ANALISIS PENGENAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS PENYERAHAN KOIN EMAS DINAR Ahmad Hilman, Titi M. Putranti Ilmu Administrasi Fiskal, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
Abstract The delivery of the gold dinar coin is outstanding delivery of Value Added Tax. A qualitative approach is intended to analyze the calculation of VAT payable by the DPP Other Value (Presumptive tax). This study aimed to describe whether the delivery of the commodity investment in gold dinar coins in accordance with the theory especially VAT neutrality principle, as well as to describe aspects of value added tax on transactions of gold dinar coins in Indonesia. This research is a descriptive study with data collection techniques such as in-depth interviews and literature studies. Results of this study concluded that the treatment of VAT on gold dinar coins in accordance with the principle of fiscal neutrality. Value Added Tax at the production level, the distributor has a difference. Principles of ease of administration that can be seen from the level distributors can use DPP as a method of calculating Value Tax. While at the producer level, with the release of FMD 38 in 2013 did not change the company's method of crediting of VAT. On the consumer level, a growing issue is a deductable expense on gross income to be recognized each year if consumers invest in gold dinar coins.
Key Words: Dinar Gold Coin, Presumptive tax,Fiscal Neutrality Pendahuluan Keberadaan emas sebagai komoditi yang berharga di bumi telah dimulai sejak millennium ke 4 Sebelum Masehi. Mulai dari belahan bumi utara hingga selatan, masingmasing tempat memiliki cerita tersendiri mengenai kemewahan emas sebagai komoditi. Penemuan tambang emas yang pertama kali didokumentasikan di Amerika Serikat yaitu tambang emas Reed dekat Georgeville pada tahun 1803. Meskipun harga beberapa logam platina bisa jauh lebih tinggi, emas telah lama dianggap sebagai yang paling diinginkan dari logam mulia, dan nilainya telah digunakan sebagai standar untuk banyak mata uang (dikenal sebagai standar emas) dalam sejarah. Emas telah digunakan sebagai simbol untuk kemurnian, nilai, royalti, dan khususnya peran yang menggabungkan properti (Maulida, 2012, h.1). Pertambangan emas pertama kali dilakukan di daerah alluvial, dengan cara gravitasi atau cara amalgamasi dengan air raksa. Sejak tahun 1860 kegiatan pertambangan bawah tanah dilakukan untuk endapan primer dengan metoda pengolahan emas cara sianidasi. Emas 1
sebagai sebuah komoditi dapat diolah menjadi beberapa industri lain, yaitu seperti yang digambarkan Kementrian Perindustrian Republik Indonesia grafik berikut: Gambar 1.1 Pohon Industri Emas
Sumber: Kementrian Perindustrian dalam publikasi berjudul “Pohon Industri Emas”
Dalam skema diatas, dapat kita argumentasikan bahwa industri hulu emas dimulai dari pertambangan biji emas yang merupakan kegiatan ekstraktif dari bumi. Dari bijih emas tersebut, dapat ditarik dua aktivitas bisnis yang berkaitan dengan emas, yaitu emas sebagai investasi yaitu berupa emas batangan dan emas sebagai perhiasan yang dapat berfungsi sebagai investasi maupun fungsi estetika dalam status sosial masyarakat. Dalam grafik diatas dapat kita ambil juga bahwa emas dapat di-difersifikasi-kan dengan barang tambang lainnya seperti tembaga, batu mulia, mutiara, intan, dan perak. Hal ini menyebabkan kandungan emas yang terkandung dalam satu produk perhiasan belum tentu memiliki kadar yang sama. World Gold Council membedakan produk emas berdasarkan permintaan pasar menjadi emas batang dan koin, perhiasan, teknologi, untuk cadangan bank central, Exchange Traded Fun (perdagangan reksa dana emas) dan teknologi. Secara global, permintaan emas oleh pasar dari tahun 2008 hingga 2012 dapat tersaji dalam grafik berikut ini:
2
Grafik 1.1 Permintaan Emas Global 2008-2012
Sumber: World Gold Council Report 2012
Dalam grafik permintaan secara global tersebut, transaksi permintaan emas yang memiliki trend kurang baik di Indonesia adalah ETF. Exchange Traded Fund (ETF), yaitu merupakan reksa dana yang diperdagangkan di bursa efek. Secara garis besar merupakan reksa dana yang berbasis emas. Namun sayangnya investasi ETF di Indonesia belum berjalan dengan baik (Bayu, 2011, h,1). James Turk, seorang analis keuangan mengungkapkan bahwa peningkatan harga emas yang selalu menyentuh double digit tersebut harus dilihat secara hati- hati. Hal tersebut karena emas itu sendiri tidak menciptakan kekayaan atas capaian double digit-nya. Emas bukan merupakan investasi karena tidak menghasilkan aliran kas ketika peningkatan nilai emas itu sendiri. Emas adalah asset yang steril, emas lebih kepada uang, dan uang tidak menghasilkan sesuatu kecuali disalurkan melalui deposito atau menginvestasikannya (Turk, 2012, h.1). Akan tetapi uang tidak menghasilkan nilai lebih ketika ia disimpan begitu saja. Di Indonesia, survey dari standard chartered tentang perilaku para
affluent
di
Indonesia mengungkapkan bahwa sebanyak 71 % pelaku investasi di Indonesia memilih menginvestasikan emas dibanding investasi lainnya (Latief, 2012, h.1). Emas sebagai produk transaksi bisnis dapat berupa emas batangan, koin emas dinar dan emas perhiasan. Sebagai salah satu komoditi dagang, maka negara memiliki potensi untuk memperoleh penerimaan negara. Salah satu bentuk intervensi negara dalam bidang transaksi barang adalah Pajak Pertambahan Nilai, yang dalam penelitian ini difokuskan kepada produk emas berupa koin emas dinar. Berbicara tentang dinar, tidak dapat terlepas dari sejarah uang emas itu sendiri. Uang dalam berbagai bentuknya sebagai alat tukar perdagangan telah dikenal ribuan tahun yang lalu 3
seperti dalam sejarah Mesir Kuno sekitar 4000 SM- 2000 SM. Dalam bentuknya yang lebih standar uang emas dan perak diperkenalkan oleh Julius Caesar dari Romawi sekitar tahun 46 SM. Julius Caesar ini pula yang memperkenalkan standar konversi dari uang emas ke uang perak dan sebaliknya dengan perbandingan 12:1 untuk perak terhadap emas. Selain emas dan perak, baik di negeri Islam maupun non islam juga dikenal yang logam yang dibuat dari tembaga atau perunggu. Dalam Fiqih Islam, uang emas dan perak dikenal sebagai alat tukar yang hakiki (thaman haqiqi atau thaman khalqi) sedangkan uang dari tembaga atau perunggu dikenal sebagai alat tukar berdasar kesepakatan atau thaman istilahi. Dari sifatnya tersebut sifat tembaga atau perunggu lebih dekat kepada sifat uang kertas yang kita kenal sampai sekarang (Iqbal, 2009, h. 29) . Dinar sebagai komoditas investasi, setidaknya dapat dijualbelikan dengan dua skema, yaitu perdagangan biasa dan dengan skema qirad atau mudharabah. Qirad dinar merupakan skema yang menekankan pada aspek pinjaman modal dan penyerahan sebagian keuntungan untuk si peminjam. Mudharabah adalah bentuk kerjasama dimana salah satu pihak menyediakan sejumlah dana tertentu untuk mocdal dan pihak ini tidak melibatkan diri dalampengelolaan usaha, pihak lain bertindak sebagai entrepreneur dan pengelola usaha. Tidak terbatas pada dua orang, akad mudharabah ini dapat dilakukan oleh beberapa Shahib al Mal dan Mudharib. (Iqbal, 2009, h. 87) . PPN sebagai salah satu jenis pajak tidak langsung, menjadi potensi unggulan bagi sektor pendapatan negara berkembang. Hal tersebut karena kebanyakan penduduk di negara berkembang masih memiliki penghasilan yang rendah, seperti petani, pekerja harian, pedagang asongan, dimana mereka tidak memiliki potensi cukup besar dalam membayar pajak. Faktor lainnya adalah administrasi untuk mengumpulkan pendapatan tersebut. Untuk mengumpulkan pajak dari sektor tidak langsung tidak serumit dalam mengumpulkan penerimaan dari pajak langsung. Sebagaimana diketahui bahwa negara berkembang masih membutuhkan lalu lintas barang yang padat untuk memenuhi kebutuhan penduduknya (Sadono, 1985, h. 357). Data yang penulis perloleh melalui situs pajakonline.com, yaitu dalam realisasi penerimaan APBN tahun 2012, penerimaan dari sektor PPN meingkat dari 277 Triliun menjadi 322 Triliun, meskipun tingkat realisasi penerimaan pajakdalam struktur APBN tidak mencapai 100%, yaitu hanya 96,61%. Produk yang dibahas adalah Dinar, atau yang dimaksud dalam konteks industri emas di Indonesia adalah koin emas produksi PT Antam yang dicetak khusus sesuai dengan standar mata uang pada masa Kekhalifahan Islam yaitu 4,25gr dengan kadar emas 22K atau 91,7% emas dengan campuran 8,3% perak. Pemerintah melalui Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor 4 S-871/PJ.51/2005 menentukan bahwa atas penyerahan koin emas logam mulia yang
dilakukan oleh PT. Antam merupakan penyerahan BKP dan terhutang PPN dengan tarif 10 %. Pengenaan PPN yang berbeda dari produk emas lainnya ini mengakibatkan tingginya biaya perolehan dinar yang berujung pada ketidakefisienan keduanya sebagai alat barter dan penunai zakat mal (Abdurrasyidi. 2013, h. 1). Selain itu, kebijakan PPN atas emas dinar membuat PKP eceran emas perhiasan menjadi rancu untuk menjual koin dinar. Hal tersebut karena pungutan PPN yang harus dipungut dari konsumen akhir berbeda dengan emas perhiasan, sehingga mendistorsi usaha koin emas. Di sisi lain, ketentuan yang berlaku saat ini juga merugikan pengusaha (agen) yang berinvestasi pada koin emas dinar untuk berinvestasi karena pengenaan PPN yang abu-abu. Perlakuan atas dinar diatas seakan bertolak belakang dengan kebijakan terkait koin emas di beberapa negara. Seperti di Negara bagian Utah di Amerika Serikat yang mengesahkan peraturan bahwa koin emas dan perak dapat digunakan sebagai mata uang dalam kegiatan ekonomi. Kebijakan yang hampir sama dilakukan oleh negara Kelantan Malaysia yang memperkenankan koin dinar sebagai suatu alat tukar untuk kegiatan ekonomi. Dengan sebutan Matawang Syariah, pemerintah Kelantan mengaplikasikan kebijakan terkait dinar ini untuk membayar sebagain gaji pegawai dan sebagai identitas tersendiri. Bahkan di bandara udara sebagai pintu masuk Kelantan orang akan disambut dengan tulisan “Negara Dinar dan Dirham” (Bawono, 2011, h.1). Kebijakan diatas dinilai terlalu ekstem karena memberlakukan dinar sebagai alat tukar yang diakui negara, lebih dari sekedar alat investasi. Namun arah kebijakan seperti yang diberlakukan di Negara bagian Utah dan Kelantan dapat menjadi salah satu solusi mengingat mayoritas masyarakat negara Indonesia beragama islam. Kebijakan negara Singapura yang membebaskan PPN atas komoditi emas per Oktober 2012 dapat menjadi alternative dalam melihat arah kebijakan PPN yang lebih optimal. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, pertanyaan penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: 1. Apakah Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas komoditas Koin Emas Dinar telah sesuai dengan prinsip Pajak Pertambahan Nilai khususnya asas netralitas? 2. Bagaimana perlakuan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atas transaksi-transaksi koin emas dinar yang berlaku di masyarakat ? Tinjauan Teoritis Easton dalam Thoha (Thoha, 1984, h. 60) mengungkapkan bahwa kebijakan publik dapat dirumuskan sebagai alokasi nilai yang otoritatif untuk masyarakat akan tetapi hanya pemerintahlah yang dapat berbuat secara otoritatif untuk seluruh masyarakat, dan semuanya yang dipilih oleh pemerintah untuk dikerjakan atau untuk tidak dikerjakan adalah hasil-hasil dari alokasi nilai-nilai tersebut.
5
Menurut Mansury (Mansury, 1999, h. 1), kebijakan fiskal memiliki dua pengertian, yaitu kebijakan fiscal dalam arti sempit dan kebijakan fiskal dalam arti luas. Kebijakan fiskal dalam arti luas adalah kebijakan untuk mempengaruhi produksi masyarakat, kesempatan kerja, dan inflasi, dengan menggunakan instrument pemungutan pajak dan pengeluaran belanja negara. Kebijakan fiskal tersebut menggunakan pemungutan pajak dan pengeluaran belanja negara sebagai instrument. Mansury dalam sistem perpajakan mengungkapkan tiga unsur pokok perpajakan, yaitu kebijaksanaan perpajakan (tax policy). Undang-Undang
perpajakan (tax laws), dan
administrasi perpajakan (tax administration) (Mansury,1994,h. 37). Kebijakan pajak adalah salah satu bentuk kebijakan negara di bidang perpajakan. Adapun proses pembuatan kebijakan sebagai serangkaian tahap yang saling bergantung yang diatur menurut urutan waktu yaitu penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan (Mansury, 1994, h. 22). Konsep Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dapat dijelaskan berdasarkan definisi PPN, legal character PPN, metode perhitungan PPN dan tempat Terutang PPN. a) Definisi PPN Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak penjualan yang dikenakan atas pertambahan nilai yang timbul pada semua jalur produksi dan distribusi. PPN merupakan pajak tidak langsung yang membebankan pajak kepada pembeli dengan pelaksana adminstratif pelaporan hingga penyetoran oleh penjual. Sasaran PPN adalah pengenaan pajak atas pertambahan nilai. Menurut Judisseno, suatu pertambahan nilai tercipta karena di dalam kegiatan menghasilkan, menyalurkan, dan memperdagangkan barang ataupun memberikan pelayanan (jasa) membutuhkan faktor-faktor produksi pada berbagai tingkatan produksi (Judisseno, 2005, h.326-328). Setiap faktor produksi tersebut menimbulkan pengeluaran yang dinamakan biaya. Istilah atau terminologi yang dipergunakan di Indonesia adalah Pajak Pertambahan Nilai karena yang menjadi Dasar Pengenaan Pajak (DPP) jenis pajak ini adalah value added (pertambahan nilai atau nilai tambah). Menurut Tait, pengertian value added (Tait, 1998, h. 4) adalah:
“The value that a producer (whether a manufacturer, distributor, advertising agent, hairdresser, farmer, race horse trainer or circus owner) add to his raw materials or purchases (other than labor) before selling the new or improved product or service. That is the inputs (the raw materials, transport, rent, advertising, and so on) are bought, people are paid wages to work on these inputs and, when the final good or sevice is sold, some profit is left, so value added can
6
be looked at form the additive side (wages plus profits) or from the substractive side (outputs minus inputs).” Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa secara sederhana nilai tambah dapat dilihat dari dua sisi yaitu dari sisi pertambahan nilai (upah dan keuntungan) dan dari sisi selisih output dikurangi input. Value Added = wages + profits Value Added = output - input b) Legal Character PPN Legal character dapat didefinisikan sebagai ciri-ciri atau nature dari suatu jenis pajak (The legal character of a tax may be defined as a feature (or the nature) of a tax). Legal character PPN merupakan karakteristik berupa ciri khusus yang melekat pada sistem PPN dan tidak dimiliki sistem pajak lain (Terra, 1988, h. 5).. Legal character PPN seperti yang dikemukakan oleh Terra dapat digambarkan sebagai berikut: a) General Tax PPN merupakan pajak atas konsumsi secara umum, seperti yang diungkapkan oleh Terra (Terra, 1988, h. 8) : “A sales tax should intended to tax all private expenditure. One result of this view is that a sales tax should not discriminate between good and services, as they both represent consumption.” PPN merupakan pajak yang bersifat umum karena ditujukan untuk semua pengeluaran masyarakat secara keseluruhan, tanpa membedakan pengeluaran tersebut berupa barang atau jasa, yang terpenting pengeluaran tersebut adalah untuk tujuan konsumsi. b) Indirect Tax PPN merupakan pajak tidak langsung (indirect tax) karena pajak tidak dibebankan secara langsung kepada satu pihak, tetapi dapat dialihkan kepada pihak lain (tax burden can be shifted). Peralihan pajak ini berbentuk shifting foward, yaitu peralihan pajak ke saluran distribusi, selanjutnya sampai dengan konsumen yang menjadi sasaran akhir pajak. Peralihan semacam inilah yang membedakan indirect tax dengan direct tax. PPN ditanggung oleh konsumen, tetapi yang memungut, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang adalah Pengusaha Kena Pajak. “An indirect tax can be passed on to another person or group. A business may recover the cost of the taxes it pays by charging higher price to costumers” c) On Consumption 7 PPN merupakan pajak atas konsumsi (tax on consumption) yang dipungut pada
saat konsumen melakukan pengeluaran untuk konsumsi tanpa membedakan apakah konsumsi tersebut digunakan sekaligus maupun digunakan secara bertahap. Pengertian konsumsi tersebut meliputi konsumsi atas barang tidak berwujud serta jasa. Terdapat pendapat lain mengenai karakteristik PPN yang berlaku di Indonesia (Gunadi at all, 1997, h.93) mereka adalah sebagai berikut: a) PPN merupakan Pajak Tidak Langsung Karakter ini membawa konsekuensi yuridis antara pemikul beban pajak (destinataris pajak) dengan penanggung jawab pajak atas pembayaran pajak ke Kas Negara yang berada pada pihak yang berbeda. Pemikul beban pajak secara nyata berkedudukan sebagai pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak. Sedangkan penaggung jawab atas pembayaran pajak ke Kas Negara adalah Pengusaha Kena Pajak yang bertindak selaku penjual Barang Kena Pajak. Apabila terjadi penyimpangan pemungutan pajak, administrasi pajak (Ditjen Pajak/Fiskus) akan meminta pertanggungjawaban kepada penjual Barang Kena Pajak atau pengusaha Jasa Kena Pajak (bukan kepada pembeli). Oleh karena PPN merupakan Pajak tidak langsung, maka ciri- cirinya adalah secara ekonomi beban pajaknya dialihkan ke pihak lain, yaitu pihak yang akan mengkonsumsi barang atau jasa yang menjadi objek pajak. Sedangkkan secara yuridis, tanggung jawab pembayaran pajak ke Kas Negara tidak berada di tangan pihak yang memikul beban pajak. b) PPN merupakan Pajak Objektif Yang dimaksud dengan pajak objektif adalah suatu jenis pajak yang timbulnya kewajiban pajak ditentukan oleh faktor objektif yang dinamakan tatbestand, yaitu suatu keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum yang dapat dikenai pajak, yang lebih lazim disebut dengan objek pajak. Timbulnya kewajiban untuk membayar PPN adalah pada saat diketahui adanya tatbestand tersebut. Sedangkan kondisi subjek pajaknya tidak ikut menentukan terkena/tidaknya PPN. Apabila telah diketahui adanya suatu tatbestand, maka pada saat itu sudah timbul kewajiban pajak, tanpa terlebih dahulu melihat subjeknya. c) PPN adalah Multi Stage Tax Karakteristik ini berarti bahwa yang dikenai PPN adalah setiap mata rantai jalur produksi maupun jalur distribusi. Tiap penyerahan barang yang menjadi objek PPN dari tingkat pabrikan (Manufacturer) sampai Pedangan Besar dan Pedagang Eceran (Retailer) dikenai PPN. d) Pemungutan PPN menggunakan Faktur Pajak Untuk menghitung PPN yang terutang maka pada setiap penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang bersangkutan mempunyai 8
kewajiban untuk membuat Faktur Pajak sebagai bukti telah dilaksanakan pemungutan pajak. Berdasarkan Faktur Pajak ini, akan dihitung jumlah pajak yang terutang pada suatu masa pajak yang wajib disetor ke Kas Negara. Sedangkan bagi pihak pembeli atau penerima jasa, atau importir, Faktur Pajak yang diterima merupakan bukti pembayaran pajak. e) PPN merupakan Pajak atas Konsumsi dalam Negeri PPN hanya dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dilakukan didalam negeri, karena tujuan akhir PPN adalah pengenaan pajak atas\ konsumsi di dalam negeri (Tax on Consumption Expenditure). Apabila barang atau jasa dikonsumsi di luar negeri, maka atas barang atau jasa tersebut tidak dikenai PPN. Dengan demikian atas Barang Kena Pajak yang diekspor ke luar negeri, tidak akan dikenai PPN. f) Pajak Pertambahan Nilai Bersifat Netral Karakter netralitas Pajak Pertambahan Nilai dibentuk oleh dua faktor, yaitu Pajak Pertambahan Nilai dikenakan untuk konsumsi barang dan atau jasa; dan Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai menganut prinsip tempat tujuan (destination principle). Prinsip tersebut mengandung arti bahwa Pajak Pertambahan Nilai dipungut di tempat barang atau jasa dikonsumsi. Terra mengungkapkan terdapat 3 poin yang mencakup dengan netralitas internal, yaitu 1.) netralitas legal, yaitu PPN harus dikenakan atas “general tax on consumption” atas pengeluaran individual sehingga harus ada relasi antara pengeluaran konsumen dengan beban pajak maka seharusnya tarif VAT sama untuk produk yang sama (identik); 2.) Netralitas kompetisi, yaitu VAT tidak boleh mengganggu kompetisi. Semua penguasaha harus mengemban beban pajak yang sama; 3.) Netralitas ekonomi, yaitu PPN tidak boleh mengganggu alokasi bisnis, bentuk dari konsep ini adalah netralitas PPN dijamin dengan tarif tunggal dan seragam. Metode Penelitian Pendekatan kualitatif disebut sebagai pemahaman mendalam karena mempertanyakan makna suatu objek secara mendalam dan tuntas (Prasetya, 2006, h.4). Pendekatan kualitatif digunakan peneliti karena peneliti ingin mengemukakan penjelasan yang lebih mendalam mengenai suatu proses yang terjadi. Pendekatan kualitatif dimaksudkan agar peneliti dapat memberikan penjelasan dan pemahaman yang menyeluruh atas pengenaan PPN atas penyerahan emas dengan fokus koin emas dinar. Jenis penelitian dapat diklasifikasikan berdasarkan tujuan penelitian, manfaat penelitian, dimensi waktu penelitian, dan teknik pengumpulan data dari penelitian yang bersangkutan. Jenis penelitian berdasarkan tujuan penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Dengan menggunakan metode deskriptif, maka peneliti dapat menggambarkan dan menganalisa pengenaan PPN atas koin emas dinar apakah telah sesuai dengan legal karakter 9
Pajak Pertambahan Nilai. Jika ditinjau dari manfaatnya, penelitian ini termasuk dalam penelitian murni. Berdasarkan manfaat penelitian, penelitian ini termasuk ke dalam penelitian murni, yaitu mencakup penelitian-penelitian yang dilakukan dalam kerangka akademis (Praseto dan Jannah, 2005, h. 38). Peneliti tidak terikat oleh siapapun dan insitusi manapun untuk menyelengarakan penelitian ini. Dilihat dari segi waktunya, penelitian ini termasuk dalam klasifikasi cross sectional. Tidak ada batasan baku mengenai satu waktu tertentu, namun batasan yang digunakan adalah bahwa penelitian itu telah selesai (Prasetyo dan Jannah, 2005, h.45). Teknik pengumpulan data berupa studi literature dan studi lapangan digunakan dalam penelitian ini. peneliti mengumpulkan literature-literatur dari buku, jurnal penelitian, peraturan perundang-undangan pajak terkait, dan artikel-artikel ilmiah lainnya yang terkait dengan topik penelitian. Studi literature berguna untuk mendapatkan data primer ataupun sekunder terkait penelitian. Sedangkan pengumpulan data studi lapangan dilakukan dengan wawancara mendalam menggunakan pedoman wawancara. Untuk teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan teknik analisis data kualitatif. Dalam penelitian kualitatif, narasumber atau informan merupakan pihak yang memiliki andil besar dalam memberikan informasi penting yang dapat membantu peneliti dalam menganalisis serta memecahkan permasalahan penelitian. Karakteristik yang wajib dimiliki seorang informan adalah memiliki pengetahuan tentang masalah yang diteliti dan terlibat langsung dalam masalah tersebut. Oleh karena itu peneliti melakukan wawancara dengan Purwitohadi selaku Kepala Sub Bidang PPN dan PPnBM Badan Kebijakan Fiskal, Kosasih selaku Tax and Treasury PT Logam Mulia, Heru Susanto selaku Bagian Pajak Pertambahan Nilai untuk Pelaksana Pajak Tidak Langsung Lainnya Direktorat Jendral Pajak, Muhaimin Iqbal selaku pemilik Gerai Dinar, dan Ali Kadir selaku akademisi. Hasil Penelitian dan Pembahasan Salah satu konsep Pajak Pertambahan Nilai adalah dikenakan atas konsumsi. Konsumsi dalam pengertian konsep PPN, yaitu menggunakan barang sekaligus maupun secara bertahap dan tidak hanya atas barang namun juga jasa. Untuk beberapa komoditas yang memiliki fungsi investasi seperti emas batangan, surat berharga dan uang, dikecualikan dari pengenaan PPN. Atau dalam UU PPN No 42 tahun 2009 dikategorikan sebagai Barang Tidak kena Pajak yang diatur dalam pasal 4A, yaitu: a) barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya; b) barang kebutuhan pokok yang dibutuhkan oleh rakyat banyak; c) makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung dan 10
sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau catering; dan d) uang, emas batangan, dan surat berharga. Meskipun memiliki fungsi investasi, namun Koin emas tidak termasuk ke dalam pasal 4A sebagai barang tidak kena pajak sehingga atas penyerahannya terhutang PPN. Pandangan Kaldor mengungkapkan bahwa tidak semua pengeluaran atau konsumsi merupakan objek expenditure tax atau pajak atas pengeluaran (konsumsi). Pengeluaran-pengeluaran yang sebaiknya tidak menjadi objek pajak adalah : a.) biaya-biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan, b.) semua bentuk pengeluaran untuk investasi, c.) pengeluaran untuk modal (misalnya setoran modal), dan d.) hadiah untuk orang lain dalam jumlah tertentu. Tait mengungkapkan bahwa kebijakan Pajak Pertambahan Nilai adalah kebijakan Pajak yang efisien, dan tidak mendistorsi pilihan konsumen dalam memilih barang dan jasa. Akan tetapi, perbedaan tersebut tidak sepenuhnya berlaku terhadap barang-barang yang memiliki fungsi investasi. Perlakuan yang berbeda menurut Undang-Undang dengan pendapat kaldor seakan memperkuat argumentasi Susanto mewakili Direktorat Jenderal Pajak, yaitu “Koin emas sama emas batangan sama-sama investasi. Sebetulnya sama-sama investasi, tapi karena undangundang kita mengaturnya hanya emas batangan, ya sudah kaya emas batangan aja” Uni eropa merumuskan kebijakan yang mengecualikan koin emas sebagai komoditas Barang yang dibebaskan PPN. Hal ini tertuang dalam
Summary Council Directicve
1998/80/EC of 12 October 1998 yang menerapkan exemption VAT untuk komoditas emas di kawasan uni eropa. Alasan mereka adalah “In order to promote the use of gold as a financial instrument, this Directive introduces a tax exemption for supplies of investment gold. Previously, the normal tax arrangements applied to investment gold. Under those arrangements, supplies of investment gold were in principle subject to VAT, but some Member States were authorised on a transitional basis to exempt them” Uni eropa menganggap bahwa kebijakan mengecualikan emas batangan dan koin emas dari Pajak Pertambahan Nilai adalah untuk mempromosikan emas sebagai instrument financial, meskipun di peraturan sebelumnya dikenakan PPN atas investasi emas. Alasan lainnya adalah demi menghindari kompetisi yang tidak sehat antar negara anggota Uni Eropa dan diwaktu yang bersamaan meningkatkan pasar emas yang lebih kompetitif. Terra mengungkapkan terdapat 3 poin yang mencakup dengan netralitas internal, yaitu 1.) netralitas legal, yaitu PPN harus dikenakan atas “general tax on consumption” atas 11 pengeluaran individual sehingga harus ada relasi antara pengeluaran konsumen dengan beban
pajak maka seharusnya tarif VAT sama untuk produk yang sama (identik); 2.) Netralitas kompetisi, yaitu VAT tidak boleh mengganggu kompetisi. Semua penguasaha harus mengemban beban pajak yang sama; 3.) Netralitas ekonomi, yaitu PPN tidak boleh mengganggu alokasi bisnis, bentuk dari konsep ini adalah netralitas PPN dijamin dengan tarif tunggal dan seragam. Poin dari pendapat terra adalah bahwa Kesamaan fungsi suatu barang dapat menjadi salah satu syarat agar perlakuan perpajakannya dapat disetarakan, hal tersebut tercermin dari pendapat Purwito dari BKF, beliau mengungkapkan bahwa,“Jadi memang kalau kita lihat koin emas itu berarti investment ya, sepertinya memang bisa diterapkan untuk setarakan dengan emas batangan”. Terdapat argumentasi Tait dari efek dari pengenaan PPN atas investasi dan tabungan. Tait beranggapan bahwa tergantung dari pengalokasian penerimaan atas pajak. PPN dapat dengan mudah menaikan pendapatan negara dan menimbulkan potensi deflasi, deflasi akan mengurangi konsumsi dan kemungkinan akan mengurangi profitabilitas dari investasi di masa depan. Di waktu yang sama, peningkatan pendapatan dapat digunakan untuk mengurangi defisit fiskal, mengurangi hutang dalam negeri, mencegah suku bunga bank jatuh dan berujung untuk menstimulasi investasi. PPN dapat saja mengurangi tingkat suku bunga dan menurunkan harga barang modal. Namun hal ini tergantung mesin dari pendapatan negara itu sendiri, dan tidak secara clear bahwa VAT mendistorsi investasi dan tabungan. Pendapat tait memberi gambaran mengenai alokasi VAT atas komoditas investasi tidak memiliki pengaruh cukup besar terhadap efisiensi terhadap ekonomi suatu negara. Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai secara presumptive merupakan salah satu cara Pemerintah untuk menciptakan asas netralitas. Pengenaan Pajak Masukan yang dianggap adalah hasil kesepakatan antara pelaku usaha dengan pemerintah untuk menentukan jumlah Pajak Pertambahan Nilai yang harus disetor. Abu kadir mengungkapkan pandangan mengenai asas netralitas dalam perlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas Koin Emas Dinar berupa: Neutrality atau netralitas secara teoritis perusahaan hmm yang kalau secara netralnya yang dikenakan PPN itu kan PPN dikenakan terhadap konsumsi, konsumen jadi yang dikenakan pajak itu konsumen jadi bukan perantara, jadi perantara kita dari pabrikan, pedagang, pengecer, pedagang besar kan perantara. Yang mau dikenakan ini adalah konsumen gitu loh.Nah, oleh karena itu pedagang-pedagang ini, produsen-produsen dan pedagang-pedagang perantara ini harusnya tidak dikenakan PPN. Yang dikenakan PPN kan di sini, di ujung, oleh karena itulah di sini digunakan pengkreditan. Netralnya di situ. Jadi netralnya itu misalnya saya beli 10 menkreditkan 10 berarti saya netral pajak. Enggak ada pajaknya lagi kan sehingga tidak saya 12 masukan di harga pokok, enggak masuk ke situ. Jadi diluar pembukuan saya, misalnya
saya dikenakan 10% bayar 10%, maka pajak saya kan netral. Barang kena pajak\ maksudnya tidak ada beban
pajak di dalam harga pokok melalui pengkreditan, kan
netral jadinya. Enggak ada beban pajak. Tapi, apakah sesungguhnya, apakah semuanya secara teoritis begitu?Tidak juga. Karena masih ada juga yang pembebasan,pengecualian, ya kan gitu kan. Itukan enggak boleh dikreditkan, tapi bebannya sudah tidak begitu banyak lagi.” (Wawancara dengan Bapak Ali kadir, 23 Mei 2013) Pendapat diatas berbicara mengenai netralitas PPN dalam koin emas dinar dapat dilihat dari pengakuan deemed VAT Input sebesar 80%. Implementasi asas netralitas sebisa mungkin tidak membebani pedagang perantara atau produsen. Hal ini seakan mempertegas bahwa beban PPN dilimpahkan kepada konsumen akhir, sebagai pihak yang memikul beban pajak dari barang tersebut. Salah satu metode untuk menjaga asas netralitas dalam komoditas koin emas dinar adalah dengan menggunakan presumptive tax. Thuronyi mengungkapkan dalam Tax Law Design and Drafting, presumptive taxation adalah metode penentuan kewajiban pajak secara tidak langsung. Terdapat beberapa alasan penggunaan teknik presumptive yang terkait dengan Pajak Pertambahan Nilai, yaitu 1.) Kemudahan terutama untuk Wajib Pajak dengan turnover yang sangat rendah (dan beban administratif untuk melakukan pemeriksaan atas Wajib Pajak tersebut). 2.) Metode presumptive dapat meratakan beban pajak melalui indikator pengenaan pajak yang objektif, terutama bila metode akuntansi tidak dapat lagi diandalkan karena Wajib Pajak tidak mentaati peraturan dan adanya korupsi. 3.) Untuk mengatasi penghindaran pajak (yang berfungsi bila indikator yang menjadi dasar presumption lebih sulit untuk disembunyikan daripada pencatatan akuntansi). Dilihat dari siklus perniagaan koin emas dinar, yaitu produsen, distributor (dalam hal ini gerai dinar),hingga konsumen (PPh) perlakuan atas Pajak Pertambahan Nilainya adalah sebagai berikut: A.) Produsen (UBPP Logam Mulia) Kegiatan jual-beli emas maysarakat di PT. LM dapat dilakukan melalui dua skema, yaitu jual beli secara langsung dan dengan cara pesan untuk mencetak emas melalui bahan baku yang konsumen bawa sendiri. Dalam jual beli koin emas dinar secara langsung, PPN 13
yang dikenakan adalah 10% atas nilai penyerahan barang. Dimana nilai tersebut sudah termasuk jasa dan barang. Sedangkan dalam skema yang kedua, yang dikenakan berdasarkan jasa manufakturnya. Seperti yang ditegaskan dalam S-871 PJ 2005, bahwa: a) Emas koin tidak termasuk sebagai jenis barang yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai, oleh karena itu atas penyerahannya dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. b) Atas penyerahan emas murni selain emas batangan yang digunakan sebagai bahan baku pengerjaan jasa manufaktur untuk pembuatan emas
koin
dinar dan produk-produk stamping yang dilakukan oleh UBPP dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. Untuk implementasi dalam jasa manufaktur secara umum , kosasih memberi ilustrasi sebagai berikut: “Kita katakanlah, ada juga di sini kita kan punya satu kilogram, mau dibikin 100gr, 50gr biasanya gitu kan. Mereka pada saat beli tidak kena PPN, tapi saat mereka bikin seperti itu, emas batangannya tidak kena PPN, tapi jasannya. Emas sendiri itu maksudnya itu tidak dikenakan, cuma dari jasanya. Kita hitung jasanya. Untuk bikin 100gr kena Rp. 20.000 jasanya. Itu Rp.20.000 dikali 10%” (Wawancara mendalam dengan Bapak Kosasih, 4 Juni 2013) Sedangkan jasa manufaktur atas koin emas dinar, kosasih memberi ilustrasi sebagai berikut: “Khusus koin dinar ada, tapi kan jatohnya enggak pure. Jadi koin dinar itu biasanya gini, emas batangannya berapa, peraknya berapa, jasanya berapa. Ada peraknya juga, ada campurannya. Nah cuma kita tuh kenakan PPNnya itu langsung ke produk. Berarti pada saat dia jual, pada saat dia mau dibikin dinar berarti kita ngitungnya bukan yang tadi saya sampaikan tuh. Emas batangan 1kg dibuat 100gr, enggak. Kita menghitung, melihatnya dari sisi produk, kena PPNnya kan produknya. Berarti kan kalau emas batangan tidak dikenakan PPN. Tapi, pada saat emas batangan diolah sedemikian rupa itu berarti sudah BKP kan. Itu kalau saat dia di emas batangan tidak dibikin apa-apa, dia bukan BKP, non BKP. Itu kalau diolah sedemikian rupa, katakanlah dibuat dinar, berarti kan dia kita melihatnya dari sisi produk dinar. Kalaupun di situ ada unsur emas batangannya. Diolah berarti itu kan sudah termasuk BKP. Kita meliatnya dari sisi produknya. Dia berubah produk. Sekarang kalau dari emas batangan berubah ke emas
14
koin, itu tidak ada lagi, jadi BKP. Walaupun, sama-sama emas.” (Wawancara mendalam dengan Bapak Kosasih, 4 Juni 2013)
Aktifitas UBPP Logam Mulia
Jual beli emas, koin emas dan perhiasan
Jasa manufaktur, stamping
Bahan Baku Non BKP Bahan Baku BKP
Koin emas dinar, produk stamping, perhiasan (BKP), dan Emas batangan (Non BKP).
Gambar 5.2 Aktifitas UBPP Logam Mulia Sumber: diolah Peneliti
Berdasarkan penjelasan kosasih, maka jika bahan baku yang diberikan merupakan Non BKP atau BKP dan digunakan untuk mencetak suatu Barang Kena Pajak atau Barang Tidak Kena Pajak, maka atas transaksi tersebut terhutang Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa manufaktur. Melalui skema ini, konsumen dapat menghindar dari beban PPN atas nilai penyerahan koin emas sebesar 10%, melainkan yang dikenakan hanya atas jasa manufakturnya saja. Dengan dikeluarkannya PMK 38 tahun 2013 tentang Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak untuk penyerahan emas perhiasan termasuk penyerahan jasa perbaikan dan modifikasi emas perhiasan serta jasa-jasa lain yang berkaitan dengan emas perhiasan, yang dilakukan oleh pabrikan emas perhiasan adalah 20% (dua puluh persen) dari harga jual emas perhiasan atau nilai penggantian. Konsekuensi dari keluarnya PMK ini membuat pengusaha emas dalam hal ini UBPP Logam Mulia mendapat pemahaman ganda akan transaksi jual beli emas yang mereka lakukan. Hal ini terkait dengan jumlah PPN yang mereka pungut apakah sebesar 2% atau 10% layaknya pengenaan BKP pada umumnya. Hal ini tidak lepas dari core business UBPP
15
Logam Mulia yang dapat membuat perhiasan sekaligus produk difersifikasi emas lainnya, meskipun tidak dalam skala besar. Seperti yang diungkapkan oleh Kosasih, bahwa: “Mengenai pertanyaan dari beberapa customer kita memang kan tidak dirubah tarif. Itu jadi yang kita lihat dari basis kita, bisnis kita kan bukan itu perhiasan. Kita ini hanya pabrik
membuat
suatu
pengolahan dan pemurnian. Bukan untuk seperti
kita bikin perhiasan itu kita, memang
kita bisa bikin perhiasan, tapi kita lebih
ke skala kecil saja” (Wawancara mendalam dengan Bapak Kosasih, 4 Juni 2013) Perubahan subjek dalam peraturan terkait penggunaan DPP Nilai lain, yaitu KMK 83 tahun 2002 yang mengatur mengenai “pedagang eceran” di KMK 83 dan PMK 38 tahun 2013 menjadi “pabrikan emas” perhiasan membuat UBPP Logam Mulia menjadi ragu untuk menjalankan kewajiban PPN-nya. Akibat dari perubahan PMK 38 tahun 2013 adalah untuk subjek yang disebutkan dalam peraturan tersebut dapat memungut PPN sebesar 2% dari nilai penyerahan koin emas dinar, bukan 10%. Untuk mencegah adanya kurang bayar dalam hal kewajiban PPN, maka UBPP Logam Mulia menetapkan bahwa jumlah pajak yang harus dipungut atas aktifitas usahanya adalah sebesar 10%. .
“Karena kita juga tidak ingin mengambil resiko, resiko pajak dalam arti pada saat nanti pemeriksaan pajak daripada nanti kita kurang potong, kurang potong ya kurang ini pengenaan pajaknya, tetap setuju tetap mengenakan 10%.” (Wawancara mendalam dengan Bapak Kosasih, 4 Juni 2013) Menurut
pendapat
penulis,
disamping
mengantisipasi
kurang
bayar
Pajak
Pertambahan Nilai, UBPP Logam Mulia juga tidak termasuk definisi perusahaan perhiasan seperti yang dimaksud dalam PMK 38 tahun 2013 atau secara historis yaitu KMK 83 tahun 2002 mengenai definisi pedagang eceran yang menjual emas perhiasan. Dalam Peraturan Pemerintah tahun 143 tahun 2000, yang dimaksud Pedagang Eceran adalah Pengusaha yang dalam lingkungan dan pekerjaannnya melakukan usaha perdagangan dengan cara sebagai berikut: a. tidak bertindak sebagai penyalur kepada pedagang lain; b. menyerahkan Barang Kena Pajak melalui suatu tempat penjualan eceran seperti took, kios, atau dengan cara penjualan yang dilakukan langsung kepada konsumen akhir atau dari rumah ke rumah; c. menyediakan Barang Kena Pajak yang diserahkan di tempat penjualan secara eceran tersebut; 16
d. melakukan transaksi jual beli secara spontan tanpa diketahui dengan penawaran tertulis, pemesanan, kontrak atau lelang, dan pada umumnya bersifat tunai, serta pembeli pada umumnya datang ke tempat penjualan tersebut langsung membawa sendiri Barang Kena Pajak yang dibelinya. Selain alasan diatas, secara teoritis, sering kali pajak dibedakan menjadi Pajak Objektif dan Subjektif. Pajak Pertambahan Nilai sering dinilai sebagai Pajak Objektif, yaitu dimulai dengan objeknya seperti keadaan, peristiwa, perbuatan, dan lain-lain, baru kemudian dicari orangnya yang harus membayar pajaknya, yaitu subjeknya. Dengan demikian, dapat dirumuskan bahwa pajak objektif titik fokus utamanya adalah objek (benda, keadaan, peristiwa dan perbuatan). Dalam permasalahan diatas, dapat dikatakan bahwa UBPP Logam Mulia lebih mengedepankan atas “óbjek” PPN yaitu terhutang 10% atas penyerahan barang di dalam daerah pabean daripada status “subjek” UBPP Logam Mulia dimana mereka dapat masuk ke salah satu fungsi sebagai pabrikan emas perhiasan. 5.3. Distributor (Gerai Dinar) Aktifitas ekonomi yang dilakukan gerai dinar diantaranya, jual beli koin emas dinar, qiradh dan aplikasi M-Dinar. A.) Jual beli koin emas dinar Dalam penelitian ini, penulis akan membahas aspek Pajak Pertambahan Nilai skema transaksi yang berdasarkan teori dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penulis akan membahas skema qiradh, dimana skema ini berlaku ketika awal pembentukan Gerai Dinar. Skema ini bertujuan untuk menghimpun dinar di masyarakat dan digunakan untuk mencetak koin emas dinar dan akan disebarluaskan ke masyarakat. Skema ini dilakukan ketika awal Gerai Dinar berdiri karena untuk memutar dinar di masyarakat dibutuhkan modal awal. Skema transaksi dalam skema qiradh adalah sebagai berikut: a. Konsumen meng-Qirad-kan 20 Dinar ke Gerai Dinar; b. Setiap 20 Dinar Anda berhasil dijual oleh Gerai Dinar ke masyarakat, segera hasil penjualan Dinar konsumen dipakai untuk membeli bahan baku emas Logam Mulia yang kemudian dicetakkan kembali menjadi Dinar-agar modal konsumen senantiansa terjaga dalam nilai Dinar; c. Karena besarnya volume pembelian Gerai Dinar ke Logam Mulia, maka 20 Dinar konsumen ikut menikmati selisih harga pembelian Gerai Dinar ke Logam Mulia;
17
d. Setelah pencairan Dinar Konsumen dipakai untuk mencetak Dinar kembali, maka ada kelebihannya sekarang. Misalnya yang semula 20 Dinar sekarang telah menjadi 21 Dinar; e. Bagi hasil 50:50 ; maka konsumen mendapatkan 0,2 Dinar dan Gerai Dinar juga mendapatkan 0,2 Dinar; f. Jadi pertambahan nilai ini akan lebih cukup untuk membayar zakat anda yang 0,5 Dinar untuk setiap kelipatan kepemilikan 20 Dinar. Jika melihat skema transaksi diatas, maka terdapat dua penyerahan koin emas dinar yang terkait dengan PPN. Yang pertama adalah ketika koin emas dinar yang dimiliki oleh gerai dinar diserahkan ke masyarakat. Gerai Dinar dalam hal ini bertindak sebagai pedagang emas yang menjual koin emas dinar. Atas koin dinar yang berhasil dijual ke masyarakat, Gerai Dinar berhak memungut Pajak Pertambahan Nilai sebesar 2%. Atas pajak yang dipungut, Gerai Dinar harus melaporkan PPNnya melalui media SPM PPN 1111. Yang kedua adalah ketika Gerai Dinar memesan koin dinar kepada Logam Mulia yang nantinya akan disebarluaskan ke masyarakat lagi. Dalam penyerahan ini, Gerai Dinar bertindak sebagai konsumen dari Logam Mulia. Sehingga secara tidak langsung, PPN yang terlah dibayarkan, merupakan beban bagi konsumen yang menginvestasikan koin dinar atas skema qiradh ini. Jika digambarkan dalam grafik, yaitu sebagai berikut:
Shahib al mal / yang mengqiradhkan dinar
Gerai Dinar/ Mudharib
Masyarakat
Logam Mulia
Gambar 5.3 Skema Qiradh Sumber: diolah Peneliti
Dari skema yang dijelaskan diatas, maka shahib al mal menanggung beban berupa PPN sebesar 2% dari koin dinar yang dibeli oleh Gerai Dinar kepada Logam Mulia. Selain biaya tersebut, gerai dinar memungut biaya administrasi sebesar 1% dari koin dinar yang 18
diqiradhkan. Sedangkan Gerai Dinar menanggung beban dari administrasi pajak yang dijalankan karena menjual koin emas dinar kepada masyarakat. B.) M-Dinar M-Dinar adalah sebuah layanan yang disediakan oleh Gerai Dinar dalam mengelola dinar masyarakat. Muhaimin Iqbal melalui tulisannyac mengenai M-Dinar mengungkapkan bahwa: “untuk memberi layanan tambahan bagi nasabah pembeli Dinar yang karena satu dan lain halnya tidak merasa nyaman menyimpan Dinar-nya sendiri. Melalui situs Mdinar para pelanggan dapat meng-adimistrasikan titipannya dan memantau perkembangan Dinarnya.” Pada awalnya, M-Dinar dikembangkan untuk mempermudah masyarakat dalam memiliki dan bertransaksi dengan koin emas dinar dan dirham. “M dinar itu misalnya karena satu dan lain hal tki di arab saudi dia kalo beli dinar kalo dikirim kesana repot karena nanti bawa pulang juga jadi dia titip beli terus nitip nanti diambil. Jadi nanti kita catat elektronik disini jadi m dinar itu pencatatan elektronik. jadi dia beli karna satu hal gamau bawa pulang. Karna satu hal misalnya dia tidak nyaman simpan di rumah disimpen dulu atau dia di luar negeri.” (Wawancara mendalam dengan Bapak Muhaimin Iqbal, 20 Juni 2013) Setelah fungsi investasi dan proteksi nilai disosialisasikan, maka kelak dengan sendirinya fungsi yang tertanam di masyarakat adalah fungsi alat tukar. Dimana salah satu aplikasi yang diluncurkan adalah M-Dinar. Skema M-Dinar jika digambarkan sebagai berikut:
Gambar 5.4 Skema M-Dinar Sumber: Geraidinar.com
19
Dari sisi Pajak Pertambahan Nilai, jika skema M-Dinar diterapkan maka akan terjadi kompleksitas dalam hal pencatatan dan pemungutan pajak. Hal ini karena yang menjadi objek alat tukar merupakan Barang Kena Pajak, dimana menurut pasal 4 ayat 1 UU Nomor 42 tahun 2009 bahwa setiap penyerahan Barang Kena Pajak di dalam daerah Pabean dapat dikenakan PPN. Jika atas penyerahannya sudah merupakan BKP, maka cost of administration yang harus dilakukan berikutnya adalah mengenai status yang melakukan penyerahan apakah PKP atau non PKP. Hal ini berkaitan dengan status Pajak Masukan yang creditable atau noncreditable. Beberapan negara,seperti Malaysia dan negara bagian Utah di Amerika telah memberlakukan kebijakan bahwa koin emas dapat dijadikan sebagai alat tukar. Jika telah sah menjadi alat tukar, penulis menganggap skema M-Dinar baru dapat berjalan. Karena dalam perkembangannya, aplikasi M- Dinar lebih mengarah kepada penitipan dinar. Seperti yang diungkapkan oleh Muhaimin Iqbal, yaitu “Karna hanya titipan, dia bisa ditransfer diambil ke saya dijual. dia misalnya jual ke saya dijual balik kaya jual emas di toko. misalnya anda punya account anda mau transfer gabisa ini karna ini bukan alat bayar hanya titipan jual beli kalo anda nitip bisa” (Wawancara dengan Bapak Muhaimin Iqbal, 20 Juni 2013) 5.4. Konsumen Salah satu yang membedakan koin emas dinar dengan instrument investasi lainnnya adalah koin dinar digunakan sebagai patokan untuk menghitung zakat. Hal ini sesuai diamanatkan oleh surat Al-Baqarah ayat 267: yang menentukan bahwa setiap pekerjaan yang halal yang mendatangkan penghasilan, setelah dihitung selama satu tahun hasilnya mencapai nisab (senilai 85 gram emas) maka wajib dikeluarkan zakatnya sebesar 2,5%. Dengan kata lain terdapat kewajiban zakat sebesar 0,5 Dinar jika sudah mencapai batas 20 Dinar. Kedudukan zakat atas koin emas tersebut dapat menjadi pengurang atas Penghasilan Bruto Pajak penghasilan orang pribadi bersangkutan. Muhaimin berpendapat “Zakatnya dibayarkan.. tapi kan yang menentukan bukan koin emasnya.. pembayaran zakat itu amil zakatnya sendiri. Jadi tergantung kemana kamu bayar zakatnya itu. Itu jadi bukan koin emasnya. Karna anda bayar zakat”(Wawancara mendalam dengan Bapak Muhaimin Iqbal, 20 Juni 2013) UU No. 36 Tahun 2008 tentang Perubahan keempat atas UU No. 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, yang diatur dalam Pasal 4 ayat 3 huruf a nomor 1 yang berbunyi: “Yang dikecualikan dari objek pajak adalah: bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima 20
oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah”. Poin dalam pasal ini adalah selama zakat tersebut dibayarkan kepada lembaga zakat yang disahkan oleh pemerintah, melalui Per 15/PJ/2013, maka saat ini terdapat 21 Badan/Lembaga Penerima Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang sifatnya wajib yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Mereka diantaranya adalah Badan Amil Zakat Nasional, LAZ Dompet Dhuafa Republika, LAZ Yayasan Amanah Takaful, dll. Sedangkan mekanisme pengurangan zakat dari penghasilan bruto ini dapat kita temui dalam Peraturan Dirjen Pajak No.6/PJ/2011 tentang Pelaksanaan Pembayaran dan Pembuatan Bukti Pembayaran atas zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Dapat Dikurangkan dari penghasilan Bruto. Syaratnya yaitu wajib melampirkan fotokopi bukti pembayaran pada Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak dilakukannya pengurangan zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib. Bukti Pembayaran yang dimaksud adalah bukti pembayaran secara langsung atau melalui transfer rekening bank, atau pembayaran melalui Anjungan Tunai Mandiri dan paling sedikit memuat NPWP pembayar, jumlah pembayaran dan tanggal pembayaran. Sehingga beban pajak yang ditanggung oleh konsumen akhir untuk berinvestasi koin emas dinar adalah sebesar 10% atas PPN-nya dan pajak atas capital gain ketika koin emas tersebut dicairkan. Zakat merupakan biaya yang mengurangi nilai investasi dinar, namun zakat merupakan beban yang deductable atas penghasilan bruto wajib pajak. Sehingga makin besar investasi dinar yang dimiliki oleh wajib pajak, expense atas komoditas investasi koin emas dinar yang dapat dikurangkan menjadi lebih besar dan memperkecil beban pajak penghasilan orangpribadi. Simpulan Alasan Direktur Jenderal Pajak menetapkan koin emas dinar sebagai Barang yang tidak termasuk Barang Tidak Kena Pajak, antara lain adalah karena Undang-undang PPN No.42 tahun 2009 secara eksplisit mengaturnya demikian. Akan tetapi jika melihat fungsi koin emas dinar sebagai investment goods, tidak menutup kemungkinan koin emas dinar dapat menjadi termasuk Barang Tidak Kena Pajak. Penerapan DPP Nilai Lain untuk bidang usaha koin emas dinar mencerminkan implementasi presumptive taxation di bidang Pajak 21
Pertambahan Nilai dan mencerminkan asas netralitas dan ease of administration. Beberapa negara menetapkan koin emas sebagai Barang Tidak Kena Pajak dan tidak terhutang Pajak Pertambahan Nilai. Contohnya adalah Uni eropa, Malaysia, Singapura dan Negara bagian Utah di Amerika Serikat. Alasan mereka adalah untuk mempromosikan investasi emas kepada masyarakat, mencegah persaingan tarif dan menggunakan koin emas dinar sebagai alat tukar yang sah di pasaran mereka (Malaysia dan Negara bagian Utah). Indonesia menganut asas PPN di setiap jalur produksi, distribusi dan konsumsi. Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai di level produksi, distributor memiliki perbedaan. Prinsip ease of administration terlihat dari tingkat distributor yang dapat menggunakan DPP Nilai lain sebagai metode penghitungan Pajaknya. Sedangkan di tingkat produsen, dengan dikeluarkannya PMK 38 tahun 2013 tidak mengubah metode pengkreditan PPN perusahaan. Di level konsumen, isu yang berkembang adalah adanya beban deductable atas gross income yang dapat diakui tiap tahunnya jika konsumen berinvestasi koin emas dinar. Saran Seyogyanya alasan pemerintah menetapkan PPN atas komoditas investasi diperkuat lagi, tidak semata-mata atas kepentingan ease of administration dan revenue productivity. Volume transaksi koin emas dinar di masyarakat tidak sebesar emas batangan dan emas perhiasan. Pemerintah dapat berperan lebih jika ingin meningkatkan volume transaksi koin emas dinar di masyarakat, salah satunya di bidang Kebijakan Fiskal. Kepustakaan BUKU Dunn, William N. Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Edisi Kedua. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.2003 Gunadi. Pajak Pertambahan Nilai. Jakarta: MUC.2001. Gunadi; Hutagaol, John L; Burton, Richard; Pandiangan, Liberty; Ilyas, Wirawan; dan Satiotomo, Yayok. Perpajakan. Jakarta: Fakultas Ekonomi UI.1997. Judisseno,Rimsky K. Pajak dan strategi bisnis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.2005. Mansury, R. Kebijakan Fiskal. Jakarta: Yayasan Pengembangan dan Penyebaran Pengetahuan Perpajakan (YP4).1999. Mansury,R. Panduan Konsep Utama Pajak Penghasilan Indonesia Jilid I.Jakarta: Bina Rena Pariwara.1994.
22
Prasetyo,Bambang dan Lina M. Jannah. Metode Penelitian Kuantitatif: Teori dan Aplikasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2005. Rahayu, Ani Sri. Pengantar Kebijakan Fiskal. Jakarta: Bumi Aksara. 2010. Rosdiana,Haula. Pengantar Perpajakan: Modul untuk peserta mata kuliah Pengantar Perpajakan. 2010. Rosdiana, Haula; Edi Slamet Irianto. Panduan Lengkap Tata Cara Perpajakan di Indonesia. Jakarta: Visimedia. 2010. Rosdiana, Haula; Edi Slamet Irianto.Pengantar Ilmu Pajak Kebijakan dan Implementasi
di
Indonesia. Jakarta:PTRajagrafindo Persada.2011. Rosdiana, Haula; Edi Slamet Irianto;Titi Muswati Putranti. Teori Pajak Pertambahan Nilai. Jakarta: Ghalia Indonesia. 2011. Sukirno,
Sadono.
Ekonomi
Pembangunan,proses,masalah,dan
dasar
kebijaksanaan.
Jakarta: LPFEUI. 1985 Tait, Alan. A.Value Added Tax: International Practice and Problem. Washington D.C: IMF. 1998. Terra,Ben.Sales
Taxation:
The
Case
of
Value
Added
Tax
in
The
European
Community.Boston: Kluwer law and Taxation . 1988. Thoha, Miftah. Dimensi-Dimensi Prima Ilmu Administrasi Negara. Jakarta:Raja Grafindo Persada. 1984. Victor Thuronyi. ed. Tax Law Design and Drafting, Vol.1. IMF. 1996. Karya Akademis Rizki, Wiwin Siswanti. Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas Pajak Masukan bagi PerusahaanPertambangan Emas Generasi ke IV. (Skripsi).Universitas Indonesia. 2008. Irawan, Budi. Analisis Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai Atas Kontrak Karya Generasi IV Pertambangan Emas tahun 2004.(Tesis).Universitas Indonesia.2004. Jurnal Street,
Luis,et
al.,ed.
“World
gold
council
report
December
2012”.Thomas
Reuters.(2013).3April2013.
Publikasi Elektronik Abdurrasyidi. “Pembebasan Pajak atas Dinar Dirham”. Maret, 11,2013.
Wakalanusantara
2013. 23
<.http://wakalanusantara.com/detilurl/Pembebasan.Pajak.Atas.Dinar.Dirham/1405> Bayu.
“Meraup
untung
melalui
emas”.
Agustus,
3,
2012.
seputarforex.
logammulia242012. <.http://www.seputarforex.com/artikel/forex/lihat.php?id=62958 &title=meraup_untung_melalui_emas> Bawono, Surya Arif. “Kita Telah Kalah Selangkah dari Amerika”. Kompasiana. November,28,2011.Kompasiana2011.
selangkah-
dari-amerika-416907.html> Heryono,Prapto.
“Prospek
Pertambangan
Emas
Dunia
dan
Permasalahannya”.
Ipteknet.Mei,3, 2013.iptek.net2012.
“India VAT Rate”. indiavatfrefund. 2013. India VAT Refund. April, 2, 2013. Latief, M. “Investasi Properti Masih Kalah dari Emas”. April, 30, 2012. Kompas2012. Maulida, Laida. “Sejarah Emas”. Maret, 19, 2012. logammulia242012. “Pohon Industri Emas”.Kementrian Perindustrian. 2013. Kementrian Perindustrian. April, 5, 2013. Prasetyo. “Sejarah Pertambangan Emas Di Indonesia”. Juli,8,2013. MineralTambang2013. “Tak Capai Target, Penerimaan Pajak 2012 Memble”. pajakonline. 2013. Januari, 7,2013. Turk, James. “Gold rises for the 12th consecutive year”. Januari,2,2013.
GoldMoney2012.
24