KEBIJAKAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS JASA KEPELABUHANAN UNTUK ANGKUTAN LAUT JALUR PELAYARAN INTERNASIONAL
Latar Belakang Angkutan laut berupa kapal-kapal dalam jalur pelayaran internasional sangat berperan dalam meningkatkan perdagangan internasional Indonesia. Termasuk yang tak kalah pentingnya adalah jasa kepelabuhanan dan jasa pelayanan petikemas/jas bongkar muat petikemas yang menjadi kegiatan yang tidak terpisahkan dalam kegiatan perdagangan internasional. Sejak rezim UU PPN dalam kurun waktu tahun 1983 sampai dengan tahun 2000, tidak ada perlakuan khusus yang mengatur kebijakan terkait dengan penyerahan PPN atas jasa kepelabuhanan terutama untuk jasa pelayanan kapal dan jasa pelayanan barang untuk angkutan laut dalam jalur pelayaran internasional, namun hanya berupa penegasan dalam bentuk Surat Menteri Keuangan dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak sehingga para pelaku usaha merasa tidak ada kepastian hukum dalam hal proses bisnis yang berhubungan dengan jasa-jasa tersebut. Setelah rezim UU PPN tahun 2000, pemerintah baru menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 146 Tahun 2000 tentang Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu dan/atau Penyerahan Jasa Kena Pajak Tertentu yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana telah diubah PP Nomor 38 Tahun 2003, akan tetapi jasa kepelabuhanan yang ditujukan untuk kapal tujuan internasional tidak termasuk jasa yang dibebaskan dari pengenaan PPN, sehingga para pelaku usaha masih belum mendapat kepastian hukum terkait dengan penyerahan atas jasa-jasa yang berhubungan dengan jasa kepelabuhanan. Pemberian fasilitas PPN atas jasa kepelabuhanan dan jasa pelayanan petikemas/jasa bongkar muat petikemas merupakan international best practice karena Negara mempunyai kepentingan yang strategis atas jasa kepelabuhanan sebagai bagian dari faktor penentu kelancaran arus lalu lintas barang, sehingga aktivitas ekonomi global dapat berlangsung dengan baik.
1
Perlakuan PPN atas Jasa Kepelabuhanan Dalam Kurun Waktu 1983-1994 (Rezim UU No.8 Tahun 1983) Sejak tahun 1988, isu PPN atas jasa kepelabuhanan cukup marak terbukti dengan dikeluarkannya beberapa aturan penjelasan, penegas atau private ruling dalam kurun waktu 1983-1994. UU PPN No.8 Tahun 1983 yang kemudian diperjelas melalui PP No.28 Tahun 1988 yang mengakomodasi bahwa jasa angkutan laut dan angkutan darat yang dilakukan oleh pihak pemerintah maupun pihak swasta dikecualikan dari pengenaan PPN. Namun selama kurun waktu 1983-1994, pemerintah tidak mengeluarkan peraturan khusus yang memberikan kepastian mengenai perlakuan PPN atas jasa kepelabuhanan serta aturan penjelas yang terperinci. Hal ini memberikan ketidakpastian kepada pelaku usaha mengingat banyaknya variasi jasa yang berhubungan dengan kegiatan kepelabuhanan. Sebagian besar ketentuan yang dikeluarkan oleh pemerintah hanya berupa Surat Menteri Keuangan, Surat Edaran atau bahkan hanya sekedar Surat Dirjen Pajak yang bersifat internal berupa jawaban-jawaban atas pertanyaan pelaku usaha. Jika ditelusuri lebih lanjut, pertanyaan para pelaku usaha pada umumnya berputar pada penegasan pemerintah atas perlakuan PPN pada bagian-bagian dari jasa dalam kegiatan kepelabuhanan. Hingga dikeluarkannya Surat Internal dari Dirjen Pajak No.1001/PJ.51/1992 tentang PPN atas Jasa Pelabuhan dalam Jalur Pelayaran Internasional,
pemerintah
memberikan
fasilitas
pengecualian
PPN
atas
jasa
kepelabuhanan secara umum.
Perlakuan PPN atas Jasa Kepelabuhanan Dalam Kurun Waktu 1994-2000 (Rezim UU No.11 Tahun 1994) Sejak tahun 1983/1985, UU PPN Indonesia mengalami revisi pertama. Namun dalam hal pengaturan perlakuan PPN untuk jasa kepelabuhanan, masih menggunakan ketentuan pelaksanaan lama. Hal tersebut dapat dilihat dari surat yang dikeluarkan oleh Direktur Jenderal Pajak atas pertanyaan para pelaku usaha bahwa sebagaian besar dari surat-surat tersebut masih menggunakan ketentuan yang mengacu pada peraturan pelaksanaan UU No.8 Tahun 1983 (S-1689/PJ.53/1995). Pemerintah tidak mengeluarkan aturan khusus mengenai jasa ini meskipun dalam kurun waktu sebelumnya terdapat sejumlah pelaku usaha yang meminta penegasan dari pemerintah. 2
Kemudian dalam rentang waktu 1986-1998 pemerintah membuat instrumen baru mengenai kebijakan fasilitas pemberian PPN Ditanggung Pemerintah (KMK326/KMK.04/1996). Kebijakan ini diberikan atas kegiatan impor barang tertentu serta atas penyerahan jasa yang berhubungan dengan kegiatan impor. Dikeluarkannya kebijakan ini mempengaruhi pelaku usaha yang melakukan kegiatan kepelabuhanan, sehingga secara cash flow atas impor barang dan penyerahan jasa tertentu yang berhubungan dangan kegiatan impor, kebijakan PPN Ditanggung Pemerintah ini akan sangat membantu bagi para pelaku usaha dalam hal pembayaran kewajiban PPN-nya. Akan tetapi kebijakan ini tidak memiliki dasar hukum yang kuat dan bertentangan dengan UU PPN karena dalam rezim UU PPN tahun 1994 tidak diatur fasilitas PPN Ditanggung Pemerintah.
Perlakuan PPN atas Jasa Kepelabuhanan Dalam Kurun Waktu 2000-2009 (Rezim UU No.18 Tahun 2000) Dalam kurun waktu setelah perubahan ketiga UU PPN yaitu UU No.18 Tahun 2000, pemerintah membuat instrumen baru atas fasilitas PPN untuk jasa kepelabuhanan. Instrumen tersebut adalah pembebasan dari pengenaan PPN yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No.146 Tahun 2000 yang menetapkan bahwa atas jasa kepelabuhanan tertentu diberikan fasilitas pembebasan PPN. Namun, pemerintah tidak memberikan ketentuan secara rinci bagian-bagian dari jasa kepelabuhanan yang akan dikenakan PPN atau yang akan diberikan pembebasan dari pengenaan PPN. Jika diperhatikan dari sisi historis yang ada, sejak kurun waktu 1988, setiap regulasi tidak memberikan pengaturan yang pasti mengenai penyerahan jasa tersebut mengingat jasa-jasa atas kepelabuhan sangat variatif. Hal ini terlihat dari banyaknya permintaan penegasan dari para pelaku usaha yang meminta penjelasan atas penyerahan jasa yang hampir sama. Selain ketidakpastian mengenai pengenaan PPN atas jasa kepelabuhanan tersebut, para pelaku usaha juga berpendapat bahwa penerapan PPN atas jasa kepelabuhanan bertentangan dengan Tax Treaty antara Indonesia dengan negara lainnya yang memiliki hubungan bilateral. Menurut pelaku usaha, aturan pemajakan yang diberlakukan oleh Indonesia menyalahi aturan Tax Treaty yang dibuat oleh Indonesia-Korea.
Atas
pendapat tersebut, DJP mengeluarkan aturan berupa surat penegasan dengan Surat
3
Direktur Jenderal Pajak Nomor: S-1059/PJ.53/2005 tentang Penerapan PPN Jasa Kepelabuhanan untuk Jalur Internasional kepada BUT tertentu. Dari pemetaan kebijakan selama rezim UU PPN diberlakukan pertama kali tahun 1985 (meskipun UU PPN No.8 Tahun 1983 pertama kali disahkan pada tahun 1984), kebijakan pemberian fasilitas PPN atas jasa kepelabuhanan mengalami perubahan yaitu semakin sedikitnya fasilitas yang diberikan atas jasa kepelabuhanan, yaitu dengan mempersempit jenis-jenis jasa kepelabuhanan yang diberikan fasilitas PPN.
Hal ini
sangat kontradiktif dengan perkembangan jasa kepelabuhanan yang ada saat ini, serta kemungkinan terjadinya jenis-jenis jasa baru yang ada di pelabuhan yang muncul akibat perkembangan teknologi navigasi.
Pemberian Fasilitas PPN atas Jasa Kepelabuhanan Ditinjau dari International Best Practice Negara merupakan otoritas utama yang mempunyai kewenangan untuk menjamin bahwa aktivitas ekonomi masyarakat dapat dilaksanakan dengan efisien dan efektif. Dalam konteks ini, kewenangan Negara untuk mendorong aktivitas tertentu yang dianggap penting menjadi suatu kelaziman yang biasa dilakuakan oleh Negara manapun yang ada di dunia ini. Karena itu, menjadi suatu kelaziman pula suatu Negara memberikan VAT Exemption ataupun bentuk-bentuk tax incentives lainnya atas suatu barang dan jasa. Paradigma inilah yang melatari kebijakan tax incentives, baik berupa pembebasan PPN maupun PPN Ditanggung oleh Pemerintah atas jasa-jasa kepelabuhanan khususnya untuk jalur internasional, selama kurun waktu 1986 sampai dengan tahun 2003. Sebagai perbandingan beberapa Negara lainnya memberikan fasilitas PPN atas kegiatan bongkar muat dan kepelabuhan untuk beberapa negara, dapat diperoleh informasi bahwa pola kebijakan pemberian fasilitas PPN atas jasa kepelabuhanan lebih cenderung untuk memberi fasilitas terhadap jasa pelayanan kapal dan jasa pelayanan bongkar muat barang yang memang sudah lazim dilakukan di negara-negara lain, sehingga pemberian fasilitas PPN atas jasa kepelabuhanan jika ditinjau dari International Best Practice sudah sesuai dengan penjelasan Pasal 16B UU Nomor 42 Tahun 2009 yang menjelaskan bahwa fasilitas yang diatur diberikan terbatas pada hal-hal tertentu saja. Salah satunya adalah dalam rangka menampung kemungkinan perjanjian dengan negara
4
lain dalam bidang perdagangan dan investasi, konvensi internasional yang telah diratifikasi, serta kelaziman internasional lainnya.
Implikasi Fasilitas PPN Terutang Dibebaskan atas Jasa Kepelabuhanan Jasa kepelabuhanan untuk angkutan laut dalam jalur pelayaran internasional, sebenarnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pelayaran internasional itu sendiri. Jasa kepelabuhanan yang dilakukan mulai dari jasa pelayanan kapal (antara lain, jasa labuh, jasa pemanduan, jasa penundaan dan jasa tambat), hingga jasa pelayanan barang (antara lain, jasa dermaga untuk peti kemas) sepanjang dilakukan dalam jalur pelayaran internasional sudah seharusnya diperlakukan sesuai dengan asas destination principle dan kelaziman internasional. Dalam Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S-1015/PJ.343/2005 tentang Pengenaan PPN yang terdapat Tax Treaty Indonesia – Korea Selatan tanggal 24 Nopember 2005, menegaskan bahwa: a. Sepanjang jasa-jasa kepelabuhanan yang diserahkan pihak Indonesia – Korea Selatan dimaksud terkait dengan international traffic dan penerima jasa betulbetul merupakan kapal-kapal yang dimiliki dan dioperasikan oleh perusahaan Korea Selatan, maka secara timbal balik dibebaskan dari pengenaan PPN; b. Untuk mengantisipasi bahwa fasilitas P3B tersebut tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak berhak, maka diharapkan dapat meneliti lebih lanjut apakah kapal-kapal yang mengaku atau berbendera Korea Selatan tersebut betulbetul dimiliki dan manajemennya dioperasikan oleh perusahaan yang merupakan residen Korea Selatan. Pembebasan PPN yang hanya diberikan pada perusahaan Korea Selatan menyebabkan terjadinya disparitas beban pajak karena adanya perlakuan pajak yang tidak sama. Akibatnya tidak tercipta kompetisi yang sehat dan adil, karena beban pajak yang dibayar residen Korea Selatan lebih rendah, sehingga mereka lebih leluasa dalam menentukan harga yang lebih kompetitif. Fasilitas Pajak Terutang Dibebaskan secara parsial memang masih mendistorsi harga sebagai konsekuensi Pajak Masukan yang sudah dibayar PKP tidak dapat dikreditkan sehingga PKP cenderung menjadikan unsur biaya (cost). Dengan demikian, manfaat fasilitas ini sebenarnya bukanlah berupa pengurangan 10% dari harga, namun 5
sesuai dengan prosentase nilai tambah dikurangi dengan Pajak Masukan yang sudah dibayar oleh PKP. Jika atas penyerahan jasa kepelabuhanan diberikan fasilitas PPN dibebaskan, maka tidak ada pembebanan PPN (Pajak Keluaran) kepada Perusahaan Pelayaran sehingga dapat menekan tingginya biaya operasional Perusahaan Pelayaran. Dengan demikian Perusahaan Pelayaran Angkutan Luar negeri dapat menurunkan biaya ekspor (biaya angkutan laut/freight) atas barang-barang ekspor Indonesia.
6