0
ANALISIS PENAWARAN CRUDE PALM OIL (CPO) INDONESIA: PENDEKATAN ERROR CORRECTION MODEL
OLEH MEIRISA REZEKI HAFIZAH H14050085
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
1
RINGKASAN
MEIRISA REZEKI HAFIZAH. Analisis Penawaran Crude Palm Oil (CPO) Indonesia: Pendekatan Error Correction Model (dibimbing oleh SYAMSUL H. PASARIBU).
Kelapa sawit merupakan salah satu komoditi hasil perkebunan yang memiliki pengaruh yang cukup besar selain karet dan kakao. Tanaman ini menjadi salah satu komoditi ekspor unggulan Indonesia yang menghasilkan devisa negara selain dari Minyak dan Gas (Migas). Produk kelapa sawit yang di ekspor adalah dalam bentuk minyak kelapa sawit (CPO) atau minyak biji kelapa sawit (KPO). Crude Palm Oil (CPO) di Indonesia memang merupakan salah satu penghasil devisa terbesar dikarenakan harganya yang relatif tinggi di pasar dunia. Selain peluang ekspor yang semakin besar, pasar CPO di dalam negeri juga sangat luas. CPO dibutuhkan oleh berbagai industri sebagai bahan baku seperti industri minyak goreng, lemak khusus (cocoa butter substitute), margarine/shortening, oleokimia dan sabun mandi. Beberapa tahun terakhir CPO juga sangat diminati dunia termasuk Indonesia sebagai bahan baku untuk Bahan Bakar Nabati (BBN), yaitu biodiesel. Biodiesel ini diharapkan dapat menjadi bahan bakar pengganti solar. Tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran CPO Indonesia, dan menganalisis pengaruh perubahan faktor-faktor tersebut terhadap tingkat penawaran CPO Indonesia. Metode yang digunakan adalah metode Error Correction Model (ECM) karena dapat menggabungkan efek jangka pendek dan jangka panjang. Analisis ECM dilakukan dengan menggunakan software E-views 6 dan Microsoft Excel 2007. Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data sekunder berbentuk time series tahunan dari tahun 1980-2007 yaitu data produksi CPO Indonesia sebagai proxy dari penawaran CPO Indonesia, luas areal perkebunan kelapa sawit, harga CPO dalam negeri, harga solar dan nilai tukar. Data tersebut diperoleh dari Badan Pusat Statistik dan Departemen Pertanian Direktorat Jenderal Perkebunan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan persamaan jangka pendek dapat diketahui bahwa variabel produksi CPO 1 tahun sebelumnya, luas areal perkebunan kelapa sawit, luas areal perkebunan kelapa sawit 1 tahun sebelumnya, harga solar, dan harga solar 2 tahun sebelumnya memberikan pengaruh yang signifikan terhadap variabel penawaran CPO Indonesia pada taraf nyata 10 persen. Sedangkan variabel harga domestik dan nilai tukar berpengaruh tidak signifikan. Nilai koefisien Error Correction Term (ECT) sebesar -0,89 menunjukkan bahwa disequilibrium periode sebelumnya terkoreksi pada periode sekarang sebesar 0,89 persen. ECT menunjukkan seberapa cepat equilibrium tercapai kembali ke dalam keseimbangan jangka panjang.
2
Berdasarkan persamaan jangka panjang dapat diketahui bahwa variabel luas areal kelapa sawit, harga domestik CPO, nilai tukar dan harga solar memberikan pengaruh yang signifikan terhadap penawaran CPO Indonesia pada taraf nyata 10 persen. Nilai elastisitas penawaran CPO dapat dilihat dari nilai dugaan parameter pada model estimasi. Berdasarkan nilai tersebut diketahui ternyata respon semua variabel bebasnya terhadap penawaran CPO Indonesia adalah inelastis karena nilai mutlak dugaan parameternya kurang dari satu. Hal ini menunjukkan bahwa penawaran CPO Indonesia kurang responsif terhadap perubahan yang terjadi pada variabel-variabel bebasnya, sehingga apabila terjadi perubahan pada variabel-variabel tersebut tidak akan menimbulkan gejolak yang besar terhadap tingkat penawaran CPO. Sebagai salah satu komoditi yang penting dalam perekonomian, pemerintah diharapkan memperhatikan variabel-variabel yang berpengaruh terhadap penawaran CPO tersebut, terutama terkait harga domestik. Saat ini harga domestik CPO cenderung mengikuti pergerakan harga CPO internasional. Oleh karena itu pemerintah diharapkan dapat meningkatkan bargaining position sebagai negara yang memiliki areal perkebunan dan produksi CPO terbesar di dunia sehingga harga CPO domestik tidak terpengaruh bahkan menjadi patokan bagi harga CPO internasional.
3
ANALISIS PENAWARAN CRUDE PALM OIL (CPO) INDONESIA: PENDEKATAN ERROR CORRECTION MODEL
Oleh MEIRISA REZEKI HAFIZAH H14050085
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
4
Judul Skripsi
: ANALISIS PENAWARAN CRUDE PALM OIL (CPO) INDONESIA: PENDEKATAN ERROR CORRECTION MODEL
Nama
: Meirisa Rezeki Hafizah
NIM
: H14050085
Menyetujui, Dosen Pembimbing,
Syamsul Hidayat Pasaribu, M.Si NIP: 19761020 200501 1 001
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,
Rina Oktaviani, Ph.D NIP: 19641023 198903 2 002
Tanggal Lulus:
5
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “ANALISIS PENAWARAN CRUDE PALM OIL (CPO) INDONESIA: PENDEKATAN ERROR CORRECTION MODEL” ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Agustus 2009
Meirisa Rezeki Hafizah H14050085
6
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Meirisa Rezeki Hafizah lahir di Jakarta pada tanggal 6 Maret 1988. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara, dari pasangan Ngatiyo dan Jamini. Penulis menempuh pendidikan di Sekolah Dasar Negeri Sukamaju IV Depok dari tahun 1993 sampai tahun 1999, kemudian melanjutkan pendidikan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 11 Depok sampai tahun 2002. Penulis menamatkan pendidikan di Sekolah Menengah Atas di tahun 2005. Pada tahun yang sama, penulis diberi kesempatan melanjutkan ke Perguruan Tinggi Negeri melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis menempuh program studi Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama
menjalani
perkuliahan,
penulis
berpartisipasi
dalam
organisasi
kemahasiswaan di Departemen Ilmu Ekonomi yaitu HIPOTESA 2007, menjadi panitia di beberapa kegiatan kampus, dan peserta di beberapa seminar serta pelatihan.
7
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Judul skripsi ini adalah “Analisis Penawaran Crude Palm Oil (CPO) Indonesia: Pendekatan Error Correction Model”. CPO merupakan salah satu hasil komoditi perkebunan yang penting dalam perekonomian Indonesia. Selain sebagai komoditi yang dapat menghasilkan devisa, CPO juga digunakan sebagai input untuk industri pangan dan oleokimia serta Bahan Bakar Nabati (BBN) biodiesel. Karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan topik ini terutama mengkaji sisi penawarannya. Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Syamsul H. Pasaribu, M.Si, selaku dosen pembimbing skripsi yang dengan sabar membimbing penulis selama proses penyusunan skripsi sehingga dapat diselesaikan dengan baik. Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada Dr. Sri Mulatsih selaku dosen penguji utama dan Widyastutik, M.Si, selaku dosen penguji dari Komisi Pendidikan atas saran dan kritik yang sangat berharga dalam penyempurnaan skripsi ini. Penulis juga berterima kasih kepada seluruh staf pengajar dan karyawan/wati di Departemen Ilmu Ekonomi, FEM IPB untuk seluruh ilmu dan bantuan yang telah diperoleh penulis, dan para peserta pada seminar hasil penelitian skripsi atas kritik dan saran yang telah diberikan. Akhirnya penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada orang tua, yaitu Bapak Ngatiyo dan Ibu Jamini serta adik penulis Sigit Nurcahyo atas doa dan dukungannya baik secara moral maupun material selama proses belajar dan penyelesaian skripsi. Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi penulis dan memberikan kontribusi kepada berbagai pihak lain yang membutuhkan. Bogor, Agustus 2009
Penulis
8
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL .......................................................................................... vii DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... viii DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................
ix
I. PENDAHULUAN ...................................................................................
1
1.1. Latar Belakang .............................................................................
1
1.2. Perumusan Masalah .....................................................................
6
1.3. Tujuan Penelitian .........................................................................
7
1.4. Manfaat Penelitian .......................................................................
7
1.5. Ruang Lingkup Penelitian ............................................................
8
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKAN PEMIKIRAN ...............
9
2.1.Tinjauan Teori .................................................................................
9
2.1.1. Konsep Penawaran ...........................................................
9
2.1.2. Elastisitas Penawaran .......................................................
13
2.1.3. Teori Engle-Granger Cointegration ................................
15
2.1.4. Teori Error Correction Model .........................................
17
2.2.Penelitian Terdahulu .......................................................................
19
2.2.1. Studi Pustaka Respon Penawaran ......................................
19
2.2.2. Studi Pustaka Minyak Kelapa Sawit .................................
21
2.3. Kerangka Pemikiran .....................................................................
22
2.4. Hipotesis ......................................................................................
25
III. METODE PENELITIAN .........................................................................
26
3.1. Jenis dan Sumber Data .................................................................
26
3.2. Metode Analisis Data ...................................................................
26
3.3. Analisis Deret Waktu ...................................................................
28
3.3.1. Uji Stasioneritas ...............................................................
28
3.3.2. Uji Derajat Integrasi .........................................................
29
3.3.3. Uji Kointegrasi .................................................................
30
3.4. Error Correction Model (ECM) ..................................................
31
9
3.5. Uji Diagnostik ..............................................................................
33
3.5.1. Uji Heteroskedastisitas .....................................................
33
3.5.2. Uji Autokorelasi ...............................................................
34
3.5.3. Uji Normalitas ..................................................................
35
IV. GAMBARAN UMUM ............................................................................
36
4.1. Profil Kelapa Sawit di Indonesia .................................................
36
4.2. Industri Hilir Minyak Kelapa Sawit .............................................
38
4.3. Perkembangan CPO Indonesia .....................................................
41
4.3.1. Produksi, Konsumsi, dan Ekspor CPO ............................
41
4.3.2. Luas Areal Kelapa Sawit ..................................................
43
4.3.3. Harga Domestik CPO ......................................................
44
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................
46
5.1. Uji Stasioneritas ...........................................................................
46
5.2. Uji Kointegrasi .............................................................................
48
5.3. Pendugaan Model Penawaran CPO Jangka Pendek ....................
49
5.4. Uji kebaikan Model Untuk Jangka Pendek ..................................
53
5.5. Pendugaan Model Penawaran CPO Jangka Panjang ...................
54
5.6. Nilai Elastisitas Penawaran CPO .................................................
56
VI. KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................
58
6.1. Kesimpulan ..................................................................................
58
6.2. Saran ............................................................................................
59
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................
60
LAMPIRAN ...................................................................................................
62
10
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1.1. Negara Produsen Utama Crude Palm Oil (CPO) Dunia .......................
3
1.2. Perkembangan Kebutuhan CPO (Crude Palm Oil) Untuk Industri Hilir
4
1.3. Negara Importir Utama Crude Palm Oil (CPO) Dunia .........................
5
4.1. Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit Seluruh Indonesia Tahun 2007 .
37
4.2. Perkembangan Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit Menurut Bentuk Pengusahaan Tahun 2000-2007.................................................
38
4.3. Produktivitas Berbagai Sumber Minyak/Lemak Nabati .......................
40
5.1. Hasil Pengujian Akar Unit pada Tingkat Level ....................................
47
5.2. Hasil Uji Akar Unit pada Tingkat First Difference ..............................
48
5.3. Hasil Uji Akar Unit terhadap Residual Persamaan Regresi ..................
48
5.4. Hasil Estimasi ECM ..............................................................................
49
5.5. Hasil Uji Heteroskedastisitas ................................................................
53
5.6. Hasil Uji Autokorelasi ..........................................................................
53
5.7. Hasil Estimasi Kointegrasi ....................................................................
55
11
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1.1. Kontribusi Sub Sektor Pertanian terhadap PDB Sektor Pertanian ........
1
2.1. Kurva Penawaran ..................................................................................
10
2.2. Pergerakan dan Pergeseran Kurva Penawaran ......................................
12
2.3. Kurva Elastisitas Penawaran .................................................................
14
2.4. Kerangka Pemikiran ..............................................................................
24
4.1. Perkembangan Produksi, Konsumsi, dan Ekspor CPO Indonesia ........
41
4.2. Perkembangan Luas Areal Kelapa Sawit ..............................................
44
4.3. Perkembangan Harga Domestik CPO ...................................................
45
5.1. Hasil Uji Normalitas .............................................................................
55
12
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1. Data Penelitian .........................................................................................
62
2. Hasil Uji Stasioneritas Semua Variabel pada Tingkat Level ...................
63
3. Hasil Uji Stasioneritas Semua Variabel pada First Difference ................
68
4. Hasil Estimasi Kointegrasi .......................................................................
73
5. Hasil Uji Stasioneritas terhadap Residual Persamaan Regresi ................
74
6. Hasil Estimasi ECM yang Tidak Signifikan ............................................
75
7. Hasil Estimasi ECM Terbaik yang Signifikan .........................................
76
8. Hasil Uji Heteroskedastisitas dengan White Heteroskedasticity Test ......
77
9. Hasil Uji Autokorelasi .............................................................................
78
10. Hasil Uji Normalitas ................................................................................
79
13
I.
1.1.
PENDAHULUAN
Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor yang berperan cukup penting dalam
perekonomian Indonesia. Pada tahun 2007 saja, sektor pertanian memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku yaitu sekitar 13,70 persen atau merupakan urutan ketiga setelah sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan, hotel, dan restoran (BPS, 2007). Pada waktu krisis ekonomi pun sektor pertanian merupakan sektor yang cukup kuat menghadapi guncangan ekonomi dan menjadi sektor yang diandalkan pada pemulihan ekonomi.
60
49,87 %
50 Keterangan:
40 30
16,10 % 15,75 %
20
12,5 %
b. Tanaman perkebunan c. Peternakan
5,78 %
10
a. Tanaman bahan makanan
d. Kehutanan
0 a.
b.
c.
d.
e.
e. Perikanan
Sumber: BPS, 2007 (diolah)
Gambar 1. Kontribusi Sub Sektor Pertanian terhadap PDB Sektor Pertanian
Salah satu sub sektor pertanian yang cukup besar potensinya adalah sub sektor perkebunan. Pada tahun 2007 sub sektor perkebunan memberikan
14
kontribusi sebesar 15,75 persen terhadap pembentukan PDB sektor pertanian (Gambar 1). Selain itu, sub sektor perkebunan juga merupakan penyedia bahan baku sektor industri, penyerap tenaga kerja, dan penghasil devisa. Ditunjang oleh kondisi iklim Indonesia dengan curah hujan yang cukup, ketersediaan lahan yang masih luas, serta telah berkembangnya teknologi optimalisasi produksi, dapat mendukung kelayakan pengembangan usaha agribisnis. Kelapa sawit merupakan salah satu komoditi hasil perkebunan yang memiliki pengaruh yang cukup besar selain karet dan kakao. Tanaman ini menjadi salah satu komoditi ekspor unggulan Indonesia yang menghasilkan devisa negara selain dari Minyak dan Gas (Migas). Produk kelapa sawit yang di ekspor adalah dalam bentuk minyak kelapa sawit (CPO) atau minyak biji kelapa sawit (KPO). Crude Palm Oil (CPO) di Indonesia memang merupakan salah satu penghasil devisa terbesar yaitu dari besarnya jumlah ekspor ke berbagai negara di dunia. Besarnya devisa yang dihasilkan dari CPO dikarenakan harganya yang relatif tinggi di pasar dunia, yaitu sebesar US$ 870 per ton pada bulan Juni, 2007. Pada tahun 2006 kontribusi ekspor CPO adalah US$ 4,82 miliar, meningkat sebesar 28,26 persen dari nilai ekspor tahun 2005 yaitu sebesar US$ 3,76 miliar dan pada tahun 2007 nilai ekspor CPO mencapai US$ 7,86 miliar (BPS, 2007). Indonesia dan Malaysia merupakan dua negara produsen CPO terbesar di dunia. Pangsa pasar ekspor CPO kedua negara ini mencapai 80 persen pasar dunia. Sebelum tahun 2006 Malaysia adalah negara penghasil CPO terbesar, tetapi sejak tahun 2006 hingga saat ini Indonesia berhasil melampaui produksi Malaysia. Pada tahun 2005 produksi CPO Indonesia mencapai 14,07 juta ton dan produksi
15
Malaysia mencapai 14,96 juta ton, sedangkan pada tahun 2006 Produksi CPO Indonesia telah mencapai 15,90 juta ton dan Malaysia hanya 15,88 juta ton. Pada tahun 2007 produksi CPO Indonesia bertambah sekitar 900 ribu ton dari produksi tahun 2006 sehingga mencapai 16,80 juta ton. Tabel 1.1. Negara Produsen Utama CPO (Crude Palm Oil) Dunia Tahun 20002007 (ribu ton) Produksi CPO
Negara 2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
Malaysia
10.842
11.804 11.909 13.355 13.976 14.962 15.881 15.823
Indonesia
7.050
8.080
Nigeria
740
770
775
785
790
800
815
835
Columbia
524
548
528
527
632
661
708
780
Cote D’Ivore
278
205
240
220
270
260
265
320
9.370 10.530 12.350 14.070 15.900 16.800
Sumber : Ditjenbun, 2009. Berhasilnya Indonesia melampaui produksi CPO Malaysia di duga karena masih tersedianya lahan yang luas, dan tingginya permintaan CPO baik di dalam negeri sebagai bahan baku minyak goreng ataupun dunia, sehingga terjadi peningkatan produktivitas. Produksi CPO kedua negara diperkirakan tetap akan meningkat pada tahun 2009 sebesar 1,80 juta ton atau sekitar 4,30 persen. Indonesia diperkirakan akan memproduksi CPO sekitar 20 juta ton, sedangkan Malaysia sekitar 17,60 juta ton. Konsumsi CPO dunia pada tahun 2009 diperkirakan mencapai 44,80 juta ton atau meningkat sekitar 6 persen jika dibandingkan tahun 2008 yaitu sebesar 42,40 juta ton1. Secara global produksi CPO pada tahun 2009 diperkirakan antara 42-43 juta ton.
1
Maulidin, M. A. 2009. Konsumsi CPO Dunia Diprediksi Naik 6%. http://www.wartaekonomi.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1162:kons umsi-cpo-dunia-diprediksi-naik-6&catid=53:aumum. [26 Februari 2009]
16
Selain peluang ekspor yang semakin besar, pasar CPO di dalam negeri juga sangat luas. CPO dibutuhkan oleh berbagai industri sebagai bahan baku seperti industri minyak goreng, lemak khusus (cocoa butter substitute), margarine/shortening, oleokimia dan sabun mandi. Berdasarkan Tabel 1.2, dari tahun 2003 sampai 2008 kebutuhan CPO untuk industri hilir terus meningkat setiap tahun. Kebutuhan CPO paling besar terjadi pada industri minyak goreng, dengan rata-rata kebutuhan mencapai 4,21 juta ton per tahun. Sedangkan total kebutuhan CPO dalam negeri untuk industri hilir mencapai 5,43 juta ton per tahun. Beberapa tahun terakhir CPO juga sangat diminati dunia termasuk Indonesia sebagai bahan baku untuk Bahan Bakar Nabati (BBN), yaitu biodiesel. Biodiesel ini diharapkan dapat menjadi bahan bakar nabati pengganti solar. Tabel 1.2. Perkembangan Kebutuhan CPO (Crude Palm Oil) Untuk Industri Hilir Tahun 2003-2008 (ribu ton) Tahun
Minyak goreng Margarine
Sabun
Oleokimia
Jumlah
2003
3.750
250
260
620
4.880
2004
4.100
250
260
620
5.230
2005
4.200
270
275
630
5.375
2006
4.300
297
300
650
5.545
2007
4.400
297
300
650
5.647
2008
4.500
347
350
841
6.038
Sumber: Ditjenbun, 2009 (diolah)
Tingginya harga minyak dunia pada tahun 2008 telah membuat harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dalam negeri juga tinggi. Keadaan ini membuat
17
banyak negara meningkatkan penggunaan BBN. Selain faktor harga minyak dunia, banyak negara yang menyadari semakin menipisnya cadangan minyak juga membuat mereka mulai beralih menggunakan BBN yang bersifat renewable (dapat diperbarui). Peningkatan konsumsi biodiesel dunia membuat permintaan CPO dunia semakin tinggi. Impor CPO yang dilakukan negara pengimpor tidak hanya digunakan untuk kepentingan pangan dan industri tetapi juga pemgembangan biodiesel masing-masing negara pengimpor. Data dari tahun 2000-2007 menunjukkan bahwa Uni Eropa, Cina, dan India merupakan negara importir CPO terbesar di dunia dengan tingkat konsumsi CPO rata-rata pertahun sebesar 3,78 juta ton, 3,65 juta ton dan 3,55 juta ton. Tabel 1.3. Negara Importir Utama CPO (Crude Palm Oil) Dunia Tahun 20002007 (ribu ton) Negara
Jumlah Impor CPO 2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
Cina
1.764
2.120
2.660
3.353
3.851
4.320
5.462
5.730
Uni Eropa
2.419
3.019
3.370
3.593
3.945
4.470
4.674
4.803
Pakistan
1.107
1.325
1.300
1.468
1.432
1.646
1.736
1.654
India
3.650
3.492
3.461
4.067
3.451
3.315
3.198
3.690
Mesir
524
525
611
678
702
774
770
849
Sumber: Ditjenbun, 2009 Pada tahun 2007 Jumlah impor yang dilakukan kelima negara importir terbesar mencapai 55,31 persen dari total impor CPO dunia sebesar yaitu 30,23 juta ton. Indonesia sebagai negara produsen CPO terbesar mendapatkan keuntungan dengan semakin besarnya pasar ekspor. Di sisi lain pemerintah juga
18
mulai mengembangkan biodiesel untuk konsumsi dalam negeri. Untuk mendukung perkembangan BBN lebih lanjut, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) dengan tujuan mewujudkan keamanan pasokan energi dalam negeri. Salah satu produk BBN yang akan dikembangkan di dalam negeri adalah biodiesel berbasis CPO.
1.2.
Perumusan Masalah Sebagai salah satu produk dari tanaman perkebunan, CPO merupakan
salah satu komoditi andalan ekspor Indonesia. Struktur pasar CPO Indonesia didominasi oleh pasar internasional (75 persen) dari pada pasar domestik (25persen)2. Oleh karena itu harga domestik CPO Indonesia dipengaruhi oleh harga Internasional. Selain sebagai komoditi unggulan untuk ekspor, CPO di dalam negeri juga dijadikan sebagai bahan baku berbagai industri baik pangan maupun oleokimia. Komoditi CPO juga semakin strategis dengan mulai dikembangkannya BBN biodiesel yang terbuat dari CPO. Pengembangan biodiesel dari CPO mempunyai dampak positif dan dampak negatif. Dampak positifnya, komoditas ini akan melayani dua permintaan yaitu dari pasar tradisional yaitu industri pangan, non pangan dan industri biodiesel. Bagi sektor pertanian, perluasan pasar tentu akan berdampak positif. Perluasan pasar tersebut jelas akan memberi tekanan pada kenaikan harga serta 2
Pahan, I. 2008. Salah Urus Industri CPO Indonesia. http://iyungpahan.blogspot.com/2008/04/ salah- urus-industri-cpo-indonesia. [6 April 2008].
19
stabilitas harga CPO. Di sisi lain, situasi ini berpotensi untuk memperburuk situasi ketahanan pangan, jika pemerintah tidak dapat menciptakan kondisi pasar yang baik. Oleh Karena itu, pada penelitian ini ada dua permasalahan yang akan di bahas yaitu : 1. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi penawaran CPO di Indonesia? 2. Bagaimana pengaruh perubahan faktor-faktor tersebut terhadap tingkat penawaran CPO Indonesia?
1.3.
Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan
dari penelitian ini adalah : 1. Mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi penawaran CPO di Indonesia. 2. Menganalisis pengaruh perubahan faktor-faktor tersebut terhadap tingkat penawaran CPO Indonesia.
1.4.
Manfaat penelitian Berdasarkan penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi
penulis sendiri juga bagi pihak-pihak lain.
20
1. Bagi penulis yaitu meningkatkan pengetahuan dan memberikan pemahaman yang semakin mendalam tentang konsep penawaran CPO Indonesia, selain itu penelitian ini juga diharapkan dapat menambah wawasan keilmuan. 2. Bagi pemerintah, diharapkan dapat menjadi masukan dan bahan pertimbangan dalam menetapkan suatu kebijakan yang berkaitan dengan CPO. 3. Bagi pembaca, diharapkan penelitian ini dapat membuka cakrawala pembaca tentang penawaran CPO. Penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat sebagai acuan, bahan pertimbangan dan sebagai sumber informasi untuk penelitian selanjutnya.
1.5. Ruang Lingkup Penelitian Produk primer yang dihasilkan dari kelapa sawit berupa Crude Palm Oil (CPO) dan Kernel Palm Oil (KPO). Namun, pada penelitian ini produk kelapa sawit yang digunakan hanya mencakup CPO saja dan tidak mengikutsertakan produk lainnya seperti minyak biji kelapa sawit (KPO) ataupun minyak nabati lainnya. Data produksi CPO Indonesia merupakan proxy untuk tingkat penawaran CPO Indonesia. Penelitian dilakukan dengan menggunakan data sekunder dalam bentuk data per tahun yang diperoleh dari berbagai sumber.
21
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
Penelitian ini pada dasarnya bertujuan untuk menganalisis penawaran CPO Indonesia terhadap berbagai faktor yang mempengaruhi penawarannya terkait kepentingan CPO sebagai komoditi ekspor, bahan baku bagi industri pangan dan oleokimia, juga biodiesel dari CPO yang akan dibuktikan secara statistik. Oleh sebab itu terlebih dahulu perlu diketahui mengenai teori ataupun pustaka yang berkaitan.
2.1.
Tinjauan Teori
2.1.1. Konsep Penawaran Penawaran adalah jumlah barang atau jasa yang tersedia dan dapat dijual oleh para penjual. Hukum penawaran menyatakan bahwa kuantitas barang yang ditawarkan berhubungan secara positif dengan harga barang tersebut, apabila faktor lain konstan (cateris paribus). Kuantitas yang ditawarkan akan meningkat ketika harga meningkat dan menurun ketika terjadi penurunan harga. Secara umum kurva penawaran untuk sebuah komoditi memperlihatkan hubungan antara harga pasarnya dengan kuantitas dari komoditi tersebut yang diinginkan, diproduksi dan dijual oleh produsen sementara hal-hal lain dianggap konstan seperti pada Gambar 2.1 (Putong, 2003). Pada gambar tersebut jika harga suatu barang meningkat maka jumlah barang yang akan ditawarkan oleh penjual juga akan meningkat, karena penjual berharap akan mendapatkan keuntungan yang lebih banyak dengan menjual barang yang lebih banyak.
22
P (harga) S
Q (kuantitas)
Sumber: Putong, 2003 Gambar 2.1. Kurva Penawaran
Perubahan penawaran suatu komoditas selain dikarenakan perubahan harga komoditas itu sendiri, juga dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor lain. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi jumlah penawaran antara lain adalah sebagai berikut : 1. Harga input Salah satu unsur utama yang mempengaruhi jumlah penawaran suatu barang adalah biaya produksi. Apabila biaya produksi barang relatif rendah terhadap harga pasar, maka produsen akan menawarkan barang dalam jumlah yang banyak agar mendapatkan keuntungan yang besar. Sebaliknya, apabila biaya produksi relatif tinggi terhadap harga, maka produsen akan menawarkan barang dalam jumlah yang sedikit, atau beralih ke produksi-produksi lain. Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi biaya produksi adalah harga input faktor-faktor produksi. Jika harga satu atau lebih berbagai input naik, kegiatan memproduksi barang menjadi kurang menguntungkan sehingga produsen akan lebih sedikit menawarkan barangnya. Jadi, Jumlah barang yang ditawarkan
23
akan berhubungan secara negatif dengan harga input untuk membuat barang tersebut. 2. Teknologi Faktor lain yang menentukan besarnya biaya produksi adalah kemajuan teknologi, yang berupa perubahan-perubahan yang menurunkan jumlah inputinput yang dibutuhkan untuk menghasilkan jumlah output yang sama. Penemuan teknologi baru misalnya mekanisasi mesin, dapat mengurangi jumlah pekerja yang dibutuhkan untuk memproduksi suatu barang sehingga meningkatkan jumlah barang yang ditawarkan seiring dengan terjadinya penurunan biaya produksi. 3. Harga barang-barang yang terkait Jumlah penawaran suatu barang juga dipengaruhi oleh harga-harga dari barang-barang terkait, khususnya barang-barang yang merupakan barang substitusi. Penawaran suatu barang akan meningkat jika harga barang substitusinya juga meningkat. 4. Ekspektasi Tingkat penawaran suatu barang juga dipengaruhi oleh ekspektasi produsen. Jika produsen berharap bahwa harga barang yang diproduksinya akan meningkat di masa datang, produsen akan menyimpan sejumlah produknya saat ini, dan mengurangi penawaran ke pasar pada saat ini. 5. Kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah juga mempunyai dampak terhadap tingkat penawaran suatu barang. Sebagai contoh, adanya pajak dan peraturan upah minimum
24
dapat dengan signifikan menaikkan harga-harga input. Kebijakan-kebijakan perdagangan yang dibuat oleh pemerintah juga mempunyai dampak yang sangat penting terhadap terhadap penawaran.
Pergerakan dan Pergeseran Kurva penawaran Perubahan pada kurva penawaran dapat berupa pergerakan kurva dan pergeseran kurva. Pergerakan di sepanjang kurva penawaran terjadi akibat adanya perubahan harga komoditas yang menyebabkan perubahan jumlah komoditas yang ditawarkan. Sedangkan pergeseran kurva penawaran ke kanan bawah atau pun ke kiri atas terjadi jika salah satu faktor yang dapat mempengaruhi jumlah penawaran komoditas selain faktor harga komoditas itu sendiri mengalami perubahan.
P
(a)
S (Supply)
P
S1
(b)
S0 S2
P1 P2
Q (kuantitas) q1
q2
P1 Q (k ua nti tas )
Q (kuantitas) q1
q0
q2
Sumber: Putong, 2003 Gambar 2.2. Pergerakan dan Pergeseran Kurva Penawaran
Pada Gambar 2.2. (a) merupakan pergerakan di sepanjang kurva penawaran. Apabila harga barang naik dari p1 ke p2 maka jumlah penawaran juga
25
akan meningkat di sepanjang kurva dari q1 ke q2, begitu juga sebaliknya. Sedangkan Gambar 2.2. (b) merupakan pergeseran kurva penawaran yang dipengaruhi oleh faktor-faktor lain diluar harga barang itu sendiri. Misalkan harga barang berada di p1, dengan tingkat penawaran sebesar q0, yaitu pada kurva S0. Kemudian terjadi kemajuan teknologi pada proses produksi sehingga biaya produksi menjadi turun. Penurunan biaya produksi ini akan direspon dengan peningkatan jumlah penawaran barang, sehingga kurva penawaran akan bergeser ke kanan bawah, yaitu pada tingkat penawaran sebesar q2 dengan tingkat harga yang tetap. Sebaliknya jika terjadi kenaikan harga input-input produksi yang mengakibatkan naiknya biaya produksi suatu barang, maka kurva penawaran akan berbeser ke kiri atas. Jika produsen tidak meningkatkan harga jual barang yaitu tetap di p1, maka ia akan mengurangi jumlah barang yang ditawarkannya dari q0 ke q1.
2.1.2. Elastisitas Penawaran Elastisitas pada dasarnya adalah ukuran seberapa jauh para pembeli dan penjual bereaksi terhadap perubahan-perubahan kondisi yang terjadi di pasar. Elastisitas dibedakan menjadi dua yaitu elastisitas permintaan dan elastisitas penawaran. Konsep elastisitas penawaran juga diperlukan untuk memahami penawaran komoditas pertanian. Elastisitas penawaran adalah suatu nilai untuk mengetahui ukuran ketanggapan komoditas yang ditawarkan terhadap perubahan harga komoditas tersebut (Samuelson dan Nordhaus, 2003). Koefisien elastisitas harga penawaran (Es) dapat dihitung memalui rumus sebagai berikut :
26
Persentase perubahan kuantitas yang ditawarkan Es =
Persentase perubahan harga
Terdapat tiga kasus penting dalam elastisitas penawaran. Pertama kurva penawaran yang berbentuk vertikal, yang memperlihatkan penawaran yang bersifat inelastis sempurna (Gambar 2.3 (a)). Kedua, kurva penawaran yang berbentuk horisontal, yang memperlihatkan penawaran yang bersifat elastis sempurna (Gambar 2.3 (c)), dan ketiga merupakan kurva penawaran yang berbentuk diagonal dengan memotong kurva vertikal dan horizontal yang menggambarkan penawaran yang memiliki elastisitas harga sebesar satu (Gambar 2.3 (b)). P (Harga)
(a) Es = 0 (b) Es = 1
(c) Es = ~
Q (Kuantitas)
Sumber: Putong, 2003 Gambar 2.3. Kurva Elastisitas Penawaran Penawaran suatu barang dikatakan elastis jika perubahan harga menyebabkan perubahan yang cukup besar pada jumlah yang ditawarkan. Sebaliknya penawaran dikatakan bersifat inelastis atau tidak elastis jika perubahan jumlah yang ditawarkan hanya sedikit ketika terjadi perubahan harga. Faktor utama yang dapat mempengaruhi elastisitas penawaran adalah kemudahan-
27
kemudahan yang menyebabkan produksi dalam industri dapat ditingkatkan. Faktor penting lainnya yang mempengaruhi elastisitas penawaran adalah rentang waktu yang ada. Pada penawaran dalam jangka waktu sangat pendek, kurva penawaran berbentuk vertikal, artinya jumlah komoditas yang ditawarkan tidak akan mengalami perubahan walaupun terjadi perubahan harga. Pada kondisi ini elastisitas penawaran bernilai nol atau disebut inelastis sempurna. Hal ini dapat dipahami karena dalam jangka pendek para produsen akan kesulitan menambah atau mengurangi jumlah produksinya, sehingga jumlah yang ditawarkan tidak tidak terlalu peka terhadap perubahan harga. Pada jangka panjang, penawaran cenderung lebih elastis karena produsen mempunyai waktu yang cukup untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan harga, juga memungkinkan masuknya pemain baru dalam pasar. Sehingga dalam jangka panjang, jumlah yang ditawarkan bersifat peka atau elastis terhadap perubahan harga.
2.1.3. Teori Engle-Granger Cointegration Konsep kointegrasi diawali dengan melakukan sebuah analisis formal yang menyatakan hubungan variabel ekonomi dalam keseimbangan jangka panjang, seperti yang tercantum dalam persamaan sebagai berikut (2.1)
dimana
dan
mendenotasi vektor
dan
sistem tersebut mencapai keseimbangan jangka panjang ketika dari keseimbangan jangka panjang disebut dengan equilibrium error (et).
, dan . Deviasi
28
(2.2) Jika terjadi keseimbangan, maka equilibrium error dikatakan stasioner. Engle dan Granger dalam Enders (2004) mendefinisikan bahwa komponen vektor
dikatakan terkointegrasi pada ordo
didenotasikan dengan a. Seluruh komponen b. Keberadaan vektor
jika : terintegrasi pada derajat d. dalam kombinasi linear terintegrasi pada derajat
vektor
yang
dimana
dan
disebut sebagai cointegrating vector.
Terdapat empat hal penting yang harus diperhatikan mengenai kointegrasi, yaitu : a. Kointegrasi adalah kombinasi linear dari variabel-variabel yang tidak stasioner. Secara teoritis, sangat tidak mungkin terdapat hubungan jangka panjang yang non linear diantara variabel-variabel yang terintegrasi. b. Berdasarkan definisi Engle-Granger, kointegrasi merujuk pada variabel yang terintegrsi pada ordo yang sama. Umumnya variabel-variabel I(d) tidak berkointegrasi. Tidak adanya kointegrasi mengindikasikan bahwa tidak terdapat keseimbangan jangka panjang antar variabel. c. Jika terdapat sebanyak n komponen yang tidak stasioner pada Xt, maka terdapat paling banyak n-1 vektor kointegrasi tak bebas yang linear. d. Literatur mengenai kointegrasi hanya memfokuskan pada kasus-kasus dimana setiap variabel hanya memiliki satu unit root. Hal ini dikarenakan pada
29
umumnya analisis regresi atau time series hanya diaplikasikan ketika variabel adalah I(0). Di lain pihak, terdapat beberapa variabel ekonomi yang terintegrasi sehingga kointegrasi merujuk pada kasus dimana variabel-variabel nya adalah CI (1,1). Enders (2004) menyatakan bahwa Engle-Granger Cointegration memiliki beberapa kelemahan, yaitu: Tidak memiliki prosedur sistematis untuk mengestimasi vektor kointegrasi berganda (multiple cointegration) secara terpisah. Prosedur estimasi Engle-Granger Cointegration terdiri dari dua tahap yang saling berkaitan. Tahap pertama adalah menghasilkan residual. Tahap kedua adalah mengestimasi regresi, akibatnya koefisien yang diperoleh melalui estimasi regresi menggunakan residual dari regresi lainnya. Hal ini mengakibatkan error yang dihasilkan pada tahap pertama dilanjutkan pada tahap kedua.
2.1.4. Teori Error Correction Model (ECM) Thomas dalam Mardianti (2005) mengatakan bahwa Error Correction Model (ECM) lahir dan dikembangkan untuk mengatasi masalah perbedaan kekonsistenan hasil peramalan antara jangka pendek dengan jangka panjang dengan cara proporsi disequilibrium pada satu periode dikoreksi pada periode selanjutnya, sehingga tidak ada informasi yang dihilangkan hingga penggunaan untuk peramalan jangka panjang.
30
Munculnya ketidakseimbangan (disequilibrium error) itu sendiri terjadi karena dua hal. Pertama, kesalahan spesifikasi misalnya kesalahan pemilihan variabel, parameter, keseimbangan itu sendiri. Kedua, kesalahan membuat definisi variabel dan cara mengukurnya. Ketiga, kesalahan yang disebabkan oleh faktor manusia dalam menginput data. ECM merupakan salah satu model dinamik yang diterapkan secara luas dalam analisis ekonomi. Konsep mengenai ECM pertama kali diperkenalkan oleh Sargan dan Gujarati pada tahun 1964 (Mardianti, 2005). Model ini bertujuan untuk mengatasi masalah permasalahan data time series yang tidak stasioner dan regresi palsu. Thomas dalam Mardianti (2005) berkesimpulan bahwa penggunaan ECM mempunyai kelebihan-kelebihan sebagai berikut : a. Merupakan pendekatan yang digunakan untuk mengatasi masalah data time series yang non-stasioner dan regresi yang palsu (spurious regression), b. Model dengan variabel-variabel dalam bentuk first difference mengeliminasi trend dari variabel, c. ECM dapat diestimasi dengan mengguanakan metode OLS (Ordinary Least Square), d. Membantu mengatasi masalah pengolahan data lanjutan seperti masalah multikolinearitas antar data yang dapat menyebabkan standar error yang sangat besar,
31
e. Membedakan dengan jelas antar parameter jangka panjang sehingga sangat ideal untuk digunakan menaksir dari keakuratan sebuah hipotesis, f. Jika terdapat variabel yang tidak nyata, pengeliminasian variabel tersebut dapat dilakukan sehingga meningkatkan efisiensi estimasi. Kelebihan lain dari ECM adalah seluruh komponen dan informasi pada tingkat variabel telah dimasukkan dalam model, memasukkan semua bentuk kesalahan untuk dikoreksi yaitu dengan cara mendaur ulang error yang terbentuk pada periode sebelumnya, menghindari terjadinya trend dan regresi palsu (spurious regression). Selain itu dalam pendekatan ECM sifat-sifat statistik yang diinginkan dari model akan memberikan makna yang lebih sederhana. Artinya model ECM mampu memberikan makna lebih luas dari estimasi model ekonomi sebagai pengaruh perubahan variabel independen terhadap dependen dalam hubungan jangka pendek maupun jangka panjang (Enders, 2004).
2.2.
Penelitian Terdahulu
2.2.1. Studi Pustaka Respon Penawaran Beberapa penelitian terdahulu yang telah dilakukan mengenai respon penawaran, terutama difokuskan pada respon penawaran untuk komoditas pertanian. Penelitian tersebut diantaranya dilakukan oleh Alemu, et al. (2003), Awasola, et al. (2006), dan Imai, et al. (2008). Di pihak lain penelitian mengenai komoditi kelapa sawit sebagian besar membahas tentang perdagangan dan daya saing kelapa sawit yang terkait dengan ekspor atau pun impor diantaranya dilakukan oleh Sari (2008) dan Kusumawardhana (2008).
32
Penelitian dari Alemu et al. (2003) yang berjudul “Grain-Supply Response in Ethiopia: An Error Correction Approach” dilakukan untuk mengukur respon produsen teh, gandum (terigu), jagung, dan tebu (gula) di negara Ethiopia dengan menggunakan metode ECM. Data yang digunakan merupakan data sekunder dari tahun 1966 sampai 1994 yang terdiri dari data produksi, harga komoditi, harga komoditi pesaing dan curah hujan. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa rencana penawaran dari komoditi-komoditi tersebut dipengaruhi secara positif oleh harga komoditi itu sendiri, negatif oleh harga komoditi substitusinya dan structural breaks yang berhubungan dengan perubahan kebijakan. Pada jangka panjang elastisitas harga signifikan untuk seluruh komoditas, sedangkan pada jangka pendek elastisitas harga signifikan hanya pada jagung, dan keduanya bernilai inelastis. Awasola, et al. (2006) dalam penelitiannya yang berjudul ”Vector Error Correction Modelling Of Nigerian Agricultural Supply Response” mempelajari respon penawaran pada sektor pertanian di Nigeria dengan menggunakan model Vector Error Correction Model (VECM). Data yang digunakan adalah data sekunder dari tahun 1978 sampai yahun 2003 yang terdiri dari data indeks produksi pertanian agregat, indeks rata-rata harga komoditi pertanian dari Nigeria, Anggaran untuk sektor pertanian, dan kredit untuk sektor pertanian. Penelitian ini dilakukan untuk menguji jangka panjang produksi pertanian tidak hanya terhadap harga, tetapi juga investasi pemerintah, dan insentif kredit yang diberikan pemerintah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa elastisitas harga komoditas pertanian di Nigeria relatif rendah. Dengan kata lain walaupun harga naik
33
sedangkan perlengkapan (mesin) dan kredit tidak meningkat, maka tidak cukup untuk meningkatkan respon penawaran untuk mencapai harga yang baik. Penelitin Imai, et al. (2008) dengan judul ”Supply Response to Changes in Agricultural Commodity Prices in Asia Countries” meneliti bagaimana produktifitas beberapa komoditi utama (jagung, gandum, padi, buah-buahan, dan sayur-sayuran) pada harga domestik, mengontrol efek curah hujan dan harga minyak mentah. Dengan menggunakan metode panel data terhadap 10 negara Asia, yaitu Bangladesh, Cina, Kamboja, India, Indonesia, Nepal, Pakistan, Philipina, Sri lanka dan Thailand, peneliti ingin memperlihatkan seberapa kuat elastisitas produktivitas untuk komoditas tertentu. Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah respon produktivitas yang kuat terhadap harga di 10 negara Asia, walaupun terjadi variasi yang besar pada kekuatan dan kecepatan respon produktifitas di antara komoditi yang berbeda.
2.2.2. Studi Pustaka Minyak Kelapa Sawit
Sari (2008) meneliti bagaimana posisi daya saing ekspor minyak kelapa sawit Indonesia di perdagangan Internasional dari tahun 2002-2005 jika dilihat dari pangsa pasar dan keunggulan komparatif. Pengolahan data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis kuantitatif dilakukan dengan menggunakan analisis pangsa pasar dan Revealed Comparative Advantages (RCA), sedangkan analisis kualitatif dengan menggunakan analisis SWOT. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pangsa pasar Indonesia berada pada posisi teratas kemudian disusul oleh Malaysia dan Columbia, walaupun besarnya pangsa pasar
34
berfluktuatif tetapi cenderung tetap mengalami kenaikan. Hasil nilai RCA yang lebih dari satu juga menunjukkan bahwa CPO Indonesia memiliki keunggulan komparatif yang tinggi. Kusumawardhana (2008) meneliti bagaimana pengaruh kebijakan pajak ekspor (PE) CPO terhadap penawaran ekspor CPO Indonesia. Peneliti menggunakan persamaan simultan dengan metode estimasi yang digunakan adalah Two Stage Least Square (2SLS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi CPO Indonesia, harga ekspor CPO, dan nilai tukar rupiah terhadap dollar berpengaruh positif dengan penawaran ekspor CPO Indonesia. Pemberlakuan pajak ekspor akan mengurangi ekspor CPO Indonesia walaupun secara statistik tidak signifikan. Penawaran CPO Indonesia juga mempunyai hubungan yang negatif terhadap harga CPO domestik.
2.3.
Kerangka Pemikiran
Komoditas minyak kelapa sawit (CPO) merupakan salah satu komoditas penting bagi perekonomian Indonesia, melalui peningkatan nilai tambah, ekspor, pengurangan kemiskinan, dan penciptaan lapangan kerja baru. Selain sebagai sumber devisa negara, berbagai manfaat dapat dihasilkan kelapa sawit, termasuk manfaatnya sebagai salah satu bahan baku biodiesel untuk bahan bakar nabati. Meningkatnya penggunaan BBN beberapa tahun terakhir membuat permintaan CPO dunia meningkat sehingga pasar komoditi ini bertambah luas. Adanya perluasan pasar, menjadikan peningkatan penawaran. Indonesia merupakan produsen CPO terbesar di dunia, keadaan ini menjadikan Indonesia beperan
35
penting dalam menjaga keseimbangan pasar CPO dunia. Ketersediaan CPO Indonesia masih memiliki peluang yang besar, hal ini dapat dilihat dari luas areal, produksi dan produktivitas kelapa sawit. Peningkatan penggunaan biodiesel di dunia sebagai pengganti bahan bakar fosil sangat membuka peluang Indonesia untuk menjadi produsen biodiesel terbesar di dunia. Disisi lain tingkat permintaan CPO dalam negeri juga tinggi. CPO merupakan bahan baku dari minyak goreng yang merupakan salah satu dari sembilan bahan pokok pangan yang paling dibutuhkan. Kebijakan pemerintah yang menetapkan penggunaan BBN biodiesel minimal 5 persen dari konsumsi BBM nasional juga membuat permintaan CPO dalam negeri semakin tinggi. Harga CPO di dalam negeri sangat ditentukan oleh harga CPO internasional, karena Indonesia menganut perekonomian terbuka. Harga CPO yang tinggi merupakan insenstif yang besar bagi para pengusaha domestik untuk mengekspor CPO dan menghindari diri dari kewajibannya untuk memenuhi kebutuhan CPO dalam negeri. Fokus penelitian ini adalah meneliti bagaimana penawaran minyak kelapa sawit (CPO) Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode Error Correction Model (ECM) untuk mengetahui hubungan jangka panjang dan jangka pendek harga komoditi, luas areal, harga komoditi pesaing, harga solar, dan nilai tukar terhadap penawaran CPO Indonesia. Kerangka penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.4.
36
Perkembangan produksi CPO Indonesia Peningkatan permintaan ekspor CPO Indonesia Bahan Bakar Nabati (biodiesel) dari CPO
Identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran CPO Indonesia dan nilai elastisitas penawaran CPO
Pendugaan penawaran CPO
Luas areal perkebunan kelapa sawit Harga domestik CPO Harga solar Nilai tukar
Analisis ECM (Error Correction Model)
Analisis jangka pendek dan jangka panjang Gambar 2.4. Kerangka Pemikiran
37
2.4. Hipotesis Berdasarkan permasalahan dan tinjauan pustaka yang telah dipaparkan di atas maka hipotesis dari penelitian ini adalah: 1. Harga domestik CPO akan berpengaruh positif terhadap penawaran. 2. Luas areal perkebunan kelapa sawit berpengaruh positif terhadap penawaran CPO. 3. Nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat berpengaruh positif terhadap penawaran CPO. 4. Harga BBM solar akan berpengaruh positif terhadap penawaran CPO.
38
III. METODE PENELITIAN
3.1.
Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dalam
bentuk time series (data deret waktu) tahunan dari tahun 1980 sampai dengan tahun 2007. Data diperoleh dari berbagai sumber seperti Badan Pusat Statistik (BPS), Direktorat Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian, dan literatur lain yang berhubungan dengan penelitian. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Jumlah produksi CPO (ton) 2. Luas areal kelapa sawit (ha) 3. Harga CPO domestik (Rp/Kg) 4. Nilai tukar (Rp/US$) 5. Harga solar (Rp/liter)
3.2.
Metode Analisis Data Metode analisis yang digunakan adalah bersifat kuantitatif dengan
menggunakan (ECM). Analisis ECM dilakukan dengan mengguanakan software E-views 6 dan Microsoft Excel. Bentuk umum ECM dapat dilihat pada persamaan 3.1 sebagai berikut : (3.1) dimana nilai
dan
adalah nilai Y dan X dalam logaritma natural dan
merupakan sebuah fungsi :
39
(3.2) Syarat untuk menghasilkan persamaan ECM adalah stasioner, dan
dan
tidak
stasioner. Jika persyaratan ini terpenuhi, maka persamaan 3.2
akan ditulis dalam bentuk ECM sebagai berikut : (3.3) dimana : = First difference
,
= First difference
,
= Variabel endogen, = Variabel eksogen, = Galat. Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi untuk menggunakan ECM. Pertama, minimal ada satu variabel yang digunakan tidak stasioner pada tingkat level. Kedua, persamaan yang digunakan mempunyai hubungan kointegrasi. Ketiga, persamaan yang digunakan univariate (hanya variabel endogen yang mempengaruhi eksogen). Jika ketiga persyaratan tidak terpenuhi, maka metode ECM tidak dapat digunakan untuk menganalisis permasalahan yang ada.
40
3.3.
Analisis Deret Waktu (Time Series) Pada analisis ini akan dijelaskan tentang uji stasioneritas, derajat
kointegrasi, dan uji kointegrasi. Ketiga uji ini diperlukan dalam penelitian yang menggunakan data time series. 3.3.1. Uji Stasioneritas Hal penting yang berkaitan dengan studi atau penelitian dengan menggunakan data time series adalah stasioneritas. Perhatian ini muncul karena jika data yang diteliti tidak stasioner, maka dapat menyebabkan regresi semu (spurious regression), yaitu regresi yang menggambarkan hubungan dua variabel atau lebih yang terlihat signifikan secara statistik padahal dalam kenyataanya tidak sebesar regresi yang dihasilkan. Untuk mengukur stasioneritas data, ada beberapa cara yang dapat dilakukan. Salah satu cara yang sering dipakai yaitu dengan menggunakan Augmented Dickey Fuller (ADF) test atau uji akar-akar unit (unit root test). Nelson dan Plosser dalam Enders (2004) menyebutkan bahwa pada dasarnya ADF test melakukan regresi dengan persamaan sebagai berikut : (3.4) dimana: = Selang yang terpilih, = Nilai yang diestimasi, = Error term.
41
Hipotesis yang digunakan dalam pengujian ini adalah : H0 : γ = 0, artinya data tidak stasioner (mengandung unit root), H1 : γ < 0, artinya data stasioner (tidak mengandung unit root). Nilai γ diestimasi dengan metode Ordinary Least Square (OLS) dengan statistik uji yang digunakan adalah : , dimana Sγ adalah simpangan baku dari γ. Jika nilai t-hit (ADF statistik) lebih kecil dari nilai MacKinnon Critical Value maka terima H0 atau dapat disimpulkan bahwa data tersebut stasioner, dan sebaliknya. Selain dengan memperhatikan nilai ADF statistik, kestasioneran juga dapat dilakukan dengan membandingkan antara nilai probabilitas dan taraf nyata yang digunakan. Data dikatakan stasioner jika nilai probabilitasnya lebih kecil dari taraf nyata. 3.3.2. Uji Derajat Integrasi Uji derajat Integrasi merupakan kelanjutan dari uji unit root sebagai konsekuensi dari tidak terpenuhinya asumsi stasioneritas pada derajat nol atau I(0). Uji derajat integrasi dari masing-masing variabel sangat penting untuk mengetahui apakah variabel-variabel yang digunakan stasioner atau tidak, dan berapa kali harus di-difference agar menghasilkan variabel yang stasioner. Pada uji ini, semua variabel yang ada di-difference pada derajat tertentu sampai sehingga semua variabel stasioner pada derajat yang sama. Suatu variabel dikatakan stasioner pada first difference jika setelah di-difference satu kali, nilai ADF lebih kecil dari nilai kritis MacKinnon.
42
3.3.3. Uji Kointegrasi Kointegrasi adalah suatu hubungan jangka panjang (equilibrium) antara variabel-variabel yang tidak stasioner dan residual dari kombinasi linier tersebut harus stasioner. Uji kointegrasi digunakan untuk memperoleh hubungan jangka panjang antar variabel sehingga dapat digunakan dalam sebuah persamaan. Metode yang digunakan dalam pengujian ini adalah metode Engle-Granger Cointegration Test yang biasanya dilakukan pada persamaan tunggal yang searah. Engle-Granger Cointegration pada dasarnya menggunakan metode Augmented Dickey Fuller (ADF) yang terdiri dari dua tahap. Pertama, dengan meregresikan persamaan variabel dependen dengan variabel independen menggunakan metode OLS. Produksi CPO Indonesia diregresikan dengan harga CPO domestik, luas areal kelapa sawit, harga solar dan nilai tukar kemudian didapatkan residual (u) dari persamaan tersebut. Kedua, melakukan uji ADF terhadap residual dengan hipotesis yang sama seperti hipotesis uji ADF sebelumnya. Jika hipotesis nol ditolak atau signifikan, maka variabel u stasioner atau dalam hal ini ada kombinasi linier antar variabel adalah stasioner atau u = I(0). Hal ini berarti meskipun variabel-variabel yang digunakan tidak stasioner, namun dalam jangka panjang variabel-variabel tersebut cenderung menuju pada keseimbangan. Oleh karena itu, kombinasi linier dari variabel-variabel ini disebut regresi co-integrated regression atau regresi kointegrasi dan parameter-parameter yang dihasilkan disebut co-integrated parameters atau koefisien-koefisien jangka panjang.
43
(3.5) (3.6) dimana: = Volume penawaran CPO Indonesia tahun ke-t, = Harga CPO domestik tahun ke-t, = Luas areal kelapa sawit tahun ke-t, = Harga BBM (solar) tahun ke-t, = Nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat tahun ke-t, = error distribunce tahun ke-t. 3.4.
Error Correction Model (ECM) Karena kelebihannya dalam menggabungkan efek jangka pendek dan
jangka panjang sehingga ECM menjadi model yang dapat menjelaskan variabel penjelas dengan baik. Persamaan ECM dalam penelitian ini adalah :
(3.7) dimana : D
= Perbedaan pertama (first difference), = Volume penawaran CPO Indonesia tahun ke-t, = Harga CPO domestik tahun ke-t, = Luas areal kelapa sawit tahun ke-t, = Harga BBM (solar) tahun ke-t, = Nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat tahun ke-t, = Error Correction Term,
44
=
(3.8)
= error distribunce tahun ke-t. Dengan mensubstitusikan persamaan 3.8 yaitu mengeluarkan koefisien dalam u maka persamaan 3.7 dapat diubah menjadi :
(3.9) dimana:
=
;
=
,
=
;
=
= ;
; =
=
;
=
;
=
;
=
;
.
Untuk mengetahui apakah spesifikasi model dengan ECM merupakan model yang valid maka dilakukan uji terhadap koefisien Error Correction Term (ECT). Jika hasil pengujian terhadap koefisien ECT signifikan, maka spesifikasi model yang diamati valid.
45
3.5.
Uji diagnostik (Diagnostic test) Penelitian ini menggunakan pengujian pelanggaran asumsi klasik yaitu uji
heteroskedastisitas, autokorelasi dan uji normalitas. Uji pelanggaran asumsi klasik digunakan untuk melihat kestabilan jangka pendek dari hasil pengolahan penelitian. 3.5.1. Uji Heteroskedastisitas Salah satu asumsi yang penting dari model regresi linier klasik adalah varian
memiliki
varian
yang
sama
(homoskedastisitas).
Rumusan
homoskedastisitas adalah sebagai berikut : , dimana : = unsur disturbance, = nilai varians. Apabila asumsi tersebut tidak terpenuhi maka varian residual tidak lagi bersifat konstan
disebut
dengan
heteroskedastisitas.
Konsekuensi
dari
adanya
heteroskedastisitas yaitu : a. Estimasi dengan menggunakan ECM tidak akan lagi memiliki varian yang minimum atau estimator tidak efisien. b. Prediksi (nilai Y untuk X tertentu) dengan estimator dari data yang sebenarnya akan mempunyai varian yang tinggi sehingga prediksi menjadi tidak efisien. Uji yang dapat dilakukan untuk mendeteksi apakah data yang diamati terjadi heteroskedastisitas atau tidak yaitu dengan uji White-Heteroskedasticity.
46
Apabila nilai probability Obs*R-squared lebih kecil dari taraf nyata berarti terdapat gejala heteroskedastisitas pada model, dan sebaliknya. 3.5.2. Uji Autokorelasi Autokorelasi diartikan sebagai korelasi antara anggota serangkaian observasi yang diurutkan menurut ruang dan waktu (Gujarati, 2003). Autokorelasi terjadi pada serangkaian data deret waktu, dimana error term pada satu periode waktu secara sistematik tergantung error term pada periode-periode waktu yang lain. Rumusan adanya masalah autokorelasi dalam pemodelan adalah sebagai berikut: E (ui, uj) ≠ 0,
i≠j
dimana: ui
= Disturbance pengamatan i,
uj
= Disturbance pengamatan j.
Kondisi di atas menunjukkan bahwa unsur gangguan (disturbance) yang berhubungan
dengan
observasi
(ui)
dipengaruhi
oleh
unsur
gangguan
(disturbance) yang berhubungan dengan pengamatan lain (uj). Ada dua Konsekuensi yang terjadi dari adanya autokorelasi. Pertama, ragam yang diperoleh dari estimasi ECM bersifat under estimate, yaitu nilai varian parameter yang diperoleh lebih kecil daripada nilai varian yang sebenarnya. Kedua, prediksi yang didasarkan pada metode ECM bersifat inefisien, artinya memiliki varian yang lebih besar dibandingkan dengan metode ekonometrika lainnya.
47
Uji yang digunakan untuk mendeteksi apakah pada data yang diamati terjadi autokorelasi atau tidak adalah uji Breusch-Godfrey Serial Correlation LM. Apabila nilai probability Obs*R-squared lebih besar dari taraf nyata maka tidak ditemukan gejala autokorelasi pada model, tetapi jika nilai probability Obs*Rsquared lebih kecil dari taraf nyata maka ditemukan gejala autokorelasi pada model. Cara untuk mengatasi autokorelasi adalah dengan menambahkan variabel Auto Regressive (AR). 3.5.3. Uji Normalitas Uji normalitas dilakukan untuk memeriksa apakah error term mendekati distribusi normal atau tidak. Jika asumsi ini tidak terpenuhi maka prosedur pengujian menggunakan statistik t menjadi tidak sah. Uji normalitas error term yang dilakukan adalah uji Jarque-Bera yang pengujiannya dilakukan berdasarkan error dan penduga least squares. Prosedur pengujiannya adalah H0 : Error term terdistribusi normal, H1 : Error term tidak terdistribusi normal. Jika probability Obs*R-squared lebih besar dibandingkan dengan taraf nyata maka error term terdistribusi normal.
48
IV. GAMBARAN UMUM
4.1.
Profil Kelapa Sawit di Indonesia Tanaman kelapa sawit bukanlah tanaman asli dari Indonesia. Kelapa sawit
masuk ke Indonesia pertama kali dari Afrika pada tahun 1848 yang ditanam di kebun raya Bogor. Pada tahun 1911 kebun kelapa sawit pertama kali dibuka di daerah Sumatera Utara, tepatnya di Tanah Itam Ulu. Luas areal kelapa sawit sampai tahun 1915 baru mencapai 2.715 ha, dan ditanam bersama tanaman lain seperti kopi, kelapa, karet dan tembakau (Naibaho, 1998). Pada masa penjajahan Jepang, banyak perkebunan kelapa sawit digantikan dengan tanaman pangan dan pabrik-pabrik dihentikan. Pada tahun 1947 tepatnya setelah perang berakhir, kebun-kebun milik Belanda dan Jepang dikembalikan lagi kepada pemiliknya. Produksi CPO baru mencapai 160 ribu ton dengan luas areal hanya 103 ribu ha pada tahun 1957. Sampai tahun 2007, penyebaran perkebunan kelapa sawit di Indonesia mencakup 22 provinsi yaitu seluruh provinsi di Pulau Sumatera dan Kalimantan, dua provinsi di Jawa (Jawa Barat dan Banten), empat provinsi di Sulawesi (Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Barat) serta Papua dan Papua barat dengan luas areal tanam perkebunan kelapa sawit mencapai 6,77 juta ha. Dari ke 22 Provinsi, Riau merupakan provinsi yang mempunyai luas areal terbesar, yaitu mencapai 22,72 persen dari total areal kelapa sawit nasional.
49
Tabel 4.1. Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit Seluruh Indonesia Tahun 2007 No. Provinsi Luas (ha) No. Provinsi Luas (ha) 1. Nangroe Aceh D. 274.822 12. Banten 14.894 2. Sumatera Utara 998.966 13. Kalimantan Barat 451.400 3. Sumatera Barat 291.734 14. Kalimantan Tengah 616.331 4. Riau 1.620.882 15. Kalimantan Selatan 257.862 5. Kepulauan Riau 6.678 16. Kalimantan Timur 339.294 6. Jambi 448.899 17. Sulawesi Tengah 52.298 7. Sumatera Selatan 682.730 18. Sulawesi Selatan 15.708 8. Bangka Belitung 172.227 19. Sulawesi Barat 115.906 9. Bengkulu 163.455 20. Sulawesi Tenggara 18.912 10. Lampung 152.409 21. Papua 29.736 11. Jawa Barat 10.550 22. Papua Barat 31.144 Sumber: Ditjenbun, 2009
Kepemilikan usaha perkebunan kelapa sawit dibagi menjadi tiga yaitu Perkebunan Rakyat (PR), Perkebunan Besar Negara (PBN), Perkebunan Besar Swasta (PBS). Kepemilikan usaha PR baru ada sejak tahun 1979, yaitu ketika pemerintah mengembangkan kelapa sawit sebagai tanaman ekspor, dan mengalami perkembangan pesat dengan laju pertumbuhan mencapai 43,2 persen per tahun untuk periode tahun 1980-1989. Sampai tahun 2006, luas areal kelapa sawit terbesar diusahakan oleh PBS yaitu 47,69 persen, kemudian PR sebesar 41,59 persen, dan sisanya oleh PBN. Luas areal yang diusahakan oleh PR dan PBS paling besar berada di provinsi Riau, dengan total luas areal 805 ribu ha oleh PR dan 732 ribu ha oleh PBS. Pada PBN, luas areal terbesar berada di provinsi Sumatera Utara yaitu mencapai 284 ribu ha. Pada periode tahun 2000 sampai 2007 peningkatan luas areal kelapa sawit Indonesia telah mencapai 2.453 ribu ha.
50
Tabel 4.2. Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit Menurut Bentuk Pengusahaan Tahun 2000-2007 Total PR PBN PBS Tahun Luas Pertumbuhan (ribu ha) (ribu ha) (ribu ha) (ribu ha) (persen) 2000 1.167 588 2.403 4.158 2001 1.561 610 2.542 4.713 13,35 2002 1.808 632 2.627 5.067 7,51 2003 1.854 663 2.766 5.283 4,26 2004 2.120 665 2.781 5.566 5,36 2005 2.356 677 2.915 5.948 6,86 2006 2.549 679 3.023 6.251 5,09 2007 2.852 698 3.358 6.908 10,51 Sumber : Ditjenbun, 2009 (diolah)
4.2.
Industri Hilir Minyak Kelapa Sawit Industri hulu perkebunan kelapa sawit menghasilkan produk primer yaitu
minyak kelapa sawit (CPO) dan minyak inti kelapa sawit (KPO). Dari produk CPO dan KPO dapat dikembangkan menjadi bermacam-macam produk industri hilir sebagai berikut: Industri Pangan Pada awalnya minyak kelapa sawit dikembangkan untuk mengisi perkembangan permintaan minyak goreng domestik yang tidak dapat dipenuhi oleh minyak kelapa. Pada akhir tahun 1980-an minyak kelapa sawit menjadi minyak utama dalam konsumsi minyak goreng, menyingkirkan minyak kelapa karena mampu mengimbangi pertumbuhan konsumsi. Penggunaan CPO domestik sebagian besar (lebih dari 80 persen) untuk pangan sedangkan untuk industri oleokimia relatif masih kecil (PPKS, 2006). Selain untuk minyak goreng, olahan CPO lain yang digolongkan dalam produk pangan adalah lemak makan yang mencakup margarine, vanaspati, dan shortening.
51
Industri Oleokimia Oleokimia adalah penggunaan CPO untuk produk kimia. Kapasitas produksi industri oleokimia dasar di Indonesia masih relatif kecil, padahal mempunyai nilai tambah yang cukup besar. Oleokimia semula merupakan produk alternatif terhadap petrokimia, namun dalam perjalanannya oleokimia semakin mendominasi pasokan industri kimia lanjut tertentu khususnya industri toiletries dan personal care (hair care seperti shampoo, bahan pembersih seperti sabun dan deterjen). Industri oleokimia dasar yaitu fatty acid, glycerine dan fatty alcohol mengalami pertumbuhan yang sangat pesat. Pada tahun 1988 produksi oleokimia dasar Indonesia baru mencapai 79,50 ribu ton, naik menjadi 217,70 ribu ton pada tahun 1993 dan menjadi 652 ribu ton pada tahun 1998 atau tumbuh dengan laju sekitar 23,50 persen per tahun. Industri Energi Alternatif (Biodiesel) Kelapa sawit merupakan bahan baku biodiesel yang prospekif. Hal ini didukung dengan luas areal dan produksi CPO yang besar di Indonesia. Artinya dari sisi bahan baku, potensinya cukup tersedia secara berkelanjutan. Penggunaan biodiesel dari CPO di Indonesia layak dikembangkan karena beberapa alasan sebagai berikut (PPKS, 2006): 1) Ketersediaan bahan bakar minyak bumi yang semakin terbatas (cadangan minyak bumi Indonesia hanya cukup untuk 18 tahun lagi yaitu sebesar 9 milyar barel.
52
2) Indonesia mulai tahun 2005 menjadi pengimpor (net importer) bahan bakar minyak, karena produksi dalam negeri tidak dapat lagi memenuhi permintaan pasar yang meningkat dengan cepat akibat pertumbuhan penduduk dan industri. 3) Pada saat harga minyak mentah (minyak bumi) tinggi dan subsidi BBM dalam negeri dikurangi/dicabut maka biodiesel merupakan alternatif yang cukup kompetitif. 4) Antisipasi kelebihan produksi CPO di Indonesia. Tabel 4.3 memperlihatkan bahwa kelapa sawit memiliki tingkat Produktivitas terbesar diantara komoditas lain yang juga dapat dimanfaatkan sebagai biodiesel. Biodiesel dari sawit memiliki sejumlah keunggulan. Selain ramah lingkungan dan tidak beracun, untuk dipakai di kendaraan bermotor tidak perlu memodifikasi mesin. Emisi yang dihasilkan biodiesel juga rendah, tidak menambah efek rumah kaca, energi yang dihasilkan sama, ada efek pelumasan, penyimpanannya lebih mudah dan besifat renewable (dapat diperbaharui). Tabel 4.3. Produktivitas Berbagai Sumber Minyak/Lemak Nabati Nama Indonesia Nama Inggris Nama Latin Kg/Ha/Tahun Kelapa sawit Elaeis gueneesis 5.000 Oil Palm Kelapa Cocos nucifera 2.260 Coconut Alpukat Persea americana 2.217 Avocado Kacang Brasil Bertholletia excelsea 2.010 Brasil nut Kacang Makadam Macadamia nut Macadamia ternif 1.887 Jarak pagar Jathropa curcas 1.590 Physic nut Jojoba Jojoba Simmondsia califor 1.528 Pecan nut K. pekan / kemiri Carya pecan 1.505 Castor Jarak kaliki Ricinus Communis 1.188 Olive Zaitun Olea europea 1.109 Sumber : Prihandana dan Hendroko, 2008
53
4.3.
Perkembangan CPO (Crude Palm Oil) Indonesia
4.3.1. Produksi, Konsumsi, dan Ekspor CPO Indonesia Komoditi CPO (Crude Palm Oil) telah menjadi komoditi yang penting sejak dahulu. CPO sangat diperlukan untuk berbagai industri berbasis makanan seperti minyak goreng dan margarine maupun oleokimia. Dengan kata lain, produksi CPO setiap tahunnya akan menentukan tingkat produksi industri yang lain. Oleh karena itu, perkembangan produksi CPO harus terus dipantau untuk
volume (ton)
menjaga pasokannya sebagai input bagi industri makanan maupun oleokimia. 20,000,000 18,000,000 16,000,000 14,000,000 12,000,000 10,000,000 8,000,000 6,000,000 4,000,000 2,000,000 0
produksi CPO
konsumsi domestik CPO
Ekspor CPO
Sumber: Ditjenbun, 2009
Gambar 4.1. Perkembangan Produksi, Konsumsi, dan Ekspor CPO Indonesia Perkembangan produksi, konsumsi, dan ekspor CPO dari tahun ke tahun dapat dilihat pada Gambar 4.1. Pada gambar tersebut terlihat bahwa perkembangan CPO Indonesia menunjukkan trend yang meningkat. Terjadinya peningkatan produksi CPO setiap tahunnya disebabkan tingginya permintaan CPO baik permintaan domestik maupun permintaan luar negeri (ekspor). Peningkatan
54
permintaan akan mendorong produsen untuk meningkatkan produksinya agar dapat memperoleh keuntungan yang lebih banyak dengan cara peningkatan luas areal tanam kelapa sawit atau melalui peningkatan Produktivitas. Produksi CPO pada tahun 1980 baru mencapai 721 ribu ton, sedangkan produksi pada tahun 2007 mencapai 17.665 ribu ton. Artinya selama 28 tahun terjadi peningkatan produksi sebesar 16.943 ribu ton. Rata-rata perkembangan produksi CPO Indonesia pada periode ini adalah 12,85 persen atau bertambah sekitar 605 ribu ton per tahun. Besarnya peningkatan produksi CPO setiap tahunnya ini menjadikan Indonesia mampu mengalahkan produksi CPO Malaysia dan menjadi produsen CPO terbesar di dunia sejak tahun 2006. Pada Gambar 4.1 juga dapat dilihat perkembangan konsumsi domestik CPO Indonesia. Perkembangan konsumsi domestik CPO dari tahun 1980 sampai 2007 cenderung berfluktuasi setiap tahunnya tetapi mempunyai trend yang meningkat. Peningkatan konsumsi domestik CPO terjadi karena adanya peningkatan penggunaan CPO dari industri baik industri makanan maupun industri oleokimia. Hal ini terjadi karena berkembangnya produk-produk turunan yang dihasilkan dari CPO. Semakin meningkatnya pemakaian produk turunan CPO, secara tidak langsung juga meningkatkan permintaan produk inputnya, yaitu CPO. Selain itu meningkatnya konsumsi CPO juga disebabkan jumlah penduduk yang semakin bertambah setiap tahunnya. Perkembangan ekspor CPO juga dapat dilihat pada Gambar 4.1. Sebagian besar hasil CPO Indonesia ditujukan untuk kebutuhan ekspor. Data dari tahun 1980 sampai tahun 2007 menunjukkan bahwa trend ekspor CPO Indonesia terus
55
meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2007 dari 17,65 juta ton produksi CPO, sebesar 11,88 juta ton diekspor atau sekitar 67,30 persen dan sisanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Gambar 4.5 menunjukkan bahwa pada tahun 1998 ekspor CPO Indonesia mengalami penurunan, padahal saat itu harga CPO dunia naik yaitu mencapai rata-rata US$ 672/ton. Hal ini terjadi akibat adanya penetapan pajak ekspor hingga mencapai 60 persen yang diberlakukan oleh pemerintah untuk menjamin ketersediaan minyak sawit dalam negeri, karena lambannya proses penyesuaian produksi CPO untuk mengimbangi tingginya permintaan impor dari dunia, sehingga jika dilihat pada Gambar 4.1, terjadi penurunan ekspor, sedangkan konsumsi domestik meningkat.
4.3.2. Luas Areal Kelapa Sawit Indonesia Perkembangan luas areal kelapa sawit tahun 1980 sampai tahun 2007 dapat dilihat pada Gambar 4.2. Secara umum luas areal tanam kelapa sawit menunjukkan trend yang meningkat setiap tahunnya. Peningkatan luas areal tanam kelapa sawit ini juga disebabkan peningkatan permintaan baik domestik maupun ekspor dan insentif harga. Pertumbuhan rata-rata luas areal kelapa sawit selama periode mencapai 12,57 persen setiap tahunnya.
8,000,000 6,000,000 4,000,000 2,000,000 0 1980 1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006
Luas Areal Kelapa Sawit Indonesia (ha)
56
Sumber: Ditjenbun, 2009 (diolah)
Gambar 4.2. Perkembangan Luas Areal Kelapa Sawit Peningkatan luas areal kelapa sawit yang cukup signifikan dimulai dari tahun 1998. Hal ini terjadi karena ketika krisis ekonomi 1998 mengakibatkan nilai tukar rupiah terhadap dollar terdepresiasi, sehingga harga untuk ekspor CPO meningkat. Peningkatan harga ekspor CPO merupakan intensif bagi petani untuk meningkatkan produksi CPO dengan menambah luas areal perkebunan kelapa sawit, sehingga pada tahun 1998 luas areal kelapa sawit mencapai 3,56 juta hektar atau terjadi peningkatan luas areal sebesar 637,90 ribu hektar dari tahun 1997 yang mencapai 2,92 juta hektar (Ditjenbun, 2009).
4.3.3. Harga Domestik CPO Harga domestik CPO dari tahun 1998 sampai 2007 cenderung mempunyai trend yang meningkat seperti yang dapat dilihat pada Gambar 4.3. Tetapi harga domestik mengalami peningkatan yang tajam ketika tahun 1998, yaitu saat terjadi krisis ekonomi. Keadaan krisis menyebabkan nilai tukar rupiah terdepresiasi, sehingga ekspor CPO menjadi sangat menguntungkan bagi produsen.
8000 6000 4000 2000 0 1980 1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006
Harga Domestik CPO (Rp/Kg)
57
Sumber: Ditjenbun, 2009 (diolah)
Gambar 4.3. Perkembangan Harga Domestik CPO Peningkatan harga ekspor juga mendorong peningkatan harga domestik karena jika harga domestik tidak meningkat, peningkatan volume ekspor akan semakin tinggi dan dapat mengganggu persediaan CPO dalam negeri. Tetapi kemudian pada tahun berikutnya harga domestik mengalami penurunan seiring terjadinya penurunan pada harga CPO dunia.
58
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1.
Uji stasioneritas Pengujian akar-akar unit dilakukan untuk mengetahui apakah suatu
variabel stasioner atau tidak stasioner. Uji kestasioneran data merupakan tahap awal yang paling penting dalam menganalisis data time series untuk melihat ada tidaknya unit root yang terkandung variabel, sehingga hubungan diantara variabel menjadi valid. penelitian yang menggunakan data yang belum stasioner akan menghasilkan regresi lancung (spurious Regression) yaitu regresi yang menggambarkan hubungan antara dua variabel atau lebih yang terlihat signifikan secara statistik, tetapi pada kenyataanya tidak atau tidak sebesar yang nampak dari regresi yang dihasilkan tersebut. Regresi bersifat spuriuos biasanya memiliki R2 yang tinggi dan t-statistik yang terlihat signifikan, akan tetapi hasilnya tidak dapat dipresentasikan secara ekonomi. Uji kestasioneritasan dalam model penelitian didasarkan pada uji Augmented Dickey Fuller (ADF), dimana dalam pengujian ini melihat ada atau tidaknya unit root dalam variabel pada tingkat level atau first difference. Kriteria uji dalam ADF ini membandingkan antara nilai statistik dengan nilai kritikal dalam tabel Dickey Fuller. Apabila nilai ADF statistik lebih kecil dari nilai MacKinnon Critical Value maka data bersifat stasioner. Tetapi apabila nilai ADF statistik lebih besar dari nilai MacKinnon Critical Value maka data bersifat nonstasioner. Uji akar unit setiap variabel dalam model peneitian didasarkan pada
59
ADF test pada data level. Hasil pengujian akar unit pada tingkat level dapat dilihat pada Tabel 5.1. Berdasarkan hasil Tabel 5.1 dapat dilihat bahwa hampir semua data yaitu produksi CPO, luas areal kelapa sawit, harga CPO domestik, harga solar, dan nilai tukar (exchange rate) tidak stasioner pada tingkat level karena nilai ADF keenam variabel tersebut lebih besar dari nilai kritis MacKinnon pada taraf nyata 10 persen. Keadaan ini menunjukkan bahwa model yang digunakan pada penelitian ini memenuhi syarat untuk diestimasi dengan menggunakan metode ECM, karena minimal ada satu variabel yang tidak stasioner pada level. Tabel 5.1. Hasil Pengujian Akar Unit pada Tingkat Level Nilai Kritis MacKinnon Variabel
Nilai ADF 1%
Ln_Y
Ln_A
Ln_PD
Ln_PS
Ln_ER
0,0547
-1,6264
-0,0841
0,1131
-1,0857
Sumber : Lampiran 2
-3,6999
-3,6999
-3,7241
-3,6999
-3,6999
5%
Prob.*
Keterangan
0,9558
Tidak stasioner
0,4559
Tidak stasioner
0,9410
Tidak stasioner
0,9608
Tidak stasioner
0,7065
Tidak stasioner
10 %
-2,9763 -2,6274
-2,9763 -2,6274
-2,9862 -2,6326
-2,9763 -2,6274
-2,9763 -2,6274
60
Berdasarkan hasil uji pada Tabel 5.1, maka perlu dilanjutkan dengan uji akar unit pada first difference. Uji ini dilakukan sebagai konsekuensi dari tidak terpenuhinya asumsi stasioneritas pada derajat nol atau I(0). Hasil uji akar unit tingkat derajat terintegrasi satu I(1) atau first difference semua data bersifat stasioner, hal tersebut dikarenakan nilai ADF-nya lebih kecil daripada nilai kritis MacKinnon pada taraf nyata 10 persen. Hasil uji akar unit derajat satu atau I(1) dapat dilihat pada Tabel 5.2. Tabel 5.2. Hasil Uji Akar Unit pada Tingkat First Difference Nilai Kritis MacKinnon
Nilai ADF
1%
5%
10 %
Ln_Y
-6,6179
-3,7115
-2,9810
Ln_A
-3,9095
-3,7115
Ln_PD
-6,6801
Ln_PS Ln_ER
Variabel
Prob.*
Keterangan
-2,6299
0,0000
Stasioner
-2,9810
-2,6299
0,0063
Stasioner
-3,7240
-2,9862
-2,6326
0,0000
Stasioner
-3,6123
-3,7114
-2,9810
-2,6299
0,0126
Stasioner
-5,5902
-3,7115
-29810
-2,6299
0,0001
Stasioner
Sumber : Lampiran 3
5.2.
Uji Kointegrasi Uji kointegrasi merupakan salah satu bentuk uji dalam model dinamis,
dimana tujuan dari uji tersebut adalah untuk mengetahui ada tidaknya hubungan jangka panjang diantara variabel-variabel yang diamati. Variabel-variabel dikatakan saling terkointegrasi jika ada kombinasi linier diantara variabel-variabel
61
yang tidak stasioner dan residual dari kombinasi linier tersebut harus stasioner. Hasil uji stasioneritas terhadap residual regresinya dapat dilihat pada Tabel 5.3. Tabel 5.3. Hasil Uji Akar Unit terhadap Residual Persamaan Regresi Variabel ECT
Nilai kritis MacKinnon
Nilai ADF
1%
5%
10%
-3,7065
-2,6534
-1,9539
-1,6096
Prob*
Keterangan
0,0006
Stasioner
Sumber : Lampiran 5
Berdasarkan hasil pengujian pada Tabel 5.3, residual dari persamaan regresi stasioner pada tahap level pada selang kepercayaan 10 persen. Hal ini dapat dilihat dari nilai statistik ADF yang lebih kecil dari nilai kritis MacKinnon. Dengan demikian hasil uji stsioneritas terhadap residual semakin menguatkan bahwa diantara variabel-variabel yang digunakan terdapat kointegrasi. Uji kointegrasi dilakukan untuk memperoleh hubungan jangka panjang yang stabil antara variabel-variabel yang terintegrasi pada derajat yang sama. Uji kointegrasi Engle-Granger ini digunakan untuk mengestimasi hubungan jangka panjang antara penawaran CPO Indonesia terhadap luas areal (A), harga domestik CPO (PD), harga solar (PS), dan nilai tukar (ER) sehingga didapatkan persamaan penawaran CPO Indonesia dalam jangka panjang.
5.3.
Pendugaan Model Penawaran CPO Jangka Pendek
62
ECM digunakan untuk melihat perilaku jangka pendek dari persamaan regresi dengan mengestimasi dinamika Error Correction Term (ECT). Hasil ECM yang terbaik dari pengolahan data dapat dilihat pada Tabel 5.4. Tabel 5.4. Hasil Estimasi ECM Variabel
Koefisien
t-Statistik
Prob.
D(LN_Y(-1))
0.7971
4.7200
0.0003
D(LN_A)
0.6977
4.7005
0.0003
D(LN_A(-1))
-0.5706
-2.8949
0.0111
D(LN_PD)
-0.0109
-0.1852
0.8556
D(LN_ER)
-0.0968
-1.5774
0.1356
D(LN_PS)
0.2028
4.4475
0.0005
D(LN_PS(-2))
-0.1245
-2.8038
0.0134
ECT(-1)
-0.8978
-3.5330
0.0030
AR(1)
-0.6599
-3.1237
0.0070
Adjusted R-squared
0.5775
Sumber : Lampiran 7
Persamaan Error Correction Model untuk penawaran CPO yang diperroleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut: ∆(Ln_Y) = 0,7971∆(Ln_Y)t-1 + 0,6977∆(Ln_A)t – 0,5706∆(Ln_A)t-1 – 0,0109∆(Ln_PD)t – 0.0968∆(Ln_ER)t + 0,2028∆(Ln_PS)t – 0,1245∆(Ln_PS)t-2 – 0,8978(ECT)t-1 + [ AR(1) = -0,6599]
(5.1)
63
Berdasarkan persamaan jangka pendek tersebut dapat diketahui bahwa variabel produksi CPO 1 tahun sebelumnya, luas areal perkebunan kelapa sawit, luas areal perkebunan kelapa sawit 1 tahun sebelumnya, harga solar, harga solar 2 tahun sebelumnya memberikan pengaruh yang signifikan terhadap variabel produksi CPO Indonesia pada selang kepercayaan 10 persen. Sedangkan variabel harga domestik CPO dan nilai tukar berpengaruh tidak signifikan pada selang kepercayaan 10 persen. Nilai R2 pada model mencapai 0,5775 yang artinya sebesar 57,75 persen keragaman penawaran CPO Indonesia telah dapat dijelaskan oleh variabel-variabel yang digunakan dalam model, sedangkan sisanya sebesar 42,25 persen dijelaskan oleh variabel lain di luar model. Produksi CPO satu tahun sebelumnya memberikan pengaruh positif terhadap penawaran CPO Indonesia. Hal ini terjadi karena CPO merupakan produk turunan dari kelapa sawit yang merupakan tanaman yang mempunyai masa tenggang waktu antara menanam dan memanen, sehingga tingkat produksi CPO satu tahun sebelumnya akan menentukan tingkat penawaran CPO. Apabila produksi CPO satu tahun sebelumnya pertumbuhannya meningkat sebesar 1 persen, cateris paribus, maka akan menyebabkan peertumbuhan penawaran CPO sebesar 0,80 persen. Luas areal kelapa sawit mempengaruhi penawaran CPO Indonesia secara positif dalam jangka pendek. Hal ini dikarenakan luas areal akan secara langsung mempengaruhi besarnya produksi suatu komoditi, semakin luas areal yang digunakan untuk perkebunan kelapa sawit, maka produksi CPO yang dihasilkan juga akan meningkat. Besarnya pertumbuhan penawaran CPO apabila dikaitkan
64
dengan nilai dugaan parameternya jika disumsikan terjadi pertumbuhan luas areal kelapa sawit sebesar 1 persen, cateris paribus adalah sebesar 0,70 persen. Luas areal kelapa sawit 1 tahun sebelumnya berpengaruh negatif terhadap penawaran CPO Indonesia. Artinya, ketika pertumbuhan luas areal pada 1 tahun sebelumnya berkurang, maka pertumbuhan penawaran CPO meningkat. Hal ini terjadi karena penurunan pertumbuhan luas areal pada tahun sebelumnya, akan mengurangi pertumbuhan produksi CPO. Keadaan ini akan mendorong terjadinya kenaikan harga, dan peningkatan penawaran oleh pelaku pasar untuk dapat memperoleh keuntungan yang lebih. Besarnya pertumbuhan penawaran CPO apabila dikaitkan dengan nilai dugaan parameternya jika diasumsikan terjadi penurunan pertumbahan luas areal kelapa sawit sebesar 1 persen, cateris paribus adalah sebesar 0,57 persen. Harga solar mempengaruhi penawaran CPO Indonesia secara positif dalam jangka pendek. Penawaran CPO Indonesia akan meningkat ketika harga solar mengalami peningkatan. Nilai koefisien harga solar sebesar 0,20 yang artinya peningkatan pertumbuhan harga solar sebesar 1 persen akan menyebabkan pertumbuhan penawaran sebesar 0,20 persen, cateris paribus. Solar merupakan barang substitusi dari BBN biodiesel dari CPO. Sehingga kenaikan harga solar akan menyebabkan para konsumen bahan bakar beralih dari menggunakan bahan bakar solar menjadi bahan bakar biodiesel. Peningkatan permintaan biodiesel akan meningkatkan permintaan terhadap CPO, sehingga penawaran CPO juga meningkat. Nilai koefisien harga solar 2 tahun sebelumnya adalah 0,12. Artinya bahwa harga solar tahun sekarang sangat dipengaruhi oleh harga solar 2 tahun
65
sebelumnya. Jika harga solar tahun sekarang meningkat sebesar 1 persen, maka kenaikan tersebut disebabkan oleh penurunan harga solar 2 tahun sebelumnya yaitu sebesar 0,12 persen. Harga solar dua tahun sebelumnya mempengaruhi penawaran CPO secara negatif dalam jangka pendek. Jika harga solar dua tahun sebelumnya turun sebesar 1 persen, cateris paribus maka akan menyebabkan pertumbuhan penawaran CPO sebesar 0,16 persen. Variabel harga domestik CPO dan nilai tukar berpengaruh tidak signifikan terhadap penawaran CPO dalam jangka pedek, karena nilai probabilitasnya lebih besar dari taraf nyata yang digunakan yaitu 10 persen. Variabel harga domestik dan nilai tukar tidak mempengaruhi secara signifikan terhadap penawaran CPO karena perilaku ketiga variabel ini belum mencapai keseimbangan dalam jangka pendek. Selain itu, perubahan harga domestik dalam jangka pendek belum dapat memberikan respon terhadap penawaran CPO karena masih ada pertimbangan dari para pelaku pasar untuk merubah perilaku terhadap penawaran jika terjadi perubahan harga. Nilai koefisien Error Correction Term (ECT) sebesar -0,89 menunjukkan bahwa disequilibrium periode sebelumnya terkoreksi pada periode sekarang sebesar 0,89 persen. ECT menunjukkan seberapa cepat equilibrium tercapai kembali ke dalam keseimbangan jangka panjang. Nilai koefisien AR(1) sebesar -0,66 menunjukkan lag optimal yang dapat mengatasi masalah asumsi klasik.
66
5.4.
Uji kebaikan Model Untuk Jangka Pendek Uji kebaikan model ECM bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya
masalah-masalah asumsi klasik yang berasal dari estimasi model, seperti heteroskedastisitas, autokorelasi, dan normalitas. Uji ekonometrika menunjukkan bahwa
persamaan
tersebut
tidak
mengindikasikan
adanya
masalah
heteroskedastisitas dan autokorelasi karena nilai probability Obs*R-squared lebih besar dari taraf nyata yang digunakan yaitu 10 persen. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.5, dimana nilai probability Obs*R-squared untuk pengujian heteroskedastisitas menggunakan White Heteroskedasticity Test adalah sebesar 0,95. Untuk pengujian autokorelasi, menggunakan Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test dan nilainya sebesar 0,72 (Tabel 5.6). Tabel 5.5. Uji Heteroskedastisitas Heteroskedasticity Test: White F-statistic
0.2407
Prob. F(9,14)
0.9813
Obs*R-squared
3.2158
Prob. Chi-Square(9)
0.9551
Sumber: Lampiran 8
Tabel 5.6. Uji Autokorelasi Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic
0.1418
Prob. F(2,10)
0,8695
Obs*R-squared
0.6491
Prob. Chi-Square(2)
0,7228
Sumber : Lampiran 9
67
Uji normalitas dilakukan untuk memeriksa apakah error term mendekati distribusi normal. Hal ini dapat dilihat dari nilai probability Jarque-Bera yang lebih besar dari taraf nyata 10 persen. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa error term terdistribusi secara normal dengan nilai probability Jarque-Bera sebesar 0,90 (Gambar 5.1).
9
Series: Residuals Sample 1984 2007 Observations 24
8 7 6 5 4 3
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
0.001963 -0.001598 0.081323 -0.089414 0.038409 0.132503 3.360356
Jarque-Bera Probability
0.200085 0.904799
2 1 0 -0.10
-0.05
-0.00
0.05
0.10
Sumber: Lampiran 10
Gambar 5.1. Hasil Uji Normalitas
Berdasarkan uji diagnostik di atas dapat disimpulkan bahwa model ECM ini terbebas dari masalah heteroskedastisitas, autokorelasi dan error term nya terdistribusi secara normal. Artinya model tersebut dapat dinyatakan terbebas dari masalah asumsi klasik dan hasil estimasi model dapat dinyatakan valid.
68
5.5.
Pendugaan Model Penawaran CPO Jangka Panjang Hasil uji kointegrasi Engle-Granger menghasilkan persamaan jangka
panjang seperti Tabel 5.6. Berdasarkan persamaan jangka panjang dapat diketahui bahwa variabel luas areal kelapa sawit, harga domestik CPO, nilai tukar dan harga solar memberikan pengaruh yang signifikan terhadap variabel penawaran CPO Indonesia pada taraf nyata 10 persen. Tabel 5.7. Hasil Estimasi Kointegrasi Variabel
Koefisien
t-Statistik
Prob.
LN_A
0.8463
11.5619
0.0000
LN_PD
0.1408
1.8810
0.0727
LN_ER
-0.2499
-4.1604
0.0004
LN_PS
0.1742
5.3463
0.0000
C
2.9139
5.2058
0.0000
Adjusted R-squared
0.9945
Sumber: Lampiran 4
Persamaan model penawaran CPO Indonesia pada jangka panjang adalah sebagai berikut: Ln_Y = 2,9139 + 0,8463Ln_A + 0,1408Ln_PD – 0,2499Ln_ER + 0,1742Ln_PS(5.2) Nilai R2 pada model sebesar 0,9945 yang artinya pada jangka panjang sebesar 99,45 persen keragaman penawaran CPO Indonesia dapat dijelaskan oleh
69
variabel-variabel yang digunakan dalam model, sedangkan sisanya sebesar 0,45 persen dijelaskan oleh variabel lain diluar model. Variabel luas areal kelapa sawit berpengaruh positif terhadap penawaran CPO Indonesia dalam jangka panjang. Hal ini terjadi karena luas areal yang bertambah akan meningkatkan hasil Tandan Buah Sawit (TBS) dan dapat meningkatkan penawaran CPO Indonesia. Jika terjadi peningkatan luas areal sebesar 1 persen, cateris paribus maka akan menyebabkan peningkatan penawaran CPO Indonesia sebesar 0,85 persen. Harga domestik mempunyai pengaruh yang positif terhadap penawaran CPO. Hal tersebut dikarenakan pada jangka panjang, ketika harga domestik meningkat, maka pelaku pasar akan meningkatkan penawaran CPO untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Jika terjadi peningkatan harga domestik CPO sebesar 1 persen, cateris paribus maka akan menyebabkan peningkatan penawaran CPO sebesar 0,14 persen. Nilai tukar akan mempengaruhi penawaran CPO dalam jangka panjang secara negatif. Artinya ketika nilai tukar meningkat, maka dalam jangka panjang akan menurunkan penawaran CPO Indonesia. Hal ini tidak sesuai dengan hipotesis penelitian yang diajukan sebelumnya, yaitu nilai tukar akan mempengaruhi penawaran CPO indonesia secara positif. Harga solar berpengaruh positif terhadap penawaran CPO Indonesia pada jangka panjang. Hal ini terjadi karena pada jangka panjang, ketika program biodiesel dari CPO telah berjalan dengan baik, maka harga solar menjadi produk
70
substitusi dari biodiesel CPO. Sehingga ketika terjadi peningkatan harga solar, maka sebagian orang akan beralih untuk menggunakan biodiesel sebagai bahan bakar dan akan meningkatkan penawaran CPO. Apabila harga solar naik sebesar 1 persen, cateris paribus maka penawaran CPO akan meningkat sebesar 0,17 persen.
5.6.
Nilai Elastisitas Penawaran CPO Nilai elastisitas penawaran CPO dapat dilihat dari nilai dugaan parameter
pada model estimasi. Nilai elastisitas jangka pendek dapat dilihat dari nilai dugaan parameter pada model ECM, sedangkan nilai elastisitas jangka panjang dapat dilihat dari persamaan kointegrasi. Berdasarkan nilai tersebut diketahui ternyata respon semua variabel bebasnya terhadap penawaran CPO Indonesia adalah inelastis karena nilai mutlak dugaan parameternya kurang dari satu. Artinya perubahan yang terjadi pada penawaran CPO Indonesia tidak sebesar perubahan yang terjadi pada variabel-variabel bebasnya. Hal ini menunjukkan penawaran CPO Indonesia tidak begitu responsif terhadap perubahan yang terjadi pada variabel-variabel bebasnya, sehingga apabila terjadi perubahan pada variabelvariabel tersebut tidak akan menimbulkan gejolak yang besar terhadap tingkat penawaran CPO Indonesia.
71
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1.
Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah dijelaskan sebelumnya, maka
dapat disimpulkan beberapahal sebagai berikut:
1. Penawaran CPO Indonesia dalam jangka pendek secara nyata dipengaruhi oleh produksi CPO 1 tahun sebelumnya, luas areal perkebunan kelapa sawit, luas areal kelapa sawit 1 tahun sebelumnya, harga solar, harga solar 2 tahun sebelumnya. Sedangkan variabel harga domestik dan nilai tukar tidak berpengaruh signifikan terhadap penawaran CPO Indonesia. 2. Hasil estimasi pada jangka panjang menyimpulkan bahwa penawaran CPO Indonesia dipengaruhi secara nyata oleh luas areal kelapa sawit, harga domestik CPO, nilai tukar dan harga solar. 3. Berdasarkan nilai elastisitas jangka pendek dan jangka panjang, menunjukkan bahwa respon semua variabel bebas terhadap penawaran CPO Indonesia baik pada jangka pendek maupun jangka panjang adalah inelastis. Sehingga apabila terjadi perubahan pada variabel-variabel tersebut tidak akan menimbulkan gejolak yang besar terhadap tingkat penawaran CPO.
72
6.2.
Saran Berdasarkan uraian dan kesimpulan di atas, maka saran yang dapat diberikan
yaitu sebagai berikut:
1. Indonesia sebagai negara yang memiliki areal perkebunan dan produksi CPO terbesar di dunia disarankan agar memperhatikan variabel-variabel yang berpengaruh terhadap penawaran CPO tersebut, terutama terkait harga domestik. Saat ini harga domestik CPO cenderung mengikuti pergerakan harga CPO internasional. Oleh karena itu Pemerintah diharapkan dapat meningkatkan bargaining position sebagai penghasil CPO terbesar di dunia agar harga CPO domestik tidak terpengaruh bahkan menjadi patokan bagi harga CPO internasional. 2. Pada penelitian ini informasi yang digali masih terbatas, oleh karena itu agar dapat informasi yang lebih dalam lagi maka disarankan pada penelitian selanjutnya dapat menganalisis variabel-variabel lain seperti pengaruh harga CPO negara lain, sebagai perbandingan terhadap tingkat penawaran CPO Indonesia.
73
DAFTAR PUSTAKA
Alemu, Z.G., K. Oosthuizen, dan H. D. V. Schalkwyk. 2003. Grain Supply Response In Ethiopia: An Error Correction Approach. Agrekon, volume 42. No 4: 389-404. Awasola, O. O., O. A. Oyewumi, dan A. Jooste. 2006. Vector Error Correction Modelling of Nigerian Agricultural Supply Response. Agrekon, volume 45. No 4: 421-436. Amaliah, S. 2008. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Daya Saing dan Impor Susu Indonesia Periode 1976-2005 [Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Badan Pusat Statistik. 2007. Statistik Kelapa Sawit Indonesia. BPS, Jakarta. Departemen Pertanian Direktorat Jenderal Perkebunan. Perkebunan Indonesia 2007-2009. Deptan, Jakarta.
2009.
Statistik
Enders, W. 2004. Applied Economic Time Series. John Wiley & Son, Ltd. New York, USA. Gujarati, N. D. 2003. Basic Econometrics. The Mcraw-Hill Companies, Inc.NewYork. Imai, K, R. Gaiha., G. Thapa. 2008. Supply Response to Changes in Agricultural Commodity Prices in Asia Countries. Economic Discussion Paper Series (EDP), 0808. Juanda, B. 2007. Metodologi Penelitian Ekonomi dan Bisnis. IPB Press, Bogor. Koluurmath, V. B., N. N. Karnool, L. B. Kunnal, dan V. Kulkarni. 2007. Supply Response of Rice and Maize in Karnataka Pre and Post WTO. Karnataka J. Agric. Sci., 21(4): 535-537. Kusumawardhana, R. 2008. Pengaruh Kebijakan Pajak Ekspor terhadap Perdagangan Minyak Kelapa Sawit (Crude Palm Oil) Indonesia [Skripsi]. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Latif, S. 2006. Potensi dan Peluang Investasi Industri Kelapa Sawit di Indonesia. Pusat Penelitian Kelapa Sawit, Medan. Mardianti, N. 2006. Analisis Inflasi di Indonesia dari Sisi Permintaan Uang [Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
74
Maulidin, M. A. 2009. Konsumsi CPO Dunia Diprediksi Naik 6%. http://www.wartaekonomi.co.id/index.php?option=com_content&view=arti cle&id=1162 : konsumsi- cpo- dunia- diprediksi- naik-6&catid=53:aumum. [26 Februari 2009] Naibaho, M. P. 1998. Teknologi Pengolahan Kelapa Sawit. Pusat Penelitian Kelapa Sawit, Medan. Pahan, I. 2008. Salah Urus Industri CPO Indonesia. http://iyungpahan. blogspot.com/2008/04/salah-urus-industri-cpo-indonesia. [6 April 2008] Pasaribu, S. H., D. Hartono, dan T. Irawan 2005. Pedoman Penulisan Skripsi. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Prihandana, R dan R. Hendroko. 2008. Energi Hijau. Penebar Swadaya, Depok. Putong, I. 2003. Pengantar Ekonomi Makro dan Mikro. Ghalia Indonesia, Jakarta. Samuelson, P. A. dan D. Nordhaus. 2003. Ilmu Mikroekonomi. Nur Rosyidah [penerjemah]. PT. Media Global Edukasi, Jakarta. Sari, D. M. 2008. Analisis Daya Saing dan Strategi Ekspor Kelapa Sawit (CPO) Indonesia di Pasar Internasional [Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sastrosoenarto, H. 2006. Industrialisasi serta Pembangunan Sektor Pertanian dan Jasa “ Menuju Visi Indonesia 2030”. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Sinaga, B. M. 2001. Analisis Keragaan Industri Produk Kelapa Sawit Indonesia pada Era Liberalisasi Perdagangan [Laporan Penelitian]. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Supranto, J. 2004. Ekonometri Buku Kedua. Ghalia Indonesia, Jakarta. Winarno, W. W. 2007. Analisis Ekonometrika dan Statistika dengan Eviews. UPP STIM YKPN, Yoyakarta.
75
LAMPIRAN
76
Lampiran 1. Data Penelitian
TAHUN
1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
PRODUKSI CPO ton Y 721.172 800.060 886.820 982.987 1.147.190 1.243.430 1.350.729 1.506.055 1.713.335 1.964.954 2.412.612 2.657.600 3.266.250 3.421.449 4.008.062 4.479.670 4.898.658 5.448.508 5.930.415 6.455.590 7.000.508 8.396.472 9.622.345 10.440.834 10.830.389 11.861.615 17.350.848 17.664.725
LUAS HARGA AREAL DOMESTIK SAWIT Ha Rp/kg A PD 294.560 222 318.967 241 329.901 237 405.646 256 512.021 406 597.362 416 606.780 333 728.662 421 862.859 487 973.528 541 1.126.677 534 1.310.996 649 1.467.470 776 1.613.187 753 1.804.149 988 2.024.986 1.274 2.249.514 1.147 2.922.296 1.449 3.560.196 3.950 3.901.802 2.678 4.158.077 2.278 4.713.435 2.499 5.067.058 3.513 5.283.557 3.779 5.284.723 4.130 5.453.817 3.699 6.594.914 4.120 6.766.836 6.780
NILAI TUKAR
HARGA SOLAR
Rp/US$ ER 626,99 631,76 661,42 994,00 1.076,00 1.125,30 1.641,00 1.650,00 1.729,00 1.795,50 1.901,00 1.950,30 2.029,90 2.087,10 2.160,70 2.248,60 2.342,30 2.909,40 10.013,60 7.855,20 8.421,80 10.260,90 9.311,20 8.577,10 8.938,90 9.704,70 9.165,20 9.141,90
Rp/liter PS 52,50 52,50 85,00 145,00 220,00 242,00 200,00 200,00 200,00 200,00 245,00 300,00 300,00 380,00 380,00 380,00 380,00 380,00 500,00 500,00 550,00 938,15 1.328,81 1.663,57 1.650,00 2581,78 4.300,00 4.300,00
77
Lampiran 2. Hasil Uji Stasioneritas Semua Variabel pada Tingkat Level 1. Ln_Y Null Hypothesis: LN_Y has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=6)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
0.054676 -3.699871 -2.976263 -2.627420
0.9558
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(LN_Y) Method: Least Squares Date: 08/20/09 Time: 12:27 Sample (adjusted): 1981 2007 Included observations: 27 after adjustments Variable LN_Y(-1) C
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
0.000806 0.106372
0.014736 0.221509
0.054676 0.480217
0.9568 0.6352
R-squared 0.000120 Adjusted R-squared -0.039876 S.E. of regression 0.070497 Sum squared resid 0.124247 Log likelihood 34.33648 F-statistic 0.002990 Prob(F-statistic) 0.956831
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
0.118461 0.069133 -2.395295 -2.299307 -2.366753 2.533091
78
Lampiran 2 (lanjutan) 2. Ln_A Null Hypothesis: LN_A has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=6)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-1.626385 -3.699871 -2.976263 -2.627420
0.4559
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(LN_A) Method: Least Squares Date: 08/20/09 Time: 12:28 Sample (adjusted): 1981 2007 Included observations: 27 after adjustments Variable
Coefficient
LN_A(-1) C
-0.021317 0.420078
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.095682 0.059509 0.067096 0.112548 35.67147 2.645128 0.116409
Std. Error
t-Statistic
0.013107 -1.626385 0.187359 2.242107 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
Prob. 0.1164 0.0341 0.116085 0.069187 -2.494183 -2.398195 -2.465640 1.692544
79
Lampiran 2 (lanjutan) 3. Ln_PD Null Hypothesis: LN_PD has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 2 (Automatic based on SIC, MAXLAG=6)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-0.084095 -3.724070 -2.986225 -2.632604
0.9410
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(LN_PD) Method: Least Squares Date: 08/20/09 Time: 12:29 Sample (adjusted): 1983 2007 Included observations: 25 after adjustments Variable
Coefficient
LN_PD(-1) D(LN_PD(-1)) D(LN_PD(-2)) C
-0.004237 -0.302287 -0.579183 0.263269
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.338592 0.244105 0.236363 1.173218 2.765601 3.583486 0.030976
Std. Error
t-Statistic
0.050387 -0.084095 0.189067 -1.598836 0.188197 -3.077537 0.351805 0.748340 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
Prob. 0.9338 0.1248 0.0057 0.4626 0.134147 0.271862 0.098752 0.293772 0.152842 2.239111
80
Lampiran 2 (lanjutan) 4. Ln_ER Null Hypothesis: LN_ER has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=6)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-1.085729 -3.699871 -2.976263 -2.627420
0.7065
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(LN_ER) Method: Least Squares Date: 08/20/09 Time: 12:30 Sample (adjusted): 1981 2007 Included observations: 27 after adjustments Variable
Coefficient
LN_ER(-1) C
-0.058235 0.559993
R-squared 0.045029 Adjusted R-squared 0.006830 S.E. of regression 0.260211 Sum squared resid 1.692740 Log likelihood -0.923251 F-statistic 1.178808 Prob(F-statistic) 0.287957
Std. Error
t-Statistic
0.053636 -1.085729 0.427309 1.310510 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
Prob. 0.2880 0.2019 0.099248 0.261104 0.216537 0.312525 0.245079 2.223976
81
Lampiran 2 (lanjutan) 5. Ln_PS Null Hypothesis: LN_PS has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=6)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
0.113064 -3.699871 -2.976263 -2.627420
0.9608
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(LN_PS) Method: Least Squares Date: 08/20/09 Time: 12:31 Sample (adjusted): 1981 2007 Included observations: 27 after adjustments Variable LN_PS(-1) C
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
0.004440 0.136882
0.039271 0.236153
0.113064 0.579631
0.9109 0.5674
R-squared 0.000511 Adjusted R-squared -0.039468 S.E. of regression 0.215150 Sum squared resid 1.157239 Log likelihood 4.210954 F-statistic 0.012783 Prob(F-statistic) 0.910883
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
0.163169 0.211026 -0.163774 -0.067786 -0.135232 1.382041
82
Lampiran 3. Hasil Uji Stasioneritas Semua Variabel pada First Difference 1. Ln_Y Null Hypothesis: D(LN_Y) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=6)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-6.617955 -3.711457 -2.981038 -2.629906
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(LN_Y,2) Method: Least Squares Date: 08/20/09 Time: 12:25 Sample (adjusted): 1982 2007 Included observations: 26 after adjustments Variable
Coefficient
D(LN_Y(-1)) C
-1.335679 0.160087
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.646004 0.631254 0.068075 0.111220 34.01407 43.79732 0.000001
Std. Error
t-Statistic
0.201827 -6.617955 0.028067 5.703666 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
Prob. 0.0000 0.0000 -0.003303 0.112104 -2.462621 -2.365844 -2.434753 2.083805
83
Lampiran 3 (lanjutan) 2. Ln_A Null Hypothesis: D(LN_A) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=6)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-3.909523 -3.711457 -2.981038 -2.629906
0.0063
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(LN_A,2) Method: Least Squares Date: 08/20/09 Time: 12:25 Sample (adjusted): 1982 2007 Included observations: 26 after adjustments Variable
Coefficient
D(LN_A(-1)) C
-0.807612 0.094487
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.389070 0.363615 0.070351 0.118782 33.15891 15.28437 0.000662
Std. Error
t-Statistic
0.206576 -3.909523 0.028291 3.339852 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
Prob. 0.0007 0.0027 -0.002072 0.088188 -2.396839 -2.300063 -2.368971 1.823563
84
Lampiran 3 (lanjutan) 3. Ln_PD Null Hypothesis: D(LN_PD) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=6)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-6.680144 -3.724070 -2.986225 -2.632604
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(LN_PD,2) Method: Least Squares Date: 08/20/09 Time: 12:25 Sample (adjusted): 1983 2007 Included observations: 25 after adjustments Variable
Coefficient
D(LN_PD(-1)) D(LN_PD(-1),2) C
-1.885327 0.580829 0.234082
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.711569 0.685348 0.230968 1.173613 2.761392 27.13734 0.000001
Std. Error
t-Statistic
0.282228 -6.680144 0.182904 3.175589 0.056140 4.169636 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
Prob. 0.0000 0.0044 0.0004 0.020594 0.411752 0.019089 0.165354 0.059656 2.242771
85
Lampiran 3 (lanjutan) 4. Ln_ER Null Hypothesis: D(LN_ER) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=6)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-5.590212 -3.711457 -2.981038 -2.629906
0.0001
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(LN_ER,2) Method: Least Squares Date: 08/20/09 Time: 12:26 Sample (adjusted): 1982 2007 Included observations: 26 after adjustments Variable
Coefficient
D(LN_ER(-1)) C
-1.131806 0.116371
R-squared 0.565615 Adjusted R-squared 0.547515 S.E. of regression 0.268733 Sum squared resid 1.733223 Log likelihood -1.686924 F-statistic 31.25047 Prob(F-statistic) 0.000009
Std. Error
t-Statistic
0.202462 -5.590212 0.056691 2.052732 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
Prob. 0.0000 0.0512 -0.000389 0.399503 0.283610 0.380386 0.311478 2.030368
86
Lampiran 3 (lanjutan) 5. Ln_PS Null Hypothesis: D(LN_PS) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=6)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-3.612344 -3.711457 -2.981038 -2.629906
0.0126
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(LN_PS,2) Method: Least Squares Date: 08/20/09 Time: 12:26 Sample (adjusted): 1982 2007 Included observations: 26 after adjustments Variable
Coefficient
D(LN_PS(-1)) C
-0.704420 0.119360
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.352210 0.325219 0.207308 1.031441 5.060409 13.04903 0.001394
Std. Error
t-Statistic
0.195003 -3.612344 0.052390 2.278285 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
Prob. 0.0014 0.0319 0.000000 0.252368 -0.235416 -0.138639 -0.207548 1.551019
87
Lampiran 4. Hasil Estimasi Kointegrasi (Persamaan Jangka Panjang)
Dependent Variable: LN_Y Method: Least Squares Date: 09/09/09 Time: 11:10 Sample: 1980 2007 Included observations: 28 Variable
Coefficient
LN_A LN_PD LN_ER LN_PS C
0.846321 0.140820 -0.249961 0.174186 2.913923
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.995289 0.994469 0.072442 0.120701 36.52269 1214.733 0.000000
Std. Error
t-Statistic
0.073199 11.56186 0.074866 1.880953 0.060081 -4.160422 0.032581 5.346307 0.559748 5.205773 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
Prob. 0.0000 0.0727 0.0004 0.0000 0.0000 15.06357 0.974106 -2.251621 -2.013727 -2.178895 1.295613
88
Lampiran 5. Hasil Uji Stasioneritas terhadap Residual Persamaan Regresi
Null Hypothesis: ECT has a unit root Exogenous: None Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=6)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-3.706535 -2.653401 -1.953858 -1.609571
0.0006
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(ECT) Method: Least Squares Date: 09/09/09 Time: 12:10 Sample (adjusted): 1981 2007 Included observations: 27 after adjustments Variable
Coefficient
ECT(-1)
-0.674412
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.345550 0.345550 0.062732 0.102318 36.95806 1.931462
Std. Error
t-Statistic
0.181952 -3.706535 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter.
Prob. 0.0010 -0.001230 0.077544 -2.663560 -2.615566 -2.649289
89
Lampiran 6. Hasil Estimasi ECM Awal yang Tidak Signifikan Dependent Variable: D(LN_Y) Method: Least Squares Date: 09/09/09 Time: 15:32 Sample (adjusted): 1983 2007 Included observations: 25 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
D(LN_Y(-1)) D(LN_Y(-2)) D(LN_A) D(LN_A(-1)) D(LN_A(-2)) D(LN_PD) D(LN_PD(-1)) D(LN_PD(-2)) D(LN_ER) D(LN_ER(-1)) D(LN_ER(-2)) D(LN_PS) D(LN_PS(-1)) D(LN_PS(-2)) ECT(-1)
0.711068 0.417685 0.591656 -0.639312 -0.351854 0.088728 -0.075098 0.044235 -0.156403 0.109616 0.009308 0.211116 0.030367 -0.160841 -1.494990
0.397568 0.324315 0.241035 0.492057 0.419023 0.103525 0.086833 0.090477 0.084825 0.100147 0.077048 0.088911 0.091693 0.083594 0.479331
1.788546 1.287900 2.454652 -1.299263 -0.839701 0.857062 -0.864865 0.488906 -1.843833 1.094551 0.120807 2.374479 0.331179 -1.924060 -3.118909
0.1040 0.2268 0.0340 0.2230 0.4207 0.4115 0.4074 0.6355 0.0950 0.2994 0.9062 0.0390 0.7473 0.0832 0.0109
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.711022 0.306454 0.059805 0.035767 46.39664 2.399493
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter.
0.119667 0.071813 -2.511732 -1.780406 -2.308893
90
Lmapiran 7. Hasil Estimasi ECM Terbaik yang Signifikan Dependent Variable: D(LN_Y) Method: Least Squares Date: 08/25/09 Time: 02:40 Sample (adjusted): 1983 2007 Included observations: 25 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
D(LN_Y(-1)) D(LN_A) D(LN_A(-1)) D(LN_PD) D(LN_PD(-2)) D(LN_KD) D(LN_KD(-2)) D(LN_ER) D(LN_ER(-1)) D(LN_PS) D(LN_PS(-1)) D(LN_PS(-2)) ECT(-1)
0.706303 0.709285 -0.532931 -0.151850 0.131794 0.196934 -0.165773 0.008032 -0.069497 0.098141 0.256160 -0.264453 -0.892186
0.176023 0.123057 0.236610 0.082353 0.043427 0.045624 0.048934 0.069237 0.047329 0.056839 0.069485 0.053501 0.262031
4.012568 5.763859 -2.252363 -1.843882 3.034823 4.316485 -3.387685 0.116007 -1.468389 1.726647 3.686544 -4.942929 -3.404891
0.0017 0.0001 0.0438 0.0900 0.0104 0.0010 0.0054 0.9096 0.1677 0.1099 0.0031 0.0003 0.0052
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.877728 0.755457 0.035512 0.015134 57.14796 2.115103
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter.
0.119667 0.071813 -3.531837 -2.898021 -3.356043
91
Lampiran 8. Hasil Uji Heteroskedastisitas dengan White Heteroskedasticity Test Heteroskedasticity Test: White F-statistic Obs*R-squared Scaled explained SS
0.240679 3.215777 1.498544
Prob. F(9,14) Prob. Chi-Square(9) Prob. Chi-Square(9)
0.9813 0.9551 0.9972
Test Equation: Dependent Variable: RESID^2 Method: Least Squares Date: 09/09/09 Time: 11:44 Sample: 1984 2007 Included observations: 24 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C GRADF_01^2 GRADF_02^2 GRADF_03^2 GRADF_04^2 GRADF_05^2 GRADF_06^2 GRADF_07^2 GRADF_08^2 GRADF_09^2
0.001065 0.008644 0.003248 0.002411 -0.000225 -0.001018 0.002006 -0.002076 -0.014731 -0.014039
0.001403 0.020606 0.020115 0.021099 0.007744 0.005540 0.003244 0.003480 0.050269 0.165584
0.759407 0.419468 0.161482 0.114248 -0.028997 -0.183743 0.618272 -0.596688 -0.293050 -0.084786
0.4602 0.6812 0.8740 0.9107 0.9773 0.8568 0.5463 0.5602 0.7738 0.9336
R-squared 0.133991 Adjusted R-squared -0.422730 S.E. of regression 0.002668 Sum squared resid 9.97E-05 Log likelihood 114.6474 F-statistic 0.240679 Prob(F-statistic) 0.981290
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
0.001418 0.002237 -8.720615 -8.229760 -8.590391 2.189075
92
Lampiran 9. Hasil Uji Autokorelasi Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic Obs*R-squared
0.136214 0.428539
Prob. F(2,13) Prob. Chi-Square(2)
0.8739 0.8071
Test Equation: Dependent Variable: RESID Method: Least Squares Date: 09/09/09 Time: 11:43 Sample: 1984 2007 Included observations: 24 Presample missing value lagged residuals set to zero. Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
D(LN_Y(-1)) D(LN_A) D(LN_A(-1)) D(LN_PD) D(LN_ER) D(LN_PS) D(LN_PS(-2)) ECT(-1) AR(1) RESID(-1) RESID(-2)
0.001971 0.014722 0.002215 -0.009329 0.005631 -0.007999 0.001084 0.068888 -0.029232 -0.096178 -0.182650
0.187417 0.161875 0.211180 0.085889 0.078214 0.052567 0.049147 0.390024 0.421641 0.710628 0.446578
0.010514 0.090948 0.010491 -0.108613 0.071989 -0.152168 0.022058 0.176625 -0.069328 -0.135342 -0.408999
0.9918 0.9289 0.9918 0.9152 0.9437 0.8814 0.9827 0.8625 0.9458 0.8944 0.6892
R-squared 0.017856 Adjusted R-squared -0.737640 S.E. of regression 0.050630 Sum squared resid 0.033325 Log likelihood 44.89962 Durbin-Watson stat 1.955119
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter.
0.001963 0.038409 -2.824968 -2.285027 -2.681722
93
Lampiran 10. Hasil Uji Normalitas 9
Series: Residuals Sample 1984 2007 Observations 24
8 7 6 5 4 3
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
0.001963 -0.001598 0.081323 -0.089414 0.038409 0.132503 3.360356
Jarque-Bera Probability
0.200085 0.904799
2 1 0 -0.10
-0.05
-0.00
0.05
0.10