II. MINYAK PALA INDONESIA
2.1. Agroindustri Minyak Pala Minyak pala sebagai salah satu jenis produk minyak atsiri yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan komoditas ekspor. Volume ekspor minyak pala pada tahun 2005 mencapai 977 ton atau senilai US$ 14,970.000 (BPS 2006). Minyak pala merupakan hasil proses penyulingan biji dan fuli pala. Bahan baku penyulingan minyak pala adalah biji pala muda karena mempunyai kandungan minyak atsiri yang lebih tinggi. Sifat fisik minyak pala berwama kuning pucat sampai tak berwarna, mudah menguap, dan mempunyai bau khas pala (Dorsey 2001). Agroindustri minyak pala merupakan kegiatan pemanfaatan buah pala sebagai bahan baku maupun penunjang produksi minyak atsiri. Sebagai bahan penunjang, minyak pala mempunyai beberapa kegunaan diantaranya adalah: (1) zat penyedap (flavoring agent), (2) zat pewangi (fragrance), (3) zat pengawet, dan (4) zat penghilang rasa sakit, sehingga banyak digunakan dalam industri makanan dan minuman, kosmetika dan parfum, serta industri farmasi (Anonim 2005). Sebagian besar agroindustri minyak pala dikelola oleh industri kecil dengan modal investasi sebesar Rp. 200.000.000,- dan jumlah karyawan antara 4 – 9 orang (Hasil survey industri penyulingan rakyat 2005). Lokasi pengembangan industri penyulingan minyak pala ditemukan di beberapa daerah seperti Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat dan Jawa Barat, sehingga ketersediaan
produk
tersebar
di
berbagai
daerah
tersebut.
Sementara
perkembangan industrinya bersifat pasang surut tergantung kondisi pasar atau permintaan. Perkembangan industri minyak pala itu sendiri tidak terlepas dari peranan pelaku pasar, baik produsen maupun pedagang serta konsumen (pasar) untuk membentuk jaringan tata niaga yang berkelanjutan. Perkembangan industri minyak atsiri tahun 1998-2003 menunjukkan peningkatan, baik dari aspek jumlah unit usaha, tenaga kerja yang terlibat, nilai output/produksi, nilai bahan baku serta nilai tambahnya (Lampiran 1). Hal ini menunjukkan bahwa industri minyak atsiri
memiliki prospek yang sangat baik, meskipun dikelola oleh ni dustri kecil yang tersebar di seluruh sentra produksi. Secara umum kegiatan industri kecil sangat mendominasi struktur perekonomian Indonesia. Menurut Hanan (2003), dari segi kuantitatif, pelaku usaha di Indonesia tercatat 41,36 juta unit dengan 99,9% diantaranya adalah usaha kecil menengah (UKM) yang mampu menyerap 99,45% dari seluruh jumlah tenaga kerja nasional (sekitar 76,97 juta orang). Khusus pada sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan, UKM menyerap tenaga kerja sekitar 49%. Dengan demikian, keberlanjutan industri kecil mendapat prioritas untuk dikembangkan dan didukung secara ekonomis maupun sosial politik (Hubeis, 1997). 2.1.1. Bahan baku Tanaman pala (Myristica fragrans Houtt) merupakan salah satu tanaman asli Indonesia yang berasal dari Malaise archipel, yaitu gugusan kepulauan Banda dan Maluku (Sunanto 1993). Tanaman pala tergolong dalam famili Myristicaceae dengan kira-kira 200 species dan seluruhnya tersebut di daerah tropis. Jenis tanaman pala yang baik digunakan sebagai bahan baku industri minyak atsiri dilihat dari kuantitas dan kualitas produksinya adalah pala Banda, Sian, Patani, Ternate dan Pala Tidore. Syukur dan Hernani (2002), menyatakan ada beberapa species pala selain Myristica fragrans Houtt (Pala Banda), yaitu Myristica argentea Warb (Pala Papua), Myristica malabarica (Pala Malabar) dan Myristica succedena Blume (Pala Halmahera). Diantara jenis-jenis tersebut yang bermutu baik adalah Myristica fragrans Houtt. Secara fisik kualitas buah pala didasarkan pada tingkat kemasakan yang berwarna kuning kehijauan dengan tekstur keras dan diameter buah antara 3 – 9 cm. Bagian buah pala terdiri atas daging dan biji pala serta fuli, tempurung, dan daging biji (Gambar 1). Di antara daging dan biji terdapat selaput seperti jala yang di dalam dunia perdagangan disebut fuli (Purseglove et.al., 1981). Fuli dari buah pala yang belum cukup masak berwarna kuning pucat dan akan berubah warna menjadi coklat muda pada saat pengeringan. Fuli yang sudah tua berwarna merah api dan akan berwarna merah coklat pada saat kering. Apabila fuli disimpan
7
dalam waktu yang lama akan berubah menjadi kuning tua hingga kuning orange seperti warna jerami. Menurut Somaatmadja dan Herman (1984), buah pala segar dapat dihas ilkan daging buah sebanyak 83.3%, fuli 3.22%, tempurung biji 3.94% dan daging biji sebanyak 9.54%.
Gambar 1. Buah Pala dan bagian-bagiannya Daerah penghasil utama pala di Indonesia berturut-turut adalah Sulawesi Utara, Nangroe Aceh Darussalam, Maluku dan Papua, sedangkan daerah potensial penghasil pala adalah Sumatera Barat, Sulawesi Selatan dan Jawa Barat dimana sebagian besar (99.63%) diproduksi oleh perkebunan rakyat (PR) sedangkan sisanya sebesar 0.37% diusahakan oleh perkebunan besar swasta (PBS) dan Perkebunan Besar Negara (PBN) (DBPP 2004). Walaupun luas areal perkebunan pala mengalami peningkatan, namun peningkatannya tidak signifikan, dari 12.745 ha pada tahun 1967 menjadi 61.558 ha pada tahun 2002 (Lampiran 3) dengan laju peningkatan sebesar 2.9% per tahun. Luas areal dan produksi perkebunan pala Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1.
8
Tabel 1 Luas areal perkebunan dan produksi pala di Indonesia tahun 2003 No.
Propinsi
Perkebunan Rakyat Luas Produksi (ha) (ton)
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19.
NAD Sumut Sumbar Lampung Jabar Banten Jateng Jatim Bali NTT Kaltim Sulut Gorontalo Sulteng Sulsel Sultra Maluku Mal.Ut Papua Indonesia
11.551 147 3.592 10 2.054 39 384 20 1 441 3 16.870 36 717 2.370 141 5.495 9.392 8.084 61.347
4.965 42 2.299 3 465 3 9 13 0 77 1 7.524 6 81 483 28 1.124 3.247 2.909 23.279
Perkebunan Negara Luas Produksi (ha) (ton)
0 0 0 0 0 0 302 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 302
0 0 0 0 0 0 11 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 11
Perkebunan Swasta Luas Produksi (ha) (ton)
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 155 0 0 155
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 39 0 0 39
Luas (ha)
Jumlah Produksi (ton)
11.551 147 3.592 10 2.054 39 686 20 1 441 3 16.870 36 717 2.370 141 5.650 9.392 23.126 61.804
4.965 42 2.299 3 465 3 20 13 0 77 1 7.524 6 81 483 28 1.163 3.247 7.319 23.329
Sumber: Ditjen Bina Produksi Perkebunan (2004)
Menurut Ketaren (1985), minyak pala Indonesia berasal dari pala dan fuli “East India” yang terdiri dari 4 kelas mutu yang dicirikan oleh daerah penghasilnya yaitu: - Pala Banda, tergolong pala yang bermutu terbaik dalam perdagangan dan mengandung lebih kurang 8 persen minyak atsiri. - Pala Siam, mempunyai mutu hampir sama dengan pala Banda tetapi kadar minyaknya lebih kecil (6.5 persen). - Pala Penang, bermutu baik sebelum perang dunia kedua, namun sekarang mutunya menurun karena sering diserang ulat dan jamur. - Pala Dapur (Myristica argentea W) berbau kurang enak dan mempunyai kadar minyak atsiri yang rendah. Ketaren (1985) juga menyatakan buah pala yang berumur 3-4 bulan mengandung lebih banyak minyak atsiri, sedangkan buah pala yang tua lebih banyak mengandung minyak berat (fixed oil) dan senyawa miristisin yang beraroma kuat. Komposisi kimia biji pala disajikan pada Tabel 2 berikut:
9
Tabel 2. Komposisi Kimia Biji Pala Komponen
Fuli
Air 9,78-12,04 Protein 6,25-7,00 Minyak atsiri 6,27-8,25 Ekstrak alkohol 22,07-24,76 Minyak lemak 21,63-23,72 Pati 49,85-64,85 Serat Kasar 2,94-3,95 Abu 1,81-2,54 *) Winto. A.L. dan Winton K.B. di dalam Somaatmadja (1984)
Biji 5,79-10,83 6,56-7,00 2,56-6,94 10,42-17,38 28,73-36,94 31,81-49,80 2,38-3,72 2,13-3,26
2.1.2. Teknologi Proses Minyak pala Indonesia diperoleh dengan cara melakukan penyulingan terhadap biji dan fuli pala. Biji yang biasa digunakan dalam penyulingan biji pala adalah biji muda karena mempunyai kandungan minyak pala yang lebih tinggi (Nurdjanah et al. 1990). Metode penyulingan yang digunakan dapat berupa penyulingan uap (steam destillation) maupun penyulingan dengan uap dan air (steam dan water destillation). Kadang-kadang penyulingan dengan air dan uap (kukus) menghasilkan minyak dengan mutu yang paling baik, sedangkan cara kohobasi menghasilkan minyak pala dengan mutu yang bervariasi dan berada dibawah standar mutu yang ada (Purseglove et al. 1981). Diagram alir penyulingan biji pala dapat dilihat pada Gambar 2. Minyak pala yang dihasilkan berupa cairan jernih (hampir tidak berwarna) sampai kuning muda, mudah menguap dan mempunyai bau khas pala. Sifat-sifat minyak dari biji tidak berbeda dengan minyak dari fuli pala, bahkan sebagian besar minyak pala dihasilkan dari campuran biji dan fuli pala. Nutmeg oil yaitu minyak hasil sulingan biji pala, sedangkan mace oil adalah minyak hasil penyulingan fuli pala. Didalam perdagangan kedua minyak ini tidak dibedakan karena terdapat kesamaan unsur-unsur penyusun serta dikandung minyak atsirinya. Rendemen nutmeg oil dan mace oil sekitar 7 – 15% dengan kandungan minyak atsiri berupa eugenol, iso-eugenol, terpineol, borneol, linalol, geraniol, safrole, terpene, aldehid dan unsur lain yang berupa cairan bebas (Lutony dan Rahmayati 2002).
10
Fuli pala
Boiler
Uap panas
Biji pala (berumur 3-5 bulan)
Pengeringan pala
Pengeringan
Penimbangan
Penggilingan
Pencampuran (mixing) dalam ketel suling dengan perbandingan spesifik
Bungkil
Proses Penyulingan (48 jam)
Minyak dalam uap air
Pengaliran
Penampungan
Penimbangan
Penggilingan
Pupuk kompos
Obat nyamuk bakar
Pengemasan
Pemisahan minyak dr air Minyak dalam botol Analisis Mutu Distribusi dan pemasaran Penimbangan
Gambar 2. Diagram alir proses penyulingan minyak pala (Risfaheri dan Mulyono, 1992) Minyak pala yang dihasilkan harus memenuhi standar mutu yang ditetapkan berdasarkan ciri-ciri fisik dan kimiawinya. Ciri-ciri fisik yang dijadikan ukuran penentuan mutu minyak pala adalah berat jenis, putaran optik, indeks bias, kelarutan dalam alkohol, dan sisa penguapan, sedangkan ciri kimiawinya adalah kandungan miristisin dalam senyawa aromatik dan kandungan alkohol dalam senyawa terpen. Mengingat bahwa produksi minyak pala di Indonesia hampir
11
seluruhnya diekspor, maka terdapat standar mutu atau persyaratan mutu berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) tahun 1998 yang harus dipenuhi sebelum diekspor, seperti terlihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Standar mutu minyak pala Indonesia Minyak Pala*
Karakteristik o
o
Bobot Jenis 25 C/25 C Putaran Optik Indeks Bias (n25D) Kelarutan dalam alkohol 90% Sisa Penguapan Zat Asing : - Lemak -Alkohol Tambahan Minyak Pelikan Minyak Terpentin
0,847 – 0,919 +10o - +30 o 1,472 – 1,494 1 : 3 Jernih, seterusnya Jernih 2.5%
Minyak Pala**
Minyak Pala***
0,840 – 0.925 +10o - +30 o 1,474 – 1,488 1 : 1 Jernih, seterusnya Jernih -
0,847 – 0,919 +8 o - +26o 1,472 – 1,494 1 : 3 Jernih, seterusnya Jernih 3%
Negatif Negatif Negatif Negatif
Negatif -
Negatif Negatif Negatif Negatif
*)Standar Mutu Perdagangan (SP-29-1976) **) Standar Mutu Menurut Ketentuan Balai Penelitian Kimia (Ketaren, 1990) ***) Standar Nasional Indonesia (SNI 06-3735-1998)
Disamping memenuhi persyaratan mutu diatas, minyak pala juga harus memenuhi kadar miristisin (dengan metode Ge) > 10%. Clevenger (1935) dalam Ditjen Industri Kecil (1983) meneliti kadar minyak yang dikandung oleh biji pala Banda, biji pala Padang dan biji pala yang berkerut (Shrivel) sebesar 4-10, 8-11,5 dan 11,5 – 21 ml/100 gram.
2.1.3. Penggunaan Minyak Pala Minyak pala umumnya digunakan dalam industri makanan dan minuman, industri parfum dan kosmetika, industri sabun, industri farmasi dan lain-lain (Purseglove et al. 1981). Pala ataupun ekstraknya biasanya digunakan secara komersial untuk produk roti-rotian, minuman non-alkohol, es krim, permen karet, sirup, parfum sup, daging olahan, daging belanda (Dutch loaf), kornet sapi dan daging ayam (Kenneth, 1990). Minyak pala mengandung sejumlah komponen yang dipergunakan pada industri olekemikal dan digunakan sebagai bahan alami penambah
aroma
pada
industri
makanan dan
minuman.
Minyak
pala
menggantikan peran biji pala tanpa meninggalkan partikel endapan pada makanan. Minyak pala juga dipergunakan untuk industri kosmetik dan farmasi misalnya untuk pasta gigi, obat batuk, menghilangkan rasa sakit dan memperbaiki
12
sistem saluran pencernaan; miristisin yang terkandung di dalam minyak pala merupakan zat yang dapat menyebabkan halusinasi (Travelgrenada 2005). Pada Lampiran 2 dapat ditunjukkan berbagai alternatif pemanfaatan dan pengolahan buah pala tersebut. Oleoresin
dan
mentega
pala
merupakan
hasil
ekstraksi
biji
pala
menggunakan pelarut organik. Oleoresin terdiri atas minyak atsiri, resin serta komponen-komponen pembentuk aroma lainnya yang tidak mudah menguap yang menentukan rasa khas rempah. Penggunaan oleoresin pada industri pangan mempunyai beberapa keuntungan sebagai berikut: (1) mutu produk lebih seragam dan terkontrol, (2) pemakaian lebih ekonomis dan efisien karena sudah berbentuk ekstrak rempah dan (3) mudah dalam penanganannya (Risfaheri dan Mulyono 1992).
2.2. Produksi Minyak Pala Indonesia Volume dan nilai ekspor minyak pala Indonesia selama lima tahun terakhir berfluktuasi dengan volume ekspor terbesar terjadi pada tahun 2001 yaitu mencapai 495.021 kg atau senilai US$ 14,782.076. Volume dan nilai ekspor serta harga FOB minyak pala Indonesia selama delapan tahun terakhir dapat dilihat pada Tabel 4 berikut: Tabel 4. Volume dan nilai ekspor minyak pala Indonesia tahun 1998 – 2005 Tahun 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Volume Ekspor (kg) 382.100 387.725 350.544 495.021 295.089 955.000 977.000
Nilai Ekspor
(US$ 000) 10,014 10,046 9,110 14,782 9,273 11,753 11,165 14,970
Sumber: BPS (2006)
Berdasarkan laju peningkatan ekspor, sampai dengan tahun 1999 minyak pala merupakan jenis minyak atsiri yang menunjukkan laju peningkatan ek spor Indonesia tertinggi yaitu 34.6% per tahun atau rata-rata meningkat US$ 1,722,849 per tahun (BPS 2000). Amerika Serikat masih merupakan negara tujuan ekspor
13
utama dengan nilai ekspor rata-rata sebesar 60% dari total nilai ekspor minyak pala Indonesia. Selain Amerika Serikat, negara tujuan ekspor lainnya adalah Jerman, Perancis, Singapura, Australia, Switzerland, India dan Malaysia. Pada tahun 2005 volume ekspor ke Amerika Serikat sebesar 340 ton atau senilai US$ 8,611,000. Jumlah tersebut merupakan 57.6% dari total ekspor minyak pala Indonesia yang mencapai volume sebesar 977 ton atau senilai US$ 14.970.000 (Lampiran 4).
14