ANALISIS DAYASAING KOMODITAS DAGING AYAM RAS INDONESIA DI PASAR INTERNASIONAL
Oleh : IRMA KURNIASARI A 14105674
PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN IRMA KURNIASARI. Analisis Dayasaing Komoditas Daging Ayam Ras Indonesia di Pasar Internasional. LUKMAN MOHAMMAD BAGA.
Dalam rangka memasuki era perdagangan bebas pada tahun 2003 di kawasan AFTA dan tahun 2010 di kawasan APEC yang ditandai dengan persaingan yang semakin ketat di pasar global, maka pembangunan sektor pertanian di Indonesia harus semakin ditingkatkan peranannya. Peternakan merupakan salah satu sub sektor pertanian yang memberikan kontribusi cukup besar bagi peningkatan PDB sektor pertanian dan PDB Indonesia. Salah satu komoditas peternakan yang mendapatkan porsi untuk dikembangkan adalah ayam ras pedaging. Melihat besarnya populasi ayam ras pedaging di Indonesia dan didukung dengan keunggulan yang dimiliki seperti karakteristik produk yang mudah diterima masyarakat serta waktu pembudidayaan yang relatif singkat menjadikan ayam ras pedaging sebagai komoditas yang berpotensi besar untuk dikembangkan, baik untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri maupun sebagai komoditas ekspor. Namun sangat disayangkan sebagai komoditas yang berpotensi besar untuk ekspor, komoditas daging ayam ras Indonesia masih memiliki dayasaing yang lemah dibandingkan dengan produk impor. Peningkatan dayasaing komoditas daging ayam ras masih terkendala oleh sejumlah persoalan seperti pemberdayaan sumberdaya alam sebagai penyedia kebutuhan input produksi belum optimal sehingga ketergantungan terhadap produk impor masih besar, belum terintegrasinya agribisnis ayam ras pedaging, dan kualitas peternak yang secara umum masih rendah. Selain itu ancaman virus AI dan masuknya CLQ asal Amerika Serikat juga menghambat peningkatan dayasaing komoditas ini. Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah (1) Menganalisis struktur pasar komoditas daging ayam ras di pasar internasional, (2) Menganalisis keunggulan komparatif komoditas daging ayam ras Indonesia, (3) Menganalisis keunggulan kompetitif komoditas daging ayam ras Indonesia, (4) Merumuskan strategi yang tepat untuk meningkatkan dayasaing komoditas daging ayam ras Indonesia di pasar internasional. Penelitian ini meliputi lingkup makro yaitu perdagangan komoditas daging ayam ras nasional dan internasional. Alat analisis yang digunakan meliputi Herfindahl Index (HI) dan Concentration Ratio (CR), Revealed Comparative Advantage (RCA), analisis Berlian Porter, dan analisis SWOT. Struktur pasar komoditas daging ayam utuh dalam bentuk segar dan beku berbentuk pasar oligopoli mengarah ke monopoli karena HI nya bernilai 0,67 (mendekati satu) dan nilai CR4 sebesar 95,55 persen, sedangkan struktur pasar untuk komoditas daging ayam potongan dan jeroan dalam bentuk segar dan beku juga berbentuk oligopoli yang mengarah ke monopoli namun dengan persaingan yang lebih merata diantara produsen utamanya, karena HI nya bernilai 0,46 (mendekati nol) dan nilai CR4 sebesar 93,32 persen. Lima negara terbesar yang memonopoli perdagangan daging ayam ras pedaging dunia adalah Brazil, Amerika Serikat, China, Argentina, dan Inggris. Komoditas daging ayam ras
Indonesia tidak memiliki keunggulan komparatif terhadap komoditas daging ayam ras di pasar internasional karena nilai RCA Indonesia selalu berada di bawah satu selama periode 2002-2006. Agribisnis ayam ras pedaging nasional memiliki keunggulan kompetitif yang dapat terlihat dari adanya berbagai kekuatan yang dimiliki agribisnis ini, seperti faktor sumberdaya alam yang melimpah dan belum sepenuhnya termanfaatkan, ketersediaan dan aksesibilitas sumber-sumber IPTEK yang cukup memadai, biaya tenaga kerja yang kompetitif, serta peran dan kebijakan pemerintah yang sangat mendukung pengembangan agribisnis ini. Namun demikian peningkatan dayasaing komoditas daging ayam ras Indonesia masih terkendala oleh sejumlah persoalan seperti pemberdayaan sumberdaya alam sebagai penyedia kebutuhan input produksi belum optimal sehingga ketergantungan terhadap produk impor masih besar, belum terintegrasinya agribisnis ayam ras pedaging, dan kualitas peternak yang secara umum masih rendah. Strategi yang berguna bagi peningkatan dayasaing komoditas daging ayam ras Indonesia di pasar internasional diarahkan kepada seluruh subsistem yang tergabung dalam agribisnis ayam ras pedaging. Hal ini dikarenakan peningkatan dayasaing harus dilakukan secara menyeluruh dan tidak bisa secara parsial Meskipun secara umum struktur pasar komoditas daging ayam ras telah dikuasai oleh lima produsen utama di dunia, namun tidak tertutup kemungkinan bagi Indonesia untuk ikut bersaing di pasar global melalui pemanfaatan sumberdaya domestik sehingga tercipta efisiensi usaha. Selain dalam bentuk segar dan beku, produk olahan daging ayam seperti ayam masak juga perlu ditingkatkan pengembangannya karena selain dapat lebih mudah diterima di pasar luar negeri, juga akan memberikan nilai tambah yang cukup besar bagi industri di dalam negeri. Dalam memanfaatkan adanya keunggulan kompetitif, maka perlu dilakukan beberapa langkah yang mendukung peningkatan dayasaing komoditas daging ayam ras Indonesia seperti meningkatkan kualitas, kuantitas, dan kontinuitas ekspor, meningkatan kinerja segitiga peternakan yaitu breeding, feeding, dan manajemen ditunjang dengan pemanfaatan sumberdaya yang tersedia, pembentukan dewan ayam yang kuat yang mampu mewadahi seluruh industri yang berada dalam agribisnis ayam ras pedaging sehingga dapat mengakomodasi segala kelebihan dan kelemahan yang dimiliki untuk menghadapi persaingan dan ancaman yang ada.
ANALISIS DAYASAING KOMODITAS DAGING AYAM RAS INDONESIA DI PASAR INTERNASIONAL
Oleh : IRMA KURNIASARI A 14105674
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian Pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
Judul
: Analisis Dayasaing Komoditas Daging Ayam Ras Indonesia di Pasar Internasional
Nama
: Irma Kurniasari
NRP
: A 14105674
Program Studi : Ekstensi Manajemen Agribisnis
Menyetujui, Dosen Pembimbing Skripsi
Ir. Lukman M. Baga, MA.Ec. NIP.131 846 873
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr. NIP. 131 124 019
Tanggal Kelulusan :
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “ANALISIS DAYASAING KOMODITAS DAGING AYAM RAS INDONESIA DI PASAR INTERNASIONAL” ADALAH BENAR-BENAR MERUPAKAN HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Mei 2008
IRMA KURNIASARI A 14105674
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Jakarta, 22 Januari 1984 sebagai anak pertama dari dua bersaudara pasangan Bapak Sumitro dan Ibu Indarsih. Penulis menamatkan pendidikan Sekolah Dasar di SD Negeri Sarua IV, Pamulang pada tahun 1996. Pendidikan tingkat menengah pertama dapat diselesaikan pada tahun 1999 di SLTP Negeri II Pamulang, selanjutnya pendidikan tingkat atas dapat penulis selesaikan pada tahun 2002 di SMU Negeri I Pamulang. Pada tahun yang sama, penulis diterima sebagai mahasiswa pada Program Diploma III, Program Studi Manajemen Agribisnis, Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan lulus pada tahun 2005. Pada tahun 2006 penulis melanjutkan studi alih jenjang Sarjana dan diterima pada Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirrabbil’alamin Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan karunia-Nya kepada penulis sehingga skripsi yang berjudul “Analisis Dayasaing Komoditas Daging Ayam Ras Indonesia di Pasar Internasional” ini dapat selesai tepat pada waktunya. Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW sebagai suri tauladan kita semua. Skripsi ini merupakan hasil kajian penulis terhadap struktur pasar komoditas daging ayam ras di pasar internasional, keunggulan komparatif, dan keunggulan kompetitif komoditas daging ayam ras Indonesia. Skripsi ini merupakan hasil maksimal yang dapat dikerjakan oleh penulis. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini baik dari segi format penulisan, isi, maupun kedalaman kajian. Untuk itu saran, kritik, dan masukan dalam perbaikan skripsi ini sangat penulis harapkan. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak. Amin.
Bogor, Mei 2008
Penulis
UCAPAN TERIMA KASIH
Alhamdulillahi rabbil’alamin Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktu yang direncanakan. Penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan, kerjasama, dan dukungan berbagai pihak. Maka pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terimakasih dan penghargaan yang setinggitingginya kepada: 1. Papa dan Mama tercinta atas perjuangan dan doa yang tiada henti. 2. Bapak Ir. Lukman M. Baga, MA.Ec., sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah degan sabar memberikan bimbingan, arahan, dan masukan kepada penulis dalam menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini. 3. Bapak Muhammad Firdaus, PhD, selaku dosen penguji utama yang telah banyak memberikan masukan dan saran bagi kesempurnaan skripsi. 4. Ibu Tintin Sarianti, SP, selaku dosen penguji komisi pendidikan yang telah memberikan kritik dan masukan pada penulisan skripsi. 5. Ir. Popong Nurhayati, MM, selaku dosen evaluator pada kolokium yang telah memberikan masukan dan arahan dalam proposal penelitian. 6. Sandy Prasetyo, yang telah bersedia menjadi pembahas seminar. 7. Keluarga besarku tercinta (keluarga Jakarta, Semarang, dan Tegal) atas doa dan dukungannya yang sangat berarti. 8. Seluruh Dosen, Staf, dan Pengurus Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis atas bantuannya dalam memberikan informasi serta fasilitas studi.
9. Staf dan karyawan Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian. 10. Staf dan karyawan Dinas Peternakan Kabupaten Bandung, Jawa Barat. 11. Bapak Gamma sebagai pimpinan Poultry Shop Pilar Farm, Bandung yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan wawancara. 12. Bapak drh. Carwan, selaku staf PT. Sanbe Farma yang telah bersedia memberikan informasi yang sangat dibutuhkan dalam penelitian ini. 13. Para peternak ayam ras pedaging di Bandung dan Subang, yang telah bersedia dan dengan sabar menjadi narasumber penulis. 14. Teman seperjuanganku Denny, Utari, dan Lisma yang senantiasa bersama menjalani indahnya masa penelitian. 15. Rekan-rekan Diploma III MAB dan Ekstensi MAB atas persahabatan yang indah. 16. M-15’girls atas kebersamaan dan persaudaraan yang sangat berarti. Semoga amal baik Bapak/Ibu dan rekan-rekan mendapatkan balasan yang setimpal dari Allah SWT. Amin.
Bogor, Mei 2008
Irma Kurniasari A 14105674
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ....................................................................................... i DAFTAR GAMBAR ................................................................................... ii DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... iii I.
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ............................................................................... 1.2. Perumusan Masalah ........................................................................ 1.3. Tujuan Penelitian ............................................................................ 1.4. Kegunaan Penelitian .......................................................................
1 6 11 12
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Deskripsi Umum Ayam Ras Pedaging ............................................ 2.1.1. Kandungan Gizi Daging Ayam Ras ...................................... 2.1.2. Perkembangan Agribisnis Ayam Ras Pedaging di Indonesia . 2.1.3. Jenis Usaha Agribisnis Ayam Ras Pedaging di Indonesia ..... 2.2. Tinjauan Studi Terdahulu ............................................................... 2.2.1. Studi Tentang Ayam Ras Pedaging ...................................... 2.2.2. Studi Tentang Dayasaing .....................................................
13 13 14 17 22 22 24
III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis ......................................................... 3.1.1. Teori Perdagangan Internasional .......................................... 3.1.2. Struktur Pasar ...................................................................... 3.1.3. Konsep Dayasaing ............................................................... 3.1.4. Analisis SWOT untuk Perumusan Strategi dan Kebijakan .... 3.2. Kerangka Pemikiran Operasional ....................................................
28 28 29 33 44 45
IV. METODE PENELITIAN 4.1. Ruang Lingkup dan Waktu Penelitian ............................................ 4.2. Jenis dan Sumber Data .................................................................. 4.3. Metode Pengolahan dan Analisis Data ........................................... 4.3.1. Analisis Herfindahl Index (HI) dan Concentration Ratio (CR) ........................................................................... 4.3.2. Analisis Balassa’s Revealed Comparative Advantage Index (RCA) ........................................................................ 4.3.3. Analisis Berlian Porter ......................................................... 4.3.4. Analisis SWOT .................................................................... V. GAMBARAN UMUM AYAM RAS PEDAGING INDONESIA DAN DUNIA 5.1. Populasi Ayam Ras Pedaging ........................................................ 5.1.1. Populasi Ayam Ras Pedaging Indonesia ............................... 5.1.2. Populasi Ayam Ras Pedaging Dunia ...................................
50 50 51 51 55 56 57
60 60 62
5.2.
5.3. 5.4.
5.5.
5.6.
5.7. 5.8. 5.9. 5.10.
Produksi dan Produktivitas Ayam Ras Pedaging ............................ 63 5.2.1. Produksi dan Produktivitas Ayam Ras Pedaging Indonesia .. 63 5.2.2. Produksi dan Produktivitas Ayam Ras Pedaging Dunia ........ 65 Tingkat Konsumsi Komoditas Daging Ayam Ras di Indonesia dan Dunia ...................................................................................... 68 Harga Komoditas Daging Ayam Ras ............................................. 69 5.4.1. Harga Komoditas Daging Ayam Ras Indonesia .................... 69 5.4.2. Harga Komoditas Daging Ayam Ras Dunia ......................... 72 Ekspor Komoditas Daging Ayam Ras Indonesia ............................ 73 5.5.1. Komoditas Ayam yang Diekspor ......................................... 76 5.5.2. Kualitas Karkas yang Diekspor ............................................ 77 5.5.3. Negara Tujuan Ekspor Komoditas Daging Ayam Ras Indonesia ............................................................................. 78 Impor Komoditas Daging Ayam Ras Indonesia ............................. 79 5.6.1. Komoditas Ayam yang Diimpor ........................................... 79 5.6.2. Negara Pengekspor Komoditas Daging Ayam Ras untuk Indonesia ............................................................................ 82 Ekspor Komoditas Daging Ayam Ras Dunia ................................. 83 Impor Komoditas Daging Ayam Ras Dunia ................................... 83 Kelembagaan Agribisnis Ayam Ras Pedaging Indonesia ............... 85 Kelembagaan Ayam Ras Pedaging Internasional ........................... 86
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Analisis Struktur Pasar Komoditas Daging Ayam Ras di Pasar Internasional ................................................................................. 88 6.2. Analisis Keunggulan Komparatif Komoditas Daging Ayam Ras Indonesia ....................................................................................... 91 6.3. Analisis Keunggulan Kompetitif Komoditas Daging Ayam Ras Indonesia ...................................................................................... 92 6.3.1. Kondisi Faktor Sumberdaya ................................................. 93 6.3.2. Kondisi Permintaan .............................................................. 129 6.3.3. Industri Terkait dan Industri Pendukung .............................. 131 6.3.4. Persaingan, Struktur, dan Strategi Bersaing Komoditas Daging Ayam Ras Nasional ................................................ 138 6.3.5. Peran Pemerintah ................................................................. 141 6.3.6. Peran Kesempatan ............................................................... 143 6.4. Analisis SWOT untuk Perumusan Strategi dan Kebijakan ............. 144 6.4.1. Analisis Faktor Internal dan Eksternal Agribisnis Ayam Ras Pedaging Indonesia ....................................................... 145 6.4.2. Perumusan Strategi Peningkatan Dayasaing Komoditas Daging Ayam Ras Indonesia ................................................ 155 VII. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan ................................................................................... 165 7.2. Saran ............................................................................................. 167 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 169 LAMPIRAN ................................................................................................ 172
DAFTAR TABEL
Nomor 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20.
21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29.
Halaman Kontribusi Sub Sektor Peternakan Terhadap PDB Sektor Pertanian dan PDB Indonesia Triwulan II dan III Tahun 2006 ......... Populasi Ternak Unggas di Indonesia Tahun 1997-2007 .................. Neraca Ekspor-Impor Komoditas Daging Ayam Ras Indonesia Tahun 2003-2006 ............................................................................ Produksi Day Old Chik (DOC) Beberapa Negara FAPP Tahun 2004-2006 ...................................................................................... Kandungan Gizi Daging Ayam Ras ................................................. Jumlah Perusahaan Ayam Ras Pedaging di Indonesia Menurut Kegiatan Utama Tahun 2000-2004 .................................... Jumlah Perusahaan Peternakan Unggas Menurut Badan Hukum/Usaha Tahun 2000-2004 ..................................................... Data Populasi Unggas Indonesia Tahun 2003-2007 ......................... Data Produksi Daging Unggas Indonesia Tahun 2003-2007 ............ Perkembangan Genetika Ayam Ras Pedaging .................................. Data Produktivitas Unggas Indonesia Tahun 2006 ........................... Negara Produsen Utama Komoditas Daging Ayam Ras Dunia ........ Harga Jual Komoditas Daging Ayam Ras Tingkat Produsen di Indonesia ..................................................................................... Harga Produk Ayam di Berbagai Negara ......................................... Nilai dan Volume Ekspor Komoditas Daging Ayam Ras Indonesia Tahun 1997-2006 ............................................................................ Negara Tujuan Ekspor Komoditas Daging Ayam Ras Indonesia Tahun 1997-2006 ............................................................................ Nilai dan Volume Impor Komoditas Daging Ayam Ras Indonesia Tahun 1997-2006 ............................................................................ Negara Pengekspor Komoditas Daging Ayam Ras untuk Indonesia . Negara Importir Utama Komoditas Daging Ayam Ras Dunia .......... Hasil Analisis Herfindahl Index (HI) dan Concentartion Ratio (CR) Negara Pengekspor Komoditas Daging Ayam Ras Tahun 2002-2006 ............................................................................ Data Perkembangan Impor DOC GPS dan DOC PS Tahun 2005-2007 ....................................................................................... Kebutuhan Bahan Baku Pakan Unggas Indonesia Tahun 2000-2005 Data Impor Jagung Indonesia Tahun 2000-2005 .............................. Data Impor Bungkil Kedelai Indonesia Tahun 2000-2005 ............... Data Impor Meat Bone Meal (MBM) Indonesia Tahun 2000-2005 .. Data Impor Tepung Ikan Indonesia Tahun 2000-2005 ..................... Laju Average Daily Gain (ADG) dan Feed Convertion Ratio (FCR) Matriks SWOT Agribisnis Ayam Ras Pedaging Indonesia ............... Program Peningkatan Dayasaing Komoditas Daging Ayam Ras Indonesia .........................................................................................
2 3 5 7 14 18 20 60 64 65 65 67 71 73 75 78 80 82 84
88 98 100 102 104 106 107 122 154 163
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1. 2. 3.
The Complete System of National Competitive Advantage ............... Kerangka Pemikiran Operasional ....................................................
38 49
Matriks SWOT .............................................................................................
58
4.
Alur Tataniaga Perdagangan Komoditas Daging Ayam Ras di Indonesia .........................................................................................
114
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1. Data Populasi Ayam Ras Pedaging Indonesia Menurut Propinsi Tahun 2003-2007 ............................................................................ 2. Data Produksi Komoditas Daging Ayam Ras Indonesia Menurut Propinsi Tahun 2003-2007 .............................................................. 3. Strain Ayam Ras Pedaging Yang Beredar Atau Pernah Beredar di Indonesia dan Perusahaan Pembibitannya .................................... 4. Harga Jual Komoditas Daging Ayam Ras di Tingkat Produsen pada Negara Produsen Utama Tahun 1996-2005 ...................................... 5. Nilai dan Volume Ekspor Komoditas Daging Ayam Utuh Segar dan Beku Beberapa Negara Produsen Utama pada Tahun 2002-2006 ..... 6. Nilai dan Volume Ekspor Komoditas Daging Ayam Potongan dan Jeroan Segar dan Beku Beberapa Negara Produsen Utama pada Tahun 2002-2006 ............................................................................ 7. Nilai Total Ekspor Negara Produsen Utama Penghasil Komoditas Daging Ayam Ras Dunia Tahun 2002-2006 .................................... 8. Nilai Pangsa Pasar (S) Negara Produsen Utama Komoditas Daging Ayam Utuh Segar dan Beku Tahun 2002-2006 .................... 9. Nilai Pangsa Pasar (S) Negara Produsen Utama Komoditas Daging Ayam Potongan dan Jeroan Segar dan Beku Tahun 2002-2006 ....................................................................................... 10. Nilai Herfindahl Index (HI) dan Conentration Ratio (CR) Negara Produsen Utama Komoditas Daging Ayam Utuh Segar dan Beku Tahun 2002-2006 ............................................................................ 11. Nilai Herfindahl Index (HI) dan Conentration Ratio (CR) Negara Produsen Utama Komoditas Daging Ayam Potongan dan Jeroan Segar dan Beku Tahun 2002-2006 ................................................... 12. Nilai RCA Komoditas Daging Ayam Utuh Segar dan Beku Beberapa Negara Produsen Utama pada Tahun 2002-2006 ............................. 13. Nilai RCA Komoditas Daging Ayam Potongan dan Jeroan Segar dan Beku Beberapa Negara Produsen Utama pada Tahun 2002-2006 ..... 14. Alur Impor Bibit Ayam ................................................................... 15. Analisis Usahatani Pemeliharaan Ayam Ras Pedaging Mandiri ....... 16. Analisis Usahatani Pemeliharaan Ayam Ras Pedaging Inti-Plasma .. 17. Analisis Usahatani Pemeliharaan Ayam Ras Pedaging Poultry Shop
172 174 176 177 178
179 180 181
182
183
184 185 186 187 188 189 190
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Dalam rangka memasuki era perdagangan bebas pada tahun 2003 di kawasan ASEAN Free Trade Area (AFTA) dan tahun 2010 di kawasan AsiaPacific Economic Cooperation (APEC) yang ditandai dengan persaingan yang semakin ketat di pasar global, maka pembangunan sektor pertanian di Indonesia harus semakin ditingkatkan peranannya. Hal ini dikarenakan pembangunan pertanian telah memberikan sumbangan besar dalam pembangunan nasional baik sumbangan langsung seperti dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB), penyerapan tenaga kerja, peningkatan pendapatan masyarakat, perolehan devisa melalui ekspor dan penekanan inflasi maupun sumbangan tidak langsung melalui penciptaan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan pembangunan dan hubungan sinergis dengan sektor lain Salah satu agenda penting pembangunan ekonomi dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2005-2009 yang terkait dengan pembangunan pertanian adalah revitalisasi pertanian yang antara lain diarahkan untuk meningkatkan ketersediaan pangan asal ternak, meningkatkan nilai tambah dan dayasaing produk pertanian, serta meningkatkan produksi dan ekspor komoditas pertanian.30 Peternakan merupakan salah satu sub sektor pertanian yang memberikan kontribusi cukup besar bagi peningkatan PDB sektor pertanian dan PDB Indonesia, sehingga dapat dikatakan bahwa peternakan
1
Anonim. 2005. Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (RPPK) 2005. Bab III. Hlm 1. http://www.lnweb18.worldbank.org. Diakses pada tanggal 23 Desember 2007.
merupakan salah satu motor penggerak tumbuhnya perekonomian Indonesia. Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Kontribusi Sub Sektor Peternakan Terhadap PDB Sektor Pertanian dan PDB Indonesia Triwulan II dan III Tahun 2006 31
Lapangan Usaha
1. Pertanian a. Tanaman Bahan Makanan b. Tanaman Perkebunan c. Peternakan dan hasilnya d. Kehutanan e. Perikanan 2. Non Pertanian Produk Domestik Bruto
Kontribusi Terhadap PDB Sektor Pertanian (%) Triwulan Triwulan II III 50,33 16,22 10,90 6,86 15,70 100,00
45,46 21,37 10,76 6,30 16,12 100,00
Kontribusi Terhadap PDB Indonesia (%) Triwulan Triwulan II III 13,16 13,81 6,62 6,28 2,13 2,95 1,43 1,49 0,90 0,87 2,06 2,23 86,84 86,19 100,00 100,00
Berdasarkan data yang terdapat pada Tabel 1 diketahui bahwa PDB sektor peternakan relatif stabil dan cenderung meningkat. Pada tahun 2006 sub sektor peternakan mampu menyumbang sebesar 1,4 persen terhadap total PDB Indonesia atau sekitar 10 persen dari total PDB sektor pertanian. Salah satu komoditas peternakan yang mendapatkan porsi untuk dikembangkan karena merupakan pendorong utama penyediaan protein hewani nasional adalah ayam ras pedaging atau yang dikenal dengan sebutan ayam broiler. Prospek pasar dan pengembangan agribisnis ayam ras pedaging di Indonesia baik pada subsistem hulu, subsistem budidaya, maupun subsistem hilir sangat terbuka lebar. Perkembangan populasi ayam ras pedaging di Indonesia dalam tiga dasawarsa terakhir senantiasa mengalami peningkatan, meskipun pada tahun 1997-1999 saat terjadinya krisis ekonomi populasi ayam sempat mengalami 31
Badan Pusat Statistik dalam Pusat Data dan Informasi Pertanian. Buletin PDB Sektor Pertanian. 2006. Volume 5, Nomor 6. http://www.deptan.go.id. Diakses pada tanggal 23 Desember 2007.
guncangan cukup besar yang mengakibatkan populasi ayam mengalami penurunan hingga 50 persen. Pada awal tahun 2000 usaha ternak ayam ras pedaging mulai bangkit kembali karena kondisi perekonomian beranjak stabil. Pengusahaan ternak ayam ras pedaging hingga tahun 2007 tercatat memiliki jumlah populasi ternak terbanyak dibandingkan dengan jenis ternak unggas lainnya. Data populasi ternak unggas di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Populasi Ternak Unggas di Indonesia Tahun 1997-2007 Jenis Unggas (Ekor) Ayam Ras Ayam Ras Ayam Buras Pedaging Petelur 1997 641.373.820 70.622.770 260.834.700 1998 354.003.500 38.861.310 253.133.430 1999 324.346.750 45.530.850 252.653.300 2000 530.874.060 69.366.010 259.256.600 2001 621.870.430 70.254.490 268.039.060 2002 865.074.790 78.038.870 275.291.870 2003 847.743.890 79.206.050 277.357.040 2004 778.969.840 93.415.520 276.989.050 2005 811.188.680 84.790.410 278.953.780 2006 797.527.450 100.201.560 291.085.190 2007* 920.851.120 106.941.860 317.420.090 Total 6.852.450.510 766.606.930 2.750.179.410 Sumber : Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian, 2007 Keterangan : [*] Angka Sementara Tahun
Itik 30.319.980 25.950.040 27.551.950 29.035.320 32.068.340 46.000.880 33.862.820 32.572.780 32.405.430 32.480.720 34.093.310 326.021.590
Dari Tabel 2 terlihat bahwa populasi unggas terbesar ditempati oleh ayam ras pedaging dengan perkembangan populasi yang cenderung meningkat setiap tahunnya. Pada akhir tahun 2003 hingga tahun 2004 populasi ayam ras pedaging kembali mengalami penurunan, hal ini dikarenakan terjadinya serangan wabah virus flu burung atau yang dikenal dengan virus Avian Influenza (AI) yang banyak menyerang ternak unggas di Indonesia. Adanya kasus flu burung tersebut
mengakibatkan penjualan unggas termasuk ayam ras pedaging anjlok sebesar 30-50 persen dari kondisi normal.32 Pada tahun 2006 diketahui bahwa angka kebutuhan nasional terhadap komoditas daging ayam ras sebesar 3,3 kg per kapita per tahun. Sementara itu permintaan terhadap total daging unggas hanya sebesar 4,6 kg per kapita per tahun, dengan demikian protein hewani untuk daging unggas yang berasal dari daging ayam ras mencapai 71,7 persen atau sebesar 56 persen dari total konsumsi daging Indonesia. Meskipun persentasenya cukup besar, namun jika dibandingkan dengan negara lain konsumsi daging ayam rakyat Indonesia terbilang sangat kurang. Malaysia yang hanya berpenduduk 26 juta jiwa angka konsumsi daging ayamnya mencapai 38,5 kilogram per kapita per tahun. Philipina dengan pendapatan per kapita yang lebih rendah dan jumlah penduduk muslim yang jauh lebih sedikit daripada Indonesia telah mencapai angka konsumsi daging ayam per kapita per tahun sebesar 8,5 kg, begitu juga Thailand yang mampu mencapai 14 kg per kapita per tahun (FAO, dalam World Poultry, 2007). Melihat besarnya populasi ayam ras pedaging di Indonesia dan didukung dengan keunggulan yang dimiliki komoditas ini seperti karakteristik produk yang mudah diterima masyarakat serta waktu pembudidayaan yang relatif singkat menjadikan ayam ras pedaging sebagai komoditas yang berpotensi besar untuk dikembangkan, baik untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri maupun sebagai komoditas ekspor. Namun sangat disayangkan sebagai komoditas yang berpotensi besar untuk ekspor, komoditas daging ayam ras Indonesia masih memiliki dayasaing yang lemah dibandingkan dengan produk impor. Perkembangan nilai 32
Hartono. 2007. Pengusaha Daging Ayam Masih Optimis dalam Ariyani dan Raswa. http://www.tempointeraktif.com. Diakses pada tanggal 23 Desember 2007.
dan volume ekspor komoditas daging ayam ras Indonesia berbanding terbalik dengan nilai dan volume impornya. Sejak tahun 2002 hingga tahun 2003, nilai dan volume ekspor komoditas daging ayam ras Indonesia lebih besar dibandingkan volume dan nilai impornya. Namun memasuki tahun 2004 hingga tahun 2007 keadaan yang terjadi adalah sebaliknya dimana nilai dan volume impor komoditas daging ayam ras Indonesia jauh lebih besar dibandingkan nilai dan volume ekspornya. Faktor utama penyebab terjadinya penurunan nilai dan volume ekspor komoditas daging ayam ras Indonesia adalah karena adanya serangan virus AI yang mulai melanda Indonesia sejak akhir tahun 2003, akibatnya banyak negara tujuan ekspor yang menolak komoditas daging ayam ras Indonesia untuk masuk ke negaranya. Jepang sebagai salah satu negara tujuan utama ekspor telah memberlakukan adanya larangan impor ayam dari Indonesia karena alasan kesehatan dan keamanan pangan. Hal ini menyebabkan nilai ekspor ayam Indonesia turun sebesar lima juta dollar AS.33 Neraca ekspor-impor komoditas daging ayam ras Indonesia tahun 2003-2006 dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Neraca Ekspor-Impor Komoditas Daging Ayam Ras Indonesia Tahun 2003-2006 Ekspor Komoditas Daging Ayam Ras Nilai (USD) Volume (Kg) 2002 4.827.806 2.346.319 2003 4.964.470 2.760.674 2004 161.184 100.863 2005 70.573 74.800 2006 43.163 24.959 Sumber : UN Comtrade Database, 2008 Tahun
4
Impor Komoditas Daging Ayam Ras Nilai (USD) Volume (Kg) 163.787 311.670 149.220 207.559 775.034 1.193.838 3.450.828 3.817.300 4.429.889 3.331.439
Thomas. 2007. Pengusaha Daging Ayam Masih Optimis dalam Ariyani dan Raswa. http://www.tempointeraktif.com. Diakses pada tanggal 23 Desember 2007.
Besarnya potensi yang dimiliki komoditas daging ayam ras Indonesia tidak diimbangi dengan tingginya dayasaing komoditas tersebut khususnya untuk pasar internasional. Berdasarkan kenyataan tersebut, maka komoditas daging ayam ras Indonesia penting untuk dianalisis dari segi dayasaingnya dalam menghadapi tingkat persaingan di pasar internasional.
1.2. Perumusan Masalah Globalisasi yang ditandai dengan semakin bebasnya perdagangan antarnegara merupakan tantangan tersendiri bagi agribisnis ayam ras pedaging di Indonesia. Sebagai negara yang memiliki industri ayam ras pedaging cukup besar yang ditandai dengan besarnya jumlah populasi, produksi, dan tingkat konsumsi dibandingkan ternak unggas lainnya yang termasuk dalam industri unggas nasional (ayam ras petelur, ayam buras, dan itik), Indonesia seharusnya memiliki peluang sebagai produsen dan eksportir utama komoditas daging ayam ras pedaging baik untuk kawasan regional maupun kawasan global terutama untuk negara-negara di kawasan Asia dan Timur Tengah. Jika dibandingkan dengan beberapa negara lainnya yang tergabung dalam Federasi ASEAN Poultry Producers atau Federasi Produsen Perunggasan ASEAN (FAPP), selama tiga tahun berturut-turut yaitu dari tahun 2004 hingga tahun 2006 populasi ayam ras pedaging Indonesia selalu menempati urutan pertama dengan jumlah produksi Day Old Chik (DOC) terbesar yaitu mencapai 38 persen. Data produksi Day Old Chik (DOC) beberapa negara FAPP tahun 2004-2006 dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Produksi Day Old Chik (DOC) Beberapa Negara FAPP Tahun 2004-2006 Tahun 2004 Tahun 2005 Ribu Ekor % Ribu Ekor Indonesia 1.010.000 38 1.075.000 Thailand 930.000 35 1.000.000 Malaysia 420.000 16 445.000 Philipina* 200.000 7 220.000 Vietnam* 100.000 4 110.000 Total 2.660.000 100 2.850.000 Sumber : FAO, 2006 (dalam World Poultry, 2007) Keterangan : [*] Angka perkiraan Negara
% 38 35 15 8 4 100
Tahun 2006 Ribu Ekor 1.150.000 1.075.000 500.000 250.000 125.000 3.100.000
% 37 35 16 8 4 100
Sebagai negara yang berpotensi besar menjadi pengekspor komoditas daging ayam ras baik untuk kawasan regional maupun global nilai dan volume ekspor Indonesia justru selalu mengalami penurunan dan menunjukkan neraca perdagangan yang senantiasa defisit. Berdasarkan data Departemen Pertanian diketahui bahwa pada tahun 2006 ekspor komoditas daging ayam ras Indonesia mengalami defisit sekitar 3,3 juta kilogram atau senilai 4,4 juta USD. Besarnya nilai defisit tersebut menunjukkan bahwa ayam ras pedaging Indonesia masih memiliki dayasaing yang lemah dibandingkan dengan produk impor. Bisnis perunggasan bersifat fluktuatif dan sangat rentan terhadap berbagai persoalan. Pada masa sekarang ini pembangunan industri perunggasan tengah menghadapi tantangan persaingan global yang mencakup kesiapan dayasaing produk perunggasan serta masalah wabah AI. Kesiapan dayasaing produk dapat diperoleh apabila pembangunan integrasi secara simultan dan menyeluruh terhadap semua sektor pendukung industri tersebut mulai dari subsistem hulu, subsistem budidaya, subsistem hilir, hingga subsistem penunjangnya telah dapat terlaksana dengan baik. Salah satunya ialah melalui penerapan Supply Chain Management (SCM) atau manajemen rantai pasokan.
Saat ini Indonesia belum menjadi produsen hasil peternakan ayam yang mampu bersaing di pasar global, hal ini dikarenakan penerapan SCM pada agribisnis perunggasan khususnya ayam ras pedaging belum terlaksana dengan baik. Kondisi yang terjadi saat ini pada agribisnis ayam ras pedaging Indonesia adalah antara setiap subsistem yang terlibat pada umumnya masih tersekat-sekat sehingga sulit untuk bersaing di pasar bebas. Hal tersebut dapat dilihat dari terpisahnya operasional antara subsistem hulu sampai dengan subsistem hilir yang disebabkan oleh subsistem budidaya peternakan ayam banyak diperankan oleh peternak rakyat dalam skala produksi kecil dengan teknologi sederhana dan modal yang sangat terbatas sehingga tidak memiliki posisi tawar yang kuat.34 Dampak lain dari belum diterapkannya SCM secara menyeluruh pada agribisnis ayam ras pedaging sehingga produk ayam dalam negeri kalah bersaing di pasar internasional adalah subsistem hulu sebagai penyedia input bibit Day Old Chik (DOC) bersifat musiman sehingga bila harga DOC diduga naik maka pasokan produksi DOC meningkat, kemudian dengan meningkatnya produksi tersebut maka harga DOC di dalam negeri akan turun demikian seterusnya (PI, 2001 dalam Suryani, 2006). Selain itu petani penyedia pakan (jagung dan bungkil kedelai) tidak mampu memasok dalam jumlah dan kualitas yang memadai sehingga peternak masih sangat tergantung dari input impor, padahal pakan merupakan komponen tertinggi dalam komposisi biaya produksi industri perunggasan yaitu berkisar antara 60-70 persen sehingga ketersediaan pakan yang berkualitas dan dalam jumlah yang memadai merupakan faktor yang sangat menentukan apakah usaha perunggasan dapat bersaing atau tidak. Selain 34
Arief Daryanto. 2007. Peningkatan Nilai Tambah Industri Perunggasan Melalui Supply Chain Management. http://www.ariefdaryanto.wordpress.com. Diakses pada tanggal 23 Desember 2007.
penerapan SCM yang belum terlaksana dengan baik, penerapan biosekuriti dan Good Farming Practice (budidaya, lalu-lintas ayam, penampungan dan pemotongan) dalam rangka restrukturisasi agribisnis ayam ras pedaging juga masih terabaikan.35 Persoalan lain yang tengah dihadapi industri perunggasan di Indonesia adalah mencuatnya isu impor Chicken Leg Quarter (CLQ) yaitu paha ayam impor asal Amerika Serikat dan Meat Bone Meal (MBM) yaitu bahan baku pakan ternak dalam bentuk tepung tulang dan tepung daging. Masuknya CLQ ke Indonesia merupakan persaingan yang tidak adil dalam perdagangan bebas, karena di Amerika Serikat CLQ merupakan produk sampingan yang kebanyakan digunakan untuk bahan pembuatan pakan karena tidak begitu laku dijual kepada konsumen manusia, hal ini disebabkan adanya kekhawatiran akan tidak amannya produk ini untuk kesehatan. Paha ayam biasanya menjadi lokasi penyuntikan antibiotika, sehingga di CLQ itulah biasanya residu antibiotika mengumpul. Hal tersebut menyebabkan harga CLQ menjadi sangat rendah dibandingkan dengan harga komponen ayam lainnya.36 Berbeda dengan negara-negara ASEAN lainnya seperti Philipina, Malaysia dan Thailand yang dengan terang-terangan menolak impor CLQ dengan alasan merugikan peternak nasional. Jepang juga menolak dengan alasan kurang higienis karena kadar kolesterol paha ayam yang cukup tinggi.37 Di Indonesia CLQ justru merupakan produk utama yang tidak berbeda dengan komponen ayam lainnya namun harganya setengah dari harga rata-rata per kilogram daging ayam. Penurunan produksi domestik akan menjadi ancaman yang serius bagi pemerintah
35
Djajadi Gunawan. 2007. Menyikapi Harapan Lebih Baik pada 2007. Infovet Edisi 150. Arief Daryanto. 2007. Terkait Impor Paha Ayam, Pemerintah Diminta Hati-hati Tentukan Kebijakan dalam NM. http://www.ipb.ac.id. Diakses pada tanggal 23 Desember 2007. 37 Loc.cit 36
apabila izin masuknya CLQ ke Indonesia masih terus diberlakukan.38 Selain itu monopoli impor MBM dari Amerika Serikat oleh satu perusahaan saja menyebabkan harga MBM di dalam negeri menjadi sangat mahal, hal ini akan sangat merugikan peternak kecil.39 Walaupun WTO telah mengatur perdagangan komoditas pertanian yang tertuang didalam Agreement on Agriculture (AoA) dimana dapat dikatakan semua hambatan perdagangan hampir tidak ada, namun banyak negara maju (seperti Jepang, Malaysia, Singapura dan lain-lain) yang telah menerapkan berbagai persyaratan yang sangat memberatkan bagi negara eksportir yang pada umumnya negara berkembang. Jepang misalnya, merupakan potensi ekspor yang cukup besar untuk komoditas daging ayam Indonesia. Namun negara tersebut telah menerapkan peraturan impor ke negaranya dengan sangat ketat, seperti pemeriksaan keamanan pangan dan bukti sertifikasi kesehatan hewan. Hal ini ditujukan untuk menghindari masuk dan berjangkitnya wabah penyakit ternak dan melindungi konsumennya dari berbagai penyakit yang dapat mematikan. Adanya wabah AI yang menyerang Indonesia membuat konsumen luar negeri semakin membatasi impor ayamnya dari Indonesia, ini menyebabkan dayasaing produk ayam Indonesia di pasar internasional semakin lemah. Peningkatan dayasaing industri perunggasan sudah seharusnya dilakukan dengan pendekatan yang holistik (menyeluruh), komprehensif dan terintegrasi, tidak parsial dan tidak egosektoral. Hal ini dikarenakan salah satu karakteristik dasar dalam bisnis perunggasan adalah produk akhir dari komoditas tersebut
38
Arief Daryanto. 2007. Ekonomi Politik Impor Chicken Leg Quarter (CLQ) Di Indonesia. http://www.ariefdaryanto.wordpress.com. Diakses pada tanggal 23 Desember 2007. 39 Anonim. 2007. Teka-Teki Jumlah Produksi. http://www.poultryindonesia.com. Diakses pada tanggal 23 Desember 2007.
dihasilkan melalui tahapan-tahapan proses mulai dari hulu hingga hilir.40 Kerjasama kemitraan yang baik serta dukungan pemerintah sangat diperlukan dalam menghasilkan produk ternak yang berdayasaing tinggi. Dikarenakan usaha di bidang perunggasan bersifat menyeluruh yang terdiri dari subsistem hulu hingga subsistem hilir maka unit analisis yang ingin dikaji dalam penelitian ini meliputi sistem agribisnis ayam ras pedaging dengan konsentrasi pada komoditas daging ayam ras yang merupakan produk utama ekspor ayam ras pedaging Indonesia. Dengan demikian perumusan masalah yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana struktur pasar komoditas daging ayam ras di pasar internasional? 2. Apakah komoditas daging ayam ras Indonesia memiliki keunggulan komparatif? 3. Apakah komoditas daging ayam ras Indonesia memiliki keunggulan kompetitif? 4. Strategi apa yang diperlukan untuk meningkatkan dayasaing komoditas daging ayam ras Indonesia di pasar internasional?
1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah dirumuskan, maka tujuan penelitian ini adalah : 1. Menganalisis struktur pasar komoditas daging ayam ras di pasar internasional. 2. Menganalisis keunggulan komparatif komoditas daging ayam ras Indonesia. 3. Menganalisis keunggulan kompetitif komoditas daging ayam ras Indonesia.
40
Arief Daryanto, op.cit.
4. Merumuskan strategi yang tepat untuk meningkatkan dayasaing komoditas daging ayam ras Indonesia di pasar internasional.
1.4. Kegunaan Penelitian Berdasarkan tujuan tersebut, maka hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi berbagai pihak yang terkait antara lain : 1. Bagi para pengambil keputusan dan pelaku ekonomi yang berada dalam sistem agribisnis ayam ras pedaging, sebagai masukan dan informasi dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang terjadi pada industri ayam ras pedaging di Indonesia. 2. Bagi masyarakat akademik, sebagai referensi dalam mengadakan penelitian lanjutan mengenai ayam ras pedaging. 3. Bagi pemerintah, sebagai salah satu bahan acuan dalam menetapkan kebijakan yang mendukung kelangsungan perdagangan ayam ras pedaging nasional.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.3. Deskripsi Umum Ayam Ras Pedaging Ayam ras pedaging merupakan jenis ras unggulan hasil persilangan dari bangsa-bangsa ayam yang memiliki daya produktivitas tinggi, terutama dalam memproduksi daging ayam. Hingga kini ayam ras pedaging telah dikenal masyarakat Indonesia dengan berbagai kelebihannya. Ayam ras pedaging mempunyai pertumbuhan bobot badan yang sangat cepat dengan perolehan timbangan berat badan yang tinggi dalam waktu yang relatif singkat, yaitu pada umur 5-6 minggu berat badannya dapat mencapai 1,3-1,8 kilogram dan pada saat itu ayam telah siap untuk dipanen (Cahyono, 2002). Istilah broiler digunakan untuk menggantikan ayam ras pedaging yang unggul rasnya ditinjau dari dua kriteria yaitu hasil utama dan pertumbuhannya (Rasyaf, 1999). Pertumbuhan ayam ras pedaging sangat tergantung kepada pemberian ransum yang disesuaikan dengan lama waktu dan cara pemeliharaan. Bahan makanan yang biasa digunakan sebagai pembentuk ransum ayam ras pedaging adalah jagung, bungkil kedelai, tepung ikan, dedak, pollard dan premix.
2.3.1. Kandungan Gizi Daging Ayam Ras Pedaging Seiring berkembangnya zaman, tuntutan konsumen terhadap suatu produk juga semakin kompleks. Pola kebutuhan konsumen terhadap makanan pun mengalami pergeseran, pergeseran selera konsumen tersebut salah satunya adalah berubahnya pola konsumsi dari red meat (daging merah) menjadi white meat (daging putih). Hal ini dikarenakan sebagian konsumen menganggap daging putih
atau daging yang berasal dari unggas dan ikan lebih menyehatkan dibandingkan daging merah yang kebanyakan berasal dari ternak ruminansia seperti sapi dan kambing. Selanjutnya Rasyaf (1999) mengemukakan bahwa ciri khas ayam ras pedaging adalah rasanya enak dan khas, dagingnya empuk dan banyak, serta pengolahannya mudah tetapi mudah hancur dalam proses perebusan yang lama. Bila dilihat dari kandungan gizi, daging ayam merupakan sumber protein yang berkualitas. Dalam 100 gram daging ayam mengandung 18,20 gram protein dan 404,00 kkal yang berguna untuk menambah energi. Kandungan gizi yang terdapat pada daging ayam ras dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Kandungan Gizi Daging Ayam Ras Nilai Gizi Per 100 Gram Satuan Kalori Kilokalori (kkal) Protein Gram (gr) Lemak Gram (gr) Kolesterol Gram (gr) Vitamin A Miligram (mg) Vitamin B1 Gram (gr) Vitamin B6 Gram (gr) Asam Linolenat Miligram (mg) Kalsium Gram (gr) Fosfor Miligram (mg) Sumber: Direktorat Gizi, Departemen Kesehatan, 1992
Jumlah 404,00 18,20 25,00 60,00 243,00 0,80 0,16 6,20 14,00 200,00
2.3.2. Perkembangan Agribisnis Ayam Ras Pedaging di Indonesia Agribisnis perunggasan khususnya ayam ras pedaging di Indonesia merupakan salah satu agribisnis yang perkembangannya paling cepat. Suharno (2004) menjelaskan bahwa peternakan ayam ras pedaging dimulai dari usaha keluarga yang dirintis sejak tahun 1960. Ketika pemerintah mulai mencanangkan program Pembangunan Lima Tahun (Pelita) maka ayam ras pedaging ikut menjadi salah satu program yang mendapat perhatian serius. Produktivitas ayam
ras pedaging yang relatif lebih tinggi dibanding dengan ayam buras menyebabkan komoditas ini mendapat perhatian besar dari pemerintah. Dukungan pemerintah dalam mengembangkan ayam ras pedaging terlihat dari adanya program Bimbingan Massal Broiler (Bimas Broiler) pada tahun 1980, sejak itu peternakan ayam ras mengalami pertumbuhan yang pesat menjadi suatu agribisnis modern yang ditandai dengan tumbuhnya investasi pada industri hulu (industri pembibitan atau penyedia DOC, industri pakan, industri obat-obatan dan vaksin), usaha budidaya atau industri peternakan, maupun industri hilir (rumah pemotongan ayam/RPA dan industri pengolahan makanan). Meskipun demikian program Bimas ini menemui sejumlah persoalan terutama sejak memasuki Pelita III (1974-1984), masalah pemasaran daging ayam ras mulai timbul. Pada saat itu banyak peternak baru di luar peserta Bimas bermunculan sehingga menimbulkan masalah berupa kekurangan bahan baku pakan terutama jika musim kemarau tiba. Selain itu adanya peternak berskala besar yang mampu menjual ayam dengan harga di bawah harga peternak kecil juga turut menimbulkan kemelut yang berupa pertentangan antara peternak besar dengan peternak kecil. Sebagai tanggapan terhadap permasalahan ini, maka pada periode 1980-1989 pemerintah menetapkan kebijakan berupa Keppres Nomor 50 Tahun 1981 tentang pembatasan skala usaha yang dimaksudkan untuk membendung agar peternakan ayam ras tidak dikuasai oleh industri besar dan SK Mentan Nomor TN.406/Kpts/5/1984 tentang pengaturan kerjasama Perusahaan Inti Rakyat atau disingkat dengan PIR Menurut Suharno (2005), dalam prakteknya peraturan tersebut sangat sulit diterapkan karena dinilai menghambat peternak untuk lebih mengembangkan
usahanya sehingga pada tahun 1990 disusunlah peraturan Keppres Nomor 22 Tahun 1990 yang mengatur pengklasifikasian skala usaha, yaitu membagi peternakan menjadi peternakan rakyat dan perusahaan peternakan dan SK Mentan Nomor 362/Kpts/TN/120/5/1990 yang berisi tentang ketentuan dan tata cara pelaksanaan pemberian izin dan pendaftaran usaha peternakan. Dalam SK Mentan tersebut dinyatakan bahwa industri peternakan ayam ras pedaging dapat dilakukan oleh perusahaan baik Perusahaan Modal Dalam Negeri (PMDN), Perusahaan Modal Asing (PMA), maupun koperasi. Khusus untuk PMA jika melakukan investasi usaha budidaya ayam ras maka perusahaan ini diwajibkan untuk ekspor sebanyak 65 persen dari produk yang dihasilkan. Setelah pemerintah menerbitkan Keppres Nomor 22 Tahun 1990 masyarakat perunggasan memandang perlunya Petunjuk Pelaksanaan Keppres agar dilakukan pengaturan secara baik terutama dalam hal kemitraan, sehingga pada tahun 1996 diterbitkanah SK Mentan Nomor 472/1996 yang mengatur berbagai macam kemitraan. Kalau semula hanya ada PIR, maka sekarang ada kemitraan yang menempatkan posisi perusahaan sebagai penghela dan pengelola. Dalam semua bentuk kemitraan maka pihak inti harus bertanggungjawab terhadap kegiatan pemasaran hasil (Suharno, 2005). Kebijakan yang telah ditetapkan pemerintah turut mendorong tumbuhnya industri peternakan ayam ras pedaging di Indonesia ke arah yang lebih baik. terciptanya pola kemitraan antara perusahaan besar dengan peternak rakyat merupakan upaya yang diharapkan dapat meningkatkan hasil produksi secara berkesinambungan serta berdayasaing tinggi baik di pasar domestik maupun internasional. Intervensi yang kuat dari perusahaan besar terhadap peternakan
rakyat seperti adanya bantuan permodalan, jaminan ketersediaan pasar, pengorganisasian, dan bimbingan teknis merupakan keuntungan yang diperoleh peternak rakyat. Sedangkan perusahaan besar memperoleh keuntungan dengan adanya jaminan ketersediaan hasil produksi. Saat ini usaha ternak ayam ras pedaging sudah dapat dijumpai hampir di setiap propinsi yang ada di Indonesia dengan sentra produksi berada di propinsi Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Data populasi ayam ras pedaging menurut propinsi tahun 2003-2007 dapat dilihat pada Lampiran 1.
2.3.3. Jenis Usaha Agribisnis Ayam Ras Pedaging di Indonesia Usaha agribisnis ayam ras pedaging merupakan suatu sistem yang utuh dan tidak terpisah-pisah. Hingga saat ini ruang lingkup usaha agribisnis ayam ras pedaging di Indonesia telah cukup luas yaitu meliputi usaha pembibitan, usaha budidaya, usaha industri pengolahan, dan usaha pemasaran (Suharno, 2004). a. Usaha Pembibitan Usaha pembibitan adalah usaha peternakan yang menghasilkan ternak untuk dipelihara lagi dan bukan untuk dikonsumsi. Usaha pembibitan ayam ras pedaging meliputi pembibitan untuk menghasilkan pure line (PL) atau ayam galur murni, great grand parent stock (GGPS) atau ayam bibit buyut, grand parent stock (GPS) atau ayam bibit nenek, parent stock (PS) atau ayam induk, dan final stock (FS) atau ayam niaga. Sampai tahun 1993 di Indonesia tercatat ada satu perusahaan pembibitan PL, 13 pembibitan GPS, dan 105 PS (yang aktif 88 buah) dengan 13 strain ayam ras pedaging. Namun pada tahun 2000 terjadi penurunan jumlah perusahaan pembibitan, bahkan perusahaan pembibitan PL yakni PT. Anputraco sudah tidak
aktif lagi. Jumlah strain yang beredar di Indonesia juga mengalami penurunan menjadi sekitar 10 strain. Perubahan ini terjadi akibat krisis tahun 1997-1998 dan perubahan global dalam bisnis pembibitan ayam ras dunia yang menyebabkan beberapa perusahaan pembibitan besar melakukan merger dan akuisisi untuk meningkatkan kinerjanya dalam persaingan global (Suharno, 2004). Jumlah perusahaan ayam ras pedaging menurut kegiatan utama dari tahun 2000 hingga tahun 2004 ditampilkan pada Tabel 6. Tabel 6. Jumlah Perusahaan Ayam Ras Pedaging di Indonesia Menurut Kegiatan Utama Tahun 2000-2004 Kegiatan Utama 1. Pembibitan a. Pure Line (PL) b. Grand Parent Stock (GPS) c. Parent Stock (PS) 2. Budidaya Total Sumber : Badan Pusat Statistik, 2004
2000 1 19 834 854
2001 3 2 22 1.095 1.119
Tahun 2002 3 29 956 988
2003 1 2 24 1.040 1.066
2004 3 4 19 1.438 1.461
Berdasarkan data yang tertera pada Tabel 6 diketahui bahwa jumlah keseluruhan perusahaan pembibitan yang ada di Indonesia hanya sekitar 2-3 persen dari total usaha peternakan ayam ras pedaging, sedangkan sisanya sebesar lebih dari 90 persen merupakan kegiatan budidaya. Jenis strain atau galur ayam yang telah beredar di pasaran memiliki daya produktifitas relatif sama. Artinya seandainya terdapat perbedaan, perbedaanya tidak mencolok atau sangat kecil.41 Tiap jenis strain diberi nama tersendiri sesuai dengan perusahaan pembibitan yang memproduksi strain FS yang bersangkutan sehingga dikenal berbagai macam strain di pasaran (Cahyono, 2004 dalam
41
Anonim. 2005. Teknologi Tepat Guna Mentri Negara Riset dan Teknologi Tentang Budidaya Peternakan, Budidaya Ayam Ras Pedaging. http://www.ristek.go.id. Diakses pada tanggal 2 Januari 2008
Sulaiman, 2007). Adapun jenis strain ayam ras pedaging yang beredar atau pernah beredar di Indonesia ditampilkan pada Lampiran 3. b. Usaha Budidaya Usaha budidaya ayam ras pedaging adalah usaha pemeliharaan ayam ras untuk menghasilkan produk berupa ayam konsumsi atau daging ayam (Suharno, 2004). Berdasarkan Rusastra, et.al (1988) dalam Suryani (2006) ditinjau dari sifat usaha, peternakan ayam ras pedaging merupakan salah satu jenis peternakan Non Basic Land Oriented yang berarti usaha budidaya ayam ras pedaging dapat dilakukan di daerah berlahan sempit dengan pendapatan masyarakat yang rendah, serta jumlah penduduk relatif padat. Berdasarkan UU Nomor 6 Tahun 1967 diketahui bahwa bentuk usaha peternakan terdiri dari peternakan rakyat dan perusahaan peternakan. Peternakan rakyat adalah peternakan yang dilakukan oleh rakyat antara lain petani disamping usaha pertaniannya, sedangkan perusahaan peternakan adalah peternakan yang diselenggarakan dalam bentuk suatu perusahaan secara komersil. Di Indonesia usaha budidaya ayam ras pedaging sebagian besar diusahakan dalam skala kecil, yaitu sekitar 90 persen merupakan usaha peternakan rakyat dengan ciri utama belum memperhitungkan skala usaha ekonomis dan penggunaan teknologi masih sederhana sehingga produktivitasnya rendah dengan kualitas hasil ternak yang bervariasi (Direktorat Jenderal Peternakan, 1993). Jika dibandingkan dengan pelaku usaha peternakan ayam ras pedaging dengan skala besar yang saat ini masih menjadi pemimpin pasar di Indonesia seperti PT. Charoen Pokphand Indonesia, PT. Sierad Produce, PT. Japfa Comfeed, dan PT. Wonokoyo maka peternak rakyat memiliki posisi yang lemah dan peka
terhadap perubahan terutama dalam memasarkan hasil produksinyanya. Jumlah perusahaan peternak unggas di Indonesia tahun 2000-2004 ditampilkan pada Tabel 7. Tabel 7. Jumlah Perusahaan Peternakan Unggas Menurut Badan Hukum/Usaha Tahun 2000 – 2004 Badan Hukum
2000
BUMN Koperasi 9 Perorangan 1.879 Lainnya 286 Jumlah 2.174 Sumber : Badan Pusat Statistik, 2004
2001 1 15 2.267 353 2.636
Tahun 2002 12 1.867 335 2.214
2003 17 1.951 439 2.407
2004 19 2.617 564 3.200
c. Usaha Pengolahan Usaha pengolahan atau kegiatan penanganan pascapanen merupakan usaha mengolah produk peternakan. Kegiatan pengolahan ayam ras pedaging dimulai saat pemotongan ayam hingga menjadi bermacam-macam produk. Dalam usaha agribisnis ayam ras di Indonesia saat ini, usaha pengolahan ayam pedaging yang banyak digeluti pengusaha adalah usaha pemotongan ayam di tempat pemotongan ayam atau disingkat dengan TPA (Suharno, 2004). Berkembangnya usaha ini disebabkan pada umumnya konsumen ayam lebih banyak meminta ayam potong daripada ayam olahan lanjutan, begitu juga dengan konsumen luar negeri yang lebih menyukai ayam segar sehingga produk andalan daging ayam yang diekspor ke luar negeri merupakan daging ayam beku segar (Badan Pusat Statistik, 2004). Pada awal tahun 1995, potensi ayam potong yang bisa masuk pada usaha TPA mencapai 1,1 juta ekor/hari. Dari jumlah itu kira-kira 65 persen diantaranya berada di Jawa dan terbanyak terdapat di Jakarta (Suharno, 2004). Selain usaha pemotongan ayam, usaha pengolahan ayam ras pedaging lainnya adalah usaha pengolahan daging menjadi produk olahan seperti nugget, bakso, dan sosis. Usaha
ini umumnya dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang memiliki modal besar dan teknologi tinggi. d. Usaha Pemasaran Usaha pemasaran umumnya dilakukan setelah usaha pemotongan ayam di TPA. Produk yang dipasarkan berupa ayam potong segar, ayam potong beku , dan ayam olahan seperti nugget, bakso, dan sosis (Suharno, 2004). Selain itu usaha pemasaran juga dilakukan terhadap ayam hidup dan juga bibit ayam. Keadaan pasar komoditas daging ayam ras di Indonesia dapat dibagi menjadi musim ramai dan musim sepi. Musim ramai biasanya terjadi pada harihari besar keagamaan seperti hari raya Idul Fitri, hari Natal, dan tahun baru. Kecenderungan yang terjadi pada musim ramai adalah permintaan terhadap komoditas daging ayam ras meningkat tajam, sehingga hal ini dimanfaatkan oleh kalangan peternak dan kalangan di luar peternak (peternak musiman) untuk memacu produksi daging ayam ras di dalam negeri. Hal ini tidak jarang justru menyebabkan over produksi di pasar sehingga menurunkan harganya di dalam negeri. Keadaan sebaliknya terjadi pada musim sepi. Ayam ras pedaging yang dipasarkan ke luar negeri sebagian besar berupa daging ayam dalam bentuk segar maupun olahan dengan persentase sekitar 96 persen, sedangkan sisanya berupa bibit ayam (Departemen Pertanian, 2006). Negara tujuan ekspor utama adalah Jepang, Hongkong, dan Uni Emirat Arab. Dari segi pasar dalam negeri, sebagian besar daging ayam ras produksi dalam negeri (80 persen) terdistribusi pada pasar tradisional dan sisanya (20 persen) terserap oleh pasar supermarket dan restoran siap saji, sehingga harga dan jumlah produksi daging ayam ras yang ada di pasar sulit untuk dikendalikan, hal ini memicu
masuknya daging ayam impor ke dalam negeri dengan jalur tidak resmi (Suryani, 2006). Negara pengekspor daging ayam ras untuk Indonesia diantaranya adalah Amerika Serikat, Cina, Brazil, dan Australia.
2.4. Tinjauan Studi Terdahulu Penelitian mengenai ayam ras pedaging telah banyak dilakukan, namun sebagian besar penelitian tedahulu mengenai ayam ras pedaging membahas tentang aspek kemitraan antara peternak ayam ras pedaging skala kecil dengan perusahaan besar. Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah dikemukakan sebelumnya maka pada penelitian ini penulis mencoba untuk melakukan analisis terhadap dayasaing komoditas daging ayam ras Indonesia di pasar internasional. Adapun beberapa judul penelitian terdahulu yang dapat dijadikan acuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
2.4.1. Studi Tentang Ayam Ras Pedaging 1. Permintaan dan Penawaran Daging Ayam Broiler di Indonesia (Suryani, 2006) Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis struktur permintaan dan penawaran daging ayam broiler di Indonesia serta faktor-faktor lain yang mempengaruhinya. Selain itu dalam penelitian ini juga dilakukan analisis terhadap dampak kebijakan pemerintah dan perubahan faktor eksternal terhadap permintaan dan penawaran daging ayam broiler di dalam negeri. Alat analisis yang digunakan dalam menduga model yang akan dianalisis adalah metode 2-SLS (Two-Stage Least Square). Permodelan yng dihasilkan memenuhi asumsi tidak terdapatnya autokorelasi dan mempunyai nilai R-Sq yang cukup baik berkisar
antara 0,7637 dan 0,9863. Analisis yang dilakukannya menghasilkan beberapa informasi sebagai berikut : a. permintaan daging ayam broiler dipengaruhi oleh harga daging ayam broiler, harga telur, harga daging sapi, dan pendapatan per kapita secara signifikan. Sedangkan harga pakan, kebijakan Keppres Nomor 22 Tahun 1990 yang memberikan izin bagi para peternak ayam broiler untuk memperluas skala usaha, dan teknologi signifikan mempengaruhi penawaran daging ayam broiler di dalam negeri. b. Harga daging ayam broiler dipengaruhi oleh harga pakan dan harga DOC sebagai input produksi ayam broiler, hal ini menunjukkan bahwa industri ayam broiler di dalam negeri lebih mengarah pada struktur pasar monopoli dimana mekanisme pasar seperti permintaan dan penawaran tidak mempengaruhi harga daging ayam broiler. c. Kebijakan pemerintah untuk meningkatkan impor bungkil kedelai dapat meningkatkan industri pakan didalam negeri, sedangkan kebijakan pemerintah untuk mendepresiasi nilai tukar rupiah dapat meningkatkan penawaran daging ayam broiler di dalam negeri demikian juga harganya. d. Perubahan
faktor eksternal berupa
kenaikan
pendapatan
per
kapita
menyebabkan permintaan daging ayam broiler meningkat cukup signifikan, sedangkan peningkatan penawaran disebabkan oleh kenaikan harga DOC. e. Pasar jagung dunia bersifat thin market sehingga dalam beberapa tahun ke depan diperkirakan harga jagung impor akan meningkat. Simulasi kenaikan harga jagung impor menyebabkan impor jagung dan produksi pakan menurun.
f. Jumlah peternak kecil yang mendominasi industri ayam broiler (85,4 persen) menyebabkan kemitraan diantara peternak dianggap sebagai suatu strategi industrialisasi yang dapat diterapkan untuk memperkuat struktur industri ayam broiler yang lemah yang disebabkan oleh ketergantungan industri tersebut terhadap bahan baku pakan impor. 2. Peranan Kemitraan Terhadap Peningkatan Pendapatan Peternak Ayam Broiler (Deshinta, 2006) Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan karakteristik peternak ayam ras pedaging yang ada di wilayah Kabupaten Sukabumi, mendeskripsikan pola-pola kemitraan, mengevaluasi penerapan pola kemitraan dan dampak penerapan tersebut terhadap pendapatan peternak ayam ras pedaging. Analisis data dilakukan dengan metode deskriptif dan analisis pendapatan, R/C, serta uji t. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan diperoleh kesimpulan bahwa kemitraan tidak berpengaruh terhadap peningkatan pendapatan peternak. Walaupun demikian, peternak memperoleh banyak manfaat dari keikutsertaanya di dalam kemitraan seperti bantuan modal, bimbingan dan penyuluhan, serta pemasaran hasil.
Studi Tentang Dayasaing Analisis Dayasaing Komoditas Udang Nasional di Pasar Internasional (Swaranindita, 2005) Penelitian ini mengkaji perkembangan ekspor udang dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, menganalisis struktur pasar udang dalam perdagangan udang internasional, serta menganalisis posisi dayasaing udang nasional di pasar internasional. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan analisis Teori Berlian Porter, analisis Herfindahl Index (HI), Concentration Ratio
(CR) dan Revealed Comparative Advantage (RCA) dengan menggunakan formula Balassa. Peramalan ekspor dengan metode Double Exponential Smoothing juga dilakukan sebagai masukan untuk menganalisis kondisi permintaan ekspor udang Indonesia. Berdasarkan hasil analisis dengan metode Teori Berlian Porter diperoleh kesimpulan bahwa faktor internal yang mempengaruhi dayasaing komoditas udang Indonesia di pasar internasional antara lain; (1) Sulitnya mendapatkan akses kredit dan pembiayaan usaha budidaya, (2) Terbatasnya sarana angkutan ekspor, (3) Belum meluasnya penerapan teknologi dan industri terpadu, (4) Usaha pembenuran dan pengolahan pascapanen yang masih memiliki berbagai kendala. Sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi kinerja budidaya udang adalah issu-issu yang berkembang di negara-negara pengimpor udang, berkaitan dengan food safety (jaminan keamanan pangan) serta issu lingkungan. Dengan menggunakan metode HI diketahui bahwa struktur pasar yang dihadapi Indonesia dalam pasar udang internasional pada periode tahun 1984 hingga tahun 2000 terdiri dari pasar persaingan monopolistis dan pasar oligopoli. Posisi Indonesia di masing-masing pasar tersebut adalah sebagai market follower atau pengikut pasar. Berdasarkan analisis dengan menggunakan metode RCA diperoleh kesimpulan bahwa komoditas udang Indonesia memiliki dayasaing yang kuat. Dilihat dari posisi dayasaing komparatifnya, komoditas udang Indonesia dapat dikatakan
unggul
di
pasar
internasional.
Sedangkan
dari
keunggulan
kompetitifnya, adanya berbagai faktor dan kendala yang dihadapi industri
budidaya nasional di dalam negeri sehingga membuat udang menurun dayasaingnya. Berdasarkan hasil peramalan pada lima tahun mendatang (2005-2009) ekspor udang Indonesia diramalkan semakin menurun, sementara ekspor udang dunia semakin meningkat sehingga pangsa pasar yang dikuasai pun semakin menurun, Hal ini diakibatkan oleh produksi udang lokal yang masih belum mampu memenuhi kebutuhan ekspor. Adapun perbedaan antara penelitian terdahulu dengan penelitian yang akan dilakukan adalah, pada penelitian terdahulu aspek agribisnis ayam ras pedaging yang dikaji adalah aspek kemitraan dengan mengambil studi kasus di PT. Sierad Produce (Deshinta, 2006). Penelitian lainnya mengkaji dampak kebijakan pemerintah dan perubahan faktor eksternal terhadap permintaan dan penawaran daging ayam broiler di Indonesia (Suryani, 2006). Sedangkan pada penelitian ini cakupannya lebih luas yaitu skala internasional dengan melakukan analisis terhadap aspek dayasaing komoditas daging ayam ras Indonesia dibandingkan dengan negara produsen lainnya di dunia. Alat analisis yang digunakan pada penelitian ini hampir sama dengan alat analisis
yang
digunakan
pada
penelitian
dayasaing
komoditas
udang
(Swaranindita, 2005) yaitu analisis Herfindahl Index (HI) dan Concentration Ratio (CR), Revealed Comparative Advantage (RCA), dan Teori Berlian Porter. Namun pada penelitian sebelumnya dilakukan juga peramalan ekspor dengan metode Double Exponential Smoothing untuk menganalisis kondisi permintaan ekspor udang Indonesia, sedangkan pada penelitian ini tidak dilakukan peramalan ekspor tetapi dilakukan perumusan strategi yang berguna untuk peningkatan
dayasaing komoditas daging ayam ras Indonesia dengan menggunakan alat analisis yang berupa matriks SWOT.
BAB III KERANGKA PEMIKIRAN
3.2. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.2.1. Teori Perdagangan Internasional Teori perdagangan internasional membantu menjelaskan arah serta komposisi perdagangan antar beberapa negara serta bagaimana efeknya terhadap struktur perekonomian suatu negara. Di samping itu perdagangan internasional juga menunjukkan adanya keuntungan yang timbul dengan adanya perdagangan internasional (Salvatore, 1997).
Menurut Limbong dan Sitorus (1985)
perdagangan dapat terjadi karena adanya spesialisasi di tiap-tiap daerah. Dengan terjadinya hal tersebut, maka suatu daerah akan mempunyai kelebihan produksi yang perlu disalurkan ke daerah lain. Perbedaan harga di satu daerah dengan daerah lain juga merupakan salah satu faktor pendorong terjadinya penyaluran barang ke daerah lain. Kegiatan perdagangan yang terjadi antar negara menunjukkan bahwa negara-negara tersebut sudah memiliki sistem perekonomian yang terbuka. Perdagangan ini akibat adanya usaha untuk memaksimumkan kesejahteraan negara dan diharapkan dampak kesejahteraan tersebut akan diterima oleh negara pengekspor dan negara pengimpor. Alasan utama terjadinya perdagangan internasional adalah; (1) Adanya perbedaan dalam pemilikan sumberdaya dan cara pengolahannya sehingga setiap negara akan memperoleh keuntungan melalui suatu pengaturan dengan cara yang berbeda secara relatif terhadap perbedaan sumberdaya
tersebut,
(2)
Negara-negara
yang
melakukan
perdagangan
mempunyai tujuan untuk mencapai economic of scale dalam produksi, artinya
suatu negara akan lebih efisien jika hanya menghasilkan sejumlah barang tertentu tetapi dengan skala yang lebih besar dibandingkan dengan jika memproduksi berbagai jenis barang. Keuntungan yang akan diperoleh suatu negara dalam melakukan perdagangan adalah keuntungan dari pertukaran komoditas (gains from exchange) dan keuntungan dari spesialisasi (gains from specialization). Hal yang terjadi setelah perdagangan berlangsung yaitu masing-masing negara akan melakukan spesialisasi dalam memproduksi komoditas yang keunggulan komparatifnya lebih besar. Spesialisasi akan terus berlangsung hingga harga-harga relatif komoditas di kedua negara tersebut sama. Dengan keadaan tersebut berarti perdagangan berada dalam posisi seimbang atau ekuilibrium (Salvatore, 1997).
3.1.2. Struktur Pasar Menurut Pappas dan Hirschey (1995), struktur pasar adalah lingkungan persaingan dalam pasar untuk sebuah produk atau jasa. Sebuah pasar terdiri dari semua perusahaan dan individual yang rela dan mampu membeli atau menjual satu produk tertentu. Dalam hal ini mencakup perusahaan-perusahaan dan para individu yang terlibat dalam pembelian dan penjualan sebuah produk tertentu disamping para pendatang yang potensial. Pendatang potensial adalah seorang individu atau perusahaan yang menghadirkan ancaman yang cukup dapat dipercaya untuk dapat memasuki pasar sehingga mempengaruhi keputusan harga atau keluaran dari perusahaan-perusahaan yang ada. Dalam konteks perdagangan internasional, pasar yang dimaksud adalah negara-negara di dunia dengan struktur pasar yang dijabarkan dalam bentuk serangkaian karakteristik industri dari tiap belahan dunia. Struktur pasar secara
umum dicirikan dengan dasar empat karakteristik industri yaitu; jumlah dan distribusi ukuran dari pembeli dan penjual serta para pendatang potensial yang aktif, tingkat diferensiasi produk, jumlah dan biaya informasi tentang harga dan mutu produk, serta kondisi masuk dan keluar industri. Berdasarkan empat karakteristik industri tersebut maka struktur pasar ini dapat dipandang sebagai sebuah garis dengan tingkat persaingan yang menurun, yang bergerak dari model persaingan sempurna ke persaingan monopolistis kemudian oligopoli dan terakhir monopoli. 1. Pasar Persaingan Sempurna Menurut Pappas dan Hirschey (1995) pasar persaingan sempurna (murni) adalah struktur pasar yang dicirikan dengan sejumlah besar pembeli dan penjual untuk sebuah produk yang pada dasarnya sama dimana setiap transaksi peserta pasar adalah begitu kecil sehingga tidak memiliki pengaruh terhadap harga pasar dari produk tersebut. Dalam pasar persaingan sempurna perusahaan-perusahaan tidak dibatasi untuk memasuki dan meninggalkan industri tersebut, selain itu penyebaran informasi yang sempurna dimana informasi tentang biaya, harga, dan mutu produk diketahui oleh semua pembeli dan penjual di pasar. Sebagai akibatnya persaingan harga yang ketat terjadi dan hanya tingkat pengembalian atas investasi yang normal yang dimungkinkan dalam jangka panjang. Para pembeli dan penjual individual dalam pasar persaingan sempurna adalah para pengambil harga (price takers). Ini berarti bahwa perusahaanperusahaan mengambil harga pasar sebagai sesuatu yang tidak dapat dirubah dan merancang strategi produk mereka sesuai dengan harga pasar tersebut.
2. Pasar Persaingan Monopolistis Pasar persaingan monopolistis adalah struktur pasar yang terdiri dari sejumlah besar penjual yang menawarkan produk-produk yang serupa tetapi tidak identik (Pappas dan Hirschey, 1995). Pasar persaingan monopolitis tidak terlalu berbeda dengan pasar persaingan sempurna namun dalam persaingan monopolistis para konsumen melihat adanya perbedaan-perbedaan penting diantara produkproduk yang ditawarkan oleh setiap produsen individual. Dengan kata lain pasar persaingan monopolistis mempertahankan beberapa asumsi dasar dari pasar persaingan sempurna. Pertama, setiap perusahaan mengambil keputusan secara independen dimana perubahan harga oleh satu perusahaan tidak akan menyebabkan perusahaan-perusahaan lain mengubah harga mereka. Kedua, sebagian besar perusahaan dalam industri tersebut menghasilkan produk yang sama, tetapi produk yang dihasilkan tidak homogen sehingga diasumsikan setiap perusahaan dapat mendiferensiasikan produknya sampai tingkat tertentu sehingga produknya bisa dibedakan dengan produk dari perusahaan lain. Diferensiasi produk dapat mengambil banyak bentuk seperti karakteristik jumlah, mutu, harga, atribut waktu dan tempat. Dampak bagi sebuah inovasi dalam produk yang dilakukan perusahaan dalam jangka pendek adalah peningkatan laba ekonomi yang cukup besar atau tingkat pengembalian yang di atas normal. Namun dalam jangka panjang, pemasukan dan peniruan oleh para pesaing akan mengikis pangsa pasar dan laba akhirnya menurun ke tingkat normal. Oleh sebab itu, perusahaan yang berada pada struktur pasar monopolistis
harus memiliki keunggulan bersaing yang berbeda agar dapat meyakinkan konsumennya 3. Pasar Oligopoli Menurut Lipsey, dkk (1997) pasar oligopoli adalah industri yang terdiri dari dua atau beberapa perusahaan, sedikitnya satu diantaranya menghasilkan sebagian besar dari keluaran total industri. Struktur pasar oligopoli umumnya terbentuk pada industri-industri yang memiliki capital intensive yang tinggi. Dalam pasar oligopoli hanya terdapat sedikit pesaing yang memegang sebagian besar atau semua keluaran industri yang bersangkutan. Umumnya juga terdapat hambatan masuk dan keluar yang sangat tinggi. Keputusan harga atau keluaran perusahaan saling berkaitan artinya reaksi langsung dari para pesaing utama dapat diperkirakan. Sebagai hasilnya, keputusan setiap perusahaan individual sebagian didasari oleh tanggapan yang mungkin dari para pesaing. Persaingan yang dilakukan meliputi persaingan dalam bentuk harga maupun non harga. Akses yang terbatas pada informasi biaya dan mutu produk dikombinasikan dengan hambatan masuk, mobilitas, dan hambatan keluar yang tinggi atau sangat tinggi memberikan potensi untuk laba ekonomi dalam jangka panjang. Strategi untuk mendapatkan keuntungan dalam pasar oligopoli antara lain adalah perusahaan-perusahaan yang terlibat dapat bekerjasama dalam beberapa hal yang menyangkut kepentingan bersama, lalu melakukan strategi diferensiasi produk dan inovasi produk. 4. Pasar Monopoli Pasar monopoli adalah suatu pasar yang dicirikan dengan penjual tunggal dan sebuah produk yang sangat terdiferensiasi (Pappas dan Hirschey, 1995).
Monopoli murni pada kenyataannya jarang terjadi karena hanya sedikit barang yang diproduksi oleh satu produsen dan lebih sedikit lagi barang yang tidak memiliki pengganti yang dekat. Karena produsen monopoli adalah penyedia satu-satunya untuk sebuah komoditas yang diinginkan, maka produsen monopoli itu adalah industri itu sendiri. Berbeda dengan perusahaan lain yang harus memperebutkan pangsa pasar dari pembelian konsumen, perusahaan monopoli tidak menghadapi persaingan yang efektif untuk penjualan produknya baik dari pesaing yang ada maupun pesaing potensial. Hal tersebut memungkinkan perusahaan monopoli untuk menentukan harga (price maker) dan keluaran secara bersamaan untuk perusahaan (industri yang bersangkutan). Hambatan masuk atau keluar industri yang besar seringkali merintangi para pendatang potensial sehingga menawarkan kesempatan bagi perusahaan monopoli untuk memperoleh laba ekonomi, bahkan dalam jangka panjang baik kepada perusahaan monopoli yang efisien maupun yang tidak efisien.
3.1.3. Konsep Dayasaing Dayasaing merupakan kemampuan suatu produsen untuk memproduksi suatu komoditas dengan biaya yang cukup rendah sehingga pada harga-harga yang terjadi di pasar internasional kegiatan produksi tersebut menguntungkan (Simanjuntak dalam Kuraisin, 2006). Pendekatan yang sering digunakan untuk mengukur suatu komoditas adalah tingkat keuntungan yang dihasilkan dan efisiensi dalam pengusahaan komoditas tersebut. Keuntungan dapat dilihat dari dua sisi yaitu keuntungan privat dan keuntungan sosial. Sementara itu, efisiensi pengusahaan komoditas dapat dilihat dari dua indikator yaitu keunggulan
komparatif dan keunggulan kompetitif. Konsep dayasaing dengan pendekatan keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif digunakan untuk memberikan masukan dalam perencanaan dan pengembangan usahatani. 1. Keunggulan Komparatif Konsep keunggulan komparatif seringkali digunakan untuk menerangkan spesialisasi suatu negara dalam memproduksi suatu barang dan jasa. Selain itu konsep ini juga dapat digunakan untuk wilayah yang lebih kecil seperti propinsi. Perdagangan antar dua negara didasarkan pada keunggulan absolut (absolute advantage). Jika sebuah negara lebih efisien daripada (memiliki keunggulan absolut terhadap) negara lain dalam memproduksi sebuah komoditas, namun kurang efisien dibanding (memiliki kerugian absolut terhadap) negara lain dalam memproduksi komoditas lainnya maka kedua negara tersebut dapat memperoleh keuntungan dengan cara masing-masing negara melakukan spesialisasi dalam memproduksi komoditas yang memiliki keunggulan absolut. Melalui proses ini maka sumberdaya di kedua negara dapat digunakan dengan cara yang paling efisien (Smith dalam Salvatore, 1997). Sayangnya teori keunggulan absolut ini hanya dapat menjelaskan sedikit saja dari perdagangan internasional pada saat ini. Pada tahun 1817, David Ricardo menyempurnakan teori keunggulan absolut dengan teori keunggulan komparatif melalui buku yang berjudul ”Principles of Political Economy and Taxation”. Dalam buku tersebut berisi penjelasan mengenai hukum keunggulan komparatif (The Law of Comparative Advantage). Hukum tersebut menyatakan bahwa meskipun suatu negara kurang efisien disbanding (memiliki kerugian absolut terhadap) negara lain dalam
memproduksi kedua komoditas, namun masih terdapat dasar untuk melakukan perdagangan yang saling menguntungkan bagi kedua belah pihak. Negara pertama harus melakukan spesialisasi dalam memproduksi dan mengekspor komoditas yang mempunyai kerugian absolut lebih kecil (komoditas dengan keunggulan komparatif) dan mengimpor komoditas yang memiliki kerugian absolut lebih besar (memiliki kerugian komparatif), (Salvatore, 1997). Ricardo mendasarkan hukum keunggulan komparatifnya pada sejumlah asumsi yang disederhanakan, yaitu: (1) hanya terdapat dua negara dan dua komoditas, (2) perdagangan bersifat bebas, (3) terdapat mobilitas tenaga kerja yang sempurna di dalam negara namun tidak ada mobilitas antara dua negara, (4) biaya produksi konstan, (5) tidak terdapat biaya transportasi, (6) tidak ada perubahan teknologi, dan (7) menggunakan teori nilai tenaga kerja. Asumsi satu sampai enam dapat diterima, namun asumsi tujuh (teori nilai tenaga kerja) tidak berlaku dan seharusnya tidak digunakan untuk menjelaskan keunggulan komparatif karena teori nilai tenaga kerja ini menyatakan bahwa nilai atau harga sebuah komoditas tergantung dari jumlah tenaga kerja yang dipergunakan untuk membuat komoditas. Pernyataan ini membawa implikasi bahwa (1) setiap tenaga kerja adalah satu-satunya faktor produksi, atau tenaga kerja digunakan dalam proporsi yang tetap dan sama jumlahnya dalam membuat semua komoditas, (2) tenaga kerja bersifat homogen. Teori nilai tenaga kerja ini merupakan kelemahan dari model Ricardian, karena (1) tenaga kerja bukan merupakan satu-satunya faktor produksi, penggunaannya juga tidak dilakukan dalam proporsi yang tetap dan dalam jumlah yang sama pada semua komoditas, (2) tenaga kerja tidak bersifat homogen, karena
mereka berbeda-beda dalam pendidikan, produktivitas, dan upah yang diterimanya. Keunggulan komparatif yang dikemukakan oleh Ricardo hanya berdasarkan pada penggunaan dan produktivitas tenaga kerja tanpa menjelaskan alasan timbulnya perbedaan produktivitas tenaga kerja di antara berbagai negara. Teori ini juga tidak menjelaskan mengenai pengaruh perdagangan internasional terhadap pendapatan yang diperoleh faktor produksi, sehingga konsep keunggulan komparatif yang dikemukakan oleh Ricardo disempurnakan oleh Heckscher dan Ohlin pada tahun 1933. Heckscher dan Ohlin melakukan perbaikan terhadap hukum keunggulan komparatif yang dikemukakan oleh Ricardo. Teori Heckscher-Ohlin atau teori kelimpahan faktor dapat diekspresikan ke dalam dua buah teorama yang saling berhubungan, yaitu teorama Heckscher-Ohlin serta teorama penyamaan harga faktor. Menurut teorama Heckscher-Ohlin, sebuah negara akan mengekspor komoditas yang padat faktor produksi yang ketersediaannya di negara tersebut melimpah dan murah, sedangkan di sisi lain ia akan mengimpor komoditas yang padat dengan faktor produksi yang langka dan mahal. Menurut teorama penyamaan harga faktor produksi atau teorama Heckscher-Ohlin-Samuelson, perdagangan internasional cenderung menyamakan harga-harga baik itu secara relatif maupun secara absolut dari berbagai faktor produksi yang homogen atau sejenis diantara negara-negara yang terlibat dalam hubungan dagang. Pada intinya teori
perdagangan
Heckscher-Ohlin
menjelaskan
bahwa
perdagangan
internasional berlangsung atas dasar keunggulan komparatif yang berbeda dari masing-masing negara. Teori ini juga menyinggung mengenai dampak-dampak perdagangan internasional terhadap harga atau tingkat pendapatan dari masing-
masing faktor produksi. Secara umum model Heckscher-Ohlin masih dapat dianggap sebagai model baku dalam perdagangan internasional. (Salvatore, 1997). 2. Keunggulan Kompetitif Keunggulan kompetitif (Competitive Advantage) merupakan alat untuk mengukur dayasaing suatu aktivitas berdasarkan pada kondisi perekonomian aktual. Pada awalnya konsep keunggulan kompetitif dikembangkan oleh Porter pada tahun 1980 dengan bertitik tolak dari kenyataan-kenyataan perdagangan internasional yang ada. Menurut Porter dalam Halwani (2002) diketahui bahwa tidak ditemukan korelasi positif antara keunggulan keberlimpahan sumberdaya alam dan banyaknya tenaga kerja di suatu negara untuk dijadikan keunggulan bersaing dalam perdagangan internasional. Keunggulan kompetitif dibuat dan dipertahankan melalui suatu proses internal yang tinggi. Perbedaan dalam struktur ekonomi nasional, nilai, kebudayaan, kelembagaan, dan sejarah menentukan keberhasilan kompetitif. Keunggulan kompetitif suatu negara ditentukan oleh empat faktor yang harus dimiliki suatu negara untuk bersaing secara global. Keempat faktor tersebut adalah kondisi faktor sumberdaya (factor condition), kondisi permintaan (demand condition), industri terkait dan industri pendukung (related and supporting industry), persaingan, struktur, dan strategi perusahaan (firm strategy, structure, and rivalry). Keempat faktor penentu tersebut didukung oleh faktor eksternal yang terdiri dari peran pemerintah (government) dan terdapatnya kesempatan (chance events). Secara bersama-sama faktor-faktor ini membentuk suatu sistem yang berguna dalam peningkatan keunggulan dayasaing, sistem tersebut dikenal dengan “The National Diamond”. Gambarnya dapat dilihat pada Gambar 1.
Kesempatan
Persaingan, Struktur, dan Strategi Perusahaan
Kondisi Faktor Sumberdaya Perusahaan
Kondisi Permintaan
Industri Terkait dan Industri Pendukung Perusahaan
Peran Pemerintah
Gambar 1. The Complete System of National Competitive Advantage Sumber : Porter, 1998 Keterangan : Garis ( Garis (
), menunjukkan hubungan antar atribut utama ), menunjukkan hubungan antara atriibut tambahan terhadap atribut utama.
Setiap faktor yang terdapat pada Teori Berlian Porter memiliki atributatribut penting yang mampu menjelaskan secara detail faktor yang ada. 1. Kondisi Faktor Sumberdaya Sumberdaya yang dimiliki suatu bangsa merupakan salah satu faktor produksi yang diperlukan untuk bersaing dalam industri tertentu. Faktor sumberdaya tersebut terbagi dalam lima kelompok yaitu sumberdaya fisik atau alam, sumberdaya manusia, sumberdaya ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), sumberdaya modal, dan sumberdaya infrastruktur. a. Sumberdaya Fisik atau Alam Sumberdaya fisik atau sumberdaya alam yang mempengaruhi dayasaing industri nasional meliputi biaya, kualitas, ukuran lahan, aksesibilitas, ketersediaan air, mineral, dan energi, sumberdaya pertanian, sumberdaya perkebunan, sumberdaya perikanan dan kelautan, sumberdaya peternakan, serta sumberdaya
alam lainnya baik yang dapat diperbaharui maupun yang tidak dapat diperbaharui. Begitu juga dengan kondisi cuaca dan iklim, luas wilayah geografis, kondisi topografi, dan lain-lain. b. Sumberdaya Manusia Sumberdaya manusia yang mempengaruhi dayasaing industri nasional terdiri dari jumlah tenaga kerja yang tersedia, kemampuan manajerial dan keterampilan yang dimiliki, tingkat upah yang berlaku, dan etika kerja. c. Sumberdaya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) Sumberdaya IPTEK yang mempengaruhi dayasaing nasional mencakup ketersediaan pengetahuan pasar, pengetahuan teknis, pengetahuan ilmiah yang menunjang dan diperlukan dalam memproduksi barang dan jasa, ketersediaan sumber-sumber pengetahuan dan teknologi seperti perguruan tinggi, lembaga penelitian dan pengembangan, lembaga statistik, literatur bisnis dan ilmiah, basis data, laporan penelitian, asosiasi pengusaha, asosiasi perdagangan, serta sumber pengetahuan dan teknologi lainnya. d. Sumberdaya Modal Sumberdaya modal yang mempengaruhi dayasaing nasional terdiri dari jumlah dan biaya yang tersedia, jenis pembiayaan atau sumber modal, aksesibilitas terhadap pembiayaan, kondisi lembaga pembiayaan dan perbankan, peraturan keuangan, peraturan moneter dan fiskal untuk mengetahui tingkat tabungan masyarakat, serta kondisi moneter dan fiskal. e. Sumberdaya Infrastruktur Sumberdaya infrastruktur yang mempengaruhi dayasaing nasional dapat dilihat dari ketersediaan jenis, mutu dan biaya penggunaan infrastruktur yang
mempengaruhi dayasaing, seperti sistem transportasi, komunikasi, pos dan giro, sistem pembayaran dan transfer dana, air bersih, energi listrik, dan sebagainya. 2. Kondisi Permintaan Kondisi permintaan domestik sangat mempengaruhi dayasaing industri nasional. Mutu permintaan domestik merupakan sarana pembelajaran bagi perusahaan-perusahaan domestik untuk bersaing secara global. Mutu persaingan memberikan tantangan bagi setiap perusahaan untuk meningkatkan dayasaingnya dengan memberi tanggapan terhadap persaingan yang terjadi. Tiga faktor kondisi permintaan yang mempengaruhi dayasaing industri nasional adalah : a. Komposisi Permintaan Domestik Karakteristik permintaan domestik sangat mempengaruhi dayasaing industri nasional. Karakteristik permintaan domestik meliputi : (1). Struktur Segmen Permintaan Struktur segmen permintaan merupakan faktor penentu dayasaing industri nasional. Pada sebagian besar industri, permintaan yang ada telah tersegmentasi atau dipersempit menjadi beberapa bagian yang lebih spesifik. Pada umumnya perusahaan-perusahaan lebih mudah memperoleh dayasaing pada segmen permintaan yang lebih luas dibandingkan dengan segmen permintaan yang sempit. (2). Pengalaman dan Selera Pembeli yang Tinggi Pengalaman dan selera pembeli yang tinggi akan meningkatkan tekanan kepada produsen untuk menghasilkan produk yang bermutu dan memenuhi standar yang tinggi yang mencakup standar mutu produk, fitur-fitur pada produk, dan pelayanan.
(3). Antisipasi Kebutuhan Pembeli Antisipasi terhadap kebutuhan pembeli dari perusahaan dalam negeri merupakan suatu nilai tambah dalam memperoleh keunggulan dayasaing. b. Jumlah Permintaan dan Pola Pertumbuhan Jumlah atau besarnya permintaan domestik mempengaruhi tingkat persaingan dalam negeri terutama disebabkan oleh jumlah pembeli bebas, tingkat pertumbuhan permintaan domestik, timbulnya permintaan baru, dan kejenuhan permintaan lebih awal sebagai akibat perusahaan domestik melakukan penetrasi pasar lebih awal. Pasar domestik yang luas dapat diarahkan untuk mendapatkan keunggulan kompetitif dalam suatu industri. Hal ini dapat terlaksana jika industri dilakukan dalam skala ekonomis melalui adanya penanaman modal dengan membangun fasilitas skala besar, pengembangan teknologi, dan peningkatan produktivitas. c. Internasionalisasi Permintaan Domestik Pembeli lokal yang merupakan pembeli dari luar negeri akan mendorong peningkatan dayasaing industri nasional karena pembeli tersebut dapat membawa produk domestik ke luar negeri (ke negaranya). Konsumen yang memiliki mobilitas internasional tinggi dan sering mengunjungi suatu negara juga dapat mendorong dan meningkatkan dayasaing produk negara yang dikunjunginya tersebut. 3. Industri Terkait dan Industri Pendukung Keberadaan industri terkait dan industri pendukung mempengaruhi dayasaing secara global. Diantara industri yang terkait dengan industri utama tersebut adalah industri hulu dan industri hilir. Industri hulu yang memiliki
dayasaing global akan mampu memasok input bagi industri utama dengan harga yang lebih murah, mutu yang lebih baik, pelayanan yang cepat, pengiriman tepat waktu, dan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan industri utama. Begitu juga dengan industri hilir yang menggunakan produk industri utama sebagai bahan bakunya. Apabila industri hilir memiliki dayasaing global maka industri hilir akan dapat menarik industri hulu untuk memiliki dayasaing global. 4. Persaingan, Struktur, dan Strategi Perusahaan Tingkat persaingan dalam industri merupakan salah satu faktor pendorong bagi perusahaan-perusahaan yang berkompetisi untuk terus melakukan inovasi terhadap produk yang dihasilkannya. Keberadaan pesaing lokal yang handal dan kuat merupakan motor penggerak dalam memberikan tekanan antar perusahaan untuk berkompetisi dan melakukan inovasi dalam rangka meningkatkan dayasaingnya. Perusahaan yang telah teruji mampu bersaing ketat dalam industri nasional akan lebih mudah memenangkan persaingan internasional dibandingkan dengan perusahaan yang belum memiliki dayasaing nasional atau berada dalam industri yang tingkat persaingannya rendah. Struktur perusahaan maupun struktur industri menentukan dayasaing dengan cara melakukan perbaikan dan inovasi. Struktur industri yang monopolistik kurang memiliki dorongan untuk melakukan perbaikan serta inovasi baru dibandingkan dengan struktur industri yang bersaing. Di sisi lain, struktur perusahaan yang berada dalam industri sangat berpengaruh terhadap bagaimana perusahaan yang bersangkutan dikelola dan dikembangkan dalam suasana tekanan persaingan baik domestik maupun internasional. Selain itu hal ini juga berpengaruh pada strategi yang dijalankan oleh perusahaan dalam rangka
memenangkan persaingan domestik dan internasional. Dengan demikian secara tidak langsung akan meningkatkan dayasaing global industri yang bersangkutan. 5. Peran Pemerintah Peran pemerintah sebenarnya tidak berpengaruh langsung terhadap upaya peningkatan dayasaing global, tetapi berpengaruh terhadap faktor-faktor penentu dayasaingnya. Pemerintah bertindak sebagai fasilitator agar perusahaan dan industri senantiasa meningkatkan dayasaingnya. Pemerintah dapat mempengaruhi tingkat dayasaing global melalui kebijakan yang memperlemah atau memperkuat faktor penentu dayasaing industri, tetapi pemerintah tidak dapat menciptakan keunggulan bersaing secara langsung. Peran pemerintah dalam upaya peningkatan dayasaing adalah memfasilitasi lingkungan industri yang mampu memperbaiki kondisi faktor dayasaing sehingga bisa didayagunakan secara aktif dan efisien. Pemerintah dapat mempengaruhi maupun dipengaruhi oleh keempat variabel utama. Variabel kondisi faktor sumberdaya dipengaruhi melalui subsidi, kebijakan pasar modal, kebijakan pedidikan, dan lain sebagainya. Dalam membentuk kondisi permintaan domestik, peran pemerintah seringkali sulit untuk dijelaskan. Pemerintah juga bertugas menetapkan standar produk lokal melalui departemen-departemen yang ada. Pemerintah juga seringkali menjadi pembeli utama seperti pembelian alat telekomunikasi atau penerbangan untuk keperluan negara. Bahkan pemerintah dapat juga menjadi penjual utama atau memegang kekuasaan atas produk-produk vital yang menyangkut kepentingan rakyat banyak. Pada industri pendukung dan industri terkait pemerintah dapat membentuk polanya seperti melakukan pengawasan terhadap media periklanan dan membuat regulasi dari pelayanan pendukung. Selain itu, pemerintah juga dapat
mempengaruhi persaingan, struktur, dan strategi perusahaan melalui regulasi pasar modal, kebijakan pajak, dan perundang-undangan. 6. Peran Kesempatan Kesempatan mempunyai dampak yang asimetris atau hanya berlaku satu arah terhadap keempat faktor utama. Peran kesempatan berada di luar kendali perusahaan maupun pemerintah namun tetap mempengaruhi tingkat dayasaing. Beberapa hal yang dianggap keberutungan merupakan peran kesempatan, seperti adanya penemuan baru yang murni, biaya perusahaan yang tidak berlanjut akibat perubahan harga minyak atau depresiasi mata uang. Selain itu terjadinya peningkatan permintaan produk industri yang lebih besar dari pasokannya merupakan kondisi yang menguntungkan bagi peningkatan dayasaing.
3.1.4. Analisis SWOT untuk Perumusan Strategi dan Kebijakan Analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi berdasarkan logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Strengths)
dan
peluang
(Opportunities),
dan
secara
bersamaan
dapat
meminimalkan kelemahan (Weaknesses) dan ancaman (Threats). Dengan demikian analisis SWOT membandingkan antara faktor internal kekuatan dan kelemahan dengan faktor eksternal peluang dan ancaman (Rangkuti, 2005). 1. Identifikasi Kekuatan (Strengths) Kekuatan merupakan suatu kelebihan khusus yag memberikan keunggulan komparatif di dalam suatu industri yang berasal dari dalam perusahaan. Kekuataan perusahaan akan mendukung berkembangnya usaha dengan cara memperhatikan sumber dana, citra, kepemimpinan pasar, hubungan dengan konsumen dan pemasok, serta faktor-faktor lainnya.
2. Identifikasi Kelemahan (Weaknesses) Kelemahan merupakan keterbatasan dalam hal sumberdaya atau keahlian dan kemampuan yang secara nyata menghambat aktivitas keragaan perusahaan. Beberapa sumber kelemahan diantaranya adalah fasilitas, sumberdaya keuangan, kemampuan manajerial, keahlian pemasaran, dan pandangan orang terhadap merk. 3. Identifikasi Peluang (Opportunities) Peluang adalah situasi yang diharapkan atau disukai dalam perusahaan yang diidentifikasi. Beberapa sumber peluang diantaranya adalah segmen pasar, perubahan dalam persaingan atau lingkungan, perubahan teknologi, peraturan baru atau peraturan yang ditinjau kembali. 4. IdentifikasiAncaman (Threats) Ancaman adalah situasi yang paling tidak diharapkan terjadi dalam lingkungan perusahaan. Ancaman merupakan penghalang bagi posisi yang diharapkan oleh perusahaan. Beberapa sumber ancaman diantaranya masuknya pesaing baru, pertumbuhan pasar yang lambat, meningkatnya posisi penawaran pembeli dan pemasok, perubahan teknologi, peraturan baru atau peraturan yang ditinjau kembali.
3.2. Kerangka Pemikiran Operasional Agribisnis ayam ras pedaging di Indonesia berkembang sesuai dengan kemajuan perunggasan global yang mengarah kepada sasaran mencapai tingkat efisiensi usaha yang optimal sehingga mampu bersaing dengan negara lain. Jumlah populasi ayam ras pedaging di Indonesia yang telah mencapai angka satu miliar ekor per tahun menempatkan agribisnis ayam ras pedaging sebagai usaha agribisnis unggas terbesar dalam industri unggas nasional. Jumlah populasi
unggas yang besar tersebut menempatkan Indonesia pada urutan pertama dalam kelompok FAPP. Populasi ayam ras pedaging telah tersebar luas di berbagai wilayah di Indonesia, hal ini dikarenakan usaha ternak ayam ras pedaging adalah usaha yang memasyarakat sehingga dari usaha ini banyak terserap tenaga kerja. Daging ayam ras merupakan sumber protein makro hewani yang dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat karena harganya relatif lebih murah dibandingkan sumber protein hewani lainnya. Indonesia memiliki peluang yang sangat besar sebagai negara pengekspor ayam ras pedaging. Adanya keunggulan yang dimiliki seperti biaya tenaga kerja yang murah dan keserasian sosial budaya dengan negara lain merupakan peluang dalam menangkap pasar ekspor terutama negara-negara Timur Tengah. Hal ini didukung dengan akan terbentuknya perusahaan peternakan ayam halal bersama oleh Indonesia beserta tiga negara ASEAN lainnya, yakni Brunei Darussalam, Malaysia dan Filipina yang tergabung dalam forum "East ASEAN Growth Area". Meskipun usaha ayam ras pedaging di Indonesia merupakan usaha yang potensial namun pengusahaannya hingga saat ini belum optimal, hal ini dikarenakan penerapan SCM pada agribisnis ayam ras pedaging di Indonesia belum dapat terlaksana dengan baik dimana integrasi vertikal antar subsistem pendukung hanya didominasi oleh perusahaan besar akibatnya kualitas produk yang dihasilkan sangat bervariasi. Untuk memenuhi standar ekspor, hal tersebut tentu merupakan kendala, terlebih negara maju seperti Jepang yang merupakan pasar tujuan ekspor terbesar ayam ras pedaging saat ini telah memberlakukan sertifikasi dan peraturan yang cukup ketat bagi produk yang akan masuk ke negaranya. Masih besarnya ketergantungan Indonesia terhadap DOC dan bahan
baku pakan impor serta belum memadainya teknologi pascapanen dan pengolahan seperti tersedianya RPA yang higienis dan industri pabrik pengolahan merupakan permasalahan yang dihadapi oleh agribisnis ayam ras pedaging di Indonesia. Ancaman masuknya CLQ dan MBM impor dari Amerika Serikat juga menjadi salah satu faktor penghambat berkembangnya agribisnis ayam ras pedaging di Indonesia. Jika impor CLQ dan MBM tidak mampu disikapi dengan baik oleh pemerintah Indonesia maka akibatnya komoditas daging ayam ras Indonesia akan selalu kalah bersaing dengan produk impor. Ancaman virus AI merupakan persoalan yang juga tengah dihadapi dunia perunggasan saat ini, hal ini tentu menjadi kendala yang cukup berat bagi produsen dalam negeri untuk memasarkan produk ayamnya ke negara lain terlebih saat ini prosedur ekspor semakin sulit. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat terlihat adanya kesenjangan antara sistem agribisnis ayam ras pedaging nasional dengan kondisi pasar internasionalnya. Gambaran tersebut menjadi dasar pemikiran dalam melakukan penelitian ini yaitu sudah sejauh mana para produsen, lembaga terkait, dan lembaga pendukung agribisnis ayam ras pedaging di Indonesia melihat masalah ini kedepannya. Langkah yang akan dilakukan penulis terangkum dalam suatu alur kerangka operasional berikut ini. Tahapan pertama dalam penelitian ini adalah melakukan pengkajian potensi, kendala, dan peluang agribisnis ayam ras pedaging Indonesia. Tahap selanjutnya adalah melakukan analisis untuk mengetahui posisi dayasaing komoditas daging ayam ras Indonesia di pasar internasional. Analisis ini terdiri dari tiga bagian yaitu (1) Analisis struktur pasar komoditas daging ayam ras di pasar internasional dengan menggunakan metode Herfindahl Index (HI) dan
Concentration Ratio (CR), (2) Analisis keunggulan komparatif komoditas daging ayam ras Indonesia dengan menggunakan metode Revealed Comperative Advantage (RCA), dan (3) Analisis keunggulan kompetitif komoditas daging ayam ras Indonesia dengan menggunakan metode Teori Berlian Porter. Setelah posisi dayasaing komoditas daging ayam ras Indonesia diketahui, tahap berikutnya adalah merumuskan berbagai faktor internal (kekuatan dan kelemahan yang dimiliki oleh agribisnis ayam ras pedaging Indonesia) dengan faktor eksternal (peluang yang tersedia dan hambatan yang dihadapi oleh agribisnis ayam ras pedaging Indonesia). Perumusan strategi tersebut dilakukan dengan menggunakan metode analisis SWOT. Dari hasil analisis SWOT dapat dirumuskan berbagai alternatif strategi yang berguna untuk meningkatkan dayasaing komoditas daging ayam ras Indonesia di pasar Internasional. Gambar alur kerangka operasional penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.
• Populasi ayam ras pedaging Indonesia mencapai hampir satu miliar ekor per tahun dan terbesar di wilayah ASEAN • Agribisnis ayam ras pedaging sebagai usaha agribisnis unggas terbesar di Indonesia • Karakteristik produk yang mudah diterima oleh seluruh lapisan masyarakat di dunia • Keunggulan dalam hal biaya TK yang murah dan keserasian sosial budaya dengan negara lain • Akan terbentuknya perusahaan peternakan ayam halal bersama oleh Indonesia beserta tiga negara ASEAN
• Penerapan SCM agribisnis ayam ras pedaging di Indonesia belum terlaksana dengan baik • Ketergantungan akan DOC dan bahan baku pakan impor • Teknologi pascapanen dan pengolahan belum memadai • Ancaman masuknya CLQ dan MBM dari Amerika Serikat. • Ancaman virus AI • Pemberlakuan sertifikasi dan peraturan yang cukup ketat oleh negara lain untuk produk yang akan di ekspor ke negaranya
Analisis dayasaing komoditas daging ayam ras Indonesia di pasar internasional
Analisis struktur pasar komoditas daging ayam ras di pasar internasional
Analisis keunggulan komparatif komoditas daging ayam ras Indonesia
Analisis keunggulan kompetitif komoditas daging ayam ras Indonesia
HI dan CR
RCA
Teori Berlian Porter
Gambaran dayasaing komoditas daging ayam ras Indonesia di pasar internasional
Analisis faktor internal dan eksternal agribisnis ayam ras pedaging Indonesia
SWOT
Strategi yang berguna untuk meningkatkan dayasaing komoditas daging ayam ras Indonesia di pasar internasional
Gambar 2. Kerangka Pemikiran Operasional
BAB IV METODE PENELITIAN
4.4. Ruang Lingkup dan Waktu Penelitian Penelitian ini melingkupi bahasan secara khusus mengenai struktur pasar komoditas daging ayam ras di pasar internasional, keunggulan komparatif dan kompetitif komoditas daging ayam ras Indonesia, dan strategi yang dihasilkan untuk meningkatkan dayasaing komoditas daging ayam ras nasional di pasar internasional. Lingkup penelitian ini adalah agribisnis ayam ras pedaging Indonesia yang meliputi subsistem hulu (industri pembibitan atau penyedia DOC, industri pakan, industri obat-obatan dan vaksin), subsistem budidaya atau industri peternakan, subsistem hilir (RPA dan industri pengolahan makanan), dan subsistem penunjang (lembaga penelitian, asosiasi peternak unggas). Waktu penelitian berlangsung sejak bulan Februari hingga April 2008.
4.5. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Sumber data diperoleh dari hasil wawancara terhadap peternak ayam ras pedaging baik perusahaan inti maupun peternak plasma yang dilakukan dengan mengambil sampel di daerah Bandung dan Subang, Jawa Barat sebagai salah satu sentra utama penghasil ayam ras pedaging di Indonesia. Selain itu penelusuran data juga diperoleh dari Direktorat Jenderal Peternakan (Departemen Pertanian), asosiasi perunggasan, Badan Pusat Statistik (BPS), website Bank Indonesia, buku-buku literatur, media massa, media elektronik (internet), dan penelitian sebelumnya.
4.6. Metode Pengolahan dan Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif. Tujuannya adalah untuk memberikan gambaran secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat, serta hubungan antar fenomena yang diselidiki. Analisis dan pengolahan data dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif. Analisis kuantitatif digunakan untuk menganalisis struktur pasar dan persaingan komoditas daging ayam ras di pasar internasional. Analisis kuantitatif dilakukan dengan menggunakan metode Herfindahl Index (HI), Concentration Ratio (CR) dan dan Revealed Comparative Advantage (RCA). Analisis kualitatif digunakan untuk menganalisis situasi dan kondisi faktor penentu dayasaing serta faktor strategis perusahaan sehingga diperoleh strategi yang dapat digunakan untuk menghadapi persaingan global. Analisis kualitatif dilakukan dengan menggunakan Teori Berlian Porter dan Analisis SWOT. Proses pengolahan data kuantitatif dilakukan dengan menggunakan Software Microsoft Excel 2003.
4.6.1. Analisis Herfindahl Index (HI) dan Concentration Ratio (CR) Herfindahl Index (HI) dan Concentration Ratio (CR) adalah alat analisis yang digunakan untuk mengetahui struktur pasar yang dihadapi oleh suatu industri. Tingkat konsentrasi yang diukur akan dikategorikan dan diarahkan pada bentuk pasar yang selama ini terjadi pada pasar daging ayam ras internasional. Bentuk pasar yang ada akan mempengaruhi tingkat persaingan yang akan dianalisa pada bagian selanjutnya. Pengukuran tingkat konsentrasi sangat memperhitungkan besaran pangsa pasar yang diperoleh tiap negara dalam komposisi ekspor komoditas daging ayam ras di pasar internasional.
Herfindahl Index (HI) merupakan suatu alat analisis yang digunakan untuk mengukur besar kecilnya (ukuran) perusahaan-perusahaan dalam suatu industri dan sebagai indikator jumlah persaingan di antara mereka. Dalam penelitian ini, alat analisis HI digunakan dengan tujuan untuk mengetahui struktur pasar komoditas daging ayam ras di pasar internasional sekaligus mengukur penguasaan pangsa pasar masing-masing negara yang terlibat dalam perdagangan komoditas daging ayam ras tersebut. Hal pertama yang harus dilakukan adalah menghitung pangsa pasar tiap negara produsen daging ayam ras di pasar internasional melalui besaran nilai ekspor daging ayam ras. Pangsa pasar komoditas daging ayam ras suatu negara dapat dihitung dengan cara membandingkan ekspor komoditas daging ayam ras negara tersebut dengan total ekspor komoditas daging ayam ras dunia. Perhitungan pangsa pasar yang dilakukan menggunakan formula sebagai berikut:
Sij = Xij/TXj Keterangan : Sij = Pangsa pasar negara i dalam perdagangan komoditas daging ayam ras di pasar internasional Xij = Nilai ekspor komoditas daging ayam ras negara i di pasar internasional TXj = Total nilai ekspor komoditas daging ayam ras seluruh negara di pasar internasional Langkah selanjutnya adalah mengetahui struktur pasar yang dihadapi oleh suatu industri dengan cara menghitung nilai HI. Nilai HI mencerminkan penguasaan pangsa pasar oleh suatu negara dalam pasar internasional. Indeks tersebut merupakan hasil penjumlahan kuadrat pangsa pasar tiap-tiap negara dalam pasar internasional.
HI = S12+S22+S32+…+Sn2 Keterangan : HI = Herfindahl Index S = Pangsa pasar negara i dalam perdagangan komoditas daging ayam ras di pasar internasional Nilai HI berkisar antara nol hingga satu (atau 10.000 yang merupakan kuadrat dari 100 persen). Jika nilai HI mendekati nol berarti struktur pasar industri yang bersangkutan cenderung ke pasar persaingan (competitive market), sementara jika nilai HI bernilai mendekati satu maka struktur industri tersebut cenderung bersifat monopoli. Semakin cenderung pasar ke arah monopoli maka semakin tinggi konsentrasinya. HI akan semakin berarti jika diketahui nilai 1/HI yang mencerminkan jumlah perusahaan yang menguasai suatu industri (Kuncoro dalam Swaranindita, 2005). Berdasarkan analisis standar dalam ekonomi industri, bahwa struktur industri dikatakan berbentuk oligopoli bila empat negara produsen terbesar menguasai minimal 40 persen pangsa pasar penjualan dari industri yang bersangkutan (CR4 = 40 persen). Apabila kekuatan keempat produsen tersebut dianggap sama, maka pangsa penjualan atau produksi masing-masing produsen adalah sepuluh persen dari nilai penjualan atau produksi suatu industri. Apabila penguasaan pasar oleh sepuluh produsen atau kurang dalam suatu industri merupakan batas minimum suatu industri berbentuk oligopolistik, maka terdapat kecenderungan peningkatan derajat penguasaan pasar dari tahun ke tahun. Sejalan dengan peningkatan derajat penguasaan pasar tersebut, beberapa subsektor industri telah beralih dari struktur persaingan ke arah oligopolistik. Semakin
sedikit jumlah produsen dominan dalam suatu industri (1/HI semakin kecil) maka struktur industri semakin terkonsentrasi. Selain dengan menggunakan nilai HI, struktur pasar juga dapat diklasifikasikan berdasarkan Concentration Ratio (CR) atau rasio konsentrasi. 1. Struktur pasar persaingan sempurna ditunjukkan dengan rasio konsentrasi yang sangat rendah. 2. Struktur pasar persaingan monopolistik ditunjukkan dengan nilai rasio konsentrasi untuk empat produsen terbesar (CR4) di bawah 40 persen. 3. Struktur pasar oligopoli ditunjukkan dengan nilai rasio konsentrasi empat produsen terbesar (CR4) di atas 40 persen. 4. Struktur pasar monopoli ditunjukkan dengan nilai rasio konsentrasi empat produsen terbesar (CR4) mendekati 100 persen. Rasio konsentrasi suatu industri diformulasikan sebagai berikut : n
CRni =
∑ Sij j=1
Keterangan : Sij = Pangsa pasar negara i dalam perdagangan komoditas daging ayam ras di pasar internasional CRni = n-rasio konsentrasi pada pasar internasional Nilai CR yang banyak digunakan adalah CR4 dan CR8 yang menunjukkan persentase output pasar yang dihasilkan oleh empat atau delapan produsen terbesar dalam industri. Semakin besar nilai rasio konsentrasi menunjukkan bahwa industri tersebut semakin terkonsentrasi dan semakin sedikit jumlah produsen yang berada di pasaran, sedangkan semakin rendah rasio konsentrasi menunjukkan konsentrasi pasar yang rendah dan persaingan yang lebih ketat dikarenakan tidak ada produsen yang secara signifikan menguasai pasar. Dengan
mengetahui nilai HI dan CR ini maka secara tidak langsung dapat diketahui konsentrasi industri dan struktur persaingan dimana Indonesia dan negara-negara produsen daging ayam ras lainnya bersaing, serta menyesuaikan strategi kompetitif yang akan digunakan.
4.6.2. Analisis Balassa’s Revealed Comparative Advantage Index (RCA) Salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengukur keunggulan komparatif adalah dengan menggunakan Balassa’s Revealed Comparative Advantage Index (RCA). Penggunaan indeks RCA bertujuan untuk mengetahui posisi keunggulan bersaing dari komoditas daging ayam ras di pasar internasional dibandingkan dengan negara produsen lainnya. Metode ini membandingkan pangsa pasar ekspor sektor tertentu suatu negara dengan pangsa pasar sektor tertentu tersebut di pasar dunia. Keuntungan menggunakan indeks RCA adalah bahwa indeks ini mempertimbangkan keuntungan intrisik komoditas ekspor tertentu dan konsisten dengan perubahan di dalam suatu ekonomi produktivitas dan faktor anugerah relatif (Li dan Bender, 2003). Namun, indeks ini juga memiliki kelemahan yaitu tidak dapat membedakan antara peningkatan di dalam faktor sumberdaya dan penerapan kebijakan perdagangan yang sesuai. Selain itu, indeks ini juga memiliki kelemahan dalam mengukur keunggulan komparatif dari kinerja impor dan mengesampingkan pentingnya permintaan domestik, ukuran pasar domestik dan perkembangannya (Prihatmanti, 2005). Tujuan penggunaan indeks RCA dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui posisi keunggulan komparatif Indonesia diantara negara-negara produsen komoditas daging ayam ras lainnya di pasar internasional. Selain itu,
indeks ini bermanfaat untuk mengukur dayasaing industri suatu negara, apakah industri cukup tangguh bersaing di pasar internasional atau tidak dapat diketahui secara kuantitatif dengan menggunakan indeks ini. Rumus menurut Balassa dalam Smyth (2005) untuk mengukur keunggulan komparatif sebuah negara dengan menggunakan RCA, yaitu :
RCAi = (Xi, Indonesia/∑XIndonesia) / (Xi, World/∑XWorld) Keterangan : = Revealed Comparative Advantage untuk komoditas daging ayam RCAi ras Xi, Indonesia = Nilai ekspor komoditas daging ayam ras negara Indonesia ∑XIndonesia = Total nilai ekspor seluruh komoditas negara Indonesia Xi, World = Nilai ekspor komoditas daging ayam ras negara-negara di dunia ∑XWorld = Total nilai ekspor seluruh komoditas negara-negara di dunia Bila nilai RCA lebih besar dari satu, maka dapat dikatakan Indonesia memiliki keunggulan komparatif dalam komoditas yang terkait dan berdayasaing kuat. Sebaliknya, bila nilai RCA kurang dari satu, maka Indonesia tidak memiliki keunggulan komparatif terhadap komoditas tersebut atau komoditas tersebut memiliki dayasaing yang lemah. Semakin tinggi nilai RCA maka semakin kuat dayasaingnya.
4.6.3. Analisis Berlian Porter Alat analisis Berlian Porter digunakan untuk mengetahui situasi dan kondisi dari setiap faktor penentu dayasaing yang ada. Langkah-langkah yang dilakukan dalam menganalisis industri ayam ras pedaging nasional adalah : 1. Menentukan siapa saja yang terlibat dalam industri. Hal ini dilakukan dengan membuat daftar yang memuat para peserta industri secara langsung.
2. Menelaah industri. Hal ini dilakukan dengan adanya hasil telaah industri yang relatif cukup lengkap. 3. Laporan tahunan. Laporan tahunan yang digunakan berupa data-data perdagangan yang bersifat nasional maupun internasional dengan rentang waktu tertentu. Hal lain yang perlu dilakukan adalah menentukan apa yang ingin diketahui dari industri dan bagaimana cara mengembangkan data di setiap bidang secara berurutan. Hal ini perlu diperhatikan sebagai pedoman dalam menganalisis suatu industri yang terlalu luas jika tidak dibatasi (Maulana dalam Meryana, 2007).
4.6.4. Analisis SWOT Formulasi alternatif strategi dilakukan dengan menganalisis peluang, ancaman, kekuatan, dan kelemahan yang diperoleh melalui identifikasi lingkungan eksternal dan internal. Identifikasi kekuatan dalam analisis keunggulan kompetitif ditunjukkan dengan keadaan suatu atribut yang mendukung, sedangkan kelemahan ditunjukkan dengan keadaan atribut yang kurang mendukung. Alat analisis yang digunakan untuk menyusun formulasi strategi tersebut adalah matriks SWOT. Matriks ini menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan. Matriks SWOT menampilkan delapan kotak, yaitu dua kotak sebelah kiri menampilkan faktor eksternal (peluang dan ancaman), dua kotak paling atas menampilkan faktor internal (kekuatan dan kelemahan), dan empat kotak lainnya merupakan isu-isu strategis yang timbul sebagai hasil pertemuan antara faktor eksternal dan internal. Isu-isu strategis tersebut merupakan empat set kemungkinan alternatif
strategi, yaitu strategi S-O (Sthrengths-Opportunities), srategi W-O (WeaknessesOpportunities), strategi S-T (Sthrengths- Threats), dan strategi W-T (WeaknessesThreats). Matris SWOT dapat dilihat pada Gambar 3. INTERNAL
STRENGTHS (S)
WEAKNESSES (W)
STRATEGI S-O
STRATEGI W-O
Ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang
Ciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang
STRATEGI S-T
STRATEGI W-T
Ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman
Ciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman
EKSTERNAL
OPPORTUNITIES (O)
THREATS (T)
Gambar 3. Matriks SWOT Sumber : David, 2006
Menurut David (2006), terdapat delapan tahapan dalam membentuk matriks SWOT, yaitu : 1. Tentukan faktor-faktor peluang eksternal organisasi atau perusahaan. 2. Tentukan faktor-faktor ancaman organisasi atau perusahaan. 3. Tentukan faktor-faktor kekuatan organisasi atau perusahaan. 4. Tentukan faktor-faktor kelemahan organisasi atau perusahaan. 5. Sesuaikan kekuatan internal dengan peluang eksternal untuk mendapatkan strategi S-O. Alternatif strategi yang terdapat dalam strategi S-O bersifat agresif yaitu memaksimalkan kekuatan yang dimiliki untuk memanfaatkan peluang yang ada. Strategi ini direkomendasikan agar perusahaan dapat
bersaing dalam suatu industri yang sedang tumbuh dan diharapkan terus tumbuh cukup tinggi 6. Sesuaikan kelemahan internal dengan peluang eksternal untuk mendapatkan strategi W-O. Alternatif strategi yang terdapat pada strategi W-O bersifat intensif yaitu strategi yang memanfaatkan peluang yang ada dengan cara meminimalkan kelemahan yang dimiliki. 7. Sesuaikan kekuatan internal dengan ancaman eksternal untuk mendapatkan strategi S-T. Alternatif strategi yang terdapat pada strategi S-T bersifat diversifikasi yaitu strategi yang memanfaatkan kekuatan yang dimiliki untuk menghadapi ancaman. 8. Sesuaikan kelemahan internal dengan ancaman eksternal untuk mendapatkan strategi W-T. Alternatif strategi yang terdapat pada srategi W-T bersifat defensif yaitu strategi yang dilakukan untuk mengatasi ancaman yang ada dan kelemahan yang dimiliki.
BAB V GAMBARAN UMUM AYAM RAS PEDAGING INDONESIA DAN DUNIA
5.11.Populasi Ayam Ras Pedaging 5.1.1. Populasi Ayam Ras Pedaging Indonesia Indonesia merupakan salah satu wilayah pusat domestika ayam di dunia, disamping dua wilayah lainnya yang selama ini dikenal yaitu Lembah Indus, Pakistan dan Sungai Kuning, Henan Cina. Pengakuan secara Internasional tentang hal ini sudah dinyatakan dalam Konsorsium Afrika tentang unggas pada tahun 2006 lalu.42 Ayam ras pedaging merupakan jenis ternak unggas yang pertumbuhan populasinya tercepat dan terbesar di Indonesia dibandingkan dengan jenis ternak unggas lainnya seperti ayam buras, ayam ras petelur, maupun itik. Selama periode 2006-2007 tercatat bahwa ayam ras pedaging merupakan jenis unggas dengan jumlah populasi terbanyak dan persentase pertumbuhan populasi tertinggi yaitu sebesar 15,46 persen, diikuti oleh ayam buras sebesar 9,05 persen, ayam ras petelur sebesar 6,73 persen, dan itik sebesar 4,96 persen. Tabel 8. Data Populasi Unggas Indonesia Tahun 2003-2007 Jenis Unggas
Tahun 2003
Jumlah Populasi (Ekor) Tahun Tahun Tahun 2004 2005 2006
Ayam Ras 847.743.895 778.969.843 811.188.684 797.527.446 Pedaging Ayam 277.357.037 276.989.054 278.953.778 291.085.191 Buras Ayam Ras 79.206.047 93.415.519 84.790.411 100.201.556 Petelur Itik 33.862.823 32.572.780 32.405.428 32.480.718 Sumber : Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian, 2007 Keterangan : [*] Angka Sementara
42
Tahun 2007*
Pertumbuhan 2006-2007 (%)
920.851.121
15,46
317.420.088
9,05
106.941.861
6,73
34.093.311
4,96
M. Syamsul Arifin Zein. 2008. Indonesia, Wilayah Domestika Ayam Ketiga Di Dunia. http://www.technologyindonesia.com. Diakses pada tanggal 20 Februari 2008.
Pesatnya pertumbuhan populasi ayam ras pedaging yang ditandai dengan jumlah populasinya yang lebih banyak dibandingkan dengan jenis unggas lainnya disebabkan oleh beberapa faktor, seperti adanya pertambahan penduduk, perbaikan ekonomi, harga daging ayam ras yang relatif lebih murah dibandingkan jenis daging unggas lainnya serta rasanya yang lezat menyebabkan tren konsumsi masyarakat terhadap daging ayam ras sebagai salah satu pemenuh kebutuhan protein makro hewani semakin meningkat setiap tahunnya. Berdasarkan alasan tersebut yang didukung dengan kelebihan lain yang dimiliki ayam ras pedaging seperti waktu pemeliharaan yang relatif singkat dan proses pemeliharaannya yang relatif mudah menyebabkan banyak peternak baru maupun peternak musiman di seluruh wilayah di Indonesia melakukan usaha budidaya ayam ras pedaging ini. Populasi ayam ras pedaging hingga tahun 2007 telah tersebar di seluruh propinsi di Indonesia. Provinsi yang sampai saat ini menjadi sentra produksi ayam ras pedaging Indonesia adalah propinsi Jawa Barat dengan jumlah populasi sebesar 369,1 juta ekor, diikuti oleh propinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Sumatera Utara dengan jumlah populasi masing-masing sebesar 182,3 juta ekor, 65,3 juta ekor, dan 51,6 juta ekor (Data populasi ayam ras pedaging Indonesia menurut propinsi tahun 2003-2007 dapat dilihat pada Lampiran 1). Berdasarkan data yang diperoleh dari Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian diketahui bahwa total populasi ayam ras pedaging dari seluruh propinsi di Indonesia pada tahun 2007 berjumlah sekitar 920,8 juta ekor. Angka tersebut merupakan jumlah yang sangat besar dan mencapai proporsi sebesar 67 persen dalam populasi ternak unggas Indonesia atau 65 persen dalam populasi ternak Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa ayam ras pedaging
merupakan jenis unggas yang paling dominan diusahakan dalam industri unggas nasional. Jenis ayam ras pedaging yang diusahakan di Indonesia terdiri dari berbagai macam strain. Jenis strain ayam ras pedaging yang banyak beredar di pasaran adalah Cobb, Cobb 100, Super 77, Tegel 70, ISA, Kim cross, Lohman 202, Hyline, Vdett, Missouri, Hubbard, Shaver Starbro, Pilch, Yabro, Goto, Arbor arcres, Tatum, Indian river, Hybro, Cornish, Brahma, Langshans, Hypeco-Broiler, Ross, Marshall”m”, Euribrid, A.A 70, H&N, Sussex, Bromo, CP 707. (Strain ayam ras pedaging dan perusahaan pembibitan dapat dilihat pada Lampiran 3).
5.1.2. Populasi Ayam Ras Pedaging Dunia Jumlah populasi ayam di dunia pada tahun 2000 mencapai 14,3 milyar ekor atau sebesar 69,4 persen dari total keseluruhan ternak yang dipelihara di seluruh dunia.43 Hal tersebut tidak mengherankan karena daging ayam merupakan jenis pangan yang memiliki karakteristik mudah diterima oleh hampir seluruh lapisan masyarakat di dunia sebab selain halal, daging ayam memiliki beberapa kelebihan seperti rasanya yang lezat, proses pengolahan yang relatif mudah, serta kandungan gizi yang dimiliki daging ayam sangat tinggi. Berdasarkan alasan tersebut dapat diketahui bahwa daging ayam merupakan salah satu jenis pangan hewani yang paling populer dan populasinya telah tersebar di seluruh di dunia. Ayam ras pedaging yang dikembangkan peternak di seluruh dunia saat ini berasal dari ayam hutan liar yang dijinakkan (domestikasi) sekitar 8000 tahun yang lalu. Oleh sejarah dicatat, yang pertama kali melakukan domestikasi ayam
43
Stefania Massari. 2001. Current Food Consumption Patterns and Global Sustainability. http://www.ivs-online.org. Diakses pada tanggal 20 Februari 2008.
adalah masyarakat Asia. Strain ayam pedaging modern terutama berasal dari jenis White Plymouth Rock dan White Cornish.
5.2. Produksi dan Produktivitas Ayam Ras Pedaging 5.2.1. Produksi dan Produktivitas Ayam Ras Pedaging Indonesia Produksi daging nasional untuk memenuhi kebutuhan konsumsi sebesar 65 persen berasal dari daging unggas, dari jumlah tersebut persentase daging unggas yang berasal dari ayam ras pedaging adalah sebesar 70 persen (Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian, 2006). Produksi daging ayam ras di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup pesat selama kurun waktu lima tahun terakhir. Sejak tahun 2003 hingga tahun 2007 produksi daging ayam ras nasional cenderung mengalami peningkatan, namun pada tahun 2005 produksi daging ayam ras nasional sempat mengalami penurunan sebesar 66 ribu ton. Hal ini dikarenakan adanya serangan wabah virus AI yang melanda Indonesia, akan tetapi hal tersebut tidak berlangsung lama. Pada tahun 2006 produksi daging ayam ras kembali mengalami peningkatan, hingga tahun 2007 jumlah produksi daging ayam ras nasional mencapai 918,4 ribu ton atau dapat dikatakan bahwa produksi daging ayam ras selama periode 2006-2007 tumbuh sebesar 6,64 persen. Data produksi daging unggas Indonesia tahun 2003 hingga tahun 2007 dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Data Produksi Daging Unggas Indonesia Tahun 2003-2007 Jenis Unggas
Tahun 2003
Jumlah Produksi (Ton) Tahun Tahun Tahun 2004 2005 2006
Tahun 2007*
Ayam Ras 771.112 846.097 779.109 861.262 918.479 Pedaging Ayam 298.516 296.421 301.426 341.251 349.021 Buras Ayam Ras 48.146 48.376 45.193 57.631 63.473 Petelur Itik 21.249 22.211 21.347 24.531 25.269 Sumber : Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian, 2007 Keterangan : [*] Angka Sementara
Pertumbuhan 2006-2007 (%) 6,64 2,28 10,14 3,01
Meskipun populasi ayam ras pedaging menempati urutan pertama dalam industri unggas nasional, namun pertumbuhan produksi daging ayam ras pedaging hanya menempati urutan kedua setelah daging ayam ras petelur yang pertumbuhannya mencapai 10,14 persen. Pertumbuhan daging itik dan daging ayam buras menempati urutan ketiga dan keempat dengan persentase pertumbuhan sebesar 3,01 persen dan 2,28 persen. Genetika ayam berkembang sangat pesat dan mengalami perubahan besar pada sekitar tahun 2000 an dan terlihat secara sangat signifikan pada tahun 2004. Berdasarkan data yang tertera pada Tabel 10 diketahui bahwa genetika ayam berkembang pesat sehingga dengan pakan yang lebih sedikit, secara alami atau natural dari genetika ayam bisa menghasilkan berat badan yang lebih tinggi dan saat ini sudah hampir 2 kali lipat dari tahun 1980. Dengan hal ini maka dengan sendirinya ayam ras pedaging jadi terlihat besar. Genetika ayam ras pedaging berasal dari ayam ayam kampung. Ayam kampung yang berkondisi baik lalu dipilih dan dibiakkan agar bisa mendapatkan bibit unggul. Bibit unggul tersebut dikembangbiakkan dan terus dicari bibit unggul yang lebih baik sehingga secara genetika standar ayam tersebut semakin tinggi.
Tabel 10. Perkembangan Genetika Ayam Ras Pedaging Periode Berat Badan (kg) Konversi Pakan < 1980 1,0 – 1,2 1,9 – 2,0 1980 – 1990 1,2 – 1,4 1,8 – 1,9 1990 – 2000 1,4 – 1,6 1,7 – 1,8 > 2000 1,7 – 1,8 1,6 – 1,7 Sumber : Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian, 2006
Sesuai dengan sifatnya yang merupakan jenis unggas yang memiliki daya produktivitas tinggi dalam memproduksi daging, maka tidak mengherankan apabila tingkat produktivitas ayam ras pedaging lebih besar jika dibandingkan dengan jenis unggas lainnya. Parameter yang dijadikan standar pengukuran produktivitas unggas pedaging adalah berat karkas dan jeroan. Tabel 11. Data Produktivitas Unggas Indonesia Tahun 2006 Total (Kg/Ekor) Ayam Ras Pedaging 1,8 Ayam Buras 0,7 Ayam Ras Petelur 1,1 Itik 1,1 Sumber : Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian, 2006 Jenis Unggas
Berdasarkan data yang terdapat pada Tabel 11 diketahui bahwa rata-rata berat ayam ras pedaging yang terdiri dari karkas dan jeroan yang banyak dipasarkan adalah sebesar 1,8 kilogram per ekor. Dengan ukuran berat yang lebih besar dan harga jual yang lebih murah dibandingkan dengan jenis unggas lainnya menyebabkan ayam ras pedaging menjadi primadona perunggasan Indonesia.
5.2.2. Produksi dan Produktivitas Ayam Ras Pedaging Dunia Selama periode 1996-2000 tercatat bahwa rata-rata produksi daging ayam ras pedaging dunia adalah sebesar 53,8 juta ton, dimana sebanyak 24,11 persennya dihasilkan oleh negara Amerika Serikat. Sedangkan pada periode 20012005 diketahui bahwa rata-rata produksi daging ayam ras pedaging dunia
mencapai 66,8 juta ton atau meningkat sebesar 24,16 persen dari periode sebelumnya (FAO, 2008). Peningkatan produksi dari tahun ke tahun di setiap negara produsen termasuk Indonesia disebabkan oleh semakin meningkatnya permintaan dunia akan kebutuhan protein hewani. Semakin tingginya kesadaran masyarakat akan pentingnya makanan bergizi menyebabkan daging ayam ras menjadi salah satu alternatif pilihan utama dalam pemenuhan konsumsi masyarakat di seluruh dunia. Berdasarkan data yang terdapat pada FAO Statistic Division diketahui bahwa sejak tahun 2001 hingga tahun 2005 negara Amerika Serikat selalu menduduki peringkat teratas sebagai negara produsen terbesar penghasil daging ayam ras di dunia dengan rata-rata produksi sebesar lebih dari 14 juta ton per tahun atau mencapai 22,36 persen dari rata-rata total produksi daging ayam ras dunia. Total produksi negara Amerika Serikat pada tahun 2005 sebesar 15,9 juta ton, diikuti oleh negara China dan Brazil dengan total produksi masing-masing negara sebesar 10,3 juta ton dan 8,5 juta ton. Jumlah produksi negara-negara produsen lainnya termasuk Indonesia jauh berada di bawah ketiga negara produsen tersebut. Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12. Negara Produsen Utama Komoditas Daging Ayam Ras Dunia Total Produksi (Ton) Negara No Produsen Tahun Tahun Tahun Tahun Utama 2001 2002 2003 2004 Amerika 1 14.267.000 14.467.000 14.696.000 15.346.855 Serikat 2 China 9.115.164 9.319.662 9.654.825 9.944.146 3 Brazil 6.208.000 7.050.000 7.760.000 8.668.000 4 Meksiko 1.928.020 2.075.758 2.115.581 2.224.588 5 India 1.250.000 1.400.000 1.600.000 1.650.000 6 Fed Rusia 861.843 937.560 1.030.422 1.152.216 United 7 1.262.730 1.272.046 1.294.783 1.294.573 Kingdom 8 Jepang 1.277.364 1.229.089 1.239.760 1.241.981 9 Indonesia 1.012.950 1.083.010 1.117.710 1.125.710 10 Iran 885.300 942.000 1.104.000 1.171.000 11 Spanyol 1.008.531 1.191.190 1.185.382 1.082.999 12 Argentina 950.652 699.440 738.212 866.000 13 Kanada 952.950 955.965 953.503 969.789 62.113.847 64.555.194 66.403.034 69.143.929 Dunia Sumber : FAO Statistic Division, 2008
Tahun 2005 15.944.582 10.376.582 8.506.895 2.436.534 1.900.000 1.345.725
1.331.276 1.273.141 1.245.000 1.152.929 1.047.575 1.010.000 1.000.077 71.940.020
Total produksi Indonesia mencapai 1,245 juta ton pada tahun 2005 dan berada di atas Iran, Spanyol, Argentina, dan Kanada. Berdasarkan laporan FAO Statistic Division, Indonesia menduduki peringkat ke sembilan sebagai negara utama produsen daging ayam ras dunia atau negara terbesar produsen daging ayam ras di wilayah Asia Tenggara. Produktivitas ayam ras pedaging dunia tidak jauh berbeda dengan produktivitas ayam ras pedaging yang ada di Indonesia, karena strain ayam ras pedaging yang ada di Indonesia berasal dari luar negeri atau impor, sehingga genetika ayam ras pedaging yang ada di Indonesia sama dengan yang ada di luar negeri, yang membedakan hanyalah proses pemeliharaan yang terdiri dari sistem perkandangan dan pola pemberian pakan. Perbedaan perlakuan dan proses pemeliharaan akan turut memberikan pengaruh pada hasil akhir produksi. Sebagian sistem perkandangan di luar negeri sudah menerapkan sistem closed house atau kandang tertutup sehingga resiko ayam terkena penyakit yang dapat
menyebabkan kematian pada ayam dapat dikurangi. Selain itu dengan sistem kandang tertutup dapat mengurangi resiko penularan penyakit kepada lingkungan serta meningkatkan kualitas produksi (Poultry Indonesia, 2008). Di Indonesia, karena keterbatasan modal maka sebagian besar peternak hanya mampu menggunakan kandang terbuka untuk memelihara ayamnya padahal sistem kandang terbuka memiliki resiko terkena penyakit yang lebih besar dan akibatnya penggunaan antibiotik atau pakan yang mengandung antibiotik sebagai upaya pencegahan penyakit semakin meningkat,44 hal inilah yang menyebabkan produktivitas ayam ras pedaging Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan produktivitas ayam ras pedaging luar negeri seperti Amerika Serikat.
5.3. Tingkat Konsumsi Komoditas Daging Ayam Ras di Indonesia dan Dunia Konsumsi komoditas daging ayam ras di Indonesia semakin meningkat sejak dicanangkannya program Bimas Broiler oleh pemerintah pada tahun 1980, yaitu program penggalakkan konsumsi daging ayam untuk menggantikan atau membantu konsumsi daging ruminansia yang saat itu semakin sulit diperoleh. Jumlah konsumsi terhadap komoditas daging ayam ras yang semakin meningkat juga tidak lepas dari semakin berkembangnya tingkat pendidikan dan tingkat kesadaran masyarakat terhadap makanan bergizi. Ayam ras pedaging menduduki komoditas pertama untuk konsumsi daging di Indonesia yaitu sebesar 56 persen (Departemen Pertanian, 2004). Meskipun proporsi komoditas daging ayam memberikan konribusi yang cukup besar untuk konsumsi daging, namun angka konsumsi komoditas daging 44
Rusiana dan DN Iswarawanti. 2008. Mengerikan, Sebanyak 85% Daging Ayam Broiler Mengandung Antibiotik. www.poultryindonesia.com Diakses pada tanggal 12 April 2008.
ayam Indonesia hanya mencapai 3,3, kilogram per kapita per tahun, angka tersebut terbilang masih rendah jika dibandingkan dengan negara lain seperti Malaysia yang mencapai 38,5 kilogram per kapita per tahun, Philipina sebesar 8,5 kg per kapita per tahun, dan Thailand sebesar 14 kg per kapita per tahun (FAO, dalam World Poultry, 2007). Jika dibandingkan dengan negara-negara tersebut, seharusnya Indonesia mampu meningkatkan angka konsumsi ayamnya karena Indonesia merupakan produsen terbesar di wilayah Asia Tenggara, selain itu harga komoditas daging ayam ras juga terbilang sangat murah jika dibandingkan dengan sumber protein lainnya. Tingkat konsumsi komoditas daging ayam dunia terbesar ditempati oleh negara Amerika Serikat sebagai negara produsen utama penghasil komoditas daging ayam ras di dunia yaitu sebesar 45,5 kg per kapita per tahun.45 Tingkat konsumsi komoditas daging ayam dunia mengalami penurunan saat terjadinya wabah virus AI yang banyak menyerang ternak unggas, hal ini dikarenakan adanya kekhawatiran masyarakat baik di Indonesia maupun masyarakat dunia untuk mengkonsumsi daging ayam.
5.4. Harga Komoditas Daging Ayam Ras 5.4.1. Harga Komoditas Daging Ayam Ras Indonesia Keuntungan yang diperoleh setiap peternak sangat dipengaruhi oleh harga jual produknya. Di Indonesia harga jual komoditas daging ayam ras sangat berfluktuatif dan besarnya berbeda-beda untuk setiap propinsi. Ketidakstabilan harga jual kmoditas daging ayam ras di Indonesia dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti harga pakan, harga DOC, adanya berbagai macam penyakit seperti 45
Abdus Salim. 2005. Isu CLQ, Apanya Virus AI?. http://koranpdhi.com. Diakses pada tanggal 20 Maret 2008.
wabah virus AI, dan adanya produk impor CLQ. Masih besarnya ketergantungan akan bahan baku pakan impor seperti jagung, bungkil kedelai, dan MBM menyebabkan para peternak Indonesia yang sebagian besar merupakan peternak rakyat sulit untuk melakukan efisiensi produksi, akibatnya peternak mengalami kesulitan dalam menyesuaikan harga jual ayam dengan harga pakan. Selain pakan, tingginya harga DOC dan ketersediaannya yang berfluktuasi juga turut mempengaruhi efisiensi biaya produksi.46 Selain karena tingginya biaya input produksi, faktor lain yang juga turut mempengaruhi harga jual komoditas daging ayam di Indonesia adalah adanya isu flu burung yang menyebabkan permintaan akan daging ayam sempat mengalami penurunan sehingga harga jualnya juga turut melemah. Adanya wabah virus AI yang melanda Indonesia menyebabkan harga jual daging ayam ras jatuh hingga Rp.4000/kilogram-Rp.4.500/kilogram, padahal sebelum terjadinya wabah virus AI, harga komoditas daging ayam ras mencapai Rp.8000/kilogram, sehingga dapat dikatakan bahwa adanya wabah virus AI menyebabkan harga jual komoditas daging ayam ras turun sebesar 50 persen. Hal ini menyebabkan sebanyak 30 persen pengusaha ternak yang ada di Indonesia gulung tikar.47 Impor CLQ atau paha ayam dari Amerika Serikat yang dijual dengan harga jauh di bawah harga komoditas daging ayam ras di dalam negeri juga sangat mempengaruhi persaingan harga jual terutama bagi peternak kecil. Harga jual paha ayam impor di Jakarta sebesar Rp.6.500/kg atau 30 sen US$ termasuk ongkos kirimnya dari Amerika Serikat, sedangkan di pasar lokal harga paha ayam
46 47
Wawancara dengan Bapak Gamma pemilik PS.Pilar Farm, Bandung Sekjen GPPU. 2007. 30 % Peternak Ayam Indonesia Bangkrut. http://www.kapanlagi.com. Diakses pada tanggal 12 Februari 2008.
mencapai Rp.14.000/kg.48 Dengan adanya selisih harga antara paha ayam impor Amerika Serikat dengan harga paha ayam domestik yang lebih dua kali lipat menyebabkan konsumen Indonesia akan cenderung membeli paha ayam impor daripada ayam domestik, dan hal ini akan mengakibatkan harga ayam menjadi tidak terkendali sehingga akan menghancurkan peternakan ayam rakyat. Berdasarkan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap fluktuasi harga jual komoditas daging ayam ras di Indonesia dapat diketahui bahwa kinerja pasar komoditas daging ayam ras domestik tidak hanya dipengaruhi oleh pasar domestik, tetapi juga ditentukan oleh perilaku pasar komoditas daging ayam ras dunia. Tabel 13. Harga Jual Komoditas Daging Ayam Ras Tingkat Produsen di Indonesia Tahun 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Sumber : FAO Statistics Division, 2008
Harga Jual (Rp/Kg) 4.700 4.700 7.750 11.900 11.250 12.100 6.900 7.000 7.400 8.100
Berdasarkan data yang diperoleh dari FAO Statistics Division diketahui bahwa harga jual komoditas daging ayam ras sejak tahun 1997 hingga tahun 2001 cenderung mengalami peningkatan, namun memasuki tahun 2002 harga jual komoditas daging ayam ras mengalami penurunan yang cukup besar dari periode sebelumnya yaitu sebesar 75,4 persen. Hal ini dikarenakan pada saat itu terjadi serangan wabah virus AI yang banyak menyerang ternak unggas, sehingga tingkat 48
Abdus Salim. Op.cit.
konsumsi daging ayam masyarakat menurun akibatnya harga jual komoditas daging ayam ras pun ikut anjlok. Seiring dengan pulihnya kepercayaan masyarakat untuk kembali mengkonsumsi daging ayam menyebabkan harga jual komoditas daging ayam ras kembali menguat meskipun peningkatannya tidak terlalu signifikan.
5.4.2. Harga Komoditas Daging Ayam Ras Dunia Harga jual komoditas daging ayam ras di setiap negara berbeda-beda. Penerapan harga jual yang berbeda juga diberlakukan untuk setiap komponen daging ayam yang dijual. Di Amerika Serikat, harga jual paha ayam jauh lebih murah jika dibandingkan dengan harga jual sayap ayam dan dada ayam. Paha ayam di Amerika Serikat dijual dengan harga 80 persen lebih murah dibandingkan dengan harga jual dada ayam, bahkan jika dibandingkan dengan negara-negara lainnya harga jual paha ayam di Amerika Serikat juga masih lebih rendah. Adanya perbedaan harga yang cukup besar tersebut dikarenakan konsumen di Amerika Serikat enggan untuk mengkonsumsi paha ayam atau CLQ yang banyak mengandung residu antibiotika. Upaya subsidi silang dengan menetapkan harga jual dada ayam yang jauh lebih tinggi dilakukan pemerintah untuk menutupi rendahnya harga jual CLQ. Untuk mengatasi over suplai CLQ di negaranya, maka pemerintah Amerika Serikat melakukan berbagai upaya untuk membuang produk CLQ nya ke negara-negara lain seperti Rusia, Jepang, China, Arab Saudi, Indonesia, dan beberapa negara Eropa. Masuknya CLQ ke negara-negara tersebut menyebabkan harga jual ayam di dalam negeri anjlok karena kalah bersaing dengan harga CLQ.
Tabel 14. Harga Produk Ayam di Berbagai Negara49 Produk Ayam utuh Dada ayam Paha ayam Sayap ayam
AS 10.476 30.070 6.014 22.504
Harga Ayam (Rp/Kg) Brazil Eropa Thailand 6.693 13.095 13.580 11.446 32.010 12.707 9.506 9.700 13.192 12.707 9.215 11.446
Indonesia 11.000 15.000 14.000 10.000
Selain adanya ancaman CLQ yang masuk ke berbagai negara dan menjadi pesaing produk lokal sehingga mengakibatkan harga ayam dalam negeri ikut terpuruk, faktor lain yang berpengaruh terhadap harga jual komoditas daging ayam ras dunia adalah terjadinya wabah virus AI yang banyak menyerang ternak unggas di berbagai negara tak terkecuali Amerika Serikat. Ketakutan terhadap Virus AI menyebabkan banyak konsumen di seluruh dunia mulai beralih untuk mengkonsumsi sumber protein hewani lainnya seperti daging kambing, daging sapi, dan ikan. Hal ini mempengaruhi penurunan harga jual komoditas daging ayam baik di Indonesia maupun di negara-negara lain di dunia. Harga jual komoditas daging ayam ras beberapa negara produsen utama dunia pada tahun 1996-2005 disajikan pada Lampiran 4.
5.5. Ekspor Komoditas Daging Ayam Ras Indonesia Ekspor dapat ditingkatkan apabila produk domestik sudah meningkat dan diiringi dengan kualitas produk yang berdayasaing tinggi. Indonesia merupakan negara yang telah mampu berswasembada daging ayam ras dengan tingkat produksinya yang telah mencapai lebih dari satu juta ton per tahun. Kebutuhan daging ayam ras rakyat Indonesia yang telah dapat dipenuhi oleh produksi dalam negeri mendorong industri ayam ras pedaging nasional untuk meningkatkan
49
Dari berbagai sumber dalam http://koranpdhi.com, 2005
perolehan melalui kegiatan ekspor. Namun jumlah produksi daging ayam ras yang sangat besar tidak dibarengi dengan kualitas daging ayam yang berstandar ekspor. Hal ini dikarenakan kebanyakan para pelaku usaha budidaya ayam ras pedaging di Indonesia adalah peternak rakyat yang belum mampu menerapkan sistem budidaya yang berstandar internasional seperti penerapan HACCP (Hazard Analytical Critical Control Point) dan kesesuaian dengan ISO series (ecolabeling, ecoefficiency).50 Selain itu penggunaan antibiotika yang masih cukup besar dosisnya serta banyaknya ternak ayam yang terjangkit virus AI menyebabkan negara tujuan utama ekspor komoditas daging ayam ras seperti Jepang, menolak untuk impor ayam dari Indonesia. Menurut data dari Departemen Pertanian tahun 2003 lalu, Jepang mengimpor dari Indonesia sebanyak 2.215 ton daging ayam atau sekitar 0,3-0,4 persen dari total impor negara Sakura itu. Nilai ekspor komoditas daging ayam ras ke Jepang tersebut terbilang masih kecil, hal ini disebabkan Jepang sangat ketat dalam menerapkan persyaratan terhadap produk makanan yang akan diekspor ke negaranya.
51
Sejak tahun 1999 hingga tahun
2002 tercatat ada beberapa eksportir yang telah mengekspor produk daging ayamnya ke Jepang diantaranya adalah PT. Ciomas Adi Satwa dari kelompok Japfa, PT. Charoen Pokphand Indonesia, dan PT. Sierad Produce. Faktor lain yang juga turut mempengaruhi belum besarnya jumlah ekspor komoditas daging ayam ras Indonesia adalah karena Indonesia belum mampu berswasembada jagung dan kedelai yang merupakan kebutuhan utama dalam produksi ayam ras pedaging sehingga pemenuhannya masih dilakukan dengan
50
PI-BUN. Grand Strategi Pengembangan Ekspor Hasil Pertanian. Diakses pada tanggal 12 Februari 2008. 51 Thomas Darmawan. 2007. Flu Burung Menerjang Dunia Perunggasan Meradang. http://www.bisnisbali.com. Diakses pada tanggal 12 Februari 2008.
cara mengimpor dari negara lain akibatnya efisiensi usaha belum dapat diterapkan oleh peternak di Indonesia karena biaya produksinya yang lebih tinggi. Tabel 15. Nilai dan Volume Ekspor Komoditas Daging Ayam Ras Indonesia Tahun 1997-2006 Komoditas Daging Ayam yang Diekspor Daging ayam potongan dan jeroan Daging ayam utuh segar dan beku Tahun segar dan beku (Fowls not cut in pieces, fresh or (Fowls cut and offal, fresh or chilled and frozen) chilled and frozen) Nilai (US $) Volume (Kg) Nilai (US $) Volume (Kg) 1997 934 1.812 1998 1.083.206 911.226 2.253.674 2.084.951 1999 249.268 200.500 3.662.833 2.658.797 2000 70.045 2.483 1.228.492 701.314 2001 32.394 133.146 3.316.226 1.607.049 2002 71 132 4.827.735 2.346.187 2003 48.693 7.862 4.915.777 2.752.812 2004 8 3 161.176 100.860 2005 549 211 70.024 74.589 2006 43.163 24.959 Sumber : UN Comtrade Database, 2008
Berdasarkan data yang diperoleh dari UN Comtrade Database diketahui bahwa nilai ekspor komoditas daging ayam ras Indonesia yang terbesar adalah berupa daging ayam potongan dan jeroan dalam bentuk segar dan beku. Namun pada tiga tahun terakhir yaitu sejak tahun 2004 hingga tahun 2006 nilai ekspor komoditas daging ayam ras Indonesia mengalami penurunan yang sangat besar termasuk daging ayam utuh dalam bentuk segar dan beku. Pada tahun 2004 penurunan nilai ekspor komoditas daging ayam utuh dalam bentuk segar dan beku adalah sebesar 99 persen sedangkan penurunan nilai ekspor komoditas daging ayam potongan dalam bentuk segar dan beku adalah sebesar 97 persen dari tahun sebelumnya. Pada tahun 2005 nilai ekspor kedua komoditas tersebut sempat mengalami peningkatan namun pada tahun 2006 kembali terjadi penurunan nilai ekspor, bahkan Indonesia tidak melakukan ekspor komoditas daging ayam utuh dalam bentuk segar dan beku. Permintaan yang cukup besar terhadap komoditas
daging ayam potongan dan jeroan dalam bentuk segar dan beku sebagian besar berasal dari negara Jepang dan Hongkong yang merupakan negara tujuan utama ekspor komoditas daging ayam ras Indonesia.
5.5.1. Komoditas Ayam yang Diekspor Produk ayam ras pedaging Indonesia yang diekspor terdiri dari bibit ayam dan daging ayam. Namun volume ekspor komoditas daging ayam jauh lebih besar jumlahnya dibandingkan dengan volume ekspor bibit ayam yaitu sekitar 90 persen sedangkan sisanya merupakan ekspor bibit ayam. Komoditas daging ayam dalam bentuk beku dan segar baik utuh maupun dalam bentuk potongan merupakan andalan ekspor Indonesia. Akibat berjangkitnya virus AI di negara-negara pengekspor komoditas daging ayam menyebabkan banyak negara-negara pengimpor seperti Jepang dan Uni Eropa yang membatasi bahkan melarang impor ayamnya dari negara pengekspor termasuk dari Indonesia. Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh negara pengekspor agar produknya masih dapat diterima oleh pasar internasional adalah dengan mengekspor daging ayam masak global, yaitu daging ayam yang diekspor telah melalui proses pemasakan terlebih dahulu, karena negara-negara Uni Eropa dan Jepang masih terus mengizinkan masuknya produk-produk ayam masak sekalipun dari negara yang terinfeksi flu burung.52 Ayam masak global merupakan salah satu cara untuk mengurangi risiko ekonomi akibat penyakit yang melekat pada produksi ayam, dengan perubahan persentase yang signifikan pada ekspor dari produk mentah ke produk masak maka risiko kerugian seluruh pasar ekspor menjadi terkurangi. Ekspor daging 52
Paul
Aho. 2004. Ekonomi Perunggasan Global Setelah Flu http://www.poultryindonesia.com. Diakses pada tanggal 23 Desember 2007.
Burung.
ayam masak global dapat terlaksana apabila negara pengekspor telah memiliki fasilitas pemasakan di plant-plant pemrosesan. Karena industri peternakan ayam ras pedaging di Indonesia belum banyak yang terintegrasi secara vertikal dan kebanyakan para pelaku usaha budidayanya berskala kecil tanpa dilengkapi dengan industri hilirnya seperti RPA dan tempat pemrosesan ayam masak maka hingga saat ini kebanyakan produk daging ayam yang diekspor oleh Indonesia adalah dalam bentuk karkas mentah.
5.5.2. Kualitas Karkas yang Diekspor Tuntutan pasar akan kualitas dan kesehatan pangan semakin tinggi dengan dikenalkannya konsep HACCP untuk pangan termasuk karkas daging ayam. Di Indonesia penerapan HACCP pada agribisnis ayam ras pedaging belum dapat terlaksana dengan baik pada kegiatan budidaya maupun pada industri pemotongan ayam. Pemotongan ayam di Indonesia sebagian besar masih dilakukan secara tradisional di TPA sehingga karkas ayam yang dihasilkan berkualitas rendah dan tidak dapat memenuhi standar ekspor yang telah ditetapkan oleh WTO seperti sanitary and phytosanitary (SPS) untuk keamanan pangan. Masih terbatasnya produsen ayam ras pedaging besar yang mampu melakukan integrasi vertikal mulai dari subsistem hulu hingga subsistem hilir mengakibatkan penerapan HACCP di Indonesia belum dapat terlaksana sepenuhnya pada agribisnis perunggasan ini. Akibatnya produk ayam hidup yang dihasilkan oleh peternak rakyat harus dipotong di TPA sederhana, sehingga hasilnya karkas yang dihasilkan akan berkualitas rendah. Kerugian akibat kerusakan karkas selama penanganan atau pemotongan ayam mencapai 10-20 persen terutama adanya memar-memar (90 persen) pada dada dan paha.
Pada intinya yang menjadi persoalan bukan terletak pada bobot karkas, karena bobot karkas rata-rata Indonesia tidak terlalu jauh berbeda dengan negara lain, namun adanya peraturan yang ketat tentang prosedur ekspor seperti negara Jepang yang saat ini mengharuskan produk ayam yang masuk ke negaranya terbebas dari antibiotik selama masa pemeliharaan atau free antibiotic (FA) menyebabkan produk ayam indonesia sulit untuk diekspor ke negara tersebut karena kebanyakan karkas di Indonesia masih mengandung antibiotik.53
5.5.3. Negara Tujuan Ekspor Komoditas Daging Ayam Ras Indonesia Beberapa negara yang menjadi tujuan utama ekspor komoditas daging ayam ras Indonesia diantaranya adalah Jepang, Hongkong, dan Uni Emirat Arab. Tabel 16. Negara Tujuan Ekspor Komoditas Daging Ayam Ras Indonesia Tahun 1997-2006 Komoditas Daging Ayam yang Diekspor Ayam potongan dan jeroan Ayam utuh segar dan beku Tahun segar dan beku (Fowls not cut in pieces, fresh or chilled (Fowls cut and offal, fresh or chilled and and frozen) frozen) 1997 Malaysia Jepang, Kuwait, Uni Emirat, Arab, Jepang, Bahrain, Kuwait, Uni Emirat 1998 Arab Saudi, Philipina, Hongkong, Arab, Oman, Arab Saudi, Thailand Singapura Kuwait, Jepang, Arab Saudi, Oman, Uni Emirat Arab, Jepang, Oman, 1999 Uni Emirat Arab, Singapura, Kuwait, Bahrain, Areas, nes Hongkong, Areas, nes Jepang, Asia, Hongkong, Amerika 2000 Singapura, Jepang, Malaysia Serikat Jepang, Brunei Darussalam, 2001 Jepang, Singapura Areas, nes 2002 Areas, nes Jepang Amerika Serikat, 2003 Jepang Malaysia, Areas, nes 2004 Areas, nes Jepang, Republik Korea, Malaysia 2005 Singapura, Hongkong Amerika Serikat, Hongkong, Jerman 2006 Hongkong, Kanada, Republik Korea Sumber : UN Comtrade Database, 2008 53
Agritekno Primaneka. 2002. Ekspor Ayam Indonesia ke Jepang. http://agritekno.tripod.com. Diakses pada tanggal 22 Januari 2008.
5.6. Impor Komoditas Daging Ayam Ras Indonesia Meskipun Indonesia telah menjadi negara yang mampu berswasembada daging ayam, namun nilai impor komoditas daging ayam Indonesia cenderung lebih besar dibandingkan nilai ekspornya (UN Comtrade Database, 2008). Hal ini dikarenakan harga jual komoditas daging ayam impor lebih murah dibandingkan harga jual daging ayam lokal.
5.6.1. Komoditas Ayam yang Diimpor Seperti halnya ekspor ayam ras pedaging Indonesia, produk ayam ras pedaging yang diimpor oleh Indonesia juga terdiri dari beberapa macam seperti bibit ayam dan daging ayam. Bibit ayam yang diimpor Indonesia tidak hanya dalam bentuk DOC FS saja, melainkan juga dalam bentuk DOC GPS dan DOC PS, karena strain ayam ras pedaging berasal dari luar negeri selain itu Indonesia belum mampu memproduksi atau menghasilkan DOC GPS dan DOC PS sendiri sehingga untuk pemenuhannya masih perlu diimpor dari negara lain. Komoditas ayam ras yang diimpor dari negara lain sebagian besar atau sebanyak 97 persen berupa komoditas daging ayam ras baik daging ayam utuh maupun daging ayam potongan dan jeroan dalam bentuk segar maupun beku, sedangkan sisanya berupa impor bibit ayam termasuk DOC FS, DOC GPS, dan DOC PS. Pada Tabel 17 terlihat bahwa nilai impor komoditas daging ayam ras Indonesia cenderung berfluktuasi. Sejak tahun 1997 hingga tahun 2005 nilai impor dan volume impor komoditas daging ayam potongan dan jeroan segar dan beku cenderung lebih tinggi dibandingkan nilai impor dan volume impor komoditas daging ayam utuh segar dan beku. Namun memasuki tahun 2001 kecenderungan nilai impor dan volume impornya menurun, hal ini dikarenakan
adanya peraturan pemerintah yang mulai membatasi masuknya daging ayam impor dalam bentuk potongan (CLQ) sehingga pada tahun 2006 nilai impor dan volume impor komoditas daging ayam utuh segar dan beku lebih tinggi dibandingkan daging ayam potongan dan jeroan segar dan beku. Tabel 17. Nilai dan Volume Impor Komoditas Daging Ayam Ras Indonesia Tahun 1997-2006 Komoditas Daging Ayam yang Diimpor Daging ayam potongan dan jeroan Daging ayam utuh segar dan beku Tahun segar dan beku (Fowls not cut in pieces, fresh or chilled (Fowls cut and offal, fresh or chilled and and frozen) frozen) Nilai (US $) Volume (Kg) Nilai (US $) Volume (Kg) 1997 102.395 102.959 267.077 346.315 1998 208.717 154.524 138.108 191.709 1999 372.311 354.585 2.349.737 3.715.784 2000 1.148.723 1.368.256 8.324.753 12.649.213 2001 281.330 436.237 336.751 528.091 2002 9.580 9722 154.207 301.948 2003 1169 694 148.051 206.865 2004 75.872 165.889 699.162 1.027.949 2005 1.288.284 1.283.939 2.162.544 2.533.361 2006 4.407.617 3.315.078 22.272. 16.361 Sumber : UN Comtrade Database, 2008
Tindakan Amerika Serikat yang menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara tujuan utama limpahan produk CLQ nya menyebabkan banyak pelaku bisnis di tanah air yang memanfaatkan kondisi ini untuk meraih keuntungan karena di Indonesia CLQ dapat dijual dengan harga kurang dari setengah harga ayam domestik. Hal ini merupakan ancaman yang serius bagi pelaku usaha ayam ras pedaging di dalam negeri karena rendahnya harga CLQ akan menurunkan harga ayam domestik. Dengan memperhitungkan dampak produk impor bagi industri ayam dalam negeri, maka sejak tahun 2000 pemerintah menetapkan peraturan yang hanya memperbolehkan impor ayam utuh termasuk dari Amerika Serikat sedangkan CLQ tidak diperbolehkan masuk Indonesia. Penerapan kebijakan pemerintah yang
berupa syarat “ASUH” yaitu aman, sehat, utuh, dan halal, adanya pengenaan bea masuk CLQ sebesar 80 persen54, serta adanya kerjasama antara Indonesia dengan enam institusi Amerika Serikat yang ditugaskan untuk memberikan labelisasi atau sertifikasi halal bagi produk-produk makanan yang akan diekspor55 mampu membendung CLQ asal Amerika Serikat yang begitu gencar ingin masuk pasar Indonesia. Selain peraturan tersebut UU Nomor 16 Tahun 1992 tentang karantina dan UU Nomor 7 Tahun 1996 tentang pangan juga turut membantu pembatasan impor CLQ yang membanjiri pasar Indonesia. Dengan diterapkannya kebijakan pemerintah tersebut berdampak pada berkurangnya impor CLQ dari Amerika Serikat. Menurut data yang dikeluarkan Departement Of Commerce, US, dalam kurun waktu 2004-2006 tidak ada ekspor CLQ dari Amerika Serikat ke Indonesia kecuali tahun 1999 hingga tahun 2003 yang jumlahnya cenderung menurun dari 3.813 ton menjadi 24,5 ton (Poultry Indonesia, 2006). Keberhasilan penerapan kebijakan pemerintah yang berdampak pada menurunnya impor CLQ asal Amerika Serikat memberikan harapan baik bagi peternak Indonesia, namun terbitnya Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor
61/Permentan/OT.140/8/2007
pada
13
Agustus
2007
yang
memperbolehkan impor turunan daging ayam tanpa tulang yang diproses secara mekanis (Mechanically Deboned Meat /MDM) dikhawatirkan akan memberikan celah bagi masuknya CLQ ke Indonesia sehingga impor CLQ akan tidak terbendung lagi. Diberlakukannya peraturan yang memperbolehkan impor produk sampingan berwujud bubur yang menjadi bahan baku industri pengolahan pangan
54
Gatra. 2003. Sejumlah Langkah Sejumlah Gesekan. http://www.gatra.com. Diakses pada tanggal
55
Dh, Ant. 2002. Kemelut Pedagangan RI-Amerika Indonesia Tidak Mau Cuma Paha Saja. http://www.gatra.com. Diakses pada tanggal 12 Februari 2008.
12 Februari 2008.
dalam negeri seperti industri sosis, nugget, dan bakso ini dikarenakan sejak meledaknya wabah virus AI di Indonesia, pasokan MDM tidak lagi dapat dipenuhi oleh industri unggas tanah air seperti kelompok Charoen Pokphand (CP) dan Japfa Comfeed, sehingga untuk membuat industri pengolahan daging tetap dapat tumbuh dilakukanlah impor MDM.56
5.6.2. Negara Pengekspor Komoditas Daging Ayam Ras untuk Indonesia Beberapa negara yang menjadi pemasok utama komoditas daging ayam ras untuk Indonesia adalah Amerika Serikat, China, Brazil, dan Australia. Tabel 18. Negara Pengekspor Komoditas Daging Ayam Ras Pedaging untuk Indonesia Komoditas Daging Ayam yang Diimpor Ayam potongan dan jeroan Ayam utuh segar dan beku Tahun segar dan beku (Fowls not cut in pieces, fresh or chilled (Fowls cut and offal, fresh or chilled and and frozen) frozen) China, Amerika Serikat, Amerika Serikat, Australia, Singapura, 1997 Australia, Singapura, Areas, nes China, New Zealand, Areas, nes Brazil, Amerika Serikat, Amerika Serikat, Malaysia, Singapura, 1998 Australia, China, Singapura Brazil, China, Areas, nes Amerika Serikat, Brazil, China, Amerika Serikat, Australia, Perancis, 1999 Australia China, Singapura, New Zealand Swiss, Amerika Serikat, Brazil, China, Brazil, Amerika Serikat, China Australia, Thailand, Perancis, Kanada, 2000 Malaysia, Australia, Areas, nes Norfolk Isds, Singapura, Malaysia, Areas, nes, Amerika Serikat, Brazil, Swiss, China, Amerika Serikat, 2001 Australia, Thailand, Singapura, Australia, Brazil, Areas, nes Areas, nes 2002 Singapura, Amerika Serikat Australia, Amerika Serikat, China United Kingdom, Republik Korea, 2003 Singapura, Areas, nes Amerika Serikat, Kanada Amerika Serikat, Kanada, Perancis, Singapura, Amerika Serikat, 2004 Singapura Kanada, Brazil, Zona Bebas, Areas, nes Singapura, Swiss, Belanda, Singapura, Perancis, Brazil, Malaysia, 2005 Swedia, Swaziland, Perancis Jepang Singapura, Swaziland, Perancis, 2006 Singapura, Malaysia Swiss, Belanda, Swedia, Australia Sumber : UN Comtrade Database, 2008 56
Trobos. 2007. Impor MDM: Pintu Masuk CLQ?. http://www.trobos.com. Diakses pada tanggal 12 Februari 2008.
5.7. Ekspor Komoditas Daging Ayam Ras Dunia Data USDA (2001) menunjukkan bahwa semua negara yang mampu mengekspor komoditas daging ayam ras umumnya juga mampu memproduksi jagung dalam jumlah yang tinggi. Urutan teratas negara pengekspor komoditas daging ayam ras dari tahun 2002 hingga tahun 2006 adalah negara Brazil dengan volume ekspor rata-rata per tahun mencapai lebih dari satu miliar kilogram baik untuk komoditas daging ayam utuh maupun daging ayam potongan dan jeroan. Posisi kedua ditempati oleh Amerika Serikat yang volume ekspornya mencapai 100 juta kilogram per tahun untuk komoditas daging ayam utuh dan 200 juta kilogram per tahun untuk komoditas daging ayam potongan dan jeroan, bahkan pada tahun 2002 dan tahun 2003 volume ekspor daging ayam Amerika Serikat dalam bentuk potongan dan jeroan mencapai lebih dari dua miliar kilogram per tahun. Negara yang menempati urutan ketiga sebagai pengekspor komoditas daging ayam ras pedaging dunia adalah China sedangkan posisi keempat ditempati oleh Inggris. Negara-negara tersebut merupakan pengekspor komoditas daging ayam ras yang kompetitif di dunia, hal ini disebabkan biaya produksi ayamnya lebih rendah dibanding negara lain.
5.8. Impor Komoditas Daging Ayam Ras Dunia Negara-negara pengimpor komoditas daging ayam ras dunia umumnya adalah negara-negara yang berada di kawasan Asia, karena sebagian besar negara di kawasan Asia belum mampu untuk menghasilkan bahan baku pakan ternak yang merupakan komponen utama dalam proses produksi ayam, sehingga biaya produksi ayam menjadi tinggi. Salah satu upaya yang dilakukan untuk memenuhi
pasokan produksi dalam negeri adalah dengan mengimpor. Urutan negara importir utama komoditas daging ayam ras dunia dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19. Negara Importir Utama Komoditas Daging Ayam Ras Dunia Nilai Impor Komoditas Daging Ayam Ras (Ton) 1 Rusia 1.039.000 2 Jepang 694.000 3 Arab Saudi 426.000 4 Meksiko 359.000 5 China-Hongkong 230.000 6 Afrika Selatan 172.000 7 Rumania 120.000 8 Taiwan 66.000 9 Korea Selatan 54.000 10 Philipina 23.000 Sumber: FAPRI (Food and AgriculturePolicy Research Institute) dalam Buletin CP, 2006 No
Negara
Berdasarkan data yang terdapat pada Tabel 19 diketahui bahwa negara importir terbesar untuk komoditas daging ayam ras dunia ditempati oleh Rusia dengan total impor sebesar lebih dari satu juta ton, disusul oleh negara Jepang dan Arab Saudi pada urutan kedua dan ketiga dengan masing-masing total impor sebesar 0,7 juta ton dan 0,4 juta ton. Negara-negara pengimpor tersebut kebanyakan mengimpor komoditas daging ayam ras dari Amerika Serikat yang merupakan salah satu produsen utama sekaligus eksportir utama komoditas daging ayam ras dunia. Namun sejak berjangkitnya wabah virus AI di Amerika Serikat yaitu di negara bagian Delaware yang merupakan salah satu daerah sentra produksi ayam Amerika Serikat pada tahun 2004 lalu, para negara importir seperti Rusia, Cina, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Hongkong, dan Singapura menghentikan impor ayamnya dari Amerika Serikat. Negara-negara
importir
melakukan
penghentian
perdagangan
atau
menghentikan impor dari Amerika Serikat dengan alasan untuk keselamatan dan untuk melindungi ternak di negaranya. Selain kasus flu burung, faktor lain yang
menjadi permasalahan bagi negara-negara importir komoditas daging ayam ras dunia adalah ancaman impor CLQ dari Amerika Serikat. Sebagian besar produk daging ayam yang diimpor oleh beberapa negara importir utama di dunia seperti Rusia, Jepang, China, Arab Saudi, dan negara-negara Eropa adalah dalam bentuk CLQ, yaitu dari total 2,163 juta ton produk daging ayam yang dipasarkan oleh Amerika ke negara-negara pengimpor, sebanyak 60 persennya berupa CLQ.57
5.9. Kelembagaan Agribisnis Ayam Ras Pedaging Indonesia Di dalam dunia perunggasan Indonesia terdapat enam asosiasi fungsional yang sering dimaknai sebagai pilar perunggasan Indonesia. Keenam asosiasi tersebut adalah Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas (GPPU), Gabungan Perusahaan Makanan Ternak (GPMT), Asosiasi Obat Hewan Indonesia (ASOHI), Gabungan Pengusaha Perunggasan Indonesia (GAPPI), Perhimpunan Peternak Unggas Indonesia (PPUI), dan Pinsar Unggas Nasional. Namun setelah Masyarakat Ilmu Perunggasan Indonesia (MIPI) yang sejak tahun 1997 absen dari berbagai kegiatan yang berkaitan dengan dunia perunggasan telah aktif kembali pada tahun 2004 lalu dan Gabungan Organisasi Peternak Ayam Nasional (GOPAN) yang merupakan sebuah federasi organisasi-organisasi peternak ayam tingkat lokal yang sudah ada sebelumnya didirikan pada tahun yang sama, maka industri perunggasan Indonesia ibarat sebuah bangunan yang ditopang delapan pilar utama.58 Dalam rangka memajukan bisnis perunggasan di Indonesia, maka kedelapan asosiasi perunggasan tersebut membentuk sebuah forum yang merupakan ajang
57 58
Abdus Salim. Op.cit. PHP-NUKE. 2004. Bersinergi Memajukan Perunggasan. http://www.poultryindonesia.com. Diakses pada tanggal 10 April 2008.
untuk mempertemukan gagasan, mematangkan kesepakatan dan perekat untuk mencapai pemahaman bahwa mereka diikat oleh kepentingan yang sama yaitu berkembang maju dan sehatnya industri perunggasan di Indonesia terutama dalam menghadapi kompetisi dan isu globalisasi. Selain itu melalui forum tersebut faktor-faktor kendala yang bersifat laten seperti ketergantungan sarana produksi pada subsistem hulu, kesenjangan informasi (teknologi, data, dll) pada subsistem budidaya, dan adanya fluktuasi harga serta daya serap pasar yang rendah pada subsistem hilir dapat disiasati upaya pemecahannya.
5.10. Kelembagaan Ayam Ras Pedaging Internasional Secara umum, lembaga atau asosiasi yang menaungi industri ayam ras pedaging juga merupakan lembaga bagi komoditas unggas lainnya sehingga kelembagaan industri ayam ras pedaging merupakan lembaga perunggasan. Beberapa lembaga perunggasan dunia diantaranya adalah Federasi Produsen Perunggasan ASEAN atau Federasi ASEAN Poultry Producers (FAPP) yang didirikan oleh Indonesia, Malaysia, Philipina, dan Thailand pada bulan November tahun 2000 dan pada tanggal 23 Agustus 2003 Vietnam bergabung dan menjadi anggota yang kelima. Terbentuknya FAPP merupakan sebuah wujud kecintaan masyarakat perunggasan ASEAN pada agribisnis ini, sehingga melalui federasi ini diharapkan
negara-negara
di
ASEAN
dapat
bersatu
dalam
mengatasi
permasalahan yang dihadapi oleh masing-masing negara anggotanya. Pada awal terbentuknya, federasi ini dimaksudkan untuk merapatkan barisan guna menangkis produk perunggasan dari luar seperti CLQ, namun seiring dengan dimasukinya era perdagangan bebas federasi ini juga menjadi wadah bersatunya negara-negara anggota dalam rangka menjajaki pasar ekspor. Selain itu
penanganan masalah bersama seperti penanggulangan wabah AI juga menjadi perhatian dari terbentuknya federasi ini. Selain FAPP, lembaga perunggasan dunia lainnya adalah World Poultry Science Association (WPSA) dan Badan Perunggasan Dunia atau International Poultry Council (IPC).
BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN
6.5. Analisis Struktur Pasar Komoditas Daging Ayam Ras di Pasar Internasional Dengan menggunakan rumus HI akan diketahui struktur pasar komoditas daging ayam ras di pasar internasional sekaligus mengukur penguasaan pangsa pasar masing-masing negara yang menjadi produsen dan eksportir komoditas daging ayam ras. Pangsa pasar komoditas daging ayam ras Indonesia diukur dengan membandingkan nilai ekspor komoditas daging ayam ras baik dalam bentuk daging ayam utuh segar dan beku maupun dalam bentuk daging ayam potongan dan jeroan segar dan beku. Nilai perhitungan HI terhadap kedua komoditas daging ayam ekspor tersebut ditampilkan pada Tabel 20. Tabel 20. Hasil Analisis Herfindahl Index (HI) dan Concentartion Ratio (CR) Negara Pengekspor Komoditas Daging Ayam Ras Tahun 20022006 Tahun
2002 2003 2004 2005 2006 Rata-rata
Daging ayam utuh segar dan beku (Fowls not cut in pieces, fresh or chilled and frozen) HI CR4 (%) 0,68 94,52 0,67 93,75 0,66 95,81 0,70 96,91 96,74 0,64 0,67 95,55
Daging ayam potongan dan jeroan segar dan beku (Fowls cut and offal, fresh or chilled and frozen) HI CR4 (%) 0,33 95,31 0,34 95,38 0,51 92,63 0,55 91,94 0,55 91,36 0,46 93,32
Berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan diperoleh hasil analisis HI untuk komoditas daging ayam utuh dalam bentuk segar dan beku serta daging ayam potongan dan jeroan dalam bentuk segar dan beku. Nilai HI untuk komoditas daging ayam utuh dalam bentuk segar dan beku sejak tahun 2002 hingga tahun 2006 berkisar antara 0,66-0,70 (mendekati satu) sehingga rata-rata
nilai HI yang diperoleh untuk periode lima tahun adalah sebesar 0,67. Sedangkan nilai HI untuk komoditas daging ayam potongan dan jeroan dalam bentuk segar dan beku sejak tahun 2002 hingga tahun 2006 berkisar antara 0,33-0,55 (mendekati nol) sehingga rata-rata nilai HI yang diperoleh untuk periode lima tahun adalah sebesar 0,46. Berdasarkan keterangan tersebut maka diperoleh kesimpulan bahwa struktur pasar untuk komoditas daging ayam utuh dalam bentuk segar dan beku cenderung mengarah ke pasar monopoli karena HI nya bernilai mendekati satu. Struktur pasar untuk komoditas daging ayam potongan dan jeroan dalam bentuk segar dan beku cenderung mengarah ke pasar persaingan karena HI nya bernilai mendekati nol . Hasil yang diperoleh untuk perhitungan CR4 yang dilakukan terhadap komoditas daging ayam ras baik dalam bentuk daging ayam utuh segar dan beku maupun dalam bentuk daging ayam potongan dan jeroan segar dan beku tidak terlalu jauh berbeda. Empat negara eksportir terbesar dalam perdagangan komoditas daging ayam utuh segar dan beku terdiri dari negara Brazil, Amerika Serikat, China, dan Argentina. Nilai rata-rata CR4 yang diperoleh keempat negara eksportir terbesar tersebut sejak tahun 2002 hingga tahun 2006 sebesar 95,55 persen. Sedangkan empat negara eksportir terbesar yang terlibat dalam perdagangan komoditas daging ayam potongan dan jeroan segar dan beku adalah negara Brazil, Amerika Serikat, China, dan Inggris dengan nilai rata-rata CR4 yang diperoleh sejak tahun 2002 hingga tahun 2006 adalah sebesar 93,32 persen. Nilai CR4 yang mendekati 100 persen menunjukkan bahwa komoditas daging ayam ras pedaging baik dalam bentuk daging ayam utuh segar dan beku maupun dalam bentuk daging ayam potongan dan jeroan segar dan beku memiliki struktur
pasar oligopoli mengarah ke monopoli. Dari keempat produsen dan eksportir terbesar yang terlibat dalam perdagangan komoditas daging ayam ras pedaging dunia tersebut, negara Brazil merupakan negara yang memiliki persentase pangsa pasar terbesar selama lima tahun berturut-turut. Untuk komoditas daging ayam utuh segar dan beku rata-rata persentase pangsa pasar negara Brazil mencapai 85 persen per tahun dari total pangsa pasar keempat negara eksportir terbesar dan 81 persen per tahun dari total pangsa pasar dunia, sedangkan untuk komoditas daging ayam potongan dan jeroan segar dan beku rata-rata persentase pangsa pasar negara Brazil mencapai 55 persen per tahun dari total pangsa pasar keempat negara eksportir terbesar dan 42 persen per tahun dari total pangsa pasar dunia. Dengan demikian dapat diketahui bahwa negara Brazil memonopoli perdagangan komoditas daging ayam ras dunia terutama untuk komoditas daging ayam utuh segar dan beku. Struktur pasar yang cenderung bersifat oligopoli mengarah ke monopoli menyebabkan posisi Indonesia masih sebagai pengikut pasar. Posisi ini menyebabkan Indonesia tidak dapat mengambil keputusan yang berkaitan dengan harga maupun produk, tanpa terlebih dahulu mengacu kepada pemimpin pasar. Meskipun demikian masih terbuka peluang bagi Indonesia yang merupakan salah satu negara produsen terbesar penghasil daging ayam ras di dunia bahkan terbesar di kawasan Asia Tenggara untuk dapat bersaing di pasar internasional. Untuk komoditas daging ayam utuh segar dan beku Indonesia berada pada posisi kesebelas dengan pangsa pasar rata-rata sebesar 0,001 persen per tahun sedangkan untuk komoditas daging ayam potongan dan jeroan segar dan beku Indonesia menempati posisi kesepuluh sebagai negara eksportir terbesar dalam perdagangan
komoditas daging ayam ras dunia dengan pangsa pasar rata-rata sebesar 0,07 persen per tahun. Nilai HI dan nilai CR4 negara produsen dan eksportir terbesar komoditas daging ayam utuh segar dan beku disajikan pada Lampiran 8 sedangkan nilai HI dan nilai CR4 negara produsen dan eksportir terbesar komoditas daging ayam potongan dan jeroan segar dan beku disajikan pada Lampiran 9.
6.6. Analisis Keunggulan Komparatif Komoditas Daging Ayam Ras Indonesia Keunggulan komparatif komoditas daging ayam ras Indonesia di pasar internasional diukur dengan menggunakan Indeks RCA. Indeks ini digunakan untuk membandingkan posisi dayasaing Indonesia dengan negara produsen komoditas daging ayam ras lainnya di pasar internasional. Perhitungan RCA dilakukan terhadap negara-negara produsen komoditas daging ayam ras terbesar di dunia dengan jumlah produksi mencapai lebih dari satu juta ton per tahun. Dari hasil perhitungan yang telah dilakukan, diketahui bahwa nilai RCA Indonesia untuk komoditas daging ayam utuh dalam bentuk segar dan beku serta daging ayam potongan dan jeroan dalam bentuk segar dan beku sejak tahun 2002 hingga tahun 2006 selalu bernilai di bawah satu, hal ini menandakan bahwa Indonesia tidak memiliki keunggulan komparatif terhadap komoditas daging ayam ras di pasar internasional atau dapat dikatakan bahwa Indonesia belum memiliki dayasaing yang kuat dalam perdagangan komoditas daging ayam ras dunia. Nilai RCA tertinggi ditempati oleh negara Brazil yang nilai RCA nya pernah mencapai angka 33,62 di tahun 2003 untuk komoditas daging ayam utuh segar dan beku serta mencapai angka 24 di tahun 2006 untuk komoditas daging
ayam potongan dan jeroan dalam bentuk segar dan beku. Untuk komoditas daging ayam utuh segar dan beku dan komoditas daging ayam potongan dan jeroan dalam bentuk segar dan beku, selain negara Brazil negara yang memiliki nilai RCA di atas satu adalah negara Argentina, Amerika Serikat, dan Inggris namun dengan jumlah yang sangat kecil. Berdasarkan keterangan tersebut, dapat disimpulkan bahwa Brazil merupakan eksportir terbesar dalam perdagangan komoditas daging ayam ras pedaging dunia yang memiliki keunggulan komparatif yang kuat karena Brazil mampu berswasembada jagung yang merupakan kebutuhan utama pakan ternak. Nilai RCA negara produsen dan eksportir terbesar komoditas daging ayam utuh segar dan beku disajikan pada Lampiran 10 dan nilai RCA negara produsen dan eksportir terbesar komoditas daging ayam potongan dan jeroan segar dan beku disajikan pada Lampiran 11.
6.7.
Analisis Keunggulan Kompetitif Komoditas Daging Ayam Ras Indonesia Dalam kegiatan perdagangan internasional, strategi persaingan merupakan
hal yang sangat penting untuk mencapai keberhasilan. Terlebih di era perdagangan bebas dimana hambatan perdagangan baik yang bersifat tarif maupun non tarif semakin berkurang, untuk dapat bersaing dengan negara-negara kompetitor lainnya suatu negara tidak lagi bisa menggantungkan keunggulannya hanya pada keunggulan komparatif yang dimilikinya tetapi juga harus didukung adanya keunggulan kompetitif yang kuat (Zamroni dalam Astuty, 2000). Dengan tujuan untuk menilai dayasaing internasional komoditas daging ayam ras, dipergunakan suatu model yang dapat menganalisis faktor-faktor internal serta faktor-faktor eksternal dalam agribisnis ayam ras pedaging
Indonesia. Model yang digunakan untuk menganalisis faktor-faktor tersebut adalah “The National Diamond” atau Teori Berlian Porter. Setiap faktor yang terdapat pada Teori Berlian Porter memiliki atribut-atribut penting yang mampu menjelaskan secara detail faktor yang ada. Atribut tersebut adalah:
6.7.1. Kondisi Faktor Sumberdaya Kondisi faktor sumberdaya yang berpengaruh terhadap agribisnis ayam ras pedaging adalah sumberdaya fisik atau alam (sumberdaya peternakan), sumberdaya manusia, sumberdaya ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), sumberdaya modal, dan sumberdaya infrastruktur. Kelima faktor sumberdaya tersebut akan dijelaskan sebagai berikut : (1) Sumberdaya Fisik atau Alam (Sumberdaya Peternakan) Sumberdaya peternakan yang mempengaruhi dayasaing industri nasional meliputi persyaratan lokasi perkandangan, sektor usaha dan skala usaha, biaya yang terkait, ketersediaan dan aksesibilitas terhadap input. a. Persyaratan Lokasi Perkandangan Secara umum usaha budidaya ayam ras pedaging dapat dilakukan hampir di segala kondisi terlebih Indonesia beriklim tropis yang memunginkan usaha peternakan dapat dijalankan dengan baik termasuk budidaya ayam ras pedaging. Hal ini dapat terlihat dari banyaknya jumlah populasi ayam ras pedaging yang dapat diusahakan di Indonesia yaitu mencapai angka satu miliar ekor per tahun. Namun demikian terdapat beberapa persyaratan lokasi perkandangan yang harus dipenuhi dalam menjalankan usaha budidaya ayam ras pedaging agar usaha yang dijalankan berjalan lancar diantaranya adalah, lokasi cukup jauh dari keramaian atau perumahan penduduk, dan lokasi mudah terjangkau dari pusat-pusat
pemasaran, lokasi terpilih bersifat menetap artinya tidak mudah terganggu oleh keperluan-keperluan lain selain untuk usaha peternakan. Sistem perkandangan yang ideal untuk usaha ternak ayam ras meliputi: (a) Persyaratan temperatur berkisar antara 32,2-35 derajat Celcius. (b) Kelembaban berkisar antara 60-70 persen, penerangan atau pemanasan kandang sesuai dengan aturan yang ada. (c) Tata letak kandang mendapat sinar matahari pagi dan tidak melawan arah mata angin kencang, model kandang disesuaikan dengan umur ayam. (d) Untuk anakan sampai umur 2 minggu atau 1 bulan memakai kandang box, untuk ayam remaja ± 1 bulan sampai 2 atau 3 bulan memakai kandang box yang dibesarkan dan untuk ayam dewasa bisa dengan kandang postal atapun kandang bateray. (e) Untuk kontruksi kandang tidak harus dengan bahan yang mahal, yang penting kuat, bersih, dan tahan lama. Di Indonesia sebagian besar usaha budidaya ayam ras pedaging dijalankan oleh peternak rakyat dengan skala usaha kecil sehingga penerapan manajemen kandang budidaya masih menggunakan teknologi yang sederhana. Berbeda dengan perusahaan besar dan peternakan ayam di luar negeri yang telah menerapkan sistem closed house (kandang tertutup), di Indonesia para peternak masih banyak yang menggunakan sistem open house (kandang terbuka) sehingga resiko ternak terkena penyakit juga semakin besar. b. Sektor Usaha dan Skala Usaha Jumlah peternak ayam skala kecil dan besar di Indonesia diperkirakan 80.000 orang dengan rata-rata kepemilikan ayam 5.000–20.000 ekor. Tenaga kerja
yang diserap di Industri perunggasan sebesar 2,5 juta peternak.59 Usaha peternakan unggas termasuk ayam ras pedaging di Indonesia dikelompokkan dalam beberapa sektor yaitu, sektor satu yang merupakan industri ternak ayam ras pedaging terintegrasi dari subsistem hulu, subsistem budidaya, hingga subsistem hilir, skala kepemilikan unggas di sektor satu lebih dari 50.000 ekor. Sektor dua merupakan produksi ayam ras pedaging komersial skala besar dengan skala kepemilikan ayam berkisar antara 20.000 ekor sampai 50.000 ekor. Sektor tiga merupakan produksi ayam ras pedaging komersial skala kecil dengan skala kepemilikan ayam berkisar antara ratusan ekor sampai 10.000 ekor. Sedangkan sektor empat merupakan pemeliharaan ternak oleh rumah tangga atau pemukiman dengan skala kepemilikan ayam antara empat ekor sampai lima ekor (Departemen Pertanian, 2006). Di Indonesia usaha peternakan ayam ras pedaging yang banyak diusahakan adalah sektor dua (peternak inti) dan sektor tiga (peternak plasma) dimana para pelaku usaha budidaya merupakan peternak rakyat, sedangkan perusahaan besar yang berada di sektor satu jumlahnya sangat sedikit namun penguasaanya sangat dominan yaitu mencapai 70 persen. Perusahaan yang bergerak di sektor satu diantaranya PT. Charoen Pokphand Indonesia, PT. Sierad Produce, PT. Japfa Comfeed, dan PT. Wonokoyo. c. Biaya yang Terkait Biaya pokok yang terkait dengan produksi ayam ras pedaging meliputi biaya input produksi, biaya tenaga kerja, dan biaya penyusutan kandang. Tidak dapat dipungkiri bahwa komponen terbesar untuk memperoleh produk ternak yang berdayasaing terletak pada aspek pakan, dimana biaya pakan ini merupakan 59
Luki K. Wardhani. 2007. Flu Burung: Siapa Disalahkan?. http://koranpdhi.com. Diakses pada tanggal 22 April 2008.
komponen tertinggi dalam komposisi biaya produksi ayam ras pedaging yaitu berkisar antara 60-70 persen dari total biaya produksi oleh karena itu biaya pakan disebut pula crucial factor yang sangat menentukan apakah suatu usaha peternakan dapat bersaing atau tidak. Suatu negara dapat dikatakan kompetitif dalam biaya pakan ternak apabila negara tersebut dapat mengekspor biji-bijian dan negara tersebut mempunyai tariff barrier rendah, atau dapat dikatakan bahwa negara yang harga pakannya tidak melebihi harga pakan dunia maka negara tersebut mempunyai kesempatan untuk dapat bersaing. Di Indonesia harga pakan sangat mahal karena masih harus mendatangkan dari negara lain sehingga bisnis ayam ras pedaging untuk dapat berkompetisi di pasar dunia relatif sangat berat. Faktor kedua setelah biaya pakan yang menentukan daya saing suatu negara dalam usaha peternakan khususnya usaha ayam ras pedaging adalah biaya tenaga kerja. Biaya tenaga kerja di Indonesia terbilang sangat kompetitif karena pada umumnya tenaga kerja usaha budidaya ayam ras pedaging berasal dari tenaga kerja keluarga dimana sebanyak 90 persen usaha peternakan ayam ras pedaging yang ada di Indonesia dikelola oleh peternak rakyat dengan skala usaha kecil. Menurut Prawirokusumo (2001) meskipun suatu negara tidak kompetitif dalam hal biaya pakan atau masih melakukan impor pakan namun memiliki keunggulan kompetitif dalam biaya tenaga kerja maka negara tersebut masih dapat bersaing di pasar internasinal. Kenyataan di lapang menunjukkan bahwa usaha peternakan ayam ras pedaging di Indonesia banyak dilakukan dalam bentuk pola-pola kemitraan, meskipun ada juga yang melakukan secara mandiri. Beberapa pola kemitraan yang berlangsung adalah pola kemitraan inti-plasma, poultry shop, dan sewa
kandang. Hasil analisis usahatani yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian (2007) menunjukkan bahwa nilai B/C yang diperoleh untuk pola peternakan mandiri, pola kemitraan inti-plasma, dan pola kemitraan poultry shop berturut-turut adalah 1,16, 1,28, dan 1,25 (Lampiran 13, 14, dan 15). Nilai B/C yang diperoleh ketiga bentuk usaha peternakan tersebut menunjukkan bahwa ketiga bentuk usaha tersebut sama-sama bernilai di atas satu sehingga dapat disimpulkan bahwa usaha ayam ras pedaging cukup memberikan peluang usaha yang baik serta kesempatan bersaing yang cukup besar sepanjang manajemen pemeliharaan mengikuti prosedur dan ketetapan yang berlaku. d. Ketersediaan, Perolehan dan Aksesibilitas Terhadap Input Ketersediaan, perolehan dan Aksesibilitas terhadap input merupakan suatu ukuran kemudahan bagi para peternak dalam memperoleh input produksi peternakan seperti DOC, pakan, obat-obatan dan vaksin, dan peralatan budidaya atau produksi (perkandangan) dalam jumlah yang memadai. Dalam menunjang kelancaran usaha budidaya atau produksi ayam ras pedaging diperlukan ketersediaan sarana produksi tersebut secara kontinyu. (a) DOC Di Indonesia industri pembibitan hanya dapat menghasilkan DOC FS dan DOC PS, sedangkan untuk DOC GPS masih harus dipasok dari luar negeri. Impor dilakukan dengan pertimbangan bahwa usaha tersebut lebih efisien dibandingkan dengan membangun usaha pembibitan di dalam negeri yang membutuhkan waktu yang cukup lama, biaya yang sangat besar, dan teknologi tinggi.60 Beberapa 60
Hasil wawancara dengan drh. Carwan, anggota PDHI dan staf PT. Sanbe Farma pada tanggal 24 Januari 2008.
negara yang menjadi pemasok bibit ayam untuk Indonesia diantaranya adalah Amerika Serikat, Inggris, Perancis, dan Belanda (Direktorat Jenderal Peternakan, Deptan, 2007). Data impor DOC GPS dan PS ayam ras pedaging dapat dilihat pada Tabel 21. Tabel 21. Data Perkembangan Impor DOC GPS dan DOC PS Tahun 2005-2007 Tahun DOC GPS (Ekor) DOC PS (Ekor) 2005 311.769 293.867 2006 386.164 351.240 2007* 155.764 500.070 Sumber : Direktorat Perbibitan, Ditjen Peternakan, Deptan, 2007 Keterangan : [*] Angka Sementara Sampai Bulan Juni 2007
Berdasarkan data yang tertera pada Tabel 21 diketahui bahwa telah terjadi peningkatan impor DOC baik impor DOC GPS maupun DOC PS. Impor DOC GPS pada tahun 2006 mengalami peningkatan sebesar 23,86 persen dari tahun 2005, sedangkan impor PS pada tahun 2006 mengalami peningkatan sebesar 19,52 persen dari tahun 2005. Perkembangan yang cukup signifikan terhadap pemasukan DOC ayam ras pedaging mengindikasikan bahwa sampai saat ini ketersediaan DOC GPS dan DOC PS sebagai penghasil DOC FS tercukupi. Namun ketersediaan DOC FS yang jumlahnya cukup besar terkadang malah dapat merugikan pembibit, ketika terjadi over suplai dan harga pakan sedang melambung harga jual DOC akan jatuh karena banyak peternak yang mengurangi pasokan DOC di kandangnya (chick in) sehingga pembibit mengalami kerugian. Mekanisme masuknya DOC ke Indonesia saat ini semakin diperketat, hal ini bertujuan untuk menghindari masuk dan berjangkitnya penyakit yang menyerang unggas seperti virus AI. Sejak 1 Maret 2008, perijinan impor maupun ekspor GPS dan PS ayam ras pedaging harus melalui Pusat Perijinan dan Investasi
(PPI) Departemen Pertanian terlebih dahulu. Landasan hukumnya adalah Permentan Nomor 07/Permentan/OT.140/1/2008 tentang syarat dan tata cara pemasukan dan pengeluaran benih, bibit ternak, dan ternak potong. Berdasarkan Permentan tersebut, pengajuan ditujukan kepada Menteri Pertanian yang kemudian diteruskan melalui 3 instansi, yaitu PPI, Badan Karantina, dan Direktorat Jenderal Peternakan. PPI berwenang untuk memeriksa kelengkapan administrasi. Badan Karantina melakukan analisa teknis di bidang karantina hewan (Instalasi Karantina Hewan Sementara/IKHS), sedangkan Direktorat Jenderal Peternakan, berwenang memeriksa dan menganalisa teknis benih, bibit, dan ternak potong terhadap dipenuhinya persyaratan teknis dan persyaratan kesehatan hewan, menerbitkan SPP setelah semua persyaratan dipenuhi, dan menerima laporan (Realisasi Impor dan Laporan Populasi, Produksi,dan Distribusi), (Poultry Indonesia, 2008). Alur impor bibit ayam disajikan pada Lampiran 12. (b) Pakan Keberadaan industri pakan unggas dalam negeri merupakan salah satu faktor penentu dayasaing ayam ras pedaging Indonesia di pasar internasional. Ayam mengkonsumsi 16 persen biji-bijian dunia terutama jagung, 26 persen biji minyak dunia khususnya bungkil kedelai, dan 6 persen gandum dunia.61 Bahan baku pakan ayam ras pedaging yang umum digunakan di Indonesia terdiri dari jagung, bungkil kedelai atau soybean meal (SBM), tepung tulang dan tepung daging atau meat bone meal (MBM), tepung ikan (Fish Meal), corn glutein meal (CGM), dan tepung unggas atau poultry meat meal (PMM), dan sebagian besar 61
Paul
Aho. 2005. Ekonomi Industri Perunggasan Global Setelah Flu http://www.poultryindonesia.com. Diakses pada tanggal 12 Februari 2008.
Burung.
bahkan hampir seluruhnya merupakan produk impor. Melihat hal tersebut maka dapat diketahui bahwa kenyataan yang terjadi pada industri pakan dalam negeri saat ini adalah masih lemahnya kinerja penyediaan bahan baku pakan terutama terkait dengan bahan baku utama pakan unggas yang sebagian besar terdiri dari jagung, sedangkan untuk bungkil kedelai atau soybean meal (SBM) dan premiks selalu tersedia sepanjang tahun meskipun ketersediaannya masih berasal dari impor. Kebutuhan bahan baku pakan unggas Indonesia tahun 2000 sampai tahun 2005 disajikan pada Tabel 22. Tabel 22. Kebutuhan Bahan Baku Pakan Unggas Indonesia Tahun 2000-2005 Kebutuhan Bahan Pakan (RibuTon) 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Jagung 2.313 1.570 2.981 3.187 3.392 3.906 Bungkil Kedelai 810 900 1.044 1.116 1.188 1.368 Tepung Ikan 225 250 290 310 330 380 Dedak Padi 675 750 870 930 990 1.040 Wheat Pollard 450 500 580 620 660 760 Premiks 27 30 35 37 40 46 Sumber : Direktorat Budidaya Ternak Non Ruminansia, Departemen Pertanian, 2006 Bahan Baku
• Jagung Kendala yang dihadapi oleh industri pakan ternak saat ini baik di Indonesia maupun negara lainnya di dunia terutama yang bertindak sebagai importir jagung adalah masalah kelangkaan jagung yang dipicu oleh rendahnya ekspor jagung dari sejumlah negara surplus jagung seperti Amerika Serikat, China, dan Argentina yang peruntukan jagung dalam negerinya bertambah, yaitu tidak hanya untuk pakan ternak dan industri pangan tetapi sebagai bahan energi pengganti bahan bakar minyak (BBM) yaitu bio-etanol dan biofuel. Karena jagung merupakan komponen terbesar dalam komposisi pakan ayam yaitu mencapai 50 persen, maka secara otomatis kelangkaan jagung akan meningkatkan
harga pakan ayam akibatnya banyak peternak yang tidak mampu berproduksi sesuai kapasitasnya karena harga pakan yang sangat tinggi. Kebutuhan jagung untuk produksi pakan ternak mencapai 3,5-4 juta ton per tahun sedangkan yang bisa dipasok dari dalam negeri hanya sebesar 2,5 juta ton sehingga untuk menutupi kekurangannya harus dipenuhi dengan cara impor. Sebanyak 70 persen impor jagung Indonesia dipasok dari negara Argentina, sedangkan sisanya dipasok dari Amerika Serikat, Thailand, dan Myanmar.62 Impor jagung Indonesia sejak tahun 2001 hingga tahun 2003 cenderung meningkat, namun memasuki tahun 2004 impor jagung mengalami penurunan yang cukup besar yaitu mencapai 66,4 persen dibandingkan tahun sebelumnya begitu juga di tahun 2005 dimana impor jagung mengalami penurunan sangat besar yaitu sebanyak 129 persen dibandingkan tahun 2004. Hal ini berarti ketergantungan Indonesia terhadap jagung impor semakin berkurang. Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya penurunan impor jagung oleh Indonesia ialah dikarenakan adanya peningkatan produksi jagung dalam negeri, salah satunya di provinsi Gorontalo yang saat ini dijuluki sebagai “Provinsi Jagung”. Peningkatan produksi jagung di provinsi Gorontalo memberikan pengaruh yang besar terhadap ketersediaan pasokan jagung dalam negeri, untuk tahun 2005 produksi jagung di provinsi Gorontalo mencapai 400 ribu ton atau meningkat sebesar seratus persen dari tahun sebelumnya. Provinsi lain yang juga sudah mulai meningkatkan usaha budidaya jagungnya adalah Provinsi Kalimantan Barat dengan tiga daerah utama penghasil jagung yaitu Rasau Jaya, Sanggau Ledo, dan Singkawang, serta
62
Budiarto Soebidjanto. 2007. Pengusaha Pakan Ternak Desak Pembebasan Bea Masuk Impor Jagung. http://www.disnak.jabar.go.id. Diakses pada tanggal 24 November 2007.
Kabupaten Ciamis yang merupakan kabupaten penghasil ayam ras pedaging terbesar di provinsi Jawa Barat (Poultry Indonesia, 2008). Data impor jagung Indonesia sejak tahun 2000 hingga tahun 2005 dapat dilihat pada Tabel 23. Tabel 23. Data Impor Jagung Indonesia Tahun 2000-2005 Tahun Jumlah Jagung Impor (Ribu Ton) 2000 1.237 2001 1.031 2002 1.315 2003 1.644 2004 988 2005 432 Sumber : Direktorat Budidaya Ternak Non Ruminansia, Departemen Pertanian, 2006
Dengan sumberdaya alam yang dimiliki seperti luas lahan tanam jagung yang mencapai 27 juta hektar dan baru dimanfaatkan sekitar 3,4 juta hektar, tersedianya benih jagung hibrida berkualitas yang mampu menghasilkan 7-8 ton per hektar, serta pemanfaatan benih jagung yang masih sebesar 17 persen padahal kapasitas Indonesia jauh di atas angka tersebut menjadikan Indonesia berpeluang sebagai negara yang mampu berswasembada jagung bahkan menjadi pengekspor jagung di pasar Internasional. Peluang Indonesia untuk membangun perkebunan jagung lebih besar dibandingkan negara ASEAN lainnya sehingga pada pertemuan FAPP di Thailand pada tahun 2007, sejumlah produsen ternak berharap Indonesia menjadi basis produksi jagung terutama di ASEAN untuk memenuhi kebutuhan bahan baku pakan ternak.63 Beberapa upaya untuk mewujudkan hal tersebut diantaranya telah mulai direalisasikan seperti sedang dibangunnya Gorontalo Internasional Maize Informasi Center (GIMIC) yang direncanakan akan selesai pada 2010. Dengan
63
Anton J Supit. 2007. Indonesia Perlu Sigap Sikapi Meningkatnya Pasar Jagung Dunia. http://news.antara.co.id. Diakses pada tanggal 22 Januari 2008.
selesai dibangunnya GIMIC maka Gorontalo secara otomatis akan menjadi pusat informasi bagi kegiatan produksi jagung di seluruh dunia dan di tempat ini juga akan berkumpul para tenaga ahli atau pakar jagung dari berbagai belahan dunia. Dengan didirikannya GIMIC akan sangat berdampak positif bagi peningkatan kualitas dan kuantitas produksi jagung, yang pada akhirnya akan semakin mengurangi ketergantungan terhadap bahan baku pakan impor terutama biji-bijian yang semakin langka keberadaannya karena kebutuhannya yang harus terbagi untuk feed, food, dan fuel. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian diketahui bahwa pemerintah tengah melakukan usaha dalam rangka meningkatkan produksi jagung lokal sebesar 20 persen yaitu dari 13,28 juta ton tahun 2007 menjadi 15,93 juta ton pada 2008. Usaha tersebut sudah mulai direalisasikan dengan adanya bantuan benih Rp.380 miliar serta pemberian bantuan alat-alat produksi pertanian termasuk silo yang jumlahnya mencapai 39 silo. Meskipun demikian, defisit jagung dalam negeri masih kurang menarik minat petani untuk mengusahakan jagung. Salah satu faktor penyebabnya adalah adanya fluktuasi harga yang tajam pada komoditas jagung, yaitu seringkali harga jatuh di saat panen sehingga petani justru merugi. • Bungkil Kedelai atau Soybean Meal (SBM) Bungkil kedelai adalah penyumbang 35 persen dalam komposisi pakan ternak. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa ketersediaan bungkil kedelai sebagai bahan baku pakan ternak selalu tersedia sepanjang tahun meskipun keberadaannya masih dipasok dari negara lain. Data Impor bungkil
kedelai Indonesia sejak tahun 2000 hingga tahun 2005 dapat dilihat pada Tabel 24. Tabel 24. Data Impor Bungkil Kedelai Indonesia Tahun 2000-2005 Jumlah Bungkil Kedelai Impor (Ribu Ton) 2000 1.262 2001 1.570 2002 1.424 2003 1.779 2004 1.779 2005 1.801 Sumber : Direktorat Budidaya Ternak Non Ruminansia, Departemen Pertanian, 2006 Tahun
Perkembangan impor bungkil kedelai menunjukan trend yang semakin meningkat setiap tahunnya. Jika dibandingkan dengan kebutuhan bungkil kedelai sebagai bahan baku pakan ternak maka jumlah impor bungkil kedelai sudah mencukupi bahkan melebihi kebutuhannya sehingga ketersediaan bungkil kedelai sejak tahun 2000 hingga tahun 2005 selalu tercukupi. Untuk bungkil kedelai, pemenuhannya hampir seratus persen berasal dari impor karena produksi dalam negeri tidak mencukupi selain itu harga bungkil kedelai impor lebih murah dibandingkan harga bungkil kedelai domestik. Negara pengekspor terbesar untuk kebutuhan bungkil kedelai Indonesia dan negara lain di dunia diantaranya adalah Brazil dan Amerika Serikat (USDA, 2001). Selain harga bungkil kedelai impor yang lebih murah dari harga bungkil kedelai lokal, persoalan yang dihadapi adalah dalam hal penanaman kedelai dimana lahan penanaman kedelai di Indonesia termasuk di provinsi Aceh yang merupakan sentra kedelai nasional terus menurun setiap tahunnya. Pada tahun 1984 saat Indonesia mencapai swasembada pangan jumlah areal lahan kedelai sekitar 1,6 juta hektar dengan produksi 1,8 juta ton, tetapi pada tahun 2007 lahan penanaman kedelai hanya tinggal sekitar 362.000 hektar dengan produksi kedelai
hanya sekitar 700.000 ton. Untuk mengatasi hal tersebut, saat ini produksi kedelai di dalam negeri sudah mulai diusahakan oleh banyak petani, salah satunya adalah petani di daerah Grobogan, Jawa Tengah yang mampu menghasilkan kedelai dengan hasil produksi sebanyak tiga ton per hektar atau dua kali lipat produksi rata-rata petani Indonesia dengan lama waktu pemeliharaan hanya 70-75 hari atau 15-20 hari lebih pendek dari petani yang lain. Hal ini merupakan suatu kekuatan yang dapat dimanfaatkan dalam rangka penyediaan kedelai dalam negeri tanpa harus bergantung dengan kedelai impor. Namun sangat disayangkan karena upaya pemerintah untuk memberi insentif bagi petani agar memproduksi kedelai sama sekali tidak berjalan. • Tepung Tulang dan Tepung Daging atau Meat Bone Meal (MBM) Berdasarkan keterangan yang diperoleh dari Poultry Indonesia (2008), ketersediaan MBM di Indonesia sebagian besar bahkan hampir seratus persen berasal dari impor. Negara yang mengekspor MBM untuk Indonesia adalah Australia, Selandia Baru, dan Amerika Serikat. Negara yang diperbolehkan mengimpor MBM adalah negara yang terbebas dari penyakit sapi gila atau Bovine Spongioform Encephalophaty (BSE), sehingga segala bentuk produk sapi dari Eropa baik daging maupun tepung pakan ternak yang mengandung daging sapi atau sisa dari jenis MBM dilarang masuk ke Indonesia, sedangkan yang diperbolehkan masuk ke Indonesia dari Uni Eropa hanya PMM. Saat ini banyak terjadi penyimpangan dalam prosedur impor MBM dari luar negeri, dimana banyak MBM ilegal yang berasal dari Uni Eropa masuk ke Indonesia. Pada tahun 2006 tercatat ada 260 kontainer MBM ilegal yang masuk ke Indonesia. MBM ilegal dari Uni Eropa tersebut melanggar UU Nomor 16/1992
tentang karantina ikan dan tumbuhan, serta Kepmentan 12 Juli 2002 tentang pelarangan pemasukan ternak ruminansia dan produknya dari negara tertular BSE. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Peternakan (2007), volume impor MBM mencapai 15.000-20.000 ton per bulan. Dari jumlah tersebut, 50 persen berasal dari Australia, 35 persen berasal dari Selandia Baru, dan 15 persen berasal dari Amerika Serikat. Amerika Serikat merupakan produsen MBM terbesar di dunia (Departemen Pertanian, 2007). Namun hingga saat ini perusahaan pemasok MBM dari Amerika Serikat masih dimonopoli oleh satu perusahaan saja yaitu Baker Commodities Inc. melalui Profaith Trade Coy padahal di Amerika Serikat, banyak perusahaan sejenis yang juga memiliki kualitas dan kemampuan yang sama, hal ini menyebabkan penentuan harga jual MBM menjadi tidak kompetitif. Tabel 25. Data Impor Meat Bone Meal (MBM) Indonesia Tahun 2000-2005 Jumlah Meat Bone Meal (MBM) Impor (Ribu Ton) 2000 328 2001 360 2002 272 2003 414 2004 227 2005 196* Sumber : Direktorat Budidaya Ternak Non Ruminansia, Departemen Pertanian, 2006 Keterangan : [*] Direktorat Kesehatan Hewan, Deptan, 2006
Tahun
Hingga saat ini ketersediaan MBM dalam negeri untuk kebutuhan pakan ayam masih memadai jumlahnya terlebih kebutuhan komposisi MBM dalam pembuatan pakan ayam tidak sebesar komposisi jagung dan bungkil kedelai. Namun karena impor MBM oleh Amerika Serikat masih dilakukan oleh satu perusahaan saja menyebabkan harga MBM di dalam negeri menjadi mahal, akibatnya harga pakan juga menjadi mahal. Aspirasi yang juga disampaikan oleh beberapa peternak di daerah Jawa Barat diantaranya ialah menginginkan agar
impor MBM tidak hanya dimonopoli oleh satu perusahaan saja sehingga harga pakan bisa ditekan dan biaya produksi bisa lebih efisien.64 • Tepung Ikan (Fish Meal) Tepung ikan merupakan produk yang diperoleh dari penggilingan ikan yang sudah umum digunakan sebagai bahan baku formulasi ransum. Penggunaan tepung ikan dalam komposisi pakan ayam adalah sebesar 1,5-2 persen. Tepung ikan sebagai bahan baku pakan ternak sempat menjadi primadona karena dengan kandungan protein yang tinggi, mempermudah formulator ransum memenuhi standar protein yang dibutuhkan ternak. Namun sejak tahun 2007, penggunaan tepung ikan menurun karena harganya yang semakin tinggi (Maulana, 2008). Tabel 26. Data Impor Tepung Ikan Indonesia Tahun 2000-2005 Tahun
Jumlah Tepung Ikan Impor (Ribu Ton)
2000 111 2001 98 2002 45 2003 38 2004 37 2005 20 Sumber : Direktorat Budidaya Ternak Non Ruminansia, Departemen Pertanian, 2006
Produksi tepung ikan Indonesia baik untuk kebutuhan lokal maupun ekspor selama ini dipenuhi dari pabrik tepung ikan yang berlokasi di Muncar (Banyuwangi), Pengambengan (Bali), dan Bitung (Sulawesi Utara). Untuk Impor, negara yang memasok tepung ikan untuk Indonesia adalah Peru, Chile, Malaysia, Korea Selatan, dan Thailand. Secara umum ketersediaan bahan baku pakan di dalam negeri dapat diperoleh dengan mudah kecuali untuk jagung, karena keberadaannya saat ini semakin langka. Pakan ayam ras pedaging pada umumnya diproduksi oleh pabrik 64
Hasil wawancara dengan beberapa peternak inti, Bandung, Jawa Barat.
pakan di dalam negeri namun bahan bakunya sebagian besar berasal dari impor. Untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan baku pakan impor, Departemen Pertanian tengah melakukan himbauan kepada produsen pakan untuk dapat melakukan diversifikasi bahan baku dengan memanfaatkan produk lokal seperti lumpur sawit dan bungkil inti sawit (BIS), namun menurut pihak GPMT BIS yang bersih dari cangkang sawit masih sulit diperoleh di dalam negeri. (c) Obat-obatan dan Vaksin Secara umum kondisi peternakan unggas nasional termasuk peternakan ayam ras pedaging masih sangat rentan terhadap serangan bakteri, virus, mikroplasma, maupun protozoa yang merugikan seperti yang baru terjadi saat ini yaitu adanya serangan virus AI pada ternak unggas. Hal ini dikarenakan terdapatnya kendala dalam peternakan ayam di dalam negeri seperti kualitas air yang buruk serta model transportasi, penyimpanan, dan pemberian pakan yang tidak higienis (Ranggatabbu, 2007). Untuk mengatasi kendala tersebut obatobatan dan vaksin merupakan salah satu alternatif pilihan dalam menyelesaikan persoalan. Di Indonesia ketersediaan obat dan vaksin sangat memadai karena banyak pabrik obat Indonesia yang telah mampu menghasilkan obat dan vaksin berkualitas untuk pemenuhan kebutuhan peternakan dalam negeri meskipun sebagian besar bahan bakunya berasal dari impor. Penyaluran obat dan vaksin telah menjangkau hampir seluruh wilayah di Indonesia sehingga para peternak kecil yang berada di daerah pun tidak kesulitan dalam memperoleh obat dan vaksin hewan.65
65
Wawancara dengan drh. Carwan, anggota PDHI dan staf PT. Sanbe Farma.
Rambu-rambu pengawasan, pembuatan, penyediaan, dan pemakaian obat hewan yang meliputi sediaan biologik, farmasetik termasuk antibiotik atau anti bakteri dan premiks telah diatur dalam UU Nomor 6 Tahun 1967 yang kemudian dijabarkan dalam PP Nomor 78 Tahun 1992 tentang obat hewan. Selain itu pemerintah juga mengacu pada rekomendasi internasional dalam pengawasan penggunaan obat hewan (veterinary drugs) yang diatur dalam World Healt Organization (WHO), Joint FAO atau WHO Expert Commite on Evaluation of Certain Veterinary Drug Residues in Food, dan Codex Alimentarius. Oleh karena itu semua obat hewan yag beredar di Indonesia wajib memiliki nomor pendaftaran atau registrasi dengan melalui proses pengkajian ilmiah dan teknis dari Komisi Obat Hewan (KOH) atau Panitia Penilai Obat Hewan (PPOH), pengujian dan sertifikasi dari Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan (BBPMSOH). Dengan standar dan prosedur keamanan obat dan vaksin hewan yang cukup ketat tersebut, maka ketersediaan obat dan vaksin hewan di dalam negeri adalah obat dan vaksin hewan yang aman, meskipun tidak dapat dipungkiri tetap terdapat obat dan vaksin hewan ilegal yang diedarkan oleh pengedar gelap. (d) Peralatan Budidaya atau Produksi (Perkandangan) Peralatan budidaya atau produksi (perkandangan) yang digunakan dalam kegiatan pemeliharaan ayam ras pedaging diantaranya adalah litter atau alas lantai yang terbuat dari serutan kayu atau campuran sekam, kapur, dan pasir, indukan atau brooder yang merupakan alat penghangat, tempat bertengger, tempat makan dan minum, serta alat-alat rutin (suntikan, gunting operasi, pisau potong operasi kecil, dan lain-lain). Ketersediaan peralatan kandang standar yang dibutuhkan
dalam kegiatan pemeliharaan ternak ayam tersebut dapat dengan mudah diperoleh di Indonesia karena pada umumnya peralatan tersebut diproduksi di dalam negeri. (2) Sumberdaya Manusia Salah satu upaya secara makro untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas agar produk-produk lokal termasuk produk peternakan mampu bersaing di pasar global adalah dengan meningkatkan kualitas sumberdaya manusia atau tenaga kerja (Wiranata dalam Bahri, 2001). Sumberdaya manusia merupakan salah satu kunci sukses keberhasilan pembangunan suatu negara. Sumberdaya tersebut merupakan faktor penggerak sumberdaya lainnya yang bersifat statis. Sejalan dengan hal itu, kemampuan sumberdaya manusia tersebut merupakan faktor penggerak dalam peningkatan dayasaing komoditas daging ayam ras pedaging Indonesia. Faktor sumberdaya manusia dalam agribisnis ayam ras pedaging mengisi peran sebagai peternak, pedagang, eksportir, penyuluh, dan jabatan lainnya yang berkaitan dengan agribisnis ayam ras pedaging. a. Peternak Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa peternakan ayam ras pedaging dijalankan oleh empat sektor usaha. Jumlah peternak terbesar di Indonesia berada di sentra produksi ayam ras pedaging seperti provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Untuk kegiatan budidaya sebanyak 90 persen peternakan ayam ras pedaging di Indonesia dijalankan oleh para peternak rakyat dengan skala usaha kecil atau dapat dikatakan bahwa peternakan ayam ras pedaging di Indonesia didominasi oleh sektor tiga. Pada umumnya sektor tiga ini (peternak plasma) bekerjasama melakukan pola kemitraan dengan sektor dua yang bertindak sebagai perusahaan inti.
Para peternak rakyat yang merupakan pelaku usaha on-farm sering terdiskriminasikan dalam hal penentuan harga jual produknya karena faktor jarak distribusi, tingginya biaya produksi, serta kesulitan memperoleh dukungan pendanaan. Hal ini karena para peternak rakyat tidak mampu mengintegrasikan antara subsistem hulu, subsistem budidaya, dan subsistem hilir. Dalam rangka mengatasi persoalan tersebut, kemitraan merupakan alternatif pemecahan masalah yang banyak dilakukan oleh peternak di Indonesia.Dengan kemitraan maka terjadi sinergisme yang baik antara perusahaan besar dengan peternak kecil, selain adanya jaminan pasokan bahan baku, jaminan ketersediaan pasar, bantuan permodalan dan kebijakan harga jual, para peternak juga memperoleh manfaat dengan adanya bimbingan dalam proses pemeliharaan serta adanya alih teknologi. Bimbingan dan penyuluhan yang biasanya difasilitasi oleh peternak inti sangat diperlukan oleh peternak rakyat karena pada umumnya peternak rakyat memiliki tingkat pendidikan rendah yaitu tamatan Sekolah Dasar (SD) atau tamatan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), sehingga keterampilan beternak yang mereka miliki pada umumnya berdasarkan pengalaman atau belajar dari orang tua, teman, dan saudara.66 Untuk perusahaan inti sendiri, manfaat yang diperoleh dengan bermitra adalah perusahaan inti dapat memasarkan produknya kepada peternak plasma selain itu perusahaan inti akan mendapat jaminan pasokan bahan baku dari mitranya.67 Jenis tenaga kerja yang digunakan dalam usaha budidaya ayam ras pedaging terdiri dari tenaga kerja dalam keluarga (TKDK) dan tenaga kerja luar keluarga (TKLK). Di Indonesia pola kegiatan budidaya ayam ras pedaging yang 66 67
Hasil wawancara dengan peternak rakyat di Subang dan Bandung, Jawa Barat, 2008. Hasil wawancara dengan Bapak Gamma. Pemilik PS. Pilar Farm, Bandung, Jawa Barat, 2008.
umum dijalankan adalah pola mandiri, pola kemitraan inti-plasma, dan pola kemitraan poultry shop. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa peternak di Bandung, Jawa Barat diketahui bahwa secara umum peternak menjalankan pola kemitraan inti-plasma dan pola kemitraan poultry shop meskipun ada juga yang melakukan pola usaha budidaya mandiri. Jumlah jam kerja TKLK peternak mitra lebih besar dibandingkan peternak mandiri, sedangkan jumlah jam kerja TKDK peternak mandiri lebih besar dibandingkan peternak mitra karena peternak mandiri lebih mengutamakan produksi ayam dibanding peternak mitra sehingga mereka pada umumnya lebih percaya pada TKDK. TKLK yang digunakan oleh peternak mitra adalah tenaga kerja anak kandang, sedangkan peternak mandiri adalah tenaga kerja anak kandang dan biaya bimbingan technical service. Biaya bimbingan technical service untuk peternak mitra ditanggung oleh perusahaan inti karena merupakan bagian fasilitas yang diberikan perusahaan inti kepada mitranya. Upah yang diterima oleh peternak mitra dan peternak mandiri adalah sama yaitu sekitar Rp.125-Rp.150 rupiah per ekor ayam yang dipelihara, namun untuk peternak mandiri karena sebagian besar kegiatan yang dijalankan oleh TKDK maka upah tenaga kerja seringkali tidak diperhitungkan sedangkan untuk upah technical service yang harus dibayarkan peternak mandiri adalah sekitar Rp.150.000-Rp.450.000 untuk satu siklus produksi tergantung jumlah ayam yang dipelihara. b. Pedagang Pedagang merupakan salah satu komponen tenaga kerja yang berperan dalam menyalurkan ayam ras pedaging yang dihasilkan dari kegiatan budidaya. Pedagang ayam ras pedaging di Indonesia terdiri dari pedagang pengumpul atau
penampung ayam, pedagang perantara (broker), dan pemotong atau pengecer ayam. DKI Jakarta merupakan provinsi penyerap terbesar hasil unggas di Indonesia, sehingga banyak pelaku tataniaga di bidang pemasaran hasil unggas terdapat di provinsi ini. Sentra penampungan ayam yang terdapat di provinsi DKI Jakarta tersebar di beberapa daerah yang meliputi Jakarta Pusat (Cempaka Putih, Senen, dan Tanah Abang), Jakarta Timur (Pulo Gadung, Jatinegara dan Matraman), Jakarta Utara (Cilincing, Penjaringan, dan Tanjung Priok), Jakarta Barat
(Cengkareng, Petamburan, dan Kembangan), dan Jakarta Selatan
(Kebayoran Lama, Kebayoran Baru dan Pasar Minggu). Para pedagang pengumpul yang memiliki lokasi penampungan sendiri (TpnA) serta kendaraan (truk) sendiri biasanya membeli ayam langsung dari peternak yang tersebar di Jabotabek, Priangan Timur, Lampung, Jawa Tengah, dan Jawa Timur yang merupakan sentra penghasil ayam ras pedaging di Indonesia. Selain mendatangi langsung para peternak, pedagang pegumpul biasanya juga membeli ayam melalui pedagang perantara (broker), sedangkan para pembeli ayam di penampungan (pedagang pengumpul) adalah para pemotong atau pengecer ayam. Para pemotong membeli ayam hidup dalam jumlah puluhan hingga ratusan ekor untuk kemudian dipotong, dibersihkan bulu dan jeroannya lalu dijual ke pasar. Pemotong umumnya juga merangkap sebagai pengecer ayam di pasar untuk selanjutnya dijual kepada konsumen akhir atau konsumen pengolah makanan. Selain menjual karkas ada juga pedagang pengecer yang tidak memotong ayamnya tetapi menjual ayam dalam bentuk hidup (Poultry Indonesia, 2005).
Perusahaan besar
Peternak Mandiri
Peternak Plasma Perusahaan Inti Pedagang Perantara Pedagang Pengumpul Pemotong/Pengecer
Konsumen Pengolah
Konsumen Akhir
Gambar 4. Alur Tataniaga Perdagangan Komoditas Daging Ayam Ras di Indonesia Keterangan : [ ] Jalur pemasaran pertama [ ] Jalur pemasaran kedua Sumber : Poultry Indonesia, 2005 dan wawancara dengan perusahaan inti
d. Eksportir Di Indonesia kegiatan ekspor ayam masih terbatas pada komoditas daging ayam yang dihasilkan oleh perusahaan ayam skala besar yang telah memiliki integrasi vertikal antar subsistem usahanya sehingga komoditas daging ayam yang dihasilkan mampu bersaing dengan komoditas daging ayam dari negara lain. Perusahaan penghasil ayam ras pedaging yang telah mampu melakukan ekspor ayamnya ke luar negeri diantaranya adalah prosesing plant PT. Ciomas Adi Satwa dari kelompok Japfa yang berlokasi di Wonoayu, Sidoarjo, Jawa Timur, PT.
Charoen
Pokphand
melalui RPA
nya
di Cikande,
Serang,
dan
PT. Sierad Produced. Komoditas daging ayam ras di Indonesia bukan merupakan komoditas utama ekspor, sehingga nilai ekspornya juga tidak terlalu besar. Di Indonesia tidak ada lembaga yang secara khusus menjadi wadah atau asosiasi eksportir ayam ras pedaging namun hal tersebut bukan berarti Indonesia tidak melakukan ekspor
komoditas daging ayamnya ke luar negeri. Di Indonesia kegiatan ekspor selain dilakukan oleh perusahan ayam skala industri, juga terdapat eksportir ayam yang bekerjasama dengan peternak terutama peternak skala industri untuk bertugas memasarkan komoditas daging ayam yang telah memenuhi standar ekspor. d. Penyuluh Dalam agribisnis ayam ras pedaging, penyuluh merupakan salah satu sumberdaya manusia yang memberikan kontribusi cukup besar dalam perkembangan dan kemajuan dunia peternakan baik di subsistem hulu, subsistem budidaya, hingga subsistem hilirnya. Lembaga atau individu yang berperan sebagai penyuluh dalam agribisnis ayam ras pedaging di Indonesia diantaranya dibentuknya kelompok kerja Penyidik Penyakit Unggas Nasional (K2P2) yang terdiri atas para staf Balai Penyidikan dan Pengujian Vateriner (BPPV) Regional IV Yogyakarta, Balai Penelitian Vateriner (Balitvet) Bogor, Fakultas Kedokteran Hewan IPB, UGM, dan UNAIR serta Unit Pengendalian Penyakit Avian Influenza (UPPAI) FAO-Depatan RI, kelompok kerja tersebut bertugas untuk meneliti mengenai penyakit flu burung di Indonesia serta membantu para peternak dan masyarakat dalam menangani dan menanggulangi AI hingga ke daerahdaerah, Technical Service (TS) merupakan tenaga perusahaan sarana produksi peternakan (sapronak) yang bertugas menjual sekaligus memberikan pelayanan dan penyuluhan kepada peternak dalam menjalankan budidaya secara baik dan benar, Dinas Peternakan Daerah, dan lembaga-lembaga peyuluh terkait lainnya. Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan sebelumnya mengenai faktor sumberdaya manusia dapat diketahui bahwa Indonesia memiliki keunggulan kompetitif dari segi kuantitas sumberdaya manusia serta biaya tenaga kerja yang
relatif lebih murah dibandingkan negara produsen ayam ras pedaging lainnya di dunia. Namun jika dilihat dari segi kualitas, sumberdaya manusia Indonesia yang berfungsi sebagai penggerak perekonomian bangsa terbilang masih sangat rendah, hal ini dikarenakan masih banyak tenaga kerja dalam negeri yang memiliki tingkat pendidikan rendah sehingga proses alih teknologi kurang dapat berjalan baik. (3). Sumberdaya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) Penguasaan IPTEK dalam agribisnis ayam ras pedaging yang meliputi subsistem hulu (pembibitan, pembuatan pakan, pembuatan obat-obatan dan vaksin hewan), subsistem budidaya (teknologi perkandangan dan pemeliharaan), subsistem hilir (teknologi pasca panen atau pengolahan) sangat diperlukan dalam rangka menghasilkan komoditas daging ayam ras yang berdayasaing tinggi. Sumberdaya IPTEK yang mempengaruhi dayasaing nasional mencakup ketersediaan
pengetahuan
pasar,
ketersediaan
pengetahuan
teknis
dan
pengetahuan ilmiah, ketersediaan sumber-sumber pengetahuan dan teknologi. a. Ketersediaan Pengetahuan Pasar Pasar merupakan faktor yang sangat menentukan eksistensi sebuah usaha. Suatu usaha tidak akan mampu bertahan dan berkembang apabila pasar, yang merupakan penyerap produk yang dihasilkan oleh usaha tersebut tidak tersedia. Bagi agribisnis ayam ras pedaging di Indonesia, informasi mengenai pasar yang meliputi harga beli dan harga jual produk agribisnis ayam ras pedaging (DOC, pakan, obat-obatan dan vaksin hewan, komoditas ayam, sarana produksi peternakan), perkembangan fluktuasi harga, daya serap pasar, tataniaga pasar dan informasi mengenai aspek pasar dan pemasaran lainnya. Di Indonesia, lembaga yang bertugas membantu masyarakat peternakan ayam ras pedaging dalam hal
aspek pasar dan pemasaran adalah Pusat Informasi Pemasaran Hasil Unggas (Pinsar Unggas Nasional) yang berkedudukan di Bogor. Dengan adanya lembaga seperti Pinsar Unggas Nasional tersebut, sedikit banyak para pelaku usaha agribisnis ayam ras pedaging baik di subsistem hulu, subsistem budidaya, dan subsistem hilir memperoleh informasi yang berguna bagi kelangsungan usaha yang mereka jalankan. b. Ketersediaan Pengetahuan Teknis dan Pengetahuan Ilmiah Pengetahuan teknis dan pengetahuan ilmiah sangat penting diperlukan dalam rangka mewujudkan hasil ternak yang berdayasaing tinggi. Pengetahuan teknis dan pengetahuan ilmiah mengenai agribisnis ayam ras pedaging meliputi aspek perkandangan dan pemeliharaan, pembibitan, pakan, obat-obatan dan vaksin, serta pascapanen dan pengolahan. Perkembangan IPTEK khususnya dalam hal pengetahuan teknis dan pengetahuan ilmiah yang tengah diteliti dan dikembangkan baik oleh para pelaku yang bergerak dalam agribisnis ayam ras pedaging ini maupun lembaga-lembaga yang terkait adalah sebagai berikut : (a) Perkandangan dan Pemeliharaan Seiring dengan perkembangan zaman, tuntutan konsumen terhadap produk yang berkualitas juga semakin besar, salah satu aspek yang mempengaruhi kualitas daging ayam adalah teknologi perkandangan dan pemeliharaan. Teknologi perkandangan dan pemeliharaan ayam yang tengah dipopulerkan saat ini adalah teknologi closed house system atau sistem kandang tertutup. Teknologi kandang tertutup ini merupakan teknologi perkandangan yang serba otomatis. Sistem kandang tertutup diciptakan untuk mengurangi resiko terkena penyakit sehingga akan dapat mengurangi resiko kematian, mencegah dan mengurangi
resiko penularan penyakit kepada lingkungan, dan meningkatkan kualitas hasil produksi. Sistem kandang tertutup dapat mengatur suhu di dalam kandang sesuai dengan kebutuhan ayam karena kandang tertutup telah dilengkapi dengan teknologi canggih seperti exhaust fan (kipas), cooling pad (pendingin), thermostat (pengatur suhu), nipple (peralatan minum otomatis), automatic feeder (peralatan makan otomatis), panel yang mengatur exhaust fan dan cooling pad, pengatur tekanan air, alat pencampur obat dan vaksin otomatis. Pembangunan kandang tertutup
dengan
berbagai
peralatan
berteknologi
tinggi
tersebut
tentu
membutuhkan biaya yang tidak sedikit, akibatnya belum banyak perusahaan peternakan yang mampu membangun kandang dengan sistem kandang tertutup ini karena seperti diketahui permodalan merupakan salah satu kelemahan peternak ayam ras pedaging di Indonesia. Namun demikian, saat ini beberapa perusahaan besar di Indonesia terutama yang berorientasi ekspor sudah menggunakan sistem kandang tertutup ini. Beberapa perusahaan tersebut adalah PT. Charoen Pokphand Indonesia, Sierad Industries, PT. Santika Duta Nusantara. PT. Charoen Pokphand Indonesia yang pabriknya berlokasi di Tangerang, Banten dan PT. Sierad Industries yang berlokasi di Serang, Banten bahkan menjadi perusahaan yang mampu memasok kebutuhan pembangunan kandang tertutup. Dengan demikian dapat diketahui bahwa adopsi teknologi tinggi dalam sistem perkandangan ayam ras pedaging sudah mulai dikembangkan oleh para peternak di Indonesia meskipun jumlahnya masih terbatas. Selain untuk keperluan non komersial, sistem kandang tertutup juga di bangun oleh Institut Pertanian Bogor (IPB) yang
bekerjasama dengan PT. Charoen Pokphand Indonesia guna keperluan penelitian dan pengembangan di bidang peternakan ayam. (b) Pembibitan Pengembangan IPTEK pada industri pembibitan bertujuan untuk menghasilkan produk akhir yang berkualitas tinggi. Namun, ketersediaan teknologi pembibitan di Indonesia dapat dikatakan masih sangat terbatas, hal ini diindikasikan dengan masih banyaknya DOC yang berasal dari impor. Selain aspek produksi DOC, teknologi pembibitan juga ditujukan untuk menyeleksi kualitas DOC. Kegiatanya meliputi sexing DOC yaitu teknik pemisahan jantan dan betina yang bertujuan untuk mendukung optimalisasi performa ayam ras pedaging. Kegiatan sexing ini terdiri dari sexing kloaka dan sexing bulu. Sexing kloaka memiliki tingkat kesulitan yang lebih tinggi dibandingkan sexing bulu sehingga harus melibatkan orang (chick sexer) yang memiliki pengalaman dalam menentukan jenis kelamin, sedangkan sexing bulu metodenya sangat mudah sehingga dapat dipelajari oleh anak kandang namun tingkat kesalahannya relatif lebih besar karena karakteristik bulu DOC jantan dan betina sangat identik. Kegiatan sexing biasanya dilakukan oleh perusahaan pembibitan dan perusahaan budidaya, karena jumlah perusahaan pembibitan di Indonesia masih terbatas dan teknologi pembibitan yang canggih juga masih terbatas pada perusahaan besar maka penerapan teknologi sexing kloaka ini juga masih terbatas pada perusahaan besar saja. Sedangkan di perusahaan budidaya sexing dilakukan setelah ayam berumur empat atau enam minggu atau ayam sudah menunjukkan karakteristik sekundernya. Keterlambatan sexing ini turut mempengaruhi
performa ayam yang dihasilkan dan efisiensi budidaya yang dilakukan, karena pemeliharaan ayam yang tidak terpisah akan menimbulkan kerugian seperti sulitnya efisiensi penggunaan pakan karena adanya persaingan yang tidak seimbang antara ayam jantan dan betina. (c) Pakan Pakan yang berkualitas diperoleh dari bahan baku yang baik dan teknologi pengolahan yang menunjang. Penerapan teknologi pakan di tingkat pabrik pakan (Feedmill) di Indonesia sudah berkembang dengan cukup baik, namun penyediaan bahan bakunya sangat tidak memadai terutama untuk penyediaan jagung. Hal ini juga terkait dengan masih kurang memadainya teknologi yang menunjang pengadaan jagung berkualitas seperti masih terbatasnya penyediaan silo dan mesin pengering (dryer). Untuk mencoba mengatasi permasalahan tersebut, kegiatan penerapan teknologi pada industri pakan ayam yang tengah dilakukan oleh beberapa pabrik pakan di Indonesia adalah riset terhadap bahan baku pakan pengganti seperti polard, copra meal, BIS, lumpur sawit atau solid heavy paste, dan dedak padi yang bertujuan untuk mencari teknologi yang mampu menutupi kekurangan bahan tersebut sehingga dapat digunakan sebagai pengganti jagung yang saat ini semakin sulit keberadaanya. Berkat adanya dukungan teknologi dan penyerapan informasi dari negara lain, saat ini di Indonesia tengah diusahakan bahan baku pakan ternak yang lebih murah dan efisien yaitu keli meal. Teknologi produksi keli meal yang diadopsi dari negara Malaysia ini sama dengan teknologi produksi yang diterapkan untuk produksi fish meal di Indonesia. Sedangkan sistem integrasinya sama dengan sistem balong ayam (longyam) yaitu ikan keli yang
dipelihara memakan kotoran ayam sedangkan hasil panen ikan keli digunakan untuk membuat keli meal, dengan demikian biaya produksi dapat ditekan. Penerapan teknologi lainnya yang telah dilakukan dalam industri pakan dalam negeri adalah riset yang dilakukan oleh Evialis (Perusahaan internasional pemilik Citra Ina Feedmill) yang melakukan riset hingga penggunaan pakan di tingkat peternak yang menggunakan kandang terbuka sehingga efek pakan terhadap performa ayam yang didapatkan sesuai dengan kenyataan di lapangan (Poultry Indonesia, 2007). Berbeda dengan ayam ras petelur, pakan untuk ayam ras pedaging tidak dapat dilakukan dengan cara membuat sendiri karena untuk menghasilkan bentuk dan kecernaan yang sesuai dengan kebutuhan ayam diperlukan diperlukan keterlibatan teknologi tinggi, untuk itu ketersediaan pengetahuan dan teknologi tinggi yang dimiliki pabrik pakan sehingga dapat menghasilkan pakan berkualitas sangat diperlukan dan hal itu sudah banyak dimiliki oleh pabrik pakan di dalam negeri. Salah satu contoh nyata yang membuktikan adanya perkembangan hasil penelitian dan teknologi terhadap pakan unggas adalah, semakin menurunnya angka Food Convertion Ratio (FCR) pada pakan ayam dibandingkan beberapa tahun kebelakang, hal ini berarti angka efisiensi pakan semakin meningkat. Data perbaikan laju Average Daily Gain (ADG) dan Feed Convertion Ratio (FCR) dapat dilihat pada Tabel 27.
Tabel 27. Laju Average Daily Gain (ADG) dan Feed Convertion Ratio (FCR) Umur Saat Mencapai 1800 Gram FCR (Hari) 1950 84 3,25 1960 70 2,50 1970 59 2,20 1980 51 2,10 1990 43 1,95 2000 35 1,65 2010* 28 1,50 Sumber : Infovet, 2008 Keterangan : [*] Angka perkiraan ADG : Laju pertumbuhan harian (gram) FCR : Rasio perbandingan kg pakan untuk pembentukan 1 kg daging ayam Tahun
(d) Obat-obatan dan Vaksin Kemajuan IPTEK pada industri obat-obatan dan vaksin hewan di Indonesia berkembang sangat pesat, hal ini dibuktikan dengan tersedianya pabrikpabrik obat dan vaksin yang mampu menghasilkan produk berkualitas bahkan telah dapat menembus pasar luar negeri. Namun sangat disayangkan, seperti halnya bahan baku pakan, bahan baku untuk pembuatan obat-obatan dan vaksin hewan masih sepenuhnya tergantung dari komponen impor. Pengembangan dan pemanfaatan obat-obatan dan vaksin hewan lokal masih belum berjalan sesuai dengan harapan. Hasil inovasi Badan Penelitian dan Pengembangan merupakan salah satu alternatif strategi pengembangan yang diusulkan karena pengembangan obatobatan dan vaksin hewan tersebut teelah disesuaikan dengan kondisi dan iklim di Indonesia. Saat ini para peneliti di tanah air sedang mengembangkan suatu terobosan baru dalam rangka menghasilkan suatu feed aditive atau aditif pakan yang mampu berperan sebagai pemacu pertumbuhan yang aman bagi konsumen, hal ini dilakukan karena saat ini penggunaan antibiotik growth promotant (AGP) telah dilarang penggunaanya oleh berbagai negara di dunia karena sifatnya yang
dapat terakumulasi menyebabkan orang yang mengkonsumsi daging ayam yang banyak mengandung antibiotik resisten terhadap antibiotik yang bersangkutan. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa pakar dan peneliti diperoleh temuan yang berupa natural growth promotor, diantaranya adalah asam organik, immun modulator, probiotik, prebiotik, dan fitobiotik. Bahan-bahan alami yang diperoleh dari hasil penelitian tersebut diyakini mampu berfungsi seperti antibiotik namun dengan hasil yang lebih aman. Penemuan yang besar tersebut dan didukung dengan kekayaan alam yang dimiliki bangsa Indonesia seperti tersedianya keanekaragaman tumbuhan yang merupakan salah satu sumber natural growth promotor mampu membantu industri peternakan ayam ras pedaging dalam menghasilkan produk yang berdayasaing di pasar internasinal. (e) Pascapanen dan Pengolahan Satu hal yang juga tidak boleh terlupakan dalam mata rantai agribisnis ayam ras pedaging adalah industri pascapanen atau pengolahan. Teknologi yang diterapkan pada industri pascapanen atau pengolahan ayam ras pedaging di Indonesia tengah diarahkan kepada perbaikan atau restrukturisasi industri hilir yang mengarah kepada pola ASUH. Penerapan teknologi pascapanen dan pengolahan ayam yang sesuai dengan standar Good Manufacturing Practice (GMP) di Indonesia diantaranya adalah RPA dengan prinsip konsep System, Equipment, and Commitment (SEC) yaitu pemotongan harus dilakukan dengan sistem yang standar, peralatan yang standar, serta ditopang oleh komitmen yang tinggi untuk konsisten terhadap kualitas sistem dan peralatan demi tercapainya sebuah produk yang ASUH. RPA merupakan penentu dari proses panjang perjalanan peternakan ayam, karena bagaimana pun sehatnya ayam yang
dipelihara, jika ditingkat RPA (subsistem hilir) pemotongannya tidak memenuhi kriteria pemotongan maka kecenderungan menimbulkan penyakit akan besar. Prosedur pemotongan
yang halal dan
higienis ditujukan
untuk
menghasilkan produk yang halal, sehat, dan aman untuk dikonsumsi hal ini merujuk pada kaidah sertifikasi jaminan keamanan pangan yang berupa HACCP dan ISO 22000 terutama untuk pemenuhan ekspor. Berdasarkan Nomor Kontrol Veteriner (NKV) Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner, Departemen Pertanian, jumlah RPA yang memenuhi persyaratan teknis higiene dan sanitasi hanya kurang lebih 19 buah dengan kapasitas 20.000-30.000 ekor/hari dan sedangkan jumlah RPA tradisional. Keterbatasan RPA higienis yang ada di Indonesia juga menjadi faktor penghambat dayasaing komoditas ayam ras pedaging Indonesia di pasar internasional. Kualitas karkas yang ASUH dalam jumlah yang mencukupi akan sulit diperoleh dengan keterbatasan RPA yang higienis. Karena sebagian besar peternak ayam ras pedaging di Indonesia merupakan peternak rakyat dengan keterbatasan modal yang dimiliki, maka peran pemerintah dalam rangka membantu memajukan industri hilir ini adalah dengan mendirikan RPA bersama dengan tetap memperhatikan teknik pemotongan atau proses pemotongan yang halal dan memenuhi aspek kesehatan. Hal yang akan dilakukan oleh pemerintah adalah dengan merelokasi RPA yang tidak resmi hal ini berdasar pada Peraturan Gubernur No. 146/2007 (Pergub DKI) pada 13 November 2007 yang merupakan petunjuk pelaksanaan dari Perda DKI No.4/2007 yang berisi aturan relokasi RPA dan TPnA dan menata distribusi unggas ke Jakarta, salah satunya adalah pemusatan RPA di daerah Rawa Kepiting,
Jakarta Timur dan pemusatan TPnA di PD. Dharma Jaya di Cakung, Jakarta Timur. Dengan kebijakan seperti ini diharapkan industri hilir yang berupa industri RPA menjadi lebih baik lagi. Selain industri RPA, teknologi pascapanen dan pengolahan juga mulai dikembangkan pada industri pengolahan ayam. Hal ini terbukti dengan semakin banyaknya produk olahan asal daging ayam yang mulai membanjiri pasar dalam negeri seperti sosis ayam, bakso ayam chicken nugget, corned chicken, smoke chicken, chicken burger, dan sebagainya. Industri ini hanya dilakukan oleh beberapa perusahaan dengan menggunakan teknologi yang sangat maju. c. Ketersediaan Sumber-Sumber Pengetahuan dan Teknologi Ketersediaan sumber IPTEK dalam kaitannya dengan perkembangan kemajuan agribisnis ayam ras pedaging sangat diperlukan. Sumber-sumber IPTEK yang berkaitan dengan agribisnis ayam ras pedaging di Indoesia cukup tersedia dan memberikan kinerja yang cukup baik dalam penyediaan informasi yang berkaitan dengan ruang lingkup agribisnis ayam ras pedaging. Beberapa instansi yang terlibat dan dapat menjadi sumber IPTEK bagi agribisnis ayam ras pedaging berdasarkan spesifikasi masing-masing industri yang berada di dalamnya diantaranya adalah : (a) Sumber IPTEK bagi industri pembibitan adalah Gabungan Perusahaan Perbibitan Unggas Indonesia (GPPU) (b) Sumber IPTEK bagi industri pakan adalah Gabungan Perusahaan Makanan Ternak Indonesia (GPMT) (c) Sumber IPTEK bagi industri obat-obatan dan vaksin adalah Asosiasi Obat Hewan Indonesia (ASOHI)
(d) Sumber IPTEK bagi industri budidaya atau pemeliharaan adalah Perhimpunan Peternak Unggas Indonesia (PPUI), Gabungan Perusahaan Perunggasan Indonesia (GAPPI), Masyarakat Perunggasan Indonesia (MAPERINDO), Gabungan Organisasi Peternak Ayam Nasional (GOPAN), Asosiasi Peternak Ayam Ciamis (PPAN), Asosiasi Peternak Ayam Yogyakarta (APAYO), Perhimpunan Peternak Unggas Nusantara (PPUN). (e) Sumber IPTEK bagi industri pascapanen dan pemasaran adalah Gabungan Perusahaan Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) (f) Sumber informasi pasar dan pemasaran adalah Pusat Informasi Pemasaran Hasil Unggas (Pinsar Unggas Nasional) (g) Sumber informasi IPTEK lainnya adalah Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian, Balai Penelitian Veteriner (Balitvet), Perguruan Tinggi, Lembaga Statistik, Majalah peternakan dan kesehatan hewan (Infovet, Poultry Indonesia, TROBOS, dan sebagainya), Internet, dan sumber-sumber lainnya. Meskipun hampir setiap industri yang terkait dalam agribisnis ayam ras pedaging memiliki sumber IPTEK yang langsung terkait dengan industri tersebut, namun tidak tertutup kemungkinan untuk industri lain memperoleh informasi karena antara satu industri dengan industri yang lain dan antara sumber IPTEK yang satu dengan sumber IPTEK yang lain saling terkait. Banyaknya sumber IPTEK yang terkait dengan agribisnis ayam ras pedaging di Indonesia menandakan bahwa usaha ini merupakan usaha yang sangat potensial dan mendapatkan dukungan dari berbagai pihak untuk senantiasa ditingkatkan pengusahaannya.
(4) Sumberdaya Modal Tidak dapat dipungkiri bahwasanya modal merupakan faktor yang sangat menentukan berdiri dan berkembangnya suatu usaha. Permodalan di sektor peternakan termasuk pada agribisnis ayam ras pedaging dirasakan masih lemah, hal ini terlihat dari masih banyaknya para pelaku agribisnis ayam ras pedaging khususnya pada subsistem budidaya yang menjalankan usahanya dalam skala kecil karena keterbatasan modal yang dimilikinya. Keterbatasan modal memang merupakan masalah yang tidak bisa lepas dalam dunia pertanian di Indonesia. Pola pemikiran para peternak yang masih konvensional menyebabkan lembaga permodalan di Indonesia seperti bank yang enggan memberikan bantuan permodalan kepada para peternak karena berdasarkan pengalaman yang ada selama ini kebanyakan dari peternak sulit untuk mengembalikan pinjaman modalnya kepada bank, terlebih agribisnis ayam ras pedaging khususnya di subsistem budidaya merupakan usaha yang sangat rentan terhadap kegagalan panen hal ini terkait dengan sifat dan karakteristik produk agribisnis yang hasil produksinya selalu tidak pasti atau sesuai keadaan alam. Sebagai upaya dalam rangka mengatasi kendala permodalan tersebut, saat ini di Indonesia telah banyak dilakukan suatu pendekatan yang disebut pola kerjasama kemitraan. Pola kemitraan ini merupakan kerjasama antara pihak perusahaan bermodal kuat dengan pihak peternak rakyat yang bermodal lemah. Kerjasama saling menguntungkan ini dilakukan dengan tujuan untuk memperkuat agribisnis ayam ras pedaging dalam negeri sehingga dapat bersaing di pasar global. Inti dari kerjasama ini adalah pihak perusahaan besar yang memiliki modal kuat memberikan bantuan permodalan kepada peternak rakyat agar peternak
rakyat dapat menjalankan usaha budidaya untuk selanjutnya pengembalian modal kepada perusahaan besar disesuaikan berdasarkan perjanjian kerjasama semula. Di Indonesia pola kemitraan yag banyak diterapkan pada agribisnis ayam ras pedaging pola kemitraan inti-plasma, poultry shop, dan sewa kandang. Namun dengan telah dilakukannya pola kerjasama kemitraan bukan berarti tidak ada lagi masalah yang terjadi. Pada kenyataannya, seringkali terjadi penyimpangan kerjasama dari perjanjian yang telah disepakati semula. Pada awal penanaman modal, kesetaraan merupakan syarat mutlak dalam perjanjian yang akan disepakati bersama. Namun pada prakteknya para peternak seringkali hanya berperan sebagai tenaga kerja yang dibayar untuk memelihara ayam milik perusahaan besar. Hal ini merupakan penyimpangan yang seharusnya tidak terjadi karena dapat menjadi penghambat maju dan berkembangnya agribisnis ayam ras pedaging di Indonesia. (5) Sumberdaya Infrastruktur Sumberdaya infrastruktur meliputi sarana dan prasarana yang digunakan dalam kegiatan agribisnis ayam ras pedaging. Sarana dan prasarana tersebut berperan bagi seluruh subsistem agribisnis baik subsistem hulu, subsistem budidaya, subsistem hilir, maupun subsistem penunjangnya. Infrastruktur subsistem hulu yaitu industri pembibitan (DOC FS dan DOC PS), industri pakan, dan industri obat-obatan dan vaksin hewan pada agribisnis ayam ras pedaging di Indonesia telah tersedia dan memadai dengan penggunaan teknologi yang mutakhir meskipun semua dimiliki oleh perusahaan besar yang meskipun jumlahnya tergolong minoritas namun pangsa pasarnya mendominasi pasar ayam ras pedaging baik di dalam maupun di luar negeri. Infrastruktur yang tidak
mendukung adalah terletak pada sektor penyedia bahan baku atau komponen yang dibutuhkan industri di subsistem hulu seperti terbatasnya penyediaan jagung lokal karena kurang memadainya silo dan alat pengering jagung serta masih belum dimilikinya teknologi pembibitan GPS. Pada subsistem budidaya, infrastruktur yang memadai juga telah dimiliki oleh perusahaan besar seperti penggunaan sistem kandang tertutup dengan peralatan dan perlengkapan pendukung yang menggunakan teknologi tinggi sedangkan pada peternak rakyat sarana dan prasarana perkandangan, peralatan, dan perlengkapannya masih tradisional. Di subsistem pascapaen, tidak jauh berbeda dengan subsistem lainnya dimana teknologi canggih sudah diterapkan pada RPA modern yang dimiliki perusahaan besar sedangkan peternak rakyat hanya memiliki TPA sederhana yang tidak menerapkan konsep ASUH. Sarana dan prasarana pendukung lainnya seperti jalan, jembatan, dan pelabuhan secara umum masih kurang memadai dan minim. Secara keseluruhan dapat diketahui bahwa infrastruktur yang baik dan memadai hanya dimiliki oleh perusahaan besar, karena pola pengusahaannya telah sesuai dengan sifat agribisnis ayam ras pedaging di Indonesia yaitu integrasi antar subsistemnya, sedangkan infrastruktur agribisnis ayam ras pedaging skala peternak rakyat secara umum dirasakan masih belum memadai untuk mendukung terciptanya produk yang berdayasaing di pasar internasional.
6.7.2. Kondisi Permintaan Faktor kondisi permintaan yang mempengaruhi dayasaing komoditas ayam ras pedaging nasional adalah :
(1) Komposisi Permintaan Domestik Karakteristik permintaan domestik sangat mempengaruhi dayasaing komoditas daging ayam ras pedaging nasional. Karakteristik permintaan domestik meliputi : a. Struktur Segmen Permintaan Permintaan domestik terhadap segmentasi produk ayam ras pedaging terbagi menjadi dua bagian, yaitu daging ayam dan produk keluaran lain (bulu ayam dan kotoran ayam). Meskipun terdapat dua hasil output dari usaha budidaya ayam ras pedaging ini tetapi yang menjadi fokus dan tujuan utama dilakukannya usaha budidaya ayam ras pedaging ini adalah untuk memenuhi permintaan konsumen akan kebutuhan daging ayam, sedangkan produk keluaran lain merupakan output sampingan atau tambahan. Daging ayam ras pedaging di dalam negeri hampir sebagian besar dijual dalam bentuk karkas ayam (ayam utuh), bentuk lainnya adalah ayam dalam bentuk potongan (bagian paha, sayap, dada), jeroan, daging ayam olahan (sosis ayam, bakso ayam chicken nugget, corned chicken, smoke chicken, chicken burger), dan ada juga dalam bentuk ayam hidup. Segmentasi konsumen dibedakan menjadi konsumen menengah ke atas dan konsumen menengah ke bawah. Untuk konsumen menengah ke atas umumnya melakukan pembelian di pasar swalayan atau supermarket dalam bentuk karkas, daging ayam potongan, maupun daging ayam olahan. Sedangkan untuk konsumen menengah ke bawah umumnya membeli ayam di pasar tradisional dalam bentuk karkas, jeroan, atau ayam hidup.
b. Pengalaman dan Selera Pembeli yang Tinggi Selera masyarakat terhadap produk daging ayam semakin bervariasi. Hal ini dapat terlihat dari semakin beragamnya produk daging ayam olahan yang dipasarkan dengan berbagai variasi rasa. Selain selera konsumen yang semakin beragam, tuntutan konsumen terhadap berbagai atribut produk seperti terjaminnya kehalalan, higienitas, dan keamanan produk daging ayam yang dikonsumsi juga turut memberikan tekanan kepada produsen untuk lebih berinovasi dalam menghasilkan produk yang dapat memenuhi kebutuhan dan selera pasar. Atribut kehalalan merupakan salah satu atribut yang menandakan bahwa konsumen di Indonesia memiliki kultur yang sama dengan konsumen di beberapa negara tujuan ekspor Indonesia yaitu negara di kawasan Timur Tengah. c. Antisipasi Kebutuhan Pembeli Antisipasi perusahaan dalam negeri masih kurang baik dalam memenuhi kebutuhan pembeli. Di Indonesia, perusahaan yang mampu menyediakan komoditas daging ayam yang sesuai dengan standar dan selera konsumen luar negeri masih sangat terbatas jumlahnya. (2) Internasionalisasi Permintaan Domestik Pembeli lokal yang merupakan pembeli dari luar negeri merupakan salah satu faktor pendorong peningkatan dayasaing komoditas daging ayam ras pedaging nasional karena pembeli tersebut dapat membawa produk domestik ke luar negeri (ke negaranya). Biasanya internasionalisasi permintaan domestik terhadap komoditas daging ayam ras pedaging ini dilakukan dengan melalui promosi karena konsumen asing tersebut merasa puas dengan cita rasa daging ayam Indonesia. Dengan mobilitasnya yang cukup tinggi, konsumen asing akan
turut membantu peningkatan dayasaing komoditas daging ayam ras pedaging Indonesia karena informasi baik yang dimilikinya akan mungkin tersebar hingga ke berbagai daerah.
6.7.3. Industri Terkait dan Industri Pendukung (1) Industri Terkait Industri terkait merupakan industri yang berada dalam sistem agribisnis ayam ras pedaging secara vertikal. Diantara subsistem yang terkait dengan subsistem budidaya (budidaya) tersebut adalah subsistem hulu (industri pembibitan, industri pakan, industri obat-obatan dan vaksin, dan industri peralatan budidaya atau produksi/perkandangan) dan subsistem hilir (industri pascapanen dan pengolahan ayam). a. Subsistem Hulu Subsistem hulu berperan dalam menjamin tersedianya penyediaan bibit yang berupa DOC, penyediaan pakan, penyediaan obat-obatan dan vaksin, dan penyediaan peralatan budidaya atau produksi/perkandangan. •
Industri Pembibitan Perusahaan pembibitan penghasil DOC PS dan DOC FS di Indonesia telah
cukup memadai. Namun teknologi yang ada masih terbatas pada teknologi pembibitan DOC PS dan DOC FS sehingga DOC GPS yang harganya sangat mahal masih harus didatangkan dari luar negeri. Masih adanya ketergantungan terhadap DOC impor khususnya untuk DOC GPS menyebabkan industri yang belum sepenuhnya kuat mendukung agribisnis ayam ras pedaging Indonesia untuk bersaing di pasar internasional. Beberapa perusahaan yang bergerak di bidang pembibitan diantaranya adalah PT. Anwar Sierad, PT. Cibadak Indah Sari Farm,
PT. Charoen Pokphand Jaya Farm, dan PT. Hybro. Daftar perusahaan pembibit ayam ras pedaging dapat dilihat pada Lampiran 3. •
Industri Pakan Keberadaan Industri pakan yang mampu menghasilkan pakan berkualitas
mutlak diperlukan dalam rangka menghasilkan komoditas yang berdayasaing tinggi di pasar internasional. Di Indonesia jumlah pabrik pakan dengan teknologi maju sudah cukup memadai, namun masih terkendala pada penyediaan bahan baku yang menjadi komponen pembuatan pakan. Kondisinya adalah tidak jauh berbeda dengan industri pembibitan. Masih besarnya ketergantungan terhadap bahan baku pakan impor menyebabkan harga pakan di dalam negeri menjadi tidak kompetitif, akibatnya biaya produksi tidak efisien. Kondisi seperti ini tidak mendukung komoditas daging ayam ras pedaging Indonesia untuk bersaing di pasar internasional. Beberapa perusahaan yang bergerak di bidang pembuatan diantaranya adalah PT.Caroen Pokphand Indonesia, PT.Gold Coin Indonesia, PT.Cargill Indonesia. •
Industri Obat-obatan dan Vaksin Seperti halnya industri pembibitan dan industri pakan, industri obat-obatan
dan vaksin juga masih mengandalkan bahan baku yang berasal dari impor. Meskipun pabrik-pabrik pembuatan obat-obatan dan vaksin hewan cukup tersedia di Indonesia dengan teknologi yang cukup maju, namun karena penggunaan komponen utamanya masih berasal dari impor menyebabkan harga jual obatobatan dan vaksin hewan di dalam negeri menjadi tidak kompetitif. Beberapa pabrik obat dan vaksin hewan yang terdapat di Indonesia diantaranya adalah PT. Sanbe Farma, Sierad Biotek, dan Mensana Aneka Satwa.
• Industri Peralatan Budidaya/Produksi dan Perkandangan Secara umum industri pembuatan alat-alat budidaya dan perkandangan di Indonesia sudah memadai, baik pabrik yang menghasilkan peralatan sederhana maupun peralatan budidaya dan perkandangan dengan teknologi tinggi. Beberapa pabrik pembuat alat-alat budidaya dan perkandangan tersebut diantaranya adalah PT. Multi Sarana Sejahtera, PT. Charoen Pokphand Indonesia, PT. Cakar Mas, dan PT. Sierad Industries. Tersedianya pabrik pembuat alat-alat budidaya dan perkandangan yang memadai sangat mendukung dayasaing komoditas daging ayam ras pedaging Indonesia. Secara umum dapat diketahui bahwa ketersediaan industri terkait yang berada di subsistem hulu sudah cukup memadai jumlahnya. Namun karena masih besarnya ketergantungan industri di subsistem hulu terhadap bahan baku impor menyebabkan industri di subsistem hulu tidak sepenuhnya dapat mendukung subsistem budidaya karena harga jual input yang ditawarkan tidak kompetitif. b. Subsistem Hilir Ketersediaan industri yang bergerak dalam subsistem hilir yang memadai dan memiliki dayasaing global akan turut mendorong subsistem hulunya ke arah persaingan global juga. Industri yang bergerak di subsistem hilir dalam agribisnis ayam ras pedaging ini terdiri dari industri RPA dan industri pengolahan ayam. • Industri RPA Ketersediaan RPA yang mampu memenuhi syarat sesuai Standar Operating Procedure (SOP) nasional dan internasional yang didukung dengan peralatan dan teknologi tinggi masih sangat terbatas jumlahnya di Indonesia. Kebanyakan bangunan yang digunakan untuk pemotongan ayam adalah bangunan
sederhana dengan peralatan seadanya dan higienitas yang tidak terjamin atau yang biasa disebut TPA atau TPnA. Hal ini merupakan kendala yang dihadapi dalam menghasilkan karkas ayam yang berstandar ekspor. RPA yang terdapat di Indonesia dimiliki oleh pihak swasta baik perorangan maupun perusahaan peternakan yang usahanya telah terintegrasi karena modal yang dimilikinya sangat besar. RPA tersebut pada umumnya telah memiliki mesin modifikasi maupun full automatic dengan kapasitas potong 2.000-8.000 ekor/jam. Beberapa RPA yang menghasilkan karkas ayam dengan standar kualitas ekspor diantaranya adalah Royan Chicken Processing (Yogyakarta), PT. Charoen Pokphand Indonesia (Jakarta), PT. Wonokoyo (Surabaya), PT. Sierad Produce (Parung), PT. Jaya Protena (Serpong), PT. Starfood (Cibinong), PT. Kartika Dharma (Srengseng), PT. Hibrida Niaga (Cibinong), Nu Yan (Cianjur), PT. Prima Food (Serang), PT. Ciomas Adisatwa (Cikupa). Sedangkan TPA atau TPnA sederhana banyak dimiliki oleh peternak dengan skala usaha kecil atau para pedagang pengumpul dan kebanyakan terdapat di dekat lokasi usaha budidaya ayam ras pedaging dan pada umumnya keberadaanya tidak terdaftar atau tidak resmi. Jumlah RPA yang jauh lebih sedikit dibandingkan jumlah TPA atau TPnA mengindikasikan bahwa karkas ayam yang dihasilkan di Indonesia kebanyakan belum dapat memenuhi standar kualitas ekspor. Dengan demikian diketahui bahwa keberadaan RPA di Indonesia masih kurang mendukung pengembangan dayasaing komoditas daging ayam ras pedaging Indonesia di pasar internasional. • Industri Pengolahan Ayam Jumlah perusahaan yang bergerak di bidang pengolahan ayam didominasi oleh perusahaan besar yang umumnya terintegrasi vertikal, meskipun ada juga
usaha skala rumah tangga yang bergerak pada sektor ini namun hasilnya belum mampu menandingi hasil produksi pabrik pengolahan besar baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Beberapa perusahaan yang bergerak di sektor pengolahan daging ayam diantaranya adalah PT. Sierad Produce, PT. Japfa Comfeed, PT. Wonokoyo, dan PT. Charoen Pokphand Indonesia. Namun demikian tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan industri pengolahan makanan turut memberikan nilai tambah bagi komoditas daging ayam ras pedaging. Pasar ekspor bagi produk daging ayam olahan masih terbuka lebar jika produsen daging ayam olahan mampu mengembangkan strategi pemasaran terhadap daging ayam olahan dengan menggaet mitra usaha dari negara-negara konsumen, terlebih konsumen luar negeri. Industri pengolahan ayam ternyata tidak terbatas pada industri pengolahan daging ayam saja, melainkan ada bagian lain yang berupa bulu ayam dan kotoran ayam yang juga dapat diolah lebih lanjut. Bagian bulu ayam dapat dimanfaatkan bagi industri pembuatan alat rumah tangga seperti kemoceng dan industri olah raga, sedangkan kotoran ayam dapat dimanfaatkan oleh industri pembuatan pupuk kandang. Secara keseluruhan, industri pengolahan ayam masih di Indonesia berorientasi pada pemenuhan konsumsi dalam negeri sehingga diperlukan pengembangan lebih lanjut untuk dapat menghasilkan produk yang berkualitas dan sesuai dengan permintaan pasar baik di dalam negeri maupun di luar negeri. (2) Industri Pendukung Industri pendukung agribisnis ayam ras pedaging terdiri dari industri jasa pemasaran, Industri jasa pendidikan, pelatihan, penelitian dan pengembangan, dan
industri pendukung lainnya. Keberadaan industri pendukung juga merupakan faktor penting yang terkait dengan penciptaan produk yang berdayasaing. •
Industri Jasa Pemasaran Industri jasa pemasaran terdiri dari para pelaku usaha yang berperan
sebagai perantara pemasaran komoditas daging ayam ras pedaging dari produsen hingga sampai ke tangan konsumen. Individu atau lembaga yang terlibat dalam industri jasa pemasaran komoditas daging ayam ras pedaging diantaranya adalah pedagang perantara, pedagang pengumpul, pemotong atau pedagang pengecer. •
Industri Jasa Pendidikan, Pelatihan, Penelitian dan Pengembangan. Lembaga pendidikan, pelatihan, penelitian dan pengembangan memegang
peranan penting di dalam pengembangan agribisnis ayam ras pedaging dalam rangka menciptakan komoditas daging ayam ras pedaging yang berdayasaing di pasar domestik dan pasar internasional. Lembaga pendidikan yang tersedia untuk mendukung kelangsungan dan peningkatan agribisnis ayam ras pedaging di Indonesia sudah cukup memadai, hal ini dapat terlihat dari tersedianya berbagai lembaga pendidikan yang berfokus pada studi mengenai bidang peternakan dan kedokteran hewan. Beberapa fakultas peternakan dan kedokteran hewan yang ada di Indonesia diantaranya terdapat di Institut Pertanian Bogor (Bogor), Universitas Syah Kuala (NAD), Universitas Udayana (Bali), Universitas Gajah Mada (DIY), dan universitas-universitas serta lembaga pendidikan lainnya. Dengan tersedianya lembaga pendidikan yang menunjang dapat dihasilkan sumberdaya manusia berkualitas seperti tenaga-tenaga ahli yang kompeten sehingga dapat membantu tumbuh dan berkembangnya agribisnis ayam ras pedaging di Indonesia dengan informasi teknologi dan inovasi yang dimilikinya.
Lembaga pelatihan mengenai agribisnis ayam ras pedaging yang tersedia di Indonesia berperan dalam memberikan pelatihan dan penyuluhan kepada para peternak khususnya peternak rakyat dengan tujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan para peternak. Kegiatan pelatihan umumnya dilakukan oleh Dinas Peternakan daerah setempat, Pusat Pembelajaran dan Pelatihan Masyarakat atau Community Training & Learning Center (CTLC), atau lembaga pelatihan yang diusahakan oleh perusahaan besar dengan tujuan untuk membantu para peternak mitranya. Lembaga penelitian dan pengembangan merupakan lembaga yang melakukan penelitian dalam rangka menyediakan inovasi-inovasi teknologi sesuai dengan kebutuhan agribisnis ayam ras pedaging. Beberapa lembaga penelitian dan pengembangan tersebut antara lain adalah BPPV Regional IV Yogyakarta, Balitvet Bogor, dan UPPAI. Tersedianya lembaga pendukung pada industri jasa pendidikan, pelatihan, penelitian dan pengembangan dalam agribisnis ayam ras pedaging telah cukup memadai baik dalam segi ketersediaan maupun kinerja. Sehingga dapat dikatakan bahwa lembaga-lembaga tersebut telah berjalan dengan cukup baik dalam mendukung perkembangan dan kemajuan agribisnis ayam ras pedaging Indonesia.
6.7.4. Persaingan, Struktur, dan Strategi Bersaing Komoditas Daging Ayam Ras Nasional Analisis yang digunakan untuk mengetahui persaingan, struktur, dan strategi bersaing komoditas daging ayam ras Indonesia adalah analisis industri atau yang dikenal dengan “The Five Competitive Forces” yaitu lima kekuatan atau faktor persaingan yang diperkenalkan oleh Porter. Kelima faktor persaingan
tersebut adalah ancaman pendatang baru, ancaman produk pengganti, posisi tawar pembeli, posisi tawar pemasok, persaingan dari perusahaan sejenis. (1) Ancaman Pendatang Baru Agribisnis ayam ras pedaging merupakan agribisnis yang dapat dijalankan oleh hampir seluruh masyarakat di dunia. Dengan waktu pemeliharaan yang relatif singkat dapat menghasilkan keuntungan yang relatif besar, terlebih bagi negara yang mampu berproduksi secara efisien. Meskipun rentan terhadap berbagai persoalan, namun banyak negara yang tetap tertarik untuk mengembangkan agribisnis ayam ras pedaging di negaranya. Thailand, merupakan salah satu negara yang akan menjadi pendatang baru potensial. Meskipun nilai ekspor Thailand belum cukup besar namun negara ini telah berhasil melenyapkan persoalan yang banyak dihadapi negara-negara di dunia, Thailand mampu mengatasi adanya serangan virus AI dengan baik. 2) Ancaman Produk Pengganti Datangnya produk impor dari negara lain seperti CLQ dan MDM jelas akan menjadi produk subtitusi yang mampu mengancam keberlangsungan agribisnis ayam ras pedaging dalam negeri. Harga jual yang ditawarkan merupakan faktor pemicu beralihnya konsumen domestik ke produk impor. Hal ini merupakan faktor penghambat berkembangnya agribisnis ayam ras pedaging Indonesia terutama untuk bersaing di pasar internasional. (3) Posisi Tawar Pembeli Negara-negara tujuan utama ekspor komoditas daging ayam ras Indonesia adalah negara-negara maju seperti Jepang dan kawasan Timur Tengah. Kebanyakan dari negara tersebut menetapkan standar yang cukup ketat untuk
produk yang akan masuk ke negaranya seperti faktor kehalalan, keamanan pangan, dan sebagainya. Di Indonesia, produsen yang mampu memenuhi standar tersebut masih terbatas jumlahnya sehingga banyak dari negara tujuan impor Indonesia yang beralih ke negara lain atau membatasi impor ayamnya dari Indonesia. (4) Posisi Tawar Pemasok Dalam hal pemasok, agribisnis ayam ras pedaging di Indonesia masih sangat tergantung kepada pemasok bahan baku dari luar negeri yang harganya relatif tinggi dan jumlah produsennya terbatas. Ketergantungan terhadap bahan baku impor disebabkan kualitas, ketersediaan, dan harga jagung produksi dalam negeri sangat fluktuatif dan tidak mencukupi. Selain jagung suplai bibit ayam sangat tergantung kepada impor begitu juga dengan ketersediaan bahan baku pembuatan obat-obatan dan vaksin yang belum memadai. (5) Persaingan dari Negara Lain Persaingan dalam perdagangan komoditas daging ayam ras dunia cukup ketat, hal ini terlihat dari masih dimonopolinya perdagangan daging ayam ras oleh beberapa negara yang menjadi pemimpin pasar seperti Brazil dan Amerika Serikat. Sebagai negara yang mampu memproduksi daging ayam ras dalam jumlah yang besar, Amerika Serikat melakukan praktek persaingan dengan melakukan ekspor produk buangannya (CLQ) ke negara lain. Praktek persaingan yang tidak sehat tersebut akan menjadi ancaman bagi negara-negara lain termasuk Indonesia untuk bisa bersaing di pasar bebas.
6.7.5. Peran Pemerintah Dalam rangka liberalisasi perdagangan dan pengembangan ekonomi domestik, dibutuhkan pemerintah yang kuat untuk pengembangan ekonomi domestik sekaligus untuk menghadapi perdagangan global.68 Peran serta pemerintah sebagai fasilitator, regulator, motivator pengawas perekonomian dalam upaya memajukan agribisnis ayam ras pedaging Indonesia sangat diharapkan. Saat ini peran pemerintah pusat dan pemerintah daerah belum terlihat maksimal. Namun telah ada upaya untuk mewujudkan peningkatan komoditas daging ayam ras pedaging yang berdayasaing. Melalui Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian pemerintah melakukan berbagai upaya pengembangan yang dilakukan mulai dari subsistem hulu hingga subsistem hilir. Beberapa langkah nyata yang telah diwujudkan pemerintah dalam mendukung kemajuan agribisnis ayam ras pedaging di Indonesia diantaranya adalah penyediaan areal tanam jagung seluas 27 juta hektar di seluruh wilayah di Indonesia, bantuan benih sebesar Rp. 380 miliar, serta pemberian bantuan alat-alat produksi pertanian termasuk silo yang jumlahnya mencapai 39 silo. Dalam hal pengendalian penyakit, Departemen Pertanian bekerjasama dengan FAO membentuk kelompok kerja yang bertugas untuk meneliti mengenai penyakit flu burung di Indonesia serta membantu para peternak dan masyarakat dalam menangani dan menanggulangi AI hingga ke daerah-daerah. Disamping langkah-langkah yang telah dilakukan tersebut, pemerintah juga membuat beberapa peraturan dan kebijakan yang mendukung pengembangan agribisnis ayam ras pedaging di Indonesia. Beberapa diantaranya adalah, 68
CSIS.
2002. Liberalisasi Perdagangan dan Pengembangan http://www.csis.or.id. Diakses pada tanggal 22 Januari 2008.
Ekonomi
Domestik.
UU Nomor 16 Tahun 1992 tentang karantina dan UU Nomor 7 Tahun 1996 tentang pangan yag mengatur pembatasan impor CLQ yang membanjiri pasar Indonesia. Sesuai dengan rekomendasi yang dikeluarkan oleh FAO dan Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (Office International des Epizooties/OIE) bahwa vaksinasi terhadap wabah penyakit Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI) dilakukan dengan menggunakan seed vaksin yang berasal dari Low Pathogenic Avian Influenza (LPAI) virus. Berdasarkan rekomendasi tersebut dan didukung oleh penelitian-penelitian terbatas yang dilakukan oleh beberapa ahli maka
pemerintah
Indonesia
mengubah
kebijakan
vaksinasinya
dengan
menggunakan vaksin yang berasal dari LPAI virus. Meskipun demikian pemerintah Indonesia akan terus melakukan monitoring dan evaluasi terhadap penggunaan vaksin tersebut. Kebijakan yang terkait dengan industri pemotongan hewan diantaranya adalah melakukan relokasi terhadap beberapa TPA dan TPnA yang ada di beberapa daerah seperti di Jakarta dengan memusatkan TPA dan TPnA dengan tujuan untuk meningkatkan kamanan dan menghasilkan produk yang sesuai standar kualitas nasional bahkan internasional. Dengan peran pemerintah tersebut diharapkan persoalan yang dihadapi oleh agribisnis ayam ras pedaging saat ini dapat teringankan. Selain pemerintah pusat, adanya peran dari pemerintah daerah yang selama ini masih belum optimal juga sangat diharapkan, karena agribisnis ayam ras pedaging telah tersebar hampir di seluruh wilayah di Indonesia.
6.7.6. Peran Kesempatan Peran kesempatan yang berada pada ruang lingkup agribisnis ayam ras pedaging Indonesia diantaranya adalah, datangnya era perdagangan bebas, meningkatnya angka pertumbuhan penduduk, dan adanya penemuan baru, akan dibentuknya perusahaan ayam halal bersama. (1) Datangnya Era Perdagangan Bebas Era perdagangan bebas membuat hampir seluruh bentuk perdagangan tidak ada batasnya. Dengan dihapuskannya hambatan perdagangan merupakan peluang bagi komoditas daging ayam ras pedaging untuk dapat diekspor ke negara lain. Namun, hal ini bukan berarti tidak lagi ada peraturan yang membatasi diberlakukannya era perdagangan bebas, salah satu contohnya adalah negara Jepang yang memberlakukan peraturan yang sangat ketat untuk produk yang akan masuk ke negaranya. (2) Adanya Penemuan Baru Penemuan baru merupakan peluang yang diharapkan akan dapat meningkatkan produktivitas dan efisiensi usaha agribisnis ayam ras pedaging. Beberapa penemuan baru pada agribisnis ayam ras pedaging diantaranya adalah ditemukannya vaksin AI yang berasal dari LPAI, vaksin ini berguna dalam membantu penanggulangan AI. Temuan lainnya adalah bahan baku pengganti jagung dan dedak padi yaitu BIS dan lumpur sawit atau solid heavy paste. Selain itu terdapat juga penemuan natural growth promotor sebagai pengganti antibiotik. Beberapa hasil temuan yang telah dilakukan penelitiannya oleh para peneliti tersebut didukung dengan ketersediaan sumber bahan bakunya di Indonesia. Penemuan baru tersebut diharapkan dapat diaplikasikan dalam agribisnis ayam ras
pedaging di dalam negeri, karena hal tersebut merupakan kesempatan besar yang dapat dimanfaatkan bagi terciptanya produk yang berdayasaing tinggi baik di pasar dalam negeri maupun pasar internasional. (3) Akan Dibentuknya Perusahaan Ayam Halal Bersama Indonesia beserta tiga negara ASEAN lainnya, yaitu Brunei Darussalam, Malaysia, dan Filipina yang tergabung dalam "East ASEAN Growth Area" akan mendirikan perusahaan ayam halal bersama agar bisa mengekspor ayam potong ke negara-negara di Timur Tengah. Belum adanya lisensi “ayam halal” bagi Indonesia menjadi salah satu ganjalan bagi peternak ayam ras pedaging nasional untuk mengekspor produknya ke Timur Tengah,69 sehingga rencana pembentukan perusahaan ayam halal bersama ini merupakan peluang besar bagi Indonesia untuk meningkatkan nilai ekspor ayamnya.
6.8. Analisis SWOT untuk Perumusan Strategi dan Kebijakan Analisis SWOT digunakan sebagai alat yang dapat digunakan untuk menganalisis faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dengan faktor eksternal (peluang dan ancaman) agribisnis ayam ras pedaging Indonesia sehingga diperoleh rumusan strategi yang dapat dimanfaatkan bagi peningkatan dayasaing komoditas daging ayam ras Indonesia di pasar internasional. Hasil Identifikasi faktor interal dan eksternal agribisnis ayam ras pedaging Indonesia disajikan dalam bentuk matriks SWOT pada Tabel 28.
69
I Wayan Suwarja 2006. Empat Negara Akan Bangun Perusahaan Peternakan Ayam Halal http://halalguide.info.Diakses pada tanggal 7 November 2007.
6.4.1. Analisis Faktor Internal dan Eksternal Agribisnis Ayam Ras Pedaging Indonesia Analisis faktor internal dan eksternal agribisnis ayam ras pedaging Indonesia bertujuan untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan serta peluang dan ancaman yang dihadapi oleh agribisnis ayam ras pedaging Indonesia sehingga diperoleh strategi yang mungkin dilakukan untuk meningkatkan dayasaing komoditas daging ayam ras Indonesia di pasar internasional. Analisis faktor internal dan eksternal agribisnis ayam ras pedaging Indonesia diperoleh dari hasil analisis struktur pasar, analisis keunggulan komparatif, dan analisis keunggulan kompetitif komoditas daging ayam ras Indonesia yang telah dilakukan sebelumnya. Setelah faktor internal dan eksternal teridentifikasi, tahap selanjutnya adalah pembentukan matriks SWOT. Adapun faktor internal dan eksternal agribisnis ayam ras pedaging Indonesia adalah sebagai berikut : (1) Analisis Faktor Internal Analisis faktor internal agribisnis ayam ras pedaging Indonesia meliputi analisis kekuatan dan analisis kelemahan, yaitu sebagai berikut : a. Analisis Kekuatan 1. Agribisnis Unggas Terbesar di Indonesia (Populasi, Produksi, Pengusahaan) Persyaratan lokasi perkandangan yang tidak terlalu menuntut syarat spesifik seperti iklim tertentu atau wilayah tertentu, serta tidak menuntut biaya yang terlalu mahal (dapat dibuat dari bahan-bahan sederhana) merupakan salah satu faktor pendukung berkembangnya agribisnis ayam ras pedaging di Indonesia. usaha budidaya ayam ras pedaging dapat dilakukan di seluruh wilayah di Indonesia baik oleh peternak rakyat maupun oleh perusahaan besar, sehingga
tidak mengherankan apabila populasi, produksi, dan pengusahaannya merupakan yang terbesar di Indonesia. 2. Sumberdaya Alam Mendukung Sumberdaya peternakan Indonesia sangat mendukung kelangsungan agribisnis ayam ras pedaging. Hal ini dapat terlihat dari lahan yang luas masih tersedia untuk ditanami jagung dan kedelai sebagai bahan baku utama pakan ayam, tersedianya benih jagung hibrida dan kedelai berkualitas, ketersediaan lumpur sawit dan BIS sebagai bahan baku pakan pengganti melimpah, dan tersedianya keanekaragaman tumbuhan yang merupakan salah satu sumber natural growth promotor. 3. Berkembangnya Pola Kemitraan Pola kemitraan merupakan kerjasama antara pihak perusahaan bermodal kuat dengan pihak peternak rakyat yang bermodal lemah. Kerjasama saling menguntungkan ini dilakukan dengan tujuan untuk memperkuat agribisnis ayam ras pedaging dalam negeri sehingga dapat bersaing di pasar global. Saat ini pola kemitraan baik yang berbentuk inti-plasma maupun poultry shop banyak dijalankan di Indonesia. 4. Upah Tenaga Kerja Murah Biaya tenaga kerja di Indonesia terbilang kompetitif sehingga merupakan kekuatan yang dapat dimanfaatkan dalam menciptakan komoditas yang berdayasaing tinggi. Karena jumlah penduduk Indonesia sangat banyak dan tidak sebanding dengan jumlah lapangan kerja yang tersedia, maka kebanyakan dari tenaga kerja di Indonesia bersedia untuk dibayar murah atau berdasarkan upah minimum regional (UMR).
5. Adanya Keserasian Sosial Budaya dengan Negara Lain Keserasian sosial budaya dengan negara lain merupakan faktor kekuatan yang membantu Indonesia untuk menembus pasar ekspor terutama negara-negara di kawasan Timur Tengah. Atribut kehalalan yang sangat diperhatikan oleh konsumen Indonesia serasi dengan konsumen di negara-negara tujuan ekspor Indonesia, seperti kawasan Timur Tengah. 6. Aksesibilitas Terhadap Sumber IPTEK Memadai Aksesibilitas terhadap sumber IPTEK yang mudah merupakan faktor kekuatan yang membantu pelaku agribisnis menjalankan bahkan meningkatkan usahanya. Sumber-sumber IPTEK mengenai agribisnis ayam ras pedaging dapat diperoleh dengan relatif mudah melalui bantuan lembaga-lembaga terkait seperti Pinsar Unggas Nasional, GPPU, GPMT, ASOHI, PPUI, GAPMMI Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian, Balitvet, Perguruan Tinggi, Lembaga Statistik, dan sumber-sumber lainnya. Banyaknya sumber IPTEK yang terkait dengan agribisnis ayam ras pedaging di Indonesia menandakan bahwa usaha ini merupakan usaha yang sangat potensial dan mendapatkan dukungan dari berbagai pihak untuk senantiasa ditingkatkan pengusahaannya. 7. Industri Jasa Pendidikan, Pelatihan, Penelitian dan Pengembangan yang Memadai dan Telah Berperan Baik Tersedianya lembaga pendukung pada industri jasa pendidikan, pelatihan, penelitian dan pengembangan dalam agribisnis ayam ras pedaging telah cukup memadai baik dalam segi ketersediaan maupun kinerja. Di Indonesia telah banyak tersedia lembaga pendidikan yang berfokus pada studi mengenai bidang peternakan dan kedokteran hewan seperti Institut Pertanian Bogor (Bogor), Universitas Syah Kuala (NAD), Universitas Udayana (Bali), Universitas Gajah
Mada (DIY), dengan tersedianya lembaga pendidikan yang menunjang dapat dihasilkan sumberdaya manusia berkualitas seperti tenaga-tenaga ahli yang kompeten sehingga dapat membantu tumbuh dan berkembangnya agribisnis ayam ras pedaging di Indonesia dengan informasi teknologi dan inovasi yang dimilikinya. Lembaga pelatihan telah banyak berperan dalam memberikan pelatihan dan penyuluhan kepada para peternak khususnya peternak rakyat, lembaga penelitian dan pengembangan berperan dalam menemukan inovasi baru yang membantu meningkatkan kinerja agribisnis ayam ras pedaging Indonesia. 8. Kebijakan Pemerintah yang Mendukung Agribisnis Ayam Ras Pedaging Dalam Negeri Kebijakan pemerintah yang mendukung agribisnis ayam ras pedaging dalam negeri diantaranya adalah penetapan UU Nomor 16 Tahun 1992 tentang karantina dan UU Nomor 7 Tahun 1996 tentang pangan yag mengatur pembatasan impor CLQ yang membanjiri pasar Indonesia, pembuatan TPA center, penyediaan areal tanam jagung seluas 27 juta hektar di seluruh wilayah di Indonesia, bantuan benih sebesar Rp. 380 miliar, serta pemberian bantuan alat-alat produksi pertanian termasuk silo yang jumlahnya mencapai 39 silo. Selain itu, Departemen Pertanian bekerjasama dengan FAO membentuk kelompok kerja yang bertugas untuk meneliti mengenai penyakit flu burung di Indonesia. b. Analisis Kelemahan 1. Belum Adanya Keunggulan Komparatif Berdasarkan hasil analisis RCA diketahui bahwa volume dan nilai ekspor Indonesia masih rendah jika dibandingkan dengan negara produsen utama lainnya. Hal ini menyebabkan Indonesia belum memiliki keunggulan komparatif terhadap komoditas daging ayam ras di pasar internasional. Dengan demikian dapat
diketahui bahwa Indonesia masih memiliki kelemahan dari segi volume dan nilai ekspor komoditas daging ayam ras. 2. Integrasi Vertikal (SCM) pada Sistem Agribisnis Ayam Ras Pedaging Masih Terbatas Penerapan integrasi vertikal masih terbatas pada perusahaan besar, akibatnya ketersediaan pasokan input dan penyaluran hasil produksi yang berkesinambungan dengan harga yang lebih kompetitif masih belum dapat terlaksana dengan baik pada agribisnis ayam ras pedaging di Indonesia. Hal ini merupakan faktor penghambat meningkatnya dayasaing komoditas daging ayam ras Indonesia. 3. Ketersediaan Bahan Baku Subsistem Hulu (Input Produksi) Masih Tergantung dari Impor Bahan baku input produksi sebagian besar masih diperoleh dari impor seperti pengadaan DOC GPS, bahan baku pakan ternak (jagung, bungkil kedelai, MBM, dan sebagainya), dan bahan baku obat-obatan dan vaksin. Ketergantungan terhadap bahan baku input impor merupakan faktor kelemahan terkait dengan efisiensi biaya produksi dimana biaya produksi menjadi tidak kompetitif, dan akibatnya komoditas daging ayam ras Indonesia sulit untuk bersaing di pasar internasional. 4. Peternak Rakyat Berpendidikan Rendah Sebagian besar peternak rakyat Indonesia berpendidikan rendah yaitu hanya lulusan SD atau SLTP seperti yang terjadi di beberapa daerah di Jawa Barat yang merupakan sentra produksi ayam ras pedaging Indonesia. Hal ini terkait dengan kelemahan dalam kualitas sumberdaya manusia. Penyerapan alih
teknologi dan informasi akan sulit dan berlangsung cukup lama, akibatnya penciptaan komoditas yang berdayasaing tinggi juga terhambat. 5. Penerapan Teknologi Budidaya Belum Memenuhi Standar (Biosekuriti dan GFP) Masih banyaknya penerapan teknologi budidaya yang berpola tradisional yaitu belum menerapkan keamanan dan prosedur pemeliharaan yang baik merupakan kelemahan teknologi budidaya Indonesia. Hal ini dapat terlihat dari pola pemeliharaan ayam yang sebagian besar masih menggunakan sistem kandang terbuka dengan peralatan penunjang yang kurang memadai sehingga ayam rawan terserang penyakit. 6. Keterbatasan Permodalan dan Belum Memadainya Lembaga Permodalan Yang Membantu Peternak Keterbatasan permodalan terlihat dari masih banyaknya para pelaku agribisnis ayam ras pedaging khususnya pada subsistem budidaya yang menjalankan usahanya dalam skala kecil dengan teknologi yang sederhana. Pola pemikiran para peternak yang masih konvensional serta sifat dan karakteristik produk agribisnis yang hasil produksinya selalu tidak pasti menyebabkan lembaga permodalan di Indonesia seperti bank enggan memberikan bantuan permodalan kepada para peternak. 7. Keterbatasan RPA yang Sesuai SOP Kebanyakan bangunan yang digunakan untuk pemotongan ayam di Indonesia adalah bangunan sederhana dengan peralatan seadanya dan higienitas yang tidak terjamin atau yang biasa disebut TPA atau TPnA. Hal ini merupakan kendala yang dihadapi dalam menghasilkan karkas ayam yang berstandar ekspor.
(2) Analisis Faktor Eksternal Analisis faktor eksternal agribisnis ayam ras pedaging Indonesia meliputi analisis peluang dan analisis ancaman, yaitu sebagai berikut: a. Analisis Peluang 1. Datangnya Era Perdagangan Bebas Era perdagangan bebas membuat hampir seluruh bentuk perdagangan tidak ada batasnya. Dengan dihapuskannya hambatan perdagangan merupakan peluang bagi komoditas daging ayam ras untuk dapat diekspor ke negara lain. 2. Adanya Penemuan Baru Peluang meningkatnya ekspor komoditas daging ayam ras Indonesia didukung dengan adanya beberapa penemuan baru seperti ditemukannya vaksin AI yang berasal dari Low Pathogenic Avian Influenza (LPAI), BIS dan lumpur sawit atau solid heavy paste sebagai alternatif pakan pengganti. Beberapa hasil temuan yang telah dilakukan penelitiannya oleh para peneliti tersebut didukung dengan ketersediaan sumber bahan bakunya di Indonesia. Penemuan baru tersebut merupakan kesempatan besar yang dapat dimanfaatkan bagi terciptanya produk yang berdayasaing tinggi baik di pasar dalam negeri maupun di pasar internasional. 3. Akan Dibentuknya Perusahaan Ayam Halal Bersama Belum adanya lisensi “ayam halal” bagi Indonesia menjadi salah satu ganjalan bagi peternak ayam ras pedaging nasional untuk mengekspor produknya ke Timur Tengah, sehingga rencana pembentukan perusahaan ayam halal bersama ini merupakan peluang besar bagi Indonesia untuk meningkatkan nilai ekspor ayamnya.
b.Analisis Ancaman 1. Monopoli yang besar oleh lima negara produsen utama dunia (nilai HI dan CR4) Struktur pasar yang berbentuk oligopoli yang mengarah ke monopoli dapat menjadi ancaman bagi Indonesia untuk sulit bersaing di pasar bebas apabila Indonesia tidak mampu meningkatkan pangsa pasarnya di pasar Internasional. Pangsa pasar yang sangat dominan dikuasai oleh lima produsen utama dunia (Brazil, Amerika Serikat, China, Argetina, dan Inggris), menyebabkan konsentrasi pasar semakin besar, sehingga agar dapat menjadi pesaing yang besar juga Indonesia harus mampu memanfaatkan berbagai kekuatan yang dimiliki dengan sebaik-baiknya. 2. Masuknya CLQ dan MBM dari Amerika Serikat Masuknya CLQ dari Amerika Serikat yang dijual dengan harga jauh di bawah harga daging ayam di dalam negeri serta impor MBM yang hanya dimonopoli oleh Baker Commodities Inc asal Amerika Serikat merupakan persaingan yang tidak sehat dalam era perdagangan bebas. Hal ini akan sangat mempengaruhi persaingan harga jual daging ayam dan mengancam kelangsungan peternakan ayam ras pedaging dalam negeri karena harga MBM yang tidak kompetitif. 3. Adanya Importir Ilegal Impor MBM ilegal merupakan ancaman serius bagi kelangsungan agribisnis ayam ras pedaging Indonesia. Pada tahun 2006, MBM ilegal yang berasal dari Uni Eropa masuk ke Indonesia. MBM ilegal yang masuk ke Indonesia belum tentu terbebas dari penyakit BSE, sehingga apabila tidak ditindaklanjuti
masuknya MBM ilegal ini akan merusak kualitas komoditas daging ayam ras pedaging Indonesia. 4. Serangan Virus Flu Burung Virus flu burung yang banyak menyerang ternak unggas merupakan kejadian yang turut mengancam keberlangsungan agribisnis ayam ras pedaging Indonesia, terlebih Indonesia saat ini belum terbebas dari ancaman virus flu burung. Ketakutan yang berlebihan pada masyarakat baik di dalam maupun di luar negeri untuk mengkonsumsi daging ayam akan menurunkan permintaan terhadap komoditas ini, bahkan konsumen luar negeri banyak yang membatasi impor ayamnya dari Indonesia. 5. Pemberlakuan Sertifikasi dan Peraturan Ekspor yang Cukup Ketat Lemahnya dayasaing komoditas daging ayam ras pedaging Indonesia di pasar internasional masih terhambat oleh adanya sertifikasi dan peraturan ekspor yang cukup ketat oleh negara lain. Sertifikasi tersebut diantaranya adalah Jepang yang saat ini mengharuskan produk ayam yang masuk ke negaranya terbebas dari antibiotik selama masa pemeliharaan atau free antibiotic (FA) menyebabkan produk ayam indonesia sulit untuk diekspor ke negara tersebut karena kebanyakan karkas di Indonesia masih mengandung antibiotik. 6. Ancaman Krisis Biji-bijian Dunia Penggunaan biji-bijian sebagai pengganti bahan bakar fosil menyebabkan ketersediaannya untuk pakan semakin terbatas, akibatnya terjadi kenaikan harga biji-bijian dunia yang merupakan bahan baku utama pembuatan pakan ayam. Dengan demikian secara otomatis harga pakan semakin meningkat dan peternak akan semakin sulit berproduksi.
Tabel 28. Matriks SWOT Agribisnis Ayam Ras Pedaging Indonesia 1.
INTERNAL
EKSTERNAL
2. 3. 4. 5. 6. 7.
8. Peluang (Opportunities-O) 1. 2. 3.
1.
2. 3. 4. 5. 6.
Datangnya era perdagangan bebas Adanya penemuan baru Akan dibentuknya perusahaan ayam halal bersama Ancaman (Threats-T) Monopoli yang besar oleh lima negara produsen utama dunia (nilai HI dan CR4) Masuknya CLQ dan MBM dari Amerika Serikat Adanya importir ilegal Serangan virus AI Pemberlakuan sertifikasi dan peraturan ekspor yang cukup ketat Ancaman krisis biji-bijian dunia
1.
2.
1.
2.
3.
Kekuatan (Strengths-S) Agribisnis unggas terbesar di Indonesia (populasi, produksi, pengusahaan) Sumberdaya alam mendukung Berkembangnya pola kemitraan Upah tenaga kerja murah Adanya keserasian sosial budaya dengan negara lain Aksesibilitas terhadap sumber IPTEK memadai Industri Jasa Pendidikan, Pelatihan, Penelitian dan Pengembangan yang memadai dan telah berperan baik Kebijakan pemerintah yang mendukung agribisnis ayam ras pedaging dalam negeri Strategi S-O Peningkatan akses pasar ekspor (S1,S5,S6,S7,S8,O1,O3) Pengembangan produk sesuai permintaan pasar (S1,S2,S3,S4,S5,S6,S7,S8,O2) Strategi S-T Peningkatan dan perluasan basis produksi (S1,S2,S3,S4,S6,S7,S8,T1,T2,T4,T5,T6) Perlindungan usaha dari praktek perdagangan yang tidak adil (S8,T1,T2,T3,) Meningkatkan manajemen pemeliharaan (S2,S6,S7,S8,T4,T5)
1.
2. 3. 4. 5. 6.
7. 1.
2.
1.
Kelemahan (Weaknesses-W) Belum adanya keunggulan komparatif (nilai RCA) Integrasi vertikal (SCM) pada sistem agribisnis ayam ras pedaging masih terbatas Ketersediaan bahan baku subsistem hulu (input produksi) masih tergantung dari impor Peternak rakyat berpendidikan rendah Penerapan teknologi budidaya belum memenuhi standar (biosekuriti dan GFP) Keterbatasan permodalan dan belum memadainya lembaga permodalan yang membantu peternak Keterbatasan RPA yang sesuai SOP Strategi W-O Meningkatkan bentuk-bentuk kerjasama dan kemitraan yang adil (W2,W3,W4,W5,W6,W7, O1,) Program pemberdayaan subsistem hulu dan hilir (W1,W3,W6,W7,O1,O2) Strategi W-T Meningkatkan peran stakeholder (peternak, pengusaha, asosiasi dan kelembagaan, pemerintah dan masyarakat) (W1,W2,T1,T2,T3,T4,T5,T6)
6.4.2. Perumusan Strategi Peningkatan Dayasaing Komoditas Daging Ayam Ras Indonesia 1. Alternatif Strategi (1) Strategi Strengths-Opportunities (S-O) a. Peningkatan Akses Pasar Ekspor Datangnya era perdagangan bebas mengindikasikan bahwa kesempatan bagi perluasan pasar juga semakin terbuka lebar. Hasil perhitungan HI juga menunjukkan, meskipun pasar komoditas daging ayam ras dimonopoli oleh beberapa negara, namun masih ada kesempatan bagi Indonesia untuk bersaing di pasar internasional dengan memanfaatkan kekuatan yang dimiliki. Dalam rangka memanfaatkan peluang besar tersebut, maka perluasan pemasaran dengan meningkatkan akses pasar ekspor baik untuk skala regional maupun global sangat tepat dilakukan untuk komoditas daging ayam ras Indonesia. Agribisnis dengan jumlah populasi dan pengusahaan ternak terbanyak serta jumlah produksi daging terbesar dalam industri unggas nasional bahkan terbesar di ASEAN merupakan kekuatan besar yang harus dimanfaatkan. Upaya yang dapat dilakukan adalah dengan pembangunan sistem informasi pemasaran ekspor komoditas peternakan melalui pemanfaatan ketersediaan dan kemudahan aksesibilitas sumberdaya IPTEK serta dukungan industri jasa pendidikan, pelatihan, penelitian dan pengembangan. Dengan adanya informasi pasar maka peluang pasar
dapat diketahui oleh setiap pelaku usaha dan distorsi pasar yang terjadi di pasar internasional dapat dihindari. Langkah yang juga dapat dilakukan untuk dapat meningkatkan akses pasar ekspor adalah dengan penguatan kerjasama melalui jaringan pemasaran di negara produsen utama dan negara tujuan ekspor. Pemerintah dan lembaga terkait harus
mampu melakukan harmonisasi bilateral atau regional dengan negara tujuan ekspor agar komoditas daging ayam ras Indonesia mendapatkan jaminan proteksi. Upaya lainnya ialah melalui penyelenggaraan promosi dagang, dan meningkatkan lobi dagang di forum internasional. Selain negara yang memang menjadi tujuan ekspor, negara-negara lain yang belum termanfaatkan dengan baik juga dapat menjadi target perluasan pasar ekspor komoditas daging ayam ras Indonesia. Akan dibentuknya perusahaan ayam halal bersama antara Indonesia dengan tiga negara lainnya di ASEAN merupakan peluang besar dalam menembus pasar Timur Tengah terutama dengan adanya keserasian sosial budaya yang dimiliki Indonesia yang sesuai dengan negaranegara di kawasan tersebut. Langkah yang dapat dilakukan adalah dengan mempelajari peraturan dan persyaratan impor negara lain baik prosedur maupun berbagai kriteria yang dipersyaratkan. Dukungan yang besar dari pemerintah sangat membantu terlaksananya program ini. b. Pengembangan Produk Sesuai Permintaan Pasar Upaya menghasilkan produk yang sesuai dengan tuntutan konsumen yang semakin kompleks seperti tuntutan terhadap produk yang halal, aman, sehat, dan higienis merupakan langkah yang dapat diwujudkan dalam rangka meningkatkan dayasaing di pasar internasional. Langkah yang dapat ditempuh adalah dengan memanfaatkan peluang yang ada dimana saat ini para peneliti baik di Indonesia maupun di dunia telah banyak menemukan berbagai alternatif pemecahan masalah yang menjadi penghambat peningkatan dayasaing komoditas daging ayam ras. Penemuan-penemuan baru tersebut harus dimanfaatkan oleh Indonesia karena adanya kekuatan yang dimiliki seperti sumberdaya alam yang melimpah,
tenaga kerja dengan biaya yang kompetitif, didukung
dengan peran serta
pemerintah dan ditunjang dengan berkembangnya pola kemitraan yang saling menguntungkan serta tersedianya lembaga IPTEK yang memadai. Hal ini merupakan perpaduan yang tepat dalam rangka menciptakan produk yang sesuai keinginan konsumen. Dalam hal ini dukungan pemerintah adalah mendorong dan memfasilitasi setiap pelaku usaha yang berada dalam agribisnis ayam ras pedaging dalam menerapkan prinsip-prinsip HACCP. (2) Strategi Weaknesses-Opportunities (W-O) a. Meningkatkan Bentuk-bentuk Kerjasama dan Kemitraan yang Adil Kesadaran yang besar dalam rangka penguatan kelembagaan dari para pelaku agribisnis adalah hal terpenting untuk menciptakan produk yang berdayasaing baik di pasar domestik, regional, maupun global. Penerapan SCM pada agribisnis ayam ras pedaging belum dapat terlaksana dengan baik karena kebanyakan pelaku budidaya adalah peternak rakyat dengan skala kecil dan modal terbatas sehingga usaha yang djalankannya tidak terintegrasi . Untuk itu, dalam upaya memperlancar penerapan strategi SCM yang saat ini belum terlaksana dengan baik karena masih terkendala pada kualitas sumberdaya manusia dan keterbatasan modal, maka peningkatan bentuk-bentuk kerjasama dan kemitraan yang adil merupakan salah satu strategi yang harus dilakukan. Hal tersebut akan memberikan jaminan pasokan dan pemasaran produk baik bagi peternak maupun perusahaan. Perusahaan akan membantu peternak dalam pasokan DOC, pakan, obat-obatan dan vaksin yang harganya relatif mahal, serta bimbingan dan penyuluhan sehingga kualitas produk yang akan diterima perusahaan dapat terjaga dengan baik peternak pun terbantu dalam hal
permodalan dan alih informasi dan teknologi. Kesadaran yang besar dari para pelaku agribisnis untuk menciptakan produk yang berdayasaing adalah hal terpenting dalam rangka bersaing di era perdagangan bebas. b. Program Pemberdayaan Subsistem Hulu dan Hilir Ketersediaan dan produksi bahan baku input produksi (jagung, kedelai, DOC, bahan baku obat-obatan dan vaksin) agribisnis ayam ras pedaging yang sangat tidak memadai serta industri pascapanen yang masih berpola tradisional memerlukan suatu alternatif pemecahan, salah satunya ialah melalui program pemberdayaan subsistem hulu dan hilir dalam rangka meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil produksi yang pada akhirnya akan mampu meningkatkan nilai dan volume ekspor. Beberapa langkah yang dapat dijalankan antara lain adalah penyediaan kredit lunak dengan prosedur administrasi yang sederhana, membangun infrastruktur yang memadai, memperluas areal pertanaman (jagung dan kedelai), mendorong keterlibatan peran swasta sebagai investor, pemanfaatan dan sosialisasi hasil temuan baru misalnya penggunaan keli meal dan BIS sebagai alternatif pakan pengganti, pembuatan RPA center oleh pemerintah. (3) Strategi Strengths-Threats (S-T) a. Peningkatan dan Perluasan Basis Produksi dan Subsistem Pendukungnya Perluasan dan peningkatan basis produksi dan subsistem pendukungnya dilakukan melalui peningkatan kualitas hasil dan perluasan skala usaha. Pemanfaatan kekuatan yang ada seperti sumberdaya alam yang mendukung, tenaga kerja yang kompetitif dari upah, dan didukung dengan ketersediaan sumberdaya IPTEK dan lembaga penelitian yang memadai akan mampu menghasilkan
komoditas
yang
berdayasaing
tinggi.
Percepatan
proses
standardisasi, akreditasi dan sertifikasi terhadap lembaga atau laboratorium penguji sangat diperlukan guna mendapat pengakuan internasional yang sah terhadap keamanan dan mutu hasil pengolahan peternakan dalam negeri sehingga meskipun pasar komoditas daging ayam ras ini berbentuk oligopoli yang mengarah ke monopoli dimana kelima produsen utama di dunia sangat berperan, tetap terdapat kesempatan bagi Indonesia untuk dapat bersaing di dalamnya. b. Perlindungan Usaha dari Praktek Perdagangan yang Tidak Adil Mengingat cukup besarnya peran dan potensi agribisnis ayam ras pedaging bagi perekonomian nasional maka pemerintah harus segera mengambil langkah nyata dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang terjadi pada agribisnis ayam ras pedaging Indonesia. Pemerintah harus melindungi usaha dan industri ayam ras pedaging nasional dari perdagangan internasional yang tidak adil. Langkah yang harus dilakukan adalah dengan menetapkan kebijakan pembatasan impor CLQ, memperluas jaringan pemasok MBM, serta selalu melakukan pengontrolan terhadap masuknya CLQ dan MBM oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab (importir ilegal). Dengan demikian negara-negara yang memonopoli perdagangan komoditas daging ayam ras di pasar internasional tidak seenaknya mendikte Indonesia. c. Meningkatkan Teknik Budidaya dan Manajemen Pemeliharaan Langkah nyata yang dapat dilakukan adalah lembaga pendidikan, pelatihan, litbang, dinas dan asosiasi peternakan, dan perusahaan besar memperkenalkan teknik budidaya dan manajemen pemeliharaan yang baik khususnya bagi peternak rakyat dan memfasilitasi serta mendorong peningkatan dayasaing produk nasional untuk dapat bersaing dalam perdagangan internasional. Selain itu peran pihak dan
lembaga yang terkait serta peran pemerintah bersama-sama dengan seluruh pelaku agribisnis ayam ras pedaging diwujudkan dengan penanggulangan dan pencegahan wabah penyakit menular seperti virus AI yang merupakan salah satu penghambat
peningkatan
ekspor
Indonesia.
Mempelajari
peraturan
dan
persyaratan impor negara lain yang merupakan tujuan utama ekspor Indonesia baik prosedur maupun berbagai kriteria yang dipersyaratkan juga merupakan upaya yang dapat dilakukan agar jumlah komoditas daging ayam ras Indonesia yang
dapat
menembus
pasar
ekspor
dapat
lebih
banyak
lagi.
(4) Strategi Weaknesses-Threats (W-T) a. Meningkatkan Peran Stakeholder Dalam rangka menghadapi monopoli yang besar dari lima negara produsen utama dunia, adanya ancaman seperti produk impor, importir ilegal, dan ancaman virus AI, serta untuk dapat meningkatkan keunggulan komparatif Indonesia terhadap komoditas daging ayam ras, maka dibutuhkan peran serta dan kesadaran dari segenap stakeholder yang terlibat dalam agribisnis ayam ras pedaging. Peternak dan pengusaha berintegrasi membentuk kemitraan, asosiasi dan kelembagaan meningkatkan pengetahuan pasar dan teknologi, pemerintah harus mampu bertindak sebagai fasilitator, regulator, motivator yang mampu menserasikan hubungan antar pelaku usaha sehingga para pelaku dapat berinteraksi secara proporsional serta menciptakan iklim usaha yang kondusif yang pada akhirnya mampu menarik minat investor untuk turut mengembangkan agribisnis ayam ras pedaging ini. Masyarakat harus mampu mendukung produk dalam negeri dengan lebih memilih untuk mengkonsumsi produk dalam negeri dibandingkan produk impor.
2. Alternatif Kebijakan Pendukung Untuk mencapai visi, misi, dan tujuan program peningkatan dayasaing komoditas daging ayam ras Indonesia diperlukan suatu kebijakan pendukung. Mengacu pada alternatif strategi yang telah dirumuskan sebelumnya, maka beberapa kebijakan pendukung yang dapat diterapkan adalah : (1) Kebijakan Peningkatan Produksi dan Produktivitas Penyediaan teknologi tepat guna pada subsistem hulu, subsistem budidaya, maupun subsistem hilir. Dengan adanya teknologi tersebut diharapkan akan dapat mengefisiensiensikan biaya produksi dengan tetap menghasilkan produk yang berkualitas. (2) Kebijakan Penanganan dan Pencegahan Wabah Penyakit
k
Berbagai kebijakan pendukung dalam rangka penanganan dan pencegahan penyakit meliputi peningkatan manajemen pemeliharaan untuk meminimalkan resiko ayam terserang penyakit, pemberian vaksin tepat waktu, melakukan desinfektan secara terpadu, serta melakukan pengawasan dan pengaturan yang ketat terhadap keluar masuknya ayam terutama dalam mengantisipasi impor ayam dari negara lain yang terinfeksi penyakit menular. (3) Kebijakan Perlindungan Usaha Kebijakan perlindungan usaha ditujukan untuk melindungi produk ayam ras pedaging dalam negeri dari ancaman produk luar negeri baik legal maupun ilegal yang dapat mengancam agribisnis ayam ras pedaging nasional. Kebijakan ini merupakan perlindungan terhadap praktek-praktek perdagangan yang tidak adil, misalnya dengan melakukan pembatasan izin masuknya produk impor.
(4) Kebijakan tentang Kemitraan Agribisnis Ayam Ras Pedaging Kebijakan kemitraan agribisnis yang adil dibuat untuk mencapai kesetaraan hak dan kewajiban antara pihak inti dan pihak mitra melalui pembagian resiko dan keuntungan yang adil. Keadilan akan menumbuhkan kinerja dan produktivitas kedua belah pihak, sehingga penciptaan produk berkualitas akan
terwujud.
(5) Kebijakan Pendukung dalam Membentuk Ligkungan Investasi yang Kondusif K Kebijakan pendukung ini meliputi penghapusan retribusi dan pungutan di berbagai daerah, penyediaan sarana dan prasarana infrastruktur yang lebih baik (jalan, RPA yang higienis, dan sebagainya), tersedianya akses permodalan bagi peternak, penataan kelembagaan penyuluhan dalam rangka transfer teknologi kepada para peternak, kebijakan pembangunan subsistem hulu (pabrik pakan, pembibitan, pabrik obat dan vaksin), subsistem budidaya atau produksi, subsistem hilir (RPA dan industri pengolahan) berubah menjadi kebijakan agribisnis ayam ras pedaging sehingga perizinan hanya melalui satu atap. (6) Kebijakan Kelembagaan Salah satu kebijakan kelembagaan yang tengah dirancang oleh pemerintah melalui Departemen Pertanian yang dimulai pada tahun 2004 adalah kebijakan pembentukan Dewan Ayam. Pembentukan Dewan Ayam dimaksudkan untuk dapat mewadahi dan menyatukan aspirasi segenap stake holder agribisnis ayam ras pedaging. 3. Program Peningkatan Dayasaing Sebagai bentuk nyata dari strategi yang telah dirumuskan, maka rumusan program-program peningkatan dayasaing yang diperlukan serta pihak penanggung jawab yang terkait adalah sebagai berikut :
Tabel 29. Program Peningkatan Dayasaing Komoditas Daging Ayam Ras Indonesia Strategi Strategi S-O
Program
a. Pembangunan sistem informasi pemasaran ekspor komoditas peternakan melalui pemanfaatan ketersediaan dan kemudahan aksesibilitas sumberdaya IPTEK serta dukungan industri jasa pendidikan, pelatihan, penelitian dan pengembangan 1. Peningkatan Akses Pasar Ekspor
b. Penguatan kerjasama melalui jaringan pemasaran di negara produsen utama dan negara tujuan ekspor. c. Penyelenggaraan promosi dagang, dan meningkatkan lobi dagang di forum internasional c. Mempelajari peraturan dan persyaratan impor negara lain baik prosedur maupun berbagai kriteria yang dipersyaratkan
2. Pengembangan Produk Sesuai Permintaan Pasar
a. Pemerintah mendorong dan memfasilitasi setiap pelaku usaha yang berada dalam agribisnis ayam ras pedaging dalam menerapkan prinsip-prinsip HACCP
Strategi W-O 1. Meningkatkan Bentuk-bentuk Kerjasama Kemitraan yag Adil 2. Program Pemberdayaan Subsistem Hulu dan Hilir
a. Penerapan kebijakan yang mengatur kemitraan dan sanksi yang tegas bagi pelanggarnya a. Membangun infrastruktur yang memadai b. Memperluas areal pertanaman (jagung dan kedelai) c. Mendorong keterlibatan peran swasta sebagai investor d. Pemanfaatan dan sosialisasi hasil temuan baru misalnya penggunaan keli meal dan BIS sebagai alternatif pakan e. Pembuatan RPA center
Penanggung Jawab/Pelaku Kegiatan a. Departemen Pertanian b. Departemen Perdagangan c. Perguruan Tinggi d. Lembaga Pelatihan dan Litbang a. Departemen Pertanian b. Departemen Perdagangan c. Perusahaan Besar dan Eksportir a. Departemen Pertanian b. Departemen Perdagangan a. Departemen Pertanian b. Departemen Perdagangan c. Badan Karantina Hewan d. Perusahaan Besar dan Eksportir a. Departemen Pertanian b. Lembaga Pelatihan dan Litbang
a. Menteri Pertanian b. Peternak Inti dan Plasma a. Pemerintah Pusat dan Daerah b. Departemen Pertanian Departemen Pertanian Pemerintah a. Departemen Pertanian b. Penyuluh pertanian c. Lembaga Pelatihan dan Litbang Pemerintah Pusat dan Daerah
Strategi S-T
1. Peningkatan dan Perluasan Basis Produksi dan Subsistem Pendukungnya
2. Perlindungan Usaha dari Praktek Perdagangan yang Tidak Adil
a. Peningkatan kualitas hasil dan perluasan skala usaha melalui pemanfaatan sumberdaya alam yang mendukung, tenaga kerja yang kompetitif dari upah, dan didukung dengan ketersediaan sumberdaya IPTEK dan lembaga penelitian yang memadai b. Percepatan proses standardisasi, akreditasi dan sertifikasi terhadap lembaga atau laboratorium penguji a. Menetapkan kebijakan pembatasan impor CLQ b. Memperluas jaringan pemasok MBM c. Melakukan pengontrolan terhadap masuknya CLQ dan MBM oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab (importir ilegal) a. Memperkenalkan teknik budidaya dan manajemen pemeliharaan yang baik khususnya bagi peternak rakyat
3. Meningkatkan Teknik Budidaya dan Manajemen Pemeliharaan
b. Penanggulangan dan pencegahan wabah penyakit menular seperti virus AI
Strategi W-T a. Peternak dan pengusaha berintegrasi membentuk kemitraan 1. Meningkatkan Peran Stakeholder
b. Asosiasi dan kelembagaan mampu meningkatkan pengetahuan pasar dan teknologi c. Pemerintah mampu bertindak sebagai fasilitator, regulator, motivator serta menciptakan iklim usaha yang kondusif
a. Departemen Pertanian b. Lembaga Penelitian c. Perguruan Tinggi d. Asosiasi Peternakan Pemerintah a. Pemerintah Pusat b. Departemen Pertanian a. Departemen Perdagangan b. Departemen Pertanian Pemerintah a. Penyuluh Pertanian b. Perusahaan Besar dan Inti c. Perguruan Tinggi a. Departemen Pertanian b. Departemen Kesehatan c. Dinas Kesehatan Hewan a. Perusahaan Besar dan Inti b. Peternak Mitra c. Pemerintah Asosiasi Perunggasan Pemerintah
172
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN
7.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan terhadap komoditas daging ayam ras Indonesia di pasar internasional, maka diperoleh beberapa kesimpulan, yaitu : (1) Struktur pasar komoditas daging ayam ras di pasar internasional untuk komoditas daging ayam utuh dalam bentuk segar dan beku berbentuk pasar oligopoli mengarah ke monopoli karena HI nya bernilai 0,67 (mendekati satu) dan nilai CR4 sebesar 95,55 persen, sedangkan struktur pasar untuk komoditas daging ayam potongan dan jeroan dalam bentuk segar dan beku juga berbentuk oligopoli yang mengarah ke monopoli namun dengan persaingan yang lebih merata diantara produsen utamanya, karena HI nya bernilai 0,46 (mendekati nol) dan nilai CR4 sebesar 93,32 persen. Lima negara terbesar yang memonopoli perdagangan komoditas daging ayam ras dunia adalah Brazil, Amerika Serikat, China, Argentina, dan Inggris. (2) Komoditas daging ayam ras Indonesia baik untuk komoditas daging ayam utuh dalam bentuk segar dan beku maupun komoditas daging ayam potongan dan jeroan dalam bentuk segar dan beku tidak memiliki keunggulan komparatif terhadap komoditas daging ayam ras di pasar internasional atau dapat dikatakan bahwa Indonesia belum memiliki dayasaing yang kuat dalam perdagangan komoditas daging ayam ras dunia. Hal ini ditandai dengan nilai RCA Indonesia yang selalu berada di bawah satu selama periode 2002-2006.
172
173
(3) Agribisnis ayam ras pedaging nasional memiliki keunggulan kompetitif yang dapat terlihat dari adanya berbagai kekuatan yang dimiliki agribisnis ini, seperti faktor sumberdaya alam yang melimpah dan belum sepenuhnya termanfaatkan, ketersediaan dan aksesibilitas sumber-sumber IPTEK yang cukup memadai, biaya tenaga kerja yang kompetitif, serta peran dan kebijakan pemerintah yang sangat mendukung pengembangan agribisnis ini. Namun demikian peningkatan dayasaing komoditas daging ayam ras Indonesia masih terkendala oleh sejumlah persoalan seperti pemberdayaan sumberdaya alam sebagai penyedia kebutuhan input produksi belum optimal sehingga ketergantungan terhadap produk impor masih besar, belum terintegrasinya agribisnis ayam ras pedaging, dan kualitas peternak yang secara umum masih rendah. (4) Strategi yang berguna bagi peningkatan dayasaing komoditas daging ayam ras Indonesia di pasar internasional diarahkan kepada seluruh subsistem yang tergabung dalam agribisnis ayam ras pedaging, hal ini dikarenakan peningkatan dayasaing harus dilakukan secara menyeluruh dan tidak bisa secara parsial. Strategi yang dirumuskan meliputi peningkatan ketersediaan dan kualitas input produksi, perbaikan manajemen pemeliharaan, peningkatan teknologi pascapanen dan pengolahan, peningkatan kerjasama dan kemitraan, perluasan akses pemasaran, dan peningkatan peran serta stakeholder yang terlibat dalam agribisnis ayam ras pedaging.
173
174
7.2. Saran Beberapa saran yang dapat diberikan sebagai upaya peningkatan dayasaing komoditas daging ayam ras Indonesia di pasar internasional adalah: (1) Meskipun secara umum struktur pasar komoditas daging ayam ras telah dikuasai oleh lima produsen utama di dunia, namun tidak tertutup kemungkinan bagi Indonesia untuk ikut bersaing di pasar global melalui pemanfaatan sumberdaya domestik sehingga tercipta efisiensi usaha. Selain dalam bentuk segar dan beku, produk olahan daging ayam seperti ayam masak juga perlu ditingkatkan pengembangannya karena selain dapat lebih mudah diterima di pasar luar negeri, juga akan memberikan nilai tambah yang cukup besar bagi industri di dalam negeri. (2) Meningkatkan kualitas, kuantitas, dan kontinuitas ekspor komoditas daging ayam ras dalam rangka memperbesar kontribusinya terhadap penerimaan negara. Untuk itu diperlukan adanya harmonisasi kebijakan antar kelembagaan yang terkait. Pada subsistem hulu perlu adanya jaminan ketersediaan input produksi yang murah dan berkualitas, di subsistem budidaya peningkatan produksi dan produktivitas melalui penguatan kelembagaan, di subsistem hilir meningkatkan nilai tambah sehingga tercipta diversifikasi produk. Selain itu lembaga terkait, asosiasi, dan pemerintah menjadi fasilitator yang dapat berperan dengan bijaksana. (3) Meningkatkan keunggulan kompetitif melalui peningkatan kinerja segitiga peternakan yaitu breeding, feeding, dan manajemen ditunjang dengan pemanfaatan sumberdaya yang tersedia. Misalnya pemanfaatan limbah sawit sebagai alternatif pakan pengganti, penggunaan fitobiotik sebagai pengganti
174
175
antibiotik, dan sebagainya. Melakukan pengendalian penyakit dengan menerapkan sistem karantina ketat yang erat kaitannya dengan importasi produk peternakan. Melakukan proses adopsi teknologi agar tidak tertinggal dengan negara lain. Integrasi vertikal antar setiap subsistem melalui penerapan pola kemitraan yang adil harus terus ditingkatkan. Peran pemerintah dalam menciptakan iklim usaha yang kondusif sangat diperlukan untuk menjamin tetap eksisnya agribisnis ayam ras pedaging di dalam negeri. (4) Berdasarkan strategi dan program yang telah dirumuskan, perlu dilakukan pembentukan dewan ayam yang kuat yang mampu mewadahi seluruh industri yang berada
dalam agribisnis ayam ras pedaging sehingga dapat
mengakomodasi segala kelebihan dan kelemahan yang dimiliki untuk menghadapi persaingan dan ancaman yang ada. Dewan ayam juga dapat berfungsi untuk membantu memudahkan pengaturan pertemuan antara seluruh stakeholder peternakan, sehingga dapat dilakukan pembicaraan misalnya untuk membahas penetapan harga ayam. (5) Bagi penelitian selanjutnya, penelitian ini diharapkan tidak terhenti sampai disini. Penulis sangat berharap adanya penelitian lanjutan dari tulisan ini seperti analisis kinerja peternak ayam ras pedaging di Indonesia, program swasembada bahan baku pakan lokal, dan sebagainya agar kajian dayasaing komoditas daging ayam ras pedaging akan terulas dengan lebih tajam lagi.
175
176
DAFTAR PUSTAKA
Advertorial. 2008. Closed House untuk IPB. Januari 2008 Vol III, Hal 28-29. Poultry Indonesia. Jakarta. Astuty, E.D. 2000. Kajian Daya Saing Ekspor Komoditas Pertanian. Puslitbang Ekonomi dan Pembangunan. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2007. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Unggas. Departemen Pertanian Republik Indonesia. Jakarta. Badan Pusat Statistik. 2004. Statistik Peternakan. Jakarta. Bahri, D.S. 2001. Ketenagakerjaan Dalam Industri Berorientasi Ekspor Menghadapi Persaingan Era Bebas. Pusat Penelitian Ekonomi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2E-LIPI). Jakarta. Bender, S dan Li, K.W. 2002. The Changing Trade and Revealed Comparative Advantages of Asian and Latin American Manufacture Exports. Economic Growth. Yale University. http://ideas.repec.org. 5 Januari 2008. Cahyono, B. 2002. Cara Meningkatkan Budidaya Ayam Ras Pedaging (Broiler). Yayasan Pustaka Nusatama. Jakarta. Daryanto, A. 2007. Peningkatan Dayasaing Industri Peternakan. Permata Wacana Lestari (Penerbit Majalah Trobos). Jakarta. David, F.R. 2006. Manajemen Strategis. Edisi ke-10. Salemba Empat. Jakarta. Deshinta, M. 2006. Peranan Kemitraan Terhadap Peningkatan Pendapatan Peternak Ayam Broiler. Skripsi. Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Direktorat Budidaya Ternak Non Ruminansia. 2006. Departemen Pertanian Republik Indonesia. Jakarta. Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan. 2004. Statistik Peternakan Tahun 2004. Departemen Pertanian Republik Indonesia. Jakarta. . 2007. Statistik Peternakan 2007. Departemen Pertanian Republik Indonesia. Jakarta. Direktorat Kesehatan Hewan. 2006. Departemen Pertanian Republik Indonesia. Jakarta.
176
177
FAO. 2008. FAO Statistic Division. Http://faostat.fao.org. FAO. 2007. Buletin CP Mei, No. 1, Vol. 23. World Poultry. FAPRI (Food and AgriculturePolicy Research Institute) dalam Buletin CP. 2006. Halwani, R.H. 2002. Ekonomi Internasional dan Globalisasi Ekonomi. Ghalia Indonesia. Jakarta. Kariyasa, K dan Bonar, M.S. Analisis Perilaku Pasar Pakan dan Daging Ayam Ras di Indonesia: Pendekatan Model Ekonometrika Simultan. Jurnal. http://ejournal.unud.ac.id/abstrak. Kementrian Riset dan Teknologi dan Fakultas Teknologi Pertanian. 2004. Kajian Pengembangan IPTEK Bagi Peningkatan Daya Saing Produk Pangan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Kromo dan Yafi. Derap Langkah Pabrikan. 2007. Juli 2007 Vol II, Hal 18-21. Poultry Indonesia. Jakarta. Kuraisin. 2006. Analisis Dayasaing dan Dampak Perubahan Kebijakan Pemerintah Terhadap Komoditi Susu Sapi. Skripsi. Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Limbong, W.H. dan Panggabean S. 1985. Pengantar Tataniaga Pertanian. Program Studi Manajemen Agribisnis. Bogor. Lipsey, R.G, dkk. 1997. Pengantar Mikroekonomi. Jilid II, Edisi ke-10. Binarupa Aksara. Jakarta. Maulana, H. 2008. Menakar Kecukupan Tepung Ikan. Februari 2008 Vol III, Hal 50. Poultry Indonesia. Jakarta. Meryana, E. 2007. Analisis Dayasaing Kopi Robusta Indonesia di Pasar Kopi Internasional. Skripsi. Program Studi Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Moon, H-C dan Dong-Sung, C. 2003. From Adam Smith to Michael Porter Evolusi Teori Daya Saing. Jilid I, Edisi Pertama. Salemba Empat. Jakarta. Mul. 2005. Pasar Unggas Kita. Oktober 2005. Poultry Indonesia. Jakarta. Murtidjo, B.A. 1990. Pedoman Beternak Ayam Broiler. Kanisius. Yogyakarta. Nazir, M. 2003. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta.
177
178
Pappas, J.L. dan Mark H. 1995. Ekonomi Manajerial. Jilid II, Edisi Keenam. Binarupa Aksara. Jakarta. Porter, M.E. 1998. The Competitive Advantage of Nations. Macmillan Press Ltd. London. Prawirokusumo, S. 2001. Masalah dan Prospek Bisnis Peternakan di Indonesia. Yogyakarta. Prihatmanti, W. 2005. Analisa Struktur Pasar, Keunggulan Komparatif, dan Kompetitif Udang Indonesia di Pasar Amerika Serikat. Skripsi. Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Ranggatabbu, C. 2007. Bukan yang Terdepan. Januari 2007 Vol II Hal 24. Poultry Indonesia. Rasyaf, M. 1999. Beternak Ayam Pedaging. Penebar Swadaya. Jakarta. Salvatore, D. 1997. Ekonomi Internasional. Edisi 1. Erlangga. Jakarta. Smyth, D.A. 2005. Ireland’s Revealed Comparative Advantage. Quarterly Bulletin I. Soeparno. 1998. Ilmu dan Teknologi Daging. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Suharno, B. 2004. Agribisnis Ayam Ras. Penebar Swadaya. Jakarta. . 2005. Kiat Sukses Berbisnis Ayam. Penebar Swadaya. Jakarta. Sulaiman, M. 2007. Analisis Pendapatan Peternak Plasma Ayam Broiler Pada Sistem Bagi Hasil dan Sistem Kontrak. Skripsi. Program Studi Sosial Ekonomi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Suryani, T. 2006. Permintaan Dan Penawaran Daging Ayam Broiler di Indonesia. Program Studi Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Swaranindita, E.D. 2005. Analisis Dayasaing Komoditas Udang Nasional di Pasar Internasional. Skripsi. Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. UN Comtrade. 2008. United Nations Statistics Division-Commodity Trade Statistics Database (COMTRADE). Http://comtrade.un.org/db. Yeta. 2006. Bahaya Laten CLQ. Juli 2006 Vol I, Hal 33.Poultry Indonesia.Jakarta.
178
179
179
180
LAMPIRAN
180
172
Lampiran 1. Data Populasi Ayam Ras Pedaging Indonesia Menurut Propinsi Tahun 2003-2007 Jumlah Populasi (Ekor) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung D.K.I. Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah D.I. Yogyakarta Jawa Timur Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah
Tahun 2003
Tahun 2004
Tahun 2005
Tahun 2006
Tahun 2007*
925.571 49.218.125 9.208.667 25.730.385 6.463.799 16.742.000 1.809.939 22.705.716 98.000 296.160.072 66.646.915 16.058.406 185.144.982 21.664.010 8.851.098 2.735.298 13.960.605 9.135.075 14.829.812 21.747.100 3.576.517 4.131.984
904.084 38.045.260 12.804.118 25.239.077 6.831.292 16.408.000 1.811.914 24.902.989 137.800 328.015.536 50.356.308 17.325.991 162.781.000 4.942.748 7.853.760 2.752.878 14.481.323 2.187.599 19.480.579 22.097.800 1.352.673 2.718.300
1.057.443 35.568.236 11.357.781 27.440.958 9.694.426 14.920.000 1.591.304 21.747.209 182.000 352.434.300 62.043.412 20.971.720 142.602.400 5.363.066 8.848.482 625.000 15.139.364 2.436.329 19.964.639 25.828.600 1.459.443 2.238.366
1.538.306 42.763.530 12.748.991 20.965.808 11.539.188 15.842.000 1.833.002 21.094.571 124.300 343.954.090 61.258.115 25.360.260 119.525.124 5.317.163 9.804.858 45.825 14.889.746 3.200.400 20.624.128 26.292.200 1.406.880 2.358.000
1.784.651 51.615.581 12.863.660 26.253.385 14.364.688 19.937.000 2.236.262 22.927.689 100.000 369.121.170 65.319.528 25.613.863 182.375.092 5.335.773 10.785.344 43.445 16.378.720 3.360.420 21.680.084 26.818.044 1.477.222 2.620.000
Pertumbuhan 2006-2007 (%) 16,01 20,70 0,90 25,22 24,49 25,85 22,00 8,69 -19,55 7,32 6,63 1,00 52,58 0,35 10,00 -5,19 10,00 5,00 5,12 2,00 5,00 11,11
172
173
Jumlah Populasi (Ekor) No 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
Provinsi Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Maluku Papua Bangka Belitung Banten Gorontalo Maluku Utara Kepulauan Riau Irian Jaya Barat Sulawesi Barat Indonesia
Tahun 2003
Tahun 2004
Tahun 2005
Tahun 2006
Tahun 2007*
20.960.808 731.740 51.271 1.231.948 2.069.225 25.000.000 80.783 74.044 847.743.895
5.673.758 771.890 97.552 1.230.615 373.750 6.864.800 438.468 87.981 778.969.843
12.765.509 820.100 80.945 733.022 4.639.664 6.475.796 379.497 84.325 469.592 774.755 451.001 811.188.684
12.325.960 896.048 111.202 981.161 5.287.409 7.684.690 384.219 269.920 6.284.676 342.125 473.551 797.527.446
13.203.599 953.340 131.218 897.059 6.344.891 7.862.267 401.922 269.920 6.410.370 867.686 497.228 920.851.121
Pertumbuhan 2006-2007 (%) 7,12 6,39 18,00 -8,57 20,00 2,31 4,61 0,00 2,00 153,62 5,00 15,46
Sumber : Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian, 2007 Keterangan : [*] Angka Sementara [-] Data Tidak Tersedia
173
174
Lampiran 2. Data Produksi Komoditas Daging Ayam Ras Indonesia Menurut Propinsi Tahun 2003-2007 Jumlah Produksi (Ton) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung D.K.I. Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah D.I. Yogyakarta Jawa Timur Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah
Tahun 2003
Tahun 2004
Tahun 2005
Tahun 2006
Tahun 2007*
1.159 45.581 9.826 28.928 10.049 10.885 1.439 13.292 78.770 242.990 66.947 19.115 142.336 21.377 0 286 13.405 3.121 14.128 16.245 4.292 595
1.081 44.688 13.662 27.517 10.092 11.706 2.165 18.816 88.089 263.397 63.592 18.561 162.781 24.623 0 273 20.790 2.934 18.699 16.507 1.623 2.189
1.533 41.778 12.119 21.004 9.909 11.708 2.268 19.170 67.054 259.749 61.683 14.997 128.342 20.530 236 6 21.286 3.000 20.349 19.294 5.606 2.005
1.395 39.055 11.602 19.015 9.290 13.532 1.642 19.724 83.768 276.195 81.203 23.000 143.643 20.354 15.303 30 21.541 4.357 18.705 20.945 1.324 2.820
1.619 46.955 11.665 23.811 11.564 14.368 1.762 20.794 87.118 281.719 73.087 23.230 174.442 20.761 15.988 30 23.504 6.161 19.663 21.321 1.340 2.144
Pertumbuhan 2006-2007 (%) 16,06 20,23 0,54 25,22 24,48 6,18 7,31 5,42 4,00 2,00 -9,99 1,00 21,44 2,00 4,48 0,00 9,11 41,40 5,12 1,80 1,21 -23,97
174
175
Jumlah Produksi (Ton) No 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
Provinsi Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Maluku Papua Bangka Belitung Banten Gorontalo Maluku Utara Kepulauan Riau Irian Jaya Barat Sulawesi Barat Indonesia
Tahun 2003
Tahun 2004
Tahun 2005
Tahun 2006
Tahun 2007*
4.271 558 36 933 2.057 17.752 107 632 771.112
4.255 558 69 794 2.195 23.431 378 632 846.097
10.215 579 67 416 5.052 16.542 405 540 376 614 677 779.109
10.538 887 73 765 4.795 6.970 348 1.723 5.700 310 710 861.262
11.179 944 101 890 5.754 7.131 365 1.723 5.814 787 745 918.479
Pertumbuhan 2006-2007 (%) 6,08 6,43 38,36 16,34 20,00 2,31 4,89 0,00 2,00 153,87 4,93 6,64
Sumber : Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian, 2007 Keterangan : [*] Angka Sementara [-] Data Tidak Tersedia
175
Lampiran 3. Strain Ayam Ras Pedaging Yang Beredar Atau Pernah Beredar di Indonesia dan Perusahaan Pembibitannya No 1 2 3 4
Strain Ayam Ras Pedaging Arbor Arcres, Avian Bromo Cobb Hubbard
5 6 7 8 9 10 11 12
Hybro Indian River Isa Vedette Kimber, Kim Cross Tatum Broiler Meat Nick Lohmann Broiler Peterson Pilch
13 14 15 16
Ross Shaver, Starbro Cobb 100 Tegel
Perusahaan Pembibitan PT. Charoen Pokphand Indonesia PT. Ankie, PT. Anputraco PT. Galur Palasari Cobbindo PT. Cipendawa Farm Enterprises / PT. Wonokoyo PT. Hybro Indonesia PT. Hybrida Indonesia (Hydon) PT. Anwar Sierad/Sierad Produce Unit Peternakan DKI Unit Peternakan DKI Multibreeder Adirama Indonesia PT. Multiphala PT. Arjuna Mulia Lestari PT. Wonokoyo Cibadak Indah Sari farm PT. Cargill Indonesia PT. Randu Agung Jaya CV. Missouri
Sumber : Ditjen Peternakan (1995), Pramu Suroprawiro (2001), ASOHI (2001)
Lampiran 4. Harga Jual Komoditas Daging Ayam Ras di Tingkat Produsen pada Negara Produsen Utama Tahun 1996-2005
Harga di Tingkat Produsen (US $/Kg)
Negara Produsen Utama Amerika Serikat China Brazil Meksiko India Fed Rusia Inggris Jepang Indonesia Iran Spanyol Argentina Kanada
Tahun 1996 1,15 1,00 1,08 1,26 3,03 1,86 1,38 2,30 2,01 3,05 1,15 1,31 1,50
Sumber : FAO Statistic Division,2008
Tahun 1997 1,14 0,92 1,01 1,44 2,55 2,04 1,42 2,05 1,61 3,04 0,94 1,16 1,48
Tahun 1998 1,19 0,90 0,98 1,45 1,52 2,06 1,29 1,91 0,77 4,20 0,89 1,02 1,35
Tahun 1999 1,12 0,84 0,68 1,28 1,34 1,04 1,14 2,19 1,51 5,11 0,71 0,88 1,25
Tahun 2000 1,03 0,77 0,73 1,56 1,35 1,10 1,08 2,28 1,34 5,77 0,80 0,88 1,24
Tahun 2001 1,18 0,59 0,60 1,61 1,38 1,39 1,02 2,03 1,18 6,28 0,85 0,87 1,26
Tahun 2002 0,90 0,82 0,46 1,58 1,33 1,29 1,03 1,97 0,74 1,61 0,70 0,49 1,18
Tahun 2003 1,07 0,83 0,47 1,41 1,43 1,42 1,13 2,10 0,81 1,52 0,94 1,20 1,39
Tahun 2004 1,36 0,88 0,52 1,52 1,53 1,79 1,23 2,18 0,83 1,53 1,07 1,64 1,53
Tahun 2005 1,31 0,96 0,65 1,65 1,60 1,97 1,31 2,00 0,83 1,48 1,11 2,21 1,63
Lampiran 5. Nilai dan Volume Ekspor Komoditas Daging Ayam Utuh Segar dan Beku Beberapa Negara Produsen Utama pada Tahun 2002-2006 Negara Produsen Utama Amerika Serikat China Brazil Meksiko India Fed Rusia Inggris Jepang Indonesia Iran Spanyol Argentina Kanada
Tahun 2002 Nilai (US $) 43.918.287 22.523.657 453.708.988 106.678 190.504 8.703.370 71 1.216.279 9.193.741 2.800.277 10.896.603
Volume (Kg) 63.879.560 22.647.169 674.379.234 103.917 160.163 4.439.285 132 1.153.195 8.625.759 4.625.473 5.146.786
Tahun 2003 Nilai (US $) 43.099.226 36.669.924 617.278.131 3.559.402 185.650 11.704.203 48693 208.434 20.835.097 11.505.988 10.764.405
Volume (Kg) 48.541.451 28.748.879 798.044.464 3.589.130 195.100 6.719.821 7862 153.269 14.324.968 15.419.520 4.405.785
Sumber : UN Comtrade Statistic Division, 2008 Keterangan: [-] Negara yang bersangkutan tidak melakukan ekspor
Tahun 2004 Nilai (US $) 86.761.173 44.235.223 801.820.536 1.284.601 29.191 12.301.971 8 318.926 19.313.896 21.260.094 8.472.578
Volume (Kg) 101.536.332 37.635.820 974.565.469 1.350.500 36.190 6.541.364 3 238.535 12.813.000 25.518.957 4.975043
Tahun 2005 Nilai (US $) 68.077.655 59.384.289 1.087.316.311 565.829 125.718 10.377.444 549 258.917 16.274.821 46.552.404 12.478.248
Volume (Kg) 70.691.714 44.119.638 1.044.362.333 463.274 74.147 5.748.838 211 259.012 11.533.412 47.721.020 7.624.795
Tahun 2006 Nilai (US $) 100.583.428 64.650.629 936.923.560 29.224 479.086 270.509 7.507.163 0 1.009.436 15.732.085 43.190891 13.510.982
Volume (Kg) 100.797.732 47.641.030 948.659.826 17.442 382.674 167.111 4.215.222 852.180 10.750.997 47.891.851 5.581.807
179
Lampiran 6. Nilai dan Volume Ekspor Komoditas Daging Ayam Potongan dan Jeroan Segar dan Beku Beberapa Negara Produsen Utama pada Tahun 2002-2006 Negara Produsen Utama Amerika Serikat China Brazil Meksiko India Fed Rusia Inggris Jepang Indonesia Iran Spanyol Argentina Kanada
Tahun 2002
Tahun 2003
Tahun 2004 Nilai (US $)
Volume (Kg)
Tahun 2005 Nilai (US $)
Volume (Kg)
Tahun 2006
Nilai (US $)
Volume (Kg)
Nilai (US $)
Volume (Kg)
Nilai (US $)
Volume (Kg)
1.315.274.895
2.272.001.731
1.474.278.042
2.400.174.645
203.615.146
203.179.919
200.820.886
226.478.972
204.522.920
157.625.092
345.944.035 881.349.790 186.120 300.169 871.048 150.089.497 2.580.694 4.827.735 3.131.676 55.375.886 13.999.969 51.285.086
264.542.233 925.546.151 288.545 993 826.895 197.062.395 2.900.948 2.346.187 7.119.420 38.200.288 22.763.236 78.334.730
252.242.595 1.092.465.817 692.526 865.716 284.973 235.367.747 2.713.681 4.915.777 6.795.009 62.121.348 20.896.523 48.505.293
206.158.310 1.123.997.656 1.274.819 798.459 364.929 213.959.003 2.847.687 2.752.812 13.733.8801 37.400.149 24.928.856 64.348.269
78.905.995 1.692.109.772 1.165.491 122.582 33.872 276.954.569 967.050 161.176 7.485.992 62.541.765 34.381.747 72.717.314
60.898.527 1.449.954.849 273.825 53.200 26.638 199.928.179 621.773 100.860 13.641.542 39.008.441 39.150.507 58.817.103
102.177.841 2.236.930.033 818.939 36.350 193.419 278.033.644 2.040.158 70.024 9.466.617 79.601.670 63.354.925 91.208.780
83.510.609 1.717.609.741 197.359 12.230 117.135 238.065.571 1.926.273 74.589 14.890.502 43.863.819 63.672.847 82.844.921
61.372.640 1.985.711.298 41.120 57.539 242.080 220.200.377 2.458.333 43.163 11.766.572 55.725.328 68.346.442 95.349.535
48.868.599 1.637.053.122 29.320 10.297 169.235 201.229.998 2.411.879 24.959 18.593.025 36.332.403 69.768.332 91.346.886
Sumber : UN Comtrade Statistic Division, 2008
179
180
Lampiran 7. Nilai Total Ekspor Negara Produsen Utama Penghasil Komoditas Daging Ayam Ras Dunia Tahun 2002-2006 Negara Produsen Utama Amerika Serikat China Brazil Meksiko India Fed Rusia Inggris Jepang Indonesia Iran Spanyol Argentina Kanada
Nilai Total Ekspor (US $) 2002 693.222.276.092 325.595.969.765 60.438.649.875 160.750.540.171 52.471.441.329 106.691.997.872 280.630.595.522 280.630.595.522 57.158.717.440 28.186.000.000 125.872.193.536 25.709.371.110 252.582.118.175
2003 723.608.506.515 438.227.767.355 73.203.221.846 164.906.508.836 63.035.533.926 133.655.685.163 307.700.936.003 307.700.936.003 307.700.936.003 33.788.000.000 158.213.085.216 29.938.752.000 272.229.685.914
2004 817.905.426.395 593.325.581.430 96.677.246.370 187.980.442.491 79.834.064.105 181.600.379.150 349.011.759.053 349.011.759.053 64.483.516.667 44.628.000.000 182.727.198.254 34.575.705.522 317.161.191.588
2005 2006 904.339.487.215 1.037.029.245.257 761.953.409.531 968.935.601.013 118.528.688.118 137.806.190.344 214.207.305.610 249.960.545.529 103.404.167.142 126.125.503.820 241.451.656.882 301.550.665.536 384.364.970.472 444.439.192.421 384.364.970.472 444.439.192.421 85.659.947.504 100.798.615.667 60.012.000.000 63.247.000.000 192.798.426.846 214.061.202.096 40.106.386.092 46.423.169.827 360.475.247.990 388.091.449.499
Sumber : UN Comtrade Statistic Division. 2008
180
181
Lampiran 8. Nilai Pangsa Pasar (S) Negara Produsen Utama Komoditas Daging Ayam Utuh Segar dan Beku Tahun 2002-2006 Negara Produsen Amerika Serikat China Brazil Meksiko India Fed Rusia Inggris Jepang Indonesia Iran Spanyol Argentina Kanada
Tahun 2002 0,0794 0,0407 0,8201 0,0000 0,0002 0,0003 0,0157 0,0000 0,0000 0,0022 0,0166 0,0051 0,0197
Tahun 2003 0,0570 0,0485 0,8167 0,0000 0,0047 0,0002 0,0155 0,0000 0,0001 0,0003 0,0276 0,0152 0,0142
Nilai Pangsa Pasar (S) Tahun 2004 0,0871 0,0444 0,8052 0,0000 0,0013 0,0000 0,0124 0,0000 0,0000 0,0003 0,0194 0,0213 0,0085
Tahun 2005 0,0523 0,0456 0,8355 0,0000 0,0004 0,0001 0,0080 0,0000 0,0000 0,0002 0,0125 0,0358 0,0096
Tahun 2006 0,0850 0,0546 0,7914 0,0000 0,0004 0,0002 0,0063 0,0000 0,0000 0,0009 0,0133 0,0365 0,0114
181
182
Lampiran 9. Nilai Pangsa Pasar (S) Negara Produsen Utama Komoditas Daging Ayam Potongan dan Jeroan Segar dan Beku Tahun 2002-2006 Negara Produsen Amerika Serikat China Brazil Meksiko India Fed Rusia Inggris Jepang Indonesia Iran Spanyol Argentina Kanada
Tahun 2002 0,4656 0,1225 0,3120 0,0000 0,0001 0,0003 0,0531 0,0009 0,0017 0,0011 0,0196 0,0050 0,0182
Nilai Pangsa Pasar (S) Tahun 2003 Tahun 2004 0,4604 0,0838 0,0788 0,0325 0,3412 0,6963 0,0002 0,0005 0,0003 0,0001 0,0001 0,0000 0,0735 0,1140 0,0008 0,0000 0,0015 0,0001 0,0021 0,0031 0,0194 0,0257 0,0065 0,0141 0,0151 0,0299
Tahun 2005 0,0655 0,0333 0,7299 0,0003 0,0000 0,0001 0,0907 0,0007 0,0000 0,0031 0,0260 0,0207 0,0298
Tahun 2006 0,0756 0,0227 0,7339 0,0000 0,0000 0,0000 0,0814 0,0009 0,0000 0,0043 0,0206 0,0253 0,0352
182
183
Lampiran 10. Nilai Herfindahl Index (HI) dan Concentration Ratio (CR) Negara Produsen Utama Komoditas Daging Ayam Utuh Segar dan Beku Tahun 2002-2006 Negara Produsen Utama Amerika Serikat China Brazil Meksiko India Fed Rusia Inggris Jepang Indonesia Iran Spanyol Argentina Kanada Total
Tahun 2002 HI CR4 (%) 0,0063 7,94 0,0017 4,07 0,6725 82,01 0,0000 0,0000 0,0000 0,0002 0,0000 0,0000 0,0000 0,0003 0,0000 0,51 0,0004 0,68 94,52
Tahun 2003 HI CR4 (%) 0,0033 5,70 0,0024 4,85 0,6669 81,67 0,0000 0,0000 0,0000 0,0002 0,0000 0,0000 0,0000 0,0008 0,0002 1,52 0,0002 0,67 93,75
Tahun 2004 HI CR4 (%) 0,0076 8,71 0,0020 4,44 0,6484 80,52 0,0000 0,0000 0,0000 0,0002 0,0000 0,0000 0,0000 0,0004 0,0005 2,13 0,0001 0,66 95,81
Tahun 2005 HI CR4 (%) 0,0027 5,23 0,0021 4,56 0,6980 83,55 0,0000 0,0000 0,0000 0,0001 0,0000 0,0000 0,0000 0,0002 0,0013 3,58 0,0001 0,70 96,91
Tahun 2006 HI CR4 (%) 0,0072 8,50 0,0030 5,46 0,6263 79,14 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0002 0,0013 3,65 0,0001 0,64 96,74
183
184
Lampiran 11. Nilai Herfindahl Index (HI) dan Concentration Ratio (CR) Negara Produsen Utama Komoditas Daging Ayam Potongan dan Jeroan Segar dan Beku Tahun 2002-2006 Negara Produsen Utama Amerika Serikat China Brazil Meksiko India Fed Rusia Inggris Jepang Indonesia Iran Spanyol Argentina Kanada Total
Tahun 2002 HI CR4 (%) 0,2168 46,56 0,0150 12,25 0,0973 31,20 0,0000 0,0000 0,0000 0,0028 5,31 0,0000 0,0000 0,0000 0,0004 0,0000 0,0003 0,33 95,31
Tahun 2003 HI CR4 (%) 0,2120 46,04 0,0062 7,88 0,1164 34,12 0,0000 0,0000 0,0000 0,0054 7,35 0,0000 0,0000 0,0000 0,0004 0,0000 0,0002 0,34 95,38
Tahun 2004 HI CR4 (%) 0,0070 8,38 0,0011 3,25 0,4848 69,61 0,0000 0,0000 0,0000 0,0130 11,40 0,0000 0,0000 0,0000 0,0007 0,0002 0,0009 0,51 92,63
Tahun 2005 HI CR4 (%) 0,0043 6,55 0,0011 3,33 0,5327 72,99 0,0000 0,0000 0,0000 0,0082 9,07 0,0000 0,0000 0,0000 0,0007 0,0004 0,0009 0,55 91,94
Tahun 2006 HI CR4 (%) 0,0057 7,56 0,0005 2,27 0,5387 73,39 0,0000 0,0000 0,0000 0,0066 8,14 0,0000 0,0000 0,0000 0,0004 0,0006 0,0012 0,55 91,36
184
185
Lampiran 12. Nilai RCA Komoditas Daging Ayam Utuh Segar dan Beku Beberapa Negara Produsen Utama pada Tahun 2002-2006 Negara Produsen Amerika Serikat China Brazil Meksiko India Fed Rusia Inggris Jepang Indonesia Iran Spanyol Argentina Kanada
Tahun 2002 0,2805 0,3063 33,2422 0,0000 0,0090 0,0079 0,1373 0,0000 0,0000 0,1911 0,3234 0,4823 0,1910
Tahun 2003 0,2375 0,3337 33,6233 0,0000 0,2252 0,0055 0,1517 0,0000 0,0006 0,0246 0,5251 1,5324 0,1577
Nilai RCA Tahun 2004 0,3514 0,2470 27,4760 0,0000 0,0533 0,0005 0,1168 0,0000 0,0000 0,0237 0,3502 2,0370 0,0885
Tahun 2005 0,2228 0,2307 27,1498 0,0000 0,0162 0,0015 0,0799 0,0000 0,0000 0,0128 0,2498 3,4353 0,1025
Tahun 2006 0,3705 0,2549 25,9742 0,0004 0,0145 0,0034 0,0645 0,0000 0,0000 0,0610 0,2808 3,5544 0,1330
185
186
Lampiran 13. Nilai RCA Komoditas Daging Ayam Potongan dan Jeroan Segar dan Beku Beberapa Negara Produsen Utama pada Tahun 2002-2006 Negara Produsen Amerika Serikat China Brazil Meksiko India Fed Rusia Inggris Jepang Indonesia Iran Spanyol Argentina Kanada
Tahun 2002 1,6454 0,9214 12,6463 0,0001 0,0050 0,0071 0,4638 0,0080 0,0732 0,0964 0,3815 0,4722 0,1761
Tahun 2003 1,9176 0,5418 14,0465 0,0040 0,0129 0,0020 0,7200 0,0083 0,0150 0,1893 0,3696 0,6569 0,1677
Nilai RCA Tahun 2004 0,3379 0,1805 23,7584 0,0084 0,0021 0,0003 1,0772 0,0004 0,0034 0,2277 0,4646 1,3498 0,3112
Tahun 2005 0,2791 0,1685 23,7185 0,0048 0,0000 0,0010 0,9091 0,0067 0,0010 0,1983 0,5189 1,9853 0,3180
Tahun 2006 0,3297 0,1059 24,0882 0,0000 0,0008 0,0001 0,8283 0,0092 0,0007 0,3110 0,4352 2,4611 0,4107
186
Lampiran 14. Alur Impor Bibit Ayam 7a 7b 1
PEMOHON
PPI Cek adm min 3 hari 2
2a
DITOLAK model 3
2b2c DITUNDA
Melengkapi adm 5 hari
permohonan diterima permohonan ditolak pertimbangan teknis karantina
Sumber : Poultry Indonesia, 2008
4
DITERIMA
2c 3
model 2
3a
Keterangan :
5
DITJENNAK 1. Analisa teknis benih/bibit ternak potong 2. Analisa teknis keswan 3. Hasil analisa teknis karantina 6
6a
DITERIMA
BADAN KARANTINA Analisa Teknis Karantina 3b
jawaban maksimal 10 hari 6b
DITOLAK ditolak model 4 disetujui SPP model 5
188
Lampiran 15. Analisis Usahatani Pemeliharaan Ayam Ras Pedaging Mandiri Uraian Total Jumlah DOC (Ekor) 15.000 900 Mortalitas (6 %) Jumlah ayam panen (Ekor) 14.100 40 Lama pemeliharaan (Hari) 1,77 Rata-rata bobot badan saat panen (Kg/Ekor) 24.957 Total bobot badan saat panen (Kg) 1,72 FCR I. Investasi Lahan 0,5 Ha @ Rp. 50 Juta/Ha 25.000.000 Kandang, gudang, peralatan 16 unit @ Rp. 15 Juta 240.000.000 Total Investasi 265.000.000 II. Biaya Tetap Penyusutan kandang, bangunan, peralatan 10 %/Tahun 4.000.000 Pemeliharaan/perbaikan 1 %/Tahun dari total investasi 441.670 Gaji pegawai 3 orang @ Rp.1,2 Juta/Periode 3.600.000 8.041.670 Total Biaya Tetap III. Biaya Tidak Tetap Pembelian DOC @ Rp. 2.250/Ekor 33.750.000 49.140.000 Pakan starter @ Rp. 2.600/Kg 57.750.000 Pakan finisher @ Rp. 2.500/Kg Obat-obatan dan vaksin @ Rp. 250/Ekor 3.750.000 Listrik, sekam, bahan bakar @ Rp. 650/Ekor 9.750.000 154.140.000 Total Biaya Tidak Tetap 162.181.670 Total Biaya Tetap dan Tidak Tetap IV. Penerimaan Penjualan ayam @ Rp. 7.500/Kg 187.177.500 Penjualan pupuk @ Rp. 2.500/Kg 360.000 420.000 Penjualan karung pakan @ Rp. 500/buah 189.957.500 Total Peneriman Pendapatan 25.775.830 B/C 1,16 Sumber : Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Deptan, 2007
188
189
Lampiran 16. Analisis Usahatani Pemeliharaan Ayam Ras Pedaging IntiPlasma Uraian Total Jumlah DOC (Ekor) 15.000 Mortalitas (3,2 %) 450 14.550 Jumlah ayam panen (Ekor) 35 Lama pemeliharaan (Hari) 1,56 Rata-rata bobot badan saat panen (Kg/Ekor) 22.698 Total bobot badan saat panen (Kg) 1,65 FCR I. Modal Kerja Kredit dari inti DOC @ Rp. 2.250/Ekor 37.110.000 Pakan starter @ Rp. 2.600/Kg 28.088.775 Pakan finisher @ Rp. 2.500/Kg 62.918.856 Obat-obatan dan vaksin @ Rp. 250/Ekor 1.800.000 Total Modal Kerja 129.917.631 II. II. Biaya Operasional Gas/brooder @ Rp. 40/Ekor 600.000 Sekam @ Rp. 25/Ekor 375.000 Listrik @ RP. 15/Ekor 225.000 Tenaga kerja @ Rp. 125/Ekor 1.875.000 Penyusutan kandang dan alat 280.000 Total Biaya Operasional 3.355.000 Total Modal Kerja dan Biaya Operasional 133.272.631 III. Penerimaan Penjualan ayam @ Rp. 7.500/Kg 170.235.000 Penjualan pupuk 548.000 Total Penerimaan 170.783.000 Pendapatan 37.510.369 B/C 1,28 Sumber : Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Deptan, 2007
189
190
Lampiran 17. Analisis Usahatani Pemeliharaan Ayam Ras Pedaging Poultry Shop Uraian Total Jumlah DOC (Ekor) 15.000 Mortalitas (4,7 %) 705 14.295 Jumlah ayam panen (Ekor) 35 Lama pemeliharaan (Hari) 1,5 Rata-rata bobot badan saat panen (Kg/Ekor) 21.442,5 Total bobot badan saat panen (Kg) 1,7 FCR I. Modal Kerja Kredit dari Poultry Shop DOC @ Rp. 2.500/Ekor 37.500 Pakan starter @ Rp. 2.525/Kg 27.612.579,38 Pakan finisher @ Rp. 2.425/Kg 61.877.694,38 Obat-obatan dan vaksin @ Rp. 100/Ekor 1.500.000 Total Modal Kerja 128.490.273,75 II. II. Biaya Operasional Gas/brooder @ Rp. 40/Ekor 600.000 Sekam @ Rp. 25/Ekor 375.000 Listrik @ RP. 15/Ekor 225.000 Tenaga kerja @ Rp. 125/Ekor 1.500.000 Penyusutan kandang dan alat 250.000 Total Biaya Operasional 2.950.000 Total Modal Kerja dan Biaya Operasional 131.440.273,75 III. Penerimaan Penjualan ayam @ Rp. 7.500/Kg 164.035.125 Penjualan pupuk 578.000 Total Penerimaan 164.613.125 Pendapatan 33.172.851,25 B/C 1,25 Sumber : Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Deptan, 2007
190