KARAKTERISTIK FISIKO KIMIA MINYAK FULI DAN BIJI PALA (Myristica fragrans Houtt) DENGAN EKSTRAKSI METODE DESTILASI AIR
MIMBAR ARI SAPUTRO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Karakteristik Fisiko Kimia Minyak Fuli dan Biji Pala (Myristica fragrans Houtt) dengan Ekstraksi Metode Destilasi Air adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Oktober 2016 Mimbar Ari Saputro NIM F252130085
RINGKASAN MIMBAR ARI SAPUTRO. Karakteristik Fisiko Kimia Minyak Fuli dan Biji Pala (Myristica fragrans Houtt) dengan Ekstraksi Metode Destilasi Air. Dibimbing oleh NURI ANDARWULAN dan DIDAH NUR FARIDAH. Pala (Miristica fragrans Houtt) adalah salah satu jenis tanaman yang memiliki arti ekonomi penting sebagai penghasil rempah dan minyak pala di perdagangan internasional. Bahan baku dalam pembuatan minyak pala terdiri dari fuli (mace), biji pala muda, media, dan tua yang pengklasifikasiannya ditentukan oleh perbedaan umur panen buah pala. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari karakteristik fisiko kimia minyak pala yang dihasilkan dari proses ekstraksi dengan metode destilasi air terhadap perbedaan umur panen fuli dan biji pala (muda, media, dan tua). Diameter membujur dan melintang biji pala secara berurutan berdasarkan sampel uji adalah (1.45, 1.56, dan 2.34 cm) dan (1.02, 1.77, dan 2.02 cm). Berat biji pala secara berurutan adalah 0.77, 1.67, dan 2.71 gram. Persentase minyak pala yang dihasilkan secara berurutan berdasarkan sampel uji adalah 19.51, 8.92, 6.35, dan 5.04. Nilai berat jenis, indeks refraksi, dan rotasi optik secara berurutan adalah (0.919, 0.902, 0.923, dan 0.930), (1.487, 1.481, 1,486, dan 1.487), dan (+6.07o, +7.51o, +6.61o, dan +6.58o). Analisis profil senyawa atsiri minyak pala menggunakan gas kromatografi – spektrometri massa (GC-MS) dan gas kromatografi (GC) berhasil diidentifikasi 40 senyawa atsiri dengan total persentase area berdasarkan urutan sampel uji 99.41, 98.65, 98.27, dan 98.36. Senyawa penyusun utama minyak pala terdiri dari alpha pinene, sabinene, beta pinene, 3-carene, limonene, gamma terpinene, 4terpineol, safrole, myristicine, eugenol, methyl eugenol, isoeugenol, and elimicine. Minyak biji pala muda memiliki mutu mendekati standar European Pharmacopoeia dan industri perisa serta fragrans dibandingkan dengan minyak fuli, biji pala media, dan tua. Kata kunci: destilasi air, minyak fuli, minyak pala, senyawa atsiri
SUMMARY MIMBAR ARI SAPUTRO. The Physicochemical Properties of Nutmeg Mace and Seed Oil (Myristica fragrans Houtt) Characterized by Hydrodistillation Extraction Method. Supervised by NURI ANDARWULAN and DIDAH NUR FARIDAH. Nutmeg (Myristica fragrans Houtt) is the most important species for spice and nutmeg oil in international trade. The raw materials in the production of nutmeg oil consist of mace, young seed, medium seed, and old seed. The seed was classified by the difference of harvesting age of nutmeg. The objective of this study was to investigate physicochemical properties as well as the profile of volatile oil composition of nutmeg oil from mace and different age of nutmeg seed (young, medium, and old) by hydrodistillation as extraction method. The physical properties of mace and nutmeg seeds were determined at different moisture content of samples. The mean length and width of seeds were (1.45, 1.56, and 2.34 cm) and (1.02, 1.77, and 2.02 cm), respectively. The mean weight of seeds were 0.77, 1.67, and 2.71 gram. The percentages of oil yield were 19.51, 8.91, 6.35, and 5.04, respectively. The mean of specific gravity, refractive index and optical rotation of oils were (0.919, 0.902, 0.923, and 0.930), (1.487, 1.481, 1,486, and 1.487), and (+6.07o, +7.51o, +6.61o, and +6.58o), respectively. Analysis of volatile components in the nutmeg oil used GC-MS and GC and 40 compounds have been identified with the percentage of total area were 99.41, 98.63, 98.26, and 98.24, respectively. The main constituents of various nutmeg oils were alpha pinene, sabinene, beta pinene, 3-carene, limonene, gamma terpinene, 4-terpineol, safrole, myristicine, eugenol, methyl eugenol, isoeugenol, and elimicine. The physicochemical properties of young nutmeg seed oil is the closest to European Pharmacopoeia and flavor and fragrance industry standard quality standard compare to mace, medium, and old nutmeg seeds. Key words: hydrodistillation, mace oil, nutmeg oil, volatile compounds
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KARAKTERISTIK FISIKO KIMIA MINYAK FULI DAN BIJI PALA (Myristica fragrans Houtt) DENGAN EKSTRAKSI METODE DESTILASI AIR
MIMBAR ARI SAPUTRO
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi pada Program Studi Magister Profesional Teknologi Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr-Ing Azis Boing Sitanggang, STP, MSc
Judul Tesis : Karakteristik Fisiko Kimia Minyak Fuli dan Biji Pala (Myristica fragrans Houtt) dengan Ekstraksi Metode Destilasi Air Nama NIM
: Mimbar Ari Saputro : F252130085
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Prof Dr Ir Nuri Andarwulan, MSi Ketua
Dr Ir Didah Nur Faridah, MSi Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Magister Profesional Teknologi Pangan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Nurheni Sri Palupi, MSi
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian : 18 Agustus 2016
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul pada penelitian yang telah dilaksanakan sejak bulan April 2015 ini ialah Karakteristik Fisiko Kimia Minyak Fuli dan Biji Pala (Myristica fragrans Houtt) dengan Ekstraksi Metode Destilasi Air. Karya ilmiah ini telah diajukan ke International Food Research Journal (IFRJ) untuk dipublikasikan. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Prof Dr Ir Nuri Andarwulan, MSi dan Ibu Dr Ir Didah Nur Faridah, MSi selaku pembimbing yang telah membimbing penulis dengan sabar dan memberi banyak masukan serta motivasi pada penulis dalam menyusun karya ilmiah ini. Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepada Bapak Dr-Ing Azis Boing Sitanggang, STP, MSc selaku penguji luar komisi yang telah menguji penulis pada ujian tesis. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada civitas akademika dan sekretariat Pascasarjana Magister Profesional Teknologi Pangan, Manajemen PT. Indesso Aroma, rekan-rekan di kantor khususnya di R & D, QC, dan SCM yang tak hentihentinya memberikan dukungan dalam penyelesaian tesis ini, rekan-rekan di MPTP batch IX atas dorongannya untuk menyelesaikan tesis ini khususnya almarhumah Anita Roserlina Simanjuntak, petani dan pedagang pala di Sumatera Barat. Sahabat-sahabat di Brotherhood atas dukungannya dalam penyelesaian tesis ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah (alm), ibu, istri serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Oktober 2016 Mimbar Ari Saputro
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Hipotesis Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian
1 1 3 3 3 3 3
2 TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Pala Fuli (mace) Biji Pala Metabolisme Minyak Atsiri Metode Penyulingan Minyak Pala Komponen Minyak Pala Regulasi Standar Mutu Minyak Pala
4 4 6 6 7 8 9 9 11
3 METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Tahapan Penelitian
14 14 14 14
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Fisik Pala dan Minyak Atsiri Pala Profil Senyawa Atsiri Minyak Pala
17 17 19
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
28 28 28
DAFTAR PUSTAKA
29
LAMPIRAN
31
RIWAYAT HIDUP
36
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Luas tanaman pala Indonesia tahun 2014 Luas tanaman pala Sumatera Barat tahun 2014 Komposisi kimia fuli dan biji pala kering Komposisi kimia minyak pala Profil senyawa atsiri minyak pala asal Sulawesi, Jawa, dan Andaliman Nicobar Standar minyak pala Karakteristik sifat fisik sampel dan minyak atsiri pala Profil senyawa kimia pada minyak fuli, biji pala muda, media dan tua Senyawa kimia penyusun utama dalam minyak pala dibandingkan dengan literatur
5 5 6 10 11 13 17 22 23
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6
7
8
9
Jalur metabolisme pada tumbuhan Volume dan nilai ekspor minyak pala Indonesia Jenis biji pala dan fuli berdasarkan umur panen buah Grafik hubungan antara rataan berat biji, rendemen, kadar air, dan partikel lolos ayakan Kromatogram GC minyak pala Senyawa alpha pinene, sabinene, dan beta pinene pada minyak fuli, biji pala muda, media, dan tua dibandingkan dengan standar EP dan industri perisa serta fragrans Senyawa 3-carene, limonene, dan gamma terpinene pada minyak fuli, biji pala muda, media, dan tua dibandingkan dengan standar EP dan industri perisa serta fragrans Senyawa 4-terpineol, safrole, dan myristicine pada minyak fuli, biji pala muda, media, dan tua dibandingkan dengan standar EP dan industri perisa serta fragrans Senyawa eugenol, methyl eugenol, isoeugenol, dan elemicine pada minyak fuli, biji pala muda, media, dan tua dibandingkan dengan standar industri perisa serta fragrans
7 9 14 18 21 24
25
26
27
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4
Diagram alir penelitian Analisis ragam untuk senyawa α-pinene Analisis ragam untuk senyawa gamma terpinene Analisis ragam untuk senyawa eugenol
32 33 34 35
1
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia terletak diantara Benua Asia dan Australia, Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, dilalui garis katulistiwa, berada di dua rangkaian pegunungan Sirkum Pasifik dan Mediteranian, hal ini berdampak Indonesia mempunyai dua musim yaitu musim kemarau dan hujan yang bergantian sepanjang tahun sehingga flora dan fauna tumbuh dengan baik, salah satunya yaitu tanaman pala. Pala merupakan tanaman asli Indonesia dengan pusat sebaran di Maluku, Sulawesi, Irian Jaya, Jawa, dan Sumatera, selain itu Indonesia merupakan pusat habitat asli dari beberapa spesies dalam marga Myristica (Arrijani 2005). Sebagai pusat habitat asli, Indonesia perlu mengambil peran yang lebih besar dalam pengelolaan, pengembangan, dan pemanfaatan tanaman pala. Potensi tanaman pala sangat besar, hal ini terlihat dari data statistik perkebunan Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian tahun 2014, diketahui luas tanaman pala perkebunan rakyat seluas 157840 ha yang terdiri dari tanaman belum menghasilkan seluas 81574 ha (52%), tanaman telah menghasilkan 67107 ha (42%) dan tanaman tidak menghasilkan atau rusak 9159 ha (5%), dari keluasan tersebut produksi tanaman pala sebesar 32651 ton biji kering. Jenis pala yang banyak dimanfaatkan dan mempunyai arti ekonomi penting sebagai penghasil rempah dan minyak pala di perdagangan internasional yaitu Myristica fragrans Houtt. Hasil utama dari tanaman ini berupa buah dalam bentuk fuli (mace) dan biji. Biji pala yang telah tua ditandai dengan lapisan luar berwarna hitam mengkilat dan fuli yang berwarna merah tua pada saat dipanen kemudian dibelah dan dibuka daging buahnya, sedangkan biji pala muda akan tampak fuli dan biji berwarna putih kehijauan. Penggunaan biji pala sangat luas, diantaranya kandungan senyawa fenolik dalam biji pala bermanfaat sebagai antioksidan dalam makanan fungsional (Tan et al. 2013; Hou et al. 2012). Menurut Saxena et al. (2012) minyak pala mengandung metabolit sekunder yang bermanfaat untuk mengobati berbagai penyakit infeksi. Selain itu bubuk biji pala dapat digunakan sebagai antimikroba dalam permen (Sanghai-Vaijwade et al. 2011) dan sebagai antibakteri, antiinflamasi, antioksidan dan anticollagenolytic dalam pengobatan periodontitis (Jangid et al. 2014). Kegunaan lainnya sebagai bahan baku dalam pembuatan minyak pala yang terdiri dari campuran fuli, biji pala muda, media, dan tua. Saat ini Indonesia telah mengekspor minyak atsiri sekitar 26 jenis, salah satunya adalah minyak pala. Volume ekspor minyak pala pada tahun 2015 sebesar 339 ton senilai USD 14.456 juta. Minyak pala sebagai salah satu komoditas ekspor perlu dikembangkan karena telah memberikan pendapatan dan lapangan kerja di bidang pertanian, perdagangan dan industri. Standar kualitas yang digunakan dalam perdagangan minyak pala internasional mengikuti regulasi yang ditetapkan oleh lembaga internasional, diantaranya adalah European Pharmacopoeia, British Pharmacopoeia, International Organization for Standarization, dan industri perisa serta fragrans (Burfield 2003). Secara umum standar tersebut mempunyai sembilan parameter senyawa kimia yang terdiri dari alpha pinene, sabinene, beta pinene, 3-carene, limonene, gamma terpinene, 4-
2 terpineol, safrole, dan myristicine. Selain itu terdapat standar tambahan yang memberikan batasan nilai eugenol, methyl eugenol, isoeugenol, dan elimicine di industri perisa dan fragrans. Methyl eugenol dan safrole merupakan senyawa karsinogenik sehingga menjadi salah satu parameter penting dalam hal penerimaan minyak pala (Riyadi et al. 2014), sedangkan eugenol, limonene, dan isoeugenol memiliki sifat allergen (IFRA 2007). Permasalahan utama dalam perdagangan minyak pala adalah mutu, hal ini terlihat dari pengujian internal terhadap 3 sampel minyak pala yang berasal dari penyuling pala ditemukan persentase senyawa myristicine dan methyl eugenol secara berurutan sebesar (7.92, 10.05, dan 9.07) dan (0.62, 0.32, dan 1.19) yang tidak memenuhi standar kualitas. Batasan kualitas menurut standar European Pharmacopoeia dan industri perisa dan fragrans yaitu myristicine sebesar 8-12% dan methyl eugenol maksimal sebesar 0.5%. Selain itu, pada awal tahun 2013 terdapat kasus adanya minyak pala yang tercemar minyak tanah. Hal ini terjadi pada saat proses pemisahan fuli dari biji pala menggunakan minyak tanah, dengan cara minyak tanah dicipratkan di atas tumpukan biji pala basah sehingga pada saat diproduksi minyak pala tercemar minyak tanah. Buyer tidak menerima minyak pala yang tercemar minyak tanah. Bahan baku dalam pembuatan minyak pala terdiri dari campuran fuli, biji pala muda, media, dan tua yang pengklasifikasiannya berdasarkan umur panen buah pala. Beragamnya biji pala kemungkinan akan memberikan karakteristik fisiko kimia yang berbeda. Menurut Ma’mun (2013) mutu minyak pala sangat ditentukan oleh sifat-sifat kimianya. Minyak atsiri disusun oleh beberapa senyawa kimia yang merupakan hasil reaksi biosintesis dalam tumbuhan, reaksi tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan dan genetik tanaman. Senyawa kimia diidentifikasi menggunakan metode kromatografi gas (Agusta 2000). Untuk itu dalam penelitian ini akan dipelajari karakteristik fisiko kimia minyak fuli dan biji pala pada umur panen yang berbeda dengan bahan uji berasal dari Sumatera Barat. Pertimbangan menggunakan bahan uji dari daerah ini bahwa Sumatera Barat merupakan salah satu sentra perdagangan bahan baku minyak pala dan diperkirakan memberikan kontribusi sebesar 30% sampai 35% terhadap volume ekspor minyak pala. Berdasarkan data statistik perkebunan Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian tahun 2014, diketahui luas tanaman pala perkebunan rakyat Sumatera Barat seluas 4233 ha yang terdiri dari tanaman belum menghasilkan seluas 1461 ha (35%), tanaman telah menghasilkan 2638 ha (62%) dan tanaman tidak menghasilkan atau rusak 134 ha (3%), dari keluasan tersebut produksi tanaman pala sebesar 1670 ton biji kering. Selain itu masyarakat Sumatera Barat telah membudidayakan dan berdagang pala secara turun-menurun. Dalam perdagangan biji pala, harga yang termahal adalah fuli, diikuti biji pala muda, media, dan tua. Beberapa penelitian terkait minyak pala telah dilakukan, namun penelitian mengenai hubungan antara fuli dan biji pala yang pengklasifikasiannya berdasarkan umur panen dan karakteristik fisiko kimia yang berbahan baku dari Sumatera Barat belum pernah ada yang melakukan. Hal ini yang mendorong dilakukan penelitian untuk mempelajari karakteristik fisiko kimia minyak fuli dan biji pala pada umur panen yang berbeda dengan metode ekstraksi destilasi air. .
3 Hipotesis Bahan baku dalam pembuatan minyak pala terdiri dari fuli, biji pala muda, media, dan tua. Beragamnya bahan baku ini diduga mempengaruhi mutu minyak pala. Untuk itu perlu dilakukan penelitian tentang karakteristik fisiko kimia masing-masing bahan baku dan hal ini berpeluang untuk dikembangkan sesuai permintaan pasar. Perumusan Masalah Salah satu cara untuk mengetahui mutu minyak pala yaitu dengan mempelajari karakteristik fisiko kimia minyak fuli, biji pala muda, media, dan kasar. Hal ini dilakukan karena industri perisa dan fragrans kesulitan mengontrol mutu minyak pala yang dihasilkan oleh petani. Metode yang digunakan untuk mendapatkan minyak tersebut dengan metode destilasi air skala laboratorium. Bahan uji terdiri dari fuli, biji pala muda, media, dan tua yang didapatkan langsung dari pedagang pala di Sumatera Barat. Perumusan masalah yang digunakan yaitu apakah terdapat perbedaan karakteristik fisiko kimia minyak fuli, biji pala muda, media, dan tua serta apakah minyak pala tersebut memenuhi standar mutu European Pharmacopoeia dan industri perisa serta fragrans.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari karakteristik fisiko kimia minyak fuli, biji pala muda, media, dan tua dengan metode ekstraksi destilasi air dan selanjutnya membandingkan dengan standar mutu European Pharmacopoeia dan industri perisa serta fragrans.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian dapat menjelaskan perbedaan karakteristik fisiko kimia minyak fuli, biji pala muda, media, dan tua serta penelitian ini dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi petani pala, penyuling minyak pala, industri farmasi, perisa dan fragrans.
Ruang Lingkup Penelitian Bahan uji didapatkan dari pedagang di Sumatera Barat, biji pala yang umum diperdagangkan terdiri dari fuli, biji pala muda, media, dan tua. Pengklasifikasian biji pala tersebut berdasarkan umur panen buah pala, sebagai penanda atau pembeda biji pala dengan mengukur diameter dan berat biji pala. Metode ekstraksi yang digunakan yaitu dengan destilasi air skala laboratorium. Analisis minyak fuli dan biji pala terdiri dari analisis fisik dan kimia. Standar kualitas mengikuti regulasi European Pharmacopoeia dan industri perisa serta fragrans.
4
2 TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Pala Menurut Ruhnayat et al. (2013), di Indonesia terdapat beberapa species atau jenis pala yang bernilai ekonomi diantaranya: 1) Myristica fragrans Houtt yang dikenal dengan nama pala Banda, 2) M. speciosa Warb (pala Bacan), 3) M. succedawa BL, jenis ini di Ternate disebut pala Patani, 4) M. scheferri Warb (pala Onin atau Gosoriwonin), 5) M. fatua Houtt (pala laki-laki, pala Fuker, atau pala Hutan (Ambon), 6) M. argantea Warb (pala Irian atau pala Papua), 7) M. tingens BL (nama pala Tertia), 8) M. sylvetris Houtt (pala burung atau pala Mendaya) atau pala Anan (Ternate). Dari ke delapan jenis tersebut yang memiliki kualitas dan produktivitas yang baik hanya Myristica fragrans Houtt (Hadad et al. 1992). Penyebaran tanaman pala ke beberapa daerah di Indonesia ataupun ke luar negeri tidak terlepas dari kegiatan bangsa asing pada saat itu, dimulai pada abad ke 18 tanaman pala dari Maluku menyebar ke Sumatera, Aceh, Jawa, Lampung, dan Sulawesi Utara. Setelah perang dunia II meluas ke India Barat dan Grenada, dari kedua daerah inilah Indonesia mendapat saingan ekspor pala di dunia. Tanaman pala dapat tumbuh hingga mencapai tinggi 4-10 m dan terkadang mencapai 20 m, mulai berbuah umur 5-8 tahun, bersifat dioecious (berumah dua), sebelum fase berbuah antara pohon jantan dan betina sulit dibedakan. Buah pala berbentuk bulat sampai agak lonjong dengan panjang antara 1-10 cm, berdaging tipis sampai agak tebal dengan warna daging buah putih kecoklatan. Biji pala memiliki kulit biji yang keras dan diselubungi oleh fuli (mace) serta bersifat aromatik. Panen buah pala hampir sepanjang tahun, namun panen besar biasanya terjadi pada bulan Mei-Juni (Wahyuni et al. 2008). Bagian tanaman pala yang bisa dimanfaatkan adalah buah pala yang terdiri dari daging buah (77.8%), fuli (4%), tempurung atau cangkang (5.1%), dan biji (13.1%). Biji pala dan fuli mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi dan dapat diolah menjadi minyak pala, oleoresin dan lemak pala. Perbedaan wilayah dan zona agroekologi diduga mempengaruhi karakteristik komponen penting penyusun struktur kimia biji pala (Roufiq et al. 2007). Tanaman pala tersebar di wilayah Indonesia seperti ditunjukkan pada Tabel 1. Daerah yang memiliki luas tanaman pala terbesar yaitu Maluku Utara, kemudian diikuti oleh Maluku dan Aceh. Luas tanaman pala berdasarkan statistik perkebunan Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian tahun 2014 seluas 157840 ha, dari luas tersebut seluas 4233 ha berada di Sumatera Barat. Pada Tabel 2 ditunjukkan kabupaten yang memiliki luas tanaman pala di atas 400 ha yaitu Agam, Padang Pariaman, Pesisir Selatan, dan Kepulauan Mentawai. Dalam perdagangan pala di Sumatera Barat, daerah tersebut merupakan penghasil utama biji dan fuli pala.
5 Tabel 1 Luas tanaman pala Indonesia tahun 2014 Luas (ha) Jumlah
Produksi (ton)
Propinsi TBM* Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Jambi Bengkulu Lampung Jawa Barat Banten Jawa Tengah Jawa Timur Bali Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Timur Sulawesi Utara Gorontalo Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Barat Sulawesi Tenggara Maluku Maluku Utara Papua Barat Jumlah
TM**
TTM/TR***
7775 23 1461 8 135 764 3028 0 1189 0 1047 1191 35 89 8020 728 7474 2180 344 1612 15074 24322 5075
11785 98 2638 0 50 181 2699 3 198 9 104 577 21 0 9781 21 900 1304 77 744 12746 14436 8735
2018 34 134 7 1 35 339 1 35 23 3 58 0 0 923 14 71 125 31 39 2533 1489 1246
21578 155 4233 15 186 980 6066 4 1422 32 1154 1826 56 89 18724 763 8445 3609 452 2395 30353 40247 15056
8238 43 1388 0 17 49 1018 1 106 7 14 156 10 0 5203 6 227 523 16 519 4426 6026 4658
81574
67107
9159
157840
32651
Keterangan: *Tanaman belum menghasilkan, **Tanaman menghasilkan, ***Tanaman tidak menghasilkan/tanaman rusak
Tabel 2 Luas tanaman pala Sumatera Barat tahun 2014 Luas (ha) Kabupaten TBM* Agam
TM**
TTM/TR***
Jumlah
Produksi (ton)
371
721
75
1167
369
Tanah Datar
20
57
3
80
35
Padang Pariaman
88
335
10
433
179
Solok
64
49
3
116
24
511
574
29
1114
271
10
0
0
10
0
0
0
0
0
0
70
143
5
218
329
0
7
0
7
5
10
28
5
43
9
Pesisir Selatan 50 Kota Sijunjung Kota Padang Kota Solok Kota Sawahlunto Kota Pariaman
0
13
0
13
6
Kep. Mentawai
306
706
3
1015
439
Pasaman Barat
11
5
1
17
4
1461
2638
134
4233
1670
Jumlah
Keterangan: *Tanaman belum menghasilkan, **Tanaman menghasilkan, ***Tanaman tidak menghasilkan/tanaman rusak
6 Fuli (mace) Fuli atau mace adalah bagian yang menutupi kulit biji pala secara tidak beraturan dan berwarna putih hingga merah, warna fuli dipengaruhi oleh umur buah pala. Buah pala yang masih muda memiliki fuli berwarna putih kehijauan, sedangkan fuli berwarna merah didapatkan saat buah pala berumur tua atau telah matang. Fuli dengan kualitas baik akan mengeluarkan aroma dan sejumlah minyak pada saat ditekan. Biji Pala Biji pala merupakan salah satu produk unggulan dari tanaman pala yang telah lama dimanfaatkan secara tradisional maupun dengan melibatkan teknologi sederhana untuk pembuatan minyak pala (Arrijani 2005). Biji pala mengandung air, abu, lemak, minyak atsiri, alkohol ekstrak, serat kasar, nitrogen, dan pati. Komposisi kimia fuli dan biji pala kering ditunjukkan pada Tabel 3. Praktek pemanenan buah pala yang umum dilakukan petani pala yaitu memanen buah pala setiap 3 sampai 4 bulan sekali, tahap selanjutnya pengambilan biji dan fuli dari daging buah, fuli dipisahkan dari biji menggunakan pisau. Selain menggunakan pisau, cara lainnya yaitu dengan merendam biji pala ke dalam air selama 12 jam atau dapat juga menggunakan minyak tanah dengan cara mencipratkannya ke tumpukan biji pala. Cara terakhir sangat dilarang karena minyak pala yang dihasilkan dapat terkontaminasi minyak tanah dan hal ini menyebabkan penurunan mutu. Setelah selesai dikeringkan kemudian diperdagangkan dalam bentuk biji dan fuli pala kering. Di Sumatera Barat, bahan baku pembuatan minyak pala diperdagangkan berdasarkan umur panen atau petik buah pala yang terdiri dari biji pala muda, media, dan tua. Menurut Siregar (1996), biji pala muda adalah biji yang dipetik pada saat buah pala berumur 18 minggu, media berumur 20 minggu, dan pala tua berumur 22 minggu serta biji pala yang digunakan untuk rempah berumur 24 minggu. Biji pala muda dicirikan kulit buah berwarna hijau, biji lembek, fuli berwarna putih dan lengket; biji pala media dicirikan kulit berwarna hijau, biji berwarna putih, fuli masih melekat; biji pala tua kulit buah berwarna hijau, biji keras berwarna putih kehitaman, fuli berwarna merah muda dan mudah lepas; dan biji pala tua untuk rempah dicirikan kulit buah berwarna kekuningan, biji keras berwarna hitam mengkilat, fuli berwarna merah mudah lepas. Tabel 3 Komposisi kimia fuli dan biji pala kering* Komposisi Air Abu Lemak Minyak atsiri Alkohol ekstrak Serat kasar Nitrogen Pati
Fuli (%) 3.50 1.60 24.00 7.00 21.50 4.70 0.85
-
Biji Pala (%) 7.00 2.50 33.00 8.00 25.00 7.30 1.15
4.00 1.80 30.00 5.00 10.00 2.00 1.10 7.50
Keterangan: *Mohandes dalam Ketaren (1985)
-
8.00 4.50 40.00 15.00 16.50 3.70 1.40 12.00
7 Metabolisme Minyak Atsiri Minyak atsiri dikenal dengan minyak eteris atau minyak terbang (essential oil, volatile oil) yang dihasilkan oleh tumbuhan, mudah menguap pada suhu kamar tanpa mengalami dekomposisi, berasa getir (pungent taste), berbau wangi sesuai dengan bau tanaman penghasilnya, umumnya larut dalam pelarut organik dan tidak larut dalam air (Ketaren 1985). Berdasarkan proses biosintesis atau pembentukan komponen atsiri di dalam tumbuhan, minyak atsiri dibedakan menjadi dua golongan yaitu terpena dan senyawa aromatik. Terpena terbentuk dari asam asetat melalui jalur biosintesis asam mevalonat, sedangkan senyawa aromatik terbentuk dari biosintesis asam sikimat melalui jalur fenil propenoid (Augusta 2000). Kedua golongan ini melalui metabolit sekunder yaitu senyawa organik yang dihasilkan oleh tumbuhan yang tidak memiliki fungsi langsung pada fotosintesis, pertumbuhan atau repirasi, transport solut, translokasi, sintesis protein, asimilasi nutrient, pembentukan karbohidrat, protein, dan lipid. Metabolit sekunder berperan penting untuk melindungi tumbuhan dari gangguan herbivor, menghindari infeksi yang disebabkan oleh patogen mikrobia, dan sebagai antibiotik. Metabolit sekunder merupakan hasil samping metabolit primer (Mastuti 2016). Jalur metabolisme pada tumbuhan menurut Robinson (1995) secara umum ditunjukkan pada Gambar 1.
Gambar 1 Jalur metabolisme pada tumbuhan (Robinson 1995) Komposisi minyak atsiri disebabkan oleh perbedaan jenis tanaman penghasil, kondisi iklim, tanah tempat tumbuh, umur panenan, metode ekstraksi yang dipergunakan, dan cara penyimpanan minyak. Minyak atsiri terdiri dari berbagai campuran persenyawaan kimia yang terbentuk dari unsur Carbon (C), Hidrogen (H), dan Oksigen serta beberapa persenyawaan kimia yang mengandung unsur Nitrogen (N) dan Belerang (S). Komponen kimia dalam minyak atsiri dibagi menjadi dua golongan yaitu oleoptena dan stearoptena. Oleoptena yaitu bagian hidrokarbon di dalam minyak atsiri dan berwujud cair, sedangkan stearoptena yaitu senyawa hidrokarbon teroksigenasi terdiri atas senyawa turunan
8 oksigen dari terpena. Persenyawaan yang termasuk dalam golongan hidrokarbon terbentuk dari unsur Hidrogen (H) dan Carbon (C). Jenis hidrokarbon yang terdapat dalam alam dan minyak atsiri sebagian besar terdiri dari monoterpen (2 unit isoprene), sesquiterpene (2 unit isoprene), diterpen (4 unit isoprene), paraffin, olefin, dan golongan hidrokarbon aromatik. Berbagai jenis komposisi minyak atsiri akan menyebabkan bau dan aroma serta berguna sebagai obat, maka klasifikasi kimia minyak atsiri harus didasarkan pada komponen yang paling dominan dalam menentukan sifat minyak tersebut. Minyak atsiri yang memiliki kandungan hidrokarbon tidak beroksigen dalam jumlah besar dan stearoptena dalam porsi kecil, maka kegunaannya diutamakan sebagai pemberi bau yang spesifik (flavoring) sedangkan sebaliknya bila lebih dominan mengandung senyawa dari golongan hidrokarbon, alkohol, keton, fenol, ester dari fenol, oksida, dan ester lebih memungkinkan digunakan sebagai obat (Augusta 2010). Metode Penyulingan Menurut Ketaren (1985), dikenal 3 macam metode penyulingan yaitu penyulingan dengan air (water distillation), penyulingan dengan air dan uap (water and steam distillation) dan penyulingan dengan uap langsung (steam distillation). Penyulingan dengan air memiliki ciri antara bahan yang disuling dan air menyatu atau kontak langsung, sistem ini digunakan untuk menyuling bahan yang terapung di atas air berbentuk tepung dan bunga-bungaan. Penyulingan ini banyak diterapkan di daerah pedesaan karena alat tersebut cukup sederhana, kuat, harganya lebih murah, dan dapat dipindah-pindahkan. Selain itu alat penyulingan dengan kapasitas kecil banyak digunakan di laboratorium karena sistim pengoperasiannya yang mudah. Kelemahan sistem ini adalah proses ekstraksi minyak atsiri tidak dapat berlangsung sempurna, komponen minyak yang bertitik didih tinggi dan bersifat larut dalam air tidak dapat menguap sempurna, sehingga komponen yang dihasilkan tidak lengkap. Penyulingan dengan air dan uap dicirikan bahan diletakkan di atas piringan besi yang berupa ayakan terletak beberapa sentimeter di atas permukaan air dalam ketel penyuling. Keuntungan menggunakan sistim ini karena uap berpenetrasi secara merata ke dalam jaringan bahan dan suhu dapat dipertahankan sampai 100 0C, waktu penyulingan relatif lebih singkat, rendemen minyak lebih besar, dan mutunya lebih baik jika dibandingkan dengan minyak hasil penyulingan air dan bahan yang disuling tidak menjadi gosong. Penyulingan dengan uap dicirikan boiler sebagai sumber uap panas letaknya terpisah dari ketel penyuling. Uap yang dihasilkan mempunyai tekanan lebih tinggi dari tekanan udara luar. Penyulingan dengan sistem ini sebaiknya dimulai dengan tekanan uap yang rendah (kurang dari 1 atmosfir), kemudian secara berangsur-angsur tekanan dinaikkan menjadi kurang lebih 3 atmosfir. Jika permulaan penyulingan dilakukan pada tekanan tinggi, maka komponen kimia dalam minyak akan mengalami dekomposisi. Jika minyak dalam bahan baku dianggap sudah habis tersuling, maka tekanan uap perlu diperbesar lagi yang bertujuan untuk menyuling komponen kimia yang bertitik didih tinggi. Sistem penyulingan ini baik digunakan untuk mengekstraksi minyak dari bijibijian, akar, dan kayu-kayuan yang umumnya mengandung komponen minyak yang bertitik didih tinggi.
9 Minyak Pala Minyak pala diperoleh dari buah pala yang masih muda, serta dapat pula diperoleh dari biji yang tua, fuli dan bahkan daun pala (Nurdjanah et al. 1990). Menurut Dardjo Somaatmadja (Balai Besar Industri Hasil Pertanian) dalam Rismunandar (1990), bahwa tinggi rendahnya minyak pala tergantung tua mudanya buah. Minyak pala dalam biji dibentuk terlebih dahulu daripada lemaknya, buah yang masih muda kadar minyak atsirinya sekitar 8-17%. Warna fulinya masih keputih-putihan dan daging buahnya masih lunak, fuli yang tua dan sudah merah warnanya kandungan minyak atsirinya relatif rendah dan dimanfaatkan untuk diekspor sebagai bahan rempah atau bumbu dapur. Dalam keadaan kering biji pala berwarna coklat tua dan fulinya berwarna coklat muda hingga merah. Proses produksi minyak pala di tingkat industri kecil menengah umumnya menggunakan metode destilasi uap, suatu proses ekstraksi dengan cara mengalirkan uap panas ke tangki penyulingan yang dihasilkan dari boiler yang letaknya terpisah dari tangki penyuling. Salah satu sentra produksi minyak pala dan bahan baku dalam pembuatan minyak pala adalah di Sumatera Barat. Produksi minyak pala dari daerah ini diperkirakan memberikan kontribusi terhadap ekspor minyak pala sebesar 30-35%. Pada Gambar 5 menunjukkan volume ekspor Indonesia tahun 2015 sebesar 338.74 ton senilai USD 14.46 juta. Pada periode 2010 hingga 2015 volume ekspor minyak pala berada di kisaran 300-380 ton, namun dari tahun 2013 hingga 2015 terlihat nilai ekspor minyak pala menurun. Diduga hal ini dipengaruhi kondisi ekonomi global di Negara-negara Eropa dan Amerika Serikat, dimana negera tersebut tersebut merupakan pengguna minyak pala yang cukup besar.
Gambar 2 Volume dan nilai ekspor minyak pala Indonesia
Komponen Kimia Minyak Pala Komponen utama yang menyusun minyak pala terdri dari terpen bisiklis (hidrokarbon), α-pinene dan α-champene, dan sejumlah kecil senyawa dalam golongan hidrokarbon teroksigenasi seperti ester, keton, dan alkohol. Komponen
10 dan penggolongan kimia minyak pala menurut Schenk et al. (1981) ditunjukkan pada tabel 4. Tabel 4 Komposisi kimia minyak pala* Senyawa
Senyawa
Monoterpene hidrokarbon α-Pinene α-Thujene Camphene β-Pinene Sabinene Δ-3-carene Myrcene α-Phellandrene Limonene β-Phellandrene ϒ-Terpinene ρ-Cimene Terpinolene α-ρ-Dimethylstyrene
Aromatik Trans-methylisoeugenol 5-Methoxyeugenol Myristicine Elemicine Cis-Isoelemicine Trans-Isoelemicine
Oksida 1,8-cineole
Sesquiterpen hidrokarbon α-Copene α-Cubebene α-Bergomotene Carophyllene α-Humulene α-Farnesene β-Bisabolene δ-Cadinene Germacrene Aromatik Safrole Eugenol Cis-isoeugenol Methyl eugenol Vanillin Keterangan: *Schenk et al. (1981)
Monoterpene alkohol Linalool Fensil alkohol Borneol Terpinen-4-ol α-Terpineol Citronellol Nerol Geraniol Cis-Piperitol Trans-Piperitol Cis-Sabinene hydrate Trans-Sabinene hydrate Cis-ρ-Menth-2-en-1-ol Trans-ρ-Menth-2-ene-1-ol Trans-ρ-Menth-2-ene-1,4-diol ρ-Cymen-8-ol Ester Bornyl acetate Linalyl acetate Citronellil acetate Neryl acetate Geranyl acetate Terpinen-4-il-acetate Aliphatics 3-Methyl-4-decen-1-ol 3-Methyl-4-decenyl acetate
11 Hasil penelitian Riyadi et al. (2014) terhadap minyak pala asal Sulawesi dan Jawa menggunakan GC-MS diperoleh sekitar 35 buah senyawa atsiri penyusun minyak pala dengan persentase luas area ≥ 0.1%. Total senyawa atsiri minyak pala asal Sulawesi sekitar 98.56% dan Jawa sekitar 98.76%. Pada Tabel 5 ditunjukkan profil senyawa atsiri minyak pala asal Sulawesi, Jawa, dan Andaman Nicobar. Jumlah senyawa atsiri pada minyak pala berdasarkan standar European Pharmacopoeia dan industri perisa serta fragrans secara beurutan sebesar 84.89%, 87.67%, dan 78.30%. Perbedaan komponen senyawa minyak pala asal Jawa dan Sulawesi tersebut diantaranya oleh kadar senyawa sabinene, eugenol, methyl eugenol, dan isoeugenol. Minyak pala asal Jawa dan Sulawesi dibandingkan dengan minyak pala asal Andaman Nicobar terlihat perbedaan yang cukup jauh pada sebagian besar komponen senyawanya. Perbedaan tersebut kemungkinan berasal dari komposisi bahan baku dalam pembuatan minyak pala dan metode ekstraksi yang digunakan. Tabel 5 Profil senyawa atsiri minyak pala asal Sulawesi, Jawa, dan Andaman Nicobar Metode / Parameter
Minyak pala asal Sulawesi* (%)
Minyak Pala asal Jawa*(%)
Minyak Pala asal Andaman Nicobar** (%)
Metode ekstraksi
Destilasi uap
Destilasi uap
Destilasi air
Parameter satandar EP*** Alpha pinene 19.07 19.33 9.40 Sabinene 19.07 23.44 41.70 Beta pinene 15.71 15.86 7.30 3-carene 0.61 1.05 0.60 Limonene 6.25 5.87 3.70 Gamma terpinene 4.73 3.7 2.90 4-terpineol 5.73 4.01 5.80 Safrole 1.6 1.64 1.40 Myristicine 10.12 10.74 2.70 Jumlah 82.89 85.64 75.50 Parameter tambahan di industri perisa dan fragrans: Eugenol 0.17 0.32 0.50 Methyl eugenol 0.65 0.4 1.50 Isoeugenol 0.59 0.82 0.00 Elemicine 0.59 0.49 0.80 Jumlah 2.00 2.03 2.80 Total 84.89 87.67 78.30 Keterangan: *Riyadi et al. (2014), **Pal et al. (2011), ***European Pharmacopoeia.
Regulasi Standar Mutu Minyak Pala Indonesia telah memiliki Standar Nasional Indonesia untuk pala nomer SNI 06-2388-2006 yang diterbitkan oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN), standar tersebut merupakan revisi dari SNI 06-2388-1998 yang disusun oleh Panitia Teknis 71-01 Teknologi Kimia. Revisi dilakukan karena adanya perkembangan
12 teknologi serta untuk menunjang ekspor, syarat mutu minyak pala disajikan dalam Tabel 6. Menurut Burfield (2003), minyak atsiri harus diproduksi dalam keadaan murni secara fisik, dan keseluruhan dihasilkan dari satu jenis tanaman. Untuk menjamin mutu agar sesuai standar Industri atau pengguna minyak atsiri dapat mengikuti standard lembaga di dunia, seperti 1) The Pharmaceutical Trade; British Pharmacopeia (BP) 2002 diterbitkan atas rekomendasi The Medicines Commision UK. Spesifikasi minyak atsiri juga diterbitkan pada The European Pharmacopeia 4th editions 2002 (Eur Pharm 4th edn), United State Pharmacopoeia (USP), The British Pharmacopeia (BPC) yang memuat standar berbagai minyak atsiri yang sekarang masih banyak digunakan. 2) Esseential Oil Trade; Monograf masing-masing minyak atsiri (EOA Standards) diterbitkan oleh Scientific Committee of The Essential Oil Assotciation Inc. 3) Food Chemical Codex IV (1996, US) yang dibuat atas permintaan FDA (1992). 4) Industri besar flavor dan fragran yang sudah stabil memiliki internal standard sendiri. 5) Independent Certifying Bodies: ISO Standards TC 54 dan Assotiation Francaise de Normalisation (AFNOR). Methyl eugenol dan safrole merupakan senyawa karsinogenik sehingga menjadi salah satu parameter penting pada minyak pala (Riyadi et al. 2014). Keberadaan dari senyawa ini dapat ditentukan dengan menggunakan GC (gas chromatography) dan GC-MS (gas chromatographymass spectrophotometry). Dalam perdagangan, penentuan harga ditentukan oleh kandungan myristicine, methyl eugenol dan safrole. Semakin rendah kadar myristicine dan semakin tinggi methyl eugenol akan menurunkan harga minyak pala. Aplikasi methyl eugenol di fragran konsentrasi maksimum dibatasi 0.02% dengan total human dermal exposure sekitar 12.5 mg/kg berat badan/hari dan nilai NOEL (No observed Effect Level) sekitar 1 mg/kg berat badan/hari (IFRA 2009). Standar EP (Europoen Parmaque) dan Industri perisa serta frangrans memiliki batasan methyl eugenol maksimum 0.5%. Aplikasi safrole untuk makanan dibatasi maksimum 0.5 mg safrole/kg. Daily intake safrole dari pangan, spice, dan minyak atsiri adalah 1 mg/orang/hari (EC 2002). Standar EP dan Industri perisa serta frangrans memberikan batasan maksimum safrole 2%. Menurut IFRA (2007), senyawa eugenol, limonene, dan isoeugenol memiliki sifat alergen. Standar IFRA (2009) menetapkan methyl eugenol dalam minyak pala harus kurang dari 1%, safrole ditetapkan 0.01% pada produk akhir dan eugenol tergantung dari kategori penggunaan. Menurut peraturan yang dinamakan REACH Regulation (Registration, Evaluation, Authorisation anda Restrictions of chemicals) yang dibuat oleh lembaga independen ECHA (European Chemical Agency), perusahaan yang memproduksi atau mengimpor satu ton atau lebih zat kimia per tahun diminta untuk mendaftar di badan ECHA sebelum bulan Juni 2018 (Musu T. 2008). Tujuan utama dari peraturan ini adalah untuk melindungi kesehatan manusia dan lingkungannya. Bahan-bahan yang dicakup dalam REACH Regulation adalah bahan kimia, komponen elektronik, bahan bangunan, mainan, minyak atsiri, termasuk zat dalam produk makanan dan obat. Produsen dan importir yang tidak mengikuti regulasi REACH sesuai ketentuan tidak bisa mengekspor dan mengimpor produk di Uni Eropa.
13 Tabel 6 Standar minyak pala Standar Nasional Indonesia 2006
Standar FCC IV (Food Chemical Codex) 1996
Standar EP (European Parmaque) 2002
Colour
Tidak berwarna - kuning pucat
Colorless – pale yellow
Tidak berwarna kuning muda
Rotasi Optik
(+)8 – (+)25 0
Pada suhu 25 0C - East Indian : (+8) – (+30) 0 - West Indian : (+25) – (+45) 0
(+8) – (+) 18 0
Indeks Bias
1.470 – 1.497
1.469 – 1.476 (pada 20 0C)
1.475 – 1.485 (pada 20 0C)
Kelarutan di ethanol
1 mL dalam 3 mL 90% ethanol pada suhu 20 0C, seterusnya jernih
- East Indian : 1 mL dalam 3 mL 90% ethanol - West Indian : 1 mL dalam 3 mL 90% ethanol
Berat jenis
0.880 – 0.910 (d20/20)
Pada suhu 25 0C - East Indian : 0.880 – 0.910 - West Indian : 0.854 – 0.880
Komponen kimia (GC)
myristicine 10% Tambahan penguapan 2%
Parameter
:
–
0.885 – 0.905 (d20/20)
4 terpineol : 2 – 6% a-pinene : 15 – 28% myristicine : 8 – 12% sabinene : 14 – 29% safrol : 0 - 2% limonene : 2.0 – 7.0% b-pinene : 13 – 18% delta-3-caren : 0.5 – 2.0% gamma terpinene : 2.0 – 6.0%
minimal : sisa maksimal
Bentuk
-
Cairan
Cairan
Odor
Khas minya pala
Standar
Standar
14
3 METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan pada bulan April sampai November 2015 di Laboratorium Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (Balittro) untuk penyiapan bahan baku yang akan disuling, dan di Laboratorium PT. Indesso Aroma untuk penyulingan dengan ekstraksi metode destilasi air serta analisis sifat fisik dan kimia sampel (fuli, biji pala, dan minyak atsiri pala).
Bahan dan Alat Sampel terdiri dari fuli, biji pala muda, media, dan tua yang diperoleh secara langsung dari pedagang pala di Kecamatan Batang Kapas, Kabupaten Pesisir Selatan, Provinsi Sumatera Barat. Sampel dalam keadaan kering dengan kadar air 10-15%, jenis bahan uji ditunjukkan pada Gambar 3. Peralatan terdiri dari jangka sorong, timbangan digital, pengukur kadar air (Moisture Analyzer – Sartorius), mesin giling merek Xi An kecepatan 1.450 rpm, ayakan mesh 30, destilasi air kapasitas 1.200 ml, corong pemisah kapasitas 250 ml, automatic digital refractometer, densitymeter, dan semi automatic polarimeter. GC merk HP Agilent type 7890 column non polar HP-1 (methyl siloxane) spesifikasi panjang 30 m, diameter luar 25 µm, diameter dalam 0.25 µm, GC-MS merk HP Agilent type MSD 5975 dengan triple axial detector, column yang digunakan HP-1 MS 30 m x 25 µm x 0.25 µm.
Fuli pala (mace) (2) Biji pala muda (3) Biji pala media (4) Biji pala tua
Gambar 3 Jenis biji pala dan fuli berdasarkan umur panen buah
Tahapan Penelitian Persiapan Bahan Masing-masing sampel yang telah disortasi oleh pedagang pala ditimbang sebanyak 420 gram. Penelitian ini menggunakan metode analisa laboratorium dengan teknik dua kali pengulangan.
15 Menentukan Karakteristik Fisik Biji Pala Karakteristik fisik biji pala yang diukur adalah diameter dan berat biji. Diameter biji diukur secara membujur dan melintang. Jumlah sampel sebanyak 20 buah (n = 20) kemudian dihitung rataan dan simpangan deviasinya. Penggilingan, Pengayakan dan Pengukuran Kadar Air Penggilingan dilakukan untuk memperkecil ukuran sampel fuli dan biji pala dengan cara menghancurkan sampel dengan mesin giling merek Xi An (China) selanjutnya dilakukan pengayakan dengan ukuran 30 mesh. Pengayakan dilakukan untuk mengetahui persentase ukuran partikel yang lolos ayakan. Selanjutnya dilakukan pengukuran kadar air serbuk fuli dan biji pala pada campuran sampel yang lolos ayakan dan tidak lolos ayakan dengan alat Moisture Analyzer - Sartorius. Penyulingan Minyak Pala Skala Laboratorium Tahap ini meliputi penyulingan, pendinginan, dan pemisahan minyak fuli dan pala dari air. (1) Penyulingan bertujuan untuk memisahkan kandungan minyak dari fuli dan biji pala dengan menggunakan metode destilasi air, bahan uji sebanyak 200 gram dimasukkan ke dalam labu dasar bulat yang dilengkapi dengan clevenger apparatus, selanjutnya ditambahkan air hingga skala pada labu bundar menunjukkan angka 1.2 liter, labu dasar bulat diletakkan di atas heating mantle atau hot plate. Penyulingan dilakukan selama 12 jam atau kandungan minyak pala dalam air destilat telah habis atau tuntas ditandai dengan air destilat dalam kondisi jernih. (2) Pendinginan bertujuan untuk mengembunkan dan mendinginkan campuran uap panas dan minyak sehingga minyak dapat dipisahkan dari air. Pada tahap ini campuran uap dan minyak dilewatkan pipa kaca berbentuk spiral yang dialiri air sebagai pendingin. Minyak dan uap air akan menjadi dingin dan mengembun di sepanjang pipa pendingin, kemudian air destilat ditampung dalam sebuah corong pemisah kemudian minyak dipisahkan. (3) Pemisahan bertujuan untuk memisahkan minyak dari air, minyak yang memiliki berat jenis lebih kecil dari air akan berada di bagian atas sedangkan minyak yang memiliki berat jenis lebih rendah dari air akan berada di bawah. Selanjutnya minyak fuli dan biji pala ditimbang untuk perhitungan rendemen hingga analisis dan disimpan dalam botol kaca yang tertutup rapat pada suhu ruang untuk keperluan analisis sifat fisik dan kimia. Analisis Sifat Fisik Minyak Fuli dan Biji Pala Analisis sifat fisik yang diamati terdiri dari berat jenis, indeks bias dan putaran optik. Ketiga parameter ini terdapat dalam standar European Pharmacopoeia. Jumlah sampel yang dibutuhkan untuk analisis ini sebanyak 20 ml.
16 Analisis Senyawa Atsiri Minyak Fuli dan Biji Pala Analisis profil senyawa atsiri minyak fuli dan biji pala dilakukan dengan metode gas chromatography, alat yang digunakan yaitu GC (gas chromatography) untuk menentukan kadar dalam bentuk persentase area dan GCMS (gas chromatography -mass spectrophotometry) untuk menentukan komposisi senyawa atsiri. Penetapan kualitas profil senyawa atsiri dinyatakan dengan kualitas kemiripan fragmentasi komponen sampel dengan data kepustakaan spektrum massa minimal sebesar 80%. Kondisi GC yang digunakan sebagai berikut: suhu injektor 275 0C dengan mode split (rasio split 100 : 1), carrier gas menggunakan nitrogen dengan flow rate : 0.5 ml/menit. Kondisi oven : 100 0C (hold time 10 menit), 100 – 200 0C pada rate 5 0C/menit, 200 – 250 0C pada rate 2 0C/menit (hold time 5 menit) kemudian 250 – 300 0C pada rate 5 0C (hold time 15 menit). Kondisi detektor dengan suhu : 275 0C, H2 flow : 30 ml/menit, air flow : 400 ml/menit dan make up flow : 25 ml/menit. Kondisi GC-MS untuk semua sampel minyak atsiri yaitu suhu ion source 250 0C, suhu quadoprole 200 0C, scan mass 10 - 250 amu, emission sekitar 35 µA. Energy 70 eV dan WMV < 2000 V. Carrier gas menggunakan helium dengan flow 0.5 ml/min. Kondisi oven dan injektor sama dengan kondisi GC. Analisis Data Pengolahan data secara statistik menggunakan analisis ragam (ANOVA), jika berbeda signifikan maka dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil (BNT) atau uji LSD (Least Significant Difference) pada α = 0.05. Analisis statistik ANOVA dilakukan untuk mengetahui pengaruh nyata dari perbedaan nilai senyawa kimia minyak fuli, biji pala muda, media, dan tua yang didapatkan dari pengujian metode gas chromatography.
17
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Fisik Pala dan Minyak Atsiri Pala Hasil pengamatan secara fisik terhadap sampel fuli dan biji pala didapatkan bahwa fuli berwarna merah kecoklatan, berbentuk tidak beraturan, tipis, dan remah saat dipegang. Biji pala secara keseluruhan berwarna coklat tua, yang membedakan adalah ukuran diameter, berat, dan bentuknya. Hasil pengukuran diameter dan berat biji pala ditunjukkan pada Tabel 7. Biji pala muda ditandai dengan adanya kerutan di sekeliling bijinya dan lunak saat ditekan dengan ujung kuku ibu jari, menurut Hartutiningsih et al. (1996) biji pala yang masih muda saat dipanen kemudian dibelah dan dibuka daging buahnya akan tampak biji dan fuli berwarna putih kehijauan dan bagian tempurung masih lunak saat ditekan. Biji pala muda memiliki kadar air yang tinggi, setelah dilakukan pengeringan biji pala muda menyusut dan berkerut. Pengamatan terhadap biji pala media didapatkan bahwa separuh biji telah mengeras dan separuhnya berkerut. Hal ini berbeda dengan biji pala tua dimana biji pala tua memiliki tempurung yang keras dan kasar berbentuk oval. Menurut Soenarsih et al. (2012) bentuk buah pala Banda Myristica fragrans adalah bulat dan biji berbentuk oval, rataan indeks diameter biji sebesar 1.17. Rataan indeks didapatkan dari perbandingan diameter membujur dan melintang. Hasil pengukuran terhadap biji pala tua asal Sumatera Barat menunjukkan rataan indeks biji pala tua sebesar 1.16, hal ini memberikan petunjuk bahwa biji pala yang berasal dari Sumatera Barat memiliki kemiripan satu marga dengan biji pala yang berasal dari Banda. Hasil analisis karakteristik fisik fuli dan biji pala ditunjukkan pada Tabel 7. Hasil analisis ragam menunjukkan diameter membujur biji pala tua berbeda nyata dengan biji pala media dan muda, sedangkan biji pala media dan muda berbeda tidak nyata. Hasil analisis diameter melintang dan berat biji pala berbeda nyata antar sampel uji. Kadar air serbuk biji pala muda, media, dan tua berbeda tidak nyata, sedangkan fuli berbeda nyata abtar sampel uji. Tabel 7 Karakteristik sifat fisik sampel dan minyak atsiri pala Uraian analisis
Fuli
Fuli dan biji pala Diameter membujur (cm)
-
Biji pala
Standar EP**
Muda
Media
Tua
1.45 b ± 0.03
1.56 b ± 0.08
2.34 a ± 0.01
-
± 0.05
2.02 a ± 0.04
-
c
Diameter melintang (cm)
-
1.02
Berat (gr)
± 0.23
0.77 c ± 0.11
1.67 b ± 0.01
2.71 a ± 0.07
-
14.48 a ± 0.66
13.75 a ± 0.42
14.71 a ± 0.08
-
10.23 a ± 0.07
7.74 b ± 0.32
6.83 c ± 0.07
-
10.36
b
3.03
d
± 0.03
19.51
a
± 0.50
Berat jenis, 25/25 C
0.919
b
Indeks bias, 200C Rotasi optik
1.487
a
(+)6.07
a
Kadar air (%) Lolos ayakan mesh 30 (%)*
± 0.07
1.77
b
Minyak pala Rendemen, w/w % 0
8.91
b
± 0.002
0.902
c
± 0.001
1.481 b ± 0.0017
± (+)0.27
(+)7.51
a
± 0.58 ± 0.005
6.35
c
± 0.17
5.04
d
± 0.03
-
0.923
b
± 0.001
0.930
a
± 0.001
0.885 - 0.905
1.487 a ± 0.000
1,475 - 1,485
1.486 a ± 0.000
± (+)0.79 (+)6.61
a
± (+)0.29
(+)6.58
a
± (+)0.48
(+)8 - (+)18
Keterangan: *Biji pala digiling halus, **European Pharmacopoeia. Angka pada tabel yang disertai huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (BNT α = 0.05).
18 Hasil pengayakan terhadap fuli dan biji pala yang telah dihancurkan dengan ukuran 30 mesh ditunjukkan pada Tabel 7. Perbedaan persentase partikel yang lolos ayakan kemungkinan karena faktor umur panen, biji pala muda mempunyai jaringan yang masih lunak sehingga setelah dihancurkan partikel yang memiliki ukuran kecil lebih banyak dibanding biji pala media dan tua. Biji pala media dan tua memiliki jaringan yang keras, sehingga ukuran partikel yang lolos ayakan lebih kecil dibanding biji pala muda. Partikel yang tidak lolos ayakan sebagian besar terdiri dari pecahan tempurung. Hasil analisis ragam menunjukkan fuli, biji pala muda, media, dan tua yang lolos ayakan berbeda nyata antar sampel uji. Hasil penyulingan dengan metode destilasi air didapatkan minyak pala dapat terpisah sempurna dari air dalam clevenger dan setelah didiamkan berwana jernih, hal ini menunjukkan minyak pala tidak mengandung air yang terlarut. Persentase rataan rendemen atau kadar minyak fuli dan biji pala ditunjukkan pada Tabel 7. Pada Gambar 4 menunjukkan persentase partikel biji pala yang lolos ayakan paling tinggi akan menghasilkan rendemen yang tinggi, sedangkan partikel biji pala yang lolos ayakan paling rendah menghasilkan rendemen yang rendah. Hasil ini berbanding terbalik dengan berat satuan biji pala tua, dimana biji pala tua yang memiliki berat paling tinggi menghasilkan persentase rendemen paling rendah. Partikel biji pala tua yang tidak lolos ayakan sebagian besar berasal dari tempurung biji pala tua, sehingga berpengaruh terhadap persentase rendemen minyak pala. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Suryatmi et al. (2008), penyulingan dengan bahan baku tempurung tidak menghasilkan minyak atsiri pala. Persentase rendemen yang dihasilkan dalam penelitian ini hampir sama dengan hasil penelitian yang dilakukan Pal et al. (2011) dimana persentase rendemen biji pala tua yang berasal dari pulau Andaman Nicobar sebesar 8.25, penelitian ini tidak menjelaskan umur panen biji pala. Hasil analisis ragam menunjukkan rendemen minyak pala berbeda nyata antar sampel uji.
Gambar 4 Grafik hubungan antara rataan berat biji, rendemen, kadar air, dan partikel lolos ayakan
19 Perbedaan komposisi kimia minyak atsiri akan menyebabkan perbedaan karakteristik fisika minyak atsiri tersebut (Rusli 2002). Berat jenis minyak merupakan kumpulan dari molekul-molekul senyawa penyusun minyak dalam volume dan suhu yang telah ditetapkan. Senyawa-senyawa yang terkandung di dalam minyak pala mempunyai sifat intrinsik atau endogenous berdasarkan karakteristik sifat kimia secara molekuler dan berdampak terhadap sifat fisika yang berupa berat jenis, indeks bias, dan rotasi optik. Hasil analisis pada Tabel 7 didapatkan berat jenis minyak fuli, biji pala muda, media dan tua secara berurutan sebesar 0.919, 0.902, 0.923, dan 0.930. Nilai indeks bias sebesar 1.487, 1.481, 1.486, dan 1.487. Nilai berat jenis dan indeks bias menunjukkan bahwa semakin tua umur panen biji pala maka berat jenis dan indeks bias minyak pala semakin tinggi. Hasil analisis ragam menunjukkan berat jenis minyak biji pala tua berbeda nyata dengan minyak biji pala media, muda, dan fuli, sedangkan minyak biji pala media dan fuli tdak berbeda nyata namun kedua minyak pala tersebut berbeda nyata dengan minyak biji pala muda. Nilai indeks bias minyak fuli, media, dan tua tidak berbeda nyata, namun ketiga minyak tersebut berbeda nyata dengan minyak biji pala muda. Rotasi optik merupakan respon struktur molekul terhadap lintasan cahaya gelombang tunggal, pada Tabel 7 menunjukkan semakin tua biji pala maka nilai rotasi optik pada minyak biji pala muda, media dan tua semakin mengecil. Dibandingkan dengan standar European Pharmacopoeia, nilai berat jenis dan indeks bias minyak biji pala muda memenuhi standar, sebaliknya nilai rotasi optik tidak memenuhi. Hasil analisis ragam menunjukkan nilai rotasi optik minyak fuli, biji pala tua, media, dan muda tidak berbeda nyata. Kualitas sifat fisik minyak biji pala muda paling mendekati standar European Pharmacopoeia. Penelitian yang dilakukan oleh Ma’mun (2013) terhadap sampel minyak pala asal Papua didapatkan nilai berat jenis sebesar 0.909, indeks bias sebesar 1.487, dan rotasi optik sebesar (+)15.3.
Profil Senyawa Atsiri Minyak Pala Hasil analisis kualitatif senyawa atsiri menggunakan GC-MS diperoleh 40 senyawa penyusun minyak fuli dan biji pala yang teridentifikasi, hasil analisis ditunjukkan pada Gambar 5 sedangkan jenis senyawa atsiri dan persentase area ditunjukkan pada Tabel 8. Jumlah senyawa yang teridentifikasi ini berbeda dengan hasil penelitian Riyadi et. al (2014) yang teridentifikasi 35 senyawa, 5 senyawa yang tidak teridentifikasi yaitu trans piperitol, beta caryophyline, beta farnesene, garmacrene, dan beta bisabolene. Hasil analisis kuantitatif dengan menggunakan GC diperoleh total persentase senyawa atsiri pada minyak fuli 99.41, biji pala muda 98.63, biji pala media 98.26, dan biji pala tua 98.24. Dari 40 senyawa atsiri tersebut terdapat 13 senyawa atsiri sebagai penyusun utama minyak fuli dan biji pala, yang terdiri dari 9 senyawa atsiri yang tercantum dalam standar European Pharmacopoeia yaitu alpha pinene, sabinene, beta pinene, 3-carene, limonene, gamma terpinene, 4-terpineol, safrole, dan myristicine. Selain itu terdapat 4 senyawa penyusun lainnya yang digunakan sebagai standar pendukung dalam penerimaan minyak pala di industri perisa dan fragrans yang terdiri dari eugenol, methyl eugenol, isoeugenol, dan elimicine.
20 Hasil analisis kuantitatif terhadap minyak biji pala muda, media, dan tua pada Tabel 9 didapatkan nilai alpha pinene, sabinene, beta pinene, 3-carene, limonene, dan gamma terpinene semakin menurun dengan semakin tuanya umur panen, sebaliknya untuk nilai safrole, myiristicine, eugenol, methyl eugenol, isoeugenol, dan elimicine semakin meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tua biji pala maka perkembangan metabolit sekunder menjadi turun dan selanjutnya yang berkembang adalah metabolit primer yang mengarah kepada pembentukan zat essensial untuk perkembangan tumbuhan (Tohge et al. 2014). Hasil analisis ini memperlihatkan nilai safrole, isoeugenol, myristicine dan elimicine lebih tinggi dibanding nilai dalam standar European Pharmacopoeia dan industri perisa dan fragrans. Menurut Schenk et al. (1981) senyawa safrole, isoeugenol, myristicine dan elimicine termasuk golongan senyawa aromatik yang memiliki kandungan hidrokarbon beroksigen (oxygenated hydrocarbon) sehingga memiliki berat jenis dan indeks bias yang tinggi. Senyawa-senyawa monoterpenoid hidrokarbon seperti alpha pinene, beta pinene, sabinen, dan 3carene lebih rendah dibanding nilai dalam standar European Pharmacopoeia, hal ini berpengaruh terhadap nilai rotasi optik menjadi kecil. Pada Tabel 9 ditunjukkan senyawa kimia atsiri penyusun utama dalam minyak pala dibandingkan dengan literatur senyawa kimia atsiri minyak pala asal Sulawesi dan Jawa menurut penelitian Riyadi et al. (2014) memenuhi standar kualitas secara berurutan sebesar 85% dan 100%. Senyawa kimia atsiri minyak pala asal Sulawesi yang memenuhi standar kualitas yaitu alpha pinene, sabinene, beta pinene, 3-carene, limonene, gamma terpinene, 4-terpeniol, safrole, myristicine, eugenol, dan elimicine. Penelitian yang dilakukan Pal et al. (2011) menggunakan bahan baku asal Andaman Nicobar memenuhi standar kualitas sebesar 69% atau sebanyak 9 senyawa yang memenuhi standar kualitas yaitu alpha pinene, beta pinene, 3-carene, limonene, gamma terpinene, 4-terpeniol, safrole, eugenol, dan elimicine. Penelitian ini menggunakan ekstraksi metode destilasi air. Minyak pala asal Jawa dan Sulawesi memiliki kualitas lebih baik, hal ini kemungkinan proses ekstraksi minyak pala menggunakan destilasi uap dan dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan dan genetik tanaman. Senyawa kimia atsiri dalam minyak fuli yang memenuhi standar European Pharmacopoeia dan standar industri perisa dan fragrans seperti ditunjukkan pada Gambar 6, 7, 8, dan 9 sebesar 62% atau sebanyak 8 senyawa yang memenuhi standar kualitas yaitu alpha pinene, beta pinene, 3-carene, limonene, gamma terpinene, eugenol, methyl eugenol, dan elimicine. Minyak biji pala muda sebesar 77% atau sebanyak 10 senyawa memenuhi standar kualitas yaitu alpha pinene, beta pinene, limonene, gamma terpinene, safrole, myristicine, eugenol, methyl eugenol, isoeugenol, dan elimicine. Minyak biji pala media sebesar 62% atau sebanyak 8 senyawa memenuhi standar kualitas yaitu alpha pinene, beta pinene, limonene, gamma terpinene, safrole, eugenol, methyl eugenol, dan isoeugenol. Dan yang terakhir minyak biji pala tua sebesar 46% atau sebanyak 6 senyawa dari 13 senyawa yaitu alpha pinene, limonene, gamma terpinene, safrole, eugenol, dan methyl eugenol. Hal ini didapatkan hasil bahwa minyak biji pala muda memiliki mutu mendekati standar European Pharmacopoeia dan standar industri perisa dan fragrans dibandingkan dengan minyak fuli, biji pala media, dan tua. Senyawa dalam minyak pala muda memenuhi standar kualitas sebanyak 10 senyawa dari 13 senyawa yang digunakan dalam standar kualitas.
Gambar 5 Kromatogram GC minyak pala
21
22 Tabel 8 Profil senyawa kimia pada minyak fuli, biji pala muda, media dan tua Nomer peak
Senyawa kimia
m/z
1
Alpha thunjene
136
Minyak fuli pala (%) c
± 19.77 ± a 0.36 ± a 12.45 ± ab 14.77 ± 2.30 a ± a 0.93 ± a 1.53 ± 3.21 b ± 0.41 c ± a 5.63 ± 4.98 b ± c 0.16 ± b 0.05 ± 2.24 a ± 0.13 c ± 0.35 c ± 1.78
a
2.27
a
0.06
19.28
a
0.01
0.37
a
0.14
12.23
a
0.13
14.78
a
0.02
2.30
a
0.03
0.54
b
0.03
0.42
b
0.05
3.56
a
0.01
1.73
a
0.10
5.84
a
0.08
5.54
a
0.00
1.08
a
0.00
0.07
a
0.04
1.49
b
0.00 0.00
0.99 0.65
a
0.44
a
0.03
2
Alpha pinene*
136
3
Camphene
136
4
Sabinene*
136
5
Beta pinene *
136
6
Beta myrcene
136
7
Alpha phelandrene
136
8
3-carene*
136
9
Alpha terpinene
136
10
Beta ocimene
136
11
Limonene*
136
12
Gamma terpinene*
136
13
Cis sabinene hydrat
136
14
Cymenene
132
15
Alpha terpinolen
136
16 17
Trans sabinene hydrat
154 154
18
1-Methyl-4-isopropyl-3cyclohexen-1-ol
154
0.25
c
± 0.00
19
4-terpineol*
154
7.87
c
0.94
c
± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ±
4-Isopropyl-1-methyl-2cyclohexen-1-ol
20
Beta fhencol
21
Trans piperitol
154
0.11
b
22
Safrole*
162
2.30
a
23
Alpha bornyl acetate
196
0.13
b
24
p-Pentylanisole
178
0.13
b
25
Eugenol**
164
0.39
a
26
Citronelyl acetate
198
0.19
b
27
Alpha terpenyl acetate
196
0.02
c
28
Alpha cubebene
204
0.06
c
29
Methyl Eugenol**
178
0.35
a
30
Neryl acetate
196
0.02
b
31
Beta caryophyllene
204
0.01
c
32
Isoeugenol**
164
1.38
a
33
Alpha bergamotene
204
0.02
c
34
Beta farnesene
204
0.00
ni
35
Methyl isoeugenol
178
0.04
b
36
Germacrene
204
0.01
c
37
Myristicine*
192
13.83
a
38
Beta bisabolene
204
0.02
d
39
Elemicine**
208
0.25
b
40
Methoxy eugenol
194
0.14
c
Jumlah
154
99.41
Minyak biji pala muda (%)
0.20 0.02 0.00 0.00 0.01 0.01 0.01 0.01 0.00 0.01 0.00 0.01 0.00 0.12 0.00 0.00 0.01 0.01 0.71 0.00 0.03 0.06 0.05
a
± 0.03 ± 0.12 ± 0.01 ± 0.65 ± 0.37 ± 0.06 ± 0.01 ± 0.01 ± 0.09 ± 0.05 ± 0.18 ± 0.16 ± 0.04 ± 0.00 ± 0.05 ± 0.05 ± 0.02
Minyak biji pala media (%)
± 0.01
0.42
± 0.24 1.23 ± 0.04 a 0.20 ± 0.01 1.23 c ± 0.06 a 0.20 ± 0.01 b 0.14 ± 0.01 0.26 b ± 0.01 0.19 b ± 0.01 b 0.07 ± 0.00 b 0.12 ± 0.00 0.24 b ± 0.03 a 0.07 ± 0.01 0.03 b ± 0.00 0.44 b ± 0.18 0.11 b ± 0.01 0.03 ni ± 0.00 0.04 b ± 0.01 b 0.05 ± 0.00 8.67 b ± 1.90 0.09 c ± 0.00 0.24 b ± 0.09 0.02 c ± 0.01 98.63 ± 0.11
10.35
11.47
a a
ab
0.04
2.11
b
b
0.26
16.16
c
0.01
0.31
b
0.07
11.07
a
0.02
12.26
c
0.01
1.94
b
0.01
0.49
c
0.01
0.40
b
0.05
3.18
b
0.06
1.24
b
0.04
4.93
b
0.06
5.12
b
0.02
0.91
b
0.01
0.07
a
0.01
1.40
b
0.02 0.00
0.85 0.60
b
± 0.00
0.40
b
± 0.01 ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ±
± 17.75 ± b 0.33 ± a 11.09 ± b 13.37 ± 2.06 b ± c 0.49 ± b 0.40 ± 3.25 b ± 1.35 b ± b 5.12 ± 5.19 ab ± a 1.05 ± a 0.07 ± 1.41 b ± 1.00 a ± 0.63 ab ± 2.22
Minyak biji pala tua (%)
ab
b
b
0.08
10.39
b
b
0.01
1.14
b
0.00
0.21
a
0.01
1.40
b
0.02
0.15
ab
0.02
0.30
a
0.02
0.35
a
0.01
0.23
a
0.01
0.07
b
0.01
0.13
ab
0.01
0.38
a
0.01
0.07
a
0.00
0.05
a
0.05
1.21
a
0.01
0.13
ab
0.00
0.04
ni
0.00
0.07
a
0.01
0.06
ab
0.17
15.61
a
0.01
0.11
b
0.02
0.66
a
0.15
2.12
a
0.03
98.24
± 1.12 ± a 0.21 ± 1.24 c ± ab 0.19 ± a 0.27 ± 0.29 b ± 0.22 a ± a 0.09 ± a 0.16 ± 0.34 a ± a 0.09 ± 0.04 ab ± 0.98 a ± 0.14 a ± 0.05 ni ± 0.07 a ± a 0.07 ± 14.02 a ± 0.13 a ± 0.57 a ± 0.55 b ± 98.26 ±
± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ±
Keterangan: *Standar European Pharmacopoeia, **Standar industri perisa dan fragrans. m/z = masa molekul dibanding muatan molekul yang terprotonisasi. Angka pada tabel yang disertai huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (BNT α = 0.05).
0.00 0.25 0.01 0.35 0.08 0.02 0.02 0.02 0.01 0.04 0.03 0.00 0.03 0.00 0.01 0.03 0.01
0.04 0.01 0.00 0.00 0.00 0.01 0.00 0.00 0.00 0.00 0.01 0.02 0.01 0.00 0.01 0.00 0.00 0.00 0.33 0.00 0.01 0.06 0.04
Tabel 9 Senyawa kimia penyusun utama dalam minyak pala dibandingkan dengan literatur Metode / Parameter
Metode ekstraksi
Minyak Fuli Pala (%)
Destilasi air
Minyak Biji Pala Muda (%)
Minyak Biji Pala Media (%)
Minyak Biji Pala Tua (%)
Minyak pala asal Sulawesi* (%)
Minyak Pala asal Jawa*(%)
Minyak Pala asal Andaman Nicobar** (%)
Destilasi air
Destilasi air
Destilasi air
Destilasi uap
Destilasi uap Destilasi air
Standar EP*** (%)
-
Standar industri perisa dan fragrans (%) -
Parameter standar EP*** Alpha pinene Sabinene Beta pinene 3- carene Limonene Gamma terpinene 4-terpineol Safrole Myristicine
19.77 ± 0.09 12.45 ± 0.20 14.77 ± 0.18
a
1.53 ± 0.04 5.63 ± 0.13 4.98 ± 0.10
a
7.87 ± 0.28 2.30 ± 0.00 13.83 ± 1.00
c
Jumlah 83.11 ± 0.23 Tambahan parameter standar Eugenol 0.39 ± 0.01 Methyl eugenol 0.35 ± 0.01 Isoeugenol 1.38 ± 0.16 Elemicine Jumlah Total % Sesuai standar
0.25 ± 0.03 2.35 ± 0.05 85.46 ± 0.14 62%
a ab
a b
a a
19.28 ± 0.18 12.23 ± 0.93 14.78 ± 0.51
a
0.42 ± 0.01 5.84 ± 0.25 5.54 ± 0.23
b
11.47 ± 0.34 1.23 ± 0.09 8.67 ± 2.68
a
a a
a a
c b
79.44 ± 0.58 a a a b
17.75 ± 0.36 11.09 ± 0.10 13.37 ± 0.03
b
0.40 ± 0.01 5.12 ± 0.06 5.19 ± 0.09
b
10.35 ± 0.10 1.24 ± 0.01 14.02 ± 0.25
b
a b
b ab
c a
78.51 ± 0.11
0.26 ± 0.01 0.24 ± 0.03 0.44 ± 0.25
b
0.24 ± 0.11 1.17 ± 0.10 80.61 ± 0.34 77%
b
b b
16.16 ± 0.36 11.07 ± 0.49 12.26 ± 0.11
c
19.07
19.33
9.40
15 - 28
15 - 28
a
19.07
23.44
41.70
14 - 29
14 - 29
c
15.71
15.86
7.30
13 - 18
13 - 18
0.40 ± 0.02 4.93 ± 0.04 5.12 ± 0.01
b
0.61
1.05
0.60
0.5 - 2
0.5 - 2
b
6.25
5.87
3.70
2-7
2-7
b
4.73
3.70
2.90
2-6
2-6
10.39 ± 0.05 1.40 ± 0.01 15.61 ± 0.47
b
5.73
4.01
5.80
2-6
2-6
b
1.60
1.64
1.40
0-2
0-2
a
10.12
10.74
2.70 75.50
8 - 12
8 - 12
83.25
83.25
0.50
-
0 - 0.5
1.50 0.00
-
0 - 0.5
-
0-1
0.80 2.80 78.30 54%
-
0 - 0.5
-
1.25 84.50
77.33 ± 0.17
0.29 ± 0.03 0.34 ± 0.02 0.98 ± 0.08
b
0.57 ± 0.03 2.17 ± 0.04 80.68 ± 0.08 62%
a
a a
82.89
0.35 ± 0.01 0.38 ± 0.01 1.21 ± 0.00
a
0.66 ± 0.00 2.59 ± 0.01 79.91 ± 0.09 46%
85.64
a
0.17 0.65
0.32 0.40
a
0.59
0.82
a
0.59
0.49
2.00 84.89 85%
2.03 87.67 100%
Keterangan: *Riyadi et al. (2014), **Pal et al. (2011), ***European Pharmacopoeia. Angka pada tabel yang disertai huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (BNT α = 0.05).
23
24
Keterangan : BA = Batas atas, BB = Batas bawah
Gambar 6 Senyawa alpha pinene, sabinene, dan beta pinene pada minyak fuli, biji pala muda, media, dan tua dibandingkan dengan standar EP dan industri perisa serta fragrans
25
Keterangan : BA = Batas atas, BB = Batas bawah
Gambar 7 Senyawa 3-carene, limonene, dan gamma terpinene pada minyak fuli, biji pala muda, media, dan tua dibandingkan dengan standar EP dan industri perisa serta fragrans
26
Keterangan : BA = Batas atas, BB = Batas bawah
Gambar 8 Senyawa 4-terpineol, safrole, dan myristicine pada minyak fuli, biji pala muda, media, dan tua dibandingkan dengan standar EP dan industri perisa serta fragrans
27
Keterangan: BA = Batas atas, BB = Batas Bawah
Gambar 9 Senyawa eugenol, methyl eugenol, isoeugenol, dan elemicine pada minyak fuli, biji pala muda, media, dan tua dibandingkan dengan standar industri perisa serta fragrans
28
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berat dan ukuran biji pala berbanding lurus dengan semakin tua umur panen, sedangkan rendemen minyak pala berbanding terbalik. Karakteristik fisik minyak pala menunjukkan semakin tua umur biji maka berat jenis dan indeks bias semakin tinggi, sedangkan rotasi optik semakin turun. Sebanyak 40 senyawa kimia telah berhasil diidentifikasi sebagai penyusun dalam minyak fuli, biji pala muda, media, dan tua. Senyawa kimia utama dalam minyak pala adalah alpha pinene, sabinene, beta pinene, 3-carene, limonene, gamma terpinene, 4-terpineol, safrole, myiristicine, eugenol, methyl eugenol, isoeugenol, dan elimicine dengan komposisi senyawa yang berbeda untuk masing-masing jenis pala. Komponen terpen semakin tua umur biji pala semakin menurun, sebaliknya komponen aromatik semakin meningkat. Minyak fuli, biji pala muda, media, dan tua tidak memenuhi standar kualitas fisiko kimia European Pharmacopoeia dan industri perisa dan fragrans. Kualitas minyak biji pala muda adalah yang paling mendekati standar European Pharmacopoeia dan industri perisa serta fragrans dibandingkan dengan minyak fuli, biji pala media dan tua. Saran Proses ekstraksi dalam penelitian ini menggunakan metode destilasi air, untuk memperoleh kualitas yang berbeda diperlukan studi lebih lanjut dengan menggunakan metode destilasi uap dan biji pala yang digunakan yaitu yang masih muda serta tidak menggunakan cangkang dalam proses destilasi.
29
DAFTAR PUSTAKA Arrijani. 2005. Biologi dan konservasi marga myristica di Indonesia. Biodiversitas. 6(2): 147-151. Agusta A. 2000. Minyak atsiri tumbuhan tropika Indonesia. Penerbit ITB Bandung [BSN] Badan Standarisasi Nasional. SNI 06-2388-2006. Minyak Pala. 2006. www.sisni.bsn.go.id. [05 Mei 2015] [Deptan] Depertemen Pertanian. Direktorat Jenderal Perkebunan. 2016. Statistik Perkebunan Indonesia 2014-2016. Tanaman Rempah dan Penyegar. [EC] European Commission. 2002. Opinion of the scientific committe on food on the safety of the presence of safrole (1-allyl-3,4-methylene dioxy benzene) in flavourings and other food ingredients with flavouring properties (SCF/CS/FLAV/FLAVOUR/6ADD3Final). European Comission Health and Consumer Protection Directorate General. 9 Januari 2002. Grieve M. A modern herbal. http://www.botanical.com. [05 Mei 2015] Hadad EA, Syakir. 1992. Pengadaan bahan tanaman pala. Badan Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Edisi khusus littro. 8(1): 1-7. Hartutiningsih M, Siregar, Murtiningsih T. 1996. Pengaruh perkembangan buah pala terhadap kandungan minyak atsiri. Prosiding Simposium Nasional Tumbuhan Obat dan Aromatik APINMAP. Hou JP, Wu H, Wang Y, Weng XC. 2012. Isolation of some compounds from nutmeg and their antioxidant activities. Czech Journal of Food Science. 30(2): 164-170. [IFRA] International Fragrance Association. 2007. GC/MS quantitation of potential fragrance allergens in fragrance compounds. Analyticial Procedure, version 3. 12 September 2007. Jangid K, Jayakumar ND, Varghese SS. 2014. Achievable therapeutic effects of myristica fragrans (nutmeg) on periodontitis a short review. International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences. 6(5): 591-594. Lutony TL, Rahmayati Y. 2002. Produksi dan Perdagangan Minyak Atsiri. Penerbit Swadaya, Jakarta. Ma’mun. 2013. Karakteristik minyak dan isolasi trimiristin biji pala papua (Myristica argentea). Jurnal Littri. 9(2): 72-77. Mastuti R. 2016. Metabolit Sekunder dan Pertahanan Tumbuhan. Modul 3 Fisiologi Tumbuhan. FMIPA Unibraw. Musu T. 2008. The european chemicals agency, keystone of REACH. HESA News Letter. June 2008 No. 34. Nurdjanah N. 2007. Teknologi Pengolahan Pala. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. Nurdjannah N, Wahyudi A, Risfaheri. 1990. Perkembangan Penelitian Minyak atsiri Sekunder (Cengkeh, Pala, Jahe, Kemukus, Kapolaga, Lada). Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Pal M, Srivastava M, Soni DK, Kumar A, Tewari SK. 2011. Composition and anti-microbial activuty of essential oil of myristica fragrans from Andaman Nicobar Island. International Journal of Pharmacy and Life Sciences. 2(10): 1115-1117.
30 Raoufiq NA, Supriadi H, Syukur M. 2007. Karakteristik Komposisi Kimia Biji Pala Maluku Utara. Prosiding Seminar Nasional Rempah. 21 Agustus 2007, Bogor. Rismunandar.1990. Budidaya dan Tata Niaga Pala. Penerbit Swadaya Riyadi E, Andarwulan N, Faridah DN. 2014. Profil senyawa volatil identitas nutmeg oil, patchouli oil dan fresh ginger oil asal Indonesia. Jurnal Mutu Pangan. 1(1)1: 19-25. Robinson T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Penerbit ITB . Rusli S. 2002. Diversifikasi ragam dan peningkatan mutu minyak atsiri. Workshop Nasional Minyak Atsiri. Departemen Perindustrian dan Perdagangan. 30 Oktober 20012, Jakarta. Ruhnayat A, Wahyudi A. 2013. Informasi teknologi tanaman rempah dan obat. Unit Penerbitan dan Publikasi Balittro ISBN. 978-979-548-040-2: 2-3. Sanghai-Vaijwade DN, Kulkarni SR, Sanghai NN. 2011. Nutmeg: a promising antibacterial agent for stability of sweets. International Journal of Research in Pharmacy and Chemistry. 1(3): 403-407. Saxena R, Patil P. 2012. Phytochemical studies on myristica fragrance essential oil. International Journal of Biological Forum. 4(2): 62-64. Soenarsih S, Sudarsono HMH, Djoefrie B, Wahyu Y. 2012. Keragaman species pala (Myristica spp.) Maluku Utara berdasarkan penanda morfologi dan agronomi. Jurnal Littri. 18(1): 1-9. Schenk HP, Lamparsky D. 1981. Analysis of nutmeg oil using chromatographic methods. Journal of Chromatograpy. 204: 391-395. Suryatmi RD, Purwanto W, Haryanto B, Lukas A. 2008. Kajian pemanfaatan limbah cangkang dan biji muda pala di Bandanaira. https://minyakatsiriindonesia. wordpress.com/pemanfaatan-limbahproses/suryatmi-r-d-dkk/. [9 April 2006]. Tan KP, Khoo HE, Azrina A. 2013. Comparison of antioxidant components and antioxidant capacity in different parts of nutmeg (myristica fragrans). International Food Research Journal. 20(3): 1049-1052. Tohge T, Alseekh S, Fernie AR. 2014. On the regulation and function of secondary metabolism during fruit development and ripening. Journal of Experimental Botany. 65(16): 4599-4611. Wahyuni S, Hadad EA, Suparman, Mardiana. 2008. Keragaman produksi plasma nuftah pala (Myristica fragrans) di KP Cicurug. Buletin Plasma Nutfah. 4(2): 68-75.
31
LAMPIRAN
32 Lampiran 1 Diagram alir penelitian
33 Lampiran 2 Analisis ragam untuk senyawa α-pinene Ringkasan Sampel uji
Ulangan
Jumlah
Rerata
Fuli Muda Media Tua Total
2 2 2 2 2
39.53 38.56 35.49 32.31 145.89
19.77 19.28 17.75 16.16
Standar deviasi 0.06 0.12 0.26 0.25
Analisis ragam (ANOVA) SK
DB
Perlakuan Galat Total
3 4 7
JK 2341.89 0.30 2342.18
KT 780.63 0.07
F hit 10501.15
F tabel 0.05 0.01 6.59 16.69
Faktor koreksi 334.60
Uji lanjut menggunakan beda nyata terkecil (BNT) pada taraf kepercayaan 95% (α=0.05). Nilai tabel BNT (α=0.05) adalah 2.78, sehingga nilai pembanding BNT yang digunakan adalah 0.76. Sampel uji Fuli Muda Media Tua
Rerata 19.77 19.28 17.75 16.16
Simbol a a b c
34 Lampiran 3 Analisis ragam untuk senyawa gamma terpinene Ringkasan Sampel uji
Ulangan
Jumlah
Fuli Muda Media Tua Total
2 2 2 2 2
9.95 11.08 10.37 10.23 41.63
JK
KT
Rerata
Standar deviasi
4.98 5.54 5.19 5.12
0.08 0.16 0.06 0.00
Analisis ragam (ANOVA) SK Perlakuan Galat Total
DB 3 4 7
189.85 0.07
F hit
63.28 0.02
3567.73
F tabel 0.05
0.01
6.59
16.69
189.92
Faktor koreksi 27.13
Uji lanjut menggunakan beda nyata terkecil (BNT) pada taraf kepercayaan 95% (α=0.05). Nilai tabel BNT (α=0.05) adalah 2.78, sehingga nilai pembanding BNT yang digunakan adalah 0.37. Sampel uji Fuli Muda Media Tua
Rerata 4.98 5.54 5.19 5.12
Simbol b a ab b
35 Lampiran 4 Analisis ragam untuk senyawa eugenol Ringkasan Sampel uji
Ulangan
Jumlah
Rerata
Fuli Muda Media Tua Total
2 2 2 2 2
0.77 0.52 0.57 0.69 2.55
0.39 0.26 0.29 0.35
Standar deviasi 0.01 0.01 0.02 0.00
Analisis ragam (ANOVA) SK Perlakuan Galat Total
DB 3 4 7
JK 0.73 0.00
KT 0.24 0.00
F hit 1294.29
F tabel 0.05
0.01
6.59
16.69
0.73
Faktor koreksi 0.10.
Uji lanjut menggunakan beda nyata terkecil (BNT) pada taraf kepercayaan 95% (α=0.05). Nilai tabel BNT (α=0.05) adalah 2.78, sehingga nilai pembanding BNT yang digunakan adalah 0.04. Sampel uji Fuli Muda Media Tua
Rerata 0.39 0.26 0.29 0.35
Simbol a b b a
36
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Surakarta pada tanggal 7 Juli 1973 dari ayah Suhardi (alm) dan ibu Sri Surati. Penulis merupakan anak ke 4 dari 4 bersaudara. Penulis mempunyai seorang istri Debra Murniati dan satu orang anak Rania Amira Saputro. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik, Universitas Tunas Pembangunan Surakarta pada tahun 1992 dan menamatkannya pada tahun 1998. Pada tahun 2013, untuk menambah wawasan di bidang pangan penulis melanjutkan studi magister di sekolah pascasarjana program studi magister profesional teknologi pangan dengan judul penelitian Karakteristik Fisiko Kimia Minyak Fuli dan Biji Pala (Myristica fragrans Houtt) dengan Ekstraksi Metode Destilasi Air. Saat ini penulis bekerja di PT. Indesso Aroma sejak tahun 2008 sampai sekarang di bagian Pembelian Bahan Baku Alam