ANALISIS DAYASAING KOMODITAS KOPI ARABIKA INDONESIA DI PASAR INTERNASIONAL
Oleh : JIMMY ANDAR SIAHAAN A14304042
PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN
JIMMY ANDAR SIAHAAN Analisis Dayasaing Komoditas Kopi Arabika Indonesia Di Pasar Internasional. Di bawah Bimbingan TANTI NOVIANTI Indonesia merupakan negara berkembang yang memiliki sumberdaya alam yang melimpah. Salah satu subsektor yang memiliki basis sumberdaya alam tersebut adalah subsektor perkebunan. Salah satu komoditas unggulan dalam subsektor perkebunan adalah kopi. Kopi merupakan produk perkebunan yang mempunyai peluang pasar yang baik di dalam maupun di luar negeri. Kopi Indonesia merupakan salah satu komoditas perkebunan yang di ekspor ke pasar dunia. Salah satu kopi yang diusahakan petani adalah kopi jenis Arabika. Kopi jenis Arabika hanya ditanam sebagian kecil petani sehingga harga kopi Arabika di pasar dunia masih tetap tinggi. Harga kopi Arabika di pasar internasional jauh lebih baik dibandingkan kopi jenis Robusta. Pada bulan April 2006 harga kopi robusta di pasar internasional hanya berkisar US$ 1,60/kg (Rp 14.432/kg) hingga US$ 1,65/kg (14.883/kg), sementara harga kopi Arabika sudah berada pada kisaran US$ 3/kg (Rp 27.060/kg) sampai US$ 3,1/kg (Rp 27.962/kg) yang berarti harga kopi Robusta hanya setengah dari harga jual kopi arabika. Jika eksportir kopi nasional bisa menutupi pasokan kopi Arabika di pasar dunia yang saat ini sedang menipis, hal ini akan membawa keuntungan tersendiri bagi Indonesia. Dalam dunia perdagangan kopi internasional, Indonesia dikenal sebagai negara produsen kopi yang terbesar keempat setelah Brazil, Kolombia, dan Vietnam. Bahkan untuk kopi jenis robusta, Indonesia berada di peringkat pertama sebagai produsen. Dalam era keberlanjutan pemulihan ekonomi nasional, komoditas kopi arabika Indonesia diharapkan mampu untuk terus meningkatkan devisa bagi negara. Selain devisa bagi negara, komoditas kopi arabika juga diharapkan mampu memberikan lapangan pekerjaan bagi masyarakat terutama bagi masyarakat di sentrasentra produksi kopi. Kopi yang banyak dijual di pasar Indonesia adalah jenis Arabika. Persaingan komoditas kopi Arabika Indonesia untuk memasuki pasar internasional sangat ketat. Konsumen domestik maupun luar negeri menuntut kualitas biji kopi yang baik. Adanya pesaing-pesaing terbesar Indonesia seperti Brazil, Colombia, Guatemala, Costa rika, Meksiko mendorong industri perkopian Indonesia untuk meningkatkan kualitas kopinya serta kemampuannya untuk bersaing di pasar Internaional. Adanya negara-negara produsen utama kopi Arabika mengakibatkan pengembangan ekspor kopi Arabika Indonesia dalam jangka panjang sangat ditentukan oleh peningkatan kualitas komoditas dan kemampuan dayasaingnya. Oleh karena itu hal yang perlu dilakukan saat ini yaitu menganalisis dayasaing dari komoditas kopi Arabika Indonesia sehingga peranannya dalam perekonomian dapat diandalkan. Tujuan dari penelitian ini adalah : (1) Menganalisis struktur pasar dalam perdagangan Kopi Arabika di pasar Internasional, (2) Menganalisis keunggulan
komparatif kopi Arabika Indonesia di pasar internasional, (3) Menganalisis keunggulan kompetitif kopi Arabika Indonesia. Penelitian ini dilakukan pada bulan Desember 2007-April 2008, dengan menggunakan data sekunder yang berasal dari buku-buku literatur, media cetak, perpustakaan LSI, dan internet. Analisis dan pengolahan data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif digunakan untuk menganalisis kondisi internal dan eksternal dalam pengusahaan kopi Arabika Indonesia, yaitu analisis keunggulan kompetitif komoditas kopi Arabika Indonesia. Analisis kuantitatif digunakan untuk menganalisis struktur pasar dan keunggulan komparatif kopi Arabika di pasar internasional. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan software Microsoft Excel 2003. Berdasarkan analisis Herfindahl Index dan Rasio Konsentrasi, struktur pasar yang dihadapi antar negara di pasar internasional dalam perdagangan kopi Arabika adalah struktur pasar oligopoli. Hal ini dapat dilihat dari nilai CR4 sebesar 64 persen, dan kisaran nilai Herfindahl Index sebesar 0,15. Berdasarkan analisis nilai Revealed Comparative Advantage, Indonesia sudah memiliki keunggulan komparatif dalam perdagangan kopi Arabika di pasar Internasional karena nilai RCA komoditas tersebut sebesar 2,65 (lebih dari satu). Berdasarkan analisis kualitatif, yaitu menggunakan Teori Berlian Porter maka dapat diketahui kondisi internal dan eksternal dalam pengusahaan kopi Arabika. Industri kopi Arabika nasional mempunyai keunggulan kompetitif namun masih harus dibenahi. Hal ini dapat dilihat melalui lahan yang tersediah hanya seluas 101.867 hektar. Pada faktor sumberdaya modal, sudah terdapat bantuan kredit perbankan yang membantu industri kopi Arabika untuk pembelian sarana produksi pertanian, peralatan pertanian dan biaya tenaga kerja untuk pemangkasan. Sumberdaya infrastruktur dan IPTEK masih kurang memadai. Hal ini dapat dilihat dari para petani yang umumnya belum mampu menghasilkan biji kopi dengan mutu seperti yang dipersyaratkan untuk ekspor. Salah satu faktor penyebabnya adalah minimnya sarana pengolahan dan keterbatasan teknologi untuk menghasilkan produk olahan karena alat pengupas kopi yang digunakan umumnya tidak memenuhi standar sehingga biji kopi yang dihasilkan banyak yang pecah. Sumberdaya manusia sudah memadai karena sudah terdapat banyak petani kopi di Indonesia terutama pada perkebunan rakyat yang lahannya banyak diusahakan oleh petani. Namun hal yang menjadi kelemahan pada faktor sumberdaya adalah tingkat pendidikan petani kopi yang tergolong rendah. Berdasarkan kelemahan diatas, pemerintah harus berusaha meningkatkan keunggulan kompetitif kopi Arabika nasional melalui perbaikan teknik budidaya, penyediahaan modal, dan pengadaan infrastruktur yang mendukung terhadap indutri kopi Arabika nasional sehingga dapat menghasilkan kopi yang berkualitas dan mampu bersaing dengan negara-negara produsen kopi Arabika di dunia. Pemerintah juga harus memperhatikan potensi besar dari kopi Arabika mengingat peranannya yang cukup besar dalam perekonomian. Perhatian ini bisa berupa kebijakan tentang kemudahan dalam sarana dan prasarana produksi, pengadaan pupuk dan obat, pengadaan bibit unggul maupun dalam bentuk penyuluhan pertanian yang lebih intensif khususnya di sentra-sentra produksi kopi.
ANALISIS DAYASAING KOMODITAS KOPI ARABIKA INDONESIA DI PASAR INTERNASIONAL
Oleh : JIMMY ANDAR SIAHAAN A14304042
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
Judul :
Analisis Dayasaing Komoditas Kopi Arabika Indonesia Di Pasar Internasional
Nama :
Jimmy Andar Siahaan
NRP
A14304042
:
Menyetujui, Dosen Pembimbing Skripsi
Tanti Novianti, SP, M,Si NIP. 132 206 249
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP. 131 124 019
Tanggal Lulus:
PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL
“ANALISIS
DAYASAING
KOMODITAS
KOPI
ARABIKA
INDONESIA DI PASAR INTERNASIONAL” ADALAH KARYA SENDIRI DAN BELUM DIAJUKAN DALAM BENTUK APAPUN KEPADA PERGURUAN TINGGI MANAPUN. SUMBER INFORMASI YANG BERASAL ATAU DIKUTIP DARI KARYA YANG DITERBITKAN MAUPUN TIDAK DITERBITKAN DARI PENULIS LAIN TELAH DISEBUTKAN DALAM TEKS DAN DICANTUMKAN DALAM DAFTAR PUSTAKA DI BAGIAN AKHIR SKRIPSI INI.
Bogor, Juni 2008
Jimmy Andar Siahaan A14304042
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Pematangsiantar pada tanggal 26 September 1986 dari ayah bernama Ahmad Siahaan (alm) dan ibu bernama Ulina Damanik. Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara. Tahun 2004 penulis lulus dari SMU Negeri 2 Pematangsiantar dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis memilih Program Studi Ekonomi Pertanian Sumberdaya. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam UKM Kerohanian yaitu UKM Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) pada tahun ajaran 2004/2005, 2005/2006 2006/2007, 2007/2008 dan pernah menjabat sebagai Tim Kelompok Kecil Pemuridan Komisi Pembinaan dan Pemuridan pada tahun ajaran 2006/2007, 2007/2008, sebagai asisten agama Kristen Protestan tahun 2006/2007, serta beberapa kepanitiaan lainnya seperti kepanitiaan penyambutan mahasiswa baru angkatan 43 tahun 2006, natal Civitas Akademika IPB tahun 2006, Retreat Kelompok Kecil Pemuridan tahun 2007.
KATA PENGANTAR Dengan segala kerendahan hati penulis panjatkan puji dan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus yang telah melimpahkan berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini berjudul “Analisis Dayasaing Komoditas Kopi Arabika Indonesia di Pasar Internasional” dan diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini menganalisis struktur pasar, keunggulan komparatif, dan keunggulan kompetitif kopi Arabika di pasar Internasional. Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Tanti Novianti SP, M.Si sebagai pembimbing akademik sekaligus pembimbing skripsi atas kesabarannya dalam membantu dan memberikan pengarahan selama penyelesaian penulisan skripsi ini. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada seluruh mahasiswa Departemen Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya IPB, khususnya angkatan 41. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Namun demikian, penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak.
Bogor, Juni 2008
Penulis
UCAPAN TERIMAKASIH Penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada semua pihak yang telah membantu dalam persiapan, pelaksanaan, dan penyusunan skripsi ini, terutama kepada : 1.
Bapak tercinta yang telah berada di Sorga, serta mama, bang Arthur, bang Ronal, ivan atas segala kasih sayang, doa, dukungan moral, dan materialnya. Karya ini tidak besar tetapi merupakan hasil perjuangan saya dan bisa menjadi hadiah yang istimewa buat kalian.
2.
Tanti Novianti, SP, MSi, selaku dosen pembimbing akademik sekaligus pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan, arahan, serta waktu yang sangat berharga kepada penulis selama menyusun skripsi ini.
3.
Dr Ir Harianto, MS,
selaku dosen penguji utama yang telah berkenan
meluangkan waktunya serta memberikan kritik dan saran demi perbaikan skripsi ini. 4.
Tintin Sarianti, SP, selaku dosen penguji dari wakil komisi pendidikan Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya atas segala kritik dan saran yang telah diberikan.
5.
Sahabatku dan saudaraku yang terkasih: Leni, Rolas, Rocky, Meri, Yanti, Marlina. Terimakasih buat doa yang diberikan kepada penulis selama ini. Tidak terasa waktu juga yang memisahkan kita, namun persahabatan kita tidak akan pernah berakhir.
6.
Teman-teman satu bimbingan skripsi dan akademik: Ella, Rirah, Asti, Wida, Ave, Cecep.
7.
Blackjack Mansion: Kevin, Deli, Nana, Yudi, Pipih, dan reken-rekan EPS 41: Natalia, Morin, Risti, Cian, Cita, Ismail, Mayang, Farida, Irna, Wulan, Uchie, Pampam, Nisa, Ade, Nia, Retno, Nunung, dll.
8.
Satu keluargaku dalam Kelompok Kecil Pemuridan: Bang Surya, Beni, dan William. Terimakasih buat doa, kasih dan semangat yang diberikan selama ini.
9.
Adik-adikku terkasih dalam Kelompok kecil angkatan 2005: Sandro, Iwan, Dame, Abdul serta angkatan 2007: Domu, Ricky, Rully, dan Yano. Terimakasih buat doa, kasih sayang dan semangat yang diberikan kepada penulis. Tetap semangat belajarnya, layani Dia dengan sunguh-sungguh dan berikan yang terbaik buat kemuliaan Tuhan.
10. Tim Kelompok Kecil Pemuridan PMK IPB tempat aku dibentuk dan bertumbuh: Kak Ocha, Kak Ance, Kak Junika, Kak Iwan, Kak Besty, Leni, Marlina, Lina Handayani,
Doni,
Ricky,
Fitri,
Yohana,
Mario.
Terimakasih
buat
kebersamaannya. 11. Teman-teman seperjuangan di Komisi Pembinaan Pemuridan: Penurus 41 (Benny, Juli, Yeni, Jojor, Nova, Lina H, Debby, Andri), pengurus 42 (Sammy, Maria Sitorus, Junide, Robert, Lulu,), dan semua pengurus 43. 12. Adik-adik asistensi Antiokia: Pheni, Ribka, Fitri, Septi, Elizabet, Ruan, Erick, Marthin, Jerikho, Hizkia, serta partner terkasih: Christina. Tetap semangat ya. 13. Drs P. Siahaan (Uda) dan L. br Damanik (Tante) di bekasi, serta Harry, Helen, Billy, Jenny. Terimakasih buat bantuannya. 14. Keluarga Ir R. Damanik (Tulang), Nantulang, Melati, dan Gerry. Terimaksih buat Doa dan nasihatnya. 15. Keluarga T.H. Damanik (Tulang) dan Nantulang. Terimakasih buat bantuan yang begitu besar dan doa yang diberikan kepada penulis. 16. Keluarga Abang Ir A. Sinaga, M.Sc, Kak Lita, serta teman bermainku Joshua. Terimakasih buat semuanya. 17. Keluarga serta pihak-pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu.
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL .......................................................................................... DAFTAR GAMBAR...................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. I.
i iii iv
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ..................................................................................
1
1.2 Perumusan Masalah...........................................................................
7
1.3 Tujuan Penelitian...............................................................................
9
1.4 Manfaat Penelitian.............................................................................
9
1.5 Ruang Lingkup penelitian .................................................................
10
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gambaran Umum Kopi .....................................................................
11
2.2 Gambaran Umum Kopi Arabika .......................................................
13
2.3 Budidaya Tanaman Kopi Arabika.....................................................
14
2.4 Kandungan Biji Kopi Arabika...........................................................
16
2.5 Proses Pengolahan Biji Kopi Arabika ...............................................
16
2.6 Tinjauan Studi Terdahulu..................................................................
18
III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis ............................................................
25
3.1.1 Pengertian Dayasaing ...............................................................
25
3.1.2 Teori Perdagangan Internasional..............................................
25
3.1.3 Bentuk-bentuk Pasar ................................................................
28
3.1.4 Konsep Keunggulan Komparatif..............................................
32
3.1.5 Konsep Keunggulan Kompetitif...............................................
36
3.2 Kerangka Pemikiran Operasional .......................................................
43
IV. METODE PENELITIAN 4.1 Jenis Dan Sumber Data ........................................................................
47
4.2 Metode Pengolahan dan Analisis Data ................................................
47
4.3 Analisis Struktur Pasar.........................................................................
48
4.4 Revealed Comparative Advantage .......................................................
52
4.5 Teori Berlian Porter..............................................................................
53
V. GAMBARAN UMUM KOPI ARABIKA NASIONAL DAN DUNIA 5.1 Gambaran Umum Kopi Arabika Nasional ..........................................
54
5.1.1 Luas Areal Perkebunan Kopi Arabika Indonesia.....................
54
5.1.2 Produksi Perkebunan Kopi Arabika Indonesia ........................
56
5.1.3 Produktivitas Perkebunan Kopi Arabika Indonesia .................
57
5.1.4 Luas Areal, Produksi, Produktivitas Menurut Pengusahaan....
58
5.1.5 Luas Areal, Produksi, dan Produktivitas Menurut Propinsi.....
60
5.1.6 Tingkat Harga Kopi Arabika Di Bagian Indonesia..................
60
5.1.7 Ekspor Kopi Arabika Indonesia ...............................................
61
5.1.8 Bentuk Kopi yang di Ekspor ....................................................
67
5.1.9 Kualitas Ekspor Kopi Arabika Indonesia.................................
68
5.1.10 Negara tujuan Ekspor Kopi Arabika Indonesia .......................
69
5.1.11 Impor Kopi Arabika oleh Indonesia.........................................
70
5.1.12 Lembaga Perkopian Nasional ..................................................
65
5.2 Gambaran Umum Kopi Arabika Dunia................................................
72
5.2.1 Produksi Kopi Arabika Dunia.................................................
72
5.2.2 Tingkat Harga Kopi Arabika di Dunia.....................................
74
5.2.3 Ekspor Kopi Arabika Dunia.....................................................
75
5.2.4 Lembaga Perkopian Internasional............................................
75
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Analisis Struktur Industri Kopi Arabika Antar Negara di Pasar Internasional........................................................................................
79
6.2 Keunggulan Komparatif Komoditas Kopi Arabika di Pasar Interrnasional: Analisis Revealed Comparative Advantage................
80
6.3 Keunggulan Kompetitif Komoditas Kopi Arabika di Pasar Internasional........................................................................................
83
6.1.1 Kondisi Faktor............................................................................
83
6.1.2 Kondisi Permintaan....................................................................
99
6.1.4 Eksistensi Industri Terkait dan Pendukung................................
103
6.1.5 Persaingan, Struktur, dan Strategi Perusahaan...........................
104
6.1.6 Peranan Pemerintah....................................................................
105
6.1.7 Peranan Kesempatan ..................................................................
110
VII. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan .......................................................................................
112
7.2 Saran .................................................................................................
113
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................
115
LAMPIRAN....................................................................................................
118
DAFTAR TABEL
Nomor 1
Halaman
Perkembangan PDB Komoditas Primer Perkebunan Tahun 2000-2005..................................................................................
2
1
Produksi, Luas Areal dan Produktivitas Kopi Indonesia Tahun 2000-2006..................................................................................
5
3
Sumber Data yang Digunakan Dalam Penelitian .................................
47
4
Luas Areal Perkebunan Kopi Arabika Indonesia Tahun 2000-2008....
55
5
Luas Areal, Produksi, Produktivitas Perkebunan Kopi Arabika Indonesia Tahun 2000-2008 .................................................................
6
Perkembangan Luas Areal dan Produksi Menurut Status Pengusahaan Tahun 2000-2008............................................................
7
61
Nilai Ekspor Kopi Arabika Negara-Negara Produsen Utama Tahun 1996-2006(US$) ...................................................................................
9
58
Tingkat Harga Kopi Arabika Domestik dan Dunia Tahun 2000-2006.............................................................................................
8
57
62
Total Nilai Ekspor Semua Komoditi Negara-Negara Produsen Utama Tahun 1996-2006 (US$).......................................................................
63
10 Perkembangan Ekspor Indonesia Berdasarkan Jenis Kopi Tahun 2000/01-2005/06(000 Ton)..................................................................
64
11 Realisasi Ekspor Kopi Arabika Indonesia Berdasarkan Mutu Tahun 2003/04-2005/06...................................................................................
68
12 Impor Kopi Arabika Indonesia Dari Berbagai Negara Tahun 2003-2005 (Kg, US $, CIF) .................................................................
70
13 Jumlah Produksi Kopi Arabika Negara-negara Eksportir Kopi Utama Tahun 2000-2004 (000 Bags)...................................................
72
14 Ekspor Kopi Biji Arabika Negara-negara Eksportir Kopi Periode 1999/00-2004/2005 (000 Bags) ............................................................
75
15 Hasil Analisis Herfindahl Index dan Concentration Ratio Negara-Negara Produsen Kopi Arabika di Pasar Internasional Tahun 1996-2006 .......
79
16 Indeks RCA Penghasil Kopi Arabika Periode 2001-2006 ...................
83
17 Kebutuhan Dana untuk Intensifikasi Kebun Kopi Arabika..................
95
18 Kebutuhan Biaya Kebun Kopi Arabika ...............................................
96
DAFTAR GAMBAR
Nomor 1
Halaman Perkembangan Nilai Ekspor Kopi Arabika Tahun 2001-2006 (US$ juta)...........................................................................................
2
3
Perkembangan Volume Ekspor Kopi Tahun 2001-2006 (ribu ton) ...........................................................................................
4
3
Harga Komoditi Relatif Setelah Perdagangan ..................................
26
4
The National Diamond System ..........................................................
37
5
Kerangka Pemikiran Operasional ......................................................
46
6
Grafik Perkembangan Luas Areal Perkebunan Kopi Indonesia Tahun 2000-2006 (juta hektar) ..........................................................
7
Grafik Perkembangan Produksi Kopi Indonesia Tahun 2000-2006 (ribu ton)...............................................................
8
85
Grafik Perkembangan Ekspor Kopi Indonesia Tahun 2000-2006 (ribu ton)...............................................................
13
84
Grafik Produktivitas Perkebunan Kopi Arabika Indonesia Tahun 2000-2006 (ton/ha) .................................................................
12
66
Grafik Perkebunan kopi Indonesia Berdasarkan Kepemilikan Tahun 2006 (ribu ton) .......................................................................
11
65
Perkembangan Nilai Ekspor Kopi Arabika Indonesia Tahun 2000/01-2005/06.....................................................................
10
56
Perkembangan Volume Ekspor Kopi Arabika Indonesia Tahun 2000/01-2005/06 (ribu ton) ....................................................
9
54
102
Grafik Ekspor Kopi Indonesia ke Beberapa Negara Tujuan Utama Tahun 2005 (juta kilogram) ...............................................................
111
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor 1
Halaman Perkembangan Volume Ekspor Komoditas Perkebunan Tahun 2001-2006...............................................................................
2
119
Perkembangan Nilai Ekspor Komoditas Primer Perkebunan Tahun 2001-2006...............................................................................
119
3
Perkembangan Areal Perkebunan Periode 2001-2006 ......................
120
4
Estimasi Areal Perkebunan Periode 2007-2009 ................................
121
5
Luas Areal, Produksi, dan Produktivitas Kopi Arabika Menurut Propinsi Tahun 2007..........................................................................
6
122
Nilai Ekspor Negara-Negara Produsen Kopi Arabika Dunia Tahun 1996-2006 (US$) ...................................................................
123
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara berkembang yang memiliki sumberdaya alam yang melimpah. Salah satu subsektor yang memiliki basis sumberdaya alam adalah subsektor perkebunan. Subsektor perkebunan sebagai bagian integral dari sektor pertanian merupakan salah satu subsektor yang berperan dalam pembangunan ekonomi (Direktorat Jendral Perkebunan 2005). Hal ini dapat ditunjukkan dari nilai PDB (Produk Domestik Bruto) yang dihasilkan. Sejalan dengan meningkatnya produksi perkebunan, nilai PDB perkebunan juga mengalami peningkatan seperti terlihat pada Tabel 1. Tabel 1. Perkembangan PDB Komoditas Primer Perkebunan Tahun 2000-2005 Berdasarkan Harga Konstan (Milyar Rupiah) Lapangan Usaha Tanaman Perkebunan Pertanian¹ Non Migas PDB Total Pangsa Perkebunan Terhadap Pertanian (%) Pangsa Perkebunan Terhadap Non Migas (%)
2001
2002
2003
2004
2005
36,8 263,3 1.505.600 1.684.280
37,1 231,6 1.344.906 1.502.216
38,7 240,4 1.421.474 1.557.171
39,5 248,2 1.506.605 1.656.825
40,4 254,4 1.604.224 1.749.546
13,96
14,71
16,10
15,93
15,89
2,44
2,58
2,72
2,62
2,52
Sumber: BPS, Juli 2006. Keterangan: ¹) termasuk Kehutanan dan Perikanan
Dari Tabel 1 terlihat bahwa selama periode tahun 2001 sampai 2005, nilai PDB perkebunan secara kumulatif mengalami peningkatan, yaitu dari Rp 36,8 trilyun pada tahun 2001 menjadi 40,4 trilyun pada tahun 2005 dengan rata-rata pertumbuhan pertahun sebesar 5,10 persen. Jika dibandingkan dengan tahun 1995 (periode sebelum
krisis) kenaikannya lebih dari tiga kali lipat yaitu dari Rp 12,6 trilyun menjadi Rp 40,42 trilyun. Demikian juga PDB non migas yang mengalami peningkatan dari Rp 1,505 trilyun pada tahun 2001 menjadi 1,604 trilyun pada tahun 2005. Pangsa perkebunan terhadap pertanian mengalami peningkatan dari 13,96 persen pada tahun 2001 menjadi 15,89 persen pada tahun 2005, sedangkan untuk non migas juga mengalami peningkatan dari 2,44 persen pada tahun 2001 menjadi 2,52 pada tahun 2005. Dari sisi nilai ekspor, komoditas perkebunan selama ini juga mengalami peningkatan cukup besar walaupun tidak selalu signifikan dengan peningkatan volume ekspor sehubungan dengan adanya fluktuasi harga. Untuk nilai ekspor komoditi perkebunan secara umum selama periode 2001-2006 terjadi peningkatan rata-rata per tahun sebesar 18,18 persen dari US$ 3,298 milyar pada tahun 2001 meningkat menjadi US$ 12,044 milyar pada tahun 2006. Gambaran pencapaian volume dan nilai ekspor komoditas primer perkebunan dapat dilihat pada Lampiran 1 dan Lampiran 2. Perkembangan areal perkebunan selama periode 2001-2006 secara nasional meningkat rata-rata 1,86 persen per tahun. Laju peningkatan luas areal tahun 2006 terhadap tahun 2005 sebesar 4,14 persen dengan total luas sebesar 18,58 juta hektar di mana sekitar 2 juta hektar diantaranya merupakan areal yang dikembangkan melalui proyek-proyek perkebunan sedangkan sebagian lainnya dikembangkan secara swadaya oleh masyarakat. Gambaran perkembangan areal tanaman perkebunan selama periode 2001-2006 dan estimasi tahun 2007-2009 dapat dilihat pada Lampiran 3 dan Lampiran 4.
Komoditas perkebunan sebagian besar merupakan komoditas ekspor sehingga kinerjanya sangat dipengaruhi oleh dayasaing komoditas serta perubahan-perubahan yang terjadi baik di dalam negeri maupun dunia. Untuk itu dalam penyusunan rencana pembangunan perkebunan sangat ditentukan oleh posisi komoditas perkebunan Indonesia terhadap produksi dan posisi dunia. Berdasarkan hal tersebut, pengembangan subsektor perkebunan di Indonesia sangat diperlukan mengingat subsektor perkebunan merupakan suatu subsektor yang berbasiskan sumberdaya domestik, di mana penggunaan sumberdaya tersebut secara efisien dan efektif diharapkan mampu memberikan kontribusi yang baik di masa depan. Salah satu komoditas unggulan dalam subsektor perkebunan adalah kopi. Kopi merupakan produk perkebunan yang mempunyai peluang pasar yang baik di dalam maupun di luar negeri. Kopi Indonesia merupakan salah satu komoditas perkebunan yang di ekspor ke pasar dunia.
Nilai Ekspor
Gambar 1. Perkembangan Nilai Ekspor Kopi Tahun 2001-2006 (US$ Juta). 700 600 500 400 300 200 100 0 01 20
02 20
04 03 20 20 Tahun
Sumber: Statistik perkebunan Indonesia 2004-2006.
05 20
06 20
Pada Gambar 1 terlihat bahwa nilai ekspor kopi terus meningkat. Pada tahun 2001, nilai ekspor kopi sebesar 186 US$ juta. Nilai ekspor menunjukkan peningkatan dari 186 US$ juta pada tahun 2001 menjadi 589 US$ juta pada tahun 2006. Dari gambaran di atas menunjukkan bahwa peranan komoditas kopi dapat diharapkan sebagai sumber devisa melalui sumbangannya terhadap nilai ekspor yang terus meningkat. Gambar 2. Perkembangan Volume Ekspor Kopi Tahun 2001-2006 (Ribu Ton). Volume Ekspor
500 400 300 200 100
20 06
20 05
20 04
20 03
20 02
20 01
0
Tahun
Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia 2004-2006.
Pada Gambar 2 terlihat bahwa volume ekspor terus mengalami peningkatan hingga mencapai 414 ribu ton pada tahun 2006. Jika dilihat dari trend nilai ekspor dan volume ekspor kopi, peningkatan nilai ekspor kopi lebih cepat dibandingkan peningkatan volume ekspornya. Fluktuasi nilai ekspor lebih dipengaruhi oleh perubahan harga kopi dibandingkan dengan perubahan volume ekspor. Nilai ekspor kopi Arabika Indonesia lebih kecil dari volume ekspor. Namun hal ini tidak terjadi pada tahun 2005 dan 2006, dimana nilai ekspor dapat melebihi volumenya sehingga dapat dikatakan ekspor kopi Indonesia pada saat itu sedang bernilai tinggi.
Dalam peta persaingan komoditas kopi dunia, Indonesia merupakan negara pengekspor kopi terbesar keempat dunia setelah Brazil, Vietnam, dan Colombia yang menguasai pangsa ekspor dunia sebesar 6,6 persen (Direktorat Jendral Bina Produksi Perkebunan, 2005). Komoditas kopi yang di ekspor meliputi jenis kopi Arabika dan Robusta. Sebagian besar produksi kopi di Indonesia merupakan komoditas perkebunan yang di ekspor ke pasar dunia. Tahun 2000 produksi kopi yang dihasilkan Indonesia sebesar 554.574 ton
dan luas areal sebesar 1.260.687 hektar. Produksi terus
mengalami peningkatan hingga 652.668 ton pada tahun 2006 dengan luas areal 1.263.606 hektar. Perkembangan produktivitas kopi dari tahun 2000 sampai tahun 2006 berfluktuatif dan tergolong rendah. Hal ini disebabkan karena petani yang menjadi penghasil kopi rakyat tidak mempunyai modal, pengetahuan yang cukup, dan teknologi untuk mengelola tanaman yang mereka miliki secara optimal. Produktivitas pada tahun 2000 mencapai 439,89 kg/ha kemudian merosot menjadi 433,41 kg/ha pada tahun 2001 dan meningkat kembali menjadi 516,51 kg/ha pada tahun 2006. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Produksi, Luas Areal, dan Produktivitas Kopi Indonesia Tahun 20002006 No 1 2 3 4 5 6 7
Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006*
Produksi (ton) 554.574,00 569.234,00 682.019,00 663.571.00 647.385,00 640.365,00 652.668,00
Luas Areal (ha) 1.260.687,00 1.313.383,00 1.372.184,00 1.381.730,00 1.303.943,00 1.255.272,00 1.263.606,00
Produktivitas (kg/ha) 439,89 433,41 497,03 480,24 496,48 510,14 516,51
*) Angka Sementara Sumber: Ditjen Perkebunan, Departemen Pertanian, 2007, www.deptan.go.id, diakses 24 November2007
Salah satu kopi yang diusahakan petani adalah kopi jenis Arabika. Kopi jenis Arabika hanya ditanam sebagian kecil petani sehingga harga kopi Arabika di pasar dunia masih tetap tinggi. Kopi Arabika di Indonesia umumnya ditanam petani di Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, bali dan NTT. Petani-petani penanam kopi Arabika mendapat penghasilan lebih baik karena produksi dunia tidak melimpah seperti kopi Robusta1. Dengan sendirinya harga kopi tersebut akan stabil. Sedikitnya lahan yang ditanami kopi Arabika oleh petani Provinsi Bengkulu, Sumatera selatan, dan lampung merupakan kesalahan dalam menentukan pilihan. Salah satu kemungkinan penyebabnya adalah karena pengaruh petani lain. Ratusan ribu petani di tiga provinsi itu lebih memilih menanam kopi Robusta dan pada saat yang bersamaan petani di Brazil dan Vietnam umumnya menanam kopi yang sejenis. Akibatnya ketika musim panen berlangsung bersamaan dengan panen di dua negara tersebut dan negara produsen lainnya, harga bersaing keras. Suplai kopi lebih besar dibandingkan dengan permintaan sehingga menyebabkan harga anjlok. Kopi dari Indonesia harus bersaing dengan kopi dari negara lain. Harga kopi Arabika di pasar internasional jauh lebih baik dibandingkan kopi jenis Robusta. Pada bulan April 2006 harga kopi robusta di pasar internasional hanya berkisar US$ 1,60/kg (Rp 14.432/kg) hingga US$ 1,65/kg (Rp 14.883/kg), sementara harga kopi Arabika sudah berada pada kisaran US$ 3/kg (Rp 27.060/kg) sampai US$ 3,1/kg (Rp 27.962/kg) yang berarti harga kopi Robusta hanya setengah dari harga jual kopi arabika. Jika eksportir kopi nasional bisa menutupi pasokan kopi Arabika di
1
Suyanto Husein, Wakil Ketua AEKI Sumut, 22 November 2007
pasar dunia yang saat ini sedang menipis, hal ini akan membawa keuntungan tersendiri bagi Indonesia. Dalam dunia perdagangan kopi internasional, Indonesia dikenal sebagai negara produsen kopi yang terbesar keempat setelah Brazil, Kolombia, dan Vietnam. Bahkan untuk kopi jenis robusta, Indonesia berada di peringkat pertama sebagai produsen. Dalam era keberlanjutan pemulihan ekonomi nasional, komoditas kopi arabika Indonesia diharapkan mampu untuk terus meningkatkan devisa bagi negara. Selain devisa bagi negara, komoditas kopi arabika juga diharapkan mampu memberikan lapangan pekerjaan bagi masyarakat terutama bagi masyarakat di sentrasentra produksi kopi. Dengan beberapa peluang, keuntungan, juga hambatan yang telah dijelaskan sebelumnya membuat industri kopi Arabika nasional penting untuk dianalisis dayasaingnya dalam menghadapi tingkat persaingan di pasar internasional.
1.2 Perumusan Masalah Salah satu kopi yang terkenal hingga saat ini, yaitu kopi arabika. Jenis Arabika mendominasi 70 persen produksi kopi dari seluruh dunia. Kopi Arabika juga sering disebut sebagai kopi Brazil karena merupakan tempat asalnya. Dalam perdagangan kopi, Indonesia berusaha mengupayakan peningkatan produksi kopi dalam negeri, terutama jenis Arabika, dengan menaikkan produktivitas dari 560 kg per hektar (ha) menjadi sekitar 700-800 kg/ha (Ditjen Perkebunan 2007).Hal ini mengingat potensi dari kopi Arabika yang cukup besar dalam perekonomian
Indonesia sehingga diharapkan dapat meningkatkan devisa bagi negara. Peningkatan produksi terutama dilakukan melalui perbaikan kualitas tanaman. Menurut Ditjen Perkebunan, peningkatan produksi lebih difokuskan pada kopi arabika karena selama ini Indonesia lebih banyak mengembangkan kopi jenis Robusta dengan luas areal mencapai 1,17 juta ha dan produksi mencapai 596 ribu ton per tahun sedangkan lahan perkebunan kopi jenis Arabika yang banyak diusahakan di dataran tinggi secara nasional hanya seluas 101.867 ha dengan produksi sekitar 61.251 ton. Pengembangan kopi Arabika, tersebar di Aceh, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan dan Bali. Di pasaran Indonesia, harga kopi Arabika jauh lebih tinggi daripada kopi Robusta. Jika harga kopi Robusta ada pada kisaran Rp 4.000 per kilogram, kopi Arabika bisa dua kalinya, yaitu berada di kisaran Rp 8.000 per kilogram sedangkan harga kopi Arabika dunia masih tetap tinggi yaitu berkisar 247,8 c/lb (Rp 44.703,12/kg) pada tahun 2006. Kopi yang banyak dijual di pasar Indonesia adalah jenis Arabika dan Robusta. Masing-masing jenis memang memiliki ciri tersendiri. Robusta memiliki biji yang berbentuk bulat dan bergaris tengah lurus sedangkan jenis Arabika berbentuk lonjong dan bergaris tengah bergelombang Dalam hal harga, kopi Arabika lebih mahal dibanding Robusta. Kandungan kafein dari kedua jenis kopi ini pun berbeda. Robusta mengandung antara 2,8 persen sampai 4,0 persen kafein, sedangkan kandungan kafein pada kopi jenis arabika hanya 1,0 persen sampai 1,7 persen. Persaingan komoditas kopi Arabika Indonesia untuk memasuki pasar internasional sangat ketat. Konsumen domestik maupun luar negeri menuntut kualitas
biji kopi yang baik. Adanya pesaing-pesaing terbesar Indonesia seperti Brazil, Colombia, Guatemala, Kosta rika, Meksiko mendorong industri perkopian Indonesia untuk meningkatkan kualitas kopinya serta kemampuannya untuk bersaing di pasar Internaional. Adanya negara-negara produsen utama kopi Arabika mengakibatkan pengembangan ekspor kopi Arabika Indonesia dalam jangka panjang sangat ditentukan oleh peningkatan kualitas komoditas dan kemampuan dayasaingnya. Oleh karena itu hal yang perlu dilakukan saat ini yaitu menganalisis dayasaing dari komoditas kopi Arabika Indonesia sehingga peranannya dalam perekonomian dapat diandalkan. Berdasarkan fenomena di atas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana struktur pasar antar negara-negara produsen dalam perdagangan kopi Arabika di pasar Internasional? 2. Apakah industri kopi Arabika Indonesia memiliki keunggulan komparatif? 3. Apakah industri kopi Arabika Indonesia memiliki keunggulan kompetitif?
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas , maka tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Menganalisis struktur pasar antar negara-negara produsen dalam perdagangan kopi Arabika di pasar Internasional.
2. Menganalisis
keunggulan
komparatif
kopi
Arabika
Indonesia
di
pasar
Internasional. 3. Menganalisis keunggulan kompetitif kopi Arabika Indonesia.
1.4 Manfaat Penelitian 1. Bagi penulis sebagai penerapan dari teori dan ilmu yang diperoleh selama ini. 2. Bagi pemerintah dapat dijadikan sebagai bahan informasi dalam pengambilan kebijakan guna terwujudnya kemajuan bagi pengembangan kopi arabika Indonesia yang efektif dan memiliki dayasaing. 3. Bagi masyarakat akademik dapat digunakan sebagai sumber inspirasi dan bahan refrensi bagi penelitian kopi selanjutnya.
4.2 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini hanya menganalisis struktur pasar antar negara-negara produsen kopi Arabika di pasar Internasional, keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif dari kopi Arabika Indonesia. Lingkup penelitian meliputi pengolahan data kopi Arabika secara nasional.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Gambaran Umum Kopi Kopi berasal dari bahasa Latin, coffea, yang merupakan anggota keluarga Rubiaceae tetapi hingga saat ini masih banyak pertentangan di antara para ahli mengenai pengklasifikasian tanaman ini karena banyaknya ragam dari tanaman kopi. Kopi pertama kali ditemukan oleh ahli Botani dari Swedia, Carolus Linnaeus, pada abad ketujuh belas dan akhirnya tersebar hingga ke seluruh dunia dan menjadi salah satu minuman favorit sepanjang zaman. Bangsa Arab adalah yang pertama kali menjadikan kopi sebagai minuman mereka. Oleh karena itu kopi pernah dikenal oleh bangsa Eropa sebagai Anggur Arab2. Kopi ditanam hampir di setiap negara tropis. Amerika Selatan dan Amerika Tengah merupakan penghasil kopi terbesar. Di bagian bumi sebelah barat, produksi kopi menguasai 2/3 produksi dunia dengan Brasil menghasilkan hampir 31 persen. Colombia, Meksiko, Kosta Rika, Ekuador dan Venesuela merupakan penghasil kopi di belahan bumi sebelah Barat sedangkan di belahan bumi timur, penghasil kopi adalah India, Indonesia, Vietnam, Angola, Belgia, Kongo, Ethiopia, Afrika Barat, Perancis, Kenya, Madagaskar, Rwanda, Burundi, Tanyaika dan Uganda. Ada sekitar 25 jenis kopi, tetapi hanya dua jenis kopi yang terkenal hingga saat ini, yaitu kopi Arabika dan kopi Canephora atau Robusta. Jenis Arabika mendominasi 70 persen produksi kopi dari seluruh dunia. Kopi Arabika juga sering disebut sebagai kopi Brazil, tempat asalnya sedangkan kopi Robusta banyak 2
www.tapanulicoffee.com, diakses 28 November 2007
dihasilkan dari daerah Afrika Barat dan Tengah, Asia Tenggara, dan sebagian besar wilayah Amerika Selatan. Di Brazil, kopi robusta dikenal sebagai Conillon. Kopi merupakan salah satu dari bahan minuman yang tidak mengandung alkohol dan disenangi oleh banyak orang. Ditinjau dari segi medis, kopi bermanfaat untuk merangsang pernapasan, kegiatan perut dan ginjal, membantu asimilasi dan pencernaan makanan, menurunkan sirkulasi darah di otak, menenangkan perasaan mental yang berkepanjangan, badan yang letih dan melapangkan dada, sebagai obat penolong diare, pencegah muntah sesudah operasi. Curah hujan minimal untuk pertumbuhan kopi adalah 1000-2000 mm/tahun. Menurut lintang tempat, tanaman kopi dapat tumbuh baik pada daerah yang terletak di antara 20oLU dan 20oLS. Tanaman kopi menghendaki sinar matahari yang teratur. Suhu sangat berkaitan erat dengan ketinggian tempat. Suhu di atas permukaan air laut berkisar 26°C dan akan turun 0,6°C tiap kenaikan 100 m3. Tanaman kopi menghendaki tanah yang agak masam, yaitu antara pH 4,5-4,6 untuk kopi Robusta dan 5-6,5 untuk Arabika. Tanah yang lebih asam dapat dinetralisir dengan pupuk. Tanaman kopi juga menghendaki kedalaman air tanah sekurang-kurangnya 3 m dari permukaan tanah. Tanah harus mempunyai drainase dan kemampuan mengikat air yang baik. Lahan pegunungan yang digunakan untuk budidaya kopi pada umumnya merupakan lahan miring dengan topografi berombak sampai bergunung. Kopi Robusta biasanya diusahakan di dataran rendah (700 m dpl), sedangkan kopi Arabika di dataran tinggi (1000 dpl).
3
www.tapanulicoffee.com,diakses 28 November 2007
Tanaman kopi termasuk tanaman hari pendek (short day plant), yaitu tanaman yang membentuk bakal bunga dalam periode hari pendek. Yang dimaksud dengan hari pendek adalah siang hari yang panjangnya kurang dari 12 jam. Di sebelah selatan garis khatulistiwa, hari pendek berlangsung antara tanggal 21 Maret hingga tanggal 23 September sedangkan di sebelah utara khatulistiwa antara tanggal 23 September hingga tanggal 23 Maret adalah tahun berikutnya. Sebagian besar tanaman kopi di Indonesia terletak di sebelah selatan khatulistiwa, seperti di Sumatera bagian Selatan, Jawa, Sulawesi bagian Selatan, Bali, dan Nusa Tenggara.
2.2 Gambaran Umum Kopi Arabika Kopi Arabika adalah spesies asli yang berasal dari Ethiopia. Tumbuh di Afrika barat, India barat, Brazil dan Jawa. Semua pakar Botani yang pernah melakukan eksplorasi hutan di daerah barat daya pegunungan Ethiopia sependapat bahwa tempat tersebut merupakan pusat keragaman kopi Arabika. Tanaman ini termasuk dalam familia Rubiaceae (kopi-kopian) dan genus Coffea4. Kopi Arabika merupakan tanaman perdu tahunan yang memiliki akar tunggang. Tingginya antara 712 m dan mempunyai cabang. Percabangan sekunder sangat aktif bahkan pada cabang primer di atas permukaan tanah membentuk kipas berjuntai menyentuh tanah. Panjang cabang primer rata-rata mencapai 123 cm sedangkan
ruas cabangnya
pendek-pendek. Batang tanaman kopi Arabika berkayu, keras dan tegak dengan warna putih keabu-abuan. Beberapa sifat penting Kopi Arabika : • 4
Daerah yang ketinggiannya antara 700-1700 m dpl dan suhu 16-20° C.
www.tapanulicoffee.com, diakses 28 November 2007
•
Daerah yang iklimnya kering atau bulan kering 3 bulan/tahun secara berturutturut, yang sesekali mendapat hujan kiriman.
•
Umumnya peka terhadap serangan penyakit HV, terutama bila ditanam di dataran rendah atau kurang dari 500 m dpl.
•
Rata-rata produksi sedang (4,5-5 kuintal kopi beras/ha/th), tetapi mempunyai harga dan kualitas yang relatif lebih tinggi dari kopi lainnya. Bila dikelola secara intensif produksinya bisa mencapai 15-20 kuintal/ha/th. Rendemen  berkisar 16-18 persen. Ini berarti bahwa setiap 100 kg biji kopi segar, untuk kopi Arabika akan menghasilkan 16-18 kg kopi (dengan kandungan air 12 persen)
•
Umumnya berbuah sekali dalam setahun. Beberapa varietas kopi yang termasuk kopi arabika dan banyak diusahakan di
Indonesia antara lain Abesinia, Pasumah, Marago Type dan Congensis. Di dunia perdagangan, dikenal beberapa golongan kopi, tetapi yang sering dibudidayakan hanya kopi Arabika dan Robusta.
2.3 Budidaya Tanaman Kopi Arabika Dalam memilih penanaman bibit kopi ada tiga kriteria yang perlu diperhatikan antara lain produktivitas, kualitas, ketahanan terhadap gangguan hama dan penyakit. Untuk keperluan budidaya kopi Arabika, biasanya dilakukan dengan cara membuat bibit generatif. Kopi Arabika tidak memerlukan cara vegetatif, kecuali untuk kebutuhan penelitian. Beberapa varietas atau klon yang selama ini dianggap unggul dan dianjurkan oleh Direktorat Jenderal Perkebunan antara lain:
1. Jenis Arabika untuk lahan pada ketinggian 500-700 m dpl dan dibiakkan melalui stek: (1) skala besar: Klon S 795; (2) skala kecil: Klon S 288 dan Klon S 333. 2. Jenis Arabika untuk lahan pada ketinggian 700-1700 m dpl dan dibiakkan melalui sambungan atau stek antara lain (1) skala besar: Klon S 795, AB3, AB4; (2) skala kecil: Klon Maesan, 1-D7, S 288, S 333; (3) skala percobaan: Klon USDA 230762, USDA 231001, USDA 230731, USDA 230765, USDA 231006, USDA 2064125. Dalam pemeliharaan kopi Arabika, pupuk yang digunakan pada umumnya harus mengandung unsur-unsur Nitrogen, Phospat dan Kalium dalam jumlah yang cukup banyak dan unsur-unsur mikro lainnya yang diberikan dalam jumlah kecil. Ketiga jenis tersebut di pasaran dijual sebagai pupuk Urea atau Za yang merupakan sumber N, Triple Super Phospat (TSP) dan KCl. Selain penggunaan pupuk tunggal, di pasaran juga tersedia penggunaan pupuk majemuk. Pupuk tersebut berbentuk tablet atau briket di dalamnya, selain mengandung unsur NPK, juga mengandung unsurunsur mikro. Selain pupuk anorganik tersebut, tanaman kopi sebaiknya juga dipupuk dengan pupuk organik seperti pupuk kandang atau kompos. Pemberian pupuk buatan dilakukan dua kali per tahun yaitu pada awal dan akhir musim hujan dengan meletakkan pupuk tersebut di dalam tanah (sekitar 10 - 20 cm dari permukaan tanah) dan disebarkan di sekeliling tanaman. Adapun pemberian pupuk kandang hanya dilakukan tahun 0 (penanaman pertama).
5
www.tapanulicoffee.com, diakses 28 November 2007
2.4 Kandungan Biji Kopi Arabika Dari 40 jenis varietas kopi yang ada di dunia, terdapat dua jenis kopi utama yang paling banyak diperdagangkan. Salah satunya yaitu kopi Arabika. Hampir 75 persen produksi kopi di dunia merupakan kopi jenis Arabika dan Indonesia menyumbang 10 persen dari jumlah tersebut. Rendemen biji kopi Arabika berkisar 16-18 persen. Ini berarti bahwa setiap 100 kg biji kopi segar untuk kopi Arabika akan menghasilkan 16-18 kilogram kopi dengan kandungan air 12 persen.
2.5 Proses Pengolahan Biji Kopi Arabika Pada tanaman kopi Arabika dikenal dua macam proses, antara lain: 1. Proses kering6 Proses kering amat sederhana dan tidak memerlukan peralatan khusus. Setelah dipetik, kopi biasanya dikeringkan dengan cara dijemur selama 10 sampai 15 hari setelah itu kopi tersebut dikupas. Hampir semua kopi Arabika dari Brazil melalui proses kering, dan kualitasnya tetap bagus karena kopi yang dipetik biasanya yang telah betul-betul matang atau berwarna merah. 2. Proses basah Pada proses basah diperlukan peralatan khusus dan hanya bisa memproses biji kopi yang telah benar-benar matang. Proses jenis ini biasanya dilakukan oleh perkebunan besar dengan peralatan yang memadai termasuk mekanik yang memadai sehingga mereka tidak tergantung pada cahaya matahari untuk mengeringkan kopi tersebut. 6
www.tapanulicoffee.com, diakses 9 November 2007
Beberapa keuntungan dari pengolahan secara basah adalah proses lebih cepat, kapasitas pengolahan lebih besar, dan dihasilkan biji kopi yang mutunya relatif baik. Kelemahan-kelemahan cara tersebut antara lain biaya pengolahan lebih mahal, memerlukan investasi sarana yang cukup mahal dan menyebabkan pencemaran lingkungan karena air buangan pengolahan. Ukuran biji kopi merupakan salah satu elemen penting dari kualitasnya yang berpengaruh pada harga jual kopi tersebut. Beberapa faktor yang mempengaruhi ukuran biji tersebut antara lain varietas tanaman yang ditanam, cuaca, ketinggian daerah tanam, kesuburan tanah, sistem pemotongan saat panen. Biji kopi yang baru dipetik berwarna kehijauan, semakin lama disimpan warnanya semakin gelap. Biji kopi yang baru datang, tidak langsung diolah melainkan dijemur terlebih dahulu selama sekitar tujuh jam. Setelah dijemur, biji kopi dimasukkan karung goni yang kemudian akan diperam di gudang kopi. Pemeraman ini dimaksudkan untuk menghilangkan sifat jelek kopi, yaitu mengurangi kadar kafein dan menghilangkan kadar asam kopi sehingga kopi aman untuk diminum. Proses pemeraman ini berlangsung delapan tahun untuk kopi Arabika dan lima tahun untuk kopi Robusta karena kopi robusta kandungan asamnya tidak sebanyak kopi Arabika. Setelah diperam, kopi disangrai selama kurang lebih dua jam dengan menggunakan mesin. Mesin dipanaskan dengan menggunakan bara api yang diperoleh dari pembakaran kayu karet yang diperoleh dari limbah perkebunan karet. Kayu tersebut dipakai karena selain memberikan panas yang merata juga memberikan aroma khas pada kopi. Setelah dipanggang, biji kopi didinginkan dan dipilih berdasarkan beratnya melalui sebuah mesin. Biji kopi yang berat adalah biji kopi
yang baik. Setelah dipilih, biji kopi siap untuk dijual baik dalam bentuk biji maupun bentuk bubuk.
2.6 Tinjauan Studi Terdahulu Penelitian tentang analisis industri dan strategi peningkatan dayasaing industri kakao Indonesia dilakukan oleh Yuyun Yuniarsih (2002). Hasil analisis Porters’s diamond Theory dapat disimpulkan bahwa potensi sumberdaya perkebunan Indonesia terutama di kawasan timur Indonesia masih tersediah cukup luas areal yang dapat dialokasikan untuk perluasan areal tanaman kakao. Peningkatan kakao domestik untuk tahun-tahun mendatang cenderung meningkat. Hal ini disebabkan karena semakin baiknya tingkat hidup masyarakat dan semakin berkembangnya industri di dalam negeri. Sumber benih tanaman perkebunan sudah banyak dibangun. Untuk perkebunan kakao telah dibangun 17 kebun induk sebagai sumber benih. Namun penyebarannya belum merata pada wilayah sentra pengembangan perkebunan yang mengakibatkan masih terjadinya kelangkaan dan keterlambatan pengadaaan benih bagi proyek-proyek perkebunan. Berdasarkan nilai Herfindahl Index yang mendekati nilai nol yaitu sebesar 0,04 berarti struktur industri kakao di Indonesia merupakan pasar persaingan sempurna (competitive market). Penelitian tentang dampak kebijakan pemerintah terhadap profitabilitas dan dayasaing kopi Robusta Indonesia dilakukan oleh Lisa Chandrasari (2002). Penelitian dilakukan dengan menggunakan data sekunder dari 24 propinsi yang dibagi menjadi 5 wilayah pengamatan yaitu wilayah I: Jawa dan bali; wilayah II: Lampung, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, dan Sumatera Barat; wilayah III: Aceh, Sumatera Utara,
Riau, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Selatan; wilayah IV: Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat; wilayah V: Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Sulawesi. Hasil analisis perhektar menunjukkan bahwa profitabilitas perkebunan rakyat secara finansial dan ekonomi di seluruh wilayah menguntungkan. Hasil analisis dayasaing perhektar menunjukkan seluruh wilayah memilki keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitf yang berarti setiap wilayah mampu membiayai sistem produksi kopi lebih murah dibandingkan jika mengimpor kopi. Hasil analisis kebijakan output menunjukkan bahwa harga biji kopi di wilayah I, II, III, IV menjadi lebih rendah dari harga yang seharusnya dapat diterima oleh petani kopi. Sementara hasil kebijakan input asing (pupuk dan pestisida), petani di wilayah II, III, IV dirugikan karena harus membeli input asing lebih mahal dari harga efisiennya. Hasil kebijakan input domestik (lahan, tenaga kerja, dan alat pertanian kecil) menunjukkan bahwa pemerintah masih melindungi produsen faktor domestik. Penelitian yang berjudul dampak liberalisasi perdagangan terhadap keragaan industri kopi Indonesia dan perdagangan kopi dunia dilakukan oleh Satia Negara Lubis (2002). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa perubahan kebijakan domestik pada penurunan suku bunga 20 persen, kenaikan harga pupuk 25 persen, kenaikan tingkat upah di subsektor perkebunan 25 persen dan devaluasi rupiah terhadap US dollar 50 persen menyebabkan harga domestik dan penerimaan devisa negara meningkat. Dampak perubahan kebijakan dari negara eksportir Brazil dan India serta yang berasal dari negara importir utama kopi dunia berpotensi memperbesar ekspor kopi Robusta Indonesia di pasar dunia. Perubahan harga ekspor Indonesia sebagai akibat perubahan faktor eksternal juga mengubah harga dunia.
Penerapan liberalisasi sepihak baik yang dilakukan eksportir selain Indonesia maupun oleh importir utama kopi dunia akan merugikan perdagangan Indonesia. Irmalia Noviani (2002) melakukan penelitian tentang analisis industri dan prospek kontrak berjangka kopi Robusta di bursa berjangka komoditi Indonesia. Hasil estimasi terhadap model ekonomi kopi Robusta menunjukkan bahwa secara garis besar, pelaku perdagangan kopi Robusta dalam negeri tidak responsif terhadap perubahan harga domestik kopi Robusta. Hal ini ditunjukkan oleh nilai elastisitas perilaku variabel endogen masing-masing sebesar (0.0028) untuk luas areal perkebunan rakyat, (0.0264) untuk luas areal perkebunan besar, (0.0048) untuk perilaku produksi perkebunan rakyat, (0.1267) untuk konsumsi domestik, (0.1072) untuk perilaku ekspor kopi Robusta dan (3.292) untuk perilaku impor kopi Robusta. Hasil perhitungan terhadap tingkat harga domestik menunjukkan nilai rata-rata volatilitas, nilai standar deviasi dan koefisien keragaman fluktuasi harga domestik kopi Robusta grade 4b selama lima tahun terakhir berturut-turut sebesar 97.51 persen, 1627.12 dan 22.2 persen. Corry Eviana (2002) melakukan penelitian tentang analisis faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran ekspor dan aliran perdagangan kopi Indonesia. Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran ekspor kopi Indonesia adalah produksi, nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika, harga kopi domestik, harga ekspor kopi dan volume ekspor tahun sebelumnya sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi aliran perdagangan kopi Indonesia adalah pendapatan perkapita, jarak tempuh dan jumlah penduduk negara tujuan ekspor. Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa cara terbaik untuk mendorong
ekspor kopi Indonesia adalah dengan meningkatkan mutu produksi. Selain itu upaya perluasan pasar ke negara-negara yang berpotensi perlu dikembangkan. Penelitian tentang analisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan ekspor kopi Arabika Indonesia dilakukan oleh Selo Sambudi (2005). Hasil pendugaan menunjukkan bahwa koefisien determinasi (R²) masing-masing persamaan dalam model cukup tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa keragamaan masing-masing variabel endogen dapat dijelaskan dengan baik oleh variabel-variabel penjelas yang dimasukkan ke dalam model. Hasil analisis regresi pada model model produksi menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi produksi kopi Arabika Indonesia secara nyata adalah luas lahan, tenaga kerja, bibit, pupuk urea dan pestisida. Hasil analisis regresi pada model ekspor menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor kopi arabika Indonesia adalah harga ekspor, harga domestik, nilai tukar, pendapatan perkapita, lag ekspor, produksi dan dummy. Pada tahun-tahun setelah krisis ekonomi terjadi peningkatan jumlah ekspor kopi Arabika Indonesia. Peningkatan jumlah ekspor ini
disebabkan oleh faktor kurs, yaitu
terdepresiasinya rupiah terhadap dollar Amerika yang membuat harga kopi Arabika Indonesia relatif lebih murah. Penelitian tentang Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor komoditi teh Indonesia serta dayasaing komoditi teh di pasar internasional dilakukan oleh Edwin Tatakomara (2005). Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata pertumbuhan luas areal untuk perkebunan teh selama sepuluh tahun terakhir hanya sekitar 1,56 persen. Dari hasil regresi model ekspor teh Indonesia, terlihat bahwa variabel-variabel yang mempengaruhi ekspor teh Indonesia yaitu produksi teh
domestik, volume ekspor teh Indonesia tahun sebelumnya, konsumsi teh domestik dan harga teh domestik. Hasil perhitungan elastisitas menunjukkan bahwa untuk semua variabel adalah kurang elastis atau rata-rata bersifat inelastis, hanya variabel produksi domestik yang memiliki keelastisitasan lebih dari satu atau dengan kata lain ekspor teh Indonesia cukup peka terhadap perubahan teh domestik. Dari perhitungan nilai REER (Real Effective Exchange Rate)
menunjukkan bahwa nilai tersebut
semakin meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa semakin meningkatnya nilai REER maka tingkat harga untuk komoditi teh menjadi relatif semakin murah di pasaran Internasional dibandingkan dengan harga-harga dari negara lain. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa komoditi teh Indonesia sudah memiliki keunggulan alamiah atau keunggulan absolut karena sumberdaya lahan yang melimpah untuk menghasilkan komoditi tersebut sedangkan untuk keunggulan kompetitif, komoditi teh
Indonesia masih harus perlu ditingkatkan dayasaingnya dari berbagai sisi
terutama mengenai mutu tehnya. Penelitian yang berjudul analisis pangsa pasar dan tataniaga kopi Arabika di kabupaten Tana Toraja dan Enrekang, Sulawesi Selatan dilakukan oleh Ima Aisyah Sallatu (2006). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada awalnya pangsa pasar terbesar kopi Arabika di Sulawesi selatan diraih oleh kecamatan Rinding Allo. Akan tetapi sebaran keseimbangan rantai markov menyebabkan terjadinya dinamika pasar sehingga Kecamatan Alla memiliki peluang untuk meraih posisi terbesar dalam hal pangsa pasar sedangkan pangsa pasar terendah, peluangnya akan bergeser dari Kecamatan Sesean ke Kecamatan Rinding Allo. Banyaknya pelaku pasar yang terlibat serta besarnya hambatan untuk keluar masuk pasar telah menyebabkan
terbentuknya struktur pasar kopi Arabika di Kabupaten Tana Toraja dan Enrekang yang mengarah pada pasar persaingan tidak sempurna (imperfect competitive market). Ester Meryana (2006) melakukan penelitian tentang dayasaing kopi Robusta Indonesia di pasar kopi Internasional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa struktur pasar kopi Robusta di pasar Internasional cenderung ke arah pasar Oligopoli. Negaranegara yang termasuk ke dalam pasar persaingan di tingkat atas yaitu Vietnam, Indonesia, Brazil, Pantai Gading, Uganda, dan India. Hasil ini ditunjukkan melalui skor Herfindahl Index sebesar 0,2 dan nilai Concentration Ratio dari empat produsen kopi Robusta terbesar sejumlah 70 persen. Industri kopi Robusta memiliki keunggulan komparatif yang ditunjukkan dengan nilai Revealed Comparatif Advantage (RCA) yang lebih dari satu. Pada tahun 2006 Indonesia memiliki nilai RCA sebesar 9,70. Angka ini menunjukkan adanya keunggulan komparatif pada komoditas kopi Robusta namun dayasaingnya masih rendah jika dibandingkan dengan negara Pantai Gading dan Uganda yang merupakan negara produsen maupun eksportir kopi Robusta utama di dunia. Hasil analisis keunggulan kompetitif kopi Robusta Indonesia menghasilkan bahwa secara keseluruhan atribut seperti faktor sumberdaya, kondisi permintaan domestik dan struktur industri kopi Robusta dalam negeri mendukung industri ini untuk berkembang. Penelitian yang berjudul analisis ekonomi tentang posisi dan prospek kopi Indonesia di pasar Internasional dilakukan oleh Reni Kustiarti (2007). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa dekomposisi perubahan nilai ekspor dengan model CMS (Constant Market Share) menunjukkan bahwa kinerja ekspor kopi Indonesia lebih baik pada masa pasar bebas dibandingkan pada saat diberlakukannya
kuota ekspor oleh ICO (1986-1989). Hasik analisis dengan PTM (Pricing to Method) dan model pemimpin harga menunjukan bahwa struktur pasar kopi dunia mengarah ke pasar persaingan sempurna. Pangsa pasar Brazilia (pengekspor) dan Uni Eropa (pengimpor) yang relatif besar tidak membuat masing-masing negara-negara tersebut menjadi pemimpin harga di pasar kopi Internasional. Harga kopi biji di tingkat petani baik Robusta maupun Arabika terintegrasi dengan harga di pasar Internasional. Persamaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian terdahulu adalah pada komoditas yang dianalisis, yaitu subsektor perkebunan komoditas kopi. Penelitian terdahulu menganalisis komoditas kopi begitu juga halnya dengan penelitian ini menganalisis komoditas kopi terutama kopi Arabika Indonesia. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian terdahulu adalah pada metode yang digunakan. Metode yang dipakai adalah Herfindahl Index, Rasio Konsentrasi, dan Revealed Comparative Advantage, sedangkan pada penelitian sebelumnya metode yang dipakai adalah CMS (Constant Market Share), PTM (Pricing To method), REER (Real Effective Exchange Rate), DRC (Domestic Resources Cost).
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1
Kerangka Pemikiran Teoritis
3.1.1
Pengertian Dayasaing Dayasaing merupakan kemampuan suatu komoditi untuk memasuki pasar luar
negeri dan kemampuan untuk dapat bertahan dalam pasar tersebut dalam artian jika suatu produk mempunyai dayasaing maka produk tersebutlah yang banyak diminati oleh banyak konsumen. Dari sisi permintaan, kemampuan bersaing mengandung arti bahwa produk agribisnis yang dijual haruslah produk yang sesuai dengan atribut yang dituntut konsumen atau produk yang dipersepsikan bernilai tinggi oleh konsumen (consumers’s value perception). Sementara dari sisi penawaran, kemampuan bersaing berkaitan dengan kemampuan merespons perubahan atribut-atribut produk yang dituntut oleh konsumen secara efisien7.
3.1.2
Teori Perdagangan Internasional Beberapa faktor yang mendorong timbulnya perdagangan internasional suatu
negara dengan negara lain adalah : - adanya keinginan untuk memperluas pasaran komoditi ekspor. - memperbesar penerimaan devisa bagi kegiatan pembangunan. - tidak semua negara mampu menyediakan kebutuhan masyarakat. 7
Ensiklopedia Wikipedia, 2007, http://id.wikipedia.org/wiki/Perdagangan_internasional, diakses 2 November 2007
- akibat adanya perbedaan biaya relatif dalam menghasilkan komoditi tertentu. - adanya perbedaan penawaran dan permintaan antar negara. Panel A Pasar di Negara 1 untuk Komoditi X
Px/Py
Px/Py
Panel B Hubungan Perdagangan Internasional dalam Komoditi X
Panel C Pasar di Negara 2 untuk Komoditi X
Px/Py Sx
A’’
P3 P2
Ekspor
A’
Sx
Sx E
B
P3 B’
B*
E*
E’ Impor
Dx P1
A*
A
Dx
Dx 0
X
X
X
Gambar 3. Harga Komoditi Relatif Setelah Perdagangan Sumber : Salvatore, 1997.
Dalam Gambar 1, misalkan Px/Py lebih dari P1, maka negara 1 mengalami kelebihan penawaran komoditi X (Panel A) sehingga kurva penawaran ekspornya atau Sx yang diperlihatkan oleh Panel B mengalami peningkatan. Di lain pihak, karena Px/Py kurang dari P3, maka negara 2 mengalami kelebihan permintaan komoditi X (Panel C) dan ini mengakibatkan kurva permintaan impor negara 2 terhadap komoditi X atau Dx mengalami peningkatan (lihat Panel B). Panel B juga menunjukkan bahwa hanya pada tingkat harga P2 maka kuantitas impor komoditi X yang diminta oleh negara 2 akan persis sama dengan kuantitas ekspor yang
ditawarkan negara 1. Dengan demikian P2 merupakan Px/Py atau harga relatif ekuilibrium setelah perdagangan di antara kedua negara tersebut.
Dua negara akan melakukan perdagangan secara sukarela jika kedua negara tersebut memperoleh keuntungan. Jika satu negara memperoleh keuntungan sementara negara lainnya mengalami kerugian, maka hal ini akan mendorong penolakan terhadap perdagangan. Dalam situasi tanpa perdagangan, sebuah negara hanya dapat mengkonsumsi komoditi-komoditi yang dapat diproduksinya saja. Sebagai
akibatnya,
batas
kemungkinan
produksi
negara
tersebut
juga
menggambarkan batas konsumsinya. Pertambahan faktor produksi dan terjadinya kemajuan teknologi akan mendorong ke atas kurva kemungkinan produksi (production possibilities) suatu negara sedangkan yang terjadi terhadap volume perdagangan negara tersebut akan ditentukan oleh seberapa banyak output negara tersebut dapat di ekspor dan sejauh mana kemampuannya dalam mengimpor komoditi tertentu dari negara lain, serta sejauh mana perubahan pada pola konsumsinya setelah pendapatan nasionalnya bertambah berkat adanya pertumbuhan ekonomi itu dan terselenggaranya hubungan perdagangan. Pada dasarnya, keuntungan yang dapat diperoleh oleh suatu negara dari berlangsungnya perdagangan dapat dibagi menjadi dua komponen besar, yakni keuntungan dari pertukaran komoditi (gains from exchange), dan keuntungan dari spesialisasi (gains from specialization). Tanpa adanya perdagangan internasional, harga-harga relatif dari berbagai komoditi di masing-masing negara merupakan refleksi atau pencerminan dari keunggulan komparatif yang dimilikinya yang selanjutnya merupakan landasan bagi
berlangsungya hubungan dagang yang menguntungkan antara kedua belah pihak. Harga relatif komoditi dalam kondisi ekuilibrium ketika perdagangan internasional telah berlangsung, akan tercipta melalui proses yang berlangsung cukup lama artinya harga itu tidak tercipta begitu saja melainkan baru tercipta setelah hubungan dagang antara kedua negara tersebut berlangsung dalam kurun waktu yang cukup panjang sehingga tersediah cukup waktu bagi kekuatan-kekuatan penawaran dan permintaan untuk saling bertemu dan menentukan harga tersebut. Terlepas dari adanya berbagai macam perbedaan dalam penjabaranpenjabarannya, seluruh model perdagangan internasional pada dasarnya sama-sama memiliki sejumlah kesamaan sebagai berikut: 1.
Kapasitas produktif dari suatu perekonomian terbuka akan dapat diketahui berdasarkan kurva batas-batas kemungkinan produksi, dan sesungguhnya perbedaan di dalam batas-batas kemungkinan produksi tersebut membuka peluang bagi terjadinya hubungan perdagangan di antara segenap perekonomian atau negara-negara yang bersangkutan.
2.
Batas-batas kemungkinan produksi tersebut senantiasa menentukan skedul penawaran relatif dari masing-masing negara.
3.
Keseimbangan dunia akan ditentukan oleh permintaan relatif dunia dan skedul penawaran relatif dunia yang terletak antara skedul-skedul penawaran relatif nasional.
3.1.5 Bentuk-Bentuk Pasar Pasar Persaingan Sempurna Menurut Salvatore (1997), dalam sebuah perekonomian atau pasar persaingan sempurna, perusahaan-perusahaan yang ada tidak bisa mempengaruhi harga (price taker) artinya penjual barang harus selalu menerima kenyataan bahwa penjual dapat menjual sebanyak mungkin yang mereka kehendaki asalkan berdasarkan harga yang berlaku dan penjual sama sekali tidak dapat mempengaruhi harga yang diterima atas produk yang dijual.
Pasar Monopoli Menurut Salvatore (1997), perusahaan monopolis biasanya menghadapi kurva permintaan yang bentuknya melengkung ke bawah dari kiri atas ke kanan bawah. Bentuk kurva permintaan demikian menunjukkan bahwa perusahaan tersebut bisa menghasilkan lebih banyak output hanya jika harganya turun. Pendapatan marjinal adalah pendapatan tambahan yang diperoleh dari penjualan satu unit tambahan. Pendapatan marjinal bagi perusahaan monopolis selalu lebih rendah dari harga seluruh unit. Karena itu bagi sebuah perusahaan monopolis, kurva penerimaan marjinalnya selalu terletak di bawah kurva permintaan. Penerimaan marjinal selalu lebih rendah dari harga. Hubungan antara pendapatan marjinal dan harga bergantung pada dua hal. Pertama, hal tersebut bergantung pada beberapa banyak output yang telah dijual oleh perusahaan monopolis itu sendiri. Perusahaan yang tidak menjual banyak sekali outputnya tidak akan banyak mengalami kerugian jika perusahaan melakukan pemotongan harga atas output itu. Kedua, perbedaaan antara harga dan
pendapatan marjinal tersebut bergantung pada kecondongan kurva permintaan yang pada dasarnya menunjukkan berapa besar perusahaan monopolis harus menurunkan harga agar dapat menjual satu unit tambahan outputnya. Seandainya bentuk kurvanya sangat datar, maka perusahaan monopolis tersebut akan dapat menjual satu unit tambahan dengan hanya menurunkan harga sedikit saja dan karena itu perusahaan tidak akan menurunkan harga sebesar kalau ia bisa menjual output dalam jumlah banyak sehingga pendapatan marjinal akan mendekati harga per unit. Di sisi lain, jika kurva permintaan berbentuk sangat curam, maka untuk menjual satu unit tambahan, perusahaan tersebut harus melakukan penurunan harga secara tajam sehingga menyebabkan pendapatan marjinal semakin lebih rendah dari harga. Tingkat output yang memaksimumkan keuntungan perusahaan monopolis tercapai ketika pendapatan marjinal sama dengan biaya marjinal. Harga yang diminta perusahaan pada suatu tingkat output tertentu yakni yang menjamin tercapainya keuntungan maksimum biasanya lebih besar dari biaya rata-rata. Seandainya harga lebih besar dari pada biaya rata-rata, maka perusahaan monopolis tersebut akan memperoleh sejumlah keuntungan monopolis. Adanya keuntungan monopoli jarang sekali terbebas dari aneka bentuk kecaman. Suatu perusahaan yang memperoleh keuntungan tinggi biasanya menciptakan sejumlah pesaing yang akan terus menentangnya.
Pasar Oligopoli Menurut Salvatore (1997), struktur pasar yang lazim di berbagai sektor industri yang dicirikan oleh skala ekonomis internal adalah struktur oligopoli yakni keberadaaan beberapa perusahaan dominan, masing-masing dari perusahaan tersebut
cukup besar untuk mempengaruhi harga akan tetapi tidak ada satupun yang mampu meraih status sebagai monopolis yang tidak memiliki saingan sama sekali. Analisis umum mengenai oligopoli merupakan sebuah persoalan yang rumit dan kontroversial karena dalam kasus oligopoli, kebijakan harga merupakan variabel yang independen bagi perusahaan. Setiap perusahaan dalam proses penentuan harga tidak hanya akan mempertimbangkan tanggapan-tanggapan konsumen, akan tetapi perusahaan juga harus memperhitungkan tanggapan-tanggapan yang kemungkinan akan diambil oleh para pesaingnya. Ada dua perilaku penting yang sering muncul dalam keadaaan oligopoli yang tidak diperhitungkan dalam persaingan sempurna. Pertama adalah perilaku persekongkolan. Setiap perusahaan senantiasa tergoda untuk menetapkan harga lebih tinggi dari pada tingkat harga yang bisa menjamin keuntungan maksimum sebagai bagian dari suatu kesepakatan bahwa perusahaan-perusahaan lain akan bertindak serupa karena setiap keuntungan perusahaan akan lebih tinggi jika pesaingpesaingnya menetapkan harga tinggi. Perusahaan-perusahaan oligopolistik juga menempuh perilaku strategis yakni perusahaan tersebut bisa melakukan sesuatu yang tampaknya
mengurangi
keuntungan,
akan
tetapi
sebetulnya
dimaksudkan
mempengaruhi perilaku pesaing-pesaing sedemikian rupa seperti yang diinginkannya sehingga akan memberi keuntungan yang lebih besar dalam jangka panjang.
Pasar Persaingan Monopolistik Dalam model-model persaingan monopolistik terdapat dua asumsi di seputar persoalan saling ketergantungan. Asumsi yang pertama, setiap perusahaan dianggap mampu membedakan produknya dari produk-produk saingannya artinya para
konsumen tidak akan langsung berbondong-bondong membeli produk-produk perusahaan lain hanya karena sedikit selisih harga. Adanya perbedaan dan penganekaragaman produk menjamin bahwa setiap perusahaan memiliki monopoli dalam produk khas di dalam suatu industri atau punya pasar tersendiri sehingga perusahaan agak terisolasi dari tekanan persaingan. Asumsi yang kedua, setiap perusahaan menganggap harga yang ditetapkan oleh para pesaingnya sebagai sesuatu yang tetap artinya perusahaan mengabaikan dampak dari harga yang ditetapkannya terhadap harga perusahaan-perusahaan yang lain. Dengan demikian model persaingan monopolistik mengasumsikan bahwa meskipun setiap perusahaan dalam prakteknya menghadapi tekanan persaingan dari perusahaan-perusahaan yang lain, namun perusahaan cenderung bertindak sebagaimana layaknya sebuah perusahaan monopolis. Model persaingan monopolistik juga mampu menangkap elemen-elemen tertentu dari suatu pasar yang mengandung skala ekonomi dan karenanya merupakan pasar persaingan tidak sempurna. Namun hanya sedikit industri yang tergambarkan dengan baik oleh pasar persaingan monopolistik sedangkan kebanyakan struktur pasar yang ada di dalam kenyataan adalah struktur oligopoli dengan sejumlah kecil perusahaan saja yang secara aktif terlibat dalam persaingan monopolistik. Sementara itu, pendekatan persaingan monopolistik untuk menyoroti hubungan perdagangan internasional sangat menarik untuk dikaji oleh karena pendekatan ini terhindar dari kerumitan-kerumitan tersebut. Meskipun pendekatan ini mengesampingkan sisi-sisi tertentu dari dunia nyata, model persaingan monopolistik telah diterima luas sebagai wahana analisis yang dapat memperhitungkan peranan skala ekonomis dalam perdagangan Internasional.
3.1.3 Konsep Keunggulan Komparatif Menurut Adam Smith dalam Salvatore (1997), perdagangan antara dua negara didasarkan pada keunggulan absolut (absolute advantage) jika sebuah negara lebih efisien dari pada negara lain dalam memproduksi komoditi lainnya, maka kedua negara tersebut dapat memperoleh keuntungan dengan cara masing-masing melakukan spesialisasi dalam memproduksi komoditi yang memiliki keunggulan absolut dan menukarnya dengan komoditi lain yang memiliki kerugian absolut. Melalui proses ini, sumberdaya di kedua negara dapat digunakan dalam cara yang paling efisien. Output kedua komoditi yang diproduksi akan meningkat. Peningkatan dalam output ini akan mengukur keuntungan dari spesialisasi produksi untuk kedua negara yang bersangkutan. Adam Smith percaya bahwa semua negara dapat memperoleh keuntungan dari perdagangan dan menyarankan untuk menjalankan kebijakan yang dinamakan Laissez-faire, yaitu suatu kebijakan yang menyarankan sesedikit
mungkin
perdagangan,
intervensi
sumberdaya
pemerintah
dunia
dapat
terhadap
perekonomian.
didayagunakan
secara
Melalui
efisien
dan
memaksimalkan kesejahteraan dunia. Pada tahun 1817 David Ricardo menerbitkan buku berjudul Principles of political Economy and Taxation yang berisi penjelasan mengenai hukum keunggulan komparatif. Hukum ini merupakan salah satu hukum perdagangan internasional yang paling penting dan merupakan hukum ekonomi yang masih belum mendapat tantangan dari berbagai aplikasi dalam praktek.
David Ricardo mendasarkan hukum keunggulan komparatifnya pada sejumlah asumsi yang disederhanakan yaitu (1) hanya terdapat dua negara dan dua komoditi, (2) perdagangan bersifat bebas, (3) terdapat mobilitas tenaga kerja yang sempurna di dalam negara namun tidak ada mobilitas antara dua negara, (4) biaya produksi constant, (5) tidak terdapat biaya transportasi, (6) tidak ada perubahan teknologi, dan (7) menggunakan teori tenaga kerja. Sementara asumsi satu sampai enam dapai diterima dengan mudah, asumsi tujuh tidaklah berlaku dan seharusnya tidak digunakan untuk menjelaskan keunggulan komparatif. Pengujian empiris pertama terhadap model perdagangan David Ricardo dilakukan oleh MacDougall pada tahun 1951 dan 1952 dengan menggunakan produktivitas tenaga kerja dan data ekspor dari 25 jenis industri di Amerika Serikat dan Inggris pada tahun 1937. Oleh karena upah tenaga kerja di Amerika dua kali lebih besar dari upah tenaga kerja di Inggris, MacDougall berpendapat bahwa biaya produksi di Amerika akan lebih rendah pada industri-industri yang produktivitas tenaga kerjanya lebih dari dua kali produktivitas tenaga kerja Inggris. Pada industriindustri semacam ini, Amerika Serikat memiliki keunggulan komparatif dan dapat mengalahkan Inggris di pasar ketiga yaitu negara-negara lain di luar Amerika dan Inggris karena Amerika dapat menjual lebih murah dibanding Inggris. Di lain pihak , Inggris akan memiliki keunggulan komparatif dan menjual lebih murah dibanding Amerika pada industri-industri yang produktivitas tenaga kerjanya lebih dari setengahnya produktivitas tenaga kerja Amerika. Dalam pengujiannya, MacDougall mengeluarkan perdagangan antara Amerika dan Inggris karena besarnya tarif dari industri yang satu ke industri lainnya sangat berbeda. Hal ini akan cenderung
meniadakan perbedaaan produktivitas tenaga kerja antara kedua negara. Pada saat yang sama, kedua negara menghadapi tarif yang secara umum sama besarnya di pasar ketiga. Pengecualiaan perdagangan antara Amerika dan Inggris tidak menyebabkan penyimpangan pada pengujian karena ekspor di antara kedua negara tersebut hanya kurang dari lima persen dari total ekspor mereka. Perbedaan relatif harga-harga atas berbagai komoditi antara dua negara pada dasarnya mencerminkan keunggulan komparatif bagi masing-masing yang menjadi pijakan setiap negara dalam melangsungkan hubungan dagang yang saling menguntungkan. Negara yang harga relatifnya atas suatu komoditi lebih rendah bisa dikatakan memiliki keunggulan komparatif dalam komoditi yang bersangkutan. Namun di lain pihak, negara itu memiliki kerugian komparatif atas komoditikomoditi lainnya yang selanjutnya menjadi mata dagangan andalan negara lain. Masing-masing negara selanjutnya harus melakukan spesialisasi dalam produksi komoditi yang memiliki keunggulan komparatif. Meskipun demikian, jika setiap negara mengadakan spesialisasi dalam produksi yang memiliki keunggulan komparatif, maka semakin lama biaya opportunitas yang harus ditanggungnya semakin besar. Spesialisasi itu sendiri akan terus berlangsung sampai pada akhirnya harga-harga relatif berbagai komoditi yang diperdagangkan oleh kedua negara tersebut menjadi sama besarnya sehingga pada saat itulah hubungan perdagangan internasional secara keseluruhan berada pada kondisi ekuilibrium. Melalui perdagangan itu, kedua negara dapat mengadakan konsumsi lebih besar sehingga dapat menikmati tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi.
Di dunia nyata, perdagangan ternyata sangat berpengaruh terhadap distribusi pendapatan di setiap negara sehingga dalam kenyataannya manfaat perdagangan seringkali terdistribusikan secara tidak merata. Ada dua alasan utama mengapa perdagangan internasional menimbulkan dampak-dampak kuat terhadap distribusi pendapatan. Pertama, suatu sumberdaya tidak dapat berpindah secara cepat atau dengan biaya yang murah dari satu industri ke industri yang lain. Kedua, antara industri yang satu dengan industri yang lain seringkali berbeda dalam hal penggunaan faktor produksi. Sehubungan dengan adanya kedua alasan ini, maka keuntungan dari perdagangan internasional tidak bisa diterima semudah yang digambarkan oleh penjelasan Ricardo. Perdagangan internasional bisa memberikan keuntungan kepada suatu negara secara keseluruhan, namun perdagangan tidak selalu dapat memberikan keuntungan kepada semua pihak dalam negara tersebut.
3.1.4 Konsep Keunggulan Kompetitif Menurut Porter (1998) bahwa keunggulan bersaing negara-negara mencakup tersediahnya peranan sumberdaya dan melihat lebih jauh kepada negara-negara yang mempengaruhi dayasaing perusahaan internasional pada industri yang berbeda. Perusahaan memperoleh keunggulan terhadap pesaing dunia yang terbaik karena tekanan dan tantangan. Mereka mendapatkan manfaat dari memiliki pesaing domestik yang kuat, pemasok berbasis daerah asal yang agresif dan permintaan para pelanggan lokal. Keunggulan
bersaing
negara-negara
mencakup
tersediahnya
peranan
sumberdaya dan melihat lebih jauh pada keadaan negara yang mempengaruhi
dayasaing perusahaan-perusahaan internasional pada industri yang berbeda. Sebagian besar sumberdaya yang penting seperti keahlian tenaga kerja yang tinggi, teknologi dan sistem manajemen yang canggih diciptakan melalui investasi oleh orang-orang dan perusahaan. Atribut yang merupakan faktor penentu keunggulan bersaing industri nasional yaitu kondisi faktor sumberdaya, kondisi permintaan, industri pendukung dan terkait, serta persaingan, struktur dan strategi perusahaan. Keempat atribut tersebut didukung oleh peranan kesempatan dan peranan pemerintah dalam meningkatkan keunggulan dayasaing industri nasional dan secara bersama-sama membentuk suatu sistem yang dikenal dengan the national diamond (Gambar 4).
Peranan Kesempatan
Strategi perusahaan, struktur, dan persaingan.
Kondisi permintaan
Kondisi faktor
Industri terkait dan pendukung
Pemerintah
Gambar 4. “The National Diamond System” Sumber: Porter, 1998 Keterangan: Garis ( ),menunjukkan hubungan antara atribut utama. Garis ( ),menunjukkan hubungan antara atribut terhadap atribut utama.
tambahan
Setiap atribut yang terdapat dalam teori Berlian Porter memiliki poin-poin penting yang menjelaskan secara detail atribut yang ada dengan penjelasannya sebagai berikut: 1. Kondisi Faktor Sumberdaya Posisi suatu bangsa berdasarkan sumberdaya yang dimiliki merupakan faktor produksi yang diperlukan untuk bersaing dalam industri tertentu. Faktor produksi tersebut digolongkan ke dalam lima kelompok yaitu: a) Sumberdaya Manusia Sumberdaya manusia yang mempengaruhi dayasaing industri nasional terdiri dari jumlah tenaga kerja yang tersediah, kemampuan manajerial dan keterampilan yang dimiliki, biaya tenaga kerja yang berlaku dan etika kerja. b) Sumberdaya Fisik atau Alam Sumberdaya fisik atau sumberdaya alam yang mempengaruhi dayasaing industri nasional mencakup biaya, kualitas, aksesibilitas, ukuran lahan, ketersediahaan air, mineral dan energi serta sumberdaya pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, dan sumberdaya peternakan, serta sumberdaya lainnya, baik yang dapat diperbaharui maupun yang tidak dapat diperbaharui. Begitu juga kondisi cuaca dan iklim, luas wilayah geografis, kondisi topografis dan lain-lain. c). Sumberdaya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Sumberdaya
IPTEK
mencakup
ketersediahaan
pengetahuan
pasar,
pengetahuan ilmiah yang menunjang dan diperlukan dalam memproduksi barang dan jasa. Begitu juga ketersediahaan sumber-sumber pengetahuan dan teknologi seperti perguruan tinggi, lembaga penelitian dan pengembangan, lembaga statistik,
literatur bisnis dan ilmiah, basis data, laporan penelitian, asosiasi pengusaha, asosiasi perdagangan dan sumber pengetahuan dan teknologi lainnya. d) Sumberdaya Modal Sumberdaya modal yang mempengaruhi dayasaing nasional terdiri dari jumlah dan biaya yang tersediah, jenis pembiayaan, aksesibilitas terhadap pembiayaan, kondisi lembaga pembiayaan dan perbankan, tingkat tabungan masyarakat, peraturan keuangan, kondisi moneter dan fiskal, serta peraturan moneter dan fiskal. e) Sumberdaya Infrastruktur Sumberdaya infrastruktur yang mempengaruhi dayasaing nasional dapat dilihat dari ketersediahaan jenis, mutu dan biaya penggunaan infrastruktur yang mempengaruhi persaingan, termasuk sistem transportasi, komunikasi, pos dan giro, pembayaran dan transfer dana, air bersih, energi listrik dan lain-lain. 2. Kondisi Permintaan Kondisi permintaan dalam negeri merupakan faktor penentu dayasaing industri nasional terutama mutu permintaan domestik. Mutu permintaan domestik merupakan sarana pembelajaran perusahaan-perusahaan domestik untuk bersaing di pasar global. Mutu permintaan di dalam negeri memberikan tantangan bagi setiap perusahaan untuk meningkatkan dayasaingnya sebagai tanggapan terhadap mutu persaingan di pasar domestik. Ada tiga faktor kondisi permintaan yang mempengaruhi dayasaing industri nasional yaitu:
a) Komposisi Permintaan Domestik Karakteristik permintaan domestik sangat mempengaruhi dayasaing industri nasional. Karakteristik tersebut meliputi: 1. Struktur segmen permintaan merupakan faktor penentu dayasaing industri nasional. Pada sebagian besar industri, permintaan yang ada telah tersegmentasi atau dipersempit menjadi beberapa bagian yang lebih spesifik. Pada umumnya perusahaan-perusahaan lebih mudah memperoleh dayasaing pada struktur segmen permintaan yang lebih luas dibanding dengan struktur segmen yang sempit. 2. Pengalaman dan selera pembeli yang tinggi akan meningkatkan tekanan pada produsen untuk menghasilkan produk yang bermutu dan memenuhi standar yang tinggi yang mencakup standar mutu produk , fitur-fitur pada produk dan pelayanan. 3. Antisipasi kebutuhan pembeli yang baik dari perusahaan dalam negeri merupakan suatu poin dalam memperoleh keunggulan dayasaing. b) Jumlah Permintaan dan Pola Pertumbuhan Jumlah atau besarnya permintaan domestik mempengaruhi tingkat persaingan dalam negeri terutama disebabkan oleh jumlah pembeli bebas, tingkat pertumbuhan permintaan domestik, timbulnya permintan baru, dan kejenuhan permintaan lebih awal sebagai akibat perusahaan domestik melakukan penetrasi pasar lebih awal. Pasar domestik yang luas dapat diarahkan untuk mendapatkan keunggulan kompetitif dalam suatu industri. Hal ini dapat dilakukan dalam skala
ekonomis melalui adanya penanaman modal dengan membangun fasilitas skala besar, pengembangan teknologi dan peningkatan produktivitas. c) Internasionalisasi Permintaan Domestik Pembeli lokal yang merupakan pembeli dari luar negeri akan mendorong dayasaing nasional karena dapat membawa produk tersebut ke luar negeri. Konsumen yang memiliki mobilitas internasional tinggi dan sering mengunjungi suatu negara juga dapat mendorong dan meningkatkan dayasaing produk negeri yang dikunjungi tersebut. 3) Industri Terkait dan Industri Pendukung Keberadaan industri pendukung dan industri terkait yang memiliki dayasaing global juga akan mempengaruhi dayasaing industri utamanya. Industri hulu yang memiliki dayasaing global akan memasok input bagi industri utama dengan harga yang lebih murah, mutu yang lebih baik, pelayanan yang cepat, pengiriman tepat waktu dan jumlah sesuai dengan kebutuhan industri utama sehingga industri tersebut juga akan memiliki dayasaing global yang tinggi. Begitu juga industri hilir yang menggunakan produk industri utama sebagai bahan baku. Apabila industri hilir memiliki dayasaing global maka industri hilir tersebut dapat menarik hulunya untuk memperoleh dayasaing global. 4) Struktur, Persaingan, dan Strategi Perusahaan Tingkat persaingan dalam industri merupakan salah satu faktor pendorong bagi perusahaan-perusahaan yang berkompetisi untuk terus melakukan inovasi. Keberadaan pesaing lokal yang handal dan kuat merupakan faktor penentu dan sebagai motor penggerak untuk memberikan tekanan antar perusahaan untuk
berkompetisi dan terus melakukan inovasi. Keberadaan pesaing lokal yang handal dan kuat merupakan faktor penentu dan sebagai motor penggerak untuk memberikan tekanan pada perusahaan lain meningkatkan dayasaingnya. Perusahaan-perusahaan yang telah terbukti bersaing ketat dalam industri nasional akan lebih mudah memenangkan persaingan internasional dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan yang belum memiliki dayasaing nasional atau berada dalam industri yang tingkat persaingannya rendah. Struktur industri dan struktur perusahaan juga menentukan dayasaing yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan yang tercakup dalam industri tersebut. Struktur industri yang monopolistik kurang memiliki daya dorong untuk melakukan perbaikan-perbaikan serta inovasi-inovasi baru dibandingkan dengan struktur industri yang bersaing. Di lain pihak, struktur perusahaan yang berada dalam industri sangat berpengaruh terhadap bagaimana perusahaan yang bersangkutan dikelola dan dikembangkan dalam suasana tekanan persaingan, baik domestik maupun internasional. Di samping itu, juga berpengaruh pada strategi perusahaan untuk memenangkan persaingan domestik dan internasional. Dengan demikian secara tidak langsung akan meningkatkan dayasaing global industri yang bersangkutan. 5) Peranan Pemerintah Peranan pemerintah merupakan variabel terakhir dari teori Berlian Porter. Pemerintah dapat mempengaruhi maupun dipengaruhi oleh keempat variabel utama. Variabel kondisi faktor sumberdaya dipengaruhi melalui subsidi, kebijakan pasar
modal, kebijakan pendidikan lainnya. Peranan pemerintah dalam
membentuk kondisi permintaan domestik seringkali sulit untuk dijelaskan.
Pemerintah juga seringkali menjadi pembeli utama, misalnya pembelian alat telekomunikasi atau penerbangan untuk keperluan negara. Bahkan pemerintah dapat juga menjadi penjual utama atau memegang kekuasaan atas produk-produk vital yang menyangkut kepentingan rakyat banyak. Pada bagian industri pendukung dan terkait, pemerintah dapat membentuk polanya seperti dengan mengontrol media periklanan dan membuat regulasi dari pelayanan pendukung. Di samping itu, pemerintah juga dapat mempengaruhi persaingan, struktur dan strategi perusahaan melalui regulasi pasar modal, kebijakan pajak dan perundangan-undangan. 6) Peranan dari Kesempatan Kesempatan mempunyai dampak yang asimetris atau hanya berlaku satu arah terhadap keempat faktor utama dari teori Berlian Porter. Faktor kesempatan seringkali merupakan suatu hal yang besar di luar kekuatan dari industri dan juga pemerintah dalam memberikan pengaruh. Contoh yang khususnya sangat penting dalam mempengaruhi keunggulan kompetitif yaitu hak paten, perang, keputusan politik dari pemerintah luar negeri lainnya.
3.2 Kerangka Pemikiran Operasional Indonesia merupakan produsen kopi terbesar keempat dunia setelah sebelumnya berada pada posisi ketiga hingga tahun 1998. Produksi kopi Indonesia cenderung terus menurun, karena selain disebabkan oleh umur tanaman yang makin tua upaya pemeliharaan dan rehabilitasi tidak dilakukan dengan baik. Salah satu kopi yang diproduksi adalah kopi Arabika.
Besarnya ketergantungan biji kopi Indonesia pada pasar ekspor menyebabkan harga kopi domestik sangat dipengaruhi oleh fluktuasi harga kopi internasional dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Pada saat Indonesia dilanda krisis ekonomi, dimana nilai tukar rupiah melemah tajam terhadap dolar Amerika menyebabkan harga kopi domestik melambung tinggi, walaupun harga kopi di pasar internasional merosot tajam. Mengenai ekspor kopi Indonesia, menurut data Ditjen Perkebunan, pada tahun 2004 sebanyak 344.077 ton kopi yang diekspor dengan nilai 294,11 juta dolar AS kemudian naik menjadi 445.829 ton dengan nilai 503,83 juta dolar AS pada tahun 2005. Namun pada tahun 2006 ekspor turun menjadi 139.724 ton dengan nilai 187,91 juta dolar AS. Selama periode yang sama impor kopi Indonesia mencapai 5.690 ton dengan nilai 6,86 juta dolar AS sementara pada 2006 turun menjadi 2.037 ton senilai 3,66 juta dolar AS. Hal ini mengindikasikan bahwa sebagai salah satu negara produsen kopi Arabika, ekspor kopi Arabika Indonesia tidak selalu stabil setiap tahun dan diikuti dengan mutu kopi Arabika nasional yang tergolong rendah atau berada pada grade IV. Kualitas dan kontinuitas produksi merupakan syarat utama untuk dapat bersaing di pasar internasional. Akibatnya market share Indonesia untuk kopi Arabika di pasar dunia hanya berkisar 10-15 persen. Berdasarkan hal tersebut, maka tujuan dari penelitian “Analisis Dayasaing Komoditas Kopi Arabika Indonesia di Pasar Internasional” ini adalah menganalisis struktur pasar dalam perdagangan kopi Arabika serta posisi dayasaing kopi Arabika di pasar internasional.
Oleh karena itu, tahapan dalam penelitian ini adalah melakukan pengkajian potensi, kendala, dan peluang komoditas kopi Arabika. Analisis tersebut dilakukan dengan pendekatan Teori Berlian Porter (Porter’s Diamond Theory) tentang keunggulan bersaing negara-negara. Dalam penelitian ini dilakukan analisis faktorfaktor yang mempengaruhi keunggulan kompetitif komoditas kopi Arabika Indonesia. Pendekatan lain yang digunakan adalah analisis Herfindahl Index yang digunakan untuk mengetahui struktur pasar dan pangsa pasar yang dimiliki oleh komoditas kopi Arabika Indonesia di pasar internasional. Penelitian ini juga menggunakan analisis Revealed Comparatif Advantage (RCA). Analisis ini digunakan untuk menjelaskan kekuatan dayasaing komoditas kopi Arabika Indonesia terhadap produk sejenis dari negara lain yang juga menunjukkan posisi komparatif Indonesia sebagai produsen dibandingkan dengan negara lainnya dalam pasar kopi internasional. Untuk lebih jelasnya akan diperlihatkan diagram alur pemikiran dari penelitian ini dalam Gambar 5.
•
• •
•
Peluang: Perdagangan dunia didominasi kopi jenis Arabika yang melimpah yaitu sekitar 70 persen Harga kopi Arabika di pasar dunia masih tinggi Petani-petani penanam kopi Arabika mendapat penghasilan lebih baik karena produksi dunia tidak melimpah seperti kopi Robusta sehingga dengan sendirinya harga kopi Arabika stabil Lahan untuk kopi Arabika ada kecenderungan diperluas
•
•
•
Hambatan: Kopi jenis Arabika hanya ditanam sebagian kecil petani di Aceh, Sumatera Utara, Sumatera selatan, bali dan NTT Lahan perkebunan kopi Arabika hanya seluas 101.867 ha dengan produksi sekitar 61.251 ton. Indonesia hanya mampu memproduksi kopi Arabika tidak lebih dari 15 persen dari seluruh total produksi kopi nasional.
Analisis Dayasaing Komoditas Kopi Arabika Indonesia
Analisis Struktur Pasar Kopi Arabika Dunia
Analisis Keunggulan Komparatif Komoditas Kopi Arabika Indonesia
Analisis Keunggulan Kompetitif Kopi Arabika Indonesia
Herfindahl Index dan Rasio Konsentrasi
Analisis RCA (Revealed Comparative
Teori Berlian Porter
Advantage)
Posisi Dayasaing Komoditas Kopi Arabika Indonesia Gambar 5. Kerangka Operasional.
IV. METODE PENELITIAN
4.1 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder diperoleh dari Badan Pusat Statistik, Departemen Pertanian, Internasional Coffee Organization (ICO), Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia, serta informasiinformasi lainnya yang berkaitan dengan penelitian yang diperoleh dari buku-buku literatur, perpustakaan LSI, dan internet. Pengambilan data dilaksanakan pada bulan Januari-Februari 2008. Tabel 3. Sumber Data yang Digunakan Dalam Penelitian Sumber Data Direktorat Jenderal Departemen Pertanian.
Data yang digunakan
Perkebunan, Luas lahan, produksi, produktivitas, harga domestik kopi Arabika dan harga kopi Arabika di pasar Internasional. International Coffee Organization Nilai ekspor kopi negara-negara (ICO) produsen kopi Arabika. Badan Pusat Statistik Luas Tanaman Menghasilkan (TM), luas areal dan produksi perkebunan seluruh Indonesia menurut propinsi dan status pengusahaan. AEKI (Asosiasi Eksportir Kopi Data perdagangan nasional dan Indonesia). internasional kopi Arabika Indonesia, keadaan ekspor kopi Arabika. Jurnal, Internet, Majalah Keadaan industri kopi nasional dan Internasional.
4.3 Metode Pengolahan dan Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif. Tujuannya adalah untuk membuat gambaran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat, serta hubungan antar fenomena yang diselidiki. Analisis pengolahan data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif digunakan untuk menganalisis kondisi internal dan eksternal yaitu analisis keunggulan kompetitif komoditas kopi Arabika Indonesia. Analisis kuantitatif digunakan untuk menganalisis struktur pasar dan persaingan kopi Arabika di pasar Internasional. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan Software Microsoft Excel 2003.
4.4 Analisis Struktur Pasar Herfindahl Index dan Concentration Ratio (CR) adalah alat analisis yang digunakan untuk mengetahui struktur pasar yang dihadapi suatu industri. Herfindahl Index merupakan alat untuk mengukur besar kecilnya perusahaan-perusahaan dalam suatu industri dan sebagai indikator jumlah persaingan di antara mereka. Herfindahl Index dan Rasio Konsentrasi sering digunakan untuk mengukur konsentrasi industri. Nilai Herfindahl Index mencerminkan nilai penguasaan pangsa pasar oleh suatu perusahaan dalam suatu industri. Tahap pertama yang harus dilakukan dalam untuk menganalisis pangsa pasar dengan menggunakan Herfindahl Index adalah menghitung pangsa pasar tiap negara produsen kopi Arabika di pasar Internasional. Perhitungan pangsa pasar yang dilakukan menggunakan formula sebagai berikut:
Sij = Xij /TXj Keterangan: Sij = Panga pasar kopi Arabika negara i di pasar internasional Xij = Nilai ekspor kopi Arabika negara i di pasar Internasional TXj = Total nilai ekspor kopi Arabika di pasar Internasional
Dalam penelitian ini, alat analisis Herfindahl Index digunakan dengan tujuan mengetahui struktur pasar komoditas kopi Arabika di pasar Internasional sekaligus mengukur penguasaan pangsa pasar masing-masing negara yang terlibat dalam perdagangan kopi Arabika tersebut. Pangsa pasar kopi Arabika suatu negara dihitung dengan membandingkan ekspor kopi Arabika negara tersebut dengan total ekspor kopi Arabika dunia. Formula yang sama kemudian digunakan untuk mengukur struktur pasar dan pangsa pasar suatu negara dalam perdagangan kopi Arabika Internasional adalah sebagai berikut: HI = S12 + S22 + S32 + .....+ Sn2 Sumber : Internet Center For Management and Business Administration, Inc, 2007, www.quickmba.com.
Di mana: HI = Herfindahl Index Si = Pangsa pasar penjualan negara ke-i dalam perdagangan kopi Arabika dunia n = Jumlah negara yang terlibat dalam perdagangan kopi Arabika dunia Indeks ini bernilai antara lebih dari nol hingga satu. Jika Herfindahl Index mendekati nol, berarti struktur industri yang bersangkutan cenderung ke pasar persaingan (competitive market), sementara jika indeks bernilai mendekati satu maka
struktur industri tersebut cenderung bersifat monopoli. Didasarkan pada analisis standar dalam ekonomi industri, bahwa struktur industri dikatakan berbentuk Oligopoli bila empat produsen terbesar menguasai minimal 40 persen pangsa pasar penjualan dari industri yang bersangkutan (CR4 = 40 persen). Apabila kekuatan keempat produsen tersebut sama, maka pangsa penjualan atau produksi masingmasing produsen adalah 10 persen dari nilai penjualan atau produksi suatu industri. Apabila penguasaan pasar oleh sepuluh produsen atau kurang dalam suatu industri merupakan batas minimum suatu industri berbentuk oligopolistik, maka terdapat kecenderungan peningkatan derajat penguasaan pasar dari tahun ke tahun. Sejalan dengan peningkatan derajat penguasaan pasar tersebut, beberapa subsektor industri telah beralih ke arah persaingan oligopolistik. Struktur pasar juga dapat diklarifikasikan berdasarkan rasio konsentrasinya, yaitu: 1. Struktur pasar persaingan sempurna (perfect competition) ditunjukkan dengan rasio konsentrasi yang sangat rendah. 2. Struktur pasar persaingan monopolistik (monopolistic competition) ditunjukkan dengan nilai rasio konsentrasi untuk empat produsen terbesar (CR4) di bawah 40 persen. 3. Struktur pasar oligopoli ditunjukkan dengan nilai rasio konsentrasi empat produsen terbesar (CR4) di atas 40 persen. 4. Struktur pasar monopoli ditunjukkan dengan nilai rasio konsentrasi empat produsen (CR4) mendekati 100 persen.
Rasio konsentrasi dirumuskan sebagai berikut: CRni =
n
∑S j =1
ij
Sumber : Internet Center For Management and Business Administration, Inc, 2007, www.quickmba.com.
Di mana: Sij = Pangsa pasar industri i di negara j CRni = n-rasio konsentrasi pada industri i Nilai CR yang banyak digunakan adalah CR4 dan CR8, menunjukkan persentase output pasar yang dihasilkan oleh empat atau delapan produsen terbesar dalam industri. Semakin besar nilai rasio konsentrasi menunjukkan bahwa industri tersebut semakin terkonsentrasi dan semakin sedikit jumlah produsen yang berada di pasaran sedangkan semakin rendah rasio konsentrasi menunjukkan konsentrasi pasar yang rendah, persaingan yang lebih ketat dikarenakan tidak ada produsen yang secara signifikan menguasai pasar. Dengan mengetahui nilai Herfindahl Index dan rasio konsentrasi empat produsen terbesar ini maka secara tidak langsung dapat diketahui konsentrasi industri dan struktur pasar persaingan di mana Indonesia dan negaranegara produsen kopi Arabika lainnya bersaing, serta menyesuaikan strategi kompetitif yang akan digunakan. Tingkat konsentrasi pasar yang dapat dirumuskan dari dua alat yaitu Herfindahl Index dan CR4 adalah sebagai berikut: 1. Konsentrasi pasar yang tinggi dicirikan dengan nilai CR4 yang berkisar antara 80 – 100 persen, sedangkan kisaran nilai HI yaitu antara 1.800-10.000. Bentuk
pasar yang mungkin untuk tingkat konsentrasi tinggi adalah monopoli atau sedikit monopoli yang cenderung oligopoli. 2. Konsentrasi pasar yang sedang dicirikan dengan nilai CR4 yang berkisar antara 50-80 persen, sedangkan kisaran nilai HI yaitu antara 1.000-1.800. Bentuk pasar yang mungkin untuk tingkat konsentrasi sedang adalah lebih banyak oligopoli. 3. Konsentrasi pasar yang rendah dicirikan dengan nilai CR4 yang berkisar 0-50 persen sedangkan kisaran nilai HI antara 0-1.800. Bentuk pasar yang mungkin untuk tingkat konsentrasi rendah adalah persaingan sempurna, persaingan monopolistik, dan sedikit oligopoli.
4.5 Revealed Comparative Advantage (RCA) Keunggulan komparatif dapat diukur dengan menggunakan Revealed Comparatif Advantage yang membandingkan pangsa pasar ekspor sektor tertentu di pasar dunia. Selain itu, indeks ini bermanfaat untuk mengukur dayasaing industri suatu negara. Namun indeks ini tidak dapat membedakan antara peningkatan di dalam faktor sumberdaya dan penerapan kebijakan perdagangan yang sesuai. Tujuan penggunaan indeks RCA dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui posisi komparatif Indonesia di antara negara-negara produsen kopi Arabika lainnya di pasar kopi Internasional. Selain itu, indeks ini bermanfaat untuk mengukur dayasaing industri suatu negara, apakah industri cukup tangguh bersaing di pasar Internasional atau tidak, dapat diketahui secara kuantitatif dengan menggunakan indeks ini.
Kelemahan metode RCA adalah mengukur keunggulan komparatif dari kinerja ekspor dengan asumsi persaingan bebas dan produk homogen, serta mengesampingkan pentingnya permintaan domestik, ukuran pasar domestik, dan perkembangannya. Indeks RCA dirumuskan sebagai berikut: ⎧ ⎫ ⎪ X ij ⎪ ⎨ ⎬ ⎪ ∑ X ij ⎪ ⎭ RCA = ⎩ i ⎧ ∑ X ij ⎫ ⎪ j ⎪ ⎨ ⎬ ⎪ ∑∑ X ij ⎪ ⎩ i j ⎭ Sumber : Laursen, K, 1998, Revealed Comparative Advantage and the Alternatives as Measures of International Specialisation, Department of Industrial Economics and Strategy / DRUID, Copenhagen Business School, Denmark.
Di mana: = Nilai ekspor komoditas kopi Arabika negara j = Total nilai ekspor seluruh komoditas dari negara j
Xij
∑X
ij
j
∑X ∑∑ X
= Total nilai ekspor dunia dari komoditas kopi Arabika
ij
i
i
ij
= Total nilai ekspor dunia seluruh komoditas
j
Apabila nilai RCA yang didapat lebih besar dari satu maka dapat dikatakan Indonesia memiliki keunggulan komparatif dalam komoditi yang terkait dan mempunyai dayasaing yang kuat. Apabila nilai RCA kurang dari satu maka Indonesia tidak memiliki keunggulan komparatif terhadap komoditi tersebut atau komoditi
tersebut dayasaingnya lemah. Semakin tinggi nilai RCA-nya, semakin kuat dayasaingnya.
4.6 Teori Berlian Porter Menurut Porter, keunggulan kompetitif suatu negara dapat dikaji dengan empat atribut yang dimilikinya dengan sebutan “the national diamond”. Empat atribut tersebut adalah kondisi factor/input (factor condition), kondisi permintan (demand condition), industri pendukung dan terkait (related and supporting
industries), serta persaingan, struktur, dan strategi perusahan (firm strategy, structure, and rivalry). Keempat atribut tersebut didukung oleh peranan kesempatan dan peranan pemerintah dalam meningkatkan dayasaing industri nasional.
V. GAMBARAN UMUM KOPI ARABIKA NASIONAL DAN DUNIA
5.1 Gambaran Umum Kopi Arabika Nasional 5.1.1 Luas areal Perkebunan Kopi Arabika Indonesia Dalam empat tahun belakangan, luas areal perkebunan kopi di tanah air, cenderung berkurang. Jika pada 2002 luas perkebunan kopi masih mencapai 1,37 juta hektar, namun pada 2006 luas menyusut menjadi 1,26 juta hektar, atau turun 8,73 persen (Gambar 6). Jika areal perkebunan kopi bisa diperluas, maka hal itu akan mengatrol skala produksi kopi nasional.
1,38
Luas Areal (juta hektar)
1,36 1,34
2000
1,32
2001
1,3
2002 2003
1,28
2004
1,26
2005
1,24
2006
1,22 1,2 1,18 Tahun
Gambar 6.Grafik Perkembangan Luas Areal Perkebunan Kopi Indonesia Tahun 2000-2006 (juta hektar)8. Luas lahan kopi Arabika tahun 2007 seluas 178.649 hektar angka sementara) dengan kapasitas produksi tahunan sebesar 95.946 ton (Tabel 4). Luas areal terkecil
8
www.wartaekonomi, diakses 3 November 2007
terjadi pada tahun 2003. Hal ini karena terjadinya krisis kopi dunia. Krisis kopi dunia terjadi karena keberhasilan negara-negara produsen kopi Arabika seperti Brazil dan Colombia dalam meningkatkan produksinya. Sejak terjadinya krisis kopi dunia yang ditandai dengan produksi yang melebihi konsumsi, mengakibatkan harga kopi Arabika merosot. Hal ini membuat petani kopi dirugikan sehingga banyak dari mereka yang tidak merawat dan mengerjakan kebun mereka dan beralih ke usaha perkebunan lainnya sehingga mengakibatkan luas areal kopi Arabika mengalami penurunan. Tabel 4. Luas Areal Perkebunan Kopi Arabika Indonesia Tahun 2000-2008 Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007* 2008**
Luas Areal (Ha) 107.465 107.206 107.393 99.393 127.198 101.313 101.867 178.649 178.816
Produksi (Ton) 42.988 43.301 43.543 43.356 55.525 60.255 61.251 95.946 96.035
Sumber: Direktorat Jendral Perkebunan, 2006-2008. Diolah. Keterangan: (*) Angka sementara (**) Angka estimasi
Sebagian besar areal perkebunan kopi berlokasi di Provinsi Sumatera Selatan (272.540 hektar), dan Lampung (166.060 hektar). Perkebunan rakyat merupakan pemasok terbesar dengan volume 627.500 ton atau 96,1 persen dari total produksi. Sumatera Selatan merupakan produsen kopi terbesar di Tanah Air dengan volume 144.360 ton pada 2006. Pertumbuhan produksi kopi di Lampung dan Sumatera Utara mencapai 14 persen per tahun, sementara luas areal tanam untuk dua provinsi itu tumbuh 9,1 persen dan 4,1 persen. Ini berarti produktivitas dua provinsi itu cukup
tinggi. Sementara secara nasional produktivitasnya masih berada pada angka 600 kilogram per hektar.
5.1.2 Produksi Perkebunan Kopi Arabika Indonesia Produksi kopi nasional pada tahun 2006 mencapai 653.400 ton, naik 2,03 persen dari tahun sebelumnya (Gambar 7). Luas lahan kopi Arabika tahun 2006 seluas 101.867 hektar dengan kapasitas produksi tahunan sebesar 61.251 ton. 800000 700000 2000
Produksi (ton)
600000
2001
500000
2002
400000
2003 2004
300000
2005
200000
2006
100000 0 Tahun
Gambar 7. Grafik Perkembangan Produksi Kopi Indonesia Tahun 2000-2006 (ribu ton)9. Produksi kopi Arabika dari tahun 2000-2008 mengalami peningkatan dengan jumlah yang tidak signifikan (Tabel 4). Tingkat pertumbuhan produksi cukup kecil, selain karena keterbatasan teknologi dan penanganan pasca panen yang masih
9
www.wartaekonomi.com, diakses 3 November 2007.
kurang, juga disebabkan karena kesulitan petani untuk mendapatkan modal dari pemerintah. Data Ditjen Perkebunan tahun 2006 mencatat perkebunan kopi yang diusahakan di Indonesia saat ini sebagian besar berupa kopi Robusta seluas 1,17 juta ha dan kopi Arabika mencapai 101.867 ha dengan total produksi 61.251 ton dan ekspor 413.500 ton pada tahun 2006 dengan nilai 586.877 dolar AS. Sementara itu, pada tahun 2007 total produksi kopi nasional sebanyak 686.763 ton serta luas areal 1,31 juta ha. Untuk kopi arabika diharapkan terjadi kenaikan areal menjadi 236 ribu hektar dan produksi 193.000 ton dari 81 ribu ton serta produktivitas tanaman menjadi 1200 kg/ha/tahun maupun ekspor sebesar 135.000 ton. 5.1.3 Produktivitas Perkebunan Kopi Arabika Indonesia Produktivitas kopi di Indonesia masih rendah, yaitu rata-rata sebesar 700 Kg/ha/tahun, atau baru mencapai 60 persen dari potensi produktivitasnya. Data perkebunan kopi dari Ditjen Perkebunan tahun 2006 menyebutkan bahwa hampir 96 persen atau 1.308.732 hektar perkebunan kopi merupakan milik perkebunan rakyat, sedangkan sisanya (4,10 %) diusahakan dalam bentuk perkebunan besar, dengan volume ekspor sebesar 413.500 ton dan total produksi sebesar 743.409 ton.
Tabel 5. Luas Areal, Produksi, Produktivitas Perkebunan Kopi Arabika Indonesia Tahun 2000-2008 Tahun
Luas Areal (Ha)
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007* 2008**
Produksi (Ton)
107.465 107.206 107.393 99.393 127.198 101.313 101.867 178.649 178.816
Produktivitas (Ton/Ha)
42.988 43.301 43.543 43.356 55.525 60.255 61.251 95.946 96.035
0,40 0,40 0,41 0,43 0,43 0,60 0,60 0,54 0,54
Sumber: Direktorat Jendral Perkebunan 2006-2008, Diolah. Keterangan: (*) Angka sementara, (**) Angka estimasi
Produktivitas perkebunan kopi Arabika Indonesia menunjukkan adanya peningkatan
walaupun
peningkatannya
sangat
kecil.
Hal
ini
disebabkan
perkembangan luas areal lahan kopi Arabika tidak meningkat secara signifikan akibat terbatasnya modal yang dimiliki oleh petani sehingga peningkata luas lahan sangat kecil (Tabel 5). Tingkat produktivitas tanaman kopi di Indonesia cukup rendah bila dibandingkan dengan negara produsen utama kopi di dunia lainnya seperti Vietnam (1.540 kg/hektar/tahun), Colombia (1.220 kg/hektar/tahun) dan Brazil (1.000 kg/hektar/tahun). Hal ini karena terbatasnya penggunaan bahan tanaman unggul, terlambatnya peremajaan, penanganan panen dan pasca panen yang belum memadai.
5.1.4 Luas Areal, Produksi, dan Produktivitas Menurut Pengusahaan Sebagaimana diketahui, produksi kopi nasional pada tahun 2006 mencapai 653.400 ton, naik 2,03 persen dari tahun sebelumnya. Perkebunan rakyat merupakan pemasok terbesar dengan volume 627.500 ton atau 96,1 persen dari total produksi. Tabel 6. Perkembangan Luas Areal, Produksi, Produktivitas Menurut Status Pengusahaan Tahun 2000-2008 Tahun
PR Luas
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007* 2008**
PBN
Produksi
Produktivitas
(Ha)
(Ton)
(Ton/Ha)
88.804 88.545 88.732 88.979 166.212 89.795 90.349 166.693 166.861
30.137 30.356 30.442 38.272 49.123 54.576 55.575 89.198 89.287
0,34 0,34 0,34 0,43 0,3 0,61 0,62 0,54 0,54
Luas
PBS
Produksi
Produktivitas
Luas
Produksi
Produktivitas
(Ha)
(Ton)
14.071 14.071 14.071 6.672 6.672 6.672 6.672 6.672 6.672
11.443 11.451 11.504 44.458 4.460 4.460 4.458 4.460 4.460
(Ton/Ha)
(Ha)
(Ton)
(Ton/Ha)
0,81 0,81 0,82 0,67 0,67 0,67 0,67 0,67 0,67
4.591 4.591 4.591 3.742 4.315 4.846 4.846 5.284 5.284
1.408 1.493 1.597 626 1.642 1.218 1.218 2.288 2.288
0,31 0,33 0,35 0,17 0,38 0,25 0,25 0,43 0,43
Sumber: Direktorat Jendral Perkebunan 2006-2008, Diolah. Keterangan: (*) Angka sementara (**) Angka estimasi
Perkembangan luas areal kopi Arabika pada perkebunan rakyat tidak mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Hal ini disebabkan karena keterbatasan modal yang dimiliki oleh petani. Produktivitas rata-rata perkebunan rakyat dari tahun 2000-2008 adalah sebesar 0,53 ton per hektar sedangkan perkebunan besar negara mempunyai produktivitas sebesar 0,67 ton per hektar, dan perkebunan besar swasta mempunyai produktivitas sebesar 0,43 ton per hektar (Tabel 6). Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa perkebunan besar negara mempunyai produktivitas tertinggi dibandingkan perkebunan rakyat dan perkebunan besar swasta. Perkebunan besar negara mempunyai produktivitas tertinggi karena terletak pada jenis tanamannya yang merupakan benih unggul dan sistem budidaya dengan teknologi yang memadai. Perkebunan rakyat lebih unggul dalam hal
produktivitas dibandingkan perkebunan swasta karena biaya tenaga kerja untuk mengumpulkan panen pada perkebunan rakyat lebih rendah. Pada umumnya perkebunan rakyat memakai tenaga kerja keluarga. Pada perkebunan swasta, apabila terjadi penurunan harga kopi maka dampaknya adalah penurunan produksi karena biaya tenaga kerja tergantung pada upah buruh upahan yang tidak sebanding dengan keuntungan yang diperoleh. Produksi kopi Indonesia lebih banyak disumbang oleh perkebunan rakyat. Hal ini disebabkan karena saat ini areal perkebunan kopi di dalam negeri sebagian besar adalah perkebunan rakyat (PR) dengan luas 1,2 juta hektar atau 95,8 persen dari total areal tanam ,perkebunan swasta (PBS) seluas 26.800 hektar (2,1%) dan perkebunan negara (PBN) dengan luas 26,4 hektar (2%).
5.1.5 Luas Areal, Produksi, dan Produktivitas Menurut Propinsi Pengusahaan Kopi Arabika terdapat di 11 propinsi di Indonesia yaitu Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, dan Maluku (Lampiran 5). Berdasarkan data sementara yang diperoleh dari Direktorat Jendral Perkebunan, pada tahun 2007, Propinsi Sumatera adalah daerah penghasil kopi Arabika terbanyak yaitu sebesar 55.741 ton yang banyak diusahakan oleh perkebunan rakyat dengan lahan seluas 77.437 hektar. Perkebunan rakyat hampir terdapat di semua propinsi yang mengusahakan kopi Arabika sedangkan perkebunan negara hanya terdapat di propinsi Jawa Timur saja dengan luas lahan yang lebih kecil dibandingkan perkebunan rakyat yaitu seluas
6.672 hektar. Perkebunan swasta lebih banyak jumlahnya dibandingkan dengan perkebunan negara, dimana perkebunan negara hanya terdapat di propinsi Jawa Timur sedangkan perkebunan swasta terdapat di lima propinsi diantaranya Propinsi Bengkulu, Jawa Barat, Yogyakarta, Bali dan Sumatera Selatan. Jumlah Perkebunan swasta yang paling besar terdapat di Propinsi Sulawesi Selatan.
5.1.6 Tingkat Harga Kopi Arabika di Bagian Indonesia Harga kopi arabika di dalam negeri cenderung lebih tinggi dari kopi Robusta. Hal ini terjadi karena sebagian besar konsumen lebih menyukai kopi Arabika. Pada tahun 2006 harga kopi Arabika Domestik sebesar Rp 10.850/kg. Perkembangan harga kopi Arabika di pasar Domestik cukup berfluktuatif. Penurunan harga yang paling signifikan terjadi pada tahun 2005, yaitu adanya penurunan harga dari Rp 16.626 per kilogram menjadi 10,847 per kilogram dengan besar penurunan sekitar Rp 6000 per kilogram (Tabel 7). Salah satu penyebabnya karena pada tahun 2005 ekspor kopi Indonesia begitu melambung sehingga terjadi over supply. Akibatnya, harga bersaing keras di pasaran. Perkembangan harga kopi Arabika di Indonesia tergantung dari tingkat harga kopi dunia di pasar Internasional. Oleh karena kopi Arabika merupakan salah satu komoditas ekspor Indonesia, maka harga jual dan harga beli mengikuti harga yang terbentuk di pasar Internasional. Pada tahun 2004, tingkat harga kopi di pasar internasional memburuk dan terjadi over produksi sehingga harga jual di pasar domestik menjadi rendah.
Tabel 7. Tingkat Harga Kopi Arabika Domestik dan Dunia Tahun 2001-2006 Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Kopi Arabika Domestik (Rp/kg) 12,470 11,630 16,626 10,847 10,850
Kopi Arabika Dunia (c/lb) 177.4 (Rp 32.960,92/kg) 253.2 (Rp 49.779,12/kg) 247.8 (Rp 44.703,12/kg)
Sumber: Direktorat Jendral Perkebunan, 2006-2008.
5.1.7 Ekspor Kopi Arabika Indonesia Sejak tahun 1984 ekspor kopi Indonesia menduduki nomor tiga tertinggi setelah Brasilia dan Kolombia. Indonesia saat ini menjadi negara produsen kopi terbesar ke-4 di dunia, setelah Brasil, Kolombia, dan Vietnam. dengan ekspor sebesar 300.000 ton pada 2007. Sebanyak 53.000 ton dari angka tersebut adalah Arabika dengan nilai harga jual dua kali lebih tinggi per tonnya di bandingkan kopi Robusta. Namun, ekspor kopi Indonesia pada tahun 2006 diperkirakan turun menjadi 139.724 ton dengan nilai 187,91 juta dolar AS jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai 445.829 ton. Menurut data Intemational Coffee Organization (lCO), pada 1 April 2006, penurunan terbesar ekspor kopi Indonesia terdapat untuk jenis arabika, yaitu merosot 77,03 persen menjadi 20.000 karung dari 87.076 karung pada bulan yang sama tahun 2005. Nilai ekspor kopi Arabika Indonesia dapat dilihat pada Tabel 8. Dari tahun 1996-2006, nilai ekspor kopi Arabika Indonesia tidak mengalami peningkatan yang cukup berarti. Pada tahun 2004 dan 2005 terjadi peningkatan untuk nilai ekspor, walaupun peningkatan tersebut tidak terlalu signifikan. Salah satu penyebabnya adalah volume ekspor kopi melambung diikuti dengan membaiknya
harga ekspor kopi di pasar Internasional dan produksi dari negara Brazil yang tidak mengalami lonjakan. Nilai ekspor kopi Arabika terbesar diduduki oleh Brazil dan Colombia dengan nilai ekspor berkisar 1-2 juta US$ sehingga dapat disimpulkan bahwa pangsa pasar untuk kopi Arabika dari kedua negara tersebut cukup besar. Berbeda dengan Indonesia yang memiliki nilai ekspor yang tidak jauh berbeda dengan Guatemala dan Meksiko yaitu berkisar 100.000-500.000 US$. Tabel 8. Nilai Ekspor Kopi Arabika Negara-Negara Produsen Utama Tahun 1996-2006 (US$)
Tahun 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Indonesia 78,138 109,037 103,907 80,983 85,307 67,080 78,247 58,877 101,426 159,497 188,729
Negara Produsen Utama Brazil Guatemala Meksiko 1,592,525 471,113 640,666 2,667,905 619,729 892,124 2,234,483 583,170 597,534 2,044,650 586,201 543,883 1,515,853 569,525 603,135 1,174,860 304,116 239,100 1,057,658 269,094 188,434 1,186,620 295,877 194,775 1,693,171 326,329 202,201 2,444,366 476,069 235,407 2,773,608 460,846 306,748
Colombia 1,576,067 2,260,285 1,894,004 1,324,381 1,082,359 770,438 781,724 813,285 960,299 1,484,836 1,539,295
Sumber: International Coffee Organization
Jika dibandingkan dengan total nilai ekspor ( Arabika dan komoditi lainnya), maka nilai ekspor kopi Arabika Indonesia masih rendah (Tabel 9). Pada tahun 2006 nilai ekspor kopi Arabika Indonesia mencapai 188.729 US$ (Tabel 8) dengan total nilai ekspor (Arabika dan lainnya) Indonesia berkisar 100 milyar US$. Hal ini sangat mempengaruhi dayasaing Indonesia sebagai salah satu negara produsen kopi Arabika serta pangsa pasarnya di pasar internasional. Jika dibandingkan dengan Brazil dan Colombia, nilai ekspor kopi Arabika kedua negara tersebut pada tahun 2006 jauh
lebih besar dari Indonesia yang mencapai 1-2 juta US$ dengan total nilai ekspor (Arabika dan lainnya) Brazil dan Colombia sebesar 137 milyar US$ dan 24 milyar US$ sedangkan Meksiko dan Guatemala pada tahun yang sama mempunyai nilai ekspor kopi Arabika berkisar 300.000-400.000 US$ dengan total nilai ekspor (Arabika dan lainnya) Meksiko dan Guatemala mencapai 249 milyar US$ dan 3 milyar US$. Dari Tabel 8 dan Tabel 9 dapat disimpulkan bahwa total nilai ekspor (Arabika dan komoditi lainnya) suatu negara yang lebih besar dari nilai ekspor kopi Arabika negara tersebut akan sangat mempengaruhi kekuatan dayasaing negara tersebut di pasar Internasional. Tabel 9. Total Nilai Ekspor Semua Komoditi Negara-Negara Produsen Utama Tahun 1996-2006 (US$) Tahun 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Sumber:
Negara Produsen Utama Indonesia Brazil Guatemala Meksiko Colombia 49,814,695,936 0 0 95,661,170,688 10,647,555,072 53,443,579,904 52,985,810,944 2,344,078,592 110,046,904,320 11,549,019,136 48,847,519,744 51,119,869,952 2,581,669,632 117,325,348,864 10,821,222,400 48,665,419,481 48,011,410,609 2,458,210,035 136,262,811,648 11,617,030,144 62,123,972,788 55,118,913,952 2,699,354,624 166,191,644,672 13,158,389,760 56,316,829,696 58,286,592,791 2,412,551,168 158,386,216,926 12,301,473,792 57,158,717,440 60,438,649,875 2,058,235,136 160,750,540,171 11,897,475,072 61,058,152,129 73,203,221,846 2,634,655,232 164,906,508,836 13,092,203,520 64,483,516,667 96,677,246,370 2,931,792,116 187,980,442,491 16,729,660,960 85,659,947,504 118,528,688,118 5,380,815,602 214,207,305,610 21,190,438,735 100,798,615,667 137,806,190,344 3,198,083,858 249,960,545,529 24,390,975,103 United Nations Commodity Trade (COMTRADE) Statistic Database, 2008, http://unstats.un.org/unsd/comtrade
Setiap tahun ekspor kopi Indonesia berkisar 300.000―350.000 ton. Namun pada tahun 2005 ekspor kopi Indonesia begitu melambung. Salah satu penyebabnya adalah memasuki akhir tahun 2004, kalangan pedagang kopi mulai melepas stok, menyusul membaiknya harga kopi di pasar internasional. Puncak pelepasan stok terjadi pada tahun 2005 yang menyebabkan melonjaknya ekspor kopi nasional.
Memasuki tahun 2006, stok kopi kembali menipis, sehingga volume ekspor pun menurun. Selama periode 1999―2006, ekspor kopi Indonesia terus berfluktuasi. Pada tahun 2000 ekspor kopi Indonesia mencapai 340.900 ton, tetapi tahun berikutnya turun menjadi 250.800 ton. Pada tahun 2004 ekspor kembali meningkat menjadi 344.100 ton, dan melonjak mencapai 445.900 ton pada tahun 2005. Perkembangan ekspor kopi Indonesia berdasarkan jenis kopi dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10.
Perkembangan Ekspor Indonesia Berdasarkan Jenis Kopi Tahun 2000/01-2005/06
Tahun 2000/2001 2001/2002 2002/2003 2003/2004 2004/2005 2005/2006*
Arabika Volume (000 ton) Nilai (000$) 39.744 72.663 38.660 76.440 39.300 78.267 46.844 92.552 52.929 166.620 16.242 48.657
Robusta Volume (000 ton) Nilai (000$) 269.424 134.289 205.049 169.230 166.557 115.112 262.198 178.255 343.764 350.422 118.691 114.476
Sumber: Dit. Ekspor, Depdag RI dalam AEKI, 2003-2005. *) Angka Sementara sampai bulan Maret 2006.
Dari Tabel 10 dapat dilihat bahwa hampir setiap tahun terjadi peningkatan untuk ekspor kopi Arabika. Nilai ekspor kopi Arabika lebih tinggi dari volume ekspornya sehingga dapat dikatakan ekspor kopi Indonesia saat itu sedang tinggi. Peningkatan volume ekspor tidak selalu sejalan dengan peningkatan nilai ekspor karena nilai ekspor lebih dipengaruhi oleh perubahan harga kopi dibandingkan dengan volume ekspornya.
60000 50000 40000 30000 20000 10000
20 05 /0 6
20 04 /2 00 5
20 03 /0 4
20 02 /0 3
20 01 /0 2
0 20 00 /0 1
Volume Ekspor (ribu ton)
Gambar 8. Perkembangan Volume Ekspor Kopi Arabika Indonesia Tahun 2000/01-2005/06 (ribu ton).
Tahun
Sumber: Dit. Ekspor, Depdag RI dalam AEKI, 2003-2005.
Dari gambar 8 dapat dilihat bahwa trend volume ekspor kopi Arabika Indonesia pada periode 2000/01 hingga 2004/05 menunjukkan peningkatan walaupun peningkatannya tidak begitu besar. Namun pada periode 2005/06 terjadi penurunan yang cukup signifikan. Hal ini disebabkan pasokan di dalam negeri menipis akibat produksi yang rendah. Menipisnya stok menyebabkan Indonesia harus melakukan ekspor kopi Arabika dalam jumlah yang lebih sedikit sehingga dengan sendirinya volume ekspor turun. Jika dilihat dari nilai ekspor dan volume ekspor kopi Arabika, peningkatan volume ekspor tidak selalu diikuti dengan peningkatan nilai ekspor. Hal ini dapat dilihat pada periode 2001/02 dimana ketika volume ekspor turun, justru nilai ekspor mengalami peningkatan walaupun peningkatannya cukup kecil (Tabel 10). Hal ini dikarenakan kopi merupakan komoditas perdagangan sehingga pencapaian ekspor
sangat tergantung dari harga kopi internasional yang umumnya berfluktuasi sesuai dengan perkembangan permintaan dan produksi dunia.
Trend perkembangan nilai ekspor kopi Arabika dapat dilihat pada gambar 9 dimana pada periode 2000/01 hingga 2004/05 nilai ekspor mengalami peningkatan. Peningkatan yang cukup signifikan terjadi pada periode 2004/2005. Hal ini disebabkan karena pada akhir tahun 2004, produksi kopi membaik dan kalangan pedagang kopi mulai melepas stok diikuti membaiknya harga kopi di pasar internasional dan produksi dunia yang tidak melimpah. Puncak pelepasan stok terjadi tahun 2005 yang menyebabkan melonjaknya ekspor kopi nasional. Peningkatan volume ekspor ini diikuti dengan peningkatan nilai ekspor karena harga kopi di pasar internasional sedang stabil.
20 05 /0 6
20 04 /0 5
20 03 /0 4
20 02 /0 3
20 01 /0 2
180000 160000 140000 120000 100000 80000 60000 40000 20000 0 20 00 /0 1
Nilai Ekspor (US$)
Gambar 9. Perkembangan Nilai Ekspor Kopi Arabika Tahun 2000/01-2005/06 (US$).
Tahun
Sumber: Dit. Ekspor, Depdag RI dalam AEKI, 2003-2005.
Gambar 8 dan Gambar 9 memperlihatkan bahwa secara umum trend volume ekspor dan nilai ekspor kopi Arabika mengalami peningkatan pada periode 2001/02
hingga 2004/05. Peningkatan nilai ekspor lebih cepat dari pada peningkatan volume ekspor dimana nilai ekspor dapat melebihi volume ekspor.
5.1.8 Bentuk Kopi yang Diekspor Pada umumnya kegiatan ekspor komoditi pertanian dan perkebunan di Indonesia dan Aceh khususnya, masih dalam bentuk komoditas primer. Berdasarkan data dari Deperindag (2006), volume ekspor kopi Indonesia 90,7 persen masih dalam bentuk biji kopi (primer). Indonesia masih kesulitan melakukan ekspor kopi olahan karena produksi biji kopi yang terbatas di tengah semakin tingginya permintaan atas komoditi tersebut. Pemerintah sendiri sudah memprogramkan dan meminta pengusaha nasional mengarah pada ekspor kopi olahan untuk menambah devisa dan terhindar dari kerugian terjadinya fluktuasi harga jual, dan dalam hal ini AEKI juga mendukung pelaksanaan program tersebut. Namun hal ini masih kelihatan susah dijalankan karena produksi yang terbatas di tengah permintaan yang terus meningkat dan termasuk kesulitan pengusaha untuk mendapatkan dana segar serta keraguan calon investor untuk investasi terhadap produk jadi kopi tersebut. Permintaan biji kopi yang terus meningkat membuat pengusaha lebih memilih berdagang biji kopi tersebut dibandingkan bila memproduksi kopi olahan yang pemasarannya belum bisa dipastikan dan mengeluarkan banyak dana untuk investasi dan promosinya. Investasi yang besar membuat pengusaha masih enggan masuk dalam industri hilir kopi tersebut. Di dalam negeri sendiri, persaingan cukup ketat, sementara untuk di pasar internasional juga cukup ketat untuk menanamkan kepercayaan konsumen.
5.1.9 Kualitas Ekspor Kopi Arabika Indonesia Realisasi Ekspor kopi Arabika Indonesia paling banyak terdapat pada grade 1 sedangkan untuk grade 5 dan grade 6 sangat sedikit (Tabel 11). Hal ini mengindikasikan bahwa kualitas ekspor kopi Arabika lebih baik dari Robusta. Tabel 11.Realisasi Ekspor Kopi Arabika Indonesia Berdasarkan Mutu Tahun 2003/04-2005/06 Mutu 1 2 3 4 5 6
2003/04 Volume Nilai (ton) (US$) 42.038.127 82.757.779 323.600 356.271 1.444.040 1.966.392 32.100 37.075 21.000 23.016
2004/05 2005/06 Volume Nilai Volume Nilai (US$) (US$) (ton) (ton) 50.128.672 158.453.685 15.792.784 47.765.711 1.045.280 3.440.305 125.500 344.071 1.428.060 4.162.244 286.680 521.778 309.300 543.693 18.000 10.399 18.000 19.800 16.500 14.850
Sumber: Dit. Ekspor Depdag RI dalam AEKI, 2003-2005, hlm 28.
Dalam hal ekspor, Indonesia mempunyai kelemahan mengenai konsistensi kualitas kopi yang dihasilkan dan penguatan citra kopi khas asal Indonesia. Indonesia perlu belajar dari Kolombia, Brasil yang telah berhasil dalam mempromosikan kualitas dari kopi mereka dan memperluas pangsa ekspor kopi khas daerah mereka. Kopi khas atau special yang dibuat secara eksklusif dari biji kopi Arabika dimodifikasi sesuai dengan selera konsumen sehingga dengan cara ini konsumsi terhadap kopi juga diharapkan akan meningkat. Secara umum, penolakan kopi dari Indonesia di sejumlah negara terjadi karena kualitas yang rendah dan berbeda dengan sampel yang ditawarkan sebelumnya.
Indonesia
harus
bisa
menciptakan
situasi
kondusif
dengan
menghilangkan kebijakan-kebijakan yang menghambat dayasaing di industri kopi
karena saat ini telah terjadi pola pembelian kopi, dimana si buyer tidak lagi melakukan transaksi jarak jauh tetapi melihat langsung ke lokasi perkebunan kopi dan berbicara dengan para petani sehingga mereka bisa langsung melihat barangnya. Para importir tersebut juga menggunakan sertifikasi kualitas kopi sebagai acuan merek.
5.1.10 Negara tujuan ekspor kopi Arabika Indonesia AS dan Jepang secara tradisional merupakan pasar utama ekspor kopi Indonesia. Di masa mendatang, Indonesia perlu mengembangkan ekspor ke lebih banyak negara tujuan lainnya sebagai pasar baru. Dalam mengekspor kopi ke pasar dunia, Indonesia berhadapan dengan negara-negara eksportir lainnya. Negara-negara eksportir utama kopi adalah sama dengan negara-negara produsen utama, yaitu Brazil, Colombia, Vietnam dan Indonesia, dengan rata-rata pangsa ekspor masingmasing 22,14 persen, 12,5 persen, 8,6 persen dan 6,8 persen. Untuk Indonesia, pangsa ekspor hampir sama dengan pangsa produksi. Untuk Colombia dan Vietnam, pangsa ekspornya lebih besar dibanding pangsa produksinya, sedangkan untuk Brazil, pangsa ekspornya lebih kecil dibanding pangsa produksinya. Negara tujuan ekspor komoditas kopi arabika adalah USA, Singapura, Denmark, Jepang, Kanada, Australia, Taiwan, Selandia Baru (New Zealand), dan Irlandia. Pasar Cina merupakan pasar potensial untuk pengembangan ekspor karena pertumbuhan ekonomi negara itu yang cukup tinggi di samping jumlah penduduknya yang besar. Pada tahun 2000, pangsa ekspor kopi Indonesia ke Cina mencapai 0,007 persen dari total ekspor kopi Indonesia. Pada tahun 2003 pangsanya mencapai 2,99
persen dan pada tahun 2005 mencapai 7,1 persen dari total ekspor kopi Indonesia ke pasar Dunia. Dengan demikian, meskipun kecil, namun terjadi pertumbuhan pangsa ekspor yang terus meningkat untuk pasar Cina terhadap total eskpor kopi Indonesia.
5.1.11 Impor Kopi Arabika oleh Indonesia Menurut data Ditjen Perkebunan, ekspor kopi Indonesia pada tahun 2004 sebanyak 344.077 ton dengan nilai 294,11 juta dolar AS kemudian naik menjadi 445.829 ton dengan nilai 503,83 juta dolar AS pada tahun 2005. Namun pada tahun 2006 ekspor turun menjadi 139.724 ton dengan nilai 187,91 juta dolar AS. Selama periode yang sama, impor kopi Indonesia mencapai 5.690 ton dengan nilai 6,86 juta dolar AS sementara pada 2006 turun menjadi 2.037 ton senilai 3,66 juta dolar AS. Tabel 12. Impor Kopi Arabika Indonesia Dari Berbagai Negara Tahun 2003-2005 (Kg, US $, CIF) Negara
Jepang Republik Korea Taiwan Cina Singapura Indonesia Turki Timor Leste Guatemala Brazil Inggris Perancis Italia Australia
2003 Volume Nilai
34.408 109 78.000 58.860 30.050 950.920 40.000 1.058.440 76.590 72.899 17.935 3.270 22.914 -
27.553 146 66.612 58.604 137.720 624.830 34.160 824.514 63.963 439.626 39.293 6.865 18.465 -
2004 Volume Nilai
17.148 53.100 2.343 72.591 104
17.148 345.150 4.715 367.013 371
2005 Volume
0
Nilai
0
Sumber: AEKI, 2003-2005, hlm 45.
Indonesia sebagi salah satu negara produsen kopi Arabika juga melakukan kegiatan impor dari berbagi negara. Hal ini dilakukan karena produksi kopi Arabika
yang kurang mencukupi kebutuhan dalam negeri. Terdapat 13 negara yang menjadi sumber impor Indonesia (Tabel 12). Jumlah impor terbesar adalah negara Timor Leste, Indonesia, Taiwan, Guatemala. Dalam rentang waktu dari tahun 2003-2005, volume impor Indonesia sebesar 950.920 kilogram yang terjadi pada tahun 2003 dengan nilai impor sebesar 624.830 US$.
5.1.12 Lembaga Perkopian Nasional Lembaga Perkopian Nasional yang masih berdiri saat ini adalah AEKI (Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia). AEKI didirikan pada tanggal 30 Juli 1979 yang hingga saat ini memiliki 12 kantor cabang, berada di sentra-sentra produksi dan memiliki kantor perwakilan di beberapa negara seperti USA dan Inggris. AEKI beralamat di Jl. RP. Soeroso No.20 Jakarta. AEKI menjadi sangat penting keterkaitannya dengan pemerintah, terutama dengan Depperindag. Bersama-sama pemerintah, beberapa program telah dilaksanakan dalam upaya peningkatan produktivitas dan kualitas kopi pada perkebunan rakyat guna memperbaiki citra perkopian Indonesia di dunia perdagangan. Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) adalah asosiasi eksportir pedagang yang benar-benar menangani bidang perdagangan ekspor. Fungsinya, untuk menjembatani antara pembuat kebijakan pemerintah dengan pihak swasta sebagai pelaksana usahanya. AEKI bukan asosiasi petani atau asosiasi pabrik kopi. Pada awalnya maksud berdirinya AEKI terkait dengan sistem kuota, yang diatur oleh International Coffee Organization (ICO). Tetapi, sistem tersebut akhirnya ditiadakan pada 1989 sehingga fungsi AEKI sejak 1989 tidak lagi menggunakan system kuota tetapi menganut sistem perdagangan
bebas dan fungsinya pun ikut berubah dan lebih kepada fungsi advokasi, fasilitasi dan fungsi penelitian pengembangan. Selain AEKI, terdapat beberapa nama dan alamat kelembagaan usaha (Kelembagaan Petani, Asosiasi Petani, Asosiasi Pengusaha) yang merupakan instansi pemerintah seperti, Direktorat Jenderal Perkebunan, Direktorat Jenderal Pengolahan dan
Pemasaran
Hasil
Pertanian,
Dinas
Perkebunan
Daerah,
Lembaga
Penelitian/Puslit/PPKKI (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. Kelembagaan – kelembagaan tersebut bertempat di Jakarta kecuali Pusat Penelitian Kopi dan Kakao yang bertempat di Jl. Panglima Besar Sudirman 90 Jember.
5.2 Gambaran Umum Kopi Arabika Dunia 5.2.1 Produksi Kopi Arabika Dunia Untuk kepentingan perdagangan, organisasi kopi dunia ICO membagi 4 jenis kopi, yang terdiri dari 3 jenis Arabika dan satu jenis Robusta. Pada perdagangan di pasar dunia kopi terbagi atas grup Arabika yang terdiri dari Kolombia Milds (18%),
Mild lain (25%), Brazilian dan jenis Arabika lain (33%). Negara-negara produsen utama kopi Arabika adalah Colombia, Kenya, Tanzania (Kolombia Milds), India, Papua Nugini, Meksiko, Guatemala, El Salvador, Costa Rica, (Mild lain), Brazil, Ethiopia (Brazilia dan jenis Arabika lain).
Tabel 13. Jumlah Produksi Kopi Arabika Negara-negara Eksportir Kopi Utama Tahun 1999-2004 (000 Bags/Karung) Negara Eksportir Brazil Burundi Guatemala Ecuador Indonesia Papua Nugini Tanzania
1999 28.198 504 5.092 592 700 1.326 623
2000 29.446 337 4.928 461 836 988 650
2001 24.889 256 3.651 481 933 1.011 409
2002 38.804 474 4.049 433 936 1.088 547
2003 22.043 332 3.585 441 1.060 1.145 483
2004 31.715 430 3.416 533 1.071 1.000 629
Sumber: AEKI, 2003-2005, hlm 53. Satu karung = 60 kg.
Selain negara-negara yang disebutkan di atas, negara Kameron, Republik Demokrasi Kongo, India, Madagaskar, Philipina, Uganda juga termasuk ke dalam eksportir kopi Arabika di dunia, bahkan suatu saat negara-negara tersebut bisa menjadi pesaing Indonesia dalam hal jumlah produksi. Selama tahun 2006 harga kopi jenis Arabika di pasar internasional diprediksi bisa menembus US$ 3,5 per kilogram dari saat ini yang hanya sebesar US$ 3 per kilogram. Membaiknya harga tersebut disebabkan oleh adanya penurunan produksi dari produsen utama kopi dunia, terutama Brasil dan Vietnam. Pada tahun 2006, produksi kopi dari Brasil sekitar 45 juta karung di mana setiap karung beratnya mencapai 60 kilogram. Namun, pada tahun 2006 pasokan kopi dari negeri Samba tersebut diperkirakan hanya mencapai sebanyak 35-38 juta karung. Begitu pula dengan Vietnam. Pada tahun 2005, produksi kopi di negeri Gajah Putih tersebut mencapai 800-900 juta ton tetapi di tahun 2006 produksinya diperkirakan akan mengalami penurunan. Dengan menurunnya pasokan ditengah permintaan yang terus meningkat akan mendorong harga jual kopi, khususnya jenis arabika. Kekurangan
pasokan dari Brasil dan Vietnam juga bisa menjadi sebuah peluang bagi produsen kopi dunia lainnya terutama Indonesia untuk mendapatkan keuntungan yang lebih baik dari harga ekspor kopi arabika yang
meningkat. Produksi kopi Arabika
Indonesia masih kalah bersaing dengan negara-negara produsen utama (Tabel 4). Indonesia sebagai salah satu negara penghasil kopi Arabika menemukan masalah dalam mengembangkan produksi Arabika karena negeri ini hanya mampu memproduksi kopi arabika tidak lebih dari 15 persen dari seluruh total produksi kopi nasional.
5.2.2 Tingkat Harga Kopi Arabika di dunia Harga kopi arabika di pasar internasional jauh lebih baik dibandingkan kopi jenis robusta. Harga ekspor kopi arabika pada tahun 2008 diperkirakan naik atau masih membaik seperti tahun 2007, yaitu rata-rata di atas US$3 per kilogram. Harga ekspor kopi pada sepanjang 2007, rata-rata US$3,2 hingga US$3,5 per kilogram, sementara tahun 2006 harga jual masih US$2,8 (Rp 25.256 per kilogram). Membaiknya harga ekspor kopi tersebut mengacu pada perkiraan produksi kopi di Brazil dan termasuk Indonesia yang tidak mengalami lonjakan besar di tengah terus meningkatnya permintaan di pasar dunia pada tahun kopi 2008. Tingkat harga kopi Arabika dunia dapat dilihat pada Tabel 7. Pada tahun 2004-2006, harga kopi Arabika dunia tidak stabil. Hal ini tergantung dari jumlah produksi dari negara-negara produsen utama kopi Arabika. Produksi kopi yang berlebih disebabkan negara-negara produsen melakukan panen dalam waktu yang bersamaan sehingga menyebabkan terjadinya over produksi.
Ketika produksi berlebih, maka harga akan turun, dan harga akan kembali naik jika produksi sudah kembali stabil. Brazil sebagai negara penghasil kopi terbesar dunia, pada periode Mei 2007 hingga April 2008 diperkirakan paling banyak memproduksi sekitar 50 juta karung atau 3 juta ton. Produksi kopi Brazil mengalami kenaikan yang tidak terlalu besar dibandingkan periode tahun 2007 yang hanya sekitar 49 juta karung.
5.2.3 Ekspor Kopi Arabika Dunia Berdasarkan data dari AEKI, Brazil menempati urutan pertama dalam jumlah biji kopi Arabika yang diekspor diikuti Colombia, Guatemala, dan meksiko (Tabel 14). Indonesia sebagai negara pengekspor kopi Arabika masih kalah bersaing dengan negara-negara eksportir lainnya. Tabel 14. Ekspor Kopi Biji Arabika Negara-negara Eksportir Kopi Periode 1999/00-2004/2005 (000 Bags) Negara Brazil Colombia Costa Rica Guatemala Honduras Indonesia Meksiko Nicaragua Papua Nugini Peru
April-Maret
1999/00 2000/01 2001/02 2002/03 2003/04 2004/05 17.643 15.666 19.649 22.214 20.025 23.420 8.608 9.105 9.625 9.659 10.020 10.048 1.979 2.026 1.977 1.694 1.680 1.397 4.617 4.773 3.562 3.664 3.602 3.417 2.236 2.934 2.103 2.825 2.553 2.597 573 609 630 636 551 800 4.595 4.070 2.520 2.023 2.229 1.707 1.062 1.311 1.121 879 1.033 1.236 1.269 996 1.041 1.058 1.148 1.008 2.474 2.419 2.638 2.838 2.480 3.305 2.118 2.170 1.457 1.529 1.202 1.357
El Salvador Sumber: AEKI, 2003-2005, hlm 59. Satu karung = 60 kg.
Berdasarkan data dari AEKI, Brazil menempati urutan pertama dalam jumlah biji kopi Arabika yang diekspor diikuti Colombia, Guatemala, dan meksiko (Tabel 14). Indonesia sebagai negara pengekspor kopi Arabika masih kalah bersaing dengan negara-negara eksportir lainnya.
5.2.4 Lembaga Perkopian Internasional a. International Coffee Organization (ICO) Saat ini lembaga perkopian yang masih berdiri adalah International Coffee
Organization (ICO). Organisasi ini didirikan pada tahun 1963 ketika kesepakatan kopi Internasional pertama berlaku untuk jangka waktu 5 tahun (1962 – 1967). ICO beranggotakan negara produsen dan konsumen kopi dunia. Hingga saat ini keanggotaan ICO berjumlah sebanyak 63 negara yang terdiri dari 45 negara produsen/eksportir dan 18 negara konsumen/importir. ICO berkantor pusat di 22 Berners Street London, WIT 3 DD, England. Adapun tujuan dari Organisasi kopi internasional mempunyai adalah sebagai berikut : 1. Mempromosikan kerjasama internasional dalam bidang perkopian. 2. Menyediakan suatu forum konsultasi antar pemerintah, dan negosiasi apabila diperlukan, tentang masalah perkopian dan cara untuk mencapai keseimbangan yang layak antara penawaran dan permintaan dunia atas dasar yang menjamin penawaran kopi yang memadai pada harga yang wajar bagi para konsumen dan pasar-pasar kopi dengan harga yang menguntungkan bagi para produsen, dan yang akan mendukung keseimbangan jangka panjang antara produksi dan konsumsi.
3. Menyediakan suatu forum konsultasi tentang permasalahan kopi dengan sektor swasta. 4. Memfasilitasi perluasan dan transparansi perdagangan kopi internasional. 5. Bertindak sebagai suatu pusat untuk melakukan pengumpulan dan analisa serta penyebaran dan publikasi informasi ekonomi dan teknik, data statistik dan hasilhasil studi, penelitian dan pengembangan bidang perkopian. 6. Mendorong
Anggota
untuk
mengembangkan
ekonomi
perkopian
yang
berkesinambungan. 7. Mempromosikan, mendorong dan meningkatkan konsumsi kopi. 8. Menganalisa dan memberikan saran dalam persiapan proyek-proyek yang memberikan manfaat bagi ekonomi perkopian dunia. 9. Mempromosikan kualitas kopi. 10. Mempromosikan pelatihan dan program-program informasi yang dirancang untuk membantu alih teknologi yang berkaitan dengan bidang perkopian kepada para Anggota. b. ACPC (Association of Coffee Producing Countries) Lembaga Perkopian yang pernah berdiri adalah ACPC (Association of Coffee
Producing Countries). Keanggotaan ACPC berjumlah 13 negara yaitu Angola, Brazil,Colombia, Costa Rica, Dem. Rep. Of Congo, El Salvador, Kenya, Indonesia, Pantai Gading, Tanzania, Togo, Uganda dan Venezuela. Indonesia masuk kedalam keanggotaan sejak tahun 1994. Sejak dibentuk Oktober 1993, ACPC telah melakukan dua kebijakan intervensi pasar dalam upaya menyeimbangkan penawaran dan permintaan kopi
dunia yaitu melalui sistim retensi dan program ekspor kopi. Kenyataan menunjukkan bahwa kedua cara tersebut tidak dapat mempengaruhi mekanisme pasar yang berlaku. Keberadaan ACPC di forum kopi internasional adalah dalam rangka mengamankan kepentingan negara-negara produsen kopi dengan melakukan intervensi pasar sehingga
diharapkan
mempunyai
bargaining
posisition
dalam
menghadapi
konsumen. Keikutsertaan Indonesia dalam organisasi ini dilandasi oleh rasa solidaritas sesama negara non-blok yang kebanyakan adalah negara-negara miskin dan sangat tergantung pada kopi. Namun di sisi lain kebijakan intervensi pasar ACPC ini juga merugikan Indonesia karena pangsa pasarnya diambil alih oleh negara produsen non-ACPC. Dengan demikian keanggotaan Indonesia kiranya perlu dipertimbangkan kembali. Saat ini ACPC telah dibubarkan sejak akhir Januari 2002. c. Specialty Coffee Association of America (SCAA) SCAA berdiri pada tahun 1982. Asosiasi ini didirikan oleh para roaster (pengusaha kopi bubuk) dan importir kopi yang berkecimpung dalam bisnis kopi arabika khusus yaitu “Specialty Coffee” atau “Gourmet Coffee” kemudian menyusul “Specialty Coffee Association of Brazil” (SCAB) pada tahun 1992, dan SCA Uni Eropa, Costa Rica dan Jepang.
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN
6.1 Analisis Struktur Industri Kopi Arabika Antar Negara di Pasar Internasional Dengan menggunakan rumus Herfindahl Index akan diketahui struktur pasar komoditas kopi Arabika antar negara di pasar Internasional sekaligus mengukur penguasaan pangsa pasar masing-masing negara yang menjadi produsen kopi Arabika. Pada Tabel 15 menunjukkan bahwa dari tahun 1996 – 2006 pasar komoditas kopi Arabika dunia memiliki nilai rata-rata Herfindahl Index sebesar 0,15. Nilai
Herfindahl Index yang mendekati nilai nol menunjukkan bahwa industri kopi Arabika antar negara-negara produsen di pasar Internasional mengarah ke bentuk oligopoli yang artinya Indonesia masih sebagai pengikut pasar dan tidak dapat mempengaruhi harga maupun produk tanpa terlebih dahulu mengacu kepada pemimpin pasar. Tabel 15. Hasil Analisis Herfindahl Index dan Concentration Ratio Negaranegara Produsen Kopi Arabika di Pasar Internasional (Green Arabica) Tahun 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Rata-rata
Nilai Herfindahl Index
Nilai CR4 (%) 0,12 0,14 0,14 0,14 0,12 0,14 0,14 0,15 0,16 0,18 0,17 0,15
61 65 63 65 62 63 63 63 65 68 67 64
Perhitungan CR4 dilakukan berdasarkan empat produsen kopi Arabika terbesar tahun 2006 yaitu Brazil, Colombia, Guatemala, Peru. Nilai CR4 yang dihasilkan oleh masing-masing negara produsen pada tahun 2006 sebesar 67 persen. Nilai ini berasal dari Brazil 36 persen, Colombia 19 persen, Guatemala 6 persen dan Peru 6 persen. Rasio tingkat konsentrasi yang ditunjukkan dengan nilai CR4 memperlihatkan kecenderungan di mana empat negara produsen terbesar menguasai lebih dari 40 persen pangsa pasar selama periode 1996 – 2006 (Tabel 15). Hal ini memperlihatkan bahwa komoditas kopi Arabika antar negara-negara produsen di pasar internasional mengarah ke bentuk oligopoli yang artinya Indonesia masih sebagai pengikut pasar. Pada pasar komoditas kopi Arabika dengan struktur oligopoli, posisi Indonesia masih sebagai pengikut pasar. Posisi ini menyebabkan Indonesia tidak dapat mengambil keputusan yang berkaitan dengan harga maupun produk, tanpa terlebih dahulu mengacu kepada pemimpin pasar.
6.2 Keunggulan Komparatif Komoditas Kopi Arabika Nasional di Pasar Internasional : Analisis Revealed Comparative Advantage (RCA) Keunggulan komparatif Indonesia dalam pasar kopi dunia diukur dengan menggunakan Indeks Revealed Comparative Advantage (RCA). Indeks ini digunakan untuk membandingkan posisi dayasaing Indonesia dengan negara-negara produsen kopi Arabika lainnya. Indeks RCA (lebih dari satu) yang semakin tinggi
menunjukkan bahwa negara tersebut memiliki keunggulan komparatif dalam produk tersebut dan berdayasaing kuat, begitu pula sebaliknya. Negara-negara yang diperbandingkan dengan Indonesia dalam pengukuran indeks RCA kopi Arabika ini adalah Brazil, Colombia, Meksiko, dan Guatemala. Tabel 16 menunjukkan hasil perhitungan Indeks RCA selama periode 1996 – 2006 menunjukkan bahwa Indonesia sebagai salah satu produsen kopi Arabika memiliki keunggulan komparatif terhadap komoditas kopi Arabika. Hal ini dapat dilihat dari nilai RCA Indonesia yang bernilai 2,65 (Indeks RCA Indonesia lebih dari satu). Pada tahun 2006 nilai RCA dari Brazil melebihi Indonesia dengan nilai sebesar 28,49. Begitu juga dengan nilai RCA dari Colombia, mencapai nilai sebesar 89,35 pada tahun yang sama. Nilai RCA terbesar pada tahun 2006 adalah Guatemala dengan nilai sebesar 204,03 sedangkan Meksiko mempunyai nilai RCA yang lebih rendah dari Indonesia yaitu sebesar 1,73 pada tahun yang sama. Jika dilihat dari Tabel 16, indeks RCA yang dimiliki oleh Indonesia sangat rendah bila dibandingkan dengan Brazil, Guatemala, Colombia. Salah satu penyebabnya adalah nilai ekspor kopi Arabika yang dimiliki oleh Indonesia sangat rendah diikuti dengan rendahnya volume ekspor kopi Arabika. Pada tahun 2001 hingga 2006, nilai ekspor kopi Arabika yang dimiliki oleh Indonesia secara berturut-turut adalah sebesar 67.080 US$, 78.247 US$, 58.877 US$, 101.426 US$, 159.497 US$, 188.729 US$. Hal ini sangat jauh berbeda dengan nilai ekspor yang dimiliki oleh Brazil dan Colombia di mana nilai ekspornya dapat mencapai 1-2 juta US$ dengan total nilai ekspor kopi Arabika Brazil dari tahun 19962006 mencapai 20.385.669 US$ sedangkan Colombia memiliki total nilai ekspor
sebesar 14.486.973 US$ yang menyebabkan nilai RCA yang dimiliki oleh Brazil dan Colombia sangat besar. Jika dibandingkan dengan Guatemala, nilai ekspor untuk kopi Arabika negara tersebut mencapai 300.000-500.000 US$. Namun dari analisis RCA, nilai RCA yang dimiliki oleh Guatemala justru paling besar dan pada tahun 2006 mencapai 204,03 walaupun nilai ekspor kopi Arabika negara tersebut kecil. Salah satu penyebabnya adalah perhitungan dayasaing berdasarkan RCA mempunyai kelemahan. Hal ini dikarenakan salah satu pembandingnya adalah pangsa pasar dunia dari komoditi yang diteliti dari negara yang bersangkutan. Pangsa pasar dunia yang besar belum menjamin apakah untuk komoditi tersebut suatu negara mempunyai dayasaing yang tinggi. Lebih jelasnya, bila nilai ekspor komoditi (Arabika) Indonesia sama dengan Brazil, Colombia, Guatemala, dan Meksiko, tetapi nilai total ekspor (Arabika dan lainnya) Indonesia relatif lebih kecil dari Brazil, Colombia, Guatemala, Meksiko, maka nilai RCA Indonesia untuk kopi Arabika menjadi lebih besar. Sebaliknya, jika nilai ekspor kopi Arabika Indonesia sama dengan Brazil, Colombia, Guatemala dan Meksiko, sedangkan total nilai ekspor Indonesia lebih besar dibandingkan keempat negara tersebut di atas, maka nilai RCA kopi Arabika Indonesia lebih kecil dari pada nilai RCA Brazil, Colombia, Guatemala, dan Meksiko untuk komoditi yang sama. Hal inilah yang terjadi pada Guatemala, di mana total nilai ekspor (Arabika dan lainnya) lebih kecil dari keempat negara tersebut di atas. Berbeda dengan yang dialami Indonesia dan Meksiko. Menurut data dari
International Coffee Organization, total nilai ekspor kopi Arabika negara Meksiko mencapai 4.644.009 US$ sedangkan Indonesia memiliki total nilai ekspor kopi
Arabika sebesar 1.111.288 US$ diikuti dengan total nilai ekspor semua komoditi Meksiko dan Indonesia yang sangat besar bila dibandingkan dengan nilai ekspor kopi Arabika di kedua negara tersebut. Akibatnya nilai RCA yang dihasilkan juga rendah. Disamping itu, pangsa pasar (Market Share) kopi Arabika Indonesia hanya berkisar 10-15 persen dari total produksi nasional. Tabel 16. Indeks RCA Penghasil Kopi Arabika Periode 2001 – 2006 No
Negara
Tahun 2001
1 2 3 4 5 Sumber
Indonesia Brazil Meksiko Guatemala Colombia
1,76 29,95 2,24 187,30 93,06
2002
2,28 29,23 1,95 218,43 109,77
2003
1,77 29,79 2,17 206,44 114,19
2004
2,72 30,39 1,86 193,18 99,62
2005
2,60 28,90 1,54 124,01 98,21
2006
2,65 28,49 1,73 204,03 89,35
: United Nations Commodity Trade (COMTRADE) Statistic Database, 2008, http://unstats.un.org/unsd/comtrade, diolah.
6.3 Keunggulan Kompetitif Komoditas Kopi Arabika Nasional : Analisis Teori Berlian Porter (Porter’s Diamond Theory) Teori yang dipergunakan untuk menganalisis faktor-faktor internal serta eksternal dalam industri dan suatu negara adalah Teori Berlian Porter (Porter’s
Diamond Theory). Atribut yang merupakan faktor penentu keunggulan bersaing industri nasional, yaitu kondisi faktor sumberdaya, struktur, dan strategi perusahaan. Keempat atribut tersebut didukung oleh peranan kesempatan dan peranan pemerintah dalam meningkatkan keunggulan dayasaing industri nasional. 6.1.1 Kondisi Faktor Kondisi faktor
sangat berpengaruh terhadap perkebunan kopi Arabika.
Sumberdaya Alam, Sumberdaya Manusia, Sumberdaya Ilmu Pengetahunan dan
Teknologi, Sumberdaya Modal, dan Sumberdaya Infrastruktur merupakan faktorfaktor yang sangat berpengaruh terhadap dayasaing suatu negara. A. Sumberdaya Alam Luas lahan kopi Arabika saat ini mencapai seluas 101.867 hektar dengan kapasitas produksi tahunan sebesar 61.251 ton (Ditjen Perkebunan, 2007). Kopi jenis Arabika hanya ditanam oleh kurang dari 10 persen petani kopi di provinsi Bengkulu, lampung, Sumatera Selatan. Di pasar dunia, harga kopi jenis Arabika lebih tinggi. Dari kopi Robusta. Kopi Arabika umumnya di tanam petani di Aceh, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Bali, dan Nusa Tenggara Timur.
1400000 1200000
1.200.00
Luas Areal
1000000 800000 600000 400000 200000
26.400
26.800
0 Perkebunan Rakyat Perkebunan Negara Perkebunan Swasta Jenis Perkebunan
Gambar 10. Grafik Perkebunan Kopi Indonesia Berdasarkan Kepemilikan Tahun 2006 (ribu ton)10.
Jika dilihat dari kepemilikannya atau pengelolanya, kebun kopi terbesar di Indonesia adalah perkebunan rakyat (PR) dengan luas 1,2 juta hektar atau 95,8 persen dari total areal tanam. Berikutnya adalah perkebunan swasta (PBS) 26.800 hektar
10
www.wartaekonomi.com, diakses 3 November 2007
(2,1%) dan perkebunan negara (PBN) 26,4 hektar (2,1%)11 (Gambar 7). Sebagian besar areal perkebunan itu berlokasi di Provinsi Sumatera Selatan (272.540 hektar) dan Lampung (166.060 hektar). Jika dibandingkan dengan pesaingnya seperti Brazil, lahan kopi Arabika yang dimiliki oleh Indonesia sangat kecil. Brazil sebagai negara produsen kopi Arabika terbesar memiliki kebun kopi yang luas. Hal ini dapat dilihat dari total nilai ekspor kopi Arabikanya yang mencapai 1-2 juta US$ setiap tahunnya dan pangsa pasarnya mencapai lebih dari 40 persen.
Produktivitas (Ton/Ha
0,90 0,80 0,70
2000
0,60
2001
0,50
2002
0,40
2003
0,30
2004
0,20
2005
0,10
2006
0,00 Perkebunan Rakyat
Perkebunan Negara
Perkebunan Swasta
Jenis Perkebunan
Gambar 11. Grafik Produktivitas Perkebunan Kopi Arabika Indonesia Berdasarkan Kepemilikan Tahun 2000-2006 (ton/ha). Sumber: Direktorat Jendral Perkebunan.
Berdasarkan Gambar 11, pada tahun 2000-2006 perkebunan negara mempunyai produktivitas tertinggi selanjutnya perkebunan rakyat. Perkebunan swasta merupakan perkebunan yang mempunyai produktivitas terkecil. Namun perkebunan besar negara mempunyai produktivitas tertinggi karena jenis tanaman yang digunakan merupakan klon-klon unggul dan teknik budidaya 11
www.wartaekonomi.com, diakses 3 November 2007
sudah dikuasai dengan baik (Gambar 8). Berbeda dengan perkebunan rakyat di mana teknologi yang digunakan masih sederhana, tidak tersediahnya klon-klon unggul, serta banyak petani–petani yang masih belum menguasai teknik budidaya yang baik. Perkebunan
rakyat
lebih
unggul
dalam
produktivitas
dibandingkan
perkebunan swasta karena biaya tenaga kerja untuk mengumpulkan panen pada perkebunan rakyat lebih rendah. Hal ini karena perkebunan rakyat umumnya memakai tenaga kerja keluarga. Oleh karena itu, produksi perkebunan rakyat cenderung meningkat sekalipun harga turun, Hal ini dimaksudkan agar penerimaan keluarga tetap sama. Berbeda dengan perkebunan swasta, apabila terjadi penurunan harga kopi maka dampaknya adalah penurunan produksi karena biaya tenaga kerja tergantung pada upah buruh upahan yang tidak sebanding dengan keuntungan yang diperoleh (Spillane dalam Mery, 1990)
B. Sumberdaya Manusia Kopi merupakan bahan minuman tidak saja terkenal di Indonesia tapi juga terkenal di seluruh dunia. Hal ini disebabkan karena kopi, baik yang bentuk bubuk maupun seduhannya memiliki aroma yang khas yang tidak dimiliki oleh bahan minuman lainnya. Lebih dari 80 persen produksi kopi berasal dari perkebunan rakyat. Perkebunan ini merupakan kumpulan dari kebun-kebun kecil yang dimiliki oleh petani dengan luasan antara 1 sampai 2 ha dan menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang cukup banyak. Propinsi Sumatera merupakan sentra produksi kopi yang paling banyak menyerap tenaga kerja petani dengan jumlah tenaga kerja sebanyak 107.534 KK, kemudian Propinsi Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara,
Sulawesi dan Papua secara berturut-turut menyerap tenaga kerja sebanyak 23.580 KK, 685 KK, 49.980 KK, 39.180 KK, 77.160 KK dan 9.755 KK sehingga jumlah petani kopi Arabika nasional pada tahun 2007 sebanyak 307.873 KK (Dirjen Perkebunan, 2006). Petani yang menjadi penghasil kopi rakyat tidak mempunyai modal, teknologi, dan pengetahuan yang cukup untuk mengelola tanaman yang mereka miliki secara optimal. Dengan demikian, produktivitas tanaman relatif rendah dibandingkan dengan potensinya. selain itu, petani umumnya juga belum mampu menghasilkan biji kopi dengan mutu seperti yang dipersyaratkan untuk ekspor. Beberapa faktor penyebabnya adalah minimnya sarana pengolahan, lemahnya pengawasan mutu pada seluruh tahapan proses pengolahan dan sistem tata niaga kopi rakyat yang tidak berorentasi pada mutu. Kriteria mutu kopi yang meliputi aspek fisik, citarasa dan kebersihan serta aspek keregaman dan konsistensi sangat ditentukan oleh perlakuan pada setiap tahapan proses produksinya.
C. Sumberdaya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Biji kopi yang sudah siap diperdagangkan adalah berupa biji kopi kering yang sudah terlepas dari daging buah, kulit tanduk dan kulit arinya, butiran biji kopi yang demikian ini disebut kopi beras (coffea beans) atau market coffea. Kopi beras berasal dari buah kopi basah yang telah mengalami beberapa tingkat proses pengolahan. Secara garis besar dan berdasarkan cara kerjanya, maka terdapat dua cara pengolahan buah kopi basah menjadi kopi beras, yaitu yang disebut pengolahan buah kopi cara basah dan cara kering. Pengolahan buah kopi sccara basah biasa disebut W.I..B.
(West lndische Bereiding)12, sedangkan pengolahan cara kering biasa disebut O.I.B (Ost IndischeBereiding). Perbedaan pokok dari kedua cara tersebut diatas adalah pada cara kering pengupasan daging buah, kulit tanduk dan kulit ari dilakukan setelah kering (kopi gelondong), sedangkan cara basah pengupasan daging buah dilakukan sewaktu masih basah. 1. Metode Pengolahan Kering13 Metode ini sangat sederhana dan sering digunakan untuk kopi robusta dan juga 90 persen kopi arabika di Brazil, buah kopi yang telah dipanen segera dikeringkan terutama buah yang telah matang. Pengeringan buah kopi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu : a. Pengeringan Alami Pengeringan alami yaitu pengeringan dengan menggunakan sinar matahari, caranya sangat sederhana tidak memerlukan peralatan dan biaya yang besar tetapi memerlukan tempat pengeringan yang luas dan waktu pengeringan yang lama karena buah kopi mengandung gula dan pektin. Pengeringan biasanya dilakukan di daerah yang bersih, kering dan permukaan lantai yang rata, dapat berupa lantai plester semen atau tanah telanjang yang telah diratakan dan dibersihkan. Ketebalan pengeringan 3040 mm, terutama pada awal kegiatan pengeringan untuk menghindari terjadinya proses fermentasi. Panas yang timbul pada proses ini akan mengakibatkan perubahan warna dan buah menjadi masak. Pada awal pengeringan, buah kopi yang masih basah harus sering dibalik dengan Blat penggaruk. Jenis mikroorganisme yang dapat 12 13
Ridwansyah S.TP, http://library.usu.ac.id, diakses 24 Februari 2008 idem
berkembang biak pada kulit buah (exocarp) adalah
jamur (fusarium sp,
colletotrichum coffeanum), pada permukaan buah kopi yang terlalu kering (Aspergilus niger, penicillium sp, Rhizopus, sp), serta beberapa jenis ragi dan bakteri yang juga dapat berkembang. Lamanya proses pengeringan tergantung pada cuaca, ukuran buah kopi, tingkat kematangan dan kadar air dalam buah kopi. Biasanya proses pengeringan memakan waktu sekitar 3 sampai 4 minggu. Setelah proses pengeringan Kadar air akan menjadi sekitar 12 persen. Brazil sebagai salah satu pesaing Indonesia lebih banyak menerapkan pengolahan kering dan kualitas kopi yang dihasilkan tetap baik. Berbeda dengan Indonesia yang walaupun teknik pengeringan yang dilakukan sama dengan Brazil tetapi kualitas kopi yang dihasilkan rendah. Hal ini disebabkan petani-petani kopi sering sekali melakukan panen petik hijau dengan alasan desakan kebutuhan ekonomi sehingga kopi yang dihasilkan rendah. b. Pengeringan Buatan (Artificial Drying) Keuntungan pengeringan buatan adalah dapat menghemat biaya dan juga tenaga kerja. Hal yang perlu diperhatikan adalah pengaturan suhunya. Menurut Roelofsen, pengeringan sebaiknya pada suhu rendah yaitu 55°C sehingga
akan
menghasilkan buah kopi yang bewarna merah dan tidak terlalu keras. Untuk buah kopi kering dengan KA rendah, dikeringkan dengan suhu tidak terlalu tinggi sehingga tidak akan terjadi perubahan rasa. Peralatan pengeringan yang biasa digunakan adalah mesin pengering statik dengan alat penggaruk mekanik, mesin pengering dari drum yang berputar, mesin pengering vertikal.
2 Metode Pengolahan Basah Proses Metode Pengolahan basah meliputi penerimaan, pulping,klasifikasi, fermentasi, pencucian, pengeringan, pengawetan dan penyimpanan. a. Penerimaan Hasil panen harus secepat mungkin dipindahkan ke tempat pemerosesan untuk menghindari pemanasan langsung yang dapat menyebabkan kerusakan seperti perubahan warna buah dan buah kopi yang menjadi busuk. Hasil panen dimasukkan ke dalam tangki penerima yang dilengkapi dengan air untuk memindahkan buah kopi yang mengambang, kemudian diproses dengan pengolahan kering, sedangkan buah kopi yang tidak mengambang (non floating) dipindahkan menuju bagian pemecah (pulper). b. Pulping Pulping bertujuan untuk memisahkan kopi dari kulit terluar dan bagian daging dan hasilnya dinamakan pulp. Prinsip kerjanya adalah melepaskan exocarp (kulit buah) dan mesocarp (bagian daging) buah kopi dimana prosesnya dilakukan dilakukan di dalam air mengalir. Proses ini menghasilkan kopi hijau kering dengan jenis yang berbeda-beda. Macam-macam alat pulper yang sering digunakan adalah
Disc Pulper (cakram pemecah), Drum pulper, Raung Pulper, Roller pulper dan Vis pulper. Untuk di Indonesia yang sering digunakan adalah Vis Pulper dan Raung Pulper. Perbedaan pokok kedua alat ini adalah Vis pulper hanya berfungsi sebagai pengupas kulit saja, sehingga hasilnya harus difermentasi dan dicuci lagi sedangkan
Raung pulper berfungsi sebagai pencuci sehingga kopi yang keluar dari mesin ini tidak perlu difermentasi dan dicuci tetapi masuk ke tahap pengeringan.
c. Fermentasi Proses fermentasi bertujuan untuk melepaskan daging buah berlendir (mucilage) yang masih melekat pada kulit tanduk. Tujuannya agar pada proses pencucian akan mudah terlepas sehingga mempermudah proses pengeringan. Pengolahan kopi secara basah ini terbagi 3 cara proses fermentasinya : 1. Pengolahan cara basah tanpa fermentasi Biji kopi yang setelah melalui pencucian pendahuluan dapat langsung dikeringkan. 2. Pengolahan cara basah dengan fermentasi kering Biji kopi setelah pencucian pendahuluan, digundukan dalam bentuk gunungan kecil (kerucut) yang ditutup karung goni. Di dalam gundukan itu segera terjadi proses fermentasi alami. Agar proses fermentasi berlangsung secara merata, maka perlu dilakukan pengadukan dan pengundukan kembali sampai proses fermentasi dianggap selesai yaitu bila lapisan lendir mulai terlepas. 3. Pengolahan cara basah dengan fermentasi basah Setelah melewati proses pencucian, biji tersebut segera ditimbun dan direndam dalam bak fermentasi. Bak fermentasi ini terbuat dari bak plester semen dengan alas miring. Ditengah-tengah dasar dibuat saluran dan ditutup dengan plat yang berlubang-lubang. Proses fermentasi di dalam bak-bak fermentasi tersebut dilakukan bertingkat tingkat serta diselingi oleh pergantian air rendaman. Tingkat perendaman pertama dilakukan selama 10 jam. Proses fermentasi berlangsung selama lebih kurang dari 1,5 sampai 4,5 hari tergantung pada keadaan iklim dan daerahnya. Proses fermentasi yang terlalu lama akan menghasilkan kopi beras
yang berbau apek disebabkan oleh terjadinya pemecahan komponen isi putih lembaga. d. Pencucian Pencucian secara manual dilakukan pada biji kopi dari bak fementasi yang dialirkan dengan air melalui saluran dalam bak pencucian yang segera diaduk dengan tangan atau diinjak-injak dengan kaki. Selama proses ini, air di dalam bak dibiarkan terus mengalir keluar dengan membawa bagian-bagian yang terapung berupa sisa-sisa lapisan lendir yang terlepas. Pencucian biji dengan mesin pencuci dilakukan dengan memasukkan biji kopi tersebut ke dalam suatu mesin pengaduk yang berputar pada sumbu horizontal dan mendorong biji kopi dengan air mengalir. Pengaduk mekanik ini akan memisahkan lapisan lendir yang masih melekat pada biji. Lapisan lendir yang telah terpisah ini akan terbuang lewat aliran air yang seterusnya dibuang. e. Pengeringan Pada tahap pengeringan kopi parchment basah, kadar air berkurang dari 60 persen menjadi 53 persen. Sebagai alternatif, kopi dapat dikeringkan dengan sinar matahari dua atau tiga hari dan sering diaduk. Kadar air dapat mencapai 45 persen. Pengeringan kopi parchment kemudian dilanjutkan di bawah sinar matahari hingga kadar air mencapai 11 persen yang pada akhirnya dapat menjaga stabilitas penyimpanan. Pengeringan biasanya dilakukan dengan menggunakan baki dengan penutupnya yang dapat digunakan sepanjang hari. Rata-rata pengeringan antara 10-15 hari. Pengeringan buatan di mana suhu tidak lebih dari
55°C juga banyak digunakan sejak pengeringan kopi alami menjadi lebih sulit dilakukan pada perkebunan yang lebih luas. f. Curing Proses selanjutnya baik kopi yang diproses secara kering maupun basah ialah curing yang bertujuan untuk menjaga penampilan sehingga baik untuk diekspor maupun diolah kembali. Tahapan proses curing ini meliputi : •
Pengeringan ulang Kopi dari hasil pengolahan basah maupun kering harus dipastikan Kadar Airnya 11 persen. Apabila tidak tercapai harus segera dilakukan pengeringan ulang. Hal ini sangat penting dalam proses penyimpanan.
•
Pembersihan (cleaning) Buah kopi parchment kering yang dikeringkan secara alami banyak mengandung kotoran seperti kerikil, potongan besi, dan benda asing lainnya. Kotoran tersebut harus dihilangkan. Pembersihan dapat dilakukan dengan saringan untuk memindahkan kotoran yang berukuran besar, pemisah magnetik untuk memindahkan potongan baja, serta dengan bantuan hembusan angin untuk pemindahan debu.
•
Hulling Di dalam mesin huller, biji kopi dihimpit dan diremas sehingga kulit tanduk dan kulit arinya akan terlepas. Pecahan kulit tanduk dan kulit ari setelah keluar dari mesin huller tertiup dan terpisah dari biji kopi beras yang akan berjatuhan ke bawah dan masuk ke dalam wadah.
g. Penyimpanan Buah kopi dapat disimpan dalam bentuk buah kopi kering atau buah kopi
parchment kering yang membutuhkan kondisi penyimpanan yang sama yaitu dengan kadar air biji kopi 11 persen dan ruang hampa udara tidak lebih dari 74 persen. Pada kondisi tersebut pertumbuhan jamur (Aspergilus niger, A.
oucharaceous dan Rhizopus sp) akan minimal. Di Indonesia kopi yang sudah di klasifikasi mutunya disimpan di dalam karung goni dan dijahit zigzag mulutnya dengan tali goni selanjutnya disimpan di dalam gudang penyimpanan. Syarat gudang penyimpanan kopi : 1. Gudang mempunyai ventilasi yang cukup. 2. Suhu gudang optimum 20°C-25°C. 3. Gudang harus bersih, bebas dari hama penyakit serta bau asing. 4. Karung ditumpuk di lantai yang diberi alas kayu setinggi 10 cm. Budidaya kopi sebenarnya sudah dilakukan oleh petani sejak jaman penjajahan, tetapi pengelolaannya masih tetap tradisional. Kesalahan yang paling fatal yang umumnya dilakukan petani adalah pada fase pemetikan dan penanganan pasca panen, sehingga menghasilkan kopi mutu rendah. Di hampir semua sentra produksi kopi, petani memetik buah kopi sebelum usia panen (petik hijau) dengan berbagai alasan seperti desakan kebutuhan hidup dan rawan pencurian. Kemudian saat penanganan pasca panen, penjemuran kopi umumnya dilakukan di tepi jalan atau tempat-tempat yang sanitasinya tidak memadai sehingga terkontaminasi berbagai kotoran. Disamping itu, penjemuran yang
dilakukan tidak dapat mencapai kadar air maksimum yang diizinkan yaitu 12,5 persen sehingga biji kopi sering berjamur. Alat pengupas kopi yang digunakan umumnya tidak memenuhi standar, sehingga biji kopi yang dihasilkan banyak yang pecah. Disamping itu, cara dan tempat untuk menyimpan hasil yang tidak memadai menyebabkan meningkatnya kadar kotoran dan kadar air. Akibatnya mutu biji kopi yang dihasilkan petani hanya kopi dengan grade IV. Penanganan pasca panen tersebut sulit diperbaiki karena tidak ada insentif harga. Kopi yang bermutu baik dihargai hampir sama dengan kopi bermutu rendah. Petani merasa lebih untung menghasilkan kopi dengan mutu seadanya tanpa harus mengorbankan waktu dan biaya untuk memperbaiki mutu kopi yang mereka hasilkan. Jadi selama ada pasar yang dapat menyerap produksi mutu rendah, maka sulit mengharapkan petani untuk memperbaiki mutu kopinya. Budidaya kopi Arabika yang pada umumnya terletak di lahan tinggi dengan tingkat kemiringan lereng cukup terjal juga berpengaruh terhadap produksi kopi karena memerlukan input lebih tinggi sehingga dituntut perolehan hasil yang sepadan dengan biaya investasi yang telah dikeluarkan. Selaras dengan upaya peningkatan dayasaing serta untuk meraih nilai tambah dalam budidaya kopi, dewasa ini Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia telah menghasilkan berbagai inovasi teknologi melalui serangkaian hasil penelitian, yaitu penemuan klon unggul kopi Arabika tahan penyakit karat daun, BP 416 A disertai paket teknologi anjuran dalam sistem pengelolaan kebun yang efisien dan ramah lingkungan. Untuk meningkatkan nilai tambah telah diciptakan produk pengolahan hilir kopi Arabika. Inovasi teknologi
tersebut akan disebarluaskan melalui TEMU LAPANG AGROINDUSTRI KOPI yang diselenggarakan di Kebun Percobaan Andungsari, Bondowoso dan Kaliwining, Jember.
C. Sumberdaya Modal Sumberdaya modal merupakan bagian penting dalam industri kopi Arabika Indonesia. Menurut analisa usahatani kopi Arabika, untuk intensifikasi kebun kopi, biaya yang diperlukan adalah pembelian sarana produksi, peralatan pertanian kecil dan biaya tenaga kerja. Bantuan kredit perbankan diberikan untuk pembelian sarana produksi pertanian, peralatan pertanian dan biaya tenaga kerja untuk pemangkasan. Jumlah kebutuhan biaya untuk intensifikasi tersebut dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17. Kebutuhan Dana untuk Intensifikasi Kebun Kopi Arabika Kebutuhan Biaya Sarana Produksi -Pupuk -Pestisida+angkutan Peralatan pertanian Investasi Lainnya Tenaga kerja Jumlah
Nilai (Rp/ha)
668.800 218.250 885.100 88.370 678.400 2.538.920
Sumber Dana (Rp/ha) Perbankan Sendiri 668.800 218.250 885.100 88.370 217.600 2.078.120
0 0 0 0 460.800 460.800
Sumber: www.bi.go.id, diakses 9 april 2008
Biaya yang dikeluarkan pada usahatani kopi Arabika dan kopi Robusta mencakup baiya tenaga kerja dan biaya sarana produksi. Untuk biaya tenaga kerja pada usahatani kopi Arabika dalam luasan satu hektar mencapai 104,02 HOK yaitu sebesar Rp. 1.560.293,55 sedangkan usahatani kopi Robusta sebesar 88,08 HOK
yaitu sebesar
Rp. 1.321.174,80. Perbedaan terjadi karena pemangkasan pada
usahatani kopi Robusta tidak terlalu diperhatikan, di samping itu panen kopi Robusta hanya dilakukan satu kali, sedangkan kopi arabika dapat melakukan panen sampai empat kali dikarenakan memanen kopi gelondong merah. Untuk biaya sarana produksi usahatani kopi arabika sebesar Rp. 1.563.833,81 sedangkan pada usahatani kopi Robusta hanya sebesar Rp. 934.717,21. Perbedaan biaya sarana produksi terjadi pada biaya pupuk yaitu pada usahatani kopi arabika sebesar Rp. 1.431.882,79 (6 truk/ha) sedangkan pada usahatani kopi robusta sebesar Rp. 831.600,00 (4 truk/ha). Tabel 18.Kebutuhan Biaya Kebun Kopi Arabika Kebutuhan Biaya
Nilai (Rp/2ha) Ekstensifikasi Intensifikasi
A. INVESTASI TANAMAN Tahun 0 (TBM 0) Tahun 1 (TBM 1) Tahun 2 (TBM 2) Jumlah Investasi Tanaman
13.667.580 2.664.400 2.509.200 18.841.280
10.160.610 1.998.450 1.881.900 14.040.960
B. INVESTASI NON TANAMAN Total Investasi Tanaman+Non Tanaman Biaya Umum JUMLAH INVESTASI Bunga Masa Konstruksi (IDC)
1.680.800 23.022.080 600.000 20.522.080 6.631.304
1.770.200 15.811.160 176.739 15.987.899 0
JUMLAH KESELURUHAN
27.753.384
15.987.899
Sumber: www.bi.go.id, diakses 9 April 2008
Biaya investasi untuk ekstensifikasi maupun intensifikasi kebun kopi rakyat digunakan untuk biaya investasi tanaman dan non tanaman. Perincian biaya investasi untuk 2 hektar kebun kopi Arabika dapat dilihat pada Tabel 18.
Biaya investasi ekstensifikasi tanaman kopi pada Tahun ke-0 (TBM 0) digunakan untuk pembukaan lahan (land clearing), pembuatan lubang, penanaman tanaman pelindung dan tanaman kopi, serta pembuatan teras sedangkan biaya Tahun Ke-1 (TBM-1) dan ke 2 (TBM-2) digunakan untuk perawatan tanaman, seperti penyulaman, pemupukan dan pencegahan hama dan penyakit. Investasi non tanaman digunakan untuk pembangunan prasarana kebun, seperti jalan kebun, dan juga digunakan untuk pembayaran jaminan kredit. Jaminan kredit tersebut dijaminkan ke perusahaan penjamin kredit seperti Perum PKK14. Selain itu di dalam komponen biaya tersebut juga dimasukkan biaya umum (management fee) yang besarnya maksimum lima persen dan harus jelas perincian penggunaannya. Namum terdapat kesulitan dalam membudidayakan kopi Arabika di Indonesia. Kesulitan tersebut adalah besarnya modal yang dibutuhkan, termasuk untuk biaya perawatan, pemupukan, peremajaan, serta tidak tersedianya varietas yang mampu berdaya hasil tinggi pada kondisi cekaman lingkungan. Selain itu pada usahatani kopi rakyat salah satu faktor rendahnya produksi adalah teknik pengelolaan pertanaman yang masih terbatas seperti aspek kualitas bahan tanam dan teknik budidayanya. Mengenai kesulitan modal yang dialami petani-petani kopi di Indonesia, Indonesia bisa belajar dari keberhasilan Brazil dan Vietnam dalam memperhatikan petani kopi di negara mereka. Pemerintah Brazil membantu para petani dengan memberikan bantuan kredit berbunga rendah, memberikan dana konpensasi pengganti investasi bagi petani yang mengkonversi kopi Robusta ke kopi Arabika, membebaskan petani kopi dari pajak, serta menyediahkan klon-klon unggul kepada 14
www.bi.go.id, diakses 9 April 2008
petani sehingga banyak dari petani Brazil yang mengusahakan kopi Arabika dan mereka merasa
diuntungkan
ditambah lagi dengan kebijakan pemerintah yang
berpihak kepada petani.
D. Sumberdaya Infrastruktur Sarana dan prasarana merupakan salah satu modal bagi kelancaran perekonomian maupun pembangunan terutama dalam peningkatan dayasaing komoditas kopi Arabika Indonesia. Sarana dan prasarana tersebut dapat berupa jalan, transportasi, teknologi pengolahan kopi, pelabuhan, dan telekomunikasi. Sebagai contoh dengan transportasi yang lancar maka hasil dari suatu negara akan dapat dengan mudah dipasarkan. Sarana jalan yang baik dapat meningkatkan mobilitas penduduk dan memperlancar lalu lintas barang dari satu tempat ke tempat lain. Namun sarana dan prasarana yang ada kurang begitu memadai. Sebagaimana diketahui bahwa Produksi kopi di Indonesia saat ini mencapai 600.000 ton per tahun. Lebih dari 80 persen produksi tersebut berasal dari perkebunan rakyat. Petani umumnya belum mampu menghasilkan biji kopi dengan mutu seperti yang dipersyaratkan untuk ekspor. Beberapa faktor penyebabnya adalah minimnya sarana pengolahan, lemahnya pengawasan mutu pada seluruh tahapan proses pengolahan dan sistem tata niaga kopi rakyat yang tidak berorentasi pada mutu. Kriteria mutu kopi yang meliputi aspek fisik, citarasa dan kebersihan serta aspek keragaman dan konsistensi sangat ditentukan oleh perlakuan pada setiap tahapan proses produksinya. Tahapan (aliran) proses dan spesifikasi alat dan mesin produksi yang menjamin
kepastian mutu harus dilakukan secara rutin agar pada saat terjadi penyimpangan mutu, tindakan koreksi yang tepat sasaran dapat segera dilakukan. Dalam hal infrastruktur, Pemerintah Brazil banyak memberian bantuan kepada petani berupa penyediahaan teknologi pengolahan yang mendukung industri pengolahan kopi di negara tesebut sehingga membawa Brazil sebagai negara produsen kopi terbesar. Indonesia sebagai salah satu negara produsen kopi kurang memperhatikan masalah ini. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya petani-petani kopi di Indonesia mempunyai masalah karena teknologi pengolahan yang digunakan masih minim menyebabkan Indonesia mempunyai kopi dengan kualitas rendah dan sangat sulit keluar dari predikat negara pengekspor kopi biji.
6.2.2 Kondisi Permintaan Dengan tingkat perekonomian yang semakin baik dan peningkatan taraf hidup penduduk yang ditandai dengan kenaikan tingkat pendapatan perkapitanya, permintaan kopi juga mengalami kenaikan.
Kondisi Permintaan Domestik Produksi kopi Brasil periode Mei 2007-April 2008 diperkirakan hanya 50 juta bags (sekitar 3 juta ton), atau cenderung stagnan dibandingkan periode yang sama pada tahun 2007 (year on year) yaitu sebanyak 49 juta bags akibat faktor cuaca. Produksi kopi Indonesia juga akan bergerak datar, dimana periode Oktober 2007September 2008 diperkirakan tidak melebihi 450 ribu ton.
Untuk ke depan, berdasarkan keseimbangan pangsa produksi dan konsumsi kopi dunia sampai 2010, Indonesia diperkirakan mengisi pangsa pasar ekspor dunia sebanyak 662,33 ribu ton setelah dikurangi kebutuhan domestik sekitar 30 persen. Dari data ini, Indonesia sangat terbatas mengembangkan tanaman kopi baru, yakni hanya seluas 250 ribu hektar. Pengusaha perkopian menduga bahwa konsumsi kopi domestik
kini
menunjukkan pertumbuhan yang signifikan seiring dengan berkembangnya bisnis rumah kopi (kafe) yang telah memodifikasi cara penyajian minuman kopi. Fenomena tersebut diharapkan mampu mendongkrak kenaikan tingkat konsumsi kopi per kapita yang masih relatif rendah yaitu di bawah 1 kg per kapita/tahun. Dalam 10 tahun terakhir, konsumsi kopi Indonesia hanya meningkat 6 persen, yakni 0,53 kg menjadi 0,56 kg per kapita/tahun. Konsumsi dalam negeri ini saat ini mencapai 250.000 ton.
Kondisi Permintaan Ekspor Perdagangan kopi dunia didominasi oleh kopi Arabika sedangkan kopi robusta hanya menguasai pasar sebesar 30 persen. Harga ekspor kopi arabika pada tahun 2008 diperkirakan meningkat kembali yaitu rata-rata di atas US$3 per kilogram. Asumsi membaiknya harga ekspor kopi itu mengacu pada perkiraan produksi kopi di Brazil dan termasuk Indonesia yang tidak mengalami lonjakan besar di tengah terus meningkatnya permintaan di pasar dunia pada tahun kopi 2008.15 Harga kopi Arabika di pasar lokal sudah berkisar Rp 27. 000 hingga Rp 28.500 per kg. Harga kopi yang terus menguat sebagai akibat dari permintaan yang tinggi menyusul produksi di 15
Suyanto Husein (Ketua AEKI Sumatera Utara). 22 November 2007.
negara produsen khusunya Brazil yang tidak mengalami lonjakan berarti atau di bawah 3 juta metrik ton sedangkan di pasar Internasional harga kopi Arabika masih membaik dengan harga ekspor kopi Arabika di atas 3 US$ per kilogram pada tahun 2008.
Pada tahun 2008 (Oktober 2007 hingga September 2008), produksi kopi
nasional juga tidak jauh dari angka 450 ribuan ton yang juga diakibatkan gangguan cuaca. Di tengah produksi yang tidak mengalami lonjakan berarti, konsumsi kopi dunia semakin meningkat sehingga permintaan naik terus dan mendorong menguatnya harga jual.16 Harga ekspor kopi pada sepanjang tahun 2007, rata-rata US$ 3,2 hingga US$ 3,5 per kilogram, sementara tahun 2006 harga jual masih US$2,8 per kilogram (Rp 25.256/kg). Harga ekspor diperkirakan akan terus membaik.17 Kenaikan harga ekspor tidak selamanya menguntungkan pengusaha dengan alasan harga ekspor yang naik sering mendorong kenaikan harga jual di dalam negeri yang lebih tinggi. Sebagai contoh contoh, harga ekspor kopi di bawah harga beli di dalam negeri adalah sebagai akibat dari lonjakan permintaan eksportir untuk kebutuhan menutupi kontraknya. Ekspor kopi Indonesia pada tahun 2006 diperkirakan turun 21,5 persen atau hanya mencapai 350.000 ton jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai
445.900
ton.
Setiap
tahun
ekspor
kopi
Indonesia
berkisar
300.000―350.000 ton. Pada tahun 2005 ekspor kopi Indonesia begitu melambung. Salah satu penyebabnya adalah memasuki akhir tahun 2004, kalangan pedagang kopi mulai melepas stok, menyusul membaiknya harga kopi di pasar internasional. Puncak
16 17
Suyanto Husein (Ketua AEKI Sumatera Utara), 22 November 2007. TM Razali (Eksportir Kopi Sumatera Utara dan Aceh), 22 November 2007.
pelepasan stok terjadi pada 2005, yang menyebabkan melonjaknya ekspor kopi nasional. Memasuki tahun 2006, stok kopi kembali menipis, sehingga volume ekspor pun menurun. Negara-negara produsen biasanya mengekspor kopi sebagian besar berupa kopi biji, dan sedikit negara termasuk Indonesia yang menjual komoditas ini ke luar negeri sudah berbentuk produk siap saji (soluble), seperti roasted coffee, instant
coffee, serta roasted and ground coffee.18 500000
Ekspor Kopi
450000 400000
2000
350000
2001
300000
2002
250000
2003
200000
2004
150000
2005
100000
2006
50000 0 Tahun
Gambar 12. Grafik Perkembangan Ekspor Kopi Indonesia Tahun 2000-2006 (ribu ton)19. Selama 1999―2006, ekspor kopi Indonesia terus berfluktuasi. Pada tahun 2000 ekspor kopi Indonesia mencapai 340.900 ton, tetapi tahun berikutnya turun menjadi 250.800 ton. Pada tahun 2004 ekspor kembali meningkat menjadi 344.100 ton, dan melonjak mencapai 445.900 ton pada 2005 (Gambar 12).
18 19
http://www.sinar harapan.co.id. diakses 9 April 2008 www.wartaekonomi.com, diakses 3 November 2007
6.3.0
Eksistensi Industri Terkait dan Industri Pendukung Industri pengolahan kopi selama ini sering kali dihadapkan pada beberapa
masalah seperti pasar dunia cenderung lebih banyak mengkonsumsi kopi Arabika dibandingkan kopi Robusta, masih dikenakannya pungutan PPN 10 persen atas perdagangan kopi, rendahnya tingkat konsumsi kopi di dalam negeri, belum dikuasainya teknologi pengolahan (roasting); dan sering anjloknya harga kopi dunia akibat over produksi, khususnya dengan munculnya negara produsen kopi baru. Sasaran pengembangan industri pengolahan kopi adalah industri berskala kecil, menengah dan besar dimana dalam jangka menengah yang ingin dicapai adalah meningkatnya mutu kopi olahan melalui penerapan teknologi roasting yang disertai dengan terbangunnya citra merek Indonesia di pasar internasional. Sasaran lainnya adalah berkembangnya diversifikasi produk kopi olahan, meningkatnya utilisisasi kapasitas industri kopi olahan dari 60 persen menjadi 80 persen (dari 93.000 ton per tahun menjadi 124.000 ton per tahun) dan meningkatnya ekspor dari US$ 15,49 juta (2003) menjadi US$ 19,36 juta (2009). Dalam jangka panjang diharapkan kemampuan industri kopi olahan yang berorientasi ekspor sudah sangat berkembang di mana industri kopi olahan berkembang dari 71 unit menjadi 90 unit, meningkatnya utilisisasi kapasitas dari 80 persen menjadi 90 persen, meningkatnya nilai ekspor menjadi US$ 24,20 juta (tahun 2025). Lokasi pengembangan industri pengolahan kopi antara lain di Sumatera Utara, Lampung, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan dengan sentra produksi yang tersebar di berbagai propinsi sebanyak 32 sentra. Perusahaan yang kini sudah menerjuni industri pengolahan kopi antara lain PT Sari
Incofood Corporation (Sumut), PT Mayora Indah Tbk (Banten), PT Santos Jaya Abadi (Jatim), PT Nestle Indonesia (Jatim) dan PT Aneka Coffee Industry (Jatim). Industri pendukung lainnya adalah industri penangkar benih. Sebagai contoh penangkar benih di Jawa Timur. Dinas Perkebunan Jawa Timur melalui Unit Pelaksana Teknis (UPT) Balai Benih dan Tanaman Perkebunan (BBTP) saat ini mulai mengembangkan bibit unggul bervarietas lokal. Pengembangan bibit unggul itu telah dilakukan di beberapa daerah kabupaten/kota disesuaikan dengan kondisi tanah setempat. Pembenihannya tidak dilakukan di areal sawah petani tetapi melalui mekanisme proses penangkaran yang dilakukan oleh Kebun Bibit Nener (KBN). Dari KBN kemudian ditanggarkan oleh Kebun Bibit Induk (KBI). Selain itu, BBTP juga mengembangkan bibit kopi jenis Arabika. Pengembangannya dilakukan di Kabupaten Probolinggo seluas 5 ha. Dari lahan seluas itu bisa menghasilkan dua ton kopi. Selama ini kopi tersebut sudah berproduksi, namun belum layak dibuat bibit. Untuk pengambilan bibit dibutuhkan waktu dua tahun dari usia kopi. Untuk lahan seluas satu hektar dapat ditanami 1000-1200 pohon. Penanaman kopi ini membutuhkan tanaman barier (tanaman pelindung). Jika tidak ada tanaman barier akan terjadi persilangan antar kopi lain yang menghasilkan mutu buah kurang berkualitas
6.3.1
Persaingan, Struktur, dan Strategi Perusahaan Adanya persaingan yang sangat ketat di antara negara-negara produsen kopi
Arabika membuat suatu negara menciptakan strategi dalam meningkatkan dayasaing produknya. Strategi yang dikembangkan adalah pendekatan sektor berupa diversifikasi produk kopi olahan ekspor dan meningkatnya riset kopi olahan untuk
menghasilkan formula kopi yang diminati masyarakat internasional, serta strategi melalui pendekatan teknologi berupa penguasaan teknologi roasting yang menghasilkan roasted coffee mutu tinggi dan mendorong tumbuhnya modifikasi teknologi pengolahan kopi. Rencana aksi yang dilakukan adalah meningkatkan kemitraan antara industri pengolahan kopi, eksportir dan petani untuk meningkatkan mutu kopi, menghilangkan peraturan perundang-undangan yang menghambat pengembangan kopi, meningkatkan mutu biji kopi dengan mendorong dibangunnya fasilitas unit-unit pengering, pengupas, dan sortasi di sentra-sentra kopi. Selain itu, dilakukan juga upaya peningkatan mutu kopi olahan melalui teknologi roasting dan penggunaan kemasan produk Dalam jangka panjang dilakukan beberapa strategi di antaranya adalah meningkatkan produksi biji kopi khususnya jenis arabika, mengembangkan riset dan teknologi industri pengolahan kopi di samping membangun merek kopi olahan Indonesia di pasar global dan membangun jaringan bisnis dalam skala global.
6.3.2
Peranan Pemerintah Sebelum tahun 1993, Vietnam tidak memiliki perkebunan kopi, tetapi enam
tahun setelah itu, produksi kopi Vietnam justru lebih tinggi dibandingkan Indonesia. Hal itu terjadi karena para petani di Vietnam giat dalam mengolah dan merawat kebun kopi mereka. Berkaca dari keberhasilan petani di Vietnam, para petani dan pengusaha kopi di Indonesia mengambil langkah serupa untuk lebih giat lagi meningkatkan produktivitas tanaman kopinya dan jika melihat trend perdagangan kopi dunia yang
saat ini cenderung didominasi oleh kopi jenis arabika, mereka juga siap mengubah pola tanamnya dari kopi robusta ke arabika. Dalam hal ini pemerintah juga berperan dalam meningkatkan iklim usaha yang mendukung terhadap perkembangan industri kopi nasional karena pemeritah sendiri telah menyatakan bahwa ekspor kopi masih menjadi salah satu andalan devisa negara dari sektor agrobisnis20. Departemen Pertanian juga siap mengupayakan peningkatan produksi kopi dalam negeri, terutama jenis Arabika, dengan menaikkan produktivitas dari 560 kg per hektar (ha) menjadi sekitar 700-800 kg per hektar karena selama ini Indonesia lebih banyak mengembangkan kopi jenis Robusta dengan luas areal mencapai 1,17 juta hektar dan produksi mencapai 596 ribu ton per tahun sedangkan lahan perkebunan kopi jenis Arabika yang banyak diusahakan di dataran tinggi secara nasional hanya seluas 101.867 hektar dengan produksi sekitar 61.251 ton.21 Selain itu Departemen Pertanian mengalokasikan dana APBN sebanyak Rp9,29 miliar untuk rehabilitasi dan peremajaan tanaman kopi seluas 2.828 hektar untuk meningkatkan pengembangan kopi Arabika. Permintaan kopi jenis Arabika di pasar internasional sangat tinggi karena rasanya enak, sementara produksi nasional masih terbatas. Oleh karena itu, produksi kopi jenis Arabika dalam dua tahun ke depan akan ditingkatkan.22 Pemerintah dalam jangka menengah hingga 2010 mengupayakan pencapaian sasaran pengembangan komoditas kopi Arabika seluas 180 ribu hektar. Dengan adanya pengembangan areal itu diharapkan terjadi 20
Nuril Hakim (wakil ketua AEKI). 2008. Indonesia Unggul dalam Ekspor Kopi Arabika. www.kpbptpn.co.id. diakses 9 April 2008. 21 www.antara.co.id, diakses 9 april 2008. 22 Ahmad ManggaBarani (Direktur jendral Perkebunan, Departemen Pertanian). 2008. Indonesia Siap Genjot Produksi Kopi Arabika.www.kapanlagi.com, diakses 9 April 2008.
peningkatan produksi dari 47 ribu ton menjadi 81 ribu ton. Untuk itu pemerintah akan memberikan bantuan benih klon unggul kepada petani. Penggunaan benih unggul diharapkan dapat meningkatkan produktivitas kopi menjadi 900 kg per hektar per tahun dari selama ini hanya sekitar 700 kg per hektar per tahun.23 Upaya meningkatkan produksi kopi arabika tersebut diharapkan mampu menaikkan penyerapan tenaga kerja menjadi 110.000. Selain itu, juga terjadi peningkatan sumbangan terhadap GNP menjadi 0,1 serta menaikkan volume ekspor menjadi 60 ribu ton dan pendapatan petani kopi sebesar US$2.000-3.000. Selain produksi, upaya menggenjot ekspor kopi Arabika juga dilakukan melalui peningkatan nilai tambah melalui perbaikan pengolahan hasil dengan target 90 persen ekspor nasional berupa kopi Arabika spesial olah basah sedangkan untuk mendongkrak pasar dalam negeri dilakukan dengan mendorong peningkatan konsumsi kopi masyarakat menjadi 1000 gram per kapita per tahun. Sasaran yang akan dicapai dalam pengembangan agribisnis kopi Arabika sampai tahun 2025 yaitu meningkatkan luas areal menjadi 236 ribu hektar dan produksi dari 81 ribu ton menjadi 193.000 ton serta produktivitas tanaman kopi menjadi 1.200 kg per hektar per tahun. Pada tahun 2025 sumbangan agribinis kopi arabika terhadap GNP diharapkan naik dari 0,10 persen menjadi 0,2 persen, peningkatan konsumsi kopi menjadi 1.200 gram per kapita per tahun sedangkan pendapatan petani kopi ditargetkan meningkat menjadi US$3.000
23
Ahmad Manggabarani (Direktur Jendral Perkebunan, Departemen Pertanian).2008. Indonesia Siap Genjot Produksi Kopi Arabika. www.kapanlagi.com, diakses 9 April 2008.
serta peningkatan nilai tambah melalui perbaikan mutu dengan sasaran ekspor 90 persen olah basah mutu satu dan dua.24 Indonesia sebagai negara pesaing Vietnam memiliki kebun tidak lebih baik dari Vietnam karena tanaman kopi umumnya berumur tua, kebun tidak terawat dan produktivitas sangat rendah. Produktivitas kebun kopi petani Indonesia kurang dari seperlima produktivitas kebun kopi petani Vietnam yang besarnya mencapai 3-4 ton per hektar. Oleh karena itu para pengambil kebijakan, khusus pemerintah daerah di sentra produksi kopi selayaknya mengambil langkah-langkah yang lebih intensif untuk membantu petani kopinya. Berbagai langkah atau kebijakan yang dapat diambil antara lain memberikan bantuan kepada petani untuk merehabilitasi kebun kopi, menyediakan dana kredit berbunga rendah dan menghapuskan kebijakan yang terkait dengan bentuk pungutan, baik pajak maupun retribusi bagi pelaku bisnis kopi karena Pungutan Ekspor (PE) merupakan bentuk inkonsistensi kebijakan pemerintah dalam pemulihan ekonomi. Hal ini menunjukkan ketidakjelasan kebijakan strategi kompetisi dan industrialisasi. Apabila PE diberlakukan baik untuk sebagian maupun seluruh produk, maka produk ekspor Indonesia akan kehilangan dayasaingnya, sehingga target ekspor menjadi sulit tercapai. Bantuan pemerintah sangat dibutuhkan petani kopi Indonesia. Tanpa bantuan yang memadai, maka upaya Pemerintah Pusat dan AEKI menjalin kerjasama dengan Pemerintah Vietnam untuk menaikan harga kopi menjadi sia-sia. Tugas utama yang sedang dihadapi oleh pelaku bisnis kopi Indonesia adalah perbaikan mutu kopi. Selain itu, ada tugas tambahan dari Badan Kopi Dunia
24
Riski Muis (Direktur tanaman rempah dan penyegar). 2008. www.kapanlagi.com, diakses 9 April 2008.
(ICO) yang dibahas dalam sidang ICO ke-88 pada akhir Januari 2003 yaitu peningkatan konsumsi kopi domestik negara-negara produsen kopi dunia. Dengan dua tugas utama tersebut maka dapat dikemukakan beberapa butir kegiatan yang seharusnya dilakukan oleh semua pihak yang terkait dengan masa depan perkopian nasional Indonesia antara lain: a. Peningkatan lobi Pemerintah dan Asosiasi Komoditi melakukan lobi kepada semua pihak yang terkait dengan upaya peningkatan mutu, baik antar negara (produsen dan konsumen) maupun pelaku bisnis (pedagang, eksportir dan prosesor). Yang menjadi isu utama dalam lobi adalah tahapan atau jangka waktu perbaikan mutu dan pemberian harga yang berbeda nyata antar mutu produk yang dihasilkan. b. Perluasan Demplot Pemerintah dan Asosiasi Komoditi diharapkan dapat memberikan bantuan peralatan atau tenaga pembina untuk melakukan perbaikan mutu kopi khususnya di sentra-sentra produksi kopi. Dalam melakukan pembinaan petani, penerapan kaidah-kaidah good agriculture process dan good manufacturing process menjadi prioritas. c. Standardisasi Pemerintah dan Asosiasi Komoditi diharapkan dapat memprakarsai harmonisasi standar mutu kopi Indonesia dengan standar mutu kopi dunia.
d. Peningkatan Promosi Pemerintah dan Asosiasi Komoditi diharapkan terus melanjutkan upaya promosi untuk meningkatkan konsumsi dalam negeri, karena konsumsi kopi nasional tergolong sangat rendah. e. Program Kerja Kelompok atau Panitia Pengarah Nasional yang telah terbentuk sebaiknya mulai melakukan penyusunan program kerja yang dapat mensinergiskan berbagai kegiatan yang dilakukan oleh Asosiasi Komoditi, Tim Pembina Perkopian Daerah, Pusat Penelitian Kopi dan Kakao, serta ICO.25 Dalam Hal ini pemerintah sendiri siap menerbitkan kebijakan investasi yang mendukung pengembangan sarana dan prasarana berupa jalan, jembatan, pelabuhan, alat transportasi, komunikasi dan sumber energi. Selain itu juga diperlukan dukungan penyediaan pembiayaan untuk pengembangan kopi baik dari lembaga perbankan maupun non bank Berdasarkan hal di atas, maka pemerintah juga harus memperhatikan potensi besar dari kopi Arabika mengingat sumbangsihnya yang cukup besar. Perhatian ini bisa berupa kebijakan tentang kemudahan dalam sarana dan prasarana produksi, pengadaan pupuk dan obat, pengadaan bibit unggul maupun dalam bentuk penyuluhan pertanian yang lebih intensif.26 6.1.4 Peranan Kesempatan Untuk negara-negara tujuan ekspor, Amerika Serikat masih yang terbesar. Pada tahun 2005, negara adikuasa itu mengimpor 84.420 ton kopi dari Indonesia, atau
25 26
Perbaikan Mutu Kopi Tidak Bisa Ditunda. 2007. www.ipard.com, diakses 10 April 2008. Indonesia Genjot Kopi Arabika. 2008. www.antara.com, diakses 7 Maret 2008.
18,9 persen dari seluruh total ekspor. Berikutnya adalah Jerman dengan 78.750 ton (17,7%), Jepang 49.930 ton (11,2%), dan Italia 30.500 ton (6,8%) (Gambar 13). Pasar Amerika Serikat, Jerman, Jepang dan Singapura merupakan pasar yang prospektif untuk meningkatkan volume ekpor kopi robusta, sedangkan Italia merupakan pasar yang dapat meningkatkan ekspor kopi arabika.27
90000
84420
Volume Ekspor (Ton
80000
78750
70000 60000
49930
50000 40000
30500
30000
22000
20000
18000
16440
India
Inggris
10000 0 Amerika Serikat
Jerman
Jepang
Italia
Algeria
Negara
Gambar 13. Grafik Ekspor Kopi Indonesia ke Beberapa Negara Tujuan Utama Tahun 2005 (juta kilogram)28.
Sejak tahun 1984 ekspor kopi Indonesia menduduki nomor tiga tertinggi setelah Brazilia dan Kolombia. Tahun 1997, Vietnam berhasil menggeser posisi Indonesia menjadi peringkat keempat. Pergeseran ini terjadi karena persaingan ketat antar produsen kopi dan kelengahan Indonesia dalam mengamati posisinya di pasar kopi internasional. Peningkatan posisi Vietnam didukung produktivitas kopi yang 27
Reni Kustiarti. Analisis Ekonomi Tentang Posisi dan Prospek Kopi Indonesia di Pasar Internasional,diakses 2 november 2007 28 www.wartaekonomi.com, diakses 3 November 2007.
tinggi yakni 3.5 ton per hektar, sementara Indonesia hanya sekitar 900 kilogram per hektar.
VII. KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan Dari hasil analisis yang telah dilakukan mengenai dayasaing industri kopi Arabika Indonesia di pasar Internasional, maka dapat diambil beberapa kesimpulan, yaitu: 1.
Apabila dilihat dari antar negara, maka pasar internasional kopi Arabika antar negara mengarah ke bentuk oligopoli. Hal ini ditunjukkan dengan nilai rata-rata
Herfindahl Index sebesar 0,15 dan CR4 sebesar 64 persen dari tahun 1996-2006. 2.
Berdasarkan hasil analisis nilai RCA, Indonesia memiliki keunggulan komparatif dalam perdagangan kopi Arabika di pasar internasional. Hal ini ditunjukkan melalui perhitungan nilai Revealed Comparative Advantage yang lebih dari satu. Pada tahun 2006, nilai RCA Indonesia sebesar 2,65. Namun Keunggulan komparatif yang dimiliki oleh Indonesia masih rendah dibandingkan dengan negara Brazil, Kolombia, dan Guatemala.
3.
Keunggulan kompetitif industri kopi Arabika nasional masih lemah dan harus dibenahi. Hal ini dapat dilihat melalui lahan yang hanya seluas 101.867 hektar sehingga sulit untuk meningkatkan produksi dalam negeri. Jika dibandingkan dengan kopi Robusta, lahan yang tersediah mencapai 1,17 juta ha dan produksi mencapai 596 ribu ton dan sangat kecil bila dibandingkan dengan luas lahan yang dimiliki kopi Arabika sehingga menyebabkan kopi Arabika tidak dapat mendorong peningkatan produksi domestik dan menyebabkan dayasaingnya di
pasar internasional menjadi lemah jika dilihat dari ketersediahaan lahan yang kurang mendukung. Pada faktor sumberdaya modal, sudah terdapat bantuan kredit perbankan yang membantu industri kopi Arabika untuk pembelian sarana produksi pertanian, peralatan pertanian dan biaya tenaga kerja untuk pemangkasan. Sumberdaya infrastruktur dan IPTEK masih kurang memadai. Hal ini dapat dilihat dari para petani yang umumnya belum mampu menghasilkan biji kopi dengan mutu seperti yang dipersyaratkan untuk ekspor. Salah satu faktor penyebabnya adalah minimnya sarana pengolahan dan keterbatasan teknologi untuk menghasilkan produk olahan karena alat pengupas kopi yang digunakan umumnya tidak memenuhi standar sehingga biji kopi yang dihasilkan banyak yang pecah. Sumberdaya manusia sudah memadai karena sudah terdapat banyak petani kopi di Indonesia terutama pada perkebunan rakyat yang lahannya banyak diusahakan oleh petani. Namun hal yang menjadi kelemahan pada faktor sumberdaya adalah tingkat pendidikan petani kopi yang tergolong rendah.
7.2 Saran Beberapa saran yang dapat diberikan dari hasil analisis dayasaing industri kopi Arabika Indonesia di pasar Internasional, yaitu: 1. Meningkatkan keunggulan kompetitif kopi Arabika Nasional melalui perbaikan teknik budidaya, penyediahaan modal, dan pengadaan infrastruktur yang mendukung terhadap indutri kopi Arabika Nasional sehingga dapat menghasilkan kopi yang berkualitas dan mampu bersaing dengan negara-negara produsen kopi Arabika di dunia.
2. Pemerintah harus memperhatikan potensi besar dari kopi Arabika mengingat peranannya yang cukup besar dalam perekonomian. Perhatian ini bisa berupa kebijakan tentang kemudahan dalam sarana dan prasarana produksi, pengadaan pupuk dan obat, pengadaan bibit unggul maupun dalam bentuk penyuluhan pertanian yang lebih intensif khususnya di sentra-sentra produksi kopi. 3. Pemerintah dan Asosiasi komoditi diharapkan dapat memberikan bantuan peralatan dan pengolahan kopi diikuti dengan penyediahaan tenaga pembina kepada petani dalam penggunaan peralatan tersebut, pemakaian bibit unggul, perbaikan teknik budidaya khususnya di sentara-sentra produksi kopi.
DAFTAR PUSTAKA Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia.1989. Statistik Kopi 1989. Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia. Jakarta. Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia.1990. Statistik Kopi 1990. Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia. Jakarta. Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia.1992. Statistik Kopi 1991. Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia. Jakarta. Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia.1995. Statistik Kopi 1993 & 1994. Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia. Jakarta. Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia.1997. Statistik Kopi 1994 & 1997. Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia. Jakarta. Asosiasi Penelitian dan Pengembangan Perkebunan Indonesia. 1995. Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia Vol 11 No.3. Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia.1999. Statistik Kopi 1997-1999. Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia. Jakarta. Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia.2004. Statistik Kopi 2000-2003. Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia. Jakarta. Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia.2006. Statistik Kopi 2003-2005. Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia. Jakarta Badan Pusat Statistik. 2007. www.bps.go.id. diakses 3 November. Desianti, L.C. 2002. Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Profitabilitas dan Dayasaing Kopi Robusta Indonesia. Tesis. Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Direktorat Jendral Perkebunan Departemen Pertanian. 2007. www.deptan.go.id, diakses 3 November. International Coffee Organization.2007. www.ico.org, diakses 3 November. Jati, Y.P. 2006. Analisis Nilai Tambah dan Stategi Pemasaran Kopi Bubuk Arabika. Skripsi. Program Sarjana Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Jaya, W.K. Mei 2001. Ekonomi Industri. Edisi ke-2. BPFE Yogyakarta. Kanisius, A.G. 1974. Bercocok Tanam Kopi. Kanisius (anggota IKAPI). Yogyakarta. Kustiarti, R. 2007. Analisi Ekonomi tentang Posisi dan Prospek Kopi Indonesia di Pasar Internasional. Disertasi. Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Lipsey. 1995. Pengantar Mikroekonomi Jilid 1. Edisi ke-10. Binarupa Aksara. Jakarta. Lubis, S.N. 2002. Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap Keragaan Industri Kopi Indonesia dan Perdagangan Kopi Dunia. Disertasi. Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Mankiw, N.G. 2000. Teori Makroekonomi. Harvard University. Edisi ke-4. Erlangga. Jakarta.
Meryana, E. 2007. Analisis Dayasaing Kopi Robusta Indonesia di Pasar Internasional. Skripsi. Program Sarjana Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Nicholson, W. 2002. Mikroekonomi Intermediate & Aplikasinya. Amherst College. Edisi ke-8. Erlangga. Jakarta. Noviani, I. 2002. Analisis Industri dan Prospek Perdagangan Kontrak Berjangka Kopi Robusta di Bursa Berjangka Komoditi Indonesia. Skripsi. Jurusan Ilmu- ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Pelita Perkebunan. 1993. Jurnal Pusat Penelitian Kopi dan Kakao. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia Vol 9 No.3. Pelita Perkebunan. 1993. Jurnal Pusat Penelitian Kopi dan Kakao. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia Vol 9 No.3. Pelita Perkebunan. 1995. Jurnal Pusat Penelitian Kopi dan Kakao. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia Vol 19 No.4. Pelita Perkebunan. 1996. Jurnal Pusat Penelitian Kopi dan Kakao. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia Vol 12 No.1. Porter, M.E. 1998. The Competitive Advantage of Nations. Macmilan Press Ltd. London. Salvatore. 1997. Ekonomi Internasional. Edisi ke-5. Erlangga. Jakarta. Sallatu, I.A. 2006. Analisis Pangsa Pasar dan Tataniaga Kopi Arabika. Tesis, Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sambudi, S. 2005. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi dan Ekspor Kopi Arabika Indonesia. Skripsi. Jurusan Ilmu- ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Saragih, I.K. 2007. Analisis Pendapatan Usahatani dan Pemasaran Kopi Arabika dan Kopi Robusta. Skripsi. Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Silalahi, B.G.S. 2007. Dayasaing Komoditas Pisang dan Nenas Indonesia di Pasar Internasional. Skripsi. Program Sarjana Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tambunan, Tulus. Maret 2003. Perkembangan Sektor Pertanian Di Indonesia. Edisi ke-1. Ghalia Indonesia. Tarsono. 2006. Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Dayasaing Industri Gula. Skripsi. Program Sarjana Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tatakomara, Edwin. 2005.Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ekspor Komoditi Teh Indonesia serta Dayasaing Komoditi Teh di Pasar Internasional. Skripsi. Jurusan Ilmu- ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Turnip, C.E. 2002. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penawaran Ekspor dan Aliran Perdagangan Kopi Indonesia. Skripsi. Jurusan Ilmu- ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
United Nations Commodity Trade (COMTRADE) Statistic Database, 2008, http://unstats.un.org/unsd/comtrade, Yuniarsih, Y. 2002. Analisis Industri dan Strategi Peningkatan Dayasaing Industri Kakao Indonesia. Skripsi. Jurusan Ilmu- ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.