Analisis Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai Atas Sharing Facility di Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi Lily Fortune N dan Wisamodro Jati Program Studi Ilmu Administrasi Fiskal, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik E-mail:
[email protected]
Abstrak Pemerintah melakukan upaya-upaya untuk efisiensi biaya di kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi karena biaya tersebut merupakan pengeluaran bagi pemerintah. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah adalah melaksanakan sharing facility. Sharing facility merupakan kegiatan pemakaian fasilitas secara bersama-sama di kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi dengan prinsip pembebanan biaya (cost sharing) secara proporsional. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dasar pertimbangan perbedaan pendapat Satuan Kerja Khusus Minyak dan Gas Bumi dan Direktorat Jenderal Pajak dalam menetapkan pengenaan pajak pertambahan nilai atas sharing facility dan menganalisis pengenaan pajak pertambahan nilai atas sharing facility berdasarkan ketentuan pajak pertambahan nilai. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan analisis data kualitatif. Data kualitatif didapat dengan studi lapangan, melalui wawancara mendalam, dan studi literatur. Hasil penelitian adalah dasar Direktorat Jenderal Pajak mengenakan pajak pertambahan nilai atas sharing facility yaitu sharing facility termasuk ke dalam penyerahan jasa kena pajak berdasarkan peraturan pajak pertambahan nilai di Indonesia sedangkan dasar Satuan Kerja Khusus Minyak dan Gas Bumi adalah sharing facility bukan merupakan penyerahan jasa kena pajak dan perjanjian yang diatur dalam kontrak Production Sharing Contract. Sharing facility dilihat dari teori dan konsep pajak pertambahan nilai tidak termasuk ke dalam penyerahan jasa kena pajak. Pemerintah harus membuat peraturan untuk memberikan kepastian hukum bagi kontraktor di kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi.
Analysis of Value Added Tax on Sharing Facility in Upstream Activity of Oil and Gas Abstract Government makes efforts for cost efficiency in the upstream activities of oil and gas due to the cost of expenditure for the government. One of the efforts made by the government is implementing sharing facility. Sharing facility is a facility usage activities jointly in the upstream activities of oil and gas with the principle of charging (cost sharing) proportionally. This study aims to analyze the basic considerations dissent Special Unit Oil and Gas and the Directorate General of Taxes in determining the imposition of value added tax on facility sharing and analyzing the imposition of value added tax on facility sharing under the terms of the value added tax. The method used was a qualitative study with qualitative data analysis. The qualitative data obtained by field studies, in-depth interviews, and literature. The results are the basis of the Directorate General of Taxes impose value added tax on facility sharing is sharing facility included in the delivery of services taxable under the rules of the value added tax in Indonesia while the Special Task Force basic Oil and Gas are sharing facility is not a taxable service delivery and agreements set forth in the Production Sharing Contract. Sharing facility seen from the theory and the concept of value-added tax are not included in taxable service delivery. Government should pass legislation to provide legal certainty for contractors in the upstream activities of oil and gas. Keywords: Value Added Tax; Sharing Facility; Upstream Activity of Oil and Gas .
1 Analisis Pengenaan..., Lily Fortune, FISIP UI, 2013
Pendahuluan Pada hakekatnya minyak dan gas bumi merupakan sumber daya alam yang sangat diperlukan bagi bahan baku industri dalam negeri maupun sumber devisa negara. Minyak dan gas bumi merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui (unrenewable resources). Oleh karena itu, dalam pemanfaatan dan pengolahan minyak dan gas bumi perlu dilakukan secara bijaksana dan efisien agar minyak dan gas bumi tersebut dapat dimanfaatkan dalam jangka waktu yang lama bagi seluruh masyarakat Indonesia karena atas setiap pemakaian minyak dan gas bumi mengakibatkan persediaan yang secara otomatis berkurang. Oleh karena itu, minyak dan gas bumi berada dibawah penguasaan negara sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi bahwa: “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Dengan pemberian hak atas minyak dan gas bumi dikuasai oleh negara sebagaimana sesuai dengan yang diatur dalam Undang-Undang Dasar, maka pemerintah memiliki peranan yang besar dalam menggali potensi minyak dan gas bumi di Indonesia untuk keperluan masyarakat Indonesia. Untuk dapat melakukan penguasaan pertambangan migas diperlukan empat syarat: (Tukirman, 1988, 5) 1. adanya sumber minyak dan gas bumi 2. adanya modal yang memadai 3. adanya teknologi canggih 4. adanya keterampilan profesional Pada kenyataannya, pemerintah tidak dapat memenuhi modal yang memadai, teknologi yang canggih dan keterampilan profesional untuk mengelola minyak dan gas bumi yang ada. Pemerintah hanya memiliki sumber minyak dan gas bumi baik di daratan maupun di lautan, sehingga pemerintah melakukan kerjasama dengan investor swasta nasional maupun asing untuk melaksanakan pencarian sumber-sumber minyak dan gas bumi. Kerjasama yang terjalin antara Pemerintah dan pihak swasta maupun investor asing, dalam hal ini disebut kontraktor, dikenal dalam bentuk kerjasama Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract). Kontrak bagi hasil tersebut diterapkan pada awal kemerdekaan Indonesia saat penandatangan kontrak bagi hasil pertama di Aceh pada tahun 1961 oleh Ibnu Sutowo yang bertujuan agar Indonesia bisa dengan cepat belajar dari pihak asing dan bisa berdikari menjadi produsen dan pengelola dari kekayaan alam yang ada di tanah airnya sendiri. Tidak mengherankan bahwa kebanyakan dari kontrak kerjasama yang terjalin adalah kerjasama 2 Analisis Pengenaan..., Lily Fortune, FISIP UI, 2013
dengan investor/kontraktor asing, Kerjasama dengan pihak asing dikarenakan mereka yang lebih siap dalam dana, teknologi dan keterampilan profesional. Selain itu, resiko dalam industri minyak dan gas bumi sangat besar sehingga tidak banyak investor yang berani untuk menanamkan modalnya. Resiko terbesar adalah saat kontraktor gagal produksi dimana kontraktor rugi atas biaya-biaya yang telah dikeluarkan karena kontraktor tidak bisa mendapatkan cost recovery. Cost recovery tersebut merupakan pembebanan biaya produksi yang dikeluarkan kontraktor migas kepada pemerintah. Pengertian lainnya, cost recovery merupakan dana yang dikembalikan oleh pemerintah kepada kontraktor bila berhasil menemukan dan memproduksi minyak. Cost recovery ini mempengaruhi bagian pemerintah karena pembagian pemerintah dan kontraktor dihitung dari nilai produksi bersih yang merupakan selisih antara hasil penjualan produksi migas (lifting) dengan biaya pokok atau biaya operasinya yang biasa disebut cost recovery. Nilai produksi bersih yang akan dibagi oleh pemerintah dengan kontraktor disebut sebagai Equity to be Split (ETBS). Berdasarkan perhitungan pembagian tersebut terlihat bahwa besarnya jatah (entitlement) pemerintah sangat dipengaruhi oleh cost recovery. Dengan semakin besarnya cost recovery menyebabkan equity to be split bagi pemerintah lebih rendah. Pengaruh yang timbul dari cost recovery terhadap penerimaan pemerintah maupun kontraktor membuat pemerintah melalui Satuan Kerja Khusus Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) berkepentingan untuk mengontrol dan mengawasi cost recovery agar pembebanannya seminimal mungkin. Pemerintah pun memberikan kewenangan kepada SKK Migas untuk memberi izin kepada kontraktor untuk melakukan sharing facility. Sharing facility tersebut diamanatkan oleh pemerintah dalam Pasal 44 ayat (2) Peraturan Pemerintah No.35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Kebijakan sharing facility dinilai tepat karena kontraktor yang memerlukan fasilitas baru tidak perlu mengeluarkan dana yang terlalu besar untuk menambah fasilitas baru tersebut, kontraktor hanya membayar sebesar biaya atas sharing facility tersebut kepada kontraktor yang memiliki hak penguasaan fasilitas tersebut. Skema penagihan biaya atas sharing facility yaitu kontraktor, yang memiliki hak pengguasaan fasilitas, mengeluarkan tagihan atas biaya pemakaian fasilitas (biaya rutin ditambah biaya non rutin) kepada kontraktor lain yang menggunakan fasiltas tersebut selain kontraktor tersebut berdasarkan persentase penggunaan fasilitas, namun tagihan yang dikeluarkan oleh kontraktor pemilik fasilitas tersebut tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Penagihan yang tidak dikenakan PPN tersebut berdasarkan interprestasi dari surat yang diterbitkan oleh SKK Migas kepada para kontraktor PSC yang melakukan Facility Sharing Agreement (FSA). Dalam surat tersebut dikatakan bahwa atas sharing facility hanya 3 Analisis Pengenaan..., Lily Fortune, FISIP UI, 2013
ditagihan sebesar biaya aktual dari pemakaian fasilitas. Biaya aktual yang dimaksud dalam surat tersebut berarti biaya sesungguhnya yang harus dibayarkan oleh kontraktor atas pemakaian fasilitas bersama. Praktik tidak dipungutnya PPN atas sharing facility selama ini disetujui oleh SKK Migas. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) berpandangan bahwa praktik tersebut tidak sesuai dengan peraturan perpajakan Indonesia. Ketidaksetujuan DJP terhadap perlakuan sharing facility terlihat dimana dalam pemeriksaan pajak pada kontraktor PSC dilakukan koreksi fiskal atas tagihan atas sharing facility. Koreksi fiskal tersebut dilakukan karena menurut DJP seharusnya tagihan atas sharing facility dikenakan PPN. Dasar pemikiran DJP menetapkan hal tersebut yaitu Pasal 4 ayat 1 huruf (c) Undang-Undang No.42 Tahun 2009 yang berbunyi: “pajak pertambahan nilai dikenakan atas penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha”. Berdasarkan
latar
belakang
permasalahan
tersebut,
penulis
mengemukakan
permasalahan pokok penelitian ini ke dalam beberapa pertanyaan sebagai berikut: 1. Apakah dasar pertimbangan perbedaan pendapat Satuan Kerja Khusus Minyak dan Gas Bumi dan Direktorat Jenderal Pajak dalam menetapkan pengenaan pajak pertambahan nilai atas sharing facility? 2. Bagaimana pengenaan pajak pertambahan nilai atas sharing facility berdasarkan ketentuan pajak pertambahan nilai?
Tinjauan Teoritis 1.
Legal Character Legal character dapat didefinisikan sebagai ciri-ciri atau nature dari suatu jenis pajak.
Legal character PPN terdiri dari general, on consumption dan indirect. a. General Pajak Penjualan merupakan pajak atas konsumsi yang bersifat umum. Karakteristik general menurut Terra (1998,8) yaitu “A Sales tax should be intended to tax all private expenditure. One result of this view is that a sales tax should not discriminate between goods and services, as they both represent consumption.” b. On consumption Menurut Chosen (Thuronyi, 1996, 234) berpendapat bahwa “VAT is a tax on consumption expenditure as they are incurred.” Berdasarkan legal character yang dianut di Indonesia menurut Gunadi (1999, 99) yaitu “PPN merupakan pajak atas konsumsi dalam 4 Analisis Pengenaan..., Lily Fortune, FISIP UI, 2013
negeri. PPN hanya dikenakan atas konsumsi barang kena pajak (BKP) atau jasa kena pajak (JKP) yang dilakukan di dalam negeri.” Bila dikaitkan dengan pendapat Rosdiana (2012, 217) bahwa pajak penjualan merupakan pajak atas konsumsi, tanpa membedakan apakah konsumsi
tersebut
digunakan/habis
sekaligus
ataupun
digunakan/habis
secara
bertahap/berangsur-angsur. c. Indirect Pajak penjualan merupakan pajak tidak langsung, karena beban pajaknya dapat dialihkan ke pihak lain, baik dalam bentuk forward shifting maupun backward shifting.Karakteristik lainnya adalah pajak tidak langsung (indirect) dimana menurut Terra (1988) yaitu “…one which is not levied directly upon the person on whom it ultimately falls, but charged in some other way, especially upon the production or importation of articles of use or consumption, the price of which is thereby augmented to the consumer, who thus pay the tax in the form of the increase price.” 2.
Konsep Jasa Pengertian jasa itu sendiri menurut Tait (1998, 387) yaitu, “Basically, it is simple to
remember that any item that is not good is a supply of services, so that nothing escapes.” 3.
Konsep Jasa Kena Pajak Menurut Thuronyi yaitu (1996, 33): “To be within the scope of VAT, a supply of goods
and services must also be made (a) as part of the economic activities of the supplier, and (b) against payment (or for consideration) to that person from some other person.” Selain itu menurut Thuronyi (1996, 34): “This point will need separate consideration in individual states. The key point is that here as elsewhere the law must be interpreted and applied so that it catches all economic activity that is not deliberately excluded.” Menurut Thuronyi (1996, 35) adalah: “The concept that a supply is within the scope of VAT only if there is payment or consideration for it follows from the fundamental nature of tax as one imposed on the value added by transaction.” 4.
Konsep Taxable Persons Schenk mengemukakan bahwa penjual yaitu (2007, 94) “seller arises with sale over the
internet, auction sales, consignment sales, sales by representative of the owner of property, and local government services.” Selain itu, menurut Schenk (2007, 132) penjual kena pajak adalah “Ordinarily, the person conducting business and making sales is the one who is subject to the registration rules and is liable for VAT.” Pendapat lainnya dikemukakan oleh Thuronyi (1996, 12): “A VAT law should include all legal persons created under the law of 5 Analisis Pengenaan..., Lily Fortune, FISIP UI, 2013
the state (or of a foreign country) that engage economic activities of any kind, as well as all physical persons. The text shoul be drafted to bring all legal and physical persons potentially within the category of “taxable persons”.”
Metode Penelitian 1.
Pendekatan Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini merupakan pendekatan kualitatif.
Pendekatan kualitatif digunakan karena penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan pemahaman mendalam dan menyeluruh mengenai permasalah yang diteliti. Penelitian ini berupaya untuk mendapatkan pemahaman atas perbedaan dasar pertimbangan antara Direktorat Jenderal Pajak dengan Satuan Kerja Khusus Minyak dan Gas Bumi
atas
pengenaan PPN sharing facility di kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi. Selain itu, penelitian ini ingin melihat bagaimana pengenaan PPN atas sharing facility terkait dengan konsep pajak pertambahan nilai. Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif karena penelitian ini bukan bertujuan untuk menguji kebenaran suatu teori melainkan memberikan pemahaman yang menyeluruh mengenai latar belakang yang mendasari timbulnya perbedaan pemajakan PPN antara Direktorat Jenderal Pajak dengan Satuan kerja Khusus Minyak dan Gas Bumi atas sharing facility serta pemahaman atas sharing facility dilihat dari ketentuan pajak pertambahan nilai. 2.
Teknik Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa data yang bersifat kualitatif dan
kuantitatif. Data kualitatif merupakan data pokok yang dipergunakan peneliti dalam membahas penelitian ini sedangkan atas data kuantitatif lebih berfungsi sebagai data pendukung atas informasi yang disajkan dalam data kualitatif. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan 2 metode pengumpulan data, yaitu: 1.
Studi lapangan (field research) Pengumpulan data di lapangan atau field research dilakukan untuk mendapatkan data
utama. Proses pengumpulan data dalam penelitian lapangan dilakukan dengan mengadakan wawancara mendalam (in-dept interview) dengan informan-informan yang sebelumnya telah ditentukan. Wawancara mendalam menggunakan istrumen penelitian berupa pedoman wawancara yang terdiri dari beberapa pertanyaan yang terbuka dan dapat dikembangkan pada saat wawancara berlangsung. Tujuan dari pertanyaan terbuka diadakan yaitu untuk
6 Analisis Pengenaan..., Lily Fortune, FISIP UI, 2013
memperoleh gambaran yang jelas dan menyeluruh, dimana tidak ada batasan jawaban, sehingga penelitian ini mendapatkan tambahan informasi yang lengkap. 2.
Studi literatur (literary research) Studi literatur atau studi kepustakaan dilakukan peneliti terhadap berbagai literatur-
literatur termasuk buku-buku, jurnal, dan artikel-artikel yang dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam menganalisis masalah dalam penelitian ini. Selain itu, peneliti juga melakukan
studi
dokumen
berupa
undang-undang,
pertaturan
perundang-undangan
perpajakan dan peraturan-peraturan atas production sharing contract. 3.
Teknik Analisis Data Pada penelitian ini, teknik analisis data yang digunakan sebagai teknik dalam
menganalisis data penelitian merupakan analisis data kualitatif. Hasil Penelitian dan Pembahasan 1.
Dasar Pertimbangan Perbedaan Direktorat Jenderal Pajak dan Satuan Kerja Khusus Minyak dan Gas Bumi dalam Menetapkan Pajak Pertambahan Nilai atas Sharing Facility Dasar dari penetapan sharing facility sebagai objek pejak pertambahan nilai oleh
Direktorat Jenderal Pajak yaitu DJP melihat bahwa sharing facility sebagai suatu penyerahan jasa, sharing facility merupakan suatu penyerahan jasa kena pajak (JKP) dan sharing facility diberikan oleh pegusaha kena pajak (PKP). a. Sharing facility sebagai suatu penyerahan jasa Berdasarkan hasil wawancara, DJP menilai bahwa sharing facility termasuk ke dalam penyerahan jasa seperti yang dikemukakan Rozari (2013) dalam wawancara yang dilakukan oleh peneliti, sharing facility memenuhi pengertian dari Pasal 1 angka 5 UU PPN dimana ada pemberian izin pemakaian fasilitas oleh pemilik ke pihak lain. Bila melihat pengertian jasa yang diatur dalam peraturan perpajakan dalam Pasal 1 angka 5 UU PPN ada 2 unsur yang terpenuhi yaitu adanya perikatan atau perbuatan hukum dan adanya pemakaian barang dan fasilitas atau adanya kemudahan atau hak tersedia dipakai oleh pihak kedua. DJP melihat bahwa kontraktor di kegiatan usaha hulu migas memenuhi kedua unsur dalam pemakaian sharing facility yaitu: 1. Adanya perjanjian hukum untuk melakukan sharing facility yaitu adanya facility sharing agreement (FSA) antara kedua kontraktor yang melakukan pemakaian bersama. FSA merupakan perjanjian pemakaian fasilitas bersama-sama antara kontraktor dimana dalam perjanjian tercantum mengenai bagaimana pembiayaan 7 Analisis Pengenaan..., Lily Fortune, FISIP UI, 2013
atas penggunaan fasilitas tersebut, fasilitas yang dimanfaatkan secara bersamasama dan mekanisme penggantian biaya. FSA inilah dinilai oleh DJP sebagai bentuk perjanjian hukum yang disepakati oleh kedua belah pihak dalam pemakaian fasilitas bersama. 2. Adanya ketersedian fasilitas yang disediakan oleh kontraktor pemilik hak pengelolah fasilitas untuk digunakan secara bersama-sama dengan kontraktor lainnya. DJP melihat bahwa pemakaian oleh kontraktor lain atas fasilitas yang bukan miliknya tersebut merupakan bentuk pelayanan kontraktor pemilik hak pengelolah fasilitas untuk memberikan fasilitasnya digunakan oleh pihak lain selain dirinya. Dengan
terpenuhinya
kedua
unsur
tersebut,
DJP
menetapkan
bahwa
adanya
pemberian/penyerahan jasa berdasarkan ketentuan peraturan PPN di Indonesia. b. Sharing facility merupakan penyerahan jasa kena pajak DJP menilai bahwa sharing facility termasuk ke dalam penyerahan jasa kena pajak sesuai dengan Pasal 4 ayat (1) huruf c UU PPN. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Andrea Emile (2013) yaitu Untuk hal-hal yang sifatnya penyerahan baik barang atau jasa kena pajak acuannya adalah Undang-Undang PPN dan bukan mengacu kepada PSC. Jadi hal-hal yang berhubungan dengan perpajakan mengacu kepada Undang-Undang yang berlaku. Undang-Undang yang dipakai sebagai dasar pengenaan sharing facility sebagai jasa kena pajak adalah UU PPN Pasal 4 ayat (1) dan penjelasannya, lalu peraturan turunannya adalah Peraturan Pemerintah No.1 Tahun 2012. PP No.1 Tahun 2012 merupakan acuan kapan suatu penyerahan barang atau jasa dikenakan PPN. DJP berpendapat bahwa sharing facility memenuhi keempat syarat yang ada di dalam penjelasan pasal 4 ayat (1) huruf c UU PPN. Selain itu menurut Hadi (2013) dalam wawancara yang dilakukan peneliti, dasar lain sharing facility ditetapkan sebagai penyerahan jasa kena pajak karena sharing facility tidak dicantumkan atau tidak diatur sebagai jasa tidak kena pajak di dalam Pasal 4A ayat (3) UU PPN. c. Sharing facility diberikan oleh pegusaha kena pajak (PKP) Syarat lain dalam melihat sharing facility merupakan objek PPN atau tidak adalah dari si pemberi jasa. Menurut Direktorat Jenderal Pajak, pemberian jasa sharing facility dilakukan oleh pengusaha kena pajak (PKP). Namun, saat ini kontraktor di kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi bukanlah pengusaha kena pajak karena berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No.73 Tahun 2010, kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) ditunjuk untuk melaksanakan pemungutan dan penyetoran PPN dan PPn atas barang mewah (wajib pungut). 8 Analisis Pengenaan..., Lily Fortune, FISIP UI, 2013
Menurut DJP, PKP atau tidaknya kontraktor bukan dilihat dari dia adalah PKP yang terdaftar atau tidak, DJP melihat bahwa kontraktor yang melakukan penyerahan barang atau jasa kena pajak dan memiliki peredaran usaha diatas dari batas yang diatur dalam perturan perpajakan dapat dijadikan PKP secara jabatan. DJP menilai bahwa akibat adanya penyerahan jasa kena pajak melalui aktifitas penggunaan fasilitas besama, kontraktor harus menjadi PKP. Peraturan perpajakan lainnya yang menjadi dasar DJP adalah Pasal 2 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan No.11 Tahun 2005 tentang Penunjukan Kontraktor Perjanjian Kerjasama Pengusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi untuk Memungut, Menyetor, dan Melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah Beserta Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporannya menyatakan dalam hal terjadi penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak antara kontraktor, maka yang berkewajiban untuk memungut, menyetor dan melaporkan PPN dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) adalah kontraktor yang melakukan penyerahan barang kena pajak dan/atau jasa kena pajak. Pelaksanaan penagihan sharing facility tidak dikenakan PPN selama ini karena di dalam surat persetujuan Satuan Kerja Khusus Minayk dan Gas Bumi (SKK Migas) dikatakan bahwa tagihan atas sharing facility harus berdasarkan biaya aktual. Dasar-dasar dari pelaksaan sharing facility tidak dikenakan PPN yaitu: a. Dalam sharing facility tidak ada penyerahan jasa kena pajak Berdasarkan pengertian jasa menurut Kothler (1987, 152) yaitu: “jasa merupakan sesuatu yang dapat didefinisikan secara terpisah, tidak berwujud, dan ditawarkan untuk memenuhi kebutuhan dimana saja dapat dihasilkan dengan menggunakan benda-benda berwujud atau tidak.” Pengertian jasa yang dikemukakan Kothler dapat diartikan bahwa jasa merupakan penawaran yang diberikan oleh penjual untuk memenuhi kebutuhan dari si pembeli. Sharing facility merupakan amanat pemerintah untuk melakukan efisiensi biaya seperti yang dikemukakan oleh Yuanita (2013) dalam wawancara, mengenai konsep penyerahan jasa kena pajak dengan sharing facility. Menurut Yuanita (2013), sharing facility diamanatkan di Undang-Undang migas, PP 35 Tahun 2004. Kembali lagi ke nature-nya BP Migas/SKK Migas pada waktu itu, dimana SKK Migas hanya badan pelaksana dimana SKK Migas tidak membuat peraturan dan hanya melaksanakan peraturan yang dibuat oleh pemerintah. Dimana pemerintah mengamanatkan SKK Migas untuk efisiensi biaya dan dimungkinkan untuk pemakaian fasilitas bersama, maka hal itu dilakukan.Amanat pelaksanaan sharing facility ada di dalam Pasal 44 ayat (2) Peraturan Pemerintah No.35 Tahun 2004. Berdasarkan bunyi pasal 44 ayat (2) dan pendapat Yuanita Wulansary, 9 Analisis Pengenaan..., Lily Fortune, FISIP UI, 2013
penawaran untuk dilakukannya sharing facility berasal dari penjual yaitu pemerintah yang menawarkan kepada kontraktor untuk melaksanakan sharing facility dalam rangka efisiensi biaya. Berdasarkan bunyi pasal 44 ayat (2) dan pendapat Yuanita Wulansary, penawaran untuk dilakukannya sharing facility berasal dari penjual yaitu pemerintah yang menawarkan kepada kontraktor untuk melaksanakan sharing facility dalam rangka efisiensi biaya. Sehingga bila dilhat kembali ke teori jasa menurut Koethlr, teori jasa tersebut tidak terpenuhi. Selain itu atas penagihan biaya sharing facility oleh kontraktor sebagai pemilik hak penguasaan ke kontraktor lainnya tidak pernah diakui oleh kontraktor tersebut sebagai penghasilan karena ini bukan merupakan penghasil bagi kontraktor. Maka disini tidak ada motif ekonomi yang terpenuhi dalam pemakaian sharing facility. Oleh karena tidak adanya motif ekonomi maka seharusnya PPN tidak dikenakan dalam penagihan atas biaya sharing facility. Hal ini seperti yang diungkapkan Thuronyi (1996, 33-34): “In practice, the separate criterion that a supply of goods and service must be made, or treated as made, for consideration (or against payment) serves to remove many nonbusiness activities from the scope of VAT.” Berdasarkan teori di atas, maka tidak seharusnya PPN dikenakan atas sharing facility. Sharing facility ini sendiri berada di bawah pengawasan SKK Migas dan dalam pelaksanaannya, kontraktor mengajukan surat permohonan untuk melakukan sharing facility kemudian SKK Migas menyetujui permohonan atas sharing facility. Dalam surat persetujuan tersebut, SKK Migas menyatakan bahwa penagihan atas sharing facility berdasarkan biaya aktual yang terjadi tanpa adanya keuntungan dan berdasarkan prinsip pembebanan biaya (cost sharing). Pelaksanaan penagihan sharing facility selama ini berdasarkan biaya aktual proporsional masing-masing kontraktor tanpa dikenakan PPN. Serta atas penagihan tersebut tidak pernah diakui sebagai penghasilan bagi kontraktor yang menagih dan biaya yang diakui oleh kontraktor yang menagih adalah sebesar biaya yang menjadi bagiannya sesuai dengan bagiannya atau cost sharing. b. Sharing facility tidak dilakukan oleh taxable person atau pengusaha kena pajak (PKP). Aspek lainnya yang perlu diperhatikan bahwa sharing facility dapat dikenakan PPN adalah pemberi jasa tersebut dimana dia adalah pengusaha kena pajak atau tidak. Kontraktor dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya bukanlah pengusaha kena pajak karena produksi crued oil dan gas bumi bukan merupakan barang kena pajak dan tidak dapat dijadikan PKP walaupun peredaran usahanya berada diatas Rp 600.000.000 per tahun (batasan pengusaha dijadikan pengusaha kena pajak atau tidak). c. Fasilitas bersama yang digunakan merupakan barang milik Negara. 10 Analisis Pengenaan..., Lily Fortune, FISIP UI, 2013
Selain itu, SKK Migas juga melihat bahwa fasilitas yang digunakan bersama-sama merupakan barang milik negara berdasarkan Pasal 78 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2004 yang berbunyi: “Seluruh barang dan peralatan yang secara langsung digunakan dalam Kegiatan Usaha Hulu yang dibeli Kontraktor menjadi milik/kekayaan Negara yang pembinaannya dilakukan oleh pemerintah dan dikelola oleh Badan Pelaksana” Selain itu dalam PSC Section VIII juga diatur, sehingga fasilitas bersama tidak dapat dijadikan objek pajak pertambahan nilai. SKK Migas berpendapat bahwa fasilitas negara dimana merupakan barang milik negara tidak dapat dijadikan objek PPN karena fasilitas-fasilitas itu pun sudah dicatat di BJKN. Barang milik negara belum diatur pengenaan pajak pertambahan nilainya maka barang milik negara ini belum dapat dipastikan secara hukum merupakan barang kena pajak atau tidak. d. Kontrak PSC yang tidak membebankan PPN kepada kontraktor. Dasar lain dari SKK Migas menyatakan sharing facility tidak dikenakan PPN adalah kontrak kerja sama antara kontraktor di kegiatan usaha hulu migas dan Pemerintah Indonesia (kontrak PSC) dimana pajak-pajak di luar dari pajak penghasilan badan dan pajak atas deviden dibebaskan. 2.
Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas Sharing Facility Berdasarkan Konsep Pajak Pertambahan Nilai
Dalam pengenaan PPN atas penyerahan jasa harus mengacu kepada konsep dan teori dalam PPN. Konsep dan teori tersebut menjadi salah satu alat uji untuk menilai apakah pengenaan PPN atas sharing facility telah sesuai dengan konsep. Pengenaan PPN atas sharing facility berdasarkan konsep jasa, penyerahan jasa kena pajak dan taxable person yaitu: a. Sharing facility merupakan penyerahan jasa Setiap penyerahan jasa tidak dapat dikatakan terhutang PPN bila tidak memenuhi dari kriteria-kriteria jasa kena pajak (JKP), sebelumnya sharing facility harus dilihat memenuhi kriteria jasa atau tidak. Pengertian jasa itu sendiri menurut Tait (1998, 387) yaitu, “Basically, it is simple to remember that any item that is not good is a supply of services, so that nothing escapes.” Menurut Tait, penyerahan selain dari pada barang maka termasuk ke dalam jasa. Bila melihat dari pengertian tersebut, sharing facility dapat dikelompokkan ke dalam jasa karena sharing facility adalah penyerahan lain selain barang melalui pemakaian fasilitas untuk memenuhi kebutuhan tiap-tiap kontraktor dalam kegiatan usahanya. Berdasarkan pengertian jasa yang diatur dalam ketentuan perpajakan, Pasal 1 angka 15 UU PPN, sharing facility termasuk ke dalam jasa karena meliputi unsur-unsur berikut: 11 Analisis Pengenaan..., Lily Fortune, FISIP UI, 2013
• Setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum. Bila melihat unsur tersebut, dalam sharing facility terdapat perjanjian yang merupakan kesepakatan antara kedua kontraktor untuk menyediakan fasilitas yang dapat digunakan bersama-sama. Maka disini, unsur kegiatan pelayanan terpenuhi karena adanya bentuk pelayanan dalam menyediakan fasilitas untuk digunakan. Unsur lainnya yaitu berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum. Penggunaan sharing facility berdasarkan kesepakatan yang telah disepakati oleh kedua belah pihak dan dimuat dalam perjanjian serta berkekuatan hukum dalam bentuk perjanjian facility sharing agreement (FSA). Unsur dari perikatan atau perbuatan hukum pun terpenuhi dalam sharing facility. • Menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan, atau hak tersedia untuk dipakai. Dengan kontraktor lain menggunakan sharing facility, kontrakor tersebut merasakan kemudahan yang diberikan oleh kontraktor pemilik penguasaan dan kontraktor tersebut dapat menggunkan fasilitas tersebut untuk melakukan kegiatan usahanya. Maka sharing facility pun memenuhi unsur kedua. b. Sharing facility merupakan bukan penyerahan jasa kena pajak Sharing facility harus dilihat memenuhi konsep penyerahan jasa kena pajak atau tidak. Dalam konsep penyerahan jasa kena pajak ada 2 hal yang perlu diperhatikan menurut Thuronyi yaitu (1996, 33): “To be within the scope of VAT, a supply of goods and services must also be made (a) as part of the economic activities of the supplier, and (b) against payment (or for consideration) to that person from some other person.” Hal yang perlu diperhatikan dalam ruang lingkup PPN ada 2 yaitu penyerahan barang maupun jasa harus dilakukan sebagai bagian dari motif ekonomi supplier dan pembayaran dari seseorang ke orang lain. Sebelum melihat kepada pembebanan PPN di dalam tagihan sharing facility, harus melihat ke 2 ruang lingkup tersebut. Pertama, penyerahan barang atau jasa harus dilakukan sebagai bagian dari motif ekonomi supplier. Motif ekonomi PSC dalam kontrak sudah diatur yaitu memproduksi minyak dan gas bumi. Oleh karena kegiatan dari PSC adalah memproduksi minyak dan gas bumi, maka atas penagihan biaya terkait dengan sharing facility bukanlah kegiatan usaha PSC. Pernyataan tersebut diperkuat dengan argument dari Suwardi (2013) dalam wawancara mendalam mengenai konsep penyerahan jasa yaitu PPN lebih kepada sesuatu kegiatan yang bermotif ekonomi, bermotif ekonomi ini adanya pertimbangan untung dan rugi, lebih banyak orang menterjemahkan bahwa kalau ada usaha, ada profit margin, maka nilai tambah lah itu. Sharing facility itu apakah bisa dianggap sebagai kegiatan yang bermotif ekonomi atau nggak. 12 Analisis Pengenaan..., Lily Fortune, FISIP UI, 2013
Kalau saya pribadi tidak melihat itu bermotif ekonomi. Motif ekonomi bila dilihat atas kegiatan sharing facility tersebut tidak ada karena sharing facility diadakan untuk melakukan efisiensi biaya, dimana efisiensi biaya merupakan permintaan pemerintah. Hal yang ditekankan berdasarkan konsep PPN yaitu aktifitas penyerahan yang dilakukan merupakan bagian dari motif ekonomi atau motif bisnis dari penyedia jasa. Selain itu menurut Thuronyi (1996, 34): “This point will need separate consideration in individual states. The key point is that here as elsewhere the law must be interpreted and applied so that it catches all economic activity that is not deliberately excluded.” Berdasarkan pendapat Thuronyi bahwa kegiatan bisnis atau ekonomi berbeda-beda di setiap negaranya, kuncinya adalah harus dinterprestasikan dan diaplikasikan dengar benar motif ekonomi tersebut. Oleh karena itu, harus melihat kembali ke peraturan yang diatur di Indonesia. Bila dilihat di peraturan Indonesia di penjelasan dari Pasal 4 ayat (1) huruf c, ada 3 syarat dimana penyerahan jasa kena pajak terhutang PPN yaitu: 1. Jasa diserahkan merupakan jasa kena pajak 2. Penyerahan dilakukan di dalam daerah pabean Indonesia 3. Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya Bila melihat dari syarat ketiga yaitu penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaanya, maka sharing facility bukanlah merupakan kegiatan usaha dari PSC tersebut karena kembali lagi bahwa kegiatan usaha PSC adalah memproduksi minyak dan gas bumi. Berdasarkan pandangan Suwardi (2013) dalam wawancara mendalam atas konsep motif ekonomi dalam penyerahan jasa kena pajak, motif ekonomi dalam kegiatan usaha merupakan motif pencarian keuntungan dalam kegiatan usaha. Berdasarkan pandangan tersebut maka sharing facility tidak dapat dikatakan sebagai kegiatan usahanya atau motif bisnis kontraktor karena berdasarkan pelaksaannya pun tidak ada pengakuan penghasilan atas penagihan biaya ke kontraktor lain dan dalam pembebanan biaya atas pemakaian fasilitas bersama dibebankan secara proporsional oleh kontrakor pemilik penguasaan fasilitas sebesar pembebanan cost sharing. Namun bila dilihat di Undang-Undang yang berlaku, pengertian jasa kena pajak menurut Pasal 1 angka (6) UU No.42 Tahun 2009 adalah “jasa kena pajak adalah jasa yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang ini.” Berdasarkan Undang-Undang yang berlaku, semua jasa adalah jasa kena pajak kecuali jasa yang tidak dikenakan pajak berdasarkan Pasal 4A ayat (3) UU No.42 Tahun 2009. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka sharing facility dapat dikategorikan jasa kena pajak karena tidak adanya sharing facility di dalam pasal tersebut. Namun tidak dapat semua penyerahan jasa tersebut dikategorikan jasa kena pajak karena motif ekonomi harus dilihat kembali dan dibuktikan dalam penyerahan jasa tersebut 13 Analisis Pengenaan..., Lily Fortune, FISIP UI, 2013
karena penyerahan jasa kena pajak merupakan penyerahan yang terkait dengan usahanya dan adanya motif ekonomi di dalam penyerahan tersebut. Kriteria kedua menurut Thuronyi adalah pembayaran atas jasa. Otoritas pajak melihat bahwa atas tagihan yang dikeluarkan ke kontraktor lainnya merupakan pembayaran jasa. Bila dilihat dari konsep pembayaran penyerahan jasa kena pajak menurut Thuronyi (1996, 35) adalah: “The concept that a supply is within the scope of VAT only if there is payment or consideration for it follows from the fundamental nature of tax as one imposed on the value added by transaction.” Pembayaran di yang dikenakan PPN adalah pembayaran yang dilakukan atas transaksi yang secara nature memang dikenakan pajak. Bila dikaitkan dengan sharing facility, sharing facility sendiri bukanlah penyerahan jasa kena pajak. Oleh karena itu tidak bisa dikenakan PPN dalam tagihannya. Kedua unsur tersebut tidak dapat dipenuhi dalam sharing facility sehingga tidak seharusnya sharing facility dikenakan PPN berdasarkan teori dan konsep PPN. c. Sharing facility tidak diserahkan oleh pengusaha kena pajak Dalam pemberian jasa itu sendiri tidak terlepas kaitannya dengan subjek dari pemberi jasa tersebut. Bila melihat dari sharing facility ini, kontraktor yang memiliki hak penguasaan fasilitas mengeluarkan debit note dan menagihkan biaya-biaya terkait dengan sharing facility kepada kontraktor lainnya oleh otoritas pajak dinilai sebagai penjual. Bila melihat kepada pengertian penjual itu sendiri menurut Schenk (2007, 94): “seller arises with sale over the internet, auction sales, consignment sales, sales by representative of the owner of property, and local government services.” Penjual didefiniskan oleh Schenk merupakan penjual yang melakukan penjualan atas internet, lelang, konsinyasi, penjualan atas barang yang dimilikinya, dan yang memberikan pelayanan pemerintah. Bila dikaitkan dengan sharing facility, kontraktor disini tidak masuk ke dalam kategori penjual karena tidak adanya fasilitas yang dijual oleh kontraktor. Selain itu, menurut Schenk (2007, 132) penjual kena pajak adalah “Ordinarily, the person conducting business and making sales is the one who is subject to the registration rules and is liable for VAT.” Berdasarkan pengertian tersebut, pada dasarnya seseorang diharuskan pengusaha kena pajak adalah orang tersebut melakukan bisnis atau penjualan. Penggunaan fasilitas bersama merupakan amanat dari pemerintah yang diatur dalam Pasal 44 ayat (2) dan Pasal 45 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004. Oleh karena itu maka tidak ada penawaran oleh kontraktor pemilik hak penguasaan kepada kontraktor lain untuk menggunakan fasilitasnya tersebut. Oleh karena itu, kontraktor juga tidak dapat dikategorikan sebagai taxable person, karena berdasarkan pendapat Thuronyi 14 Analisis Pengenaan..., Lily Fortune, FISIP UI, 2013
(1996, 12): “A VAT law should include all legal persons created under the law of the state (or of a foreign country) that engage economic activities of any kind, as well as all physical persons. The text shoul be drafted to bring all legal and physical persons potentially within the category of “taxable persons”.” Berdasarkan pendapat Thuronyi, taxable person harus diatur dalam ketentuan perpajakan dengan jelas. Bila merujuk ke peraturan perpajakan PPN Pasal 1 angka (15) yaitu: “Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-undang ini.” Seseorang dapat dikatakan sebagai pengusaha kena pajak bila melakukan penyerahan jasa kena pajak. Maka kontraktor tidak dapat dikatakan sebagai pengusaha kena pajak karena kontraktor tidak melakukan penyerahan jasa kena pajak dan kewajiban sebagai taxable person pun tidak dapat dilakukan. Selain melihat ke dalam konsep jasa, penyerahan jasa kena pajak dan taxable persons dalam menguji apakah sharing facility objek PPN atau tidak, harus diuji juga dengan legal character PPN yaitu general, on consumption dan indirect. Dalam legal character yang bersifat umum (general), menurut Terra (1998,8): “A Sales tax should be intended to tax all private expenditure. One result of this view is that a sales tax should not discriminate between goods and services, as they both represent consumption.” Pengertian umum di sini bahwa atas setiap pengeluaran harus dikenakan pajak dan tidak ada diskriminasi antara barang dan jasa. Senada dengan pendapat Terra, menurut DJP atas sharing facility bila dilihat berdasarkan salah satu legal character, general, sharing facility termasuk ke dalam penyerahan jasa kena pajak dan harus dikenakan PPN karena di dalam karakteristik general dikatakan bahwa atas setiap penyerahan barang maupun jasa untuk konsumsi harus dikenakan PPN. Menurut DJP, sharing facility merupakan konsumsi yang dilakukan kontraktor dengan pemakaian fasilitas berlebih sehingga harus dikenakan PPN. Namun hal ini bertolak belakang dengan pendapat SKK Migas yang menyatakan bahwa bila dilihat dari karakteristik general, sharing facility tidak dapat dipajaki karena tidak terujinya ada penyerahan jasa di dalam sharing facility tersebut dimana pengenaan PPN itu sendiri karena adanya penyerahan barang maupun jasa. Pengenaan sharing facility bila dikaitkan dengan karakteristik bersifat umum harus kembali dilihat kepada apakah ada terjadi penyerahan jasa atau tidak di dalam kegiatan sharing facility dan berdasarkan analisis sebelumnya bahwa sharing facility terbukti adanya penyerah jasa maka berdasarkan karakteristik dari non discrimination atau general, atas sharing facility dikenakan PPN. Karakteristik lainnya dalam PPN itu adalah pajak atas konsumsi (on consumption). Menurut Chosen (Thuronyi, 1996, 234) berpendapat bahwa “VAT is a tax on consumption 15 Analisis Pengenaan..., Lily Fortune, FISIP UI, 2013
expenditure as they are incurred.” PPN dikenakan atas pengeluaran konsumsi yang telah terjadi. Menurut DJP, sharing facility bila dikaitkan dengan karakteristik on consumption maka sharing facility dapat dikenakan PPN karena atas pemakaian sharing facility dilakukan terus menerus dan tidak habis sehingga ada konsumsi yang dilakukan oleh kontraktor penerima manfaat tersebut. Namun SKK Migas menilai bahwa atas sharing facility dikarenakan tidak teruji sebagai penyerahan jasa kena pajak maka bila dikaitkan dengan karakteristik on consumption maka sharing facility tidak dapat dikenakan PPN. Berdasarkan legal character yang dianut di Indonesia menurut Gunadi (1999, 99) yaitu “PPN merupakan pajak atas konsumsi dalam negeri. PPN hanya dikenakan atas konsumsi barang kena pajak (BKP) atau jasa kena pajak (JKP) yang dilakukan di dalam negeri.” Konsumsi yang dimaksud di sini kembali lagi bahwa konsumsi atas barang kena pajak maupun jasa kena pajak. Pemakaian sharing facility merupakan konsumsi yang dilakukan untuk menunjang proses produksi dari kontraktor di kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi. Namun berdasarkan analisis jasa kena pajak itu sendiri, sharing facility bukanlah termasuk ke dalam jasa kena pajak sehingga karakteristik on consumption tidak ada di dalam pemakaian sharing facility. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Suwardi (2013) dalam wawancara mendalam yaitu sharing facility tidak terkait dengan legal character dan motifnya tidak teruji untuk motif ekonomi. Hal ini seperti juga yang dikemukakan oleh Moehardjo (2013) dalam wawancara mendalam, dimana menurut Moehardjo (2013), bila sharing facility dikaitkan dengan legal character harus memenuhi terlebih dahulu sharing facility ke dalam hakekat dari PPN. Sharing facility itu sendiri bila dilihat dari hakekatnya bukan merupakan penyerahan jasa kena pajak maka tidak dapat menerapkan konsep general di sini. Bila dikaitkan dengan pendapat Rosdiana (2012, 217) bahwa pajak penjualan merupakan pajak atas konsumsi, tanpa membedakan apakah konsumsi tersebut digunakan/habis sekaligus ataupun digunakan/habis secara bertahap/berangsur-angsur. Selain itu harus dikaitkan konsumsi tersebut terkait dengan perbuatan penjualan atau tidak. Pemakaian sharing facility dapat dilihat sebagai sebuah konsumsi dimana konsumsi dilakukan untuk membantu dalam proses menghasilkan minyak dan gas bumi tetapi konsumsi ini bukan karena ada pihak lain yang menjualkan barang atau jasa kepada kontraktor. Konsumsi atau pemakaian sharing facility ini terjadi karena adanya motif efisiensi oleh pemerintah dalam pengeluaran pemerintah di cost recovery. Oleh karena tidak adanya motif penjualan sebagai dasar alasan pemakaian sharing facility atau konsumsi maka tidak ada karakteristik on consumption dalam sharing facility dan tidak ada pengakuan penghasilan bagi kontraktor yang fasilitasnya digunakan bersama-sama. 16 Analisis Pengenaan..., Lily Fortune, FISIP UI, 2013
Karakteristik lainnya adalah pajak tidak langsung (indirect) dimana menurut Terra (1988) yaitu “…one which is not levied directly upon the person on whom it ultimately falls, but charged in some other way, especially upon the production or importation of articles of use or consumption, the price of which is thereby augmented to the consumer, who thus pay the tax in the form of the increase price.” Bila melihat dari pendapat Terra bahwa PPN dibebankan kepada konsumen dengan melakukan pembayaran yang lebih tinggi. Selain itu, PPN merupakan pajak yang tidak langsung dimana dapat dibebankan melalui forward shifting maupun backward shifting. Perlakuannya pun lebih banyak untuk dibebankan ke depan yaitu dibebankan kepada konsumen. Oleh karena itu menurut DJP atas penagihan biaya sharing facility yang ditagihkan oleh kontraktor yang merupakan wajib pungut dan ditagihkan kepada kontraktor yang juga merupakan wajib pungut (wapu) maka penagihannya dilakukan seperti pada pengusaha kena pajak lainnya dimana kontraktor yang mengeluarkan tagihan menagihkan tagihan dengan PPN dan disetorkan PPN ke kas Negara sedangkan kontraktor yang sebagai penerima tagihan membayarkan tagihan beserta dengan PPNnya. Namun menurut SKK Migas, kontraktor merupakan wajib pungut, maka kontraktor tidak dapat menerbitkan faktur pajak untuk menagihkan PPN atas sharing facility, selain itu sharing facility pun dinilai bukanlah objek PPN maka tidak ada perlakuan PPN dalam transaksi sharing facility. Bila dilihat kembali ke dalam sharing facility yang dalam penelitian ini tidak terbukti sebagai suatu penyerahan jasa kena pajak maka tidak ada PPN yang harus dibebankan kepada konsumen karena karekateristik indirect tersebut dapat diterapkan apabila adanya penyerahan barang kena pajak maupun jasa kena pajak sehingga harus dibebankan PPN. Kesimpulan Berdasarkan denga hasil penlitian yang dilakukan mengenai pengenaan pajak pertambahan nilai atas sharing facility di kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi, dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Dasar pertimbangan perbedaan dari Direktorat Jenderal Pajak dan Satuan Kerja Khusus Minyak dan Gas Bumi a. Dasar pertimbangan Direktorata Jenderal Pajak (DJP) DJP mengenakan PPN berdasarkan dengan ketentuan perpajakan yang berlaku yaitu: •
Pasal 1 angka 5 dan 6 Undang-Undang No.42 Tahun 2009
17 Analisis Pengenaan..., Lily Fortune, FISIP UI, 2013
DJP berpendapat bahwa berdasarkan pengertian jasa dan jasa kena pajak tersbut, sharing facility termasuk ke dalam pemberian jasa dan juga jasa kena pajak. •
Pasal Pasal 4 ayat 1 huruf c dan Pasal 4A ayat (3) Undang-Undang No.42 Tahun 2009 Dalam pasal ini diatur mengenai penyerahan jasa kena pajak dan jasa apa saja yang tidak dikenakan pajak. DJP mengacu kepada kedua pasal tersebut menganggap penggunaan fasilitas secara bersama-sama oleh kontraktor dan pemberian tagihan dari kontraktor pemilih hak penguasaan kepada kontraktor lainnya yang menggunakan fasilitas tersebut sebagai penyerahan jasa kena pajak dan bila melihat ke Pasal 4A ayat (3), atas pemakaian fasilitas bersama tidak termasuk ke dalam jasa tidak dikenakan pajak. Sehingga ini menjadi dasar DJP untuk mengenakan pajak pertambahan nilai atas sharing facility.
•
Pasal 2 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan No. 11 Tahun 2005 Berdasarkan pasal-pasal di atas, dalam kegiatan pertambangan minyak dan gas bumi ada penyerahan barang kena pajak atau jasa kena pajak, kontraktor diharuskan untuk memungut, menyetorkan dan melaporkan pajak pertambahan nilai. Oleh karena DJP menganggap bahwa sharing facility adalah penyerahan jasa kena pajak maka kontraktor seharusnya melakukan pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN atas tagihan dari penyerahan jasa tersebut.
b. Dasar Pertimbangan Satuan Kerja Khusus Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) tidak mengenakan pajak pertambahan nilai atas sharing facility yaitu: •
Sharing facility bukan merupakan pemberian jasa maupun jasa kena pajak karena sharing facility tidak dapat dibuktikan naturenya termasuk ke dalam pengertian jasa dan jasa kena pajak.
•
Sharing facility merupakan pemakaian bersama oleh kontraktor di kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi bukan merupakan kegiatan dari usaha minyak dan gas bumi dan tidak adanya motif ekonomi dalam pelaksanaan sharing facility.
•
Dalam pelaksanaan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi berdasarkan dengan kesepakatan dalam PSC Contract dimana dalam PSC contract telah
18 Analisis Pengenaan..., Lily Fortune, FISIP UI, 2013
diatur bahwa kontraktor hanya dikenakan Pajak Penghasilan Badan dan Pajak atas Deviden
sehingga pajak lainnya tidak dibebankan kepada
kontraktor. PPN akan dibayar kembali oleh SKK Migas. 2.
Pengenaan PPN atas sharing facility berdasarkan konsep PPN. Bila dilihat dari konsep dan teori dalam pajak pertambahan nilai, pengenaan pajak pertambahan nilai tidak dikenakan pajak pertambahan nilai karena: •
Sharing facility termasuk ke dalam pengertian jasa karena adanya bentuk penyediaan fasilitas kepada pihak lain untuk digunakan. Namun
sharing
facility tidak memenuhi kriterian jasa kena pajak berdasarkan teori dan konsep PPN
karenatidak
adanya
motif
ekonomi
melainkan
karena
untuk
mengoptimalkan efisiensi pengeluaran negara dalam kegiatan usha hulu minyak dan gas bumi. Selain itu, pemakaian fasilitas bersama yang dilakukan oleh kontraktor dalam penagihannya tidak diakui sebagai pengahasilan oleh kontraktor yang menerbitkan tagihan dan biaya dalam sharing facility dibebankan secara cost sharing. •
Sharing facility tidak dapat dikaitkan dengan legal character dalam konsep PPN karena hakekat dari sharing facility termasuk ke dalam penyerahan jasa kena pajak tidak terpenuhi.
Saran Berdasarkan simpulan yang dibuat, saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut: 1. Terkait dengan perbedaan antara DJP dan SKK Migas perlu dibuat peraturan yang menjebatani kedua belah pihak agar tidak terjadi ketidakpastian hukum dalam melaksanakan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi. Peraturan dapat dibuat dalam bentuk Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Menteri Keuangan dan di dalam peraturan tersebut sebaiknya mengatur atas bagaimana seharusnya perlakuan perpajakan atas penagihan sharing facility. Peraturan ini dibuat dengan tidak melanggar konsep pajak pertambahan nilai, peraturan perpajakan pertambahan nilai dan kontrak dalam Production Sharing Contract maupun kontrak kegiatan hulu minyak dan gas bumi lainnya. 2. Dalam mengenakan suatu penyerahan barang dan jasa harus dikaitkan dengan substansi dari pajak pertambahan nilai. Dalam pelaksaan pengenaan pajak pertambahan nilai, Direktorat Jenderal Pajak harus melihat ke dalam substansi PPN yaitu teori dan konsep PPN.
19 Analisis Pengenaan..., Lily Fortune, FISIP UI, 2013
Daftar Referensi Buku: Rosdiana, Haula., & Irianto, Edi.S. (2012). Pengantar Ilmu Pajak: Kebijakan dan Implementasi di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. . Tait, Alan A. (1988). Value Added Tax: International Practice and Problems. Washington, D.C.: International Monetary Fund. Terra, Ben. (1988). Sales Taxation: The Case of Value Added Tax in The European Community. Denventer-Boston, Kluwer Law and taxation Publisher. Thuronyi, Victor. (1996). VAT Treatment of Immovable Property dalam Tax Law Design and Drafting. New York: IMF. Tukirman. (1988). Pengaruh Perpajakan terhadap Penerimaan Negara dari Kontrak Production Sharing Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi. Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak. Peraturan Perundang-undangan: Republik Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945 Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 42 tahun 2009 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Lain-Lain: Hadi, Arief Syamsul. Account Representative . Wawancara Mendalam. 4 Juni 2013, pukul 11.00 wib Moehardjo. Praktisi Pajak PSC. Wawancara Mendalam. 7 Juni 2013. Rozari, Andreas Emile De. Staf Direktorat Jenderal Pajak. Wawancara Mendalam. 12 Juni 2013, pukul 10.00 wib. Suwardi, Dikdik. Dosen Perpajakan di Universitas Indonesia. Wawancara Mendalam. 7 Juni 2013. Pukul 12.00 wib.
20 Analisis Pengenaan..., Lily Fortune, FISIP UI, 2013