i
UNIVERSITAS INDONESIA
EVALUASI KEBIJAKAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS JASA PERDAGANGAN CRUDE PALM OIL (CPO) (STUDI KASUS PT. ABC)
SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Administrasi
RATNA HAPSARI SIANIPAR 0806396430
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM SARJANA PARALEL ILMU ADMINISTRASI FISKAL DEPOK JUNI 2012
i
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
ii
Universitas Indonesia
ii
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
iii
iii
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan kehendak-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Kepada-Nya penulis menyerahkan segala urusan dalam penyelesaian skripsi yang berjudul “Evaluasi Kebijakan Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa Perdagangan Crude Palm Oil (CPO) (Studi Kasus PT ABC)” yang dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Administrasi pada Program Studi Ilmu Administrasi Fiskal Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini, sangatlah sulit bagi penulis untuk dapat menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. Bambang Shergi Laksmono, MSc., selaku Dekan FISIP UI. 2. Dr. Roy V. Salomo, M.Soc.Sc., selaku
Ketua Departemen Ilmu
Administrasi. 3. Prof. Dr. Irfan Ridwan Maksum, MSi., selaku Ketua Program Sarjana Reguler dan Kelas Paralel Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI. 4. Umanto S.Sos., M.Si., selaku Sekertaris Program Sarjana Reguler dan Kelas Paralel Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI. 5. Dra. Inayati M.Si., selaku Ketua Program Studi Ilmu Administrasi Fiskal. Terima kasih atas perhatian dan nasihat yang diberikan selama perkuliahan. 6. Rini Gufraeni S.Sos., M.Si., selaku Penasehat Akademis dari penulis. Terima kasih atas bimbingan akademisnya selama perkuliahan. 7. Dikdik Suwardi, S.Sos, M.E, selaku Dosen Pembimbing. Terima kasih banyak atas bimbingan, pelajaran, kesabaran dan waktu yang telah diluangkan dari awal sampai terselesaikannya skripsi ini. 8. Seluruh Dosen Program Sarjana Reguler dan Kelas Paralel Departemen Ilmu Administrasi, khususnya jajaran Dosen Ilmu Administrasi Fiskal. Terima kasih atas ilmu-ilmu yang diberikan selama ini.
iv
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
v
9. Kedua Orang tua Penulis yang selalu mendukung tidak hanya secara materil, tetapi juga selalu mendoakan penulis agar dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Tidak lupa kepada Bonardo Cahyo Hapsoro Sianipar, adik Penulis yang tak henti-hentinya memberikan dukungan dan semangat selama penyusunan skripsi. 10. Seluruh
teman-teman
angkatan
2008,
khususnya
kelas
Paralel
Administrasi Fiskal. Terima kasih atas seluruh kenangan selama 4 tahun bersama yang tak akan terlupakan. 11. Teman-teman terdekat penulis selama berkuliah di FISIP UI, Indri Putri, Yosseane Widia, Nur Ilmisari, Linda Asri, Amelia Retno, Nita Prishela, Dina Uliana, Budi Bowo dan Gallantino Farman. Terima kasih atas semangat dan bantuannya selama perkuliahan. 12. Sahabat penulis yang selalu ada dalam suka dan duka, yaitu Rhesty Putri, Nurul Hikmah, Sekar Ayu, Tri Novia Maulani, dan Rizky Khairunnisa. 13. Bapak Untung Sukardji, S.H, M.Sc, yang sudah mau direpotkan dengan pertanyaan-pertanyaan penulis tentang PPN dan selalu dijawab dengan senang hati. 14. Bapak Anang Mury Kurniawan, SST., Ak., Bapak Tunas Hariyulianto, S.E., M.Si, Bapak Hariyanto dan Bapak Purwitohadi, terima kasih atas masukan-masukannya dan bersedia menjadi informan penulis dalam memahami permasalahan skripsi ini. 15. Semua pihak-pihak lain yang telah membantu menyelesaikan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini terdapat banyak kekurangan dan kesalahan dikarenakan keterbatasan yang dimiliki penulis. Oleh karena itu, penulis menerima kritik dan saran yang dapat dijadikan perbaikan di masa depan. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu.
Jakarta, Juni 2012
Ratna Hapsari Sianipar
v
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
vi
vi
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
vii
ABSTRAK
Nama : Program Studi : Judul :
Ratna Hapsari Sianipar Ilmu Administrasi Fiskal Evaluasi Kebijakan Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa Perdagangan Crude Palm Oil (CPO) (Studi Kasus PT ABC)
Skripsi ini membahas mengenai kebijakan Pajak Pertambahan Nilai atas jasa perdagangan Crude Palm Oil (CPO) dengan mengambil studi kasus dari PT. ABC. PT. XYZ merupakan salah satu perusahaan milik negara penghasil CPO, yang dimana dalam pemasaran CPO nya PT XYZ membentuk suatu badan pemasaran dengan sistem lelang bernama PT ABC. Transaksi Perdagangan CPO PT XYZ untuk tujuan ekspor harus melalui broker lokal sebagai peserta lelang CPO di PT ABC. Selain itu ada PT BBJ sebagai alternatif penjualan CPO PT XYZ. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif dan berbentuk deskriptif. Dalam teknik pengumpulan data, penulis melakukan studi pustaka dan wawancara mendalam. Peneliti memperoleh hasil bahwa PT ABC, broker lokal, dan PT BBJ melakukan jasa perdagangan. Dalam hal PT XYZ mengklaim ekspor CPO yang dimana pemenang lelang adalah broker lokal sebagai perwakilan pembeli diluar negeri, tidak dapat dikatakan sebagai ekspor karena broker lokal membentuk BUT yang bersifat keagenan. Kata Kunci: Pajak Pertambahan Nilai, Jasa Perdagangan, Crude Palm Oil
vii
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
viii
ABSTRACT
Name : Study Program : Title :
Ratna Hapsari Sianipar Fiscal Administration Evaluation of Value Added Tax Policy on Crude Palm Oil’s Trade Services (Case Study of PT ABC)
This thesis discusses the policy of value added tax on services trade in Crude Palm Oil (CPO) by taking a case study of PT. ABC. PT. XYZ is one of the stateowned producer of CPO, which is where the marketing of its CPO PT XYZ form a marketing agency with an auction system called PT ABC. CPO Commerce Transactions PT XYZ for export purposes must go through local brokers as bidders CPO on ABC. In addition there is an alternative which is PT BBJ for PT XYZ CPO sales. The research was conducted using a qualitative approach and descriptive form. In data collection techniques, the authors conducted a study literature and depth interviews. Researchers obtained results that PT ABC, a local broker, and PT BBJ to services trade. In the case of PT XYZ claims that palm oil exports in which the winning bidder was a local broker to represent buyers in foreign countries, can not be said to be export as a local broker that is formed BUT agency. Keywords : Value Added Tax, Trade Service, Crude Palm Oil
viii
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................ HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS.................................................. HALAMAN PENGESAHAN............................................................................... HALAMAN PERSEMBAHAN.................. ......................................................... KATA PENGANTAR ..................................................................... .................... HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ........ ................ ABSTRAK ........... ................................................................................................ ABSTRACT ........................................................... .............................................. DAFTAR ISI ................................................................ ........................................ DAFTAR TABEL .................................................. .............................................. DAFTAR GAMBAR .............................. ............................................................. DAFTAR LAMPIRAN ............................................ ............................................ 1. PENDAHULUAN .................................................... ...................................... 1.1 Latar Belakang Masalah ........................................................ ..................... 1.2 Pokok Permasalahan.................................................. .................................. 1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................................ 1.4 Signifikansi Penelitian ................................................................................ 1.4.1 Signifikansi Akademis ..................................................... .................. 1.4.2 Signifikansi Praktis ........................................................... ................. 1.5 Sistematika Penulisan ............................................................. .................... .
i ii iii iv v vii viii ix .x xii xiii xiv 1 1 6 6 7 7 7 7
2. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI ................................. 2.1 Tinjauan Pustaka ......................................................................................... 2.2 Kerangka Teori ............................................................................................ 2.2.1 Kebijakan Perpajakan ........................................................................ 2.2.2 Teori Evaluasi Kebijakan.................................................. ................. 2.2.3 Pajak Pertambahan Nilai .................................................................... 2.2.4 Karakteristik Pajak Pertambahan Nilai .............................................. 2.2.5 Yurisdiksi Pemajakan ........................................................................ 2.2.6 Tempat dan Waktu Terutangnya Pajak............................................... 2.2.7 Konsep Jasa ........................................................................................ 2.2.8 Penyerahan Jasa................................................................... .............. 2.2.9 Pengusaha Kena Pajak.......................................................... ............. 2.2.10 Bentuk Usaha Tetap (BUT) ..................................................... ....... 2.2.11 Ekspor..................................................................................... ......... 2.2.12 Prinsip Kepastian dalam Pemungutan Pajak....................... ............. 2.3 Kerangka Pemikiran ........................................................................... ........
9 9 17 17 18 19 20 21 23 26 26 27 28 30 31 34
3. METODE PENELITIAN ............................................................................. 3.1 Pendekatan Penelitian ............................................................... .................. 3.2 Jenis Penelitian ........................................................................................... 3.2.1 Jenis Penelitian Berdasarkan Tujuan........................ ................... ...... 3.2.2 Jenis Penelitian Berdasarkan Dimensi Waktu............................ ........ 3.2.3 Jenis Penelitian Berdasarkan Manfaat ......................... ......................
36 36 37 37 37 38
ix
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
x
3.3 Teknik Pengumpulan Data................................................................ .......... 3.3.1 Studi Literatur................................. ..................................... .............. 3.3.2 Wawancara Mendalam................................. ............................. ........ 3.4 Teknik Analisis Data ................................................................... ............... 3.5 Narasumber .................................................................................................. 3.6 Proses Penelitian ................................................................... ...................... 3.7 Site Penelitian ............................................................................................. 3.8 Keterbatasan Penelitian................................. .............................. ............... 4. GAMBARAN UMUM PERDAGANGAN CPO DAN PERLAKUAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS JASA PERDAGANGAN...................................................... .................................... 4.1 Penjualan CPO PT XYZ melalui PT ABC ............................ ..................... 4.2 Penjualan CPO melalui PT BBJ.................................................. ................ 4.3 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah............... .......... 4.4 Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-145/PJ./2010 tentang Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa Perdagangan…………... ... 5. ANALISIS KEBIJAKAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS JASA PERDAGANGAN CRUDE PALM OIL (CPO) ................... ........... 5.1 Transaksi-transaksi di dalam Perdagangan CPO PT XYZ terkait dengan Jasa Perdagangan……………………………………………… ... 5.1.1 Transaksi Perdagangan CPO PT XYZ oleh PT ABC…………… ..... 5.1.2 Transaksi Perdagangan CPO PT XYZ untuk Tujuan Ekspor oleh Broker Lokal sebagai Peserta Lelang CPO di PT ABC…………… 5.1.3 Transaksi Penjualan CPO PT XYZ oleh PT BBJ............................. .. 5.2 Kebijakan Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa Perdagangan CPO Ditinjau Berdasarkan Prinsip Kepastian................................................................. ... 5.3 Alternatif Kebijakan Pertambahan Nilai atas Jasa Perdagangan CPO... ..... 6. SIMPULAN DAN SARAN ................................................................. .......... 6.1 Simpulan .............................................................................................. ....... 6.2 Saran ........................................................................................................... DAFTAR REFERENSI ..................................................................................... LAMPIRAN DAFTAR RIWAYAT HIDUP
x
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
38 38 39 39 40 41 42 42
43 43 49 54 63
66 66 66 75 83 86 89 91 91 92 93
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1
Perkembangan Produksi Produk Perkebunan Utama 20092011...................................................................................... ......... Tabel 1.2. Produksi CPO di Indonesia Tahun 2008-2011.............................. . Tabel 2.1. Tabel Tinjauan Pustaka....................................................... .......... Tabel 4.1. Persyaratan Peserta Tender CPO di PT BBJ .................... ............
xi
3 4 11 49
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1
Produk Domestik Bruto (PDB) dan Penerimaan Pajak Sektoral Tahun 2005-2010 ........................................................................
2
Saluran Pemasaran CPO Indonesia menurut SKB 3 Menteri Nomor 275/KPB/XII/78 ..............................................................
5
Gambar 2.1
Siklus Pembuatan Kebijakan menurut William Dunn.......... ......
18
Gambar 2.2
Kerangka Pemikiran.............................. ......................................
35
Gambar 4.1
Saluran Pemasaran CPO Indonesia menurut SKB 3 Menteri Nomor 275/KPB/XII/78..................................................... .........
43
Gambar 4.2
Persyaratan Peserta Tender CPO Lokal dan Ekspor di PT ABC
46
Gambar 5.1
Skema Transaksi PT XYZ dan PT ABC dalam Perdagangan CPO 67
Gambar 5.2
Skema Transaksi Jasa Perdagangan CPO PT XYZ melalui PT ABC dalam SE-145/PJ/2010 .................................................
72
Gambar 5.3
Skema Peserta Lelang CPO di PT ABC ......................................
74
Gambar 5.4
Skema Tata Niaga ekspor CPO PT XYZ ....................................
75
Gambar 5.5
Skema Transaksi Penyerahan Jasa oleh Broker Lokal untuk Tujuan Ekspor .............................................................................
77
Gambar 1.2
xii
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1.
Pedoman Wawancara
Lampiran 2.
Hasil Wawancara dengan Hariyanto
Lampiran 3.
Hasil Wawancara dengan Purwitohadi
Lampiran 4.
Hasil Wawancara dengan Anang Mury Kurniawan
Lampiran 5.
Hasil Wawancara dengan Untung Sukardji
Lampiran 6.
Hasil Wawancara dengan Tunas Hariyulianto
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Di zaman globalisasi seperti sekarang ini pembangunan ekonomi jangka panjang tidak selalu harus diarahkan pada sektor industri, tetapi dapat juga diarahkan pada sektor lain, seperti sektor pertanian (Pahan, 2011, 1). Mengingat strategisnya pembangunan pertanian, maka pembangunan pertanian tidak hanya pada upaya meningkatkan ketahanan pangan, tetapi juga mampu untuk menggerakkan perekonomian nasional melalui kontribusinya dalam penyediaan bahan pangan, bahan baku industri, pakan dan bio-energi, penyerap tenaga kerja, sumber devisa negara dan sumber pendapatan masyarakat serta berperan dalam pelestarian lingkungan melalui praktik budidaya pertanian yang ramah lingkungan (Laporan Kinerja Kementrian Pertanian, 2011, 1). Sektor pertanian merupakan sektor ekonomi yang tangguh dalam menghadapi perkembangan ekonomi dunia, misalnya krisis yang dialami Indonesia. Dalam menghadapi krisis tersebut, sektor pertanian mampu untuk berkontribusi dalam ekonomi nasional dan daerah dengan pertumbuhan ekonomi positif (Yasin, 2003). Sektor pertanian juga merupakan sektor non migas yang mampu memberikan kontribusi kepada negara. Menurut Badan Pusat Statistik, pada tahun 2011 total ekspor Indonesia yang berasal dari sektor pertanian adalah sebesar 5.169,1 juta US $ atau menyumbang 2,54 % dari total ekspor non migas Indonesia yang berjumlah 203.616,7 juta US $. Berdasarkan data tersebut, dapat dikatakan bahwa sektor pertanian adalah salah satu penghasil devisa yang penting di Indonesia. Jika melihat dari segi kontribusi pada Produk Domestik Bruto (PDB) dan penerimaan pajak, sektor pertanian juga memiliki peranan yang tak kalah penting. Pada tahun 2011, Penerimaan Pajak dan PDB yang berasal dari sektor pertanian merupakan yang terbesar kedua setelah industri pengolahan. Hal tersebut dapat dilihat dari data dibawah ini:
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
2
Gambar 1.1 Produk Domestik Bruto (PDB) dan Penerimaan Pajak Sektoral Tahun 2005-2010
Sumber : Laporan Tahunan Direktorat Potensi Kepatuhan Dan Penerimaan, Direktorat Jenderal Pajak
Sektor pertanian dalam arti luas mencakup subsektor pertanian pangan, perkebunan, peternakan, perikanan, dan kehutanan. Subsektor perkebunan mempunyai kedudukan yang penting di dalam pengembangan pertanian baik pada tingkat nasional maupun regional. Hal ini dapat dilihat dari semakin luasnya lahan perkebunan dan meningkatnya produksi rata-rata pertahun, dengan komoditas utama kelapa sawit, kelapa, karet, kakao, tebu dan tanaman lainnya. Peluang pengembangan tanaman perkebunan semakin memberikan harapan, hal ini berkaitan dengan semakin kuatnya dukungan pemerintah terhadap usaha perkebunan rakyat, tumbuhnya berbagai industri yang membutuhkan bahan baku
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
3
dari produk perkebunan dan semakin luasnya pangsa pasar produk perkebunan (Ahmad,1998). Kelapa sawit sebagai tanaman penghasil minyak kelapa sawit (CPO-Crude Palm Oil) yang merupakan salah satu primadona tanaman perkebunan yang menjadi sumber penghasil devisa non-migas bagi Indonesia. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perkebunan, ekspor CPO Indonesia pada tahun 2010 adalah sebesar 9.444.170.400 kg atau sebesar US$ 7.649.965.932. Jika dibandingkan dengan produk perkebunan utama lainnya seperti karet, kelapa, kopi, kakao, tebu, dan teh, produksi CPO adalah yang terbesar dan selalu mengalami kenaikan tiap tahunnya. Hal tersebut dapat dilihat dari tabel berikut:
Tabel 1.1 Perkembangan Produksi Produk Perkebunan Utama Tahun 2009-2011 Jumlah (ton) Produk
2009
2010
2011
Karet
2.440.347
2.734.854
3.008.427
Minyak Kelapa Sawit /
19.324.293
21.958.120
22.508.011
Kelapa
3.257.969
3.166.666
3.203.632
Kopi
682.690
686.921
748.109
Kakao
809.583
837.918
712.231
Tebu
2.517.374
2.290.116
2.228.140
Teh
156.901
156.604
140.944
Crude Palm Oil (CPO)
Sumber : Laporan Data Statistik Perkebunan, Direktorat Jenderal Perkebunan
Cerahnya prospek komoditi CPO dalam perdagangan minyak nabati dunia telah mendorong pemerintah Indonesia untuk memacu pengembangan areal perkebunan kelapa sawit. Saat ini, di Indonesia, perkebunan kelapa sawit dikelola oleh tiga jenis pengusahaan, yaitu Perkebunan Rakyat (PR), Perkebunan Besar Swasta (PBS), dan Perkebunan Besar Negara (PBN). Pengelolaan perkebunan kelapa sawit di Indonesia saat ini masih didominasi oleh pihak swasta dikarenakan kepemilikan modal investasi yang besar sehingga mampu
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
4
mengembangkan potensi perkebunan kelapa sawit yang dimilikinya. Namun secara umum, dari tahun ke tahun, terjadi peningkatan produksi CPO dari masingmasing pengusahaan. Perkembangan produksi berdasarkan areal perkebunan dapat dilihat dari tabel berikut. Tabel 1.2 Produksi CPO di Indonesia Tahun 2008-2011 Produksi (ton) Perkebunan
Perkebunan
Perkebunan
Rakyat
Besar Negara
Besar Swasta
2008
6.923.042
1.938.134
8.678.612
17.539.788
2009
7.517.716
2.005.880
9.800.697
19.324.293
2010
8.458.709
1.890.503
11.608.907
21.958.120
2011
8.627.883
1.937.765
11.942.362
22.508.011
Tahun
Jumlah
Sumber: Laporan Data Statistik Perkebunan, Direktorat Jenderal Perkebunan
Produksi CPO Indonesia dihasilkan oleh Perkebunan Rakyat (PR), Perkebunan Besar Negara (PBN) dan Perkebunan Besar Swasta (PBS). Perkebunan Besar Negara (PBN) di Indonesia tergabung dalam PT XYZ yang memiliki status sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN). PT XYZ ini terdiri dari PT XYZ I-XIV dimana sebagian besar di antaranya mengusahakan komoditi kelapa sawit yang nantinya diolah menjadi CPO. Dalam pemasaran produk perkebunannya, baik pemasaran CPO lokal maupun ekspor, PT XYZ I-XIV membentuk suatu lembaga yang dikenal dengan nama PT ABC, yang memasarkan dengan cara auction atau lelang. PT XYZ sebagai pengusaha perkebunan milik negara tentunya berpengaruh penting dalam produksi CPO di Indonesia. Untuk meningkatkan efektifitas dalam produksinya maka pemerintah sejak dahulu telah membuat peraturan dalam tata niaga CPO, dimana syarat-syarat penyerahan CPO dari produsen kepada industri dilaksanakan berdasarkan SK Dirjen Perdagangan Dalam Negeri yang pada pokoknya mengatur harga dan cara penyerahan CPO dari produsen kepada industri pengolah menurut lokasi industri masing-masing.
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
5
CPO yang diperdagangkan berasal dari dua sumber, yaitu PT XYZ dan PT Swasta. Sesuai dengan kesepakatan diantara PT XYZ, pemasaran CPO yang berasal dari PT XYZ harus melalui PT ABC, baik untuk konsumen dalam negeri maupun luar negeri (Pahan, 2011, 38). Kilas balik praktik perdagangan CPO di Indonesia terjadi pada tahun 1991, dimana pemerintah melakukan deregulasi dengan Pakjun 1991 (3 Juni 1991) yang menghapus berbagai SKB 3 menteri sebelumnya. Pada intinya, sejak saat itu pemasaran CPO dari PT XYZ tetap dilakukan secara bersama melalui PT ABC, sedangkan untuk PT Swasta kebijakan pemasaran CPO-nya dilakukan oleh masing-masing perusahaan. Gambar 1.2 Saluran Pemasaran CPO Indonesia menurut SKB 3 Menteri Nomor 275/KPB/XII/78
Sumber : (Pahan, 2011, 39) (diolah peneliti)
Namun dikarenakan persaingan global komoditi CPO dianggap semakin ketat, sehingga pada tanggal 23 Juni 2009 dibentuklah pemasaran CPO dengan Pasar Fisik Terorganisir yang diselenggarakan oleh PT Bursa Berjangka (PT BBJ) untuk melaksanakan lelang fisik secara elektronik atau online. Peluncuran Pasar fisik yang juga merupakan hari pertama perdagangan fisik CPO diresmikan oleh dua menteri yaitu Menteri Negara BUMN dan Menteri Perdagangan RI. Dengan demikian pemasaran CPO PT XYZ tidak lagi hanya melalui PT ABC tapi juga
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
6
melalui PT BBJ. Penjual CPO di PT BBJ tidak hanya dari pihak PT XYZ namun juga PT Swasta bebas menjual CPO nya di PT BBJ. 1.2 Pokok Permasalahan Berdasarkan skema transaksi perdagangan CPO PT XYZ tersebut, maka dapat diketahui bahwa PT XYZ tidak menjual CPO nya langsung kepada pembeli, namun harus melalui badan pemasaran yaitu PT ABC, dan untuk tujuan ekspor harus melalui broker lokal yang mengikuti lelang CPO di PT ABC. Penjualan CPO PT ABC mulai tahun 2009 tidak harus melalui PT ABC lagi melainkan juga isa melalui PT BBJ. Dari skema-skema transaksi tersebut peneliti tertarik untuk meneliti fungsi-fungsi badan yang menjadi perantara tersebut masing-masing menurut konsep Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan peraturan-peraturan yang terkait. Di dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-145/PJ/2010 (yang selanjutnya disebut SE-145/PJ/2010) disebutkan bahwa jasa perdagangan adalah jasa yang diberikan oleh orang atau badan kepada pihak lain, dengan menghubungkan pihak lain tersebut kepada pembeli pihak lain itu, atau menghubungkan pihak lain tersebut kepada penjual barang yang akan dibeli pihak lain itu. Dengan demikian, jasa perdagangan dapat berupa jasa perantara, pemasaran, dan jasa mencarikan penjual dan pembeli. Berdasarkan pengertian tersebut, maka timbulah pertanyaan penelitian sebagaimana berikut: 1. Bagaimana transaksi-transaksi yang terjadi pada perdagangan CPO PT. ABC terkait dengan jasa perdagangan? 2. Bagaimana kebijakan Pajak Pertambahan Nilai atas jasa perdagangan CPO ditinjau berdasarkan prinsip kepastian? 3. Bagaimana alternatif kebijakan Pajak Pertambahan Nilai atas jasa perdagangan CPO? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjawab pertanyaan penelitian sesuai dengan pokok permasalahan yang telah dirumuskan peneliti, yaitu :
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
7
1. Menjelaskan transaksi-transaksi yang terjadi pada perdagangan CPO PT. ABC terkait dengan jasa perdagangan 2. Menjelaskan kebijakan Pajak Pertambahan Nilai atas jasa perdagangan CPO ditinjau berdasarkan prinsip kepastian 3. Menjelaskan alternatif kebijakan Pajak Pertambahan Nilai atas jasa perdagangan CPO 1.4 Signifikansi Penelitian 1. Signifikansi akademis Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat melengkapi dan memberikan konribusi pada penelitian sebelumnya mengenai Kebijakan Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa Perdagangan serta dapat menjadi literatur bagi akademisi untuk melengkapi wawasan dan pendalaman teori di bidang Pajak Pertambahan Nilai.
2. Signifikansi Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi instansi yang bersangkutan agar melaksanakan kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku, dan juga untuk Direktorat Jenderal Pajak, diharapkan dapat menjadi masukan dalam penyempurnaan ketentuan mengenai Pajak Pertambahan Nilai terkait dengan Jasa perdagangan CPO.
1.5 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari enam bab yang masing-masing terbagi menjadi beberapa sub-bab, agar dapat mencapai suatu pembahasan atas permasalahan pokok yang lebih mendalam dan mudah diikuti. Garis besar penulisan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
BAB 1
PENDAHULUAN Dalam bab ini penulis menjabarkan latar belakang permasalahan, pokok permasalahan, dan tujuan penulisan. Selain itu, dalam bab
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
8
ini
juga
diuraikan
mengenai
Signifikansi
Penelitian
dan
Sistematika Penulisan. BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI Dalam bab ini penulis menjabarkan teori dan pemikiran dari literatur yang berkaitan dengan masalah penelitian, dalam Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori, juga Kerangka Pemikiran.
BAB 3
METODE PENELITIAN Dalam bab ini akan dijabarkan mengenai metode penelitian yang terdiri dari Pendekatan Penelitian, Jenis atau Tipe penelitian, Metode dan Strategi penelitian, Narasumber/Informan, Proses Penelitian, Metode dan Strategi penelitian, Narasumber atau Informan, Proses penelitian, dan Keterbatasan penelitian.
BAB 4
GAMBARAN
UMUM
PERDAGANGAN
CPO
DAN
PERLAKUAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS JASA PERDAGANGAN Dalam bab ini akan dibahas gambaran umum perdagangan CPO PT ABC dan juga perlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa Perdagangan.
BAB 5
ANALISIS KEBIJAKAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS JASA PERDAGANGAN CRUDE PALM OIL (CPO) Dalam bab ini akan dibahas seluruh penjelasan mengenai informasi dan data yang telah dikumpulkan dan dikaitkan dengan cara berfikir peneliti mengenai kebijakan PPN atas jasa perdagangan Crude Palm Oil (CPO) studi kasus pada PT ABC.
BAB 6
SIMPULAN DAN SARAN Dalam
bab
ini
dikemukakan
kesimpulan
yang
diperoleh
berdasarkan uraian dan pembahasan pada bab-bab sebelumnya dan saran penulis sehubungan dengan permasalahan pokok yang ada.
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
9
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI
2.1 Tinjauan Pustaka Peneliti melakukan peninjauan terhadap penelitian-penelitian sebelumnya yang terkait dengan tema penelitian untuk dijadikan referensi. Penelitian yang dijadikan referensi pada tinjauan pustaka ini diambil dari 3 penelitian. Tinjauan pustaka ini digunakan untuk menjadi suatu bahan perbandingan penelitian yang akan dilakukan. Tinjauan kepustakaan yang pertama adalah sebuah penelitian yang berjudul
“Tinjauan
Pajak
Pertambahan
Nilai
atas
Penyerahan
Jasa
Perdagangan”, yang dilakukan oleh Gerry Octaviano (Ilmu Administrasi Fiskal, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Gerry mengangkat persoalan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-08/PJ.52/1996 mengenai jasa perdagangan yang menentukan bahwa pengenaan PPN didasarkan kepada tempat kedudukan/domisili pihak yang memanfaatkan jasa, namun tidak sejalan dengan ketentuan Pasal 1 angka 5 UU PPN tahun 2000 dan KMK Nomor: 302/KMK.04/1989 yang mengatur bahwa pengenaan PPN didasarkan kepada tempat dilakukannya (dikerjakannya) jasa tersebut secara fisik. Berdasarkan analisisnya di dalam Undang-Undang PPN tahun 2000, KMK No.302/KMK.04/1989, SE-08/PJ.52/1996, dan Surat Penegasan Direktorat Jenderal Pajak mengenai perlakuan PPN atas penyerahan jasa perdagangan telah menganut konsep destination principle. Penelitian yang kedua, yaitu penelitian berjudul “Analisis Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas Transaksi Lintas Negara Terkait dengan Jasa Perdagangan (Studi Kasus PT ABC dengan Japan Corporation)” yang dilakukan oleh Fitria Kurniawati Susilo (Ilmu Administrasi Fiskal, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2010). Penelitian yang dilakukan oleh Fitria mengangkat persoalan adanya perbedaan penafsiran dalam memberikan perlakuan PPN atas transaksi lintas negara terkait dengan jasa perdagangan yang dilakukan
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
10
PT ABC. Berdasarkan analisisnya perbedaan penafsiran tersebut dikarenakan adanya perbedaan terminology dalam hal perlakuan PPN atas jasa perdagangan yang dilakukan oleh PT ABC. Pengusaha Kena Pajak mengikuti terminologi pemanfaatan JKP yakni JKP dikenakan PPN berdasarkan atas konsumsi JKP, sedangkan aparat pajak mengikuti terminologi penyerahan, yaitu bahwa Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan jasa perdagangan di dalam Daerah Pabean terutang Pajak Pertambahan Nilai. Penelitian yang ketiga berjudul “Kebijakan Pajak Pertambahan Nilai atas Ekspor Jasa Perdagangan” oleh Sari Saraswati (Ilmu Administrasi Fiskal, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012). Penelitian ini berusaha untuk menganalisis perlakuan PPN atas jasa perdagangan dimana penerima jasa perdagangan berada di luar Daerah Pabean, namun dianggap sebagai penyerahan jasa perdagangan yang dilakukan di dalam Daerah Pabean. Pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah apa alasan Direktur Jenderal Pajak menetapkan ekspor jasa perdagangan sebagai penyerahan jasa perdagangan di dalam Daerah Pabean, bagaimana kebijakan Pajak Pertambahan Nilai atas ekspor jasa perdagangan ditinjau dari konsep taxable supplies, bagaimana perlakuan ekspor jasa perdagangan ditinjau dari konsep destination principle, dan bagaimana perlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas ekspor jasa menurut kelaziman internasional. Perbedaan dengan penelitian sebelumnya adalah dalam penelitian ini peneliti mengambil dari sebuah studi kasus PT XYZ dimana dalam mekanisme perdagangan CPO nya ternyata tidak langsung kepada pembeli, namun harus melalui PT ABC, lalu broker lokal sebagai pembeli di PT ABC untuk CPO tujuan ekspor. Lalu pada 2009 tidak harus melalui PT ABC lagi untuk penjualannya namun dapat melalui PT BBJ. Dari 3 transaksi tersebut peneliti lalu mengkaitkannya dengan jasa perdagangan yang dimana saat ini diatur di dalam SE-145/PJ/2010, yang kemudian peneliti tinjau berdasarkan prinsip kepastian juga konsep PPN, dimana ada perbedaan penafsiran dalam mendefinisikan jasa perdagangan di kalangan praktisi dan akademisi. Berikut tabel dibawah ini, perbandingan penelitian skripsi ini dengan penelitian sebelumnya:
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
11
Tabel 2.1 Tabel Tinjauan Pustaka
Peneliti Pertama 1. Nama 2. Judul
3. Tahun 4. Tujuan
Peneliti Kedua
Gerry Octaviano
Fitria Kurniawati
Tinjauan Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Jasa Perdagangan
2008 1. Menganalisis perlakuan PPN atas jasa perdagangan di dalam Undang-Undang PPN tahun 2000. 2. Menganalisis perlakuan PPN atas penyerahan jasa perdagangan di dalam KMK No.302/KMK.04/1989. 3. Menganalisis perlakuan PPN atas penyerahan jasa perdagangan di dalam SE08/PJ.52.1996.
Peneliti Ketiga Sari Saraswati
Analisis Perlakuan Pajak Kebijakan Pajak Pertambahan Nilai atas Pertambahan Nilai atas Transaksi Lintas Negara Ekspor Jasa perdagangan Terkait dengan Jasa Perdagangan (Studi Kasus PT ABC dengan Japan Corporation)
Penelitian yang dilakukan Ratna Hapsari Sianipar Kebijakan Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa Perdagangan Crude Palm Oil (CPO) (Studi Kasus PT ABC)
2010 2012 2012 1. Mengetahui latar 1. Menjelaskan kebijakan 1. Menjelaskan belakang perbedaan Pajak Pertambahan transaksi-transaksi penafsiran dalam Nilai atas ekspor jasa yang terjadi pada memberikan perdagangan ditinjau perdagangan CPO PT perlakuan PPN atas dari konsep taxable ABC terkait dengan transaksi lintas negara supplies jasa perdagangan terkait dengan jasa 2. Menjelaskan 2. Menjelaskan perdagangan yang perlakuan ekspor jasa kebijakan Pajak dilakukan oleh PT perdagangan ditinjau Pertambahan Nilai ABC. dari konsep atas jasa perdagangan 2. Mengetahui destination principle CPO ditinjau perlakuan PPN atas 3. Menjelaskan berdasarkan prinsip
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
Universitas Indonesia
12
5. Pendekatan penelitian 6. Jenis penelitian 7. Teknik pengumpulan data 8. Hasil yang diperoleh
4. Menganalisis perlakuan PPN atas jasa perdagangan di dalam Surat Penegasan Direktorat Jenderal Pajak.
Transaksi yang dilakukan oleh PT ABC terkait dengan perbedaan penafsiran ditinjau dari konsep PPN 3. Mengetahui peranan pihak penerima jasa yang memiliki BUT dalam Perlakuan PPN atas transaksi lintas negara terkait jasa perdagangan yang dilakukan oleh PT ABC
perlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas ekspor jasa menurut kelaziman internasional
kepastian 3. Menjelaskan alternatif kebijakan Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa Perdagangan CPO
Kuantitatif
Kualitatif
Kuantitatif
Kualitatif
Deskriptif
Deskriptif
Deskriptif
Deskriptif
Studi Pustaka dan Wawancara
Studi Pustaka dan Wawancara
Studi Literatur dan Wawancara
Studi Literatur dan Wawancara
1. Di dalam Undang-Undang PPN tahun 2000, perlakuan PPN atas penyerahan jasa perdagangan menganut destination principle/pronsip
1. Perbedaan Penafsiran dalam perlakuan PPN atas transaksi lintas negara terkait dengan jasa perdagangan PT
1. Alasan Direktur Jenderal Pajak menetapkan ekspor jasa perdagangan sebagai penyerahan
1. Transaksi-transaksi yang terkait dengan jasa perdagangan terkait dengan jasa perdagangan CPO
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
Universitas Indonesia
13
tujuan 2. Di dalam KMK No.302/MKM.04/1989, perlakuan PPN atas penyerahan jasa perdagangan menganut destination principle/tempat tujuan 3. Di dalam SE-08/PJ.52/1996, perlakuan PPN atas penyerahan jasa perdagagan menganut destination principle/ tempat tujuan\ 4. Di dalam Surat Penegasan Direktorat Jenderal Pajak, perlakuan PPN atas penyerahan jasa perdagangan menganut destination principle/prinsip tempat tujuan
ABC adalah adanya perbedaan terminologi, dimana PKP mengikuti terminologi pemanfaatan JKP yakni JKP dikenakan PPN berdasarkan atas konsumsi JKP, sedangkan aparat pajak mengikuti terminologi penyerahan, yaitu bahwa PKP yang melakukan penyerahan jasa perdagangan di dalam daerah pabean terutang PPN. 2. Perlakuan PPN ata stransaksi Jasa Perdagangan PTABC ditinjau dari konsep PPN adalah terutang PPN. Hal tersebut berdasarkan pada prinsip kewenangan PPN dimana
jasa perdagangan di dalam Daerah Pabean, antara lain adalah bahwa DJP menganggap ekspor JKP merupakan hal yang baru yang diatur dalam undang-undang PPN No. 42 tahun 2009. DJP belum dapat menetapkan tarif 0% untuk keseluruhan ekspor jasa, khususnya ekspor jasa perdagangan karena belum adanya sistem pengawasan yang memadai untuk mengawasi transaksi jasa , khususnya jasa perdagangan ke luar Daerah Pabean. Hal itu disebabkan jasa perdagangan yang bersifat intangible dan tidak melekat pada barang. Apabila ekspor jasa
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
studi kasus PT ABC ada tiga pihak pengusaha, yaitu adalah yang dilakukan oleh PT ABC, broker lokal dan PT BBJ. Yang pertama adalah jasa pemasaran untuk mencarikan pembeli melalui sistem lelang yang diberikan PT ABC kepada PT XYZ. Jasa tersebut dapat dikatakan sebagai jasa perdagangan dan atas jasa tersebut PT ABC mendapatkan fee dari PT XYZ sebesar 0,5 persen dari harga jual. Lalu yang kedua adalah broker lokal dengan pembeli di luar negeri. Broker lokal mendapat fee jasa perantara sebagai representative, terutang PPN menurut SE-145/PJ/2010.
Universitas Indonesia
14
Indonesia menganut prinsip destination principle dengan berdasarkan atas tempat konsumsi JKP. Dalam hal penentuan tempat konsumsi jasa atau tempat terutangnya PPN adalah melihat tempat penyerahan JKP tersebut yakni dimana jasa tersebut dilakukan. 3. Latar belakang adanya BUT dalam lingkup PPN atas jasa perdagangan antara lain adalah BUT merupakan satu entitas tersendiri dalam ruang lingkup PPN yaitu sebagai subjek pajak dalam daerah pabean yang merepresentasikan pihak yang berada di luar daerah pabean.
perdagangan dikenakan 0%, hal ini tidak sesuai dengan asas pemungutan pajak asas revenue productivity dan asas efficiency. 2. Kegiatan jasa perdagangan sudah sesuai dengan konsep taxable supplies, karena jasa perdagangan sudah memenuhi syaratsyarat suatu penyerahan jasa yang dikenakan PPN antara lain transaksinya merupakan transaksi penyerahan jasa, penyerahannya tidak termasuk jenis jasa yang tidak dikenai PPN sebagaimana diatur dalam pasal 4A ayat (3) UU No. 42 tahun 2009, penyerahan jasa
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
Kegiatan broker lokal tersebut menimbulkan BUT tipe keagenan, sehingga transaksi lelang tersebut seharusnya dikategorikan sebagai penyerahan di dalam negeri bukan ekspor. Yang ketiga adalah jasa yang diberikan PT BBJ, yang bisa disamakan dengan jasa pelayanan transaksi bursa efek. Jasa ini juga dapat dikategorikan sebagai jasa perdagangan dalam SE145/PJ/2010, yang dimana fee dibayar pemenang lelang dan penjual atas biaya transaksi sebesar satu rupiah per kg, sudah termasuk PPN. 2. Implementasi kebijakan PPN atas
Universitas Indonesia
15
Kedua adalah adanya pengadopsian dari salah satu prinsip dalam Pajak Penghasilan, yaitu prinsip force of attraction. Dan pendapat ketiga adalah bahwa tidak seharusnya ada persyaratan BUT dalam perlakuan PPN atas transaksi lintas negara jasa perdagangan. Pendefinisan BUT dalam hal ini adalah nerdasarkan tax treaty, karena kedudukan P3B adalah lex specialis terhadap UU domestic. Peranan BUT Japan Corporation dalam hal perlakuan PPN terkait PT ABC adalah bahwa kantor
dilakukan oleh jasa perdagangan CPO Pengusaha Kena Pajak tidak memberikan (taxable person), dan kepastian hukum penyerahan dilakukan karena terjadi dalam rangka kegiatan multitafsir di kalangan usaha atau praktisi dan akademisi pekerjaannya dan mengenai pengertian bukan bagian dari hobi jasa perdagangan itu atau aktivitas non sendiri, dimana di bisnis lainnya. dalam SE-145/PJ/2010 3. Ekspor jasa dijelaskan hanya jasa perdagangan yang untuk menghubungkan dianggap sebagai penjual dan pembeli penyerahan jasa yang dapat berupa jasa perdagangan di dalam perantara, pemasaran, Daerah Pabean dan mencarikan sebagaimana penjual dan pembeli, disebutkan dalam SEdimana jasa perantara 145/PJ/2010 butir c, d, dan jasa pemasaran dan e tidak sesuai dalam prakteknya dengan destination bermacam-macam, principle. Hal ini bahkan dapat melalui disebabkan karena mekanisme lelang. ekspor jasa 3. Alternatif kebijakan perdagangan tersebut menurut peneliti atas terutang PPN sebagai jasa perdagangan CPO penyerahan jasa seperti kasus PT ABC perdagangan di dalam adalah bagaimana bila
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
Universitas Indonesia
16
perwakilan Japan Daerah Pabean, Corp di Indonesia dan sehingga dikenakan PT ABC selaku agen PPN dengan tarif 10%. jasa perdagangan 4. Sebagian besar negara Japan corp bukan di Asia Pasifik sudah BUT untuk kegiatan menganut destination sebagaimana yang principle atas ekspor tercantum dalam jasa yaitu ditunjukan kontrak perjanjian dengan pengenaan PPN dengan tarif 0% atas kegiatan ekspor jasa. Negara-negara tersebut antara lain adalah Filipina, Taiwan, Vietnam, Australia, Malaysia, New Zealand, dan Thailand.
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
dikategorikan sebagai penyerahan kepada juru lelang yang ada pada pasal 1A UU PPN, dimana penyerahannya terutang PPN, sehingga atas kegiatan lelang yang dilakukan oleh PT ABC lalu broker lokal sebagai peserta lelang itu bisa disebut penyerahan BKP di dalam daerah pabean. Sebagaimana diatur oleh Peraturan Kementrian Keuangan Nomor 75/PMK.03/2010, maka dasar pengenaan pajak nilai lain yaitu sebesar 10 persen dari harga lelang.
Universitas Indonesia
2.2 Kerangka Teori 2.2.1. Kebijakan Perpajakan (Tax Policy) Kebijakan pajak adalah salah satu bentuk kebijakan negara di bidang perpajakan. Devereux, dalam bukunya yang berjudul The Economic of Tax Policy, menyatakan hal sebagai berikut: “Tax policy is not just about encouraging good things and discouranging bad things. Nor is it just about rising the required revenue with the minimum amount of distortion to economic activity, and with the minimum cost of collection. It is also about fairness.” (Devereux, 1996, 3) Dari pernyataan diatas secara jelas menyatakan bahwa kebijakan pajak tidak hanya selalu mengenai peningkatan penerimaan negara dengan biaya sekecil-kecilnya, tapi juga melihat dari sisi keadilan. Artinya kebijakan pajak tidak dapat ditetapkan secara sembarangan, harus melihat juga bagaimana keadaan ekonomis dan faktor-faktor penting lainnya. Kebijakan pajak akan adil apabila kebijakan tersebut diterapkan untuk seluruh jenis pajak dan bukan hanya kebijakan untuk salah satu jenis pajak saja. Kebijakan pajak merupakan kebijakan fiskal dalam arti yang sempit. Kebijakan fiskal adalah kebijakan yang menggunakan instrumen pemungutan pajak dan pengeluaran belanja negara untuk mempengaruhi produksi masyarakat, kesempatan kerja dan inflasi. Kebijakan pajak menurut Mansury adalah kebijakan yang berhubungan dengan penentuan apa yang dijadikan tax base, siapa-siapa yang dikenakan pajak, siapa-siapa yang dikecualikan, bagaimana menentukan besarnya pajak yang terhutang dan bagaimana menentukan prosedur pelaksanaan kewajiban pajak terhutang (Mansury, 1999, 1). Kebijakan perpajakan dapat dirumuskan sebagai: 1. Suatu pilihan atau keputusan yang diambil oleh pemerintah dalam rangka menunjang penerimaan negara dan menciptakan kondisi ekonomi yang kondusif. 2. Suatu tindakan pemerintah dalam rangka memungut pajak, guna memenuhi kebutuhan dana untuk keperluan negara. 3. Suatu keputusan yang diambil pemerintah dalam rangka meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak untuk digunakan menyelesaikan kebutuhan dana bagi negara (Marsuni, 2006, 37).
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
18
2.2.2 Teori Evaluasi Kebijakan Dunn membagi siklus pembuatan kebijakan dalam lima tahap, yaitu tahap pertama ialah tahap penyusunan agenda, tahap kedua melalui formulasi kebijakan, tahap ketiga berupa adopsi kebijakan, tahap keempat merupakan implementasi kebijakan dan tahap terakhir adalah tahap penilaian atau evaluasi kebijakan (Dunn, 1994). Kelima tahap yang menjadi urut-urutan (hierarki) kesemuanya perlu dikelola dan dikontrol oleh pembuat yang sekaligus pelaksana kebijakan publik.
Gambar 2.1 Siklus Pembuatan Kebijakan menurut William Dunn
Penyusunan Agenda
Formulasi Kebijakan
Adopsi Kebijakan
Implementasi Kebijakan Penilaian/Evaluasi Kebijakan Sumber : Dunn, 1994
Dunn merumuskan ada 5 tahap dalam membuat kebijakan (public policy) yaitu, pertama penyusunan agenda kebijakan, kedua penyusunan formula kebijakan (sanse policy), ketiga penerapan kebijakan (policy implementation). Keempat proses evaluasi, kelima tahap penilaian atau evaluasi kebijakan.
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
19
2.2.3 Pajak Pertambahan Nilai Pengertian Pajak Pertambahan Nilai dalam Bahasa Indonesia diambil dari istilah value-added tax. Namun ternyata nama value-added tax bukanlah istilah yang universal. Istilah tersebut bersumber dari dua bentuk istilah berbahasa Inggris, yaitu value added tax dan value-added tax. Apabila dilihat dari sumber istilah aslinya yang berbahasa Prancis, nama yang cocok adalah added value tax. Adanya kesulitan untuk menerjemahkan secara harafiah, menjadikan istilah value added tax berbeda-beda pada beberapa negara. Hal itu mempengaruhi legal system pemungutan di negara tersebut (Thuronyi, 1996, 4-5). Di Indonesia sendiri, Value Added Tax dikenal dengan Pajak Pertambahan Nilai. Pengertian Value Added, menurut Alan Tait adalah sebagai berikut: “Value Added is the value that a producer (whether a manufacturer, distributor, advertising agent, hairdresser, farmer, race horse trainer or circus owner) adds to his raw material or purchases (other than labor) before selling the new or improved product or service. That is, the inputs (the raw materials, transport, rent advertising and so on) are bought, people are paid wages to work on these inputs and, when the final good and service is sold, some profits is left. So value added can be looked at from the additive side (wages plus profits) or from the subtractive side (output minus inputs)” (Tait, 1998, h. 4). Berdasarkan pengertian yang dipaparkan oleh Alan Tait diatas, maka value added dapat dilihat dari dua sisi. Hal tersebut dapat dilihat dari formula di bawah ini: Value Added = Wages + Profits = Output – Input
Dari pengertian di atas, maka pajak atas pertambahan nilai tersebut dinamakan Value Added Tax. Menurut Melville di dalam bukunya, Value Added Tax (VAT) dinyatakan sebagai sebuah pajak tidak langsung yang dikenakan atas penyerahan atas bermacam-macam barang dan jasa, dimana prinsip dasarnya adalah suatu pajak yang harus dikenakan pada setiap proses produksi dan distribusi tetapi jumlah pajak yang terutang dibebankan kepada konsumen akhir yang memakai produk tersebut (Melville, 2001, 467). Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
20
Smith dkk mendefinisikan Value Added Tax (VAT) sebagai berikut: “The VAT is tax on the value added by a firm to its products in the course of its operation. Value Added can be viewed either as the difference between a firm’s, sales and its purchase during an accounting period or as the sum of its wages, profits, rent, interest and other payments not subject to the tax during that period (Rosdiana dan Tarigan, 2005, 215).” Berdasarkan pengertian yang diutarakan oleh Smith, VAT dapat dilihat sebagai selisih antara penjualan dan pembelian yang dilakukan oleh sebuah perusahaan dalam suatu periode akuntansi tertentu. 2.2.4 Karakteristik Pajak Pertambahan Nilai Legal character dari PPN secara umum dapat digambarkan sebagai berikut, seperti yang dikemukakan oleh Rosdiana, Irianto, dan Putranti, yaitu: 1. General tax PPN merupakan pajak atas konsumsi yang bersifat umum (Rosdiana, Irianto, & Putranti, 2011, 44). Pengertian secara umum ini untuk membedakan PPN dengan pajak atas konsumsi secara khusus, yaitu cukai. PPN merupakan pajak yang bersifat umum karena ditujukan untuk semua pengeluaran masyarakat secara keseluruhan, tanpa membedakan pengeluaran tersebut berupa barang atau jasa, yang terpenting pengeluaran tersebut adalah untuk konsumsi. Dikutip oleh Rosdiana, Irianto, dan Putranti dalam buku Teori Pajak Pertambahan Nilai, ditegaskan oleh Terra “a sales tax is a general tax on consumption”, artinya bahwa PPN merupakan pajak atas konsumsi yang bersifat umum, yang dikenakan pada semua pengeluara privat. Sebagai konsekuensinya maka tidak boleh ada diskriminasi. (Rosdiana, Irianto, & Putranti, 2011, 44) 2. Indirect tax PPN merupakan salah satu pajak tidak langsung (indirect tax). Pajak tidak langsung dapat diartikan sebagai pajak yang tidak dibebankan secara langsung kepada satu pihak, tetapi dapat dialihkan kepada pihak lain. Peralihan pajak ini dapat berbentuk forward shifting, yaitu peralihan pajak ke saluran distribusi, selanjutnya sampai dengan konsumen yang menjadi sasaran akhir pajak. Peralihan semacam inilah yang membedakan indirect tax dengan direct tax. Pajak tidak langsung ditanggung oleh konsumen, tetapi yang memungut, menyetorkan, dan
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
21
melaporkan pajak yang terutang adalah Pengusaha Kena Pajak (Rosdiana dan Tarigan, 2005, 69). Pada pajak langsung akan berlangsung shifting backward, dimana pajak akan ditanggung oleh produsen dan tidak akan mempengaruhi harga jual konsumen. Tetapi pajak tidak langsung akan dilakukan shifting forward, dimana pajak akan dialihkan pada konsumen.
3. On consumption Pajak Pertambahan Nilai merupakan pajak atas konsumsi (tax on consumption). Konsumsi yang dimaksudkan adalah pengeluaran yang dilakukan, tanpa membedakan apakah konsumsi tersebut digunakan sekaligus maupun digunakan secara bertahap. Dalam pengertian konsumsi, meliputi baik barang berwujud maupun barang tidak berwujud serta jasa. Sebagai pajak atas konsumsi maka PPN dikenakan terhadap penyerahan dalam negeri dan juga impor.
4. Non cummulative PPN merupakan pajak yang tidak bersifat kumulatif karena dikenakan atas nilai tambah. Hal ini menjadi kelebihan PPN dibandingkan dengan pajak penjualan. Tidak bersifat kumulatifnya PPN dikarenakan adanya sistem pengkreditan, sehingga pajak di mata rantai sebelumnya tidak dikalkulisasikan ke dalam harga jual.
2.2.5 Yuridiksi Pemajakan Dalam teori pajak atas lalu lintas barang dan jasa, terdapat dua prinsip yang berkaitan dengan yuridiksi atau kewenangan pemungutan pajak, yaitu prinsip asal tempat barang (origin principle) dan prinsip tujuan (destination principle) (Rosdiana dan Tarigan, 2005, 148).
1. Prinsip asal tempat barang (origin principle) Menurut Ben Terra, dalam prinsip asal tempat barang (origin principle), negara yang berhak mengenakan pajak adalah negara dimana barang diproduksi atau dimana barang tersebut berasal (Terra, 1988, 13
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
22
Prinsip origin principle juga dikemukakan oleh beberapa ahli perpajakan yang lain antara lain Gillis berpendapat bahwa suatu Pajak Pertambahan Nilai dikatakan menggunakan prinsip asal tempat barang (origin principle) bila Pajak Pertambahan Nilai tersebut dikenakan atas seluruh barang-barang yang diproduksi di dalam negeri, termasuk barang-barang yang selanjutnya diekspor, tetapi tidak dikenakan atas seluruh barang-barang yang diproduksi di dalam negeri, termasuk barang-barang yang selanjutnya diekspor, tetapi tidak dikenakan atas barangbarang yang diproduksi di luar negeri yang diimpor dan dijual di dalam negeri. “a VAT is said to use the origin principle when it taxes value that is added domestically to all goods, including goods that are subsequently exported, but does not tax value that has been added abroad and is embodied in foods that are imported and sold domestically (Gillis, Shoup, & Sicat, 1990, 7).” Selain itu Alan Tait menyatakan bahwa dalam prinsip asal tempat barang (origin principle). Pajak Pertambahan Nilai dibebankan atas pertambahan nilai (value added) yang dihasilkan dari kegiatan bisnis yang ada di dalam kewenangan pemajakan (the taxing jurisdiction), tanpa memperhatikan dimana barang-barang tersebut dikonsumsi. Pajak Pertambahan Nilai tidak dikenakan atas impor, tetapi dikenakan atas ekspor. “a VAT must include jurisdictional rules governing international transactions. The Jurisdictional rules may be based on the origin or the destination principle. Under the origin principle, tax is imposed on value added from business activity within the taxing jurisdiction, regardless, of where the goods are consumed. VAT is not imposed on imports, nor is it rebated on exports (Tait, 1998, 223).” 2. Prinsip tujuan (destination principle) Menurut Ben Terra, berdasarkan prinsip tujuan (destination principle), negara yang berhak mengenakan pajak adalah negara dimana barang tersebut dikonsumsi. Jika barang diimpor maka akan kena pajak, tetapi jika barang diekspor maka tidak akan dikenakan pajak (Terra, 1988, 13). Prinsip tujuan yang dikemukakan oleh Ben Terra di atas, sejalan dengan pendapat beberapa ahli perpajakan antara lain Gillis menyatakan bahwa berdasarkan prinsip tujuan, Pajak Pertambahan Nilai dikenakan oleh negara tempat konsumsi barang-barang.
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
23
“It taxes all value added, at home and abroad, to all goods that as their destination the consumers of that country (Gillis, Shoup, & Sicat, 1990, 7).” Selain itu Alan Tait menyatakan bahwa seluruh sistem Pajak Pertambahan Nilai saat ini didasarkan pada prinsip tujuan (destination principle), yaitu pada garis perbatasan fiskal (fiscal frontiers) harus diyakinkan bahwa atas ekspor tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai secara penuh, artinya tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai dan tidak mengandung nilai Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar di dalam negeri, dan Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas impor. “All present VAT Systems are based on the destination principle, where fiscal frontiers must be maintaid to ensure that exports are fully rebated for the VAT paid in the exporter’s domestic market and where the VAT rates appropriate to the importer’s home market can be applied (Tait, 1998, 223).” Selanjutnya Alan Schenk menyatakan bahwa berdasarkan prinsip tujuan, Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas barang-barang dan jasa yang dikonsumsi di dalam Daerah Pabean (taxing jurisdiction), tanpa memperhatikan dimana barang dan jasa tersebut dikonsumsi. Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas impor untuk konsumsi di dalam negeri dan tidak dikenakan atas ekspor untuk dikonsumsi di negara lain. “Under the destination principle, VAT is imposed on goods and services consumed in the taxing jurisdiction, regardless of where they are produces. VAT is imposed on imports for consumption in the United States, and VAT is rebated on exports to be consumed elsewhere (Tait, 1998, 223).” Berdasarkan prinsip ini negara yang berhak mengenakan PPN adalah negara dimana barang dan/atau jasa tersebut dikonsumsi, termasuk atas barang dan/atau jasa yang diproduksi di luar negeri yang diimpor dan dikonsumsi di dalam negeri. Sebaliknya jika barang dan/atau jasa diekspor maka tidak akan dikenai PPN. Hampir seluruh negara saat ini menggunakan destination principle karena lebih netral untuk perdagangan internasional. Hal ini dilakukan dalam rangka harmonisasi perpajakan demi terciptanya suatu iklim perdagangan internasional yang fair dan netral (Rosdiana dan Tarigan, 2005, 7). 2.2.6 Tempat dan Waktu Terutangnya Pajak Sebuah barang dianggap sebagai suatu penyerahan apabila barang tersebut didistribusikan kepada customer, dimana barang tersebut berada di suatu lokasi Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
24
secara fisik (Tait, 1998, 371). Jika barang tersebut berada di luar negeri ketika didistribusikan, maka penyerahan tersebut merupakan penyerahan di luar lingkup PPN. Namun, apabila barang tersebut diimpor maka atas penyerahan tersebut menjadi terhutang PPN atas impor. Apabila suatu barang dirakit, maka tempat penyerahannya adalah tempat dimana perakitan tersebut dilakukan. Pada dasarnya, menurut Dora Hancock, waktu terutangnya pajak atas penyerahan barang (supply of goods) terbagi atas: -
Apabila suatu barang dipindahkan, maka terutangnya pada saat dipindahkan.
-
Apabila sebuah barang tidak untuk dipindahkan, maka waktu terutangnya adalah pada waktu barang tersebut dibuat agar tersedia untuk orang-orang, yang nantinya barang tersebut akan diserahkan.
-
Apabila suatu barang dipindahkan sebelum diketahui apakah penyerahan akan berlangsung atau tidak, maka waktu terutangnya adalah ketika suatu penyerahan sudah pasti berlangsung (Hancock, 1994, 296). Menurut Alan Tait, terdapat dua pilihan dalam menentukan tempat
penyerahan jasa. Pertama adalah Negara tempat diterimanya jasa tersebut (received) dan yang kedua adalah Negara tempat dibuatnya jasa tersebut (performed) (Tait, 1998, 391). Berdasarkan kategori yang pertama, penyerahan jasa yang terutang PPN hanyalah jasa yang diterima/dikonsumsi di dalam negeri. Berdasarkan kategori yang kedua, PPN terutang di Negara tempat dibuatnya jasa tersebut, tanpa melihat dimana jasa tersebut akan dikonsumsi. 2.2.7 Konsep Jasa Jasa perdagangan termasuk dalam kategori produk jasa. Untuk mempermudah membedakan produk nyata dengan jasa maka peneliti sajikan empat karakteristik jasa: a) Intagibility (tidak berwujud) Jasa tidak berwujud, tidak dapat dilihat, dicicipi, dirasakan, dan didengar, sebelum jasa tersebut dibeli. b) Inseparability (tidak terpisahkan) Jasa tidak dapat dilepas dari penyediaannya, baik itu orang atau mesin. Suatu jasa tidak dapat diletakkan di rak dan dibeli oleh pembeli kapan
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
25
saja mereka
butuh. Jasa memerlukan adanya penyedia jasa. Melakukan
pemasaran produk, membutuhkan perusahaan jasa perdagangan. c) Variability (keragaman) Jasa itu sangat beragam, karena tergantung pada siapa yang menyediakan dan kapan serta dimana disediakannya. d) Perishability (tidak dapat disimpan) Jasa tidak dapat disimpan. Karena itu banyak dokter tetap menagih pasien yang tidak muncul sebagaimana dijanjikan, sebab nilai jasa mudah rusak bukanlah merupakan masalah, kalau permintaan itu bersifat teratur, karena sangat mudah mengatur pelayanan sebelumnya. Apabila permintaan mengalami fluktuasi, perusahaan jasa mengalami masalah yang sulit ( Kotler, 1996, 466). Sejumlah pakar mendefinisikan jasa secara berbeda, sebagai berikut: a) Menurut Kotler, jasa adalah setiap tindakan atau kegiatan yang dapat ditawarkan oleh satu pihak kepada pihak lain, pada dasarnya tidak berwujud dan tidak mengakibatkan kepemilikan apapun. Produksi jasa bisa berkaitan dengan produk fisik atau sebaliknya (Lupiyoadi dan Hamdani, 2006). b) Lovelock sebagaimana dikutip Tjiptono dan Chandra, memandang jasa sebagai sebuah sistem. Setiap bisnis jasa dipandang sebagai sebuah sistem yang terdiri atas dua komponen utama, sebagai berikut: -
Operasi jasa (service operation), dimana masukan (input) diproses dan elemen-elemen produk jasa diciptakan.
-
Penyampaian jasa (service delivery), dimana elemen-elemen produk jasa tersebut dirakit, diselesaikan dan disampaikan kepada pelanggan. Sebagian sistem ini terlihat (visible) oleh pelanggan (sering disebut
pula
front
office atau frontstage), sementara sebagian lainnya tidak
tampak atau bahkan tidak diketahui keberadaannya oleh pelanggan (back office atau backstage) (Tjiptono dan Chandra, 2005).
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
26
2.2.8 Penyerahan Jasa Penyerahan Jasa sebagai Objek yang dikenakan PPN (Supply of Service) Hukum PPN jarang memisahkan definisi mengenai penyerahan. Penyerahan terjadi apabila ada sebuah transaksi atau kegiatan yang bersangkutan dengan taxable person, dimana pihak tersebut menerima pembayaran atas transaksi atau kegiatan yang dilakukan tersebut. Hal tersebut menjelaskan konsep mengenai PPN dalam arti luas. Sedangkan dalam arti sempit, setiap penyerahan yang membatasi pengertian dari penyerahan atau jasa akan mengeluarkan aktivitasaktivitas ekonomi dari ruang lingkup PPN. Objek yang dikenakan PPN tidak hanya atas barang saja, tetapi juga mencakup atas jasa. Karena konsep dari taxable supplies sendiri sebenarnya adalah penyerahan barang kena pajak yang dapat berupa barang berwujud dan barang tidak berwujud serta barang bergerak dan barang tidak bergerak, juga termasuk didalamnya atas penyerahan jasa. Jadi, berbagai penyerahan baik BKP maupun JKP yang dipilih untuk dijadikan taxable supplies akan terkena Pajak Pertambahan Nilai. Pada dasarnya pengidentifikasian jasa merupakan hal yang sulit untuk dilakukan bila dibandingkan dengan barang. Pengidentifikasian jasa biasanya dilakukan dengan melihat hal yang tersisa (residual), tidak dengan individual itemization. Hal ini berarti setiap penyerahan atau aturan yang mengatakan hal tersebut adalah bukan penyerahan atas barang, maka secara otomatis penyerahan tersebut adalah penyerahan atan jasa. Masih menurut Williams, yang dimaksud dengan konsumsi atas jasa: “A supply of service is often defined as any supply within the scope of VAT that is not a suplly of goods or a supply of land. This definition, when read with the definition of supply of goods means that any supply is within the scope of the charge of VAT (Thuronyi, 1996, h. 188). Penyerahan atas jasa sering didefinisikan sebagai setiap peyerahan dalam ruang lingkup PPN yang bukan termasuk penyerahan atas barang atau penyerahan atas tanah (Thuronyi, 1996, 25). Adapun hal-hal yang termasuk jasa antara lain: 1. Setiap penyerahan yang dianggap bukan barang 2. Peminjaman barang 3. Penyewaan barang 4. Persetujuan untuk tidak melakukan sesuatu Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
27
5. Pemberian hak (Tait, 1988, 387) 2.2.9 Pengusaha Kena Pajak PPN dikenakan atas penyerahan barang dan jasa. Penyerahan tersebut dilakukan oleh seseorang yang biasa disebut taxable person yang harus mendaftarkan diri untuk keperluan PPN dan bertanggung jawab kepada otoritas yang berwenang atas pajak yang telah dikumpulkannya. (Tait, 1988, 365). Taxable person merupakan orang yang bertanggung jawab atas PPN, yang bertanggung jawab atas PPN adalah mereka yang melaksanakan bisnis. Menurut Victor Thuronyi, taxable person adalah seseorang yang berada di dalam ruang lingkup PPN (Thuronyi, 1996, 25). Hukum PPN sebaiknya memasukkan semua legal person yang diciptakan di bawah Undang-Undang negara, berkaitan dengan aktivitas ekonomi dan hasil sejenis lainnya, seta semua physical person. Hal ini berarti memungkinkan semua legal dan phsical person berpotensi untuk menjadi taxable person. Menurut pendapat Melville, mengartikan taxable person sebagai: Formally, VAT is chargeable when supply or services are made in the UK by a taxable person in the course of business. For VAT purpose, the term “person can refer to an individual , a partnership or a company as well as to any other body which is supplying goods or services in the course of business. (Melville, 2001, 486) Hukum PPN juga menganggap bahwa sebuah asosiasi ataupun partnership sebagai taxable person yang terpisah dari individu dalam asosias atau partnership. Tujuan ini sesuai dengan pengecualian individual dari ruang lingkup pajak yang berkaitan dengan aktivitas noncommercial. Foreign legal person biasanya tidak disebutkan secara khusus di dalam Undang-Undang PPN. Bagaimanapun juga, diharapkan agar semua legal person mendaftarkan diri untuk tujuan PPN, apabila melakukan aktivitas yang disebutkan dalam Undang-Undang di suatu negara. Menurut Thuronyi, hal ini berarti beberapa cabang ataupun Bentuk Usaha Tetap (permanent establishment) yang berada dalam suatu negara diwajibkan untuk mendaftarkan diri. (Thuronyi, 1996, 13).
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
28
2.2.10 Bentuk Usaha Tetap (BUT) Menurut William dan Patrick seperti dikutip oleh Gunadi dalam bukunya, Bentuk Usaha Tetap (BUT) atau Permanent Establishment merupakan ambang batas (threshold) atau kriteria yang memungkinkan suatu negara sumber untuk memajaki penghasilan dari bisnis dan profesi transnasional (lintas perbatasan). (Gunadi, 2007, 54) Menurut Mardiasmo, Bentuk Usaha Tetap (BUT) merupakan bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi luar negeri atau badan luar negeri untuk melakukan kegiatan atau usaha di Indonesia. BUT juga diperjelas sehingga meliputi pula pemberian jasa dalam bentuk apapun di Indonesia oleh pegawai atau orang lain dari Subjek Pajak Luar Negeri yang dilakukan lebih dari 60 hari dalam jangka waktu 12 bulan. (Mardiasmo,1997,69) Dalam perpajakan dikenal empat jenis BUT yaitu BUT tipe Aset (asset type), BUT tipe Aktivitas (activity type), BUT tipe Keagenan (agency type), dan BUT tipe Asuransi (insurance type). 1. BUT Tipe Aset BUT tipe fisik atau asset ditandai dengan adanya asset atau fasilitas fisik, yang merupakan tempat pelaksanaan bisnis. Tempat usaha tersebut dapat kepunyaan BUT itu sendiri, disewakan BUT dari pihak lain atau dengan cara lain yang memungkinkan pemanfaatan tempat usaha tersebut. Beberapa fasilitas yang termasuk BUT tipe asset adalah: a. Tempat kedudukan manajemen (a place of management) b. Suatu cabang perusahaan (a branch) c. Suatu kantor (an office) d. Suatu pabrik (a workshop) e. Suatu gudang atau tempat penyimpanan barang sebagai tempat penyimpanan barang sebagai tempat penjualan (a warehouse or remises used as sales outlet) f. Suatu tambang, sumur minyak dan gas, suatu tempat penggalian atau eksplorasi sumber daya alam, rig untuk pengeboran atau kapal yang dipergunakan untuk eksplorasi sumber daya alam. (a mine, an oil or gas well, a quarry or any other placeof extraction or exploration or
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
29
exploitation of natural resources, drilling rig or working ship used for exploration exploitation of natural resources.) (Hutagaol, 2000, 20) 2.
BUT Tipe Aktivitas BUT jenis aktivitas ditandai dengan adanya usaha yang dilakukan oleh Subjek Pajak suatu negara domisili di suatu negara sumber dalam jangka waktu tertentu. Apabila kegiatan usaha di negara sumber tersebut melampaui suatu jangka waktu tertentu (time test), maka seluruh kegiatan usaha tersebut dinyatakan sebagai BUT, walaupun tidak ada tempat tetap yang dipakai untuk melakukan kegiatan usaha tersebut. BUT ini dapat berupa bentuk proyek konstruksi, proyek instalasi, dan pemberian jasa (furnishing of services). (Zakaria, 2005, 8) Menurut John Hutagaol, BUT Tipe aktivitas merupakan: 1. Suatu bangunan suatu konstruksi, suatu proyek instalasi atau kegiatan pengawasan yang ada hubungannya dengan proyek tersebut, tetapi hanya apabila bangunan proyek atau kegiatan-kegiatan tersebut berlangsung untuk masa lebih dari ketentuan jangka panjang tertentu. 2. Pemberian jasa termasuk jasa konsultan yang dilakukan oleh suatu perusahaan melalui karyawannya atau orang lain yang dipekerjakan oleh orang itu untuk tujuan tersebut, tetapi hanya apabila kegiatankegiatan tersebut berlangsung (untuk proyek yang sama atau ada kaitannya) di suatu negara dalam masa atau masa-masa yang berjumlah dari ketentuan jangka waktu tertentu (time test). (Hutagaol, 2000, 21)
3.
BUT Tipe Keagenan Dalam tipe ini, BUT Berupa orang pribadi atau badan yang bertindak sebagai agen dari perusahaan luar negeri yang kedudukannya tidak bebas (dependent agent) (Zakaria, 2005, 8). Dengan kata lain, apabila di negara sumber ada subjek pajak yang bertindak atas nama suatu perusahaan dari negara tax treaty partner dan mempunyai kewenangan untuk mengikat perusahaan dari negara treaty partner tersebut biasanya mempergunakan kewenangan tersebut untuk mengadakan perjanjian atas nama perusahaan
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
30
itu, maka perusahaan tersebut dianggap mempunyai BUT berkenaan dengan setiap kegiatan yang dilakukan oleh Subjek Pajak tersebut. Aktivitas keagenan dapat dijalankan oleh Orang Pribadi dan badan. Dengan keberadaan BUT, untuk tujuan administrasi perpajakan, orang pribadi dan badan yang menjadi agen tersebut mempunyai dua identitas (WPDN untuk dirinya sendiri dan WPLN untuk BUT). BUT keagenan muncul pada saat adanya relasi keagenan dan selesai pada saat putusnya relasi keagenan yang dimaksud. 4.
BUT Tipe Asuransi Dalam tipe ini BUT dapat berupa agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di suatu Negara yang menerima premi asuransi atau menanggung resiko di Negara itu. (Zakaria, 2005, 8). Dengan kata lain bahwa penentuan perusahaan asuransi manca negara mempunyai BUT di Indonesia tidak hanya ditentukan oleh adanya tempat usaha atau hubungan keagenan, tetapi juga ditentukan oleh adanya penerimaan premi asuransi atau peutupan resiko di Indonesia melalui pegawai atau agennya. Sehingga apabila perusahaan asuransi mancanegara menerima premi asuransi dan menutup resiko di Indonesia melalui pegawai atau agennya maka perusahaan tersebut mempunyai BUT di Indonesia.
2.2.11 Ekspor Menurut Purwito, secara umum dan sains, sebagaimana halnya dengan pengertian impor-ekspor terkait dengan hal-hal: 1. Suatu barang yang diproduksi dan secara fisik diangkut dan dijual di luar daerah pabean; 2. Suatu jasa yang disediakan bagi orang asing baik dalam maupun luar negeri; 3. Modal yang ditempatkan di luar daerah pabean untuk investasi portofolio atau investasi langsung dalam bentuk asset fisik dan deposito (Purwito, 2008, h. 45-46).
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
31
Kegiatan ekspor dibeberapa negara mendapatkan fasilitas yang bertujuan untuk mendapatkan devisa/memperkuat cadangan devisa atau meningkatkan daya saing produk dalam negeri di pasar internasional (Purwito, 2008, h. 176). Dipastikan bahwa sekarang ini kinerja ekspor Indonesia dan prospeknya ke depan mendapat lebih banyak perhatian, baik dari masyarakat umum maupun pemerintah, karena kegiatan ekspor ini merupakan suatu potensi yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia, menciptakan lapangan kerja baru, serta menambah penerimaan negara melalui sektor pajak. 2.2.12 Prinsip Kepastian dalam Pemungutan Pajak Adam Smith melalui kaidah four maxim-nya menjelaskan asas kepastian hukum (certainty) sebagai berikut: “The tax which individual is bound to pay ough to be certain and not arbitrary. The time of payment, the quantity to be paid ought all to be clear and plain to contributor, and to every other person”. (Nurmantu, 2003, 82) Pajak yang dibayar seseorang harus terang (certain) dan tidak mengenal kompromi (not arbitrary). Asas kepastian antara lain mencakup kepastian mengenai siapa-siapa yang harus dikenakan pajak, apa-apa saja yang dijadikan sebagai objek pajak, serta besarnya jumlah pajak yang harus dibayar dan bagaimana jumlah pajak yang terutang itu harus dibayar (Rosdiana, 2005, 134). Soemitro menyebutkan bahwa untuk memberikan kepastian hukum maka perlu dioerhatikan beberapa faktor antara lain (Soemitro, 1988, 7): 1. Materi Pajak 2. Subjek yang tersangkut 3. Tempat 4. Waktu 5. Pendefinisian 6. Penyempitan atau perluasan 7. Ruang lingkup 8. Penggunaan bahasa hukum 9. Penggunaan istilah yang bak 10. Syarat-syarat lain Kepastian hukum dalam pemungutan pajak mencakup kepastian hukum pajak material dan hukum pajak formal. Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
32
1. Kepastian hukum pajak material adalah suatu kepastian hukum yang meliputi kepastian subjek pajak, objek pajak, dan kepastian tarif pajak. 2. Kepastian hukum pajak formal meliputi kepastian hukum dalam hal prosedur untuk mewujudkan hukum pajak material (Soemitro, 1988, 7) Rochmat Soemitro, sebagaimana dikutip Rahayu, memberikan pengertian tentang kepastian hukum bahwa ketentuan undang-undang tidak boleh memberikan keragu-raguan. Harus dapat diterapkan secara konsekuen untuk keadaan yang sama secara terus menerus. Undang-undang harus disusun sedemikian rupa sehingga tidak memberikan peluang kepada siapapun untuk memberikan interpretasi yang lain daripada yang dikehendaki oleh pembuat undang-undang. Dimana untuk memberikan kepastian hukum perlu diperhatikan beberapa faktor: 1. Materi, subjek, objek Subjek, materi, dan obyek yang tersangkut diuraikan secara jelas dan tegas dengan menyebutkan kualifikasinya, sifat, tempat, ciri-ciri, dan waktu. Sehingga
tidak
menimbulkan
keragu-raguan
dan
tidak
memberikan
kesempatan kepada pihak manapun untuk memberikan interpretasi lain. Penggunaan bahasa dan cara menguraikan mempunyai pengaruh yangs sangat besar terhadap kejelasandan kepastian juga penggunaan istilah yang sudah bakumempertinggikejelasan dan kepastian hukum 2. Pendefenisian Pendefenisian sesuatu dapat dilakukan secara jelas bila didalamnya dapat tercakup unsur-unsur dan ciri-ciri dari hal yang didefinisikan. Sistematika pendefinisian mempunyai peranan yang sangat penting. Ada pendefinisian secara luas dan ada pendefinisan secara sempit. Keduanya mempunyai konsekuensi sendiri-sendiri. Pendefinisian secara sempit, lebih memperhatikan kepastian hukum karena pendefinisian secara sempit menggunakan cara yang limitif, hanya yang disebut saja yang termasuk dalam ruang lingkup peraturan perundang-undangan. Yang tidak disebut secara positif, tidak tercakup dalam undang-undang. 3. Penyempitan atau Perluasan
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
33
Pemyempitan dan perluasan materi yang menjadi sasaran pajak harus dlakukan dalam undang-undangnya sendiri. Hal itu untuk kepentingan kepastian hukum. Penyempitan atau perluasan materi sama sekali tidak dibenarkan jika dilakukandengan peraturan yang lebih rendah dari undnagundang atau memori penjelasan. 4. Ruang Lingkup Daya mengikat dari suatu ketentuan undang-undang tidak saja ditentukanoleh materinya, tetapi juga oleh tempat dan waktu. Ruang lingkup berlakunya undang-undang jelas dibatasi oleh obyek, subyek, dan wilayah. 5. Penggunaan Bahasa Hukum, dan Istilah yang Baku Kepastian hukum sangat ditentukan oleh penggunaan bahasa hukum dan penggunaan istilah yang dibakukan. Bahasa hukum adalah bahasa Indonesia. Bahasa hukum adalah bahasa yang lazimnya digunakan oleh para ahli hukum atau orang-orang yang mempunyai profesi di bidang hukum seperti hakim, jaksa, pengacara. Istilah-isitilah sebaiknya digunakan secara konsekuen dan pasti. Untuk suatu pengertian supaya digunakan satu istilah yang sama karena penggunaan istilah yang berlainan dan tidak konsekuen, menimbulkan ketidakpastian hukum. (Rahayu, 2010, 68-69) Fritz Neumark, dalam pemungutan pajak yang keempat yaitu prinsip ease of administration and compliance prinsip kepastian hukum dalam pajak dijelaskan, Fritz Neumark mengemukakan bahwa sistem perpajakan yang baik haruslah mudah dalam administrasinya dan mudah pula untuk mematuhinya. Prinsip ease of administration and compliance ini terinci dalam 4 persyaratan yang salah satunya adalah The Requirement of Clarity yang berarti: “Dalam sistem perpajakan, baik dalam Undang-Undang perpajakan maupun peraturan pelaksanaannya, khususnya dalam proses pemungutan maka ketentuan-ketentuan pajak haruslah dapat dipahami (comprehensible), tidak boleh menimbulkan keragu-raguan atau penafsiran yang berbeda, tetapi harus menimbulkan kejelasan (must be unambiguous and certain) baik untuk Wajib Pajak maupun fiskus.” (Nurmantu, 2005, 94) Kepastian hukum banyak bergantung kepada susunan kalimat, susunan kata, dan penggunaan istilah yang dibakukan. Untuk mencapai tujuan tersebut penggunaaan bahasa hukum secara tepat sangat diperlukan (Soemitro, 1990, 22) Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
34
Dalam pemberian definisi harus dijaga supaya tidak terjadi kekosongan atau loopholes yang masih dapat diselundupi. Harus diperhatikan juga, jangan memberi definisi yang terlalu luas, melainkan seberapa boleh diberikan definisi yang sempit dan tepat. Sistem memperluas dan mempersempit definisi harus diberikan dalam undang-undang yang mudah dimengerti. Uraian yang limitatif lebih diutamakan daripada uraian yang enunsiatif. Kata-kata seperti, antara lain, diantaranya, bila digunakan dalam teks undang-undang akan menambah ketidakpastian hukum. Bila mengenai sesuatu yang perlu diberikan penafsiran, hal ini sebaiknya dilakukan secara otentik, artinya penafsiran itu dilakukan oleh pembuat undang-undang sendiri di dalam undang-undang yang bersangkutan, yaitu dalam pasal 1 yang memuat arti dan istilah-istilah secara umum, atau diberikan dalam pasal-pasal khusus yang bersangkutan. Penjelasan yang diberikan dalam memori penjelasan, tidak mengikat sebab penjelasan bukan merupakan ketentuan undang-undang sehingga masih dapat dipersoalkan di pengadilan. (Soemitro, 1990, 22) 2.3 Kerangka Pemikiran Berkaitan dengan penelitian ini, penulis berusaha untuk menganalisa kebijakan perlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas jasa perdagangan CPO pada PT ABC, dengan diawali dari apa saja bentuk transaksi-transaksi perdagangan CPO yang kemudian dikaitkan dengan jasa perdagangan pada SE-145/PJ/2010 dan lalu berlanjut ke analisis terhadap undang-undang perpajakan dan juga penerapan konsep Pajak Pertambahan Nilai untuk masing-masing transaksi. Untuk mempermudah penjabaran atas permasalahan perlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas jasa perdagangan dengan memperhatikan teori-teori PPN yang dijelaskan sebelumnya, penulis membuat bagan kerangka pemikiran, sebagai berikut:
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
35
Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran
Alternatif Kebijakan Jasa Perdagangan
Pembeli Luar
Termasuk
Negeri
penyerahan BKP di dalam daerah pabean (juru Termasuk
Broker Lokal
ekspor BKP
(Representative)
Ditinjau berdasarkan prinsip kepastian : PT ABC
Termasuk jasa perdagangan
PT BBJ
PT XYZ
Sumber : diolah oleh peneliti
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
36
BAB 3 METODE PENELITIAN
Metode penelitian adalah penjelasan secara teknis mengenai metodemetode yang digunakan dalam suatu penelitian (Muhadjr, 1992, 2). Dengan kata lain, pada metode penelitian akan membahas mengenai Pendekatan Penelitian, Jenis atau Tipe penelitian, Metode dan Strategi penelitian, Narasumber atau Informan, Proses Penelitian, Penentuan Site Penelitian, dan Keterbatasan Penelitian. 3.1 Pendekatan Penelitian Penelitian yang akan dilakukan mengenai “Evaluasi Kebijakan Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa Perdagangan Crude Palm Oil (CPO) (Studi Kasus PT. ABC)” menggunakan pendekatan kualitatif. Hal ini berdasarkan pada pengertian pendekatan kualitatif dari Creswell: “Research that is guided by the qualitative paradigm is defined as: “an inquiry process of understanding a social or human problem based on building a complex, holistic picture, formed with words, reporting detailed views of informants, and conducted in a natural setting”. (Cresswell, 1994, 2) Arti Pendekatan Kualitatif dari pengertian tersebut adalah suatu proses penelitian untuk memahami masalah-masalah manusia atau sosial dengan menciptakan gambaran menyeluruh dan kompleks yang disajikan dengan katakata, melaporkan pandangan terinci yang diperoleh dari para sumber informasi, serta dilakukan dalam latar (setting) yang alamiah. Pada buku yang berbeda, Creswell menambahkan bahwa penelitian kualitatif dimulai dengan asumsi, fenomena dunia, kemungkinan penggunaan dari lensa teoritis, dan penelitian studi masalah dari individual atau sekelompok yang berhubungan dengan masalah sosial atau manusia (Creswell, 2007, 37). Penelitian yang dilakukan peneliti menggunakan pendekatan kualitatif untuk memahami fenomena mengenai transaksi-transaksi jasa perdagangan pada perdagangan CPO yang dilakukan oleh PT. ABC. Data yang dikumpulkan
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
37
didapatkan dari beberapa sumber yang mendukung, penelitian dilakukan dalam seting yang natural, dan peneliti sebagai instrumen utama dalam menganalisis data. Sebagaimana tujuan penelitian, yakni untuk menjelaskan bagaimana kebijakan transaksi-transaksi jasa perdagangan dalam perdagangan CPO PT. ABC dilihat dari dasar pelaksanaannya, prosesnya serta meninjaunya dari segi Pajak Pertambahan Nilai. 3.2 Jenis Penelitian Jenis penelitian dapat ditinjau dari beberapa sudut pandang, yakni berdasarkan tujuan, dimensi waktu, serta manfaat. Penentuan jenis penelitian membantu mengidentifikasi bagaimana penelitian dilakukan. Oleh karena itu, peneliti menetukan jenis penelitian berdasarkan tujuan, dimensi waktu, dan manfaat penelitian. 3.2.1 Jenis Penelitian Berdasarkan Tujuan Jenis penelitan dapat diketahui dengan melihat tujuan dari penelitian tersebut. Terdapat tiga tujuan yang paling umum dari penelitian sosial, yaitu exploration, description, dan explanation (Babbie, 2004, 87). Dalam hal ini penulis bertujuan untuk menggambarkan transaksi-transaksi yang terjadi dalam perdagangan CPO milik PT XYZ terkait dengan jasa perdagangan dan meninjaunya berdasarkan prinsip kepastian. Maka tipe penelitian yang digunakan adalah tipe penelitian deskripstif (descriptive). Earl Babbie mengatakan bahwa dalam penelitian deskriptif:
“A major purpose of many social scientific studies is to describe situations and events. The researcher observes and the describes what was observed (Babbie, 2004, h. 88).” 3.2.2 Jenis Penelitian Berdasarkan Dimensi Waktu Jenis penelitian jika dipandang dari aspek dimensi waktu, penelitian yang dilakukan termasuk dalam kategori cross sectional studies. Cross sectional studies merupakan penelitian yang dilakukan pada satu waktu tertentu dan hanya mengambil satu bagian dari fenomena sosial pada satu waktu tertentu tersebut (Creswell, 1994, 45). Penelitian ini menggunakan jenis penelitian cross sectional studies, karena peneliti hanya meneliti transaksi-transaksi yang terkait dengan jasa perdagangan CPO PT ABC pada tahun 2012 dan tidak akan melakukan penelitian lain di waktu yang berbeda untuk diperbandingkan. 3.2.3 Jenis Penelitian Berdasarkan Manfaat
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
38
Jenis penelitian berdasarkan manfaat terbagi menjadi 2, yakni penelitian murni dan penelitian terapan. Penelitian ini apabila dilihat berdasarkan manfaat, termasuk dalam penelitian murni karena berorientasi pada ilmu pengetahuan dan akademis. Penelitian hanya akan dilakukan untuk kepuasan dan tujuan akademis, yakni sebagai salah satu syarat mencapai gelar sarjana administrasi. Selain itu, penelitian ini tidak terikat dengan tuntutan pihak manapun sebagai pemberi sponsor. 3.3 Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data bertujuan untuk mengumpulkan data atau informasi yang dapat menjelaskan permasalahan suatu penelitian secara obyektif. Data kualitatif terbagi menjadi tiga bentuk yaitu wawancara (Interview), pengamatan (Observation), dan dokumen (Documents). Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik-teknik pengumpulan data sebagai berikut: 3.3.1 Studi Literatur Dalam bukunya, Cresswell menjelaskan tentang tiga macam penggunaan literature dalam penelitian kualitatif yaitu: -
The Literature is used to “frame” the problem in the introduction to the study, or The literature is presented in separate section as a “review of the literature”, or The literature is presented in the study at the end, it becomes asa a basis for comparing and contrasting findings of the qualitative study (Creswell, 1994, 10). Studi literatur yaitu membaca literatur-literatur yang berhubungan dengan
pokok permasalahan penelitian, diantaranya melalui buku-bukiu bacaan, Undangundang, koran, artikel, majalah, dan penelusuran di internet guna mendapatkan data sekunder. 3.3.2 Wawancara Mendalam Wawancara mendalam
secara umum
adalah proses memperoleh
keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara, dimana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama (Bungin, 2007, 108). Pencatatan sumber data utama melalui wawancara atau pengamatan berperan serta
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
39
merupakan hasil usaha gabungan dari kegiatan melihat, mendengar dan bertanya. Wawancara mendalam dilakukan peneliti beberapa informan. 3.4 Teknik Analisis Data Penganalisisan data merupakan suatu proses lanjutan dari proses pengolahan data untuk melihat bagaimana menginterprestasikan data, kemudian menganalisa data hasil yang sudah ada pada tahap hasil pengolahan data. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data kualitatif. Bogdan dan Biklen, sebagaimana dikutip oleh Moleong, menyatakan bahwa analisis data kualitatif adalah: “upaya
yang
dilakukan
dengan
jalan
bekerja
dengan
data,
mengorganisasikan data, memilah-milahnya dalam satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain (Moleong, 2004, 248).” Sesuai dengan kegiatan tersebut, maka secara garis besar analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini melalui tahapan sebagai berikut: 1. Tahap reduksi data, peneliti melakukan reduksi data dengan memilih data dan info mengenai kegiatan perdagangan CPO PT ABC terkait dengan jasa perdagangan. Data yang direduksi memberikan gambaran hasil penelitian secara lebih lengkap, sehingga memudahkan peneliti. 2. Display data, dengan menyajikan data dalam bentuk gambar/ tabel. Hal ini untuk memudahkan membaca data informasi yang diperoleh dari penelitian. 3. Pengambilan keputusan dan verifikasi, langkah ini dilakukan untuk pengambilan keputusan atas data-data penelitian yang telah direduksi sehingga didapatkan kesimpulan yang tepat. Dengan demikian, tidak semua temuan yang diperoleh di lapangan dan literatur, yang secara makro berhubungan dengan tema penelitian, digambarkan dalam hasil penelitian ini. Hanya data, gambaran, maupun analisis yang menurut peneliti penting untuk digambarkan dalam hasil penelitian ini. Peneliti pun turut Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
40
mempertimbangkan mengenai kebaruan, reliability, dan ketersediaan informasi serta ketertarikan pribadi untuk membahas lebih mendalam akan temuan yang diperoleh. 3.5 Narasumber Penentuan narasumber dalam penelitian kualitatif harus dilakukan secara selektif agar mendapatkan informasi yang dibutuhkan dalam penelitian. Kesalahan penentuan narasumber dapat berakibat pada kesalahan dalam menganalisis data. Oleh karena itu dalam menetukan narasumber, peneliti menetapkan kriteria sesuai dengan kriteria informan yang disebutkan oleh Neuman yaitu: 1. The Informan is totally familiar with the culture and is positions to witness significant events makes a good informant, yaitu seseorang yang mengetahui dengan baik budaya daerahnya dan menyaksikan kejadiankejadian di tempatnya. 2. The individual is currently involved in the field, yaitu terlibat secara mendalam dengan kegiatan yang ada di tempat penelitian. 3. The person can spend time with the research, yaitu seseorang yang dapat meluangkan waktu bersama peneliti. 4. Non analytical individuals makes better informan, yaitu seseorang yang tidak analitis namun mengetahui dengan baik situasi daerahnya. (Neuman, 2003, 394-395). Berdasarkan hal diatas, maka wawancara dilakukan kepada pihak-pihak yang terkait dengan permasalahan penelitian, diantaranya adalah: 1) Hariyanto, sebagai Staf Pelaksana Subdit Peraturan PPN Perdagangan, Jasa dan Pajak Tidak Langsung Lainnya, Direktorat Peraturan Perpajakan I, Direktorat Jenderal Pajak. Wawancara dilakukan untuk mendapatkan keterangan mengenai latar belakang diterbitkannya SE-145/PJ/2010. 2) Purwitohadi, sebagai Kepala Sub Bidang PPN dan PPnBM, Badan Kebijakan Fiskal, Kementrian Keuangan. Hasil wawancara bertujuan untuk mengetahui apakah diperlukan alternatif kebijakan untuk jasa perdagangan CPO.
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
41
3) Untung Sukardji, S.H, M.Sc sebagai ahli perpajakan dari kalangan akademisi, Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN). Wawancara bertujuan untuk mendapatkan pendapat mengenai jasa perdagangan CPO yang dilakukan oleh PT ABC jika dikaitkan dengan konsep PPN. 4) Anang Mury Kurniawan, SST., Ak., M.Si. sebagai ahli perpajakan dari kalangan akademisi, Pusdiklat Pajak, Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan.
Wawancara
dilakukan
untuk
mendapatkan
keterangan
mengenai praktek jasa perdagangan di lapangan. 5) Tunas Hariyulianto, S.E., M.Si sebagai ahli perpajakan dari kalangan akademisi, Ilmu Administrasi Fiskal, Universitas Indonesia. Hasil wawancara bertujuan untuk mengetahui apakah kegiatan perdagangan CPO PT ABC jika ditinjau dari konsep PPN dan prinsip kepastian. 3.6 Proses Penelitian Peneliti tertarik untuk meneliti mengenai “Evaluasi Kebijakan Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa Perdagangan Crude Palm Oil (CPO) (Studi Kasus PT ABC)” diawali dengan adanya keterangan dari pihak terkait bahwa perdagangan CPO yang dilakukan PT XYZ ternyata tidak langsung kepada pembeli CPO, melainkan harus melalui badan yang dibuat oleh PT XYZ yaitu PT ABC, dan kemudian untuk tujuan ekspor harus melalui suatu badan lagi yang merupakan representative konsumen luar negeri. Namun sejak 2009, CPO milik PT XYZ tidak harus melalui PT ABC lagi, tetapi bisa juga dijual melalui PT BBJ. Dari seluruh
transaksi-transaksi
perdagangan
tersebut
maka
peneliti
menghubungkannya dengan pengertian jasa perdagangan yang selama ini hanya ada di SE-145/PJ/2010. Penulis mengumpulkan literatur yang menjadi bahan acuan dalam penelitian ini. Literatur tersebut antara lain, buku teks, majalah, jurnal, dan lain-lain. Pengumpulan data yang dilakukan pada tahap sebelumnya kemudian dilanjutkan dengan tahap analisis oleh peneliti. Analisis tersebut dilakukan peneliti berdasarkan interpretasi dari hasil wawancara dengan para informan dan kemudian dirangkum secara umum dan setelah itu didapatkan suatu dasar pemikiran, kemudian hal tersebut dianalisis. 3.7 Site Penelitian
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
42
Site penelitian dalam penelitian ini adalah yang orang memiliki otoritas perpajakan yang dalam hal ini adalah Direktorat Jendral Pajak. Penelitian ini dilakukan pada lingkungan praktisi perpajakan dan akademisi yang mengerti dengan baik akan permasalahan mengenai perlakuan perpajakan atas jasa perdagangan tersebut. 3.8 Keterbatasan Penelitian Penelitian ini memiliki keterbatasan dalam mendapatkan keterangan langsung dari PT XYZ dan PT ABC secara langsung tentang transaksi-transaksi yang terjadi dan perlakuan perpajakannya,. Namun peneliti berhasil mendapatkan keterangan langsung dari pihak yang menangani perpajakan PT XYZ, sehingga dari keterangan itu peneliti mengkaji lebih dalam dengan didukung sumbersumber literatur sehingga kemudian dapat dianalisis.
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
43
BAB 4 GAMBARAN UMUM PERDAGANGAN CPO DAN PERLAKUAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS JASA PERDAGANGAN
4.1 Penjualan CPO PT XYZ melalui PT ABC Syarat-syarat penyerahan CPO dari produsen kepada industri dilaksanakan berdasarkan SK Dirjen Perdagangan Dalam Negeri yang pada pokoknya mengatur harga dan cara penyerahan CPO dari produsen kepada industri pengolah menurut lokasi industri masing-masing. CPO yang diperdagangkan berasal dari dua sumber, yaitu PT XYZ dan PT Swasta. Sesuai dengan kesepakatan diantara PT XYZ, pemasaran CPO yang berasal dari PT XYZ harus melalui PT ABC, baik untuk konsumen dalam negeri maupun luar negeri (Pahan, 2011, 38).
Gambar 4.1 Saluran Pemasaran CPO Indonesia menurut SKB 3 Menteri Nomor 275/KPB/XII/78
Sumber : (Pahan, 2011, 39) (diolah peneliti)
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
44
Untuk kebutuhan dalam negeri, PT ABC bisa langsung menjual ke industri pengolahan melalui jatah alokasi yang ditetapkan. Untuk konsumen luar negeri, pemasarannya melalui broker lokal yang selanjutnya berhubungan dengan badan pemasaran di luar negeri, seperti Indoham yang menangani pemasaran di Hamburg dan New York. Pada periode selanjutnya, penjualan CPO tidak lagi melalui Indoham, tetapi dapat langsung berhubungan dengan importir di luar negeri. Sementara, CPO dari PT Swasta, pemasaran untuk konsumen dalam negeri tetap harus melalui PT ABC, sedangkan untuk luar negeri dapat langsung berhubungan dengan importir atau agen luar negeri. (Pahan, 2011, 38) Kilas balik praktik perdagangan CPO di Indonesia terjadi pada tahun 1991, dimana pemerintah melakukan deregulasi dengan Pakjun 1991 (3 Juni 1991) yang menghapus berbagai SKB 3 menteri sebelumnya. Pada intinya, Pakjun 1991 melonggarkan semua ketentuan tataniaga yang ada untuk memacu ekspor dan mendorong investasi minyak goreng di dalam negeri. Berdasarkan Pakjun 1991, peluang bagi pengusaha perkebunan untuk melakukan ekspor CPO semakin terbuka. Melalui deregulasi tersebut, harga perdagangan CPO dalam negeri tidak ditetapkan oleh Pemerintah dan perdagangan CPO PT Swasta tidak melalui mekanisme PT ABC lagi. (Pahan, 2011, 39) Sehingga sejak saat itu pemasaran CPO dari PT XYZ tetap dilakukan secara bersama melalui PT ABC, sedangkan untuk PT Swasta kebijakan pemasaran CPO-nya dilakukan oleh masing-masing perusahaan. PT ABC sebagai anak perusahaan dari PT XYZ bertugas memasarkan CPO melalui tender, auction, dan negosiasi dengan mengacu harga pasar yang dimonitor dari London, Rotterdam, Kuala Lumpur, Singapura, Tokyo, New York dan lain-lain. Berikut diuraikan hak dan kewajiban dari pelaku langsung transaksi CPO melalui kelembagaan PT ABC yakni meliputi hak dan kewajiban PT XYZ, PT ABC dan pembeli atau processor. Hak dan kewajiban PT XYZ meliputi hal-hal sebagai berikut: 1. Menghasilkan Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit dari perkebunan yang ada yang nantinya diolah menjadi minyak kelapa sawit. 2. Menghasilkan minyak sawit dalam bentuk CPO dan sisanya dalam bentuk Crude Stearin, RBD Olein, Palm Kernel Oil, Palm Kernel Fatty Acid, dll.
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
45
3. Menghasilkan CPO yang sesuai dengan kualitas yang terstandar. (Games JS, 2010, 55-56)
Sementara itu sesuai dengan pokok kebijakan dan strategi pemasaran PT XYZ, hak dan kewajiban PT ABC sebagai organisasi pemasaran CPO produksi OT XYZ adalah sebagai berikut: 1. Melaksanakan kebijakan pemasaran. 2. Melaksanakan tender atau memasarkan CPO produksi PT XYZ. 3. Mengelola seluruh persediaan produksi siap jual. 4. Mengumpulkan informasi, menganalisa dan melakukan pengembangan pasar. 5. Melakukan transaksi penjualan baik langsung maupun melalui kerjasama dengan perwakilan PT ABC di luar negeri. 6. Menyelesaikan dan melaksanakan pembayaran klaim. 7. Sebagai unit market intelligence, menyampaikan informasi beserta analisa pasar, dan melakukan riset pasar bagi PT XYZ. 8. Mengembangkan database pemasaran dan sistem jaringan komputer untuk menyebarluaskan informasi pasar yang diperlukan PT XYZ. 9. Mengkaji dan mengevaluasi antara lain: - Data produksi dan konsumsi komoditas perkebunan dan saingannya di dalam maupun luar negeri. - Informasi harga dalam dan luar negeri serta situasi perkembangan pasar. 10. Mengadakan promosi dalam bentuk pameran atau mengikuti misi dagang didalam dan di luar negeri baik atas nama PT XYZ maupun atas permintaan PT XYZ tertentu. 11. Sebagai unit pelayanan, melaksanakan pengapalan komoditi, pergudangan, dan
penyelesaian
dokumen-dokumen
yang
menyangkut
pengapalan,
perbankan, dan lain-lain. 12. Mengadakan pelayanan dan sarana teknis (jadwal tender, tempat pelaksanaan tender, syarat-syarat peserta tender, dll) 13. Melakukan hal-hal dan tugas-tugas lain yang ditetapkan oleh BMD-PT XYZ untuk menunjang aktivitas dan pengembangan pemasaran yang dilakukan oleh PT XYZ. (Games JS, 2010, 56-57)
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
46
Pembeli yang terdaftar sebagai peserta tender baik perusahaan atau utusan langsung dari perusahaan memiliki hak dan kewajiban sebagai berikut: 1. Hadir pada acara tender 2. Mengajukan harga penawaran pembelian CPO yang diminati. 3. Berhak mendapatkan CPO bagi pembeli yang mengajukan harga penawaran tertinggi dan berada di atas “Price Idea” yang ditetapkan PT ABC. Bila ada pembeli yang menetapkan harga penawaran tertinggi yang sama dan di atas “Price Idea” maka CPO yang terjual dibagi antar pembeli sama rata. 4. Membayar uang pembelian CPO dengan transfer melalui bank ke rekening yang bersangkutan setelah terjadi kesepakatan. (Games JS, 2010, 57) Sebelum terdaftar sebagai peserta tender CPO di PT ABC setiap processor yang ingin membeli CPO produksi PT XYZ ini harus memenuhi persyaratan tertentu seperti yang ditampilkan dalam tabel berikut ini.
Gambar 4.2 Persyaratan Peserta Tender CPO Lokal dan Ekspor di PT ABC
Sumber: (Games JS, 2010, 58)
Pelaksanaan tender dihadiri oleh panitia tender (pihak PT ABC) yang terdiri dari Kepala Bagian Penjualan Sawit, Kepala Bagian Analisa dan Informasi Pasar (AIP), Kepala Urusan Penjualan Sawit, Kepala Urusan Pengapalan Sawit, Kepala Urusan Analisa Sawit serta para peserta tender (processor).
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
47
Berikut akan dijelaskan tata cara atau prosedur tender CPO lokal. 1. Volume yang akan ditender disusun berdasarkan kondisi penyerahan CIF atau FOB (FOB Pelabuhan Muat)/Franco pabrik pembeli/penjual dengan mutu sesuai standar mutu yang berlaku serta bulan penyerahan/pengapalannya ditetapkan di dalam formulir tender. 2. Pembeli peserta tender menyampaikan penawaran melalui fax/surat yang dimasukkan kedalam kotak yang telah disediakan di PT ABC selambatlambatnya pada jam 14.00 atau 15.00 WIB (sesuai undangan) pada hari dan tanggal tender (penawaran melalui fax ditangani oleh petugas khusus). 3. Harga penawaran diajukan dalam Rp/Kg termasuk PPN (dalam bulatan Rupiah). 4. Pembeli peserta tender menyampaikan harga penawaran dengan jumlah per lot sesuai yang ditawarkan dan berdasarkan kondisi penyerahan. 5. Penawaran dengan harga tertinggi yang mencapai atau melebihi price idea dinyatakan sebagai pemenang tender. 6. Bila terdapat dua pembeli atau lebih dengan harga penawaran yang sama untuk volume dan lot serta kondisi penyerahan yang sama, maka volume tersebut dibagi secara proporsional. 5. Bila harga penawaran dari peserta tender tidak mencapai price idea, maka ditawarkan kembali kepada penawar tertinggi pertama, apabila penawar tertinggi pertama tidak bersedia atau tidak hadir, maka ditawarkan kepada penawar tertinggi kedua. Apabila penawar tertinggi kedua juga tidak bersedia atau tidak hadir, maka barang ditawarkan kepada peserta tender lainnya pada saat pelaksanaan tender, dan apabila peserta tender lainnya tidak bersedia maka barang ditarik dari tender (withdrawn). (Games JS, 2010, 70-72) Sedangkan tata cara atau prosedur tender CPO ekspor adalah sebagai berikut. 1. Bagian Jasa Penjualan Minyak Sawit menawarkan minyak sawit kepada Calon Pembeli. 2. Calon Pembeli menerima penawaran dan mengirimkan tawaran melalui faksimili atau dimasukkan ke dalam kotak tertutup. 3. Panitia Tender CPO Ekspor membuka penawaran, penawaran sesuai dengan price idea atau harga tertinggi yang terjadi. Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
48
4. Panitia Tender CPO Ekspor melakukan counter kepada Calon Pembeli tertinggi. 5. Calon Pembeli revisi tawaran sesuai price idea atau harga tertinggi yang terjadi. 6. Apabila pembeli tidak bersedia maka CPO ditarik dari tender. Panitia Tender CPO Ekspor Withdrawn. (Games JS, 2010, 72-73) Sistem pembayaran transfer melalui bank berlangsung tergantung pada tingkat kepercayaan dan perjanjian antara kedua belah pihak dimana pembayaran harus lunas yang dilakukan di muka dengan transfer melalui bank (cth: Bank Mandiri) ke rekening PT XYZ yang bersangkutan dalam jangka waktu 14 hari. Setelah uang transfer masuk ke rekening milik PT XYZ yang bersangkutan dan telah dipastikan lewat bank serta surat tanda bukti pembayaran melalui bank maka CPO dapat diantar atau dijemput sesuai dengan kesepakatan pengangkutan yang terjadi antara kedua belah pihak. (Games JS, 2010, 74-75) Untuk pengangkutan, pihak produsen (PT XYZ) maupun pembeli dapat bertanggungjawab dalam hal penyediaan izin, dokumen, surat-surat, kontrak, alat angkut yang berupa truk, kereta api atau kapal pengangkut, dll. Hal ini tergantung kontrak penjualan yang telah disepakati dan disetujui oleh kedua belah pihak. Bentuk kontrak pengangkutannya sendiri dapat berupa FOB (Freight On Board) atau Franco atau CIF (Cost Insurance Freight). FOB adalah transaksi pengangkutan
melalui
pelabuhan
dimana
penjual
bertanggungjawab
mengantarkan barang hingga ke pelabuhan yang telah disepakati. Sedangkan untuk franco ada yang berupa franco gudang pembeli dan franco pabrik penjual. Untuk franco gudang pembeli maka CPO harus diantarkan oleh penjual dalam hal ini PT XYZ sampai ke gudang pembeli. Penjual juga bertanggungjawab atas biaya, risiko, serta dokumen-dokumen yang diperlukan. Sementara untuk franco pabrik penjual maka pembeli sendiri yang mengambil CPO ke pabrik atau gudang PT XYZ. (Games JS, 2010, 63-64) Sedangkan CIF adalah untuk aktivitas ekspor, dimana seperti FOB tetapi biaya selama pengangkutan menjadi tanggungjawab pembeli termasuk seluruh dokumen (izin, dll) termasuk asuransi. Namun pada saat ini CIF sudah jarang digunakan dimana pembeli lebih memilih untuk menyiapkan kapal pengangkut
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
49
sendiri. Sedangkan untuk CPO lokal umumnya beban pengangkutan dibebankan kepada pembeli dimana pembeli dapat mengambil CPOnya sendiri atau menggunakan jasa transportasi sewaan untuk mengangkut CPO dari gudang penyimpanan atau tangki penyimpanan milik PT XYZ (franco pabrik/gudang penjual). (Games JS, 2010, 64). Untuk kegiatannya memasarkan CPO, PT ABC dalam hal ini mendapat fee kompensasi sebesar 0,5 persen dari harga jual. (Agustian dan U. Hadi, 2003, 271)
4.2 Penjualan CPO melalui PT BBJ Persaingan global komoditi CPO dianggap semakin ketat, sehingga pada tanggal 23 Juni 2009 dibentuklah pemasaran CPO dengan Pasar Fisik Terorganisir yang diselenggarakan oleh PT Bursa Berjangka (PT BBJ) untuk melaksanakan lelang fisik secara elektronik atau online. Peluncuran Pasar fisik yang juga merupakan hari pertama perdagangan fisik CPO diresmikan oleh dua menteri yaitu Menteri Negara BUMN dan Menteri Perdagangan RI. Dengan demikian pemasaran CPO PT XYZ tidak lagi hanya melalui PT ABC tapi juga melalui PT BBJ. Penjual CPO di PT BBJ tidak hanya dari pihak PT XYZ namun juga PT Swasta bebas menjual CPO nya di PT BBJ. Berikut persyaratan menjadi peserta untuk melakukan lelang online di PT BBJ yang diambil dari website PT BBJ:
Tabel 4. 1 Persyaratan Peserta Tender CPO di PT BBJ No. 1.
2.
Dokumen yang dibutuhkan
Penjual
Pembeli (Processor)
Pembeli (Non Processor)
Profil Perusahaan (company profile), termasuk namun tidak terbatas di dalamnya uraian kinerja perusahaan minimal 2 (dua) tahun terakhir dan kapasitas tangki yang dimiliki atau yang disewa;
Ya
Ya
Ya (tidak
Akte Pendirian Perusahaan berikut perubahannya dilengkapi dengan bukti laporan atau persetujuan dari Departemen Hukum dan
Ya
termasuk kapasitas tangki yang dimiliki atau disewa) Ya
Ya
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
50
No.
Dokumen yang dibutuhkan
Penjual
Pembeli (Processor)
Pembeli (Non Processor)
Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) Surat Referensi dari Bank
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Izin Usaha Industri dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) / Departemen Perindustrian Surat Keputusan Menteri Keuangan tentang penetapan sebagai kawasan berikat dan pemberian persetujuan kepada pengusaha di kawasan berikat Laporan Keuangan Perusahaan yang sudah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik periode 2 (dua) tahun terakhir Bank Garansi sebesar Rp 500.000.000,- (lima ratus juta Rupiah) atau Deposito Berjangka 1 (satu) tahun pada Bank yang ditunjuk oleh Bursa dan hanya dapat dicairkan atas perintah Bursa dengan jumlah minimal sebesar Rp 500.000.000,- (lima ratus juta Rupiah) Membayar biaya kepesertaan Rp 1.000.000 (satu juta Rupiah) per tahun yang dibayar di muka (setelah dinyatakan sebagai Peserta oleh Bursa).
Tidak
Ya
Tidak
Tidak
Ya
Tidak
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
HAM;
3. 4. 5. 6.
7.
8.
9.
10.
Sumber: www.bbj-jfx.com (diolah peneliti)
1. Satuan Transaksi a) Satuan transaksi dinyatakan dalam Lot. b) (satu) Lot sama dengan 500 (lima ratus) ton atau sama dengan 500.000 (limaratus ribu) kilogram. c) Penawaran beli atau penawaran jual dilakukan minimal 1 (satu) Lot atau kelipatannya.
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
51
2. Kuotasi Harga Pasar Lokal a) Kuotasi harga pasar lokal dinyatakan dalam Rupiah per kilogram termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN). b) Besar kelipatan harga adalah Rp 1 (satu Rupiah) per kilogram. 3. Jenis dan Tempat Penyerahan Jenis dan tempat penyerahan adalah Loco pabrik penjual atau Free on Board (FOB) pelabuhan muat atau Franco pabrik Pemenang Lelang. 4. Jam Perdagangan a) Perdagangan diselenggararakan setiap hari kerja, Senin sampai dengan Jumat, mulai pukul 10:45 WIB (GMT + 7) sampai dengan pukul 17:00 WIB (GMT + 7) yang setiap harinya dibagi menjadi 5 (lima) sesi perdagangan. b) Setiap sesi perdagangan dilakukan lelang selama 45 (empat puluh lima) menit dengan jadwal sebagai berikut: (1) Pukul 11.00 WIB (GMT + 7) sampai dengan 11.45 WIB (GMT + 7) (2) Pukul 13.00 WIB (GMT + 7) sampai dengan 13.45 WIB (GMT + 7) (3) Pukul 14.00 WIB (GMT + 7) sampai dengan 14.45 WIB (GMT + 7) (4) Pukul 15.00 WIB (GMT + 7) sampai dengan 15.45 WIB (GMT + 7) (5) Pukul 16.00 WIB (GMT + 7) sampai dengan 16.45 WIB (GMT + 7) Jam yang menjadi patokan adalah jam di Komputer Server yang dapat dilihat dilayar monitor komputer Peserta. c) Jam perdagangan tersebut di atas dapat diubah dari waktu ke waktu oleh Bursa berdasarkan rekomendasi tertulis dari Komite. 5. Biaya Transaksi a) Biaya transaksi ditagih secara berkala oleh Bursa kepada Peserta. b) Biaya transaksi yang ditagih sudah termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN). c) Untuk setiap transaksi yang terjadi, besarnya biaya transaksi yang harus dibayaroleh penjual dan Pemenang Lelang masing-masing sebesar Rp 1 (satu Rupiah) per kilogram.
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
52
6. Mekanisme Transaksi Lelang Keseluruhan (ALL or None) a) Sebelum bertransaksi, seluruh Peserta harus memasukkan kode akun (account ID) dan kode rahasia (password). Penyalahgunaan kode akun menjadi tanggung jawab pemilik kode akun. b) Peserta penjual wajib memasukkan pilihan bahwa jumlah barang yang akan dijual dapat dibeli secara keseluruhan (all or none), lokasi barang, mutu, jumlah, jenis dan tempat penyerahan selambat-lambatnya 7 (tujuh) menit sebelum lelang Paket yang bersangkutan dimulai. c) Peserta penjual wajib memasukkan harga patokan jual (reverse price) selambat-lambatnya 1 (satu) menit sebelum lelang Paket yang bersangkutan dimulai. d) Peserta penjual tidak dapat menjual Paket apabila harga penawaran tertinggi lebih rendah dari batas harga patokan jual (reverse price). e) Peserta pembeli yang memasukkan penawaran beli, tidak akan ditampilkan identitasnya di terminal komputer masing-masing Peserta sampai berakhirnya sesi perdagangan yang bersangkutan. f) Peserta pembeli dapat memasukkan penawaran beli selama sesi perdagangan berlangsung. g) Penawaran beli yang sudah dimasukkan oleh Peserta pembeli ke dalam Komputer Server tidak dapat dibatalkan. h) Selama sesi perdagangan berlangsung, di layar komputer masing-masing Peserta akan ditampilkan informasi mengenai harga penawaran tertinggi dan kode akun dari Peserta pembeli yang melakukan penawaran tertinggi tersebut, serta waktu Lelang yang tersisa pada sesi tersebut. i) Setelah sesi perdagangan yang bersangkutan berakhir, Komputer Server menyampaikan kepada seluruh Peserta pembeli mengenai informasi harga penawaran tertinggi dan kode akun dari Peserta pembeli yang melakukan penawaran tertinggi tersebut. j) Setelah pemenang ditentukan, semua penawaran beli dengan identitas pembelinya akan ditampilkan bagi seluruh Peserta.
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
53
k) Peserta penjual tidak dapat mengajukan penawaran atas barangnya sendiri. l) Setelah sesi perdagangan berakhir dan harga penawaran dari peserta pembeli tidak mencapai harga patokan jual (reverse price), maka harga patokan jual m) (reverse price) tersebut akan diinformasikan kepada seluruh Peserta sebelusesi perdagangan berikutnya dimulai. 7. Penyerahan a) Paling lambat 14 (empat belas) hari kalender setelah pembayaran efektif pada rekening penjual, penjual wajib menyerahkan barang kepada Pemenang Lelang. b) Apabila
pada
waktu
penyerahan/pengapalan
penjual
tidak
dapat
menyerahkan/mengapalkan barang, maka untuk setiap hari keterlambatan penjual dikenakan denda bunga atas keterlambatan (overdue interest) yang besarnya ditetapkan oleh Bursa. c) Bursa menetapkan denda bunga atas keterlambatan (overdue interest) berdasarkan tingkat suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang berlaku pada minggu terakhir bulan sebelumnya. d) Sebelum tanggal rencana kapal sandar/merapat ke dermaga, Pemenang Lelang wajib memberitahukan kepada penjual nama kapal paling lambat 3 (tiga) hari kalender sebelum jadwal pengambilan oleh Pemenang Lelang. Apabila Pemenang Lelang tidak mengambil barang dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari kalender setelah pembayaran efektif pada rekening penjual, maka ketersediaan barang akan dijadwal ulang sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak. e) Analisa kualitas dan kuantitas barang final dilakukan ditempat penyerahan oleh surveyor independen yang ditunjuk oleh Bursa, dan biaya analisa menjadi beban Pemenang Lelang. f) Apabila terjadi kelebihan muat, penjual menerbitkan tagihan (invoice) terpisah atas kelebihan muat tersebut, atau, apabila terjadi kekurangan muat, atas kekurangan muat tersebut Pemenang Lelang menerbitkan tagihan (invoice) terpisah dalam batas toleransi. Selisih kelebihan atau
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
54
kekurangan muat tersebut dihitung berdasarkan harga transaksi dan akan dibayarkan atau ditagihkan kepada penjual atau Pemenang Lelang paling lambat 7 (tujuh) hari kalender sejak diterbitkannya invoice setelah mendapat informasi dari Bursa.
4.3 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 (UU PPN tahun 2009) merupakan perubahan ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. UU PPN tahun 2009 ini yang akan lebih banyak digunakan penulis dalam skripsi ini, karena merupakan undang-undang PPN yang masih berlaku saat ini. Berikut di bawah ini ketentuan-ketentuan pada UU PPN tahun 2009 yang berkaitan dengan jasa perdagangan CPO:
4.3.1 Daerah Pabean Pasal 1 angka 1 menyebutkan bahwa pengertian Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara diatasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang yang mengatur mengenai kepabeanan.
4.3.2 Barang Pasal 1 angka 2 barang menyebutkan bahwa barang adalah barang berwujud, yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud.
4.3.3 Barang Kena Pajak Pasal 1 angka 3 menyebutkan bahwa barang kena pajak adalah barang yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang ini.
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
55
4.3.4 Penyerahan Barang Kena Pajak Pasal 1 angka 4 menyebutkan bahwa penyerahan barang kena pajak adalah setiap kegiatan penyerahan barang kena pajak
4.3.5 Jasa Pasal 1 angka 5 menyebutkan bahwa pengertian jasa adalah setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan.
4.3.6 Jasa Kena Pajak Pasal 1 angka 6 menyebutkan bahwa Jasa Kena Pajak adalah jasa yang dikenai pajak berdasarkan undang-undang ini.
4.3.7 Penyerahan Jasa Kena Pajak Pasal 1 angka 7 menyebutkan bahwa penyerahan Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan pemberian Jasa Kena Pajak.
4.3.8 Perdagangan Pasal 1 angka 12 menyebutkan bahwa perdagangan adalah kegiatan usaha membeli dan menjual, termasuk kegiatan tukar-menukar barang, tanpa mengubah bentuk dan/atau sifatnya.
4.3.9 Badan Pasal 1 angka 13 menyebutkan bahwa badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
56
politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
4.3.10 Pengusaha Pasal ayat 1 menyebutkan bahwa pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar daerah pabean, melakukan usaha jasa termasuk mengekspor jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar daerah pabean.
4.3.11 Pengusaha Kena Pajak Pasal 1 angka 15 menyebutkan bahwa Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan undang-undang ini, tidak termasuk Pengusaha Kecil yang batasannya ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010 tentang Batasan Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai, kecuali Pengusaha Kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
4.3.12 Dasar Pengenaan Pajak Pasal 1 angka 17 menyebutkan bahwa dasar pengenaan pajak adalah jumlah harga jual, penggantian, nilai impor, nilai ekspor, atau nilai lain yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang.
4.3.13 Penggantian Pasal 1 angka 19 menyebutkan bahwa penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan jasa kena pajak, ekspor jasa kena pajak, atau ekspor barang kena pajak tidak berwujud, tetapi tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang ini dan potongan
harga yang
dicantumkan dalam faktur pajak atau nilai berupa uang yang dibayar atau
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
57
seharusnya dibayar oleh penerima jasa karena pemanfaatan jasa kena pajak dan/atau oleh penerima manfaat barang kena pajak tidak berwujud karena pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean.
4.3.14 Pembeli Pasal 1 angka 21 menyebutkan pembeli adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau seharusnya menerima penyerahan barang kena pajak dan membayar atau seharusnya membayar harga barang kena pajak tersebut.
4.3.15 Penerima Jasa Pasal 1 angka 22 menyebutkan bahwa Penerima jasa adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau seharusnya menerima penyerahan Jasa Kena Pajak dan yang membayar atau seharusnya membayar Penggantian atas Jasa Kena Pajak tersebut.
4.3.16 Faktur Pajak Pasal 1 angka 23 menyebutkan bahwa faktur pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh pengusaha kena pajak yang melakukan penyerahan barang kena pajak atau penyerahan jasa kena pajak.
4.3.17 Pajak Masukan Pasal 1 angka 24 menyebutkan bahwa Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak dan/atau pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan/atau impor Barang Kena Pajak.
4.3.18 Pajak Keluaran Pasal 1 angka 25 menyebutkan bahwa Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak yang
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
58
melakukan penyerahan Barang Kena Pajak, penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau ekspor Jasa Kena Pajak.
4.3.19 Pemungut Pajak Pertambahan Nilai Pasal 1 angka 27 menyebutkan bahwa pemungut pajak pertambahan nilai adalah bendahara pemerintah, badan, atau instansi pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk memungut, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang oleh pengusaha kena pajak atas penyerahan barang kena pajak dan/atau penyerahan jasa kena pajak kepada bendahara pemerintah, badan, atau instansi pemerintah tersebut.
4.3.20 Penyerahan Barang Kena Pajak Pasal 1A ayat (1) menyebutkan bahwa pengertian penyerahan barang kena pajak adalah: a. penyerahan hak atas barang kena pajak karena suatu perjanjian b. pengalihan barang kena pajak karena suatu perjanjian sewa beli dan/atau perjanjian sewa guna usaha (leasing) c. penyerahan barang kena pajak kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang d. pemakaian sendiri dan/atau pemberian cuma-cuma atas barang kena pajak e. barang kena pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan f. penyerahan barang kena pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan barang kena pajak antar cabang g. penyerahan barang kena pajak secara konsinyasi, dan h. penyerahan barang kena pajak oleh pengusaha kena pajak dalam rangka perjanjian pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah, yang penyerahannya dianggap langsung dari pengusaha kena pajak kepada pihak yang membutuhkan barang kena pajak.
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
59
4.3.21 Tidak Termasuk Penyerahan Barang Kena Pajak Pasal 1A ayat (2) menyebutkan bahwa yang tidak termasuk dalam pengertian penyerahan barang kena pajak adalah: a. penyerahan barang kena pajak kepada makelar sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang b. penyerahan barang kena pajak untuk jaminan utang-piutang c. penyerahan barang kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f dalam hal pengusaha kena pajak melakukan pemusatan tempat pajak terutang d. pengalihan barang kena pajak dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha dengan syarat pihak yang melakukan pemgalihan dan yang menerima pengalihan adalah pengusaha kena pajak e. barang kena pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, dan yang pajak masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c.
4.3.22 Objek Pajak Pertambahan Nilai Berdasarkan pasal 4 ayat (1), Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas: a. penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha; b. impor Barang Kena Pajak; c. penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha; d. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; f. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak; g. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak; dan h. ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
60
Penentuan objek pajak dalam pasal 4 UU PPN tahun 2009 menggunakan pendekatan positive list yang mana objek yang dapat dikenakan pajak adalah yang disebutkan atau dinyatakan dalam peraturan perundang-undangan.
4.3.23 Barang yang Tidak Dikenakan PPN Pasal 4A ayat (2) menyebutkan bahwa jenis barang yang tidak dikenakan PPN adalah barang tertentu dalam kelompok barang sebagai berikut: a. barang hasil pertabangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya. b. barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak c. makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak , termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oelh usaha jasa boga atau catering, dan d. uang, emas batangan, dan surat berharga.
4.3.24 Jenis Jasa yang Tidak Dikenakan PPN Berdasarkan Pasal 4A ayat (3), jenis jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai adalah jasa tertentu dalam kelompok jasa sebagai berikut: a. jasa pelayanan kesehatan medis; b. jasa pelayanan sosial; c. jasa pengiriman surat dengan perangko; d. jasa keuangan; e. jasa asuransi; f. jasa keagamaan; g. jasa pendidikan; h. jasa kesenian dan hiburan; i. jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan;
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
61
j. jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jas angkutan udara luar negeri; k. jasa tenaga kerja; l. jasa perhotelan; m. jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum; n. jasa penyediaan tempat parkir; o. jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam; p. jasa pengiriman uang dengan wesel pos; dan q. jasa boga atau katering. Penentuan jenis jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai dalam pasal 4A ayat (3) UU PPN tahun 2009 menggunakan pendekatan negative list yang mana jenis jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai adalah yang disebutkan atau dinyatakan dalam peraturan perundang-undangan, selain yang disebutkan di undang-undang berarti merupakan jasa yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. Dalam Pasal 4A ayat (3) tidak terdapat jasa perdagangan, sehingga jasa perdagangan merupakan jenis jasa yang dikenakan PPN.
4.3.25 Tarif PPN dan Cara Menghitung PPN Tarif PPN sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7 ayat (1) dan (2) adalah sebagai berikut: 1) Tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah 10% (sepuluh persen) 2) Tarif Pajak Pertambahan Nilai sebesar 0% (nol persen) diterapkan atas: a. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud; b. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; dan c. ekspor Jasa Kena Pajak. Cara menghitung PPN terutang diatur dalam Pasal 8A ayat (1) yaitu PPN yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dengan Dasar Pengenaan Pajak yang meliputi harga jual, penggantian, nilai impor, nilai ekspor, atau nilai lain.
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
62
4.3.26 Saat Terutang PPN Berdasarkan Pasal 11 ayat (1), terutangnya pajak terjadi pada saat: a. penyerahan Barang Kena Pajak; b. impor Barang Kena Pajak; c. penyerahan Jasa Kena Pajak; d. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean; e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean; f. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud; g. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; atau h. ekspor Jasa Kena Pajak.
Selanjutnya pada ayat (2) disebutkan dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak atau dalam hal pembayaran dilakukan sebelum dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, saat terutangnya pajak adalah pada saat pembayaran. Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan saat lain sebagai saat terutangnya pajak dalam hal saat terutangnya pajak sukar ditetapkan atau terjadi perubahan ketentuan yang dapat menimbulkan ketidakadilan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2002 Pasal 13 ayat (4), terutangnya Pajak atas penyerahan Jasa Kena Pajak, terjadi pada saat mulai tersedianya fasilitas atau kemudahan untuk dipakai secara nyata, baik sebagian atau seluruhnya.
4.3.27 Tempat Terutang PPN Tempat terutang PPN sesuai dengan Pasal 12 ayat (1) adalah di tempat tinggal atau tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha dilakukan atau tempat lain selain tempat tinggal atau tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha dilakukan yang diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak. Berdasarkan ayat (2) atas pemberitahuan secara tertulis dari Pengusaha Kena Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan 1 (satu) tempat atau lebih sebagai tempat pajak terutang.
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
63
Dalam hal impor, terutangnya pajak terjadi di tempat Barang Kena Pajak dimasukkan dan dipungut melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Orang pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d dan huruf e terutang pajak di tempat tinggal atau tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha.
4.4 Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-145/PJ./2010 tentang Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa Perdagangan Pada 22 Desember 2010, Direktur Jenderal Pajak mencabut SE08/PJ.52/1996 melalui SE-145/PJ/2010. Secara umum, tidak banyak perubahan yang dilakukan Dirjen Pajak dalam SE-145/PJ/2010. Perubahan yang diatur oleh SE ini terkait dengan perlakuan PPN untuk penyerahan jasa perdagangan ke luar Daerah Pabean (ekspor JKP). Pengertian jasa perdagangan dalam SE-145/PJ/2010 adalah jasa yang diberikan oleh orang atau badan kepada pihak lain, dengan menghubungkan pihak lain tersebut kepada pembeli barang pihak lain itu, atau menghubungkan pihak lain tersebut kepada penjual barang yang akan dibeli pihak lain itu. Dengan demikian, jasa perdagangan dapat berupa jasa perantara, jasa pemasaran, dan jasa mencarikan penjual atau pembeli. Dalam butir 3, Direktur Jenderal Pajak kembali memberikan penegasan bahwa penyerahan jasa perdagangan yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai dalam hal penyerahan jasa perdagangan dilakukan di dalam Daerah Pabean, ditentukan dengan kondisi-kondisi sebagai berikut : a. pengusaha jasa perdagangan dan penjual barang selaku penerima jasa perdagangan berada di dalam Daerah Pabean, sedangkan pembeli dapat berada di dalam atau di luar Daerah Pabean; b. pengusaha jasa perdagangan dan pembeli barang selaku penerima jasa perdagangan berada di dalam Daerah Pabean, sedangkan penjual dapat berada di dalam atau di luar Daerah Pabean; c. pengusaha jasa perdagangan dan pembeli barang berada di dalam Daerah Pabean, sedangkan penjual barang selaku penerima jasa perdagangan berada di luar Daerah Pabean;
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
64
d. pengusaha jasa perdagangan dan penjual barang berada di dalam Daerah Pabean, sedangkan pembeli barang selaku penerima jasa perdagangan berada di luar Daerah Pabean; atau e. pengusaha jasa perdagangan berada di dalam Daerah Pabean, sedangkan penjual barang dan pembeli barang yang salah satunya adalah penerima jasa perdagangan berada di luar Daerah Pabean.
Sedangkan pemanfaatan jasa perdagangan dari luar Daerah Pabean yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai disebutkan dalam angka 4 yaitu dalam hal kegiatan pemanfaatan jasa perdagangan tersebut dilakukan di dalam Daerah Pabean, dengan kondisi-kondisi sebagai berikut: a. pengusaha jasa perdagangan berada di luar Daerah Pabean, sedangkan penjual barang selaku penerima jasa perdagangan dan pembeli barang berada di dalam Daerah Pabean; b. pengusaha jasa perdagangan berada di luar Daerah Pabean, sedangkan pembeli barang selaku penerima jasa perdagangan dan penjual barang berada di dalam Daerah Pabean; c. pengusaha jasa perdagangan dan penjual barang berada di luar Daerah Pabean, sedangkan pembeli barang selaku penerima jasa perdagangan berada di dalam Daerah Pabean; atau d. pengusaha jasa perdagangan dan pembeli barang berada di luar Daerah Pabean, sedangkan penjual barang selaku penerima jasa perdagangan berada di dalam Daerah Pabean.
Jasa perdagangan yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai disebutkan dalam angka 5 yaitu dalam hal penyerahan jasa perdagangan dilakukan di luar Daerah Pabean, ditetapkan dengan kondisi-kondisi sebagai berikut : a. pengusaha jasa perdagangan dan penjual barang selaku penerima jasa perdagangan berada di luar Daerah Pabean, sedangkan pembeli barang berada di dalam Daerah Pabean; atau
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
65
b. pengusaha jasa perdagangan dan pembeli barang selaku penerima jasa perdagangan berada di luar Daerah Pabean, sedangkan penjual barang berada di dalam Daerah Pabean.
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
66
BAB 5 ANALISIS KEBIJAKAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS JASA PERDAGANGAN CRUDE PALM OIL (CPO)
Pada bab ini peneliti akan mengemukakan hasil temuan di lapangan mengenai perdagangan CPO yang dilakukan PT XYZ yang dalam mekanisme transaksi penjualannya ternyata tidak langsung kepada pembeli, melainkan melalui PT ABC, yang didalam skema transaksi lelangnya terdapat broker lokal sebagai perantara untuk tujuan ekspor, serta PT BBJ sebagai alternatif penjualan CPO dalam negeri. Dari masing-masing skema transaksi tersebut peneliti akan menghubungkannya dengan pengertian jasa perdagangan di dalam SE145/PJ/2010, UU PPN No. 42 Tahun 2009, peraturan dan teori yang terkait, dan juga prinsip kepastian.
5.1 Transaksi-transaksi di dalam Perdagangan CPO PT XYZ terkait dengan Jasa Perdagangan Untuk membahas transaksi-transaksi yang terjadi dalam perdagangan CPO PT XYZ terkait dengan jasa perdagangan, peneliti membagi menjadi beberapa sub-bab sebagai berikut: 5.1.1 Transaksi Perdagangan CPO PT XYZ oleh PT ABC Di dalam penelitian yang telah dilakukan, peneliti telah mengkaji dan mempelajari lebih lanjut bagaimana sebenarnya mekanisme perdagangan CPO PT XYZ dalam prakteknya di lapangan. Melalui data-data dan sumber yang didapat, ternyata penjualan CPO dari PT XYZ tidak langsung kepada pembeli, namun PT XYZ membentuk PT ABC sebagai anak perusahaan yang dibentuk berdasarkan persetujuan para dewan direksi PT XYZ, sebagai badan yang memasarkan CPO milik PT XYZ melalui lelang/tender. Untuk lebih jelas melihat transaksi tersebut peneliti membuat skema sebagai berikut:
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
67
Gambar 5.1 Skema Transaksi PT XYZ dan PT ABC dalam Perdagangan CPO
PT XYZ Memanfaatkan jasa PT ABC untuk penjualan domestik dan ekspor
Melakukan lelang CPO PT XYZ
PT ABC
Sumber : diolah peneliti
M. Loyns, sebagaimana dikutip oleh Rosdiana, Irianto, dan Putranti, mendefinisikan bahwa anak perusahaan atau subsidiary company adalah “company effectively controlled by another company (i.e the parent company), or any company is an unbroken chain of companies beginning with the parent company, if each of the companies (other than the last one controls one other company in the chain). A subsidiary may be domestic or foreign, depending where it is located. A subsidiary, unlike a branch, is a separate legal entity from its parent company.” (Rosdiana, Irianto, dan Putranti, 2011, 206) Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dilihat bahwa PT ABC sebagai anak perusahaan milik PT XYZ merupakan sebuah entitas hukum yang terpisah dari PT XYZ. Di dalam UU PPN dijelaskan konsep taxable person atas cabang yang memungkinkan apakah cabang-cabang akan berdiri sendiri atau didaftarkan menjadi satu taxable person, yang konsekuensinya penyerahan antar cabang menjadi bukan penyerahan kena pajak. Namun, tidak mengatur terhadap subsidiaries diperlakukan hal yang sama dengan cabang dalam hal didaftarkan menjadi satu taxable person. Sehingga penyerahan dari parent company kepada subsidiaries tetap terutang PPN. Hal ini dikemukakan pula oleh Anang Mury Kurniawan sebagai akademisi perpajakan di Pusdiklat Pajak yang mengatakan bahwa:
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
68
“Secara concept group, barang itu memang milik perusahaan, tapi kalau kita lihat dari sisi pemajakan kan, melihatnya dari entitas” (Wawancara dengan Anang Mury Kurniawan, 5 Juni 2012) Berdasarkan sejarah pembentukannya sejak tahun 1990, PT ABC belum merupakan badan hukum berbentuk Perseroan Terbatas (PT), namun hanya berbentuk kantor pemasaran yang pada akhirnya pada tahun 2009 baru diresmikan sebagai badan hukum yang sah. Namun di dalam pasal 1 angka 13 UU PPN tahun 2009 disebutkan bahwa perkumpulan atau lembaga juga termasuk di dalam pengertian badan. Anang Mury Kurniawan pun juga berpendapat sebagai berikut: “Kalau di Undang-Undang Pajak, subjek pajak itu tidak hanya dilihat dari bentuk formal. Bahwa substansi juga sangat berpengaruh. Jadi di dalam Undang-Undang Pajak kan yang namanya badan tidak mesti harus berbentuk hukum. Kumpulan orang itu bisa dijadikan definisi badan. Saya kembali ke tadi, ketika dia belum menjadi PT. Kalau dia sudah melakukan aktivitas seperti itu secara subtantif, ada kriteria kumpulan orang, kumpulan modal, dan terima fee dan sebagainya, ya itu sudah masuk di dalam definisi badan. Walaupun secara formal belum berbentuk badan hukum” (Wawancara dengan Anang Mury Kurniawan, 5 Juni 2012) Jika dilihat dari entitasnya, PT XYZ merupakan BUMN yang melakukan kegiatan usaha di bidang perkebunan. PT ABC sebagai badan pemasaran miliknya juga merupakan BUMN. Jika dikaji lebih lanjut dari konsep taxable person, badan pemerintah baik pada tingkat pusat maupun daerah harus dikategorikan sebagai taxable person jika melakukan kegiatan ekonomi. Sebagai contoh di Indonesia, seperti Badan Usaha Milik Negara dan/atau Daerah (BUMN/D) yang melakukan kegiatan usaha (business activities) dan melakukan penyerahan kena pajak (taxable supply), maka termasuk dalam pengertian taxable person. Namun demikian, instansi pemerintah yang semata-mata melakukan kegiatan umum (public sector) dan tidak melakukan kegiatan komersial/ekonomi (not-commercial activities), maka tidak dikategorikan sebagai taxable person. (Rosdiana, Irianto, dan
Putranti, 2011, 207). PT XYZ sebagai entitas hukum yang berbentuk
Perseroan Terbatas (PT) tujuannya adalah mendapatkan laba yang sebesarbesarnya dari penjualan CPO miliknya. Sehingga tidak dapat dikategorikan PT XYZ tidak melakukan kegiatan yang tidak komersial/ekonomi karena tujuannya semata-mata bukan hanya pelayanan kepada publik, namun juga profit-oriented.
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
69
Menurut William, sebagaimana dikutip Thuronyi, syarat-syarat suatu penyerahan dianggap terutang PPN lebih cenderung bersifat kumulatif (bukan alternatif), dimana suatu penyerahan dianggap terutang PPN apabila: a) transaksinya merupakan transaksi penyerahan barang dan jasa b) penyerahan tersebut tidak termasuk yang dikecualikan dari pengenaan PPN c) penyerahan terutang tersebut dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak menurut ketentuan PPN d) penyerahan tersebut dilakukan dalam ruang lingkup bisnis (dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya) dan bukan bagian dari hobi atau aktivitas non bisnis lainnya. ( Thuronyi, 1996, h.184) Peneliti melihat bahwa syarat-syarat yang diungkapkan oleh Thuronyi tersebut terpenuhi secara kumulatif oleh PT ABC. Di dalam lingkup penyerahan jasa yang dilakukan oleh PT ABC kepada PT XYZ, jasa pemasaran untuk mencarikan pembeli ataupun jasa perantara tidak termasuk dalam kategori jasa yang tidak dikenakan PPN atau negative list Jasa Kena Pajak sebagaimana diatur di dalam pasal 4A ayat 3 UU PPN Tahun 2009, sehingga jasa tersebut termasuk Jasa Kena Pajak. Untuk lebih jelasnya, penulis sajikan jasa-jasa yang tidak dikenakan PPN di dalam Pasal 4A ayat 3 UU PPN tentang jenis barang dan jasa yang tidak dikenakan PPN, sebagai berikut: a. jasa pelayanan kesehatan medis; b. jasa pelayanan sosial; c. jasa pengiriman surat dengan perangko; d. jasa keuangan; e. jasa asuransi; f. jasa keagamaan; g. jasa pendidikan; h. jasa kesenian dan hiburan; i. jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan; j. jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jas angkutan udara luar negeri; k. jasa tenaga kerja; l. jasa perhotelan;
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
70
m. jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum; n. jasa penyediaan tempat parkir; o. jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam; p. jasa pengiriman uang dengan wesel pos; dan q. jasa boga atau katering. Berkaitan dengan jasa yang dilakukan PT ABC kepada PT XYZ, peneliti mengkategorikan bahwa jasa tersebut dapat termasuk dalam jasa perdagangan dalam Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE 145/PJ/2010. Hal ini didukung pula oleh Hariyanto sebagai Pelaksana Seksi Peraturan Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa di Direktorat Jenderal Pajak, yang mengatakan bahwa: “Dilihat dulu kontraknya dengan PT XYZ dia kan menjualkan lelang. Ini ada penyerahan barangnya kemana. Kan kalau disini PT ABC cuma jasa perdagangannya kan, dia gak ada sama sekali membeli dari PT XYZ itu berarti jasa perdagangan” (Wawancara dengan Hariyanto, 7 Juni 2012) Pengertian perdagangan dan jasa perdagangan berbeda di dalam prakteknya. Di dalam UU PPN Tahun 2009 pengertian perdagangan diatur dalam pasal 1 angka 12, menjelaskan bahwa “perdagangan adalah kegiatan usaha membeli dan menjual. termasuk kegiatan tukar menukar barang, tanpa mengubah bentuk dan sifatnya” Adanya kegiatan jual dan beli di dalam aktivitas jasa perdagangan yang dilakukan oleh pengusaha, tidak dapat dikategorikan sebagai jasa perdagangan menurut SE-145/PJ/2010. Purwitohadi sebagai Kepala bidang sub PPN dan PPnBM di Badan kebijakan Fiskal setuju akan hal itu: “Kalau pemberi jasa perdagangan sampai membeli barang itu, berarti itu bukan perantara ya, memang dia dagang. Bukan jasa. Kita harus lihat skemanya seperti apa, apakah ke makelar apakah murni jasa perdagangan” (Wawancara dengan Purwitohadi, 8 Juni 2012) Ketentuan apakah pengusaha jasa perdagangan me-manage inventory jika dihubungkan ke dalam jasa perdagangan terdapat beberapa pendapat, seperti Anang Mury Kurniawan yang mengatakan bahwa:
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
71
“Kalau jasa perdagangan definisi yang baku di SE 145 itu, dia mempertemukan penjual dan pembeli. Jadi dia tidak me-manage inventory. Tapi dalam praktek definisi perdagangan bisa me-manage inventory dalam arti seperti ini, saya membeli kemudian menjual. Itu lazim digunakan salah satunya untuk skema transfer pricing untuk misalnya mengelabui harga real transaksi sebenarnya. Itu termasuk jasa perdagangan secara prinsip, karena tidak ada inventory yang dia manage cuma dokumentasi seakan-akan ada pembelian ” (Wawancara dengan Anang Mury Kurniawan, 5 Juni 2012) Lain halnya dengan Anang Mury Kurniawan, Untung Sukardji sebagai akademisi perpajakan di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) yang memaparkan bahwa dalam jasa perdagangan apakah pengusaha mengatur barang atau tidak itu bukanlah faktor yang relevan: “Kalau komisioner itu di kitab Undang-Undang Hukum Dagang, itu udah diatur. Bahwa komisioner itu dapat membentuk perjanjian atas nama dirinya sendiri, untuk kepentingan pemilik barang. Beda dengan makelar, kalau makelar itu gak pegang barang, tapi komisioner pegang. Jadi gak selalu jasa perantara itu tidak pegang barang. Kalau makelar hanya menawarkan, yang dia bawa hanya barang contoh. Kalau komisioner enggak, barang diserahkan kepada komisioner, kemudian komisioner menentukan harga boleh berbeda dengan harga yang diminta oleh pemilik barang. Itu termasuk jasa perdagangan juga. Jadi jasa perdagangan itu hanya bergerak sebagai perantara. Jadi ketentuan dia pegang barang atau tidak itu bukan faktor yang relevan” (Wawancara dengan Untung Sukardji, 5 Juni 2012) Direktorat Jenderal Pajak menerbitkan SE-145/PJ/2010 pada tanggal 2 Desember 2010 yang mengatur tentang PPN atas Jasa Perdagangan, dimana pengertian jasa perdagangan di dalam SE tersebut berbunyi: “jasa perdagangan adalah jasa yang diberikan oleh orang atau badan kepada pihak lain, dengan menghubungkan pihak lain tersebut kepada pembeli pihak lain itu, atau menghubungkan pihak lain tersebut kepada penjual barang yang akan dibeli pihak lain itu. Dengan demikian, jasa perdagangan dapat berupa jasa perantara, jasa pemasaran, dan jasa mencarikan penjual dan pembeli” Inti dari SE 145/PJ/2010 adalah menegaskan tentang terutang atau tidaknya PPN atas pemberian atau pemanfaatan jasa perdagangan dikaitkan dengan pihak yang terlibat, apakah di dalam (non cross border) atau di luar daerah pabean (cross border). Di dalam mekanisme penyerahan jasa oleh PT ABC kepada PT XYZ serta pembeli CPO, semua pihak berada di dalam daerah pabean, sehingga dikategorikan sebagai penyerahan non cross border. Sesuai
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
72
pada angka 3 huruf a dimana jasa perdagangan yang dilakukan di dalam daerah pabean dapat dikenai PPN apabila terdapat fakta sebagai berikut: a. pengusaha jasa perdagangan dan penjual barang selaku penerima jasa perdagangan berada di dalam daerah pabean, sedangkan pembeli dapat berada di dalam atau di luar Daerah Pabean Gambar 5.2 Skema Transaksi Jasa Perdagangan CPO PT XYZ melalui PT ABC dalam SE-145/PJ/2010 Luar daerah pabean Dalam daerah pabean JKP Penjual
PT Jasa
Pembeli
(PT XYZ)
Perdagangan
(Pemenang
(PT ABC) BKP
Lelang)
Sumber : diolah peneliti
PT ABC dalam skema ini bertindak sebagai PT Jasa Perdagangan yang menyerahkan jasa pemasaran atau dalam hal ini PT ABC dapat juga menyerahkan jasa perantara yang menghubungkan PT Penjual yaitu PT XYZ dengan PT Pembeli yaitu peserta lelang CPO. PT X dalam hal ini mendapatkan fee kompensasi 0,5 persen dari harga jual (Agustian dan U. Hadi, 2003, h.271). Harga jual di dalam pasal 1 angka 18 UU PPN mengandung arti: “nilai berupa uang termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut UndangUndang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam faktur pajak” Dari rumusan ini dapat dipahami bahwa apabila dalam harga penyerahan sudah termasuk PPN, maka harga jual dihitung dengan cara mengeluarkan lebih dahulu unsur PPN yang dimaksud. Dengan kata lain, dalam harga jual tidak pernah termasuk PPN. PT ABC mendapatkan fee sebesar 0,5 persen dari harga jual. Fee yang didapatkan oleh PT ABC atas kegiatannya ini termasuk di dalam pengertian nilai penggantian di dalam pasal 1 angka 19 UU PPN, yang memaparkan bahwa nilai penggantian adalah Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
73
“nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan jasa kena pajak, ekspor jasa kena pajak, atau ekspor barang kena pajak tidak berwujud, tetapi tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut UndangUndang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam faktur pajak atau nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh penerima jasa karena pemanfaatan jasa kena pajak dan/atau oleh penerima manfaat barang kena pajak tidak berwujud karena pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean” Di dalam mekanisme pemungutan yang ada di Keputusan Menteri Keuangan Nomor 563/KMK.03/2003 yang diterbitkan tanggal 24 Desember 2003 hanya menunjuk Bendaharawan Pemerintah dan Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara sebagai Pemungut Pajak Pertambahan Nilai, sehingga BUMN yang dahulunya Pemungut PPN, tidak lagi menjadi pemungut PPN yang kemudian mekanisme pemungutan PPN nya disamakan seperti badan lain. Peserta lelang CPO di PT ABC ada dua macam, yang pertama yaitu industri pengolahan yang bertindak sebagai processor CPO yang nantinya akan langsung mengolah CPO tersebut menjadi barang turunannya, misalkan minyak goreng Lalu yang kedua adalah broker lokal yang bertindak bukan sebagai processor CPO, namun nantinya akan memasarkan CPO tersebut ke luar negeri atau untuk tujuan ekspor. Berikut adalah skema peserta lelang CPO di PT ABC:
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
74
Gambar 5.3 Skema Peserta lelang CPO di PT ABC
CPO PT XYZ
Lelang oleh PT ABC
Peserta Lelang Industri
Broker Lokal
Pengolahan
(Non Processor)
(Processor)
Sumber : diolah peneliti
Untuk pengangkutan CPO kepada pemenang lelang, pihak PT XYZ maupun pembeli dapat bertanggungjawab dalam hal penyediaan izin, dokumen, surat-surat, kontrak, alat angkut yang berupa truk, kereta api atau kapal pengangkut. Hal ini tergantung kontrak penjualan yang telah disepakati dan disetujui oleh kedua belah pihak. Bentuk kontrak pengangkutannya sendiri dapat berupa FOB (Freight On Board) atau Franco atau CIF (Cost Insurance Freight). FOB adalah transaksi pengangkutan melalui pelabuhan dimana penjual bertanggung jawab mengantarkan barang hingga ke pelabuhan yang telah disepakati. Sedangkan untuk franco ada yang berupa franco gudang pembeli dan franco pabrik penjual. Untuk franco gudang pembeli maka CPO harus diantarkan oleh penjual dalam hal ini PT XYZ sampai ke gudang pembeli. Penjual juga bertanggungjawab atas biaya, risiko, serta dokumen-dokumen yang diperlukan. Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
75
Sementara untuk franco pabrik penjual maka pembeli sendiri yang mengambil CPO ke pabrik atau gudang PT. XYZ (Games JS, 2010, h. 63). Berdasarkan penjelasan diatas diketahui bahwa tidak ada arus penyerahan BKP berupa CPO dari PT XYZ kepada PT ABC sebagai badan pemasaran, sehingga pemenang lelang di PT X berhubungan langsung kepada PT XYZ dan CPO dikirim langsung kepada pemenang lelang yaitu industri pengolahan (processor) atau broker lokal (non processor).
5.1.2 Transaksi Perdagangan CPO PT XYZ untuk Tujuan Ekspor oleh Broker Lokal sebagai Peserta Lelang CPO di PT ABC Telah dikemukakan oleh peneliti bahwa pembeli CPO atau peserta lelang di PT ABC adalah industri pengolahan (processor) dan broker lokal (non processor). Peneliti dalam hal ini menelusuri lebih lanjut siapakah sebenarnya broker lokal ini apakah dia hanya sebatas broker biasa (trader) atau broker perwakilan dari konsumen luar negeri (representative/buying agent).
Gambar 5.4 Skema Tata Niaga Ekspor CPO PT XYZ PT XYZ
PT ABC
Broker Lokal (Non Processor)
Badan Pemasaran Luar Negeri / Importir Luar Negeri (Non Processor)
Industri Pengolahan Luar Negeri Sumber : diolah oleh peneliti
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
76
Di dalam tata niaga ekspor CPO milik PT XYZ, broker lokal penting fungsinya dalam tujuan ekspor CPO, karena tanpa broker lokal maka ekspor CPO tidak dapat terwujud. Peneliti mengkaji lebih dalam fungsi broker lokal ini, dimana dalam website milik PT ABC terdapat syarat-syarat pembeli ekspor, dimana tertulis hal berikut:
1. 2. 3.
4.
Pembeli Ekspor / Peserta Tender diwajibkan melampirkan dokumendokumen sbb: Company Profile Perusahaan Luar Negeri Referensi Bank Luar Negeri Rekomendasi dari Kedutaan Besar RI di Luar Negeri yang menyatakan bahwa perusahaan principal Luar Negeri adalah benar-benar Perusahaan yang bonafide dan melaksanakan Perdagangan CPO dipasar Internasional. Menyerahkan Bank Garansi Sebesar US$.100.000,- (Seratus Ribu US. Dollar) Di dalam butir ketiga terdapat kalimat “rekomendasi dari Kedutaan Besar
RI di Luar Negeri yang menyatakan bahwa perusahaan principal Luar Negeri adalah benar-benar Perusahaan yang bonafide dan melaksanakan Perdagangan CPO dipasar Internasional”. Hal ini menurut peneliti mengindikasikan bahwa dalam tujuan ekspor, CPO milik PT XYZ harus melalui broker lokal sebagai representative yang merupakan perwakilan pembeli di luar negeri, bukan hanya broker biasa yang berfungsi sebagai trader. Pembeli di luar negeri dalam hal ini bisa berupa badan pemasaran luar negeri ataupun importir luar negeri, yang peneliti misalkan sebagai Co. Ltd. Berikut adalah skema atas transaksi tersebut:
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
77
Gambar 5.5 Skema Transaksi Penyerahan Jasa oleh Broker Lokal untuk Tujuan Ekspor
CO.Ltd Luar Daerah Pabean
Menyerahkan Dalam Daerah Pabean
Penyerahan
Broker lokal
jasa Ke
sebagai
CO.ltd
PT ABC
CPO langsung PT XYZ
dari PT XYZ ke CO
Sumber : diolah oleh peneliti
Fungsi broker lokal sebagai representative disini menjadi peserta lelang atas nama CO.Ltd yang nantinya atas jasanya tersebut mendapatkan fee dari CO.Ltd yang ada diluar negeri atas jasa perantara yang diserahkannya kepada CO.Ltd. Bila merujuk pada SE-145/PJ/2010 tentang jasa perdagangan, kedudukan broker lokal, PT XYZ, dan CO.Ltd dijelaskan didalam angka 3 huruf b yang mana atas penyerahan jasa perdagangan dalam hal: b. pengusaha jasa perdagangan dan pembeli barang selaku penerima jasa perdagangan berada di dalam daerah pabean sedangkan penjual dapat berada di dalam atau diluar daerah pabean Pengusaha jasa perdagangan dalam hal ini adalah broker lokal berada di dalam negeri, lalu yang memanfaatkan jasa perantara oleh broker lokal tersebut adalah CO.Ltd, dan penjual CPOnya berada di dalam daerah pabean yaitu adalah PT XYZ. Transaksi ini termasuk dalam lingkup cross border karena ada pihak
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
78
yang berada di luar daerah pabean yaitu CO.Ltd sebagai penerima jasa. Hal ini didukung dengan terbitnya peraturan pelaksanaan UU PPN tahun 2009 yaitu Peraturan Pemerintah No.1 Tahun 2012 yang pada pasal 6 dijelaskan bahwa : “Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha yang dimanfaatkan di dalam atau di luar Daerah Pabean.” Sehingga atas penyerahan jasa yang dilakukan oleh broker lokal sebagai pengusaha kena pajak, yang dilakukan di dalam daerah Pabean yang kemudian dimanfaatkan oleh CO.Ltd yang berada di luar daerah pabean terutang PPN dan broker lokal wajib memungut PPN atas fee yang didapat dari CO.Ltd, menerbitkan faktur pajak, dan menyetorkannya ke kas negara. Peneliti dalam penelitian ini mengkaji lebih dalam lagi kegiatan ekspor CPO yang terjadi antara PT XYZ dengan CO.Ltd di luar negeri, karena sebenarnya dari transaksi-transaksi yang telah telah uraikan sebelumnya, penjualan CPO tujuan ekspor ternyata tidak langsung dari PT XYZ ke CO.Ltd, namun harus melalui PT ABC dan broker lokal terlebih dahulu. Sehingga peneliti menelusuri apakah transaksi ekspor tersebut benar-benar dapat dikatakan ekspor karena banyak badan-badan yang menjadi perantara di dalam transaksi ekspor tersebut. Pertama peneliti melihat dari fungsi broker lokal sendiri yang menjadi representative atau perwakilan CO.Ltd untuk melakukan lelang CPO, fungsi yang pertama yaitu broker lokal yang memang telah melakukan kegiatan di dalam negeri dan kemudian ditunjuk oleh CO.Ltd untuk menjadi representative dalam melaksanakan lelang. Lalu fungsi yang kedua yaitu broker lokal hanya sebagai trader. Namun keduanya menurut UU PPN Pasal 1 angka 13 merupakan badan, sehingga apabila melakukan penyerahan kena pajak, kecuali pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh Menteri keuangan, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP. Thuronyi menyebutkan bahwa Foreign legal person biasanya tidak disebutkan secara khusus di dalam Undang-Undang PPN. Bagaimanapun juga, diharapkan agar semua legal person mendaftarkan diri untuk tujuan PPN, apabila melakukan aktivitas yang disebutkan dalam Undang-Undang di suatu negara. Menurut Thuronyi, hal ini berarti beberapa cabang ataupun Bentuk Usaha Tetap (permanent establishment) yang berada dalam suatu negara diwajibkan untuk mendaftarkan diri. (Thuronyi, 1996, h.13). Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
79
Namun apabila BUT tersebut tidak menyebabkan BUT fisik dalam kegiatannya di dalam daerah pabean, maka tidak dapat disebut sebagai Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN), contohnya seperti yang disebutkan oleh Anang Mury Kurniawan berikut ini: “Kalau pegawai kemudian melakukan aktivitas lelang, itu tidak dianggap BUT sepanjang pegawai ini keberadaannya di Indonesia tidak menimbulkan BUT fisik. Kalau misalnya dia menyewa tempat untuk kegiatannya ini, itu menimbulkan BUT fisik” (Wawancara dengan Anang Mury Kurniawan, 5 Juni 2012) Peneliti melihat bahwa kegiatan yang dilakukan broker lokal lebih pas dikategorikan sebagai BUT keagenan. BUT keagenan menurut Zakharia adalah: “Dalam tipe ini, BUT Berupa orang pribadi atau badan yang bertindak sebagai agen dari perusahaan luar negeri yang kedudukannya tidak bebas (dependent agent) (Zakaria, 2005, 8).” Dengan kata lain, apabila di negara sumber ada subjek bertindak atas nama suatu perusahaan dari
negara
tax
treaty
pajak
yang
partner
dan
mempunyai kewenangan untuk mengikat perusahaan dari negara treaty partner tersebut biasanya mempergunakan kewenangan tersebut untuk mengadakan perjanjian atas nama perusahaan itu, maka perusahaan tersebut dianggap mempunyai BUT berkenaan dengan setiap kegiatan yang dilakukan oleh Subjek Pajak tersebut. Aktivitas keagenan dapat dijalankan oleh Orang Pribadi dan badan. Dengan keberadaan BUT, untuk tujuan administrasi perpajakan, orang pribadi dan badan yang menjadi agen tersebut mempunyai dua identitas (WPDN untuk dirinya sendiri dan WPLN untuk BUT). BUT keagenan muncul pada saat adanya relasi keagenan dan selesai pada saat putusnya relasi keagenan yang dimaksud. Untuk tujuan ekspor, dokumen Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) sebagai dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak sangatlah penting. Eksportir, dalam hal ini adalah PT XYZ, wajib membuat PEB disertai dokumen pelengkap pabean seperti yang diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor P-41/BC/2008. Untung Sukardji sebagai berpendapat sebagai berikut: “Ekspor dan impor itu sangat formal, jadi yang menentukan itu dokumen, atas nama siapa.”(Wawancara dengan Untung Sukardji, 5 Juni 2012)
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
80
Faktur Pajak adalah bukti pemungutan pajak. Agar Faktur Pajak dapat berfungsi sebagai bagian dari mekanisme pengkreditan Pajak Masukan dengan Pajak Keluaran, Faktur Pajak harus memenuhi dua persyaratan yaitu persyaratan formal dan persyaratan material sesuai dengan ketentuan Pasal 13 ayat (9) UU PPN yang berbunyi: ”Faktur Pajak harus memenuhi persyaratan formal dan material”. Berdasarkan penjelasan Pasal 13 ayat (9), Faktur Pajak dikatakan telah memenuhi persyaratan formal apabila diisi lengkap, jelas, dan benar sesuai dengan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat Pasal 13 ayat (5). Anang Mury Kurniawan dalam pendapatnya berikut membenarkan bahwa syarat formal harus terpenuhi dalam pembuatan PEB: “Kalau dalam UU PPN prinsipnya faktur pajak harus memiliki persyaratan formil dan materiil, disini PEB sebagai faktur pajak. Formilnya yang pertama yang harus kita lihat adalah dokumen PEBnya. Di PEBnya itu PT XYZ ini yang menerbitkan atau tidak. Kalau PT XYZ yang menerbitkan, ini OK memenuhi syarat formil. Nama penjualnya PT XYZ, pembeli adalah X ltd. Ini secara formil memenuhi” (Wawancara dengan Anang Mury Kurniawan, 5 Juni 2012) Selain persyaratan formal, persyaratan material dari Faktur Pajak adalah telah terpenuhi apabila keterangan yang tercantum dalam faktur pajak jelas dan sesuai dengan kejadian transaksi yang sebenarnya dari BKP atau JKP yang diperjualbelikan. Berikut sebagian bunyi penjelasan Pasal 13 ayat (9) UU PPN : “Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak memenuhi persyaratan material apabila berisi keterangan yang sebenarnya atau sesungguhnya mengenai penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, Ekspor Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak, atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.” Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Anang Mury Kurniawan: “Yang kedua secara materiil substansi transaksinya. Ketika membuat perjanjian, PT XYZ ini membuat perjanjian dengan X Ltd atau dengan broker lokal ini. Kalau perjanjiannya dengan broker lokal, berarti perjanjiannya ya dengan broker lokal walaupun ini behalf X ltd. Jadi prinsipnya dia melakukan transaksi dengan BUT X ltd. KPP mungkin tidak melihat broker lokal ini memang mendapatkan fee karena melakukan jasa kepada X Ltd, namun KPP mungkin melihatnya broker ini sebagai
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
81
BUT X Ltd., sehingga dilihat PT XYZ melakukan transaksi dengan pihak di dalam daerah pabean. Jadi materiilnya disini” (Wawancara dengan Anang Mury Kurniawan, 5 Juni 2012) Di dalam modul tentang Hukum Benda yang diterbitkan oleh Diklat Teknis Susbtantif Spesialisasi Pejabat Lelang, disebutkan bahwa: “Pengertian bezit yang dengan iktikad baik adalah penguasaan karena penguasaan atas benda tersebut terjadi tanpa diketahui cacat cela dalam benda tersebut (Ps.531 BWI). Contohnya, seseorang yang menerima warisan dianggap sebagai pemilik barang tersebut, demikian pula seseorang yang menang pada suatu lelang barang. Jadi terdapat alas hak yang sah” Dari keterangan tersebut terdapat kata-kata “seseorang yang menerima warisan dianggap sebagai pemilik barang tersebut, demikian pula seseorang yang menang pada suatu lelang barang”. Hak kepemilikan ini menjadi sangat penting dalam penentuan objek PPN. Dalam pasal 1 huruf a UU PPN beserta penjelasannya, menetapkan bahwa penyerahan BKP adalah penyerahan hak atas barang kena pajak karena suatu perjanjian yang diikuti dengan perpindahan hak. Dalam kasus broker lokal ini maka seharusnya terjadi hak kepemilikan oleh broker lokal atas CPO yang dia lelang. Berita acara lelang dan dokumen kontrak penjualan dapat juga dilihat sebagai bukti dokumen pelengkap pabean apakah terpenuhi syarat materiil. Karena apabila berita acara lelang atas nama broker lokal, sehingga kontrak penjualan dibuat atas nama broker lokal sebagai pemenang lelang, maka PEB dianggap tidak terpenuhi syarat materiilnya. Hal ini juga diungkapkan oleh Purwitohadi: “Jadi kalau misalnya yang jadi peserta lelang bukan badan usaha yang ada di dalam negeri, itu beda ceritanya. Mungkin orang sana datang langsung kesini ditugaskan untuk jadi peserta lelang. Tapi kalau kemudian yang deal adalah WP dalam negeri, berarti harusnya jadi hak si broker ini karena CPO menjadi milik dia. Jadi begini, CPO dilelang yang menang si broker, lalu terserah dia nantinya mau diekspor apa tidak. Ini kan CPOnya milik dia. Mau diekspor silahkan, mau dijual lokal lagi silahkan. Seharusnya dari PT XYZ ke broker buka faktur. Setelah itu broker lah yang harus ekspor. Secara arus uang atau dokumen, harusnya PT XYZ tidak ekspor. Yang urusan ekspor adalah broker dan konsumen luar negeri.”(Wawancara dengan Purwitohadi, 8 Juni 2012) Didalam bunyi penjelasan Pasal 13 ayat (9) UU PPN selanjutnya: “Dengan demikian, walaupun Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
82
dipersamakan dengan Faktur Pajak sudah memenuhi ketentuan formal dan sudah dibayar Pajak Pertambahan Nilainya, apabila keterangan yang tercantum dalam Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya mengenai penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, ekspor Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak, atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak tersebut tidak memenuhi syarat material” Selain itu Tunas Hariyulianto memiliki pendapat sendiri mengenai representative CO.Ltd ini yang menurutnya tetap dapat dianggap sebagai ekspor: “Broker lokal itu kan hanya sebagai perantara. Jadi ada buyer diluar membutuhkan CPO, kemudian CPO nya ada di Indonesia. Yang kemudian penjualan CPO ini harus melalui lelang, kalau lelang berarti kan harus ada yang hadir di lelang itu. Kemudian si buyer ini juga harus mengetahui kualitas secara pasti CPO nya. Apakah CPO ini sesuai atau tidak. Sehingga dia menyuruh pegawainya langsung atau dia meminta bantuan perusahaan dalam negeri untuk memberikan jasa untuk menghadiri lelang. Jadi bisa dibilang broker ini hanya jasa untuk menghadiri lelang” (Wawancara dengan Tunas Hariyulianto, 11 Juni 2011) Seperti diketahui bahwa atas ekspor barang kena pajak dikenakan PPN dengan tarif 0%. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa jumlah Pajak Keluaran selalu lebih kecil daripada jumlah pajak masukan sehubungan dengan perolehan Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak yang berhubungan langsung dengan kegiatan ekspor tersebut. Sehingga PT XYZ dapat mengklaim terus restitusi atas CPO yang diekspornya kalau memang diakui sebagai ekspor.
5.1.3 Transaksi Penjualan CPO PT XYZ oleh PT BBJ Persaingan global komoditi CPO yang dianggap semakin ketat menyebabkan pemerintah pada tanggal 23 Juni 2009 membentuk pemasaran CPO dengan Pasar Fisik Terorganisir yang diselenggarakan oleh PT Bursa Berjangka (PT BBJ) untuk melaksanakan lelang fisik secara elektronik atau on-line. Peluncuran Pasar fisik yang juga merupakan hari pertama perdagangan fisik CPO diresmikan oleh dua menteri yaitu Menteri Negara BUMN dan Menteri Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
83
Perdagangan RI. Dengan demikian pemasaran CPO PT XYZ tidak lagi hanya melalui PT ABC tapi juga melalui PT BBJ. Jika dilihat dari fungsinya, PT BBJ juga dapat dikategorikan memberikan jasa perantara seperti yang dilakukan oleh PT ABC. Pengertian jasa perantara menurut website bea cukai adalah sebagai berikut: “Jasa Perantara adalah imbalan financial yang diberikan kepada suatu pihak
yang
berfungsi
sebagai
perantara
(intermediary)
yang
bertugas
mempertemukan penjual dan pembeli dalam transaksi. Untuk menentukan apakah suatu pihak bertindak sebagai wakil penjual (selling agent), wakil pembeli (buying agent) atau perantara (intermediary) harus dilihat fungsi pihak tersebut dalam transaksi perdagangan mewakili kepentingan siapa.” (www.beacukai.go.id) Berdasarkan pengertian tersebut, PT BBJ bertindak sebagai perantara (intermediary) pihak penjual dan pembeli yang ada di bursa. Jasa perantara termasuk dalam pengertian jasa perdagangan yang ada di SE-145/PJ/2010, dimana menyebutkan bahwa jasa perdagangan dapat berupa jasa perantara, jasa pemasaran, dan jasa mencarikan penjual dan pembeli. Untung Sukardji setuju apabila jasa PT BBJ dikategorikan jasa perdagangan : “Iya bisa termasuk jasa perdagangan dan feenya kena PPN 10 persen” (Wawancara dengan Untung Sukardji, 5 Juni 2012) Namun Hariyanto berpendapat lain mengenai jasa yang dilakukan PT BBJ: “Bukan jasa perdagangan karena dia fungsi pasar, jadi gak bisa disamakan dengan jasa perdagangan di SE 145. Karena yang membayar biayanya siapa, penjual dan pembeli kan yang memanfaatkan fasilitas pasar itu, untuk pengadaan infrastrukturnya untuk jual dan belinya. Sama seperti kita kalau jualan bursa kan, bursa kan ada penjual dan pembeli, saya mau tawarkan harga sekian. Kalau ada yang klop ya udah terjual. Ini kan ada administrasinya kan tiap kali dia selesai, itu harus kena biaya dan kena PPN. Kalau jasa perdagangan di SE 145, dia berhubungan dengan satu orang saja. Kalau disini kan, misal saya sebagai PT BBJ, cuma memberikan fasilitas jual beli CPO ini, tau tau udah datang penjual dan pembeli. Jadi saya cuma sebagai sarana nya saja.” (Wawancara dengan Hariyanto, 7 Juni 2012) Hariyanto menuturkan bahwa PT BBJ tidak bisa dikategorikan memberikan jasa perdagangan karena PT BBJ menyelenggarakan pasar dengan cara lelang. Peneliti melihat lebih lanjut bahwa sebenarnya PT ABC juga
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
84
melakukan lelang, seharusnya diperlakukan sama dengan PT BBJ. Hal ini juga dipaparkan oleh Purwitohadi: “Untuk PT BBJ sebenarnya perannya sama ya kalau tidak ada ketentuan lain untuk bursa berjangka untuk mendorong kemajuannya. Kalau tidak ada, ini kan sama sebenarnya mau lewat internet ataupun dia langsung jual di kebunnya. Jadi supaya setara, PT XYZ dan PT BBJ seharusnya sama yaitu jasa perdagangan” (Wawancara dengan Purwitohadi, 8 Juni 2012) Tunas Hariyulianto pun sependapat bahwa PT BBJ termasuk jasa perdagangan yang ada di SE-145, karena dia beranggapan bahwa lelang hanya cara menjual: “Artinya yang saya tangkap disini PT BBJ itu menyerahkan jasa perdagangan, cara menjualnya menggunakan mekanisme pasar. Si penjual kan menawarkan CPO. Jadi PT BBJ ini menghubungkan penjual yang
banyak dengan pembeli yang banyak. Justru dia menyediakan
media untuk
saling berhubungan antara penjual dan pembeli. Dengan
cara apa menghubungkannya ya terserah. Karena di SE 145 tidak didefinisikan lebih lanjut dengan cara apa. ”(Wawancara dengan Tunas Hariyulianto, 11 Juni 2012) PT BBJ dalam kegiatannya memberikan jasa akan menagih biaya transaksi (termasuk PPN) secara berkala oleh bursa kepada peserta. Untuk setiap transaksi yang terjadi, besarnya biaya transaksi yang harus dibayar oleh penjual dan pemenang lelang, masing-masing sebesar Rp 1 (satu rupiah) per kilogram. Jasa perdagangan selama ini dikaitkan atas pemberian fee yang dilakukan oleh penerima jasa kepada pemberi jasa perdagangan. Di dalam transaksi penjualan CPO yang terjadi di PT BBJ, adanya biaya transaksi yang dibayar oleh penjual dan pemenang lelang dapat dikategorikan sebagai fee, dan juga ada biaya membership sebesar satu juta rupiah pertahunnya belum termasuk PPN. Hal ini seperti disampaikan oleh Purwitohadi: “ Kita melihatnya bahwa yang dia lakukan adalah menghubungkan antara penjual dan pembeli. Atau disitu dia men-charge dalam jumlah tertentu. Dan dia sudah mengenakan PPN. Entiti yang memberikan jasa ini kan mungkin punya aturan sendiri-sendiri ya. Mungkin tadi PT ABC tidak punya membership fee, tapi di bursa dia punya aturan untuk membership ya sah-sah aja. Artinya dia memberikan jasa, tapi dia split. Ada jasa yang
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
85
dia charge tiap tahun, ada juga yang dia charge tergantung dari volume perdagangannya. Ya sah-sah saja. Karena itu tidak dikecualikan dari JKP kan. Jadi terutang PPN” (Wawancara dengan Purwitohadi , 5 Juni 2012) Anang Mury Kurniawan juga berpendapat kalau PT BBJ tidak dapat dikategorikan sebagai jasa perdagangan karena lebih cocok dikategorikan sebagai jasa bursa: “ Bukan jasa perdagangan kalau bagi saya itu. Karena fungsinya secara substantive itu ikatannya keterlibatan tanggung jawab dari pihak penyelenggara tadi tidak sebesar pengusaha jasa perdagangan. Kalau jasa perdagangan itu kan benar-benar mempertemukan. Itu kan cuma kalo misalnya anda transaksi di bursa efek kemudian ada bursa efek Jakarta. Apakah bursa efek Jakarta itu melakukan jasa perdagangan. Ya jasa bursa. Jasa penyelenggaraan bursa efek. Bukan jasa perdagangan. Kalau bagi saya, PT Bursa Berjangka ini bukan melakukan jasa perdagangan,tapi menyelenggarakan jasa bursa berjangka. Fungsinya disitu. Ya memang disitu, dia mengelola suatu pasar ya, sehingga dapat ketemu penjual dan pembeli. Tapi bukan direct gitu ya, ini dengan ini. Penyelenggara bursa efek menyediakan sarana fasilitas. Kemudian mereka minta fee atas penyelenggaraan bursa tadi. Saya melihatnya bukan jasa perdagangan, karena dia sangat terbuka siapapun boleh.” (Wawancara dengan Anang Mury Kurniawan, 5 Juni 2012) Jasa bursa efek sendiri merupakan jasa kena pajak berdasarkan Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S-387/PJ.321/1992 dimana dijelaskan pengenaan PPN atas penyerahan jasa-jasa dalam kegiatan bursa efek, salah satunya jasa yang diserahkan oleh bursa efek kepada Anggota bursa antara lain berupa jasa pelayanan transaksi yaitu jasa yang memungkinkan transaksi jual beli efek dapat berlangsung. Namun peneliti melihat bahwa ada kesamaan antara PT ABC dan PT BBJ yang melakukan sistem lelang dalam melakukan penjualan CPO, namun bedanya dengan PT BBJ dengan menggunakan sistem on-line. Hariyanto memiliki pendapat seperti ini: “PT ABC ada kontrak bahwa dia hanya menjualkan CPO nya PT XYZ, sedangkan PT BBJ kan tidak ada kontrak hanya menjualkan CPO nya PT XYZ kan, karena member penjualnya banyak. Bebas dia, siapa aja yang jual dan yang beli. Sebenernya kalau saya lihat, kalau si PT ABC juga melakukan lelang atas CPO nya PT XYZ ini, berarti dapat dibilang kalau PT ABC ini sarana pasar juga. Karena pembelinya harus member, kalau diliat dari SE 145. Dilihat dulu pembelinya ini ngasih fee juga ga ke PT ABC. Kalau di bursa kan ada biaya transaksi. Biasanya ya kalau lelang, ada biaya transaksi juga tuh atas jasa-jasa yang dilakukan PT ABC. Tapi kalau dari kasus PT X, karena dia udah terikat kontrak dengan PT Negara Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
86
untuk memasarkan CPO nya, dengan cara apapun penjualannya apakah itu melalui lelang pun, kalau dia dapat fee dari PT Negara ini maka dia termasuk jasa perdagangan. Kalau bursa itu jangan dianggap sebagai sebuah PT, tapi dia itu pasar. Pembeli dan penjual itu boleh siapapun masuk. Disitu ada mekanismepasar. Yang bertransaksi mereka sendiri, PT BBJ hanya menyediakan tempatnya yaitu bursa. Jadi pokonya jasa perdagangan itu, dia ada kontrak dia dengan satu orang penjual dan pembeli, nanti dia yang melaksanakan tugas kedua orang tersebut. (Wawancara dengan Hariyanto, 7 Juni 2012) Menurut Prof. Adriani, sebagaimana dikutip Sukardji, pajak dibedakan antara pajak subjektif dan pajak objektif. PPN adalah pajak objektif, dimana timbulnya kewajiban pajak sangat ditentukan pertama-tama oleh objek pajak, Keadaan subjektif wajib pajak tidak relevan, walaupun dalam kasus-kasus tertentu ikut dipertimbangkan. (Sukardji, 2009). Dalam hal PT BBJ tidak ada kontrak hanya menjualkan CPO nya PT XYZ saja, karena member penjualnya banyak, Purwitohadi memberikan komentar sebagai berikut: “Artinya kita gak bisa melihat subjek-subjeknya ya, karena PPN kan pajak objektif jadi agak kurang relevan kalau kita melihat berapa subjeknya. Yang kita lihat kan objeknya yaitu jasa. Kalau yang PT ABC penjualnya cuma PT XYZ, sedangkan PT BBJ penjualnya ada banyak. Substansi yang diberikan itu apa, objeknya yang dilihat kalau PPN itu.” (Wawancara dengan Purwitohadi, 5 Juni 2012)
5.2 Kebijakan Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa Perdagangan CPO Ditinjau Berdasarkan Prinsip Kepastian Fritz Neumark, seperti dikutip Nurmantu, mengatakan bahwa dalam prinsip pemungutan pajak yang keempat yaitu prinsip ease of administration and compliance, sistem perpajakan yang baik haruslah mudah dalam administrasinya dan mudah pula untuk mematuhinya. Prinsip ease of administration and compliance ini terinci dalam 4 persyaratan yaitu salah satunya adalah: The Requirement of Clarity : Dalam sistem perpajakan, baik dalam UndangUndang perpajakan maupun peraturan pelaksanaannya, khususnya dalam proses pemungutan
maka
ketentuan-ketentuan
pajak
haruslah
dapat
dipahami
(comprehensible), tidak boleh menimbulkan keragu-raguan atau penafsiran yang berbeda, tetapi harus menimbulkan kejelasan (must be unambiguous and certain) baik untuk Wajib Pajak maupun fiskus. (Safri Nurmantu, 2005)
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
87
Hal ini juga ditegaskan oleh Rochmat Soemitro yang memberikan pengertian tentang kepastian hukum bahwa ketentuan undang-undang tidak boleh memberikan keragu-raguan. Harus dapat diterapkan secara konsekuen untuk keadaan yang sama secara terus menerus. Undang-undang harus disusun sedemikian rupa sehingga tidak memberikan peluang kepada siapapun untuk memberikan interpretasi yang lain daripada yang dikehendaki oleh pembuat Undang-Undang (Rahayu, 2010) Berdasarkan pengertian tersebut, kebijakan PPN atas jasa perdagangan CPO menurut peneliti tidak sesuai dengan prinsip kepastian hukum menurut pengertian dari Soemitro, karena masih menimbulkan multitafsir di kalangan akademisi dan praktisi. Hal ini dapat terlihat dalam kalimat “tidak memberikan peluang kepada siapapun untuk memberikan interpretasi yang lain daripada yang dikehendaki oleh pembuat Undang-Undang” yang dalam prakteknya di lapangan memang terjadi demikian. Menurut peneliti, pembuat Undang-Undang dalam membuat SE-145/PJ/2010, lebih kepada konteks apabila transaksi terjadi dalam lingkup cross border, dan juga terjadi apabila ada 3 pihak tersebut, namun tidak memperhatikan bahwa SE tersebut juga dapat diterapkan pada non cross border atau di dalam daerah pabean pada butir 2 huruf a a. pengusaha jasa perdagangan dan penjual barang selaku penerima jasa perdagangan berada di dalam daerah pabean, sedangkan pembeli dapat berada di dalam atau di luar Daerah Pabean Karena sebagai satu-satunya peraturan yang mengatur mengenai jasa perdagangan, mau tidak mau akademisi, praktisi, WP, fiskus akan mengacu pada SE ini. Hal ini juga diperkuat oleh pendapat Tunas Hariyulianto yang mengatakan bahwa : “Tapi kan yang jadi masalah, SE 145 ini kan udah menentukan definisi jasa perdagangan itu apa. Jadi kalau disini sudah ditentukan mau gak mau ini jadi acuan dalam menerapkan ketentuan. Artinya misalnya ada suatu transaksi
penyerahan
jasa,
kita
mau
bertanya
ini
jasa
perdagangan apa bukan. Acuannya kemana, ya kesini. Kalau masuk dalam definisi ini berarti jasa perdagangan. Kalau masuk jasa
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
88
perdagangan berarti berlaku ketentuan SE 145. ”(Wawancara dengan Tunas Hariyulianto, 11 Juni 2012) Lebih lanjut Racmat Soemitro juga memberikan pengertian bahwa dimana untuk memberikan kepastian hukum perlu diperhatikan beberapa faktor yang dalam butir ke dua disebutkan pengdefenisian: 2.) Pendefenisian sesuatu dapat dilakukan secara jelas bila didalamnya dapat tercakup unsur-unsur dan ciri-ciri dari hal yang didefinisikan. Sistematika pendefinisian mempunyai peranan yang sangat penting.Ada pendefinisian secara luas dan ada pendefinisan secara sempit. Keduanya mempunyai konsekuensi sendiri-sendiri. Pendefinisian secara sempit, lebih memperhatikan kepastian hukum karena pendefinisian secara sempit menggunakan cara yang limitif, hanya yang disebut saja yang termasuk dalam ruang lingkup peraturan perundangundangan. Yang tidak disebut secara positif, tidak tercakup dalam undangundang. (Rahayu, 2010) Dalam pengertian diatas, menyebutkan bahwa “Pendefinisian secara sempit, lebih memperhatikan kepastian hukum karena pendefinisian secara sempit menggunakan cara yang limitif. Pengertian jasa perdagangan di dalam SE145/PJ/2010 berbunyi berikut: “jasa perdagangan adalah jasa yang diberikan oleh orang atau badan kepada pihak lain, dengan menghubungkan pihak lain tersebut kepada pembeli pihak lain itu, atau menghubungkan pihak lain tersebut kepada penjual barang yang akan dibeli pihak lain itu. Dengan demikian, jasa perdagangan dapat berupa jasa perantara, jasa pemasaran, dan jasa mencarikan penjual dan pembeli” Kata-kata “menghubungkan pihak lain tersebut kepada pembeli pihak lain itu atau sebaliknya” sangatlah luas. Tidak ada disebutkan lebih lanjut cara menghubungkannya bagaimana dan dengan cara apa membuat setiap orang dapat memiliki pendapat masing-masing, sehingga jika dilihat jasa PT BBJ pun dapat masuk ke dalam pengertian ini. Hal ini sesuai dengan Roechmat Soemitro juga menjelaskan bahwa dalam pemberian definisi harus dijaga supaya tidak terjadi kekosongan atau loopholes yang masih dapat diselundupi. Harus diperhatikan juga, jangan memberi definisi yang terlalu luas, melainkan seberapa boleh diberikan definisi yang sempit dan
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
89
tepat. Sistem memperluas dan mempersempit definisi harus diberikan dalam undang-undang yang mudah dimengerti. Uraian yang limitatif lebih diutamakan daripada uraian yang enunsiatif. Kata-kata “seperti”, “antara lain”, “diantaranya”, bila digunakan dalam teks undang-undang akan menambah ketidakpastian hukum. (Soemitro,1990). Pengertian jasa perantara dan jasa pemasaran, jasa mencarikan penjual dan pembeli sangatlah luas jika dipraktekkan di lapangan, dimana tidak seperti dalam SE-145 yang tidak dapat mengatur persediaan barang karena hanya murni jasa, namun jasa perantara seperti broker, makelar, agen, komisioner dalam prakteknya dapat mengatur persediaan barang.
5.3 Alternatif Kebijakan Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa Perdagangan CPO Berdasarkan uraian peneliti mengenai broker lokal yang menjadi perwakilan dari pembeli luar negeri, bahwa mekanisme pembelian pun juga berpengaruh didalam pengenaan PPN. Hal ini dapat terlihat dari kegiatan broker lokal yang fungsinya tidak hanya menghubungkan penjual, yaitu PT XYZ dengan Pembeli CPO di luar negeri, namun juga broker lokal mengikuti proses lelang yang ada di PT ABC. Lelang dalam prakteknya memang tidak hanya sembarang lelang karena sangat terstruktur dan resmi, dilihat bahwa peserta lelang di PT ABC harus menjadi peserta dengan syarat-syarat yang ditentukan. Kegiatan lelang yang dilakukan broker lokal untuk pembeli luar negeri menimbulkan kewajiban pajak baru bagi broker lokal, selain dengan PPN atas fee yang harus dia pungut dari pembeli luar negeri atas jasa yang diberikannya. Didalam pasal 1A UU PPN dijelaskan bahwa penyerahan barang kena pajak kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang terutang PPN. Yang dimaksud dengan “juru lelang” adalah juru lelang pemerintah atau yang ditunjuk oleh pemerintah. Rosdiana, Irianto, dan Putranti menjelaskan juru lelang sebagai berikut: “Penyerahan barang kena pajak sebagai objek lelang oleh pemilik kepada pemenang lelang (pembeli) melalui juru lelang terutang PPN. Kegiatan lelang yang dilakukan perusahaan lelang untuk kepentingan pemilik harta yang dilelang, termasuk sebagai kegiatan jasa perantara. Berdasarkan
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
90
Pasal 5 PP No. 144 Tahun 2000, bahwa jasa lelang tidak termasuk jenis jasa yang tidak dikenakan PPN sehingga atas penyerahan jasa lelang oelh pengusaha lelang kepada pihak ketiga, pemilik objek lelang terutang PPN” (Rosdiana, Irianto, dan Putranti, 2011, 143)
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka peneliti memiliki inisiatif kebijakan bahwa perdagangan CPO yang melalui kegiatan lelang dalam penjualannya seperti yang dilakukan PT XYZ melalui PT ABC, maka bagaimana bila dikategorikan sebagai penyerahan kepada juru lelang yang ada pada pasal 1A UU PPN tersebut, dimana penyerahannya terutang PPN, sehingga atas kegiatan lelang yang dilakukan oleh PT ABC sebagai “juru lelang”, lalu broker lokal sebagai peserta lelang itu bisa disebut penyerahan BKP di dalam daerah pabean. Sebagaimana
diatur
oleh
Peraturan
Kementrian
Keuangan
Nomor
75/PMK.03/2010, maka dasar pengenaan pajak nilai lain yaitu sebesar 10 persen dari harga lelang. Dimana nanti penyerahan dari PT XYZ harus menerbitkan faktur pajak kepada broker lokal, sebagai bukti bahwa penyerahan ada di dalam negeri walaupun nanti tujuannya ekspor untuk ke pembeli di luar negeri. Diharapkan dengan hal ini PT XYZ tidak dapat mengklaim ekspor lagi karena faktur dan dokumen atas nama broker lokal sehingga tidak bisa melakukan restitusi yang akan berdampak kepada penerimaan negara.
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
91
BAB 6 SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan Berdasarkan analisis yang telah dilakukan tentang “Evaluasi Kebijakan Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa Perdagangan Crude Palm Oil (CPO) (Studi Kasus PT. ABC)”, maka kesimpulan yang dapat diambil untuk dapat menjawab pertanyaan penelitian, diantaranya: 4. Transaksi-transaksi yang terkait dengan jasa perdagangan terkait dengan jasa perdagangan CPO studi kasus PT ABC ada tiga pihak pengusaha, yaitu adalah yang dilakukan oleh PT ABC, broker lokal dan PT BBJ. -
Yang pertama adalah jasa pemasaran untuk mencarikan pembeli melalui sistem lelang yang diberikan PT ABC kepada PT XYZ. Jasa tersebut dapat dikatakan sebagai jasa perdagangan dan atas jasa tersebut PT ABC mendapatkan fee dari PT XYZ sebesar 0,5 persen dari harga jual.
-
Lalu yang kedua adalah broker lokal dengan pembeli di luar negeri. Broker lokal mendapat fee jasa perantara sebagai representative, terutang PPN
menurut
SE-145/PJ/2010.
Kegiatan
broker
lokal
tersebut
menimbulkan BUT tipe keagenan, sehingga transaksi lelang tersebut seharusnya dikategorikan sebagai penyerahan di dalam negeri bukan ekspor. -
Yang ketiga adalah jasa yang diberikan PT BBJ, yang bisa disamakan dengan jasa pelayanan transaksi bursa efek. Jasa ini juga dapat dikategorikan sebagai jasa perdagangan dalam SE-145/PJ/2010, yang dimana fee dibayar pemenang lelang dan penjual atas biaya transaksi sebesar satu rupiah per kg, sudah termasuk PPN.
5. Implementasi kebijakan PPN atas jasa perdagangan CPO tidak memberikan kepastian hukum karena terjadi multitafsir di kalangan praktisi dan akademisi mengenai pengertian jasa perdagangan itu sendiri, dimana di dalam SE145/PJ/2010 dijelaskan hanya jasa untuk menghubungkan penjual dan pembeli yang dapat berupa jasa perantara, pemasaran, dan mencarikan penjual dan
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
92
pembeli, dimana jasa perantara dan jasa pemasaran dalam prakteknya bermacam-macam, bahkan dapat melalui mekanisme lelang. 6. Alternatif kebijakan menurut peneliti atas jasa perdagangan CPO seperti kasus PT ABC adalah bagaimana bila dikategorikan sebagai penyerahan kepada juru lelang yang ada pada pasal 1A UU PPN, dimana penyerahannya terutang PPN, sehingga atas kegiatan lelang yang dilakukan oleh PT ABC lalu broker lokal sebagai peserta lelang itu bisa disebut penyerahan BKP di dalam daerah pabean. Sebagaimana diatur oleh Peraturan Kementrian Keuangan Nomor 75/PMK.03/2010, maka dasar pengenaan pajak nilai lain yaitu sebesar 10 persen dari harga lelang.
6.2 Saran Setelah penelitian dilakukan, berikut beberapa saran yang dibuat oleh peneliti : 1. Untuk mencapai kepastian hukum dan tidak menjadi multitafsir, maka seharusnya aparat pajak mengkaji kembali pengertian jasa perdagangan, mana-mana saja yang dapat termasuk dalam pengertian jasa perdagangan menurut SE-145/PJ/2010 dan mana yang tidak karena pengertiannya yang sangat luas. 2. Disarankan agar aparat pajak meninjau kembali transaksi-transaksi ekspor yang tidak langsung kepada pembeli yang ada diluar negeri, dengan mempelajari kontrak kerja dan keberadaan badan-badan perantaranya yang ada di dalam negeri, sebagai contoh kasus PT XYZ, PT ABC, dan broker lokal. Hal ini dilakukan agar dapat mengurangi kemungkinan praktek penghindaran pajak dan juga ketidaktahuan Wajib Pajak. 3. Disarankan kepada pemerintah untuk memperbesar transaksi penjualan CPO PT XYZ melalui PT BBJ, karena diharapkan dengan dibentuknya pasar fisik ini, harga CPO di BBJ akan menjadi acuan harga dunia dan nasional. Karena selama ini, pasar CPO dunia masih mengacu pada pasar fisik Rotterdam, sedangkan basis penetapan harga dunia juga masih berpedoman pada pasar berjangka di Kuala Lumpur, padahal Indonesia adalah salah satu pengekspor CPO terbesar di dunia.
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
93
DAFTAR REFERENSI Buku Ahmad, R. (1998). Perkebunan Kelapa Sawit di Sumatera Utara. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama Babbie, Earl. (2004). The Practice of Social Research (10th ed.). USA: Thomson Learning. Bungin, M. Burhan. (2007). Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial lainnya. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Creswell, John W. (1994). Research Design: Qualitative and Quantitative Approaches. California: SAGE Publication, Inc. Creswell, J.W. (2007). Qualitative inquiry and research design: Choosing among five approaches (2nd ed.). Thousand Oaks, CA: Sage. Darussalam, Danny Septriadi. (2006). Membatasi Kekuasaan Untuk Mengenakan Pajak. Jakarta: Grasindo. Devereux, Michael P. (1996). The Economics of Tax Policy. New York: Oxford University Press. Dunn, William. (1994). Pengantar Analisis Kebijakan Publik (Drs, Somodra Wibawa, M.A, dkk, Penterjemah). Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Gillis, Malcolm, Carl S. Shoup, & Gerardo P. Sicat. (1990). VAT in Developing Countries. Washington, DC: The World Bank. Gunadi. (2007). Pajak Internasional Edisi Revisi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Hancock, Dora. (1994). An Introduction to Taxation. Great Britain: Hartnolls Ltd Hutagaol, John. (2000). Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda Indonesia dengan Negara-Negara di Kawasan Asia Pasifik, Amerika, dan Afrika Pemahaman Praktis. Jakarta: Salemba Empat. Kotler, Philip. (1996). Marketing Management (8th ed.). New Jersey: PrenticeHall. Lupiyoadi, R., & A Hamdani. (2006). Manajemen Pemasaran Jasa. Jakarta: Salemba Empat. Mansury, R. (1994). Panduan Konsep Utama Pajak Penghasilan Indonesia Jilid I. Jakarta: Bina Rena Pariwara. Marsuni, Lauddin. (2006). Hukum dan Kebijakan Perpajakan di Indonesia. Yogyakarta: UII Press. Mardiasmo. (2007). Perpajakan. Yogyakarta : ANDI. 1997 Melville, Alan. (2001). Taxation: Finance Act 2000. London: Pearson Education Limited. Moleong, Lexy J. (2004). Metode Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Muhadjr, N. (1992). Metode Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin. Neuman, W. Laurence. (2003). Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches (5th ed.). Boston: Allyn and Bacon. Nurmantu, Safri. (2005). Pengantar Perpajakan (3rd ed.). Jakarta: Granit. Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
94
Pahan, Iyung. (2011). Panduan Lengkap Kelapa Sawit: Manajemen Agribisnis dari hulu hingga hilir Cetakan XI. Jakarta: Penebar Swadaya Purwito, M.Ali. (2008). Kepabeanan dan Cukai (Pajak Lalu Lintas Barang): Teori dan Aplikasi Edisi Revisi. Jakarta: Kajian Hukum Fiskal (FHUI). Rahayu, Siti Kurnia. (2010). Perpajakan Indonesia, Konsep dan Aspek Formal. Yogyakarta: Graha Ilmu Rosdiana, Haula, & Rasin Tarigan. (2005). Perpajakan Teori dan Aplikasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Rosdiana, Haula, Edi Slamet Irianto, & Titi Muswati Putranti. (2011). Teori Pajak Pertambahan Nilai. Bogor: Ghalia Indonesia. Soemitro, Rochmat. (1988). Pajak Ditinjau Dari Segi Hukum. Bandung: PT Eresco. Soemitro, Rochmat. (1990). Asas dan Dasar Perpajakan Edisi Revisi, Cetakan Keempat. Bandung: PT. Eresco Tait, Alan A. (1998). Value Added Tax: International Practice and Problems. Washington, DC: International Monetary Fund. Terra, Ben. (1988). Sales Taxation: The Case of Value Added Tax in the European Community. Deventer-Boston: Kluwer Law and Taxation Publishers. Tjiptono, F., & Chandra, Gregorius. (2005). Service, Quality, & Satisfaction. Yogyakarta: Andi. Thuronyi, Victor. (Ed.). (1996). Tax Law and Drafting Volume 1. Washington, DC: Internasional Monetary Fund. Yasin, M. (2003). Pertanian sebagai Sektor Penting di Perkembangan Ekonomi dunia.Yogyakarta; Penerbit UGM-Press Zakaria, Jaja. (2005). Perlakuan Perpajakan Terhadap Bentuk Usaha Tetap (BUT). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Jurnal Agustian, Adang & Prajogo U. Hadi. (2003). Analisis dinamika ekspor dan keunggulan komparatif minyak kelapa sawit (CPO) di Indonesia. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Karya Ilmiah Octaviano, Gerry. (2008). Tinjauan Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Jasa Perdagangan. Depok: Program Sarjana Reguler Universitas Indonesia. Kurniawati, Fitria. (2010). Analisis Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas Transaksi Lintas Negara terkait dengan Jasa Perdagangan (studi kasus
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
95
PT ABC dan Japan Corporation). Depok: Program Sarjana Reguler Universitas Indonesia. Saraswati, Sari. (2012). Kebijakan Pajak Pertambahan Nilai atas Ekspor Jasa Perdagangan. Depok: Program Sarjana Reguler Universitas Indonesia. Games JS, Hengky. (2010). Analisis Ekonomi Kelembagaan Pemasaran CPO Produksi P.T. Perkebunan Nusantara (PTPN) (Kasus Kantor Pemasaran Bersama (KPB) PTPN Jakarta). Bogor : Institut Pertanian Bogor.
Peraturan ____________, Surat Edaran Dirjen Pajak SE-145/PJ/2010 mengenai Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa Perdagangan ____________, Undang-undang No. 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Barang Merah ____________, Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2012 mengenai pelaksanaan UU PPN No. 42 Tahun 2009 Media Elektronik PT. Bursa Berjangka Jakarta, Jakarta Future Exchange. (n.d.). Pasar Fisik Minyak Sawit Mentah (CPO) Terorganisir. May 25, 2012. http://www.bbj-jfx.com
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
96 1 Lampiran
PEDOMAN WAWANCARA
1. Jasa perdagangan dalam prakteknya di lapangan 2. Bentuk kontrak dan komisi jasa perdagangan 3. Fungsi PT ABC jika dikaitkan dengan jasa perdagangan 4. Fungsi PT BBJ jika dikaitkan dengan jasa perdagangan 5. Fungsi broker lokal sebagai perwakilan pembeli di luar negeri untuk tujuan ekspor jika dikaitkan dengan jasa perdagangan, Bentuk Usaha Tetap (BUT), dan konsep PPN 6. PT XYZ mengklaim ekspor CPO atas kegiatan lelang yang dilakukan oleh broker lokal yang merupakan perwakilan pembeli luar negeri jika dikaitkan dengan konsep PPN
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
97 2 Lampiran
HASIL WAWANCARA
Waktu
: Pukul 11.00 WIB – 12.00 WIB
Hari/Tanggal
: Kamis, 7 Juni 2012
Tempat
: Direktorat Peraturan Perpajakan I Gedung Utama Lantai 6, Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak Jl. Gatot Subroto, Jakarta Selatan
Interviewer
: Ratna Hapsari Sianipar (0806396430)
Interviewee
: Hariyanto
Posisi Interviewee
: Staf Pelaksana Subdit Peraturan PPN Perdagangan, Jasa dan Pajak Tidak Langsung Lainnya, Dirjen Pajak
Menurut Bapak pengertian jasa perdagangan itu sendiri apa, dan apakah broker itu termasuk jasa perdagangan? Dilihat dari SE 145 jasa perdagangan adalah jasa yang diberikan oleh orang atau badan yang dihubungkan pihak lain kepada pembeli atau penghubung yaitu berupa jasa perantara, atau mencarikan penjual dan pembeli. Kalau saya melihat broker itu ada beda lagi, karena dalam Undang-Undang kita broker itu perusahaan bisa dimiripkan dengan makelar. Kalau buat lebih jelasnya saya sarankan ke Kemendag, karena aturannya sudah disana kalau perdagangan. Kalau di kita, kitapun ngambilnya dari kemendag, kalau kemendag mengatur seperti ini. Ya berarti tinggal kita bagaimana PPN nya yang harus kita kenakan.
Latar belakang diterbitkannya SE 145 dulu itu apa kenapa pak? Karena ada banyak pertanyaan terkait dengan transaksi ini misalnya, ada penyerahan barang atau tidak. Kalau makelar itu ada penyerahan barang dulu, jadi ke makelar dulu baru makelar nyari pembeli baru dapat komisi. Kalau contoh barang ke makelar,di dalam pasal 1A Undang-Undang kita dari awal sudah menyatakan bahwa itu bukan termasuk bukan penyerahan BKP jadi tidak terutang PPN. Yang kena PPN bagaimana komisinya nantinya. Kalau kita ibaratkan, jasa
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
98
makelar itu jasa perdagangan, kalau di kita. Misalnya saya jual barang ke orang lain melalui makelar, jadi ini belum ada transaksi saya dengan makelar. Transaksinya apa, kalau makelar sudah selesai, kemudian dia memberikan harganya misal saya pengen jual 100 nih, oke makelar jual 100 kan. Habis jual 100 itu saya kasih fee ke dia. Nah fee inilah yang disebut jasanya yang terutang PPN.
Kalau agen dan broker itu bagaimana pak? Misalnya BKP ada di dia bagaimana? Tergantung agennya seperti agen apa disini. Dilihat dulu pekerjaannya seperti apa. Misal penjual memberikan BKPnya ke agen baru dijual. Dilihat itu termasuk apa berarti, ada penyerahan gak. Yang pasti di dalam Undang-Undang PPN itu kalau ada penyerahan berarti ada arus barang. Kalau sudah ada arus barang, arus uangnya ada atau tidak. Dan dia tidak memperoleh penghasilan dari jasa dia menjualkan, itu berarti agen disini adalah dia berdiri sendiri atau trading. Kalau misalnya BKP ada di dia dan dia juga mendapatkan fee, dilihat dulu ada spare margin tidak dari dia, misal dari penjual harga 100 kemudian dia jual ke orang lain 110. Kalau misalnya demikian, berarti dia sebagai trader dong. Tidak bisa kita ibaratkan sebagai jasa perdagangan atau sebagai makelar tadi. Bedanya disitu aja, jadi jasa perdagangan kita anggap kalau di kita bahwa dalam bentuk dia hanya mencarikan, misal eh kamu aku mau beli ini, cariin. Ok. Dia gak jual kan. Hanya menghubungkan aja.
Syarat terjadinya jasa perdagangan? Kalau di kita gak mengatur ada kontrak ataupun apa. Kalau dia menyerahkan sebuah jasa di ikatan kontraknya kemudian dia melakukan penyerahan jasa itu, yaudah terutang PPN.
Dalam prakteknya, perdagangan CPO PT XYZ tidak langsung kepada konsumen namun melalui PT ABC, menurut bapak PT ABC ini melakukan jasa perdagangan? Dilihat dulu kontraknya dengan PT XYZ dia kan menjualkan lelang. Ini ada penyerahan barangnya kemana. Kan kalau disini dia cuma jasa perdagangannya
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
99
kan, dia gak ada sama sekali membeli dari PT XYZ, itu berarti jasa perdagangan. Jadi 0,5 persen itu adalah fee atas jasanya. Komisi lah dianggap sebagai itu. Tentang PT ABC ini anak perusahaan PT XYZ, kita balik lagi ke accounting. Di accounting induk sama anak perusahaan itu sebuah entitas sendiri kan, masingmasing. Kalau ada penyerahan berarti dianggap penyerahan kepada pihak lain. Apapun bentuknya dia walaupun dia kantor atau perkumpulan, dalam undang undang PPN dia termasuk badan juga kan. Kalau fee di jasa perdagangan ini kan berarti didapat dari siapa yang memanfaatkan jasa ya pak, tapi kalo fee di PT ABC ini terbentuk dari 0,5 persen dari harga jual itu gimana pak? Ini saya buatkan matrix nya SE 145. Ini masalah luar daerah pabean dan dalam daerah pabean. Tapi kalau di dalam daerah sendiri gak ada masalah. Kalau saya gambarkan ini ada PT XYZ dan PT ABC. Yang memanfaatkan jasa siapa apakah penjual yaitu PT XYZ disini memanfaatkan PT ABC. Pembeli ini ada kontrak gak dengan PT ABC, misal hey aku cariin penjual. Enggak kan. Karena penjual sudah pasti PT XYZ. Berarti disini yang memanfaatkan berarti PT XYZ yang memberikan kontrak dengan PT ABC. Kalau mau dilihat dari penyerahannya maka disini penyerahannya adalah PT ABC kepada PT XYZ. Ini penyerahan jasa perdagangannya. Jangan dilihat PT ABC dan pembeli kan ada jual beli, iya ada jual beli. Cuma apa, dia melalui PT ABC ini yang mencarikan pembelinya siapa. Dari harga CPO misal 100, maka tadi ada fee 0,5 persen dari harga jual. Maka PT ABC setelah menerima uang 100 dia pasti bayar ke PT XYZ. Dan sebesar 0,5 dari PT XYZ ke PT ABC. Maka PT ABC harus mungut PPN atas 0,5 itu dan mengeluarkan faktur pajak.
PT XYZ tidak harus melalui PT ABC namun melalui PT Bursa Berjangka (PT BBJ) melalui lelang internet), apakah itu termasuk jasa perdagangan? Dan apakah biaya transaksi yang kena 10 persen itu adalah fee yang dimaksud untuk jasa perdagangan? Bukan jasa perdagangan karena dia fungsi pasar, jadi gak bisa disamakan dengan jasa perdagangan di SE 145. Karena yang membayar biayanya siapa, penjual dan pembeli kan yang memanfaatkan fasilitas pasar itu, untuk pengadaan
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
100
infrastrukturnya untuk jual dan belinya. Sama seperti kita kalau jualan bursa kan, bursa kan ada penjual dan pembeli, saya mau tawarkan harga sekian. Kalau ada yang klop ya udah terjual. Ini kan ada administrasinya kan tiap kali dia selesai, itu harus kena biaya dan kena PPN. Kalau jasa perdagangan di SE 145, dia berhubungan dengan satu orang saja. Kalau disini kan, misal saya sebagai PT BBJ, cuma memberikan fasilitas jual beli CPO ini, tau tau udah datang penjual dan pembeli. Jadi saya cuma sebagai sarana nya saja. Kalau kita ibaratkan lah misal PD Pasar Jaya, ada pembeli datang dengan member dan ada penjual mengisi lapak. Sama-sama bayar iuran kan tiap bulan, karena sama-sama butuh. Nah mekanisme yang terjadi di bursa itu apa, mekanisme pasar kan. PT BBJ misal berkata, eh kamu A harus jual dengan B. Enggak kan. PT BBJ bukan ada kontrak dengan A dulu bahwa harus menjualkan CPOnya kemudian PT BBJ nyari si B. Enggak kan. Siapapun yang masuk silahkan, siapapun yang mau beli silahkan. Tinggal milih mana yang sesuai harganya.
Jadi saya melihatnya begini pak, apa bedanya dengan PT ABC tadi yang menjualnya dengan cara lelang juga kan, tapi di PT BBJ ini juga lelang namun menggunakan internet? Perbedaannya begini, tadi PT ABC ada kontrak bahwa dia hanya menjualkan CPO nya PT XYZ, sedangkan PT BBJ kan tidak ada kontrak hanya menjualkan CPO nya PT XYZ kan, karena member penjualnya banyak. Bebas dia, siapa aja yang jual dan yang beli. Sebenernya kalau saya lihat, kalau si PT ABC juga melakukan lelang atas CPO nya PT XYZ ini, berarti dapat dibilang kalau PT ABC ini sarana pasar juga. Karena pembelinya harus member, kalau diliat dari SE 145. Dilihat dulu pembelinya ini ngasih fee juga ga ke PT ABC. Kalau di bursa kan ada biaya transaksi. Biasanya ya kalau lelang, ada biaya tr ansaksi juga tuh atas jasajasa yang dilakukan PT ABC. Tapi kalau dari kassus PT ABC, karena dia udah terikat kontrak dengan PT XYZ untuk memasarkan CPO nya, dengan cara apapun penjualannya apakah itu melalui lelang pun, kalau dia dapat fee dari PT ABC ini maka dia termasuk jasa perdagangan. Kalau bursa itu jangan dianggap sebagai sebuah PT, tapi dia itu pasar. Pembeli dan penjual itu boleh siapapun masuk. Disitu ada mekanisme pasar. Yang bertransaksi mereka sendiri, PT BBJ hanya
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
101
menyediakan tempatnya yaitu bursa. Jadi pokonya jasa perdagangan itu, dia ada kontrak dia dengan satu orang penjual dan pembeli, nanti dia yang melaksanakan tugas kedua orang tersebut.
Bagaimana mekanisme pengenaan PPN di bursa? Kalau kita melihat prinsip pemungutan dari objek PPN di UU PPN Indonesia adalah negative list. Ada gak disitu jasa bursa masuk ke dalam pasal 4, kan tidak ada. Maka yang tidak ada dalam list itu terkena PPN. Kalau iuran anggota, dalam UU PPN iuran itu biaya kan. Bagi dia biaya ini untuk apa, ya untuk mengelola pasar ini. Contohnya di supermarket, barang yang ada disana kan milik pemasok. Nah pemasok itu nyewa rak kan di supermarket itu. Sewa slot sebagai disitu. Bagi supermarket dia harus memungut PPN atas sewa rak tersebut. Dan dia termasuk jasa keuangan, kalau termasuk jasa keuangan itulah yang disebut biaya.
Atas PT XYZ yang mengklaim ekspor CPO dimana yang melakukan lelang adalah representative yang ditunjuk dari luar negeri, apakah bisa dibenarkan demikian? Disini terlihat bahwa arus barang dan arus uangnya tidak sama. Ini bisa dianggap ekspor jika PT XYZ langsung ke Co.ltd jadi PMnya dapat dikreditkan. Bagi broker disini dia tidak boleh ada PEB, karena yang mengekspor PT XYZ. Lalu atas pembayaran CPO nya dia ada perwakilan dari Co.ltd, jadi tidak perlu ada PPN. Akan tetapi pada saat dia mendapat fee dari Co.ltd ini adalah jasa perdagangan kena 10 %.
Maksudnya arus barang dan arus uang yang berbeda itu bagaimana pak? Di PER 10 dijelaskan kalau PEB itu sebagai pengganti faktur pajak. Disini melakukan ekspor sepanjang penyerahan ini si broker adalah perwakilan bukan pembeli sebenarnya. Kalau dia berfungsi sebagai trading biasa bukan ekspor.Namun kalau membawa nama CO.ltd berarti dia ekspor. Sepanjang dokumennya atas nama broker, maka PT XYZ gak boleh ekspor tapi harus menyerahkan dulu ke broker.
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
102 3 Lampiran
HASIL WAWANCARA
Waktu
: Pukul 09.00 WIB – 09.15 WIB
Hari/Tanggal
: Jumat, 8 Juni 2012
Tempat
: Badan Kebijakan Fiskal Kompleks Kementrian Keuangan Gedung R.M. Notohamiprodjo Jl. Dr. Wahidin Raya No. 1
Interviewer
: Ratna Hapsari Sianipar (0806396430)
Interviewee
: Purwitohadi
Posisi Interviewee
: Kepala Sub Bidang PPN dan PPnBM, Badan Kebijakan Fiskal
Menurut Bapak pengertian jasa perdagangan itu sendiri apa, dan apakah broker, agen, makelar itu termasuk jasa perdagangan? Kalau murni jasa perdagangan harusnya dia tidak sampai meng-keep barangnya, kalau kita lihat dari SE 145 nya kan, mencarikan penjual dan mencarikan pembeli. SE 145 itu sepertinya kok termasuk mengatur yang cross border ya. Kalau pemberi jasa perdagangan sampai membeli barang itu, berarti itu bukan perantara ya, memang dia dagang. Bukan jasa. Kita harus lihat skemanya seperti apa, apakah ke makelar apakah murni jasa perdagangan. Jadi intinya kalau ada pemanfaatan jasa perdagangan di dalam daerah pabean terutang PPN.
Dalam prakteknya, perdagangan CPO dari PT XYZ tidak langsung kepada konsumen namun melalui PT ABC, dan juga contoh yang ke dua yaitu sekarang PT XYZ tidak harus melalui PT ABC namun melalui PT BBJ melalui lelang internet
menurut
bapak
apakah
keduanya
melakukan
penyerahan
jasa
perdagangan? Iya PT ABC melakukan jasa perdagangan. Untuk PT BBJ sebenarnya perannya sama ya kalau tidak ada ketentuan lain untuk bursa berjangka untuk mendorong
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
103
kemajuannya. Kalau tidak ada, ini kan sama sebenarnya mau lewat internet ataupun dia langsung jual di kebunnya. Jadi supaya setara, PT ABC dan PT BBJ seharusnya sama. Sebenernya memang luas ya, di SE 145 itu tidak memberikan batasan-batasan khusus maksudnya ya jika masuk ke dalam kriteria disitu. Jadi luas sekali. Perannya sama dengan PT ABC tadi. Yang membuat penjual dan pembeli ketemu. Kecuali ada ketentuan yang mengatur bahwa transaksi di BBJ itu diperlakukan lain. Sepanjang itu gak ada, itu masih ter-cover di SE 145.Artinya kita gak bisa melihat subjek-subjeknya ya, karena PPN kan pajak objektif jadi agak kurang relevan kalau kita melihat berapa subjeknya. Yang kita lihat kan objeknya yaitu jasa. Kalau yang PT ABC penjualnya cuma PT XYZ, sedangkan PT BBJ penjualnya ada banyak. Substansi yang dberikan itu apa, objeknya yang dilihat kalau PPN itu.
Di PT BBJ ada biaya transaksi ini pak, juga bisa disebut fee atas jasa perdagangannya ? Kita melihatnya bahwa yang dia lakukan adalah menghubungkan antara penjual dan pembeli. Atau disitu dia men-charge dalam jumlah tertentu. Dan dia sudah mengenakan PPN. Entiti yang memberikan jasa ini kan mungkin punya aturan sendiri-sendiri ya. Mungkin tadi PT ABC tidak punya membership fee, tapi di bursa dia punya aturan untuk membership ya sah-sah aja. Artinya dia memberikan jasa, tapi dia split. Ada jasa yang dia charge tiap tahun, ada juga yang dia charge tergantung dari volume perdagangannya. Ya sah-sah saja. Karena itu tidak dikecualikan dari JKP kan. Jadi terutang PPN.
Bagaimana pendapat bapak tentang PT XYZ yang mengklaim ekspor atas CPO dimana lelang dilakukan oleh broker lokal sebagai perwakilan konsumen luar negeri? Misalnya begini, misalkan yang terlibat itu hanya PT XYZ, PT ABC dan konsumen luar negeri, itu silahkan di klaim kalau itu ekspor. Tapi kalau sudah ada pihak seperti broker lokal ini, itu artinya yang memenangkan lelang kan si broker lokal ini. Sebenernya CPO nya dianggap sudah berpindah dari tangan dari PT XYZ ke broker lokal, meskipun CPOnya nanti prosedurnya langsung dikirimkan
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
104
ke konsumen luar negeri, namun CPO nya itu sudah miliknya si broker ini karena dia pemenang lelangnya. Perkara nanti broker lokal ini bilang “ tolong dong PT XYZ CPOnya langsung kirimkan ke konsumen luar negeri gak usah kirimkan ke saya” itu sudah tidak soal ya. Artinya kalau ini sudah ada lelang dan ada pemenangnya, dilihat pemenangnya siapa. Karena begitu dia menang lelang, si PT XYZ harus menyerahkan CPOnya ke broker lokal. Perkara CPOnya mau diekspor mau diolah lagi, itu urusannya beda lagi. Harusnya memang PT XYZ transaksi dengan si broker lokal ini, perkara nanti kemudian si PT XYZ diminta mengirim langsung kesana, silahkan. Tapi dokumen kepabeanannya harusnya atas nama broker lokal. PEB nya harusnya identitasnya si broker, karena barang sudah miliknya dia kan.
Kalau PEB dari PT XYZ atas nama konsumen luar negeri? Jadi kalau misalnya yang jadi peserta lelang bukan badan usaha yang ada di dalam negeri, itu beda ceritanya. Mungkin orang sana datang langsung kesini ditugaskan untuk jadi peserta lelang. Tapi kalau kemudian yang deal adalah WP dalam negeri, berarti harusnya jadi hak si broker ini karena CPO menjadi milik dia. Jadi begini, CPO dilelang yang menang si broker, lalu terserah dia nantinya mau diekspor apa tidak. Ini kan CPOnya milik dia. Mau diekspor silahkan, mau dijual lokal lagi silahkan. Seharusnya dari PT XYZ ke broker buka faktur. Setelah itu broker lah yang harus ekspor. Secara arus uang atau dokumen, harusnya PT XYZ tidak ekspor. Yang urusan ekspor adalah broker dan konsumen luar negeri.
Kalau dihubungkan dengan syarat formal dan material faktur pajak dalam hal ini PEB bagaimana pak? Artinya yang melakukan ekspor harusnya broker, yang dilaporkan oleh PT XYZ adalah penjualan dia ke broker. Sebenernya CPO kan sudah jadi miliknya broker, tapi masih di gudang PT XYZ. Nah kalo nanti PT XYZ disuruh broker langsung kirim ke luar ya boleh aja. Sehingga tidak bisa dikategorikan ekspor. Karena transaksi lelang tadi sudah putus, broker yang memenangkan. Kecuali begini ya, broker ini tidak melalui proses lelang, justru broker ini yang mencarikan CPO. Jadi ada orang luar minta broker mencari CPO jadi murni mencarikan CPO saja.
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
105
Tidak ada lelang di PT ABC. Jadi dia sekedar mempertemukan antara PT XYZ dengan orang luar, jadi jasa perantara itu.
Menurut bapak apakah perlu ada kebijakan atas jasa perdagangan CPO? Kalau menurut saya belum dulu karena jasa perdagangan ini adalah jasa kena pajak, Kita tidak perlu membatasi jasa perdagangan seperti apa yang kena PPN, mau itu lelang atau mekanisme lain sepanjang itu substansinya adalah bagaimana supaya bisa penjual dan pembeli ini ketemu. Ya itu termasuk jasa perdagangan gitu. Jadi kita tidak perlu mengatur lain lagi karena kalau kita membatas-batasi nanti ada yang harusnya masuk jadi gak masuk, kalau substansi sama. Kalau kita memberlakukan lain untuk CPO, nanti jadinya diskriminatif terhadap produk perkebunan yang lain.
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
Lampiran106 5
HASIL WAWANCARA
Waktu
: Pukul 12.30 WIB – 13.30 WIB
Hari/Tanggal
: Selasa, 5 Juni 2012
Tempat
: Pusdiklat Pajak Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Ruang Widyaiswara Lantai 1 Jalan Sakti Raya, Kemanggisan, Jakarta Barat
Interviewer
: Ratna Hapsari Sianipar (0806396430)
Interviewee
: Anang Mury Kurniawan, SST., Ak., M.Si.
Posisi Interviewee
: Akademisi Perpajakan, Pusdiklat Pajak
Menurut Bapak pengertian jasa perdagangan itu sendiri apa? Kalau jasa perdagangan definisi yang baku di SE 145 itu, dia mempertemukan penjual dan pembeli. Jadi dia tidak me-manage inventory. Tapi dalam praktek definisi perdagangan bisa me-manage inventory dalam arti seperti ini, saya membeli kemudian menjual. Itu lazim digunakan salah satunya untuk skema transfer pricing untuk misalnya mengelabui harga real transaksi sebenarnya. Itu termasuk jasa perdagangan secara prinsip, karena tidak ada inventory yang dia manage cuma dokumentasi seakan-akan ada pembelian.
Apakah broker atau agen juga bisa disebut jasa perdagangan? Iya bisa. Kalau broker atau agen itu fungsinya mempertemukan penjual atau pembeli. Tapi kalau dia membeli dan me-manage inventory sehingga menanggung resiko tidak bisa dikatakan jasa perdagangan. Contohnya, dealer mobil, anda setuju gak itu jasa perdagangan, atau agen LPJ itu jasa perdagangan. Enggak kan. Makanya dilihat dulu fungsinya seperti apa.
Bedanya jasa perdagangan dengan trading? Industri ini dikategorikan secara umum ada tiga kategori. Manufaktur, distribusi, dan jasa. Dalam prakteknya, variasi yang muncul ini kadang bergeser-geser. Distribusi pun dalam skema tertentu ini bisa masuk dalam kategori jasa. Misalnya
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
107
tadi distribusi dalam bentuk commission agent. Misal saya menjual barang mendistribusikan tapi nanti dapat komisi, tapi saya tidak me-manage inventory secara penuh. Bahkan industri manufaktur juga demikian, dalam tahap tertentu walaupun dia melakukan pabrikasi dan penghasilan produk tapi sebenarnya substansinya jasa misalnya maklon. Jasa perdagangan distribusi itu seperti itu dalam kasus tertentu dia bisa me-manage inventory menanggung resiko penuh, misal saya membeli barang suatu saat ada pembeli saya jual. Ada resiko barang tidak laku dan sebagainya, saya menanggung resiko penuh. Tapi ada juga distributor yang tanpa menanggung resiko, contohnya commission agent. Saya menjual barang punya orang lain nanti saya dapat komisi, barang sebenarnya punya orang lain.
Kalau si commission agent ini barangnya milik induk perusahaannya bagaimana pak? Secara concept group memang barang itu milik perusahaan, tapi kalau kita lihat dari sisi pemajakan kan, melihatnya dari entitas.
Syarat terjadinya jasa perdagangan yang di SE 145 menurut bapak bagaimana? Saya setuju dengan di SE 145, yang saya lihat di SE 145 sepertinya murni jasa kan. Tidak seperti yang skema trading yang saya ceritakan tadi. Tapi dalam praktek, kenyataannya kan tidak cuma jasa saja, kalau dilihat di laporan keuangan yang skema distribusi tadi dia seakan-akan beli, di laporan keuangan juga ada pembelian. Kemudian ada penjualan ada cost of good solds kalau dari analisis laporan keuangan. Tapi kalau di jasa perdagangan SE 145 tidak mungkin muncul itu. Karena semuanya fee, komisi. Sehingga pantas disebut agen, mempertemukan penjual dan pembeli, perantara.
Bentuk pembayaran atas jasa perdagangan ? Kalau secara substantif kalo saya lihat malah trend-nya itu berasal dari keuntungannya malah dari margin yang transfer pricing tadi. Selisih penjualan dan pembelian. Dalam definisi yang umum ya bukan di SE 145.
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
108
Dalam prakteknya, perdagangan CPO dari PT XYZ tidak langsung kepada konsumen namun melalui PT ABC. Apakah menurut bapak PT ABC ini melakukan jasa perdagangan? Kalau dilihat dari SE 145 bisa juga, tapi definisi SE 145 ini kan bukannya melibatkan pihak yang di luar negeri ya? Tapi ada juga 3 pihak yang didalam negeri ya. Kalau begitu menurut saya bisa dimasukkan ke jasa perdagangan. Kalau
dari
terminologi
jasa
perdagangan
dari
pemahaman
saya
itu
mempertemukan penjual dan pembeli. Kalau dalam kasus ini, fungsi dari PT ABC tadi, saya kira bukan untuk mempertemukan penjual dan pembeli. Tapi lebih kepada fungsi untuk pemasaran. Dari sudut pandang itu, bisa dilihat mungkin orang punya pendapat ini bukan jasa perdagangan. Karena sebenarnya pihak si penjual sudah tau juga pembelinya. Cuma untuk mekanisme fungsi dari PT ABC ini fungsi untuk mengontrol mengendalikan supaya harga ini dapat dikoordinir. Saya yakin itu fungsinya seperti itu supaya harganya jangan sampai ini jual tinggi ini jual rendah sehingga merusak harga. Maka dikoordinir oleh si PT ABC ini. Kalau fungsi seperti itu mungkin lebih cocok didefinisikan sebagai pengusaha yang bergerak di bidang pemasaran tadi. Tapi bukannya jasa pemasaran kan termasuk SE 145 pak? Saya gak setuju kalau semua jasa pemasaran kemudian didefinisikan sebagai jasa perdagangan. Jadi jasa pemasaran yang punya karakteristik jasa perdagangan itu fungsinya tadi mempertemukan penjual dan pembeli. Tidak semua jasa pemasaran dikategorikan sebagai jasa perdagangan. Saya berikan contoh seperti ini, saya punya perusahaan yang bergerak di dalam bidang periklanan. Ada perusahaan datang ke saya, bagaimana saya bisa menjualkan barang secara efektif di negara kamu, misalnya. Kemudian saya bilang oh kamu harus melakukan ini, ini, ini. Saya memberikan advice terkait dengan itu dan kemudian dapat fee. Kalau begitu ya jasa pemasaran bukan jasa perdagangan. Saya sama sekali tidak melakukan tanggung jawab dengan mempertemukan si penjual dan pembeli. Pekerjaaan saya murni terkait dengan kepentingan pemasaran. Jadi ada beberapa jasa pemasaran yang mungkin masuk ke dalam definisi jasa perdagangan dan ada yang tidak. Kalau saya posisinya seperti itu saya tidak setuju kalau kemudian jasa pemasaran
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
109
ini jasa perdagangan. Kalau tadi misalnya fungsi dari PT ABC tidak sampai mempertemukan penjual dan pembeli, saya setuju PT ABC bukan melakukan jasa perdagangan. Tapi jika dilihat dari konteks PT ABC juga mengurusi dokumendokumen sampai dengan CPO nya sampai ke konsumen, maka saya setuju kalau PT ABC ini melakukan jasa perdagangan.
Kalau fee di jasa perdagangan ini kan berarti didapat dari siapa yang memanfaatkan jasa ya pak, tapi kalo fee di PT ABC ini terbentuk dari 0,5 persen dari harga jual ? Tapi fee nya tetap dari PT XYZ kan, cuma skema pembayaran fee nya dibuat dengan level indikator harga penjualan. Kalau menurut saya itu pemberi fee nya itu ya penerima manfaat jasa perdagangan yaitu PT XYZ. Kalau fee saya kira dari bisnis normal, skemanya bisa bervariasi. Bisa dari success fee sepeti itu, kalau menjualnya tinggi dapat fee lebih banyak, kalau jual sedikit ya fee nya sedikit. Orang dalam konteks seperti ini mungkin lebih prefer yang seperti ini.
Apakah ada perbedaan dalam perlakuan perpajakannya pak yang tadinya PT ABC belum menjadi PT dan sudah menjadi PT? Kalau di Undang-Undang Pajak, subjek pajak itu tidak hanya dilihat dari bentuk formal. Bahwa substansi juga sangat berpengaruh. Jadi di dalam Undang-Undang Pajak kan yang namanya badan tidak mesti harus berbentuk hukum. Kumpulan orang itu bisa dijadikan definisi badan. Saya kembali ke tadi, ketika dia belum menjadi PT. Kalau dia sudah melakukan aktivitas seperti itu secara subtantif, ada kriteria kumpulan orang, kumpulan modal, dan terima fee dan sebagainya, ya itu sudah masuk di dalam definisi badan. Walaupun secara formal belum berbentuk badan hukum.
PT XYZ tidak harus melalui PT ABC namun melalui PT Bursa Berjangka melalui lelang online, apakah itu termasuk jasa perdagangan? Dan apakah biaya transaksi yang kena 10 persen itu adalah fee yang dimaksud untuk jasa perdagangan? Biaya transaksi itu adalah jasa atas penyelenggaraan transaksi itu. Tapi itu bukan jasa perdagangan kalau bagi saya itu. Karena fungsinya secara substantif itu
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
110
ikatannya keterlibatan tanggung jawab dari pihak penyelenggara tadi tidak sebesar pengusaha jasa perdagangan. Kalau jasa perdagangan itu kan benar-benar mempertemukan. Itu kan cuma kalo misalnya anda transaksi di bursa efek kemudian ada bursa efek Jakarta. Apakah bursa efek Jakarta itu melakukan jasa perdagangan. Ya jasa bursa. Jasa penyelenggaraan bursa efek. Bukan jasa perdagangan. Kalau bagi saya, PT Bursa Berjangka ini bukan melakukan jasa perdagangan, tapi menyelenggarakan jasa bursa berjangka. Fungsinya disitu. Ya memang disitu, dia mengelola suatu pasar ya, sehingga dapat ketemu penjual dan pembeli. Tapi bukan direct gitu ya, ini dengan ini. Penyelenggara bursa efek menyediakan sarana fasilitas. Kemudian mereka minta fee atas penyelenggaraan bursa tadi. Saya melihatnya bukan jasa perdagangan, karena dia sangat terbuka siapapun boleh. Dan ini bisa ditransaksikan berulang-ulang. Jadi saya yang beli pertama, kemudian dijual lagi. Sampai kepada settlement date kepada siapa barang ini harus dikirim. Bagi saya harus konkret siapa penjual siapa pembeli siapa pengusaha jasa. Dan selalu di SE 145 itu selalu ada tiga pihak itu. Si PT BBJ ini tidak hanya menghubungkan, namun juga memfasilitasi dengan membuat bursa ini.
Jadi sebenernya kepastian hukum untuk jasa perdagangan ini di lapangan menurut bapak bagaimana? Kalau kepastian jasa perdagangan ya sekarang memang banyak timbul perbedaan persepsi antara wajib pajak dan otoritas pajak. Salah satunya adalah melihat substansi apakah itu jasa perdagangan atau tidak. Apa dia itu melaksanakan jasa perdagangan atau dia melaksanakan fungsi trading tadi. Karena mekanisme PPN nya sangat jauh berbeda kan. Kalau trading 10 persen dari harga jual, PM dapat dikreditkan. Kalau jasa perdagangan dia cuma akan kena PPN dari fee nya saja. Di dalam kasus-kasus yang saya ketahui di pemeriksaan adalah suka timbul dispute antara pemeriksa dan wajib pajak antara interpretasi ini. Apakah ini dikenain PPN dari harga jual ataukah dikenain PPN atas fee nya. Contoh di lapangan seperti ini. PT A pengusaha di Indonesia, ada juga X Ltd dan Y Ltd. Ada 3 pihak ya. PT A ini menyelenggarakan fungsi tadi, mempertemukan penjual dan pembeli tadi. Tapi PT A ini seakan-akan membeli barang X Ltd, sehingga secara
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
111
kontrak ini dibeli dan barang langsung diserahkan ke Y Ltd. Tapi wajib pajak menganggap PT A ini melakukan jasa perdagangan. Atau sebaliknya pemeriksa menganggap ini jasa perdagangan tapi wajib pajak menganggap ini trading. Kalau trading yang terjadi, karena ini dijual diluar daerah pabean dan dibeli diluar daerah pabean maka tidak terutang PPN. Tapi pemeriksa menggangap ini fungsi jasa perdagangan. Kalau jasa perdagangan terutang baik dimanfaatkan di dalam daerah pabean maupun diluar daerah pabean. Atas marginnya dikenai PPN.
PT ABC dalam prakteknya mengklaim ekspor, yang dimana disini ada pihak broker
lokal
sebagai
representative
untuk
melakukan
lelang
di
Indonesia,bagaimana menurut bapak? Kalau dalam UU PPN prinsipnya faktur pajak harus memiliki persyaratan formil dan materiil, disini PEB sebagai faktur pajak. Formilnya yang pertama yang harus kita lihat adalah doukmen PEBnya. Di PEBnya itu PT XYZ ini yang menerbitkan atau tidak. Kalau PT XYZ yang menerbitkan, ini OK memenuhi syarat formil. Nama penjualnya PT XYZ, pembeli adalah X ltd. Ini secara formil memenuhi. Yang kedua secara materiil substansi transaksinya. Ketika membuat perjanjian, PT XYZ ini membuat perjanjian dengan X Ltd atau dengan broker lokal ini. Kalau perjanjiannya dengan broker lokal, berarti perjanjiannya ya dengan broker lokal walaupun ini behalf X ltd. Jadi prinsipnya dia melakukan transaksi dengan BUT X ltd. KPP mungkin tidak melihat broker lokal ini memang mendapatkan fee karena melakukan jasa kepada X Ltd, namun KPP mungkin melihatnya broker ini sebagai BUT X ltd., sehingga dilihat PT XYZ melakukan transaksi dengan pihak di dalam daerah pabean. Jadi materiilnya disini.
Kalau pegawainya yang dikirim langsung bagaimana pak? Kalau pegawai kemudian melakukan aktivitas lelang, itu tidak dianggap BUT sepanjang pegawai ini keberadaannya di Indonesia tidak menimbulkan BUT fisik. Kalau misalnya dia menyewa tempat untuk kegiatannya ini, itu menimbulkan BUT fisik. Broker lokal memberikan jasa perdagangan ke luar negeri terutang PPN, itu menurut bapak bagaimana jika ditinjau dari konsep PPN?
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
112
Karena BUT subjek pajak dalam negeri, maka terutang PPN BUT nya atas nama konsumen luar negeri. Kalau jasa tidak menganut destination principle murni tapi tempat penyerahannya, bukan pemanfaatannya. Jasa lalu lintasnya tidak seperti barang yang bisa dilihat. Kalau orang memahami PPN atas pajak konsumsi, sangat sulit menggunakan pendekatan jasa itu konsumsinya dimana.
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
113
HASIL WAWANCARA
Waktu
: Pukul 12.00 WIB – 12.40 WIB
Hari/Tanggal
: Selasa, 5 Juni 2012
Tempat
: Pusdiklat Pajak Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Ruang Widyaiswara Lantai 1 Jalan Sakti Raya, Kemanggisan, Jakarta Barat
Interviewer
: Ratna Hapsari Sianipar (0806396430)
Interviewee
: Untung Sukardji, S.H, M.Sc
Posisi Interviewee
: Akademisi Perpajakan, Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN)
Menurut Bapak pengertian jasa perdagangan itu sendiri apa? Ya seperti jasa pemasaran, perantara, keagenan, ataubroker
Bedanya dengan trading apa pak? Perdagangannya yang langsung, trading kan kegiatan bisnisnya, jual belinya itu namanya trading.
Syarat terjadinya jasa perdagangan? Harus membuat kontrak dengan broker atau dengan agen nanti dia akan memberikan fee berapa
Perdagangan CPO PT XYZ tidak langsung kepada konsumen namun melalui PT ABC, menurut bapak PT ABC ini melakukan jasa perdagangan? Iya,.. jasa dibidang marketing lah itu. Ya gak ada masalah, dia hanya memasarkan jasa, jadi ga ada penyerahan barang, karena barang diambil langsung dari PT XYZ. Sama dengan makelar dia. Kalau makelar itu ya, PT XYZ akan memberikan contoh, misalkan beberapa dirigen CPO. Barang contoh tersebut tidak terutang PPN menurut pasal 1A ayat 2 UU PPN, penyerahan barang kena pajak kepada makelar tidak terutang PPN, karena hanya contoh saja.
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
114
Kalau fee di jasa perdagangan ini kan berarti didapat dari siapa yang memanfaatkan jasa ya pak, tapi kalo fee di PT X ini terbentuk dari 0,5 persen dari harga jual itu gimana pak? Ya tidak apa-apa tergantung perjanjiannya
PT XYZ tidak harus melalui PT ABC namun melalui PT Bursa Berjangka melalui lelang internet, apakah itu termasuk jasa perdagangan? Dan apakah biaya transaksi yang kena 10 persen itu adalah fee yang dimaksud untuk jasa perdagangan? Iya termasuk jasa perdagangan dan feenya kena PPN 10 persen
Ada yang bilang bahwa agen atau broker itu bukan jasa perdagangan pak itu bagaimana? Jasa itu, dia hanya menerima fee, dia tidak menerima barang kena pajak. Broker tuh termasuk pedagang besar dia. Tapi kalau jasa komisioner, itu jasa juga, dan dia megang barang. Salah satu jasa perantara itu jasa komisioner. Kalo komisioner itu di kitab Undang-Undang Hukum Dagang, itu udah diatur. Bahwa komisioner itu dapat membentuk perjanjian atas nama dirinya sendiri, untuk kepentingan pemilik barang. Beda dengan makelar, kalau makelar itu gak pegang barang, tapi komisioner pegang. Jadi gak selalu jasa perantara itu tidak pegang barang. Kalau makelar hanya menawarkan, yang dia bawa hanya barang contoh. Kalau komisioner enggak, barang diserahkan kepada komisioner, kemudian komisioner menentukan harga boleh berbeda dengan harga yang diminta oleh pemilik barang. Itu termasuk jasa perdagangan juga. Jadi jasa perdagangan itu hanya bergerak sebagai perantara. Jadi ketentuan dia pegang barang atau tidak itu bukan faktor yang relevan.
Bagaimana dengan PT XYZ yang mengklaim ekspor atas CPO dimana yang ikut lelang adalah perwakilannya di dalam negeri? Kalau ekspor itu dokumennya tidak atas nama yang bersangkutan, berarti ada penyerahan di dalam daerah pabean. Ada pihak ke tiga. Si broker lokal disini
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
115
fungsinya sebagai jasa perantara. Ekspor dan impor itu sangat formal, jadi yang menentukan itu dokumen, atas nama siapa.
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
Lampiran116 6
HASIL WAWANCARA
Waktu
: Pukul 15.00 WIB – 16.30 WIB
Hari/Tanggal
: Senin, 11 Juni 2012
Tempat
: Direktorat Potensi Kepatuhan dan Penerimaan Gedung Utama Lantai 8, Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak Jl. Gatot Subroto, Jakarta Selatan
Interviewer
: Ratna Hapsari Sianipar (0806396430)
Interviewee
: Tunas Hariyulianto, S.E, M.Si
Posisi Interviewee
: Akademisi Perpajakan, Universitas Indonesia
Latar belakang diterbitkannya SE 145 itu kenapa pak? Ya mungkin awalnya dulu memang banyak pertanyaan tentang jasa perdagangan kemudian dikasih penegasan, karena penegasan di SE 08 ini kalau boleh dibilang keliru lah, karena keluar dari konsep PPN. Konsep PPN itu kan bukan subjective tax, tapi objective tax.
Menurut Bapak pengertian jasa perdagangan itu sendiri apa, dan apakah broker, agen, makelar itu termasuk jasa perdagangan? Kalau dilihat dari definisinya kan udah jelas, dengan demikian jasa perdagangan adalah jasa perantara. Perantara disini kan ada makelar. Atau jasa pemasaran, atau jasa mencarikan penjual dan pembeli. Ini kan sudah meliputi semua, kira-kira yang belum masuk yang mana. Makelar masuk jasa perantara, agen itu jasa pemasaran, broker itu kan sama dengan perantara. Kalau yang dimaksud disini kan gak ada inventory. Jasa perdagangan beda dengan perdagangan. Kalau makelar ngasih sample barang ke pembeli yang mau lihat mana contoh barangnya, inventory nya kan tetap bukan punya dia. Kalau misalnya menyerahkan semua barang kepada pedagang perantara itu kena PPN. Kalau di UU PPN makelar itu bukan sembarang makelar karena ditunjuk presiden. Itu baru gak terutang PPN. Kan kalo di masyarakat kita kan sering denger makelar, nah itu bukan makelar ini maksudnya. Ini khususlah, dalam kasus kenegaraan. Mungkin contohnya seperti
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
117
Badan Penyehatan Perbankan Nasional. BPPN disini sebagai pedagang perantara, kan dia menerima aset-aset bank kemudian dijual. Posisinya dia seperti makelar, karena diangkat oleh presiden.
Dalam prakteknya, perdagangan CPO tidak langsung kepada konsumen namun melalui PT ABC, menurut bapak PT ABC ini melakukan jasa perdagangan? Ya jasa perdagangan. Gak masalah melalui lelang apa tidak. Lelang itu kan cara menjual. CPO nya bisa dijual secara langsung atau lelang, tapi PT ABC ini kan menjalankan fungsinya sebagai perusahaan jasa perantara. Jadi kembalikan ke SE 145 definisinya kan jasa perdagangan adalah jasa yang diberikan oleh orang atau badan kepada pihak lain dengan menghubungkan yang satu kepada pembeli barang. Kan PT ABC ini sama aja menghubungkan, dari PT XYZ kepada pembeli kan.
Cuma
karena
pembelinya
banyak
dan
barangnya
terbatas,
cara
menentukannya yang enak kan pakai lelang siapa yang harganya paling tinggi. Jadi kan dia fungsinya perantara menghubungkan PT XYZ dengan banyak konsumen. Cuma konsumen mana yang dipilih adalah yang berani dengan harga tinggi. Itu kan cara menjual aja, fungsi dia tetap sebagai perantara. Berarti PT ABC ini harus menerbitkan faktur pajak atas jasa yang diberikan PT XYZ.
PT XYZ tidak harus melalui PT ABC namun melalui PT Bursa Berjangka (PT BBJ) melalui lelang internet, apakah itu juga termasuk jasa perdagangan? Kalau menurut saya di SE 145 ini kan jelas disebutkan kalau jasa perdagangan adalah jasa yang menghubungkan penjual dengan pembeli. Disini tidak disebutkan cara penjualannya dengan cara apa. Sepanjang dia menghubungkan penjual dan pembeli itu adalah jasa perantara. Jasa perantara itu masuk ke dalam jasa perdagangan.
Tapi kalau penjelasan dari orang di PP 1 pak kalau sebenarnya jasa perdagangan di SE 145 itu karena banyaknya pertanyaan tentang cross border itu gimana pak? Tapi kan yang jadi masalah, SE 145 ini kan udah menentukan definisi jasa perdagangan itu apa. Jadi kalau disini sudah ditentukan mau gak mau ini jadi acuan dalam menerapkan ketentuan. Artinya misalnya ada suatu transaksi
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
118
penyerahan jasa, kita mau bertanya ini jasa perdagangan apa bukan. Acuannya kemana, ya kesini. Kalau masuk dalam definisi ini berarti jasa perdagangan. Kalau masuk jasa perdagangan berarti berlaku ketentuan SE 145.
Kalau fee di jasa perdagangan ini kan berarti didapat dari siapa yang memanfaatkan jasa ya pak, tapi kalau ketentuan di PT BBJ ini bagaimana pak? Ya gak masalah itu kan caranya. Artinya yang saya tangkap disini PT BBJ itu menyerahkan jasa perdagangan, cara menjualnya menggunakan mekanisme pasar. Si penjual kan menawarkan CPO. Jadi PT BBJ ini menghubungkan penjual yang banyak dengan pembeli yang banyak. Justru dia menyediakan media untuk saling berhubungan antara penjual dan pembeli. Dengan cara apa menghubungkannya ya terserah. Karena di SE 145 tidak didefinisikan lebih lanjut dengan cara apa.
Jadi biaya transaksi ini juga bisa disebut fee atas jasa perdagangannya pak? Iya sama saja. Jasa itu wujudnya dalam bentuk biaya. Biayanya itu dalam bentuk fee.
Kalau kontrak dan tiga pihak yang harus ada di SE 145 menurut pihak PP 1 bagaimana pak? Gak mutlak. tetap aja. Coba bandingkan dengan bursa efek. Saham itu kan bukan barang kena pajak tapi ya. Pasti kan si efek ini melakukan jasa perantara. Efek ini kan melakukan perantara ya, antara pemilik saham dengan para pembeli
Menurut bapak jadi SE 145 ini seharusnya bagaimana? Sudah bagus terutang PPN atas jasa perdagangan di SE 145 yang sudah resmi dikeluarkan oleh kantor pusat. Namun seharusnya kantor pusat menjelaskan sesuatu yang resmi juga, karena di SE 145 ini penjelasannya hanya menghubungkan, tidak melihat caranya bagaimana.
Bagaimana menurut bapak tentang kasus PT XYZ mengklaim atas ekspor dimana yang melakukan lelang adalah broker lokal sebagai perwakilan??
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
119
Broker lokal itu kan hanya sebagai perantara. Jadi ada buyer diluar membutuhkan CPO, kemudian CPO nya ada di Indonesia. Yang kemudian penjualan CPO ini harus melalui lelang, kalau lelang berarti kan harus ada yang hadir di lelang itu. Kemudian si buyer ini juga harus mengetahui kualitas secara pasti CPO nya. Apakah CPO ini sesuai atau tidak. Sehingga dia menyuruh pegawainya langsung atau dia meminta bantuan perusahaan dalam negeri untuk memberikan jasa untuk menghadiri lelang. Jadi bisa dibilang broker ini hanya jasa untuk menghadiri lelang.
Kalau semua semua dokumen dan pembayaran diurusi oleh broker? Itu juga jasa jadi dia melakukan jasa pengurusan dokumen. Jadi jelas pas lelang dia atas nama X. Ltd. Jadi ada QQ nya. QQ itu on behalf atau atas nama siapa. Atau mungkin ada 2 mekanisme, yang pertama atas nama dia saja, yang kedua atas nama X.Ltd. Namanya broker, broker itu tidak membeli barang. Jasanya broker itu juga disamping jual beli, pembayaran juga bisa melalui dia. Broker lokal itu atas nama saja.
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
120
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama
: Ratna Hapsari Sianipar
Tempat Tanggal Lahir
: Jakarta, 25 Juli 1990
Alamat
: Perumahan Mutiara Japos blok B2 no. 1 Paninggilan – Ciledug, Tangerang 15153
Nomor HP
: 081298553208/021-94654758
Email
:
[email protected]
Nama Orang Tua: Ayah
: F. Soeyoto Sianipar
Ibu
: J. Hosianna Sitorus
Riwayat Pendidikan Formal: Tahun 1995-1996
: TK Wijaya Kusuma Tangerang
Tahun 1996-2002
: SD Wijaya Kusuma Tangerang
Tahun 2002-2005
: SMP Negeri 19 Jakarta Selatan
Tahun 2005-2008
: SMA Negeri 82 Jakarta Selatan
Tahun 2008-2012
: S1 Paralel Program Studi Administrasi Fiskal FISIP Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012