ANALISIS KOMPOSISI MINYAK ATSIRI FULI DAN BIJI PALA PAPUA (Myristica argentea Warb) DENGAN GC-MS
SKRIPSI
DENIS MUDLOFAR F24080092
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
ANALYSIS OF ESSENTIAL OIL COMPOSITION OF SEED AND MACE OF PAPUAN NUTMEG (Myristica argentea Warb) WITH GC-MS Denis Mudlofar, Budiatman Satiawihardja, and Dias Indrasti Department of Food Science and Technology, Faculty of Agicultural Technology, Bogor Agicultural University, IPB Darmaga Campus, PO Box 220, Bogor, West Java, Indonesia Phone:+6285769924245, e-mail:
[email protected]
ABSTRACT Papuan nutmeg (Myristica argentea Warb) is native to Papua Island that has been an export commodity but has not been diversified into various products optimally. Seed and mace of Nutmeg are exported in the whole form. This research aim to analyze essential oil composition of seed and mace of Papuan nutmeg. However, moisture and fat content were also analyzed since they were major components in nutmeg. Moisture content was analyzed by azeotropic distillation method and fat content was analyzed by Soxhlet’s method. Essential oil was extracted using Likens-Nickerson method (Simultaneous Distillation Extraction). The results showed that moisture content of M argentea Warb at the age of four month were 74.84 % and 26.71 % in seed and mace, respectively. Moisture content of M argentea Warb at the age of eight month were 19.25 % and 19.30 % in seed and mace, respectively. Fat content of M argentea Warb at the age of four month were 19.83 % and 27.31 % in seed and mace respectively. Fat content of M argentea Warb at the age of eight month were 23.47 % and 21.08 % in seed and mace, respectively. The essential oil of M argentea Warb at the age of four month were 9.22 % and 6.78 % in seed and mace respectively, while at the age of eight month were 3.04 % and 3.33 % in seed and mace respectively. The GC-MS (Gas chromatogaphy–mass spectrometry) result showed that the essential oil of Myristica argentea Warb taken from mace at the age of four month consist of 6 major components namely safrol (35.27 %), sabinen (31.29 %), beta.-phellandrene (16.24 %), terpene-4-ol (4.53 %), 1R.alpha.-pinene (1.76 %), and beta.-myrcene (1.53 %). The mace at the age of eight month had same major components namely safrol (35.29 %), sabinen (35.09 %), beta.-phellandrene (16.58%), terpene-4-ol (2.16 %), 1R-.alpha.-pinene (1.83 %), and beta.-Myrcene (1.75 %). On the other hand, the essential oil of myristica argentea Warb extracted from seed at the age of four month consist of 6 major components namely 2-thujene (54.13 %), safrol (21.44 %), beta.-phellandrene (10.59 %), beta.myrcene (3.58 %), 1R-.alpha.-pinene (1.54 %), and terpene-4-ol (2.13 %). The seed at the age of eight month have same major component those were 2-thujene (60.91 %), safrol (16.25 %), beta.phellandrene (11.22 %), beta.-myrcene (3.99 %), 1R-.alpha.-pinene (1.83 %), and terpene-4-ol (0.91 %). It could be concluded the chemical component composition between of age of pala were not significantly different. The essential oil of seed and mace consists of high hydrocarbons without oxygen (50-80 %). It could be developed as flavoring agent. In addition, the essential oil of mace also consists of hydrocarbons with oxygen (39-42 %). It could be used as medicine. Keyword: myristica argentea warb, nutmeg, essential oil, GC-MS
Denis Mudlofar. F24080092. Analisis Komposisi Minyak Atsiri Fuli dan Biji Pala Papua (Myristica argentea Warb) dengan GC-MS. Di bawah bimbingan Budiatman Satiawihardja dan Dias Indrasti. 2012
RINGKASAN Pala sebagai komoditi perdagangan internasional berkembang sangat cepat dengan nilai yang sangat besar. Salah satu jenis pala komoditi ekspor yang belum dimanfaatkan secara optimal adalah pala papua (Myristica argentea Warb). Penghasil pala papua dengan jumlah terbanyak adalah daerah Fakfak, Papua Barat. Disana, biji dan fuli pala papua hanya diekspor dalam bentuk utuh, sedangkan daging buah pala dimanfatkan menjadi produk makanan seperti sari pala dan selai. Padahal biji dan fuli pala papua mengandung minyak atsiri yang bisa dimanfaatkan lebih lanjut jika diketahui komponen yang ada pada biji dan fulinya. Setiap minyak atsiri memiliki komponen kimia yang berbeda. Mengetahui karakter dan sifat dari pala papua, terutama komponen volatil dari biji dan fuli pala, sangat penting untuk menentukan kebijakan pengembangan dan budidaya tanaman pala serta diversifikasi pengolahan pala sehingga memberikan nilai tambah pada petani. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi ilmiah tentang minyak atsiri fuli dan biji pala papua dan juga mempelajari potensi yang dimiliki oleh pala papua sebagai bahan formulasi flavor, fragance, kosmetik maupun keperluan lainnya sehingga tumbuhan asli Indonesia ini dapat lebih dimanfaatkan. Analisis awal biji dan fuli pala papua berupa pengamatan fsik, kadar lemak, dan kadar air. Kemudian sampel diekstraksi menggunakan metode Likens-Nickerson (Simultaneous Distillation Extraction). Metode ini merupakan metode yang sering digunakan dalam analisis komponen flavor. Setelah didapatkan minyak atsiri pala, kemudian dianalisis komponennya menggunakan Gas Chromatoghrapy-Mass Spectrometry (GC-MS). Hasil analisis kadar air dan kadar lemak menunjukkan bahwa pala umur empat dan delapan bulan memiliki kadar air biji berturut-turut sebesar 74.84% dan 19.25 %, sedangkan kadar lemak sebesar 19.83 % dan 23.47 %. Fuli pala papua umur empat dan delapan bulan memiliki kadar air berturut-turut sebesar 26.71 % dan 19.30 %, sedangkan kadar lemak sebesar 27.32 % dan 21.08 %. Hasil destilasi minyak atsiri menunjukkan kadar minyak atsiri paling banyak terdapat pada biji dan fuli umur empat bulan yaitu berturut-turut 9.22 % dan 6.78 %. Sedangkan pala umur delapan bulan dihasilkan minyak atsiri fuli 3.33 % dan biji 3.04 %. Berdasarkan data diatas, ekstraksi komersial minyak atsiri pala papua sebaiknya dilakukan pada biji dan fuli umur empat bulan. Berdasarkan analisis GC-MS, komponen yang dapat diidentifikasi dari minyak atsiri fuli pala papua umur empat dan delapan bulan adalah 29 komponen, sedangkan pada biji umur delapan dan empat bulan sebanyak 24 dan 25 komponen. Minyak atsiri fuli memiliki jumlah komponen volatil yang lebih banyak daripada biji. Sedangkan jika dilihat berdasarkan umur, pala umur empat maupun delapan bulan memilik jumlah dan komposisi komponen volatil yang tidak berbeda. Fuli pala papua umur empat bulan memiliki komponen mayor berupa safrol (35.27 %), sabinen (31.29 %), beta.phellandrene (16.24 %), terpene-4-ol (4.53 %), 1R-.alpha.-pinene (1.76 %), dan beta.-myrcene (1.53 %). Sedangkan fuli pala papua umur delapan bulan adalah safrol (35.29 %), sabinen (35.09 %), beta.phellandrene (16.58%), terpene-4-ol (2.16 %), 1R-.alpha.-pinene (1.83 %), dan beta.-myrcene (1.75 %). Biji pala papua umur empat bulan memiliki komponen mayor berupa 2-Thujene (54.13 %), safrol
(21.44 %), beta.-phellandrene (10.59 %), beta.-myrcene (3.58 %), 1R-.alpha.-pinene (1.54 %), dan terpene-4-ol (2.13 %). Sedangkan biji pala papua umur delapan bulan memiliki komponen mayor berupa 2-thujene (60.91 %), safrol (16.25 %), beta.-phellandrene (11.22 %), beta.-myrcene (3.99 %), 1R-.alpha.-pinene (1.83 %), dan terpene-4-ol (0.91 %). Minyak atsiri fuli dan biji pala papua mengandung banyak komponen hidrokarbon tidak beroksigen dalam jumlah besar (50-80%). Sehingga pala papua direkomendasikan untuk dikembangkan sebagai flavoring agent. Selain mengandung hidrokarbon tak beroksigen, minyak atsiri fuli juga banyak mengandung hidrokarbon beroksigen yang cukup besar (39-42 %). Sehingga minyak atsiri fuli pala papua juga direkomendasikan untuk dikembangkan sebagai obat.
ANALISIS KOMPOSISI MINYAK ATSIRI FULI DAN BIJI PALA PAPUA (Myristica argentea Warb) DENGAN GC-MS
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Oleh: DENIS MUDLOFAR F24080092
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Judul Skripsi : Analisis Komposisi Minyak Atsiri Fuli dan Biji Pala Papua (Myristica argentea Warb) dengan GC-MS Nama : Denis Mudlofar NIM : F24080092
Menyetujui, Pembimbing I,
Pembimbing II,
(Dr. Ir. Budiatman Satiawihardja, M.Sc) NIP 19530815 197903 1 002
(Dias Indrasti, STP. M.Sc) NIP 19820308 200501 2 001
Mengetahui, Ketua Departemen,
(Dr. Ir. Feri Kusnandar, M.Sc.) NIP 19680526 199303 1 004
Tanggal lulus :
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Analisis Komposisi Minyak Atsiri Fuli dan Biji Pala Papua (Myristica Argentea Warb) dengan GC-MS adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, 28 Juli 2012 Yang membuat pernyataan,
Denis Mudlofar F24080092
© Hak cipta milik Denis Mudlofar, tahun 2012 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya
BIODATA PENULIS
Penulis dengan nama lengkap Denis Mudlofar, lahir pada tanggal 13 Desember 1989 di Desa Rajabasa Lama, Lampung Timur. Penulis adalah anak kelima dari pasangan Bapak Muchidun dan Ibu Uhtiatun. Penulis menempuh pendidikan di SD Negeri 1 Rajabasa Lama pada tahun 1996-2002, pendidikan sekolah menengah pertama di SMP Negeri 1 Labuhan Ratu pada tahun 2002-2005, dan pendidikan sekolah lanjutan tingkat atas di SMU Negeri 1 Way Jepara pada tahun 2005-2008. Pada tahun 2008, penulis melanjutkan pendidikan tinggi di Institut Pertanian Bogor (IPB) pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian yang diterima melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Selama kuliah di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, penulis terlibat dalam organisasi Forum Bina Islami (FBI) Fateta sebagai ketua pada tahun 2011. Selain itu, penulis juga terlibat dalam Paguyuban Karya Salemba Empat (KSE) IPB menjabat sebagai ketua program RUSA (Rumah Sahabat) pada tahun 2011/2012. Penulis juga aktif dalam beberapa kegiatan kepanitiaan seperti Pelatihan Sistem Manajeman Pangan Halal (PLASMA) 2010, tatap muka penerima beasiswa KSE IPB 2011. Sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian, penulis menyusun skripsi setelah melakukan penelitian di Laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, FATETA, IPB dan Laboratorium Flavor Balai Besar Penelitian Padi, Sukamandi mulai bulan Maret 2012 sampai bulan Mei 2012, dengan judul “Analisis Komposisi Minyak Atsiri Fuli dan Biji Pala Papua (Myristica argentea Warb) dengan GC-MS” di bawah bimbingan Dr. Ir. Budiatman Satiawihardja, M.Sc dan Dias Indrasti, STP. M.Sc.
KATA PENGANTAR Penulis mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan kasih sayangNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah analisis komposisi atsiri dengan judul “Analisis Komposisi Minyak Atsiri Fuli dan Biji Pala Papua (Myristica argentea Warb) dengan GC-MS”. Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak. Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada: 1. Kedua orang tua penulis (Uhtiatun dan Muchidun) yang sudah memberi dukungan, semangat, dan doa bagi penulis. 2. Bapak Dr. Ir. Budiatman Satiawihardja, M.Sc sebagai dosen pembimbing I, atas segala bimbingan, nasehat, dan arahan yang telah diberikan kepada penulis selama perkuliahan serta dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan. 3. Ibu Dias Indrasti, STP. M.Sc sebagai dosen pembimbing II atas segala bimbingan, nasehat, dan arahan yang telah diberikan kepada penulis selama pelaksanaan penelitian dan penulisan. 4. PT. Indofood Sukses Makmur melalui Yayasan Karya Salemba Empat yang telah memberikan beasiswa kepada penulis selama menempuh kuliah hingga tugas akhir. 5. Bapak Faleh Setia Budi, ST., MT sebagai dosen penguji atas kesediaannya menjadi dosen penguji dan atas saran serta masukannya kepada penulis. 6. Bapak Dr. Ir. Slamet Budijanto, M.Agr yang telah memberi kesempatan dan dukungan untuk menjadi tim dalam penelitian pala papua. 7. Saudara Penulis: Kangmat, Mbak Roroh, Mas Agus, Mbak Resti, Neti, Nita, Azis, dan seluruh keluarga besar penulis yang sudah memberi dukungan dan doa. 8. Dosen-dosen, staf, dan karyawan di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan yang telah memberikan banyak ilmu yang berguna bagi penulis. 9. Mbak Desi selaku teknisi di Balai Padi Sukamandi, Bapak Taufiq selaku teknisi di Laboratorium Biokimia PAU, dan Bapak Sobirin selaku teknisi Laboratorium Analisis Pangan yang sudah mendampingi, membantu, dan mengarahkan penulis dalam penelitian ini. 10. Petugas teknisi dan laboran Departemen ITP: Pak Wahid, Pak Gatot, Pak Rojak, Pak Sidik, Bu Rubiah, Pak Yahya, Pak Koko, Pak Taufik, terima kasih atas bantuan, saran, dan kerja samanya selama penelitian. 11. M Hasrul Vitor selaku teman satu tim pala papua yang sudah membantu dan memberi dukungan dalam menyelesaikan tugas akhir ini. 12. Sahabat-sahabatku: M Iqbal, Ardy, Dio, Mustain, Suba, Irfan, Karno, Yuli, Ivan, Iin, Arum, Eka, Atikah, Bangun, Anik, Ical, Dody, sofian, Oktan, Zico, dan temen-temen ITP 45 lainnya, atas persahabatannya yang indah dan akrab selama ini. 13. Keluarga besar Al-izzah: Ahmad, Didik, Gagah, Iga, Fuad, Aep, Tendi, Anang, Udin, Robi, Wahyu, Subro, Faizul, Zainal, Satrio, Akbar, Gigih, Yanu, dan semua teman-teman kosan Alizah A atas dukungan dan bantuannya. 14. Teman-teman pengurus Paguyuban KSE IPB: Rizki, Rima, Erna, Hendra, Rendi, Sobich, Junda, Icha, terimakasih atas dukungannya. 15. Teman-teman RUSA: Mbak Mumun, Dias, Arlin, Wihdah, Vini, Dewi, Fajar, terimakasih atas dukungannya. 16. Teman-teman FBI yang sudah memberikan dukungan.
iv
17. Seluruh mahasiswa ITP angkatan 44, 43, dan 46 atas segala dukungan dan kerjasamanya. 18. Dan semua pihak yang telah membantu yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Penulis menyadari bahwa skripsi ini memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik untuk perbaikan selanjutnya. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi pembaca dan menjadi amal shalih bagi penulis Bogor, 15 Juni 2012 Penulis, Denis Mudlofar NIM. F24080092
v
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR…………………………………………………………….. iv DAFTAR ISI………………………………………………………………. ……... vi DAFTAR TABEL……………………………………............................................ viii DAFTAR GAMBAR…………………………………………..…………………. . ix DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………………. x I. PENDAHULUAN…………………………………………………...…………….. 1 A. LATAR BELAKANG…………………………………………………………. 1 B. TUJUAN………………………………………………………...……………... 2 C. MANFAAT………………………………………………………...………….. 2 II. TINJAUAN PUSTAKA………………………………………………….......……. 3 A. PALA PAPUA………………………………………………………..………... 3 1. Botani Pala Papua………………………………………………...………... 3 2. Komposisi Fisik dan Kimia………………………………………………... 4 B. MINYAK ATSIRI PALA……………………………………………….…….. 5 1. Komponen Minyak Atsiri Pala………………………………...…………... 6 2. Kegunaan Minyak Atsiri Pala……………………………………...……… 7 C. METODE EKSTRAKSI MINYAK ATSIRI…………………………….……. 8 1. Penyulingan (Guenther 2006)……………………………………..………. 8 a. Penyulingan dengan Air (Water Distillation)…………………………. 8 b. Penyulingan dengan Air dan Uap (Water and Steam Distillation)…….. 8 c. Penyulingan Uap Langsung (Steam Distillation)……………………… 9 2. Enfleurasi………………………………………………………………..….9 3. Ekstraksi Dengan Pelarut Menguap (Guenther 2006)……………………... 10 4. Maserasi…………………………………………………………….……… 10 5. Destilasi Metode Likens-Nickerson (Simultaneous Distillation Extraction) (Self 2005)…………………………………………………………………. 10 D. GAS CROMATOGAPHY-MASS SPECTROMETRY (GC-MS)……………...… 12 III. METODE PENELITIAN………………………………………………………..….14 A. WAKTU DAN TEMPAT…………………………………………………….... 14 B. BAHAN DAN ALAT………………………………………………………..... 14 C. METODE…………………………………………………………………….… 14 D. PROSEDUR ANALISIS………………………………………………………. 15 1. Analisis Kadar Air Metode destilasi Azeotropik (SNI 01-3181-1992 yang termodifikasi diacu dalam Faridah et.al 2010)………………………. 15 2. Analisis Kadar Lemak Metode Soxhlet (AOAC 1995)……………………. 16 3. Destilasi Minyak Atsiri dengan Menggunakan Metode Likens-Nickerson Simultaneous Distillation Extraction)……………………………………... 17 4. Analisis Komposisi Minyak Atsiri Menggunakan GC-MS………………... 18 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN……………………………………………………. 20 A. KARAKTERISTIK FISIK…………………………………………………….. 21
vi
B. KADAR AIR…………………………………………………………………... 21 C. KADAR LEMAK……………………………………………………………… 22 D. EKSTRAKSI MINYAK ATSIRI……………………………………………… 23 E. KOMPONEN MINYAK ATSIRI……………………………………………... 24 F. ARAH PENGEMBANGAN MINYAK ATSIRI PALA PAPUA…………….. 29 V. KESIMPULAN DAN SARAN……………………………………………………. 35 A. KESIMPULAN………………………………………………………………… 35 B. SARAN………………………………………………………………………… 35 DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………… 36 LAMPIRAN……………………………………………………………………….. 39
vii
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1. Persentase berat bagian-bagian buah pala banda (Rismunandar 1992)….. 5 Tabel 2. Karakteristik minyak atsiri biji dan fuli pala banda*…………………….. 7 Tabel 3. Titik didih dan polaritas pelarut organik (Mukhopadhyay 2002)………… 12 Tabel 4. Perbandingan fisik buah pala papua umur empat dan delapan bulan……. 20 Tabel 5. Persentasi berat dari bagian-bagian buah pala papua…………………….. 20 Tabel 6. Hasil analisis kadar air metode azeotropik (basis basah)………………… 21 Tabel 7. Hasil analisis kadar lemak metode Soxhlet………………………………. 22 Tabel 8. Hasil pekatan destilasi minyak atsiri pala papua dengan metode LikenNickerson…………………………………………………………………. 24 Tabel 9. Komponen atsiri fuli dan biji pala papua umur empat dan delapan bulan.. 25 Tabel 10. Komponen mayor pada minyak atsiri fuli pala papua…………………. 28 Tabel 11. Komponen mayor pada minyak atsiri biji pala papua…………………... 28 Tabel 12. Karakter senyawa safrol (Parry 2007)…………………………………... 30 Tabel 13. Karakter senyawa sabinen dan thujene (Parry 2007)…………………… 30 Tabel 14. Karakter senyawa phellandrene (Parry 2007)………………………….. 31 Tabel 15. Karakter senyawa beta-mirsen (Parry 2007)……………………………. 31 Tabel 16. Karakter senyawa alfa-pinen (Parry 2007)……………………………… 31 Tabel 17. Karakter senyawa terpeneol (Parry 2007)………………………………. 32 Tabel 18. Karakter senyawa eugenol, myristicin, kopaena, elimicin, dan alfafernesena (Parry 2007)………………………………………………….. 32 Tabel 19. Pengelompokkan senyawa minyak atsiri biji dan fuli pala papua berdasarkan unit isoprene ……………………………………………… 33
viii
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1. Bagian-bagian buah pala………………………………………………. 4 Gambar 2. Penyulingan dengan uap dan air……………………………………….. 8 Gambar 3. Skema alat penyulingan dengan uap dengan boiler lorong api………… 9 Gambar 4. Alat ekstraksi Likens–Nickerson simultaneous steam distillation– extraction……………………………………………………………….. 11 Gambar 5. Diagram alir tahapan penelitian………………………………………... 14 Gambar 6. Diagram alir analisis kadar air metode destilasi azeotropik…………… 15 Gambar 7. Diagram alir analisis kadar lemak metode Soxhlet……………………. 16 Gambar 8. Diagram alir ekstraksi minyak atsiri dengan SDE Liken-Nickerson….. 17 Gambar 9. Diagram alir penentuan senyawa dalam minyak atsiri pala papua…….. 19 Gambar 10. a. buah pala papua (Myristica argentea Warb) b. buah pala banda (Myristica fragrans Houtt)…………………………...21 Gambar 11. Struktur molekul 2-thujene dan sabinen …………………………….. 26 Gambar 12. Kromatogram minyak atsiri fuli dan biji pala papua…. ……………... 27 Gambar 13. Struktur molekul komponen mayor pada minyak atsiri biji dan fuli pala papua……………………………………………………………. 29 Gambar 14. Struktur molekul unit isoprene……………………………………….. 33
ix
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1. Data penentuan Faktor Destilasi (FD)……………………………… 39 Lampiran 2. Data analisis kadar air metode azeotropik………………………… 40 Lampiran 3. Data analisis kadar lemak metode Soxhlet…………………………… 41 Lampiran 4. Data ekstraksi minyak atsiri……………………………………….. 42 Lampiran 5. Dokumentasi buah, biji dan fuli pala papua umur delapan dan empat bulan………………………………………………………………… 43 Lampiran 6. Dokumentasi peralatan yang digunakan …………………………… 44 Lampiran 7a. Kromatogram minyak atsiri biji umur 4 bulan ulangan 1………. 45 Lampiran 7b. Kromatogram minyak atsiri biji umur 4 bulan ulangan 2…. ……... 46 Lampiran 7c. Kromatogram minyak atsiri biji umur 8 bulan ulangan 1…. ……... 47 Lampiran 7d. Kromatogram minyak atsiri biji umur 8 bulan ulangan 2……… 48 Lampiran 7e. Kromatogram minyak atsiri fuli umur 4 bulan ulangan 1……… 49 Lampiran 7f. Kromatogram minyak atsiri fuli umur 4 bulan ulangan 2………. 50 Lampiran 7g. Kromatogram minyak atsiri fuli umur 8 bulan ulangan 1………. 51 Lampiran 7h. Kromatogram minyak atsiri fuli umur 8 bulan ulangan 2……… 52 Lampiran 8a. Senyawa-senyawa atsiri biji umur 4 bulan ulangan 1 hasil identifikasi menggunakan NIST Library…………………………… 53 Lampiran 8b. Senyawa-senyawa atsiri biji umur 4 bulan ulangan 2 hasil identifikasi menggunakan NIST Library…………………………... 58 Lampiran 8c. Senyawa-senyawa atsiri biji umur 8 bulan ulangan 1hasil identifikasi menggunakan NIST Library…………………………... 62 Lampiran 8d. Senyawa-senyawa atsiri biji umur 8 bulan ulangan 2 hasil identifikasi menggunakan NIST Library….………………………... 66 Lampiran 8e. Senyawa-senyawa atsiri fuli umur 4 bulan ulangan 1 hasil identifikasi menggunakan NIST Library………………………….. 70 Lampiran 8f. Senyawa-senyawa atsiri fuli umur 4 bulan ulangan 2 hasil identifikasi menggunakan NIST Library……………..…………….. 75 Lampiran 8g. Senyawa-senyawa atsiri fuli umur 8 bulan ulangan 1hasil identifikasi menggunakan NIST Library……………..…………….. 80 Lampiran 8h. Senyawa-senyawa atsiri fuli umur 8 bulan ulangan 2 hasil identifikasi menggunakan NIST Library…..……………………….. 85 Lampiran 9. Rumus molekul, sinonim, penggolongan senyawa terpen, dan nama IUPAC dari komponen-komponen minyak atsiri pala papua………... 91
x
I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pala adalah tumbuhan dari suku Myristica (Myristicaceae) yang terdiri atas 15 genus dan 250 spesies (Rismunandar 1992). Pala merupakan salah satu komoditi pertanian yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Setiap bagian dari tanaman dapat dimanfaatkan dalam berbagai industri. Biji, fuli, dan buah dari pala merupakan bagian yang paling banyak dimanfaatkan dalam industri makanan dan minuman. Sedangkan minyak atsiri yang berasal dari biji dan fuli pala banyak digunakan dalam industri obat-obatan, parfum, kosmetik dan flavor. Indonesia merupakan negara pengekspor biji pala. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistika (BPS) tahun 2010, terlihat bahwa ekspor pala dari Indonesia mencapai volume hingga 65.832.942 kg. Ekspor ini menembus angka US$ 11.539.810 sebagai nilai penjualan ekspor pala. Namun data BPS (2010) juga memperlihatkan bahwa pala yang diekspor masih dalam bentuk biji dengan batok (nutmeg in shell), biji tanpa batok (nutmeg, shelled), dan fuli (mace). Ekspor terbesar adalah dalam bentuk biji tanpa batok (nutmeg, shelled) sebesar 33.526.123 kg atau senilai US$ 7.155.633. Padahal nilai jual biji pala dapat bertambah bila diekspor dalam bentuk produk yang sudah diolah seperti minyak atsiri pala. Perkembangan perdagangan internasional pada bahan-bahan hasil flora (tumbuhan) termasuk minyak atsiri berkembang sangat cepat dengan nilai yang sangat besar (Apriantono 2007). Industri pengguna minyak atsiri terbesar adalah industri flavor dan fragance yang nilai perdagangan globalnya diperkirakan sebesar US$ 18 milyar dan nilai impor Indonesia diperkirakan sebesar US$ 400-500 juta (Gunawan 2009). Dengan semakin berkembangnya industri pengolahan makanan, minuman, obatobatan, parfum, kosmetika, aroma terapi, dan lain-lain, kebutuhan minyak atsiri akan semakin besar, baik volume maupun jenisnya. Untuk itu, pala sebagai salah satu sumber minyak atsiri memiliki peluang untuk dapat dimanfaatkan sebagai penambah devisa negara. Di antara jenis pala yang tersebar di Indonesia, jenis yang paling terkenal dan banyak digunakan adalah pala banda (M. fragrans), sedangkan pala jenis lain masih kurang dikembangkan. Salah satu jenis pala yang belum dikembangkan secara optimal adalah pala papua (Myristica argentea Warb). Fakfak merupakan daerah penghasil pala papua terbesar. Disana daging buah pala dimanfatkan menjadi produk makanan seperti sari pala dan selai. Biji dan fuli pala papua diekspor dalam bentuk utuh. Padahal biji dan fuli pala papua mampu dimanfaatkan lebih lanjut dengan mengetahui komponen yang ada pada biji dan fuli pala papua. Menurut Agusta (2000) setiap minyak atsiri memiliki komponen kimia yang berbeda. Pengetahuan mengenai karakter dan sifat dari pala papua, terutama komponen volatil dari biji dan fuli pala sangat penting untuk menentukan kebijakan pengembangan, budidaya, serta diversifikasi pengolahan pala. Hal ini akan memberikan nilai tambah pada petani. Komposisi atau kandungan komponen di dalam minyak atsiri adalah hal yang paling mendasar dalam menentukan aroma maupun kegunaannya (sebagai bahan pengharum, kosmetik, flavor, atau obat). Jadi penentuan komponen penyusun dan komposisi masing-masing komponen tersebut didalam minyak atsiri pala papua merupakan hal yang sangat penting dalam menentukan kegunaan, kualitas, maupun mutu dari suatu minyak atsiri. Atsiri pala papua belum banyak dimanfaatkan khususnya sebagai bahan baku pembuatan flavor. Hal ini akan menjadi suatu tantangan bagi kita untuk menggali potensi sehingga memberikan nilai tambah ekonomi masyarakat Fakfak.
B. TUJUAN Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi ilmiah tentang minyak atsiri fuli dan biji pala papua (Myristica argentea Warb) dan juga mempelajari potensi yang dimiliki oleh pala papua sebagai bahan formulasi flavor, fragance, kosmetik, maupun keperluan lainnya. Sehingga tumbuhan asli Indonesia ini dapat lebih dimanfaatkan.
C. MANFAAT Hasil penelitian ini dapat bermanfaat sebagai bahan pertimbangan pengolahan biji dan fuli pala papua (Myristica argentea Warb) berdasarkan komponen volatil yang ada didalamnya.
2
II. TINJAUAN PUSTAKA A. PALA PAPUA 1. Botani Pala Papua Pala merupakan tanaman daerah tropis yang termasuk dalam kelas Angiospermae, subkelas Dicotyledonae, ordo Ranales, family Myristiceae serta Myristica. Tanaman ini terdiri dari 15 genus dan 250 species. Seluruh spesiesnya tersebar di daerah tropis. Dari 15 genus, 5 genus terdapat di daerah tropis Amerika, 6 genus di daerah tropis Afrika, dan 4 genus di daerah tropis Asia (Rismunandar 1992). Salah satu jenis pala yang ada di Indonesia adalah Pala papua. Pala ini memiliki nama latin Myristica argentea Warb. Pala papua adalah jenis pala yang khas Irian Jaya dengan nama daerahnya “henggi” atau “saya”. Di daerah jawa, pala ini sering disebut “pala lelaki”. Pala ini memiliki buah lonjong, begitu juga dengan bentuk bijinya (Rismunandar 1992). Pengolahan fuli dan buah pala papua tidak berbeda dengan pala banda (M. fragrans). Fulinya kurang mengandung minyak atsiri, hanya 6.5%, kualitas dan baunya tidak sebaik fuli banda, namun aromanya cukup menarik. Hingga saat ini masih dapat dinyatakan sebagai rempahrempah yang diakui dalam pasaran dunia internasional (Rismunandar 1992). Tanaman pala secara umum (termasuk pala papua) memiliki lingkungan hidup yang sama. Pala dapat tumbuh baik pada tanah dengan struktur gembur dan penuh humus, derajat keasaman tanah 5.5-6.5, pada dataran rendah hingga ketinggian ± 700 m dari permukaan laut, dengan curah hujan antara 2000-3000 mm/tahun. Di sekitar Teluk Bintuni, pala papua (Myristica argentea Warb) tumbuh sebagai tanaman liar di hutan-hutan. Banyak tumbuh dilereng-lereng gunung dengan ketinggian dibawah 700 meter dari permukaan laut. Walaupun demikian, ada juga penduduk asli yang memelihara pala ini sebagai tanaman peliharaan dipekarangan rumah (Rismunandar 1992). Tanaman pala merupakan tanaman berumah dua (deoceous) yang berarti bunga jantan dan betina tidak terletak pada satu pohon. Ada juga pohon yang berkelamin dua atau hermafrodit, namun jarang sekali terjadi. Tanaman pala mulai berbunga setelah berumur 6-10 tahun tergantung dari keadaan tanah dan iklim. Bunganya berwarna pucat, kecil, lunak dan berbau harum serta malai. Malai bunga jantan terdiri dari 1-10 bunga dan malai bunga betina 1-3 bunga. Jangka waktu pertumbuhan buah dari mulai persarian hingga masak petik tidak lebih dari sembilan bulan (Rismunandar 1992). Daun pohon Pala berwarna hijau mengkilat dengan panjang 5 - 15 cm dan lebar 3 - 7 cm serta panjang tangkai daun 0.7 -1.5 cm (Deptan 1986). Tanaman pala dapat tumbuh dengan tinggi 10-20 meter, mahkota pohon yang bervariasi antara bentuk piramidal (kerucut), lonjong (silindris), dan bulat. Pala mulai berbuah setelah berumur 8-9 tahun, hasil maksimum pada umur 25 tahun, dan dapat bertahan sampai umur 60 tahun. Pohon pala yang telah berumur 10-12 tahun menghasilkan buah sekitar 800-2000 buah per tahun dari 2-3 kali panen (Hadad 2001). Buah pala berbentuk seperti buah pir, ujungnya meruncing, kulitnya licin, berdaging, dan cukup banyak mengandung air (Rismunandar 1992). Bunga pala terdapat di dalam tandan bewarna kuning yang berbentuk seperti buah peach. Tandan ini ketika sudah matang memiliki tiga bagian, yaitu kulit luar dan daging, arrilus (membran) yang bewarna jingga tua sampai merah, dan bagian paling dalam berupa biji (Farrell,
1990). Membran pala dapat diambil dan dijemur selama enam sampai delapan minggu sehingga menjadi rempah-rempah bewarna jingga yang disebut mace. Menurut Hadad (2001), buah pala mempunyai daging buah keras, berwarna keputihputihan, mengandung getah putih, dan rasanya kelat. Diameter buah pala bervariasi dari 3-9 cm. Bila buah pala masak, daging buahnya akan terbuka sehingga terlihat biji yang berwarna coklat dan tertutup oleh arillus berwarna merah cerah seperti jala berlubang-lubang. Selaput merah ini jika telah kering disebut fuli (mace). Buah pala terdiri atas daging pala (pericarp) dan biji pala yang terdiri atas fuli, tempurung, dan daging biji. Gambar bagian-bagian buah pala dapat dilihat pada Gambar 1. Buah pala dapat dipanen setelah enam sampai sembilan bulan dari masa pembentukan bunga. Buah pala papua (Myristica argentea Warb) dipanen setiap dua kali dalam setahun, pertama mulai buan Maret hingga Juni, dan kedua pada bulan Oktober hingga Desember. Pemanenan dapat dilakukan dengan menggunakan galah atau menunggu sampai jatuh. Fuli dari buah pala yang belum cukup masak berwarna kuning pucat. Bila dikeringkan, akan mengalami perubahan warna menjadi coklat muda. Fuli yang sudah tua berwarna merah api, apabila dikeringkan akan berwarna merah coklat, dan bila disimpan dalam waktu yang lama akan berubah menjadi kuning tua hingga kuning oranye seperti warna jerami (Rismunandar 1992).
Biji
Fuli Daging buah Gambar 1. Bagian-bagian buah pala papua Fuli yang berasal dari Indonesia (East India) mempunyai aroma yang lebih kuat dan warna yang lebih terang dibanding fuli yang berasal dari Genada (West India). Hal ini disebabkan karena minyak fuli East India mempunyai kandungan safrol dan myristicin yang lebih tinggi dibandingkan minyak pala West India, disamping itu juga terdapat perbedaan komponen penyusun monoterpen. Safrol dan myristicin merupakan senyawa eter aromatis yang menimbulkan flavor yang kuat pada fuli (Purseglove et al. dalam Nurdjannah 2007). Secara langsung biji pala dan fuli dapat dimanfaatkan sebagai bumbu masak dan obat-obatan. Bagian biji pala berwarna coklat keabuan dengan ukuran panjang sekitar 3 cm dan lebar 2 cm. Biji pala mempunyai cangkang luar yang sangat keras, namun mudah dipecahkan dan dipisahkan. Biji lalu digiling menjadi rempah-rempah yang disebut nutmeg. Bagian pala yang umum digunakan di Indonesia adalah biji pala. Biji pala mempunyai karakteristik rasa pahit, pedas, hangat, dan bau yang manis, menyengat namun hangat (Farrell, 1990).
2. Komposisi Fisik dan Kimia Menurut Somaatmadja dalam Nurdjannah (2007), buah pala terdiri atas daging buah (pericarp) dan biji yang terdiri dari fuli, tempurung dan daging biji. Dari buah pala segar dapat
4
dihasilkan daging buah sebanyak 83.3%, fuli 3.22 %, tempurung biji 3.94 %, dan daging biji 9.54%. Purseglove et al. dalam Nurdjannah (2007) mengemukakan perbandingan biji pala kering terhadap fuli kering adalah 20 : 3. Perbandingan berat biji kering dengan fuli dalam praktek ratarata 4 : 1. Perbandingan berat pala banda (Myristica fragrans Houtt) dari keempat bagian buah pala dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Persentase berat bagian-bagian buah pala banda (Rismunandar 1992) Bagian Buah
Basah (%)
Kering (diangin-anginkan)
Daging
77.8
9.93
Fuli
4
2.09
Tempurung
5.1
-
Biji
13.1
8.4
Komposisi kimia fuli hampir sama dengan biji pala. Berdasarkan analisis proksimat, sebagian besar biji pala dan fuli pala terdiri atas pati, minyak lemak dan ekstrak alkohol. Selain itu biji pala dan fuli juga mengandung minyak atsiri, protein dan mineral-mineral lainnya (Somaatmadja dalam Nurdjannah 2007). Berdasarkan penelitian Hustiany (1994), daging buah pala (M. fragrans) mengandung 29 komponen volatil dengan 23 komponen yang teridentifikasi dan 6 komponen lainnya yang belum teridentifikasi. Komponen-komponen yang paling banyak terkandung dalam minyak atsiri daging buah pala adalah α-pinen (8.7%), β-pinen (6.92%), ∆-3-karen (3.54%), D-limonen (8%), αterpinen (3.69%), 1,3,8-mentetrien (5.43%), γ-terpinen (4.9%), α-terpineol (11.23%), safrol (2.95%), dan myristisin (23.37%). Komposisi penyusun minyak atsiri M. fragrans pada fuli terdapat 5 komponen utama yaitu β-linalool (10.3%), safrol (1.18%), miristisin (20.05%), isoeugenol (32.80%), dan etil-9heksa dekanoat (6.56%), serta 8 komponen minor. Biji mempunyai 5 komponen utama yaitu, βterpeneol (40.20%), bergamol (13.40%), miristisin (24.90%), citronelil butirat (8.04%), safrol (7.04%) serta 12 komponen minor (Chairul dan Sulianti 2000).
B. MINYAK ATSIRI PALA Minyak atsiri pala atau minyak pala merupakan cairan yang tidak berwarna/warna bening pucat dan jika kontak dengan udara dalam jangka waktu yang lama akan bersifat resin, sehingga minyak akan bersifat lebih kental. Sifat minyak ini tergantung dari asal daerah, jenis tanaman penghasil, umur buah, mutu biji pala dan ”mace” serta metode penyulingan. Oleh karena itu sifat fisik dan kimia minyak pala yang berasal dari Banda dan Pandang berbeda, begitu pula dengan minyak pala dan fuli yang berasal dari east India berbeda dengan minyak pala dan fuli yang berasal dari west India (Ketaren 1985). Minyak yang berasal dari biji pala mempunyai bau dan flavor yang sama dengan minyak yang berasal dari fuli. Akan tetapi, biaya produksi minyak fuli jauh lebih mahal daripada minyak biji maka minyak atsiri yang berasal dari biji pala yang umum digunakan (Ketaren 1985). Minyak biji pala dan minyak yang berasal dari fuli banyak dipergunakan sebagai flavoring agent pada minuman beberapa jenis bahan pangan seperti biskuit, cake, pudding, makanan yang dipanggang serta makanan dari
5
daging dan sosis. Minyak pala juga digunakan dalam industri parfum dan pasta gigi. Dalam bidang farmasi, minyak pala dgunakan sebagai analgesik dan dalam jumlah kecil digunakan dalam industri kosmetik dan sabun (Ketaren 1985). Pala yang mempunyai mutu terbaik dalam dunia perdagangan adalah pala dari jenis Myristica fragrans. Biji pala yang dimanfaatkan adalah biji pala yang telah masak dan kering, sedangkan bagian fuli adalah arillde yang menutupi kulit biji pala (Ketaren 1985). Minyak atsiri pala banda (M. fragrans) menjadi satu diantara 15 komoditi ekspor yang sudah di produksi secara kontinyu (Gunawan 2009). Minyak atsiri pala dapat diperoleh dari penyulingan biji pala, sedangkan minyak fuli dari penyulingan fuli pala. Minyak atsiri dari biji pala maupun fuli mempunyai susunan kimiawi dan warna yang sama, yaitu jernih, tidak berwarna hingga kuning pucat. Minyak fuli baunya lebih tajam daripada minyak biji pala. Rendemen minyak biji pala berkisar antara 2–15 % (rata-rata 12 %), sedangkan minyak fuli antara 7-18 % (rata-rata 11 %). Bahan baku biji dan fuli pala yang digunakan biasanya berasal dari biji pala muda dan biji pala tua yang rusak (pecah) (Somaatmaja 1984). Biji pala muda menghasilkan rendemen minyak yang lebih besar dibandingkan dengan biji pala tua. Biji pala menghasilkan minyak atsiri sekitar 7-16%, sedangkan bagian fuli menghasilkan minyak sekitar 4-16% (Ketaren 1985). Rendemen dan mutu minyak dipengaruhi oleh beberapa faktor yang dapat digolongkan menjadi dua yaitu pra panen dan pasca panen. Faktor pra panen meliputi jenis (varietas) tanaman, cara budidaya, waktu dan cara panen. Faktor pasca panen meliputi cara penanganan bahan, cara penyulingan, pengemasan dan transportasi. Biji pala yang akan disuling minyaknya, sebaiknya dipetik pada saat menjelang terbentuknya tempurung yaitu berusia sekitar 4 - 5 bulan. Pada umur tersebut warna fuli masih keputih-putihan dan daging buahnya masih lunak. Fuli yang tua dan sudah merah warnanya, kandungan minyak atsirinya relatif rendah dan dimanfaatkan untuk ekspor (Somaatmaja 1984). Penyulingan dapat dilakukan dengan cara penyulingan uap (kohobasi) pada tekanan rendah, sedangkan penyulingan dengan tekanan tinggi dapat menyebabkan terbawanya minyak lemak sehingga akan menurunkan mutu minyak atsiri (Guenther 2006). Selain mengandung minyak atsiri, biji pala dan fuli mengandung lemak (trigliserida), pati dan serat kasar. Lemak (trigliserida) pala terdiri dari trimiristin, palmitin, olein, dan linelein serta fraksi tidak tersabunkan misalnya miristin (Ketaren 1985).
1. Komponen Minyak Atsiri Pala Minyak pala biasa diperoleh dengan cara destilasi uap dari biji atau fuli pala. Minyaknya tidak berwarna atau kuning dengan odor dan rasa seperti pala, tidak larut dalam air, tetapi larut dalam alkohol dan mempunyai bobot jenis pada 25 oC antara 0.859 – 0.924, refraktif indeks pada 20 oC antara 1.470–1.488 dan putaran optik pada 20 oC sekitar +10o-+45o (Marcelle dalan Nurdjannah 2007). Sedangkan karakteristik minyak pala banda dan fuli menurut Furia dan Bellanga dalam Rismunandar (1992) disajikan pada Tabel 2. Aroma minyak pala yang khas merupakan akibat dari kandungan beberapa komponenkomponen kimiawi, seperti monoterpen hidrokarbon ± 88 % dengan komponen utama camphene dan pinen, myristicin, dan monoterpen alkohol seperti geraniol, lonalol, terpineol, serta komponen lain seperti eugenol dan metil eugenol (Rismunandar 1992). Menurut Dorman et al dalam Jukic et al (2006) komponen utama minyak biji pala adalah terpen, terpen alkohol, dan fenolik eter.
6
Komponen monoterpen hidrokarbon yang merupakan komponen utama minyak pala terdiri atas βpinen (23.9%), α-pinen (17.2%), dan limonen (7.5%). Sedangkan komponen fenolik eter terutama adalah myristicin (16.2%), diikuti safrol (3.9%) dan metil eugenol (1.8%). Tabel 2. Karakteristik minyak atsiri biji dan fuli pala banda* Minyak Fuli Karakteristik Minyak Pala India Timur India Barat Bobot Jenis 20o/20o
0.866-0.929
0.883-0.917
0.862-0.882
o
1.475-1.479
1.474-1.488
1.469-1.480
Indeks refraksi 20
o
o
o
o
Putaran optik
(-9 )-(+41 )
(+20 )-(+30 )
(+20o)-(+45o)
Kelarutan dalam etanol 90%
-
1:3
1:4
*Sumber : (Furia dan Bellanga dalam Rismunandar 1992) Selanjutnya Dorman et al. (2004) menyatakan terdapat 25 komponen yang teridentifikasi dalam minyak pala banda (sejumlah 92.1% dari total minyak) yang diperoleh dengan cara penyulingan (hydrodistillation) menggunakan sebuah alat penyuling minyak menurut British Pharmacopeia. Pada prinsipnya komponen minyak tersebut teridentifikasi sebagai α-pinen (22,0%) dan β– pinen (21.5%), sabinen (15.4), myristicin (9.4), dan terpinen-4-ol(5.7). Minyak fuli mengandung lebih banyak myristicin daripada minyak pala. Produksi minyak pala per tahun sekitar 300 ton, produsen utamanya adalah Indonesia dan Sri Lanka, dengan pasar terbesar adalah USA sekitar 75 %. Beberapa minyak pala yang diekspor ke Eropa didestilasi dari pala genada dengan cara penyulingan uap pada umumnya rendemennya sebesar 11 %. Hasil analisis minyak tersebut dengan GC-MS menunjukkan minyak tersebut terdiri dari α-pinen, sabinen, β-pinen, myrcen, limonen, α-terpinen dan terpinen–4–ol (Lancashire 2002). Bahkan hasil penelitian barubaru ini terhadap minyak pala dari St Catherine, Jamaika, dan West Indian lain menunjukkan adanya perbedaan jumlah komponen yang nyata yang dapat digunakan untuk membedakan asal minyak.
2. Kegunaan Minyak Atsiri Pala Secara garis besar kegunaan minyak pala adalah sebagai berikut: (1) Zat penyedap (flavoring agent), (2) zat pewangi (fragance), (3) zat pengawet, dan (4) zat penghilang rasa sakit. Industri yang memerlukan penggunaan minyak pala umumnya adalah industri makanan dan minuman, industri kosmetik dan parfum, dan industri farmasi (Asyik 2005). Dalam industri makanan dan minuman, banyak pala diperlukan sebagai zat penyedap, pewangi, dan pengawet. Penggunaan minyak pala sebagai zat penyedap dalam industri tersebut adalah untuk memberikan rasa dan aroma yang sedap pada produk makanan dan minuman. Untuk pewangi makanan, penggunaan minyak pala terutama pada makanan-makanan yang dipanggang seperti cake, cokies, pudding, dan sebagainya. Penggunaan minyak pala secara bersama-sama dengan minyak cengkeh, vanili dan cassia adalah sebagai pencampur aroma tembakau pada industri rokok kretek. Sedangkan penggunaan minyak pala sebagai bahan pengawet makanan disebabkan oleh kandungan myristicin dalam minyak tersebut. Herman (1976) menjelaskan bahwa
7
dalam dosis tertentu myristicin dapat bersifat racun, sehingga penggunaan minyak pala dalam industri makanan dan minuman diperbolehkan dalam jumlah yang terbatas. Dalam industri kosmetika dan parfum yang memproduksi aneka produk kosmetik dan parfum, sabun, pasta gigi, dan sebagainya, penggunaan minyak pala adalah sebagai zat pewangi (fragances), karena sifat wangi dari minyak pala tidak kalah dengan minyak atsiri yang berasal dari bunga. Pada industri parfum, minyak pala digunakan sebagai bahan pencampur minyak wangi atau eau de cologne dan penyegar ruangan. Minyak pala juga digunakan untuk penyegar pasta gigi bersama dengan minyak permen peppermint oil (Asyik 2005).
C. METODE EKSTRAKSI MINYAK ATSIRI 1. Penyulingan (Guenther 2006) Salah satu cara untuk memproduksi minyak atsiri adalah dengan cara penyulingan. Cara ini yang banyak dilakukan oleh para industri kecil di bidang penyulingan minyak atsiri. Ada beberapa macam proses penyulingan untuk mendapatkan minyak atsiri antara lain:
a. Penyulingan dengan Air (Water Distillation) Pada metode ini, bahan yang akan disuling kontak langsung dengan air mendidih. Bahan tersebut mengapung diatas air atau terendam secara sempurna tergantung dari bobot jenis dan jumlah bahan yang disuling. Ciri khas dari metode ini adalah kontak langsung antara bahan dan air mendidih. Jenis bahan yang biasa disuling dengan metode ini adalah bahan berbentuk bubuk seperti bubuk buah badam, bunga mawar, dan orange blossom. Bahan tersebut tidak dapat disuling dengan metode uap langsung karena akan melekat dan membentuk gumpalan besar dan kompak sehingga uap tidak dapat berpenetrasi kedalam bahan.
b. Penyulingan dengan Air dan Uap (Water and Steam Distillation) Pada metode ini, bahan diletakkan pada rak-rak atau saringan berlubang. Ketel suling diisi dengan air sampai permukaan air tidak jauh dibawah saringan. Air dapat dipanaskan dengan berbagai cara yaitu dengan uap basah dan bertekanan rendah. Selain itu pemanasanya dapat juga menggunakan panas langsung seperti pada pemanasan air. Ciri khas dari metode ini adalah (1) Uap selalu dalam keadaan jenuh dan tidak terlalu panas, (2) Bahan yang disuling hanya berhubungan dengan uap dan tidak dengan atau mengenai air panas, (3) Bahan olah biasanya dari jenis daun, akar, dan batang.
bahan Plat berpori Uap masuk
Gambar 2. Penyulingan dengan uap dan air
8
c. Penyulingan Uap Langsung (Steam Distillation) Metode ketiga disebut dengan penyulingan uap atau penyulingan uap langsung. Uap yang digunakan adalah uap jenuh atau uap kelewat panas pada tekanan lebih dari 1 atmosfir. Pembentukan uap yang digunakan untuk memanasi bahan biasanya menggunakan peralatan tersendiri yaitu boiler. Uap dialirkan melalui pipa uap melingkar berpori yang terletak dibawah bahan, kemudian uap bergerak ke atas melewati bahan yang terletak di atas saringan.
cerobong
uap
bahan
Plat berpori Api Pipa uap Gambar 3. Skema alat penyulingan dengan uap dengan boiler lorong api
2. Enfleurasi Metode enfleurasi adalah metode pengambilan minyak atsiri dengan lemak dingin (fase padat) sebagai adsorben. Lemak tersebut digunakan untuk menyerap aroma yang keluar dari sampel. Metode ini sangat cocok untuk ekstraksi minyak atsiri pada bunga. Lemak yang digunakan harus tidak berbau dan memiliki konsistensi tertentu. Jika lemak terlalu keras maka kontak bahan dengan lemak akan relatif sulit. Hal ini akan mengurangi daya absorbsi dan rendemen minyak atsiri yang dihasilkan. Sebaliknya, jika lemak terlalu lunak maka bahan yang disebarkan pada permukaan lemak akan masuk kedalam lemak, sehingga absorbsi akan terganggu karena lemak akan melekat pada bahan. Waktu proses enfleurasi pada setiap bahan (bunga) berbeda-beda. Ekstraksi minyak bunga melati menggunakan enfleurasi dilakukan sekitar 24 jam, sedangkan untuk bunga mawar lebih lama. Lemak yang telah menyerap aroma dilarutkan ke dalam alkohol dan dilanjutkan dengan proses destilasi vakum untuk mendapatkan minyak atsiri pekat yang disebut absolute (Guenther 2006). Proses enfleurasi mengakibatkan penyusutan berat lemak kira-kira 10 %. Penyusutan ini disebabkan karena masih terdapat lemak yang melekat pada bunga layu yang telah dipisahkan (Guenther 2006). Proses ekstraksi selesai bila lemak relatif jenuh dengan minyak atsiri yang disebut pomade. Pomade lalu diekstraksi dengan alkohol sehingga melarutkan minyak atsiri dalam pomade tersebut. Hasil ekstraksi minyak dalam pomade dengan menggunakan alkohol menghasilkan larutan minyak atsiri dalam alkohol yang disebut ekstrait. Selanjutnya ekstrait didestilasi secara vakum pada suhu 47-50°C. Minyak yang dihasilkan dari destilasi ini disebut absolut enfleurasi (Guenther 2006). Pomade dan absolut enfleurasi mudah tengik dan bersifat asam. Hal ini disebabkan karena adanya komponen FFA yang larut dalam alkohol dan ikut terekstraksi pada saat pembuatan absolut. Ini dapat dicegah dengan penambahan benzoin ke dalam absolut enfleurasi terutama bila pomade diekstraksi dengan alkohol absolut (Ketaren, 1985).
9
3. Ekstraksi Dengan Pelarut Menguap (Guenther 2006) Ekstraksi dengan menggunakan pelarut menguap merupakan suatu fenomena perpindahan komponen-komponen pembentuk bahan ke dalam cairan lain (pelarut). Metode paling sederhana untuk mengekstrak padatan adalah dengan mencampurkan seluruh bahan dengan pelarut, lalu memisahkan larutan dengan padatan tidak terlarut. Cara kerja ekstraksi dengan pelarut menguap cukup sederhana, yaitu dengan merendam sampel dalam pelarut menguap, seperti petroleum eter. Pelarut akan berpenetrasi kedalam bahan dan melarutkan minyak atsiri, beberapa jenis lilin, dan alumin serta zat warna. Pelarut kemudian dipisahkan dengan menguapkannya pada evaporator vakum maka akan diperoleh minyak atsiri yang pekat. Suhu harus tetap dijaga rendah selama proses berlangsung agar uap aktif yang terbentuk tidak akan merusak persenyawaan minyak atsiri.
4. Maserasi Menurut Larsen dan Poll (1990), maserasi merupakan metode ekstraksi dengan pelarut yang paling mudah dan cepat. Prinsip metode ini adalah sampel dihancurkan, direndam dalam pelarut dan campuran dibekukan. Air dan komponen makro membeku, sedangkan pelarut tidak sehingga kedua bahan dapat dipisahkan. Metode ini merupakan cara yang baik untuk sempel yang sensitif terhadap suhu tinggi. Kerugian dari metode ini adalah terikutnya komponen non volatil lainnya yang dapat mengganggu analisis menggunakan Gas Chromatogaphy (Wijaya et el. 2001). Salah satu faktor penting dalam ekstraksi menggunakan metode maserasi adalah pelarut yang digunakan. Menurut Kumara (1998), pelarut terbaik dari hasil uji rangking berturut-turut yaitu diklorometana, dietil eter, diklorometana:pentana (1:1), dan pentana. Pemilihan pelarut juga berdasarkan indeks kepolaran yang dimiliki. Selain itu, Cronin (1982) menyatakan bahwa pelarut yang digunakan untuk mengekstraksi komponen flavor harus memiliki titik didih rendah agar memudahkan penguapan pelarut dari hasil ekstraksi dan tidak merusak komponen yang terekstrak. Ekstraksi menggunakan metode maserasi dilakuakan dengan menggunakan pelarut dietil eter. Sampel dihancurkan dan direndam pelarut dietil eter dengan perbandingan (1:2) sampai sampel terendam. Kemudian digoyang-goyang sekitar 15 menit dan disimpan semalam pada suhu refrigasi (5-10°C). Campuran sampel dan pelarut dipisahkan dengan kertas saring, lalu ditambahkan Na2S2O4 anhidrat ke dalam ekstrak solven sebanyak dua sudip agar terbebas dari air. Setelah itu dipekatkan dengan menggunkan kolom vigreux dengan suhu kira-kira lebih tinggi 510°C diatas titik didih pelarut yang digunakan, sampai kira-kira 1 ml. untuk meyakinkan kepekatan hasil ekstraksi, ekstrak dihembus dengan N2 dan selanjutnya hasil ekstraksi digunakan dalam analisis komponen volatil dengan disuntikan pada alat GC-MS.
5. Destilasi Metode Likens-Nickerson (Simultaneous Distillation Extraction) (Self 2005) Metode ekstraksi yang menggunakan uap dan distilasi pelarut organik secara bersamaan ini diperkenalkan oleh S.T. Likens dan G.B. Nickerson di tahun 1964. Metode ini biasa disebut "Simultaneous Steam Distillation–Extraction (SDE)".
10
Gambar 4. Alat ekstraksi Likens–Nickerson simultaneous steam distillation–extraction. Matriks bahan pangan yang bercampur dengan air diletakkan pada labu dan dipasang pada labu A, sedangkan pelarut organik (memiliki berat jenis lebih rendah dari air) diletakkan dalam labu destilasi dan disisipkan pada labu B. Kondesor dingin C dipasang dalam tabung D sehingga kondensat akan kembali kedasar dari D, sedangkan air akan mengalir kembali ke labu A dan pelarut akan berkumpul dipermukaan air sehingga sewaktu-waktu akan kembali ke labu B. Proses ekstraksi dilakukan selama satu jam terhitung setelah sampel mendidih. Dalam memilih metode pengisolasian komponen volatil dari produk makanan, beberapa parameter harus dipertimbangkan secara cermat. Kehilangan komponen penting disebabkan oleh selektivitas yang tidak tepat atau efisiensi yang rendah. Faktor-faktor yang menyebabkannya diantaranya konsentrasi, rentang titik didih dan polaritas, stabilitas (dekomposisi dan pembentukan artefak) komponen, dan kemudahan pengoksidasian. Alat Likens-Nickerson pada prinsipnya adalah mengekstraksi sampel (hancuran bahan) dalam air secara terus-menerus dengan proses penyulingan dan penguapan. Senyawa volatil akan ikut terkondensasi sedangkan pelarut akan kembali ke labu semula. Keuntungan dari metode ini adalah penggunaan pelarut yang relatif sedikit, namun dengan kuantitas bahan (sampel) yang cukup banyak. Alat ini pada mulanya diaplikasikan untuk ekstraksi volatil dari keripik kentang, sayuran, dan produk unggas. Metode ini ditemukan dalam berbagai aplikasi dalam analisis flavor. Destilat dari komponen volatil bahan akan ikut menguap bersamaan dengan menguapnya pelarut organik. Pemisahan campuran kondensat terjadi karena perbedaan masa jenis sehingga air dan pelarut organik akan kembali pada labu awal masing-masing. Setelah proses ekstraksi selesai, komponen volatil bahan akan berada pada labu pelarut organik. Metode ini sangat cocok dan populer dalam bidang analisis pangan dan kimia falvor. Meskipun komponen volatil secara terus menerus terdestilasi dan dipanaskan sehingga meningkatkan kemungkinan kerusakan, namun metode ini tetap popular saat ini. Menurut Sudjadi (1985), dalam proses ekstraksi harus digunakan pelarut yang sesuai. Pelarut yang digunakan merupakan pelarut organik yang mempunyai titik didih rendah, tidak beracun, dan tidak mudah terbakar. Pelarut organik yang umum digunakan untuk memproduksi minyak atsiri dari bunga, daun, biji, akar, dan bagian lain dari tanaman adalah etil asetat, heksan,
11
petroleum eter, benzen, toluen, etanol, isopropanol, aseton, dan air (Mukhopadhyay 2002). Nilai polaritas beberapa pelarut tersebut dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Titik didih dan polaritas pelarut organik (Mukhopadhyay 2002) No
Pelarut
Titik didih (°C)
Polaritas (E°C)
1
Etanol
78.3
0.68
2
Aseton
56.2
0.47
3
Etil asetat
77.1
0.38
4
Heksan
68.7
0
5
Penten
36.2
0
6
Diklorometana
40.8
0.32
7
Isopropanol
82.2
0.63
8
Air
100
>0.73
9
Propilen glikol
187.4
0.73
10
Dietil eter
34.6
-
11
Karbondioksida
-56.6
0
D. GAS CROMATOGAPHY-MASS SPECTROMETRY (GC-MS) Gas chromatogaphy–mass spectrometry (GC–MS) adalah kombinasi dari dua peralatan analitik yang sangat baik. Dua peralatan itu adalah gas chromatography (GC) sebagai alat pemisahan fase gas yang efektif untuk campuran senyawa dan mass spectrometry (MS) sebagai alat konfirmasi identitas dari komponen-komponen sehingga baik untuk identifikasi senyawa yang tidak diketahui (Niessen 2001). GC adalah metode pemisahan fisik. Komponen di dalam campuran senyawa disalurkan diantara fase gerak (berupa gas inert) dan fase stasioner yang melapisi partikel pembungkus kolom atau dinding kolom bagian dalam. Proses chromatogaphis terjadi sebagai hasil dari pengulangan langkah sorpsi/desorpsi selama gerakan analit sepanjang fase diam oleh gas pembawa. Pemisahan ini disebabkan oleh perbedaan koefisien distribusi komponen individu dalam campuran. Sebagai metode pemisahan fase gas, GC mengharuskan analit menjadi uap sebelum pemisahan. Dengan demikian, penerapan GC hanya terbatas pada komponen dengan volatilitas yang cukup dan memiliki stabilitas termal (Niessen 2001). GC merupakan teknik analisis utama dalam pemisahan komponen volatil. GC mengkombinasikan kecepatan analisis, resolusi, kenyamanan pengoperasian, hasil kuantitatif yang baik, dan biaya yang tidak terlalu mahal. Sayangnya, sistem GC tidak dapat mengkonfirmasi identitas atau struktur dari peak yang ada. Data GC saja tidak bisa digunakan untuk identifikasi peak (McNair dan Miller 1998). Dilain pihak, MS adalah salah satu detektor yang kaya informasi. MS hanya membutuhkan mikro gram dari sampel dan menyediakan data untuk identifikasi kualitatif dari senyawa yang tidak diketahui (struktur, komposisi elemen, dan bobot molekul). Sehingga MS mudah untuk digabungkan dengan sistem GC (McNair dan Miller 1998). Pada prinsipnya, MS adalah pemisahan produksi ion fase gas menurut perbandingan massa terhadap muatan senyawa (m/z) yang terdeteksi. Spektrum
12
massa yang dihasilkan adalah plot dari kelebihan (relatif) dari ion yang dihasilkan sebagai fungsi dari rasio m/z. Selektivitas yang tinggi dapat diperoleh dalam analisis ini yang merupakan hal paling penting dalam analisis kuantitatif (Niessen 2001). Keuntungan dua teknik dari kombinasi GC-MS adalah kemampuan pemisahan komponen yang tinggi dan kecepatan analisis GC terjaga, sedangkan MS menyediakan identifikasi positif dan analisis kuantitatif hingga mencapai level ppb (McNair dan Miller 1998). Kombinasi GC dan MS secara langsung telah membangkitkan minat dalam riset flavor, teknik ini menjadi teknik instrumentasi utama dalam identifikasi komponen volatil. Untuk menjadi bermanfaat dalam kombinasi dengan GC, MS harus memiliki kemampuan membaca dengan sensitifitas yang cukup untuk mendapatkan hasil spektrum massa kira-kira 1 sampai 10 ng komponen saat dioperasikan pada mode electron ionization (EI) (Niessen 2001).
13
III. METODOLOGI PENELITIAN A. WAKTU DAN TEMPAT Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret hingga Mei 2012. Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertnian, IPB dan laboratorium Flavor Balai Penelitian Padi, Sukamandi.
B. BAHAN DAN ALAT Bahan-bahan yang digunakan adalah biji dan fuli pala papua umur petik 4 bulan dan 8 bulan yang berasal dari daerah Fakfak, toluene, air, heksana, akuades, dietil eter, asam laurat (anti buih), Na2SO4 anhydrous, es dan parafin. Alat-alat yang digunakan adalah labu didih, tabung Bidwell-Sterling, oven pengering, desikator, timbangan analitik, gelas ukur 100 ml, alat destilasi, pemanas, kertas saring, labu Soxhlet, blander, gelas ukur 500 ml, labu bundar berukuran 3 l, labu ukur 10 ml, pipet Mohr 1 ml, SDE LikenNickerson, labu bundar 150 ml, water bath, vial, parafin, dan alat GC-MS Agilent 7890 A.
C. METODE Terlebih dahulu dilakukan analisis penampakan fisik, kadar minyak, dan kadar air sampel. Metode ekstraksi minyak atsiri dilakukan dengan menggunakan metode Liken-Nickerson (Simultaneous Distillation Extraction) dan dilanjutkan pemekatkan dengan menggunakan kolom vigreux. Setelah minyak atsiri pala papua diperoleh, dilakukan identifikasi komponen minyak atsiri dari fuli dan biji pala papua (Myristica argentea Warb) dengan menggunakan GC-MS. Diagram alir penelitian disajikan pada Gambar 5. Sampel (fuli dan biji pala papua) Analisis penampakan fisik Analisis kadar air dan kadar lemak Ekstraksi minyak atsiri Pemekatan minyak atsiri Identifikasi komponen dengan GC-MS Kromatogram
Gambar 5. Diagram alir tahapan penelitian
D. PROSEDUR ANALISIS 1. Analisis Kadar Air Metode Destilasi Azeotropik (SNI 01-3181-1992 yang Termodifikasi Diacu dalam Faridah et.al 2010) Labu didih dan tabung Bidwell-Sterling dikeringkan dalam oven bersuhu 105°C dan didinginkan dalam desikator. Sebanyak 3 g sampel (Ws) dimasukkan dalam labu didih yang telah dikeringkan dan ditambahkan 60-80 ml toluena. Alat destilasi, labu didih, dan pemanas dirangkai dan direfluks dengan suhu rendah (skala hot plate 4-5) selama 45 menit. Suhu dinaikkan (menjadi skala 8) dan dilakukan pemanasan selama 60-90 menit. Hasil analisis dapat dibaca dengan melihat volume air yang terdestilasi (Vs). Untuk menetapkan faktor destilasi, labu didih dan tabung Bidwell-Sterling dikeringkan dalam oven bersuhu 105°C dan didinginkan dalam desikator. Air sebanyak 4 g dimasukan kedalam labu (W), kemudian ditambah toluene 60-80 ml. Alat destilasi, labu didih, dan pemanas dirangkai dan direfluks dengan suhu rendah (skala hot plate 4-5) selama 45 menit kemudian volume air yang terdestilasi dapat dibaca (V). Analisis kadar air dilakukan secara duplo. Diagram alir analisis kadar air disajikan pada Gambar 6. 3 g sampel (Ws)
60-80 ml toluena
Dimasukkan dalam labu didih (yang sudah dikeringkan pada oven 105 °C dan didinginkan dalam desikator)
Direfluks dengan suhu rendah (skala hot plate 4-5) selama 45 menit
Direfluks dengan suhu tinggi (skala hot plate 8) selama 60-90 menit
Pengukuran volume air yang terdestilasi (Vs)
Perhitungan kadar air Gambar 6. Diagram alir analisis kadar air metode destilasi azeotropik Kadar air bahan dapat dihitung dengan rumus: Kadar air =
x FD x 100%
15
dimana: Ws = berat contoh (g) Vs = Volume air yang didestilasi dari contoh (ml) FD = factor destilasi (g/ml) Faktor destilasi (FD) dihitung dengan rumus berikut: FD =
dimana: W = berat air yang akan didestilasi (g) V = volume air yang terdestilasi (ml)
2. Analisis Kadar Lemak Metode Soxhlet (AOAC 1995) Sejumlah 2-3 g sampel dibungkus dengan kertas saring (berbentuk selongsong) yang dialasi dengan kapas. Selongsong yang telah disumbat kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 80 oC selama 1 jam. Setelah itu selongsong berisi sampel dimasukkan ke labu Soxhlet kering (yang sudah dikeringkan pada oven 105 °C dan didinginkan dalam desikator). Heksana dituang ke dalam labu Soxhlet kemudian sampel di-refluks selama 6 jam. Labu Soxhlet tersebut kemudian dimasukkan ke oven bersuhu 105 oC hingga seluruh sisa pelarut (heksana) menguap. Labu yang berisi lemak hasil destilasi didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang. Diagram alir analisis kadar lemak disajikan pada Gambar 7. 2-3 gr sampel Kertas saring (berbentuk selongsong) yang dialasi dengan kapas
Dikeringkan dalam oven pada suhu 80 oC selama 1 jam
80 ml heksan
Dimasukkan ke labu Soxhlet kering
Direfluks selama 6 jam
Labu Soxhlet dimasukkan ke dalam oven bersuhu 105 oC
Labu Soxhlet didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang
Penghitungan kadar lemak Gambar 7. Diagram alir analisis kadar lemak metode Soxhlet
16
Analisis lemak dilakukan secara duplo. Kadar lemak dihitung dengan rumus: Kadar lemak (%) =
a−b × 100% c
Keterangan: a = berat labu dan sampel awal (g) b = berat labu dan sampel akhir (g) c = berat sampel awal (g)
3. Destilasi Minyak Atsiri dengan Menggunakan Metode Likens-Nickerson (Simultaneous Distillation Extraction) Sampel biji ditimbang sebanyak 250 g dan ditambah 500 ml akuades (1:2) kemudian diblander sampai hancur. Sedangkan untuk fuli, sampel ditimbang sebanyak 200 g dan ditambahkan 800 ml akuades (1:4) kemudian di-blander. Sampel yang sudah di-blander dimasukkan ke dalam labu bundar berukuran 3 l. Sampel kemudian ditambah 1 g asam laurat (anti buih). Labu ditempatkan di atas heater. Campuran tersebut lalu didestilasi secara simultan menggunakan alat SDE Liken-Nickerson dengan pelarut dietil eter sebanyak 50 ml di labu yang berbeda. Masingmasing labu dipanaskan pada suhu titik didihnya hingga menguap, sehingga uap dari sampel dan dietil eter bertemu di dalam alat Liken-Nickerson. Destilasi dilakukan selama 1 jam (dihitung setelah sampel mendidih). Ekstrak yang telah didapat kemudian ditambahkan dengan Na2SO4 anhydrous hingga tidak ada lagi Na2SO4 yang menggumpal. Natrium sulfat anhydrous berfungsi untuk mengikat air yang masih tersisa setelah proses pemisahan. Destilasi yang didapatkan kemudian dipekatkan dengan menggunakan kolom vigreux dengan suhu lebih tinggi 5-10 °C di atas titik didih pelarut (dietil eter) sekitar 50°C sampai volumenya konstan. Ekstrak dimasukan kedalam vial dan diberi lapisan parafin. Ekstraksi dilakukan secara simplo. Diagram alir ekstraksi atsiri disajikan pada Gambar 8. 250 g biji + 500 ml air di-blander 200 g biji + 800 ml air di-blander 1 g asam laurat
50 ml dietil eter dalam labu pelarut 200 ml
Dimasukkan dalam labu bundar 3 l (labu sampel) Didestilasi dengan alat SDE Liken-Nickerson selama 1 jam: Labu sampel dengan suhu 100 °C Labu pelarut dengan suhu 45 °C
1 g asam laurat
Minyak atsiri dalam pelarut (labu pelarut)
Dipekatkan dengan kolom vigreux pada suhu 50°C sampai volumenya konstan
Pekatan minyak atsiri dimasukkan dalam vial tertutup Gambar 8. Diagram alir ekstraksi minyak atsiri dengan SDE Liken-Nickerson
17
4. Analisis Komposisi Minyak Atsiri Menggunakan GC-MS Hasil destilasi minyak atsiri kemudian diinjeksikan pada alat GC-MS. Injeksi dilakukan duplo untuk setiap sampel. Hasil injeksi minyak atsiri terdeteksi dalam bentuk peak yang mempunyai waktu retensi yang berbeda. Waktu retensi adalah waktu dimana peak muncul setelah melewati kolom GC dihitung sejak injeksi sampel. Perbedaan waktu retensi dari tiap senyawa disebabkan oleh perbedaan pemisahan komponen karena perbedaan interaksi tiap senyawa dengan kolom dan suhu yang digunakan. Kondisi setting GC-MS yang digunakan adalah sebagai berikut: GC-MS Merek : Agilent 7890 A Kolom : Agilent HP 5 MS (30 m x 250 µm x 0.25 µm) Gas pembawa : helium (He) Tekanan : 9.43 psi Suhu awal : 60 °C Suhu akhir : 240 °C Kenaikan suhu : 3 °C/menit sampai 240 °C Suhu injector : 250 °C Suhu detector : 270 °C Detektor : EI (electron impek) Energy : 1.25 kv Volume sampel : 0.5 µl. Setiap puncak dari kromatogram yang dihasilkan diidentifikasi massanya dan fragmenfragmen massa yang dihasilkan. Kemudian fragmen tersebut dibandingkan dengan fragmen massa dari senyawa yang telah diketahui menggunakan bank data dari National Institute Standard of Technology (NIST) Library (Chairul dan Sri yang termodifikasi 2000). Setelah didapat senyawa-senyawa yang mungkin (berdasarkan NIST Library), kemudian masing-masing senyawa dikelompokkan berdasarkan nilai similarity (kesamaan) dari masingmasing senyawa. Senyawa yang digunakan dalam penelitian ini adalah senyawa yang memiliki similarity di atas atau sama dengan 70 %. Jika terdapat senyawa yang memiliki nilai similarity dibawah 70 %, namun senyawa tersebut merupakan senyawa yang sering muncul pada pala jenis lain maka senyawa tersebut akan digunakan. Jumlah senyawa disajikan dalam satuan persen (%) luas area. Satuan ini bersifat semi kuantitatif karena data yang digunakan hanya menyajikan perbandingan senyawa yang terbaca oleh GC-MS dalam luas area kromatogram. Data ini dapat digunakan sebagai acuan untuk mengetahui komponen volatil dominan yang ada dalam sampel dan dapat merepresentasikan jumlah senyawa volatil di dalam minyak atsiri. Diagram alir penentuan senyawa dalam minyak atsiri pala papua disajikan pada Gambar 9.
18
Minyak atsiri dalam vial tertutup
Diinjeksikan pada GC-MS
Laporan identifikasi senyawa dengan NIST library
Analisis setiap data senyawa berdasarkan nilai similarity Jika nilai similarity >= 70 %
Jika nilai similarity < 70 % Senyawa dicocokkan dengan senyawa yang ada pada pala jenis lain (secara umum) Jika tidak sesuai Senyawa tidak dimasukkan sebagai senyawa dalam pala papua
Senyawa diterima sebagai senyawa dalam pala papua Jika sesuai Senyawa diterima sebagai senyawa dalam pala papua
Gambar 9. Diagram alir penentuan senyawa dalam minyak atsiri pala papua
19
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK FISIK Pengamatan bentuk fisik buah pala papua (Myristica fragrans Warb) dilakukan untuk memperoleh data bobot, bentuk, dan warna dari buah, biji, dan fuli pala papua. Kemudian bentuk fisik pala papua dibandingkan antara umur delapan dan umur empat bulan. Selain itu, sampel pala papua juga dibandingkan dengan pala banda (pala yang sering digunakan). Perbandingan secara fisik kedua umur buah pala papua dapat dilihat pada Tabel 4.
Bagian
Tabel 4. Perbandingan fisik buah pala papua umur empat dan delapan bulan Pala papua
Biji Daging Fuli Tempurung
Umur 8 bulan
Umur 4 bulan
Berwarna coklat gelap dan tekstur keras
Berwarna putih dan tekstur lunak
Tekstur lunak, sudah terbelah, dan berwarna coklat
Tekstur keras, tidak terbelah, dan berwarna putih
Berwarna merah tua
Berwarna merah muda
Tekstur keras dan berwarna cokelat tua
Tekstur lunak dan berwarna putih kecoklatan
Buah pala umur delapan bulan memiliki ukuran lebih besar dari pada buah pala umur empat bulan. Buah pala papua umur delapan bulan memiliki bobot rata-rata 132 g, sedangkan buah pala umur empat bulan relatif lebih kecil yaitu 114 g. Bobot rata-rata biji pala papua umur delapan bulan adalah 12 g dan biji pala umur empat bulan adalah 10 g. Gambar perbandingan fisik buah, fuli, dan biji pala papua umur delapan dan empat bulan dapat dilihat pada Lampiran 5. Presentasi bagianbagian dari buah pala umur empat dan delapan bulan dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Persentasi berat dari bagian-bagian buah pala papua Buah utuh umur 8 bulan Buah utuh umur 4 bulan % (b/b) % (b/b) Daging buah
90.20
89.43
Biji
7.46
7.57
Tempurung
1.12
2.01
Fuli
1.23
0.99
Bagian yang paling banyak pada buah pala papua adalah daging buahnya (90 %). Bagian buah ini banyak dimanfaatkan untuk diolah menjadi sari buah pala, dodol pala, dan manisan pala. Sedangkan fuli, biji, dan tempurung tidak lebih dari 10 % dari berat buah. Hasil perbandingan penampakan fisik dari pala papua dan pala banda (pala yang sering digunakan) pada umur yang sama (delapan bulan) adalah kedua pala tersebut memiliki bentuk dan
ukuran yang jauh berbeda. Gambar perbandingan buah pala papua dan pala banda dapat dilihat pada Gambar 10.
a b Gambar 10. a. Buah pala papua (Myristica argentea Warb) b. Buah pala banda (Myristica fragrans Houtt) Pala papua memiliki ukuran yang lebih besar dari pada pala banda. Biji pala papua berbentuk lonjong, sedangkan fulinya relatif tipis dan jarang. Pala banda memiliki biji dan buah yang berbentuk bulat dengan fuli yang hampir penuh. Biji pala banda memiliki panjang sekitar 3 cm dan lebar 2 cm, sedangkan biji pala papua memiliki panjang sekitar 6 cm dan lebar 2.5 cm. Rismunandar (1992) mengatakan bahwa meskipun memiliki ukuran yang berbeda, biji pala papua memiliki cara pengolahan yang tidak berbeda dengan pala banda, namun sifatnya lebih rapuh. Biji pala papua akan mudah pecah bila tempurungnya dipecahkan.
B. KADAR AIR Analisi kadar air penting untuk mengetahui berat kandungan air dalam bahan sehingga dapat diketahui bobot kering bahan. Kadar air buah pala papua segar (tanpa pengeringan) umur empat dan delapan bulan dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Hasil analisis kadar air metode azeotropik (basis basah) Pala umur 4 bulan Pala umur 8 bulan % (b/b) % (b/b) Biji 74.84 19.25 Fuli
26.71
19.30
Jika dibandingkan antara dua umur buah pala tersebut, biji pala umur empat bulan mengandung air jauh lebih banyak (74.84 %) dibandingkan biji umur delapan bulan (19.25 %). Hal yang serupa terjadi pada fuli, fuli empat bulan sebesar 26.71 % dan fuli delapan bulan sebesar 19.30 %. Perbedaan kadar air fuli umur delapan dan empat bulan relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan perbedaan kadar air biji umur delapan dan empat bulan. Berdasarkan bobot keringnya, pemanfaatan biji pala pada umur empat bulan kurang baik karena sebagian besar berupa air (total padatan 23-26 %). Pemanfaatan biji yang lebih baik adalah umur delapan bulan karena biji sudah mengandung padatan yang lebih banyak (80-82 %). Sebaliknya, fuli lebih baik dimanfaatkan pada umur empat bulan karena kadar air yang lebih kecil (total padatan 73-72 %).
21
Jumlah air dalam biji pala tua lebih rendah dari pada biji muda disebabkan karena biji mengalamai pertumbuhan. Pertumbuhan sel ini meliputi pembelahan sel (peningkatan jumlah sel sebagai hasil dari mitosis), ekspansi sel (peningkatan ukuran sel yang irreversibel sebagai hasil dari pengambilan air atau sintesis dalam protoplasma), dan diferensiasi sel. Jumlah protein, selulosa, asam nukleat dan sebagainya terus meningkat didaerah pertumbuhan, sementara berat kering cadangan makanan akan menurun.
C. KADAR LEMAK Analisis kadar lemak diperlukan untuk mengetahui kandungan lemak yang ada di dalam bahan. Lemak adalah senyawa organik yang tidak larut dalam air, dapat diekstrak dari sel dan jaringan oleh pelarut non polar yang merupakan ester dari gliserol dan asam lemak. Untuk itu, heksan digunakan dalam analisis ini. Di dalam bahan, minyak atsiri akan bercampur dengan lemak karena sifatnya yang non polar. Minyak atsiri akan ikut terekstrak bersama lemak karena sifatnya yang dapat terlarut oleh heksan. Minyak atsiri ini akan hilang (menguap) saat pengeringan hasil ekstraksi sehingga tinggal lemak yang tersisa. Hasil analisis kadar lemak metode Soxhlet dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Hasil analisis kadar lemak metode Soxhlet Pala umur 8 bulan Pala umur 4 bulan %(b/b) BB*
%(b/b) BK**
%(b/b) BB*
%(b/b) BK**
Fuli
17.01
21.08
20.02
27.32
Biji
18.95
23.47
4.99
19.83
* Basis basah ; ** Basis kering
Berdasarkan Tabel 7, kadar lemak biji pala pada umur empat bulan masih cukup rendah, namun setelah biji berumur delapan bulan, kadar lemak meningkat. Tingginya minyak pada umur delapan bulan pada biji ini dapat disebabkan karena beberapa faktor yaitu ketersediaan sumber karbon untuk sintesis minyak/lemak dan aktivitas enzim. Menurut Harwood dan Page (1994), sumber karbon untuk sintesis lemak diperoleh dari proses fotosintesis. Menurut Hablacher et al. (1993), enzim yang berberan penting dalam sintesis lemak/minyak adalah enzim asetil-CoA karboksilase (ACCase). Enzim ini mengkatalis reaksi karboksilasi asetil-CoA (prekursor pembentukan lemak) menjadi melonil-CoA. Reaksi ini merupakan tahap awal penentuan sintesis lemak. Kadar lemak fuli umur delapan bulan tidak jauh berbeda dengan fuli umur empat bulan. Hal ini disebabkan karena fuli lebih mengembangkan komponen serat selama proses pertumbuhan. Lemak pada usia empat bulan lebih banyak terdapat pada fuli dari pada biji karena biji pada usia itu lebih banyak mengandung air. Sedangkan pada usia delapan bulan, lemak lebih banyak terdapat pada biji karena biosintesis lemak. Berdasarkan penelitian Lubis (1983), sejalan dengan perkembangan buah terjadi pula perubahan pada kandungan setiap komponen penyusun buah. Perkembangan buah meliputi kandungan minyak, air, dan serat pada berbagai tingkat perkembangan buah. Minyak dan serat mulai terbentuk setelah buah berumur tiga bulan. Kadar minyak akan terus meningkat dan mencapai maksimum pada stadia matang. Berdasarkan hasil penelitian ini, diketahui bahwa terdapat fase perkembangan buah yang diikuti meningkatnya kandungan minyak secara drastis. Hal ini menunjukkan bahwa selama fase tersebut terjadi peningkatan biosintesis minyak yang dapat berarti terjadi aktivitas enzim ACCase yang terlibat dalam proses tersebut.
22
Kandungan minyak/lemak pada tanaman disebabkan oleh biosintesis lipida. Biosintesi lemak/minyak merupakan proses multikompartemen. Menurut Harwood dan Page (1994), deposisi minyak pada jaringan yang berbeda terjadi pada kecepatan yang berbeda. Perkembangan biji yang mengandung minyak biasanya terdiri dari tiga fase. Fase pertama melibatkan pembelahan sel yang sangat cepat dan hanya sedikit mensintesis minyak. Pada fase ini jenis minyak yang dibuat lebih banyak glikolipid dan fosfolipid penyusun membran dari pada minyak yang disimpan. Oleh karena itu, minyak pada embrio muda cenderung tinggi kandungan asam linoleat dan linolenatnya terlepas dari spesies tanaman. Pada fase kedua, sintesis minyak mencapai maksimum. Pada fase ini disintesis asam lemak yang khas untuk spesiesnya, seperti pembentukan miristat pada pala atau stearat pada kelapa. Fase ketiga adalah periode desikasi. Pada periode ini hanya terjadi sedikit sintesis minyak biji. Lemak yang dihasilkan pada biji pala papua berupa padatan pada suhu kamar, sedangkan minyak fuli berwujud cairan pada suhu kamar. Lipida yang berupa cairan pada suhu kamar disebut minyak, dan terutama disusun oleh asam lemak tidak jenuh seperti asam oleat, asam linoleat, dan asam linolenat. Sedangkan yang berupa padatan pada suhu kamar disebut lemak dan tersusun terutama oleh asam lemak jenuh seperti asam palmitat. Berdasarkan hal diatas, bila pengembangan biji pala diarahkan untuk diambil lemak palanya, akan lebih potensial digunakan biji pala yang sudah tua. Bila pemanfaatan pala untuk diambil asam lemak tidak jenuhnya, akan lebih baik bila diambil dari minyak fuli pala. Bila pemanfaatan pala untuk diambil asam lemak jenuhnya, sebaiknya diambil dari lemak biji pala.
D. EKSTRAKSI MINYAK ATSIRI Untuk mengetahui potensi minyak atsiri biji dan fuli pala papua, perlu diketahui persentase kandungan minyak atsiri yang terdapat didalamnya. Jumlah minyak atsiri dalam pala dapat diketahui dengan cara mengekstraksi minyak atsiri di dalamnya. Bagian pala papua yang diekstraksi adalah biji dan fulinya. Metode ekstraksi yang digunakan adalah metode Simultaneous Steam Distillation– Extraction (SDE) Likens-Nickerson. Metode ini dipilih karena populer dan banyak diaplikasikan dalam analisis flavor. Selain proses destilasi, metode ini juga menggunakan prinsip ekstraksi. Pelarut akan menguap kemudian mengekstraksi komponen volatil yang menguap saat didestilasi. Keuntungan dari metode ini adalah mampu memperkecil hilangnya komponen volatil minor saat proses destilasi. Selain itu metode ini juga menggunakan pelarut yang relatif sedikit, namun dengan kuantitas bahan (sampel) yang cukup banyak. Menurut Self (2005), jika dibandingkan metode lain seperti metode High-vacuum Distillation, SDE Likens-Nickerson menghasilkan yield dengan aroma yang lebih intens. Namun metode ini kurang tepat bila diterapkan dalam skala industri karena tidak dapat mengekstraksi bahan dengan jumlah banyak. Pelarut yang digunakan dalam ekstraksi minyak atsiri pada penelitian ini adalah dietil eter. Pemilihan pelarut berdasarkan pada kepolaran dan titik didihnya. Menurut Cronin (1982), pelarut yang digunakan untuk mengekstraksi komponen flavor harus memiliki titik didih rendah agar memudahkan penguapan pelarut dari hasil ekstraksi dan tidak merusak komponen yang terekstrak. Mukhopadhyay (2002) menyebutkan bahwa dietil eter memiliki titik didih rendah yaitu 34.6 °C (keadaan STP) dan kelarutan dalam air 6.9 g/100 ml (20 °C). Jika dibandingkan dengan pelarut lain, dietil eter memiliki sifat keatsirian (mudah menguap) yang tinggi. Hal inilah yang menyebabkan dietil eter cocok digunakan dalam ekstraksi minyak atsiri.
23
Setelah proses ekstraksi, minyak atsiri perlu dipekatkan agar pelarut (dietil eter) dapat hilang. Proses pemekatan dilakukan dengan kolom vigreux. Kolom vigreux biasanya digunakan untuk memekatkan larutan yang memiliki titik didih yang berdekatan (antara pelarut dan zat terlarut). Kolom vigreux memekatkan larutan dengan cara menguapkan komponen yang mudah menguap (pelarut) dengan mencegah ikut menguapnya zat yang lain (minyak atsiri). Hasil pekatan destilasi minyak atsiri menggunkan metode SDE Likens-Nickerson dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Hasil pekatan destilasi minyak atsiri pala papua dengan metode Liken-Nickerson Minyak atsiri (% b/b) Basis basah (BB)
Basis kering (BK)
Fuli umur 4 bulan
4.97
6.78
Fuli umur 8 bulan
2.69
3.33
Biji umur 4 bulan
2.32
9.22
Biji umur 8 bulan
2.45
3.04
Berdasarkan basis kering, hasil ekstraksi minyak atsiri pala papua lebih banyak terdapat pada biji umur empat bulan dan fuli umur empat bulan. Fuli pala papua umur empat bulan lebih banyak mengandung minyak atsiri daripada fuli umur delapan bulan, begitu pula pada persentase minyak atsiri biji (BK). Menurut Ketaren (1985), biji pala muda menghasilkan rendemen minyak yang lebih besar dibandingkan dengan biji pala tua. Inilah yang melandasi destilasi minyak atsiri oleh industri banyak dilakukan pada buah pala umur empat bulan. Namun kadar minyak atsiri pala papua masih lebih rendah daripada pala banda (Myristica fragrans Houtt). Nurdjannah (2007) menyatakan bahwa rendemen minyak atsiri biji pala banda rata-rata 12 % dan minyak fuli rata-rata 11 % dalam basis basah.
E. KOMPONEN MINYAK ATSIRI Hasil ekstraksi minyak atsiri kemudian dianalisis komponen volatilnya menggunakan GC-MS. Hasil analisis komponen volatil GC-MS berupa kromatogram. Data disajikan dalam bentuk persen (%) luas area. Data ini dapat digunakan sebagai acuan untuk mengetahui komponen volatil dominan yang ada dalam sampel dan dapat merepresentasikan jumlah senyawa volatil di dalam minyak atsiri. Hasil kromatogram dapat dilihat pada Lampiran 7 dan hasil identifikasi komponen pada Lampiran 8. Berdasarkan kedua data tersebut, dapat diketahui komponen yang ada pada atsiri pala papua. Hasil identifikasi komponen atsiri dapat dilihat pada Tabel 9.
24
Peak
1
Tabel 9. Komponen atsiri fuli dan biji pala papua umur empat dan delapan bulan Luas area (%) Fuli Fuli Biji Komponen umur umur umur 8 4 8 bulan bulan bulan Bicyclo[3.1.0]hexane, 4-methyl-1-(1-methylethyl)-, 0.24 0.32 0.53 Didehydro derive
Biji umur 4 bulan 0.58
2
1R-.alpha.-Pinene
1.83
1.76
1.83
1.54
3
Camphene
0.04
0.04
0.03
0.04
4
Sabinen/4(10)-thujene
35.09
31.29
-
-
5
2-Thujene
-
-
60.91
54.13
6
.Beta.-Pinene
0.60
0.66
-
-
7
.Beta.-Myrcene
1.75
1.53
3.99
3.58
8
.Alpha.-Phellandrene
1.24
1.17
0.86
0.85
9
Beta.-phellandrene
16.58
16.24
11.22
10.59
10
Cyclopropane, 1,1-dimethyl-2-(3-methyl-1,3-butadienyl)-
0.17
0.20
0.06
0.04
11
.Gamma.-Terpinen
0.63
1.78
0.49
0.94
12
Terpineol,cis-.beta.
0.19
0.05
0.78
0.94
13
(+)-4-Carene
0.15
0.37
0.14
0.22
14
3-Carene
0.14
0.06
0.11
0.12
15
Cis-Sabinenhydrate
0.12
0.05
0.31
0.52
16
2-Cyclohexen-1-ol, 1-methyl-4-(1-methylethyl)-, cis-
0.12
0.20
0.04
0.15
17
Trans-Sabinenhydrate
0.07
0.13
0.03
0.07
18
Terpene-4-ol,
2.16
4.53
0.91
2.13
19
P-menth-1-en-8-ol
0.34
0.43
0.17
0.30
20
Piperitol
0.03
0.06
0.00
0.02
21
D-piperitone
0.04
0.03
-
0.02
22
Safrol
35.29
35.27
16.25
21.44
23
Eugenol
0.80
1.30
0.20
0.39
24
Copaene
0.02
0.02
-
-
25
Methyl eugenyl ether
1.00
1.04
0.65
0.72
26
Isohomogenol
0.02
0.02
0.01
0.02
27
.Alpha.-Farnesene
0.03
0.02
0.03
0.02
28
Elemicin
1.24
1.27
0.33
0.47
29
Dodecanoic acid
0.01
0.01
-
-
30
Phenol, 2,6-dimethoxy-4-(2-propenyl)-
0.00
0.01
-
-
31
Unknown compounds
0.10
0.15
0.12
0.16
29
29
24
25
Total komponen
25
Berdasarkan analisis GC-MS, komponen yang dapat diidentifikasi dari minyak atsiri fuli pala papua umur empat dan delapan bulan adalah 29 komponen, sedangkan pada biji umur delapan dan empat bulan sebanyak 24 dan 25 komponen. Minyak atsiri fuli memiliki jumlah komponen volatil yang lebih banyak dari pada biji. Jika dilihat berdasarkan umurnya, pala umur empat maupun delapan bulan memilik jumlah dan komposisi komponen volatil yang tidak berbeda. Walaupun begitu, minyak atsiri biji pala umur delapan bulan tidak mengandung d-piperiton sedangkan pada biji umur empat bulan masih mengandung d-piperiton. Ada beberapa perbedaan antara komponen atsiri fuli dan biji pala papua. Atsiri biji pala papua mengandung 2-thujene sedangkan fuli tidak. Namun fuli mengandung 4(10)-thujene atau sabinen sedangkan biji tidak. Selain tidak mengandung sabinen, minyak atsiri biji juga tidak mengandung beta-pinen, copaene, dodecanoic acid, dan Phenol, 2,6-dimethoxy-4-(2-propenyl). Diantara senyawa yang teridentifikasi, ada beberapa senyawa yang memiliki kemiripan, salah satunya adalah sabinen dan 2-thujene. Sabinen dan 2-thujene memiliki waktu retensi yang saling berdekatan yaitu 20.450 menit (senyawa 2-thujen) dan 20.350 menit (senyawa sabinen). Keduanya memiliki rumus molekul yang sama yaitu C10H16. Kedua senyawa ini merupakan senyawa yang termasuk kelompok ketiga dari monoterpen (bisiklik) yang mempunyai dua lingkaran, disertai dengan satu ikatan rangkap. Namun perbedaan dari kedua senyawa ini terletak pada ikatan rangkapnya. Perbedaan struktur molekul sabinen dan 2-thujene dapat dilihat pada Gambar 11. Selain dua senyawa ini, senyawa lain yang termasuk kelompok ketiga dari monoterpen seperti carane, pinane, kamfen, puritan, isoborinilan, dan fencan.
2-thujene Sabinen Gambar 11. Struktur molekul 2-thujene dan sabinen Menurut Guenther (2006), melalui proses pengaturan kembali persenyawaan-persenyawaan yang berbeda, dapat diturunkan sitem lingkaran lainnya. Peristiwa penyusunan kembali molekulmolekul, atau pemindahan posisi ikatan rangkap ke posisi lainnya dalam molekul, serta proses oksidasi atau dehidrogenasi dan hidrogenasi dapat berlangsung secara cepat (relatif), sedangkan perlakuan dengan asam dapat membuka sistem lingkar tersebut. Jadi hal itulah yang menyebabkan beberapa senyawa atsiri dengan struktur molekul berbeda, namun dengan rumus molekul yang sama (seperti sabinen dan 2-thujene). Komponen-komponen minyak atsiri fuli umur empat dan delapan bulan tidak begitu berbeda (relatif sama). Perbedaannya hanya ada pada komposisi (% luas area) dari masing-masing komponen, namun tidak begitu besar. Hal yang sama terjadi pada komponen minyak atsiri biji umur empat dan delapan bulan. Perbedaan komposisi (% luas area) dari keduanya tidak begitu besar pula. Dari komponen-komponen tersebut, terdapat komponen yang tidak diketahui jenis dan namanya. Hal ini dikarenakan nilai similarity senyawa yang dimaksud dengan data base yang ada di NIST library kurang dari 70%. Selain itu, hasil analisis GC-MS ulangan kedua juga menunjukkan hasil yang berbeda dari ulangan pertama sehingga senyawa yang dimaksud belum bisa diketahui.
26
Perbedaan umur pala (empat dan delapan bulan) tidak mempengaruhi jumlah dan komposisi komponen secara signifikan. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 12. Penomoran yang terdapat pada Gambar 12 merupakan nomor urut sesuai penomoran pada senyawa di Tabel 9. Kromatogram seperti yang ditunjukan Gambar 12, menunjukkan bahwa peak minyak atsiri fuli dan biji pala papua memiliki pola yang sama.
Fuli 4 bulan
Fuli 8 bulan
Biji 4 bulan Biji 8 bulan Gambar 12. Kromatogram minyak atsiri fuli dan biji pala papua
27
Setiap komponen yang teridentifikasi memiliki luas area yang berbeda. Senyawa dengan luas area terbesar akan mempengaruhi kegunaan dan arah pengolahan dari komoditi tersebut. Komponen mayor pada minyak atsiri fuli dapat dilihat pada Tabel 10 dan komponen mayor pada minyak atsiri biji dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 10. Komponen mayor pada minyak atsiri fuli pala papua Komponen
Luas area % Fuli umur 8 bulan
Fuli umur 4 bulan
Safrol
35.29
35.27
Sabinen/4(10)-thujene
35.09
31.29
Beta.-phellandrene
16.58
16.24
Terpene-4-ol
2.16
4.53
1R-.alpha.-Pinene
1.83
1.76
.Beta.-Myrcene
1.75
1.53
Berdasarkan Tabel 10, dapat diketahui komponen yang paling banyak (mayor) pada minyak atsiri fuli pala papua umur delapan dan empat bulan adalah safrol, kemudian diikuti sabinen, beta.phellandrene, terpene-4-ol, 1R-.alpha.-pinene, dan beta.-myrcene. Kedua umur fuli ini memiliki luas area komponen mayor yang tidak begitu berbeda. Tabel 11. Komponen mayor pada minyak atsiri biji pala papua Luas area (%) Komponen Biji umur 8 bulan Biji umur 4 bulan 2-Thujene
60.91
54.13
Safrol
16.25
21.44
Beta.-phellandrene
11.22
10.59
.Beta.-Myrcene
3.99
3.58
1R-.alpha.-Pinene
1.83
1.54
Terpene-4-ol
0.91
2.13
Berdasarkan Tabel 11, dapat dilihat bahwa komponen terbanyak pada biji adalah 2-thujene, diikuti dengan safrol, kemudian beta.-phellandrene dan beta.-myrcene. Pada biji umur delapan bulan, senyawa terbesar berikutnya adalah 1R-.alpha.-pinene, sedangkan pada biji umur empat bulan adalah terpene-4-ol. Komponen 2-thujene pada atsiri biji delapan bulan lebih besar daripada biji 4 bulan, hal yang serupa terjadi pada beta.-phellandrene, beta.-myrcene, dan 1R-.alpha.-pinene. Sedangkan pada senyawa safrol dan terpene-4-ol lebih besar pada biji umur empat bulan. Jika dibandingkan antara luas area masing-masing komponen dari analisis kromatogafi atsiri fuli dan biji, maka dapat dilihat bahwa komponen atsiri fuli didominasi oleh safrol (35%) dan 4(10)thujene (35%), sedangkan pada biji adalah 2-thujene (60%) dengan kandungan safrol yang relatif lebih rendah (20%). Hal ini menunjukkan bahwa bahan aktif pada fuli adalah safrol dan 4(10)-thujene atau sabinen. Selain itu, bila dilihat berdasarkan umurnya, hampir semua komponen dominan pada biji
28
maupun fuli cenderung lebih besar pada umur delapan bulan yaitu senyawa thujene, beta.phellandrene, terpene-4-ol, 1R-.alpha.-pinene, dan .beta.-myrcene. Jika dibandingkan dengan pala banda (M fragrans Hout), komposisi komponen volatil pala papua dengan pala banda jauh berbeda. Komponen safrol atsiri biji dan fuli pala papua jauh lebih besar (20-35%). Menurut Chairul dan Sulianti (2000), safrol pada fuli pala banda sebesar 1.18% dan pada biji 7.04 %. Komponen utama pada fuli pala banda adalah isoeugenol (32.80%) dan pada biji adalah alfa-terpineol (40.20 %). Atsiri biji dan fuli pala pupua hampir tidak mengandung kedua senyawa ini. Chairul dan Sulianti (2000) juga menambahkan bahwa sabinen dan thujen tidak terkandung di dalam minyak atsiri pala banda.
F. ARAH PENGEMBANGAN MINYAK ATSIRI PALA PAPUA Setiap komoditi perlu dimanfaatkan dengan semaksimal mungkin. Pemanfaatan komoditi secara maksimal dapat terjadi bila mengetahui arah pengembangan dari komoditi tersebut. Minyak atsiri dapat diketahui arah pengembangannya dengan cara mengetahui komponen volatil yang ada didalamnya. Dengan mengetahui komponen volatil dominan yang ada dan fungsi dari masing-masing komponen, minyak atsiri pala papua dapat diketahui arah pengembangannya. Dilihat dari hasil analisis GC-MS, minyak atsiri pala papua dapat menggantikan fungsi dan kegunaan pala biasa (pala banda) yaitu sebagai sumber safrol, alpha.-pinene, beta.-myrcene, terpene-4-ol, 2-thujene, sabinen, dan beta.phellandrene yang banyak digunakan dalam berbagai industri. Struktur molekul komponen mayor pada minyak atsiri biji dan fuli pala papua dapat dilihat pada Gambar 13.
1R-.alpha.-pinene
Terpene-4-ol
Safrol
2-thujene
beta.-myrcene
Sabinen
beta.-phellandrene
Gambar 13. Struktur molekul komponen mayor pada minyak atsiri biji dan fuli pala papua Safrol memiliki rumus molekul C10H10O2 dengan struktur molekul yang dapat dilihat pada Gambar 13. Safrol adalah komponen terbanyak pada minyak atsiri fuli pala papua. Senyawa ini dapat digunakan sebagai bahan baku pada pembuatan tropikal antiseptik dan ekstasi (Eiser 1994). Senyawa safrol terutama miristin merupakan identitas pada minyak pala (Chairul et al.1996). Menurut Sastrohamidjojo (2005), safrol digunakan secara luas dalam bidang farmasi. Safrol bila direaksikan dengan basa akan mengalami isomerisasi menjadi isosafrol. Isosafrol dapat dikonversi menjadi piperonal dengan cara dioksidasi. Piperonal disebut juga heliotropin berwujud cairan tak berwarna
29
yang memiliki bau harum. Piperonal banyak digunakan sebagai bahan/komposisi pewangi. Reaksi konversi safrol akan menghasilkan safril keton yang juga menjadi turunan L-DOPA (L-3,4dihydroxyphenylalanine). L-DOPA merupakan bahan psikoaktif dalam pengobatan Parkinson. Menurut Triantoro dan Susanti (2007), safrol tidak hanya terdapat pada tanaman pala, tapi juga terdapat pada tanaman kulilawang, masoi, dan kayu manis (Cinnamomum burmani). Selain itu, Weiss (1997) menyebutkan bahwa senyawa safrol bersifat merangsang tidur berkhayal (halusigenik) dengan dosis kurang dari 5 g. Karakteristik senyawa safrol dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Karakter senyawa safrol (Parry 2007) Nilai Specific gravity
1.105-1.107
Indeks refraksi
1.5360-1.5400
Titik leleh
11°C
Rotasi optik
+ 0°
Selain safrol, sabinen juga menjadi senyawa dominan pada atsiri pala papua. Menurut Guenther (2006), sabinen merupakan senyawa yang dapat memutar bidang polarisasi cahaya ke arah kanan (dextrorotatory). Menurut Parry (2007), sabinen juga dapat memutar bidang polarisasi cahaya ke kiri (levorotatory) dalam bentuk keton sabinen. Kegunaan senyawa ini tidak terlalu luas, tetapi sering digunakan sebagai komponen bahan pada pembuatan minyak lada sintetik. Selain pada pala papua, sabinen merupakan komponen utama dalam minyak kemukus, yaitu sekitar 33% (Guenther 2006). Terpen ini biasanya diperoleh dari fraksi minyak kemukus yang mendidih dibawah 195 °C, namun masih memungkinkan dihasilkan sabinen yang memiliki kemurnian relatif rendah. Agar dihasilkan sabinen yang lebih murni, biasanya digunakan proses fraksinasi sistematis (Parry 2007). Seperti yang sudah dijelaskan pada sub bab sebelumnya, senyawa sabinen merupakan senyawa yang mirip dengan senyawa 2-thujene. Fungsi dari senyawa thujene juga mirip dengan sabinen. Thujene secara umum banyak digunakan sebagai bahan pencampuran dalam industri flavor. Kemiripan karakter dari kedua senyawa ini dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13. Karakter senyawa sabinen dan thujene (Parry 2007) Sabinen Thujene Specific gravity
0.846
0.8275
Indeks refraksi
1.4675
1.4504
Rotasi optik
+66°
-
Titik didih
162-166 °C
151-152 °C
Phellandrene sebagai komponen yang cukup banyak terdapat pada atsiri fuli dan biji pala papua merupakan senyawa yang berwarna atau sedikit berwarna kuning, tidak larut dalam air, larut dalam 10-15 bagian alkohol 90%, dan dalam 1-3 bagian alkohol 95%. Senyawa ini memiliki rumus
30
molekul C10H16 dengan struktur molekul yang dapat dilihat pada Gambar 13. Selain pada pala, senyawa ini terdapat dalam tanaman lada, memberikan aroma khas lada, namun tidak memberikan efek pedas (Ketaren 1985). Karakteristik senyawa phellandrene dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14. Karakter senyawa phellandrene (Parry 2007) Nilai Specific gravity
0.852
Indeks refraksi
1.4788
Rotasi optik
+14° 45’ - +18° 30’
Senyawa pada minyak atsiri yang cukup banyak lainnya adalah beta-mirsen. Senyawa ini memiliki rumus molekul C10H16 dengan struktur molekul yang dapat dilihat pada Gambar 13. Betamirsen merupakan komponen yang berkhasiat sebagai senyawa preventif terhadap kanker (Duke 1998). Namun kegunaan yang paling umum adalah sebagai bahan parfum. Karakteristik senyawa beta-mirsen dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15. Karakter senyawa beta-mirsen (Parry 2007) Nilai Density
0.794 g/cm3
Titik leleh
< -10 °C
Titik didih
166-168 °C
Alfa-pinen termasuk golongan senyawa monoterpen dengan rumus molekul C10H16 dan struktur molekul yang dapat dilihat pada Gambar 13. Senyawa ini berupa cairan putih jernih sampai berwarna kuning pucat dengan kelarutan yang tinggi dalam alkohol 95%. Selain itu, alfa-pinen memiliki aroma resin, menghangatkan, serta menyegarkan seperti wangi pinus dan memiliki rasa balsamic. Kegunaannya adalah sebagai pemberi rasa dan wewangian pada berbagai macam produk antara lain dalam industri kosmetika maupun obat-obatan (Renata et al. 2007). Karakteristik senyawa alfa-pinen dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16. Karakter senyawa alfa-pinen (Parry 2007) Nilai Specific gravity
0·864
Indeks refraksi
1·4656
Rotasi optik
+48·4°
Titik didih
155-156 °C
31
Terpeneol adalah senyawa monoterpen alkohol alami. Senyawa ini memiliki rumus molekul C10H18O dengan struktur molekul yang dapat dilihat pada Gambar 13. Terpeneol memiliki tiga isomer yaitu alfa, beta, dan gamma. Beta dan gamma terpeneol hanya berbeda pada posisi ikatan rangkapnya saja. Terpeneol digunakan sebagai bahan dasar parfum lilac dan aroma pinus (Jamal 2009). Karakteristik senyawa terpeneol dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17. Karakter senyawa terpeneol (Parry 2007) Nilai Specific gravity
0.935-0.940
Titik leleh
18 °C
Rotasi optik
+ 100°
Titik didih
217-218 °C
Senyawa-senyawa lain yang teridentifikasi pada atsiri biji dan fuli pala papua dengan jumlah yang sedikit antara lain eugenol, myristicin, kopaena, elemicin, dan alfa-farnesena. Eugenol (C10H12O2) adalah bahan baku farmasi. Eugenol digunakan dalam pembuatan obat analgesik lokal dan antiseptik. Selain itu eugenol dapat dikonversi menjadi senyawa turunan amfetamin maupun L-DOPA (L-3,4-dihydroxyphenylalanine) yang dikenal sebagai obat Parkinson. Menurut Weiss (1997), senyawa aromatik myristicin dan elemicin (C12H16O3) yang terdapat pada pala bersifat merangsang tidur/berkhayal (halusigenik). Kopaena (C15H24) bermanfaat sebagai karminatif, sedangkan alfafernesena (C15H24) dapat digunakan sebagi pestisida dan feromon (Duke 1998). Karakteristik dari senyawa-senyawa tersebut dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18. Karakter senyawa eugenol, myristicin, kopaena, elimicin, dan alfa-fernesena (Parry 2007) Eugenol
Myristicin
Kopaena
Elemicin
Alfa-fernesena
Specific gravity
1.070
1.1450
0.9077
1.1450
0.887
Indeks refraksi
1.5439
1.5403
1.4894
1.5403
1.4995
Rotasi optik
+ 0°
-
-13° 35’
-
-
Titik didih
252 °C
171-173 °C
119-120 °C
171-173 °C
129-132 °C
Senyawa tunggal dalam minyak atsiri (seperti yang sudah dipaparkan diatas) dapat diperoleh melalui proses isolasi. Pengisolasian senyawa tunggal pada minyak atsiri pala secara umum dapat dilakukan dengan menggunakan kromatografi. Jenis kromatografi yang bisa digunakan adalah kromatografi planar, salah satu jenisnya adalah kromatografi lapis tipis (KLT). Menurut Nyiredy (2004), pada prisipnya metode ini memanfaatkan kepolaran dari komponen atsiri dan pelarut. Kromatografi dilakukan pada selembar kaca, palstik, atau aluminium foil yang dilapisi lapisan tipis (adsorben). Adsorben yang biasa digunakan adalah silika gel dan aluminium oksida. Lapisan adsorben ini adalah fase diam. Pelarut yang digunakan (fase gerak) digunakan setelah sampel di letakkan pada plat KLT. Perbedaan polaritas menyebabkan setiap komponen akan naik ke plat KLT pada tingkat
32
yang berbeda. Senyawa dengan polaritas yang lebih mirip dengan pelarut akan naik lebih dahulu, sedangkan senyawa yang kurang mirip kepolarannya akan tertahan pada plat kromatografi. Setelah itu masing-masing komponen dapat di pisahkan. Untuk meningkatkan resolusi, dapat digunakan perangkat tambahan. Metode KLT dengan perangkat tambahan ini biasa disebut HPTLC (High Performance Thin Layer Chromatography). Senyawa yang sudah terpisah (terisolasi) dapat digunakan sebagai bahan pencampuran dalam pembuatan produk sesuai dengan kegunaan dan sifat dari senyawa tersebut. Komponen-komponen yang sudah teridentifikasi, kemudian di kelompokan kedalam senyawa golongan terpenoid dan non terpenoid. Selain dilihat berdasarkan komponen mayor yang ada dalam minyak atsiri, pengelompokkan ini juga dapat menjadi dasar untuk menentukan keguaan secara umum dari minyak atsiri pala papua. Untuk senyawa terpenoid sendiri juga dikelompokan ke dalam senyawa monoterpen, monoterpen teroksigenasi (mengandung oksigen), dan seskuiterpen. Menurut Smith (2011), senyawa terpen adalah lemak yang tersusun atas lima unit karbon secara berulang yang disebut dengan unit isoprene. Struktur molekul dari unit isoprene dapat dilihat pada Gambar 14.
Gambar 14. Struktur molekul unit isoprene Satu unit isoprene memiliki lima karbon, empat pada baris dengan satu karbon cabang pada pertengahan karbon. Senyawa yang megandung dua unit isoprene disebut monoterpen. Senyawa monoterpen mengandung sepuluh atom karbon. Sedangkan senyawa yang mengandung tiga unit isoprene disebut seskuiterpen. Seskuiterpen mengandung lima belas atom karbon. Selain atom karbon dan hidrogen, senyawa terpen juga dapat mengandung atom lain seperti oksigen (teroksigenasi). Penggolongan komponen-komponen volatil biji dan fuli pala berdasarkan jumlah unit isoprene dapat dilihat pada Lampiran 9. Berdasarkan penggolongan tersebut, dapat dikelompokkan dalam empat kelompok yang dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19. Pengelompokkan senyawa minyak atsiri biji dan fuli pala papua berdasarkan unit isoprene Luas area (%) Kelompok Fuli 8 bulan Fuli 4 bulan Biji 8 bulan Biji 4 bulan Monoterpen
58.45
55.43
80.18
72.64
Monoterpen teroksigenasi
39.25
42.09
18.99
26.49
Seskuiterpen
0.05
0.04
0.03
0.02
Senyawa lainnya
2.36
2.50
1.11
1.37
Berdasarkan Tabel 19, terlihat dominasi komposisi kimia dari keempat minyak atsiri tersebut. Senyawa-senyawa yang ada di atsiri pala papua pada umumnya termasuk golongan senyawa terpen. Minyak atsiri yang berasal dari biji lebih banyak didominasi oleh golongan senyawa monoterpen. Minyak atsiri fuli juga didominasi oleh golongan monoterpen, namun golongan monoterpen teroksigenasi juga relatif cukup besar pada fuli.
33
Menurut Agusta (2000), jika suatu minyak atsiri memiliki kandungan hidrokarbon tidak beroksigen dalam jumlah besar dan stearoptena dalam porsi kecil, maka kegunaannya lebih diutamakan sebagai pemberi bau yang spesifik atau perancah (flavoring). Bila minyak atsiri mengandung lebih banyak senyawa dari golongan hidrokarbon, alkohol, keton, fenol, ester dari fenol, oksida, dan ester, lebih memungkinakan untuk digunakan sebgai obat, karena secara teori diketahui bahwa semua senyawa itu memiliki gugus aktif yang berfungsi melawan suatu jenis penyakit. Minyak atsiri fuli dan biji pala papua sendiri mengandung banyak komponen hidrokarbon tidak beroksigen dalam jumlah besar yaitu 50 % pada atsiri fuli dan 80 % pada atsiri biji. Hal ini menyebabkan kedua minyak atsiri ini cocok untuk dikembangkan sebagai flavoring agent. Namun selain mengandung hidrokarbon tak beroksigen, minyak atsiri fuli juga cukup mengandung hidrokarbon beroksigen yang cukup besar pula (39-42 %). Sehingga minyak atsiri fuli pala papua juga dapat dikembangkan sebagai obat.
34
V. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Hasil destilasi minyak atsiri menunjukkan kadar minyak atsiri paling banyak terdapat pada biji dan fuli umur empat bulan yaitu berturut-turut 9.22 % dan 6.78 %. Sedangkan pala umur delapan bulan dihasilkan minyak atsiri fuli 3.33 % dan biji 3.04 %. Berdasarkan data diatas, ekstraksi komersial minyak atsiri pala papua sebaiknya dilakukan pada biji dan fuli umur empat bulan. Hasil analisis GC-MS pada minyak atsiri fuli umur delapan dan empat bulan menunjukkan bahwa keduanya memiliki komponen yang tidak berbeda, namun dengan komposisi (% luas area) yang berbeda. Hal yang serupa juga terjadi pada biji pala papua umur empat dan delapan bulan. Fuli pala papua (M argentea Warb) umur 4 bulan memiliki komponen mayor berupa safrol (35.27 %), sabinen (31.29 %), beta.-phellandrene (16.24 %), terpene-4-ol (4.53 %), 1R-.alpha.-pinene (1.76 %), dan beta.-Myrcene (1.53 %). Sedangkan komponen mayor fuli pala papua umur 8 bulan adalah safrol (35.29 %), sabinen (35.09 %), beta.-phellandrene (16.58%), terpene-4-ol (2.16 %), 1R-.alpha.-pinene (1.83 %), dan beta.-Myrcene (1.75 %). Biji pala papua (M argentea Warb) umur 4 bulan memiliki komponen mayor berupa 2-Thujene (54.13 %), safrol (21.44 %), beta.-phellandrene (10.59 %), beta.Myrcene (3.58 %), 1R-.alpha.-pinene (1.54 %), dan terpene-4-ol (2.13 %). Sedangkan biji pala papua umur 8 bulan memiliki komponen mayor berupa 2-Thujene (60.91 %), safrol (16.25 %), beta.phellandrene (11.22 %), beta.-Myrcene (3.99 %), 1R-.alpha.-pinene (1.83 %), dan terpene-4-ol (0.91%). Minyak atsiri fuli dan biji pala papua mengandung banyak komponen hidrokarbon tidak beroksigen (monoterpen dan seskuiterpen) dalam jumlah besar (50-80 %). Hal ini yang mendasari pala papua direkomendasikan untuk dikembangkan sebagai flavoring agent. Selain mengandung hidrokarbon tak beroksigen, minyak atsiri fuli juga cukup banyak mengandung hidrokarbon beroksigen (monoterpen teroksigenasi) yang cukup besar pula (39-42 %). Sehingga minyak atsiri fuli pala papua juga dapat direkomendasikan untuk dikembangkan sebagai obat.
B. SARAN
a. b. c.
d.
Berdasarkan hasil penelitian ini, penulis menyarankan hal-hal sebagai berikut: Dilakukannya penelitian lebih lanjut untuk mengetahui sifat dan karakter mutu minyak atsiri pala papua sesuai dengan SNI minyak atsiri pala. Penelitian ini tidak akan bermanfaat bila pala papua tetap tidak termanfaatkan secara maksimal, sehingga perlu adanya pengolahan lebih lanjut terhadap potensi pala papua. Selain menjadi sumber minyak atsiri, pala papua juga mengandung lemak yang tinggi, jauh lebih banyak dari pada pala banda (pala yang banyak beredar). Hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa pala papua juga dapat menjadi sumber lemak untuk produk kosmetik maupun obat-obatan. Untuk skala komersial metode ekstraksi minyak atsiri tidak disarankan untuk menggunakan alat SDE Likens-Nickerson, tetapi disarankan untuk menggunakan alat destilasi uap.
35
DAFTAR PUSTAKA Agusta A. 2002. Minyak Atsiri Tumbuhan Tropika Indonesia. ITB, Bandung AOAC. 1995. Official Methods of Analysis of the Association. Official Analitycal Chemistry Corp, Carol Stream Illinois Apriantono A. 2007. Seminar nasional dan pameran perkembangan teknologi tanaman obat dan aromatik, Bogor Asyik N. 2005. Karakterisasi mutu dan identifikasi komponen aroma minyak pala (nutmeg oil) Indonesia sebagai bahan baku industri flavor [tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor [BPS] Badan Pusat Statisik. Nilai ekspor impor tahun 2008, 2009 dan 2010. http://www.bps.go.id.[20 Mei 2012] Chairul F Octavina dan M Harapini. 1996. Analisis komponen daun, daging buah, biji dan fuli tanaman pala (Myristica fragrans Houtt). Proseding dalam Simposium Penelitian Bahan Obat Alami VIII, 557-564 Chairul dan Sri Budi Sulianti. 2000. Minyak atsiri pala wegio (Myristica fatua L) dan pala (Myristica fragrans L) dengan GC-MS. Proseding dalam Seminar Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional, 5 November 2000, Bogor Cronin S. 1982. Flavor Chemistry. John Wiley and Son’s Ltd, London [Deptan] Departemen Pertanian. 1986. Pala dan Pengolahannya. Departemen Pertanian, bagian Proyek Informasi Pertanian, Irian Jaya Dorman HJ, Damien, D Stanley G. 2004. Chemical composition, antimicrobial and in vitro antioxidant properties of Monarda citriodora var. Citriodora, Myristica fragrans, Oreganu vulgare ssp. Hirtum, Pelargonium sp. and Thymus Zygis Oils. Journal of Essential Oil Research : Mar/Apr Duke JA. 1998. Phytochemical and Ethnobotanical Database. Beltsville Agicultural Research Center. Beltsville, Maryland Eisner B. 1994. Ectacy, The MDMA Story, 2nd Ed. Ronin Publ. Inc, Barkley Faridah DN, Kusnandar F, Herawati D, Kusumaningum, HD, Wulandari N, Indrasti D. 2010. Penuntun Prktikum Analisis Pangan. Institut Pertanian Bogor, Bogor Farrel K T. 1985. Spices, Condiments and Seasonings. AVI Publ. Co, Westport Connecticut. 413p Guenther Ernest. 2006. Minyak Atsiri. penerjemah: S Ketaren. UI Press, Jakarta Gunawan W. 2009. Kualitas dan nilai minyak atsiri implikasi pada pengembangan turunannya. Makalah dalam Seminar Nasional Kimia Bervisi SETS (Science, Environment, Technology, Society) Kontribusi Bagi Kemajuan Pendidikan dan Industri, Semarang Hablacher M, A S Ivessa, F Paltauf, dan S D Kohlwein. 1993. Acetyl-CoA carboxylase from yeast is essential enzyme and is regulated by factors that control phospholipid metabolism. J. Biol. Chem., 268, 10946-10952 Harwood J L dan R A Page. 1994. Biochemistry of oil synthesis. In :D.J. Murphy (ed). Designer oil crops: breeding, processing and technology. Weinheim, Verlagsesellschaft Jamal Y. 2009. Komposisi Kimia Minyak Atsiri Melodorum cylindricum (Maing, ex Hook.f & Thoms), Litsea firma (Blume) Hook.f.,Fl.Brit.Ind. dan Callistemon lanceolatus D.C.[Chemical Compound of Essential Oils from Melodorum cylindricum (Maing, ex
Hook.f & Thoms), Litsea firma (Blume) Hook.f.,Fl.Brit.Ind. dan Callistemon lanceolatus D.C] Jukic M, Politeo, dan M Milos. 2006. Chemical composition and antioxidant effect of free volatile aglycones from nutmeg (Myristica fragrans Houtt.) compared to its essential oil. Croatia Chemica Acta CCACAA 79(2):209-214. Ketaren S. 1985. Pengantar Teknologi Minyak Atsiri. Balai Pustaka, Jakarta Kristiningum E dan Lukiawan R. 2011. Kajian standar sektor rempah-rempah terkait dengan penolakan produk dalam mendukung peningkatan ekspor Indonesia. Jurnal Standardisasi 13 (1) : 25 – 34 Lancashire R J. 2002. Natural products in carribean folk medicine. Essential Oil Research 14, 6-9. C.E. Seafort, UWI Press, revised 1991 Larsen M dan Poll L.1990. Quick and simple extraction method for analysisi of aroma compounds in fruit products. In : Bessiere, Y. dan Thomas, A.F. (eds). Flvour Science and Technology. John Wiley and Son’s Ltd, London. Lehninger A L, D L Nelson, dan M M Cox. 1993. Principles of Biochemistry 2nd ed. Worth Publishers, New York Lubis S. 1983. Mengenal Apotik Hidup Obat Asli Indonesia. Bahagia, Pekalongan Marcelle G B. 1975. Production, handling and processing of nutmeg and mace and their utility uses. Corporate Document Repository. FAO of UN. http://www.fao.org/docrep/x5047E/x50 47E03.htm. [20 Juni 2012] McNair H M dan J M. Miller. 1998. Basic Gas Chromatogaphy. John Wiley & Sons. Inc, Canada Mukhopadhyay M. 2002. Natural Ekstracts using Supercritical Carbon Dioxide. CRC Press, London Niessen WMA. 2001. Current Practice of Gas Chromatogaphy-Mass Spectrometry. Marcel Dekker. Inc, Switzerland Nurdjannah N. 2007. Teknologi Pengolahan Pala. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Bogor Nyiredy S. 2004. Planar chromatography. Di dalam : Erich Heftmann (ed.). Chromatography, 6th Edition. Journal of Chromatography Library vol. 69A: 253-298 Parry Ernest J. 2007. The Chemistry of Essential Oils and Artificial Perfumes-Volume 1 (Fourth Edition). Wexford College Press, England Purseglove J W, E G Brown, C L Geen dan S R J. 1981. Spices: nutmeg and mace. Vol. I. Longman Inc. New York. P. 174-228 Renata PL, MA Adriana, GF-N Arthur and TH Amelia. 2007. Bioconversion of (+)-and (-)-alpha pinene to (+)-and (-)-Verbenone by plant cell cultures of Psychotria brachyceras and Rauvolfia sellowii. Electronic Journal for Biotecnology 10(4),1-6 Rismunandar. 1992. Budidaya dan Tata Niaga Pala. Penebar Swadaya, Jakarta Sastrohamidjojo H. 2005. Prospek minyak atsiri Indonesia. Makalah pada Seminar Nasional Peningkatan Produktivitas Hutan, 26-27 Mei 2005, Fakultas Kehutanan UGM, Yogyakarta Self Ron. 2005. Extraction of Organic Analytes from Foods, A Manual of Methods. University of East Anglia, UK Smith Janice Gorzynski. 2011. Organic Chemistry Third Edition. The McGaw-Hill, United States Somaatmadja D. 1984. Penelitian dan pengembangan pala dan fuli. Komunikasi No. 215. BBIHP, Bogor Sudjadi. 1985. Metode Pemisahan. Kanisius, Yogyakarta
37
Triantoro R G N dan Susanti C M E. 2007. Kandungan bahan aktif kayu Kulilawang (Cinnamomum culilawane Bl.) dan Masoi (Cryptocaria massoia). J. Ilmu & Teknologi Kayu Tropis 5(2): 85-92 Weiss E A. 1997. Spice Crops. CABLI Publishing, Australia Wijaya C H, Hadiprojo I T, dan Apriyantono A. 2001. Komponen volatil dan karakterisasi komponen kunci aroma buah adaliman (Zanthoxylum acanthopodlum DC). Jurnal Teknologi dan Industri Pangan 8(2), 117-125
38
Lampiran 1. Data penentuan Faktor Destilasi (FD)
Ulangan 1 Volume Bobot
air
air (g)
terukur (ml)
Ulangan 2 Faktor
Bobot
destilasi
air
(FD)
(g)
Volume air terukur (ml)
RSD Faktor destilasi (FD)
FD rata-
STD
rata
a
h
Tabung 1
4.01
3.3
121.51
4.05
3.4
119.12
120.32
1.69
1.41
2
Tabung 2
4.01
3.7
108.39
4.02
3.65
110.14
109.26
1.24
1.13
2
Tabung 3
4
3.5
114.29
4.02
3.45
116.52
115.4
1.58
1.37
2
Lampiran 2. Data analisis kadar air metode azeotropik
Ulangan 1 Bobot sampel (g) Biji 4 bulan Biji 8 bulan Fuli 4 bulan Fuli 8 bulan
Volume air terukur (ml)
Ulangan 2 Kadar
Bobot
air
sampel
(BB*)
(g)
Volume air terukur (ml)
RSD
Kadar Kadar
air rata-
air
rata
(BB)
(BB)
STD a
h
3.0646
1.9
74.59
3.0739
2.3
74.59
74.84
0.34
0.46
2.09
3.0675
0.55
19.59
3.0497
0.5
18.92
19.25
0.47
2.46
2.56
3.0126
0.7
26.81
3.0369
0.7
26.6
26.71
0.15
0.57
2.44
3.0915
0.5
19.46
3.0153
0.5
19.14
19.30
0.22
1.18
2.56
*BB: Basis Basah
40
Lampiran 3. Data analisis kadar lemak metode Soxhlet
Biji 4 bulan
Biji 8 bulan
Fuli 4 bulan
Fuli 8 bualan
Kadar lemak (%)
RSD
Bobot
Bobot
sampel
lemak
Basis
Rata-
Basis
Rata-
(g)
(g)
Basah
rata
Kering
rata
Ulangan 1
2.1126
0.1058
5.01
Ulangan 2
2.1033
0.1046
4.97
Ulangan 1
1.841
0.3443
18.7
Ulangan 2
1.9602
0.3765
19.21
Ulangan 1
1.5968
0.3211
20.11
Ulangan 2
1.5169
0.3024
19.93
Ulangan 1
1.6536
0.2798
16.92
Ulangan 2
1.7454
0.2984
17.1
4.99
18.95
20.02
19.9 19.77 23.16 23.78 27.44 27.2
21.18
a
h
19.83
0.09
0.49
2.55
23.47
0.44
1.89
2.49
27.32
0.18
0.61
2.43
21.08
0.15
0.73
2.52
20.97 17.01
STD
41
Lampiran 4. Data ekstraksi minyak atsiri
Bobot bahan
Hasil ekstraksi (g)
(g)
Hasil vigreux (g)
Kadar atsiri (%BB)
Bobot kering (g)
Kadar atsiri (%BK)
Fuli 4 bulan
200
36.62
9.94
4.97
146.58
6.78
Fuli 8 bulan
200
32.27
5.37
2.69
161.40
3.33
Biji 4 bulan
250
29.63
5.80
2.32
62.90
9.22
Biji 8 bulan
250
35.67
6.14
2.45
201.86
3.04
42
Lampiran 5. Dokumentasi buah, biji dan fuli pala papua umur delapan dan empat bulan
Buah umur 8 bulan
Buah umur 4 bulan
Biji umur 8 bulan
Biji umur 4 bulan
Fuli umur 8 bulan
Fuli umur 4 bulan
43
Lampiran 6. Dokumentasi peralatan yang digunakan
Alat destilasi azeotropik
Alat Soxhlet
Alat SDE Liken-Nickerson
Kolom Vigreux
GS-MS Merk Agilent 7890 A
44
Lampiran 7a. Kromatog minyak atsiri biji umur 4 bulan ulangan 1
Lampiran 4. Kromatog minyak atsiri biji umur 4 bulan ulangan 2
45
Lampiran 7b. Kromatogram minyak atsiri biji umur 4 bulan ulangan 2
Lampiran 5. Kromatog minyak atsiri biji umur 8 bulan ulangan 1
46
Lampiran 7c. Kromatogram minyak atsiri biji umur 8 bulan ulangan 1
Lampiran 6. Kromatog minyak atsiri biji umur 8 bulan ulangan 2
47
Lampiran 7d. Kromatogram minyak atsiri biji umur 8 bulan ulangan 2
Lampiran 7. Kromatog minyak atsiri fuli umur 4 bulan ulangan 1
48
Lampiran 7e. Kromatogram minyak atsiri fuli umur 4 bulan ulangan 1
49
Lampiran 7f. Kromatogram minyak atsiri fuli umur 4 bulan ulangan 2
50
Lampiran 7g. Kromatogram minyak atsiri fuli umur 8 bulan ulangan 1
51
Lampiran 7h. Kromatog minyak atsiri fuli umur 8 bulan ulangan 2
52
Lampiran 8a. Senyawa-senyawa atsiri biji umur 4 bulan ulangan 1 hasil identifikasi menggunakan NIST Library
53
54
55
56
57
Lampiran 8b. Senyawa-senyawa atsiri biji umur 4 bulan ulangan 2 hasil identifikasi menggunakan NIST Library
58
59
60
61
Lampiran 8c. Senyawa-senyawa atsiri biji umur 8 bulan ulangan 1hasil identifikasi menggunakan NIST Library
62
63
64
65
Lampiran 8d. Senyawa-senyawa atsiri biji umur 8 bulan ulangan 2 hasil identifikasi menggunakan NIST Library
66
67
68
69
Lampiran 8e. Senyawa-senyawa atsiri fuli umur 4 bulan ulangan 1 hasil identifikasi menggunakan NIST Library
70
71
72
73
74
Lampiran 8f. Senyawa-senyawa atsiri fuli umur 4 bulan ulangan 2 hasil identifikasi menggunakan NIST Library
75
76
77
78
79
Lampiran 8g. Senyawa-senyawa atsiri fuli umur 8 bulan ulangan 1hasil identifikasi menggunakan NIST Library
80
81
82
83
84
Lampiran 8h. Senyawa-senyawa atsiri fuli umur 8 bulan ulangan 2 hasil identifikasi menggunakan NIST Library
85
86
87
88
89
90
Lampiran 9. Rumus molekul, sinonim, penggolongan senyawa terpen, dan nama IUPAC dari komponen-komponen minyak atsiri pala papua peak
1
komponen Bicyclo[3.1.0]hexane, 4-methyl-1-(1methylethyl)-, didehydro deriv
Rumus molekul
Kelompok terpen
C10H16
Monoterpen
Nama dalam kromatogram
IUPAC
Bicyclo[3.1.0]hexane, 4-methyl-1-(1-
4-methyl-1-propan-2-ylbicyclo[3.1.0]hex-
methylethyl)-, didehydro deriv
2-ene 4,7,7-trimethylbicyclo[3.1.1]hept-3-en
2
1R-.alpha.-Pinene
C10H16
Monoterpen
1R-.alpha.-Pinene
3
Camphene
C10H16
Monoterpen
Camphene
4
sabinen/4(10)-thujene
C10H16
Monoterpen
5
2-Thujene
C10H16
Monoterpen
Bicyclo[3.1.0]hexane, 4-methylene-1-(1-
6,6-dimethyl-5methylidenebicyclo[2.2.1]heptane 4-methylidene-1-propan-2-
methylethyl)-
ylbicyclo[3.1.0]hexane
Bicyclo[3.1.0]hex-2-ene, 4-methyl-1-(1-
4-methyl-1-propan-2-ylbicyclo[3.1.0]hex-
methylethyl)-
2-ene 7,7-dimethyl-4-
6
.beta.-Pinene
C10H16
Monoterpen
.beta.-Pinene
7
.beta.-Myrcene
C10H16
Monoterpen
.beta.-Myrcene
8
.alpha.-Phellandrene
C10H16
Monoterpen
.alpha.-Phellandrene
9
beta.-phellandrene
C10H16
Monoterpen
beta.-phellandrene
3-methylidene-6-propan-2-ylcyclohexene
C10H16
Monoterpen
Cyclopropane, 1,1-dimethyl-2-(3-methyl-
1,1-dimethyl-2-[(1E)-3-methylbuta-1,3-
10
Cyclopropane, 1,1-dimethyl-2-(3methyl-1,3-butadienyl)-
11
.gamma.-Terpinen
C10H16
Monoterpen
12
terpineol,cis-.beta.
C10H18O
Monoterpen
methylidenebicyclo[3.1.1]heptane 7-methyl-3-methylideneocta-1,6-diene 2-methyl-5-propan-2-ylcyclohexa-1,3diene
1,3-butadienyl)-
dienyl]cyclopropane
1,4-Cyclohexadiene, 1-methyl-4-(1-
1-methyl-4-propan-2-ylcyclohexa-1,4-
methylethyl)-
diene
terpineol,cis-.beta.
1-methyl-4-prop-1-en-2-ylcyclohexan-1-ol
91
Lampiran 9. Rumus molekul, sinonim, penggolongan senyawa terpen, dan nama IUPAC dari komponen-komponen minyak atsiri pala papua (lanjutan)
(+)-4-Carene
Rumus molekul C10H16
Kelompok terpen Monoterpen
3-Carene
C10H16
Monoterpen
peak
Komponen
13 14
15
16
17
cis-Sabinenhydrate
2-Cyclohexen-1-ol, 1-methyl-4-(1methylethyl)-, cis-
trans-Sabinenhydrate
C10H18O
C10H18O
C10H16O
18
Terpene-4-ol,
C10H18O
19
p-menth-1-en-8-ol
C10H18O
20
Piperitol
C10H18O
21
d-Piperitone
C10H16O
22
Safrol
C10H10O2
23
eugenol
C10H12O2
Monoterpen teroksigenasi
Nama dalam kromatog
IUPAC
(+)-4-Carene
3,7,7-trimethylbicyclo[4.1.0]hept-4-ene
3-Carene
3,7,7-trimethylbicyclo[4.1.0]hept-3-ene,
Bicyclo[3.1.0]hexan-2-ol, 2-methyl-5-(1methylethyl)-, (1.alpha.,2.b eta.,5.alpha.)-
Bicyclo[3.1.0]hexan-2-ol, 2-methyl-5-(1methylethyl)-, (1α,2β,5α)-
Monoterpen
2-Cyclohexen-1-ol, 1-methyl-4-(1-
(1R,4R)-1-methyl-4-propan-2-ylcyclohex-
teroksigenasi
methylethyl)-, cis-
2-en-1-ol
Monoterpen teroksigenasi
Bicyclo[3.1.0]hexan-2-ol, 2-methyl-5-(1methylethyl)-, (1.alpha.,2.a lpha.,5.alpha.)-
Monoterpen
3-Cyclohexen-1-ol, 4-methyl-1-(1-
teroksigenasi
methylethyl)-
Monoterpen teroksigenasi
p-menth-1-en-8-ol
Bicyclo[3.1.0]hexan-2-ol, 2-methyl-5-(1methylethyl)-, (1α,2α,5α)-
4-methyl-1-propan-2-ylcyclohex-3-en-1-ol 2-(4-methylcyclohex-3-en-1-yl)propan-2ol
Monoterpen
2-Cyclohexen-1-ol, 3-methyl-6-(1-
teroksigenasi
methylethyl)-, cis-
Monoterpen
2-Cyclohexen-1-one, 3-methyl-6-(1-
(6S)-3-methyl-6-propan-2-ylcyclohex-2-
teroksigenasi
methylethyl)-
en-1-one
1,3-Benzodioxole, 5-(2-propenyl)-
5-prop-2-enyl-1,3-benzodioxole
Eugenol
2-methoxy-4-prop-2-enylphenol
Monoterpen teroksigenasi Monoterpen teroksigenasi
3-methyl-6-propan-2-ylcyclohex-2-en-1-ol
92
Lampiran 9. Rumus molekul, sinonim, penggolongan senyawa terpen, dan nama IUPAC dari komponen-komponen minyak atsiri pala papua (lanjutan) peak
komponen
Rumus molekul
Kelompok terpen
Nama dalam kromatog
24
copaene
C15H24
Seskuiterpen
Copaene
IUPAC (1R,2S,6S,7S,8S)-8-isopropyl-1,3dimethyltricyclo[4.4.0.02,7]dec-3-ene
25
Methyl eugenyl ether
C11H14O2
Senyawa lain
Benzene, 1,2-dimethoxy-4-(2-propenyl)-
1,2-dimethoxy-4-prop-2-enylbenzene
26
Isohomogenol
C11H14O2
Senyawa lain
Benzene, 1,2-dimethoxy-4-(1-propenyl)-
1,2-dimethoxy-4-[(E)-prop-1-enyl]benzene
27
.alpha.-Farnesene
C15H24
Seskuiterpen
.alpha.-Farnesene Benzene, 1,2,3-trimethoxy-5-(2-
(3E,6E)-3,7,11-trimethyldodeca-1,3,6,10tetraene 1,2,3-trimethoxy-5-prop-2-enylbenzene
28
Elemicin
C12H16O3
Senyawa lain
29
dodecanoic acid
C12H24O2
Senyawa lain
dodecanoic acid
dodecanoic acid
30
Phenol, 2,6-dimethoxy-4-(2-propenyl)-
C11H14O3
Senyawa lain
Phenol, 2,6-dimethoxy-4-(2-propenyl)-
2,6-dimethoxy-4-prop-2-enylphenol
propenyl)-
93