PENGARUH HARGA KOMODITAS SUBSTITUSI DAN KOMPLEMENTER TERHADAP PERMINTAAN DAGING AYAM RAS DI KABUPATEN BOGOR
Oleh : SANDY PRASETYO A 14105703
PROGRAM STUDI EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
PENGARUH HARGA KOMODITAS SUBSTITUSI DAN KOMPLEMENTER TERHADAP PERMINTAAN DAGING AYAM RAS DI KABUPATEN BOGOR
Oleh : SANDY PRASETYO A14105703
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian Pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN SANDY PRASETYO. Pengaruh Harga Komoditas Substitusi dan Komplementer Terhadap Permintaan Daging Ayam Ras di Kabupaten Bogor. (Di bawah bimbingan YUSALINA).
Produk peternakan yang dikonsumsi oleh masyarakat pada umumnya berasal dari daging ternak unggas dan sapi potong. Ayam ras pedaging merupakan salah satu sumber makanan yang memiliki nilai gizi yang baik dan sudah banyak dikonsumsi oleh masyarakat. Hal ini disebabkan karena protein hewani memiliki kandungan asam amino esensial yang lebih lengkap dari pada protein nabati, walaupun harga untuk komoditas peternakan relatif lebih mahal dibandingkan harga komoditas sayuran. Namun, dengan kandungan protein yang hampir sama yaitu sebesar 18,2 persen pada daging ayam dan 19,8 persen pada daging sapi harga daging ayam relatif lebih murah daripada daging sapi. Untuk harga rata-rata daging ayam ras sebesar Rp 16.000/kg sementara harga rata-rata daging sapi sebesar Rp 50.000/kg. Sentra produksi ternak unggas Indonesia banyak tersebar di wilayah Jawa Barat, salah satunya berasal dari Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Hal ini terjadi mengingat tingginya tingkat permintaan yang berasal dari daerah Depok, Kota Bogor, Bekasi, DKI Jakarta, Sukabumi, Cianjur, Subang, Garut dan Tasikmalaya. Kemudian, tersedianya wilayah pedesaan yang ideal untuk kegiatan budidaya ternak ayam sehingga menjadikan wilayah Bogor sebagai daerah yang potensial untuk mengembangkan usaha ternak ayam. Selama periode 2003 – 2007, permintaan daging ayam ras di Kabupaten Bogor mengalami fluktuasi. Interaksi antara perubahan harga input dengan perubahan tingkat konsumsi dari sisi permintaan, merupakan salah satu faktor yang menyebabkan permintaan daging ayam ras tidak stabil. Permintaan yang terjadi di Kabupaten Bogor merupakan volume daging ayam ras yang dikonsumsi oleh konsumen akhir pada tingkat harga dan waktu tertentu. Pada kondisi-kondisi seperti pada saat harga bahan bakar minyak dunia cenderung meningkat, kebutuhan bahan baku input produksi seperti pakan masih impor, serta isu flu burung yang belum sepenuhnya dapat ditanggulangi, berdampak pada turunnya tingkat permintaan. Kondisi lain seperti pada saat memasuki masa ramai menjelang hari Raya Idul Fitri dan tahun baru, mengakibatkan permintaan daging ayam cenderung meningkat cukup tajam. Kondisi tersebut menyebabkan harga jual daging ayam ras di Kabupaten Bogor tidak stabil, dan pada akhirnya mempengaruhi tingkat permintaan. Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah dijelaskan, maka penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan daging ayam ras di Kabupaten Bogor serta menganalisis pengaruh perubahan harga daging ayam ras, harga barang substitusi, dan harga barang komplemen terhadap permintaan daging ayam ras di Kabupaten Bogor. Untuk menganalisis faktor-faktor tersebut, digunakan metode kausal regresi berganda. Bentuk atau model regresi berganda yang digunakan ada dua macam.
Model pertama adalah regresi dalam bentuk logaritma natural (double log), sedangkan model regresi kedua dalam bentuk linear berganda. Hasil analisis menggunakan model pertama adalah nilai Fhit (76,73) lebih besar dari Ftab (2,38) pada taraf nyata lima persen artinya bahwa semua variabel independent yang dihipotesiskan sebelumnya secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap nilai permintaan daging ayam ras, dengan nilai koefisien determinasi sebesar 87,7 persen. Uji Durbin Watson memiliki batas atas dan batas bawah. Nilai batas atas yang diperoleh adalah 1,77 dan batas bawah adalah 1,41 pada taraf nyata lima persen. Dari nilai statistik model permintaan daging ayam ras diperoleh nilai sebesar 1,48032 maka tidak diketahui apakah terdapat masalah autokorelasi dalam model. Namun, berdasarkan pemeriksaan autokorelasi residual memberikan indikasi bahwa semuanya berada dalam dua batas galat baku (garis putus-putus). Sehingga dapat disimpulkan bahwa korelasi serial telah dieleminasi. Nilai statistik uji Kolmogorov-Smirnov (KShitung) yang didapatkan adalah sebesar 0,076. Nilai ini lebih kecil jika dibandingkan dengan KStabel sebesar 0,175 dengan menggunakan selang kepercayaan 95 persen. Hal ini menandakan bahwa residual dalam model regresi double log sudah menyebar normal. Kemudian faktor yang berpengaruh signifikan terhadap permintaan daging ayam ras di Kabupaten Bogor adalah variabel harga rata-rata daging sapi, harga daging ikan, harga telur ayam dan dummy. Variabel harga daging sapi dan harga daging ikan bersifat elastis sedangkan variabel harga daging ayam, harga telur ayam dan dummy inelastis. Hasil analisis model kedua adalah nilai Fhitung sebesar 70,75. Angka tersebut lebih besar dari F tabel sebesar 2,38 pada taraf nyata lima persen artinya bahwa semua variabel independent yang dihipotesiskan sebelumnya secara bersamasama berpengaruh nyata terhadap nilai permintaan daging ayam ras, dengan nilai koefisien determinasi sebesar 86,6 persen. Nilai Durbin Watson model permintaan daging ayam ras diperoleh sebesar 1,54949 maka tidak diketahui apakah terdapat masalah autokorelasi dalam model. Namun, berdasarkan pemeriksaan autokorelasi residual memberikan indikasi bahwa semuanya berada dalam dua batas galat baku (garis putus-putus). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa korelasi serial telah dieleminasi. Nilai statistik uji Kolmogorov-Smirnov (KShitung) yang didapatkan adalah sebesar 0,075. Nilai ini lebih kecil jika dibandingkan dengan KStabel sebesar 0,175 dengan menggunakan selang kepercayaan 95 persen. Hal ini menandakan bahwa residual dalam model regresi tanpa transformasi sudah menyebar normal. Kemudian semua variabel bebas berpengaruh signifikan terhadap permintaan daging ayam ras di Kabupaten Bogor yaitu variabel harga rata-rata daging ayam, daging sapi, harga daging ikan, harga telur ayam dan dummy. Variabel harga daging sapi dan harga daging ikan bersifat lebih elastis dibandingkan variabel harga daging ayam, harga telur ayam dan dummy.
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI BERJUDUL “PENGARUH HARGA KOMODITAS SUBSTITUSI DAN KOMPLEMENTER TERHADAP PERMINTAAN DAGING AYAM RAS DI KABUPATEN BOGOR” BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA TULIS ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.
Bogor, November 2008
Sandy Prasetyo A14105703
Judul Skripsi : Pengaruh Harga Komoditas Substitusi dan Komplementer Terhadap Permintaan Daging Ayam Ras di Kabupaten Bogor Nama
: Sandy Prasetyo
NRP
: A14105703
Program Studi : Ekstensi Manajemen Agribisnis
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dra. Yusalina, M.Si NIP. 131 914 523
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP 131.124.019
Tanggal kelulusan :
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 25 September 1983. Lahir sebagai putra dari pasangan Bapak Eddy Yanto dan Ibu Ari Astuti, serta merupakan putra ketiga dari empat bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan menengah umum di SMU Negeri 1 Depok pada tahun 2001, kemudian melanjutkan studi untuk tingkat perguruan tinggi di Institut Pertanian Bogor, Fakultas Pertanian, Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Program Studi Diploma III Manajemen Agribisnis. Semasa kuliah penulis aktif dalam organisasi Forum Komunikasi MAB pada bidang Pengembangan Sumberdaya Manusia tahun 2003 – 2004. Setelah itu pada tahun 2006 penulis melanjutkan kembali pendidikannya ke Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
UCAPAN TERIMA KASIH
Syukur Alhamdulillah dipersembahkan kepada Allah SWT yang telah merestui penyusunan skripsi ini hingga selesai. Proses penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada bagian ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1. Kedua orang tua tercinta di Depok atas dorongan moril dan materil dalam penyelesaian skripsi ini. 2. Dra. Yusalina, M.Si, selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan ilmu selama penulisan skripsi. 3. Ir. Juniar Atmakusuma, MS. Dosen evaluator pada saat kolokium yang telah memberikan kritik dan saran untuk perbaikan penelitian ini. 4. Dr. Ir. Rita Nurmalina, MS sebagai dosen penguji utama dan Ir. Narni Farmayanti, M.Sc selaku dosen komisi akademik atas kritik dan sarannya guna kesempurnaan penelitian ini. 5. Kakak Ria, Adityo dan adik Hadyan atas dukungannya. 6. Para sahabat Koko, Endy, Bayu, Dimas, Dea, Wildan, Rita, Rhininta, Irma, Icha, Fresti, Irma Amelia dan kawan-kawan lainnya.
Bogor, November 2008
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat dan karunia-Nya hingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini mengambil topik mengenai ”Pengaruh Harga Komoditas Substitusi dan Komplementer Terhadap Permintaan Daging Ayam Ras di Kabupaten Bogor”. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara permintaan daging ayam ras di Kabupaten Bogor dengan harga komoditas lainnya pada periode 2003 – 2007. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam skripsi yang telah dibuat ini sehingga kritik dan saran sangat diharapkan untuk membuat skripsi ini menjadi lebih baik lagi. Semoga apa yang penulis sampaikan pada skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca.
Bogor, November 2008
Sandy Prasetyo 14105703
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ........................................................................................... xi DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xii DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xiii I. PENDAHULUAN ..................................................................................... 1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1.2 Perumusan Masalah .............................................................................. 1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................... 1.4 Kegunaan Penelitian............................................................................... 1.5 Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian ................................................
1 1 4 7 8 8
II. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 2.1 Sejarah Ayam Ras Pedaging ................................................................. 2.2 Usaha Budidaya Ayam Ras Pedaging................................................... 2.3 Faktor Pendukung Pertumbuhan Ayam Ras Pedaging ......................... 2.4 Hasil Penelitian Terdahulu....................................................................
9 9 11 13 17
III. KERANGKA PEMIKIRAN ................................................................... 3.1 Kerangka Teoritis................................................................................... 3.1.1 Permintaan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi....................... 3.1.2 Kurva Permintaan ........................................................................... 3.1.3 Elastisitas Permintaan..................................................................... 3.2 Kerangka Pemikiran Operasional .........................................................
23 23 23 26 29 31
IV. METODE PENELITIAN ......................................................................... 4.1 Jenis dan Sumber Data .......................................................................... 4.2 Perumusan Model ................................................................................. 4.3 Metode Analisis .................................................................................... 4.3.1 Pengujian Model Regresi................................................................. 4.3.2 Pengukuran Elastisitas.................................................................... 4.4 Hipotesis................................................................................................
34 34 34 36 36 40 41
V. GAMBARAN UMUM USAHA AYAM RAS PEDAGING DI KABUPATEN BOGOR ....................................................................... 5.1. Perkembangan Permintaan Daging Ayam Ras di Kabupaten Bogor ............................................................................. 5.2. Pemasaran Daging Ayam Ras di Kabupaten Bogor ............................ VI. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................ 6.1. Harga Rata-rata Daging Ayam Ras di Kabupaten Bogor .................... 6.2. Harga Rata-rata Daging Sapi di Kabupaten Bogor .............................. 6.3. Harga Rata-rata Daging Ikan di Kabupaten Bogor .............................. 6.4. Harga Rata-rata Telur Ayam Ras di Kabupaten Bogor .......................
43 43 44 47 47 49 50 51
6.5. Kecenderungan Permintaan Pada Masa Ramai .................................... 6.6. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Permintaan Daging Ayam Ras Model 1 .................................................................. 6.7. Elastisitas Variabel Pada Model 1 ........................................................ 6.8. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Permintaan Daging Ayam Ras Model 2 .................................................................. 6.9. Elastisitas Variabel Pada Model 2 ........................................................
52 53 60 61 67
VII. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 7.1 Kesimpulan ........................................................................................... 7.2 Saran ....................................................................................................
69 69 70
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... LAMPIRAN .....................................................................................................
72 74
x
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1.
Produksi Daging di Indonesia Tahun 2005 – 2007............................... 2
2.
Perkembangan Produksi, Populasi, dan Impor Daging Ayam Broiler di Indonesia Periode 2003 - 2007 ............................................. 3
3.
Perkembangan Populasi Ternak Ayam Ras Tahun 2003 – 2007.......... 4
4.
Bobot Badan dan Pertambahan Bobot Badan Ayam Broiler................ 12
5.
Keperluan Luas Lantai untuk Ayam Broiler......................................... 16
6.
Perkembangan Perusahaan Ayam Ras Pedaging di Kab. Bogor .......... 43
7.
Pertumbuhan Produksi Ayam Ras Pedaging di Kab. Bogor................. 44
8.
Hasil Analisis Ragam Model 1 ............................................................. 53
9.
Analisis Variabel Pada Model 2 ........................................................... 55
10.
Nilai Elastisitas pada Model 1 ............................................................. 60
11.
Hasil Analisis Ragam Model 2 ............................................................ 61
12.
Analisis Variabel Pada Model 2 ........................................................... 63
13.
Nilai Elastisitas pada Model 2 .............................................................. 68
xi
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1.
Perkembangan Permintaan Daging Ayam Ras di Kabupaten Bogor ............................................................................. 5
2.
Perkembangan Harga Pakan Ayam Ras Pedaging di Kabupaten Bogor ............................................................ 6
3.
Kurva Permintaan Umum .................................................................... 26
4.
Pergerakan Sepanjang Kurva Permintaan............................................ 27
5.
Pergeseran Kurva Permintaan.............................................................. 28
6.
Kerangka Operasional Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Daging Ayam Ras di Kabupaten Bogor ........................... 33
7.
Jalur Distribusi Ayam Ras Pedaging di Kabupaten Bogor ................. 45
8.
Perkembangan Harga Daging Ayam Ras di Kabupaten Bogor ........... 48
9.
Perkembangan Harga Daging Sapi di Kabupaten Bogor..................... 49
10.
Perkembangan Harga Daging Ikan di Kabupaten Bogor..................... 50
11.
Perkembangan Harga Telur di Kabupaten Bogor................................ 51
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1.
Produksi Daging Ayam Broiler Tahun 2003 - 2007 di Indonesia ..................................................................................... 75
2.
Hasil Beberapa Studi Penelitian Terdahulu .................................... 76
3.
Output Minitab untuk Model 1 (double log) .................................. 77
4.
Output Minitab untuk Model 2 (tanpa log) ..................................... 78
5.
Data Input Permintaan Daging Ayam Ras di Kabupaten Bogor ........................................................................ 79
6.
Autokorelasi Residual untuk Model 1 (double log) ........................ 81
7.
Autokorelasi Residual untuk Model 2 (tanpa log) .......................... 81
xiii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Peternakan merupakan salah satu subsektor agribisnis yang memiliki potensi sumberdaya yang besar dan beragam, serta menjadi basis pertumbuhan di pedesaan. Era perkembangan agribisnis akan semakin diperlukan sebagai kebutuhan primer manusia sejalan dengan pertumbuhan populasi masyarakat Indonesia yang terus meningkat pula. Sektor peternakan menghasilkan berbagai macam produk yang dapat dijadikan bahan pangan untuk kelangsungan hidup manusia. Jenis ternak yang dikonsumsi oleh masyarakat pada umumnya berasal dari daging ternak unggas dan sapi potong. Ayam ras pedaging merupakan salah satu sumber makanan yang memiliki nilai gizi yang baik dan sudah banyak dikonsumsi oleh masyarakat. Hal ini disebabkan karena protein hewani memiliki kandungan asam amino esensial yang lebih lengkap dari pada protein nabati, walaupun harga untuk komoditas peternakan relatif lebih mahal dibandingkan harga komoditas sayuran. Produk peternakan yang banyak dikonsumsi masyarakat adalah daging sapi dan daging ayam. Namun, dengan kandungan protein yang hampir sama yaitu sebesar 18,2 persen pada daging ayam dan 19,8 persen pada daging sapi 1 , harga daging ayam relatif lebih murah daripada daging sapi. Untuk harga rata-rata daging ayam ras sebesar Rp 16.000/kg sementara harga rata-rata daging sapi sebesar Rp 50.000/kg. Produksi daging pada tahun 2007 sebanyak 2.169,8 ton terdiri dari daging sapi, kerbau, kambing, domba, babi, ayam buras, dan ayam ras pedaging dan 1
Daging dan Telur Ayam Sumber Protein Murah. Poultry Indonesia. Edisi Juni 2006 vol 1.
1
ternak lainnya sebesar 91,1 ribu ton (Tabel 1). Sedangkan produksi daging terbesar disumbang oleh ayam ras pedaging (44,1 persen), sapi dan kerbau (21,4 persen), ayam buras (16,1 persen), dan babi (9,2 persen).
Tabel 1. Produksi Daging di Indonesia Tahun 2005 – 2007 Tahun Jenis 2005 r (%) 2006 Sapi Potong 358,7 10,3 395,8 Kerbau 38,1 15,2 43,9 Kambing 50,6 28,5 65,0 Domba 47,3 59,0 75,2 Babi 173,7 12,8 196,0 Ayam Buras 301,4 13,2 341,3 Ayam Ras Pedaging 779,1 10,6 861,3 Sumber : Direktorat Jenderal Peternakan (2007)
(000 ton)
r (%) 5,7 4,6 -2,5 12,8 1,5 2,3 6,6
2007 418,2 45,9 63,4 84,8 198,9 349,0 918,5
Pertumbuhan produksi ayam ras pedaging pada tahun 2005 – 2006 adalah sebesar 10,55 persen dan pada tahun 2006 - 2007 sebesar 6,64 persen. Kontribusi ayam ras pedaging terhadap produksi daging di Indonesia sejak tahun 2005 hingga 2007 selalu mendominasi. Produksi ayam ras pedaging pada tahun 2005 sebesar 44,5 persen dan tahun 2006 mencapai 43,5 persen, kemudian diikuti daging dari jenis sapi potong dan ayam buras. Produksi ayam ras pedaging yang cukup besar menggambarkan ketersediaan pasar dan pertumbuhan tingkat konsumsi terhadap komoditas tersebut. Permintaan daging ayam yang cenderung meningkat tiap tahun belum diimbangi dengan produksi daging ayam, sehingga masih terdapat kekurangan produksi dari tahun ke tahun. Hal ini ditandai dengan upaya pemerintah dalam mengimpor daging ayam untuk menutupi kekurangan permintaan (Tabel 2). Sepanjang pertengahan tahun 2003 sampai dengan pertengahan tahun 2004, industri peternakan unggas Indonesia terserang wabah flu burung subtipe H5N1.
2
Dampak yang ditimbulkan adalah penurunan populasi ayam pedaging pada tahun 2004 sebesar -8,11 persen .
Tabel 2. Perkembangan Produksi, Populasi, dan Impor Daging Ayam Broiler di Indonesia Periode 2003 - 2007 Tahun Produksi (kg) Populasi (ekor) Impor (kg/thn) 2003 771.112.000 847.743.895 546.000 2004 846.097.000 778.969.843 1.313.900 2005 779.108.000 811.188.684 3.978.400 2006 861.263.000 797.527.446 3.468.400 2007 918.479.000 920.851.129 Sumber : Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan (2007) Perkembangan tren produksi yang cenderung positif serta permintaan yang tinggi, merupakan suatu peluang bagi para peternak ayam untuk terus meningkatkan produksinya atau membuka kesempatan baru untuk mendirikan usaha ternak ayam ras pedaging. Budidaya ayam ras pedaging ini dapat dilakukan di mana saja asalkan cukup jauh dari keramaian/perumahan penduduk dan lokasi mudah terjangkau dari pusat-pusat pemasaran. Sentra produksi ternak unggas Indonesia banyak tersebar di wilayah Jawa Barat (Lampiran 1), salah satunya berasal dari Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Hal ini terjadi mengingat tingginya tingkat permintaan yang berasal dari daerah Depok, Kota Bogor, Bekasi, DKI Jakarta, Sukabumi, Cianjur, Subang, Garut dan Tasikmalaya. Kemudian, tersedianya wilayah pedesaan yang ideal untuk kegiatan budidaya ternak ayam sehingga menjadikan wilayah Bogor sebagai daerah yang potensial untuk mengembangkan usaha ternak ayam. Perkembangan populasi ternak ayam ras pedaging di Kabupaten Bogor cenderung positif dari tahun ke tahun (Tabel 3). Pertumbuhan populasi ternak ayam ras pedaging dari tahun 2003 – 2007 berturut-turut sebesar 18 persen, -0,43
3
persen, 43,6 persen dan 7,52 persen. Pertumbuhan terendah terjadi pada tahun 2005 sebesar -0,43 persen. Dampak dari penyakit flu burung yang menyerang hewan ternak unggas, mengakibatkan banyak peternak mengurangi atau berhenti memelihara ayam ras. Pada akhir tahun 2005 juga terjadi kenaikan harga BBM yang berdampak luas pada segala sektor, hal ini juga memicu penurunan tingkat konsumsi sehingga pertumbuhan populasi ayam ras pedaging di Kabupaten Bogor pada tahun 2005 cenderung mengalami penurunan.
Tabel 3. Perkembangan Populasi Ternak Ayam Ras di Kab. Bogor Tahun 2003 - 2007 Jenis Ternak
2003
2004
2005
2006
2007
3.533.007
3.791.836
Ayam Ras Petelur
3.439.104
3.055.300 3.045.200
Ayam Ras Pedaging
7.028.804
8.294.000 8.257.900 11.864.000 12.756.300
Sumber : Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor (2007)
Bisnis ayam ras pedaging selalu menampilkan dinamika yang sangat cepat. Dinamika ini disebabkan oleh adanya perubahan dalam bidang ekonomi, peraturan perundang-undangan menyangkut ayam ras, dan perkembangan permintaan konsumen yang sejalan dengan laju pertumbuhan penduduk. Perkembangan peternakan ayam ras pedaging dapat terlihat dari banyaknya jumlah peternak ayam yang ada (Tabel 6), baik dalam bentuk perusahaan atau peternak kecil dengan penerapan pola kemitraan.
1.2. Perumusan Masalah Potensi pengembangan ayam ras pedaging di Kabupaten Bogor tergolong cukup baik, hal ini terlihat pada kontribusinya terhadap produksi daging ternak dari tahun ke tahun selalu mendominasi. Untuk tahun 2007, kontribusi produksi
4
ayam ras pedaging terhadap total produksi daging ternak sebesar 82 persen. Sementara rata-rata kontribusi dari tahun 2003 – 2007 mencapai 81,37 persen. Selama periode 2003 – 2007, permintaan daging ayam ras di Kabupaten Bogor mengalami fluktuasi (Gambar 1). Interaksi antara perubahan harga input dengan perubahan tingkat konsumsi dari sisi permintaan, merupakan salah satu faktor yang menyebabkan permintaan daging ayam ras tidak stabil.
2000 1800
Permintaan (ton)
1600 1400 1200 1000 800 600 400 200
07 20
20
06
05 20
04 20
20
03
0
Periode
Gambar 1. Perkembangan Permintaan Daging Ayam Ras di Kabupaten Bogor Sumber : Dinas Peternakan dan Perikanan Kab. Bogor, 2007
Fluktuasi pada sisi penawaran umumnya terjadi karena sarana input utama yakni pakan masih tergantung kepada bahan-bahan impor, seperti tepung ikan sebesar 12,5 persen, bungkil kacang kedelai sebesar 17 persen, bungkil kelapa sebesar 5 persen, dedak halus sebesar 12,5 persen, minyak kelapa sebesar 2 persen, pelengkap sebesar 0,5 persen, dan jagung sebesar 50 persen. Sementara itu, pakan merupakan kompenen biaya terbesar dalam usaha ternak ayam ras
5
pedaging. Biaya untuk pakan dapat mencapai 70 – 75 persen dari total biaya produksi (Rasyaf, 2007). Pada Gambar 2 dapat dilihat perkembangan harga pakan ayam ras pedaging di Kabupaten Bogor dari tahun 2003 – 2007 untuk setiap bulannya. Pergerakan harga pakan selama periode tersebut berkisar antara Rp 2.300 – Rp 3.500/kg. Penurunan harga pakan terendah terjadi pada tahun 2003 dan 2004, karena adanya dampak flu burung terhadap penurunan permintaan daging ayam.
4.000 3.500
Harga (Rp/Kg)
3.000 2.500 2.000 1.500 1.000 500
20
07 20
06
05 20
04 20
20
03
0
Periode
Gambar 2. Perkembangan Harga Pakan Ayam Ras Pedaging di Kabupaten Bogor Sumber : Dinas Peternakan dan Perikanan Kab. Bogor, 2007
Permintaan yang terjadi di Kabupaten Bogor merupakan volume daging ayam ras yang dikonsumsi oleh konsumen akhir pada tingkat harga dan waktu tertentu. Perubahan tingkat konsumsi daging ayam ras di Kabupaten Bogor dipengaruhi oleh pola konsumsi masyarakatnya. Pada saat perayaan tertentu seperti perayaan hari Raya keagamaan dan menjelang tahun baru menyebabkan
6
permintaan terhadap komoditas ini bertambah. Sementara itu, wabah flu burung subtipe H5N1 yang menyerang ternak-ternak unggas membuat masyarakat takut mengkonsumsi produk ayam ras sehingga permintaan terhadap daging ayam ras mengalami penurunan. Pada kondisi-kondisi seperti pada saat harga bahan bakar minyak dunia cenderung meningkat, kebutuhan bahan baku input produksi seperti pakan masih impor, serta isu flu burung yang belum sepenuhnya dapat ditanggulangi, berdampak pada turunnya tingkat permintaan. Kondisi lain seperti pada saat memasuki masa ramai menjelang hari Raya Idul Fitri dan tahun baru, mengakibatkan permintaan daging ayam cenderung meningkat cukup tajam. Kondisi-kondisi tersebut menyebabkan harga jual daging ayam ras di Kabupaten Bogor tidak stabil (Gambar 8), dan pada akhirnya mempengaruhi tingkat permintaan. Berdasarkan uraian di atas maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan dalam penelitian ini, yaitu : 1. Faktor-faktor harga apa saja yang mempengaruhi permintaan daging ayam ras di Kabupaten Bogor? 2. Bagaimana pengaruh perubahan harga daging ayam ras (elastisitas harga), harga barang substitusi (elastisitas silang), dan harga barang komplementer terhadap permintaan daging ayam ras di Kabupaten Bogor?
1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah dijelaskan, penelitian ini bertujuan :
7
1. Menganalisis faktor-faktor harga yang mempengaruhi permintaan daging ayam ras di Kabupaten Bogor 2. Menganalisis pengaruh perubahan harga daging ayam ras, harga barang substitusi, harga barang komplemen terhadap permintaan daging ayam ras di Kabupaten Bogor.
1.4. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan berguna bagi peneliti sebagai peningkatan wawasan dan wacana dalam menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan suatu produk, khususnya daging ayam ras. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan pertimbangan bagi perusahaan dan peternak yang terlibat di dalam lingkungan usaha ayam ras pedaging, serta bagi pemerintah daerah dalam menetapkan kebijakan. Penelitian ini juga diharapkan sebagai media informasi dan pembanding dalam melakukan penelitian lebih lanjut.
1.5. Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian Penelitian ini hanya menganalisis variabel-variabel harga komoditas lain yang berpengaruh terhadap permintaan daging ayam ras. Hal ini dikarenakan data yang diamati adalah data bulanan. Dengan tujuan untuk melihat pergerakan harga daging ayam ras yang tidak stabil. Oleh karena itu, variabel-variabel lain seperti tingkat pendapatan dan populasi tidak dimasukkan ke dalam model, karena variabel tersebut hanya tersedia dalam bentuk data tahunan.
8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sejarah Ayam Ras Pedaging Ayam ras tipe pedaging yang dikembangkan peternak di seluruh dunia sekarang, berasal dari ayam hutan liar yang dijinakkan (domestikasi) sekitar 8.000 tahun yang lalu (ASOHI, 2001). Domestikasi lazimnya dilanjutkan dengan budidaya, yang bertujuan mendapatkan daging, telur dan bibit yang lebih baik. Budidaya ayam secara komersial dimulai awal abad 19 yang secara bertahap menuju sistem modern. Melalui program-program seleksinya, para pembibit mencapai kemajuan dalam efisiensi produksi ayam pedaging maupun petelur. Strain ayam pedaging modern terutama berasal dari jenis White Plymouth Rock dan White Cornish. Taksonomi ayam dapat diklasifikasi sebagai berikut2 : Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Subfilum
: Vertebrata
Kelas
: Aves
Ordo
: Galliformes
Famili
: Phasianidae
Genus
: Gallus
Spesies
: Gallus gallus
Ayam ras pedaging disebut juga broiler, yang merupakan jenis ras unggulan hasil persilangan dari bangsa-bangsa ayam yang memiliki produktivitas tinggi, terutama dalam memproduksi daging ayam. Ayam ras mulai dipelihara dan 2
Plasma Nutfah : Ayam. www.puslitbangnak online.go.id. 2008
9
dikenal di Indonesia sejak tahun 1950. Menurut Ruhyat (2006), periode perkembangannya dapat dibagi menjadi berbagai tahapan sebagai berikut : a. Periode 1950-an merupakan tahap perintisan pengembangan ayam ras melalui upaya impor bibit anak ayam ras untuk dikembangkan secara komersil di Indonesia. b. Periode 1970-an adalah tahap pertumbuhan, dimana berbagai industri perunggasan telah tumbuh baik investasi pada industri hulu (bibit, pakan dan obat-obatan), industri hilir (rumah potong ayam) maupun pada usaha produksi budidaya. c. Periode 1980-an perkembangan perunggasan sangat cepat, sehingga melahirkan pertentangan kepentingan antara peternak ayam skala besar (komersil) dengan peternak skala keluarga (backyard). Pemerintah berupaya mengantisipasi permasalahan tersebut dengan Keppres No. 50/1981 dan pada tahun
1984 ditetapkan pelaksanaan pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR)
perunggasan. Namun, dalam pelaksanaannya masih terdapat kelemahankelemahan yang menyebabkan peternak skala kecil tidak mengalami perbaikan. Selanjutnya, dalam rangka meningkatkan kesempatan berusaha dan kesejahteraan rakyat Pemerintah mengeluarkan kebijakan baru berupa Keppres
No.22/1990
Perkembangan
tentang
berikutnya
pembinaan
menunjukkan
usaha upaya
ternak
ayam
pengembangan
ras. usaha
peternakan lebih diarahkan melalui pola Kawasan Industri Peternakan (KINAK). d. Periode 1990-an merupakan tahap ketangguhan, dimana fluktuasi harga sarana dan hasil produksi masih terjadi. Tahun 1988 telah terjadi kenaikan harga
10
jagung dari Rp 180/kg menjadi Rp 300/kg, sementara harga DOC mengalami penurunan dan harga jual telur dan daging di bawah harga pokok. Tahun 1990 terjadi over supply DOC, sehingga harga DOC turun dari Rp 675/ekor menjadi Rp 300/ekor dan memaksa perusahaan pembibitan membakar DOC. Kemudian pada tahun 1997, adanya krisis moneter menyebabkan harga bahan baku pakan kembali naik, sementara itu daya beli masyarakat melemah karena kenaikan harga-harga barang. Pemerintah optimis bahwa industri perunggasan Indonesia kembali tumbuh, terbukti setelah tahun 2000 kondisi perekonomian sudah berangsur pulih dan produksi ayam broiler kembali membaik. Namun pada tahun 2003, industri perunggasan kembali menghadapi masalah wabah flu burung subtipe H5N1 yang menyerang hewan unggas dan mulai menular kepada manusia. Peran serta pemerintah dalam sosialisasi penanganan flu burung telah mengangkat kembali kondisi perunggasan Indonesia.
2.2. Usaha Budidaya Ayam Ras Pedaging Masyarakat Indonesia telah mengenal berbagai kelebihan ayam pedaging. Waktu pemeliharaan relatif singkat yaitu antara 5 – 6 minggu dan menguntungkan, maka banyak peternak baru serta peternak musiman yang bermunculan diberbagai wilayah Indonesia. Berbagai macam strain ayam ras pedaging telah beredar di pasaran dengan daya produktifitas relatif sama. Adapun jenis strain ayam ras pedaging yang banyak beredar di pasaran adalah : Super 77, Tegel 70, ISA, Kim cross, Lohman 202, Hyline, Vdett, Missouri, Hubbard, Shaver Starbro, Pilch, Yabro, Goto, Arbor arcres, Tatum, Indian river, Hybro,
11
Cornish, Brahma, Langshans, Hypeco-Broiler, Ross, Marshall”m”, Euribrid, A.A 70, H&N, Sussex, Bromo, dan CP 707. Pertumbuhan yang paling cepat terjadi sejak menetas sampai umur 4 – 6 minggu, kemudian mengalami penurunan dan terhenti saat mencapai dewasa (Tabel 4). Jika ayam broiler dipelihara hingga di atas umur enam minggu maka timbunan lemak akan meningkat dengan bertambahnya umur.
Tabel 4. Bobot Badan dan Pertambahan Bobot Badan Ayam Broiler Jantan Umur (minggu)
Betina
Bobot Hidup
Pertumbuhan Bobot Badan
Bobot Hidup
Pertumbuhuan Bobot Badan
1
0,15
0,15
0,15
0,15
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
0,41 0,72 1,12 1,54 2,01 2,52 3,03 3,51 3,97 4,40
0,25 0,32 0,40 0,42 0,48 0,51 0,50 0,49 0,46 0,42
0,38 0,67 1,00 1,37 1,75 2,15 2,53 2,88 3,18 3,45
0,23 0,29 0,33 0,37 0,39 0,40 0,38 0,35 0,31 0,27
Sumber : Kartasudjana (2006)
Skala usaha beternak ayam ras pedaging komersial menurut Fadilah (2007), terdiri atas : 1. Skala Kecil (peternakan rakyat) Jumlah ayam yang dibudidayakan 1.000 – 50.000 ekor, tetapi umumnya 5.000 – 25.000 ekor. Peternakan rakyat mempunyai beberapa karakter seperti ; modal terbatas, kontinuitas usaha sepanjang tahun tidak berjalan lancar,
12
kandang dibangun sederhana dan dekat dengan tempat tinggal, serta kepemilikannya bersifat perorangan. 2. Skala Sedang (peternak besar) Jumlah ayam yang dipelihara 50.000 – 500.000 ekor. Status kepemilikan masih perorangan. Manajemen pemeliharannya lebih maju daripada manajemen yang dilaksanakan dipeternakan rakyat. Namun, secara legal belum membentuk perusahaan yang berbadan hukum. 3. Skala Besar Peternakan ini sudah bernaung di bawah perusahaan. Secara legal telah berbadan hukum. Jumlah ayam yang dipelihara bervariasi, umumnya di atas 100.000 ekor sampai berjuta-juta ekor. Pengoperasian usahanya ada yang ditangani sendiri, ada juga yang menjalin kerja sama dengan peternak rakyat atau disebut dengan pola kemitraan.
2.3. Faktor Pendukung Pertumbuhan Ayam Ras Pedaging Hal-hal yang mendukung keunggulan ayam broiler terdiri atas tiga hal (Rasyaf, 2007). Pertama adalah makanan, dimana menyangkut kualitas dan kuantitas. Pertumbuhan yang cepat tidak akan tampak bila tidak didukung dengan ransum yang mengandung protein dan asam amino yang seimbang sesuai dengan kebutuhan ayam. Ransum juga harus berkualitas karena jumlah yang dimakan berhubungan dengan unsur nutrisi yang harus masuk sempurna ke dalam tubuh ayam.
13
Temperatur
lingkungan
merupakan
hal
kedua
yang
mendukung
pertumbuhan ayam. Ayam broiler akan tumbuh optimal pada temperatur lingkungan 19o – 21o C. Temperatur di Indonesia lebih panas, sehingga ayam akan mengurangi beban panas dengan banyak minum dan tidak makan. Apabila sudah demikian, sejumlah unsur nutrisi dan keperluan nutrisi utama bagi ayam tidak masuk sehingga mempengaruhi pertumbuhan ayam. Faktor pendukung pertumbuhan ayam broiler yang ketiga adalah pemeliharaan. Bibit yang baik membutuhkan pemeliharaan yang baik pula, termasuk vaksinasi yang baik dan benar. Pemberian vaksin harus dilakukan dengan cara dan waktu yang tepat, sehingga dapat mencegah penularan penyakit sekaligus menurunkan tingkat mortalitas ayam. Secara umum teknis budidaya ayam ras pedaging di tingkat peternak terdiri dari beberapa tahap, mulai dari persiapan kandang, pemeliharaan sampai pemanenan. 1. Persiapan kandang Tahapan persiapan kandang pada pemeliharaan ayam ras pedaging meliputi : a. Pembersihan kandang dan pencucian peralatan dilakukan segera setelah ayam selesai dipanen. Kandang dibersihkan mulai dari atap, lantai, dinding dan tirai. Perlatan berupa tempat pakan dan minum dicuci bersih dengan air yang ditambah dengan detergen, kemudian direndam dengan larutan desinfektan berupa formalin. b. Peralatan dibersihkan dan dimasukkan ke dalam kandang, kemudian tirai dipasang.
14
c. Pengapuran dinding dan lantai kandang serta penyemprotan kandang dengan menggunakan formalin. d. Masa istirahat kandang minimal dua minggu. e. Tiga hari sebelum DOC datang, dilakukan kembali penyemprotan kandang. f. Sekitar dua jam sebelum DOC masuk kandang, sekam telah disiapkan dengan ketebalan antara 3 – 5 cm yang di atasnya dilapisi dengan koran. g. Menyalakan pemanas yang berfungsi sebagai indukan (brooding). h. Mempersiapkan air gula merah (sorbitol) yang berfungsi untuk memulihkan kondisi DOC sehabis menempuh perjalanan (proses pengiriman). 2. Pemeliharaan Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemeliharaan ayam ras pedaging diantaranya ; pemberian pakan dan minum, manajemen kandang dan pelaksanaan vaksinasi. Hal ini perlu diperhatikan agar produksi yang dihasilkan sesuai dengan harapan. Pemberian pakan pada minggu pertama diberikan sedikit demi sedikit dengan tujuan agar pakan tidak terbuang. Pola pemberian pakan yang baik akan membantu meningkatkan konsumsi pakan pada minggu pertama. Konsumsi air minum ayam adalah 1,6 – 1,8 kali dari konsumsi pakan. Kekurangan pasokan air minum baik dalam hal volume, penyebaran, serta jumlah tempat minum dan konsumsinya dapat mengurangi laju pertumbuhan. Manajemen kandang pada pemeliharaan ayam pedaging dimulai dari perhitungan luas lantai dan kepadatan. Hal ini terkait dengan pertumbuhan ayam,
15
konversi pakan dan tingkat kematian. Semakin berat bobot ayam, kepadatannya harus lebih sedikit. Pada Tabel 5 dapat dilihat hubungan antara kepadatan ayam dengan pertumbuhan ayam.
Tabel 5. Keperluan Luas Lantai untuk Ayam Broiler Berat Ayam Hidup (kg)
Luas Lantai (m2/ekor)
1,36 1,82 2,27 2,72 3,18 Sumber : Fadillah (2007)
Pengelolaan
Kepadatan (ekor/m2)
0,05 0,06 0,08 0,09 0,11
kandang
20 16,7 12,5 11,1 9,1
ayam
tahap
berikutnya
Daging yang Dihasilkan (kg/m2) 28 30,3 28,4 30,2 29
adalah
melakukan
manajemen tirai dan pembersihan kandang. Manajemen tirai merupakan suatu teknis pengaturan tirai kandang yang dilakukan selama periode produksi. Pada minggu pertama tirai dipasang seluruhnya menutupi kandang agar memberikan kehangatan pada DOC. Selanjutnya pada minggu kedua tirai dibuka sepertiga pada bagian atas dan pada minggu ketiga tirai dibuka setengah bagian. Pembersihan kandang dilakukan dengan cara mengganti sekam dan membersihkan kotoran. Penggantian sekam dan pembersihan kotoran dilakukan dua minggu sekali. Sekam basah yang tercampur kotoran ayam dapat menimbulkan bau (amoniak) sehingga dapat menyebabkan timbulnya penyakit, seperti gangguan pernafasan pada ayam. Kandang yang bersih turut menunjang keberhasilan prduktivitas.
16
Pelaksanaan vaksinasi pada ayam ras pedaging bertujuan untuk membentuk kekebalan tubuh terhadap serangan penyakit. Dalam satu periode produksi, vaksinasi dilakukan sebanyak empat kali. 3. Pemanenan Pemanenan ayam dapat dilakukan setelah diperoleh bobot yang diinginkan atau berkisar rata-rata umur ayam 5 – 6 minggu. Beberapa kegiatan yang dilakukan pada saat panen adalah : a. Menggantung tempat pakan dan minum b. menangkap ayam secara hati-hati. Penangkapan yang kasar dapat menyebabkan memar, tulang patah di bagian sayap dan kaki c. penyekatan ayam dilakukan secara bertahap kemudian ditimbang.
2.4. Hasil Penelitian Terdahulu Penelitian mengenai analisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan terhadap suatu komoditas sudah banyak dilakukan, diantaranya penelitian oleh Fatimah (2004) mengenai analisis permintaan konsumen rumah tangga terhadap telur ayam ras di Desa Margabakti dan Kelurahan Sukamulya, Tasikmalaya. Dengan menggunakan metode analisis tabulasi deskriptif dan analisis regresi berganda menggunakan penaksiran OLS dan WLS, maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah permintaan terhadap telur ayam ras di Desa Margabakti adalah harga telur ayam ras yang dibeli dalam sebulan terkahir, harga beras (produk komplemen) yang dibeli dalam sebulan terakhir, jumlah anggota keluarga dan tingkat pendidikan terakhir responden. Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan telur ayam di Kelurahan Sukamulya
17
adalah harga telur yang dibeli dalam sebulan terakhir, harga beras yang dibeli dalam sebulan terakhir, pengeluaran rata-rata untuk bahan makanan, jumlah anggota keluarga dan tingkat kesukaan anggota keluarga terhadap telur ayam. Elastisitas harga rataan di pedesaan (-4,66) dibandingkan dengan di perkotaan (-4,04) bersifat lebih elastis. Nilai elastisitas pendapatan rataan di pedesaan lebih besar (0,035) dibandingkan di perkotaan (0,005). Elastisitas silang produk pengganti di pedesaan lebih besar (0,506) dibandingkan diperkotaan (0,251). Sedangkan elastisitas produk komplemen di pedesaan lebih rendah (2,52) dibandingkan di perkotaan (-2,90). Penelitian tentang peramalan permintaan daging ayam di PT. Sierad oleh Azmi (2004) menggunakan metode time series dan metode kausal (regresi). Hasil yang diperoleh adalah metode ARIMA (1,1,2) merupakan metode terakurat. Dengan nilai MSE sebesar 552961, nilai MAPE sebesar 1,5 persen dan nilai SE sebesar 743,6. Identifikasi pola data permintaan daging ayam terhadap waktu, dengan menggunakan plot data ACF, plot PACF dan uji signifikansi trend melalui uji regresi dapat dikatakan bahwa permintaan daging ayam memiliki pola tidak stasioner. Metode terakurat kedua adalah metode regresi non linier yang menghasilkan MSE sebesar 565221, MAPE sebesar 11,25 persen dan SE sebesar 751,8. Sedangkan metode terakurat ketiga adalah metode dekomposisi multiplikatif. Dengan nilai MSE sebesar 579399, MAPE sebesar 4,65 persen dan SE sebesar 761,2. Hasil ramalan permintaan daging ayam untuk satu tahun mendatang mulai minggu pertama bulan Juni 2003 menggunakan metode ARIMA (1,1,2) sebagai metode terpilih. Diperoleh bahwa permintaan daging ayam berfluktuasi disekitar
18
nilai 24.745 kg sampai dengan 26.319 kg. Hasil ramalan mengikuti pola permintaan yang ada pada periode sebelumnya yaitu menunjukkan pola trend linier yang meningkat. Penelitian oleh Sahat (2007) mengenai analisis permintaan daging sapi di wilayah Jakarta, dianalisis dengan metode regresi berganda. Hasil analisis model dugaan menunjukkan bahwa keragaman permintaan daging sapi segar dapat dijelaskan oleh model sebesar 64,6 persen dan sisanya jelaskan oleh variabel lain yang tidak terdapat dalam model. Hasil Fhit sebesar 6,68 dan P-value sebesar 0,00 menunjukkan bahwa variabel dalam model secara serentak signifikan terhadap permintaan daging sapi segar. Variabel yang mempengaruhi permintaan daging sapi segar secara signifikan adalah harga daging sapi, harga daging ayam ras, harga ikan, harga daging ayam buras, harga daging kambing, harga daging babi serta pendapatan per kapita penduduk Jakarta. Nilai elastisitas variabel menghasilkan kesimpulan bahwa variabel yang bersifat elastis terhadap permintaan daging sapi adalah harga daging babi dan pendapatan per kapita penduduk Jakarta. Variabel lainnya yang mendekati elsatis adalah harga daging ayam ras dan harga ikan. Variabel harga telur ayam, harga daging kambing dan harga daging ayam buras bersifat inelastis. Penelitian oleh Komara (2008) tentang faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan benih ikan patin di Deddy Fish Farm, Bogor, dianalisis dengan metode kausal regresi berganda. Bentuk atau model regresi berganda yang digunakan ada dua macam. Model pertama adalah regresi dalam bentuk logaritma natural (double log), sedangkan model regresi kedua dalam bentuk linear berganda tanpa log. Model regresi terbaik adalah model yang memiliki koefisien
19
determinasi tertinggi setelah diuji oleh berbagai statistik uji. Kemudian, metode peramalan yang digunakan untuk meramalkan permintaan benih ikan patin ada dua macam, yaitu metode peramalan time series dan metode peramalan kausal (regresi). Metode time series yang digunakan diantaranya single exponential smoothing, double exponential smoothing, dekomposisi (aditif dan multiplikatif), Winters (aditif dan multiplikatif), ARIMA SARIMA. Berdasarkan hasil analisis faktor-faktor menggunakan model satu dan model dua tidak jauh berbeda, dimana diketahui bahwa semua variabel independent yang dihipotesiskan sebelumnya secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap nilai permintaan benih ikan patin. Variabel atau faktor yang berpengaruh nyata terhadap permintaan benih ikan patin adalah variabel harga jual benih (X1) dan permintaan periode sebelumnya (X4) sedangkan variabel harga rata-rata ikan patin (X2) dan harga rata-rata ikan lele (X3) tidak berpengaruh nyata. kemudian pada model satu dan model dua tidak terdapat autokorelasi dan multikolinear antar variabel independentnya. Selain itu, residual pada kedua model sudah menyebar normal. Berdasarkan kedua model tersebut diketahui bahwa bentuk regresi double log
merupakan
bentuk
terbaik
dalam
menganalisis
faktor-faktor
yang
mempengaruhi permintaan benih ikan patin karena mempunyai koefisien determinasi (R2) sebesar 75,8 persen lebih besar dari model dua yaitu bentuk regresi tanpa transformasi. Nilai elastisitas pada model satu dan model dua juga tidak berbeda jauh, dimana variabel harga jual benih (X1) bersifat elastis sedangkan harga rata-rata ikan patin (X2), harga rata-rata ikan lele (X3) dan penjualan periode sebelumnya (X4) bersifat tidak elastis. Oleh karena itu,
20
penentuan harga jual harus dilakukan secara hati-hati guna menghindari kerugian akibat kesalahan dalam penentuan harga jual. Peramalan pemintaan mengunakan metode technical yaitu metode SARIMA (1,0,0)(0,0,1)12 merupakan metode terbaik guna memprediksi permintaan periode yang akan datang karena memiliki MSE terkecil jika dibandingkan dengan metode kausal. Contoh prediksi permintaan menggunakan metode SARIMA (1,0,0)(0,0,1)12 diketahui bahwa nilai permintaan masih memiliki trend menurun dan akan berfluktuasi. Pada pertengahan tahun yaitu pada musim kemarau permintaan akan benih ikan patin akan menurun dan akan meningkat kembali pada akhir tahun yaitu pada musim penghujan. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan dan penawaran daging ayam broiler di Indonesia periode 1981 – 2003 diteliti oleh Suryani (2006). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis struktur permintaan dan penawaran daging ayam broiler serta faktor-faktor lain yang mempengaruhinya. Analisis persamaan simultan dilakukan dengan menggunakan metode 2-SLS (Two-Stage Least Square) dalam menduga model yang akan dianalisis. Permodelan yang dihasilkan memenuhi asumsi tidak terdapatnya autokorelasi dan mempunyai nilai R-Sq yang cukup baik berkisar antara 0,7637 dan 0,9863. Faktor-faktor yang signifikan mempengaruhi permintaan daging ayam broiler adalah harga daging ayam broiler, harga telur, harga daging sapi, nilai tukar rupiah dan pendapatan per kapita. Sedangkan harga ikan tidak berpengaruh secara signifikan. Daging sapi merupakan komoditas substitusi yang kuat bagi daging ayam broiler, sedangkan ikan merupakan komoditas substitusi yang lemah.
21
Keberadaan telur lebih sebagai komoditas komplemen yang cukup kuat bagi daging ayam. Penawaran daging ayam broiler sebagian besar dipenuhi oleh produsen dalam negeri. Faktor-faktor produksi seperti harga pakan dan teknologi berpengaruh signifikan terhadap penawaran daging ayam. Keppres yang memberi izin bagi peternak untuk memperluas skala usaha juga berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan penawaran daging ayam dalam negeri. Secara umum, perbedaan penelitian yang dilakukan oleh peneliti dengan penelitian-penelitian terdahulu terletak pada alat analisis dan metode yang digunakan serta wilayah, waktu dan komoditas penelitian yang berbeda.
22
BAB III KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Kerangka Teoritis 3.1.1. Permintaan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Teori permintaan menerangkan sifat dari permintaan pembeli pada suatu komoditas (barang/jasa) dan juga menerangkan hubungan antara jumlah yang diminta dan harga serta pembentukan kurva permintaan (Sugiarto, 2007). Permintaan menurut Hyman (1996) merupakan hubungan antara suatu komoditas dan jumlah komoditas yang diminta. Hipotesis ekonomi tentang permintaan menyatakan bahwa bagi sebagian besar komoditas, harga suatu barang/jasa dan kuantitas yang diminta berhubungan negatif. Semakin tinggi harga suatu barang/jasa maka semakin rendah kuantitas yang diminta. Sebaliknya, semakin rendah harga suatu barang/jasa maka semakin tinggi kuantitas yang akan diminta. Dengan asumsi ceteris paribus, yaitu suatu kondisi dimana faktor-faktor lain dianggap tetap atau tidak mengalami perubahan. Hipotesis tersebut didasarkan atas asumsi (Sugiarto, 2007) : 1. Bila harga suatu komoditas turun, maka konsumen akan mengurangi pembelian atas komoditas-komoditas lain dan menambah pembelian pada komoditas yang mengalami penurunan harga tersebut. Harga yang lebih rendah memungkinkan pembeli lain yang sebelumnya tidak mampu membeli komoditas tersebut untuk mulai membelinya. Penurunan harga suatu komoditas menyebabkan pendapatan riil para konsumen meningkat
23
dan mendorong untuk membeli komoditas tersebut dalam jumlah yang lebih besar. 2. Bila harga suatu komoditas naik, maka konsumen akan mencari komoditas lain yang dapat digunakan sebagai pengganti atas komoditas yang mengalami kenaikan harga. Kenaikan harga menyebabkan pendapatan riil pembeli menjadi berkurang, sehingga memaksa konsumen mengurangi pembelian terhadap komoditas yang mengalami kenaikan harga. Permintaan menggambarkan keadaan keseluruhan dari hubungan antara faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan dengan jumlah komoditas yang diminta. Beberapa faktor yang mempengaruhi permintaan terhadap suatu komoditas adalah : 1. Harga komoditas itu sendiri Harga komoditas itu sendiri berhubungan negatif dengan kuantitas yang diminta pada kondisi ceteris paribus. Jika harga komoditas tersebut naik maka permintaan terhadap komoditas tersebut akan turun, dan sebaliknya. 2. Harga komoditas lain Harga komoditas lain dapat mempengaruhi tingkat permintaan dengan suatu keterkaitan. Keterkaitan tersebut dapat bersifat substitusi (barang pengganti) dan bersifat komplementer (barang pelengkap). Untuk komoditas yang bersifat substitusi, setiap kenaikan harga barang substitusi menyebabkan penurunan permintaan terhadap barang tersebut, sehingga permintaan terhadap suatu barang akan meningkat, dan sebaliknya. Sedangkan pada komoditas komplemen, jika harga barang komplemen naik maka permintaan terhadap barang tersebut mengalami penurunan, sehingga permintaan terhadap suatu barang menurun pula.
24
3. Tingkat pendapatan Tingkat pendapatan dapat mencerminkan daya beli. Semakin tinggi tingkat pendapatan maka daya beli makin kuat, sehingga permintaan terhadap suatu komoditas (barang normal) cenderung meningkat. Pada komoditas barang esensial yaitu barang-barang kebutuhan pokok masyarakat, perubahan pendapatan secara umum tidak akan mempengaruhi tingkat permintaan secara signifikan. 4. Selera atau kebiasaan Selera atau kebiasaan yang berubah dari waktu ke waktu dapat berpengaruh besar terhadap keinginan orang untuk membeli suatu barang. Perubahan selera akan meningkatkan ataupun menurunkan permintaan atas suatu komoditi. 5. Jumlah penduduk Penduduk merupakan konsumen yang akan melakukan permintaan terhadap suatu komoditi. Pertambahan penduduk pada umumnya diikuti dengan perkembangan akan permintaan terhadap suatu komoditas. Selain itu, pada umumnya juga diikuti dengan perkembangan dalam kesempatan bekerja, maka lebih banyak orang yang akan menerima pendapatan. Perkembangan ini pada akhirnya akan meningkatkan permintaan. 6. Distribusi pendapatan Perubahan distribusi pendapatan dapat mempengaruhi permintaan terhadap berbagai jenis komoditas. Bila konsentrasi pendapatan berada di kalangan atas, maka permintaan terhadap komoditas mewah maupun komoditas sekunder akan meningkat. Jika konsentrasi pendapatan bergeser ke kelas bawah,
25
maka permintaan terhadap komoditas yang dibutuhkan oleh kelas bawah akan meningkat dan permintaan terhadap komoditas-komoditas mewah akan menurun. Fungsi permintaan merupakan hubungan matematis antara jumlah barang yang diminta (Qd) dengan, harga komoditi itu sendiri (Px), pendapatan (I), harga komoditi lain (Py), selera (T) dan jumlah penduduk (Pop). Dengan fungsi permintaan, maka dapat dilihat hubungan antara variabel bebas dengan variabel tak bebas. Fungsi permintaan secara matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : Qd = f (Px, Py, I, T, Pop)
3.1.2. Kurva Permintaan Kurva permintaan (demand curve) merupakan garis yang menghubungkan antara jumlah komoditas yang diminta (Qd) dengan harga yang berlaku (P). Menurut Hyman (1996), kurva permintaan adalah grafik yang menunjukkan variasi jumlah komoditas yang diminta terhadap harga suatu komoditas. Kurva permintaan menurut Bilas (1989) merupakan tempat titik-titik yang masingmasing menggambarkan tingkat maksimum pembelian pada harga tertentu dengan kondisi ceteris paribus. Harga (P)
Kuantitas (Qd) Gambar 3. Kurva Permintaan Umum
26
Kurva ini menyatakan berapa banyak para konsumen bersedia membeli pada setiap harga per unit. Hubungan antara harga dan jumlah komoditas yang diminta mempunyai sifat berlawanan arah (negatif), artinya variasi jumlah komoditas yang diminta berlawanan arah dengan harga (Gambar 3). Sehingga kurva permintaan berbagai jenis komoditas menurun dari kiri atas ke kanan bawah. Perubahan permintaan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu : a. Pergerakan sepanjang kurva permintaan Perubahan harga komoditas itu sendiri menyebabkan pergerakan di sepanjang kurva permintaan. Pada gambar 4 keseimbangan awal permintaan berada pada titik A dimana tingkat harga berada di titik Pa dan jumlah komoditas yang diminta berada di titik Qa. Peningkatan harga komoditas yang bersangkutan menyebabkan tingkat harga yang berlaku berubah ke titik Pb sehingga jumlah komoditas yang diminta mengalami penurunan dan berada di titik Qb, dan sebaliknya. Sehingga keseimbangan permintaan bergerak ke kiri atas yaitu titik B. Harga (P)
Pb Pa
B A
Qb Qa
Kuantitas (Qd)
Gambar 4. Pergerakan Sepanjang Kurva Permintaan
27
b. Pergeseran kurva permintaan Pergeseran kurva permintaan ke arah kanan atas atau ke kiri bawah disebabkan oleh faktor-faktor selain harga komoditas itu sendiri. Pergeseran kurva ke kanan atas menunjukkan adanya peningkatan pendapatan, peningkatan selera masyarakat terhadap komoditas terkait, peningkatan populasi, peningkatan harga barang subsitusi dan penurunan harga barang komplementer. Sedangkan, pergeseran kurva ke kiri bawah menunjukkan adanya penurunan pendapatan, penurunan selera masyarakat terhadap komoditas tertentu, penurunan harga barang substitusi dan peningkatan harga barang komplementer. Kurva permintaan bergeser ke kanan atas yaitu dari D0 ke D1 menunjukkan adanya kenaikan jumlah komoditas yang diminta (Gambar 5). Pergeseran kurva ke kiri bawah yaitu dari D0 ke D2 menunjukkan adanya penurunan jumlah komoditas yang diminta.
Harga (P) D2 D0
D1
P
Q2
Q0
Q1
Kuantitas (Qd)
Gambar 5. Pergeseran Kurva Permintaan
28
3.1.3. Elastisitas Permintaan Elastisitas menurut Bilas (1989) dapat didefinisikan sebagai persentase perubahan dalam variabel tak bebas dibagi dengan persentase perubahan dalam variabel bebas. Elastisitas dapat dibedakan menjadi elastisitas permintaan dan elastisitas penawaran. Elastisitas permintaan merupakan suatu ukuran kuantitatif yang menunjukkan besarnya pengaruh perubahan harga atau faktor-faktor lainnya terhadap perubahan permintaan suatu komoditas. Secara umum elastisitas permintaan terdiri atas elastisitas permintaan terhadap harga (price elasticity of demand), elastisitas permintaan silang (cross price elasticity of demand) dan elastisitas permintaan terhadap pendapatan (income elasticity of demand). Pada penelitian ini, elastisitas pendapatan tidak dijelaskan karena variabel tingkat pendapatan masyarakat tidak dimasukkan kedalam fungsi permintaan daging ayam ras. A. Elastisitas Permintaan Terhadap Harga Elastisitas permintaan terhadap harga mengukur seberapa besar perubahan jumlah komoditas yang diminta apabila terjadi perubahan harga. Secara numerik, dapat dihitung dengan rumus :
Ed = Persentase perubahan jumlah yang diminta Persentase perubahan harga
Nilai elastisitas permintaan terhadap harga berkisar dari nol sampai tak terhingga (~) dengan kriteria sebagai berikut : 1. Elastisitas sama dengan nol (E = 0), berarti jumlah yang diminta tidak peka terhadap perubahan harga (inelastis sempurna).
29
2. Elastisitas lebih dari satu (E > 1), berarti jumlah komoditas yang diminta akan mengalami perubahan dengan persentase yang melebihi persentase perubahan harga (elastis). 3. Elastisitas antara nol dan satu (0 < E < 1), berarti persentase perubahan harga lebih besar daripada persentase perubahan jumlah yang diminta (inelastis). 4. Elastisitas sama dengan satu (E = 1), berarti perubahan harga komoditas akan diikuti dengan perubahan jumlah komoditas yang diminta dalam persentase yang sama (unitary elastis) 5. Elastisitas tak hingga (E = ~), berarti perubahan yang kecil dalam harga akan mengakibatkan perubahan yang besar dalam permintaan (elastis sempurna). B. Elastisitas Permintaan Silang Elastisitas
permintaan
silang
menunjukkan
besarnya
perubahan
permintaan suatu komoditas apabila terjadi perubahan harga komoditas lain. Nilai elastsitas permintaan silang berkisar dari negatif tak hingga sampai positif tak hingga.
Ec = Persentase perubahan jumlah komoditas X yang diminta Persentase perubahan harga komoditas Y
Untuk komoditas komplemen (pelengkap), elastisitas silangnya bernilai negatif. Peningkatan harga komoditas Y membuat jumlah komoditas X yang diminta menurun, dan sebaliknya. Sementara pada komoditas substitusi (pengganti), elastisitasnya bernilai positif. Peningkatan harga komoditas Y membuat jumlah komoditas X yang diminta menjadi naik, dan sebaliknya.
30
3.2. Kerangka Pemikiran Operasional Permintaan daging ayam ras di Kabupaten Bogor dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, namun karena pergerakan harga daging ayam akan lebih terlihat jika diamati dalam periode bulanan maka faktor-faktor yang akan dimasukkan kedalam model persamaan merupakan data-data yang tersedia dalam data bulanan. Faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap permintaan yaitu harga daging ayam ras, harga komoditas substitusi seperti daging sapi dan daging ikan, serta harga komoditas komplemen yakni harga telur ayam. Menururt Kariyasa (2003) telur dianggap sebagai komoditas komplemen dari daging ayam ras, sehingga jika harga telur naik maka permintaan terhadap daging ayam ras turun. Perubahan harga daging ayam ras disebabkan karena komponen input berupa pakan sebagian besar masih bergantung kepada impor. Sehingga fluktuasi nilai tukar Rupiah terhadap mata uang asing serta kontinuitas pasokan bahan baku sangat mempengaruhi biaya dalam proses budidaya ayam ras pedaging. Kasus flu burung berdampak langsung terhadap penurunan harga jual daging ayam, karena konsumen mengurangi permintaan terhadap daging ayam. Flu burung menimbulkan kekhawatiran terjadi penularan virus kepada manusia yang melakukan kontak dengan hewan unggas dan mengkonsumsinya. Perubahan harga daging ayam ras juga terjadi pada saat memasuki masa ramai seperti menjelang hari Raya Idul Fitri, tahun baru dan hari besar lain. Hal ini disebabkan karena permintaan cenderung meningkat pada saat-saat tersebut. Hubungan antara permintaan daging ayam ras (variabel tak bebas) dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya (variabel bebas) dirumuskan dalam bentuk fungsi permintaan. Untuk menganalisis variabel-variabel tersebut digunakan
31
metode kausal regresi berganda. Analisis regresi merupakan suatu metode yang digunakan untuk tujuan mengukur tingkat pengaruh dari suatu perubah terhadap peubah yang lain. Bentuk atau model regresi berganda yang akan digunakan ada dua macam. Model pertama adalah regresi dalam bentuk logaritma natural (double log), sedangkan model regresi kedua dalam bentuk linear berganda tanpa log. Model double log merupakan model yang mentransformasi semua variabel dependent dan varibabel independent-nya. Analisis permintaan daging ayam ras dengan menggunakan model tersebut bertujuan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh variabel-variabel bebas terhadap tingkat permintaan daging ayam ras di Kabupaten Bogor. Serta mengukur perubahan harga daging ayam ras (elastisitas harga), harga barang substitusi (elastisitas silang), dan harga barang komplementer terhadap permintaan daging ayam ras. Kerangka pemikiran pada penelitian ini secara skematis dapat dilihat pada Gambar 6.
32
.
Permintaan Pada Musim Ramai, Kasus Flu Burung, Fluktuasi Harga Bahan Baku
Fluktuasi Permintaan Daging Ayam Ras
Faktor-faktor harga yang diduga berpengaruh terhadap permintaan : - Harga daging ayam ras - Harga daging ikan - Harga daging sapi - Harga telur - Dummy
Analisis Regresi Berganda
Pengaruh Harga Barang Substitusi dan Komplementer Terhadap Permintaan Daging Ayam Ras di Kab. Bogor
Gambar 6. Kerangka Operasional Pengaruh Harga Barang Substitusi dan Komplementer Terhadap Permintaan Daging Ayam Ras di Kab. Bogor
33
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dalam bentuk data time series yaitu data yang dikumpulkan dan diamati atas rentang waktu tertentu (Firdaus, 2006). Data yang digunakan adalah data bulanan dari periode 2003 sampai 2007. Data dan informasi diperoleh dari lembaga atau instansi seperti Direktorat Jenderal Peternakan, Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor, Badan Pusat Statistik, hasil penelitian dalam pustaka IPB, dan berbagai literatur yang relevan dengan topik penelitian. Data sekunder yang digunakan meliputi data konsumsi daging ayam ras di Kabupaten Bogor, harga daging ayam ras, harga daging sapi, harga daging ikan dan harga telur ayam ras di tingkat konsumen.
4.2. Perumusan Model Faktor-faktor yang telah disebutkan sebelumnya akan dirumuskan dalam model persamaan regresi berganda, yang merupakan kelanjutan dari konsep regresi sederhana. Model regresi berganda melibatkan penggunaan lebih dari satu variabel bebas dalam memprediksi variabel terkait (Hanke, et al, 2003). Model statistik untuk konsep regresi berganda adalah sebagai berikut : Y = ß0 + ß1X1 + ß2X2 + .... + ßkXk + ε Dimana ; 1. Untuk pengamatan ke-i, Y = Yi dan X1, X2, ..., Xk ditetapkan pada himpunan nilai Xi1, Xi2, Xi3, ...., Xik.
34
2. ε adalah komponen galat yang mewakili deviasi respon dari hubungan yang sebenarnya. Galat ini merupakan variabel acak yang tak teramati dihitung sebagai akibat dampak faktor-faktor lain pada respon. Galat ini diasumsikan tidak terikat dan masing-masingnya berdistribusi normal dengan mean 0 dan standar deviasi yang tak diketahui. 3. Koefisien regresi ß1, ß2, ...., ßk yang bersama-sama menentukan lokasi fungsi regresi yang tidak diketahui Berdasarkan kerangka teori, peubah-peubah yang diduga berpengaruh terhadap permintaan daging ayam ras di Kabupaten Bogor yaitu : harga daging ayam ras, harga daging sapi, harga daging ikan dan harga telur ayam ras. Pada penelitian ini, digunakan dua model untuk menggambarkan permintaan daging ayam ras. Model pertama dalam bentuk logaritma natural (double log), sedangkan model kedua adalah model linear berganda tanpa transformasi (tanpa log). Perbedaannya adalah dalam bentuk model pertama yaitu logaritma natural lebih bisa menangkap bentuk kurva data sedangkan model tanpa transformasi berbentuk linier. LnY
= Ln β0 + β1 Ln X1 + β2 Ln X2 + β3 Ln X3 + β4 Ln X4 + Dt + εt
Yt
= β0 + β1 X1 + β2 X2 + β3 X3 + β4 X4 + Dt + εt
Keterangan : Yt = Permintaan daging ayam ras periode ke-t (ton) X1 = Harga rata-rata daging ayam ras (Rp) X2 = Harga rata-rata daging sapi (Rp) X3 = Harga rata-rata daging ikan (Rp) X4 = Harga rata-rata telur ayam ras (Rp) Dt = D0 : Periode sebelum memasuki masa ramai D1 : Periode memasuki masa ramai β0 = Intercept β1 = Koefisien harga rata-rata daging ayam ras β2 = Koefisien harga rata-rata daging sapi β3 = Koefisien harga rata-rata daging ikan
35
β4 = Koefisien harga rata-rata telur ayam ras εt = Kesalahan (galat)
4.3. Metode Analisis Data dan informasi yang diperoleh akan dianalisis menggunakan regresi linear berganda. Regresi berganda adalah salah satu metode kausal yang digunakan untuk mengetahui hubungan fungsional antara satu variabel dependent dengan lebih dari satu variabel independent. Selain itu, regresi berganda berguna untuk memprediksi pengaruh suatu variabel independent terhadap variabel dependent. Regresi linear berganda digunakan karena metode tersebut memiliki keunggulan yaitu sederhana dan mampu menunjukkan berapa persen peubah tak bebas
(dependent)
dapat
dijelaskan
oleh
peubah
bebas
(independent).
Penghitungan regresi berganda dan elastisitas dalam penelitian ini menggunakan komputer dengan program Microsoft Office Excel dan Minitab 15 .
4.3.1. Pengujian Model Regresi Pengujian terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan daging ayam ras dilakukan terhadap model penduga dan untuk masing-masing parameternya (Hanke et al, 2003), agar mendapatkan model terbaik. Beberapa pengujian yang akan dilakukan yaitu : 1. Uji Model Penduga Uji ini dilakukan untuk mengetahui apakah model penduga yang diajukan layak menduga parameter dari fungsi permintaan. Statistik uji yang digunakan adalah uji F dengan α sebesar 0,05.
36
Hipotesis : H0 : β1 = β2 = …..= βi
variabel independent secara bersama-sama tidak
berpengaruh nyata terhadap permintaan daging ayam ras H1 : β1 ≠…. βi
variabel independent secara bersama-sama berpengaruh nyata
terhadap permintaan daging ayam ras.
Fhitung =
MSR MSE
dengan df = k, n-k-1
Keterangan : MSR = Rata-rata kuadrat regresi MSE = Rata-rata kuadrat error df = Derajat bebas Jika Fhitung > Ftabel, (k, n-k-1) maka tolak H0 artinya variabel independent (X1, X2, X3, X4) secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap permintaan daging ayam ras. Sebaliknya, jika Fhit < Ftabel,
(k, n-k-1)
maka terima H0 artinya variabel
independent (X1, X2, X3, X4) secara bersama-sama tidak berpengaruh nyata terhadap permintaan daging ayam ras. Sedangkan untuk mengetahui seberapa besar model mampu menerangkan variasi keragaman dari permintaan daging ayam ras oleh variabel independent-nya diketahui melalui koefisien determinasi (R2) R2 =
SSR SST
Keterangan : SSR = Jumlah kuadrat regresi SST = Jumlah kuadrat total Semakin besar nilai R2 dari suatu model, maka model tersebut akan semakin baik menerangkan variasi keragaman dari permintaan daging ayam ras dengan asumsi dasar yang sudah terpenuhi persyaratannya.
37
2. Uji Parameter Individual Uji ini digunakan untuk mengetahui apakah variabel independent secara parsial berpengaruh nyata terhadap variabel dependent. Statistik uji yang digunakan adalah uji t dengan α sebesar 0,05. Hipotesis : H0 : β1 = 0, variabel independent secara parsial tidak berpengaruh nyata terhadap permintaan daging ayam ras H1 : β1 ≠ 0, variabel independent secara parsial berpengaruh nyata terhadap permintaan daging ayam ras.
thitung =
bi − βi Sb i
dengan ttabel (α/2,n-k-1)
Keterangan : bi = Koefisen ke-i yang diduga βi = Nilai parameter ke- i yang diduga yaitu nol Sbi = Standar deviasi dari parameter ke- i k = Variabel n = Jumlah pengamatan Jika thitung > ttabel
(α/2,n-k-1)
maka tolak H0, artinya variabel independent
secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap permintaan daging ayam ras. Sebaliknya, jika thitung < ttabel (α/2,n-k-1) maka terima H0, independent secara bersamasama tidak berpengaruh nyata terhadap permintaan daging ayam ras. 3. Uji Autokorelasi Autokorelasi adalah hubungan linear yang terjadi pada variabel itu sendiri yang terlambat beberapa periode (lag). Autokorelasi timbul ketika sederetan pengamatan dari waktu ke waktu saling berkaitan satu dengan yang lainnya (Hanke et al, 2003). Uji autokorelasi digunakan untuk melihat apakah ada hubungan linear antara serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu.
38
Untuk mengetahui autokorelasi dari model ini digunakan variabel residual atau error (e). Uji autokorelasi dapat dihitung menggunakan statistik uji DurbinWatson (d), dimana pada penelitian ini α yang digunakan pada tingkat 0,05.
d=
∑ (e − e ) ∑e i −1
i
dimana dtabel α (n,k)
i
Keterangan : d = Nilai Durbin Watson ei = Residual periode waktu ke-t n = Jumlah observasi k = Jumlah variabel Nilai statistik hitung Durbin Watson akan dibandingkan dengan batas atas dan batas bawah (Hanke et al, 2003). Kaidah keputusannya adalah sebagai berikut: •
Jika d < dlow maka terdapat autokorelasi positif
•
Jika d > (4- dlow) maka terdapat autokorelasi negatif
•
Jika dlow < d < dup atau (4-dup) < d < (4-dlow) maka tidak dapat disimpulkan
•
Jika dup < d < (4-dup) berarti tidak terdapat autokorelasi 4. Uji Multikolinearitas Multikolinear adalah hubungan linear antara dua atau beberapa variabel
independent. Untuk melihat apakah terdapat multikolinear atau tidak dapat dilihat dari nilai Variance Inflation Factor (VIF). Kejadian multikolinearitas dapat dideteksi dengan melihat : 1. Jika R2 besar tetapi tidak ada satupun penduga koefisien variabel bebas yang berbeda nyata dengan nol, maka terdapat multikolinearitas.
39
2. Jika nilai VIF diatas 10 maka tedapat masalah multikolinearitas yang serius, namun jika nilai VIF yang didapat dibawah 10 maka pada model permintaan daging ayam ras tidak terdapat masalah multikolinearitas yang serius.
VIF =
1 1 - R 2j
j = 1,2,,3….k
Keterangan : VIF = Variance Inflation Factor Rj2 = Koefisien determinasi untuk variabel atau peubah bebas ke – j 5. Uji Normalitas Uji ini digunakan untuk mengetahui apakah residual dalam model menyebar normal. Untuk mengetahuinya dilakukan uji Kolmogorov-Smirnov dengan menggunakan α sebesar 0,05. Hipotesis : H0 H1
= Residual tidak berdistribusi normal = Residual berdistribusi normal Jika nilai KS < KS1-α maka tolak H0, atau jika nilai statistik Kolmogorov-
Smirnov dikonversi ke dalam p-value maka daerah penolakannya adalah pvaluehitung > p-value1-α.
4.3.2. Pengukuran Elastisitas Elastisitas dapat diketahui dari koefisien variabel yang terdapat pada model regresi. Pengukuran elastisitas dilakukan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh variabel dependent terhadap variabel independent. Untuk model dalam bentuk logaritma natural (double log) nilai elastisitasnya dapat langsung didapatkan dari nilai koefisien persamaan regresi. Sedangkan untuk model tanpa log, nilai elastisitasnya dapat diperoleh dengan cara :
40
1. Elastisitas permintaan terhadap harga Ed (Xi)
= bi x
Pi Yi
Keterangan : Ed (Xi) = Elastisitas variabel Xi bi = Koefisien regresi variabel Xi _
= Rata-rata harga ke-i komoditas yang diminta
Pi _
Yi
= Rata-rata kuantitas barang yang diminta
2. Elastisitas silang Ec (Xi) = Z i x
Zi Yi
Keterangan : Ec (Xi) = Elastisitas variabel Xi Zi = Koefisien regresi variabel Xi (komoditas lain) _
= Rata-rata harga ke-i komoditas lain
Zi _
Yi
= Rata-rata kuantitas barang yang diminta
4.4. Hipotesis 1. Harga rata-rata daging ayam ras (X1) Harga rata-rata daging ayam ras diduga mempunyai hubungan negatif (X1 < 0) artinya, jika harga rata-rata daging ayam ras naik, maka rata-rata jumlah permintaan daging ayam ras akan menurun sebesar koefisien (β1) ceteris paribus. 2. Harga rata-rata daging sapi (X2) Harga rata-rata daging sapi diduga mempunyai hubungan positif (X2 > 0) artinya, jika harga rata-rata daging sapi naik satu satuan, maka rata-rata jumlah permintaan daging ayam ras akan naik sebesar koefisien (β2)
41
ceteris paribus. Dalam hal ini daging sapi merupakan komoditas substitusi. 3. Harga rata-rata daging ikan (X3) Harga rata-rata daging ikan diduga mempunyai hubungan positif (X3 > 0) artinya, jika harga rata-rata daging ikan naik satu satuan, maka rata-rata jumlah permintaan daging ayam ras akan naik sebesar koefisien (β3) ceteris paribus. Dalam hal ini, daging ikan merupakan komoditas substitusi dari daging ayam ras. 4. Harga rata-rata telur ayam ras (X4) Harga rata-rata telur ayam diduga mempunyai hubungan negatif (X4 < 0) artinya, kenaikan harga telur akan mengakibatkan penurunan permintaan terhadap daging ayam ras sebesar koefisien (β4). Dalam hal ini telur ayam ras merupakan komoditas komplementer daging ayam ras. 5. Untuk variabel dumy (Dt), yaitu permintaan pada saat masa ramai : a) D0 adalah periode sebelum memasuki masa ramai diduga memiliki hubungan yang negatif dengan permintaan daging ayam ras di Kabupaten Bogor. b) D1 adalah periode saat memasuki masa ramai diduga memiliki hubungan positif dengan permintaan daging ayam ras, artinya pada masa ramai permintaan akan mengalami peningkatan.
42
BAB V GAMBARAN UMUM USAHA AYAM RAS PEDAGING DI KABUPATEN BOGOR 5.1. Perkembangan Permintaan Daging Ayam Ras di Kabupaten Bogor Permintaan terhadap daging ayam ras di Kabupaten Bogor tidak terlepas dari pertumbuhan perusahaan ayam ras pedaging. Pertumbuhan yang positif menggambarkan ketersediaan pasar yang mampu menyerap hasil produksi dari komoditas yang dihasilkan. Perkembangan perusahaan ayam ras pedaging di Kabupaten Bogor dari tahun 2003 – 2007 dapat dilihat pada Tabel 6. Pada tahun 2007, perusahaan ayam ras pedaging seluruhnya mencapai 87 perusahaan (skala wajib izin atau populasi di atas 15.000 ekor) yang tersebar di 29 kecamatan dengan kapasitas populasi mencapai 4.025.500 ekor. Tabel 6. Perkembangan Perusahaan Ayam Ras Pedaging di Kab. Bogor Tahun Jumlah Perusahaan Rata-rata Populasi Persiklus (ekor) 2003 38 1.349.750 2004 38 1.390.000 2005 47 1.811.000 2006 82 4.093.000 2007 87 4.025.500 Sumber : Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor, 2007 Laju perkembangan populasi ayam ras pedaging diikuti pula dengan pertumbuhan produksi ayam ras pedaging. Rata-rata pertumbuhan produksi dari tahun 2003 – 2007 mencapai 17,11 persen (Tabel 7). Pertumbuhan produksi tertinggi terjadi pada periode 2005 – 2006 yang mencapai 42,57 persen. Hal ini disebabkan karena kondisi perunggasan mulai membaik setelah beberapa tahun sebelumnya terserang penyakit flu burung, sehingga banyak peternak yang mulai
43
berproduksi secara optimal. Sementara pertumbuhan terendah terjadi pada periode 2004 – 2005 yaitu sebesar 5,93 persen. Tabel 7. Pertumbuhan Produksi Ayam Ras Pedaging di Kab. Bogor Tahun 2003 2007 Tahun Produksi (kg) Pertumbuhan (%) 2003 34.785.312 2004 39.106.743 12,42 2005 41.424.910 5,93 2006 59.061.545 42,57 2007 63.499.899 7,51 Sumber : Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor, 2007 Penurunan pertumbuhan produksi pada tahun 2005 dipengaruhi oleh beberapa permasalahan seperti ; (1) usaha ternak yang terserang kasus penyakit flu burung di 12 kecamatan belum dapat berproduksi dengan optimal, (2) pada tahun 2005 masih terjadi kasus flu burung di lima kecamatan yaitu Parung Panjang, Cibinong, Cileungsi, Klapa Nunggal dan Dramaga, (3) adanya ketakutan masyarakat untuk mengkonsumsi produk asal unggas, dan (4) meningkatnya harga bahan bakar minyak berimbas pada kenaikan biaya produksi tapi tidak sebanding dengan harga jual (Dinas Peternakan dan Perikanan Kab. Bogor, 2007). Kondisi tersebut mengakibatkan para peternak belum berani menjalankan usahanya dengan optimal. 5.2. Pemasaran Daging Ayam Ras di Kabupaten Bogor Letak geografis Kabupaten Bogor berada pada posisi yang cukup strategis untuk pemasaran hasil produksi peternakan khususnya komoditas ayam ras pedaging. Sebelah utara Kabupaten Bogor berbatasan dengan DKI Jakarta, Kabupaten Tangerang, Tangerang dan Kabupaten Bekasi, disebelah timur dengan Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Karawang disebelah selatan dengan Kabupaten
44
Lebak dan di tengah terletak Kota Bogor, dengan luas wilayah mencapai 344.072 hektar. Kabupaten Bogor juga mendatangkan ternak dari daerah Sukabumi, Cianjur, Karawang, Purwakarta, Subang, Depok dan pemasukan dari luar wilayah Propinsi Jawa Barat seperti Jakarta, Banten, Jawa Tengah dan Jawa Timur untuk memenuhi kebutuhan terhadap permintaan daging ayam ras di Kabupaten Bogor. Pemasaran komoditas ayam ras pedaging keluar Kabupaten Bogor meliputi Depok, Bekasi, Subang, Tasikmalaya, Garut, Sumedang, Cianjur dan Sukabumi. Sedangkan untuk pemasaran keluar Propinsi Jawa Barat meliputi Banten, Lampung, Palembang, Jakarta, Papua, Batam, Pontianak dan Ujung Pandang (Dinas Peternakan dan Perikanan Kab. Bogor, 2007). Secara umum, jalur distribusi ayam ras pedaging di Kabupaten Bogor dibedakan menjadi dua macam yaitu untuk kebutuhan di dalam kota dan pemasaran untuk ke luar wilayah Kabupaten. Pada Gambar 7 dapat dilihat jalur distribusi ayam ras pedaging yang terjadi.
Rumah Potong Ayam (RPA)
Pasar Tradisional
Konsumen Kab. Bogor
Usaha Ternak
Pasar Hewan
Pedagang Luar Daerah
Konsumen Luar Kab. Bogor
Gambar 7. Jalur Distribusi Ayam Ras Pedaging di Kabupaten Bogor
45
Sarana pemasaran komoditas peternakan di Kabupaten Bogor terdiri dari 11 pasar hewan yang tersebar di beberapa kecamatan seperti kecamatan Rumpin, Cigudeg, Parung, Ciseeng, Citeureup, Parung Panjang, Tenjo, Cileungsi, Jonggol, Leuwiliang dan Ciampea.
46
BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN
6.1. Harga Rata-rata Daging Ayam Ras di Kabupaten Bogor Faktor harga terkait erat dengan tingkat permintaan. Pada tahun 1981 Badan Urusan Logistik membentuk sebuah tim yaitu Pengendali Harga dan Pemasaran Hasil-hasil Ternak Unggas (PHPHTU) yang bertugas untuk memonitor dan menjaga kestabilan harga hasil produksi ternak unggas di tingkat produsen dan konsumen. Namun seiring dengan perkembangannya, pada tahun 1990 melalui Keppres No. 22/90 tataniaga hasil unggas dan mekanisme harga disesuaikan dengan mekanisme pasar. Harga daging ayam ras relatif lebih murah dibandingkan dengan harga daging sapi sehingga mempunyai pangsa pasar yang lebih luas. Perkembangan harga rata-rata daging ayam ras dari tahun 2003 – 2007 berkisar antara Rp 10.000/kg hingga Rp 20.000/kg. Pada Gambar 8 dapat dilihat perkembangan harga daging ayam ras di Kabupaten Bogor periode 2003 – 2007. Grafik perkembangan harga rata-rata daging ayam ras memperlihatkan kecenderungan kenaikan harga daging ayam ras pada saat masa ramai seperti menjelang akhir tahun.
47
25000
Harga (Rp)
20000
15000
10000
5000
20 07
20 06
20 05
20 04
20 03
0
Periode
Gambar 8. Perkembangan Harga Daging Ayam Ras di Kab. Bogor (2003-2007) Kenaikan harga tertinggi selama periode tersebut terjadi pada tahun 2006 dan 2007 yang mencapai Rp. 19.750/kg, hal tersebut mengindikasikan bahwa masyarakat sudah mulai berani mengkonsumsi daging ayam setelah tahun sebelumnya masyarakat cenderung takut mengkonsumsi daging ayam karena isu flu burung. Pada tahun 2006 penyakit flu burung tidak terlalu mempengaruhi harga, karena permintaan konsumen relatif stabil. Harga rata-rata daging ayam tahun 2006 mengalami peningkatan sebesar 26 persen, sementara harga rata-rata daging ayam untuk tahun 2007 mengalami peningkatan 13 persen dari tahun sebelumnya. Penurunan harga terendah terjadi pada awal tahun 2004, dimana harga daging ayam ras berada di bawah Rp 10.000/kg. Hal ini disebabkan oleh wabah penyakit
flu
burung,
sehingga
permintaan
konsumen
menurun
tajam.
Dibandingkan tahun 2003, harga daging ayam ras mengalami penurunan sebesar 30 persen. Pada pertengahan tahun 2004 harga daging ayam mengalami kenaikan,
48
hal ini disebabkan karena permintaan meningkat sedangkan penawaran terbatas karena adanya penyakit flu burung sehingga produsen tidak berproduksi optimal. Penurunan harga daging ayam ras yang terjadi pada tahun 2003 – 2005 tidak langsung diikuti dengan pertumbuhan tingkat permintaan.
6.2. Harga Rata-rata Daging Sapi di Kabupaten Bogor Daging sapi diduga merupakan komoditas substitusi dari daging ayam ras. Permintaan terhadap daging sapi juga dipengaruhi oleh beberapa hal seperti memasuki masa ramai menjelang perayaan Idul Fitri dan Idul Adha, isu masuknya daging ilegal di pasaran, dan berjangkitnya penyakit sapi gila. Perkembangan harga daging sapi selama periode 2003 – 2007 dapat dilihat pada Gambar 9.
60000
Harga (Rp)
50000 40000 30000 20000 10000
20 07
20 06
20 05
20 04
20 03
0
Periode
Gambar 9. Perkembangan Harga Daging Sapi di Kabupaten Bogor
Harga rata-rata daging sapi cenderung stabil selama beberapa periode. Pada tahun 2003 hingga akhir 2005, harga rata-rata daging sapi mencapai Rp 40.000/kg. Sementara pada tahun 2006 hingga 2007 harga rata-rata daging sapi
49
mengalami kenaikan menjadi Rp 50.000/kg. Penurunan terendah terjadi pada bulan Juli 2003, dimana harga daging sapi rata-rata Rp 27.000/kg. Hal ini terkait dengan supply daging sapi yang berlimpah karena perusahaan penggemukan sapi potong yang semula berjumlah 7 perusahaan, pada tahun 2003 tumbuh menjadi 12 perusahaan serta bertambahnya satu unit lokasi inseminasi buatan. Peningkatan harga tertinggi terjadi pada akhir tahun 2006 dan 2007 masing-masing sebesar Rp 54.000 dan Rp 55.000/kg. Peningkatan harga daging sapi setelah tahun 2005 dipicu oleh kenaikan harga BBM yang terjadi pada akhir tahun 2005.
6.3. Harga Rata-rata Daging Ikan di Kabupaten Bogor Daging ikan diduga juga berpengaruh terhadap permintaan daging ayam ras sebagai komoditas pengganti. Pada Gambar 10 dapat dilihat grafik perkembangan harga daging ikan selama periode 2003 – 2007 di Kabupaten Bogor.
16000 14000
10000 8000 6000 4000 2000
20 07
20 06
20 05
20 04
0 20 03
Harga (Rp)
12000
Periode
50
Gambar 10. Perkembangan Harga Daging Ikan di Kabupaten Bogor Harga rata-rata daging ikan tidak terlalu terpengaruh oleh masa-masa ramai seperti saat menjelang hari raya karena permintaan cenderung stabil, sehingga peningkatan harga yang terjadi tidak terlalu signifikan. Pergerakan harga daging ikan dari tahun 2003 – 2007 berkisar antara Rp 8.000 hingga Rp 14.000.
6.4. Harga Rata-rata Telur Ayam Ras di Kabupaten Bogor Komoditas pelengkap dari daging ayam ras adalah telur ayam. Pergerakan harganya cenderung berfluktuasi seperti halnya perkembangan harga daging ayam ras. Salah satu penyebabnya adalah penyakit flu burung yang juga melanda ternak ayam ras petelur. Pada Gambar 11 dapat dilihat grafik perkembangan harga telur ayam ras dari tahun 2003 – 2007.
12000
10000
Harga (Rp)
8000
6000
4000
2000
20 07
20 06
20 05
20 04
20 03
0
Periode
Gambar 11. Perkembangan Harga Telur di Kabupaten Bogor
51
Penurunan populasi ayam ras petelur pada akhir tahun 2003 yang disebabkan oleh penyakit flu burung, berdampak kepada penurunan harga ratarata telur ayam di Kabupaten Bogor. Pada saat itu harga mencapai Rp 5.600/kg. Kemudian pada tahun 2004, permintaan terhadap telur ayam belum diimbangi dengan ketersediaan sehingga harga telur cenderung naik. Pada tahun 2005, harga telur berkisar antara Rp 7.500 – Rp 9.000/kg. Hal ini disebabkan adanya kenaikan BBM dan permintaan yang meningkat menjelang puasa dan hari raya sedangkan penawaran terbatas. Kemudian pada awal tahun 2006 harga telur cenderung naik, hal ini dikarenakan adanya kenaikan permintaan menjelang hari raya Idul Adha. Harga telur ayam pada tahun 2007 meningkat sebesar 11 – 14 persen, dengan harga berkisar antara Rp 8.700 – Rp 11.000/kg. Pada akhir tahun 2007, harga cenderung naik seiring dengan permintaan yang meningkat menjelang hari raya Idul Fitri.
6.5. Kecenderungan Permintaan Pada Masa Ramai Selera merupakan salah faktor yang dapat mempengaruhi tingkat permintaan seseorang atau masyarakat terhadap suatu komoditas. Perubahan cita rasa masyarakat pada saat-saat memasuki musim ramai seperti bulan puasa, Idul Fitri, tahun baru dan perayaan lainnya telah menjadi budaya atau tradisi untuk mengkonsumsi daging ayam. Sehingga permintaan terhadap komoditas tersebut pada musim ramai akan meningkat. Kecenderungan yang terjadi pada tiap akhir tahun adalah permintaan daging ayam meningkat diikuti dengan kenaikan harga. Perubahan selera terhadap isu negatif suatu komoditas menyebabkan permintaan pada komoditas tersebut menurun. Penyakit flu burung yang
52
menyebabkan penurunan populasi unggas khususnya ayam ras pedaging dan petelur, menimbulkan kecemasan dalam masyarakat untuk mengkonsumsi produk ayam.
6.6. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Permintaan Daging Ayam Ras Model 1 Model 1 yang digunakan dalam menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan daging ayam ras di Kabupaten Bogor adalah model regresi yang ditransformasi ke dalam bentuk logaritma natural (double log). Untuk memperoleh model yang terbaik, maka model pertama dan kedua akan dibandingkan dengan melihat nilai MSE terkecil setelah diuji oleh beberapa statistik uji. Data time series dalam penelitian sebanyak 60 bulan digunakan seluruhnya. Hasil dari analsis ragam model double log dapat dilihat pada Tabel 8 dan Lampiran 3. Tabel 8. Hasil Analisis Ragam Model 1 Source DF SS Regression 5 4,75507 Residual Error 54 0,66925 Total 59 5,42432 Durbin-Watson 1,48032 Kolmogorov-Smirnov 0,076 MSE 0,01239 2 R-Square (R ) 87,7 %
MS 0,95101 0,01239
FHit 76,73
P 0,000
Pada tabel hasil analisis ragam model di atas, dapat dilihat nilai koefisien determinasi (R2) adalah sebesar 87,7 persen. Hal tersebut bermakna bahwa 87,7 persen variasi keragaman permintaan daging ayam ras di Kabupaten Bogor dapat
53
dijelaskan oleh variabel-variabel yang ada dalam model, sedangkan sisanya sebesar 12,3 persen dijelaskan oleh variabel-variabel lain yang tidak terdapat di dalam model permintaan daging ayam ras atau diterangkan oleh komponen acak. Berdasarkan hasil uji F diperoleh nilai F hitung sebesar 76,73. Angka tersebut lebih besar dari F tabel sebesar 2,38 pada taraf nyata lima persen. Nilai tersebut menunjukkan bahwa variabel-variabel yang ada dalam model secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap permintaan daging ayam ras di Kabupaten Bogor. Untuk mengetahui ada atau tidaknya masalah autokorelasi yaitu hubungan linear pada variabel itu sendiri yang terlambat beberapa periode (lag), maka dilakukan uji Durbin Watson. Uji Durbin Watson memiliki batas atas dan batas bawah. Nilai batas atas yang diperoleh adalah 1,77 dan batas bawah adalah 1,41 pada taraf nyata lima persen. Jika statistik DW lebih besar dari batas di atas (U), maka tidak terdapat autokorelasi positif, apabila statistik DW lebih kecil dari batas di bawah (L) maka terdapat auto korelasi positif. Jika nilai berada diantara batas atas (U) dan bawah (L) maka tidak diketahui apakah terdapat autokorelasi positif. Dari nilai statistik model permintaan daging ayam ras diperoleh nilai sebesar 1,48032 maka tidak diketahui apakah terdapat masalah autokorelasi dalam model. Namun, berdasarkan pemeriksaan autokorelasi residual (Lampiran 6) memberikan indikasi bahwa semuanya berada dalam dua batas galat baku (garis putus-putus). Sehingga dapat disimpulkan bahwa korelasi serial telah dieleminasi. Nilai statistik uji Kolmogorov-Smirnov (KShitung) yang didapatkan adalah sebesar 0,076. Nilai ini lebih kecil jika dibandingkan dengan KStabel sebesar 0,175 dengan menggunakan selang kepercayaan 95 persen. Hal ini menandakan bahwa
54
residual dalam model regresi double log sudah menyebar normal. Selain itu, hasil MSE yang didapatkan pada model ini adalah sebesar 0,01239. Hasil dari signifikansi dan koefisien masing-masing variabel independent yang digunakan dalam Model 1 dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Analisis Variabel Pada Model 1 Predictor Constant X1 X2 X3 X4 Dt Ttabel (0,025 ; 54) = 2,005
Coef -9,614 0,2475 0,8655 1,0902 -0,5859 0,2069
SE 1,009 0,1463 0,1835 0,1694 0,2219 0,0307
Thitung -9,53 1,69 4,72 6,43 -2,64 6,74
Phitung 0,000 0,097 0,000 0,000 0,011 0,000
VIF 2,830 4,261 3,583 4,547 1,121
Dari hasil analisis variabel di atas maka model regresi double log untuk permintaan daging ayam ras dapat diduga menggunakan persamaan berikut ini : ln Yt = -9,614 + ln 0,2475X1 + ln 0,8655X2 + ln 1,0902X3 - ln 0,5859X4 + 0,207Dt + εt Keterangan : = permintaan daging ayam ras Yt X1 = harga rata-rata daging ayam ras = harga rata-rata daging sapi X2 X3 = harga rata-rata daging ikan X4 = harga rata-rata telur ayam ras Dt = musim ramai εt = error atau residual Interpretasi koefisien dan signifikansi setiap variabel yang mempengaruhi permintaan daging ayam ras di Kabupaten Bogor dapat dilihat sebagai berikut :
55
a. Harga rata-rata daging ayam ras (X1) Koefisien harga rata-rata daging ayam ras bernilai positif yaitu sebesar 0,2475. Nilai tersebut dapat diartikan jika terjadi peningkatan harga rata-rata daging ayam ras sebesar satu rupiah, maka rata-rata permintaan daging ayam ras akan naik sebesar 0,2475 ton, cateris paribus. Pernyataan ini berlawanan dengan hipotesis awal yang menyatakan bahwa harga rata-rata daging ayam ras mempunyai hubungan negatif dengan permintaannya. Hal ini dikarenakan pengamatan yang terjadi dilakukan selama periode 2003 – 2007. Dimana selama tahun 2003 hingga 2005, penyakit flu burung masih melanda beberapa peternakan ayam ras di Kabupaten Bogor, sehingga penurunan harga daging ayam tidak diikuti dengan peningkatan permintaan karena sebagian masyarakat takut untuk mengkonsumsi daging ayam. Kemudian selama tahun 2006 – 2007 kondisi perunggasan cenderung stabil dimana isu flu burung dibeberapa daerah sudah mulai mereda. Namun perubahan selera masyarakat dalam mengkonsumsi daging ayam pada saat memasuki bulan puasa, menjelang hari raya dan akhir tahun berdampak pada kenaikan harga rata-rata daging ayam ras di Kabupaten Bogor. Naiknya harga komoditas daging ayam tidak diikuti dengan menurunnya tingkat permintaan, justru pada kondisi ini permintaan cenderung naik dengan signifikan. Kemudian untuk mengetahui apakah variabel harga rata-rata daging ayam ras secara parsial berpengaruh nyata terhadap permintaan daging ayam ras, dapat dilihat dari nilai Thitung. Untuk variabel harga rata-rata daging ayam ras (X1), nilai Thitung nya lebih kecil dibandingkan dengan Ttabel sebesar 2,005 pada taraf nyata lima persen. Hal ini mengartikan bahwa variabel tersebut
56
tidak berpengaruh nyata secara parsial dan tidak dapat menjelaskan permintaan daging ayam ras secara nyata.. Nilai Variance Inflation Factor (VIF) untuk variabel harga rata-rata daging ayam ras lebih kecil dari sepuluh yaitu sebesar 2,830. Hal ini menandakan bahwa tidak terdapat masalah multikolinear antar variabel harga rata-rata daging ayam ras dengan variabel independent lainnya. b. Harga rata-rata daging sapi (X2) Koefisien harga rata-rata daging sapi mempunyai nilai positif sebesar 0,8655. Nilai tersebut mengartikan bahwa jika harga rata-rata daging sapi naik satu rupiah maka permintaan terhadap daging ayam ras akan meningkat sebesar 0,8655 ton, cateris paribus. Pernyataan ini sesuai dengan hipotesis awal yang menyatakan bahwa harga rata-rata daging sapi mempunyai hubungan positif dengan permintaan daging ayam ras. Dimana kenaikan harga pada daging sapi akan menyebabkan permintaan terhadap komoditas tersebut turun, sementara itu konsumen akan beralih mengkonsumsi daging ayam dan menyebabkan permintaan terhadap daging ayam naik, cateris paribus. Dalam hal ini daging sapi merupakan komoditas pengganti dari daging ayam ras. Untuk variabel harga rata-rata daging sapi (X2), nilai Thitung nya lebih besar dibandingkan dengan Ttabel sebesar 2,005 pada taraf nyata lima persen. Hal ini mengartikan bahwa variabel tersebut berpengaruh nyata sacara parsial dan dapat menjelaskan permintaan daging ayam ras secara nyata. Nilai Variance Inflation Factor (VIF) untuk variabel harga rata-rata daging sapi lebih kecil dari sepuluh yaitu sebesar 4,261. Hal ini menandakan bahwa tidak
57
terdapat masalah multikolinear antar variabel harga rata-rata daging sapi dengan variabel independent lainnya. c. Harga rata-rata daging ikan (X3) Pada hipotesis awal, daging ikan merupakan komoditas substitusi dari daging ayam ras. Hasil koefisien pada harga rata-rata daging ikan mempunyai nilai positif yaitu sebesar 1,0902. Maka dapat diartikan jika harga rata-rata daging ikan naik satu rupiah maka permintaan terhadap daging ayam ras akan meningkat sebesar 1,0902 ton, cateris paribus. Artinya hipotesis awal didukung oleh hasil analisis variabel model regresi. Hubungan positif tersebut terjadi ketika harga rata-rata daging ikan mengalami peningkatan maka permintaan terhadap komoditas tersebut akan turun, sementara itu konsumen akan mengurangi konsumsi terhadap komoditas
tersebut
dan
beralih
mengkonsumsi
daging
ayam
dan
menyebabkan permintaan terhadap daging ayam naik, cateris paribus. Dalam hal ini daging ikan merupakan komoditas pengganti dari daging ayam ras. Variabel harga rata-rata daging ikan (X3), mempunyai hasil Thitung yang lebih besar dibandingkan dengan Ttabel sebesar 2,005 pada taraf nyata lima persen. Hal ini mengartikan bahwa variabel tersebut berpengaruh nyata sacara parsial dan dapat menjelaskan permintaan daging ayam ras secara nyata. Nilai Variance Inflation Factor (VIF) untuk variabel harga rata-rata daging ikan lebih kecil dari sepuluh yaitu sebesar 3,583. Hal ini menandakan bahwa tidak terdapat masalah multikolinear antar variabel harga rata-rata daging ikan dengan variabel independent lainnya.
58
d. Harga rata-rata telur ayam ras (X4) Koefisien variabel harga rata-rata telur ayam mempunyai nilai negatif sebesar -0,5859. Nilai tersebut dapat diartikan bahwa jika harga rata-rata telur ayam naik satu rupiah maka permintaan terhadap daging ayam ras akan menurun sebesar 0,5859 ton, cateris paribus. Pernyataan ini sesuai dengan hipotesis awal yang menyatakan bahwa harga rata-rata telur ayam ras mempunyai hubungan negatif dengan permintaan daging ayam ras. Dimana pada saat harga telur ayam ras mengalami kenaikan maka permintaan terhadap komoditas tersebut akan turun, sementara itu konsumen juga akan mengurangi konsumsi daging ayam dan menyebabkan permintaan terhadap daging ayam turun, cateris paribus. Dalam hal ini telur ayam ras merupakan komoditas pelengkap dari daging ayam ras. Untuk variabel harga rata-rata telur ayam ras (X4), nilai Thitung nya lebih besar dibandingkan dengan Ttabel sebesar 2,005 pada taraf nyata lima persen. Hal ini mengartikan bahwa variabel tersebut berpengaruh nyata sacara parsial dan dapat menjelaskan permintaan daging ayam ras secara nyata. Nilai Variance Inflation Factor (VIF) untuk variabel harga rata-rata telur ayam lebih kecil dari sepuluh yaitu sebesar 4,547. Hal ini menandakan bahwa tidak terdapat masalah multikolinear antar variabel harga rata-rata telur ayam dengan variabel independent lainnya. e. Dummy (Dt) Dummy berupa periode sebelum dan menjelang masa ramai seperti saat perayaan hari tertentu berpengaruh nyata terhadap model permintaan daging ayam ras di Kabupaten Bogor pada taraf nyata lima persen. Hal ini dapat dilihat dari
59
nilai Thitung nya yang lebih besar dibandingkan dengan Ttabel sebesar 2,005. Hasil dari uji signifikansi untuk dummy ini sesuai dengan yang diharapkan. Dimana sebelumnya diharapkan ketika saat-saat memasuki masa ramai permintaan terhadap daging ayam ras di Kabupaten Bogor akan meningkat dan berpengaruh secara signifikan. Hasil dari koefisien regresi untuk dummy adalah 0,20691. Artinya bahwa menjelang masa ramai permintaan terhadap komoditas daging ayam ras akan meningkat 0,20691 ton. Koefisisen regeresi yang bernilai positif sesuai dengan hipotesis yang menyatakan bahwa hubungan antara dummy dan permintaan daging ayam ras adalah positif.
6.7. Elastisitas Variabel Pada Model 1 Nilai elastisitas untuk Model 1 dapat dilihat pada Tabel 10. Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa variabel harga rata-rata komoditas daging ikan bernilai lebih dari satu yaitu masing-masing 1,0902.
Tabel 10. Nilai Elastisitas pada Model 1 Variabel Nilai Elastisitas Harga rata-rata daging ayam ras 0,2475 Harga rata-rata daging sapi 0,8655 Harga rata-rata daging ikan 1,0902 Harga rata-rata telur ayam ras -0,5859 Dummy 0,2069
Elastisitas Inelastis Inelastis Elastis Inelastis Inelastis
Selama periode pengamatan yaitu tahun 2003 – 2007, permintaan daging ayam cukup responsif terhadap harga rata-rata daging ikan. Dimana ketika harga rata-rata daging ikan naik satu persen maka permintaan terhadap daging ayam
60
akan naik sebesar 1,0902 persen. Maka daging ikan merupakan komoditas substitusi yang kuat bagi daging ayam ras. Variabel harga rata-rata daging ayam, harga rata-rata daging sapi, harga rata-rata telur dan dummy mempunyai sifat tidak elastis. Artinya permintaan daging ayam ras di Kabupaten Bogor pada tahun 2003 - 2007 tidak terlalu responsif terhadap perubahan nilai keempat variabel tersebut. Dari keempat variabel tersebut, variabel dummy yang mempunyai nilai elastisitas terkecil.
6.8. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Permintaan Daging Ayam Ras Model 2 Model 2 yang digunakan dalam menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan daging ayam ras di Kabupaten Bogor adalah model linear berganda tanpa transformasi log. Data time series dalam penelitian sebanyak 60 bulan digunakan seluruhnya. Hasil dari analsis ragam pada model kedua dapat dilihat pada Tabel 11 dan Lampiran 4. Tabel 11. Hasil Analisis Ragam Model 2 Source DF SS Regression 5 5589311 Residual Error 54 853241 Total 59 6442552 Durbin-Watson 1,54949 Kolmogorov-Smirnov 0,075 MSE 15801 2 R-Square (R ) 86,8 %
MS 1117862 15801
FHit 70,75
P 0,000
Pada tabel hasil analisis ragam model di atas, dapat dilihat nilai koefisien determinasi (R2) adalah sebesar 86,8 persen. Hal tersebut bermakna bahwa 86,6 persen variasi keragaman permintaan daging ayam ras di Kabupaten Bogor dapat
61
dijelaskan oleh variabel-variabel yang ada dalam model, sedangkan sisanya sebesar 13,4 persen dijelaskan oleh variabel-variabel lain yang tidak terdapat di dalam model permintaan daging ayam ras atau diterangkan oleh komponen acak. Berdasarkan hasil uji F diperoleh nilai F hitung sebesar 70,75. Angka tersebut lebih besar dari F tabel sebesar 2,38 pada taraf nyata lima persen. Nilai tersebut menunjukkan bahwa variabel-variabel yang ada dalam model secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap permintaan daging ayam ras di Kabupaten Bogor. Untuk mengetahui ada atau tidaknya masalah autokorelasi yaitu hubungan linear pada variabel itu sendiri yang terlambat beberapa periode (lag), maka dilakukan uji Durbin Watson. Uji Durbin Watson yang dilakukan sama dengan model 1. Nilai batas atas yang diperoleh adalah 1,77 dan batas bawah adalah 1,41 pada taraf nyata lima persen. Jika statistik DW lebih besar dari batas di atas (U), maka tidak terdapat autokorelasi positif, apabila statistik DW lebih kecil dari batas di bawah (L) maka terdapat auto korelasi positif. Jika nilai berada diantara batas atas (U) dan bawah (L) maka tidak diketahui apakah terdapat autokorelasi positif. Dari nilai statistik model permintaan daging ayam ras diperoleh nilai sebesar 1,54949 maka tidak diketahui apakah terdapat masalah autokorelasi dalam model. Namun, berdasarkan pemeriksaan autokorelasi residual (Lampiran 7) memberikan indikasi bahwa semuanya berada dalam dua batas galat baku (garis putus-putus). Sehingga dapat disimpulkan bahwa korelasi serial telah dieleminasi. Nilai statistik uji Kolmogorov-Smirnov (KShitung) yang didapatkan adalah sebesar 0,075. Nilai ini lebih kecil jika dibandingkan dengan KStabel sebesar 0,175 dengan menggunakan selang kepercayaan 95 persen. Hal ini menandakan bahwa
62
residual dalam model regresi tanpa log sudah menyebar normal. Selain itu, hasil MSE yang didapatkan pada model ini adalah sebesar 15801. Hasil dari signifikansi dan koefisien masing-masing variabel independent yang digunakan dalam Model 2 dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12. Analisis Variabel Pada Model 2 Predictor Constant X1 X2 X3 X4 Dt Ttabel (0,025 ; 54) = 2,005
Coef -798,1 0,02822 0,025777 0,09464 -0,09443 220,90
SE 129,4 0,01223 0,005297 0,01894 0,02988 34,81
Thitung -6,17 2,31 4,87 5,00 -3,16 6,35
Phitung 0,000 0,025 0,000 0,000 0,003 0,000
VIF 2,866 4,507 4,272 4,309 1,130
Berdasarkan hasil analisis variabel tersebut maka model regresi tanpa log untuk permintaan daging ayam ras dapat diduga menggunakan persamaan berikut ini : Yt
= - 798 + 0,0282X1 + 0,0258X2 + 0,0946X3 – 0,0944X4 + 221Dt + εt
Keterangan : = permintaan daging ayam ras Yt X1 = harga rata-rata daging ayam ras = harga rata-rata daging sapi X2 X3 = harga rata-rata daging ikan X4 = harga rata-rata telur ayam ras Dt = musim ramai εt = error atau residual Interpretasi koefisien dan signifikansi setiap variabel yang mempengaruhi permintaan daging ayam ras di Kabupaten Bogor dapat dilihat sebagai berikut :
63
a. Harga rata-rata daging ayam ras (X1) Koefisien harga rata-rata daging ayam ras bernilai positif yaitu sebesar 0,0282. Nilai tersebut dapat diartikan jika terjadi peningkatan harga rata-rata daging ayam ras sebesar satu rupiah, maka rata-rata permintaan daging ayam ras akan naik sebesar 0,0282 ton, cateris paribus. Pernyataan ini berlawanan dengan hipotesis awal yang menyatakan bahwa harga rata-rata daging ayam ras mempunyai hubungan negatif dengan permintaannya. Penjelasan untuk hasil analsis ini sama dengan model pertama. Kemudian untuk mengetahui apakah variabel harga rata-rata daging ayam ras secara parsial berpengaruh nyata terhadap permintaan daging ayam ras, dapat dilihat dari nilai Thitung. Untuk variabel harga rata-rata daging ayam ras (X1), nilai Thitung nya lebih besar dibandingkan dengan Ttabel sebesar 2,005 pada taraf nyata lima persen. Hal ini mengartikan bahwa variabel tersebut berpengaruh nyata secara parsial dan dapat menjelaskan permintaan daging ayam ras secara nyata. Nilai Variance Inflation Factor (VIF) untuk variabel harga rata-rata daging ayam ras lebih kecil dari sepuluh yaitu sebesar 4,507. Hal ini menandakan bahwa tidak terdapat masalah multikolinear antar variabel harga rata-rata daging sapi dengan variabel independent lainnya. b. Harga rata-rata daging sapi (X2) Koefisien harga rata-rata daging sapi mempunyai nilai positif sebesar 0,0258. Nilai tersebut mengartikan bahwa jika harga rata-rata daging sapi naik satu rupiah maka permintaan terhadap daging ayam ras akan meningkat sebesar 0,0258 ton, cateris paribus. Pernyataan ini sesuai dengan hipotesis awal yang menyatakan bahwa harga rata-rata daging sapi mempunyai
64
hubungan positif dengan permintaan daging ayam ras. Dimana kenaikan harga pada daging sapi akan menyebabkan permintaan terhadap komoditas tersebut turun, sementara itu konsumen akan beralih mengkonsumsi daging ayam dan menyebabkan permintaan terhadap daging ayam naik, cateris paribus. Dalam hal ini daging sapi merupakan komoditas pengganti dari daging ayam ras. Untuk variabel harga rata-rata daging sapi (X2), nilai Thitung nya lebih besar dibandingkan dengan Ttabel sebesar 2,005 pada taraf nyata lima persen. Hal ini mengartikan bahwa variabel tersebut berpengaruh nyata sacara parsial dan dapat menjelaskan permintaan daging ayam ras secara nyata. Nilai Variance Inflation Factor (VIF) untuk variabel harga rata-rata daging sapi lebih kecil dari sepuluh yaitu sebesar 4,261. Hal ini menandakan bahwa tidak terdapat masalah multikolinear antar variabel harga rata-rata daging sapi dengan variabel independent lainnya. c. Harga rata-rata daging ikan (X3) Pada hipotesis awal, daging ikan merupakan komoditas substitusi dari daging ayam ras. Hasil koefisien pada harga rata-rata daging ikan mempunyai nilai positif yaitu sebesar 0,0946. Maka dapat diartikan jika harga rata-rata daging ikan naik satu rupiah maka permintaan terhadap daging ayam ras akan meningkat sebesar 0,0946 ton, cateris paribus. Artinya hipotesis awal didukung oleh hasil analisis variabel model regresi. Hubungan positif tersebut terjadi ketika harga rata-rata daging ikan mengalami peningkatan maka permintaan terhadap komoditas tersebut akan turun, sementara itu konsumen akan mengurangi konsumsi terhadap
65
komoditas
tersebut
dan
beralih
mengkonsumsi
daging
ayam
dan
menyebabkan permintaan terhadap daging ayam naik, cateris paribus. Dalam hal ini daging ikan merupakan komoditas pengganti dari daging ayam ras. Variabel harga rata-rata daging ikan (X3), mempunyai hasil Thitung yang lebih besar dibandingkan dengan Ttabel sebesar 2,005 pada taraf nyata lima persen. Hal ini mengartikan bahwa variabel tersebut berpengaruh nyata sacara parsial dan dapat menjelaskan permintaan daging ayam ras secara nyata. Nilai Variance Inflation Factor (VIF) untuk variabel harga rata-rata daging ikan lebih kecil dari sepuluh yaitu sebesar 4,272. Hal ini menandakan bahwa tidak terdapat masalah multikolinear antar variabel harga rata-rata daging ikan dengan variabel independent lainnya. d. Harga rata-rata telur ayam ras (X4) Koefisien variabel harga rata-rata telur ayam mempunyai nilai negatif sebesar -0,0944. Nilai tersebut dapat diartikan bahwa jika harga rata-rata telur ayam naik satu rupiah maka permintaan terhadap daging ayam ras akan menurun sebesar 0,5859 ton, cateris paribus. Pernyataan ini sesuai dengan hipotesis awal yang menyatakan bahwa harga rata-rata telur ayam ras mempunyai hubungan negatif dengan permintaan daging ayam ras. Dimana pada saat harga telur ayam ras mengalami kenaikan maka permintaan terhadap komoditas tersebut akan turun, sementara itu konsumen juga akan mengurangi konsumsi daging ayam dan menyebabkan permintaan terhadap daging ayam turun, cateris paribus. Dalam hal ini telur ayam ras merupakan komoditas pelengkap dari daging ayam ras.
66
Untuk variabel harga rata-rata telur ayam ras (X4), nilai Thitung nya lebih besar dibandingkan dengan Ttabel sebesar 2,005 pada taraf nyata lima persen. Hal ini mengartikan bahwa variabel tersebut berpengaruh nyata sacara parsial dan dapat menjelaskan permintaan daging ayam ras secara nyata. Nilai Variance Inflation Factor (VIF) untuk variabel harga rata-rata telur ayam lebih kecil dari sepuluh yaitu sebesar 4,309. Hal ini menandakan bahwa tidak terdapat masalah multikolinear antar variabel harga rata-rata telur ayam dengan variabel independent lainnya. e. Dummy (Dt) Dummy berupa periode sebelum dan menjelang masa ramai seperti saat perayaan hari tertentu berpengaruh nyata terhadap model permintaan daging ayam ras di Kabupaten Bogor pada taraf nyata lima persen. Hal ini dapat dilihat dari nilai Thitung nya yang lebih besar dibandingkan dengan Ttabel sebesar 2,005. Hasil dari uji signifikansi untuk dummy ini sesuai dengan yang diharapkan. Dimana sebelumnya diharapkan ketika saat-saat memasuki masa ramai permintaan terhadap daging ayam ras di Kabupaten Bogor akan meningkat dan berpengaruh secara signifikan. Hasil dari koefisien regresi untuk dummy adalah 221. Artinya bahwa menjelang masa ramai permintaan terhadap komoditas daging ayam ras akan meningkat 221 ton. Koefisisen regeresi yang bernilai positif sesuai dengan hipotesis yang menyatakan bahwa hubungan antara dummy dan permintaan daging ayam ras adalah positif.
67
6.9. Elastisitas Variabel Pada Model 2 Nilai elastisitas untuk Model 2 dapat dilihat pada Tabel 13. Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa masing-masing variabel independent memiliki sifat inelastis terhadap permintaan daging ayam ras.
Tabel 13. Nilai Elastisitas pada Model 2 Variabel Nilai Elastisitas Harga rata-rata daging ayam ras 0,33 Harga rata-rata daging sapi 0,99 Harga rata-rata daging ikan 0,98 Harga rata-rata telur ayam ras -0,71 Dummy 0,11
Elastisitas Inelastis Inelastis Inelastis Inelastis Inelastis
Selama periode pengamatan yaitu tahun 2003 – 2007, permintaan daging ayam tidak terlalu responsif terhadap perubahan harga rata-rata daging ayam, harga rata-rata daging sapi, harga rata-rata daging ikan, harga rata-rata telur ayam dan dummy. Diantara variabel lainnya, harga rata-rata daging sapi dan harga ratarata daging ikan memiliki pengaruh cukup kuat terhadap permintaan daging ayam ras karena nilai elastisitas untuk keduanya mendekati angka satu.
68
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN
7.1. Kesimpulan Permintaan daging ayam ras sebagai variabel dependent dipengaruhi oleh beberapa variabel independent dalam suatu model. Berdasarkan data permintaan tahun 2003 – 2007, maka variabel yang secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap permintaan daging ayam ras di Kabupaten Bogor (Yt) menurut model 1 dan model 2 adalah variabel harga rata-rata daging ayam ras (X1), harga rata-rata daging sapi (X2), harga rata-rata daging ikan (X3), harga rata-rata telur ayam (X4) dan dummy (Dt) pada taraf nyata lima persen. Sedangkan variabel-variabel yang berpengaruh nyata secara signifikan terhadap permintaan daging ayam ras menurut model 1 adalah harga rata-rata daging sapi, harga rata-rata daging ikan, harga rata-rata telur ayam dan dummy. Pada model 2, semua variabel berpengaruh nyata secara parsial terhadap permintaan daging ayam ras pada selang kepercayaan 95 persen. Berdasarkan hasil analisis variabel pada model 1 dan model 2, diperoleh hasil bahwa variabel X1 memiliki hubungan positif dengan Yt, variabel X2 dan X3 merupakan komoditas pengganti dari daging ayam, variabel X4 merupakan komoditas pelengkap dan variabel Dt berhubungan positif dengan Yt. Berdasarkan nilai MSE terkecil dan R- square terbesar setelah diuji oleh beberapa statistik uji, maka model 1 merupakan model yang terbaik dalam menduga faktorfaktor yang berpengaruh terhadap permintaan daging ayam ras di Kabupaten Bogor.
69
Elastisitas pada model 1 untuk variabel harga rata-rata daging ayam ras bersifat inelastis. Elastisitas silang untuk komoditas pengganti seperti harga daging ikan bersifat elastis. Maka daging ikan merupakan komoditas substitusi yang kuat terhadap daging ayam ras. Sedangkan variabel harga telur, harga daging sapi dan dummy bersifat inelastis. Untuk elastisitas pada model 2, semua variabelnya bersifat inelastis.
7.2. Saran Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa variabel-variabel yang berpengaruh secara signifikan terhadap permintaan daging ayam ras di Kabupaten Bogor pada periode 2003 - 2007 adalah harga rata-rata daging sapi, harga rata-rata daging ikan, harga rata-rata telur ayam dan dummy pada taraf nyata lima persen. Penyakit flu burung menyebabkan populasi ternak dan permintaan ayam ras pedaging cenderung menurun sehingga komoditas lain seperti daging sapi dan daging ikan menjadi lebih diminati oleh konsumen, padahal kontribusi daging ayam ras terhadap total produksi daging ternak di Kabupaten Bogor selalu mendominasi. Saran yang dapat diajukan kepada pihak pemerintah daerah setempat adalah lebih bertindak proaktif dalam membina dan menanggulangi permasalahan peternak seperti pemberian bantuan vaksin dan desinfektan, sosialisasi yang cepat kepada masyarakat tentang flu burung dan himbauan untuk tetap mengkonsumsi daging ayam. Pihak peternak pun harus menerapkan biosekuritas diantaranya dengan cara menjaga kebersihan di sekitar dan di dalam kandang beserta peralatan yang digunakan dalam budidaya termasuk tempat pakan dan minum, serta
70
melakukan penyemprotan desinfektan di dalam dan sekitar kandang sebagai langkah preventif. Perlunya kerjasama antara Dinas Peternakan setempat dengan perusahaan peternakan ayam ras pedaging di Kabupaten Bogor untuk menjaga keseimbangan penawaran dan permintaan daging ayam dalam menghadapi musim ramai. Dengan memperoleh informasi tentang kondisi supply menjelang masa ramai dan prediksi permintaan, maka Dinas Peternakan dapat memutuskan perlu tidaknya memasok daging ayam dari luar daerah ke dalam Kabupaten Bogor. Hasil analisis yang dilakukan dalam penelitian ini masih bersifat agregat dan menunjukkan adanya faktor-faktor lain yang tidak terdapat dalam model persamaan. Sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai permintaan daging ayam ras. Sebagai komoditas yang selalu memberikan kontribusi besar dalam produksi daging di Kabupaten Bogor, sudah seharusnya pihak pemerintah daerah setempat lebih memperhatikan kondisi peternakan ayam ras pedaging.
71
DAFTAR PUSTAKA
Asosiasi Obat Hewan Indonesia. 2001. Setengah Abad Ayam Ras Indonesia (1950 – 2000). Jakarta. Azmi, Fatwa. 2004. Permalan Permintaan Daging Ayam di PT. Sierad Produce Tbk. Skripsi. Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian.Bogor. Bogor. Bilas, Richard A. 1989. Teori Mikroekonomi. Edisi Kedua. Penerbit Erlangga. Jakarta. Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor. 2007. Laporan Kegiatan Disnakkan. Bogor. Direktorat Jenderal Peternakan. 2007. Statistik Peternakan 2007. Jakarta. Fadilah, Roni, Agustin P, Sjamsirul A, Eko P. 2007. Sukses Beternak Ayam Broiler. Agromedia Pustaka. Jakarta. Fatimah, Neneng. 2004. Analisis Permintaan Konsumen Rumah Tangga Terhadap Telur Ayam Ras di Desa Margabakti Kecamatan Cibeureum dan Kelurahan Sukamulya Kecamatan Indihiang Tasikmalaya. Skripsi. Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian.Bogor. Bogor. Firdaus, M. 2006. Analisis Deret Waktu Satu Ragam. IPB Press. Bogor. Hanke, John E, Dean W. Wichern, Arthur G. Reitsch. 2003. Peramalan Bisnis. Edisi Ketujuh. PT. Prenhallindo. Jakarta. Hyman, David N. 1996. Microeconomics. Fourth Edition. McGraw-Hill Inc. United State of America. Kariyasa, I Ketut. 2003. Keterkaitan Pasar Jagung, Pakan dan Daging Ayam Ras di Indonesia. Tesis. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Kartasudjana, Ruhyat dan Edjeng Suprijatna. 2006. Manajemen Ternak Unggas. Penebar Swadaya. Jakarta.
72
Komara, Ari. 2008. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Benih Ikan Patin di Deddy Fish Farm Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor. Skripsi. Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian.Bogor. Bogor. Rasyaf, Muhammad. 2007. Beternak Ayam Pedaging. Penebar Swadaya. Jakarta. Sahat, Siska F. 2007. Analisis Permintaan Daging Sapi Segar di Wilayah DKI Jakarta. Skripsi. Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian.Bogor. Bogor. Sugiarto, Tedy H, Brastoro, Rachmat S, Said K. 2007. Ekonomi Mikro Sebuah Kajian Komperhensif. Penerbit Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Suryani, Titin. 2006. Permintaan dan Penawaran Daging Ayam Broiler di Indonesia. Skripsi. Program Studi Manajemen Agribisnis. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
73
LAMPIRAN
74
Lampiran 1. Produksi Daging Ayam Broiler Tahun 2003 - 2007 di Indonesia (ton) No
Provinsi
2003 2004 NAD 1.159 1.081 Sumut 45.581 44.688 Sumbar 9.826 13.662 Riau 28.928 27.517 Jambi 10.049 10.092 Sumsel 10.885 11.700 Bengkulu 1.439 2.165 Lampung 13.292 18.816 Jakarta 78.770 88.089 Jabar 242.990 263.397 Jateng 66.947 63.592 Yogyakarta 19.115 18.561 Jatim 142.336 162.781 Bali 21.377 24.623 NTB NTT 286 273 Kalbar 13.405 20.790 Kalteng 3.121 2.934 Kalsel 14.128 18.690 Kaltim 16.245 16.507 Sulut 4.292 1.623 Sulteng 595 2.189 Sulsel 4.271 4.255 Sultra 558 558 Maluku 36 69 Papua 933 794 Babel 2.057 2.195 Banten 17.752 23.431 Gorontalo 107 378 Malut 632 632 Kepri Irjabar Sulbar Jumlah 771.112 846.097 Sumber : Direktorat Jenderal Peternakan, 2007 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
Tahun 2005 1.533 41.778 12.119 21.004 9.909 11.708 2.268 19.170 67.054 259.749 61.683 14.997 128.342 20.530 236 6 21.286 3.000 20.349 19.294 5.606 2.005 10.215 579 67 416 5.052 16.542 405 540 376 614 677 779.108
2006 1.395 39.505 11.602 19.015 9.290 13.532 1.642 19.724 83.768 276.195 81.203 23.000 143.643 20.354 15.303 30 21.541 4.357 18.705 20.945 1.324 2.820 10.538 887 73 765 4.795 6.970 348 1.723 5.700 310 710 861.263
2007 1.619 46.955 11.665 23.811 11.564 14.368 1.762 20.794 87.118 281.719 73.087 23.230 174.442 20.761 15.988 30 23.504 6.161 19.663 21.321 1.340 2.144 11.179 944 101 890 5.754 7.131 365 1.723 5.814 787 745 918.479
75
Lampiran 2. Hasil Beberapa Studi Penelitian Terdahulu No.
Nama Peneliti
Judul Penelitian
Metode Analisis
1
Neneng Fatimah (2004)
Analisis Permintaan Konsumen Rumah Tangga Terhadap Telur Ayam di Tasikmalaya
Tabulasi deskriptif dan regresi berganda
2
Fatwa Azmi (2004)
Permalan Permintaan Daging Ayam di PT. Sierad
Time series dan metode kausal
3
4
5
Siska Fibriliani Sahat (2007)
Analisis Permintaan Daging Sapi Segar di DKI Jakarta
Regresi berganda
Ari Komara (2008)
Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Benih Ikan Patin di Deddy Fish Farm Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor
Logaritma natural (double log), dan linear berganda tanpa log. Metode peramalan yang digunakan yaitu time series dan kausal (regresi).
Titin Suryani (2006)
Permintaan dan Penawaran Daging Ayam Broiler di Indonesia
2-SLS (Two-Stage Least Square).
Hasil Penelitian Faktor yang mempengaruhi jumlah permintaan terhadap telur ayam ras di Desa Margabakti adalah harga telur ayam ras, harga beras, jumlah anggota keluarga dan tingkat pendidikan responden. Faktor yang mempengaruhi permintaan telur ayam di Kelurahan Sukamulya adalah harga telur, harga beras, pengeluaran rata-rata, anggota keluarga dan tingkat kesukaan anggota keluarga Hasil ramalan permintaan daging ayam menggunakan metode ARIMA (1,1,2) sebagai metode terpilih. Diperoleh bahwa permintaan daging ayam berfluktuasi disekitar nilai 24.745 kg sampai dengan 26.319 kg. Hasil ramalan mengikuti pola permintaan yang ada pada periode sebelumnya yaitu menunjukkan pola trend linier yang meningkat. Variabel yang mempengaruhi permintaan daging sapi segar secara signifikan adalah harga daging sapi, harga daging ayam ras, harga ikan, harga daging ayam buras, harga daging kambing, harga daging babi serta pendapatan per kapita penduduk Faktor yang berpengaruh nyata terhadap permintaan benih ikan patin adalah variabel harga jual benih dan permintaan periode sebelumnya sedangkan variabel harga rata-rata ikan patin dan harga rata-rata ikan lele tidak berpengaruh nyata..
Hasil yang diperoleh yaitu permintaan daging ayam broiler dipengaruhi oleh harga daging ayam broiler, harga telur, harga daging sapi dan pendapatan per kapita secara signifikan.
76
Lampiran 3. Output Minitab untuk Model 1 (double log) Regression Analysis: Ln Yt versus Ln X1; Ln X2; Ln X3; Ln X4; Dt The regression equation is Ln Yt = - 9,61 + 0,247 Ln X1 + 0,866 Ln X2 + 1,09 Ln X3 - 0,586 Ln X4 + 0,207 Dt
Predictor Constant Ln X1 Ln X2 Ln X3 Ln X4 Dt
Coef -9,614 0,2475 0,8655 1,0902 -0,5859 0,20691
S = 0,111326
SE Coef 1,009 0,1463 0,1835 0,1694 0,2219 0,03071
R-Sq = 87,7%
T -9,53 1,69 4,72 6,43 -2,64 6,74
P 0,000 0,097 0,000 0,000 0,011 0,000
VIF 2,830 4,261 3,583 4,547 1,121
R-Sq(adj) = 86,5%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
Source Ln X1 Ln X2 Ln X3 Ln X4 Dt
DF 1 1 1 1 1
DF 5 54 59
SS 4,75507 0,66925 5,42432
MS 0,95101 0,01239
F 76,73
P 0,000
Seq SS 2,28255 1,13717 0,48025 0,29252 0,56257
Unusual Observations Obs 17 36 38
Ln X1 9,47 9,41 9,47
Ln Yt 6,5944 6,9791 7,2492
Fit 6,8281 7,2965 6,9867
SE Fit 0,0311 0,0332 0,0279
Residual -0,2337 -0,3173 0,2625
St Resid -2,19R -2,99R 2,44R
R denotes an observation with a large standardized residual.
Durbin-Watson statistic = 1,48032
77
Lampiran 4. Output Minitab untuk Model 2 (tanpa log) Regression Analysis: Yt versus X1; X2; X3; X4; Dt The regression equation is Yt = - 798 + 0,0282 X1 + 0,0258 X2 + 0,0946 X3 - 0,0944 X4 + 221 Dt
Predictor Constant X1 X2 X3 X4 Dt
Coef -798,1 0,02822 0,025777 0,09464 -0,09443 220,90
S = 125,701
SE Coef 129,4 0,01223 0,005297 0,01894 0,02988 34,81
R-Sq = 86,8%
T -6,17 2,31 4,87 5,00 -3,16 6,35
P 0,000 0,025 0,000 0,000 0,003 0,000
VIF 2,866 4,507 4,272 4,309 1,130
R-Sq(adj) = 85,5%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
Source X1 X2 X3 X4 Dt
DF 1 1 1 1 1
DF 5 54 59
SS 5589311 853241 6442552
MS 1117862 15801
F 70,75
P 0,000
Seq SS 2827148 1355120 302554 468021 636468
Unusual Observations Obs 36 38 46
X1 12250 13000 19750
Yt 1074,0 1407,0 1889,0
Fit 1466,2 1121,9 1781,6
SE Fit 39,0 34,5 72,5
Residual -392,2 285,1 107,4
St Resid -3,28R 2,36R 1,05 X
R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large leverage.
Durbin-Watson statistic = 1,54949
78
Lampiran 5. Data Input Permintaan Daging Ayam Ras di Kabupaten Bogor Tahun 2003
2004
2005
2006
Variabel Dependent Yt 726 718 878,5 638 668 662 722 726,5 714,8 678 710,8 709 778 732 656 788,3 731 745 983 1046,2 1161 951 1289,1 1340,5 1020,8 1051,4 1046 1213,8 1092,4 1026,8 951 989,1 968,1 978 1283 1074 1017 1407 1351 1446 1416 1595 1387 1267 1656 1889 1491,5
X1 10000 11000 10000 12000 12000 12000 10000 10000 10000 11500 13500 12000 12000 11500 9250 10250 13000 13750 13500 12000 10500 12000 15000 13500 13500 12500 12750 10750 11500 12500 12750 11250 11750 11000 14500 12250 13000 13000 13000 13000 12500 11750 13250 15750 16000 19750 14500
Variabel Independent X3 X2 X4 8563 36000 7000 8563 38000 7000 8938 37000 7200 8438 37000 7200 8438 37000 7200 7875 37000 7000 9156 27000 6600 9000 27000 5600 9000 27000 5640 8906 36000 7200 8906 37000 8000 8844 36000 8200 10438 37000 7575 10438 38000 8000 10438 38500 7160 10938 38000 6950 11500 39000 7725 11500 38500 8550 11063 35000 8100 10500 35000 7225 10750 40000 7465 10625 42000 7460 10563 41000 7190 10563 43000 8090 10650 44000 8600 10650 40000 8300 11000 39500 7650 11200 39500 7150 11000 39500 8050 11250 39500 8450 11200 40000 9000 11550 40000 8100 11425 41500 8450 12025 48500 8900 12360 49000 9000 12700 49000 8125 11818 50500 9475 12045 49000 9000 12682 49000 7613 13136 48000 7900 12045 48000 8125 12409 48000 7500 13091 48000 8750 13159 48000 8600 13545 49500 8500 13182 54000 8875 13136 48500 8750
Dt 1 1 1 0 0 0 1 1 1 0 1 1 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 1 1 0 0 0 1 1 1 0 0 1 1 1
79
2007
1446 1536 1588 1351,1 1094,4 1192,8 1133,2 1065,2 1043,9 1371 1807 1676 1532
14500 14000 12500 13250 15500 14250 14500 15850 16750 18500 19250 15500 16500
13545 12955 13227 13500 12909 13091 13218 13600 13600 14055 14055 14055 14918
48500 48000 48000 48000 48000 48000 48000 49000 49000 50000 55000 47000 50000
8650 8775 9425 8800 9625 10000 9475 10025 10500 10750 11000 9500 10125
1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1
80
Lampiran 6. Autokorelasi Residual untuk Model 1 (double log) Autocorrelation Function for RESI 1 (with 5% significance limits for the autocorrelations) 1,0 0,8
Autocorrelation
0,6 0,4 0,2 0,0 -0,2 -0,4 -0,6 -0,8 -1,0 1
2
3
4
5
6
7
8 Lag
9
10
11
12
13
14
15
13
14
15
Lampiran 7. Autokorelasi Residual untuk Model 2 (tanpa log) Autocorrelation Function for RESI 2 (with 5% significance limits for the autocorrelations) 1,0 0,8
Autocorrelation
0,6 0,4 0,2 0,0 -0,2 -0,4 -0,6 -0,8 -1,0 1
2
3
4
5
6
7
8 Lag
9
10
11
12
81