UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISA INTEGRASI PASAR DAN TRANSMISI HARGA BERAS PETANI-KONSUMEN DI INDONESIA
TESIS
FIRDAUSSY YUSTININGSIH 1006741513
FAKULTAS EKONOMI PROGRAM STUDI MAGISTER PERENCANAAN DAN KEBIJAKAN PUBLIK JAKARTA DESEMBER 2012
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISA INTEGRASI PASAR DAN TRANSMISI HARGA BERAS PETANI-KONSUMEN DI INDONESIA
TESIS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Ekonomi
FIRDAUSSY YUSTININGSIH 1006741513
FAKULTAS EKONOMI PROGRAM STUDI MAGISTER PERENCANAAN DAN KEBIJAKAN PUBLIK KEKHUSUSAN EKONOMI PERSAINGAN USAHA JAKARTA DESEMBER 2012
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Saya yang bertanda tangan di bawah ini dengan sebenarnya menyatakan bahwa tesis ini saya susun tanpa tindakan plagiarism sesuai dengan peraturan yang berlaku di Universitas Indonesia. Jika di kemudian hari ternyata saya melakukan tindakan Plagiarisme, saya akan bertanggung jawab sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatuhkan oleh Universitas Indonesia kepada saya.
Jakarta, 28 Desember 2012
(Firdaussy Yustiningsih)
ii
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.
Nama
: Firdaussy Yustiningsih
NPM
: 1006741513
Tanda Tangan
:
Tanggal
: Desember 2012
iii
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
HALAMAN PENGESAHAN
Tesis ini diajukan oleh : Nama : NPM : Program Studi : Judul Tesis :
Firdaussy Yustiningsih 1006741513 Magister Perencanaan Dan Kebijakan Publik Analisa Integrasi Pasar dan Transmisi Harga Beras Petani-Konsumen di Indonesia
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister Ekonomi pada Program Studi Magister Perencanaan Dan Kebijakan Publik, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia.
DEWAN PENGUJI
Pembimbing
:
Dr. Ir. Widyono Soetjipto M.Sc
(
)
Penguji
:
Iman Rozani S.E., M.Sc
(
)
Penguji
:
Dr. Aris Yunanto S.TP., M.S.E
(
)
Ditetapkan di
:
Jakarta
Tanggal
:
Desember 2012
iv
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan rahmatNya, saya dapat menyelesaikan tesis ini. Penulisan tesis ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister Ekonomi Program Studi Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik pada Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Saya menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan tesis ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan tesis ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : (1) Bapak Dr. Widyono Soetjipto, selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam penyusunan tesis ini; (2) Bapak Iman Rozani S.E., M.Sc dan Bapak Dr. Aris Yunanto, selaku dosen penguji tesis, yang telah memberikan masukan terhadap isi tesis ini; (3) Bapak Dr. Riyanto, selaku narasumber, yang telah memberikan masukan dan bantuan terkait model ekonometri yang digunakan dalam tesis ini; (4) Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia (KPPU), yang telah menyediakan dana beasiswa untuk menempuh studi S-2 pada Program Studi Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia; (5) Bapak Mulangin dari BPS dan Bapak Eri dari PT. Food Station Cipinang, yang telah mendukung perolehan data dalam tesis ini; (6) Bapak Taufik Ariyanto, selaku Kepala Biro Pengkajian, atas ide, arahan, dan masukannya selama penulisan tesis ini; (7) Suami, orang tua, dan keluarga tercinta, atas doa, dukungan, dan bantuannyanya selama penulisan tesis ini; (8) Mas Daniel, Mba Riris, Mba Nuring, Mba Indar, Mba Noor, dan rekan-rekan KPPU yang telah banyak membantu selama masa perkuliahan dan penyusunan tesis ini v
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
(9) Liasari, Wiwit, Vidi, Mba Febby, Mba Endang, Mba Metty, Mba Ita, Mba Leni, Mba Indi, Mba Ance, dan seluruh rekan-rekan MPKP FEUI Angkatan XXIII Sore yang telah menjadi teman dan sahabat seperjuangan selama masa perkuliahan ini. Akhir kata, saya berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga tesis ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.
Jakarta,
Desember 2012
Penulis
vi
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Sebagai civitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: Firdaussy Yustiningsih
NPM
: 1006741513
Kekhususan
: Ekonomi Persaingan Usaha
Program Studi
: Magister Perencanaan Dan Kebijakan Publik
Fakultas
: Ekonomi
Jenis Karya
: Tesis
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive RoyaltyFree Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul : Analisa Integrasi Pasar dan Transmisi Harga Beras Petani-Konsumen di Indonesia beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif
ini
Universitas
Indonesia
berhak
menyimpan,
mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di
: Jakarta
Pada Tanggal : ___ Desember 2012 Yang menyatakan
(Firdaussy Yustiningsih)
vii
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
ABSTRAK Nama Program Studi Judul Tesis
: : :
Firdaussy Yustiningsih Magister Perencanaan Dan Kebijakan Publik Analisa Integrasi Pasar dan Transmisi Harga Beras PetaniKonsumen di Indonesia
Tesis ini dilatarbelakangi oleh fenomena disparitas harga beras Indonesia yang semakin melebar antara level petani dengan level konsumen, sejak tahun 1998. Padahal, sebagai komoditas yang strategis, kebijakan perberasan seharusnya mampu menjamin harga beras yang tinggi di level petani namun tetap terjangkau di level konsumen. Tujuan penelitian ini adalah (1) untuk melakukan analisis pergerakan harga gabah kering panen (GKP) di level petani dengan harga beras di level konsumen, dengan menggunakan pendekatan teori Asymmetric Price Transmission, dan (2) menjelaskan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat integrasi pasar dan transmisi harga beras petani – konsumen, yang dikaitkan dengan kondisi struktur dan perilaku pedagang perantara beras di Indonesia. Model yang digunakan dalam analisa adalah model error correction (ECM), yang diestimasi dari pergerakan data harga GKP di level petani dengan harga beras di level konsumen. Data yang digunakan adalah data sekunder bulanan dengan rentang waktu (time series) dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2011. Hasil pendugaan model menunjukkan bahwa dalam jangka pendek transmisi harga GKP petani terhadap harga beras konsumen bersifat simetris, sementara dalam jangka panjang bersifat asimetris. Fenomena transmisi harga tidak simetris pada jangka panjang disebabkan oleh dua hal, yaitu (1) penyalahgunaan market power oleh pedagang perantara, dan (2) kebijakan Pemerintah. Pedagang perantara mendapatkan market power dari kondisi struktur pasar yang bersifat oligopolistik, dimana jumlah pedagang perantara relatif lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah petani dan konsumen. Hal ini menyebabkan pedagang perantara memiliki posisi tawar yang lebih tinggi, sehingga memudahkan pedagang perantara untuk mengendalikan harga. Dalam hal kebijakan Pemerintah, berbagai kebijakan perberasan dirancang untuk mengintervensi harga di level petani agar berada di atas level harga Pemerintah, sementara harga di level konsumen diserahkan kepada mekanisme pasar. Hal ini menimbulkan persepsi pedagang perantara bahwa penurunan harga GKP petani hanya bersifat sementara, sehingga pedagang perantara tidak segera bereaksi terhadap penurunan harga GKP petani. Kata kunci : Integrasi pasar, transmisi harga vertikal, rantai pemasaran beras, market power, Indonesia
viii
Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
ABSTRACT Name Study Program Title
: : :
Firdaussy Yustiningsih Master of Planning and Public Policy Analysis of Market Integration and Price Transmission on Farm - Retail Rice Price in Indonesia
The background of this thesis is due to the price disparity between the farm level and the consumer retail in rice sectors in Indonesia. The anomaly is the price disparity has widened after the liberalization of the rice market in 1998. As a strategic commodity in Indonesia, the government should develop a policy that can guarantee the price of rice is high at the farmers level and remain affordable at the consumer level. The goal of this research is (1) to analyze the price transmission between the farm level and the consumer level in rice sector, by using the Asymmetric Price Transmission approach, and (2) to explain the factors that affect the level of market integration and rice price transmission between the farm level and the consumers level, which associated with the condition of the structure and behavior of Indonesian rice middle man. The model used in the analysis is the error correction model (ECM), which is estimated from the movements of rice price in the farm level with the consumer level. The data used are monthly price in each level from 2000 to 2011. Based on the model, the price transmission from the farm level to the consumer level is symmetric in the short term. Meanwhile in the long term, the price transmission is asymmetric. It means that the price transmission is caused by the long term factors, such as abuse of market power by the middle man and the government policy. Middle man get their market power from the market structure of the middle man level which lead to oligopolistic market, where the number of middlemen are relatively few compared to the number of farmers and consumers. This causes the middle man has a higher bargaining position, so they can easily control the prices. In terms of policy, the Indonesian government prefer to give more protection to farmer than to consumer. In the farm level, government made the Government Purchase Price Policy which aims to ensure that the farmer always get a better price (high price) by selling their rice. While, prices at the consumer level left to the market mechanism. This gives the perception in the middle man level that the falling price in the farm level only temporary, because the government will immediately intervene the market. This makes the middle man not immediately react for the falling prices in the farm level. On the other hand, the middle man believe that the rising price in the farm level is permanent, so they will increase the rice price in the consumers level immediately. Keywords : Market integration, vertical price transmission, marketing chain of rice, market power, Indonesia ix
Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ……………………………………………….……. SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ……………………. HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS …………..………….... HALAMAN PENGESAHAN …………………………………………… KATA PENGANTAR …………………………………………………… HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ……….. ABSTRAK ……………………………………………………………….. DAFTAR ISI …………………………………………………………….. DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………. DAFTAR TABEL ………………………………………………………..
i ii iii iv v vii viii x xii xiii
1. PENDAHULUAN …………………………………………………... 1.1. Latar Belakang …………………………………………………. 1.2. Perumusan Masalah Penelitian ……………………………….. 1.3. Tujuan Penelitian ……………………………………………… 1.4. Manfaat Penelitian …………………………………………….. 1.5. Hipotesa ………………………………………………………... 1.6. Metodologi Penelitian …………………………………………. 1.6.1. Data-Data yang Digunakan ……………………………. 1.6.2. Metode Analisis ………………………………………… 1.6.3. Ruang Lingkup Penelitian …………………………….. 1.7. Sistematika Penelitian …………………………………………. 1.8. Kerangka Penelitian ………………………………….…………. 2. TINJAUAN LITERATUR …………………………………………. 2.1. Teori Integrasi Pasar dan Transmisi Harga …………………… 2.2. Asymmetric Vertical Price Transmission ………………………. 2.3. Penyebab Asymmetric Vertical Price Transmission …………… 2.3.1. Market Power dan Struktur Pasar Persaingan Tidak Sempurna ………………………………………………. 2.3.2. Adjustment Cost atau Menu Cost ………………………. 2.3.3. Return to Scale dalam Produksi ………………………... 2.3.4. Karakteristik Produk …………………………………… 2.3.5. Kebijakan Pemerintah …………………………………. 2.4. Penelitian Terdahulu …………………………………………… 3. GAMBARAN PERBERASAN INDONESIA ……………………... 3.1. Gap Antara Pola Produksi dan Konsumsi Beras ……………… 3.2. Gambaran Distribusi Beras di Indonesia ……………………… 3.3. Kebijakan Perberasan Indonesia ……………………………..... 3.3.1. Kebijakan Produksi …………………………………….. 3.3.2. Kebijakan Harga ………………………………………... 3.3.3. Kebijakan Impor ……………………………………….. 3.3.4. Kebijakan Distribusi ……………………………………. 3.4. Kebijakan Pemerintah dan Perkembangan Harga …………..... 3.5. Kebijakan Pemerintah dan Peningkatan Produksi …….………
1 1 5 5 6 6 6 6 7 8 8 9 12 12 16 21
x
22 26 28 29 30 31 35 36 39 44 46 49 53 55 59 61
Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
4. METODOLOGI PENELITIAN …………………………………… 4.1. Cakupan Penelitian ……………………………………………. 4.2. Metode Analisis ………………………………………………... 4.3. Tahapan Pengujian …………………………………………….. 4.3.1. Tes Stasioner …………………………………………… 4.3.2. Tes Kointegrasi …………………………………………. 4.3.3. Tes Kausalitas …………………………………………... 4.3.4. Model Simetris Error Correction Model (ECM) ………. 4.3.5. Tes Asimetri ……………………………………………. 4.4. Keterbatasan Penelitian ………………………………………... 5. HASIL DAN PEMBAHASAN ……………………………………... 5.1. Analisa Data Deskriptif ………………………………………… 5.2. Analisa Time Series …………………………………………….. 5.2.1. Uji Stasioner ……………………………………………. 5.2.2. Uji Kointegrasi ………………………………………….. 5.3. Estimasi Model Asimetris ……………………………………… 5.3.1. Uji Kausalitas …………………………………………… 5.3.2. Uji Model Simetris ……………………………………… 5.3.3. Uji Model Asimetris ……………………………………. 5.4. Analisa Faktor Penyebab Transmisi Harga Asimetris ………… 5.4.1. Biaya Penyesuaian ……………………………………… 5.4.2. Kebijakan Pemerintah dan Perilaku Pedagang Perantara. 5.4.3. Market Power dan Struktur Pasar ……………………… 6. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI …………………………... 6.1. Kesimpulan ……………………………………………………... 6.2. Rekomendasi …………………………………………………….
65 65 68 70 70 72 74 76 77 80 82 82 86 86 90 91 91 93 95 107 107 108 111 116 116 117
DAFTAR REFERENSI …………………………………..……………...
120
xi
Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1. Perbandingan Harga Beras Petani-Konsumen …………….
2
Gambar 1.2. Kerangka Penelitian …………………………………………
10
Gambar 2.1. Transmisi Harga Tidak Simetris Dari Sisi Kecepatan dan Besaran ……………………………………………………...
17
Gambar 2.2. Transmisi Harga Tidak Simetris Positif dan Negatif ……...
20
Gambar 3.1. Pola Produksi dan Konsumsi Beras di Indonesia ………….
38
Gambar 3.2. Rantai Pemasaran Beras di Indonesia ……………………...
42
Gambar 3.3. Rantai Distribusi Beras di Pulau Jawa ……………………..
44
Gambar 3.4. Kurva Pembentukan Harga Dasar Gabah ………………….
51
Gambar 3.5. Kurva Pembelian Harga Dasar Pembelian Pemerintah ……
52
Gambar 3.6. Interaksi Pergerakkan Harga Beras dan Kebijakan Perberasan Indonesia ……………………………………………………. 60 Gambar 3.7. Pertumbuhan Luas Areal Tanam Padi di Indonesia ……….
62
Gambar 3.8. Pertumbuhan Produktivitas Lahan Padi di Indonesia ……..
63
Gambar 3.9. Pertumbuhan Produksi Padi di Indonesia ………………….
63
Gambar 4.1. Tahapan Analisa …………………………………………....
80
Gambar 5.1. Pergerakan Harga GKP Petani dan Harga Beras Eceran Konsumen Periode 2000 – 2011 ……………………………
82
Gambar 5.2. Kondisi Supply-Demand saat ECT+ ...................................
104
Gambar 5.3. Kondisi Supply-Demand saat ECT- ...................................
105
Gambar 5.4. Struktur Pasar Gabah dan Beras di Setiap Level Pemasaran.
114
xii
Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1. Perbandingan Jumlah Produksi dan Konsumsi Beras Indonesia... 37 Tabel 3.2. Program Peningkatan Produksi Padi Pemerintah Periode 1959 – 2007 …………………………………………………….
47
Tabel 5.1. Uji Stasioneritas Data Harga GKP Petani pada level dengan ADF Test …………………………………………………….....
86
Tabel 5.2. Uji Stasioneritas Data Harga GKP Petani pada level dengan PP Test ………………………………………………………....
87
Tabel 5.3. Uji Stasioneritas Data Harga GKP Petani pada first difference dengan ADF Test ……………………………………………....
88
Tabel 5.4. Uji Stasioneritas Data Harga GKP Petani pada first difference dengan PP Test ………………………………………………...
88
Tabel 5.5. Uji Stasioneritas Data Harga Beras Konsumen pada level dengan ADF Test ………………………………….……………
88
Tabel 5.6. Uji Stasioneritas Data Harga Beras Konsumen pada level dengan PP Test ………………………………………………....
89
Tabel 5.7. Uji Stasioneritas Data Harga Beras Konsumen pada first difference dengan ADF Test ……………………………………
89
Tabel 5.8. Uji Stasioneritas Data Harga Beras Konsumen pada first difference dengan PP Test ……………………………………...
89
Tabel 5.9. Hasil Uji Kointegrasi pada data Harga GKP Petani dan Harga Beras Konsumen …………………………………………….....
91
Tabel 5.10. Hasil Uji Kausalitas dengan Metode Granger Test ……………
92
Tabel 5.11. Hasil Estimasi Model Simetris …………………………………
93
Tabel 5.12. Hasil Estimasi Model Asimetris Sederhana dengan Metode Granger-Lee …………………………………………………….
95
Tabel 5.13. Hasil Pengujian Koefisien Model Asimetris Sederhana ……...
96
Tabel 5.14. Hasil Estimasi Model Asimetris Kompleks dengan Metode Von Cramon-Taubadel dan Loy ………………….……………
99
xiii
Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
Tabel 5.15. Hasil Pengujian Koefisien Variabel Harga GKP Petani Periode t pada Model Asimetris Kompleks ……………………………... 100 Tabel 5.16. Hasil Pengujian Koefisien Variabel Harga GKP Petani Periode t-1 pada Model Asimetris Kompleks ……………………………... 101 Tabel 5.17. Hasil Pengujian Koefisien Variabel Harga Beras Konsumen pada Periode t-1 pada Model Asimetris Kompleks …….…………… 101 Tabel 5.18. Hasil Pengujian Koefisien Transmisi Harga Jangka Panjang pada Model Asimetris Kompleks ………………………………
xiv
102
Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Beras merupakan komoditas penting bagi penduduk Indonesia. Program diversifikasi pangan yang gagal dilakukan Pemerintah menyebabkan peran beras sebagai sumber karbohidrat utama belum tergantikan oleh jenis pangan lainnya. Tingginya tingkat ketergantungan penduduk Indonesia akan beras menjadikan Indonesia sebagai negara dengan tingkat konsumsi beras tertinggi di Asia Tenggara. Saat ini konsumsi beras di Indonesia mencapai 139 kilogram per kapita per tahun1. Menurut Menteri Pertanian, tingkat konsumsi beras penduduk Indonesia sudah terlalu banyak, sementara konsumsi sumber karbohidrat lainnya masih relatif rendah. Contohnya umbi-umbian yang jumlah konsumsinya hanya 40 gram per kapita per hari , dari jumlah ideal 100 gram per kapita per hari2. Tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap beras, didukung dengan tidak adanya produk subtitusi, menyebabkan kurva permintaan beras di Indonesia bersifat inelastis. Dalam teori ekonomi mikro, produk dengan kurva permintaan inelastis memberikan keuntungan yang besar bagi produsen, atau dalam hal ini petani beras. Kondisi ini akan menyebabkan petani beras memiliki posisi tawar yang relatif lebih tinggi dibandingkan konsumen, sehingga produsen akan dengan mudah menaikan harga beras tanpa harus takut kehilangan konsumen. Dari sisi ekonomi makro, harga beras yang terlalu tinggi akan berbahaya bagi perekonomian Indonesia. Sebagai salah satu komoditas utama pembentuk inflasi, Pemerintah selalu berupaya menjaga harga beras berada pada suatu tingkat tertentu yang menguntungkan bagi petani dan konsumen sekaligus. Dalam hal ini, Pemerintah akan menghadapi food price dilemma, 1
Kompas Online, www.kompas.com, “Konsumsi Beras Indonesia Tertinggi di Asia Tenggara, 7 Februari 2012 2 Republika Online, www.republika.co.id, “Mentan: Konsumsi Beras Indonesia Terlalu Banyak”, 4 April 2012 1 Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
2
dimana petani menginginkan harga beras yang tinggi namun konsumen menginginkan sebaliknya. Oleh sebab itu kebijakan harga beras yang diambil Pemerintah diharapkan dapat menjembatani kepentingan petani dan juga konsumen. Efektivitas kebijakan tersebut akan tercermin dari harga beras yang tinggi di level petani dan rendah di level konsumen. Sayangnya kondisi tersebut tidak terjadi di pasar beras Indonesia. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Bank Indonesia di tahun 2008 diketahui bahwa pergerakan harga beras di tingkat petani tidak ditransmisikan secara sempurna terhadap harga beras di tingkat konsumen, ataupun sebaliknya. Hal ini tercermin dari semakin besarnya disparitas harga antara level petani dengan konsumen selama periode Januari 2001 sampai Januari 20083. Adapun perbandingan harga dan disparitas harga antara level petani dan konsumen digambarkan sebagai berikut :
Gambar 1.1. Perbandingan Harga Beras Petani - Konsumen Sumber : Pengaruh Distribusi Dalam Pembentukan Harga Komoditas dan Implikasinya Terhadap Inflasi, Working Paper BI 2008
3
Working Paper BI Edisi WP/07/2008, Juni 2008, “Pengaruh Distribusi Dalam Pembentukan Harga Komoditas dan Implikasinya Terhadap Inflasi”, www.bi.go.id Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
3
Arifin
et
al.
(2006)
dalam
penelitiannya
mengemukakan
bahwa
permasalahan disparitas harga pada komoditi beras sangat siginifikan terjadi sejak jatuhnya Pemerintahan Soeharto pada tahun 1998. Pada 1 Juni 1998, Pemerintah menetapkan Harga Dasar Gabah (HDG) sebesar Rp. 1.000 per kilogram, sedangkan harga beras di tingkat grosir minimal sudah mencapai Rp. 1.850 per kilogram. Sejak saat itu disparitas harga beras dan gabah terus berlanjut dan menjadi salah satu permasalahan kompleks yang dihadapi Pemerintah Indonesia. Disparitas harga beras yang tinggi menunjukkan bahwa baik petani maupun konsumen tidak diuntungkan dalam perdagangan beras. Nilai tambah pengolahan dan perdagangan beras kemungkinan lebih banyak dinikmati oleh pedagang perantara. Dalam teori pemasaran, besarnya disparitas harga dalam suatu lini pemasaran dapat disebabkan oleh dua hal, yaitu jalur pemasaran yang terlalu panjang dan/atau adanya market power yang dimiliki oleh pedagang perantara. Keduanya akan menyebabkan margin yang terbentuk dalam satu lini pemasaran dari hulu ke hilir (vertikal) menjadi sangat besar dan tidak efisien. Secara teori ekonomi industri, semakin kecil tingkat margin distribusi yang dihasilkan mengindikasikan bahwa para pelaku di jalur distribusi tidak memiliki market power yang cukup untuk membentuk harga (price maker). Dengan kata lain, pasar yang tercipta mengarah pada model pasar persaingan sempurna. Sebaliknya, semakin tinggi margin distribusi mengindikasikan bahwa para pelaku di jalur distribusi memiliki market power yang cukup untuk menetapkan harga di atas biaya marginalnya dan menunjukkan bahwa mereka berada pada pasar yang cukup terkonsentrasi. Namun poin yang menarik pada kasus pasar beras adalah semakin melebarnya disparitas harga antara level petani dengan konsumen justru terjadi pasca diberlakukannya kebijakan deregulasi pasar beras di Indonesia
Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
4
pada tahun 19984, atau pada saat pasar beras memasuki era pasar bebas. Dengan kata lain dari sisi struktur, seharusnya pasar distribusi beras sudah mengarah pada kondisi pasar yang lebih bersaing. Apabila mekanisme pasar berjalan secara sempurna maka idealnya pedagang perantara tidak memiliki kemampuan untuk menetapkan margin pemasaran yang besar, sehingga disparitas harga yang terbentuk pun relatif kecil. Besarnya disparitas harga beras antara level petani dengan konsumen dapat menjadi indikasi bahwa terdapat perilaku anti persaingan yang dilakukan oleh pedagang perantara. Menurut Vavra dan Goodwin (2005), salah satu penyebab transmisi harga yang tidak simetris antar pasar yang terhubung secara vertikal (dalam satu rantai pemasaran) adalah adanya perilaku tidak kompetitif antara para pedagang perantara, khususnya apabila pedagang perantara tersebut berada pada pasar yang terkonsentrasi. Umumnya pedagang perantara akan berusaha
mempertahankan
tingkat
keuntungannya
dan
tidak
akan
menaikan/menurunkan harga sesuai dengan sinyal harga yang sebenarnya. Sehingga pedagang perantara akan lebih cepat bereaksi terhadap kenaikan harga dibandingkan dengan penurunan harga, Kondisi inilah yang menyebabkan competition restraint pada jalur distribusi dan transmisi harga yang tidak sempurna antara level produsen dengan konsumen. Pada akhirnya pasar petani dan konsumen menjadi tidak terintegrasi. Hal yang sama dikemukakan oleh Jochen Meyer dan Stephan von CramonTaubadel (2004), disebutkan bahwa tidak terjadinya transmisi harga antara dua level pasar yang berbeda dalam satu rantai pemasaran disebabkan oleh pasar yang tidak kompetitif. Bahkan untuk komoditas pertanian secara jelas disebutkan bahwa persaingan yang tidak sempurna di rantai pemasaran (marketing chain) membuka ruang bagi middleman untuk melakukan penyalahgunaan kekuatan pasar yang dimilikinya (abuse of market power).
4
Di tahun 1998, Pemerintah mencabut hak monopoli BULOG dalam impor beras, sehingga saat ini seluruh pihak dapat dengan bebas menjadi importir beras. Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
5
Untuk meneliti dugaan penyalahgunaan market power yang dilakukan oleh pedagang perantara beras maka akan digunakan pendekatan teori integrasi pasar dan transmisi harga secara vertikal (vertical price transmission). Berdasarkan teori tersebut, dua pasar yang saling berhubungan (melakukan transaksi) akan terintegrasi secara sempurna dan transmisi harga terjadi secara simetris. Apabila transmisi harga antar kedua pasar tersebut tidak simetris maka dapat menjadi indikasi adanya penyalahgunaan market power yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam pasar tersebut. Untuk menunjang hasil analisa statistik agar lebih menyeluruh, dalam penelitian ini dipaparkan pula mengenai gambaran struktur dan perilaku pedagang perantara di sepanjang jalur pemasaran (marketing chain) beras secara umum. 1.2.
Perumusan Masalah Penelitian Penelitian ini ditujukan untuk membuktikan apakah fenomena integrasi pasar dan transmisi harga vertikal yang simeris terjadi antara pasar beras di tingkat petani dan konsumen di Indonesia. Apabila kondisi tersebut tidak terjadi, maka selanjutnya akan dianalisa apakah terdapat faktor struktur pasar dan perilaku pedagang perantara yang menyebabkan fenomena Asymmetric Vertical Price Transmission tersebut.
1.3. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan analisis transmisi harga beras secara vertikal antara level petani dengan konsumen berdasarkan teori Asymmetric Price Transmission dengan cara : a. Membandingkan pergerakan harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani dengan harga beras di tingkat konsumen. b. Menjelaskan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat integrasi dan transmisi harga beras petani-konsumen berdasarkan teori integrasi pasar dan transmisi harga vertikal dikaitkan dengan kondisi struktur dan perilaku pasar beras di Indonesia.
Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
6
1.4. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari peneltian ini adalah : a. Tersedianya gambaran mengenai kondisi pasar distribusi beras di Indonesia, baik dari sisi struktur, perilaku, dan kinerja. b. Apabila terbukti bahwa terjadi transmisi harga vertikal yang tidak simetris antara harga beras di level petani dengan konsumen, maka dapat menjadi masukan lebih lanjut untuk meneliti faktor penyebab dari kejadian tersebut. 1.5. Hipotesa Dengan memperhatikan kondisi margin antara petani dan konsumen yang semakin lebar, sebagaimana ditampilkan pada Gambar 1.1, maka hipotesis awal dari penelitian ini adalah : a. Diduga transmisi harga beras secara vertikal antara level petani dan konsumen bersifat tidak simetris, yaitu terjadi perbedaan respon harga beras di level konsumen terhadap perubahan kenaikan harga dengan perubahan penurunan harga beras di level petani. b. Diduga terdapat faktor struktur dan perilaku pedagang perantara yang menyebabkan transmisi harga beras petani-konsumen tidak simetris. 1.6. Metodologi Penelitian 1.6.1. Data – Data Yang Digunakan Penelitian ini akan difokuskan pada kondisi transmisi harga petanikonsumen setelah era deregulasi pasar beras di Indonesia di tahun 1998. Data yang digunakan adalah data sekunder dari Badan Pusat Statistik periode 2000 – 2011. Tahun 2000 dijadikan tahun awal karena pada tahun 1998 – 1999 terjadi bencana El-Nino dan La-Nina yang mengurangi jumlah produksi padi nasional, sehingga dikhawatirkan pergerakan harga pada tahun tersebut tidak dapat menjelaskan faktor terjadinya transmisi harga yang tidak simetris antara level petani dan level konsumen secara Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
7
akurat. Data harga beras petani yang digunakan adalah data harga GKP bulanan, sementara harga beras konsumen digunakan data harga beras eceran bulanan. 1.6.2. Metode Analisis a. Analisa Kuantitatif Metode ini mengacu pada fenomena harga yang terjadi ketika harga di level hilir bereaksi terhadap perubahan (shock) harga di level hulu. Kondisi transmisi harga vertikal yang tidak simetris terjadi apabila terdapat perbedaan respon harga di level hilir antara shock kenaikan dan shock penurunan yang terjadi pada harga di level hulu. Dalam kondisi transmisi harga yang tidak simetris, penyesuaian harga di level hilir umumnya lebih cepat terjadi pada saat harga di level hulu mengalami kenaikan, dibandingkaan saat harga mengalami penurunan. Kondisi transmisi harga yang tidak simetris juga dapat dilihat dari sisi besaran harga. Sebagai contoh, pada saat terjadi kenaikan harga di sektor hulu maka harga di sektor hilir akan mengalami kenaikan pada besaran yang sama dengan kenaikan harga di level hulu, sementara pada saat terjadi penurunan harga di level hulu maka penurunan harga yang ditransmisikan di level hilir tidak sebesar penurunan harga yang terjadi di level hulu. Sebagai ilustrasi berikut ditampilkan gambar perbedaan respon yang terjadi pada kondisi transmisi harga vertikal yang tidak simetris (asymmetric vertical price transmission). Dalam penelitian ini akan digunakan Cointegration dan Error Correction Model (ECM) untuk menguji dugaan transmisi harga vertikal yang tidak simetris pada harga beras di level petani dan konsumen di Indonesia.
Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
8
b. Analisa Kualitatif Analisa kualitatif dilakukan untuk menjelaskan faktor-faktor penyebab terjadinya transmisi harga vertikal yang tidak simetris antara harga beras petani dan konsumen di Indonesia, khususnya dikaitkan dengan faktor struktur pasar dan perilaku pedagang perantara. 1.6.3. Ruang Lingkup Penelitian Pada penelitian ini penulis hanya akan mengukur kinerja distribusi harga beras Indonesia dengan pendekatan teori integrasi pasar dan transmisi harga asimetris, dengan melihat transmisi pergerakan harga GKP di level petani terhadap harga eceran beras di level konsumen. Variabel lain di luar penelitian dianggap konstan. Data harga sebelum periode 2000 dianggap tidak stabil karena adanya krisis ekonomi dan bencana El-Nino dan LaNina pada tahun 1998 – 1999, maka data pergerakan harga beras yang digunakan adalah periode 2000 – 2011. 1.7. Sistematika Penelitian Pada bab pertama, akan diuraikan mengenai latar belakang penelitian, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penelitian, sistematika penulisan, serta kerangka berpikir yang digunakan dalam penelitian. Dalam bab selanjutnya kemudian akan dijelaskan mengenai berbagai teori yang melandasi penulisan tesis, mulai dari teori mengenai integrasi pasar dan transmisi harga vertikal, berbagai faktor penyebab transmisi harga tidak simetris, sampai dengan hasil penelitian mengenai integrasi pasar dan transmisi harga vertikal yang sudah pernah dilakukan sebelumnya. Dalam bab ini juga akan dipaparkan secara ringkas mengenai posisi penelitian dan perbedaannya dari penelitian terdahulu. Dalam bab ketiga, akan dijelaskan mengenai gambaran industri beras secara umum di Indonesia, dalam hal karakteristik produksi, karakteristik konsumsi, serta berbagai kebijakan yang pernah ditetapkan Pemerintah, berikut implikasinya terhadap harga dan produksi. Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
9
Bab keempat merupakan bab metodologi. Dalam bab ini akan diuraikan mengenai metodologi yang digunakan dalam penelitian, yaitu dengan menggunakan teori asymmetric vertical price transmission dengan pendekatan error correction model (ECM). Selain itu, bab ini akan membahas pula mengenai cakupan data yang digunakan serta tahapan pengolahan data tersebut. Setelah melalui tahapan-tahapan sebagaimana dijelaskan dalam metodologi, hasil estimasi model kemudian akan dibahas secara mendalam pada bab kelima, mulai dari interpretasi model sampai dengan pembahasan faktor penyebab transmisi harga tidak simetris antara harga GKP di level petani dengan harga beras eceran level di konsumen. Untuk dapat menjelaskan hasil pengujian model dengan kondisi industri beras di Indonesia yang riil, maka pembahasan faktor penyebab transmisi harga tidak simetris akan dikaitkan dengan kondisi struktur dan perilaku pasar serta kebijakan perberasan yang ditetapkan Pemerintah pada periode tersebut. Hasil analisa yang telah diuraikan pada bab kelima kemudian disimpulkan dalam bab selanjutnya, untuk selanjutnya diusulkan saran dan rekomendasi. 1.8. Kerangka Penelitian Kerangka berpikir yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan membandingkan kondisi ideal dengan kondisi riil yang terjadi di industri beras Indonesia setelah liberalisasi pasar yang dilakukan Pemerintah pada tahun 1998. Gambaran kerangka berpikir yang digunakan dalam penelitian ini secara lebih lengkap ditampilkan pada Gambar 1.2 di halaman selanjutnya Kebijakan liberalisasi pasar beras di Indonesia pada tahun 1998 dilakukan dengan cara mencabut hak monopoli impor yang dimiliki oleh BULOG serta menghapuskan tarif ekspor beras. Pada kondisi yang ideal, kebijakan liberalisasi tersebut akan membuka peluang bagi pelaku usaha baru untuk masuk ke pasar beras Indonesia, sehingga jumlah pelaku usaha di industri beras akan bertambah. Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
10
Kondisi Saat Ini :
Kondisi Ideal :
Jumlah pedagang perantara bamyak Pedagang perantara sebagai price taker Perubahan harga GKP Petani ditransmisikan sempurna terhadap harga beras konsumen
Jumlah pedagang perantara relatif sedikit Pedagang perantara sebagai price maker Perubahan harga GKP Petani ditransmisikan tidak sempurna terhadap harga beras konsumen
Gap
Tujuan Penelitian : Pengujian kondisi asymmetric vertical price transmission pada harga beras level petani – konsumen di Indonesia
Karakteristik Pasar Beras dan Kebijakan Perberasan di Indonesia
Metode Penelitian : Pengujian asymmetric vertical price transmission dengan menggunakan data harga GKP petani dan data harga beras eceran konsumen YA
TIDAK
Pergerakan Harga Beras Petani - Konsumen
Pergerakan Harga Beras Petani - Konsumen
Analisa penyebab asymmetric vertical price transmission pada harga beras level petani – kosnumen di Indonesia dan keterkaitannya dengan struktur dan perilaku pedagang perantara
Kesimpulan dan Saran
Gambar 1.2. Kerangka Penelitian Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
11
Sesuai dengan teori ekonomi industri, pertambahan jumlah pelaku usaha pada suatu industri akan menyebabkan market power yang dimiliki pelaku usaha berkurang, sehingga pelaku usaha tidak memiliki kemampuan yang cukup besar untuk mempengaruhi harga (price taker). Pada kasus rantai pemasaran, pedagang perantara yang tidak memiliki market power akan mentransmisikan perubahan biaya (harga pembelian produk) yang dihadapinya terhadap harga jual produknya secara sempurna. Dengan kata lain, perubahan harga di hulu rantai pemasaran akan ditransmisikan secara sempurna terhadap perubahan harga di hilir. Akan tetapi, pada kasus pasar beras di Indonesia, sejak liberalisasi pasar beras yang dilakukan Pemerintah di tahun 1998 disparitas harga beras di tingkat petani dengan tingkat konsumen semakin melebar. Hal ini dapat mengindikasikan adanya dugaan market power yang dimiliki pedagang perantara. Kondisi ini yang kemudian menjadi latar belakang dan tujuan dari penelitian.
Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
BAB 2 TINJAUAN LITERATUR 2.1. Teori Integrasi Pasar dan Transmisi Harga Para ekonom neo-klasik percaya bahwa harga merupakan indikator utama yang dapat mencerminkan tingkat efisiensi suatu pasar. Transmisi harga dan tingkat integrasi pasat dapat dijadikan indikasi efisiensi yang terbentuk antar dua pasar yang saling berinteraksi, baik secara vertikal maupun spasial (Meyer & von Cramon-Taubadel, 2004). Kondisi pasar persaingan sempurna dijadikan sebagai titik acuan dalam menilai proses transmisi harga dan tingkat integrasi antar dua pasar. Premis yang digunakan adalah transmisi harga akan berjalan sempurna apabila di dalam pasar tidak terjadi friksi dan distorsi (Conforti, 2004). Tidak adanya transmisi harga antar pasar yang saling melakukan transaksi dianggap akan menyebabkan
inefisiensi
alokasi
sumber
daya
dan
menurunkan
kesejahteraan ekonomi di bawah titik keseimbangan pareto. Dengan kata lain, transmisi harga yang sempurna akan berujung pada pasar yang berjalan secara efisien. Menurut Amikuzuno dan Ogundari (2012), khusus untuk bidang ekonomi pertanian, analisa transmisi harga dan integrasi pasar sudah berkembang sejak 50 tahun terakhir. Penelitian mengenai integrasi pasar dan transmisi harga diawali dengan analisa tingkat integrasi dan transmisi harga antar dua pasar yang berbeda wilayah geografisnya, yang kemudian disebut dengan interaksi secara spasial. Penelitian kemudian berkembang untuk melihat interaksi harga yang terjadi antar dua level pasar yang berada dalam satu rantai pemasaran, yang kemudian disebut dengan interaksi secara vertikal. Pada kasus spasial, interaksi harga akan berjalan sesuai hukum satu harga (Law of One Price/LOP) sebagaimana dikemukakan oleh Enke (1951), Samuelson (1952), serta Takayama dan Judge (1972) dalam Rapsomanikis, et al. (2003), dimana harga antara dua pasar yang berbeda lokasi adalah 12
Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
13
sama, selisih harga yang terjadi hanya sebesar biaya transfer antar kedua pasar tersebut. Pada model tersebut, perubahan yang terjadi di sisi permintaan dan penawaran di salah satu pasar akan mempengaruhi perdagangan dan harga jual di pasar yang lain, sampai pada akhirnya mencapai suatu titik keseimbangan harga yang tidak memungkinkan terjadinya pertukaran perdagangan antara kedua pasar tersebut. Pada kasus vertikal, integrasi pasar didefinisikan sebagai keterkaitan hubungan antara suatu lembaga pemasaran dengan lembaga pemasaran lainnya dalam suatu rantai pemasaran (Suparmin 2005 dalam Irawan dan Rosmayanti 2007). Bustaman (2003) menyatakan bahwa integrasi pasar vertikal penting untuk dipelajari guna mengetahui tingkat keeratan hubungan antara pasar produsen dan pasar ritel/pedagang. Menurut Goodwin (2006), tingkat transmisi harga pada satu rantai pemasaran dapat menjadi petunjuk kinerja dari setiap level/lembaga pemasaran yang berada dalam rantai pemasaran tersebut. Suatu rantai pemasaran dikatakan efisien dan terintegrasi secara vertikal apabila pola interaksi harga antar level hanya tergantung pada biaya produksinya. Dengan kata lain, perubahan harga pada suatu level pemasaran akan ditransformasikan kepada level pemasaran lainnya secara selaras. Dalam kasus beras, integrasi pasar beras dikatakan efisien apabila perubahan harga beras di tingkat petani diikuti dengan perubahan harga beras di tingkat konsumen dalam porsi yang sama. Pada beberapa penelitian, integrasi pasar dalam jangka panjang cenderung terjadi dalam bentuk integrasi yang lemah dan perkembangan transmisi harga sering menunjukkan perilaku tidak simetri (asimetri). Asimetri harga secara teoritis dapat terjadi dalam hubungannya dengan karakteristik kompetisi yang tidak sempurna, misalnya akibat adanya lag informasi, promosi, dan konsentrasi pasar (Henderson & Quant, 1980; Kinnucan & Forker, 1987).
Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
14
Analisa transmisi harga asimetri untuk produk pertanian pertama kali dilakukan oleh Tweeten & Quance (1969), yang menggunakan teknik variabel dummy untuk mengestimasi fungsi penawaran yang tidak dapat diubah (Meyer & von Cramon-Taubadel, 2004, hal. 594). Variabel dummy digunakan untuk memisahkan harga bahan baku menjadi dua, yaitu variabel yang hanya terdiri dari kenaikan harga input dan variabel yang hanya terdiri dari penurunan harga input. Selanjutnya koefisien untuk kedua variabel tersebut diestimasi dan dibandingkan. Hipotesis transmisi harga simetris ditolak apabila kedua koefisien tersebut berbeda signifikan secara statistik. Wolffram (1971) memperkenalkan teknik pemisahan variabel baru dengan menggunakan data harga turunan (first difference) ke dalam persamaan yang ajan diestimasi. Metode tersebut kemudian dimodifikasi oleh Houck (1979) dengan mengeluarkan nilai observasi awal, karena level observasi yang pertama dinilai tidak memiliki kekuatan penjelasan bebas. Ward (1982) kemudian mengembangkan model Houck dengan menambahkan lag pada variabel eksogen, seperti efek keterlambatan dan lamanya waktu lag, yang tetap dapat dipisahkan antara efek kenaikan harga dan efek penurunan harga (Meyer & von Cramon-Taubadel, 2004, hal. 594-595). Boyd & Brorsen (1988) adalah yang pertama menggunakan lag untuk memisahkan transmisi dalam hal waktu penyesuaian (speed of adjustment) dengan besaran penyesuaian (magnitude of adjustment) (Meyer & von Cramon-Taubadel, 2004, hal. 595). Dari hasil estimasi, nilai koefisien variabel menunjukan lamanya waktu penyesuaian pada periode tertentu, dan nilai penjumlahan koefisien menunjukkan besaran penyesuaian. Meyer dan von Cramon-Taubadel (2004) mengklasifikasikan metode tersebut sebagai teknik pre-kointegrasi, dimana regresi terhadap lag dipisahkan berdasarkan tandanya. Pada teknik ini sehingga perubahan atas kenaikan harga (diinisiasikan dengan tanda positif) diperbolehkan untuk Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
15
memberikan efek yang berbeda dengan perubahan atas penurunan harga (diinisiasikan dengan tanda negatif). Penelitian-penelitian yang menggunakan teknik tersebut dalam analisa transmisi harga antara lain analisa transmisi harga vertikal untuk industri susu (Kinnucan & Forker, 1987), industri daging babi di Amerika (Boyd & Brorsen, 1988), industri broiler di Amerika (Bernard & Willet, 1996), analisa transmisi harga asimetris vertikal untuk tomat, bawang, susu bubuk, kopi, beras, dan buncis di Brazil (Aguiar & Santana, 2002), dan analisa harga asimetris pada industri tomat segar di Amerika (Girapunthong et al., 2003). Von Cramon-Taubadel & Fahlbusch (1994) merupakan yang pertama mengenalkan konsep kointegrasi dalam model transmisi harga tidak simetris dengan menggunakan konsep error correction model (ECM) (Vavra & Goodwin, 2005, hal. 12). Prinsip utama model ini adalah dengan melihat signifikansi penyimpangan (error) dari model keseimbangan jangka panjangnya. Pada konsep kointegrasi, dua series harga dikatakan terkointegrasi apabila pergerakan di salah satu series harga diikuti dengan pergerakan harga di series lainnya secara sempurna (Wixson & Katchova, 2012, hal. 11). Apabila terdapat pergerakan harga yang menyimpang, maka akan dimasukan sebagai bentuk error correction (error correction term/ECT). Konsep tersebut didasari oleh penelitian Engle & Granger (1987) sebelumnya yang menunjukkan bahwa kointegrasi untuk data time series yang tidak stasioner akan merepresentasikan nilai ECT yang valid (Hassouneh, et al., 2012, hal. 7). Mereka menyebutkan bahwa teknik prekointegrasi untuk analisa transmisi harga asimetri justru dapat menghasilkan regresi lancung (spurious regression) karena menggunakan series data yang tidak stasioner. Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
16
Pada analisa transmisi harga dengan metode ECM, ECT kemudian dipisahkan antara bentuk positif dengan bentuk negatif. ECT positif menunjukkan kondisi penyimpangan di atas garis keseimbangan jangka panjang, sementara ECT negatif menunjukkan kondisi penyimpangan di bawah garis keseimbangan jangka panjangnya (Wixson & Katchova, 2012, hal. 11). Vavra & Goodwin (2005) dan Acquah & Onumah (2010) menyebutkan
bahwa
penggunaan
metode
ECM
lebih
disarankan
dibandingkan metode Houck yang konvensional. Meskipun demikian, Meyer & von Cramon-Taubadel (2004) menyebutkan bahwa analisa transmisi harga dengan menggunakan ECM hanya dapat menggambarkan pola asimetris dari sisi waktu penyesuaian. Hal ini disebabkan analisa kointegrasi dan ECM merupakan bentuk keseimbangan jangka panjang, sehingga apabila transmisi harga tidak simetris terjadi dari sisi besaran penyesuaian maka data tidak akan saling terkointegrasi. 2.2. Asymmetric Vertical Price Transmission Transmisi harga dikatakan tidak simetris apabila terdapat perbedaan respon harga antara shock harga positif (saat terjadi kenaikan harga) dengan shock harga negatif (saat terjadi penurunan harga). Menurut Meyer & von-Cramon Taubadel (2004), yang dimaksud dengan asimetri pada kasus transmisi harga dapat diklasifikasikan dalam 3 (tiga) kriteria. Kriteria yang pertama transmisi harga tidak simetris yang terjadi secara vertikal atau spasial. Sebagaimana yang sudah disinggung sebelumnya, transmisi harga vertikal terjadi antar level pemasaran dalam satu rantai, sedangkan transmisi harga spasial terjadi antar pasar yang berbeda lokasi geografisnya. Sebagai contoh, transmisi harga vertikal yang tidak simetris terjadi pada saat kenaikan harga di level petani ditransmisikan lebih cepat dan lebih sempurna kepada harga di level konsumen, dibandingkan saat terjadi penurunan harga di level petani. Sementara transmisi harga spasial Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
17
yang tidak simetris dapat dicontohkan melalui perbedaan respon harga domestik terhadap harga internasional, dimana kenaikan harga internasional lebih cepat dan lebih sempurna diadopsi oleh harga domestik dibandingkan saat terjadi penurunan harga internasional. Kriteria yang kedua merujuk kepada kondisi transmisi harga yang tidak simetris dari sisi kecepatan waktu dan besaran penyesuaian harga. Dalam hal kecepatan waktu penyesuaian, fenomena asimetris terjadi apabila shock harga di salah satu pasar tidak dengan segera ditransmisikan oleh pasar lainnya. Sementara dari sisi besaran, fenomena asimetris terjadi pada saat shock harga di satu pasar tidak ditransmisikan secara penuh oleh pasar lainnya. Kondisi transmisi harga yang tidak simetris dari sisi kecepatan waktu dan besaran penyesuaian harga ditampilkan pada Gambar 2.1.
(a)
(b)
(c) Gambar 2.1. Transmisi Harga Tidak Simetris Dari Sisi Kecepatan dan Besaran Sumber : Meyer & von Cramon-Taubadel, 2004, Asymmetric Price Transmission : A Survey, Journal of Agricultural Economics Volume 55 Number 3, Nov 2004
Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
18
Pada Gambar 2.1 diasumsikan sumber dari shock harga terjadi pada Pin. Dari Gambar 2.1.a dapat dilihat bahwa terjadi perbedaan respon dari sisi besaran penyesuaian harga di Pout antara shock positif dengan shock negatif yang terjadi di Pin. Pada saat terjadi shock positif di Pin, Pout akan mentransmisikan shock tersebut secara sempurna, dimana kenaikan harga yang terjadi di Pout sama dengan kenaikan yang terjadi di Pin. Sementara saat terjadi shock negatif di Pin, penurunan harga yang terjadi di Pout tidak terjadi dengan sempurna. Hanya setengah dari shock negatif di Pin yang ditransmisikan oleh Pout. Gambar 2.1.b menjelaskan transmisi yang tidak simetris dari sisi kecepatan waktu penyesuaian. Saat terjadi kenaikan harga di Pin pada waktu t1, Pout akan dengan segera melakukan penyesuaian pada waktu yang sama. Sementara saat di Pin terjadi penurunan harga, Pout tidak dengan segera merespon penurunan harga tersebut, melainkan terdapat lag selama n. Sehingga shock negatif di Pin baru akan ditransmisikan di Pout pada waktu t1+n. Gambar 2.1.c menjelaskan transmisi yang tidak simetris dari sisi kecepatan waktu dan besaran. Kenaikan harga yang terjadi di Pin pada waktu t1, tidak ditransmisikan seluruhnya pada waktu yang sama, melainkan hanya setengahnya. Pada waktu t2 barulah seluruh shock positif di Pin ditransmisikan secara sempurna. Sementara saat terjadi penurunan harga pada waktu yang sama di Pin, proes transmisinya dilakukan pada waktu yang lebih lama dibandingkan saat terjadi shock positif, yaitu pada waktu t3. Respon penurunan harga yang terjadi di Pout pun tidak sebesar penurunan harga yang terjadi di Pin. Hal ini menggambarkan bahwa terjadi transmisi yang tidak sempurna dari sisi kecepatan waktu dan besaran penyesuaian yang ditunjukan oleh Pout saat terjadi shock negatif di Pin. Dalam Gambar 2.1 ditampilkan pula dampak hilangnya kesejahteraan akibat adanya transmisi harga yang tidak sempurna, yang digambarkan dalam Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
19
bentuk area yang gelap. Menurut Meyer & von-Cramon Taubadel, transmisi harga tidak simetris dari sisi kecepatan akan menghilangkan kesejahteraan yang sifatnya sementara. Adapun ukuran/besaran kesejateraan yang hilang sementara tersebut sangat tergantung pada panjangnya interval waktu transmisi antara t1 dan t1+n, besarnya respon perubahan, dan volume transaksi yang dilakukan (Gambar 2.1.b). Sedangkan transmisi harga tidak simetri dari sisi besaran menyebabkan hilangnya kesejahteraan secara permanen (Gambar 2.1.a), dan ukurannya hanya tergantung pada besarnya respon perubahan harga dan volume transaksi yang dilakukan. Terakhir, transmisi tidak simetris dari sisi kecepatan dan besaran akan menyebabkan perubahan kesejahteraan yang bersifat sementara sekaligus permanen. Meyer & von-Cramon Taubadel (2004) menambahkan bahwa hilangnya kesejahteraan yang sifatnya sementara dalam jumlah besar dapat memberikan dampak yang lebih buruk dibandingkan dengan hilangnya kesejahteraan permanen dalam jumlah kecil yang terjadi saat ini. Kriteria ketiga, mengacu pada Peltzman (2000), transmisi harga yang tidak simetris dapat diklasifikasikan menjadi transmisi tidak simetris yang positif dan transmisi tidak simetris yang negatif. Transmisi tidak simetris yang positif adalah kondisi dimana shock positif akan direspon secara lebih cepat dan/atau lebih sempurna dibandingkan saat terjadi shock negatif (Gambar 2.2.a). Sebalikannya, transmisi tidak simetris yang negatif adalah situasi dimana shock negatif akan lebih cepat dan/atau lebih sempurna direspon dibandingkan shock positif (Gambar 2.2.b). Pada konteks transmisi harga vertikal dalam satu rantai pemasaran, transmisi tidak simetris yang positif ataupun negatif tidak hanya dapat terjadi dari hulu ke hilir saja, melainkan dapat pula terjadi sebaliknya (dari hilir ke hulu), contohnya pada saat terjadi pergesaran kurva permintaan. Untuk menghindari kesalahan penafsiran, Meyer & von-Cramon Taubadel (2004) mendefinisikan transmisi harga tidak simetris yang positif adalah kondisi Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
20
transmisi harga yang lebih cepat dan/atau lebih sempurna terjadi saat adanya tekanan terhadap margin (squeeze margin) dibandingkan saat adanya penambahan margin (stretch margin). Yang dimaksud dengan squeeze margin adalah pada saat terjadi kenaikan harga di hulu (Pin) atau penurunan harga di hilir (Pout), sementara stretch margin adalah saat terjadi penurunan Pin atau kenaikan Pout.
(a)
(b)
Gambar 2.2. Transmisi Harga Tidak Simetris Positif dan Negatif Sumber : Meyer & von Cramon-Taubadel, 2004, Asymmetric Price Transmission : A Survey, Journal of Agricultural Economics Volume 55 Number 3, Nov 2004
Dalam hal kesejahteraan, apabila transmisi harga tidak simetris berjalan dari hulu ke hilir, misal untuk kasus produk pertanian adalah dari petani ke konsumen, maka transmisi tidak sempurna yang negatif dianggap baik bagi konsumen. Hal ini disebabkan kenaikan harga input tidak akan ditransmisikan kepada konsumen, sehingga konsumen akan selalu menikmati harga yang rendah. Sebaliknya, transmisi harga tidak simetris yang positif akan merugikan konsumen karena konsumen tidak pernah menikmati penurunan harga yang terjadi di level petani. Akibatnya, harga di level konsumen cenderung tinggi dan kesejahteraan konsumen akan berkurang. Meskipun demikian, Vavra & Goodwin (2005) menyebutkan bahwa untuk menghitung tingkat kesejahteraan maka perlu memperhatikan faktor biaya transaksi (adjustment cost dan menu cost pada kasus transmisi vertikal) dalam perhitungan transmisi harga.
Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
21
Menurut Vavra & Goodwin (2005), untuk analisa transmisi harga secara vertikal setidaknya terdapat 4 (empat) pertanyaan yang fundamental untuk menjelaskan proses transmisi harga yang terjadi (mengacu pada tipe-tipe transmisi harga tidak simetris yang digambarkan sebelumnya). Pertanyaanpertanyaan tersebut adalah : 1.
Seberapa besar respon penyesuaian harga di setiap level akibat perubahan harga yang terjadi di level lainnya? (transmisi yang dilihat dari sisi besaran);
2.
Apakah terdapat lag penyesuaian yang signifikan? (transmisi yang dilihat dari sisi kecepatan waktu penyesuaian);
3.
Apakah transmisi harga secara positif dan negatif yang terjadi bersifat asimetri?
4.
Apakah terjadi perbedaan respon transmisi saat sumber shock terjadi di hulu dengan saat sumber shock terjadi di hilir? (transmisi yang dilihat dari sisi arah shock).
2.3. Penyebab Asymmetric Vertical Price Transmission Berbagai literatur ekonomi telah secara khusus mengidentifikasi berbagai faktor yang dapat menyebabkan terjadinya transmisi harga secara tidak simetris, baik secara spasial maupun vertikal. Sebagian besar penelitian mengaitkan fenomena transmisi harga yang tidak simetri dengan dugaan adanya market power yang dimiliki pedagang di pasar (von CramonTaubadel, 1998; Goodwin & Holt, 1999; Peltzman, 2000; dan McCorriston & Shelton, 1999 dalam Vavra & Goodwin, 2005). Sebagian lagi mengemukakan bahwa kehadiran biaya transaksi yang tinggi akan menyebabkan transmisi harga antar pasar menjadi tidak simetris, meskipun pasar tersebut berada pada persaingan sempurna (Zachariasse & Bunte, 2003 dalam Vavra & Goodwin, 2005). Beberapa faktor lain yang diduga menjadi penyebab transmisi harga tidak simetris antara lain : (1) masing-masing perusahaan akan menyikapi secara Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
22
berbeda dalam penyesuaian biaya tergantung apakah harga sedang naik atau sedang turun; (2) pelaku pemasaran menahan barangnya pada saat harga naik karena takut kehabisan stok (Kinnucan & Forker, 1987; Goodwin & Holt. 1999); (4) market power industri dalam hubungannya dengan karakteristik fungsi biaya yang sering bersifat increasing return to scale (Mc. Corriston et al., 2000); (5) adanya intervensi pemerintah, misalnya dalam bentuk kebijakan subsidi harga (Kinnucan & Forker, 1987; Gardner, 1975 dalam Vavra & Goodwin, 2005). Menurut Conforti (2004) meskipun faktor yang mempengaruhi derajat integrasi pasar dan transmisi harga secara spasial dapat pula digunakan untuk menjelaskan proses transmisi harga secara vertikal, seperti market power dan biaya transaksi, namun terdapat beberapa faktor yang khusus dikaitkan dengan fenomena transmisi harga vertikal seperti increasing return to scale pada produksi dan tingkat homogenitas dan diferensiasi produk. Berikut dipaparkan beberapa faktor utama yang dapat menyebabkan transmisi harga tidak simetris secara vertikal. 2.3.1. Market Power dan Struktur Pasar Persaingan Tidak Sempurna Sebagian besar literatur ekonomi menyebutkan bahwa struktur pasar persaingan yang tidak sempurna menjadi faktor utama penyebab transmisi harga yang tidak simetris (Kinnucan & Forker (1987), Acharya (2000), McCoriston (2002), Lyod et al. (2003). Khusus untuk produk pertanian, struktur pasar yang terbentuk pada level manufaktur dan pedagang perantara mengarah pada struktur persaingan tidak sempurna, terutama jika dibandingkan dengan struktur pasar di level petani dan level konsumen. Hal ini menyebabkan manufaktur dan pedagang perantara akan bertindak sebagai pembentuk harga (price taker), sementara petani dan konsumen akan bertindak sebagai penerima harga (price taker) (Conforti, 2004). Akibatnya, manufaktur dan pedagang perantara Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
23
dapat dengan leluasa menyalahgunakan market power yang dimilikinya untuk kepentingan kesejahteraan dan keuntungannya sendiri, dan proses penyesuaian harga antar level pemasaran menjadi tidak sempurna (Karantininis, 2011; Vavra & Goodwin, 2005). Dalam
investigasi
yang dilakukan oleh Otoritas Pengawas
Persaingan di Inggris (UK’s Competition Commission), analisa transmisi harga menjadi salah satu indikator yang digunakan untuk membuktikan dugaan adanya market power yang dimiliki oleh pelaku usaha di sektor ritel. Basis penelitiannya adalah melihat transmisi harga yang dilakukan oleh supermarket akibat adanya penurunan harga di level petani. Apabila harga tidak ditransmisikan secara sempurna antar setiap level pemasaran maka konsumen akhir tidak akan mendapatkan keuntungan dari penurunan harga di level petani, dan sebaliknya. Hal ini menyebabkan permasalahan redistribusi consumer welfare (McCorriston et al., 2000). Penyalahgunaan market power yang dilakukan oleh manufaktur dan pedagang perantara umumnya menyebabkan transmisi harga tidak simetris yang positif. Artinya, tekanan terhadap margin (marginsqueezing) yang diakibatkan kenaikan harga input atau penurunan jumlah permintaan akan dengan segara dan sempurna ditransmisikan kepada level diatas atau dibawahnya, dibandingkan saat terjadinya penambahan margin (margin-stretching) akibat perubahan harga (Boyd & Brorsen, 1988); Meyer & von-Cramon Taubadel, 2004). Menurut Balke et al (1998), Brown & YÜcel (2000), dan Damania & Yang (1998), transmisi harga tidak simetris yang positif terjadi akibat adanya “perjanjian tidak tertulis” dan sanksi diantara pelaku usaha yang berada di pasar oligopoli (Meyer & von-Cramon Taubadel, 2004, hal. 587). Zachariasse & Bunte (2003) dalam Vavra & Goodwin (2005) menambahkan bahwa dalam pasar oligopoli atau Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
24
oligopsoni terdapat interdependence antar pelaku usaha yang dapat menyebabkan lag pada proses penyesuaian harga. Sebagai gambaran, apabila terjadi kenaikan harga input maka seluruh pelaku usaha akan dengan segera menyesuaikan harganya sebagai sinyal bahwa tidak ada “perjanjian” yang dilanggar. Sementara pada saat terjadi penurunan harga input, pelaku usaha akan saling menunggu reaksi pesaingnya, untuk menghindari sanksi yang akan diterapkan pesaingnya dalam bentuk perang harga. Kovenock & Widdows (1998) menambahkan bahwa fenomena tersebut akan lebih cenderung terjadi apabila market power antar pelaku usaha dalam suatu pasar tidak sama, atau biasa disebut dengan pola price leadership-price follower (Meyer & von-Cramon Taubadel, 2004, hal. 588). Ward (1982) dalam Serra & Goodwin (2002) menyebutkan bahwa transmisi harga tidak simetris yang disebabkan oleh market power juga dapat terjadi secara negatif, apabila manufaktur dan pedagang perantara yang berada pada struktur pasar oligopoli beranggapan bahwa kenaikan
harga
justru beresiko
terhadap penurunan
marginnya. Bailey & Brorsen (1989) menambahkan bahwa transmisi harga tidak simetris akan berjalan secara positif atau negatif tergantung dari reaksi dari pesaing. Apabila suatu perusahaan percaya bahwa tidak ada satu pun pesaingnya yang akan merespon perubahan kenaikan harga, sementara pada saat terjadi penurunan harga seluruh pesainganya akan dengan cepat merespon, maka yang terjadi adalah transmisi harga tidak simetris yang negatif. Begitu pula sebaliknya, apabila perusahaan percaya bahwa pesainganya akan lebih bereaksi terhadap kenaikan harga dibandingkan penurunan harga maka transmisi harga tidak simetris yang terjadi adalah positif. Senada dengan hal tersebut, Meyer & von-Cramon Taubadel (2004) menambahkan bahwa pada struktur pasar oligopoli, Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
25
transmisi harga tidak simetris dapat terjadi secara positif maupun negatif, tergantung pada struktur dan perilaku pasar. Sementara pada pasar monopoli, transmisi harga tidak simetris yang terjadi lebih akan mengarah pada bentuk positif daripada negatif. Meskipun berbagai penelitian telah mengaitkan tranmisi harga tidak simetris dengan dugaan adanya market power yang dimiliki oleh perusahaan manufaktur dan/atau pedagang perantara, namun menurut Meyer & von-Cramon Taubadel (2004) hanya sedikit penelitian yang secara khusus menganalisa keterkaitan antara market power dengan transmisi harga asimetris. Salah satu penelitian untuk melihat hubungan antara market power dengan transmisi harga dilakukan oleh Peltzman (2000), dengan menggunakan data jumlah pelaku usaha dan konsentrasi pasar dalam bentuk HerfindahlHirschman Index (HHI) sebagai indikator market power. Hasil penelitiannya menunjukkan anomali, dimana jumlah pelaku usaha yang sedikit menyebabkan lag transmisi harga tidak simetris semakin besar, namun derajat konsentrasi pasar justru menunjukkan hal yang sebaliknya (transmisi harga simetris terjadi pada pasar yang konsentrasinya tinggi). Dengan demikian penelitian ini gagal menunjukkan dugaan transmisi harga tidak simetris yang disebabkan oleh adanya market power. Hal senada diungkapkan oleh Weldegebriel (2004) dalam Vavra & Goodwin (2005) yang menyebutkan bahwa adanya kekuatan oligopoli dan oligopsoni tidak selalu menyebabkan transmisi harga yang tidak sempurna. Menurut Weldegebriel, fungsi permintaan di level ritel dan fungsi penawaran di level petani merupakan faktor kunci yang menentukan tingkat transmisi harga.
Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
26
2.3.2. Adjustment cost atau menu cost Kekakuan dalam proses penyesuaian harga antar level dalam satu rantai pemasaran sering pula disebabkan adanya sejumlah tambahan biaya yang harus dikeluarkan oleh pelaku usaha untuk menyesuaikan harganya. Dalam ilmu ekonomi biaya tersebut dikenal dengan adjustment cost atau menu cost, seperti biaya yang digunakan untuk melakukan perubahan label dan katalog harga, biaya periklanan, serta biaya lain yang harus dikeluarkan untuk menyampaikan perubahan harga kepada klien (Jensen & Møller, 2007; Meyer & von-Cramon Taubadel, 2004). Menurut Vavra dan Goodwin (2005), perubahan harga yang relatif sering pun akan mempengaruhi reputasi dari pedagang perantara, khususnya pedagang ritel yang berhubungan langsung dengan konsumen akhir. Selain itu, menurut McCorriston et al. (2000), ketidakpastian apakah perubahan harga terjadi secara permanen atau hanya bersifat sementara menghalangi pedagang untuk merespon sinyal perubahan harga. Sehingga perubahan harga yang tidak terlalu signifikan tidak akan ditransmisikan secara sempurna oleh pedagang. Lebih jauh lagi, Balke et al. (1998) menyebutkan bahwa manajemen persediaan (inventory) perusahaan pun akan berpengaruh terhadap proses transmisi harga (Meyer & von-Cramon Taubadel, 2004, hal. 590). Manajemen persediaan merupakan elemen penting yang menentukan seberapa cepat proses adjustment shock yang dapat dilakukan oleh suatu perusahaan. Dari hasil penelitianya, Balke et al menyebutkan bahwa model penyimpanan persediaan secara FIFO (first in first out) dapat menyebabkan transmisi harga yang tidak sempurna.
Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
27
Menurut Reagan & Weitzman (1982) hubungan antara manajemen persediaan dengan transmisi harga tidak simetris tergantung dari kondisi permintaan yang dihadapi perusahaan. Pada periode permintaan rendah, perusahaan akan cenderung mengurangi jumlah penjualan dan meningkatkan jumlah persediaannya, dibandingkan melakukan penurunan harga. Sebaliknya, pada saat permintaan tinggi perusahaan akan langsung menaikan harga, sehingga terjadi transmisi harga tidak simetris yang positif. Ball
dan
Mankiw
(1994)
mengembangkan
model
yang
mengkombinasikan variabel menu cost dengan inflasi untuk melihat fenomena transmisi harga asimetris. Hasilnya menunjukkan bahwa kenaikan harga input lebih cepat disesuaikan dibandingkan penurunan harga input. Dengan adanya inflasi, penurunan harga input akan mengurangi margin riil yang dapat diterima pelaku usaha. Dengan demikian, penurunan harga input tidak akan ditransmisikan dalam bentuk penurunan harga output apabila terjadi inflasi. Perbedaan mendasar antara transmisi harga yang disebabkan oleh market power dengan adjustment cost adalah dalam hal waktu. Adjustment cost yang besar hanya akan terjadi dalam jangka pendek, sehingga sifatnya hanya menunda proses transmisi atau penyesuaian harga, dan dalam jangka panjang akan terjadi penyesuaian harga yang sempurna (Karantininis, 2011; McCorriston et al., 2000). Sementara asimetri yang disebabkan oleh market power dapat “bertahan” dalam waktu yang lama, karena tidak hanya berpengaruh dari sisi time of adjustment tetapi juga mempengaruhi magnitude of adjustment (Meyer & von-Cramon Taubadel, 2004).
Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
28
2.3.3. Return to Scale dalam Produksi Penelitian mengenai transmisi harga tidak simetris yang dikaitkan dengan dugaan market power selalu mengasumsikan bahwa produksi bersifat constant return to scale, artinya setiap penambahan satu unit output disebabkan adanya penambahan satu unit input5. Menurut McCorriston et al. (2000), asumsi constant return to scale akan menghasilkan kesimpulan yang bias, karena menghilangkan potensi korelasi antara skala ekonomi dengan perilaku harga yang diterapkan oleh pelaku usaha. Kombinasi antara keduanya akan menghasilkan proses transmisi harga yang berbeda. Untuk membuktikan dugaan tersebut, McCorriston membandingkan nilai elastisitas transmisi pada 3 (tiga) kondisi, yaitu 1) kondisi persaingan sempurna, 2) kondisi persaingan tidak sempurna dan constant return to scale, serta 3) kondisi persaingan tidak sempurna dan increasing return to scale6. Dalam penelitian tersebut dibandingkan pula kondisi kurva permintaan, antara kurva permintaan yang linear dengan kurva permintaan yang log-linear. Dari hasil penelitiannya diketahui bahwa untuk fungsi permintaan yang linear, nilai elastisitas transmisi harga pada kondisi persaingan tidak sempurna dan increasing return to scale lebih tinggi dibandingkan nilai elastisitas pada kondisi persaingan tidak sempurna dan constant return to scale. Sementara pada saat fungsi permintaan bersifat log linear, nilai elastisitas transmisi harga untuk kondisi persaingan tidak sempurna dan increasing return to scale adalah yang tertinggi, bahkan dibandingkan kondisi persaingan sempurna. Hal ini menunjukkan bahwa asumsi non-constant return to scale tidak hanya mempengaruhi derajat transmisi harga namun 5
Pindyck & Rubinfeld, 2009, Microeconomics, Seventh Edition. Pearson Prentice Hall. Yaitu situasi dimana penambahan satu unit input menghasilkan jumlah output yang lebih dari satu unit. Universitas Indonesia 6
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
29
juga dapat menghilangkan pengaruh dari market power dalam proses transmisi harga, tergantung dari fungsi permintaan yang dihadapi. McCorriston menambahkan bahwa pada kondisi decreasing return to scale, pengaruh market power terhadap proses transmisi harga tidak simetris akan lebih besar. Sama halnya dengan menu cost, pengaruh return to scale terhadap transmisi harga akan berbeda antara jangka pendek dan jangka panjang. Menurut Karantininis (2011), return to scale hanya akan memberikan pengaruh jangka pendek dalam proses transmisi harga, sementara untuk jangka panjang hanya faktor market power yang akan berpengaruh terhadap transmisi harga. 2.3.4. Karakteristik Produk Dalam penelitian yang dilakukan European Commision (EU-COM, 2009)
disebutkan
bahwa
khusus
untuk
produk
pertanian,
karakteristik produk, seperti daya simpan dan musiman, merupakan faktor penting yang mempengaruhi tingkat integrasi pasar dan transmisi harga produk pertanian. Ward (1982) dalam Serra & Goodwin (2002) menyebutkan bahwa pada produk pertanian yang daya simpannya singkat, pola transmisi harga asimetris yang terjadi mengarah pada tipe negatif. Pedagang perantara yang menjual barang-barang perishable cenderung tidak akan menaikan harga outputnya meskipun terjadi kenaikan harga input. Alasannya adalah pedagang khawatir barangnya tidak laku. Sehingga pedagang lebih memilih menekan marginnya, dengan tidak menaikan harga output, daripada harus menanggung kerugian yang lebih besar, akibat barang yang tidak laku. Dalam kasus ini, transmisi harga asimetri akan menguntungkan bagi supplier dan konsumen, sementara untuk pedagang perantara akan cenderung merugikan. Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
30
Namun menurut Heien (1980), dampak permasalahan perubahan harga pada produk perishable sebenarnya relatif kecil jika dibandingkan dengan produk-produk jangka panjang (Vavra & Goodwin, 2005, hal. 8). Menurutnya, untuk barang yang memiliki umur produk yang panjang, perusahaan yang terakhir melakukan perubahan harga justru akan mendapatkan biaya yang lebih besar akibat kehilangan reputasi perusahaan. 2.3.5. Kebijakan Pemerintah Menurut Kinnucan dan Forker (1987), kebijakan pemerintah pun dapat menyebabkan transmisi harga asimetris yang terjadi antar level pemasaran. Perubahan harga di level petani yang relatif sering pada dasarnya akan menyebabkan ketidakpastian bagi pedagang perantara dalam menentukan harga jualnya, mengingat harga di level petani merupakan biaya input bagi pedagang perantara. Apabila perubahan biaya input tersebut bersifat sementara, maka tidak ada insentif bagi pedagang perantara untuk melakukan penyesuaian harga. Pada kasus kebijakan Pemerintah, hampir di semua negara Pemerintah memiliki kebijakan intervensi harga (dalam bentuk floor price) sebagai antisipasi saat terjadi penurunan harga di level petani, yang tujuannya adalah untuk melindungi petani. Sebaliknya, Pemerintah tidak akan melakukan intervensi apabila terjadi kenaikan harga di level petani. Di satu sisi, kebijakan ini akan dapat mengurangi ketidakpastian perubahan biaya yang dihadapi pedagang perantara. Namun di sisi lain, kebijakan ini pun akan menyebabkan transmisi harga di level petani ke level konsumen menjadi tidak simetris. Penjelasannya adalah pada saat terjadi kenaikan harga di level petani, pedagang akan menganggap bahwa perubahan tersebut sifatnya permanen karena tidak akan ada intervensi Pemerintah. Akibatnya, pedagang akan dengan segera melakukan penyesuaian Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
31
harga jualnya sesuai dengan kenaikan harga di level petani. Namun pada saat terjadi penurunan harga di level petani, pedagang akan percaya bahwa penurunan tersebut hanya bersifat sementara karena Pemerintah akan segera melakukan intervensi. Sehingga pedagang tidak akan dengan cepat melakukan penyesuaian harga jual saat terjadi penurunan harga di level petani. Hal ini yang menyebabkan terjadinya transmisi harga asimetris yang positif. Penelitian serupa dilakukan oleh Serra dan Goodwin (2003) yang melakukan studi terhadap transmisi harga pada produk-produk susu (dairy products) di Spanyol. Dari penelitian tersebut disimpulkan bahwa bahwa kelangkkan susu, pada besaran tertentu disebabkan oleh sistem kuota yang ditetapkan Pemerintah. Sehingga mengarah pada situasi dimana pabrik pengolah susu bersaing untuk meningkatkan akses mereka terhadap kuota susu dan market share penjualan mereka akan tetapi tidak mentrasmisikan peningkatan harga di level petani secara penuh kepada harga di level ritel. 2.4. Penelitian terdahulu Analisa transmisi harga tidak simetris telah banyak mengalami berbagai perkembangan metodologi. Analisa transmisi harga yang sederhana dilakukan dengan mengikuti metode Houck (1979) dalam Acquah dan Onumah (2010), yang membagi efek perubahan harga antara shock kenaikan harga dengan shock penurunan harga. Metode Houck kemudian disebut dengan model statis, yang dapat ditulis dalam persamaan berikut : (2.1) dimana terjadi pada
dan
merupakan perubahan positif dan negatif yang . Pengujian transmisi harga simetri dilakukam dengan
Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
32
membandingkan koefisien
dan
, transmisi harga dikatakan tidak
simetris apabila kedua keofisien tersebut signifikan tidak identik. Metode Houck dianggap tidak sesuai apabila terdapat hubungan kointegrasi antara dua series data harga. Von Cramon-Taubadel mengusulkan pendekatan ECM lebih valid untuk digunakan untuk pengujian transmisi harga asimetris. Penggunaan ECM dalam analisa transmisi harga tidak simetris pertama kali dilakukan oleh Granger dan Lee (1989) dalam Acquah dan Onumah (2010), dengan menggunakan persamaan sebagai berikut : (2.2) (ECTt-1 = PA,t-1 - α - γPB,t-1) dimana
(2.3)
merupakan bentuk penyimpangan dari keseimbangan jangka
panjang (keseimbangan kointegrasi) dari dipisahkan dalam bentuk positif (
dan
, yang kemudian
) dan negatif (
).
menggambarkan kondisi saat penyimpangan berada di atas garis keseimbangan jangka panjang. Sebaliknya,
menggambarkan kondisi
saat penyimpangan berada di bawah garis keseimbangan jangka panjang. Koefisien
dan
diharapkan bernilai negatif, artinya bahwa
penyimpangan yang terjadi akan kembali ke garis keseimbangan (Wixson & Katchova, 2012). Kondisi asimetris ditentukan dengan membandingkan keidentikan koefisien
dengan
.
Analisa transmisi harga asimetris dengan menggunakan ECM disebut dengan model dinamis. Von Cramon-Taubadel dan Loy (1996) dalam Acquah dan Onumah (2010) kemudian mengembangkan model dinamis yang lebih kompleks, dengan menggabungkan model Houck dan model ECM Granger. Persamaan model ECM yang dikembangkan Von CramonTaubadel dan Loy adalah sebagai berikut : Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
33
(2.4) Pada model ini, proses transmisi harga dapat dilihat dalam parameter jangka pendek dan jangka panjang sekaligus. Hipotesa transmisi harga asimetris akan ditolak apabila koefisien positif dengan koefisien negatif terbukti tidak identik secara statistik. Pengujian koefisien dilakukan baik terhadap koefisien jangka pendek ( panjang (
=
=
dan
=
) maupun koefisien jangka
).
Model ECM Von Cramon-Taubadel dan Loy dalam analisa transmisi harga pun telah dinyatakan valid oleh Hassouneh et al. (2012). Hassouneh et al. membandingkan beberapa model ekonometri dalam analisa transmisi harga, dengan mempertimbangkan ada atau tidaknya unit roots dan kointegrasi dalam dua data series harga. Mereka menyimpulkan bahwa VECM dan ECM adalah model yang valid untuk menguji pola transmisi harga pada kondisi data yang tidak stasioner namun terkointegrasi. Pada saat persamaan jangka panjangnya menunjukkan pola yang tidak stasioner, maka persamaan VECM dan ECM yang biasa tidak dapat digunakan sehingga diperlukan metode AVECM atau AECM7. Aplikasi metode tersebut dalam analisa transmisi harga untuk produkproduk pertanian menjadi sangat popular. Beberapa analisa transmisi harga vertikal yang menggunakan metode tersebut antara lain von CramonTaubadel (1998), Rapsomanikis et al. (2004), Acquah & Onumah (2010), dan Alam et al. (2010). Penelitian yang dilakukan Alam et al. (2010) merupakan penelitian yang paling ideal untuk digunakan sebagai referensi dalam penelitian ini. Alam et al. (2010) secara khusus meneliti dugaan transmisi harga beras tidak 7
Untuk kasus persamaan jangka panjang yang tidak linear, aplikasi model AVECM sama validnya dengan model Threshold Vector Error Correction (TVECM) maupun model Smooth Transition Vector Error Correction (STVECM). Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
34
simetris antara harga beras level pedagang grosir dengan harga beras level konsumen di Bangladesh. Untuk membuktikan dugaan transmisi harga asimetris, mereka menggunakan metode ECM Von Cramon-Taubadel dan Loy, dimana harga beras level pedagang grosir bertindak sebagai variabel independent dan variabel harga beras level konsumen sebagai variabel dependent-nya. Penentuan variabel dependent dan independent dilakukan dengan metode VECM. Meskipun penelitian ini menggunakan penelitian Alam et al. (2010) sebagai referensi, namun akan dilakukan beberapa modifikasi diantaranya (1) data harga yang digunakan adalah harga gabah kering panen (GKP) di level petani dan harga eceran beras di level konsumen; (2) pengujian kausalitas dilakukan dengan menggunakan Granger test yang kemudian dibandingkan dengan teori dan karakteristik perdagangan beras; dan (3) pengujian asimetris dilakukan dengan menggunakan model asimetris Granger – Lee (1989) dan model asimetris Von Cramon-Taubadel dan Loy (1996).
Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
BAB 3 GAMBARAN PERBERASAN INDONESIA Beras merupakan komoditas strategis di Indonesia. Menurut Dodge & Gemessa (2012), berdasarkan data Susenas tahun 2010, sebanyak 98.5% masyarakat
Indonesia
mengkonsumsi beras sebagai bahan pangan
pokoknya. Program diversifikasi pangan yang gagal menyebabkan beras masih menjadi pangan utama di berbagai daerah. Bahkan daerah yang sebelumnya mempunyai pola pangan pokok bukan beras pun beralih mengkonsumsi beras, seiring dengan peningkatan pendapatan yang diperoleh. Sehingga beras berperan penting dalam mewujudkan ketahanan pangan8 masyarakat Indonesia. Selain itu, usaha tani padi masih menjadi urat nadi perekonomian di pedesaan. Menurut Mardianto & Ariani (2004), sebanyak 20 juta keluarga petani dan buruh tani menggantungkan hidupnya pada usaha tani padi. Akibatnya, gejolak yang terjadi pada komoditas beras tidak hanya akan menyebabkan kerawanan ekonomi, tetapi juga kerawanan sosial dan politik, yang berujung pada kegoyahan stabilitas negara. Sebagai salah satu komoditas pertanian, beras memiliki karakteristik penawaran dan permintaan yang unik. Fungsi penawaran maupun fungsi permintaan beras bersifat inelastis terhadap perubahan harga (Prastowo et al., 2008). Petani sebagai produsen tidak bisa serta merta meningkatkan produksinya ketika terjadi kenaikan harga, karena padi termasuk dalam kelompok tanaman musiman. Begitu pula halnya dengan konsumen yang tidak dapat mengurangi permintaannya secara drastis ketika harga beras eceran meningkat. Kondisi tersebut menyebabkan perlunya suatu formulasi kebijakan yang khusus, guna menjembatani kepentingan produsen dan konsumen sekaligus.
8
Definisi ketahanan pangan, menurut UU No 7 Tahun 1996 Pasal 1 Ayat 17, adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau.
35
Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
36
Di sisi petani, kebijakan yang diambil Pemerintah harus mampu meningkatkan pendapatan petani, sehingga petani memiliki insentif untuk tetap menanam padi dan meningkatkan produktivitasnya. Di sisi lain, kebijakan tersebut pun harus mampu menjamin harga eceran beras yang terjangkau di level konsumen. Kebijakan perberasan dikatakan efektif apabila dapat mempertahankan harga yang baik di tingkat produsen dan pada saat yang sama tidak terlalu memberatkan konsumen. 3.1. Gap Antara Pola Produksi dan Konsumsi Beras Sebagai negara agraris, pada dasarnya produksi padi/beras di Indonesia sudah cukup besar. Dari berbagai penelitian yang mengkaji pola permintaan dan penawaran beras dalam negeri menyebutkan bahwa secara statistik produksi beras di dalam negeri mampu mencukupi seluruh kebutuhan (konsumsi)
beras
masyarakat
Indonesia
(Prastowo
et
al,
2008;
Kusumaningrum, 2008; Arifin, 2011). Sebagai gambaran di tahun 2007, jumlah produksi padi Indonesia mencapai 57.05 juta ton, atau setara dengan 29.57 juta ton beras, sementara jumlah konsumsi beras dalam negeri adalah 26.99 juta ton. Dengan demikian di tahun 2007 Indonesia memiliki surplus beras sebanyak 2.62 juta ton. Secara statistik, jumlah produksi beras di Indonesia terus mengalami peningkatan setiap tahunnya, meskipun peningkatannya tidak terlalu besar. Data BPS menunjukkan produktivitas lahan padi di Indonesia pun mengalami peningkatan. Pada tahun 2007 produktivitas lahan padi rata-rata sebesar 47.26 kuintal/hektar, sementara di tahun 2011 produktivitasnya mencapai 50.09 kuintal/hektar9. Hal ini menunjukkan bahwa produksi padi Indonesia mengalami pola increasing return to scale yang melambat. Apabila membandingkan dengan jumlah konsumsi beras tahunan, Indonesia telah mengalami surplus beras sejak tahun 2002 (Tabel 3.1).
9
Buku Produksi Tanaman Pangan BPS Tahun 2007 dan Buku Produksi Tanaman Pangan BPS Tahun 2011 Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
37
Tabel 3.1. Perbandingan Jumlah Produksi dan Konsumsi Beras Indonesia Tahun
Produksi beras (juta ton)
Konsumsi beras (juta ton)
Surplus/ deficit
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
26.90 26.15 26.68 27.02 28.03 28.06 28.21 29.61 31.25 33.36 34.43 34.06
26.26 26.41 26.55 26.91 26.83 26.30 26.65 26.99 28.52 30.03 32.08 33.56
0.64 -0.26 0.13 0.11 1.20 1.76 1.56 2.62 2.73 3.33 2.35 0.50
Sumber : BPS (2012), Kementerian Pertanian (2012), telah diolah kembali
Meskipun secara statistik kebutuhan beras dalam negeri mampu dipenuhi seluruhnya oleh produksi dalam negeri, namun adanya gap antara waktu produksi dengan waktu konsumsi seringkali menimbulkan permasalahan kelangkaan. Sebagaimana diketahui, beras merupakan tanaman musiman, yang produksinya berfluktuasi mengikuti pola tanam. Surplus beras biasanya terjadi pada bulan Februari – Mei, dengan puncaknya di bulan April (dikenal dengan masa panen raya). Untuk daerah tertentu, musim panen padi dapat terjadi 2 (dua) kali setahun, yaitu pada bulan Februari – Mei dan bulan Agustus – September. Pada musim kemarau dan musim tanam (Oktober – Januari), produksi beras akan mengalami defisit10. Di sisi lain, pola konsumsi beras stabil sepanjang tahun, karena beras merupakan makanan pokok sebagian besar penduduk Indonesia (Bustaman, 2003). Kondisi ini yang menyebabkan terjadinya kelangkaan beras pada bulan tertentu di Indonesia, meskipun secara statistik Indonesia mengalami surplus beras. Berikut adalah pola produksi beras dan konsumsi beras di
10
Yang dimaksud defisit adalah jumlah produksi beras lebih rendah dari jumlah konsumsinya. Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
38
Indonesia, yang dilengkapi dengan data impor dan harga GKP di level petani dan harga beras di level konsumen.
Gambar 3.1. Pola Produksi dan Konsumsi Beras di Indonesia Sumber : (1) Arifin, 2011, The “Regulation” of Rice Market in Indonesia (2) BPS (2012), telah diolah kembali
Perbedaan antara pola produksi dan pola konsumsi beras menyebabkan karakteristik penawaran dan permintaan beras menjadi unik, dimana baik fungsi penawaran maupun fungsi permintaannya bersifat inelastis terhadap perubahan harga. Petani sebagai produsen tidak bisa serta merta meningkatkan produksinya ketika terjadi kenaikan harga, karena adanya kendala periode musim panen dan tanam. Begitu pula halnya dengan konsumen, yang tidak dapat mengurangi permintaannya ketika harga meningkat. Gap antara waktu produksi dan waktu konsumsi tidak hanya menyebabkan permasalahan kelangkaan beras, tetapi juga berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan petani dan konsumen. Pada saat musim panen, jumlah beras di pasar meningkat secara drastis. Sesuai dengan hukum penawaran, saat terjadi peningkatan jumlah supply (yang tidak disertai dengan peningkatan jumlah demand) maka harga keseimbangan di pasar akan mengalami penurunan. Sehingga harga jual padi di level petani pun akan menurun, Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
39
terbukti dengan menurunnya harga GKP di level pada bulan Februari – Mei (Gambar 3.1). Kondisi ini akan berimplikasi pada penurunan tingkat kesejahteraan petani. Fenomena yang menarik untuk dibahas adalah pada awal musim panen raya (Februari – Maret) impor beras ke Indonesia masih dilakukan. Meskipun puncak masa panen raya jatuh pada bulan April, namun pada bulan Februari dan Maret jumlah produksi beras di dalam negeri sudah mulai mengalami surplus. Masuknya beras impor pada bulan tersebut dikhawatirkan akan semakin menurunkan harga GKP di level petani. Pada saat musim kemarau dan musim tanam, terjadi fenomena yang sebaliknya. Jumlah supply akan mengalami penurunan, sementara jumlah demand-nya tetap. Akibatnya harga akan terdorong ke level yang lebih tinggi. Meskipun dari data pola impor pada gambar 3.1 menunjukkan bahwa beras impor mulai masuk ke Indonesia sejak bulan September, namun jumlah beras impor nampaknya masih relatif sedikit untuk memenuhi total kebutuhan konsumsi beras dalam negeri. Kenaikan harga beras pada masa tanam dan masa paceklik ini akan mengurangi tingkat kesejahteraan konsumen dan tidak menyebabkan kenaikan tingkat kesejahteraan petani, karena umumnya petani langsung menjual seluruh hasil produksinya pada saat musim panen11. 3.2. Gambaran Distribusi Beras di Indonesia Dengan adanya gap antara periode produksi dan konsumsi beras serta karakteristik penawaran dan permintaan beras yang inelastis, maka sistem distribusi menjadi berperan penting dalam menjamin ketersediaan beras di pasaran sepanjang tahun. Mubyarto (1990) mendefinidikan sistem distribusi sebagai
suatu
kegiatan
ekonomi
yang
berfungsi
membawa
dan
menyampaikan barang dan jasa dari produsen ke konsumen (KPPU, 2007, hal.II.1). Pada kasus komoditas beras, sistem distribusi juga mencakup 11
Hasil penelitian Bank Indonesia menunjukkan bahwa 92% hasil produksi petani akan dijual dan hanya 8% yang disimpan untuk kebutuhan konsumsinya sendiri. Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
40
proses penyimpanan, karena petani langsung menjual sebagian besar (92%) hasil produksinya dan tidak melakukan penyimpanan beras. Prastowo et al. (2008) menyebutkan bahwa faktor distribusi merupakan variabel penting yang perlu diperhitungkan dalam pembentukan harga beras, karena gangguan distribusi dapat menimbulkan kelangkaan pasokan yang meningkatkan harga eceran beras di pasar. Gangguan distribusi disinyalir tidak akan memberikan keuntungan kepada konsumen maupun petani. Kesejahteraan konsumen akan berkurang seiring dengan peningkatan harga. Di lain pihak, petani pun tidak akan menikmati kenaikan harga karena umumnya tidak memiliki kemampuan modal dan fasilitas penyimpanan, sehingga pada saat terjadi kenaikan harga petani sudah tidak memiliki padi/beras untuk dijual. Lebih jauh lagi, kenaikan harga beras akibat gangguan distribusi akan menyebabkan kenaikan inflasi, mengingat beras merupakan komponen utama pembentuk inflasi. Permasalahan yang terjadi dalam distribusi beras di Indonesia semakin dinamis, seiring dengan dinamika perkembangan ekonomi, sosial, dan politik yang terjadi di dalam negeri. Salah satu permasalahan yang paling kompleks adalah masalah disparitas harga beras yang sangat signifikan terjadi setelah masa deregulasi tata niaga beras di tahun 1998 (Arifin et al., 2006; KPPU, 2007). Disparitas harga tersebut terjadi secara spasial (antar wilayah/Propinsi) maupun secara vertikal (antar berbagai level dalam satu rantai pemasaran). Dalam konteks vertikal, disparitas harga yang semakin melebar antar berbagai level pemasaran dalam satu rantai menunjukkan adanya permasalahan inefisiensi dalam rantai pemasaran tersebut. KPPU (2007) menyebutkan bahwa sistem distribusi dapat dikatakan efisien apabila memenuhi 2 (dua) syarat, yaitu (1) mampu menyampaikan barang dari produsen ke konsumen dengan biaya semurah-murahnya, dan (2) mampu memberikan pembagian yang adil dari keseluruhan harga yang dibayarkan konsumen akhir kepada semua pihak yang ikut serta dalam kegiatan Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
41
produksi dan distribusi barang sesuai porsi peranannya masing-masing. Berdasarkan persyaratan tersebut maka sistem distribusi yang efisien akan dapat meningkatkan pendapatan pihak-pihak yang terlibat dalam tataniaga, mulai dari produsen, lembaga pemasaran (pedagang perantara), maupun konsumen. Efisiensi dalam sistem distribusi dapat dilihat dari dua aspek, yaitu efisiensi operasional dan efisiensi harga. Efisiensi operasional terjadi apabila distribusi produk dari produsen ke konsumen akhir diselenggarakan dengan biaya atau marjin yang rendah tanpa mengurangi tingkat kepuasan konsumen. Sementara efisiensi harga terjadi apabila masing-masing partisipan dalam sistem distribusi responsif terhadap perubahan harga yang terjadi, dengan kata lain terjadi proses transmisi harga yang sempurna antara level pemasaran. Terdapat 3 (tiga) kondisi yang menunjukkan terjadinya efisiensi harga, yaitu (1) tersedianya alternatif pilihan bagi konsumen, (2) perbedaan harga mencerminkan adanya biaya yang dikeluarkan karena adanya penambahan nilai tambah, dan (3) masing-masing pelaku dalam rantai pemasaran merasa puas (KPPU, 2007). Dengan adanya disparitas harga yang semakin melebar antara level produsen dengan konsumen mengindikasikan tidak adanya pembagian yang adil atas perubahan harga yang terjadi. Dalam hal ini produsen tidak menikmati keuntungan saat terjadi kenaikan harga di level konsumen, dan konsumen pun tidak menikmati keuntungan saat terjadi penurunan harga di level petani. Menurut Mardianto et al. (2005), kinerja dan efisiensi sistem pemasaran dipengaruhi oleh sejumlah faktor, baik faktor intrinsic maupun faktor ekstrinsik. Yang dimaksud dengan faktor intrinsic antara lain struktur pasar, tingkat integrasi pasar, dan margin pemasaran. Sementara faktor eksternal yang akan berpengaruh terhadap kinerja sistem pemasaran adalah kebijakan Pemerintah, seperti pengembangan infrastruktur pemasaran (fisik dan kelembagaan), program stabilisasi harga, pajak, dan lain-lain. Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
42
Prastowo et al (2008) menambahkan bahwa permasalahan efisiensi dalam sistem distribusi dapat disebabkan oleh dua hal, yaitu (1) rantai pemasaran yang terlalu panjang, dan (2) besarnya marjin keuntungan yang ditetapkan oleh setiap mata rantai distribusi. Semakin pendek mata rantai distribusi dan semakin kecil marjin keuntungan, maka kegiatan distribusi tersebut semakin efisien. Namun, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan KPPU di 5 (lima) Propinsi, diketahui bahwa rantai pemasaran beras di Indonesia secara umum tergolong pendek, karena hanya melibatkan beberapa pelaku/lembaga pemasaran pasca farm gate. Sehingga indikasi sistem distribusi yang tidak efisien pada komoditas beras lebih disebabkan oleh faktor yang kedua, yaitu besarnya marjin keuntungan yang ditetapkan oleh setiap lembaga pemasaran. Secara umum berikut adalah gambaran rantai pemasaran beras di Indonesia. Petani
Tengkulak/Pedagang Pengumpul
Penggilingan /Huller
Pedagang Grosir
Pengecer
Konsumen
Perdagangan ke Luar Daerah/Pulau
Gambar 3.2. Rantai Pemasaran Beras di Indonesia Sumber : KPPU, 2007
Dari Gambar 3.2 di atas dapat dilihat bahwa petani memiliki akses untuk langsung
menjual gabahnya kepada pengusaha penggilingan/huller,
khususnya pengusaha penggilingan skala kecil yang umumnya membeli gabah tidak melalui tengkulak. Menurut Prastowo et al (2008), petani umumnya hanya menjual 92% hasil produksinya, sementara sisanya digunakan untuk konsumsi sendiri. Adapun produk yang dijual petani sebagian besar dalam bentuk gabah kering panen (GKP), yaitu sebanyak 45%, dan gabah kering giling (GKG), yaitu sebanyak 42%. Sementara produk dalam bentuk beras hanya sebanyak 13%. Gabah tersebut sebagian besar dijual kepada pedagang pengumpul/tengkulak (84%), sisanya dijual kepada pengusaha penggilingan (10%) dan pedagang besar di daerah lain. Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
43
KPPU (2007) menyebutkan bahwa di beberapa lokasi sampel, pengusaha penggilingan tidak hanya memberikan jasa penggilingan saja, melainkan juga berperan sebagai pedagang besar. Bahkan di Sumatera Utara, Jawa Barat, dan Jawa Timur, pengusaha penggilingan juga berperan sebagai pedagang antar pulau (PAP). Untuk pedagang pengecer yang lokasinya dekat dengan sentra produksi beras, umumnya melakukan pembelian beras langsung kepada pengusaha penggilingan, tanpa melalui pedagang grosir. Sistem distribusi beras juga berperan dalam menyalurkan beras dari daerah surplus beras ke daerah defisit beras. Sentra produksi beras di Indonesia masih didominasi oleh daerah-daerah di Pulau Jawa, yaitu Propinsi Jawa Barat (17,65%), Jawa Timur (17,24%), dan Jawa Tengah (15,27%). Untuk wilayah luar Jawa, produksi beras yang cukup besar berasal dari Propinsi Sulawesi Selatan (6,48%), Sumatera Utara (5,44%), dan Sumatera Selatan (4,92%) (Ditjen PPHP, 2011). Sementara dari sisi konsumsi, hampir seluruh Propinsi di Indonesia menjadikan beras sebagai makanan pokoknya. Tanpa adanya sistem distribusi, harga beras antar Propinsi akan sangat bervariasi. Untuk daerah sentra produksi beras akan terjadi surplus beras, yang menyebabkan harganya menjadi rendah. Sebaliknya, untuk daerah defisit beras akan mendapatkan harga eceran beras yang sangat tinggi karena kelangkaan. Khusus untuk jalur distribusi di Jawa, Ditjen PPHP melakukan identifikasi bahwa sebanyak 70% beras produksi pengusaha penggilingan disalurkan kepada pedagang grosir yang berada di dalam Pulau Jawa. Sebanyak 25% sisanya dijual kepada pedagang antar pulau, untuk kemudian didistribusikan kepada masyarakat luar Jawa. Sisanya, sebesar 5%, dijual kepada BULOG sebagai beras raskin. Berikut adalah gambaran distribusi beras khusus di Pulau Jawa.
Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
44
PETANI 20%
80% Pedagang Pengumpul Desa
Penebas
PENGGILINGAN PADI (produk beras)
25%
70%
5%
Pedagang Antar Pulau
Pedagang Grosir
BULOG
Grosir Luar Jawa
Pedagang Pengecer
Masyarakat Miskin/ TNI/Polri
Pengecer Luar Jawa
Konsumen Jawa
Konsumen Luar Jawa
Gambar 3.3. Rantai Distribusi Beras di Pulau Jawa Sumber : Ditjen PPHP, 2006 dalam Indrayani, 2008
3.3. Kebijakan Perberasan Indonesia Intervensi pemerintah dalam sektor beras di Indonesia mempunyai sejarah yang panjang. Wahab & Gonarsyah (1989) dalam Kusumaningrum (2008) menyebutkan
bahwa
kebijakan
perberasan
telah
ada
sejak
masa
Pemerintahan Sunan Amangkurat I (1645-1677), dimana pada tahun 1655 Pemerintahnya melarang ekspor beras ke luar Jawa akibat adanya kekeringan yang luar biasa. Pada masa orde baru, sektor pertanian menjadi primadona. Terbukti dengan banyaknya
kebijakan
publik
yang
ditujukan
untuk
meningkatkan
produktivitas pertanian serta memberikan perlindungan terhadap petani, mulai dari peningkatan infrastruktur irigasi sampai dengan berbagai program Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
45
subsidi bahan baku (pupuk dan benih) dan kredit ringan yang diberikan kepada petani (Arifin, 2011). Tujuan kebijakan perberasan pada masa orde baru adalah menjamin stabilisasi harga di tingkat petani maupun konsumen. Namun, seiring dengan bertambahnya beban anggaran Pemerintah, bantuanbantuan Pemerintah di sektor pertanian sedikit demi sedikit mulai dikurangi (Mardianto & Ariani, 2004). Sejak memasuki masa reformasi di tahun 1998, kebijakan perberasan Indonesia mengalami perubahan yang cukup drastis, akibat adanya Letter of Intent dengan IMF. Kebijakan perberasan Indonesia perlahan-lahan mulai diarahkan pada kebijakan perdagangan liberal dan berbagai subsidi yang diberikan kepada petani sedikit demi sedikit dicabut. Akibatnya, fluktuasi harga beras di pasar dalam negeri semakin tidak terkendali dan jumlah pembelian beras impor semakin tinggi (Arifin, 2011). Pada tahun 2002, Pemerintah menetapkan arah kebijakan perberasan Indonesia dalam 5 (lima) elemen utama, yaitu (1) elemen peningkatan produktivitas petani dan produksi beras nasional; (2) elemen diversifikasi usaha tani; (3) elemen kebijakan harga; (4) elemen kebijakan impor yang melindungi petani dan konsumen dalam negeri; dan (5) elemen jaminan distribusi dan penyediaan beras untuk keluarga miskin dan rawan pangan (Kusumaningrum, 2008). Berdasarkan elemen-elemen tersebut dapat dilihat bahwa kebijakan perberasan di Indonesia termasuk dalam kelompok kebijakan development policy12, karena bertujuan untuk meningkatkan pendapatan petani dan meningkatkan produksi padi nasional secara sekaligus. Contoh teknis kebijakan perberasan di Indonesia yang mencakup elemen peningkatan produksi dan elemen kebijakan harga antara lain kebijakan Harga Dasar Pembelian Pemerintah (HDPP), Subsidi Pupuk, dan Bantuan Langsung Benih Unggul (BLBU).
12
Kebijakan pemerintah di bidang pertanian terbagi menjadi dua tipe, yaitu Development Policy dan Compensating Policy. Development policy bertujuan mendorong produksi dan peningkatan pendapatan petani. Sedangkan compensating policy bertujuan untuk meningkatkan pendapatan petani tetapi dengan kecenderungan menekan produksi (Hardono et.al, 2004 dalam Pratiwi, 2008). Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
46
Berdasarkan Inpres No 2/2005, kebijakan perberasan di Indonesia dapat diklasifikasikan menjadi 4 (empat) kelompok, yaitu kebijakan produksi, kebijakan harga, kebijakan impor, dan kebijakan distribusi (Pratiwi, 2008). 3.3.1. Kebijakan Produksi Sebagai bahan pangan utama bagi sebagian besar penduduk Indonesia, Pemerintah Indonesia senantiasa melakukan berbagai upaya untuk mencukupi kebutuhan beras dalam negeri sepanjang tahun, melalui berbagai kebijakan produksi. Secara umum, peningkatan produksi komoditas pertanian dapat dilakukan melalui 2 (dua) cara yaitu intensifikasi, yaitu peningkatan produksi dengan cara meningkatkan produktivitas tanaman dan Indeks Pertanaman (IP), dan ekstensifikasi pertanian, yang dilakukan peningkatan luas areal panen. Kebijakan peningkatan produksi padi di Indonesia sudah dimulai sejak tahun 1959, dengan dikeluarkannya Program Padi Sentra. Program ini dilakukan melalui dua paket teknologi yaitu bantuan alat dan bahan (hard technology) dan pendekatan sosial individu (soft technology) (Pratiwi, 2008). Selama periode 1959 – 1998 tercatat setidaknya terdapat 9 (sembilan) program Pemerintah yang secara khusus ditujukan untuk meningkatkan produksi padi nasional. Hasilnya di tahun 1984 Indonesia berhasil mencapai swasembada beras, melalui Program Panca Usahatani. Meskipun swasembada beras tersebut hanya bertahan sampai tahun 1993 (Kusumaningrum, 2008). Menurut Mardianto & Ariani (2004), kebijakan produksi padi yang ditetapkan Pemerintah Orde Baru, seperti pemberian subsidi input dan kredit usaha tani, efektif meningkatkan produktivitas usaha tani padi di Indonesia. Namun dengan semakin beratnya beban anggaran Pemerintah, berbagai program insentif dan bantuan Pemerintah tersebut sedikit demi sedikit dihapuskan. Puncaknya pada tahun Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
47
1998, program subsidi pupuk urea, sebagai satu-satunya program yang masih tersisa, pun akhirnya dicabut. Bahkan distribusi dan harga diserahkan seluruhnya kepada mekanisme pasar. Kondisi ini dinilai semakin meningkatkan biaya produksi petani. Pada tahun 2000, Pemerintah membuat Proyek Ketahanan Pangan dengan memberikan varietas Cibodas dan Membrano kepada petani, yang dinilai sebagai salah satu varietas unggulan. Namun program tersebut kurang berhasil karena kesulitan untuk memonitoring petani. Di tahun 2007, Pemerintah kembali membuat program peningkatan produksi padi melalui Program Peningkatan Beras Nasional. Dalam program ini Pemerintah memberikan bantuan benih unggul, pupuk bersubsidi, pupuk organik, dan perbaikan irigasi kepada petani. Berdasarkan Berita Resmi BPS tanggal 3 Maret 2008, Program Peningkatan Beras Nasional dinyatakan berhasil meningkatkan produksi padi sebanyak 2,6 juta ton gabah kering giling. Berikut adalah berbagai perubahan kebijakan produksi beras di Indonesia. Tabel 3.2. Program Peningkatan Produksi Padi Pemerintah Periode 1959 – 2007 Program
Tahun
Hard Technology
Soft Technology
Padi Sentra
1959
Komando Operasi Gerakan Makmur
Bimbingan Masal
1965
Intensifikasi Masal
1968
Bimas Gotong Royong
1969
Intensifikasi Khusus
1979
Varietas Si Gadis, Jelita, Dara dan Bengawan Varietas Si Gadis, Jelita, Dara dan Bengawan Pengenalan varietas PB5 dan PB8 (IRRI) Penggunaan varietas PB5 dan PB8 Panca Usahatani
Perbaikan kelembagaan dan kredit Sama dengan Padi Sentra, tanpa kredit Penguatan kelembagaan modal swasta Pembentukan kelompok tani
Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
48
(sambungan Tabel 3.2) Program
Tahun
Hard Technology
Soft Technology
Supra Intensifikasi Khusus SUTPA
1987
Sapta Usahatani
Penguatan kelompok tani
1995
INBIS
1997
Gema Palagung
1998
Varietas Cibodas dan Membramo Varietas Cibodas dan Membramo Sapta Usahatani
Corporate Farming
2000
Varietas Cibodas dan Membramo
Diversifikasi Pertanian Pendampingan Petani Kredit Usaha Tani (KUT) Konsolidasi petani sehamparan
Proyek Ketahanan Pangan Pengelolaan Tanaman & Sumberdaya Terpadu Program Peningkatan Beras Nasional
2000
Varietas Cibodas dan Membramo
Bantuan dana Langsung
2001
Perpaduan sumberdaya
Kelompok usaha agribisnis dan penguatan modal
2007
Bantuan benih, pupuk bersubsidi, pupuk organik, perbaikan irigasi
Pengendalian OPT, manajemen pasca panen dan kelembagaan
Sumber : Pratiwi, 2008
Beberapa kendala yang diduga menghambat efektivitas kebijakan peningkatan produksi padi yang telah ditetapkan Pemerintah antara lain rendahnya penerapan teknologi produksi dan pascapanen oleh petani. Hal ini disebabkan rendahnya pengetahuan dan penguasaan teknologi yang dimiliki oleh petani (Pratiwi, 2008). Selain itu, kendala akses permodalan yang dihadapi petani juga dinilai menjadi salah
satu
penyebab
rendahnya
produksi
padi
Indonesia.
Keterbatasan anggaran yang dimiliki Pemerintah menyebabkan jumlah bantuan dan subsidi yang diberikan tidak merata kepada Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
49
seluruh petani. Akibatnya petani yang tidak mendapatkan bantuan menjadi kesulitan untuk membeli benih unggul dan pupuk yang baik. 3.3.2. Kebijakan Harga Falsafah dasar dari kebijakan harga adalah (1) menjaga harga dasar yang cukup tinggi di level petani untuk merangsang produksi, (2) menetapkan harga maksimum untuk menjamin kelayakan dan keterjangkauan harga bagi konsumen, (3) menjaga disparitas yang layak antara harga dasar dengan harga maksimum untuk memberikan keuntungan yang wajar bagi swasta untuk menyimpan dan mendistribusikan beras, (4) menjamin hubungan harga yang wajar antar daerah dan terhadap harga internasional (Amang, 1989 dalam Kusumaningrum, 2008). Secara umum, kebijakan harga output dan perdagangan bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada produsen (petani) dan konsumen. Kebijakan harga untuk melindungi petani biasa disebut sebagai harga dasar (floor price), sedangkan untuk konsumen disebut harga eceran tertinggi (ceiling price). Negara-negara Asia yang menerapkan kebijakan tersebut antara lain India, Philipinam Thailand, Vietnam, dan Myanmar. Di negara-negara tersebut, pelaksanaan kebijakan harga diawasi secara ketat, sehingga petani padi benar-benar mendapat manfaat yang nyata dari implementasi kebijakan (Mardianto & Ariani, 2004). Di Indonesia, kebijakan harga yang populer untuk komoditas padi/beras adalah kebijakan stabilisasi harga pada masa orde baru. Pada periode tersebut, Pemerintah mengendalikan batas bawah harga beras melalui mekanisme floor price dan batas atas harga beras melalui mekanisme ceiling price (Kusumaningrum, 2008). Melalui penentapan floor price, jatuhnya harga gabah pada saat panen raya dapat dihindari. Dalam hal ini, Pemerintah memberikan jaminan harga (guaranteed price) kepada petani, sehingga pendapatan petani Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
50
tidak akan berkurang dan produksi beras dapat terus ditingkatkan. Di sisi lain, penetapan ceiling price akan memberikan perlindungan kepada konsumen dari harga beras yang tinggi, khususnya pada saat musim paceklik. Pagu ceiling price ditetapkan berbeda antar wilayah, tujuannya adalah untuk mendorong distribusi perdagangan antar daerah surplus beras dengan daerah defisit beras.
Namun
akibat keterbatasan anggaran Pemerintah, kebijakan ceiling price dicabut, dan hanya menyisakan instrumen floor price sebagai kebijakan pengendali harga (Pratiwi, 2008). Untuk dapat mempertahankan harga dasar pada level yang ditetapkan Pemerintah, khususnya pada saat musim panen raya dimana jumlah supply beras meningkat signifikan, maka Pemerintah melakukan pembelian gabah dan beras. Kebijakan tersebut pada masa orede baru dikenal dengan kebijakan Harga Dasar Gabah (HDG). Sejak tahun 1999, kebijakan stabilisasi harga melalui HDG dinilai kurang efektif. Hal ini disebabkan harga dasar yang ditetapkan Pemerintah berada jauh di atas harga paritas impor, sehingga beras impor masuk membanjiri pasar dalam negeri (Kusumaningrum, 2008). Pemerintah kemudian mengganti kebijakan HDG dengan kebijakan harga dasar pembelian Pemerintah (HDPP). Kebijakan tersebut dianggap sebagai kebijakan transmisi menuju pelepasan harga gabah ke mekanisme pasar. Pada kebijakan HDG, Pemerintah wajib membeli seluruh kelebihan supply pada saat panen raya, untuk menjamin harga gabah di pasar tetap berada pada level HDG yang ditetapkan Pemerintah. Implikasi dari kebijakan ini adalah beban anggaran Pemerintah yang dibutuhkan sangat besar, karena Pemerintah harus membeli seluruh kelebihan supply kapan pun dan dimana pun. Padahal anggaran yang dimiliki Pemerintah terbatas. Mekanisme kerja kebijakan HDG ditampilkan dalam Gambar berikut : Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
51
Gambar 3.4. Kurva Pembentukan Harga Dasar Gabah Sumber : Kusumaningrum, 2008
Pada Gambar 3.4 dapat dilihat bahwa pada saat panen raya akan terjadi peningkatan produksi padi, yang akan menggeser kurva penawaran ke kanan (S petani → S’ petani). Akibatnya, harga akan turun sebesar P1. Untuk melindungi petani dari kerugian, Pemerintah menetapkan HDG sebesar P2. Namun, agar dapat mempertahankan harga pada level P2 maka Pemerintah wajib membeli kelebihan supply sebesar A-B dari petani. Hal ini membutuhkan dana yang cukup besar dan harus tersedia setiap saat. Penetapan Kebijakan HDPP pertama kali dituangkan Pemerintah melalui Inpres No 9 Tahun 2002. Dalam Inpres 9/2002 kebijakan perberasan diarahkan untuk melindungi petani dari gejolak harga musiman dan melindungi dari gejolak harga di pasar dunia. Caranya adalah melalui instrumen pembelian Pemerintah pada tingkat harga yang sesuai dengan Harga Dasar Pembelian Pemerintah (HDPP) (Mardianto & Ariani, 2004). Perbedaan dengan kebijakan HDG, pada kebijakan HDPP Pemerintah telah menetapkan batas persentase pembelian kelebihan supply sebesar 8%13 dan hanya akan membeli gabah sebesar persentase tersebut. Kebijakan HDPP dimaksudkan 13
Nilai 8% diperoleh dari studi menggunakan kurun waktu 20 tahun. Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
52
agar Pemerintah akan lebih mudah dalam melakukan budgeting, planning,
dan kalkulasi anggarannya untuk membeli beras
(Kusumaningrum, 2008). Adapun mekanisme kerja kebijakan HDPP adalah sebagai berikut :
Gambar 3.5. Kurva Pembentukan Harga Dasar Pembelian Pemerintah Sumber : Kusumaningrum, 2008
Pada saat terjadi panen raya, terjadi peningkatan jumlah supply yang menggeser kurva penawaran petani ke kanan (S petani → S’petani) dan menurunkan titik keseimbangan harga pada level P1 (P0 → P1). Berbeda dengan kebijakan HDG yang menetapkan batas harga dasar/minimum,
pada
kebijakan
HDPP
Pemerintah
tidak
menetapkan harga dasar minimum. Pemerintah akan bertindak sebagai konsumen beras, dengan harga pembelian sesuai HDPP, sehingga akan meningkatkan jumlah penawaran dan menggeser kurva permintaan ke atas (DKonsumen → DKonsumen+Pemerintah) . Dengan demikian, kurva S’petani dan kurva DKonsumen+Pemerintah akan membentuk titik keseimbangan harga yang baru, yaitu di titik P2. Pada tahun 2005, melalui Instruksi Presiden No 2 Tahun 2005, istilah HDPP kembali berubah menjadi Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Perubahan tersebut dinilai semakin membuyarkan kewajiban Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
53
Pemerintah dalam mengamankan harga gabah di tingkat petani (Arifin, 2006). Sementara untuk dapat mempertahankan level harga maksimum, Pemerintah melakukan penjualan (injeksi) beras di pasar. Terdapat dua jenis kebijakan intervensi harga pasar yang berlaku di Indonesia, yaitu Operasi Pasar Murni (OPM) dan Operasi Pasar Khusus (OPK). OPM merupakan OPM merupakan bagian dari general price subsidy yang digunakan pada saat harga beras terlalu tinggi akibat excess demand di pasar. OPM dilakukan dengan cara pemotongan harga sekitar 10-15 persen di bawah harga pasar. Sedangkan OPK merupakan implementasi dari targeted price subsidy. Tujuan utama OPK adalah memberikan bantuan pangan pada masyarakat miskin yang rawan pangan OPK masih terus dilakukan sampai saat ini, dengan targetnya masyarakat miskin. Tahun 2002, OPK dirubah namanya menjadi Raskin (Beras untuk Keluarga Miskin). Program Raskin juga masih terus dilakukan sebagai salah satu jaring pengaman sosial yang volumenya semakin meningkat dari tahun ke tahun karena adanya kecenderungan kenaikan harga beras di tingkat konsumen (Pratiwi, 2008). Untuk
menjalankan
kebijakan-kebijakan tersebut,
Pemerintah
menunjuk Badan Urursan Logistik (BULOG) sebagai lembaga yang bertugas melakukan stabilisasi harga beras. Meskipun peran BULOG sebagai stabilitator harga pernah dicabut pada tahun 1998, namun pada tahun 2007, melalui SK Mendag No 1111 Tahun 2007, Pemerintah kembali menunjuk BULOG sebagai pengendali harga dan impor beras di Indonesia (Pratiwi, 2008). 3.3.3. Kebijakan Impor Indonesia merupakan salah satu negara importir beras terbesar di dunia. Kebijakan impor bertujuan untuk menekan jumlah dan mengurangi tingkat ketergantungan beras dari negara lain. Kebijakan Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
54
ini diimplementasikan melalui 2 (dua) instrumen utama, yaitu hambatan tarif dan hambatan non tarif (Pratiwi, 2008). Sebelum tahun 1999, Pemerintah memberlakukan kebijakan non tarif impor dengan cara mengatur jumlah impor (kuota) beras ke dalam negeri, yang tujuannya adalah menjaga agar stok dan harga beras nasional tidak terganggu. Untuk mengefektifkan pengaturan kuota impor, Pemerintah hanya menunjuk BULOG sebagai satu-satunya pihak yang dapat melakukan importasi beras (monopoli impor). Dengan diberikannya hak monopoli impor beras tersebut, BULOG dapat dengan mudah menjaga stok beras di dalam negeri sekaligus menjaga stabilitas harga beras dalam negeri (Sidik, 2004; Timmer, 2004; Yonekura, 2004; Dodge & Gemessa, 2012). Namun sesuai dengan kesepakatan GATT/WTO di tahun 1995, kebijakan non tarif sudah tidak boleh lagi diterapkan. Sehingga sejak tahun 1999, Pemerintah mencabut hak monopoli impor beras yang dimiliki BULOG. Dengan demikian, seluruh pihak (swasta) memiliki kebebasan untuk melakukan impor beras (Kusumaningrum, 2008). Paritas harga beras impor dan harga beras dalam negeri yang terlalu tinggi menyebabkan harga beras dalam negeri menjadi tidak kompetitif dibandingkan beras impor. Hal ini signifikan mengurangi pendapatan petani, khususnya petani kecil yang tidak memiliki modal dan fasilitas penyimpanan beras yang memadai. Untuk melindungi petani dari persaingan dengan harga beras impor yang lebih murah, pada tahun 2000 Pemerintah menetapkan tarif bea masuk impor. Tujuannya adalah untuk meningkatkan pendapatan petani dan produksi beras, mengamankan kebijakan harga dan stabilisasi harga dalam negeri, dan meminimumkan beban anggaran Pemerintah (Simatupang, 1999 dalam Kusumaningrum, 2008).
Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
55
Selain itu, sejak tahun 2004, Pemerintah mengeluarkan kebijakan yang melarang impor beras pada saat musim panen raya, sebagaimana diatur dalam SK Menperindag No 9/MPP/Kep/I/ 2004 tentang Ketentuan Impor Beras. Dalam peraturan tersebut, impor beras dilarang dalam masa satu bulan sebelum panen raya, saat panen raya, dan dua bulan setelah panen raya. Pertimbangannya adalah untuk mengantisipasi pergeseran waktu panen raya akibat anomali iklim dan cuaca. Penentuan masa panen raya sendiri ditetapkan oleh Menteri Pertanian (Mardianto & Ariani, 2004). Selain itu, impor beras hanya dapat dilakukan oleh Importir Produsen Beras (IP) (Pratiwi, 2008). Pada dasarnya, kebijakan impor dapat menjadi solusi untuk menjaga ketahanan pangan dan kestabilan harga, dengan catatan dilakukan di waktu dan dengan jumlah yang tepat. Sehingga impor tidak berbalik menekan harga beras dalam negeri. Dengan melihat kecenderungan yang terjadi selama ini, dimana harga beras impor lebih banyak mendikte dan menekan harga beras dalam negeri, maka sejak pertengahan 2003 Pemerintah kembali menugaskan BULOG sebagai lembaga pengendali impor dan harga beras dalam negerei (Pratiwi, 2008). 3.3.4. Kebijakan Distribusi Distribusi beras mutlak diperlukan dalam menjaga ketahanan pangan
sepanjang tahun, mengingat beras merupakan tanaman musiman. Selain itu, persediaan beras antar daerah yang tidak merata, akibat perbedaan kemampuan produksi antar daerah yang tidak sama, membutuhkan pengaturan distribusi pangan yang baik. Secara umum,
tujuan kebijakan distribusi adalah untuk
menjamin
ketersediaan pangan sepanjang tahun secara merata dan terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat.
Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
56
Sejak tahun 1967, Pemerintah membentuk BULOG sebagai badan yang berfungi untuk menjaga stabilitas harga bahan pangan pokok di dalam negeri (Sidik, 2004). Khusus untuk komoditas beras, BULOG hanya memiliki satu tugas utama pada periode orde baru, yaitu melakukan stabilisasi harga beras dalam negeri. Stabilisasi harga mencakup penjaminan harga yang tinggi di level petani dan penjaminan harga beras yang terjangkau di level konsumen (Dodge & Gemessa, 2012). Menurut Timmer (2004), selama 30 tahun BULOG berhasil melakukan stabilisasi harga beras karena didukung oleh 4 (empat) instrumen kebijakan, yaitu : (1) Kebijakan monopoli impor, yang menyebabkan BULOG dapat mengendalikan harga beras dalam negeri dari perdagangan internasional; (2) Akses yang tidak terbatas terhadap kredit, dengan bunga yang disubsidi pada tahun pertama dan jaminan suku bunga dari Bank Indonesia untuk tahun-tahun berikutnya; (3) Pembelian/pengadaan beras yang cukup besar oleh Dolog14 untuk menaikan harga beras di level petani, yang disertai dengan kebijakan harga dasar gabah (mekanisme floor price); (4) Fasilitas logistik dan infrastruktur yang memadai, dimana BULOG menguasai pergudangan hampir di seluruh Indonesia. Sehingga cadangan beras yang dimiliki BULOG sangat besar dan merata di seluruh daerah. Cadangan beras inilah yang kemudian akan digunakan BULOG untuk mempertahankan harga beras di level yang terjangkau bagi konsumen, khususnya konsumen perkotaan (mekanisme ceilling price15).
14
Dolog merupakan kantor perwakilan BULOG di daerah. Pada tahun-tahun awal BULOG berdiri, ceilling price yang ditetapkan Pemerintah akan diumumkan oleh BULOG, namun beberapa tahun berikutnya besaran ceilling price tidak lagi diumumkan. Universitas Indonesia 15
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
57
Menurut Dodge & Gemessa (2012), meskipun BULOG tetap menghadapi persaingan dengan pedagang swasta dalam pembelian gabah di tingkat petani dan pemasaran beras di tingkat konsumen, namun hak monopoli impor yang diberikan kepada BULOG menyebabkan kebijakan stabilisasi harga beras pada periode orde baru dapat berjalan dengan efektif. Dengan adanya hak monopoli impor, serta berbagai kebijakan pendukung di atas, membuat BULOG mampu mengendalikan keseimbangan supply-demand di pasar beras dalam negeri, yang pada akhirnya akan mampu mengendalikan harga beras di dalam negeri. Rais (2003) menambahkan bahwa pada periode orde baru, BULOG mampu membangun sistem distribusi beras dengan pola komando logistik yang disiplin. BULOG memberikan fungsi distribusi hanya kepada pedagang-pedagang tertentu, yang disebut BULOG dengan “mitra kerja”. Mitra kerja tersebut berada di wilayah-wilayah tertentu yang ditentukan oleh BULOG. BULOG akan mengendalikan volume distribusi beras kepada mitranya dengan sistem jatah. Sebagai mitra kerja, para distributor tersebut ikut menjalankan tugas stabilisasi harga di wilayah kerjanya masing-masing, yang sebenarnya tugas tersebut merupakan tanggung jawab BULOG. Dengan demikian, BULOG dapat dengan mudah memantau keseimbangan pasar beras dengan konsisten sampai ke jalur distribusi yang paling hilir. Pada akhirnya, BULOG mampu menjalankan mekanisme floor price dan ceilling price secara efektif. Dengan dihapuskannya hak monopoli impor yang dimiliki BULOG, sistem distribusi yang dimiliki BULOG pun menjadi hilang. Menurut Abu Bakar (2007) dalam Pratiwi (2008), setidaknya BULOG saat ini memiliki 4 tugas publik yang terkait dengan beras, yaitu; (i) jaminan harga pembelian pemerintah untuk gabah dan beras, (ii) stabilisasi harga, (iii) pengelolaan raskin, dan (iv) cadangan atau stok pangan Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
58
nasional. Keempat tugas publik tersebut harus dilakukan secara bersama-sama karena tidak dapat dipisahkan antara satu sama lain. Gabah/beras yang dibeli BULOG dari petani bertujuan untuk memberikan harga yang wajar, khususnya saat musim panen raya dimana harga gabah akan jatuh. Kemudian gabah dan beras hasil pengadaan dari dalam negeri tersebut akan menjadi persediaan yang tersimpan dalam gudang-gudang (divre atau subdivre) BULOG sebagai Cadangan Beras Pemerintah/CBP (buffer stock). CBP tersebut nantinya akan digunakan Pemerintah sebagai sumber bantuan sosial, operasi pasar, keperluan darurat dan supply pasar tertentu. Jumlah minimum buffer stock yang wajib tersedia di gudang BULOG adalah 1 juta ton beras. Apabila dalam penyaluran beras terjadi kekurangan stok yang tidak dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri, maka BULOG dapat melakukan impor agar cadangan pangan nasional tetap tercukupi. Seperti yang pernah dilakukan pada pertengahan tahun. Proses distribusi beras di Indonesia pada dasarnya dilakukan dengan dua cara yaitu melalui distribusi BULOG dan mekanisme pasar. Namun dibandingkan dengan total konsumsi beras Indonesia, besarnya CBP tersebut belum merepresentasikan pengaruh BULOG terhadap distribusi beras dalam negeri. BULOG hanya menguasai 10% pangsa pasar distribusi beras di Indonesia. Sementara lebih dari 80 – 90% distribusi beras di Indonesia dilakukan oleh pedagang swasta melalui mekanisme pasar (Kitano et al, 1999; Pratiwi, 2008). Dalam kaitannya dengan stabilisasi harga, dengan sedikitnya jumlah CBP yang dimiliki BULOG, maka peran BULOG dan pengenaan kebijakan
HPP
sering
kali
menjadi
kurang
efektif dalam
menstabilkan harga beras di level petani maupun konsumen, Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
59
khususnya dengan melihat distorsi harga beras impor yang cukup besar. 3.4. Kebijakan Pemerintah dan Perkembangan Harga Sebagaimana disebutkan sebelumnya, beras merupakan komoditas strategis di Indonesia. Akibatnya, kebijakan perberasan Indonesia diarahkan untuk menjamin harga jual padi/beras yang tinggi di level petani sekaligus menjamin harga beras yang layak dan tidak memberatkan di level konsumen. Sebagaimana dipaparkan dalam sub bab 3.3, kebijakan perberasan sendiri telah mengalami banyak perubahan, sesuai dengan situasi ekonomi dan politik yang terjadi. Dilihat dari sisi kebijakan pengendalian harga dan kebijakan impor, kebijakan perberasan Indonesia terbagi menjadi 3 (tiga) rezim, yaitu (1) Rezim Orde Baru (tahun 1975 – 1998), dimana harga, impor, dan distribusi beras di dalam negeri sepenuhnya berada di bawah kendali Pemerintah (dalam hal ini BULOG); (2) Rezim Pasar Bebas (tahun 1998 – 1999), dimana impor beras dibiarkan bebas dengan bea masuk nol persen; dan (3) Rezim Pasar Terbuka Terkendali (tahun 2000 – saat ini), dimana impor beras “dikendalikan” melalui mekanisme tarif dan non tarif (Arifin, 2006). Gambaran interaksi pergerakan harga beras dalam negeri dengan kebijakan perberasan yang pernah diterapkan Pemerintah ditampilkan pada Gambar 3.6. Dari Gambar 3.6 dapat dilihat bahwa pada rezim Orde Baru pergerakan harga padi di level petani dan harga beras di level konsumen relatif stabil. Pada periode tersebut pun diparitas antara harga padi dengan harga eceran beras cenderung kecil dan terkendali. Hal ini disebabkan BULOG diberikan kewenangan monopoli impor dan berbagai kebijakan Pemerintah yang mendukung peran BULOG sebagai stabilitator harga beras dalam negeri. Selain itu, jaringan distribusi BULOG yang kuat dan menyeluruh di seluruh Indonesia memudahkan BULOG untuk mengendalikan jumlah supply dan demand pada pasar beras di Indonesia. Akibatnya, harga beras di level petani dan level konsumen akan dengan mudah dikendalikan BULOG. Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
60
Gambar 3.6.
Interaksi Pergerakan Harga Beras dan Kebijakan Perberasan Indonesia Sumber : BULOG (2009) dalam Arifin (2011)
Pada tahun 1998, kebijakan perberasan nasional berubah drastis, dimana kebijakan perberasan diarahkan menuju liberalisasi perdagangan. Pada tahun ini bea masuk beras dihapuskan dan setahun berikutnya kewenangan monopoli impor BULOG dicabut, sehingga pelaku usaha lain dapat melakukan importasi beras secara bebas. Namun dampaknya, harga beras di dalam negeri menjadi sulit dikendalikan karena variabel harga beras luar negeri menjadi dominan dalam penentuan harga beras dalam negeri. Disparitas harga antara level petani dengan level konsumen pun akhirnya menjadi melebar. Tahun 2000, Pemerintah kembali memberlakukan kebijakan tarif impor beras, dengan menetapkan bea masuk impor sebesar 30% (Rp 430/kg)16. Implikasinya, pada periode 2000 – 2005 harga beras dalam negeri relatif
16
Pada tahun 2005, bea masuk impor beras dinaikkan menjadi Rp 450/kg Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
61
stabil, meskipun disparitas harga antara level petani dengan level konsumen tetap besar. Arifin (2006) melakukan penelitian terhadap dampak kebijakan perberasan dengan stabilisasi harga beras dalam negeri. Hasilnya menunjukkan bahwa untuk harga gabah pada rezim orde baru lebih stabil dibandingkan dengan rezim pasar bebas dan pasar terbuka terkendali. Sementara untuk harga beras di level konsumen, tingkat stabilitas harga antara rezim orde baru dengan rezim pasar terbuka terkendali relatif sama. Pada rezim pasar bebas, tingkat stabilitas harga menunjukkan nilai yang paling rendah. Artinya, harga beras di level konsumen relatif tidak stabil dibandingkan rezim orde baru dan rezim pasar terbuka terkendali. 3.5. Kebijakan Pemerintah dan Peningkatan Produksi Kebijakan
perberasan
nasional
pada
dasarnya
diarahkan
untuk
meningkatkan produksi beras dalam negeri, guna mencapai kemandirian pangan. Hanya saja, dalam menentukan suatu kebijakan pangan, Pemerintah seringkali dihadapkan pada kondisi yang dilematis. Di satu sisi Pemerintah perlu menjamin harga gabah/beras yang tinggi di level petani, sehingga petani tetap memiliki insentif untuk menanam padi di musim tanam berikutnya. Di sisi lain, Pemerintah harus memastikan harga beras yang terjangkau di level konsumen. Produksi padi dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain (1) luas areal tanam, (2) produktivitas lahan, (3) harga jual gabah/beras, dan (4) tingkat pendapatan petani. Seluruh kebijakan perberasan nasional, mulai dari kebijakan produksi, kebijakan harga, kebijakan impor, dan kebijakan distribusi, saling terkait dalam mempengaruhi faktor-faktor di atas. Kebijakan produksi akan secara langsung berpengaruh terhadap luas areal tanam dan produktivitas lahan. Kebijakan produksi juga secara tidak langsung akan berimplikasi terhadap harga beras/gabah, sebagaimana hukum penawaran yang berlaku. Sebaliknya, kebijakan harga, kebijakan impor dan kebijakan distribusi justru akan mempengaruhi harga gabah/beras Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
62
dan pendapatan petani secara langsung, serta memiliki dampak tidak langsung terhadap luas areal tanam dan produktivitas lahan. Akibatnya, perubahan pada salah satu kebijakan akan mempengaruhi kinerja kebijakan lainnya. Berdasarkan data BPS, pertumbuhan luas areal panen relatif stagnan. Pertumbuhan luas areal panen lebih besar terjadi di luar Jawa, sementara di pulau Jawa justru luas areal panen cenderung berkurang (Pratiwi, 2008). Peningkatan pembangunan ekonomi yang masih terkonsentrasi di Pulau Jawa menjadi penyebab terjadinya konversi lahan pertanian menjadi areal industri atau pemukiman. Padahal produktivitas lahan di pulau Jawa relatif lebih baik dibandingkan di luar Jawa, akibat faktor kesesuaian lahan, iklim, serta infrastruktur irigasi yang baik untuk produksi tanaman padi. Berikut adalah perbandingan pertumbuhan luas areal panen, produktivitas lahan, dan produksi beras nasional.
Gambar 3.7. Pertumbuhan Luas Areal Tanam Padi di Indonesia Sumber : BPS (2012), telah diolah kembali
Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
63
Gambar 3.8. Pertumbuhan Produktivitas Lahan Padi di Indonesia Sumber : BPS (2012), telah diolah kembali
Gambar 3.9. Pertumbuhan Produksi Padi di Indonesia Sumber : BPS (2012), telah diolah kembali
Berdasarkan Gambar di atas dapat dilihat bahwa peningkatan produksi padi/beras nasional nampaknya lebih disebabkan oleh peningkatan produktivitas lahan dibandingkan oleh penambahan luas areal tanam. Peningkatan produktivitas lahan tidak terlepas dari berbagai kebijakan produksi yang ditetapkan Pemerintah, seperti program bantuan benih unggul dan subsidi pupuk yang sudah mulai diberikan Pemerintah sejak tahun 1979 melalui program Panca Usahatani. Efektivitas kebijakan peningkatan produktivitas lahan secara nyata dapat dilihat pada tahun 2007 – 2011. Sejak Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
64
tahun 2007, Pemerintah secara intensif memberikan berbagai bantuan benih unggul dan subsidi pupuk kepada petani guna meningkatkan produktivitas lahannya. Dampaknya sejak tahun 2007 produksi padi/beras Indonesia cenderung meningkat, meskipun luas areal tanam menunjukkan trend yang relatif stagnan. Efektivitas kebijakan produksi dalam bentuk program bantuan benih unggul dan pupuk dijelaskan pula dalam penelitian Pratiwi (2008), yang menyebutkan bahwa penggunaan bibit unggul dan faktor pemupukan
merupakan
faktor
input
yang
sangat
mempengaruhi
produktivitas lahan dan produksi padi/beras. Dalam hal kebijakan harga, sebagaimana yang sudah dijelaskan sebelumnya, sejak tahun 1998 Pemerintah mulai berusaha melepaskan harga jual gabah di level petani ke mekanisme pasar. Hal ini akan berimplikasi pada penurunan harga jual gabah di level petani, karena umumnya harga beras luar negeri masih lebih rendah dibandingkan harga di dalam negeri. Dengan harga gabah yang rendah, pendapatan yang diterima petani pun akan berkurang. Apabila kondisi ini dibiarkan dikhawatirkan petani akan tidak lagi berminat untuk menanam padi dan kemudian menjual sawahnya. Hal inilah yang kemungkinan menyebabkan terjadinya penurunan luas areal tanam padi di Jawa.
Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN Pada bab ini akan diuraikan mengenai metode analisis yang akan digunakan dalam penelitian serta data-data yang diperlukan dalam penelitian. 4.1. Cakupan Penelitian Dalam penelitian ini akan dianalisa kinerja saluran pemasaran beras di Indonesia, dengan menggunakan pendekatan analisa transmisi pergerakan harga gabah kering panen (GKP) di level petani terhadap harga beras di level konsumen. Adapun metode analisis yang digunakan adalah Asymmetric Price Transmission dengan model Asymmetric Error Correction (AECM). Kinerja saluran pemasaran beras dikatakan tidak efisien apabila terjadi fenomena Asymmetric Price Transmission antara harga GKP petani dengan harga beras konsumen, baik jangka pendek ataupun jangka panjang. Sebelum masuk ke tahap pengujian asimetris, dilakukan pengujian stasioneritas dan pengujian kointegrasi untuk mengetahui karakteristik series data. Setelah identifikasi karakteristik data dilakukan, maka selanjutnya dilakukan pengujian kausalias untuk mengetahui arah hubungan transmisi harga. Dalam penelitian ini pengujian kausalitas dilakukan secara statistic dengan metode Granger causality test, yang kemudian dibandingkan dengan pendekatan teori.. Untuk pengujian transmisi harga asimetri dilakukan dengan menggunakan metode Error Correction Model (ECM) yang dikembangkan oleh GrangerLee (1989) dan Von Cramon-Taubadel & Loy (1996), yang merupakan model dinamis. Dikatakan model dinamis karena ECM tidak hanya melihat proses
65
Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
66
transmisi harga jangka pendek17, tetapi juga mempertimbangkan proses penyesuaian harga terhadap keseimbangan jangka panjang. Model ECM yang dikembangkan oleh Granger dan Lee dalam analisa transmisi harga asimetris adalah menggunakan persamaan sebagai berikut (Acquah & Onumah, 2010) : (4.1) (ECTt-1 = PA,t-1 - α - γPB,t-1) dimana panjang
(4.2)
merupakan bentuk penyimpangan dari keseimbangan jangka dan
. Oleh karena model ECM pada dasarnya merupakan
pengembangan dari konsep kointegrasi, maka keseimbangan jangka panjang antara dua series harga adalah pada saat kedua series harga tersebut saling terkointegrasi, dimana pergerakan harga di salah satu series memiliki pola yang sama dengan pergerakan series harga lainnya. Pada saat pergerakan harga menyimpang dari pola/keseimbangan jangka panjang yang seharusnya, maka penyimpangan tersebut akan dimasukan sebagai bentuk error (ECT). Dalam model transmisi harga asimetris, ECT kemudian dipisahkan dalam bentuk positif (
) dan negatif (
).
menggambarkan kondisi
penyimpangan harga saat berada di atas garis keseimbangan, dan menggambarkan kondisi penyimpangan harga saat berada di bawah garis keseimbangan. Kondisi asimetris ditentukan dengan membandingkan keidentikan koefisien
dan
.
Von Cramon-Taubadel dan Loy kemudian mengembangkan model dinamis yang lebih kompleks, dengan menggabungkan model statis Houck dan model ECM Granger-Lee. Melalui model ini, transmisi harga asimetris dapat 17
Transmisi harga jangka pendek, disebut juga model statis, adalah hanya melihat efek perubahan harga antara shock kenaikan harga dengan shock penurunan harga. Model statis transmisi harga asimetris dikembangkan oleh Houck. Model ini dinilai kurang valid untuk digunakan pada data yang memiliki hubungan kointegrasi. Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
67
dipisahkan antara transmisi jangka pendek dengan transmisi jangka panjang. Persamaan model ECM yang dikembangkan Von Cramon-Taubadel dan Loy adalah sebagai berikut (Alam et al., 2010) :
(4.3) Pada model ini, hipotesa transmisi harga asimetris akan ditolak apabila koefisien positif dengan koefisien negatif terbukti tidak identik secara statistik. Pengujian koefisien dilakukan baik terhadap koefisien jangka pendek (
=
dan
=
) maupun koefisien jangka panjang (
=
).
Aplikasi metode tersebut dalam analisa transmisi harga untuk produk-produk pertanian menjadi sangat popular. Model ECM Von Cramon-Taubadel dan Loy dalam analisa transmisi harga telah dinyatakan valid oleh Hassouneh et al. (2012). Hassouneh et al. membandingkan beberapa model ekonometri dalam analisa transmisi harga, dengan mempertimbangkan ada atau tidaknya unit roots dan kointegrasi dalam dua data series harga. Mereka menyimpulkan bahwa VECM dan ECM adalah model yang valid untuk menguji pola transmisi harga pada kondisi data yang tidak stasioner namun terkointegrasi. Pada saat persamaan jangka panjangnya menunjukkan pola yang tidak stasioner, maka persamaan VECM dan ECM yang biasa tidak dapat digunakan sehingga diperlukan metode AVECM atau AECM18. Dengan mengacu pada berbagai literatur penelitian sebelumnya, maka pendekatan yang digunakan dalam analisa integrasi pasar dan transmisi harga antara harga GKP petani terhadap harga beras konsumen adalah dengan menggunakan AECM model Granger-Lee (persamaan (4.1)) dan model Von Cramon Taubadel & Loy (persamaan (4.3)). Melalui kedua model tersebut diharapkan akan lebih tergambarkan apakah proses transmisi harga asimetris 18
Untuk kasus persamaan jangka panjang yang tidak linear, aplikasi model AVECM sama validnya dengan model Threshold Vector Error Correction (TVECM) maupun model Smooth Transition Vector Error Correction (STVECM). Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
68
terjadi dalam jangka pendek, dalam jangka panjang, atau keduanya. Model AECM digunakan dengan asumsi arah hubungan harga yang terjadi adalah satu arah. Sehingga apabila hasil pengujian kausalitas menunjukkan arah hubungan yang terjadi adalah dua arah, maka pengujian model asimetri hanya mengambil salah satu arah transmisi, dengan menyesuaikan pada karakteristik industri beras Indonesia. Pemilihan sampel data harga GKP dan harga beras didasarkan pada data harga bulanan rata-rata dari bulan Januari 2000 sampai dengan bulan Desember 2011 yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik. Harga GKP digunakan dalam penelitian ini mengingat sebagian besar (45%) produk yang dijual oleh petani adalah dalam bentuk GKP19. Untuk harga beras, data yang digunakan adalah harga beras eceran umum, tanpa memperhatikan jenis beras yang dijual. Harga tersebut dipilih karena adanya keterbatasan data sekunder yang tersedia. Dalam publikasi data harga eceran beras BPS, jenis beras yang dipasarkan di setiap provinsi berbeda-beda. Sebagai gambaran, beras jenis IR64 di wilayah Indonesia Timur tidak dipasarkan. Sehingga data harga beras di level konsumen digunakan data harga eceran umum, karena pengambilan data harga yang dibatasi pada jenis beras tertentu dikhawatirkan akan mengurangi validitas hasil analisa. 4.2. Metode Analisis Pendekatan statistik yang digunakan pada asymmetric vertical price transmission mengacu pada fenomena harga yang terjadi ketika harga di salah satu level pemasaran bereaksi terhadap perubahan harga (shock) di level yang lain. Analisa dapat dilakukan dari hulu ke hilir, yaitu melihat reaksi harga hilir terhadap shock yang terjadi di hulu, maupun sebaliknya dari hilir ke hulu, tergantung karakteristik industrinya. Analisa transmisi harga dari hulu ke hilir umumnya dilakukan apabila karakteristik industrinya adalah supply 19
Working Paper BI Edisi WP/07/2008, Juni 2008, “Pengaruh Distribusi Dalam Pembentukan Harga Komoditas dan Implikasinya Terhadap Inflasi”, www.bi.go.id Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
69
shifted, dimana perubahan harga lebih besar ditentukan oleh sisi penawaran. Sebaliknya, analisa transmisi harga dari hilir ke hulu dilakukan pada industri dengan karakteristik demand shifted. Dalam penelitian ini analisa transmisi harga dilakukan secara satu arah, yaitu dengan melihat perubahan dan proses transmisi harga di hilir (konsumen) akibat shock harga yang terjadi di hulu (petani). Dengan kata lain analisa transmisi harga dilakukan dari hulu ke hilir. Asumsi ini digunakan dengan melihat karakteristik perdagangan beras yang merupakan bahan pangan pokok yang sifatnya musiman, dimana harga beras lebih banyak ditentukan oleh pergerakan di sisi supply dibandingkan sisi demand. Transmisi harga vertikal dikatakan asimetris apabila terjadi perbedaan respon harga di salah satu level pemasaran akibat adanya shock kenaikan atau penurunan harga di level yang lain. Pendekatan asymmetric vertical price transmission digunakan dalam penelitian ini dengan melihat kondisi pergerakan harga GKP petani dengan harga beras konsumen selama periode tahun 2000 – 2011, dimana gap kedua data harga tersebut menunjukkan kecenderungan yang semakin melebar. Model pengujian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Asymmetric Error Correction Model (AECM). Melalui AECM, transmisi harga asimetris dapat dipisahkan antara pola jangka pendek dengan pola jangka panjang. Dengan demikian dugaan adanya penyalahgunaan market power sebagai faktor penyebab transmisi harga asimetris dapat lebih mudah diidentifikasi. Apabila transmisi harga asimetris terjadi hanya pada jangka pendek, sementara pada jangka panjang proses transmisinya menunjukkan pola simetris, maka dapat disimpulkan bahwa penyebab transmisi harga lebih disebabkan oleh faktor adjustment cost/menu cost atau skala ekonomi. Faktor market power hanya akan berpengaruh terhadap proses transmisi harga dalam jangka panjang, sehingga apabila transmisi harga asimetris pada jangka panjang siginifikan, maka dapat dipastikan transmisi harga asimetris tersebut Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
70
disebabkan oleh adanya penyalahgunaan market power yang dilakukan pedagang perantara. 4.3. Tahapan Pengujian Beberapa faktor dibutuhkan dalam menghasilkan model persamaan yang dapat diandalkan. Faktor tersebut meliputi pengujian stasioneritas, pengujian kointegrasi, pengujian kausalitas, dan terakhir pengujian transmisi harga asimetris dengan AECM. 4.3.1. Tes Stasioner Uji stasioneritas dilakukan untuk menguji karakteristik data yang digunakan. Pengujian ini diperlukan mengingat data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data time series. Stasioneritas terkait erat dengan konsistensi pergerakan data time series. Suatu data dikatakan stasioner apabila nilai parameter statistiknya (nilai rata-rata dan varians) konstan sepanjang waktu, diikuti dengan nilai covarians antar dua periode waktu yang hanya bergantung pada selang diantara keduanya. Sebaliknya, data time series dikatakan tidak stasioner apabila terdapat tren pada nilai rata-rata atau variannya. Menurut Granger & Newbold (1974) dalam Vavra & Goodwin (2005), regresi dengan menggunakan data yang tidak stasioner akan mengarah pada regresi lancung (spurious regression). Permasalahan ini muncul akibat adanya tren (pergerakan yang menurun maupun meningkat) yang kuat dari variabel dependen dan independen dalam runtun waktu. Tren tersebut akan menghasilkan nilai R2 yang tinggi, dimana secara statistik dapat diartikan adanya hubungan antar variabel yang siginifikan, namun hasil tersebut tidak memiliki arti ekonomi apapun. Apabila data time series diturunkan pada tingkat pertama (first difference) dan baru menunjukkan hasil yang stasioner, maka data Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
71
series tersebut dikatakan terintegrasi pada ordo 1 atau dinotasikan dengan I(1). Secara umum, apabila data time series harus diturunkan sebanyak “d” kali agar stasioner, maka data tersebut dapat dinotasikan dalam bentuk I(d). Uji stasioneritas yang paling berkembang adalah uji akar unit (unit root test). Suatu data time series dikatakan tidak stasioner apabila memiliki unit root. Terdapat berbagai metode untuk melakukan uji unit root, diantaranya Dickey-Fuller Unit Root Test (DF), Augmented Dickey-Fuller Test (ADF), dan Philips Perron Test (PP). Dalam penelitian ini, akan digunakan tes ADF dan tes PP untuk menguji stasioneritas dari data. Tes ADF mengikuti persamaan berikut :
(4.4) dimana Pt adalah series harga, ∆ adalah turunan pertama (Pt- Pt-1), dan εt merupakan notasi untuk error terms. Hipotesis nol yang diuji adalah persamaan memiliki unit root (ρ = 0), dengan hipotesis tandingannya adalah persamaan stasioner (ρ < 0). Sementara untuk tes PP mengikuti spesifikasi berikut :
(4.5) dimana Pt adalah series harga,
adalah tren waktu, T adalah
ukuran sampel, dan vt adalah white noise error term. Hipotesis nol yang diuji sama dengan tes ADF, yaitu persamaan memiliki unit root (ρ = 0), dan hipotesis tandingannya adalah persamaan stasioner (ρ < 0).
Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
72
4.3.2. Tes Kointegrasi Tahap selanjutnya adalah melakukan uji kointegrasi. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, regresi yang dilakukan terhadap data non stasioner akan menyebabkan permasalahan regresi lancung dan tidak konsisten. Padahal umumnya data – data ekonomi memiliki karakteristik tidak stasioner. Oleh sebab itu, untuk melihat kecenderungan pergerakan data antara dua variabel yang tidak stasioner, namun bergerak secara bersama-sama dalam jangka panjang, digunakan uji kointegrasi. Uji kointegrasi merupakan pengujian model stasioner pada nilai residual yang dihasilkan dari persamaan yang menggunakan data tidak stasioner. Dengan kata lain, dua data time series yang tidak stasioner dapat terkointegrasi apabila tingkat penyimpangan dari masing-masing data tetap memiliki karakteristik yang stasioner dan menunjukkan pola keseimbangan jangka panjang (terkointegrasi). Pergerakan data antara dua variabel dikatakan terkointegrasi apabila kedua data tersebut bergerak secara bersama-sama dalam jangka panjang, meskipun dalam jangka pendek pergerakannya terkesan menjauh. Dengan demikian, analisa kointegrasi merupakan metode yang valid digunakan untuk mengestimasi hubungan ekonomi jangka panjang antar variabel yang terintegrasi, meskipun variabel tersebut tidak stasioner. Dalam analisa transmisi harga asimetris dengan VECM, uji kointegrasi merupakan salah satu prasyarat untuk dapat melanjutkan analisa ke tahap pengujian (V)ECM. Pada metode (V)ECM, data time series yang tidak stasioner dapat digunakan sepanjang data tersebut terkointegrasi (memiliki hubungan jangka panjang atau terjadi ekuilibrium dalam jangka panjang). Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
73
Pengujian
kointegrasi
pada
penelitian
ini
dilakukan
untuk
menunjukkan hubungan jangka panjang antara variabel harga GKP dan variabel harga beras konsumen. Model pengujian kointegrasi yang digunakan dalam penelitian adalah berdasarkan metode Johansen (1988) dan Johansen & Juselius (1990), yang dikenal dengan maximum likelihood (Vavra & Goodwin, 2005, hal. 31-32). Berdasarkan metode Johansen, uji kointegrasi diawali dengan model vector autoregressive (VAR) tradisional untuk menentukan jumlah lag yang optimal, berdasarkan uji likelihood ratio atau AIC. Lag optimal tersebut digunakan untuk mengestimasi VECM dan menentukan peringkat dari matriks parameter. Persamaan kointegrasi model VECM adalah sebagai berikut : ∆Pt = ∏Pt-1 + Γ1 ∆Pt-1 + … + Γk-1 ∆Pt-k+1 + εt
(4.6)
dimana Pt = (P1t P2t)3 adalah vektor dari variabel harga I(1), εt adalah vektor dari error terms dan Γi menunjukkan dinamika jangka pendek dari data harga. Matriks ∏ menunjukan informasi hubungan kointegrasi antara dua variabel yang tidak stasioner di Pt. Berdasarkan
metode
Johansen,
VECM
diestimasi
dengan
menggunakan maximum likelihood Lmax (r) yang merupakan fungsi dari peringkat kointegrasi r. Untuk menguji adanya hubungan jangka panjang antar variabel, terdapat 2 (dua) metode pengujian yaitu trace test dan maximum eigenvalue test. Apabila nilai trace statistic (TS) dan maximal eigenvalue (ME) melebihi nilai t-statistik maka hipotesis nol ditolak. Dengan kata lain terdapat hubungan jangka panjang antara variabel-variabel yang dianalisa. Pengujian TS mengikuti persamaan berikut : λtrace = – T
ln(1 – λ2i)
(4.7)
Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
74
dimana T merupakan jumlah observasi dan λi adalah nilai karakteristik akar dari ∏. Hipotesis nol yang digunakan pada pengujian TS adalah peringkat ∏ kurang dari atau sama dengan r, dengan hipotesis tandingannya adalah peringkat ∏ lebih dari r. Sementara pengujian ME dilakukan dengan persamaan berikut : λmax = – T ln(1 – λr+1)
(4.8)
dimana hipotesis nol yang diuji adalah peringkat ∏ = r, dengan hipotesis tandingannya adalah peringkat ∏ = r + 1. 4.3.3. Tes Kausalitas Pengujian kausalitas dalam analisa transmisi harga bertujuan untuk memastikan arah hubungan sebab-akibat antara variabel – variabel yang diuji. Dalam kasus analisa transmisi harga vertikal, uji kausalitas digunakan untuk melihat apakah sumber transmisi harga berasal dari hulu (farm gate) atau berasal dari hilir (konsumen). Pengujian kausalitas menjadi salah satu tahapan penting karena menurut Gardner (1975) dalam Kinnucan & Forker (1987) elastisitas transmisi harga yang berasal dari farm gate (disebabkan oleh pergeseran kurva penawaran/supply sifted) akan berbeda dengan elastisitas transmisi harga yang disebabkan oleh pergeseran kurva permintaan (demand shifted). Menurut Bernard & Willet (1996) setidaknya terdapat 2 (dua) metode untuk menentukan arah hubungan sebab-akibat antara variabelvariabel. Pertama, pengujian kausalitas secara statistik, dengan menggunakan uji Granger seperti yang dilakukan oleh Bailey & Brorsen (1989), Aguiar & Santana (2002), dan Bernard & Willet (1996). Kedua, menentukan arah kausalitas secara ad hoc berdasarkan karakteristik pasar yang terbentuk. Caranya adalah dengan melihat apakah perubahan harga lebih sering disebabkan oleh perubahan Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
75
fungsi permintaan (demand-pull forces) atau perubahan fungsi penawaran (cost-push forces). Penelitian yang menggunakan metode kedua dalam menentukan arah kausalitas antara lain Kinnucan & Forker (1987). Metode pengujian kausalitas untuk analisa transmisi harga masih menjadi perdebatan. Beberapa ekonom berpendapat bahwa metode pertama dianggap lebih valid secara statistik dan lebih disarankan untuk digunakan. Namun, sebagian ekonom berpendapat bahwa uji Granger pun sebenarnya tidak dapat memastikan bahwa satu variabel mempengaruhi
variabel
lainnya,
karena
uji
Granger
hanya
memprediksi nilai saat ini dari suatu variabel dengan melihat nilai masa lalu variabel lainnya. Selain itu, Alam et al., (2010) menyebutkan bahwa uji kausalitas Granger konvesional tidak valid untuk digunakan apabila dua atau lebih variabel saling terkointegrasi. Dalam penelitian ini, metode pengujian secara statistik maupun ad hoc akan dilakukan untuk melihat hubungan kausalitas antar harga GKP Petani dengan harga eceran beras konsumen. Apabila hasil pengujian secara statistik dengan metode Granger menunjukkan hubungan kausalitas dua arah, maka arah transmisi harga dalam pengujian transmisi harga asimetri di tahap selanjutnya diasumsikan terjadi satu arah yaitu dari petani ke konsumen, dan tidak sebaliknya. Asumsi tersebut diambil dengan mempertimbangkan karakteristik produk pertanian pada umumnya, dimana penentuan harga beras lebih banyak dipengaruhi
oleh
faktor
penawaran
dibandingkan
perubahan
permintaan. Selain itu, sebagai komoditas pangan utama, maka dapat dipastikan jumlah permintaan beras di Indonesia relatif stabil. Sehingga shock akibat perubahan kurva permintaan jarang terjadi, kecuali apabila terjadi perubahan jumlah populasi yang signifikan.
Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
76
4.3.4. Model Simetris Error Correction Model (ECM) Konsep dasar metode ECM mengacu pada bentuk error correction. Menurut Engle & Granger (1987) dalam Hassouneh et al. (2012), kointegrasi yang terjadi antara dua variable yang tidak stasioner mengindikasikan bahwa perubahan yang terjadi terhadap peubah bebas (dependent variable) tidak hanya dipengaruhi oleh peubah tidak bebas (explanatory
variables),
tetapi
juga
dipengaruhi
oleh
ketidakseimbangan dari hubungan kointegrasi antara keduanya (penyimpangan). Ketidakseimbangan dari hubungan kointegrasi ini ditujukan oleh nilai error correction term. Engle & Granger menunjukkan bahwa kointegrasi antara data time series yang tidak stasioner akan menghasilkan bentuk error correction yang valid pada time series tersebut. Bentuk
error
correction
dianggap
lebih
efisien
untuk
merepresentasikan hubungan kointegrasi antara dua series data. Hal ini disebabkan metode tersebut mampu merepresentasikan keseimbangan jangka panjang suatu sistem, dinamika ketidakseimbangan jangka pendek, dan pola penyesuaian menuju keseimbangan secara sekaligus. Dalam penelitian ini, hubungan antara harga GKP petani dengan harga beras konsumen direpresentasikan dalam persamaan : (4.9) dimana RP adalah harga beras di level konsumen (ritel), PP adalah harga GKP di level petani, t adalah tren waktu, dan ε adalah error term. Persamaan tersebut dapat diubah menjadi bentuk VECM bivariate berikut :
(4.10)
Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
77
(4.11) dimana : α . γ = parameter dari vektor kointegrasi , ,
= white noise disturbances ,
,
,
,
,
= parameter dinamika jangka pendek
= parameter untuk mengukur ratio penyesuaian harga
yang menyimpang dari keseimbangan hubungan kointegrasi jangka panjang. = RPt-1 - α - γPPt-1 merupakan hubungan keseimbangan jangka panjang antara harga GKP dan harga beras konsumen. Residual dari persamaan tersebut merepresentasikan deviasi dari hubungan keseimbangan, atau disebut juga engan error correction term (ECT). 4.3.5. Tes Asimetri Apabila persamaan VECM di atas linear dan stasioner, maka seluruh variabel pada persamaan di atas bersifat stasioner dan VECM merupakan model yang valid untuk merepresentasikan hubungan jangka panjang antar harga dan mengkoreksi deviasi dinamika jangka pendek dari keseimbangan jangka panjang. Namun, apabila persamaan jangka panjang tersebut menunjukkan pola yang tidak stasioner, maka persamaan VECM di atas tidak valid untuk digunakan pada analisa transmisi harga. Persamaan VECM, dalam analisa transmisi harga, dikatakan linear dalam 2 (dua) makna. Pertama, linear dalam arti seluruh parameter dalam model diasumsikan konstan sepanjang periode sampling.
Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
78
Kedua, linear dalam arti variabel left-hand-side (LHS) bereaksi secara linear terhadap perubahan variabel right-hand-side (RHS). Untuk kasus transmisi harga vertikal, umumnya transmisi harga menunjukkan pola yang berbeda (asimetris), tergantung apakah shock yang terjadi berupa kenaikan harga atau penurunan harga. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan reaksi harga di LHS tidak linear terhadap perubahan harga yang terjadi di RHS. Oleh karena itu perlu menggunakan model VECM yang non-linear, yaitu Asymmetric Vector Error Correction Model (AVECM). Namun, karena dalam penelitian ini diasumsikan arah transmisi harga terjadi secara satu arah (dari hulu ke hilir) maka model AVECM diubah menjadi model AECM. Granger & Lee (1989) mengembangkan model error correction yang standar menjadi model yang mampu melakukan penyesuaian asimetris dengan cara memisahkan ECT ke dalam komponen positif (untuk ECT yang berada di atas garis keseimbangan jangka panjang20) dan negatif (untuk ECT yang berada di bawah garis keseimbangan jangka panjang21). Model tersebut kemudian dikembangkan kembali oleh von Cramon-Taubadel&Loy (1996) menjadi model yang lebih kompleks, dengan turut memasukan variabel transmisi harga jangka pendek dalam model. (Acquah & Onumah, 2010, hal. 61-62). Terdapat 2 (dua) persamaan AECM yang akan digunakan dalam penelitian ini, yaitu : (4.12) dan
20
ECT dikatakan berada di atas garis keseimbangan apabila perubahan penurunan harga di level petani tidak diikuti oleh perubahan (penurunan) harga di level konsumen. 21 ECT dikatakan berada di atas garis keseimbangan apabila perubahan kenaikan harga di level petani tidak diikuti oleh perubahan (kenaikan) harga di level konsumen. Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
79
(4.13) (
= RPt-1 - α - γPPt-1)
(4.14)
Untuk melihat dugaan asimetri dalam transmisi harga maka digunakan Wald test, dengan membandingkan signifikansi antara koefisien positif dengan koefisien negatif. Dugaan adanya penyalahgunaan market power dapat dilihat dari koefisien jangka panjangnya ( ataupun
dan
dan
). Apabila koefisien tersebut signifikan berbeda
artinya dalam jangka panjang terjadi transmisi harga yang tidak simetris, antara shock positif dengan shock negatif, yang diakibatkan adanya penyalahgunaan market power. Sementara koefisien , dan
,
,
dapat menggambarkan pola transmisi harga jangka
pendek. Apabila
≠
dan
≠
, artinya terjadi transmisi
harga tidak simetris yang disebabkan oleh faktor adjustment cost dan/atau return to scale. Analisa asimetri yang dilakukan dalam penelitian ini terbagi atas 2 (dua) hal, yaitu analisa terhadap data dan analisa terhadap faktor penyebab transmisi harga tidak simetris. Analisa terhadap faktor penyebab dilakukan secara kualitatif dengan mengaitkan pada struktur pasar dan perilaku pedagang perantara. Tahapan analisa secara keseluruhan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
80
Uji Unit Root (ADF test dan PP test)
Unit root pada level yang berbeda Kesimpulan: tidak ada integrasi (Granger causality test)
I(1)
I(0)
Uji Kointegrasi Antara Data Harga (Johansen test)
tidak
Estimasi autoregressive distribute lagged model (ARDL) (Granger causality test)
Terkointegrasi Uji Kausalitas
Estimasi Model Simetris (ECM)
Estimasi Model Asimetris, dengan memisahkan perubahan harga naik&turun serta nilai residual keseimbangan jangka panjang positif&negatif Analisa Integrasi Pasar dan Transmisi Harga Keseluruhan
Gambar 4.1. Tahapan Analisa 4.4. Keterbatasan Penelitian Dalam penelitian ini, model yang digunakan untuk menjelaskan fenomena transmisi harga tidak simetris antara level petani dengan level konsumen adalah menggunakan model ECM. Meyer & von Cramon-Taubadel (2004) serta Karantininis et al (2011) menyebutkan bahwa analisa transmisi harga dengan konsep kointegrasi dan ECM pada dasarnya hanya mampu menjelaskan fenomena transmisi harga tidak simetris dari sisi waktu, sementara dalam hal besaran tidak dapat dijelaskan dalam model. Hal ini Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
81
disebabkan konsep kointegrasi pada dasarnya melihat pola keseimbangan jangka panjang. Apabila terjadi transmisi harga yang tidak simestris dari sisi besaran maka kedua data time series akan saling menjauh dalam jangka panjang, sehingga tidak akan menunjukkan pola yang terkointegrasi. Oleh sebab itu, fenomena transmisi harga tidak simetris yang dibahas dalam penelitian ini hanya terbatas pada fenomena asimetris dari sisi waktu penyesuaian.
Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisa Data Deskriptif Penelitian ini menggunakan data harga gabah kering panen (GKP) di level petani dan data harga beras eceran di level konsumen. Seluruh data dalam bentuk harga bulanan untuk periode Januari 2000 sampai Desember 2011, yang diambil dari Badan Pusat Statistik (BPS). Data harga GKP digunakan dengan pertimbangan bahwa sebagian besar (45%) produk yang dijual oleh petani adalah dalam bentuk GKP. Sementara untuk harga beras eceran digunakan data harga beras rata-rata seluruh Provinsi (harga beras umum), tanpa memperhatikan jenis berasnya. Berikut adalah pergerakan harga GKP dan harga beras eceran di Indonesia selama periode tahun 2000 – 2011.
Gambar 5.1. Pergerakan Harga GKP Petani dan Harga Beras Eceran Konsumen Periode 2000 - 2011 Sumber : BPS (2012), telah diolah kembali
Berdasarkan Gambar 5.1 di atas dapat dilihat bahwa harga GKP di level petani dan harga beras eceran di level konsumen pada periode 2000 – 2004 relatif stabil, meskipun disparitas harganya cenderung besar. Sejak tahun 2005,
harga
GKP
dan
harga
beras
eceran
mulai
menunjukkan
kecenderungan terjadinya kenaikan harga. Namun fluktuasi harga pada 82
Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
83
periode 2005 – 2011 relatif tinggi dan disparitas harga yang terjadi semakin melebar. Sebagai perbandingan, pada periode 2000 – 2004 rata-rata disparitas harga GKP dan harga beras eceran hanya sebesar Rp 1887,03. Pada periode 2005 – 2011, rata-rata disparitas harga tersebut naik 104,82% menjadi Rp 3864,99. Hal ini disebabkan oleh perubahan kebijakan impor yang terjadi di tahun 2004. Sejak diberlakukannya liberalisasi beras di tahun 1998, dimana bea masuk beras dihapuskan (0%) dan importasi beras dapat dilakukan secara bebas oleh importir swasta, petani dalam negeri tidak mampu bersaing terhadap beras impor. Disparitas harga beras dalam negeri dan beras impor yang cukup tinggi disinyalir menyebabkan pedagang lebih memilih untuk memasarkan beras impor dibandingkan beras petani. Akibatnya, harga gabah/beras di level petani relatif tertekan. Namun di sisi lain, pedagang perantara (khususnya pedagang besar) yang dapat bertindak sebagai importer justru mendapatkan posisi yang menguntungkan. Pedagang dapat dengan mudah menetapkan harga jual beras yang tinggi, yang seolah-olah mengikuti harga beras produksi dalam negeri, padahal harga belinya mengikuti harga beras impor yang lebih rendah.. Dengan kata lain, kenaikan harga di level konsumen pada tahun 1998 – 1999 tidak ditransmisikan secara sempurna kepada level petani dan petani tidak mendapatkan tambahan manfaat dari kenaikan harga beras dalam negeri. Dengan memperhatikan kondisi tersebut, Pemerintah berinisiatif untuk kembali menetapkan bea masuk beras di tahun 2000, yaitu sebesar Rp 430/kg (30% ad volarem). Tujuan utamanya adalah untuk melindungi petani dalam negeri dari persaingan terhadap beras impor. Namun, akibat diparitas harga beras dalam negeri dan beras impor yang terlalu besar pada periode tersebut,
justru
mendorong
importir/pedagang
untuk
melakukan
penyelundupan. Rendahnya harga beras impor menarik importir/pedagang untuk tetap memasarkan beras impor, dan untuk mempertahankan margin Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
84
yang besar dari penjualan beras impor maka penyelundupan menjadi strategi yang diambil pada importir/pedagang. Terbukti dari penelitian yang dilakukan oleh Sawit (2005) ditemukan fakta bahwa selama tahun 2000 – 2003 lebih dari 50% beras yang masuk ke Indonesia merupakan beras ilegal. Dengan demikian, kebijakan impor melalui penetapan bea masuk tidak efektif meningkatkan harga beras di level petani. Pada tahun 2004, Pemerintah mengeluarkan SK Menperindag No 9/MPP/Kep/1/2004 tentang Ketentuan Impor Beras yang diantaranya mengatur mengenai waktu impor beras dan pihak yang dapat menjadi importir beras. Dalam hal waktu impor beras, melalui peraturan tersebut impor beras tidak boleh dilakukan selama 1 (satu) bulan sebelum panen raya, saat panen raya, dan 2 (dua) bulan setelah panen raya. Adapun masa panen raya akan ditetapkan oleh Menteri Perdagangan. Dalam hal importir beras, Pemerintah menetapkan bahwa impor beras hanya boleh dilakukan oleh importir yang telah mendapat pengakuan sebagai Importir Produsen Beras (IP). Gambar 5.1 memperlihatkan dengan jelas bahwa setelah di tahun 2005 mulai terjadi kenaikan harga GKP di level petani. Sehingga apabila dilihat hanya dari sisi petani, kebijakan tersebut efektif meningkatkan harga beras di level petani. Akan tetapi, kebijakan pengetatan impor tersebut nampaknya memberikan efek negatif yang cukup besar terhadap konsumen. Berdasarkan Gambar 5.1 kenaikan harga beras di level konsumen jauh lebih tinggi dibandingkan kenaikan harga yang terjadi di level petani. Akibatnya, disparitas harga GKP di level petani dan harga eceran beras di level konsumen pun semakin melebar. Tingginya kenaikan harga di level konsumen dapat disebabkan oleh 2 (dua) hal, yaitu (1) terdapat perbedaan supply beras antar Propinsi di Indonesia pada masa panen raya; dan (2) transmisi harga tidak sempurna yang dilakukan oleh pedagang perantara.
Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
85
Sebagaimana dipaparkan sebelumnya dalam Bab 3, produksi beras antar Propinsi di Indonesia berbeda – beda. Data Ditjen PPHP menunjukkan bahwa lebih dari 50% beras nasional diproduksi di Pulau Jawa, dan sebagian besar (sebanyak 70%) produksi tersebut dipasarkan di dalam Pulau Jawa itu sendiri. Hanya 25% yang dipasarkan ke pulau lain. Bagi propinsi yang produksi berasnya sedikit dan tidak mendapatkan cukup pasokan dari Pulau Jawa, maka keberadaan beras impor menjadi jalan keluar untuk memenuhi kebutuhan pangan utama penduduknya. Sehingga meskipun memasuki musim panen raya, supply beras (produksi sendiri dan pasokan beras dari Jawa) di Propinsi “defisit” tersebut tidak sepenuhnya dapat memenuhi seluruh konsumsinya. Sebagai contoh di Propinsi Riau, menurut Kepala Badan Ketahanan Pangan Propinsi Riau dari total kebutuhan beras di Propinsi tersebut hanya 39% yang berasal dari produksi dalam negeri. Sementara sisanya harus didatangkan dari Thailand dan Vietnam22. Dengan demikian kebijakan pembatasan impor akan mengancam ketahanan pangan di Propinsi tersebut. Dalam kasus ini, kebijakan pembatasan impor justru mengakibatkan kenaikan harga beras di level konsumen yang cukup besar akibat terjadinya kelangkaan. Kondisi ini pula yang menyebabkan disparitas harga GKP di level petani dengan harga beras di level konsumen semakin melebar sejak tahun 2005. Dalam kaitannya dengan transmisi harga asimetris yang dilakukan pedagang perantara, kebijakan pembatasan impor semakin memperkuat posisi tawar pedagang perantara. Dengan dibatasinya jumlah beras impor ke Indonesia, pedagang dapat dengan mudah menetapkan harga eceran beras tanpa perlu memperhatikan tekanan harga beras impor yang umumnya lebih rendah. Secara lebih detil, fenomena transmisi harga asimetris akibat posisi tawar pedagang perantara akan dibahas dalam sub bab selanjutnya.
22
Kompas Online, www.kompas.com, “Beras Impor 90.000 ton gagal masuk Riau”, 21 Januari 2004 Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
86
5.2. Analisa Time Series 5.2.1. Uji Stasioner Untuk menganalisa pergerakan data time series dan melihat hubungan antara variabel, maka perlu dilakukan pengujian stasioneritas data series tersebut. Pengujian ini dilakukan untuk melihat konsistensi pergerakan data time series serta mencegah terjadinya spurious regression, yaitu kondisi dimana sebuah regresi terhadap satu variabel terhadap variabel lainnya menghasilkan nilai R2 yang tinggi namun sebenarnya tidak ada hubungan yang berarti secara teori ekonomi. Hal ini sering terjadi pada saat kedua data time series menunjukan karakteristik tren yang kuat dalam runtun waktu. Untuk mengetahui pada kondisi mana data dapat menjadi stasioner, maka data diuji dalam beberapa kondisi. Jika series data bersifat stasioner tanpa melakukan differencing, maka dikatakan sebagai kondisi I(0)/level. Apabila series data bersifat stasioner pada turunan pertama I(1), maka dikatakan sebagai kondisi (first differences) atau integrasi dari order 1. Secara umum, apabila data time series harus diturunkan sebanyak “d” kali agar stasioner, maka data tersebut dapat dinotasikan dalam bentuk I(d) atau terintegrasi dari orde “d”. Dalam penelitian ini, pengujian stasioneritas dilakukan dengan tes Augmented Dickey Fuller (ADF) dan tes Philips Perron (PP) pada kondisi level, dengan spesifikasi trend dan intercept. Apabila data tidak stasioner pada level, maka pengujian akan dilanjutkan pada kondisi first difference. Berikut adalah hasil pengujian stasioner data harga GKP petani pada kondisi level dengan menggunakan ADF test dan PP test.
Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
87
Tabel 5.1. Uji Stasioneritas Data Harga GKP Petani pada level dengan ADF Test Null Hypothesis: GKPPT has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-2.546410 -4.023506 -3.441552 -3.145341
0.3057
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Tabel 5.2. Uji Stasioneritas Data Harga GKP Petani pada level dengan PP Test Null Hypothesis: GKPPT has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Bandwidth: 7 (Newey-West using Bartlett kernel)
Phillips-Perron test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
Adj. t-Stat
Prob.*
-2.060343 -4.023506 -3.441552 -3.145341
0.5630
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Dari tabel 5.1 dan 5.2 di atas dapat dilihat bahwa hipotesis nol yang menyatakan terdapat unit root diterima. Dengan demikian harga GKP Petani pada kondisi level bersifat tidak stasioner. Selanjutnya dilakukan pengujian pada kondisi first difference terhadap data harga GKP. Pada kondisi first difference, baik dengan menggunakan ADF test maupun PP test hasilnya menunjukkan tidak dapat menerima hipotesis nol (Tabel 5.3 dan Tabel 5.4). Dengan demikian, pada first difference tidak terdapat unit root dan data GKP Petani bersifat stasioner.
Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
88
Tabel 5.3. Uji Stasioneritas Data Harga GKP Petani pada first difference dengan ADF Test Null Hypothesis: D(GKPPT) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-10.80162 -3.477144 -2.881978 -2.577747
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Tabel 5.4. Uji Stasioneritas Data Harga GKP Petani pada first difference dengan PP Test Null Hypothesis: D(GKPPT) has a unit root Exogenous: Constant Bandwidth: 16 (Newey-West using Bartlett kernel)
Phillips-Perron test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
Adj. t-Stat
Prob.*
-12.39947 -3.476805 -2.881830 -2.577668
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Pengujian yang sama dilakukan terhadap data harga beras konsumen. Hasilnya menunjukkan bahwa harga beras konsumen pada kondisi level tidak stasioner. Tabel 5.5. Uji Stasioneritas Data Harga Beras Konsumen pada level dengan ADF Test Null Hypothesis: KONS has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 2 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-0.859719 -4.024452 -3.442006 -3.145608
0.9566
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
89
Tabel 5.6. Uji Stasioneritas Data Harga Beras Konsumen pada level dengan PP Test Null Hypothesis: KONS has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Bandwidth: 12 (Newey-West using Bartlett kernel)
Phillips-Perron test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
Adj. t-Stat
Prob.*
-0.825631 -4.023506 -3.441552 -3.145341
0.9601
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Selanjutnya dilakukan pengujian stasioneritas pada kondisi first difference dan diperoleh hasil sebagai berikut : Tabel 5.7. Uji Stasioneritas Data Harga Beras Konsumen pada first difference dengan ADF Test Null Hypothesis: D(KONS) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-9.166831 -3.477144 -2.881978 -2.577747
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Tabel 5.8. Uji Stasioneritas Data Harga Beras Konsumen pada first difference dengan PP Test Null Hypothesis: D(KONS) has a unit root Exogenous: Constant Bandwidth: 27 (Newey-West using Bartlett kernel)
Phillips-Perron test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
Adj. t-Stat
Prob.*
-6.790402 -3.476805 -2.881830 -2.577668
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
90
Dari tabel 5.7 dan 5.8 di atas terlihat bahwa hipotesis nol tidak dapat diterima, artinya data harga beras konsumen pada kondisi first difference tidak memiliki unit root atau stasioner. Dengan demikian, baik harga GKP petani maupun harga beras konsumen sama-sama stasioner pada kondisi first difference, atau dapat dinotasikan dengan I(1). 5.2.2. Uji Kointegrasi Pengujian kointegrasi merupakan salah satu prasyarat dalam analisa transmisi harga dengan menggunakan metode (V)ECM. Pada metode tersebut, data time series yang tidak stasioner pada level dapat tetap digunakan sepanjang data tersebut memiliki hubungan keseimbangan jangka panjang (terkointegrasi). Oleh sebab itu pengujian kointegrasi terhadap data harga GKP petani dan harga beras konsumen mutlak dilakukan dalam penelitian ini. Sebagaimana disebutkan dalam Bab IV, pengujian kointegrasi dalam peneltian ini menggunakan Johansen test, dengan membandingkan nilai trace statistic (TS) dan maximal eigenvalue (ME) terhadap nilai t-statistik. Apabila nilai TS dan ME melebihi nilai t-statistik, maka hipotesis nol ditolak dan artinya kedua variabel saling terkointegrasi. Hasil pengujian kointegrasi terhadap kedua data tersebut ditampilkan pada Tabel 5.9. Dari Tabel 5.9 dapat dilihat bahwa baik nilai TS maupun ME signifikan lebih tinggi dibandingkan nilai t-statistik 5%. Hal ini menunjukkan bahwa data harga GKP petani dengan data harga beras konsumen terkointegrasi. Artinya, kedua series data tersebut memiliki hubungan keseimbangan jangka panjang. Dengan demikian analisa transmisi harga dapat dilanjutkan ke tahap pengujian
Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
91
selanjutnya, yaitu pengujian model asimetris dengan menggunakan ECM. Tabel 5.9. Hasil Uji Kointegrasi pada Data Harga GKP Petani dan Harga Beras Konsumen Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace) Hypothesized No. of CE(s)
Eigenvalue
Trace Statistic
0.05 Critical Value
Prob.**
None * At most 1 *
0.093574 0.029222
17.90655 4.152070
15.49471 3.841466
0.0212 0.0416
Trace test indicates 2 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values Unrestricted Cointegration Rank Test (Maximum Eigenvalue) Hypothesized No. of CE(s)
Eigenvalue
Max-Eigen Statistic
0.05 Critical Value
Prob.**
None At most 1 *
0.093574 0.029222
13.75448 4.152070
14.26460 3.841466
0.0601 0.0416
Max-eigenvalue test indicates no cointegration at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values
5.3. Estimasi Model Asimetris 5.3.1. Uji Kausalitas Pengujian kausalitas dilakukan untuk memastikan arah transmisi harga. Dalam kasus vertikal, shock harga yang disebabkan oleh perubahan permintaan (transmisi harga dari hilir ke hulu) akan memberikan efek transmisi harga yang berbeda dengan shock akibat perubahan penawaran. Dalam penelitian pengujian kausalitas dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu (1) melalui pengujian secara statistik dengan menggunakan metode Granger test, dan (2) melalui penilaian secara deskriptif dengan memperhatikan karakteristik industri beras.
Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
92
Apabila hasil pengujian dengan menggunakan metode Granger test menunjukkan bahwa hubungan kausalitas terjadi dua arah (harga GKP petani mempengaruhi harga beras konsumen, dan sebaliknya), maka arah transmisi yang diuji pada tahap pengujian asimetri diasumsikan hanya satu arah yaitu harga GKP petani mempengaruhi harga beras konsumen. Asumsi ini digunakan dengan melihat karakteristik perdagangan beras, dimana perubahan harga beras lebih banyak dipengaruhi oleh perubahan supply daripada perubahan demand (Prastowo et al., 2008). Berikut adalah hasil pengujian kausalitas secara statistik dengan menggunakan Granger test. Tabel 5.10. Hasil Uji Kausalitas dengan Metode Granger Test Null Hypothesis:
Obs
F-Statistic
Prob.
KONS does not Granger Cause GKPPT GKPPT does not Granger Cause KONS
141
10.3809 2.35657
3.E-06 0.0747
Dari Tabel 5.10 dapat dilihat bahwa hipotesis nol harga beras konsumen tidak mempengaruhi harga GKP petani ditolak. Begitu pula halnya dengan hipotesis nol harga GKP tidak mempengaruhi harga beras konsumen. Dengan demikian, hubungan kausalitas antara harga GKP petani dengan harga beras konsumen terjadi dua arah. Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, apabila hubungan kausalitas secara statistik terjadi dua arah, maka pengujian transmisi harga asimetris pada tahap berikutnya dilakukan secara satu arah, yaitu harga GKP petani mempengaruhi harga beras konsumen. Asumsi ini digunakan dengan memperhatikan penelitian Prastowo et al. (2008), yang menyebutkan bahwa harga beras akan stabil kecuali terjadi gangguan dari sisi penawaran (supply shock) seperti gagal panen, gangguan distribusi, dan kebijakan impor beras. Menurutnya, sisi permintaan komoditas pertanian, khususnya komoditas pangan Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
93
pokok seperti beras, cenderung stabil. Meskipun tekanan dari sisi permintaan dapat terjadi, namun derajatnya relatif rendah. Tekanan dari sisi permintaan hanya bersumber dari peningkatan jumlah penduduk dan pendapatan. Kedua faktor tersebut sifatnya lebih mudah ditekan, dibandingkan faktor cuaca dan musim yang mempengaruhi sisi penawaran. 5.3.2. Uji Model Simetris Sebelum masuk ke tahap pengujian asimetris dilakukan pengujian model simetris terlebih dahulu, guna memastikan signifikansi dari setiap variabel yang digunakan dalam model. Variabel-variabel yang akan digunakan dalam estimasi model simetris harga beras konsumen antara lain : (1) harga GKP petani periode t dan periode t1; (2) harga konsumen periode t-1; dan (3) error correction term
(ECT) periode t-1. Berikut adalah hasil estimasi model simetris untuk harga beras konsumen periode t. Tabel 5.11. Hasil Estimasi Model Simetris Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C DGKP DGKP1 DKONS1 V(-1)
21.66615 0.714634 0.138985 0.249729 -0.114134
8.571696 0.065220 0.084565 0.068340 0.031685
2.527639 10.95724 1.643527 3.654245 -3.602110
0.0126 0.0000 0.1026 0.0004 0.0004
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.594690 0.582856 94.79769 1231164. -845.2920 50.25327 0.000000
Mean independent var S.D. independent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
52.74648 146.7760 11.97594 12.08002 12.01824 1.922298
Berdasarkan hasil estimasi di atas dapat dilihat bahwa variabel harga GKP petani periode t, variabel harga beras konsumen periode t-1, dan variabel ECT periode t-1 secara bersama-sama signifikan Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
94
mempengaruhi harga beras konsumen periode t. Sementara variabel harga GKP petani periode t-1 tidak signifikan mempengaruhi harga beras konsumen periode t. Dari nilai adjusted R-squared, dapat disimpulkan bahwa model ini dapat menjelaskan 59,46% variasi dari variabel independent. Baik harga GKP petani periode t maupun harga konsumen periode t1, keduanya memiliki pengaruh positif terhadap harga beras
konsumen periode t. Untuk variabel harga GKP petani, setiap terjadi kenaikan 1 satuan harga GKP petani pada periode t akan mengakibatkan kenaikan harga eceran beras konsumen periode t sebesar 0,71 satuan. Untuk variabel harga konsumen, kenaikan harga beras konsumen pada periode t-1 sebesar 1 satuan akan menyebabkan kenaikan 0,24 satuan harga beras konsumen periode t. Variabel
ECT
yang
signifikan
memiliki
pengertian
bahwa
ketidakseimbangan (penyimpangan) antara pergerakan harga GKP dan pergerakan harga beras konsumen dari hubungan keseimbangan jangka panjangnya signifikan mempengaruhi model. Dengan kata lain, meskipun harga GKP petani terkointegrasi dengan harga beras di level konsumen, namun pola pergerakan keduanya tidak selamanya sama23. Nilai koefisien ECT yang negatif artinya bahwa pengaruhnya terhadap harga beras konsumen adalah negatif. Hasil ini sesuai dengan
teori
kointegrasi,
dimana
pada
saat
series
harga
terkointegrasi maka koefisien keseimbangan jangka panjangnya bernilai negatif. Artinya, apabila terjadi penyimpangan harga pada jangka pendek maka penyimpangan tersebut akan kembali terkoreksi 23
Kenaikan harga GKP di level petani selalu diikuti dengan kenaikan harga beras di level konsumen, dan penurunan harga GKP di level petani selalu diikuti dengan penurunan harga beras di level konsumen. Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
95
ke garis keseimbangan jangka panjangnya. Nilai koefisien ECT sebesar 0.114134 menunjukkan bahwa saat terjadi penyimpangan harga jangka pendek, maka penyimpangan tersebut baru akan kembali ke garis keseimbangan jangka panjang dengan sempurna setelah 8 bulan. 5.3.3. Uji Model Asimetris Pengujian asimetris dilakukan untuk melihat apakah transmisi harga GKP petani terhadap harga beras konsumen terjadi secara sempurna. Terdapat 2 (dua) model asimetris ECM (AECM) yang akan diestimasi dalam penelitian ini. Pertama, estimasi model asimetris dengan menggunakan metode Granger – Lee, yang merupakan model asimetris dinamis24 sederhana. Pada model ini, kondisi asimetris hanya akan dilihat melalui koefisien
dan
.
Apabila kedua koefisien tersebut identik maka transmisi harga terjadi secara simetris. ECT pada dasarnya menggambarkan kondisi saat pergerakan harga di
salah satu level (GKP petani atau beras konsumen) tidak sesuai dengan kondisi keseimbangannya. Pergerakan harga dikatakan berada pada garis keseimbangan apabila kenaikan harga GKP di level petani diikuti dengan kenaikan harga di level konsumen, dan penurunan harga GKP di level petani diikuti dengan penurunan harga beras
di
level
konsumen.
menggambarkan
kondisi
penyimpangan harga saat berada di atas garis keseimbangan jangka panjang, yaitu pada saat penurunan harga GKP petani tidak diikuti dengan penurunan harga beras di level konsumen. Sebaliknya, 24
Dikatakan model dinamis karena ECM tidak hanya melihat proses transmisi harga jangka pendek (hanya melihat efek perubahan harga antara shock kenaikan harga dengan shock penurunan harga) tetapi juga mempertimbangkan proses penyesuaian harga terhadap keseimbangan jangka panjangnya. Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
96
menggambarkan kondisi penyimpangan harga saat berada di bawah garis keseimbangan jangka panjang, dimana kenaikan harga GKP di level petani tidak diikuti oleh kenaikan harga beras di level konsumen. Berikut adalah hasil estimasi model AECM Granger – Lee. Tabel 5.12. Hasil Estimasi Model Asimetris Sederhana dengan Metode Granger-Lee Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C DGKP DGKP1 DKONS1 VPOS(-1) VNEG(-1)
-12.91937 0.731472 0.145235 0.235152 0.026634 -0.262690
12.42451 0.062552 0.080909 0.065489 0.048602 0.050263
-1.039830 11.69381 1.795045 3.590721 0.547993 -5.226346
0.3003 0.0000 0.0749 0.0005 0.5846 0.0000
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.631849 0.618314 90.67929 1118292. -838.4648 46.68271 0.000000
Mean independent var S.D. independent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
52.74648 146.7760 11.89387 12.01876 11.94462 1.970050
Dari hasil estimasi model asimetris sederhana yang ditampilkan pada Tabel 5.12 di atas dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan koefisien antara dan
dengan
, dimana koefisien
bernilai negatif. Koefisien
bernilai positif yang bernilai positif
(0,026634) menunjukkan bahwa penyimpangan harga di jangka pendek tidak akan terkoreksi kembali ke garis keseimbangan jangka panjangnya. Dengan kata lain, pada saat penyimpangan berada di atas garis keseimbangan (saat penurunan harga GKP di level petani tidak diikuti dengan penurunan harga beras di level konsumen) maka penyimpangan
tersebut
tidak
akan
kembali
ke
garis
keseimbangannya (harga beras di level konsumen tidak akan menyesuaikan turun). Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
97
Sementara koefisien
yang bernilai negatif (-0,262690)
menunjukkan bahwa penyimpangan yang terjadi saat berada di bawah garis keseimbangan (saat kenaikan harga GKP di level petani tidak diikuti dengan kenaikan harga beras di level konsumen) pada suatu periode pasti akan kembali ke garis keseimbangannya (harga beras di level konsumen pasti akan ikut menyesuaikan naik). Lamanya waktu penyesuaian dapat dilihat dari nilai koefisien. Dari nilai koefisien
sebesar 0,262690 dapat disimpulkan bahwa
waktu yang dibutuhkan untuk kembali ke garis keseimbangan, saat kenaikan harga GKP di level petani tidak diikuti oleh kenaikan harga di level konsumen adalah kurang lebih 3 bulan. Dengan kata lain, terjadi penyimpangan akibat kenaikan harga GKP di level petani, harga beras di level konsumen akan menyesuaikan naik 3 bulan berikutnya. Secara deskriptif, dengan melihat nilai koefisien dan signifikansi variabel
dan
, sebenarnya sudah dapat dilihat bahwa
transmisi harga GKP petani terhadap harga beras konsumen terjadi secara asimetris. Dimana penyimpangan yang disebabkan kenaikan harga GKP di level petani (
) akan lebih cepat dikoreksi
dibandingkan dengan penyimpangan akibat penurunan harga GKP di level petani. Bahkan saat penyimpangan harga berada di atas keseimbangan (penyimpangan akibat penurunan harga GKP di level petani), penyesuaian/koreksi menuju garis keseimbangan justru tidak akan pernah terjadi. Artinya, transmisi harga GKP petani terhadap harga beras konsumen antara penurunan dan kenaikan harga bersifat asimetri. Untuk mendapatkan kesimpulan yang lebih meyakinkan maka dilakukan pengujian keidentikan koefisien dengan menggunakan Wald Test, dengan hasil sebagai berikut: Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
98
Tabel 5.13. Hasil Pengujian Koefisien Model Asimetris Sederhana Test Statistic F-statistic Chi-square
Value
df
13.72690 13.72690
Probability
(1, 136) 1
0.0003 0.0002
Value
Std. Err.
0.289324
0.078091
Null Hypothesis Summary: Normalized Restriction (= 0) C(5) - C(6) Restrictions are linear in coefficients.
Dari hasil pengujian koefisien dengan Wald test tersebut dapat dilihat bahwa keofisien
dan
tidak edentik secara statistik.
Dengan kata lain, transmisi harga GKP petani terhadap harga beras konsumen terjadi secara asimetris. Model dinamis kedua menggunakan metode yang dikembangkan Von Cramon-Taubadel dan Loy, dimana transmisi harga tidak simetris dipisahkan antara transmisi jangka pendek dengan transmisi jangka panjang. Pada model ini pengujian kondisi asimetris tidak hanya dilakukan terhadap koefisien
dan
, melainkan
juga pada terhadap shock positif dan shock negatif. Shock positif merupakan kondisi pada saat variabel independent mengalami perubahan kenaikan harga (dalam model dinotasikan dengan variabel harga GKP petani periode t naik/GKPplus, harga GKP petani periode t-1
naik/GKP1plus,
dan
harga
konsumen
periode
t-1
naik/KONS1plus). Sementara shock negatif merupakan kondisi saat terjadi penurunan harga variabel independent (dinotasikan dengan variabel GKPmin, GKP1min, dan KONS1min). Berikut adalah hasil estimasi model asimetris dengan metode Von Cramon-Taubadel dan Loy.
Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
99
Tabel 5.14. Hasil Estimasi Model Asimetris Kompleks dengan Metode Von Cramon-Taubadel dan Loy Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C DGKPPLUS DGKPMIN DGKP1PLUS DGKP1MIN DKONS1PLUS DKONS1MIN VPOS(-1) VNEG(-1)
-14.00742 0.781788 0.675074 0.099051 0.183061 0.245930 0.178335 0.018979 -0.255038
13.08139 0.119026 0.107597 0.149631 0.120486 0.082516 0.190277 0.060681 0.057098
-1.070790 6.568208 6.274119 0.661970 1.519353 2.980407 0.937235 0.312764 -4.466669
0.2862 0.0000 0.0000 0.5091 0.1310 0.0034 0.3503 0.7550 0.0000
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.633143 0.611077 91.53496 1114360. -838.2147 28.69240 0.000000
Mean independent var S.D. independent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
52.74648 146.7760 11.93260 12.11994 12.00873 1.972477
Berdasarkan hasil estimasi model di atas dapat dilihat bahwa untuk transmisi harga jangka pendek, secara deskriptif terjadi perbedaan respon harga beras konsumen terhadap shock positif dan shock negatif pada setiap variabel independent-nya. Untuk variabel harga GKP petani periode t, dengan melihat nilai koefisien GKPplus dan GKPmin,
menunjukkan
bahwa
perubahan
kenaikan
harga
ditransmisikan secara berbeda dengan perubahan penurunan harga. Untuk variabel GKP petani periode t-1, baik perubahan kenaikan harga maupun penurunan harga menunjukkan nilai yang tidak signifikan. Artinya, harga GKP di tingkat petani pada 1 periode sebelumnya tidak akan berpengaruh terhadap harga beras di level konsumen. Implikasi dari hasil ini adalah apabila Pemerintah akan melakukan intervensi harga beras di level konsumen melalui kebijakan HPP, maka intervensi tersebut harus dilakukan pada periode (bulan) yang sama.
Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
100
Untuk variabel harga konsumen periode t-1, perubahan penurunan harga menujukkan nilai yang tidak signifikan sedangkan perubahan kenaikan harganya signifikan. Artinya, hanya kenaikan harga beras konsumen periode t-1 yang mempengaruhi harga beras konsumen periode t, sementara saat penurunan harga beras konsumen periode t1 tidak akan berpengaruh terhadap harga beras konsumen periode t.
Hal ini kemungkinan terjadi karena beras yang dijual pedagang perantara masih merupakan stok lama, dimana pedagang perantara membelinya pada harga yang masih tinggi. Sehingga pada saat terjadi penurunan harga, pedagang perantara akan terlebih dahulu melihat biaya penyimpanannya. Guna memastikan apakah perbedaan koefisien variabel GKPplus, GKP1plus, dan KONS1plus dengan koefisien variabel GKPmin, GKP1min, dan KONS1min signifikan maka dilakukan pengujian dengan menggunakan Wald test. Hasil pengujian ini kemudian akan menjadi ukuran keidentikan antara koefisien shock positif dan shock negatif jangka pendek dari model asimetris dinamis. Berikut adalah hasil pengujian koefisien model asimetris dinamis jangka pendek. Tabel 5.15. Hasil Pengujian Koefisien Variabel Harga GKP Petani Periode t pada Model Asimetris Kompleks Test Statistic F-statistic Chi-square
Value 0.344854 0.344854
df
Probability
(1, 133) 1
0.5580 0.5570
Value
Std. Err.
0.106714
0.181720
Null Hypothesis Summary: Normalized Restriction (= 0) C(2) - C(3) Restrictions are linear in coefficients.
Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
101
Tabel 5.16. Hasil Pengujian Koefisien Variabel Harga GKP Petani Periode t-1 pada Model Asimetris Kompleks Test Statistic F-statistic Chi-square
Value 0.158009 0.158009
df
Probability
(1, 133) 1
0.6916 0.6910
Value
Std. Err.
Null Hypothesis Summary: Normalized Restriction (= 0) C(4) - C(5)
-0.084010
0.211344
Restrictions are linear in coefficients.
Tabel 5.17. Hasil Pengujian Koefisien Variabel Harga Beras Konsumen Periode t-1 pada Model Asimetris Kompleks Test Statistic F-statistic Chi-square
Value 0.095240 0.095240
df
Probability
(1, 133) 1
0.7581 0.7576
Value
Std. Err.
0.067596
0.219032
Null Hypothesis Summary: Normalized Restriction (= 0) C(6) - C(7) Restrictions are linear in coefficients.
Berdasarkan Tabel 5.15, Tabel 5.16, dan Tabel 5.17. dapat dilihat bahwa dari hasil pengujian keofisien dengan Wald test menunjukkan bahwa shock positif dan shock negatif untuk seluruh variabel independent tidak signifikan. Artinya, meskipun secara deskriptif hasil estimasi model asimetri menunjukkan adanya respon yang berbeda antara shock positif dan shock negatif, namun secara statistik perbedaan respon tersebut menunjukkan tidak signifikan. Dengan demikian, transmisi harga dalam jangka pendek bersifat simetris.
Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
102
Dalam model dinamis kompleks juga tetap dilakukan pengujian terhadap
proses
transmisi
harga
membandingkan nilai keofisien pada dasarnya variabel
jangka
panjang,
dan
dengan
. Dari Tabel 5.14,
menunjukkan nilai yang tidak
signifikan. Artinya, saat penyimpangan harga berada di atas garis keseimbangan (saat penurunan harga GKP petani tidak diikuti dengan penurunan harga beras konsumen) maka penyimpangan tersebut tidak akan mempengaruhi harga beras di level konsumen. Dengan kata lain, harga beras di level konsumen tidak akan pernah turun menyesuaikan penurunan harga GKP yang terjadi di level petani. Sementara nilai koefisien
sebesar -0,255038 dapat
diartikan bahwa penyimpangan yang disebabkan kenaikan harga GKP petani akan terjadi dalam periode 3 bulan selanjutnya. Dengan kata lain, apabila terjadi penyimpangan (kenaikan harga GKP petani tidak menyebabkan kenaikan harga beras konsumen), maka setelah 3 bulan terjadi kenaikan harga GKP petani maka harga beras di level konsumen pun akan ikut mengalami kenaikan. Hasil ini konsisten dengan hasil estimasi model asimetri sederhana. Berikut adalah hasil pengujian koefisien transmisi harga jangka panjang menggunakan Wald test. Tabel 5.18. Hasil Pengujian Koefisien Transmisi Harga Jangka Panjang pada Model Asimetris Kompleks Test Statistic F-statistic Chi-square
Value 7.508488 7.508488
df
Probability
(1, 133) 1
0.0070 0.0061
Value
Std. Err.
0.274016
0.100000
Null Hypothesis Summary: Normalized Restriction (= 0) C(8) - C(9) Restrictions are linear in coefficients.
Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
103
Berdasarkan hasil pengujian keofisien pada Tabel 5.18 di atas dapat 25
dilihat bahwa keofisien
26
dan
tidak identik secara
statistik. Artinya transmisi harga GKP petani terhadap harga beras konsumen dalam jangka panjang terjadi secara asimetris. Secara keseluruhan,
dari
hasil pengujian
menggunakan
test
pada
Wald
model
koefisien dengan
asimetris
kompleks
menunjukkan bahwa untuk koefisien transmisi harga jangka pendek fenomena transmisi harga tidak simetris ditolak. Sementara untuk jangka panjang, koefisien transmisinya menunjukkan asimetris. Hal ini menunjukkan bahwa proses transmisi harga GKP petani terhadap harga beras konsumen tidak simetris terjadi dalam jangka panjang, sementara dalam jangka pendek bersifat simetris. Dengan demikian, faktor penyebab transmisi harga tidak simetris pada harga GKP petani terhadap harga beras konsumen merupakan faktor jangka panjang, seperti adanya penyalahgunaan market power yang dilakukan pedagang perantara. Fenomena transmisi harga asimetri jangka panjang dapat pula dijelaskan dengan melihat kondisi supply-demand yang terjadi di pasar GKP level petani dengan pasar beras level konsumen. Gambaran kondisi supply-demand saat terjadi transmisi harga yang tidak simetris dalam jangka panjang ditampilkan pada Gambar 5.2. Fenomena penurunan harga GKP di level petani umumnya terjadi pada saat masa panen raya27, dimana jumlah supply GKP di pasar petani dan jumlah supply beras di pasar konsumen meningkat. Pada
25
Penyimpangan yang terjadi akibat penurunan harga GKP petani, dimana penurunan harga GKP petani tidak diikuti dengan penurunan harga beras konsumen. 26 Penyimpangan yang terjadi akibat kenaikan harga GKP petani, dimana kenaikan harga GKP petani tidak diikuti dengan kenaikan harga beras konsumen. 27 Untuk memudahkan ilustrasi, fenomena penyimpangan dianalogikan terjadi pada saat panen raya, dimana supply GKP di pasar petani meningkat sehingga harga GKP turun. Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
104
Gambar 5.2, kurva (a) menunjukkan kondisi supply-demand pada pasar GKP di level petani sementara kurva (b) menunjukkan kondisi supply-demand pada pasar beras di level konsumen. Pada pasar GKP petani, panen raya menyebabkan terjadinya pergeseran kurva supply ke arah kanan. Sehingga terjadi keseimbangan baru, dimana harga GKP petani menurun dari P0 ke P1 dan jumlah GKP di pasar meningkat dari Q0 ke Q1. S0
S0 S1
S1
P0
P0
P1
P1 D
D
Q0 Q1
Q0 Q1
(a)
(b)
Gambar 5.2. Kondisi Supply-Demand saat Pada saat terjadi penyimpangan
, penurunan harga GKP di
level petani tidak diikuti dengan penurunan harga beras di level konsumen. Sehingga pada pasar beras konsumen (kurva (b)), harga beras tetap berada di level P0. Beras di level konsumen dapat tetap berada pada tingkat harga P0 kemungkinan disebabkan adanya penahanan jumlah supply beras yang dilakukan pedagang perantara. Masa simpan beras yang cukup lama (kurang lebih 3 bulan28) dan didukung dengan fasilitas penyimpanan yang dimiliki oleh pedagang perantara, memungkinkan pedagang perantara untuk mengendalikan jumlah supply beras di pasaran. Supply beras yang disimpan tersebut
28
Hasil wawancara dengan pedagang beras di Pasar Induk Cipinang Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
105
akan sedikit demi sedikit dilepas ke pasar pada saat harga beras di pasar sudah mulai naik. Pada saat terjadi penyimpangan keseimbangan jangka panjang akibat kenaikan harga GKP petani (
), hasil estimasi model asimetri
sederhana maupun kompleks menunjukan bahwa penyimpangan tersebut
dalam
jangka
panjang
akan
kembali
ke
garis
keseimbangannya. Dengan kata lain, kenaikan harga GKP petani dalam jangka panjang akan diikuti dengan kenaikan harga beras di level konsumen, meskipun terdapat lag waktu selama 3 periode. Hasil ini pada dasarnya sesuai dengan masa penyimpanan beras yang hanya akan tahan selama 3 bulan. Untuk lebih jelasnya berikut adalah
ilustrasi
kondisi
penyimpangan
supply-demand
pada
saat
terjadi
. S3 S 2
S1
S1 S0
S0 P3 P2 P1 P0
P1 P0 D
D
Q1 Q0
Q3 Q2Q1Q0
(a)
(b)
Gambar 5.3. Kondisi Supply-Demand saat Pada saat musim tanam atau musim paceklik, supply GKP di pasar petani mengalami penurunan sehingga terjadi pergeseran kurva supply ke arah kanan (Gambar 5.3 (a)). Akibatnya harga GKP di level petani mengalami kenaikan dari P0 ke P1.
Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
106
Penyimpangan
terjadi pada saat kenaikan harga GKP petani
tidak langsung disertai dengan kenaikan harga beras di level konsumen. Berbeda dengan penyimpangan
yang tidak akan
kembali ke garis keseimbangan, dari hasil estimasi model asimetri diketahui bahwa penyimpangan
akan kembali ke garis
keseimbangan dengan lag waktu penyesuaian selama 3 bulan. Dengan demikian, meskipun terjadi penyimpangan namun kenaikan harga GKP petani pasti akan disertai dengan kenaikan harga beras di level konsumen pada 3 bulan berikutnya. Apabila dikaitkan dengan kondisi perdagangan beras di Indonesia, penundaan penyesuaian kenaikan GKP di pasar petani dapat dikaitkan
dengan
persediaan
beras
di
pedagang
perantara.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa pada saat panen raya pedagang perantara melakukan penyimpanan beras sehingga harga beras di level konsumen tidak ikut turun (sebagaimana yang terjadi di pasar GKP petani). Beras tersebut kemudian akan dilepas di pasar beras konsumen sedikit demi sedikit pada masa tanam atau masa paceklik. Sehingga pada saat harga GKP di level petani mengalami kenaikan di musim tanam dari P0 ke P1 (Gambar 5.4 (a)), penyesuaian harga beras di level konsumen tidak akan terjadi secara sekaligus dalam periode yang sama. Harga beras di pasar konsumen baru akan mengalami penyesuaian yang sempurna29 setelah 3 bulan berikutnya, seiring dengan habisnya persediaan beras di gudang pedagang perantara (Gambar 5.4 (b)).
29
Dalam Gambar 5.4 (b), penyesuaian harga beras di pasar konsumen sempurna saat terjadi kenaikan harga dari P0 ke P3. Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
107
5.4. Analisa Faktor Penyebab Transmisi Harga Asimetris 5.4.1. Biaya Penyesuaian Yang dimaksud dengan biaya penyesuaian (adjustment cost dan menu cost) adalah sejumlah tambahan biaya yang harus dikeluarkan oleh pelaku usaha untuk melakukan penyesuaian harga akibat terjadi perubahan biaya. Contoh adjustment cost dan menu cost antara lain biaya yang digunakan untuk melakukan perubahan label dan katalog harga, biaya periklanan, dan biaya akibat penyimpanan. Menurut Karantininis (2011) dan McCorriston et al. (2000), transmisi harga tidak simetris yang disebabkan oleh faktor adjustment cost umumnya hanya terjadi pada jangka pendek. Tanpa adanya market power maka harga akan melakukan penyesuaian kembali menuju ke garis keseimbangan jangka panjangnya. Dalam penelitian ini, transmisi harga tidak simetris yang disebabkan oleh faktor adjustment cost dilihat dengan cara memisahakan variabel independent antara variabel positif dengan variabel negatif, dan kemudian membandingkan apakah koefisien keduanya identik atau tidak. Variabel positif adalah kondisi saat variabel independent mengalami perubahan kenaikan harga, sebaliknya variabel negatif adalah kondisi saat terjadi penurunan harga variabel independent. Dari hasil estimasi model asimetris dan hasil pengujian koefisien jangka pendek (Tabel 5.14, Tabel 5.15, Tabel 5.16, dan Tabel 5.17) diperoleh hasil transmisi harga GKP petani terhadap harga beras konsumen bersifat asimetris. Meskipun secara kualitatif terjadi perbedaan respon transmisi antara shock positif dengan shock negatif, namun pengujian secara statistik menunjukkan bahwa perbedaan respon tersebut tidak cukup signifikan. Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
108
Hasil tersebut sesuai dengan karakteristik industri dan perdagangan beras di Indonesia. Meskipun beras di level konsumen terdiferensiasi berdasarkan
merek
tertentu,
namun
biaya
periklanan
yang
dikeluarkan pedagang untuk produk beras relatif rendah30. Hal ini disebabkan oleh elastisitas subtitusi beras antar merek-merek tersebut sangat tinggi, dimana konsumen akan dengan sangat mudah untuk beralih ke merek beras yang lain apabila terjadi kenaikan harga pada satu merek. Sehingga wajar apabila transmisi harga GKP petani terhadap harga konsumen dalam jangka pendek berjalan secara simetris. 5.4.2. Kebijakan Pemerintah dan Perilaku Pedagang Perantara Menurut Kinnucan dan Forker (1987) kebijakan yang ditetapkan Pemerintah dapat menjadi pemicu terjadinya transmisi harga vertikal yang tidak simetris. Sebagai contoh kebijakan harga dasar, dimana Pemerintah melakukan intervensi harga pada saat mekanisme pasar menyebabkan harga produk menjadi sangat rendah dan merugikan petani. Pada saat terjadi penurunan harga di level petani, pedagang akan percaya bahwa penurunan tersebut hanya bersifat sementara karena Pemerintah akan segera melakukan intervensi. Sehingga pedagang tidak akan dengan cepat melakukan penyesuaian harga jual saat terjadi penurunan harga di level petani. Sebaliknya, pada saat terjadi kenaikan harga di level petani, pedagang akan menganggap bahwa perubahan tersebut sifatnya permanen sehingga akan dengan segera melakukan penyesuaian harga jualnya. Pada kasus perdagangan beras di Indonesia, pada dasarnya Pemerintah telah menerapkan kebijakan harga dasar sejak masa Orde 30
Berdasarkan teori ekonomi industri, apabila suatu produk berada pada pasar persaingan monopolistik, yang dicirikan dengan jumlah pedagang dan pembeli banyak serta produk yang terdiferensiasi, maka umumnya biaya yang dikeluarkan untuk periklanan cukup besar. Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
109
Baru. Hanya saja, pada periode tersebut kebijakan harga dasar gabah disertai dengan kebijakan ceilling price di level konsumen. Akibatnya, disparitas harga yang terjadi relatif kecil dan proses transmisi harga terjadi secara simetris. Namun, akibat keterbatasan anggaran yang dimiliki Pemerintah, kebijakan ceilling price dicabut. Sementara kebijakan harga dasar tetap diberlakukan, dengan berbagai macam perubahan istilah seperti Harga Dasar Gabah (HDG) menjadi Harga Dasar Pembelian Pemerintah (HDPP) dan kemudian diubah lagi menjadi Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Meskipun pada mekanisme HPP, harga GKP petani seolah-olah dibiarkan bergerak mengikuti mekanisme pasar. Namun, pembelian sejumlah supply GKP oleh Pemerintah nampaknya cukup untuk mengendalikan pergerakan harga GKP di level petani. Sebaliknya, pelepasan harga beras konsumen ke mekanisme pasar menyebabkan harga beras di level konsumen dapat bergerak tanpa batas, dengan kecenderungan yang semakin meningkat. Akibatnya, disparitas harga GKP petani dengan harga beras konsumen akan semakin melebar. Meskipun di tahun 2004 Pemerintah telah kembali menetapkan BULOG sebagai stabilitator harga beras dalam negeri, namun cadangan beras yang dimiliki BULOG dinilai sangat kecil untuk mempengaruhi harga eceran beras di pasar. Dengan cadangan yang dimilikinya, BULOG hanya menguasai 10% pangsa pasar distribusi beras di Indonesia. Sementara sisanya diserahkan ke mekanisme pasar. Sehingga kebijakan ini pun gagal untuk menahan gejolak peningkatan harga beras di level konsumen. Selain itu, sejak tahun 2004 Pemerintah menerapkan kebijakan importasi yang baru, dengan mengatur waktu impor dan membatasi pedagang yang dapat menjadi importir. Tujuannya adalah untuk Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
110
memberikan perlindungan kepada petani dalam negeri dari harga beras impor yang lebih murah. Dengan adanya kebijakan ini, penurunan harga GKP di level petani saat musim panen raya dapat dihindari. Kebijakan ini akan semakin memperkuat persepsi pedagang perantara bahwa Pemerintah akan berupaya untuk melakukan intervensi harga dengan berbagai cara pada saat harga beras di dalam negeri mengalami penurunan. Kondisi ini menyebabkan pedagang perantara merasa bahwa penurunan harga gabah/beras di level petani hanya bersifat sementara. Sehingga dalam jangka panjang, respon pedagang perantara terhadap penurunan harga GKP petani menjadi tidak sensitif. Hal ini sejalan dengan hasil pengujian secara statistik pada model asimetris sederhana (Tabel 5.12) maupun pada model asimetris kompleks (Tabel 5.14) yang secara konsisten menunjukkan bahwa variabel
bernilai positif. Artinya, pada saat terjadi
penurunan harga GKP di level petani, tidak akan terjadi penyesuaian ke garis keseimbangan jangka panjang (tidak terjadi transmisi harga). Bahkan dari nilai koefisiennya yang tidak signifikan, dapat diartikan bahwa penurunan harga GKP petani tidak signifikan berpengaruh terhadap perubahan harga beras konsumen. Sementara saat terjadi kenaikan harga GKP petani (ditunjukkan dengan variabel
), terjadi proses penyesuaian ke garis
keseimbangan, dicirikan dengan nilai koefisien variabel yang bertanda negatif. Hasil ini semakin memperkuat dugaan bahwa pedagang perantara lebih responsif terhadap perubahan kenaikan harga GKP di level petani dibandingkan saat terjadi penurunan. Dalam hal ini pedagang menganggap bahwa kenaikan harga GKP di level petani sifatnya permanen, karena Pemerintah tidak akan melakukan intervensi harga GKP petani saat terjadi kenaikan harga. Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
111
5.4.3. Market Power dan Struktur Pasar Faktor terakhir yang dapat menjelaskan transmisi harga tidak simetris adalah dugaan adanya penyalahgunaan market power yang dilakukan oleh pedagang perantara. Untuk melihat transmisi harga tidak simetris yang disebabkan oleh dugaan market power maka perlu yang perlu dilihat adalah koefisien jangka panjangnya, yaitu dengan melihat nilai
dan
Dari hasil pengujian koefisien
(Karantininis, 2011). dan
pada model
asimetris sederhana (Tabel 5.13) maupun pada model asimetris kompleks (Tabel 5.18) dapat dilihat bahwa kedua koefisien tersebut signifikan tidak identik. Dengan kata lain, terjadi transmisi yang tidak simetris dalam jangka panjang. Hasil ini memperkuat dugaan adanya penyalahgunaan market power pedagang perantara dalam rantai pemasaran beras di Indonesia. Untuk lebih memperkuat hasil pengujian statistik, berikut dijabarkan secara umum kondisi struktur industri dari setiap level pemasaran beras di Indonesia. Prastowo et al. (2008) menyebutkan bahwa struktur pasar sangat mempengaruhi besar/kecil-nya margin keuntungan yang dapat ditetapkan oleh para agen ekonomi dalam rantai pemasaran. Struktur pasar ditentukan oleh beberapa kriteria, yaitu (1) jumlah perusahaan yang beroperasi di pasar, (2) ada tidaknya hambatan bagi perusahaan untuk masuk dan keluar dari pasar, dan (3) karakteristik dari produk yang diperdagangkan. Struktur pasar tersebut selanjutnya akan berpengaruh terhadap kekuatan dari para perusahaan didalamnya untuk mempengaruhi harga pasar. Pada struktur pasar yang bersifat monopoli, perusahaan atau agen tunggal berperan sebagai price setter, akibatnya perusahaan memiliki keleluasaan dalam menentapkan harga dan memperoleh marjin Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
112
keuntungan yang optimal. Sebaliknya, pada pasar persaingan sempurna (atau setidaknya highly competition), perusahaan hanya akan berperan sebagai price taker, dimana perusahaan tidak memiliki kekuatan untuk mempengaruhi harga di pasar, sehingga marjin keuntunganyang diperolehnya sangat kecil. Untuk kasus beras, kondisi pasar dengan intesitas persaingan yang tinggi terlihat di level petani saat panen raya. Homogentias dan melimpahnya
beras
di
pasaran
menyebabkan
petani
tidak
mempunyai bargaining position untuk menetapkan harga, sehingga petani “terpaksa” menjadi price taker. Sebaliknya pada level pedagang (baik pedagang pengumpul maupun penggiling) yang jumlahnya lebih sedikit akan cenderung memiliki kekuatan untuk mempengaruhi harga. Bahkan seringkali pedagang pengumpul maupun penggiling membentuk kartel dengan membuat kesepakatan harga di pasar. Pada saat musim paceklik, musim dimana harga beras umumnya tinggi akibat kekurangan pasokan, petani tidak akan mendapatkan keuntungan dari kenaikan harga. Keterbatasan modal yang dimiliki petani menyebabkan petani tidak memiliki kemampuan untuk menyediakan infrastruktur penyimpanan beras hasil produksinya. Sehingga petani umumnya akan menjual seluruh hasil produksinya secara sekaligus saat panen raya, dan hanya menyimpan sedikit untuk keperluan konsumsinya sendiri. Petani juga dihadapkan pada posisi fungsi penawaran yang inelastis, dimana tidak dapat menambah hasil produksinya pada saat terjadi kenaikan harga beras di pasaran. Hal ini disebabkan sifat tanaman padi yang merupakan tanaman musiman. Akibatnya, kenaikan harga pada saat musim kemarau dan musim paceklik sepenuhnya dinikmati oleh pedagang perantara. Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
113
Penelitian terdahulu yang secara khusus melakukan pemetaan struktur pasar beras dalam satu rantai pemasaran (dari petani sampai ke konsumen) dilakukan oleh KPPU (2007), dengan mengambil sampel pada 5 (lima) lokasi, yaitu Sumatera Utara, Lampung, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan. Dari hasil penelitiannya diketahui bahwa bahwa struktur pasar gabah dan beras secara umum tidak kompetitif. Jumlah petani di seluruh lokasi sampel jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah pedagang pengumpul/tengkulak dan pengusaha penggilingan. Jumlah pedagang pengumpul pun masih lebih banyak dibandingkan dengan jumlah pengusaha penggilingan. Dengan demikian struktur pasar di tingkat pedagang pengumpul dan pengusaha penggilingan termasuk dalam bentuk pasar oligopsoni. Sementara untuk perbandingan pengusaha penggilingan dengan pedagang besar jumlahnya relatif sama. Struktur pasar di tingkat pedagang besar adalah oligopoli, karena jumlah pedagang pengecer jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah pedagang besar. Terakhir, struktur pasar di tingkat pedagang pengecer adalah persaingan monopolistik, karena jumlah pedagang pengecer dengan jumlah konsumen relatif sama dan produk yang dipasarkan sudah terdiferensiasi. Secara lebih jelas dalam Gambar 5.4 digambarkan struktur pasar yang terbentuk di setiap level pemasaran gabah dan beras. Implikasi dari struktur pasar yang digambarkan di atas menyebabkan petani dan konsumen berada pada posisi tawar yang lemah, dan sebaliknya pengusaha penggilingan dan pedagang besar pada posisi dominan. Selain itu, dari hasil penelitian yang dilakukan KPPU di beberapa lokasi diketahui bahwa pedagang pengecer umumnya bermodal lemah sehingga sistem pembeliaan beras dilakukan dengan cara bayar kemudian kepada pedagang besar. Di lain pihak, petani seringkali sudah terikat banyak pinjaman kepada tengkulak maupun Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
114
pengusaha penggilingan, sehingga tidak memiliki pilihan untuk menjual seluruh hasil produksinya dalam bentuk GKP (kecuali menyisakan
sedikit
untuk
keperluan
konsumsinya).
Dengan
demikian suplai gabah meningkat tajam saat musim panen dan posisi tawar petani menjadi semakin lemah.
PETANI OLIGOPSONI Pengumpul/ Tengkulak OLIGOPSONI Penggilingan / Huller
OLIGOPSONI/ OLIGOPOLI
Pedagang Besar OLIGOPOLI PENGECER MONOPOLISTIK
KONSUMEN
Gambar 5.4. Struktur Pasar Gabah dan Beras di Setiap Level Pemasaran Sumber : KPPU, 2007
Posisi pengusaha penggilingan dan pedagang besar menjadi semakin kuat karena adanya hambatan masuk (barrier to entry) alamiah bagi perusahaan-perusahaan baru yang berniat masuk ke pasar tersebut. Hambatan tersebut berupa penguasaan modal dan teknologi, serta yang terpenting adalah jaringan pemasaran yang telah dikuasai perusahaan
existing
(KPPU,
2007).
Dominasi
pengusaha
penggilingan dan pedagang besar inilah yang menyebabkan mereka menjadi pihak yang mampu menentukan harga (price taker) dan Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
115
dapat dengan mudah mengatur harga beras di level konsumen. Dalam
hal
ini,
pedagang
perantara,
khususnya
pengusaha
penggilingan dan pedagang grosir, memiliki bargaining power yang kuat sehingga mampu mengendalikan proses transmisi harga GKP petani terhadap harga eceran beras konsumen. Saat harga GKP mengalami kenaikan, margin pedagang perantara akan mengalami tekanan (berkurang) apabila tidak melakukan penyesuaian.
Oleh karena kuatnya bargaining power
yang
dimilikinya, maka pedagang perantara akan dengan mudah menyesuaikan kenaikan harga GKP petani ke harga jual berasnya. Sementara, pada saat harga GKP mengalami penurunan, margin pedagang perantara justru semakin besar. Sebagai pihak yang tujuannya mencari keuntungan, maka penurunan harga GKP petani tidak akan ditransmisikan dalam bentuk penurunan harga jual berasnya. Kondisi inilah yang kemudian menyebabkan transmisi harga GKP petani terhadap harga beras.
Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
BAB 6 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 6.1. Kesimpulan 1. Dari hasil pengujian transmisi harga tidak simetris diketahui bahwa baik model asimetris sederhana maupun model asimetris kompleks menunjukkan hasil yang konsisten, dimana koefisien keseimbangan jangka panjang positif ( koefisien keseimbangan jangka panjang negatif (
31
) dan
32
) signifikan tidak identik
secara statistik. Hal ini menunjukkan bahwa proses penyesuaian jangka panjang yang disebabkan oleh penyimpangan penurunan harga GKP petani (
) berbeda dengan
proses penyesuaian akibat penyimpangan kenaikan harga GKP petani (
).
Sehingga dapat disimpulkan bahwa transmisi harga GKP di level petani terhadap harga beras di level konsumen bersifat asimetris dalam jangka panjang. 2. Dengan memperhatikan karakteristik struktur dan perilaku industri beras di Indonesia, transmisi harga tidak simetris dalam jangka panjang yang terjadi disebabkan oleh 2 (dua) hal, yaitu (1) kebijakan intervensi harga yang dilakukan Pemerintah terhadap harga gabah di level petani, sementara harga beras konsumen dibiarkan bergerak tanpa batas, dan (2) market power yang dimiliki pedagang perantara. a. Kebijakan Pemerintah yang lebih cenderung mengintervensi harga di level petani, khususnya pada saat terjadi penurunan harga GKP, menimbulkan persepsi bagi pedagang perantara bahwa penurunan harga GKP petani hanya bersifat sementara. Akibatnya pedagang tidak dengan segera mentransmisikan penurunan harga tersebut pada harga beras konsumen. Sebaliknya, pada saat terjadi kenaikan harga GKP petani, Pemerintah tidak akan melakukan intervensi apapun, sehingga
31
Variabel menunjukkan kondisi saat terjadi penyimpangan berada di atas garis keseimbangan, yaitu saat penurunan harga GKP petani tidak diikuti dengan penurunan harga beras konsumen. 32 Variabel menunjukkan kondisi saat terjadi penyimpangan berada di bawah garis keseimbangan, yaitu saat kenaikan harga GKP petani tidak diikuti dengan kenaikan harga beras konsumen. 116 Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
117
pedagang perantara menilai kenaikan harga sifatnya lebih permanen dan akan langsung menyesuaikannya dalam bentuk kenaikan harga beras konsumen. b. Dugaan penyalahgunaan market power oleh pedagang perantara yang berujung pada transmisi harga tidak simetris, didukung oleh struktur pasar pedagang perantara yang mengarah pada oligoposoni/oligopoli, dimana jumlah pedagang perantara relatif sedikit dibandingkan dengan jumlah petani dan konsumen beras. Kondisi ini menyebabkan market power yang dimiliki pedagang beras relatif besar. Akibatnya, pedagang perantara dapat dengan mudah menetapkan harga sesuai dengan tingkat margin yang diharapkan (price maker). c. Dari variabel transmisi harga jangka pendek, shock positif dan shock negatif pada variabel GKP petani periode t, variabel GKP petani periode t-1, maupun variabel harga beras konsumen periode t-1 menunjukkan hasil yang identik. Artinya transmisi harga GKP petani terhadap harga beras konsumen dalam jangka pendek bersifat simetris. Hasil ini sesuai dengan faktor biaya penyesuaian pada industri beras, dimana penjualan beras tidak membutuhkan biaya periklanan yang besar. Sehingga tidak ada biaya tambahan yang dikeluarkan pada saat pedagang perantara melakukan perubahan harga. 6.2. Rekomendasi 1. Analisa transmisi harga dengan menggunakan model ECM hanya mampu menjelaskan peristiwa asimetri harga dari sisi waktu penyesuaian. Sementara apabila melihat data data harga GKP di level petani dan harga harga beras di level konsumen yang menunjukkan disparitas harga yang semakin melebar, kemungkinan transmisi harga asimetri tidak hanya terjadi dari sisi waktu melainkan juga dari sisi besaran. Untuk itu, dalam penelitian selanjutnya dapat digunakan model transmisi harga asimetris lain yang dapat memetakan peristiwa asimetri harga dalam hal besaran penyesuaian.
Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
118
2. Kebijakan pengetatan impor yang ditetapkan Pemerintah di tahun 2004 menyebabkan disparitas harga GKP di level petani dengan harga beras di level konsumen semakin melebar. Hal ini disebabkan posisi tawar pedagang perantara menjadi semakin tinggi, sehingga pedagang perantara dapat dengan bebas menetapkan harga jual beras ke konsumen. Untuk mengatasi hal tersebut, maka direkomendasikan kepada Pemerintah untuk membuat kebijakan yang mampu membatasi market power pedagang perantara, seperti : a. Kebijakan ceilling price yang terbatas, dimana ceilling price hanya diberlakukan pada saat musim tanam atau musim paceklik (saat harga beras mengalami peningkatan). Kebijakan ini dinilai tidak akan merugikan petani karena kenaikan harga yang terjadi pada saat musim tanam atau musim paceklik tidak akan dinikmati oleh petani. Sebagaimana yang sudah dipaparkan sebelumnya bahwa petani Indonesia umumnya akan menjual seluruh hasil produksinya pada saat musim panen. Sehingga meskipun harga beras pada saat musim tanam atau musim paceklik relatif tinggi namun petani tidak memiliki produk yang dapat dijual. Di sisi lain, kebijakan ini diharapkan dapat menghindari perilaku eksploitasi yang dilakukan pedagang perantara, dalam bentuk penentapan harga beras yang terlampau tinggi di level konsumen. b. Kebijakan price band, dimana Pemerintah menetapkan suatu rentang/disparitas harga yang wajar antara harga di level petani dengan harga di level konsumen. Untuk menentukan rentang yang wajar maka Pemerintah perlu memperhatikan tingkat harga yang tidak eksploitatif bagi konsumen namun tetap memberikan margin yang ideal bagi pedagang perantara. c. Kebijakan yang dapat mendorong pelaku usaha baru untuk masuk ke sektor perdagangan beras. Sebagaimana disebutkan bahwa masih terdapat entry barrier alami dalam perdagangan beras di Indonesia, yaitu berupa jaringan pemasaran. Dalam hal ini Pemerintah diharapkan mampu mengurangi entry barrier tersebut, Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
119
sehingga peluang bagi pelaku usaha baru untuk masuk ke perdagangan beras menjadi semakin terbuka. d. Mengintensifkan peran lembaga stabilisasi harga, sehingga intervensi harga beras baik di tingkat petani maupun di tingkat konsumen akan lebih efektif. Dengan demikian, jaminan harga beras yang tinggi di level petani namun tetap terjangkau di level konsumen akan tercapai.
Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
DAFTAR PUSTAKA
Acharya, R.N. (August, 2000). Market Power and Asymmetry in Farm-Retail Price Transmission. Paper presented at AAEA Annual Meetings, Tampa. Acquah, H. G. dan E.E. Onumah. (2010). A Comparison of the Different Approaches to Detecting Asymmetry in Retail-Wholesale Price Transmission. American-Eurasian Journal of Scietific Research 5(1) : 60-66, 2010. Aguiar, D. dan J.A. Santana, (2002). Asymmetry in Farm to Retail Price Transmission: Evidence for Brazil. Agribusiness, Vol 18 (1), 37-48. Alam, M.J. et al., (2010). Testing Asymmetric Price Transmission in the Vertical Supply Chain in De-Regulated Rice Markets In Bangladesh. Paper presented at American Association of Agricultural and Applied Economics 2010 AAEA, CAES & WAEA Joint Conference, Colorado, USA. Amikuzuno, J. dan K. Ogundari. (April, 2012). The Contribution of Agricultural Economics to Price Transmission Analysis and Market Policy in Sub-Sahara Africa: What Does the Literature Say?. Paper presented at the 86th Annual Conference of the Agricultural Economics Society, United Kingdom. Arifin, B., (December, 2011). The Regulation of Rice Market in Indonesia. Presented at Conference G20 Agriculture, Paris, France. Arifin, B., et al. (2006). Analisis Kebijakan Tataniaga Beras Indonesia. Jurnal SOSIO EKONOMIKA, Vol 12, No 2, Desember, 2006. Bailey, D. V. dan B. W. Brorsen, (1989). Price Asymmetry in Spatial Fed Cattle Markets. Western Journal of Agricultural Economics. Vol 14 (2), 246-252. Ball, L. dan N.G. Mankiw, (1994). Asymmetric Price Adjustment and Economic Fluctuations, The Economic Journal 104, 247-261. Bernard, J.C. dan L.S. Willett, (1996). Asymmetric Price Relationship in the U.S. Broiler Industry. Journal of Agricultural and Applied Economics, Vol 28, 279-289. Boyd, M.S. dan B.W. Brorsen. (1988). Price Asymmetry in the U.S. Pork Marketing Channel, North Central Journal of Agricultural Economics, Vol 10, 103-109. 120
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
Universitas Indonesia
121
Bustaman, A.D. (2003). Analisa Integrasi Pasar Beras di Indonesia. Skripsi. Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Conforti, P. (2004). Price Transmission in Selected Agricultural Markets. Working Paper FAO Commoditiy and Trade Policy Research, No 7, March, 2004. http://www.fao.org/es/ESC/ Ditjen PPHP. (2011). Keragaan Database Kinerja Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian 2011, Ditjen PPHP - Kementerian Pertanian. Dodge, E. dan S. Gemessa. (2012). Food Security and Price Stabilization in Indonesia – Analysis of Policy Responses. Harvard Kennedy School of Government. Girapunthong, N., et al. (2003). Price asymmetry in the United States fresh tomato market. Journal of Food Distribution Research, Vol 34 (3), 51-59. Goodwin, B.K. (April, 2006). Spatial and Vertical Price Transmission in Meat Markets. Paper presented at Workshop of Market Integration and Vertical and Spatial Price Transmission in Agricultural Markets. Kentucky, 2004. Goodwin, B. K. dan M. T. Holt. (1999). Asymmetric Adjustment and Price Transmission in the U.S. Beef Sector. American Journal of Agricultural Economics. Vol 79, 630-637. Hassouneh, I., et al. (2012). Recent Developments in the Econometric Analysis of Price Transmission, Working Paper Transparency of Food Pricing No 2, January, 2012. Indrayani, R. (2008). Analisis Pola Kemitraan Dalam Pengadaan Beras Pandanwangi Bersertifikat (Kasus Gapoktan Citra Sawargi dan CV Quasindo). Tesis. Program Studi Industri Kecil Menengah, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Irawan, A. dan D. Rosmayanti. (2007). Analisis Integrasi Pasar Beras di Bengkulu. Jurnal Agro Ekonomi, Vol 25, No 1, 37-54. Jensen, J.D. dan A.S. Møller, (2007). Vertical Price Transmissin in the Danish Food Marketing Chain. Mogens Lund, Institute of Food and Resources Economics, Production and Technology Division. Karantininis, K. et al. (August, 2011) Price Transmission in the Swedish Pork Chain: Asymmetric non linear ARDL. Paper presented at the EAAE 2011 Congress, Zurich, Switzerland. Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
122
Kinnucan, H.W. dan O.D. Forker. (1987). Asymmetry in Farm-Retail Price Transmission for Major Dairy Products. American Journal of Agricultural Economics, Vol 69, No 2, 285-292. Kitaro, N. et al. (1999). Current Situation of Rice Distribution System in Indonesia. Research Institute for Development and Finance – Japan Bank for International Cooperation. Kompas Online, www.kompas.com, “Konsumsi Beras Indonesia Tertinggi di Asia Tenggara, 7 Februari 2012 Kompas Online, www.kompas.com, “Beras Impor 90.000 ton gagal masuk Riau”, 21 Januari 2004 KPPU, (2007). Kajian Industri dan Perdagangan Sektor Industri Beras. Kusumaningrum, R. (2008). Dampak Kebijakan Harga Dasar Pembelian Pemerintah terhadap Penawaran dan Permintaan Beras di Indonesia. Tesis. Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Lloyd, T., McCorriston, S., Morgan, C. W. and Rayner, A. J. (August, 2003). The Impact of Food Scares on Price Transmission in Inter-Related Markets. Paper presented to the 25 th IAAE Conference, Durban, South Africa. Mardianto, S. (2005). Dinamika Pola Pemasaran Gabah dan Beras di Indonesia. Forum Penelitian Agro Ekonomi. Vol 23, No 2, 116 – 131. Mardianto, S. dan M. Ariani. (2004). Kebijakan Proteksi dan Promosi Komoditas Beras di Asia dan Prospek Pengembangannya di Indonesia. Analisis Kebijakan Pertanian Edisi Desember, 2004, Vol 2, No 4, 340-353. McCorriston, S. (2002). Why Should Imperfect Competition Matter to Agricultural Economists?, European Review of Agricultural Economics, Vol 29 (3), 349-371. Meyer, J. dan S. von Cramon-Taubadel (2004). Asymmetric Price Transmission: A Survey. Journal of Agricultural Economics, Vol 55, No 3, 581-611. Pindyck dan Rubinfeld (2009) Microeconomics, Seventh Edition. Pearson Prentice Hall. Peltzman, S. (2000). Prices Rise Faster than they fall. Journal of Political Economy, Vol 108, No 3, 466-502. Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
123
Prastowo et al. (2008). Pengaruh Distribusi Dalam Pembentukan Harga Komoditas dan Implikasinya Terhadap Inflasi. Working Paper BI Edisi WP/07/2008. Juni, 2008. www.bi.go.id Pratiwi, P. (2008). Efektivitas dan Perumusan Strategi Kebijakan Beras Nasional. Skripsi. Program Studi Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Rapsomanikis, G. et al. (2003). Market Integration and Price Transmission in Selected Food and Cash Crop Markets of Developing Countries : Review and Applications. Commodity Markets Review 2003 – 2004, 51-75, FAO Commodities and Trade Division. Reagan, P.B. dan M.L. Weitzman. (1982). Asymmetries in Price and Quantity Adjustments by the Competitive Firm, Journal of Economic Theory 27, 410-420. Republika Online, www.republika.co.id, “Mentan: Konsumsi Beras Indonesia Terlalu Banyak”, 4 April 2012 Sasli, R. (2003). Kebijakan Penetapan Harga Dasar. Makalah. Magister Ekonomi dan Keuangan Syariah, PSKTTI UI. Sawit, M.H. (2005) Melindungi Industri Padi/Beras: Menerapkan Tarif Quota dan Memerankan STE. Analisis Kebijakan Pertanian Edisi Desember 2005. Vol.3 No.4. Serra, T., dan B.K. Goodwin, (January, 2002). Price Transmission asn Asymmetric Adjustment in the Spanish Dairy Sector. Paper presented at 2002 AAEA-WAEA Annual Meeting. Sidik. (2004). Indonesia Rice Policy in View of Trade Liberalization. Paper presented at FAO Rice Conference, Rome, Italy. Timmer, P. (2004). Food Security in Indonesia : Current Challenges and The Long Run Outlook. Working Paper Center for Global Development No. 48. Vavra, P. dan B.K. Goodwin (2005). Analysis of Price Transmission Along Food Chain. Working Papers OECD Food, Agriculture and Fisheries, No 3, OECD Publishing. Von Cramon-Taubadel, S. (1998). Estimating Asymmetric Price Transmission with the Error Correction Representation: An Application to the German Pork Market, European Review of Agricultural Economics. Vol 25, 1-18 Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
124
Wixson, S.E. dan A.L. Katchova. (February, 2012). Price Volatility and Farm Income Stabilisation – Modelling Outcomes and Assesing Market and Policy Based Responses. Paper presented at 123rd EAAE Seminar, Dublin. Yonekura, H. (2005). Institutional Reform in Indonesia’s Food Security Sector : The Transformation of BULOG into a Public Corporation. Journal The Developing Economies XLIII – 1 : 121-48.
Universitas Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012