Analisis Fungsi Regulerend Pada Kebijakan Tarif Bea Keluar Atas Crude Palm Oil (CPO) Asriviani Azalia dan Azhari Aziz Samudra Ilmu Administrasi Fiskal Program Ekstensi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Kampus UI, Depok, 16424, Indonesia Email:
[email protected] Abstrak Pemerintah menerapkan kebijakan bea keluar ini sebenarnya sebagai instrumen perdagangan akan tetapi pendapatan yang diterima dari kegiatan ekspor CPO ini sangat membantu dalam menyeimbangkan pengeluaran dan penerimaan pada anggaran Negara. Namun pemerintah juga harus menjaga persediaan minyak sawit untuk kebutuhan dalam negeri dan untuk menjaga kestabilan harga minyak goreng dalam negeri. Ada beberapa permasalahan dalam penerapan kebijakan bea keluar ini. Penelitian ini bertujuan membahas mengenai kebijakan bea keluar atas crude palm oil (CPO) ditinjau dari fungsi regulerend. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pertimbangan pemerintah yang menetapkan kebijakan bea keluar atas CPO ini sebagai instrumen perdagangan padahal penerimaan Negara dari hasil pengenaan bea keluar tidaklah sedikit. Metode yang digunakan adalah metode pendekatan kualitatif serta metode pengumpulan data primer dengan wawancara. Dari hasil wawancara dengan informan terkait dengan penelitian ini, bahwa dalam penerapan kebijakan bea keluar ini masalah yang dihadapi oleh bea cukai yaitu masih kurangnya pengetahuan pihak bea cukai akan produk CPO terkait dengan pengenaan tarif BK, terbatasnya fasilitas dan lemahnya infrastruktur. Namun dengan kebijakan ini pemerintah juga berhasil untuk stabilisasi harga minyak goreng dalam negeri walaupun sebagai pengawasan produk CPO yang diekspor dalam hal ini belum berjalan secara efektif karena masih terdapat CPO yang lolos dari penerapan tarif bea keluar.
Analisys Function of Regulation on Export Duties Policy For Crude Palm Oil (CPO) Abstract Government implementing the export duties policy on crude palm oil (CPO) as an instrument of trade is in fact but the income earned from the export of CPO is very helpful in balancing expenditures and revenues in the state budget. But the government should also keep supplies of palm oil for domestic needs and to maintain price of domestic cooking oil stability. There are several problems in the application of this tax policy. This study discusses the export duties policy on crude palm oil (CPO) in terms of function of regulation. This study aims to analyze the government's consideration set export duties policy on CPO is as trading instruments while state revenue from the imposition of export duties is not little. The method used is a qualitative approach and the method of collecting primary data through interviews. From interviews with informants related to this study, that the application of this tax policy issues faced by customs is still a lack of knowledge of the customs of the products associated with the CPO export duty tariffs, lack of facilities and poor infrastructure. However, with this policy the government managed to stabilize the price of cooking oil in the country, although the surveillance CPO products are exported in this case is not effective because there is still a CPO that escaped from the application of export duties policy. Keywords: Policy, export duties, function of regulation
1
Pendahuluan Dunia sudah memasuki era globalisasi, yang dalam hal ini perdagangan internasional sangatlah diperlukan. Perdagangan internasional adalah kegiatan jual beli antara dua negara atau lebih sebagai tujuan untuk memunihi kebutuhan masing-masing negara. Setiap negara memiliki kebutuhan yang terkadang negara tersbetu tidak dapat memproduksinya dikarenakan beberapa keterbatasan misalnya keterbatasan wilayah, iklim, teknologi dan sebagainya. Oleh karena itu dalam menutupi kekurangan masing-masing negara tersebut dalam memenuhi kebutuhannya maka dilakukanlah perdagangan internasional. Indonesia merupakan negara yang memiliki wilayah yang cukup luas dengan sumber daya alam yang berlimpah. Salah satu komoditi yang saat ini sedang berkembang produksinya di Indonesia adalah minyak kelapa sawit atau lebih dikenal sebagai crude palm oil (CPO) Salah satu sejarah penting yang memiliki kontribusi besar dalam perkembangan kelapa sawit dunia dikemudian hari adalah introduksi kelapa sawit ke Indonesia. Pada tahun 1848 Indonesia menerima empat buah bibit kelapa sawit dari Bourbon dan Amesterdam melalui Hortus Botanicus Amesterdam (Sugianto, 2008, p.4). Kelapa sawit tersebut ditanam di Kebun Raya Bogor, dan dari Bogor kemudian disebar ke Deli-Sumatera Timur. Introduksi tanaman kelapa sawit tersebut tidak ada kaitannya dengan kelangkaan pasokan minyak sawit dunia. Bahkan pada awalnya penanaman kelapa sawit di Indonesia bukan untuk tujuan komersil melainkan untuk tujuan keindahan (ornamental purpose). Upaya ke arah komersial baru dimulai dua puluh tahun kemudian oleh pemerintah kolonial Belanda, yakni dengan dirintisnya perkebunan kelapa sawit di Muara Enim (1869), Musi Hulu (1870) dan Belitung (1890). Namun upaya ini tidak berkembang dan kurang mendapat respon penduduk karena tanaman kelapa sawit dianggap tidak memiliki prospek ekonomi.(Sugianto, 2008, 7) Sebelum menggunakan istilah “bea keluar” pemerintah menetapkan beberapa istilah yang selalu berubah yang pada akhirnya hingga saat ini menggunakan istilah bea keluar. Awalnya istilah bea keluar disebut dengan pajak ekspor namun tujuan pemerintah sebenarnya bukanlah memungut pajak dari kegiatan ekspor tapi lebih ke arah pengaturan sehingga pada tahun 2005 istilah pajak ekspor berubah menjadi “pungutan ekspor” dengan ditetapkannya Peraturan Menteri Keuangan No. 130/PMK/010/2005 yang merupakan perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan No. 92/PMK.02/2005 tentang Penetapan Jenis Barang Ekspor Tertentu dan Besaran Tarif Pungutan Ekspor dan tarif pungutan ekspo. Kemudian peraturan terrsebut berubah, pada tahun 2
2007 pemerintah menetapkan Peraturan Menteri Keuangan No. 94/PMK.011/2007 tentang penetapan Jenis Barang Ekspor Tertentu dan Besaran Tarif Pungutan Ekspor kemudian tarif pungutan ekspor.Kemudian pada akhir tahun 2008 ditetapkanlah istilah “bea keluar” sebagai perubahan dari istilah pungutan ekspor yang ditandai dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Keuangan No.3098/KM.4/2008 tentang Penetapan Harga Ekspor untuk Perhitungan Bea Keluar yang berlaku mulai 1 sampai 31 Januari 2009. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan yaitu PMK No. 75/KMK.11/2012 Bea keluar bukan merupakan pajak dan lebih ke pengertian pungutan Negara. Penetapan besarnya pungutan ini ditentukan oleh Menteri Keuangan atas usul Menteri Perdagangan, dengan pertimbangan (Purwito, 2010, p. 224): a. Untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan dalam negeri atas barang atau komoditi yang karena sifat, jumlah dan jenisnya merupakan barang yang dibutuhkan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Kelangkaan atas barang ini dapat mengganggu kestabilan nasional dan distorsi perekonomian. Misalnya kebutuhan dalam negeri akan minyak goreng, saat harga bahan minyak goreng (CPO) meningkat di pasar internasional sebagai akibat kenaikan permintaan. b. Melindungi kelestarian sumber daya alam,atas barang yang sifat dan jumlahnya terbatas dan apabila diekspor akan mengakibatkan kerusakan lingkungan dan kelestarian alam. Misalnya kayu bulat atau kayu yang telah diproses menjadi kayu gergajian. c. Barang yang dibatasi ekspornya, karena kepentingan nasional sendiri perlu dipenuhi kebutuhannya, misalnya gas alam atau hasil tambang lainnya. d. Mengantisipasi kenaikan harga yang cukup drastic dari komoditi ekspor tertentu di pasaran internasional dan menjaga stabilitas harga komoditi tertentu dalam negeri. Sehingga dapat dikatakan pemerintah menetapkan bahwa tujuan bea keluar yang sebenarnya adalah untuk instrumen perdagangan, bukan instrumen penerimaan Negara. Pokok mengenai bea keluar menjadi salah satu substansi RUU Kepabeanan yang permasalahannya dibahas (sebelum disahkan UU Nomor 17 Tahun 2006) antara pemerintah dengan Pansus DPR (DPR tidak menyetujui BK sebagai intrumen penerimaan negara, dimana akhirnya terjadi Kompromi yang menjadikan
bea keluar menjadi instrumen perdagangan, dan bukan ke arah instrumen
penerimaan negara tersebut akhirnya disepakati dan dinyatakan dalam pasal 2A RUU Kepabeanan, yang sama sekali tidak menyebutkan adanya klausul tentang penerimaan. 3
Harga CPO melambung tinggi karena meningkatnya permintaan CPO di dunia dan hal tersebut pula yang menyebabkan CPO menjadi komoditi yang paling bepotensi bagi suatu negara termasuk Indonesia sebagai negara yang luas wilayahnya sangan memiliki keuntungan dalam pengembangan produksi CPO. Oleh karena itu para pengusaha CPO lebih memilih untuk menjual CPO ke luar negeri atau disebut juga dengan ekspor. Hal ini menyebabkan persediaan CPO untuk dalam negeri menjadi berkurang yang menyebabkan kelangkaan CPO dan pada akhirnya pasokan bahan baku CPO ke pabrik industri CPO didalam negeri menjadi semakin berkurang. Hal ini mengakibatkan harga minyak goreng yang bahan baku pembuatannya adalah CPO melambung tinggi. Hal tersebut tidak boleh terjadi karena bagaimanapun pemerintah harus melindungi perekonomian negara. Oleh karena itu untuk mencegah hal tersebut terjadi maka pemerintah harus membuat suatu kebijakan demi mewujudkan stabilisasi harga minyak goreng dalam negeri tanpa melarang para pengusaha CPO untuk mengekspor CPO nya karena bagaimanapun dengan adanya ekspor CPO negara sangat terbantu dalam memperoleh devisa negara. Oleh karena itu pemerintah harus memperhatikan kedua sisi tersebut. Untuk mempertahankan kestabilan atau keseimbangan dua kepentingan tersebut pemerintah membuat suatu kebijakan yang dinamakan bea keluar. Sebelumnya bea keluar dikenal dengan pungutan ekspor. Nama pungutan ekspor diganti karena terkesan seperti pengenaan pajak yang merupakan alat penerimaan negara sedangkan bea keluar tujuannya adalah untuk pengaturan yaitu instrumen perdagangan. Sehingga pemerintah memilih nama yang tepat untuk itu dan terciptalah bea keluar. Dalam kegiatan ekspor komoditi kelapa sawit yang sekarang ini sedang marak dilakukan oleh para eksportir karena hasil dari penjualan CPO yang sangat menjanjikan khususnya penjualan ke luar negeri. Kelapa sawit merupakan tanaman yang memerlukan lahan yang cukup luas dan Indonesia sangat memenuhi kriteria tersebut sebagai Negara pengahasil kelapa sawit. Bagian yang bermanfaat dari kelapa sawit tidak hanya minyaknya saja tetapi ampasnya dimanfaatkan untuk makanan ternak, khususnya sebagai salah satu bahan pembuatan makanan ayam. Tempurungnya digunakan sebagai bahan bakar dan arang. Bagian yang paling utama untuk diolah dari kelapa sawit adalah buahnya. Bagian daging buah menghasilkan minyak kelapa sawit mentah yang diolah menjadi bahan baku minyak goreng (Departemen Perindustrian, 2007, p. 1). Kelebihan minyak nabati dari sawit adalah harga yang murah, rendah kolesterol, dan memiliki kandungan karoten tinggi. Minyak sawit juga diolah menjadi bahan baku margarin. Minyak inti menjadi bahan baku minyak alkohol dan industri kosmetika. Sisa pengolahan buah sawit sangat 4
potensial menjadi bahan campuran makanan ternak dan difermentasikan menjadi kompos. mutu minyak kelapa sawit dapat dibedakan menjadi dua arti, pertama, benar-‐benar murni dan tidak bercampur dengan minyak nabati lain. Mutu minyak kelapa sawit tersebut dapat ditentukan dengan menilai sifat-‐sifat fisiknya, yaitu dengan mengukur titik lebur angka penyabunan dan bilangan yodium. Kedua, pengertian mutu sawit berdasarkan ukuran. Dalam hal ini syarat mutu diukur berdasarkan spesifikasi standar mutu internasional yang meliputi kadar ALB, air, kotoran, logam besi, logam tembaga, peroksida, dan ukuran pemucatan. Kebutuhan mutu minyak kelapa sawit yang digunakan sebagai bahan baku industri pangan dan non pangan masing-‐masing berbeda (Departemen Perindustrian, 2007, p. 6). Oleh karena itu keaslian, kemurnian, kesegaran, maupun aspek higienisnya harus lebih Diperhatikan. Rendahnya mutu minyak kelapa sawit sangat ditentukan oleh banyak faktor. Faktor-‐faktor tersebut dapat langsung dari sifat induk pohonnya, penanganan pascapanen, atau kesalahan selama pemrosesan dan pengangkutan. Dari beberapa faktor yang berkaitan dengan standar mutu minyak sawit tersebut, didapat hasil dari pengolahan kelapa sawit, seperti di bawah ini (Departemen Perindustrian, 2007, p. 7): a) Crude Palm Oil b) Crude Palm Stearin c) RBD Palm Oil d) RBD Olein e) RBD Stearin f) Palm Kernel Oil g) Palm Kernel Fatty Acid h) Palm Kernel i) Palm Kernel Expeller (PKE) j) Palm Cooking Oil k) Refined Palm Oil (RPO) l) Refined Bleached Deodorised Olein (ROL) Kelapa sawit sebagai tanaman penghasil minyak sawit dan inti sawit merupakan salah satu primadona tanaman perkebunan yang menjadi sumber penghasil devisa non migas bagi Indonesia. Tingginya permintaan CPO baik lokal maupun internasional sebagai input industri minyak goreng, biodiesel dan potensi kelapa sawit lainnya yang besar dalam perekonomian mendorong pengembangan perkebunan kelapa sawit. Cerahnya prospek komoditi minyak kelapa 5
sawit dalam perdagangan minyak nabati dunia telah mendorong pemerintah Indonesia untuk memacu pengembangan areal perkebunan kelapa sawit. Berkembangnya sub-‐sektor perkebunan kelapa sawit di Indonesia tidak lepas dari adanya kebijakan pemerintah yang memberikan berbagai insentif, terutama kemudahan dalam hal perijinan dan bantuan subsidi investasi untuk pembangunan perkebunan rakyat dengan pola PIR-‐Bun dan dalam pembukaan wilayah baru untuk areal perkebunan besar swasta (Departemen Perindustrian, 2007, p. 23). Indonesia merupakan produsen minyak sawit kedua terbesar di dunia setelah Malaysia pada periode 2001-2005. Bila ditinjau dari segi produktivitas, Indonesia dari tahun 2006 sudah mengalami peningkatan dan mengalahkan produktivitas Malaysia (Ardiansyah, F, 2006). Ini memperlihatkan efisiennya pengolahan kelapa sawit di Indonesia selama ini. Produksi CPO Indonesia berdasarkan adalah seperti pada Gambar berikut. Gambar. 1. Produksi Minyak Kelapa Sawit Indonesia 16000 14000 12000 10000
8000
Produksi Minyak Kelapa Sawit Indonesia
6000 4000 2000 0 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
Pada tahun 2004 total produksi minyak sawit baru mencapai 8,5 juta ton, pada tahun 2005 total produksi minyak sawit sebesar 10,2 juta ton, pada tahun 2006 sebesar 10,9 juta ton dan pada tahun 2007 total produksi minyak sawit telah mencapai 11,4 juta ton atau meningkat hampir tiga juta ton dalam kurun waktu 3 tahun. Kemudian pada tahun 2008 total produksi kelapa sawit di Indonesia terus meningkat hingga 12.5 juta ton, pada tahun 2009 jumlah tersebut terus meningkat hingga 13,8 juta ton, pada tahun 2010 sebesar 14,03 juta ton. Kemudian pada tahun 2011, 6
produksi minyak sawit Indonesia mencapai 14,6 juta ton. Dan keadaan ini terus terus berubah sehingga di tahun 2012 produksi Indonesia akan CPO sebesar 14,78. Dibandingkan produksi tahun 2004 sebesar 8,5 juta ton maka terjadi peningkatan sebesar 57,5% dari produksi tahun 2012. Tinjauan Teoritis 1. Kebijakan Fiskal Kebijakan fiskal adalah kebijakan penyesuaian di bidang pengeluaran dan penerimaan pemerintah untuk memperbaiki keadaan ekonomi atau dapat juga dikatakan kebijakan fiscal adalah suatu kebijakan ekonomi dalam rangka mengarahkan kondisi perekonomian untuk menjadi lebih baik dengan jalan mengubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Instrumen dari kebijakan fiscal adalah penerimaan dan pengeluaran pemerintah yang berhubungan erat dengan pajak (Rahayu, 2010, p.2). 1) Belanja atau pengeluaran Negara (G = government expenditure) 2) Perpajakan (T = tax) Kebijakan fiscal juga bisa dikatakan salah satu kebijakan ekonomi makro yang sangat penting dalam rangka (Rahayu, 2010, p.2): 1) Membantu memperkecil fluktuasi dari siklus usaha. 2) Mempertahankan pertumbuhan ekonomi yang sustainable, kesempatan kerja yang tinggi. 3) Membebaskan dari inflasi yang tinggi atau bergejolak. Kebijakan Fiskal berbeda dengan kebijaka moneter, yg bertujuan menstabilkan perekonomian dengan cara mengontrol tingkat bunga dan jumlah uang yang beredar.Instrumen utama kebijakan fiskal adalah pengeluaran dan pajak. 2. Fungsi Regulerend Fungsi Reguleren disebut juga fungsi tambahan dari pajak yaitu suatu fungsi dimana pajak dipergunakan oleh pemerintah sbagai alat untunk mencapai tujuan tertentu. Disebut sebgaai fungsi tambahan karena fungsi ini sebagai pelengkap dari fungsi utama pajak, yakni fungsi budgetair. Untuk mencapai tujuan tersebut maka pajak dipakai sebagai alat kebijaksanaan (Nurmantu, 2005, p. 32). Fungsi reguleren adalah fungsi pajak untuk mengatur suatu keadaan dalam masyarakat di bidang sosial, ekonomi, maupun politik sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah. Dalam 7
fungsinya yang mengatur, pajak merupakan suatu alat untuk mencapai tujuan tertentu yang letaknya di luar bidang keuangan. Dalam fungsinya yang mengatur, pajak merupakan suatu alat untuk mencapai tujuan tertentu yang letaknya di luar bidang keuangan. Beberapa penerapan fungsi mengatur antara lain (Nurmantu, 2005, p. 41): a) Pemberlakuan tarif progresif dengan maksud apabila hal ini diterapkan pada Pajak Penghasilan maka semakin tinggi penghasilan wajib pajak, tarif pajak yang dikenakan juga semakin tinggi sehingga kebijaksanaan ini berpengaruh besar terhadap usaha pemerataan pendapatan nasional. Dalam hubungan ini pajak dikenal juga berperan sebagai alat dalam redistribusi pendapatan. b) Pemberlakuan bea masuk tinggi bagi barang-barang import dengan tujuan untuk melindungi (proteksi) terhadap produsen dalam negeri, sehingga mendorong perkembangan industry dalam negeri. c) Pemberian fasilitas tax-holiday atau pembebasan pajak untuk beberapa jenis industry terentu dengan maksud mendorong atau memotivisir para investor atau calon investor untuk meningkatkan calon investasinya. d) Pengenaan pajak untuk jenis barang-barang tertentu dengan maksud agar menghambat konsumsi barang-barang tersebut diterapkan pada barang mewah sebagai mana PPnBM (Pajak Penjualan atas Barang Mewah) mempunyai maksud antara lain menghambat perkembangan gaya hidup mewah. Di samping fungsi budgeter dan fungsi mengatur pajak juga dapat digunakan untuk menanggulangi inflasi. Pajak di tangan pemerintah bila tepat penggunaannya merupakan alat yang ampuh untuk mengatur perekonomian Negara. 3. Ekspor Pengertian ekspor diartikan sebagai pengangkutan barang dalam jumlah tertentu dari satu negara ke negara lain baik untuk diperdagangkan maupun tidak untuk diperdagangkan, dengan memenuhi kewajiban kepabeanan yang telah ditentukan. Ekspor dalam dunia perdagangan biasanya dan dikomposisikan sebagai produk yang dijual berasal dari dalam negeri ke luar negeri seta merupakan target dari suatu Negara (Hamdani, 2005, p.10). Pengangkutan barang tersebut dapat dilakukan melalui udara, laut maupun darat, dan melintasi batas-batas negara, dengan dilengkapi oleh dokumen-dokumen ekspor. Di sebagian 8
besar negara, ekspor atas barang-barang tertentu dapat dikenakan pajak ekspor atau bea keluar. Pertimbangan atas barang tertentu didasarkan atas, perlindungan fauna dan flora, lingkungan, cagar budaya dan kepentingan nasional. Ekspor merupakan bagian tidak terpisahkan dari perdagangan internasional, sehingga berkaitan antara peraturan ekspor nasional, juga mengacu kepada peraturan yang dibuat secara internasional. 4. Bea Keluar Bea keluar bukan merupakan pajak dan lebih ke pengertian pungutan Negara. Penetapan besarnya pungutan ini ditentukan oleh Menteri Keuangan atas usul Menteri Perdagangan, dengan pertimbangan (Purwito, 2010, p. 224): a. Untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan dalam negeri atas barang atau komoditi yang karena sifat, jumlah dan jenisnya merupakan barang yang dibutuhkan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Kelangkaan atas barang ini dapat mengganggu kestabilan nasional dan distorsi perekonomian. b. Melindungi kelestarian sumber daya alam,atas barang yang sifat dan jumlahnya terbatas dan apabila diekspor akan mengakibatkan kerusakan lingkungan dan kelestarian alam. c. Barang yang dibatasi ekspornya, karena kepentingan nasional sendiri perlu dipenuhi kebutuhannya, misalnya gas alam atau hasil tambang lainnya. d. Mengantisipasi kenaikan harga yang cukup drastic dari komoditi ekspor tertentu di pasaran internasional dan menjaga stabilitas harga komoditi tertentu dalam negeri. Saat harga minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) naik drastis dan terjadi kelangkaan minyak goreng di pasar dalam negeri. Untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan dalam negeri dan menjaga stabilitas harga komoditi termasuk di dalam negeri, saat itu terhadap CPO dikenakan pungutan ekspor (non pajak), yang ditetapkan oleh Menteri Perdagangan bersama Menteri Keuangan (Purwito, 2010, p. 224). Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode pendekatan kualitatif. Metode pengumpulan data yang digunakan yaitu dengan studi kepustakaan yang dilakukan oleh penulis adalah berusaha mempelajari dan menelaah berbagai literature (buku-buku, jurnal, majalah, peraturan perundangundangan dan lainnya) untuk mengumpulkan sebanyak mungkin pengetahuan atau ilmu terutama yang berhubungan dengan pokok permasalahan yang diteliti. Melalui Library Research akan 9
diperoleh data sekunder. Kemudian Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah field research. Untuk mendapatkan data primer, penelitian lapangan dilakukan dengan cara wawancara secara mendalam (in depth interview) dengan narasumber yang menggunakan pedoman wawancara. Data berupa teks hasil wawancara merupakan data primer. Pembahasan 1. Permasalahan Yang Timbul Dalam Penerapan Kebijakan Tarif Bea Keluar Atas CPO Seperti yang tercantum dalam pasal 2A Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006, yaitu: menjamin terpenuhinya kebutuhan dalam negeri, melindungi kelestarian sumber daya alam, mengantisipasi kenaikan harga internasional, dan menjaga stabilitas harga komiditas tertentu di dalam negeri merupakan tujuan dari diterapkannya bea keluar. Disamping itu pemerintah juga harus menyesuaikan harga CPO di dunia agar dapat bersaing dengan negara-negara pengekspor CPO lainnya. Sesuai dengan teori kebijakan publik, pemerintah sebagai pengatur dalam pengambilan kebijakan yang bertujuan untuk mengatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara agar tercipta tata hubungan sosial yang harmonis dan terdapat aturan yang mengatur segala tindakan atau perbuatan masyarakatnya. Namun dalam pelaksanaan kebijakan tersebut terdapat permasalahan-permasalahan yang timbul dalam penerapannya, disini penulis akan menjelaskan permasalahan apa saja yang timbul baik dari sisi pemerintah sebagai pembuat kebijakan maupun dari sisi pengekspor CPO itu sendiri. Dari Sisi Pemerintah Pemerintah sebagai pembuat kebijakan bea keluar ini juga memiliki beberapa permasahan terkait dengan diberlakukannya kebijakan ini. Untuk keberhasilan dari terselenggaranya kebijakan bea keluar ini pemerintah juga harus mencari jalan keluar untuk mengantisipasi dan mencari solusi agar dapat terselesaikan. a. Sumber Daya Manusia Dalam melaksanakan suatu kebijakan pemerintah memerlukan tenaga-tenaga yang berkualitas untuk dapat terlaksana dengan efektif dan efisien dan harus sudah memiliki pengetahuan yang bersangkutan dengan barang yang dikenakan kebijakan bea keluar ini dalam hal ini adalah minyak sawit atau CPO. Dalam pemeriksaan produk ekspor CPO yang dikenakan tarif bea keluar sangat dibutuhkan tenaga yang cukup dan berkualitas 10
karena diperlukan ketelitian dan pengetahuan yang memadai dalam mengenali produk CPO yang akan dikenakan bea keluar dikarenakan ada beberapa juga turunan dari CPO. Sehingga diperlukan tenaga-tenaga ahli yang sangat mengerti akan CPO dan turunannya. Jadi apabila tenaga-tenaga tersebut kurang pengetahuannya dapat mengakibatkan lolosnya suatu barang yang seharusnya dikenakan dikenakan tarif bea keluar untuk CPO. Misalnya saja dalam prakteknya pemeriksa harus mengetahui betul produk CPO yang bagaimana yang dikenakan tarif bea keluar. CPO merupakan hasil perasan langsung dari biji sawit dan didalamnya terdapat kandungan minyak yang ada kandungan padatannya sehingga harus di pisahkan dari kandungan padatannya tersebut dan harus melewati pemanasan dalam suhu tertentu untuk pemisahan minyaknya. Perbedaan suhu juga mempengaruhi hasil kandungan CPO dan juga menentukan tarif bea keluar. Dalam hal ini apabila petugas pemeriksa salah dalam menentukan tarif yang seharusnya dikenakan dapat merugikan pemerintah karena dapat mengurangi pendapatan negara dari sisi penerapan bea keluar apabila ternyata seharusnya tarif yang dikenakan produk CPO tersebut tinggi. Dan merugikan eksportir apabila seharusnya tarif yang dikenakan produk CPO tersebut rendah. Pengawasan dalam pelaksanaan pemeriksaan terhadap produk CPO juga sangat diperlukan karena dalam prakteknya terdapat produk CPO yang lolos dari pemeriksaan petugas karena kurangnya atau tidak ketatnya pengawasan dilapangan. b. Teknologi, sarana dan prasarana Untuk melaksanakan suatu kebijakan tentunya diperlukan sarana dan prasarana yang memadai serta alat-alat teknologi yang yang menunjang terlaksananya suatu kebijakan. Begitu juga dengan pelaksanaan kebijakan bea keluar atas CPO. Dalam memeriksa dan menentukan produk ekspor CPO yang dikenaka tarif bea keluar, bea cukai memerlukan sarana prasarana serta teknologi yang memadai dalam terlaksananya pemeriksaan. Akan tetapi dalam lapangan hal tersebut tidak sesuai. Dalam bea cukai saja hanya ada 2 labolatorium yang dianggap kurang dalam meneliti produk-produk ekspor yang setiap harinya datang. Barang-barang produk ekspor yang setiap harinya datang di bea cukai untuk diperiksa tidak lah sedikit karena barang ekspor tidak hanya CPO tapi ada karet, kayu, kopi, dan bahan ekspor lainnya. Untuk pemeriksaan atau pengecekan barang juga menggunakan laboratorium untuk melihat produk-produk apa saja yang lolos uji
11
laboratorium dan pantas untuk di ekspor. Uji laboratorium juga digunakan untuk menentukan hasil olahan yang nantinya akan menentukan tarif ekspor barang tersebut. Teknologi diperlukan untuk pemeriksaan setiap barang-barang produk ekspor yang kan dikirim keluar negeri seperti alat untuk memeriksa suhu yang dipakai untuk pengolahan produk CPO karena perbedaan suhu dapat menentukan produk tersebut dapat dikenakan tarif bea keluar atau tidak karena suhu menentukan hasil olahan CPO tersebut. Apabila teknologi seperti itu kurang maka dapat mengakibatkan kelolosan barang ekspor yang dikenakan bea keluar. c. Perilaku Eksportir Dalam kegiatan ekspor impor tentunya eksportir menginginkan keuntungan bagi jalannya usaha yang mereka miliki dan terkadang melakukan berbagai macam cara untuk untuk memperoleh keuntungan yang maksimal bagi usahanya. Dalam hal bea keluar, eksportir dalam melakukan ekspor di dalam negeri dikenakan bea keluar atas produk atau barang yang akan diekspor yaitu CPO dan di negara penerima tujuan ekspor, CPO juga menjadi obyek pajak impor dan turunannya karena untuk melindungi produk-produk minyak nabati mereka. Oleh karena itu eksportir menentang adanya kebijakan bea keluar ini karena mengurangi volume ekspor CPO mereka. Dalam lapangan banyak eksportir yang berteguh hati sampai ada eksportir yang mengajukan masalah seperti ini ke pengadilan pajak yang pada akhirnya mereka dinyatakan salah. Oleh karena itu dasar hukum yang jelas harus ditetapkan oleh bea cukai dalam hal pemeriksaan dan pengecekan barang yang akan dikenakan tarif bea keluar. Ada beberapa eksportir yang berusaha agar barang atau produk ekspornya tersebut tidak terkena tarif bea keluar seperti yang dikatakan Ibu Nanik diatas, mereka beranggapan bahwa proses yang yang berbeda seperti menggunakan suhu yang berbeda akan menyebabkan barang tersebut tidak sama dengan kriteria yang telah diberikan oleh bea cukai namun pada kenyataannya produk tersebut tetap dikenakan bea keluar tapi dengan tarif berbeda. Dari Sisi Eksportir Permasalahan tidak hanya terdapat pada pihak pemerintah seperti bea cukai akan tetapi dari pihak eksportir pun ada permasalahan yang cukup serius. Eksportir memiliki hambatan dalam menjalankan kewajibannya sebagai warga negara yang ingin memenuhi kewajibannya 12
sebagai pengekspor. Permasalahan yang paling penting yang dialami oleh eksportir adalah infastruktur. Contohnya saja pelabuhan, kapal-kapal kadang diharuskan antri di pelabuhan dikarenakan sistem administrasinya yang terlalu lama sehingga yang menyebabkan terhambatnya masuk barang ke dalam kapal sehingga menyebabkan bertambahnya biaya bagi eksportir. Karena dengan terhambatnya kapal di pelabuhan menyebabkan mereka harus membayar lebih untuk biaya sandar kapal, biaya sewa kapal apabila kapal tersebut disewa, cost yang hilang akibat terlambatnya barang tersebut ke tempat tujuan, waktu yang hilang. Hal-hal tersebut dikarenkan karena infrastruktur yang kurang. Contoh lainnya adalah ambruknya jembatan di Jayapura yang menghubungkan daerah eksportir dalam memproduksi CPO dengan kantor cabang bea cukai di sana. Dengan ambruknya jembatan tersebut eksportir menjadi terhambat untuk membawa barang ekspornya untuk diperiksa oleh kantor bea cukai yang ada di jayapura. Sehingga menyebabkan keterlambatan ekspor yang sudah disepakati oleh pembeli yang berada di luar indonesia. Hal tersebut menimbulkan kerugian baik itu materi, waktu, dan tenaga. Oleh karena itu sebaiknya pemerintah memperhatikan infrastruktur demi kelancaran terselenggaranya penerapan bea keluar itu sendiri. Dan mempermudah eksportir baik itu dalam hal administrasi, birokrasi, saran dan prasarana. Agar eksportir juga dengan mudah dapat menjalankan dan memenuhi kewajibannya dalam pelaksanaan kebijakan bea keluar. Seharusnya selain mengenakan pajak ekspor melalui tarif bea keluar, pemerintah juga harus memperhatikan petani sawit. Pemberlakuan Bea keluar oleh pemerintah juga berdampak pemangkasan harga Tandan Buah Segar (TBS) Petani. Kalau disisi pemerintah jelas ada keuntungannya yaitu menambah penerimaan Negara dan pemberlakuan bea keluar secara signifikan sangat berguna menopang pembangunan industri turunan CPO di Tanah Air. Industri turunan seperti pabrik minyak goreng, secara nyata semakin kuat daya saingnya., sedangkan untuk industri hilir jelas ada kekurangannya karena kurangnya intensif langsung dari pemerintah. Selain infrastruktur masalah lain yang dihadapi oleh eksportir adalah pembayaran bea keluar. Eksportir dalam melakukan ekspor ada yang memiliki sistim sendiri di rumah untuk proses pembayaran ke bea cukai ada juga yang dikantor sehingga para eksportir tersebut hanya tinggal membuat PEB. Dalam pelaksanannya kegiatan ekspor juga berlangsung di hari 13
sabtu dan minggudan kantor bea cukai dibidang ekspor juga buka di hari sabtu dan minggu sehingga proses pembayaran juga dapat berlangsung di hari sabtu dan minggu akan tetapi permasalahnnya adalah bank tutup di haru sabtu dan minggu dan bank yang bekerja sama dengan bea cukai sangatlah sedikit tidak semua bank. Oleh karena itu proses pembongkaran dari kapal dapat tertunda sehingga menimbulkan biaya tambahan untuk menyewa kapal lebih lama. Hal tersebut seperti yan dijelaskan oleh ibu Hanik Rustiningsih (Widyaiswara Muda Pusdiklat Bea dan Cukai) Gedung Pusat Pendidikan dan Pelatihan (Pusdiklat) Bea dan Cukai Lantai 1, berikut ini. 2. Kebijakan Bea Keluar Atas CPO Ditinjau dari Fungsi Regulend Pemerintah melakukan suatu kebijakan agar kedua konsentrasi tersebut dapat terbagi dengan adil dengan cara membuat suatu kebijakan yang dapat memenuhi kedua konsentrasi tersebut sehingga tidak ada salah satu yang terlupa. Suatu kebijakan dimaksudkan sebagai instrumen bagi pemerintah untuk mengawasi serta mengendalikan suatu kegiatan di negara agar kegiatan tersebut dapat berjalan secara teratur dan tidak merugikan masyarakat maupun negara. Kegiatan yang dimaksud disini adalah ekspor dan impor. Dalam kegiatan ekspor, disini pemerintah harus mengambil suatu kebijakan agar dalam barang yang keluar dengan kebutuhan barang tersebut di dalam negeri dapat terpenuhi, sehingga eksportir tidak sesuka hati melakukan ekspor tanpa memberhatikan beberapa hal seperti terpenuhinya kebutuhan dalam negeri, kelestarian sumber daya alam, kestabilan harga di dalam negeri dan sebagainya. Sehingga pemerintah mnetapkan sebuah kebijakan yang dinamakan bea keluar, yaitu suatu kebijakan untuk mengendalikan dan mengawasi barang terutama barang yang merupkan dasar pembuatan bahan pokok diIndonesia misalnya CPO yaitu bahan dasar pembuatan minyak goreng. Tujuan bea keluar yang sebenarnya adalah untuk instrumen perdagangan, bukan instrumen penerimaan Negara. Namun dengan adanya bea keluar dapat membantu pemerintah untuk membiayai kebutuhan rutin yang seharusnya pemerintah memperhatikan hal itu. Sehingga bea keluar tidak hanya sebagai instrumen perdagangan melainkan sebagai instrimen penerimaan negara juga. Pokok mengenai bea keluar menjadi salah satu substansi RUU Kepabeanan antara pemerintah dengan Pansus DPR (DPR tidak menyetujui BK sebagai intrumen penerimaan negara), dimana akhirnya terjadi Kompromi yang menjadikan bea keluar menjadi instrumen perdagangan, dan bukannya instrumen penerimaan negara tersebut 14
akhirnya disepakati dan dinyatakan dalam pasal 2A RUU Kepabeanan, yang sama sekali tidak menyebutkan adanya klausul tentang penerimaan. Tetapi pada kenyataannya di lapangan otoritas yang berwenang dalam hal ini bea Cukai selalu menegaskan bahwa bea keluar sebagai penerimaan Negara. Pemerintah dalam menetapkan suatu kebijakan atas kepentingan perekonomian dan kestabilan, menetapkan ukuran-ukuran tertentu. Kebijakan lebih ditekankan kepada keseimbangan antara kepentingan masyarakat dan penerimaan devisa Negara, sehingga perubahan kebijakan ekspor CPO, bukanlah hal yang baru dilakukan oleh pemeintah. Seiring perkembangannya, kebijakan CPO di Indonesia pernah mengalami perubahan-perubahan yang cukup signifikan, diantaranya penetapan pungutan ekspor yang melampaui batas tarif yang ditentukan, yakni sebesar 60 persen di dalam kurun waktu 10 tahun terakhir ini industri CPO di Indonesia berkembang dengan cepat dan dikhawatirkan akan mengalami kelebihan produksi yang akan berdampak penurunan harga CPO. Perubahan kebijakannya disesuaikan dengan perkembangan pasar internasional dan kenaikan harga pasar domestik atas harga produk yang berasal dari CPO. Pelaksanaan pengenaan tarif bea keluar dapat berjalan dengan baik apabila didukung dengan kepastian hukum, regulasi2 untuk pengembangan kelapa sawit, pembenahan infrastruktur pelabuhan yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi, serta payung hukum bagi petani sawit agar mendapatkan intensif untuk mendukung industri mereka yang diuntungkan menurut saya dari sisi budgetair. Pada saat Pungutan Ekspor dihapus, penerimaan Negara menjadi berkurang sehingga Menteri Keuangan saat itu mempertimbangkan agar bea keluar menjadi salah satu penerimaan Negara selain masalah stok kebutuhan nasional dan dan keberlangsungan ekspor komoditas bersangkutan di pasar internasional. Oleh karena itu menurut penulis rasanya kurang tepat apabila kebijakan hanya disebut sebagai instrumen perdagangan yang merupakan fungsi reguleren dari pajak. Namun dalam apabila dilihat sisi industri hilirnya, penerapan tarif bea keluar kurang efektif karena bea keluar hanya dikenakan pada minyak kelapa sawit mentah saja bukan olahan padahal di Indonesia kelapa sawit mentah jarang sekali digunakan sehingga seharusnya bea keluar juga dikenakan pada olahan minyak kelapa sawit mentah karena hal tersebut tidak adil bagi petani kelapa sawit, pendapatan pajak ekspor bea keluar oleh pemerintah tidak serta merta digunakan untuk mendukung pengembangan dan pemberdayaan petani kelapa sawit, seperti peremajaan lahan, infrastruktur, dll. 15
Kesimpulan Permasalahan yang timbul dalam penerapan bea keluar terhadap CPO yaitu masih terdapat produk-pruduk hasil turunan CPO yang lolos dari pemeriksaan di Bea Cukai karena kurangnya pengetahuan pegawai bea cukai yang bertugas sebagai pengawas untuk memeriksa hasil turunan CPO yang baru sehingga hasil turunan tersebut belum ada datanya di pihak Bea Cukai. Permasalahan selanjutnya adalah regulasi dalam kebijakan bea keluar ini masih belum jelas. Kemudian permasalahan infrastruktur yang dikeluhkan oleh eksportir kepada bea cukai karena masih kurang dan terbatasnya fasilitas yang diperlukan oleh eksportir untuk kebutuhan pemeriksaan ke bea cukai. Penerapan kebijakan tariff bea keluar terhadap komoditi CPO ditinjau dari fungsi regulerend sudah berjalan dengan yang telah direncanakan oleh pemerintah yaitu untuk mencapai empat tujuan dari bea keluar. Dengan be keluar kebutuhan CPO dalam negeri sudah terpenuhi walaupun struktur dari kebijakan ini kurang tepat. Fungsi bea keluar untuk mengendalikan ekspor dengan menggunakan harga dan tarif telah dilakukan oleh pemerintah dan telah berhasil dalam mengendalikan ekspor CPO. Dengan kebijakan bea keluar ini pemerintah juga berhasil untuk stabilisasi harga minyak goreng dalam negeri. Serta sebagai pengawasan produk CPO yang diekspor dalam hal ini belum berjalan secara efektif karena masih terdapat CPO yang seharusnya dikenakan tarif bea keluar akan tetapi lolos dari penerapan tarif bea keluar. Saran Pelaksanaan pengenaan tarif bea keluar dapat berjalan dengan baik apabila didukung dengan pengawasan yang lebih diketatkan, regulasi-regulasi untuk pengembangan kelapa sawit yang lebih jelas serta karakteristik CPO yang dapat dikenakan bea keluar, memberikan pelatihan atau training kepada petugas bea keluar khususnya yang ada dilapangan pada bagian pemeriksaan untuk terciptanya sumber daya manusia yang berkualitas dan memenuhi kriteria sebagai ahli yang mengetahui tentang kriteria ekspor serta barang-barang ekspor sehingga tidak ada lagi masalah lolosnya barang ekspor yang tidak dikenai bea keluar, serta pembenahan infrastruktur pelabuhan dengan lebih mendisiplinkan kapal-kapal yang berlabuh agar pembongkaran muatan dari kapal dapat berjalan tepat waktu tanpa mengeluarkan uang lebih yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi bagi para eksportir.
16
Seharusnya dalam pengawasan ekspor CPO dalam penerapan pengenaan tarif bea keluar bea cukai lebih memperketat keluar masuknya CPO dari dan ke luar Indonesia serta lebih memperjelas sanksi bagi siapapun yang melanggarnya. Seharusnya pemerintah memperjelas lagi akan tujuan dari bea keluar sesungguhnya karena menurut penulis, pendapatan negara sangatlah terbantu dengan adanya bea keluar ini tidak hanya sekedar mencapai target atau tidak untuk keperluan APBN namun seharusnya diperjelas dalam RUU Kepabeanan bahwa bea keluar adalah instrumen penerimaan selain sebagai instrumen perdagangan karena pemerintah juga mendapatkan devisa dari ekspor. Kepustakaan Books: Ardiansyah, F. (2006). Realising Sustainable Oil Palm Development in Indonesia – Challenges and Opportunities. Jakarta: WWF-Indonesi. Presented at the International Oil Palm Conference 2006, General Lecture Session, 20 June 2006. Bali, Indonesia. Departemen Perindustrian. (2007). Gambaran sekilas industri minyak kelapa sawit. Jakarta: Sekretariat Jenderal Departemen Perindustrian. Hamdani. (2005). Seluk beluk perdagangan ekspor-impor. Jakarta : Yayasan Bina Usaha Niaga Indonesia. Nugroho, Riant. (2011). Public Policy. Jakarta: Elex Media Komputindo. Nurmantu, Safri. (2005). Pengantar Perpajakan. Jakarta: Granit. Purwito M., Ali. (2010). Kepabeanan dan Cukai (Pajak Lalu Lintas Barang) Konsep dan Aplikasi. Jakarta : Pusat Kajian Fiskal FHUI Bekerjasama Dengan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Soemitro Rochmat. (1998). Asas dan dasar perpajakan 1. Bandung : PT. Refika Aditama. Suharto Edi. (2008). Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik. Jakarta : Alfabeta. Sri Rahayu, Ani. (2010). Pengantar kebijakan fiscal. Jakarta : Bumi Aksara. Sugianto. (2008). Pengantar kepabeanan dan cukai dilengkapi dengan undang-undang no.17 tahun 2006 tentang kepabeanan dan undang-undang no.36 tahun 2007 tentang cukai. Jakarta: Grasindo. Waluyo. (2005). Perpajakan indonesia edisi ke-5. Jakarta : Salemba empat. Winarno, Budi. (2002). Teori dan Proses Kebijakan Publik, Yogyakarta : Media Pressindo.
Journal Article: Abidin, Zainal. (2008). Analisis Ekspor Minyak Kelapa sawit (CPO) Indonesia. Jurnal Aplikasi Manajemen Volume 6 Nomor 1. Malang: Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya. Malang Arisman. (2002). Analisis Kebijakan: Daya Saing Cpo Indonesia. Jurnal Universitas Paramadina 2 (1) September 2002: 75-90
17