III. DAYASAING MINYAK PALA
3.1. Konsep Dayasaing Dayasaing merupakan kemampuan produsen untuk memproduksi suatu komoditas dengan mutu yang cukup baik dan biaya produksi yang cukup rendah dibanding produsen lain sehingga produsen memperoleh laba yang mencukupi dan dapat mempertahankan kelanjutan biaya produksinya (Simanjuntak 1992). Menurut Salvatore (1997) menyatakan bahwa dayasaing komoditas tercermin dari harga jual yang bersaing dan mutu yang baik. Dayasaing adalah keunggulan dari suatu perusahaan atau industri dalam menghadapi pesaingnya di pasar domestik atau internasional. Dayasaing
(competitiveness)
seringkali
dinyatakan
dalam
bentuk
keunggulan komparatif maupun keunggulan kompetitif. Suatu komoditi dianggap menguntungkan untuk diproduksi atau diusahakan dan dapat bersaing di pasar internasional apabila komoditi tersebut mempunyai keunggulan komparatif maupun keunggulan kompetitif. Keunggulan komparatif maupun kompetitif suatu aktivitas ekonomi dari suatu negara atau daerah menunjukkan keunggulan baik dalam potensi sumberdaya alam, penggunaan teknologi maupun kemampuan manajerial dalam aktivitas yang bersangkutan (Sudaryanto et al. 1993). Byerlee (1989) dalam Andriani (1999) menyatakan bahwa keunggulan komparatif
menggambarkan
efisiensi
penggunaan
sumberdaya
untuk
memproduksi suatu produk tertentu yang diukur pada kondisi perdagangan internasional. Komoditas yang memiliki keunggulan komparatif dikatakan juga memiliki efisiensi secara ekonomi. Keunggulan komparatif bersifat dinamis artinya suatu negara yang memiliki keunggulan komparatif disektor tertentu secara potensial harus mampu mempertahankan dan bersaing dengan negara lain. Keunggulan
komparatif
berubah
karena
faktor
yang
mempengaruhinya.
Soydlowsky (1984) dalam Saptana et al. (2001) menyatakan bahwa faktor-faktor yang berubah terkait dengan keunggulan komparatif adalah ekonomi dunia, lingkungan domestik dan teknologi. Menurut Simatupang (1991) serta Sudaryanto dan Simatupang (1993), konsep keunggulan komparatif merupakan ukuran
dayasaing (keunggulan) potensial dalam arti dayasaing akan dicapai apabila perekonomian tidak mengalami distorsi sama sekali. Asumsi perekonomian yang tidak mengalami hambatan atau distorsi sama sekali sulit ditemukan dalam dunia nyata, khususnya di Indonesia sebagai negara yang berkembang. Oleh karena itu, keunggulan komparatif tidak dapat digunakan sebagai indikator untuk mengukur keuntungan suatu aktivitas ekonomi dari sudut pandang badan atau orang-orang yang berkepentingan langsung dengan suatu proyek. Konsep yang lebih cocok untuk mengukur kelayakan secara finansial adalah keunggulan kompetitif. Konsep keunggulan kompetitif dikembangkan pertama kali oleh Porter pada tahun 1980 dengan bertitik tolak dari kenyataan bahwa keunggulan perdagangan antara negara dengan negara didalam perdagangan internasional secara spesifik untuk produk-produk tertentu sebenarnya tidak ada. Fakta yang ada adalah persaingan antara kelompok-kelompok kecil industri di satu negara dengan negara lainnya, bahkan antara kelompok industri yang ada dalam satu negara. Oleh karenanya, keunggulan kompetitif dapat dicapai di suatu negara dengan meningkatkan produktivitas penggunaan sumberdaya-sumberdaya yang ada (Warr 1994, diacu dalam Novianti 1995). Keunggulan kompetitif adalah alat untuk mengukur kelayakan suatu aktivitas atau keuntungan privat yang dihitung berdasarkan harga pasar dan nilai tukar resmi yang berlaku (analisis finansial). Selanjutnya menurut Warr (1994) dalam Novianti (1995), keunggulan komparatif merupakan suatu ukuran dayasaing yang relevan bagi suatu negara sedangkan keunggulan kompetitif untuk suatu perusahaan atau individu. Menurut Kasryno dan Simatupang (1990) analisis keunggulan komparatif maupun kompetitif dapat mencakup tiga orientasi perdagangan yaitu (1) substitusi impor; manfaat yang diperoleh berupa penghematan devisa negara akibat berkurangnya impor, (2) perdagangan antar daerah; manfaat yang diperoleh berupa penghematan devisa negara karena impor dari luar negeri digantikan oleh perdagangan antar daerah (3) promosi ekspor; manfaat yang diperoleh berupa nilai devisa dari hasil produksi yang di ekspor.
16
Dayasaing internasional dari sebuah industri nasional didefinisikan dengan industri tersebut memiliki posisi pasar yang superior melalui laba yang tinggi dan pertumbuhan yang konstan dibandingkan dengan pesaingnya (Cho dan Moon 2003). Kesalahan konsep dalam dayasaing internasional adalah membagi dayasaing internasional menjadi dua golongan yaitu dayasaing harga (seperti upah minimal, tingkat kurs, produktivitas tenaga kerja dan dayasaing bukan harga (seperti kualitas, pemasaran, jasa dan diferensiasi pasar) (Francis dan Tharakan dalam Cho dan Moon, 2003).
3.2. Indikator Dayasaing Salah
satu
cara
untuk
mengukur
keunggulan
komparatif
adalah
menggunakan indeks RCA (Revealed Comparative Advantage). Indeks RCA merupakan alat yang digunakan untuk mengevaluasi spesialisasi ekspor yang pada akhirnya dapat menjadi indikator dayasaing ekspor (Yamazawa dan Ukuda 1994, dalam Intal 1996). Apabila indeks RCA lebih besar atau kurang dari 1 mengindikasikan adanya keunggulan atau kelemahan dalam dayasaing komparatif yang pada akhirnya akan meningkatkan (menurunkan) dayasaing internasional. Peningkatan atau penurunan nilai indeks RCA dari waktu ke waktu mengindikasikan peningkatan atau penurunan dayasaing komparatif, yang pada akhirnya akan meningkatkan atau menurunkan tingkat dayasaing internasional. RCA diformulasikan sebagai berikut:
X ij RCA =
X wj
X i ........................................................................
(1)
Xw Dimana: X = ekspor, j = komoditi ke-j, i = negara ke-i, w = dunia.
Menurut Intal 1996, ada tiga tipe dayasaing yaitu dayasaing internasional, dayasaing domestik dan dayasaing komparatif. Dayasaing internasional adalah biaya unit untuk ekspor (unit cost on export/uce) : Uce = Puc/Pw = TC/PWQ .........................................................
(2)
Dayasaing domestik adalah biaya unit pada penjualan domestik (unit cost on domestic sels/ucd):
17
Ucd = Puc/Pd = TC/PdQ ...........................................................
(3)
Dayasaing komparatif adalah biaya unit pada harga bayangan (unit cost on shadow prices/ ucs): Ucs = Pucs/Pws=TCS/PwsQ ......................................................
(4)
Dimana: Puc = unit biaya fisik (= TC/Q) Pucs = unit biaya fisik pada harga bayangan (= TCS/Q) Pw = harga dunia Pd = harga domestik (yang diproteksi) Pws = harga dunia bayangan TC = biaya total TCS = biaya total pada harga bayangan Q = jumlah yang diproduksi Perbedaan antara biaya total dan biaya total bayangan adalah umlah j dari semua biaya tambahan pada harga yang dipengaruhi oleh distorsi pasar. Suatu produk dikatakan berdayasaing atau mempunyai keunggulan komparatif jika nilai Uce, Ucd atau Ucs lebih kecil dari 1.
3.3. Faktor Penentu Dayasaing Menurut Porter (1990), teori perdagangan klasik yang berdasarkan pada keunggulan komparatif tidak menjelaskan secara memuaskan pola perdagangan negara miskin sumberdaya. Berdasarkan hal tersebut Porter menyusun model dayasaing internasional dalam bentuk model “Diamond Porter”. Ada empat katagori atribut yang merupakan faktor penentu keunggulan bersaing industri nasional yaitu faktor sumberdaya (factor conditions), permintaan (demand conditions), industri pendukung dan terkait (related and supporting industries), struktur perusahaan dan persaingan (structure of firms and rivalry). Keempat atribut tersebut didukung oleh peranan kesempatan (chance) dan peranan pemerintah (Goverment) dalam meningkatkan dayasaing industri nasional dan secara bersama-sama membentuk suatu sistem yang dikenal dengan the national ”diamond” (Gambar 3).
18
Government Structure of Firms and Rivalry
Factor Conditions
Demand Conditions
Related and Supporting Industries Chance
Gambar 3. “The National Diamond System” (Porter,1990)
Masing-masing elemen dalam model diamond Porter dijabarkan lebih lanjut sebagai berikut: (i) Faktor Sumberdaya a. Sumberdaya Manusia (jumlah tenaga kerja yang tersedia, kemampuan manajerial dan keterampilan yang dimiliki, biaya tenaga kerja yang berlaku (tingkat upah) dan etika kerja (termasuk moral). b. Sumberdaya Fisik atau Alam (biaya, aksesibilitas, mutu dan ukuran lahan, kondisi cuaca dan iklim, luas wilayah geografis, kondisi topografis dan lainlain). c. Sumberdaya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) antara lain terdiri dari ketersediaan pengetahuan pasar, pengetahuan teknis dan pengetahuan ilmiah yang menunjang dan diperlukan dalam memproduksi barang dan jasa, asosiasi pengusaha, asosiasi perdagangan. d. Sumberdaya Modal antara lain suku bunga yang tersedia, jenis pembiayaan (sumber
modal),
aksesibilitas
terhadap
pembiayaan,
kondisi
lembaga
pembiayaan dan perbankan, tingkat tabungan masyarakat, peraturan keuangan, kondisi moneter dan fiskal serta peraturan moneter dan fiskal.
19
e. Sumberdaya infrastruktur antara lain ketersediaan jenis, mutu dan biaya penggunaan infrastruktur yang mempengaruhi persaingan. (ii) Kondisi permintaan Terdiri dari komposisi permintaan domestik, jumlah permintaan dan pola pertumbuhan dan permintaan domestik internasional. (iii) Industri Pendukung dan Industri Terkait Terdiri atas industri kemasan, alat/mesin pengolahan, jasa trasnportasi dan lainlain. (iv) Persaingan, Struktur dan Strategi Perusahaan Tingkat persaingan dalam industri merupakan salah satu faktor pendorong bagi perusahaan yang berkompetisi untuk terus melakukan inovasi. Struktur industri dan struktur perusahaan juga menentukan dayasaing yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan yang tercakup dalam industri tersebut. Struktur industri yang monopolistik kurang memiliki daya dorong untuk melakukan perbaikanperbaikan serta inovasi-inovasi baru dibandingkan dengan struktur industri yang bersaing. (v) Peran kesempatan Merupakan faktor yang berada diluar kendali perusahaan dan atau pemerintah, tetapi dapat meningkatkan dayasaing global industri nasional. Beberapa keuntungan yang dapat mempengaruhi naiknya dayasaing global industri nasional adalah adanya penemuan baru yang murni, biaya perusahaan yang tidak berlanjut (misalnya terjadi perubahan harga minyak atau depresiasi mata uang), meningkatnya permintaan produk industri yang bersangkutan lebih tinggi dari peningkatan pasokan, politik yang diambil oleh negara lain serta berbagai faktor kesempatan lainnya. (vi) Peran pemerintah Sebenarnya tidak berpengaruh langsung terhadap peningkatan dayasaing global, tetapi berpengaruh terhadap faktor-faktor penentu dayasaing global. Pemerintah
20
dapat mempengaruhi aksesibilitas pelaku-pelaku industri terhadap berbagai sumberdaya melalui kebijakan-kebijakannya, seperti sumberdaya alam, tenaga kerja, pembentukan modal, sumberdaya teknologi dan ilmu pengetahuan serta sumberdaya informasi. Pemerintah juga dapat mendorong peningkatan dayasaing melalui penetapan standar upah tenaga kerja minimum dan berbagai kebijakan terkait lainnya. Model Diamond Porter ini dapat digunakan untuk menganalisis pengaruh terhadap model yang lain seperti analisis menggunakan SWOT, PEST atau ISM. Lebih jauh model ini dapat pula dikembangkan untuk analisis dayasaing yang rumit yang digunakan pada saat menyusun strategi, rencana dan keputusan membuat investasi tentang bisnis dan organisasi. Intal (1996) dalam Munandar, 2001 menyusun formulasi strategi dayasaing Philipina untuk komoditas agroindustri didasarkan pada konsep ”dayasaing berlian Porter”. ”Berlian” terdiri dari dua bagian yaitu bagian dalam dan luar. ”Berlian” bagian dalam terdiri atas produktivitas (alokasi sumberdaya yang efisien), efikasi (rendahnya biaya traksaksi untuk melakukan usaha), inovasi dan nilai (akses teknologi dan etos kerja) sedangkan berlian bagian luar terdiri atas faktor kondisi (misalnya kuantitas, kualitas, pertumbuhan), teknologi (tingkat alih teknologi, adaptasi, penyerapan teknologi), kebijakan (makroekonomi dan sektoral) dan lembaga/industri pendukung (industri terkait dan infrastruktur). Intal 1996 juga menyatakan, faktor yang mempengaruhi dayasaing internasional dalam hubungannya dengan interdependensi makroekonomik, yaitu nilai tukar, produktivitas industri dan produktivitas pertanian (bahan baku untuk agroindustri) sedangkan faktor utama
yang mempengaruhi keunggulan komparatif yait u
sumberdaya (manusia dan fisik) dan tingkat perubahan teknologi. Faktor pemicu dayasaing terdiri atas teknologi, produktivitas, harga dan biaya input, struktur industri serta kuantitas permintaan domestik dan ekspor. Faktor-faktor ini dapat dibedakan atas (1) faktor yang dapat dikendalikan oleh unit usaha seperti strategi produk, teknologi, pelatihan, biaya riset, pengembangan; (2) faktor yang dapat dikendalikan oleh pemerintah seperti lingkungan bisnis (pajak, suku bunga, nilai tukar rupiah), kebijakan perdagangan, riset, pengembangan, pendidikan, pelatihan dan regulasi; (3) faktor yang semi terkendali seperti
21
kebijakan harga input dan kuantitas permintaan domestik, dan; (4) faktor yang tidak dapat dikendalikan seperti lingkungan alam (Munandar 2001).
3.4.
Dayasaing Minyak Pala Indonesia di Pasar Internasional Berdasarkan persamaan indeks RCA (persamaan 1), keunggulan komparatif
untuk sepuluh negara eksportir minyak atsiri terbesar di dunia dapat dilihat pada Tabel 5 berikut. Tabel 5. Nilai indeks RCA sepuluh negara eksportir minyak atsiri terbesar (HS 3301) No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Negara Amerika Serikat Perancis Brazil Inggris Argentina China Indonesia Jerman Italia India
2001 1.77 0.56 7.88 0.82 7.54 4.12 10.6 0.27 0.68 5.90
2002 1.87 0.55 9.62 0.72 9.70 3.52 9.37 0.28 0.63 7.65
Tahun 2003 2004 1.75 1.97 0.59 0.64 12.16 10.30 0.83 0.84 8.38 7.76 2.43 2.73 8.32 8.24 0.28 0.36 0.65 0.66 9.57 11.38
2005 2.08 0.63 9.95 0.89 10.77 2.50 11.10 0.39 0.64 -
Trend 4.3% 3.1% 7.4% 2.6% 11.6% -10.4% 2.7% 10.2% -1.4% 24.6%
Sumber: UN Comtrade (2006) diolah dalam Rusli 2006
Dari Tabel 5 terlihat bahwa dalam kurun waktu 5 tahun terakhir (20012005), Indonesia memiliki indeks RCA yang cukup tinggi setingkat dengan Argentina dan Brazil. Namun demikian kecenderungan peningkatan indeks RCA yang terjadi, posisi Indonesia saat ini cukup mengkhawatirkan karena jika dibandingkan dengan dua negara tersebut, kecenderungan peningkatan indeks RCA Indonesia jauh lebih rendah yakni 2.7% dibanding 11.6% (Argentina) dan 7.4% (Brazil). Hal yang sama juga terlihat pada perkembangan RCA minyak pala dibandingkan dengan dua negara pesaing yakni India dan Indonesia. Jelas terlihat, meskipun nilai ekspor minyak pala Indonesia mewakili 65% pangsa pasar dunia, indeks dayasaingnya rata-rata untuk 5 tahun terakhir lebih rendah jika dibandingkan dengan Grenada. Lebih jauh Grenada juga memiliki kecenderungan peningkatan indeks RCA yang jauh melebihi Indonesia (> 100 %) seperti ditunjukkan pada Tabel 6. Hal ini jika dibiarkan, lambat laun akan berdampak
22
negatif pada dominasi pasar minyak pala Indonesia. Untuk itu dibutuhkan strategi khusus yang mampu mendongkrak dayasaing minyak pala Indonesia agar tetap mampu bersaing dimasa mendatang. Tabel 6. Perkembangan RCA minyak pala (HS 3301295025) negara saingan Indonesia di Pasar Amerika Serikat No. 1. 2. 3.
Negara India Grenada Indonesia
2001 0.61
2002 0.79 12.43 6.64
5.58
Tahun 2003 2004 0.99 0.99 11.98 11.98 6.65 6.65
2005 0.70 15.70 8.34
Trend 1.13% 21.29% 8.45%
Sumber: US Census Bureau, Foreign Trade Statistics (2006) diolah dalam Rusli 2006
Grenada adalah pesaing Indonesia dalam perdagangan minyak pala di pasar internasional. Walaupun minyak pala Indonesia mempunyai keunggulan karena memiliki aroma yang khas dan rendemen minyak yang tinggi (Lampiran 4), namun peranan Indonesia dalam mengendalikan pasar pala dunia tidak begitu nyata disebabkan kemampuan Indonesia dalam negosiasi dan diplomasi bisnis ekspor impor masih lemah, justru Grenada mempunyai andil dominan (Lutony dan Rahmayati 2002; Sunarto dalam Oryzanti 2003). Produksi minyak pala Grenada pada tahun 2000 berjumlah 2.4 ton (US$ 193,11) dan meningkat dengan pesat menjadi 17.9 ton dengan nilai ekspor US$ 677,98 dan menurun menjadi 6.8 ton atau senilai US$ 482,77 pada tahun 2002 (Travel Grenada, 2005). Pengumpul biji pala dr petani
Unit Pengolahan
Koordinator pasar bahan baku Pengolahan
Ekspor
Perwakilan di USA, Eropa, Kanada
Unit ekstraktor/
Pedagang dan pembeli internasiona ;
GCNA
industri
Konsumen
Outlet GNCA
lokal
Ekspor
23
Gambar 4. Rantai pemasaran minyak pala Grenada (GCNA 1999, dalam Rodriguez, 2003)
Disamping kemampuan diplomasi, Grenada yang memiliki kelembagaan minyak pala yang kuat. The Grenada Cooperative Nutmeg Association (GCNA) merupakan organisasi petani yang sangat penting di Grenada. GCNA memiliki 16 pangkalan penampungan dengan produksi rata-rata 20 ton/tahun dan 10 ton minyak fuli/tahun. Unit penyulingan ini beroperasi 24 jam/hari dengan kapasitas penuh 40 ton/tahun. Petani dan kelompok tani membawa biji pala ke lokasi pengolahan terdekat kemudian dipisahkan berdasarkan kualitas. Unit pengolahan juga berfungsi untuk proses pengeringan, gudang penyimpanan untuk selanjutnya dikemas, dijual, diolah atau disuling. Asosiasi ini juga
memiliki tenaga ahli
dibidang minyak atsiri yang membantu GCNA menghasilkan minyak pala yang berkualitas tinggi. Gambar 4 memperlihatkan rantai pemasaran minyak pala negara Grenada. Dengan pola kelembagaan seperti diatas maka ekonomi biaya tinggi akibat rantai pemasaran yang panjang dapat dihindari dan keuntungan yang diperoleh pelaku usaha terjamin . Di Indonesia, minyak pala yang dihasilkan umumnya dijual ke pedagang pengumpul/pedagang perantara yang berada di daerah produsen. Ada kalanya eksportir memiliki pangkalan di desa atau kota kecil sehingga memperoleh minyak pala langsung dari pedagang perantara. Ditangan eksportir, minyak pala yang berasal dari pedagang perantara masih mengandung kotoran dan terdiri atas berbagai kelas mutu sehingga di eksportir minyak pala mengalami penanganan lebih lanjut antara lain proses penjernihan, pengelompokkan, pencampuran (blending), analisa minyak dan pengemasan. Rantai tata niaga industri minyak pala di Indonesia disajikan pada Gambar 5. Pelaku usaha (petani, pedagang pengumpul, penyuling, pedagang perantara, ekspotrir dan industri besar) dalam melakukan usahanya masih sendiri-sendiri. Dengan struktur tata niaga yang demikian dikhawatirkan menyebabkan kemampuan posisi tawar dan negosiasi harga dengan pihak importir menjadi lemah dan tidak ada jaminan harga bagi pelaku usaha .
24
Pedagang Pengumpul Penampungan, pengumpulan
Petani Bahan baku
Pedagang perantara Penyuling Destilasi (minyak atsiri kasar)
Penampungan, pengumpulan, pencampuran
Industri pangan, Kosmetik, toiletries, parfum
Eksportir Pengumpulan, pencampuran, ekspor
Industri besar Pemurnian, fraksinasi, compounding, blending
Gambar 5. Rantai tata niaga industri minyak pala di Indonesia 3.5. Penelitian Terdahulu Tentang Dayasaing Hasil penelitian Munandar (2001) tentang faktor-faktor penentu dayasaing ekspor minyak sawit dan teh Indonesia menggunakan metode ekonometrik. Model disusun berdasarkan ide umum bahwa dayasaing ekspor ditentukan oleh beberapa faktor antara lain kondisi, kebijakan, teknologi dan inovasi, dan perilaku konsumsi. Hasil penelitian Haridian (2002) tentang sistem penunjang keputusan perencanaan dan pengembangan agroindustri pala terdiri dari aplikasi usahatani tanaman pala dengan basis model analisis pemilihan lokasi penanaman tanaman pala dan model kelayakan finansial usahatani tanaman pala dan aplikasi agroindustri manisan pala. Nugraha (2003) melaporkan tentang studi pengembangan agroindustri minyak pala (Nutmeg Oil) di Kabupaten Bogor menggunakan metode Analytical Hierarchy Process (AHP)
menyimpulkan 3 faktor yang paling memberikan
kontribusi terhadap pengembangan agroindustri minyak pala di Kabupaten Bogor yaitu pemasaran hasil produksi (bobot 0.215), manajemen operasi dan produksi
25
(bobot 0.179) dan faktor mutu bahan baku (bobot 0.150) sedangkan strategi yang paling tepat dalam pengembangan agroindustri minyak pala adalah pembinaan yang lebih intensif oleh pemerintah kepada petani dan pengusaha minyak pala; strategi penerapan manajemen organisasi dan peningkatan luas areal tanaman pala. Berdasarkan hasil analisis sensitifitas, agroindustri minyak pala sensitif terhadap penurunan harga jual dan kenaikan harga bahan baku sebesar 5%. Penelitian Gunawan (2004) tentang sistem penunjang keputusan pra rancang bangun industri intermediate minyak pala menggunakan Visual Basic 6.0 terdiri atas empat model yaitu Model Penyaringan Alternatif, Model Pemilihan Alternatif, Model Pemilihan Kelembagaan Industri dan Model Analisa Kelayakan Finansial. Berdasarkan hasil perhitungan analisa sensitifitas jika terjadi kenaikan sebesar 10% pada bahan baku dan penurunan harga jual produk sebesar 10%, industri intermadiate masih layak diinvestasikan. Penelitian Sitorus, 2004 tentang penyulingan biji pala kering dari berbagai kelas mutu dan ukuran rajangan terhadap rendemen dan mutu minyak pala, menunjukkan bahwa kelas mutu biji pala dan ukuran perajangan berpengaruh sangat nyata terhadap rendemen minyak pala dan nilainya cenderung menurun dengan semakin tuanya biji pala. Biji pala dengan ukuran perajangan 10 mm menghasilkan rendemen 19.58%. Penelitian Priyadharsini (2005) tentang strategi penciptaan keunggulan bersaing produk jamu asal Indonesia untuk pasar ekspor, menggunakan pendekatan Berlian Porter bertujuan untuk mengetahui faktor penentu dayasaing produk jamu menggunakan alat analisis Revealed Comparative Advantage (RCA), Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP), Accelaration Ratio (AR), Interpretive Structural Modelling (ISM) dan Independent Preference Evaluation (EVA).
26