ANALISIS DAYASAING P.T. TELEKOMUNIKASI SELULER DALAM INDUSTRI TELEKOMUNIKASI SELULER INDONESIA PASCALIBERALISASI INDUSTRI TELEKOMUNIKASI (PERIODE TAHUN 2001-2013)
KEMAL AKBAR
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Dayasaing P.T. Telekomunikasi Seluler dalam Industri Telekomunikasi Indonesia Pascaliberalisasi Industri Telekomunikasi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juni 2015
Kemal Akbar NIM H14110068
ABSTRAK KEMAL AKBAR. Analisis Dayasaing Telkomsel dalam Industri Telekomunikasi Indonesia Pascaliberalisasi Industri Telekomunikasi. Dibimbing oleh MUHAMMAD FINDI A. Telekomunikasi merupakan sebuah kebutuhan pada era teknologi di seluruh dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Jasa telekomunikasi seluler menjadi pilihan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia untuk berhubungan dengan orang lain. Pada tahun 1999 pemerintah meliberalisasi sektor telekomunikasi Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Hal ini berpengaruh besar bagi industri telekomunikasi Indonesia dan perusahaanperusahaan di dalamnya termasuk Tekomsel. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dayasaing Telkomsel pascaliberalisasi industri telekomunikasi, struktur, dan faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja industri tersebut. Metode yang digunakan adalah Structure Conduct Performance (SCP) dan Panel Data. Hasil analisis SCP menunjukkan bahwa struktur industri telekomunikasi Indonesia pascaliberalisasi adalah oligopoli ketat dan Telkomsel sebagai penguasa pasar dengan pangsa pasar terbesar. Sedangkan hasil analisis panel data menunjukkan bahwa jumlah BTS, total aset, nilai ARPU, dan jumlah pelanggan berpengaruh positif terhadap kinerja industri telekomunikasi dengan koefisien masing-masing sebesar 0.22, 0.27, 0.51, dan 0.45. Kata kunci : liberalisasi, panel data, SCP, telekomunikasi, telkomsel.
ABSTRACT KEMAL AKBAR. Analysis of The Competitiveness of P.T. Telekomunikasi Seluler in The Post-Liberalization of Indonesian Telecommunications Industry. Supervised by MUHAMMAD FINDI A. Telecommunications has become a necessityon this technology era throughout the world including Indonesia. The phone celular service has been chosen by almost Indonesian people to communicate with others. On 1999, the telecommunications sector had been liberalized by the government through theLawNo.36 of 1999 concerning telecommunications.It has a great impact on the industry and the firms involved, including Telkomsel. This study aims to analyze the competitiveness of Telkomsel in the post-liberalization telecommunications industry, the structure, and the factors affecting peformance of the industry. The method used are Structure Conduct Performance (SPC) dan Panel Data. The SCP analysis result shows that the industry in post-liberalization has a tight oligopoly structure whichTelkomsel becomes the ruler of the marketwith the largest share. Whereas, panel data result shows that the performance on telecommunications industry is positively affected by total BTS, total assets, ARPU value, and the number of customer with the coefficient of each 0.22, 0.27, 0.51, and 0.45. Keywords : Liberalization, panel data, SCP, telecommunication, telkomsel.
ANALISIS DAYASAING P.T. TELEKOMUNIKASI SELULER DALAM INDUSTRI TELEKOMUNIKASI SELULER INDONESIA PASCALIBERALISASI INDUSTRI TELEKOMUNIKASI (PERIODE TAHUN 2001-2013)
KEMAL AKBAR
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Judul Skripsi : Anal isis Dayasaing P.T. Telekomunikasi Seluler dalam Industri Telekomunikasi Indonesia Pascaliberalisasi Jndustri Telekomunikasi Kemal Akbar Nama : H 14 I I 006~ NIM
Disetujui oleh
Dr Muhammad Findi A. ME Pembimbing
',,,. ' :;, D
•'~~
~ 'D eu1 ~ - B u d.1man H ahlm, J,: MAE c \ · ~ .. ·. r J r--· Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
1 1 AUJ 2015
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan karuniaNya sehingga skripsi yang berjudul Analisis Dayasaing Telkomsel dalam Industri Telekomunikasi Indonesia Pascaliberalisasi Industri Telekomunikasi ini dapat diselesaikan. Penyusunan tulisan ini sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan program Strata-1 pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang telah membantu dalam proses penyelesaian tugas akhir ini. Ucapan terima kasih disampaikan kepada: 1. Dr Muhammad Findi A, M E selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan baik secara teknis, moril, maupun spiritual sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. 2. Dr Ir Wiwiek Rindayati, M Si dan Khalifah Muhammad Ali, M Si selaku dosen penguji. 3. Orang tua dan keluarga penulis M.S. Wahjuntoro (Ayah), Sri Harini K. (Ibu) dan Renadia (Adik) atas doa dan dukungan baik secara moril maupun materil yang diberikan kepada penulis dalam proses penyelesaian skripsi. 4. Teman-teman satu bimbingan Widya Paramawidhita, Rosy Noviza, dan Zulva Azizah yang senantiasa saling membantu dalam penyusunan skripsi. Sahabat-sahabat terbaik yaitu Cintia Risma, Riana Santoso, Selamet Widodo, Faisal Amir, Faris Ady N, Feriansyah, Oktavina Widya K, Asia Miscolayati H, Randi W, dan Doni Jaelani. 5. Teman-teman UKM MAX IPB yang telah menjadi partner dalam mengembangkan kemampuan di bidang musik, event organizer, dan bidang nonakademis lainnya selama kuliah. 6. Teman-teman Keluarga Mahasiswa Purworejo IPB yang telah menjadi keluarga selama tinggal di Bogor. 7. Teman-teman Ilmu Ekonomi FEM IPB 48 yang telah menjadi teman menuntut ilmu selama hampir empat tahun. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Juni 2015 Kemal Akbar
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
ix
DAFTAR GAMBAR
ix
DAFTAR LAMPIRAN
ix
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
2
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
2
Ruang Lingkup Penelitian
3
TINJAUAN PUSTAKA
3
Kerangka Pemikiran
11
METODE PENELITIAN
12
Jenis dan Sumber Data
12
Metode Analisis
12
HASIL DAN PEMBAHASAN
16
Analisis Struktur Industri Telekomunikasi Seluler
16
Analisis Perilaku Industri Telekomunikasi Seluler
20
Analisis Kinerja Industri Telekomunikasi Indonesia
22
Analisis Dayasaing Telkomsel Pascaliberalisasi Industri Telekomunikasi
26
Analisis Panel Data
26
SIMPULAN DAN SARAN
29
Simpulan
29
Saran
29
DAFTAR PUSTAKA
30
LAMPIRAN
32
RIWAYAT HIDUP
38
DAFTAR TABEL 1. Tipe pasar 2. Hasil Uji Chow dan Hausman 3. Hasil estimasi model FEM
4 26 27
DAFTAR GAMBAR 1. Kerangka pemikiran 2. Pangsa pasar 3. Konsentrasi rasio 4. Net Income Margin 5. Average Revenue per User 6. Return on Asset 7. Return on equity
11 17 18 22 23 24 25
DAFTAR LAMPIRAN 1. Jumlah Pelanggan (unit) 2. Pangsa Pasar (%) 3. Konsentrasi Rasio (CR3) (%) 4. Net Income Margin (%) 5. Average Revenue per User (rupiah) 6. Return on Asset (%) 7. Return on Equity (%) 8. Total Revenue (rupiah) 9. Jumlah BTS 10. Jumlah Aset 11. Hasil Uji Chow 12. Hasil Uji Hausman 13. Hasil Uji Normalitas 14. Hasil Estimasi FEM
32 32 33 33 33 34 34 34 35 35 36 36 36 37
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Telekomunikasi menjadi sebuah kebutuhan bagi semua orang saat ini. Dahulu jika seseorang ingin berkomunikasi dengan orang lain yang berada di tempat lain, harus bertemu langsung atau menggunakan media surat yang membutuhkan waktu lama untuk proses pengirimannya. Namun setelah diciptakan media telekomunikasi, semua orang dapat berkomunikasi dengan orang lain yang berada di tempat berbeda kapanpun tanpa harus bertemu langsung atau menggunakan media surat. Media telekomunikasi digunakan oleh masyarakat untuk berbagai kepentingan, mulai dari berbisnis hingga sekadar berbagi kabar dengan kerabat. Telekomunikasi mempunyai andil besar dalam pembangunan di Indonesia. Salah satu sektor yang mendapatkan banyak keuntungan dengan adanya telekomunikasi adalah sektor bisnis dan perbankan. Dengan adanya media telekomunikasi, pergerakan uang di sektor riil dan investasi menjadi semakin cepat sehingga pembangunan yang dilakukan juga menjadi semakin cepat. Selain itu media telekomunikasi juga mempermudah berbagai kegiatan yang dilakukan masyarakat di berbagai bidang, sehingga dapat meningkatkan efisiensi di semua sektor. Media telekomunikasi pertama kali dioperasikan di Indonesia oleh P.T. Telkom berupa telepon tetap (fixed line). Pada awal tahun 1990-an telepon seluler mulai diperkenalkan di Indonesia. Pada masa awal media telekomunikasi masuk ke Indonesia, pemerintah menunjuk P.T. Telekomunikasi Indonesia (TELKOM) sebagai satu-satunya penyedia layanan telekomunikasi domestik, dan P.T. Indonesian Satellite Corporation (INDOSAT) sebagai satu-satunya penyedia layanan telekomunikasi internasional. Saat itu terbentuklah pasar monopoli industri telekomunikasi di Indonesia. Pada tahun 1995 P.T. Telekomunikasi Seluler (TELKOMSEL) didirikan. Telkomsel merupakan anak perusahaan dari P.T. Telkom yang menjadi satu-satunya penyedia layanan telekomunikasi seluler di Indonesia pada saat itu. Berada pada pasar monopoli dan tidak memiliki pesaing membuat efisiensi Telkomsel kurang terpacu, hingga akhirnya pemerintah mengeluarkan UndangUndang Nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi sebagai pedoman industri telekomunikasi Indonesia untuk menggantikan Undang-Undang Nomor 3 tahun 1989 yang dinilai sudah tidak sesuai. Undang-Undang Nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi yang mulai berlaku bulan September tahun 2000, menghapuskan hak eksklusif Telkom dan Indosat sebagai satu-satunya penyedia layanan telekomunikasi domestik dan internasional, sehingga Telkom dan Indosat harus bersaing secara bebas sebagai penyedia layanan telekomunikasi. Undang-undang tersebut menjadi awal dimulainya liberalisasi industri telekomunikasi Indonesia. Seiring dengan perkembangan zaman, media telekomunikasi seluler lebih diminati karena berbagai fasilitas yang ditawarkan dan kemudahan dalam penggunaannya. Pasar telekomunikasi Indonesia dinilai sangat potensial, maka banyak perusahaan milik swasta maupun asing yang masuk kedalam industri
2 telekomunikasi Indonesia, sebagai penyedia layanan telekomunikasi terutama telekomunikasi seluler. Dengan banyaknya pesaing dalam industri telekomunikasi seluler di Indonesia, Telkomsel yang merupakan anak perusahaan dari Telkom, dan merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) juga harus terus melakukan inovasi serta meningkatkan efisiensi agar dapat bersaing dengan operator atau penyedia layanan telekomunikasi seluler lainnya. Perumusan Masalah Liberalisasi industri telekomunikasi Indonesia dimulai pada tahun 2000, dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Sejak saat itu industri telekomunikasi Indonesia menjadi terbuka untuk swasta dan asing. Telkomsel yang sebelumnya merupakan satu-satunya penyedia layanan telekomunikasi seluler milik pemerintah harus bersaing secara bebas dengan operator-operator telekomunikasi seluler baru yang masuk ke dalam industri telekomunikasi seluler Indonesia. Dari penjelasan di atas diperoleh rumusan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana struktur industri telekomunikasi seluler di Indonesia pascaliberalisasi industri telekomunikasi? 2. Bagaimana dayasaing Telkomsel dalam industri telekomunikasi seluler di Indonesia pascaliberalisasi industri telekomunikasi? 3. Bagaimana pengaruh jumlah BTS (Base Transceiver Station), total aset, nilai ARPU (Average Revenue Per User), dan jumlah pelanggan terhadap kinerja industri telekomunikasi seluler di Indonesia? Tujuan Penelitian Sesuai dengan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Untuk menganalisis struktur, perilaku, dan kinerja industri telekomunikasi seluler di Indonesia pascaliberalisasi industri telekomunikasi. 2. Untuk menganalisis dayasaing Telkomsel dalam industri telekomunikasi seluler di Indonesia pascaliberalisasi industri telekomunikasi. 3. Untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi kinerja industri telekomunikasi seluler di Indonesia. Manfaat Penelitian Setelah penelitian ini dilakukan diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut : 1. Hasil penelitian ini dapat dijadikan tolokukur keberhasilan Telkomsel dalam bersaing di industri telekomunikasi seluler Indonesia. 2. Hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran bagaimana kondisi industri telekomunikasi seluler di Indonesia pascaliberalisasi industri. 3. Bagi pemerintah hasil penelitian ini memberikan informasi yang dapat dijadikan referensi dalam mengambil kebijakan dalam rangka mendorong potensi industri telekomunikasi Indonesia.
3 4. Bagi penulis penelitian ini diharapkan dapat memperdalam ilmu pengetahuan dan wawasan penulis mengenai ekonomi industri terutama industri telekomunikasi Indonesia Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini mencakup industri telekomunikasi seluler Indonesia pascaliberalisasi industri telekomunikasi yaitu tahun 2001 sampai dengan tahun 2013. Penelitian ini membahas mengenai dayasaing Telkomsel dan struktur industri telekomunikasi seluler Indonesia pasca diberlakukannya liberalisasi, serta faktor-faktor yang memengaruhi kinerja pada industri tersebut. Individu yang diteliti adalah perusahaan operator seluler dan fix wireless access yang ada di Indonesia. Metode yang digunakan adalah Structure Conduct Performance dan Panel Data.
TINJAUAN PUSTAKA Landasan Teori Definisi Telekomunikasi Telekomunikasi mengandung pengertian setiap pemancaran, pengiriman, dan atau penerimaan dari setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio, atau sistem elektromagnetik lainnya. Kegiatan telekomunikasi terdiri atas penyediaan pemancar suara, data, naskah, bunyi dan video menggunakan fasilitas transmisi berdasarkan teknologi tunggal atau kombinasi dari berbagai teknologi (BPS 2013). Perangkat telekomunikasi memiliki beberapa jenis diantaranya telepon tetap kabel, telepon tetap nirkabel / fixed wireless access (FWA) dan telepon bergerak seluler. Telepon tetap kabel adalah jaringan telekomunikasi yang menggunakan kabel sebagai media transfer informasi. Fixed wireless access adalah jaringan transmisi nirkabel lokal yang menggunakan teknologi seluler. Sedangkan telepon bergerak seluler adalah perangkat telekomunikasi yang tidak memerlukan jaringan kabel dan bersifat portable. Saat ini Indonesia memiliki dua sistem jaringan telepon bergerak seluler yaitu GSM (Global System for Mobile Telecommunications) dan CDMA (Code Division Multiple Access). Penelitian ini menggunakan industri perangkat telekomunikasi jenis FWA dan telepon bergerak seluler sebagai objek penelitian dan selanjutnya disebut sebagai industri telekomunikasi seluler. Konsep Ekonomi Industri Ekonomi industri merupakan suatu keahlian khusus dalam ilmu ekonomi. Ilmu ini membantu menjelaskan mengapa pasar perlu diorganisir dan bagaimana pengorganisasiannya memengaruhi cara kerja pasar industri. Ekonomi industri menelaah struktur pasar dan perusahaan yang lebih menekankan pada studi
4 empiris dari faktor-faktor yang memengaruhi struktur pasar, perilaku dan kinerja pasar (Jaya 2001). Analisis Structure-Conduct-Performance Dalam teori organisasi industri, terdapat sebuah konsep SCP (structure, conduct and performance). Teori tersebut menjelaskan bahwa kinerja suatu industri pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh struktur pasar. Struktur pasar (structure) dianggap akan memengaruhi perilaku dan strategi perusahaan dalam suatu industri, yang pada akhirnya akan memengaruhi kinerja (performance). 1. Struktur Pasar Struktur pasar menunjukkan lingkungan persaingan antara penjual dan pembeli melalui proses terbentuknya harga dan jumlah produk yang ditawarkan dalam pasar (Jaya 2001). Struktur pasar memiliki beberapa elemen-elemen penting yaitu pangsa pasar, konsentrasi dan hambatan masuk pasar. Elemenelemen tersebut akan menggambarkan ukuran perusahaan-perusahaan yang bersaing di dalam suatu pasar. Pangsa Pasar Pangsa pasar adalah persentase pendapatan perusahaan dari total pendapatan industri yang dapat diukur dari 0% hingga 100% (Jaya 2001). Semakin tinggi pangsa pasar, semakin tinggi pula kekuatan yang dimiliki perusahaan di dalam pasar. Perusahaan yang memiliki pangsa pasar yang tinggi akan menciptakan monopoli dan mengejar keuntungan semaksimal mungkin. Apabila setiap perusahaan memiliki pangsa pasar yang relatif rendah maka akan tercipta persaingan yang efektif. Tabel 1 menunjukkan beberapa tipe pasar yang tercipta mulai dari monopoli murni sampai dengan persaingan murni. Tabel 1Tipe pasar TIPE PASAR Monopoli Murni Oligopoli Ketat
Perusahaan Dominan Oligopoli Longgar Persaingan Monopolistik Persaingan Murni Sumber : Jaya (2001)
KONDISI Suatu perusahaan menguasai 100% dari pangsa pasar. Penggabungan 4 perusahaan terkemuka yang memiliki pangsa pasar sebesar 60% sampai dengan 100%. Suatu perusahaan yang menguasai minimal 50% sampai dengan 100% dari pangsa pasar dan tanpa pesaing yang kuat. Penggabungan 4 perusahaan terkemuka yang memiliki pangsa pasar sebesar 40% atau kurang. Banyak pesaing yang efektif dan tidak ada satu pun yang memiliki pangsa pasar lebih dari 10%. Terdapat lebih dari 50 pesaing dan tidak ada satu pun yang memiliki pangsa pasar yang berarti.
5 Konsentrasi Pasar Menurut Jaya (2001), konsentrasi (Concentration ratio atau biasa disingkat dengan CR) adalah kombinasi pangsa pasar dari perusahaanperusahaan oligopolis dan mereka menyadari adanya saling ketergantungan. Kelompok perusahaan ini terdiri dari dua sampai delapan perusahaan. Perhitungan konsentrasi yang dipakai yang digunakan dalam penelitian ini adalah rasio konsentrasi tiga perusahaan operator seluler terbesar di Indonesia (CR3). Hambatan Masuk Pasar Hambatan masuk (barrier to entry) adalah perilaku ekonomi di dalam perusahaan yang merefleksikan jumlah saingan yang ada dalam pasar. Seorang monopolis dapat saja menaikkan harga diatas harga rata-rata untuk meningkatkan keuntungan, tetapi hal ini tidak dilakukan karena hal tersebut akan menarik perusahaan lain untuk masuk ke pasar. Untuk mencegah masuknya perusahaan lain maka monopolis akan menetapkan harga kompetisi sehingga tidak menghasilkan keuntungan yang berlebihan (excees profit). Ada dua jenis hambatan masuk pasar, yaitu rintangan struktural dan rintangan strategis. Rintangan struktural timbul dari karakteristik dasar industri seperti teknologi, biaya dan permintaan. Rintangan strategis muncul dari sikap perusahaan yang telah ada. Perusahaan yang telah ada akan bersikap meningkatkan rintangan dengan cara mengancam untuk membalas pada perusahaan pendatang baru jika perusahaan tersebut memasuki pasar yang sama dengan perusahaan lama. 2. Perilaku Pasar Menurut Hasibuan (1993) perilaku pasar adalah pola tanggapan dan penyesuaian yang dilakukan suatu perusahaan di dalam pasar untuk mencapai tujuannya. Biasanya perilaku tersebut dilakukan dengan melihat kondisi pasar yang akan dimasuki atau kondisi pasar ketika mereka berproduksi. Pada pasar monopoli dimana terdapat kekuatan pasar yang besar pada perusahaan tertentu, perilaku perusahaan bertujuan untuk menggapai kondisi perekonomian secara umum bukan untuk menghadapi pesaing. Perilaku perusahaan monopoli dalam menetapkan harga dan jumlah produk bertujuan untuk mendapatkan keuntungan yang maksimal. Perusahaan monopoli menetapkan tingkat harga secara administratif bukan melalui mekanisme pasar. Pada struktur pasar oligopoli perilaku perusahaan sulit diperkirakan. Berbeda halnya dengan kondisi pasar persaingan sempurna, perusahaan hanya bersifat sebagai penerima harga. Pada kondisi pasar oligopoli yang dipimpin oleh suatu perusahaan dominan, pada umumnya perusahaan yang mendominasi pasar akan berlaku seperti halnya perusahaan monopoli. Perusahaan monopoli akan menaikan harga untuk memperoleh keuntungan lebih. Pada pasar oligopoli, tindakan perusahaan yang dilakukan adalah respon dari kebijakan yang diambil oleh pesaing terdekat (Jaya 2001). Beberapa jenis perilaku pasar yang paling sering dilakukan adalah kerjasama dengan pesaing dan strategi melawan pesaing.
6 3. Kinerja Pasar Kinerja pasar adalah hasil kerja yang dipengaruhi oleh struktur dan perilaku pasar (Hasibuan 1993). Kinerja dalam kaitannya dengan ekonomi memiliki banyak aspek, namun biasanya dipusatkan pada tiga aspek pokok yaitu efisiensi, kemajuan teknologi dan keseimbangan dalam industri (Jaya 2001). Secara sederhana pengertian efisiensi adalah menghasilkan suatu nilai output yang maksimum dengan menggunakan sejumlah input tertentu, baik secara kuantitas (fisik) maupun nilai ekonomis dan tidak ada sumber daya yang terbuang. Efisiensi terdiri dari efisiensi internal (efisiensi-X) dan efisiensi alokasi. Tingkat efisiensi internal menggambarkan bagaimana pengelolaan sumberdaya dalam sebuah perusahaan. Efisiensi alokasi menggambarkan bagaimana sumber daya ekonomi dialokasikan supaya tidak ada lagi perbaikan dalam berproduksi sehingga dapat menaikkan nilai output. Tindakan inovasi dan kemajuan teknologi merupakan upaya terus-menerus untuk menciptakan sesuatu yang baru dan melakukan tindakan yang memberi dorongan demi kemajuan perusahaan. Keseimbangan dalam distribusi dilihat dari segi pemenuhan kebutuhan dan keinginan setiap elemen perusahaan serta penghargaan yang nyata dan bernilai (Solehah 2008). Pengukuran kinerja dapat juga dilakukan dengan metode rasio dari kelebihan keuntungan terhadap penjualan, tingkat pengembalian dari aset atau modal, dan nilai pasar dari surat-surat berharga perusahaan. Dalam penelitian ini Net Income Margin (NIM) merupakan salah satu indikator baik buruknya kinerja suatu perusahaan. Net Income Margin digunakan untuk mengukur laba bersih setelah pajak terhadap pendapatan usaha perusahaan. Return On Asset (ROA) digunakan untuk mengukur efektifitas perusahaan dalam memanfaatkan aset yang ada untuk menciptakan laba. Return On Equity (ROE) digunakan untuk mengetahui efektifitas perusahaan mengelola modal yang dimilikinya. ROE juga menjadi indikator kemampuan manajemen perusahaan untuk memaksimalkan keuntungan. Sama halnya dengan ROE, Average Revenue Per User (ARPU) yang merupakan penerimaan rata-rata dari tiap pelanggan dapat menjadi indikator kemampuan perusahaan untuk memaksimalkan keuntungan. Semakin tinggi nilai ARPU, diharapkan keuntungan yang didapat oleh perusahaan juga semakin besar. Tinjauan Penelitian Terdahulu Solehah (2008) dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Telekomunkasi Seluler Indonesia” mengatakan bahwa struktur industri telekomuikasi seluler Indonesia adalah oligopoli ketat dengan tiga perusahaan penguasa yaitu Telkomsel, Indosat dan XL. Selain itu hasil penelitian tersebut juga menyebutkan bahwa variabel jumlah aset, nilai ARPU, dan CR3 berpengaruh secara signifikan terhadap variabel NIM yang merupakan proksi dari kinerja industri telekomunikasi. Ferariani (2007) dalam tesisnya yang berjudul “Analisis Kinerja P.T. Telekomunikasi Indonesia TBK dibandingkan dengan P.T. Indosat TBK dengan Menggunakan Analisis Laporan Keuangan dan Penilaian Harga Wajar Saham” mengatakan bahwa kondisi makroekonomi Indonesia mulai membaik pada tahun 2006, sehingga prospek investasi diharapkan meningkat pada tahun mendatang.
7 Dilihat dari rasio keuangan yang menggunakan rasio likuiditas, solvabilitas, aktifitas dan profitabilitas, P.T. Telkom secara umum terus tumbuh walaupun pertumbuhannya menurun. Penelitian ini mengukur kinerja perusahaan menggunakan NIM, ROA dan ROE. Winsih (2007) dalam penelitiannya berjudul “Analisis Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Manufaktur Indonesia” menyimpulkan bahwa struktur industri manufaktur di Indonesia adalah oligopoli dengan berbagai tingkat (ketat, sedang dan longgar). Untuk pengukuran tingkat kinerja dapat menggunakan ukuran PCM dan X-Efisiensi. Perilaku pasar dilihat dari strategi harga, produk dan promosi, distribusi dan perilaku kolusi. Analisis panel data menggunakan model efek tetap digunakan untuk mengestimasi PCM, maka diperoleh bahwa yang mempunyai pengaruh terbesar terhadap PCM adalah produktifitas dan XEfisiensi. Gambaran Umum dalam Industri Telekomunikasi Seluler Indonesia Telekomunikasi seluler di Indonesia mulai dikenalkan pada tahun 1984 dan hal tersebut menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara yang pertama mengadopsi teknologi seluler komersial. Pemerintah mengeluarkan UndangUndang Nomor 36 tahun 1989 tentang Telekomunikasi untuk mengatur berjalannya industri telekomunikasi seluler di Indonesia. Sebelum tahun 2000, industri telekomunikasi seluler Indonesia masih di monopoli oleh beberapa perusahaan yang mendapatkan izin dari pemerintah. Hal ini membuat perusahaan telekomunikasi seluler yang ada tidak terpacu untuk meningkatkan efisiensi. Karena itu pemerintah memutuskan untuk membuka kompetisi pasar bebas dan melarang praktik monopoli di industri telekomunikasi seluler indonesia, yang ditandai dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Pasca diberlakukannya undang-undang tersebut pada tahun 2000, industri telekomunikasi seluler Indonesia mulai diramaikan oleh munculnya berbagai perusahaan telekomunikasi baru yang membuat industri telekomunikasi Indonesia menjadi semakin dinamis dan efisien. Berikut ini berbagai operator seluler yang ada di dalam industri telekomunikasi seluler Indonesia : 1. Telkomsel Telkomsel didirikan pada tanggal 26 Mei 1995 sebagai anak perusahaan dari P.T. Telkom Indonesia yang berperan sebagai penyedia layanan telekomunikasi seluler domestik. Berdirinya Telkomsel ditandai dengan diluncurkannya layanan pascabayar KartuHalo. Pada saat didirikan, kepemilikan saham Telkomsel adalah 51% milik P.T. Telkom dan 41% milik Indosat. Saat ini saham Tekomsel dimiliki oleh P.T. Telkom sebesar 65%, dan sisanya sebesar 35% dimiliki oleh perusahaan telekomunikasi Singapura Singtel. Pada tahun 1997 Telkomsel menjadi operator seluler pertama di Asia yang menawarkan layanan GSM prabayar dengan meluncurkan produk terbarunya Simpati. Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi, pemerintah mencabut hak eksklusif Telkomsel sebagai penyedia layanan telekomunikasi seluler di Indonesia. Telkomsel harus bersaing secara terbuka dengan perusahaan lain yang masuk ke dalam industri telekomunikasi seluler Indonesia. Sejak saat itu kinerja Telkomsel terus ditingkatkan hingga dapat
8 memimpin industri telekomunikasi seluler Indonesia dengan jumlah pelanggan terbesar. Selain itu Telkomsel juga menjadi operator dengan jangkauan terluas yaitu 98% wilayah Indonesia. Dengan visi “Menjadi penyedia layanan dan solusi mobile digital lifestyle kelas dunia yang terpercaya”, Telkomsel terus berinovasi dan menghasilkan berbagai produk layanan jasa yang berkualitas. Oleh karena itu, Telkomsel dapat bersaing dengan perusahaan baru yang masuk ke dalam industri telekomunikasi Indonesia dan tetap menjadi operator seluler tebesar di Indonesia. 2. Indosat Indosat didirikan dengan nama P.T. Indonesian Satellite Corporation pada tahun 1967. Saat didirikan Indosat berstatus perusahaan modal asing hingga pada tahun 1980 resmi menjadi badan usaha milik negara. Indosat menjadi satu-satunya perusahaan yang menyediakan layanan telekomunikasi antarnegara di Indonesia pada saat itu. Pada tahun 1994 Indosat menjadi perusahaan publik yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia dan New York Stock Exchange. Pemerintah dan publik masing-masing memiliki saham indosat sebesar 65% dan 35%. Pada tahun 2002 pemerintah menjual 41.94% saham Indosat kepada Singapore Technologies Telemedia Pte. Ltd. (STT) dan 8.10% kepada publik. Dengan demikian saham pemerintah di Indosat hanya tersisa 14.96%. Hal ini dipermasalahkan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha karena STT dan Temasek (pemilik 35% saham Telkomsel) merupakan anak dari perusahaan yang sama yaitu Asia Mobile Holdings. Kepemilikan silang terhadap dua perusahaan telekomunikasi seluler terbesar di Indonesia ini dianggap melanggar pasal 27 undang-undang anti monopoli dan membawanya ke pengadilan negeri. Menindaklanjuti dari putusan pengadilan, pada tahun 2008 STT menjual 40.8% saham Indosat miliknya kepada Qatar Telecom (Qtel). Kemudian pada tahun 2009 QTel meningkatkan jumlah sahamnya atas Indosat menjadi 65% dengan membeli saham milik publik sebesar 24.19%, sehingga kini pemerintah dan publik memiliki sisa saham masing-masing 14.29% dan 20.71%. Pada 20 November 2003 P.T. Indosat melakukan merger terhadap 3 perusahaan sekaligus yaitu P.T. Satelindo, P.T. IM3 dan P.T. Bimagraha dimana P.T. Indosat sebagai perusahaan yang menerima merger (absorbing company). Merger ini bertujuan untuk menyatukan strategi dan mengkonsolidasikan sumber daya grup Indosat dengan fokus pada bisnis seluler agar tumbuh lebih cepat dan memberikan margin yang lebih tinggi. Dengan lebih dari 50 juta pengguna, saat ini Indosat menjadi salah satu perusahaan operator seluler terbesar di Indonesia bersaing dengan Telkomsel dan XL Axiata. Indosat menawarkan beberapa produk layanan telekomunikasi seluler diantaranya Mentari, IM3, dan Matriks pascabayar. 3. XL Axiata P.T. XL Axiata Tbk atau biasa disingkat XL mulai beroperasi secara komersil pada tanggal 6 Oktober 1989 dan merupakan perusahaan swasta pertama yang menyediakan layanan telepon seluler di Indonesia. Namun XL baru memasuki sektor telekomunikasi pada tahun 1996 setelah mendapatkan izin operasi GSM 900. Saham XL Axiata dimiliki secara mayoritas oleh Axiata Group Berhad sebesar 66.55% dan selebihnya menjadi milik publik sebesar 33.45%.
9 Saat ini XL memiliki dua lini produk GSM yaitu XL Prabayar dan XL Pascabayar. Kartu XL Prabayar merupakan peleburan dari beberapa produk prabayar XL yaitu ProXL, Bebas, Jempol, dan Jimat. Peleburan ini dilakukan untuk memangkas biaya operasional dan meningkatkan efisiensi produk. Tahun 2013 XL Axiata menandatangani perjanjian untuk mengakuisisi Axis Telekom Indonesia. XL membayar nilai nominal saham yang disepakati dan akan membayar sebagian dari utang dan kewajiban Axis. Hingga saat ini XL masih menjadi salah satu operator seluler tebesar di Indonesia. 4. Hutchison CP Telecommunications Tri (3) adalah nama merek yang digunakan untuk sembilan jaringan telekomunikasi seluler yang tersebar di Eropa, Asia, dan Australia. Seluruh jaringan tersebut dimiliki oleh Hutchison Whampoa Group. Jaringan Tri di Indonesia dioperasikan oleh P.T. Hutchison 3 Indonesia yang 60% sahamnya dimiliki oleh Hutchison Whampoa dan sisanya dimiliki oleh Charoen Pokphand. Tri mulai beroperasi di Indonesia mulai tahun 2007. Tri membuat kejutan di industri telekomunikasi seluler Indonesia dengan memikat 1.6 juta pelanggan di tahun pertama beroperasi. Dengan inovasi dan strategi pemasaran yang dilakukan, Tri terus mendapatkan perhatian dari pengguna layanan seluler di Indonesia hingga saat ini menjadi perusahaan telekomunikasi seluler yang diperhitungkan di Indonesia. 5. Smartfren P.T. Smartfren Telecom (smartfren) awalnya bernama P.T. Mobile-8 Telecom (Mobile-8). Mobile-8 awalnya dimiliki oleh PT Global Mediacom, namun akibat krisis finansial dan penurunan penjualan produk, maka Perusahaan ini diakuisisi oleh Sinar Mas Group pada bulan November 2011. Smartfren kemudian dijadikan induk usaha dari PT Smart Telecom. Smartfren sendiri merupakan hasil merger dari P.T. Telekomindo Selular Raya (Telesera), P.T. Metro Selular Nusantara (Metrosel), P.T. Komunikasi Selular Indonesia (Komselindo), dan P.T. Menara Jakarta Smartfren merupakan operator telekomunikasi pertama di dunia yang menyediakan layanan CDMA EV-DO Rev. B (setara dengan 3.5G di GSM dengan kecepatan unduh sampai dengan 14.7 Mbps) bersama Qualcomm sebagai penyedia infrastruktur, dan operator CDMA pertama yang menyediakan layanan untuk Blackberry.
6. Sampoerna Telekomunikasi Indonesia P.T. Sampoerna Telekomunikasi Indonesia (STI) merupakan penyedia jasa telekomunikasi selular mobilitas penuh di Indonesia. STI adalah bagian dari Sampoerna Strategic Group. STI merupakan satu-satunya operator telekomunikasi di Indonesia yang beroperasi pada frekuensi 450Mhz dengan menggunakan teknologi CDMA2000 1x, dan memiliki lisensi mobilitas penuh dengan jangkauan nasional. Dengan memanfaatkan jangkauan dan kapasitas superior CDMA450, STI mampu menyediakan layanan telekomunikasi berbiaya rendah di seluruh Indonesia dengan nama produk Ceria.
10 Saat ini jangkauan layanan STI meliputi pulau Sumatera, Jawa, Bali, dan Lombok. Produknya beragam mulai dari layanan telepon hingga layanan broadband nirkabel. Pelanggan Ceria didukung penuh oleh kantor-kantor cabang STI dan jaringan distribusi di seluruh wilayah layanan. Pada tahun 2012 P.T. Bakrie Telecom dan P.T. Sampoerna Telekomunikasi Indonesia mengumumkan penandatanganan penjualan bersyarat atas perjanjian jual beli STI. Perjanjian tersebut melibatkan Bakrie Telecom serta Sampoerna Strategic dan Polaris yang bertindak sebagai pemegang saham Sampoerna Telekomunikasi Indonesia. Dari perjanjian tersebut, Bakrie Telecom memperoleh 35% saham STI dan dalam tiga tahun setelah perjanjian dilakukan akan menjadi pemegang saham mayoritas. Sebagai imbalannya, Sampoerna Strategic akan menjadi pemegang saham Bakrie Telecom. 7. Axis Telekom Indonesia Axis Telekom Indonesia (Axis) awalnya bernama Natrindo Telepon Seluler, hingga pada tahun 2011 berdasarkan persetujuan dari Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia diubah menjadi Axis Telekom Indonesia. Axis adalah perusahaan operator telekomunikasi seluler GSM 1800 MHz pertama di Indonesia yang didirikan pada tahun 2001. Anak perusahaan Lippo Group yang 51% sahamnya dimiliki oleh Saudi Telecom Company dan sisanya dimiliki oleh Maxis Communications Berhad Malaysia ini merupakan salah satu di antara lima operator pemilik lisensi 3G di Indonesia. Namun pada tanggal 26 September 2013 XL Axiata telah menandatangani perjanjian untuk mengakuisisi Axis Telekom Indonesia. 8. Telkom Flexi Telkom Flexi atau yang dikenal sebagai Flexi adalah salah satu produk perangkat telekomunikasi berbasis FWA yang dikeluarkan oleh P.T. Telekomunikasi Indonesia. Flexi didirikan pada bulan Juni tahun 2003 dan berhenti beroperasi pada 4 Oktober 2014. Setelah berhenti beroperasi seluruh kartu Flexi akan berpindah menjadi kartu As Flexi dibawah naungan Telkomsel. 9. Bakrie Telecom P.T. Bakrie Telecom Tbk adalah perusahaan operator telekomunikasi berbasis CDMA di Indonesia. Bakrie Telecom memiliki produk layanan dengan nama produk Esia serta Wifone. Perusahaan ini sebelumnya dikenal dengan nama PT Ratelindo, yang didirikan pada bulan Agustus 1993, sebagai anak perusahaan PT Bakrie & Brothers Tbk yang bergerak dalam bidang telekomunikasi di DKI Jakarta, Banten dan Jawa Barat berbasis Extended Time Division Multiple Access (ETDMA). Pada bulan September 2003, PT Ratelindo berubah nama menjadi PT Bakrie Telecom, yang kemudian bermigrasi ke CDMA2000-1x dan mulai meluncurkan produk Esia. Pada tahun 2006, Bakrie Telecom telah go-public dengan mendaftarkan sahamnya dalam Bursa Efek Jakarta. Pada tahun 2012 P.T. Bakrie Telecom menandatangani perjanjian jual beli bersyarat atas P.T. Sampoerna Telekomunikasi Indonesia.
11 Kerangka Pemikiran Indonesia adalah negara yang memiliki jumlah penduduk yang banyak dan wilayah yang luas. Karena itu Indonesia menjadi pasar yang potensial untuk berbagai macam industri. Pemerintah sebagai penyelenggara negara menjadi regulator untuk semua industri yang ada di Indonesia. Pemerintah menetapkan kebijakan yang berbeda untuk masing-masing industri. Ada industri yang harus dimonopoli oleh perusahaan milik pemerintah ,untuk mengindari praktik monopoli oleh pihak yang tidak bertanggung jawab, karena industri tersebut menyangkut kepentingan masyarakat luas. Namun ada juga industri yang dibebaskan menjadi pasar persaingan sempurna untuk meningkatkan efisiensi di dalam industri itu sendiri. Perusahaan yang bersaing dalam industri persaingan sempurna bukan hanya perusahaan milik swasta, perusahaan milik pemerintah yang berada di dalam industri tersebut juga harus bersaing secara bebas dengan perusahaan-perusahaan lainnya tanpa ada hak eksklusif dari pemerintah, seperti Telkomsel. Agar dapat bersaing maka Telkomsel Telkomsel harus terus meningkatkan kinerjanya. Kinerja dari Telkomsel dapat ditunjukkan dengan nilai NIM, ARPU, ROA, dan ROE.
INDUSTRI DI INDONESIA
PASAR MONOPOLI
PASAR PERSAINGAN SEMPURNA
INDUSTRI TELEKOMUNIKASI SELULER
SWASTA
BUMN
TELKOMSEL
KINERJA
NIM
ARPU
ROA
Gambar 1 Kerangka pemikiran
ROE
12 Hipotesis Hipotesis dari penelitian ini adalah Telkomsel dapat bersaing dengan perusahaan-perusahaan operator telekomunikasi seluler lainnya serta menjadi salah satu perusahaan yang memiliki pangsa pasar terbesar di dalam industri tersebut. Meskipun telah dilakukan liberalisasi, namun industri telekomunikasi seluler di Indonesia tidak serta merta berubah menjadi pasar persaingan sempurna, karena jumlah operator seluler yang ada tidak begitu banyak dan pasar masih dikuasai oleh beberapa perusahaan dominan, sehingga membentuk pasar oligopoli ketat. Selain itu jumlah BTS (Base Transceiver Station), total aset, nilai ARPU (Average Revenue per User), dan jumlah pelanggan merupakan faktor-faktor yang memengaruhi pendapatan perusahaan secara positif dan signifikan.
METODE PENELITIAN Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang didapatkan dari berbagai sumber seperti laporan tahunan berbagai perusahaan terkait, Badan Pusat Statistik, dan instansi-instansi yang berperan sebagai regulator industri telekomunikasi seluler di Indonesia. Data berbentuk time series dan cross section (panel data) dengan periode waktu tahunan yaitu dari tahun 2001 hingga tahun 2013. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah jumlah pelanggan, pangsa pasar, rasio konsentrasi (CR3), nilai ROA, nilai ROE, nilai NIM, jumlah aset, nilai ARPU, jumlah BTS dan Pendapatan usaha. Metode Analisis Analisis Struktur Industri Seluler a. Pangsa Pasar (Market Share / MS) Setiap perusahaan mempunyai pangsa pasar yang berbeda-beda berkisar antara 0 hingga 100% dari total penjualan seluruh pasar. Pangsa pasar menggambarkan keuntungan yang diperoleh perusahaan dari hasil penjualannya. Pada industri seluler dapat diwakilkan oleh pangsa pasar jumlah pelanggan, dengan asumsi semakin meningkat jumlah pelanggan maka semakin meningkat pula keuntungan yang diperoleh dari pelanggan dari hasil penjualannya.
MS = S / S i
i
total
x 100%
13 dimana: MS
i
: pangsa pasar perusahaan i (%)
S
: jumlah pelanggan perusahaan i (juta)
S
: jumlah pelanggan total seluruh perusahaan (juta).
i total
b. Konsentrasi Rasio (Concentration Ratio / CR) Pada penelitian ini digunakan konsentrasi rasio jumlah pelanggan, dimana pelanggan merupakan cerminan dari hasil penjualan produk kartu perdana. Pelanggan dalam hal ini merupakan pelanggan yang memiliki kartu perdana aktif pada operator seluler, walaupun pelanggan mempunyai beberapa kartu perdana lainnya. =
MS
dimana: CR
x
i MS
i
: rasio konsentrasi X perusahaan terbesar : 1, 2, 3, …., n : persentase pangsa pasar dari perusahaan ke-i.
Nilai rasio konsentrasi yang mendekati nol mengindikasikan supply-X perusahaan terbesar mempunyai pangsa pasar yang kecil pasar persaingan sempurna). Sedangkan nilai rasio konsentrasi mendekati 100 mengindikasikan terjadinya monopoli dari suatu terbesar atau oligopoli dari X perusahaan terbesar.
bahwa dari (mendekati (CR) yang perusahaan
c. Hambatan Masuk Hambatan masuk merupakan segala sesuatu yang memungkinkan terjadinya penurunan kesempatan atau kecepatan masuknya pesaing baru kedalam suatu industri (Jaya 2001). Masuknya perusahaan baru akan menimbulkan implikasi bagi perusahaan yang sudah ada, seperti persaingan dalam mendapatkan pangsa pasar menjadi semakin ketat serta persaingan untuk mendapatkan sumberdaya yang dibutuhkan juga semakin sulit. Hambatan masuk dapat berupa kondisi dasar pasar seperti pergerakan pasar yang dinamis, maupun hambatan yang diciptakan oleh perusahaan yang sudah ada seperti paten dan integrasi vertikal. Pada penelitian ini hambatan masuk industri telekomunikasi seluler Indonesia dianalisis secara deskriptif dengan menganalisis kondisi yang ada dalam pasar. Analisis Perilaku Industri Seluler Perilaku industri seluler ini dianalisis secara deskriptif dengan tujuan untuk memperoleh informasi mengenai perilaku perusahaan dalam industri seluler di Indonesia. Analisis dilakukan untuk mengetahui tingkah laku serta penerapan strategi yang digunakan oleh perusahaan dalam suatu industri, untuk merebut
14 pangsa pasar dan mengalahkan pesaing. Dalam penelitian ini analisis perilaku industri dilakukan dengan menganalisis strategi produk, strategi harga, dan merger atau akuisisi yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan telekomunikasi di Indonesia selama tahun 2001 hingga 2013. Analisis Kinerja Industri Seluler Analisis kinerja industri dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan analisis NetIncome Margin (NIM), Average Revenue per User (ARPU), Return on Asset (ROA), dan Return on Equity (ROE). NIM merupakan proksi dari keuntungan perusahaan operator seluler yang dapat mencerminkan baik atau buruk kinerja perusahaan secara keseluruhan. Penggunaan variabel NIM dan ARPU sebagai indikator kinerja industri telekomunikasi seluler telah dilakukan oleh Ferariani (2007). NIM =
x 100%
Metode analisis ARPU sudah dipakai sejak pertama kali muncul layanan telekomunikasi seluler di Indonesia. ARPU hanya mencerminkan satu variabel saja, yaitu tingkat pendapatan. Dalam hal ini, walaupun ARPU-nya rendah tidak berarti layanan telekomunikasi tidak menarik. Sepanjang total cost dapat dipertahankan selalu lebih rendah dari total revenue-nya maka suatu layanan masih dapat menyumbangkan profit. ARPU = Dalam penelitian ini kinerja industri juga akan dianalisis dari sisi ROA dan ROE. Return On Asset digunakan untuk mengukur efektifitas perusahaan dalam memanfaatkan aset yang dimiliki untuk menciptakan laba. x 100%
ROA =
Return On Equity digunakan untuk mengetahui efektifitas perusahaan dalam mengelola modal yang dimilikinya. ROE juga menjadi indikator untuk mengukur kemampuan manajemen perusahaan untuk memaksimalkan modal yang dimiliki dan mengukur tingkat pengembalian setiap investasi telah ditanamkan oleh investor kepada perusahaan. ROE =
!
"
x 100%
Analisis Dayasaing Telkomsel Analisis dayasaing Telkomsel dijelaskan secara deskriptif dengan menganalisis indikator-indikator yang menunjukkan tingkat kinerja Telkomsel yaitu pangsa pasar, NIM, ARPU, ROA, dan ROE, lalu dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan telekomunikasi seluler lainnya yang tergabung dalam CR3.
15 Analisis Panel Data Untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi kinerja industri digunakan analisis panel datadengan persamaan umum sebagai berikut : # = $ + β' + ε
it
dimana : # : Variabel dependen pada individu i dan waktu t $ : Intersep : Slope dari variabel dependen β ' : Variabel independen pada individu i dan waktu t ε : error/simpangan pada individu i waktu t. it
Analisis panel data pada penelitian ini menggunakan enam individu (Telkomsel, Indosat, XL, Smartfren, Felxi, Bakrie) dan periode waktu delapan tahun (2006-2013). Model panel data yang akan digunakan adalah sebagai berikut : Ln_REV = α + β Ln_BTS + β Ln_ASET + β Ln_ARPU +β Ln_PLG + ε it
it
dimana: Ln_REV
1
it
2
it
3
it
4
it
it
: total pendapatan perusahaan ke i dan tahun ke-t (rupiah)
it
Ln_BTS
: jumlah BTS yang dimiliki oleh perusahaan ke-i dan tahun ke-t
Ln_ASET
(unit) : total aset yang dimiliki oleh perusahaan ke-i dan tahun ke-t
it
it
Ln_ARPU
it
(rupiah) : nilai Average Revenue Per User perusahaan ke-i dan tahun ke-t
Ln_PLG
(rupiah) : jumlah pelanggan yang dimiliki oleh perusahaan operator ke-i dan
α
tahun ke-t berdasarkan jumlah pelanggan (unit) : intersep pada perusahaan ke-i dan tahun ke-t
β
: slope masing-masing peubah bebas (independent)
it
it
ε
n
: error/simpangan pada unit industri ke-i dan tahun ke-t.
Penelitian ini menggunakan variabel total revenue atau total pendapatan sebagai variabel dependen. Variabel independen yang digunakan adalah jumlah BTS, jumlah aset, nilai ARPU dan jumlah pelanggan. Total revenue merupakan total pendapatan sebuah perusahaan selama satu tahun yang merupakan hasil dari kinerja perusahaan tersebut, sehingga variabel tersebut menjadi proksi kinerja perusahaan dan industri. Jumlah BTS yang dimiliki suatu perusahaan telekomunikasi menjadi proksi dari luas wilayah yang dijangkau oleh signal dari produk telekomunikasi yang ditawarkan oleh perusahaan telekomunikasi tersebut. Hal tersebut menunjukkan bahwa jumlah BTS berbanding lurus dengan kualitas pelayanan telekomunikasi yang diberikan dan memengaruhi penggunaan jasa layanan telekomunikasi oleh konsumen.
16 Variabel ASET dan ARPU sebelumnya telah digunakan dalam penelitian yang dilakukan oleh Fitriyani Solehah pada tahun 2008 untuk menganalisis kinerja pasar telekomunikasi. Selain variabel-variabel diatas jumlah pelanggan juga merupakan faktor yang sangat menentukan pendapatan usaha dari sebuah perusahaan telekomunikasi. REV, ASET dan ARPU memiliki satuan yang berbeda dengan BTS dan PLG.REV, ASET, dan ARPU ditentukan dalam rupiah, sedangkan BTS dan PLG ditentukan dalam unit. Sehingga variabel-variabel tersebut diubah menjadi Ln. Hal ini dilakukan untuk mengatasi interval satuan yang terlalu jauh dari tiap variabel. Penelitian ini menggunakan software Eviews 8 untuk mengestimasi faktorfaktor yang memengaruhi kinerja industri telekomunikasi. Langkah-langkah yang dilakukan untuk melakukan estimasi tersebut adalah melakukan Uji Hausman dan Uji Chow untuk menentukan model estimasi terbaik. Selanjutnya dilakukan uji asumsi klasik yaitu uji normalitas, autokorelasi, heteroskedastisitas, dan multikolinearitas. Setelah model dipastikan bebas uji asumsi klasik maka model asumsi terbaik dapat digunakan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Struktur Industri Telekomunikasi Seluler Struktur pasar dapat dianalisis berdasarkan beberapa elemen yang mendasarinya yaitu pangsa pasar, rasio konsentrasi, dan hambatan masuk. a. Pangsa Pasar Dalam industri telekomunikasi seluler besarnya pangsa pasar dapat ditentukan dari jumlah pelanggan pada suatu perusahaan operator seluler. Sebelum dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi, pasar telekomunikasi seluler Indonesia dikuasai oleh tiga perusahaan yang memiliki izin operasi dari pemerintah yaitu Telkomsel, Indosat dan XL, sehingga ketiga perusahaan tersebut memiliki pangsa pasar yang besar. Setelah diberlakukan Undang-Undang Nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi pada bulan September tahun 2000, mulai muncul perusahaanperusahaan operator seluler baru yang masuk ke dalam industri telekomunikasi seluler Indonesia. Hal ini menyebabkan berkurangnya pangsa pasar dari ketiga perusahaan sebelumnya karena perusahaan-perusahaan baru tersebut memiliki produk dan strategi pemasaran yang cukup jitu untuk menarik pelanggan. Berikut grafik pangsa pasar perusahaan-perusahaan yang ada di dalam industri telekomunikasi seluler Indonesia pada tahun 2001 sampai dengan 2013.
Pangsa Pasar
17 60% 55% 50% 45% 40% 35% 30% 25% 20% 15% 10% 5% 0% 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Tahun TELKOMSEL TRI SAMPOERNA BAKRIE
INDOSAT SMART AXIS
XL SMARTFREN FLEXI
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2013 (diolah)
Gambar 2 Pangsa pasar Dari Gambar 2 terlihat bahwa hingga tahun 2003 industri telekomunikasi seluler Indonesia masih dikuasai oleh tiga perusahaan utama yaitu Telkomsel, Indosat, dan XL. Pada tahun 2004 Mobile-8 menjadi perusahaan operator pertama yang memasuki industri telekomunikasi seluler Indonesia pasca diberlakukannya Undang-Undang Nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Kemudian industri telekomunikasi seluler Indoneisa kembali diramaikan oleh beberapa perusahaan operator baru yang masuk diantaranya Sampoerna Telekomunikasi Indonesia dan Axis Telekom Indonesia pada tahun 2006 serta Hutchison CP Telecommunications dan Smart Telecom pada tahun berikutnya. Secara umum dominasi ketiga perusahaan utama yaitu Telkomsel, Indosat, dan XL mulai berkurang sejak diterapkannya liberalisasi industri telekomunikasi oleh pemerintah. Hal ini terlihat besarnya pangsa pasar ketiga perusahaan tersebut yang memiliki tren menurun dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2013. Pada tahun 2001 Telkomsel memiliki pangsa pasar sebesar 50.86% dan perlahan menurun hingga pada tahun 2013 pangsa pasar Telkomsel tersisa 42%. Meskipun pangsa pasarnya menurun Telkomsel tetap menjadi perusahaan operator seluler dengan pangsa pasar terbesar di Indonesia. Indosat juga mengalami hal serupa dengan Telkomsel, pada tahun 2001 Indosat memiliki pangsa pasar sebesar 30.01%, dan pada tahun 2013 hanya 19%. XL memiliki pangsa pasar yang lebih stabil dan lebih berfluktuatif dibandingkan dengan Telkomsel dan Indosat. Pada tahun 2001 pangsa pasar XL sebesar 19.13% dan pada tahun 2013 sebesar 19.3%. Meskipun pangsa pasar tahun 2013 lebih tinggi daripada tahun 2001, namun XL pernah mengalami titik terendah dalam perolehan pangsa pasar yaitu hanya sebesar 12.5% pada tahun 2004. Kestabilan perolehan pangsa pasar
18 XL dikarenakan XL memiliki lebih sedikit masalah dalam pemindahan kepemilikan saham dibandingkan Telkomsel dan Indosat. Pangsa pasar dari perusahaan-perusahaan operator seluler lainnya masih relatif kecil yaitu dibawah 13%. Pencapaian pangsa pasar terbesar dicapai oleh Tri yang mendapatkan 12.16% pada tahun 2013. Data jumlah pelanggan dan pangsa pasar dari perusahaan-perusahaan telekomunikasi seluler di Indonesia pada tahun 2001 sampai dengan tahun 2013 dapat dilihat pada Lampiran 1 dan Lampiran 2. b. Konsentrasi Rasio Konsentrasi rasio adalah gabungan pangsa pasar dari beberapa perusahaan terbesar yang menunjukkan bentuk dari struktur pasar. Dalam penelitian ini konsentrasi rasio diukur dari tiga perusahaan operator seluler terbesar di Indonesia yaitu Telkomsel, Indosat, dan XL (CR3). Berikut adalah grafik konsentrasi rasio CR3 dari tahun 2001 hingga 2013.
100%
90%
100.0% 100.0% 100.0% 98.4% 97.4% 96.9%
94.2%
Konsentrasi Rasio
80%
91.0% 89.3% 84.5%
70%
82.1% 81.3% 80.3%
60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Tahun
CR3
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2013 (diolah)
Gambar 3 Konsentrasi rasio Gambar 3 menunjukkan bahwa pada tahun 2001 sampai 2003 konsentrasi rasio menunjukkan angka 100%. Hal ini disebabkan pada saat itu hanya ada tiga perusahaan operator seluler yang beroperasi di Indonesia yaitu Telkomsel, Indosat, dan XL sehingga ketiga perusahaan tersebut menguasai seluruh pasar telkomunikasi seluler di Indonesia. Pada tahun 2004 dominasi ketiga perusahaan tersebut mulai berkurang dengan masuknya Mobile-8 kedalam industri telekomunikasi seluler Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan menurunnya nilai CR3 menjadi 98.4% karena 1.6% pangsa pasar telekomuniasi seluler Indonesia dikuasai oleh Mobile-8. Berdasarkan analisis dari perubahan nilai CR3 yang semula 100% pada tahun 2001, perlahan menurun dari tahun ke tahun menjadi 80.3% pada tahun
19 2013, mengindikasikan bahwa terjadi perubahan struktur pasar telekomunikasi seluler di Indonesia, yang sebelumnya monopoli menjadi oligopoli ketat. Menurut Jaya (2001), gabungan beberapa perusahaan terbesar yang memiliki rasio konsentrasi di atas 60% dikatakan memiliki struktur pasar yang bersifat oligopoli ketat, dimana kesepakatan di antara mereka untuk menetapkan harga relatif lebih mudah. Hasil analisis di atas menunjukkan bahwa liberalisasi industri telekomunikasi yang dilakukan pemerintah sejak tahun 2000 belum mempu mengubah struktur pasar secara signifikan. Meskipun nilai CR3 yang merupakan proksi dari dominasi tiga perusahaan terbesar terus menurun hingga tahun 2013, ketiga perusahaan tersebut masih menguasai sebagian besar pasar telekomunikasi seluler Indonesia. Meskipun belum dapat mengubah struktur pasar secara signifikan, liberalisasi industri telekomunikasi telah mendorong masuknya perusahaan-perusahaan operator baru kedalam industri telekomunikasi seluler Indonesia, sehingga persaingan antaroperator seluler menjadi semakin ketat. Secara umum liberalisasi industri telekomunikasi membawa dampak positif yang cukup besar bagi industri telekomunikasi Indonesia. Sejak diberlakukannya liberalisasi, investasi domestik maupun asing terus mengalir ke sektor telekomunikasi Indonesia, sehingga dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan telekomunikasi di Indonesia. Selain itu sejak diberlakukannya liberalisasi industri telekomunikasi, masyarakat selaku konsumen memiliki lebih banyak pilihan dalam menggunakan jasa telekomunikasi seluler. Konsumen sangat diuntungkan dengan banyaknya perusahaan operator yang menawarkan berbagai jasa telkomunikasi seluler dengan kualitas yang baik dan harga yang lebih terjangkau. c. Hambatan Masuk Hambatan masuk pada industri telekomunikasi seluler Indonesia cukup besar dan terdiri dari banyak hal. Sebelum diberlakukannya liberalisasi, hambatan terbesar untuk masuk dalam industri telekomunikasi seluler indonesia adalah izin dari pemerintah yang tidak akan didapatkan, karena pada saat itu pemerintah memutuskan untuk memonopoli industri telekomunikasi seluler Indonesia melalui perusahaan-perusahaan milik pemerintah. Namun sejak tahun 2000 industri telekomunikasi seluler Indonesia telah dibuka bagi swasta untuk turut andil dalam industri tersebut. Berkat Undang-Undang Nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi semua pihak baik itu swasta maupun asing dapat masuk dan ikut bersaing dalam industri telkomunikasi seluler Indonesia. Salah satu syarat sebuah perusahaan dapat bersaing di industri telekomunikasi adalah teknologi. Setiap operator harus memberikan berbagai jasa dan layanan yang dibutuhkan oleh pelanggan untuk menarik minat pelanggan, dan untuk memenuhi semua itu perusahaan operator harus terus meningkatkan teknologi yang digunakan. Biaya yang harus dibayar untuk teknologi-teknologi tersebut tidaklah murah. Karena hal tersebut, industri telekomunikasi merupakan salah satu industri dengan nilai investasi yang sangat besar, sehingga untuk masuk kedalamnya dibutuhkan modal yang besar pula. Hal ini tentu menjadi salah satu hambatan masuk bagi perusahaan-perusahaan baru yang akan masuk dalam industri telekomunikasi.
20 Selain investasi, hambatan masuk dalam industri telekomunkasi seluler yang berkaitan dengan anggaran biaya adalah fix cost dan sunk cost yang tinggi. Fix cost adalah biaya yang harus dikeluarkan untuk melakukan produksi namun tidak terpengaruh oleh jumlah barang yang diproduksi. Fix cost yang harus dikeluarkan oleh perusahaan di industri telekomunikasi antara lain biaya pembuatan gedung perusahaan pusat, biaya pembuatan gerai layanan di setiap wilayah, pembayaran gaji karyawan, dan lain lain. Sunk cost adalah biaya yang sudah dikeluarkan dan tidak dapat diambil kembali karena pengambilan sebuah keputusan. Sunk cost yang harus dikeluarkan oleh perusahaan operator seluler antara lain pembelian teknologi terbaru dan pembangunan BTS (Base Transceiver Station) atau menara telekomunikasi, dan lain lain. Fix cost dan sunk cost dalam industri telekomunikasi seluler tergolong sangat tinggi dibandingkan dengan industri yang lainnya. Hal ini juga membuat perusahaan-perusahaan baru yang akan masuk dalam industri telekomunikasi mengalami kegagalan karena kurangnya modal yang dimiliki. Hambatan masuk lainnya yang berasal dari dalam industri teleomunikasi itu sendiri adalah dominasi perusahaan-perusahaan yang sudah lebih dahulu berada di dalam industri. Perusahaan-perusahaan yang sudah ada di dalam industri tentu tidak ingin ada pesaing baru yang dapat mengancam keberadaannya di dalam industri. Karena itu perusahaan-perusahaan tersebut melakukan berbagai cara untuk menghalangi perusahaan baru masuk kedalam industri. Cara-cara yang sering dilakukan perusahaan untuk menghalangi perusahaan baru masuk ke dalam industri antara lain integrasi vertikal untuk menguasai sumberdaya yang dibutuhkan untuk melakukan produksi dan melakukan merger dan akuisisi untuk memperluas pangsa pasar dan meningkatkan efisiensi perusahaan. Analisis Perilaku Industri Telekomunikasi Seluler Di era globalisasi seperti saat ini kebutuhan akan telekomunikasi sangatlah tinggi, hal ini menyebabkan persaingan antarperusahaan operator seluler menjadi semakin ketat. Setiap perusahaan memiliki berbagai strategi untuk dapat memenangkan persaingan. Secara umum strategi yang digunakan adalah strategi harga, strategi produk, serta merger, dan akuisisi. a. Strategi Harga Di industri telekomunikasi, tarif adalah cerminan dari harga produk yang dihasilkan perusahaan operator seluler. Tarif bersifat sensitif bagi pelanggan operator seluler. Penetapan pembayaran tarif dalam industri telekomunikasi seluler dibagi menjadi dua jenis yaitu prabayar dan pascabayar, konsumen dapat memilih jenis pembayaran sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Pola penetapan tarif yang digunakan operator seluler saat ini dibagi menjadi dua yaitu tarif flat dan tarif berdasarkan variabel. Tarif flat adalah satu tarif yang digunakan untuk semua layanan, tidak terbatas oleh variabel apapun. Tarif berdasarkan variabel adalah tarif yang disesuaikan dengan variabel-variabel tertentu seperti jarak dan waktu penggunaan layanan. Saat ini sedang terjadi perang tarif antar operator seluler. Semua perusahaan operator seluler berlomba lomba untuk menarik perhatian konsumen dengan tarif rendah yang ditawarkan. Setiap perusahaan memiliki strategi masing-masing
21 untuk memenangkan persaingan, seperti halnya Telkomsel yang lebih mengutamakan kualitas layanan dibandingkan menurunkan tarif seperti yang sebagian besar perusahaan operator seluler lakukan. Pemerintah yang bertindak sebagai regulator tidak menentukan tarif untuk setiap operator. Dalam regulasi yang ditetapkan, pemerintah mengatur tarif telekomunikasi melalui dua komponen yaitu overhead cost dan tarif berdasarkan jenis layanan. Pemerintah menetapkan batas atas dan batas bawah untuk setiap jenis layanan yang dihasilkan setiap operator, selanjutnya pemerintah memberikan keleluasaan bagi perusahaan untuk menetapkan strategi harga masing-masing dan mengendalikan agar persaingan tarif tetap sehat. b. Strategi Produk Produk yang dapat menarik pelanggan adalah produk yang berkualitas dan sesuai dengan kebutuhan konsumen. Dalam industri telekomunikasi seluler, konsumen dibagi menjadi tiga segmen pasar yaitu low end, middle up, dan high end. Pasar low end memiliki jumlah pengguna yang besar namun memiliki ARPU yang rendah. Produk yang dibutuhkan oleh pasar low end adalah produk dengan biayayang rendah. Oleh karena itu berbagai perusahaan mengeluarkan produk yang ditujukan bagi pasar low end seperti Kartu AS dari Telkomsel, IM3 dari Indosat, dan Kartu Jempol dari XL. Sedangkan pasar middle up dan high end memiliki jumlah pengguna yang lebih sedikit namun memiliki ARPU yang lebih tinggi. Untuk memenuhi kebutuhan pasar middle up Telkomsel mengeluarkan produk Simpati, sedangkan Indosat mengeluarkan produk Mentari, dan XL mengeluarkan produk Bebas XL. Pasar high end merupakan pasar yang memiliki nilai ARPU paling tinggi dibandingkan dengan segmen pasar lainnya, sehingga walaupun jumlah penggunanya sedikit namum memberikan keuntungan yang besar bagi perusahaan operator seluler. Untuk itu perusahaan operator seluler mengeluarkan berbagai produk untuk memenuhi kebutuhan pasar high end seperti Kartu Halo dan Telkomsel, Matrix dari Indosat, dan Xplore dari XL. Setiap segmen pasar akan memberikan keuntungan bagi perusahaan dengan jumlah yang proporsional, sehingga setiap operator seluler harus dapat menguasai semua segmen pasar agar mendapatkan tingat keuntungan yang maksimal. c. Merger dan Akuisisi Merger dan akuisisi dalam industri telekomunikasi bukanlah hal yang asing didengar. Beberapa perusahaan operator seluler melakukan merger atau akuisisi terhadap perusahaan operator seluler lainnya guna memperluas pasar dan meningkatkan efisiensi perusahaan. Beberapa merger dan akuisisi yang terjadi di industri telekomunikasi seluler pada tahun 2001 hingga 2013 antara lain : 1. Indosat melakukan merger terhadap beberapa anak perusahaannya yaitu Satelindo, Im3, dan Bimagraha pada tahun 2003. Indosat sebagai induk perusahaan tetap eksis dan tetap menjual berbagai produk masing-masing perusahaan yang dimerger. 2. Sinar Mas Group melalui P.T. Smart Telecom melakukan akuisisi terhadap Mobile-8 yang sebelumnya dimiliki oleh P.T. Global Mediacom. Setelah diakuisisi Mobile-8 di merger dengan P.T. Telekomindo Selular, P.T. Metro
22 Selular Nusantara, P.T. Komunikasi Selular Indonesia, dan P.T. Menara Jakarta yang selanjutnya dijadikan holding dari P.T. Smart Telecom dan berubah nama menjadi P.T. Smartfren Telecom. 3. Pada tahun 2012 P.T. Bakrie Telecom dan P.T. Sampoerna Telekomunikasi Indonesia (STI) mengumumkan penandatanganan penjualan bersyarat atas perjanjian jual beli STI. Dari perjanjian tersebut, Bakrie Telecom memeroleh 35% saham STI, dan dalam tiga tahun setelah perjanjian dilakukan akan menjadi pemegang saham mayoritas. Sebagai imbalannya, Sampoerna Strategic akan menjadi pemegang saham Bakrie Telecom. 4. Pada tanggal 26 September 2013 XL Axiata telah menandatangani perjanjian untuk mengakuisisi Axis Telekom Indonesia. Analisis Kinerja Industri Telekomunikasi Indonesia
NIM
Pada penelitian ini kinerja pasar dianalisis menggunakan variabel NIM, ARPU, ROA, ROE. Secara keseluruhan kinerja industri dapat diukur dari tingkat keuntungan yang diperoleh oleh unit industrinya. Pada penelitian ini Net Income Margin menjadi proksi dari keuntungan suatu perusahaan operator seluler. NIM adalah rasio yang menunjukkan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan keuntungan bersih. Menurut Weston dan Copeland (1998) Semakin besar NIM berarti semakin efisien perusahaan tersebut dalam mengeluarkan biaya-biaya sehubungan dengan kegiatan operasinya. Perusahaan dapat dikatakan efisien apabila memiliki NIM lebih dari 5% (Sulistyanto,tanpa tahun). Berikut adalah grafik NIM dari tiga perusahaan operator seluler terbesar di Indonesia tahun 2001 sampai tahun 2013. 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% -10% -20% 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Tahun TELKOMSEL
INDOSAT
XL
Sumber : Laporan tahunan Telkomsel, Indosat, dan XL
Gambar 4 Net Income Margin Gambar 4 menunjukkan bahwa NIM dari ketiga perusahaan operator seluler tersebut berfluktuatif dari tahun ke tahun, namun secara umum tren NIM di setiap perusahaan tersebut adalah tren negatif atau menurun. Hal ini disebabkan oleh semakin ketatnya persaingan dalam industri telekomunikasi seluler itu sendiri
23
ARPU (RUPIAH)
sehingga memengaruhi pendapatan dari setiap perusahaan dan berdampak pada nilai NIM setiap tahunnya. Pada tahun 2002 NIM Indosat merosot tajam menjadi 5.03%. Hal ini terjadi karena pada saat itu pemerintah menjual sebagian besar saham Indosat kepada asing. Hal ini menimbulkan gejolak di dalam maupun di luar perusahaan sehingga menyebabkan kinerja Indosat menurun pada tahun tersebut. Pada tahun 2003 terlihat NIM Indosat berada jauh di atas Telkomsel dan XL. Proses merger antara Indosat dengan anak perusahaannya (Satelindo, IM3 dan Bimagraha) pada tahun 2003 ini membuat Indosat memiliki strategi operasi yang baik sehingga dapat meningkatan laba bersih dengan nilai yang sangat tinggi. NIM XL pada tahun 2004 dan 2005 bernilai negatif yaitu sebesar -1% dan 5%. Hal ini dikarenakan kompetisi dari para operator baru (Fixed Wireless Access dan Code Division Multiple Access) yang menawarkan layanan seluler dengan jangkauan terbatas dan biaya yang lebih murah. Penurunan NIM XL pun terjadi pada tahun 2007, dikarenakan XL membayar withholding tax atas bunga obligasi dengan rate 20% dan denda Rp 341 milyar untuk periode 2004 sampai September 2007. Rata-rata NIM dari ketiga perusahaan terbesar dalam industri telekomunikasi seluler Indonesia dari tahun 2001 sampai 2013 adalah sebesar 19.12%. Hasil ini menunjukkan bahwa kinerja industri telekomunikasi seluler Indonesia pada tahun tersebut tergolong sangat baik karena lebih besar dari 5%. Data NIM Telkomsel, Indosat, dan XL dapat dilihat pada lampiran 4. Analisis kinerja selanjutnya menggunakan variabel ARPU. Nilai ARPU menunjukkan rata-rata jumlah penggunaan layanan telekomunikasi seluler setiap pelanggan. Berikut adalah grafik ARPU tiga perusahaan operator seluler terbesar di Indonesia dari tahun 2001 sampai tahun 2013. 200000 180000 160000 140000 120000 100000 80000 60000 40000 20000 0 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Tahun TELKOMSEL
INDOSAT
XL
Sumber : Laporan tahunan Telkomsel, Indosat, dan XL
Gambar 5 Average Revenue per User Dari Gambar 5 terlihat bahwa ARPU ketiga perusahaan operator seluler terbesar di Indoesia memiliki tren negatif atau menurun. Hal ini disebabkan oleh
24
ROA
perang tarif antar operator yang semakin ketat sehingga membuat pendapatan perusahaan menurun karena harga layanan menjadi semakin murah. Selain itu, harga kartu perdana dan gadget yang sangat murah, juga menjadi faktor utama yang membuat ARPU perusahaan telekomunikasi seluler terus menurun. Dengan harga kartu perdana dan gadget yang murah, konsumen dengan mudah mengganti kartu perdana mereka sehingga pembagi dari nilai ARPU menjadi semakin besar dan nilai ARPU sendiri menjadi semakin kecil. Oleh karena itu ARPU tidak dapat menjelaskan kinerja pasar secara keseluruhan, namun masih dapat menjelaskan seberapa besar konsumen menggunakan layanan yang ditawarkan oleh pasar. Data ARPU Telkomsel, Indosat, dan XL dapat dilihat pada lampiran 5. Dalam penelitian ini ROA dan ROE dari ketiga perusahaan terbesar juga digunakan untuk menganalisis kinerja industri telekomunikasi seluler di Indonesia. Berikut adalah grafik ROA dari tiga perusahaan operator seluler terbesar di Indonesia. 50% 45% 40% 35% 30% 25% 20% 15% 10% 5% 0% -5% -10% 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Tahun TELKOMSEL
INDOSAT
XL
Sumber : Laporan tahunan Telkomsel, Indosat, dan XL
Gambar 6 Return on Asset Gambar 6 menunjukkan bahwa nilai ROA dari Telkomsel, Indosat, dan XL berfluktuatif dari tahun ke tahun. Rata-rata ROA Telkomsel dari tahun 2001 hingga 2013 adalah 28.85%, Indosat 4.96%, dan XL 8.43%. Secara umum tidak ada informasi maupun riset yang menyatakan pada angka berapa ROA sebuah perusahaan dianggap baik. Namun dari grafik di atas dapat dilihat bahwa Telkomsel memiliki ROA tertinggi dibandingkan Indosat dan XL selama tahun 2001 hingga 2013. Hal ini menunjukkan bahwa Telkomsel memiliki efektifitas kerja yang paling tinggi dalam memanfaatkan aset yang dimiliki untuk menghasilkan laba, dibandingkan dua perusahaan pesaingnya. Hal ini membuat Telkomsel memiliki kesempatan paling besar untuk mengembangkan aset yang dimiliki. Data ROA Telkomsel, Indosat, dan XL dapat dilihat pada lampiran 6.
25 Analisis selanjutnya adalah analisis ROE. ROE adalah rasio yang sangat diperhatikan oleh investor sebelum melakukan investasi kepada sebuah perusahaan, karena ROE mencerminkan tingkat pengembalian modal yang diinvestasikan dari laba yang dihasilkan. Berikut grafik ROE Telkomsel, Indosat, dan XL dari tahun 2001 hingga 2013. 120% 100% 80%
ROE
60% 40% 20% 0% -20% -40% 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Tahun TELKOMSEL
INDOSAT
XL
Sumber : Laporan tahunan Telkomsel, Indosat, dan XL Gambar 7 Return on equity Gambar 7 menunjukkan bahwa ROE dari Telkomsel, Indosat, dan XL sangat berfluktuatif. Pada beberapa tahun pertama diterapkannya liberalisasi industri telekomunikasi seluler Indonesia, yaitu pada tahun 2001 hingga 2005, ROE XL mengalami penurunan yang sangat drastis dibandingkan dengan Telkomsel dan Indosat. Hal ini karena XL sebagai satu-satunya perusahaan telekomunikasi swasta yang notabene sepenuhnya mengandalkan modal dari investor, pada saat itu mengalami goncangan dalam hal investasi dan permodalan. Pada awal liberalisasi diterapkan, banyak investor yang tertarik untuk berinvestasi di sektor telekomunikasi. XL sebagai satu-satunya perusahaan swasta mendapatkan banyak modal baru dari investor. Hal ini membuat pembagi dari ROE menjadi semakin besar dan menurunkan nilai ROE. ROE Telkomsel dan Indosat tetap stabil karena pada saat itu sebagian besar sahamnya masih dimiliki oleh pemerintah sehingga kedua perusahaan ini tidak begitu bermasalah dalam hal investasi dam permodalan. Tidak ada informasi maupun riset mengenai berapa nilai ROE sebuah industri maupun perusahaan yang dianggap baik. Biasanya investor akan lebih percaya jika berinvestasi di dalam industri yang memiliki ROE lebih dari 20%. Berdasarkan data yang didapat, ROE rata-rata dari tiga perusahaan terbesar di industri telekomunikasi seluler Indonesia selama tahun 2001 hingga 2013 adalah sebesar 31.4%. Hal ini menunjukkan bahwa industri telekomunikasi seluler Indonesia masih menjadi industri yang menarik bagi investor domestik maupun
26 asing untuk berinvestasi. Data ROE Telkomsel, Indosat, dan XL dapat dilihat pada lampiran 7. Analisis Dayasaing Telkomsel Pascaliberalisasi Industri Telekomunikasi Berdasarkan berbagai data yang didapat dan berbagai analisis yang telah dilakukan, menunjukkan bahwa Telkomsel masing memiliki dayasaing yang sangat kuat pasca diberlakukannya liberalisasi industri telekomunikasi di Indonesia. Berdasarkan analisis yang dilakukan, rata-rata pangsa pasar Telkomsel selama tahun 2001 hingga 2013 adalah sebesar 49.39%. Meskipun pangsa pasar Telkomsel perlahan turun karena sejumlah perusahaan operator seluler baru yang membuat persaingan semakin ketat, namun jumlah pelanggan Telkomsel mengalami peningkatan yang cukup signifikan dari tahun ke tahun. Hingga saat ini Telkomsel masih memiliki pangsa pasar terbesar dengan jumlah pelanggan lebih dari 130 juta pada tahun 2013. Dalam hal kinerja, berdasarkan analisis variabel NIM, Telkomsel menjadi perusahaan dengan NIM rata-rata tertinggi dibandingkan dengan Indosat dan XL dengan nilai NIM sebesar 33.95%. Hal ini menunjukkan bahwa Telkomsel adalah perusahaan operator seluler dengan tingkat pendapatan terbesar di Indonesia selama tahun 2001 hingga tahun 2013. Selanjutnya analisis kinerja berdasarkan ARPU menunjukkan bahwa Telkomsel mendapatkan keuntungan terbesar dari setiap pelanggannya. Hal ini dibuktikan dengan nilai rata-rata ARPU Telkomsel menjadi yang tertinggi dibandingkan dengan Indosat dan XL selama tahun 2001 hingga 2013 dengan nilai ARPU sebesar Rp81.000,00. Hasil analisis ROA dan ROE semakin memperkuat bukti bahwa Telkomsel masih berjaya dan menjadi perusahaan telekomunikasi seluler terbesar di Indonesia. Dengan nilai rata-rata ROA dan ROE tertinggi dibandingkan Indosat dan XL, membuktikan bahwa Telkomsel adalah perusahaan yang paling efektif dan efisien dalam mengelola aset yang dimiliki dan modal yang didapatkan dari investor. Analisis Panel Data Pada penelitian ini analisis panel data digunakan untuk menganalisis faktorfaktor yang memengaruhi kinerja industri telekomunikasi seluler Indonesia. Pengujian Model Tahap awal metode panel data adalah mengestimasi model untuk mendapatkan model terbaik. Estimasi dilakukan melalui tiga pendekatan model yaitu Pooled Least Square (PLS), Fixed Effect Model (FEM), dan Random Effect Model (REM). Penentuan model terbaik dilakukan melalui uji Chow dan uji Hausman. Tabel 2 Hasil Uji Chow dan Hausman Uji Model Terbaik Nilai Probabilitas Uji Chow 0.0000 Uji Hausman 0.0001
Hasil Hipotesis Tolak H0, maka FEM Tolak H0, maka FEM
27 Berdasarkan Tabel 2, hasil uji Chow menunjukkan nilai probabilitas 0,0000 kurang dari taraf nyata 5% sehingga cukup bukti untuk melakukan penolakan H0. Model FEM lebih baik digunakan daripada model PLS. Hasil estimasi uji Hausman memiliki probabilitas 0,0001 yang kurang dari taraf nyata 5% sehingga cukup bukti untuk menolak H0. Model FEM lebih baik digunakan dibandingkan model REM. Adapun hasil estimasi dari pendekatan model FEM dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Hasil estimasi model FEM Variabel
Jumlah BTS Total Aset Nilai ARPU Jumlah Pelanggan C R-squared * : Signifikan pada taraf nyata 5%
Koefisien 0.222330 0.271474 0.513603 0.450093 6.758515
Prob. 0.0037* 0.0021* 0.0000* 0.0000* 0.0046* 0.997885
Berdasarkan hasil estimasi pada Tabel 3, didapatkan nilai R-squared sebesar 99.7%. Nilai ini menunjukkan bahwa 99.7% kinerja industri telekomunikasi seluler Indonesia dapat dijelaskan oleh model di atas, sedangkan sisanya sebesar 0.3% dijelaskan oleh faktor lain diluar model. Uji normalitas (Lampiran 13) dilakukan untuk mendeteksi apakah error term berdistribusi normal atau tidak. Dilihat dari nilai Jarque Bera dan probabilitas yang lebih besar dari taraf nyata 5%. Berdasarkan hasil estimasi nilai probabilitas Jarque Bera sebesar 3.99 dan probabilitas sebesar 0.13 sehingga dapat disimpulkan bahwa error telah terdistribusi secara normal dalam model. Statistik Durbin Watson pada lampiran 14 menunjukkan nilai 1.45. Nilai tersebut terletak diantara 1.34 dan 1.72 yaitu pada daerah tanpa kesimpulan. Autokorelasi yang ada telah diatasi dengan menggunakan Cross-section weights pada estimasi model FEM. Pada lampiran 14, Sum Square Residual Weighted Statistics sebesar 0.38 lebih kecil dibandingkan dengan Sum Square Residual Unweighted Statistics sebesar 0.57. Dengan demikian, model terindikasi masalah heteroskedastisitas sehingga diberikan perlakuan cross section weighting untuk mengatasinya. Pada hasil estimasi model FEM (Tabel 3) menunjukkan bahwa model tersebut memiliki nilai R-square yang tinggi yaitu 0.997885, probabilitas seluruh variabel independen juga lebih kecil dari taraf nyata 5% (signifikan). Hal ini menunjukkan bahwa model terbebas dari masalah multikolinearitas. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kinerja Industri Telekomunikasi Seluler Indonesia Pada penelitian ini total pendapatan menjadi proksi dari kinerja industri telekomunikasi seluler. Berdasarkan hasil estimasi pada Tabel 3, diketahui beberapa variabel yang diteliti yaitu jumlah BTS, total aset, nilai ARPU, dan jumlah pelanggan, berpengaruh terhadap kinerja industri telekomunikasi. Seluruh variabel tersebut memiliki nilai probabilitas dibawah taraf nyata 5%. Hal ini
28 menunjukkan bahwa variabel-variabel tersebut berpengaruh nyata terhadap kinerja industri telekomunikasi seluler. Jumlah BTS merupakan salah satu variabel yang berpengaruh signifikan terhadap total pendapatan, pada taraf nyata 5% dengan koefisien sebesar 0.222. Hal ini berarti peningkatan jumlah BTS sebesar 1% akan meningkatkan total pendapatan sebesar 0.222%, ceteris paribus. Berdasarkan teori, peningkatan jumlah BTS akan meningkatkan luas wilayah yang dijangkau oleh sinyal seluler sehingga meningkatkan penggunaan jasa telekomunikasi oleh konsumen dan meningkatkan total pendapatan. Hasil pada model sesuai dengan hipotesis. Total aset juga memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap total pendapatan pada taraf nyata 5%. Pada hasil estimasi, total aset memiliki koefisien sebesar 0.271, hal ini berarti bahwa peningkatan 1% total aset akan meningkatkan total pendapatan 0.271% total pendapatan, ceteris paribus. Teori ekonomi menyebutkan bahwa peningkatan total aset akan meningkatkan kualitas dan kuantitas infrastruktur yang dibutuhkan dalam produksi jasa telekomunikasi seluler, sehingga meningkatkan efisiensi dan total pendapatan. Nilai koefisien yang bertanda positif tersebut sesuai dengan hipotesis. Hasil estimasi menunjukkan bahwa nilai ARPU berpengaruh positif dan signifikan terhadap total pendapatan pada taraf nyata 5%. Koefisien variabel ARPU sebesar 0.513, yang berarti peningkatan nilai ARPU sebesar 1% akan meningkatkan total pendapatan sebesar 0.513%, ceteris paribus. Nilai ARPU mencerminkan pendapatan rata-rata perusahaan dari setiap pelanggan. Sehingga peningkatan ARPU berpengaruh positif terhadap total pendapatan. Hasil estimasi sesuai dengan hipotesis. Jumlah pelanggan memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap total pendapatan pada taraf nyata 5%. Hal ini ditunjukkan oleh koefisien hasil estimasi sebesar 0.45. Koefisien tersebut menyatakan bahwa peningkatan 1% jumlah pelanggan akan meningkatkan 0.45% total pendapatan. Pelanggan merupakan sumber pendapatan utama bagi perusahaan telekomunikasi. Peningkatan jumlah pelanggan tentu akan meningkatkan total pendapatan. Hasil estimasi model sesuai dengan hipotesis. Total pendapatan merupakan tutjuan utama dari perusahaan yang berbasis profit oriented. Untuk mendapatkan total pendapatan yang tinggi dibutuhkan kinerja yang baik pula. Berdasarkan hasil estimasi di atas, jumlah BTS, total aset, nilai ARPU dan jumlah pelanggan menrupakan variabel – variabel yang memiliki pengaruh signifikan terhadap total pendapatan. Semua variabel tersebut memiliki pengaruh yang bersifat positif terhadap total pendapatan dengan kadar yang berbeda-beda. Dengan demikian jumlah BTS, total aset, nilai ARPU dan jumlah pelanggan menjadi faktor – faktor yang memengaruhi kinerja industri telekomunikasi seluler indonesia secara signifikan.
29
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan uraian yang telah disajikan pada bagian sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Pascaliberalisasi, struktur industri telekomunikasi seluler Indonesia berubah dari monopoli menjadi oligopoli ketat. Perusahaan dalam industri tersebut memiliki perilaku yang relatif sama sehingga menimbulkan persaingan yang ketat di dalam industri. Sementara dari sisi kinerja, industri telekomunikasi seluler Indonesia masih menjadi industri yang menarik bagi investor meskipun beberapa indikator kinerja memiliki tren negatif. 2. Pascaliberalisasi industri telekomunikasi, Telkomsel tetap menjadi penguasa pasar. Hal ini ditunjukkan dengan memiliki pangsa pasar terbesar dan berbagai indikator kinerja yang lebih baik dibandingkan dengan perusahaanperusahaan operator seluler lainnya. 3. Jumlah BTS, total aset, nilai ARPU, dan jumlah pelanggan menjadi faktorfaktor yang memengaruhi kinerja industri telekomunikasi seluler Indonesia secara signifikan. Variabel-Variabel tersebut berpengaruh positif terhadap kinerja industri telekomunikasi Indonesia dengan kadar yang berbeda-beda sesuai dengan koefisien pada masing-masing variabel, yaitu jumlah BTS 0.22, total aset 0.27, nilai ARPU 0.51 dan jumlah pelanggan 0.45.
Saran Pascaliberalisasi, industri telekomunikasi seluler Indonesia mengalami perubahan struktur menjadi oligopoli ketat. Hal ini berpotensi menyebabkan persaingan yang tidak sehat di dalam industri. Lembaga pengawas dalam hal ini KPPU, diharapkan terus melakukan pengawasan terhadap industri tersebut, agar selalu tercipta persaingan yang sehat di dalam industri. Pemerintah yang bertindak sebagai regulator, diharapkan dapat membuat kebijakan yang mendukung berkembangnya industri telekomunikasi seluler Indonesia, dengan meningkatkan aksesibilitas, terhadap faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kinerja industri telekomuniasi. Seperti mempermudah izin pembangunan infrastruktur telekomunikasi, dan menurunkan pajak investasi di sektor telekomunikasi, sehingga kinerja industri akan meningkat dan telekomunikasi Indonesia akan semakin berkembang. Perusahaan-perusahaan telekomunikasi seluler, sebaiknya lebih fokus meningkatkan kualitas dan kuantitas, faktor-faktor yang terbukti mempengaruhi pendapatan secara signifikan, seperti jumlah pelanggan, nilai ARPU, total aset, dan jumlah BTS. Saran untuk penelitian selanjutnya adalah memasukkan variabel tarif seluler sebagai variabel independen yang memengaruhi kinerja industri telekomunikasi seluler Indonesia, karena tarif merupakan variabel yang dapat dilihat langsung oleh pelanggan sebagai hasil dari perilaku perusahaan.
30
DAFTAR PUSTAKA [Bakrie] P.T. Bakrie Telecom Tbk. 2013. Laporan Tahunan Perusahaan 20062013. Jakarta (ID): Bakrie. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Statistik Telekomunikasi Indonesia 2011. Jakarta (ID): BPS. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Statistik Telekomunikasi Indonesia 2012. Jakarta (ID): BPS. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Statistik Telekomunikasi Indonesia 2013. Jakarta (ID): BPS. Burhan MU, Suman A, Pudjiharjo M, Soetcipto N. 2011. Analisis Ekonomi Terhadap Struktur, Perilaku, dan Kinerja Pasar Pupuk di Jawa Timur. Journal of Indonesian Applied Economics Vol. 5. Malang (ID): Universitas Brawijaya. Ferariani Y. 2007. Analisis Kinerja P.T. Telekomunikasi Indonesia TBK Dibandingkan dengan P.T. Indosat TBK dengan Menggunakan Analisis Laporan Keuangan dan Penilaian Harga Wajar Saham. [Tesis]. Jakarta (ID): Universitas Indonesia. Firdaus M. 2011. Aplikasi Ekonometrika untuk Data Panel dan Time Series.Bogor (ID): IPB Press. Firdaus M, Oktaviani R, Asmara A, Sahara. 2008. Analisis Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Manufaktur di Indonesia. Jurnal Ekonomi Industri Vol. 12. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Gujarati DN. 2006. Dasar-dasar Ekonometrika Edisi Ketiga Jilid 2. Julius Am dan Yelvi A, penerjemah; Devri B dan Wibi H, editor. Jakarta (ID): Erlangga Terjemahan dari Essentials of Econometrics, Ed ke-3. Hasibuan N. 1993. Ekonomi Industri : Persaingan, Monopoli, dan Regulasi. Jakarta (ID): LP3S. [Indosat] P.T. Indosat Tbk. 2013. Laporan Tahunan Perusahaan 2001-2013. Jakarta (ID): Indosat. Jaya WK. 2001. Ekonomi Industri Edisi Kedua. Yogyakarta (ID): BPFE. Kristriana OW. 2015. Analisis Dampak Non-Tariffmeasures (NTMs) Terhadap Ekspor Ikan Tuna Indonesia ke Negara Tujuan Utama. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Lubis A, Asmara A. 2012. Analisis Struktur, Perilaku, dan Kinerja Perusahaan Elektronik Setelah Pelaksanaan Liberalisasi ACFTA. Jurnal Ekonomi Industri Vol. 6. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Mahesa B. 2010. Analisis Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Minuman di Indonesia Periode 2006-2009. Jurnal Media Ekonomi Vol. 18. Jakarta (ID): Universitas Trisakti. [Mobile-8] P.T. Mobile-8 Telecom Tbk. 2009. Laporan Tahunan Perusahaan 2006-2009. Jakarta (ID): Mobile-8. Muslim E, Nurcahyo R, Priyanto A, Prasetya N, Ijanah N. 2010. Analisis Industri Telekomunikasi di Indonesia. Jurnal Ekonomi Industri Vol. 9. Depok (ID): Universitas Indonesia.
31 Santoso R. 2015. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Tabungan Nasional : Studi Empiris di 28 Negara (2007-2011). [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. [Smartfren] P.T. Smartfren Telecom Tbk. 2013. Laporan Tahunan Perusahaan 2010-2013. Jakarta (ID): Smartfren. Solehah F. 2008. Analisis Struktur dan Kinerja Industri Telekomunikasi Seluler Indonesia. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. [Telkom] P.T. Telekomunikasi Indonesia Tbk. 2013. Laporan Tahunan Perusahaan 2006-2013. Jakarta (ID): Telkom. [Telkomsel] P.T. Telekomunikasi Seluler. 2013. Laporan Tahunan Perusahaan 2001-2013. Jakarta (ID): Telkomsel. Winsih. 2007. Analisis Struktur, Perilaku, dan Kinerja Industri ManufakturIndonesia. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. [XL] P.T. XL Axiata Tbk. 2013. Laporan Tahunan Perusahaan 2001-2013. Jakarta (ID): XL.
32
LAMPIRAN Lampiran 1 Jumlah Pelanggan (unit) 2001 TELKOMSEL INDOSAT XL SMARTFREN FLEXY BAKRIE TRI SMART SAMPOERNA AXIS
2002
3 252 032 1 919 147 1 223 000
2003
6 010 772 3 582 648 1 680 000
9 588 807 5 962 444 2 944 000
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
16 291 000 9 754 607 3 791 000 500 000 1 429 368
24 269 000 14 512 453 6 978 519 1 200 000 4 061 867
35 597 000 16 704 729 9 528 000 1 825 888 4 175 853 1 547 557
47 890 000 24 545 422 15 469 000 3 012 801 6 363 000 3 820 701 2 039 406 115 000 310 464 4 788
65 300 000 36 510 000 26 015 000 2 701 914 13 305 181 7 304 543 4 500 609 1 530 823 784 343 3234 800
81 643 532 33 136 521 31 438 377 2 805 842 15 139 057 10 606 901 7 311 000 2 599 665 636 868 410 5156
94 010 600 44 272 317 40 350 874 2 240 388 18 161 278 13 026 734 16 270 000 3 978 127 348 527 9 729 464
107 016 575 51 713 000 46 400 000 2 163 074 14 237 522 14 411 407 20 030 000 5 475 469 225 255 16 782 246
125 146 000 58 464 533 45 750 000 3 988 072 17 869 591 11 979 351 26 811 900 7 044 888 144 656 14 608 596
131 512 795 59 580 534 60 549 000 5 973 101 6 099 756 12 042 151 37 892 600 5 350 545 112 831 12 255 508
2008 40.5 22.7 16.1 1.7 8.3 4.5 2.8 0.9 0.5 2
2009 43.1 17.5 16.6 1.46 8 5.6 3.8 1.4 0.34 2.2
2010 38.8 18.26 16.7 0.9 7.5 5.4 6.7 1.6 0.14 4
134 713 12 715
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2013.
Lampiran 2 Pangsa Pasar (%) TELKOMSEL INDOSAT XL SMARTFREN FLEXY BAKRIE TRI SMART SAMPOERNA AXIS
2001 50.86 30.01 19.13
2002 53.32 31.78 14.9
2003 51.84 32.24 15.92
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2013 (diolah).
2004 51.3 30.7 11.9 1.6 4.5
2005 47.6 28.4 13.7 2.3 8
2006 51.2 24 13.7 2.69 6 2.2
0.2 0.01
2007 46.2 23.7 15 2.9 6.1 3.7 2 0.1 0.3 0
2011 38.42 18.6 16.6 0.8 5.1 5.2 7.2 2 0.08 6
2012 40.14 18.72 14.7 1.3 5.7 3.8 8.6 2.3 0.04 4.7
2013 39.7 18 18.3 1.8 1.84 3.63 11.4 1.6 0.03 3.7
33
Lampiran 3 Konsentrasi Rasio (CR3) (%) CR3
2001 100
2002 100
2003 100
2004 98.4
2005 97.4
2006 88.9
2007 84.9
2008 79.3
2009 77.2
2010 73.76
2011 73.62
2012 73.56
2013 76
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2013 (diolah).
Lampiran 4 Net Income Margin (%) TELKOMSEL INDOSAT XL
2001 41.6 28.28 7.1
2002 36.8 5.03 29.9
2003 38 73.9 15.3
2004 37 15.66 -1
2005 41 14.01 -5
2006 38 11.52 10
2007 37 12.38 3
2008 31 9.78 7.65
2009 30 7.96 12.3
2010 27 3.27 16.4
2011 26 4.06 15
2012 29 1.67 13
2008 59 000 38 282 37 000 24 000 38 000 42 000
2009 48 000 37 330 36 000 13 400 22 000 33 000
2010 42 000 34 712 34 000 12 900 15 000 26 000
2011 39 000 28 381 32 000 11 600 11 000 20 000
2012 37 000 27 073 31 000 15 200 9 000 21 000
2013 29 -11.66 4.8
Sumber : Laporan tahunan Telkomsel, Indosat, XL, 2013.
Lampiran 5 Average Revenue per User (rupiah) TELKOMSEL INDOSAT XL SMARTFREN FLEXY BAKRIE
2001 170 000 148 951 183 000
2002 145 000 111 817 142 000
2003 123 000 106 386 104 000
2004 102 000 89 489 70 000
Sumber : Laporan tahunan Telkomsel, Indosat, XL, 2013.
2005 87 000 67 113 60 000
2006 84 000 60 023 46 000 48 000 54 000 71 000
2007 80 000 52 821 47 000 39 800 53 000 53 000
2013 37 000 27 515 27 000 16 600 8 000 18 000
34
Lampiran 6 Return on Asset (%) TELKOMSEL INDOSAT XL
2001 33.6 8.19 17.9
2002 30.3 8.59 15.8
2003 32.2 23.34 10.4
2004 31 5.86 10.2
2005 38 4.95 6.1
2006 35 4.12 6
2007 33 4.51 1.6
2008 24 3.63 3.95
2009 24 2.72 6.3
2010 21 1.23 10.6
2011 22 1.82 9.7
2012 26 0.68 8.3
2013 25 -5.1 2.7
2005 55 11.34 15.7
2006 55 9.28 16
2007 55 12.34 5.7
2008 43 10.79 15.9
2009 45 8.34 26.1
2010 38 3.73 28.2
2011 35 5.32 22.3
2012 38 1.99 19
2013 38 -17.48 6.7
Sumber : Laporan tahunan Telkomsel, Indosat, XL, 2013.
Lampiran 7 Return on Equity (%) TELKOMSEL INDOSAT XL
2001 46.9 17.05 112
2002 44.9 18.01 109.5
2003 48.4 50.52 53.6
2004 45 12.39 63.4
Sumber : Laporan tahunan Telkomsel, Indosat, XL, 2013.
Lampiran 8 Total Revenue (milyar rupiah) TELKOMSEL INDOSAT XL SMARTFREN FLEXY BAKRIE
2006 319 683 12 239 6 466 751 54 748 919
2007 39 171 16 873 8 365 1 117 62 683 1 672
2008 40 291 19 211 12 156 9 265 64 166 2 805
2009 44 443 18 824 1.3880 537 67 678 3 435
Sumber : Laporan tahunan Telkomsel, Indosat, XL, 2013.
2010 45 567 19 796 17 637 39 278 68 629 3 447
2011 48 733 20 529 18 468 954 71 253 3 195
2012 54 531 22 418 21 278 1 649 77 143 2 973
2013 60 031 23 855 21 350 2 428 82 963 2 434
35
Lampiran 9 Jumlah BTS (unit) TELKOMSEL INDOSAT XL SMARTFREN FLEXY BAKRIE
2006 16057 7221 7260 440 1531 408
2007 20858 10760 11157 945 1911 1200
2008 26872 13662 16729 1563 4054 2772
2009 30992 16353 19349 1458 5543 3677
2010 36557 18108 22191 1654 5641 3947
2011 42622 19253 28273 3877 5718 4016
2012 54297 21930 39457 4425
2013 69864 24280 44946 5708
3899
2997
Sumber : Laporan tahunan Telkomsel, Indosat, XL, 2013.
Lampiran 10 Jumlah Aset (milyar rupiah) TELKOMSEL INDOSAT XL SMARTFREN FLEXY BAKRIE
2006 37 301 34 229 12 637 3 006 75 139 2 217
2007 44 677 45 305 18 801 4 537 82 056 4 662
2008 51 931 51 693 28 393 4 762 91 256 8 546
2009 59 227 55 041 27 380 4 757 97 931 11 436
Sumber : Laporan tahunan Telkomsel, Indosat, XL, 2013.
2010 57 343 52 818 27 251 4 484 100 501 12 353
2011 58 723 52 172 31 171 12 296 103 054 12 213
2012 62 917 55 225 35 456 14 339 111 369 9 052
2013 73 336 54 520 40 278 15 866 127 951 9 128
36 Lampiran 11 Hasil Uji Chow Redundant Fixed Effects Tests Equation: OUTPUT Test cross-section fixed effects Effects Test Cross-section F
Statistic
d.f.
Prob.
122.430359
(5,36)
0.0000
Chi-Sq. Statistic Chi-Sq. d.f.
Prob.
Lampiran 12 Hasil Uji Hausman Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: OUTPUT Test cross-section random effects
Test Summary Cross-section random
24.811215
4
0.0001
Lampiran 13 Hasil Uji Normalitas 7
Series: Standardized Residuals Sample 2006 2013 Observations 46
6 5
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
4 3 2 1
Jarque-Bera Probability
0 -0.3
-0.2
-0.1
0.0
0.1
2.47e-18 0.010210 0.173030 -0.276237 0.092003 -0.673630 3.520834 3.998889 0.135411
37 Lampiran 14 Hasil Estimasi FEM Dependent Variable: LN_REV Method: Panel EGLS (Cross-section weights) Date: 05/31/15 Time: 21:30 Sample: 2006 2013 Periods included: 8 Cross-sections included: 6 Total panel (unbalanced) observations: 46 Linear estimation after one-step weighting matrix Variable
LN_PLG LN_BTS LN_ASET LN_ARPU C
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
0.450093 0.222330 0.271474 0.513603 6.758515
0.066990 0.071687 0.081954 0.064226 2.238866
6.718833 3.101402 3.312502 7.996798 3.018722
0.0000 0.0037 0.0021 0.0000 0.0046
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.997885 0.997356 0.102863 1887.168 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
51.21500 34.46698 0.380908 1.456719
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.994721 0.577901
Mean dependent var Durbin-Watson stat
29.94793 1.322620
38
RIWAYAT HIDUP
Penulis memiliki nama lengkap Kemal Akbar, lahir di Purworejo pada tanggal 26 Juli 1993. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara, dari pasangan M.S. Wahjuntoro dan Sri Harini K. Penulis mengawali pendidikan di TK Batik Purworejo pada tahun 1998, kemudian melanjutkan pendidikan sekolah dasar selama enam tahun di SDN 1 Purworejo. Pada tahun 2005 hingga 2008, penulis melanjutkan pendidikan sekolah menengah pertama di SMPN 1 Purworejo. Selanjutnya, penulis menempuh pendidikan sekolah menengah atas di SMAN 1 Purworejo selama tahun 2008 hingga 2011. Pada tahun 2011, penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Ilmu Ekonomi Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur SNMPTN tulis. Selain mengikuti kegiatan akademik, penulis juga mengikuti berbagai kegiatan non-akademik. Selama menempuh pendidikan di SMA penulis aktif menjadi pengurus OSIS SMAN 1 Purworejo sebagai kepala bidang Persepsi Apresiasi Kreasi dan Seni selama periode 2009-2010. Selain itu, penulis juga menjadi ketua ekstrakulikuler Band SMAN 1 Purworejo periode tahun 2009. Selama menempuh pendidikan di bangku perkuliahan, penulis aktif dalam bidang seni musik dengan menjadi pengurus UKM MAX IPB. Selain itu, penulis juga aktif dalam beberapa organisasi lainnya seperti Organisasi Mahasiswa Daerah Purworejo. Selama kuliah penulis juga aktif dalam jasa pengisi acara dan juri dalam berbagai acara musik.