1
INTEGRASI PASAR FISIK CRUDE PALM OIL DI INDONESIA, MALAYSIA DAN PASAR BERJANGKA DI ROTTERDAM
DIAN HAFIZAH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
2
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul : INTEGRASI PASAR FISIK CRUDE PALM OIL DI INDONESIA, MALAYSIA DAN PASAR BERJANGKA DI ROTTERDAM merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis saya sendiri dengan bimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan sumbernya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Agustus 2009
Dian Hafizah
H353070041
3
ABSTRACT DIAN HAFIZAH. Integration of Crude Palm Oil s Spot Market in Indonesia, Malaysia and Forward Market in Rotterdam (DEDI BUDIMAN HAKIM as Chairman and RATNA WINANDI as Member of The Advisory Committee). Currently, Rotterdam commodity market specifically for crude palm oil (CPO) is used for price reference when estimating its price movement. In contrast, despite the fact that Indonesia and Malaysia are mayor CPO exporters, CPO traders refers to spot market in determining their price. As a result, they face difficulties when price fluctuates sharply. Therefore, research on price or market integration for CPO will be useful to minimize the effect of price fluctuation. The objectives of research are: (1) to analyse price cointegration of CPO market, and (2) to formulate the policy implication of CPO price formation in Indonesia. Impulse response function and variance decomposition based on the vector errorcorrection model are analysed. The research showed that there is co-integration between three of market and Rotterdam as refferences. Indonesia act as price taker, this is because Indonesian goverment has no bargaining power to determine price of domestic market and international market. keywords: crude palm oil, vector error correction model, market integration
4
RINGKASAN DIAN HAFIZAH. Integrasi Pasar Fisik Crude Palm Oil di Indonesia, Malaysia dan Pasar Berjangka di Rotterdam. Dibimbing oleh DEDI BUDIMAN HAKIM dan RATNA WINANDI. Indonesia sebagai salah satu penghasil Crude Palm Oil (CPO) terbesar di dunia seharusnya memiliki kemampuan untuk mengontrol pergerakan CPO baik dalam hal jumlah ataupun harganya. Kenyataannya seperti pada produk pertanian lain, Indonesia belum mampu mengatasi berflutuasinya harga CPO dari waktu ke waktu. Akibat fluktuasi harga baik di pasar dunia maupun lokal ini maka akan menimbulkan resiko yaitu bila dilaksanakan langsung dengan penyerahan fisik (spot) maka akan terdapat resiko kerusakan fisik dan resiko penurunan nilai. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi terjadinya fluktuasi harga tersebut adalah dengan strategi pasar berjangka komoditi. Pasar berjangka ini memiliki manfaat sebagai lindung nilai (hedging) dan sebagai investasi. Praktek pemasaran pada pasar berjangka sudah banyak dilakukan terutama untuk produkproduk ekspor. Rotterdam yang merupakan pasar bagi CPO dunia sudah lazim menggunakan cara ini dalam proses transaksinya. Dari fakta yang ada maka timbul pertanyaan penelitian yaitu: bagaimana pergerakan harga di masingmasing pasar dan hubungan integrasi antar pasar dan bagaimana implikasinya terhadap kebijakan perdagangan CPO di Indonesia. Adapun tujuan penelitian ini dilakukan adalah untuk menganalisis kointegrasi antar variabel harga di masing-masing pasar CPO dan merumuskan implikasi kebijakan perdagangan CPO di Indonesia. Tujuan penelitian akan dijawab dengan metode ekonometrika yang dilengkapi dengan analisa deskriptif. Kerangka teoritis disusun berdasarkan teori yang ada dan penelitian terdahulu yang terkait. Model ekonometrika adalah Vector Error Correction Model (VECM). Setelah terbentuk model dilanjutkan dengan aplikasi model yaitu Impulse Response Function dan Forecast Error Decompotition Variance. Berdasarkan penelitian yang dilakukan maka didapatkan hasil bahwa dalam tingkat level terdapat tiga variabel yang stasioner yaitu Malaysia, Rotterdam dan Nilai Tukar Indonesia sedangkan tiga variabel lainnya tidak stasioner sehingga perlu dilakukan uji stasioner pada tingkat first difference dimana pada tingkat ini seluruh variabel sudah stasioner. Berdasarkan analisis kointegrasi maka didapatkan hasil terdapat satu kointegrasi artinya adalah terdapat hubungan atau keseimbangan dalam jangka penjang antarvariabel. Estimasi VECM dilakukan karena dalam jangka pendek terdapat ketidakseimbangan diantara variabel sehingga perlu dilakukan penyesuaian. Hasilnya adalah dalam jangka pendek Harga CPO Rotterdam dipengaruhi oleh Malaysia dan nilai tukarnya serta dirinya sendiri. Harga CPO Malaysia dipengaruhi oleh dirinya sendiri, nilai tukarnya, harga CPO Rotterdam dan Indonesia, nilai tukarnya dan harga minyak kedelai. Adapun Indonesia dalam jangka pendek dipengaruhi oleh harga CPO Rotterdam dan Malaysia serta nilai tukar Indonesia dan Malaysia. Kesimpulan dari penelitian adalah: (1) terdapat hubungan kointegrasi antara pasar forward Rotterdam, pasar spot Indonesia dan Malaysia, (2) berdasarkan analisis impulse response dapat disimpulkan bahwa pasar forward
5
Rotterdam merupakan pasar referensi atau pasar acuan bagi pasar spot Indonesia dan pasar spot Malaysia, artinya perubahan yang terjadi pada pasar Rotterdam akan menyebabkan pembentukan harga di pasar spot Indonesia dan Malaysia, (3) pembentukan harga di Indonesia selain dipengaruhi oleh pasar Rotterdam juga dipengaruhi oleh pasar spot Malaysia dengan sifat hubungan satu arah. Artinya Malaysia berpengaruh terhadap pembentukan harga di Indonesia namun Indonesia tidak berpengaruh dalam pembentukan harga di Malaysia, dan (4) untuk memperbaiki posisi tawar Indonesia maka salah satu strategi yang dapat dilakukan membangun bursa berjangka di Indonesia dan mengembangkan industri hilir dari minyak kelapa sawit. Saran yang direkomendasikan pada penelitian ini, untuk pelaksanaan kebijakan yang dilakukan pemerintah adalah perlu adanya konsolidasi produksi agar lebih mengefektifkan bursa berjangka dan meminimalkan biaya di bursa. Selain itu konsolidasi produksi juga penting untuk menjamin ketersediaan produk CPO untuk diperdagangkan di lantai bursa. kata kunci: minyak kelapa sawit, model koreksi kesalahan, integrasi pasar
6
@ Hak Cipta Milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
7
INTEGRASI PASAR FISIK CRUDE PALM OIL DI INDONESIA, MALAYSIA DAN PASAR BERJANGKA DI ROTTERDAM
DIAN HAFIZAH
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
8
Judul Tesis
: Integrasi Pasar Fisik Crude Palm Oil di Indonesia, Malaysia dan Pasar Berjangka di Rotterdam
Nama Mahasiswa
: Dian Hafizah
Nomor Pokok
: H353070041
Mayor
: Ilmu Ekonomi Pertanian
Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing
Dr.Ir.Dedi Budiman Hakim, M.Ec. Ketua
Dr.Ir.Ratna Winandi, M.S. Anggota
Mengetahui,
2. Koordinator Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian
3. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Prof.Dr.Ir.Bonar M. Sinaga, M.A.
Prof.Dr.Ir.Khairil A.Notodiputro, M.S.
Tanggal Ujian : 10 Juli 2009
Tanggal Lulus :
9
Penguji Luar Komisi Pembimbing : Dr.Ir. Harianto, M.S.
10
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya. Shalawat dan salam senantiasa terlimpah pada Rasulullah Muhammad SAW. Tesis dengan judul Integrasi Pasar Fisik Crude Palm Oil di Indonesia, Malaysia dan Pasar Berjangka di Rotterdam , merupakan salah satu prasyarat untuk menyelesaikan studi pascasarjana pada Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Tesis ini disusun dengan harapan memberikan informasi dan gambaran mengenai integrasi antarpasar CPO. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ketua Komisi Pembimbing Bapak Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec. dan Ibu Dr. Ir. Ratna Winandi, M.S., selaku anggota komisi pembimbing yang telah meluangkan waktu dan mengarahkan penulis dengan memberikan saran dan sumbangan pemikiran yang sangat membantu selama penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Harianto, M.S. selaku penguji luar komisi pembimbing yang telah memberikan kritik dan saran untuk perbaikan tesis ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada: 1.
Bapak Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, M.A. selaku Ketua Mayor dan seluruh staf pengajar yang telah memberikan bimbingan dan proses pembelajaran selama penulis kuliah di Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian.
2.
Seluruh Jajaran Pimpinan Kantor Pemasaran Bersama dan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi terkait dengan bantuan penelitian tesis, pencarian literatur dan data.
11
3.
Saudara-saudaraku yang kukasihi (Desriani S.Si. M.Si., dr. Rinal Effendi, Ade Sukma, S.Pt., dan Bagus Dermawan) atas dukungannya kepada penulis.
4.
Teman-teman EPN angkatan 2007 (Pak Adi, Mba Asri, Mba Desi, Bang Roni, Wanti, Mba Wiwiek, Mas Ambar, Feri, Fitri, Pak Narta, Pak Suryadi, Pak Zulkifli, Mba Ries, Roger dan Joseph).
5.
Seluruh Staf Program Studi EPN (Mba Rubi, Mba Yani, Mba Aam, Bu Kokom, Pak Husein) yang selalu sabar dan penuh pengertian.
6.
Teman teman serumah (Uni Tuti dan Wiwit) yang selalu bersedia meluangkan waktunya untuk mendengarkan seluruh masalah.
7.
Pihak-pihak lain yang namanya tidak bisa penulis sebutkan satu persatu namun telah banyak turut memberikan sumbang saran dan bantuan serta doa selama penulis kuliah di IPB. Secara khusus dan penuh rasa cinta dan hormat penulis mengucapkan
terima kasih yang tulus kepada Papa dr. H. Zulkifli Djamilah, Sp.P.D. dan Mama Dra. Hj. Darmawati yang selalu mendoakan keberhasilan penulis. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan guna perbaikan tesis ini dimasa mendatang. Semoga tesis ini dapat bermanfaat.
Bogor, Agustus 2009
Dian Hafizah
12
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Medan, Sumatera Utara pada tanggal 13 Desember 1983, sebagai anak ketiga dari lima bersaudara pasangan dr. H. Zulkifli Djamilah, Sp.P.D. dan Dra. Hj. Darmawati. Tahun 1994 penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN 11 Batusangkar, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Penulis melanjutkan studi di SMPN 1 Batusangkar dan menyelesaikan studi pada tahun 1997, kemudian melanjutkan ke SMAN 1 Batusangkar dan lulus pada tahun 2000. Pada tahun 2000 penulis diterima sebagai mahasiswa pada Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Andalas, Padang Sumatera Barat dan meraih gelar Sarjana Pertanian pada tahun 2005. April 2006 penulis diangkat menjadi menjadi staf pengajar di Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat. Pada tahun 2007 penulis melanjutkan S2 di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, dengan sponsor Beasiswa Program Pascasarjana (BPPS) dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
13
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ..................................................................................
xiv
DAFTAR GAMBAR .............................................................................
xv
DAFTAR LAMPIRAN .........................................................................
xvi
I. PENDAHULUAN ..................................................................................
1
1.1. Latar Belakang ...............................................................................
1
1.2. Rumusan Masalah ..........................................................................
4
1.3. Tujuan Penelitian............................................................................
10
1.4. Ruang Lingkup Penelitian ..............................................................
10
1.5. Keterbatasan Penelitian ..................................................................
11
II. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................
12
2.1. Konsep Integrasi Pasar ...................................................................
12
2.2. Konsep Persaingan Sempurna ........................................................
18
2.3. Konsep Pasar Berjangka.................................................................
20
2.4. Model Analisis dengan Pendekatan Vector Autoregression ..........
31
2.5. Tinjauan Penelitian Terdahulu .......................................................
37
III. METODE PENELITIAN .....................................................................
45
3.1. Kerangka Pemikiran .......................................................................
45
3.2. Jenis dan Sumber Data ...................................................................
47
3.3. Metode Analisis Data .....................................................................
48
3.2.1. Uji Stasionaritas ................................................................
48
3.2.2. Uji Kointegrasi ...................................................................
51
3.2.3. Impulse Response Function ................................................
53
3.2.4. Forecast Error Variance Decomposition ...........................
54
3.4 Defenisi Operasional ......................................................................
55
14
IV. GAMBARAN UMUM PERKEMBANGAN MINYAK SAWIT INDONESIA DAN DUNIA ..................................................................
57
4.1. Sejarah Pengembangan Kelapa Sawit di Indonesia .......................
57
4.2. Permintaan Crude Palm Oil ...........................................................
59
4.3. Produksi Crude Palm Oil ...............................................................
61
4.4 Kondisi Pasar Crude Palm Oil .......................................................
63
4.4.1. Indonesia ...........................................................................
63
4.4.2. Malaysia .............................................................................
66
4.4.3. Rotterdam ...........................................................................
68
4.5. Kebijakan Perdagangan Crude Palm Oil .......................................
69
4.6. Harga Crude Palm Oil Indonesia ...................................................
76
HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................
79
5.1. Integrasi Pasar Crude Palm Oil ......................................................
79
5.2. Analisis Data Deret Waktu .............................................................
80
5.2.1. Uji Stasionaritas ................................................................
81
5.2.2. Tingkat Selang Optimal .....................................................
85
5.2.3. Pengujian Stabilitas Vector Autoregression .......................
86
5.2.4. Analisis Kointegrasi ...........................................................
87
5.2.5. Vector Error Correction Model .........................................
89
5.2.6. Impulse response ................................................................
93
5.2.7. Forecast Error Variance Decomposition ...........................
98
VI. IMPLIKASI KEBIJAKAN ..................................................................
101
6.1. Hubungan Harga Crude Palm Oil Indonesia dan Rotterdam .........
101
6.2. Hubungan Harga Crude Palm Oil Indonesia dan Malaysia ...........
102
6.3. Hubungan Harga Crude Palm Oil Malaysia dan Rotterdam ..........
103
6.4. Implikasi Kebijakan Pembentukan Harga Crude Palm Oil Indonesia ........................................................................................
103
VII. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................
109
7.1. Kesimpulan ....................................................................................
109
V.
15
7.2. Saran ............................................................................................
110
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................
111
LAMPIRAN ..........................................................................................
114
16
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1.
Luas Areal Pertanaman Kelapa Sawit di Indonesia .........................
59
2.
Perkembangan Produksi Crude Palm Oil Indonesia dan Dunia Periode Tahun 2000-2007 dan Proyeksi 2008 ...............
62
Perkembangan Ekspor Crude Palm Oil Indonesia Tahun 2000-2006 ........................................................................................
64
Ekspor Crude Palm Oil Indonesia Berdasarkan Negara Tujuan Tahun 2003-2007.................................................................
65
Ekspor Crude Palm Oil Malaysia Berdasarkan Negara Tujuan Tahun 2003-2007.................................................................
67
Jumlah Impor Crude Palm Oil Rotterdam Berdasarkan Negara Asal.....................................................................................
68
Ekspor Crude Palm Oil Rotterdam Berdasarkan Negara Tujuan Tahun 2003-2007 ................................................................
69
Perkembangan Perubahan Pajak Ekspor dan Harga Patokan Ekspor untuk Tahun 2007-2008 ......................................
73
9.
Hasil Pengujian Akar Unit Tingkat Level .......................................
82
10.
Hasil Pengujian Akar Unit Tingkat First Difference .......................
83
11.
Panjang Selang Optimum Berdasarkan Beberapa Kriteria ..............
85
12.
Nilai Adj R2 Variabel Rotterdam, Malaysia, Indonesia dan Minyak Kedelai Pada kandidat Selang Optimal .......................
86
VAR Stability Condition Check .......................................................
87
14. Rangkuman Hasil Uji Kointegrasi Johansen ...................................
89
3.
4.
5.
6.
7.
8.
13.
17
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1. Harga Bulanan Crude Palm Oil di Pasar Spot Indonesia, Malaysia dan di Pasar Forward Rotterdam .....................................
9
2. Model Keseimbangan Spasial Dua Kawasan ....................................
14
3. Model Perdagangan Pasar A dan Pasar B .........................................
17
4. Model Pendekatan Integrasi Pasar Crude Palm Oil ........................
47
5. Pergerakan Harga Crude Palm Oil Indonesia Januari 2000-November 2008 ...........................................................
76
6. Pertumbuhan Harga Crude Palm Oil Indonesia Januari 2000 November 2008 ..........................................................
77
7. Grafik Impulse Response dari Nilai Logaritma Harga Crude Palm Oil Rotterdam terhadap Variabel Lain ........................
94
8. Grafik Impulse Response dari Nilai Logaritma Harga Malaysia terhadap Variabel Lain ......................................................
95
9. Grafik Impulse Response dari Nilai Logaritma Harga Crude Palm Oil Rotterdam terhadap Variabel Lain .........................
96
10. Grafik Impulse Response dari Nilai Logaritma Harga Minyak Kedelai terhadap Variabel Lain ...........................................
97
18
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1. Summary Johansen Test.....................................................................
115
2. Johansen Test .....................................................................................
116
3. Analisis VECM ..................................................................................
117
4. Analisis Impulse Response.................................................................
119
5. Analisis Variance Decomposition .....................................................
120
19
I. PENDAHULUAN
1. 1. Latar Belakang Crude Palm Oil (CPO) memiliki beragam produk yang dapat dikembangkan. Produk turunan dari CPO biasanya digunakan untuk produk pangan antara lain digunakan untuk pembuatan margarin, bahan pengganti lemak coklat pada es krim dan juga untuk pembuatan minyak goreng. CPO pada industri oleokimia digunakan sebagai bahan baku bagi produk farmasi, kosmetika, plastik, minyak pelumas, lilin dan sabun. Seiring dengan meningkatnya harga minyak bumi dunia, CPO juga dijadikan sebagai alternatif bahan bakar. Keunggulan yang dimiliki oleh CPO antara lain memiliki sifat antioksidan dan bebas lemak jenuh. CPO kaya akan vitamin A dan E yang dapat mengurangi resiko penyakit jantung dan kanker. Produktifitas minyak dari tanaman kelapa sawit tinggi setelah kedelai bila dibandingkan dari minyak nabati lainnya sehingga dapat diproduksi dengan biaya yang relatif lebih rendah (Buana, 2004). Permintaan CPO baik dalam maupun luar negeri terus meningkat dari waktu ke waktu, hal ini dikarenakan banyaknya manfaat dan keunggulan CPO seperti yang telah dipaparkan. Menurut Oil World pada tahun 2003 konsumsi dunia mencapai 123.95 juta ton dan pada tahun 2007 mencapai 153.84 juta ton dengan rata-rata pertumbuhan 4.78 persen per tahunnya. Peranan CPO di dalam negeri sendiri tidak kalah penting dimana CPO banyak digunakan sebagai bahan baku pembuatan minyak goreng. Konsumsi minyak goreng untuk Indonesia sendiri terus mengalami peningkatan, konsumsi per kapita sebesar16.5 kg per orang dan khusus untuk minyak goreng sawit sebesar 12.7 kg per orang. Tahun
20
2005 konsumsi minyak goreng Indonesia 6 juta ton dan 83.3 persen dari jumlah tersebut untuk penggunaan minyak goreng sawit. Tahun 2008 total konsumsi CPO untuk keperluan pembuatan minyak goreng dalam negeri setara dengan 24.9 persen dari produksi CPO nasional. Permintaan baik di dalam negeri maupun luar negeri itu merupakan peluang bagi Indonesia dalam melakukan pengembangan untuk peningkatan produksi CPO ke depannya. Sebagai salah satu penghasil CPO terbesar di dunia, Indonesia seharusnya memiliki kemampuan untuk mengontrol pergerakan CPO baik dalam hal jumlah ataupun harganya. Kenyataannya Indonesia belum mampu mengatasi berflutuasinya harga CPO dari waktu ke waktu. Adapun fluktuasi harga terjadi akibat berbagai faktor seperti cuaca, kondisi ekonomi dan politik suatu negara, distribusi, faktor permintaan dan penawaran. Liberalisasi dan globalisasi juga membuat harga akan lebih fluktuatif sehingga informasi harga yang cepat dan akurat merupakan suatu keharusan dan hal ini belum dapat diakses sepenuhnya oleh pelaku pasar di Indonesia (Syafii, 2002). Akibat kegiatan pemasaran yang dilakukan pelaku pasar dalam hal ini produsen akan memberikan nilai tambah pada produk. Salah satu dari fungsi pemasaran yang dilakukannya adalah menambah nilai kegunaan waktu produk. Seorang produsen CPO harus mampu memperkirakan dan menganalisis berapa jumlah produk yang dibutuhkan oleh konsumen. Produsen akan mendapatkan peningkatan nilai tambah produk jika mampu memanfaatkan nilai kegunaan waktu. Artinya produsen harus mampu menyediakan produk yang diinginkan konsumen berbeda waktunya dengan saat panen. Terdapat dua jenis resiko terkait kegunaan waktu yaitu terdapat resiko kerusakan produk dan resiko penurunan
21
nilai. Resiko kerusakan produk antara lain adanya bencana alam atau kegagalan panen. Resiko penurunan nilai contohnya turunnya kualitas karena proses penyimpanan atau transportasi dan karena adanya perubahan harga yang tiba-tiba. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi terjadinya fluktuasi harga tersebut adalah sistem pasar berjangka komoditi. Transaksi yang terjadi pada pasar berjangka akan memberikan kejelasan berapa volume yang harus dihasilkan oleh produsen sehingga memberikan gambaran jumlah faktor produksi yang diperlukan untuk menghasilkan sejumlah produk yang diinginkan pasar. Pengetahuan produsen tentang kepastian jumlah produk yang harus dihasilkan akan membantu untuk meminimalkan resiko rendahnya harga karena kelebihan penawaran. Pelaku pasar di Rotterdam yang merupakan pasar bagi CPO dunia sudah lazim menggunakan pasar berjangka untuk memperjualbelikan komoditinya. Di Indonesia sebenarnya sudah terdapat wadah untuk melakukan praktek forward dengan dibentuknya Pasar Berjangka Komoditi dengan diterbitkannya UndangUndang nomor 32 tahun 1997 sebagai landasan hukum untuk perdagangan berjangka komoditi tetapi bursa berjangka ini tidak memperdagangkan CPO. Satu-satunya pelaksanaan transaksi CPO di Indonesia dilakukan dengan penyerahan barang langsung (fisik) atau disebut juga dengan transaksi secara spot. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengukur dan menganalisis seberapa erat keterkaitan pembentukan harga CPO antara pasar domestik Indonesia yang dilaksanakan dengan proses spot sebagai satu-satunya cara transaksi yang dilakukan di Indonesia, dengan pasar dunia di Rotterdam yang dilaksanakan dengan transaksi forward. Selain dua variabel harga di Indonesia dan Rotterdam,
22
penelitian ini dalam menganalisis proses pembentukan harga CPO juga mempertimbangkan pengaruh dari harga domestik Malaysia yang merupakan pesaing Indonesia baik dalam hal produksi maupun pangsa ekspor. Selain itu penelitian ini mempertimbangkan harga komoditi lain yang mempengaruhi harga CPO yaitu harga minyak kedelai serta melibatkan nilai tukar rupiah terhadap dolar karena perbedaan mata uang antara transaksi yang dilakukan di Indonesia dan di Rotterdam.
1.2.
Rumusan Masalah Kelapa sawit memiliki peranan penting dalam perekonomian negara.
Tahun 2007 perkebunan kelapa sawit mampu menyerap tenaga kerja langsung sebesar 3.3 juta kepala keluarga dan pengembangan kelapa sawit juga mendorong pengembangan wilayah. Perkebunan kelapa sawit memiliki makna strategis bagi perluasan lapangan kerja dan kesejahteraan petani dimana kebun seluas 10 000 hektar dapat menyerap tenaga kerja sekitar 3 000 orang. Sementara untuk investasi
yang
sama
pembangunan
pabrik
pengolah
(produk
turunan)
membutuhkan tenaga kerja sebanyak 140 orang (Buana, 2004). Komoditi CPO seperti umumnya produk pertanian lainnya memiliki beberapa permasalahan terkait dengan pemasarannya salah satunya adalah harga yang berfluktuasi dari waktu ke waktu. Perubahan harga yang selalu berfluktuasi membuat pelaku pasar dalam hal ini produsen tidak dapat memprediksi apakah nantinya akan menerima harga yang tinggi atau merugi karena harga jatuh di pasaran. Harga yang terjadi, akan mempengaruhi keputusan-keputusan yang diambil sekarang. Meninjau dari sisi pembeli atau konsumen terdapat resiko
23
akibat harga yang berfluktuasi antara lain berhentinya produksi akibat tidak tersedianya bahan baku atau harga bahan baku yang terlalu tinggi. Stok yang berlebihan akan menyebabkan kerugian dari segi biaya gudang dan adanya resiko kerusakan dan penurunan kualitas barang. Potensi kerugian yang ditimbulkan oleh fluktuasi harga itu membutuhkan suatu penanganan khusus agar dapat diminimalisir. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dalam bentuk ketersediaan informasi yang mampu memprediksi mengenai penawaran dan permintaan di masa yang akan datang yang dapat diakses tanpa hambatan, sehingga harga komoditi dimasa yang akan datang dapat diramalkan dan pelaku kegiatan agribisnis dapat merencanakan pengembangan usahanya ke depan. Selain itu resiko fluktuasi harga dapat dialihkan pada pihak-pihak yang memang bersedia dan mengambil keuntungan dari harga yang terjadi dalam hal ini ditanggung oleh spekulan. Berdasarkan kepentingan negara Indonesia sendiri, manajemen harga komoditi pertanian untuk mengendalikan dan mengatasi fluktuasi harga juga harus mendapatkan perhatian yang serius oleh negara. Hal ini penting untuk dilakukan karena akan sangat berpengaruh pada perekonomian. Pada negara berkembang CPO adalah salah satu penyumbang devisa terbanyak sehingga dengan adanya fluktuasi harga akan mempengaruhi penerimaan fiskal, pengeluaran dan pada akhirnya akan mempengaruhi ekonomi. Kondisi pasar CPO yang khas menyebabkan berkembangnya suatu sarana manajemen resiko yang disebut dengan bursa berjangka (forward). Manfaat dengan adanya bursa berjangka adalah tempat pembentukan harga dengan mekanisme perdagangan yang wajar dan transparan. Pasar berjangka ini memiliki
24
manfaat sebagai lindung nilai (hedging) dan sebagai investasi. Informasiinformasi mengenai historis harga dan informasi lainnya disajikan secara transparan dan dapat diakses oleh siapa saja sehingga pelaku pasar dapat memprediksikan harga di masa yang akan datang dengan akurat. Melalui bursa berjangka pelaku pasar dapat terhindarkan dari asymmetry information (Syafii, 2002). Sekarang ini terdapat dua cara yang umum dilakukan dalam pemasaran CPO antara lain dengan pelaksanaan secara spot biasa dilakukan untuk transaksi lokal (domestik) baik itu di Indonesia dan Malaysia serta pelaksanaan transaksi secara forward. Adapun transaksi yang dilakukan di Rotterdam secara umum banyak dilakukan dengan transaksi secara forward. Pelaksanaan pemasaran CPO dengan cara spot di Indonesia (lokal), Malaysia dan forward di Rotterdam (internasional) ini apabila dilihat sepintas sepertinya berdiri sendiri-sendiri, namun apabila dilihat lebih lanjut antara ketiganya memiliki keterkaitan dalam penentuan harga pada masing-masing pasar. Secara empiris harga yang terbentuk di pasar forward Rotterdam dan yang terbentuk di Malaysia digunakan sebagai salah satu bahan pertimbangan bagi penjual dan pembeli CPO untuk memberikan penawaran harga di pasar spot Indonesia. Berdasarkan informasi tersebut barulah kemudian harga di pasar Indonesia terbentuk. Begitu pula sebaliknya pembentukan harga di pasar forward bukan hanya ditentukan oleh pelaku pasar yang langsung terlibat di pasar Rotterdam saja namun juga mempertimbangkan harga di negara produsen. Bila dijelaskan lebih lanjut harga transaksi forward ditentukan oleh pelaku pasar, masing-masingnya sudah mendapatkan informasi yang jelas mengenai harga di
25
pasar spot. Pembentukan harga di pasar forward terjadi karena adanya informasi terkini mengenai jumlah pasokan dan permintaan di saat ini (spot) untuk kemudian diprediksikan di saat yang akan datang (forward). Pembentukan harga di pasar spot juga tergantung pada informasi tentang permintaan yang telah terbentuk pada sistem forward. Apabila pada saat ini permintaan yang dilakukan sebelumnya (saat forward) meningkat maka harga saat ini (spot) juga akan meningkat. Pelaksanaan mekanisme hedging pada pasar berjangka adalah para pelaku selalu melakukan dua transaksi sekaligus. Pelaksanaannya dapat dilakukan pada pasar pertama menggunakan transaksi spot dan menjual produk di pasar kedua dengan menggunakan transaksi forward atau sebaliknya. Imbas dari pengambilan keputusan dengan cara ini adalah kerugian yang mungkin timbul akibat fluktuasi harga di pasar spot akan tertutupi dengan keuntungan akibat harga yang lebih stabil di transaksi forward dan sebaliknya. Menurut Buana (2004), dalam menetapkan harga CPO ada beberapa faktor yang mempengaruhi pembentukan harga. Dari sisi penawaran faktor yang berpengaruh yaitu: (1) produksi CPO yang ditawarkan dimana faktor ini dipengaruhi lagi oleh luas areal tanam, penggunaan peralatan tanam (planting material) serta iklim dari daerah kebun kelapa sawit itu sendiri, dan (2) produksi subtitusi dari CPO (seed oil) yang dipengaruhi oleh iklim dan harga sebelumnya. Pada pasar dunia, CPO bersaing dengan minyak nabati lainnya terutama minyak kedelai dan minyak biji lobak sehingga perubahan pada produksi maupun permintaan pada salah satu minyak akan mempengaruhi harga minyak lainnya.
26
Harga CPO dilihat dari sisi permintaan dipengaruhi oleh dua kelompok yaitu untuk keperluan minyak makan (oleopangan) dan nonpangan (oleokimia). Permintaan untuk pangan ditentukan oleh populasi dan konsumsi per kapita. Semakin banyak populasi penduduk maka akan makin banyak permintaan CPO untuk kebutuhan pangan. Konsumsi per kapita ditentukan oleh daya beli, makin makmur suatu negara makin tinggi konsumsi per kapitanya. Lebih lanjut Buana menunjukkan bahwa maksimum konsumsi per kapita berbeda dari satu etnik ke etnik lainnya dengan rasio minyak nabati-minyak hewani yang berbeda pula. Masalah kesehatan juga merangsang pengurangan konsumsi lemak hewani dan menggantikannya dengan minyak nabati. Permintaan untuk nonpangan dipengaruhi oleh isu lingkungan, energi dan teknologi. Jepang misalnya, dalam waktu dekat akan mengharuskan penggunaan energi yang terbarui. Salah satu sumber yang potensial adalah biodiesel yang dapat berasal dari minyak sawit maupun minyak nabati lainnya. Apabila hal tersebut diberlakukan, maka permintaan minyak sawit diperkirakan akan meningkat tajam yang akan membentuk keseimbangan harga yang baru. Trend harga CPO dari masing-masing pasar di spot Indonesia, Malaysia dan forward Rotterdam dapat dilihat pada Gambar 1 yang memperlihatkan pergerakan harga di pasar spot Indonesia, Malaysia dan pasar forward Rotterdam. Secara visual harga yang terjadi di ketiga pasar memiliki pergerakan yang hampir sama. Berdasarkan bentuk grafik maka terdapat kecenderungan kenaikan harga dari waktu ke waktu. Terutama kenaikan yang meningkat cepat adalah dimulai dari awal tahun 2006 hingga awal 2008 dan kemudian setelah kenaikan yang cepat diikuti pula dengan penurunan yang tajam hingga diakhir 2008.
27
Sumber: Badan Pengawas Perdagangan Pasar Berjangka (Bappepti), Tahun 2000 2008 (diolah) Gambar 1. Harga Bulanan CPO di Pasar Spot Indonesia, Malaysia dan di Pasar Forward Rotterdam
Kenaikan yang meningkat drastis di awal 2006 terjadi karena mengikuti pergerakan kenaikan harga minyak bumi dunia yang disebabkan karena negaranegara penghasil minyak bumi membatasi produksi minyak mereka sedangkan permintaan dunia naik karena negara-negara di utara menghadapi musim dingin. Akibat minyak bumi yang meningkat maka orang mulai mencari alternatif untuk menggantikan fungsinya antara lain dengan menjadikan CPO sebagai sumber dari biofuel sehingga harga CPO menjadi meningkat. Selain itu dalam pengolahannya maka CPO membutuhkan minyak bumi sebagai bahan bakar untuk beroperasi,
28
sehingga seiring dengan kenaikan minyak bumi maka biaya untuk memproduksi CPO juga meningkat. Peningkatan harga CPO mencapai puncaknya pada awal 2008 yang kemudian diikuti dengan penurunan harga CPO secara tajam. Hal ini merupakan imbas dari krisis di Amerika yang kemudian merambat menjadi krisis global sehingga perekonomian dunia menjadi lesu. Tak terkecuali untuk komoditi CPO baik internasional (Rotterdam dan Malaysia) maupun di dalam negeri. Berdasarkan penjelasan akan pergerakan harga yang terjadi di ketiga pasar CPO tersebut maka timbul pertanyaan penelitian yaitu : 1. Bagaimana pergerakan harga CPO di masing-masing pasar spot Indonesia, Malaysia dan pasar forward Rotterdam serta hubungan integrasi antarpasar? 2. Bagaimana implikasinya terhadap kebijakan CPO di Indonesia?
1.3.
Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini dilakukan adalah untuk:
1. Menganalisis integrasi pasar di Indonesia, Malaysia dan Kota Rotterdam. 2. Merumuskan implikasi kebijakan Pembentukan Harga CPO di Indonesia.
1.4.
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian yang dilakukan meliputi keterpaduan harga yang terjadi antara
transaksi yang dilakukan dengan spot di Indonesia dan Malaysia serta yang dilakukan dengan forward di Rotterdam. Komoditi yang menjadi objek penelitian adalah komoditi CPO yang merupakan komoditi ekspor Indonesia.
29
1.5. Keterbatasan Penelitian 1. Data harga CPO domestik adalah harga CPO di pasar spot Medan dan didapatkan dari data yang dikumpulkan oleh Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) begitu pula dengan data harga CPO di Rotterdam adalah merupakan harga yang terbentuk di pasar forward yang dikumpulkan oleh Bappepti. 2. Harga CPO domestik Malaysia diasumsikan adalah harga yang terbentuk melalui transaksi spot. Data harga domestik Malaysia ini didapatkan dari International Financial Statistics yang dikeluarkan oleh IMF. 3. Penelitian ini tidak mengkaji pengaruh faktor-faktor nonharga terhadap integrasi antarpasar CPO.
30
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep Integrasi Pasar Konsep teori dari integrasi pasar adalah hukum satu harga untuk seluruh pasar, dimana diasumsikan apabila tidak ada biaya transaksi, komoditi yang sama pada pasar yang berbeda akan memiliki harga yang sama pula. Lebih lanjut dijelaskan, jika suatu barang diperdagangkan pada dua harga yang berbeda orangorang akan memilih untuk membeli pada pasar yang menjual barang dengan harga terendah dan produsen akan mencoba menjual barang pada pasar yang menjual barang dengan harga tertinggi. Akibatnya seiring dengan naiknya permintaan harga akan naik namun pada pasar yang sebelumnya memiliki harga yang tinggi seiring dengan naiknya penawaran harga akan turun sehingga tindakan ini membuat harga antarpasar menjadi sama (Nicholson, 2000). Integrasi pasar dapat juga dipahami dari dua aspek yaitu integrasi vertikal dan integrasi horizontal. Konsep yang pertama dipahami sebagai integrasi industri yang mencerminkan sifat dari agribisnis. Integrasi pasar vertikal menunjukkan perubahan harga di suatu pasar akan direfleksikan pada perubahan harga di pasar lain secara vertikal dalam produk yang sama. Integrasi vertikal adalah keterkaitan hubungan antara suatu lembaga pemasaran dengan lembaga pemasaran lainnya dalam suatu rantai pemasaran (Suparmin, 2005 dalam Irawan dan Rosmayanti, 2007). Pengertian integrasi atau keterpaduan pasar juga dapat dipahami sebagai sampai seberapa jauh pembentukan harga suatu komoditas pada suatu tingkat lembaga pemasaran tertentu dipengaruhi oleh harga di tingkat lembaga pemasaran
31
lainnya. Dalam suatu sistem pasar terpadu yang efisien akan terlihat adanya korelasi yang tinggi sepanjang waktu dari beberapa pasar (Heytens, 1986). Konsep yang kedua adalah integrasi yang didalamnya termasuk integrasi pasar spasial, integrasi pasar temporal, integrasi harga silang dan integrasi silang bentuk produk. Integrasi pasar silang mencerminkan efek perubahan harga di satu tingkat pemasaran terhadap harga pada tingkat di atasnya misalnya perubahan harga di tingkat petani akan mempengaruhi harga di tingkat pedagang. Integrasi dikatakan terjadi apabila terdapat kondisi harga di tingkat selanjutnya sama dengan harga ditingkat sekarang ditambah dengan biaya pemasaran. Integrasi pasar temporal mencerminkan pengaruh dari perubahan harga di waktu sekarang terhadap harga di waktu yang akan datang. Integrasi silang bentuk produk mencerminkan pengaruh perubahan harga pada satu produk terhadap harga produk turunannya. Integrasi pasar spasial merupakan tingkat keterkaitan hubungan antara pasar regional dan pasar regional lainnya. Integrasi pasar spasial mencerminkan efek dari perubahan harga pada satu pasar terhadap pasar lainnya dimana hal ini diasumsikan pada integrasi sempurna dengan dua daerah yang berbeda. Dua pasar dikatakan terintegrasi apabila perubahan harga pada satu pasar akan mempengaruhi harga pasar lainnya dengan arah yang sama dan tingkat yang sama pula. Integrasi pasar spasial digambarkan sebagai hubungan harga dari pasarpasar yang terpisah secara geografis. Konsep ini diterangkan dengan menggunakan model keseimbangan spasial (spatial equilibrium model). Model ini dikembangkan dengan menggunakan kurva kelebihan penawaran (excess supply)
32
dan kelebihan permintaan (excess demand) pada dua wilayah yang melakukan perdagangan. Harga yang terbentuk pada masing-masing pasar dan jumlah komoditi yang diperdagangkan dapat diduga melalui model keseimbangan parsial (Tomek dan Robinson, 1990). Prinsip yang digunakan untuk mengembangkan model perdagangan antar daerah digambarkan dengan bantuan diagram yang menunjukkan fungsi penawaran dan permintaan dari masing-masing pasar seperti yang terlihat pada Gambar 2. SB
Harga
Harga
SA
ES
P2 a
b
c
d
P1 ED
P1 DB
DA 0 Jumlah
0
a. Pasar A: Surplus
Jumlah b. Pasar B: Defisit
Sumber: Tomek dan Robinson, 1990 Gambar 2. Model Keseimbangan Spasial Dua Kawasan
Analisis pasar dibagi dalam dua kategori antara lain pasar yang memiliki potensi surplus dan pasar yang berpotensi defisit. Misalkan pada pasar A adalah pasar yang berpotensi surplus dan pasar B adalah pasar yang berpotensi defisit, dari Gambar 2 dapat dilihat bahwa pasar A tidak ada perdagangan maka harga
33
yang terbentuk adalah P1 di Pasar A dan P2 di pasar B dimana P1
34
Ada beberapa alasan kenapa suatu kawasan atau negara tidak terbuka untuk dimasuki oleh pelaku pasar dari kawasan lain, salah satunya karena pemerintah negara tersebut menciptakan pembatas atau hambatan dalam perdagangan, sehingga pelaku pasar tidak dapat keluar masuk pasar dengan bebas. Hambatan perdagangan yang umum diterapkan oleh pemerintah suatu negara dalam bentuk hambatan tarif maupun nontarif. Hambatan tarif adalah dalam bentuk pajak, sedangkan hambatan nontarif misalnya dalam bentuk ketentuan ketentuan yang harus dipenuhi oleh pelaku pasar. Hambatan yang diterapkan itu akan meningkatkan biaya transfer sehingga perdagangan akan terus berlangsung sampai biaya transfer sama dengan selisih harga atau bahkan melebihi. Jika hal ini terjadi maka pelaku pasar tidak akan memperoleh keuntungan melakukan perdagangan antarpasar. Akibatnya transfer kelebihan permintaan maupun kelebihan penawaran tidak akan terjadi dan harga akan bergerak secara individu pada masing-masing pasar. Asumsi kedua yang harus dipenuhi adalah tidak terdapat biaya transaksi yang terjadi di masing-masing pasar. Informasi dapat diakses oleh seluruh pelaku pasar dengan baik sehingga dapat digunakan seluruhnya untuk memprediksikan harga di masa depan. Perubahan harga yang terjadi di salah satu pasar (Pasar A dan Pasar B) akan ditransmisikan dengan sempurna dalam waktu yang singkat. Sesuai dengan Gambar 2 maka dengan adanya informasi harga yang dapat diakses oleh seluruh pihak dapat dijelaskan dengan melihat seberapa besar persentase perubahan harga di Pasar A menyebabkan persentase perubahan pula di Pasar B dan sebaliknya. Perbaikan arus informasi menyebabkan perubahan harga pada satu pasar akan langsung ditransmisikan dengan sempurna, besarnya
35
nilai
( P1'
P1 )
'
P1 ) atau dengan kata lain adalah persentase perubahan
( P2
harga di Pasar A akan sama dengan persentase perubahan harga di Pasar B.
Harga (P) Transfer Biaya (TC) PB1
Excess Supply di pasar 1 (ESA)
PEB2 PE PEA2
Excess Demand di pasar 2 (EDB)
PA1 PB1-PA1 x
TC
y 0
QE2
QE1
Komoditi (Q)
Sumber: Tomek dan Robinson, 1990 Gambar 3. Model Perdagangan Pasar A dan Pasar B
Kurva excess supply dan excess demand dapat berubah searah dengan perubahan kekuatan penawaran dan permintaan pada masing-masing pasar. Berdasarkan Gambar 3 jika tidak ada biaya transfer antarpasar (A dan B) maka total unit komoditi yang akan ditransfer dari pasar A ke pasar B sebesar OQE1 dengan tingkat harga yang sama antara keduanya yaitu sebesar OPE. Volume perdagangan antarkedua pasar akan semakin menurun dengan adanya biaya transfer. Jika biaya transfer lebih besar dari PB1 PA1 maka tidak akan ada perdagangan antara keduanya. Pada kasus ini permintaan dan penawaran akan
36
sama antarkedua daerah sedangkan perbedaan harga akan semakin kecil dibandingkan biaya transfer. Efek perubahan biaya transfer yang terjadi antardua pasar (A dan B) dapat dijelaskan dengan membangun garis volume perdagangan (xy). Pada garis ini dapat dilihat apabila biaya transfer yang terjadi sebesar nol maka perdagangan akan maksimum dan sebaliknya bila biaya transfernya adalah sebesar PB1 PA1 maka tidak akan terjadi perdagangan. Perdagangan yang terjadi akan menyebabkan harga komoditi di pasar A akan naik menjadi OPEB2 dan di pasar B akan turun menjadi OPEA2. Keterangan tersebut menjelaskan bahwa perubahan harga di suatu pasar akibat perubahan kekuatan pasar akan menyebabkan perubahan harga di pasar lain yang melakukan perdagangan dengan pasar tersebut. Hal ini menunjukkan adanya integrasi pasar antara kedua daerah yang melakukan perdagangan. Integrasi pasar vertikal digunakan untuk melihat tingkat keeratan hubungan antarsuatu lembaga pemasaran dengan lembaga pemasaran lainnya dalam suatu rantai pemasaran. Integrasi pasar vertikal dipengaruhi oleh penyebaran informasi harga yang merata ke seluruh lembaga pemasaran (produsen grosir retail-konsumen). Apabila informasi tersebut tidak tersebar secara sempurna sampai ke konsumen maka harga yang terbentuk di pasar tidak menunjukkan adanya integrasi pasar vertikal yang baik.
2.2.
Konsep Persaingan Sempurna Pasar adalah suatu institusi atau badan yang menjalankan aktivitas jual beli
barang dan jasa (Sugiarto, 2002). Adapun pengertian pasar secara definisi
37
ekonomi menurut Dahl dan Hammond (1977) adalah ruang atau dimensi tempat bekerjanya penawaran dan permintaan dengan kekuatannya masing-masing, sehingga mampu menentukan dan mengubah harga. Sebuah konsep pasar yang ideal didefinisikan sebagai suatu pasar dimana kompetisi yang terjadi mencerminkan pasar persaingan sempurna. Adapun ciri dari pasar persaingan sempurna adalah komoditas yang diperjualbelikan adalah sama dengan jumlah pembeli dan penjual yang sangat banyak, indikasi dari barang yang sama ini adalah semua pelaku pasar bertindak sebagai penerima harga, tidak ada satu pihak pun yang mampu merubah harga keseimbangan yang terjadi. Harga terbentuk sepenuhnya karena proses tarik menarik antara kurva permintaan dan penawaran. Seluruh pelaku pasar bebas untuk berusaha dan pihak satu tidak dapat mempengaruhi keputusan pelaku lainnya. Ciri penting lainnya dari pasar persaingan sempurna adalah masingmasing pihak yang terlibat dalam pasar memiliki pengetahuan yang sempurna mengenai harga. Akibatnya harga yang berlaku di pasar tidak bisa dipengaruhi oleh salah satu pihak saja dan pelaku pasar adalah price taker. Akibat banyaknya pelaku pasar maka hambatan pasar tidak ada dan pembeli maupun penjual dapat dengan mudah untuk keluar masuk pasar. Tanpa adanya informasi yang jelas mengenai kualitas dan harga suatu barang maka akan mengurangi ketepatan pelaku pasar dalam mengambil suatu keputusan. Berdasarkan perbedaan penguasaan informasi yang ada antarpelaku pelaku pasar akan menimbulkan pergerakan ke arah kombinasi keseimbangan antara harga dan kuantitas namun dengan kecepatan penyesuaian yang berbeda antara harga dan kuantitas. Penjelasan dari adanya jeda waktu untuk mencapai
38
keseimbangan karena adanya biaya transaksi. Biaya ini dikeluarkan oleh pelaku pasar untuk mendapatkan informasi contohnya, produsen akibat tidak mengetahui seberapa besar permintaan terhadap produk yang akan dihasilkan maka mereka harus mengeluarkan biaya untuk pemeliharaan dan penyesuaian stok (Nicholson, 2000). Pada pasar berjangka informasi antara lain tentang harga dan volume dapat diakses sepenuhnya oleh para pelaku pasar sehingga masing-masing dapat mengambil keputusan berdasarkan informasi yang tepat. Membaiknya arus informasi yang berhubungan dengan harga, produksi, konsumsi, volume perdagangan dan juga perkiraan (ekspektasi) pasar, membuat pasar berjangka lebih transparan dan bersaing (competitive). Semakin banyak informasi tentang pasar diketahui orang, akan membuat mereka semakin mampu mengantisipasi pembentukan harga di pasar. Menurut suatu hasil studi yang dilakukan oleh Bappebti tentang pasar berjangka ternyata bahwa pendapatan yang diperoleh mereka yang menggunakan pasar berjangka untuk tujuan untuk lindung nilai lebih stabil dibandingkan dengan mereka yang tidak menggunakannya. Bagi para penggunanya, pasar berjangka memberi kesempatan untuk menstabilkan pendapatan mereka.
2.3.
Konsep Pasar Berjangka Perdagangan dengan menggunakan kontrak berjangka pertama kali
diperkenalkan di Chicago pada tahun 1860an. Perbedaan antara penjualan tunai dengan kontrak berjangka adalah pada penjualan tunai melibatkan pengiriman barang sebenarnya dari komoditi dan kebanyakan penjualan tunai tidak dibuat di
39
pasar sentral sedangkan penjualan dengan menggunakan kontrak berjangka melibatkan pembelian dan penjualan kontrak yang terstandarisasi untuk pengiriman komoditi di masa yang akan datang (Tomek dan Robinson, 1972). Pelaksanaan pasar berjangka adalah dengan menandatangani kontrak yang menentukan harga, kualitas, kuantitas dan waktu penyerahan. Pengiriman barang berdasarkan pada waktu yang spesifik dengan ukuran yang jelas dan pada harga tertentu dimana dalam kontrak disebutkan pula grade yang spesifik dan lokasi penyerahan. Patut diingat bahwa tidak ada pasar sekunder untuk kontrak pada perdagangan berjangka dimana kontrak diciptakan di pasar berjangka yang disebut bursa. Sebagai pasar yang terorganisasi, transaksi di bursa hanya dilakukan anggota bursa yang terdiri dari pialang berjangka dan pedagang berjangka. Para pengguna bursa yang bukan anggota bursa tetapi ingin memanfaatkan bursa untuk tujuan lindung nilai (hedging) atau spekulasi harus menyalurkan keinginannya tersebut melalui anggota bursa yang berstatus pialang berjangka. Lebih lanjut dijelaskan bahwa fungsi dari pasar berjangka adalah sebagai alokasi sementara dari komoditi musiman yang diproduksi.
Pasar berjangka
membantu pembeli sehingga dapat menghemat biaya penyimpanan karena komoditi yang dibelinya akan datang pada saat dibutuhkan saja sesuai dengan tanggal kontrak yang sudah disepakati. Fungsi yang kedua adalah untuk pengalihan resiko, dimana kerugian yang dialami dalam penjualan tunai akan dapat tertutupi dengan penjualan pada penjualan di pasar berjangka. Walaupun pada pasar berjangka tidak mendapatkan harga yang benar-benar tinggi namun juga tidak akan didapatkan harga yang benar-benar rendah seperti pada penjualan
40
tunai. Harga cenderung stabil karena harga yang dimasa akan datang sudah ditetapkan pada saat sekarang. Fungsi yang ketiga adalah bursa berjangka sebagai lindung nilai pada operasional dan marjin. Contohnya pabrik pengolahan tepung dapat membeli gandum di pasar tunai dan kemudian menjual tepungnya dengan menggunakan pasar berjangka, sehingga diharapkan biaya penyimpanan tepung akan mampu ditutupi oleh penjualan tepung. Fungsi yang keempat adalah sebagai tempat pembentukan harga dimana harga yang terjadi di pasar berjangka (forward) merefleksikan konsensus antara sejumlah besar pembeli dan penjual yang memiliki kesempatan yang sama untuk melakukan penjualan dan pembelian di pasar. Harga tersebut tidak hanya merefleksikan keadaan pasokan dan permintaan yang sebenarnya dari komoditi yang bersangkutan namun juga perkiraan pasokan dan permintaan untuk masa yang akan datang. Harga di pasar berjangka akan selalu berubah menyesuaikan diri dengan perubahan informasi pasar yang terjadi. Hal ini penting bagi perencanaan produksi, pengolahan dan pemasaran komoditi, sehingga membantu mengurangi biaya-biaya operasional yang pada akhirnya memberikan manfaat bagi ekonomi. Setiap pelaku pasar berjangka harus selalu siap dengan informasi yang akurat mengenai harga di pasar spot. Prinsipnya adalah pembentukan harga terjadi akibat adanya kebutuhan barang untuk penyimpanan dan untuk hedging tergantung dari permintaan dan penawaran yang berlangsung, dengan adanya fungsi ini maka pembentukan harga pada pasar berjangka sangat dipengaruhi oleh perubahan informasi yang terjadi dimana hipotesisnya harga pada pasar berjangka akan bereaksi berlebihan terhadap informasi baru. Selain itu dengan adanya
41
spekulator perubahan sedikit harga tapi dilakukan dalam jumlah yang besar akan ikut mempengaruhi pembentukan harga yang baru. Antara pasar berjangka dan pasar spot terdapat hubungan satu sama lainnya. Harga pada pasar berjangka saat jatuh tempo akan dijadikan sebagai pedoman untuk menentukan harga pada pasar spot pada waktu yang sama, sehingga ada kemungkinan harga pada pasar berjangka saat jatuh tempo akan sama dengan harga spot pada waktu yang sama. Adapun perbedaan harga yang terjadi antara pasar berjangka dengan harga spot pada waktu yang sama disebut dengan basis. Mekanisme dalam perdagangan berjangka, seorang nasabah tidak perlu menyetor uang sebesar nilai kontrak yang diperjualbelikan, tetapi hanya dalam sejumlah persentase kecil berkisar 3-5 persen dari nilai kontrak. Sejumlah uang ini disebut dengan marjin. Setiap saat nasabah dapat melepas atau menjual kontraknya sebelum kontrak jatuh tempo, namun harus diingat bahwa transaksi jual beli yang terjadi adalah suatu bisnis yang tidak hanya senilai marjin yang disetorkan, tetapi sesungguhnya sebesar nilai kontrak tersebut, dengan demikian, bila terjadi kenaikan harga komoditi yang menjadi subyek suatu kontrak di pasar yang amat besar maka marjin yang disetorkan bisa berlipat atau hilang dalam waktu singkat. Lebih lanjut Kang dan Mahajan (2006), menerangkan tentang keuntungan dari dilaksanakannya market based instrument yang menerapkan pasar berjangka sebagai salah satu alat dalam manajemen resiko dibandingkan dengan kebijakan lainnya yang dilakukan oleh pemerintah dalam mengatasi volatilitas harga. Adapun keuntungan dilaksanakannya market based instrument adalah pendekatan
42
ini menyediakan penerimaan yang pasti di masa yang akan datang sehingga pengguna dapat merencanakan aliran dana. Pada kebijakan lain pemerintah menerapkan pendekatan stabilisasi dalam mengatasi gejolak harga. Pemerintah berusaha mempengaruhi harga di pasar dengan cara mengalirkan dana ke produsen sehingga harga dapat seimbang saat harga rendah. Konsepnya adalah terjadi transfer resiko dari produsen ke pemerintah. Kelemahan dari cara ini adalah dibutuhkan dana yang besar untuk dapat dilaksanakan dan tindakan ini tidak membangun pasar menjadi lebih baik karena semuanya tergantung pada pemerintah. Penerapan market based instrument lebih kearah harga pasar daripada harga yang ditetapkan oleh pemerintah sehingga harga dapat bergerak secara wajar dan komoditi turunan akan memperbaiki pembiayaan. Pasar berjangka komoditi juga memiliki mekanisme pembentukan harga yang lebih efisien karena dalam pasar ini menerapkan instrumen pembiayaan berdasarkan strategi harga di depan yang melibatkan penetapan harga, batasan harga bagi produk yang akan dikirimkan dimasa depan. Kemudian dijelaskan keuntungan lain dari diterapkannya market based instrument adalah pasar berjangka komoditi memiliki mekanisme pembentukan harga yang lebih efisien, menyediakan informasi yang bisa diandalkan pada perdagangan fisik karena banyak kalangan yang dapat menggunakan pasar ini, setiap partisipan memiliki andil dalam proses pembentukan harga dan akan menghasilkan informasi bagi permintaan di masa datang dan kondisi penawaran. Sebaliknya dibandingkan dengan pasar cash pasar berjangka lebih transparan sehingga manipulasi harga lebih sulit untuk dilakukan.
43
Fakta yang menunjukkan selalu bergejolaknya harga-harga untuk masa mendatang secara sederhana merefleksikan berubahnya konsensus di antara peserta
pasar
karena
diterimanya
informasi
terkini
mengenai
situasi
pasokan/permintaan komoditi yang diperdagangkan oleh mereka. Harga di pasar berjangka akan selalu berubah menyesuaikan diri dengan perubahan informasi pasar yang terjadi. Hal ini penting bagi perencanaan produksi, prosesing dan pemasaran komoditi, sehingga membantu mengurangi biaya-biaya operasional yang pada akhirnya memberikan manfaat bagi ekonomi. Adanya pasar berjangka juga dapat membantu terintegrasinya pasar-pasar lokal ke dalam pasar nasional atau bahkan internasional. Makna terintegrasinya pasar nasional adalah harga di berbagai tingkat pemasaran yang berbeda akan bergerak mendekati pasar-pasar nasional dan internasional. Hal ini akan menjamin lebih realistisnya harga komoditi. Yang, Bessler dan Leatham (2001) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa harga pada pasar berjangka adalah refleksi dari estimasi harga di spot periode kedepannya. Termasuk dalam transaksi spot antara lain adalah serah terima barang saat transaksi berlangsung dan langsung dibayar tunai pada saat itu juga, atau dapat juga serah terima barang saat transaksi dan dibayar kemudian sesuai kesepakatan atau dengan melakukan ijon yaitu membayar sekarang saat komoditi masih diproses. Contoh dari pasar spot yang ada di dalam negeri adalah pasar spot CPO di Medan. Pelaksanaan kontrak berjangka adalah dengan menandatangani kontrak yang menentukan harga kualitas, kuantitas dan waktu penyerahan. Kontrak ini dalam prakteknya dapat diperjual belikan sebelum jatuh tempo penyerahan
44
dimana dengan harga yang bergerak harga beli bisa lebih besar, sama atau lebih kecil dibandingkan dengan harga jual (spekulatif). Lebih jauh dijelaskan bahwa walaupun berjangka transaksi ini pada akhirnya bermaksud melakukan serah terima barang secara fisik. Pelaksanaan dengan cara ini dilakukan untuk mengurangi resiko produsen dari biaya antara lain membayar denda barang di dalam kapal yang sudah berlabuh atau pembayaran sewa gudang, saat pembeli mangkir. Contoh pasar berjangka (forward) adalah di pasar forward di Rotterdam. Di pasar forward ini harga CPO dunia terbentuk dimana transaksinya berasal dari produsen dan konsumen CPO termasuk Indonesia yang merupakan negara produsen. Mengenai cara pelaksanaan manajemen resiko harga dalam tulisannya Kang dan Mahajan (2006), menyebutkan bahwa instrumen yang digunakan dalam penentuan harga komoditi ada dua kategori yang pertama adalah instrumen yang terstandarisasi yang memperdagangkan komoditi yang diperjualbelikan. Kategori selanjutnya adalah over the counter yaitu transaksi bilateral antara dua perusahaan tanpa adanya pertukaran dimana harga ditentukan oleh keputusan perdagangan daripada lelang. Definisi dari kontrak forward adalah persetujuan antara penjual dan pembeli untuk mengirimkan sejumlah barang yang spesifik di satu waktu tertentu pada waktu yang akan datang dengan harga yang sudah ditentukan. Terdapat tiga konsep penting dalam definisi ini yaitu: (1) tidak ada transfer tunai ketika kontrak dibuat, (2) tidak terdapat resiko default tergantung dari reputasi penjual dan pembeli yang terlibat, dan (3) dalam kontrak ini kedua belah pihak harus saling menaati perjanjian.
45
Terdapat beberapa tipe kontrak forward yaitu: (1) kontrak harga tetap (fixed price pontract) dimana dalam kontrak ini digunakan harga yang tetap (flat price) produsen berjanji untuk mengirim pada saat yang ditentukan dan dibayar saat pengiriman, dengan cara ini ada kemungkinan produsen kehilangan kesempatan potensial apabila harga naik, (2) kontrak harga yang ditetapkan (price to be fixed contracts) dimana dengan tipe ini pelaku pasar memiliki kemampuan untuk menetapkan harga pada saat yang paling menguntungkan, (3) harga yang tertunda atau harga ditetapkan nanti dengan tipe ini terjadi transfer resiko penyimpanan ke pembeli, (4) kontrak untuk menunda pembayaran (deffered payment contract) biasanya untuk menghindari pajak, (5) kontrak harga minimum, dan (6) kontrak harga forward dengan referensi (reference price forward contract). Pelaksanaan forward contract dalam manajemen resiko harga oleh pelaku pasar terbagi dalam dua posisi. Posisi pertama disebut sebagai posisi short apabila pelaku harga yang bertindak sebagai produsen atau pedagang membeli komoditas pada pasar fisik sekarang untuk dijual pada pasar yang akan datang dengan tingkat harga yang telah disepakati. Apabila pedagang atau produsen membeli komoditas untuk waktu pengiriman yang akan datang maka posisinya dalam bursa berjangka dalam posisi long. Adapun definisi dari future contract adalah untuk menjelaskan forward yang terstandarisasi dimana sebuah future contract bukanlah suatu stok atau komoditi tapi bisa diperdagangkan sebagai stok. Penjual dan pembeli pada perjanjian future contract bertransaksi sebagaimana pada forward contract namun dapat saja tidak berupa penjualan yang aktual dan dapat ditutup dengan pengalihan kontrak kepada pihak lain. Penting untuk diketahui bahwa cara ini
46
bukan untuk meningkatkan pendapatan produsen namun sebagai media untuk meminimalkan resiko karena pergerakan harga. Definisi dari option adalah perdagangan komoditi dimasa datang dengan range harga dimana penjual mendapatkan semacam asuransi berupa penerimaan harga penjualan minimum dan bagi pembeli akan membayar dengan harga tertinggi. Option dapat digunakan untuk menyediakan perlindungan cadangan sementara di sisi lain pelaku pasar berusaha mendapatkan keuntungan potensial. Adapun SWAP dikembangkan sebagai instrumen manajemen resiko jangka panjang. Sebuah komoditi kontrak SWAP diobligasi dalam dua perusahaan untuk menyikapi harga yang mengambang dengan harga tetap (atau kebalikannya) untuk ukuran tertentu komoditi pada interval waktu tertentu. Artinya suatu perjanjian SWAP antara dua perusahaan (hedger dan penyedia hedge) dimana hedger (pengguna komoditi atau produsen) setuju untuk membayar harga yang tetap dan menerima harga yang mengambang untuk volume tertentu dari komoditi untuk periode tertentu. Berdasarkan UU No. 32/1997, tentang perdagangan berjangka komoditi, disebutkan beberapa institusi yang terlibat dalam aktivitas Perdagangan Berjangka, yakni: (1) pengguna/pemakai, yaitu dunia usaha dan masyarakat umum yang terdiri lagi atas kelompok hedger dan kelompok investor/spekulator yang memanfaatkan pergerakan harga komoditi yang terjadi di pasar berjangka untuk mencari keuntungan, (2) penyelenggara, yang terdiri dari Bursa Berjangka Jakarta dan Kliring Berjangka Indonesia, dan (3) pelaku dan penunjang. Pengguna dari pasar berjangka antara lain adalah produsen, pengolah, pedagang, eksportir dan konsumen yang ingin melindungi dirinya dari resiko
47
fluktuasi harga. Mereka yang menggunakan pasar berjangka untuk tujuan ini disebut dengan hedger yaitu pihak-pihak yang ingin mengurangi resiko flutuasi harga. Selain hedger maka ada pelaku yang disebut spekulator yaitu mereka yang ingin mencari keuntungan dari adanya fluktuasi harga dimana mereka membeli kontrak berjangka pada saat harga rendah dan menjualnya pada saat harga naik. Terdapat beberapa definisi yang sering dihubungkan dengan spekulator pada pasar berjangka. Pertama adalah spreaders yaitu pihak yang berperan dalam transaksi dengan melihat perbedaan harga. Fungsi dari spreaders adalah untuk melihat perbedaan harga di kedua pasar dan berdasarkan selisih harga di kedua pasar tersebut dia akan membeli di pasar yang harganya rendah untuk dijual kembali di pasar yang harganya tinggi sehingga dengan aktivitasnya tersebut kedua pasar akan mengalami penyesuaian dan harga menjadi relatif sama. Kedua adalah scalpers adalah spekulan yang fungsinya melakukan spekulasi pada transaksi harian. Akibat adanya scalpers maka akan terjadi kesinambungan transaksi karena seorang scalpers akan mengumpulkan informasi-informasi yang dapat mempengaruhi keseimbangan harga pada hari itu baik formal maupun informal (Hakim, 2009). Bursa Berjangka Indonesia merupakan institusi yang menyediakan fasilitas
bagi
terselenggaranya
kegiatan
transaksi
berjangka.
Sebagai
penyelenggara akitivitas perdagangan berjangka, Bursa Berjangka Jakarta (BBJ) melakukan fungsi pengawasan dan memiliki wewenang membuat peraturan sendiri (dengan persetujuan Bappebti) untuk dipatuhi oleh anggota dan pihakpihak lain yang terlibat dalam transaksi, adalah badan hukum yang bertugas menyelesaikan semua tertib administrasi bagi tiap transaksi. Selain BBJ yang
48
bertindak sebagai penyelenggara pada pasar berjangka adalah lembaga kliring. Tugas lembaga kliring adalah untuk mencatat posisi setiap anggota pasar saat transaksi berakhir. Kliring Berjangka Indonesia melakukan kegiatan administrasi pelaporan, pemantauan dan pemeriksaan terhadap anggotanya untuk memastikan aktivitas perdagangan berjangka komoditi dijalankan sebagaimana peraturannya. Tugas lembaga kliring lainnya adalah memungut marjin, dimana definisi dari marjin adalah sejumlah dana yang harus dipertahankan seorang nasabah kepada broker anggota kliring dari suatu bursa atau oleh broker kepada lembaga kliring untuk menjamin broker atau lembaga kliring yang bersangkutan terhadap kerugian yang mungkin terjadi. Pelaku dan penunjang dalam pasar berjangka terdiri dari unsur pelaku adalah Pialang Berjangka dan Perdagangan Berjangka. Pialang Berjangka adalah badan hukum yang boleh menerima amanat (order) dari nasabah. Pialang Berjangka harus memiliki izin usaha dari Bappebti, menjadi anggota Bursa Berjangka Jakarta dan dapat pula menjadi anggota Kliring Berjangka Indonesia. Pialang Berjangka dalam melaksanakan kegiatannya wajib menunjuk wakil Pialang Berjangka sebagai tenaga ahli yang telah lulus ujian profesi yang diselenggarakan oleh pihak Bappebti. Pedagang Berjangka adalah anggota Bursa Berjangka Jakarta harus memiliki sertifikat pendaftaran Bappebti. Pedagang Berjangka adalah orang yang melakukan transaksi untuk rekeningnya sendiri dan atau kelompok usahanya. Unsur penunjang adalah Penasehat Berjangka (analisis pasar berjangka dan komoditi yang diperdagangkan) bertugas memberikan nasehat kepada kliennya, Pengelola Sentra Dana Berjangka (badan hukum dengan ijin usaha dari Bappebti)
49
bertugas sebagai penyelenggara kegiatan menghimpun dana dari masyarakat, perbankan, tenaga ahli akutansi, hukum, pergudangan, serta lembaga penguji mutu. Pengawas, yakni Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi adalah pembina, pengatur dan pengawasan sehari-hari seluruh kegiatan perdagangan berjangka komoditi di Indonesia. Bappebti mewujudkan kegiatan perdagangan berjangka komoditi agar teratur, wajar, efisien dan efektif, serta menumbuhkan suasana persaingan yang sehat. Untuk itulah Bappebti juga bertindak sebagai pelindung kepentingan semua pihak dalam perdagangan berjangka komoditi sehingga terwujud perdagangan berjangka komoditi yang berfungsi sebagai pengelola resiko dan pembentukan harga.
2.4.
Model Analisis dengan Pendekatan Vector Autoregression Untuk menyelesaikan permasalahan pada data time series salah satu alat
analisis yang dapat digunakan adalah menggunakan Vector Autoregression (VAR) dimana jenis pendekatan ini biasanya digunakan untuk meramalkan perubahan dari error term (inovasi) suatu sistem time series. VAR dibentuk dengan menyusun sistem persamaan dimana semua variabel diperlakukan endogenous (variabel dependen). Definisi dari VAR adalah suatu sistem persamaan yang memperlihatkan setiap variabel sebagai fungsi linier dari konstanta dan nilai selang (lampau) dari variabel itu sendiri serta nilai selang dari variabel lain yang ada dalam sistem. Panjangnya selang variabel yang optimal diperlukan untuk menangkap pengaruh dari setiap variabel terhadap variabel yang lain di dalam sistem VAR. Penentuan
50
panjangnya selang optimal ini bisa menggunakan beberapa kriteria antara lain Akaike Information Criteria (AIC), Schwartz Information Criteria (SIC), HannahQuin Criteria (HQ), Likehood Ratio (LR), maupun Final Prediction Error (FPE). Panjang selang yang optimal terjadi jika nilai-nilai kriteria yang telah disebutkan mempunyai nilai absolut paling kecil dan pada beberapa kriteria panjang selang optimal terjadi jika nilai adjusted R2 adalah paling tinggi. Thomas (1997) menjelaskan bahwa kelebihan dari metode ini dapat digunakan untuk data dari berbagai waktu, hasil yang diperoleh tidak spurious (palsu), dapat menentukan besar integrasi, arah transformasi harga, pasar yang menjadi pemimpin atau pengikut harga maupun pasar yang terisolasi. Struktural VAR tidak hanya menghasilkan rekomendasi berdasarkan keluaran modelnya dalam merespon adanya suatu shock tetapi juga sesuai dengan model teoritik dan dapat melihat respon jangka panjang berdasarkan data historisnya. Selain itu model VAR adalah model linier sehingga model VAR mudah diestimasi dengan menggunakan model OLS. Tulisan lain terkait tentang penggunaan pendekatan VAR untuk menyelesaikan masalah ekonomi dibahas oleh Widarjono (2007), dimana dalam tulisannya dinyatakan bahwa model VAR dibangun dengan pertimbangan meminimalkan pendekatan teori dengan tujuan agar mampu menangkap fenomena ekonomi dengan baik, dengan demikian VAR adalah model nonstruktural atau merupakan model tidak teoritis (ateoritis). Pada pembentukan VAR nonstruktural model tidak dibuat berdasarkan bangunan teori yang ada namun lebih menekankan pada ada tidaknya saling ketergantungan antar variabel ekonomi. Syarat agar VAR dapat digunakan dalam analisis data adalah semua variabel tak
51
bebas harus bersifat stasioner artinya data time series yang dipakai tidak memiliki trend. Apabila dilakukan analisis pada data yang tidak stasioner akan menghasilkan hasil regresi yang palsu dan akan menyebabkan nilai standard error menjadi kecil dan t besar (sebaran t tidak valid). Syarat lain yang harus dipenuhi adalah semua sisaan bersifat white noise yaitu memiliki rataan nol, ragam konstan dan diantara variabel tidak bebas tidak ada korelasi. Lebih lanjut dijelaskan dalam VAR tidak perlu membedakan variabel yang menjadi eksogen maupun yang menjadi endogen. Semua variabel baik endogen maupun eksogen yang dipercaya saling berhubungan seharusnya dimasukkan dalam model dan untuk melihat hubungan antara variabel di dalam VAR kita membutuhkan sejumlah selang variabel yang ada. Selang variabel ini dibutuhkan untuk menangkap efek dari variabel tersebut terhadap variabel lain dalam model. Kemudian Widarjono menjelaskan bahwa proses pembentukan model VAR langkah pertamanya adalah dengan melakukan uji stasionaritas data. Uji ini adalah untuk melihat apakah pergerakan data yang akan diuji memiliki trend atau tidak. Uji kestasioneran data dapat menggunakan uji Augmented Dickey Fuller (ADF). Uji ADF terdiri dari perhitungan regresi yang dirumuskan sebagai berikut : m
Yt
1
2
t
Yt
Yt
1
1
t
i 1
dimana: Yt
= Selisih variabel harga
t
= Trend waktu 1
k
,
2
, , = Koefisien
= Jumlah selang
52
= Galat persamaan
t
Jika data adalah stasioner pada level maka disebut dengan model VAR biasa (unrestricted VAR), VAR in level atau model nonstruktural disebut begitu karena tidak memerlukan keberadaan hubungan secara teoritis antarvariabel, dan sebaliknya jika data tidak stasioner pada tingkat level tetapi stasioner pada proses differensi data, maka harus diuji apakah data mempunyai hubungan dalam jangka panjang atau tidak dengan melakukan uji kointegrasi. Rumus umum dari uji kointegrasi ini adalah sebagai berikut :
Yt
A1Yt
1
... ApYt
p
BX t
t
dimana: Yt = k vektor dari variabel nonstasioner I(1) Xt = d vektor dari variabel determinastik t
= vektor dari inovasi.
Suatu persamaan dikatakan terkointegrasi apabila antarvariabel memiliki hubungan jangka panjang. Mengenai hal ini Widarjono menjelaskan sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Engle dan Granger bahwa walaupun suatu data time series seringkali tidak stasioner pada level atau disebut nonstasionaritas data tetapi kombinasi linier antara dua atau lebih data nonstasioner dapat menjadi stasioner, menurutnya data time series yang tidak stasioner ini dikatakan terkointegrasi. Lebih lanjut dijelaskan salah satu asumsi yang harus dipenuhi dalam VAR adalah semua variabel tak bebas bersifat stasioner. Apabila data tidak stasioner, maka perlu dilakukan uji kointegrasi, dimana jika data yang tidak stasioner terkointegrasi, maka kombinasi linier variabel-variabel dalam sistem
53
akan bersifat stasioner, sehingga dapat diperoleh sistem persamaan jangka panjang yang stabil (Enders, 1995). Suatu deret waktu dikatakan terintegrasi pada selang ke-d atau I(d) jika data tesebut bersifat stasioner setelah pendiferensian sebanyak d kali. Variabel-variabel tidak stasioner yang terintegrasi pada tingkat yang sama dapat membentuk kombinasi linier yang bersifar stasioner. Komponen dari vektor Yt dikatakan terkointegrasi jika ada vektor
= (
1,
2,......, n)
sehingga kombinasi linier
bersifat stasioner, dengan syarat ada unsur matrikas nol. Vektor
Yt
bernilai tidak sama dengan
dinamakan vektor kointegrasi. Rank kointegrasi (r) dari vektor
adalah banyaknya vektor kointegrasi yang saling bebas. Nilai (r) dapat diketahui melalui uji Johansen. Hipotesisnya adalah: H0 = rank r H1 = rank>r Apabila rank kointegrasi lebih besar dari nol, maka model yang digunakan adalah VECM dan apabila rank kointegrasi sama dengan nol, maka model yang digunakan adalah VAR dengan pendiferensian sampai selang ke d. Apabila terdapat kointegrasi maka model yang terbentuk disebut Vector Error Correction Model (VECM). Model VECM ini merupakan model yang terestriksi (restricted VAR) karena adanya kointegrasi yang menunjukkan hubungan teoritis jangka panjang antar variabel dalam sistem VAR. Spesifikasi VECM merestriksi hubungan perilaku jangka panjang antar variabel yang ada agar konvergen ke dalam hubungan kointegrasi namun tetap membiarkan perubahan-perubahan dinamis dalam jangka pendek. Terminologi kointegrasi ini dikenal sebagai koreksi kesalahan (error correction) karena bila terjadi deviasi terhadap keseimbangan
54
jangka panjang akan dikoreksi secara bertahap melalui penyesuaian parsial jangka pendek. Apabila data stasioner pada proses differensi namun variabel tidak terkointegrasi disebut dengan model VAR dengan data diferensi (VAR in difference). Persamaan VAR dapat ditulis sebagai berikut: p 1
Yt
Yt
1
i
Yt
i
BX t
t
i 1
dimana: p
p
Ai
I
Aj
i
j i 1
i 1
Teorema Granger menerangkan bahwa jika koefisien matriks mengurangi pangkat r
=
dan
telah dan
Yt adalah I(0). r adalah jumlah hubungan
kointegrasi (pangkat kointegrasi) dan tiap kolom dari Metode Johansen adalah untuk menduga matriks
adalah vektor kointegrasi. dari suatu unrestriksi VAR
(VAR yang tidak dibatasi) dan untuk menguji apakah kita bisa menolak batasan yang diimplikasikan dengan pengurangan pangkat dari
.
VAR digunakan sebagai sebuah sistem peramalan dari variabel time series yang saling berhubungan dan digunakan untuk menganalisis dampak dinamis dari gangguan yang bersifat random di dalam sistem VAR. Untuk itu sistem VAR memerlukan sebuah pembuatan model setiap variabel endogen didalam sistem sebagai fungsi dari selang semua variabel endogen didalam sistem VAR. Spesifikasi model VAR dengan demikian meliputi dua hal yaitu pemilihan variabel endogen dan penentuan panjangnya selang setiap variabel endogen. Sebagai sebuah persamaan persamaan simultan maka suatu model VAR harus diidentifikasi apakah model tersebut dapat diestimasi atau tidak, dimana terdapat
55
tiga kemungkinan hasil identifikasi model yaitu: (1) tidak teridentifikasi terjadi jika jumlah informasi kurang dari jumlah parameter yang diestimasi, (2) tepat teridentifikasi terjadi jika jumlah informasi sama dengan jumlah parameter yang diestimasi, dan (3) over identifikasi terjadi jika informasi melebihi jumlah parameter yang diestimasi.
2.5.
Tinjauan Penelitian Terdahulu Penelitian tentang integrasi yang telah dilakukan di berbagai penelitian
biasanya bermanfaat untuk menyelesaikan permasalahan yang melibatkan satu pasar dengan pasar lainnya terkait dengan harga yang terjadi di kedua pasar tersebut seperti yang dilakukan dengan oleh Adiyoga, Keith dan Suherman (2006), dalam penelitian tentang integrasi pasar kentang dimana dengan penelitian mereka itu akan memberikan informasi penting menyangkut cara kerja pasar yang dapat berguna untuk memperbaiki kebijakan liberalisasi pasar, memantau pergerakan harga melakukan peramalan harga dan memperbaiki kebijakan investasi infrastruktur pemasaran kentang. Penelitian yang dilakukan oleh Irawan dan Rosmayanti (2007), mempelajari mekanisme perambatan harga dari satu pasar ke pasar lain dengan integrasi harga sehingga dapat membantu pemerintah untuk memahami struktur, tingkah laku dan efektivitas pasar sehingga dapat mengambil kebijakan harga yang tepat untuk mengatasi masalah ketahanan pangan di Bengkulu. Hal ini juga yang melatarbelakangi penelitian yang dilakukan oleh Sitorus (2004), yang ingin mengetahui seberapa besar pengaruh perubahan harga ikan tuna segar yang terjadi di pasar tujuan di Jepang memiliki pengaruh terhadap perubahan harga di pasar lokal di Benoa Indonesia. Sejalan dengan hal diatas
56
Anwar (2005), juga melakukan kajian tentang Integrasi untuk pengambilan kebijakan pengembangan ekspor dan pemasaran karet alam khususnya pasar domestik. Hal ini adalah pengembangan dari penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Simatupang dan Situmorang (1988) yang membahas tentang integrasi pasar dan mekanisme rambatan harga karet Jakarta dan Singapura. Kajian tentang integrasi pasar merupakan langkah yang tepat untuk menjawab hal itu. Penelitian integrasi pasar digunakan untuk menegtahui efisiensi suatu pasar dan untuk melihat apakah pasar tesebut bersifat persaingan sempurna ataukah parsial monopoli/oligopoli. Menurut Sitorus (2004), integrasi atau keterpaduan pasar dapat terjadi jika terdapat informasi pasar yang memadai dan informasi ini disalurkan dengan cepat dari satu pasar ke pasar yang lain, dengan demikian perubahan harga yang terjadi pada suatu pasar dapat dengan segera tertangkap oleh pasar lain dengan ukuran perubahan yang sama. Senada dengan Sitorus, Adiyoga, et al. (2006), menjelaskan bahwa pasar akan memeragakan fungsinya secara efisien jika memanfaatkan semua informasi yang tersedia. Dengan kata lain jika pasar menggunakan harga yang lalu (past price) secara tepat dalam penentuan harga pada saat ini (current price determination) sistem pemasaran yang berlaku dapat dikategorikan efisien. Informasi harga dalam sistem tersebut dan kemungkinan substitusi produk antarpasar selalu berpengaruh terhadap prilaku penjual dan pembeli. Transmisi dan pemanfaatan informasi diantara berbagai pasar dapat mengakibatkan harga dari komoditas tertentu bergerak secara bersamaan di berbagai pasar tersebut. Jika suatu pasar tidak terintegrasi maka ditingkat nasional dan regional secara agregat akan banyak kehilangan informasi spesifik pada pasar individual.
57
Lebih lanjut dijelaskan bahwa jika pasar tidak terintegrasi maka kondisi pasar persaingan sempurna tidak terpenuhi antarpasar yang tersegmentasi. Pasar yang tersegmentasi berarti memiliki kekuatan tersendiri dalam mempengaruhi harga masing-masing misalnya harga suatu komoditi sekarang (Xt) hanya dipengaruhi oleh harga komoditi pada periode sebelumnya (Xt-1) (Irawan dan Rosmayanti, 2007). Mendukung pendapat Irawan dan Rosmayanti, penelitian yang dilakukan Anwar (2005), menerangkan konsekuensi jika tidak terbentuk pasar persaingan sempurna dan malahan terbentuk pasar tidak sempurna baik itu dalam kondisi monopoli, monopsoni, oligopoli atau oligopsoni. Kesimpulan yang diturunkan dari asumsi persaingan sempurna tidak dapat digunakan untuk menetapkan suatu kebijakan. Beberapa pendekatan yang dapat digunakan untuk menganalisis integrasi pasar yaitu pendekatan dengan metode korelasi antara harga yang bergerak secara bersamaan pada pasar yang diuji (Autoregressive Distributed Lag), metode regresi sederhana, dan metode kointegrasi dengan pendekatan Vector Autoregression (VAR). Kesemua metode tersebut digunakan untuk menganalisis keterpaduan pasar dengan menggunakan harga komoditi dalam bentuk time series sebagai input yang dianalisis. Metode regresi sederhana bisa menjelaskan bahwa harga di suatu pasar merupakan fungsi dari harga pada pasar lainnya. Kelebihan metode ini adalah dapat menunjukkan nilai keeratan hubungan antarpasar yang terintegrasi. Tetapi terdapat kelemahan pada metode ini yaitu tidak dapat memisahkan harga sebagai variabel dependen maupun variabel independen karena model regresi sederhana memiliki sifat inverse.
58
Analisis dengan menggunakan Model Index of Market Conection (IMC) dengan pendekatan Autoregressive Distributed Lag, contohnya seperti yang dilakukan oleh Sitorus (2005), untuk komoditi tuna. Analisis ini dilakukan dengan menggunakan persamaan yang diturunkan dan dimodifikasi dari model Ravallion (1986). Model keterpaduan pasar dengan IMC dapat digunakan untuk mengukur bagaimana harga di pasar lokal dapat dipengaruhi harga referensi (acuan) dengan mempertimbangkan harga pada waktu (t) tertentu dan harga pada waktu sebelumnya (t-1). Dengan menggunakan parameter hasil estimasi model maka dapat dihitung IMC. Secara umum persamaan Ravallion menunjukkan bagaimana harga di pasar lain (lokal) dengan mempertimbangkan pengaruh pada waktu tertentu (t) dengan harga pada waktu sebelumnya (t-1) pada rentang waktu tertentu bertujuan untuk melihat fluktuasi harga yang terjadi. Interpretasi dari nilai IMC yang didapatkan dapat menjelaskan apakah dua pasar terintegrasi atau tidak dimana kedua tingkat pasar terpadu secara sempurna jika nilai IMC sama dengan nol dan masih cukup kuat jika IMC<1 dan jika IMC>1 berarti integrasi lemah dan bila IMC nilainya tidak hingga maka hal tersebut mengindikasikan bahwa dua tingkatan pasar tersebut sama sekali tidak berhubungan. Berbeda dengan Sitorus, Simbolon (2005), menggunakan metode korelasi dalam melakukan kajian integrasi ini. Lebih lanjut dijelaskan bahwa penggunaan metode korelasi dapat digunakan apabila arus perdagangan komoditi antarpasar tidak terlalu jelas arah atau arah transmisi harga bukan fokus utama penelitian. Kelemahan metode ini diatasi dengan menggunakan data harga riil berdasarkan indeks harga konsumen pada setiap pasar sehingga pengaruh perubahan harga akibat inflasi dapat dikoreksi. Metode ini hanya dapat menjelaskan keterkaitan
59
harga antarpasar namun tidak dapat menentukan besarnya pengaruh dan saling mempengaruhi antarpasar yang diuji. Kelemahan lain dari model ini adalah memberikan kesimpulan yang keliru, karena pergerakan harga dapat terjadi sebagai akibat pasar memiliki kesamaan faktor yang mempengaruhi harga. Sehingga harga di kedua pasar menunjukkan korelasi yang tinggi walaupun tidak terintegrasi. Alat analisis lain yang dapat digunakan dalam kajian tentang integrasi pasar adalah dengan menggunakan uji kointegrasi yang bisa membuktikan adanya keterkaitan harga pada jangka pendek dan jangka panjang antarpasar dalam suatu kawasan. Kelemahan metode ini yaitu tidak adanya prosedur yang sistematis untuk mengestimasi vektor kointegrasi berganda secara terpisah, selain itu tahapan estimasi dalam model ini melalui dua tahap dimana apabila terjadi pendugaan yang salah pada tahap pertama akan berlanjut ke tahap kedua. Lebih jauh Widarjono (2007), menjelaskan bahwa hasil estimasi VAR seringkali tidak memuaskan dilihat dari uji t. Selang variabel endogen di dalam sistem VAR kemungkinan tidak nyata secara statistik. Selain itu secara individual koefisien di dalam model VAR sulit diinterpretasikan. Berdasarkan kelebihan dan kelemahan yang terdapat pada VAR maka model VAR digunakan untuk analisis dinamis data time series antara lain untuk: (1) peramalan, (2) impulse response, (3) variance decompotision, dan (4) uji kausalitas. Penelitian terdahulu yang menggunakan metode ini sebagai alat analisisnya adalah seperti yang dilakukan oleh Anwar (2005), dengan komoditinya adalah karet, Adiyoga, et al. (2006), untuk melihat integrasi pasar kentang, dan Rifin (2008), untuk melihat integrasi antara pasar CPO dan minyak goreng. Mereka menggunakan pendekatan dua tahap Engel
60
Granger. Tahap pertama ditempuh dengan melakukan pengujian apakah data harga yang dikaji bersifat nonstasioner berdasarkan uji (Augmented) Dickey Fuller atau berdasarkan uji unit root lainnya. Tahap kedua dilakukan dengan mengestimasi suatu model statis sederhana dari serial harga I(1) terhadap serial harga lainnya I(1) serta menguji apakah residualnya bersifat stasioner I(0). Selanjutnya ditarik kesimpulan bahwa harga-harga menyebar menuju suatu ekuilibrium jangka panjang dan bahwa pasar terintegrasi jika hipotesis nol dari simpangan nonstasioner ditolak. Prasyarat uji kointegrasi adalah melakukan verifikasi bahwa suatu serial harga bersifat nonstasioner dan menetapkan urutan (order) integrasi variabel. Alat uji yang paling sering digunakan untuk menentukan sifat nonstasioner dari suatu serial harga adalah uji unit root ADF. Pada pengujian ini hipotesis nol adalah data bersifat nonstasioner (mengandung suatu unit root) melawan hipotesis alternatifnya yaitu data yang bersifat stasioner. Lebih lanjut dalam Adiyoga, et al. (2006), dijelaskan bahwa diferensiasi suatu variabel bersifat nonstasioner biasanya dapat menghasilkan variabel yang bersifat stasioner, namun suatu data yang didefferensiasi hingga beberapa kali diindikasikan akan mengakibatkan terjadinya kehilangan informasi jangka pendek. Jika suatu data serial waktu didefferensiasikan sebanyak d kali sampai menjadi stasioner (mengandung d unit root) maka data ini disebut terintegrasi dengan order d atau dikenal sebagai I(d). Variabel-variabel yang bersifat stasioner dalam tingkatannya yaitu I(0) harus dihilangkan dari analisis kointegrasi. Pada kebanyakan kasus bukanlah suatu keharusan bahwa semua variabel memiliki order integrasi yang sama. Alternatif pengujian untuk mengkaji kointegrasi adalah menggunakan VAR yang dikembangkan oleh Johansen.
61
Tulisan terdahulu yang telah dilakukan terkait dengan komoditi yang diteliti dalam penelitian ini yaitu tentang produk kelapa sawit khususnya Crude Palm Oil (CPO) antara lain dilakukan oleh Amiruddin, Rahman dan Shariff (2005). Tujuan penelitian mereka adalah untuk mengkaji pasar potensial dan tantangannya bagi industri kelapa sawit Malaysia dalam menghadapi kompetisi dari minyak nabati lainnya. Adapun metodologi yang mereka pakai untuk menjawab tujuan tersebut adalah dengan menggunakan VECM untuk melihat hubungan baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang antara variabel harga minyak nabati dimana hasilnya adalah CPO adalah pemimpin pasar dibandingkan dengan harga minyak nabati lainnya. Tulisan lainnya terkait dengan komoditi yang sama dengan yang diteliti pada penelitian ini adalah yang dilakukan oleh Rahman, Shariff, Abdullah dan Sharif (2007) dimana mereka mengkaji volatilitas harga domestik dari beberapa produk CPO di Malaysia dan faktor yang menyebabkannya. Penelitian lain adalah Amiruddin et al. (2005) dimana karena CPO adalah pemimpin harga dibandingkan dengan minyak nabati lainnya maka agar harga beberapa minyak nabati stabil, volatilitas harga CPO haruslah diminimalkan. Stabilitas dari harga minyak sawit khususnya CPO dapat dilakukan dengan membangun kekuatan pasar melalui pembentukan pasar monopolistik yang dilakukan oleh produsen minyak kelapa sawit atau membentuk kartel produsen atau melalui perjanjian internasional komoditi antara pembeli dan penjual. Dipercayai bahwa dengan membangun aliansi antara Malaysia dan Indonesia akan meningkatkan kekuatan tawar menawar diantara kedua negara dalam menentukan harga CPO dan mengontrol output akan mengurangi volatilitas produk CPO dan turunannya di
62
masa yang akan datang. Apabila volatilitas harga sudah dapat diminimalisasi maka industri kelapa sawit akan lebih menguntungkan dan dapat berkonstribusi lebih kepada negara. Tulisan ini dimaksudkan untuk mencari hubungan integrasi pasar CPO dengan menggunakan VAR dimana jika pada penelitian sebelumnya konsep VAR dipakai untuk melihat hubungan integrasi pada jenis pasar yang sama maka tulisan ini mencoba untuk melihat hubungan pasar spot dan forward di negara yang berbeda.
63
III. METODE PENELITIAN
3.1.
Kerangka Pemikiran Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan mengkaji tentang
pergerakan harga CPO antara Indonesia dan Malaysia yang dilaksanakan dengan spot, serta Rotterdam yang dilaksanakan dengan forward, dan kointegrasi antar variabel yang mempengaruhi pembentukan harga CPO dan implikasi-implikasi kebijakannya terhadap pedagangan CPO di Indonesia. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa Malaysia dan Indonesia merupakan negara penghasil CPO dunia dan Rotterdam sendiri adalah pasar CPO dunia yang mempertemukan produsen dan konsumen CPO. Sebagai produsen terbesar dalam teorinya seharusnya Indonesia dan Malaysia memiliki posisi tawar yang kuat dalam pembentukan harga dunia hal ini juga akan berimbas kepada harga yang terbentuk di negara masing-masing karena jika harga dunia lebih tinggi dari harga domestik maka akan lebih menguntungkan bagi trader untuk mengekspor CPO sehingga penawaran untuk dunia akan bertambah dan akan meningkatkan harga di domestik dan hal ini juga berlaku sebaliknya jika harga dalam negeri lebih tinggi akan lebih disukai untuk menjual di dalam negeri saja daripada harus mengekspor sehingga dalam penelitian ini hipotesis yang terbentuk adalah selisih harga antara Rotterdam dan Indonesia serta Malaysia akan saling mempegaruhi untuk pembentukan harga CPO selanjutnya baik itu di tingkat domestik (Indonesia dan Malaysia) maupun di tingkat dunia (Rotterdam). Ditinjau dari masing-masing negara maka pembentukan harga di Indonesia dan Malaysia akan saling mempengaruhi, karena bila terdapat selisih antara
64
keduanya maka negara yang memberikan harga yang termurah akan lebih disukai dibandingkan dengan negara yang menawarkan harga yang lebih tinggi. Bila harga domestik lebih tinggi dibandingkan dengan luar negeri maka industri dalam negeri yang bersangkutan akan lebih suka mengimpor saja daripada menggunakan produk lokal. Pembentukan harga CPO di Rotterdam yang merupakan representasi dari permintaan dunia selain dipengaruhi oleh harga di negara produsen juga mempertimbangkan harga komoditi lain yang mempengaruhi CPO dalam penelitian ini yang diambil sebagai komoditi yang mempengaruhi adalah harga minyak kedelai. Hipotesisnya adalah bila harga minyak kedelai meningkat maka orang akan beralih ke CPO. Mengenai keterkaitan antara harga CPO Indonesia dan Rotterdam sebagaimana ditulis oleh Anwar (2005), mengindikasikan bahwa nilai tukar akan mempengaruhi harga komoditi dalam hal ini CPO secara langsung maupun tidak langsung. Efek langsung setiap perubahan nilai tukar akan mempengaruhi harga di negara pembeli jika tanpa perubahan harga di negara produsen. Sedangkan efek tidak langsung merupakan aktifitas arbitrase dan permintaan spekulatif pada pasar komoditi dan uang. harga CPO dalam jangka pendek dapat naik/turun tergantung pergerakan mata uang, perubahan ini hanya dalam efek nominal, yaitu tidak ada efek cepat terhadap permintaan dan penawaran. Secara arbitrase harga antarpasar relatif sama dan hanya berbeda karena biaya transportasi kenyataan di lapang harga bervariasi antarpasar jika dikonversi dalam mata uang yang sama, akan tetapi dalam jangka panjang perubahan nilai tukar akan mempengaruhi
65
permintaan dan penawaran komoditi dalam hal ini adalah CPO. Untuk lebih jelas kerangka pemikiran penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4 . Model Pendekatan Integrasi Pasar CPO
3.2.
Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder
mengenai data harga CPO bulanan di Indonesia, Malaysia dan Rotterdam, nilai tukar serta harga komoditi pesaing dimana dalam penelitian ini dipergunakan harga minyak kedelai pada rentang waktu Januari 2000 hingga November 2008. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode dokumentasi dimana data tersebut diperoleh dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) dan dari dinas dan instansi yang terkait lainnya seperti Departemen Perdagangan, Departemen Perindustrian dan Badan Pusat Statistik Indonesia.
66
3.3.
Metode Analisis Data Model penelitian ini merupakan suatu model yang menganalisis data deret
waktu. Data deret waktu umumnya bersifat tidak stasioner dan diperoleh melalui proses random-walk (acak). Persamaan regresi yang menggunakan variabelvariabel yang tidak stasioner akan mengarah kepada hasil yang palsu (spurious). Dalam mengembangkan model deret waktu maka perlu dibuktikan, apakah stokastik yang menghasilkan data tersebut dapat diasumsikan tidak bervariasi karena waktu. Jika proses stokastik tetap dari waktu ke waktu, yang berarti prosesnya stationer, maka dapat disusun suatu model dengan persamaan yang menghasilkan koefisien tetap yang dapat diduga dari data waktu yang lalu. Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan analisis Vector Error Correction Model (VECM), untuk melihat pergerakan harga di pasar Indonesia yang dilakukan dengan spot, Malaysia dan Rotterdam yang dilakukan dengan forward karena data yang digunakan stasioner, namun terkointegrasi. Pengolahan menggunakan Program Eviews.5.1.
3.2.1. Uji Stasionaritas Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya data time series yang digunakan dalam pendekatan VAR haruslah stasioner untuk menghindari adanya spurious regression (regresi palsu). Suatu persamaan dinyatakan stasioner apabila persamaan tersebut tidak mengandung unit root. Menurut Gujarati (2003) data yang stasioner akan mempunyai kecendrungan untuk mendekati nilai rata-rata dan berfluktuasi di sekitar nilai rata-ratanya.
67
Untuk memastikan bahwa data yang digunakan tidak mengandung unit root maka dapat diuji dengan menggunakan uji Dickey Fuller (DF) dan Augmented Dickey Fuller (ADF). Tes ini disajikan dengan menambahkan pada persamaan berupa nilai selang dari variabel dependen Yt (Gujarati,2003). Uji ADF terdiri dari perhitungan regresi sebagai berikut : m
PInat
1
2
t
PInat
PInat
1
1
...
t
.
... (4.1)
i 1
m
PMlyt
2t
1
PMlyt
PMlyt
1
1
..(4.2)
t
i 1
m
PRtdt
2t
1
PRtdt
PRtdt
1
1
.. ..
t
... (4.3)
i 1
m
PMKed t
1
2
t
PMKed t
PMked t
1
1
.... .......(4.4)
t
i 1
m
ERM t
2t
1
ERM t
ERM t
1
1
t
...
.... (4.5)
i 1 m
ERI t
1
2
t
ERI t
ERI t
1
1
t
. ..... .......
..
i 1
dimana: = Operator perbedaan tingkat pertama PInat
= Harga CPO di Indonesia periode t (Rp/kg)
PMlyt
= Harga CPO di Malaysia periode t (RM/ton)
PRtdyt
= Harga CPO di Rotterdam periode t (USD/ton)
PMKedt
= Harga minyak kedelai dunia periode t (USD/ton)
ERMt
= Nilai Tukar Malaysia (RM/USD)
ERIt
= Nilai Tukar Indonesia (Rp/USD)
t
= Trend waktu 1
m
,
2
, ,
= Koefisien = Jumlah selang optimal
(4.6)
68
= Galat persamaan
t
Dimana
t
adalah galat white noise (stasioner) dan Yt
(Yt
Yt 1 ) . Jumlah
selang yang ikut dalam galat yang tidak valid akan hilang. Intinya adalah untuk mengikutkan sejumlah galat yang tidak saling berhubungan (autokorelasi) dalam persamaan. Pada ADF pengujian
0 akan sama dengan distribusi asimtotik
pada statistik DF (Gujarati, 2003). Tabel distribusi F digunakan untuk
mengetahui nilai
sebagaimana yang dikutip Thomas (1997), jika Ho:
1=
1
,
2
, ,
=0 diterima maka Yt
dikatakan tidak stasioner. Perlu diperhatikan bahwa hasil uji ADF akan sangat dipengaruhi oleh panjangnya selang. Untuk mencegah terjadinya autokorelasi antargalat dalam deret data perlu dipilih panjang selang k yang paling optimal berdasarkan kriteria Schwarz Bayesian Criterion (SBC). Semakin kecil SBC akan didapatkan model dengan selang yang optimum (Enders,1995). Nilai SBC dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut :
SBC ( n )
RSS
K LnT T
2
........................................................................(4.7)
dimana: RSS = Jumlah kuadrat residual (Sum Square Residual) K
= Jumlah variabel penjelas
T
= Jumlah waktu pengamatan 2
= Varian regresi
Selanjutnya membandingkan antara nilai statistik dengan nilai kritis (critical value) 95 dan 99 persen. Jika nilai statistik lebih besar dari nilai kritis maka data
69
stasioner I(0) berarti dapat dilakukan analisis hanya dengan pendekatan VAR saja, tetapi apabila lebih kecil dari nilai kritis maka data tidak stasioner.
3. 2.2. Uji Kointegrasi Jika variabel sudah stasioner maka tahap selanjutnya adalah menguji apakah variabelnya terkointegrasi. Kointegrasi adalah terdapatnya kombinasi linier antara variabel yang nonstasioner yang terkointegrasi pada ordo yang sama dimana suatu variabel dikatakan terkointegrasi apabila antar variabel memiliki hubungan jangka panjang. Untuk menguji ada atau tidak kointegrasi antar variabel digunakan metode uji kointegrasi (Enders, 1995). Penelitian ini ingin melihat hubungan antara harga CPO Indonesia, harga CPO Malaysia yang dilaksanakan dengan transaksi spot, harga CPO Rotterdam yang dilaksanakan dengan transaksi forward, harga minyak kedelai dan nilai tukar. Persamaan model VAR dapat ditulis sebagai berikut : PInat =
PInat 1 ...
01
11
an1 PMlyt p
PMly t
PRtd t
PRtdt 1 ...
n1
PMKed
02
12
Mlyt
...
n2
03
13
p
...
n3
ERt 1 ...
...
1
n1
11
12
n2
PRtdt
PMKedt p
12
Rtdt 1 ...
n3
an3 PInat p
PInat p a11 PMlyt 1 ....
11
...
an2 PInat
n1
PMlyt 1
ERt
n1
n2
p
11 1t
...(4.8)
n2
p
ERt
12 p
PMKedt 1 .... ...(4.9)
2t
PRtdt p a13 PInat 1 ....
PMlyt 1 ... ERt 1 ...
13
PRtdt
...
13
PMKed t p
ERt
PMKedt 1
p
a12 PInat 1 ....
p
... 1
PRtdt
n3
PMlyt p
n3
ERt p
P.MKed t 1 ....(4.10)
13 3t
70
PMKed t
MKedt 1 ...
04
14
an4 PInat ...
n4
n4
PMKedt p a14 PInat 1 ....
PMlyt 1 ...
p
14
PRtdt
n4
ERt 1 ...
p
14
PMlyt
n4
ERt
PCRtdt 1 ...(4.11)
p
14
p
4t
dimana: PIna, Pmly, PRtd, PMKed, ER = Vektor variabel tak bebas yang berukuran n x 1 p
= Panjangnya selang n0
,
n0
,
n0
,
n0
,
n1
,
n1
,
n1
n1
,
n0
,
n1
= Vektor intersep berukuran n x 1 = Matriks parameter berukuran n x m untuk setiap i = 1, 2, 3, ..... = Galat berukuran n x 1
t
Persamaan VAR dapat disederhanakan sebagai berikut : p
PIna t
p i1 PIna t
01
p i1 PMly
i
i 1
t
i
t i
t
i
..
1t
(4.12)
i 1
p
p i 2 PMly t
02
p i 2 PIna t
i
i 1
i
i2
i 1
PRtd t
i
i 1
p
p i 2 PMked
t i
i2
i 1
ER
t i
.. ... (4.13)
2t
i 1
p
p
03
i3
PRtd t
p
i
i 1
i3
PIna t
i
i3
i 1
p
PMly t
i
i 1 p
i 3 PMKed
t i
i3
i 1
ER t
i
3t
....................(4.14)
i 1
p 04
p i4
PMKed t
i
i 1
p i4
PInat
i
i4
i 1
p
PMly t
i
i 1
p i 4 PRtd
i 1
ER
i1
i 1
PMKed t
PRtd
p i 1 PMKed
PRtd t
i1 i 1
p
PMly t
t i
i 1
t i
i4 i 1
ER
t i
4t
..
..(4.15)
71
Uji berikutnya adalah trace test yaitu mengukur jumlah vektor kointegrasi dalam data, dengan menggunakan pengujian pangkat matrik kointegrasi, dinyatakan sebagai berikut : n trace
(r )
T
ln(1
i
..(4.16)
)
i r 1
max
(r , r 1)
T ln(1
r 1
.(4.17)
)
dimana: i
= Nilai dugaan akar karakteristik yang didapatkan dari estimasi matriks
T = Jumlah observasi. r = Pangkat yang mengindikasikan jumlah vektor kointegrasi
Jumlah hubungan kointegrasi (r) dapat dihitung dengan menggunakan 2 uji statistik. Pada uji
trace
, Ho adalah jumlah vektor kointegrasi yang hilang
sebagai alternative umum, sementara pada uji
max
r
Ho yaitu jumlah vektor
kointegrasi=r adalah alternatif dari vektor kointegrasi r+1 (Enders, 1995).
3.2.3. Impulse Response Function Menurut Enders (2000), cara yang paling baik untuk mencirikan struktur dinamis dalam model adalah dengan menganalisa respon dari model terhadap guncangan. Ada dua cara dalam melakukan hal tersebut, yaitu dengan analisis Impulse Response Function (IRF) atau analisis Forecast Error Variance Decomposition (FEVD). IRF dapat meneliti hubungan antar variabel dengan menunjukkan bagaimana variabel endogen bereaksi terhadap sebuah shock dalam variabel itu sendiri dan variabel endogen lainnya.
72
IRF adalah suatu metode yang digunakan untuk menentukan respon suatu variabel endogen terhadap suatu shock tertentu karena sebenarnya shock variabel misalnya ke-i tidak hanya berpengaruh terhadap variabel ke-i itu saja tetapi ditransmisikan kepada semua variabel endogen lainnya melalui struktur dinamis atau struktur selang dalam VAR. Atau dengan kata lain IRF mengukur pengaruh suatu shock pada suatu waktu kepada inovasi variabel endogen pada saat tersebut dan dimasa yang akan datang. Analisis fungsi impuls respon (Impulse Response Function) atau disingkat dengan IRF dalam analisis ini dilakukan untuk menilai respon dinamik variabel harga CPO Rotterdam, harga CPO Indonesia, harga CPO Malaysia dan harga minyak kedelai dunia terhadap adanya guncangan (shock) variabel tertentu. Sementara itu IRF bertujuan untuk mengisolasi suatu guncangan agar lebih spesifik artinya suatu variabel yang dapat dipengaruhi oleh shock atau guncangan tertentu. Apabila suatu variabel tidak dapat dipengaruhi oleh shock, maka shock spesifik tersebut tidak dapat diketahui melainkan shock secara umum.
3.2.4. Forecast Error Variance Decomposition Metode yang dapat dilakukan untuk melihat bagaimana perubahan dalam suatu variabel yang ditunjukkan oleh perubahan error variance dipengaruhi oleh variabel-variabel lainnya adalah FEVD. Metode ini mencirikan suatu struktur dinamis dalam model VAR. Dimana dalam metode ini dapat dilihat kekuatan dan kelemahan masing-masing variabel dalam mempengaruhi variabel lainnya dalam kurun waktu yang panjang.
73
FEVD merinci ragam dari peramalan galat menjadi komponen-komponen yang dapat dihubungkan dengan setiap variabel endogen dalam model, dengan menghitung persentase kuadrat prediksi galat k-tahap ke depan dari sebuah variabel akibat inovasi dalam variabel-variabel lain maka akan dapat dilihat seberapa besar perbedaan antara error variance sebelum dan sesudah terjadinya shock yang berasal dari dirinya sendiri maupun dari variabel lain. Jadi melalui FEVD dapat diketahui secara pasti faktor-faktor yang mempengaruhi fluktuasi dari variabel tertentu. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu harga CPO Rotterdam, harga CPO Indonesia, harga CPO Malaysia dan harga minyak kedelai dunia.
3.4.
Definisi Operasional Beberapa variabel yang perlu didefinisiskan secara operasional dalam
penelitian ini antara lain : 1. Harga CPO Indonesia merupakan harga nominal CPO yang berlaku di pasar spot Indonesia dan karena keterbatasan data maka harga spot CPO yang digunakan adalah harga spot CPO Medan untuk mewakili. Data diperoleh dari Departemen Perdagangan dalam bentuk harga harian kemudian dirata-ratakan menjadi harga bulanan. Satuannya adalah Rp/Kg. 2. Harga CPO Malaysia merupakan harga nominal CPO yang berlaku di pasar domestik Malaysia. Data harga domestik Malaysia ini didapatkan dari International Financial Statistics yang dikeluarkan oleh IMF. Satuannya adalah RM/Ton.
74
3. Harga CPO Rotterdam merupakan harga nominal CPO yang berlaku di pasar forward Rotterdam. Data didapatkan dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) dalam bentuk harga harian yang dirataratakan menjadi harga bulanan. Satuannya adalah USD per ton. 4. Harga minyak kedelai merupakan harga nominal dengan satuannya adalah USD per ton.
75
IV. GAMBARAN UMUM PERKEMBANGAN MINYAK SAWIT INDONESIA DAN DUNIA
4. 1. Sejarah Pengembangan Kelapa Sawit di Indonesia Kelapa Sawit (Elais guineensis Jacq) pertama kali didatangkan dari daerah pesisir tropis Afrika Barat dimana tanaman ini digunakan oleh penduduk lokal sebagai sumber minyak makan. Tanaman ini masuk ke Indonesia pada tahun 1848 dibawa untuk dijadikan tanaman ornamental kemudian pada tahun selanjutnya tanaman ini menyebar ke Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Nusa tenggara. Tanaman ini tumbuh baik pada dataran rendah di daerah tropis yang beriklim basah yaitu sepanjang garis khatulistiwa antara 23.50 lintang utara sampai 23.50 lintang selatan. Adapun Indonesia dan Malaysia adalah daerah yang paling sesuai sebagai daerah pengembangan kelapa sawit. Sekarang ini Malaysia dan Indonesia merupakan dua negara utama produsen minyak kelapa sawit yang menguasai sekitar 85 persen pangsa pasar dunia (Pahan, 2008). Pengembangan areal dan produksi kelapa sawit di Indonesia terbagi dalam tiga kelompok besar yaitu melalui perkebunan rakyat, perkebunan besar negara dan perkebunan besar swasta. Perkebunan rakyat adalah bentuk usaha perkebunan dimana pemilikan dan pengusahaan serta pengolahannya dilaksanakan oleh rakyat atau petani secara perorangan atau secara berkelompok. Ciri utama perkebunan rakyat adalah areal yang menyebar, luasan pemilikan lahan/kebun yang relatif tidak merata, tingkat penerapan tehnologi yang masih rendah dan manajemen yang belum rapi. Secara nasional laju pertumbuhan areal perkebunan rakyat mencapai 6.78 persen (Agustian dan Hadi, 2002).
76
Tanaman pada perkebunan rakyat ditanam pada awal mulanya berdasarkan pada program Plasma Inti Rakyat (PIR) yang dikembangkan oleh pemerintah untuk mengembangkan tanaman ekspor perkebunan pada tahun 1970. Program ini tujuannya melibatkan masyarakat sekitar perusahaan besar negara sebagai petani kelapa sawit untuk mendukung produksi pada perusahaan besar negara tersebut. Pola PIR ini dimaksudkan untuk meningkatkan peranan perkebunan besar baik negara maupun swasta sebagai perusahaan perkebunan inti. Pola PIR merupakan usaha ekstensifikasi perkebunan yang sekaligus membina petani dalam bidang manajemen, teknis dan efisiensi pengolahan hasil perkebunan. Selain itu dilakukan juga usaha-usaha intensifikasi dan rehabilitasi untuk meningkatkan produktifitas perkebunaan rakyat melalui suatu pembinaan terpadu yang meliputi kegiatan penanaman, pemeliharaan tanaman, pengolahan dan pemasaran hasil serta pengembangan kelembagaan ekonomi (Lolowang, 2004). Seiring dengan berjalannya waktu jika di awal tahun 80-an perkebunan besar negara merupakan pelaku utama maka pada tahun 90-an produksi kelapa sawit Indonesia banyak didominasi oleh produk kelapa sawit yang dihasilkan dari perkebunan besar swasta dan perkebunan rakyat. Luas area pertanaman kelapa sawit di Indonesia terus mengalami peningkatan sejak tahun 1999 hingga tahun 2006. Peningkatan tertinggi terjadi dalam kurun waktu 2000 2001 yaitu seluas 555 358 hektar (13.36 persen) dan kurun waktu 2005 2006 yaitu seluas 621 109 hektar (11.39 persen). Hasil perkiraan sementara untuk tahun 2007 hingga tahun 2009, luas area pertanaman kelapa sawit di Indonesia masih akan terus mengalami peningkatan seluas 350 135 hektar pada tahun 2007 dan 350 135 hektar pada tahun 2009.
77
Sementara itu produktivitas perkebunan negara, rakyat dan swasta dalam 5 tahun terakhir masing-masing meningkat dari 4.79 dan 3.18 serta 3.21 ton CPO per hektar per tahun menjadi 5.23 dan 3.69 serta 3.28 ton CPO per hektar per tahun. Meskipun mengalami peningkatan tingkat produktivitas perkebunan rakyat diperkirakan akan mengalami peningkatan terbesar diikuti perkebunan negara. Namun demikian peningkatan produktivitas perkebunan rakyat lebih tinggi dibandingkan
produktivitas
perkebunan
negara.
Untuk
lebih
jelasnya
perkembangan luas lahan perkebunan kelapa sawit dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Luas Areal Pertanaman Kelapa Sawit di Indonesia Tahun
Luas Areal (hektar)
Peningkatan Per Tahun (persen)
1999
3 901 802
2000
4 158 077
6.57
2001
4 713 435
13.36
2002
5 067 058
7.50
2003
5 283 557
4.27
2004
5 284 723
0.02
2005
5 453 817
3.20
2006
6 074 926
11.39
2007
6 425 061
5.76
2008 **)
6 775 196
5.45
2009 **)
7 125 331
5.17
Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, Departemen Pertanian, 2008 Keterangan: **) = Angka estimasi
4.2.
Permintaan Crude Palm Oil Menurut Pahan (2008) konsumsi CPO di dunia bersaing dengan empat
belas jenis minyak nabati yang terdapat didunia karena masing-masingnya saling
78
menggantikan (bersubtitusi). Walaupun begitu dari waktu ke waktu konsumsi dunia terhadap produk CPO makin meningkat dimana menurut Oil World pada tahun 2003 konsumsi dunia mencapai 123.95 juta ton dan pada tahun 2007 mencapai 153.84 juta ton dengan rata-rata pertumbuhan 4.78 persen per tahunnya karena produk minyak hasil dari kelapa sawit memiliki kecenderungan berasap yang lebih rendah, mempunyai sifat pembakaran yang lebih baik untuk kue dan roti dan menyebabkan tingkat perkaratan kuali yang lebih rendah. Khusus di Indonesia peningkatan konsumsi didorong oleh permintaan turunan dari permintaan minyak goreng yang merupakan permintaan utama masyarakat terutama untuk konsumsi rumah tangga dan kebutuhan industri hilir. Menurut CIC (2004) dalam Rifin (2009) untuk memenuhi konsumsi akan minyak goreng pada tahun 2008 maka Indonesia membutuhkan 4.9 juta ton CPO. Penggunaan untuk minyak goreng ini merupakan porsi yang terbesar yakninya sebesar 76 persen dari penggunaan minyak kelapa sawit domestik. Sisanya adalah untuk pembuatan margarin (6 persen), sabun (7 persen) dan untuk keperluan di bidang kimia (11 persen). Adapun persentase penggunaan minyak kelapa sawit untuk keperluan domestik untuk memenuhi seluruh kebutuhan tersebut adalah sebesar 34.42 persen dari total produksi Indonesia. Menurut Pahan (2008) faktor-faktor yang mempengaruhi volume permintaan minyak kelapa sawit di pasar domestik dan dunia adalah: (1) pertambahan penduduk dan pertumbuhan GDP, (2) kepentingan politik masingmasing negara, (3) letak geografis suatu negara dan biaya transportasi ke negara tersebut, (4) akses informasi, dan (5) tingkat subtitusi produk.
79
4.3.
Produksi Crude Palm Oil Penghasil CPO terbesar dunia adalah Indonesia dan Malaysia dimana pada
tahun 2006 produksi Indonesia adalah 16 000 ribu ton atau jika dihitung sharenya adalah 43.21 persen dan pada tahun 2007 produksinya meningkat menjadi 16 700 ribu ton atau 43.80 persen dari total produksi dunia. Sedangkan produksi CPO Malaysia adalah sebesar 15 881 ribu ton atau share-nya adalah 43.91 persen pada tahun 2006 dan pada tahun 2007 produksinya menjadi 15 823. Indonesia memiliki peluang pertumbuhan produksi yang relatif lebih tinggi dibandingkan Malaysia mengingat ketersediaan lahan dan tehnologi produksi yang belum dimanfaatkan secara optimal. Hal yang patut diwaspadai adalah berkembangnya industri sawit di negara-negara lain yang ditunjukkan dengan melonjaknya pertumbuhan produksi CPO yang mencapai 22.02 persen jauh diatas Indonesia dan Malaysia (Sugema et al. 2007). Pernyataan ini terbukti dimana pada tahun 2008 produksi Indonesia lebih tinggi dibandingkan Malaysia dimana selisihnya mencapai hampir seribu juta ton padahal pada tahun 2005 produksi Malaysia masih lebih unggul. Menurut data yang dikumpulkan oleh Biro Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2006 produksi kelapa sawit yang dihasilkan baik oleh perkebunan rakyat, perkebunan besar negara maupun perkebunan besar swasta dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan yang nyata sejak tahun tahun 1999 hingga 2006. Hal ini disebabkan juga antara lain karena adanya perluasan lahan yang dilakukan. Pada tahun 2001 produksi Indonesia sebanyak 1 395 964 ton (19.94 persen), tahun 2002 sebanyak 1 225 873 ton (14.60 persen) dan tahun 2006 produksi sudah meningkat drastis sebanyak 1 529 192 ton (12.89 persen). Begitupun dengan
80
perkebunan besar negara dimana jika pada tahun 2001 produksinya hanya 1.52 juta ton maka pada tahun 2005 hasilnya meningkat menjadi 16.48 juta ton dan keberhasilan ini juga diikuti oleh perkebunan besar swasta dimana produksi yang hanya 4.08 juta ton di tahun 2001 dapat ditingkatkan menjadi 54 juta ton pada tahun 2005. Untuk lebih jelasnya perkembangan produksi minyak kelapa sawit Indonesia dan dunia dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Perkembangan Produksi Crude Palm Oil Indonesia dan Dunia Periode Tahun 2005-2007 dan Proyeksi 2008 (juta ton) Produksi Negara 2008 2007 2006 2005 Indonesia
18 800
16 700
16 000
10 436
Malaysia
17 300
15 823
15 881
13 439
Thailand
1 170
1 020
860
700
Nigeria
860
835
815
800
Pantai Gading
330
320
330
320
Columbia
780
735
713
673
P.N Guinea
430
405
365
310
Ecuador
415
396
352
319
Costa Rica
235
215
198
210
Honduras
228
210
195
180
Brazil
220
190
170
160
62
57
50
43
1288
1 222
1 161
1 083
42 218
38 129
37 140
33 858
Mexico Other Total Dunia
Sumber: Oil World, 2008
Berdasarkan hasil perkiraan sementara untuk tahun 2007 hingga tahun 2009, tingkat produksi kelapa sawit di Indonesia masih akan terus mengalami
81
peningkatan. Tahun 2007 diperkirakan akan terjadi peningkatan produksi sebanyak 761 176 ton (5.68 persen), sementara pada tahun 2008 diperkirakan akan terjadi peningkatan produksi sebanyak 968 661 ton (6.84 persen). Tahun 2009 diperkirakan akan terjadi peningkatan produksi sebanyak 970 856 ton atau bila dihitung kenaikannya sebesar 6.42 persen (Sugema et al. 2007).
4. 4.
Kondisi Pasar Crude Palm Oil
4.4.1. Indonesia Sejalan dengan perkembangan produksi dimana yang paling banyak memproduksi kelapa sawit adalah Indonesia dan Malaysia maka negara pengekspor terbesar di dunia juga didominasi oleh kedua negara ini. Berdasarkan Tabel 2 produksi Indonesia lebih besar dibandingkan dengan produksi Malaysia, namun Indonesia menempati urutan kedua setelah Malaysia dalam hal jumlah ekspor dan penguasaan pangsa pasar dunia. Produksi CPO Indonesia selain untuk tujuan ekspor juga ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. CPO sendiri adalah bahan baku utama dalam pembuatan minyak goreng yang merupakan salah satu kebutuhan pokok masyarakat. Berdasarkan hal itu ketersediaan CPO harus dapat dipenuhi oleh pemerintah dengan harga yang terjangkau. Ekspor Indonesia pada tahun 2006 adalah sebesar 5 199 juta ton dengan nilai adalah 1 999 juta USD, hal ini mengalami peningkatan dibandingkan pada tahun 2000 yang hanya 1 818 juta ton dengan nilai 476 juta USD. Pada tahun 2007 juga terjadi peningkatan jumlah ekspor dengan laju 5.22 persen pertahun.
82
Tetapi meskipun dalam beberapa tahun ini ekspor CPO Indonesia meningkat, Malaysia tetap lebih unggul dibandingkan Indonesia (Agustian dan Hadi, 2002). Khusus untuk Negara Indonesia maka dapat dilihat bahwa CPO adalah salah satu dari 10 besar komoditi ekspor andalan Indonesia dalam mendapatkan devisa. Secara umum ekspor Indonesia semenjak tahun 2000 selalu menunjukkan peningkatan. Untuk lebih jelasnya perkembangan ekspor CPO Indonesia disajikan seperti pada Tabel 3.
Tabel 3 . Perkembangan Ekspor Crude Palm Oil Indonesia Tahun 2000
2006
Tahun
Volume (ribu ton)
Nilai (juta USD)
2000
1 818
476
2001
1 849
406
2002
2 805
892
2003
2 892
1 062
2004
3 820
1 444
2005
4 566
1 593
2006
5 199
1 994
Sumber: BPS, 2006
Tercatat ekspor Indonesia pada tahun 2000 adalah sebesar 1 818 ribu ton dan apabila dihitung nilainya maka didapatkan nilai USD 476 juta. Nilai ekspor CPO pada tahun 2006 adalah sebesar US$ 1 993 666 661 dengan share-nya adalah 6.9 persen jumlah ini mengalami peningkatan dibandingkan dengan share pada tahun 2003 yang hanya 4 persen. Volume perdagangan pada tahun 2006 adalah sebesar 5 199 ribu ton. Perbandingan dengan tahun sebelumnya, terjadi peningkatan sebesar kira-kira 900 ribu ton dimana volume ekspor pada tahun 2005 hanya 4 566 ribu ton. Nilainya
83
setara dengan USD 1 444 juta. Negara tujuan ekspor CPO Indonesia adalah India, Belanda dan China. Khusus untuk ekspor Indonesia ke negara tujuan seperti yang telah disebutkan sebelumnya, masing-masing negara rata-rata permintaannya meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2007 sekitar 73 persen minyak kelapa sawit Indonesia diekspor sisanya digunakan untuk kebutuhan domestik. Sekitar 70 persen ekspor CPO Indonesia ditujukan ke negara-negara Asia, 21 persen ke Eropa dan sisanya ke bahagian dunia lain Rifin, 2009). Untuk lebih jelasnya perkembangan ekspor CPO Indonesia berdasarkan negara tujuan dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Ekspor Crude Palm Oil Indonesia Berdasarkan Negara Tujuan Tahun 2003-2007 (ribu ton) Tujuan
Tahun 2007
2006
Jumlah Persen Jumlah Persen India Belanda China Malaysia
3 311.5 578.7 2 346.1 401.9
Lainnya 6 011.8 Total 12 650
26.18 2 912.2 4.57
677.6
18.54 2 316.4 3.18
692.7
47.52 5 941.1 100 12 540
2005
2004
2003
Jumlah Persen
Jumlah Persen
Jumlah Persen
23.22 2 672.4 25.61 2 793.1 31.05 2 555.3 34.67 5.40
613.7
5.88
530.7
5.89
457.9
6.21
18.47 1 724.5 16.52 1 484.0 16.50 1 172.0 15.90 5.52
622.1
5.96
642.0
7.14
367.7
4.98
47.38 4 803.3 46.02 3 546.2 39.42 2 817.1 38.22 100 10 436 100 8 996 100 7 370 100
Sumber: Oil World, 2008
Negara India merupakan negara tujuan ekspor terbesar CPO bagi Indonesia. Tercatat pada tahun 1997 ekspor Indonesia adalah sebesar 469.56 ribu ton dan setelah 5 tahun kemudian ekspor Indonesia meningkat hampir dua kali lipat menjadi 877.81 ribu ton dan pada tahun 2007 ekspor CPO Indonesia ke India mencapai 3 311.5 ribu ton. Menurut Rifin (2009) pada tahun 2006 Indonesia telah
84
mengekspor CPO dan turunannya ke India hingga mencapai 57 persen dari kebutuhan impor India dimana 91 persen adalah dalam bentuk CPO. Negara tujuan ekspor Indonesia yang kedua terbanyak adalah untuk China dimana ekspor Indonesia pada tahun 2003 sebesar 1 172.0 ribu ton, dan selama lima tahun kemudian yaitu pada tahun 2007 ekspor Indonesia ke China terus meningkat menjadi sebesar 2 346.1 ribu ton. Adapun 91 persen impor China adalah dalam bentuk turunan CPO dimana konstribusi ekspor Indonesia adalah sebesar 34 persen. Malaysia adalah termasuk negara pengekspor CPO, namun negara ini juga mengimpor CPO dari Indonesia (Rifin, 2009).
4.4.2. Malaysia Pada tahun 1969 pangsa ekspor Malaysia mencapai 43.48 persen dari ekspor minyak sawit dunia sedangkan Indonesia hanya sekitar 20.49 persen dan pada tahun 1999 pangsa ekspor Malaysia sebesar 65 persen dan Indonesia sebesar 23 persen. Begitupun pada tahun 2002 ekspor Malaysia sebesar 57.28 persen dan Indonesia sebesar 32.64 persen. Pada tahun 2008 diperkirakan nilai ekspor Malaysia dan Indonesia akan terus meningkat dimana Malaysia akan terus memimpin dengan jumlah ekspor 5.61 juta ton atau share-nya 33.32 persen untuk Indonesia dan 8.78 juta ton atau share-nya 56.90 persen untuk Malaysia. Tingginya perbedaan pangsa ekspor ini terjadi karena sebagian besar dari produksi CPO Indonesia dialokasikan untuk konsumsi dalam negeri (Agustian dan Hadi, 2002). Negara-negara yang menjadi pangsa pasar Malaysia sebagai negara pesaing Indonesia antara lain adalah pasar China, India, EU, Pakistan dan Jepang sebesar
85
0.4 juta ton (Susila, 2007). Untuk lebih jelas perkembangan ekspor CPO Malaysia dapat dilihat pada Tabel 5. Berdasarkan Tabel 5 dapat dilihat bahwa pada tahun 2007 negara pengimpor terbesar CPO yang berasal dari Malaysia adalah China dimana jumlahnya adalah sebesar 3841.6 ribu ton atau jika dipersentasekan adalah sebesar 27 persen dari keseluruhan ekspor Malaysia.
Tabel 5. Ekspor Crude Palm Oil Malaysia Berdasarkan Negara Tujuan Tahun 2003-2007 (ribu ton) Negara Tujuan
Tahun 2007
2006
2005
2004
2003
Jumlah Persen Jumlah Persen Jumlah Persen Jumlah Persen Jumlah Persen Belanda
1466.3 10.65
1667.4 12.15
1424.3 10.48
1146.8
China
3841.6 27.90
3577.8 26.08
2964.6 21.82
2808.9 23.05
India Pakistan Jepang Lainnya Total
9.41
972.8
8.02
2483.2 20.46
511.2
3.71
561.8
4.09
621.3
4.57
941.9
7.73
1598.0 13.17
1070.1
7.77
968.4
7.06
958.5
7.06
953.8
7.82
1102.7
9.09
527.3
3.82
517.1
3.77
470.5
3.46
480.2
3.94
447.3
3.69
6351.3 46.13 6425.9 46.84 7145.7 52.60 5854.5 48.04 5529.3 45.57 13767.8 100 13718.4 100 13584.9 100 12186.1 100 12133.3 100
Sumber: Oil World, 2008
Posisi kedua diikuti oleh negara Belanda dimana pada tahun 2007 ekspor Malaysia ke Belanda adalah sebesar 1 466.3 ribu ton atau bila dihitung persentasenya adalah sebesar 10 persen dari total keseluruhan ekspor Malaysia. Seperti yang sudah dijelaskan selain mengekspor CPO Malaysia juga juga mengimpor dari beberapa negara untuk diolah lebih lanjut. Menurut data yang diperoleh dari oil world ada tahun 2007 Malaysia mengimpor CPO dari Indonesia, Thailand (39.3 ribu ton) dan Papua New Guinea (6.1 ribu ton).
86
4.4.3. Rotterdam Salah satu negara tujuan ekspor Indonesia dan Malaysia adalah untuk Rotterdam (Belanda) dimana impor CPO dari kedua negara terus meningkat dari tahun ke tahunnya. Pada tahun 2006 dari seluruh jumlah minyak dan lemak yang diimpor oleh Belanda 79 persennya adalah dalam bentuk CPO yang dipenuhi dari ekspor yang dilakukan oleh Indonesia dan Malaysia. Pada tahun 2007 share dari kedua negara masing-masingnya adalah 61.43 persen untuk Malaysia dan 32.54 persen untuk Indonesia. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Jumlah Impor Crude Palm Oil Rotterdam Berdasarkan Negara Asal (ribu Ton) Negara Asal
Tahun 2007
2006
2005
2004
2003
Jumlah Persen Jumlah Persen Jumlah Persen Jumlah Persen Jumlah Persen Malaysia Indonesia Lainnya Total
1092.5 578.7 107 1778.2
61.43 32.54
960.8 677.6
6.02 51.6 100 1690.0
56.85 40.09
791.3 613.7
52.39 40.63
690.7 530.7
3.05 105.5 100 1510.5
6.98 100
58.6 1280.0
53.96 41.46
638.7 457.9
55.67 39.91
4.57 50.6 100 1147.2
4.41 100
Sumber: Oil World, 2008 Tidak seperti negara-negara lain yang mengimpor untuk memenuhi kebutuhan dalam negerinya Belanda menggunakan CPO dan turunannya yang diimpor dari negara lain untuk diekspor kembali. Persentase untuk dijual kembali adalah sebanyak 92 persen dengan tujuan ekspor utama ke negara-negara Uni Eropa lainnya seperti Jerman, Belgia dan Inggris. Belanda tidak melakukan pengolahan apapun dimana fungsi Belanda adalah murni sebagai perantara antara negara produsen dengan negara konsumen. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 7.
87
Tabel 7. Ekspor Crude Palm Oil Rotterdam Tahun 2003-2007 Berdasarkan Negara Tujuan (ribu ton) Negara Tujuan
Tahun 2007
2006
2005
2004
2003
Jumlah Persen Jumlah Persen Jumlah Persen Jumlah Persen Jumlah Persen Germany BelgiumLux UK Lainnya Total
332.7
27.34
210.1
20.88
126.5 16.97
139.3 20.29 114.1
20.44
281.0
23.09
286.6
28.48
297.1 39.85
285.9 41.65 226.8
40.64
85.5
7.02
71.0
7.06
517.7
42.54
438.5
1216.9
100
1006.2
29.7
3.98
11.2
43.57 292.20 39.20 100
745.6
100
25.5
4.57
250 36.42 191.7
34.35
686.4
1.63
100 558.1
100
Sumber: Oil World, 2008
4.5
Kebijakan Perdagangan Crude Palm Oil Tujuan dari pemerintah Indonesia dalam melakukan kebijakan adalah
karena minyak kelapa sawit adalah produk penting pada perekonomian Indonesia. Salah satu dari konstribusinya dalam perekonomian negara sebagai penyumbang devisa terbesar. Selain itu CPO merupakan bahan baku utama dalam pembuatan minyak goreng. Konsumsi minyak goreng untuk Indonesia sendiri terus mengalami peningkatan, dimana konsumsi perkapita adalah 16.5 kg per orang dan khusus untuk minyak goreng sawit sebesar 12.7 kg per orang. Pada tahun 2005 konsumsi minyak goreng Indonesia adalah 6 juta ton dan 83.3 persen dari jumlah tersebut adalah untuk penggunaan minyak goreng sawit. Penggunaan CPO untuk minyak goreng adalah sebanyak 76 persen (Rifin, 2007). Minyak goreng di Indonesia adalah termasuk dalam sembilan kebutuhan bahan pokok masyarakat yang harus tercukupi ketersediaannya. Sebagai bahan pangan pokok ketersediaan minyak goreng dengan harga yang terjangkau bukan saja penting bagi kestabilan perekonomian namun juga dapat mengganggu
88
keamanan sosial dan akan meresahkan masyarakat bila tidak tersedia. Mengingat pentingnya keberadaan minyak goreng di Indonesia maka CPO sebagai bahan baku pembuat utamanya juga harus dijamin ketersediaannya oleh pemerintah Indonesia. Menurut Pahan (2008) adanya kebijakan dalam perdagangan CPO misalnya dalam bentuk hambatan tarif yang diwujudkan dalam bentuk pajak ekspor yang diterapkan oleh negara pengekspor, maupun bea masuk yang diberlakukan oleh negara pengimpor akan mempengaruhi keseimbangan baru dalam permintaan dan penawaran di pasar. Salah satu bentuk penerapan hambatan baik dalam bentuk tarif ataupun dalam bentuk nontarif yang dilakukan beberapa negara terhadap produk CPO antara lain adalah: (1) negara-negara Eropa memberikan subsidi bagi produk minyak canola yang merupakan komoditi saingan CPO dalam negeri dan kampanye negatif terhadap minyak yang berasal dari kelapa sawit berupa pengrusakan hutan tropis, kepunahan orang utan dan lain lain, (2) India dan China menetapkan bea masuk yang tinggi untuk melindungi produk nabati dalam negeri, dan (3) adanya kampanye anti minyak kelapa sawit yang dilakukan oleh American Soybean Association (ASA) yang menjurus pada tindakan diskriminatif dan menyesatkan. Terdapat beberapa kebijakan di Indonesia yang diterapkan terkait komoditas kelapa sawit khususnya CPO. Sebagai salah satu unggulan ekspor dari pemerintah dan sekaligus merupakan bahan baku untuk memenuhi kebutuhan pokok dari masyarakat yang pasokannya tidak boleh terputus atau akan dapat merusak kestabilan ekonomi masyarakat, pemerintah ikut mengatur jumlah dan harga CPO baik untuk kebutuhan domestik maupun untuk tujuan ekspor.
89
Berdasarkan hal tersebut pemerintah harus menerapkan suatu kebijakan yang tepat sehingga CPO sebagai produk ekspor unggulan Indonesia dapat bersaing di pasar internasional. Sehingga menyumbang devisa namun juga tidak mengabaikan ketersediannya untuk memenuhi kebutuhan domestik Tahun 1978 pemerintah
mengambil kebijakan dengan
mengatur
pemasaran minyak di dalam negeri terutama pengaturan kerja dan pengaturan alokasi penggunaan produksi. Tujuannya adalah untuk menjaga stabilitas harga minyak goreng pada tingkat konsumen, mendorong ekspor produksi nabati yang telah diproses. Pengaturan alokasi produksi dalam negeri diatur melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri No. 275/KPB/XII/78 tanggal 16 Desember 1978. Berdasarkan SKB tersebut ditetapkan bahwa: (1) harga minyak kelapa sawit untuk pembuatan minyak goreng ditetapkan di Belawan, (2) harga minyak kelapa sawit untuk operasi pasar berdasarkan minyak goreng dikurangi dengan biaya operasional, dan (3) harga CPO untuk industri hilir sama dengan harga ekspor FOB (Freight On Board) Belawan. Beberapa ketentuan pokok dalam peraturan tersebut adalah: (1) semua produsen CPO diwajibkan menyediakan minyak sawit untuk kebutuhan dalam negeri, (2) jumlah yang harus disediakan oleh produsen ditetapkan oleh menteri pertanian, (3) harga CPO untuk bahan baku industri dalam negeri ditetapkan oleh menteri perdagangan dan koperasi dengan memperhatikan pendapat menteri pertanian dan menteri perindustrian, harga CPO dalam negeri ditetapkan oleh menteri perdagangan dan koperasi setiap 3 bulan sekali berdasarkan FOB Belawan, dan (4) penyediaan CPO di dalam negeri yang tidak ditebus dapat diekspor oleh produsen.
90
Tahun 1983 melalui SK Dirjen Perdagangan Dalam Negeri No. 22/DAGRI KP/T/83 pemerintah mengatur alokasi CPO. Seluruh alokasi CPO yang disediakan untuk kebutuhan dalam negeri tidak boleh diperjualbelikan dimana jumlah efektif yang harus didistribusikan ke dalam negeri penetapan harganya diatur melalui SKB menteri perdagangan dan koperasi, menteri pertanian dan menteri perindustrian. Tahun 1991 SKB tiga menteri dihapus dimana dengan penghapusan itu maka melonggarkan semua ketentuan tataniaga untuk memacu ekspor dan mendorong investasi namun akibatnya minyak goreng menjadi langka di domestik sehingga tahun 1994 pemerintah mengeluarkan Instrumen Pajak Ekspor (PE) melalui SK menteri keuangan No. 439/KMK.017/1994 tanggal 31 Agustus 1994, dimana terhitung mulai tanggal 1 September 1994 pemerintah akan menetapkan PE jika harga minyak goreng dalam negeri diatas Rp 1 250/kg. Adapun tujuan lainnya dari dilakukannya kebijakan ini adalah untuk meningkatkan devisa negara melalui instrumen pajak penghasilan dan pertambahan nilai serta restribusi. Besarnya PE ditetapkan berdasarkan keputusan dari menteri keuangan sedangkan nilai Harga Patokan Ekspor (HPE) ditetapkan oleh mentri perdagangan dimana Pungutan Ekspor dihitung dari hasil perkalian antara tarif pajak ekspor, jumlah ekspor, HPE dan nilai tukar rupiah terhadap dolar. Harga Freight on Board (FOB) ditentukan oleh Menteri keuangan setiap bulannya berdasarkan harga dunia dua minggu sebelumnya, sedangkan harga dasar adalah harga ekspor maksimum yang bebas pungutan ekspor. Adapun HPE ditetapkan oleh menteri perindustrian dan perdagangan setiap bulannya tergantung dari harga intenasional
91
CPO dan turunannya (Rifin, 2009). Perkembangan perubahan PE dan HPE untuk tahun 2007 hingga 2008 dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Perkembangan Perubahan Pajak Ekspor dan Harga Patokan Ekspor Tahun 2007- 2008 Periode tahun 2007 HPE(USD)/MT
HPE (USD)/MT
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
PE (persen)
Juli
Agst
1.5
458
487
490
525
558
622
6.5
676
728
0.3
477
541
553
564
571
669
6.5
740
767
0.3
488
552
570
574
585
676
6.5
746
801
sep
okt
nov
des
CPO
7.5
786
760
784
862
Crude Oil RDB Olein
7.5
786
763
814
892
7.5
779
773
824
902
Periode tahun 2008 April Juni Juli Agust PE (%) Feb (10%) (20%) (15%) (20%) (15%) progesif
Komoditi PE (%) Jan CPO Crude Olein RDB Olein
944
1196
1196
1144
1144
983
1288
1288
1224
1224
996
1303
1303
1261
1261
Sumber: Departemen Perdagangan, 2008 Seiring dengan peningkatan harga minyak kelapa sawit dunia maka dikeluarkan Peraturan menteri keuangan no 92/PMK.011/2007 yang berlaku mulai September 2007 dan direvisi kembali pada tahun 2008 melalui peraturan menteri keuangan no 09/PMK.011/2008 dimana isinya adalah penetapan tarif pungutan ekspor untuk minyak kelapa sawit dan turunannya ditentukan berdasarkan harga referensi pada harga internasional yang berlaku. Akibatnya apabila harga internasional naik maka tarif pungutan ekspornya juga akan naik. Tujuan dibuatnya kebijakan ini adalah untuk menjamin keberlangsungan keutuhan bahan baku domestik dan menjaga stabilitas harga minyak goreng. Pada tahun 2008 jumlah ekspor CPO Indonesia melambat akibat adanya kebijakan Indonesia terkait dengan pajak yang meningkat naik pada April 2008 melalui Peraturan Menteri Keuangan No. 09/PMK.011/2008 terkait dengan
92
peningkatan tingkat pajak berdasarkan harga referensi pada harga internasional yang berlaku dimana penetapannya ditinjau setiap bulannya. Akibatnya apabila harga internasional naik maka tarif pungutan ekspornya juga akan naik. Beberapa kebijakan yang diterapkan pemerintah terkait dengan CPO adalah dengan menerapkan pajak ekspor CPO melalui Peraturan Menteri Keuangan No. 118/PMK.011/2007 yang berlaku mulai September 2007 dan kemudian dibuat kebijakan pada tahun 2008 melalui Peraturan Menteri Keuangan No. 14/PMK.011/2008 15/PMK.011/2008 tentang pajak nilai tambah dari minyak goreng. Peraturan ini menyebutkan bahwa pemerintah akan membayar nilai tambah bagi minyak goreng yang dijual di dalam negeri baik yang telah dikemas maupun yang belum. Tujuan dari kebijakan ini adalah untuk melindungi konsumen agar dapat membeli minyak goreng dengan harga yang murah namun produsen tidak dirugikan. Penetapan kebijakan yang telah dilakukan oleh pemerintah bertujuan agar dapat menjaga ketersediaan CPO di dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan domestik dengan harga yang terjangkau. Pada saat harga internasional (Rotterdam) CPO bulan Januari 2008 USD 1 055.92 per ton naik senilai USD 1 160, 1 233, 1 169, 1 203, 1 204 berturut-turut hingga Juni 2008 harga CPO di domestik tetap stabil berturut-turut dari januari 2008 hingga Juni 2008 dikisaran Rp 9 233, Rp 9 965, Rp 9 707, Rp 9 332, Rp 9 967 dan Rp 9 544 per kilogram. Artinya penerapan pajak ekspor oleh pemerintah efektif dalam menstabilkan harga CPO di domestik. Setelah kenaikan harga CPO yang tajam ternyata diikuti dengan penurunan drastis dari harga CPO internasional. Mulai dari bulan Juni 2008 yang
93
merupakan harga tertinggi CPO selama periode penelitian (lihat Gambar 1) yaitu USD 1 204 per ton harga kemudian turun hingga USD 624 menjadi USD 580 per ton. Artinya dalam kurun waktu 6 bulan harga turun menjadi setengahnya dari harga enam bulan sebelumnya. Turunnya harga komoditi khususnya CPO antara lain disebabkan karena turunnya harga minyak bumi dunia dimana hal ini sesuai dengan yang dikatakan dalam penelitian yang dilakukan oleh Amiruddin et al. (2005) bahwa terkait dengan harga maka harga dari minyak nabati (seperti CPO dan minyak kedelai) terkait erat dengan minyak bumi. Senada juga dengan Pahan (2004) yang menyatakan bahwa dalam pengolahan minyak nabati maka sangat membutuhkan minyak bumi sebagai bahan bakarnya. Kondisi harga CPO dalam negeri tidak seperti pada saat harga CPO naik dimana dengan intervensi pemerintah tetap stabil, namun saat CPO Internasional turun maka harga di dalam negeri juga turun. Harga CPO domestik yang pada Bulan Juni 2008 berkisar Rp 9 544 per kilogram turun nilainya menjadi Rp 5 364 per kilogram pada Bulan November 2008. Artinya harga CPO Indonesia dalam 6 bulan turun hingga setengahnya. Penurunan ini mengikuti trend yang terjadi di pasar internasional. Pemerintah Indonesia sebenarnya telah melakukan intervensi dengan tujuan supaya produk CPO Indonesia tetap mampu bersaing di pasar Internasional. Adapun penghilangan hambatan ekspor itu diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan No. 72/PMK.011/2008 yang isinya antara lain menurunkan pajak ekspor menjadi 2.5 persen dan No. 159/PMK.011/2008 yang isinya antara lain menghapuskan pajak ekspor hingga 0 persen. Namun ternyata harga CPO Indonesia tetap mengikuti penurunan harga Internasional. Dampak dari penurunan
94
harga CPO di domestik tentu saja merugikan pihak produsen CPO. Pihak yang paling terkena imbasnya adalah petani kelapa sawit.
4.6.
Harga Crude Palm Oil Indonesia Gambaran perkembangan posisi pergerakan harga CPO di Indonesia
selama periode penelitian ditunjukkan pada Gambar 5.
Sumber: Bappebti (diolah) Gambar 5. Pergerakan Harga Crude Palm Oil Indonesia Januari 2000-November 2008
Berdasarkan Gambar 5 maka dapat dilihat bahwa harga CPO di Indonesia cenderung berfluktuasi dari waktu ke waktu dimana dari Januari 2000 hingga Maret 2006 pergerakannya memiliki trend meningkat yang landai kemudian setelah Maret 2006 harga meningkat tajam dimana puncaknya terjadi pada Maret
95
2008 hal ini disebabkan beberapa faktor antara lain karena meningkatnya harga minyak mentah dunia sehingga seluruh komoditi yang diperdagangkan di dunia juga ikut naik dan juga karena peningkatan penggunaan CPO dimana akibat dari peningkatan harga minyak mentah dunia. Selain digunakan sebagai bahan pangan, CPO juga sebagai bahan bakar biodiesel namun setelah Maret 2008 kemudian harga CPO Indonesia terus menurun hal ini salah satunya disebabkan karena merupakan imbas dari krisis di Amerika yang kemudian merambat menjadi krisis global sehingga perekonomian dunia menjadi lesu.
Sumber: Bappebti (diolah) Gambar 6. Pertumbuhan Harga Crude Palm Oil Indonesia Januari 2000November 2008
Gambar 6 adalah grafik yang menunjukkan pergerakan pertumbuhan harga CPO Indonesia selama periode penelitian. Berdasarkan grafik tersebut dapat
96
dilihat bahwa pertumbuhan harga CPO Indonesia memiliki volatilitas yang tinggi. Pada grafik juga dapat dilihat harga CPO Indonesia tidak stabil dimana harga sekarang lebih tinggi dibandingkan dengan harga bulan berikutnya hal ini dapat dilihat dari posisi grafik yang berada dibawah sumbu X. Variasi nilai pertumbuhan tertinggi adalah Rp.1 097 yang terjadi pada Januari 2008 dan nilai pertumbuhan terendah adalah Oktober 2008 dengan nilai Rp 1 618. Harga yang tidak stabil menyebabkan pelaku pasar CPO tidak bisa berpedoman pada harga yang terjadi sebelumnya karena harga selalu berubahubah dari waktu ke waktu. Selain itu volatilitasnya juga makin lama semakin besar dari waktu ke waktu artinya selisih harga sekarang dengan harga sebelumnya makin lama semakin
jauh sehingga pelaku pasar tidak dapat
memprediksikan harga kedepannya. Adapun rata-rata pertumbuhan harga CPO Indonesia adalah sebesar Rp28.77/bulan.
97
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1.
Integrasi Pasar Crude Palm Oil Integrasi pasar CPO yang dilihat dalam penelitian ini adalah integrasi
spasial yang melihat pergerakan harga CPO yang terjadi di pasar CPO. Adapun pasar CPO yang dibahas dalam penelitian ini antara lain pasar spot Indonesia, pasar spot Malaysia dan pasar forward Rotterdam di Belanda. Analisis data deret waktu dilakukan dengan metode kointegrasi dan model vektor eror (VECM) karena data stasioner di tingkat differensi dan terdapat hubungan jangka panjang seperti yang dikemukakan oleh Engel-Granger (1987) dalam Enders (1995). Analisis integrasi pasar ini dilakukan terhadap harga CPO bulanan mulai dari Januari 2000 hingga November 2008, selanjutnya harga tersebut dianalisis dengan model vektor kointegrasi dan VECM. Harga CPO yang dikumpulkan pada pasar spot Indonesia adalah dalam bentuk rupiah per kg, sedangkan harga yang dikumpulkan pada pasar spot Malaysia adalah dalam bentuk ringgit Malaysia per ton dan harga CPO yang dikumpulkan pada pasar forward Rotterdam adalah dalam bentuk USD per ton. Selain ketiga harga CPO di tiga pasar tersebut juga disertakan harga dari komoditi minyak kedelai sebagai komoditi subtitusi CPO dalam bentuk USD perton yang diperkirakan juga akan berpengaruh terhadap harga CPO, juga disertakan nilai tukar Malaysia dalam bentuk RM per USD dan Indonesia dalam bentuk Rp per USD karena transaksi yang dilakukan di kedua negara dilakukan dalam bentuk mata uang masing masing.
98
5.2.
Analisis Data Deret Waktu Sebelum memasuki tahapan analisis model VECM maka sebelumnya
dilakukan
pengujian-pengujian
pra-estimasi.
Pengujian-pengujian
tersebut
meliputi penetapan matriks korelasi untuk menentukan urutan variabel, uji unit akar (unit root test), pengujian stabilitas VECM dan pengujian selang optimal. Pengujian-pengujian ini penting karena dalam model deret waktu kebanyakan data yang digunakan mengandung akar unit sehingga membuat hasil estimasi menjadi palsu dan tidak valid (Gujarati, 2003) Data yang diolah yakninya data harga CPO di pasar Indonesia, Malaysia dan Rotterdam serta harga minyak kedelai dan nilai tukar Malaysia dan Indonesia dijadikan dalam bentuk logaritma terlebih dahulu. Maksud data yang dilogaritmakan ini adalah untuk memudahkan dalam analisis dan supaya data yang ada relatif lebih homogen sehingga memudahkan dalam menganalisisnya. Data harga CPO di Indonesia, Malaysia, Rotterdam dan harga minyak kedelai diolah sebagai variabel endogen sedangkan variabel nilai tukar Malaysia dan Indonesia diolah sebagai variabel eksogen. Penetapan variabel eksogen adalah karena nilai tukar suatu negara mempengaruhi pergerakan harga komoditi namun harga salah satu komoditi tidak dapat mempengaruhi perubahan nilai tukar. Adapun yang mempengaruhi perubahan nilai tukar adalah balance of payment dan balance of trade dari suatu negara dimana hal itu meliputi seluruh komoditi yang diekspor dan diimpor oleh suatu negara sehingga berdasarkan pertimbangan tersebut maka harga satu komoditi saja tidak dapat mewakili keseluruhan pembayaran dan perdagangan suatu negara.
99
5.2.1. Uji Stasionaritas Pengujian akar-akar unit dilakukan untuk menganalisis apakah suatu variabel stasioner atau tidak stasioner. Uji kestasioneran data merupakan tahap yang paling penting dalam menganalisis data deret waktu untuk melihat ada tidaknya akar unit yang terkandung diantara variabel, sehingga hubungan diantara variabel menjadi valid. Kestasioneran data merupakan suatu syarat penting dalam analisis model ekonometrika time series agar terhindar dari regresi lancung (spurious regression). Regresi lancung terjadi apabila hasil regresi menunjukkan hubungan yang nyata antar variabel dengan koefisien determinasi yang tinggi tapi kenyataannya tidak atau tidak sebesar yang nampak dari regresi yang dihasilkan tersebut, sehingga dapat mengakibatkan salah penafsiran dalam penelitian terhadap suatu fenomena yang sedang terjadi (Winarno, 2007). Pengujian akar unit variabel dalam model penelitian didasarkan pada Augmented Dickey Fuller (ADF) test pada tingkat level dan first difference. Data dikatakan stasioner apabila nilai ADF statistic lebih besar dari McKinnon Critical Value. Apabila nilai ADF statistik lebih kecil dari nilai Mc Kinnon Critical Value maka data bersifat stasioner. Pengujian akar unit dilakukan pada level kemudian dilanjutkan dengan melakukan uji akar unit pada tingkat first difference. Hasil pengujian akar unit pada tingkat level dapat dilihat pada Tabel 9. Pengujian akar-akar unit ini dilakukan terhadap keenam variabel yaitu harga minyak kedelai, harga CPO Rotterdam, harga CPO Malaysia, nilai tukar Malaysia, harga CPO Indonesia, dan nilai tukar Indonesia. Berdasarkan Tabel 9 dapat dilihat kestasioneritasan data dengan tingkat kesalahan 1 persen, 5 persen dan 10 persen. Terdapat tiga variabel yang stasioner pada model ADF tertentu
100
yakninya variabel minyak kedelai dan Malaysia yang stasioner pada tingkat level sebesar 5 persen pada model ADF yang menggunakan trend dan intersep, serta nilai tukar Indonesia (ERI) yang stasioner pada tingkat level
sebesar 5 persen
pada model ADF yang hanya menggunakan intersep saja, serta variabel Rotterdam yang stasioner pada model ADF yang menggunakan intersep.
Tabel 9. Hasil Pengujian Akar Unit Tingkat Level Tingkat Level Variabel
M.Kedelai
Intersep
Trend dan Intersep
None
Nilai Mc Nilai Mc Nilai Mc Prob Prob ADF Kinnon ADF Kinnon ADF Kinnon -1.82415 -2.58159 0.3669 -2.5768 -3.152153 0.029** -0.39298 -1.614713
Rotterdam -4.348858 -4.05050 0.0040*** -388455 -1.614586
Prob 0.5402
0.7942 -3.39145 -2.588530 0.0004***
Malaysia
-3.435119 -2.89003
0.012** -3.7514 -3.152909 0.023** -1.76300 -1.614656
0.0740
ERM
-2.272941 -2.58189
0.1827 -2.7176 -3.152652
0.2319 -0.36162 -1.614713
0.5522
Indonesia
-1.438753 -2.58159
0.5606 -2.3581 -3.152153
0.3992 -0.03587 -1.614713
0.6686
ERI
-2.989661 -3.49374
0.039** -3.0075 -3.252153
0.1352 0.910316 -1.614731
0.9022
Keterangan: *** = 1persen ** = 5persen
Dua variabel lainnya yakni harga CPO Malaysia dan nilai tukar Malaysia (ERM) tidak stasioner pada tingkat level atau derajat nol atau I(0) hal ini dapat dibuktikan dengan melihat nilai probabilitas yang semuanya bernilai diatas 10 persen. Selain dilihat dari nilai probabilitas, kestasioneran data dapat juga dilihat dengan membandingkan nilai ADF pada variabel-variabel tersebut lebih kecil dari nilai kritis McKinnon. Ditinjau dari sisi ekonominya data yang stasioner menggambarkan pergerakan masing-masing variabel. Variabel yang stasioner artinya tidak terdapat trend dalam pergerakan datanya dan sebaliknya data variabel yang tidak stasioner mengindikasikan bahwa data yang ada bergerak dengan trend tertentu. Apabila data yang memiliki trend tertentu diolah tanpa distasionerkan terlebih dahulu
101
maka akan berakibat dua data yang memiliki pola trend yang sama akan seolaholah memiliki hubungan yang erat padahal sebenarnya tidak, sehingga akan terjadi kesalahan interpretasi. Berdasarkan Tabel 9 maka sesuai dengan kestasioneran data dapat dibaca bahwa variabel Minyak Kedelai dan Harga CPO Malaysia serta ERI sudah stasioner berarti secara alami pergerakan ketiga data tersebut tidak memiliki trend tertentu dan dapat langsung diolah ke tahap berikutnya. Namun tidak demikian halnya dengan tiga variabel lainnya, walaupun toleransi
dinaikkan menjadi 10
persen ketiga variabel tetap tidak memenuhi kriteria stasioneritas data sehingga uji akar unit dilanjutkan pada first difference. Akibat tidak stasionernya ketiga variabel maka tiga variabel lainnya yang sudah stasioner di tingkat level tetap di uji pada tingkat first difference sehingga nantinya semua variabel berada pada tingkat yang sama. Adapun hasil pengujian akar unit pada tingkat first difference dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Hasil Pengujian Akar Unit Tingkat First Difference Tingkat first difference Intersep
Trend dan Intersep
None
Nilai McKinnon Prob ADF M.Kedelai -5.94829 -2.581596 0.000
Nilai ADF -5.928
Rotterdam -6.37176 -4.047795 0.000
-6.338
-4.047795 0.000
-6.401 -2.587172 0.000
Malaysia
-6.31334 -2.581596 0.000
-6.315
-4.047795 0.000
-6.343 -1.614713 0.000
ERM
-5.48183 -3.493747 0.000
-5.443
-4.047795 0.000
-5.504 -1.614713 0.000
Indonesia
-7.68432 -3.493747 0.000
-7.650
-4.047795 0.000
-7.682 -2.587172 0.000
ERI
-7.69858 -3.493747 0.000
-7.635
-3.152153 0.000
-7.658 -2.587172 0.000
Variabel
Nilai McKinnon Prob ADF -3.152153 0.000 -5.96685 -1.614713 0.000
McKinnon
Prob
Uji derajat integrasi dilakukan sebagai konsekuensi dari tidak terpenuhinya asumsi stasioneritas pada derajat tertentu. Pada uji ini, data dideferensiasikan pada
102
derajat tertentu, sampai semua data menjadi stasioner pada derajat yang sama. Tiga model ADF ditampilkan dalam uji ini, yaitu dengan menggunakan intersep, menggunakan trend dan intersep serta yang tidak menggunakan trend dan intersep (none). Ditinjau dari sisi ekonomi maka variabel yang telah distasionerkan pada level satu memiliki definisi yang agak berubah dibandingkan data awalnya. Hal ini terjadi karena untuk membuatnya menjadi first difference maka nilai yang ada sekarang dikurangkan dengan nilai pada periode sebelumnya sehingga akan didapatkan nilai perubahannya. Implikasi dari hal ini adalah misalnya bila pada tingkat level menampilkan data harga CPO Rotterdam maka dengan menstasionerkannya pada tingkat satu dibaca menjadi data pertumbuhan harga CPO Rotterdam. Begitu pula dengan variabel lainnya yang telah distasionerkan. Berdasarkan hasil uji akar unit tingkat first difference pada Tabel 10 terlihat bahwa semua data yang dipergunakan dengan model ADF baik dengan intersep, menggunakan intersep dan trend serta yang tidak menggunakan intersep dan trend dalam penelitian ini sudah stasioner, karena nilai probabilitas semuanya bernilai dibawah 1 persen atau nilai ADF pada variabel-variabel tersebut lebih besar dari nilai kritis McKinnon. Karena semua data sudah stasioner pada uji derajat satu I(1), sehingga dapat dilanjutkan pada pengujian selanjutnya.
5.2.2. Tingkat Selang Optimal Penentuan selang optimal sangat penting dalam pendekatan VAR/VECM karena selang dari variabel endogen dalam sistem persamaan akan digunakan sebagai variabel eksogen. Panjangnya selang variabel yang optimal diperlukan
103
untuk menangkap pengaruh dari setiap variabel terhadap variabel lainnya dalam sistem VAR/VECM (Widarjono,2007). Adapun panjang selang optimum berdasarkan kriteria AIC dan SC dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Panjang Selang Optimum Berdasarkan Beberapa Kriteria Lag LogL LR FPE AIC SC HQ 0 486.8848 NA 8.01E-10 -9.593632 -9.279072 -9.466361 1 716.3390 426.4604 1.07E-11 -13.90584 -13.17187* -13.60887 2 750.1296 60.07219* 7.52E-12* -14.26525* -13.11186 -13.79858* 3 759.3097 15.57832 8.68E-12 -14.12747 -12.55467 -13.49111 4 770.6921 18.39569 9.63E-12 -14.03418 -12.04197 -13.22813 5 781.3337 16.33862 1.09E-11 -13.92593 -11.51431 -12.95018 6 793.5294 17.73927 1.20E-11 -13.84908 -11.01804 -12.70364 7 800.5782 9.683131 1.49E-11 -13.66825 -10.41779 -12.35311 8 808.9509 10.82534 1.80E-11 -13.51416 -9.844293 -12.02933 Keterangan: * indicates lag order selected by the criterion LR: sequential modified LR test statistic (each test at 5persen level) FPE: Final prediction error AIC: Akaike information criterion SC: Schwarz information criterion HQ: Hannan-Quinn information criterion
Pengujian panjang selang optimal ini juga berguna untuk menghilangkan masalah autokorelasi dalam sistem VAR. Sehingga dengan digunakannya selang optimal
diharapkan
tidak
muncul
lagi
masalah
autokorelasi
dan
heteroskedastisitas (Enders,1989). Untuk menetapkan selang yang optimal digunakan nilai dari Akaike Information Criteria (AIC), Schwarz Criteria (SC) dan Hannan-Quinn Information Criteria (HQ). Besarnya selang yang dipilih adalah yang memiliki nilai adj R2 yang terbesar. Berdasarkan Tabel 11 maka sesuai tanda bintang maka kandidat selang lag yang akan dipakai adalah 1 dan 2. Selanjutnya penggunaan selang 1 atau 2 akan bergantung kepada selang mana yang akan memberikan nilai adj R square terbesar bagi variabel penelitian. Adapun berdasarkan pengulangan yang
104
dilakukan dengan menggunakan selang 1 dan 2 maka didapatkan hasil seperti yang disajikan pada Tabel 12. Tabel 12. Nilai Adj R2 Variabel Rotterdam, Malaysia, Indonesia dan Minyak Kedelai Pada Kandidat Selang Optimal
2
Adj. R lag 1 2
Adj. R lag 2
log(Roterdam)
log(Malaysia)
log(Indonesia)
log(M.Kedelai)
0.970851
0.959010
0.962149
0.974259
0.976648
0.970341
0.965265
0.978587
Berdasarkan Tabel 12 maka dapat dilihat bahwa nilai adj R2 yang paling besar adalah pada selang 2 sehingga untuk selanjutnya selang yang akan dipakai sebagai lag optimum adalah lag 2. Implikasinya dari sisi ekonomi dengan penggunaan selang dua sebagai selang yang optimal pada persamaan artinya adalah semua variabel yang ada dalam persamaan saling mempengaruhi satu sama lain bukan saja pada periode yang sama namun variabel-variabel tersebut saling terkait hingga dua periode sebelumnya. Nilai dari selang suatu variabel dapat berpengaruh terhadap variabel lainnya disebabkan karena dibutuhkan waktu bagi suatu variabel untuk merespon pergerakan variabel lainnya, dan berdasarkan nilai optimal maka jeda waktu yang dibutuhkan adalah dua periode.
5.2.3. Pengujian Stabilitas Vector Autoregression Setelah didapatkan selang optimal dari masing-masing hubungan antarvariabel, langkah selanjutnya adalah menguji kestabilan data. Stabilitas VAR perlu diuji sebelum melakukan analisis lebih jauh, Data tidak stabil berarti data yang digunakan untuk pendugaan model VAR kurang baik dan tidak robust atau tidak sempurna. Untuk menguji stabil atau tidaknya estimasi VAR yang telah
105
dibentuk
maka dilakukan VAR stability condition check berupa roots of
characteristic polynomial. Suatu sistem VAR dikatakan stabil jika seluruh rootsnya memiliki modulus lebih kecil dari 1. Ringkasan pengujian stabilitas VAR dapat dilihat pada Tabel 13.
Tabel 13 : VAR Stability Condition Check Root 0.902506 - 0.025513i 0.902506 + 0.025513i 0.699488 0.329591 - 0.360793i 0.329591 + 0.360793i 0.034205 - 0.380867i 0.034205 + 0.380867i 0.229829
Modulus 0.902867 0.902867 0.699488 0.488674 0.488674 0.382400 0.382400 0.229829
Keterangan: No root lies outside the unit circle. VAR satisfies the stability condition.
Dari Tabel 13 tersebut dapat disimpulkan bahwa model VAR yang sudah dibentuk sudah stabil pada selang optimalnya yaitu 2. Ini terlihat dari nilai modulusnya yang kurang dari satu. Huruf i yang terdapat dibelakang variabel didefinisikan sebagai pembulatan angka.
5.2.4. Analisis Kointegrasi Menurut definisi yang diuraikan Engel dan Granger (1987), bahwa kointegrasi mengacu pada sejumlah variabel yang terintegrasi pada derajat yang sama, maka dapat dilakukan uji kointegrasi. Pada penelitian ini semua variabel terkointegrasi pada derajat I(1). Sebab jika variabel-variabel dalam suatu penelitian terkointegrasi pada derajat yang berbeda, maka dapat dikatakan bahwa variabel-variabel tersebut tidak bisa terkointegrasi.
106
Adanya
hubungan
kointegrasi
dalam
sebuah
sistem
persamaan
mengimplikasikan bahwa dalam sistem tersebut terdapat Error Correction Model yang menggambarkan adanya dinamisasi jangka pendek secara konsisten dengan hubungan jangka panjangnya. Artinya dalam ekonometrika variabel yang saling terkointegrasi dikatakan dalam keseimbangan jangka panjang. (Nachrowi dan Usman, 2006). Uji kointegrasi dalam penelitian ini menggunakan pendekatan Johansen dengan membandingkan antara trace statistic dengan critical value atau dengan membandingkan maksimum eigenvalue dengan critical value yang digunakan yaitu 5 persen. Jika trace statistic atau maksimum eigenvalue lebih besar dari critical value maka terdapat kointegrasi dalam sistem persamaan tersebut. Uji kointegrasi ini nantinya akan menentukan jumlah vektor kointegrasi (r) diantara sistem variabel yang ada. Terdapat lima asumsi deterministic trend dalam uji kointegrasi, untuk menentukan pilihan trend yang digunakan bisa dilihat dari hasil summary, serta pilihan selang yang digunakan adalah selang optimal. Pemilihan asumsi dengan summary disesuaikan berdasarkan kriteria informasi Schwarz Criteria (SC). Berdasarkan summary didapatkan bahwa asumsi yang digunakan adalah intercept no trend untuk kedua hubungan untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran 1. Tahapan kedua adalah menentukan jumlah kointegrasi. Berdasarkan selang optimum dan bentuk determinastik trend yang telah didapatkan sebelumnya trace statistic menunjukkan bahwa terjadi satu kointegrasi. Ditunjukkan pada Tabel 14 dan Lampiran 2.
107
Tabel 14: Rangkuman Hasil Uji Kointegrasi Johansen Hipotesis None At most 1 At most 2 At most 3
Trace Statistic 87.90307 27.09134 9.74916 0.40736
Nilai Kritis 5 persen 47.21 29.68* 15.41 3.76
Keterangan: *(**) denotes rejection of the hypothesis at the 5 persen (1 persen) level Trace test indicates 1 cointegrating equation(s) at both 5 persen and 1persen levels
Berdasarkan data maka dapat dibaca bahwa dalam penelitian ini menurut test trace terdapat hubungan kointegrasi pada nilai kritis 5 persen. Artinya lain dapat dikatakan bahwa keenam variabel terkointegrasi pada tingkat diferensi. Hal ini mengindikasikan kemungkinan terdapatnya hubungan atau keseimbangan dalam jangka panjang antarvariabel yang ada. Walaupun begitu untuk mencapai keseimbangan dalam jangka panjang diperlukan penyesuaian (adjustment) karena itu bisa saja dalam jangka pendek ditemui ketidakseimbangan.
5.2.5. Vector Error Correction Model Agar seimbang maka dalam model harus dimasukkan faktor koreksi yang disebut
sebagai
model
koreksi
kesalahan
(Widarjono,
2007).
Setelah
mengidentifikasikan jumlah vektor yang terkointegrasi maka langkah berikutnya adalah mengestimasi dengan menggunakan VECM. Engle dan Granger (1987) dalam Widarjono (2007) menyatakan walaupun data time series seringkali tidak stasioner pada tingkat level atau disebut dengan nonstasionaritas data tapi kombinasi linier antara dua atau lebih data nonstasioner menjadi stasioner, hal inilah yang dikatakan terkointegrasi. Kointegrasi sendiri dapat didefinisikan bahwa terdapat hubungan jangka panjang antar variabel dalam sistem VAR.
108
Model VECM digunakan pada data-data time series yang tidak stasioner pada tingkat level namun stasioner pada tingkat differensi dan terkointegrasi sehingga menunjukkan adanya hubungan teoritis antar variabel. Model VECM yang merupakan model VAR nonstruktural ini disebut juga sebagai model VAR terestriksi. Disebut demikian karena VECM membatasi hubungan perilaku jangka panjang antarvariabel yang ada agar konvergen ke dalam hubungan kointegrasi namun tetap membiarkan perubahan-perubahan dinamis di dalam jangka pendek. terminologi kointegrasi ini dikenal sebagai koreksi kesalahan (error correction) karena bila terjadi deviasi terhadap keseimbangan jangka panjang akan dikoreksi secara bertahap melalui penyesuaian parsial jangka pendek. Estimasi VECM secara lengkap pada penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 3. Berdasarkan pada Lampiran 3 dapat dibaca bahwa dalam jangka pendek variabel harga CPO Rotterdam dipengaruhi secara nyata ( =1 persen) oleh dirinya sendiri pada lag 1 dan 2. Serta juga dipengaruhi oleh harga CPO Malaysia pada lag 1 dan 2 dan nilai tukarnya. Pada variabel Rotterdam ditunjukkan bahwa nilai koefisien koreksi kesalahan terhadap variabel Rotterdam sebesar -1.109 artinya terdapat penyesuaian dari persamaan jangka pendek menuju persamaan jangka panjang sebesar 1.109 persen. Dapat pula diartikan bahwa setiap bulan, kesalahan dikoreksi sebesar 1.109 persen menuju keseimbangan jangka panjang. Harga CPO Malaysia dalam jangka pendek dipengaruhi secara nyata oleh dirinya sendiri pada lag 1, dipengaruhi juga oleh harga CPO Rotterdam pada lag 1 dan 2 ( =5 persen) dan harga CPO Indonesia pada lag 1, serta minyak kedelai
109
pada lag 1 ( =10 persen) dan nilai tukarnya sendiri ( =1 persen). Pada variabel Malaysia ditunjukkan bahwa nilai koreksi koreksi kesalahan terhadap variabel Malaysia sebesar -0.76 artinya terdapat penyesuaian dari persamaan jangka pendek menuju persamaan jangka panjang sebesar 0.76 persen. Dapat pula diartikan bahwa setiap bulan, kesalahan dikoreksi sebesar 0.76 persen menuju keseimbangan jangka panjang. Variabel nilai CPO Indonesia dalam jangka pendek dipengaruhi secara nyata oleh Rotterdam dan Malaysia masing-masing pada lag 1 ( =1 persen) serta nilai tukar Malaysia dan nilai tukar Indonesia ( =10 persen). Pada variabel Indonesia ditunjukkan bahwa nilai koefisien koreksi kesalahan terhadap variabel Indonesia sebesar -0.56 artinya terdapat penyesuaian dari persamaan jangka pendek menuju persamaan jangka panjang sebesar 0.56 persen. Dapat pula diartikan bahwa setiap bulan, kesalahan dikoreksi sebesar 0.56 persen menuju keseimbangan jangka panjang. Sedangkan variabel minyak kedelai dipengaruhi oleh Rotterdam dan Malaysia pada lag 1 ( =1 persen) dan dirinya sendiri pada lag 1 ( =5 persen). Fenomena berpengaruh nyatanya suatu variabel terhadap variabel lainnya dapat dijelaskan bahwa Rotterdam yang dipengaruhi oleh dirinya sendiri artinya dalam penetapan harga dimasa yang akan datang pelaku pasar tidak hanya mempertimbangkan penawaran dan permintaan yang
terjadi di periode yang
bersangkutan namun juga melihat harga yang sudah terbentuk dari periode yang lalu dalam penelitian ini adalah hingga dua periode sebelumnya. Apalagi dengan status pasar Rotterdam yang merupakan pasar forward dimana harga yang akan datang telah disepakati di periode sebelumnya sehingga pelaku pasar memprediksi
110
kecendrungan harga dimasa akan datang berdasarkan harga yang telah terjadi di masa sekarang. Rotterdam juga dipengaruhi oleh Malaysia pada jangka pendek disebabkan karena produk CPO yang banyak diperjualbelikan oleh pelaku pasar di Rotterdam adalah CPO yang berasal dari Malaysia, alasan ini pula yang mendasari kenapa nilai tukar Malaysia juga berpengaruh nyata dalam jangka pendek terhadap harga CPO di Rotterdam. Bila nilai tukar Malaysia menguat maka harga CPO Malaysia akan menjadi mahal di mata pelaku pasar Rotterdam dan sebaliknya jika nilai tukar Malaysia melemah maka harganya murah sehingga permintaan akan semakin banyak. Harga CPO Malaysia dipengaruhi oleh harga di Rotterdam karena Rotterdam negara tujuan ekspor Malaysia bila harga di Rotterdam lebih tinggi daripada di Malaysia maka pedagang akan memilih untuk mengekspor ke Belanda dan sebaliknya, sehingga akan mempengaruhi pasokan yang ada di Malaysia dan akan berpengaruh pada perubahan harga CPO dalam negerinya. Harga CPO Indonesia juga ikut memperngaruhi harga yang terjadi di Malaysia karena Indonesia adalah negara pesaing dalam hal ekspor CPO. Harga CPO Indonesia dalam jangka pendek dipengaruhi oleh Malaysia dan Rotterdam karena Malaysia selain sebagai negara tujuan ekspor Malaysia adalah negara pesaing Indonesia dalam mengekspor CPO, sehingga sebagai dua negara eksportir CPO terbesar di dunia maka Indonesia harus mempertimbangkan harga yang terjadi di Malaysia karena bila terdapat selisih harga antara keduanya maka permintaan akan lebih banyak pada negara yang menawarkan CPO dengan harga yang lebih murah.
111
5.2.6. Impulse Response Impulse response diperlukan dalam suatu estimasi VAR karena secara individual koefisien dalam model VAR sulit diinterpretasikan. Fungsi dari impulse response adalah untuk melacak respon dari variabel endogen di dalam sistem VAR karena adanya gangguan atau perubahan di dalam variabel gangguan (e). Penggunaan impulse response akan membantu peneliti untuk melacak shock untuk beberapa periode ke depan (Widarjono, 2007). Analisis impulse response akan menjelaskan dampak dari guncangan (shock) pada satu variabel terhadap variabel lain, dimana dalam analisis ini tidak hanya dalam waktu pendek tetapi dapat menganalisis untuk beberapa horizon kedepan (kuartal) sebagai infomasi jangka panjang. Pada analisis ini dapat melihat respon dinamika jangka panjang setiap variabel apabila ada inovasi (shock) tertentu sebesar satu standard error pada setiap persamaan. Sumbu horizontal merupakan periode dalam kuartal, sedangkan sumbu vertikal menunjukkan nilai respon dalam persentase. Terdapat beberapa cara dalam menyajikan hasil dari impulse response dua diantaranya adalah dengan menggunakan grafik dan dengan menggunakan Tabel. Bila data impulse response disajikan dalam bentuk grafik maka untuk data penelitian dengan enam variabel ini akan disajikan 36 bentuk grafik. Dari 36 grafik tesebut hanya 30 grafik yang digunakan dalam analisis impulse response karena enam sisanya hanya menjelaskan respon suatu variabel karena shock variabel itu sendiri.
112
Response of LOG(ROT) to LOG(ROT) persen
Response of LOG(ROT) to LOG(MAL) persen
.06
.06
.04
.04
.02
.02
.00
.00
-.02
-.02 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1
bulan
2
3
4
5
6
a
7
8
9
b
Response of LOG(ROT) to LOG(IND) persen
10
bulan
Response of LOG(ROT) to LOG(KED) persen
.06
.06
.04
.04
.02
.02
.00
.00
-.02
-.02 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1
2
3
4
5
6
7
8
bulan
d c Gambar 7. Grafik Impulse Response dari Nilai Logaritma Harga Crude Palm Oil Rotterdam terhadap Variabel Lain
9
10
bulan
Gambar 7 menunjukkan respon dari data harga CPO Rotterdam dalam bentuk logaritma karena adanya perubahan (shock) pada variabel harga CPO Malaysia dan Indonesia, dan harga minyak kedelai. Grafik 7a menggambarkan respon Rotterdam karena perubahan dirinya sendiri. Adanya shock pada harga CPO Malaysia berupa perubahan nilai dari nilai tengah, seperti yang ditunjukkan pada grafik 7b menyebabkan harga CPO Rotterdam mengalami penurunan pada awal periode dan setelah periode 2 mulai naik hingga periode 5 yang diikuti dengan penurunan sedikit kemudian stabil setelah periode 7. Adanya perubahan dari simpangan baku pada harga CPO Indonesia seperti pada garfik 7c direspon
113
oleh harga CPO Rotterdam dengan melihat kurva yang naik dan kembali stabil mulai periode 7 hingga akhir periode. Begitu juga dengan respon Rotterdam terhadap Minyak Kedelai pada 6d akan naik sedikit hingga stabil kembali pada periode 8. Response of LOG(MAL) to LOG(ROT)
Response of LOG(MAL) to LOG(MAL)
persen .09
persen .09
.08
.08
.07
.07
.06
.06
.05
.05
.04
.04
.03
.03
.02
.02
.01
.01
.00
.00 1
2
3
4
5
a
6
7
8
9
10
1
bulan
5
6
7
8
9
10
bulan
.09
.08
.08
.07
.07
.06
.06
.05
.05
.04
.04
.03
.03
.02
.02
.01
.01
.00
4
Response of LOG(MAL) to LOG(KED) persen
.09
3
b
Response of LOG(MAL) to LOG(IND) persen
2
.00 1
2
3
4
5
6
c
7
8
9
10
bulan
1
2
3
4
5
6
d
7
8
9
10
bulan
Gambar 8. Grafik Impulse Response dari Nilai Logaritma Harga Crude Palm Oil Malaysia terhadap Variabel Lain
Gambar 8 menunjukkan grafik respon harga CPO Malaysia dalam bentuk logaritma akibat adanya perubahan (shock) pada variabel Rotterdam, Indonesia, dan Minyak Kedelai. Perubahan yang terjadi pada harga Rotterdam seperti pada grafik 8a akan menyebabkan Malaysia mengalami kenaikan di awal periode kemudian akan menurun hingga periode ke empat dimana penurunannya lebih
114
besar dibandingkan nilai awal kemudian kembali naik dan stabil kembali mulai periode 8. Perubahan pada variabel Indonesia (8c) menyebabkan pengaruh pada CPO Malaysia ditandai dengan grafik yang bergerak naik dan kemudian akan kembali stabil pada periode 8.
Response of LOG(IND) to LOG(ROT) persen
.08
Response of LOG(IND) to LOG(MAL) persen
.08
.07
.07
.06
.06
.05
.05
.04
.04
.03
.03
.02
.02
.01
.01
.00
.00
-.01
-.01 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1
3
4
5
bulan
a
6
7
8
Response of LOG(IND) to LOG(IND)
9
10
bulan
b
Response of LOG(IND) to LOG(KED)
.08
persen
2
.08
persen
.07
.07
.06
.06
.05
.05
.04
.04
.03
.03
.02
.02
.01
.01
.00
.00
-.01
-.01 1
2
3
4
5
6
c
7
8
9
10
bulan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
d
10
bulan
Gambar 9. Grafik Impulse Response dari Nilai Logaritma Harga Crude Palm Oil Indonesia terhadap Variabel Lain
Gambar 9 merupakan grafik yang menunjukkan respon dari variabel Indonesia dalam bentuk logaritma terhadap shock pada variabel Rotterdam, Indonesia, dan Malaysia. Bila terjadi shock pada Rotterdam maka pada awal periode Indonesia akan naik hingga periode dua dan kemudian akan menurun pada periode 4 dan akan naik perlahan hingga stabil pada periode 6. Sedangkan
115
shock yang terjadi pada variabel Malaysia akan menyebabkan Indonesia bergerak turun hingga periode dua pada periode tiga mulai bergerak naik melandai hingga pada periode 6 akan kembali stabil. Selanjutnya shock yang terjadi pada kedelai akan menyebabkan Indonesia bergerak naik hingga periode 3 dan akan mulai stabil kembali pada periode 5.
Response of LOG(KED) to LOG(ROT) persen
.06
.06
.05
.05
.04
.04
.03
.03
.02
.02
.01
.01
.00
.00
-.01
-.01
-.02
-.02 1
2
3
4
5
6
7
8
a
9
10
1
bulan
Response of LOG(KED) to LOG(IND) persen
Response of LOG(KED) to LOG(MAL)
persen
3
4
5
6
7
8
9
10
bulan
b
Response of LOG(KED) to LOG(KED)
.06
persen .06
.05
.05
.04
.04
.03
.03
.02
.02
.01
.01
.00
.00
-.01
-.01
-.02
2
-.02 1
2
3
4
5
c
6
7
8
9
bulan
10
1
2
3
4
5
6
d
7
8
9
10
bulan
Gambar 10. Grafik Impulse Response dari Nilai Logaritma Harga Minyak Kedelai terhadap Variabel Lain
Gambar 10 merupakan grafik yang menunjukkan respon dari variabel Minyak Kedelai dalam bentuk logaritma terhadap shock pada variabel Rotterdam, Malaysia, dan Indonesia. Bila terjadi shock pada Rotterdam maka pada awal periode Minyak Kedelai akan naik hingga periode dua dan kemudian akan
116
kembali turun pada periode 4 dan akan naik perlahan dan stabil pada periode enam. Respon yang terjadi akibat adanya shock pada variabel Malaysia akan menyebabkan kedelai bergerak turun pada periode 2 dan mulai naik setelah periode 2 tersebut dan stabil pada periode 9. Selanjutnya shock yang terjadi pada Indonesia akan menyebabkan minyak kedelai bergerak naik hingga stabil pada periode enam. Cara lain untuk membaca hasil impulse response adalah dengan melihat nilai impulse response tiap periode maupun secara kumulatif seperti yang dapat dibaca pada Lampiran 4. Bagian Tabel yang paling atas pada Lampiran 4 menunjukkan respon harga CPO Rotterdam karena adanya perubahan (shock) pada tiga variabel lainnya.
5.2.7. Forecast Error Variance Decomposition Variance decomposition atau disebut juga dengan forecast error decomposition of variance digunakan dalam estimasi untuk menggambarkan sistem dinamis VAR. Berbeda dengan analisis impulse response yang digunakan untuk melacak dampak shock dari variabel endogen terhadap variabel lain di dalam sistem VAR, variance decomposition menggambarkan relatif pentingnya setiap variabel di dalam sistem VAR karena adanya shock. Variance decomposition berguna untuk memprediksi konstribusi persentase varian setiap variabel karena adanya perubahan variabel tertentu di dalam sistem var (Widarjono, 2007). Fluktuasi setiap variabel akibat terjadinya suatu guncangan (shock) dapat dilakukan dengan menganalisis peranan setiap guncangan. Hal ini dipakai untuk
117
menjelaskan fluktuasi variabel-variabel makro ekonomi melalui analisis FEVD atau disebut juga sebagai analisis dekomposisi varians. Berdasarkan analisis ini kontribusi dari guncangan variabel dalam sistem terhadap perubahan variabel tertentu dapat diketahui. Bagian atas Tabel menggambarkan prediksi konstribusi presentase varian variabel Rotterdam terhadap perubahan tiga variabel lainnya. Periode 1 (selang 1) varian harga CPO Rotterdam yang dijelaskan oleh variabel itu sendiri sebesar 100 persen. Periode 2 (selang 2) varian harga CPO Rotterdam dijelaskan oleh variabel itu sendiri sebesar 94.10 prsen dan sisanya dijelaskan masing-masing sebesar 1.06 persen oleh nilai harga malaysia, 4.57 persen oleh nilai harga CPO Indonesia, 0.78 persen oleh nilai harga CPO Rotterdam. Untuk lebih lengkap dapat dilihat pada Lampiran 5. Berdasarkan Lampiran 5 maka dapat dilihat bahwa dalam jangka panjang variabel harga dari CPO di Rotterdam dipengaruhi oleh harga dari variabel harga CPO Malaysia dan Indonesia. Hal ini disebabkan karena produk CPO yang diperdagangkan di Rotterdam adalah berasal dari kedua negara tersebut dan kemudian 92 persennya di reekspor ke negara lainnya. Berdasarkan informasi tersebut maka perubahan harga yang terjadi di Indonesia dan Malaysia akan mempengaruhi pasokan CPO yang terdapat di Rotterdam sehingga juga akan berpengaruh terhadap harga yang terbentuk di Rotterdam. Adapun variabel Malaysia dalam jangka panjang dipengaruhi oleh harga yang terjadi di Rotterdam, kemudian diikuti oleh harga di Malaysia sendiri. Hal ini disebabkan karena Rotterdam adalah pangsa ekspor kedua terbesar Malaysia sehingga dapat dikatakan bahwa dalam pergerakan harga di kedua pasar
118
sebenarnya saling berpengaruh satu dengan lainnya. Jika harga Malaysia bergerak naik maka penawaran di Rotterdam akan berkurang sehingga harga di Rotterdam akan mengikuti kenaikan harga di Malaysia. Sebaliknya jika harga di Rotterdam turun misalnya akibat penurunan permintaan maka akan terjadi over supply dari Malaysia sehingga akan banyak tersedia CPO di domestik dan akan menyebabkan harga di domestik akan turun juga. Variabel yang mempengaruhi pergerakan harga CPO Indonesia dalam jangka panjang adalah harga di Rotterdam. Sebagaimana halnya dengan Malaysia yang menjadikan Rotterdam sebagai salah satu pangsa ekspornya maka perubahan harga yang terjadi di Rotterdam juga akan berefek terhadap harga yang terjadi di Indonesia.
119
VI. IMPLIKASI KEBIJAKAN
6.1.
Hubungan Harga Crude Palm Oil Indonesia dan Rotterdam Berdasarkan hasil analisis dari impulse response maka dapat didapatkan
hasil bahwa respon Indonesia pada bulan pertama bila Rotterdam diganggu maka Indonesia akan berubah sebesar 0.067 persen artinya dalam jangka pendek yaitu peiode satu bulan kedepan guncangan yang terjadi pada harga CPO Rotterdam akan langsung mempengaruhi pergerakan harga di Indonesia. Berbeda dengan respon Indonesia yang langsung bergerak saat Rotterdam diguncang ternyata Rotterdam
tidak ikut bergerak waktu Indonesia dishock
dimana nilai respon Rotterdam saat Indonesia bergerak adalah nol, dengan kata lain walaupun terjadi perubahan pada harga Indonesia namun Rotterdam tidak terpengaruh. Implikasi dari hal ini bahwa hubungan harga CPO antara pasar spot Indonesia dengan pasar forward Rotterdam adalah satu arah dimana Rotterdam mempengaruhi harga CPO Indonesia namun hal ini tidak berlaku sebaliknya karena Indonesia tidak dapat mempengaruhi harga di Rotterdam. Fenomena di atas mendukung teori yang menyatakan bahwa dalam proses penentuan harga, pasar spot merujuk pada pasar forward. Dalam hal ini adalah pasar spot Indonesia menjadikan pasar forward di Rotterdam sebagai referensinya dalam menentukan harga di Indonesia. Pasar forward sendiri terbentuk didasarkan pada keinginan pelaku pasar untuk mengurangi ataupun mengalihkan resiko harga yang mungkin mereka hadapi. Terutama pada komoditi pertanian karena ketergantungannya pada faktorfaktor luar seperti bencana alam, musim dan lainnya. Bentuk dari resiko itu antara
120
lain adalah terdapatnya deviasi harga yang tinggi antara satu periode dengan periode yang lainnya. harga pada pasar forward di masa yang akan datang sudah disepakati pada saat perjanjian dibuat sehingga pelaku pasar tidak akan terpengaruh oleh kenaikan dan penurunan harga jual pada saatnya nanti di pasar tunai. Berbeda dengan pembentukan harga di pasar spot, harga yang terbentuk adalah berdasarkan pada kekuatan permintaan dan penawaran pada saat transaksi berlangsung sehingga volatilitas harga menjadi tinggi karena pelaku pasar tidak memiliki referensi harga namun hanya bisa melihat dari harga sebelumnya.
6.2.
Hubungan Harga Crude Palm Oil Indonesia dan Malaysia Respon Indonesia pada saat Malaysia di shock pada periode satu bulan
kedepan adalah bergerak sebesar 0.015 persen. Artinya harga CPO Malaysia berpengaruh terhadap harga CPO Indonesia. Pada saat harga CPO Indonesia di shock ternyata harga CPO Malaysia tidak ikut bergerak. Hal ini dapat dilihat pada nilai Impuls Respon Malaysia yang bernilai nol pada periode satu bulan kedepannya. Berdasarkan hasil analisis diatas dapat dinyatakan bahwa hubungan antara Indonesia dan Malaysia adalah bersifat satu arah dimana harga CPO Malaysia mempengaruhi harga CPO di Indonesia namun tidak berlaku sebaliknya dimana harga CPO Indonesia tidak mempengaruhi harga CPO di Malaysia. Implikasi dari hasil ini adalah Indonesia dalam menentukan harga CPO domestiknya menjadikan harga CPO Malaysia sebagai referensinya.
121
6.3.
Hubungan Harga Crude Palm Oil Malaysia dan Rotterdam Berdasarkan Impulse Response yang terjadi didapatkan hasil bahwa pada
saat Rotterdam mengalami guncangan maka Malaysia akan berubah sebesar 0.06 persen. Artinya dalam jangka pendek yaitu periode satu bulan kedepan guncangan yang terjadi pada harga CPO Rotterdam akan langsung mempengaruhi pergerakan harga di Malaysia. Adapun respon Rotterdam pada saat terjadi guncangan pada Malaysia adalah nol. Artinya Rotterdam tidak merespon perubahan yang terjadi di Malaysia. Berdasarkan hal tersebut dapat dinyatakan bahwa hubungan yang terdapat antara harga CPO Malaysia dan harga CPO Rotterdam adalah bersifat satu arah dimana Rotterdam mempengaruhi Malaysia namun tidak berlaku kebalikannya. Harga CPO Malaysia tidak berpengaruh terhadap harga CPO Rotterdam. Sama seperti yang terjadi pada pasar Indonesia, dimana pasar Malaysia adalah pasar yang melaksanakan transaksinya secara spot. Pasar Rotterdam yang merupakan pasar forward adalah merupakan pasar referensi untuk pasar spot di Malaysia dan Indonesia karena harga yang terbentuk di pasar forward sudah terbentuk terlebih dahulu sehingga dijadikan acuan untuk menentukan harga di pasar spot.
6.4.
Implikasi Kebijakan Pembentukan Harga Crude Palm Oil Indonesia Melihat hubungan yang terjadi melalui impulse response antarpasar spot
Indonesia, Malaysia dan pasar forward Rotterdam didapatkan hasil bahwa yang menjadi pasar acuan adalah pasar forward Rotterdam dan yang menjadi pengikut pasar adalah pasar spot Indonesia dan Malaysia. Khususnya bagi Indonesia hal ini
122
berarti bahwa sebagai pasar pengikut dalam pasar CPO, posisi tawar Indonesia sebagai negara produsen masih kalah kuat dibandingkan dengan pembeli. Salah satu cara untuk meningkatkan peranan Indonesia dalam penentuan harga CPO baik dunia atau domestik adalah dengan memperbaiki sistem pemasaran CPO Indonesia. Dengan membentuk bursa berjangka di Indonesia dan membangun future market khususnya bagi komoditi CPO maka volatilitas harga CPO yang terjadi selama ini akan dapat berkurang karena fungsi dari bursa berjangka adalah sebagai sarana untuk mengalihkan resiko dalam bentuk volatilitas harga yang tinggi. Resiko harga di sektor komoditi sangat besar karena beberapa faktor eksternal antara lain cuaca, kondisi ekonomi dan politik suatu negara, angkutan dan lain lain. Resiko harga tersebut akan lebih ditentukan sesuai dengan mekanisme pasar. Harga yang terbentuk di bursa transparan karena pembeli dan penjual tidak bertemu dimana transaksi yang terjadi mencerminkan kekuatan pasokan dan permintaan yang sebenarnya hal ini adalah perbaikan dari sistem spot dimana pada saat yang sama penjual dan pembeli tidak memiliki informasi yang sama mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi harga (asymmetry information). Tidak efisiennya perdagangan spot telah mengakibatkan standar yang tidak jelas, selain itu tidak diketahuinya kualitas barang yang dibeli mengakibatkan peningkatan biaya transaksi. Semakin membaiknya arus informasi maka harga yang terjadi di pasar forward dapat dijadikan acuan oleh dunia usaha termasuk petani untuk melakukan transaksi di pasar fisik. Membaiknya arus informasi yang berhubungan dengan harga, produksi, konsumsi, volume perdagangan, dan juga perkiraan (ekspektasi)
123
pasar, membuat pasar berjangka lebih transparan dan bersaing. Semakin banyak informasi tentang pasar diketahui orang, akan membuat mereka semakin mampu mengantisipasi pembentukan harga di pasar. Adanya pasar berjangka juga dapat membantu terintegrasikannya pasarpasar lokal ke dalam pasar nasional atau bahkan internasional. Terintegrasikannya pasar nasional berarti harga di berbagai tingkat pemasaran yang berbeda akan bergerak mendekati pasar-pasar nasional dan internasional. Hal ini akan menjamin lebih realistisnya harga komoditi. Fungsi pasar berjangka lainnya adalah sebagai hedging dimana didefinisikan sebagai pelindung prosesor terhadap naiknya bahan baku dan turunya nilai persediaan dan juga melindung pedagang dan eksportir dari kenaikan harga komoditi yang telah dikontrak untuk penyerahan kemudian namun belum dibeli. Jalan untuk membentuk suatu pasar berjangka di Indonesia telah dimulai oleh pemerintah Indonesia dengan mengeluarkan Undang-Undang No. 32 tahun 1997 yang berisi tentang aturan-aturan perdagangan berjangka komoditi dimana komoditi yang dapat dijadikan objek kontrak berjangka ditetapkan oleh keputusan presiden.
Undang-undang
ini
merupakan
landasan
hukum
pelaksanaan
perdagangan berjangka di Indonesia (future trading) dimana definisi dari perdagangan berjangka adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan jual beli komoditi yang pernyerahannya dilakukan kemudian sesuai dengan kontrak berjangka. Pasar yang dapat dijadikan tempat perdagangan berjangka telah ditentukan yaitu hanya di pasar-pasar yang terorganisasi disebut juga sebagai bursa berjangka. Transaksi yang terjadi di bursa dilakukan oleh orang atau lembaga tertentu yaitu terdiri dari pialang berjangka dan perdagang berjangka,
124
sedangkan bagi yang merupakan pengguna bursa namun bukan anggota bursa yang ingin menggunakan bursa harus melalui pialang berjangka. Adapun lembaga yang ditunjuk pemerintah untuk mengawasi perdagangan berjangka komoditi adalah Badan pengawas perdagangan berjangka komoditi (Bappebti) yang berada dibawah Departemen Perdagangan. Untuk menjalankan tugas pokoknya, Bappebti memiliki kewenangan yaitu, antara lain : 1. Menerbitkan izin usaha bagi Bursa Berjangka, Lembaga Kliring Berjangka, Pialang Berjangka, Penasihat Berjangka dan Pengelola Sentra Dana Berjangka; izin bagi perorangan untuk menjadi Wakil Pialang Berjangka, Wakil Penasihat Berjangka, dan Wakil Pengelola Sentra Dana Berjangka; sertifikat pendaftaran bagi Pedagang Berjangka; serta persetujuan bagi Pialang Berjangka untuk menyalurkan amanat Nasabah Berjangka ke luar negeri dan bagi Bank untuk penitipan dana yang terkait dengan perdagangan berjangka. 2. Mengesahkan Peraturan dan Tata Tertib Bursa Berjangka dan Lembaga Kliring Berjangka serta Kotrak Berjangka yang akan diperdagangkan di Bursa Berjangka, termasuk perubahannya. 3. Memastikan agar Bursa Berjangka dan Lembaga Kliring Berjangka melaksanakan semua ketentuan dan peraturan yang telah ditetapkan serta melakukan pengawasan yang intensif dan pengenaan sanksi tegas terhadap pelanggarannya. 4. Menetapkan jumlah maksimum posisi terbuka yang dapat dimiliki atau dikuasai oleh setiap Pihak dan batas jumlah posisi terbuka yang wajib dilaporkan.
125
5. Menetapkan daftar bursa berjangka kontrak berjangka luar negeri yang dapat menjadi tujuan penyaluran amanat nasabah dalam negeri. 6. Melakukan pemeriksaan terhadap setiap pihak yang memiliki izin dan memerintahkan pemeriksaan serta penyidikan terhadap pihak yang diduga melakukan pelanggaran terhadap ketentuan perundang-undangan di bidang perdagangan berjangka. 7. Mewajibkan kepada setiap pihak untuk menghentikan atau memperbaiki iklan atau promosi tentang perdagangan berjangka yang dapat menyesatkan. 8. Membentuk sarana penyelesaian masalah yang berkaitan dengan kegiatan perdagangan berjangka. Selain itu dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1999 dan Keputusan Presiden No. 12 tahun 1999 tentang penyelenggaraan perdagangan berjangka komoditi. Pada tahun 1999 terbentuk PT Bursa Berjangka yang merupakan Bursa Berjangka pertama di Indonesia dan telah mendapatkan izin usaha dari Bappebti. Pada tanggal 15 Desember 2000 Bursa Berjangka Jakarta beroperasi dimana sebagai tahap awal komoditi yang diperdagangkan adalah kopi robusta dan CPO. Keputusan Presiden No. 37 tahun 2000 tentang komoditi yang dapat dijadikan subjek kontrak berjangka yang terus diperbaharui setiap tahunnya. Namun dalam prakteknya bursa berjangka komoditi ini masih memiliki beberapa kelemahan. Hambatan dalam melakukan lindung nilai antara lain adalah resiko basis hal ini terjadi karena perkembangan di pasar fisik tidak berkorelasi secara wajar dengan pasar berjangka akibatnya perencanaan yang ada tidak sesuai untuk diterapkan untuk menutupi resiko yang ada. Hambatan lainnya bagi hedger adalah terdapat beban biaya seperti pembayaran marjin dan biaya transaksi.
126
Ketidaksesuaian (incompatible) antara kondisi fisik dan future adalah merupakan hambatan yang harus dihadapi oleh hedger. Hal ini disebabkan mutu dan jumlah produk yang dihedge tidak sama dengan mutu dan jumlah standar kontrak berjangka yang diperdagangkan. Adapun kelemahan bursa berjangka antara lain agar efisien jumlah komoditi yang ditawarkan haruslah besar, atau biaya pemasaran tidak akan tertutupi. Hal ini tentu saja menjadi masalah bila diterapkan di Indonesia karena tipe petani produsen yang banyak terdapat di negara ini adalah petani produsen yang memiliki jumlah komoditi yang terbatas dan kepemilikan lahan yang tersebar sehingga apabila mereka ikut bertransaksi dalam pasar berjangka komoditi akan memberikan biaya yang besar sekali. Selain itu dengan seluruh syarat-syarat yang ditetapkan maka petani Indonesia yang kebanyakan tidak memiliki pengetahuan yang cukup tidak akan bisa memanfaatkan keberadaan dari bursa berjangka ini. Selain dengan membangun suatu pasar berjangka di Indonesia cara lain untuk meningkatkan peranan Indonesia dalam perdagangan CPO adalah dengan dengan meningkatkan nilai tambah dari CPO dengan mengembangkan produkproduk hilir CPO. Apabila CPO sudah diolah menjadi produk turunan yang memberikan manfaat lebih daripada yang ada selama ini, maka akan meningkatkan permintaan akan CPO. Indonesia juga dapat memanfaatkan produk-produk turunan CPO yang diproduksi untuk memenuhi permintaan di dalam negeri. Bila permintaan dalam negeri semakin tinggi dan sudah dapat dipenuhi oleh industri hilir di Indonesia maka CPO Indonesia tidak akan tergantung dengan pihak lain dalam menentukan harga.
127
VII. KESIMPULAN DAN SARAN
7.1.
Kesimpulan Berdasarkan analisis penelitian maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai
berikut: 1.
Terdapat hubungan kointegrasi antara pasar forward Rotterdam, pasar spot Indonesia dan Malaysia. Artinya terdapat hubungan jangka panjang antara ketiga pasar namun dalam jangka pendek terdapat ketidakseimbangan sehingga untuk mencapai keseimbangan jangka panjangnya masing-masing pasar akan melakukan penyesuaian (adjustment) setiap bulannya secara bertahap. Kesalahan di koreksi setiap bulannya sebesar 1.11 persen, 0.76 persen dan 0.56 persen, masing masingnya untuk variabel Rotterdam, Malaysia dan Indonesia. Nilai koefisien yang berbeda-beda tersebut, akan menyebabkan perbedaan waktu dari masing-masing variabel untuk mencapai keseimbangan jangka panjangnya.Artinya respon masing-masing pasar dalam menghadapi perubahan harga berbeda sehingga menciptakan selang waktu sebelum akhirnya menyesuaikan diri.
2.
Berdasarkan analisis impulse response dapat disimpulkan bahwa pasar forward Rotterdam merupakan pasar referensi atau pasar acuan bagi pasar spot Indonesia dan pasar spot Malaysia. Artinya perubahan yang terjadi pada pasar Rotterdam akan diikuti oleh pasar Malaysia dan Indonesia.
3.
Hasil analisis variance decomposition menunjukkan bahwa dalam jangka pendek yang paling menentukan harga CPO Indonesia adalah Rotterdam yaitu sebesar 71.88 persen, diikuti oleh Indonesia sebesar 26.66 persen.
128
Konstribusi variasi harga Malaysia terhadap Indonesia adalah 1.44 persen. Pasar Rotterdam sangat mempengaruhi pembentukan harga CPO di Indonesia. Penurunan harga CPO pada Pasar Rotterdam akan langsung menyebabkan harga CPO Indonesia akan turun. 4.
Untuk memperbaiki posisi tawar Indonesia maka salah satu strategi yang dapat dilakukan adalah dengan mengefektifkan bursa berjangka di Indonesia dan mengembangkan industri hilir dari minyak kelapa sawit.
7.2
Saran Adapun saran yang dapat disampaikan dari penelitian ini adalah :
1.
Perlu adanya konsolidasi produksi agar lebih mengoptimalkan bursa berjangka dan meminimalkan biaya di bursa. Selain itu konsolidasi produksi juga penting untuk menjamin likuiditas produk CPO untuk diperdagangkan di lantai bursa.
2.
Selain mengefektifkan bursa berjangka, permintaan dalam negeri untuk keperluan industri pengolahan juga harus ditingkatkan. Untuk keperluan tersebut
dibutuhkan
kebijakan
pemerintah
yang
dapat
mendorong
pengembangan industri pengolahan minyak kelapa sawit. 3.
Pada penelitian ini pengukuran integrasi hanya berdasarkan harga pasar dan keseimbangan nilai tukar saja. Untuk penelitian lanjutan sebaiknya pengukuran juga berdasarkan aliran barang dan biaya-biaya transaksi perdagangan.
129
DAFTAR PUSTAKA Adang, A. dan P.U. Hadi. 2002. Analisis Dinamika Ekspor dan Keunggulan Komparatif Minyak Kelapa Sawit di Indonesia. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Bogor, Bogor. Adiyoga, W., K. O. Fuglie dan R. Suherman. 2006. Integrasi Pasar Kentang di Indonesia: Analisis Korelasi dan Kointegrasi. Informatika Pertanian, 15(1): 835-852. Amiruddin, M. N., A. K. A. Rahman dan F. Shariff. 2005. Market Potential and Challenges for The Malaysian Palm Oil Industry in Facing Competition From Other Vegetables Oils. Oil Palm Industry Economic Journal, 5(1): 1727. Anwar, C. 2005. Prospek Karet Alam Indonesia di Pasar Internasional: Suatu Analisis Integrasi Pasar dan Keragaan Ekspor. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Asmarantaka, R.W. 2009. Pemasaran Produk-Produk Pertanian. Dalam Bunga Rampai Agribisnis: Seri Pemasaran. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor Press, Bogor. Buana, L. 2004. Prospek Pengembangan Kelapa Sawit di Indonesia: Tinjauan Ekonomi Industri Kelapa Sawit. Pusat Penelitian Kelapa Sawit, Medan. Capricorn Indonesia Consult (CIC) Inc. 2004. Studi Tentang Industri dan Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia. Capricon Indonesia Consult, Jakarta. Dahl, D.C. and J.W. Hammond. 1977. Marketing and Price Analysis: The Agriculture Industries. McGraw Hill Book Company, New York. Enders, W. 1995. Applied Econometric Time Series. John Wiley, New Jersey. Engel, R.F. dan C.W.J. Granger. 1987. Cointegration and Error Correction: Representation, Estimation, and Testing. Review of Economics and Statistics, 64(2): 231-253. Gujarati, D. 2003. Ekonometrika Dasar. Terjemahan. Erlangga, Jakarta. Heytens, P.J. 1986. Testing Market Integration. Food Research Institute Studies, 20(1): 25-41. Irawan, A. dan D. Rosmayanti. 2007. Analisis Integrasi Pasar Beras di Bengkulu. Jurnal Agro Ekonomi, 25(1):37-54.
130
Kang, M.G. and N. Mahajan. 2006. An Introduction to Market-Based Instruments To Agricultural Price Risk Management. Agricultural Management, Marketing and Finance Working Document: Agricultural Support Systems Division. Food and Agriculture Organization of The United Nations, Rome. Lolowang, T.F. 1999. Analisis Penawaran dan Permintaan Kakao Indonesia di Pasar Domestik dan Internasional. Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Nicholson, W. 2000. Mikroekonomi Intermediate dan Aplikasinya. Terjemahan. Edisi Kedelapan. Erlangga, Jakarta. Pahan, I. 2008. Panduan Lengkap Kelapa Sawit: Manajemen Agribisnis dari Hulu Hingga Hilir. Penebar Swadaya, Jakarta. Ravallion, M. 1986. Testing Market Integration. American Journal of Agricultural Economics, 68(1):102-109. Rahman, A.K.A., F. M. Shariff, R. Abdullah and N. H. Sharif. 2007. Price Volatility Spill Over in The Malaysian Palm Oil Industry. Oil Palm Industry Economic Journal, 7(1): 24-32. Rifin, A. 2009. Analisis Pemasaran Minyak Kelapa Sawit di Indonesia. Dalam Bunga Rampai Agribisnis: Seri Pemasaran. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor Press, Bogor. Salvatore, D. 1997. Ekonomi Internasional. Terjemahan. Edisi Kelima Jilid Pertama. Erlangga, Jakarta. Simbolon, J.S.C. 2005. Analisis Integrasi Pasar Beras Domestik dengan Pasar Beras Dunia. Skripsi Sarjana. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Syafii, A. 2002. Perdagangan Berjangka dan Manfaatnya bagi Petani. Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi, Jakarta. Simatupang, P. dan J. Situmorang. 1988. Integrasi Pasar dan Keterkaitan Harga Karet Indonesia dengan Singapura. Jurnal Agro Ekonomi. 7(1):12-29. Sitorus, E. 2004. Keterpaduan Pasar Tuna Segar Benoa/Bali, Indonesia dan Pasar Sentral Tuna Tokyo, Jepang. Tesis Magister Sains. Program Magister Agribisnis, Universitas Udayana, Denpasar. Sugiarto, T. Herlambang, Brastoro, R. Sudjana dan S. Kelana. 2007. Ekonomi Mikro: Sebuah Kajian Komprehensif. Cetakan Keempat. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
131
Sugema, I., M.F. Hasan, Aviliani, U. Hidayat dan Sugiyono. 2007. Strategi Pengembangan Kelapa sawit. Institute of Development and Finance, Jakarta. Suparmin. 2005. Analisis Ekonomi Perberasan Nasional: Peran Bulog dalam Stabilisasi Harga Beras di Pasar Domestik. Disertasi Doktor. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Thomas, R.L. 1997. Modern Econometric: An Introduction. Addison-Wesley Longman Limited, Edinburg. Tomek, G.W. dan K.L. Robinson. 1990. Agricultural Product Prices. Cornell University Press, Ithaca. Wayan, R.S. 2007. Peluang Investasi Bisnis Kelapa Sawit di Indonesia. Lembaga Riset Perkebunan Indonesia, Bogor. Wang, X, 2008. Understanding the Risk of Futures Exchange: Evidence from SHFE. Asian Social Science. 4(10): 30-34. Widarjono, A. 2007. Ekonometrika: Teori dan Aplikasi untuk Ekonomi dan Bisnis. Penerbit Ekonisia Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Winarno, W.W. 2007. Analisis Ekonometrika dan Statistik dengan Eviews. Unit Penerbit dan Percetakan Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen Yayasan Keluarga Pahlawan Negara, Yogyakarta. Yang, J., D.A.Bessler., D.J. Leatham., 2001. Asset Storability and Price Discovery in Commodity Futures Market: A New Look. The Journal of Futures Markets. 21(3) : 279-300.
132
LAMPIRAN
133
Lampiran 1. Summary Johansen Test
Series: LOG(ROT) LOG(MAL) LOG(IND) LOG(KED) Exogenous series: LOG(ERM) LOG(ERI) Warning: Rank Test critical values derived assuming no exogenous series Lags interval: 1 to 2 Data Trend: Rank or
None
No Intercept No. of CEs No Trend
None
Linear
Linear
Quadratic
Intercept
Intercept
Intercept
Intercept
No Trend
No Trend
Trend
Trend
Selected (5% level) Number of Cointegrating Relations by Model (columns) Trace Max-Eig
2 1
2 2
1 1
2 2
2 2
Log Likelihood by Rank (rows) and Model (columns) 0 1 2 3 4
741.2087 764.3555 772.5832 776.2033 778.7208
741.2087 772.0706 785.5819 790.3752 792.9177
748.9662 779.3720 788.0431 792.7140 792.9177
748.9662 779.3722 793.1918 800.8059 801.4922
749.3963 779.7563 793.3954 800.8158 801.4922
Akaike Information Criteria by Rank (rows) and Model (columns) 0 1 2 3 4
-13.63863 -13.92991 -13.93429 -13.85006 -13.74463
-13.63863 -14.05905 -14.14581 -14.06491 -13.94072
-13.71089 -14.14177 -14.15468 -14.09065 -13.94072
-13.71089 -14.12254 -14.21523* -14.18858 -14.02870
-13.64224 -14.07224 -14.18068 -14.16953 -14.02870
Schwarz Criteria by Rank (rows) and Model (columns) 0 1 2 3 4
-12.82497 -12.91284 -12.71381 -12.42616 -12.11731
-12.82497 -13.01655 -12.87446 -12.56472 -12.21170
-12.79552 -13.02299* -12.83248 -12.56504 -12.21170
-12.79552 -12.97833 -12.84218 -12.58668 -12.19796
-12.62516 -12.85175 -12.75678 -12.54222 -12.19796
134
Lampiran 2 . Johansen Test
Series: LOG(ROT) LOG(MAL) LOG(IND) LOG(KED) Exogenous series: LOG(ERM) LOG(ERI) Warning: Critical values assume no exogenous series Lags interval (in first differences): 1 to 2 Unrestricted Cointegration Rank Test Hypothesized No. of CE(s)
Eigenvalue
Trace Statistic
5 Percent Critical Value
1 Percent Critical Value
None ** At most 1 At most 2 At most 3
0.442743 0.153590 0.085909 0.003909
87.90307 27.09134 9.749163 0.407368
47.21 29.68 15.41 3.76
54.46 35.65 20.04 6.65
Keterangan: *(**) denotes rejection of the hypothesis at the 5%(1%) level Trace test indicates 1 cointegrating equation(s) at both 5% and 1% levels
Hypothesized No. of CE(s)
Eigenvalue
Max-Eigen Statistic
5 Percent Critical Value
1 Percent Critical Value
None ** At most 1 At most 2 At most 3
0.442743 0.153590 0.085909 0.003909
60.81172 17.34218 9.341795 0.407368
27.07 20.97 14.07 3.76
32.24 25.52 18.63 6.65
Keterangan: *(**) denotes rejection of the hypothesis at the 5%(1%) level Max-eigenvalue test indicates 1 cointegrating equation(s) at both 5% and 1% levels
135
Lampiran 3. Analisis VECM
Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ] Cointegrating Eq: CointEq1 LOG(ROT(-1)) 1.000000 LOG(MAL(-1))
-0.470431 (0.07295) [-6.44847]***
LOG(IND(-1))
-0.322001 (0.06861) [-4.69293]***
LOG(KED(-1))
0.024471 (0.05236) [ 0.46740]
C Error Correction: CointEq1
-0.190225 D(LOG(ROT)) D(LOG(MAL)) D(LOG(IND)) D(LOG(KED)) -1.109477 -0.760734 -0.565715 -0.581993 (0.18496) (0.20811) (0.24709) (0.17636) [-5.99832]*** [-3.65545]*** [-2.28955]** [-3.30007]***
D(LOG(ROT(-1)))
1.200721 (0.24248) [ 4.95180]***
1.456611 (0.27282) [ 5.33903]***
0.866946 (0.32392) [ 2.67642]***
0.771990 (0.23120) [ 3.33909]***
D(LOG(ROT(-2)))
0.628976 (0.28763) [ 2.18674]**
0.666526 (0.32362) [ 2.05957]**
0.388945 (0.38423) [ 1.01226]
0.284995 (0.27425) [ 1.03919]
D(LOG(MAL(-1)))
-1.126856 (0.23848) [-4.72515]***
-1.430649 (0.26832) [-5.33185]***
-1.077897 (0.31857) [-3.38351]***
-0.858081 (0.22738) [-3.77373]***
D(LOG(MAL(-2)))
-0.564704 (0.24795) [-2.27749]**
-0.633973 (0.27898) [-2.27250]
-0.341484 (0.33122) [-1.03097]
-0.117517 (0.23641) [-0.49709]
D(LOG(IND(-1)))
0.116101 (0.15039) [ 0.77201]
0.292779 (0.16921) [ 1.73032]*
0.188397 (0.20089) [ 0.93779]
0.160325 (0.14339) [ 1.11811]
D(LOG(IND(-2)))
-0.049170 (0.14526)
-0.012438 (0.16343)
-0.165939 (0.19404)
-0.076768 (0.13850)
136
Lampiran 3. Lanjutan
D(LOG(KED(-1)))
0.227498 (0.14710) [ 1.54651]
0.288512 (0.16551) [ 1.74316]*
0.300308 (0.19651) [ 1.52822]
[-0.55428] 0.289597 (0.14026) [ 2.06473]**
D(LOG(KED(-2)))
0.072466 (0.14950) [ 0.48472]
0.088295 (0.16821) [ 0.52492]
0.292799 (0.19971) [ 1.46612]
-0.023202 (0.14254) [-0.16277]
C
2.676728 (1.04176) [ 2.56943]*
1.228372 (1.17211) [ 1.04800]
-0.948863 (1.39164) [-0.68183]
2.490763 (0.99328) [ 2.50761]***
LOG(ERM)
-1.898622 (0.34465) [-5.50878]*
-1.241689 (0.38778) [-3.20204]*
-0.891741 (0.46041) [-1.93686]*
-1.034606 (0.32862) [-3.14838]***
-0.022071 (0.09334) [-0.23645] R-squared 0.485909 Adj. R-squared 0.424441 Sum sq. resids 0.317223 S.E. equation 0.058720 F-statistic 7.905137 Log likelihood 153.6425 Akaike AIC -2.723894 Schwarz SC -2.418772 Mean dependent 0.003613 S.D. dependent 0.077401 Determinant Residual Covariance Log Likelihood Log Likelihood (d.f. adjusted) Akaike Information Criteria Schwarz Criteria
0.042451 (0.10502) [ 0.40421] 0.482118 0.420197 0.401578 0.066068 7.786059 141.3811 -2.488098 -2.182976 0.002952 0.086766 5.94E-12 779.3720 753.8707 -13.49751 -12.17532
0.231605 (0.12469) [ 1.85745]* 0.215874 0.122120 0.566084 0.078442 2.302551 123.5274 -2.144758 -1.839636 0.007603 0.083720
-0.124785 (0.08900) [-1.40211] 0.346776 0.268673 0.288387 0.055988 4.439992 158.5982 -2.819197 -2.514075 0.005656 0.065469
LOG(ERI)
Keterangan: (*** ) nyata pada 1% = 2.32 (**) nyata pada 5% = 1.96 (*) nyata pada 10% = 1.64
137
Lampiran 4. Analisis Impulse Response
Bulan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Bulan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Response of LOG(ROT): LOG(ROT) LOG(MAL) LOG(IND) LOG(KED) 0.058720 0.067191 0.050050 0.036220 0.038692 0.043850 0.045724 0.045641 0.045390 0.045168
0.000000 -0.009453 -0.004005 0.018926 0.028811 0.027300 0.023481 0.022214 0.022541 0.023071
0.000000 0.018529 0.029038 0.032767 0.036137 0.037820 0.037101 0.036184 0.036118 0.036455
0.000000 0.008139 0.011839 0.013171 0.014368 0.016430 0.018471 0.019133 0.018736 0.018347
Response of LOG(MAL): LOG(ROT) LOG(MAL) LOG(IND) LOG(KED) 0.060137 0.082967 0.065767 0.049252 0.050800 0.056381 0.058331 0.058200 0.058015 0.057890
0.027360 0.006025 0.006321 0.029244 0.041856 0.041167 0.037278 0.035873 0.036180 0.036661
0.000000 0.021228 0.032244 0.034706 0.038307 0.040789 0.040347 0.039322 0.039161 0.039486
0.000000 0.010964 0.016973 0.018906 0.019476 0.021053 0.023290 0.024254 0.023929 0.023502
Bulan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Response of LOG(IND): LOG(ROT) LOG(MAL) LOG(IND) LOG(KED) 0.067226 0.015454 0.037349 0.000000 0.071974 -0.001341 0.052403 0.011637 0.057455 0.001666 0.052174 0.024037 0.052318 0.016504 0.053585 0.025565 0.056126 0.022009 0.056902 0.024352 0.058656 0.020504 0.058445 0.025535 0.058613 0.018891 0.058164 0.027146 0.058258 0.019047 0.057757 0.027543 0.058382 0.019467 0.057827 0.027296 0.058482 0.019549 0.058034 0.027169
Bulan
Response of LOG(KED): LOG(ROT) LOG(MAL) LOG(IND) LOG(KED)
1 2 3 4 5
0.038278 0.048214 0.038832 0.033542 0.034881
-0.001088 -0.012000 -0.004150 0.008347 0.013448
0.004239 0.018394 0.022616 0.025149 0.028610
0.040623 0.051809 0.052555 0.053850 0.054754
138
Lampiran 4. Lanjutan
6 7 8 9 10
0.036387 0.037011 0.037360 0.037504 0.037415
0.013654 0.012722 0.012242 0.012159 0.012256
0.029975 0.029671 0.029332 0.029328 0.029445
0.056015 0.057345 0.057823 0.057717 0.057594
Cholesky Ordering: LOG(ROT) LOG(MAL) LOG(IND) LOG(KED)
Lampiran 5. Analisis Variance Decomposition Period 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Period 1 2 3 4 5 6 7
Variance Decomposition of LOG(ROT): S.E. LOG(ROT) LOG(MAL) LOG(IND) LOG(KED) 0.058720 0.091987 0.109389 0.121997 0.136831 0.151957 0.165683 0.178052 0.189543 0.200411 0.210747 0.220619 0.230084 0.239182 0.247943 0.256401 0.264587 0.272528 0.280245 0.287755
100.0000 94.10377 87.47824 79.14619 70.91172 65.82364 62.98573 61.10894 59.65899 58.44357 57.40306 56.52092 55.78366 55.16670 54.64124 54.18431 53.78139 53.42353 53.10419 52.81786
0.000000 1.056146 0.880874 3.114985 6.909648 8.830123 9.436187 9.727111 9.997752 10.26806 10.51751 10.73640 10.91958 11.06882 11.19255 11.29957 11.39481 11.48013 11.55644 11.62477
0.000000 4.057253 9.915901 15.18644 19.04712 21.63813 23.21606 24.23220 25.01426 25.68361 26.25624 26.73259 27.12573 27.45517 27.73741 27.98346 28.20031 28.39273 28.56435 28.71819
0.000000 0.782835 1.724990 2.552381 3.131508 3.708107 4.362030 4.931749 5.329004 5.604757 5.823182 6.010088 6.171019 6.309301 6.428792 6.532659 6.623481 6.703607 6.775018 6.839169
Variance Decomposition of LOG(MAL): S.E. LOG(ROT) LOG(MAL) LOG(IND) LOG(KED) 0.066068 0.108883 0.132471 0.149638 0.169029 0.188550 0.206188
82.85082 88.56486 84.48072 77.04217 69.41195 64.72438 62.12779
17.14918 6.620194 4.700202 7.502968 12.01209 14.42051 15.32760
0.000000 3.800982 8.492420 12.03507 14.56822 16.38758 17.53283
0.000000 1.013968 2.326662 3.419799 4.007746 4.467537 5.011776
139
Lampiran 5. Lanjutan
8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Period 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Period 1 2 3 4
0.222086 0.236861 0.250818 0.264066 0.276696 0.288791 0.300409 0.311593 0.322383 0.332822 0.342944 0.352777 0.362343
60.41902 59.11566 58.04649 57.14200 56.37529 55.73283 55.19562 54.73968 54.34459 53.99705 53.68889 53.41424 53.16828
15.82079 16.24183 16.62089 16.95162 17.23721 17.47803 17.67673 17.84241 17.98524 18.11155 18.22417 18.32469 18.41464
18.24755 18.77557 19.22245 19.60568 19.92484 20.18795 20.40802 20.59609 20.75951 20.90314 21.03036 21.14372 21.24523
5.512642 5.866941 6.110169 6.300695 6.462660 6.601186 6.719626 6.821825 6.910659 6.988259 7.056582 7.117349 7.171856
Variance Decomposition of LOG(IND): S.E. LOG(ROT) LOG(MAL) LOG(IND) LOG(KED) 0.078442 0.119233 0.144293 0.165393 0.186602 0.206759 0.225081 0.241894 0.257661 0.272576 0.286720 0.300194 0.313095 0.325493 0.337437 0.348969 0.360132 0.370960 0.381480 0.391719
73.44798 68.22669 62.44170 57.53205 54.24417 52.23161 50.85539 49.83201 49.05401 48.43586 47.92249 47.49092 47.12933 46.82446 46.56311 46.33556 46.13541 45.95809 45.80002 45.65826
3.881429 1.692567 1.169054 1.885553 2.872372 3.323050 3.508456 3.657727 3.794602 3.905067 3.994669 4.071990 4.138475 4.194137 4.241018 4.281655 4.317590 4.349556 4.378066 4.403616
22.67059 29.12816 32.96369 35.58600 37.25524 38.33574 39.02623 39.49080 39.84246 40.13464 40.38097 40.58518 40.75413 40.89629 41.01832 41.12462 41.21816 41.30106 41.37499 41.44126
0.000000 0.952576 3.425556 4.996401 5.628220 6.109598 6.609926 7.019470 7.308928 7.524426 7.701862 7.851909 7.978061 8.085116 8.177549 8.258161 8.328848 8.391289 8.446929 8.496864
Variance Decomposition of LOG(KED): S.E. LOG(ROT) LOG(MAL) LOG(IND) LOG(KED) 0.055988 0.092875 0.115864 0.134727
46.74284 43.93575 39.46342 35.38443
0.037787 1.683256 1.209830 1.278575
0.573300 4.130661 6.464335 8.265158
52.64607 50.25033 52.86241 55.07184
140
Lampiran 5. Lanjutan
5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
0.152858 0.170036 0.186045 0.200903 0.214728 0.227688 0.239943 0.251610 0.262771 0.273484 0.283796 0.293744 0.303366 0.312690 0.321745 0.330552
32.69567 31.00271 29.85439 29.05976 28.48895 28.03814 27.65956 27.34051 27.07454 26.85192 26.66241 26.49827 26.35436 26.22714 26.11391 26.01259
1.767287 2.073066 2.199232 2.257279 2.296634 2.332366 2.368149 2.402566 2.432487 2.456753 2.476474 2.493257 2.508086 2.521356 2.533240 2.543882
9.923862 11.12764 11.83850 12.28371 12.61848 12.89515 13.12708 13.32050 13.48160 13.61674 13.73170 13.83109 13.91825 13.99538 14.06405 14.12550
55.61319 55.79658 56.10789 56.39925 56.59593 56.73434 56.84521 56.93643 57.01138 57.07458 57.12942 57.17738 57.21930 57.25613 57.28879 57.31804
Cholesky Ordering: LOG(ROT) LOG(MAL) LOG(IND) LOG(KED)
This document was created with Win2PDF available at http://www.daneprairie.com. The unregistered version of Win2PDF is for evaluation or non-commercial use only.