IV. ANALISIS PASAR DAN PEMASARAN
Dalam menganalisis aspek pasar dan pemasaran, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan, seperti kedudukan produk saat ini, komposisi dan perkembangan permintaan produk, serta kemungkinan adanya persaingan. Pada saat memasuki pasar harus memperkirakan pasar potensial agar sumber daya yang dimiliki dapat dimanfaatkan secara efektif. Pasar potensial adalah sejumlah konsumen yang mempunyai kadar minat tertentu pada tawaran tertentu (Kotler, 2000). Biskuit ikan termasuk dalam kategori pangan bergizi yang kandungan komponen aktifnya dapat memberikan manfaat bagi kesehatan, di luar manfaat yang diberikan oleh zat gizi yang terkandung di dalamnya (Wildman & Kelley 2007). Oleh karena itu, konsumen produk biskuit ikan terbagi berdasarkan status gizi bayi dan balita di seluruh Indonesia, serta daerah rawan bencana. Produk utama yang diproduksi adalah biskuit ikan, sedangkan tepung mix yang dihasilkan merupakan produk hasil pencampuran antara tepung ikan lele dengan isolat protein kedelai yang digunakan sebagai bahan baku pelengkap utama pembuatan biskuit ikan, serta sebagai pelengkap bahan baku pembuatan kue dan makanan yang bernilai tambah cukup tinggi. Potensi pasar biskuit ikan cukup besar karena pada saat ini tidak ada industri biskuit yang memproduksi biskuit ikan, sedangkan permintaan akan makanan tambahan yang dapat meningkatkan gizi balita dalam waktu relatif singkat sangat dibutuhkan untuk dapat meningkatkan status gizi balita di Indonesia. Tentu saja dengan harga yang terjangkau. Selain itu, biskuit ikan juga dapat digunakan sebagai salah satu alternatif pangan bantuan bencana, mengingat bahwa Indonesia merupakan wilayah negara yang rawan terkena bencana alam.
A. Potensi Pasar Biskuit ikan merupakan biskuit yang dihasilkan dari tepung mix, yaitu campuran antara tepung ikan lele dan isolat protein kedelai yang mengandung protein tinggi dan sangat dibutuhkan bagi balita yang menderita kekurangan energi dan protein (KEP). Biskuit ikan tidak lagi hanya sekedar makanan yang dapat memenuhi kebutuhan energi, mengenyangkan perut atau memberi kenikmatan dengan rasanya yang lezat serta penampilan menarik, namun juga mempertimbangkan terhadap potensi aktifitas fisiologi komponen yang dikandungnya. Di lain pihak, tepung ikan lele merupakan salah satu tepung pangan berbahan baku ikan segar. Mengingat bahwa keberadaan tepung pangan berbahan baku ikan segar masih sangat jarang di Indonesia, kebanyakan tepung ikan yang dihasilkan diperuntukan sebagai pakan ternak. Sampai saat ini tidak tersedia data pasti mengenai kebutuhan dalam negeri, nilai ekspor, maupun impor tepung ikan untuk pangan sebab belum terdapat industri yang mengolah ikan segar menjadi tepung ikan untuk pangan. Begitu pula untuk biskuit ikan yang termasuk ke dalam kategori biskuit bergizi, karena kebanyakan biskuit yang dijual di pasaran merupakan jenis biskuit konvensional yang lebih mengarah pada makanan ringan dan makanan tambahan. Oleh karena itu, untuk mengetahui potensi konsumsi biskuit ikan dan tepung mix yang akan diproduksi dapat diperkirakan dari volume kebutuhan biskuit berdasarkan data jumlah balita berstatus gizi kurang dan jumlah balita di daerah rawan bencana di Indonesia. Akan tetapi permintaan potensial
31
akan produk biskuit ikan sebenarnya akan jauh lebih besar dari perkiraan ini, terutama apabila diketahui jumlah permintaan biskuit oleh konsumen dalam negeri. Kebutuhan akan biskuit ikan di Indonesia didekati dengan menggunakan data laporan nasional riset kesehatan dasar akan status gizi bayi dan balita tahun 2010, pemetaan daerah rawan bencana di Indonesia, serta persentase rata-rata jumlah balita yang menjadi korban bencana alam selama ini. 1. Pasar Balita Berstatus Gizi Buruk dan Kurang Status gizi balita Indonesia dinilai berdasarkan parameter antropometri yang terdiri dari berat badan dan panjang/tinggi badan. Indikator status gizi yang digunakan adalah: berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB). Berdasarkan pengumpulan data yang dilakukan oleh tim survei Riskesdas di beberapa daerah yang telah mulai dilakukan sejak bulan Juni 2010 dan berakhir pada tanggal 8 Agustus 2010 sampel yang terkumpul datanya adalah sekitar 96,5% dari 2.800 dan siap untuk dianalisis. Hasil analisis menunjukkan bahwa prevalensi balita kurang gizi (balita yang mempunyai berat badan kurang) secara nasional adalah sebesar 17,9% diantaranya 4,9% yang gizi buruk. Prevalensi balita gizi kurang menurut provinsi yang tertinggi adalah Propinsi NTB (30,5%), dan terendah adalah Propinsi Sulut (10,6%). Sementara itu prevalensi balita pendek (stunting) secara nasional adalah sebesar 35,6%, dengan rentang 22,5% (DI Yogyakarta) sampai 58,4% (NTT). Prevalensi balita kurus (wasting) secara nasional adalah sebesar 13,3%, dengan prevalensi tertinggi adalah Provinsi Jambi (20%), dan terendah adalah Bangka Belitung (7,6%). Prevalensi balita menurut tiga indikator status gizi (BB/U, TB/U dan BB/TB) dapat dilihat pada Tabel 4.1. Tabel 4.1 Status Gizi Balita Pada Tahun 2007 dan 2010
PROPINSI
BB/U
TB/U
BB/TB
GIZI BURUK & KURANG (%)
PENDEK
KURUS
(%)
(%)
2007
2010
2007
2010
2007
2010
1. Nanggroe Aceh Darussalam 2. Sumatera Utara
26,5 22,8
23,7 21,4
44,6 43,1
38,9 42,3
18,3 17,0
14,2 14,0
3. Sumatera Barat
20,2
17,1
36,5
32,8
15,3
8,2
4. R i a u
21,4
16,2
33,0
32,2
22,1
17,2
5. Jambi
18,9
19,6
36,4
30,2
19,2
20,0
6. Sumatera Selatan
18,3
19,9
44,7
40,4
15,8
14,6
7. Bengkulu
16,8
15,3
36,0
31,6
14,1
17,8
8. Lampung
17,5
13,4
38,7
36,3
13,7
13,9
9. Bangka Belitung
18,3
14,9
35,5
29,0
10,8
7,6
10. Kepulauan Riau
12,4
14,0
26,2
26,9
13,5
7,9
11. DKI Jakarta
12,9
11,3
26,7
26,6
16,9
11,3
12. Jawa Barat
15,0
13,0
35,5
33,6
9,0
11,0
13. Jawa Tengah
16,1
15,7
36,5
33,9
11,8
14,2
14. DI Yogyakarta
10,9
11,2
27,6
22,5
9,0
9,1
15. Jawa Timur
17,5
17,1
34,8
35,9
13,7
14,2
16. Banten
16,7
18,5
39,0
33,5
14,1
14,1
32
Tabel 4.1 Status Gizi Balita Pada Tahun 2007 dan 2010 (Lanjutan)
PROPINSI
BB/U
TB/U
BB/TB
GIZI BURUK &KURANG
PENDEK
KURUS
(%)
(%)
(%) 2007
2010
2007
2010
2007
2010
17. B a l i
11,4
11,0
31,0
29,3
10,0
13,2
18. Nusa Tenggara Barat
24,8
30,5
43,7
48,2
15,5
14,0
19. Nusa Tenggara Timur
33,6
29,4
46,8
58,4
20,0
13,2
20. Kalimantan Barat
22,5
29,1
39,3
39,7
17,3
16,7
21. Kalimantan Tengah
24,3
27,6
42,7
39,6
16,9
15,6
22. Kalimantan Selatan
26,6
22,9
41,8
35,3
16,3
15,6
23. Kalimantan Timur
19,3
17,1
35,2
29,1
15,9
12,9
24. Sulawesi Utara
15,7
10,6
31,2
27,8
10,2
9,2
25. Sulawesi Tengah
27,6
26,5
40,4
36,2
15,5
14,8
26. Sulawesi Selatan
17,6
25,0
29,1
38,9
13,7
12,0
27. Sulawesi Tenggara
22,8
22,8
40,5
37,8
14,7
15,8
28. Gorontalo
25,4
26,5
39,9
40,3
16,6
11,9
29. Sulawesi Barat
25,4
20,5
44,5
41,6
16,8
16,7
30. Maluku
27,8
26,2
45,8
37,5
17,2
13,2
31. Maluku Utara
22,8
23,6
40,2
29,4
14,8
17,8
32. Papua Barat
23,1
26,5
39,4
49,2
16,4
11,4
33. P a p u a
21,3
16,2
37,7
28,3
12,4
13,8
INDONESIA Sumber: Riskesdas (2010)
18,4
17,9
36,8
35,6
13,6
13,3
Secara nasional prevalensi balita gizi buruk dan kurang menurun sebanyak 0,5 % yaitu dari 18,4 % pada tahun 2007 menjadi 17,9 % pada tahun 2010. Demikian pula halnya dengan prevalensi balita pendek yang menurun sebanyak 1,2 % yaitu dari 36,8 % pada tahun 2007 menjadi 35,6 % pada tahun 2010, dan prevalensi balita kurus menurun sebanyak 0,3 % yaitu dari 13,6 % pada tahun 2007 menjadi 13,3 % pada tahun 2010. Untuk lebih jelasnya komposisi prevalensi balita gizi kurang dan gizi buruk (BB/U) menurut provinsi tahun 2010 disajikan pada Tabel 4.2.
33
Tabel 4.2 Prevalensi Balita Gizi Kurang dan Gizi Buruk (BB/U) Menurut Provinsi Tahun 2010 Status Gizi BB/U (%)
Propinsi
Gizi buruk 1. Nanggroe Aceh Darussalam 2. Sumatera Utara 3. Sumatera Barat 4. R i a u 5. Jambi 6. Sumatera Selatan 7. Bengkulu 8. Lampung 9. Bangka Belitung 10. Kepulauan Riau 11. DKI Jakarta 12. Jawa Barat 13. Jawa Tengah 14. DI Yogyakarta 15. Jawa Timur 16. Banten 17. B a l i 18. Nusa Tenggara Barat 19. Nusa Tenggara Timur 20. Kalimantan Barat 21. Kalimantan Tengah 22. Kalimantan Selatan 23. Kalimantan Timur 24. Sulawesi Utara 25. Sulawesi Tengah 26. Sulawesi Selatan 27. Sulawesi Tenggara 28. Gorontalo 29. Sulawesi Barat 30. Maluku 31. Maluku Utara 32. Papua Barat 33. P a p u a INDONESIA
Gizi kurang
Gizi Buruk+ Gizi Kurang
7,1 7,8 2,8 4,8 5,4 5,5 4,3 3,5 3,2 4,3 2,6 3,1 3,3 1,4 4,8 4,8 1,7 10,6 9,0 9,5 5,3 6,0 4,4 3,8 7,9 6,4 6,5 11,2 7,6 8,4 5,7 9,1
16,6 13,5 14,4 11,4 14,3 14,4 11,0 10,0 11,7 9,8 8,7 9,9 12,4 9,9 12,3 13,7 9,2 19,9 20,4 19,7 22,3 16,8 12,7 6,8 18,6 18,6 16,3 15,3 12,9 17,8 17,9 17,4
23,7 21,4 17,1 16,2 19,6 19,9 15,3 13,4 14,9 14,0 11,3 13,0 15,7 11,2 17,1 18,5 11,0 30,5 29,4 29,1 27,6 22,9 17,1 10,6 26,5 25,0 22,8 26,5 20,5 26,2 23,6 26,5
6,3
10,0
16,2
13,0 2,911,627
17,9 4,009,086
(%) 4,9 (Jiwa)1,097,459
Sumber: Riskesdas (2010)
34
Terdapat perbedaan perkembangan prevalensi balita gizi buruk dan kurang, balita pendek dan balita kurus dari tahun 2007 ke 2010 antara daerah kota dan desa. Di daerah kota secara umum terjadi penurunan prevalensi balita gizi buruk dan kurang, balita pendek dan balita kurus. Di daerah desa tidak terjadi penurunan prevalensi. Di daerah kota prevalensi balita gizi Burkur menurun dari 15,9 % tahun 2007 menjadi 15,2 % tahun 2010 (Gambar 4.1), prevalensi balita pendek turun dari 32,7 % tahun 2007 menjadi 31,4 % tahun 2010 (Gambar 4.2), dan prevalensi balita kurus turun dari 13,1 % tahun 2007 menjadi 12,5 % tahun 2010 (Gambar 4.3).
Gambar 4.1 Pravelensi Balita Gizi Kurang dan Gizi Buruk Menurut Indikator BB/U di Daerah Desa dan Kota, di Indonesia, Tahun 2007 dan 2010 Sumber: Riskesdas (2010)
Gambar 4.2 Pravelensi Balita Gizi Pendek dan Sangat Pendek Menurut Indikator TB/U di Daerah Desa dan Kota, di Indonesia, Tahun 2007 dan 2010 (Sumber: Riskesdas 2010)
35
Gambar 4.3 Pravelensi Balita Gizi Kurus dan Sangat Kurus Menurut Indikator BB/TB di Daerah Desa dan Kota, di Indonesia, Tahun 2007 dan 2010 (Sumber: Riskesdas 2010) Hasil Riskesdas 2010 juga menunjukan bahwa 40,6% penduduk mengkonsumsi makanan dibawah kebutuhan minimal (kurang dari 70% dari Angka Kecukupan Gizi/AKG) yang dianjurkan tahun 2004. Berdasarkan kelompok umur dijumpai 24,4% balita mengkonsumsi makanan dibawah kebutuhan minimal. Sementara itu proporsi penduduk tertinggi dengan konsumsi < 70% AKG adalah NTB (46,6%), dan terendah adalah provinsi Bengkulu (23,7%). Berdasarkan data persentase status gizi balita yang disajikan pada Tabel 4.2 di atas permintaan pasar akan biskuit ikan yang dibutuhkan oleh seluruh balita yang mengalami gizi kurang bernilai cukup besar. Pasar potensial berdasarkan status gizi balita yang dijadikan sasaran pasar biskuit ikan adalah kategori balita di atas dengan memperhatikan jumlah dan penyebaran balita dengan status gizi kurang di Indonesia. Berdasarkan data yang didapatkan oleh Riskesdas 2010, terdapat 13% balita gizi kurang yang tersebar di 33 propinsi di Indonesia. Jumlah balita Indonesia berumur satu hingga lima tahun pada 2009, yaitu sejumlah 22.109.704 jiwa, dengan peningkatan sebesar 1,3% pada tahun 2010 diperkirakan jumlahnya menjadi 22.397.130 jiwa (Data Statistik Indonesia, 2009). Sehingga didapatkan balita bergizi kurang di Indonesia sebesar 2.911.627 jiwa. Apabila diperkirakan nilai dari pangsa pasar adalah sebesar 0,28% dari jumlah balita bergizi kurang di Indonesia, maka jumlah balita gizi kurang yang harus ditingkatkan status gizinya berjumlah 8.153 jiwa. 2. Balita Korban Bencana Berbagai daerah di Indonesia merupakan titik rawan bencana, terutama bencana gempa bumi, tsunami, banjir, dan letusan gunung berapi. Wilayah Indonesia dikepung oleh lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia, dan lempeng Pasifik yang sewaktu-waktu lempeng ini dapat bergeser patah dan menimbulkan gempa bumi. Selanjutnya jika terjadi tumbukan antar lempeng tektonik dapat menghasilkan tsunami, seperti yang terjadi di Aceh dan Sumatera Utara. Catatan dari Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (DVMBG) Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral menunjukan bahwa ada 28 wilayah di Indonesia yang dinyatakan rawan gempa dan tsunami. Di antaranya NAD, Sumatra Utara, Sumatra Barat, Bengkulu, Lampung, Banten, Jateng dan DIY bagian Selatan, Jatim bagian Selatan, Bali, NTB dan NTT. Kemudian Sulut,
36
Sulteng, Sulsel, Maluku Utara, Maluku Selatan, Biak, Yapen dan Fak-Fak di Papua serta Balikpapan Kaltim. Namun sangat disayangkan, dari berbagai bencana alam yang menimpah Indonesia data jumlah balita yang menjadi korban tidak tersedia secara riil dan lengkap. Seperti bencana tsunami yang melanda Aceh 2004 lalu, menurut petugas Lembaga Informasi Nasional (LIN) diperkirakan jumlah balita yang berada di seluruh tempat pengungsian sekitar 1/8 (12.5%) dari total seluruh pengungsi yang berjumlah melebihi 400,000 jiwa. Bahkan, Badan Kordinasi Nasional (Bakornas) Penanggulangan Bencana Aceh tidak memiliki data resmi yang dapat menunjukkan jumlah balita di antara ratusan ribu pengungsi yang ada. Semua balita yang ada membutuhkan makanan pendamping untuk perbaikan gizi selama berada di tempat pengungsian selain susu dan makanan pokok. Selain digunakan sebagai makanan pendamping untuk meningkatkan gizi balita, produk biskuit ikan ini dapat digunakan sebagai bantuan makanan untuk peningkatan gizi balita di tempat pengungsian. Karena bentuk biskuit yang ringkas, ringan, langsung makan, dan juga mengenyangkan, biskuit merupakan salah satu andalan pangan yang diberikan kepada korban bencana terutama balita. Dengan melihat kandungan gizi per takaran penyajian, biskuit ikan sudah dapat memenuhi syarat pangan bantuan bencana. Kebutuhan pasar akan biskuit ikan yang dibutuhkan oleh seluruh balita yang menjadi korban bencana bernilai cukup besar. Berdasarkan data perkiraan jumlah korban bencana tsunami Aceh 2004, balita yang ikut menjadi korban berjumlah lebih dari 50,000 jiwa. Namun, pangsa pasar berdasarkan jumlah balita korban bencana tidaklah dapat dipastikan, karena diharapkan tidak terjadi bencana alam di Indonesia. Oleh karena itu, perkirakan pangsa pasar biskuit ikan untuk balita korban bencana alam adalah sebesar 1% dari jumlah balita korban bencana tsunami Aceh 2004, yaitu sebesar 500 jiwa balita. Berdasarkan data persentase status gizi balita serta jumlah balita yang rawan menjadi korban bencana alam, permintaan pasar akan biskuit ikan dianggap cukup besar dan dibutuhkan oleh seluruh balita yang mengalami gizi kurang dan balita yang berada di daerah rawan bencana alam. Pangsa pasar yang dijadikan sasaran pasar biskuit ikan adalah kedua kategori balita di atas dengan memperhatikan jumlah dan penyebaran balita dengan status gizi kurang dan buruk, serta pemetaan daerah rawan bencana di Indonesia. Oleh karena itu, dapat diperkirakan nilai dari pangsa pasar total biskuit ikan adalah seluruh volume kebutuhan biskuit ikan sejumlah 8.653 jiwa balita yang didasari atas data jumlah status gizi balita buruk sebesar 8.153 jiwa dan jumlah balita rawan korban bencana alam sebesar 500 jiwa. Kebutuhan biskuit ikan yang cukup besar di berbagai daerah di Indonesia memberikan peluang besar untuk pengembangan produk tersebut. Dalam usaha peningkatan status gizi balita, biskuit ikan dapat digunakan sebagai makanan pendamping yang tinggi akan protein dan berfungsi untuk mencukupi Angka Kecukupan Gizi (AKG). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Mervina (2009), biskuit dengan substitusi tepung ikan dan isolat protein kedelai, berdasarkan hasil proksimat dan perhitungan energi, per 50 gram diperoleh kandungan zat gizi per takaran penyajian yang disajikan pada Tabel 4.3.
37
Tabel 4.3 Kandungan Zat Gizi dan Energi per Takaran Penyajian (50 gram) Energi dan Zat Gizi
Jumlah per Sajian (gram)
Energi (kkal)
240
Protein (gram)
9.8
Karbohidrat (gram)
26.9
Lemak (gram)
10.6
Sumber: Mervina (2009) Berdasarkan hasil penelitian tersebut, untuk dapat meningkatkan status gizi balita secara maksimal diperkirakan setiap balita harus mengkonsumsi biskuit ikan sebanyak 4 keping/bungkus selama 90 hari. Itu artinya, jumlah biskuit ikan untuk dapat memenuhi kebutuhan 8.653 jiwa balita per tahun yang terhitung dalam potensi pasar selama kurun waktu 90 hari adalah sebanyak 3.115.080 keping biskuit/ tahun yang terbagi menjadi 778.770 bungkus/ tahun. Untuk membuat seluruh jumlah kebutuhan biskuit tersebut maka diperlukan tepung daging ikan lele, tepung kepala ikan lele, dan isolat protein kedelai yang cukup banyak. Dalam pembuatan 60 keping biskuit diperlukan takaran satu adonan yang terdiri dari 35 gram tepung daging ikan lele, 15 gram tepung kepala ikan lele, dan 100 gram isolat protein kedelai, serta 850 gram bahan lainnya (tepung terigu, margarin, gula halus, baking soda, susu, mentega, dan soda kue). Sehingga untuk membuat 3.115.080 keping biskuit/ tahun diperlukan tepung daging ikan lele sebanyak 1.817 kg/ tahun, tepung kepala ikan lele sebanyak 779 kg/ tahun, dan 5.192 kg isolat protein kedelai/ tahun. Jumlah ini hanyalah sebesar kebutuhan pasar potensial utama, namun karena keterbatasan data konsumsi biskuit balita maka pada perhitungan tidak dimasukkan, hal ini berarti permintaan potensial sebenarnya jauh lebih besar dari nilai yang diperkirakan. Untuk lebih jelasnya perhitungan akan kebutuhan biskuit ikan dan tepung mix yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 4.4. Tabel 4.4 Perkiraan Perhitungan Kebutuhan Biskuit Ikan dan Tepung Mix Perkiraan Kebutuhan Jumlah Balita (Jiwa) 8.653/ Tahun
Biskuit Ikan (keping biskuit)
Tepung Daging (kg)
Tepung Kepala (kg)
3.115.080/ tahun
1.817/ tahun
779/ tahun
Isolat Protein Kedelai (kg) 5.192/ tahun
Pemenuhan akan seluruh kebutuhan biskuit ikan untuk 8.653 jiwa balita dilakukan dalam kurun waktu setahun dengan pemberian biskuit selama 90 hari. Jadi pemenuhan biskuit untuk seluruh balita tersebut dilakukan secara bergiliran. Disamping itu, dengan penambahan probiotik di dalam biskuit ikan ini dapat mengubah kategori biskuit dari pangan bergizi menjadi pangan fungsional dapat menjadikan peningkatan status gizi balita lebih cepat karena mengandung probiotik yang merupakan suplemen pangan berupa mikroba hidup yang dapat memberi pengaruh yang menguntungkan bagi kesehatan dan kehidupan inangnya (Salminen et al, 2004).
38
Dikaji dari jumlah kebutuhan yang potensial akan biskuit ikan dan tepung mix yang cukup tinggi, maka peluang untuk mendirikan industri ini diduga cukup prospektif, terutama ditelaah dari besarnya angka status gizi kurang dan jumlah balita di daerah rawan bencana di Indonesia. Hal ini mendukung pendirian industri biskuit berbasis tepung ikan lele dan isolat protein kedelai untuk menjadi salah satu bahan pangan bergizi yang digunakan dalam peningkatan gizi balita Indonesia.
B. Analisis Persaingan Bila diamati akhir-akhir ini, banyak sekali industri biskuit yang menawarkan produk ataupun merek baru baik lokal maupun impor bagi segmen balita, anak-anak maupun remaja. Dengan banyak bermunculan perusahaan baru di industri biskuit maka makin memperketat persaingan pasar yang telah terjadi sebelumnya sehingga diharapkan para ‘pemain baru’ ini mampu bersaing dengan industri biskuit yang sejenis agar mendapat tempat di hati konsumen. Salah satu pembagian jenis biskuit yang tersedia di pasar adalah berdasarkan usia pengguna, yaitu balita usia enam bulan hingga lima tahun. Peruntukan biskuit balita ini adalah sebagai makanan pendamping asi. Biskuit yang diberikan adalah biskuit yang memang ditujukan untuk balita berusia enam hingga lima tahun yang mengandung zat gizi seperti karbohidrat, lemak, protein, mineral, dan vitamin karena balita pada usia tersebut memang memerlukan makanan tambahan pendamping asi dengan kandungan zat gizi yang memang diperlukan dalam tahap tumbuh kembang balita. Beberapa contoh biskuit balita beserta detail keterangannya dapat dilihat pada Tabel 4.5. Tabel 4.5. Biskuit Balita dan Detail Keterangannya
Nama Biskuit
Jumlah/ Kemasan (keping)
Berat Bersih (gr)
Harga/ Kemasan (Rp)
Komposisi Protein (% AKG)
Farley Classic
12
120
8.900
9
Toddler
15
120
11.900
5
Milna
12
130
10.900
10
SUN
24
130
7.900
10
Gambar Kemasan
Biskuit balita yang ditawarkan kepada para konsumen cukup banyak jenis dan mereknya, seperti Milna, Toddler, Farley, Sun dan masih banyak lagi. Biskuit balita, seperti Farley, Toddler, dan Milna memiliki kemasan berupa karton dengan gambar yang menarik di depannya, sedangkan biskuit Sun merupakan biskuit bayi jenis marie dengan kemasan plastik LDPE nilon. Takaran per sajian biskuit bayi ini antara 2 hingga 4 keping dengan massa berkisar antara 20-23 gram. Berdasarkan
39
persen AKG, biskuit balita yang banyak tersedia di pasaran memiliki komposisi protein paling tinggi sebesar 10%. Berdasarkan hasil pengumpulan data yang dilakukan di Giant Supermarket Botani Square Bogor, menunjukkan bahwa merek biskuit balita yang biasa dibeli oleh konsumen (ibu balita) adalah biskuit balita Farley jenis classic. Alasan konsumen yang paling utama dalam membeli biskuit Farley Classic adalah karena teksturnya yang lembut dan langsung cair apabila terkena air liur, sehingga tidak membahayakan balita yang belum mempunyai gigi. Media informasi yang paling berpengaruh yang menjadi sarana konsumen dalam mengenal dan mengetahui produk biskuit adalah melalui media mouth to mouth. Melihat salah satu kenyataan yang terjadi di pasar, biskuit balita Farley Classic merupakan biskuit yang mendominasi pasar konsumen menengah ke atas. Sehingga dapat dikatakan pesaing utama biskuit ikan untuk kalangan konsumen menengah ke atas adalah biskuit Farley Classic. Namun sangat disayangkan ketidaktersediaan biskuit balita untuk konsumen menengah ke bawah, biasanya konsumen kalangan ini mendapatkan biskuit makanan pendamping asi yang berasal dari posyandu ataupun para ibu dari kalangan ini biasa memberikan balita mereka bubur hasil buatan sendiri. Biskuit yang diberikan oleh posyandu hanya berupa biskuit susu yang tinggi kandungan karbohidrat. Untuk itu, biskuit ikan yang kaya protein sangat cocok untuk diberikan pada balita dari kalangan menengah ke bawah. Selain itu, pesaingnya juga tidak sebanyak dan sekuat biskuit untuk kalangan menengah ke atas. Di lain pihak, biskuit ikan belum memiliki pesaing yang benar-benar sejenis, dalam artian belum ada biskuit balita yang terbuat dari tepung ikan. Pesaing terdekat dari biskuit ikan adalah biskuit WFP. Biskuit WFP merupakan biskuit yang diproduksi oleh PT. Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk yang menjalin kerjasama dengan United Nations Word Food Programe (WFP) dalam produksi biskuit. Biskuit yang dihasilkan oleh PT. TPS atau biasa disebut dengan biskuit WFP tidak untuk dijual, karena biskuit WFP merupakan program bantuan perbaikan gizi balita dan anak sekolah dasar. Biskuit WFP disumbangkan bagi anak-anak Sekolah Dasar (SD) dan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) dengan daerah tujuan seperti Makasar, Medan,Surabaya, Jakarta, Kupang dan Aceh. Biskuit WFP ini dilengkapi atau difortifikasi dengan 9 vitamin dan 5 mineral. Biskuit yang diproduksi PT. TPS termasuk biskuit keras yang mengandung 70% tepung terigu, sehingga biskuit WFP yang dihasilkan memiliki rasa manis susu gurih, aroma khas milk, bentuk persegi empat dengan tulisan WFP, warna kuning kecoklatan, kadar air 1,8-5%. Berat biskuit tiap pack dengan standart 50 gr (Endah Yulianingsih, 2007). Biskuit ikan dan biskuit WFP memiliki tujuan utama yang sama, yaitu untuk memperbaiki gizi balita Indonesia. Namun, kandungan yang terdapat dalam biskuit ikan sangat berbeda dengan kandungan yang terdapat dalam biskuit WFP. Biskuit WFP merupakan biskuit yang kaya akan karbohidrat, karena mengandung 70% tepung terigu yang memang lebih banyak mengandung karbohidrat dibandingkan protein. Sedangkan untuk meningkatkan status gizi balita zat gizi proteinlah yang lebih diperlukan daripada karbohidrat, seperti protein yang terkandung dalam biskuit ikan, yaitu sebesar 25% berdasarkan AKG. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa biskuit ikan masih mempunyai peluang pasar yang cukup besar untuk memasuki pangsa pasar makanan bantuan perbaikan gizi balita Indonesia.
40
C. Strategi Pemasaran Faktor yang menentukan dalam pencapaian keberhasilan suatu industri adalah kemampuan industri tersebut memenuhi kebutuhan konsumen melalui pemasaran produk yang dilakukan oleh industri yang bersangkutan. Untuk mencapai keberhasilan tersebut diperlukan suatu strategi yang tepat dalam memasarkan produk biskuit ikan dan tepung mix. Industri biskuit berbasis tepung mix memerlukan strategi pemasaran dan bauran pemasaran yang tepat. Pemasaran produk difokuskan pada daerah-daerah dengan tingkat status gizi balita kurang yang tinggi. Secara lebih spesifik, strategi pemasaran yang akan dilakukan pada tahap awal meliputi: 1. Segmentasi Segmentasi pasar adalah usaha pemisahan pasar pada kelompok-kelompok pembeli menurut jenis-jenis produk tertentu dan yang memerlukan bauran pemasaran tersendiri. Perusahaan menetapkan berbagai cara yang berbeda dalam memisahkan pasar tersebut, kemudian mengembangkan profil-profil yang ada pada setiap segmen pasar, dan penentuan daya tarik masingmasing segmen. Segmentasi pasar produk biskuit ikan dibedakan berdasarakan demografis dan kelas sosial, sedangkan tepung mix dibedakan berdasarkan jenis industri pengguna. Secara lebih lengkap, segmentasi pasar biskuit ikan dan tepung mix akan dijelaskan berikut ini. a. Segementasi Pasar Makanan Pendamping ASI Makanan pendamping Air Susu Ibu (ASI) atau yang biasa dikenal sebagai makanan bayi terbagi ke dalam dua kategori utama, yaitu biskuit dan bubur. Bubur yang diperuntukan untuk bayi berupa bubur instant dengan berbagai rasa dan juga terbagi ke dalam kategori umur bayi, mulai dari enam bulan hingga dua tahun. Sedangkan biskuit hanya dibedakan berdasarkan rasanya, karena biskuit yang digunakan sebagai makanan pendamping asi tidaklah dibedakan berdasarkan umur. Balita yang dapat mengkonsumsi biskuit adalah bayi dan balita yang sudah memliki gigi atau bayi minimum berusia enam bulan dengan cara mencairkan biskuit di dalam susu. Biskuit bayi yang banyak tersedia di pasar merupakan biskuit konvensional dengan harga jual rata-rata cukup tinggi yang hanya bisa dijangkau oleh konsumen dengan pendapatan menengah ke atas. Sedangkan balita dari kalangan bawah yang memang sangat membutuhkan makanan pendamping asi tidaklah mampu untuk mengkonsumsi biskuit balita yang berharga cukup mahal bagi mereka. Segmen pasar biskuit ikan berdasarkan demografis ditujukan pada balita dengan usia satu hingga lima tahun yang memang membutuhkan makanan pendamping asi dengan zat gizi yang memenuhi syarat AKG. Balita yang membutuhkan biskuit ikan adalah seluruh balita dengan status gizi, mulai dari gizi baik maupun kurang. Balita dengan status gizi baik mengkonsumsi biskuit ikan sebagai makanan tambahan alternatif dari yang sudah tersedia di pasaran, sedangkan balita dengan status gizi kurang menggunakan biskuit ikan sebagai makanan tambahan utama yang dapat meningkatkan status gizi mereka dengan waktu yang relatif singkat. Selain berdasarkan faktor demografis, segmen pasar biskuit ikan juga berdasarkan faktor geografis, yaitu berdasarkan persentase penyebaran jumlah balita dengan status gizi kurang dan buruk di seluruh propinsi di Indonesia, seperti di wilayah Jawa barat, NTB, dan NTT yang memiliki status gizi kurang dan buruk mencapai angka di atas 19%, yaitu berjumlah lebih dari 3.000 balita.
41
b. Segmentasi Pasar Makanan Bencana Saat terjadi bencana alam sering kali para korban mendapat bantuan mi instan. Padahal, dalam kondisi darurat, makanan ini tidak praktis dan sangat merepotkan. Selain dibutuhkan air bersih untuk memasaknya, korban juga membutuhkan kompor yang belum tentu tersedia. Menurut Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) diperlukan makanan darurat yang praktis, tetapi bergizi dan memenuhi kebutuhan pangan korban bencana alam. Makanan darurat ini menjadi sumber karbohidrat dan protein bagi korban bencana alam. Terdapat sedikitnya tujuh makanan utama yang diperlukan saat terjadinya bencana, antara lain: 1). Air Air merupakan zat terpenting di dalam setiap tubuh manusia. Manusia dapat bertahan tanpa makan, namun tidak tanpa minum. Disamping itu, kehadiran air juga sangat berguna untuk keperluan lain seperti mandi, memasak dan mencuci. 2). Biskuit Biskuit merupakan salah satu makanan yang sangat berguna setiap saat. Tidak hanya pada saat bencana, di situasi apapun biskuit yang mengandung lemak dan karbohidrat tentunya dapat mengisi perut yang lapar. 3). Kacang-kacangan Kacang merupakan sumber karbohidrat yang penting untuk menambah energi pada tubuh. Selain untuk menambah energi, kacang juga merupakan camilan dan makanan yang sehat untuk tubuh. 4). Makanan kaleng Ikan, daging, sayuran yang dikemas dalam kaleng tentu memiliki waktu kadaluarsa yang lama. Memberikan makanan kaleng bagi para korban bencana merupakan langkah tepat karena makanan kaleng banyak mengandung protein dan lemak yang dapat memberi sumber tenaga bagi tubuh. 5). Susu bubuk Susu merupakan minuman yang kaya akan kalsium dan vitamin D bagi tubuh. Selain itu, susu yang memiliki rasa manis juga merupakan minuman yang dapat membuat perut kenyang karena juga banyak mengandung lemak dan protein. 6). Multivitamin Multivitamin berguna untuk meningkatkan daya tahan tubuh saat mengalami suatu bencana.Vitamin dapat berfungsi sebagai pengganti nutrisi yang terkandung di dalam makanan.
42
7). Selai kacang Kacang merupakan salah satu sumber energi bagi tubuh. Kacang banyak mengandung lemak dan karbohidrat yang tentunya dapat membuat perut terasa kenyang dan menjadikan sumber energi. Tentu selai kacang merupakan makanan yang memiliki waktu kadaluarsa yang lama. Dalam konteks penanganan bencana, pemberian bantuan berupa makanan untuk bayi dan balita tidak bisa dilakukan dengan sembarangan agar bantuan yang akan kita berikan dengan niat baik, tidak berubah menjadi sumber permasalahan baru bagi korban yang selamat. Biasanya bahan makanan yang diberikan untuk bayi dan balita korban bencana berupa susu formula dan biskuit. Biskuit yang diberikan pada para balita ini adalah biskuit khusus untuk usia bawah lima tahun. Namun sangat disayangkan, kebanyakan pemberian biskuit balita ini berasal dari pemerintah setempat, bukan dari perusahaan penghasil biskuit balita ataupun donatur. Hal ini terjadi karena para donatur tidak membedakan jenis biskuit yang mereka sumbangkan. Sehingga sering ditemui kurangnya pasokan bahan pangan untuk balita. 2. Penetapan Target Setelah proses segmentasi pasar selesai dilakukan, maka dapat diketahui beberapa segmen yang dianggap potensial untuk dimasuki. Secara umum, penetapan pasar dilakukan dengan mengevalusi kelebihan setiap segmen, kemudian dilakukan penentuan target pasar yang akan dilayani. Targetting adalah suatu tindakan memilih satu atau lebih segmen pasar yang akan dimasuki. Target pasar dari produk biskuit ikan dan tepung mix dijelaskan sebagai berikut. Target pasar produk biskuit ikan adalah balita dengan status gizi kurang dan balita yang terkena bencana alam di Indonesia, sedangkan target pasar tepung mix adalah industri biskuit dan industri bakery. Namun, segmen pasar lain yang potensial menggunakan tepung mix akan dilayani dengan persentase lebih kecil dibanding pasar utama. a. Target Pasar Makanan Pendamping ASI Target pasar produk biskuit ikan sebagai makanan pendamping asi ditentukan dari jumlah status gizi balita kurang dan buruk yang memiliki persentase paling tinggi, yaitu NTB, NTT, dan Jawa Barat. Berdasarkan evaluasi pada tiap segmen pasar serta kemudahan distribusi, segmen pasar wilayah Jawa Barat merupakan wilayah yang mempunyai nilai tertinggi dari segi volume potensial kebutuhan biskuit ikan karena wilayah Jawa Barat merupakan wilayah dengan kabupaten terbanyak yang memiliki cukup banyak penduduk berusia balita dengan status gizi kurang sebesar 9,9% atau 1.468 balita serta wilayah terdekat dari tempat dihasilkannya biskuit ikan tersebut. Selain itu, pemilihan wilayah Jawa Barat sebagai target pasar biskuit ikan dikarenakan pemerintah daerah Jawa Barat sangatlah peduli terhadap status gizi balita di wilayahnya dengan menggalakan program Pemberian Makanan Tambahan (PMT) untuk balita gizi kurang dan buruk. Oleh karena itu, pasar wilayah Jawa Barat merupakan pasar yang memberikan nilai tertinggi dibandingkan pasar lainnya, sehingga menjadikan target utama pasar yang akan dilayani, namun segmen pasar lainnya pun akan dilayani, tetapi bukan sebagai segmen utama.
43
b. Target Pasar Makanan Bencana Sama halnya dengan penentuan target pasar makanan pendamping asi, penentuan pasar makanan bencana juga dikaji dari segmen pasar yang memiliki nilai tertinggi baik dari segi kebutuhan pasar, nilai tambah yang dihasilkan, dan perkembangan di masa yang akan datang. Berdasarkan dari evaluasi pada setiap segmen, target pasar makanan bencana yang dibidik adalah kebutuhan biskuit balita kaya protein yang khusus ditujukan untuk balita korban bencana. Biskuit balita untuk penanganan bencana adalah segmen utama yang dilayani, namun tidak menutup kemungkinan segmen lain pun akan dilayani menyesuaikan dengan kapasitas produksi yang dimiliki. 3. Positioning Salah satu elemen penting dari strategi pemasaran adalah positioning, yaitu bagaimana menempatkan keunggulan produk yang sesuai dengan keinginan konsumen. Dengan menempatkan keunggulan di benak konsumen, hal ini akan menumbuhkan kepuasan konsumen sekaligus akan membedakan produk dari para pesaing di benak target pasar. Jika diamati pada keadaan pasar, produk biskuit ikan dan tepung mix (campuran tepung ikan lele dan isolat protein kedelai) masih sangat jarang ditemukan terutama di kalangan produsen dalam negeri, sehingga masih sangat potensial untuk dikembangkan. Namun perlu diperhatikan saat ini pesaing biskuit ikan adalah biskuit balita yang telah dahulu berada di pasaran, sedangkan pesaing tepung mix ini adalah tepung yang juga berasal dari bahan baku dalam negeri, seperti tepung jagung dan tepung singkong. Selain itu, pesaing muncul dari industri yang menghasilkan produk yang dapat disubstitusi oleh biskuit ikan dan tepung mix. Melalui kegiatan positioning, perusahaan harus mampu membentuk citra produk unggulan dimana persepsi konsumen terhadap biskuit ikan dan tepung mix yang diproduksi sebagai produk yang lebih unggul dibanding dengan produk pesaing dengan kualitas yang dapat dipercaya. Elemen positioning yang dimiliki oleh biskuit ikan dan tepung mix adalah elemen benefit positioning. Benefit positioning dari biskuit ikan dan tepung mix adalah produk dibuat sesuai dengan kebutuhan konsumen yang memang memerlukan gizi tinggi untuk meningkatkan status gizi mereka. Biskuit ikan terbuat dari tepung mix, campuran antara tepung ikan lele dengan isolat protein kedelai, yang menjadikan biskuit ikan menjadi biskuit berbahan baku pelengkap hewani pertama di Indonesia. Benefit positiong biskuit ikan berupa kandungan zat gizi yang terkandung di dalamnya, yaitu kandungan protein sebesar 25% per takaran penyajian berdasarkan persen Angka Kecukupan Gizi (AKG), sehingga dapat dikatakan bahwa biskuit ikan merupakan biskuit berprotein tinggi. Selain benefit positioning, biskuit ikan juga memiliki atribut positioning berupa nama, yaitu biskuit ikan karena saat ini belum ada biskuit ikan lain di Indonesia selain biskuit ikan yang berasal dari tepung ikan lele dumbo yang menjadi pelopor biskuit berbahan baku hewani di Indonesia. Oleh karena itu, diharapkan dengan pemberian nama biskuit ikan, semua konsumen akan mengingat biskuit ikan lele dumbo apabila mendengar sebutan biskuit ikan. Positioning dari biskuit ikan dan tepung mix lebih mengutamakan kualitas, manfaat, dan spesifikasi tersandar dari kebutuhan konsumen tersebut, karena pengguna merupakan balita usia satu hingga lima tahun yang berstatus gizi kurang dan buruk dengan harapan dapat meningkatkan status gizi mereka dalam waktu yang cukup singkat. Oleh karena itu, positioning dari biskuit ikan dan tepung mix adalah barang berkualitas dengan tingkat manfaat dan kegunaan yang tinggi. Berbeda dengan positioning dari pesaing biskuit ikan, yaitu berupa biskuit balita konvensional yang lebih menonjolkan kegunaan biskuit balita sebagai makanan pendamping asi sekaligus mengenalkan balita terhadap makanan padat pertamanya. Sehingga kebanyakan biskuit yang dibuat mengandung susu
44
dalam komposisi besar dan menghasilkan karbohidrat tinggi tanpa mementingkan zat gizi lain yang memang dibutuhkan dalam jumlah besar oleh balita untuk tumbuh kembangnya. Salah satu pesaing utama biskuit ikan adalah biskuit balita seperti Farley Classic yang memiliki atribut positioning berupa keberadaannya sebagai biskuit balita paling pertama dan kedudukannya sebagai biskuit balita paling diminati dan dikenal oleh konsumen. 4. Bauran Pemasaran Bauran pemasaran (marketing mix) merupakan seperangkat alat pemasaran yang digunakan perusahaan untuk terus menerus mencapai tujuan pemasarannya di pasar sasaran. Alat-alat itu diklasifikasikan menjadi empat kelompok yang luas yang disebut empat P dalam pemasaran, yaitu produk (product), harga (price), tempat (place), dan promosi (promotion) (Kotler, 2000). 1. Strategi Produk Strategi produk sangat perlu disiapkan dengan baik oleh suatu perusahaan yang berkaitan dengan produk yang dipasarkannya. Strategi produk yang tepat akan menempatkan perusahaan dalam suatu posisi persaingan yang lebih unggul daripada pesaingnya. Produk yang dihasilkan oleh industri berbasis tepung ikan lele dan isolat protein kedelai adalah biskuit ikan dan tepung mix. a. Strategi Produk Biskuit Ikan Produk adalah sesuatu yang ditawarkan dan dapat memuaskan keinginan dan kebutuhan konsumen. Menurut tujuan pemakaian, biskuit ikan yang diproduksi merupakan barang konsumsi, karena dapat langsung dikonsumsi oleh konsumennya, yaitu untuk memenuhi kebutuhan para balita, terutama balita berstatus gizi kurang. Standarisari yang digunakan dalam produksi biskuit ikan pada perusahaan ini mengacu pada SNI 01-4445-1998 sebagai syarat mutu biskuit bayi dan balita. Standar syarat mutu biskuit bayi dan balita (SNI 01-4445-1998) dapat dilihat pada Tabel 4.6. Tabel 4.6 Syarat Mutu Biskuit Bayi dan Balita (SNI 01-4445-1998) Tahun 1998 Kriteria Uji (Parameter) Keadaan (bau,warna,rasa,tekstur) Kadar air (% b/b) Kadar Protein (% b/b) Kadar Abu (% b/b) Kadar Lemak (% b/b) Serat Kasar (% b/b) Karbohidrat (% b/b) Kalori (kal/100 gr) Bahan Tambahan Makanan - pewarna dan pemanis buatan Besi, Fe (mg/kg) Kalsium, Ca (% b/b) Cemaran logam: - Timbal, Pb (mg/kg) - Tembaga, Cu (mg/kg) - Seng, Zn (mg/kg)
Persyaratan Mutu Disajikan dengan Susu Disajikan tanpa Susu Normal Normal Minimum 5.0 Minimum 5.0 Maksimum 6.5 Maksimum 10.0 Maksimum 2.0 Maksimum 2.0 6.0-11.0 6.0-11.0 Maksimum 0.5 Maksimum 0.5 Minimum 75.0 Minimum 70.0 Minimum 370.0 Minimum 390.0 Tidak boleh ada Maksimum 140.0 Maksimum 1.0
Tidak boleh ada Maksimum 140.0 Maksimum 1.0
Maksimum 0.3 Maksimum 5.0 Maksimum 40.0
Maksimum 0.3 Maksimum 5.0 Mansimum 40.0
45
Tabel 4.6 Syarat Mutu Biskuit Bayi dan Balita (SNI 01-4445-1998) Tahun 1998 (Lanjutan) Kriteria Uji (Parameter) - Timah, Sn (mg/kg) - Raksa, Hg (mg/kg) - Arsen, As (mg/kg) Cemaran Mikroba - TPC (koloni/g) - E.coli (APM/g) - Salmonela (koloni/25 g) - Staphylococcus aureus (cfu/g)
Persyaratan Mutu Disajikan dengan Susu Disajikan tanpa Susu Maksimum 40.0 Maksimum 40.0 Maksimum 0.03 Maksimum 0.03 Maksimum 0.1 Maksimum 0.1 Maks 1.0 x 104 <3 Negatif Maks 1.0 x 102
Maks 1.0 x 104 <3 Negatif Maks 1.0 x 102
Sumber: Badan Standarisasi Nasional, LIPI (1998) Biskuit ikan yang dihasilkan dari tepung ikan lele dan isolat protein kedelai memiliki pesaing kuat dalam industri makanan, selain industri yang menghasilkan produk yang sama, yang menjadi pesaing utama dalam pasar adalah produk sejenis yang dihasilkan dari bahan baku tepung lain. Pesaing utama biskuit ikan adalah industri penghasil biskuit dari bahan baku tepung terigu, dimana biskuit dari bahan tepung terigu saat ini paling banyak tersedia di pasaran. Namun, biskuit ikan yang dihasilkan ini memiliki keunggulan dibanding produk substitusinya, yaitu tingkat kandungan gizi yang tinggi dan terstandar untuk mendukung perbaikan kualitas gizi balita. Untuk lebih jelasnya kandungan mutu biskuit ikan dapat dilihat pada Tabel 4.7 berikut ini. Tabel 4.7 Kandungan Mutu Biskuit Ikan Kriteria Uji (Parameter) Keadaan (bau,warna,rasa,tekstur) Kadar air (% b/b) Kadar Protein (% b/b) Kadar Abu (% b/b) Kadar Lemak (% b/b) Karbohidrat (% b/b) Kalori (kal/100 gr)
Kandungan Gizi Normal 3.96 18.77 2.42 21.99 53.72 480
Sumber: Mervina (2009) Jika dibandingkan dengan persyaratan mutu biskuit bayi dan balita berbahan baku tepung terigu pada SNI, kandungan gizi yang dimiliki biskuit dengan pelengkap tepung ikan lele dan isolat protein kedelai memang berbeda. Hal ini disebabkan karena kandungan gizi yang dimiliki bahan baku penyusunnya, yaitu tepung ikan dan isolat protein kedelai. Pada dasarnya perbedaan nilai gizi bukan suatu permasalahan dan biasanya memang diperlukan suatu standar produk yang berbeda terhadap suatu produk baru yang dihasilkan, dalam hal ini adalah biskuit ikan. Menurut Manley (2000), biskuit merupakan produk yang tepat untuk dijadikan pangan sehat atau pangan fungsional yang menyediakan zat gizi tertentu yang dibutuhkan oleh tubuh. Dalam pembuatan biskuit ini zat gizi yang dimaksud adalah protein. Biskuit yang diperkaya protein akan menurunkan proporsi kandungan zat gizi lainnya. Dalam hal biskuit ikan, zat gizi yang mengalami penurunan adalah karbohidrat.
46
Berat satu keping biskuit ikan kurang lebih 12.5 gram dengan diameter 5 cm yang dikemas per empat keping biskuit dalam kemasan primer berupa poly propylene (PP) berukuran 15.2 cm x 7.7 cm dengan ketebalan rata-rata 0.069088 mm. Biskuit ikan yang telah terbungkus kemasan primer dimasukan kedalam kemasan sekunder, yaitu berupa berupa kardus yang terbuat dari karton berukuran 48 cm x 16 cm x 7 cm dengan keterangan nama biskuit, tanggal produksi, masa kadaluarsa, dan kandungan gizi. Dalam satu kemasan sekunder terdapat 6 bungkus biskuit ikan berkemasan primer, sedangkan kemasan tertier berbahan sama seperti kemasan sekunder dengan ukuran 50 cm x 34 cm x 8 cm yang memuat 6 kotak kemasan sekunder. Sehingga dalam satu dus terdapat 144 keping biskuit. Untuk lebih jelasnya tampilan biskuit ikan beserta kemasan primer, dan sekunder dapat dilihat pada Gambar 4.4, 4.5, dan 4.6.
Gambar 4.4 Biskuit Ikan
Gambar 4.5 Kemasan Primer
Gambar 4.6 Kemasan Sekunder Biskuit ikan dengan bahan baku hewani tergolong ke dalam produk baru yang memerlukan pengujian produk untuk mengukur kandungan dalam bahan, rancangan, dan biaya operasi. Pada industri tepung dan biskuit ikan yang akan didirikan, pengujian produk telah dilakukan sebelumnya oleh seorang mahasiswi tingkat sarjana Departemen Gizi Masyarakat, Institut Pertanian Bogor sebagai bahan penelitian. Sistem pengujian biskuit ikan berupa formulasi, sifat fisik (penetapan rendemen, daya serap air, tekstur), sifat kimia (analisis proksimat, kandungan energi, daya cerna protein), dan uji organoleptik yang dilakukan oleh panelis semi terlatih, balita, dan ibu balita. Selain itu, saat ini juga sedang dilakukan penelitian pengembangan produk biskuit ikan, yaitu biskuit ikan probiotik.
47
b. Strategi Produk Tepung Mix Selain biskuit ikan sebagai produk utama yang dihasilkan oleh industri biskuit ikan, produk yang juga dihasilkan adalah tepung mix. Tepung mix merupakan bahan baku pelengkap utama dalam pembuatan biskuit ikan, karena dengan pemakaian tepung mix inilah biskuit ikan yang diproduksi mengandung gizi yang berbeda dengan biskuit berbahan baku tepung terigu. Tepung mix terbuat dari campuran antara tepung ikan lele dengan isolat protein kedelai. Penggunaan tepung mix dalam pembuatan biskuit ikan hanyalah sebesar 15% atau 150 gram dari 1000 gram berat bahan baku yang digunakan. Walaupun penggunaannya hanya sedikit, namun kandungan protein yang didapatkan cukup tinggi. Tepung mix dibuat untuk memenuhi kebutuhan bahan baku pembuatan biskuit ikan dan bahan penunjang dalam industri makanan, terutama industri bakery. Saat ini memang masih jarang sekali ditemui adanya tepung ikan untuk pangan, sehingga mengurangi adanya persaingan. Namun pesaing utama dari tepung ikan adalah tepung berbahan baku nabati yang memang sudah banyak tersedia di pasaran. Tepung nabati merupakan tepung yang dihasilkan dari bahan baku biji-bijian atau ketela pohon, seperti tepung gandum, tepung singkong, dan tepung ubi. Hanya saja kandungan gizi yang terdapat di dalam tepung ikan dengan tepung nabati sangatlah berbeda, hal ini yang menjadi keunggulan utama tepung ikan. Kebanyakan tepung nabati mengandung protein yang rendah. Untuk lebih jelasnya kandungan gizi tepung ikan lele dapat dilihat pada Tabel 4.8. Tabel 4.8 Kandungan Gizi Tepung Ikan Lele Zat Gizi Kadar aw Densitas Kamba (gr/ml) Derajat Putih Kadar Air Kadar Abu Kadar Protein Kadar Lemak Kadar Karbohidrat
Kandungan (%) Tepung Daging 0.71 0.3710 30.9575 8.68 4.83 63.83 10.83 20.5149
Tepung Kepala 0.66 0.4537 28.9975 9.63 14.1 56.04 9.39 16.4665
Sumber: Mervina (2009) Pengujian produk tepung mix juga telah dilakukan seperti pengujian biskuit ikan dan dilakukan oleh orang yang sama. Sistem pengujian tepung ikan lele dilakukan dengan cara menguji sifat fisik (aw, densitas kamba, derajat putih) dan sifat kimia (kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar karbohidrat). Namun sangat disayangkan, saat ini belum tersedia SNI tepung ikan untuk pangan. Tepung mix adalah tepung ikan lele dan isolat protein kedelai yang telah dicampurkan dengan komposisi tertentu, kemudian tepung mix ini dikemas dalam kemasan berupa plastik poly propylene berukuran satu kg. Dalam tahap penetrasi pasar, tepung mix hanya akan dikemas seberat satu kilogram, karena kebutuhan tepung mix tidaklah sebanyak kebutuhan tepung terigu dalam pembuatan biskuit. Namun seiring dengan permintaan pasar mendatang, tidaklah menutup kemungkinan untuk mengemas tepung mix ke dalam kemasan yang lebih besar. Tepung daging ikan lele dan tepung kepala dapat dilihat pada Gambar 4.7 dan 4.8.
48
Gambar 4.7 Tepung Daging Ikan Lele
Gambar 4.8 Tepung Kepala Ikan Lele
Orientasi perusahaan ke arah pasar menggunakan pendekatan konsep produk dimana dalam implementasi pemasarannya sangat mengutamakan keunggulan produk, baik dari segi kandungan gizi, manfaat, tingkat mutu, kualitas bahan baku, keamanan mengkonsumsi, dan kehalalan. Pendekatan konsep itu dibentuk dengan harapan biskuit ikan dan tepung mix dapat bersaing di pasaran. 2. Strategi Harga Perusahaan melakukan penetapan harga dengan cara menghitung biaya produksi serta membandingkan harga produk yang sering digunakan di pasaran atau biasa disebut dengan industri standar, yaitu membandingkan dengan harga yang ditetapkan oleh pesaing yang saat ini berlaku di pasaran pada umumnya. Harga jual biskuit balita di Giant-Hero Supermarket berkisar antara Rp 7.900,00 – Rp 12.500 per bungkus (75 - 130 gram), sedangkan harga jual tepung terigu berada pada kisaran harga Rp 5.200,00 – Rp 11.000,00 per Kg. Harga jual biskuit ikan memang bisa dibandingkan dengan harga biskuit sejenis yang berada di pasaran, namun harga jual tepung mix tidak dapat dibandingkan dengan harga tepung lainnya yang sudah lebih dulu ada. Hal ini disebabkan karena tidak ada tepung mix dengan jenis yang sama. Oleh karena itu, penentapan harga tepung mix berdasarkan biaya produksi pembuatan tepung ikan lele dan pembelian isolat protein kedelai. Untuk menetapkan harga biskuit ikan digunakan harga biskuit yang berada sedikit di bawah harga pasar saat ini. Kebijakan ini diambil sebagai upaya penetrasi pasar. Harga jual biskuit ikan yang di produksi adalah Rp 3.300,00 per empat keping per bungkus (50 gram), sedangkan tepung mix di jual dengan harga Rp 90.000,00 per Kg. Penetapan harga sebesar Rp 90.000,00 per Kg untuk tepung mix dianggap tidak terlalu tinggi, karena tepung yang dijual merupakan campuran antara tepung ikan lele dengan isolat protein kedelai dengan komposisi tepung daging dan kepala ikan : isolat protein kedelai adalah 1 : 2. Biaya pembuatan tepung mix yang terdiri dari pembuatan tepung ikan dan isolat protein kedelai adalah sebesar Rp 69.089,00 per Kg. Oleh karena itu, dengan penambahan margin sebesar 30%, maka didapatkan harga jual tepung mix, yaitu Rp 90.000 per Kg. Penggunaan tepung mix untuk menghasilkan 60 keping biskuit hanyalah 150 gram seharga Rp 13.500,00. Itu artinya, satu kilogram dapat digunakan untuk membuat 400 keping biskuit. Sedangkan biaya pembuatan biskuit per bungkus adalah sebesar Rp 2.553,00, sehingga dengan penambahan margin sebesar 30% ditetapkan harga jual biskuit ikan adalah sebesar Rp 3.300,00 per bungkus. Harga produk biskuit ikan dan tepung mix yang di produksi diusahakan tidak akan mengalami peningkatan, mengingat pasar biskuit ikan dan tepung mix merupakan pasar yang baru dibangun sehingga sangat memerlukan strategi pemasaran sebagai tahap awal pengenalan produk di pasaran. Peningkatan harga hanya akan terjadi apabila terdapat perubahan dalam kemasan yang digunakan. Selain itu, konsumen utama biskuit ikan berasal dari kalangan bawah, sehingga apabila harga ditingkatkan maka akan memberatkan konsumen dan biskuit ikan pun terancam akan ditinggalkan oleh konsumennya.
49
3. Strategi Distribusi Saluran pemasaran dapat dilihat sebagai sekumpulan organisasi yang saling tergantung satu dengan yang lainnya serta terlibat dalam proses penyediaan sebuah produk atau pelayanan untuk digunakan. Saluran pemasran dicirikan dengan jumlah tingkat saluran. Biskuit ikan sebagai barang konsumsi dan tepung mix sebagai barang industri memiliki tipe saluran pemasaran tersendiri untuk memasarkan produk tersebut ke konsumen dan industri hilir pengguna produk. Terdapat beberapa alternatif saluran pemasaran yang dapat digunakan dalam memasarkan biskuit ikan dan tepung mix. Pertama, perusahaan dapat membentuk suatu tim penjual produk biskuit ikan dan tepung mix yang menawarkan dan menjual secara langsung produk ini ke pemerintah kota dan daerah yang mempunyai program peningkatan status gizi balita di wilayahnya. Kedua, produk biskuit ikan dan tepung mix disalurkan melalui distributor industri pada wilayah dan industri pengguna akhir yang berbeda-beda. Namun, pada tahap penetrasi pasar pada awal produksi dilakukan alternatif pertama, yaitu memasarkan langsung melalui tim penjual yang dibentuk oleh perusahaan. Hal ini dilakukan karena biskuit ikan dan tepung mix yang dibuat masih dalam jumlah terbatas dan kegiatan pemasaran yang digunakan adalah perusahaan ke konsumen tertentu sehingga dibutuhkan komunikasi langsung antara penjual dengan pembeli. Mengingat biskuit ikan adalah biskuit yang ditujukan utama untuk balita dengan status gizi kurang dan buruk maka pemasaran dan penawaran biskuit ikan dilakukan kepada pemerintah daerah dan kota yang memiliki program pemberian makanan tambahan. Pemilihan strategi ini mengharuskan perusahaan mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan dalam pemasaran produk biskuit ikan dan tepung mix yang dihasilkan, diantaranya, pembentukan tim penjual, tempat persediaan produk, dan strategi pemasaran. 4. Strategi Promosi Menurut Kotler (2000), dalam pelaksanaan pemasaran produk biskuit ikan dan tepung mix diperlukan strategi pemasaran yang tepat karena produk biskuit ikan dan tepung mix masih tergolong produk baru yang berada pada tahap pengenalan. Promosi merupakan suatu komponen yang sangat penting dalam pemasaran karena promosi dapat dijadikan alat pengenalan produk sekaligus meraih pangsa pasar. Bauran komunikasi pemasaran (bauran promosi) terdiri dari empat perangkat utama, yaitu iklan, promosi penjualan (sales promotion), hubungan masyarakat (public relation), dan penjualan personal (personal selling). Bauran promosi yang digunakan, yaitu melalui promosi penjualan melalui pameran-pameran, kerjasama dengan pihak institusi (perguruan tinggi, lembaga sosial kemanusiaan), dan melakukan penjualan personal dengan cara penawaran-penawaran ke pemerintah kota dan daerah sehingga dapat menjalin hubungan kemitraan dengan pemerintah tersebut. Strategi pemasaran yang paling tepat dilakukan adalah strategi penjualan langsung ke pemerintah karena target pasar produk biskuit ikan dan tepung mix adalah balita yang mengalami gizi kurang dan buruk yang pada umumnya tergolong ke dalam masyarakat miskin. Hal utama yang dipertimbangkan dalam strategi pemasaran langsung ke pemerintah adalah spesifikasi biskuit ikan yang ditawarkan sesuai dengan kebutuhan gizi yang dibutuhkan para balita penderita gizi kurang. Strategi penjualan dilakukan melalui promosi dengan mengutamakan pada metode penjualan personal melalui persentasi produk, pertemuan penjualan, komunikasi melalui media elektronik (telepon, fax, email), program intensif, sample pada pemerintah, serta melalui pameran dagang nasional maupun internasional. Dalam melakukan promosi produk biskuit ikan dan tepung mix akan dilakukan melalui
50
dua cara, yaitu melakukan penjualan dengan menjual sendiri menggunakan tenaga penjual yang dimiliki perusahaan dan menjual produk dengan bekerja sama dengan Usaha Kecil Menengah (UKM) makanan yang berada di wilayahnya masing-masing. Konsumen dari industri biskuit ikan merupakan balita berstatus gizi kurang dan buruk melalui program peningkatan gizi pemerintah, sedangkan konsumen tepung mix adalah industri hilir makanan yang masih sedikit mengetahui kehadiran produk biskuit ikan dan tepung mix dari campuran tepung ikan lele dan isolat protein kedelai. Oleh karena itu, terdapat tiga tahapan untuk memperkenalkan, yaitu menarik perhatian (awareness), lalu tumbuh minat (interest), kemudian berkehendak (desire) untuk melakukan pembelian produk tersebut. Di Indonesia, produk biskuit sudah lama di konsumsi oleh masyarakat, namun biskuit yang dikonsumsi berasal dari bahan baku tepung nabati, sehingga perusahaan perlu melihat peluang pasar utama. Selain itu, kebanyakan biskuit yang diproduksi berbahan baku impor. Sehingga untuk memperoleh pasar perlu diciptakan pasar penguna biskuit ikan dan tepung mix, serta memperkenalkan produk yang dibuat pada pasar dengan menciptakan citra produk pada benak konsumen sebagai produk bergizi yang memenuhi spesifikasi yang dibutuhkan oleh para pengguna.
51