ANALISIS DAYASAING DAN STRATEGI PENGEMBANGAN AGRIBISNIS TEH INDONESIA
SKRIPSI
VENTY FITRIANY NURUNISA H34070044
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
ANALISIS DAYASAING DAN STRATEGI PENGEMBANGAN AGRIBISNIS TEH INDONESIA
SKRIPSI
VENTY FITRIANY NURUNISA H34070044
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
i
RINGKASAN VENTY FITRIANY NURUNISA. Analisis Dayasaing dan Strategi Pengembangan Agribisnis Teh Indonesia. Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan LUKMAN MOHAMMAD BAGA) Peranan teh sebagai bahan baku bagi industri, kontributor devisa bagi negara, penyerap tenaga kerja dalam jumlah besar yang juga memberikan dampak positif bagi lingkungan sekitar perkebunannya telah menjadikan teh sebagai salah satu komoditas unggulan nasional. Posisi Indonesia dalam perdagangan internasional merupakan salah satu produsen sekaligus eksportir teh terbesar di dunia. Tahun 2008, pangsa pasar ekspor Indonesia mencapai 5,8 persen dari total ekspor dunia. Namun, kondisi tersebut bukan merupakan kondisi optimal agribisnis teh Indonesia. Selama sepuluh tahun terakhir, Indonesia cenderung mengalami penurunan luas area, yang kemudian berdampak kepada volume produksi dan penurunan volume ekspor. Sejak tahun 2000, Indonesia kehilangan sekitar 2,18 persen area perkebunan teh per tahun. Hal tersebut berdampak pada penurunan rata-rata produksi dan ekspor sebesar 0,83 dan 1,7 persen per tahun. Hal ini tidak dapat dibiarkan, mengingat kendala yang dihadapi oleh sebuah subsistem dalam sistem agribisnis teh Indonesia akan berdampak terhadap kinerja subsistem lainnya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menelaah kondisi sistem agribisnis teh di Indonesia, menganalisis dayasaingnya serta merumuskan strategi pengembangan yang tepat untuk meningkatkan dayasaing tersebut. Teh yang diteliti adalah teh curah sebagai produk yang dieskpor Indonesia. Pada analisis strategi, lingkup penelitian yang digunakan adalah subsistem budidaya dan pengolahan teh curah sebagai lingkungan internal, sementara subsistem hulu, pemasaran dan subsistem jasa penunjang ditambah dengan kondisi global termasuk ke dalam lingkungan eksternal. Teh yang diteliti adalah teh hitam dan teh hijau curah yang merupakan produk teh mayoritas yang diekspor oleh Indonesia. Data yang digunakan hampir 70 persen merupakan data sekunder, dan sisanya diperoleh dari wawancara dan observasi lapang (data primer). Alat yang digunakan adalah kerangka sistem agribisnis teh, Sistem Berlian Porter, Matriks SWOT dan Arsitektur Strategik. Hasil penelitian menunjukan bahwa sistem agribisnis teh Indonesia terbagi menjadi subsistem hulu, budidaya, pengolahan, pemasaran dan subsistem jasa penunjang. Subsistem hulu terdiri dari empat kegiatan utama yaitu usaha pembibitan teh, penyediaan sarana dan jasa transportasi, penyediaan sarana dan mesin pertanian serta usaha penyedia pupuk dan obat-obatan yang dibutuhkan oleh tanaman teh. Pada subsistem budidaya, usaha perkebunan teh di Indonesia terbagi menjadi usaha perkebunan rakyat (PR), usaha perkebunan besar negara (PBN) dan usaha perkabunan besar swasta (PBS). Luas area perkebunan milik rakyat mencapai 46,25 persen dari total area perkebunan teh di Indonesia, dengan produksi yang dicapai sekitar 38.593 ton pada tahun 2008. Sementara luas area perkebunan besar negara dan swasta mencapai 31,2 persen dan 22,55 persen dari total area perkebunan di Indonesia dengan produksi mencapai 78.354 ton dan 37.024 ton di tahun 2008. Berdasarkan proses pengolahannya, kegiatan usaha
ii
pada subsistem pengolahan teh curah terbagi menjadi dua, yaitu kegiatan pengolahan teh hitam curah dan kegiatan pengolahan teh hijau curah. Selain itu, kegiatan yang terjadi pada subsistem pemasaran teh Indonesia dibagi perdagangan yang melalui sistem lelang (auction) dan sistem direct selling. Sementara kegiatan agribisnis teh Indonesia juga didukung oleh lembaga penyedia jasa dan penunjang seperti lembaga penelitian Pusat Penelitian Teh dan Kina, lembaga keuangan, kelompok tani dan koperasi, lembaga pemasaran seperti Kantor Pemasaran Bersama Nusantara, asosiasi seperti Asosiasi Teh Indonesia dan Asosiasi Petani Teh Indonesia serta Dewan Teh Indonesia yang merupakan perpanjangan tangan dari pemerintah. Analisis dayasaing menggunakan Sistem Berlian Porter menunjukan bahwa komponen faktor sumberdaya dan komponen komposisi permintaan domestik, serta komponen faktor sumberdaya dengan komponen industri terkait dan industri telah saling mendukung, sementara komponen lainnya belum saling mendukung. Selain itu, apabila dilihat dari komponen pendukungnya, komponen peranan pemerintah baru memiliki keterkaitan yang mendukung dengan komponen faktor sumberdaya saja, sementara komponen peranan kesempatan telah mampu mendukung semua komponen utama. Strategi peningkatan dayasaing yang dihasilkan melalui analisis Matriks SWOT lebih mengarah kepada strategi peningkatan kinerja petani teh rakyat, yaitu dengan meningkatkan posisi tawar petani melalui penguatan kelompok tani dan dukungan dari adanya asosiasi dan Dewan Teh Indonesia. Sementara untuk perkebunan besar negara dan swasta strategi lebih mengarah kepada peningkatan produksi dan diversifikasi produk, khususnya untuk produk teh tujuan ekspor. Permasalahan lain yang menjadi fokus strategi adalah permasalahan yang terkait dengan konsumsi teh, strategi yang digunakan lebih diutamakan kepada peningkatan upaya promosi yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai teh dan manfaatnya. Kemudian, strategi yang telah dihasilkan dipetakan ke dalam rancangan arsitektur strategik, sehingga dihasilkan rancangan arsitektur strategik agribisnis teh Indonesia.
iii
ANALISIS DAYASAING DAN STRATEGI PENGEMBANGAN AGRIBISNIS TEH INDONESIA
VENTY FITRIANY NURUNISA H34070044
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk Memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
iv
Judul Skripsi
: Analisis Dayasaing dan Strategi Pengembangan Agribisnis Teh Indonesia
Nama
: Venty Fitriany Nurunisa
NRP
: H34070044
Disetujui, Pembimbing
Ir. Lukman Mohammad Baga, MA.Ec NIP. 19640220 198903 1 001
Diketahui Ketua Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS NIP. 19580908 198403 1 002
Tanggal Lulus :
v
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Analisis Dayasaing dan Strategi Pengembangan Agribisnis Teh Indonesia” adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Juni 2011
Venty Fitriany Nurunisa H34070044
vi
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Venty Fitriany Nurunisa, dilahirkan di kota Bogor pada tanggal 31 Januari 1989. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Ayahanda Sugandi dan Ibunda Mari Komariah Tentamia. Pada tahun 2001, penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri Panaragan 1 Bogor. Kemudian penulis melanjutkan pendidikannya ke SMP Negeri 1 Bogor. Pada tahun 2004, penulis berhasil menyelesaikan pendidikannya di sekolah menengah pertama lalu melanjutkan pendidikannya ke SMA Negeri 1 Bogor. Pada tahun 2007, penulis lulus dan melanjutkan pendidikannya di Institut Pertanian Bogor. Penulis berhasil diterima menjadi mahasiswa di Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2007. Selama masa pendidikan di IPB, penulis merupakan pengurus Himpunan Profesi Mahasiswa Peminat Agribisnis, dan menjabat sebagai sekertaris pada Divisi Creativity and Career Development Department selama dua kali masa kepengurusan (2008-2009 dan 2009-2010).
vii
KATA PENGANTAR Puji syukur kepada Allah SWT atas segala berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Dayasaing dan Strategi Pengembangan Agribisnis Teh Indonesia”. Penelitian ini bertujuan untuk menelaah kondisi sistem agribisnis teh di Indonesia, menganalisis dayasaing agribisnis teh Indonesia serta merumuskan strategi yang tepat dan dapat digunakan untuk meningkatkan dayasaing agribisnis teh tersebut. Namun, penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan yang timbul karena keterbatasan dan kendala-kendala yang dihadapi selama proses penyusunan skripsi ini. Untuk itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun ke arah penyempurnaan sehingga pada akhirnya skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, Juni 2011 Venty Fitriany Nurunisa
viii
UCAPAN TERIMAKASIH Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan rasa syukur yang sedalam-dalamnya kepada Allah SWT yang senantiasa memberikan kemudahankemudahan kepada penulis dari awal penyusunan hingga akhir penyelesaian skripsi ini. Selain itu, penulis juga ingin menyampaikan terimakasih kepada : 1. Bapak Ir. Lukman Mohammad Baga MA. Ec selaku dosen pembimbing akademik sekaligus dosen pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan pengarahan, dukungan dan motivasi selama penulis menyelesaikan skripsi ini, 2. Ibu Dr. Ir Ratna Winandi, MS selaku penguji utama dan Ibu Yanti Nuraeni Muflikh, SP. M.Agribuss selaku dosen penguji perwakilan Komisi Pendidikan yang telah memberikan saran serta masukan untuk perbaikan skripsi penulis. 3. Ayahanda dan Ibunda tercinta, Sugandi dan Mari Komariah Tentamia atas segala doa, kasih sayang, bimbingan dan dukungan yang diberikan kepada penulis. 4. Adik-adik tersayang, Dian Sidhikah dan Firman Fajrin Ahmad atas segala doa dan dukungannya. 5. Bapak Dr. Sultoni Arifin (Direktur Eksekutif Dewan Teh Indonesia), Ibu Rosmanindjar (Kepala Sekretariat Dewan Teh Indonesia), Bapak Drs. Dadang Djuanda dan Ibu Ir. Mudjiwati Sadjad MS, Is (PT. Kantor Pemasaran Bersama Nusantara), Ibu Henny Yunaeny Suryamin (Perwakilan Kebun Gunung Mas, PTPN VIII) serta Bapak Dr. Boyke Setiawan Soeratin Sp, MM (Asosiasi Teh Indonesia) sebagai pembimbing eksternal penulis yang telah memberikan banyak masukan, saran, informasi dan pengarahan mengenai agribisnis teh di Indonesia. 6. Teman-teman satu perjuangan di Agribisnis angkatan 44 serta sahabat-sahabat yang senantiasa memberikan dukungan kepada penulis. 7. Serta pihak-pihak yang telah berkontribusi dalam penyelesaian skripsi ini.
Bogor, Juni 2011 Venty Fitriany Nurunisa
ix
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ..................................................................................
xii
DAFTAR GAMBAR ..............................................................................
xiv
DAFTAR LAMPIRAN ..........................................................................
xv
I
PENDAHULUAN .......................................................................... 1.1 Latar Belakang .......................................................................... 1.2 Perumusan Masalah .................................................................. 1.3 Tujuan Penelitian ...................................................................... 1.4 Manfaat Penelitian .................................................................... 1.5 Ruang Lingkup Penelitian ........................................................
1 1 5 7 7 7
II
TINJAUAN PUSTAKA ............................................................... 2.1 Karakteristik Teh Indonesia .................................................... 2.2 Sistem Agribisnis Komoditas di Indonesia ............................. 2.2 Dayasaing Komoditas Indonesia ............................................. 2.3 Strategi Pengembangan Agribisnis ..........................................
8 8 10 12 14
III
KERANGKA PEMIKIRAN ........................................................ 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis ................................................... 3.1.1 Pemahaman Mengenai Agribisnis .................................. 3.1.2 Konsep Dayasaing .......................................................... 3.1.3 Formulasi Strategi ........................................................... 3.2 Kerangka Pemikiran Operasional ............................................
15 15 15 17 19 21
IV
METODE PENELITIAN ............................................................. 4.1 Waktu Pelaksanaan Penelitian ................................................. 4.2 Data dan Instrumentasi ............................................................ 4.3 Metode Pengumpulan Data ..................................................... 4.4 Metode Pengolahan dan Analisis Data ................................... 4.4.1 Analisis Berlian Porter ................................................... 4.4.2 Analisis SWOT .............................................................. 4.4.3 Arsitektur Strategik .........................................................
24 24 24 24 25 25 32 33
V
SISTEM AGRIBISNIS TEH INDONESIA ............................... 5.1 Perdagangan Teh Dunia ............................................................ 5.1.1 Produksi dan Konsumsi Teh Dunia ................................ 5.1.2 Ekspor dan Impor Teh Dunia ......................................... 5.2 Sistem Agribisnis Teh Indonesia .............................................. 5.2.1 Subsistem Hulu ............................................................... 5.2.2 Subsistem Usahatani Teh................................................. 5.2.3 Subsistem Pengolahan .................................................... 5.2.4 Subsistem Pemasaran ..................................................... 5.2.5 Subsistem Jasa dan Penunjang .......................................
35 35 35 36 38 38 43 48 50 53
x
VI
DAYASAING AGRIBISNIS TEH INDONESIA ...................... 6.1 Analisis Komponen Sistem Berlian Porter ............................... 6.1.1 Kondisi Faktor Sumberdaya ........................................... 6.1.2 Kondisi Permintaan Domestik ........................................ 6.1.3 Industri Terkait dan Pendukung ..................................... 6.1.4 Persaingan, Struktur dan Strategi .................................... 6.1.5 Peran Pemerintah ............................................................ 6.1.6 Peran Kesempatan .......................................................... 6.2 Keterkaitan Antar Komponen Utama ....................................... 6.2.1 Keterkaitan antara Komponen Kondisi Fakor Sumberdaya dengan Kondisi Permintaan Domestik ....... 6.2.2 Keterkaitan antara Komponen Kondisi Permintaan Domestik dengan Industri Terkait dan Industri Pendukung ....................................................................... 6.2.3 Keterkaitan antara Komponen Industri Terkait dan Pendukung dengan Persaingan, Struktur dan Strategi ...... 6.2.4 Keterkaitan antara Komponen Persaingan, Struktur dan Strategi dengan Kondisi Faktor Sumberdaya .................. 6.2.5 Keterkaitan antara Komponen Kondisi Faktor Sumberdaya dengan Industri Terkait dan Pendukung ...... 6.2.6 Keterkaitan antara Komponen Struktur, Persaingan dan Strategi dengan Komponen Kondisi Permintaan Domestik .......................................................................... 6.3 Keterkaitan Komponen Pendukung ........................................... 6.3.1 Peranan Pemerintah terhadap Komponen Utama ............ 6.3.2 Peranan Kesempatan terhadap Komponen Utama ..........
58 58 58 70 76 81 83 86 88 88
89 90 91 92
92 95 95 96
VII STRATEGI PENGEMBANGAN DAN ARSITEKTUR STRATEGIK AGRIBISNIS TEH INDONESIA ........................ 7.1 Analisis Strategi Pengembangan Agribisnis Teh Indonesia ...... 7.1.1 Identifikasi Faktor Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman .......................................................................... 7.1.2 Analisis Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman... 7.1.3 Perumusan Matriks SWOT Agribisnis Teh Indonesia .... 7.2 Rancangan Arsiektur Strategik ..................................................
100 102 110 120
VIII KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................... 8.1 Kesimpulan ................................................................................ 8.2 Saran ..........................................................................................
125 125 127
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................
129
LAMPIRAN ............................................................................................
133
100 100
xi
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Neraca Perdagangan Pertanian Tahun 2005-2009........................
1
2. Nilai dan Jumlah Ekspor Teh Indonesia Tahun 2000-2009 ..................
4
3. Jenis Teh Berdasarkan Varietas ....................................................
8
4. Kadar Katekin pada Beberapa Jenis Teh .....................................
9
5. Negara-Negara Produsen dan Konsumen Teh Dunia Tahun 2008 .............................................................................................
36
6. Negara-Negara Eksportir dan Importir Teh Dunia (2008) ..........
37
7. Kebun Biji (KB) yang Menghasilkan Turunan Cukup Baik dan Dapat Digunakan sebagai Sumber Penghasil Biji .......................
39
8. Stek atau Klon Tanaman Teh yang Dikeluarkan PPTK ..............
40
9. Luas Area, Produksi dan Produktivitas Teh Nasional Tahun 1999-2010 ....................................................................................
43
10. Luas Area dan Produksi Teh Berdasarkan Tipe Pengusahaan Tahun 2000-2010 .........................................................................
44
11. Karakteristik Umum Produsen Teh di Indonesia Berdasarkan Tipe Kepemilikan Usaha .............................................................
46
12. Analisis Usahatani Kebun Teh dengan Produk Pucuk Basah dan Daun Kering ..........................................................................
48
13. Spesifikasi Teh Berdasarkan Grade ............................................
49
14. Produk Olahan Utama dan Sampingan Teh ................................
50
15. Perkembangan Luas Area Perkebunan Teh Berdasarkan Provinsi Tahun 2004-2008 ..........................................................
60
16. Komposisi Teh yang Beredar di Berdasarkan Mutu Teh dan Pangsa Pasarnya di Jawa Barat dan Jawa Timur .........................
71
17. Perkembangan Konsumsi Teh per Kapita Indonesia ...................
72
18. Biaya Iklan yang Dikeluarkan oleh Beberapa Produsen Teh Periode Januari-Oktober 2006 (dalam 000 Rp) ...........................
73
xii
19. Beberapa Jenis Merk Teh yang Beredar di Indonesia Berdasarkan Perusahaan Pengolah ..............................................
81
20. Perusahaan Eksportir Teh yang Tergabung ke dalam Jakarta Tea Auction ..................................................................................
83
21. Tarif Impor Produk Teh di Beberapa Negara Eksportir Teh ke Indonesia ......................................................................................
85
22. Keterkaitan Antar Komponen Utama ..........................................
94
23. Keterkaitan Antar Komponen Pendukung dengan Komponen Utama ...........................................................................................
97
24. Identifikasi Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman ........
101
25. Perkembangan Populasi Penduduk Indonesia .............................
103
26. Rasio Penambahan Nilai pada Produk Teh .................................
105
27. Matriks SWOT Agribisnis Teh Nasional ....................................
111
28. Program
Pengembangan
dan
Peningkatan
Dayasaing
Agribisnis Teh Indonesia .............................................................
121
xiii
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Perkembangan Produksi di Beberapa Negara Penghasil Teh Terbesar Dunia Tahun 2000-2008 ................................................
3
2. Lingkup Pembangunan Sistem dan Usaha Agribisnis ..................
17
3. Kerangka Pemikiran Operasional .................................................
23
4. The Complete System of National Competitive Advantage ..........
31
5. Ruang Lingkup Sistem Agribisnis Teh .......................................
34
6. Perkembangan Harga Rata-Rata Teh Indonesia, Sri Langka dan Kenya Tahun 1999-2008 .............................................................
38
7. Jalur Tataniaga Teh Indonesia (2010) .........................................
52
8. Lembaga Penelitian Pendukung Agribisnis Teh Indonesia .........
54
9. Produktivitas Area Tanam Teh per Provinsi Tahun 2008 ...........
64
10. Perkembangan Produktivitas Rata-Rata Area Perkebunan Teh di Indonesia Tahun 2000-2010 ....................................................
65
11. Volume Impor Teh Negara Timur Tengah dari Indonesia Tahun 2006-2010 .........................................................................
76
12. Konsumsi Air Teh Kemasan (200 ml) .........................................
79
13. Keterkaitaan Antar Komponen Dayasaing dalam Agribisnis Teh Indonesia ..............................................................................
98
14. Rancangan Arsitektur Strategik Agribisnis Teh Indonesia .........
124
xiv
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1. Persentase Pangsa Produksi Teh Dunia (2000-2008) ..................
134
2. Persentase Pangsa Ekspor Teh Dunia (2000-2008) ......................
134
3. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Teh Dunia ....................
134
4. Daftar Perusahaan Teh di Indonesia ............................................
135
5. Berbagai Mutu Teh Curah ...........................................................
138
xv
I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Subsektor perkebunan merupakan subsektor yang memegang peranan penting bagi perekonomian nasional. Dibandingkan dengan subsektor lain dalam sektor pertanian, subsektor perkebunan merupakan kontributor devisa tertinggi. Tabel 1 menunjukkan neraca perdagangan pertanian selama periode 2005-2009, dimana
subsektor
perkebunan
mengalami
surplus
perdagangan
dengan
pertumbuhan rata-rata sebesar 21,25 persen per tahun. Selain sebagai kontributor devisa, Febriyanthi (2008) juga menyebutkan peranan lain dari subsektor perkebunan yaitu sebagai subsektor penyerap tenaga kerja dan kontributor bagi produk domestik bruto. Tabel 1. Neraca Perdagangan Pertanian Tahun 2005-2009 Tahun 2005 2006 2007 2008 Kegiatan (US$ 000) 1 Subsektor Perkebunan Ekspor 10.673.186 13.972.064 19.948.923 27.369.363 Impor 1.532.520 1.675.067 3.379.875 4.535.918 Neraca 9.140.666 12.296.997 16.569.048 22.833.445 2 Subsektor Hortikultura Ekspor 227.974 238.063 254.765 432.727 Impor 367.425 527.415 795.846 909.669 Neraca -139.451 -289.352 -541.081 -476.942 3 Subsektor Peternakan Ekspor 396.526 388.939 748.531 1.148.170 Impor 1.121.832 1.190.396 1.696.459 2.352.219 Neraca -725.306 -801.457 -947.928 -1.204.049 4 Subsektor Tanaman Pangan Ekspor 286.744 264.155 289.049 348.914 Impor 2.115.140 2.568.453 2.729.147 3.526.961 Neraca -1.828.396 -2.304.299 -2.440.098 -3.178.047 Sektor Pertanian Ekspor 11.584.429 14.863.221 21.241.268 29.299.174 Impor 5.136.916 5.961.331. 8.601.327 11.324.767 Neraca 6.447.513 8.901.890 12.639.941 17.974.407
2009
21.581.670 3.949.191 17.632.479 378.627 1.063.120 -684.493 754.914 2.132.800 -1.337.886 321.280 2.737.862 -2.416.582 23.036.491 9.882.973 13.153.518
Sumber : BPS (2010) dalam Kementrian Pertanian Republik Indonesia (2010)
Pemerintah melalui Kementrian Pertanian periode 2010-2014 menetapkan beberapa
komoditas
perkebunan
sebagai
komoditas
unggulan
nasional.
Komoditas unggulan nasional ini merupakan komoditas yang menjadi prioritas 1
untuk dikembangkan dalam periode pembangunan pertanian di masa yang akan datang. Pengembangan komoditas ini dimaksudkan untuk meningkatkan produktivitas, perolehan devisa atau ekspor, subtitusi produk impor serta untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Salah satu komoditas perkebunan yang termasuk ke dalam komoditas unggulan nasional adalah teh 1 . Teh merupakan komoditas yang memiliki peranan penting bagi perekonomian nasional. Sebanyak 61 persen produk teh Indonesia diekspor untuk memenuhi kebutuhan pasar luar negeri (BPS 2010). Sementara sisanya berperan sebagai bahan baku bagi industri dan konsumsi dalam negeri. Selain itu, usaha perkebunan teh juga memiliki kemampuan menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Santoso (2009) menyebutkan bahwa usaha perkebunan teh mampu menyerap sekitar 450.000 tenaga kerja dan telah menghidupi sekitar 2,25 juta jiwa petani teh Indonesia. Rasio penyerapan tenaga kerja usaha perkebunan teh mencapai 2-3 orang per hektar, lebih tinggi dibandingkan komoditas perkebunan lain seperti kelapa sawit. Selain kontribusinya bagi perekonomian nasional, usaha perkebunan teh juga memberikan dampak positif bagi lingkungan. Keberadaan perkebunan teh dapat membantu mempertahankan sistem hidrologi, mencegah erosi pada tanaman teh yang telah produktif, menyerap CO2 dan menghasilkan O2 serta dapat menjadi alternatif pilihan fasilitas rekreasi (agrowisata). Selain itu, dalam konteks pengembangan industri, industri teh curah dan industri teh olahan Indonesia memiliki potensi untuk dikembangkan karena nilai backward dan forward linkage dari indsutri ini lebih dari satu, sehingga menyebabkan multiplier effects bagi industri teh nasional 2 .
1
2
Komoditas unggulan nasional yang berasal dari subsektor perkebunan terdiri dari kelapa sawit, kelapa, kakao, kopi, lada, jambu mete, teh, tebu, karet, kapas, tembakau, cengkeh, jarak pagar, nilam dan kemiri sunan (Kementrian Pertanian Republik Indonesia 2010). Menurut Santoso dan Suprihatini (2007b), peningkatan permintaan baik di sektor industri teh curah maupun teh olahan sebesar satu satuan akan meningkatkan output yang relatif besar di semua industri, termasuk industri itu sendiri sebesar 1,5 kali lipat. Dengan memperhitungkan efek konsumsi masyarakat terhadap teh, yaitu ketika terjadi peningkatan pengeluaran rumah tangga yang bekerja di industri teh, maka kenaikan output tersebut dapat mencapai 3 kali lipat. Selain itu, industri teh curah dan teh olahan juga memiliki kemampuan untuk meningkatkan pendapatan tenaga kerja di semua industri. Efek induksi yang terjadi terhadap industri lain akibat peningkatan pendapatan tenaga kerja di industri teh curah dan teh olahan tersebut sebesar 1,6 kali lipat.
2
Indonesia termasuk ke dalam sepuluh produsen dan eksportir teh terbesar di dunia. Pada tahun 2000, Indonesia merupakan produsen teh terbesar kelima di dunia dengan volume produksi teh Indonesia mencapai 5,5 persen. Begitu juga dengan kegiatan ekspor teh Indonesia, posisi Indonesia saat itu menempati urutan kelima dengan pangsa ekspor teh mencapai 8 persen dari total volume ekspor teh dunia. Namun, seiring dengan berkembangnya persaingan diantara produsen dan eksportir teh dunia, posisi Indonesia semakin tergeser oleh negara-negara pesaing seperti Vietnam dan Turki. Hingga pada tahun 2008 pangsa produksi dan ekspor teh Indonesia turun menjadi 3,6 dan 5,8 persen. Salah satu penyebab turunnya produksi teh nasional adalah maraknya konversi areal perkebunan teh menjadi areal tanam komoditas lain. Perkembangan produksi teh negara-negara di dunia ditunjukkan oleh Gambar 1.
Gambar 1.
Perkembangan Produksi Teh di Beberapa Negara Penghasil Teh Terbesar Dunia Tahun 2000-2008 Sumber : ITC (2009)
3
Sebagai penghasil teh, Indonesia menghadapi persaingan dengan produsen-produsen lainnya. Pada perdagangan teh internasional, Vietnam, Kenya dan Sri Langka merupakan tiga pesaing terdekat Indonesia 3 . Beberapa tahun terakhir ini Vietnam mampu meningatkan produksi teh mereka, sementara produksi teh Indonesia terus menurun. Kenya dan Sri Langka merupakan kompetitor Indonesia dalam hal kesamaan produk teh yang dihasilkan. Produk teh hitam CTC milik Indonesia memiliki kesamaan dengan produk teh hitam CTC yang dihasilkan Kenya, sementara produk teh hitam Orthodox Indonesia relatif serupa dengan teh hitam Orthodox yang diproduksi Sri Langka. Tabel 2. Nilai dan Jumlah Ekspor-Impor Teh Indonesia Tahun 2000-2009 Ekspor Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Nilai (000 US $) 112.105 112.524 103.427 95.970 116.018 121.777 134.515 125.243 158.958 171.628
Impor
Jumlah (Ton) 105.582 107.144 100.184 88.894 98.572 102.389 95.338 83.658 96.209 92.305
Nilai (000 US $) 3.091 3.091 3.561 3.807 5.531 7.161 8.703 11.855 11.990 12.537
Jumlah(Ton) 2.632 2.632 3.526 4.000 3.925 5.479 5.293 10.366 6.625 7.168
Sumber : Dirjenbun (2010)
Tabel 2 menunjukkan perkembangan kegiatan ekspor dan impor teh Indonesia selama tahun selama tahun 2000 hingga 2009. Pada kegiatan ekspor teh, nilai ekspor teh Indonesia cenderung mengalami peningkatan, namun volumenya cenderung menurun, dan penurunan yang terjadi rata-rata mencapai 1,7 persen setiap tahunnya. Penurunan volume ekspor ini dapat menyebabkan pangsa ekspor teh Indonesia menurun. Sementara itu, di dalam negeri produkproduk teh impor mulai banyak memasuki pasar domestik. Tabel 2 menunjukkan 3
Hasil wawancara dengan Ir. Mudjiwati Sadjad Msc.-IS, PT. Kantor Pemasaran Bersama Nusantara [20 Maret 2011]
4
adanya peningkatan kegiatan impor teh di dalam negeri. Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya kecenderungan peningkatan volume dan nilai impor teh ke Indonesia. Selama periode tersebut, volume impor teh Indonesia mengalami peningkatan rata-rata sebesar 18,67 persen per tahun, sementara nilai impor meningkat sebesar 20 persen per tahunnya. Penurunan volume ekspor teh akan mempengaruhi pangsa pasar teh Indonesia di pasar internasional, sementara peningkatan kegiatan impor teh akan mengurangi perolehan devisa bagi negara. Fungsi teh sebagai salah satu kontributor devisa akan terganggu, hal ini akan berimbas terus hingga ke pelaku produksi di lapangan. Dengan mempertimbangkan kondisi persaingan yang semakin ketat, dimana negara-negara produsen dan eksportir teh saat ini telah mampu meningkatkan kinerja produknya, maka penting untuk mengetahui bagaimana dayasaing agribisnis teh Indonesia di pasar internasional kemudian merumuskan strategi-strategi untuk mengembangkan kegiatan agribisnis teh Indonesia dalam rangka peningkatan dayasaing tersebut. 1.2 Perumusan Masalah Kondisi iklim dan topografi alam Indonesia merupakan modal awal bagi pengembangan agribisnis teh di negara ini. Sumberdaya alam yang kita miliki merupakan suatu bentuk keunggulan komparatif yang tidak dimiliki oleh semua negara. Agar suatu negara dapat terus bersaing di pasar internasional, maka memiliki keunggulan komparatif saja tidaklah cukup. Dibutuhkan sebuah kompetensi yang mampu bersaing baik di dalam negeri maupun di tengah pasar persaingan global. Mengingat besarnya peranan agribisnis teh Indonesia yang ditunjukkan dengan adanya multipier effects yang lebih dari satu, maka integrasi antara setiap subsistem dalam sistem agribisnis teh di Indonesia sangat penting untuk ditingkatkan. Saat ini, subsistem budidaya agribisnis teh Indonesia sedang dihadapkan oleh kondisi penurunan luas area perkebunan. Hal ini tentu berpengaruh terhadap volume produksi teh Indonesia. Selama periode 2000-2009 telah terjadi penurunan luas area perkebunan teh sebesar 2,18 persen setiap tahun. Penurunan luas areal ini kemudian berdampak pada penurunan produksi teh nasional, dimana selama tahun 2000 hingga tahun 2010 terjadi penurunan produksi rata-rata sebesar 5
0,83 persen (Dirjenbun 2010). Di sisi lain, penurunan kinerja di subsistem budidaya tersebut juga mempengaruhi subsistem pemasaran teh Indonesia. Pangsa pasar teh Indonesia cenderung terus menurun akibat adanya kecenderungan penurunan volume ekspor teh dari tahun ke tahun. Berbagai kendala yang dihadapi oleh para produsen teh nasional nyatanya saling terkait antar subsistem. Untuk itu, dibutuhkan integrasi yang baik dari setiap subsistem. Integrasi ini perlu didukung oleh kelengkapan serta distribusi informasi yang dibutuhkan sehingga dapat dimanfaatkan oleh seluruh stakeholder teh di Indonesia. Hal tersebut dapat dilakukan salah satunya dengan melakukan pemetaan potensi maupun kendala yang dihadapi oleh setiap subsistem dan digambarkan sebagai gambaran umum agribisnis teh Indonesia. Kendala lain yang dihadapi adalah semakin kompetitifnya persaingan global. Jepang, Inggris, Amerika Serikat dan Uni Emirat Arab merupakan negaranegara pengimpor teh dunia, namun mereka mampu memberikan nilai tambah pada teh dengan mengolahnya menjadi produk hilir dan mengekspornya kembali dengan harga lebih tinggi 4 . Hal ini sangat berbeda dengan kondisi Indonesia, dimana sebagian besar teh yang diekspor Indonesia masih merupakan produk bahan baku atau produk teh curah. Akibatnya, nilai ekspor teh Indonesia semakin jauh
tertinggal
dibanding
dengan
negara-negara
lain
yang
mulai
mengkombinasikan produk ekspor mereka dengan produk teh kemasan. Dengan semakin kompetitifnya persaingan di pasar global, sesuai dengan program peningkatan nilai tambah, dayasaing dan ekspor yang tercantum dalam Rencana Strategis Kementrian Pertanian 2010-2014, maka penting untuk mengetahui dayasaing agribisnis teh Indonesia dan rumusan strategi yang mampu meningkatkan dayasaing tersebut. Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan penelitian ini adalah : 1. Bagaimana kondisi sistem agribisnis teh Indonesia? 2. Bagaimana dayasaing agribisnis teh Indonesia? 3. Bagaimana rumusan strategi yang tepat untuk meningkatkan dayasaing tersebut? 4
Komoditi Teh di Indonesia dalam http://www.csrreview-online.com/lihatartikel.php?id=24 [Diakses pada 5 Oktober 2010]
6
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah : 1) Menelaah sistem agribisnis teh Indonesia. 2) Menganalisis dayasaing agribisnis teh Indonesia. 3) Merumuskan strategi pengembangan agribisnis teh Indonesia. 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak terkait, diantaranya : 1) Bagi penulis, diharapkan dapat meningkatkan wawasan dan pengetahuan mengenai permasalahan yang telah diuraikan. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan akan meningkatkan kemampuan penulis dalam membuat sebuah tulisan ilmiah. 2) Bagi peneliti, diharapkan dapat menjadi salah satu bentuk sumber informasi untuk suatu penelitian lain yang berkaitan dengan topik ini. 3) Bagi pengambil kebijakan, instansi serta lembaga terkait lainnya diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan terkait dengan dayasaing komoditi di era globalisasi. 1.5 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini mengkaji teh curah sebagai komoditas strategis yang memiliki banyak manfaat dan peluang untuk dikembangkan. Teh curah hijau dan hitam merupakan produk teh yang diekspor oleh Indonesia (BPS 2011). Lingkup analisis pada penelitian ini adalah sistem agribisnis teh Indonesia, dimana pada analisis dayasaing menggunakan Teori Berlian Porter, proses analisis dilakukan hingga diketahui ada tidaknya keterkaitan antar komponen dalam Sistem Berlian Porter. Namun, untuk mengetahui sejauh apa keterkaitan tersebut, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. Sementara itu, pada analisis strategi pengembangan agribisnis teh, lingkungan internal yang diamati terdiri subsistem budidaya dan subsistem pengolahan teh curah. Hal ini dikarenakan kegiatan diantara kedua subsistem tersebut sulit untuk dipisahkan dan saling mempengaruhi satu sama lain. Sementara lingkungan eksternal merupakan subsistem lain di luar subsistem budidaya dan pengolahan teh curah ditambah dengan lingkungan global.
7
II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karakteristik Teh Indonesia Teh merupakan tanaman berbentuk pohon yang tingginya bisa mencapai belasan meter. Namun, tanaman teh yang dibudidayakan di perkebunan selalu dipangkas hingga mencapai ketinggian 90-120 meter untuk memudahkan pemetikan. Tanaman teh bukan merupakan tanaman asli Indonesia, namun merupakan tanaman yang berasal dari Cina. Diperkirakan, tanaman ini masuk ke Indonesia pada tahun 1684, dan mulai dikenal luas sebagai tanaman perkebunan pada awal abad ke-19 (Nazaruddin & Paimin 1993). Teh tergolong ke dalam minuman fungsional karena memiliki banyak khasiat yang baik bagi kesehatan. Manfaat yang dapat diperoleh dari meminum teh secara teratur diantaranya adalah dapat menurunkan munculnya risiko penyakit kanker dan radiovaskular, menurunkan berat badan, mencegah osteoporosis dan merupakan sumber mineral dan vitamin. Sangat dianjurkan meminum teh secara teratur sebanyak 4-5 kali sehari untuk dapat memperoleh manfaat dari senyawa yang terkandung dalam teh (Pambudi 2006). Berdasarkan varietasnya, teh terbagi menjadi varietas Sinensis dan varietas Assamica. Varietas teh yang umumnya dibudidayakan di Indonesia adalah varietas Assamica. Sementara varietas Sinensis umumnya dibudidayakan di negara Cina dan Jepang. Secara umum, perbedaan dari kedua varietas ini dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Jenis Teh Berdasarkan Varietas No. 1 2 3 4 5 6 7 8
Jenis Teh Sinensis Assamica Tinggi pohon sekitar 3-9 meter Tinggi pohon sekitar 12-20 meter Pertumbuhan lambat Pertumbuhan lebih cepat Jarak antara cabang dengan tanah Jarak antara cabang dengan tanah agak sangat dekat jauh Daun berukuran kecil, pendek, Daun lebar, panjang, berujung runcing, berujung tumpul, berwarna hijau tua berwarna hijau mengkilat Hasil produksi sedikit Hasil produksi tinggi. Kualitas baik Kualitas baik Banyak terdapat di Cina dan Jepang Dibudidayakan di Indonesia Kandungan katekin tidak dominan Kandungan katekin tinggi
Sumber : Nazaruddin dan Paimin (1993)
8
Selain perbedaan secara fisik, kedua varietas ini juga memiliki perbedaan pada kandungan katekinnya. Katekin adalah kandungan pada teh yang bermanfaat untuk kesehatan dan merupakan antioksidan yang sangat efektif untuk menetralkan radikal bebas dalam tubuh. Kadar katekin yang terdapat pada teh Assamica lebih tinggi dibandingkan dengan kadar katekin teh yang berasal dari varietas Sinensis. Secara tidak langsung, hal ini menunjukkan bahwa kualitas teh Indonesia tidak kalah dibandingkan dengan kualitas teh dari negara lain, khususnya Cina dan Jepang 5 . Kandungan katekin yang terdapat pada beberapa jenis teh yang diperdagangkan di pasar internasional ditunjukkan oleh Tabel 4. Tabel 4. Kadar Katekin pada Beberapa Jenis Teh No. 1.
Negara Indonesia
2. 3.
Jepang China
4.
Sri Langka
Jenis Teh Teh Hitam Orthodox Teh Hitam CTC Teh Hijau Ekspor Teh Wangi Teh Sencha Teh Oolong Teh Wangi Teh Hitam
Kadar Katekin (%) 8,24 7,02 11,60 9,28 5,06 6,73 7,47 7,39
Sumber : Bambang et al (1995) dalam Indarto (2007)
Spillane (1992) diacu dalam Nazaruddin dan Paimin (1993) membagi perkebunan teh yang diusahakan di Indonesia berdasarkan ketinggian daerah penanamannya. Berikut ini adalah kelima jenis wilayah penanaman teh tersebut : 1. High grown, berada pada ketinggian lebih dari 1.500 m. Contohnya adalah perkebunan Sinumbar dan perkebunan Sperata di Jawa Barat. 2. Good medium, berada pada ketinggian antara 1.200-1.500 m. Contohnya adalah perkebunan Malabar, Gunung Mas, dan Goalpara di Jawa Barat. 3. Medium, berada pada ketinggian 1.000-1.200 m. Contohnya adalah perkebunan Wonosari di Jawa Timur. 4. Low medium, berada pada ketinggian 800-1.000 m Contohnya adalah perkebunan Pasir Nangka dan Cikopo Selatan di Jawa Barat.
5
DIN. 2007. Teh Indonesia Lebih Menyehatkan dalam www.kompas.co.id [Diakses pada 18 Oktober 2010]
9
5. Common, berada pada ketinggian di bawah 800 m. Contohnya adalah perkebunan Gunung Rang. Kemudian, Suprihatini dan Rosyadi (2003) mengungkapkan bahwa komposisi produk teh Indonesia pada tahun 2002 yang diperjualbelikan melalui Kantor Pemasaran Bersama (KPB) sebagian besar (50 persen) adalah jenis medium grown tea, dan sisanya sebanyak 30 persen dan 20 persen merupakan low grown tea dan high grown tea. 2.2 Sistem Agribisnis Komoditas di Indonesia Kajian mengenai sistem agribisnis di Indonesia telah banyak dilakukan. Khusus mengenai sistem agribisnis teh, Yusdja et al (2003) melakukan penelitian mengenai
analisis
dampak
sosial
ekonomi
tehadap
adopsi
teknologi
pemberantasan hama tanaman pada perkebunan teh rakyat, dimana salah satu tujuan dari penelitian tersebut adalah menganalisis sistem agribisnis perkebunan rakyat di daerah penelitian, yaitu Kabupaten Garut, Jawa Barat. Pemilihan Kabupaten Garut sebagai daerah penelitian didasari oleh besarnya potensi perkebunan rakyat disana, dengan luas areal mencapai 7.049,4 ha atau sebesar 59,09 persen dari total areal perkebunan teh di Garut. Selain itu, dilihat dari data pertumbuhan areal tanam perkebunan teh selama periode 1989-2001, perkebunan teh rakyat di kabupaten ini menunjukkan kinerja yang sangat positif. Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya peningkatan luas areal perkebunan rakyat sebesar 69,09 persen selama periode 1989-2001. Hal tersebut sangat berbeda dengan kinerja perkebunan negara dan swasta yang justru mengalami kemunduran. Dilihat dari aspek produktivitasnya, perkebunan teh rakyat di wilayah ini memiliki tingkat produktivitas terendah dibandingkan dengan perkebunan negara dan swasta. Perkebunan rakyat dengan luas areal mencapai 7.049,4 ha hanya mampu mencapai produktivitas sebesar 0,811 kg teh kering/ha/tahun. Berbeda dengan perkebunan negara dan swasta yang mampu mencapai tingkat produktivitas sebesar 1.718 kg/ha/tahun dan 1.272 kg/ha/tahun. Pemilihan desa contoh dilakukan berdasarkan kontribusi masyarakatnya terhadap budidaya teh. Desa Pamulihan dan Desa Pangauban merupakan dua desa contoh yang sebagian masyarakatnya merupakan petani yang sumber pendapatannya berasal dari budidaya tanaman teh. 10
Kegiatan yang termasuk dalam subsistem hulu teh di desa contoh terdiri dari informasi mengenai aksesibilitas petani terhadap input-input pertanian. Berdasarkan hasil pengamatan, Yusdja et al (2003) menyatakan bahwa petani teh di desa contoh telah mengenal beberapa varietas seperti TRI 0205, Kiara, Gambung dan beberapa jenis varietas lainnya. Namun, petani masih mengeluhkan tingginya harga bibit tanaman teh (Rp 1.500 – Rp 2.000 per pohon) yang tidak sebanding dengan harga produk yan dihasilkan. Di samping itu, masih terbatasnya pengadaan bibit teh menyebabkan petani masih menemui kesulitan untuk dapat mengkases bibit. Dalam pengadaan tenaga kerja, sebagian besar petani mengandalkan tenaga kerja keluarga. Namun dalam pelaksanaan pemetikan umumnya petani menggunakan jasa tenaga buruh terutama bagi petani yang menguasai lahan kebun yang luas. Sementara dalam penguasaan sarana dan prasarana pertanian, petani masih tergolong sangat minim dalam menguasai sarana peralatan. Pada pengelolaan kebun atau budidaya, petani umumnya bergantung pada harga teh yang terjadi. Rendahnya harga teh serta tingginya biaya produksi akan memperkecil penerimaan petani tersebut. Hal ini menyebabkan kemampuan penguasaan terhadap sarana dan prasaran pertanian, pemberian pupuk serta intensitas pemeliharaan sangat minim dilakukan. Umumnya, petani menerapkan pola tanam teh secara monokultur, kecuali kondisi tanaman yang masih kecil atau telah banyak yang tua/mati dan belum dilakukan replanting, umumnya dilakukan tumpangsari dengan tanaman lain seperti sayuran atau tembakau. Kegiatan di susbsistem pemasaran dicerminkan dari kegiatan sebagian besar petani contoh yang melakukan pemasaran teh melalui pedagang pengumpul desa. Dibandingkan dengan tataniaga perkebunan negara dan swasta, jalur tataniaga perkebunan rakyat mempunyai rantai yang lebih panjang. Hal tersebut seringkali tidak menguntungkan bagi petani karena petani tidak mendapat insentif yang baik atas kerja kerasnya dalam menghasilkan teh. Di samping itu, bentuk rantai tataniaga yang panjang juga diduga mempengaruhi keputusan petani. Salah satu akibat dari ketergantungan petani yang tinggi terhadap pedagang adalah pedagang dapat mengatur keputusan petani khususnya dalam penggunaan pestisida, dalam hal ini pedagang dapat berperan sebagai penyalur pestisida.
11
Lembaga serta pihak yang bertanggung jawab dalam mendampingi petani teh rakyat dalam hal ini adalah penyuluh. Dalam penelitiannya, Yusdja et al (2003) menyimpulkan bahwa petani teh rakyat di wilayah penelitian masih jauh dalam kemandirian usaha. Selain lahan yang dikelola relatif sempit, petani juga dihadapkan pada lemahnya permodalan serta kurangnya kerjasama antar petani teh. Kondisi ini mendorong petani teh memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap pedagang pengumpul yang terbukti tidak memberikan insentif yang menguntungkan pada petani teh rakyat. 2.3 Dayasaing Komoditas Indonesia Penelitian mengenai dayasaing teh pernah dilakukan sebelumnya. Tatakomara
(2004)
melakukan
penelitian
mengenai
faktor-faktor
yang
mempengaruhi ekspor komoditas teh di Indonesia, serta dayasaing komoditas teh di pasar internasional. Pada periode 1992-2002, sebagian besar area perkebunan teh merupakan perkebunan rakyat, sisanya dimiliki oleh pemerintah dan pengusaha swasta. Namun, apabila dilihat dari volume produksinya perkebunan rakyat justru menempati posisi terendah dibandingkan dengan produktivitas perkebunan negara dan swasta. Hal ini disebabkan oleh kurangnya penggunaan teknologi yang mendukung dalam hal produksi. Dilihat dari perkembangan produksi, dalam kurun waktu 1992-2002, Indonesia telah mengalami perkembangan produksi sebesar 1,16 persen, perkembangan produksi ini searah dengan perkembangan luas areal perkebunan teh sebesar 1,56 persen. Sedangkan dilihat dari perkembangan ekspor tehnya, Indonesia mengalami peningkatan sebesar 0,72 persen. Namun peningkatan volume ekspor ini tidak diiringi dengan peningkatan nilai ekspor, yang turun ratarata sebesar 1,29 persen setiap tahunnya. Dari hasil regresi untuk model ekspor teh Indonesia dapat disimpulkan bahwa variabel-varaibel yang mempengaruhi ekspor teh Indonesia yaitu produksi teh domestik, volume ekspor teh Indonesia tahun sebelumnya, harga teh dunia, lag harga teh dunia, nilai tukar rupiah sebelumnya, konsumsi teh domestik, dan variabel harga domestik. Dari ketujuh variabel tersebut, variabel produksi teh Indonesia, volume ekspor tahun sebelumnya, dan konsumsi teh domestik berpengaruh nyata terhadap ekspor tahun sebelumnya. Sedangkan sisanya tidak 12
berpengaruh nyata. Dilihat dari elastisitasnya, hanya variabel produksi domestiklah yang memiliki elastisitas lebih dari satu. Artinya ekspor teh Indonesia cukup peka terhadap perubahan produksi teh domestik. Tatakomara (2004) menyatakan bahwa teh Indonesia yang dinilai dengan menggunakan indeks REER telah memiliki keunggulan komparatif, karena sumberdaya alam yang melimpah yang dimiliki Indonesia. Namun, diperlukan usaha yang lebih keras lagi untuk meningkatkan dayasaing teh Indonesia secara kompetitif, sehingga dayasaing di pasar internasionalnya menjadi lebih kuat. Penelitian mengenai dayasaing teh di Indonesia juga pernah dilakukan oleh Febriyanthi (2008). Alat yang digunakan untuk meneliti dayasaing teh adalah Revealed Comparative Advantage (RCA), sementara teori Berlian Porter digunakan untuk menganaisis faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi keunggulan komoditi suatu negara. Dalam penelitiannya disebutkan bahwa selama periode 1996-2005, terdapat pertumbuhan produktivitas sebesar 11,3 persen. Namun hal ini berbeda dengan pertumbuhan produksi komoditas teh Indonesia yang hanya naik sebesar 0,71 persen. Hal ini dikarenakan luas areal penanaman teh yang mengalami penurunan sebesar 1,12 persen. Febriyanthi (2008) menyatakan bahwa struktur pasar yang dihadapi teh Indonesia dalam pasar teh internasional, adalah pasar persaingan oligopoli dan pasar persaingan monopoli. Posisi Indonesia di masing-masing pasar tersebut adalah market follower. Akibatnya Indonesia sangat rentan terhadap adanya kekuatan pesaingpesaing yang kuat, seperti Sri Langka, Kenya, Cina dan India. Berdasarkan
analisis
keunggulan
komparatif,
Indonesia
memiliki
dayasaing yang kuat. Namun dilihat dari keunggulan kompetitif, Indonesia masih berdayasaing lemah. Secara garis besar hal ini menunjukkan bahwa dayasaing Indonesia di pasar internasional masih lemah. Analisis keunggulan komparatif dengan metode RCA menunjukkan bahwa komoditas teh Indonesia yang berdayasaing kuat adalah teh hijau kode HS 090210 dan teh hitam kode HS 090240 dikarenakan keunggulan komparatif yang dimiliki kedua produk itu dan nilai ekspor yang cukup tinggi, serta pangsa pasar yang luas. Komoditi teh hijau hanya memiliki keunggulan komparatif pada tahun 2001-2003, sementara teh
13
hitam berpotensi berdaya saing kuat karena memiliki keunggulan komparatif pada tahun 2004 dan 2005. Analisis keunggulan kompetitif dengan teori Berlian Porter menunjukkan bahwa komoditas teh Indonesia berdayasaing lemah karena terdapat berbagai kendala yaitu kualitas teh Indonesia yang belum memenuhi standar internasional, kualitas sumberdaya manusia yang masih lemah, kurangnya sarana dan prasarana yang mendukung pembangunan komoditas teh Indonesia, permintaan domestik yang semakin menurun serta kebijakan pemerintah yang tidak kondusif terhadap pembangunan komoditi teh nasional. Namun, dalam penelitiannya Febriyanthi (2008) belum melakukan analisis keterkaitan antar komponen yang menentukan dayasaing suatu negara (competitive advantage of nations). 2.4 Strategi Pengembangan Agribisnis Penelitian mengenai strategi pengembangan komoditas juga pernah dilakukan oleh Puspita (2009). Puspita melakukan penelitian mengenai dayasaing serta pengembangan agribisnis gandum lokal di Indonesia. Dalam penelitiannya disebutkan bahwa dalam sistem agribisnis gandum lokal di Indonesia, masingmasing subsistem agribisnis belum saling mendukung dan terkait satu sama lain. Hal ini terlihat pada subsistem agribisnis hulu yang belum terbentuk sehingga sarana produksi berupa benih masih sulit diperoleh. Selain itu, kegiatan usahatani juga belum mampu mendukung subsistem agribisnis hilir yang telah berkembang. Dari setiap komponen dayasaing agribisnis gandum lokal, terdapat keterkaitan antar komponen yang saling mendukung dan tidak saling mendukung. Keterkaitan yang tidak saling mendukung lebih dominan dalam penelitian ini. Hal ini menunjukkan bahwa agribisnis gandum lokal yang baru dikembangkan di Indonesia dayasaingnya masih lemah. Sedangkan strategi yang digunakan untuk mengembangkan dan mengingkatkan dayasaing agribisnis gandum lokal diantaranya adalah optimalisasi lahan gandum lokal, membangun industri berbasis gandum lokal di pedesaan, penguatan kelembagaan, melakukan bimbingan, pembinaan dan pendampingan bagi petani, membentuk kerjasama antara petani dengan industri makanan, menciptakan sumber permodalan bagi petani, mengatur ketersediaan benih, menciptakan varietas gandum baru untuk dataran rendah dan medium, melakukan sosialisasi dan promosi agribisnis gandum lokal, pembatasan 14
volume impor, menciptakan produk olahan gandum lokal berkualitas tinggi untuk pasar tertentu serta meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi gandum lokal. Puspita (2009) juga merumuskan rancangan arsitektur strategik agribisnis gandum lokal di Indonesia. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian lainnya adalah dalam analisis dayasaing menggunakan Teori Berlian Porter, dilakukan pula analisis keterkaitan antar komponen utama dan komponen penunjang. Dengan demikian, akan tampak hubungan antara komponen yang saling mendukung dan yang belum saling mendukung. Selain itu, penelitian ini juga dilengkapi dengan analisis strategi pengembangan agribisnis teh Indonesia yang dilakukan menggunakan alat analisis matriks SWOT lalu dipetakan ke dalam arsitektur strategik agribisnis teh Indonesia. Kedua analisis tersebut dapat dimanfaatkan sebagai tahapan penerapan strategi untuk mengembangkan dan meningkatkan dayasaing agribisnis teh Indonesia.
15
III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Pemahaman Mengenai Agribisnis Istilah dan paradigma agribisnis pertama kali diperkenalkan oleh Davis dan Goldberg (1957). Awalnya, pemahaman ide mengenai agribisnis muncul untuk menjawab permasalahan yang terjadi di sektor pertanian Amerika Serikat yang tidak tumbuh sesuai dengan harapan ditambah kesejahteraan petani yang tidak juga membaik walaupun telah didukung oleh sumberdaya alam yang sesuai dan besar, teknologi maju, petani yang progresif dan fasilitas infrastruktur publik serta kebijakan yang kondusif. Davis dan Goldberg (1957) diacu dalam Simatupang (2010). menyatakan bahwa : 1. Kinerja usahatani secara mikro dan sektor pertanian secara agregat sangat ditentukan oleh keberadaan dan kinerja dari sektor-sektor terkait di luar pertanian. 2. Masalah pokok pertanian Amerika Serikat bukanlah di dalam sektor pertanian atau usahatani melainkan di luar sektor pertanian atau non-usahatani. 3. Permasalahan dan kebijakan untuk mendukung pembangunan pertanian harus didukung dengan perspektif sistem yaitu saling keterkaitan kinerja usahatani dengan usaha-usaha maupun jasa atau fasilitas penunjang di luar sektor pertanian. Berbagai penelitian lanjutan kemudian menyimpulkan bahwa paradigma agribisnis yang diperkenalkan David dan Goldberg berlaku umum, termasuk di negara-negara berkembang. Di Indonesia, pemahaman mengenai agribisnis seringkali bias dengan pemahaman mengenai pertanian. Berdasarkan ketiga konsep awal mengenai agribisnis di atas, David dan Goldberg (1957) diacu dalam Simatupang (2010) mendefinisikan agribisnis sebagai berikut : “Agribusiness is the sum total of all operations involved in the manufacture and all distribution of farm supplies; production activities on the farm; and the storage, processing and distribution of farm commodities and items made from them”.
16
Sementara pertanian dalam arti luas merupakan seluruh mata rantai pemanenan energi surya secara langsung maupun tidak langsung melalui proses fotosintesis dan proses pendukung lainnya untuk kehidupan manusia yang mencakup aspek ilmu pengetahuan, teknologi dan kemasyarakatan serta mencakup bidang tanaman pangan, hortikultura, peternakan, perikanan, perkebunan, dan kehutanan 6 . Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa pertanian hanyalah suatu bagian dari sistem agribisnis. Subsistem Agribisnis Hulu
Subsistem Usahatani
Subsistem Pengolahan
Industri Perbenihan/ Pembibitan Tanaman, Agrootomotif, Agrokimia
Usaha Tanaman Pangan dan Hortikultura, Usaha Perkebunan, Usaha Peternakan
Industri Makanan, Minuman, Pangan, Barang Serat Alam, Biofarma, Agrowisata dan Estetika
Subsistem Pemasaran Distribusi, Promosi, Informasi Pasar, Struktur Pasar, Kebijakan Perdagangan
Subsistem Jasa dan Penunjang Perkreditan dan Asuransi Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Penyuluhan Transportasi dan Pergudangan
Gambar 2.
Lingkup Pembangunan Sistem dan Usaha Agribisnis Sumber : Saragih (2010), Hlm xx
3.1.2 Konsep Dayasaing Simanjuntak (1992) dalam Siregar (2009) mengatakan bahwa dayasaing dapat diartikan sebagai kemampuan suatu produsen untuk memproduksi suatu produk dengan biaya yang cukup rendah sehingga pada harga-harga yang terjadi di pasar internasional kegiatan produksi tersebut menguntungkan. Pada dasarnya, pembangunan agribisnis merupakan suatu upaya untuk meningkatkan dayasaing yang dilakukan melalui transformasi keunggulan komparatif menjadi keunggulan bersaing (competitive advantage). Perbedaan dan perubahan pada sumberdaya yang dimiliki suatu negara atau daerah mengakibatkan keunggulan komparatif dan secara dinamis akan mengalami perkembangan. Pearson dan Gotsch (2004) dalam Siregar (2009) 6
Buku Panduan Institut Pertanian Bogor dalam Saragih (2010)
17
membagi faktor-faktor yang mempengaruhi keunggulan komparatif menjadi lima, yaitu : 1. Perubahan dalam sumberdaya alam 2. Perubahan faktor-faktor biologi 3. Perubahan harga input 4. Perubahan teknologi 5. Biaya transportasi yang lebih murah dan efisien Berdasarkan faktor-faktor tersebut, maka suatu keunggulan komparatif merupakan suatu hal yang tidak stabil dan dapat diciptakan. Kondisi tersebut mengacu kepada kemampuan pengelolaan yang dilakukan secara dinamis dari suatu wilayah dengan keterbatasan sumberdaya namun didukung oleh dukungan tenaga kerja, modal serta proses pengolahan lanjutan. Keunggulan kompetitif (competitive advantage) merupakan alat yang digunakan untuk mengukur dayasaing suatu aktivitas berdasarkan pada kondisi perekonomian aktual. Secara operasional, Simatupang (1995) dalam Siregar (2009) menyebutkan bahwa keunggulan kompetitif adalah kemampuan memasok barang dan jasa pada waktu, tempat dan bentuk yang diinginkan konsumen, baik di pasar domestik maupun pasar internasional, pada harga yang sama atau lebih rendah dibandingkan yang ditawarkan oleh pesaing, seraya memperoleh laba paling tidak sebesar ongkos penggunaan (opportunity cost) sumberdaya. Kondisi ini menyebabkan keunggulan kompetitif tidak saja ditentukan oleh keunggulan komparatif (menghasilkan barang lebih murah dibandingkan dengan pesaing), tetapi juga ditentukan oleh kemampuan untuk memasok produk dengan atribut (karakter) yang sesuai dengan keinginan konsumen (Simatupang 1995 dalam Siregar 2009). Porter (1998) menyatakan bahwa keunggulan suatu negara tergantung kepada kemampuan industrinya dalam inovasi dan pengembangan. Adanya persaingan yang ketat menyebabkan suatu perusahaan akan memperoleh keunggulan bersaing pada akhirnya. Konsep dayasaing pada tingkat nasional adalah produktivitas. Produktivitas adalah nilai dari output yang dihasilkan oleh satu satuan tenaga kerja atau kapital. Produktivitas adalah penentu utama dari standar hidup suatu negara dalam jangka panjang.
18
Terdapat empat faktor utama yang menentukan dayasaing suatu industri yaitu kondisi faktor sumberdaya, kondisi permintaan, kondisi industri pendukung dan industri terkait serta kondisi struktur, persaingan dan strategi perusahaan. Keempat faktor utama tersebut didukung oleh faktor pemerintah dan faktor kesempatan dalam meningkatkan dayasaing industri. Faktor-faktor tersebut menghasilkan suatu lingkungan dimana suatu perusahaan lahir dan belajar bagaimana bersaing. Faktor-faktor tersebut membentuk suatu sistem yaitu The Diamond of National Advantage. Setiap poin dalam berlian tersebut mempengaruhi keberhasilan suatu negara dalam mendapatkan keunggulan bersaing di pasar internasional (Porter 1990). 3.1.3 Formulasi Strategi 1) Matriks SWOT Analisis SWOT adalah sebuah bentuk analisis situasi dan kondisi yang bersifat deskriptif (memberi gambaran). Analisis ini menempatkan situasi dan kondisi sebagai faktor masukan, yang kemudian dikelompokkan menurut kontribusinya masing-masing. Analisis SWOT melihat bagaimana kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang ada pada sebuah perusahaan atau organisasi. Menurut Rangkuti (2006) analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi perusahaan. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan dan peluang, namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan dan ancaman. Setelah diketahui kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman, barulah dapat ditentukan strategi dengan memanfaatkan kekuatan yang dimiliki untuk mengambil keuntungan dari peluang-peluang yang ada, sekaligus untuk memperkecil atau bahkan mengatasi kelemahan yang dimilikinya untuk menghindari ancaman yang ada. Analisis SWOT ini terbagi atas empat komponen dasar yaitu : 1. Kekuatan atau strengths (S), merupakan suatu kelebihan khusus yang memberikan keunggulan kompetitif di dalam suatu industri yang berasal dari perusahaan. Kekuatan perusahaan akan mendukung perkembangan usaha dengan cara memperlihatkan sumber dana, citra, kepemimpinan pasar, hubungan dengan konsumen ataupun pemasok serta faktor-faktor lainnya. 19
2. Kelemahan atau weaknesses (W), merupakan keterbatasan dan kekurangan dalam hal sumberdaya, keahlian dan kemampuan yang secara nyata menghambat aktivitas keragaan perusahaan. Fasilitas, sumberdaya keuangan, kemampuan manajerial, keahlian pemasaran dan pandangan orang terhadap merek dapat menjadi sumber kelemahan. 3. Peluang atau opportunities (O), merupakan situasi yang diinginkan perusahaan. Segmen pasar, perubahan dalam persaingan, perubahan teknologi, peraturan dalam persaingan, peraturan baru atau yang ditinjau kembali dapat menjadi sumber peluang bagi perusahaan. 4. Ancaman atau threats (T), merupakan situasi yang paling tidak disukai dalam lingkungan perusahaan. Ancaman merupakan penghalang bagi posisi yang diharapkan oleh perusahaan. Masuknya pesaing baru, pertumbuhan pasar yang lambat, meningkatnya posisi penawaran pembeli dan pemasok, perubahan teknologi, peraturan baru yang ditinjau kembali dapat menjadi sumber ancaman bagi perusahaan. Selain empat komponen dasar ini, analisis SWOT, dalam proses analisisnya akan berkembang menjadi beberapa subkomponen yang jumlahnya tergantung pada kondisi organisasi, dimana masing-masing subkomponen adalah penjabaran dari masing-masing komponen. 2) Arsitektur Strategik Pendekatan arsitektur strategik merupakan suatu pendekatan yang bersifat bentangan atau stretch (Hamel & Prahald 1995). Pendekatan ini muncul sebagai respon dari pendekatan klasik yang dinilai kurang mampu untuk mengakomodasi perubahan lingkungan yang tergolong cepat, karena ketika menyusun pendekatan klasik membutuhkan asumsi-asumsi yang sangat ketat (Yoshida 2004). Selanjutnya Yoshida (2004) menyatakan bahwa arsitektur strategik diciptakan untuk lebih adaptif dan fleksibel di dalam menghadapi suatu perubahan, sehingga dengan diaplikasikannya arsitektur strategik ini, organisasi akan secara leluasa mengembangkan skenario yang diperkirakan akan memuluskan jalan menuju tercapainya visi dan misi organisasi tersebut. Strategi dengan skenarionya kemudian dipetakan ke dalam sebuah blue print strategy.
20
Blue print strategy ini sepenuhnya disusun untuk mendukung tercapainya tujuan organisasi dalam waktu yang telah ditentukan. Unsur-unsur yang diperlihatkan dalam arsitektur strategik adalah visi dan misi organisasi, analisis internal dan eksternal organisasi, pemahaman mengenai tantangan yang dialami dan akan dialami oleh organisasi, serta sasaran yang ingin dicapai oleh organisasi tersebut. Sehingga pada akhirnya semua unsur tersebut disatukan ke dalam sebuah peta umum strategik yang kemudian akan diimplementasikan untuk jangka waktu tertentu. 3.2 Kerangka Pemikiran Operasional Usaha perkebunan teh di Indonesia telah berlangsung sejak lama. Komoditas teh perama kali diperkenalkan kepada masyarakat Indonesia oleh bangsa Belanda pada awal abad ke-19. Seiring dengan kontribusi yang diberikan, komoditas teh menjadi komoditas strategis yang kemudian ditetapkan sebagai salah satu komoditas unggulan nasional pada tahun 2010. Keberadaan usaha perkebunan teh di Indonesia merupakan sumber pendapatan bagi masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Kemampuan usaha perkebunan teh dalam menyerap tenaga kerja menjadikan perkebunan teh turut berkontribusi dalam mengurangi pengangguran. Selain itu, peningkatan permintaan baik di sektor industri teh curah maupun teh olahan sebesar satu satuan akan meningkatkan output di semua industri, termasuk industri itu sendiri dan menciptakan multiplier effects yang kemudian akan meningkatkan perekonomian di sektor tersebut (Santoso & Suprihatini 2007). Pada perdagangan teh internasional, Indonesia dikenal sebagai produsen sekaligus eksportir besar. Namun, adanya persaingan yang ketat diantara negaranegara kompetitor belum mampu diatasi dengan baik oleh industri teh curah di dalam negeri. Hal tersebut ditunjukkan oleh penurunan posisi Indonesia dari posisi kelima menjadi produsen teh terbesar ketujuh selama periode 2000 hingga 2008. Penurunan produksi tersebut juga mempengaruhi pangsa pasar teh Indonesia di pasar internasional. Penurunan kinerja Indonesia di pasar internasional tersebut harus segera diatasi karena dapat berakibat buruk pada produsen dan industri teh di dalam negeri. Salah satu peluang yang dapat dimanfaatkan adalah adanya potensi untuk 21
meningkatkan konsumsi teh domestik. Upaya peningkatan konsumsi teh di dalam negeri akan didukung oleh tingginya populasi penduduk Indonesia dengan tren pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat. Upaya peningkatan konsumsi domestik tersebut seiring dengan kebiasaan minum teh yang telah membudaya bagi sebagian masyarakat Indonesia. Hal tersebut menunjukkan ada kesempatan bagi industri teh domestik untuk mengalihkan pasar tehnya dari pasar internasional menuju pasar domestik. Selanjutnya, hal tersebut diharapkan mampu mengatasi persaingan yang timbul akibat adanya peningkatan kegiatan impor produk teh asing ke Indonesia. Gambaran di atas menjadi dasar pemikiran untuk melakukan analisis kondisi agribisnis teh Indonesia saat ini, kemudian melakukan analisis dayasaing agribisnis teh Indonesia serta merumuskan strategi pengembangan untuk meningkatkan dayasaing tersebut. Analisis dayasaing menggunakan Teori Berlian Porter dilakukan dengan tujuan mengetahui kesiapan agribisnis teh Indonesia dalam menghadapi berbagai tantangan di masa depan. Sementara perumusan strategi dilakukan dengan menggunakan alat analisis Matriks SWOT dengan tujuan memperoleh strategi yang mampu mengoptimalkan kekuatan dan segala peluang yang ada sehingga kelemahan dan ancaman yang dihadapi dapat diminimalisir akibatnya.
22
• Indonesia memiliki kondisi iklim dan topografi yang sesuai untuk pengembangan teh. • Indonesia merupakan salah satu produsen dan eksportir teh terbesar di dunia. • Multiplier effects yang ditimbulkan oleh agribisnis teh Indonesia besar (lebih dari satu) • Adanya dukungan dari pemerintah melalui penetapan teh sebagai salah satu komoditas unggulan nasional.
• Luas areal perkebunan teh menurun 2,18 persen • Produksi teh dalam negeri yang menurun 0,83 persen selama sepuluh tahun terakhid • Volume ekspor yang semakin menurun sebesar 1,7 persen selama sepuluh tahun terakhir. • Persaingan di pasar internasional yang semakin ketat. • Rendahnya konsumsi teh domestik
Sistem Agribisnis Teh Indonesia
Analisis Dayasaing Agribisnis Teh Indonesia
Analisis SWOT
Enam Komponen Dayasaing Berlian Porter 1. Kondisi Faktor Sumberdaya 2. Kondisi Permintaan 3. Industri Terkait dan Industri Pendukung 4. Struktur, Persaingan dan Strategi Perusahaan 5. Peran Pemerintah 6. Peran Kesempatan
Strategi Pengembangan Agribisnis Teh Indonesia
Arsitektur Strategik Gambar 3.
Kerangka Pemikiran Operasional
23
IV METODE PENELITIAN 4.1 Waktu Pelaksanaan Penelitian Tahap awal yang dilakukan sebelum melakukan penelitian adalah pelaksanaan penyusunan proposal penelitian. Sebelum tahap penyusunan proposal, dilakukan kegiatan pra-penelitian (pengumpulan data dan informasi pendahuluan) selama minggu ketiga hingga minggu keempat bulan Desember 2010. Kemudian, kegiatan penelitian termasuk kegiatan pengumpulan dan pengolahan data hingga penarikan kesimpulan dilakukan sejak bulan Februari hingga Maret 2011. Selama proses pengumpulan data dan informasi, penulis juga sekaligus melakukan kegiatan pengolahan data hingga bulan April 2011. 4.2 Data dan Instrumentasi Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui observasi secara langsung ke beberapa perkebunan teh di Provinsi Jawa Barat serta melalui wawancara mendalam terhadap beberapa tokoh teh nasional. Sedangkan data sekunder merupakan data yang telah terdokumentasi sebelumnya dan diperoleh dari data time series selama tahun 2000-2011 yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), Dirjen Perkebunan, International Tea Committee (ITC) serta laporan tahunan, hasil penelitian terdahulu, jurnal ilmiah, literatur, buku dan dokumentasi lain yang dikeluarkan oleh Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSE-KP), Pusat Penelitian Teh dan Kina (PPTK), Lembaga Riset Perkebunan Indonesia (LRPI), serta sumber informasi lainnya seperti majalah, buletin dan internet. Alat yang digunakan untuk mengumpulkan data berupa alat pencatat, alat perekam, alat penyimpan data elektronik serta daftar pertanyaan yang telah disiapkan sebelumnya. 4.3 Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dan informasi dalam penelitian ini terbagi ke dalam dua periode, periode pengumpulan data tahap I, dan pengumpulan data tahap II. Pengumpulan data tahap I dimulai sejak bulan Desember 2010 bersamaan dengan proses penyusunan proposal. Pengumpulan data tahap I dilakukan dengan
24
menggunakan literatur, pencarian data statistik, serta browsing internet. Sedangkan pengumpulan data tahap II dilakukan setelah proposal penelitian selesai, yaitu pada bulan Februari-Maret 2011. Teknik pengumpulan data yang digunakan sama seperti pada tahap I, namun pada periode ini pengumpulan data juga dilakukan dengan wawancara mendalam dengan tokoh teh nasional (elite interview). Wawancara dilakukan dengan beberapa narasumber yang dinilai mampu mewakili beberapa komponen penting dalam agribisnis teh Indonesia. Beberapa narasumber dalam penelitian ini adalah Direktur Eksekutif Dewan Teh Indonesia, Asisten Manajer Pemasaran Teh, PT KPBN 7 , professional tea taster dan quality control PT KPBN, staff PTPN VIII Kebun Gunung Mas, Mandor I Tanaman Perkebunan Ciliwung (perkebunan swasta yang menjalin kemitraan dengan perkebunan rakyat), anggota Asosiasi Teh Indonesia, pengamat komoditas perkebunan. 4.4 Metode Pengolahan dan Analisis Data Metode pengolahan dan analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Metode deskriptif kualitatif digunakan untuk mengetahui gambaran umum agribisnis teh di Indonesia, dayasaing agribisnis teh di Indonesia, serta untuk menganalisis strategi pengembangan agribisnis teh di Indonesia. Alat yang digunakan untuk menganalisis dayasaing teh di Indonesia adalah Teori Berlian Porter, sedangkan untuk mengetahui strategi pengembangan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan dayasaing agribisnis teh di Indonesia, digunakan metode SWOT Analysis. Kemudian, untuk menyusun dan memetakan strategi pengembangan agribisnis teh di Indonesia yang telah diperoleh, digunakan Arsitektur Strategi. 4.4.1 Analisis Berlian Porter Teori Berlian Porter dapat digunakan untuk mengetahui dayasaing suatu komoditas
berdasarkan
kondisi
dari
komponen-komponen
yang
saling
mendukung dan menguatkan di suatu negara terkait dengan komoditas tersebut. Terdapat empat komponen utama dan dua komponen penunjang yang membentuk 7
PT Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (PT KPBN) merupakan lembaga pemasaran teh yang dibawahi PTPN. Sistem pemasaran yang dilakukan berdasarkan pada sistem lelang. Sejak tahun 2010 lembaga tersebut bertransformasi badan hukum menjadi perseroan terbatas.
25
model seperti berlian. Komponen utama tersebut terdiri dari kondisi faktor sumberdaya, kondisi permintaan, industri terkait dan pendukung, serta struktur, persaingan, dan strategi perusahaan. Sedangkan komponen penunjang Berlian Porter merupakan faktor pemerintah dan faktor kesempatan. Berikut ini adalah penjelasan dari setiap komponen yang terdapat pada Teori Berlian Porter : 1. Kondisi Faktor Sumberdaya Posisi suatu bangsa berdasarkan sumberdaya yang dimiliki merupakan faktor produksi yang diperlukan untuk bersaing dalam industri tertentu. Faktor produksi tersebut digolongkan ke dalam lima kelompok yaitu : a) Sumberdaya Fisik atau Alam Sumberdaya fisik atau sumberdaya alam yang mempengaruhi dayasaing industri nasional mencakup biaya aksesibilitas, mutu dan ukuran lahan (lokasi), ketersediaan air, mineral dan energi serta sumberdaya pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan (termasuk sumberdaya pertanian laut lainnya), peternakan, serta sumberdaya alam lainnya, baik yang dapat diperbarui maupun yang tidak dapat diperbaharui. Begitu juga kondisi cuaca dan iklim, luas wilayah geografis, kondisi topografis dan lain-lain. b) Sumberdaya Manusia Sumberdaya manusia yang mempengaruhi dayasaing industri nasional terdiri dari jumlah tenaga kerja yang tersedia, kemampuan manajerial dan keterampilan yang dimiliki, biaya tenaga kerja yang berlaku (tingkat upah), dan etika kerja (termasuk moral). c) Sumberdaya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Sumberdaya
IPTEK
mencakup
ketersediaan
pengetahuan
pasar,
pengetahuan teknis, dan pengetahuan ilmiah yang menunjang dan diperlukan dalam memproduksi barang dan jasa. Begitu juga ketersediaan sumber-sumber pengetahuan dan teknologi, seperti perguruan tinggi, lembaga penelitian dan pengembangan, lembaga statistik, literatur bisnis dan ilmiah, basis data, laporan penelitian, asosiasi pengusaha, asosiasi perdagangan, dan sumber pengetahuan dan teknologinya.
26
d) Sumber Modal Sumberdaya modal yang mempengaruhi dayasaing nasional terdiri dari jumlah dan biaya (suku bunga) yang tersedia, jenis pembayaran (sumber modal), aksesibilitas terhadap pembiayaan, kondisi lembaga pembiayaan dan perbankan, tingkat tabungan masyarakat, peraturan keuangan, kondisi moneter dan fiskal, serta peraturan moneter dan fiskal. e) Sumberdaya Infrastruktur Sumberdaya infrastruktur yang mempengaruhi dayasaing nasional terdiri dari jenis, mutu dan ketersediaan infrastruktur yang mempengaruhi persaingan.
Hal
tersebut
termasuk
ketersediaan
sistem
transportasi,
komunikasi, pos dan giro, pembayaran transfer dana, air bersih, energi listrik, dan lain-lain. 2. Kondisi Permintaan Kondisi permintaan dalam negeri merupakan faktor penentu dayasaing industri, terutama mutu permintaan domestik. Mutu permintaan domestik merupakan sasaran pembelajaran perusahaan-perusahaan domestik untuk bersaing di pasar global. Mutu permintaan (persaingan ketat) di dalam negeri memberikan tantangan bagi setiap perusahaan untuk meningkatkan dayasaingnya sebagai tanggapan terhadap persaingan di pasar domestik. Ada tiga faktor kondisi permintaan yang mempengaruhi dayasaing nasional, yaitu : a) Komposisi Permintaan Domestik Karakteristik permintaan domestik sangat mempengaruhi dayasaing industri nasional. Karakteristik tersebut meliputi : i) Struktur segmen permintaan domestik sangat mempengaruhi dayasaing nasional.
Pada
umumnya
perusahaan-perusahaan
lebih
mudah
memperoleh dayasaing pada struktur segmen permintaan yang lebih luas dibandingkan dengan struktur segmen yang sempit. ii) Pengalaman dan selera pembeli yang tinggi akan meningkatkan tekanan kepada produsen untuk menghasilkan produk yang bermutu dan memenuhi standar yang tinggi yang mencakup standar mutu produk, product features, dan pelayanan.
27
iii) Antisipasi kebutuhan pembeli yang baik dari perusahaan dalam negeri merupakan suatu poin dalam memperoleh keunggulan bersaing. b) Jumlah Permintaan dan Pola Pertumbuhan Jumlah atau besarnya permintaan domestik mempengaruhi tingkat persaingan dalam negeri, terutama disebabkan oleh jumlah pembeli bebas, tingkat pertumbuhan permintaan domestik, timbulnya permintaan baru dan kejenuhan permintaan lebih awal sebagai akibat perusahaan melakukan penetrasi lebih awal. Pasar domestik yang luas dapat diarahkan untuk mendapatkan keunggulan kompetitif dalam suatu industri. Hal ini dapat dilakukan jika industri dilakukan dalam skala ekonomis melalui adanya penanaman modal dengan membangun fasilitas skala besar, pengembangan teknologi dan peningkatan produktivitas. c) Internasionalisasi Permintaan Domestik Pembeli lokal yang merupakan pembeli dari luar negeri akan mendorong dayasaing industri nasional, karena dapat membawa produk tersebut ke luar negeri. Konsumen yang memiliki mobilitas internasional tinggi dan sering mengunjungi suatu negara juga dapat mendorong meningkatnya dayasaing produk negara yang dikunjungi tersebut. 3. Industri terkait dan Industri Pendukung Keberadaan indutri terkait dan industri pendukung yang telah memiliki dayasaing global juga akan mempengaruhi dayasaing industri utamanya. Industri hulu yang memiliki dayasaing global akan memasok input bagi industri utama dengan harga yang relatif murah, mutu lebih baik, pelayanan yang cepat, pengiriman tepat waktu dan jumlah sesuai dengan kebutuhan industri utama, sehingga industri tersebut juga akan memiliki dayasaing global yang tinggi. Begitu juga industri hilir yang menggunakan produk industri utama sebagai bahan bakunya. Apabila industri hilir memiliki dayasaing global maka industri hilir tersebut dapat menarik industri hulunya untuk memperoleh dayasaing global. 4. Persaingan, Struktur dan Strategi Perusahaan Struktur industri dan perusahaan juga menetukan dayasaing yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan yang tercakup dalam industri tersebut. Struktur
28
industri yang monopolistik kurang memiliki daya dorong untuk melakukan perbaikan-perbaikan serta inovasi baru dibandingkan dengan struktur industri bersaing. Struktur persaingan yang berada pada suatu industri sangat berpengaruh terhadap bagaimana perusahaan tersebut dikelola dan dikembangkan dalam suasana tekanan persaingan, baik domestik maupun internasional. Dengan demikian secara tidak langsung akan meningkatkan dayasaing global industri yang bersangkutan. a) Struktur Pasar Istilah struktur pasar digunakan untuk menunjukkan tipe pasar. Derajat persaingan struktur pasar (degree of competition of market share) dipakai untuk
menentukan
sejauh
mana
perusahaan-perusahaan
individual
mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi harga atau ketentuan-ketentuan lain dari produk yang dijual di pasar. Struktur pasar didefinisikan sebagai sifat-sifat organisasi pasar yang mempengaruhi perilaku dan keragaan perusahaan, jumlah penjual dan keragaan produk (nature of the product) adalah dimensi-dimensi yang penting dari struktur pasar. Adapun dimensi lainnya adalah mudah atau sulitnya memasuki industri (hambatan masuk pasar), kemampuan perusahaan mempengaruhi permintaan melalui iklan, dan lain-lain. Beberapa struktur pasar yang ada antara lain pasar persaingan sempurna, pasar monopoli, pasar oligopoli, pasar monopsoni, dan pasar oligopsoni. Biasanya struktur pasar yang dihadapi industri seperti monopoli dan oligopoli lebih ditentukan oleh kekuatan perusahaan dalam menguasai pangsa pasar yang ada, dibandingkan dengan jumlah perusahaan yang bergerak dalam suatu industri. b) Persaingan Tingkat persaingan dalam suatu industri merupakan salah satu faktor pendorong bagi perusahaan-perusahaan yang berkompetisi untuk terus melakukan inovasi. Keberadaan pesaing lokal yang handal dan kuat merupakan faktor penentu dan sebagai motor penggerak untuk memberikan tekanan
pada
perusahaan
lain
dalam
meningkatkan
dayasaingnya.
Perusahaan-perusahaan yang telah teruji pada persaingan ketat dalam industri nasional
akan
lebih
mudah
memenangkan persaingan internasional
29
dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan yang belum memiliki dayasaing yang tingkat persaingannya rendah. c) Strategi Perusahaan Dalam menjalankan suatu usaha, baik perusahaan berskala besar maupun perusahaan berskala kecil, dengan berjalannya waktu, pemilik atau manajer dipastikan memiliki keinginan untuk mengembangkan usahanya dalam lingkup yang lebih besar. Untuk mengembangkan usaha, perlu strategi khusus yang terangkum dalam suatu strategi pengembangan usaha. Penyusunan suatu strategi diperlukan perencanaan yang matang dengan memperhatikan semua faktor yang berpengaruh terhadap organisasi atau perusahaan tersebut. 5. Peran Pemerintah Peran pemerintah sebenarnya tidak berpengaruh langsung terhadap upaya peningkatan dayasaing global, tetapi berpengaruh pada faktor-faktor penentu dayasaing global. Dayasaing global akan dipengaruhi secara langsung oleh perusahaan-perusahaan yang berada dalam industri tersebut. Peran pemerintah merupakan fasilitator bagi upaya untuk mendorong perusahaan-perusahaan dalam industri agar senantiasa melakukan perbaikan dan peningkatan dayasaingnya. Pemerintah dapat mempengaruhi aksesibilitas pelaku industri terhadap berbagai sumberdaya melalui kebijakan-kebijakannya, seperti sumberdaya alam, tenaga kerja, pembentukan modal, sumberdaya ilmu pengetahuan dan teknologi serta informasi. Pemerintah juga dapat mendorong peningkatan dayasaing melalui penetapan standar produk nasional, standar upah tenaga kerja minimum dan berbagai kebijakan terkait lainnya. Pemerintah dapat mempengaruhi kondisi permintaan domestik baik secara langsung melalui kebijakan moneter dan fiskal yang dikeluarkannya, maupun secara langsung melalui perannya sebagi pembeli barang dan jasa. Kebijakan penetapan bea keluar dan bea masuk, tarif pajak, dan lain-lainnya juga menunjukkan terdapat peran tidak langsung dari pemerintah dalam meningkatkan dayasaing global. Pemerintah dapat mempengaruhi tingkat dayasaing melalui kebijakan yang melemahkan faktor penentu dayasaing industri, tetapi pemerintah tidak dapat secara langsung menciptakan dayasaing global. Peran pemerintah adalah 30
memfasilitasi lingkungan industri yang mampu memperbaiki kondisi faktor penentu dayasaing, sehingga perusahaan-perusahaan yang berada dalam industri mampu mendayagunakan faktor-faktor penentu tersebut secara efektif dan efisien. 6. Peran Kesempatan Peran kesempatan merupakan faktor yang berada di luar kendali perusahaan dan pemerintah, tetapi dapat meningkatkan dayasaing global industri nasional. Beberapa kesempatan yang mampu meningkatkan naiknya dayasaing global industri nasional adalah penemuan baru murni, biaya perusahaan yang tidak berlanjut (misalnya terjadi perubahan harga minyak atau depresiasi mata uang), peningkatan permintaan produk industri yang bersangkutan lebih tinggi dari peningkatan pasokan, politik yang diambil oleh negara lain serta berbagai faktor kesempatan lainnya.
Peranan Kesempatan
Persaingan, Struktur, Strategi Perusahaan
Kondisi Faktor Sumberdaya
Kondisi Permintaan Domestik
Industri Terkait dan Industri Pendukung
Peranan Pemerintah
Keterangan : Garis ( ) menunjukkan keterkaitan antara komponen utama yang saling mendukung Garis ( ) menunjukkan keterkaitan antara komponen penunjang yang mendukung komponen utama
Gambar 4. The Complete System of National Competitive Advantage Sumber : Porter (1990), Hlm. 127
31
Setelah diketahui faktor-faktor dalam Sistem Berlian Porter, maka dapat ditentukan komponen yang unggul atau lemah dayasaingnya. Selain itu, melalui Berlian Porter’s System dapat dilihat bagaimana keterkaitan antar komponen, sehingga akan tampak komponen-komponen yang saling mendukung atau tidak saling mendukung. 4.4.2 Analisis SWOT Matriks SWOT merupakan alat pencocokan strategi yang dilakukan berdasarkan pengembangan empat jenis strategi, yaitu SO Strategy (Strategi Kekuatan-Peluang), ST Strategy (Strategi Kekuatan-Ancaman), WO Strategy (Strategi Kelemahan-Peluang), dan WT Strategy (Strategi Kelemahan-Ancaman). SO Strategy memanfaatkan kekuatan internal dari sistem agribisnis teh untuk menarik keuntungan dari peluang eksternal. ST Strategy menggunakan kekuatan untuk menghindari atau mengurangi dampak ancaman eksternal. WO Strategy memperbaiki kelemahan sistem agribisnis teh dengan cara mengambil keuntungan dari peluang eksternal. WT Strategy merupakan taktik defensive yang diarahkan untuk mengurangi kelemahan sistem agribisnis teh serta menghindari ancaman eksternal (David 2009). Berikut ini adalah langkah-langkah dalam menyusun Matriks SWOT : 1. Tentukan faktor-faktor kekuatan dan kelemahan internal kunci agribisnis teh Indonesia. 2. Tentukan faktor-faktor peluang dan ancaman eksternal agribisnis teh Indonesia. 3. Tentukan faktor-faktor kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman strategis agribisnis teh Indonesia. 4. Sesuaikan kekuatan internal dengan peluang eksternal untuk mendapatkan SO Strategy. 5. Sesuaikan
kekuatan
internal
dengan
ancaman
eksternal
untuk
dengan
peluang
eksternal
untuk
dengan
peluang
eksternal
untuk
mendapatkan ST Strategy. 6. Sesuaikan
kelemahan
internal
mendapatkan WO Strategy. 7. Sesuaikan
kelemahan
internal
mendapatkan WT Strategy. 32
Gambar
5
menunjukkan
ruang lingkup yang digunakan dalam
merumuskan strategi pengembangan agribisnis teh Indonesia. Lingkungan internal terdiri dari kegiatan yang berada di subsistem budidaya dan subsistem pengolahan teh curah. Keduan subsistem ini dinilai memiliki kedekatan yang relatif dekat karena baik kualitas maupun kuantitas produk teh yang dihasilkan Indonesia ditentukan oleh keberhasilan pengelolaan teh di kedua subsistem ini. Sementara itu lingkungan eksternal terdiri dari subsistem hulu, industri teh olahan, subsistem pemasaran, subsisem jasa penunjang, faktor alam, lingkungan makro serta kekuatan sosial ekonomi politik di lingkungan global. 4.4.3 Arsitektur Strategik Strategi yang telah dirumuskan berdasarkan Analisis SWOT, selanjutnya dipetakan ke dalam suatu arsitektur strategik. Arsitektur strategik bermanfaat bagi perusahaan (dalam hal ini agribisnis teh Indonesia) untuk merumuskan strateginya ke dalam kanvas rencana untuk meraih visi dan misi 8 . Teknik penyusunan arsitektur strategik tidak memiliki aturan baku.
Gambar arsitektur strategik
merupakan suatu penggabungan kreativitas dengan hasil strategi yang diperoleh dari tahap pengambilan keputusan. Arsitektur strategik menunjukkan adanya hubungan antara satu strategi dengan strategi lainnya, dimana implementasi satu strategi sangat mempengaruhi implementasi strategi lainnya. Pemetaan strategi ke dalam kanvas arsitektur strategik menjelaskan time-frame implementasi dari masing-masing strategi dalam periode waktu tertentu.
8
Tim Dosen Mata Kuliah Strategi Kebijakan Bisnis. 2010. Handout Mata Kuliah Strategi Kebijakan Bisnis. Departemen Agribisnis, FEM, IPB (tidak dipublikasikan).
33
Kekuatan Ekonomi dan Sosial Politik Global/Internasional
Lingkungan Makro Subsistem Penunjang : ‐ Kebijakan Pemerintah ‐ Lembaga keuangan ‐ Lembaga penelitian ‐ Kelembagaan sosial ‐ Pemerintah ‐ Asosiasi perdagangan
Subsistem Hulu : ‐ Industri pupuk & obat-obatan ‐ Usaha pembibitan ‐ Pemasok mesin dan peralatan pertanian
Faktor Fisik dan Infrastuktur : ‐ Tanah, air, udara, matahari, hewan dan vegetasi, iklim ‐ Lingkungan buatan manusia
Lingkungan Mikro Kegiatan On farm ( petani teh)
Industri Pengolahan Teh Industri Besar (Negara, Swasta)
Industri Makanan dan Minuman Berbasis Teh (ready to drink tea,tea bag, dll)
Industri Kosmetika dan Farmasi
Industri Kecil (Rakyat)
Sektor Jasa (Restoran, Hotel, Spa, dsb)
Home industry
Konsumen Rumah Tangga Akhir
Keterangan : Pihak Internal
: Lingkungan Mikro (Kegiatan Budidaya dan Industri Pengolahan Teh Curah)
Pihak Eksternal : Lingkungan Makro dan Lingkungan Global
Gambar 5. Ruang Lingkup Sistem Agribisnis Teh
34
V SISTEM AGRIBISNIS TEH INDONESIA 5.1 Perdagangan Teh Dunia Teh merupakan minuman terfavorit kedua di dunia setelah air putih 9 . Masyarakat dunia gemar minum teh karena cita rasa, aroma serta warna air seduhannya. Selain sebagai penghilang dahaga, teh merupakan bagian dari budaya yang tak terpisahkan di sejumlah negara. Di tengah proses modernisasi, beberapa dari nilai-nilai budaya tersebut masih terasa hingga kini, karena itu bagi negaranegara tertentu seperti Inggris, Cina maupun Jepang, teh merupakan minuman istimewa yang lebih dari sekedar minuman. 5.1.1 Produksi dan Konsumsi Teh Dunia Negara-negara produsen teh dunia didominasi oleh negara-negara di kawasan Asia, seperti India, Bangladesh, Sri Langka, Cina, Indonesia, Taiwan, Iran, Jepang, Korea dan beberapa negara lainnya. Bahkan beberapa negara seperti Cina dan India merupakan produsen teh terbesar di dunia. Cina mampu menghasilkan sebanyak 1.200.000 ton teh pada tahun 2008, sementara India mampu menghasilkan 980.818 ton pada tahun yang sama. Cina dan India berkontribusi sekitar 31,5 persen dan 25 persen dari total produksi teh dunia. Selain Cina dan India, negara penghasil teh lainnya adalah Kenya, Sri Langka, Vietnam, Turki, Indonesia, Jepang, Argentina dan Bangladesh. Berbeda dengan Cina dan India, negara-negara tersebut umumnya hanya memproduksi teh dalam persentase yang kecil (di bawah 10 persen), akibatnya beberapa negara seperti Indonesia hanya berperan sebagai market follower. Selain sebagai produsen, Cina dan India juga merupakan konsumen teh terbesar di dunia, tingginya volume konsumsi kedua negara tersebut juga didorong oleh jumlah populasi penduduknya. Dilihat dari porsi produksi dan konsumsinya, kedua negara ini merupakan negara yang memiliki peran penting dalam perdagangan teh dunia. Cina dan India berkontribusi dalam separuh kegiatan perdagangan teh dunia.
9
Sustainable Tea dalam http://www.unileverme.com/sustainability/environment/agriculture/ sustainable_tea/sustainabletea.aspx [Diakses pada 26 April 2011]
35
Pada tahun 2008, produksi teh dunia sebesar 3.804.190 ton lebih besar dibandingkan dengan konsumsi teh dunia yang hanya mencapai 3.658.000 ton. Hal tersebut mengindikasikan terjadinya kondisi over supply di pasar teh dunia. Kecenderungan over supply ini telah terjadi sejak tahun 1999. Kondisi over supply yang terjadi di pasar teh internasional menyebabkan harga teh di beberapa negara rendah. Namun demikian, kondisi ini tidak mempengaruhi konsumsi teh di beberapa negara tertentu seperti Cina, India, Rusia, Jepang, Turki, Inggris dan Amerika yang tetap tinggi sepanjang tahun. Tabel 5. Negara-Negara Produsen dan Konsumen Teh Dunia Tahun 2008 No.
Negara
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Cina India Kenya Sri Langka Vietnam Turki Indonesia Jepang Argentina Bangladesh Lainnya TOTAL
Produksi (000 Ton) 1.200 981 346 319 166 155 137 93 72 58 277 3.804
Negara Cina India Rusia Jepang Turki Inggris Amerika Mesir Pakistan CIS* Lainnya TOTAL
Konsumsi (000 Ton) 872 798 175 134 134 130 117 104 99 79 1.016 3.658
*Commonwealth of Independent States Sumber : ITC (2009)
5.1.2 Ekspor dan Impor Teh Dunia Jumlah ekspor teh dunia mencapai 43 persen dari total produksi teh dunia. Sepuluh eksportir teh terbesar di dunia adalah Kenya, Sri Langka Cina, India, Vietnam, Indonesia, Argentina, Uganda, Malawi dan Tanzania. Kenya merupakan pemilik pangsa ekspor terbesar dengan volume ekspor mencapai 388.444 ton atau sekitar 23,4 persen dari total ekspor teh dunia pada tahun 2008. Jumlah ekspor suatu negara dipengaruhi oleh jumlah konsumsi teh di negara tersebut. Cina dan India merupakan dua produsen teh terbesar di dunia. Namun, tingginya tingkat konsumsi teh domestik di kedua negara tersebut ternyata mempengaruhi jumlah ekspor teh yang dilakukan. Berbeda dengan beberapa produsen seperti Kenya, Sri Langka, Vietnam dan Indonesia yang tingkat konsumsi domestiknya masih
36
rendah, sehingga mayoritas teh yang dihasilkan diekspor untuk memenuhi kebutuhan pasar internasional. Diantara seluruh eksportir teh dunia, Kenya dan Sri Langka merupakan dua negara pesaing terdekat Indonesia. Hal tersebut dikarenakan produk yang diekspor Kenya (teh hitam CTC 10 ) dan Sri Langka (teh hitam orthodox 11 ) juga merupakan produk yang diekspor oleh Indonesia dan memiliki kemiripan produk yang cukup dekat. Kesamaan produk yang ditawarkan serta kesamaan tujuan ekspor 12 menyebabkan munculnya perebutan pangsa pasar diantara ketiga negara tersebut. Namun, karena volume yang ditawarkan Kenya dan Sri Langka lebih besar, maka Indonesia cenderung tidak memiliki daya tawar tinggi terhadap harga (market follower). Tabel 6. Negara-Negara Eksportir dan Importir Teh Dunia (2008) Volume Ekspor Volume Impor No. Negara Negara (Ton) (Ton) 1 Kenya 388.444 Rusia 175.000 2 Sri Langka 297.469 Inggris 129.759 3 Cina 296.935 Amerika 116.749 4 India 193.000 Mesir 104.000 5 Vietnam 104.000 Pakistan 99.116 6 Indonesia 96.210 Dubai 60.000 7 Argentina 77.228 Iran 58.000 8 Uganda 42.385 Maroko 48.200 9 Malawi 40.069 Jepang 43.107 10 Tanzania 24.766 Afghanistan 39.000 11 Lainnya 77.429 Lainnya 658.969 12 TOTAL 1.637.935 TOTAL 1.531.900 Sumber : ITC (2009)
10
11
12
CTC atau Curling Tearing Crushing merupakan salah satu proses pengolahan teh dengan cara fermentasi. Teh yang dihasilkan melalui proses ini memiliki tekstur yang lebih halus dan umumnya digunakan sebagai komponen utama dalam pembuatan teh celup. Saat ini, CTC merupakan teknik pengolahan baru yang mulai banyak diterapkan oleh pabrik-pabrik pengolah teh curah di Indonesia, karena permintaan akan teh celup cenderung meningkat (PPTK 2006). Orthodox juga merupakan salah satu dari proses pengolahan teh secara fermentasi. Sebagian besar teh hitam di Indonesia diolah melalui proses ini, karena itu pula Indonesia dikenal sebagai produsen teh hitam orthodox oleh sebagian konsumennya.. Teh hitam orthodox umumnya memiliki kepekatan yang tinggi dan rasa lebih pahit. Teh CTC hasil Kenya mayoritas diekspor ke beberapa negara seperti Mesir (99.638 ton), Inggris (69.211 ton) dan Pakistan (61.299 ton). Sementara Sri Langka, mengekspor teh hitam orthodoxnya ke beberapa negara seperti Rusia (43.896 ton), Iran (31.027 ton) dan Syria (26.114 ton). Sedangkan Indonesia yang juga memproduksi teh CTC dan Orthodox menjual sebagian besar produknya ke pasar Rusia (15.882 ton), Pakistan (12.365 ton) dan Inggris (9.051 ton).
37
350
US $ c /Kg
300 250 200 150 100 50 0
1999 Jakarta 105.27 Kolombo 114.96 Mombasa 178
Keterangan : Jakarta Mombasa Kolombo
Gambar 6.
2000 119.53 135.06 202
2001 96.68 143.54 153
2002 101.11 148.66 149
2003 95.49 148.32 154
2004 102.22 180.18 155
2005 103.73 184.42 147
2006 134.04 197.29 193
2007 132.92 277.7 166
2008 150.98 305.55 218
(Jakarta Tea Auction, Indonesia) (Mombasa Tea Auction, Kenya) (Colombo Tea Auction, Sri Langka)
Perkembangan Harga Rata-Rata Teh Indonesia, Sri Langka dan Kenya Tahun 1999-2008 Sumber : ITC (2009)
5.2 Sistem Agribisnis Teh Indonesia 5.2.1 Subsistem Hulu 1. Usaha Pembibitan Tanaman Teh Kegiatan budidaya tanaman teh dimulai dengan penanaman biji teh ataupun penanaman stek daun teh. Pada perkebunan teh yang berasal dari biji, umumnya biji diperoleh dari kebun-kebun biji yang dikelola secara khusus. Kebun-kebun yang secara khusus menyediakan biji teh diantaranya berada di Gambung dan Pasar Sarongge, Bandung, Jawa Barat. Selain kebun biji tersebut, terdapat pula kebun-kebun biji milik PT. Perkebunan Nusantara atau swasta. Penggunaan biji dari PT. Perkebunan Nusantara maupun swasta tersebut dapat dianjurkan sebagai sumber penghasil biji apabila biji yang dihasilkan memiliki komposisi klon serupa dengan komposisi yang serupa dengan komposisi pada Tabel 7.
38
Selain itu, bahan tanaman teh juga dapat berupa klon-klon yang telah dikeluarkan oleh Pusat Penelitian Teh dan Kina (PPTK) di Gambung, Bandung. Klon-klon yang telah dilepas diantaranya TRI 2024, TRI 2025, Kiara 8, SA 35, RB 1 dan RB 3. Hingga saat ini, klon-klon terbaru yang dilepas PPTK antara lain GMB 1, GMB 2, GMB 3, GMB 4, GMB 5, GMB 6, GMB 7, GMB 8, GMB 9, GMB 10 dan GMB 11. Setiap klon diciptakan dengan karakteristik yang berbedabeda sesuai dengan kebutuhan petani yang tersebar di berbagai kondisi lahan yang berbeda-beda. Tabel 7. Kebun Biji (KB) yang Menghasilkan Turunan Cukup Baik dan Dapat Digunakan sebagai Sumber Penghasil Biji No KB KB 2 KB 5 KB 7 KB 8 KB 9 KB 11
Lokasi Gambung Pasir Sarongge Pasir Sarongge Pasir Sarongge Pasir Sarongge Pasir Sarongge
Komposisi Klon PS 125, Mal 2, KP 4, Cin 143 PG 18, Mal Cin 51, Cin 53, Cin 54, Cin 55, Cin 56 PS 1, KP 4, PS 324, Mal 2, SA 40 PS 125, Cin 143, Kiara 8 TRI 2024, TRI 2025, TRI 777, PS 1, Kiara 8
Sumber : PPTK (2006)
Tabel 8 menjelaskan tentang karakteristik klon seri GMB 1 hingga GMB 5. Seri GMB 1-5 yang dilepaskan oleh PPTK pada tahun 1988 seharusnya mampu menghasilkan lebih dari 3.500 kg/ha/tahun teh kering, namun volume produksi yang terjadi di lapangan ternyata masih berada jauh di bawah 3.500 kg/ha/tahun. Untuk memperoleh produksi dan kualitas yang tepat dan sesuai harapan, jumlah klon yang ditanam hendaknya terdiri dari 3-5 klon. Selain itu petani juga perlu memperhatikan penanaman dan pemeliharaan di lapangan, termasuk pengendalian hama penyakit, pemberian pupuk, maupun antisipasi perubahan cuaca. Sedangkan klon GMB 6 hingga GMB 11 merupakan klon yang dilepas oleh PPTK pada bulan Oktober 1998 dengan potensi produksi dapat mencapai lebih dari 5.000 kg kering/ha/tahun. Penggunaan klon teh unggul saat ini telah banyak digunakan di perkebunan-perkebunan teh. Klon adalah tanaman yang diperoleh dari hasil pengembangan vegetatif atau aseksual. Mulanya penggunaan klon ini hanya diterapkan pada perkebunan-perkebunan teh besar, namun kini penggunaannya telah menyebar luas hampir ke seluruh perkebunan teh di Indonesia. Kegiatan
39
penelitian dan penyebaran klon-klon unggulan dilakukan oleh Pusat Penelitian Teh dan Kina di bawah PT. Riset Perkebunan Nusantara. Pemerintah melalui Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan (BBP2TP) juga memberikan dukungan pengawasan dan penyebaran teknologi bagi tanaman perkebunan, termasuk teh. Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan ini terbagi menjadi 3 unit kerja yang terletak di tiga wilayah yang berbeda, yaitu Surabaya, Medan dan Ambon. Tabel 8. Stek atau Klon Tanaman Teh yang Dikeluarkan PPTK
GMB 1 GMB 2 GMB 3
Kisaran Hasil (Kg/Ha/Tahun) 1.939 2.151 1.839
GMB 4
2.107
GMB 5
2.107
Jenis Klon/Stek
Keterangan • Asal seleksi : Pasir Sarongge • Pertumbuhan tunas-tunas setelah dipangkas cepat • Rentan terhadap hama, namun tahan terhadap penyakit cacar daun • Sesuai untuk teh hijau • Asal seleksi : Pasir Sarongge • Golongan : Sinensis • Pertumbuhan tunas-tunas setelah dipangkas sedang • Rentan terhadap hama, namun tahan terhadap penyakit cacar daun • Sesuai untuk teh hijau • Asal seleksi : Pasir Sarongge • Golongan : Sinensis • Pertumbuhan tunas-tunas setelah dipangkas cepat • Rentan terhadap hama, namun tahan terhadap penyakit cacar daun • Sesuai untuk teh hijau dan teh hitam
Sumber : Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dalam BPS (2010)
2. Industri Agrootomotif Peranan industri agrootomotif terhadap kegiatan agribisnis teh sangatlah penting. Ketersediaan sarana transportasi sangat mempengaruhi kelancaran seluruh kegiatan produksi, pengolahan dan pemasaran teh. Lokasi perkebunan yang tersebar di berbagai penjuru wilayah, dan umumnya berada di daerah pegunungan, mutlak didukung oleh sarana transportasi seperti mobil pengangkut, truk, motor, serta jenis kendaraan lainnya. Wilayah perkebunan yang luas dan
40
terbagi menjadi banyak blok membutuhkan akses transportasi yang baik. Selain itu, pasar teh Indonesia yang sebagian besar merupakan pasar internasional juga perlu didukung oleh industri perkapalan dan maskapai penerbangan yang dapat menjamin kelancaran distribusi teh ke luar negeri. 3. Industri Agrokimia Industri agrokimia memiliki peranan penting dalam kegiatan produksi teh. Produk yang dihasilkan terutama adalah pupuk dan obat-obatan bagi tanaman teh. Jenis pupuk kimia yang digunakan dalam kegiatan budidaya teh adalah Urea, KCl, Za dan
TSP. Selain penggunaan pupuk kimia, produsen pucuk juga
menggunakan
pupuk
daun
(hayati)
yang
bertujuan
untuk
merangsang
pertumbuhan pucuk. Sedangkan jenis obat-obatan yang umumnya digunakan adalah insektisida, fungisida, herbisida, alkanisida, dan beberapa jenis obat-obatan lainnya. Dalam anggaran biaya kebun, biaya tertinggi umumnya berasal dari biaya pemenuhan pupuk dan obat-obatan. Persentase anggaran biaya untuk input berkisar antara 10-40 persen dari total biaya perawatan kebun, bahkan dapat mencapai 50 persen dari total cost 13 . Besarnya alokasi anggaran bagi pupuk dan obat-obatan ini dikarenakan sifat tanaman teh yang sangat sensitif terhadap perubahan cuaca dan hama penyakit, sehingga memerlukan perawatan dan pengendalian yang intensif untuk mempertahankan produksi pucuk. Hingga kini, pemerintah
bersama
lembaga
penelitian
tanaman
perkebunan
tengah
mensosialisasikan penerapan teknologi tepat guna sebagai alternatif penggunaan pupuk dan obat-obatan kimiawi yang harganya tinggi, yaitu dengan penggunaan pupuk kompos yang memberdayakan sumberdaya alam di sekitar perkebunan serta penggunaan pestisida dan insektisida nabati untuk mengurangi biaya produksi teh. Pupuk yang beredar di kalangan produsen terbagi menjadi dua, yaitu pupuk subsidi dan pupuk non-subsidi. Pupuk subsidi umumnya ditujukan bagi 13
- Laporan Kebun PTPN VIII, Kebun Cisaruni periode Desember 2010, - Hasil wawancara Mandor I Tanaman PT. Sumbersari Bumi Pakuan, Perkebunan Ciliwung [30 April 2011], dan - Susila Wayan R, Bambang Dradjat. 2005. Kebijakan Subsidi Pupuk pada Subsektor PerkebunanDampak dan Pengelolaan. http://www.ipard.com/art_perkebun/090808a_wr.asp [Diakses pada 8 Februari 2011]
41
petani teh rakyat, sedangkan perusahaan swasta dan negara tidak berhak untuk mendapatkan pupuk bersubsidi. Meskipun demikian, pemberian subsidi pupuk yang dilakukan oleh pemerintah lebih diutamakan untuk kegiatan usahatani yang mengembangkan komoditas tanaman pangan, seperti padi, jagung dan kedelai. Sedangkan pupuk non-subsidi merupakan pupuk yang dijual bebas dan dapat diakses secara umum. Beberapa perusahaan swasta maupun BUMN yang bergerak pada industri agrokimia ini diantaranya PT Sinartani, PT Petrokimia, PT Sriwijaya, PT Sang Hyang Seri, PT Pupuk Kujang, PT Bio Industri Nusantara (PT Bionusa), dan beberapa perusahaan besar lainnya. 4. Industri Agromekanik Industri agromekanik berperan sebagai pemasok alat-alat pertanian yang digunakan saat berkebun hingga pengolahan. Dalam kegiatan produksi teh di Indonesia, umumnya penggunaan teknologi mekanik lebih banyak digunakan pada saat proses pengolahan. Hampir 70 persen penggunaan mesin ataupun teknologi mekanik dimulai pada saat pucuk dari perkebunan diangkut menuju pabrik pengolahan hingga diproses menjadi produk teh lanjutan. Mesin-mesin yang digunakan dalam kegiatan perkebunan teh umumnya berupa alat pemangkas mekanik, mesin penyemprot hama, mesin blower dan beberapa peralatan mekanik lainnya. Namun penggunaan alat mekanik dalam kegiatan perkebunan umumnya masih terbatas, terutama di kalangan petani rakyat. Petani rakyat lebih memilih melakukan berbagai tahapan berkebun teh secara manual, karena biaya yang dikeluarkan akan lebih sedikit dan umumnya luas area petani rata-rata hanya 2-3 hektar sehingga mereka lebih memilih melakukan perawatan secara manual. Mesin yang digunakan dalam proses pengolahan teh biasanya terdiri dari mesin pelayuan, alat penggulung (open top roller, baruah continuous tea roller, barbora conditioner roller), mesin penggiling (press cap roller, rotorvane), mesin sortasi bubuk basah (rotary ball breaker), mesin pengering (endless chain pressure, fluid bed dryer) dan alat pengemasan. Umumnya mesin-mesin yang digunakan dalam pabrik pengolahan teh merupakan mesin impor dari Jepang, atau mesin yang dirakit di Indonesia. Terkait dengan pengadaan mesin dan bahan baku
42
kemasan, tarif impor mesin dan bahan baku kemasan merupakan salah satu komponen biaya yang cukup tinggi dalam mempengaruhi biaya produksi. 5.2.2 Subsistem Usahatani Teh Indonesia merupakan negara dengan wilayah perkebunan teh terluas kelima di dunia setelah Cina, India, Sri Langka dan Kenya (ITC 2009). Namun, selama satu dekade terakhir, luas area perkebunan ini justru terus mengalami penurunan. Sejak tahun 2000 hingga 2009, telah terjadi pengurangan luas area perkebunan teh sebesar 2,18 persen setiap tahunnya. Hal ini mempengaruhi volume produksi teh nasional. Pada tahun 2009, volume produksi teh nasional sebesar 156.901 ton, atau lebih rendah 1,86 persen dari tahun sebelumnya. Penurunan luas area perkebunan teh dipicu oleh rendahnya pendapatan yang diterima produsen akibat dari rendahnya harga teh yang diterima. Hal tersebut menyebabkan gairah produsen untuk membudidayakan teh menurun, sehingga konversi lahan merupakan salah satu alternatif untuk memperoleh keuntungan. Tabel 9. Luas Areal, Produksi dan Produktivitas Teh Nasional Tahun 1999-2010 Luas Areal (Ha) TBM TM TTM/TR 23.898 114.491 15.285 29.550 109.497 11.825 25.839 112.415 12.453 13.439 121.339 8.826 12.291 115.156 16.518 9.105 114.404 17.029 8.730 111.055 15.806 7.422 110.524 15.787 5.425 106.393 15.894 4.941 105.600 16.870 5.517 105.168 16.699
Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009* 2010**
Jumlah 153.675 150.872 150.707 143.604 143.965 140.538 135.591 133.733 127.712 127.411 127.384
Produksi Produktivitas (Ton) (kg/Ha) 162.587 1.420 166.868 1.524 165.194 1.470 169.821 1.400 167.136 1.451 167.276 1.462 146.847 1.322 150.223 1.360 153.971 1.447 151.250 1.432 149.764 1.434
* sementara ** estimasi Sumber : Dirjenbun (2010)
Tabel 9 menunjukkan luas area perkebunan teh Indonesia berdasarkan kondisi tanaman. Luas area tanaman belum menghasilkan (TBM) merupakan luas area perkebunan yang belum diambil produksinya dikarenakan tanaman teh masih muda atau baru saja dilakukan peremajaan. Areal tanaman menghasilkan (TM) menunjukan luas area perkebunan teh yang berproduksi secara aktif dalam 43
setahun. Sedangkan areal tanaman tidak menghasilkan/tanaman rusak (TTM/TR) menggambarkan area perkebunan yang rusak ataupun tidak berproduksi karena sudah sangat tua atau terserang hama penyakit yang sangat parah. Tabel 9 menjelaskan bahwa luas area TM teh di Indonesia sejak tahun 2003 terus mengalami penurunan. Namun demikian, luas area TM cenderung terus menurun, persantase terhadap areal perkebunan total tidak selalu menurun. Pada tahun 2007-2008, luas area perkebunan total mengalami penurunan sebesar 4,5 persen, namun persentase luas area TM periode tersebut meningkat sebesar 0,7 persen. Peningkatan luas area TM saat itu diikuti pula oleh peningkatan volume produksi nasional dan produktivitas teh nasional. Berdasarkan tipe kepemilikannya, perkebunan teh di Indonesia terbagi menjadi tiga tipe, yaitu perkebunan rakyat (PR), perkebunan besar negara (PBN) dan perkebunan besar swasta (PBS). Ketiga tipe perkebunan tersebut memiliki ciri dan karakternya masing-masing. Namun, hingga saat ini belum ada integrasi yang baik diantara ketiganya. Hingga tahun 2009, perkebunan rakyat merupakan perkebunan teh dengan luas area terbesar dibandingkan dengan tipe kepemilikan kebun lainnya. Luas areal perkebunan rakyat pada tahun 2009 mencapai 57.126 hektar atau sebesar 46,25 persen dari total luas perkebunan teh di Indonesia. Sementara PBN dan PBS hanya memiliki luas perkebunan seluas 38.564 hektar dan 27.816 hektar atau sekitar 31,2 persen dan 22,55 persen. Tabel 10. Luas Areal dan Produksi Teh Berdasarkan Tipe Pengusahaan Tahun 2000-2010 Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010*
Luas Areal (Ha) PR PBN PBS 67.100 44.263 42.313 67.580 44.554 38.738 66.289 44.608 39.810 64.742 41.988 36.874 61.902 44.768 35.878 60.771 44.066 34.284 60.990 46.661 27.939 60.948 42.579 30.207 60.539 38.946 28.227 57.126 38.564 27.816 56.264 40.158 28.151
Produksi (Ton) PR PBN PBS 39.466 84.132 38.989 40.160 86.207 40.500 44.773 80.426 39.995 47.079 82.082 40.660 40.200 89.303 36.448 37.746 89.959 38.386 37.355 81.847 27.657 38.937 80.274 31.012 38.593 78.354 37.024 45.239 75.451 36.211 34.788 79.040 36.514
*Angka sementara Sumber : BPS (2010)
44
Meskipun PR memiliki persantase luas area terbesar dibandingkan dengan perkebunan teh lainnya, namun PR belum mampu memberikan hasil produksi yang memuaskan baik dari sisi volume maupun kualitasnya. Pada tahun 2009, perkebunan teh rakyat hanya mampu memproduksi teh sebesar 45.239 ton, sangat jauh dibawah hasil produksi dari perkebunan teh negara yang mencapai 75.451 ton (Tabel 10). Produktivitas PR hanya 791,9 kg/ha jauh dibawah produktivitas perkebunan negara dan perkebunan swasta yaitu sebesar 1.956,5 kg/ha dan 1.301,8 kg/ha. Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, meskipun memiliki luas area terbesar diantara dua tipe perkebunan lainnya, produktivitas PR justru merupakan yang terendah. Dalam penelitiannya Rosyadi (1987) dalam Rosyadi et al (2003) menyatakan bahwa petani teh Indonesia pada umumnya memiliki ciri-ciri yang berdampak pada bargaining position yang rendah. Beberapa ciri petani teh rakyat Indonesia antara lain : a. Luas kepemilikan lahan sempit antara 0,1-3 hektar, tersebar saprodis pada wilayah-wilayah yang umumnya terpencil. b. Pengelolaan kebun umumnya polikultur. c. Pucuk teh yang dihasilkan umumnya perishable (mudah rusak). d. Umumnya petani tidak memiliki unit pengolahan pucuk, sehingga harga pucuk ditentukan oleh pihak pembeli (pemilik pabrik pengolah, atau pedagang pengumpul). e. Modal yang dimiliki relatif kecil, dan hasil usahatani umumnya bukan satusatunya sumber pendapatan. Untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi petani teh, dibutuhkan kerjasama dari banyak pihak. Pola seperti program Unit Desa, Perkebunan Inti Rakyat (PIR), dan Pola Unit Pelaksanaan Proyek (UPP) 14 merupakan beberapa 14
Pola Unit Desa merupakan program yang menggerakan banyak pihak dalam satu desa seperti penyuluh yang berperan dalam penyampaian informasi dan memberikan pengarahan kepada petani di kebun, lembaga keuangan seperti BRI Unit Desa yang berperan dalam membantu persoalan permodalan dan koperasi sebagai lembaga penyedia dan penyalur sarana pertanian, dan wadah pengolahan hasil kebun dengan kerjasama bersama perusahaan tertentu. Pola UPP merupakan program pembinaan dan pengembangan koperasi dan diharapkan dalam jangka panjang keseluruhan fungsi dapat dilaksanakan sendiri. Pihak-pihak yang terlibat dalam program ini diantaranya unit petugas pelaksana proyek yang bekerjasama dengan koperasi. Pola PIR merupaka pola yang diterapkan dengan menjalin kerjasama dengan perusahaan negeri maupun swasta, dimana fungsi penyuluhan, penularan teknologi, penyaluran kredit,
45
program yang telah dilaksanakan untuk membantu memecahkan permasalahan petani. Disinilah perkebunan besar milik negara maupun swasta dituntut untuk lebih peduli terhadap nasib dari perkebunan teh rakyat (Nazaruddin dan Paimin 1993). Tabel 11. Karakteristik Umum Produsen Teh di Indonesia Berdasarkan Tipe Kepemilikan Usaha No. 1 2 3 4 5
6
7 8
Perkebunan Rakyat Luas area perkebunan mencapai 46,25 persen Produksi mencapai 45.239 ton Produktivitas mencapai 791,9 kg/ha Luas lahan umumnya sempit, antara 0,1-3 ha Akses terhadap modal sulit Tidak dilengkapi oleh unit pengolahan pucuk Mayoritas teh yang dihasilkan teh hijau Orientasi pasar domestik
Perkebunan Besar Negara Luas areal perkebunan mencapai 31,2 persen Produksi mencapai 75.451 ton Produktivitas mencapai 1.959,5 kg/ha Luas lahan dapat mencapai ribuan hektar Akses terhadap modal lebih mudah Umumnya telah memiliki unit pengolahan pucuk sendiri Mayoritas teh yang dihasilkan teh hitam Orientasi pasar ekspor
Perkebunan Besar Swasta Luas areal perkebunan mencapai 22,55 persen Produksi mencapai 36.211 ton Produktivitas mencapai 1.301,8 kg/ha Luas lahan dapat mencapai ribuan hektar Akses terhadap modal lebih mudah Umumnya telah memiliki unit pengolahan pucuk sendiri Menghasilkan teh hitam dan teh hijau Orientasi pasar domestik dan ekspor
Perkebunan besar negara (PBN) atau PT Perkebunan Nusantara, merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang mengusahakan berbagai macam komoditas perkebunan seperti teh, kakao, kopi, kina, kelapa sawit dan karet. Dari seluruh PTPN yang ada, PTPN yang mengusahakan komoditas teh adalah PTPN IV, VI, VII, VIII, IX dan XII. Dimana PTPN VIII merupakan penghasil teh terbesar di Indonesia dengan hasil produksinya mencapai 45 persen dari total produksi teh nasional, dan tersebar ke dalam 24 perkebunan yang ada di daerah Jawa Barat dan Banten 15 . Apabila dibandingkan dengan jenis
15
pengolahan hasil maupun fungsi pemasaran dilaksanakan oleh perusahaan. Sebagai timbal baliknya, kebun plasma membantu perusahaan dalam meningkatkan produksi (Nazaruddin dan Paimin 1993) PTPN 8. Tea Products Catalogue. 2009
46
kepengusahaan lainnya, PBN telah memiliki kedekatan yang cukup baik antara seluruh pihak di setiap subsistemnya. Selain PR dan PBN, perkebunan teh di Indonesia juga diramaikan oleh perkebunan-perkebunan besar miliki swasta. PBS di Indonesia umumnya lebih fleksibel dalam menetapkan keputusan. Berbeda dengan PBN yang memiliki tanggung jawab kepada PTPN pusat, perkebunan swasta sepenuhnya diatur dan dijalankan berdasarkan peraturan perusahaan. Meskipun demikian, PBS juga tidak luput dari penurunan luas area. Selama sepuluh tahun, PBS telah mengalami penurunan luas area terbesar dibandingkan dengan PR ataupun PBN. Tahun 2010, luas area PBS telah berkurang sebesar 33,5 persen dibandingkan luasnya pada tahun 2000. Kenyataan ini menunjukan bahwa stakeholder swasta juga tidak luput dari efek kurang bergairahnya kondisi teh nasional saat ini, sehingga banyak perusahaan
yang
memilih
untuk
mengganti
komoditas
atau
berhenti
mengusahakan teh. Dilihat dari komponen biaya yang dibutuhkan, Tabel 12 menggambarkan analisis usahatani perkebunan teh negara yang memiliki pabrik pengolah teh sendiri. Pendapatan yang diperoleh oleh produsen dipengaruhi oleh tingkat harga., Pada kondisi penjualan pucuk basah dengan harga sebesar Rp 1.300, ternyata perkebunan Cisaruni Garut ini masih mengalami kerugian sebesar Rp 113.458.172,-. R/C ratio yang diperoleh dari penjualan pucuk basah hanya mencapai 0,85. Namun, apabila dihitung pendapatannya dengan penjualan daun kering hasil olahan pabrik, R/C Rationya bernilai 1,502. Ini berarti, usaha perkebunan teh ini layak apabila ia mengolah tehnya sendiri, kemudian menjualnya keluar.
47
Tabel 12. Analisis Usahatani Kebun Teh dengan Produk Pucuk Basah dan Daun Kering No Uraian Jumlah Luas Area Kebun (Ha) 1.014 Produksi Pucuk Basah (Kg) 534.912 Produksi Daun Kering (Kg) 118.664 I. Biaya Tanaman (Rp) 18.087.513 • Gaji, Tunj dan Biaya Sosial Karyawan Pimpinan 349.702.760 • Biaya Pemeliharaan Tanaman 363.612.994 • Biaya Panen 46.700.414 • Biaya Pengangkutan 7.583.351 • Tunjangan dan Biaya Sosial Karyawan 23.156.710 • Biaya Penyusutan Tanaman Total Biaya Tanaman/Ha 808.843.772 Asumsi harga Rp 1.300/kg 695.385.600 R/C Ratio 0,85 II Biaya Pengolahan 331.242.546 • Biaya pengolahan/Kg 56.768.625 • Biaya Pemeliharaan Pabrik 85.768.625 • Biaya Pengepakan Total Biaya Pengolahan 473.409.022 Biaya Pengolahan/Kg 3.989 III HPP Daun Kering (a) 1.282.252.794 HPP Daun Kering/Kg 10.805 1V Penjualan Cent – US$ • First Grade @ 201 cent – US$ 16.180.902 (67,84% x 118.664 Kg = 80.502 kg) • Second Grade @ 146 cent – US$ 4.571.990 (26,39% x 118.664 kg = 31.315 kg) • Off Grade @ 69 cent – US$ 472.443 (5,77% x 118.664 kg = 6.847 kg) Total Penjualan (Cent – US$) 21.225.335 Total Penjualan (Rp)* (b) 1.926.623.658 R/C Ratio Daun Kering 1,502 Pendapatan (b) – (a) 644.370.864 Keterangan : 1 US$ = 100 Cent = Rp 9.077,- pada Desember 2010 Sumber : Laporan Kebun Cisaruni Desember 2010, PTPN VIII (2010) (tidak dipublikasikan)
5.2.3 Subsistem Pengolahan Setelah melalui proses pemetikan, pucuk teh tidak bisa langsung dikonsumsi. Pucuk teh tersebut harus melalui tahap pengolahan agar dihasilkan teh dengan kualitas rasa, aroma dan warna seduhan yang menarik, serta tahan lama. Berdasarkan teknik pengolahannya, teh dibedakan menjadi dua, yaitu teh 48
yang melalui tahap fermentasi (teh hitam) dan teh yang tidak melalui tahap fermentasi (teh hijau). Teh hitam yang diproduksi di Indonesia terdiri dari teh Orthodox dan teh CTC. Perbedaan kedua jenis teh tersebut terletak pada proses pengolahannya. Produk teh orthodox melalui proses yang lebih rumit dan panjang dibandingkan CTC. Sedangkan produk teh CTC merupakan salah satu bentuk diversifikasi produk yang dilakukan oleh produsen teh di Indonesia. Permintaan teh melalui proses CTC semakin meningkat dari waktu ke waktu menyusul peningkatan minat konsumen terhadap konsumsi tea bag (teh celup). Sedangkan teh hijau merupakan produk yang belum diproduksi dalam jumlah banyak. sebagian besar produksi teh hijau ditujukan untuk pasar domestik, tampak pada komposisi ekspor teh Indonesia yang didominasi oleh produk teh hitam. Tabel 13. Spesifikasi Teh berdasarkan Grade No. 1 2 3
Grade First Grade Second Grade Off Grade
Spesifikasi BOP I SP, BOP I, BOP, BOP F, PF, DUST, BT dan BP PF II, DUST II, BT II, BP II, DUST III dan FANN II BM dan PLUFF
Sumber : PPTK (2006)
Berdasarkan grade mutunya, teh di Indonesia terbagi menjadi tiga kelas, yaitu
first
grade
(umumnya
disalurkan
untuk
pasar
ekspor),
second
grade(umumnya disalurkan untuk pasar domestik) dan off grade (umumnya disalurkan untuk pasar tradisional domestik). Grade adalah pengklasifikasian daun teh berdasarkan ukuran dan kondisinya. Tabel 13 memberikan informasi mengenai spesifikasi dari masing-masing grade. Selain diolah menjadi minuman, tanaman teh juga dapat diolah dan dimanfaatkan menjadi produk lainnya. Berbagai bagian dari tanaman teh dimulai dari akar, batang, daun tua, serat, tangkai daun, aroma, biji teh dapat diolah menjadi produk sampingan teh. Beberapa produk hasil pengolahan utama dan sampingan tanaman teh tampak pada Tabel 14. Beberapa produk pada Tabel 14 sudah diproduksi di Indonesia, namun beberapa yang lainnya baru sampai tahap penelitian. Hasil samping tanaman teh Indonesia umumnya belum ditangani secara profesional. Banyak produk sampingan teh yang diimpor Indonesia untuk memenuhi kebutuhan industri di bidang farmasi, kosmetika, perikanan dan lainlain (Purwoto, Suprihatini dan Sudaryanto 1998 diacu dalam Suryatmo 2003).
49
Tabel 14. Produk Olahan Utama dan Sampingan Tanaman Teh No 1
Asal Bahan Pucuk daun muda
2 3
Tangkai, serat (Pluff) Daun tua
4
Akar/batang
5.
Biji teh
Produk dan Kegunaan Teh hitam, teh hijau, teh oolong, teh wangi, ekstrak kafein, ekstrak katekin, ekstrak flavor, ekstrak instant, kue, mie instant (sebagai bahan campuran), permen teh, jamu, sirup teh, pewarna dan bahan campuran kosmetik. Ekstrak kafein, ekstrak instant, subtitusi teh celup. Bahan baku pewarna kain, alas jenazah, mulching (serasah) di kebun teh. Kayu bakar, perlengkapan rumah tangga, media jamur kuping dan Ganoderma, arang aktif. Minyak biji teh kandungan rendemennya (18-25 persen) sebagai minyak goring non-kolesterol, ampas saponin berguna untuk membasmi hama udang, pakan ternak dengan kandungan protein ± 11 persen.
Sumber : Suryatmo (2003)
Saat ini, industri teh nasional juga mulai diramaikan dengan kehadiran produk-produk olahan teh yang semakin beragam. Produk-produk teh hilir yang beredar di Indonesia misalnya ready to drink tea, tea bag (teh celup), instant tea, teh wangi, teh buih (tablet effervescent), permen teh, kosmetik, serta obat-obatan. Perkembangan produk teh hilir ini memberikan dampak positif terutama bagi peningkatan citra teh di masyarakat sekaligus mendekatkan masyarakat Indonesia terhadap produk-produk olahan teh. Hal tersebut juga didukung oleh bentuk kemasan dan promosi yang menarik. 5.2.4 Subsistem Pemasaran Subsistem pemasaran dalam sistem agribisnis dapat diartikan sebagai kegiatan penyaluran hasil pertanian dari produsen sampai ke konsumen akhir. Kegiatan pemasaran ini mencakup tiga fungsi sekaligus, yaitu : (a) fungsi pertukaran (pembelian, penjualan dan penentuan harga), (b) fungsi fisik (pembersihan,
sortasi,
grading,
pengemasan,
standarisasi,
penyimpanan,
pengangkutan) dan (c) fungsi fasilitatif (pendanaan, penanggulangan risiko, informasi pasar, penciptaan permintaan dan penelitian) (Kriesberg & Steele 1992 dalam Rachman et al. 2002). Berdasarkan definisi di atas, maka sebagian besar
50
fungsi pemasaran untuk komoditas teh telah dimulai sejak pucuk teh hasil petikan diserahkan oleh buruh petik untuk diolah ke pabrik pengolahan. Berdasarkan hasil observasi lapang dan literatur, umumnya pabrik pengolah teh curah di Indonesia memperoleh bahan baku pucuknya melalui setidaknya empat cara, yaitu langsung dari kebun sendiri, membeli sebagian atau seluruhnya dari pihak luar, diperoleh dari kebun mitra dan diperoleh dari hasil pertukaran antar kebun dalam perusahaan yang sama. Proses penentuan harga umumnya ditentukan berdasarkan kontrak yang telah disepakati atau berdasarkan proses tawar-menawar di kebun. Fungsi selanjutnya yaitu fungsi pengolahan, merupakan kegiatan produksi yang berlangsung di pabrik. Bahan baku disalurkan ke pabrik untuk diolah. Ada dua tipe sistem pabrikasi di Indonesia berdasarkan pengolahnnya, yaitu pabrik teh hitam (CTC dan Orthodox) dan pabrik teh hijau. Pabrik teh hitam umumnya dimiliki oleh PTPN, sedangkan pabrik teh hijau umumnya dimiliki oleh pabrik swasta maupun pabrik yang dikelola oleh rakyat. Hal tersebut dikarenakan mesinmesin serta proses yang dijalankan untuk memproses teh hitam sangat rumit apabila dibandingkan dengan mesin dan proses pengolahan teh hijau. Di pabrik, pucuk diolah lalu dikemas setelah melalui proses standarisasi tertentu. Bagi beberapa pabrik milik PTPN, mereka melakukan standarisasi berupa pemberian seritifikasi pada produk olahan mereka, seperti UTZ certificate dan GMP 16 . Fungsi lain pemasaran adalah sebagai wadah yang mempertemukan penjual dan pembeli. Penyaluran produk dari pabrik akan berbeda tergantung dengan tipe pengusahaannya. PT PN menyalurkan produk teh mereka untuk di pasarkan melalui PT Kantor Pemasaran Bersama Nusantara (PT KPBN). Kantor tersebut merupakan tempat memasarkan produk teh kepada tea buyer yang berasal dari berbagai perusahaan baik perusahaan domestik maupun perusahaan asing. Proses pemasaran teh di PT KPBN dilakukan melalui proses lelang. Tujuan dari proses lelang ini adalah untuk menghasilkan harga tertinggi dari penawaran yang 16
UTZ Certificate adalah sebuah program dunia yang membangun standar-standar untuk sumber dan produksi komoditas pertanian yang bertanggung jawab. Sertifikasi ini memberikan jaminan profesional, kualitas sosial dan lingkungan dalam praktek-praktek produksi seperti merek dan harapan konsumen. Sementara GMP (Good Manufacturing Practices) menjamin produk dari proses produksi yang aman, sesuai prosedur dan ramah lingkungan.
51
ada, serta mempermudah akses pembeli dalam menentukan teh yang mereka inginkan. Namun, selain melalui lelang (auction), PT KPBN juga melayani pemesanan teh dalam bentuk private offer meskipun jumlahnya masih lebih kecil dibandingkan dengan jumlah yang diperdagangkan melalui lelang. Sedangkan untuk pabrik milik swasta dan rakyat perdagangan teh umumnya dilakukan secara langsung, artinya melalui proses jual-beli biasa dan proses lelang di Bandung Tea Auction (tapi sekarang sudah tidak aktif lagi). PT KPBN seperti yang akan dijelaskan pada subbab
berikutnya
merupakan lembaga pemasaran milik PT PN yang telah berubah menjadi perseroan terbatas sejak tahun 2010. Selain sebagai fasilitator, fungsi PT KPBN juga merangkap sebagai pengontrol kualitas dari teh yang dihasilkan PT PN, pencari informasi pasar, terutama informasi untuk mengembangkan pasar lain di luar negeri, dan beberapa fungsi pemasaran lainnya. Pembentukan harga yang terjadi di PT KPBN juga merupakan acuan bagi harga teh nasional. Berdasarkan uraian di atas, maka aliran perdagangan teh di Indonesia dapat digambarkan seperti pada Gambar 7. Pengumpul/ Koperasi Pasar Domestik
Perkebunan Rakyat 36.350 ton
Produksi 2009 151. 250 ton
Perkebunan Besar Negara 78.386 ton
PT. KPBN* Pasar Luar Negeri Pabrik Teh Curah (PTPN/ Swasta)
Perkebunan Besar Swasta 34.673 ton
Pasar Domestik Direct Selling Pasar Luar Negeri
* Khusus PT Perkebunan Nusantara
Gambar 7.
Jalur Tataniaga Teh Indonesia (2010)
52
5.2.5 Subsistem Jasa dan Penunjang Kegiatan budidaya tanaman teh telah dikenal sejak lama. Pada masa penjajahan Belanda, politik tanam paksa (culture stetsel) mengharuskan rakyat untuk menanam beberapa tanaman perkebunan, salah satunya adalah teh. Saat itu, Belanda mendirikan sebuah organisasi bernama Algemeene Vereeniging van Rubbers Planters ter Ooster van Sumatera (AVROS), yang merupakan asosiasi pengusaha tanaman perkebunan seperti karet, teh, kelapa sawit, gambir dan sisal. AVROS didirikan dengan tujuan membantu meringankan beban anggotanya dalam mengatasi masalah-masalah perburuhan, pembibitan serta lahan-lahan yang diperlukan untuk kemajuan perkebunan 17 . Seiring dengan perkembangan agribisnis teh di Indonesia, hingga saat ini, telah banyak lembaga yang didirikan untuk menunjang dan mendukung kegiatan agribisnis
teh.
Kelembagaan
tersebut
terdiri
dari
lembaga
riset
dan
pengembangan, lembaga keuangan, kelompok tani atau koperasi, lembaga pemasaran, pemerintah serta berbagai asosiasi terkait lainnya. 1. Lembaga Riset dan Pengembangan Lembaga penelitian bertugas untuk menciptakan berbagai teknologi baru maupun penyempurnaan teknologi yang sudah ada. Lembaga khusus yang berperan sebagai lembaga penelitian teh di Indonesia ialah Pusat Penelitian Teh dan Kina (PPTK) yang terletak di Bandung, Jawa Barat. Lembaga yang berada di bawah PT. Riset Perkebunan Nusantara ini merupakan lembaga penelitian pusat bagi komoditas teh di Indonesia. PPTK bertugas mengelola kegiatan inovasi dalam rangka memajukan bisnis dan industri teh Indonesia. Kegiatan tersebut diantaranya dilakukan melalui kegiatan penelitian, pengembangan dan jasa pelayanan kepada para stakeholder (PT Perkebunan Nusantara, perkebunan besar swasta, perkebunan rakyat, pabrik, serta para pedagang dan eksportir) dan pemerintah 18 . Selain PPTK, penelitian terkait teh juga dilakukan oleh lembagalembaga lain yang sifatnya independen (non-pemerintah), seperti perguruan tinggi. 17
18
http://royandihts.wordpress.com20100724avros-algemeene-van-vereeniging-rubberplanterster-oostkust-sumatra-organisasi-perkebunan-karet-di-sumatera-timur-1910-1958.com [Diakses pada 31 Maret 2011] www.ritc.or.id [Diakses pada 31 Maret 2011].
53
Lembaga Riset dan Pengembangan Komoditas Teh
Pemerintah melalui Kementrian Pertanian Badan Litbang Pertanian
Non-Pemerintah Swasta, Perguruan Tinggi
Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Aneka Tanaman Industri PT Riset Perkebunan Nusantara
Pusat Penelitian Teh dan Kina
Gambar 8.
Lembaga Penelitian Pendukung Agribisnis Teh Indonesia Sumber : Kementrian Pertanian RI dalam www.deptan.go.id [Diakses pada 4 Mei 2010]
2. Lembaga Keuangan Selain lembaga riset dan pengembangan, lembaga lain yang tak kalah pentingnya dalam pengembangan agribisnis teh di Indonesia adalah lembaga keuangan. Salah satu fungsi utama lembaga keuangan adalah sebagai penyedia kredit bagi usaha atau bisnis teh baik bisnis upstream maupun downstream teh. Lembaga keuangan yang umum dikenal di Indonesia adalah bank dan Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Namun, peranan perbankan ataupun lembaga keuangan lainnya hingga saat ini masih dinilai kurang bagi agribisnis Indonesia 19 . Fasilitas kredit bagi industri yang bergerak di subsistem budidaya masih sulit diperoleh, terutama bagi petani rakyat. Karena itu, dibutuhkan kerjasama antara pengusaha kecil dan pengusaha besar agar proses pengajuan kredit dapat terwujud. Dalam salah satu programnya, pemerintah melalui Dewan Teh Indonesia telah memfasilitasi petani teh dengan dengan menciptakan suatu bentuk kemitraan antara petani teh dengan perkebunan besar negara maupun perkebunan besar swasta dalam bentuk 19
Hasil wawancara dengan Direktur Eksekutif Dewan Teh Indonesia, Bapak Sultoni Arifin [23 Maret 2011]
54
kemitraan, dimana jalinan kemitraan ini pun telah didukung oleh keterlibatan lembaga perbankan. 3. Kelompok Tani atau Koperasi Kelompok tani atau gabungan kelompok tani merupakan kumpulan orang yang terdiri dari petani-petani. Petani teh rakyat merupakan sumberdaya manusia potensial yang belum teroptimalkan potensinya dikarenakan berbagai keterbatasan akses dan lemahnya bargaining power. Luas area perkebunan teh rakyat yang mencapai 46,25 persen dari total luas area kebun teh nasional merupakan salah satu modal untuk meningkatkan produksi tanpa harus meningkatkan luas area. Karena itu, peranan kelompok tani atau gapoktan sangatlah penting bagi petani di Indonesia. Dari beberapa kasus, petani yang tergabung ke dalam kelompok, telah mampu mengangkat taraf hidupnya melalui perkebunan teh. Kelompok tani umumnya juga lebih mudah dalam memperoleh binaan baik dari pemerintah maupun dari pengusaha besar lain, sehingga produksi tehnya dapat ditingkatkan, bahkan tidak jarang petani rakyat atas nama kelompok tani yang telah melengkapi produk mereka dengan sertifikasi 20 . 4. Lembaga Pemasaran Kegiatan pemasaran teh di Indonesia terbagi menjadi dua jalur, yaitu kegiatan pemasaran yang melalui PT Kantor Pemasaran Bersama Nusantara atau jual-beli secara langsung antara penjual dengan pembeli teh. PT Kantor Pemasaran Bersama Nusantara (PT KPBN) merupakan lembaga yang khusus memasarkan produk-produk perkebunan yang dihasilkan oleh PTPN dan PT RPN. Komoditas yang diperjualbelikan disana salah satunya adalah teh. PT KPBN sebagai sebuah lembaga pemasaran bagi PTPN menjadi acuan bagi produsen lain dalam menetapkan standar kualitas produk dan harga teh nasional. Selain sebagai lembaga pemasaran, PT KPBN juga menjalankan fungsinya dalam quality control, pencarian informasi pasar, promosi, konsultasi, jasa pergudangan, 20
Azzahra Dina. Indonesia Punya Kebun Teh Rakyat Bersertifikat; Ditargetkan Semua Punya. 31 Maret 2011. www.kabarindo.com/index.php?act=dnews&no=17386 [Diakses pada 12 April 2011]. Solihat Kodar. Meraih Sertifikat, Mendongkrak Citra. 20 Juli 2010. Pikiran Rakyat. http://www.pn8.co.id/pn8/index.php?option=com_content&task=view&id=320&Itemid=2 [Diakses pada 4 Mei 2011].
55
pengapalan, customer service termasuk dalam bantuan penyelesaian klaim. Pada PT KPBN ini, masing-masing komoditas dikelola oleh direktur pemasaran komoditas. 5. Asosiasi-Asosiasi Lembaga lain yang mendukung agribisnis teh di Indonesia diantaranya adalah asosiasi dari berbagai komunitas teh. Beberapa asosisasi yang telah ada di Indonesia diantaranya Asosiasi Teh Indonesia (ATI), Asosiasi Petani Teh Indonesia (APTEHINDO), Koperasi Teh Indonesia, Indonesia Tea Lovers, Jakarta Tea Buyers Association (JBTA) dan beberapa asosiasi lainnya. Diantara semuanya, Asosiasi Teh Indonesia merupakan asosiasi teh terbesar di Indonesia, asosiasi ini terdiri dari pengusaha-pengusaha teh di Indonesia dan beberapa stakeholder lainnya. ATI juga merupakan asosiasi teh di Indonesia yang diakui secara internasional. APTEHINDO merupakan asosiasi petani yang berfungsi mengkoordinasikan kendala-kendala yang dirasakan petani di kebun dengan pihak pemerintah ataupun pengusaha besar lainnya. Indonesia Tea Lovers merupakan komunitas pecinta dan peduli teh nasional, komunitas ini juga melakukan kegiatan promosi teh berupa festival dan bentuk kegiatan lainnya. Sedangkan JBTA merupakan asosiasi yang mewadahi aspirasi pembeli teh di Jakarta Tea Auction. Seluruh asosiasi teh di Indonesia merupakan peluang apabila dapat dikelola dan dimanfaatkan dengan baik sesuai visi-misinya. 6. Pemerintah Pemerintah membentuk Dewan Teh Indonesia yang dideklarasikan pada tanggal 19 April 2007 dan dihadiri oleh perwakilan stakeholder teh nasional yang terdiri dari Asosiasi Petani Teh Indonesia (APTEHINDO), Asosiasi Teh Indonesia (ATI), Asosiasi Koperasi Teh Indonesia, OPS Teh Wangi, Perusahaan Negara (BUMD-BUMN), perusahaan swasta, dan pemerintah sebagai regulator dan fasilitator pembangunan agribisnis teh di Indonesia. Dewan Teh Indonesia didirikan untuk mengkoordinasikan dan memadukan kepentingan para pelaku usaha agribisnis teh Indonesia. Bertujuan untuk mempercepat peningkatan dayasaing teh Indonesia.
56
Salah satu bentuk program yang diperjuangkan oleh Dewan Teh Indonesia adalah program Gerakan Penyelamatan Agribisnis Teh Nasional (GPATN), khususnya teh rakyat. Gerakan ini merupakan upaya percepatan peningkatan kualitas, produktivitas, harga, supply chain dan tingkat pendapatan khususnya di tingkat petani. Berikut ini adalah poin-poin inti dari program GPATN : 1. Perbaikan Perkebunan Teh rakyat yang terletak di lima provinsi, 21 Kabupaten, dengan total luas area 57.837 ha yang terbagi menjadi : a. Peremajaan kebun teh tua dan rusak seluas 14.000 ha; b. Rehabilitasi kebun teh seluas 20.000 ha; dan c. Intensifikasi kebun teh seluas 23.837 ha 2. Revitalisasi kelembagaan kelompok tani bagi 103.971 KK (2000 Kelompok Tani) 3. Penguatan Lembaga Riset Teh a. Pembangunan 2 unit laboratorium pengujian mutu teh, b. Pembangunan 15 laboratoriun lapangan, dan c. Pembangunan 15 stasiun meteorologi di sentra produksi teh rakyat. 4. Penyempurnaan SNI yang mengakomodasi standar-standar yang berlaku di dunia 5. Pembangunan 15 pabrik teh hijau dan 5 pabrik teh hitam 6. Penguatan lembaga pemasaran (Bandung Tea Auction (BTA) dan Jakarta Tea Auction (JTA)).
57
VI DAYASAING AGRIBISNIS TEH INDONESIA Pada bab sebelumnya, penulis telah menjelaskan mengenai kondisi sistem agribisnis teh Indonesia. Pada bagian ini, penulis akan membahas mengenai analisis dayasaing agribisnis teh Indonesia berdasarkan informasi yang telah dibahas pada bab sebelumnya serta pendalaman pada poin-poin yang termasuk pada komponen penentu dayasaing Sistem Berlian Porter. Komponen-komponen tersebut adalah komponen kondisi faktor sumberdaya, kondisi permintaan domestik, dukungan industri terkait dan industri pendukung teh serta kondisi struktur, strategi dan persaingan yang dihadapi oleh agribisnis teh Indonesia. Selain itu ditinjau pula sejauh apa peranan pemerintah dan kesempatankesempatan yang ada dalam meningkatkan posisi dayasaing agribisnis teh Indonesia. 6.1 Analisis Komponen Sistem Berlian Porter 6.1.1 Kondisi Faktor Sumberdaya 1) Sumberdaya Alam atau Fisik Teh merupakan tanaman yang sangat responsif terhadap perubahan alam. Kondisi alam yang berubah-ubah akan berpengaruh terhadap kualitas pucuk teh yang dihasilkan. Karena itu, selalu dibutuhkan sebuah perlakuan khusus untuk menjaga stabilitas mutu teh. Selain kestabilan kondisi alam, dibutuhkan pula kemudahan dalam memperoleh input-input pertanian yang mendukung kegiatan budidaya teh. Seluruh komponen sumberdaya yang dibutuhkan kemudian dikalkulasikan sehingga dapat dilihat komponen-komponen biaya terkait selama proses produksi. Komponen lain yang mempengaruhi dayasaing dari segi sumberdaya alam adalah produktivitas. a) Syarat, Kondisi dan Luas Lahan Tanaman teh membutuhkan lingkungan dengan intensitas cahaya 70-80 persen, suhu udara sejuk sampai hangat (12-30°C), kelembaban relatif (RH) 60 persen serta curah hujan sebesar 60mm/bulan (maksimal turun hujan selama 2 bulan, dengan tidak ada bulan yang sama sekali tidak hujan). Elevasi atau ketinggian tempat tidak menjadi pembatas bagi pertumbuhan tanaman teh,
58
sepanjang iklim dan tanahnya sesuai bagi tanaman teh. Apabila kondisi di atas dapat terpenuhi, maka tanaman teh akan dapat tumbuh dengan baik. Kondisi perkebunan teh di Indonesia sangat beragam, letaknya tersebar pada ketinggian 400-2.200 m di atas permukaan laut dan ditanam pada tanah jenis andosol, regosol, latosol dan podsolik. Namun, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh PPTK di beberapa perkebunan milik negara (PBN), swasta (PBS) maupun rakyat (PR), diketahui bahwa kadar bahan organik yang terkandung dalam tanah perkebunan teh di Indonesia umumnya sangatlah rendah yaitu sebesar 1-2 persen saja. Perkebunan teh di Indonesia tersebar pada range ketinggian yang cukup luas, yaitu 400 – 2.200 m di atas permukaan laut. Berdasarkan ketinggian tersebut, wilayah perkebunan teh di Indonesia terbagi menjadi tiga, yaitu : a. Perkebunan daerah rendah (< 800 meter di atas permukaan laut), b. Perkebunan daerah sedang (800-1200 meter di atas permukaan laut), dan c. Perkebunan daerah tinggi (> 1200 meter di atas permukaan laut). Perbedaan ketinggian kebun berpengaruh terhadap hasil petikan pucuk. Umunya perkebunan teh di Indonesia terletak pada daerah dengan ketinggian sedang, seperti Perkebunan Cisaruni, Dayeuh Manggung dan Goalpara. Sedangkan sisanya tersebar pada wilayah dengan ketinggian rendah (seperti Perkebunan Panglejar, Pasir Nangka dan Tambaksari) dan tinggi (seperti Perkebunan Pasir Malang, Talun, dan Kertamanah). Besarnya range ketinggian perkebunan teh di Indonesia, secara tidak langsung menunjukkan potensi untuk mengembangkan luas area perkebunan teh di masa yang akan datang. Tabel 15 menunjukan luas area perkebunan teh di beberapa provinsi di Indonesia. Hingga tahun 2008, lokasi perkebunan teh di Indonesia tersebar ke dalam 11 provinsi dimana sebagian besar perkebunan teh (80 persen ) terletak di Pulau Jawa dan Sumatera. Berdasarkan luas area perkebunannya, sekitar 78,2 persen dari total luas area perkebunan nasional terletak di Jawa Barat. Sedangkan sisanya tersebar di Jawa Tengah (7 persen), Sumatera Utara (4,5 persen), Sumatera Barat (2,8 persen) serta Jambi (2 persen). Selama kurun waktu lima tahun (2004-2008), area perkebunan teh Indonesia rata-rata mengalami penurunan sebesar 2,25 persen. Penurunan luas
59
area terbesar terjadi pada tahun 2008 yaitu sebesar 4,5 persen. Adapun faktor yang menyebabkan penurunan luas area tersebut salah satunya adalah maraknya konversi perkebunan teh yang dilakukan petani maupun perusahaan besar menjadi lahan untuk membudidayakan tanaman lain seperti sawit maupun tanaman sayuran (bagi kebun yang terletak di kawasan dataran tinggi). Tabel 15. Perkembangan Luas Area Perkebunan Teh Berdasarkan Provinsi Tahun 2004-2008 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Provinsi
NAD Sumatera Utara Sumatera Barat Jambi Sumatera Selatan Bangka Belitung Bengkulu Lampung Jawa Barat Banten Jawa Tengah D.I.Y Jawa Timur Kalimantan Timur Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan TOTAL (Ha) Pertumbuhan Per Tahun
2004
2005
9.160 8.779 5.240 4.202 2.625 2.625 1.571 1.571 1 2.834 2.834 81 47 105.976 103.573 11.055 11.068 310 300 3.242 3.660 1.760 1.760 119 128 143.965 140.538 0,25 -2,38
2006 2007 2008 8.574 205 8.897 5.715 2.697 4.817 4.928 2.625 2.625 2.625 1.470 1.470 1.470 1.417 1.118 1.133 104.314 101.080 99.942 24 10.366 9.239 9.194 192 136 86 1.819 2.460 2.465 2 25 1.760 1.760 128 129 129 135.591 133.733 127.712 -3,26 -1,37 -4,50
Sumber : Dirjenbun (2010) (diolah)
b) Aksesibilitas Terhadap Input Aksesibilitas produsen terhadap input mencerminkan tingkat kemudahan dalam memperoleh input produksi yang dibutuhkan secara kontinu, tepat waktu, tepat jumlah serta tepat jenis. Kemudahan yang dimaksud umumnya menyangkut ketersediaan input di pasar, serta kondisi harga ideal yang dapat dijangkau oleh produsen, serta distribusi input dari pemasok kepada produsen. Aksesibilitas produsen teh terhadap input tersebut sangat mempengaruhi kinerja serta capaian hasil bagi usahatani teh mereka. i) Bibit Tanaman teh dapat dikembangkan melalui biji maupun stek. Di Indonesia, kebutuhan akan biji teh dapat diakses melalui kebun-kebun biji milik Pusat
60
Penelitian Teh dan Kina, seperti Kebun Biji Gambung dan Kebun Biji Pasir Sarongge di Jawa Barat. Selain kebun biji milik PPTK, terdapat pula kebun-kebun biji milik PT Perkebunan Nusantara atau swasta yang dapat dijadikan sebagai sumber penghasil biji, dengan syarat biji yang dihasilkan mengandung komposisi klon serupa dengan komposisi yang dianjurkan oleh PPTK seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya (Tabel 7). Sementara stek atau bibit teh dapat diperoleh melalui petani atau produsen bibit. Untuk memenuhi kebutuhan produsen akan klon teh unggul, Pusat PenelitianTeh dan Kina (PPTK) di Bandung, Jawa Barat merupakan satu-satunya lembaga riset sekaligus penyedia klon unggul dengan tingkat produktivitas dan ketahanan terhadap hama penyakit yang selalu diperbarui setiap waktunya. Hingga saat ini, penggunaan klon lebih diminati dibandingkan dengan penggunaan biji, karena tanaman yang dihasilkan dengan klon lebih seragam, waktu produksi lebih cepat, serta produksi pucuk teh lebih banyak. Klon-klon unggul yang dilepas oleh PPTK tersebut juga sudah memperoleh dukungan pengujian dan pengawasan mutu benih tanaman perkebunan oleh Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan (BBP2TP). ii) Pupuk dan Obat-Obatan Akses produsen, khususnya petani teh rakyat terhadap pupuk dan obatobatan seringkali terhambat oleh ketersediaan dan harga yang diluar kemampuan daya beli petani. Karena itu, dalam beberapa kasus perkebunan rakyat, petani seringkali mengabaikan pentingnya penggunaan pupuk ataupun obat-obatan bagi perkebunan mereka. Kurangnya perhatian petani teh rakyat terhadap penggunaan pupuk maupun obat-obatan seringkali dikarenakan rendahnya pendapatan yang mereka peroleh dari usahatani teh, sehingga perawatan kebun (termasuk penggunaan pupuk dan obat-obatan) sering terabaikan. Petani seringkali lebih memilih membiarkan kebun mereka tanpa dipupuk atau memberikan pupuk hanya sebatas batas standar pemberian pupuk bagi tanaman teh yaitu 1-2 kali dalam setahun. Kebijakan pemerintah mengenai subsidi pupuk sebagai salah satu solusi bagi permasalahan pupuk yang dihadapi oleh petani di Indonesia sayangnya tidak mengena pada petani teh rakyat. Subsidi pupuk yang ada lebih diutamakan bagi petani yang mengusahakan tanaman pangan seperti padi, jagung dan kedelai.
61
Di sisi lain, meskipun akses yang dimiliki perkebunan besar negara dan swasta dapat dikatakan lebih mudah dalam hal memperoleh pupuk dan obatobatan, permasalahan tingginya harga pupuk juga menjadi isu utama bagi perkebunan-perkebunan besar tersebut. Pupuk dan obat-obatan merupakan aspek penting dalam kegiatan usahatani teh. Karena merupakan salah satu komponen input penting dalam struktur biaya produksi pada subsektor perkebunan, dengan pangsa berkisar antara 10-40 persen dari total biaya 21 . c) Biaya-Biaya Terkait Biaya adalah nilai dari semua pengorbanan ekonomis yang diperlukan, dapat diperkirakan, serta dapat diukur untuk menghasilkan suatu produk (Nazaruddin & Paimin 1993). Perhitungan biaya untuk usahatani teh memang lebih rumit, karena sampai tanaman teh dapat menghasilkan, dibutuhkan waktu beberapa tahun untuk melakukan perawatan bagi tanaman. Berdasarkan tahap perkembangannya, pembiayaan usahatani teh terbagi menjadi pembiayaan di masa pembibitan, penanaman (bukaan baru/peremajaan), pemeliharaan, serta biaya pemetikan. Pada setiap tahapan, biaya dikelompokan menjadi biaya modal kerja (biaya alat dan bahan), biaya tenaga kerja, serta biaya lain-lain (misalnya pajak). Umumnya biaya tanaman yang berasal dari biji lebih besar dibandingkan dengan biaya tanaman yang berasal dari stek daun. Hal tersebut dikarenakan waktu yang dibutuhkan untuk pemeliharaan tanaman asal biji lebih lama dibandingkan dengan tanaman asal stek (tanaman asal biji 5 tahun, tanaman asal stek daun 3 tahun). Unsur biaya yang dikeluarkan dalam pemeliharaan kebun teh pun berbedabeda tergantung kepada tipe perkebunannya. Umumnya perkebunan besar milik negara dan swasta akan memiliki komponen biaya yang lebih kompleks dibandingkan dengan komponen biaya petani teh di perkebunan rakyat. Perusahaan besar mengeluarkan biaya lebih untuk membayar jasa manajemen perkebunan, gaji dan tunjangan karyawan, biaya perawatan kebun, pemeliharaan
21
Susila Wayan R, Bambang Dradjat. 2005. Kebijakan Subsidi Pupuk pada Subsektor Perkebunan Dampak dan Pengelolaan dalam http://www.ipard.com/art_perkebun/ 090808a_wr.asp [Diakses pada tanggal 8 Februari 2011]
62
gedung dan biaya lainya. Sedangkan pada perkebunan rakyat jenis biaya yang dikeluarkan umumnya hanya sebatas biaya pemeliharaan kebun dan tenaga kerja. Tingginya biaya operasional yang dirasakan petani berpengaruh nyata terhadap cara pengelolaan kebun, terutama penggunaan biaya langsung seperti pupuk dan pestisida. Biaya operasional yang tinggi ditambah dengan rendahnya harga pucuk ditingkat petani menyebabkan rendahnya pendapatan usahatani petani teh (Rosyadi & Wahyu 2007). Keluhan terhadap tingginya biaya operasional juga dirasakan oleh beberapa perkebunan besar negara. Dalam beberapa tahun terakhir, beberapa kebun milik PT Perkebunan Nusantara mengalami kerugian dikarenakan biaya operasional yang semakin membengkak. Tingginya biaya tersebut dirasakan dalam kegiatan pengelolaan kebun (biaya pupuk dan obat-obatan) maupun kegiatan pengolahan teh curah di pabrik (biaya sumber energi/BBM). Penekanan biaya produksi dapat dilakukan dengan mencari alternatif bagi penggunaan pupuk dan obat-obatan kimiawi serta alternatif sumber energi selain BBM. Pusat Penelitian Teh dan Kina telah mengembangkan berbagai teknologi yang dapat digunakan oleh produsen untuk menekan biaya produksinya sekaligus memberikan efek samping yang baik bagi lingkungan. Penjelasan mengenai teknologi tersebut akan dijelaskan pada sub bab Sumberdaya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. d) Produktivitas Lahan Produktivitas lahan di tingkat petani atau produsen berarti menujukkan tingkat efisiensi penggunaan sumberdaya yang dimiliki dalam menghasilkan sejumlah produk, dalam hal ini adalah pucuk teh. Produktivitas berkaitan dengan luas area tanam dan volume produksi yang dihasilkan. Faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas perkebunan teh diantaranya populasi tanaman teh dan teknologi yang diterapkan (Rosyadi & Wahyu 2007). Pemanfaatan teknologi oleh petani sangat dipengaruhi oleh harga jual pucuk yang nantinya mempengaruhi pendapatan. Wardiyatmo dan Subarna (1999) diacu dalam Rosyadi dan Wahyu (2007) menyatakan bahwa rendahnya harga pucuk menyebabkan pendapatan petani rendah yang pada akhirnya berdampak terhadap minat petani dalam mengelola kebunnya atau menerapkan paket teknologi yang
63
tepat. Karena itu, secara tidak langsung harga jual pucuk di tingkat petani teh akan mempengaruhi produktivitas kebun teh petani tersebut.
* Angka sementara ** Estimasi
Gambar 9.
Produktivitas Areal Tanam Teh Berdasarkan Provinsi Tahun 2008 Sumber : Teh dalam Angka 2010 (diolah)
Gambar 9 menunjukkan tingkat produktivitas perkebunan teh di Indonesia berdasarkan provinsi. Jawa Barat sebagai penghasil teh terbesar di Indonesia dengan jumlah produksi mencapai 113.882 ton (tahun 2008) memiliki tingkat produktivitas yang lebih rendah dibandingkan dengan provinsi Sumatera Utara dan Daerah Istimewa Yoyakarta (2.355 kg/ha dan 2.244 kg/ha). Rendahnya produktivitas perkebunan teh di Jawa Barat diduga karena sebagian besar perkebunan teh di Jawa Barat merupakan perkebunan teh rakyat. Pada umumnya penggunaan teknologi tepat guna pada perkebunan teh rakyat belum dilakukan secara optimal 22 . Sementara secara umum, tingkat produktivitas lahan teh Nasional pada tahun 2000-2010 dapat dilihat pada Gambar 10. Gambar 10 menunjukkan adanya fluktuasi produktivitas rata-rata dari tahun ke tahun. Pada tahun 2001, Indonesia mencapai tingkat produktivitas rata-rata tertinggi hingga mencapai 1.500 kg/ha lebih. Sementara pada tahun 2006, produktivitas rata-rata lahan teh di Indonesia berada di tingkat terendah dengan nilai produktivitas sebesar 1.322 kg/ha. Tingkat produktivitas tersebut kemudian meningkat selama dua tahun hingga tahun 2008, dan pada tahun 2009-2010 produktivitas rata-rata lahan teh cenderung stabil. 22
Direktorat Jenderal Perkebunan 2006 dalam Road Map Teh 2006.
64
* Angka sementara ** Estimasi
Gambar 10. Perkembangan Produktivitas Rata-Rata Areal Perkebunan Teh di Indonesia Tahun 2000-2010 Sumber : Teh Indonesia dalam Angka 2010
2) Sumberdaya Manusia Usaha perkebunan teh merupakan usaha padat karya. Keberadaan perkebunan teh umumnya menjadi tumpuan hidup bagi masyarakat di sekitarnya. Kemampuan usaha ini dalam menyerap tenaga kerja merupakan salah satu alasan pemerintah menetapkan teh sebagai salah satu Komoditas Unggulan Nasional 23 . Usaha perkebunan teh merupakan usaha yang sangat intensif dalam menyerap tenaga kerja. Rasio penyerapan tenaga kerja di perkebunan teh mencapai 2-3 orang per hektar, sedangkan usaha pada komoditas perkebunan lainnya hanya mampu menyerap tenaga kerja kurang dari satu orang per hektar 24 . Dengan mempertimbangkan jumlah HOK dan luas area perkebunan teh di Indonesia, maka dapat dibayangkan begitu banyak sumberdaya manusia yang terlibat dalam usaha perkebunan teh. Kebutuhan akan tenaga kerja ini, didukung oleh jumlah populasi penduduk Indonesia yang mencapai 200 juta lebih. Pengalaman dan pengetahuan penduduk Indonesia yang telah ratusan tahun mengenal teh, serta jumlah penduduk yang mencapai 200 juta lebih merupakan modal tenaga kerja bagi kegiatan perkebunan teh Indonesia. Namun untuk mendukung suatu keunggulan kompetitif, suatu faktor harus sangat 23 24
Rencana Strategis Kementrian Pertanian Tahun 2010-2014 Sebagai contoh perkebunan kelapa sawit yang hanya mampu menyerap tenaga sebesar 0,5 orang per hektar (Dikutip dari Santoso dan Suprihatini (2007))
65
terspesialisasi pada kebutuhan tertentu dari suatu industri, salah satunya adalah ketersediaan sumberdaya manusianya yang dibutuhkan (Cho & Moon 2003). Selain didukung dengan jumlah tenaga kerja dan dasar pengetahuan tentang teh, kegiatan agribisnis teh Indonesia juga didukung oleh keberadaan para tenaga ahli dari hulu hingga hilir yang tersebar di berbagai lembaga penelitian milik pemerintah maupun swasta. Selain itu, peran penting lainnya berada di tangan produsen teh, baik petani rakyat, perusahan negara dan perusahaan swasta. Dalam hal ini, petani rakyat merupakan sumberdaya manusia potensial namun belum terlatih secara profesional dalam mengelola usahatani tehnya. Potensi PR sangat besar, mengingat kepemilikan area tanam teh rakyat merupakan 46,25 persen dari total luas perkebunan teh di Indonesia. Namun produktivitas PR merupakan yang terendah diantara kedua tipe perkebunan lainnya. Karena itu, perlu banyak dukungan dari semua pihak untuk menggali potensi petani rakyat yang masih belum optimal. Pihak-pihak yang secara langsung berinteraksi dengan petani diantaranya adalah penyuluh lapang, perusahaan mitra, pemerintah serta pihak lainnya. Namun, akhir-akhir ini penggunaan sistem padat karya dalam usaha perkebunan teh di Indonesia mendapat beberapa pandangan dan kajian dari para peneliti. Tarigan (2003) menyatakan bahwa penggunaan tenaga kerja dalam jumlah besar pada usaha perkebunan teh sudah kurang relevan lagi untuk diterapkan. Perubahan kondisi lingkungan membuat perusahaan harus menata kembali indeks kebutuhan tenaga kerjanya sesuai dengan tantangan ke depan. Perusahaan dapat melakukan kajian mengenai kemungkinan pengurangan tenaga kerja sebagai solusi bagi penggunaan tenaga kerja berlebih 25 . Sumberdaya manusia pada subsistem hilir agribisnis teh Indonesia juga didukung oleh sumberdaya manusia ahli yang terlibat dalam proses pengolahan hingga pemasaran. Dalam proses pabrikasi, subsistem hilir teh disokong oleh tenaga ahli mesin, quality control, professional tea taster, dan tenaga ahli lainnya. Di subsistem pemasaran, agribisnis teh Indonesia didukung oleh sumberdaya manusia yang professional dalam marketing, pencarian info pasar (market 25
Tarigan (2003) menyebutkan bahwa kebijakan pengurangan tenaga kerja dapat dilakukan dengan cara yang tepat dan dengan memberikan insentif yang layak yang dikenal dengan istilah Golden Shake Hand (GSH)
66
intelligent), trader (agen) dan pembeli internasional yang berpengalaman dan menuntut produsen untuk terus meningkatkan kualitasnya, serta beberapa tenaga ahli lainnya. 3) Sumberdaya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Sumberdaya ilmu pengetahuan dan teknologi sangat menentukan kemajuan suatu industri. Dalam mendukung kemajuan sumberdaya IPTEK, komoditas teh di Indonesia didukung oleh keberadaan lembaga riset dan pengembangan Pusat Penelitian Teh dan Kina (PPTK). PPTK yang secara terusmenerus melakukan riset untuk menemukan teknologi yang tepat dan sesuai bagi kondisi teh di Indonesia saat ini dan perkembangannya di masa yang akan datang. Santoso dan Suprihatini (2007b) menyebutkan beberapa teknologi yang telah dihasilkan oleh PPTK untuk meningkatkan peranan komoditas teh Indonesia. Berikut ini adalah beberapa jenis teknologi tersebut : a) Teknologi percepatan peremajaan kebun-kebun tua Kondisi perkebunan teh di Indonesia sebagian besar merupakan perkebunan teh tua dengan tanaman asal seedling yang sudah tidak ekonomis lagi untuk dipertahankan (65 persen). Perkebunan tersebut umumnya memiliki tingkat produktivitas rendah dengan kualitas mutu yang tidak stabil. Untuk itu, perlu segera dilakukan peremajaan terhadap kebun-kebun tua tersebut. PPTK mengeluarkan klon-klon unggul dimana beberapa diantaranya mampu mencapai tingkat produksi hingga 5.000 kg/ha/tahun. Penjelasan mengenai klon-klon unggulan yang telah dihasilkan oleh PPTK telah dapat dilihat kembali pada bab sebelumnya. b) Teknologi untuk menekan biaya produksi teh Upaya untuk menekan biaya produksi dapat dilakukan dengan mengganti atau mencari alternatif bagi komponen-komponen biaya tertentu, khususnya yang menyebabkan biaya produksi membengkak. Pertama, upaya penekanan biaya produksi dapat dilakukan dengan mengganti sumber energi dari BBM menjadi sumber energi lain yang lebih ekonomis. PPTK telah memiliki data base dan kelayakan finansial dari jenis-jenis kayu Nitrogen Fixing Tree dan Fast Growing Speciest sebagai sumber kayu bakar untuk memenuhi kebutuhan sumber energi termal pada proses pengolahan teh. Kedua, untuk
67
menekan biaya obat-obatan dan hama penyakit dapat digunakan pembasmi hama alami yang telah diteliti kelayakannya. Selain itu, PPTK juga menciptakan teknologi mekanisasi untuk menekan biaya pemetikan dan pemangkasan, serta teknologi pembenam pupuk yang mampu meningkatkan efektivitas pupuk hingga 40 persen. c) Teknologi untuk percepatan implementasi sustainable tea. Teknologi peningkatan keanekaragaman hayati, peningkatan kesuburan tanah khususnya peningkatan kadar organik tanah serta teknologi peningkatan nilai produk untuk meningkatkan nilai tambah yang merupakan teknologi tepat guna untuk mempercepat implementasi sustainable tea saat ini seluruhnya telah tersedia di PPTK. d) Teknologi untuk percepatan implementasi sistem mutu teh Peryaratan mutu keamanan pangan khususnya HACCP (Hazard Analysis Critical Control Points) telah berlaku sejak 1 Januari 2006 di pasar Eropa dan
sekaligus telah menurunkan pangsa pasar Indonesia di Eropa dari 33,4 persen dan 29,4 persen. Namun, implementasi sistem mutu teh seperti HACCP di Indonesia umumnya membutuhkan kemampuan finansial yang tinggi dari produsennya. Karena itu, PPTK bekerjasama dengan Ditjen P2HP (Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian) Kementrian Pertanian RI dan lembaga sertifikasi menyediakan program bantuan untuk pelatihan, konsultasi, teknologi untuk mengurangi biaya, sertifikasi dan jasa analisis laboratorium untuk mempercepat implementasi HACCP. e) Teknologi untuk peningkatan nilai tambah teh PPTK juga telah menyediakan berbagai produk turunan teh yang secara ekonomis memiliki nilai lebih tinggi dan memiliki harga yang lebih stabil. Saat ini, teknologi proses pembuatan produk hilir teh seperti white tea, oolong tea, instant tea, teh tablet effervescent, teh hijau, teh hijau berkatekin tinggi, ekstrak membrane (skala laboratorium), produk kosmetik berbasis teh dan produk fitofarmaka berbasis teh telah tersedia di PPTK. Selain bersumber dari lembaga penelitian seperti PPTK, ketersediaan sumber-sumber pengetahuan dan teknologi juga ditunjang oleh lembaga lain seperti perguruan tinggi, lembaga riset swasta, lembaga teh internasional
68
(International Tea Committee), literatur bisnis dan ilmiah, basis data, laporan penelitian, asosiasi-asosiasi seperti Asosiasi Teh Indonesia serta sumber pengetahuan dan teknologi lainnya. 4) Sumber Modal Dibandingkan dengan subsektor lain dalam sektor pertanian, subsektor perkebunan cukup mampu menarik investor ataupun pihak bank untuk menanamkan modal maupun membiayai subsektor ini dikarenakan prospek pasar yang menjanjikan. Bagi perkebunan besar negara maupun swasta, modal yang diperoleh melalui lembaga keuangan seperti perbankan akan lebih mudah diakses apabila dibandingkan dengan perkebunan rakyat, karena umumnya petani tidak memiliki jaminan seperti yang diminta oleh pihak bank. Terkait dengan permasalahan modal di tingkat petani teh, secara khusus pemerintah belum menyediakan subsidi berupa bantuan modal untuk petani teh rakyat. Program subsidi bunga/kredit bagi tanaman perkebunan hanya tersedia bagi komoditas kelapa sawit, karet dan kakao melalui kredit KPEN-RP. Karena itu, diperlukan pengadaan skim kredit khusus dengan subsidi bunga untuk peremajaan kebun-kebun teh tua, dan pengembangan agroindustri serta perdagangan teh khususnya pengadaan skim sangatlah strategis untuk meningkatkan gairah para stakeholder teh dalam berusaha (Santoso dan Suprihatini 2007b). Saat ini, terdapat program kredit umum yang menyediakan skim kredit dengan fasilitas penjaminan. KUR atau Kredit Usaha Rakyat, merupakan fasilitas pemerintah yang diberikan kepada debitur Usaha Mikro Kecil, Menengah dan Koperasi (UMKM-K) termasuk sektor pertanian. Program KUR ini dapat ditujukan untuk semua komoditas termasuk teh, dengan besar bunga yang dibayar petani/debitur maksimal sebesar 14-22 persen, dan jangka waktu kredit maksimal 3 sampai 5 tahun (Kementrian Pertanian RI 2010). Selain dengan melakukan pengajuan kredit, keterbatasan modal yang telah menjadi ciri-ciri umum dari petani teh rakyat di Indonesia dapat diatasi salah satunya dengan melakukan kerjasama dalam bentuk kemitraan dengan pihak perkebunan negara maupun swasta. Pola kemitraan akan membentuk suatu simbiosis mutualisme antara petani dengan perkebunan besar, salah satunya mengurangi risiko petani akibat 69
keterbatasan modal. Bentuk-bentuk kemitraan yang tejadi di Indonesia beberapa telah dijelaskan pada sub bab subsistem usahatani teh pada bab sebelumnya. 5) Sumberdaya Infrastruktur Secara umum, kondisi infrastruktur berupa jalan, jembatan, airport, pasar, tanah perkebunan, pabrik-pabrik pengolahan, dan sebagainya berbeda-beda di setiap lokasi, hal tersebut juga dipengaruhi oleh dukungan dari pemerintah daerah setempat
dalam
peningkatan
infrastruktur
wilayahnya.
Terkait
dengan
pengembangan usaha agribisnis komoditas teh, Santoso dan Suprihatini (2007a) menyatakan bahwa untuk mendukung kegiatan agribisnis teh di Indonesia, pemerintah perlu melakukan beberapa instrumen kebijakan. Salah satunya adalah dengan melakukan peningkatan infrastruktur seperti jalan, jembatan, pelabuhan, airport, ketersediaan listrik, air, jaringan komunikasi dan jaringan kereta api. Lebih lanjut Santoso dan Suprhatini (2007b) mengatakan bahwa peningkatan infrastruktur yang menunjang kegiatan agribisnis teh ini perlu didukung dengan upaya penguatan lembaga penelitian teh khususnya pada aspek pendanaan dan fasilitas penelitian. Hal tersebut menjadi penting mengingat teknologi sangat berperan dalam meningkatkan dayasaing komoditas teh Indonesia. Sementara kondisi perkebunan teh di Indonesia sendiri saat ini terdiri dari perkebunan tua dengan kadar organik dalam tanah yang rendah, sehingga perlu segera dilakukan peremajaan. Sedangkan di subsistem pengolahan, tidak sedikit pabrik pengolah yang masih menggunakan mesin-mesin tua yang sudah perlu di upgrade karena penggunaannya sudah tidak efisien lagi 26 . 6.1.2 Kondisi Permintaan Domestik 1) Komposisi Permintaan Domestik Komoditas teh di Indonesia sebagian besar (70 persen) ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pasar luar negeri, lalu sisanya ditujukan untuk pasar domestik. Jenis teh yang di pasarkan di dalam negeri terdiri dari teh hitam curah, teh hijau curah, teh hitam kemasan, teh hijau kemasan, instant tea, tea bag, teh wangi, dan beberapa jenis produk teh lainnya. Berdasarkan mutunya, teh yang 26
Hasil wawancara dengan Direktur Eksekutif Dewan Teh Indonesia, Bapak Sultoni Arifin [23 Maret 2011]
70
ditujukan untuk pasar domestik umumnya masih merupakan teh dengan mutu yang rendah atau second grade (PF II, DUST II, BT II, BP II, DUST III dan FANN II) dan off grade (BM dan PLUFF), sedangkan teh dengan mutu terbaik lebih ditujukan bagi pasar ekspor (BOP I SP, BOP I, BOP, BOP F, PF, DUST, BT dan BP). Dalam penelitiannya di Pulau Jawa, Surjadi (2003) mencatat komposisi teh domestik berdasarkan tingkatan mutunya seperti yang diperlihatkan pada Tabel 16. Tabel 16 memberi gambaran jenis produk teh yang beredar di Tasikmalaya, Jawa Barat (perwakilan pasar di daerah produsen teh) dan daerah Surabaya, Jawa Timur (perwakilan pasar di daerah produsen). Produk teh yang beredar di lokasi perwakilan terdiri dari 14 merk, dimana sebelas merk merupakan produk kemasan curah, dan tiga lainnya merupakan produk kemasan teh celup (Surjadi 2003). Tabel 16. Komposisi Teh yang Beredar Berdasarkan Mutu Teh dan Pangsa Pasarnya di Jawa Barat dan Jawa Timur. No 1 2 3 4 5
Kategori Mutu Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat Rendah
Pangsa Pasar (%) 0 7 65 18 10
Jumlah Merk (Buah) 0 2 7 4 1
Sumber : Surjadi (2003)
Tabel 16 menunjukkan bahwa sebagian besar konsumen keluarga mengkonsumsi produk-produk teh yang tergolong kategori mutu sedang (65 persen), disusul oleh konsumsi produk teh dengan mutu rendah (18 persen) dan produk teh dengan mutu sangat rendah sebesar 10 persen. Tabel 16 juga menunjukkan bahwa pada konsumen contoh, terdapat kecenderungan peningkatan pangsa pasar dimulai dari teh dengan mutu sangat rendah hingga mutu sedang. Setelah itu, dari mutu sedang menuju mutu sangat tinggi justru terjadi penurunan pangsa pasar (Surjadi 2003).
71
2) Jumlah Permintaan dan Pola Pertumbuhan Teh telah masuk ke Indonesia sejak zaman penjajahan Belanda. Meskipun budaya minum teh di Indonesia tidak seperti budaya minum teh di Cina, Jepang ataupun Inggris, namun teh telah menjadi salah satu minuman pilihan bagi masyarakat Indonesia. Adam (2006) mengungkapkan bahwa kedudukan teh sebagai bahan minuman telah menjadi salah satu pilihan utama keluarga baik di rumah, di luar rumah, maupun sebagai hidangan bagi tamu yang berkunjung. Di beberapa provinsi di Indonesia, menyajikan teh untuk tamu maupun sebagai teman hidangan makanan ringan merupakan hal yang biasa. Salah satunya tampak pada pola masyarakat Jawa Barat yang terbiasa menyajikan teh secara cuma-cuma di rumah makan sunda ataupun warung-warung tenda kaki lima. Namun, sejarah kedekatan bangsa Indonesia dengan teh selama 325 tahun, ternyata tidak serta-merta menjadikan tingkat konsumsi teh per kapita per tahun dalam negeri tinggi. Konsumsi teh masyarakat Indonesia tergolong masih rendah apabila dibandingkan dengan konsumsi per kapita negara-negara produsen teh lainnya. Bahkan sejak tahun 2001 hingga 2008 terjadi kecenderungan penurunan konsumsi teh per kapita di Indonesia seperti yang ditunjukkan oleh Tabel 17. Tabel 17. Perkembangan Konsumsi Teh Per Kapita Indonesia (dalam Interval Tiga Tahun) Tahun 2001-2003 2002-2004 2003-2005 2004-2006 2005-2007 2006-2008
Konsumsi Teh Total (000 Ton) 67.000 63.670 65.650 56.980 59.650 54.330
Konsumsi Teh per Kapita (Gram/Kapita/3 Tahun) 320 300 300 260 270 240
Sumber :ITC (2009)
Apabila dibandingkan dengan negara-negara produsen lainnya, konsumsi teh Indonesia sangatlah rendah. Konsumsi teh rata-rata masyarakat Indonesia selama tiga tahun hanya sekitar 240 gram/kapita. Cina, sebagai negara penghasil teh terbesar di dunia pada tahun 2008 (total produksi 1.200.000 ton, total share 31,5 persen) tingkat konsumsi teh penduduknya mencapai 610 gram/kapita. Kemudian India, negara terbesar kedua penghasil teh di dunia (total produksi
72
981.000 ton, total share 25,8 persen) tingkat konsumsi teh penduduknya mencapai 690 gram/kapita. Sedangkan Sri Langka, Kenya dan Vietnam, negaranegara kompetitor terdekat Indonesia, tingkat konsumsi teh masing-masing negara tersebut adalah 1.390 gram/kapita, 460 gram/kapita dan 451,5 gram/kapita. Indonesia bahkan sangat jauh berada di bawah tingkat konsumsi rata-rata penduduk Inggris (2.110 gram/kapita), Irlandia (2.170 gram/kapita) dan Kuwait (2.210 gram/kapita), negara-negara konsumen teh terbesar dunia. Tabel 18. Biaya Iklan yang Dikeluarkan oleh Beberapa Produsen Teh Periode Januari - Oktober 2006 ( dalam 000 Rp ) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Merek Teh celup Sosro Teh celup Sariwangi Teh celup Walini Teh celup Sedap Wangi Teh Sisri spesial – Instant tea Teh Sariwangi- instant tea Teh 919 (non Theasinensis) Murbei Tea Cap Botol- Teh seduh Herbalax – Tea ( non Thea sinensis ) Teh Sariwangi Hijau- Teh celup Teh Aenkabe Glucoscare-Tea Teh Rosella- Teh celup 2 Tang teh hijau- Teh celup Cap Bandulan- Tea Teh Chapo Tokin Tea Ou –Tea Kajoe Aro- Tea Kalimosodo Jamur Dipo – Tea Hijau daun –Tea Sepeda Balap –Tea Agaric –Tea Teh Yacon TOTAL
Televisi 28.162.550 24.122.400 394.320
Koran 0 1.639.710 179.200
Majalah 5.435.465 429.340 0
Total Biaya 33.598.015 26.191.450 573.520
4.255.800 2.619.000 0 0 329.000 0
0 0 953.880 552.838 0 21.500
0 0 0 9.000 0 244.400
4.255.800 2.619.000 953.880 561.838 329.000 265.900
0
0
208.625
208.625
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
149.400 77.830 600 20.370 19.440 11.250 10.880 6.550 5.280 4.600
0 0 50.000 0 0 0 0 0 0 0
149.400 77.830 50.600 20.370 19.440 11.250 10.880 6.550 5.280 4.600
0 0 0 0 66.130.470
1900 1.700 0 200 3.757.568
0 0 1.250 0 6.458.080
1.900 1.700 1.250 200 96.346.118
Sumber : Nielsen Adquest Millenium (2006) dalam Doerjat (2007)
Rendahnya tingkat konsumsi teh di Indonesia diduga disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, kurangnya upaya promosi dan penyampaian informasi
73
yang dilakukan oleh pihak produsen teh dan pemerintah kepada masyarakat. Upaya produsen teh dalam melakukan promosi dapat dilihat dari biaya iklan yang dikeluarkan perusahaan tersebut. Umumnya, produsen teh swasta lebih berani mengeluarkan biaya tinggi dalam mempromosikan produk mereka (Tabel 18). Hal tersebut mengakibatkan pengetahuan konsumen terhadap produk yang mereka tawarkan lebih besar dibandingkan dengan produk-produk yang ditawarkan perusahaan pengolah teh milik negara (PTPN). Padahal, saat ini persepsi konsumen terhadap teh telah meningkat menjadi pemahaman bahwa teh baik bagi kesehatan dan kecantikan, bukan lagi hanya sekedar pelepas dahaga (Adam 2006). Penyebab lain yang mempengaruhi rendahnya konsumsi teh dalam negeri adalah gencarnya promosi yang dilakukan oleh produsen dari minuman lain yang sejenis (kopi, susu, dll) 27 . Hal tersebut berimbas pada rendahnya pengeluaran rumah tangga yang dialokasikan untuk teh. Dalam penelitiannya terhadap konsumen rumah tangga di Jawa Barat, Adam (2006) menjelaskan bahwa jumlah konsumsi teh oleh konsumen rumah tangga sehari rata-rata 3 – 4 kali dan menghabiskan teh dalam sebulan rata-rata 50-200 gram dengan jumlah anggota keluarga rata-rata lima sampai enam orang, serta rata-rata pengeluaran per bulan untuk teh sebesar Rp 5.000 – Rp 10.000. Sementara pengeluran rumah tangga untuk minuman non teh besarnya di atas Rp 40.000. Hal tersebut menunjukkan bahwa konsumen rumah tangga dianggap lebih mengenal dan lebih suka mengalokasikan
pengeluarannya
untuk
mengkonsumsi
minuman
lain
dibandingkan untuk mengkonsumsi teh. Menghadapi persaingan dalam industri global yang semakin terbuka, ditambah lagi kondisi pertehan dunia yang saat ini mengalami over supply, pemerintah Indonesia bersama seluruh pengusaha dan stakeholder yang terlibat perlu mempertimbangkan untuk mulai memperhatikan potensi konsumsi domestik yang belum tergali. Selanjutnya diperlukan upaya-upaya nyata dan tepat sasaran untuk meningkatkan jumlah konsumsi tersebut. Dukungan dari pemerintah akan mendorong produsen teh dalam negeri untuk semakin berinovasi, sehingga kelak akan tercipta atmosfer persaingan domestik yang dinamis dan berdayasaing. 27
Hasil wawancara dengan Bapak Boyke S. Soeratin (anggota Asosiasi Teh Indonesia, PT Bursa Berjangka Jakarta) [8 Maret 2011].
74
3) Internasionalisasi Seperti yang telah diketahui, sebagian besar teh yang diproduksi Indonesia diekspor untuk memenuhi kebutuhan pasar internasional. Kontribusi Indoensia sebagai eksportir teh telah dimulai sejak zaman penjajahan Belanda. Pada tahun 1835, Indonesia mengekspor teh untuk pertama kali. Indonesia mengirimkan sebanyak 200 peti teh untuk diikutsertakan pada pelelangan teh di Amsterdam. Hingga saat ini, Indonesia merupakan salah satu negara yang turut berkontribusi dalam perdagangan teh internasional. Sejarah Indonesia yang cukup panjang dalam perdagangan teh dunia menunjukkan bahwa bangsa kita memiliki komitmen yang cukup serius sebagai salah satu produsen yang menjaga kualitas produknya, dalam hal ini adalah teh. Hal tersebut juga menunjukkan adanya kepercayaan dan apresiasi yang diberikan oleh konsumen teh internasional terhadap produk teh Indonesia hingga saat ini. Konsumen luar negeri baik secara langsung maupun tidak langsung telah melakukan promosi dan pengenalan produk teh Indonesia kepada masyarakat internasional. Teh Indonesia umumnya dicari dan digunakan sebagai bahan baku dari teh campuran (blending tea) yang mereka produksi. Hal tersebut menunjukkan bahwa ada nilai-nilai khas dan budaya Indonesia yang telah menyatu ke dalam produk mereka dan disukai. Adanya kecocokan nilai dari teh Indonesia tersebut juga tercermin dalam loyalitas atau disepakatinya kesepakatan dagang yang terus-menerus antara produsen teh di Indonesia dengan konsumen luar negeri. Cina, sebuah negara besar yang menguasai hampir 80 persen pasar teh hijau dunia mengembangkan image teh hijaunya sebagai minuman kesehatan dan kecantikan. Rasa khas yang dimunculkan teh hijau adalah rasa yang ringan namun lebih pahit karena didominasi oleh rasa daun teh segar yang diolah tanpa melalui proses fermentasi. Image ini kemudian ditularkan dan tersebar ke negara-negara lain yang pada akhirnya memproduksi teh hijau, termasuk Indonesia. Namun, kondisi yang dialami Indonesia berbeda dengan China. Produk teh Indonesia yang didominasi teh hitam, oleh sebagian negara telah dikenal sebagai teh hitam yang memiliki rasa kuat dengan tingkat kepekatan warna yang tinggi. Teh hitam ini
75
adalah teh hitam leaf dengan grade BOP yang umumnya disukai oleh negaranegara di bagian Timur Tengah.
Gambar 11. Volume Impor Teh Negara Timur Tengah dari Indonesia Tahun 2006-2010 Sumber : BPS (2011)
Selain itu, penyampaian nilai-nilai lokal kepada masyarakat internasional juga terjadi melalui pemasangan iklan atau berbagai bentuk informasi yang disampaikan melalui media internasional. Pesan-pesan yang disampaikan berisi keterangan mengenai produk-produk teh yang dihasilkan baik jenis, kualitas, pilihan grade, serta image yang ingin diperoleh produsen. Selain itu, partisipasi Indonesia dalam berbagai organisasi teh internasional seperti Ethical Tea Partnership (ETP) 28 juga menunjukkan eksistensi negara kita sebagai produsen teh yang peduli terhadap kualitas serta keberlangsungan masyarakat teh dunia. 6.1.3 Industri Terkait dan Pendukung Dayasaing agribisnis teh Indonesia akan terwujud apabila industri yang berada di sekitarnya merupakan industri yang memiliki kompetensi tinggi 28
Ethical Tea Partnership (ETP) adalah sebuah organisasi teh internasional yang bersifat nonprofit dan didirikan untuk mengawasi serta meningkatkan kinerja dalam rantai tataniaga teh internasional Anggotanya terdiri dari negara-negara pemilik merk teh terbaik di dunia, salah satunya Indonesia. Tujuan didirikannya ETP adalah untuk meningkatkan taraf hidup pekerja teh serta untuk meningkatkan dan mempertahankan kepercayaan dari pembeli, konsumen, dan seluruh stakeholder teh terkait. ETP merupakan suatu bentuk komitmen dari anggotanya kepada dunia internasional dalam mewujudkan suatu industri teh di dunia yang berkelanjutan dan bertanggungjawab.
76
sehingga dapat mengangkat dayasaing industri inti. Selain itu, dayasaing akan terjadi apabila tercipta interaksi dan kerjasama yang saling mendukung antara industri inti dengan industri terkait dan pendukungnya. Industri terkait merupakan industri terdekat yang secara langsung berhubungan dengan industri inti. Industri-industri yang secara langsung berkaitan dengan usaha perkebunan teh dan usaha pabrik teh curah adalah industri-industri hulu yang berperan sebagai pemasok input dan bahan baku, industri teh lanjutan serta industri jasa dan tata niaga. Sementara industri pendukung terdiri dari lembaga-lembaga yang secara tidak langsung menyokong kelangsungan kegiatan usaha industri inti. Dalam kasus ini industri pendukung perkebunan dan pabrik pengolah teh curah terdiri dari lembaga-lembaga keuangan, lembaga penelitian, lembaga sosial, asosiasi-asosiasi, lembaga pemerintahan dan lembaga lainnya. 1) Industri Terkait a) Industri Pemasok Pemasok bibit di Indonesia diusahakan oleh pihak PTPN maupun swasta. Selain itu, tidak sedikit pula produsen yang kemudian mengembangkan usahanya pada usaha pembibitan teh. Sedangkan lembaga yang melakukan riset terhadap klon unggulan adalah Pusat Penelitian Teh dan Kina. PPTK merupakan bagian dari PT Riset Perkebunan Nusantara (PT RPN) yang merupakan transformasi dari Lembaga Riset Perkebunan Indonesia. Seperti yang telah dijelaskan pada bagian sumberdaya alam, PPTK merupakan satu-satunya lembaga resmi milik pemerintah yang melakukan penelitian dan mengembangkan klon-klon teh unggul untuk meningkatkan perfoma kebun teh di Indonesia. PPTK bekerjasama dengan lembaga sertifikasi tanaman perkebunan negara dalam melakukan riset dan upgrade terhadap klon-klon yang memiliki tingkat produktivitas tinggi dan tahan terhadap hama dan penyakit, seperti klon seri GMB 1-11. Selain pemasok bibit, peranan industri agrokimia sebagai pemasok pupuk dan obat-obatan juga sangat penting, mengingat pupuk dan obat-obatan merupakan komponen utama dalam perawatan kebun teh. Beberapa perusahaan dalam bentuk BUMN seperti PT Sang Hyang Seri dan PT Pertani dan perusahaan kerjasama gabungan antara beberapa PTPN seperti PT Bio Industri Nusantara (PT Bionusa) merupakan perusahaan-perusahaan yang berkontribusi dalam memasok 77
input pupuk dan obat-obatan. Meskipun industri agrokimia di Indonesia didukung oleh perusahaan-perusahaan berskala nasional, namun terkadang masih sering terjadi kelangkaan pupuk di tingkat produsen. Industri lain yang terkait dengan usaha perkebunan dan pengolahan teh curah di Indonesia adalah industri pemasok mesin dan alat-alat pertanian. Selain itu, ada pula industri jasa transportasi. Semua industri penyedia input dan bahan baku di atas sangat mempengaruhi keberlangsungan usaha perkebunan teh dan pengolahan teh curah di Indonesia. Untuk penjelasan mengenai industri-industri pemasok ini, dapat dilihat kembali pada uraian mengenai subsistem hulu teh Indonesia pada bab sebelumnya. b) Industri Teh Olahan Industri teh olahan terdiri dari pabrik-pabrik atau perusahaan pengolah yang mengolah teh curah menjadi produk teh turunan lainnya. Industri yang bergerak di sektor ini memanfaatkan teh curah sebagai bahan baku utama dalam pembuatan produknya. Industri yang termasuk ke dalam sektor ini diantaranya adalah industri makanan dan minuman berbasis teh, industri kosmetika dan obatobatan, industri jasa yang menggunakan teh sebagai salah satu bagian dari pelayanannya serta industri lainnya yang berbentuk home industry. Saat ini, teh tidak hanya dikonsumsi sebagai minuman saja, namun pengembangan produknya sudah mulai dilakukan ke dalam bentuk lainnya. Contoh industri teh lanjutan yang saat ini cukup diminati masyarakat dan mendukung industri teh inti adalah industri minuman teh kemasan. Umumnya masyarakat mengenal produk-produk ready to drink tea dan teh celup (tea bag). Kedua jenis produk teh ini mulai dikenal dan diminati oleh masyarakat Indonesia. Hal tersebut tampak pada peningkatan konsumsi masyarakat terhadap produk teh kemasan (salah satunya air teh kemasan 200ml) dari waktu ke waktu.
78
Liter/Kapita/Tahun
2.5
2.086
2.346
2 1.46 1.5 1 0.365
1.251
1.095
0.886
0.886
2002
2003
0.574
0.5 0 1996
1999
2004
2005
2006
2007
2008
Air Teh Kemasan (200 ml)
Gambar 12. Konsumsi Air Teh Kemasan (200 ml) (Liter/Kapita/Tahun) Sumber : Pusdatin (2009)
Perkembangan industri tersebut tentunya merupakan suatu peluang bagi industri teh inti sebagai penyedia bahan baku utama. Dengan berkembangnya industri ini, secara tidak langsung akan turut mengangkat citra teh Indonesia sekaligus mendekatkan teh dengan masyarakat. Selain olahan teh curah, industri yang mengolah bagian-bagian teh lainnya seperti serat, batang dan biji tanaman teh juga merupakan peluang bagi tanaman teh karena industri tersebut mampu mengubah dan memberikan nilai tambah pada bahan-bahan tersebut. Umumnya, serat, batang dan biji teh digunakan sebagai bahan baku industri maupun bahan pendukung pembuatan kosmetik dan obat-obatan. c) Industri Jasa Tataniaga Sektor jasa tataniaga atau jasa pemasaran merupakan bagian penting yang tak terpisahkan dari kegiatan agribisnis teh Indonesia. Industri jasa tataniaga merupakan industri yang memberikan pelayanan distribusi, bahkan penambahan nilai terhadap produk teh curah. Di Indonesia, pihak-pihak yang ikut ambil bagian di sektor ini adalah para pemasar mulai dari tingkat petani, hingga agen bagi eksportir luar negeri. Di tingkat petani, petani teh Indonesia umumnya mengenal pedagang pengumpul, yaitu pihak yang mengambil keuntungan dengan mendistribusikan atau memasarkan teh dari perkebunan rakyat ke pabrik pengolah teh
hijau
kecil.
Kemudian,
dikenal
pula
pedagang
pengumpul
yang
mengumpulkan teh hijau hasil olahan beberapa pabrik teh hijau skala kecil untuk dipasarkan ke pabrik teh wangi. Selanjutnya teh yang berasal dari pabrik teh wangi tersebut disalurkan ke agen-agen atau pedagang grosir hingga akhirnya
79
sampai kepada konsumen akhir. Sedangkan perkebunan besar negara dan swasta umumnya langsung memasarkan teh mereka ke pabrik pengolah besar untuk kemudian dipasarkan baik melalui lelang maupun direct selling. Untuk perkebunan besar swasta, umumnya teh yang dihasilkan adalah green tea. Teh hijau yang dihasilkan kemudian dipasarkan melalui Bandung Tea Auction (sekarang sudah tidak begitu aktif) atau dijual secara langsung untuk diekspor maupun untuk konsumsi dalam negeri. Sementara perkebunan besar negara sebagian besar teh yang dihasilkannya dipasarkan untuk kebutuhan ekspor, sehingga mayoritas tehnya pun dipasarkan melalui proses lelang di Jakarta Tea Auction, dan sisanya dipasarkan secara langsung melalui agen-agen atau pedagang di dalam negeri. 2) Industri Pendukung Kemajuan industri inti tidak terlepas dari lembaga-lembaga pendukung yang senantiasa mendukung dan memajukan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh industri inti. Lembaga-lembaga tersebut diantaranya adalah lembaga keuangan, lembaga penelitian, lembaga sosial, asosiasi-asosiasi, lembaga pemerintahan dan lembaga lainnya. Lembaga keuangan dalam hal ini adalah perbankan merupakan lembaga yang mendukung industri inti dalam hal pembiayaan atau penyediaan kredit modal kerja. Meskipun akses perbankan masih sulit diraih oleh petani bahkan pengusaha-pengusaha di sektor pertanian, namun tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan perusahaan-perusahaan besar teh di Indonesia (seperti PT KBP Chakra, Unilever Indonesia, PT Perkebunan Nusantara dan sebagainya) saat ini tidak lepas dari adanya dukungan pembiayaan dari bank. Sementara lembaga penelitian khususnya Pusat Penelitian Teh dan Kina telah memberikan dukungan berupa teknologi informasi yang berguna untuk kemajuan agribisnis teh Indonesia di segala aspek. Begitu pula lembaga-lembaga penelitian lainnya baik perguruan tinggi maupu swasta telah cukup berkontribusi dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di sektor agribisnis teh di Indonesia. Lembaga lainnya seperti kelompok tani (lembaga sosial), asosiasi dan pemerintahan juga merupakan lembaga-lembaga pendukung yang tentu akan mempengaruhi perkembangan industri inti teh di Indonesia. 80
6.1.4 Persaingan, Struktur dan Strategi 1) Persaingan Di dalam negeri, terdapat persaingan antara minuman teh dengan minuman subtitusi sejenis seperti kopi, susu, dan beberapa minuman lainnya. Teh merupakan minuman pilihan, dimana konsumsi masyarakat domestik terhadap teh masih sangat rendah. Sementara sebagian konsumen keluarga lebih memilih mengalokasikan anggaran yang lebih besar untuk mengkonsumsi minuman nonteh dibandingkan untuk mengkonsumsi teh (Adam 2006). Jika dibandingkan dengan konsumsi minuman lainnya, teh dalam kemasan menguasai pangsa sekitar 30 persen, sedangkan air mineral, minuman berkarbonasi dan minuman lainnya (seperti jus) menguasai pangsa pasar sekitar 40 persen, 20 persen and 10 persen (Kustanti dan Widyanti 2007). Persaingan juga terjadi diantara produk teh domestik dengan produk teh impor. Meskipun jumlah volume impor teh masih lebih sedikit dibandingkan produksi nasional, namun ada kecenderungan peningkatan volume impor teh setiap tahunnya. Teh yang diimpor merupakan teh yang digunakan sebagian produsen teh Nasional sebagai bahan campuran teh mereka. Selain itu, beberapa produk teh impor juga merupakan produk teh yang telah diberi nilai tambah serta dikemas dengan baik. Perkembangan volume impor teh tersebut perlu mulai diwaspadai oleh seluruh stakeholder teh nasional jangan sampai peningkatan volume impor merugikan produsen teh domestik. Tabel 19. Beberapa Jenis Merk Teh yang Beredar di Indonesia Berdasarkan Perusahaan Pengolah No 1
Produsen Teh Produk PTPN
2 Kerjasama PTPN dan Swasta 3 Produk Swasta **)
Merk Walini, Goalpara, Gunung Mas, Malabar, Sedap Esparata, Java Tea, Tea Bags, Tea Relasi, Lipton Quality, London Clasic, London Royal, London Gold, Halaban, Natures Choice (teh hijau), Mega Indah, Selecta Premium Java Tea dan Makassar Tea Korma, Sedap, Indo, Sari Wangi (original, jasmine, jahe dan kayu manis), Ice tea (lemon, apel dan mangga), 2 Tang, Tjatoet, Kepala Jenggot, Tjibuni Java, Nutri Tea, Sosro, Cap Botol, Max Tea, Teh Upet, Cap Bendera, Teh 2 Burung, dan Teh 919
*) Survei pasar tahun 2004 Sumber : PTPN VIII Jawa Barat tahun 2003 dalam Doerjat (2007)
81
Di dalam industri minuman teh itu sendiri terjadi persaingan antara minuman teh yang dikeluarkan oleh perusahaan pengolah swasta dengan perusahaan pengolah milik negara. PTPN sebagai perusahaan teh negara saat ini mulai melakukan diversifikasi ke arah produk olahan. Selain mengolah dengan penggunaan merk sendiri, PTPN juga melakukan kerjasama dengan pihak swasta dengan memproduksi teh untuk mereka. Produk-produk teh hasil PTPN dan perusahaan swasta ditunjukan oleh Tabel 19. Selain menghadapi persaingan di dalam pasar domestik, produk teh Indonesia juga dihadapkan pada persaingan dengan produk teh di pasar internasional. Produk teh hitam Orthodox dan CTC yang dihasilkan Indonesia bersaing dengan produk teh hitam lain yang diproduksi oleh Kenya, India, Sri Langka serta produsen lainnya. Apabila Indonesia tidak dapat memperkuat posisinya di pasar internasional, maka pangsa pasar teh Indonesia akan terancam semakin berkurang. 2) Struktur Pasar Produk teh Indonesia dipasarkan ke pasar domestik dan pasar mancanegra. Sehingga proses pemasarannya terbagi menjadi jalur tataniaga dalam negeri dan jalur tataniaga ekspor. Menurut Febriyanthi (2008) pada kegiatan pemasaran teh Indonesia secara umum struktur pasar yang dihadapi adalah pasar oligopoli 29 , karena cukup banyak perusahaan yang bersaing dalam perdagangan teh curah di Indonesia. Khusus untuk jalur tataniaga teh yang melalui proses lelang, struktur pasar yang dihadapi adalah oligopoly buyers market 30 (Tarigan 2003). Struktur pasar oligopoly buyers market ditunjukkan oleh dominasi beberapa buyer seperti L.E. Schuuman (Thee) BV, PT Sariwangi A.E.A, PT Van Rees dan PT Lipton Limited (Unilever Indonesia) pada Jakarta Tea Auction yang menyebabkan PTPN sebagai produsen tidak memiliki daya tawar tinggi terhadap harga jual. Perusahaan-perusahaan yang tergabung ke dalam Jakarta Tea Auction kemudian membentuk sebuah asosiasi pembeli teh dengan nama Jakarta Tea Buyers Association (JTBA). 29
Pasar oligopoli merupakan struktur pasar yang dihadapkan kepada pembeli dan penjual yang banyak atau lebih dari satu. 30 Pasar oligopoly buyers market adalah struktur pasar yang dihadapkan pada pembeli dan penjual yang banyak atau lebih dari satu, dimana daya tawar pembeli lebih tinggi dibandingkan dengan daya tawar penjualnya.
82
Tabel. 20. Perusahaan-Perusahaan yang Tergabung ke dalam Jakarta Tea Auction No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22.
Nama Perusahaan PT. Pucuk Mas Tiga Daun CV.Padakersa PT. Van Rees Indonesia PT. KBP Chakra PT. Pacific Agritama Comoditi PT. Lipton Limited L.E. Schuurman (Thee) BV. PT. Sariwangi A.E.A PT. Jakarta Tea Traders CV. Sinar Maluku Suruchi Enterprise Indoham PT. Rajawali Indonesian Nature Tea Co. PT. Putindo Inti Selaras PT. Multi Kemindo Majutama CV. Suryakencana PT. Pentaglobal Intracom PT. Tea Expertindo PT. Trijasa Prima Sejati S. St. Clair Teas Indonesia Yoosuf Akbani
Spesifikasi Kebutuhan Black Tea Black Tea Black Tea Green Tea, Black Tea Green Tea, Black Tea Black Tea Black Tea Black Tea Black Tea Black Tea Black Tea Black Tea Black Tea Black Tea Black Tea Green Tea, Black Tea Black Tea Black Tea Green Tea, Black Tea Black Tea Black Tea Black Tea
Sumber : PT. Kantor Pemasaran Bersama Nusantara dalam BPS (2011)
6.1.5 Peran Pemerintah Pemerintah merupakan aspek yang sangat penting dalam menentukan kualitas dayasaing suatu bangsa. Pemerintah memiliki kewenangan membuat regulasi, mengatur, memfasilitasi, melindungi bahkan membatasi aktivitas dari warga negaranya, termasuk seluruh warga dan stakeholder yang terlibat dalam kegiatan agirbisnis teh di Indonesia. Peranan pemerintah tercermin melalui kebijakan, regulasi, maupun dukungan terhadap upaya-upaya pengembangan agribisnis teh. Hingga saat ini, terdapat beberapa kebijakan, regulasi maupun sikap pemerintah yang mempengaruhi kelangsungan kegiatan agribisnis teh di Indonesia. Berikut ini adalah beberapa bentuk kebijakan maupun sikap yang dinilai paling berpengaruh terhadap agribisnis teh nasional : 1. Penetapan komoditas teh sebagai komoditas unggulan nasional (Kementrian Pertanian RI 2010)
83
Penetapan tanaman teh sebagai salah satu komoditas unggulan nasional merupakan suatu bentuk dukungan pemerintah terhadap komoditas teh yang dirasakan sangat strategis dan memberikan multiplier effects bagi pengembangan agribisnis teh nasional. Dengan diberikannya bentuk dukungan seperti ini, maka diharapkan dapat mempercepat pengembangan agribisnis teh nasional kedepannya. Penetapan teh sebagai komoditas unggulan nasional ini diarahkan kepada upaya-upaya peningkatan produksi yang nantinya dapat meningkatkan penerimaan devisa/ekspor, memenuhi kebutuhan bahan baku industri dalam negeri, serta sebagai produk substitusi impor (Kementrian Pertanian RI 2010). 2. Penetapan harga dasar bagi pembelian pucuk yang diperoleh dari petani rakyat (Peraturan Kementrian Kehutanan No. 629/1998) Kebijakan ini bertujuan untuk menjaga harga teh di tingkat petani dari ketidakadilan yang mungkin dilakukan oleh pihak pabrik pengolah. Peraturan ini menyatakan bahwa harga pucuk dari petani ditetapkan setelah adanya kesepakatan antara petani atau organisasi petani dengan perusahaan pengolah.
Namun dalam pelaksanaannya, peraturan ini hampir tidak
berjalan dengan baik, karena umumnya penetapan harga masih belum melalui proses kesepakatan kedua belah pihak (Kustanti & Widiyanti 2007). 3. Penetapan tarif impor untuk produk teh produk curah maupun olahan sebesar 5 persen. Saat ini, penetapan tarif impor teh di Indonesia dinilai terlalu kecil, yaitu sebesar 5 persen untuk semua jenis teh baik teh curah maupun teh kemasan. Perkembangan volume dan nilai impor Indonesia dapat dilihat kembali pada Tabel 2. Apabila kondisi ini terus dibiarkan, maka akan mengancam agribisnis teh nasional. Rendahnya penetapan tarif impor ini juga akan mempengaruhi kelangsungan industri teh lanjutan dalam negeri, mengingat pemerintah juga menetapkan PPN sebesar 10 persen bagi produk teh kemasan. Hal ini menyebabkan biaya yang dikeluarkan produsen teh kemasan dalam negeri lebih besar dibandingkan dengan biaya impor produk teh kemasan yang hanya dikenai pajak sebesar 5 persen.
84
Tabel 21. Tarif Impor Produk Teh di Beberapa Negara Eksportir Teh ke Indonesia No
Negara
1 2
Sri Langka India
3
China
4 5
Kenya Malawi
6
Jepang
7 8
Taiwan Turki
Tarif Impor Produk Teh Kemasan 090210, 090230 25 persen 114 persen; 30 persen (instant tea) 15 persen (MFN); 15 persen (MFN); 100 persen di luar MFN 100 persen di luar MFN 25 persen 25 persen 50 persen (teh hitam); 50 persen (teh hitam); 10 persen (teh hijau) 10 persen (teh hijau) 3 persen (teh hitam); 12 persen (teh hitam 17 persen (teh hijau) kemasan); 10 persen (instant tea) 17,6 persen 25 persen (teh oolong) 145 persen 145 persen Teh Curah 090220, 090240 25 persen 114 persen
Sumber : International Trade Center (2006) dalam Santoso dan Suprihatini (2007a)
4. Penghapusan PPN untuk produk teh curah pada tahun 2007. Pengenaan PPN bagi seluruh produk teh sebesar 10 persen sangat mempengaruhi kondisi perkebunan teh di Indonesia. Banyak perkebunan bahkan perkebunan besar negara yang menderita rugi akibat produk teh curahnya dikenai PPN sebesar 10 persen 31 . Karena itu, penghapusan PPN bagi produk teh curah sangat mempengaruhi kelangsungan perkebunan teh di Indonesia. 5. Kebijakan lainnya Penetapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk teh kemasan sebesar 10 persen, pengaturan pajak dalam kegiatan investasi dalam agribisnis teh Indonesia, pengenaan tarif impor bagi alat, mesin, bahan baku kemasan yang digunakan dalam proses pengolahan teh serta beberapa bentuk kebijakan lainnya (Suprihatini & Rosyadi 2003).
31
Hasil wawancara dengan Direktur Eksekutif Dewan Teh Indonesia, Sultoni Arifin [23 Maret 2011]
85
Sejauh ini, belum ada kebijakan yang secara khusus ditujukan kepada komoditas teh. Hal ini perlu dipertimbangkan kembali mengingat peranan teh dalam pembangunan nasional sebagai tanaman yang strategis. Sehingga dalam pengembangannya diperlukan dukungan khusus dan kontinu dari pemerintah kepada komoditas ini. 6.1.6 Peran Kesempatan Faktor kesempatan merupakan suatu faktor yang berada di luar jangkauan stakeholder teh nasional. Namun keberadaan faktor ini dapat menjadi suatu momen yang bisa mengangkat posisi dayasaing teh Indonesia. Salah satu bentuk kesempatan yang dapat dimanfaatkan adalah adanya kekeringan yang melanda India, Sri Langka dan Kenya, negara-negara produsen teh terbesar dunia. Kekeringan dan faktor cuaca buruk yang melanda ketiga negara tersebut beberapa tahun terakhir ini akan mempengaruhi produksi dan kualitas teh yang mereka hasilkan 32 . Hal tersebut dapat dimanfaatkan sebagai suatu kesempatan bagi komoditas teh Indonesia, mengingat Kenya dan Sri Langka merupakan pesaing Indonesia dalam hal kesamaan produk. Indonesia dan Kenya sama-sama memproduksi teh hitam CTC, dan Sri Langka merupakan pesaing Indonesia yang sama-sama menghasilkan teh hitam Orthodox 33 . Kondisi tersebut semakin didukung oleh mutu dan standar teh Indonesia yang juga kian membaik. Perbaikan standar mutu di sini tidak hanya mengacu pada standar lingkungan, melainkan juga pengelolaan kebun dan sosial tenaga kerja. kebun-kebun serta pabrik pengolahan teh di Indonesia semakin banyak yang dilengkapi dengan sertifikasi internasional yang merupakan tren baru untuk dapat bertahan dan bersaing di pasar global. Pada kondisi jangka panjang, kesempatan yang dapat dipertimbangkan adalah meningkatnya kepedulian masyarakat dunia terhadap kesehatan. Hal tersebut sedikit demi sedikit akan mengubah pola hidup masyarakat, termasuk dalam memilih makanan dan minuman untuk dikonsumsi. Teh merupakan minuman fungsional dengan berbagai khasiat yang baik bagi tubuh manusia 32
33
Insyaf Malik, Ketua Asosiasi Teh Indonesia dalam Kontan, 1 Maret 2010 yang dikutip dari Sustainable Tea Newsletter, edisi Maret 2010, Halaman 1. Hasil wawancara dengan Ir. Mudjiwati Sadjad, MSc-IS, PT Kantor Pemasaran Bersama Nusantara [20 Maret 2011]
86
karena kandungan katekin yang berada di dalamnya. Maraknya isu kesehatan tersebut merupakan sebuah kesempatan yang sangat baik bagi teh sebagai minuman fungsional. Hal tersebut tentunya harus didukung oleh seluruh stakeholder teh di Indonesia termasuk pemerintah agar dapat melihat dan memanfaatkan kesempatan ini. Kepedulian masyarakat dunia terhadap produk yang multifungsi dan mengarah kepada kesehatan, secara tidak langsung berarti akan mendorong peningkatan konsumsi teh di dalam maupun di luar negeri. Hal ini juga akan meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang manfaat teh, karena adanya dorongan untuk mengkonsumsi minuman fungsional yang tidak hanya sekedar mampu menghilangkan dahaga. Hal tersebut juga akan meningkatkan citra teh Indonesia di mata konsumen dunia, karena kandungan katekin yang ada di dalam varietas Assamica (varietas yang ditanam di Indonesia) lebih besar dibandingkan dengan kandungan katekin pada teh varietas Sinensis (contohnya teh yang berasal dari Jepang dan China). Kesempatan ini selain akan membuka peluang di pasar luar negeri, juga berpotensi untuk meningkatkan jumlah konsumsi dalam negeri. Untuk lebih lengkapnya, kandungan katekin yang ada pada teh Indonesia dapat dilihat kembali pada Tabel 4. Menurut Subarna et al (2000) dalam Surjadi (2003) jumlah konsumsi konsumen yang mengetahui manfaat teh untuk kesehatan lebih tinggi dibandingkan dengan konsumen yang belum mengetahuinya. Dalam hal ini, peubah yang telah diketahui mempunyai hubungan positif dengan jumlah konsumsi teh dalam keluarga ialah informasi manfaat teh untuk kesehatan. Selain itu, dalam penelitiannya Surjadi (2003) juga mengemukakan bahwa frekuensi seduhan teh diduga lebih banyak pada kelompok keluarga yang sudah mengenal teh dibanding dengan keluarga yang belum mengenal informasi mengenai teh. Karena itu, merebaknya isu kesehatan ini juga akan menjadi kesempatan yang baik untuk meningkatkan konsumsi teh di dalam negeri asalkan didukung dengan upaya-upaya penyebaran informasi mengenai manfaat teh lebih gencar lagi. Dengan meningkatnya penyebaran informasi mengenai manfaat teh, maka
87
diharapkan akan lebih mendorong tingkat konsumsi teh dalam negeri, bahkan menggeser posisi minuman subtitusi lain. Selain berpengaruh terhadap konsumsi, isu tersebut juga akan semakin memicu produsen untuk meningkatkan mutu produk mereka. Pembeli akan semakin menuntut kualitas produk mulai dari pengelolaan kebun, manajemen, serta tanggung jawab tehadap lingkungan dan kelangsungan perkebunan teh yang berkelanjutan (sustainable tea). Hal tersebut akan mendorong produsen tanah air untuk melengkapi produk tehnya dengan atribut sertifikasi yang menujukan kepedulian mereka kepada pekerja, lingkungan juga keberlangsungan kegiatan teh yang berkelanjutan. Beberapa jenis sertifikasi internasional yang telah umum dikantongi produsen teh dalam negeri diantaranya GMP (Good Manufacturing Practices), GAP (Good Agricultural Practices), HACCP, UTZ Certificate, Rainforest Alliance, Sertifikat Lestari, dan beberapa sertifikasi lainnya. 6.2 Keterkaitan Antar Komponen Utama Berdasarkan analisis dayasaing pada setiap komponen, maka dapat diketahui bagaimana keterkaitan antar komponen dalam sistem agribisnis teh Indonesia. Berikut ini adalah analisis keterkaitan antar komponen utama dalam agribisnis teh Indonesia : 6.2.1 Keterkaitan antara Komponen Kondisi Fakor Sumberdaya dengan Kondisi Permintaan Domestik Kondisi faktor sumberdaya dan kondisi permintaan domestik telah memiliki keterkaitan yang saling mendukung. Permintaan konsumen domestik terhadap produk teh masih dapat dipenuhi oleh produsen-produsen dalam negeri 34 .
Dengan
kondisi
faktor
sumberdaya
yang
dimiliki
Indonesia,
memungkinkan pihak produsen untuk menghasilkan produk teh, bahkan untuk mengekspornya (data ekspor impor teh Indonesia ada pada Tabel 2). Meskipun Indonesia juga melakukan impor teh dari negara lain, namun agribisnis teh Indonesia telah unggul secara komparatif (Tatakomara 2004). Volume impor teh Indonesia hanya sebesar 9.000 ton atau sekitar 6,5 persen dari total produksi teh
34
Produksi teh dalam negeri pada tahun 2008 mencapai 137.499 ton. Sementara konsumsi teh dalam negeri hanya sebesar 42.000 ton atau sebesar 30,5 persen (ITC 2009)
88
nasional (ITC 2009). Selain itu, kebutuhan teh impor hanya digunakan sebagai bahan baku untuk pembuatan blending tea oleh para produsen teh lokal 35 . Selain itu, rendahnya konsumsi domestik justru medorong sumberdaya manusia dalam industri teh (peneliti dan pengusaha) untuk menciptakan teknologi dan berinovasi untuk meningkatkan minat konsumen dan jumlah konsumsi dalam negeri. Teknologi tersebut diantaranya adalah teknologi peningkatan nilai tambah yang diharapkan mampu meningkatkan pilihan produk teh di mata konsumen. Teknologi peningkatan nilai tambah ini juga merupakan strategi yang digunakan untuk meningkatkan komposisi produk kemasan yang diekspor, sehingga mampu meningkatkan nilai ekspor produk teh (Santoso & Suprihatini 2007b). 6.2.2 Keterkaitan antara Komponen Kondisi Permintaan Domestik dengan Industri Terkait dan Industri Pendukung Komponen kondisi permintaan domestik dengan komponen industri terkait dan pendukung memiliki keterkaitan yang belum saling mendukung. Seperti yang telah dikemukakan pada sub bab sebelumnya, diketahui bahwa permintaan teh Indonesia masih tergolong rendah. Pada tahun 2008, konsumsi teh Indonesia hanya sebesar 42.000 ton, sangat jauh apabila dibandingkan dengan konsumsi teh negara produsen lainnya. Cina, produsen teh terbesar di dunia tingkat konsumsi teh domestiknya mencapai 872.000 ton. Negara produsen teh lainnya seperti India, Jepang dan Bangladesh konsumsi teh domestiknya mencapai 798.000 ton, 134.000 ton dan 47.000 ton. Selain rendahnya volume konsumsi teh dalam negeri, perdagangan teh di Indonesia juga belum didukung oleh kesediaan industri dalam menyediakan teh dengan kualitas terbaik. Teh yang beredar di dalam negeri didominasi oleh teh dengan mutu kedua dan ketiga (mutu pertama ditujukan untuk pasar ekspor). Dalam penelitiannya, Surjadi (2003) menemukan bahwa produk teh bermutu tinggi yang beredar di pasaran hanya terdiri dari dua merk, dari total yang beredar sebelas merk. Kedua produk tersebut tidak diiklankan dengan media elektronik (televisi) dan informasi yang disampaikan kepada konsumen terbatas hanya pada media publikasi kalender, dengan tanpa menekankan informasi mutu tinggi pada rasa air seduhannya. Sebaliknya, produk teh mutu rendah diiklankan melalui 35
Suprihatini dan Rosyadi (2003) ditambah dengan hasil wawancara dengan Bapak Boyke S. Soeratin (anggota Asosiasi Teh Indonesia, PT Bursa Berjangka Jakarta) [8 Maret 2011]
89
media elektronik. Dengan demikian rendahnya konsumsi teh dalam negeri, khususnya teh bermutu tinggi (Tabel 16), disebabkan oleh tidak tersedianya informasi, atau produk tidak tersedia di pasaran, dan atau disebabkan oleh kedua faktor tersebut (Surjadi 2003) 36 . Hal tersebut menunjukkan bahwa industri dalam negeri, khususnya produsen, packers dan lembaga pemasar teh di dalam negeri belum menyediakan informasi maupun memastikan ketersediaan produk bermutu tinggi di pasaran. Perusahaan-perusahaan teh di dalam negeri belum secara optimal melakukan upaya promosi dan sosialisasi mengenai produk teh yang berkualitas yang ditunjukkan pada rendahnya biaya iklan yang dikeluarkan mayoritas perusahaan untuk mempromosikan produk teh mereka (Tabel 18). Kurangnya pengetahuan konsumen ini juga menyebabkan rendahnya penghargaan konsumen terhadap produk-produk teh yang dihasilkan produsen di dalam negeri. Karena itu, meskipun produk teh yang beredar di dalam negeri didominasi oleh teh berkualitas rendah, namun belum ada tuntutan dari konsumen yang menekan industri teh dalam negeri untuk meningkatkan kualitas produknya. Kondisi ini berbeda dengan perdagangan teh Indonesia di pasar internasional, dimana konsumen internasional sangat menuntut produk dengan kualitas dan standarisasi tertentu. Hal tersebut ditunjukan oleh ketatnya persyaratan yang diajukan konsumen luar negeri untuk setiap produk teh yang masuk. Salah satu bentuk persyaratan yang harus dipenuhi oleh sebuah negara produsen umumnya dipenuhi dengan sertifikasi internasional. 6.2.3 Keterkaitan antara Komponen Industri Terkait dan Pendukung dengan Persaingan, Struktur dan Strategi Komponen industri terkait dan pendukung dengan komponen persaingan, struktur dan strategi secara umum belum menghasilkan suatu keterkaitan yang saling mendukung. Keterkaitan yang belum mendukung ini tampak pada kondisi persaingan yang dihadapi di pasar domestik. Dalam persaingannya di pasar domestik, produk teh Indonesia dihadapkan oleh persaingan dengan industri 36
Penelitian Surjadi (2003) ini dilakukan dengan menggunakan produk teh dari berbagai merk yang dikonsumsi konsumen contoh, dimana konsumen contoh yang terlibat merupakan konsumen keluarga yang diwakili oleh ibu rumah tangga yang dianggap sebagai pengambil keputusan. Lokasi penelitian yang dipilih adalah Tasikmalaya sebagai perwakilan pasar di daerah produsen, dan Surabaya sebagai perwakilan pasar di daerah non-produsen.
90
minuman subtitusi lainnya. Dibandingkan dengan mengkonsumsi teh, konsumen rumah tangga lebih memilih mengalokasikan anggaran yang lebih besar untuk memenuhi kebutuhannya terhadap minuman non-teh seperti air mineral, kopi dan susu (Adam 2006). Hal tersebut juga dapat disebabkan oleh kurangnya promosi yang dilakukan produsen teh apabila dibandingkan dengan kegiatan promosi minuman subtitusi lainnya 37 . Selain itu, pengusaha-pengusaha teh Indonesia masih belum berada pada suatu kondisi persaingan yang kompetitif. PTPN sebagai market leader umumnya masih mengandalkan Pasar Lelang Jakarta (Jakarta Tea Auction) di samping pemasaran langsung kepada pembeli. Dengan struktur pasar oligopoly buyers market yang dihadapi PTPN di Pasar Lelang Jakarta, maka posisi PTPN cenderung lemah dan berdaya tawar rendah (Tarigan 2003). Struktut pasar oligopoly buyers market cukup membatasi pergerakan harga akibat rendahnya tingkat persaingan di pasar lelang yang didominasi oleh beberapa perusahaan besar tertentu 38 . Sementara harga yang terbentuk dijadikan acuan bagi harga teh nasional. Selain itu, tindakan-tindakan atau strategi perusahaan dinilai kurang responsif terhadap perubahan iklim persaingan. Penurunan kondisi teh nasional sejak sepuluh tahun lebih ini belum mampu diantisipasi dengan baik oleh para stakeholder. 6.2.4 Keterkaitan antara Komponen Persaingan, Struktur dan Strategi dengan Kondisi Faktor Sumberdaya Kondisi persaingan, struktur dan strategi belum memiliki keterkaitan yang saling mendukung dengan kondisi faktor sumberdaya. Hal ini dikarenakan belum meratanya penyebaran sumberdaya (alam, manusia, IPTEK, modal dan infrastruktur) di tingkat produsen, khususnya petani rakyat. Produktivitas yang 37
38
Hasil wawancara dengan Bapak Boyke S. Soeratin (anggota Asosiasi Teh Indonesia, PT Bursa Berjangka Jakarta) [8 Maret 2011] Pada proses lelang Jakarta Tea Auction yang diselenggarakan oleh PT. Kantor Pemasaran Bersama Nusantara (PT. KPBN), peserta lelang hanya terdiri dari perusahaan-perusahaan yang menjadi anggota, dan produsen teh hanya berasal dari PBN saja. Hal ini tentunya membatasi pembentukan harga akibat adanya kontrol dari beberapa perusahaan besar yang menjadi anggota. Pada tahun 2010, perubahan badan hukum KPBN menjadi sebuah perseroan terbatas, diharapkan merupakan menjadi sinyal yang baik bagi pertumbuhan harga teh nasional. Dengan berbadan hukum perseroan terbatas, diharapkan produsen teh yang turut serta dalam lelang bisa berasal dari pihak swasta, maupun koperasi yang mewakili rakyat. Begitu pula dengan jumlah buyer diharapkan akan lebih membuka kesempatan bagi banyak pembeli sehingga akan terbentuk suatu pasar yang kompetitif serta perbaikan harga
91
rendah dibandingkan dengan tipe pengusahaan kebun PBN dan PBS, menunjukkan adanya kelemahan di tingkat petani dalam hal faktor sumberdaya. Produktivitas perkebunan rakyat di Indonesia hanya mencapai 791,9 kh/ha. Sangat jauh apabila dibandingkan dengan produktivitas perkebunan besar negara maupun swasta yang mencapai 1956,5 kg/ha dan 1301,8 kg/ha. Kondisi ini yang menyebabkan persaingan dalam negeri yang belum kompetitif, dikarenakan adanya ketidakseimbangan alokasi sumberdaya antar tipe pengusahaan. 6.2.5 Keterkaitan antara Komponen Kondisi Faktor Sumberdaya dengan Industri Terkait dan Pendukung Komponen faktor sumberdaya dengan komponen industri terkait dan pendukung memiliki hubungan keterkaitan yang saling mendukung. Sejauh ini faktor-faktor sumberdaya yang dibutuhkan oleh industri teh telah mampu dipenuhi oleh keberadaan faktor sumberdaya dalam negeri. Kondisi tanah, cuaca dan iklim di Indonesia sangat menunjang usahatani teh dan kelangsungan usaha pembibitan teh (industri terkait). Selain itu, perkembangan menuntut
adanya
dukungan
kemajuan
teknologi
juga
industri yang didukung
oleh
berkembangnya sumberdaya IPTEK sebagai lembaga research yang menyokong kebutuhan industri akan teknologi. Kemajuan IPTEK yang mendukung pengembangan agribisnis teh Indonesia ini didukung oleh Pusat Penelitian Teh dan Kina yang telah berpengalaman dan telah berada di Indonesia. Selain keberadaan PPTK, kondisi IPTEK juga didukung oleh lembaga-lembaga pendukung lain seperti Asosiasi Teh Indonesia dan Dewan Teh Indonesia yang secara terus-menerus melakukan riset dan upaya-upaya yang memajukan agribisnis teh Indonesia. 6.2.6 Keterkaitan antara Komponen Persaingan, Struktur dan Strategi dengan Komponen Kondisi Permintaan Domestik Kedua komponen ini dinilai belum saling mendukung. Hal ini dikarenakan strategi yang dilakukan perusahaan nyatanya belum mampu meningkatkan volume konsumsi domestik. Selain itu, pengetahuan masyarakat yang rendah atas spesifikasi kualitas teh yang baik menyebabkan konsumen tidak melakukan tuntutan perbaikan mutu terhadap perusahaan. Akibatnya tingkat persaingan di pasar domestik sangatlah rendah apabila dibandingkan dengan pasar dunia.
92
Komposisi teh yang beredar di pasar domestik didominasi oleh teh kualitas sedang hingga rendah (Surjadi 2003). Hal tersebut menyebabkan teh belum dapat bersaing dengan produk-produk subtitusi lain, akibatnya konsumen rumah tangga cenderung lebih memilih untuk mengkonsumsi minuman non-teh. Selain itu, kondisi yang tidak saling mendukung juga ditunjukkan oleh rendahnya konsumsi dalam negeri, padahal banyak perusahaan yang bergerak di sektor ini. Hal ini menunjukkan perusahaan belum melakukan strategi yang tepat dalam mempromosikan dan menyebarkan produk mereka kepada masyarakat.
93
Tabel 22. Keterkaitan Antar Komponen Utama No
Komponen I
Komponen II
Keterkaitan
1
Faktor Sumberdaya
Kondisi Permintaan Domestik
Saling Mendukung
2
Kondisi Permintaan Domestik
Industri Terkait dan Industri Pendukung
Belum Saling Mendukung
3
Industri Terkait dan Industri Pendukung
Persaingan, Struktur dan Strategi
Belum Saling Mendukung
4
Persaingan, Struktur dan Strategi
Kondisi Faktor Sumberdaya
Belum Saling Mendukung
5
Kondisi Faktor Sumberdaya
Industri Terkait dan Industri Pendukung
Saling Mendukung
6
Persaingan, Struktur dan Strategi
Kondisi Permintaan Domestik
Belum Saling Mnedukung
Uraian • Kondisi faktor sumberdaya teh Indonesia masih memungkinkan produsen untuk dapat memenuhi kebutuhan konsumen domestik, bahkan kelebihan produksi dalam negeri tersebut memungkinkan Indonesia sebagai salah satu eksportir teh terbesar di dunia. • Konsumsi teh domestik yang rendah, ditambah dengan pasifnya konsumen domestik belum mampu mendorong dan memotivasi industri-industri terkait teh untuk mendistribusikan produk dengan kualitas baik. Kualitas teh yang beredar di pasar domestik masih didominasi oleh teh bermutu rendah. Penghargaan masyarakat terhadap teh kualitas baik masih rendah. • Produsen dalam negeri masih belum melakukan upaya promosi dan penyebaran informasi mengenai manfaat teh secara optimal, sehingga pengetahuan konsumen terhadap manfaat teh masih rendah, yang berimbas pada rendahnya konsumsi domestik. • Struktur pasar yang terbentuk masih didominasi oleh pihak PBN. Kontribusi produsen swasta dan rakyat masih harus ditingkatkan agar persaingan antar industri dalam negeri semakin kompetitif. • Strategi atau tindakan para produsen teh di Indonesia masih belum cukup gesit dalam merespon perubahan lingkungan persaingan. Indonesia masih merupakan follower pasar dan strategi yang dilakukan masih belum mampu meningkatkan daya tawar Indonesia di pasar dunia. • Kondisi persaingan dalam negeri yang belum cukup kompetitif disebabkan oleh belum meratanya penyebaran sumberdaya manusia professional, dan sumberdaya IPTEK terutama pada perkebunan rakyat. • Sejauh ini, kondisi faktor sumberdaya telah mampu menyokong industri terkait dan pendukung teh nasional. Salah satunya dalam pemenuhan bahan baku untuk pengolahan teh. Namun dibutuhkan komitmen dari seluruh stakeholder agar industri teh dalam negeri dapat terus bersaing. • Perkembangan industri menuntut faktor-faktor sumberdaya khususnya lembaga peneitian dan sumberdaya manusia agar dapat terus meningkatkan kualitas mereka. • Rendahnya volume konsumsi domestik dan minimnya tuntutan konsumen akan produk yang berkualitas, menyebabkan tingkat persaingan industri dalam menciptakan produk-produk berkualitas masih rendah. • Strategi yang diterapkan perusahaan belum mampu meningkatkan konsumsi teh domestik.
94
6.3 Keterkaitan Komponen Pendukung Berikut ini adalah analisis mengenai keterkaitan komponen pendukung dayasaing dengan komponen utama dayasaing agribisnis teh Indonesia : 6.3.1 Peranan Pemerintah terhadap Komponen Utama Peranan pemerintah terhadap perkembangan agribisnis teh Indonesia tercermin dalam kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan serta sikap yang ditunjukan. Beberapa dari kebijakan tersebut dinilai telah mendukung komponenkomponen utama. Namun, beberapa yang lainnya dinilai belum tepat dan belum mendukung komponen dayasaing agribisnis teh Indonesia. Dalam kebijakan terkait dengan komoditas teh di Indonesia, penetapan teh sebagai salah satu komoditas unggulan nasional dinilai telah mendukung upaya peningkatan kualitas sumberdaya teh di Indonesia, baik dengan upaya peningkatan perluasan area tanam, peningkatan produksi, peningkatan volume ekspor, serta beberapa aspek lainnya. Di samping itu, beberapa kebijakan pemerintah yang belum mendukung dayasaing agribisnis teh Indonesia adalah penetapan PPN sebesar 10 persen untuk produk teh kemasan, sementara produk teh kemasan yang masuk ke Indonesia hanya dikenakan tarif impor sebesar 5 persen. Hal ini dirasakan merugikan produsen, karena dapat mengurangi laba yang cukup besar juga membuat produk lokal kalah saing dengan produk impor. Hal ini juga terkait dengan kebijakan penetapan tarif impor produk teh curah yang sama dengan produk teh kemasan sebesar 5 persen yang dirasakan kurang mendukung karena penetapan tarif impor yang rendah telah mengakibatkan peningkatan volume impor dari tahun ke tahun. Meskipun volume teh impor masih jauh lebih kecil dibandingkan dengan produksi teh nasional untuk konsumsi teh dalam negeri, namun hal tersebut patut diwaspadai agar kelak tidak merugikan produsen teh domestik, khususnya petani yang sebagian besar produksinya dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik. Karena itu, kebijakan pemerintah saat ini dinilai belum mendukung komponen industri terkait dan industri pendukung, serta komponen strategi, struktur dan persaingan karena belum berpihak kepada produsen lokal. Selain itu, hingga saat ini belum ada kebijakan atau program khusus yang dilakukan
95
pemerintah untuk mengatasi permasalahan konsumsi teh domestik, karena itu, peranan pemerintah juga dinilai belum mendukung komponen ini. 6.3.2 Peranan Kesempatan terhadap Komponen Utama Adanya kesempatan meningkatnya harga teh karena penurunan produksi dari pesaing utama dinilai akan meningkatkan kinerja sumberdaya manusia khususnya petani dan pengusaha demi memanfaatkan kondisi harga. Selain itu, akan timbul persaingan antara produsen di dalam negeri guna memperoleh kesempatan menjual produk di saat harga teh membaik. Hal tersebut menunjukan bahwa kesempatan ini memberikan dukungan kepada kondisi faktor sumberdaya dan struktur, persaingan dan strategi. Selain itu, maraknya tuntutan konsumen global akan produk yang berbasis kesehatan juga akan mempengaruhi pola pikir konsumen dalam negeri. Sehingga kepedulian akan kesehatan tersebut akan tertular kepada konsumen domestik dan berimbas kepada peningkatan konsumsi dalam negeri. Dengan semakin maraknya isu kesehatan tersebut, maka konsumen akan mulai menuntut industri domestik untuk menyediakan produk-produk yang multifungsi dan baik bagi kesehatan. Karena itu, faktor kesempatan ini juga mendukung perkembangan industri terkait dan industri pendukung agribisnis nasional.
96
Tabel 23. Keterkaitan Antara Komponen Pendukung dengan Komponen Utama No
Komponen Pendukung
Komponen Utama • Kondisi Faktor Sumberdaya • Kondisi Permintaan Domestik
1
Peranan Pemerintah
• Industri Terkait dan Pendukung
Peranan Kesempatan
Uraian
• Mendukung
• Penetapan teh sebagai komoditas unggulan nasional akan mendukung peningkatan produksi, luas area, peningkatan nilai tambah dan volume ekspor teh nasional. • Hingga saat ini belum ada kebijakan pemerintah yang dikeluarkan khusus untuk mengatasi rendahnya konsumsi teh domestik, berbeda halnya dengan komoditas karet ataupun sawit. • Kebijakan PPN untuk produk teh kemasan dinilai kurang tepat, karena sangat mempengaruhi biaya produksi perusahaan dan laba yang diperoleh perusahaan, selain itu belum ada insentif dari pemerintah untuk usaha pengembangan teh kemasan. • Penyamarataan tarif impor bagi teh curah dan teh kemasan sebesar 5% bagi produk teh yang masuk ke Indonesia. • Penurunan produksi negara pesaing akibat kekeringan akan memicu peningkatan harga teh, hal ini akan meningkatkan kinerja petani dan stakeholder pada industri domestik agar dapat memperoleh kesempatan peningkatan harga. • Maraknnya isu mengenai peningkatan kesadaran konsumen global akan kesehatan secara tidak langsung juga akan memperngaruhi pengetahuan konsumen domestik. Hal ini akan berdampak pada peningkatan konsumsi nasional, juga diharapkan meningkatkan permintaan pasar ekspor. • Maraknya tuntutan masyarakat global akan kesehatan akan menjadikan masyarakat domestik semakin menuntut industri terkait dan pendukung teh Indonesia untuk dapat menyediakan produk-produk berbasis kesehatan sesuai dengan tren yang beredar saat ini. • Kekeringan yang melanda Sri Langka, India dan Kenya akan menimbulkan persaingan antar stakeholder sebagai bentuk upaya tidak ingin ketinggalan kesempatan tingginya harga.
• Belum Mendukung • Belum Mendukung
• Kondisi Faktor Sumberdaya
• Belum Mendukung • Mendukung
• Kondisi Permintaan Domestik
• Mendukung
• Industri Terkait dan Pendukung
• Mendukung
• Persaingan, Struktur dan Strategi
• Mendukung
• Persaingan, Struktur dan Strategi
2
Keterkaitan
97
Peranan Pemerintah
Persaingan, Struktur, Strategi Perusahaan
Kondisi Permintaan Domestik
Kondisi Faktor Sumberdaya
Industri Terkait dan Industri Pendukung Keterangan : Garis Garis
Gambar 13.
Peranan Kesempatan
menunjukkan keterkaitan antar komponen yang saling mendukung menunjukkan keterkaitan antar komponen yang tidak saling mendukung
Keterkaitaan Antar Komponen Dayasaing dalam Sistem Agribisnis Teh Indonesia
98
Berdasarkan analisis keterkaitan antar komponen, maka dapat disimpulkan bahwa keterkaitan antar komponen-komponen utama belum berdayasaing, karena hanya dua dari enam pasang komponen yang saling mendukung. Sementara pada komponen peranan pemerintah, kebijakan dan sikap yang diberikan pemerintah terhadap agribisnis teh Indonesia dinilai baru mampu mendukung komponen faktor sumberdaya saja. Berbeda dengan komponen pemerintah, komponen kesempatan ternyata telah memberikan dukungan terhadap seluruh komponen dalam agribisnis teh Indonesia. Hal tersebut menunjukan adanya peranan kesempatan tersebut akan mampu meningkatkan posisi dayasaing agribisnis teh Indonesia apabila seluruh stakeholder mengupayakan diri untuk dapat mengambil manfaat sebesar-besarnya dari kesempatan-kesempatan tersebut.
99
VII STRATEGI PENGEMBANGAN DAN ARSITEKTUR STRATEGIK AGRIBISNIS TEH INDONESIA 7.1 Analisis Strategi Pengembangan Agribisnis Teh Indonesia Setelah melakukan analisis dayasaing agribisnis teh Indonesia, maka langkah selanjutnya adalah merumuskan strategi untuk meningkatkan dayasaing tersebut. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengidentifikasi informasi menjadi dua kelompok, yaitu informasi yang termasuk ke dalam lingkup internal, dan informasi yang termasuk ke dalam lingkup eksternal. Selanjutnya, dilakukan identifikasi kekuatan dan kelemahan yang berasal dari lingkup internal kemudian identifikasi peluang dan ancaman yang berasal dari lingkup eksternal. Sumber informasi yang digunakan berasal pembahasan mengenai sistem agribisnis teh nasional pada Bab V serta analisis dayasaing agribisnis teh Indonesia pada Bab VI. Kemudian, dilakukan proses pencocokan dengan menggunakan Matriks SWOT sehingga diperoleh strategi pengembangan yang sesuai dengan kondisi agribisnis teh Indonesia saat ini. 7.1.1 Identifikasi Faktor Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman Tahap pertama yang dilakukan dalam perumusan strategi adalah melakukan identifikasi strengths, weaknesses, opportunities dan threaths (SWOT). Faktor strengths dan weaknesses diperoleh dari informasi yang berasal dari lingkup internal. Dimana lingkup internal merupakan kegiatan dan pihak-pihak yang terlibat dalam aktivitas usahatani dan pengolahan teh curah. Sementara faktor opportunities dan threats diperoleh dari kegiatan dan pihak-pihak yang berada di luar kegiatan budidaya dan pengolahan teh curah, termasuk lingkungan global (lingkup eksternal). Untuk lebih jelasnya mengenai ruang lingkup internal dan eksternal, dapat dilihat kembali Gambar 5. Identifikasi mengenai strengths, weaknesses, opportunities dan threaths tersebut dapat dilihat pada Tabel 24.
100
Tabel 24. Identifikasi Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman Komponen
Identifikasi SWOT
Faktor SWOT Agribisnis Teh Indonesia
Subsistem Hulu
Subsistem Budidaya
Subsistem Pengolahan Subsistem Pemasaran Subsistem Jasa Penunjang A. Faktor Sumberdaya 1. Sumberdaya Alam/Fisik • Syarat, Kondisi, Luas Lahan • Aksesibilitas Terhadap Bibit • Aksesibilitas Terhadap Pupuk • Biaya-Biaya Terkait
• Peluang
• Adanya klon unggulan dengan tingkat produktivitas tinggi dan tahan terhadap hama penyakit • Kekuatan • Teh Indonesia unggul secara komparatif • Kekuatan • Kandungan katekin pada varietas teh Assamica lebih tinggi dari kandungan katekin varietas Sinensis • Rendahnya posisi tawar petani dalam menentukan harga • Kelemahan • Kelemahan • Mayoritas produk teh yang dihasilkan oleh PBN masih berupa teh curah • Kekuatan • Teh hitam jenis BOP disukai di Timur Tengah • Ancaman • Indonesia sebagai market follower di pasar internasional • Peluang • Adanya asosisasi-asosiasi (ATI , APETEHINDO) dan DTI Komponen Dayasaing Agribisnis Teh Indonesia • Ancaman • Kelemahan
• Kondisi cuaca yang semakin tidak menentu • Maraknya konversi area kebun teh oleh produsen
• Peluang
• Adanya kemudahan memperoleh bibit teh melalui PPTK
• Ancaman
• Sering terjadi kelangkaan pupuk di kalangan produsen
• Kelemahan
• Tingginya biaya produksi di subsistem budidaya dan pengolahan teh curah • Rendahnya produktivitas perkebunan rakyat • Rendahnya kemampuan petani dalam mengaplikasikan teknologi • Tenaga kerja banyak tersedia • Adanya kontribusi penelitian dari lembaga riset PPTK • Petani masih sulit mengakses sumber modal • Sebagian besar infrastruktur seperti jalan, kebun dan pabrik pengolahan teh curah sudah tidak memadai
• Produktivitas Lahan 2. Sumberdaya Manusia
• Kelemahan • Kelemahan
3. Sumberdaya IPTEK 4. Sumberdaya Modal 5. Sumberdaya Infrastruktur
• Kekuatan • Peluang • Kelemahan • Kelemahan
B. Permintaan Domestik • Komposisi Permintaan • Jumlah Permintaan dan Pola Pertumbuhan
• Kelemahan • Ancaman • Peluang
• Internasionlaisasi C. Industri Terkait dan Pendukung • Industri terkait • Industri Pendukung
D. Struktur, Persaingan dan Strategi • Struktur Pasar • Persaingan • Strategi E. Peranan Pemerintah F. Peranan Kesempatan
• Ancaman • Peluang • Kekuatan • Peluang • Kelemahan
• Ancaman • Ancaman • Peluang • Peluang • Ancaman • Peluang
• Rendahnya kualitas teh yang beredar di dalam negeri • Rendahnya konsumsi teh dalam negeri. • Adanya potensi untuk meningkatkan konsumsi teh dalam negeri • Pergolakan politik yang terjadi di Timur Tengah • Adanya industri olahan berbasis teh yang telah berkembang di Indonesia • Banyak bagian dari tanaman teh yang dapat dimanfaatkan • Transformasi KPB menjadi PT KPBN • Industri teh curah Indonesia belum mendukung konsumsi teh domestik • Struktur pasar Oligopoly Buyers Market di PT KPBN • Persaingan dengan minuman subtitusi, produk teh impor dan eksportir lain di pasar internasional • Strategi diversifikasi produk dan pengembangan pasar yang mulai dilakukan oleh produsen di dalam negeri • Teh merupakan salah satu komoditas unggulan nasional • Rendahnya tarif impor bagi teh curah dan teh kemasan • Kekeringan yang melanda India, Sri Langka dan Kenya • Semakin tingginya kesadaran masyarakat dunia akan kesehatan
101
7.1.2 Analisis Faktor Strategis Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman 1) Analisis Faktor Strategis Internal : Kekuatan a) Teh Indonesia Unggul secara Komparatif Tatakomara (2004) menyatakan bahwa teh Indonesia yang dinilai dengan menggunakan indeks REER telah memiliki keunggulan komparatif, karena sumberdaya alam yang melimpah yang dimiliki Indonesia. Selanjutnya Febrianthi (2008) dengan menggunakan alat analisis Revealed Comparative Advantage (RCA) menyatakan bahwa Indonesia memiliki dayasaing yang kuat. Analisis keunggulan komparatif dengan metode RCA menunjukkan bahwa komoditas teh Indonesia yang berdayasaing kuat adalah teh hijau kode HS 090210 dan teh hitam kode HS 090240 dikarenakan keunggulan komparatif yang dimiliki kedua produk itu dan nilai ekspor yang cukup tinggi, serta pangsa pasar yang luas. Meskipun demikian, diperlukan usaha yang lebih keras lagi untuk meningkatkan dayasaing teh Indonesia secara kompetitif, sehingga dayasaing di pasar internasionalnya menjadi lebih kuat. b) Kandungan Katekin Teh Assamica Lebih Tinggi Dibandingkan dengan Teh Sinensis Katekin adalah kandungan pada teh yang bermanfaat untuk kesehatan dan merupakan antioksidan yang sangat efektif untuk menetralkan radikal bebas dalam tubuh. Kadar katekin yang terdapat pada teh Assamica (teh yang dibudidayakan di Indonesia) lebih tinggi dibandingkan dengan kadar katekin teh yang berasal dari varietas Sinensis (seperti teh yang dibudidayakan di Cina, Sri Langka dan Jepang). Secara tidak langsung, hal ini menunjukkan bahwa kualitas teh Indonesia tidak kalah dibandingkan dengan kualitas teh dari negara lain, khususnya Cina, Sri Langka dan Jepang 39 . Kekuatan kandungan katekin teh Indonesia umumnya tampak pada kandungan teh hitam Orthodox Indonesia yang lebih tinggi (8,24 persen) dibandingkan kandungan katekin teh hitam Sri Langka (7,39 persen). Begitu juga dengan kandungan teh wangi yang berasal dari Indonesia memiliki kandungan katekin sebesar 9,28 persen lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan teh wangi Cina yang mencapai 7,47 persen dari 39
DIN. 2007. Teh Indonesia Lebih Menyehatkan dalam www.kompas.co.id [Diakses pada 18 Oktober 2010]
102
total kandungan senyawa yang terdapat di dalam teh (Bambang et al 1995 dalam Indarto 2007). c) Tenaga Kerja Banyak Tersedia Tingginya populasi penduduk Indonesia serta adanya kecenderungan peningkatan jumlah penduduk Indonesia merupakan kekuatan karena dapat menjamin ketersediaan tenaga kerja yang dibutuhkan oleh industri teh nasional. Kebutuhan yang tinggi akan tenaga kerja membuat subsistem perkebunan teh sangat responsif terhadap ketersediaan tenaga kerja. Tenaga kerja dalam jumlah banyak terutama dibutuhkan dalam subsistem budidaya teh. Karakteristik tanaman teh yang membutuhkan perawatan yang intensif tentu menuntut perusahaan untuk dapat terus menyediakan tenaga kerja yang dibutuhkan. Tabel 25. Perkembangan Populasi Penduduk Indonesia No
Tahun
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Populasi Penduduk (000 Jiwa) 204.390 207.440 208.000 208.640 211.440 214.250 217.080 219.900 222.050 224.900
Sumber : ITC (2009)
d) Banyak Bagian dari Tanaman Teh yang Dapat Dimanfaatkan Berbagai bagian dari tanaman teh mulai dari akar, batang, daun tua, serat, tangkai daun, aroma, biji teh dapat diolah menjadi produk sampingan teh. Beberapa produk hasil pengolahan teh selain minuman adalah sebagai bahan makanan, bahan pewarna kain, kayu bakar, bahan baku industri furniture, minyak biji teh, serta beberapa jenis produk lainnya. Beberapa produk sudah diproduksi di Indonesia, namun beberapa yang lainnya baru sampai tahap penelitian. Hasil samping tanaman teh Indonesia umumnya belum ditangani secara profesional. Banyak produk sampingan teh yang diimpor Indonesia untuk memenuhi kebutuhan industri di bidang farmasi, kosmetika, perikanan dan lain-lain
103
(Purwoto, Suprihatini dan Sudaryanto 1998 dalam Suryatmo 2003). Banyaknya bagian-bagian pada tanaman teh yang dapat dimanfaatkan merupakan kekuatan bagi agribisnis teh Indonesia khususnya industri hilir teh. 2) Analisis Faktor Strategis Internal : Kelemahan a) Rendahnya Posisi Tawar Petani Dalam Menentukan Harga Teh Posisi tawar (bargaining power) petani seringkali masih merugikan petani sebagai produsen pucuk. Posisi daya tawar yang rendah menyebabkan petani tidak memiliki kekuatan untuk menentukan harga. Pertukaran pucuk di tingkat petani seringkali didominasi oleh pembeli yang biasanya berasal dari perusahaan pengolah atau pedagang pengumpul. Lemahnya posisi tawar petani umumnya disebabkan petani kurang mendapatkan/memiliki akses pasar, informasi pasar dan terbatasnya modal yang dimiliki. Kendala mendasar bagi mayoritas petani teh dan petani Indonesia pada umumnya adalah ketidakberdayaan dalam melakukan negosiasi harga hasil produksinya. Karena itu, posisi tawar petani yang masih rendah merupakan kelemahan yang dapat menghambat kelangsungan usahatani teh yang dilakukan petani. b) Mayoritas Produk Teh yang Dihasilkan PBN Masih Berupa Teh Curah Perkebunan Besar Negara (PBN) merupakan produsen teh dengan pangsa ekspor terbesar yakni sebesar hampir 70 persen. Kegiatan ekspor ini dilakukan melalui proses lelang yang diselenggarakan PT KPBN, dimana harga teh yang terbentuk di PT KPBN dijadikan harga acuan nasional bagi produsen teh di dalam negeri. Berdasarkan keterangan dari pihak manajemen pemasaran teh PT KPBN, mayoritas teh yang diperdagangkan melalui PT KPBN merupakan produk teh curah. Kondisi tersebut menyebabkan penerimaan yang berasal dari teh untuk Indonesia masih rendah, karena komposisi ekspor produk teh kita masih didominasi oleh teh curah. Apabila Indonesia khususnya PBN belum mampu mengkombinasikan produk teh yang diekspornya dengan teh kemasan, maka posisi Indonesia akan semakin tersingkir oleh negara lain yang telah melakukan olahan lebih lanjut terhadap produk-produknya. Beberapa negara seperti Jepang, Inggris, Amerika Serikat dan Uni Emirat Arab merupakan negara-negara pengimpor teh dunia, namun mereka mampu memberikan nilai tambah pada teh
104
dengan mengolahnya menjadi produk hilir dan mengekspornya kembali dengan harga yang lebih tinggi. Pengolahan lanjutan yang dilakukan terhadap produk teh curah akan memberikan nilai tambah bagi produk teh itu sendiri, dan berdampak terhadap penerimaan yang diperoleh Indonesia. Selain itu, variasi komposisi tersebut akan mencegah timbulnya kejenuhan di pasar ekspor Indonesia. Tabel 26. Rasio Penambahan Nilai pada Produk Teh Jenis Industri Teh Hijau Kemasan Teh Hitam Kemasan Ekstrak Teh Flavored Tea
Rasio Penambahan Nilai 0,448 0,443 0,603 0,859
Sumber : BPS dalam Kustanti V.R dan Widyanti T (2007)
c) Maraknya Konversi Area Kebun Teh oleh Produsen Adanya tren penurunan luas area tanam teh dilatarbelakangi oleh maraknya konversi yang dilakukan petani teh merupakan kelemahan bagi perkebunan teh di Indonesia. Konversi ini juga salah satunya didasari oleh harga teh yang rendah di kalangan petani sehingga produsen khususnya petani lebih memilih mengkonversi lahan perkebunan tehnya menjadi lahan untuk mengembangkan komoditas lain seperti sayuran. Sementara untuk PBN dan PBS konversi ini juga marak dilakukan mengingat adanya tren peningkatan harga sawit, sehingga sebagian produsen lebih memilih untuk mengusahakan komoditas sawit dibandingkan dengan teh. Penurunan luas areal ini mempengaruhi volume produksi nasional. Penurunan produksi teh nasional ini juga mempengaruhi volume ekspor dan nilai ekspor teh yang diperoleh. d) Petani Masih Sulit Mengakses Sumber Modal Salah satu ciri petani teh rakyat di Indonesia adalah terbatasnya modal yang dimiliki. Akibatnya, petani teh seringkali kesulitan untuk mengembangkan usaha maupun melakukan pengelolaan kebun secara intensif. Salah satu solusi yang ditawarkan oleh pemerintah dan lembaga keuangan adalah adanya program pinjaman modal. Namun, program ini dinilai masih kurang tepat karena pada kenyataanya petani teh masih kesulitan dalam mengakses pinjaman yang berasal dari lembaga keuangan yang ada. Hal ini disebabkan oleh sulitnya persyaratan
105
pengajuan kredit yang harus dipenuhi petani secara individu. Petani teh umumnya tidak memiliki jaminan sehingga mereka kesulitan memperoleh bantuan pinjaman kredit yang mereka butuhkan. Karena itu, kemampuan petani teh yang rendah dalam mengakses sumber modal ini merupakan kelemahan yang harus dicarikan solusinya. e) Rendahnya Kualitas Teh yang Beredar di Dalam Negeri Teh yang beredar di dalam negeri terdiri dari teh berkualitas sedang sampai rendah. Sementara teh dengan mutu pertama lebih diutamakan untuk pasar ekspor. Komposisi produk yang didominasi oleh kualitas rendah justru tidak akan mengedukasi masyarakat kita. Masyarakat tidak diberikan pilihan akan produkproduk teh berkualitas produksi dalam negeri, sehingga memungkinkan terjadinya permintaan produk berkualitas ke luar negeri. Hal tersebut tentunya akan semakin meningkatkan volume impor teh Indonesia. 3) Analisis Faktor Strategis Eksternal : Peluang a) Adanya Asosisasi-Asosiasi (ATI dan APTEHINDO) serta Dewan Teh Indonesia yang Mewadahi Para Stakeholder Asosiasi Teh Indonesia (ATI) dan Asosiasi Petani Teh Indonesia (APTEHINDO) merupakan suatu bentuk asosiasi yang memberikan peluang bagi kemajuan agribisnis teh Indonesia. Keberadaan asoiasi-asosiasi ini mampu mendorong dan meningkatkan kualitas masing-masing komunitas anggotanya. ATI ataupun APTEHINDO merupakan perpanjangan tangan dari pengusaha dan petani teh Indonesia. Sementara Dewan Teh Indonesia berperan sebagai fasilitator, koordinator dan pihak yang mengawasi jalannya kegiatan bisnis di industru teh di Indonesia. Keberadaan asosiasi dan lembaga ini dapat dimanfaatkan sebagai sarana untuk meningkatkan sumberdaya manusia dan penyebaran informasi teknologi secara cepat dan merata akan semakin terbuka. b) Adanya Kontribusi Penelitian dari Lembaga Riset PPTK Lembaga riset Pusat Penelitian Teh dan Kina merupakan salah satu lembaga yang menjadi pendukung kegiatan agribisnis teh Indonesia. Hal tersebut dikarenakan selama ini PPTK telah berhasil menciptakan berbagai macam jenis teknologi yang terbukti bermanfaat bagi industri teh Indonesia. Selain itu, PPTK
106
juga melakukan pengkajian terhadap kondisi pasar, prospek dan tantangan yang akan dihadapi agribisnis teh Indonesia serta kajian mengenai kesesuaian kebijakan yang telah dilakukan pemerintah terkait dengan teh. Pengembangan lembaga riset merupakan peluang yang dapat memajukan agribisnis teh Indonesia. c) Adanya Potensi untuk Meningkatkan Konsumsi Teh Dalam Negeri Meskipun saat ini konsumsi teh Indonesia masih tergolong rendah, namun Indonesia memiliki potensi untuk meningkatkan konsumsi teh dalam negeri. Potensi tersebut berasal dari jumlah populasi penduduk Indonesia yang tinggi dan memiliki kecenderungan meningkat setiap tahun. Populasi penduduk yang tinggi menggambarkan potensi pasar yang dapat diperoleh. Selain itu, teh telah menjadi salah satu minuman pilihan bagi masyarakat Indonesia. Adam (2006) mengungkapkan bahwa kedudukan teh sebagai bahan minuman telah menjadi salah satu pilihan utama keluarga baik di rumah, di luar rumah, maupun sebagai hidangan bagi tamu yang berkunjung. Di beberapa provinsi di Indonesia, menyajikan teh untuk tamu maupun sebagai teman hidangan makanan ringan merupakan hal yang biasa. Salah satunya tampak pada pola masyarakat Jawa Barat yang terbiasa menyajikan teh secara cuma-cuma di rumah makan sunda ataupun warung-warung tenda kaki lima. Hal tersebut mengindikasikan adanya peluang peningkatan konsumsi teh dalam negeri. d) Adanya Industri Olahan Berbasis Teh yang Telah Berkembang Kondisi agroindustri minuman teh kemasan dan produk turunan teh lainnya merupakan peluang yang baik bagi industri perkebunan teh Indonesia. Selama ini, nilai tambah yang dihasilkan dari industri hilir teh Indonesia pada tahun 2005 saja mancapai 1,2 triliun dan menyerap sekitar 51.500 tenaga kerja. Karena itu, pengembangan agroindustri teh kearah produk-produk turunan teh lainnya akan membuka kesempatan bagi komoditas teh nasional. Industri minuman teh kemasan di Indonesia merupakan sektor yang sedang berkembang. Hal ini ditunjukkan dengan semakin banyaknya produk-produk diversivikasi teh dalam bentuk kemasan kotak, botol, celup, dan sebagainya, dimana berbagai produk tersebut dilengkapi oleh variasi rasa dan kemasan yang menarik. Selain itu, perusahaan-perusahaan pada sektor ini umumnya telah melakukan upaya
107
promosi yang lebih baik dibandingkan pada perusahaan teh curah. Karena itu, dengan adanya industri olahan berbasis teh yang semakin berkembang, maka secara tidak langsung akan mendorong pengembangan supplier bahan bakunya (industri teh curah). e) Semakin Tingginya Kesadaran Masyarakat akan Kesehatan Maraknya isu kesehatan di lingkungan pasar global merupakan peluang bagi industri teh nasional. Kandungan katekin yang tinggi, kebun-kebun yang mulai dilengkapi dengan serifikasi internasional akan semakin memperkuat kualitas teh yang ditawarkan Indonesia. Di sisi lain, tuntutan konsumen dunia akan isu kesehatan juga akan menular kepada konsumen domestik, sehingga akan ada peluang peningkatan konsumsi teh sebagai minuman multifungsi di pasar domestik. 4) Analisis Faktor Strategis Eksternal : Ancaman a) Kondisi Cuaca yang Semakin Tidak Menentu dan Sulit Diprediksi Tanaman teh yang sangat responsif terhadap alam terutama perubahan kondisi cuaca menyebabkan produsen harus melakukan perlakuan khusus agar tidak mempengaruhi baik volume maupun kualitas produksi. Dengan kondisi perubahan cuaca yang ekstrim dan tidak menentu, tentu akan mempengaruhi kelangsungan usaha perkebunan teh. Salah satu contoh adalah perubahan alam yang terjadi di India dan Kenya berupa kekeringan yang pada akhirnya mempengaruhi produksi teh basah dari kedua negara tersebut. Saat ini, kondisi cuaca di Indonesia juga tengah mengalami ketidakpastian yang tinggi. Curah hujan yang tinggi di saat musim kemarau dan sebaliknya mulai mempengaruhi produktivitas produsen. c) Kelangkaan Pupuk yang Sering Terjadi di Kalangam Produsen Pupuk merupakan komponen penting dalam kegiatan usahatani teh. Pemupukan perkebunan teh idealnya dapat dilakukan tiga kali dalam satu tahun. Kelangkaan pupuk di kalangan produsen akan mempengaruhi kualitas tanah dan pucuk, serta akan mengurangi ketahanan tanaman terhadap hama penyakit. Karena itu apabila ketersediaan pupuk di kalangan produsen masih sulit diakses
108
akibat adanya kelangkaan, maka hal tersebut merupakan ancaman bagi pengembangan agribisnis teh Indonesia. d) Persaingan dengan Minuman Subtitusi Lain, Produk Teh Impor dan Eksportir lain di Pasar Internasional Bentuk persaingan dengan produsen minuman subtitusi lain merupakan sebuah ancaman bagi industri teh di dalam negeri. Teh masih merupakan produk sekunder di Indonesia, sehingga prioritas konsumen terhadap konsumsi teh masih dapat dengan mudah tersubtitusi dengan minuman sejenis lainnya. Ditambah lagi, promosi yang dilakukan produsen minuman seperti kopi dan susu semakin memperketat persaingan antara produk subtitusi. Sementara itu, persaingan dengan produk teh impor akan menjadi suatu bentuk ancaman bagi produk teh domestik. Peningkatan volume dan nilai impor dari tahun ke tahun menunjukkan permintaan akan produk teh impor yang semakin meningkat dari konsumen domestik. Hal tersebut akan semakin diperburuk apabila peredaran produk teh di dalam negeri masih didominasi oleh produk bermutu rendah dan mahal. Karena produk impor hanya harus membayar tarif impor sebesar 5 persen, sementara produsen teh kemasan lokal dikenai pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10 persen. Pada persaingan di pasar internasional, persaingan dengan eksportir lain jelas merupakan ancaman bagi kelangsungan agribisnis teh nasional, khususnya bagi eksportir dan produsen teh dalam negeri. Dengan semakin ketatnya persaingan diantara eksportir luar negeri akan semakin menekan Indonesia apabila tidak diiringi dengan dayasaing yang kuat. Persaingan ini juga akan mempengaruhi pangsa pasar teh Indonesia yang kemudian berujung kepada perolehan devisa negara dari teh. e) Rendahnya Tarif Impor bagi Teh Curah dan Teh Kemasan Penetapan tarif impor sebesar 5 persen bagi produk teh curah maupun teh kemasan merupakan ancaman bagi produsen teh dalam negeri. Salah satu penyebabnya adalah kualitas teh impor lebih baik dibandingkan dengan teh yang beredar di dalam negeri. Selain itu, beban pajak dari produk teh impor relatif lebih murah apabila dilihat dari persentase jumlah pajak yang harus dibayarkan.
109
Produsen teh kemasan dalam negeri diharuskan membayar PPN sebesar 10 persen, sementara produk teh kemasan impor hanya dikenakan tarif impor sebesar 5 persen. Rendahnya tarif impor tersebut mengakibatkan adanya peningkatan jumlah teh yang diimpor setiap tahunnya. 7.1.3 Perumusan Matriks SWOT Agribisnis Teh Indonesia Tahap selanjutnya adalah merumuskan strategi berdasarkan faktor-faktor kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang telah dianalisis sebelumya. Dalam merumuskan strategi pengembangan agribisnis teh Indonesia alat yang digunakan adalah Matriks SWOT. Rumusan strategi yang dihasilkan merupakan kombinasi antara beberapa faktor SWOT. Dengan menggunakan Matriks SWOT strategi yang dihasilkan terdiri dari strategi SO (penggunaan kekuatan dari agribisnis teh nasional untuk memanfaatkan peluang yang ada), strategi WO (memanfaatkan peluang untuk meminimalkan kelemahan dari agribisnis teh Indonesia), strategi ST (penggunaan kekuatan agribisnis teh nasional untuk mengatasi ancaman) dan strategi WT (meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman dari lingkungan eksternal).
110
Tabel 27. Matriks SWOT Agribisnis Teh Nasional Kekuatan (Strengths-S) 1. Teh Indonesia unggul secara komparatif 2. Kandungan katekin teh Assamica lebih tinggi dibandingkan dengan teh Sinensis 3. Tenaga kerja banyak tersedia 4. Banyak bagian dari tanaman teh yang dapat dimanfaatkan
Peluang (Opportunitties-O) 1. Adanya asosisasiasosiasi (ATI, APTEHINDO) dan DTI 2. Adanya kontribusi penelitian dari lembaga riset PPTK 3. Adanya potensi peningkatan konsumsi teh dalam negeri 4. Adanya industri olahan berbasis teh yang telah berkembang 5. Semakin tingginya kesadaran masyarakat dunia akan kesehatan Ancaman (Threats-T) 1. Kondisi cuaca yang semakin tidak menentu 2. Kelangkaan pupuk di kalangan produsen 3. Persaingan antara minuman subtitusi, produk impor, eksportir internasional 4. Rendahnya tarif impor bagi teh curah dan teh kemasan
SO Strategy 1. Meningkatkan kegiatan promosi produk teh Indonesia (S2, S3, O1, O3,O5) 2. Meningkatkan produksi dan diversifikasi produk teh (S1, S3, S4, O2, O4, O5) 3. Mempercepat pelaksanaan industri teh berkelanjutan (S1, S3, O2, O4, O5)
ST Strategy 1. Merancang pendirian kluster industri teh di Jawa Barat (S1, S3, S4, T2, T3, T4)
Kelemahan (Weaknesses-W) 1. Rendahnya posisi tawar petani dalam menentukan harga 2. Sebagian besar PBN masih mengekspor teh dalam bentuk teh curah 3. Maraknya konversi lahan yang dilakukan oleh produsen 4. Petani masih sulit mengakses sumber modal 5. Rendahnya kualitas teh yang beredar di dalam negeri WO Strategy 1. Meningkatkan peranan ATI, APTEHINDO, dan DTI bagi produsen, khususnya petani rakyat (W1, W3, W4, O1, O2) 2. Pembentukan dan penguatan kelompok tani (WI, W3, W4, O1) 3. Meningkatkan komposisi produk teh olahan untuk diekspor dan meningkatkan alokasi teh curah 1st grade di pasar DN (W2, W5, O3, O4, O5) WT Strategy 1. Pembatasan kuota dan nilai impor teh curah dan olahan (W5, T3, T4) 2. Melakukan perencanaan pola tanam, serta kompak mengatur, mengendalikan dan menjaga kualitas dan kuantitas stok di pasar (WI, W3, W4, T1, T2) 111
1) Strategi SO Strategi
SO
merupakan
strategi
yang
dirumuskan
dengan
mempertimbangkan kekuatan yang dimiliki agribisnis teh nasional untuk memanfaatkan
peluang-peluang
yang
ada
seoptimal
mungkin.
Dengan
menggunakan faktor-faktor kekuatan dan peluang yang telah diperoleh dari analisis faktor strategis sebelumnya, maka rumusan strategi SO yang dapat diterapkan untuk meningkatkan dayasaing agribisnis teh Indonesia adalah meningkatkan kegiatan promosi produk teh Indonesia, meningkatkan produksi dan diversifikasi produk teh Indonesia serta mempercepat pelaksanaan indutri teh berkelanjutan. a. Meningkatkan Kegiatan Promosi Produk Teh Indonesia Strategi ini dirumuskan dengan mempertimbangkan banyaknya tenaga kerja manusia di Indonesia yang dapat digunakan untuk melakukan upaya-upaya promosi seperti penyebaran informasi mengenai teh dan pengenalan teh sebagai minuman fungsional. Adanya asosiasi seperti Asosiasi Teh Indonesia (ATI) dapat dimanfaatkan sebagai sarana publikasi dan jembatan informasi antara pengusaha teh dengan konsumen. Selain itu, adanya potensi peningkatan konsumsi masyarakat terhadap teh juga dapat dimanfaatkan untuk mewujudkan tujuan dari strategi ini. Surjadi (2003) yang menyatakan bahwa masyarakat akan semakin meningkatkan
konsumsinya
terhadap
teh
seiring
dengan
bertambahnya
pengetahuan mereka terhadap manfaat teh itu sendiri. Karena itu, strategi peningkatan kegiatan promosi menjadi sangat penting bagi upaya peningkatan konsumsi teh domestik. Berdasarkan sasarannya, tujuan dari strategi promosi ini terbagi menjadi dua, yaitu : 1. Promosi untuk meningkatkan konsumsi teh dalam negeri, serta 2. Promosi untuk meningkatkan brand awareness dan brand image produk teh Indonesia di pasar internasional. Kegiatan promosi di dalam negeri dapat dilakukan dengan menyebarkan informasi mengenai teh dan penekanan mengenai tingginya kandungan katekin teh Indonesia, serta manfaatnya bagi kesehatan. Dengan demikian, diharapkan pengetahuan konsumen domestik akan bertambah dan berimbas pada peningkatan minat mereka terhadap teh. Sementara untuk strategi promosi di pasar
112
internasional dilakukan dengan melakukan kegiatan promosi yang diarahkan untuk meningkatkan brand awareness dan citra produk teh Indonesia di mata konsumen internasional. Hal ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan keberadaan Dewan Teh Indonesia sebagai perwakilan lembaga teh Indonesia di pasar dunia. Strategi ini juga dapat dilakukan untuk memanfaatkan adanya peluang peningkatan kesadaran konsumen global terhadap kesehatan. Kegiatan promosi mengenai kandungan katekin teh Indonesia juga diharapkan dapat meningkatkan konsumsi masyarakat dunia terhadap teh Indonesia. b. Meningkatkan Produksi dan Diversifikasi Produk Teh Strategi peningkatan produksi teh dapat dilakukan dengan menggunakan potensi sumberdaya yang dimiliki Indonesia yang telah unggul secara komparatif, termasuk unggulnya sumberdaya manusia Indonesia dalam hal jumlah. Peningkatan produksi ini dilakukan dengan tujuan mengangkat kembali posisi Indonesia sebagai produsen teh besar di pasar internasional. Adanya lembaga penelitian dan pengembangan Pusat Penelitian Teh dan Kina yang telah menghasilkan klon-klon dengan produktivitas tinggi dan memiliki ketahanan yang baik terhadap hama dan penyakit dapat dimanfaatkan untuk mencapai tujuan dari strategi ini. Di samping itu, dengan menggunakan bagian-bagian dari tanaman teh, dan memanfaatkan adanya perkembangan industri besar yang mengolah produkproduk berbahan dasar teh peningkatan produksi juga dapat dilakukan dengan melakukan diversifikasi produk teh. Peningkatan produksi dan diversifikasi produk juga dapat dilakukan untuk memanfaatkan adanya peluang yang muncul akibat adanya peningkatan kesadaran masyarakat dunia terhadap kesehatan. Karena itu dengan melakukan peningkatan produksi dan diverisfikasi produk diharapkan Indonesia dapat menjadi produsen yang menawarkan berbagai produk kesehatan berbahan dasar teh. c. Mempercepat Pelaksanaan Industri Teh Berkelanjutan Pelaksanaan sustainable tea atau industri teh berkelanjutan sudah berjalan di beberapa negara penghasil teh dunia seperti India, Kenya dan Sri Langka. Sustainable tea adalah pelaksanaan serangkaian kegiatan dimulai dari kegiatan
113
budidaya, pengolahan, pengemasan, quality control, hingga pendistribusian barang sampai ke konsumen yang dilakukan dengan benar, jujur dan bertanggung jawab. Artinya seluruh proses dilaksanakan dengan prosedur yang benar dan bertanggung jawab terhadap manusia, mahluk hidup maupun lingkungan di sekitarnya. Di Indonesia, pelaksanaan sustainable tea mulai marak dilakukan oleh perkebunan atau pabrik teh curah yang berorientasi ekspor. Hal tersebut dikarenakan
perusahaan-perusahaan
besar
teh
dunia
mulai
menetapkan
standarisasi tinggi bagi produk sekaligus perkebunan pemasok bahan baku teh mereka. Indonesia sebagai salah satu pemasok bahan baku (teh curah) juga dituntut untuk dapat memenuhi standar produk yang mereka tetapkan, salah satunya terkait dengan melengkapi perkebunan atau pabrik mereka dengan sertifikasi yang telah diakui secara internasional. Strategi percepatan pelaksanaan industri teh berkelanjutan menunjukkan respon yang cepat terhadap adanya perubahan tuntutan konsumen, khususnya konsumen internasional. Strategi ini disusun dengan mempertimbangkan bahwa hingga saat ini agribisnis teh Indonesia telah memiliki keunggulan komparatif, sehingga pelaksanaan sustainable tea akan lebih mudah apabila dibandingkan dengan negara lain yang belum unggul secara komparatif. Hal tersebut juga didukung dengan banyaknya jumlah tenaga kerja yang siap untuk dipekerjakan. Percepatan pelaksanaan sustainable tea artinya melakukan sertifikasi kebun dan pabrik sebanyak mungkin dalam waktu sesingkat mungkin sehingga peluang adanya peningkatan konsumsi teh dunia dan maraknya tuntutan terhadap produk berkualitas, sehat dan bertanggung jawab terhadap lingkungan dapat terjawab. Adanya Pusat Penelitian Teh dan Kina dapat dimanfaatkan sebagai sumber informasi dan inovasi teknologi yang dapat membantu mempercepat pelaksanaan sustainable tea di Indonesia. Teknologi peningkatan keanekaragaman hayati, peningkatan kesuburan tanah khususnya peningkatan kadar organik tanah serta teknologi peningkatan nilai produk untuk meningkatkan nilai tambah yang merupakan teknologi tepat guna untuk mempercepat implementasi sustainable tea saat ini seluruhnya telah tersedia di PPTK. Selain itu, adanya industri teh olahan yang mulai berkembang di Indonesia akan semakin mempermudah pelaksanaan percepatan sustainable tea ini.
114
2) Strategi ST Strategi ST adalah strategi yang digunakan untuk menghindari ancaman yang datang dari luar lingkungan internal dengan memanfaatkan kekuatan yang dimiliki. Ancaman yang dinilai paling mempengaruhi kondisi agribisnis teh Indonesia adalah ancaman cuaca, kelangkaan pupuk, persaingan dengan produk subtitusi, impor maupun produk teh dari negara lain serta rendahnya tarif impor yang menyebabkan volume teh impor semakin meningkat setiap tahunnya. Strategi yang dapat dilakukan adalah merancang pendirian kluster industri teh di Jawa Barat. a. Merancang Pendirian Kluster Industri Teh di Jawa Barat Strategi pendirian kluster industri teh di Jawa Barat didasari oleh potensi Jawa Barat sebagai sentra produksi teh di Indonesia. Hal tersebut juga didukung oleh sebagian besar perkebunan dan perusahaan terkait yang terletak di Jawa Barat dan sekitarnya. Unggulnya teh Indonesia, termasuk tersedianya jumlah tenaga kerja merupakan modal utama dalam pendirian kluster industri. Selain pengembangan usaha berbahan dasar daun teh di dalam kluster, dapat juga dikembangkan industri sampingan yang memanfaatkan bagian-bagian lain dari tanaman teh, seperti usaha furniture, pewarna pakaian dan jenis usaha lainnya. Dengan pendirian kluster, adanya ancaman kelangkaan pupuk diharapkan dapat diminimalisir,
karena
kluster
pada
hakekatnya
akan
membentuk
dan
mengkoordinasikan berbagai elemen mulai dari penyedia input, produsen pucuk, pabrik-pabrik serta lembaga pendukung teh lainnya. Selain itu, pada perkembangannya pembentukan kluster diharapkan mampu menciptakan efisiensi dari rantai tataniaga teh, khususnya di Jawa Barat sebagai pusat kegiatan industri teh di Indonesia. Seiring dengan kuatnya kluster industri teh tersebut, maka diharapkan akan tercipta industri dengan produkproduk teh unggulan yang siap bersaing dengan produk-produk lain, baik persaingan dengan produk subtitusi, produk impor yang muncul akibat rendahnya tarif impor, maupun produk-produk teh lain yang diperdagangkan oleh pesaingpesaing Indonesia di pasar internasional. Pembangunan kluster industri teh akan menciptakan integrasi yang kuat antara semua subsistem, mulai dari subsistem hulu hingga jasa dan penunjang.
115
3) Strategi WO Strategi WO merupakan strategi yang dapat dilakukan untuk mengurangi efek yang muncul dari kelemahan-kelemahan pada agribisnis teh Indonesia dengan memanfaatkan peluang-peluang yang ada. Strategi WO yang dapat dilakukan untuk meningkatkan dayasaing agribisnis teh Indonesia diantaranya adalah meningkatkan peranan ATI, APTEHINDO dan DTI, melakukan pembentukan dan penguatan kelompok tani serta melakukan peningkatan alokasi teh mutu pertama di pasar domestik. a. Meningkatkan Peranan ATI, APTEHINDO dan DTI Petani sebagai pemilik areal perkebunan teh terbesar di Indonesia justru memiliki tingkat produktivitas terendah diantara kedua tipe kepemilikan kebun lainnya. Rendahnya produktivitas petani tersebut diantaranya disebabkan oleh rendahnya posisi tawar petani teh Indonesia, maraknya konversi lahan yang dilakukan oleh produsen serta sulitnya petani dalam mengakses sumber modal. Ketiga kelemahan tersebut muncul karena kurangnya peranan pihak luar sebagai pendamping, Pembina dan fasilitator (pihak yang menjembatani para stakeholder) bagi produsen, khususnya petani. Adanya Asosiasi Teh Indonesia dan Asosiasi Petani Teh Indonesia dapat dimanfaatkan untuk mengisi kekosongan peran tersebut. ATI dan APTEHINDO diharapkan dapat menjadi sumber informasi dan teknologi serta menjadi koordinator dari seluruh elemen produsen teh. Sehingga dengan adanya koordinasi yang baik akan memperbaiki posisi tawar petani dan mengurangi tren konversi lahan karena pengetahuan produsen mengenai usahatani teh telah bertambah. Sementara adanya Dewan Teh Indonesia dapat dimanfaatkan sebagai fasilitator dan negosiator antara produsen dengan lembaga-lembaga pendukung lainnya, seperti pemerintah, pihak swasta dan lembaga keuangan. Dengan demikian salah satu efek yang diharapkan adalah terbukanya akses bagi produsen teh khususnya petani menuju sumber modal. Selain itu, adanya DTI juga dapat dimanfaatkan sebagai pengawas bagi kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh seluruh
stakeholder,
sehingga
diharapkan
akan
mengurangi
adanya
penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dan merugikan produsen.
116
b. Pembentukan dan Penguatan Kelompok Tani Permasalahan rendahnya posisi tawar petani dan sulitnya mengakses sumber modal juga disebabkan oleh lemahnya petani jika hanya memanfaatkan kekuatan individu mereka. Sempitnya luas areal yang dimiliki masing-masing individu petani menyebabkan jumlah produksi yang dihasilkan petani rendah. Selain itu, tidak jarang pucuk yang dihasilkan pun tidak seragam atau berkualitas rendah. Hal tersebut mengakibatkan munculnya penekanan harga dari pihak pedagang karena petani tidak dapat memenuhi jumlah maupun kualitas yang diminta. Selain itu, sulitnya petani mengakses sumber modal salah satunya disebabkan oleh ketidakmampuan petani dalam memenuhi persyaratan yang diminta oleh pihak lembaga keuangan. Karena itu, dengan memanfaatkan adanya asosiasi seperti ATI dan APTEHINDO, strategi pembentukan dan penguatan kelompok tani diharapkan dapat menyelesaikan atau setidaknya mengurangi efek dari kelemahan-kelemahan yang dimiliki petani. Pembentukan kelompok tani baru dan penguatan kelompok tani yang sudah ada dapat menjadi wadah bagi petani untuk dapat berkumpul dan menghimpun kekuatan sehingga diharapkan posisi tawar petani akan meningkat. Ke depannya diharapkan kelompok tani dapat mandiri dan mengarah kepada pembentukan koperasi tani sebagai bentuk perusahaan milik petani. c. Meningkatkan Komposisi Produk Teh Olahan untuk Ekspor dan Meningkatkan Alokasi Teh Curah 1st Grade di Pasar Domestik PT Perkebunan Nusantara merupakan market leader bagi industri teh di Indonesia. PT Perkebunan Nusantara juga berperan sebagai tombak ekspor teh Indonesia. Hampir 70 persen dari total ekspor teh Indonesia berasal dari PT Perkebunan Nusantara. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari PT KPBN, diketahui bahwa sebagian besar produk yang diekspor oleh Indonesia merupakan teh hitam dan masih berbentuk teh curah. Hal ini menyebabkan penerimaan Indonesia yang berasal dari ekspor teh lebih rendah dibandingkan dengan negaranegara lain yang telah mulai mengkomibnasikan produk ekspor mereka dengan produk teh olahan. Suprihatini dan Rosyadi (2003) menyatakan bahwa Indonesia khususnya perusahaan eksportir, perlu mulai melakukan perubahan komposisi produk teh
117
yang diekspor ke pasar internasional. Hal ini selain untuk meningkatkan penerimaan perusahaan, juga dapat dilakukan untuk mengantisipasi adanya kecenderungan kejenuhan pasar terhadap produk teh hitam curah yang beredar di pasar internasional. Suprihatini dan Rosyadi (2003) menyebutkan bahwa diantara seluruh produk yang diperdagangkan di pasar internasional, produk teh hitam curah merupakan produk dengan dayasaing terendah, sementara teh hijau curah, teh hitam olahan dan teh hijau olahan memiliki dayasaing yang lebih baik. Peningkatan komposisi produk ekspor lebih dianjurkan kearah peningkatan produk teh hitam olahan, mengingat mayoritas produk teh yang diekspor Indonesia adalah teh hitam curah. Selain itu, kandungan katekin yang terdapat pada teh hitam Indonesia tidak kalah dengan kandungan katekin dari teh hijau yang berasal dari Cina. Hal tersebut dapat digunakan untuk memanfaatkan adanya peluang dari tren peningkatan kesadaran masyarakat global terhadap kesehatan. Sementara di pasar domestik, teh yang beredar masih didominasi oleh teh bermutu rendah. Strategi peningkatan alokasi teh curah first grade ke pasar domestik dapat dilakukan dengan mempertimbangkan adanya potensi konsumsi teh di dalam negeri. Surjadi (2003) mengatakan bahwa konsumen rumah tangga di Jawa Barat memiliki kecenderungan meningkatkan konsumsi teh mereka setelah pengetahuan mereka tentang teh dan khasiatnya bertambah pula. Dengan meningkatkan alokasi teh curah mutu pertama ke pasar domestik diharapkan dapat mendidik konsumen teh Indonesia sehingga penghargaan terhadap produk teh berkualitas akan meningkat. Hal ini dapat dicapai dengan memanfaatkan adanya industri teh olahan yang berkembang, termasuk PT Perkebunan Nusantara sebagai market leader. 4) Strategi WT Strategi WT adalah strategi yang sifatnya defensif, dimana strategi yang dilakukan harus mampu meminimalisir kerugian akibat dari kelemahan yang dimiliki sekaligus bagaimana menghindari ancaman-ancaman yang mungkin datang. Strategi WO yang dapat dilakukan untuk meningkatkan dayasaing agribisnis teh nasional adalah pembatasan kuota dan nilai impor teh curah dan olahan serta melakukan perencanaan pola tanam, dan mengatur juga menjaga kualitas dan kuantitas stok di pasar. 118
a. Pembatasan Kuota dan Nilai Impor Teh Curah dan Teh Olahan Selama tahun 2000 hingga 2009, volume dan nilai impor teh yang masuk ke Indonesia cenderung terus meningkat. Sejak tahun 2000, peningkatan volume impor teh ke Indonesia meningkat dengan peningkatan rata-rata sebesar 18,67 persen setiap tahunnya. Sementara nilai impor teh meningkat sebesar 20 persen setiap tahunnya. Meskipun sebagian produk teh impor merupakan bahan baku bagi industri blending tea di pasar lokal, namun peningkatan volume dan nilai impor yang cukup besar tidak dapat terus dibiarkan. Hal tersebut akan mengurangi penerimaan devisa bagi negara bahkan dapat menimbulkan ketergantungan impor di masa yang akan datang. Strategi pembatasan kuota dan nilai impor dapat dilakukan untuk melindungi produsen teh dalam negeri, sekaligus menjaga stabilisasi persaingan antara produk teh domestik dengan produk teh impor yang masuk. Selain itu, dengan pembatasan nilai impor teh, maka akan mengurangi penggunaan devisa negara untuk membeli teh impor. b. Melakukan Perencanaan Produksi, serta Kompak Mengatur, Mengendalikan dan Menjaga Kualitas dan Kuantitas Stok di Pasar Strategi perencanaan produksi dapat dilakukan untuk menghindari risiko akibat adanya ketidakpastian cuaca dan kelangkaan pupuk yang seringkali terjadi di kalangan produsen. Dengan melakukan perencanaan yang tepat, petani dapat menghindari penurunan jumlah dan kualitas produksi yang disebabkan oleh cuaca. Selain itu, dengan mengatur dan menjaga kualitas dan kuantitas stok yang ada di pasar secara kompak, petani dapat mengendalikan jumlah pasokan sehingga akan terhindar dari risiko anjloknya harga pucuk. Petani juga akan memegang kendali dalam peredaran produk di pasar, karena didukung dengan perencanaan produksi yang matang. Hal tersebut juga dapat membantu menstabilkan harga. Di samping itu, dengan mengatur pelaksanaan produksi dan pemasaran, maka biaya yang dikeluarkan dapat dimanfaatkan seefisien mungkin. Hal tersebut memungkinkan petani untuk terus melakukan usaha meskipun kemampuan mengakses sumber modal tambahan sangat sulit. Pengaturan, pengendalian dan upaya menjaga kualitas dan kuantitas stok di pasar juga diharapkan dapat meningkatkan pendapatan petani sehingga akan mengurangi upaya konversi yang dilakukan oleh petani.
119
7.2 Rancangan Arsiektur Strategik 1) Sasaran Pengembangan Agribisnis Teh Indonesia Mengacu pada tujuan penetapan teh sebagai komoditas unggulan nasional dan Road Map Teh Indonesia tahun 2006, maka sasaran pembangunan agribisnis teh Indonesia adalah : 1. Peningkatan luas area, produksi, produktivitas, konsumsi domestik dan volume ekspor teh, 2. Peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani, 3. Peningkatan mutu dan pengembangan produk teh, dan 4. Peningkatan upaya promosi secara intensif. 2) Tantangan Pengembangan Agribisnis Teh Indonesia Berdasarkan sasaran-sasaran yang ingin dicapai, agribisnis teh Indonesia pun tidak lepas dari beberapa tantangan yang harus dihadapi, seperti : 1. Penurunan luas area perkebunan serta banyaknya kebun-kebun tua yang sudah tidak produktif lagi, 2. Rendahnya pengetahuan konsumen dalam negeri akan manfaat teh yang menyebabkan konsumsi teh domestik masih rendah, 3. Meningkatnya
kesadaran
masyarakat
global
terhadap
kesehatan,
pelestarian lingkungan, keselamatan kerja, dsb yang menjadi hambatan non-tarif bagi Indonesia, serta 4. Perubahan lingkungan persaingan yang begitu cepat dan agresif. 3) Program Pengembangan dan Peningkatan Dayasaing Agribisnis Teh Indonesia Perwujudan dari strategi yang telah diperoleh melalui analisis SWOT kemudian diturunkan ke dalam program. Program-program tersebut disusun berdasarkan pertimbangan sasaran dan tantangan yang dihadapi oleh agribisnis teh Indonesia. Penjelasan lebih lengkap dapat dilihat pada Tabel 27.
120
Tabel 28. Program Pengembangan dan Peningkatan Dayasaing Agribisnis Teh Indonesia No 1
Strategi Pembentukan dan penguatan kelompok tani
• • •
2
3
4
Melakukan perencanaan produksi, serta mengatur, mengendalikan dan menjaga kualitas dan kuantitas stok di pasar Meningkatkan peranan ATI, APTEHINDO, dan DTI bagi produsen, khususnya petani rakyat Mempercepat pelaksanaan industri teh berkelanjutan
•
• • • • •
5
6
Merancang pendirian kluster industri teh di Jawa Barat
Meningkatkan kegiatan promosi produk teh Indonesia
• • • • •
7
8
9
Meningkatkan produksi, dan diversifikasi produk
Penanggung Sasaran Jawab Utama Penyuluhan mengenai manfaat • Pemerintah • Petani teh berkelompok, daerah rakyat Merangsang pembentukan • Penyuluh • Lahirnya kelompok tani baru dan penguatan pertanian koperasi kelompok tani yang sudah ada tani • Asosiasi Pembinaan, pendampingan, • DTI pelatihan skill manajement Petani teh Penyuluhan dan pembinaan rutin • Pemerintah rakyat mengenai perencanaan produksi daerah dan informasi pasar • Penyuluh pertanian • Kelompok tani Secara aktif dan rutin melakukan • Asosiasi • Lembaga pemantauan dan survey lapang, keuangan, • DTI Menjalin kerjasama dengan • Pemerintah berbagai pihak terkait • Produsen • Petani Produsen Sertifikasi kebun dan pabrik • Pemerintah pada PBN, Pemberian insentif bagi • Kementan PBS, PR perusahaan yang telah • PPTK meningkatkan kualitasnya • Produsen teh 80 persen kebun dan pabrik tersertifikasi Penyusunan rencana sekaligus • Pemerintah • Industri teh koordinasi seluruh pihak daerah Jabar Jabar Penataan wilayah dan integrasi • Industri teh • Investor antar subsistem Jabar Realisasi kluster Konsumen Meningkatkan kegiatan promosi • Asosiasi teh di untuk memperluas pasar di dalam • DTI dalam dan negeri • Industri teh luar negeri Meningkatkan brand awareness dan brand image produk teh Indonesia di LN Peningkatan luas area tanam, • Dinas • Konsumen replanting, rehabilitasi, Pertanian • Produsen intensifikasi • PPTK teh Meningkatkan ragam produk teh • Industri Konsumen Melakukan kajian mengenai • Industri dalam dan komposisi ragam produk teh yang pengolahan luar negeri diekspor teh Meningkatkan porsi teh mutu • Lembaga pertama yang beredar di pasar pemasaran domestik Eksportir Melakukan kajian mengenai batas Pemerintah teh ke dan dampak kebijakan kuota dan Indonesia nilai impor Implementasi pembatasan kuota dan nilai impor teh ke Indonesia Program
•
• Meningkatkan • komposisi produk teh olahan untuk diekspor dan meningkatkan • alokasi teh curah 1st grade di pasar DN Pembatasan kuota dan • nilai impor teh curah dan olahan •
121
4) Tahap Penyusunan Arsitektur Strategik Dalam menyusun rancangan arsitektur strategik bagi agribisnis teh Indonesia, penulis menggabungkan antara strategi, program dan rancang desain arsitektur yang bertujuan memberi gambaran kepada pembaca akan urutan program, prioritas serta tahapan strategi. Tidak ada pertimbangan baku dalam merancang sebuah arsitektur strategik, namun penyusunan prioritas strategi dilakukan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu seperti waktu, sasaran yang ingin dicapai, serta tantangan yang harus dihadapi. Rancangan arsitektur strategik agribisnis teh Indonesia merupakan rancangan program kegiatan yang dibuat untuk membantu memberi gambaran mengenai tahapan-tahapan yang dapat ditempuh demi mewujudkan sasaran di masa depan. Sumbu X dan Y merupakan sumbu yang menggambarkan dimensi waktu yang diperlukan untuk suatu strategi dan program tertentu. Sumbu X merupakan periode waktu yang digunakan dalam periode tahun, sedangkan sumbu Y waktu yang menggambarkan urutan program kegiatan. Program yang akan dicetak ke dalam arsitektur strategik tersebut terbagi menjadi program bertahap dan program rutin. Berikut ini adalah pembagian program bertahap dan program rutin : 1) Program Bertahap a. Periode I i. Merangsang pembentukan kelompok tani baru dan menguatkan kelompok tani yang sudah ada ii. Penyusunan rencana sekaligus koordinasi seluruh pihak terkait dengan pendirian kluster iii. Melakukan kajian mengenai batas dan dampak dari penetapan kebijakan pembatasan kuota dan nilai teh impor b. Periode II i. DTI mulai menjalin kerjasama dengan pihak pemerintahan dan lembaga keuangan ii. Menggalakan sertifikasi kebun dan pabrik tahap I (30 persen) iii. Penataan wilayah dan integrasi antar subsistem tahap I
122
iv. Melakukan kajian mengenai komposisi ragam produk teh yang akan diekspor v. Implementasi pembatasan kuota dan nilai teh ke Indonesia c. Periode III i. Menggalakan sertifikasi kebun dan pabrik tahap II (60 persen) ii. Penataan wilayah dan integrasi antar subsistem tahap II iii. Meningkatkan ragam produk teh (diversifikasi produk) d. Periode IV i. Meningkatkan porsi teh mutu pertama yang beredar di pasar domestik ii. Menggalakan sertifikasi kebun dan pabrik tahap II (80 persen) e. Periode V i. Pemberian insentif bagi perusahaan yang telah memiliki sertifikasi ii. Realisasi kluster industri teh di Jawa Barat 2) Program Rutin : a. Penyuluhan mengenai manfaat bertani secara kelompok, b. Pembinaan, pendampingan dan pelatihan skill management, c. Penyuluhan dan pembinaan rutin mengenai perencanaan produksi dan informasi pasar d. Asosiasi dan DTI secara aktif dan rutin melakukan pemantauan dan survey lapang e. Meningkatkan kegiatan promosi untuk memperluas pasar di dalam negeri f. Meningkatkan brand awareness dan brand image produk teh Indonesia di pasar internasional g. Peningkatan luas area tanam, replanting, rehabilitasi, intensifikasi
123
PERIODE I STRATEGI
1. Pembentukan dan penguatan kelompok tani 2. Melakukan perencanaan produksi; serta mengatur, mengendalikan dan menjaga kualitas dan kuantitas stok di pasar 3. Meningkatkan peranan ATI, APTEHINDO, dan DTI bagi produsen, khususnya petani rakyat 4. Mempercepat pelaksanaan industri teh berkelanjutan 5. Merancang pendirian kluster industri teh di Jawa Barat 6. Meningkatkan kegiatan promosi produk teh Indonesia 7. Meningkatkan produksi, dan diversifikasi produk 8. Meningkatkan komposisi produk teh olahan untuk diekspor dan meningkatkan alokasi teh curah 1st grade di pasar DN 9. Pembatasan kuota dan nilai impor teh curah dan olahan
9a. Kajian mengenai batas dan dampak kebijakan tarif impor 5a. Perencanaan dan koordinasi dalam rangka pembangunan kluster industri teh Jabar 1b. Merangsang pembentukan kelompok tani baru dan penguatan kelompok tani lama
PERIODE II
PERIODE III
PERIODE IV
PERIODE V
9b. Implementasi kebijakan impor baru 8a. Kajian mengenai ragam teh yang diekspor 5b. Penataan wilayah dan integrasi antar subsistem tahap I 4a. Sertifikasi kebun dan pabrik tahap I (30 persen)
3b. DTI melakukan kerjasama dengan pemerintah &lembaga keuangan
7b. Peningkatan ragam produk teh (diversifikasi produk) 5b. Penataan wilayah dan integrasi antar subsistem tahap II
8b. Meningkatkan porsi teh mutu pertama di pasar DN
4a. Sertifikasi kebun dan pabrik tahap II (60 persen)
4a. Sertifikasi kebun dan pabrik tahap III (80 persen)
5c. Realisasi pendirian kluster industri teh di Jawa Barat 4b. Pemberian insentif bagi perusahaan yang telah tersertifikasi
PROGRAM RUTIN 1a. Penyuluhan mengenai manfaat bertani secara kelompok, 1c. Pembinaan, pendampingan dan pelatihan skill management, 2a. Penyuluhan dan pembinaan rutin mengenai perencanaan produksi dan informasi pasar 3a. Asosiasi dan DTI secara aktif dan rutin melakukan pemantauan dan survey lapang 6a. Meningkatkan kegiatan promosi untuk memperluas pasar di dalam negeri 6b. Meningkatkan brand awareness dan brand image produk teh Indonesia di pasar internasional 7a. Peningkatan luas area tanam, replanting, rehabilitasi, intensifikasi
SASARAN 1. Peningkatan luas area, produksi, produktivitas, konsumsi domestik, dan volume ekspor teh, 2. Peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani, 3. Peningkatan mutu dan pengembangan produk teh, 4. Peningkatan upaya promosi secara intensif.
TANTANGAN 1. Penurunan luas area perkebunan serta banyaknya kebun-kebun tua yang sudah tidak produktif lagi, 2. Rendahnya pengetahuan konsumen dalam negeri akan manfaat teh yang menyebabkan konsumsi teh domestik masih rendah, 3. Meningkatnya kesadaran masyarakat global terhadap kesehatan, pelestarian lingkungan, keselamatan kerja, dsb yang menjadi hambatan non-tarif bagi Indonesia, serta 4. Perubahan lingkungan persaingan yang begitu cepat dan agresif.
Gambar 14. Rancangan Arsitektur Strategik Agribisnis Teh Indonesia
124
VIII KESIMPULAN DAN SARAN 8.1 Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka kesimpulan yang dapat diperoleh, adalah : 1) Sistem agribisnis teh Indonesia terbagi menjadi : a. Subsistem Hulu Subsistem ini terdiri dari empat kegiatan utama, yaitu usaha pembibitan teh, usaha penyedia sarana dan jasa transportasi, usaha penyedia pupuk dan obat-obatan serta usaha penyedia alat dan mesin pertanian. Kegiatan pembibitan teh didukung oleh adanya Pusat Penelitian Teh dan Kina yang menghasilkan klon unggul. Sarana dan jasa transportasi menjadi aspek yang sangat penting mengingat distribusi teh dilakukan dari perkebunan yang umumnya terletak di daerah pegunungan hingga ke berbagai negara di seluruh dunia. Pupuk dan obat-obatan merupakan komponen terpenting dalam kegiatan budidaya teh, biaya untuk pupuk dapat mencapai 10-40 persen dari total biaya produksi. Namun hingga saat ini masih sering terjadi kelangkaan pupuk di kalangan produsen. Sementara pengadaan mesin-mesin pengolah umumnya masih tergantung pada mesin impor. b. Subsistem Budidaya Berdasarkan tipe kepemilikannya, perkebunan teh di Indonesia terdiri dari Perkebunan Rakyat (PR), Perkebunan Besar Negara (PBN) dan Perkabunan Besar Swasta (PBS). Luas area PR mencapai 46,25 persen, dengan produksi sekitar 38.593 ton. Sementara luas area PBN dan PBS mencapai 31,2 persen dan 22,55 persen dengan produksi mencapai 78.354 ton dan 37.024 ton. Produktivitas PR mencapai 791,9 kg/ha, PBN sebesar 1.956,5 kg/ha dan PBS mencapai 1.301,8 kg/ha. c. Subsistem Pengolahan Teh Curah Pabrik teh curah di Indonesia terbagi menjadi pabrik teh hitam curah dan pabrik teh hijau curah. Sebagian besar teh yang diekspor Indonesia
125
merupakan teh hitam (87,47 persen), dan sisanya adalah teh hijau (12,5 persen) d. Subsistem Pemasaran Jalur pemasaran teh terbagi menjadi jalur perdagangan langsung dan jalur perdagangan lelang. Jalur tataniaga perdagangan langsung masih merupakan jalur yang panjang dan tidak efektif, khususnya bagi petani teh. Hingga saat ini, masih banyak petani yang memperoleh harga rendah akibat adanya penekanan harga yang dilakukan oleh pedagang pengumpul. Sementara jalur perdagangan melalui proses lelang (Jakarta Tea Auction) lebih ditujukan untuk perdagangan teh ke pasar internasional. Harga yang terbentuk pada JTA digunakan sebagai patokan harga teh nasional. Struktur pasar oligopoly buyers market yang dihadapi pada kegiatan lelang di JTA dinilai masih belum dapat menciptakan proses pembentukan harga yang efektif, karena masih adanya dominasi dari beberapa perusahaan besar tertentu. e. Subsistem Jasa Penunjang Kegiatan agribisnis teh di Indonesia tidak terlepas dari kontribusi Pusat Penelitian Teh dan Kina sebagai lembaga riset. Sejauh ini, PPTK telah mampu menghasilkan berbagai hasil penelitian yang telah digunakan untuk pengembangan industri teh di Indonesia. Berbeda dengan PPTK, keberadaan lembaga keuangan khususnya perbankan di Indonesia dinilai belum sepenuhnya mendukung kegiatan agribisnis teh, khususnya dalam memberi dukungan pembiayaan pada produsen terutama petani. Selain kedua lembaga tersebut, terdapat pula kelompok tani, koperasi, lembaga pemasaran seperti PT KPBN, asosiasi-asosiasi dan Dewan Teh Indonesia yang juga tergolong ke dalam susbsistem jasa dan penunjang. 2) Berdasarkan analisis dayasaing menggunakan Sistem Berlian Porter dapat disimpulkan bahwa keterkaitan yang saling mendukung antar komponen utama telah terlihat pada komponen faktor sumberdaya dengan komponen komposisi permintaan domestik dan komponen faktor sumberdaya dengan komponen industri terkait dan industri pendukung. Sementara antara komponen utama lainnya, belum terlihat keterkaitan yang saling mendukung.
126
Selain itu, apabila dilihat dari keterkaitan antara komponen pendukung dengan komponen utama, komponen peran pemerintah ternyata baru memiliki keterkaitan yang mendukung dengan komponen faktor sumberdaya saja, sementara dengan komponen lainnya pemerintah dinilai belum memiliki keterkaitan yang saling mendukung. Berbeda dengan komponen pemerintah, komponen peranan kesempatan dengan adanya kesempatan berupa penurunan produksi yang dilanda Kenya, Sri Langka dan India akibat kekeringan, juga semakin merebaknya isu kesehatan di kalangan masyarakat global ternyata telah mampu mendukung semua komponen utama dalam Sistem Berlian Porter. 3) Strategi peningkatan dayasaing yang dihasilkan melalui analisis Matriks SWOT lebih mengarah kepada strategi peningkatan kinerja petani teh rakyat, yaitu dengan meningkatkan posisi tawar petani melalui penguatan kelompok tani dan dukungan dari adanya asosiasi dan Dewan Teh Indonesia. Sementara untuk perkebunan besar negara dan swasta strategi lebih mengarah kepada peningkatan produksi dan diversifikasi produk, khususnya untuk produk teh tujuan ekspor. Permasalahan lain yang menjadi fokus strategi adalah permasalahan yang terkait dengan konsumsi teh, strategi yang digunakan lebih diutamakan kepada peningkatan upaya promosi yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai teh dan manfaatnya. 8.2 Saran Adapun saran yang diajukan penulis untuk penelitian selanjutnya adalah sebagai berikut : 1) Dalam melakukan analisis gambaran sistem agribisnis teh Indonesia, penulis belum mampu melakukan analisis secara rinci di setiap subsistem, karena itu diharapkan dalam penelitian selanjutnya dilakukan penelitian secara khusus untuk masing-masing subsistem sehingga dapat diketahui potensi serta kendala yang mendasar namun belum muncul ke permukaan. 2) Berdasarkan analisis dayasaing agribisnis teh Indonesia, penelitian ini belum mampu melihat sejauh mana keterkaitan antar komponen serta sejauh mana bentuk dukungan yang diberikan oleh komponen-komponen yang telah saling
127
3) Untuk mendukung rumusan strategi pembangunan kluster industri teh di Jawa Barat, maka dibutuhkan penelitian lanjutan mengenai kesiapan dan strategi pembangunan dalam bentuk rancangan kluster industri teh di Jawa Barat sebagai sentra produksi teh di Indonesia.
128
DAFTAR PUSTAKA Adam RP. 2006. Pengaruh Faktor Internal Konsumen dan Kinerja Bauran Pemasaran terhadap Pengambilan Keputusan Pembelian Komoditas Teh oleh Konsumsi Rumah Tangga di Jawa Barat [Disertasi]. Bandung : Program Doktor bidang Ilmu Pertanian, Universitas Padjajaran. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Statistik Perkebunan : Tree Crop Estate Statistics 2010. Direktorat Jenderal Perkebunan, Departemen Pertanian. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Statistik Perkebunan 2011. Direktorat Jenderal Perkebunan, Departemen Pertanian. Cho, Dong-Sung dan Hwy-Chang Moon. 2003. Evolusi Teori Dayasaing. Jakarta : Penerbit Salemba Empat. David Fred R. 2009. Manajemen Strategis Konsep. Sunardi D, penerjemah; Wuriarti P, editor. Jakarta : Salemba Empat. Terjemahan dari : Strategic Management 12th Edition. [Dirjenbun] Direktorat Jenderal Perkebunan. 2010. Teh Indonesia dalam Angka 2010. Direktorat Jenderal Perkebunan, Departemen Pertanian. Doerjat Iman S. 2007. Pengaruh Kinerja Atribut Produk, Tingkat Harga Pada Pelanggan Akhir, Ketersediaan Produk, dan Kinerja Promosi terhadap Nilai Pelanggan serta Implikasinya pada Kepuasan Pelanggan Produk Teh Hitam Celup [Disertasi]. Bandung : Program Doktor bidang Ilmu Manajemen Bisnis, Universitas Padjajaran. Febriyanthi SA. 2008. Analisis Daya Saing Ekspor Komoditi Teh Indonesia Di Pasar Internasional [Skripsi]. Bogor : Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Halik A. 2009. Sambutan Ketua Umum Dewan Teh Indonesia. Di dalam Prosiding Pertemuan Teknis Teh Tahun 2009 : Teknologi Terkini untuk Mendukung Sustainable Tea. Solo, 14-15 Oktober 2009. Bandung : PPTK. Hlm v-ix. Hamel G, Prahald CK. 1995. Kompetisi Masa Depan. Maulana A, penerjemah; Saputra L, proof reader. Jakarta : Binarupa Aksara. Terjemahan dari : Competing for The Future. Indarto P. 2007. Teh Minuman Bangsa-Bangsa di Dunia. Jakarta : Pawon. Irianto G. 2009. Sambutan dan Keynote Speech Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian. Di dalam Prosiding Pertemuan Teknis Teh Tahun 2009 : Teknologi Terkini untuk Mendukung Sustainable Tea. Solo, 14-15 Oktober 2009. Bandung : PPTK. Hlm i-iv.
129
[ITC] International Tea Committee. 2009. Annual Bulletin of Statistics. International Tea Committee. Kementrian Pertanian Republik Indonesia. 2010. Rencana Strategis Kementrian Pertanian 2010-2014. Kementrian Pertanian Republik Indonesia. Kustanti VR, Widyanti T. 2007. Research on Supply Chain in The Tea Sector in Indonesia. The Business Watch Indonesia. Nazaruddin, Paimin FB. 1993.Pembudidayaan dan Pengolahan Teh. Cetakan I. Jakarta : Penebar Swadaya. Pambudi J. 2006. Potensi Teh sebagai Sumber Zat Gizi dan Perannya dalam Kesehatan. Bogor : Lembaga Riset Perkebunan Indonesia. Porter ME. 1990. The Competitive Advantage of Nations. New York : The Free Press. Porter ME. 1998. On Competition (The Harvard Business Review Book Series). United States of America : Harvard College. [PPTK] Pusat Penelitian Teh dan Kina. 2006. Petunjuk Kultur Teknis Tanaman Teh. Bandung : Pusat Penelitian Teh dan Kina. [PPTK] Pusat Penelitian Teh dan Kina. 2007. Petunjuk Teknis Pengolahan Teh. Edisi Kedua. Bandung : Pusat Penelitian Teh dan Kina. [Pusdatin] Pusat Data dan Informasi Pertanian. 2009. Konsumsi Pangan. Jakarta : Pusat Data dan Informasi Pertanian, Departemen Pertanian. Puspita AAD. 2009. Analisis Dayasaing dan Strategi Pengembangan Agribisnis Gandum Lokal Di Indonesia [Skripsi]. Bogor : Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Rachman et al. 2002. Studi Pengembangan Sistem Agribisnis Perkebunan Rakyat dalam Perspektif Globalisasi Ekonomi. Bogor : Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Rangkuti F. 2006. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis : Reorientasi Konsep Perencanaan Strategis untuk Menghadapi Abad 21. Cetakan Kedua Belas. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. Rosyadi et al. 2003. Penerapan Coporate Farming dalam Sistem Agribisnis Perkebunan Teh Rakyat Untuk Meningkatkan Pendapatan Petani dalam Prosiding Simposium Teh Nasional 2003. Hlm : 106 Rosyadi AI, Wahyu DS. 2007. Identifikasi Masalah Usaha Tani Teh Rakyat di Kecamatan Cikalong Wetan dalam Warta Pusat Penelitian Teh dan Kina. 18 (1-3). 2007 : 63-71. Hlm 68
130
Santoso J. 2009. Sambutan Direktur Pusat Penelitian Teh dan Kina. Di dalam Prosiding Pertemuan Teknis Teh Tahun 2009 : Teknologi Terkini untuk Mendukung Sustainable Tea. Solo, 14-15 Oktober 2009. Bandung : PPTK. Hlm x-xiv. Santoso J, Suprihatini R. 2007a. Usulan Kebijakan Harmonisasi Tarif Impor Teh Indonesia. Di Dalam Prosiding Pertemuan Teknis Teh dan Kina Akhir Tahun 2007 : Dukungan Teknologi untuk Menyelamatkan Industri Teh dan Kina Nasional. Bandung : PPTK. Hlm 1-15. Santoso J, Suprihatini R. 2007b. Kebijakan yang Perlu Diperjuangkan untuk Revitalisasi Agribisnis Teh Nasional. Di Dalam Warta Pusat Penelitian Teh dan Kina 18(1-3) 2007. Bandung : PPTK. Hlm 1-18. Saragih B. 2010. Suara Agribisnis : Kumpulan Pemikiran Bungaran Saragih. Jakarta : PT Permata Wacana Lestari. Simatupang P. 2010. Introduksi dan Praksis Paradigma Agribisnis di Indonesia : Kontribusi Profesor Bungaran Saragih. Di dalam Krisnamurthi Bayu, Pambudy Rachmat, Dabukke Frans BM, editor. Refleksi Agribisnis. Bogor : IPB Press. Hlm 23-43. Siregar PK. 2009. Analisis Dampak Penghapusan Tarif Impor Susu Terhadap Daya Saing Komoditas Susu Sapi Lokal (Studi Kasus : Peternak Anggota TPK Cibedug, KPSBU Jawa Barat). [Skripsi]. Bogor : Fakultas Ekonomi Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Suprihatini R, Rosyadi AI. 2003. Evaluasi Terhadap Kebijakan Produksi dan Perdagangan Teh dalam Rangka Meningkatkan Dayasaing Teh Nasional. Di Dalam Prosiding Simposium Teh Nasional 2003. Bandung : PPTK. Hlm 122. Surjadi D. Pengaruh Mutu-Dalam Terhadap Konsumsi Teh : Suatu Analisis Konsumsi Teh Di Pasar Domestik. 2003. Di Dalam Prosiding Simposium Teh Nasional 2003. Bandung: PPTK. Hlm 296-303. Suryatmo FA. 2003 Pengembangan Produk Hilir Teh di Indonesia. Di Dalam Prosiding Simposium Teh Nasional 2003. Bandung : PPTK. Hlm 87-95. Tarigan B. 2003. Upaya Mengatasi Krisis Industri Teh Indonesia. Di Dalam Prosiding Simposium Teh Nasional 2003. Bandung : PPTK. Hlm 304-306. Tarmidi LT. 2007. Riset Pasar Teh : Dubai, Pakistan, Kazakhstan dan Uzbekistan. Jakarta : Kantor Pemasaran Bersama PT. Perkebunan Nusantara. Tatakomara E. 2004. Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ekspor Komoditi Teh Indonesia, Serta Daya Saing Komoditi Teh Di Pasar Internasional [Skripsi]. Bogor : Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
131
Widayat W, Abbas T, Rayati DJ. 2003. Usaha Perbaikan Lingkungan untuk Menjamin Produksi Tinggi dan Berkelanjutan. Di Dalam Prosiding Simposium Teh Nasional 2003. Bandung : PPTK. Hlm 59-69. Yusdja Y, Sajuti R, Supriyati, Winarso B. 2003. Analisis Dampak Sosial Ekonomi terhadap Adopsi Teknologi PHT Perkebunan Teh Rakyat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Yoshida DT. 2006. Arsitektur Strategik : Sebuah Solusi Meraih Kemenangan dalam Dunia yang Senantiasa Berubah. Jakarta : Elex Media Komputindo.
132
LAMPIRAN
Lampiran 1. Persentase Pangsa Produksi Teh Dunia (2000-2008) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Negara India Bangladesh Sri Langka Indonesia Cina Iran Jepang Turki Vietnam Kenya Malawi Uganda Lainnya
Pangsa Produksi (persen) 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 28,8 27,9 27,2 27,4 27,0 27,3 27,4 25,2 25,8 1,8 1,9 1,7 1,8 1,7 1,8 1,5 1,5 1,5 10,4 9,7 10,1 9,5 9,3 9,2 8,7 8,1 8,4 5,5 5,5 5,3 5,3 5,0 4,5 4,1 3,7 3,6 23,6 22,9 24,2 24,0 25,2 27,0 28,7 30,4 31,6 1,5 1,9 1,6 1,8 1,2 0,7 0,6 0,4 0,5 3,0 3,0 2,7 2,9 3,0 2,9 2,8 2,5 2,4 4,4 4,7 4,6 4,8 5,1 3,9 4,0 4,7 4,1 2,4 2,6 2,9 2,9 2,8 3,8 4,0 4,0 4,4 8,0 9,6 9,3 9,2 9,8 9,3 8,7 9,8 9,1 1,4 1,2 1,3 1,3 1,5 1,1 1,3 1,3 1.1 1,0 1,1 1,1 1,1 1,1 1,1 1,0 1,2 1.1 8,2 8,0 8,0 8,0 7,3 7,4 7,2 7,2 6,4
Sumber : ITC (2009)
Lampiran 2. Persentase Pangsa Ekspor Teh Dunia (2000-2008) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Negara India Bangladesh Sri Langka Indonesia Cina Vietnam Kenya Malawi Uganda Tanzania Argentina Lainnya
Pangsa Produksi (persen) 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 15,4 12,8 13,8 12,2 12,4 12,4 13,6 11,1 11,8 1,4 0,9 0,9 0,9 0,9 0,6 0,3 0,7 0,5 21,1 20,5 19,9 20,8 18,6 19,0 19,9 18,7 18,2 8,0 7,1 7,0 6,3 6,3 6,5 6,0 5,3 5,8 17,2 17,8 17,5 18,6 17,9 18,2 18,1 18,4 18,1 4,2 4,2 5,3 4,3 6,3 5,6 6,6 7,1 6,3 16,4 19,3 18,9 19,3 21,4 22,2 19,8 21,8 23,4 2,9 2,7 2,7 3,0 3,0 2,7 2,7 3,0 2,4 1,7 1,6 1,6 1,5 1,5 1,4 1,5 1,9 1,5 2,0 2,2 2,2 2,4 1,9 2,1 2,1 2,8 2,6 3,8 4,0 4,0 4,2 4,2 4,2 4,5 4,8 4,7 5,9 6,9 6,2 6,5 5,6 5,1 4,9 4,4 4,7
Sumber : ITC (2009)
Lampiran 3. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Teh Dunia Tahun Produksi (000 Ton) Konsumsi (000 Ton) 1998 3.026 2.973 1999 2.948 2.925 2000 2.929 2.880 2001 3.058 2.992 2002 3.086 3.021 2003 3.217 3.173 2004 3.335 3.203 2005 3.458 3.361 2006 3.580 3.488 2007 3.751 3.618 2008 3.804 3.658 Sumber : ITC (2009)
134
Lampiran 4. Daftar Perusahaan Teh di Indonesia No 1 2 3 4
Nama Perusahaan CV Agrogarden CV Anugerah PT Arteri Megah PT Chakra
5 6 7 8 9
PT Cipta Monang Utama Lipton Tea Supply Unilever Tbk (Consultative Tea Group) PT Danitama Niagaprima Daun Burung PT Duta Serpack Inti
10 11 12 13
PT Fajar Nusa Rifindo PT Gunung Rosa Djaja PT Gunung Sari Hijau 63 PT Hefima Niagatama
14 15
20
PT Ide Mesin Teh Indonesia L.Elink Schuurman (Thee) BV (Representative Office) PT Incomex Agratama INDOHAM (Representative Office) PT Indo Tirta Jaya Abadi Indonesia Nature Tea Company PT Intermas Pasific Mutiara
21 22
PT Jangkar Jati UD Jasa Prima
23 24 25 26 27
PT J.A Wattie JFR Scheibler & Co PT Karti Wana Raya KOPTHINDO PT Kantor Pemasaran Bersama Nusantara PD Kurnia PT Lautan Mutiara Sewu PT Mohtex PT Martina Berto
16 17 18 19
28 29 30 31 32 33 34
PT Maskapai Perkebunan Mulia PT Megah Salaras PT MP. Indorub Sumber Wadung
Alamat Jln. Sultan Agung Tirtayasa No. 21 Cirebon Jln. Suniaraja No. 2 D Bandung, 40111 Jln. Tirtasari 81 RT 09/01 Cipayung, Depok Timur Jln. Bojong Buah Raya No. 6A Kawasan Industri Cilamjoeni, Bandung Jln. Cideng Timur No. 86, Jakarta 10160 Buying Department 2nd Floor Haery I Building, Jln. Kemang Selatan Raya No.151 Jakarta 10151 Jln. Sultan Hasanudin 47-48 Jakarta 12160 Jln. Jenderal A. Yani No. 142/144 Tegal Kawasan Industri Palm Manis, Desa Gandasari, Jati Uwung, Tangerang Jln. Cipinang Cempedak II/2 Polonia, Jakarta Desa Karyamukti, Campaka, Cianjur Desa Susukan Tr II/6, Cigudeg, Bogor Jln. Raya Alternatif Cibubur Blok G No. 15, Cimanggis, Cibinong Jln. Dr. Wahidin No.31 Tegal 52111 Wisma Adiwirakerta Lantai III, Jln. Wijaya I No. 7, Kebayoran Baru, Jakarta Jln. Jati Padang No. 15 Pasar Minggu, Jakarta Hotel Kartika Chandra, Office Tower Lt.7, Jln. Gatot Subroto, Jakarta 12930 Jln. Majapahit No. 769 (Km 11), Semarang Jln. Soetomo No. 480, Medan 20231 Kebon Jeruk Plaza Blok B No. 3-3 dan C 3-4 Jln. Perjuangan Kedoya, Jakarta 11530 Jln. Ancor Barat VII No. 12 Blok A/50, Jakarta Jln. Citaliktik Bojongsayang No. 23, Pananjung, Bandung 40377 Wisma BSG Lt.8 Jln. Abdul Muis No. 40 Jakarta Jln. Raya Jatipadang No. 15, Ragunan Jakarta Jln. Kebun Besar No. 27, Jakarta 12420 Jln. Soekarno Hatta No. 35, Bandung 40233 Jln. Taman Cut Mutiah No. 11, Jakarta Jln. Cipelang Leutik II/3, Sukabumi 43114 Jln. Cideng Barat No. 37 A/B, Jakarta 11440 Jln. KH. Wahid Hasyim No. 45 Jakarta 10350 Kawasan Industri Pulogadung Jln. Pulo Kambing II No. 1 Jakarta 13930 Gedung Tedja Buana Lt. 3 Jln. Menteng Raya No. 29, Jakarta 10340 Jln. Arteri Pondok Indah 28 E, Kebayoran Lama, Jakarta, 10350 Jln. Puri Mutiara VI No. 18E, Cipete Selatan, Jakarta 12410 135
No Nama Perusahaan 35 PD Mekar Wangi 36 PT Multi Fitindo 37 PT Multikemindo Perkasa 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74
Alamat Jln. Sumber Hegar V No. 12-8, Bandung 40222 Jln. Pintu Air V No. 53B Pasarbaru, Jakarta 12710 Golden Vile Blok CF Jln. Kali Sekretaris (Daan Mogot II) No. 58, Jakarta 11510 PT Mustika Ratu Tbk Mutika Ratu Centre 12th Floor, Jln. Gatot Subroto Kav. 74-75, Jakarta Selatan CV Nanjung Jln. Satria K No. 70 Cibolerang, Bandung 40224 PT Nanteatraco Jln. Tulodong Bawah VIII No. 33, Kebayoran Baru, Jakarta 12190 PT Nitoh Malindo Jln. Saweringanding No. 12 Makasar 90113 PT Nirmala Agung Gedung JITC Lt. 9-10, Jln. Mangga Dua Raya, Jakarta PT Nyalindung Jln. Raya Purwakarta No. 625 Desa Nyalindung Cipatat, Bandung PT Otsuka Jaya Indah Jln. Cilosari No. 25 Cikini, Jakarta Pusat Pabrik Teh Teteco Jln Srayu No. 7 Tegal Pabrik Teh Tong Tji Jln. Jenderal A. Yani No. 210, Tegal CV Padakersa Jln. Tomang Raya No. 47 G, Jakarta 11440 PT Pagilaran Jln. Faridan M. No. 11 Yogyakarta 55224 PT Pecconina Baru Jln. Bekasi Timur IV No. 3A Jatinegara, Jakarta Penyortir Teh “Djunaedi” Jln. Bintang Mas No. 17 Cibinong, Bogor PT Perkebunan Nusantara VIII Jln. Sindang Sirna No. 4 Bandung 40153 PT Perkebunan Nusantara XII Jln. Rajawali No. 44 Surabaya 60175 PT Perkebunan Nusantara IX Jln. Mugas Dalam (Atas), Semarang 50011 PT Perkebunan Nusantara IV Jln. Letjen Suprapto No. 2 Medan 20152 PT Perkebunan Nusantara VI Jln. Zainir Havis No. 1 Koto Baru, Jambi 36128 PT Perkebunan Nusantara VII Jln. Prof. Dr. Suparno, SH No. 231, Jakarta 12870 PT Perkebunan Teh Jambi Jln. T. Jogonegoro No. 39 Wonosobo CV Prima Jasa Jln. Merdeka No. 48, Bogor PT Perkebunan Cihaur I-V Kebon Jeruk Plaza Blok E-11, Jln. Perjuangan Kedoya, Jakarta 11530 PT Perkebunan Hasfarm Napu Jln. Hasanudin No. 6 Blok M3 Jakarta 12160 Perusahaan Teh Ciwangi Jln. Pasirkaliki No. 135 Bandung Perusahaan Teh Cangkir Jln. Jenderal A. Yani No. 10 Pekalongan PT PP London Sumatera Jln. A. Yani No. 2 Medan PT Pucuk Mas Tiga Daun Jln. Taman Aries Blok H-4 No. 11, Jakarta 11620 CV Putra Sejati Jln. Holis No. 266 Bandung Pusat Penelitian Teh dan Kina Jln. Ir. H. Juanda No. 107 Gambung, Bandung Pukoveri Jabar Jln. Aceh No. 4 Bandung (Unit Niaga dan Jasa) PT Putindo Inti Selaras Jln. Bisma Raya Blok A No. 548 Jakarta PT Rambate Ratahayu Jln. Citarum No. 19 Surabaya 60241 PT Roboco Jayatama Jln. KH Hasyim Ashari, Jakarta 10150 PT Sarana Mandiri Mukti Gedung Manggala Wanabakti Blok IV Lt. 3 No. 314b, Jln. Jenderal Gatot Subroto Senayan, Jakarta PT Sari Bumi Kawi Jln. Jenderal A. Yani No. 15 Wlingi, Blitar PT Sari Bumi Pakuan Jln. Pulo Ayang Raya Blok OR-1 Kawasan Industri Pulogadung , Jakarta PT Sariwangi A.E.A Jln. Mercedes Benz No. 228, Cicadas, Gunung Putri, Bogor 136
No 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84
Nama Perusahaan PT Sari Rasa PT Sasanamitra Wijaya Seko Fajar Plantation PT Setia Hati Nugraha Setyawan PD Sidodadi PT Sinar Inesco PT Sinar Maluku PT Sinar Sosro Indonesia PT Spadenta Nusantara
85 86 87
CV Sumber Hidup PT Sumber Rejeki PT Tatar Anyar Indonesia
88 89 90 91 92 93 94 95 96
PT Teha Pabrik Teh Giju Teh Gunung Subur PT Teh Nusamba Indah Teh Pecco PT Teh Wangi 999 PT Trijasa Primaselaras PT Tunggal Naga Van Rees BV (Representative Office) Yoosuf Akbani
97
Alamat Jln. Tiang Bendera III No. 8, Jakarta Pusat Jln. Cempaka Putih Timur IV No. 10, Jakarta Jln. Gatot Subroto Kav 22, Jakarta 12930 Jln. Lautze No. 17 K, Jakarta Pusat 10210 Jln. Kebonjati No. 230, Bandung Jln. Dr. Cipto No. 65 Pekalongan Timur Jln. Batununggal Permai V No. 1, Bandung Jln. Lamandau IV No. 21 Kebayoran Baru, Jakarta Jln. Raya Bekasi Km 28 Cakung, Jakarta 13960 Jln. Pulo Asem Timur II No. 16 Rawamangun, Jakarta Timur Jln. Pasar Baru No. 84 Banjarmasin, Kalimantan Jln. Kolonel Sugiono No. 39, Tegal Cilandak Commercial Estate, Building 202EN Cilandak, Jakarta 12075 Jln. Arjuna No. 29 Bandung Jln. Pekalongan No. 44 Cirebon Jaten Km 9, Karanganyar, Surakarta Jln. Menteng Raya No. 73, Jakarta 10330 Jln. Kalibaru Selatan No. 3, Cirebon Jln. RA Kartini No. 61-63, Pekalongan Jln. Gajahmada No. 194, Jakarta 11120 Jln. Raya Selatan No. 130 Adiwerna, Tegal Deli Maatschppij, Cilandak Commercial Estate Building III, Jln. KKD Cilandak, Jakarta 12560 Jln. Cempaka Putih Tengah No. 27B/D-4, Jakarta
Sumber : Indonesian Tea Catalogue
137
Lampiran 5. Berbagai Jenis Mutu Teh Curah
Broken Orange Peko (BOP)
DUST
Broken Tea (BT)
Broken Orange Peko Fanning (BOP F)
Broken Peko (BP)
Peko Fanning (PF)
Broken Orange Peko 1 (BOP 1)
Broken Peko 1 (BP 1)
138
Peko Fanning 1 (PF 1)
Fanning (FANN)
Peko Fanning 2 (PF 2)
Peko Dust (PD)
DUST 2
Tea Sample yang dibagikan kepada peserta lelang 2 minggu sebelum Auction
Sumber : PT Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (2011)
139