STRUKTUR PASAR DAN PEMASARAN GABAH-BERAS DAN KOMODITAS KOMPETITOR UTAMA I Wayan Rusastra, Benny Rachman, Sumedi, Tahlim Sudaryanto Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161
ABSTRACT The conducive strategic and program of marketing development will yield positive contribution to enhancing technology adoption, efficiency and productivity improvement, agricultural commodity competitiveness, and increasing farmer’s income. Inherent factors influencing the performance of agricultural marketing are the existence of market structure, the rate of market integration, and marketing marjin. The objectives of this paper are to analyze the availability of agricultural product, structure and marketing marjin, intertemporal price trend and market integration, and the performance of price stabilization program as well as import tariff determination for agricultural product, especially rice. The configuration of regional rice balance sheet (surplus or deficit) will substantially depend on the implementation of regional autonomy and farmer’s freedom to cultivate more beneficial alternative commodities. Rice marketing structure faced by the farmers are appropriately competitive indicated by enormous buyer participation; cash in nature of payment system, and non-existence of capital interdependency as source of market distortion. Paddy price integration at producer and retailer (regency, province, and DKI Jakarta) indicate a strong market integration as well as appropriate competitiveness of rice marketing system. The region with netinterregional rice trade (deficit) was not necessary to self-sufficiency, but have to be facilitated with proper rice distribution system. Paddy price stabilization policy has to be complemented with rational import tariff policy, in order to maintain the sustainability of increasing rice production and farmer income. The food balance sheet of corn, chilly, and onion with respect to direct consumption was positive (surplus) but was not able to fulfill the demand of food and feed industry. The price received by the respective farmers was appropriate enough, except during the harvest time. Product development and partnership program is a must in order to eliminate price in stability face by the farmers. To strengthen farmers institutional organization and capital support was regarded as an important instrument on strengthening marketing structure and efficiency of the said commodities as the main competitors of rice. Key words : market structure, rice marketing, main competitor of paddy
PENDAHULUAN Kinerja pemasaran memegang peranan sentral dalam pengembangan komoditas pertanian. Perumusan strategi dan program pengembangan pemasaran yang mampu menciptakan kinerja pemasaran yang kondusif dan efisien akan memberikan kontribusi positif terhadap beberapa aspek, yaitu: (a) Mendorong adopsi teknologi, peningkatan produktivitas dan efisiensi, serta daya saing komoditas pertanian: (b) Meningkatkan kinerja dan efektivitas kebijakan pengembangan produksi, khususnya kebijakan yang terkait dengan program stabilisasi harga keluaran; dan (c) Perbaikan perumusan kebijakan perdagangan domestik dan internasional (ekspor dan impor) secara lebih efektif dan optimal. Terdapat sejumlah faktor (intrinsik dan eksternal) yang berpengaruh terhadap kinerja pemasaran produk pertanian. Secara intrinsik
faktor yang berpengaruh diantaranya adalah struktur pasar, tingkat integrasi pasar, dan marjin pemasaran. Bentuk pasar yang mengarah kepada pasar monopoli akan berpengaruh terhadap tingkat kompetisi yang akan berdampak terhadap pembentukan harga, transmisi harga, dan bagian harga yang diterima petani. Secara implisit struktur pasar akan berdampak terhadap kinerja integrasi pasar dan nilai marjin pemasaran. Faktor eksternal yang berpengaruh pada hakekatnya adalah terkait dengan kebijakan pemerintah seperti pengembangan infrastruktur pemasaran (fisik dan kelembagaan), program stabilisasi harga output, perpajakan dan redistribusi, kebijakan pengembangan produk dan pengolahan hasil pertanian, dan lainlain. Pemahaman terhadap deskripsi, permasalahan, serta perspektif dari faktor internal dan eksternal yang berpengaruh terhadap kinerja pemasaran produksi pertanian ini dinilai bermanfaat dalam mendorong peningkatan produk-
227
si dan pendapatan petani. Kinerja pemasaran yang kondusif akan mendorong adopsi teknologi dan bagian harga yang diterima petani. Kebijakan pemerintah yang kondusif akan mendorong peningkatan produksi, distribusi, pengembangan produk, dan insentif yang proporsional bagi pelaku tataniaga, dan kesejahteraan petani. Berkenaan dengan urgensi penciptaan kinerja pemasaran yang kondusif, faktor internal dan eksternal yang mempengaruhinya, dan antisipasi manfaat studi pemasaran, maka tujuan dari tulisan ini adalah: (1) Membahas ketersediaan produk pertanian (khususnya beras) dan kaitannya dengan perdagangan domestik; (2) Menganalisis struktur pasar dan marjin pemasaran serta faktor-faktor yang mempengaruhinya; (3) Menganalisis dinamika harga dan integrasi pasar antar wilayah produsen dan konsumen produk pertanian; dan (4) Mengungkap kinerja program stabilisasi harga dan penetapan tarif bea masuk (TBM) komoditas pangan (beras). METODE PENELITIAN Bahasan metode penelitian, secara pragmatis diarahkan untuk menjawab tujuan penelitian yang telah dirumuskan. Aspek yang dielaborasi meliputi cakupan dimensi yang dianalisis serta justifikasinya, jenis dan sumber data/ informasi yang dibutuhkan, dan jenis analisis data. Secara ringkas deskripsi metode penelitian untuk setiap tujuan penulisan paper adalah sebagai berikut: (1) Ketersediaan Pangan dan Perdagangan Domestik. Analisis mencakup ketersediaan pangan untuk perdagangan domestik di tingkat kabupaten dan provinsi penelitian, khususnya untuk komoditas beras. Data yang dibutuhkan adalah data deret waktu lima tahun terakhir yang mencakup produksi ekuivalen beras dan kebutuhan konsumsi yang dihitung berdasarkan data konsumsi Susenas dan jumlah penduduk. Secara deskriptif, neraca produksi antar wilayah dikaitkan dengan kebijakan perdagangan beras domestik dan kebijakan pengembangan produksi dan perdagangan dalam perspektif otonomi daerah. Kajian ini dikomplemen dengan referensi pendukung yang relevan.
228
(2) Struktur Pasar dan Marjin Pemasaran. Bahasan struktur pasar secara kualitatif akan mendiskripsikan tingkat kompetisi pelaku dan pembentukan harga pada setiap tahapan/jalur pemasaran. Secara kuantitatif akan dianalisis lokasi penjualan dominan, pembeli dominan, proporsi pembayaran tunai, dan ikatan dengan pembeli. Secara deskriptif analisis ini diharapkan dapat merefleksikan posisi tawar petani produsen dalam struktur pasar yang ada dan upaya yang perlu dilakukan untuk meningkatkan efisiensi pemasaran. Selain analisis struktur pasar, tingkat kompetisi pemasaran juga didekati dengan analisis marjin pemasaran. (3) Dinamika Harga dan Integrasi Pasar. Bahasan ini mencakup dinamika harga beras dan komoditas kompetitornya menurut wilayah dan tingkat harga (produsen, konsumen dan internasional), dengan mempertimbangkan data tahunan dan bulanan. Analisis juga diperkaya dengan korelasi harga dan integrasi pasar antar kota provinsi yang dikaitkan dengan kondisi surplus/ defisit komoditas yang diteliti. Analisis korelasi harga mempertimbangkan berbagai tingkat pasar domestik (produsen, eceran di pasar kabupaten, provinsi, dan grosir Cipinang) dan harga internasional. Analisis integrasi pasar memanfaatkan data series bulanan (60 bulan) selama lima tahun terakhir (1995-1999), sehingga dinilai sangat memadai sebagai dasar perumusan kebijakan. Kebijakan berkaitan dengan strategi pemasaran atau distribusi dan faktor pendukungnya dalam menanggulangi ketersediaan pangan di daerah defisit. (4) Program Stabilisasi Harga dan Penetapan Tarif Bea Masuk. Aspek ini akan mengungkap kinerja Dolog di daerah dalam pengamanan harga dasar melalui program pengadaan gabah. Indikator utama yang digunakan dalam mengevaluasi kinerja pengadaan pangan oleh Dolog adalah pencapaian sasaran pengadaan gabah dan rataan harga gabah di tingkat petani vs. harga dasar. Secara lebih spesifik dibandingkan kinerja Dolog tahun 2002 dibandingkan dengan 2001. Faktor eksternal yang tidak kalah pentingnya dalam menjaga stabilitas harga beras di dalam negeri adalah penetapan tarif bea masuk (tarif impor beras) dengan sasaran memperkecil dampak fluktuasi harga beras dunia dan menjaga stabilitas
Tabel 1. Neraca Produksi dan Konsumsi Beras di Tujuh Kabupaten Penelitian Indonesia, 1995-2001 (ton) Uraian Majalengka - Produksi - Konsumsi - Neraca Indramayu - Produksi - Konsumsi - Neraca Klaten - Produksi - Konsumsi - Neraca Kediri - Produksi - Konsumsi - Neraca Ngawi - Produksi - Konsumsi - Neraca Agam - Produksi - Konsumsi - Neraca Sidrap - Produksi - Konsumsi - Neraca
1995
1996
1997
Tahun 1998
1999
2000
2001
Trend (%/th)
244.056 121.287 122.770
251.507 121.888 129.619
250.042 122.490 127.552
260.840 123.091 137.749
232.245 123.825 108.420
230.905 124.563 106.342
229.573 125.206 104.267
-0,58 0,51 -1,64
523.580 171.855 351.725
543.682 172.569 371.113
542.366 173.282 369.083
447.930 173.996 273.934
528.947 175.154 353.793
520.254 176.320 343.934
511.704 177.494 334.210
-1,64 0,46 -2,71
184.578 98.959 85.619
191.574 99.372 92.202
193.796 99.897 93.899
208.347 100.656 107.691
183.127 101.228 81.899
206.716 101.804 104.912
209.746 102.383 107.364
1,47 0,59 2,40
161.431 120.347 41.085
167.257 121.106 46.151
165.437 121.106 44.331
162.332 122.034 40.298
175.473 122.469 53.004
156.932 122.906 34.026
152.077 123.344 28.733
-0,85 0,41 -4,57
250.17 76.460 173.717
252.098 76.792 175.306
262.508 77.001 185.506
277.241 77.219 200.022
270.366 77.532 192.834
316.655 77.846 238.809
284.813 78.162 206.651
3,15 0,36 4,25
131.442 49.724 81.719
134.309 49.813 84.496
113.825 49.903 63.922
132.194 49.993 82.202
132.466 50.083 82.383
137.078 50.165 86.914
121.418 50.263 71.155
-0,16 0,18 -0,38
27.108 (27.108)
210.334 27.510 182.824
232.068 27.693 204.374
195.902 27.951 167.952
214.725 28.293 186.431
207.877 26.685 181.192
215.947 26.733 189.214
-0,34 -0,68 -0,29
Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan (provinsi penelitian) dan Susenas, BPS, Jakarta.
pendapatan petani. Penetapan TBM impor beras ini mempertimbangkan kondisi aktual dan kemungkinan perubahan harga impor beras dan nilai tukar rupiah untuk menjamin tingkat keuntungan yang memadai bagi petani. PEMASARAN KOMODITAS GABAH/BERAS Produksi Beras dan Perdagangan Domestik Pemasaran beras antar wilayah (secara spasial) disebabkan oleh adanya perbedaan harga atau insentif bagi pelaku ekonomi untuk melakukan kegiatan distribusi komoditas yang diperdagangkan. Sedikitnya terdapat dua faktor penyebab perbedaan harga beras secara spasial (Natawidjaja, 2001), yaitu: (1) Perbedaan segmentasi pasar yang direfleksikan oleh perbedaan daya beli dan preferensi konsumen terhadap beras berkualitas tinggi; dan (2) Perbedaan neraca ketersediaan dan konsumsi
beras, sehingga terjadi aliran komoditas dari daerah surplus (tingkat harga rendah) ke daerah defisit dengan tingkat harga yang lebih tinggi. Bahasan ini akan mengungkap neraca produksi dan konsumsi beras di tingkat kabupaten dan provinsi penelitian dikaitkan dengan konteks makro nasional dan dinamika kebijakan pembangunan nasional. Neraca produksi dan konsumsi beras di tujuh kabupaten penelitian disajikan pada Tabel 1. Ketujuh kabupaten penelitian merupakan daerah surplus beras, walaupun secara kuantitas bervariasi antar daerah. Pada kondisi normal (1996) sebelum krisis ekonomi, daerah dengan surplus beras di atas 100 ribu ton adalah Indramayu (371 ribu ton), Sidrap (182 ribu ton), Ngawi (175 ribu ton), dan Majalengka dengan volume surplus 129 ribu ton. Kabupaten dengan surplus beras di bawah 100 ribu ton adalah Klaten (92 ribu ton), Agam (84 ribu ton) dan Kediri (46 ribu ton).
229
Pada tahun 2001, keempat kabupaten kategori I (surplus di atas 100 ribu ton) tetap merupakan daerah pemasok beras utama dengan marketable surplus yang dominan, walaupun Indramayu, Majalengka dan Sidrap mengalami penurunan surplus beras masingmasing sebesar 2,7 persen, 1,6 persen dan 0,3 persen. Sementara itu Kabupaten Ngawi mengalami peningkatan surplus beras dari 175 ribu ton menjadi 206 ribu ton atau meningkat sebesar 4,2 persen. Daerah lain yang mengalami peningkatan surplus beras selama periode 1995-2001 adalah Klaten dengan laju 2,4 persen, yaitu meningkat dari 92 ribu ton menjadi 107 ribu ton. Peningkatan surplus di dua kabupaten ini (Ngawi dan Klaten) terutama disebabkan oleh adanya peningkatan produksi beras yang cukup besar, yaitu 3,1 persen dan 1,5 persen per tahun. Sementara di daerah lainnya mengalami penurunan produksi beras dengan kisaran 0,2 persen per tahun (Agam) sampai dengan 1,6 persen per tahun (Indramayu).
adalah Sumatera Barat yang hanya mencapai 0,39 juta ton. Jawa Barat yang memiliki tingkat produksi beras paling tinggi, ternyata memiliki surplus produksi (marketable surplus) terendah kedua setelah Sumatera Barat. Jawa secara keseluruhan (tiga provinsi) tetap merupakan daerah surplus produksi dengan total pasokan sebesar 4,03 juta ton yang siap didistribusikan untuk memenuhi kebutuhan beras di Jakarta dan luar Jawa. Sulawesi Selatan merupakan daerah surplus dan pemasok beras utama di luar Jawa dengan nilai marketable surplus sebesar 1,32 juta ton/tahun, selama periode 1995-2001. Analisis tradeable surplus secara regional dengan mempertimbangkan daerah surplus/ defisit di 26 provinsi dalam periode 1995-1999 dilakukan oleh Natawidjaja (2001). Pulau Jawa dengan pasar utama Jakarta, tetap memiliki surplus yang cukup besar, yaitu 2,47 juta ton yang siap memasok kebutuhan beras di luar Jawa. Wilayah dengan tradeable surplus beri-
Tabel 2. Neraca Produksi dan Konsumsi Beras di Lima Provinsi Penelitian, Indonesia, 1995-2001 Provinsi 1995 1996 1997 1998 1999 2000 Jawa Barat 5715,2 5728,5 5518,0 5221,1 5326,3 5807,0 - Produksi 5373,3 4828,2 4887,8 4974,2 4818,6 4813,3 - Konsumsi - Neraca 341,9 900,3 630,2 246,9 507,7 993,7 Jawa Tengah 4369,6 4455,4 4439,2 4580,6 4448,3 4558,2 - Produksi 3117,2 2929,8 2924,3 2989,3 2856,8 2884,5 - Konsumsi - Neraca 1252,4 1525,6 1496,9 1591,3 1591,5 1673,7 Jawa Timur 4569,2 - Produksi 4599,1 4548,5 4632,6 4773,7 5089,8 3428,1 - Konsumsi 3313,3 3328,5 3366,9 3177,6 3091,3 - Neraca 1141,1 1285,8 1220,0 1265,9 1596,1 1998,5 Sumatera Barat 975,0 1050,6 952,9 936,5 1011,5 946,8 - Produksi 621,4 582,7 587,6 597,8 548,9 551,7 - Konsumsi - Neraca 353,6 467,9 365,3 365,7 462,6 395,0 Sulawesi Selatan 1986,5 2159,8 2009,1 1897,9 2063,2 2335,4 - Produksi 1002,1 962,5 971,9 988,5 894,1 874,4 - Konsumsi - Neraca 984,4 1197,3 1037,2 909,4 1169,1 1460,8 Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan (provinsi penelitian) dan Susenas, BPS, Jakarta.
Hasil analisis neraca produksi dan konsumsi beras di lima provinsi penelitian ditampilkan pada Tabel 2. Kelima provinsi penelitian merupakan daerah surplus produksi beras. Surplus terbesar adalah Jawa Timur (1,62 juta ton), yang selanjutnya diikuti oleh Jawa Tengah (1,61 juta ton), Sulawesi Selatan (1,32 juta ton), Jawa Barat (0,80 juta ton), dan surplus terendah
230
2001
Rataan
5767,4 4899,9 867,4
5692,1 4896,5 795,6
4582,3 2912,5 1649,8
4533,0 2921,4 1611,6
4682,1 3114,5 1567,6
4798,8 3176,2 1622,6
937,8 557,5 380,3
958,4 565,6 392,8
2321,4 887,8 1433,6
2226,7 908,7 1318,9
kutnya adalah Sulawesi (0,93 juta ton), Sumatera (0,88 juta ton), Kalimantan (0,21 juta ton) dan Bali dan Nusa Tenggara dengan volume surplus yang siap dipasarkan 0,14 juta ton. Dalam konteks yang lebih komprehensif, dengan cakupan 26 provinsi, analisis neraca ketersediaan dan kebutuhan beras yang dilakukan Natawidjaja (2001) menunjukkan beberapa
hasil menarik sebagai berikut: (1) Kelima provinsi penelitian merupakan daerah surplus yang selanjutnya menjadi pemasok bagi daerah defisit pada regional yang sama (pulau) atau diantar-pulaukan ke tempat lain; (2) Daerah provinsi yang memiliki surplus di atas 1,0 juta ton adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan, sedangkan daerah lainnya memiliki surplus sekitar 400 ton ke bawah; (3) Daerah yang membutuhkan pasokan beras cukup besar adalah DKI Jakarta (800 ribu ton/tahun), dan Riau, Maluku, Sulawesi Utara dan NTT, masing-masing sekitar 100 – 200 ribu ton per tahun; (4) Secara regional, pulau Jawa tetap merupakan pensuplai beras nasional dengan pasokan sekitar 2,5 juta ton per tahun dan Sulawesi sebesar 1,0 juta ton per tahun yang dapat diperdagangkan antar regional atau antar pulau; (5) Maluku dan Irian Jaya merupakan daerah defisit (100 ribu ton/tahun). Beberapa implikasi yang dapat ditarik dari bahasan di atas adalah kelancaran arus distribusi dan perdagangan beras antar wilayah akan berperan besar dalam mengatasi defisit atau kelangkaan beras di dalam negeri. Kebijakan impor yang tepat dan perbaikan kinerja perdagangan beras domestik akan berdampak positif terhadap peningkatan produksi dan pendapatan petani padi. Konfigurasi surplus/defisit beras akan mengalami perubahan sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah dan kebebasan bagi petani untuk menanam komoditas yang lebih menguntungkan. Diperlukan rekonsiliasi antar pusat dan daerah melalui rumusan kebijakan pertanian yang dapat mengakomodasi peningkatan pendapatan petani dan pendapatan asli daerah (PAD) tanpa berdampak serius terhadap koversi lahan pertanian produktif dan peningkatan produksi beras nasional. Struktur Pasar dan Marjin Pemasaran Struktur pasar akan direfleksikan oleh kondisi dan perilaku pasar yang dihadapi oleh petani. Perilaku pasar pada tingkat yang paling bawah ini pada hakekatnya merupakan turunan secara akumulatif dari sistem dan perilaku pelaku tataniaga di atasnya. Pemahaman kondisi pasar di tingkat petani yang mencakup proses pembentukan harga, bagian harga yang diterima petani, dan marjin pemasaran serta faktorfaktor yang mempengaruhinya merupakan informasi penting dalam rangka peningkatan efisiensi dan kompetisi pasar yang lebih baik. Struktur
pasar gabah didominasi oleh pedagang pengumpul. Disemua kabupaten pedagang pengumpul menguasai sebagian besar gabah petani, kecuali di Klaten dan Sidrap mendekati separuh (49%). Kondisi pasar yang dihadapi petani di tujuh kabupaten penelitian yang mencakup lokasi penjualan, pembeli dominan, cara pembayaran dan ikatan dengan pembeli ditampilkan pada Tabel 3. Lokasi penjualan (sawah dan non sawah) menurut berbagai bentuk output (GKP, GKS, GKG dan beras) serta sistem panen (tebasan atau tidak) merefleksikan banyak hal dan memberikan implikasi yang menarik. Partisipasi petani yang melakukan penjualan di sawah yang cukup menonjol adalah di Klaten (46,0%), Kediri (26,8%) dan Ngawi (25,8%). Sementara di tempat lain proporsinya sekitar 20,0 persen ke bawah. Di Klaten dan Kediri penjualan di sawah umumnya dilakukan dengan sistem tebasan masing-masing dengan tingkat partisipasi 36,5 persen dan 11,3 persen, sedangkan di Ngawi sebagian besar (24,2%) dalam bentuk GKP. Penjualan gabah dengan sistem tebasan tidak merefleksikan lemahnya posisi petani. Petani menilai sistem tebasan ini memiliki beberapa kelebihan dan menguntungkan pada kedua belah pihak (petani dan pedagang) dan nampaknya cukup kompetitif, yang ditunjukkan banyaknya penebas yang beroperasi di desa. Secara umum lokasi penjualan dominan adalah bukan di sawah, dan bahkan mencapai angka di atas 80 persen petani khususnya di Sidrap (90,7%), Majalengka (83,2%), dan Indramayu (82,0%). Panen umumnya memakai sistem bawon dan sebagian besar petani menjual gabah di rumah, dan hanya sebagian kecil yang menjual langsung ke RMU atau pasar desa. Dilihat dari bentuk outputnya, penjualan gabah dalam bentuk GKP sangat menonjol di Sidrap dan Ngawi, dengan partisipasi petani 85,3 persen dan 67,4 persen. Pada kedua daerah ini petani langsung menjual gabah tanpa proses lebih lanjut beberapa saat setelah sampai di rumah. Hal ini dapat dimaklumi karena petani umumnya mengalami keterbatasan penguasaan alat pengeringan dan penyimpanan. Penjualan gabah dalam bentuk GKS (gabah kering simpan) dengan kadar air sebesar 16 persen, cukup dominan di Kabupaten Indramayu dengan partisipasi petani sebe sar 51 persen.
231
Tabel 3. Sistem Penjualan Gabah/Beras di Tingkat Petani di Tujuh Kabupaten, 2001 (%) Lokasi penjualan N Sawah Indramayu - Tebasan - GKP - GKS - GKG - Beras Majalengka - Tebasan - GKP - GKS - GKG - Beras Klaten - Tebasan - GKP - GKS - GKG - Beras Kediri - Tebasan - GKP - GKS - GKG - Beras Ngawi - Tebasan - GKP - GKS - GKG - Beras Agam - Tebasan - GKP - GKS - GKG - Beras Sidrap - Tebasan - GKP - GKS - GKG - Beras
100
95
63
71
132
79
75
18,00 5,00 13,00 16,84 15,79 1,05 46,03 36,51 3,17 6,35 26,76 11,27 2,82 12,68 25,76 1,52 24,24 20,26 18,99 1,27 9,33 5,33 4,00 -
Non sawah 82,00 15,00 51,00 16,00 83,16 9,47 1,05 69,47 3,16 53,97 3,17 3,17 28,57 19,05 73,24 4,23 9,86 43,66 15,49 74,24 67,42 2,27 4,55 79,75 7,59 72,15 90,67 85,33 2,67 2,67
Pembeli dominan
Cara pembayaran
Pengumpul
Lainnya
Tunai
62,00 14,00 23,00 25,00 90,53 10,53 2,11 77,89 49,21 28,57 4,76 14,29 1,59 78,87 11,27 5,63 9,86 47,89 4,23 69,69 1,52 63,64 2,27 2,27 63,29 10,13 53,16 49,33 4,00 42,67 2,67
38,00 1,00 33,00 4,00 9,47 2,11 4,21 3,16 50,79 7,94 1,59 3,17 20,63 17,46 21,13 1,41 8,45 11,27 30,30 28,03 2,27 36,71 16,46 1,27 18,99 50,67 1,33 46,67 2,67 -
98,00 15,00 56,00 27,00 100,00 12,63 2,11 82,11 3,16 98,41 34,92 6,35 3,17 34,92 19,05 97,18 8,45 7,04 9,86 56,34 15,49 95,45 1,52 87,88 2,27 3,79 98,73 26,58 1,27 70,89 73,33 4,00 65,33 1,33 2,67
Non tunai 2,00 2,00 1,59 1,59 2,82 2,82 4,55 3,79 0,76 1,27 1,27 26,67 1,33 24,00 1,33 -
Ikatan dengan pembeli Ada
Tidak
19,00 2,00 16,00 1,00 31,58 1,05 2,11 27,37 1,05 4,76 4,76 42,25 1,41 2,82 2,82 23,94 11,27 18,94 16,67 2,27 39,24 3,80 35,44 49,33 2,67 45,33 1,33
81,00 13,00 40,00 28,00 68,42 11,58 54,74 2,11 95,24 31,75 6,35 3,17 34,92 19,05 57,75 9,86 4,23 7,04 32,39 4,23 81,06 1,52 75,00 2,27 2,27 60,76 22,78 1,27 36,71 50,67 2,67 44,00 2,67 1,33
Sumber: Data primer hasil penelitian di tingkat petani, tujuh kabupaten penelitian.
Penjualan gabah di rumah dalam bentuk GKG (kadar air 14%) cukup dominan di Majalengka, Kediri dan Klaten, masing-masing dengan tingkat partisipasi petani 69,5 persen, 43,7 persen dan 28,6 persen. Kecenderungan ini akan berdampak positif terhadap ketahanan pangan rumah-tangga dengan adanya stok pangan (beras) di tingkat keluarga yang siap diproses untuk menjadi beras atau dijual dalam
232
bentuk GKG. Peningkatan partisipasi petani dalam pemrosesan gabah menjadi GKS dan GKG akan berdampak positif terhadap stabilisasi harga gabah. Kecenderungan seperti ini tidak terdapat di Kabupaten Ngawi yang umumnya menjual gabah di rumah dalam bentuk GKP. Struktur pasar yang direfleksikan oleh kinerja pemasaran di tingkat petani akan sangat
ditentukan oleh pembeli dominan yang dihadapi petani, cara pembayaran, dan ikatan petani dengan pembeli. Pembeli dominan gabah/beras di tingkat petani adalah pedagang pengumpul desa (PPD) dengan tingkat partisipasi petani 62,1 persen (Indramayu) sampai dengan 90,5 persen di Majalengka, kecuali di Klaten dan Sidrap dengan tingkat partisipasi sebesar 49,0 persen. Di luar Klaten dan Sidrap, hanya sebagian kecil petani (10,0 - 38,0%) yang menjual gabah/beras kepada bukan pedagang pengumpul desa. Katagori pembeli lainnya ini adalah sebagian besar kepada RMU dan hanya sebagian kecil oleh pedagang kecamatan, pedagang kabupaten dan pedagang luar kabupaten. Bentuk penjualan output kepada pedagang pengumpul desa, nampak bervariasi menurut wilayah. Di Indramayu partisipasi penjualan petani yang dominan adalah dalam bentuk GKG (25%), Majalengka GKG (77,9%), Klaten tebasan (28,6%), Kediri GKG (47,9%), Ngawi GKP (63,6%), Agam beras (53,2%) dan Sidrap dalam bentuk GKP (42,7%). Semakin meningkat partisipasi petani dalam penjualan gabah dalam bentuk GKG atau beras menunjukkan indikasi semakin positif, seperti ditunjukkan oleh petani di Kabupaten Majalengka, Kediri dan Agam. Pada semua kabupaten penelitian, sebagian besar petani menyatakan bahwa pembayaran oleh pedagang dilakukan secara tunai. Kisaran tingkat partisipasi petani adalah antara 73,3 persen (Sidrap) sampai dengan 100 persen di Majalengka. Sekitar 27,0 persen petani di Sidrap menyatakan pembayaran dilakukan sekitar 1–2 minggu setelah pengambilan barang. Hal ini nampaknya terkait dengan adanya keterkaitan (ikatan) antara petani dan pedagang dengan tingkat proporsi yang cukup besar, yaitu 49,3 persen dari total petani contoh. Ikatan antara petani dan pedagang ini umumnya adalah dalam bentuk langganan (tetap dan tidak tetap) dan famili, dan hanya sebagian kecil karena keterikatan pinjaman modal. Cara pembayaran yang sebagian besar dilakukan secara tunai dan tidak ada ikatan atau ketergantungan modal petani dengan pembeli mengindikasikan struktur atau posisi tawar petani yang cukup baik. Keterikatan dalam bentuk langganan dan famili diyakini tidak menjadi sumber distorsi pasar. Bahasan berikut akan mengungkap jalur pemasaran, marjin pemasaran dan faktor yang mempengaruhinya. Jalur pemasaran di tujuh kabupaten penelitian sampai pada tingkat peda-
gang besar (kabupaten dan provinsi) adalah sama, dengan penjelasan sebagai berikut (Gambar 1): (1) Petani menjual gabah (di sawah/di rumah) kepada tiga pelaku tataniaga yaitu penebas, pedagang pengumpul dan KUD; (2) Kecuali KUD yang melakukan penjualan ke Dolog kabupaten, maka penebas dan pedagang pengumpul menjual gabah ke pedagang penampungan yang pada umumnya adalah RMU atau kontraktor Dolog kabupaten; (3) Pedagang penampungan ini dengan lokasi di tingkat kabupaten memproses gabah menjadi beras dan selanjutnya menjual ke Dolog dan pedagang besar kabupaten dan provinsi; (4) Dolog kabupaten dapat melakukan penyaluran/ mobilitas beras antar kabupaten, provinsi dan antar pulau; dan (5) Pedagang besar kabupaten dapat menyalurkan/mensuplai beras kepada pedagang besar di tingkat provinsi. Pada jalur berikutnya terdapat variasi antar kabupaten sebagai berikut: (1) Pedagang besar kabupaten di empat wilayah di Jawa (Indramayu, Majalengka, Klaten dan Kediri), di samping memasok pasar provinsi, adalah pensuplai beras ke Pasar Induk Cipinang; (2) Pedagang besar di tiga kabupaten lainnya (Ngawi, Agam dan Sidrap), di samping pemasok pasar provinsi, adalah memasok pedagang antar pulau; (3) Ketiga jenis pelaku tataniaga terakhir ini (pedagang provinsi, pedagang antar pulau dan Pasar Induk Cipinang) memasok toko/kios pengecer yang selanjutnya melayani konsumen setempat. Pelaku tataniaga yang memegang peranan sentral dalam perdagangan adalah pedagang penampungan yang melakukan kegiatan penampungan, pengeringan, pengolahan gabah dan perdagangan beras. Di samping peran/fungsi tataniaga yang cukup kompleks, pelaku tataniaga ini juga melakukan penanganan volume perdagangan gabah/beras yang cukup besar, dengan kisaran 75 – 85 persen. Peran RMU yang berfungsi sebagai kontraktor Dolog adalah sekitar 10 – 20 persen. Peran KUD dalam pembelian/pemasaran dan perdagangan gabah/beras kaitannya dengan tataniaga umum atau pengamanan harga dasar (kaitannya dengan Dolog) adalah relatif kecil (5%). Peran pelaku tataniaga di luar “Pedagang Penampung” ini adalah relatif terbatas yaitu terkait dengan aspek penyimpanan dan distribusi antar kabupaten, provinsi dan antar pulau. Sebagian RMU di tingkat kabupaten juga melakukan perdagangan beras sampai
233
PETANI Gabah
Gabah
Penebas
Pedagang pengumpul
Gabah
Gabah Gabah
KUD
Gabah Pedagang penampungan (penggilingan padi) Beras DOLOG Kab. 1,2,3,4,5,6,7
Kab. 1,2,3,4,5,6,7
Pedagang besar
Pasar provinsi
Kab. 5,6,7 Kab. 1,2,3,4 Pedagang antar pulau Pasar induk Cipinang
Toko/kios pengecer
KONSUMEN Keterangan Kabupaten: (1) Indramayu, (2) Majalengka, (3) Klaten, (4) Kediri, (5) Ngawi, (6) Agam, dan (7) Sidrap.
Gambar 1. Jalur Pemasaran Beras/Gabah di Tujuh Kabupaten, Indonesia, 2002
ke pasar provinsi atau Pasar Induk Cipinang (Jakarta). Analisis marjin pemasaran beras sampai dengan di pasar eceran di tingkat ibukota kabupaten disajikan pada Tabel 4. Disadari bahwa proporsi alokasi beras untuk memenuhi pasar beras di tingkat kabupaten ini relatif kecil (15%), dengan kisaran 10 persen (Indramayu, Ngawi dan Sidrap) sampai dengan 25 persen di Kabupaten Agam. Kisaran harga (setara beras) yang diterima petani adalah Rp 1850/kg (Agam) – Rp 1909/kg (Kediri) atau sekitar 81,8 persen dari harga rataan eceran beras di pasar kabupaten yang besarnya Rp 2134/kg. Jadi marjin perdagangan beras adalah relatif kecil (Rp 422/kg), yaitu 18,2 persen terhadap rataan harga eceran. Dari marjin
234
perdagangan sebesar itu, sejumlah 4,19 persen (Rp 97/kg) dialokasikan untuk biaya pengolahan, 7,35 persen (Rp 170/kg) untuk biaya transportasi, dan sisanya (6,66%) atau Rp 154/ kg adalah profit marjin. Menarik untuk dibahas imbangan keuntungan dan biaya pada setiap pelaku tataniaga beras ini. Keuntungan yang diterima pedagang pengumpul desa relatif terhadap biaya pemasaran adalah 109 persen, RMU 10,91 persen, untuk pedagang besar di pasar kabupaten 51,22 persen, dan untuk pedagang pengecer sebesar 98,4 persen. Walaupun marjin tataniaga relatif kecil, namun secara relatif (kecuali RMU) tingkat keuntungan yang diperoleh cukup besar, yaitu jauh di atas tingkat suku bunga di pasar modal.
Tabel 4. Analisis Marjin Pemasaran Beras di Tujuh Kabupaten Lokasi Penelitian, 2001 (Rp/kg) Uraian Petani a. Harga jual (GKP) b. Setara beras Pedagang pengumpul desa a. Harga beli b. Biaya pemasaran c. Harga jual d. Profit marjin RMU a. Harga beli b. Biaya pemasaran c. Biaya pengolahan d. Harga jual e. Profit marjin Pedagang besar a. Harga beli b. Biaya pemasaran c. Harga jual d. Profit margjin Pedagang eceran a. Harga beli b. Biaya pemasaran c. Profit marjin d. Harga jual Total a. Pengolahan b. Transportasi c. Profit margjin d. Biaya pemasaran Proporsi pemasaran beras ke pasar lokal (%)
Ratarata
Proporsi (%)
Indramayu
Majalengka
1.100 1.897
1.100 1.897
1.100 1.900
1.050 1.909
1.100 1.897
1.050 1.850
1.050 1.900
1.079 1.893
81,84
1.897 62 2.031 73
1.897 51 2.002 54
1.900 65 2.000 35
1.909 49 1.983 25
1.897 55 2.041 90
1.850 55 2.000 95
1.900 50 2.000 50
1.893 55 2.008 60
2,38 2,59
2.031 16 98 2.164 18
2.002 13 95 2.127 17
2.000 10 100 2.122 12
1.983 15 104 2.120 18
2.041 11 100 2.158 6
2.000 14 95 2.117 8
2.000 11 90 2.107 6
2.008 13 97 2.131 12
0,56 4,19 0,59
2.164 52 2.250 34
2.127 41 2.200 32
2.122 32 2.175 21
2.120 47 2.200 33
2.158 35 2.200 6
2.117 44 2.175 14
2.107 36 2.150 7
2.131 41 2.193 21
1,77 0,91
2.250 35 65 2.350
2.200 75 75 2.350
2.175 67 58 2.300
2.200 50 50 2.300
2.200 45 55 2.300
2.175 75 50 2.300
2.150 80 70 2.300
2.193 61 60 2.313
2,64 2,53 100
98 165 191 453
95 180 179 453
100 174 126 400
104 161 126 391
100 146 157 403
95 188 167 450
90 177 133 400
97 170 154 422
4,19 7,35 6,66 18,16
10
15
20
15
10
25
10
15
-
Klaten
Kediri
Ngawi
Agam
Sidrap
Sumber: Data primer di tujuh kabupaten contoh
Tingkat keuntungan semakin berarti mengingat waktu transaksi yang relatif cepat. Dikaitkan dengan volume perdagangan yang ditangani oleh keempat pelaku tataniaga ini, nampak bahwa keuntungan yang diterima RMU dan pedagang besar relatif kecil, namun volume komoditas yang ditangani lebih besar dibandingkan dengan yang ditangani oleh pedagang pengumpul desa atau pedagang pengecer. Hasil analisis marjin pemasaran ini tidak jauh berbeda dengan analisis yang sama yang dilakukan satu tahun sebelumnya (tahun 2000) di empat kabupaten contoh Klaten, Kediri, Agam, dan Sidrap (Rusastra et al. 2000). Pada saat itu harga gabah (GKP) di tingkat petani di empat kabupaten produsen utama padi adalah berkisar antara Rp 800/kg – Rp 850/kg, atau setara dengan Rp 1.550 – Rp 1.800/kg beras. Kisaran harga eceran beras di tingkat konsumen di pasar kabupaten adalah Rp 1.900/kg di Kediri
dan Sidrap sampai dengan Rp 2.100/kg di Agam, Sumatera Barat. Pasar gabah/beras relatif kompetitif dan petani dengan mudah memasarkan gabah karena jumlah pedagang dan RMU relatif banyak yang beroperasi di pedesaan. Pemasaran beras dinilai cukup efisien yang diindikasikan oleh bagian harga yang diterima petani relatif besar dengan kisaran 80,1 persen di Klaten dan 85,7 persen di Agam. Rataan biaya pemasaran mencapai Rp 302/kg atau 15,2 persen terhadap harga eceran, dengan komposisi 10,1 persen untuk biaya prosessing, handling, transportasi, dan sisanya 5,2 persen adalah keuntungan pedagang. Dinamika Harga dan Integrasi Pasar Bahasan ini akan mengungkap beberapa aspek yaitu: (1) Dinamika harga bulanan pada berbagai tingkat harga (produsen, konsumen, harga internasional) di wilayah kabupaten
235
penelitian, dalam dua tahun terakhir (20002001); (2) Perubahan harga tahun 2000 dan 2001 pada periode waktu (bulan) yang sama; (3) Korelasi harga pada berbagai tingkat pasar (produsen, konsumen dan internasional) dan antar wilayah kabupaten; dan (4) Korelasi harga dan integrasi pasar beras antar provinsi di Indonesia. Secara normatif dinamika harga bulanan gabah akan dipengaruhi oleh masa panen raya, penanganan stok gabah oleh petani, pelaksanaan program stabilisasi harga, dan kinerja pemasaran gabah/beras antar wilayah. Dinamika harga gabah juga tidak bisa dilepaskan keterkaitannya dengan kinerja pasar beras dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Perkembangan harga beras eceran di kabupaten penelitian (daerah surplus beras) sangat ditentukan oleh kelancaran arus barang keluar kabupaten dalam bentuk perdagangan beras antar kabupaten, provinsi dan antar pulau. Faktor lain yang berpengaruh adalah manajemen stok gabah/beras dalam rumah tangga, pelaksanaan program OPK beras, dan perencanaan serta pelaksanaan impor beras. Pada tahun 2000, harga bulanan gabah di tingkat petani di enam kabupaten penelitian relatif stabil (Lampiran 1). Rataan harga relatif bervariasi antar daerah. Di Jawa kisaran harga gabah (GKP) antara Rp 710/kg (Indramayu) sampai dengan Rp 1.100/kg di Klaten. Di luar Jawa berkisar antara Rp 810/kg (Sidrap) hingga Rp 1.085/kg di Kabupaten Agam. Pada tahun 2001, kecenderungan pergerakan harga gabah nampak berbeda dibandingkan tahun sebelumnya. Di tiga kabupaten produsen utama padi di Jawa (Indramayu, Majalengka dan Klaten) terjadi peningkatan harga yang cukup konsisten. Dalam periode Januari – Desember 2001 (Lampiran 2), harga gabah di Indramayu meningkat dari Rp 950/kg menjadi Rp 1.470/ kg GKP, di Majalengka Rp 1.200/kg – Rp 1.450/kg GKG, dan di Klaten Rp 1.250/kg – Rp 1.440/kg GKG. Sementara di tiga kabupaten lainnya (Ngawi, Agam, dan Sidrap) harga gabah relatif stabil dengan nilai rataan bulanan masingmasing Rp 980/ kg, Rp 970/kg dan Rp 1.125/kg GKP. Dalam periode 2000 - 2001, kecuali di Kabupaten Agam, terdapat peningkatan harga gabah yang cukup signifikan (Lampiran 3). Peningkatan harga yang cukup besar terjadi di Indramayu (62,7%), Sidrap (38,8%), Klaten (18,5%), dan di Kabupaten Ngawi dengan laju peningkatan 15,3 persen. Sementara itu di Ka-
236
bupaten Agam terjadi penurunan harga sebesar 10,9 persen, yang terjadi hampir sepanjang tahun 2001, kecualli pada bulan Desember. Kecenderungan harga bulanan eceran beras tahun 2000, di empat kabupaten di Jawa mengalami penurunan, sementara di luar Jawa dalam keadaan stabil (Lampiran 1). Selama periode Januari-Desember 2000, harga eceran beras di Indramayu menurun dari Rp 2.400/ kg menjadi Rp 1.835/kg, di Majalengka Rp 2.250 – Rp 1.950/kg, di Klaten Rp 2.500/kg – Rp 1.850/kg, dan di Ngawi menurun dari Rp 2.200/ kg menjadi Rp 1.900/kg. Di dua kabupaten di luar Jawa stabil pada nilai rataan Rp 2.085/ kg di Agam dan Rp 1.789/kg di Kabupaten Sidrap. Pada tahun 2001 terdapat kecenderungan sebaliknya, dimana terjadi indikasi peningkatan harga eceran beras pada semua derah kabupaten (Lampiran 2). Konsekuensinya adalah tidak terjadi perubahan harga yang berarti (khususnya di Jawa) selama periode dua tahun terakhir ini. Di tiga kabupaten di Jawa (Indramayu, Majalengka dan Klaten) harga beras relatif stabil dengan laju peningkatan di bawah 3,0 persen (Lampiran 3). Sementara itu di Sidrap-Sulawesi Selatan harga beras meningkat sebesar 10,5 persen, yaitu dari Rp 1.790/kg menjadi Rp 1.980/kg. Dalam kondisi saat ini (bukan panen raya) harga eceran beras di pasar Terung-Makasar dalam kondisi normal dan stabil. Harga eceran beras kualitas medium adalah Rp 2.350/kg – Rp 2.450/kg, sedangkan harga beras berkualitas (branded rice) adalah Rp 2.900/kg – Rp 3.000/kg. Berbeda dengan harga gabah yang umumnya mengalami peningkatan dan harga eceran beras yang bergerak stabil, maka harga internasional beras (FOB Bangkok) selama periode 2000-2001 mengalami penurunan sebesar 11,6 persen (Lampiran 3). Penurunan terjadi hampir setiap bulan, kecuali pada bulan Nopember dan Desember yang mengalami peningkatan 0,8 persen dan 3,0 persen. Dengan memperhitungkan biaya pengangkutan dan asuransi sebesar US$ 17,5/ton dan nilai tukar rupiah yang berlaku, nampak bahwa terjadi peningkatan harga beras CIF (Rp/ton) sebesar 8,1 persen selama periode 2000-2001. Peningkatan hampir terjadi setiap bulan kecuali pada bulan Juli yang mengalami penurunan sebesar 1,8 persen. Hal ini dimungkinkan karena harga beras CIF dalam US$ mengalami penurunan sebesar 7,2 persen, sementara itu nilai tukar dolar meningkat relatif kecil yaitu hanya 5,8 persen.
3000
Rp/kg
2500 2000 1500 1000 500 Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des bulan (2000-2001) Harga beras kabupaten (Rp/kg)
Harga grosir Cipinang
Harga CIF (Rp/kg)
Harga beras ibukota provinsi (Rp/kg)
Harga FOB (Rp/kg)
Gambar 2. Perkembangan Harga Bulanan Selama Periode 2000-2001 pada Berbagai Tingkat Harga
Prestasi yang patut dicatat dalam hal ini adalah kemampuan membendung transmisi penurunan harga internasional (FOB, Bangkok), sehingga tidak berdampak terhadap harga eceran beras di dalam negeri. Hal ini menunjukkan kemampuan manajemen impor beras yang cukup baik. Pelaksanaan impor dan OPK pasar beras yang tahun sebelumnya dinyatakan cukup mengganggu stabilitas harga beras ternyata tidak menjadi kenyataan pada tahun 2001/2002 ini. OPK beras nampaknya berjalan sesuai dengan yang diharapkan, yaitu tepat waktu, tepat volume dan juga tepat sasaran. Pada saat bersamaan harga gabah di tingkat petani secara umum mengalami peningkatan yang cukup berarti. Keadaan ini merefleksikan beberapa hal yaitu, bekerjanya secara baik pasar dan pengolahan gabah, lancarnya perdagangan beras antar daerah dan antar pulau, dan cukup efektifnya pengadaan gabah dan pelaksanaan mobilitas beras antar wilayah oleh Dolog setempat. Perkembangan harga bulanan selama periode 2000 – 2001 pada berbagai tingkat harga (harga eceran kabupaten, eceran provinsi, grosir Cipinang, harga FOB dan CIF dalam Rp/kg) ditampilkan pada Gambar 2. Nampak bahwa harga FOB dan CIF berada di bawah harga domestik. Hal ini dapat dipahami karena belum termasuk tarif impor, PPn, biaya transportasi, dan keuntungan pedagang. Harga grosir Cipinang berada di bawah harga eceran beras di pasar kabupaten dan pasar provinsi. Harga
grosir Cipinang ini untuk sampai pada harga eceran di pasar Jakarta tentunya masih harus memperhitungkan biaya transportasi dan handling, di samping keuntungan pengecer. Perbedaan harga eceran beras pasar provinsi dan kabupaten disebabkan oleh adanya marjin pemasaran dari daerah sentra produksi (kabupaten) ke pusat konsumen di pasar provinsi. Terdapat indikasi bahwa harga grosir pasar Cipinang terbentuk dari keseimbangan harga antar harga beras impor dan beras domestik. Semua tingkat harga mengikuti kecenderungan peningkatan yang seirama. Korelasi harga gabah/beras pada berbagai tingkat pasar dan antar wilayah menunjukkan indikasi awal keterkaitan pasar sebagai refleksi dari kinerja mekanisme pasar. Tingkat pasar yang dipertimbangkan adalah pasar di tingkat produsen, pasar eceran di pasar kabupaten, pasar eceran di tingkat provinsi, pasar grosir di Pasar Induk Cipinang Jakarta, dan harga beras di pasar internasional (FOB). Pasar grosir di Pasar Induk Cipinang menjadi pertimbangan, didasarkan atas penelitian yang dilakukan Natawijaya (2001) dengan menggunakan data dasar bulanan yang cukup panjang (19951989) menunjukkan bahwa harga pasar beras antar ibukota provinsi (Padang, Bandung, Semarang, dan Surabaya, dan Ujung Pandang) memiliki keterkaitan yang sangat kuat dengan harga beras di pasar Jakarta, dengan kisaran nilai korelasi harga antara 0,56 (Padang) s/d 0,93 (Bandung). Dihipotesakan bahwa tingkat
237
pasar yang lebih rendah, khususnya di empat kabupaten di Jawa, akan memiliki keterkaitan pasar yang kuat dengan Jakarta, dalam hal ini harga beras di Pasar Induk Cipinang. Hasil analisis korelasi harga produsen dengan harga di pasar domestik dan internasional di empat kabupaten contoh di Jawa dengan menggunakan data bulanan selama periode 2000 – 2001 disajikan pada Tabel 5. Berpatokan pada nilai korelasi sebesar 0,50 sebagai nilai ambang batas, maka harga di tingkat produsen memiliki keterkaitan yang lemah di Indramayu dan Klaten, sedangkan cukup kuat di Majalengka dan Ngawi. Keterkaitan pasar produsen dengan pasar eceran beras di tingkat provinsi, juga memiliki keterkaitan yang lemah, kecuali di Klaten dengan nilai korelasi 0,7986. Sebaliknya keterkaitan harga produsen dengan harga grosir di Pasar Induk Kramatjati relatif kuat, dengan nilai korelasi harga di atas 0,50, dengan kisaran 0,6470 (Indramayu) s/d 0,7877 (Ngawi). Harga produsen dengan FOB memiliki keterkaitan yang moderat dengan kisaran nilai korelasi antara 0,4235 (Majalengka) s/d 0,6361 (Indramayu). Dapat dinyatakan bahwa pasar beras di empat kabupaten contoh di Jawa sebagai daerah sentra produksi relatif terbuka dan memiliki keterkaitan yang kuat dengan pasar DKI Jakarta sebagai pasar terbesar di Jawa bahkan di tingkat nasional. Namun demikian ia relatif terlindung dari gejolak harga di pasar dunia.
paten dengan pasar grosir di Pasar Induk Kramatjati, memiliki integrasi pasar yang relatif kuat untuk kabupaten (Majalengka, Klaten dan Ngawi), dengan kisaran nilai korelasi harga 0,7276 – 0,8814. Seperti halnya dengan harga produsen, harga eceran beras di tingkat kabupaten juga tidak dipengaruhi oleh gejolak harga internasional. Harga eceran beras di pasar provinsi memiliki keterkaitan yang kuat untuk dua provinsi contoh, Jawa Tengah dan Jawa Timur, dan nilai korelasi harga 0,9250 dan 0,7399, sementara Jawa Barat memiliki keterkaitan yang relatif rendah, dengan nilai korelasi 0,3875. Transportasi dan jarak nampaknya bukan merupakan faktor pembatas dalam menentukan kinerja keterkaitan pasar antar wilayah khususnya di Jawa. Seperti halnya harga di pasar produsen dan kabupaten, harga eceran provinsi juga memiliki keterkaitan yang lemah dengan harga beras di pasar dunia (FOB). Namun demikian lain halnya dengan keterkaitan antara harga grosir Pasar Induk Cipinang dengan harga FOB dengan nilai korelasi 0,5190. Nampak bahwa gejolak harga beras internasional lebih terkait dengan harga di DKI Jakarta sebagai pusat pasar konsumen terbesar; dan bukan pada tingkat harga di bawahnya (pasar provinsi, kabupaten, dan produsen di desa). Pergerakan beras antar provinsi akan direfleksikan oleh integrasi (keterkaitan) pasar beras antar wilayah yang dapat dipakai sebagai
Tabel 5. Korelasi Harga Produsen dengan Harga di Pasar Domestik dan Internasional di Empat Kabupaten Contoh di Jawa, 2000 – 2001 (harga bulanan) Keterkaitan pasar Produsen vs. eceran kabupaten Produsen vs. eceran provinsi Produsen vs. grosir Cipinang. Produsen vs. FOB Eceran kabupaten vs. eceran provinsi Eceran kabupaten vs. grosir Cipinang Eceran kabupaten vs. FOB Eceran provinsi vs. grosir Cipinang Eceran provinsi vs. FOB Grosir Cipinang vs. FOB
Indramayu 0,0266 0,1513 0,6470 0,6361 0,3920 0,4672 0,0488 0,3875 0,1646 0,5190
Majalengka 0,7155 0,5691 0,7667 0,4235 0,3386 0,8503 0,3136 0,3875 0,1646 0,5190
Klaten 0,3686 0,7986 0,7132 0,5340 0,6922 0,7276 0,2251 0,9250 0,5371 0,5190
Ngawi 0,7655 0,4289 0,7877 0,4756 0,6425 0,8814 0,5868 0,7399 0,2551 0,5190
Sumber: Diolah dari data dasar pada Lampiran 1, 2, dan 3.
Pada tingkat pasar yang lebih tinggi (pasar eceran kabupaten), ia memiliki keterkaitan yang lemah dengan pasar eceran provinsi, kecuali di Klaten dan Ngawi dengan nilai koefisien korelasi 0,6922 dan 0,6425 (Tabel 5). Sebaliknya keterkaitan harga eceran kabu-
238
indikator tingkat efisiensi pemasaran. Pemanfaatan Pearson Correlation Coefficient (PCC) ini difasilitasi dengan pemanfaatan data harga riil (untuk mengkoreksi faktor inflasi) berdasarkan indek harga konsumen ibukota provinsi, 19951999. Dengan data dasar PCC dihitung nilai
TSSC (Total Sum Square Correlation) dan JLTB (Jumlah Lokasi Tidak Berkorelasi). Pasar provinsi penelitian dinilai “tidak terintegrasi” dengan pasar lainnya bila memiliki TSSC <6,25, “kurang terintegrasi” bila TSSC 6,25–11,90, dan “terintegrasi dengan baik” bila TSSC >11,90 (Natawidjaja, 2000).
memiliki tingkat integrasi moderat dengan pasar beras di ibukota provinsi lainnya yang ditunjukkan oleh nilai TSSC 8,1 (kisaran 6,25-11,90); (2) Pasar beras ibukota provinsi penelitian lainnya, ternyata memiliki tingkat integrasi pasar yang sangat baik; (3) Hasil analisis ini nampak sejalan dengan fakta empiris di lapangan ten-
Tabel 6. Koefisien Korelasi Harga Pasar Beras antar Ibukota Provinsi di Indonesia, 1995-19991) Lokasi Banda Aceh Medan Pekanbaru Padang Jambi Palembang Bengkulu Lampung Jakarta Bandung Semarang Yogyakarta Surabaya Pontianak Balikpapan Banjarmasin Palangkaraya Manado Palu Kendari Ujungpandang Denpasar Mataram Kupang Ambon Jayapura
Padang 0,70 0,59 0,34 1,00 0,59 0,54 0,59 0,62 0,56 0,63 0,59 0,52 0,66 0,25 0,65 0,72 0,65 0,36 0,67 0,69 0,58 0,56 0,39 0,43 0,39 0,58
Bandung 0,94 0,88 0,51 0,63 0,95 0,82 0,79 0,96 0,93 1,00 0,94 0,90 0,94 0,78 0,84 0,78 0,41 0,59 0,92 0,89 0,90 0,91 0,79 0,63 0,58 0,89
Semarang 0,95 0,89 0,45 0,59 0,88 0,82 0,75 0,91 0,91 0,94 1,00 0,90 0,92 0,80 0,76 0,84 0,41 0,65 0,93 0,86 0,93 0,84 0,71 0,50 0,59 0,81
Surabaya 0,95 0,77 0,37 0,66 0,88 0,69 0,65 0,92 0,87 0,94 0,92 0,82 1,00 0,64 0,89 0,85 0,49 0,45 0,85 0,82 0,89 0,91 0,61 0,48 0,40 0,91
Ujung-pandang 0,89 0,86 0,47 0,58 0,90 0,75 0,79 0,91 0,89 0,90 0,93 0,83 0,89 0,79 0,77 0,74 0,30 0,65 0,89 0,87 1,00 0,88 0,76 0,57 0,60 0,85
Sumber : Natawidjaja (2001)
Tabel 7. Total Sum-Square-Correlation (TSSC), Jumlah Lokasi Tidak Berkorelasi dan Keadaan Surplus/Defisit Beras di Lima Provinsi, Indonesia, 1995-19993) Provinsi Sumatera Barat Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur Sulawesi Selatan 1) 2) 3)
4)
Ibukota Padang Bandung Semarang Surabaya Ujungpandang
TSSC1) 8,1 16,7 15,9 14,7 15,5
Jumlah lokasi tidak berkorelasi2) 6 1 3 5 2
Surplus/defisit (1000 ton)4) 403,2 524,4 1491,5 1301,7 1059,5
TSSC (Total Sum Square Correlation) adalah penjumlahan kwadrat dari nilai koefisien korelasi silang dengan kota-kota lainnya (25 kota). Jumlah lokasi tidak berkorelasi adalah jumlah lokasi yang memiliki koefisien korelasi silang <0,50. Sumber: Natawidjaja (2001). Sumber: Data dasar, BPS, Jakarta.
Dari hasil analisis (Tabel 6 dan 7) dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: (1) Pasar beras di Padang (Sumatera Barat)
tang kinerja keberhasilan pasar beras, khususnya antar provinsi di Jawa dan perdagangan beras ke luar Jawa yang dinyatakan berjalan
239
lancar; (4) Perdagangan beras ke luar Kabupaten Sidrap (dan Sulawesi Selatan melalui Makasar) melalui perdagangan antar provinsi dan antar pulau khususnya ke Kalimantan, Maluku dan Irian Jaya umumnya berjalan secara baik. Hal ini didukung oleh adanya infrastruktur yang baik dan struktur pasar yang kompetitif. Hasil analisis Natawidjaja (2001) dengan mempertimbangkan 26 provinsi secara nasional dan dikaitkan dengan kondisi surplus/defisit suatu daerah, menyimpulkan beberapa hal yang menarik, sebagai berikut: (1) Sebagian besar (18 lokasi) pasar beras provinsi terintegrasi secara baik, kecuali tujuh pasar provinsi (Pekanbaru, Padang, Pontianak, Banjarmasin, Manado, Kupang dan Ambon) yang kurang terintegrasi, dan hanya satu pasar, yaitu Palangkaraya, tidak terintegrasi dengan pasar provinsi lainnya; (2) Faktor penyebab tidak terintegrasinya pasar beras “kasus Palangka-raya” diduga kuat karena faktor kekuatan monopolis, karena faktor hambatan transportasi dan sebagai daerah defisit beras (sekitar 29,8 ribu ton/tahun) tidak dapat menjelaskan hal ini; (3) DKI Jakarta memiliki integrasi pasar yang sangat kuat, dan tidak ada penguasaan (kontrol) pasar di daerah ini dan pasar bersifat sangat kompetitif; dan (4) Daerah defisit beras dinilai tidak relevan untuk berswasembada, namun tetap perlu difasilitasi agar arus volume barang dapat berjalan lancar. PROGRAM STABILISASI HARGA DAN PENETAPAN TARIF BEA MASUK Dua aspek yang terkait dengan stabilisasi harga adalah mengatasi gejolak fluktuasi harga musiman dan dampak transmisi dinamika perubahan harga di pasar dunia. Aspek pertama terkait dengan pengamanan harga dasar, dan aspek kedua dengan penetapan tarif bea masuk. Kedua hal ini dinilai sangat penting dalam menjaga stabilitas harga gabah/beras di dalam negeri dengan sasaran menjaga keberlanjutan adopsi teknologi, peningkatan produksi, pendapatan dan kesejahteraan petani. Bagi Indonesia instrumen kebijakan harga dasar gabah dan TBM impor beras merupakan prioritas kebijakan karena peran beras yang sangat strategis, bukan saja sebagai komoditas ekonomis penting tetapi juga bersifat politis. kan
240
Kinerja stabilisasi harga pangan ditentuoleh kemampuan pengamanan harga
dasar, mengeliminir dampak fluktuasi khususnya penurunan harga di pasar internasional, pelaksanaan OPK pasar beras sebagai substitusi proteksi terhadap konsumen umum, dan keberhasilan pasar beras berkualitas. Tinjauan studi sebelumnya menunjukkan bahwa terdapat indikasi melemahnya efektivitas intervensi pemerintah dengan adanya demonopoli peranan Bulog, khususnya pada tahun 1999 dan 2000. Menarik untuk diungkap bagaimana kinerja stabilisasi harga khususnya pengamanan harga dasar gabah di tingkat petani paska tahun 2000. Peran Dolog dalam pelaksanaan stabilisasi harga melalui pengamanan harga dasar dinilai tetap penting. Harga dasar perlu dipahami sebagai risk reducing policy bagi petani dan bukan satu-satunya instrumen dalam peningkatan pendapatan petani (Saifullah, 2001). Jatuhnya harga pada masa panen raya tetap merupakan ancaman dan risiko yang dihadapi petani. Pada masa panen raya (Februari – Mei), dimana areal panen secara nasional mencapai sekitar 48 persen maka surplus produksi musiman diperkirakan sebesar 23 persen (Pranolo, 2001). Variasi harga gabah musiman selama dua dekade terakhir ini (1977 – 1997) hampir tidak mengalami perubahan yaitu sekitar 17 – 21 persen (Mears, 1982 dan Pranolo, loc.cit). Pada masa selanjutnya stabilisasi harga gabah diperkirakan akan semakin rentan, sehingga kinerja pengamanannya oleh Bulog menjadi semakin penting. Hasil pengamatan lapang tentang kinerja pelaksanaan pengamanan harga dasar, periode 2001-2002 di tujuh kabupaten penelitian diperoleh beberapa hasil menarik sebagai berikut: (1) Di Jawa Barat (Indramayu dan Majalengka), target pengadaan pangan (gabah) tahun 2002 dapat dicapai dengan baik. Harga gabah di tingkat petani, khususnya untuk tahun 2002, melebihi atau berada di atas harga dasar. Di Indramayu pada saat panen raya (April 2002), harga gabah mencapai Rp 1.280/kg. Rataan harga gabah pada enam bulan pertama tahun ini (Januari -Juni 2002) sekitar 35,8 persen di atas ratarata harga periode yang sama tahun sebelumnya (Rp 1.480 vs Rp 1.090/ kg GKP). Di Majalengka, pada enam bulan pertama (sampai Juni 2002) harga gabah di tingkat petani berkisar antara Rp 1.300 - Rp 1.400/kg GKS.
(2) Di Jawa Tengah dan Jawa Timur kinerja pengamanan harga dasar tidak sebaik di Jawa Barat. Dengan mengacu harga dasar sebesar Rp 1.500/kg GKG (setara dengan Rp 1.095/kg GKP), maka harga gabah petani di dua daerah ini berada sedikit di bawah harga dasar, khususnya di Klaten dan Ngawi. Di Klaten harga gabah petani tahun 2002 mencapai sekitar Rp 1.050/kg GKP, yakni sekitar 23,5 persen di atas harga tahun sebelumnya. Di Ngawi dan Kediri tingkat harga petani tahun 2002 masing-masing mencapai Rp 1.075/kg GKP dan Rp 1.160/kg GKP. Kinerja pengamanan harga dasar 2002 dapat dinyatakan lebih baik dibanding tahun 2001.
Analisis penetapan tarif bea masuk (TBM) impor beras mengikuti beberapa tahapan perhitungan, yaitu: (1) Penetapan harga eceran beras yang diproduksi petani pada berbagai tingkat keuntungan (return to management) di Jawa (rataan di lima kabupaten), luar Jawa (rataan di dua kabupaten), dan agregat nasional (rataan di tujuh kabupaten penelitian); (2) Penampilan simulasi penetapan tarif bea masuk beras impor pada kondisi aktual tahun 2001, sampai kepada penentuan harga eceran beras impor di tingkat konsumen; dan (3) Penetapan tarif bea masuk impor beras pada berbagai harga internasional (cif) dan nilai tukar rupiah pada tingkat keuntungan petani tertentu, dalam hal ini 20 persen.
(3) Di luar Jawa, khususnya di Kabupaten Agam, pengadaan beras Dolog tahun 2002 mengalami penurunan sebesr 25,9 persen dibandingkan tahun sebelumnya (8.960 ton vs 12.095 ton beras). Penyebabnya adalah kualitas dan harga beras di daerah ini termasuk katagori tinggi, sementara pengadaan dari luar Kabupaten Agam (Pasaman, Limopuluh Koto, Solok dan Padang-Panjang) dihadapkan pada kualitas gabah di bawah standar yang ditetapkan Dolog. Di Kabupaten Sidrap, sebagai salah satu kabupaten sentra produksi padi di Sulawesi Selatan, harga gabah bulan April 2002 (saat panen raya) mencapai Rp 1.100–Rp 1.200/ kg GKP, yakni masih di atas harga dasar. Hal ini disebabkan oleh semakin baiknya pencapaian target pengadaan gabah oleh Dolog Sidrap. Pengadan gabah tahun 2001 meningkat sebesar 71 persen pengadan tahun sebelumnya. Pengadaan sampai dengan Mei 2002 mencapai 46,7 ribu ton yaitu sekitar 15 persen dari surplus produksi di Kabupaten Sidrap.
Harga eceran beras pada berbagai tingkat keuntungan petani di Jawa, tahun 2001, ditampilkan pada Tabel 8. Total biaya produksi padi di Jawa adalah sekitar Rp 882/kg GKP. Dengan memperhitungkan keuntungan petani masing-masing sebesar 20 persen, 25 persen dan 30 persen terhadap total biaya produksi dan biaya pengolahan dan pemasaran sebesar Rp 420/kg, maka harga eceran beras mencapai Rp 2.344/kg, Rp 2.424/kg, dan Rp 2.504/ kg. Di luar Jawa, total biaya produksi gabah sedikit lebih rendah dibandingkan dengan di Jawa, yaitu sebesar Rp 810/kg gabah. Dengan biaya pengolahan dan pemasaran Rp 425/kg, maka harga eceran beras pada tingkat keuntungan petani 20 persen, 25 persen dan 30 persen masing-masing adalah Rp 2.193/kg, Rp 2.266/kg dan Rp 2.340/kg (Tabel 9). Dengan menggunakan data agregat nasional (rataan tujuh kabupaten contoh) diperoleh harga eceran beras produksi petani sebesar Rp 2.306/kg, Rp 2.385/kg dan Rp 2.463/kg, masing-masing pada tingkat keuntungan 20 persen, 25 persen dan 30 persen dari total biaya produksi (Tabel 10).
Tabel 8. Harga Eceran Beras pada Berbagai Tingkat Keuntungan Petani di Jawa, 2001 Uraian Total biaya produksi (Rp/ton/GKP)1) Keuntungan petani (Rp/ton) Harga jual petani (Rp/ton GKP) Equivalen beras (Rp/ton beras) Biaya pengolahan (Rp/ton beras) Transportasi & marjin (Rp/ton beras) Harga eceran beras (provinsi) (Rp/ton)
Tingkat keuntungan petani 20% 25% 30% 881.728 881.728 881.728 264.518 220.432 176.346 1.146.246 1.102.160 1.058.074 2.084.084 2.003.927 1.923.770 99.400 99.400 99.400 320.581 320.581 320.581 2.504.065 2.423.908 2.343.751
1) Total biaya produksi adalah rataan lima kabupaten contoh di Jawa (Indramayu, Majalengka, Klaten, Kediri dan Ngawi). Sumber: Data primer hasil penelitian.
241
Tabel 9. Harga Eceran Beras pada Berbagai Tingkat Keuntungan Petani di Luar Jawa, 2001 Uraian Total biaya produksi (Rp/ton/GKP)1) Keuntungan petani (Rp/ton) Harga jual petani (Rp/ton GKP) Equivalen beras (Rp/ton beras) Biaya pengolahan (Rp/ton beras) Transportasi & marjin (Rp/ton beras) Harga eceran beras (provinsi) (Rp/ton)
Tingkat keuntungan petani 10% 20% 30% 810.159 810.159 810.159 243.048 202.540 162.032 1.053.207 1.012.699 972.191 1.914.921 1.841.270 1.767.620 92.500 92.500 92.500 332.500 332.500 332.500 2.339.921 2.266.270 2.192.620
1) Total biaya produksi adalah rataan dua kabupaten contoh di Luar Jawa (Agam dan Sidrap). Sumber: Data primer hasil penelitian
Tabel 10.
Harga Eceran Beras pada Berbagai Tingkat Keuntungan Petani di Indonesia, 2001 Uraian
Total biaya produksi (Rp/ton/GKP)1) Keuntungan petani (Rp/ton) Harga jual petani (Rp/ton GKP) Equivalen beras (Rp/ton beras) Biaya pengolahan(Rp/ton beras) Transportasi & marjin (Rp/ton beras) Harga eceran beras (provinsi) (Rp/ton)
Tingkat keuntungan petani 10% 20% 30% 863.760 863.760 863.760 259.128 215.940 172.752 1.122.888 1.079.700 1.036.512 2.041.615 1.963.091 1.884.567 97.429 97.429 97.429 324.179 324.179 324.179 2.463.223 2.384.699 2.306.175
1) Total biaya produksi adalah rataan tujuh kabupaten contoh di Indonesia (Indramayu, Majalengka, Klaten, Kediri, Ngawi, Agam dan Sidrap). Sumber: Data primer hasil penelitian.
Tabel 11. Simulasi Tarif Bea Masuk Impor Beras di Indonesia, 20011) Uraian Harga cif (US$/ton) TBM (US$/ton) PPh, PPn, cost (US$/ton) Harga di tingkat importir (US$/ton) NTR (Rp/US$) Keuntungan importir (Rp/ton) (5%) Harga di grosir (Rp/ton) Keuntungan grosir (Rp/ton) (7%) Harga di pengecer (Rp/ton) Keuntungan pengecer (Rp/ton) (10%) Harga beras eceran (Rp/ton)
10% 170 17 17 204 10.373 105.805 2.221.897 155.533 2.377.429 237.743 2.615.172
Tarif bea masuk 20% 170 34 17 221 10.373 114.622 2.407.055 168.494 2.575.548 257.555 2.833.103
30% 170 51 17 238 10.373 123.439 2.592.213 181.455 2.773.668 277.367 3.051.034
1) Simulasi kondisi aktual tahun 2001 dengan harga cif = US$ 170/ton dan nilai tukar rupiah Rp 10.373 per US$.
Simulasi tarif bea masuk (TBM) impor beras di Indonesia tahun 2001, ditampilkan pada Tabel 11. Pada saat itu, harga beras impor (cif) adalah US$ 170/ton dan nilai tukar rupiah sebesar Rp 10.373/US$. Dengan memperhitungkan PPh, PPn dan cost of money sebesar 10 persen, keuntungan importir sebesar 5 persen, dan keuntungan grosir dan pengecer masing-masing sebesar 7 persen dan 10 persen, maka harga eceran beras impor pada TBM 10 persen, 20 persen dan 30 persen, masing-
242
masing adalah Rp 2.615/kg, Rp 2.833/ kg dan Rp 3.051/kg. Bila harga eceran beras impor ini dibandingkan dengan harga eceran beras produksi petani pada Tabel 10, maka TBM yang pantas pada tingkat keuntungan petani 20–30 persen adalah di bawah 10 persen. Tarif bea masuk ini akan semakin meningkat pada tingkat keuntungan petani yang sama (tetap) bila terjadi penguatan nilai rupiah dan adanya penurunan harga beras di pasar internasional.
Tabel 12. Tingkat Tarif Bea Masuk Impor Beras pada Berbagai Tingkat Harga Internasional dan Nilai Tukar Rupiah (%) pada Tingkat Keuntungan Usahatani Sebesar 20%, Menurut Wilayah di Indonesia, 2001 Nilai Tukar (Rp/US$ Nasional 8.500 9.000 9.500 10.000 10.373*) 11.000 Jawa 8.500 9.000 9.500 10.000 10.373*) 11.000 Luar Jawa 8.500 9.000 9.500 10.000 10.373*) 11.000
150
Harga beras di pasar dunia (CIF) (US$/ton) 164 170*) 180
>30 >30 30 20 20 10
>30 30 20 20 10 10
30 20 20 10 <10 <10
20 20 10 <10 <10 <10
20 10 <10 <10 <10 <10
>30 >30 30 30 20 10
>30 30 20 20 10 10
30 20 20 10 <10 <10
20 20 10 <10 <10 <10
20 10 <10 <10 <10 <10
>30 30 20 20 10 10
30 20 10 10 <10 <10
20 10 10 <10 <10 <10
10 10 <10 <10 <10 <10
10 <10 <10 <10 <10 <10
190
Catatan: *) Harga beras dan nilai tukar aktual, tahun 2001.
Tarif bea masuk impor beras pada berbagai tingkat harga internasional (cif) dan nilai tukar rupiah disajikan pada Tabel 12. Pada kondisi aktual (tahun 2001) dengan harga impor beras US$ 170/ton dan nilai tukar rupiah sebesar Rp 10.373/US$ dan pada tingkat keuntungan petani sebesar 20 persen terhadap total biaya produksi petani, maka nilai TBM yang wajar di Indonesia adalah di bawah 10 persen. Bila terjadi penguatan nilai rupiah menjadi Rp 9000/ US$ seperti pada kondisi saat ini (tahun 2002), maka tarif bea masuk harus dinaikkan minimal menjadi sebesar 20 persen. Bila nilai rupiah menguat nenjadi Rp 8.500/US$ sebagai nilai acuan jangka menengah ke depan, maka nilai TBM impor beras minimal adalah 30 persen harga cif untuk mempertahankan tingkat keuntungan petani sebesar 20 persen. Pada kondisi saat ini (2002) dengan nilai tukar rupiah berkisar Rp 9.000/US$ dan dengan adanya peningkatan harga beras di pasar internasional menjadi sekitar US$ 190, maka nilai TBM impor beras minimal adalah sebesar 10 persen. Indikasi penetapan tarif ini juga berlaku bagi Jawa maupun luar Jawa. Di luar Jawa bahkan nilai TBM dapat ditetapkan lebih kecil dari 10 persen. Bila terjadi penguatan nilai tukar rupiah menjadi Rp 8.500/US$ (seperti
yang diharapkan) dan pada tingkat harga beras di pasar internasional sebesar US$ 190/ton, maka tingkat TBM beras secara nasional ditetapkan maksimum sebesar 20 persen dari harga CIF. Bila penetapan tarif menurut wilayah dapat dimungkinkan, maka tingkat TBM beras di luar Jawa dapat ditetapkan lebih rendah, yaitu sebesar 10 persen dari harga CIF, dan petani tetap mendapat keuntungan sebesar 20 persen dari total biaya produksi. PEMASARAN KOMODITAS NON BERAS Ketersediaan dan Perdagangan Domestik Komoditas Jagung Peran penting komoditas jagung meliputi (1) sebagai bahan makanan pokok sebagian masyarakat Indonesia, dan (2) sebagai input utama produksi pakan ternak. Proporsi konsumsi jagung cenderung menurun, sebaliknya konsumsi untuk bahan baku pakan semakin meningkat seiiring perkembangan industri pakan ternak dan industri peternakan terutama unggas. Proporsi produksi jagung sebagai pakan ternak mencapai 70 persen dari produksi jagung
243
Tabel 13. Neraca Produksi dan Konsumsi Jagung di Lokasi Kasus Penelitian, Indonesia, 1995-1999 (ton) Uraian Jawa Tengah 1. Produksi 2. Konsumsi 3. Neraca Kabupaten Klaten 1. Produksi 2. Konsumsi 3. Neraca Jawa Timur 1. Produksi 2. Konsumsi 3. Neraca Kabupaten Kediri 1. Produksi 2. Konsumsi 3. Neraca Sulawesi Selatan 1. Produksi 2. Konsumsi 3. Neraca Kabupaten Sidrap 1. Produksi 2. Konsumsi 3. Neraca Sumber:
1995
1996
1997
1998
1999
Trend
1.865.686 92.986 1.772.700
1.708.223 93.551 1.614.672
1.278.118 94.209 1.183.909
1.806.006 95.714 1.710.292
1.560.823 96.898 1.463.925
-3,11 1,05 -3,37
32.472 2.391 30.081
31.622 2.414 29.208
21.675 2.438 19.237
32.329 2.462 29.867
29.795 2.485 27.310
-1,57 0,97 -1,80
2.820.868 102.864 2.718.004
3.417.489 104.233 3.313.256
3.048.041 104.761 2.943.280
3.765.141 105.360 3.659.781
2.940.444 106.151 2834293
7,06 0,74 7,27
196.363 4.164 192.199
158.829 4.190 154.639
152.162 4.190 147.972
235.962 4.222 231.740
223.610 4.237 219.373
6,81 0,43 6,95
850.250 24.012 826.238
1.024.530 24.248 1.000.282
1.178.773 24.485 1.154.288
989.668 24.725 964.943
858.110 24.965 833.145
-0,20 0,97 -0,23
3.099 739 2.360
1.942 746 1.196
5.859 753 5.106
3.804 761 3.043
1.842 768 1.074
-1,97 0,97 -2,84
Dinas Pertanian Tanaman Pangan (provinsi penelitian) dan Susenas, BPS, Jakarta
nasional sementara untuk konsumsi hanya sekitar 30 persen. Meskipun angka ini dapat diperdebatkan, karena menurut data BPS, produksi jagung Indonesia mencapai 9 juta ton, sementara bahan baku industri pakan ternak hanya sekitar 2,5 juta ton. Tapi dalam kenyataanya, Indonesia mengalami defisit jagung sehingga harus impor dengan volume yang cukup besar yaitu mendekati 1 juta ton pada tahun 2000. Masalah pendataan produksi jagung menyebabkan kerancuan dalam perencanaan produksi dan impor komdotas jagung. Jika benar produksi jagung nasional sebesar 9 juta ton, mestinya Indonesia merupakan negara net eksporter jagung. Jika mengacu pada data BPS, ketersediaan jagung di lokasi penelitian ditunjukkan pada Tabel 13. Konsumsi jagung sebagaimana dimaksud dalam tabel merupakan konsumsi bahan makanan. Konsumsi bahan makanan merupakan bagian kecil dari produksi yang dihasilkan. Nampak pada semua lokasi, baik provinsi maupun kabupaten kasus, produksi jagung jauh lebih tinggi dibandingkan
244
kebutuhan konsumsi masyarakat. Volume jagung yang tersedia sebagai bahan baku industri pakan ternak dapat direfleksikan oleh penjumlahan surplus produksi secara rasional. Permintaan jagung industri pakan merupakan permintaan jagung nasional karena pemenuhannya tidak menekankan dari daerah tertentu. Permintaan pabrik pakan yang besarnya 3,5 juta ton, bila mengacu pada Tabel 13 mestinya dapat dipenuhi dari produksi jagung dalam negeri. Meskipun mengalami surplus, namun dalam kurun waktu 1995-1999 terjadi kecenderungan penurunan produksi jagung di Jawa Tengah maupun Sulawesi Selatan, baik pada tingkat provinsi maupun pada kabupatan kasus. Besarnya penurunan produksi bervariasi berkisar antara 0,2 persen sampai 3 persen per tahun. Sementara itu untuk Provinsi Jawa Timur dan Kabupaten Kediri terjadi peningkatan produksi jagung berkisar 7 persen per tahun selama periode 1995-1999.
Komoditas Cabai Merah Komoditas cabai merupakan salah satu komoditas hortikultura andalan yang memiliki nilai ekonomi tinggi, meskipun menghadapi risiko produksi dan harga yang tinggi. Tabel 14 menunjukkan neraca produkksi dan konsumsi cabai nasional. Pada tahun 1987, konsumsi cabai per kapita sebesar 1,46, kemudian menurun menjadi 1,14 pada tahun 1990, dan 1,06 pada tahun 1993. Pada tahun 1996 dan 1999 konsumsi cabai berkisar 0,9 kg/kapita (Susenas, BPS).
masyarakat terhadap citarasa cabai sehingga relatif stabil dalam jangka waktu tertentu. Komoditas Bawang Merah Komoditas bawang merah memiliki posisi yang hampir sama dengan cabai merah dalam struktur konsumsi masyarakat. Keduanya termasuk dalam bumbu dapur, dan bukan makanan utama, dan bukan juga bahan makanan yang memenuhi kebutuhan kalori. Dengan demikian besarnya permintaan terhadap kedua komoditas ini sangat tergantung dari selera konsumsi
Tabel 14. Neraca Produksi dan Konsumsi Komoditas Cabai Merah di Indonesia, 1995-1999 Tahun
Produksi Volume (000 ton)
1995 1996 1997 1998 1999 Trend (%)/thn
1.590 1.044 802 849 1.008 -12,84
Konsumsi Volume (000 ton) Provinsi (%) 1.431 939 725 783 943 -11,74
90,00 89,94 90,40 92,23 93,55 1,03
Neraca (000 ton) 159 105 77 66 65 -24,05
Sumber: Statistik Indonesia dan Susenas (BPS, Jakarta).
Tabel 15. Neraca Produksi dan Konsumsi Komoditas Bawang Merah di Indonesia, 1995-1999 Tahun
Produksi Vol (000 ton)
1995 1996 1997 1998 1999 Trend (%)/thn
403 523 412 407 628 7,04
Konsumsi Vol (000 ton) Prop (%) 286 376 289 301 465 8,24
70,97 71,89 70,15 73,96 74,04 1,14
Neraca (000 ton) 117 147 123 106 163 3,89
Sumber: Statistik Indonesia dan Susenas (BPS, Jakarta).
Dari Tabel 14, nampak bahwa konsumsi cabai dalam negeri mencapai sekitar 90 persen dari produksi cabai domestik, bahkan cenderung mengalami peningkatan, dimana pada tahun 1999 mencapai 93 persen. Penurunan neraca produksi cabai disebabkan oleh penurunan produksi cabai sebesar 12,8 persen per tahun selama periode 1995-1999, meskipun pada sisi konsumsi juga terjadi penurunan sebesar 11,7 persen per tahun. Besarnya konsumsi domestik menunjukkan bahwa pasar cabai sangat potensial dan menjanjikan, terlebih permintaan terhadap cabai umumnya tergantung pada selera konsumsi
masyarakat. Karena sangat tergantung pada selera, sehingga besarnya permintaan relatif inelastis terhadap perubahan harga dalam kisaran tertentu. Jika perubahan harga di luar kisaran tertentu permintaan bisa berubah sangat besar, karena terjadi penyesuaian selera konsumsi. Tabel 15 menunjukkan produksi dan konsumsi bawang merah pada periode 19951999. Fluktuasi produksi bawang merah relatif stabil pada kisaran 400 ribu ton sampai dengan 600 ribu ton per tahun. Sementara itu kebutuhan konsumsi langsung 286 ribu ton pada tahun 1995 dan cenderung mengalami peningkatan
245
sebesar 8,24 persen per tahun sehingga pada tahun 1999 konsumsi menjadi sebesar 465 ribu ton.
kan alokasi pasar jagung, dimana jenis jagung ini merupakan konsumsi pabrik pakan ternak, bukan konsumsi rumah tangga.
Dengan demikian neraca produksi bawang merah masih surplus sebesar 163 ribu ton pada tahun 1999. Namun demikian kebutuhan industri makanan tidak dapat dipenuhi seluruhnya dari produksi dalam negeri. Hal ini diindikasikan dengan adanya impor bawang merah sekitar 40 ribu ton berbentuk bawang merah segar. Dengan kata lain produksi bawang merah domestik belum mampu memenuhi permintaan dalam negeri, sehingga sebagian harus diimpor. Walaupun impor dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan pada saat bukan musim panen bawang. Impor bawang merah sebagian besar berasal dari Filipina dan India.
Pola pemasaran produksi jagung pada tiga lokasi kasus menunjukkan keseragaman. Penjualan jagung umumnya dilakukan melalui system tebasan atau dalam bentuk pipilan. Proporsi tebasan dominan terjadi di Kediri dan Klaten. Sementara untuk Sidrap umumnya dijual dalam bentuk pipilan kering. Waktu penjualan jagung dilakukan sesaat setelah panen. Tidak ada petani yang menyimpan jagung dalam waktu yang lama, karena akan menanggung kerugian berupa penurunan kualitas jagung karena munculnya alflaktoksin yang menyebabkan jagung tidak diterima oleh pabrik pakan sehingga harga akan jatuh. Lokasi penjualan jagung dilakukan di sawah dan di rumah.
Struktur Pasar dan Marjin Pemasaran
Tipologi iklim tropis yang dimana budidaya jagung umumnya dilakukan pada MK-I dan MK-II secara serentak menyebabkan petani tidak dapat mengatur penanaman. Konsekuensinya panen terjadi hampir bersamaan yang menyebabkan posisi tawar petani menurun, terlebih dihadapkan pada pelaku pasar yang relatif sedikit.
Komoditas Jagung Dalam bahasan ini akan dititikberatkan pada lokasi penelitian dimana komoditas jagung merupakan komoditas substitusi padi, sehingga komoditas ini merupakan komoditas alternatif selain padi yang banyak diusahakan petani terutama pada MK-I dan MK-II, yaitu Klaten, Jawa Tengah, Kediri, Jawa Timur dan Sidrap, Sulawesi Selatan. Pada kasus Kabupaten Klaten, usaha jagung dominan dilakukan pada sawah dengan aksesibilitas sedang dan sebagian kecil di sawah tadah hujan. Budidaya jagung dilakukan pada MK-I dan MK-II, dengan luasan masingmasing sebesar 60 persen dan 100 persen dari luas areal sawah yang diusahakan. Untuk kasus Kabupaten Kediri, budidaya jagung relatif merata, dengan konsentrasi tertinggi pada sawah dengan irigasi kurang dan tadah hujan. Pada irigasi baik selain komoditas jagung, komoditas hortikultura seperti cabai, tomat, dan lain-lain juga diusahakan. Hal senada dijumpai pada kasus Kabupaten Sidrap, dimana usaha jagung terkonsentrasi pada sawah dengan irigasi sedang dan tadah hujan. Varietas jagung yang diusahakan untuk Kabupaten Klaten dan Kediri didominasi oleh jagung hibrida. Sebagian kecil petani menanam jagung komposit, sementara untuk Kabupaten Sidrap proporsi jagung komposit masih cukup besar, meskipun jagung hibrida masih mendominasi. Penggunaan varietas jagung hibrida dan komposit secara implisit sudah menunjuk-
246
Pelaku pasar dalam mata rantai tataniaga jagung terdiri dari petani, penebas, pedagang pengumpul, pedagang tingkat kabupaten, pedagang besar/broker, peternak, industri pakan, dan konsumen. Pelaku pasar yang terlibat langsung dengan produsen adalah penebas atau pedagang pengumpul, dan beberapa peda-gang kabupaten. Dilihat dari jumlah pelaku pasar, jumlah petani jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah pedagang, sehingga struktur pasar jagung di tingkat petani cenderung bersifat oligopsoni. Terlebih lagi untuk jenis jagung hibrida, konsumen akhirnya terbesar hanya pabrik pakan ternak yang jumlahnya hanya beberapa saja. Sebagian kecil peternak meramu pakan sendiri sehingga membeli jagung secara langsung. Dengan demikian price leader dalam pasar jagung dalam negeri adalah pabrik pakan. Sekalipun pada tingkat pedagang pengumpul terjadi persaingan dalam membeli jagung petani, namun karena harga pada tingkat hilir sudah ditetapkan, harga pada tingkat petani menjadi relatif konstan. Persaingan pedagang dalam memperoleh jagung dilakukan tidak melalui mekanisme peningkatan harga jual, namun dalam bentuk pemberian “panjar” (uang
tanda jadi) beberapa hari menjelang jagung dipanen khususnya untuk pola pembelian secara tebasan.
pada saat krisis, sehingga peternak berinisiatif meramu pakan sendiri.
Petani Penebas
Peternak Pedagang pengumpul kecamatan
Pedagang besar
Pedagang luar provinsi
Pabrik pakan Gambar. 3. Rantai Pemasaran Komoditas Jagung
Pada sisi lain petani memiliki akses pasar yang relatif terbatas. Pasar petani hanya kepada penebas, pedagang pengumpul atau pedagang kabupaten, sehingga jangkauan pasar petani menjadi relatif sempit. Hal tersebut menyebabkan aksesibilitas petani terhadap informasi terutama harga juga menjadi terbatas. Pada sisi lain, karakteristik produk jagung yang mudah rusak tidak memungkinkan petani menyimpan dalam waktu lama, dan juga kebutuhan finansial untuk biaya musim tanam berikutnya atau membayar hutang, sehingga terpaksa harus dijual pada saat panen. Faktor-faktor tersebut di atas menyebabkan posisi petani dalam penentuan harga menjadi lemah. Meskipun dalam proses transaksi terjadi tawar menawar harga (price discovery) dan petani dapat menjual produknya kepada siapa saja, namun faktor struktural petani menjadikan petani menempati posisi yang lebih lemah. Saluran pemasaran jagung menunjukkan alur perjalanan jagung dari produsen sampai kepada konsumen akhir, sehingga dapat dijadikan indikasi tingkat efisiensi pemasaran. Pada Gambar 3 disajikan saluran pemasaran jagung di lokasi penelitian. Petani menjual ke pedagang pengumpul atau ke penebas. Berkembangnya peternakan unggas di provinsi ini, menyebabkan permintaan jagung meningkat. Pembelian jagung oleh peternak digunakan sebagai bahan meramu pakan sendiri. Gejala ini muncul terutama sejak melambungnya harga pakan ternak
Pedagang besar, selain menerima jagung dari hasil produksi petani di kabupaten setempat, juga mendatangkan jagung dari luar kabupaten atau bahkan luar provinsi terutama pada saat paceklik. Pedagang besar ini umumnya merupakan pemasok bahan baku industri pakan ternak. Pedagang pengumpul atau kabupaten sulit menembus pabrik pakan karena dilaksanakan dalam bentuk kontrak pengadaan. Kesulitan yang dialami adalah mencari komoditas jagung terutama pada saat tidak panen dan jumlah modal yang disediakan harus cukup besar. Karena pembayaran ke petani harus kontan sementara pembayaran pabrik pakan bisa selang satu-dua minggu. Sumber pengadaan bahan baku industri pakan ternak, selain berasal dari produksi dalam negeri, juga dilakukan impor untuk menjamin kontinuitas pasokan. Permasalahan utama pengadaan dari dalam negeri adalah kontinuitas. Sementara kontrak impor diadakan dalam jangka panjang, tidak bisa bersifat musiman menyesuaikan dengan perilaku produksi jagung dalam negeri. Namun pada saat panen pabrik pakan tetap menyerap dalam jumlah besar produksi jagung lokal untuk disimpan sebagai cadangan bahan baku pada masa yang akan datang. Apabila pada tingkat petani lama penyimpanan tidak bisa lebih dari dua minggu, pada gudang pabrik pakan dapat disimpan lebih dari satu tahun karena pabrik memiliki unit pe-
247
Tabel 16. Analisis Marjin Pemasaran Jagung di Lokasi Penelitian, 2001 (Rp/kg) Klaten
Kediri
Sidrap
Petani a. Harga jual
Uraian
850
800
900
Penebas a. Harga beli b. Biaya pemasaran c. Harga jual d. Profit marjin
850 95 970 25
800 110 930 20
900 75 1.000 25
Pedagang pengumpul a. Harga beli b. Biaya pemasaran c. Harga jual d. Profit marjin
970 60 1.050 20
930 50 1.010 30
1.000 75 1.100 25
Pedagang besar a. Harga beli b. Biaya pemasaran c. Harga jual d. Profit marjin
1.050 45 1.120 30
1.010 38 1.070 22
1.100 50 1.175 25
-
1.070
-
50
75
40
Pabrik pakan a. Harga beli Proporsi pemasaran jagung ke pasar lokal (%)
Sumber: Data primer hasil penelitian di tiga kabupaten penelitian (diolah).
pengeringan dan penyimpanan tersendiri dengan teknologi yang memadai. Dari pihak pabrik pakan sebenarnya lebih memilih menggunakan produksi jagung dalam negeri karena kualitasnya yang lebih baik dari jagung impor meskipun harga jagung impor lebih rendah. Mata rantai yang dilewati sampai kepada konsumen akhir tidak berbeda dengan kasus Sumatera Utara, yaitu antara tiga sampai empat mata rantai. Dengan demikian dilihat dari aspek ini, rantai tataniaga jagung di Provinsi Jawa Timur sebenarnya tidak terlalu panjang. Tingkat efisiensi pemasaran dapat dilihat dari distribusi marjin antar mata rantai pemasaran. Namun demikian efisiensi pemasaran bersifat relatif tergantung dari aspek mana atau pelaku mana melihatnya. Sebagai contoh bagi petani, pemasaran itu dikatakan efisien jika tingkat harga yang diterimanya semakin membaik. Akan tetapi secara umum apabila marjin terdistribusi merata, berarti transmisi harga dari konsumen ke produsen dan sebaliknya dari produsen ke konsumen dapat berjalan dengan baik. Dan hal berlaku sebaliknya apabila terjadi penumpukan marjin pemasaran berarti terdapat pelaku pasar yang mengendalikan pasar, dan menghambat transmisi harga tersebut.
248
Besarnya marjin yang diperoleh antar pelaku pasar komoditas jagung di Jawa Timur disajikan pada Tabel 16. Distribusi marjin pemasaran untuk lokasi kasus dan antar pelaku pasar relatif merata dengan besaran marjin absolut berkisar antara Rp. 20 - 25/kg pada tiap rantai pemasarannya. Rantai pemasaran juga relatif pendek sehingga cukup efisien dalam distribusi jagung dari produsen ke konsumen. Perdagangan antara provinsi terjadi jika produksi jagung pada daerah tersebut kurang atau sebaliknya lebih besar dari permintaan sehingga harus dipasarkan ke luar. Untuk kasus kabupaten Klaten, pemasaran antar daerah dilakukan ke Jawa Timur dimana konsentrasi pabrik pakan terdapat di Jawa Timur. Demikian juga dengan Sulawesi Selatan, alur pemasaran antar provinsi terbesar adalah Jawa Timur. Komoditas Cabai Merah Komoditas cabai merah merupakan salah satu komoditas hortikultura yang bernilai ekonomi tinggi. Pada lokasi penelitian, cabai merupakan salah satu alternatif komoditas selain padi yang dibudidayakan pada lahan sawah. Konsentrasi usahatani cabai sebagai substitusi padi antara lain terjadi di Kabupaten
Petani
Pedagang pengumpul
Pengepul
Pasar
Pengecer
Pedagang luar provinsi
Konsumen Gambar 4. Jalur Pemasaran Komoditas Cabai di Indramayu dan Agam, 2001
Indramayu, Jawa Barat dan Agam, Sumatera Barat. Di Kabupaten Indramayu pemasaran cabai dilakukan dalam bentuk segar atau dengan sistem tebasan, dengan tujuan pasar utama adalah Pasar Induk Kramatjati. Semetara untuk Kabupaten Agam, di samping penjualan dalam bentuk segar, sebagian dilakukan pengolahan menjadi saos, meskipun dalam jumlah kecil. Peluang pasar cabai di Agam cukup tinggi karena konsumsi cabai Sumatera Barat relatif tinggi. Jalur tataniaga komoditas cabai sangat pendek (Gambar 4), bahkan beberapa petani secara bersama di Kabupaten Indramayu memasarkan hasil produksinya langsung ke Pasar Induk Kramatjati, tanpa melalui pedagang perantara. Jalur yang pendek tersebut menyebabkan pemasaran cabai cukup efisien. Pendeknya jalur pemasaran cabai didorong oleh faktor sifat komoditas cabai yang cepat rusak karena dipasarkan dalam bentuk segar, sehingga harus segera sampai pada konsumen. Kondisi ini juga menyebabkan fluktuasi harga cabai menjadi sangat tinggi, karena daya serap pasar harian relatif terbatas. Bila terjadi peningkatan atau penurunan pasokan, harga akan segera menyesuaikan, sehingga fluktuasi harga pasar berubah bahkan dalam ukuran jam. Sebagai kasus, fluktuasi harga cabai selama panen tahun 2001 di Indramayu, yang terdiri atas 18 kali pemetikan, harga berfluktuasi dari Rp 1.500 sampai Rp 7.000 per kg.
Sementara itu di Agam, harga cabe segar di petani adalah Rp 7.500 /kg, sedangkan di pasar Lubuk Basung antara Rp 8.000–Rp 10.000/kg. Dengan demikian fluktuasi harga tidak hanya disebabkan oleh volume produksi pada suatu daerah namun lebih disebabkan volume barang yang masuk pada pasar tujuan. Analisis marjin pemasaran ditampilkan pada Tabel 17. Perolehan marjin pemasaran bagi pedagang pengumpul sebesar Rp 600/kg baik di Indramayu maupun di Agam, sementara pada tingkat pedagang besar, marjin pemasaran sebesar Rp 500-550/kg. Pasar akhir cabai pada kasus Indramayu adalah Pasar Induk Kramatjati, sehingga tidak ada marjin untuk pengecer. Secara keseluruhan nampak bahwa marjin pemasaran komoditas cabai pada tiap rantai tataniaga relatif besar. Hal ini mengindikasikan risiko pemasaran untuk komoditas tersebut cukup besar. Risiko yang ditanggung berupa kerusakan produk dan penyusutan timbangan, dan juga fluktuasi harga pada pasar tujuan. Cepat rusaknya produksi sayuran pada umumnya merupakan salah satu faktor yang menyebabkan fluktuasi harga sangat tinggi, karena tidak bisa disimpan lama. Pengolahan dan teknologi pascapanen yang baik diharapkan dapat me-ngatasi permasalahan seperti ini. Komoditas Bawang Merah Bawang merah sebagai salah satu komoditas substitusi padi di Indramayu, banyak diusahakan petani di lahan sawah di Desa
249
Tabel 17. Analisis Marjin Pemasaran Cabai Lokasi Penelitian, 2001 (Rp/kg) Uraian Petani a. Harga jual Pedagang pengumpul a. Harga beli b. Biaya pemasaran c. Harga jual d. Profit marjin Pedagang besar a. Harga beli b. Biaya pemasaran c. Harga jual d. Profit margjin Pengecer a. Harga beli b. Biaya pemasaran c. Harga jual d. Profit marjin
Indramayu
Agam
2.500
6.500
2.500 300 3.400 600
6.500 250 7.350 600
3.400 400 4.300 500
7.350 400 8.300 550
-
8.300 200 9.000 500
di
Sumber: Data primer hasil penelitian di dua kabupaten contoh
Limpas (desa contoh dengan irigasi baik). Usahatani bawang merah dilakukan sepanjang tahun namun pada musim hujan hanya ditanam pada lahan sawah yang sistem pembuangan air atau drainasenya bagus. Dalam satu tahun umumnya petani dapat mengusahakan empat kali bawang merah, dan setelah diusahakan bawang selama dua tahun umumnya petani menanam padi (MH) satu musim kemudian kembali menanam bawang. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa siklus tanam umumnya dua tahun kembali ke padi. Varietas bawang merah yang umum ditanam petani adalah Bima dan Bangkok. Benih bawang umumnya dibeli secara
kelompok (empat atau lima orang petani) ataupun perorangan dari daerah Brebes dan atau Tegal (Jawa Tengah). Pemasaran hasil produksi bawang oleh petani Desa Limpas 50 persen ditebaskan dan 50 persen sisanya dipanen dan dipasarkan sendiri dan atau berkelompok langsung ke Pasar Induk Kramat Jati. Jumlah penebas bawang dalam satu desa sekitar 10 orang, namun di saat musim panen bawang penebas dari luar desa (jumlahnya cukup banyak dan tidak terdata dengan baik) merupakan pembeli potensial, sehingga pasar bawang merah pada tingkat petani cukup kompetitif. Para penebas bawang umumnya mendapat modal dari pedagang besar (bandar) di Pasar Induk Kramat Jati (PIK). Untuk menjamin perolehan hasil panen, penebas umumnya memberi uang panjar kepada petani menjelang panen. Bagi petani yang memanen sendiri, penjualan umumnya dilakukan di rumah atau secara berkelompok di bawa ke pasar Kramatjati, atau di jual ke bandar. Sebelum penjualan dilakukan penanganan berupa pembersihan dan pengeringan selama kurang lebih satu minggu. Rantai pemasaran komoditas bawang merah disajikan pada Gambar 5. Marjin pemasaran antara pelaku pasar disajikan pada Tabel 18. Besarnya marjin pemasaran antara pedagang pengumpul, pedagang besar dan pengecer bervariasi antara Rp 250 sampai Rp 400/kg di Kabupaten Indramayu, sementara untuk Majalengka variasinya lebih besar yaitu antara Rp 150–Rp 400/kg. Komposisi distribusi marjin di Kabupaten Indramayu
Petani
Pedagang pengumpul
Pedagang luar provinsi
Pasar
Pengecer
Konsumen
Gambar 5. Rantai Pemasaran Komoditas Bawang Merah, Kasus Kabupaten Indramayu, 2001
250
terbesar pada pedagang pengumpul, selanjutnya pengecer, dan terendah pedagang besar. Di Kabupaten Majalengka, marjin tataniaga terbesar diperoleh oleh pengecer, pengumpul, dan pedagang besar pada urutan ke tiga. Besarnya marjin yang diterima oleh pedangang besar relatif kecil per kg-nya, namun volume transaksinya jauh lebih besar dibandingkan dengan pengumpul maupun pengecer. Tabel 18. Analisis Marjin Pemasaran Bawang Merah di Lokasi Penelitian, 2001 (Rp/kg) Uraian Petani a. Harga jual Pedagang Pengumpul a. Harga beli b. Biaya pemasaran c. Harga jual c. Profit marjin Pedagang Besar a. Harga beli b. Biaya pemasaran c. Harga jual d. Profit marjin Pengecer a. Harga Beli b. Biaya Pemasaran c. Harga Jual d. Marjin
Indramayu
Majalengka
3.500
3.800
3.500 600 4.500 400
3.800 200 4.250 250
4.500 250 5.000
4.250 300 4.700
250
150
5.000 100 5.400 300
4.700 150 5.250 400
Sumber: Data primer hasil penelitian di dua kabupaten contoh penelitian.
Tingkat harga yang diterima petani sangat berfluktuatif, namun pada tingkat harga Rp 3500 – 3800/kg petani sudah memperoleh keuntungan yang cukup besar. Titik impas produksi dicapai pada tingkat harga Rp 2000/kg, dengan tingkat produktivitas sekitar 10 ton/ha dan biaya Rp 20 juta/ha. Dengan demikian jika harga jual sebesar Rp 3.500/kg, petani masih memperoleh keuntungan sebesar Rp 15 juta/ha Dinamika Harga dan Keterkaitan Pasar Komoditas Jagung Pada tiga lokasi kasus komoditas jagung, nampak tingkat harga baik produsen maupun konsumen di Jawa Tengah pada posisi terendah dibanding Sulawesi Selatan maupun Jawa Timur. Pada tahun 1999, fluktuasi harga pada
tingkat produsen di Jawa Tengah berkisar antara Rp 800/kg sampai Rp 900/kg; sementara untuk Jawa Timur berkisar antara Rp. 1400 – Rp 1.700/kg. Sementara itu pada kasus Sulawesi Selatan kisarannya antara Rp 900 – Rp 1.100/kg. Sementara itu pada tahun 2000, terjadi penurunan harga menjadi berkisar antara Rp 800 – Rp 1.050/kg di ketiga lokasi contoh. Keragaan yang sama terjadi untuk tingkat harga konsumen, dimana pada tahun 1999, tingkat harga terendah terjadi di Jawa Tengah dan tertinggi di Jawa Timur, namun pada tahun 2000, terjadi penurunan walaupun untuk Jawa timur masih tetap yang tertinggi (Lampiran 4 dan 5). Tingkat harga tertinggi terjadi pada bulan bulan Agustus-Oktober, dimana secara umum panen sudah lewat. Bila dikaitkan dengan harga internasional, sebenarnya pada tahun 2000 terjadi kecenderungan peningkatan harga dibanding dengan tahun 1999. Nampak bahwa penurunan harga jagung dalam negeri tidak terkait langsung dengan harga jagung internasional tapi lebih dipengaruhi oleh faktor perubahan nilai tukar rupiah yang relatif menguat pada tahun 2000 dibanding tahun sebelumnya. Analisis korelasi parsial antara harga produsen, konsumen dan harga internasional menunjukkan keragaman hasil. Korelasi antara harga konsumen dengan harga produsen cukup kuat terjadi di Jawa Timur dan Sulawesi Selatan, sementara untuk kasus Jawa Tengah tingkat korelasi relatif lemah. Sementara itu untuk harga konsumen ataupun harga produsen dengan harga internasional tingkat korelasinya sangat lemah pada ketiga lokasi kasus. Seperti dikemukakan diatas, hal ini diduga karena faktor perubahan nilai tukar rupiah yang berfluktuasi cukup besar (Tabel 19). Tabel 19. Korelasi Harga Produsen, Konsumen dan Harga Internasional Komoditas Jagung di Lokasi Penelitian, 1998-1999 Provinsi Jawa Tengah Jawa Timur Sulawesi Selatan
Prod. vs kons.
Kons vs Cif
Prod vs Cif
0,20 0,94 0,72
0,28 0,16 0,07
0,41 0,11 -0,21
Sumber: Diolah dari data dasar Lampiran 4 dan 5.
Korelasi harga jagung tingkat produsen pada lokasi kasus, nampak tidak berhubungan satu dengan lainnya, kecuali, antara Jawa Timur
251
dengan Sulawesi Selatan, yang memiliki korelasi cukup kuat. Hal ini disebabkan karena pasar jagung Sulawesi Selatan adalah Surabaya dimana pabrik pakan ternak terkonsentrasi (Tabel 19). Berbeda dengan harga produsen, harga konsumen antar lokasi saling terkait cukup erat, namun keterkaitan tertinggi antara Jawa Timur dan Sulawesi Selatan, yang disebabkan karena hubungan perdagangan antar wilayah yang cukup kuat. Korelasi antara harga konsumen Jawa Tengah dengan Sulawesi Selatan relatif kecil (0,66), karena pedagangan antar keduanya tidak terjadi sehingga pengaruh perubahan harga bersifat secara tidak langsung (Tabel 20 dan 21). Tabel. 20. Korelasi Harga Jagung Tingkat Produsen, Antar Lokasi Penelitian, 1998-1999 Provinsi Jawa Tengah Jawa Timur Sulawesi Selatan
Jawa Tengah
Jawa Timur
Sulawesi Selatan
1,00 -0,21 -0,22
1,00 0,79
1,00
Sumber: Diolah dari data dasar pada Lampiran 4 dan 5.
Tabel 21. Korelasi Harga Jagung Tingkat Konsumen, Antar Lokasi Penelitian, 1998 -1999 Provinsi Jawa Tengah Jawa Timur Sulawesi Selatan
Jawa Tengah
Jawa Timur
Sulawesi Selatan
1,00 0,83 0,66
1,00 0,89
1,00
korelasi yang cukup tinggi, namun korelasi antara harga produsen Jawa Barat dan Sumatera Barat relatif tidak nyata, sebaliknya untuk harga konsumen Jawa Barat dengan Sumatera Barat memiliki angka korelasi sebesar 0,75 (Tabel 22). Tabel 22. Korelasi Harga Produsen dan Konsumen Serta Harga Antar Lokasi Komoditas Cabai, 1998-1999 Prod vs kons
Prod Sumbar
Kons Sumbar
Jawa Barat
0,63
0,25
0,75
Sumatera barat
0,97
Provinsi
Sumber: Diolah dari data dasar Lampiran 6 dan 7.
Komoditas Bawang Merah Kasus komoditas bawang merah hanya di Jawa Barat, dimana komoditas ini menjadi komoditas substitusi utama padi. Fluktuasi harga disajikan pada Lampiran 8 dan 9. Dibandingkan dengan komoditas cabai, fluktuasi harga bawang merah relatif lebih kecil baik pada tingkat konsumen maupun tingkat produsen. Kecenderungan harga para tahun 2000 menurun dibandingkan dengan tahun 1999. Harga ratarata tingkat produsen pada tahun 1999 sebesar Rp 5.150 menurun menjadi Rp 3.700/kg pada tahun 2000. Hal yang sama terjadi pada tingkat harga konsumen yang menurun dari rata-rata Rp 10.500/kg menjadi Rp 7.500/kg. Korelasi harga konsumen dengan harga produsen sangat erat dengan koefisien korelasi sebesar 0,96.
Sumber: Diolah dari data dasar Lampiran 4 dan 5
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Komoditas Cabai Merah Fluktuasi harga cabai memiliki selang yang lebih besar baik pada tingkat konsumen maupun tingkat produsen. Pada tahun 1999, harga produsen berfluktuasi antara Rp 2.500/kg – 10.000 di Jawa Barat sementara pada kasus Sumatera Barat, fluktuasinya berkisar antara Rp 4.700 – 17.000/kg. Pada tahun 2000, sekali pun tingkat harga rata-ratanya relatif sama yaitu sekitar Rp 6.000/kg di Jawa Barat dan Rp 9.000/kg di Sumatera Barat, namun kisaran fluktuasinya lebih rendah. Fluktuasi harga konsumen relatif sama dengan harga produsen (Lampiran 6 dan 7). Korelasi harga antara harga produsen dan konsumen menunjukkan tingkat
252
1. Kabupaten dan provinsi penelitian merupakan daerah surplus produksi beras nasional. Secara regional, pulau Jawa merupakan pemasok beras nasional dengan pasokan sekitar 2,5 juta ton/tahun dan Sulawesi sebesar 1,0 juta ton/tahun yang dapat diperdagangkan antar regional dan antar pulau. Konfigurasi surplus-defisit akan mengalami perubahan sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah dan kebebasan bagi petani menanam komoditas yang lebih menguntungkan. Diperlukan rekonsiliasi kebijakan pusat dan daerah yang dapat mengakomodasi peningkatan pendapatan daerah dan
petani, namun tetap dapat menjamin ketersediaan beras di tingkat regional dan nasional. Perlu dicegah alih fungsi lahan pertanian produktif dan perbaikan insentif bagi petani padi. 2. Struktur pasar gabah yang dihadapi petani cukup kompetitif yang diindikasikan oleh banyaknya jumlah pembeli, sistem pembayaran secara tunai dan tidak adanya ikatan permodalan yang menjadi sumber distorsi pasar. Bagian harga yang diterima petani juga relatif tinggi yaitu sekitar 81,8 persen dari harga eceran beras di pasar kabupaten. Namun demikian, posisi tawar petani melalui penguatan infrastruktur pasar (fisik dan kelembagaan) perlu ditingkatkan agar dapat memanfaatkan secara efektif kebijakan harga dalam rangka peningkatan kesejahteraannya. Melalui kerjasama dengan investor (RMU, PT. Pertanin, PT. SHS, dan lain-lain), petani perlu didorong untuk memproduksi beras berkualitas yang memiliki prospektif pasar yang baik dengan tingkat harga yang stabil dan tingkat keuntungan yang lebih tinggi. 3. Dalam periode 2000 – 2001 harga gabah di tingkat kabupaten mengalami peningkatan dan harga eceran beras bersifat stabil, dan harga internasional beras (Rp/ton) mengalami peningkatan sebesar 7,5 persen. Korelasi harga gabah di tingkat produsen dan harga eceran (kabupaten dan provinsi) mengindikasikan adanya keterkaitan pasar yang kuat dengan harga di Pasar Induk Cipinang. Sebaliknya harga internasional memiliki keterkaitan moderat hanya dengan pasar beras di Pasar Induk Cipinang. Sebagian besar (18 lokasi) pasar beras provinsi, tidak termasuk Padang-Sumatera Barat yang terkatagori moderat, terintegrasi secara baik. DKI Jakarta sebagai daerah tujuan pemasaran utama memiliki integrasi pasar yang sangat kuat, dan tidak ada indikasi penguasaan (kontrol) pasar dan bersifat kompetitif. Implikasinya adalah daerah defisit beras dinilai tidak relevan untuk berswasembada, namun tetap perlu difasilitasi agar arus volume barang dapat berjalan secara lancar. 4. Kebijakan stabilisasi harga gabah melalui penterapan harga dasar perlu dilakukan secara komplemen dengan instrumen kebijakan penetapan TBM impor beras, agar mampu menjamin keberlanjutan peningkatan
produksi dan pendapatan petani. Dibandingkan dengan tahun 2001, pelaksanaan pengamanan harga dasar gabah tahun 2002 berjalan lebih baik yang diindikasikan oleh harga gabah di tingkat petani umumnya berada di atas harga dasar. Sasaran kebijakan ini tidak akan efektif, tanpa pengamanan TBM impor beras. Berdasarkan pada nilai tukar rupiah sebesar Rp 10.737/US$ dan tingkat keuntungan petani sebesar 20 persen (return to management), pada tingkat harga beras impor US$ 170/ton, maka TMB impor yang wajar adalah di bawah 10 persen. Pada tahun 2002, dengan adanya penguatan nilai rupiah menjadi Rp 9.000/US$ dan peningkatan harga beras di pasar internasional menjadi sekitar US$ 190/ton, penetapan TBM beras minimal sebesar 10 persen dan petani tetap mendapatkan keuntungan sebesar 20 persen. 5. Neraca produksi dan konsumsi langsung untuk komoditas jagung, cabai dan bawang merah menunjukkan angka surplus, namun belum mampu memenuhi permintaan dari industri pengolah, seperti pabrik pakan ternak dan industri makanan. Dengan demikian peluang pengembangan khususnya komoditas jagung masih sangat terbuka apalagi dihadapkan pada pemintaan input industri pakan ternak yang terus meningkat. Upaya peningkatan areal dan produktivitas dengan menggunakan benih bermutu/hibrida serta sistem usahatani yang baik dapat dijadikan alternatif dalam pengembangan produksi komoditas tersebut. 6. Pada tingkat harga rata-rata, petani telah menerima harga yang wajar, baik untuk komoditas jagung, cabai maupun bawang merah. Permasalahan muncul pada saat panen raya dimana petani tidak dapat menunda memasarkan produksinya karena karakteristik produk yang cepat rusak dan desakan kebutuhan akan modal usaha selanjutnya. Konskuensinya adalah petani sewaktu-waktu harus menerima harga lebih rendah dari biaya pokok sehingga terpaksa menanggung kerugian. Pengembangan teknologi pascapanen yang baik dan kemitraan petani dengan pedagang dan industri pengolah dapat dijadikan opsi dalam membantu petani menghadapi gejolak harga. 7. Struktur pasar dan jalur tataniaga, untuk ketiga komoditas tersebut sudah berjalan
253
dengan baik dan efisien, dilihat dari besarnya marjin dan distribusinya serta dari rantai tataniaga yang ada. Posisi tawar petani yang relatif lemah terutama disebabkan oleh permasalahan internal petani (khususnya permodalan), karakteristik produk yang perlu penanganan cepat, dan lemahnya sistem informasi pasar. Penyediaan jaringan informasi pasar yang baik yang dapat diakses petani dapat membantu petani dalam menghadapi persaingan pasar. Di samping itu peran pemerintah dalam penyediaan kredit dan penguatan kelembagaan petani khususnya yang terkait dengan pasar output memegang peranan penting dalam peningkatan produksi dan pendapatan petani. DAFTAR PUSTAKA Mears, L. 1982. Era Baru Ekonomi Perberasan Indonesia. UGM Press, Yogyakarta.
254
Natawidjaja, R.S. 2001. Dinamika Pasar Beras Domestik. Bunga Rampai Ekonomi Beras (Ed. A. Suryana dan S. Mardianto). LPEM-UI, BPKP-Deptan dan Bappenas. Pranolo, T. 2000. Peran Bulog Sebagai Lembaga Distribusi dan Cadangan Pangan Nasional. Makalah Round-table Kebijakan Harga Gabah, Deptan, Jakarta. Rusastra, I W., B. Rachman, Saptana, S. Friyatno, S. Bachri. 2000. The Impact of Economic Crisis and Policy Adjustment on Agricultural Input Market and Rice Farmr Income in Indonesia. The Workshop of Macro Food Policy. Bappenas, USAID, PSP-IPB, 12–13 September 2000, Bogor. Saefullah, A. 2001. Peran Bulog dalam Kebijakan Perberasan Nasional. Bunga Rampai Ekonomi Beras (Ed. A. Suryana dan S. Mardianto). LPEM-UI, BPKP-Deptan dan Bappenas, Jakarta.
255
256
257
258
259
260
Lampiran 1. Dinamika Harga Bulanan Beras/Gabah Domestik dan Internasional, di Enam Kabupaten, Indonesia, Tahun 2000 Tingkat harga
Jan
Feb
Mrt
Apr
Mei
Juni
Juli
Agst
Sept
Okt
Nop
Des
Ratarata
Gabah tingkat petani (Rp/kg) 700 1. Indramayu (GKP) 700 700 700 700 700 700 750 700 650 900 650 713 2. Majalengka (GKG) 1.360 1.360 1.200 865 1.075 1.155 1.150 1.160 1.100 1.100 1.050 1.100 1.139 3. Klaten (GKG) 1.150 1.200 1.000 1.000 1.000 1.250 1.200 1.200 1.100 1.000 1.100 1.050 1.104 4. Ngawi (GKP) 918 782 769 808 896 894 927 883 878 826 823 834 853 5. Agam (GKP) 1.100 1.100 1.100 1.100 1.100 1.100 1.100 1.100 1.100 1.150 1.075 900 1.085 6. Sidrap (GKP) 750 750 750 800 800 850 800 800 850 850 850 875 810 Harga beras kabupaten (Rp/kg) 2.400 1. Indramayu 2.400 2.100 2.000 1.700 2.200 2.000 1.950 1.850 1.900 1.860 1.835 2.016 2. Majalengka 2.250 2.300 2.150 2.050 1.950 2.100 2.150 2.110 2.040 2.100 2.000 1.950 2.096 3. Klaten 2.500 2.300 2.300 2.300 2.100 2.200 2.000 2.100 1.900 2.000 2.000 1.850 2.129 4. Ngawi 2.200 2.200 2.200 2.100 2.100 2.100 2.100 1.900 1.900 1.900 1.900 1.900 2.042 5. Agam 1.875 2.000 2.000 2.075 2.000 2.175 2.050 2.100 2.225 2.220 2.200 2.100 2.085 6. Sidrap 1.750 1.750 1.563 1.875 1.875 1.875 1.875 1.875 1.875 1.750 1.656 1.750 1.798 Harga beras ibu kota provinsi (Rp/kg) 2.400 1. Jawa Barat 2.400 2.275 2.200 2.200 2.200 2.400 2.400 2.350 2.200 2.200 2.200 2.285 2. Jawa Tengah 2.427 2.427 2.140 2.138 2.169 2.236 2.220 2.174 2.124 2.108 2.108 2.112 2.199 3. Jawa Timur 2.300 2.320 2.200 2.138 2.192 2.220 2.200 2.200 2.102 2.100 2.000 2.000 2.164 4. Sumatera Barat 2.908 2.675 2.858 3.445 3.458 3.458 3.335 3.335 3.335 3.335 3.335 3.335 3.234 5. Sulawesi Selatan 1.946 1.850 1.722 1.934 2.028 2.028 1.754 1.783 1.754 1.752 2.077 2.185 1.901 Harga grosir Cipinang 2.250 2.229 1.929 1.864 1.906 2.010 2.000 1.977 1.863 1.800 1.800 1.800 1.952 Harga beras 202 internasional (FOB) 199 188 180 169 167 166 164 161 163 158 158 173 Bangkok (US$/ton) Harga beras dunia 219 217 205 197 186 184 183 182 179 181 176 176 190 (CIF) Nilai tukar (Rp/US$) 7.425 7.505 7.590 7.945 8.620 8.735 9.003 8.290 8.780 9.395 9.530 9.595 8.534 Harga FOB (Rp/ton) 1.496.880 1.493.495 1.423.125 1.428.511 1.455.056 1.456.998 1.490.897 1.362.047 1.413.580 1.534.204 1.505.740 1.518.889 1.464.952 Harga CIF (Rp/ton) 1.626.818 1.624.833 1.555.950 1.567.549 1.605.906 1.609.861 1.648.449 1.507.122 1.567.230 1.698.616 1.672.515 1.686.801 1.614.304 Catatan: Harga CIF diperoleh dengan menambah biaya cost and insurance dari FOB sebesar US$ 17,5/ton Sumber: - Data harga tingkat petani, kabupaten dan provinsi adalah dari Kabupaten/Provinsi Dalam Angka di lokasi penelitian. - Data harga grosir Cipinang dan harga internasional dari Statistik Bulog, Jakarta.
Lampiran 2. Dinamika Harga Bulanan Beras/Gabah Domestik dan Internasional, di Enam Kabupaten, Tahun 2001 Tingkat harga
Jan
Feb
Mrt
Apr
Mei
Juni
Juli
Agst
Sept
Okt
Nop
Des
Ratarata
Gabah tingkat petani (Rp/kg) 950 1. Indramayu (GKP) 875 900 1.100 1.150 1.200 1.200 1.200 1.200 1.335 1.331 1.467 1.159 2. Majalengka (GKG) 1.200 1.250 1.250 1.100 1.150 1.240 1.180 1.170 1.220 1.200 1.300 1.450 1.226 3. Klaten (GKG) 1.254 1.276 1.281 1.281 1.300 1.251 1.276 1.276 1.351 1.356 1.356 1.438 1.308 4. Ngawi (GKP) 933 861 888 838 882 863 926 1.003 1.125 1.119 1.150 1.213 983 5. Agam (GKP) 950 950 950 950 950 950 950 1.000 1.000 1.000 950 1.000 967 6. Sidrap (GKP) 1.276 1.276 1.233 1.090 1.110 1.110 1.082 1.082 1.082 1.051 1.051 1.051 1.125 Harga beras eceran (Rp/kg) 2.208 1. Indramayu 2.208 2.070 1.913 1.951 2.040 2.044 2.027 2.025 2.025 2.025 2.134 2.056 2. Majalengka 2.000 2.050 2.050 2.050 1.950 2.040 2.120 2.090 2.180 2.180 2.300 2.400 2.118 3. Klaten 2.054 2.076 2.081 2.231 2.100 2.051 2.216 2.196 2.311 2.336 2.356 2.388 2.200 4. Ngawi 2.100 2.200 2.200 2.200 2.200 2.200 2.200 2.275 2.350 2.400 2.500 2.700 2.294 5. Agam 2.020 2.275 2.200 2.188 2.220 2.125 2.100 2.100 2.100 2.100 2.130 2.300 2.155 6. Sidrap 1.875 1.928 2.000 1.875 1.838 1.750 1.700 1.800 2.150 2.150 2.250 2.400 1.976 Harga beras ibu kota provinsi (Rp/kg) 2.286 1. Jawa Barat 2.500 2.631 2.408 2.306 2.278 2.278 2.278 2.278 2.278 2.362 2.446 2.361 2. Jawa Tengah 2.197 2.278 2.279 2.279 2.320 2.354 2.400 2.400 2.400 2.400 2.516 2.631 2.371 3. Jawa Timur 2.166 2.210 2.207 2.123 2.100 2.100 2.100 2.100 2.100 2.100 2.331 2.563 2.183 4. Sumatera Barat 3.240 3.335 3.335 3.312 3.312 3.312 3.312 3.312 3.312 3.312 3.298 3.285 3.306 5. Sulawesi Selatan 1.901 1.752 1.863 1.910 1.895 1.900 1.834 1.834 1.834 1.834 2.038 2.243 1.903 Harga grosir Cipinang 1.889 2.070 1.990 1.950 1.998 2.000 2.075 2.075 2.175 2.300 2.575 2.575 2.139 Harga beras 158 internasional (FOB) 154 146 139 142 149 152 153 161 158 159 163 153 Bangkok (US$/ton) Harga beras dunia 176 171 164 157 160 166 170 171 179 176 177 181 170 (CIF) Nilai tukar (Rp/US$) 9.450 9.835 10.400 11.675 11.058 11.440 9.525 8.865 9.675 10.435 10.430 10.400 10.266 Harga FOB (Rp/ton) 1.493.100 1.509.673 1.521.000 1.622.825 1.570.236 1.698.840 1.451.610 1.356.345 1.557.675 1.650.817 1.661.499 1.695.200 1565.735 Harga CIF (Rp/ton) 1.658.475 1.681.785 1.703.000 1.827.138 1.763.751 1.899.040 1.618.298 1.511.483 1.726.988 1.833.430 1.844.024 1.877.200 1.745.384 Catatan: Harga CIF diperoleh dengan menambah biaya cost and insurance dari FOB sebesar US$ 17,5/ton Sumber: - Data harga tingkat petani, kabupaten dan provinsi adalah dari Kabupaten/Provinsi Dalam Angka di lokasi penelitian. - Data harga grosir Cipinang dan harga internasional dari Statistik Bulog, Jakarta.
Lampiran 3. Perubahan Harga Bulanan Beras/Gabah Domestik dan Internasional di Enam Kabupaten, Tahun 2000-2001 Tingkat harga
Jan
Gabah tingkat petani (Rp/kg) 35,7 1. Indramayu (GKP) -11,8 2. Majalengka (GKG) 9,0 3. Klaten (GKG) 1,6 4. Ngawi (GKP) -13,6 5. Agam (GKP) 70,1 6. Sidrap (GKP) Harga beras eceran (Rp/kg) -8,0 1. Indramayu -11,1 2. Majalengka -17,8 3. Klaten -4,5 4. Ngawi 7,7 5. Agam 7,1 6. Sidrap Harga beras ibu kota provinsi (Rp/kg) -4,8 1. Jawa Barat -9,5 2. Jawa Tengah -5,8 3. Jawa Timur 11,4 4. Sumatera Barat -2,3 5. Sulawesi Selatan Harga grosir Cipinang -16,0 Harga beras internasional -21,6 (FOB) Bangkok (US$/ton) Harga beras dunia (CIF) -19,9 Nilai tukar (Rp/US$) 27,3 Harga FOB (Rp/ton) -0,3 Harga CIF (Rp/ton) 1,9
Feb
Mrt
Apr
Mei
Juni
Juli
Agst
25,0 -7,4 6,3 10,1 -13,6 70,1
28,6 4,2 28,1 15,4 -13,6 64,4
57,1 27,2 28,1 3,7 -13,6 36,3
64,3 7,0 30,0 -1,6 -13,6 38,8
71,4 7,4 0,1 -3,5 -13,6 30,6
71,4 2,6 6,3 -0,1 -13,6 35,3
60,0 0,9 6,3 13,6 -9,1 35,3
-8,0 -10,9 -9,7 0,0 13,8 10,2
-1,4 -4,7 -9,5 0,0 10,0 28,0
-4,4 0,0 -3,0 4,8 5,4 0,0
14,8 0,0 0,0 4,8 11,0 -2,0
-7,3 -2,9 -6,8 4,8 -2,3 -6,7
2,2 -1,4 10,8 4,8 2,4 -9,3
4,2 -6,1 -4,7 24,7 -5,3 -7,1
15,6 6,5 0,3 16,7 8,2 3,2
9,5 6,6 -0,7 -3,9 -1,2 4,6
4,8 7,0 -4,2 -4,2 -6,6 4,8
3,5 5,3 -5,4 -4,2 -6,3 -0,5
-22,9
-22,0
-22,7
-15,9
-21,0 31,0 1,1 3,5
-20,1 37,0 6,9 9,5
-20,7 46,9 13,6 16,6
-14,4 28,3 7,9 9,8
Sept
Ratarata
Okt
Nop
Des
71,4 10,9 22,8 28,2 -9,1 27,3
105,4 9,1 35,6 35,5 -13,0 23,6
47,9 23,8 23,3 39,7 -11,6 23,6
125,7 318 37,0 45,3 11,1 20,1
62,7 7,6 18,5 15,3 -10,9 38,8
3,9 -0,9 4,6 19,7 0,0 -4,0
,5 6,9 21,6 23,7 -5,6 14,7
6,6 3,8 16,8 26,3 -5,4 22,9
8,9 15,0 17,8 31,6 -3,2 35,9
16,3 23,1 29,1 42,1 9,5 37,1
2,0 1,0 3,3 12,3 3,3 10,5
-5,1 8,1 -4,5 -0,7 4,6 3,8
-5,1 10,4 -4,5 -0,7 2,9 5,0
-3,1 13,0 -0,1 -0,7 4,6 16,7
3,5 13,9 0,0 -0,7 4,7 27,8
7,4 19,4 16,6 -1,1 -1,9 43,1
11,2 24,6 28,2 -1,5 2,7 43,1
3,3 7,8 0,9 2,2 0,1 9,6
-11,0
-8,0
-6,9
0,0
-3,1
0,8
3,0
-11,6
-9,9 31,0 16,6 18,0
-7,2 5,8 -2,6 -1,8
-6,2 6,9 -0,4 0,3
0,0 10,2 10,2 10,2
-2,8 11,1 7,6 7,9
0,7 9,4 10,3 10,3
2,7 8,4 11,6 11,3
-10,5 20,3 6,9 8,1
Catatan: Harga CIF diperoleh dengan menambah biaya cost and insurance dari FOB sebesar US$ 17,5/ton Sumber: - Data harga tingkat petani, kabupaten dan provinsi adalah dari Kabupaten/Provinsi Dalam Angka di lokasi penelitian. - Data harga grosir Cipinang dan harga internasional dari Statistik Bulog, Jakarta.
Lampiran 4. Dinamika Harga Bulanan Jagung Domestik dan Internasional, di Lokasi Penelitian, Tahun 1999 Tingkat harga Tingkat petani (pipil) 1. Jawa Tengah 2. Jawa Timur 3. Sulawesi Selatan Harga eceran*) 1. Jawa Tengah 2. Jawa Timur 3. Sulawesi Selatan Harga internasional (cif London) (US $/ton) Sumber:
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Ags
Sep
Okt
Nop
Des
Rata-rata
812 1.463 917
792 1.441 917
807 1.456 1.014
833 1.628 1.031
850 1.754 1.029
810 1.600 1.021
906 1.771 1.022
895 1.634 1.013
882 1.605 1.018
878 1.570 1.137
833 1.375 1.093
824 1.332 1.080
844 1.552 1.024
1.144 1.593 1.269
1.099 1.635 1.281
1.059 1.627 1.248
1.150 1.748 1.214
1.251 1.886 1.226
1.251 1.717 1.250
1.240 2.105 1.254
1.203 1.980 1.270
1.160 1.910 1.235
1.168 1.895 1.233
1.160 1.730 1.188
1.124 1.113 971
1.167 1.745 1.220
104,00
104,00
104,00
96,63
96,25
97,63
99,13
100,00
96,00
94,13
94,25
95,00
98,42
- Data harga tingkat petani, kabupaten dan provinsi adalah dari Kabupaten/Provinsi Dalam Angka di lokasi penelitian. - Data harga grosir Cipinang dan harga internasional dari Statistik Bulog, Jakarta.
Lampiran 5. Dinamika Harga Bulanan Jagung Domestik dan Internasional, di Lokasi Penelitian, Tahun 2000 Tingkat harga Jan Tingkat petani (tongkol kering) 1. Jawa Tengah 808 2. Jawa Timur 808 3. Sulawesi Selatan 911 Harga eceran*) 1. Jawa Tengah 1.013 2. Jawa Timur 1.094 3. Sulawesi Selatan 924 Harga internasional (cif 95,00 London) (US $/ton) Sumber:
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Ags
Sep
Okt
Nop
Des
Rata-rata
800 779 887
813 804 866
846 868 873
885 909 877
909 927 878
919 967 871
941 971 878
952 976 879
947 1.033 944
948 1.023 934
961 1.030 916
894 925 893
963 1.036 870
936 1.017 807
976 1.085 792
1.030 1.113 802
1.039 1.119 794
1.077 1.157 803
1.112 1.272 803
1.121 1.305 818
1.114 1.320 800
1.122 1.328 840
1.126 1.335 832
1.052 1.182 824
92,17
93,25
94,63
94,50
96,25
100,00
103,00
103,00
103,00
103,00
103,00
98,40
- Data harga tingkat petani, kabupaten dan provinsi adalah dari Kabupaten/Provinsi Dalam Angka di lokasi penelitian. - Data harga grosir Cipinang dan harga internasional dari Statistik Bulog, Jakarta.
Lampiran 6. Dinamika Harga Bulanan Cabai Merah Domestik dan Internasional, di Lokasi Penelitian, Tahun 1999 Tingkat harga
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Ags
Sep
Okt
Nop
Des
Rata-rata
Harga tingkat petani 1. Jawa Barat
7.935
10.326
9.517
9.022
7.687
6.603
5.294
3.493
2.957
2.982
3.250
2.504
6301
16.184
16.665
16.925
10.182
8.755
10.518
8.722
5.198
4.777
6.040
5.186
5.338
9541
28.979
36.708
32.681
29.256
24.593
19.888
13.850
10.531
8.049
7.639
7.704
5.093
18.748
2. Sumatera Barat 23.206 21.690 22.849 12.870 Sumber: Provinsi dalam Angka (Kantor Statistik, provinsi penelitian)
10.837
11.768
8.512
5.365
4.690
5.565
5.699
4.780
11.486
2. Sumatera Barat Harga eceran 1. Jawa Barat
Lampiran 7. Dinamika Harga Bulanan Cabai Merah Domestik dan Internasional, di Lokasi Penelitian, Tahun 1999 Tingkat harga
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Ags
Sep
Okt
Nop
Des
Rata-rata
Tingkat petani 1. Jawa Barat
4.263
5.791
7.048
7.008
8.184
7.159
7.089
6.543
6.170
6.308
6.774
6.721
6.588
2. Sumatera Barat
8.850
16.506
14.887
14.835
14.646
9.514
8.588
8.070
7.979
6.408
7.801
8.118
10.517
6.364
9.301
10.051
10.788
11.247
10.131
10.144
9.253
8.159
7.840
7.959
8.563
9.150
2. Sumatera Barat 7.393 14.231 15.765 15.146 15.281 Sumber: Provinsi dalam Angka (Kantor Statistik, provinsi penelitian).
10.272
9.096
8.402
8.029
7.352
8.804
8.167
10.662
Harga eceran 1. Jawa Barat
Lampiran 8. Dinamika Harga Bulanan Bawang Merah Domestik dan Internasional, di Lokasi Penelitian, Tahun 1999 Tingkat harga
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Ags
Sep
Okt
Nop
Des
Rata-rata
Tingkat petani - Jawa Barat
6.636
7.318
7.160
6.978
6.994
5.966
5.420
4.486
2.717
2.659
2.819
2.736
5.157
15.045
16.512
16.476
15.164
13.556
11.987
10.141
7.623
5.494
5.080
4.842
4.627
10.546
Harga eceran - Jawa Barat
Sumber: Jawa Barat dalam Angka (Kantor Statistik Jabar, Bandung)
Lampiran 9. Dinamika Harga Bulanan Bawang Merah Domestik dan Internasional, di Lokasi Penelitian, Tahun 2000 Tingkat harga
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Ags
Sep
Okt
Nop
Des
Rata-rata
Tingkat petani - Jawa Barat
1.619
1.714
3.019
3.535
4.257
4.300
4.506
4.072
4.048
4.153
4.653
4.765
3.720
4.133
4.803
7.554
8.035
8.353
8.177
8.828
7.962
7.104
7.920
8.539
9.070
7.540
Harga eceran - Jawa Barat
Sumber: Jawa Barat dalam Angka (Kantor Statistik Jabar, Bandung)