UJI EFEKTIVITAS NANOEMULSI MINYAK BIJI PALA (Myristica fragrans Houtt.) SEBAGAI ANTIFUNGI TERHADAP KAPANG Penicillium citrinum, Penicillium griseofulvum, Aspergilus flavus DAN Syncephalastrum racemosum Claverra Vicky Livanza1, Prasetyorini2, Iceu Agustinisari3 Program Studi Farmasi, FMIPA, Universitas Pakuan Bogor 3 Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Bogor 1.2.
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui efektivitas nanoemulsi minyak biji Pala sebagai antifungi (2) membandingkan efektivitas antifungi antara nanoemulsi minyak biji pala dengan minyak biji pala terhadap kapang Penicillium citrinum, Penicillium griseofulvum, Aspergillus flavus, dan Synchepalastrum racemosum dengan metode difusi. Minyak biji pala merupakan minyak atsiri hasil ekstraksi biji pala yang mengandung senyawa bioaktif kamfena dan turunannya yang memiliki sifat antifungi. Minyak biji pala memiliki kelemahan terhadap kelarutan karena sifatnya lipofilik sehingga dikembangkanlah dengan teknologi nano menjadi nanoemulsi minyak biji pala yang stabil secara kinetik dan dapat diencerkan dengan air tanpa perubahan dalam distribusi ukuran droplet. Metode yang digunakan adalah metode difusi sumur. Konsentrasi nanoemulsi dan minyak yang digunakan yaitu 25%, 35%, dan 45%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nanoemulsi minyak biji pala cukup efektif sebagai antifungi terhadap kapang Penicillium citrinum, Penicillium griseofulvum, Aspergillus flavus, dan Syncephalastrum racemosum karena memberikan diameter zona hambat >5mm pada konsentrasi 45%, sedangkan minyak biji pala sangat efektif sebagai antifungi karena memberikan diameter zona hambat >18mm pada konsentrasi 45%. Kata Kunci : Nanoemulsi, minyak biji pala, antifungi, kapang, Penicillium citrinum, Penicillium griseofulvum, Aspergillus flavus, Syncephalastrum racemosum ABSTRACT This study aims to (1) determine the effectiveness of nutmeg oil nanoemulsion as an antifungal (2) comparing the effectiveness of antifungal between nutmeg oil nanoemulsion with nutmeg oil to the molds Penicillium citrinum, Penicillium griseofulvum, Aspergillus flavus, and Synchepalastrum racemosum with diffusion method. Nutmeg oil is an essential oil extracted from nutmeg that containing camphene bioactive compounds and derivatives which have antifungal properties. Nutmeg oil has a weakness against solubility due to its lipophilic so that it is developing with nanotechnologies into nutmeg oil nanoemulsion that kinetically stable and can be diluted with water without a change in the droplet size distribution. The method that used is the well diffusion method. Nanoemulsion and oil concentrations used were 25%, 35% and 45%. The results showed that nutmeg oil nanoemulsion quite effective as an antifungal for molds Penicillium citrinum, Penicillium griseofulvum, Aspergillus flavus, and Syncephalastrum racemosum because it gives the diameter of inhibition zone > 5mm at a concentration of 45%, while the nutmeg oil was very effective as an antifungal because it gives the diameter of inhibition zone > 18mm at a concentration of 45%. Keywords: Nanoemulsion , nutmeg oil , antifungal , molds, Penicillium citrinum, Penicillium griseofulvum, Aspergillus flavus, Syncephalastrum racemosum PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara tropis dengan iklim hujan tropis yang menyebabkan kondisi kelembaban udara tinggi (RH>80%) dengan suhu rata-rata 2833ºC (Talanca dan Mas’ud, 2009), kondisi
ini sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangan berbagai macam mikroba kontaminan khususnya jamur (kapang khamir) sehingga menyebabkan produk pangan rentan sekali terkontaminasi oleh jamur kontaminan. Produk pangan seperti
roti dan kue basah merupakan media yang baik bagi pertumbuhan mikroba, khususnya jamur (Djaafar dan Rahayu, 2007). Produk pangan selama dalam masa penyimpanan dapat terserang oleh berbagai macam jamur yang dapat menurunkan kualitas fisik pangan, menyebabkan keapekan, menurunkan kandungan nutrisi dan menghasilkan mikotoksin (Lilieanny dkk. 2005). Hal ini dapat menyebabkan terancamnya mutu serta keamanan bahan pangan karena jamur menghasilkan racun salah satunya aflatoksin. Aflatoksin merupakan suatu mikotoksin yang dihasilkan dari metabolisme sekunder jamur Aspergillus flavus dan dapat menyebabkan karsinogenik dalam tubuh hewan maupun manusia (Kasno, 2004). Aflatoksin tidak dapat dinetralisir melalui pemasakan sehingga upaya menghindari kontaminasi jamurnya perlu dilakukan (Anonimous, 2000). Penggunaan bahan kimia sintesis sebagai pengendali pertumbuhan jamur pada bahan pangan dapat menimbulkan dampak yang merugikan bagi kesehatan. Seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan makanan yang aman dan sehat, maka dipilihlah bahan alami sebagai bahan pengawet pada makanan agar tidak terserang jamur. Beberapa bahan alami yang sering dijadikan bahan pengawet alami makanan adalah rempah-rempah diantaranya cengkeh, bawang merah, bawang putih, rimpang kunyit, kayu manis varietas Cassia Indonesia B stick dan biji pala dengan mutu Calibrated Nutmeg (CN) baik dalam bentuk segar dan kering merupakan pengawet alami yang mengandung zat antimikroba yang khas sehingga dapat digunakan untuk mengawetkan suatu bahan makanan (Mustafa, 2006). Biji pala terdiri dari dua bagian utama yaitu 30-45% minyak dan 45-60% bahan padat termasuk selulosa. Minyak terdiri atas dua jenis yaitu minyak atsiri (essential oil) sebanyak 5-15% dari berat biji keseluruhan, dan lemak (fixed oil) yang disebut nutmeg butter sebanyak 24-40% dari berat biji. Walaupun kandungan minyak atsiri dalam biji lebih rendah dari fixed oil tetapi komponen minyak atsiri lebih berperanan penting sebagai perisa (flavouring agent)
dalam industri makanan dan minuman, dan dalam industri farmasi (Nurdjannah, 2007). Minyak biji pala merupakan minyak atsiri hasil ekstraksi biji pala yang mengandung senyawa bioaktif kamfena dan turunannya yang memiliki sifat antifungi terhadap Penicilium chrysogenum dan insektisida yang kuat sehingga banyak digunakan dalam industri dan manufaktur. Minyak biji pala efektif sebagai antifungi terhadap Aspergillus terreus, A.flavus, A.niger, Penicillium citrinum dan Fusarium graminearium pada konsentrasi 6% (Singh, et al, 2007). Minyak biji pala memiliki kepolaran yang cenderung nonpolar menyebabkan terbatasnya jenis produk pangan yang bisa menggunakan minyak biji pala sebagai bahan pengawet terkait dengan kelarutannya. Bau dan rasa yang khas dan kuat pada minyak biji pala juga kerap kali mengubah aroma dan rasa dari pangan yang dibuat sehingga hal tersebut akan mengganggu performa pangan. Solusi dari masalah tersebut ialah dikembangkannya produk minyak biji pala dengan menggunakan teknologi nano (Agustinisari, et al, 2014). Saat ini teknologi nano banyak dikembangkan dalam upaya meningkatkan kualitas pangan fungsional. Banyak senyawa bioaktif memiliki sifat lipofilik dan kelarutan yang rendah dalam air (Silva et al, 2007). Sistem pengantaran berbasis emulsi merupakan cara yang mudah dalam melindungi senyawa bioaktif yang kurang larut dalam air. Nanoemulsi yang berisi partikel relative kecil (r < 100 nm), dapat lebih mudah meningkatkan penyerapan senyawa bioaktif yang bersifat hidrofobik (Bouchemal et al, 2004). Selain itu nanoemulsi stabil secara kinetik, metastabil, dan dapat diencerkan dengan air tanpa perubahan dalam distribusi ukuran droplet (Gupta et al, 2010). Nanoemulsi merupakan emulsi yang terdiri dari fase terdispersi yang dibentuk oleh penyebaran satu cairan dalam larutan cairan lainnya yang memiliki kisaran ukuran antara 50 dan 1000 nm (Sanguansari dan Augustin 2006).
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai Agustus 2015 bertempat di Laboratorium Mikrobiologi Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian Cimanggu Bogor.
pemurnian, dilakukan gores kuadran pada media APDA. Koloni yang sudah murni dipindahkan ke agar miring PDA. Identifikasi dilakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia berdasarkan morfologi, sifat kultur, fisiologi dan reproduksi koloni isolat.
Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah produk nanoemulsi minyak biji pala yang diperoleh dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Cimanggu Bogor, minyak biji pala (food grade) PT. Djasula Wangi, Jakarta, dan isolat kapang Aspergillus flavus, Penicillium citrinum, Penicillium griseofulvum dan Synchepalastrum racemosum yang diperoleh dari roti busuk. Bahan-bahan yang digunakan dalam pengujian adalah media pertumbuhan mikroba berupa PDA (Potato Dextrose Agar), aquadest, larutan pengencer (NaCl 0,85%), alkohol 70% dan asam tartrat 10%. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain cawan petri (petri dish), ose, bunsen, erlenmeyer, pipet mikro, Laminar Air Flow Cabinet ESCO® model EHC 6 (serial no. 95512), timbangan digital PRECISA® XT 220A, beaker glass, labu ukur, gelas ukur, autoclave Hirayama® MFG.Corp. model HA-24, incubator Memmert® INB400, spatel dan alat-alat gelas yang biasa digunakan dalam laboratorium mikrobiologi.
Pembuatan Suspensi Kapang Uji Disegarkan isolat Penicillium citrinum, Penicillium griseofulvum, Aspergillus flavus dan Syncephalastrum racemosum pada media agar miring PDA. Dibuat larutan pengencer (NaCl 0,85%). Isolat fungi pada agar miring disuspensikan menggunakan larutan pengencer.
Isolasi Kapang Pembusuk Roti Roti disimpan di dalam plastik pada suhu ruang selama kurang lebih 5 hari sampai terlihat ada pertumbuhan kapang. Sampel roti yang sudah busuk ditimbang sebanyak 25 g lalu direndam pada larutan pengencer (NaCl 0,85%) selanjutnya dipersiapkan satu seri pengenceran. Sebanyak 1 ml dari pengenceran dipupuk pada media APDA ( media PDA yang telah ditambahkan asam tartrat 10% untuk menghambat pertumbuhan bakteri) dengan metode tuang. Inkubasi dilakukan pada suhu ruang selama 3 hari. Selanjutnya dipilih cawan-cawan petri dengan pertumbuhan koloni yang dominan untuk diisolasi. Untuk
Persiapan Media PDA Media yang digunakan dalam penelitian ini adalah PDA (Potato Dextose Agar). Serbuk PDA sebanyak 39 gram dilarutkan pada aquadest sebanyak 1 liter sambil dipanaskan hingga larut, kemudian disterilkan dengan autoclave pada suhu 121°C dengan tekanan 1 atm selama 15 menit. Setelah suhu media 40°C, ditambahkan asam tartrat 10% sebanyak 1% dari volume larutan media untuk mencegah pertumbuhan bakteri yang dapat mengkontaminasi. Angka Kapang-Khamir (AKK) (Maksum, 2011) Pada penentuan AKK, digunakan media Potato Dextrose Agar (PDA). Sebanyak 1 ml suspensi dari salah satu jenis kapang-khamir yang telah dibuat diambil dan dimasukkan ke dalam 9 ml larutan pengencer pada setiap pengenceran. Selanjutnya dilakukan pengocokan hingga homogen. Volume larutan suspensi kapangkhamir yang dipipetkan ke dalam cawan petri pada setiap pengenceran adalah 1 ml. Selanjutnya ke dalam cawan tersebut dimasukkan media PDA cair yang telah ditambahkan asam tartrat steril 10% sebanyak 1% dari volume PDA. Segera setelah dituang, cawan petri digerakkan di atas meja secara hati-hati untuk menyebarkan sel-sel mikroba secara merata, yaitu dengan gerakan melingkar atau angka delapan. Pemeriksaan dilakukan duplo. Setelah medium membeku, seluruh cawan petri diinkubasikan pada inkubator
suhu 20-25°C dan diamati mulai hari ketiga sampai hari kelima. Jumlah koloni yang tumbuh dihitung dengan nilai rata-rata dari penjumlahan koloni yang tumbuh pada kedua cawan petri. Syarat jumlah koloni mikroba yang diperbolehkan pada produk roti menurut SNI adalah tidak lebih dari 104 CFU/ml. Penentuan Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) Penentuan KHM dilakukan dengan metode pengenceran media agar (PDA). Sebanyak 1 ml suspensi dengan konsentrasi 104 CFU/ml dari salah satu kapang-khamir yang telah dibuat ditambahkan ke dalam 1520 ml media agar yang telah dicairkan dalam cawan petri steril. Cawan petri digerakkan diatas meja secara hati-hati untuk menyebarkan sel-sel mikroba secara merata, kemudian didinginkan sampai menjadi padat. Setelah beku dibuat lubang Ø 5 mm dan selanjutnya masing-masing dari lubang tersebut diisi dengan larutan ujj minyak biji pala dan nanoemulsi minyak biji pala dengan berbagai konsentrasi sebanyak 20 µl. Kemudian diinkubasi pada suhu 20-25°C dan diamati pertumbuhan jamur pada media agar mulai hari ketiga sampai hari kelima. Uji Hambatan Terhadap Pertumbuhan Koloni Kapang Media PDA 15 ml yang masih cair dituangkan ke dalam cawan perti yang telah berisi 1 ml suspensi konsentrasi 104 CFU/ml dari salah satu jenis kapang yang telah dibuat. Cawan petri digoyang sampai media dan suspensi tercampur merata dan dibiarkan hingga memadat. Setelah beku dibuat lubang Ø 5 mm dan selanjutnya masing-masing dari lubang tersebut diisi minyak biji pala dan nanoemulsi minyak biji pala dengan konsentrasi yang telah diketahui berdasarkan penentuan KHM yaitu 25%, 35% dan 45% sebanyak 20 µl. Kemudian diinkubasi pada suhu 20-25°C dan dilakukan pengamatan terhadap diameter zona bening koloni jamur mulai hari ketiga sampai hari kelima. Kategori hambatan ditentukan mengikuti kategori David Stout (Ardiansyah, 2005). Tabel Ketentuan Daya Hambat Menurut Kategori David Stout
Zona Hambat <5 mm 6-10 mm 11-20 mm >20mm
Daya Hambat Lemah Sedang Kuat Sangat Kuat
HASIL PENELITIAN Isolasi dan Determinasi Jamur Pembusuk Roti Hasil isolasi jamur pembusuk roti yang dilakukan, didapatkan 7 isolat kapang dan khamir yang kemudian 4 sampel diantaranya dideterminasi. Berdasarkan hasil determinasi di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), menyatakan bahwa sampel atau bahan yang digunakan dalam penelitian adalah kapang dari Aspergillus flavus (Sampel F), Penicillium citrinum (Sampel B), Penicillium griseofulvum (Sampel E) dan Synchepalastrum racemosum (Sampel G). B
G
F E Angka Kapang-Khamir (AKK) Perhitungan angka kapang-khamir bertujuan untuk menentukan jumlah koloni kapang dan khamir yang terdapat dalam suatu sampel atau suspensi kapang-khamir. Metode yang digunakan dalam perhitungan angka kapang-khamir ini adalah metode difusi sumur. Metode ini dilakukan dengan membuat sumur/parit pada media PDA yang telah diinokulasi dengan suspensi kapang kemudian sumur/parit tersebut diisi dengan larutan uji. Koloni kapang akan terbentuk dan terlihat setelah 3 hari diinkubasi pada suhu kamar, setelah itu jumlah koloni dihitung agar diperoleh AKK. Jumlah koloni yang dapat dihitung berkisar antara 25 sampai 300 koloni, apabila koloni yang tumbuh >300 koloni maka dianggap TBUD
(Tidak Bisa Untuk Dihitung) sehingga suspensi harus diencerkan terlebih dahulu agar koloni dapat lebih menyebar pada suspensi dan dapat dihitung. Hasil perhitungan AKK pada suspensi kapang Aspergillus flavus, Penicillium citrinum, Penicillium griseofulvum dan Synchepalastrum racemosum yang telah disegarkan dapat dilihat pada Tabel 9. Pengamatan total AKK isolat kapang pembusuk roti Total Kapang Kapang (CFU/ml) Penicillium 3,3 × 1013 citrinum Penicillium 6,3 × 1026 griseofulvum 5,0 × 1021 Aspergillus flavus Syncephalastrum 4,4 × 1015 racemosum Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) Pada pengujian Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) metode yang digunakan adalah metode difusi sumur. Pengujian Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) dilakukan untuk mengetahui konsentrasi terkecil yang dapat menghambat kapang dan ditandai dengan tidak tumbuhnya kapang. Pengujian konsentrasi hambat minimum dilakukan terhadap kapang Aspergilus flavus, Penicillium citrinum, Penicillium griseofulvum dan Synchepalastrum racemosum dengan menggunakan larutan uji minyak biji pala (Myristica fragrans H.) dengan konsentrasi 1%, 2%, 5% dan 10% dan pada nanoemulsi minyak biji pala (Myristica fragrans H.) menggunakan konsentrasi 1%, 5%, 12,5% dan 25%. Konsentrasi Hambat Minimum nanoemulsi minyak biji pala pada kapang Penicillium citrinum, Penicillium griseofulvum¸ Aspergillus flavus dan Syncephalastrum racemosum adalah 25%, sedangkan konsentrasi hambat minimum minyak biji pala pada kapang Penicillium citrinum, Penicillium griseofulvum¸ Aspergillus flavus dan Syncephalastrum racemosum adalah 5%. Zona Hambat Terhadap Pertumbuhan Kapang
Hasil uji zona hambat terhadap pertumbuhan kapang Penicillium citrinum, Penicillium griseofulvum, Aspergillus flavus dan Synchepalastrum racemosum menggunakan nanoemulsi minyak biji pala dengan konsentrasi 25%, 35% dan 45% dapat dilihat pada tabel. Rata-rata diameter zona hambat (mm) nanoemulsi minyak biji pala terhadap konsentrasi yang ditentukan Kapang Penicillium citrinum Penicillium griseofulvum Aspergilus flavus Syncephalastru m racemosum
Konsentrasi Nanoemulsi minyak biji pala 0% 25% 35% 45% 0
5,00
6,00
7,00
0
5,00
5,00
5,00
0
5,00
5,50
7,50
0
5,25
8,75
10,7 5
Pengujian zona hambat pada kapang dilakukan untuk membandingkan aktivitas nanoemulsi minyak biji pala dengan minyak biji pala sebagai antifungi dengan konsentrasi yang sama. Pengujian zona hambat ini menggunakan metode difusi sumur. Hambatan terhadap perkecambahan spora berupa zona bening. Dari hasil penentuan zona hambat oleh nanoemulsi minyak biji pala terhadap Aspergillus flavus, Penicillium citrinum dan Penicillium griseofulvum bersifat parsial, kecuali untuk Synchepalastrum racemosum yang bersifat total. Pada zona hambatan parsial masih terlihat adanya pertumbuhan kapang didalamnya, walaupun pertumbuhan kapang tersebut tidak sebanyak daerah yang tidak dihambat oleh nanoemulsi minyak biji pala. Terbentuknya lingkaran parsial ini disebabkan karena konsentrasi antifungi yang berdifusi sampai ke daerah itu semakin berkurang, sehingga tidak cukup untuk menghambat seluruh pertumbuhan kapang. Hasil pengujian zona hambat oleh minyak biji pala terhadap kapang Penicillium citrinum, Penicillium griseofulvum, Aspergilus flavus dan Syncephalasrtrum racemosum dapat dilihat pada tabel.
Rata-rata diameter zona hambat (mm) minyak biji pala terhadap konsentrasi yang ditentukan Konsentrasi Nanoemulsi minyak biji pala
Kapang Penicillium citrinum Penicillium griseofulvum Aspergilus flavus Syncephalastru m racemosum
0%
25%
35%
45%
0
8,00
12,50
21,50
0
11,50
15,00
18,00
0
14,00
18,50
21,50
0
16,50
20,50
23,50
Zona Hambat yang lebih luas terbentuk pada minyak biji pala dengan nilai konsentrasi yang sama yaitu 25%, 35% dan 45%, walaupun zona hambat yang dihasilkan untuk kapang Aspergillus flavus, Penicillium citrinum dan Penicillium griseofulvum bersifat parsial, kecuali untuk kapang Synchepalastrum racemosum yang bersifat total. Hal ini disebabkan karena konsentrasi minyak biji pala yang terkandung dalam nanoemulsi minyak biji pala lebih sedikit karena sudah dikomposisikan dan diformulasikan dengan bahan-bahan lainnya dalam pembuatan nanoemulsi minyak biji pala itu sendiri. Konsentrasi minyak biji pala dalam nanoemulsi minyak biji pala yaitu 15% minyak biji pala dalam 100 ml nanoemulsi minyak biji pala, sehingga menyebabkan zat aktif dari minyak biji pala yang berperan sebagai antifungi pun ikut berkurang dan zona hambat yang terbentuk cenderung lebih kecil diameternya. Nilai diameter zona hambat yang diperoleh dianalisis menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) faktorial, dimana perlakuan yang digunakan adalah konsentrasi sedangkan responnya adalah diameter zona hambat yang terbentuk. Pengujian ini dilakukan dengan 2 kali ulangan dan dengan 2 faktor uji yaitu nanoemulsi minyak biji pala dan minyak biji pala. Pada Tabel ANOVA sampel didapat semua Sig perlakuan 0,000 < 0,001 dapat disimpulkan tolak H0 dan terima H1 menunjukan bahwa ada perbedaan sangat nyata antar jenis faktor uji nanoemulsi minyak biji pala dan minyak biji pala terhadap diameter zona hambat pada Penicillium citrinum, Penicillium
griseofulvum, Aspergilus flavus dan Syncephalastrum racemosum, kecuali pada nilai Sig perlakuan konsentrasi dan kapang yaitu 0,016 > 0,001 maka dapat disimpulkan terima H0 dan Tolak H1 menunjukkan bahwa antara konsentrasi dan jenis kapang tidak berbera nyata. Semua F perlakuan didapat nilai < 102,341 dapat disimpilkan tolak H0 dan terima H1 yang berarti ada pengaruh perbedaan sangat nyata peningkatan konsentrasi antar jenis faktor uji nanoemulsi minyak biji pala dan minyak biji pala terhadap diameter zona hambat pada Penicillium citrinum, Penicillium griseofulvum, Aspergilus flavus dan Syncephalastrum racemosum. Kemudian dilakukan uji lanjut Duncan untuk membandingkan untuk membandingkan antar perlakuan masing-masing konsentrasi yang uji yang dilakukan. Dari data pengamatan uji Duncan didapat data bahwa perlakuan faktor kontrol negatif berbeda sangat nyata dengan minyak pala dan kontrol negatif berbeda nyata dengan nanoemulsi minyak pala, perlakuan nanoemulsi minyak biji pala berbeda nyata dengan minyak biji pala. Selanjutnya dapat diketahui pula bahwa perlakuan kontrol negatif (0%) berbeda nyata dengan konsentrasi 25% dan berbeda sangat nyata dengan konsentrasi lain, perlakuan antara konsentrasi 25%, 35% dan 45% berbeda nyata. Dan yang terakhir diketahui bahwa kelompok kapang Penicillium griseofulvum tidak berbeda nyata dengan kapang Penicillium citrinum dan berbeda nyata dengan kapang Aspergilus flavus serta berbeda sangat nyata dengan kapang Syncephalastrum racemosum, kelompok kapang Aspergilus flavus berbeda nyata dengan kelompok kapang lainnya. Hasil pengukuran diameter daerah hambat menunjukkan efektivitas nanoemulsi minyak biji pala dan minyak biji pala terhadap kapang Aspergillus flavus, Penicillium citrinum, Penicillium griseofulvum dan Synchepalastrum racemosum dimana diameter zona hambat semakin tinggi seiring dengan semakin tingginya konsentrasi. Minyak biji pala memberikan zona hambat lebih luas dibandingkan dengan nanoemulsi minyak pala pada konsentrasi yang sama.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Nanoemulsi minyak biji pala mempunyai efektivitas daya hambat sebagai antifungi terhadap Penicillium citrinum, Penicillium griseofulvum, Aspergillus flavus dan Syncephalastrum racemosum. Minyak biji pala mempunyai efektivitas daya hambat yang lebih baik sebagai antifungi terhadap pertumbuhan kapang Penicillium citrinum, Penicillium griseofulvum, Aspergillus flavus dan Syncephalastrum racemosum dibandingkan nanoemulsi minyak biji pala. Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan alat instrumen untuk mengetahui jenis senyawa yang memiliki aktivitas antifungi pada nanoemulsi minyak biji pala dan untuk mengetahui mekanisme nanoemulsi minyak biji pala sebagai antifungi. DAFTAR PUSTAKA Agustinisari, Iceu., Purwani, Endang Yuli., Harimurti, Niken., Yuliani, Sri. 2014. Aktivitas Antimikroba Nanoemulsi Minyak Biji Pala. Jurnal Pascapanen. 11(1) : 1-8. Bogor. Anonimous. 2000. Pengendalian Kontaminasi Aflatoksin Pada Jagung
[14/12/2014]. Ardiansyah. 2005. Daun Beluntas Sebagai Antibakteri dan Antioksidan. Berita IPTEK. Bouchemal, K., Briancon, S., Perrier, E., Fessi, H. 2004. Nano-emulsion formulation using spontaneous emulsification: solvent, oil, and surfactant optimization. International Journal of Pharmaceutics. 280: 241551. Djaafar, T., dan Rahayu, Siti. 2007. Cemaran Mikroba Pada Produk Pertanian, Penyakit Yang Ditimbulkan Dan Pencegahannya. Jurnal Litbang Pertanian, 26(2):67-75.
Kasno A, 2004. Pencegahan Infeksi A. flavus dan Kontaminasi Aflatoksin Pada Kacang Tanah. Jurnal Litbang Pertanian, 23(3):75-81. Lilieanny, Dharmaputra OS, & Putri ASR, 2005. Populasi Kapang Pascapanen dan Kandungan Aflatoksin pada Produk Olahan Kacang Tanah. Jurnal Mikrobiologi Indonesia, 10(1):17-20. Maksum, Radji. 2011. Buku Ajar Mikrobiologi : Panduan Mahasiswa Farmasi dan Kedokteran. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Mustafa, Ria Mariana. 2006. Studi Efektivitas Pengawet Alami Dalam Pengawetan Tahu. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Nurdjannah, N. 2007. Teknologi Pengolahan Pala. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. Bogor. Singh, G., Marimuthu, P., Carola, S., De Helijani., dan Catalan, C. 2005. Antimicrobial and Antioxidant Potensials of Essential Oil and Acetone Extract of Myristica fragrans Houtt.(Aril Part). Journal of Food Science. India. Talanca A Haris dan Mas’ud S. 2009. Pengelolaan Cendawan Aspergillus flavus pada Jagung. Makalah. Disampaikan pada Prosiding Seminar Nasional Serealia. Balai Penelitian Tanaman Serealia 2009: 445-449.