ANALISIS SPREAD HARGA GABAH DAN BERAS, SERTA INTEGRASI PASAR DAN KOMODITAS
DINA LIANITA SARI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Analisis Spread Harga Gabah dan Beras, serta Integrasi Pasar dan Komoditas adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juli 2010 Dina Lianita Sari NIM H151070061
Halaman ini sengaja dikosongkan
ABSTRACT DINA LIANITA SARI. Analysis on Price Spread between Paddy and Rice, Market and Commodity Integration. Under direction of HARIANTO and HERMANTO SIREGAR.
The stable and affordable rice price is one of the components that well contributed to the food security in Indonesia. One of the rice problems is related to its price spread, farmer as a rice producer want to get high rice price, and the other hand consumer want to get low rice price. Government intervention, especially Bulog, is needed how to help maintain a good price for consumer and producer. But, many parties had been expected that this role was decreased. It had been showed by the price spread that increased since 1998. The objectives of this paper are to analyze the price movement of paddy and rice in the farmer, wholesaler, and consumer level, as well as the type of price spread between paddy and rice in various islands and big cities in Indonesia; analyze the factors that influence the price spread between paddy and rice; and identify the rice market integration, both spatial and vertical analysis. The quantitative approaches, especially the vector error correction model, were used to answer those objectives. From the result, it can be concluded that paddy price in the farmer level is more volatile than rice price in the consumer and wholesaler level. Moreover, the rice price in the various islands and big cities in Indonesia when Bulog’s function as LPND is more volatile than the status as Perum. But, the other way, the national paddy price is more stable when Bulog’s status as Perum. It shows that rice policy stands up for the consumers and sellers than the producers or farmers. Price spread between paddy and rice was increasing from time to time, but the price fluctuation in the Perum period is better than LPND period. There is long run relationship between total of rice purchase, total of paddy purchase, Government Purchasing Price (HPP) for rice, Government Purchasing Price (HPP) for paddy, premium oil price, international price, exchange rate and price spread of paddy and rice. Result of market integration analysis shows that retail price in 12 big rice markets, as well as wholesale price in 4 big ports in Indonesia was not fully integrated. Besides that, vertical market integration of rice in Indonesia was founded, but with asymmetric price. Response of price change in the consumer level was transmitted to the farmer level imperfectly. Keywords: rice, price spread, market integration, vector error correction model.
Halaman ini sengaja dikosongkan
RINGKASAN DINA LIANITA SARI. Analisis Spread Harga Gabah dan Beras, serta Integrasi Pasar dan Komoditas. Dibimbing oleh HARIANTO dan HERMANTO SIREGAR. Di antara banyaknya masalah perberasan di Indonesia, salah satunya adalah masalah yang terkait dengan harga beras dan gabah. Ada trade-off di antara keduanya. Petani selaku konsumen menginginkan harga gabah yang tinggi, namun konsumen menginginkan tingkat harga beras serendah mungkin. Di sinilah peran Pemerintah, khususnya Bulog dalam stabilisasi harga gabah dan beras diperlukan, yaitu mempertahankan harga yang baik di tingkat petani sebagai produsen namun pada saat yang sama juga tidak terlalu memberatkan konsumen. Namun, peran pemerintah ini diduga semakin melemah. Sejak tahun 1998, spread harga gabah dan beras semakin melebar. Tentunya ada faktor-faktor yang menyebabkan mengapa pergerakan kedua harga tersebut memiliki rentang yang semakin tinggi. Spread yang tinggi dapat menunjukkan ada inefisiensi dalam hal perdagangan dan pemasaran beras. Oleh karena itu, kajian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi spread harga gabah dan beras tersebut sangat penting untuk dilakukan. Dengan melakukan analisa kualitatif maupun kuantitatif atas berbagai informasi dari berbagai dokumen dan literatur, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pergerakan harga beras, baik di tingkat eceran maupun di tingkat pedagang besar, serta harga gabah di tingkat petani; menganalisis pola spread antara harga gabah dan harga beras, baik antar waktu (time series) maupun antar wilayah (spatial); menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi spread harga gabah dan harga beras; dan mengidentifikasi adanya integrasi pasar antar wilayah, baik antar pasar beras, maupun antara pasar gabah dan pasar beras di tingkat provinsi di Indonesia. Dari hasil analisis perkembangan harga gabah dan beras di Indonesia dapat disimpulkan bahwa fluktuasi yang terjadi pada harga beras grosir dan harga beras eceran lebih kecil dibandingkan dengan fluktuasi yang terjadi pada harga gabah. Lebih jauh, volatilitas harga beras eceran dan grosir di berbagai pulau di Indonesia menunjukkan bahwa harga lebih sering berfluktuasi pada saat Bulog menjalankan fungsinya sebagai LPND daripada setelah berstatus sebagai Perum. Namun hal sebaliknya terjadi pada harga gabah nasional, yaitu harga lebih stabil pada saat Bulog menjalankan fungsinya sebagai LPND daripada setelah berstatus sebagai Perum. Ini menunjukkan bahwa kebijakan perberasan yang dilakukan pemerintah lebih berpihak kepada konsumen. Pemerintah lebih khawatir terhadap kenaikan harga beras di tingkat konsumen daripada turunnya harga gabah di tingkat petani. Instrumen kebijakan yang dilakukan pemerintah untuk meredam gejolak harga beras di tingkat konsumen meliputi subsidi kepada masyarakat miskin dan injeksi pasar, sementara instrumen kebijakan untuk meredam turunnya harga gabah hanyalah satu, yaitu operasi pembelian gabah di mana pembelian disesuaikan dengan kebutuhan, yamg seringkali tidak efektif. Kondisi ini diperparah oleh sifat harga gabah yang musiman atau jangka pendek, sementara fluktuasi harga beras bersifat tahunan atau jangka panjang. Dari hasil analisis pola
spread antara harga gabah dan beras di Indonesia, dapat disimpulkan bahwa pola spread nominal secara nasional maupun antar wilayah terus meningkat dari waktu ke waktu, namun fluktuasinya lebih baik ketika Bulog berfungsi sebagai Perum (2003-2008) daripada saat berfungsi sebagai LPND (1999-2002). Terlihat adanya hubungan keseimbangan jangka panjang antara jumlah pembelian beras (LJPB), jumlah pembelian gabah (LJPG), harga pembelian pemerintah untuk beras (LHPPB), harga pembelian pemerintah untuk gabah (LHPPG), harga BBM (LBBM), harga beras internasional (LHI), dan nilai tukar (LER) dengan spread harga gabah dan beras (LHGB). Harga BBM, harga beras internasional, harga pembelian pemerintah untuk gabah, jumlah pembelian beras, dan stok beras yang dilakukan Bulog memiliki pengaruh yang semakin besar dari periode ke periode terhadap spread harga gabah dan beras. Sementara itu, distribusi beras yang dilakukan Bulog, indeks nilai tukar, harga pembelian pemerintah untuk beras, dan jumlah pembelian gabah yang dilakukan Bulog memberikan pengaruh yang semakin mengecil dari periode ke periode terhadap spread harga gabah dan beras. Hasil integrasi pasar spasial menunjukkan bahwa pasar beras di 12 kota besar di Indonesia tidak terintegrasi secara penuh. Persamaan kointegrasi menunjukkan bahwa ada hubungan jangka panjang antara pasar beras di Surabaya, Bandung, Lampung, Medan, Makasar, Semarang, Palembang, Mataram, Denpasar, dan Pontianak dengan pasar beras di Jakarta. Sementara pasar beras di Padang tidak memiliki keseimbangan jangka panjang dengan pasar beras di Jakarta. Ini berarti harga beras di Jakarta tidak menjadi harga referensi bagi harga beras di Padang. Selain itu, hasil integrasi pasar beras spasial di tingkat grosir untuk 4 kota pelabuhan besar di Indonesia juga tidak terintegrasi secara penuh. Persamaan kointegrasi menunjukkan bahwa ada hubungan jangka panjang antara harga beras grosir di Medan dan Makasar dengan pasar beras grosir di Jakarta, namun tidak ada hubungan jangka panjang antara pasar beras di Makasar dengan pasar beras di Surabaya. Ini berarti harga beras di Makasar tidak menjadi harga referensi bagi harga beras di Surabaya. Hal tersebut juga diperkuat dari hasil analisis VECM, bahwa dalam jangka pendek dan jangka panjang, pasar beras eceran di 12 kota besar dan pasar beras grosir di 4 kota pelabuhan besar di Indonesia memiliki tingkat integrasi yang sangat lemah, yang ditunjukkan dari nilai koefisien model yang lebih kecil dari satu. Artinya, apabila terjadi perubahan di suatu wilayah akan mempengaruhi pergerakan harga beras di wilayah lainnya dengan perubahan yang sangat kecil (dilihat dari nilai koefisiennya yang lebih kecil dari satu). Di Indonesia, integrasi pasar vertikal juga terjadi, dimana terjadi transmisi harga gabah ke petani ke harga beras konsumen, dan sebaliknya dari harga beras konsumen ke harga gabah petani, namun respons perubahan harga beras konsumen lebih cepat jika terjadi perubahan harga gabah di tingkat petani. Oleh karenanya, pemerintah seharusnya lebih mengendalikan harga gabah di tingkat petani—bukan lebih mengendalikan harga di tingkat konsumen seperti yang saat ini dilakukan—karena itu akan direspon secara cepat oleh harga beras konsumen. Kata kunci: beras, spread harga, integrasi pasar, vector error correction model.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
Halaman ini sengaja dikosongkan
ANALISIS SPREAD HARGA GABAH DAN BERAS, SERTA INTEGRASI PASAR DAN KOMODITAS
DINA LIANITA SARI
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
Halaman ini sengaja dikosongkan
Judul Tesis Nama NIM
: Analisis Spread Harga Gabah dan Beras, serta Integrasi Pasar dan Komoditas : Dina Lianita Sari : H151070061
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Harianto, M.S. Ketua
Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.Si.
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.
Tanggal Ujian : 11 Mei 2010
Tanggal Lulus :
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Noer Azam Achsani, M.Si.
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tesis yang berjudul “ANALISIS SPREAD HARGA GABAH DAN BERAS, SERTA INTEGRASI PASAR DAN KOMODITAS” ini disusun sebagai salah satu syarat kelulusan dalam Program Pascasarjana Ilmu Ekonomi, Institut Pertanian Bogor Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada para pihak berikut ini: 1. Dr. Ir. Harianto, M.S. selaku pembimbing I atas bimbingan serta arahan selama proses penyelesaian tesis ini. 2. Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec. selaku pembimbing II atas bimbingan dan arahan yang diberikan. 3. Dr. Joyo Winoto atas dukungan dan bantuan yang diberikan. 4. Dr. D.S. Priyarsono dan Dr. Noer Azam Achsani, atas dukungan dan dorongan yang diberikan. 5. Pimpinan dan segenap scholar di Brighten Institute atas dorongan dan dukungan yang diberikan. 6. Rekan-rekan junior scholar, research assistant, serta seluruh jajaran di Brighten Institute atas dorongan dan dukungan yang diberikan. 7. Badan Urusan Logistik (BULOG) atas semua bantuan data dan diskusi menarik selama proses penelitian. 8. Dosen-dosen serta seluruh staf di Sekretariat Pascasarjana Ilmu Ekonomi atas semua ilmu, bantuan, dan dukungan yang diberikan. 9. Rekan-rekan di kelas Reguler dan kelas Khusus Ilmu Ekonomi atas dorongan dan dukungan yang diberikan. 10. Keluarga, sahabat, dan teman-teman yang tidak bisa disebutkan satu persatu atas semua doa, dukungan, dan kasih sayang. Akhir kata, penulis berharap agar penelitian ini dapat bermanfaat dan memberikan kontribusi kepada pembaca, negara dan semua bagian masyarakat yang terkait. Terima kasih.
Bogor, Juli 2010 Dina Lianita Sari
Halaman ini sengaja dikosongkan
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kota Bogor, Jawa Barat pada tanggal 25 November 1984, sebagai anak pertama dari tiga bersaudara. Ayah bernama Fahmi Djago Salim dan ibu bernama Ermina Zaenah. Pada tahun 2006, penulis memperoleh gelar sarjana bidang matematika dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Pada tahun yang sama, penulis bergabung dengan Brighten Institute, Bogor dibawah Departemen Ekonomi dan Lingkungan sebagai asisten peneliti. Pada tahun 2007, penulis mendapatkan kesempatan melanjutkan pendidikan di Program Pascasarjana Ilmu Ekonomi, Institut Pertanian Bogor. Dalam penyelesaian tugas akhir, penulis melakukan penelitian yang berjudul: Analisis Spread Harga Gabah dan Beras, serta Integrasi Pasar dan Komoditas, di bawah bimbingan Dr. Ir. Harianto, M.S., dan Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec.
Halaman ini sengaja dikosongkan
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ....................................................................................................... xvii DAFTAR TABEL ................................................................................................ xix DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xxi DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xxiii GLOSARI .......................................................................................................... xxiv I.
PENDAHULUAN ............................................................................................1 1.1. Latar Belakang.........................................................................................1 1.2. Perumusan Masalah .................................................................................3 1.3. Tujuan Penelitian .....................................................................................6 1.4. Manfaat dan Ruang Lingkup Penelitian ..................................................7
II. TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................9 2.1. Pergerakan Harga dan Intervensi Pemerintah .........................................9 2.2. Pembentukan dan Transmisi Harga .......................................................11 2.2.1. Transmisi Harga ..........................................................................11 2.2.2. Efektivitas Pemasaran .................................................................13 2.3. Integrasi Pasar .......................................................................................18 2.4. Kebijakan Nasional Perberasan .............................................................22 2.4.1. Kebijakan Harga .........................................................................22 2.4.2. Kebijakan Perdagangan ..............................................................25 2.5. Tinjauan Penelitian Empiris ..................................................................31 III. METODE PENELITIAN ...............................................................................35 3.1. Kerangka Operasional Penelitian ..........................................................35 3.2. Jenis dan Sumber Data ..........................................................................37 3.3. Prosedur Analisis ...................................................................................37 3.3.1. Pergerakan Harga Gabah dan Beras............................................37 3.3.2. Pola Spread antara Harga Gabah dan Harga Beras .....................38 3.3.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Spread Harga Gabah dan Harga Beras ..........................................................................38 3.3.4. Integrasi Pasar .............................................................................43 IV. PERGERAKAN HARGA DAN POLA SPREAD HARGA GABAH DAN BERAS ANTAR WAKTU DAN ANTAR WILAYAH ................................53 4.1. Pergerakan Harga Gabah dan Beras di Indonesia .................................53 4.1.1. Tingkat Produsen ........................................................................53 4.1.2. Tingkat Pedagang Besar/Grosir ..................................................56 4.1.3. Tingkat Konsumen/Eceran ..........................................................59 4.2. Pola Spread antara Harga Gabah dan Beras di Indonesia .....................63 4.2.1. Antar Waktu (Time Series) .........................................................63 4.2.2. Antar Wilayah (Spatial) ..............................................................65 4.2.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Spread Harga Gabah dan Beras.....................................................................................68
V. INTEGRASI PASAR ..................................................................................... 81 5.1. Integrasi Pasar Horizontal .......................................................... 81 5.1.1. Integrasi Pasar Beras di Tingkat Pedagang Pengecer/Konsumen ....................................................... 81 5.1.2. Integrasi Pasar Beras di Tingkat Pedagang Besar/ Grosir .............................................................................. 94 5.2. Integrasi Pasar Vertikal ............................................................ 103 VI. KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 113 6.1. Kesimpulan ............................................................................... 113 6.2. Saran ......................................................................................... 115 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 117
xviii
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Tabel 2 Tabel 3 Tabel 4 Tabel 5 Tabel 6 Tabel 7 Tabel 8
Tabel 9 Tabel 10 Tabel 11
Tabel 12 Tabel 13 Tabel 14 Tabel 15 Tabel 16 Tabel 17 Tabel 18 Tabel 19 Tabel 20 Tabel 21
Halaman Perbedaan antara harga dasar gabah (HDG) dan harga pembelian pemerintah (HPP) ..................................................................................24 Koefisien variasi (CV) harga gabah kering panen (GKP) tingkat penggilingan di Indonesia, 1998-2008 ..................................................55 Koefisien variasi (CV) harga beras grosir di beberapa pulau besar di Indonesia, 1998-2008 ........................................................................59 Koefisien variasi (CV) harga beras eceran di beberapa pulau besar di Indonesia, 1998-2008 ........................................................................63 Koefisien variasi (CV) spread harga gabah kering panen (GKP) dan harga beras medium eceran di Indonesia, 1998-2008 ....................65 Uji unit root ADF untuk masing-masing variabel (dalam natural log) ............................................................................................69 Penentuan lag optimal untuk variabel ...................................................70 Uji kointegrasi dan jumlah vektor kointegrasi (r) untuk analisis faktor-faktor yang mempengaruhi spread harga gabah dan beras di Indonesia ...........................................................................................71 Persamaan kointegrasi jangka panjang untuk analisis faktor-faktor yang mempengaruhi spread harga gabah dan beras di Indonesia..........72 Hasil uji model VECM untuk analisis faktor-faktor yang mempengaruhi spread harga gabah dan beras di Indonesia ..................73 Hasil forecast error variance decomposition (FEVD) dari model VECM untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi spread harga gabah dan beras di Indonesia ...........................................78 Uji unit root ADF untuk sistem persamaan integrasi pasar spasial beras eceran (harga dalam natural log) .................................................84 Penentuan lag optimal untuk pasar beras eceran ...................................84 Hasil uji kointegrasi untuk pasar beras eceran ......................................85 Persamaan kointegrasi jangka panjang untuk pasar beras eceran .........86 Hasil uji model VECM untuk pasar beras eceran .................................89 Uji unit root ADF untuk sistem persamaan integrasi pasar spasial beras medium grosir (harga dalam natural log) ....................................94 Penentuan lag optimal untuk pasar beras grosir antar kota pelabuhan besar di Indonesia.................................................................95 Hasil uji kointegrasi untuk pasar beras grosir antar kota pelabuhan besar di Indonesia ..................................................................................96 Persamaan kointegrasi jangka panjang untuk pasar beras grosir antar kota pelabuhan besar di Indonesia ................................................96 Hasil uji model VECM untuk pasar beras grosir antar kota pelabuhan besar di Indonesia.................................................................97
Tabel 22 Hasil forecast error variance decomposition (FEVD) untuk model VECM pasar beras grosir di kota Jakarta, Surabaya, Medan, dan Makasar ............................................................................................... 102 Tabel 23 Uji unit root ADF untuk sistem persamaan integrasi pasar vertikal beras nasional (harga dalam natural log) ............................................ 104 Tabel 24 Penentuan lag optimal untuk model pasar vertikal beras nasional ..... 105 Tabel 25 Hasil uji kointegrasi untuk model pasar vertikal beras nasional ......... 105 Tabel 26 Persamaan kointegrasi jangka panjang untuk model pasar vertikal beras nasional ...................................................................................... 106 Tabel 27 Hasil uji model VECM untuk model pasar vertikal beras nasional .... 106 Tabel 28 Hasil forecast error variance decomposition (FEVD) model VECM pasar vertikal beras nasional untuk harga gabah kering panen (GKPNAS), harga beras grosir (HBGNAS), dan harga beras eceran (HBENAS) ..................................................................... 110
xx
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Gambar 2 Gambar 3 Gambar 4
Gambar 5 Gambar 6
Gambar 7 Gambar 8 Gambar 9 Gambar 10 Gambar 11 Gambar 12
Gambar 13 Gambar 14 Gambar 15
Gambar 16
Halaman Tingkat harga beras eceran dan gabah kering giling (GKG) di tingkat petani periode Januari 1993-Mei 2008. ....................................5 Kerangka pikir penelitian. ..................................................................37 Pergerakan harga gabah kering panen tingkat penggilingan di Indonesia, Januari 1998-Desember 2008............................................54 Pergerakan harga rata-rata gabah kering panen tingkat penggilingan di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan, 1998 2008. ..........................................................................................56 Pergerakan harga beras kualitas medium tingkat pedagang besar di Indonesia, Januari 1998-Desember 2008. ......................................57 Pergerakan harga beras kualitas medium tingkat pedagang besar di beberapa pulau besar di Indonesia, Januari 1998Desember 2008. ..................................................................................58 Pergerakan harga beras kualitas medium tingkat eceran di Indonesia, Januari 1998-Desember 2008............................................61 Pergerakan harga beras kualitas medium di tingkat eceran, di beberapa pulau besar di Indonesia, Januari 1998-Desember 2008. ....62 Pola spread antara harga gabah kering panen dan harga beras eceran di Indonesia, Januari 1998-Desember 2008. ...........................64 Pola spread harga nominal gabah dan beras eceran di beberapa provinsi di Indonesia, periode 1999-2002 dan periode 2003- 2008. ..67 Pola spread harga riil gabah dan beras eceran di beberapa provinsi di Indonesia, periode 1999-2002 dan periode 2003- 2008. ..68 Hasil impulse response function (IRF) dari model VECM untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi spread harga gabah dan beras di Indonesia. .............................................................77 Hasil impulse response function (IRF) untuk model VECM pasar beras eceran akibat shock harga beras di Jakarta. ...............................92 Hasil impulse response function (IRF) untuk model VECM pasar beras eceran akibat shock harga beras di Surabaya. ...........................93 Hasil impulse response function (IRF) untuk model VECM pasar beras grosir antar kota-kota pelabuhan besar di Indonesia (Jakarta, Surabaya, Medan, dan Makasar)........................................100 Hasil impulse response function (IRF) untuk model VECM pasar vertikal beras nasional. .....................................................................108
Halaman ini sengaja dikosongkan
xxii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman
Lampiran 1 Hasil estimasi VECM faktor-faktor yang mempengaruhi harga gabah dan beras di Indonesia ..........................................................125 Lampiran 2 Hasil estimasi VECM pada model pasar beras eceran antar 12 kota besar di Indonesia ...................................................................129 Lampiran 3 Hasil forecast error variance decomposition (FEVD) pada model pasar beras eceran ................................................................132 Lampiran 4 Hasil estimasi VECM pada model pasar beras grosir antar pelabuhan besar di Indonesia ..........................................................138 Lampiran 5 Hasil estimasi VECM pada model pasar vertikal beras nasional....140
Halaman ini sengaja dikosongkan
GLOSARI
ADF
:
Augmented Dickey-Fuller
AIC
:
Akaike Information Criterion
BPS
:
Badan Pusat Statistik
Bulog
:
Badan Urusan Logistik
CV
:
Coefficient of Variation
DB
:
Distribusi beras yang dilakukan Bulog
ER
:
Exchange Rate (Nilai Tukar)
FAO
:
Food and Agriculture Organization
FEVD
:
Forecast Error Variance Decomposition
FPE
:
Final Prediction Error
GDP
:
Gross Domestic Product
GKG
:
Gabah Kering Giling
GKP
:
Gabah Kering Panen
GKPNAS
:
Harga gabah kering panen rata-rata nasional di tingkat petani
HBBM
:
Harga Bahan Bakar Minyak
HBE
:
Harga Beras Eceran
HBEBDG
:
Harga beras eceran di Bandung
HBEDPSR
:
Harga beras eceran di Denpasar
HBEJKT
:
Harga beras eceran di Jakarta
HBELPG
:
Harga beras eceran di Lampung
HBEMDN
:
Harga beras eceran di Medan
HBEMKS
:
Harga beras eceran di Makasar
HBEMTRM
:
Harga beras eceran di Mataram
HBENAS
:
Harga beras eceran nasional
HBEPDG
:
Harga beras eceran di Padang
HBEPLG
:
Harga beras eceran di Palembang
HBEPNTK
:
Harga beras eceran di Pontianak
HBESMRG
:
Harga beras eceran di Semarang
HBESRBY
:
Harga beras eceran di Surabaya
HBG
:
Harga Beras Gabah
HBGJKT
:
Harga beras grosir di Jakarta
HBGMDN
:
Harga beras grosir di Medan
HBGMKS
:
Harga beras grosir di Makasar
HBGNAS
:
Harga beras grosir nasional
HBGSRBY
:
Harga beras grosir di Surabaya
HDG
:
Harga Dasar Gabah
HGB
:
Spread antara harga gabah dan beras
HI
:
Harga Internasional
HPP
:
Harga Pembelian Pemerintah
HPPB
:
Harga Pembelian Pemerintah untuk beras
HPPG
:
Harga Pembelian Pemerintah untuk gabah
HQ
:
Hannan-Quinn Criterion
IMF
:
International Monetar Fund
Inpres
:
Instruksi Presiden
Integrasi komoditas
:
Hubungan pada pasar yang berbeda secara vertikal untuk komoditas yang sama (dalam suatu area geografis)
Integrasi pasar
:
Hubungan pada pasar yang berbeda secara geografis untuk suatu komoditas yang sama
IRF
:
Impulse Response Function
JPB
:
Jumlah Pembelian Beras
JPG
:
Jumlah Pembelian Gabah
Kointegrasi
:
Hubungan antara variabel-variabel yang stasioner pada derajat yang sama, dapat juga menunjukkan hubungan jangka panjang antar variabel
LOI
:
Letter of Intent
LPND
:
Lembaga Pemerintah Non Departemen
LR
:
Likelihood Ratio
NTP
:
Nilai Tukar Petani
PATANAS
:
Panel Tani Nasional
Perum
:
Perusahaan Umum
SB
:
Stok beras Bulog
SC
:
Schwarz Information Criterion
Spread harga gabah dan
:
Perbedaan antara harga gabah dan harga beras
beras
(Rp/kg)
VAR
:
Vector Auto Regression
VECM
:
Vector Error Correction Model
VMF
:
Voedings Middelen Fonds
xxvii
Halaman ini sengaja dikosongkan
I. PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Bagi negara manapun, ketahanan pangan merupakan hal yang sangat
penting. Di Indonesia, hal tersebut juga sudah dinyatakan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 tahun 1996 tentang pangan, bahwa pemerintah bersama masyarakat bertanggung jawab untuk mewujudkan ketahanan pangan. Ketahanan pangan yang dimaksud meliputi ketersediaan pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, bergizi, beragam, merata, dan terjangkau oleh daya beli masyarakat. Harga yang stabil dan terjangkau merupakan salah satu komponen penting yang diperlukan dalam menjaga distribusi dan pasokan pangan yang merata ke seluruh wilayah, sehingga rumah tangga mampu mengakses pangan. Harga komoditi pangan yang terlalu berfluktuasi dapat merugikan petani sebagai produsen, pengolah, pedagang hingga konsumen, dan berpotensi menimbulkan keresahan sosial. Oleh sebab itu, hampir semua negara melakukan intervensi kebijakan untuk menjaga stabilitas harga pangan pokok. Secara formal, pemerintah Indonesia mulai ikut menangani pangan pada zaman penjajahan Belanda, ketika didirikannya Voedings Middelen Fonds (VMF) yang bertugas membeli, menjual, dan menyediakan bahan makanan. Lembaga pangan ini terus berkembang bentuk dan fungsinya menjadi lembaga yang saat ini dikenal dengan Bulog (Badan Urusan Logistik). Pada saat pembentukannya pertama kali pada tahun 1967, tugas Bulog adalah membantu pemerintah untuk menstabilkan harga pangan pokok. Selama lebih dari 30 tahun, Bulog melaksanakan penugasan dari pemerintah untuk menangani bahan pangan pokok khususnya beras dalam rangka memperkuat ketahanan pangan nasional. Manajemen Bulog tidak banyak berubah dari waktu ke waktu, meskipun ada perbedaan tugas dan fungsi dalam berbagai periode. Dalam rangka melaksanakan tugas dan fungsinya, status hukum Bulog adalah sebagai Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) berdasarkan Keppres RI No. 39 tahun 1978. Namun, sejak krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1997 timbul tekanan yang sangat kuat agar peran
2
pemerintah diperkecil, yang bermuara pada berubahnya status hukum Bulog menjadi Perusahaan Umum (Perum). Pada Agustus 2007, Bulog memperoleh kewenangan yang lebih besar lagi dalam menstabilkan harga beras. Kewenangan itu meliputi monopoli impor, stabilisasi harga regional tanpa menunggu perintah, membeli beras di luar Harga Pembelian Pemerintah (HPP) demi mengejar target pengadaan, dan menjaga stok beras minimal satu juta ton (Surat Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian tanggal 31 Agustus 2007 tentang Kebijakan Stabilisasi Bahan Pangan Pokok). Peran Bulog yang saat ini hanya difokuskan kepada komoditas beras tentunya sangat beralasan. Pertama, beras adalah makanan pokok yang paling penting bagi hampir 215 juta penduduk Indonesia, memberikan 60 persen kontribusi asupan kalori per orang per hari (FAO 2006). Kedua, padi adalah produk kunci bagi ekonomi perdesaan dan sumber penghidupan bagi petani kecil dan tanpa lahan. Padi dihasilkan oleh sekitar 13.6 juta petani, yang 65 persen di antaranya adalah petani kecil dan miskin dengan pemilikan tanah kurang dari 0.5 hektar. Berdasarkan penelitian PATANAS (2005), penghasilan petani padi berkisar antara Rp 3065-Rp 8466 per hari atau kurang dari US$ 1.29 per hari. Akibatnya, mayoritas petani padi termasuk dalam kategori sangat miskin dan terus menerus terancam tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar mereka, termasuk tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan sendiri dalam jumlah cukup. Ketiga, produksi padi masih menjadi mesin pendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Sektor ini memberikan kontribusi Rp 57 trilyun atau US$ 6.2 milyar terhadap GDP dan menyerap sekitar 21 juta tenaga kerja. Masalah beras bukan hal yang sederhana dan sangat sensitif, sehingga penanganannya harus dilakukan secara hati-hati. Kesalahan yang dilakukan dalam kebijakan perberasan akan berdampak tidak saja pada kondisi perberasan nasional tetapi juga pada berbagai bidang lain yang terkait. Oleh sebab itu, dalam sejarah perberasan di Indonesia tidak pernah lepas dari peranan pemerintah yang secara sengaja turut serta dalam mengatur ekonomi perberasan nasional. Peranan beras yang sangat khusus merupakan salah satu alasan pentingnya campur tangan pemerintah terhadap perberasan masih dilakukan. Di Indonesia, kebijakan
3
perberasan sudah diatur dalam Instruksi Presiden (Inpres) No. 2 Tahun 2005, yang tujuan utamanya adalah meningkatkan pendapatan petani, meningkatkan ketahanan pangan dan mengembangkan ekonomi pedesaan. Di antara banyaknya masalah perberasan di Indonesia, salah satunya adalah masalah yang terkait dengan harga beras dan gabah. Ada trade-off di antara keduanya. Petani selaku konsumen menginginkan harga gabah yang tinggi, namun konsumen menginginkan tingkat harga beras serendah mungkin. Di sinilah peran Pemerintah, khususnya Bulog dalam stabilisasi harga gabah dan beras diperlukan, yaitu mempertahankan harga yang baik di tingkat petani sebagai produsen namun pada saat yang sama juga tidak terlalu memberatkan konsumen. Namun, peran pemerintah ini diduga semakin melemah. Sejak tahun 1998, spread harga gabah dan beras semakin melebar. Data dari BPS menunjukkan bahwa sebelum tahun 1998, spread harga gabah dan harga beras hanya berkisar Rp 400 per kg (Gambar 1). Namun pada pertengahan tahun 2008, perbedaan harga gabah dan harga beras sudah melebihi Rp 2500 per kg. Tentunya ada faktorfaktor yang menyebabkan mengapa pergerakan kedua harga tersebut memiliki spread yang semakin tinggi. Spread yang tinggi dapat menunjukkan ada inefisiensi dalam hal perdagangan dan pemasaran beras. Oleh karena itu, kajian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi spread harga gabah dan beras tersebut sangat penting untuk dilakukan.
1.2.
Perumusan Masalah Beras merupakan komoditi strategis yang dapat mempengaruhi kestabilan
ekonomi, sosial bahkan politik. Komoditi beras masih menjadi salah satu komoditi kunci dalam mempengaruhi kestabilan harga-harga umum. Kenaikan harga beras dapat memicu kenaikan harga barang-barang lain. Oleh karenanya komoditi beras senantiasa menjadi perhatian serius pemerintah. Keseriusan ini dapat dilihat dari besarnya intervensi pemerintah dalam perberasan nasional melalui berbagai kebijakan guna menciptakan stabilisasi harga. Secara umum, tujuan kebijakan pemerintah di bidang harga adalah untuk: (1) membantu meningkatkan pendapatan petani; (2) meningkatkan produksi dan mengurangi ketergantungan impor; dan (3) menjaga daya beli konsumen.
4
Gambar 1 menunjukkan bahwa harga gabah dan beras nasional periode Januari 1993-Desember 1997 cenderung stabil, yaitu pada rata-rata Rp 900.7 per kg untuk beras dan Rp 443.4 per kg untuk gabah. Namun pada periode berikutnya, harga beras eceran terus meningkat secara signifikan, dari Rp 1391.1 per kg pada Januari 1998 menjadi Rp 2007 per kg pada Juni 1998 (atau meningkat sebesar 44.3 persen), kemudian menjadi Rp 5267 pada Mei 2008 (atau meningkat sebesar 162.4 persen). Hal yang sama juga terjadi pada harga Gabah Kering Giling (GKG) di tingkat petani. Gabah kering giling didefinisikan sebagai gabah yang mengandung kandungan air maksimum 14 persen, kotoran/hampa maksimum 3 persen, butir hijau/kapur maksimum 5 persen, butir kuning/rusak maksimum 3 persen, dan butir merah maksimum 3 persen. Harga GKG meningkat sebesar 33.2 persen, dari Rp 662.4 per kg pada Januari 1998 menjadi 882.2 per kg pada Juni 1998, kemudian meningkat sebesar 208 persen menjadi Rp 2545 per kg pada Mei 2008. Walaupun terjadi peningkatan yang cukup besar pada periode Juni 1998-Mei 2008, menarik untuk diperhatikan bahwa harga GKG di tingkat petani relatif lebih fluktuatif pada periode Januari 2003-Mei 2008 dibandingkan pada periode Juni 1998-Desember 2002. Hal tersebut juga menyebabkan spread antara harga gabah dan beras pada periode Januari 2003-Mei 2008 lebih fluktuatif dibandingkan dengan periode sebelumnya. Peran pemerintah, khususnya Bulog, dalam melakukan stabilisasi harga pada periode tersebut perlu dipertanyakan, apakah status Bulog sebagai Perum menyebabkan pasar semakin tidak terintegrasi sehingga pemerintah sulit mengontrol harga gabah dan beras. Secara umum, spread harga gabah dan beras yang semakin membesar sejak tahun 1998 dapat disebabkan oleh tiga faktor. Pertama, spread tersebut dapat disebabkan oleh besarnya biaya yang diperlukan dari proses pembelian gabah di tingkat petani sampai penjualan beras di tingkat eceran. Biaya tersebut meliputi biaya penyimpanan, penjemuran, penggilingan, biaya pengolahan, serta biaya distribusi antar wilayah (transportasi) yang melibatkan banyak pelaku pasar. Sistem pemasaran yang menimbulkan biaya yang tinggi akan berdampak bukan saja mengurangi surplus produsen, tetapi juga akan membebani konsumen.
5 7000
Harga Beras Eceran Kualitas Sedang (Rp/kg)
6000
Harga GKG Tk. Petani (Rp/kg)
5000
Gap Harga Gabah dandan Beras (Rp/kg) Spread Harga Gabah Beras (Rp/kg)
4000 3000 2000 1000
Jan-93 Sep-93 Mei-94 Jan-95 Sep-95 Mei-96 Jan-97 Sep-97 Mei-98 Jan-99 Sep-99 Mei-00 Jan-01 Sep-01 Mei-02 Jan-03 Sep-03 Mei-04 Jan-05 Sep-05 Mei-06 Jan-07 Sep-07 Mei-08
0
Gambar 1 Harga beras eceran dan gabah kering giling (GKG) di tingkat petani periode Januari 1993-Mei 2008. Kedua, keterkaitan harga beras di tingkat konsumen dan di tingkat produsen yang bersifat asimetri (Simatupang 2001). Peningkatan harga beras di tingkat konsumen ditransmisikan tidak sempurna dan lambat ke harga gabah di tingkat petani. Sedangkan, penurunan harga beras di tingkat konsumen ditransmisikan sempurna dan cepat ke harga gabah di tingkat petani. Sebaliknya peningkatan harga gabah di tingkat petani ditransmisikan dengan sempurna dan cepat ke harga beras di tingkat konsumen, sedangkan penurunan harga gabah di tingkat petani ditransmisikan dengan tidak sempurna dan lambat ke harga beras di tingkat konsumen. Artinya, fluktuasi harga beras atau gabah cenderung merugikan petani dan konsumen. Kalau pun ada manfaatnya, yang menikmati marjin harga gabah dan beras tersebut adalah pedagang dan pihak penggilingan padi. Ketiga, kenaikan harga beras internasional juga mendorong terjadinya kenaikan harga beras domestik, sehingga turut memperbesar spread antara harga gabah dan beras domestik. Kenaikan harga beras awalnya dipicu oleh beberapa negara produsen, seperti Thailand, India, Bangladesh, dan Mesir yang melakukan pembatasan ekspor untuk menjamin pengadaan beras domestik dan menjaga harga dalam negeri. Pasar gabah dan beras kita semakin jauh dari sempurna dan cenderung merugikan petani yang sebagian besar berperan sebagai net consumer. Inilah yang menjadi alasan kuat perlunya intervensi pasar oleh pemerintah. Namun,
6
bagaimana peran pemerintah melalui Instruksi Presiden (Inpres) mengenai HPP dan lembaga Perum Bulog dalam menciptakan kestabilan harga. Karena spread harga gabah dan beras ini dapat dipicu dari dua sisi, yaitu dari sisi harga gabah dan dari sisi harga beras. Oleh karena itu, sebelum mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi spread harga tersebut, analisis akan didahului dengan melihat pergerakan harga gabah, harga beras grosir dan eceran, baik di tingkat nasional maupun provinsi, selanjutnya akan dilihat pula bagaimana pola spread harga gabah dan beras tersebut antar pulau dan antar provinsi di Indonesia. Selanjutnya, kemampuan pemerintah untuk menentukan kebijakan harga gabah dan beras yang tepat juga akan sangat ditentukan oleh tingkat kepahaman para pengambil kebijakan tersebut terhadap struktur, tingkah laku, dan efektivitas pasar gabah dan beras. Salah satu cara untuk memahami struktur, tingkah laku, dan efektivitas pasar tersebut adalah dengan memahami kekuatan relatif suatu pasar serta mekanisme transmisi harga dari satu pasar ke pasar lainnya melalui kajian integrasi pasar. Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan-permasalahan yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana pergerakan harga beras, baik di tingkat eceran maupun di tingkat pedagang besar, serta harga gabah di tingkat petani? 2. Bagaimana pola spread antara harga gabah dan harga beras, baik antar waktu (time series) maupun antar wilayah (spatial)? 3. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi spread harga gabah dan harga beras? 4. Bagaimana bentuk integrasi pasar antar wilayah, baik antar pasar beras, maupun antara pasar gabah dan pasar beras di Indonesia?
1.3.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Menganalisis pergerakan harga beras, baik di tingkat eceran maupun di tingkat pedagang besar, serta harga gabah di tingkat petani.
7
2. Menganalisis pola spread antara harga gabah dan harga beras, baik antar waktu (time series) maupun antar wilayah (spatial). 3. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi spread harga gabah dan harga beras. 4. Menganalisis integrasi pasar antar wilayah, baik antar pasar beras, maupun antara pasar gabah dan pasar beras di Indonesia.
1.4.
Manfaat dan Ruang Lingkup Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi
pemegang kebijakan yang terkait dengan stabilisasi harga gabah dan beras Indonesia dalam penyusunan kebijakan dan implikasinya yang berguna untuk menciptakan ketahanan pangan, baik secara nasional maupun regional. Harga beras yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah harga beras kualitas sedang, sementara harga gabah yang digunakan adalah harga Gabah Kering Panen (GKP) di tingkat petani dan di tingkat penggilingan. Secara time series, pergerakan harga akan dianalisis pada periode Januari 1998-Desember 2008. Secara spasial, pergerakan harga akan dianalisis pada tingkat nasional dan kota-kota besar di Indonesia. Untuk mengidentifikasi integrasi pasar antar wilayah (spasial) dilakukan analisis antar kota besar di Indonesia untuk pasar beras. Sementara, untuk mengidentifikasi integrasi pasar vertikal akan dilakukan analisis antara harga gabah di tingkat petani, harga beras grosir/di tingkat pedagang besar, dan harga beras eceran/di tingkat konsumen.
8
Halaman ini sengaja dikosongkan
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Pergerakan Harga dan Intervensi Pemerintah Perubahan penawaran pangan dengan nilai elastisitas penawaran dan
permintaan yang inelastis akan menyebabkan besarnya fluktuasi harga (Nicholson, 2001). Fluktuasi harga komoditas pada dasarnya terjadi akibat ketidakseimbangan antara kuantitas penawaran dan kuantitas permintaan yang dibutuhkan konsumen. Jika terjadi kelebihan penawaran maka harga komoditas akan turun, sebaliknya harga komoditas akan naik jika terjadi kekurangan penawaran. Dalam proses pembentukan harga tersebut perilaku petani dan pedagang memiliki peranan penting karena mereka dapat mengatur volume penjualannya yang disesuaikan dengan kebutuhan konsumen. Fluktuasi harga beras seringkali lebih merugikan petani daripada pedagang karena petani umumnya tidak dapat mengatur waktu penjualannya untuk mendapatkan harga jual yang lebih menguntungkan. Terjadinya ketidakstabilan harga gabah dan beras juga dapat dilihat dari dua sisi yang berbeda, yaitu (i) ketidakstabilan antar musim, yaitu musim panen dan musim paceklik; dan (ii) ketidakstabilan antar tahun, karena pengaruh iklim seperti kekeringan atau kebanjiran dan fluktuasi harga beras di pasar internasional yang keduanya relatif sulit diramalkan. Menurut Ellis (1993), ketidakstabilan harga antar musim terkait erat dengan pola panen, yaitu panen raya yang berlangsung pada bulan Februari–Mei (60-65 persen dari total produksi nasional), panen musim gadu pertama yang berlangsung antara Juni–September (25–30 persen) dan sisanya panen antara bulan Oktober–Januari (5-15 persen). Bila harga gabah dan beras dilepas sepenuhnya kepada mekanisme pasar, maka harga gabah dan beras akan jatuh pada musim panen raya dan meningkat tajam pada musim paceklik (Oktober– Januari). Ketidakstabilan harga tersebut, dapat memukul produsen pada musim panen, dan sebaliknya memberatkan konsumen pada musim paceklik. Di samping
10
itu juga akan berakibat luas pada kondisi ekonomi makro khususnya peningkatan inflasi. Globalisasi juga menyebabkan harga komoditas pertanian di pasar domestik semakin terbuka terhadap gejolak pasar (Simatupang dan Syafa’at, 2002). Dengan perkataan lain, dinamika harga produk domestik dipengaruhi oleh keadaan pada tiga jenis pasar secara simultan, yaitu (1) pasar komoditas internasional, (2) pasar komoditas domestik, dan (3) pasar valuta asing. Artinya intervensi pemerintah untuk kebijakan stabilisasi harga di pasar domestik semakin mengecil. Menurut Irawan et. al., (2002), pada umumnya harga beras merupakan acuan bagi harga komoditas pangan lainnya dan tingkat upah pertanian, sehingga perubahan harga pangan lain dan upah tenaga kerja cenderung sejalan dengan perubahan harga gabah. Dengan demikian seberapa jauh fluktuasi harga beras mempengaruhi stabilitas ekonomi makro perlu menjadi perhatian, terutama pada kondisi pasar yang derajat liberalisasinya semakin meningkat. Menurut Tomek dan Robinson (1990), intervensi pemerintah dalam penentuan harga produk pertanian secara umum bertujuan untuk meningkatkan pendapatan petani, menjaga petani kecil dan memperlambat laju urbanisasi, mencukupi konsumsi pangan secara mandiri (self-sufficiency) dan mengurangi kebergantungan terhadap impor, serta mengurangi instabilitas harga dan pendapatan. Namun, banyak ekonom menganggap bahwa intervensi pemerintah untuk menstabilkan harga bukan suatu hal yang baik. Bahkan ada ekonom yang menyatakan bahwa tak mungkin pemerintah dapat menstabilkan harga dalam suatu periode yang panjang (Ravallion, 1986). Atau ada juga yang menyatakan bahwa keuntungan sosial dari stabilisasi harga sangat kecil atau bahkan negatif. Selain tidak bermanfaat, beberapa ahli menyatakan biaya kelembagaan untuk mengadakan pengendalian harga, termasuk korupsi dan kecenderungan yang kuat bahwa kebijakan pengendalian dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok istimewa (vested interest) untuk dapat menentukan harga lebih tinggi atau lebih rendah bukan untuk harga sebenarnya, jauh lebih besar daripada manfaat stabilisasi itu sendiri (Anderson dan Hayami, 1986). Kebanyakan literatur ekonomi menilai bahwa skema untuk stabilisasi harga pangan sangat sulit untuk dilaksanakan, tak
11
seimbang dengan biaya yang harus dikeluarkan, dan sangat mungkin dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan khusus. Namun, kebanyakan negara mengabaikan literatur tersebut, terutama negara-negara Asia. Alasannya didasarkan bahwa rata-rata konsumen masih tergolong miskin dibandingkan negara-negara lain. Menurut Timmer (1992), negara-negara yang paling berhasil menjaga stabilisasi harga adalah negara yang paling berkembang perekonomiannya di dunia. Bila harga pangan tidak berhasilkan dijaga kestabilannya, maka stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi menjadi terancam. Ada perubahan nyata yang luput dari pembahasan para ekonom dan mikro ekonomi yang mendasarkan pandangannya pada model yang dirancang untuk menjelaskan pengaruh harga yang stabil adalah dimensi penting kontribusi stabilitas pada kesejahteraan sosial (Timmer, 1997).
2.2.
Pembentukan dan Transmisi Harga
2.2.1. Transmisi Harga Dinamika jangka pendek harga komoditas pertanian di daerah konsumen pada umumnya memiliki pola yang sama dengan dinamika harga di daerah produsen karena permintaan yang dihadapi petani di daerah produsen merupakan turunan dari permintaan di daerah konsumen. Jika terjadi kenaikan harga di pasar konsumen akibat naiknya permintaan maka pedagang akan meneruskan kenaikan harga tersebut kepada petani sehingga harga di pasar produsen juga mengalami peningkatan. Akan tetapi proses transmisi harga dari pasar konsumen ke pasar produsen tersebut umumnya tidak sempurna dan bersifat asimetris, artinya jika terjadi kenaikan harga di pasar konsumen maka kenaikan harga tersebut diteruskan kepada petani secara lambat dan tidak sempurna, sebaliknya jika terjadi penurunan harga. Pola transmisi harga seperti ini menyebabkan fluktuasi harga di pasar konsumen cenderung lebih tinggi dibanding fluktuasi harga di pasar produsen dan perbedaan fluktuasi harga tersebut akan semakin besar apabila transmisi harga yang terjadi semakin tidak sempurna (Simatupang, 1999). Dalam pemasaran komoditas pertanian transmisi harga dari pasar konsumen ke pasar produsen yang relatif rendah merupakan salah satu indikator yang mencerminkan adanya kekuatan monopsoni atau oligopsoni pada pedagang.
12
Hal ini karena pedagang yang memiliki kekuatan monopsoni atau oligopsoni dapat mengendalikan harga beli dari petani sehingga walaupun harga di tingkat konsumen relatif tetap tetapi pedagang tersebut dapat menekan harga beli dari petani untuk memaksimumkan keuntungannya. Begitu pula jika terjadi kenaikan harga di tingkat konsumen maka pedagang dapat meneruskan kenaikan harga tersebut kepada petani secara tidak sempurna, dengan kata lain kenaikan harga yang diterima petani lebih rendah dibanding kenaikan harga yang dibayar konsumen. Pola transmisi harga seperti ini tidak menguntungkan bagi petani karena kenaikan harga yang terjadi di tingkat konsumen tidak sepenuhnya dapat dinikmati petani, sebaliknya jika terjadi penurunan harga. Dalam jangka panjang harga komoditas cenderung naik akibat naiknya permintaan konsumen. Namun laju kenaikan harga di tingkat konsumen dapat berbeda dengan laju kenaikan harga di tingkat petani, dan tergantung kepada perilaku pedagang dalam melakukan transmisi harga dari konsumen kepada petani. Pada pasar yang bersaing sempurna pedagang akan meneruskan setiap kenaikan harga di tingkat konsumen dengan besaran yang relatif sama kepada petani, dengan kata lain kenaikan harga di tingkat konsumen relatif sama besar dengan kenaikan harga di tingkat petani. Tetapi pada pasar dengan kekuatan monopsoni atau oligopsoni kenaikan harga di tingkat petani akan lebih kecil dibanding kenaikan harga di tingkat konsumen akibat perilaku pedagang yang berusaha memaksimumkan keuntungannya dengan memberikan informasi harga yang tidak sempurna untuk menekan harga beli dari petani. Variasi transmisi harga tersebut secara umum dipengaruhi oleh dua faktor yaitu: 1.
Pertama, adanya kekuatan monopsoni atau oligopsoni pada pedagang sehingga mereka memiliki kekuatan untuk mengendalikan harga beli dari petani atau harga di tingkat produsen. Adanya kekuatan monopsoni pada pedagang menyebabkan kenaikan harga yang terjadi di tingkat konsumen tidak selalu diteruskan kepada petani secara sempurna. Kekuatan monopsoni atau oligopsoni tersebut dapat terbentuk melalui beberapa cara yaitu: (a) kerjasama di antara para pedagang dalam menentukan harga pembelian dari petani, (b) menciptakan hambatan bagi pedagang lain
13
untuk terlibat dalam pemasaran komoditas yang bersangkutan, dan (c) menciptakan ketergantungan petani untuk hanya memasarkan hasil panennya kepada para pedagang tertentu. Cara yang terakhir tersebut biasanya ditempuh pedagang dengan memberikan pinjaman modal atau pinjaman input usahatani kepada para petani dengan kesepakatan petani harus menjual hasil panennya kepada pedagang yang memberikan pinjaman modal. 2.
Kedua, rantai pemasaran yang semakin panjang yang memungkinkan terjadinya akumulasi bias transmisi harga yang semakin besar. Rantai pemasaran yang semakin panjang antara lain dapat disebabkan oleh jarak pemasaran yang semakin jauh antara daerah produsen dan daerah konsumen. Jarak pemasaran yang lebih jauh dapat terjadi karena produksi komoditas terkonsentrasi di daerah-daerah tertentu sedangkan daerah konsumennya relatif tersebar dalam lingkup wilayah yang lebih luas. Transmisi harga tertinggi terjadi pada pemasaran padi dimana sekitar 81
persen kenaikan harga yang terjadi di daerah konsumen diteruskan kepada petani di daerah produsen. Tingginya transmisi harga beras tersebut dapat terjadi akibat dua faktor yaitu : (1) Adanya intervensi pemerintah dalam mengendalikan harga padi
melalui
kebijakan
harga
dasar
gabah
sehingga
kekuatan
monopsoni/oligopsoni yang dimiliki para pedagang padi dapat ditekan. (2) Karena merupakan bahan pangan pokok maka daerah produsen beras relatif tersebar menurut wilayah sehingga jarak antara daerah produsen dan daerah konsumen relatif dekat.
2.2.2. Efektivitas Pemasaran Hubungan antara produsen dan konsumen biasanya dijembatani oleh pelaku pemasaran atau pedagang yang mempertemukannya dalam suatu sistem pasar. Ini dilakukan pedagang melalui pemasokan produk menurut tempat, waktu, dan kualitas yang disesuaikan dengan kebutuhan konsumen dan penawaran yang dilakukan petani. Berdasarkan hal tersebut, maka dalam kegiatannya pedagang sebenarnya memiliki dua peran yaitu sebagai konsumen antara yang dihadapi
14
petani, dan sebagai produsen antara yang dihadapi konsumen. Sebagai konsumen antara pedagang menurunkan permintaan konsumen kepada petani, sedangkan sebagai produsen antara pedagang meneruskan penawaran petani kepada konsumen. Dalam perdagangan komoditas pertanian umumnya dilibatkan berbagai kelompok pedagang seperti pedagang desa, pedagang kecamatan, pedagang kabupaten, pedagang antar provinsi dan pedagang pengecer di daerah konsumen. Di tingkat desa, sistem pasar yang terbentuk seringkali mengarah pada pasar yang bersifat monopsoni atau oligopsoni (Baharsyah, 1980; Rao dan Subbarao, 1987; Saptana et. al., 2001). Sistem pasar demikian dapat terjadi akibat kurangnya kompetisi di antara pedagang desa akibat jumlah pedagang yang terbatas. Kalaupun jumlah pedagang yang terlibat cukup banyak tetapi dalam kegiatannya para pedagang tersebut seringkali dikendalikan oleh satu atau beberapa pedagang tertentu. Hal ini menyebabkan terbentuknya sistem pasar monopsoni/oligopsoni yang terselubung dimana walaupun keadaan pasar tampaknya bersaing sempurna karena jumlah pedagang yang banyak tetapi sebenarnya
dikuasai
oleh
pedagang-pedagang
tertentu
(Azzaino,
1984;
Sudaryanto et. al., 1993). Kondisi pasar seperti disebutkan di atas tidak menguntungkan bagi petani karena harga yang diterima petani akan dikendalikan oleh para pedagang yang memiliki kekuatan monopsoni. Pada kondisi pasar tersebut petani cenderung menerima harga yang rendah akibat perilaku pedagang yang berusaha memaksimumkan keuntungannya. Berdasarkan hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa pemasaran komoditas dengan kekuatan monopsoni/oligopsoni tidak efisien karena kepentingan petani sebagai produsen dapat dirugikan. Sistem pemasaran dikatakan efisien apabila dapat memberikan kepuasan maksimum bagi produsen, konsumen dan pelaku pemasaran dengan penggunaan sumber ekonomi serendah-rendahnya (FEDS Staff, 1992; Hasan, 1986; Saefuddin, 1984; Rhodes, 1993). Secara teoritis, efisiensi pemasaran merupakan maksimisasi rasio antara luaran dan masukan yang digunakan dalam kegiatan pemasaran.
15
Masukan yang dimaksud adalah berbagai sumberdaya ekonomi yang digunakan sedangkan luaran yang diperoleh berupa jasa-jasa pemasaran yang dihasilkan dari pelaksanaan fungsi-fungsi pemasaran yang dilakukan oleh pedagang (penyimpanan, sortasi dan grading, pengemasan, pengangkutan, dan sebagainya). Akan tetapi pengukuran efisiensi pemasaran berdasarkan konsepsi tersebut sulit dilakukan karena jasa-jasa pemasaran yang dilakukan oleh pedagang sulit diukur secara kuantitatif. Beberapa indikator empirik yang sering digunakan dalam pengkajian efisiensi pemasaran di antaranya adalah marjin pemasaran dan transmisi harga dari pasar konsumen kepada petani atau ke pasar produsen. Sistem pemasaran semakin efisien apabila besarnya marjin pemasaran yang merupakan jumlah dari biaya pemasaran dan keuntungan pedagang semakin kecil. Dengan kata lain, perbedaan antara harga yang diterima petani dan harga yang dibayar konsumen semakin kecil. Adapun transmisi harga yang rendah mencerminkan inefisiensi pemasaran karena hal itu menunjukkan bahwa perubahan harga yang terjadi di tingkat konsumen tidak seluruhnya diteruskan kepada petani, dengan kata lain transmisi harga berlangsung secara tidak sempurna. Pola transmisi harga seperti ini biasanya terjadi jika pedagang memiliki kekuatan monopsoni sehingga mereka dapat mengendalikan harga beli dari petani. Pada pasar persaingan sempurna selisih antara harga yang dibayar konsumen dan harga yang diterima petani lebih rendah dibanding pada kondisi pasar monopsoni, dengan kata lain, marjin pemasaran akan semakin besar jika terdapat kekuatan monopsoni. Pada kondisi pasar monopsoni transmisi harga dari pasar konsumen kepada petani juga berlangsung secara tidak sempurna. Pola transmisi harga seperti ini menyebabkan korelasi harga di tingkat konsumen dan di tingkat petani akan semakin rendah dan fluktuasi harga di pasar produsen akan lebih rendah daripada di pasar konsumen. Pada umumnya besarnya marjin pemasaran merupakan indikator yang paling sering digunakan untuk mendeteksi terjadinya inefisiensi pemasaran yang disebabkan oleh kekuatan pasar yang tidak sempurna. Namun perlu digarisbawahi bahwa marjin pemasaran yang tinggi tidak selalu mencerminkan adanya kekuatan monopsoni yang secara teoritis ditunjukkan oleh adanya keuntungan pedagang
16
yang berlebihan (non zero profit). Hal ini karena besarnya marjin pemasaran tersebut pada dasarnya merupakan total biaya pemasaran yang meliputi biaya operasional pemasaran yang dikeluarkan pedagang (biaya pengangkutan, penyimpanan, sortasi, grading) dan keuntungan pedagang. Sementara biaya operasional yang dikeluarkan pedagang dapat bervariasi menurut komoditas dan tergantung pada sifat kamba (voluminous) komoditas yang dipasarkan, risiko kerusakan dan penyusutan selama proses pemasaran, risiko modal pedagang, dan fungsi-fungsi pemasaran lain yang harus dilakukan pedagang untuk memenuhi preferensi konsumen misalnya sortasi dan grading. Dalam kaitan ini jarak pemasaran antara daerah produsen dan daerah konsumen biasanya memiliki pengaruh signifikan karena akan mempengaruhi besarnya biaya sewa alat pengangkutan, biaya pengepakan, dan tingkat kerusakan selama proses pengangkutan. Karena sebagai penerima harga maka untuk mendapatkan harga yang lebih menguntungkan petani harus mampu memanfaatkan variasi harga yang terjadi di pasar baik menurut tempat, bentuk produk, waktu maupun kualitas produk. Hal ini berarti bahwa petani harus mampu mengatur pola penawarannya dengan mengatur kegiatan produksinya dan mengatur kegiatan pemasarannya (penyimpanan, sortasi dan grading, outlet pemasaran, dan sebagainya) yang disesuaikan dengan kebutuhan pasar. Namun demikian, akibat berbagai faktor, petani seringkali tidak mampu mengatur pola penawarannya pada pasar yang lebih menguntungkan. Ketidak mampuan petani tersebut antara lain dipengaruhi oleh penguasaan lahan garapan yang sempit, keterbatasan sumber pendapatan nonpertanian, keterbatasan fasilitas kredit, dan keterbatasan sarana transportasi di daerah pedesaan (Rao dan Subbarao, 1987; Utami dan Ihalow, 1993). Di samping itu keterbatasan informasi pasar dan permodalan serta kebutuhan konsumsi yang mendesak sering pula menyebabkan petani tidak mampu mengatur penawarannya untuk mendapatkan harga yang lebih menguntungkan melalui pelaksanaan fungsi-fungsi pemasaran yang memadai (Kasryno, 1984; Irawan, 1986). Terdapat sejumlah faktor (intrinsik dan eksternal) yang berpengaruh terhadap kinerja pemasaran produk pertanian. Secara intrinsik, faktor yang berpengaruh diantaranya adalah struktur pasar, tingkat integrasi pasar, dan marjin
17
pemasaran. Bentuk pasar yang mengarah kepada pasar monopoli akan berpengaruh terhadap tingkat kompetisi yang akan berdampak terhadap pembentukan harga, transmisi harga, dan bagian harga yang diterima petani. Secara implisit, struktur pasar akan berdampak terhadap kinerja integrasi pasar dan nilai marjin pemasaran. Faktor eksternal yang berpengaruh pada hakekatnya adalah terkait dengan kebijakan pemerintah, seperti pengembangan infrastruktur pemasaran (fisik dan kelembagaan), program stabilisasi harga output, perpajakan dan redistribusi, kebijakan pengembangan produk dan pengolahan hasil pertanian, dan lain-lain. Pada segmen pasar dan kualitas produk yang sama daya saing suatu komoditas ditentukan oleh kemampuan agribisnis yang bersangkutan dalam biaya serendah mungkin. Walaupun memiliki biaya produksi per unit cukup rendah suatu agribisnis belum tentu berdaya saing tinggi jika biaya pemasaran yang dibutuhkan untuk menyampaikan produk kepada konsumen sangat tinggi. Oleh karena itu upaya meningkatkan daya saing agribisnis seyogyanya tidak hanya ditempuh melalui peningkatan efisiensi produksi untuk menekan biaya produksi per unit produk, tetapi dilengkapi pula dengan upaya peningkatan efisiensi pemasaran dalam rangka menekan biaya pemasaran dari petani kepada konsumen. Biaya pemasaran komoditas pertanian pada umumnya meliputi lima komponen yaitu: biaya pengangkutan, biaya penyimpanan, biaya sortasi dan grading, biaya risiko usaha dan keuntungan pedagang. Di antara kelima komponen biaya tersebut, biaya pengangkutan biasanya paling besar karena produk pertanian umumnya bersifat kamba (voluminous). Biaya pengangkutan tersebut dapat bervariasi menurut jenis komoditas dan tergantung pada sifat kamba komoditas yang dipasarkan dan jarak pengangkutan dari daerah produsen ke daerah konsumen. Variasi jarak pengangkutan biasanya tidak hanya berpengaruh terhadap besarnya biaya sewa alat pengangkutan saja tetapi juga memiliki pengaruh terhadap komponen biaya pengangkutan lainnya seperti biaya pengepakan, retribusi pengangkutan, risiko kerusakan dan penyusutan volume selama proses pengangkutan.
18
2.3.
Integrasi Pasar Sifat pasar dan peranannya dalam penentuan harga adalah hal pokok dalam
ekonomi. Letak geografis pasar, terutama bagi sektor pertanian sangat relevan karena produk-produk pertanian bersifat amba (bulky) dan atau mudah rusak (perishable), serta area produsen dan konsumen terpisah jauh, sehingga biaya transportasi sangat menentukan. Batas-batas geografis adalah penting dalam mengukur permintaan dan penawaran, pembentukan harga dan struktur kompetisi. Menurut Sexton et. al., (1991), studi-studi tentang ekonomi pasar biasanya berdasarkan definisi dasar dari Cournot dan Marshall yang menyatakan bahwa dua kawasan (regions) dikatakan sama secara ekomoni pasar, jika perbedaan harga barang (homogen) tersebut tepat sesuai dengan besar biaya transportasi (transfer) antar kedua kawasan tersebut. Pernyataan alternatif yang sama untuk semua konsep arbitrase (arbitrage) tersebut, adalah: (1) pasar antar kawasan adalah terintegrasi, dan (2) berlakunya the law of one price (LOP) antar kawasan. Menurut Ardeni (1989), definisi umum untuk arbitrase komoditi adalah jika harga ekspor ditambah dengan biaya transportasi adalah sama dengan harga impor dalam unit mata uang yang sama, hal ini yang dikatakan sebagai LOP. Kegagalan dua pasar atau lebih untuk berlakunya LOP dapat dijelaskan berdasarkan alasa-alasan berikut: (1) kawasan tidak terikat secara arbitrase, berarti masing-masing kawasan memiliki asar yang autarki, (2) terjadnya halangan untuk arbitrase yang efisien karena hambatan perdagangan, informasi tidak sempurna atau risk aversion, atau (3) terjadinya kompetisi tidak sempurna pada satu atau lebih pasar tersebut (Faminow dan Benson, 1990). Pada model penawaran di banyak literatur, misalnya pada pasar kayu log, diasumsikan bahwa pasar terintegrasi baik pada tingkat internasional, regional ataupun nasional. Asumsi ini terpenuhi jika harga-harga dalam pasar tersebut memenuhi LOP, akan tetapi asumsi tersebut tidak pernah diuji. Jika pasar tidak terintegrasi secara spasial, agresi tingkat nasional atau regional akan banyak kehilangan informasi spesifik pada pasar individual. Oleh karenanya, inferensia dan kesimpulan yang didapatkan dari analisis pada pasar-pasar tersebut tidak valid/sahih. Jika pasar terintegrasi, kondisi pasar persaingan sempurna (PPS) tidak terpenuhi antar pasar yang tersegmentasi. Jika pasar bukan PPS, mungkin pasar
19
dalam kondisi monopoli, monopsoni, oligopoli atau oligopsoni, dan karenanya kesimpulan yang diturunkan dari asumsi PPS tidak sesuai bagi analisis kebijakan. Struktur suatu pasar dapat dipahami melalui suatu studi integrasi dari setiap pasar dengan menggunakan analisis harga (Nagubadi et. al., 2001) Tingkat/derajat dan perluasan dari integrasi spasial mempunyai beberapa implikasi terhadap pasar. Hal tersebut dapat memberikan informasi penting sehubungan dengan kekuatan atau kelemahan dari tingkat persaingan di masingmasing pasar (Nagubadi et. al., 2001). Akan tetapi dalam Faminow dan Benson (1990) ditunjukkan bahwa sulit mencari sebab yang spesifik dari kegagalan LOP. Alternatifnya pasar kawasan mungkin terkait melalui oligopoli (oligopsoni) yang independen, di mana perusahaan berkompetisi harga pada kawasan pelayanan yang terbatas. Metode tradisional untuk studi integrasi pasar adalah berdasarkan korelasi pasangan (bivariate correlation) harga antar wilayah (region). Dalam metode ini, korelasi dan koefisien regresi diduga dari deret data harga spot pada lokasi pasar yang berbeda. Akan tetapi, menurut Ravallion (1986) ada beberapa kelemahan inferensia dari metode ini seperti hubungan harga antar lokasi diasumsikan dalam bentuk fungsi linier dengan sudut kemiringan (slope) yang sama dengan satu (unity). Selanjutnya, Ardeni (1989) berargumen bahwa pendekatan konvensional untuk pengujian integrasi spasial adalah tidak tepat karena mengabaikan sifat-sifat data deret waktu dari data kawasan. Secara spesifik, korelasi serial akan menyebabkan uji empiris integrasi pasar spasial terganggu karena tidak konsisten dan bias. Lebih jauh, analisis penggunaan diferensiasi harga mungkin terganggu karena perbedaan transformasi dan filter yang kurang tepat bagi data deret harga yang digunakan. Di samping itu, ada kemungkinan persamaan regresi yang digunakan semu (spurious). Menurut Ravallion (1986), integrasi pasar dapat dipisahkan dalam jangka pendek dan jangka panjang untuk model dinamik diferensiasi harga spasial. Dengan demikian, integrasi spasial dan segmentasi pasar dapat ditunjukkan dalam bentuk umum dan diuji dalam bentuk restriksi. Dengan model dinamik dapat diungkap lebih banyak lagi tentang informasi pasar daripada model tradisional
20
atau konvensional yang bersifat statik, akan tetapi model Ravallion tidak mengakomodasi sifat non stasioner dari deret data harga. Prosedur alternatif untuk mengevaluasi integrasi pasar spasial telah dikembangkan oleh Engle dan Granger (1987) dengan konsep kointegrasi untuk deret data non stasioner, sebagai contoh Goodwin dan Schroder (1991) melakukan analisis kointegrasi untuk pasar ternak di Amerika Serikat, serta Ismet et. al. (1998) untuk pasar beras di Indonesia. Prosedur kointegrasi secara umum menunjukkan bahwa deviasi dari keseimbangan antara dua variabel ekonomi yang masing-masing non stasioner adalah stasioner. Uji kointegrasi membuktikan, khususnya pada kerangka kerja terjadinya keterkaitan harga jangka panjang di antara pasar dalam kawasan, di samping keterkaitan harga jangka pendek. Dalam Mohanty et. al. (1996) ditunjukkan bahwa dari pengujian integrasi harga dengan uji kausalitas Granger akan diperoleh hasil yang menyesatkan (misleading). Selain itu, pendekatan dengan model VAR (Vector Autoregression) tampaknya seperti termispesifikasi (misspecified), dan analisis yang dilakukan tersebut terfokus pada sifat dinamik jangka panjang. Selanjutnya, disarankan untuk melihat hubungan harga suatu komoditi dengan menggunakan Error Correction Model (ECM) yang mengakomodasi studi hubungan jangka pendek dan jangka panjang secara simultan, selain itu dapat dilihat informasi apakah ada kepemimpinan harga (price leadership) dan struktur pasar pada tingkat pasar dunia. Perkembangan lebih lanjut dari aplikasi kointegrasi, seperti prosedur kemungkinan maksimum (maximum likelihood) dari analisis kointegrasi peubah ganda (multivariate analysis), yang mana peneliti dapat melihat cakrawala baru dari penelitian yang dilakukan terhadap mekanisme pasar dari suatu komoditi. Toppinen dalam Nagubadi et. al. (2001) memperlihatkan bahwa hubungan kointegrasi dapat diakomodasikan pada model pasar komoditi kayu log jangka pendek untuk memperoleh informasi penting mengenai pembentukan harga dan kuantitas serta proyeksinya (forecasting). Kritik yang menarik tentang pengukuran integrasi dan efisiensi pada pasar produk pertanian internasional, dikemukakan oleh Barrett (2001) sebagai berikut: (1) ekonom harus memisahkan antara konsep integrasi dan efisiensi, di mana
21
pengukuran integrasi berdasarkan indikator flow-based dari komoditas yang diperdagangkan (tradeability), sedangkan pendugaan efisiensi berdasarkan uji price-based dari keseimbangan pasar spasial. (2) pengujian hipotesis nol dari efisiensi pasar menghadapai kendala ketakcukupan data terutama data biaya-biaya perdagangan internasional, hal ini yang menyebabkan hipotesis keseimbangan pada pasar persaingan sempurna (PPS) selalu ditolak, yang mana informasi ini sebagai prasyarat untuk kebijakan peningkatan kesejahteraan, secara empiris uji yang dilakukan hanya pada harga saja, sehingga pengujian ini dengan asumsi yang kuat bahwa biaya-biaya transaksi perdagangan antar dua pasar adalah konstan antar waktu, dan (3) walaupun efisiensi pasar dipenuhi dan keuntungan marjinal untuk arbitrase adalah sama dengan nol, akan tetapi masih ada ketakefisienan sosial yang disebabkan oleh hambatan perdagangan dan besarbesarnya biaya perdagangan. Menurut Barret (2001), metode analisis harga telah mengalami peningkatan dalam 10-15 tahun terakhir, data deret waktu yang mempunyai masalah otokorelasi atau non stasioner dapat ditanggulangi dengan metode yang mulai diperkenalkan pada akhir tahun 1980. Metode yang banyak digunakan oleh ekonom adalah kointegrasi, kausalitas Granger, dan mekanisme koreksi galat (error correction mechanisms) pada integrasi pasar, hukum satu harga (law of one price/LOP) dan paritas daya beli (purchasing power parity/PPP). Metode tersebut digunakan untuk menguji: (1) adanya hubungan jangka panjang antar harga di dua pasar, (2) adanya hubungan satu atau dua arah untuk kekuatan proyeksi harga pasar, dan (3) penyesuaian dinamik deviasi keseimbangan jangka pendek dari keseimbangan jangka panjang. Metode-metode tersebut mempunyai kelemahan yang fundamental, karena asumsi yang digunakan, yaitu biaya-biaya transaksi perdagangan antara dua lokasi/pasar adalah konstan. Pengujian hipotesis efisiensi pasar tidak dipisahkan dengan pengujian dari kebenaran asumsi tersebut yang mengganggu spesifikasi model.
22
2.4.
Kebijakan Nasional Perberasan
2.4.1. Kebijakan Harga Kebijakan beras telah melewati tiga fase sejak awal 1970. Pada fase pertama, pemerintah orde baru banyak mengeluarkan anggaran untuk subsidi input, infrastruktur irigasi, penelitian, dan sistem perluasan, yang memberikan percepatan peningkatan pertumbuhan produksi beras (McCulloch dan Timmer, 2008). Berakhirnya masa emas produksi minyak di awal tahun 1980 menyebabkan perubahan yang besar pada kebijakan beras. Pemerintah tidak dapat lagi menggantungkan pembiayaan sektor beras dari penerimaan minyak. Akibatnya, pertumbuhan produksi beras melambat dan relatif konstan sampai pada krisis ekonomi tahun 1998. Impor beras dihapuskan dan sejak tahun 1999, stabilisasi harga dilakukan melalui perdagangan swasta (private trade). Harga beras cenderung stabil, namun krisis ekonomi dan desentralisasi menyebabkan penurunan anggaran pemerintah untuk input dan jasa yang diperlukan untuk mendorong produksi beras. Fase saat ini, mulai tahun 2004, ditandai dengan dihilangkannya peranan impor dari mekanisme stabilisasi harga. Akibatnya, selama musim panen harga beras rendah, sementara selama musim paceklik harga beras tinggi. Sejak kemerdekaannya di tahun 1945, setiap rejim pemerintah berusaha menyeimbangkan harga beras. Di satu sisi pemerintah berusaha agar harga beras tetap rendah bagi konsumen dan di sisi lain memberikan pendapatan tinggi bagi petani padi. Pada saat yang sama sektor pertanian –terutama padi– didorong dan dijadikan mesin penggerak ekonomi. Inilah tujuan tetap yang berusaha dicapai pemerintah. Namun kebijakan untuk mencapai tujuan yang berpotensi bertolak belakang tersebut, selalu berubah dari waktu ke waktu. Kebijakan meningkatkan produksi padi di Indonesia dimulai secara sistematis pada tahun 1967. Kebijakan pertanian bertujuan meningkatkan produksi melalui ekstensifikasi dan intensifikasi. Ekspansi area persawahan dilakukan dengan dukungan pengembangan infrastruktur dan irigasi, namun saat ini pengembangan tersebut dihentikan karena secara teknis –jika program ekstensifikasi dilanjutkan– akan memakan biaya sangat besar. Program intensifikasi pertanian meliputi penggunaan varietas unggul, promosi penerapan
23
sistem pertanian dan penanganan pasca panen yang lebih efisien untuk mengurangi
hilangnya
sebagian
hasil
panen.
Untuk
membantu
petani
melaksanakan program intensifikasi, pemerintah menyediakan subsidi bibit, pupuk, kredit berbunga rendah dan harga pengadaan (procurement price) untuk maksimal 5 persen produksi gabah. Penerapan kebijakan pertanian dilakukan berdampingan dengan kebijakan ketahanan pangan dan kebijakan konsumen yang bertujuan untuk mendiversifikasi pola konsumsi penduduk Indonesia termasuk mengurangi konsumsi beras. Kebijakan menurunkan konsumsi beras dilakukan dengan mengkampanyekan secara luas diversifikasi pangan, termasuk mempromosikan makanan pokok alternatif seperti mie dan menurunkan ketergantungan terhadap beras impor dan bahan pangan lain melalui peningkatan konsumsi produk dalam negeri. Kebijakan beras di Indonesia sejak tahun 1967 terdiri dari tiga fase. Tahun 1967-1996 adalah fase pertama saat pemerintah mengendalikan pasar beras dalam negeri dengan melakukan intervensi pasar dalam rangka mendorong produksi padi dan menjaga stabilitas harga. Intervensi dilakukan dengan cara mengelola persediaan beras nasional melalui BULOG (Badan Usaha Logistik), lembaga pemerintah yang bertanggung jawab mengelola logistik. Saat itu, impor diatur dengan ketat melalui kebijakan pengendalian impor dan tarif serta bertujuan menutup kesenjangan antara produksi dan konsumsi nasional. Pada tahun 1984 Indonesia mencapai swasembada pangan dan pada tahun 19851987 murni menjadi pengekspor beras. Setelah masa tersebut Indonesia kembali menjadi negara pengimpor beras murni. Tahun 1997-2001, pemerintah Indonesia meliberalisasi pasar beras, memprivatisasi BULOG dan menghapuskan hambatan perdagangan. Semua ini dilakukan oleh pemerintah atas desakan World Bank dan IMF yang memaksa pemerintah menandatangani surat perjanjian (Letter of Intent/LOI) sebagai usaha untuk keluar dari dampak dari krisis ekonomi Asia. Selama kurun waktu tersebut swasembada pangan Indonesia menurun, ketergantungan terhadap beras impor meningkat, dan harga di tingkat konsumen dan produsen beras menjadi tidak stabil.
24
Sejak tahun 2001, secara bertahap pemerintah kembali mengendalikan pasar beras dalam negeri namun dengan berbagai modifikasi dibandingkan masa sebelum liberalisasi di tahun 1997. Kebijakan ini diambil karena dampak negatif liberalisasi pasar terhadap harga di tingkat produsen dan konsumen beras. Kebijakan terdahulu yaitu harga dasar gabah telah diganti dengan harga pembelian pemerintah dengan batas harga atas yang dianggap tidak efektif. Perbedaan antara harga dasar gabah (HDG) dan harga pembelian pemerintah (HPP) tercantum dalam Tabel 1. BULOG melakukan operasi pasar beras hanya saat terjadi kenaikan harga. Kebijakan perdagangan saat ini bertujuan khusus menstabilkan harga padi dalam negeri melalui pelarangan impor berkala dan mengatur persediaan beras melalui privatisasi BULOG. Tabel 1 Perbedaan antara harga dasar gabah (HDG) dan harga pembelian pemerintah (HPP) URAIAN
KEBIJAKAN HDG
HPP
1. Tujuan Kebijakan
Menyangga harga gabah minimum pada tingkat harga tertentu (HDG) sepanjang tahun
Membantu menyangga harga gabah utamanya pada saat surplus supaya tidak anjlok
2. Instrumen Kebijakan
Melakukan pembelian gabah sesuai dengan HDG sampai harga pasar gabah di atas HDG (tanpa dibatasi volume pembelian)
Melakukan pembelian gabah sesuai dengan HPP dan volume tertentu yang sudah ditetapkan, tanpa mandat untuk menjaga harga pasar gabah di atas HPP
3. Instrumen Pendukung
Tarif dan pembatasan impor
Tarif dan pembatasan impor
4. Efektifitas Kebijakan
Efektivitasnya dijamin mampu menyangga harga pasar gabah di atas HDG yang telah ditetapkan
Efektif pada saat terjadi defisit produksi, tetapi efektifitasnya tidak dijamin mampu menyangga harga gabah di pasar sesuai dengan HPP yang telah ditetapkan utamanya pada periode meningkat di luar yang diperkirakan surplus
25
Lanjutan Tabel 1 Perbedaan antara harga dasar gabah (HDG) dan harga pembelian pemerintah (HPP) KEBIJAKAN
URAIAN
HDG
HPP
5. Biaya Kebijakan
Dua kali lipat dibanding HPP karena untuk menjaga harga pasar gabah di atas HDG diperlukan pembelian sekitar 4 juta ton beras pada musim panen raya (sekitar Rp 16 trilliun)
Saat ini pembelian gabah sebanyak 2 juta ton (sekitar Rp 8 trilliun)
6. Resiko Politik
Apabila gagal memjamin HDG, petani berhak menuntut pemerintah (demontrasi petani makin marak)
Tidak ada tuntutan kepada pemerintah walaupun harga gabah di bawah HPP, setelah pemerintah melakukan pembelian sesuai dengan volume dan HPP yang telah ditetapkan
7. Keuntungan Politik
Kredibilitas pemerintah di mata petani meningkat
Kredibilitas pemerintah di mata petani tidak dijamin
Sumber: Paasch et. al. (2007) Sejak tahun 2003, status Bulog berubah dari LPND menjadi Perum. Masalah bisa muncul karena terjadi kontradiksi dalam diri Bulog sebagai lembaga yang harus mengemban peran sosial dan komersial. Kondisi ini juga bisa menciptakan peluang bagi maraknya praktik manipulasi dan inefisiensi untuk tujuan mendapatkan untung perusahaan dan pribadi. Selain itu, Pemerintah melalui Surat Menko Perekonomian tanggal 31 Agustus 2007 tentang Kebijakan Stabilisasi Bahan Pangan Pokok Beras, Gula, dan Minyak Goreng memberi kewenangan penuh kepada Bulog untuk menstabilkan harga beras. Kewenangan itu meliputi monopoli impor, stabilisasi harga regional tanpa menunggu perintah, membeli beras di luar harga pembelian pemerintah atau HPP demi mengejar target pengadaan, dan menjaga stok beras minimal satu juta ton.
2.4.2. Kebijakan Perdagangan Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, hingga tahun 1994 sektor beras mendapat banyak dukungan dari pemerintah dalam bentuk subsidi input,
26
stabilisasi harga dan proteksi dari persaingan internasional. Sampai tahun 1997, dukungan pemerintah masih diberikan dalam jumlah terbatas. BULOG, sebagai lembaga pemerintah memonopoli impor dan mengimpor beras hanya dalam jumlah yang dibutuhkan untuk menutup kesenjangan (jika ada) antara penawaran dan permintaan dalam negeri. Kebijakan ini membuat harga beras dalam negeri relatif stabil selama lebih dari dua dekade. Pada tahun 1995, Indonesia menjadi anggota Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organisation/WTO) dan mulai menerapkan perjanjian pertanian (Agreement on Agriculture/AoA) yang meminta pemerintah Indonesia membuka pasar terhadap produk impor, menurunkan dan akhirnya menghapuskan subsidi input pertanian seperti pupuk, pestisida dan bibit. Lebih jauh, batas harga beras ditetapkan sebesar 160 persen dari harga impor c.i.f dan berdasarkan jadwal AoA, Indonesia harus membuka akses masuknya beras dengan kuota minimal 70 ribu ton per tahun. Dengan kuota tersebut, tingkat tarif preferensi (preferential tariff) ditetapkan maksimum 90 persen. Indonesia kemudian berkomitmen menurunkan subsidi ekspor yang telah dilakukan selama tahun 1986-1990. Subsidi tersebut menghasilkan total ekspor 300 ribu ton beras per tahun dengan nilai subsidi US$ 28 juta per tahun (UNDP, 2005). Namun sejak AoA diberlakukan, Indonesia berhenti mengekspor beras dan berganti menjadi pengimpor murni. Sejak tahun 1995, Indonesia membuka pasar dalam negeri melebihi ketentuan WTO. Pada tahun 1995-1997, tidak ada pengenaan tarif impor, sebaliknya kuota impor diterapkan fleksibel dan mengundang masuknya 3.1 juta ton beras impor pada tahun 1995, 1 juta ton pada tahun 1996 dan 400.000 ton pada tahun 1997. Keseluruhan impor tersebut membuat Indonesia menjadi negara pengimpor beras terbesar dunia selama tahun 1995-1997. Thailand, Vietnam dan Amerika Serikat adalah pemasok utama beras impor selama periode tersebut (UNDP, 2005). Pada tahun 1997, penerapan AoA bertumpang tindih dengan kebijakan penyesuaian struktural IMF dan World Bank dan melampaui ketetapan WTO. Pada tahun yang sama, Indonesia dan negara Asia lain mengalami krisis ekonomi yang parah. Di Indonesia, krisis tersebut diikuti oleh runtuhnya bursa efek pada tahun 1998 dan krisis politik yang parah. Untuk mengatasi situasi tersebut,
27
pemerintah meminta bantuan keuangan dari IMF. Dana bantuan IMF diberikan dengan syarat Indonesia menandatangani surat perjanjian yang mencantumkan persetujuan Indonesia untuk menerapkan kebijakan penyesuaian struktural IMF dan World Bank. Secara radikal, pemerintah mengubah kebijakan perdagangan dan pertanian nasional. Dalam konteks tersebut, pemerintah menghapuskan atau menurunkan dalam jumlah besar semua subsidi pertanian, termasuk subsidi input yang sebelumnya berperan penting dalam pengembangan sektor pertanian di Indonesia. Kebijakan penetapan harga beras di pasar dalam negeri dihentikan dan Bulog kehilangan hak monopoli impor. Tarif impor nol persen dan impor dalam jumlah tak terbatas mengalir antara tahun 1998 dan 1999. Jumlah beras impor melonjak hingga 6 juta ton pada tahun 1998 dan 4 juta ton pada tahun 1999. Beras impor terbanyak berasal dari Thailand, diikuti Vietnam (UNDP, 2005). Pemberian fasilitas kredit impor dan subsidi input pertanian di Thailand dan Vietnam membuat harga ekspor mereka rendah dan membanjiri pasar Indonesia dengan beras dumping. Akibatnya pada tahun 1998, Indonesia kembali menjadi pengimpor beras terbesar dunia. Impor pada awalnya ditujukan untuk menutup kesenjangan yang semakin lebar antara menurunnya produksi padi dalam negeri dan meningkatkan permintaan konsumen. Pada tahun yang sama, Indonesia, seperti halnya negaranegara Asia Tenggara lain terkena dampak parah kekeringan yang dipicu oleh arus tenggara fenomena alam El Nino. Pada tahun 1999, produksi padi dalam negeri mulai pulih namun impor beras berlanjut, mengakibatkan kelebihan penawaran (oversupply) beras di pasar dan turunnya harga padi lokal. Secara faktual, kehilangan produksi padi akibat El Nino hanya berkisar 4-5 persen, namun beras impor menguasai 12 persen pasar, artinya jumlah beras impor 2-3 kali lebih tinggi dari sekedar kebutuhan menutup kekurangan produksi dalam negeri. Akibatnya swasembada pangan turun tajam dari 95 persen menjadi 88 persen (Sidik, 2004), dan ketahanan pangan nasional semakin tergantung dari pasar dunia yang berubah-ubah dan lesu. Petani padi sangat terpukul karena turunnya harga padi yang dikombinasikan dengan naiknya harga input pertanian, turunnya subsidi dan hilangnya produksi padi karena El Nino. Akibatnya marjin keuntungan petani turun tajam. Kesengsaraan dalam berbagai bentuk terus
28
berlangsung hingga sekarang (UNDP, 2005). Untuk membantu petani kecil yang sangat rentan, pada tahun 1998-2001 pemerintah mengadakan program bantuan pangan yang disebut Operasi Pasar Khusus (OPK) dan selanjutnya diganti menjadi Beras untuk Masyarakat Miskin (Raskin). Setelah pergantian kekuasaan dari rejim pemerintah otoriter ke rejim demokratis dan meningkatnya kemiskinan di pedesaan akibat banjir beras impor, pada tahun 2000 rejim baru sedikit mengubah kebijakan pasar: pertama, pengenaan tarif impor khusus Rp 430 per kg atau setara dengan US$ 45 per ton. Tarif tersebut sama dengan 30 persen harga beras dunia dan masih jauh di bawah batas tarif WTO. Kedua, impor beras yang dilakukan oleh swasta harus melalui pemeriksaan yang lebih ketat dibandingkan pemeriksaan yang harus dilalui impor produk pangan lainnya, dan juga harus memenuhi persyaratan impor khusus (Warr, 2005). Penerapan hambatan tarif dan non-tarif mengakibatkan menurunnya volume beras impor, dan naiknya harga, persis seperti yang terjadi dengan beras lokal. Menurut data BULOG, harga rata-rata c.i.f. pada bulan Januari – Oktober 2001 sekitar Rp 1.692 per kg. Pada bulan sama, harga rata-rata beras lokal di pasar terbesar di Jakarta sekitar Rp 2.040 per kg. Jika kita menambahkan tarif Rp 430 per kg bagi beras impor, maka harga beras impor 5 persen lebih mahal dibandingkan beras lokal (UNDP, 2005). Penting untuk menggarisbawahi bahwa pemerintah telah bertindak tepat dalam rangka membela kepentingan petani padi yang termarjinalkan dan sangat rentan. Namun tindakan tersebut tidak mencukupi untuk mengatasi situasi genting petani padi. Salah satu alasannya adalah kebijakan perdagangan yang berdampak terbatas, manajemen beras impor menjadi semakin sulit sejak tahun 2002. Untuk menghindari cukai impor, mengatasi kesulitan mendapatkan lisensi impor dan untuk mendapatkan keuntungan yang lebih tinggi, penyelundupan beras menjadi hal biasa. Kondisi wilayah dengan 13 ribu pulau membuat penyelundupan 1-2 juta ton beras per tahun atau 5 persen konsumsi total, relatif mudah. Perkiraan jumlah beras selundupan ini –yang melebihi jumlah impor beras resmi– secara luas diakui oleh berbagai sumber di kalangan pejabat pemerintah dan tokoh petani.
29
Tampaknya kemampuan pemerintah untuk mengawasi secara efektif pelabuhanpelabuhan yang tersebar berada diluar jangkauan. Untuk menstabilkan harga di tingkat petani, pada tahun 2001 pemerintah membangun sistem baru harga pembelian yang bertujuan melindungi petani dari penurunan harga, terutama saat panen. Dalam sistem ini pemerintah membeli 2 juta gabah dengan harga minimum yang telah ditetapkan sebelumnya (disebut pula harga pembelian pemerintah). Namun sistem ini hanya memiliki efek yang terbatas karena kurang dari 5 persen produksi beras nasional yang dihargai sebesar harga pembelian tersebut. Jadi kombinasi kebijakan harga dan kebijakan perdagangan hanya memberikan pengaruh yang sangat sedikit terhadap pemulihan kondisi petani hingga akhir tahun 2001 (Sidik, 2004). Terhitung sejak tanggal 1 Januari 2002, di bawah ketentuan Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN (ASEAN Free Trade Area/AFTA), Indonesia wajib menerapkan tarif impor 0-5 persen bagi produk-produk pertanian paling lambat pada bulan Januari 2010. Namun karena beras dianggap produk sensitif, pemerintah tetap memberlakukan tarif yang berlaku saat ini sampai tahun 2010 dan penetapan tarif maksimal 20 persen sampai tahun 2020 (UNDP, 2005). Sejalan dengan kondisi tersebut, dalam jangka pendek dan menengah AFTA tidak meminta penurunan tarif impor beras. Pada tahun 2003, harga beras dunia relatif stabil dan 40 persen lebih rendah dari harga beras dalam negeri. Karena ancaman yang kerap muncul, petani padi terus menuntut pemberlakuan proteksi produksi beras dalam negeri terhadap masuknya beras impor murah. Untuk melindungi produsen beras dalam negeri, menteri pertanian mengusulkan kenaikan tarif 75 persen (dari Rp 430 menjadi Rp 750), dengan demikian menaikan tarif pajak ad valorem dari 25 persen menjadi 45 persen. Usulan ini didukung oleh organisasi petani namun mendapat tentangan keras dari menteri keuangan dan menteri perdagangan, keduanya adalah pejabat yang bertanggung jawab penuh dalam penetapan tarif. Untuk lebih melindungi produksi nasional, pada awal tahun 2004 menteri pertanian memutuskan pembatasan impor sementara (Warr, 2005) yang berlaku hingga tahun 2007. Sejak saat itu wewenang monopoli impor kembali dipegang oleh BULOG. Jumlah impor beras dibatasi hanya untuk menutup kesenjangan antara produksi dalam
30
negeri dan konsumsi nasional. Kesenjangan tersebut ditandai dengan kenaikan harga beras lokal melebihi batas atas yaitu Rp 3.350 per kg, atau saat cadangan beras nasional turun dibawah angka 1 juta ton. Dengan pembatasan ini, pada awalnya impor beras turun menjadi rata-rata 625 ribu ton per tahun selama periode 2004-2006, namun menurut prediksi FAO pada tahun 2007 naik lagi menjadi 1,8 juta ton. Akibatnya pada tahun 2004-2006, Indonesia tidak lagi menjadi negara pengimpor beras terbesar dunia (bahkan tidak lagi termasuk dalam enam besar pengimpor beras dunia). Namun pada tahun 2007, Indonesia kembali berada dalam posisi pengimpor dengan pemasok utama Vietnam dan Thailand, keduanya memasok dua pertiga beras impor yang masuk ke Indonesia. Tampaknya kebijakan pelarangan impor tidak mencapai hasil yang diharapkan yaitu tingkat harga yang menguntungkan bagi petani dan terjangkau bagi konsumen. Pada tahun 2004, pelarangan impor tidak lagi berdampak signifikan karena panen yang sukses dan cadangan beras nasional dalam jumlah cukup. Sejak saat itu panen normal dan berkurangnya cadangan beras mengakibatkan terus naiknya harga di tingkat konsumen sedangkan harga di tingkat petani hanya mengalami kenaikan kecil. Pada bulan April 2007, konsumen membayar Rp5.000/kg beras, atau dua kali lipat harga yang mereka bayarkan setahun sebelumnya. Dalam periode yang sama harga di tingkat petani naik kurang dari 20 persen. Namun bukan petani yang mendapatkan keuntungan utama dari kenaikan harga beras, melainkan para pedagang. Akibatnya pemerintah semakin terdesak untuk mempertimbangkan kembali kebijakan beras nasional. Pada tahap pertama, impor ad hoc pada tahun 2007 akan naik signifikan. Menjadi pertanyaan tersendiri, apakah pemerintah akan sepenuhnya membatalkan pelarangan impor. Situasi ini menunjukkan betapa sulitnya bagi pemerintah mengatur pasar yang dikendalikan oleh oligopoli pedagang. Selain kebijakan perdagangan, peran pemerintah dalam sektor pertanian dan kebijakan harga tampaknya menjadi faktor yang menentukan bagi petani padi. Sebelum periode liberalisasi perdagangan (1995-2001), harga beras berada di tingkat menengah dan stabil akibat dari intervensi negara. Baik petani dan konsumen keduanya terlindungi, petani terlindungi dari penurunan harga yang berlebihan dan konsumen dari kenaikan harga yang tinggi. Kedua, terlepas dari
31
rendahnya harga di tingkat petani, untuk mendorong produksi padi, petani mendapat subsidi input pertanian. Subsidi tersebut terutama berperan penting selama tahun 1990-1994 (UNDP, 2005). Penandatangan surat perjanjian antara pemerintah Indonesia dengan IMF membuat situasi berubah drastis. IMF menyaratkan semua subsidi pertanian dan penetapan harga oleh pemerintah dihapuskan (UNDP, 2005). Sejak tahun 19982000, harga pupuk diserahkan kepada mekanisme pasar dan kebijakan stabilisasi harga dimodifikasi menjadi kebijakan bantuan pangan nasional bagi rakyat miskin.
2.5.
Tinjauan Penelitian Empiris
Peran Pedagang dan Keterlibatan Bulog dalam Sistem Pemasaran Beras Arifin (2004) dan Natawidjaja (2000) menemukan bahwa di banyak wilayah ada dua jalur pemasaran dalam tata niaga beras, yaitu swasta dan pemerintah (Bulog). Jalur swasta lebih panjang daripada jalur pemerintah dengan banyak pemain yang diawali oleh pengumpul-pengumpul di desa, perusahaanperusahaan penggilingan padi, grosir, dan berakhir oleh pedagang-pedagang eceran. Selain itu, sistem pemasaran beras ternyata bervariasi dalam tingkat kompleksitasnya antar wilayah atau antar kelompok wilayah. Misalnya, dari observasinya di 7 Kabupaten/Kota di Jawa, Saliem (2004) menemukan betapa pentingnya pedagang dalam perdagangan beras antar pulau atau propinsi, sedangkan, dari penelitiannya di Solok dan Padang di Sumatera Barat, Djulin (2004) menemukan tidak adanya keterlibatan Bulog di dalam perdagangan beras
Peran Pedagang dalam Menentukan Marjin keuntungan Beras Hasil studi Natawidjaja (2001) menunjukkan bahwa para pelaku tata niaga di sebagian besar provinsi-provinsi penghasil beras utama nasional mampu meningkatkan marjin keuntungan yang diterimanya pada saat terjadi kenaikan harga di pasar konsumen dengan cara menangguhkan kenaikan harga yang diterima pada harga yang seharusnya dibayar ke petani.
32
Sebaliknya, pelaku tata niaga ini juga mampu menjaga marjin keuntungan yang sama walaupun pada saat harga di tingkat konsumen sedang turun, dengan cara mempercepat penurunan harga beli pada petani sehingga risiko pasar dibebankan seluruhnya pada petani.
Komponen Biaya dari Harga Beras Arifin et. al. (2001) menemukan bahwa harga beras di tingkat eceran tergantung pada perkembangan aktual dari bermacam komponen biaya, dari biaya produksi di tingkat petani, biaya penggilingan, biaya transportasi, dan marjin keuntungan yang diambil oleh agen-agen distribusi/pemasaran. Jumlah biaya bervariasi menurut wilayah, sehingga harga sebenarnya yang dibayar konsumen di Jakarta berbeda dengan yang dibayar di Indonesia kawasan timur. Konsumen-konsumen yang lokasinya dekat dengan pasar-pasar induk di perkotaan membayar lebih rendah dibandingkan mereka yang harus membeli beras dari pedagang/toko eceran.
Integrasi Pasar Beras Penelitian yang dilakukan oleh Istiqomah et. al. (2005) di Pulau Jawa, pada periode sebelum liberalisasi perdagangan, pasar beras terintegrasi, sedangkan pasca liberalisasi, hanya 65 persen pasar yang terintegrasi, harga juga lebih fluktuatif pada periode setelah liberalisasi. Dawson dan Dey (2002) menguji integrasi pasar beras di Bangladesh dengan menggunakan VECM. Hasil menunjukkan bahwa pasar beras terintegrasi secara sempurna dan bahwa Dhaka mendominasi pasar-pasar yang dekat, tetapi Dhaka didominasi oleh pasar-pasar yang jaraknya jauh. Silvapulle dan Jayasuriya (1994) menguji integrasi pasar beras untuk kasus di Philipina dengan menggunakan pendekatan kointegrasi ganda (multiple cointegration approach). Dari hasil analisis diperoleh bahwa pasar beras Philipina terintegrasi dalam jangka panjang, dengan Manila sebagai pasar dominan (dominant market)
33
Efektivitas Peran Bulog dalam Melakukan Stabilisasi Harga Gabah dan Beras Menurut Dew (1999) efektivitas pengendalian harga produsen dan konsumen sampai tahun 1998 sangat baik. Selama 20 tahun (1973–1997) hanya 10 kali dalam 240 bulan (4 persen) harga gabah yang jatuh di bawah harga. Sementara itu, stabilitas harga beras domestik antara 1972-1996, mencapai 4 kali lebih stabil daripada dunia yaitu fluktuasinya hanya 6 persen dibanding 22 persen di pasar dunia. Menurut Saifullah (2001), pengendalian stabilitas harga konsumen periode 1985-2001 cukup terjaga. Hal ini ditunjukkan dengan fluktuasi harga beras yang dapat dikendalikan dan jauh lebih rendah dari fluktuasi harga beras dunia. Selain itu, koefisien variasi –yang menunjukkan volatilitas– di pasar domestik sekitar 5,54 persen, sedangkan di pasar dunia sekitar 8,63 persen. Hasil kajian Rosner dalam Departemen Pertanian (2002) serta Rosner dan Bahri (2003) menunjukkan bahwa harga beras dan gabah bulanan ternyata lebih sering berfluktuasi pada era Bulog melakukan monopoli impor (1980-1997), dibandingkan dengan masa liberalisasi perdagangan (1999-2002). Selama periode 1980-1997, volatilitas harga beras sebesar 4,2 persen, sementara selama periode 1999-2001 volatilitas harga beras sebesar 3,9 persen. Sementara, selama periode 1980-1997, volaitilitas harga gabah di Jawa sebesar 15,1 persen, sementara untuk periode 1999-2002 sebesar 11,3 persen. Di era Orde Baru, Bulog tidak mampu melakukan stabilisasi harga beras ketika terjadi perubahan iklim (kekeringan) yang meluas di seluruh wilayah tanah air, seperti yang terjadi pada tahun 1987, 1994 dan 1998. Saliem (2005) melakukan studi mengenai efektivitas instrumen kebijakan HDG dan HDPP terhadap pasar beras. Analisis menunjukkan, pada periode 19951997 saat pasar terisolasi efektivitas HDG lebih tinggi dibandingkan pada periode 1998-1999 (pasar bebas), maupun 2000-2003 (pasar terkendali). Yonekura (2005) menyatakan banyak aspek kelembagaan yang berubah setelah Bulog berstatus Perum, Perum tidak lagi memiliki hak monopoli serta tunduk kepada deregulasi perdagangan dalam negeri, sehingga kehilangan kehilangan hak monopoli distribusi dan pengolahan dalam negeri. Pengendalian
34
harga melalui operasi pasar dikurangi, tetapi tetap mengelola persediaan untuk menjaga harga dasar. Amang dan Sawit (2001) dalam studinya menunjukkan bahwa manajemen stok merupakan inti dari kebijakan stabilisasi harga beras. Studi tersebut menemukan bahwa Bulog selama ini hanya menguasai stok beras antara 4–8 persen dari produksi dalam negeri dan mengimpor bila diperlukan. Manajemen stok beras memerlukan dana dan besarnya dana meningkat dari tahun ke tahun karena meningkatnya biaya-biaya yang meliputi biaya pengadaan, eksploitasi dan manajemen. Biaya terbesar yang dikeluarkan Bulog adalah untuk pembayaran bunga
bank
yang
mencapai
50
persen
dari
total
biaya
stabilisasi.
III. 3.1.
METODE PENELITIAN
Kerangka Operasional Penelitian Secara umum, spread harga gabah dan harga beras yang semakin
membesar sejak tahun 1998 dapat disebabkan oleh tiga faktor. Pertama, spread tersebut dapat disebabkan oleh besarnya biaya yang diperlukan dari proses pembelian gabah di tingkat petani sampai penjualan beras di tingkat eceran. Biaya tersebut
meliputi
biaya
penyimpanan,
penjemuran,
penggilingan,
biaya
pengolahan, serta biaya distribusi antar wilayah (transportasi) yang melibatkan banyak pelaku pasar. Sistem pemasaran yang menimbulkan biaya yang tinggi akan berdampak bukan saja mengurangi surplus produsen, tetapi juga akan membebani konsumen. Kedua, keterkaitan harga beras di tingkat konsumen dan di tingkat produsen yang bersifat asimetri (Simatupang, 2001). Peningkatan harga beras di tingkat konsumen ditransmisikan tidak sempurna dan lambat ke harga gabah di tingkat petani. Sementara itu, peningkatan harga gabah di tingkat petani ditransmisikan dengan sempurna dan cepat ke harga beras di tingkat konsumen, demikian sebaliknya. Artinya, fluktuasi harga beras atau gabah cenderung merugikan petani dan konsumen. Ketiga, kenaikan harga beras internasional dan terdepresiasinya nilai tukar rupiah terhadap US dollar juga mendorong terjadinya kenaikan harga beras domestik, sehingga turut memperbesar gap antara harga gabah dan beras domestik. Pasar gabah dan beras di Indonesia semakin jauh dari sempurna dan cenderung merugikan petani yang sebagian besar berperan sebagai net consumer. Inilah yang menjadi alasan kuat perlunya intervensi pasar oleh pemerintah. Namun, bagaimana peran pemerintah melalui Instruksi Presiden (Inpres) mengenai HPP dan lembaga Bulog dalam menciptakan kestabilan harga gabah dan beras tersebut. Ketika harga gabah jatuh di bawah harga dasar karena kelebihan penawaran pada masa panen, Bulog meningkatkan permintaan dengan membeli beras dari koperasi petani dan/atau pedagang dan menyimpannya sebagai stok. Sebaliknya, ketika harga beras meningkat karena kelebihan permintaan, Bulog
36
akan meningkatkan suplai dengan melepaskan stok beras ke pasar. Selain itu, jika suplai domestik tidak mencukupi konsumsi beras domestik, maka Bulog melakukan impor dari negara lain. HPP terkait dengan pengadaan beras dalam negeri, yang kemudian dipakai untuk memperkuat cadangan pemerintah dalam rangka mengatasi instabilitas harga maupun intervensi pada situasi darurat —bencana alam maupun bencana ciptaan manusia— dimana pasar lumpuh dan tidak berfungsi. Cadangan pemerintah juga terkait dengan pengadaan beras dengan impor, manakala suplai pangan dari produksi dalam negeri tidak mencukupi, akibat dari gangguan hama/penyakit, kekeringan/kebanjiran sehingga dapat mengganggu instabilitas harga pangan antar tahun. Peran Bulog dalam stabilisasi harga gabah dan beras semakin melemah setelah perubahan status lembaganya yang menjadi Perusahaan Umum (Perum). Perubahan status tersebut menegaskan fungsi Bulog untuk menyelenggarakan usaha logistik pangan pokok secara komersial dan mekanisme pasar. Usaha itu harus lebih bermutu dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak. Masalah lainnya adalah kebijakan pemerintah yang menetapkan harga pembelian pemerintah (HPP), yang tidak menjamin bahwa harga pasar gabah di atas HPP. Kebijakan ini hanya efektif pada saat terjadi defisit produksi, tetapi efektifitasnya tidak dijamin mampu menyangga harga gabah di pasar sesuai dengan HPP yang telah ditetapkan utamanya pada periode meningkat di luar yang diperkirakan surplus. Lemahnya peran Bulog dalam mengendalikan harga beras dan gabah juga dapat dikaitkan dengan struktur pasar beras dan gabah yang mungkin tidak sempurna. Integrasi pasar dapat memberikan informasi penting sehubungan dengan kekuatan atau kelemahan dari tingkat persaingan di masing-masing pasar. Setiap kebijakan yang dibuat oleh pelaku (misalnya, industri atau pemerintah) pada suatu pasar, akan langsung berpengaruh pada pelaku pasar di setiap pasar terkait. Berdasarkan uraian di atas, maka alur kerangka pemikiran dalam penelitian ini diberikan pada Gambar 2.
37
Gambar 2 Kerangka pikir penelitian.
3.2.
Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang
berupa data deret waktu (time series) bulanan dari Januari 1998 sampai Mei 2008. Sumber data yang digunakan berasal dari berbagai terbitan, seperti Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Urusan Logistik (Bulog), Departemen Pertanian, IRRI, FAO, USDA, dan sumber-sumber data lain.
3.3.
Prosedur Analisis Dalam penelitian ini, ada empat analisis yang akan dilakukan, yaitu:
3.3.1. Pergerakan Harga Gabah dan Beras Pergerakan
harga
gabah
dan
beras
dianalisis
dengan
melihat
perkembangan harga, baik harga nominal maupun riil. Selain itu, dianalisis juga volatilitas antara periode sebelum dan sesudah Perum Bulog. Untuk pergerakan harga beras, akan dilakukan analisis baik di tingkat eceran maupun di tingkat pedagang besar. Sementara untuk harga gabah, akan dilakukan analisis di tingkat petani, di daerah sentra produksi beras. Harga riil diperoleh dengan membagi harga nominal dengan Consumer Price Index (CPI). Stabilitas harga beras antar waktu dapat diukur dengan nilai
38
koefisien variasi harga yang bersangkutan, sebagaimana ditunjukkan pada persamaan berikut:
CV =
S ×100% X
.................................................................
(1)
di mana: CV
= Koefisien variasi (%)
S
= Standar deviasi selama periode pengamatan (Rp/kg)
X
= Rata-rata harga selama periode pengamatan (Rp/kg)
3.3.2. Pola Spread antara Harga Gabah dan Harga Beras Pola spread harga gabah dan beras dianalisis dengan melihat perkembangan selisih harga riil beras dan gabah serta growth harga bulanannya. Selain itu, dianalisis juga volatilitas spread harga gabah dan beras antara periode sebelum dan sesudah status Perum Bulog. Pola volatilitas spread antar waktu diidentifikasi dengan menggunakan harga riil, yaitu harga nominal dibagi dengan CPI. Selain itu, pola spread secara spasial juga akan dianalisis untuk beberapa provinsi di Indonesia.
3.3.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Spread Harga Gabah dan Harga Beras Faktor-faktor yang mempengaruhi spread harga gabah dan beras akan dianalisis menggunakan model ekonometrika. Dalam era globalisasi, pasar beras internasional mempunyai pengaruh besar terhadap pasar beras domestik. Kenaikan harga beras internasional akan mendorong pedagang besar melakukan ekspor beras ke luar negeri, yang selanjutnya akan mengurangi suplai beras domestik, dan pada gilirannya akan meningkatkan harga beras eceran di tingkat konsumen. Keterkaitan harga beras di tingkat konsumen dan di tingkat produsen yang bersifat asimetri (Simatupang, 2001), sehingga peningkatan harga beras di tingkat konsumen ditransmisikan tidak sempurna dan lambat ke harga gabah di tingkat petani. Pada akhirnya, kenaikan harga beras internasional akan meningkatkan spread harga gabah dan beras.
39
Faktor lain yang mempengaruhi spread harga gabah dan beras adalah harga BBM. Kenaikan harga BBM akan menyebabkan biaya transportasi meningkat, sehingga harga beras eceran yang diterima oleh konsumen juga akan meningkat. Hipotesisnya adalah bahwa kenaikan harga BBM akan meningkatkan spread harga gabah dan beras. Nilai tukar petani (NTP) menunjukkan rasio antara indeks harga yang diterima petani dengan indeks harga yang dibayar petani dalam persentase. NTP merupakan salah satu indikator proxy yang dapat mengukur tingkat kesejahteraan petani. Semakin tinggi NTP, maka tingkat kesejahteraan petani dari sisi pendapatan lebih baik daripada dari sisi kebutuhan petani baik untuk konsumsi maupun produksi. Karena sebagian besar petani di Indonesia adalah net consumer beras sehingga diharapkan kenaikan NTP akan menurunkan spread harga gabah dan beras. Di Indonesia, beras merupakan komoditas yang memperoleh intervensi dari pemerintah cukup besar. Pemerintah telah menetapkan harga dasar gabah dan harga pembelian pemerintah (HPP) untuk gabah dan beras melalui Instruksi Presiden (Inpres) mengenai kebijakan perberasan. Kebijakan menaikkan HPP diduga akan meningkatkan harga beras di tingkat konsumen lebih besar daripada harga gabah di tingkat petani. Oleh karena itu, kenaikan HPP diduga akan meningkatkan spread harga gabah dan beras. Bulog merupakan lembaga yang salah satu fungsinya adalah menjaga kestabilan harga beras. Beberapa instrumen yang dilakukan oleh Bulog adalah melakukan pembelian gabah di petani dan penggilingan, serta pembelian beras di pasaran; menjaga stok Bulog; dan melakukan impor beras apabila cadangan beras tidak mencukupi kebutuhan pangan nasional. Bulog menjaga harga di tingkat produsen melalui pengadaan dalam negeri dengan menyerap surplus yang dipasarkan petani selama periode panen berdasarkan HPP. Semakin tingginya pembelian beras yang dilakukan Bulog diharapkan akan mengurangi spread harga gabah dan beras. Selama beras domestik masih memiliki ketergantungan terhadap produksi beras luar negeri, maka nilai tukar akan sangat berpengaruh terhadap harga beras domestik. Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing akan
40
menyebabkan beras di luar negeri menjadi relatif lebih murah, yang pada gilirannya akan mendorong impor beras masuk ke Indonesia. Terdepresiasinya nilai tukar nominal akan meningkatkan harga beras eceran di tingkat konsumen, yang selanjutnya akan meningkatkan spread harga gabah dan beras. Selain itu, perlu diperiksa pula apakah kebijakan yang telah dilakukan pemerintah dapat mempengaruhi spread harga gabah dan beras di Indonesia, seperti perubahan status Bulog dari LPND menjadi Perum dan perubahan penerapan harga dasar gabah menjadi harga pembelian pemerintah. Model ekonometrika untuk spread harga gabah dan harga beras yang dibangun dalam penelitian ini, dalam bentuk natural logaritma adalah sebagai berikut:
ln HGBt = f (ln HI t , ln HBBM t , ln NTPt , ln HPPGt , ln HPPBt , ln JPBt , ln JPGt , ln SBt , ln DBt , ln ERt , DSBt , DHPPt , DM t ) + ε t ..........................
(2)
Di mana HGBt adalah spread harga gabah dan beras (Rp/kg), HIt adalah harga beras internasional (US$/ton), HBBMt adalah harga BBM (Rp/Liter), NTPt adalah indeks nilai tukar petani, HPPGt adalah harga pembelian pemerintah untuk gabah kering giling (Rp/kg), HPPBt adalah harga pembelian pemerintah untuk beras (Rp/kg), JPBt adalah jumlah pembelian beras oleh Bulog (ton), JPBt adalah jumlah pembelian gabah oleh Bulog (ton), SBt adalah stok beras Bulog (ton), DBt adalah distribusi beras yang dilakukan oleh Bulog (ton), ERt adalah nilai tukar (Rp/US$), DSBt adalah dummy untuk status Bulog (sebelum dan sesudah berstatus Perum), DHPPt adalah dummy untuk harga pembelian pemerintah (sebelum dan sesudah penerapan HPP), DMt adalah dummy untuk musim (panen, paceklik, gadu), ε t adalah galat acak. Semua harga domestik dideflasi dengan CPI, sementara harga beras internasional yang digunakan adalah harga beras Bangkok dan juga dideflasi dengan CPI pada negara yang bersangkutan. Nilai tukar dideflasi dengan CPI US/CPI Indonesia pada periode yang sama. Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa hipotesis yang akan diuji dalam model ekonometrika ini adalah: 1. Kenaikan harga beras internasional, harga BBM, NTP, dan melemahnya nilai tukar akan meningkatkan spread harga gabah dan beras di Indonesia.
41
2. Kenaikan HPP untuk beras dan gabah, jumlah pembelian beras dan gabah, stok beras, dan distribusi beras akan mengurangi spread harga gabah dan beras. Penerapan model ekonometrika dinamis ini didahului dengan melakukan pengujian terhadap data deret waktu yang digunakan. Pengujian yang dilakukan adalah uji untuk mengetahui kestasioneran suatu data deret waktu dan keterkaitannya dalam jangka panjang. Kemudian model yang dibangun diestimasi dan dilakukan uji diagnostik.
Uji Unit Root Pengujian unit root dilakukan untuk mengetahui apakah data deret waktu yang digunakan stasioner atau tidak. Dalam penelitian ini digunakan uji Dickey-
Fuller (DF) dan Augmented Dickey-Fuller (ADF). Uji Dickey-Fuller (DF) dilakukan dalam dua model yaitu: 1. Intersep tanpa trend ΔX t = α + δX t −1 + ∈t ........................................................................
(3)
2. Intersep dan trend ΔX t = α + βt + δX t −1 + ∈t ..................................................................
(4)
Uji Augmented Dickey-Fuller (ADF) juga dilakukan dalam dua model menurut Seddighi (2000) yaitu dengan: 3. Intersep tanpa trend q
ΔX t = α + δX t −1 + ∑δ j ΔX t − j +1 + ∈t ..................................................
(5)
j =2
4. Intersep dan trend q
ΔX t = α + βt + δX t −1 + ∑δ j ΔX t − j +1 + ∈t ..........................................
(6)
j =2
Hipotesis yang digunakan adalah:
H0 : δ = 0
Mengandung unit root
H1 : δ < 0
Tidak mengandung unit root
Penyisipan persamaan awal DF dengan beda kala dari variabel dependen (lagged difference) adalah untuk mengeliminasi kemungkinan autokorelasi pada
42
error. Untuk mengetahui berapa banyak penambahan koefisien beda kala yang harus dimasukkan dalam persamaan digunakan kriteria Akaike information
criterion (AIC) dan Schawrtz criterion (SC). Kemudian nilai kritis hasil uji tersebut dibandingkan dengan nilai kritis MacKinnon 95 persen (α = 0.05). Jika t hasil uji ADF lebih negatif dari pada τ tabel MacKinnon, maka tolak H 0 yang berarti bahwa tidak terdapat unit root sehingga dapat disimpulkan data deret waktu tersebut stasioner. Hal ini juga berlaku sebaliknya, jika tidak dapat menolak
H 0 maka dapat disimpulkan data tersebut tidak stasioner. Tahap selanjutnya adalah dengan melakukan uji derajat integrasi pada variabel yang dinyatakan mengandung unit root atau tidak stasioner pada derajat nol. Uji derajat integrasi penting untuk mengetahui berapa kali variabel harus di-
difference. Uji ini dilakukan dengan melakukan difference pada variabel non stasioner sampai hasil uji Dickey-Fuller (DF) dan Augmented Dickey-Fuller (ADF)-nya tidak lagi mengandung unit root atau berhasil menolak hipotesa nol yang berarti bahwa variabel stasioner pada derajat integrasi tersebut.
Uji Kointegrasi Pengujian kointegrasi dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara variabel dalam jangka panjang. Uji ini dapat dilakukan dalam dua kondisi, pertama jika terdapat beberapa variabel yang stasioner pada order yang sama I(1) atau setelah dilakukan first difference. Kedua, adalah jika kombinasi linier variabel-variabel dari model yang dibentuk stasioner pada I(0). Pengujian dapat dilakukan dengan pendekatan Engle-Granger dan Johansen (Seddighi, 2000). Langkah yang dilakukan pertama-tama adalah estimasi dengan OLS terhadap variabel-variabel dalam model yang berorder sama dalam keseimbangan jangka panjang sebagai berikut:
Yt = β 0 + β 1 X 1t + β 2 X 2t + ... + β k X kt + ∈t ........................................
(7)
Langkah selanjutnya dari perhitungan di atas dihasilkan residual et sebagai estimasi dari equilibrium error ∈t . Kemudian dengan uji ADF residual tersebut diuji stasioner dalam bentuk persamaan OLS sebagai berikut:
43 q
Δet = δet −1 + ∑δ j Δet − j +1 + υ t ............................................................
(8)
j =2
Hipotesis yang digunakan adalah:
H0 : δ = 0
Tidak ada kointegrasi
H1 : δ < 0
Ada kointegrasi
Jika tδ hasil uji ADF lebih negatif dari pada τ tabel MacKinnon, maka tolak H 0 yang berarti bahwa terdapat kointegrasi antara variabel-variabel tersebut, begitu pula sebaliknya. Hasil uji dapat diperoleh dari output program komputer E
Views 5.1.
Metode Pendugaan Model Berdasarkan hasil uji unit root dan kointegrasi yang dilakukan, model integrasi pasar dan model spread harga gabah dan beras dapat diestimasi menggunakan ECM. Semua pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program komputer E Views 5.1.
3.3.4. Integrasi Pasar Integrasi pasar dianalisis untuk mengetahui hubungan harga antar pasar, baik secara spasial (antar harga beras) maupun secara vertikal (antara harga beras dan gabah). Untuk hubungan secara spasial, akan dianalisis untuk harga beras eceran dan harga beras grosir di Indonesia. Untuk pasar beras di tingkat eceran, akan dianalisis di 12 kota besar di Indonesia, yaitu Medan, Padang, Palembang, Lampung, Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Pontianak, Makasar, Denpasar, dan Mataram. Untuk pasar beras di tingkat grosir, akan dianalisis di 4 kota yang memiliki 4 pelabuhan besar di Indonesia, yaitu Surabaya, Medan, Jakarta, dan Makasar. Sementara, secara vertikal, akan dianalisis antara pasar beras di tingkat eceran dan pasar gabah di tingkat petani. Integrasi spasial terjadi jika perubahan harga di suatu pasar direfleksikan oleh perubahan harga pada pasar yang berbeda secara geografis untuk suatu produk yang sama, sedangkan integrasi vertikal adalah perubahan harga di suatu pasar direfleksikan oleh perubahan harga pada pasar yang berbeda secara vertikal
44
untuk produk yang sama (dalam suatu area geografis). Integrasi vertikal erat kaitannya dengan konsep marjin pemasaran, biasanya marjin dari produsen – konsumen atau marjin produsen – pedagang eceran (Trotter, 1992). Dua pasar dikatakan terintegrasi, jika terjadi perdagangan antar lokasi tersebut, dan harga pada daerah importir yang sama dengan harga pada daerah eksportir dengan biaya transportasi dan biaya trasfer lainnya. Integrasi pasar itu sendiri tidak otomatis berarti pasar bersifat persaingan sempurna (Ravallion, 1986 dan Baulch dalam Ismet et. al., 1998). Secara tipikal integrasi pasar telah diuji dengan model statistik sederhana bivariate correlation, pendekatan ini dikritik secara tajam oleh Ravallion (1986) dan ditawarkan pendekatan model dinamik perbedaan harga spasial untuk menguji hipotesis alternatif integrasi pasar. Akan tetapi model Ravallion tidak mempertimbangkan sifat kenonstasioneran dari deret data harga. Sementara, jika pasar terintegrasi secara vertikal, intervensi pada pasar konsumen/pedagang eceran akan efektif berdampak pada pasar produsen. Sebaliknya jika pasar tidak terintegrasi, intervensi yang dilakukan tidak akan mencapai target yang diinginkan pada harga di tingkat produsen. Transmisi harga usahatani-eceran (farm-retail) yang taksimetri (asymmetry) dapat terjadi karena adanya: (1) konsentrasi industri pada pasar setelah gerbang usahatani (farmgate), (2) intervensi pemerintah dalam penentuan harga, dan (3) dampak perbedaan geseran (shift) pada permintaan eceran dibandingkan penawaran usahatani. Karena hal tersebut, kenaikan biaya-biaya akan ditransmisikan dengan cepat melalui sistem pemasaran atau sebaliknya. Untuk mengetahui integrasi pasar di Indonesia digunakan vektor kointegrasi
dan
model
vektor
koreksi
galat
(vector
error
correction
model/VECM). Secara umum, tahapan tersebut merupakan proses pembangkitan data (Data Generating Process/DGP), sebagai berikut: 1. Uji Pendahuluan untuk variabel-variabel kointegrasi, melalui pengujian unit root/integrasi pada setiap variabel jika ada. Pengujian dengan DickeyFuller (DF), Augmented DF (ADF), atau uji Philip-Perron, untuk model persamaan:
45 k
Δxt = α 0 + α1T + δ xt −1 + ∑ β i Δxt −i + ut .................................................
(9)
i =1
xt adalah vektor (p x t) yang merupakan pengamatan ke-t pada variabel p. 2. Model unresctricted VAR (Vector Autoregression) untuk menduga hubungan keseimbangan jangka panjang, dengan prosedur kemungkinan maksimum (maximum likelihood) uji kointegrasi pada model persamaan:
xt = μt + Π1 xt −1 + ... + Π k xt − k + ε t , t = 1,..., T ....................................... (10) Selanjutnya ordo ke-k dan VAR pada level dari persamaan di atas dapat diparameterisasi dan diformulasi dalam bentuk vector error correction
model (VECM) 3. Model restricted VECM, dengan model persamaan Δxt = μt + Γ1Δxt −1 + ... + Γ k −1Δxt − k +1 + Π xt −1 + ε t , t = 1,..., T Di mana: Γi = −1 + Π (1 = 1,..., k − 1)
dan Π = −1 + Π1 + ... + Π k . Jika
variabel-variabel adalah kointegrasi, sisaan dari regresi keseimbangan dapat digunakan untuk menduga VECM. Ravallion (1986) mengembangkan model integrasi pasar untuk pasar urban (sentral) yang berhubungan dengan pasar-pasar perdesaan (lokal), dimana harga pasar sentral mempengaruhi harga di pasar lokal. Akan tetapi dalam pengembangan konsep kerangka kerja dilakukan melaui semua pasangan harga (bivariateprice) pada areal spasial. Jika pola statik formasi harga diantara N pasar, dimana pasar 1 adalah pasar sentral, maka model integrasi pasar tersebut adalah:
p1 = f1 ( p2 , p3 ,..., pN , X 1 ) ..................................................................... (11) p1 = fi ( pi , X i ), i = 2,..., N ................................................................... (12) Di mana p1
adalah harga di pasar sentral,
pi
harga di pasar lokal,
X i , (i = 1, 2,..., N ) adalah vektor pengaruh lainnya terhadap pasar lokal. Fungsi fi , (i = 1, 2,..., N ) dapat dianggap sebagai kondisi keseimbangan pasar, dengan mempertimbangkan pilihan spasial utama dan biaya penyesuaian (adjustment) yang dihadapi pedagang ketika memutuskan ke mana barangnya akan dijual.
46
Karena tujuan utama pendugaan model adalah pengujian hipotesis integrasi pasar, maka alternaif hipotesis dapat dimasukkan (nested) dalam model p1t = ∑ a1 j p1t − j + ∑ ∑ bk 1 j pkt + c1 X 1t + e1t yang lebih umum dan dalam bentuk j =1
k =2 j =0
terestriksi. Untuk pendugaan diasumsikan fungsi fi , (i = 1, 2,..., N ) dalam bentuk linier dan stokastik (stochastic term). Persamaan (11) dan (12) dalam bentuk struktur dinamik, dengan periode deret harga t pada daerah i diasumsikan: p1t = ∑ a1 j p1t − j + ∑ ∑ b1kj pkt + c1 X 1t + e1t ............................................ (13) j =1
k = 2 j =0
pit = ∑ aij pit − j + ∑ bij pit − j + ci X it + eit ................................................ (14) j =1
j =0
e adalah bentuk galat acak (random error), dan parameter tetap adalah a, b dan c, dimana j = 0,..., n dan k = 2, ..., N. Dalam bentuk parameter persamaan (14), hipotesis yang biasanya diuji adalah sebagai berikut: a.
Pasar tidak terintegrasi (independent): berarti pasar tersegmentasi dengan syarat bij = 0 , untuk k = 2, ..., N.
b. Pasar terintegrasi jangka pendek: kenaikan harga pada pasar sentral segera ditransmisikan pada harga di pasar lokal, jika bi 0 = 1 , ini yang dikatakan integrasi pasar jangka pendek dalam bentuk kuat (strong form). Ada juga efek bedakala (lag) pada harga ke depan jika aij = bij = 0 , untuk
j = 1, 2,..., n . Hal ini dalam bentuk restriksi, dimana pasar lokal terintegrasi dengan pasar sentral dalam satu periode waktu, ini yang dikatakan integrasi pasar jangka pendek dalam bentuk lemah (weak form) dengan syarat
∑a + ∑b j =1
c.
ij
j =1
ij
=0.
Pasar terintegrasi jangka panjang: di mana keseimbangan jangka panjang adalah satu, yaitu pasar adalah konstan sepanjang waktu. Integrasi pasar jangka panjang memiliki syarat
∑a + ∑b j =1
ij
j =1
ij
=1.
Pengujian keindependenan menunjukkan pengaruh harga di pasar sentral ( p1 ) dan bedakala p1 pada suatu lokasi independent (tidak terkait) dengan harga di pasar lainnya (lokal). Jika konsumen dan produsen terdistribusi secara spasial,
47
maka diskriminasi harga terjadi dengan biaya marjinal (MC) konstan. Integrasi pasar jangka pendek dalam bentuk kuat, menunjukkan produsen dan konsumen tidak terkonsenterasi pada satu titik (single point, basing-pricing system), di mana harga berbeda hanya karena biaya trnsportasi. Sedangkan integrasi pasar jangka pendek dalam bentuk lemah, menunjukkan adanya efek bedakala dan berarti adanya kolusi dan kartel tak lengkap (incomplete cartel) antar produsen. Integrasi pasar jangka panjang menunjukkan jumlah efek bedakala harga p1 dengan harga
pi (contemporaneous) dan bedakala harga pi sama dengan satu, berarti perubahan harga di pi akan sama besar dengan perubahan harga di p1 (Faminow dan Benson, 1990). Tingkah laku harga spasial pada pasar regional/internasional adalah indikator yang penting yang menggambarkan keragaman pasar secara keseluruhan. Pasar tidak terintegrasi kemungkinan dikarenakan informasi harga tidak akurat, yang disebabkan oleh keputusan produsen dalam memasarkan produknya terdistorsi, dan kontribusi dari pergerakan produk yang tidak efisien. Prosedur alternatif untuk mengevaluasi keterkaitan pasar secara spasial telah dikembangkan dalam kerangka kointegrasi oleh Engle dan Granger dalam Goodwin dan Schroeder (1991). Law of One Price (LOP) yang merupakan persyaratan integrasi pasar akan tercapai jika harga-harga pasar berbeda hanya karena biaya transportasi. Engle dan Granger (1987) mengembangkan uji kointegrasi dengan meregresikan suatu variabel nonstasioner terhadap variabel nonstasioner lainnya, kedua variabel akan terintegrasi pada ordo yang sama dan uji dari bentuk sisaan adalah stasioner. Jika bentuk sisaan stasioner dengan proses white noise, maka kedua variabel tersebut terkointegrasi dan mempunyai hubungan jangka panjang. Jika dua deret data ekonomi, p1 dan p2 , di mana masing-masing deret tersebut nonstasioner dan memerlukan satu kali diferensiasi (transformasi) untuk menjadi deret yang stasioner, maka kombinasi linier dari dua deret tersebut adalah:
p1t − α − β p2t = et ............................................................................... (15)
48
menghasilkan deret sisaan (residual) et yang juga stasioner. Pada kasus ini, deret
p1 dan p2 terkointegrasi, pada ordo (1,1) dengan parameter kointegrasi β dan hubungan pada persamaan (15) dikatakan sebagai regresi kointegrasi. Secara umum, dua deret dikatakan terkointegrasi pada ordo (d,b) jika deret individualnya adalah stasioner pada ordo (d) dan kombinasi liniernya adalah terkointegrasi pada ordo (d-b) (Engle dan Granger, 1987). Engle dan Granger (1987) mengajukan prosedur dua tahap untuk menguji sifat-sifat kointegrasi dari sepasang data ekonomi deret waktu yang nonstasioner. Tahap pertama adalah pendugaan parameter dari regresi kointegrasi dengan menggunakan teknik regresi OLS standar, dimana sisaan ( et ) adalah:
et = p1t − α − β p2t ............................................................................... (16) Tahap kedua, dengan menggunakan hasil estimasi tahap pertama, Engle dan Granger (1987) menyarankan 7 cara pengguanaan uji kointegrasi yang berbeda. Dalam uji tersebut adalah (1) Cointegration Regression Durbin Watson (CRDW), (2) Dickey-Fuller (DF), (3) Augmented DF (ADF), (4) Restricted
Vector Autoregression (RVAR), (5) Augmented RVAR (ARVAR), (6) Unrestricted VAR (UVAR), dan (7) Augmented UVAR (AUVAR). Detail penerapan dari uji-uji tersebut dapat dilihat juga pada Goodwin dan Schroeder (1991), serta Rao (1994). Uji alternatif untuk integrasi pasar yang dikembangkan oleh Engle dan Granger (1987) dan Mohanty et al. (1996) berdasarkan model koreksi galat (error correction model, ECM). ECM dalam bentuk sederhana, dengan dua variabel harga p1t dan p2t dapat dituliskan sebagai berikut: Δp1t = aΔp2t − b( p1t −1 − β p2t −1 ) + ut ..................................................
(17)
Di mana ut adalah sisaan dengan nilai tengah nol dan ragam yang konstan. a adalah efek jangka pendek perubahan p1t dan p2t , serta b adalah ukuran koreksi penyesuaian p1t dan p2t , di mana:
p1t = β p2t + vt ...................................................................................
(18)
Di mana ( p1t −1 − β p2t −1 ) adalah sisaan dari hubungan jangka panjang yang divergen, dan berhubungan dengan sisaan dari persamaan lag (15), tanda negatif b
49
memperlihatkan penyesuaian yang dilakukan untuk mencapai keseimbangan jangka panjang. Hubungan jangka panjang β dapat diduga dari persamaan (18) dan selanjutnya disubtitusikan pada persamaan (17) untuk mendapatkan penyesuaian jangka pendek. Jika rataan (mean) dan ragam (variance) dari suatu deret data yang tidak tergantung pada waktu, maka deret data tersebut dikatakan stasioner. Untuk mendapatkan deret data yang stasioner dilakukan dengan diferensiasi dalam bentuk bedakala antar data deret waktu. Stasioner dan tidaknya suatu data deret waktu dapat diketahui dengan menggunakan uji Dickey-Fuller (DF) ataupun Phillip-Perron (PP), seperti yang diuraikan dibawah ini (Enders, 1995): Δxt = α 0 + α1T + δ xt −1 + ∑ β1Δxt −1 + ut ..............................................
(19)
ki =1
Di mana ∆ adalah operator diferensiasi pertama, xt adalah variabel dengan data deret waktu, T adalah tren waktu, α 0 , α1 , δ , β1 adalah koefisien, k adalah jumlah bedakala, dan ut adalah bentuk sisaan. Jika hipotesis nol menunjukkan adanya
unit root tidak ditolak maka deret data dikatakan tak stasioner. Untuk menghilangkan kemungkinan sisaan otokorelasi pada deret data, perlu dipilih panjang bedakala k berdasarkan kriteria Schwarz Bayesian (Nagubadi et al.,2001). Uji kointegrasi Engle dan Granger (1987) dua tahap dikritik karena pengujian tersebut mensyaratkan salah satu dari pasangan variabel yang diuji harus variabel eksogen. Johansen dalam Enders (1995) mengembangkan prosedur kemungkinan maksimum (maximum likelihood) uji kointegrasi untuk hubungan kointegrasi variabel ganda (multivariate). Uji ini tidak memerlukan persyaratan salah satu variabel harus eksogen. Pada metodologi Johansen, uji kointegrasi variabel ganda dengan model statistik dasar tanpa restriksi dimensi-p untuk model vector autoregression (VAR) dengan bedakala ordo-k, yaitu:
xt = μt + Π1 xt −1 + ... + Π k xt −k + φ Dt + ε t , t = 1, 2,..., T .........................
(20)
Di mana xt adalah vektor (px1) yang menunjukkan pengamatan ke-t pada variabel p tingkat level, μ t adalah vektor (px1) intersep, Π1 ,..., Π k adalah (pxp) matriks parameter, Dt adalah variabel nons tokastik seperti dummy musim (seasonal dummy), φ adalah (px1) vektor koefisien untuk variabel non stokastik, k
50
adalah jumlah lag, dan ε t adalah (px1) vektor sebaran normal, independen, dan identik (NIID) dengan sebaran nilai tengah nol dan matrik ragam-peragam
ε t ε t = Ω . Ordo ke-k dan VAR pada level dari persamaan di atas dapat diparameterisasi dan direformulasi dalam bentuk model vektor koreksi galat (vector error correction model, VECM), sebagai berikut: Δxt = μt + Γ1Δxt −1 + ... + Γ k −1Δxt − k −1 + Π xt −1 + φ D1 + ε t , t = 1, 2,..., T ..
(21)
Di mana, Γi = −1 + Π (i = 1,..., k − 1) dan Π = −1 + Π1 + ... + Π k Δxt adalah (px1) vektor dari variabel terintegrasi dengan ordo nol, I(0), pada sistem Γ1 ,..., Γ k −1 dan Π adalah matriks koefisien, dan lambang lainnya sama seperti didefinisikan sebelumnya. Simbol Γi menggambarkan dinamika jangka pendek (SR) dan Π adalah matriks koefisien jangka panjang (LR). Pangkat matriks LR adalah Π = αβ ' yang merupakan jumlah vektor kointegrasi dalam sistem. Informasi dinamik LR dari sistem adalah tercermin dalam matriks β, efek SR dan keseimbangan adalah diukur dari matriks α. Kolom dari matriks β adalah vektor kointegrasi representasi dan kombinasi linear variabel x yang stasioner. Representasi kolom matriks α memberikan bobot dari setiap persamaan error correction term (ETC) yang mengindikasikan kecepatan penyesuaian pada keseimbangan. Uji rasio kemungkinan (likelihood) yang disarankan Johansen dalam Enders (1995) adalah untuk mengukur jumlah vektor kointegrasi pada data. Uji ini disebut uji lacak (trace) yang digunkan untuk uji pangkat dari matriks kointegrasi, yaitu:
λtrace ( r ) = −T
p
∑ ln(1 − λ )
i = r +1
I
................................................................
(22)
dimana T adalah jumlah pengamatan, λI adalah dugaan akar ciri (eigen values) didapat dari matriks dugaan Π , dan r adalah pangkat yang mengindikasikan jumlah vektor kointegrasi. Pangkat r dan matriks Π ditentukan dari jumlah vektor kointegrasi dari variabel-variabel dalam sistem. Jumlah vektor kointegrasi dapat menggambarkan kendala-kendala dari sistem ekonomi yang diberlakukan pada pergerakan variabel-variabel pada model VAR dalam LR (Dickey et. al., dalam Nagubadi et. al., 2001)
51
Dengan memperhatikan jumlah vektor kointegrasi, yaitu pangkat Π , maka tiga kemungkinan kasus yang perlu diperhatikan, yaitu: (a) jika pangkat Π adalah nol, maka tidak ada informasi LR dan diferensiasi pertama VAR adalah representasi yang memadai, (b) jika pangkat Π adalah penuh, xt adalah stasioner pada level, dan VAR pada level adalah representasi yang memadai, dan (c) jika pangkat Π lebih besar dari nol dan lebih kecil dari jumlah variabel (p), dan β ' xt adalah stasioner walaupun xt tidak stasioner dan bentuk ECT adalah representasi yang memadai. Jika ada p variabel dalam sistem, integrasi untuk semua pasar memerlukan pangkat (p-1). Jika pangkat matriks Π adalah lebih kecil dari p, hipotesis nol integrasi penuh ditolak. Pada kasus ini, derajat integrasi pasar dikatakan lebih rendah, dan LOP tidak dipenuhi oleh semua pasar secara simultan. Jika uji kointegrasi pada hubungan keseimbangan LR dipenuhi, maka terjadi integrasi pasar jangka panjang. Akan tetapi integrasi pasar SR dapat juga diuji dengan menggunakan VECM. VECM memasukkan hubungan bedakala pada spesifikasi dinamik harga antar pasar dalam jangka panjang ke dalam bentuk ECT. Model ECT dapat memperlihatkan bagaimana kecepatan perbedaan harga antar pasar mencapai keseimbangan.
52
Halaman ini sengaja dikosongkan
IV. PERGERAKAN HARGA DAN POLA SPREAD HARGA GABAH DAN BERAS ANTAR WAKTU DAN ANTAR WILAYAH Pada bagian ini akan dipaparkan uraian mengenai pergerakan harga gabah dan beras, serta pola spread harga gabah dan beras di Indonesia, baik antar waktu (time series) maupun antar wilayah (spatial). Pergerakan harga gabah dan beras akan diuraikan mulai dari tingkat produsen (petani), tingkat pedagang besar (grosir), dan tingkat konsumen (eceran) pada periode Januari 1998 sampai dengan Desember 2008 (data bulanan). Sementara, pola spread harga akan dianalisis antara harga gabah dan harga beras eceran di beberapa provinsi di Indonesia pada periode yang sama. Harga gabah yang digunakan adalah harga gabah kering panen (GKP), sementara harga beras grosir dan eceran yang digunakan adalah harga beras kualitas medium. Analisis dilakukan secara deskriptif dengan menggunakan grafik, tingkat pertumbuhan harga bulanan (growth month to month/m-t-m), serta koefisien variasi (CV) harga.
4.1.
Pergerakan Harga Gabah dan Beras di Indonesia
4.1.1. Tingkat Produsen Pada dasarnya, petani selalu menghadapi persoalan klasik atas harga gabah yang dipasarkan. Pada masa panen raya, jumlah hasil panen meningkat sehingga mendorong harga produsen turun. Pada saat itu, Bulog, sebagai lembaga yang bertugas untuk menjaga kestabilan harga beras, melakukan pembelian hasil petani. Tanpa ada tambahan penyerapan hasil panen melalui pengadaan Bulog tersebut, yang sekaligus sebagai instrumen harga dasar, harga produsen akan semakin tertekan. Pergerakan harga gabah kering panen tingkat penggilingan di Indonesia pada periode Januari 1998 sampai dengan Desember 2008 menunjukkan tren yang meningkat (Gambar 3). Kenaikan harga bulanan tertinggi terjadi pada bulan September 1998 yaitu sebesar 37.57 persen, sementara penurunan harga tertinggi terjadi pada bulan Maret 2008 yaitu sebesar 15.12 persen. Jika dilihat dari koefisien variasi (CV) antar tahun (Tabel 2), harga gabah kering panen sangat
54
tidak stabil pada tahun 1998, yaitu sebesar 32.22 persen. Ini terkait dengan adanya krisis ekonomi dan musim kemarau yang panjang pada tahun tersebut. Ketidakstabilan harga gabah juga terjadi pada periode 2005 dan 2008, yaitu masing-masing sebesar 10.71 persen dan 12.34 persen. Ini terkait dengan kenaikan harga BBM pada tahun 2005 dan pengaruh krisis keuangan global pada tahun 2008. Namun, secara rata-rata, pergerakan harga GKP pada periode 19992008 jauh lebih stabil dibandingkan pada tahun 1998, yaitu sebesar 6.6 persen. Pada tahun 1998, Indonesia mengalami krisis moneter, ekonomi, politik, dan sosial yang berkepanjangan. Bersamaan dengan itu terjadi berbagai perubahan yang mendasar dan secara langsung ataupun tidak langsung berpengaruh terhadap ekonomi perberasan nasional, antara lain adalah: (1) Dicabutnya subsidi pupuk dan dibebaskannya tataniaga pupuk, (2) Dibebaskannya impor beras oleh swasta, (3) Dihapuskannya tarif impor beras yang kemudian ditetapkan tarif sebesar Rp 430.00 per kg, (4) Dihapuskannya kredit program KUT yang diubah menjadi kredit KKP yang menggunakan sistem eksekuting dan subsidi bunga, dan (5) Bergulirnya desentralisasi dan otonomi daerah. Selain itu, kemarau panjang dan bencana El Nino yang terjadi pada tahun 1998 menyebabkan produksi beras menurun, sehingga turut memperparah keadaan yang terjadi pada saat itu. Rp/kg 3500 3000
Harga GKP tingkat penggilingan Growth GKP (Sb. Kanan)
2500
% 40 30 20
2000 10 1500 0
1000
‐10
0
‐20 Jan‐98 Jun‐98 Nop‐98 Apr‐99 Sep‐99 Feb‐00 Jul‐00 Des‐00 Mei‐01 Okt‐01 Mar‐02 Agust‐02 Jan‐03 Jun‐03 Nop‐03 Apr‐04 Sep‐04 Feb‐05 Jul‐05 Des‐05 Mei‐06 Okt‐06 Mar‐07 Agust‐07 Jan‐08 Jun‐08 Nop‐08
500
Gambar 3 Pergerakan harga gabah kering panen tingkat penggilingan di Indonesia, Januari 1998-Desember 2008.
55
Tabel 2 Koefisien variasi (CV) harga gabah kering panen (GKP) tingkat penggilingan di Indonesia, 1998-2008 Tahun 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 rata-rata 1999-2008 Minimum Maksimum rata-rata 1999-2008 rata-rata 2003-2008
Nasional (%) 32.22 5.08 3.93 7.09 4.79 2.89 4.79 10.71 7.29 7.13 12.34 6.60 2.89 12.34 5.22 7.52
Pada saat Bulog masih berstatus sebagai LPND (1999-2002), ternyata pergerakan GKP lebih stabil dibandingkan saat Bulog berstatus sebagai Perum (2003-2008). Hal tersebut dapat dilihat dari koefisien variasi pada masing-masing periode yang diberikan pada Tabel 2. Pada periode 1999-2002, koefisien variasi untuk harga GKP adalah sebesar 5.22 persen, lebih stabil dibandingkan pada periode 2003-2008 yang sebesar 7.52 persen. Pergerakan harga rata-rata gabah kering panen (GKP) tingkat penggilingan di empat provinsi sentra padi terbesar di Indonesia ditunjukkan pada Gambar 4. Harga GKP di Jawa Barat paling tinggi di antara provinsi lainnya, sementara harga GKP di Sulawesi Selatan adalah yang paling rendah. Pada tahun 19982003, harga GKP relatif stabil dan berada di bawah Rp 1500.00 per kg, namun sejak 2004, harga GKP terus meningkat signifikan. Hal ini disebabkan kebijakan pemerintah yang terus menaikkan harga dasar gabah/harga pembelian pemerintah.
56
Rp/kg
3000
Jabar
2500
Jateng
2000
Jatim Sulsel
1500 1000 500 0 Jabar
1998 955,9
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
1219,2 1055,3 1142,2 1297,6 1320,3 1296,3 1609,0 2233,4 2592,5 2740,4
Jateng 891,6
1157,0
989,5
1112,3 1149,6 1226,5 1190,4 1391,2 1937,0 2204,8 2365,7
Jatim
905,8
1147,1
951,4
1087,0 1393,2 1362,1 1258,4 1544,8 2088,4 2368,9 2447,1
Sulsel
819,8
1051,0
821,3
974,3
1104,0 1108,9 1067,7 1313,5 1674,4 2065,3 2143,0
Gambar 4 Pergerakan harga rata-rata gabah kering panen tingkat penggilingan di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan, 1998 2008.
4.1.2. Tingkat Pedagang Besar/Grosir Pergerakan harga beras medium tingkat pedagang besar/grosir di Indonesia pada periode Januari 1998 sampai dengan Desember 2008 menunjukkan tren yang meningkat (Gambar 5). Kenaikan harga tertinggi terjadi pada bulan Juni 1998 yaitu sebesar 23.57 persen, sementara penurunan harga tertinggi terjadi pada bulan Maret 2000 yaitu sebesar 5.22 persen. Penurunan harga yang terjadi di tingkat grosir tidak separah yang terjadi di tingkat petani. Ini berarti pedagang besar memiliki kekuatan yang lebih besar dalam menentukan harga beras. Jika dilihat dari koefisien variasi (CV) antar tahun (Tabel 3), harga beras medium grosir sangat tidak stabil pada tahun 1998, dengan koefisien variasi sebesar 31.82 persen. Ini terkait dengan adanya krisis ekonomi yang menyebabkan buying panic, serta musim kemarau panjang yang mengurangi produksi nasional pada tahun tersebut. Setelah periode 1998, harga beras medium di tingkat grosir relatif stabil, yaitu dengan rata-rata koefisien variasi sebesar 3.56 persen pada periode 1999-2008. Angka ini menunjukkan bahwa pergerakan harga di tingkat pedagang besar jauh lebih stabil dibandingkan fluktuasi harga yang terjadi di pasar gabah tingkat petani pada periode yang sama.
57 Rp/kg 6000
Harga Beras Grosir (HBG) Medium
% 25
5000
Growth HBG (Sb. Kanan)
20 15
4000
10 3000
5 2000
0
1000
‐5 ‐10 Jan‐98 Jun‐98 Nop‐98 Apr‐99 Sep‐99 Feb‐00 Jul‐00 Des‐00 Mei‐01 Okt‐01 Mar‐02 Agust‐02 Jan‐03 Jun‐03 Nop‐03 Apr‐04 Sep‐04 Feb‐05 Jul‐05 Des‐05 Mei‐06 Okt‐06 Mar‐07 Agust‐07 Jan‐08 Jun‐08 Nop‐08
0
Gambar 5 Pergerakan harga beras kualitas medium tingkat pedagang besar di Indonesia, Januari 1998-Desember 2008. Jika ditelaah menurut pulau di Indonesia, pergerakan harga beras grosir di beberapa pulau besar di Indonesia pada periode Januari 1998 sampai dengan Desember 2008 menunjukkan tren meningkat yang relatif sama (Gambar 6). Namun, harga beras grosir di pulau Kalimantan memiliki kecenderungan tingkat harga yang lebih tinggi dibandingkan dengan pulau-pulau lainnya. Ini bisa dimengerti, karena pulau Kalimantan bukan merupakan sentra produksi beras, sehingga pasokan berasnya diperoleh dari pulau Jawa, yang menyebabkan tingginya biaya transportasi dan akhirnya menyebabkan tingginya tingkat harga di wilayah tersebut. Seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3, variasi harga beras grosir di pulaupulau besar di Indonesia pada tahun 1998 relatif tinggi. Krisis ekonomi pada saat itu mendorong kenaikan harga beras yang sangat tinggi dan mengakibatkan semua pulau mengalami gejolak harga yang sangat besar. Pulau Jawa dan Sulawesi mengalami ketidakstabilan harga beras grosir yang lebih tinggi dibandingkan ratarata nasional, yaitu masing-masing sebesar 35.27 dan 37.74 persen. Sementara, variasi harga di pulau Kalimantan dan Sumatera lebih rendah dibandingkan ratarata nasional, yaitu masing-masing sebesar 27.61 persen dan 29.51 persen. Kondisi ini menunjukkan bahwa Bulog tidak mampu melakukan stabilisasi harga beras ketika terjadi gejolak harga yang meluas di seluruh wilayah Indonesia.
58
Rp/kg 6000 5000
Sumatera Kalimantan Lainnya
Jawa Sulawesi
4000 3000 2000 1000
Jan‐98 Jun‐98 Nop‐98 Apr‐99 Sep‐99 Feb‐00 Jul‐00 Des‐00 Mei‐01 Okt‐01 Mar‐02 Agust‐02 Jan‐03 Jun‐03 Nop‐03 Apr‐04 Sep‐04 Feb‐05 Jul‐05 Des‐05 Mei‐06 Okt‐06 Mar‐07 Agust‐07 Jan‐08 Jun‐08 Nop‐08
0
Gambar 6 Pergerakan harga beras kualitas medium tingkat pedagang besar di beberapa pulau besar di Indonesia, Januari 1998-Desember 2008. Secara umum, pada periode 1999 sampai dengan 2008, semua pulau ratarata mengalami gejolak harga yang lebih tinggi dibandingkan dengan gejolak harga nasional yang sebesar 3.56 persen. Secara rata-rata, harga beras grosir di pulau Kalimantan pada periode ini paling stabil, dengan koefisien variasi sebesar 3.90 persen, diikuti oleh pulau Sumatera (4.18 persen), Sulawesi (4.44 persen), dan Jawa (5.55 persen). Namun, jika dilihat dari koefisien variasi antar tahun, stabilitas harga di pulau Kalimantan paling berfluktuasi dibandingkan dengan pulau-pulau lainnya, yaitu memiliki CV yang berkisar antara 1.92 persen sampai dengan 10.24 persen, diikuti dengan Jawa (antara 1.62 persen sampai dengan 9.22 persen), Sumatera (antara 0.99 persen sampai dengan 5.99 persen), dan Sulawesi (antara 2.48 persen sampai dengan 6.31 persen). Sejak krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1997-1998, timbul tekanan yang sangat kuat agar peran pemerintah dikurangi secara drastis sehingga semua kepentingan nasional termasuk pangan harus diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar. Tekanan tersebut menyebabkan Bulog sebagai lembaga yang mengurusi pangan nasional perlu melakukan perubahan status hukum agar menjadi lembaga yang lebih efisien, transparan, dan akuntabel. Puncaknya, pada Januari 2003, Bulog secara resmi berubah status dari Lembaga
59
Pemerintah Non Departemen (LPND) menjadi Perusahaan Umum (Perum). Perubahan status ini menimbulkan kontroversi di kalangan masyarakat, karena Bulog akan menjalankan dua fungsi bersamaan, yaitu fungsi publik dan fungsi komersial. Jika dilihat tingkat volatilitas harga beras di tingkat pedagang besar yang ditunjukkan oleh nilai CV pada Tabel 3, ternyata harga beras bulanan lebih sering berfluktuasi pada era Bulog sebagai LPND dibandingkan pada era Bulog sebagai Perum. Selama periode 1999-2002, rata-rata nilai CV nasional sebesar 4.08 persen, sedangkan tahun 2003-2008 sebesar 3.21 persen. Jika dilihat menurut pulau, hanya pulau Kalimantan dan Sulawesi yang harga beras grosir lebih stabil pada periode LPND Bulog (1999-2002) dibandingkan selama periode Perum Bulog (2003-2008), namun itupun tidak terlalu signifikan perbedaannya. Tabel 3 Koefisien variasi (CV) harga beras grosir di beberapa pulau besar di Indonesia, 1998-2008 Tahun Sumatera 1998 29.51 1999 5.00 2000 3.35 2001 4.71 2002 5.38 2003 0.99 2004 3.40 2005 3.08 2006 5.78 2007 4.13 2008 5.99 rata-rata 1999-2008 4.18 minimum 0.99 maksimum 5.99 rata-rata 1999-2002 4.61 rata-rata 2003-2008 3.89
Jawa Kalimantan Sulawesi Lainnya Nasional 35.27 27.61 37.74 34.19 31.82 6.81 5.46 3.32 5.99 4.50 6.14 2.49 3.11 6.62 2.69 8.49 3.17 5.18 8.80 5.40 6.79 4.28 5.79 5.45 3.73 3.25 2.80 5.10 2.40 1.82 4.17 2.10 2.48 1.78 1.93 9.22 4.22 6.21 4.53 4.58 5.22 10.24 6.31 10.98 6.33 3.78 2.32 3.70 9.02 1.78 1.62 1.92 3.18 3.25 2.81 5.55 3.90 4.44 5.88 3.56 1.62 1.92 2.48 1.78 1.78 9.22 10.24 6.31 10.98 6.33 7.06 3.85 4.35 6.71 4.08 4.55 3.93 4.50 5.33 3.21
4.1.3. Tingkat Konsumen/Eceran Secara umum, pergerakan harga beras eceran kualitas medium di Indonesia pada periode Januari 1998 sampai dengan Desember 2008 menunjukkan tren meningkat (Gambar 7) Krisis ekonomi dan musim kemarau
60
panjang pada tahun 1997-1998 mengakibatkan rendahnya produksi beras nasional yang akhirnya mendorong kenaikan signifikan harga beras nasional rata-rata di tingkat konsumen dari Rp 1290.04 pada Januari 1998 menjadi Rp 3009.71 pada September 1998 (atau meningkat sebesar 133.3 persen). Selain itu krisis ekonomi 1997 diikuti dengan komitmen perubahan kebijakan ekonomi beras atas dorongan lembaga internasional (seperti IMF dan World Bank), sehingga penopang paket kebijakan ekonomi beras yang telah diperasionalkan pada era orde baru runtuh satu persatu. Di antaranya adalah pencabutan monopoli impor beras yang dimiliki Bulog, penghapusan dana KLBI bagi Bulog untuk pembelian gabah/beras petani, dan penghapusan berbagai subsidi input. Sementara pada periode Januari 1999 sampai dengan Desember 2004, pergerakan harga relatif stabil, hal ini ditunjukkan oleh variasi harga nasional yang terjadi (CV) berkisar antara 1.96 persen sampai dengan 4.98 persen. Nilai CV ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan tahun 1998 yang mencapai 29.31 persen. Koefisien variasi atau coefficient of variance (CV) adalah nilai perbandingan antara standar deviasi dengan nilai rata-rata hitung dari suatu distribusi. Semakin besar nilai koefisien variasi berarti datanya kurang merata (heterogen), jika semakin kecil koefisien variasi berarti data merata (homogen). Selanjutnya, pada periode Desember 2004 sampai dengan Desember 2008, harga beras eceran kembali meningkat, namun peningkatannya tidak sehebat seperti tahun 1998. Harga beras meningkat dari Rp 2971.70 pada Desember 2004 menjadi Rp 5660.36 pada Desember 2008 (atau meningkat sebesar 90.5 persen). Kenaikan harga BBM dan kenaikan harga beras internasional merupakan beberapa faktor yang memicu kenaikan harga beras nasional pada periode ini. Gejolak harga beras domestik yang terjadi pada tahun 2008 tidak separah yang terjadi di Internasional. Pada tahun 2008, produksi dalam negeri meningkat tajam, Indonesia tidak melakukan impor beras, sehingga ketergantungan harga beras domestik terhadap harga beras internasional dapat diatasi. Hal ini tidak lepas dari peran Bulog yang berhasil mengoptimalkan pengadaan dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan stoknya melalui produksi dalam negeri yang melimpah. Produksi tahun 2008 mencapai 60.3 juta ton GKG atau sekitar 38 juta ton setara beras. Dari total tersebut, sekitar 8.41 persen dari total produksi tersebut berhasil diserap Bulog. Realisasi pengadaan
61
Bulog mencapai 3.2 juta ton naik secara signifikan sebesar 81 persen dibandingkan pengadaan tahun 2007, sehingga kebutuhan untuk stok dalam negeri tahun 2008 sepenuhnya dapat dipenuhi dari pengadaan dalam negeri. Jumlah pengadaan 3.2 juta ton tersebut diperoleh Bulog di tengah lonjakan harga beras dunia dan diakui mampu menstabilkan harga beras domestik.
Rp/kg 6000 5000
Harga Beras Eceran (HBE) Medium Growth HBE (Sb. Kanan)
4000
% 25 20 15 10 5
3000
0
2000
‐5 1000
‐10 ‐15 Jan‐98 Jun‐98 Nop‐98 Apr‐99 Sep‐99 Feb‐00 Jul‐00 Des‐00 Mei‐01 Okt‐01 Mar‐02 Agust‐02 Jan‐03 Jun‐03 Nop‐03 Apr‐04 Sep‐04 Feb‐05 Jul‐05 Des‐05 Mei‐06 Okt‐06 Mar‐07 Agust‐07 Jan‐08 Jun‐08 Nop‐08
0
Gambar 7
Pergerakan harga beras kualitas medium tingkat eceran di Indonesia, Januari 1998-Desember 2008.
Jika ditelaah menurut pulau di Indonesia, pergerakan harga beras eceran di beberapa pulau besar di Indonesia pada periode Januari 1998 sampai dengan Desember 2008 menunjukkan tren meningkat yang relatif sama (Gambar 8). Namun, harga beras eceran pulau Kalimantan memiliki kecenderungan lebih tinggi dibandingkan dengan harga beras eceran di pulau-pulau lainnya. Bahkan, pada periode Agustus 2005 sampai dengan Agustus 2006, harga beras eceran di pulau Kalimantan meningkat sebesar 53.6 persen, sementara di pulau-pulau lainnya hanya mengalami peningkatan antara 29 persen sampai dengan 34.3 persen. Seperti yang ditunjukkan pada Tabel 4, variasi harga beras eceran di pulau-pulau besar di Indonesia pada tahun 1998 relatif tinggi. Krisis ekonomi pada saat itu mendorong kenaikan harga beras yang sangat tinggi dan mengakibatkan semua pulau mengalami gejolak harga yang sangat besar. Pulau Jawa dan Sumatera mengalami ketidakstabilan harga beras eceran yang lebih tinggi dibandingkan rata-rata nasional, yaitu masing-masing sebesar 31.75 dan
62
30.11 persen. Sementara, variasi harga di pulau Kalimantan dan Sulawesi lebih rendah dibandingkan rata-rata nasional, yaitu masing-masing sebesar 25.37 persen dan 27.93 persen. Kondisi ini menunjukkan bahwa Bulog tidak mampu melakukan stabilisasi harga beras ketika terjadi perubahan iklim (kekeringan) yang meluas di seluruh wilayah Indonesia.
Rp/kg 6000 5000
Sumatera Kalimantan Lainnya
Jawa Sulawesi
4000 3000 2000
0
Jan‐98 Jun‐98 Nop‐… Apr‐99 Sep‐99 Feb‐00 Jul‐00 Des‐00 Mei‐01 Okt‐01 Mar‐02 Agust… Jan‐03 Jun‐03 Nop‐… Apr‐04 Sep‐04 Feb‐05 Jul‐05 Des‐05 Mei‐06 Okt‐06 Mar‐07 Agust… Jan‐08 Jun‐08 Nop‐…
1000
Gambar 8 Pergerakan harga beras kualitas medium di tingkat eceran, di beberapa pulau besar di Indonesia, Januari 1998-Desember 2008. Secara umum, pada periode 1999 sampai dengan 2008, semua pulau ratarata mengalami gejolak harga yang lebih tinggi dibandingkan dengan gejolak harga nasional yang sebesar 3.26 persen. Harga beras eceran di pulau Kalimantan pada periode ini paling tidak stabil, dengan nilai CV berkisar antara 1.02 persen sampai dengan 9,94 persen, diikuti dengan Sulawesi (antara 1.56 persen sampai dengan 8.64 persen), Jawa (antara 1.42 persen sampai dengan 8.46 persen), dan Sumatera (antara 1.57 persen sampai dengan 4.84 persen). Sejak krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1997-1998, timbul tekanan yang sangat kuat agar peran pemerintah dikurangi secara drastis sehingga semua kepentingan nasional termasuk pangan harus diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar. Tekanan tersebut menyebabkan Bulog sebagai lembaga yang mengurusi pangan nasional perlu melakukan perubahan status hukum agar menjadi lembaga yang lebih efisien, transparan, dan akuntabel. Puncaknya, pada Januari 2003, Bulog secara resmi berubah status dari Lembaga
63
Pemerintah Non Departemen (LPND) menjadi Perusahaan Umum (Perum). Perubahan status ini menimbulkan kontroversi di kalangan masyarakat, karena Bulog akan menjalankan dua fungsi bersamaan, yaitu fungsi publik dan fungsi komersial. Namun, jika dilihat tingkat volatilitas harga beras di tingkat pengecer yang ditunjukkan oleh nilai CV pada Tabel 4, ternyata harga beras bulanan lebih sering berfluktuasi pada era Bulog sebagai LPND dibandingkan pada era Bulog sebagai Perum. Selama periode 1999-2002, rata-rata nilai CV nasional sebesar 3.81 persen, sedangkan tahun 2003-2008 sebesar 2.90 persen. Jika dilihat menurut pulau, hanya pulau Sumatera saja yang harga beras di tingkat pengecer lebih stabil pada periode LPND Bulog (1999-2002) dibandingkan selama periode Perum Bulog (2003-2008), itupun tidak terlalu signifikan perbedaannya. Tabel 4 Koefisien variasi (CV) harga beras eceran di beberapa pulau besar di Indonesia, 1998-2008 Tahun 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 rata-rata 1999-2008 minimum maksimum rata-rata 1999-2002 rata-rata 2003-2008
Sumatera 30.11 4.35 1.99 2.33 4.81 1.57 3.15 4.39 3.27 4.79 4.84
Jawa Kalimantan Sulawesi Lainnya Nasional 31.75 25.37 27.93 35.59 29.31 6.40 9.94 4.86 5.76 4.98 3.92 5.10 2.16 5.53 2.35 5.45 3.76 5.86 5.70 3.93 6.17 4.40 8.64 4.79 3.98 4.00 3.41 3.95 2.06 1.96 1.42 2.56 3.92 2.96 1.99 8.46 5.09 4.82 6.51 5.19 4.13 9.31 4.84 3.21 3.71 4.64 2.25 1.56 4.96 2.21 2.26 1.02 2.72 3.68 2.34
3.55 1.57 4.84
4.69 1.42 8.46
4.69 1.02 9.94
4.33 1.56 8.64
4.52 2.06 6.51
3.26 1.96 5.19
3.37
5.49
5.80
5.38
5.45
3.81
3.67
4.15
3.94
3.64
3.90
2.90
Sumber: Perum Bulog (Diolah)
4.2.
Pola Spread antara Harga Gabah dan Beras di Indonesia
4.2.1. Antar Waktu (Time Series) Pola spread antara harga gabah kering panen (GKP) dan harga beras medium eceran di Indonesia diberikan pada Gambar 9. Gambar tersebut
64
menunjukkan bahwa spread harga nominal memiliki tren yang meningkat pada periode Januari 1998 sampai dengan Desember 2008. Selain itu, pertumbuhannya sangat tidak stabil, pada masa-masa panen raya (Maret-Mei) harga meningkat cukup tinggi, sementara pada masa-masa paceklik harga menurun sangat drastis. Rp/kg 30
Rp/kg 3000
20
2500
10
2000 1500
0
1000
‐10
0
Disparitas Harga
‐20
Growth (Sb. Kanan)
Jan‐98 Jun‐98 Nop‐98 Apr‐99 Sep‐99 Feb‐00 Jul‐00 Des‐00 Mei‐01 Okt‐01 Mar‐02 Agust‐… Jan‐03 Jun‐03 Nop‐03 Apr‐04 Sep‐04 Feb‐05 Jul‐05 Des‐05 Mei‐06 Okt‐06 Mar‐07 Agust‐… Jan‐08 Jun‐08 Nop‐08
500
‐30
Gambar 9 Pola spread antara harga gabah kering panen dan harga beras eceran di Indonesia, Januari 1998-Desember 2008. Kenaikan spread harga tertinggi terjadi pada bulan Februari 1998 yaitu sebesar 21.26 persen, sementara penurunan gap harga tertinggi terjadi pada bulan Desember 2008 yaitu sebesar 26.72 persen. Jika dilihat dari koefisien variasi (CV) antar tahun (Tabel 5), spread harga gabah dan eceran sangat tidak stabil pada tahun 1998, yaitu sebesar 28.06 persen. Ini terkait dengan adanya krisis ekonomi dan musim kemarau yang panjang pada tahun tersebut. Secara rata-rata, gap harga pada periode 1999-2008 jauh lebih stabil dibandingkan pada tahun 1998, yaitu sebesar 4.95 persen. Pada periode ini, pergerakan spread harga yang paling stabil terjadi pada tahun 2001, yaitu sebesar 2.66 persen, sementara pergerakan harga yang paling tidak stabil (volatile) terjadi pada tahun 2008, yaitu sebesar 8.27 persen. Pergerakan spread harga GKP dan beras pada saat Bulog berstatus sebagai Perum (2003-2008) ternyata lebih stabil dibandingkan saat Bulog berstatus sebagai LPND (1999-2002). Hal tersebut dapat dilihat dari koefisien variasi pada masing-masing periode yang diberikan pada Tabel 5. Pada periode 2003-2008,
65
koefisien variasi untuk spread harga adalah sebesar 4.82 persen, lebih stabil dibandingkan pada periode 1999-2002 yang sebesar 5.15 persen. Tabel 5 Koefisien variasi (CV) spread harga gabah kering panen (GKP) dan harga beras medium eceran di Indonesia, 1998-2008 Tahun 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 rata-rata 1999-2008 minimum maksimum rata-rata 1999-2002 rata-rata 2003-2008
Nasional (%) 28.06 6.22 5.52 2.66 6.20 3.05 3.31 3.63 4.51 6.13 8.27 4.95 2.66 8.27 5.15 4.82
4.2.2. Antar Wilayah (Spatial) Produksi padi pada prinsipnya tergantung dari luas lahan dan produktivitasnya. Sementara, produktivitas itu sendiri sangat dipengaruhi oleh benih padi, penggunaan pupuk berimbang, kesuburan tanah, dan curah hujan. Wilayah yang memiliki tingkat kesuburan tanah serta curah hujan yang tinggi akan berpotensi menghasilkan produksi padi yang tinggi. Karena wilayah Indonesia memiliki tingkat kesuburan tanah dan curah hujan yang bervariasi, maka tingkat produksi padi juga bervariasi antar wilayah. Selama ini produksi padi masih didominasi wilayah Jawa. Menurut BPS, pada 2007 pulau Jawa berkontribusi sebesar 53.3 persen terhadap produksi beras nasional. Produksi padi Indonesia yang tidak merata antar wilayah tersebut, sementara tingkat konsumsi beras terus meningkat setiap tahun di setiap wilayah. Sebagai konsekuensinya terdapat wilayah-wilayah yang mampu dan tidak mampu menyediakan beras untuk wilayahnya sendiri. Atau dengan kata lain, ada daerah
66
surplus dan defisit beras. Kondisi ini akan membuat perbedaan harga beras dari suatu wilayah ke wilayah lainnya atau dari daerah surplus ke daerah yang defisit beras. Pergerakan pola spread nominal antara harga gabah kering panen (GKP) dan harga beras medium eceran di beberapa provinsi di Indonesia diberikan pada Gambar 10. Pada periode 1999-2002, yaitu masa saat Bulog memiliki status sebagai LPND, spread nominal terbesar terjadi di Sumatera Barat, sementara spread nominal yang terendah terjadi di Sulawesi Selatan. Ada tiga provinsi yang memiliki gap harga nominal lebih tinggi daripada spread harga rata-rata nasional, yaitu Bali, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara. Sementara, provinsi lainnya, yang didominasi oleh pulau Jawa, memiliki spread harga nominal lebih rendah daripada rata-rata nasional. Pada periode ini, spread harga nominal di provinsi sentra produksi beras, yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Sulawesi Selatan, relatif lebih rendah dibandingkan dengan spread harga nominal dari provinsi non sentra produksi beras. Pada saat Bulog berstatus sebagai Perum, yaitu periode 2003-2008, spread harga nominal di Sulawesi selatan meningkat secara signifikan, bahkan jauh melampaui rata-rata nasional, dan semua pulau Jawa.
67
Indonesia NTB 2003‐2008
Bali Sulsel Jatim Yogya Jateng Jabar Lampung Sumbar Sumut Indonesia NTB Bali
1999‐2002
Sulsel Jatim Yogya Jateng Jabar Lampung Sumbar Sumut 0
500
1000
1500 Rp/kg
2000
2500
Gambar 10 Pola spread harga nominal gabah dan beras eceran di beberapa provinsi di Indonesia, periode 1999-2002 dan periode 2003- 2008. Kestabilan spread harga antar wilayah dapat dilihat dari spread harga riilnya, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 11. Pada periode LPND Bulog (1999-2002), spread harga riil di Sumatera Barat dan Bali lebih tinggi daripada spread harga riil rata-rata nasional. Sementara pada periode Perum Bulog (20032008), hanya Sumatera Barat saja yang kestabilan spread harga riilnya masih tinggi dibandingkan rata-rata secara nasional. Namun kondisi ini masih jauh lebih baik, karena spread harga riil di Sumatera Barat lebih rendah dibandingkan dengan periode sebelumnya. Jika diperhatikan lebih seksama, semua provinsi, kecuali Bali, Sumatera Utara, dan Sulawesi Selatan, mengalami perbaikan ketika Bulog berstatus sebagai Perum, hal ini dapat dilihat dari harga riil yang lebih rendah pada periode 2003-2008
68
Indonesia NTB Bali 2003‐2008
Sulsel Jatim Yogya Jateng Jabar Lampung Sumbar Sumut Indonesia NTB Bali
1999‐2002
Sulsel Jatim Yogya Jateng Jabar Lampung Sumbar Sumut 0
5
10
15
20
25
Gambar 11 Pola spread harga riil gabah dan beras eceran di beberapa provinsi di Indonesia, periode 1999-2002 dan periode 2003- 2008.
4.2.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Spread Harga Gabah dan Beras Dalam bagian
ini
akan
diuraikan
mengenai
faktor-faktor
yang
mempengaruhi spread harga gabah dan beras menggunakan model ekonometrika. Faktor-faktor yang akan diuji dalam model ekonometrika tersebut adalah harga beras internasional (LHI), harga BBM (LHBBM), indeks nilai tukar petani (LNTP), adalah harga pembelian pemerintah untuk gabah kering giling (LHPPG), harga pembelian pemerintah untuk beras (LHPPB), jumlah pembelian gabah oleh Bulog dari petani (LJPB), jumlah pembelian beras oleh Bulog (LJPG), stok beras Bulog (SB), distribusi beras yang dilakukan oleh Bulog (DB), dan nilai tukar (LER). Tahap pertama dari analisis faktor-faktor yang mempengaruhi spread harga gabah dan beras adalah memeriksa stasioneritas data. Untuk itu digunakan uji ADF (Augmented Dickey-Fuller) baik untuk model dengan konstanta maupun
69
dengan/tanpa tren. Hasil uji ADF untuk deret harga masing-masing variabel pada
level dan first difference disajikan pada Tabel 6. Jika menggunakan konstanta tanpa tren (panel A), variabel pada tingkat
level yang sudah stasioner secara alami adalah harga pembelian pemerintah untuk beras (LHPPB), jumlah pengadaan beras yang dilakukan oleh Bulog (LJPB), jumlah pengadaan gabah yang dilakukan oleh Bulog (LJPG), dan total distribusi beras yang dilakukan oleh Bulog (LDB). Sementara, jika diuji menggunakan konstanta dengan tren (panel B), variabel jumlah pengadaan beras yang dilakukan oleh Bulog (LJPB), jumlah pengadaan gabah yang dilakukan oleh Bulog (LJPG), jumlah stok beras Bulog (LSB), dan total distribusi beras yang dilakukan oleh Bulog (LDB) yang stasioner alami pada tingkat level. Tabel 6 Uji unit root ADF untuk masing-masing variabel (dalam natural log) Variabel pada Variabel pada Variabel pada Variabel pada Level first difference Level first difference No.
Variabel
Jumlah ADF Jumlah ADF Jumlah ADF Jumlah ADF lag test lag test lag test lag test A. Konstanta tanpa tren
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
LHGB LHPPG LHPPB LJPB LJPG LSB LDB LNTP LHBBM LHI LER
0 0 0 1 0 2 0 0 0 1 0
-2.05 -2.05 -3.04 * -5.76 ** -4.25 ** -2.82 -4.26 ** -1.8 -1.2 -2.05 -1.54
0 0 0 1 1 1 1 0 0 0 0
-6.55 ** -9.54 ** -9.5 ** -8.39 ** -8.61 ** -6.85 ** -9.7 ** -10.9 ** -10.1 ** -6.3 ** -8.94 **
B . Konstanta dengan tren 0 0 0 1 0 1 0 0 0 1 0
-1.93 -2.85 -2.93 -5.77 ** -4.57 ** -4.46 ** -4.26 ** -2.81 -2.26 -3.16 -2.63
0 0 0 1 1 1 2 0 0 0 0
-6.51 ** -9.58 ** -9.5 ** -8.34 ** -8.56 ** -6.83 ** -8.42 ** -10.9 ** -10.1 ** -6.28 ** -8.89 **
a) Jumlah lag optimal dipilih pada nilai SIC (Schwarz’s Information Criteria) minimum. b) Test ADF dibandingkan dengan nilai Tabel MacKinnon, dimana ** dan * adalah tolak hipotesis nol bahwa variabel tersebut mengandung unit root pada taraf nyata 1% dan 5%.
Untuk uji ADF variabel pada first difference, hipotesis nol adanya unit
root ditolak pada taraf nyata 1%, baik jika menggunakan konstanta tanpa tren
70
maupun menggunakan konstanta dengan tren. Dengan demikian, semua variabel adalah terintegrasi pada ordo satu, yang dilambangkan dengan I(1) (Engle dan Granger, 1987). Karena pada panel A dan B hipotesis nol adanya unit root ditolak pada taraf nyata 1%, maka untuk análisis faktor-faktor yang mempengaruhi spread harga gabah dan beras dapat digunakan model dengan konstanta tanpa tren atau dengan tren. Tahap kedua dalam analisis faktor-faktor yang mempengaruhi spread harga gabah dan beras adalah melihat kestabilan dari model VAR. Hasil dari uji kestabilan menunjukkan bahwa model VAR pada lag 1 sampai dengan lag 4 masih stabil. Sementara model VAR dengan lag 5 sudah tidak stabil. Artinya, kemungkinan lag optimal yang dapat digunakan adalah antara lag 1 sampai dengan lag 4. Tahap ketiga adalah menentukan lag optimal dengan uji-uji (selection
order-criteria) yang disediakan oleh E Views. Hasilnya menunjukkan bahwa lag optimum yang dapat digunakan pada model VAR adalah lag 1, yaitu berdasarkan kriteria informasi LR, FPE, AIC, SC, HQ (Tabel 7). Tabel 7 Penentuan lag optimal untuk variabel Lag 0 1 2 3 4
LL 448.3959 1042.145 1120.653 1206.36 1349.56
LR NA 980.9762 * 110.936 100.6118 133.8617
FPE 5.36E-18 1.92E-22 * 5.64E-22 1.78E-21 2.37E-21
AIC -8.552084 -18.82923 * -17.9055 -17.13825 -17.62088
SC -7.044493 -14.00494 * -9.764513 -5.68056 -2.846488
HQ -7.943608 -16.88211 * -14.61973 -12.51383 -11.65781
Keterangan: * adalah hipotesis nol ditolak pada taraf nyata 5%
Tahap selanjutnya adalah uji kointegrasi dan menentukan jumlah vektor kointegrasi (r) di antara sistem variabel yang ada. Hasil uji kointegrasi multivariabel dengan Johansen maximum likelihood dengan lag 1 untuk analisis faktorfaktor yang mempengaruhi spread harga gabah dan beras dapat dilihat pada Tabel 8. Hasil uji kointegrasi tersebut menunjukkan bahwa jumlah hubungan jangka panjang dalam sistem adalah tiga (r = 3) untuk taraf nyata 1%.
71
Tabel 8 Uji kointegrasi dan jumlah vektor kointegrasi (r) untuk analisis faktorfaktor yang mempengaruhi spread harga gabah dan beras di Indonesia Hipotesis Nol r=0 r≤1 r≤2 r≤3 r≤4 r≤5 r≤6 r≤7 r≤8 r≤9 r ≤ 10
Eigenvalue 0.624100 0.568093 0.534975 0.380303 0.310897 0.288895 0.220168 0.158210 0.148194 0.047047 0.028504
Trace statistics
Max-eigen statistic
416.7839 * 324.8114 * 245.8942 * 173.9218 128.9404 93.93818 61.89026 38.51463 22.32546 7.248157 2.718314
91.9725 * 78.9171 * 71.9724 * 44.9814 35.0023 32.0479 23.3756 16.1892 15.0773 4.5298 2.7183
Keterangan: * adalah hipotesis nol ditolak pada taraf nyata 5% Hasil Uji Model VECM disajikan pada Lampiran 1 Karena salah satu tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi spread harga gabah dan beras di Indonesia, maka estimasi model VECM yang dianalisis, difokuskan pada estimasi spread harga gabah dan beras (LHGB). Tabel 9 menampilkan persamaan kointegrasi (Cointegration Equation/CE) untuk keseimbangan jangka panjang. Terlihat adanya hubungan keseimbangan jangka panjang antara jumlah pembelian beras (LJPB), jumlah pembelian gabah (LJPG), harga pembelian pemerintah untuk beras (LHPPB), harga pembelian pemerintah untuk gabah (LHPPG), harga BBM (LBBM), harga beras internasional (LHI), dan nilai tukar (LER) dengan spread harga gabah dan beras (LHGB). Sementara, nilai tukar petani (LNTP) tidak memiliki hubungan keseimbangan jangka panjang dengan spread harga gabah dan beras (LHGB).
72
Tabel 9
Persamaan kointegrasi jangka panjang untuk analisis faktor-faktor yang mempengaruhi spread harga gabah dan beras di Indonesia
Persamaan Persamaan Persamaan Kointegrasi 1 (CE 1) Kointegrasi 2 (CE 2) Kointegrasi 3 (CE 3) LHGB(-1) 1.00000 0.00000 0.00000 LSB(-1) 0.00000 1.00000 0.00000 LDB(-1) 0.00000 0.00000 1.00000 LJPB(-1) 0.01382 ** 0.06429 ** 0.07026 ** LJPG(-1) -0.00556 ** 0.05809 ** -0.06753 ** LHPPB(-1) 1.96919 ** 1.39884 -11.09685 ** LHPPG(-1) -1.06430 ** -1.17990 5.44663 ** LHBBM(-1) -0.23880 ** -0.75039 ** 1.76392 ** LNTP(-1) -0.24936 0.33442 -0.18197 LHI(-1) -0.09238 ** -0.04733 1.90031 ** LER(-1) -0.51021 ** -2.65414 ** 1.84956 ** @TREND(01M01) 0.00955 ** 0.02471 ** -0.05383 ** C 5.25396 35.71304 11.75240 Variabel
Keterangan: * adalah hipotesis nol ditolak pada taraf nyata 5%, ** adalah hipótesis nol ditolak pada taraf nyata 1%
Sementara, persamaan jangka pendek untuk spread harga gabah dan beras (DLHGB) ditunjukkan pada Tabel 10. Seperti sebelumnya, nilai t-hitung yang diperoleh dibandingkan dengan nilai t-tabel, di mana nilai yang digunakan adalah tingkat kepercayaan 5 persen (t-tabel=1.96) dan 10 persen (t-tabel=1.67). Apabila nilai t-hitung yang diperoleh lebih besar dari nilai t-tabel, maka dapat dikatakan bahwa variabel tersebut berpengaruh signifikan. Dalam Tabel 10 tersebut, koefisien baris (D(LHGB(-1)), D(LSB(-1)), D(LDB(-1)),
D(LJPB(-1)),
D(LJPG(-1)),
D(LHPPB(-1)),
D(LHPPG(-1)),
D(LHBBM(-1)), D(LNTP(-1)), D(LHI(-1)), D(LER(-1))) menunjukkan besaran penyesuaian yang disebabkan perubahan setiap variabel jangka pendek pada periode sebelumnya terhadap perubahan spread harga gabah dan beras pada saat ini.
73
Tabel 10
Hasil uji model VECM untuk analisis faktor-faktor mempengaruhi spread harga gabah dan beras di Indonesia
yang
Koreksi Galat Pers. Kointegrasi 1 Pers. Kointegrasi 2 Pers. Kointegrasi 3 D(LHGB(-1)) D(LSB(-1)) D(LDB(-1)) D(LJPB(-1)) D(LJPG(-1)) D(LHPPB(-1)) D(LHPPG(-1)) D(LHBBM(-1)) D(LNTP(-1)) D(LHI(-1)) D(LER(-1)) C DM_1 DM_2 DHP DSB
D(LHGB) -0.226544 ** -0.031867 -0.044628 ** 0.025851 -0.163852 ** 0.018322 -0.002472 -0.001140 0.032999 0.058411 0.074983 0.035827 0.096559 -0.154742 0.000612 0.043974 ** 0.012561 -0.014385 -0.019365
Keterangan: * adalah hipotesis nol ditolak pada taraf nyata 10%, ** adalah hipotesis nol ditolak pada taraf nyata 5%.
Tabel 10 menunjukkan bahwa peubah persamaan kointegrasi 1 signifikan terhadap spread harga gabah dan beras sebesar -0.23, artinya terdapat penyesuaian dari persamaan jangka pendek menuju persamaan jangka panjang sebesar 0.23 persen. Dapat pula diartikan bahwa setiap bulannya, kesalahan dikoreksi sebesar 0.23 persen menuju keseimbangan jangka panjang. Dari beberapa peubah yang mempengaruhi spread harga gabah dan beras dalam jangka pendek, hanya peubah stok beras pada periode sebelumnya (D(LSB(-1))) dan dummy musim panen raya (DM_1) yang signifikan mempengaruhi spread harga gabah dan beras pada taraf nyata 5 persen. Dalam jangka pendek, peubah stok beras signifikan mempengaruhi spread harga gabah dan beras dengan koefisien sebesar -0.16, artinya setiap kenaikan satu persen stok beras yang dikelola oleh Bulog akan menurunkan spread harga gabah dan beras sebesar 0.16 persen.
74
Hasil estimasi Model VECM seringkali tidak memuaskan jika dilihat dari uji t. Selain itu, secara individual koefisien dalam model VECM sulit diinterpretasikan. Analisis penting yang dapat dihasilkan dari model VECM adalah
impulse response function (IRF) dan
forecast error variance
decomposition (FEVD). Analisis IRF melacak respon dari variabel endogen di dalam sistem VECM karena adanya goncangan (shock) pada variabel endogen lainnya sebesar 1 satuan standar deviasi (SD). Pada Gambar 12 disajikan hasil IRF selama 24 bulan ke depan dari model VECM untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi spread harga gabah dan beras di Indonesia. Faktor yang paling besar mempengaruhi spread harga gabah dan beras adalah jumlah pembelian beras (JPB) yang dilakukan oleh Bulog, 1 standar deviasi kenaikan jumlah pembelian beras akan mengurangi spread harga gabah dan beras (HGB) sebesar 0,013 pada bulan ke-2, nilai ini semakin membesar sampai bulan ke-9, sedikit turun pada bulan 10-12, setelah itu spread harga akan stabil. Shock pada jumlah pembelian gabah (JPG) juga memberikan efek yang sama seperti shock pada jumlah pembelian beras, namun pengaruhnya terhadap spread harga jauh lebih kecil. Pembelian beras dan gabah yang dilakukan Bulog akan menentukan stok yang dikelola oleh Bulog. Sesuai Instruksi Presiden mengenai kebijakan perberasan, stok ini akan digunakan untuk operasi pasar dalam rangka menstabilkan harga. Berdasarkan hasil IRF, Stok beras (SB) yang dikendalikan oleh Bulog akan direspon secara negatif oleh spread harga, kenaikan 1 SD stok beras akan mengurangi spread harga sebesar 0,0084 pada bulan ke-2, nilai ini terus membesar, dan mulai mencapai kestabilan baru pada bulan ke-12. Pengadaan melalui pembelian beras dan gabah yang dilakukan oleh Bulog pada periode 2001-2008 ternyata memberikan kontribusi yang cukup penting dalam mengendalikan spread harga beras dan gabah. Jumlah pengadaan yang dilakukan oleh Bulog setiap tahunnya berkisar antara 1.5–2 juta ton setara beras, yaitu sekitar 5–7 persen dari total produksi/tahun atau sekitar 20-25 persen dari surplus yang dipasarkan petani selama bulan Maret–Mei. Harga beras internasional (HI), direspon secara positif oleh spread harga.
Shock harga beras internasional sebesar 1 SD akan menambah spread harga
75
sebesar 0.011 pada bulan ke-2. Pada pasar beras yang terbuka, dengan harga luar negeri yang murah dan tarif impor yang tidak efektif adalah tidak mungkin harga dasar diamankan oleh Bulog, kecuali dengan menyerap seluruh surplus beras di pasar dunia. Karena dengan harga dasar yang lebih tinggi dari harga luar negeri, aliran beras masuk dari pasar dunia ke pasar domestik tidak terbendung. Menurut Surono (2005), ada dua efek besar yang ditimbulkan dari arus beras impor. Harga beras dalam negeri akan tertekan rendah karena menyesuaikan dengan harga beras dunia meskipun telah ditetapkan tarif impor. Sebagai contoh, harga beras dunia pada bulan April tahun 2001 sekitar 150 USD per ton, dengan kurs sekitar Rp 10000 per USD dan tarif impor sebesar Rp 430 per kg, maka harga beras impor di pasar grosir adalah sekitar Rp 1930 per kg atau 20 persen di bawah harga beli Bulog. Selain itu, aktivitas perdagangan beras antar daerah dan antar waktu menurun karena sumber suplainya lebih terbuka. Pedagang dapat memilih sumber beras dari impor atau domestik, tergantung mana yang lebih menguntungkan. Berkurangnya aktivitas perdagangan beras antar daerah tersebut akan menekan harga di daerah produsen karena surplus hasil produksi tidak bergerak. Hal ini menunjukkan bahwa menjaga produksi beras/padi dalam negeri amat penting untuk menghindari tingginya resiko ketidakstabilan harga dan suplai beras dari pasar dunia. Indeks nilai tukar rupiah terhadap dollar (ER) mempengaruhi spread harga secara negatif, jika indeks nilai tukar menguat (ditunjukkan dengan indeks nilai tukar yang semakin membesar) maka spread harga gabah dan beras akan menurun, shock sebesar 1 SD pada indeks nilai tukar akan mengurangi spread harga sebesar 0.013 pada bulan ke-1, nilai ini semakin mengecil, dan kemudian mengalami kestabilan baru mulai bulan ke-11. Selama beras domestik masih memiliki ketergantungan terhadap produksi beras luar negeri, maka nilai tukar akan sangat berpengaruh terhadap harga beras domestik. Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar akan menyebabkan beras di luar negeri menjadi relatif lebih murah, yang pada gilirannya akan mendorong impor beras masuk ke Indonesia. Pada periode 2001-2007, Indonesia masih melakukan impor beras untuk memenuhi kebutuhan beras domestik, baru pada tahun 2008 Indonesia tidak lagi
76
melakukan impor, karena produksi beras domestik telah mencukupi, yaitu sebesar 38 juta ton beras.
Shock pada distribusi beras yang dilakukan Bulog (DB), harga pembelian pemerintah untuk beras (HPPB), dan nilai tukar petani (NTP) hanya mempengaruhi spread harga pada jangka pendek (3-5 bulan), setelah itu spread harga akan kembali kepada tingkat kestabilan awal. Tidak seperti HPPB, ternyata
shock yang terjadi pada harga pembelian pemerintah untuk gabah kering panen (HPPG) akan mengurangi spread harga menjauhi kestabilan awal mulai pada bulan ke-3. Begitu pula untuk harga BBM (HBBM), shock sebesar 1 SD akan mengurangi spread harga sebesar 0.000948 pada bulan ke-1, nilai ini semakin membesar, dan mencapai keseimbangan awal di bulan ke-6. Selain IRF, model VECM juga menyediakan analisis forecast error
variance decomposition (FEVD). Analisis IRF sebelumnya digunakan untuk mengetahui dampak shock dari variabel endogen terhadap variabel lainnya di dalam
model
VECM.
Sedangkan
analisis
FEVD
digunakan
untuk
menggambarkan relatif pentingnya setiap variabel di dalam sistem VECM karena adanya shock. FEVD berguna untuk memprediksi kontribusi persentase varian setiap variabel karena adanya perubahan variabel tertentu di dalam sistem VECM. Hasil FEVD selama 24 bulan ke depan dari model VECM untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi spread harga gabah dan beras di Indonesia disajikan pada Tabel 11.
77
Response to Cholesky One S.D. Innovations
Gambar 12
Hasil impulse response function (IRF) dari model VECM untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi spread harga gabah dan beras di Indonesia.
78
Tabel 11 Hasil forecast error variance decomposition (FEVD) dari model VECM untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi spread harga gabah dan beras di Indonesia Period 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
S.E. 0.048 0.066 0.077 0.088 0.098 0.107 0.115 0.122 0.129 0.136 0.143 0.149 0.155 0.160 0.166 0.171 0.176 0.181 0.186 0.191 0.196 0.200 0.205 0.209
LHGB 100.000 89.821 81.679 75.832 72.159 70.246 69.185 68.357 67.585 66.910 66.363 65.926 65.562 65.248 64.971 64.727 64.511 64.320 64.148 63.994 63.853 63.726 63.609 63.502
LSB 0.000 2.491 2.693 2.240 1.922 1.752 1.654 1.585 1.529 1.478 1.434 1.398 1.368 1.343 1.321 1.302 1.284 1.269 1.255 1.243 1.232 1.221 1.212 1.203
LDB 0.000 1.831 2.698 3.962 5.080 5.631 5.873 6.056 6.241 6.407 6.540 6.646 6.734 6.810 6.877 6.936 6.988 7.034 7.076 7.113 7.147 7.178 7.206 7.232
LJPB 0.000 0.472 0.367 0.330 0.354 0.361 0.359 0.356 0.355 0.354 0.353 0.353 0.353 0.353 0.352 0.352 0.352 0.352 0.351 0.351 0.351 0.351 0.351 0.351
LJPG 0.000 0.919 2.460 4.258 5.319 5.765 5.979 6.155 6.330 6.487 6.614 6.716 6.799 6.870 6.934 6.990 7.039 7.083 7.123 7.158 7.190 7.220 7.247 7.271
LHPPB
LHPPG
LHBBM
0.000 0.000 0.001 0.019 0.051 0.067 0.074 0.081 0.087 0.092 0.096 0.099 0.102 0.104 0.106 0.108 0.109 0.111 0.112 0.113 0.114 0.115 0.116 0.117
0.000 0.012 0.009 0.017 0.036 0.050 0.060 0.067 0.073 0.077 0.080 0.083 0.086 0.088 0.090 0.092 0.093 0.094 0.096 0.097 0.098 0.099 0.099 0.100
0.000 0.550 0.960 1.487 2.068 2.453 2.665 2.810 2.932 3.037 3.125 3.198 3.259 3.311 3.356 3.396 3.432 3.463 3.492 3.517 3.540 3.561 3.580 3.598
LNTP 0.000 0.005 0.083 0.206 0.337 0.413 0.449 0.472 0.493 0.513 0.530 0.544 0.555 0.564 0.573 0.580 0.587 0.592 0.598 0.602 0.607 0.611 0.614 0.617
Cholesky Ordering: LHGB LHI LER LSB LDB LJPB LJPG LHPPB LHPPG LHBBM LNTP
LHI 0.000 2.470 6.057 8.077 8.919 9.411 9.787 10.101 10.373 10.602 10.785 10.932 11.056 11.163 11.258 11.341 11.415 11.480 11.538 11.591 11.639 11.682 11.722 11.759
LER 0.000 1.429 2.993 3.572 3.753 3.852 3.916 3.960 4.003 4.045 4.079 4.106 4.127 4.146 4.162 4.177 4.190 4.201 4.212 4.221 4.229 4.237 4.244 4.250
79
Tabel 11 menunjukkan bahwa pada bulan pertama, shock pada spread harga gabah dan beras ditentukan oleh spread harga itu sendiri sebesar 100 persen persen. Pada bulan ke 2, shock pada spread harga gabah dan beras ditentukan oleh spread harga itu sendiri sebesar 89.8 persen, stok beras sebesar 2.5 persen, distribusi beras 1.83 persen, jumlah pembelian beras sebesar 0.47 persen, jumlah pembelian gabah sebesar 0.92 persen, harga pembelian pemerintah untuk gabah sebesar 0.012 persen, harga BBM sebesar 0.55 persen, NTP sebesar 0.005 persen, harga beras internasional sebesar 2.47 persen, dan indeks nilai tukar sebesar 1.43 persen. Semua variabel memiliki pengaruh yang semakin besar dari periode ke periode terhadap spread harga gabah dan beras. Namun, pada bulan ke-24, harga beras internasional memiliki pengaruh paling besar terhadap spread harga gabah dan beras, yaitu sebesar 11.8 persen. Hal ini dikarenakan pada periode pengamatan (2001-2008), Indonesia memiliki ketergantungan terhadap impor beras yang cukup tinggi. Selain itu, pada akhir periode, distribusi beras dan jumlah pembelian gabah juga menentukan spread harga cukup tinggi, yaitu masing-masing sebesar 7.2 persen. Oleh karenanya, peran Bulog cukup penting dalam mengendalikan spread harga gabah dan beras di Indonesia.
80
Halaman ini sengaja dikosongkan
V. INTEGRASI PASAR
Integrasi pasar beras dilihat melalui keseimbangan harga yang terjadi pada integrasi pasar spasial/horizontal dan integrasi pasar vertikal. Integrasi spasial dilihat dari pergerakan harga beras yang terjadi di tingkat konsumen dan di tingkat pedagang besar untuk provinsi-provinsi di Indonesia. Sementara, integrasi pasar vertikal dilihat dari pergerakan harga mulai dari tingkat petani, pedagang besar, dan harga di tingkat konsumen. Harga beras internasional tidak dimasukkan ke dalam analisis integrasi pasar vertikal karena cakupan analisis penelitian ini adalah untuk melihat spread harga gabah di tingkat petani dan harga beras di tingkat konsumen. Analisis data deret waktu akan dilakukan dengan metode kointegrasi dan model vektor koreksi galat (VECM), dengan tahapan prosedur pengujian proses pembangkitan data (data generating process, DGP) seperti yang dikemukakan oleh Engle Granger dalam Enders (1995).
5.1.
Integrasi Pasar Horizontal Integrasi pasar spasial menunjukkan seberapa besar perubahan harga
produk di suatu pasar mempengaruhi perubahan harga produk sejenis di pasar lain (Trotter, 1992). Artinya, jika terjadi integrasi pasar beras di antara dua atau beberapa provinsi, maka perubahan harga beras di suatu provinsi akan diikuti oleh perubahan harga beras di provinsi lain. Analisis integrasi pasar spasial dilakukan terhadap harga beras bulanan (Januari 2001-Oktober 2008) di tingkat konsumen/pedagang pengecer dan di tingkat grosir/pedagang besar antar pelabuhan besar di Indonesia. Harga beras tersebut dideflasi dengan indeks harga konsumen (dalam harga riil), selanjutnya harga tersebut akan dianalisis dengan model vektor kointegrasi dan VECM.
5.1.1.
Integrasi Pasar Beras di Tingkat Pedagang Pengecer/Konsumen Analisis integrasi harga-harga di pasar konsumen beras dilakukan untuk
memberikan gambaran tentang bagaimana bekerjanya kekuatan pasar beras pada berbagai wilayah dan keterkaitannya satu sama lain dalam membentuk
82
keseimbangan pasar beras nasional. Karena keterbatasan software E Views, tanpa mengurangi
esensi
permasalahan,
pasar
beras
di
tingkat
pedagang
pengecer/konsumen dalam studi ini dianalisis untuk 12 kota besar di Indonesia, yaitu kota-kota yang merupakan daerah surplus dan defisit produksi beras. Menurut Gafar (2006), suatu daerah dapat dikategorikan surplus beras, tetapi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sampai panen berikutnya dan daerah seperti ini dikategorikan tidak swasembada (defisit). Dengan demikian perlu ada beras masuk ke daerah tersebut yang biasanya terjadi melalui pedagang dan atau melalui Divre Bulog. Dengan demikian tidak perlu dirisaukan kalau ada pemasukan beras pada bulan-bulan tertentu, baik melalui pedagang atau Divre Bulog, walaupun daerah tersebut masuk kategori surplus beras. Kalau tidak ada masukan beras dari daerah lain malahan bisa terjadi kelaparan. Tipe daerah seperti ini (surplus tetapi tidak swasembada) contohnya seperti Lampung dan Sumatera Selatan. Adapun tipe daerah yang masuk kategori swasembada, tetapi aliran berasnya dengan mudah keluar masuk adalah Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Beras dapat bergerak keluar masuk sesuai dengan pola panen dan tingkat harga. Susahnya aliran beras tersebut tak dapat dikontrol, tidak dicatat, dan juga tidak ada laporan. Tidak ada statistik berapa beras yang keluar masuk Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dalam pengertian pasar, daerah-daerah ini sebenarnya satu pasar beras. Daerah yang swasembada yang benar-benar tidak ada perdagangan masuk mungkin hanya Sulawesi Selatan saja. Daerah Sulawesi Selatan hanya mengenal perdagangan keluar Sulawesi Selatan. Tahap pertama dari analisis integrasi pasar spasial adalah memeriksa stasioneritas data. Untuk itu digunakan uji ADF (Augmented Dickey-Fuller) baik untuk model dengan konstanta maupun dengan/tanpa tren. Hasil uji ADF untuk deret harga riil beras medium di tingkat pengecer pada level dan first difference disajikan pada Tabel 12. Jika menggunakan konstanta tanpa tren (panel A), deret harga riil pada tingkat level yang sudah stasioner secara alami adalah pasar beras di kota Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Mataram. Sementara, jika diuji menggunakan konstanta dengan tren (panel B), semua deret harga tidak stasioner pada tingkat level.
83
Untuk uji ADF deret harga pada first difference, hipotesis nol adanya unit
root ditolak pada taraf nyata 1%, baik jika menggunakan konstanta tanpa tren maupun menggunakan konstanta dengan tren. Dengan demikian, semua deret harga adalah terintegrasi pada ordo satu, yang dilambangkan dengan I(1) (Engle dan Granger, 1987). Karena pada panel A dan B hipotesis nol adanya unit root ditolak pada taraf nyata 1%, maka untuk integrasi pasar spasial beras di tingkat pengecer dapat digunakan model dengan konstanta tanpa tren atau dengan tren. Tahap selanjutnya dalam analisis integrasi pasar spasial adalah menentukan lag optimal, uji kointegrasi dan menentukan jumlah vektor kointegrasi (r) di antara sistem variabel yang ada. Namun, sebelum menentukan tingkat lag optimal, terlebih dahulu harus diketahui tingkat stabilitas model VAR yang dibangun. Stabilitas sistem VAR dapat dilihat dari nilai inverse roots karakteristik AR polinomialnya. Suatu sistem VAR dikatakan stabil jika seluruh akarnya memiliki modulus lebih kecil dari satu dan terletak di dalam unit circle. Apabila model yang dibangun tidak stabil berarti data yang digunakan kurang baik dan tidak sempurna (robust) (Lutkepohl, 1991). Tahap ketiga adalah menentukan lag optimal. Penetapan panjang lag optimal bisa menggunakan beberapa kriteria informasi sebagai berikut: (1) Akaike
Information Criterion (AIC), (2) Schwarz Information Criterion (SC), (3) Hannan-Quinn Criterion, (4) Likelihood Ratio (LR), dan (5) Final Prediction Error (FPE) (Widarjono, 2007). Tahap keempat dalam analisis integrasi pasar spasial adalah uji kointegrasi dan menentukan jumlah vektor kointegrasi (r) di antara sistem variabel yang ada. Jika terjadi kointegrasi, maka tahap selanjutnya yang akan dilakukan dari analisis integrasi pasar spasial adalah VECM, yang menggambarkan hubungan keseimbangan dinamis jangka pendek dan keseimbangan jangka panjang dalam suatu sistem persamaan. Selain ada keseimbangan jangka panjang antar pasar, namun juga terdapat deviasi dari hubungan keseimbangan jangka pendek. Persamaan kointegrasi direpresentasikan sebagai hubungan jangka panjang antar pasar, sedangkan hubungan jangka pendek mungkin akan bervariasi secara signifikan. Jadi, model VECM yang akan dilakukan dalam analisis ini adalah
84
untuk melihat hubungan jangka pendek dan jangka panjang antar harga-harga dari pasar yang berbeda (Nagubadi, et. al., 2001). Tabel 12 Uji unit root ADF untuk sistem persamaan integrasi pasar spasial beras eceran (harga dalam natural log) Variabel pada Variabel pada Variabel pada Variabel pada level first difference level first difference No. Kota Besar Jumlah ADF Jumlah Jumlah ADF Jumlah ADF test ADF test lag test lag lag test lag A. Konstanta tanpa tren B. Konstanta dengan tren 1 Medan (HBEMDN) 1 -2.27 0 -8.69 ** 1 -2.25 0 -8.75 ** 2 Padang (HBEPDG) 0 -2.49 1 -8.96 ** 0 -2.53 1 -8.92 ** 3 Palembang (HBEPLG) 0 -1.89 0 -10.9 ** 0 -1.69 0 -11.00 ** 4 Lampung (HBELPG) 0 -2.62 1 -9.45 ** 0 -2.42 1 -9.65 ** 5 Jakarta (HBEJKT) 1 -3.23 * 1 -8.30 ** 1 -3.37 1 -8.37 ** 6 Bandung (HBEBDG) 1 -3.05 * 2 -8.45 ** 1 -3.04 2 -8.54 ** 7 Semarang (HBESMRG) 2 -2.19 1 -9.56 ** 2 -1.90 1 -9.64 ** 8 Surabaya (HBESRBY) 0 -3.03 * 0 -9.69 ** 0 -2.92 0 -9.83 ** 9 Pontianak (HBEPNTK) 0 -2.22 0 -9.73 ** 0 -3.45 0 -9.99 ** 10 Makasar (HBEMKS) 0 -1.33 0 -11.70 ** 0 -2.49 0 -11.80 ** 11 Denpasar (HBEDPSR) 2 -2.36 1 -8.68 ** 2 -2.44 1 -8.83 ** 12 Mataram (HBEMTRM) 0 -3.32 * 1 -9.44 ** 0 -3.36 1 -9.43 ** a) Jumlah lag optimal dipilih pada nilai SIC (Schwarz’s Information Criteria) minimum. b) Test ADF dibandingkan dengan nilai Tabel MacKinnon, dimana ** dan * adalah tolak hipotesis nol bahwa variabel tersebut mengandung unit root pada taraf nyata 1% dan 5%.
Model VAR untuk pasar beras eceran antar 12 kota besar di Indonesia akan stabil sampai lag 5, sementara pada lag 6 model VAR sudah tidak stabil. Artinya, lag optimum yang akan dipilih berkisar antara lag 1 sampai dengan lag 5. Tabel 13 menampilkan kandidat lag optimal untuk model pasar beras eceran. Karena keterbatasan data time series, maka lag optimum yang akan digunakan adalah pada tingkat lag 1, yaitu berdasarkan kriteria informasi FPE, SC, dan HQ. Tabel 13 Penentuan lag optimal untuk pasar beras eceran Lag 0 1 2 3 4 5
LogL LR FPE AIC 1591.7650 NA 1.35E-30 -34.7201 2252.2400 1132.243 1.63E-35 * -46.0712 2365.8420 164.784 3.69E-35 -45.4031 2521.3200 184.524 4.39E-35 -45.6554 2724.1770 187.252 * 3.04E-35 -46.9490 2964.8800 158.705 2.33E-35 -49.0743 *
Keterangan: * adalah hipotesis nol ditolak pada taraf nyata 5%
SC HQ -34.3890 -34.5865 -41.7669 * -44.3347 * -37.1256 -42.0636 -33.4046 -40.7130 -30.7249 -40.4036 -28.8770 -40.9260
85
Selanjutnya Tabel 14 menunjukkan hasil uji kointegrasi untuk pasar beras eceran. Berdasarkan trace statistics, terdapat satu kointegrasi pada model. Artinya, pada model ini terdapat satu vektor kointegrasi atau kombinasi linier yang stasioner. Tabel 14 Hasil uji kointegrasi untuk pasar beras eceran Hipotesis Nol r=0 r≤1 r≤2 r≤3 r≤4 r≤5 r≤6 r≤7 r≤8 r≤9 r ≤ 10 r ≤ 11
Eigenvalue 0.49060 0.47241 0.40858 0.30895 0.24439 0.21307 0.17810 0.15169 0.09667 0.08359 0.04542 0.00607
Trace statistics 313.08940 * 249.68400 189.57770 140.20650 105.46940 79.12849 56.60477 38.16802 22.70417 13.14735 4.94224 0.57261
Max-eigen statistic 63.40540 60.10635 49.37122 34.73704 26.34094 22.52372 18.43676 15.46385 9.55682 8.20511 4.36962 0.57261
Keterangan: * adalah hipotesis nol ditolak pada taraf nyata 5%
Persamaan kointegrasi menunjukkan hubungan keseimbangan jangka panjang (LR) antara harga beras di 12 kota besar di Indonesia. Tabel 15 menampilkan persamaan kointegrasi (Cointegration Equation/CE) jangka panjang harga beras eceran. Terlihat adanya hubungan keseimbangan jangka panjang antara pasar beras di Surabaya, Bandung, Lampung, Medan, Makasar, Semarang, Palembang, Mataram, Denpasar, dan Pontianak dengan pasar beras di Jakarta. Sementara pasar beras di Padang tidak memiliki keseimbangan jangka panjang dengan pasar beras di Jakarta. Hal ini menunjukkan bahwa hampir semua pasar beras di ibukota provinsi (kecuali Padang) telah terintegrasi satu sama lain, dengan kota Jakarta sebagai pasar acuan. Hal ini terjadi karena defisit beras yang jumlahnya sangat besar, maka Jakarta mendatangkan beras dari berbagai daerah penghasil beras di tanah air, sebagian besar melalui Pasar Induk Beras Cipinang. Sebagai hasilnya, pergerakan harga beras di Jakarta menjadi terintegrasi dengan baik terhadap
86
hampir seluruh lokasi pasar ibukota provinsi dalam jangka panjang (Tabel 15). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa keadaan defisit beras bukanlah hal yang mengkhawatirkan asalkan ditanggulangi dengan adanya kelancaran perdagangan dan arus kuantitas beras yang masuk sehingga daerah defisit selalu bisa berintegrasi dengan pasar-pasar beras lainnya dan bisa merespon dengan cepat setiap permintaan. Dari Tabel tersebut juga diperoleh informasi bahwa kota Padang tidak terintegrasi, ini berarti pola pergerakan harga beras amat berbeda dengan pasar beras lainnya. Tidak terintegrasinya suatu pasar dengan pasar lainnya bisa disebabkan karena adanya hambatan transportasi pengiriman barang atau karena adanya kekuatan yang mampu mempengaruhi keadaan harga pada pasar tersebut. Tabel 15 Persamaan kointegrasi jangka panjang untuk pasar beras eceran Variabel HBEJKT(-1) HBESRBY(-1) HBEBDG(-1) HBESMRG(-1) HBEMKS(-1) HBELPG(-1) HBEPLG(-1) HBEMDN(-1) HBEPDG(-1) HBEDPSR(-1) HBEMTRM(-1) HBEPNTK(-1)
Persamaan Kointegrasi (CE) 1.00000 -2.53008 ** 0.55991 * 1.13601 ** 1.68374 ** 1.38515 ** -2.23462 ** 2.43385 ** -0.01898 2.60707 ** -1.98633 ** -2.10122 **
Keterangan: * adalah hipotesis nol ditolak pada taraf nyata 5%, ** adalah hipótesis nol ditolak pada taraf nyata 1%
Hasil estimasi VECM pada model pasar beras eceran dapat dilihat pada Lampiran 3. Secara ringkas, Tabel 16 memperlihatkan hasil koefisien model VECM persamaan integrasi spasial pasar beras eceran. Nilai t-hitung yang diperoleh dibandingkan dengan nilai t-tabel, di mana nilai yang digunakan adalah tingkat kepercayaan 5 persen (t-tabel=1.96) dan 10 persen (t-tabel=1.67). Apabila
87
nilai t-hitung yang diperoleh lebih besar dari nilai t-tabel, maka dapat dikatakan bahwa variabel tersebut berpengaruh signifikan. Dalam Tabel 16 tersebut, setiap kolom menunjukkan perubahan harga per wilayah
(D(HBEJKT),
D(HBEMKS),
D(HBESRBY),
D(HBELPG),
D(HBEBDG),
D(HBEPLG),
D(HBESMRG),
D(HBEMDN),
D(HBEPDG),
D(HBEDPSR), D(HBEMTRM), D(HBEPNTK)). Koefisien baris (D(HBEJKT(1)), D(HBESRBY(-1)), D(HBEBDG(-1)), D(HBESMRG(-1)), D(HBEMKS(-1)), D(HBELPG(-1)), D(HBEDPSR(-1)),
D(HBEPLG(-1)),
D(HBEMDN(-1)),
D(HBEMTRM(-1)),
D(HBEPDG(-1)),
D(HBEPNTK(-1)))
menunjukkan
besaran penyesuaian yang disebabkan perubahan harga beras jangka pendek pada periode sebelumnya dalam berbagai wilayah terhadap perubahan harga pada saat ini. Koefisien-koefisien
koreksi
galat/Error
Correction
Term
(ECT)
menggambarkan kecepatan penyesuaian per periode menuju keseimbangan LR. Pada pasar beras di 12 kota besar di Indonesia, dihasilkan koefisien ECT masingmasing kota yaitu untuk Jakarta sebesar 0.049, Surabaya sebesar 0.053, Bandung sebesar 0.087, Semarang sebesar 0.019, Makasar sebesar 0.111, Lampung sebesar 0.159, Palembang sebesar 0.008, Medan sebesar 0.042, Padang sebesar 0.099, Denpasar sebesar 0.081, Mataram sebesar 0.041, dan Pontianak sebesar 0.08. Walaupun pengaruhnya kecil karena hanya bernilai kurang dari satu, namun hampir semua koefisien ECT secara nyata mempengaruhi perubahan harga yang berlaku di setiap pasar pada tingkat kepercayaan 5 dan 10 persen, hanya pasar beras Semarang, Palembang, dan Mataram saja yang tidak signifikan mempengaruhi perubahan harga beras saat ini. Dari hasil uji VECM, hampir semua harga beras eceran di 12 kota besar yang dianalisis dipengaruhi oleh harga beras di kota lainnya dalam jangka pendek. Ini menunjukkan bahwa telah terjadi perdagangan beras antar kota. Hal yang sedikit berbeda untuk kota Medan, dalam jangka pendek, harga beras di kota ini selain dipengaruhi oleh harga beras di kota lain (Jakarta, Makasar, Palembang, dan Mataram) pada bulan sebelumnya, juga dipengaruhi oleh harga beras di kota Medan itu sendiri pada periode yang sama. Ini menunjukkan bahwa harga beras di Medan tidak hanya dipengaruhi oleh faktor internal namun juga oleh faktor
88
eksternal dalam rangka menyesuaikan harga beras ke arah keseimbangan jangka panjang. Menurut Goletti dan Eleni (2003), faktor penyesuaian ini merupakan biaya transfer di antara kedua pasar. Jakarta merupakan kota yang membutuhkan pasokan beras dalam jumlah yang besar, yaitu sekitar 800 ribu ton per tahun (Natawidjaja, 2005). Hal ini dikarenakan sangat tingginya jumlah penduduk yang terkonsentrasi di daerah ini. Dari hasil VECM, terlihat bahwa dalam jangka pendek, harga beras di Jakarta hanya dipengaruhi oleh harga beras di Bandung dan Medan. Namun, dalam jangka panjang, kenaikan harga-harga beras di kota lainnya juga akan mempengaruhi harga beras di Jakarta, hal ini terlihat dari koefisien ECT di kota Jakarta yang signifikan pada tingkat kepercayaan 10 persen. Lebih jauh, harga beras pada kota-kota dari provinsi yang memiliki produksi beras terbesar, yaitu Bandung, Surabaya, Semarang, dan Makasar, dalam jangka pendek bahkan tidak dipengaruhi oleh harga beras di kotanya masingmasing pada periode sebelumnya. Ini menunjukkan bahwa meskipun suatu daerah memiliki produksi beras yang tinggi, namun tetap ada pergerakan beras antar daerah yang terjadi. Pendorong terjadinya pergerakan barang dari suatu daerah ke daerah lain adalah adanya perbedaan harga yang merupakan mekanisme dinamis pasar dalam mencapai keseimbangan. Menurut penelitian Natawidjaja (2005), ada dua hal yang menyebabkan terjadinya perbedaan harga beras sehingga mendorong beras untuk ditransportasikan atau dipindahkan dari satu daerah ke daerah lainnya, yaitu karena adanya (1) perbedaan jumlah ketersediaan beras, sehingga beras dikirim dari daerah surplus ke daerah yang membutuhkan/defisit beras (daerah konsumen); (2) perbedaan preferensi dan daya beli masyarakat, sehingga beras yang berkualitas bagus dikirim ke daerah konsumen dengan daya beli dan selera lebih tinggi untuk ditukar tambah dengan beras yang berkualitas lebih rendah dan lebih murah.
89
Tabel 16 Hasil uji model VECM untuk pasar beras eceran Koreksi Galat Pers. Kointegrasi 1 D(HBEJKT(-1))
D(HBEJKT) D(HBESRBY) D(HBEBDG) D(HBESMRG) D(HBEMKS) D(HBELPG) D(HBEPLG) D(HBEMDN) D(HBEPDG) D(HBEDPSR) D(HBEMTRM) D(HBEPNTK) 0.048704 *
0.053373 *
0.087227 **
0.018656
0.111316 **
0.159411 **
0.008379
0.042495 **
0.098611 **
0.041411
-0.079515 **
-0.064109
-0.224358
-0.143530
-0.305488 *
0.170432
-0.297348
-0.066814
-0.174618
0.120169
0.389338 **
D(HBESRBY(-1))
0.002147
-0.068755
-0.056371
0.239078
-0.325931
-0.012227
-0.130654
-0.182486
-0.113244
0.183712
0.199804
0.337713 *
D(HBEBDG(-1))
0.223006 ** -0.021622
0.067233
-0.016776
0.078848
0.275797 *
0.092551
0.016016
0.215589
0.096372
-0.105950
D(HBESMRG(-1))
0.044760
0.444614 **
0.287183 *
0.696430 **
0.188516
0.114812
0.216212
0.264521 **
0.393380 **
0.157685
D(HBEMKS(-1))
-0.102868
-0.052863
-0.064613
-0.071941
D(HBELPG(-1))
0.152188
0.114283
0.223084
0.029967
D(HBEPLG(-1))
-0.123409
-0.113773
-0.244952
0.013043
0.017810 0.229770 ** -0.229306 *
-0.053652
0.038245
0.060489
0.164425
-0.431866 ** -0.132214
D(HBEMDN(-1))
0.395381 **
0.277529
0.539709 **
0.168301
0.180191
D(HBEPDG(-1))
0.012298
-0.013371
-0.200632 **
-0.024855
-0.089496
-0.121258
0.636021 **
D(HBEDPSR(-1))
-0.125033
-0.097134
0.338084
0.107143
-0.058035
-0.274230
D(HBEMTRM(-1))
0.039948
-0.011252
-0.210995
-0.034523
-0.038136
-0.137717
D(HBEPNTK(-1))
-0.063073
0.025015
-0.155287
0.063800
0.277371 ** -0.101422
0.172277 -0.178551 **
0.247241 ** -0.178865
0.081732 **
0.190017 ** -0.090979 -0.060228
0.076898
-0.168938 *
0.017559
0.292614 **
0.040266 -0.210259 ** 0.426499 **
-0.047696
-0.016390
-0.021201
0.042505
0.017779
0.052156
-0.096886
-0.125391 *
0.181681 *
-0.012597
Keterangan: * adalah hipotesis nol ditolak pada taraf nyata 10%, ** adalah hipotesis nol ditolak pada taraf nyata 5%.
0.503755 *
-0.082841
0.373534 * -0.313999 ** 0.169599 -0.286116 * 0.502894 **
0.095156 0.098578 -0.068599 -0.403303 ** 0.045971 0.098794
-0.192254 *
0.063700
0.030399
-0.315787
0.027664
0.102816
-0.099677
-0.078911
-0.013934
-0.056399
-0.065431
0.015656
0.061418
90
Untuk mendapatkan hasil yang lebih baik mengenai integrasi pasar beras, maka diperlukan analisis lebih lanjut setelah pembentukan model VECM. Beberapa analisis penting yang dilakukan adalah Impulse Response dan Variance
Decomposition. Hasil analisis akan menjelaskan pergerakan harga beras di suatu wilayah akibat pengaruh harga beras di wilayah lainnya dan harga beras yang lebih dominan dalam penentuan harga beras eceran di suatu wilayah. Analisis akan dibatasi untuk melihat pengaruh shock harga beras di Jakarta dan Surabaya terhadap harga beras di kota besar lainnya. Pemilihan kedua kota tersebut dikarenakan kedua wilayah tersebut mewakili kota yang memiliki surplus produksi (Surabaya) dan surplus konsumsi (Jakarta) beras paling besar di Indonesia. Gambar 13 dan Gambar 14 berturut-turut menampilkan grafik Impulse
Response (IR) untuk pasar beras eceran akibat adanya perubahan atau shock berupa kenaikan satu standar deviasi dari harga beras di Jakarta dan Surabaya. Periode yang digunakan dalam analisis adalah 12 periode (1 periode sama dengan 1 bulan), artinya respon suatu variabel berlaku sampai 12 bulan mendatang.
Shock harga beras eceran di kota Jakarta sebesar 1 standar deviasi akan menyebabkan kenaikan harga beras eceran di kota Jakarta dan 11 kota besar lainnya pada awal periode (Gambar 13). Kenaikan terbesar pada awal periode tersebut terjadi di kota Lampung, diikuti oleh Jakarta dan Bandung, masingmasing sebesar 0.042, 0.037, dan 0.027. Secara akumulasi, dalam 12 bulan, Jakarta, Lampung, Padang, dan Bandung adalah 4 kota yang terkena dampak paling besar dari shock harga beras di Jakarta. Sementara, Palembang, Semarang, Denpasar, dan Mataram adalah 4 kota yang terkena dampak paling kecil dari
shock harga beras di Jakarta. Shock harga beras eceran di kota Surabaya sebesar 1 standar deviasi akan menyebabkan kenaikan harga beras eceran di kota Surabaya dan kota besar lainnya (kecuali Jakarta) pada awal periode (Gambar 14). Kenaikan terbesar pada awal periode tersebut terjadi di kota Surabaya, diikuti oleh Bandung dan Lampung, masing-masing sebesar 0.03, 0.017, dan 0.012. Secara akumulasi, dalam 12 bulan, Surabaya, Bandung, Denpasar, dan Lampung adalah 4 kota yang terkena dampak paling besar dari shock harga beras eceran di Surabaya.
91
Sementara, Medan, Pontianak, Jakarta, dan Palembang adalah 4 kota yang terkena dampak paling kecil dari shock harga beras di Surabaya. Dampak shock harga beras eceran di Surabaya terhadap harga beras eceran di kota lainnya lebih kecil dibandingkan apabila shock harga beras eceran terjadi di Jakarta. Ini berarti pengaruh kota Jakarta cukup kuat dalam mempengaruhi harga beras eceran di tingkat konsumen di kota-kota lainnya. Selain itu, harga beras eceran di Medan mempengaruhi harga beras di Surabaya secara negatif (Gambar 14). Hal ini diduga akibat Medan mengambil sebagian besar pasokan berasnya dari Surabaya. Kenaikan harga di Medan akan meningkatkan suplai beras yang berasal dari Surabaya, sehingga harga beras eceran di Surabaya akan menurun. Lampiran 3 menunjukkan hasil analisis Variance Decomposition untuk pasar beras eceran 12 kota besar di Indonesia. Hasil tersebut menjelaskan variasi harga beras di masing-masing kota dalam 12 bulan mendatang. Pembentukan variasi harga beras eceran di masing-masing kota tersebut lebih ditentukan oleh dirinya sendiri, hanya kota Lampung dan Denpasar saja yang agak berbeda. Dalam 12 bulan mendatang, harga beras eceran di Lampung lebih ditentukan oleh harga beras di Jakarta (39.2 persen) daripada harga beras di Lampung itu sendiri (18 persen), sementara harga beras di Denpasar lebih dapat dijelaskan oleh harga beras eceran di Surabaya, yaitu sebesar 30.8 persen. Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa pasar beras di tingkat konsumen di 12 kota besar di Indonesia tidak terintegrasi secara penuh. Persamaan kointegrasi menunjukkan bahwa tidak ada hubungan jangka panjang antara pasar beras di Padang dengan pasar beras di Jakarta. Ini berarti harga beras di Jakarta tidak menjadi harga referensi bagi harga beras di Padang. Hal tersebut juga diperkuat dari hasil analisis VECM, bahwa dalam jangka pendek dan jangka panjang, pasar beras eceran di 12 kota besar di Indonesia memiliki tingkat integrasi yang sangat lemah, yang ditunjukkan dari nilai koefisien model yang lebih kecil dari satu.
92
Gambar 13 Hasil impulse response function (IRF) untuk model VECM pasar beras eceran akibat shock harga beras di Jakarta.
93
Gambar 14 Hasil impulse response function (IRF) untuk model VECM pasar beras eceran akibat shock harga beras di Surabaya.
94
5.1.2.
Integrasi Pasar Beras di Tingkat Pedagang Besar/Grosir Untuk integrasi pasar di tingkat pedagang besar, akan dianalisis pada
pasar-pasar di kota provinsi yang memiliki pelabuhan besar, dengan pertimbangan bahwa kota-kota tersebut memiliki informasi awal tentang perkembangan harga beras di Indonesia. Kota-kota tersebut adalah Medan, Jakarta, Surabaya, dan Makasar. Tahap
pertama
yang
dilakukan
adalah
memeriksa
memeriksa
stasioneritas data deret waktu di setiap kota. Untuk itu digunakan uji ADF (Augmented Dickey-Fuller) baik untuk model dengan konstanta maupun dengan/tanpa tren. Hasil uji ADF untuk deret harga riil beras medium di tingkat grosir pada level dan first difference disajikan pada Tabel 17. Jika diuji menggunakan konstanta tanpa tren (panel A) maupun konstanta dengan tren (panel B), semua deret harga riil tidak stasioner pada tingkat level. Untuk uji ADF deret harga pada first difference, hipotesis nol adanya unit root ditolak pada taraf nyata 1%, baik jika menggunakan konstanta tanpa tren maupun menggunakan konstanta dengan tren. Dengan demikian, semua deret harga adalah terintegrasi pada ordo satu, yang dilambangkan dengan I(1) (Engle dan Granger, 1987). Karena pada panel A dan B hipotesis nol adanya unit root ditolak pada taraf nyata 1%, maka untuk integrasi pasar spasial beras di tingkat grosir/pedagang besar dapat digunakan model dengan konstanta tanpa tren atau dengan tren. Tabel 17 Uji unit root ADF untuk sistem persamaan integrasi pasar spasial beras medium grosir (harga dalam natural log) Variabel pada Variabel pada Variabel pada Variabel pada Level first difference Level first difference Jumlah ADF Jumlah Jumlah ADF Jumlah No. Kota Besar ADF test ADF test lag test lag lag test lag A. Konstanta tanpa tren B. Konstanta dengan tren 1 Medan (HBGMDN) 1 -2.22 0 -13.75 ** 1 -2.89 0 -13.70 ** 2 Jakarta (HBGJKT) 0 -1.99 0 -8.04 ** 1 -3.25 0 -7.99 ** 3 Surabaya (HBGSRBY) 0 -2.35 1 -9.23 ** 0 -2.58 1 -9.20 ** 4 Makasar (HBGMKS) 0 -1.87 0 -9.74 ** 0 -2.68 0 -9.70 ** a) Jumlah lag optimal dipilih pada nilai SIC (Schwarz’s Information Criteria) minimum. b) Test ADF dibandingkan dengan nilai Tabel MacKinnon, dimana ** dan * adalah tolak hipotesis nol bahwa variabel tersebut mengandung unit root pada taraf nyata 1% dan 5%.
95
Tahap selanjutnya adalah memeriksa kestabilan model, menentukan lag optimum, dan memeriksa kointegrasi. Model VAR untuk pasar beras grosir antar kota pelabuhan besar di Indonesia akan stabil sampai lag 12, sementara pada lag 13 model VAR sudah tidak stabil. Artinya, lag optimum yang akan dipilih berkisar antara lag 1 sampai dengan lag 12. Tabel 18 menampilkan kandidat lag optimal untuk model pasar beras grosir antar kota pelabuhan besar di Indonesia. Karena keterbatasan data time
series, maka lag optimum yang akan digunakan adalah pada tingkat lag 1, yaitu berdasarkan kriteria informasi FPE, SC, dan HQ. Selanjutnya Tabel 19 menunjukkan hasil uji kointegrasi untuk pasar beras grosir antar kota pelabuhan besar di Indonesia. Berdasarkan trace statistics dan max-eigen statistic, terdapat dua kointegrasi pada model. Artinya, pada model ini terdapat dua vektor kointegrasi atau kombinasi linier yang stasioner.
Tabel 18 Penentuan lag optimal untuk pasar beras grosir antar kota pelabuhan besar di Indonesia Lag 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
LogL LR -747.7193 NA -560.0850 352.931 -549.5849 18.750 -532.2958 29.227 -521.0944 17.869 -502.4500 27.967 -490.4681 16.832 -468.9374 28.195 -451.9465 20.632 -440.6815 12.606 -420.8138 20.341 -399.6553 19.647 -366.8105 27.371 *
FPE 6.97E+02 1.17E+01 * 1.34E+01 1.31E+01 1.48E+01 1.42E+01 1.61E+01 1.48E+01 1.53E+01 1.86E+01 1.88E+01 1.91E+01 1.52E+01
AIC 17.8981 13.8116 13.9425 13.9118 14.0261 13.9631 14.0588 13.9271 13.9035 14.0162 13.9241 13.8013 13.4003 *
Keterangan: * adalah hipotesis nol ditolak pada taraf nyata 5%
SC HQ 18.0138 17.9446 14.3903 * 14.0442 * 14.9843 14.3613 15.4166 14.5167 15.9939 14.8171 16.3939 14.9403 16.9526 15.2221 17.2839 15.2765 17.7233 15.4390 18.2991 15.7379 18.6700 15.8319 19.0102 15.8953 19.0722 15.6803
96
Tabel 19 Hasil uji kointegrasi untuk pasar beras grosir antar kota pelabuhan besar di Indonesia Hipotesis Nol Eigenvalue r=0 0.270359 r≤1 0.208405 r≤2 0.096328 r≤3 0.029419
Trace statistics Max-eigen statistic 63.925440 * 29.629110 * 34.296330 * 21.968330 * 12.328000 9.521158 2.806846 2.806846
Keterangan: * adalah hipotesis nol ditolak pada taraf nyata 5%
Persamaan kointegrasi menunjukkan hubungan keseimbangan jangka panjang (LR) antara harga beras grosir antar kota pelabuhan besar di Indonesia. Tabel 20 menampilkan persamaan kointegrasi (Cointegration Equation/CE) jangka panjang harga beras di tingkat pedagang besar antar kota pelabuhan besar di Indonesia. Dari Tabel tersebut, terlihat adanya hubungan jangka panjang antara harga beras grosir di Jakarta (HBGJKT) dengan Medan (HBGMDN) dan Makasar (HBGMKS), serta harga beras grosir di Surabaya (HBGSRBY) dengan Medan (HBGMDN). Tabel 20 Persamaan kointegrasi jangka panjang untuk pasar beras grosir antar kota pelabuhan besar di Indonesia Persamaan Persamaan Variabel Kointegrasi 1 (CE 1) Kointegrasi 2 (CE 2) HBGJKT(-1) 1.00000 0.00000 HBGSRBY(-1) 0.00000 1.00000 HBGMDN(-1) 1.06692 * 1.03038 * HBGMKS(-1) 0.30060 * 0.07668 C -10.44592 -6.28821 Keterangan: * adalah hipotesis nol ditolak pada taraf nyata 5%
Hasil estimasi VECM pada model pasar beras grosir antar kota pelabuhan besar di Indonesia dapat dilihat pada Lampiran 4 Secara ringkas, Tabel 21 memperlihatkan hasil koefisien model VECM persamaan integrasi pasar spasial komoditas beras untuk kota-kota pelabuhan besar di Indonesia. Nilai t-hitung yang diperoleh dibandingkan dengan nilai t-tabel, di mana nilai yang digunakan adalah tingkat kepercayaan 5 persen (t-tabel=1.96) dan 10 persen (t-tabel=1.67).
97
Apabila nilai t-hitung yang diperoleh lebih besar dari nilai t-tabel, maka dapat dikatakan bahwa variabel tersebut berpengaruh signifikan. Tabel 21 menjelaskan bahwa pada pasar beras grosir antar kota pelabuhan besar di Indonesia, koefisien ECT yang nyata dalam mempengaruhi harga beras saat ini adalah di wilayah Jakarta, Surabaya, dan Medan. Hal ini mengindikasikan pentingnya hubungan kointegrasi jangka panjang dalam proses penentuan harga pasar beras antar kota pelabuhan besar ini. Kecepatan penyesuaian ke arah keseimbangan jangka panjang terjadi di Jakarta, Surabaya, dan Medan, namun pasar beras grosir di Jakarta lebih cepat penyesuaian ke arah keseimbangan harga jangka panjang dibandingkan dengan pasar beras lainnya dengan koefisien ECT sebesar 0.35. Tabel 21 Hasil uji model VECM untuk pasar beras grosir antar kota pelabuhan besar di Indonesia Koreksi Galat Pers. Kointegrasi 1 Pers. Kointegrasi 2 D(HBGJKT(-1)) D(HBGSRBY(-1)) D(HBGMDN(-1)) D(HBGMKS(-1)) C
D(HBGJKT) -0.36426 ** 0.34984 ** 0.30009 ** -0.09176 0.06361 0.11494 0.03850
D(HBGSRBY) D(HBGMDN) 0.00523 -0.17272 ** 0.09758 0.19619 * -0.10126 -0.02843 0.00242
0.10992 0.25219 ** 0.12704 -0.11788 -0.22407 ** 0.11806 0.02375
D(HBGMKS) 0.14325 0.06367 0.26278 ** -0.04384 0.01854 -0.09859 0.07463
Keterangan: * adalah hipotesis nol ditolak pada taraf nyata 10%, ** adalah hipótesis nol ditolak pada taraf nyata 5%.
Dalam Tabel 21 tersebut, setiap kolom menunjukkan perubahan harga per wilayah (D(HBGJKT), D(HBGSRBY), D(HBGMDN), D(HBGMKS)). Koefisien baris (D(HBGJKT(-1)), D(HBGSRBY(-1)), D(HBGMDN(-1)), D(HBGMKS(-1))) menunjukkan besaran penyesuaian yang disebabkan perubahan harga beras jangka pendek pada 1 periode sebelumnya dalam berbagai wilayah terhadap perubahan harga pada saat ini. Di kota Jakarta, perubahan harga beras grosir saat ini dipengaruhi oleh hubungan keseimbangan jangka panjang dan perubahan harga beras grosir 1 bulan sebelumnya di kota Jakarta itu sendiri. Di kota Surabaya, perubahan harga beras grosir saat ini dipengaruhi oleh hubungan keseimbangan jangka panjang dan
98
perubahan harga beras grosir 1 bulan sebelumnya di kota Surabaya. Di kota Medan, perubahan harga beras grosir saat ini dipengaruhi oleh hubungan keseimbangan jangka panjang dan perubahan harga beras grosir 1 bulan sebelumnya di kota Medan itu sendiri. Di kota Makasar, perubahan harga beras grosir saat ini hanya dipengaruhi oleh perubahan harga beras grosir 1 bulan sebelumnya di kota Jakarta. Penting diperhatikan bahwa dalam jangka pendek, harga beras grosir di Jakarta, Surabaya, dan Medan dipengaruhi oleh harga beras grosir di masing-masing wilayah tersebut. Gambar 15 menampilkan grafik Impulse Response (IR) untuk pasar beras grosir di Wilayah Jakarta, Surabaya, Medan, dan Makasar akibat adanya perubahan atau shock berupa kenaikan satu standar deviasi dari suatu variabel dalam sistem. Pada baris pertama adalah Impulse Response untuk harga beras grosir di Jakarta, baris kedua adalah Impulse Response untuk harga beras grosir di Surabaya, baris ketiga adalah Impulse Response untuk harga beras grosir di Medan, dan baris keempat adalah Impulse Response untuk harga beras grosir di Makasar. Periode yang digunakan dalam analisis adalah 12 periode (1 periode sama dengan 1 bulan), artinya respon suatu variabel berlaku sampai 12 bulan mendatang.
Shock harga beras grosir di Jakarta akan menyebabkan kenaikan sangat besar pada harga beras di kota Jakarta itu sendiri pada awal periode, sedikit meningkat sampai bulan ke 2, selanjutnya mengalami penurunan cukup signifikan sampai periode ke 8 untuk kemudian relatif stabil sampai akhir periode. Sementara shock harga beras di kota lainnya tidak mempengaruhi harga beras di Jakarta pada bulan pertama. Setelah periode awal, semua harga beras di Suarabaya, Medan, dan Makasar berpengaruh positif terhadap harga beras di Jakarta. Hal ini terlihat dari tren yang meningkat sampai akhir periode. Harga beras di Surabaya berpengaruh lebih besar terhadap harga beras di Jakarta dibandingkan dua kota lainnya. Sementara, pada akhir periode, harga beras di Medan dan Makasar menyebabkan kenaikan yang relatif sama terhadap harga beras grosir di Jakarta.
99
Shock harga beras grosir di Surabaya akan menyebabkan kenaikan cukup besar pada harga beras di kota Surabaya itu sendiri pada awal periode, selanjutnya mengalami penurunan sampai bulan ke 6 untuk kemudian stabil sampai akhir periode. Shock harga beras grosir di Jakarta juga menyebabkan kenaikan cukup besar pada harga beras di kota Surabaya, sedikit meningkat sampai bulan ke 2, mengalami penurunan secara perlahan sampai bulan ke 5 untuk kemudian stabil sampai akhir periode. Shock harga beras di Medan dan Makasar tidak berpengaruh terhadap harga beras di Surabaya pada awal periode. Pada periode selanjutnya,
shock harga di dua kota tersebut memiliki pengaruh yang relatif positif. Hal ini terlihat dari tren yang meningkat sampai akhir periode pada grafik IRF Gambar 15 namun shock harga beras di Medan berpengaruh lebih besar terhadap harga beras di Surabaya dibandingkan shock harga beras di Makasar.
100 Response to Cholesky One S.D. Innovations Response of HBGJKT to HBGJKT
Response of HBGJKT to HBGSRBY
Response of HBGJKT to HBGMDN
Response of HBGJKT to HBGMKS
1.6
1.6
1.6
1.6
1.2
1.2
1.2
1.2
0.8
0.8
0.8
0.8
0.4
0.4
0.4
0.4
0.0
0.0
0.0
0.0
-0.4
-0.4
-0.4
-0.4
-0.8
-0.8 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12
Response of HBGSRBY to HBGJKT
-0.8 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12
-0.8 1
Response of HBGSRBY to HBGSRBY
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12
1
Response of HBGSRBY to HBGMDN
1.6
1.6
1.6
1.2
1.2
1.2
1.2
0.8
0.8
0.8
0.8
0.4
0.4
0.4
0.4
0.0
0.0
0.0
0.0
-0.4
-0.4
-0.4
-0.4
-0.8 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12
-0.8 1
Response of HBGMDN to HBGJKT
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12
1
Response of HBGMDN to HBGMDN
1.6
1.6
1.6
1.2
1.2
1.2
1.2
0.8
0.8
0.8
0.8
0.4
0.4
0.4
0.4
0.0
0.0
0.0
0.0
-0.4
-0.4
-0.4
-0.4
-0.8 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12
-0.8 1
Response of HBGMKS to HBGJKT
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12
1
Response of HBGMKS to HBGMDN
1.6
1.6
1.6
1.2
1.2
1.2
1.2
0.8
0.8
0.8
0.8
0.4
0.4
0.4
0.4
0.0
0.0
0.0
0.0
-0.4
-0.4
-0.4
-0.4
-0.8 1
2
3
4
5
6
7
8
Gambar 15
9
10 11 12
-0.8 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12
7
8
9
10 11 12
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12
Response of HBGMKS to HBGMKS
1.6
-0.8
6
-0.8 1
Response of HBGMKS to HBGSRBY
5
Response of HBGMDN to HBGMKS
1.6
-0.8
4
-0.8 1
Response of HBGMDN to HBGSRBY
3
Response of HBGSRBY to HBGMKS
1.6
-0.8
2
-0.8 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12
Hasil impulse response function (IRF) untuk model VECM pasar beras grosir antar kota-kota pelabuhan besar di Indonesia (Jakarta, Surabaya, Medan, dan Makasar).
Shock harga beras grosir di Medan akan menyebabkan kenaikan sangat besar pada harga beras di kota Medan itu sendiri pada awal periode, selanjutnya mengalami penurunan cukup signifikan sampai bulan ke 4 untuk kemudian relatif stabil sampai akhir periode. Shock harga beras di Jakarta menyebabkan sedikit kenaikan pada harga beras di Medan, memiliki tren yang meningkat sampai bulan ke 4, sedikit menurun sampai bulan ke 8 untuk kemudian stabil sampai akhir periode. Shock harga beras di Surabaya menyebabkan sedikit penurunan pada harga beras di Medan, selanjutnya memiliki tren yang meningkat sampai bulan ke
101
6 untuk kemudian relatif stabil sampai akhir periode. Sementara shock harga beras di Makasar memberikan sedikit kenaikan sampai bulan ke 3, selanjutnya shock harga tersebut relatif tidak memberikan pengaruh terhadap harga beras di Medan sampai akhir periode.
Shock harga beras grosir di Makasar menyebabkan kenaikan cukup besar pada harga beras di kota Makasar itu sendiri pada awal periode, kemudian trennya sedikit menurun sampai bulan ke 3 untuk kemudian stabil sampai akhir periode. Dalam 12 bulan ini, tren pengaruh shock harga beras Jakarta dan Surabaya terhadap harga beras di Makasar relatif meningkat, namun pengaruh shock harga beras di Jakarta lebih besar dibandingkan shock harga beras Surabaya. Sementara, pada periode yang sama, shock harga beras di Medan memberikan pengaruh yang negatif terhadap harga beras di Makasar. Hal ini diduga karena Medan dan Makasar memperoleh pasokan beras dari daerah yang sama. Tabel 22 menunjukkan hasil analisis Variance Decomposition untuk kota Jakarta, Surabaya, Medan, dan Makasar selama 12 periode mendatang. Tabel tersebut menjelaskan bahwa dalam 12 bulan mendatang, variasi harga beras di Jakarta dapat dijelaskan oleh dirinya sendiri sebesar 61.5 persen, 28.3 persen oleh harga beras Surabaya, 3 persen oleh harga beras Medan, dan 7.1 persen oleh harga beras Makasar. Sedangkan, variasi harga beras di Surabaya dapat dijelaskan oleh dirinya sendiri sebesar 49.8 persen, 35.9 persen oleh harga beras Jakarta, 13.6 persen oleh harga beras Medan, dan 0.7 persen oleh harga beras Makasar. Variasi harga beras di Medan dapat dijelaskan oleh dirinya sendiri sebesar 40.4 persen, 30.6 persen oleh harga beras Jakarta, 28.9 persen oleh harga beras Surabaya, dan 0.1 persen oleh harga beras Makasar. Untuk kota Makasar, variasi harga beras di Makasar dapat dijelaskan oleh dirinya sendiri sebesar 62.3 persen, 25 persen oleh harga beras Jakarta, 6.3 persen oleh harga beras Surabaya, dan 6.4 persen oleh harga beras Medan.
102
Tabel 22 Hasil forecast error variance decomposition (FEVD) untuk model VECM pasar beras grosir di kota Jakarta, Surabaya, Medan, dan Makasar Standar Deviasi A. Kota Jakarta 1 1.4643 2 2.1817 3 2.6804 4 3.0554 5 3.3552 6 3.6026 7 3.8147 8 4.0042 9 4.1795 10 4.3457 11 4.5053 12 4.6598 B. Kota Surabaya 1 1.0135 2 1.5072 3 1.8287 4 2.0736 5 2.2817 6 2.4683 7 2.6408 8 2.8025 9 2.9555 10 3.1011 11 3.2402 12 3.3736 C. Kota Medan 1 1.3819 2 1.5659 3 1.7772 4 1.9669 5 2.1528 6 2.3258 7 2.4858 8 2.6341 9 2.7728 10 2.9039 11 3.0288 12 3.1485
Periode
HBEJKT HBESRBY HBEMDN HBEMKS 100.0000 96.6892 91.5573 85.2523 79.4182 74.7113 71.0803 68.2758 66.0663 64.2786 62.7911 61.5218
0.0000 1.1639 5.1649 10.7115 15.8864 19.8432 22.6080 24.5013 25.8377 26.8403 27.6458 28.3299
0.0000 0.2734 0.2005 0.2008 0.3003 0.5667 0.9740 1.4509 1.9246 2.3529 2.7223 3.0359
0.0000 1.8736 3.0774 3.8354 4.3950 4.8788 5.3378 5.7720 6.1714 6.5282 6.8408 7.1125
22.2097 28.2125 30.7760 32.3172 33.2715 33.9548 34.4712 34.8761 35.1995 35.4622 35.6794 35.8618
77.7903 71.3308 66.2937 62.1755 58.9396 56.5065 54.6644 53.2451 52.1232 51.2141 50.4611 49.8261
0.0000 0.4285 2.8782 5.3457 7.5063 9.1502 10.3932 11.3432 12.0910 12.6964 13.1984 13.6223
0.0000 0.0282 0.0521 0.1617 0.2827 0.3885 0.4713 0.5356 0.5863 0.6273 0.6612 0.6897
0.7412 9.9571 17.8110 23.4571 26.5047 28.0932 28.9295 29.4305 29.7846 30.0736 30.3275 30.5554
0.5568 0.7189 3.2429 7.9292 12.9300 17.2477 20.6185 23.1754 25.1263 26.6550 27.8929 28.9267
98.7020 88.9223 78.6287 68.3498 60.3437 54.4674 50.2820 47.2412 44.9500 43.1439 41.6620 40.4086
0.0000 0.4018 0.3175 0.2639 0.2216 0.1917 0.1700 0.1529 0.1390 0.1274 0.1177 0.1093
103
Lanjutan Tabel 23 Hasil forecast error variance decomposition (FEVD) untuk model VECM pasar beras grosir di kota Jakarta, Surabaya, Medan, dan Makasar Periode Standar Deviasi HBEJKT HBESRBY HBEMDN HBEMKS D. Kota Makasar 1 1.5475 4.2690 0.2135 0.1523 95.3652 2 2.2141 16.9328 0.3057 2.2424 80.5191 3 2.7952 22.1028 0.8676 3.1595 73.8702 4 3.3043 24.4325 1.8576 4.3076 69.4023 5 3.7472 25.2950 2.9653 5.0819 66.6578 6 4.1398 25.5088 3.9376 5.6025 64.9512 7 4.4919 25.4774 4.6870 5.9125 63.9230 8 4.8136 25.3718 5.2298 6.0960 63.3024 9 5.1121 25.2621 5.6176 6.2064 62.9139 10 5.3926 25.1699 5.9004 6.2784 62.6512 11 5.6586 25.0984 6.1153 6.3307 62.4556 12 5.9127 25.0437 6.2863 6.3727 62.2973
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa pasar beras di tingkat grosir di 4 kota pelabuhan besar di Indonesia tidak terintegrasi secara penuh. Persamaan kointegrasi menunjukkan bahwa tidak ada hubungan jangka panjang antara pasar beras di Makasar dengan pasar beras di Surabaya. Ini berarti harga beras di Makasar tidak menjadi harga referensi bagi harga beras di Surabaya. Hal tersebut juga diperkuat dari hasil analisis VECM, bahwa dalam jangka pendek dan jangka panjang, pasar beras grosir di 4 kota pelabuhan besar di Indonesia memiliki tingkat integrasi yang sangat lemah, yang ditunjukkan dari nilai koefisien model yang lebih kecil dari satu.
5.2.
Integrasi Pasar Vertikal Integrasi pasar vertikal menunjukkan perubahan harga di satu pasar akan
direfleksikan pada perubahan harga di pasar lain secara vertikal dalam produk yang sama. Dalam kasus beras, integrasi pasar vertikal dapat terjadi, jika terdapat perubahan harga gabah di tingkat petani kemudian diikuti oleh perubahan harga di tingkat pedagang besar, dan perubahan harga besar di tingkat konsumen. Dengan demikian antara satu pasar dengan pasar lainnya memiliki keterkaitan, di mana informasi harga akan diperoleh secara akurat dan ini akan membuat pergerakan
104
beras menjadi lebih efisien. Dalam studi ini akan dianalisis integrasi pasar vertikal untuk harga beras nasional tingkat produsen, pedagang besar, dan konsumen. Tahap pertama yang dilakukan adalah memeriksa stasioneritas data deret waktu di setiap tingkat harga. Untuk itu digunakan uji ADF (Augmented Dickey-
Fuller) baik untuk model dengan konstanta maupun dengan/tanpa tren. Hasil uji ADF untuk deret harga riil beras medium nasional pada level dan first difference disajikan pada Tabel 23. Jika diuji menggunakan konstanta tanpa tren (panel A) maupun konstanta dengan tren (panel B), semua deret harga riil tidak stasioner pada tingkat level. Untuk uji ADF deret harga pada first difference, hipotesis nol adanya unit root ditolak pada taraf nyata 1%, baik jika menggunakan konstanta tanpa tren maupun menggunakan konstanta dengan tren. Dengan demikian, semua deret harga adalah terintegrasi pada ordo satu, yang dilambangkan dengan I(1) (Engle dan Granger, 1987). Karena pada panel A dan B hipotesis nol adanya unit
root ditolak pada taraf nyata 1%, maka untuk integrasi pasar vertikal beras nasional dapat digunakan model dengan konstanta tanpa tren atau dengan tren. Tahap selanjutnya adalah memeriksa kestabilan model, menentukan lag optimum, dan memeriksa kointegrasi. Model VAR untuk pasar vertikal beras nasional akan stabil sampai lag 12, sementara pada lag 13 model VAR sudah tidak stabil. Artinya, lag optimum yang akan dipilih berkisar antara lag 1 sampai dengan lag 12. Tabel 24 Uji unit root ADF untuk sistem persamaan integrasi pasar vertikal beras nasional (harga dalam natural log) Variabel pada Variabel pada Variabel pada Variabel pada Level first difference Level first difference No. Harga Beras Nasional Jumlah ADF Jumlah ADF test Jumlah ADF Jumlah ADF test lag test lag lag test lag C. Konstanta tanpa tren D. Konstanta dengan tren 1 Tingkat Produsen 2 -0.13 1 -9.27 ** 2 -1.55 1 -9.37 ** (GKPNAS) 2 Tingkat Pedagang 0 -0.63 0 -8.03 ** 0 -1.46 0 -8.07 ** Besar (HBGNAS) 3 Tingkat Konsumen 1 -1.24 1 -6.91 ** 1 -2.19 1 -6.93 ** (HBENAS) a) Jumlah lag optimal dipilih pada nilai SIC (Schwarz’s Information Criteria) minimum. b) Test ADF dibandingkan dengan nilai Tabel MacKinnon, dimana ** dan * adalah tolak hipotesis nol bahwa variabel tersebut mengandung unit root pada taraf nyata 1% dan 5%.
105
Tabel 25 Penentuan lag optimal untuk model pasar vertikal beras nasional Lag 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
LogL 368.5885 573.7255 583.6400 607.2644 611.2854 613.3252 620.5259 622.6789 631.2117 636.8647 648.3042 653.4021 666.2378
LR NA 390.737 18.177 41.624 * 6.797 3.303 11.144 3.178 11.987 7.537 14.436 6.069 14.364
FPE 3.33E-08 3.12E-10 3.06E-10 2.16E-10 * 2.44E-10 2.90E-10 3.06E-10 3.65E-10 3.76E-10 4.17E-10 4.06E-10 4.62E-10 4.42E-10
AIC -8.7045 -13.3744 -13.3962 -13.7444 * -13.6258 -13.4601 -13.4173 -13.2543 -13.2431 -13.1635 -13.2215 -13.1286 -13.2200
SC -8.6177 -13.0272 * -12.7885 -12.8762 -12.4973 -12.0711 -11.7678 -11.3443 -11.0728 -10.7326 -10.5303 -10.1769 -10.0078
HQ -8.6696 -13.2348 -13.1519 -13.3954 * -13.1722 -12.9017 -12.7542 -12.4865 -12.3707 -12.1863 -12.1397 -11.9421 -11.9287
Keterangan: * adalah hipotesis nol ditolak pada taraf nyata 5%
Tabel 24 menampilkan kandidat lag optimal untuk model pasar vertikal untuk beras nasional. Karena keterbatasan data, maka lag optimum yang akan digunakan adalah pada tingkat lag 1, yaitu berdasarkan kriteria informasi SC. Selanjutnya Tabel 25 menunjukkan hasil uji kointegrasi untuk model pasar vertikal beras nasional. Artinya, pada model ini terdapat satu vektor kointegrasi atau kombinasi linier yang stasioner. Tabel 26 Hasil uji kointegrasi untuk model pasar vertikal beras nasional Hipotesis Nol r=0 r≤1 r≤2
Eigenvalue 0.242622 0.090420 0.013064
Trace statistics
Max-eigen statistic
36.266670 * 10.144730 1.236154
26.121940 * 8.908579 1.236154
Keterangan: * adalah hipotesis nol ditolak pada taraf nyata 5%
Tabel
26
menampilkan
persamaan
kointegrasi
(Cointegration
Equation/CE) jangka panjang untuk model pasar vertikal beras nasional. Terlihat adanya hubungan keseimbangan jangka panjang antara pasar beras di tingkat pedagang besar dan di tingkat konsumen dengan pasar beras di tingkat produsen (petani).
106
Tabel 27 Persamaan kointegrasi jangka panjang untuk model pasar vertikal beras nasional Variabel
Persamaan Kointegrasi 1
GKPNAS(-1) HBGNAS(-1) HBENAS(-1) C
1.00000 0.59659 0.62015 -1.47699
* * *
Keterangan: * adalah hipotesis nol ditolak pada taraf nyata 5%
Hasil estimasi VECM pada model pasar vertikal beras nasional dapat dilihat pada Lampiran 5. Secara ringkas, Tabel 27 memperlihatkan hasil koefisien model VECM persamaan integrasi pasar vertikal beras nasional. Nilai t-hitung yang diperoleh dibandingkan dengan nilai t-tabel, di mana nilai yang digunakan adalah tingkat kepercayaan 5 persen (t-tabel=1.96) dan 10 persen (t-tabel=1.67). Apabila nilai t-hitung yang diperoleh lebih besar dari nilai t-tabel, maka dapat dikatakan bahwa variabel tersebut berpengaruh signifikan. Pada pasar vertikal beras nasional, dihasilkan koefisien ECT masingmasing pelaku yaitu untuk harga di tingkat produsen sebesar -0.217, harga di tingkat pedagang besar sebesar 0.127, dan harga di tingkat konsumen sebesar 0.165. Pengaruh dari masing-masing ECT kecil karena hanya bernilai kurang dari
satu, dan hanya koefisien ECT di tingkat harga pedagang besar dan konsumen yang secara nyata mempengaruhi perubahan harga yang berlaku yang saat ini pada tingkat kepercayaan 5 persen. Tabel 28 Hasil uji model VECM untuk model pasar vertikal beras nasional Koreksi Galat Pers. Kointegrasi 1 D(GKPNAS(-1)) D(HBGNAS(-1)) D(HBENAS(-1))
D(GKPNAS) -0.21745 0.28588 * 0.46086 -0.73650 *
D(HBGNAS) D(HBENAS) 0.12675 ** 0.16538 ** -0.02265 0.06020 -0.14738 0.19499 0.41999 ** -0.05512
Keterangan: * adalah hipotesis nol ditolak pada taraf nyata 10%, ** adalah hipótesis nol ditolak pada taraf nyata 5%.
Dalam Tabel 30 tersebut, setiap kolom menunjukkan perubahan harga per wilayah
(D(GKPNAS),
D(HBGNAS),
D(HBENAS)).
Koefisien
baris
107
(D(GKPNAS(-1)), D(HBGNAS(-1)), D(HBENAS(-1))) menunjukkan besaran penyesuaian yang disebabkan perubahan harga beras jangka pendek pada 1 periode sebelumnya dalam berbagai tingkatan harga terhadap perubahan harga pada saat ini. Untuk harga gabah kering panen nasional (GKPNAS), perubahan harga beras saat ini dipengaruhi oleh perubahan harga beras 1 bulan sebelumnya di tingkat petani dan konsumen. Untuk harga beras grosir nasional (HBGNAS), perubahan harga beras saat ini dipengaruhi oleh hubungan keseimbangan jangka panjang dan perubahan harga beras 1 bulan sebelumnya di tingkat konsumen. Untuk harga beras eceran nasional (HBENAS), perubahan harga beras saat ini hanya dipengaruhi oleh hubungan keseimbangan jangka panjang. Gambar 16 menampilkan grafik Impulse Response (IR) untuk model pasar vertikal beras nasional akibat adanya perubahan atau shock berupa kenaikan satu standar deviasi dari suatu variabel dalam sistem. Pada baris pertama adalah Impulse Response untuk harga beras nasional di tingkat petani, baris kedua adalah Impulse Response untuk harga beras nasional di tingkat pedagang besar, dan baris ketiga adalah Impulse Response untuk harga beras nasional di tingkat konsumen. Periode yang digunakan dalam analisis adalah 12 periode (1 periode sama dengan 1 bulan), artinya respon suatu variabel berlaku sampai 12 bulan mendatang.
108 Response to Cholesky One S.D. Innovations Response of GKPNAS to GKPNAS
Response of GKPNAS to HBGNAS
Response of GKPNAS to HBENAS
.06
.06
.06
.05
.05
.05
.04
.04
.04
.03
.03
.03
.02
.02
.02
.01
.01
.01
.00
.00
.00
-.01
-.01
-.01
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
1
2
Response of HBGNAS to GKPNAS
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
1
Response of HBGNAS to HBGNAS .06
.06
.05
.05
.05
.04
.04
.04
.03
.03
.03
.02
.02
.02
.01
.01
.01
.00
.00
.00
-.01
-.01
-.01
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
1
2
Response of HBENAS to GKPNAS
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
1
.06
.05
.05
.05
.04
.04
.04
.03
.03
.03
.02
.02
.02
.01
.01
.01
.00
.00
.00
-.01
-.01
-.01
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
4
5
6
7
8
9
10
11
12
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Response of HBENAS to HBENAS
.06
2
2
Response of HBENAS to HBGNAS
.06
1
3
Response of HBGNAS to HBENAS
.06
1
2
12
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Gambar 16 Hasil impulse response function (IRF) untuk model VECM pasar vertikal beras nasional.
Shock harga beras grosir di tingkat petani akan menyebabkan kenaikan sangat besar pada harga beras di tingkat petani itu sendiri pada awal periode, sedikit meningkat sampai bulan ke 2, selanjutnya mengalami penurunan cukup signifikan sampai periode ke 5 untuk kemudian relatif stabil sampai akhir periode. Sementara shock harga beras di tingkat pedagang besar dan konsumen tidak mempengaruhi harga beras di tingkat petani pada bulan pertama. Setelah periode awal, shock harga beras di tingkat pedagang besar menyebabkan kenaikan harga gabah di tingkat petani sampai akhir periode. Sementara, walaupun shock harga beras di tingkat konsumen sempat menyebabkan penurunan harga gabah di tingkat petani, namun mulai bulan ke 4 shock harga di konsumen menyebabkan kenaikan harga gabah di tingkat petani. Dari gambar tersebut terlihat bahwa shock harga
109
beras di tingkat pedagang besar menyebabkan kenaikan yang lebih besar terhadap harga gabah di petani dibandingkan shock harga di tingkat konsumen.
Shock harga beras grosir di tingkat pedagang besar akan menyebabkan kenaikan cukup besar pada harga beras di tingkat pedagang besar itu sendiri pada awal periode, sedikit menurun sampai bulan ke 5 untuk kemudian stabil sampai akhir periode. Shock harga GKP juga akan menyebabkan kenaikan cukup besar terhadap harga beras grosir pada awal periode, trennya terus meningkat, bahkan setelah mencapai kestabilan baru, efeknya lebih besar dibandingkan shock yang disebabkan oleh harga grosir itu sendiri. Sementara, dampak dari shock harga beras eceran tidak terlalu besar terhadap harga beras grosir, dibandingkan dua
shock harga lainnya. Meskipun sempat berfluktuasi sampai bulan ke 3, namun secara umum, shock harga beras eceran tersebut cenderung menyebabkan penurunan harga beras grosir.
Shock harga beras eceran di tingkat konsumen akan menyebabkan kenaikan pada harga beras eceran itu sendiri di awal periode, sedikit menurun sampai bulan ke 6 untuk kemudian stabil sampai akhir periode. Shock harga GKP juga akan menyebabkan kenaikan cukup besar terhadap harga beras eceran pada awal periode, trennya terus meningkat, bahkan setelah mencapai kestabilan baru, efeknya lebih besar dibandingkan shock yang disebabkan oleh harga eceran itu sendiri. Shock harga beras grosir juga menyebabkan kenaikan pada harga beras eceran di awal periode, pengaruhnya relatif stabil sampai akhir periode. Tabel 28 menunjukkan hasil analisis Variance Decomposition untuk harga gabah kering panen nasional (GKPNAS), harga beras grosir nasional (HBGNAS), dan harga beras eceran nasional (HBENAS) selama 12 periode mendatang. Tabel tersebut menjelaskan bahwa dalam 12 bulan mendatang, variasi harga GKP dapat dijelaskan oleh dirinya sendiri sebesar 92.5 persen, 6.8 persen oleh harga beras grosir, dan 0.7 persen oleh harga beras eceran. Sementara, variasi harga beras grosir dapat dijelaskan oleh dirinya sendiri sebesar 24.7 persen, 74.9 persen oleh harga GKP, dan 0.4 persen oleh harga beras eceran. Dan, variasi harga beras eceran dapat dijelaskan oleh dirinya sendiri sebesar 6.6 persen, 88.7 persen oleh harga GKP, dan 4.7 persen oleh harga beras grosir.
110
Tabel 29 Hasil forecast error variance decomposition (FEVD) model VECM pasar vertikal beras nasional untuk harga gabah kering panen (GKPNAS), harga beras grosir (HBGNAS), dan harga beras eceran (HBENAS) Periode Standar Deviasi GKPNAS HBGNAS HBENAS A. Harga Gabah Kering Panen 1 0.0560 100.0000 0.0000 0.0000 2 0.0814 98.4919 0.4898 1.0183 3 0.0942 97.9285 1.2174 0.8541 4 0.1027 97.0100 2.2662 0.7238 5 0.1097 95.9876 3.3054 0.7070 6 0.1162 95.0936 4.1810 0.7254 7 0.1225 94.3957 4.8656 0.7387 8 0.1286 93.8589 5.3997 0.7414 9 0.1345 93.4324 5.8291 0.7386 10 0.1402 93.0795 6.1862 0.7343 11 0.1456 92.7789 6.4908 0.7303 12 0.1508 92.5182 6.7547 0.7271 B. Harga Beras di Tingkat Grosir 1 0.0206 20.0898 79.9102 0.0000 2 0.0321 36.2133 61.6815 2.1053 3 0.0438 51.9793 46.8397 1.1810 4 0.0543 61.2536 37.9572 0.7893 5 0.0635 66.3838 32.9598 0.6564 6 0.0714 69.3198 30.0873 0.5929 7 0.0785 71.1299 28.3216 0.5486 8 0.0849 72.3481 27.1392 0.5127 9 0.0908 73.2352 26.2811 0.4837 10 0.0963 73.9199 25.6196 0.4605 11 0.1016 74.4683 25.0898 0.4419 12 0.1066 74.9182 24.6550 0.4268 C. Harga Beras di Tingkat Eceran 1 0.0199 34.3141 18.6791 47.0068 2 0.0340 58.9524 13.4609 27.5867 3 0.0467 72.0567 9.6362 18.3071 4 0.0578 78.8516 7.5935 13.5549 5 0.0672 82.4783 6.4951 11.0266 6 0.0753 84.5652 5.8726 9.5622 7 0.0825 85.8717 5.4897 8.6386 8 0.0890 86.7640 5.2314 8.0046 9 0.0951 87.4209 5.0421 7.5371 10 0.1009 87.9309 4.8950 7.1741 11 0.1063 88.3409 4.7766 6.8825 12 0.1115 88.6780 4.6791 6.6429
111
Dari hasil analisis VECM di atas, dapat disimpulkan bahwa terjadi integrasi pasar vertikal, dimana terjadi transmisi harga gabah di tingkat petani ke harga beras konsumen, dan sebaliknya dari harga beras konsumen ke harga gabah petani, namun respons perubahan harga beras konsumen lebih cepat jika terjadi perubahan harga gabah di tingkat petani. Oleh karena itu, kebijakan pemerintah yang mendorong kenaikan harga di tingkat petani akan meningkatkan harga beras di tingkat konsumen lebih tinggi lagi, sehingga mendorong kenaikan spread harga gabah dan beras.
112
Halaman ini sengaja dikosongkan
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1.
Kesimpulan Peran Bulog dalam pemasaran beras domestik dilakukan melalui kegiatan
operasi pasar murni yang bertujuan untuk mengendalikan agar harga beras domestik tidak naik terlalu tinggi sehingga masih dalam jangkauan konsumen. Peran lainnya adalah dalam pengadaan gabah atau beras domestik dengan mengendalikan agar harga gabah tidak jatuh terlalu rendah yang berakibat pada kerugian petani produsen. Dalam perkembangannya, dari tahun ke tahun terjadi gejolak harga gabah dan harga beras yang cukup bervariasi. Hal ini disebabkan penawaran dan permintaan beras yang bersifat inelastis. Dari hasil analisis perkembangan harga gabah dan beras di Indonesia dapat disimpulkan bahwa fluktuasi yang terjadi pada harga beras grosir dan harga beras eceran lebih kecil dibandingkan dengan fluktuasi yang terjadi pada harga gabah. Lebih jauh, volatilitas harga beras eceran dan grosir di berbagai pulau di Indonesia menunjukkan bahwa harga lebih sering berfluktuasi pada saat Bulog menjalankan fungsinya sebagai LPND daripada setelah berstatus sebagai Perum. Namun hal sebaliknya terjadi pada harga gabah nasional, yaitu harga lebih stabil pada saat Bulog menjalankan fungsinya sebagai LPND daripada setelah berstatus sebagai Perum. Ini menunjukkan bahwa kebijakan perberasan yang dilakukan pemerintah lebih berpihak kepada konsumen. Pemerintah lebih khawatir terhadap kenaikan harga beras di tingkat konsumen daripada turunnya harga gabah di tingkat petani. Instrumen kebijakan yang dilakukan pemerintah untuk meredam gejolak harga beras di tingkat konsumen meliputi subsidi kepada masyarakat miskin dan operasi pasar, sementara instrumen kebijakan untuk meredam turunnya harga gabah adalah penerapan haga pembelian pemerintah (HPP) dan operasi pembelian gabah di mana pembelian disesuaikan dengan kebutuhan, yamg seringkali tidak efektif. Kondisi ini diperparah oleh sifat harga gabah yang musiman atau jangka pendek, sementara fluktuasi harga beras bersifat tahunan atau jangka panjang. Dari hasil analisis pola spread antara harga gabah dan beras di Indonesia, dapat disimpulkan bahwa pola spread nominal secara nasional maupun antar
114
wilayah terus meningkat dari waktu ke waktu, namun fluktuasinya lebih baik ketika Bulog berfungsi sebagai Perum (2003-2008) daripada saat berfungsi sebagai LPND (1999-2002). Dari hasil analisis VECM untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi spread harga gabah dan beras, terlihat adanya hubungan keseimbangan jangka panjang antara jumlah pembelian beras (LJPB), jumlah pembelian gabah (LJPG), harga pembelian pemerintah untuk beras (LHPPB), harga pembelian pemerintah untuk gabah (LHPPG), harga BBM (LBBM), harga beras internasional (LHI), dan nilai tukar (LER) dengan spread harga gabah dan beras (LHGB). Hasil IRF menunjukkan bahwa jumlah pembelian beras, harga beras internasional, dan stok beras memiliki pengaruh yang paling besar terhadap spread harga gabah dan beras apabila terjadi shock sebesar satu standar deviasi. Hasil FEVD menunjukkan bahwa harga BBM, harga beras internasional, harga pembelian pemerintah untuk gabah, jumlah pembelian beras, dan stok beras yang dilakukan Bulog memiliki pengaruh yang semakin besar dari periode ke periode terhadap spread harga gabah dan beras. Sementara itu, distribusi beras yang dilakukan Bulog, indeks nilai tukar, harga pembelian pemerintah untuk beras, dan jumlah pembelian gabah yang dilakukan Bulog memberikan pengaruh yang semakin mengecil dari periode ke periode terhadap spread harga gabah dan beras. Hasil integrasi pasar spasial menunjukkan bahwa pasar beras di 12 kota besar di Indonesia tidak terintegrasi secara penuh. Persamaan kointegrasi menunjukkan bahwa ada hubungan jangka panjang antara pasar beras di Surabaya, Bandung, Lampung, Medan, Makasar, Semarang, Palembang, Mataram, Denpasar, dan Pontianak dengan pasar beras di Jakarta. Sementara pasar beras di Padang tidak memiliki keseimbangan jangka panjang dengan pasar beras di Jakarta. Ini berarti harga beras di Jakarta tidak menjadi harga referensi bagi harga beras di Padang. Selain itu, hasil integrasi pasar beras spasial di tingkat grosir untuk 4 kota pelabuhan besar di Indonesia juga tidak terintegrasi secara penuh. Persamaan kointegrasi menunjukkan bahwa ada hubungan jangka panjang antara harga beras grosir di Medan dan Makasar dengan pasar beras grosir di Jakarta, namun tidak ada hubungan jangka panjang antara pasar beras di Makasar dengan pasar beras di Surabaya. Ini berarti harga beras di Makasar tidak menjadi
115
harga referensi bagi harga beras di Surabaya. Hal tersebut juga diperkuat dari hasil analisis VECM, bahwa dalam jangka pendek dan jangka panjang, pasar beras eceran di 12 kota besar dan pasar beras grosir di 4 kota pelabuhan besar di Indonesia memiliki tingkat integrasi yang sangat lemah, yang ditunjukkan dari nilai koefisien model yang lebih kecil dari satu. Artinya, apabila terjadi perubahan di suatu wilayah akan mempengaruhi pergerakan harga beras di wilayah lainnya dengan perubahan yang sangat kecil (dilihat dari nilai koefisiennya yang lebih kecil dari satu). Di Indonesia, integrasi pasar vertikal juga terjadi, dimana terjadi transmisi harga gabah ke petani ke harga beras konsumen, dan sebaliknya dari harga beras konsumen ke harga gabah petani, namun respons perubahan harga beras konsumen akan lebih cepat terjadi jika ada shock harga gabah di tingkat petani. Oleh karenanya, pemerintah akan lebih efektif apabila mengendalikan harga gabah di tingkat petani karena akan direspon secara cepat oleh harga beras di tingkat konsumen.
6.2.
Saran Untuk menjaga kepentingan produsen (petani) dan konsumen beras, maka
kebijakan pemerintah dalam stabilisasi harga di masa yang akan datang harus berimbang, yaitu lebih memperhatikan produsen tanpa melupakan konsumen, yaitu memberikan jaminan harga gabah petani yang memadai terutama pada musim panen raya. Sedangkan bagi konsumen perlu adanya ketersediaan beras dengan kualitas yang baik dan harga terjangkau sepanjang tahun. Dalam upaya mengatasi pasar beras yang tidak terintegrasi secara sempurna, baik secara spasial maupun vertikal, pada masa yang akan datang pemerintah harus memperbaiki infrastuktur, memberantas penyelundupan beras, dan
melakukan
revisi
terhadap
peraturan-peraturan
yang
menghambat
perdagangan beras antar daerah dan antar pelaku (petani, pedagang, konsumen). Selain itu, Pemerintah harus melakukan pemantauan dan mengevaluasi sistem kerja Bulog setiap tahun untuk mengetahui kekurangan yang dihadapinya dalam melaksanakan program stabilisasi harga gabah dan harga beras, dan memberikan sanksi yang tegas bila terjadi penyelewengan kegiatan.
116
Analisis yang dilakukan dalam penelitian ini hanya dibatasi oleh pergerakan harga gabah dan beras, serta spread dan integrasi harga di antara keduanya. Sehingga, terlalu dini untuk menyatakan bahwa Bulog sebagai lembaga yang mengurusi beras nasional tidak efektif dalam menstabilkan harga gabah dan beras. Oleh karenanya, penelitian lanjutan mengenai performa, kinerja, dan peran Bulog dalam menstabilkan harga gabah dan beras menjadi hal yang menarik untuk dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
Amang, B dan M. H. Sawit. 2001. Kebijakan Beras dan Pangan Nasional: Pelajaran dari Orde Baru dan Orde Reformasi (Edisi kedua). IPB Press: Bogor. Anderson, K. dan Y. Hayami. 1986. The Political Economy of Agricultural Protection: East Asia in International Perspective. Allen and Unwin, London. Anggraeni, D. 2003. Analisis Perilaku Harga Beras Domestik Indonesia Tahun 1980-2002. Skripsi. Sekolah Tinggi Ilmu Statistik, Jakarta. Anwar, C. 2005. Prospek Karet Alam Indonesia di Pasar Internasional: Suatu Analisis Integrasi Pasar dan Keragaan Ekspor. Disertasi. Institut Pertanian Bogor. Ardeni, P. G. 1989. Does the Law of One Price Really Hold for Commodity Prices? American Journal of Agricultural Economics 71(2):661-669. Arifin, B. 2004. Penyediaan dan Aksesibilitas Ketahanan Pangan. Prosiding WKNPG VIII: Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta. Arifin, B., A. Munir, E. S. Hartati, dan Didik J. R. 2001. Food Security and Markets in Indonesia: State and Market Interaction in Rice Trade. Quezon City: MODE Inc. Azzaino, Z. 1984. Tataniaga Pertanian. Fakultas Pertanian, IPB. Bogor. Babu, S. dan P. Andersen. 2000. Achieving Food Security in Central Asia, Current Challenges and Policy Research Needs. Food Policy 25:629-635. Baharsyah, S. 1980. Aspek Tataniaga dalam Pengembangan Hortikultura. Makalah dalam Kongres Hortikultura Nasional. Malang. Barret, C. B. 2001. Masuring Integration and Efficiency in International Agricultural Markets. Agricultural Economics 23(1):19-32. Dahl, C. Dale, dan J.W. Hammond. 1977. Market and Price Analysis. Mc.GrawHill. David, C. 1997. Its Role in Price Stability and Food Security. Journal of Philippine Development 43(24). Dawson, P. J. and P. K. Dey. 2002. Testing for the Law of One Price: Rice Market Integration in Bangladesh. Journal of International Development 14(4):473-484.
118
Departemen Pertanian. 2005. Rencana Aksi Pemantapan Ketahanan Pangan. Departemen Pertanian, Jakarta. Dickey, A. D. dan W. A. Fuller. 1981. Likelihood Ratio Statistics for Autoregressive Time Series with a Unit Root. Econometrica 49(4):10571072. Djulin, A. 2004. Analisis Sistem Distribusi Gabah/Beras di Sumatera Barat. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Eele, G. 1994. Indicators for Food Security and Nutrition Monitoring. Food Policy 19 (3):314-328. Ellis, F. 1993. Private Trade and Public Role in Staple Food Marketing. Bulletin of Indonesian Economic Studies 29(1):105-123. Enders, W. 1995. Applied Econometrics Time Series. John Wiley & Sons Inc., New York. Engle, R. F. dan C. W. J. Granger. 1987. Cointegration and Error Correction: Representation, Estimation, and Testing. Econometrica 55(2):251-276. Faminow, M. D. dan B. L. Benson. 1990. Integration of Spatial Markets. American Journal of Agricultural Economics 72:49-62. FAO.2006. Rice Market Monitor 9(1). FEDS Staff. 1992. Improving Marketing System in Developing Countries, an Approach to Identifying Problems and Strengthening Technical Assistance. Foreign Economic Development Service, USDA. Goodwin, B. K. dan T. C. Schroeder. 1991. Cointegration Test and Spatial Price Linkages in Regional Cattle Markets. American Journal of Agricultural Economics 83(2):452-464. Hasan, I. 1986. Rice Marketing in Aceh : A Regional Analysis. Disertasi. Doktor dalam Ilmu Ekonomi pada Universitas Indonesia. Jakarta. Irawan, B. 1986. Kajian Pemasaran Menunjang Pengembangan Pertanian Lahan Kering di DAS Citanduy. Fakultas Pasca Sarjana, IPB. Bogor. Irawan, B. 2002. Stabilization of Upland Agriculture under El Nino-induced Climic Risk: Impact Assessment and Mitigation Measures in Indonesia. Working Paper 62. CPGRT Centre, Regional Coordination Centre for Research and Development of Coarse Grains, Plses, Root, and Tuber Crops in the Humid Tropics of Asia and the Pacific, Jakarta. Ismet, M. A. P. Barkley, dan R. V. Llewelyn. 1998. Government Intervention and Market Integration in Indonesian Rice Markets. Agricultural Economics 19:283-295.
119
Istiqomah et. al. 2005. Volatility and Integration of Rice Markets in Java Indonesia: A Comparative Analysis Before and After Trade Liberalization. Conference on International Agricultural Research for Development. Jamhari. 2004. Rice Market Liberalization and Price Stability in Indonesia. Tohoku Journal of Agricultural Research 54(3). Jhonston, J. 1984. Econometric Methods. Third Edition. New York: Mc GrawHill. Kasryno, F. 1984. Pemasaran Kedelai di Indonesia. Makalah Rapat Teknis Penelitian dan Pengembangan Kedelai. Pusat Penelitian Agro Ekonomi. Bogor. Kasryno, F., Simatupang, P., Pasandaran, E. dan Adiningsih, S. 2001. Reformulation of National Rice Policy. FAE 19(2):1-23. Lutkepohl, H. 1991. Introduction to Multiple Time Series Analysis. SpringerVerlag, New York. Maddala, G. S. 1977. Econometrics. New York: Mc Graw-Hill. Maxwell, D; C. Levin; M.A.Klemeseu; M.Rull; S.Morris dan C.Aliadeke. 2000. Urban Livelihoods and Food Nutrition Security in Greater Accra, Ghana. IFPRI in Collaborative with Noguchi Memorial for Medical Research and World Health Organization. Research Report No. 112. Washington, D.C. McCulloch, N. and C. P. Timmer. 2008. Special Issue: Rice Policy in Indonesia. Bulletin of Indonesian Economic Studies 44(1). Mohanty, S., E. W. P. Peterson, dan D. B. Smith. 1996. Relationship between U.S. and Canadian Wheat Prices: Cointegration and Error Correction Approach. Canadian Journal of Agricultural Economics 44:285-276. Nagubadi, V., I. A. Munn dan A. Tahai. 2001. Integration of Harwood Stumpage Markets in the Southcentral United States. Journal of Forest Economics 7(1):69-98. Natawidjaya, R. S. 2001. Dinamika Pasar Beras Domestik. Dalam Bunga Rampai Ekonomi Beras. LPEM-UI, Jakarta. Nicholson, W. 2001. Microeconomic Theory: Basic Principles and Extensions. South-Western College. Paasch, A., Garders, F., Hirsch, T. 2007. Trade Policies and Hunger: the Impact of Trade Liberalization on the Right to Food for Rice Farming Communities in Ghana Honduras and Indonesia. Pindyck, R. S. dan D. L. Rubinfield. 1994. Microeconomics. Third Edition. Prentice Hall, Englewood Cliffs, New Jersey.
120
Rachman, B, S. H. Susilowati, H. Marlian, dan K. Kariyasa. 2000, Dinamika dan Prospek Harga dan Perdagangan Komoditas Pertanian dalam “Analisis Kebijakan Pembangunan Pertanian: Respon terhadap Isu Aktual”. Departemen Pertanian. Rao C. H. H. dan K. Subbarao. 1987. Marketing of Rice in India. An Analysis of the Impact of producers Prices on Small Farmers. Teaching Research Forum, No.18. The Agricultural Development Council, Inc. New York. Rao, B. B. 1994. Cointegration for Applied Economist. St Martin’s Press, New York. Ravallion, M. 1986. Testing Market Integration. American Journal of Agricultural Economics 68(1):102-109. Rhodes, V.J. 1983. The Agricultural Marketing System. John Willey and Sons, Inc. Canada. Rosner, P. dan S. Bahri. 2003. Stabilitas Harga Beras Selama dan Setelah Bulog. Development Alternative. Saefuddin, A.M. 1984. Pengantar Tata Niaga Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Saifullah. 2001. Peran Bulog dalam Kebijakan Perberasan Nasional. Bunga Rampai Ekonomi Beras. Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Jakarta. Saliem, H. P. 2004. Analisis Marjin Pemasaran: Salah Satu Pendekatan Dalam Sistem Distribusi Pangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Saliem, H.P., E.M. Lokollo, T.B. Purwantini, M. Ariani dan Y. Marisa. 2001. Analisis Ketahanan Pangan Tingkat Rumah tangga dan Regional. Laporan Hasil Penelitian Puslitbang Sosek Pertanian. Bogor. Saptana, Sumaryanto, M. Siregar, H. Mayrowani, I. Sodikin dan S. Friyatno. 2001. Analisis Keunggulan Kompetitif Komoditas Unggulan Hortikultura. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Seddighi, H., K. Lawler, and A. Katos. 2000. Econometrics: A Practical Approach. Routledge, London. Sexton, R. J. K., L. Catherine, dan H. F. Carman. 1991. Market Integration, Efficiency of Arbitrage, and Imperfect Competition: Methodology and Application to U. S. Celery. American Journal of Agricultural Economics 73(1):568-580. Sidik, M. 2004. Indonesia Rice Policy in View of Trade Liberalization. Paper Presented at the FAO Rice Conference, Rome, Italy, 12-13 February 2004.
121
Silvapulle, P. dan S. Jayasuriya. 1994. Testing for Philippines Rice Market Integration: A Multiple Cointegration Approach. Journal of Agricultural Economics 45(3): 369-380. Simatupang, P. 1999. Alternatif Baru Kebijakan perbesaran Stabilisasi Harga on Trend, Intensifikasi Bekelanjutan dan Jaringan Pengaman ketahananan Pangan. Pusat penelitian Sosial Ekonomi Pertanian Badang Penelitian dan Pengembangan Pertanian Bogor. Departemen Pertanian. Simatupang, P. 1999. Industrialisasi Pertanian Sebagai Strategi Agribisnis dan Pembangunan Pertanian Dalam Era Globalisasi. Dalam Dinamika Inovasi Ekonomi dan Kelembagaan Pertanian. Buku-2. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Simatupang, P. 2001. Kebijakan Harga Gabah Mengambang dan Terkendali sebagai Opsi Pengganti Harga Dasar Gabah. Bunga Rampai Ekonomi Beras. Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Jakarta. Simatupang, P. dan N. Syafaat. 2002. Analisis Penyebab Anjloknya Harga Komoditas Pertanian. Dalam Monograph Series No. 21: 165-174. Analisis Kebijaksanaan: Paradigma Pembangunan dan Kebijaksanaan Pengembangan Agro Industri. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Soesastro, H dan M. C. Basri. 1998. Survey of Recent Development. Bulletin of Indonesian Economic Studies 34(1):3-54. Sudaryanto, T., Erwidodo, dan A. Purwanto.1993. Pola Konsumsi Beras, Jagung dan Kedelai serta Implikasinya terhadap Proyeksi Permintaan. Makalah disampaikan pada Simposium Penelitian Tanaman Pangan III. Pusat Penelitian Tanaman Pangan. Bogor. Tabor, S.R., M.H. Sawit, dan H.S. Dillon. 2002. Indonesia Rice Policy and the Choice of a Trade Regime for Rice in Indonesia. INDEF Roundtable Discussion. Jakarta. Timmer, C. P. 1991. Institutional Development: Indonesian Experience in Stabilizing Rice Market. Indonesian Food Journal 2(3): 54-79. Timmer, C. P. 1997. Does Bulog stabilize rice prices in Indonesia? Should it try? Dalam 30 Tahun Peran Bulog dalam Ketahanan Pangan. Badan Urusan Logistik, Jakarta. Tomek, W. G. dan K. L. Robinson. 1990. Agricultural Product Prices. Cornell University Press, New York.
122
Tomich, P. Thomas. 1992. Survey of Recent Development. Bulletin of Indonesian Economic Studies 28(3):3-39. Troter, B. W. 1992. Applying Price Analysis to Marketing System: Methods and Examples from the Indonesian Rice Markets. Marketing Series Volume 3. Natural Research Institute, Chatham. Utami, W dan J. Ihalow. 1993. Some Consequences of Small Farm Size. Buletin of Indonesian Economic Studies Vol. IX no. 2. Australian National University. Canberra. Warr, P. 2005. Food Policy and Poverty in Indonesia: A General Equilibrium Analysis. Australian National University. Widarjono, A. 2007. Ekonometrika: Teori dan Aplikasi untuk Ekonomi dan Bisnis. Ekonisia Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia. Yogyakarta Yonekura, H. 2005. Institutional Reform in Indonesia’s Food Security Sector: The Transformation of Bulog into a Public Corporation. Journal of Developing Economies 43(1):121-48.
LAMPIRAN
124
Halaman ini sengaja dikosongkan
125
Lampiran 1 Hasil estimasi VECM faktor-faktor yang mempengaruhi harga gabah dan beras di Indonesia Vector Error Correction Estimates Date: 03/30/10 Time: 13:18 Sample (adjusted): 2001M03 2008M12 Included observations: 94 after adjustments Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ] Cointegrating Eq: LHGB(-1)
CointEq1 1.000000
CointEq2 0.000000
CointEq3 0.000000
LSB(-1)
0.000000
1.000000
0.000000
LDB(-1)
0.000000
0.000000
1.000000
LJPB(-1)
-0.013822 -0.064292 -0.070262 (0.00437) (0.01426) (0.02990) [-3.16562] [-4.50721] [-2.34978]
LJPG(-1)
0.005564 -0.058094 (0.00260) (0.00849) [ 2.14200] [-6.84586]
0.067525 (0.01779) [ 3.79592]
LHPPB(-1)
-1.969187 -1.398841 (0.27791) (0.90793) [-7.08561] [-1.54069]
11.09685 (1.90326) [ 5.83045]
LHPPG(-1)
1.064300 (0.24866) [ 4.28013]
1.179898 -5.446630 (0.81237) (1.70292) [ 1.45242] [-3.19840]
LHBBM(-1)
0.238800 (0.05218) [ 4.57652]
0.750390 -1.763921 (0.17047) (0.35734) [ 4.40193] [-4.93619]
LNTP(-1)
0.249358 -0.334419 (0.15848) (0.51774) [ 1.57345] [-0.64592]
0.181971 (1.08532) [ 0.16767]
126 LHI(-1)
0.092379 (0.04042) [ 2.28567]
0.047334 -1.900313 (0.13204) (0.27679) [ 0.35848] [-6.86561]
LER(-1)
0.510212 (0.11198) [ 4.55626]
2.654143 -1.849556 (0.36584) (0.76688) [ 7.25501] [-2.41178]
@TREND(01M01) -0.009551 -0.024708 (0.00116) (0.00380) [-8.20690] [-6.49850] C
-5.253962 -35.71304 -11.75240
Error Correction:
D(LHGB)
D(LJPB)
D(LJPG)
D(LHPPB)
D(LHPPG)
D(LHBBM)
D(LNTP)
D(LHI)
D(LER)
CointEq1
-0.226544 (0.10780) [-2.10146]
0.581113 -1.498308 (0.18562) (0.92864) [ 3.13071] [-1.61345]
14.04905 (3.96637) [ 3.54204]
-1.430749 (5.77605) [-0.24770]
0.242547 (0.06441) [ 3.76546]
0.122666 (0.08530) [ 1.43799]
0.109019 (0.16624) [ 0.65581]
-0.104728 (0.06197) [-1.68995]
-0.025304 (0.14426) [-0.17540]
-0.127908 (0.08929) [-1.43252]
CointEq2
-0.031867 -0.191785 0.039838 (0.03352) (0.05771) (0.28873) [-0.95073] [-3.32312] [ 0.13798]
3.565205 (1.23323) [ 2.89094]
7.730580 (1.79590) [ 4.30456]
-0.002068 (0.02003) [-0.10327]
0.018095 (0.02652) [ 0.68223]
0.080886 (0.05169) [ 1.56494]
-0.009999 (0.01927) [-0.51892]
0.063789 (0.04485) [ 1.42212]
-0.084447 (0.02776) [-3.04182]
CointEq3
-0.044628 (0.01839) [-2.42673]
3.469391 (0.67663) [ 5.12744]
1.047544 (0.98535) [ 1.06312]
-0.023569 (0.01099) [-2.14492]
-0.006586 (0.01455) [-0.45259]
0.066963 (0.02836) [ 2.36131]
-0.001159 (0.01057) [-0.10964]
0.003853 (0.02461) [ 0.15657]
-0.008182 (0.01523) [-0.53715]
0.074657 (1.43450) [ 0.05204]
-7.298400 (6.12701) [-1.19119]
4.666701 (8.92249) [ 0.52303]
-0.135854 (0.09950) [-1.36533]
-0.052270 (0.13177) [-0.39667]
-0.549021 (0.25679) [-2.13801]
0.101696 (0.09573) [ 1.06233]
-0.018082 (0.22285) [-0.08114]
-0.172359 (0.13793) [-1.24963]
D(LHGB(-1))
0.053826 (0.00797) [ 6.75346]
D(LSB)
D(LDB)
0.054734 -0.355042 (0.03166) (0.15842) [ 1.72854] [-2.24117]
0.025851 -0.097315 (0.16653) (0.28673) [ 0.15524] [-0.33940]
D(LSB(-1))
-0.163852 (0.05258) [-3.11608]
0.125197 -0.054137 (0.09054) (0.45296) [ 1.38283] [-0.11952]
-1.029495 (1.93466) [-0.53213]
2.578472 (2.81736) [ 0.91521]
-0.016638 (0.03142) [-0.52957]
-0.010896 (0.04161) [-0.26188]
-0.013744 (0.08108) [-0.16951]
0.001449 (0.03023) [ 0.04794]
0.058992 (0.07037) [ 0.83835]
-0.087719 (0.04355) [-2.01412]
D(LDB(-1))
0.018322 -0.063379 -0.102901 (0.02001) (0.03446) (0.17239) [ 0.91550] [-1.83933] [-0.59690]
0.238825 (0.73632) [ 0.32435]
1.216963 (1.07227) [ 1.13494]
0.017752 (0.01196) [ 1.48454]
0.002811 (0.01584) [ 0.17753]
-0.065919 (0.03086) [-2.13607]
-0.004475 (0.01150) [-0.38894]
0.044868 (0.02678) [ 1.67536]
0.002599 (0.01658) [ 0.15680]
127 D(LJPB(-1))
-0.002472 (0.00312) [-0.79141]
0.321710 (0.11493) [ 2.79921]
0.581354 (0.16737) [ 3.47355]
0.001994 (0.00187) [ 1.06840]
0.001629 (0.00247) [ 0.65915]
-0.001632 (0.00482) [-0.33887]
-0.002472 (0.00180) [-1.37682]
0.005447 (0.00418) [ 1.30308]
-0.001741 (0.00259) [-0.67292]
D(LJPG(-1))
-0.001140 -0.005353 (0.00255) (0.00439) [-0.44699] [-1.21871]
0.013781 (0.02198) [ 0.62708]
-0.090306 (0.09387) [-0.96206]
0.016251 (0.13669) [ 0.11888]
0.001301 (0.00152) [ 0.85346]
0.001916 (0.00202) [ 0.94913]
0.000375 (0.00393) [ 0.09520]
0.000900 (0.00147) [ 0.61358]
0.002526 (0.00341) [ 0.73993]
-0.003202 (0.00211) [-1.51536]
D(LHPPB(-1))
0.032999 -0.070777 -2.216007 (0.31600) (0.54409) (2.72207) [ 0.10443] [-0.13008] [-0.81409]
0.172318 (11.6265) [ 0.01482]
4.738170 (16.9311) [ 0.27985]
0.145308 (0.18881) [ 0.76959]
0.080609 (0.25005) [ 0.32237]
-0.251271 (0.48728) [-0.51566]
-0.138808 (0.18165) [-0.76414]
-0.175040 (0.42287) [-0.41393]
-0.191677 (0.26173) [-0.73235]
D(LHPPG(-1))
0.058411 (0.28012) [ 0.20852]
0.169506 (0.48231) [ 0.35144]
1.757433 (2.41300) [ 0.72832]
-1.076925 (10.3064) [-0.10449]
-5.751587 (15.0087) [-0.38322]
-0.127752 (0.16737) [-0.76327]
-0.125557 (0.22166) [-0.56645]
0.463782 (0.43195) [ 1.07369]
0.095288 (0.16103) [ 0.59175]
-0.100697 (0.37486) [-0.26863]
-0.001485 (0.23201) [-0.00640]
D(LHBBM(-1))
0.074983 (0.07867) [ 0.95314]
0.168423 -0.696494 (0.13545) (0.67767) [ 1.24340] [-1.02778]
0.735899 (2.89445) [ 0.25424]
-6.233904 (4.21507) [-1.47896]
-0.123279 (0.04701) [-2.62263]
-0.089584 (0.06225) [-1.43908]
0.007801 (0.12131) [ 0.06430]
0.031887 (0.04522) [ 0.70511]
-0.132371 (0.10528) [-1.25737]
-0.056709 (0.06516) [-0.87032]
D(LNTP(-1))
0.035827 -0.217167 (0.19327) (0.33278) [ 0.18537] [-0.65259]
0.771478 (1.66488) [ 0.46338]
-0.154965 (7.11102) [-0.02179]
8.167847 (10.3555) [ 0.78875]
-0.026389 (0.11548) [-0.22851]
-0.064765 (0.15294) [-0.42348]
-0.112485 (0.29803) [-0.37743]
-0.205893 (0.11110) [-1.85317]
-0.080330 (0.25864) [-0.31059]
-0.059489 (0.16008) [-0.37162]
D(LHI(-1))
0.096559 (0.07911) [ 1.22052]
0.026717 (0.13622) [ 0.19614]
0.269146 (0.68150) [ 0.39493]
1.791577 (2.91079) [ 0.61550]
2.135836 (4.23886) [ 0.50387]
-0.018357 (0.04727) [-0.38834]
-0.001592 (0.06260) [-0.02543]
0.253113 (0.12200) [ 2.07478]
-0.013873 (0.04548) [-0.30505]
0.320126 (0.10587) [ 3.02377]
-0.036994 (0.06553) [-0.56457]
D(LER(-1))
-0.154742 -0.286917 (0.13458) (0.23171) [-1.14985] [-1.23824]
0.653446 (1.15926) [ 0.56367]
-12.29361 (4.95141) [-2.48285]
-11.59232 (7.21053) [-1.60769]
-0.123357 (0.08041) [-1.53409]
-0.134480 (0.10649) [-1.26285]
-0.326471 (0.20752) [-1.57320]
-0.093474 (0.07736) [-1.20828]
-0.449058 (0.18009) [-2.49351]
0.243574 (0.11146) [ 2.18523]
0.000612 -0.043347 -0.049571 (0.01649) (0.02839) (0.14203) [ 0.03711] [-1.52691] [-0.34902]
-1.784753 (0.60662) [-2.94211]
-2.098893 (0.88340) [-2.37593]
-0.037649 (0.00985) [-3.82165]
-0.027984 (0.01305) [-2.14494]
0.019945 (0.02542) [ 0.78448]
0.018340 (0.00948) [ 1.93500]
-0.002267 (0.02206) [-0.10274]
0.024447 (0.01366) [ 1.79020]
0.043974 (0.01895) [ 2.32069]
0.844701 (0.69717) [ 1.21161]
3.090540 (1.01526) [ 3.04408]
-0.016219 (0.01132) [-1.43255]
-0.001343 (0.01499) [-0.08958]
-0.009112 (0.02922) [-0.31184]
0.009144 (0.01089) [ 0.83942]
-0.001581 (0.02536) [-0.06234]
0.012286 (0.01569) [ 0.78285]
C
DM_1
0.012488 -0.036348 (0.00538) (0.02691) [ 2.32183] [-1.35081]
0.068653 (0.03263) [ 2.10423]
0.337749 (0.16323) [ 2.06920]
128
DM_2
0.012561 -0.002189 0.187341 (0.01424) (0.02451) (0.12264) [ 0.88229] [-0.08930] [ 1.52753]
0.523732 (0.52383) [ 0.99981]
1.251844 (0.76283) [ 1.64105]
-0.004133 (0.00851) [-0.48585]
0.003292 (0.01127) [ 0.29217]
-0.016244 (0.02195) [-0.73989]
-0.014066 (0.00818) [-1.71870]
-0.026718 (0.01905) [-1.40236]
-0.011998 (0.01179) [-1.01743]
DHP
-0.014385 -0.046745 -0.104469 (0.03004) (0.05172) (0.25874) [-0.47893] [-0.90386] [-0.40376]
1.734735 (1.10513) [ 1.56971]
1.657771 (1.60935) [ 1.03009]
-0.086467 (0.01795) [-4.81784]
-0.032131 (0.02377) [-1.35187]
0.084332 (0.04632) [ 1.82074]
0.032535 (0.01727) [ 1.88427]
0.003131 (0.04020) [ 0.07791]
0.032300 (0.02488) [ 1.29832]
DSB
-0.019365 (0.03420) [-0.56618]
0.058663 -0.081778 (0.05889) (0.29463) [ 0.99614] [-0.27756]
0.725153 (1.25841) [ 0.57624]
-0.147378 (1.83257) [-0.08042]
0.113880 (0.02044) [ 5.57234]
0.058604 (0.02706) [ 2.16536]
-0.053712 (0.05274) [-1.01839]
-0.043822 (0.01966) [-2.22880]
0.020709 (0.04577) [ 0.45246]
-0.045286 (0.02833) [-1.59860]
R-squared 0.338732 Adj. R-squared 0.180027 Sum sq. resids 0.171026 S.E. equation 0.047753 F-statistic 2.134357 Log likelihood 163.1538 Akaike AIC -3.067101 Schwarz SC -2.553031 Mean dependent -0.003142 S.D. dependent 0.052735 Determinant resid covariance (dof adj.) Determinant resid covariance Log likelihood Akaike information criterion Schwarz criterion
0.747124 0.211733 0.686433 0.022549 0.507030 12.69085 0.082222 0.411353 12.31042 1.119190 112.0763 -39.26680 -1.980347 1.239719 -1.466277 1.753789 0.001447 0.008092 0.146832 0.416071
0.632933 0.544836 231.5188 1.756963 7.184563 -175.7444 4.143499 4.657569 0.026749 2.604227
0.519370 0.404019 490.9782 2.558589 4.502510 -211.0762 4.895237 5.409308 -0.026905 3.314242
0.365565 0.213300 0.061060 0.028533 2.400855 211.5619 -4.097063 -3.582992 -0.001661 0.032169
0.145044 -0.060145 0.107087 0.037787 0.706879 185.1579 -3.535274 -3.021204 6.79E-06 0.036699
0.186821 -0.008341 0.406677 0.073637 0.957259 122.4423 -2.200899 -1.686829 0.009090 0.073331
0.180771 -0.015844 0.056516 0.027451 0.919414 215.1962 -4.174387 -3.660317 -0.001368 0.027236
0.345481 0.188397 0.306274 0.063903 2.199336 135.7686 -2.484438 -1.970367 0.003461 0.070934
0.297245 0.128583 0.117326 0.039552 1.762376 180.8660 -3.443958 -2.929888 0.006799 0.042370
3.54E-23 2.96E-24 1079.174 -17.74839 -11.11959
129
Lampiran 2 Hasil estimasi VECM pada model pasar beras eceran antar 12 kota besar di Indonesia Vector Error Correction Estimates Date: 04/04/10 Time: 23:38 Sample (adjusted): 2001M03 2008M12 Included observations: 94 after adjustments Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ]
Cointegrating Eq:
CointEq1
HBEJKT(-1)
1.000000
HBESRBY(-1)
2.530077 (0.68879) [ 3.67325]
HBEBDG(-1)
-0.559910 (0.33183) [-1.68733]
HBESMRG(-1)
-1.136006 (0.49268) [-2.30576]
HBEMKS(-1)
-1.683735 (0.32627) [-5.16056]
HBELPG(-1)
-1.385151 (0.39801) [-3.48017]
HBEPLG(-1)
2.234619 (0.36497) [ 6.12278]
HBEMDN(-1)
-2.433848 (0.43853) [-5.55000]
HBEPDG(-1)
0.018976 (0.23050) [ 0.08233]
130 HBEDPSR(-1)
-2.607069 (0.63873) [-4.08162]
HBEMTRM(-1)
1.986328 (0.41013) [ 4.84312]
HBEPNTK(-1)
2.101220 (0.38398) [ 5.47217]
Error Correction: D(HBEJKT) D(HBESRBY) D(HBEBDG) D(HBESMRG) D(HBEMKS) D(HBELPG)
D(HBEPLG) D(HBEMDN) D(HBEPDG) D(HBEDPSR) D(HBEMTRM) D(HBEPNTK)
CointEq1
0.048704 (0.02855) [ 1.70569]
0.053373 (0.02912) [ 1.83259]
0.087227 (0.04014) [ 2.17303]
0.018656 (0.03009) [ 0.61997]
0.111316 (0.03060) [ 3.63791]
0.159411 (0.04427) [ 3.60127]
0.008379 (0.02989) [ 0.28033]
0.042495 (0.02115) [ 2.00942]
0.098611 (0.04836) [ 2.03911]
0.081732 (0.02426) [ 3.36864]
0.041411 (0.03889) [ 1.06494]
-0.079515 (0.03361) [-2.36601]
D(HBEJKT(-1))
-0.064109 (0.14955) [-0.42868]
-0.224358 (0.15254) [-1.47083]
-0.143530 (0.21024) [-0.68271]
-0.305488 (0.15760) [-1.93835]
0.170432 (0.16026) [ 1.06347]
-0.297348 (0.23184) [-1.28257]
-0.066814 (0.15656) [-0.42677]
0.247241 (0.11076) [ 2.23219]
-0.178865 (0.25328) [-0.70619]
-0.174618 (0.12708) [-1.37413]
0.120169 (0.20366) [ 0.59003]
0.389338 (0.17602) [ 2.21195]
D(HBESRBY(-1))
0.002147 (0.16507) [ 0.01301]
-0.068755 (0.16837) [-0.40835]
-0.056371 (0.23206) [-0.24292]
0.239078 (0.17396) [ 1.37434]
-0.325931 (0.17689) [-1.84254]
-0.012227 (0.25590) [-0.04778]
-0.130654 (0.17281) [-0.75608]
-0.182486 (0.12226) [-1.49264]
-0.113244 (0.27957) [-0.40507]
0.183712 (0.14026) [ 1.30976]
0.199804 (0.22480) [ 0.88880]
0.337713 (0.19428) [ 1.73825]
D(HBEBDG(-1))
0.223006 (0.09961) [ 2.23868]
-0.021622 (0.10161) [-0.21280]
0.067233 (0.14004) [ 0.48011]
-0.016776 (0.10498) [-0.15980]
0.078848 (0.10675) [ 0.73863]
0.275797 (0.15443) [ 1.78593]
0.092551 (0.10428) [ 0.88750]
0.016016 (0.07378) [ 0.21708]
0.215589 (0.16871) [ 1.27785]
0.096372 (0.08465) [ 1.13854]
-0.105950 (0.13566) [-0.78099]
0.095156 (0.11724) [ 0.81160]
D(HBESMRG(-1))
0.044760 (0.14033) [ 0.31897]
0.393380 (0.14313) [ 2.74836]
0.444614 (0.19727) [ 2.25381]
0.157685 (0.14788) [ 1.06628]
0.287183 (0.15038) [ 1.90974]
0.696430 (0.21754) [ 3.20136]
0.188516 (0.14690) [ 1.28327]
0.114812 (0.10393) [ 1.10468]
0.216212 (0.23766) [ 0.90974]
0.264521 (0.11924) [ 2.21840]
0.373534 (0.19111) [ 1.95459]
0.098578 (0.16516) [ 0.59686]
D(HBEMKS(-1))
-0.102868 (0.09655) [-1.06548]
-0.052863 (0.09848) [-0.53682]
-0.064613 (0.13572) [-0.47606]
-0.071941 (0.10174) [-0.70708]
0.017810 (0.10346) [ 0.17214]
-0.053652 (0.14967) [-0.35847]
0.038245 (0.10107) [ 0.37840]
0.190017 (0.07151) [ 2.65739]
-0.090979 (0.16351) [-0.55640]
-0.082841 (0.08204) [-1.00981]
-0.313999 (0.13148) [-2.38817]
-0.068599 (0.11363) [-0.60370]
D(HBELPG(-1))
0.152188 (0.10351) [ 1.47032]
0.114283 (0.10558) [ 1.08247]
0.223084 (0.14551) [ 1.53312]
0.029967 (0.10908) [ 0.27473]
0.229770 (0.11092) [ 2.07149]
0.060489 (0.16046) [ 0.37697]
0.164425 (0.10836) [ 1.51743]
-0.060228 (0.07666) [-0.78564]
0.076898 (0.17530) [ 0.43866]
0.040266 (0.08795) [ 0.45782]
0.169599 (0.14096) [ 1.20316]
-0.403303 (0.12182) [-3.31052]
D(HBEPLG(-1))
-0.123490
-0.113773
-0.244952
0.013043
-0.229306
-0.431866
-0.132214
-0.168938
0.017559
-0.210259
-0.286116
0.045971
131 (0.11682) [-1.05707]
(0.11916) [-0.95481]
(0.16423) [-1.49153]
(0.12311) [ 0.10594]
(0.12519) [-1.83167]
(0.18110) [-2.38464]
(0.12230) [-1.08109]
(0.08652) [-1.95252]
(0.19785) [ 0.08875]
(0.09927) [-2.11813]
(0.15910) [-1.79840]
(0.13750) [ 0.33434]
D(HBEMDN(-1))
0.395381 (0.16699) [ 2.36775]
0.277529 (0.17032) [ 1.62941]
0.539709 (0.23475) [ 2.29909]
0.168301 (0.17598) [ 0.95638]
0.180191 (0.17895) [ 1.00696]
0.636021 (0.25887) [ 2.45692]
0.172277 (0.17481) [ 0.98551]
0.292614 (0.12368) [ 2.36597]
0.503755 (0.28281) [ 1.78122]
0.426499 (0.14189) [ 3.00580]
0.502894 (0.22741) [ 2.21139]
0.098794 (0.19654) [ 0.50267]
D(HBEPDG(-1))
0.012298 (0.07242) [ 0.16980]
-0.013371 (0.07387) [-0.18099]
-0.200632 (0.10181) [-1.97056]
-0.024855 (0.07632) [-0.32564]
-0.089496 (0.07761) [-1.15312]
-0.121258 (0.11228) [-1.08000]
-0.178551 (0.07582) [-2.35497]
-0.047696 (0.05364) [-0.88917]
-0.016390 (0.12266) [-0.13362]
-0.021201 (0.06154) [-0.34450]
-0.192254 (0.09863) [-1.94920]
0.063700 (0.08524) [ 0.74729]
D(HBEDPSR(-1))
-0.125033 (0.17402) [-0.71851]
-0.097134 (0.17750) [-0.54725]
0.338084 (0.24463) [ 1.38201]
0.107143 (0.18339) [ 0.58425]
-0.058035 (0.18648) [-0.31121]
-0.274230 (0.26977) [-1.01654]
0.042505 (0.18217) [ 0.23333]
0.017779 (0.12888) [ 0.13794]
0.052156 (0.29472) [ 0.17697]
0.030399 (0.14787) [ 0.20559]
-0.315787 (0.23699) [-1.33252]
0.027664 (0.20481) [ 0.13507]
D(HBEMTRM(-1))
0.039948 (0.09917) [ 0.40283]
-0.011252 (0.10115) [-0.11124]
-0.210995 (0.13941) [-1.51350]
-0.034523 (0.10451) [-0.33034]
-0.038136 (0.10627) [-0.35886]
-0.137717 (0.15373) [-0.89582]
-0.096886 (0.10381) [-0.93327]
-0.125391 (0.07345) [-1.70723]
0.102816 (0.16795) [ 0.61217]
-0.099677 (0.08426) [-1.18290]
-0.078911 (0.13505) [-0.58430]
-0.013934 (0.11672) [-0.11938]
D(HBEPNTK(-1))
-0.063073 (0.09115) [-0.69199]
0.025015 (0.09297) [ 0.26906]
-0.155287 (0.12814) [-1.21190]
0.063800 (0.09606) [ 0.66420]
0.277371 (0.09768) [ 2.83972]
-0.101422 (0.14130) [-0.71777]
0.181681 (0.09542) [ 1.90404]
-0.012597 (0.06751) [-0.18660]
-0.056399 (0.15437) [-0.36535]
-0.065431 (0.07745) [-0.84481]
0.015656 (0.12413) [ 0.12613]
0.061418 (0.10728) [ 0.57252]
R-squared Adj. R-squared Sum sq. resids S.E. equation F-statistic Log likelihood Akaike AIC Schwarz SC Mean dependent S.D. dependent
0.268469 0.160094 0.109261 0.036727 2.477220 184.2132 -3.642834 -3.291102 0.000995 0.040075
0.194077 0.074681 0.113674 0.037462 1.625491 182.3524 -3.603243 -3.251511 0.001333 0.038944
0.261002 0.151521 0.215931 0.051632 2.383995 152.1961 -2.961619 -2.609886 -0.000204 0.056052
0.130830 0.002064 0.121345 0.038705 1.016027 179.2832 -3.537941 -3.186209 -0.000498 0.038745
0.385525 0.294492 0.125473 0.039358 4.234986 177.7108 -3.504486 -3.152754 0.005481 0.046858
0.278843 0.172005 0.262584 0.056937 2.609965 143.0023 -2.766006 -2.414274 0.000875 0.062572
0.190343 0.070394 0.119742 0.038449 1.586862 179.9083 -3.551240 -3.199508 0.000744 0.039878
0.217635 0.101729 0.059935 0.027202 1.877686 212.4361 -4.243321 -3.891589 0.001318 0.028701
0.186975 0.066527 0.313407 0.062203 1.552329 134.6865 -2.589076 -2.237343 -0.000326 0.064381
0.315827 0.214468 0.078890 0.031208 3.115928 199.5206 -3.968523 -3.616791 0.000935 0.035212
0.284955 0.179022 0.202642 0.050018 2.689959 155.1813 -3.025135 -2.673402 0.001653 0.055202
0.255680 0.145410 0.151356 0.043227 2.318676 168.8961 -3.316939 -2.965207 0.003595 0.046760
Determinant resid covariance (dof adj.) Determinant resid covariance Log likelihood Akaike information criterion Schwarz criterion
5.18E-36 8.67E-37 2302.095 -45.40627 -40.86081
132
Lampiran 3 Hasil forecast error variance decomposition (FEVD) pada model pasar beras eceran
Period
S.E.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
0.036727 0.062547 0.081827 0.096949 0.110319 0.122224 0.132881 0.142657 0.151818 0.160488 0.168726 0.176578
Period
S.E.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
0.037462 0.057390 0.072319 0.084324 0.094689 0.103868 0.112255 0.120113 0.127542 0.134579 0.141259 0.147630
Variance Decomposition of HBEJKT: HBEJKT HBESRBY HBEBDG HBESMRG HBEMKS HBELPG HBEPLG
HBEMDN HBEPDG HBEDPSR HBEMTRM HBEPNTK
100.0000 93.43522 90.56449 89.02709 87.86889 87.20336 86.87274 86.68305 86.53813 86.41014 86.29870 86.20556
0.000000 1.658334 2.342997 2.299404 2.178655 2.130641 2.128631 2.133588 2.133820 2.131214 2.128362 2.126093
0.000000 0.989377 1.528966 1.822952 1.950259 2.018916 2.046198 2.057282 2.066494 2.076590 2.086125 2.094024
0.000000 1.791620 1.556143 1.233472 1.026453 0.905751 0.833071 0.784663 0.748071 0.718316 0.693520 0.672798
0.000000 0.200683 0.496903 0.442888 0.386067 0.348810 0.327062 0.312889 0.301920 0.292924 0.285494 0.279308
0.000000 0.479811 0.951406 1.155797 1.338198 1.491566 1.584824 1.638634 1.676131 1.707470 1.734650 1.757653
0.000000 0.414939 0.305763 0.219710 0.170603 0.141312 0.124015 0.112310 0.103017 0.095323 0.088963 0.083711
0.000000 0.010177 0.082099 0.402719 0.702645 0.854922 0.917675 0.948818 0.973732 0.997286 1.018335 1.036017
0.000000 0.004042 0.142181 0.148742 0.142262 0.143584 0.147953 0.151747 0.154139 0.155719 0.156982 0.158064
0.000000 0.354623 0.802056 1.107870 1.322034 1.463667 1.553837 1.615496 1.661370 1.698106 1.728608 1.754118
0.000000 0.609184 1.032535 1.625206 2.127954 2.401638 2.535927 2.617031 2.681571 2.737876 2.785933 2.825883
0.000000 0.051994 0.194465 0.514151 0.785983 0.895834 0.928066 0.944489 0.961603 0.979040 0.994327 1.006771
Variance Decomposition of HBESRBY: HBEJKT HBESRBY HBEBDG HBESMRG HBEMKS HBELPG HBEPLG HBEMDN HBEPDG HBEDPSR HBEMTRM HBEPNTK
37.45085 34.24557 30.78016 29.16102 28.49614 28.14823 27.90939 27.73011 27.58883 27.47373 27.37873 27.30009
62.54915 58.02833 58.61819 58.71888 58.77130 58.87305 58.94975 58.98742 59.00450 59.01550 59.02631 59.03674
0.000000 0.087093 0.620010 1.033623 1.170446 1.226275 1.257363 1.281327 1.302398 1.320754 1.336253 1.348998
0.000000 5.171446 6.248091 6.516806 6.794723 7.063629 7.281669 7.437802 7.547357 7.631157 7.699898 7.758002
0.000000 0.176321 0.209663 0.187809 0.177837 0.163950 0.148753 0.136812 0.128474 0.122522 0.117785 0.113737
0.000000 0.318939 0.209078 0.157777 0.125136 0.104870 0.090903 0.079928 0.071131 0.064069 0.058333 0.053594
0.000000 0.023425 0.305423 0.621127 0.697982 0.688783 0.670354 0.662359 0.663150 0.666238 0.668503 0.669660
0.000000 0.500956 0.435652 0.352068 0.326784 0.332901 0.341163 0.343963 0.344040 0.343864 0.343983 0.344273
0.000000 0.001795 0.001752 0.018370 0.025621 0.027537 0.029072 0.030663 0.032153 0.033315 0.034205 0.034929
0.000000 0.352551 0.519740 0.528722 0.526370 0.511895 0.496988 0.486002 0.478488 0.473236 0.469125 0.465608
0.000000 0.339902 0.551853 0.703690 0.726111 0.691761 0.658585 0.638886 0.628918 0.622725 0.617362 0.612321
0.000000 0.753674 1.500383 2.000109 2.161545 2.167116 2.166007 2.184727 2.210566 2.232891 2.249515 2.262057
133
Period
S.E.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
0.051632 0.084061 0.106085 0.123237 0.138562 0.152106 0.164263 0.175522 0.186159 0.196273 0.205903 0.215094
Period
S.E.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
0.038705 0.061448 0.079037 0.093030 0.105382 0.116534 0.126739 0.136207 0.145075 0.153435 0.161361 0.168912
Variance Decomposition of HBEBDG: HBEJKT HBESRBY HBEBDG HBESMRG HBEMKS HBELPG HBEPLG
HBEMDN HBEPDG HBEDPSR HBEMTRM HBEPNTK
26.88439 30.10354 29.39813 28.92769 28.64512 28.50836 28.41145 28.34020 28.29006 28.25172 28.21944 28.19172
0.000000 0.573922 0.575625 0.440626 0.352313 0.303272 0.275904 0.256054 0.239341 0.225315 0.213728 0.204129
11.38552 15.40158 19.68239 22.12186 23.55486 24.45233 25.04305 25.46540 25.79716 26.06958 26.29622 26.48541
61.73009 48.84726 43.52444 39.82131 37.37921 36.02247 35.28581 34.79822 34.39883 34.05132 33.75554 33.50930
0.000000 2.321910 2.954364 3.040180 3.008907 3.020304 3.059954 3.099857 3.128409 3.148497 3.163887 3.176626
0.000000 0.758829 1.135076 1.347063 1.585533 1.762886 1.853046 1.898622 1.930961 1.960526 1.987449 2.010490
0.000000 0.291506 0.189242 0.201479 0.208267 0.199182 0.185043 0.173536 0.165598 0.160020 0.155718 0.152099
0.000000 0.003162 0.144609 0.796402 1.307985 1.535597 1.619374 1.661825 1.700927 1.740286 1.775909 1.805753
0.000000 1.593754 1.937900 1.901490 1.847062 1.839402 1.849333 1.857667 1.860216 1.860325 1.860305 1.860581
0.000000 0.063672 0.045475 0.042215 0.046326 0.046671 0.044075 0.041194 0.038884 0.037245 0.036057 0.035099
0.000000 0.026225 0.050506 0.284970 0.489930 0.562074 0.573487 0.573473 0.576937 0.583776 0.590907 0.596788
0.000000 0.014635 0.362247 1.074712 1.574496 1.747447 1.799481 1.833954 1.872674 1.911397 1.944843 1.972004
Variance Decomposition of HBESMRG: HBEJKT HBESRBY HBEBDG HBESMRG HBEMKS HBELPG HBEPLG HBEMDN HBEPDG HBEDPSR HBEMTRM HBEPNTK
28.41297 23.07973 19.64547 17.96570 17.13184 16.62576 16.26857 16.01227 15.82430 15.67839 15.55960 15.46077
5.143723 11.27580 13.16311 13.99204 14.35845 14.57619 14.71292 14.81830 14.90827 14.98281 15.04262 15.09078
0.023389 0.015349 0.123911 0.240234 0.270524 0.274876 0.275627 0.276801 0.278779 0.280862 0.282658 0.284072
66.41991 64.63510 65.65865 65.96334 66.20511 66.41777 66.58767 66.68978 66.74234 66.77613 66.80559 66.83272
0.000000 0.044729 0.034399 0.029707 0.028736 0.029669 0.033010 0.035937 0.037570 0.038437 0.039069 0.039659
0.000000 0.071512 0.050805 0.052882 0.045976 0.040125 0.035777 0.033017 0.031291 0.030009 0.028937 0.028013
0.000000 0.235903 0.354515 0.530509 0.584241 0.580817 0.571113 0.567886 0.570219 0.573785 0.576488 0.578236
0.000000 0.176499 0.185747 0.153530 0.143654 0.149415 0.156358 0.160128 0.162032 0.163447 0.164739 0.165892
0.000000 0.007242 0.009686 0.016914 0.023009 0.024987 0.026445 0.027821 0.029068 0.030056 0.030811 0.031420
0.000000 0.087358 0.103026 0.163204 0.211794 0.250342 0.280872 0.302642 0.318202 0.329876 0.339220 0.347040
0.000000 7.88E-05 0.009515 0.013997 0.024117 0.042807 0.059326 0.069367 0.075056 0.078914 0.082141 0.085006
0.000000 0.370698 0.661169 0.877946 0.972548 0.987256 0.992310 1.006043 1.022874 1.037280 1.048127 1.056396
134
Period
S.E.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
0.039358 0.064048 0.083113 0.099050 0.112508 0.124342 0.135145 0.145163 0.154550 0.163412 0.171818 0.179830
Period
S.E.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
0.056937 0.090148 0.111058 0.128745 0.144144 0.157527 0.169649 0.180984 0.191737 0.201964 0.211698 0.220992
Variance Decomposition of HBEMKS: HBEJKT HBESRBY HBEBDG HBESMRG HBEMKS HBELPG HBEPLG
HBEMDN HBEPDG HBEDPSR HBEMTRM HBEPNTK
5.915998 15.91093 21.93487 24.88626 26.45114 27.39361 28.06166 28.57415 28.96647 29.27340 29.52129 29.72624
0.000000 0.070969 0.072879 0.056019 0.043621 0.035922 0.030530 0.026506 0.023427 0.021009 0.019061 0.017452
0.987904 0.589204 1.785005 2.371515 2.668898 2.807915 2.886362 2.946116 2.994929 3.034615 3.067160 3.093928
0.082109 0.038042 0.024341 0.030832 0.033500 0.036819 0.036613 0.035579 0.034914 0.034577 0.034398 0.034261
0.400066 2.038673 1.921788 1.851179 1.862332 1.856207 1.850465 1.850120 1.849257 1.847871 1.846300 1.844943
92.61392 70.52202 58.26090 51.99510 48.67055 46.86105 45.67943 44.79964 44.11335 43.56042 43.10835 42.73552
0.000000 1.066906 0.634934 0.448204 0.350480 0.289243 0.248149 0.217985 0.194649 0.176090 0.161024 0.148601
0.000000 0.042833 0.533034 1.166557 1.424817 1.559145 1.634915 1.683847 1.724122 1.758915 1.788340 1.812635
0.000000 0.101717 0.082277 0.064473 0.064515 0.064055 0.062737 0.062260 0.061855 0.061467 0.061142 0.060881
0.000000 0.221083 0.598444 0.716005 0.840844 0.908945 0.948805 0.977938 1.000347 1.018637 1.033805 1.046394
0.000000 0.990300 2.061287 2.821371 3.198432 3.383257 3.494855 3.572720 3.635096 3.687817 3.731889 3.768235
0.000000 8.407327 12.09024 13.59248 14.39087 14.80382 15.06549 15.25314 15.40159 15.52519 15.62725 15.71091
Variance Decomposition of HBELPG: HBEJKT HBESRBY HBEBDG HBESMRG HBEMKS HBELPG HBEPLG
HBEMDN HBEPDG HBEDPSR HBEMTRM HBEPNTK
54.09747 46.18202 43.62811 41.77358 40.82981 40.33090 40.00086 39.76256 39.57483 39.41831 39.28678 39.17671
0.000000 0.492499 0.338228 0.261887 0.211405 0.177144 0.153493 0.135270 0.120692 0.108893 0.099218 0.091157
4.746293 8.572638 11.11937 12.29994 12.90857 13.26971 13.49127 13.66290 13.80919 13.93301 14.03528 14.11937
0.884097 1.775702 1.175791 0.880638 0.703249 0.589216 0.509802 0.449822 0.402167 0.363466 0.331618 0.305057
5.453394 12.32547 13.64555 13.64918 13.76119 13.98858 14.23871 14.42967 14.56096 14.65709 14.73470 14.80091
0.027583 0.803381 1.134693 1.343878 1.547270 1.649963 1.685242 1.700767 1.716008 1.732847 1.748332 1.761091
34.79116 26.13344 22.20803 20.20117 19.19467 18.81618 18.65254 18.50623 18.35409 18.21516 18.10075 18.00911
0.000000 0.091207 0.472267 1.084930 1.334098 1.377923 1.363284 1.352830 1.355640 1.364034 1.372023 1.377833
0.000000 0.496039 0.630000 0.562528 0.540316 0.538846 0.541268 0.541143 0.539081 0.537063 0.535576 0.534480
0.000000 1.749651 2.298016 2.624579 2.829053 2.930807 2.986742 3.023916 3.053541 3.079490 3.101900 3.120711
0.000000 0.492485 1.226671 2.007881 2.361279 2.451767 2.467754 2.482564 2.507221 2.533785 2.556440 2.574258
0.000000 0.885466 2.123273 3.309814 3.779089 3.878962 3.909031 3.952324 4.006572 4.056849 4.097395 4.129319
135
Period
S.E.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
0.038449 0.057418 0.071038 0.083314 0.094286 0.104143 0.113166 0.121513 0.129315 0.136670 0.143651 0.150310
Period
S.E.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
0.027202 0.042898 0.055960 0.067943 0.078449 0.087662 0.095945 0.103550 0.110630 0.117283 0.123579 0.129572
Variance Decomposition of HBEPLG: HBEJKT HBESRBY HBEBDG HBESMRG HBEMKS HBELPG HBEPLG
HBEMDN HBEPDG HBEDPSR HBEMTRM HBEPNTK
6.995424 9.473960 11.10725 12.01690 12.72372 13.17797 13.48174 13.71079 13.88800 14.02850 14.14263 14.23710
0.000000 0.036677 0.042001 0.042699 0.050649 0.055777 0.058898 0.061549 0.063845 0.065759 0.067288 0.068518
0.531340 0.876057 1.558880 1.904345 2.173638 2.373108 2.504517 2.599064 2.670672 2.726765 2.772382 2.810305
0.310476 1.409930 1.701121 1.758776 1.814333 1.818798 1.815747 1.816073 1.817551 1.819406 1.820903 1.821950
0.681168 3.990679 5.112847 5.473889 5.812520 6.007310 6.131369 6.226278 6.299485 6.358195 6.405777 6.444786
8.964033 9.408175 9.745454 10.09594 10.08906 10.05117 10.03105 10.01549 10.00702 10.00232 9.998506 9.994809
1.060568 4.446204 4.024526 3.784133 3.634165 3.492179 3.397347 3.330003 3.279603 3.240536 3.208545 3.181780
81.45699 66.38472 61.23395 59.10143 57.57562 56.70405 56.13312 55.69988 55.36210 55.09087 54.87060 54.68950
0.000000 2.114958 2.685916 2.582442 2.560656 2.545422 2.525724 2.513754 2.505124 2.498380 2.492887 2.488202
0.000000 0.006324 0.005817 0.033749 0.038597 0.040643 0.042302 0.043319 0.044260 0.045060 0.045698 0.046210
0.000000 0.262885 0.660652 0.738078 0.744479 0.743286 0.738548 0.736387 0.736357 0.736771 0.736968 0.736891
0.000000 1.589426 2.121584 2.467613 2.782564 2.990278 3.139637 3.247413 3.325980 3.387437 3.437811 3.479951
Variance Decomposition of HBEMDN: HBEJKT HBESRBY HBEBDG HBESMRG HBEMKS HBELPG HBEPLG
HBEMDN HBEPDG HBEDPSR HBEMTRM HBEPNTK
15.59678 18.95198 23.50469 27.36530 29.57267 30.77064 31.53706 32.09267 32.51318 32.84041 33.10274 33.31816
73.03907 67.52567 60.87454 56.30484 53.83749 52.38436 51.42412 50.75924 50.27738 49.90468 49.60165 49.35026
0.114455 0.608405 0.725831 0.605738 0.498276 0.440445 0.409545 0.390353 0.376802 0.366323 0.357717 0.350480
0.173275 0.075088 0.044800 0.043459 0.036033 0.029026 0.024296 0.021041 0.018727 0.016956 0.015522 0.014333
1.455783 1.214182 0.716346 0.487320 0.365757 0.293052 0.245128 0.210983 0.185261 0.165181 0.149091 0.135915
4.324549 7.879275 9.251410 8.580107 7.835013 7.371963 7.075373 6.867770 6.715177 6.598220 6.504418 6.426623
2.367949 1.148166 0.683227 0.466880 0.350222 0.280479 0.234178 0.201154 0.176408 0.157128 0.141655 0.128963
2.928141 1.542177 2.003413 2.595160 3.045001 3.376340 3.596147 3.738384 3.834716 3.907269 3.966978 4.017421
0.000000 0.256304 0.150966 0.106360 0.092997 0.086296 0.081963 0.079099 0.077182 0.075769 0.074593 0.073602
0.000000 0.255614 0.340408 0.502601 0.670630 0.794427 0.882545 0.944487 0.989774 1.024770 1.052928 1.076197
0.000000 0.121411 0.137051 0.386527 0.601901 0.754245 0.856937 0.924393 0.970872 1.006241 1.035375 1.059965
0.000000 0.421730 1.567313 2.555713 3.094009 3.418725 3.632707 3.770422 3.864521 3.937054 3.997332 4.048079
136
Period
S.E.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
0.062203 0.095454 0.119549 0.140459 0.158972 0.175236 0.189880 0.203440 0.216200 0.228287 0.239774 0.250729
Period
S.E.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
0.031208 0.051674 0.066896 0.079757 0.090788 0.100246 0.108656 0.116447 0.123817 0.130817 0.137467 0.143802
Variance Decomposition of HBEPDG: HBEJKT HBESRBY HBEBDG HBESMRG HBEMKS HBELPG HBEPLG
HBEMDN HBEPDG HBEDPSR HBEMTRM HBEPNTK
16.98307 21.78073 24.35955 24.78890 25.03116 25.30389 25.51351 25.66884 25.79038 25.88692 25.96453 26.02815
0.371149 2.184988 2.794480 2.780758 2.729102 2.751987 2.797886 2.833485 2.855595 2.870322 2.881942 2.891900
0.601920 0.369568 0.631410 0.788616 0.838489 0.863435 0.870317 0.872221 0.875478 0.879898 0.884020 0.887255
0.175893 1.281766 1.040306 0.796185 0.649610 0.568062 0.516900 0.480951 0.452843 0.429782 0.410661 0.394747
1.222668 3.133000 4.217848 4.237508 4.184945 4.182975 4.203471 4.224060 4.237224 4.244944 4.250538 4.255229
0.547386 0.310932 0.204903 0.153511 0.127153 0.112844 0.100318 0.089759 0.081576 0.075337 0.070428 0.066378
0.063753 0.048961 0.035645 0.084385 0.099987 0.102444 0.100897 0.099190 0.098606 0.098596 0.098683 0.098713
0.233807 2.102596 3.329680 4.577583 5.427057 5.850441 6.079189 6.233044 6.358953 6.467275 6.558299 6.633616
79.80036 67.21407 60.33634 57.40565 55.65105 54.59075 53.95210 53.49955 53.13247 52.82578 52.57226 52.36376
0.000000 0.000484 0.055429 0.114965 0.148999 0.171969 0.184034 0.191595 0.197579 0.202746 0.207216 0.210965
0.000000 1.243600 1.943484 2.594342 3.047751 3.271569 3.381581 3.455282 3.518107 3.573463 3.620214 3.658693
0.000000 0.329309 1.050922 1.677593 2.064697 2.229635 2.299807 2.352022 2.401195 2.444933 2.481204 2.510596
Variance Decomposition of HBEDPSR: HBEJKT HBESRBY HBEBDG HBESMRG HBEMKS HBELPG HBEPLG HBEMDN HBEPDG HBEDPSR HBEMTRM HBEPNTK
29.14676 30.39145 28.05623 26.24243 25.41577 25.04178 24.82443 24.66853 24.54661 24.44683 24.36342 24.29382
13.08722 23.45107 27.29725 28.62632 29.27159 29.72613 30.04731 30.27730 30.45001 30.58750 30.70041 30.79419
2.084815 2.284124 1.402722 0.996785 0.775356 0.636722 0.541982 0.471941 0.417458 0.373981 0.338672 0.309491
3.121026 6.420483 7.322401 7.088953 6.921284 6.902150 6.955980 7.004494 7.031043 7.045226 7.055102 7.063830
0.135624 0.920384 1.180901 1.291536 1.438699 1.528944 1.559992 1.567638 1.573331 1.581786 1.590722 1.598297
0.753870 0.680016 1.589648 2.152604 2.429977 2.548449 2.605675 2.650413 2.690060 2.723961 2.751961 2.774801
1.330649 0.977979 2.354907 4.060085 4.996165 5.390199 5.553554 5.658512 5.755657 5.845223 5.921775 5.984481
0.205326 1.907067 1.952728 1.640439 1.469177 1.422237 1.418905 1.415139 1.405837 1.395794 1.387454 1.380975
0.326522 0.160327 0.146241 0.211256 0.248770 0.264934 0.273374 0.280401 0.286798 0.291927 0.295948 0.299225
49.80819 32.06624 26.40608 23.51140 21.86998 21.07922 20.67634 20.39933 20.15926 19.94704 19.76934 19.62450
0.000000 0.182455 0.753739 1.466033 1.864340 1.996832 2.031511 2.051104 2.076123 2.103001 2.126521 2.145351
0.000000 0.558404 1.537148 2.712155 3.298899 3.462408 3.510946 3.555194 3.607817 3.657733 3.698680 3.731042
137
Period
S.E.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
0.050018 0.078921 0.096523 0.110210 0.122393 0.133434 0.143646 0.153216 0.162249 0.170811 0.178956 0.186739
Period
S.E.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
0.043227 0.063292 0.081461 0.097909 0.112280 0.125280 0.137026 0.147731 0.157669 0.167022 0.175891 0.184341
Variance Decomposition of HBEMTRM: HBEJKT HBESRBY HBEBDG HBESMRG HBEMKS HBELPG HBEPLG HBEMDN HBEPDG HBEDPSR HBEMTRM HBEPNTK 18.36594 21.75516 20.45722 19.86429 19.74278 19.70827 19.67441 19.64697 19.62645 19.60899 19.59318 19.57959
5.267726 6.748001 7.149025 6.731216 6.459962 6.273080 6.137116 6.041103 5.970364 5.913700 5.866067 5.825348
0.489028 0.302052 0.638751 0.879065 0.905106 0.908668 0.908205 0.911924 0.917531 0.922482 0.926472 0.929575
5.247871 10.15668 10.34092 10.39264 10.48646 10.57387 10.65140 10.70037 10.72708 10.74713 10.76493 10.78093
1.810936 1.675946 1.486855 1.245874 1.115570 1.019823 0.944632 0.888706 0.846927 0.814507 0.787843 0.765181
2.129904 0.865907 1.028850 0.931773 0.849915 0.791206 0.745722 0.715671 0.693776 0.675915 0.660882 0.648084
0.717207 0.375436 0.269017 0.208446 0.204698 0.216682 0.226249 0.228414 0.226504 0.224556 0.223534 0.223117
8.908174 11.85082 13.35934 13.99905 14.53810 15.01287 15.36309 15.59725 15.76423 15.89835 16.01238 16.10984
0.060888 2.297405 2.370091 2.333359 2.371478 2.406441 2.431895 2.449073 2.459440 2.468044 2.475884 2.482697
5.727651 2.462253 1.661138 1.333208 1.117303 0.978634 0.877932 0.799434 0.736952 0.686284 0.644751 0.610184
51.27468 41.28704 41.08905 41.96492 42.11419 42.02548 41.96243 41.95204 41.96839 41.98305 41.99134 41.99621
0.000000 0.223297 0.149737 0.116155 0.094434 0.084965 0.076918 0.069045 0.062350 0.056986 0.052729 0.049246
Variance Decomposition of HBEPNTK: HBEJKT HBESRBY HBEBDG HBESMRG HBEMKS HBELPG HBEPLG HBEMDN HBEPDG HBEDPSR HBEMTRM HBEPNTK
4.042819 13.89868 19.92211 22.77833 24.40194 25.57372 26.46571 27.10867 27.57589 27.93538 28.22544 28.46533
0.004989 0.568431 0.729064 0.849589 0.982750 1.113338 1.223473 1.296851 1.342806 1.375516 1.402155 1.424981
0.474283 1.612692 2.838115 3.611449 3.776268 3.783252 3.767531 3.758766 3.760423 3.766235 3.771706 3.775489
6.086382 6.274586 6.842841 7.753054 8.025184 8.064339 8.079502 8.099201 8.121640 8.140264 8.154413 8.165466
8.714815 8.378477 9.034522 9.293803 9.492279 9.442350 9.302503 9.206540 9.156807 9.127853 9.104804 9.083704
4.934496 2.302388 1.721686 1.443363 1.184441 1.001307 0.874649 0.787718 0.725303 0.677131 0.638167 0.605860
0.674186 0.316291 0.242421 0.357364 0.309285 0.249124 0.208360 0.179259 0.157670 0.141041 0.127654 0.116582
0.463614 0.333314 1.264001 2.094719 2.382000 2.470264 2.532112 2.593030 2.646241 2.688500 2.721601 2.748140
2.742163 4.025427 4.512446 4.222332 4.132795 4.117602 4.097353 4.081318 4.068704 4.058606 4.050394 4.043521
1.247328 1.961906 3.178662 3.396310 3.460916 3.431456 3.380291 3.347483 3.329025 3.317304 3.307955 3.299549
0.006606 1.048084 2.125712 2.730141 2.799448 2.650197 2.515137 2.434511 2.388849 2.358010 2.332424 2.309787
70.60832 59.27972 47.58842 41.46955 39.05269 38.10305 37.55338 37.10666 36.72665 36.41415 36.16329 35.96159
Cholesky Ordering: HBEJKT HBESRBY HBEBDG HBESMRG HBEMKS HBELPG HBEPLG HBEMDN HBEPDG HBEDPSR HBEMTRM HBEPNTK
138
Lampiran 4 Hasil estimasi VECM pada model pasar beras grosir antar pelabuhan besar di Indonesia Vector Error Correction Estimates Date: 02/24/10 Time: 02:10 Sample (adjusted): 2001M03 2008M12 Included observations: 94 after adjustments Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ]
Cointegrating Eq:
CointEq1
CointEq2
HBGJKT(-1)
1.000000
0.000000
HBGSRBY(-1)
0.000000
1.000000
HBGMDN(-1)
-1.066920 (0.21644) [-4.92938]
-1.030380 (0.17311) [-5.95212]
HBGMKS(-1)
-0.300596 (0.11334) [-2.65224]
-0.076683 (0.09065) [-0.84594]
C
10.44592
6.288212
Error Correction:
D(HBGJKT)
CointEq1
-0.364262 (0.10000) [-3.64274]
0.005230 (0.06921) [ 0.07556]
0.109917 (0.09437) [ 1.16474]
0.143250 (0.10567) [ 1.35559]
CointEq2
0.349843 (0.10966) [ 3.19014]
-0.172716 (0.07590) [-2.27557]
0.252185 (0.10349) [ 2.43673]
0.063670 (0.11589) [ 0.54940]
D(HBGJKT(-1))
0.300088 (0.12140) [ 2.47199]
0.097580 (0.08402) [ 1.16139]
0.127041 (0.11456) [ 1.10890]
0.262780 (0.12829) [ 2.04837]
D(HBGSRBY(-1))
-0.091761 (0.15499) [-0.59206]
0.196186 (0.10727) [ 1.82894]
-0.117877 (0.14626) [-0.80591]
-0.043835 (0.16378) [-0.26764]
D(HBGMDN(-1))
0.063608 (0.10512) [ 0.60511]
-0.101261 (0.07275) [-1.39182]
-0.224070 (0.09920) [-2.25868]
0.018536 (0.11109) [ 0.16686]
D(HBGMKS(-1))
0.114939 (0.09612)
-0.028433 (0.06653)
0.118058 (0.09072)
-0.098587 (0.10158)
D(HBGSRBY) D(HBGMDN)
D(HBGMKS)
139 [ 1.19573]
[-0.42738]
[ 1.30141]
[-0.97052]
0.038501 (0.15153) [ 0.25409]
0.002420 (0.10487) [ 0.02308]
0.023751 (0.14300) [ 0.16609]
0.074630 (0.16013) [ 0.46606]
0.195137 0.139629 186.5535 1.464341 3.515483 -165.5951 3.672237 3.861631 0.062984 1.578699
0.110818 0.049495 89.36407 1.013496 1.807114 -131.0031 2.936237 3.125631 0.017083 1.039548
0.340774 0.295311 166.1505 1.381946 7.495507 -160.1514 3.556412 3.745807 0.028662 1.646237
0.168244 0.110881 208.3379 1.547478 2.932990 -170.7859 3.782680 3.972074 0.081380 1.641136
Determinant resid covariance (dof adj.) Determinant resid covariance Log likelihood Akaike information criterion Schwarz criterion
7.375654 5.412104 -612.8869 13.80610 14.78013
C
R-squared Adj. R-squared Sum sq. resids S.E. equation F-statistic Log likelihood Akaike AIC Schwarz SC Mean dependent S.D. dependent
140
Lampiran 5 Hasil estimasi VECM pada model pasar vertikal beras nasional Vector Error Correction Estimates Date: 02/24/10 Time: 02:13 Sample (adjusted): 2001M03 2008M12 Included observations: 94 after adjustments Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ]
Cointegrating Eq:
CointEq1
GKPNAS(-1)
1.000000
HBGNAS(-1)
-0.596593 (0.32470) [-1.83738]
HBENAS(-1)
-0.620153 (0.33641) [-1.84345]
C
1.476989 (0.24437) [ 6.04395]
Error Correction:
D(GKPNAS)
D(HBGNAS)
D(HBENAS)
CointEq1
-0.217452 (0.14386) [-1.51159]
0.126750 (0.05294) [ 2.39444]
0.165381 (0.05117) [ 3.23172]
D(GKPNAS(-1))
0.285881 (0.15070) [ 1.89697]
-0.022652 (0.05545) [-0.40848]
0.060204 (0.05361) [ 1.12300]
D(HBGNAS(-1))
0.460860 (0.34396) [ 1.33987]
-0.147384 (0.12657) [-1.16447]
0.194991 (0.12236) [ 1.59363]
D(HBENAS(-1))
-0.736501 (0.39622) [-1.85883]
0.419985 (0.14580) [ 2.88062]
-0.055115 (0.14095) [-0.39103]
R-squared 0.074667 Adj. R-squared 0.043823 Sum sq. resids 0.281862 S.E. equation 0.055962 F-statistic 2.420766 Log likelihood 139.6726 Akaike AIC -2.886650 Schwarz SC -2.778425 Mean dependent 0.005588 S.D. dependent 0.057231 Determinant resid covariance (dof adj.) Determinant resid covariance Log likelihood Akaike information criterion Schwarz criterion
0.245693 0.220549 0.038165 0.020593 9.771603 233.6488 -4.886145 -4.777919 0.001553 0.023325 1.98E-10 1.74E-10 656.1700 -13.62064 -13.18774
0.266174 0.241713 0.035668 0.019908 10.88163 236.8288 -4.953805 -4.845580 0.001362 0.022861