak mendistorsi netralitas PPN dan tidak memberikan efek yang buruk bagi produsen dan konsumen, maka ada baiknya pemerintah mempertimbangkan untuk menetapkan sistem deemed tax credit. 3. Sependapat dengan Masri Megahadi, agar tidak menjadi kebijakan yang sia-sia, namun menjadi kebijakan yang kondusif dan supportive, maka diperlukan kajian lebih mendalam dan studi lapangan khusus untuk mengetahui cost dan benefit yang dihasilkan apabila pembebasan PPN atas penyerahan tetes tebu benar-benar diterapkan.
Daftar referensi Books: AICPA. (2001). Guiding Principles of Good Tax Policy: A Framework for Evaluating Tax Proposals (Report No. 1). New York: American Institute of Certified Public Accountants. Brederode, Robert F. Van. (2009). Systems of General Sales Taxation: Theory, Policy and Practice). Netherland: Kluwer Law International. Creswell, John W. (1994) Research Design; Qualitative and Quantitative Approaches. California: Sage Publications. Permana, Adhi Dharma., et al., (2012). Outlook Energi Indonesia 2012. Jakarta: BPPT Press.
Kebijakan fasilitas…, Lia Rukmaya, FISIP UI, 2014
Rosdiana, Haula., dan Edi Slamet Irianto. (2012). Ilmu Pengantar Pajak. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Rosdiana, Haula., Edi Slamet Irianto, dan Titi Muswati Putranti. (2011). Teori Pajak Pertambahan Nilai. Bogor: Ghalia Indonesia. Schenk, Alan., dan Oliver Oldman. (2007). Value Added Tax: A Comparative Approach. USA: Cambridge University Press. Sugiyono, Agus. (2013). Data Historis Konsumsi Energi dan Proyeksi PermintaanPenyediaan Energi di Sektor Transportasi: Prosiding Seminar dan Peluncuran Buku Outlook Energi Indonesia (OEI) 2012. Jakarta: PTPSE-BPPT. Website: (2013) Tutup Pabrik Ethanol, Medco Rugi USD 20 Juta. Dunia Energi. Diakses pada 10 Januari, 2014 dari http://www.dunia-energi.com/tutup-pabrik-ethanol-medco-rugi-usd20-juta/. (2013). Per 22 Juni 2013, Harga Premium Jadi Rp 6.500/L, Solar Jadi Rp 5.500/L. Sekretariat Kabinet RI. Diakses pada 6 Februari, 2014 di http://www.setkab.go.id/berita-9168-per22-juni-2013-harga-premium-jadi-rp-6500l-solar-jadi-rp-5500l.html. Aazim, Mohiuddin. (2013). Rising Output and Export of Molasses. Dawn. Diakses pada 10 Januari, 2014 di http://www.dawn.com/news/1032579/rising-output-and-export-ofmolasses. Daruri, Achmad Deni. (2013). Krisis Lingkungan Hidup dan Green Banking. Investor Daily Indonesia. Diakses pada 7 Februari, 2014 di http://www.investor.co.id/home/ krisislingkungan-hidup-dan-green-banking/70552. Dewanto, Fadjar Ari. (2013). Tantangan Energi Indonesia 2014. Berita Daerah Infrastruktur. Diakses pada 28 Januari, 2014 di http://beritadaerah.com/2013/10/31/tantangan-energiindonesia-2014/. Dhany, Rista Rama. (2013). Produsen Bioetanol RI Pilih Jualan ke Filipina. Kompas Web ID. Diakses pada 21 Januari, 2014 di http://ns3.kompas.web.id/read/finance/read/2013/11 /13/120719/2411633/1034/produsen-bioetanol-ri-pilih-jualan-ke-filipina>. Ernst & Young. (2012). The 2012 Worldwide VAT, GST And Sales Tax Guide. Web Ernst & Young. Diakses pada 29 Juni 2014 di http://www.ey.com/Publication/vwLUAssets /Worldwide_VAT_GST_and_Sales_Tax_Guide_2012/$FILE/WVGSTG_2012_Worldwi de_VAT_GST_and_Sales_Tax_Guide.pdf.
Kebijakan fasilitas…, Lia Rukmaya, FISIP UI, 2014