TRANSMISI HARGA BIJI KAKAO DI PASAR FISIK INDONESIA, PASAR BERJANGKA NEW YORK, DAN LONDON
SKRIPSI
RESTIKA RADITIA AULIA H34080049
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
RINGKASAN RESTIKA RADITIA AULIA. Transmisi Harga Biji Kakao di Pasar Fisik Indonesia, Pasar Berjangka New York, dan London. Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan HARMINI). Kakao
merupakan
komoditi
perkebunan
yang
berpotensi
untuk
dikembangkan di Indonesia. Indonesia merupakan salah satu negara penghasil biji kakao terbesar ketiga di dunia yang seharusnya memiliki kemampuan untuk mengontrol pergerakan perdagangan biji kakao baik dalam hal jumlah ataupun harganya. Kenyataannya seperti pada produk pertanian lain, Indonesia belum mampu mengatasi berfluktuasinya harga biji kakao dari waktu ke waktu. Fluktuasi harga yang terjadi baik di pasar dunia maupun lokal akan menimbulkan risiko bila dilaksanakan langsung dengan penyerahan fisik (spot). Risiko tersebut diantaranya adalah risiko kerusakan fisik dan penurunan nilai komoditi. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi terjadinya fluktuasi harga tersebut adalah dengan strategi pasar berjangka komoditi. Pasar berjangka ini memiliki manfaat salah satunya sebagai lindung nilai (hedging). Praktik pemasaran pada pasar berjangka sudah banyak dilakukan terutama untuk produk-produk ekspor. Pasar berjangka New York dan London merupakan pasar bagi biji kakao dunia sudah lazim menggunakan cara ini dalam proses transaksinya. Berdasarkan dari fakta yang ada maka timbul pertanyaan penelitian yaitu bagaimana volatilitas pergerakan harga biji kakao di masing-masing pasar dan transmisi harga yang terjadi antara pasar fisik Indonesia, pasar berjangka New York, dan London serta bagaimana implikasinya terhadap Asosiasi Kakao Indonesia. Adapun tujuan penelitian ini dilakukan adalah untuk menganalisis volatilitas dan transmisi harga biji kakao di pasar fisik Indonesia, pasar berjangka New York dan London serta merumuskan rekomendasi kebijakan untuk Asosiasi Kakao Indonesia agar dapat meningkatkan posisi kakao Indonesia yang lebih baik di pasar dunia. Tujuan penelitian akan dijawab dengan metode ekonometrika yang dilengkapi dengan analisis deskriptif. Kerangka teoritis disusun berdasarkan teori yang ada dan penelitian terdahulu yang terkait. Model ekonometrika adalah Vector Autoregression in Difference (VARD). Setelah terbentuk model
dilanjutkan dengan aplikasi model yaitu Impulse Response Function (IRF) dan Forecast Error Decompotition Variance. Berdasarkan penelitian yang dilakukan maka didapatkan hasil bahwa seluruh variabel belum stasioner pada tingkat level sehingga perlu dilakukan uji stasioneritas pada tingkat first difference dimana pada tingkat ini seluruh variabel sudah stasioner. Berdasarkan analisis kointegrasi maka diperoleh hasil bahwa tidak terdapat kointegrasi diantara ketiga variabel tersebut yang artinya adalah tidak ada hubungan atau keseimbangan dalam jangka panjang antar variabel. Model VAR yang tepat digunakan untuk data yang diteliti adalah model VARD (VAR in difference). Hasil estimasi model VARD adalah harga biji kakao Indonesia dipengaruhi oleh harga biji kakao LIFFE pada periode sebelumnya. Harga biji kakao LIFFE dipengaruhi oleh harga biji kakao LIFFE itu sendiri pada periode sebelumnya. Adapun NYBOT dipengaruhi oleh harga biji kakao LIFFE pada periode sebelumnya dan dua periode sebelumnya. Kesimpulan dari penelitian ini adalah: (1) Pasar berjangka NYBOT merupakan pasar yang memiliki volatilitas tinggi diikuti oleh pasar berjangka LIFFE dan pasar fisik Indonesia, (2) Tidak adanya kointegrasi atau hubungan jangka panjang antara ketiga tempat tersebut mengindikasikan bahwa tidak terjadi transmisi harga biji kakao Indonesia dengan harga biji kakao yang terjadi di LIFFE dan NYBOT, (3) Implikasi model VAR yang dapat diaplikasikan di Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) adalah membuat kebijakan agar Indonesia dapat meningkatkan kualitas biji kakao dan produk-produk turunan lainnya mulai dari hulu hingga hilir. Hal ini dapat tercapai jika melihat segala peluang dan potensi yang dimiliki oleh biji kakao Indonesia sehingga nantinya komoditi ini bisa meningkatkan posisi tawarnya. Adapun saran yang direkomendasikan pada penelitian ini adalah pemerintah hendaknya bekerjasama dengan Askindo dalam memberikan penyuluhan, pelatihan, dan pendampingan kepada seluruh pelaku bisnis kakao dalam upaya meningkatkan kualitas biji kakao Indonesia. Selain itu, industri pengolahan juga penting untuk ditingkatkan agar biji kakao Indonesia mempunyai nilai tambah dan nilai jual yang tinggi di pasar internasional. Askindo juga perlu meningkatkan kerjasama dengan pemerintah untuk mengefektifkan bursa
berjangka di Indonesia agar dapat meminimalisasi terjadinya fluktuasi harga dan sebagai cara untuk memperbaiki posisi tawar biji kakao Indonesia di perdagangan internasional. Saran untuk penelitian selanjutnya sebaiknya menganalisis juga mengenai pergerakan harga komoditas turunan kakao lainnya, menganalisis transmisi harga biji kakao ditempat lain serta menambah variabel yang diduga mempengaruhi pergerakan harga biji kakao.
TRANSMISI HARGA BIJI KAKAO DI PASAR FISIK INDONESIA, PASAR BERJANGKA NEW YORK, DAN LONDON
RESTIKA RADITIA AULIA H34080049
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
Judul Skripsi
: Transmisi Harga Biji Kakao di Pasar Fisik Indonesia, Pasar Berjangka New York, dan London
Nama
: Restika Raditia Aulia
NIM
: H34080049
Menyetujui, Pembimbing
Ir. Harmini, M.Si NIP. 19600921 198703 2 002
Mengetahui, Ketua Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS NIP. 19580908 198403 1 002
Tanggal Lulus :
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Transmisi Harga Biji Kakao di Pasar Fisik Indonesia, Pasar Berjangka New York, dan London” adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Juni 2012
Restika Raditia Aulia H34080049
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 25 Juni 1990. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Suhaili H. Usman dan Ibu Sri Kaltriyana. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN Kenari 09 Pagi Jakarta pada tahun 2002 dan pendidikan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2005 di SMPN 216 Jakarta. Pendidikan lanjutan menengah atas di SMAN 68 Jakarta diselesaikan pada tahun 2008. Penulis diterima pada mayor Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2008. Selain iu, penulis juga mengambil mata kuliah dengan minor Departemen Komunikasi Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Selama mengikuti pendidikan, penulis aktif terlibat pada kegiatan organisasi baik yang diadakan oleh Departemen Agribisnis, tingkat Fakultas Ekonomi dan Manajemen maupun kegiatan yang diadakan Institut Pertanian Bogor. Pengalaman kepanitiaan tersebut diantaranya menjadi staf divisi PDD IAAS Olimpic tahun 2009, staf divisi PDD Enterpreneur and Business Competition (E&B.Com) tahun 2009, staf divisi Humas Expresso feat Pujangga (Extravaganza) tahun 2009, ketua divisi Sponsorship Banking Goes To Campus (BGTC) tahun 2010, staf divisi Sponsorship Olimpiade Mahasiswa IPB (OMI) tahun 2010, staf divisi Sponsorship SPORTAKULER tahun 2010, staf divisi Humas Essay Competition (Es-Disco) tahun 2010, staf divisi Sponsorship Agribusiness Youth Camp (AYC) tahun 2010, dan staf divisi Sponsorship Agrination tahun 2010. Selain itu, pengalaman di IPB lainnya adalah penulis berkesempatan menjadi penerima Beasiswa BBM selama 3 tahun. Pada tahun ajaran 2010/2011 dan 2011/2012 penulis dipercaya untuk menjadi asisten praktikum mata kuliah Dasar Komunikasi di Departemen Komunikasi Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
KATA PENGANTAR Puji syukur kepada Allah SWT atas segala berkat dan karuniaNya serta shalawat dan salam senantiasa terlimpah pada Rasulullah Muhammad SAW sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Transmisi Harga Biji Kakao di Pasar Fisik Indonesia, Pasar Berjangka New York, dan London”. Penelitian ini bertujuan menganalisis volatilitas dan transmisi harga biji kakao yang terjadi di pasar fisik Indonesia, pasar berjangka New York, dan London, serta menyusun rekomendasi kebijakan yang dapat dilakukan Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) agar dapat meningkatkan posisi kakao Indonesia yang lebih baik di pasar dunia. Namun demikian, sangat disadari masih terdapat kekurangan karena keterbatasan dan kendala yang dihadapi. Untuk itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang mambangun ke arah penyempurnaan pada skripsi ini sehingga dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, Juni 2012 Restika Raditia Aulia
UCAPAN TERIMA KASIH Penyelesaian skripsi ini juga tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan, penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada: 1. Ir. Harmini, M.Si selaku dosen pembimbing atas bimbingan, arahan, waktu, dan kesabaran yang telah diberikan kepada penulis selama penyusunan skripsi ini. 2. Dr. Amzul Rifin, S.P, M.A selaku dosen penguji utama pada sidang penulis yang telah meluangkan waktunya serta memberikan kritik dan saran demi perbaikan skripsi ini. 3. Yanti Nuraeni Muflikh, S.P, M.Agribuss selaku dosen penguji komdik pada sidang penulis yang telah meluangkan waktunya serta memberikan kritik dan saran demi perbaikan skripsi ini. 4. Almarhumah Ibunda Sri Kaltriyana, Ayahanda Suhaili H. Usman, Adik Lintang Juldiar Faradilla dan Hijjar Fahriza Aprilian serta keluarga tercinta untuk setiap dukungan cinta kasih dan doa yang diberikan. Semoga ini bisa menjadi persembahan yang terbaik. 5. Muchlis Hibran yang selalu memberikan segala dukungan, motivasi, semangat, doa, dan kasih sayang kepada penulis. 6. Febriantina Dewi, S.E, M.M yang telah menjadi pembimbing akademik dan seluruh dosen serta staf pengajar (Departemen Agribisnis dan Departemen Komunikasi Pengembangan Masyarakat) yang telah memberikan bimbingan dalam proses pembelajaran selama penulis kuliah di Mayor Agribisnis dan Minor Komunikasi Pengembangan Masyarakat. 7. Pihak Asosiasi Kakao Indonesia (Bapak Zulhefi Sikumbang, Ibu Dewi, Bapak Firman), Kementrian Perdagangan (Bapak Williarter Leonardo), Kementrian Pertanian (Ibu Lidia), Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bapak Joko, Bapak Bowo), Badan Pusat Statistik (Ibu Yolanda), dan Kak M. Fadhil Adinugroho atas waktu, kesempatan, informasi, bantuan, dan dukungan yang diberikan dalam pencarian literatur dan data.
8. Teman-teman seperjuangan satu bimbingan (Joko Novianto, Farah Ratih, dan Tsamaniatul Khusnia) atas semangat, doa, motivasi, dan sharing selama penelitian hingga penulisan skripsi berakhir. 9. Teman-teman seperjuangan gladikarya (Jauhar Samudra, Annisa Kusuma Wardani, Dwi Endah, dan Helma Hendriette) atas suka, duka, pengalaman, kerjasama, dan kebersamaannya selama di Desa Jambenenggang, Sukabumi. 10. Teman-teman Agribisnis angkatan 45 (Septiannisa, Destia, Meidina, Julia, Tsame, Andina, Regina, Dinda, Tami, Hera, Ayuning, Akbar, Dika, Difan) dan teman-teman lain yang tidak bisa disebutkan satu per satu yang telah mewarnai hari-hari penulis selama kuliah di IPB. Terima kasih atas suka, duka, pengalaman, dan ilmu yang telah kalian berikan. 11. Pihak-pihak lain yang namanya tidak bisa penulis sebutkan satu per satu namun telah banyak memberikan saran dan bantuan serta doa selama penulis kuliah di IPB. Terima kasih atas bantuannya.
Bogor, Juni 2012 Restika Raditia Aulia
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI …………………………………………………………
i
DAFTAR TABEL ……………………………………………………
iii
DAFTAR GAMBAR …………………………………………………
iv
DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………
v
I.
PENDAHULUAN ……………………………………………...... 1.1 Latar Belakang ……………………………………………...... 1.2 Perumusan Masalah ………………………………………...... 1.3 Tujuan Penelitian …………………………………………...... 1.4 Manfaat Penelitian …………………………………………… 1.5 Ruang Lingkup Penelitian ……………………………………
1 1 8 11 12 12
II. TINJAUAN PUSTAKA …...…………………………………….. 2.1 Kakao di Dunia ………………………………………………. 2.2 Kakao di Indonesia …………………………………………... 2.3 Analisis Transmisi Harga …………………………………….
14 14 17 21
III. KERANGKA PEMIKIRAN …………………………………… 3.1 Fluktuasi dan Volatilitas Harga ……………………………… 3.2 Teori Harga……………………………………………………. 3.3 Konsep Perdagangan Internasional …………………………… 3.4 Hubungan Pasar Berjangka dan Pasar Fisik ………………….. 3.5 Transmisi Harga ……….……………………………………... 3.6 Model Vector Autoregression (VAR) ………………………... 3.7 Kerangka Pemikiran Operasional …………………………….
23 23 24 26 29 30 32 34
IV. METODE PENELITIAN .……………………………………… 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ……………………………….... 4.2 Data dan Instrumentasi …...………………………………….. 4.3 Pengolahan dan Analisis Data ……………………..………… 4.3.1 Uji Stasioneritas Data dan Derajat Integrasi …………... 4.3.2 Penentuan Panjang Lag …..……………………………. 4.3.3 Uji Kointegrasi ………………………………................ 4.3.4 Estimasi Model VAR ………………………………...... 4.3.5 Fungsi Respon Impuls …...……………………………. 4.3.6 Dekomposisi Ragam …………………………………...
37 37 37 38 38 40 40 41 43 43
V. GAMBARAN UMUM ………………………………………….. 5.1 Pasar Fisik Indonesia ………………………………………… 5.2 Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) ………………………… 5.3 Pasar Berjangka New York …………….…………………….. 5.4 Pasar Berjangka London ……….…………………………….. 5.5 International Cocoa Organization ……………………………
45 45 47 48 49 50 i
VI. TRANSMISI HARGA KAKAO ……………………………….. 6.1 Eksplorasi Data ………………………………………………. 6.2 Analisis Data ……………………………………………......... 6.2.1 Uji Stasioneritas Data dan Derajat Integrasi …………... 6.2.2 Penentuan Panjang Lag …..……………………………. 6.2.3 Uji Kointegrasi ………………………………………… 6.2.4 Estimasi Model VAR ………………………………….. 6.2.5 Fungsi Respon Impuls …...……………………………. 6.2.6 Dekomposisi Ragam …………………………………... 6.2.7 Implikasi Model VECM Terhadap Askindo ……………
52 52 55 56 57 58 60 62 66 68
VII. KESIMPULAN DAN SARAN …………………………………. 7.1 Kesimpulan …………………………………………………... 7.2 Saran ………………………………………………………….
71 71 71
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………...
73
LAMPIRAN ………………………………………………………….
76
ii
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1
Nilai Neraca Perdagangan Pertanian Indonesia Menurut Sub Sektor Tahun 2006 – 2010 ….……………………………...
1
2
Nilai dan Volume Ekspor dan Komoditas Perkebunan Indonesia Tahun 2006 – 2010 ………………………….......
2
3
Luas Areal dan Produksi Kakao Indonesia Menurut Pengusahaan Tahun 2000 − 2011 …………………….…....
3
4
Produksi Biji Kakao Dunia Tahun 2001 – 2010 ………….
4
5
Volume dan Nilai Ekspor Impor Biji Kakao Indonesia Tahun 2000 – 2009 …………………………………………
5
6
Konsumsi Biji Kakao Dunia Tahun 2001 – 2010 ………….
15
7
Volume dan Nilai Impor Biji Kakao Indonesia Tahun 2006 – 2010 ………………………………………………………..
19
8
Rataan, Standar Deviasi, dan Koefisien Varians Harga Biji Kakao di Indonesia, LIFFE, dan NYBOT ………………….
55
9
Hasil Unit Root Test Bursa INDO, LIFFE, dan NYBOT………………………………………………………
57
10
Panjang Lag Optimal Berdasarkan Beberapa Kriteria………………………………………………………
58
11
Rangkuman Uji Kointegrasi Johansen ………………………
59
12
Hasil Estimasi Model VARD………………………………..
61
iii
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1
Perkembangan Harga Komoditi Kakao di Pasar Domestik dan Dunia Tahun 2001 – 2009 ......…………………………
7
2
Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor Komoditi Biji Kakao dan Produk Lain Kakao Indonesia…………………
8
3
Proses Terjadinya Perdagangan Internasional………………
27
4
Kerangka Pemikiran Operasional…………………………...
36
5
Tataniaga Kakao Indonesia………………………………….
46
6
Grafik Fluktuasi Harga Harian di London International Financial Futures Exchange (LIFFE) dibandingkan dengan Harga Harian di pasar fisik Makassar, Indonesia...…………………………………………………
53
7
Grafik Fluktuasi Harga Harian di New York Board of Trade (NYBOT) dibandingkan dengan Harga Harian di pasar fisik Makassar, Indonesia ………………………………………
54
8
Grafik Respon Impuls dari Nilai Logaritma Harga Biji Kakao Indonesia terhadap Variabel Lain …………………
65
9
Grafik Respon Impuls dari Nilai Logaritma Harga Biji Kakao LIFFE terhadap Variabel Lain……………………….
66
10
Grafik Respon Impuls dari Nilai Logaritma Harga Biji Kakao NYBOT terhadap Variabel Lain …………………
67
11
Respon Harga Biji Kakao Pasar Berjangka NYBOT dan LIFFE terhadap guncangan Harga Biji Kakao Pasar Fisik Indonesia ……………………………………………………
68
iv
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1
Hasil Unit Root Test ….……………………………………
77
2
Pengujian Panjang Lag Optimal ……………………………
79
3
Hasil Uji Kointegrasi ………………………………………
80
4
Analisis VAR ………………………………………………
82
5
Analisis Respon Impuls ……………………………………
83
6
Analisis Dekomposisi Ragam ......…………………………
91
v
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Indonesia merupakan negara agraris yang unggul dalam bidang pertanian. Sektor pertanian di Indonesia menyumbang sekitar 2.708,161 triliun rupiah untuk nilai pendapatan Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga yang berlaku pada tahun 2010 (Kementan 2011). Oleh karena itu, sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung bagi perekonomian Indonesia. Sektor pertanian terdiri dari subsektor perkebunan, subsektor hortikultura, subsektor peternakan, dan subsektor tanaman pangan. Diantara keempat subsektor tersebut, subsektor perkebunan memiliki surplus dalam hal neraca perdagangan. Hal ini dapat dilihat dari penjabaran Tabel 1. Tabel 1. Nilai Neraca Perdagangan Pertanian Indonesia Menurut Sub Sektor Tahun 2006 - 2010 Tahun
Sub Sektor
No.
2006
2007
2008
2009
2010
Rata-rata pertumbuhan 2006-2010 (%)
Nilai (US$ 000) 1
2
3
Tanaman Pangan -
Ekspor
264.155
288.588
348.883
321.262
477.708
17,73
-
Impor
2.568.453
2.729.101
3.526.957
2.737.862
3.893.840
13,83
-
Neraca
-2.304.299
-2.440.513
-3.178.074
-2.416.601
-3.416.132
13,38
Hortikultural -
Ekspor
238.063
254.537
433.921
379.939
390.740
16,95
-
Impor
527.415
810.130
926.045
1.077.463
1.292.988
26,07
-
Neraca
-289.352
-555.593
-492.124
-697.724
-902.248
37,92
13.972.064
1.994.893
27.363.363
21.581.669
30.702.864
25,27
Perkebunan -
4
Ekspor
-
Impor
1.675.067
3.379.875
4.535.918
3.949.191
6.028.160
43,92
-
Neraca
12.296.997
16.596.049
22.833.445
17.632.479
24.674.704
22,43
388.939
748.215
1.148.170
754.913
951.662
34,41
Peternakan -
Ekspor
-
Impor
1.190.396
1.696.459
2.352.219
2.132.800
2.768.339
25,41
-
Neraca
-801.457
-948.244
-1.204.049
-1.377.887
-1.816.677
22,89
14.863.221
21.240.264
29.300.337
23.037.582
32.522.974
25,16
591.331
861.556
11.341.139
9.897.316
13.983.327
26,18
8.901.890
12.624.698
17.959.198
13.140.266
18.539.647
24,58
PERTANIAN -
Ekspor
-
Impor
-
Neraca
Sumber : BPS diolah Pusdatin (2011)
1
Subsektor
perkebunan
memiliki
nilai
ekspor
yang
lebih
besar
dibandingkan nilai impornya. Inilah yang menjadikan nilai neraca perdagangan subsektor perkebunan surplus dari tahun ke tahun. Walaupun terjadi penurunan nilai neraca perdagangan pada tahun 2009, subsektor perkebunan menyumbang ekspor lebih dari 90 persen terhadap total ekspor pertanian yaitu sebesar US$ 21,58 miliar dari total ekspor pertanian US$ 23,03 miliar. Pada tahun 2010 terjadi peningkatan nilai neraca perdagangan yang signifikan dari tahun sebelumnya sebesar US$ 7,04 miliar. Hal ini membuktikan bahwa subsektor perkebunan memiliki keunggulan pada sektor pertanian di Indonesia. Sektor perkebunan mempunyai peran yang penting bagi perekonomian Indonesia. Hasil produksi perkebunan Indonesia mempunyai andil yang cukup besar dalam menyumbang devisa negara. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai dan volume ekspor perkebunan Indonesia tahun 2006-2010 pada Tabel 2. Tabel 2. Nilai dan Volume Ekspor dan Komoditas Perkebunan Indonesia Tahun 2006-2010 No
Komoditas 2006
1
2
3
4
5
2010
Rata-rata pertumbuhan 2006-2010 (%)
Tahun 2007
2008
2009
Kelapa Volume (Ton) Nilai (US$ 000)
978.113
1.269.969
1.080.981
957.517
1.045.960
3,19
363.081
695.812
900.917
489.885
703.239
29,76
Karet Volume (Ton) Nilai (US$ 000)
2.287.310
2.488.585
2.345.457
2.067.312
2.420.716
2,07
4.322.466
4.985.242
6.152.246
3.450.497
7.470.112
27,83
Kelapa Sawit Volume (Ton) Nilai (US$ 000)
15.386.946
15.200.733
18.141.004
21.669.489
20.394.174
7,92
5.551.160
9.078.283
14.110.229
11.728.840
15.413.639
33,38
Kopi Volume (Ton) Nilai (US$ 000)
414.105
321.006
468.750
507.968
433.595
4,32
588.502
635.696
991.458
829.261
814.311
11,46
Kakao Volume (Ton) Nilai (US$ 000)
612.124
503.547
515.576
559.799
552.892
-2,00
855.047
924.186
1.269.022
1.459.297
1.643.773
18,26
Sumber : BPS diolah Pusdatin (2011)
2
Salah satu komoditi perkebunan yang berpotensi untuk dikembangkan adalah kakao. Kakao Indonesia merupakan komoditi utama perkebunan yang menyumbang devisa negara untuk ekspor hasil perkebunan. Nilai ekspor kakao Indonesia menempati urutan ketiga setelah kelapa sawit dan karet dengan total nilai ekspor sebesar US$ 1,64 miliar pada tahun 2010. Hal ini dapat menunjukkan potensi dan peluang komoditas kakao dalam perdagangan internasional. Kakao berperan sebagai penghasil devisa negara, penyedia lapangan pekerjaan, dan sumber pendapatan bagi petani di Indonesia. Kondisi ini didukung dengan kepemilikan area tanam kakao nasional yang sebagian besar dikelola oleh perkebunan rakyat. Pada tahun 2011 diduga luas areal kakao milik perkebunan rakyat (PR) sebesar 1.641.130 ha. Untuk perkebunan besar negara (PBN) dan perkebunan besar swasta (PBS) masing-masing luasnya diduga sebesar 54.443 ha dan 50.216 ha. Luas areal dan produksi kakao Indonesia dari tahun ke tahun dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Luas Areal dan Produksi Kakao Indonesia Menurut Pengusahaan Tahun 2000-2011 Luas Areal (Ha) Tahun
Perkebunan Rakyat
(PR)
Perkebuna n Besar Negara
(PBN)
Produksi (Ton)
Perkebunan Besar Swasta
(PBS)
Jumlah
Perkebunan Rakyat
(PR)
Perkebunan Besar Negara
Perkebunan Besar Swasta
(PBN)
(PBS)
Jumlah
1
2
3
4
5
6
7
8
9
2000
641.133
52.690
56.094
749.917
363.628
34.790
22.724
421.142
2001
710.044
55.291
56.114
821.449
476.924
33.905
25.975
536804
2002
798.628
54.815
60.608
914.051
511.379
34.083
25.693
571.155
2003
861.099
49.913
53.211
964.223
634.877
32.075
31.864
698.816
2004
1.003.252
38.668
49.040
1.090.960
636.783
25.830
29.091
691.704
2005
1.081.102
38.295
47.649
1.167.046
693.701
25.494
29.633
748.828
2006
1.219.633
48.930
52.257
1.320.820
702.207
33.795
33.384
769.386
2007
1.272.781
57.343
49.155
1.379.279
671.370
34.643
33.993
740.006
2008
1.326.784
50.584
47.848
1.425.216
740.681
31.130
31.783
803.594
2009
1.491.808
49.489
45.839
1.587.136
741.981
34.604
32.998
809.583
2010 *)
1.555.596
50.104
45.839
1.651.539
773.707
36.844
34.075
844.626
2011 **)
1.641.130
54.443
50.216
1.745.789
828.255
38.068
36.769
903.092
Keterangan : *) Angka sementara dan **) Angka dugaan Sumber : BPS diolah Pusdatin (2011) 3
Perkembangan luas areal dan produksi kakao terus meningkat setiap tahunnya. Walaupun pada tahun 2004 dan 2007 terjadi penurunan jumlah produksi, tetapi secara umum trend produksi mengalami peningkatan. Keadaan ini dapat dilihat ketika tahun 1967 total luas areal kakao hanya 12.839 ha, hingga tahun 2011 total luas areal kakao diduga sebesar 1.745.789 ha. Dilihat dari sisi produksi, pada tahun 1967 total produksi kakao hanya 1.233 ton dan pada tahun 2011 diduga total produksi kakao sebesar 903.092 ton. Pengaruh positif yang timbul dari adanya perkembangan luas areal dan produksi kakao telah memberikan hasil yang berdampak pada peningkatan pangsa pasar kakao Indonesia di dunia. Indonesia berhasil menjadi produsen biji kakao terbesar ketiga di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana. Jumlah produksi biji kakao dari ketiga negara tersebut dibandingkan dengan negara lain dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Produksi Biji Kakao Dunia Tahun 2001-2010 Negara
Produksi (ribu ton) 2004/ 2005/ 2006/ 2005 2006 2007 2.375 2.642 2.391
AFRIKA
2001/ 2002 1.952
2002/ 2003 2.232
2003/ 2004 2.550
Kamerun
131
160
166
185
166
1.265
1.352
1.407
1.286
Ghana
341
497
737
599
Nigeria
185
173
180
Pantai Gading
2007/ 2008 2.692
2008/ 2009 2.519
2009/ 2010* 2.458
166
185
227
190
1.408
1.292
1.382
1.222
1.242
740
614
729
662
632
200
200
190
230
250
240
Lainnya
30
50
60
105
128
129
166
158
154
AMERIKA
370
428
462
445
446
411
469
488
522
Brazil
124
163
163
171
162
126
171
157
161
Ekuador
81
86
117
116
114
114
118
134
160
Lainnya ASIA & OCEANIA
165
179
182
158
170
171
180
197
201
539
510
525
559
636
597
592
599
633
Indonesia
455
410
430
460
530
490
485
490
535
Lainnya TOTAL DUNIA
84
100
95
99
106
107
107
109
98
2.861
3.170
3.537
3.379
3.724
3.399
3.753
3.606
3.613
Keterangan : *) Angka dugaan Sumber : International Cocoa Organization (2011) Indonesia pernah berada di peringkat kedua sebagai negara peghasil biji kakao terbesar di dunia pada tahun 2001/2002, namun kembali tergeser ke posisi tiga oleh Ghana pada tahun berikutnya. Pergeseran itu terjadi karena adanya serangan hama pada tanaman kakao. Indonesia menjadi pemasok terbesar biji 4
kakao di wilayah Asia Oceania dengan total produksi Indonesia lebih dari 80 persen total produksi keseluruhan di Asia Oceania. Tingkat persaingan ekspor Indonesia dengan negara utama penghasil kakao lainnya sangat ketat. Hal ini dikarenakan biji kakao Indonesia yang dihasilkan oleh rakyat kualitasnya masih rendah. Kualitas kakao Indonesia masih didominasi oleh biji kakao yang belum terfermentasi, biji dengan kadar kotoran yang tinggi, serta terkontaminasi serangga, jamur, atau mikotoksin sehingga kakao Indonesia dihargai paling rendah di pasar internasional. Hal ini juga yang menyebabkan volume dan nilai ekspor kakao Indonesia fluktuatif dari tahun ke tahun. Pada Tabel 5 tersedia data mengenai volume dan nilai ekspor impor komoditi kakao Indonesia. Tabel 5. Volume dan Nilai Ekspor Impor Biji Kakao Indonesia Tahun 2000-2009 Tahun 1 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
EKSPOR VOLUME NILAI (Ton) (000 US$) 2 3 424.089 341.860 392.072 389.262 465.622 701.034 355.726 621.022 366.855 546.560 463.632 664.338 609.035 852.778 503.522 924.157 515.523 1.268.914 535.236 1.413.535
IMPOR VOLUME (Ton) 4 18.252 11.841 36.603 39.226 46.974 52.353 47.939 43.528 53.331 46.356
NILAI (000 US$) 5 18.953 15.699 64.001 76.205 77.023 82.326 74.185 82.786 113.381 119.321
Sumber : BPS diolah Pusdatin (2011) Data perkembangan volume dan nilai ekspor biji impor kakao Indonesia selama sepuluh tahun terakhir memperlihatkan dengan jelas terjadinya fluktuasi perdagangan komoditas kakao di pasar internasional. Besarnya peningkatan nilai ekspor impor dibandingkan dengan volumenya menunjukkan bahwa harga kakao cenderung meningkat (Bappebti 2011). Selain itu, tingkat persaingan perdagangan internasional juga menjadi hal yang perlu diperhatikan karena dapat menyebabkan harga ekspor kakao Indonesia juga semakin fluktuatif. Seharusnya, Indonesia sebagai salah satu penghasil biji kakao terbesar di dunia memiliki kemampuan
5
untuk mengontrol pergerakan jumlah dan harga biji kakao serta mengatasi fluktuasi harga biji kakao dari waktu ke waktu. Perubahan harga yang berfluktuasi ini membuat produsen tidak dapat memprediksi keuntungan yang akan diterima atau kemungkinan kerugian yang akan diperoleh akibat harga kakao yang jatuh dipasaran. Hal ini yang membuat harga menjadi salah satu hal yang penting dalam perdagangan kakao di Indonesia karena selain menjadi indikator penerimaan bagi perusahaan, harga juga menjadi salah satu indikator penentuan produksi di masa depan. Alternatif cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi terjadinya fluktuasi harga tersebut adalah dengan sistem pasar berjangka komoditi. Transaksi yang terjadi pada pasar berjangka akan memberikan kejelasan berapa volume yang harus dihasilkan oleh produsen sehingga memberikan gambaran jumlah faktor produksi yang diperlukan untuk menghasilkan sejumlah produk yang diinginkan pasar. Informasi mengenai kepastian jumlah produk yang harus dihasilkan akan membantu produsen untuk meminimalkan risiko rendahnya harga karena kelebihan penawaran. Pusat pasar berjangka dunia untuk komoditas kakao unfermented berada di New York serta kakao fermented berada di London. Sedangkan di Indonesia, pusat pasar perdagangan kakao terdapat di Makassar sebagai daerah penghasil kakao terbesar di Indonesia dengan transaksi penyerahan barang langsung (fisik) atau disebut juga transaksi secara spot. Walaupun di Indonesia sudah ada bursa berjangka Jakarta Futures Exchange (JFX), namun kontrak berjangka kakao baru mulai dijalankan pada 15 Desember 2011 sehingga belum terbilang efektif untuk menggambarkan harga komoditi biji kakao Indonesia. The London International Financial Futures Exchange (LIFFE) dan The New York Board of Trade (NYBOT) dipilih dalam penelitian ini karena merupakan lantai bursa perdagangan berjangka utama untuk komoditi biji kakao fermented dan unfermented. Perdagangan pada bursa tersentralisasi ini dapat meningkatkan transparansi pasar karena semua pedagang baik aktual maupun potensial memiliki akses yang sama terhadap harga yang terbentuk. Harga yang terjadi pada lantai bursa perdagangan komoditas ini berubah dari menit ke menit berdasarkan hasil informasi pasar baru. Hal ini menunjukkan harga komoditas 6
yang bersifat volatil. Data perkembangan harga komoditi kakao di pasar domestik dan dunia dapat dilihat pada Gambar 1.
Perkembangan Harga Komoditi Kakao di Pasar Domestik dan DuniaTahun 2001 – 2009 Sumber : Disbun Propinsi dan International Cocoa Organization (2011) Gambar 1.
Perdagangan komoditi biji kakao memerlukan suatu wadah yang menaungi seluruh pihak yang terlibat dalam bisnis kakao agar dapat menempatkan komoditi kakao Indonesia pada kedudukan yang lebih baik di pasar dunia. Hal inilah yang mendasari terbentuknya Askindo (Asosiasi Kakao Indonesia). Askindo merupakan organisasi yang sifatnya nasional dan menyeluruh dengan keanggotaan yang terbuka bagi perusahaan, koperasi, dan kelompok tani kakao yang bergerak sebagai produsen, pengolah, pabrikan, dan pedagang kakao Indonesia. Askindo berfungsi sebagai tempat pertukaran dan penyebarluasan informasi mengenai hal yang terkait dengan komoditi kakao, memperluas hubungan kerjasama internasional, membantu usaha peningkatan mutu kakao Indonesia, memberikan masukan kepada pemerintah dalam hal peraturan perundangan yang berkaitan dengan perdagangan kakao, dan sebagainya. Adanya kebijakan pemerintah mengenai perdagangan bebas membuat perdagangan internasional menjadi tidak mustahil lagi untuk dijalankan. Suatu negara dapat dengan mudah melakukan kegiatan perdagangan ke negara lain. Oleh karena itu, penelitian ini dimaksudkan untuk mengukur dan menganalisis 7
seberapa erat keterkaitan harga biji kakao antar pasar fisik Indonesia dengan pasar berjangka di New York dan London. Diduga terdapat hubungan antara harga biji kakao di Indonesia dengan harga yang terjadi di The New York Board of Trade (NYBOT) untuk komoditi biji kakao unfermented dan The London International Financial Futures Exchange (LIFFE) untuk komoditi biji kakao yang fermented. Untuk itulah dibutuhkan alat analisis yang akurat untuk melihat pergerakan harga biji kakao yang terjadi. 1.2. Perumusan Masalah Kakao memiliki berbagai macam turunan produk diantaranya adalah kakao biji, kakao buah, kakao pasta, lemak kakao, tepung kakao, dan makanan mengandung coklat lainnya. Keenam komoditas ini menunjukkan perkembangan volume dan nilai ekspor yang baik. Pada tahun 2009 biji kakao menjadi komoditas unggulan dengan volume ekspor sebesar 439.305 ton dan nilai ekspor US$ 1,08 miliar. Sementara itu lemak kakao menyumbang 41.605 ton volume ekspor dengan nilai ekspor US$ 230 juta dan tepung kakao dengan volume ekspor 27.540 ton serta nilai ekspor sebesar US$ 45 juta (Ditjenbun 2011). Perkembangan volume dan nilai ekspor komoditi biji kakao dan produk lain kakao Indonesia dapat dilihat pada Gambar 2.
Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor Komoditi Biji Kakao dan Produk Lain Kakao Indonesia Sumber: BPS diolah Pusdatin (2011) Gambar 2.
8
Penelitian ini menggunakan komoditi biji kakao karena memiliki volume dan nilai ekspor yang tertinggi dibanding dengan produk turunan lainnya. Berdasarkan data sebelumnya dapat dilihat volume dan nilai ekspor biji kakao menempati urutan pertama dengan total 439.305 ton dan US$ 1,08 miliar pada tahun 2009. Selain itu, akibat industri pengolahan kakao domesik yang kurang berkembang maka komoditas biji kakao memiliki potensi yang lebih unggul untuk diekspor dibanding dengan produk turunan lainnya. Komoditas kakao seperti umumnya produk pertanian lainnya juga memiliki beberapa permasalahan yang terkait dengan harga, salah satunya adalah perubahan harga. Perubahan harga pada komoditas pertanian umumnya dipengaruhi oleh jumlah permintaan yang diinginkan konsumen dan jumlah penawaran yang ditawarkan produsen. Apabila ketersediaan barang berlebih akan menyebabkan kerugian dari segi biaya gudang dan adanya risiko kerusakan serta penurunan kualitas barang. Potensi kerugian yang ditimbulkan oleh fluktuasi harga membutuhkan suatu penanganan khusus agar dapat diminimalisasi. Salah satu caranya adalah mengembangkan suatu sarana manajemen risiko yang disebut dengan pasar berjangka (forward). Manfaat adanya bursa berjangka ini adalah sebagai tempat pembentukan harga dengan mekanisme perdagangan yang transparan dan fungsi lindung nilai (hedging) terhadap barang yang diperdagangkan. Ketersediaan informasi yang dapat diakses tanpa hambatan akan mampu memprediksi penawaran dan permintaan di masa yang akan datang sehingga komoditi dapat diramalkan dan pelaku kegiatan agribisnis dapat merencanakan pengembangan usahanya ke depan. Salah satu pelaku bisnis kakao di Indonesia adalah Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) sebagai organisasi yang bertujuan untuk menempatkan komoditas kakao Indonesia pada kedudukan yang lebih baik di pasar dunia, khususnya untuk harga komoditi biji kakao. Namun, saat ini diperkirakan Indonesia masih menjadi penerima harga (price taker) dalam perdagangan biji kakao dunia. Keadaan ini menjadikan posisi tawar Indonesia masih tergolong lemah yang ditandai dari rendahnya harga jual biji kakao Indonesia di dunia. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan Askindo dalam meningkatkan posisi tawar biji 9
kakao Indonesia, maka perlu dilakukan analisis transmisi harga yang dapat menunjukkan keterkaitan harga antar pasar biji kakao Indonesia dengan pusat perdagangan kakao di dunia. Saat ini terdapat dua cara umum yang dilakukan dalam pemasaran kakao, antara lain dengan pelaksanaan secara fisik (spot) seperti yang dilakukan Indonesia dan pelaksanaan transaksi secara berjangka (forward) seperti di bursa New York dan London. Harga fisik dan harga berjangka mempunyai hubungan saling mempengaruhi. Kedua harga tersebut cenderung memiliki pergerakan searah dengan fluktuasi yang tidak selalu sama, namun hal tersebut tidak selalu terjadi. Harga fisik merupakan acuan bagi harga berjangka, namun hal tersebut tidak selalu terjadi karena tidak semua harga berjangka bereaksi terhadap perubahan harga fisik. Sebaliknya harga berjangka merupakan sinyal harga masa depan untuk pasar fisik. Menurut wawancara yang dilakukan dengan ketua Askindo, mekanisme pembentukan harga biji kakao di Indonesia mengacu pada harga yang dibentuk dari pusat perdagangan komoditi kakao yang terletak di Makassar.
Harga
biji
kakao
di
Makassar
diduga
diperoleh
dengan
mempertimbangkan harga yang terjadi di bursa perdagangan komoditi berjangka New York Board of Trade (NYBOT) untuk komoditi biji kakao unfermented dan London International Financial Futures Exchange (LIFFE) untuk komoditi biji kakao fermented. Adanya globalisasi membuat suatu kejadian di dunia menjadi semakin terkait satu sama lain dan dapat cepat berpengaruh terhadap belahan dunia lainnya. Dampak globalisasi yang dirasakan dalam bidang ekonomi diikuti oleh adanya perdagangan bebas. Hal inilah yang menyebabkan bahwa harga biji kakao yang terjadi di pasar fisik Indonesia diduga tidak berdiri sendiri. Adapun hal lain yang diduga mempengaruhinya adalah harga kakao yang terfermentasi di pasar berjangka London dan juga harga kakao yang tidak terfermentasi di pasar berjangka New York. Kedua bursa ini diduga memberika pengaruh karena merupakan pusat perdagangan berjangka terbesar di dunia untuk komoditi kakao. Hubungan harga biji kakao di berbagai pasar pada umumnya dapat menggunakan pendekatan model Vector Autoregression (VAR). Model VAR merupakan permodelan multivariate yang dapat menjelaskan hubungan dinamis 10
antar variabel yang diduga berhubungan. Hingga saat ini, permodelan VAR telah digunakan dalam berbagai penelitian untuk melihat bagaimana hubungan pergerakan harga yang terjadi di berbagai pasar. Permodelan VAR pada penelitian Hafizah (2009) digunakan untuk menganalisis integrasi pasar fisik crude palm oil (CPO) di Indonesia dan Malaysia, serta pasar berjangka di Rotterdam. Permodelan VAR lainnya digunakan Fitrianti (2009) untuk menganalisis integrasi pasar karet alam di pasar fisik Indonesia dan pasar berjangka dunia. Selain itu, analisis mengenai transmisi harga teh hitam di Indonesia pun juga dapat menggunakan permodalan VAR seperti pada penelitian yang dilakukan oleh Adinugroho (2011). Pada penelitian kali ini, permodelan VAR digunakan untuk menganalisis transmisi harga biji kakao di pasar spot Indonesia, pasar forward di London dan New York. Sehingga diharapkan melalui model VAR ini dapat terlihat hubungan harga komoditi biji kakao antara pasar fisik Indonesia, pasar berjangka New York, dan London yang mendekati keadaan sebenarnya. Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan permasalahan yang diangkat dari penelitian ini adalah : 1. Bagaimana volatilitas harga biji kakao di pasar fisik Indonesia, pasar berjangka New York dan London? 2. Bagaimana hubungan harga biji kakao di pasar fisik Indonesia terhadap harga di pasar berjangka New York dan London berdasarkan model VAR yang dibuat? 3. Bagaimana implikasi transmisi harga yang dapat diaplikasikan di Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) untuk meningkatkan posisi kakao Indonesia yang lebih baik di pasar dunia? 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah tersebut, maka tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Menganalisis volatilitas harga biji kakao di pasar fisik Indonesia, pasar berjangka New York dan London. 2. Menganalisis hubungan harga biji kakao di pasar fisik Indonesia terhadap harga di pasar berjangka New York dan London berdasarkan model VAR yang dibuat. 11
3. Menyusun rekomendasi kebijakan yang dapat dilakukan Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) untuk meningkatkan posisi kakao Indonesia yang lebih baik di pasar dunia. 1.4. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan bahan pertimbangan bagi pihak yang berkepentingan, antara lain: 1. Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) sebagai organisasi pusat informasi perdagangan kakao di Indonesia. 2. Pelaku bisnis kakao, baik petani, pengusaha, produsen, eksportir, maupun importir kakao, untuk membantu dalam perencanaan produksi dan pemasarannya serta mengantisipasi fluktuasi harga kakao. 3. Peneliti lain, diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi sebagai referensi bagi penelitian selanjutnya secara lebih mendalam. 4. Pembaca, diharapkan penelitian ini dapat menjadi tambahan pengetahuan dalam memperluas wawasan, sekaligus sebagai bahan informasi dan literatur untuk penelitian selanjutnya. 5. Pemerintah, diharapkan penelitian ini dapat menjadi informasi dalam penyusunan kebijakan di sektor perkebunan kakao Indonesia. 1.5. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini membahas mengenai transmisi harga biji kakao di pasar fisik Indonesia, pasar berjangka New York dan London sehingga tidak membahas lebih lanjut mengenai harga di negara-negara penghasil kakao lainnya dan faktor-faktor non harga yang mempengaruhinya. Komoditas yang menjadi objek penelitian adalah komoditas biji kakao yang merupakan komoditas ekspor Indonesia. Data harga biji kakao domestik adalah harga biji kakao di pasar spot Makassar dan didapatkan dari data yang dikumpulkan oleh Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), sedangkan data harga biji kakao di New York Board of Trade (NYBOT) adalah merupakan harga yang terbentuk di pasar forward yang dikumpulkan oleh International Cocoa Association (ICCO). Harga biji kakao di London International Financial Futures Exchange (LIFFE) merupakan data harga transaksi secara forward yang diperoleh melalui situs 12
Reuters. Data yang digunakan adalah data sekunder yang diambil dari berbagai sumber dan data primer yang diperoleh dari hasil wawancara dengan pihak Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) sehingga dalam penelitian ini dapat terlihat hubungan harga biji kakao Indonesia dengan harga biji kakao di bursa komoditi New York dan London.
13
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kakao di Dunia Tanaman kakao pertama kali dibudidayakan dan dimanfaatkan oleh Suku Indian Maya dan Suku Astek (Aztec) sebagai bahan makanan dan minuman coklat. Suku Maya dahulu hidup di daerah yang sekarang disebut Guatemala, Yucatan, dan Honduras (Amerika Tengah). Oleh karena itu, berdasarkan penelusuran sejarah menujukkan bahwa tanaman kakao berasal dari hutan-hutan tropis di Amerika Tengah dan di bagian utara Amerika Selatan. Seiring penaklukan Suku Maya oleh Suku Astek, maka Suku Astek lebih dikenal sebagai penanam dan pembudidaya tanaman kakao oleh Bangsa Spanyol yang datang pada tahun 1519. Kemudian pada tahun 1525, masyarakat Spanyol tercatat sebagai penanam pertama kakao di Trinidad (Wahyudi et al. 2008). Wahyudi et al. (2008) juga menyatakan bahwa pengenalan kakao terus berkembang hingga ke Eropa pada tahun 1528. Rasa olahan kakao sebagai cokelat yang lezat membuat komoditi ini menjadi terkenal sebagai produk makanan dan minuman baru di Spanyol. Hingga pada awal tahun 1550 pengenalan kakao semakin meluas hingga ke seluruh daratan Eropa. Beberapa pabrik pengolahan kakao mulai berdiri di daerah Lisbon (Portugal), Genoa, Turin (Italia), dan Marseilles (Prancis). Negara lain yang tercatat sebagai perintis penanaman kakao adalah Belanda, khususnya untuk penanaman kakao di Asia. Kakao semakin terkenal setelah ditemukan cara baru pengolahannya seperti inovasi baru yang dipopulerkan oleh C.J Van Houten sekitar tahun 1828 di Belanda. Inovasi tersebut berupa alat untuk mengekstrak biji kakao menjadi lemak cokelat (cocoa butter) atau bubuk cokelat (cocoa powder). Sejak saat itu perdagangan biji kakao di Amerika dan Eropa berkembang sangat pesat. Produsen kakao terbesar di dunia berada di Pantai Gading (Ivory Coast), kemudian diikuti oleh Ghana dan Indonesia, dengan produksi masing-masing adalah 40 persen, 19 persen, dan 11 persen dari total produksi dunia. Ketiga negara produsen terbesar kakao ini menghasilkan 70 persen produksi kakao dunia dan sisanya dihasilkan oleh negara-negara lain1. 1
Hasil wawancara dengan Ketua Asosiasi Kakao Indonesia [02 Februari 2012]
14
Konsumsi kakao dunia didominasi oleh negara-negara Eropa, Amerika Serikat, atau negara-negara industri dengan pendapatan per kapita jauh di atas US$ 1.000. Negara-negara maju dengan tingkat pendapatan tinggi merupakan pengolah dan konsumen dari produk-produk berbasis kakao. Pada tahun 2008/2009 negara-negara di Eropa mengkonsumsi sekitar 41 persen dari total konsumsi kakao dunia, sementara negara di Benua Amerika sekitar 22 persen, diikuti negara-negara di Asia 18 persen, dan Afrika 17 persen. Perbandingan konsumsi kakao antar negara terdapat pada Tabel 6. Tabel 6. Konsumsi Biji Kakao Dunia Tahun 2001-2010 EROPA Jerman Belanda Lainnya
2001/ 2002 1.282 195 418 669
2002/ 2003 1.320 193 450 677
2003/ 2004 1.348 225 445 678
2004/ 2005 1.379 235 460 684
2005/ 2006 1.456 306 455 695
2006/ 2007 1.541 357 465 719
2007/ 2008 1.551 385 490 676
2008/ 2009 1.446 342 440 664
2009/ 2010* 1.499 361 470 668
AFRIKA Pantai Gading Lainnya
422 290 132
446 315 131
464 335 129
501 364 137
485 336 149
515 336 179
564 374 190
622 419 203
660 400 260
AMERIKA Brazil Amerika Serikat Lainnya
758 173 403 182
814 196 410 208
852 207 410 235
853 209 419 225
881 223 432 226
854 224 418 212
831 232 391 208
773 216 361 196
813 226 382 205
ASIA & OCEANIA Indonesia Malaysia Lainnya
413 105 105 203
499 115 150 234
575 120 203 252
622 115 249 258
698 140 267 291
699 140 270 289
804 160 331 313
650 120 278 252
687 120 298 269
TOTAL DUNIA ORIGIN
2.875 960
3.079 1.089
3.239 1.186
3.355 1.262
3.520 1.293
3.609 1.325
3.750 1.468
3.491 1.412
3.659 1.490
Keterangan : *) Angka dugaan Sumber : International Cocoa Organization (2011) Komoditi kakao dunia diperdagangkan melalui bursa tersentralisasi (bursa berjangka). Bursa tersebut merupakan bursa perdagangan untuk komoditi kakao yang diadakan oleh The New York Board of Trade (NYBOT) dan The London Financial Exchange (LIFFE). Kedua bursa komoditi ini merupakan pasar berjangka komoditi terdepan di dunia dan dilengkapi dengan transaksi penentuan harga baik domestik dan internasional bagi produk-produk pertanian. Tujuan dari bursa komoditi perdagangan adalah menyediakan informasi baik harga, produksi, konsumsi, maupun hal lain yang terkait dengan komoditi kakao serta menyebarluaskan informasi tersebut. Mekanisme pembentukan harga dari kedua 15
bursa komoditi tersebut sama yaitu ketika transaksi terjadi di lantai perdagangan maka harga akan segera dikirim kepada pihak yang ditunjuk. Kemudian pihak tersebut akan menyebarluaskan data tersebut ke seluruh dunia. Selain perdagangan fisik (spot), dalam bursa komoditi juga terdapat perdagangan kontrak berjangka yang terjadi di pasar berjangka (forward). Transaksi pada pasar forward adalah sebagai berikut, pembeli dan penjual dapat bernegosiasi melalui satu-satunya variabel yaitu harga. Standar perjanjian kontrak legal dan perdagangan disusun berdasarkan kesepakatan bersama. Pembelian dan penjualan kontrak berjangka menyediakan informasi kepada industri dengan proses pembentukan harga yang dapat dipercaya. Hal tersebut memungkinkan para pelaku bisnis untuk mengunci harga sebagai antisipasi perubahan harga ke depan yang rentan terhadap volatilitas harga tinggi dengan menegosiasikan harga pasar berjangka terbaik (New York Board of Trade 2004). Perbedaan mendasar antara bursa komoditi di New York dan London ini terletak pada komoditi yang diperdagangkan dan mata uang yang dipergunakan. Bursa
NYBOT
memperdagangkan
komoditi
kakao
tanpa
fermentasi
(unfermented) dengan mata uang dollar Amerika Serikat sedangkan bursa LIFFE memperdagangkan komoditi kakao terfermentasi (fermented) yang gradenya lebih berkualitas dibandingkan bursa NYBOT dengan mata uang poundsterling Inggris. Pihak yang terkait langsung dengan bursa komoditi NYBOT dan LIFFE adalah The International Cocoa Organization (ICCO). ICCO merupakan organisasi negara produsen/eksportir dan konsumen/importir kakao. Tujuan dari organisasi ini adalah meningkatkan kerjasama internasional, mengendalikan pasokan di pasar dunia, dan memperkuat upaya pembangunan yang berkaitan dengan perekonomian kakao dunia, terutama dalam stabilisasi harga agar diperoleh tingkat harga kakao yang rasional. Mekanisme pengendalian harga yang dilakukan ICCO diperoleh dengan sistem stok yang membutuhkan biaya yang sangat besar. Biaya ini ditimbulkan dari biaya penyimpanan yang tinggi dan juga biaya kompensasi yang besar untuk pengendalian ekspor kakao. Kebijakan sistem stok ini dilakukan dengan tujuan mengurangi excess supply kakao di pasar dunia. Akan tetapi, tidak semua supply kakao dunia dapat dikendalikan dengan kebijakan stok ICCO. Menurut 16
Roesmanto (1991), hal ini terjadi karena tidak seluruhnya negara penghasil kakao merupakan anggota ICCO. Kebijakan ini menjadi peluang bagi negara-negara yang bukan anggota ICCO untuk meningkatkan supply kakaonya. ICCO beranggotakan kelompok negara produsen antara lain Brazil, Kamerun, Pantai Gading, Ghana, Nigeria, Ekuador, dan lain-lain. Kelompok negara konsumen anggota ICCO adalah Kanada, Eropa, Jepang, Norwegia, Uni Soviet, Swiss, dan lain-lain. Sampai saat ini Indonesia belum tergabung menjadi anggota ICCO. Alasan yang menjadi pertimbangan atas sikap tersebut antara lain dalam pasar bebas kakao, Indonesia dirasa akan mampu bersaing di pasar internasional karena keunggulan komparatif yang dimilikinya. Selain itu, karena pemasaran kakao tidak ditangani oleh ICCO tetapi ditentukan oleh pasar di London dan bursa komoditi di New York maka manfaat Indonesia untuk ikut bergabung menjadi anggota ICCO masih belum jelas. Walaupun Indonesia bukan merupakan anggota ICCO tetapi Indonesia akan tetap aktif dalam berbagai pertemuan ICCO untuk memantau dan mengkaji perkembangan organisasi tersebut (Roesmanto 1991). 2.2. Kakao di Indonesia Kakao di Indonesia pertama kali diperkenalkan oleh Bangsa Spanyol pada tahun 1560 di Sulawesi, Minahasa. Indonesia mengekspor kakao diawali dari pelabuhan Manado ke Manila dengan jumlah ekspor sekitar 92 ton pada tahun 1825-1828. Ekspor Indonesia sempat terhenti setelah tahun 1828 karena serangan hama pada tanaman kakao. Penyebaran tanaman kakao di Jawa baru dimulai sekitar tahun 1880. Percobaan penanaman kakao dilakukan di perkebunan kopi milik orang Belanda di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Hal ini disebabkan pada saat itu tanaman kopi Arabika mengalami kerusakan akibat terserang penyakit karat daun. Jenis kakao yang banyak dibudidayakan adalah jenis Criollo, Forastero, dan Trinitiaro yang berasal dari Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Jenis Criollo menghasilkan biji kakao bermutu sangat baik dan dikenal sebagai kakao mulia, fine flavor cocoa, choiced cocoa, atau edel cocoa. Jenis Forastero menghasilkan biji kakao bermutu menengah dan dikenal sebagai ordinary cocoa atau bulk cocoa. Jenis Trinitiaro yang merupakan hibrida alami dari Criollo dan 17
Forastero sehingga menghasilkan biji kakao yang dapat termasuk fine flavor cocoa atau bulk cocoa. Jenis Tritiaro yang banyak ditanam di Indonesia adalah Hibrid Djati Runggo (DR) dan Uppertimazone Hybrida atau yang biasa disebut dengan kakao lindak (Bappebti 2011). Pengusahaan perkebunan kakao di Indonesia lebih banyak dilakukan oleh perkebunan rakyat dan sisanya adalah produksi dari perkebunan swasta dan perkebunan pemerintah. Pada tahun 2011 diduga luas areal perkebunan rakyat mencapai 1,6 juta ha diikuti luas areal perkebunan besar negara dan perkebunan besar swasta masing-masing sebesar 54 ribu ha dan 50 ribu ha. Sementara itu, produksi kakao di seluruh Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan bertambahnya luas areal lahan kakao. Produksi kakao diprediksi mencapai 903.092 ton pada tahun 2011. Produksi kakao Indonesia masih sangat berpeluang untuk terus ditingkatkan. Hal ini dapat dilihat dari ketersediaan lahan perkebunan kakao Indonesia yang cukup luas (Ditjenbun 2011). Sebagian besar produksi kakao Indonesia sebesar 96 persen adalah biji yang belum difermentasi (unfermented beans) dan umumnya di ekspor belum dalam bentuk olahan, yaitu masih dalam bentuk biji (beans)2. Padahal sebagian besar permintaan impor dari negara Uni Eropa adalah biji kakao yang telah difermentasi untuk dijadikan produk cokelat olahan. Sedangkan ekspor kakao unfermented dari Indonesia yang masuk ke Malaysia dan Singapura akan diolah untuk dijadikan kakao fermentasi dan menjual hasil olahan tersebut dengan harga yang berlipat. Kondisi ini terjadi akibat keterbatasan pengetahuan yang dimiliki petani dan kebutuhan ekonomi yang seringkali memaksa petani menjual kakao hasil panen mereka dalam bentuk biji yang tidak terfermentasi. Hal ini menunjukkan bahwa petani sangat membutuhkan bantuan dan dukungan untuk menghasilkan nilai tambah dengan hasil panen yang difermentasi terlebih dahulu. Upaya untuk mencegah berkurangnya keuntungan para petani misalnya dengan cara memberikan penyuluhan dan bimbingan teknis. Kebutuhan kakao untuk industri kakao nasional masih belum tercukupi sehingga tidak heran bila Indonesia masih harus mengimpor biji kakao untuk 2
Hasil wawancara dengan Ketua Asosiasi Kakao Indonesia [02 Februari 2012]
18
kepentingan bahan baku industri. Volume dan nilai impor kakao Indonesia dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Volume dan Nilai Impor Biji Kakao Indonesia Tahun 2006-2010 IMPOR Tahun
VOLUME (Ton)
NILAI (000 US$)
1 2006 2007 2008 2009 2010
2 47.109 43.845 53.761 46.929 47.455
3 76.031 83.239 119.130 121.390 164.609
Sumber : BPS diolah Pusdatin (2011) Volume dan nilai impor biji kakao Indonesia berfluktuasi dari tahun ke tahun. Dapat dilihat pada tabel bahwa rata-rata pertumbuhan volume impor biji kakao dari tahun 2006 hingga 2010 adalah sebesar 1,03 persen. Sedangkan untuk rata-rata pertumbuhan nilai impor biji kakao tahun 2006-2010 adalah sebesar 22,52 persen (Ditjenbun 2011). Persaingan perdagangan kakao yang semakin ketat membuat perlu adanya suatu wadah yang berfungsi sebagai sarana pengelolaan risiko bagi komoditi kakao. Untuk itulah pada tahun 1999 pemerintah membentuk suatu bursa komoditi Indonesia yang disebut Jakarta Future Exchange (JFX) di bawah pengawasan Kementrian Perdagangan. Namun, komoditi yang diperdagangkan pada awal pendirian bursa ini hanya komoditi CPO, olein, dan kopi. Sedangkan komoditi kakao mulai diperdagangkan pada bursa ini tahun 2011. Bursa komoditi ini mempunyai fungsi penting diantaranya adalah sebagai sarana yang mempermudah untuk mengakses informasi pasar. Informasi yang dapat diketahui dari bursa ini antara lain informasi mengenai harga, produksi, konsumsi, volume perdagangan, dan perkiraan pasar di masa yang akan datang. Untuk mengantisipasi fluktuasi yang akan terjadi di masa depan maka dapat dilakukan kontrak berjangka sebagai upaya perlindungan nilai. Semakin lancar informasi yang dapat diakses membuat para pelaku bisnis dapat mengantisipasi risiko yang mungkin akan terjadi dengan harga di masa depan. Hal ini diharapkan 19
dapat membuat pembentukkan harga yang terjadi di bursa semakin transparan dan bersaing di pasaran. Harga yang terjadi di bursa umumnya dijadikan sebagai harga acuan
(reference
price)
oleh
dunia
usaha,
termasuk
petani
dan
produsen/pengusaha kecil untuk melakukan transaksi di pasar fisik. Menurut Ariyoso (2010), salah satu ciri barang komoditi yang diperdagangkan di bursa adalah harga komoditi yang bersangkutan sering mengalami gejolak. Hal ini disebabkan perubahan kondisi perekonomian yang mempengaruhi fluktuasi harga sehingga membuat para pelaku bursa ini melakukan mekanisme hedging dengan tujuan melindungi aktiva dan/atau kewajiban agar posisi mereka tetap berada dikondisi Break Even Point (BEP). Margin yang telah ditetapkan berlaku untuk periode waktu tertentu dan dapat diubah sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada. Selain itu, ada biaya komisi yang dikenakan oleh pialang berjangka yang besaran minimumnya ditetapkan oleh bursa atas persetujuan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti 2011). Saat ini, perdagangan kakao Indonesia secara umum masih menggunakan transaksi spot dengan pusat perdagangan di pasar fisik Makassar. Hal ini terjadi karena banyak pelaku bisnis kakao yang belum mengetahui adanya transaksi forward untuk komoditi kakao yang mulai dijalankan pada akhir Desember 2011. Transaksi spot merupakan mekanisme perdagangan yang memperjualbelikan suatu barang dengan serah terima barang saat transaksi berlangsung dan pembayarannya dilakukan tunai pada saat itu juga. Adapun pihak yang terkait langsung dengan perdagangan kakao di Indonesia adalah Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo). Askindo merupakan organisasi para pelaku bisnis kakao Indonesia yang bertujuan menempatkan kakao Indonesia pada kedudukan yang terbaik di pasar internasional. Askindo diharapkan dapat bersikap terbuka, kekeluargaan, adil, efektif dalam mencapai tujuan, efisien dalam pelaksanaan kegiatan, dan struktur organisasinya sehingga dapat dipertahankan dan ditingkatkan iklim usaha yang sehat, terbuka, dan bebas dari bentuk persaingan yang tidak wajar.
20
2.3. Analisis Transmisi Harga Analisis transmisi harga dapat dilakukan melalui tiga pendekatan, yaitu: a) pendekatan metode korelasi, dengan menghitung Total Sum Square Correlation antara harga yang bergerak secara bersamaan pada pasar yang diuji, b) metode regresi sederhana, dan c) Vector Autoregression (VAR). Ketiga metode tersebut menelaah keterpaduan pasar dengan menggunakan harga komoditi dalam deret waktu (time series) sebagai input data untuk melakukan analisis. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode VAR. Penelitian mengenai analisis transmisi harga komoditas telah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya yaitu Sianturi (2005) yang menganalisis tentang transmisi harga gula domestik terhadap harga gula dunia, Hafizah (2009) melakukan penelitian mengenai transmisi harga CPO di Indonesia terhadap harga CPO di Malaysia dan Pasar berjangka di Rotterdam, dan analisis integrasi pasar karet alam antara pasar fisik di Indonesia dengan pasar berjangka dunia yang diteliti oleh Fitrianti (2009). Selain itu, ada juga penelitian mengenai analisis transmisi harga teh hitam grade Dust di Jakarta Tea Auction terhadap Colombo Tea Auction dan Guwahati Tea Auction yang telah dilakukan oleh Adinugroho (2011). Sianturi (2005), Hafizah (2009), Fitrianti (2009), dan Adinugroho (2011) menggunakan pendekatan metode VAR didalam penelitiannya untuk menganalisis transmisi harga pada komoditasnya masing-masing. Hasil penelitian Sianturi (2005) dengan menggunakan perangkat lunak Mickrofit 4.0 menunjukan bahwa harga gula di pasar domestik dipengaruhi oleh harga gula dunia jenis raw sugar dan sekaligus menjadi pemimpin harga bagi gula domestik, sementara harga gula domestik tidak mempengaruhi secara nyata kedua jenis harga gula dunia (raw sugar dan white sugar). Hal ini disebabkan karena Indonesia merupakan negara net importer gula, sehingga kebijakan domestik dan fluktuasi harga gula kurang mempengaruhi harga gula dunia. Hafizah
(2009)
dalam
penelitiannya
yang
menggunakan
model
ekonometrika Vector Error Correction Model (VECM) menyimpulkan bahwa pasar forward Rotterdam merupakan pasar referensi atau pasar acuan bagi pasar spot Indonesia dan pasar spot Malaysia, artinya perubahan yang terjadi pada pasar 21
Rotterdam akan menyebabkan pembentukan harga di pasar spot Indonesia dan Malaysia. Harga CPO Rotterdam dalam jangka pendek dipengaruhi oleh Malaysia dan nilai tukarnya serta dirinya sendiri. Harga CPO Malaysia dipengaruhi oleh dirinya sendiri, nilai tukarnya, harga CPO Rotterdam dan Indonesia, nilai tukarnya dan harga minyak kedelai. Adapun harga CPO Indonesia dalam jangka pendek dipengaruhi oleh harga CPO Rotterdam dan Malaysia serta nilai tukar Indonesia dan Malaysia. Alat analisis yang digunakan dalam penelitian Fitrianti (2009) adalah pendekatan dengan Vector Error Correction Model (VECM). Penelitian ini menganalisis integrasi pasar karet alam antara pasar fisik di Indonesia dengan pasar berjangka dunia. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah terdapat hubungan integrasi spasial dan kointegrasi antara pasar berjangka dunia (Singapore Commodity Exchange, Tokyo Commodity Exchange, Agricultural Future Trading of Thailand, dan Shanghai Future Exchange). Hasil penelitian Adinugroho (2011) yang menganalisis tentang transmisi harga teh hitam grade Dust di Indonesia menunjukkan tidak terdapatnya hubungan timbal balik antara harga teh di auction Jakarta, Colombo, dan Guwahati sehingga perubahan harga yang terjadi di kedua auction luar tersebut tidak tertransmisikan terhadap harga yang terjadi
Jakarta Tea Auction. Hasil penelitian ini
menggunakan model VAR yang termasuk ke dalam VAR in level karena data yang digunakan sudah stasioner. Penelitian ini juga menggunakan pendekatan VAR untuk menganalisis transmisi harga. Adapun perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah dari segi komoditas, yaitu biji kakao. Jadi pada penelitian ini akan menganalisis transmisi harga biji kakao di pasar fisik Indonesia dengan harga di pasar berjangka The New York Board of Trade (NYBOT) dan The London Financial Exchange (LIFFE) dengan menggunakan pendekatan model Vector Autoregressive (VAR).
22
III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Fluktuasi dan Volatilitas Harga Fluktuasi merupakan istilah yang mengacu pada ketidakstabilan, ketidaktetapan, guncangan, kelabilan, dan perubahan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), fluktuasi harga merupakan keadaan yang menunjukan gejala turun naiknya harga dan perubahan harga tersebut karena pengaruh permintaan dan penawaran. Sedangkan volatilitas merupakan pengukuran statistik dari besarnya jarak antara fluktuasi harga selama periode waktu tertentu. Ukuran tersebut menunjukan penurunan dan peningkatan harga dalam periode yang pendek dan tidak mengukur tingkat harga, namun derajat variasinya dari satu periode ke periode berikutnya (Hugida 2011). Salah satu komoditas yang rentan terhadap adanya fluktuasi harga adalah komoditas pertanian. Umumnya, fluktuasi harga pada komoditas ini terjadi akibat ketidakseimbangan antara jumlah barang yang tersedia dengan jumlah barang yang diminta oleh konsumen. Jika terjadi kelebihan pasokan maka harga komoditas akan turun, sebaliknya harga akan naik jika terjadi kekurangan pasokan. Fluktuasi harga yang tinggi juga berpengaruh kepada penerimaan dan keuntungan pelaku usaha yang diperoleh dari hasil kegiatan usahataninya. Hal ini sama seperti pendapat Hutabarat (1999) yang menyatakan bahwa fluktuasi harga yang tinggi tidak menguntungkan bagi perkembangan agribisnis karena dapat memiliki pengaruh negatif terhadap keputusan pemilik modal untuk melakukan investasi akibat ketidakpastian penerimaan yang akan diperoleh. Volatilitas harga terjadi tidak hanya di pasar uang ataupun pasar saham saja tetapi juga di pasar komoditas lainnya. Ada tiga hal yang menjadi alasan pentingnya permodelan dan peramalan volatilitas harga diantaranya adalah hasil analisis dapat bermanfaat bagi pengambilan keputusan yang berkaitan dengan masalah risiko bisnis, ketepatan permodelan dapat diperoleh dengan memodelkan ragam galatnya sehingga hasil ramalan bersifat time-varying (berubah terhadap waktu) serta mendapatkan model peramalan dan pendugaan harga yang lebih tepat (Sumaryanto 2009). 23
Analisis volatilitas harga penting dilakukan ketika pelaku bisnis menghadapi ketidakstabilan dan ketidakpastian kondisi harga dan pola pergerakannya yang tidak dapat diperkirakan. 3.2. Teori Harga Teori harga merupakan teori ekonomi yang menjelaskan tentang perilaku harga pasar barang atau jasa tertentu. Harga merupakan suatu nilai tukar dari produk barang maupun jasa yang dinyatakan dalam satuan moneter. Harga menjadi salah satu penentu keberhasilan dalam proses perdagangan karena harga menentukan seberapa besar keuntungan yang akan diperoleh dari penjualan produk baik berupa barang maupun jasa. Teori harga membahas mengenai harga suatu barang atau jasa yang pasarnya kompetitif tinggi rendahnya ditentukan oleh permintaan pasar dan penawaran pasar. Permintaan (demand) pasar merupakan jumlah (kuantitas) suatu komoditas yang mampu dan ingin dibeli oleh konsumen pada suatu tempat dan waktu tertentu pada berbagai tingkat harga dengan faktor lain yang tidak berubah (cateris paribus). Teori permintaan menerangkan tentang hubungan antara jumlah permintaan dan harga. Hubungan tersebut dapat digambarkan melalui kurva permintaan. Kurva permintaan menunjukkan hubungan antara harga suatu produk dengan jumlah produk yang diminta masyarakat, jika hal-hal lainnya dianggap konstan (cateris paribus). Kurva permintaan berslope (koefisien arah) negatif terhadap harga, hal ini berdasarkan hukum permintaan yang menyatakan ketika harga naik maka permintaan akan turun dan sebaliknya jika harga turun maka permintaan akan naik. Pergerakan sepanjang kurva permintaan terjadi apabila harga komoditi berubah sehingga dapat menyebabkan perubahan jumlah komoditi yang diminta atau ingin dibeli konsumen. Sedangkan, pergeseran kurva permintaan merupakan akibat dari perubahan faktor-faktor di luar harga komoditi tersebut. Menurut Sukirno (2002), ada beberapa faktor penentu permintaan diantaranya adalah harga barang itu sendiri, harga barang substitusi atau komplementer, pendapatan masyarakat, jumlah penduduk, dan selera masyarakat. Penawaran (supply) pasar merupakan hubungan yang menunjukkan banyaknya suatu komoditas yang akan ditawarkan untuk dijual pada suatu tempat 24
dan waktu tertentu pada berbagai tingkat harga dengan faktor lain yang tidak berubah (cateris paribus). Kurva penawaran adalah suatu kurva yang menunjukkan hubungan antara harga suatu barang tertentu dengan jumlah barang tersebut yang ditawarkan. Kurva penawaran menunjukkan hubungan yang positif antara jumlah komoditas yang akan dijual dengan tingkat harga dari komoditas tersebut. Artinya, jika harga naik maka penawaran terhadap barang akan bertambah dan sebaliknya jika harga turun maka jumlah penawaran terhadap suatu barang akan menurun juga. Jadi, dapat disimpulkan bahwa penawaran pasar merupakan fungsi dari harga komoditi dengan koefisien arah (slope) yang positif. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi penawaran diantaranya adalah harga barang itu sendiri, harga barang substitusi atau komplementer, harga input atau biaya produksi, kebijakan pemerintah, dan tingkat teknologi yang digunakan (Sadono 2002). Perubahan dari faktor-faktor ini dapat menggeser fungsi penawaran dari suatu komoditi. Kurva permintaan dan penawaran yang digambarkan dalam satu kurva akan saling memotong di suatu titik yang dinamakan dengan titik equilibrium. Titik equilibrium disebut juga titik keseimbangan pasar yang menunjukkan jumlah produk dan harga keseimbangan suatu komoditi yang terjadi di pasar. Ada beberapa metode dalam menentukan harga jual suatu produk antara lain (1) pendekatan permintaan dan penawaran (supply demand approach), dilakukan dengan cara mencari harga keseimbangan, yaitu harga yang mampu dibayar konsumen dan harga yang diterima produsen sehingga terbentuk jumlah yang diminta sama dengan jumlah yang ditawarkan, (2) pendekatan biaya (cost oriented approach), dilakukan dengan cara menghitung biaya yang dikeluarkan produsen dengan tingkat keuntungan yang diinginkan, dan (3) pendekatan pasar (market approach), dilakukan dengan cara merumuskan harga untuk produk yang dipasarkan dengan cara menghitung variabel-variabel yang mempengaruhi pasar dan harga seperti situasi dan kondisi politik, persaingan, sosial budaya, dan lainlain (Marras 1999).
25
3.3. Konsep Perdagangan Internasional Perdagangan internasional adalah kegiatan memperdagangkan suatu barang-barang dan jasa, yang dilakukan oleh penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain atas dasar kesepakatan bersama. Perdagangan internasional timbul karena pada hakikatnya tidak ada suatu negara pun di dunia ini yang dapat menghasilkan semua barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan seluruh penduduknya. Perdagangan tersebut dapat dijelaskan oleh teori Heckescher–Ohlin yang menekankan pada perbedaan relatif faktor alam dan harga faktor produksi sebagai faktor yang paling penting. Berdasarkan teori tersebut, suatu negara akan melakukan perdagangan dengan negara lain disebabkan negara tersebut memiliki keunggulan komparatif yaitu keunggulan dalam teknologi dan faktor produksi. Teori H-O menganggap bahwa tiap negara akan mengekspor komoditi yang mempunyai faktor produksi berlimpah dan murah dan mengimpor komoditi yang relatif jarang dan mahal. Penyamaan harga faktor produksi dengan perdagangan akan menghapuskan atau mengurangi perbedaan harga faktor produksi sebelum perdagangan. Suatu kegiatan perdagangan internasional terjadi ditandai dengan adanya kegiatan ekspor dan impor atau pertukaran komoditi antar dua negara, dimana kegiatan ini dapat terjadi karena adanya perbedaan permintaan dan penawaran serta adanya perbedaan tingkat harga antar kedua negara. Secara teoritis, suatu negara (misalnya negara A) akan dapat mengekspor suatu komoditi (misalnya biji kakao) ke negara lain (misalnya negara B). Negara A mau dan mampu mengekspor komoditinya tersebut ke negara B apabila harga domestik negara A (sebelum terjadi perdagangan internasional) lebih rendah dari harga domestik di negara B. Harga domestik komoditas tersebut di negara A relatif lebih rendah karena di negara A jumlah penawaran akan barang tersebut lebih tinggi dari permintaan konsumen negara A, atau dengan kata lain mengalami excess supply untuk komoditas tersebut di negara A. Dengan kondisi demikian maka negara A mempunyai kesempatan untuk menjual kelebihan produksi komoditinya tersebut ke negara lain. Sedangkan di lain pihak, negara B terjadi kekurangan penawaran karena jumlah pemintaan domestik negara B melebihi jumlah penawaran 26
domestik negara B, atau dengan kata lain mengalami excess demand. Akibat dari keadaan ini maka harga untuk komoditas tersebut di negara B menjadi tinggi. Maka dengan keadaan seperti ini negara B ingin membeli komoditas tersebut dari negara A yang harganya relatif lebih murah. Setelah kedua negara tersebut (negara A dan negara B) melakukan komunikasi dan negosiasi, maka negara A menyetujui untuk mengekspor komoditinya tersebut ke negara B, dan negara B secara langsung melakukan impor komoditi tersebut dari negara A. Dengan terjadinya kegiatan yang dilakukan antar kedua negara tersebut maka terjadilah suatu proses kegiatan perdagangan internasional (Salvatore 1997). Kegiatan perdagangan internasional dapat dijelaskan melalui gambar berikut ini : P
P
Sb
P EB
Sa
Pb Q1
S
P1 EA Pa
Db Da
O
D Q
Q
Qa Gb. (3a)
Q Qb
Gb. (3b)
Gb. (3c)
Gambar 3. Proses Terjadinya Perdagangan Internasional Sumber : Salvatore 1997 Keterangan : Kiri
: Negara A, berperan sebagai negara pengekspor
Kanan
: Negara B, berperan sebagai negara pengimpor
Tengah : Pasar Internasional Pa
: Harga domestik barang di negara A tanpa perdagangan internasional
O – Qa : Jumlah produksi domestik barang di negara A tanpa perdagangan internasional Pb
: Harga domestik barang di negara B tanpa perdagangan internasional
O – Qb : Jumlah produksi domestik barang di negara B tanpa perdagangan internasional EA
: Keseimbangan antara penawaran dan permintaan barang di negara A 27
tanpa perdagangan internasional EB
: Keseimbangan antara penawaran dan permintaan barang di negara B tanpa perdagangan internasional.
P1
: Harga barang yang terjadi di pasar internasional setelah kedua negara sepakat untuk melakukan proses ekspor impor
Q1
: Jumlah barang yang diproduksi atau jumlah barang yang tersedia di pasar internasional setelah kedua negara sepakat untuk melakukan proses ekspor impor Berdasarkan Gambar 3, diasumsikan bahwa komoditi yang akan
digunakan untuk perdagangan internasional adalah komoditi biji kakao. Grafik diatas menjelaskan bahwa sebelum terjadi proses perdagangan internasional, harga biji kakao di negara A (negara pengekspor) adalah sebesar Pa, sedangkan harga biji kakao di negara B (negara pengimpor) adalah sebesar Pb. Sebelum terjadi proses perdagangan internasional jumlah produksi biji kakao di negara A adalah sebesar O – Qa, sedangkan jumlah produksi biji kakao di negara B adalah sebesar O – Qb. Apabila harga biji kakao di negara B adalah sebesar Pa maka hal ini akan menyebabkan terjadinya kondisi kelebihan permintaan (excess demand), sedangkan apabila harga biji kakao di negara A adalah sebesar Pb maka hal ini akan menyebabkan terjadinya kondisi kelebihan penawaran (excess supply). Pertemuan antara kondisi excess supply dan excess demand inilah yang nantinya akan membentuk harga di pasar internasional yang disepakati oleh kedua negara tersebut. Dalam hal ini negara A akan mengekspor biji kakao ke negara B, sedangkan negara B akan mengimpor biji kakao dari negara A. Sehingga dengan demikian terjadilah proses perdagangan internasional. Ada beberapa keuntungan yang dapat diperoleh dari aktivitas perdagangan internasional atau perdagangan luar negeri yaitu seseorang dapat menikmati suatu barang atau jasa yang tidak dapat dihasilkan dalam negeri dengan cara mengimpornya
dari
negara
lain.
Selain
itu,
perdagangan
luar
negeri
memungkinkan dilakukannya spesialisasi sehingga barang dan jasa dapat dihasilkan secara lebih murah karena lebih cocok dengan kondisi negara tersebut, baik dari segi bahan baku maupun cara berproduksi. Negara yang melakukan perdagangan luar negeri dapat memproduksi barang atau jasa yang lebih besar 28
daripada yang dibutuhkan pasar dalam negeri sehingga tingkat perekonomian dan pendapatan nasional dapat ditingkatkan serta angka pengangguran dapat ditekan. 3.4. Hubungan Pasar Fisik dan Pasar Berjangka Pasar spot merupakan pasar yang melakukan serah terima barang pada saat transaksi berlangsung dan pembayaran dilakukan tunai pada saat itu juga. Transaksi spot dapat juga dilakukan dengan serah terima barang saat transaksi dan dibayar kemudian sesuai kesepakatan atau dengan melakukan ijon yaitu membayar sekarang saat komoditi masih diproses. Sedangkan, pasar berjangka merupakan pasar yang memperdagangkan kontrak berjangka atas komoditi tertentu yang telah ditetapkan persyaratannya secara standar dalam kontak berjangka, antara lain jenis komoditi, mutu, jumlah satuan perkontrak, waktu penyerahan, tempat penyerahan, dan persyaratan penyerahan. Perbedaan antara penjualan tunai di pasar fisik (spot) dengan kontrak berjangka (forward) adalah pada penjualan fisik (spot) komoditas yang diperdagangkan merupakan barang sebenarnya yang ada pada saat ini, sedangkan penjualan dengan menggunakan kontrak
berjangka
melibatkan
pembelian
dan
penjualan
kontrak
yang
terstandarisasi untuk pengiriman komoditi di masa yang akan datang. Hafizah (2009) menyatakan bahwa terdapat beberapa tipe kontrak forward yaitu: (1) kontrak harga tetap (fixed price contract) dimana dalam kontrak ini digunakan harga yang tetap (flat price) produsen berjanji untuk mengirim pada saat yang ditentukan dan dibayar saat pengiriman, dengan cara ini ada kemungkinan produsen kehilangan kesempatan potensial apabila harga naik, (2) kontrak harga yang ditetapkan (price to be fixed contract) dimana tipe ini pelaku pasar memiliki kemampuan untuk menetapkan harga pada saat yang paling menguntungkan, (3) harga yang tertunda atau harga ditetapkan nanti dengan tipe ini terjadi transfer risiko penyimpanan ke pembeli, (4) kontrak untuk menunda pembayaran (deffered payment contract) biasanya untuk menghindari pajak, (5) kontrak harga minimum, dan (6) kontrak harga forward dengan referensi (reference price forward contract). Harga fisik (spot price) merupakan harga yang terjadi di pasar fisik untuk komoditi yang langsung diambil atau diantar pada tempat dan waktu tertentu. Harga tersebut terjadi atas kesepakatan bersama penjual dan pembeli, termasuk di 29
dalamnya persyaratan penyerahan atau standar komoditi yang diperdagangkan. Harga fisik terbentuk karena adanya permintaan dan penawaran sehingga bila terjadi perubahan pada faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan dan penawaran maka harga fisik akan berubah. Kenaikan permintaan oleh konsumen atau berkurangnya penawaran oleh produsen akan suatu komoditi akan menaikkan harga dan bila permintaan menurun atau penawaran meningkat akan terjadi kelebihan stok yang dapat menurunkan harga. Harga berjangka merupakan harga yang terjadi di bursa berjangka pada waktu tertentu dan penyerahan di kemudian hari. Harga terbentuk dari harapan para pelaku bursa komoditas berdasarkan prediksi permintaan dan penawaran suatu komoditas di berbagai produsen dan konsumen komoditas yang bersangkutan. Harga berjangka merupakan harga kontrak di masa yang akan datang yaitu sebuah kontrak berjangka yang bersifat mengikat bagi kedua belah pihak untuk membeli ataupun menjual suatu asset finansial maupun nonfinansial tertentu yang penyerahannya dilakukan secara cash settlement (penyelesaian pembayaran tunai) di masa yang akan datang, dengan harga yang ditetapkan sekarang. Pengaruh perubahan harga berjangka terhadap harga fisik pada umumnya tergantung pada waktu penyerahan yang terjadi pada perdagangan berjangka. Terdapat hubungan antara pasar berjangka dengan pasar spot yaitu harga pada pasar berjangka saat jatuh tempo akan dijadikan sebagai pedoman untuk menentukan harga pada pasar spot pada waktu yang sama, sehingga ada kemungkinan harga pada pasar berjangka saat jatuh tempo akan sama dengan harga spot pada waktu yang sama. Namun, apabila waktu penyerahan lebih lama maka harga fisik tidak terlalu berpengaruh karena faktor-faktor yang mempengaruhi harga fisik saat ini belum tentu berlaku di kemudian hari. 3.5 Transmisi Harga Transmisi harga merupakan pengiriman atau penerusan harga dari tempat yang satu ke tempat yang lainnya. Di dalam transmisi harga dapat dilihat hubungan saling mempengaruhi dari harga di antara berbagai pasar. Transmisi harga yang simetris akan terjadi dengan baik pada pasar yang menganut Law of One Price. Saphiro (2009) menyatakan bahwa Law of One Price adalah hukum 30
penyesuaian harga pada produk yang sama dan saling menuju pada kesetaraan harga dikisaran tertentu serta pada umumnya gagasan yang terbentuk terjadi pada pasar yang kompetitif dengan keterbukaan informasi. Dengan adanya Law of One Price maka produk yang sama atau bersifat identik pada suatu pasar kompetitif harus dalam harga yang sama. Transmisi harga yang tinggi dapat mencerminkan efisiensi pada suatu pasar. Hal ini ditunjukan dari peningkatan harga yang terjadi pada suatu pasar dapat menyebabkan pasar lain yang menjual produk yang sama akan merespon perubahan harga tersebut dengan mengikuti harga yang terjadi di pasar acuan, dengan kata lain kenaikan harga di pasar acuan relatif sama besar dengan harga di pasar lainnya. Selain itu, juga menandakan bahwa pasar tersebut sudah terintegrasi dengan baik karena persebaran informasinya merata. Keadaan ini dapat dilihat melalui respon yang ditimbulkan terhadap perubahan harga tersebut. Transmisi harga simetris yang seperti ini terjadi pada pasar persaingan sempurna (Irawan 2007). Transmisi harga tidak dapat berjalan dengan baik akibat dari kebijakan stabilisasi yang dijalankan pemerintah. Pasar dapat menjadi tersegmen melalui berbagai instrumen kebijakan perdagangan yang diterapkan pemerintah, pasar yang tidak terintegrasi secara sempurna, atau tingginya biaya transaksi. Menurut Conforti (2004) ada enam faktor yang mempengaruhi transmisi harga diantaranya adalah biaya transportasi dan transaksi, kekuatan pasar, increasing return of scale pada produksi, produk yang homogen dan differensiasi, nilai tukar, kebijakan dalam negeri suatu negara. Irawan (2007) juga menjelaskan proses transmisi harga yang tidak sempurna dan bersifat asimetris terjadi pada komoditas pertanian. Pada dasarnya dinamika harga komoditas pertanian di daerah konsumen memiliki pola yang sama dengan dinamika harga di daerah produsen karena permintaan yang dihadapi petani di daerah produsen merupakan turunan dari permintaan di daerah konsumen. Namun, informasi pasar mengenai naik turunnya harga diteruskan kepada petani secara lambat dan tidak sempurna. Hal ini menyebabkan fluktuasi harga di pasar konsumen lebih tinggi dibanding di pasar produsen dan perbedaan
31
fluktuasi harga tersebut akan semakin besar apabila transmisi harga yang terjadi semakin tidak sempurna. Perbedaan transmisi harga tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut: struktur pasar, rantai pemasaran, nilai tukar, kebijakan pemerintah, serta biaya transportasi dan lainnya. 3.6. Model Vector Autoregression (VAR) Konsep Vector Autoregression (VAR) pertama kali diperkenalkan oleh Christoper Sims pada tahun 19803. Model ini timbul berdasarkan pemikiran Sims yang berpendapat bahwa suatu model ekonometrika struktural yang dibangun berdasarkan hubungan antar variabel yang mengacu pada teori seringkali tidak sesuai dengan kenyataan. Terkadang beberapa teori ekonomi struktural memberikan penjelasaan yang berbeda terhadap suatu fenomena ekonomi yang sesungguhnya. Untuk itulah model VAR muncul sebagai salah satu solusi metode dalam melihat hubungan dinamis time series antar variabel yang diduga memiliki hubungan satu sama lain (Nachrowi dan Usman 2006). Pendekatan ini dibentuk dengan menyusun sistem persamaan dimana semua variabel diperlakukan endogenous (variabel dependen). Hal ini dikarenakan semua variabel baik endogen maupun eksogen dipercaya saling berhubungan. Jadi, VAR tidak perlu membedakan variabel yang menjadi eksogen maupun yang menjadi endogennya. Asumsi yang harus dipenuhi dalam analisis VAR adalah semua variabel tak bebas bersifat stasioner, semua sisaan bersifat white noise, yaitu memiliki rataan nol, ragam konstan, dan diantara variabel tak bebas tidak ada korelasi. Selain itu, model VAR merupakan model linier sehingga hasil permodelan dapat diestimasi dengan menggunakan model OLS. Irawan (2005) menjelaskan bahwa VAR merupakan suatu sistem persamaan yang memperlihatkan setiap variabel sebagai fungsi linier dari konstanta dan nilai lag (lampau) dari variabel itu sendiri, serta nilai lag dari variabel lain yang ada dalam sistem. Variabel penjelas pada VAR meliputi nilai 3
Vector Autoregression sebagai pendekatan alternative model terhadap model persamaan ganda dikemukakan oleh C.A Sims dalam artikelnya yang berjudul “Macroeconomics and Reality”, Econometrica, Vol. 48, pp.1-48, 1980.
32
lag seluruh variabel tak bebas dalam sistem VAR yang membutuhkan identifikasi retriksi untuk mencapai persamaan melalui interpretasi persamaan. Ada beberapa jenis model VAR yang dikembangkan. Widarjono (2010) menjelaskan dalam salah satu tulisannya bahwa model VAR terdiri dari 3 jenis yaitu VAR in level jika data yang digunakan sudah stasioner, VAR in difference jika data yang digunakan belum stasioner dan tidak ada kointegrasi antara variabel-variabel yang digunakan dalam model, dan VECM (Vector Error Correction Model) jika data yang digunakan belum stasioner dan ada kointegrasi antara variabel yang digunakan dalam model. Berdasarkan pemaparan yang telah dijelaskan sebelumnya dapat dilihat bahwa kelebihan dari metode VAR adalah sebagai berikut: 1. Pendekatan dengan model VAR sangat sederhana dan tidak membedakan antar variabel yang akan dimasukan ke dalam persamaan. 2. Estimasi model VAR dilakukan dengan sangat mudah menggunakan OLS secara terpisah pada setiap persamaan. 3. Peramalan dengan menggunakan model VAR lebih akurat jika dibandingkan dengan model persamaan simultan yang lebih kompleks. Selain kelebihan, model VAR juga mempunyai kekurangan, antara lain: 1. Model VAR merupakan model yang tidak struktural dan bersifat atheoritic (tidak berdasarkan teori) karena tidak memanfaatkan informasi atau teori terdahulu. 2. Model VAR kurang cocok digunakan dalam menganalisis kebijakan karena penekanan hasil model VAR terletak pada peramalan. 3. Pemilihan banyaknya lag yang digunakan dalam persamaan juga dapat menimbulkan permasalahan. Jumlah parameter yang akan bermasalah pada derajat bebas akan bertambah. 4. Variabel yang ada di dalam model VAR harus stasioner. Jika tidak stasioner perlu dilakukan perubahan (transformasi) dalam bentuk data, misalnya melalui first difference. 5. Interpretasi koefisien dari hasil estimasi model VAR itu tidak mudah. Sebagian besar peneliti melakukan interpretasi pada estimasi fungsi respon impuls dan dekomposisi ragam. 33
3.7. Kerangka Pemikiran Operasional Kakao menjadi salah satu komoditas unggulan dari sektor perkebunan di Indonesia. Tingginya total nilai ekspor kakao hingga mencapai angka US$ 1,64 miliar di tahun 2010 menjadikan komoditas ini berada pada peringkat ketiga setelah kelapa sawit dan karet untuk komoditas yang menyumbang devisa negara terbesar dalam bidang perkebunan. Kontribusi terbesar dari komoditi kakao tersebut berasal dari volume dan nilai ekspor biji kakao yang mencapai 380.513 ton dengan nilai US$ 854 juta pada tahun 2008. Selain itu, potensi dan peluang komoditas biji kakao dalam perdagangan internasional dapat dilihat dari peningkatan pangsa pasar kakao Indonesia di dunia. Indonesia berhasil menjadi produsen kakao terbesar ketiga di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana. Seiring dengan berkembangnya waktu, adanya globalisasi memberikan pengaruh di berbagai bidang salah satunya adalah perekonomian. Dampak globalisasi dibidang ekonomi diikuti oleh adanya kebijakan liberalisasi perdagangan yang membuat seluruh negara di dunia dapat melakukan perdagangan dengan bebas ke negara lain, termasuk juga untuk perdagangan komoditi biji kakao. Sebagai salah satu produsen terbesar penghasil biji kakao di dunia, seharusnya Indonesia memiliki kemampuan untuk mengontrol perdagangan biji kakao baik dalam hal jumlah ataupun posisi tawar yang kuat dalam pembentukan harga. Padahal, harga merupakan hal penting dalam perdagangan karena menjadi indikator penentuan produksi dan penerimaan bagi perusahaan. Saat ini terdapat dua pasar berjangka yang menjadi pusat perdagangan komoditas kakao di seluruh dunia yaitu The New York Board of Trade (NYBOT) untuk komoditas kakao jenis unfermented dan The London International Financial Futures Exchange (LIFFE) untuk jenis kakao yang fermented. Adanya liberalisasi perdagangan menyebabkan kemungkinan bahwa harga biji kakao yang terjadi di pasar fisik Indonesia tidak berdiri sendiri melainkan diduga mempunyai hubungan dengan kedua pasar berjangka tersebut. Untuk itulah penting dilakukan analisis transmisi harga agar dapat diketahui hubungan antara harga biji kakao di
34
pasar fisik Indonesia dengan harga biji kakao di pasar berjangka NYBOT (New York) dan LIFFE (London). Selain menganalisis dan mengkaji hubungan transmisi harga biji kakao yang terjadi di pasar fisik Indonesia, pasar berjangka New York, dan London, tingkat volatilitas harga biji kakao dan respon terhadap guncangan serta berapa besar pengaruh terjadinya guncangan tersebut juga dapat diketahui. Pendugaan hubungan antara harga biji kakao di Indonesia dengan harga biji kakao yang terjadi di The New York Board of Trade (NYBOT) dan The London Financial Exchange (LIFFE) dapat digunakan suatu pendekatan dengan model Vector Autoregression (VAR). VAR merupakan permodelan multivariate yang dapat menunjukan besarnya pengaruh perubahan harga yang terjadi di suatu pasar akibat faktor musiman dan faktor lain yang terjadi di pasar tersebut. Selain itu, VAR juga mampu mengungkapkan secara terperinci tentang peran pasar acuan, arah transmisi harga, kecepatan transmisi harga, tingkat keterisolasian, dan tingkat keterpaduan pasar. Permodelan VAR dapat menggambarkan data time series yang dinamis sehingga dapat melihat respon dan besar pengaruh harga di Indonesia jika salah satu bursa mengalami guncangan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu Askindo sebagai organisasi para pelaku bisnis kakao untuk membuat kebijakan agar dapat melindungi kepentingan pelaku usaha kakao dalam negeri dan dapat menempatkan posisi kakao Indonesia pada kedudukan yang lebih baik lagi di pasar dunia. Dengan demikian maka dapat digambarkan kerangka operasional dari penelitian ini yang tercantum pada Gambar 4.
35
Adanya globalisasi manyebabkan terjadinya perdagangan bebas
Kakao sebagai penyumbang devisa terbesar ketiga dari komoditas perkebunan Indonesia.
Permasalahan: Posisi Indonesia diperkirakan masih menjadi penerima harga (price taker)
Harga biji kakao di pasar fisik Indonesia
Harga biji kakao unfermented di pasar berjangka NYBOT
Harga biji kakao fermented di pasar berjangka LIFFE
Analisis transmisi harga dengan pendekatan model VAR
Rekomendasi kebijakan bagi Askindo
Keterangan :
: diluar cakupan penelitian : yang dibahas dalam penelitian
Gambar 4. Kerangka Pemikiran Operasional 36
IV. METODE PENELITIAN 4.1.
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga Maret 2012. Penelitian
dilakukan di Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo). Penentuan tempat dilakukan secara sengaja (purposive) karena tempat tersebut merupakan pusat informasi mengenai pergerakan harga kakao nasional dan mengetahui segala informasi perdagangan kakao Indonesia dan internasional. 4.2.
Data dan Instrumentasi Penelitian ini dibatasi dengan menganalisis data sekunder kuantitatif untuk
mengetahui hubungan transmisi harga pada bursa komoditi yang telah ditentukan. Data yang digunakan dalam penelitian ini antara lain data harga biji kakao di Indonesia yang bersumber dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Departemen Perdagangan Republik Indonesia dan harga biji kakao di The New York Board of Trade (NYBOT) bersumber dari The International Cocoa Organization (ICCO) dan The London International Financial Futures Exchange (LIFFE) yang bersumber dari situs Reuters dengan rentang data per hari dari tanggal 25 Agustus 2011 hingga 10 April 2012. Penelitian ini menggunakan data yang diperoleh melalui studi pustaka di Badan Pusat Statistik (BPS), Direktorat Jenderal Perkebunan (DitJenBun), Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Departemen Pertanian (Pusdatin Deptan), Perpustakaan Nasional (Perpusnas), Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSEKP), Kementrian Perdagangan Republik Indonesia (Kemendagri), Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo), dan International Cocoa Organization (ICCO). Selain itu, diperoleh juga beberapa informasi tambahan melalui wawancara dengan pihak Askindo serta instansi-instansi lain yang dapat mendukung ketersediaan data penelitian tersebut. Penelusuran melalui situs web internet, makalah, dan jurnal penelitian juga dilakukan untuk mendapatkan teori yang mendukung penelitian.
37
4.3.
Pengolahan dan Analisis Data Metode yang digunakan dalam menganalisis data adalah metode
kuantitatif dengan pendekatan model VAR yang diperkenalkan oleh Sims pada tahun 1980, berdasarkan pemaparan Enders (1995) dan Widarjono (2010). Tahapan pengolahan data dengan menggunakan model VAR adalah: a) uji stasioneritas data dan derajat intergrasi, b) penentuan panjang lag, c) uji kointegrasi, d) estimasi model VAR, e) fungsi respon impuls, f) dekomposisi ragam. Software yang digunakan dalam penelitian ini antara lain Microsoft Exel untuk membuat tabulasi data dan Eviews 7 untuk mengolah data model VAR. Secara garis besar, langkah-langkah untuk menggunakan metode VAR dalam sebuah penelitian adalah sebagai berikut: 1. Uji Stasioneritas Data dan Derajat Integrasi Langkah pertama yang harus dilakukan dalam estimasi model ekonomi dengan data time series adalah dengan menguji stasioneritas pada data atau disebut juga stationary stochastic process. Kestasioneran diperlukan untuk menghindari adanya spurious regression (regresi palsu). Suatu persamaan dikatakan stasioner apabila memiliki mean, variance, dan covariance yang konstan pada setiap lag dan tidak mengandung unit root. Uji stasioneritas data ini dapat dilakukan dengan menggunakan Augmented Dickey-Fuller (ADF) pada derajat yang sama (level atau different) hingga diperoleh suatu data yang stasioner, yaitu data yang variansnya tidak terlalu besar dan mempunyai kecenderungan untuk mendekati nilai rata-ratanya (Enders, 1995). Widarjono (2010) menjelaskan bahwa fungsi uji ADF adalah untuk melihat ada tidaknya trend di dalam pergerakan data yang akan diuji. Uji ADF terdiri dari perhitungan regresi yang dirumuskan sebagai berikut. ΔYt = γYt-1 + βi
t-i+1 + εt
ΔYt = α0 + γYt-1 + βi ΔYt = α0 + α1t + γYt-1 + βi
(1)
t-i+1 + εt t-i+1
(2)
+ εt
(3)
38
dimana ΔYt = Selisih variabel (Yt – Yt-1) γ = (ρ-1) α0, α1, γ, βi = Koefisien t = Trend waktu Y = Variabel yang diuji stasioneritasnya P = Panjang lag yang digunakan dalam model ε = Error persamaan Perbedaan persamaan 1 (satu) dengan dua regresi lainnya adalah memasukkan konstanta dan variabel trend waktu. Persamaan 1 (satu) digunakan pada data observasi yang diasumsikan hanya memiliki intersep, tidak memiliki konstanta dan trend. Persamaan 2 digunakan dengan asumsi data observasi terdapat konstanta dan intersep. Persamaan 3 digunakan apabila data observasi diasumsikan memiliki komponen konstanta, intersep, dan trend. Hipotesis dalam uji ini adalah H0 jika γ=0 berarti data time series mengandung unit root yang bersifat tidak stasioner dan H1 jika γ<1 berarti data bersifat stasioner. Penggunaan aplikasi program Eviews 7 mengkategorikan data tersebut stasioner atau tidak dengan membandingkan nilai Mackinnon critical dengan nilai mutlak ADFstatistiknya. Jika dalam uji stasioneritas ini menunjukkan nilai ADFstatistik yang lebih besar daripada Mackinnon critical value, maka dapat diketahui bahwa data tersebut stasioner karena tidak mengandung unit root. Sebaliknya, jika nilai ADFstatistik lebih kecil daripada Mackinnon critical value, maka dapat disimpulkan bahwa data tersebut tidak stasioner pada derajat level. Dengan demikian, differencing data untuk memperoleh data yang stasioner pada derajat yang sama di first different I(1) harus dilakukan, yaitu dengan mengurangi data tersebut dengan data periode sebelumnya (Ajija et al. 2011). Jika data sudah stasioner sejak awal maka model VAR in level dapat langsung dilakukan. Jika data belum stasioner, maka harus melalui proses differencing, kemungkinan model yang digunakan adalah model VAR in difference (VARD) dan Vector Error Correction Model (VECM).
39
2. Penentuan Panjang Lag Salah satu permasalahan yang terjadi dalam uji stasioneritas adalah penentuan lag optimal. Harris (1995) menjelaskan bahwa jika lag yang digunakan dalam uji stasioneritas terlalu sedikit, maka residual dari regresi tidak akan menampilkan proses white noise sehingga model tidak dapat mengestimasi actual error secara tepat. Akibatnya, γ dan standar kesalahan tidak diestimasi secara baik. Namun demikian, jika memasukkan terlalu banyak lag, maka dapat mengurangi kemampuan untuk menolak H0 karena tambahan parameter yang terlalu banyak akan mengurangi derajat bebas. Panjangnya kelambanan variabel yang optimal diperlukan untuk menangkap pengaruh dari setiap variabel terhadap variabel lain di dalam sistem VAR. Selanjutnya, untuk mengetahui jumlah lag optimal yang digunakan dalam uji stasioneritas, menurut Enders (1995) berikut adalah kriteria yang digunakan: Akaike Information Criterion (AIC)
: T log |Σ| + 2 N
Schwarz Bayesian Criterion (SBC)
: T log |Σ| + N log (T)
dimana T = Jumlah observasi |Σ| = Determinan dari matriks varians/kovarians dari sisaan N = Jumlah parameter yang diestimasi Dalam penentuan lag optimal dengan menggunakan kriteria informasi tersebut, kriteria yang dipilih adalah kriteria yang mempunyai jumlah dari AIC dan SBC yang paling kecil di antara berbagai lag yang dianjurkan. Bila semakin kecil nilai kriteria tersebut, maka nilai harapan yang dihasilkan oleh sebuah model akan semakin mendekati kenyataan (Ajija et al. 2011). Sedangkan jika beberapa kriteria tersebut digunakan maka ada kriteria tambahan yaitu adjusted R2 sistem VAR. Panjang kelambanan optimal terjadi jika nilai adjusted R2 adalah paling tinggi (Widarjono, 2010). 3. Uji Kointegrasi Keberadaan variabel nonstasioner menyebabkan kemungkinan besar adanya hubungan jangka panjang antara variabel di dalam sistem VAR. Oleh
40
karena itu, dilakukan uji kointegrasi untuk mengetahui keberadaan hubungan antar variabel. Kointegrasi adalah terdapatnya kombinasi linier antara variabel yang non stasioner yang memiliki hubungan jangka panjang pada ordo yang sama. Uji yang dilakukan adalah trace test yaitu mengukur jumlah vektor kointegrasi dalam data dengan menggunakan pengujian pangkat matriks kointegrasi yang dinyatakan sebagai berikut (Enders 1995) λtrace (r) = –T
(1- )
λmax (r, r+1) = –T ln (1-λr+1) dimana: = Nilai dugaan akar karakteristik (eigenvalues) yang didapatkan dari estimasi matriks π T = Jumlah observasi r = Pangkat yang mengindikasikan jumlah vektor kointegrasi Rank kointegrasi (r) dari vektor adalah banyaknya vektor kointegrasi yang saling bebas. Jumlah hubungan kointegrasi (r) dapat dihitung dengan menggunakan 2 uji statistik. Pada uji λtrace , H0 adalah jumlah vektor kointegrasi yang hilang ≤ r sebagai alternatif umum. Jika λtrace < λtabel maka terima H0 yang artinya kointegrasi terjadi pada rank r. Sementara pada uji λmax, Ho yaitu jumlah vektor kointegrasi = r adalah alternatif dari vektor kointegrasi r+1 (Enders, 1995). Jika tidak terdapat kointegrasi antar variabel maka digunakan model VARD (VAR in difference) dengan lag (kelambanan) p, sedangkan jika dalam data yang diduga di model VAR terdapat kointegrasi maka model VAR yang digunakan adalah model VECM (Vector Error Correction Model) lag (kelambanan) p rank r (Widarjono, 2010). 4. Estimasi Model VAR Estimasi model VAR dapat ditulis ke dalam bentuk persamaan sebagai berikut: yt = µ + A1 yt-1 + ... + Ap yt-p + εt
41
dimana yt adalah vektor nx1 dari variabel yang terintegrasi pada orde satu, umumnya dinotasikan I(1) dan εt adalah nx1 vektor inovasi (Hjalmarsson dan Par 2007). Pada penelitian ini n yang diteliti berjumlah 3 variabel. Selanjutnya, dari hasil estimasi VAR, untuk melihat apakah variabel Y memengaruhi X dan demikian pula sebaliknya, hal ini dapat diketahui dengan cara membandingkan nilai t-statistik hasil estimasi dengan nilai t-tabel. Jika nilai t-statistik lebih besar daripada t-tabelnya, maka dapat dikatakan bahwa variabel Y memengaruhi X. Model
VAR
dapat
disusun
setelah
variabel-variabel
dilihat
kestasionerannya, kointegrasi, kelambanan, dan kecocokan variabel untuk dimasukkan ke dalam model. Berdasarkan penjelasan dari model VAR yang dilakukan oleh Widarjono (2010) dan Enders (1995), dapat diasumsikan model VAR kelambanan satu yang akan digunakan dalam peramalan harga biji kakao adalah sebagai berikut : =
+
+
dengan: IND
= Harga kakao bursa komoditi Indonesia
NYBOT
= Harga kakao bursa komoditi New York
LIFFE
= Harga kakao bursa komoditi London
Jika terdapat kointegrasi pada data yang dicek kestasionerannya maka model yang digunakan adalah model VECM (Vector Error Correction Model) lag p rank r. Model VECM dapat dituliskan sebagai berikut (Hjalmarsson dan Par 2007). Δyt = µ + Π yt-1 +
Δyt-i + εt
Dimana Π=
– I dan Γi = – Jika koefisien matriks Π mengurangi rank r < n, maka terdapat matriks
nxr dimasing-masing α dan β dengan rank r sehingga Π = αβ 'dan β'yt yang stasioner. r adalah jumlah hubungan kointegrasi, maka elemen α dikenal sebagai 42
parameter penyesuaian dalam Vector Error Correction Model (VECM) dan setiap kolom β adalah vektor kointegrasi. 5. Fungsi Respon Impuls (Impulse Response Function) Penggunaan impulse response merupakan analisis yang penting di dalam model VAR karena di dalam model VAR secara individual koefisien sulit diinterpretasikan. IRF dapat mengidentifikasi suatu guncangan pada variabel itu sendiri dan variabel endogen lainnya sehingga dapat menentukan bagaimana suatu perubahan dalam variabel mempengaruhi variabel lainnya. Analisis ini dapat melacak respon dari variabel endogen di dalam sistem VAR karena adanya shock atau perubahan di dalam variabel error (Widarjono 2010). Sims (1980) menjelaskan bahwa fungsi Impulse Response Function (IRF) menggambarkan ekspektasi k-periode ke depan dari kesalahan prediksi suatu variabel inovasi dari variabel yang lain. Dengan demikian, lamanya pengaruh dari shock suatu variabel terhadap variabel lain sampai pengaruhnya hilang atau kembali ke titik keseimbangan dapat dilihat atau diketahui. Analisis IRF dilakukan dengan menyederhanakan bentuk SVAR ke dalam bentuk Vector Moving Average (VMA) sebagai berikut: xt = μ +
(i) e1-i
Metode IRF digunakan untuk menentukan respon suatu variabel endogen terhadap suatu shock tertentu karena sebenarnya shock variabel tidak hanya berpengaruh terhadap variabel itu sendiri tetapi ditransmisikan kepada semua variabel endogen lainnya melalui struktur dinamis atau struktur selang dalam VAR. Dengan kata lain IRF mengukur pengaruh suatu shock pada suatu waktu kepada inovasi variabel endogen pada saat tersebut dan dimasa yang akan datang. 6. Dekomposisi Ragam (Variance Decomposition) Variance Decomposition atau disebut juga forecast error variance decomposition merupakan perangkat pada model VAR yang akan memisahkan variasi dari sejumlah variabel yang diestimasi menjadi komponen-komponen shock atau menjadi variabel innovation, dengan asumsi bahwa variabel-variabel innovation tidak saling berkorelasi. Kemudian, dekomposisi ragam akan memberikan informasi mengenai proporsi dari pergerakan pengaruh shock pada 43
sebuah variabel terhadap shock variabel lainnya pada periode saat ini dan periode yang akan datang. Selain digunakan untuk mencirikan struktur dinamis antar variabel di dalam model VAR, pola dekomposisi ragam juga dapat mengindikasikan sifat dari kausalitas antara variabel dalam model VAR sehingga dekomposisi ragam menjadi sangat sensitif terhadap pengurutan variabel. Variabel yang tidak memiliki nilai korelasi terhadap variabel lainnya diletakkan pada posisi paling belakang, sedangkan variabel yang memiliki korelasi terhadap variabel lain diletakkan berdampingan satu sama lain. Hal ini serupa dengan pendapat Enders (1995) menyatakan bahwa tujuan analisis ini untuk menggambarkan tingkat kepentingan setiap variabel dalam model VAR dalam menjelaskan ragam (varians) suatu variabel yang akan datang. Variance Decomposition (VD) digunakan untuk memberikan informasi agar dapat mengetahui besarnya kontribusi dari masing-masing variabel inovasi terhadap variabel endogen yang diamati ketika terjadi shock. Jadi, dari hasil analisis ini dapat diketahui seberapa besar perubahan suatu variabel berasal dari dirinya sendiri dan seberapa besar berasal dari pengaruh variabel lain sehingga diketahui sumber variasi suatu variabel.
44
V. GAMBARAN UMUM PASAR FISIK INDONESIA, PASAR BERJANGKA NEW YORK, DAN LONDON 5.1. Pasar Fisik Indonesia Wilayah sentra utama produksi kakao terdapat di kawasan Indonesia bagian Timur, meliputi Provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Tengah. Dari ketiga provinsi tersebut, Sulawesi Selatan merupakan sentra perkebunan kakao rakyat terbesar yang memberikan kontribusi besar terhadap komoditi kakao Indonesia. Total luas areal perkebunan kakao rakyat di Provinsi Sulawesi Selatan tercatat sekitar 296.039 hektar dengan total produksi 282.692 ton per tahun, dan produktivitas 953,60 kilogram per hektar per tahun (BPS 2009). Di Provinsi Sulawesi Selatan, kakao merupakan komoditas unggulan utama dibandingkan jenis tanaman perkebunan lainnya. Adapun kabupaten sentra produksi kakao meliputi Luwu Utara, Mamuju, Bone, Polmas, Luwu, dan Pinrang. Khusus untuk kabupaten Luwu, luas arealnya tercatat 24.591 hektar, produksi 24.458 ton per hektar per tahun, dan produktivitas 994 kilogram per hektar per tahun (BPS 2009). Jenis tanaman kakao yang diusahakan di Indonesia sebagian besar adalah jenis kakao lindak dengan sentra produksi utama adalah Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah. Di samping itu juga diusahakan jenis kakao mulia oleh perkebunan besar negara di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Berdasarkan wawancara dengan ketua Askindo, sekitar 96 persen produksi kakao Indonesia diekspor, sedangkan sisanya digunakan sebagai bahan baku industri cokelat dalam negeri. Kakao umumnya diekspor dalam bentuk biji yang belum difermentasikan. Mekanisme penjualan hasil kakao di Sulawesi Selatan umumnya dengan cara transaksi spot. Transaksi ini dilakukan sebagai berikut, para petani di Makassar memiliki akses langsung ke pedagang (pengumpul). Sebagian besar dari petani dapat menjual hasil panen kakao secara bebas (tanpa ikatan) dengan pedagang dan beberapa yang lainnya melakukan penjualan kepada pedagang langganan karena terikat pinjaman dengan pedagang yang bersangkutan. Terlepas
45
dari hal tersebut, petani setempat tidak banyak punya pilihan dalam pemasaran, kecuali ke pedagang pengumpul tersebut (Iqbal dan Azmi 2006). Mayoritas
petani
di
Makassar
relatif
bebas
memilih
pedagang
(pengumpul) yang menurut mereka menawarkan harga tertinggi. Namun, dibalik itu posisi tawar mereka lemah karena harga secara dominan ditetapkan oleh pedagang. Kakao di tingkat petani umumnya dibeli oleh pedagang pengumpul, pedagang antar kota, atau pedagang perantara. Para pedagang ini berfungsi sebagai perantara petani dengan pabrik cokelat atau eksportir coklat. Di Sulawesi Selatan secara umum tataniaga kakao dapat digambarkan sebagai berikut: P E T A N I
Pedagang Pengumpul
Pedagang Pengumpul Pedagang Perantara
Pedagang Antarkota Usaha Dagang
Eksportir
Industri
Biji Kakao
Hasil Olahan Biji Kakao
Konsumen Luar Negeri
Konsumen Dalam/Luar Negeri
Gambar 5. Tataniaga Kakao Indonesia Sumber: Askindo Kakao merupakan salah satu komoditas ekspor Indonesia yang secara langsung terkait dengan perdagangan internasional yang sifatnya kompetitif. Pada umumnya kakao dari Sulawesi Selatan memiliki keunggulan spesifik, yaitu 46
kandungan lemaknya tidak mencair bila disimpan pada suhu kamar dan mempunyai titik leleh yang tinggi sehingga cocok untuk blending. Akan tetapi keterbatasan teknologi yang dimiliki petani dapat menyebabkan kalah bersaingnya komoditas ini dalam liberalisasi (globalisasi) ekonomi. 5.2. Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) Askindo dibentuk pada tanggal 18 Februari 1989 melalui Kongres Pembentukan Asosiasi Kakao Indonesia di Jakarta. Kongres dihadiri sekitar 172 peserta yang terdiri dari produsen, pengolah, pabrikan, dan pedagang. Selain itu, sekitar 25 orang peninjau yang terdiri atas pejabat berbagai instansi, peneliti, dan perorangan juga hadir dalam kongres ini. Kongres ini juga berhasil menyusun Dewan Pengurus Pusat Askindo untuk masa bakti 1989-1992. Pada awalnya, gagasan untuk mendirikan asosiasi dicetuskan dalam Pekan Dagang dan Pengembangan Kakao II yang diadakan tanggal 26-28 November 1984 di Surabaya. Kemudian setelah sekian lama terbentuklah Panitia Persiapan Pembentukan Asosiasi Kakao Indonesia pada tanggal 11 April 1988 di Jakarta. Askindo beranggotakan pengusaha kakao dari tingkat hulu hingga hilir sekitar 150 perusahaan. Askindo memiliki 6 cabang di seluruh Indonesia diantaranya adalah (1) Cabang Sumatera Utara meliputi: Aceh, Sumatera Utara, Riau, dan Sumatera Barat, (2) Cabang Lampung meliputi: Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu, dan Jambi, (3) Cabang Jakarta meliputi: Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Yogyakarta, (4) Cabang Jawa Timur meliputi: Jawa Timur, Bali, NTT, NTB, dan Timor Timur, (5) Cabang Sulawesi meliputi seluruh provinsi di Sulawesi, (6) Cabang Maluku meliputi: Maluku dan Irian Jaya. Sedangkan kepentingan kakao di Kalimantan ditangani langsung oleh DPP Askindo. Program kerja Askindo antara lain menyangkut usaha menempatkan kakao Indonesia pada kedudukan yang lebih baik di pasaran dunia dan mengembangkan iklim usaha kakao yang sehat termasuk mengembangkan hubungan kerja antar perusahaan kakao yang serasi serta membantu meningkatkan usaha petani kakao. Kegiatan yang dilakukan oleh Askindo antara lain sebagai wadah komunikasi, konsultasi, dan koordinasi antar pengusaha kakao dan dengan pemerintah, menyebarluaskan informasi mengenai hal yang terkait dengan komoditi kakao 47
Indonesia, memperluas hubungan kerjasama internasional, memperjuangkan kepentingan kakao Indonesia dalam forum perdagangan internasional, membantu usaha peningkatan mutu kakao Indonesia, memberikan masukan kepada pemerintah dalam hal peraturan perundangan yang berkaitan dengan produksi dan tataniaga cokelat, membantu pelaksanaan kepastian hukum dan kepastian usaha dari pengusaha kakao, membantu penyelesaian perbedaan pendapat antar pengusaha kakao dengan pihak lain, menyelenggarakan pendidikan, penyuluhan, latihan, seminar, kunjungan kerja, dan penerbitan serta kegiatan lain yang bermanfaat dalam rangka pembinaan dan pengembangan kemampuan anggota, melakukan kegiatan lain yang sesuai dengan aspirasi dan kepentingan pengusaha kakao. 5.3. Pasar Berjangka New York New York Board of Trade (NYBOT) didirikan tahun 1870 dan memiliki kantor pusat di New York, Amerika Serikat. Pada tahun 2006 NYBOT diambil alih oleh Intercontinental Exchange (ICE) yang merupakan pasar perdagangan komoditi fisik di kota New York. Sejak penggabungan usaha tersebut dilakukan NYBOT merupakan perusahaan privat dan sekaligus menjadi anak perusahaan dibawah naungan Intercontinental Exchange. NYBOT juga memiliki beberapa anak perusahaan antara lain New York Cotton Exchange (NYCE) dan Coffe Sugar and Cocoa Exchange (CSCE) yang sekarang keduanya berfungsi sebagai divisi dari NYBOT. Perdagangan di lantai bursa NYBOT diatur oleh suatu badan independen dari pemerintah Amerika yang bernama Commodity Futures Trading Commision. New York Board of Trade (NYBOT) adalah bursa komoditi yang dilengkapi dengan transaksi penentuan harga domestik dan internasional bagi produk pertanian. Komoditas yang diperdagangkan di bursa ini antara lain kakao, kopi, katun, etanol, bubur kayu (wood pulp), gula domestik dan dunia, serta jus jeruk (konsentrat beku). Salah satu komoditas unggul yang diperdagangkan di NYBOT adalah kakao sehingga harga kakao dunia mengacu pada bursa ini. Kakao yang diperdagangkan di bursa ini adalah biji kakao tanpa proses fermentasi. NYBOT berfungsi dalam menyediakan dan menyebarkan informasi harga kepada para anggotanya di seluruh dunia. Mekanismenya adalah pada saat 48
terjadi transaksi di lantai perdagangan NYBOT, maka harga akan segera dikirim kepada para pedagang yang ditunjuk dan kemudian akan menunjukkan data tersebut ke seluruh dunia. Perdagangan yang terjadi di bursa berjangka NYBOT terdiri dari perdagangan spot dan perdagangan forward. Namun, perdagangan yang diutamakan pada bursa ini adalah dengan memperdagangkan kontrak berjangka komoditi dengan transaksi forward. Kontrak berjangka ini dilakukan dengan menyusun standar perjanjian kontrak legal dengan satu-satunya variabel yang dapat dinegosiasi yaitu harga, sehingga harga menjadi hal yang sangat penting didalam perdagangan berjangka. Kakao merupakan komoditas yang rentan terhadap volatilitas harga tinggi, untuk itulah bursa ini dibuat agar para pedagang dapat bernegosiasi secara terbuka dan adil serta beberapa risiko fluktuasi harga dapat dikelola secara lebih efektif. Selain itu, kontrak berjangka ini juga berfungsi untuk mengunci harga sebagai antisipasi perubahan harga di masa depan. Negara pemasok biji kakao unfermented terbesar untuk pasar berjangka NYBOT adalah negara Indonesia dan Amerika Latin. 5.4. Pasar Berjangka London London International Financial Futures Exchange (LIFFE) merupakan bursa komoditi berjangka di London, Inggris yang didirikan oleh Sir Brian Williamson. Saat ini LIFFE merupakan bagian dari NYSE (New York Stock Exchange) Euronext setelah pengambilalihan oleh Euronext pada Januari 2002 dan merger Euronext dengan New York Stock Exchange (NYSE) pada April 2007. NYSE Euronext merupakan pusat perdagangan dengan nilai bisnis yang diperdagangkan terbesar di Eropa dan terbesar kedua di seluruh dunia. NYSE Euronext menaungi lima pasar Eropa derivatif yaitu Amsterdam, Brussels, Lisbon, London, dan Paris. Komoditi unggulan yang diperdagangkan di LIFFE sama seperti di NYBOT yaitu kakao, hanya saja grade kakao yang diperjualbelikan di bursa London ini berkualitas lebih tinggi dibanding bursa New York karena kakao yang diperdagangkan adalah biji kakao yang sudah difermentasi. Selain itu, mata uang yang dipakai kedua bursa ini berbeda, kontrak pada bursa NYBOT diperdagangkan dalam dollar Amerika Serikat sedangkan kontrak di bursa LIFFE 49
menggunakan poundsterling. Perdagangan yang terjadi pada bursa berjangka LIFFE terbagi dua yaitu spot dan forward dengan mekanisme perdagangan yang sama seperti di NYBOT. Kontrak berjangka kakao hanya diperdagangkan pada bursa berjangka NYBOT untuk biji kakao unfermented dan LIFFE untuk biji kakao fermented. Mekanisme
pembentukan
harga
terjadi
ketika
para
partisipan
pasar
membandingkan harga berjangka sekarang terhadap harga spot untuk menentukan harga kakao di lantai bursa. Mekanisme ini merupakan proses dimana para pedagang mengadakan negoisasi kontrak termasuk penentuan harga, kualitas barang dagangan, waktu penyerahan barang, dan tempat pengiriman serta syarat dan kondisi pembayaran. Proses negoisasi pembentukan kontrak berjangka harus dijalankan dengan cara yang transparan sehingga semua pihak yang terlibat di dalam perdagangan berjangka dapat menyampaikan dan menerima informasi pasar dengan sempurna. Oleh karena itu, pasar berjangka berfungsi sebagai penjamin harga yang mengindikasikan kegiatan lindung nilai (hedging), dimana risiko yang terjadi di pasar spot dapat dikurangi. Negara pemasok biji kakao fermented untuk pasar berjangka LIFFE diantaranya adalah Pantai Gading, Ghana, Nigeria, dan Afrika. 5.5. International Cocoa Organization (ICCO) International Cocoa Organization (ICCO) merupakan sebuah organisasi global yang beranggotakan seluruh pelaku bisnis kakao, baik itu negara produsen dan konsumen kakao di seluruh dunia. ICCO terletak di London dan didirikan pada tahun 1973. Organisasi ini bertujuan meningkatkan dan memperkuat upaya pembangunan
serta
kerjasama
internasional
yang
berkaitan
dengan
perekonomiana kakao dunia, terutama dalam stabilisasi harga demi kepentingan anggotanya. ICCO beranggotakan kelompok negara produsen antara lain Brazil, Cameroon, Pantai Gading, Ghana, Nigeria, Ecuador, dan kelompok negara konsumen seperti Kanada, Jepang, Norwegia, Uni Soviet, Swiss, dan masyarakat Eropa. Setiap anggota ICCO diwajibkan membayar iuran organisasi tahunan dan penyediaan dana untuk buffer stock. Kerjasama internasional kakao diatur dalam Persetujuan Kakao Internasional (ICA) pertama, dimulai tahun 1972 dan berakhir 50
tahun 1986. Sedangkan ICA kedua berlaku dari tahun 1987 hingga 1991. Perbedaan ICA I dan II adalah dimasukannya ketentuan ekonomi yang pada ICA I belum ada. Ketentuan ekonomi tersebut memungkinkan ICCO menetapkan pengaturan supply kakao dunia melalui penetapan kuota. Indonesia bukan merupakan negara anggota ICCO, tetapi Indonesia akan aktif dalam berbagai pertemuan ICCO untuk memantau dan mengkaji perkembangan organisasi tersebut. Alasan Indonesia untuk tidak bergabung dalam ICCO antara lain dalam pasar bebas kakao, Indonesia akan mampu bersaing di pasaran internasional karena keunggulan komparatif yang dimiliki. Selain itu, berdasarkan hasil analisis sementara disimpulkan bahwa dampak diberlakukannya ICA II belum banyak perbedaan, dan selama beberapa tahun mendatang prospek pemasaran kakao diperkirakan masih baik. Saat ini pemasaran kakao tidak ditangani oleh ICCO, tetapi ditentukan oleh pasar berjangka komoditi kakao terbesar di dunia yaitu bursa NYBOT dan LIFFE. Dengan demikian manfaat Indonesia untuk ikut serta bergabung menjadi anggota ICCO belum jelas. Disamping itu, Indonesia juga belum siap dengan berbagai instrumen jika menjadi anggota dan membayar iuran tahunan yang cukup besar. Walaupun Indonesia dikenakan pungutan sebesar US$ 30 per ton dalam ekspor kakao karena bukan anggota ICCO, tetapi hal ini masih lebih menguntungkan dibanding bila menjadi anggota ICCO.
51
VI. TRANSMISI HARGA BIJI KAKAO DI PASAR FISIK INDONESIA, PASAR BERJANGKA NEW YORK, DAN LONDON 6.1. Eksplorasi Data Pada penelitian ini dianalisis pengaruh pergerakan harga biji kakao yang terjadi di bursa New York Board of Trade (NYBOT) dan London International Financial Futures Exchange (LIFFE) terhadap harga biji kakao yang terjadi di Indonesia. Adapun harga kakao yang dibahas dalam penelitian ini, antara lain harga kakao di pasar spot Indonesia yang berpusat di Makassar, harga kakao di pasar forward New York, dan harga pasar forward London. Harga kakao yang dikumpulkan pada pasar spot Indonesia adalah dalam bentuk rupiah per kilogram, sedangkan harga yang dikumpulkan pada pasar forward New York adalah dalam bentuk dollar Amerika Serikat per ton dan harga kakao yang terdapat pada pasar forward London adalah dalam bentuk poundsterling per ton. Perbedaan ketiga satuan dari variabel yang akan diteliti tidak menjadi masalah karena dalam penggunaan model VAR hanya bertujuan untuk melihat hubungan pergerakan harga, tidak untuk melihat suatu elastisitas dari variabel tersebut. Sebelum data di analisis terlebih dahulu diplotkan menurut waktu untuk mengetahui kecenderungan (trend) data tersebut. Data yang diplotkan tersebut terdiri dari harga kakao spot Indonesia, harga forward New York, dan harga forward London yang berjumlah 151 data harian dari tanggal 25 Agustus 2011 hingga 10 April 2012. Jumlah data yang dapat diteliti terbatas karena data sekunder yang didapatkan dari berbagai sumber hanya tersedia pada rentang waktu tersebut. Data diplotkan dengan bantuan software EViews dan gambar pola datanya dapat dilihat sebagai berikut. Gambar 6 menunjukkan bahwa variabel harga kakao di LIFFE memiliki kecenderungan yang menurun hingga mencapai titik harga terendah di data ke 72 yaitu 1.352 pounsterling/ton pada tanggal 9 Desember 2011. Penurunan harga ini disebabkan oleh produksi kakao dunia yang meningkat sedangkan permintaannya cenderung stabil sehingga menyebabkan penurunan harga kakao. Namun, setelah itu perlahan harga kakao kembali menjadi stabil walaupun masih terjadi fluktuasi dengan harga rata-rata di sekitar 1.480 poundsterling/ton.
52
Gambar 6. Grafik Fluktuasi Harga Harian di London International Financial Futures Exchange (LIFFE) Dibandingkan dengan Harga Harian di Pasar Fisik Makassar, Indonesia. Grafik fluktuasi harga harian di pasar komoditi Makassar, Indonesia ditampilkan juga pada Gambar 6. Harga biji kakao tertinggi terjadi pada tanggal 6 September 2011 sebesar 20.903 rupiah/kg dan harga biji kakao terendah terjadi pada tanggal 10 April 2012 sebesar 14.146 rupiah/kg. Fluktuasi besar ini dipengaruhi oleh melemahnya nilai mata uang rupiah Indonesia terhadap nilai mata uang dollar Amerika yang merupakan kurs yang digunakan dalam perdagangan dunia. Harga rata-rata biji kakao di bursa Makassar selama rentang waktu 151 hari adalah sebesar 17.663 rupiah/kg. Selain itu, menurut data perkiraan dari Rabobank dalam Confertionery News, penurunan harga ini diakibatkan adanya over supply biji kakao di Afrika Barat, yang diduga karena adanya kebijakan intervensi negara tersebut khususnya di Pantai Gading sehingga mendorong peningkatan supply4.
4
http://www.mediaperkebunan.net. Harga Biji Kakao Merosot. [Diakses tanggal 10 Mei 2012]
53
Gambar 7. Grafik Fluktuasi Harga Harian di New York Board of Trade (NYBOT) Dibandingkan dengan Harga Harian di Pasar Fisik Makassar, Indonesia. Pada variabel harga biji kakao di bursa NYBOT terlihat kecenderungan harga yang menurun. Hal ini dapat dilihat dari Gambar 7 yang menunjukkan grafik fluktuasi harga harian di New York Board of Trade (NYBOT). Harga tertinggi berada pada kisaran 3.127 dollar Amerika/ton di awal bulan September 2011 sedangkan harga terendah biji kakao unfermented terjadi pada tanggal 6 dan 9 Januari 2012 sebesar 2.049 dollar Amerika/ton. Harga rata-rata biji kakao di bursa NYBOT selama 151 hari adalah sebesar 2.458 dollar Amerika/ton. Jika dilihat pada gambar, pergerakan harga biji kakao di Indonesia hampir sama dengan pergerakan harga biji kakao yang terjadi di NYBOT. Hal ini terjadi akibat kesamaan komoditi yang diperdagangkan di kedua pasar ini yaitu komoditi biji kakao unfermented. Selain itu, Indonesia merupakan produsen biji kakao terbesar ketiga di dunia dan posisi Indonesia sebagai pemasok utama biji kakao ke pasar berjangka NYBOT. Jumlah biji kakao yang dipasok oleh Indonesia juga mempengaruhi harga biji kakao di NYBOT. Oleh karena itu, apabila jumlah
54
pasokan biji kakao di Indonesia mengalami kelangkaan, maka harga yang terbentuk di pasar berjangka NYBOT akan meningkat. Tabel 8. Rataan, Standar Deviasi, dan Koefisien Varians Harga Biji Kakao di Indonesia, LIFFE, dan NYBOT Variabel Rataan St. Deviasi Koefisien varians (%) INDO 17663.4 1338.2 0.07576 LIFFE 1587.2 156.2 0.098415 NYBOT 2457.7 258.5 0.105198 Berdasarkan analisis deskriptif pada Tabel 8 dapat disimpulkan bahwa pasar berjangka NYBOT merupakan pasar yang memiliki volatilitas tinggi jika dilihat melalui nilai standar deviasi dan koefisien varians, diikuti oleh pasar berjangka LIFFE dan pasar fisik Indonesia. Nilai koefisien varians NYBOT yang tinggi dipengaruhi oleh kualitas biji kakao jenis unfermented yang merupakan bahan baku dasar dari pengolahan coklat sehingga memiliki peranan penting dalam penentuan harga. Nilai koefisien tersebut mendekati nilai koefisien varians pada LIFFE. Hal ini disebabkan oleh kedua pasar tersebut tergolong dalam pasar berjangka yang berperan sebagai pasar konsumen biji kakao dunia sehingga memiliki banyak variasi harga. Selain itu, kualitas biji kakao fermented yang terstandarisasi membuat volatilitas harga yang terjadi di LIFFE lebih rendah daripada NYBOT. Sedangkan, harga yang terjadi di Indonesia lebih stabil jika dibandingkan dengan kedua pasar berjangka tersebut. Hal ini ditunjukkan dengan nilai koefisien varians Indonesia yang hanya bernilai 0,075 persen. Keadaan ini juga didasarkan pada posisi Indonesia sebagai pasar produsen dalam perdagangan biji kakao di dunia sehingga tidak memiliki banyak variasi harga. 6.2 Analisis Data Sebelum melakukan estimasi model VAR maka sebelumnya dilakukan pengujian pra-estimasi atau penyusunan model VAR. Pengujian ini penting karena dalam model deret waktu (time series) sebagian besar data yang digunakan mengandung akar unit (unit root) sehingga membuat hasil estimasi menjadi palsu dan tidak valid (Gujarati 2003). Selain itu, dalam analisis penelitian ini juga
55
dilakukan dalam bentuk logaritma untuk memperkecil varians dari data agar memudahkan dalam menganalisisnya. 6.2.1. Uji Stasioneritas dan Derajat Integrasi Pegujian pertama yang harus dipenuhi dalam penyusunan model VAR adalah uji stasioneritas data yang akan digunakan. Uji kestasioneran merupakan tahap penting dalam menganalisis deret waktu untuk melihat ada tidaknya unit akar yang terkandung diantara variabel sehingga bisa diketahui data tersebut stasioner atau tidak. Selain itu, pengujian ini dilakukan agar terhindar dari regresi lacung (spurious regression) sehingga hubungan diantara variabel menjadi valid. Regresi lancung terjadi apabila hasil regresi menunjukkan hubungan yang nyata antar variabel dengan koefisien determinasi yang tinggi tapi kenyataannya tidak sehingga dapat mengakibatkan salah penafsiran dalam penelitian terhadap suatu fenomena yang sedang terjadi. Kestasioneran data diuji dengan menggunakan Augmented Dickey Fuller (ADF). Data dikatakan stasioner apabila nilai ADF statistic lebih kecil dari nilai McKinnon Critical Value (nilai kritis). Apabila nilai ADF statistic lebih besar dari nilai kritis maka data bersifat tidak stasioner artinya data tersebut mengandung unit root. Pengujian unit root dilakukan mulai dari tingkat level kemudian apabila belum stasioner maka dilakukan lagi uji akar pada tingkat first difference, yaitu dengan mengurangi data tersebut dengan data periode sebelumnya. Jika dilihat dari grafik pergerakan harga biji kakao di Indonesia, London, dan New York ada kecenderungan dari data tersebut memiliki trend dan intersep. Data dapat dikatakan memiliki trend jika terlihat peningkatan atau penurunan secara umum pada data tersebut sedangkan intersep merupakan besar data yang akan berubah jika respon ditambah satu satuan. Sehingga dalam pengujian unit root dapat dipilih pengujian dengan menggunakan trend dan intersep. Hasil unit root test untuk tingkat level dan tingkat first difference dari bursa INDO, LIFFE, dan NYBOT dapat dilihat pada Tabel 9. Dari hasil uji stasioneritas tes pertama, diketahui bahwa nilai ADF statistic dari masing-masing variabel lebih besar secara absolut dari MacKinnon Critical Value. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga data tersebut belum stasioner pada tingkat level. Selain itu, jika dilihat dari probabilitas variabel INDO, LIFFE, dan NYBOT 56
berturut-turut adalah 0.3224, 0.2414, dan 0.3467. Nilai tersebut lebih besar daripada 0,1 (α = 10%). Artinya, variabel INDO, LIFFE, dan NYBOT belum stasioner pada α = 1%, 5%, atau 10%. Dengan demikian, pengujian dilanjutkan dengan uji derajat integrasi (tes kedua). Tabel 9. Hasil Unit Root Test Bursa INDO, LIFFE, dan NYBOT Trend dan Intersep Tingkat Level
Variabel Nilai ADF
Nilai Kritis 10%
Tingkat First Difference Prob
Nilai ADF
Nilai Kritis 10%
Prob
INDO
-2.511317
-3.144465
0.3224
-11.74221
-3.144585
0.0000
LIFFE
-2.692199
-3.144585
0.2414
-9.491952
-3.144707
0.0000
NYBOT
-2.461740
-3.144465
0.3467
-11.48697
-3.144585
0.0000
Pada uji derajat integrasi pertama didapat hasil bahwa nilai ADF statistic untuk ketiga data tersebut lebih kecil secara absolut dari nilai kritis MacKinnon sehingga dapat disimpulkan bahwa data sudah stasioner pada tingkat first difference. Kestasioneran data juga dapat dilihat dari nilai probabilitas semua variabel adalah 0,0000. Nilai ini adalah lebih kecil daripada 0,01 (α = 1%). Artinya, semua variabel baik LIFFE, Makassar, maupun NYBOT telah stasioner di tingkat first difference pada α = 1%. Hal ini sesuai dengan teori bahwa jika salah satu variabel stasioner di tingkat first difference, maka semua variabel harus stasioner di tingkat first difference juga. Ketika semua data sudah stasioner pada uji derajat satu l(1), maka dapat dilanjutkan pengujian selanjutnya. 6.2.2. Penentuan Panjang Lag Uji selanjutnya adalah penentuan lag optimal atau ordo vektor autoregresi didasarkan pada uji stasioneritas (uji ADF) yang telah dilakukan. Penentuan lag optimal dapat dilihat dari nilai Akaike Information Criterion (AIC), Schwarz Information Criterion (SIC), dan Hannan-Quinn Information Criterion (HQ). Penentuan lag optimalnya ditentukan dari kriteria yang mempunyai final prediction error correction (FPE) atau jumlah AIC, SIC, dan HQ yang paling
57
kecil diantara berbagai lag yang diajukan. Adapun panjang lag optimal berdasarkan berbagai kriteria dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Panjang Lag Optimal Berdasarkan Beberapa Kriteria Lag 0 1 2 3 4 5 6 7 8
AIC
SC
HQ
-9.723700
-9.661542
-9.698442
-15.50700
-15.25837
-15.40597
-16.00186*
-15.56675*
-15.82505*
-15.92347
-15.30190
-15.67089
-15.87722
-15.06918
-15.54887
-15.84105
-14.84653
-15.43692
-15.81613
-14.63513
-15.33623
-15.73750
-14.37003
-15.18183
-15.65663
-14.10269
-15.02519
Hasil yang ditunjukkan pada Tabel 10, diketahui bahwa semua tanda bintang berada pada lag 2. Artinya bahwa semua variabel yang ada dalam model saling mempengaruhi satu sama lain tidak hanya pada periode sekarang, tetapi juga saling berkaitan pada dua periode sebelumnya. Selain itu, berdasarkan kriteria AIC, SIC, dan HQ nilai pada lag 2 juga mempunyai nilai yang paling kecil dari diantara berbagai lag yang diajukan. Nilai yang semakin kecil ini menandakan bahwa kemungkinan dari nilai harapan yang dihasilkan sebuah model akan semakin menggambarkan keadaan aktual. Hal ini menunjukkan bahwa lag optimal yang digunakan pada data yang diteliti adalah lag 2. 6.2.3 Uji Kointegrasi Uji kointegrasi dilakukan untuk mengetahui keberadaan hubungan antar variabel. Keberadaan variabel nonstasioner menyebabkan kemungkinan besar adanya hubungan jangka panjang antara variabel di dalam sistem VAR (EngleGranger 1983 dalam Widarjono 2009). Untuk itulah, uji kointegrasi ini harus dilakukan di dalam estimasi model VAR. Adanya hubungan kointegrasi dalam sebuah sistem persamaan mengimplikasikan bahwa dalam sistem tersebut terdapat Error Correction Model yang menggambarkan adanya dinamisasi jangka pendek
58
secara konsisten dengan hubungan jangka panjangnya (Nachrowi dan Usman 2006). Uji kointegrasi dalam penelitian ini menggunakan pendekatan Johansen dengan membandingkan antara trace statistic dengan critical value dan maksimum eigenvalue dengan critical value pada taraf nyata yang digunakan yaitu 5 persen. Jika trace statistic atau maksimum eigenvalue lebih besar dari critical value maka terdapat kointegrasi dalam sistem persamaan tersebut. Uji kointegrasi ini akan menentukan jumlah vektor kointegrasi (r) diantara sistem variabel yang ada. Selain itu, uji kointegrasi ini juga dapat mengetahui model VAR dari data yang diperoleh. Jika tidak terdapat kointegrasi antar variabel maka digunakan model VARD (VAR in difference) sedangkan jika dalam data terdapat kointegrasi maka model VAR yang digunakan adalah model VECM (Vector Error Correction Model). Tabel 11 merupakan rangkuman hasil uji kointegrasi Johansen. Berdasarkan data yang tersaji pada Tabel 11 dan Lampiran 3 dapat disimpulkan nilai trace test maupun maksimum eigenvalue menerima H0 sampai pada tingkat signifikansi (α=5%), artinya tidak ada kointegrasi dan dengan demikian tidak terdapat persamaan yang dapat menjelaskan adanya kointegrasi pada variabel-variabel dalam sistem persamaan. Tabel 11. Rangkuman Uji Kointegrasi Johansen Max-Eigen
Hipotesis
Trace Statistic
Nilai Kritis 5%
None*
29.14989
42.91525
14.70478
25.82321
At most 1*
14.44511
25.87211
9.322270
19.38704
At most 2 *
5.122837
12.51798
5.122837
12.51798
Statistic
Nilai Kritis 5%
Keterangan: Trace test and Max-eigenvalue test indicates no cointegration at the 0.05 level Hasil uji kointegrasi yang menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan kointegrasi antara variabel INDO, LIFFE, dan NYBOT pada nilai kritis 5 persen berdasarkan trace test dan maksimum eigenvalue (Lampiran 3). Artinya adalah bahwa tidak terdapat hubungan jangka panjang dari ketiga tempat yang menjadi penelitian yaitu harga biji kakao yang terbentuk di pasar spot Indonesia 59
berhubungan dengan harga biji kakao di pasar berjangka NYBOT dan LIFFE dalam sistem VAR pada tingkat diferensi. Hal ini mengindikasikan kemungkinan tidak terjadinya hubungan atau keseimbangan dalam jangka panjang antarvariabel yang ada. Oleh karena itu, model VAR yang tepat digunakan untuk data yang diteliti adalah model VARD (VAR in difference). 6.2.4 Estimasi Model VAR Hasil uji dari penyusunan model VAR sebelumnya didapatkan bahwa model VAR yang tepat digunakan untuk menggambarkan keadaan aktual dari data yang diperoleh adalah dengan menggunakan model VARD (VAR in difference). Model VARD digunakan pada data time series yang tidak stasioner pada tingkat level namun stasioner pada tingkat differensi dan tidak terkointegrasi sehingga menujukkan tidak adanya hubungan teoritis antar variabel. Jika dilihat dari hasil uji lag optimal maka didapat kelambanan satu sebagai tingkat lag kelambanan yang optimal sehingga model VAR yang digunakan untuk mengestimasi hubungan harga biji kakao antara bursa perdagangan di Indonesia, London, dan New York adalah model VARD dengan tingkat lag kelambanan satu (p=1). Hasil estimasi model VARD pada penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 4. Hasil dari model VARD yang ada pada Tabel 12 menunjukan bahwa harga biji kakao di Indonesia tepatnya di pusat perdagangan komoditi Makassar dipengaruhi secara nyata pada taraf nyata satu persen oleh variabel harga LIFFE pada periode sebelumnya. Selain itu, berdasarkan hasil yang diperoleh dapat menjelaskan pendugaan harga yang akan datang melalui variabel-variabel yang digunakan dalam model sebesar 38.24 persen dan sisanya sebesar 61.76 persen dijelaskan oleh komponen lain di luar model (error). Harga biji kakao LIFFE dipengaruhi secara nyata oleh harga variabel LIFFE itu sendiri pada periode sebelumnya dengan taraf nyata sepuluh persen. Sedangkan, hasil pada bursa NYBOT diketahui bahwa harga biji kakao di bursa NYBOT dipengaruhi oleh harga biji kakao LIFFE pada periode sebelumnya pada taraf nyata satu persen dan harga LIFFE pada dua periode sebelumnya pada taraf nyata lima persen. Sedangkan untuk pendugaan harga di masa datang sebesar
60
77.91 persen dapat dijelaskan melalui variabel-variabel yang digunakan dalam model dan hanya 22.09 persen yang dijelaskan oleh komponen error. Tabel 12. Hasil Estimasi Model VARD Variabel DLOG(INDO(-1)) DLOG(INDO(-2)) DLOG(LIFFE(-1)) DLOG(LIFFE(-2)) DLOG(NYBOT(-1)) DLOG(NYBOT(-2)) Konstanta R-squared
DLOG(INDO) [-1.39956] [-0.21077] [ 9.12867]* [ 0.37000] [-0.01601] [ 0.67760] [-0.10065] 0.382439
Variabel Dependen DLOG(LIFFE) [ 0.08048] [ 0.46782] [ 1.89430]*** [-0.10466] [-0.84670] [-1.13217] [-1.71593]*** 0.077389
DLOG(NYBOT) [-1.30148] [ 0.47339] [ 21.5410]* [ 2.18728]** [-1.58316] [ 0.15592] [-0.58321] 0.779164
Keterangan: Angka dalam [ ]adalah nilai statistik, *= nyata pada taraf 1%, **= nyata pada taraf 5% = dan *** = nyata pada taraf 10%. Nilai t-tabel: t(α:1%) = 2.326, t(α:5%) = 1.960, t(α:10) = 1.645 Apabila diamati dari persamaan yang ada pada Lampiran 4, dapat dilihat bahwa variabel harga biji kakao Indonesia, LIFFE, dan NYBOT dipengaruhi oleh variabel harga biji kakao LIFFE di periode sebelumnya bahkan NYBOT dipengaruhi LIFFE sampai di dua periode sebelumnya. Variabel harga biji kakao LIFFE yang dipengaruhi oleh dirinya sendiri pada periode sebelumnya mengindikasikan bahwa dalam menentukan harga biji kakao di masa yang akan datang, para pelaku pasar tidak hanya mempertimbangkan penawaran dan permintaan yang terjadi di periode yang bersangkutan namun juga selalu memperhatikan harga biji kakao yang sudah terbentuk di periode sebelumnya. Pengaruh variabel harga biji kakao LIFFE pada periode sebelumnya terhadap variabel harga biji kakao Indonesia dan NYBOT menunjukkan bahwa LIFFE merupakan pasar acuan yang merupakan bursa berjangka terdepan di dunia yang memperdagangkan komoditas kakao. Apalagi dengan status pasar tersebut yang merupakan pasar forward dimana harga yang akan datang telah disepakati di periode sebelumnya sehingga pelaku di pasar memprediksi kecenderungan harga di masa yang akan datang berdasarkan harga yang telah terjadi di masa sekarang. Namun, saat ini Indonesia masih mengacu pada bursa berjangka NYBOT karena produk kakao yang banyak diperdagangkan di bursa NYBOT adalah biji kakao
61
unfermented yang berasal dari Indonesia sedangkan bursa berjangka LIFFE memperdagangkan komoditas biji kakao yang sudah di fermentasi. Kondisi lainnya yang terjadi dalam hubungan pergerakan harga biji kakao antara Indonesia dengan pasar berjangka LIFFE yaitu hubungan yang bersifat tidak langsung. Hal utama yang menyebabkan hubungan tersebut terjadi adalah biji kakao kualitas unfermented yang di produksi Indonesia merupakan bahan baku dari biji kakao yang akan difermentasi dan diperdagangkan di bursa LIFFE. Kondisi ini yang mengharuskan Indonesia mengekspor terlebih dahulu biji kakao yang dihasilkan ke Malaysia dan Singapura untuk diproses lebih lanjut menjadi biji kakao fermented. Setelah melalui proses tersebut, selanjutnya biji kakao fermented diperdagangkan ke pasar berjangka LIFFE. Tahapan ini yang menjadikan hubungan pergerakan harga biji kakao di Indonesai dan LIFFE terjadi secara tidak langsung. Berdasarkan hasil estimasi model VAR dapat dilihat tidak adanya hubungan antara ketiga tempat tersebut, maka harga yang terjadi di Indonesia tidak ditransmisikan terhadap harga yang terjadi di NYBOT dan LIFFE. Widarjono (2010) menyatakan bahwa untuk menginterpretasi koefisien model VAR (Vector Autoregression) secara individual merupakan hal yang sulit karena VAR adalah permodelan simultan yang berbentuk reduced from matrix yang bertujuan untuk menangkap dinamika data time series (Widarjono 2010). Oleh karena itu, untuk menggambarkan bagaimana hubungan dinamis antar data digunakan fungsi respon impuls, dan dekomposisi ragam. 6.2.5 Fungsi Respon Impuls Enders (1995) menyatakan cara yang baik untuk mencirikan struktur dinamis dalam model adalah dengan menganalisa respon dari model terhadap guncangan. Analisis ini akan menjelaskan dampak dari guncangan (shock) pada suatu variabel terhadap variabel lain dalam jangka waktu pendek maupun jangka waktu panjang. Fungsi respon impuls dapat mengidentifikasi suatu guncangan pada variabel endogen sehingga dapat menentukan bagaimana suatu perubahan dalam variabel mempengaruhi variabel lainnya di sepanjang waktu. Ada beberapa cara dalam menyajikan hasil respon impuls diantaranya adalah dengan menggunakan grafik dan tabel. Data yang disajikan dalam bentuk grafik, untuk penelitian dengan tiga variabel akan disajikan ke dalam sembilan 62
grafik. Dari sembilan grafik tersebut hanya enam grafik yang digunakan dalam analisis respon impuls karena tiga sisanya hanya menjelaskan respon variabel terhadap shock variabel itu sendiri. Pada grafik, sumbu horizontal menunjukkan periode waktu penelitian sedangkan sumbu vertikal merupakan nilai respon dalam persentase. Pada penelitian ini mengambil respon impuls hingga 30 periode mendatang. Data tersebut yang disajikan dalam bentuk tabel dapat dilihat pada Lampiran 5.
Gambar 8. Grafik Respon Impuls dari Nilai Logaritma Harga Biji Kakao Indonesia terhadap Variabel Lain. Pada Gambar 8 dapat dilihat seberapa besar pengaruh (respon) harga biji kakao Indonesia terhadap guncangan (shock) atau perubahan yang terjadi di bursa LIFFE dan NYBOT. Guncangan harga biji kakao pada kedua pasar berjangka tersebut belum direspon oleh Indonesia pada periode pertama. Pada pasar berjangka LIFFE, respon yang diberikan Indonesia mulai terjadi pada periode kedua sebesar 0.019962 persen. Respon tersebut terus berfluktuasi hingga mengalami penurunan terendah pada periode ke-5 yang mencapai nilai -0.00281 persen. Pada periode selanjutnya, guncangan harga LIFFE direspon Indonesia dengan nilai yang selalu berubah dan nilai ini mencapai 2.23E-09 persen di periode ke-30. Guncangan yang terjadi di bursa NYBOT pada periode pertama juga belum direspon oleh Indonesia. Nilai tersebut mulai berfluktuasi dari periode 63
kedua hingga periode terakhir. Penurunan nilai yang terendah terjadi pada periode ke-4 sebesar -0.00162 persen. Setelah itu, nilai respon Indonesia terhadap guncangan yang terjadi di New York terus berfluktuasi hingga periode akhir sebesar 7.81E-11 persen.
Gambar 9. Grafik Respon Impuls dari Nilai Logaritma Harga Biji Kakao LIFFE terhadap Variabel Lain Pada Gambar 9 di grafik pertama dapat dilihat grafik yang menunjukkan perubahan variabel harga biji kakao LIFFE dalam merespon adanya guncangan variabel harga biji kakao Indonesia. Adanya guncangan pada harga biji kakao Indonesia di respon positif oleh harga di LIFFE pada periode awal. Nilai terbesar terjadi pada periode pertama sebesar 0.002278 persen dan mengalami penurunan terendah di periode kedua sebesar -0.00039 persen. Nilai respon LIFFE terhadap guncangan yang terjadi di Indonesia pada periode akhir adalah sebesar 1.37E-10 persen. Pada grafik kedua dapat dilihat bahwa variabel harga biji kakao di LIFFE belum merespon adanya guncangan dari variabel harga biji kakao NYBOT. Respon mulai diberikan pada periode kedua sebesar -0.0015 persen dan dapat dilihat peningkatan terbesar terjadi pada periode ke-5 yang mencapai nilai 0.000443 persen. Nilai ini terus berfluktuasi hingga periode terakhir sebesar 3.81E-10 persen.
64
Gambar 10. Grafik Respon Impuls dari Nilai Logaritma Harga Biji Kakao NYBOT terhadap Variabel Lain Gambar 10 menjelaskan perubahan variabel harga di NYBOT dalam merespon adanya guncangan harga dari pasar fisik Indonesia dan bursa LIFFE. Pada gambar dapat dilihat bahwa guncangan harga Indonesia direspon positif oleh bursa NYBOT pada periode pertama sebesar 0.005705 persen. Lalu mengalami penurunan di periode kedua sebesar -0.00051 persen. Respon yang dirasakan bursa NYBOT terhadap guncangan yang terjadi di Indonesia ini terus berfluktuasi hingga mencapai nilai 1.30E-10 persen di periode ke-30. Respon NYBOT terhadap guncangan yang terjadi di LIFFE di respon negatif pada awal periode sebesar -0.00044 persen dan mulai meningkat di periode kedua sebesar 0.01933 persen. Kemudian nilai respon NYBOT kembali menurun di periode ke-5 sebesar -0.00306 persen dan setelah itu mengalami perubahan nilai respon yang beragam hingga mencapai nilai 2.55E-09 persen pada periode terakhir. Berdasarkan sudut pandang yang berbeda, respon impuls dapat dilihat dari respon harga masing-masing pasar baik pasar berjangka NYBOT maupun LIFFE terhadap guncangan harga biji kakao Indonesia. Respon yang disajikan pada Gambar 11 menunjukkan bahwa pada kedua pasar berjangka mempunyai pergerakan grafik yang hampir sama dalam menanggapi guncangan yang terjadi di Indonesia. Kedua bursa memberikan respon positif pada awal periode, bursa NYBOT memberikan nilai sebesar 0.005705 persen dan bursa LIFFE sebesar 0.002278 persen. Kemudian kedua bursa ini mengalami penurunan nilai pada 65
periode kedua dengan nilai NYBOT sebesar -0.00051 persen dan LIFFE sebesar 0.00039 persen. Selanjutnya, guncangan dari Indonesia direspon NYBOT dan LIFFE dengan nilai yang berfluktuasi hingga periode terakhir. Pada periode terakhir bursa NYBOT memberikan respon sebesar 1.30E-10 persen dan bursa LIFFE sebesar 1.37E-10 persen. Jika dilihat pada gambar dapat diambil kesimpulan bahwa bursa NYBOT merespon lebih besar terhadap guncangan yang terjadi di Indonesia dibandingkan dengan respon LIFFE. Hal ini disebabkan karena bursa NYBOT dan Indonesia memiliki komoditas perdagangan yang sama yaitu biji kakao dengan kualitas tanpa fermentasi sehingga memiliki hubungan langsung di dalam pergerakan harga.
Gambar 11. Respon Harga Biji Kakao Pasar Berjangka NYBOT dan LIFFE terhadap guncangan Harga Biji Kakao Pasar Fisik Indonesia. 6.2.6 Dekomposisi Ragam Dekomposisi ragam (Variance Decomposition) atau disebut juga forecast error variance decomposition digunakan untuk menggambarkan sistem dinamis VAR dalam estimasi. Perbedaan yang mendasar dari respon impuls dengan dekomposisi ragam adalah respon impuls digunakan untuk melacak dampak shock dari variabel endogen terhadap variabel lain di dalam sistem VAR, sedangkan dekomposisi ragam menggambarkan relatif pentingnya setiap variabel di dalam sistem VAR karena adanya shock (Widarjono 2009). Kemudian dekomposisi
66
ragam akan memberikan informasi mengenai proporsi dan pergerakan pengaruh shock pada sebuah variabel terhadap shock variabel lainnya pada periode saat ini dan yang akan datang. Hasil analisis dekomposisi ragam dapat dilihat pada Lampiran 6. Tabel pertama menjelaskan tentang dekomposisi ragam dari variabel harga biji kakao di Indonesia, serta variabel apa saja dan seberapa besar variabel tersebut memengaruhi variabel harga biji kakao di LIFFE dan bursa NYBOT. Pada awal periode, variabel Indonesia dipengaruhi oleh variabel itu sendiri sebesar 100 persen. Pada periode kedua, kontribusi ragam variabel Indonesia mengalami penurunan menjadi 63.06 persen dan terus menurun hingga periode ke-30 sebesar 62.25 persen. Namun, nilai dekomposisi ragam variabel Indonesia masih mempunyai nilai yang lebih besar daripada variabel LIFFE dan NYBOT. Nilai tersebut menunjukkan tingginya kontribusi Indonesia dalam menjelaskan nilai ragam harga biji kakao Indonesia itu sendiri. Kontribusi ragam variabel harga biji kakao LIFFE belum memberikan pengaruh di awal periode. Namun, untuk periode kedua mulai memberikan kontribusi sebesar 36.93 persen hingga selanjutnya nilai ini terus meningkat hingga periode ke-30 sebesar 37.46 persen. Begitu juga untuk variabel NYBOT, walaupun pada awal periode belum memengaruhi variabel Indonesia akan tetapi nilai dekomposisi ragamnya terus meningkat dari nilai 0.00013 persen di periode kedua hingga mencapai 0.27 persen pada periode ke-30. Tabel kedua menjelaskan tentang dekomposisi ragam dari variabel LIFFE. Pada awal periode, variabel LIFFE dipengaruhi oleh variabel itu sendiri sebesar 98.65 persen dan nilai ini terus mengalami penurunan hingga periode ke-30 sebesar 97.64 persen. Kontribusi ragam variabel harga biji kakao NYBOT belum memberikan pengaruh di awal periode. Namun, untuk periode kedua mulai memberikan kontribusi sebesar 0.56 persen hingga selanjutnya nilai ini terus meningkat hingga periode ke-30 sebesar 1.04 persen. Hal yang berbeda terjadi untuk variabel Indonesia, walaupun pada awal periode hanya sedikit memengaruhi variabel LIFFE yaitu sebesar 1.34 persen akan tetapi nilai dekomposisi ragamnya terus menurun hingga periode ke-30 sebesar 1.30 persen.
67
Tabel ketiga menjelaskan tentang dekomposisi ragam dari variabel NYBOT. Periode awal menggambarkan bahwa variabel NYBOT dipengaruhi oleh variabel NYBOT itu sendiri sebesar 28.86 persen, variabel LIFFE sebesar 0.17 persen, dan variabel Indonesia sebesar 70.95 persen. Nilai dekomposisi ragam dari variabel Indonesia dan NYBOT terus menurun hingga akhir periode, sedangkan variabel LIFFE nilai dekomposisi ragamnya semakin meningkat. Hingga pada periode akhir, variabel NYBOT hanya dipengaruhi 16.71 persen oleh variabel NYBOT sendiri sedangkan sisanya sebesar 6.61 persen dan 76.67 persen dijelaskan oleh variabel Indonesia dan LIFFE. Jika dilihat dari hasil akhir nilai dekomposisi ragam pada masing-masing variabel maka didapatkan hasil dekomposisi ragam untuk Indonesia menunjukkan bahwa dalam jangka panjang Indonesia mampu memberikan kontribusi yang besar untuk menjelaskan nilai ragam harga biji kakao di Indonesia itu sendiri pada masa yang akan datang. Hal yang sama juga terjadi pada hasil dekomposisi ragam untuk LIFFE, dimana nilai dekomposisi ragam LIFFE itu sendiri yang berkontribusi besar terhadap nilai ragam harga biji kakao di LIFFE pada masa yang akan datang. Namun,untuk nilai varian dekomposisi NYBOT menunjukkan bahwa dalam jangka panjang bursa LIFFE yang mampu memberikan kontribusi besar untuk menjelaskan nilai ragam harga biji kakao di NYBOT pada masa yang akan datang. Hal ini menunjukkan bahwa dalam jangka panjang LIFFE mampu memberikan kontribusi yang besar untuk menjelaskan nilai ragam harga biji kakao di bursa berjangka NYBOT pada masa yang akan datang. 6.2.7 Implikasi Model VAR Terhadap Askindo Berdasarkan penyusunan model VAR yang telah dilakukan maka diperoleh hasil bahwa harga biji kakao Indonesia tidak mempengaruhi harga biji kakao yang terjadi di bursa NYBOT dan LIFFE. Kesimpulan ini dapat menjadi jawaban atas permasalahan yang terjadi saat ini. Saat ini harga biji kakao di seluruh dunia masih ditentukan oleh bursa komoditi berjangka di New York dan London sebagai pusat perdagangan kakao dunia sehingga mengakibatkan posisi negara penghasil komoditi kakao khususnya Indonesia hanya menjadi penerima harga (price taker). Lemahnya posisi tawar biji kakao Indonesia di pasar dunia disebabkan karena mutu biji kakao yang 68
dihasilkan Indonesia masih tergolong rendah. Kualitas kakao Indonesia masih didominasi oleh biji kakao yang belum terfermentasi, biji dengan kadar kotoran yang tinggi, serta terkontaminasi serangga, jamur, atau mikotoksin sehingga kakao Indonesia dihargai paling rendah di pasar internasional. Hal inilah yang menyebabkan para petani dan pelaku ekspor di Indonesia menunggu harga baru yang terbentuk dari NYBOT maupun LIFFE, untuk kemudian menyesuaikan terhadap harga biji kakao dalam negeri. Harga yang terbentuk nantinya akan diinformasikan kepada pihak Askindo dan kemudian informasi itu akan disebarluaskan kembali kepada para pengusaha dan petani kakao Indonesia. Dengan demikian para pelaku pasar kakao di Indonesia hanya mengikuti pergerakan harga yang terjadi di NYBOT maupun LIFFE5. Jika dilihat dari hasil analisis transmisi harga yang menyatakan bahwa harga biji kakao Indonesia tidak mempengaruhi harga biji kakao yang terjadi di bursa berjangka New York dan London, maka mengindikasikan bahwa Indonesia merupakan pasar pengikut dalam perdagangan kakao dunia. Salah satu cara untuk meningkatkan peranan Indonesia dalam penentuan harga biji kako baik dunia atau domestik adalah dengan memperbaiki kualitas produk dan sistem pemasaran biji kakao Indonesia. Pemasaran biji kakao Indonesia diperbaiki dengan membentuk bursa berjangka di Indonesia dan membangun bursa berjangka khususnya bagi komoditi biji kakao maka volatilitas harga biji kakao yang terjadi selama ini akan dapat berkurang karena fungsi dari bursa berjangka adalah sebagai sarana untuk mengalihkan resiko dalam bentuk volatilitas harga yang tinggi. Implikasi model VECM yang dapat diaplikasikan di Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) untuk meningkatkan posisi kakao Indonesia yang lebih baik di pasar dunia adalah membuat kebijakan agar Indonesia dapat meningkatkan kualitas biji kakao dan produk-produk turunan lainnya mulai dari hulu hingga hilir. Hal ini dapat tercapai jika melihat segala peluang dan potensi yang dimiliki oleh biji kakao Indonesia sehingga nantinya komoditi ini bisa meningkatkan posisi tawarnya. Ada beberapa alternatif strategi yang dapat dilakukan oleh Askindo untuk meningkatkan posisi biji kakao Indonesia di pasar dunia antara 5
Hasil wawancara dengan Ketua Asosiasi Kakao Indonesia
69
lain memberikan penyuluhan, pelatihan, dan pendampingan kepada seluruh pelaku bisnis kakao sebagai upaya peningkatan kualitas biji kakao Indonesia dari jenis biji kakao unfermented menjadi biji kakao fermented dan produk turunan kakao lainnya. Hal ini dapat dicapai dengan mengembangkan industri hilir di bidang pengolahan biji kakao. Adanya peningkatan kualitas dari kakao Indonesia diharapkan harga yang terbentuk dapat meningkat dan Indonesia dapat menjadi price maker dalam perekonomian kakao dunia. Selain itu, diperlukan kerjasama Askindo dengan pemerintah untuk mengefektifkan bursa berjangka di Indonesia sebagai cara untuk meminimalisasi kerugian akibat harga komoditas kakao yang berfluktuasi sehingga Indonesia akan mendapatkan kemampuan untuk mengontrol pergerakan jumlah dan harga biji kakao serta mengatasi fluktuasi harga kakao. Selain itu, dapat juga memperbaiki posisi tawar biji kakao Indonesia di perdagangan internasional sebagai salah satu negara penghasil biji kakao terbesar di dunia.
70
VII. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan sebelumnya, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: 1.
Pola pergerakan harga biji kakao pada periode 25 Agustus 2011 hingga 10 April 2012 di pasar fisik Indonesia, pasar berjangka New York dan London memperlihatkan bahwa harga biji kakao yang terjadi bersifat volatil. Pasar berjangka NYBOT merupakan pasar yang memiliki volatilitas paling tinggi diikuti oleh pasar berjangka LIFFE dan pasar fisik Indonesia.
2.
Harga biji kakao di Indonesia (pusat perdagangan komoditi Makassar) dipengaruhi secara nyata pada taraf nyata satu persen oleh variabel harga LIFFE pada periode sebelumnya, harga biji kakao LIFFE dipengaruhi secara nyata oleh variabel harga itu sendiri pada periode sebelumnya dengan taraf nyata sepuluh persen, dan harga biji kakao di bursa NYBOT dipengaruhi oleh harga biji kakao LIFFE pada periode sebelumnya dengan taraf nyata satu persen dan harga LIFFE pada dua periode sebelumnya dengan taraf nyata lima persen. Tidak adanya hubungan antara ketiga tempat tersebut mengindikasikan bahwa tidak terjadi transmisi harga diantara pasar fisik Indonesia, pasar berjangka New York, dan London.
3.
Implikasi model VAR yang dapat diaplikasikan di Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) untuk meningkatkan posisi kakao Indonesia yang lebih baik di pasar dunia adalah membuat kebijakan agar Indonesia dapat menjadi pembentuk harga (price maker) biji kakao dunia. Hal ini dapat tercapai jika melihat segala peluang dan potensi yang dimiliki oleh biji kakao Indonesia sehingga nantinya komoditi ini bisa meningkatkan posisi tawarnya.
7.2. Saran Adapun saran yang dapat disampaikan pada penelitian ini adalah: 1.
Pemerintah hendaknya bekerjasama dengan Askindo dalam memberikan penyuluhan, pelatihan, dan pendampingan kepada seluruh pelaku bisnis kakao baik itu petani maupun pengusaha industri kakao dalam upaya meningkatkan kualitas biji kakao Indonesia dengan cara intensifikasi 71
pertanian dan pengolahan lebih lanjut biji kakao unfermented menjadi biji kakao fermented dan produk turunan kakao lainnya. 2.
Selain meningkatkan kualitas biji kakao Indonesia, industri pengolahan juga penting untuk ditingkatkan. Untuk keperluan tersebut dibutuhkan kebijakan pemerintah yang dapat mendorong pengembangan industri pengolahan biji kakao agar kakao Indonesia mempunyai nilai tambah dan nilai jual yang tinggi di pasar internasional.
3.
Askindo meningkatkan kerjasama dengan pemerintah dalam upaya mengefektifkan bursa berjangka di Indonesia untuk meminimalisir terjadinya fluktuasi harga dan sebagai cara untuk memperbaiki posisi tawar biji kakao Indonesia di perdagangan internasional.
4.
Saran untuk penelitian selanjutnya perlu menganalisis juga mengenai pergerakan harga komoditas turunan kakao lainnya seperti pasta kakao, lemak kakao, dan tepung kakao. Selain itu, dapat juga menganalisis transmisi harga kakao ditempat lain seperti di Pantai Gading dan Ghana sebagai negara penghasil kakao terbesar di dunia serta ditambah variabel yang diduga mempengaruhi pergerakan harga biji kakao seperti nilai tukar mata uang diberbagai negara, tingkat harga internasional serta hal lainnya. Penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi harga kakao di pasar spot Makassar (Indonesia) juga perlu dilakukan untuk penelitian selanjutnya.
72
DAFTAR PUSTAKA Adinugroho MF. 2011. Analisis Transmisi Harga Teh Hitam Grade Dust Indonesia (Dengan Pendekatan Model Vector Autoregression) [Skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Ajija S, Setianto D, Primanti M. 2011. Cara Cerdas Menguasai Eviews. Jakarta: Salemba Empat. Ariyoso. 2010. Integrasi Pasar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Harga Kakao Indonesia [Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. [Bappebti] Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi. Departemen Perdagangan Republik Indonesia. 2011. Gambaran Sekilas Kakao. Jakarta: Sekretariat Jenderal Depdagri. [BPS] Badan Pusat Statistik. Berbagai terbitan 2000-2011. Statistik Makro Ekonomi Indonesia. Jakarta: Badan Pusat Statistik. [BPS] Badan Pusat Statistik. Berbagai terbitan 2009. Statistik Makro Ekonomi Indonesia. Jakarta: Badan Pusat Statistik. Conforti P. 2004. Price Transmission in Selected Agriculture Markets. FAO Commodity and Trade Policy Research Working Paper No. 7. Roma : FAO Information Division. [Ditjenbun] Direktorat Jenderal Perkebunan. Berbagai terbitan 2003-2011. Statistik Perkebunan: Tree Crop Estate Statistics Cocoa. Jakarta: Direktorat Jenderal Perkebunan. Enders W. 1995. Applied Econometrics Time Series. Iowa University. New York: John Willey & Sons, Inc. Fitrianti W. 2009. Analisis Integrasi Pasar Karet Alam antara Pasar Fisik di Indonesia dengan Pasar Berjangkau Dunia [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Gujarati D.N. 2003. Basic Econometrics. New York: MC.Graw-Hill. Hafizah D. 2009. Integrasi Pasar Fisik Crude Palm Oil di Indonesia, Malaysia, dan Pasar Berjangka di Rotterdam [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Harris R. 1995. Cointegration Analysis in Econometric Modelling. New York: Prentice Hall. Hjalmarsson H, Par O. 2007. Testing for Cointegration Using the Johansen Methodology when Variables are Near-Integrated. No 915 Desember 2007: 1-17.
73
Hugida L. 2011. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Volatilitas Harga Saham [Skripsi]. Semarang: Fakultas Ekonomi, Universitas Diponegoro. Hutabarat B. 1999. Sistem Komoditas Bawang Merah dan Cabai Merah. Monograph Series No. 7. Bogor: Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Petanian. [ICCO] International Cocoa Organization. 2011. Annual Report 2009/2010. London: ICCO. Irawan B. 2007. Fluktuasi Harga, Transmisi Harga dan Margin Pemasaran Sayuran dan Buah. Analisis Kebijakan Pertanian. Vol 5. No.4 Desember 2007: 358-373. Iqbal M, Azmi D. 2006. Kebijakan Pengembangan Agribisnis Kakao Melalui Primatani: Kasus Kabupaten Luwu, Provinsi Sulawesi Selatan. Analisis Kebijakan Pertanian. Vol 4. No.1 Maret 2006: 39-53. [Kementan] Kementrian Pertanian. 2011. Statistik Makro Sektor Pertanian 2010. Jakarta: Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian. [Komisi Pengawas Persaingan Usaha]. 2009. Kajian Industri dan Perdagangan Kakao. Jakarta: Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Marras W. 1999. The Occupational Ergonomic Handbook. New York: CRC Press. Nachrowi ND, Usman H. 2006. Pendekatan Populer dan Praktis Ekonometrika Untuk Analisis Ekonomi dan Keuangan. Depok: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. [NYBOT] The New York Board of Trade. 2004. Cocoa: Futures & Option. New York. [Pusdatin] Kementrian Pertanian. 2011. Statistik Makro Sektor Pertanian. Jakarta: Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian. Roesmanto J. 1991. Kakao Kajian Sosial Ekonomi. Yogyakarta: Aditya Media. Salvatore D. 1997. Ekonomi Internasional. Edisi V. Jilid 1 (Terjemahan). Jakarta: Erlangga. Shapiro A, Atulya S. 2009. Multinational Financial Management 6th e.d. Wiley India Pvt Limited: California. Sianturi RD. 2005. Analisis Integrasi Pasar Gula Domestik dan Pasar Gula Dunia serta Pengaruh Adanya Tarif Impor Pendekatan dengan Metode VAR [Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Sims C. 1980. “Macroeconomics and Reality”. Econometrica. Vol. 48. Page 1-48.
74
Sukirno S. 2002. Pengantar Teori Mikro Ekonomi Edisi Ke-3. Jakarta: Rajawali Press. Sumaryanto. 2009. Analisis Volatilitas Harga Eceran Beberapa Komoditas Pangan Utama Dengan Model ARCH/GARCH. Jurnal Agro Ekonomi Vol. 27 No. 2. Oktober 2004: 103-112. Wahyudi T, Pangabean T.R, Pujiyanto, Prawoto A.A. 2008. Paduan Lengkap Kakao Manajemen Agribisnis dari Hulu hingga Hilir. Depok: Penebar Swadaya. Widarjono A. 2010. Ekonometrika Pengantar dan Aplikasinya. Yogyakarta: Ekonisia.
75
LAMPIRAN
76
Lampiran 1. Unit Root Test Tingkat Level
Unit Root Test Pasar Fisik Indonesia Null Hypothesis: LOG(INDO) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 0 (Automatic - based on SIC, maxlag=13)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-2.511317 -4.020396 -3.440059 -3.144465
0.3224
t-Statistic
Prob.*
-2.692199 -4.020822 -3.440263 -3.144585
0.2414
t-Statistic
Prob.*
-2.461740 -4.020396 -3.440059 -3.144465
0.3467
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Unit Root Test Pasar Berjangka LIFFE Null Hypothesis: LOG(LIFFE) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 1 (Automatic - based on SIC, maxlag=13)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Unit Root Test Pasar Berjangka NYBOT Null Hypothesis: LOG(NYBOT) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 0 (Automatic - based on SIC, maxlag=13)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
77
Lampiran 1. Lanjutan
Unit Root Test Tingkat First Difference Unit Root Test Pasar fisik Indonesia Null Hypothesis: D(LOG(INDO)) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 0 (Automatic - based on SIC, maxlag=13)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-11.74221 -4.020822 -3.440263 -3.144585
0.0000
t-Statistic
Prob.*
-9.491952 -4.021254 -3.440471 -3.144707
0.0000
t-Statistic
Prob.*
-11.48697 -4.020822 -3.440263 -3.144585
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Unit Root Test Bursa Berjangka LIFFE Null Hypothesis: D(LOG(LIFFE)) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 1 (Automatic - based on SIC, maxlag=13)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Unit Root Test Bursa Berjangka NYBOT Null Hypothesis: D(LOG(NYBOT)) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 0 (Automatic - based on SIC, maxlag=13)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
78
Lampiran 2. Pengujian Panjang Lag Optimal
VAR Lag Order Selection Criteria Endogenous variables: LOG(INDO) LOG(LIFFE) LOG(NYBOT) Exogenous variables: C Date: 07/02/12 Time: 21:05 Sample: 1 151 Included observations: 143 Lag
LogL
LR
FPE
AIC
SC
HQ
0 1 2 3 4 5 6 7 8
698.2446 1120.751 1165.133 1168.528 1174.221 1180.635 1187.853 1191.231 1194.449
NA 821.3755 84.41889* 6.316236 10.35141 11.39156 12.51813 5.717235 5.310704
1.20e-08 3.70e-11 2.26e-11* 2.44e-11 2.56e-11 2.66e-11 2.73e-11 2.96e-11 3.22e-11
-9.723700 -15.50700 -16.00186* -15.92347 -15.87722 -15.84105 -15.81613 -15.73750 -15.65663
-9.661542 -15.25837 -15.56675* -15.30190 -15.06918 -14.84653 -14.63513 -14.37003 -14.10269
-9.698442 -15.40597 -15.82505* -15.67089 -15.54887 -15.43692 -15.33623 -15.18183 -15.02519
* indicates lag order selected by the criterion LR: sequential modified LR test statistic (each test at 5% level) FPE: Final prediction error AIC: Akaike information criterion SC: Schwarz information criterion HQ: Hannan-Quinn information criterion
79
Lampiran 3. Uji Kointegrasi
Date: 07/02/12 Time: 20:47 Sample (adjusted): 4 151 Included observations: 148 after adjustments Trend assumption: Linear deterministic trend (restricted) Series: LOG(INDO) LOG(LIFFE) LOG(NYBOT) Lags interval (in first differences): 1 to 2 Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace) Hypothesized No. of CE(s)
Eigenvalue
Trace Statistic
0.05 Critical Value
Prob.**
None At most 1 At most 2
0.094580 0.061046 0.034022
29.14989 14.44511 5.122837
42.91525 25.87211 12.51798
0.5530 0.6207 0.5788
Trace test indicates no cointegration at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values Unrestricted Cointegration Rank Test (Maximum Eigenvalue) Hypothesized No. of CE(s)
Eigenvalue
Max-Eigen Statistic
0.05 Critical Value
Prob.**
None At most 1 At most 2
0.094580 0.061046 0.034022
14.70478 9.322270 5.122837
25.82321 19.38704 12.51798
0.6608 0.6909 0.5788
Max-eigenvalue test indicates no cointegration at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values Unrestricted Cointegrating Coefficients (normalized by b'*S11*b=I): LOG(INDO) 6.930132 38.32250 8.531235
LOG(LIFFE) 67.15244 -24.73221 14.21298
LOG(NYBOT) -71.83919 -18.11932 -6.116820
@TREND(2) -0.005475 -0.047144 0.014382
Unrestricted Adjustment Coefficients (alpha): D(LOG(INDO)) D(LOG(LIFFE)) D(LOG(NYBOT))
0.000679 0.000542 0.002804
1 Cointegrating Equation(s):
-0.005682 0.001470 -0.001196
-0.001925 -0.003347 -0.000172
Log likelihood
1209.116
Normalized cointegrating coefficients (standard error in parentheses) LOG(INDO) LOG(LIFFE) LOG(NYBOT) @TREND(2) 1.000000 9.689922 -10.36621 -0.000790 (2.73299) (2.55558) (0.00144)
80
Lampiran 3. Lanjutan Adjustment coefficients (standard error in parentheses) D(LOG(INDO)) 0.004704 (0.01484) D(LOG(LIFFE)) 0.003758 (0.01123) D(LOG(NYBOT)) 0.019429 (0.00584)
2 Cointegrating Equation(s):
Log likelihood
1213.777
Normalized cointegrating coefficients (standard error in parentheses) LOG(INDO) LOG(LIFFE) LOG(NYBOT) @TREND(2) 1.000000 0.000000 -1.090588 -0.001203 (0.13875) (0.00032) 0.000000 1.000000 -0.957244 4.26E-05 (0.06154) (0.00014) Adjustment coefficients (standard error in parentheses) D(LOG(INDO)) -0.213042 0.186103 (0.08128) (0.14936) D(LOG(LIFFE)) 0.060111 4.89E-05 (0.06290) (0.11559) D(LOG(NYBOT)) -0.026407 0.217845 (0.03260) (0.05991)
81
Lampiran 4. Analisis VAR Vector Autoregression Estimates Date: 07/02/12 Time: 17:50 Sample (adjusted): 4 151 Included observations: 148 after adjustments Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ] DLOG(INDO)
DLOG(LIFFE) DLOG(NYBOT)
DLOG(INDO(-1))
-0.181778 (0.12988) [-1.39956]
0.007907 (0.09825) [ 0.08048]
-0.069105 (0.05310) [-1.30148]
DLOG(INDO(-2))
-0.027530 (0.13062) [-0.21077]
0.046223 (0.09880) [ 0.46782]
0.025278 (0.05340) [ 0.47339]
DLOG(LIFFE(-1))
1.022887 (0.11205) [ 9.12867]
0.160562 (0.08476) [ 1.89430]
0.986755 (0.04581) [ 21.5410]
DLOG(LIFFE(-2))
0.084517 (0.22843) [ 0.37000]
-0.018084 (0.17279) [-0.10466]
0.204256 (0.09338) [ 2.18728]
DLOG(NYBOT(-1))
-0.004193 (0.26196) [-0.01601]
-0.167780 (0.19816) [-0.84670]
-0.169545 (0.10709) [-1.58316]
DLOG(NYBOT(-2))
0.121745 (0.17967) [ 0.67760]
-0.153871 (0.13591) [-1.13217]
0.011452 (0.07345) [ 0.15592]
C
-0.000220 (0.00219) [-0.10065]
-0.002841 (0.00166) [-1.71593]
-0.000522 (0.00089) [-0.58321]
0.382439 0.356160 0.095110 0.025972 14.55294 333.8921 -4.417461 -4.275701 -0.002611 0.032368
0.077389 0.038129 0.054422 0.019646 1.971190 375.2044 -4.975735 -4.833975 -0.002405 0.020032
0.779164 0.769767 0.015895 0.010618 82.91404 466.2783 -6.206464 -6.064704 -0.002632 0.022128
R-squared Adj. R-squared Sum sq. resids S.E. equation F-statistic Log likelihood Akaike AIC Schwarz SC Mean dependent S.D. dependent
Determinant resid covariance (dof adj.) Determinant resid covariance Log likelihood Akaike information criterion Schwarz criterion
2.05E-11 1.78E-11 1201.763 -15.95626 -15.53098
82
Lampiran 5. Analisis Respon Impuls Response of DLOG (INDO): Period 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
DLOG(INDO) 0.025972 (0.00151) -0.002415 (0.00314) 0.000218 (0.00333) 0.000220 (0.00206) -5.18E-05 (0.00044) -0.000192 (0.00039) 2.05E-05 (0.00026) 2.46E-05 (8.8E-05) 2.40E-05 (7.9E-05) -2.85E-06 (4.4E-05) -6.64E-06 (1.9E-05) -3.51E-06 (1.6E-05) 9.30E-07 (7.5E-06) 1.41E-06 (4.3E-06) 4.83E-07 (3.2E-06) -2.59E-07 (1.3E-06) -2.73E-07 (9.7E-07) -5.69E-08 (6.1E-07) 6.39E-08 (2.6E-07) 4.95E-08 (2.1E-07) 4.07E-09 (1.1E-07) -1.44E-08 (5.7E-08) -8.45E-09 (4.4E-08) 5.07E-10 (2.1E-08) 3.04E-09 (1.3E-08) 1.34E-09 (8.9E-09) -3.30E-10 (3.9E-09) -6.07E-10 (2.8E-09) -1.94E-10 (1.7E-09) 1.03E-10 (7.6E-10)
DLOG(LIFFE) 0.000000 (0.00000) 0.019962 (0.00248) 0.001166 (0.00274) -0.001068 (0.00253) -0.002813 (0.00156) -0.000383 (0.00076) 0.000479 (0.00062) 0.000473 (0.00048) 3.06E-05 (0.00023) -0.000120 (0.00018) -7.83E-05 (0.00013) 3.99E-06 (5.8E-05) 2.63E-05 (4.7E-05) 1.24E-05 (3.0E-05) -2.73E-06 (1.4E-05) -5.33E-06 (1.2E-05) -1.80E-06 (6.6E-06) 8.75E-07 (3.4E-06) 1.02E-06 (2.8E-06) 2.24E-07 (1.4E-06) -2.25E-07 (8.1E-07) -1.85E-07 (6.2E-07) -1.84E-08 (2.8E-07) 5.19E-08 (1.9E-07) 3.18E-08 (1.3E-07) -1.19E-09 (5.7E-08) -1.11E-08 (4.4E-08) -5.12E-09 (2.7E-08) 1.09E-09 (1.2E-08) 2.23E-09 (9.8E-09)
DLOG(NYBOT) 0.000000 (0.00000) -3.75E-05 (0.00234) -0.000433 (0.00251) -0.001621 (0.00135) 0.000291 (0.00034) 0.000286 (0.00037) 0.000185 (0.00026) -5.33E-05 (9.6E-05) -6.59E-05 (9.7E-05) -2.47E-05 (5.8E-05) 1.34E-05 (2.8E-05) 1.31E-05 (2.5E-05) 2.81E-06 (1.2E-05) -3.20E-06 (7.4E-06) -2.40E-06 (6.0E-06) -1.92E-07 (2.6E-06) 7.14E-07 (1.9E-06) 4.10E-07 (1.3E-06) -2.69E-08 (5.3E-07) -1.50E-07 (4.5E-07) -6.51E-08 (2.8E-07) 1.66E-08 (1.2E-07) 2.98E-08 (1.0E-07) 9.34E-09 (5.5E-08) -5.13E-09 (2.7E-08) -5.63E-09 (2.3E-08) -1.12E-09 (1.1E-08) 1.30E-09 (6.2E-09) 1.01E-09 (4.9E-09) 7.81E-11 (2.0E-09)
83
Lampiran 5. Lanjutan Response of DLOG (LIFFE): Period 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
DLOG(INDO) 0.002278 (0.00161) -0.000386 (0.00204) 0.000287 (0.00198) -0.000156 (0.00054) -0.000172 (0.00050) 7.79E-06 (0.00027) 4.32E-05 (0.00011) 2.32E-05 (9.8E-05) -3.68E-06 (4.9E-05) -9.05E-06 (2.4E-05) -3.52E-06 (2.0E-05) 1.33E-06 (8.5E-06) 1.77E-06 (5.5E-06) 4.65E-07 (3.8E-06) -3.59E-07 (1.6E-06) -3.29E-07 (1.2E-06) -4.69E-08 (7.2E-07) 8.54E-08 (3.2E-07) 5.77E-08 (2.6E-07) 7.68E-10 (1.3E-07) -1.86E-08 (7.0E-08) -9.52E-09 (5.4E-08) 1.38E-09 (2.4E-08) 3.82E-09 (1.6E-08) 1.45E-09 (1.1E-08) -5.36E-10 (4.6E-09) -7.43E-10 (3.5E-09) -1.94E-10 (2.0E-09) 1.48E-10 (9.3E-10) 1.37E-10 (7.4E-10)
DLOG(LIFFE) 0.019514 (0.00113) 0.003207 (0.00167) -0.002855 (0.00165) -0.002976 (0.00150) -0.000438 (0.00083) 0.000723 (0.00064) 0.000525 (0.00053) 1.32E-05 (0.00026) -0.000162 (0.00020) -8.66E-05 (0.00015) 1.07E-05 (6.9E-05) 3.35E-05 (5.7E-05) 1.33E-05 (3.5E-05) -4.46E-06 (1.7E-05) -6.57E-06 (1.4E-05) -1.82E-06 (7.6E-06) 1.26E-06 (4.1E-06) 1.22E-06 (3.3E-06) 1.96E-07 (1.6E-06) -3.05E-07 (1.0E-06) -2.16E-07 (7.4E-07) -7.33E-09 (3.3E-07) 6.75E-08 (2.4E-07) 3.60E-08 (1.6E-07) -4.26E-09 (6.8E-08) -1.40E-08 (5.4E-08) -5.56E-09 (3.2E-08) 1.83E-09 (1.4E-08) 2.74E-09 (1.2E-08) 7.63E-10 (6.2E-09)
DLOG(NYBOT) 0.000000 (0.00000) -0.001501 (0.00177) -0.001363 (0.00121) 0.000224 (0.00039) 0.000443 (0.00041) 0.000171 (0.00026) -6.76E-05 (0.00012) -8.62E-05 (0.00012) -2.27E-05 (6.3E-05) 1.79E-05 (3.4E-05) 1.60E-05 (3.0E-05) 2.23E-06 (1.4E-05) -4.22E-06 (9.1E-06) -2.81E-06 (7.1E-06) -2.22E-08 (2.9E-06) 9.18E-07 (2.3E-06) 4.63E-07 (1.6E-06) -7.07E-08 (6.3E-07) -1.88E-07 (5.6E-07) -7.01E-08 (3.2E-07) 2.68E-08 (1.4E-07) 3.64E-08 (1.3E-07) 9.32E-09 (6.4E-08) -7.33E-09 (3.3E-08) -6.72E-09 (2.8E-08) -9.35E-10 (1.2E-08) 1.74E-09 (7.8E-09) 1.18E-09 (5.8E-09) 1.21E-11 (2.4E-09) -3.81E-10 (1.8E-09)
84
Lampiran 5. Lanjutan Response of DLOG (NYBOT): Period DLOG(INDO) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
0.005705 (0.00081) -0.000514 (0.00193) 0.001060 (0.00228) -5.77E-05 (0.00196) -8.28E-05 (0.00047) -0.000179 (0.00044) 1.39E-05 (0.00028) 3.35E-05 (9.8E-05) 2.51E-05 (9.0E-05) -3.78E-06 (4.8E-05) -7.95E-06 (2.2E-05) -3.63E-06 (1.8E-05) 1.19E-06 (8.2E-06) 1.63E-06 (5.0E-06) 4.86E-07 (3.6E-06) -3.21E-07 (1.5E-06) -3.08E-07 (1.1E-06) -5.27E-08 (6.8E-07) 7.71E-08 (3.0E-07) 5.49E-08 (2.4E-07) 2.33E-09 (1.3E-07) -1.70E-08 (6.5E-08) -9.19E-09 (5.0E-08) 1.00E-09 (2.3E-08) 3.53E-09 (1.5E-08) 1.42E-09 (1.0E-08) -4.50E-10 (4.3E-09) -6.93E-10 (3.2E-09) -1.97E-10 (1.9E-09) 1.30E-10 (8.7E-10)
DLOG(LIFFE) DLOG(NYBOT) -0.000443 (0.00074) 0.019330 (0.00144) 0.002489 (0.00187) -0.001939 (0.00180) -0.003060 (0.00148) -0.000377 (0.00079) 0.000609 (0.00063) 0.000516 (0.00052) 1.92E-05 (0.00025) -0.000144 (0.00019) -8.47E-05 (0.00014) 7.98E-06 (6.6E-05) 3.07E-05 (5.3E-05) 1.31E-05 (3.3E-05) -3.75E-06 (1.6E-05) -6.11E-06 (1.3E-05) -1.84E-06 (7.3E-06) 1.11E-06 (3.9E-06) 1.15E-06 (3.1E-06) 2.12E-07 (1.5E-06) -2.74E-07 (9.3E-07) -2.06E-07 (7.0E-07) -1.26E-08 (3.1E-07) 6.15E-08 (2.2E-07) 3.47E-08 (1.5E-07) -2.91E-09 (6.4E-08) -1.29E-08 (5.0E-08) -5.45E-09 (3.0E-08) 1.52E-09 (1.4E-08) 2.55E-09 (1.1E-08)
0.008944 (0.00052) -0.001516 (0.00096) -0.001119 (0.00190) -0.001450 (0.00122) 0.000277 (0.00033) 0.000359 (0.00039) 0.000189 (0.00027) -6.53E-05 (0.00011) -7.73E-05 (0.00011) -2.44E-05 (6.3E-05) 1.64E-05 (3.2E-05) 1.49E-05 (2.8E-05) 2.57E-06 (1.4E-05) -3.84E-06 (8.5E-06) -2.66E-06 (6.7E-06) -1.04E-07 (2.9E-06) 8.41E-07 (2.2E-06) 4.46E-07 (1.5E-06) -5.16E-08 (6.1E-07) -1.74E-07 (5.2E-07) -6.90E-08 (3.1E-07) 2.25E-08 (1.3E-07) 3.40E-08 (1.2E-07) 9.49E-09 (6.1E-08) -6.44E-09 (3.1E-08) -6.34E-09 (2.6E-08) -1.03E-09 (1.2E-08) 1.57E-09 (7.2E-09) 1.12E-09 (5.5E-09) 4.28E-11 (2.3E-09)
85
Lampiran 5. Lanjutan Effect of Cholesky (d.f. adjusted) One S.D DLOG(INDO) Innovation Period 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
DLOG(LIFFE) 0.002278 (0.00161) -0.000386 (0.00204) 0.000287 (0.00198) -0.000156 (0.00054) -0.000172 (0.00050) 7.79E-06 (0.00027) 4.32E-05 (0.00011) 2.32E-05 (9.8E-05) -3.68E-06 (4.9E-05) -9.05E-06 (2.4E-05) -3.52E-06 (2.0E-05) 1.33E-06 (8.5E-06) 1.77E-06 (5.5E-06) 4.65E-07 (3.8E-06) -3.59E-07 (1.6E-06) -3.29E-07 (1.2E-06) -4.69E-08 (7.2E-07) 8.54E-08 (3.2E-07) 5.77E-08 (2.6E-07) 7.68E-10 (1.3E-07) -1.86E-08 (7.0E-08) -9.52E-09 (5.4E-08) 1.38E-09 (2.4E-08) 3.82E-09 (1.6E-08) 1.45E-09 (1.1E-08) -5.36E-10 (4.6E-09) -7.43E-10 (3.5E-09) -1.94E-10 (2.0E-09) 1.48E-10 (9.3E-10) 1.37E-10 (7.4E-10)
DLOG(NYBOT) 0.005705 (0.00081) -0.000514 (0.00193) 0.001060 (0.00228) -5.77E-05 (0.00196) -8.28E-05 (0.00047) -0.000179 (0.00044) 1.39E-05 (0.00028) 3.35E-05 (9.8E-05) 2.51E-05 (9.0E-05) -3.78E-06 (4.8E-05) -7.95E-06 (2.2E-05) -3.63E-06 (1.8E-05) 1.19E-06 (8.2E-06) 1.63E-06 (5.0E-06) 4.86E-07 (3.6E-06) -3.21E-07 (1.5E-06) -3.08E-07 (1.1E-06) -5.27E-08 (6.8E-07) 7.71E-08 (3.0E-07) 5.49E-08 (2.4E-07) 2.33E-09 (1.3E-07) -1.70E-08 (6.5E-08) -9.19E-09 (5.0E-08) 1.00E-09 (2.3E-08) 3.53E-09 (1.5E-08) 1.42E-09 (1.0E-08) -4.50E-10 (4.3E-09) -6.93E-10 (3.2E-09) -1.97E-10 (1.9E-09) 1.30E-10 (8.7E-10)
86
Lampiran 6. Analisis Dekomposisi Ragam Variance Decomposition of DLOG (INDO): Period 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
S.E.
DLOG(INDO)
DLOG(LIFFE)
DLOG(NYBOT)
0.025972 0.032846 0.032870 0.032928 0.033049 0.033053 0.033057 0.033061 0.033061 0.033061 0.033061 0.033061 0.033061 0.033061 0.033061 0.033061 0.033061 0.033061 0.033061 0.033061 0.033061 0.033061 0.033061 0.033061 0.033061 0.033061 0.033061 0.033061 0.033061 0.033061
100.0000 63.06420 62.97548 62.75822 62.29890 62.28715 62.27214 62.25923 62.25895 62.25810 62.25774 62.25773 62.25769 62.25768 62.25768 62.25768 62.25768 62.25768 62.25768 62.25768 62.25768 62.25768 62.25768 62.25768 62.25768 62.25768 62.25768 62.25768 62.25768 62.25768
0.000000 36.93567 37.00705 36.98195 37.43544 37.43975 37.45170 37.46440 37.46428 37.46509 37.46543 37.46543 37.46547 37.46547 37.46547 37.46548 37.46548 37.46548 37.46548 37.46548 37.46548 37.46548 37.46548 37.46548 37.46548 37.46548 37.46548 37.46548 37.46548 37.46548
0.000000 0.000130 0.017476 0.259835 0.265663 0.273108 0.276163 0.276366 0.276762 0.276814 0.276829 0.276844 0.276845 0.276846 0.276846 0.276846 0.276846 0.276846 0.276846 0.276847 0.276847 0.276847 0.276847 0.276847 0.276847 0.276847 0.276847 0.276847 0.276847 0.276847
87
Lampiran 6. Lanjutan Variance Decomposition of DLOG (LIFFE): Period 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
S.E.
DLOG(INDO)
DLOG(LIFFE)
DLOG(NYBOT)
0.019646 0.019966 0.020218 0.020437 0.020448 0.020461 0.020468 0.020468 0.020469 0.020469 0.020469 0.020469 0.020469 0.020469 0.020469 0.020469 0.020469 0.020469 0.020469 0.020469 0.020469 0.020469 0.020469 0.020469 0.020469 0.020469 0.020469 0.020469 0.020469 0.020469
1.344599 1.339174 1.326220 1.303657 1.309413 1.307699 1.307263 1.307367 1.307287 1.307282 1.307283 1.307280 1.307280 1.307280 1.307280 1.307280 1.307280 1.307280 1.307280 1.307280 1.307280 1.307280 1.307280 1.307280 1.307280 1.307280 1.307280 1.307280 1.307280 1.307280
98.65540 98.09596 97.66834 97.70038 97.64862 97.64472 97.64477 97.64291 97.64293 97.64288 97.64282 97.64282 97.64282 97.64282 97.64282 97.64282 97.64282 97.64282 97.64282 97.64282 97.64282 97.64282 97.64282 97.64282 97.64282 97.64282 97.64282 97.64282 97.64282 97.64282
0.000000 0.564863 1.005444 0.995967 1.041963 1.047585 1.047970 1.049723 1.049779 1.049836 1.049897 1.049895 1.049899 1.049901 1.049900 1.049901 1.049901 1.049901 1.049901 1.049901 1.049901 1.049901 1.049901 1.049901 1.049901 1.049901 1.049901 1.049901 1.049901 1.049901
88
Lampiran 6. Lanjutan Variance Decomposition of DLOG (NYBOT): Period 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
S.E.
DLOG(NYBOT)
DLOG(LIFFE)
DLOG(INDO)
0.010618 0.022112 0.022305 0.022436 0.022646 0.022653 0.022662 0.022668 0.022668 0.022668 0.022668 0.022668 0.022668 0.022668 0.022668 0.022668 0.022668 0.022668 0.022668 0.022668 0.022668 0.022668 0.022668 0.022668 0.022668 0.022668 0.022668 0.022668 0.022668 0.022668
28.86648 6.709498 6.819900 6.741102 6.618284 6.620613 6.615413 6.612139 6.612172 6.611899 6.611814 6.611813 6.611801 6.611799 6.611799 6.611798 6.611798 6.611798 6.611798 6.611798 6.611798 6.611798 6.611798 6.611798 6.611798 6.611798 6.611798 6.611798 6.611798 6.611798
0.174240 76.45985 76.38785 76.24450 76.66573 76.64820 76.65965 76.67093 76.66996 76.67081 76.67109 76.67106 76.67110 76.67111 76.67111 76.67111 76.67111 76.67111 76.67111 76.67111 76.67111 76.67111 76.67111 76.67111 76.67111 76.67111 76.67111 76.67111 76.67111 76.67111
70.95928 16.83066 16.79225 17.01440 16.71599 16.73119 16.72493 16.71693 16.71787 16.71729 16.71709 16.71713 16.71710 16.71709 16.71710 16.71709 16.71709 16.71709 16.71709 16.71709 16.71709 16.71709 16.71709 16.71709 16.71709 16.71709 16.71709 16.71709 16.71709 16.71709
89