II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pala (Myristica fragrans HOUTT) Pala (Myristica fragrans HOUTT) merupakan tanaman buah asli Indonesia, yang awalnya banyak ditemukan di Banda dan Maluku. Tanaman pala menyebar ke Pulau Jawa, pada saat perjalanan Marcopollo ke Tiongkok yang melewati pulau Jawa pada tahun 1271 sampai 1295. Pembudidayaan tanaman pala terus meluas sampai Sumatera. Hasil tanaman pala yang biasa dimanfaatkan adalah buah pala. Buah pala terdiri dari daging buah (77.8 %), fuli (4 %), tempurung (5.1 %) dan biji (13.1 %) (SIPUK 2007). Buah pala (dapat dilihat pada Gambar 1) berwarna kuning hijau, bertekstur keras, bergaris tengah antara 3-9 cm. Buah untuk keperluan rempah biasa dipetik pada umur 9 bulan sejak mulai persarian bunga. Buahnya berbentuk peer, lebar, ujungnya meruncing, kulitnya licin, berdaging dan cukup banyak mengandung air. Jika sudah masak petik warnanya kuning pucat dan membelah dua, kemudian jatuh. Daging buahnya/pericarp tebal dan rasanya asam. Biji pala tunggal, berkeping dua, dilindungi oleh tempurung, walaupun tidak tebal tapi cukup keras. Bentuk biji bulat telur hingga lonjong, panjangnya berkisar antara 1.5-4.5 cm dengan lebar 1- 2.5 cm, mempunyai tempurung berwarna coklat tua dan licin permukaannya bila sudah cukup tua dan kering. Namun bila buah masih muda atau setengah tua, setelah dikeringkan warnanya menjadi coklat muda di bagian bawah dan coklat tua di bagian atasnya dengan permukaan yang keriput dan beralur. Biji dan fuli yang berasal dari buah yang cukup tua dimanfaatkan sebagai rempah, sedangkan yang berasal dari buah yang muda dimanfaatkan sebagai bahan baku minyak pala karena kandungan minyak atsirinya yang jauh lebih tinggi daripada biji yang berasal dari buah yang tua. Pada buah muda (umur 4–5 bulan) kadar minyak atsiri berkisar antara 8–17 % atau rata-rata 12 % (Rismunandar 1990). Pemanenan dapat dilakukan dengan menggunakan galah atau menunggu sampai jatuh. Pada Gambar 2, dapat dilihat komponen bagian-bagian buah pala.
Gambar 1. Buah pala (Myristica fragrans HOUTT) Sumber: www.google.com, 2011
4
Biji pala
Daging buah
Fuli/salut
Gambar 2. Komponen dari buah pala Sumber: www.google.com, 2011
Susunan komponen buah pala dari yang paling luar ke dalam, yaitu terdiri dari daging buah, yang kemudian tersusun atas bijinya yang berkulit tipis agak keras berwarna hitam kecokelatan yang dibungkus fuli berwarna merah padam. Isi bijinya putih, bila dikeringkan menjadi kecokelatan gelap dengan aroma khas (Nurdjannah 2007). Menurut Hadad et al. (2006), tanaman pala memerlukan iklim tropis yang panas dengan curah hujan yang tinggi tanpa adanya periode kering yang nyata. Meskipun terdapat bulanbulan kering, tetapi bulan kering tersebut masih terdapat 10 hari hujan dengan sekurangkurangnya ± 100 mm. Daerah-daerah pengusahaan tanaman pala memiliki fluktuasi suhu yang berbeda, yaitu berkisar antara 18-34 oC. Tanaman pala sangat peka terhadap angin kencang karena tanaman ini tidak sesuai diusahakan pada areal yang terbuka tanpa pelindung atau penahan angin. Tanaman pala memerlukan tanah yang subur dan gembur, terutama tanah-tanah vulkanis, miring atau memiliki pembuangan air yang baik. Keadaan tanah dengan reaksi sedang sampai netral (pH 5.5-7) merupakan rata-rata yang baik untuk pertumbuhan tanaman pala, karena keadaan kimia maupun biologi tanah berada pada titik optimum. Pohon pala memiliki tinggi 10-20 m, mahkota pohonnya meruncing, berbentuk piramidal (kerucut), lonjong (silindris), dan bulat dengan percabangan relatif teratur. Dedaunan yang rapat dengan letak daun yang berselang-seling secara teratur. Daunnya berwarna hijau mengkilap dan gelap, panjang 5-14 cm dengan lebar 3-7 cm, tangkai daun 0.4-1.5 cm panjangnya. Cara pembungaannya unisexual-dioecious. Buah pala adalah salah satu jenis rempah-rempah yang banyak digunakan dalam industri makanan, farmasi, dan kosmetik. Biji dan fuli pala (selaput biji) digunakan sebagai sumber rempah-rempah, sedangkan daging buah pala sering diolah menjadi berbagai produk pangan seperti manisan, sirup, jam, jeli, dan chutney. Minyak biji pala terutama digunakan dalam industri flavor (penambah cita rasa) makanan dan dalam jumlah kecil digunakan dalam industri farmasi dan kosmetik (Leung 1980 dalam Nurdjannah dan Winarti 2005).
5
B.
Minyak Pala Minyak pala adalah minyak yang dihasilkan dari hasil penyulingan biji pala. Berdasarkan SNI 01-0006-1993, biji pala memiliki persyaratan mutu yang disajikan pada Tabel 2. Biji yang biasa digunakan dalam penyulingan minyak pala adalah biji muda karena kandungan minyak pala yang lebih tinggi (Nurdjanah et al. 1990). Menurut Bustaman (2008), kandungan minyak biji tua dengan umur panen 7 bulan berkisar 7.95-11.92%. Biji pala muda, umur panen 3-5 bulan, mengandung minyak lebih banyak dibanding biji tua dengan umur panen lebih dari 7 bulan. Rata-rata kadar minyak pala Banda muda adalah 13.07%. Oleh karena itu, minyak pala di Indonesia biasanya disuling dari biji pala yang berumur 4-5 bulan (Sumangat et al. 1990). Komponen kimia yang terkandung dalam minyak pala dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 2. Spesifikasi persyaratan mutu biji pala (SNI 01-0006-1993) No 1 2 3 4 5 6
Jenis Uji Kadar air (b/b) Biji berkapang (b/b) Serangga utuh mati Kotoran mamalia Kotoran binatang lain Benda asing (b/b)
Satuan % % Ekor Mg/lbs Mg/lbs %
Persyaratan Maks. 10 Maks. 8 Maks. 4 Maks. 0 Maks. 0.0 Maks. 0.00
Tabel 3. Komposisi kimia buah pala Biji
Fuli
Daging
Air (%)
Komponen
5.8-10.8
9.8-12.1
89
Protein (%)
6.6-7.0
6.3-7.0
0.3
Lemak (%)
28.7-36.9
21.6-23.7
0.2
Minyak atsiri (%)
2.6-6.9
6.3-8.7
tad
Ekstrak alkohol (%)
10.4-17.4
22.1-24.8
tad
Pati (%)
31.8-49.8
49.9-64.9
10.9
Serat kasar (%)
2.9-3.7
2.9-3.9
tad
Abu (%)
2.1-3.3
1.8-2.5
tad
Vitamin A (IU)
-
tad
29.5
Vitamin C (mg/100 g)
-
tad
22.0
Vitamin B1 (mg/100 g)
0.2
tad
sedikit
Ca (mg/100 g)
120
tad
32.0
P (mg/100 g)
240
tad
24.0
Fe (mg/100 g)
4.6
tad
1.5
Sumber: Rismunandar (1990) Keterangan: tad: tidak ada data, (-): tidak ada atau kecil sekali
Minyak atsiri, atau dikenal juga sebagai minyak eteris (aetheric oil), minyak esensial, minyak terbang, serta minyak aromatik, adalah kelompok besar minyak nabati yang berwujud cairan kental pada suhu ruang namun mudah menguap sehingga memberikan aroma yang khas. Minyak atsiri merupakan bahan dasar dari wangi-wangian atau minyak gosok (untuk 6
pengobatan) alami. Di dalam perdagangan, sulingan minyak atsiri dikenal sebagai bibit minyak wangi. Minyak atsiri bersifat mudah menguap karena titik uapnya rendah. Selain itu, susunan senyawa komponennya kuat mempengaruhi saraf manusia (terutama di hidung) sehingga seringkali memberikan efek psikologis tertentu (baunya kuat). Setiap senyawa penyusun memiliki efek tersendiri, dan campurannya dapat menghasilkan rasa yang berbeda (Sumangat et al. 1990). Kandungan minyak atsiri pala sekitar 5-15 % yang meliputi pinen, sabinen, kamfen, miristicin, elemisin, isoelemisin, eugenol, isoeugenol, metoksieugenol, safrol, dimerik polipropanoat, lignan, dan neolignan (Jansen dan Laeckman 1990 dalam Sonavane et al. 2001). Eugenol merupakan komponen utama yang bersifat menghambat peroksidasi lemak dan meningkatkan aktivitas enzim seperti dismutase superoksidase, katalase, glutation peroksidase, glutamin transferase, dan glukose- 6-fosfat dehidrogenase (Kumaravelu et al. 1996 dalam Nurdjannah dan Winarti 2005). Ekstrak kloroform pala juga mempunyai aktivitas antidiare dengan meningkatkan kandungan ion-ion Na dan Cl dalam jaringan, sedangkan ekstrak petroleum eter buah pala mempunyai aktivitas antibakteri terhadap beberapa spesies Shigela dan E. coli (Wessinger et al. 1985 dalam Sonavane et al. 2001). Senyawa myristin, elemecin, dan safrol tergolong sebagai ether aromatic yang mempunyai sifat psikotropik yang dapat menyebabkan halusinasi dan perasaan mengantuk terutama jika dikonsumsi dalam jumlah banyak. Mengkonsumsi serbuk biji pala atau minyak pala sebanyak 20 gram secara langsung dapat menyebabkan keracunan dengan gejala muntah, pusing, rongga mulut kering (Purseglove et al. 1981). Mutu minyak pala baik tinggi ataupun rendah, ditentukan oleh ciri-ciri fisik dan kimiawinya. Ciri fisik dari minyak pala yang dijadikan ukuran penentuan mutu minyak pala adalah bobot jenis, putaran optik, indeks bias, kelarutan dalam alkohol, dan sisa penguapan. Sedangkan ciri kimiawinya adalah kandungan myristicin dalam senyawa aromatik, dan kandungan alkohol dalam senyawa terpen (Azmi 1991). Pada Tabel 4 dapat dilihat sifat fisik senyawa-senyawa utama minyak pala. Tabel 4. Sifat fisik senyawa-senyawa utama minyak pala Berat molekul (g/mol)
Bobot jenis 20 oC
Indeks bias (20 oC)
Titik didih 15 mmHg (oC)
α Pinen
136.23
0.8592
1.4664
44.3
Kamfen
136.23
0.8422
1.4551
53.8
Limonen
136.23
0.8402
1.4744
61
Dipenten
136.23
0.8402
1.4744
61
p Simen
134.22
0.8573
1.4909
64.1
α Terpineol
154.25
0.9338
1.4818
102.1
Safrol
162.19
1.096
1.5383
115.3
Geraniol
154.24
0.8894
1.4766
117.8
Eugenol
164.2
1.0664
1.541
130.9
1.4305
199.2
Senyawa
228.36 0.8622 Asam miristat Sumber: Guenther (1952) dalam Joharza (2002)
7
Untuk mendukung kegiatan industri dalam ekspor minyak pala, maka dibutuhkan penetapan standar mutu. Berikut disajikan syarat mutu minyak pala berdasarkan SNI 06-23882006 pada Tabel 5. Tabel 5. Syarat mutu minyak pala (SNI 06-2388-2006) No 1
Keadaan
-
1.1
Warna
-
Tidak berwarna kuning pucat
1.2
Bau
-
Khas minyak pala
Bobot jenis 20 C/20 C
-
0.880-0.910 1.470-1.497
4
Indeks bias (nD20) Kelarutan dalam etanol 90% pada suhu 20oC
-
5
Putaran optic
6
2 3
7
Jenis Uji
o
o
Satuan
-
Persyaratan
1:3 jernih, seterusnya jernih
-
(+) 8o - (+)25o
Sisa penguapan
%
maksimum 2.0
Miristisin
%
Minimum 10
C. Penanganan Buah Pala Tanaman pala rata-rata mulai berbuah pada umur 5-6 tahun. Setelah mencapai umur 10 tahun hasilnya mulai meningkat dan meningkat terus hingga mencapai optimum pada umur ratarata 25 tahun. Produksi optimum ini bertahan hingga tanaman pala berumur 60-70 tahun. Lambat laun produksinya menurun hingga mencapai umur 100 tahun atau lebih, bila tidak ada aral melintang (Rismunandar 1990). Dalam setahun, tanaman pala dapat di petik dua kali, yang setiap daerah biasanya waktunya tidak sama. Umumnya buah pala dipanen setelah cukup tua, yang ditandai dengan merekahnya buah, umurnya ± 6 bulan sejak berbunga. Menurut Nurdjannah (2007), biji pala terdiri dari dua bagian utama, yaitu 30-45 % minyak dan 55-60 % bahan padat termasuk selulosa. Minyak terdiri atas dua jenis, yaitu minyak atsiri (essential oil) sebanyak 5-15 % dari berat biji keseluruhan, dan lemak (fixed oil) yang disebut nutmeg butter sebanyak 24-40 % dari berat biji. Perbedaan komponen tersebut bervariasi tergantung pada letak geografis dan tempat tumbuhnya maupun jenis (varietas) dari tanaman tersebut. Pada prinsipnya, minyak atsiri dalam biji pala terbentuk lebih dahulu daripada lemaknya sehingga untuk tujuan penyulingan minyak atsiri, buah pala harus dipanen pada umur 4-5 bulan yang dicirikan oleh warna fuli masih keputih-putihan, tempurung berwarna putih kecoklatan dan daging buahnya masih lunak (Somaatmadja 1981 dalam Sumangat et al. 1990). Menurut Sutarno et al. (1995), buah muda dengan tingkat kemasakan 20 minggu dicirikan oleh warna kulit buah hijau, biji lunak berwarna putih, warna fuli putih dan masih melekat pada biji dengan kadar minyak atsiri per 100 mg bahan kering sebesar 10 %. Pada tingkat kemasakan 22 minggu (buah pra-tua) yang dicirikan oleh kulit buah hijau, biji sudah keras berwarna putih kehitaman dengan fuli berwarna merah muda dan mudah lepas, kadar minyak atsiri dari biji 10.72 % sedangkan dari fulinya 12.20 %. Berdasarkan kriteria itu, buah pala 22 minggu akan menghasilkan kadar minyak atsiri optimal, baik dari bijinya maupun fulinya. Pada buah pala tua (24 minggu), kadar minyak fuli 13.75 % sedangkan bijinya 5.0 %. 8
Pala yang khusus disuling minyaknya, buahnya dipetik atau dipungut saat masih muda. Cara pemetikannya bisa dengan galah yang ujungnya diberi keranjang, atau langsung memanjat pohon untuk memungut dan memilih buah yang betul-betul tua. Buah yang telah dipetik, segera diperlakukan sesuai keperluannya, hal ini untuk menghindari serangan hama dan penyakit (Deptan 1986). Alur proses penanganan pasca panen buah pala dapat dilihat pada Gambar 3 dan 4.
Gambar 3. Skema pengolahan buah pala (Rismunandar 1990)
9
Gambar 4. Skema hasil olahan bagian-bagian buah pala (Rismunandar 1990) Penjemuran biji pala dapat dilakukan dengan menggunakan panas matahari atau dengan cara pengasapan di rumah asap, dengan suhu ruangan 35- 40 oC terus-menerus selama 10-15 hari sampai kadar air 8-10 %. Menurut McGaw (1979), pengeringan biji pala secara komersial, disarankan pada suhu 40 oC selama 8-9 hari. Di Grenada, biji pala dihamparkan di atas rak-rak bersusun dengan ketebalan 5 cm dan kemudian dikering-anginkan di dalam ruangan terbuka selama 7-8 minggu sehingga tercapai kadar air kurang lebih 8 % (Purseglove et al. 1981). Apabila suhu yang diberikan > 45 oC maka akan diperoleh biji pala yang berkualitas rendah yang disebabkan oleh mencairnya kandungan lemak, biji keriput dan berbentuk remah dan aroma biji akan banyak berkurang. Selain itu juga apabila pengeringan terjadi terlalu cepat dengan panas yang tinggi dapat mengakibatkan biji pala pecah. Sedangkan untuk pengeringan fuli lebih sederhana. Fuli disebar diatas tampan dan dijemur di bawah sinar matahari sampai mencapai kadar air 10-12 % (Deptan 1986). Dengan pengeringan seperti itu dapat menghasilkan fuli yang kenyal (tidak rapuh) dan berkualitas tinggi sehingga nilai ekonomisnya pun tinggi pula (Rismunandar 1990). Biji pala dan fuli yang telah kering, biasanya disimpan dalam karung. Untuk tetap menjaga kualitas dari biji pala yang disimpan maka biji pala yang telah kering harus memiliki mutu sesuai dengan standar yang telah ditetapkan karena pada kadar air 8-10 %, kehidupan serangga dan patogen gudang dapat dihambat, dengan suhu kamar (25-30 oC) dan kelembaban 70-75 % (Marsetio 2008).
10
Rendemen dan mutu minyak dipengaruhi oleh beberapa faktor yang dapat digolongkan menjadi dua, yaitu pra panen dan pasca panen. Faktor prapanen meliputi jenis (varietas) tanaman, cara budidaya, waktu, dan cara panen. Faktor pascapanen meliputi cara penanganan bahan, cara penyulingan, pengemasan, dan transportasi (Nurdjannah 2007).
D. Penyulingan Minyak Penyulingan adalah proses pemisahan komponen-komponen campuran dari dua jenis atau lebih cairan berdasarkan perbedaan titik didih dan titik embun masing-masing komponennya dengan menggunakan uap air sebagai medium penguapannya. Pada awal penyulingan, komponen yang bertitik didih rendah akan tersuling lebih dahulu dan disusul oleh komponen yang bertitik didih lebih tinggi (Asyik 2005). Metode penyulingan minyak atsiri menurut Ketaren (1985) terdapat 3 macam sistem penyulingan, yaitu penyulingan dengan sistem air (water distillation), air dan uap (water and steam distillation), serta uap (steam distillation). Penyulingan dengan metode air, bahan yang akan disuling mengalami kontak langsung dengan air mendidih. Bahan tersebut mengapung di atas air ataupun terendam secara sempurna tergantung dari bobot jenis dan jumlah bahan yang disuling. Menurut Asyik (2005), cara penyulingan dengan sistem ini adalah dengan memasukkan bahan baku, baik yang sudah dilayukan, kering ataupun bahan basah ke dalam ketel penyuling yang telah berisi air kemudian dipanaskan. Air dapat dipanaskan dengan menggunakan api langsung atau uap dalam mantel atau dalam spiral tertutup. Uap yang keluar dari ketel dialirkan dengan pipa yang dihubungkan dengan kondensor. Uap yang merupakan campuran uap air dan minyak akan terkondensasi menjadi cair dan ditampung dalam wadah. Selanjutnya cairan minyak dan air tersebut dipisahkan dengan separator pemisah minyak untuk diambil minyaknya saja. Gambar alat penyulingan dengan air dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Penyulingan dengan metode air (Ketaren 1985).
11
Beberapa jenis bahan harus disuling dengan metode ini, karena bahan harus tercelup dan dapat bergerak bebas dalam air mendidih. Jika disuling dengan metode uap langsung, bahan ini akan merekat dan membentuk gumpalan besar yang kompak, sehingga uap tidak dapat berpenetrasi ke dalam bahan. Sistem ini memiliki beberapa kelebihan, antara lain prosesnya sederhana dan dapat mengekstraksi minyak dari bahan yang berbentuk bubuk (akar, kulit, kayu) dan bunga-bungaan yang mudah membentuk gumpalan jika kena panas. Kelemahan penyulingan air adalah pengekstraksian minyak atsiri tidak dapat berlangsung sempurna, komponen minyak yang dihasilkan tidak lengkap karena komponen minyak yang bertitik didih tinggi, seperti sinamil alkohol, benzil alkohol dan bersifat larut dalam air tidak dapat menguap secara sempurna. Selain itu beberapa jenis ester misalnya linalil asetat akan terhidrolisa sebagian. Penyulingan air memerlukan ketel suling yang lebih besar, ruangan yang lebih luas, dan jumlah bahan bakar yang lebih besar (Sitorus 2005) Menurut Asyik (2005), penyulingan dengan metode air dan uap atau yang dikenal dengan metode kukus membutuhkan rak-rak atau saringan berlubang untuk tempat bahan, dan ketel suling yang berisi air. Ketel suling terletak beberapa cm di bawah saringan dan digunakan untuk menguapkan air. Uap yang terbentuk akan selalu dalam keadaan jenuh dan tidak terlalu panas (dapat dilihat pada Gambar 6). Jadi kontak bahan yang disuling hanya terjadi dengan uap saja. Sebelum disuling, bahan digiling terlebih dahulu agar lebih mudah dalam pengeluaran minyak. Waktu yang dibutuhkan 8-10 jam. Menurut Guenther (1952) dalam Purseglove et al. (1981), penyulingan biji pala yang terbaik ialah dengan penyulingan uap pada tekanan rendah atau kukus selama 10 jam.
Gambar 6. Penyulingan dengan metode air-uap (Ketaren 1985) Keuntungan menggunakan sistem penyulingan air dan uap adalah uap berpenetrasi secara merata ke dalam jaringan bahan, dan suhu dapat dipertahankan 100 oC. Lama penyulingan relatif singkat, rendemen minyak lebih besar dan mutunya lebih baik dibandigkan dengan minyak hasil penyulingan air, dan bahan yang disuling tidak dapat hangus. Selain itu sistem ini lebih efisien karena jumlah bahan bakar yang dibutuhkan lebih kecil.
12
Kelemahan sistem ini adalah karena jumlah uap yang dibutuhkan cukup besar dan waktu penyulingan lebih lama. Dalam proses ini sejumlah besar uap akan mengembun dalam jaringan tanaman, sehingga bahan bertambah basah, dan mengalami aglutinasi. Pada sistem penyulingan dengan uap, air dalam boiler digunakan sebagai sumber uap panas, dimana letaknya terpisah dari ketel penyulingan. Uap yang dihasilkan mempunyai tekanan lebih tinggi dari tekanan udara luar. Penyulingan dengan sistem ini sebaiknya dimulai dengan tekanan uap yang rendah (± 1 atm) kemudian secara berangsur-angsur tekanan uap dapat dinaikkan menjadi ± 3 atm. Jika penyulingan dilakukan pada tekanan tinggi pada tahap permulaan maka akan menyebabkan dekomposisi komponen kimia dalam minyak. Sistem penyulingan uap baik digunakan untuk mengekstraksi minyak dari bahan yang umumnya mengandung komponen minyak yang bertitik didih tinggi. Sistem penyulingan ini tidak baik dilakukan terhadap bahan yang mengandung minyak atsiri yang mudah rusak oleh panas dan air. Minyak yang dihasilkan dengan cara penyulingan ini, baunya akan sedikit berubah dari bau asli alamiah, terutama minyak atsiri yang berasal dari bunga. Penyulingan biji pala dan fuli dapat dilakukan dengan sistem uap bertekanan rendah atau secara dikukus. Untuk tingkat pengrajin, penyulingan secara dikukus lebih memungkinkan karena investasinya lebih murah.
13