BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Pala Tanaman Pala atau Myristica fragrans Houtt
adalah termasuk familia
Myristicaceae, yang tumbuh di Indonesia, terutama di Maluku. Pohon pala merupakan tanaman berumah dua tingginya sekitar 10 meter. Buahnya yang masak berwarna kuning, di bagian tengahnya terdapat alur, garis tengah buah ini sekitar 5 cm. Pengembangbiakan tamanan ini dengan menggunakan bijinya, setelah berumur 8-9 tahun baru mulai berbunga dan berbuah dan keadaan ini akan dipertahankannya sampai tanaman berumur sekitar 75 tahunan. Tindakan okulasi dapat menjamin pembuahan yang baik. Biji pala yang banyak diperlukan sebagai bahan obat berkadar minyak atsiri yang tidak kurang dari 5% volume berat, sedangkan kadar minyak atsiri serbuk tidak kurang dari 4% (Kartasapoetra, 1992). 2.1.1 Klasifikasi tanaman pala (Myristica fragrans Houtt) Kingdom
: Plantae
Division
: Spermatophyta
Sub division
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Ordo
: Magnoliales
Famili
: Myristicaceae
Genus
: Myristica
Spesies
: Myristica fragrans Houtt, Myristica argentea Ware, Myristica fattua Houtt, Myristica specioga Ware, Myristica sucedona BL, Myristica malabarica Lam (Hapsoh dan Hasanah, 2011).
Tanaman pala dikenal karena biji buahnya yang tergolong sebagai rempahrempah. Biji dan selaput biji (fuli) atau disebut dengan bunga pala, sejak dulu
merupakan komoditas ekspor Indonesia dan menduduki sekitar 60% dari jumlah ekspor pala dunia (Hatta, 1993). Bagian dari tanaman pala yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi adalah buahnya. Kedudukannya sebagai bahan
penting untuk industri atau sebagai
komoditas perdagangan menyebabkan bangsa-bangsa di benua Eropa pada abad pertengahan memperebutkan daerah-daerah penghasil pala di Indonesia. Hasil pala Indonesia mempunyai keunggulan di pasar dunia karena memiliki aroma yang khas dan memiliki rendemen minyak yang tinggi. Hanya sekitar 40% kebutuhan pala dunia dipenuhi dari Granada, India dan beberapa negara penghasil pala lainnya. Sedangkan sekitar 60% kebutuhan pala dunia dapat dipenuhi Indonesia, yakni berupa biji pala dan selaput biji (fuli) yang dapat menghasilkan devisa cukup besar (Hatta, 1993). 2.1.2 Kandungan zat-zat pada biji pala a. Minyak atsiri sampai 10%, berisi miristin (yang bersifat membius) sekitar 4%, pinen, 80% kamfer, 8% dipente, safrol 0,6%, egenol, koegenol, dan alkohol 6%. b. Minyak lemak sekitar 40%, berupa gliserida dari asam miristinat, asam oleat dan asam linolenat. c. Abu 4%, zat putih telur 25% sampai 40%, pati dan gula. Demikian banyak kandungan zatnya, sehingga banyak di perlukan sebagai bahan obat karminativa, stimulansia setempat terhadap saluran pencernaan. Miristin banyak diperlukan sebagai obat pembius, menyebabkan rasa ngantuk dan memperlambat pernapasan (Kartasapoetra, 1992).
2.2 Minyak Pala Buah pala menghasilkan biji pala (nutmeg) dan pembungkus biji (fuli; maces). Umumnya setelah dikeringkan, kedua hasil itu diekspor langsung. Di negara perantara, atau pemakai, biji dan fuli yang utuh dan besar, langsung digunakan untuk rempah-rempah. Biji dan fuli yang kecil dan cacat, dijadikan serbuk untuk disuling, dikempa atau dijadikan oleoresin (Harris, 1987). Minyak pala merupakan cairan jernih (hampir tidak berwarna) sampai kuning muda. Sifat-sifat minyak dari biji teryata tidak berbeda dengan minyak dari fuli pala. Bahkan kebanyakan minyak pala dihasilkan dari campuran biji dan fuli pala. Minyak pala jika di biarkan di udara terbuka akan berubah menjadi kental karena terjadi pristiwa polimerisasi dan berbau terpentin atau berbau campuran yang tidak menyenangkan (Harris, 1987). Kecuali disuling, serbuk biji dan fuli pala dapat dikempa menggunakan alat pengempa tekanan udara panas. Cara ini menghasilkan nutmeg concrete (pekat, mencair pada suhu 45°C), ini mengandung minyak terbang sekitar 12%, damar, dan juga gliseril miristikat. Dalam industri wewangian, biasanya minyak pala dicampur dengan air lavender untuk menghasilkan bau yang harum dan lembut serta sulit ditiru (Harris, 1987). Sejak akhir tahun 1960-an, negara-negara yang maju menghasilkan maceoleoresin dan nutmeg oleoresin. Kedua oleoresin ini mempunyai pasaran yang luas dalam industri makanan, seperti daging, kue, acar, sampai ke saus tomat. Kedua oleoresin ini lebih digemari dari pada nutmeg concrete karena bentuknya cair meskipun konsistensinya kental (Harris, 1987). Mace oleoresin dan nutmeg oleoresin bisa digunakan secara terpisah atau saling melengkapi. Mace oleoresin membawa rasa hangat dan pedas dari pala,
tetapi kurang mengandung aroma. Sementara nutmeg oleoresin mengandung aroma pala, tetapi kurang memiliki rasa. Rendemen untuk mace oleoresin berkisar antara 30%-35%, dan nutmeg oleoresin sekitar 35%-40%. Produsen dan sekaligus pengekspor kedua oleoresin terbesar adalah Inggris dan Amerika Serikat (Harris, 1987). Pada prinsipnya komponen dalam biji pala dan fuli terdiri dari minyak atsiri, minyak lemak, protein, selulosa, pentosan, pati, resin dan mineral-mineral. Persentase dari komponen-komponen bervariasi dipengaruhi oleh klon, mutu dan lama penyimpanan serta tempat tumbuh. Kandungan minyak lemak dari biji pala utuh bervariasi dari 25% sampai 40%, sedangkan pada fuli antara 20% sampai 30%. Biji pala yang dimakan ulat mempunyai presentase minyak atsiri lebih tinggi dari pada biji utuh karena pati dan minyak lemaknya sebagian dimakan oleh serangga. Biji pala mengandung minyak atsiri sekitar 2%-16% dengan ratarata pada 10% dan fxed oil (minyak lemak) sekitar 25%-40% karbohidrat sekitar 30% dan protein sekitar 6% (Yuliani dan Satuhu, 2012). 2.2.1 Mutu minyak pala dan fuli pala Nutmeg oil ialah minyak hasil sulingan serbuk biji pala. Sedangkan penyulingan fuli menghasilkan mace oil. Dalam dunia perdagangan, kedua minyak itu tidak dibedakan, karena kesamaan unsur-unsur yang dikandung. Rendemen nutmeg oil dan mece oil sekitar 7%–15%, mengandung unsur-unsur: eugenol, iso-eugenol, terpineol, borneol, linalol, geraniol, safrole, aldehyde, terpene, dan cairan bebas. Minyak-minyak itu berwarna kuning (Harris, 1987). Parameter syarat mutu minyak fuli menurut SNI 06-2322-1991 dapat dilihat pada Tabel 1 dibawah ini:
Table 1. Parameter Syarat Mutu Minyak Fuli Menurut SNI 06-2322-1991 No. Jenis Uji 1
Satuan
Keadaan :
Persaratan -
1.1
Bau
-
Khas minyak fuli
1.2
Rasa
-
Pedas agak kelat
1.3
Warna
-
Bening
2
Bobot Jenis 20oC/20oC
-
0.880 - 0.940
3
Indeks bias (nD20)
-
1.4780 - 1.5010
4
Kelarutan dalam etanol 70%
-
1:2 jernih
5
Zat-zat asing :
-
-
5.1
Minyak Pelikan
-
Negatif
5.2
Minyak Terpentin
-
Negatif
5.3
Minyak Lemak
-
Negatif
5.4
Alkohol Tambahan
-
Negatif
2.3 Pasca Panen Buah Pala Tanaman pala berbuah pada umur empat tahun. Buah pala dipanen ketika buahnya telah membuka. Warna kulit buah kuning kehijauan, tekstur keras, dan diameter yang bervariasi antara 3-9 cm. Bila buah telah masak, daging buah akan tertutup oleh arilis yang disebut dengan fuli atau mace. Fuli adalah kulit pembungkus biji pala, tipis, berwarna kemerahan, dan seperti jaring yang berlubang. Biji basah dan fuli yang akan disuling harus dijemur terlebih dahulu sampai kering dengan kadar air sekitar 12%. Pala yang akan disuling menjadi minyak atsiri harus berasal dari buah yang dipanen pada umur 4-5 bulan yang
ditandai dengan warna fuli masih keputih-putihan, tempurung berwarna putih kecoklatan, dan daging buahnya masih lunak. Buah muda dengan tingkat kemasakan 20 minggu memiliki tanda berupa warna hijau pada kulit buah, biji lunak berwarna putih, warna fuli putih dan masih melekat pada biji, serta memiliki kadar minyak sebesar 10%. Pada buah dengan tingkat kemasakan 22 minggu (buah pala-tua), ditandai oleh warna hijau pada kulit buah, biji sudah keras berwarna putih kehitaman dengan fuli berwarna merah muda dan mudah lepas, serta memiliki kandungan minyak atsiri tertinggi sebesar 10,72%. Pada buah pala tua (24 minggu), kadar minyak bijinya menurun sangat tajam menjadi 5,0%. Berdasarkan kriteria itu, buah pala umur 22 minggu akan menghasilkan kadar minyak atsiri yang optimal (Yuliani dan Satuhu, 2012).
2.4 Penyulingan Fuli Pala Cara dan lama penyulingan fuli pala hampir sama dengan penyulingan biji pala. Akan tetapi, bahan baku pada penyulingan fuli tidak perlu digiling terlebih dulu. Minyak pala dan fuli berwarna jernih sampai kuning pucat dan mempunyai komposisi kimia yang hampir sama. Kandungan senyawa myristicin di dalam minyak fuli kadarnya lebih tinggi dibandingkan dengan minyak pala (Yuliani dan Satuhu, 2012). Untuk mendapatkan kadar minyak atsiri yang optimal dari fuli pala, sebaiknya menggunakan buah pala tua yang telah berumur 24 minggu. Kadar minyak yang terkandung di dalam buah yang sudah tua sebesar 13,75%. Sementara itu, untuk buah pala yang baru berumur 22 minggu, kadar minyak fulinya sebesar 12,20% (Yuliani dan Satuhu, 2012).
2.4.1 Tahap-tahap Pembuatan Minyak Fuli Pala 1. Untuk fuli pala, gunakan fuli pala berumur 24 minggu tanpa harus digiling. 2. Siapkan peralatan penyulingan, lalu dimasukkan fuli pala ke dalam ketel. 3. Suling fuli pala dengan cara dikukus selama 8 jam atau sampai minyak tidak
menetes lagi. Rendemen minyak fuli pala yang diperoleh sekitar
13,75%. 4. Pisahkan minyak yang masih bercampur air dengan membuka kran tabung pemisah. 5. Tambahkan natrium sulfat anhidrat atau magnesium sulfat anhidrat 2-5% ke dalam minyak sehingga diperoleh minyak yang bebas air. 6. Keluarkan bahan sisa penyulingan dari ketel setelah ketel penyulingan dingin, kemudian ketel dibersihkan (Yuliani dan Satuhu, 2012).
2.5 Fuli Pala Fuli merupakan benda yang menyelimuti biji buah pala yang berbentuk seperti anyaman atau jala, yang dalam dunia perdagangan sering disebut dengan istilah “bunga pala”. Bunga pala ini dalam bentuk kering banyak dijual di dalam negeri. Di Jawa Tengah para pedagang obat tradisional menjajakannya dengan nama “kembang pala”. Fuli yang sudah kering dapat disortasi menjadi tiga macam yaitu: 1. Fuli yang utuh berwarna jingga berasal dari buah pala yang telah masak. Fuli ini tergolong mempunyai kualitas yang baik. 2. Fuli yang berwarna hitam berasal dari buah pala yang terlalu masak. Fuli ini tergolong berkualitas cukup.
3. Fuli yang tipis berasal dari buah pala yang belum masak tetapi buah yang telah membusuk. Fuli ini tergolong berkualitas sedang atau kurang baik. Fuli-fuli yang sudah disortasi berdasarkan kualitasnya, kemudian masing masing dikemas dan siap untuk diekspor. Pada jamannya Rhumphius, fuli itu diekspor dalam bentuk bal yang diikat erat-erat dengan tali rotan. Sebelum dikirim fuli itu diperciki dengan sedikit air garam agar tidak pecah dan menjaga kelembaban. Cara membuat basah fuli dengan air garam itu kemudian tidak dikerjakan lagi, kecuali di daerah Jati Runggo, terutama terhadap fuli yang belum dikeringkan. Tujuannya adalah untuk menghindari pembusukan (Hatta, 1993). Fuli
yang
sudah
siap
pakai
untuk
diproses
lebih lanjut,
yaitu
dihaluskan/ditumbuk dan dikukus, kemudian diperas sehingga keluar lemaknya yang berwarna merah darah. Lemak dari fuli ini dapat diperdagangkan dan mempunyai nilai ekonomi yang tinggi (Hatta, 1993). Minyak atsiri dari fuli dapat dihasilkan dengan cara menyuling fuli. Minyak fuli ini warnanya jernih dan mudah menguap. Minyak atsiri dari fuli mirip dengan minyak atsiri yang berasal dari biji pala. Di negara pengimpor, fuli diambil minyak atsirinya dan diperdagangkan dengan nama oil of mace. Minyak fuli ini sebagian digunakan sebagai penyedap berbagai masakan saus dan bahan makanan awetan dalam kaleng atau botol. Minyak fuli juga dapat dipakai sebagai obat rubepacien, minyak gosok dan balsem untuk penghangat kulit (Hatta, 1993). Dikalangan pemakai jamu tradisional, fuli yang tidak memenuhi standar kualitas karena tidak utuh atau patah-patah dan cacat, dikeringkan untuk dibuat teh. Teh dari fuli ini merupakan jamu yang mujarab bagi penderita sesak di daerah lambung dan rasa kembung dalam perut. Untuk menyembuhkan gangguan tersebut, teh fuli direbus atau diseduh dengan air panas, kemudian diminum
seperti halnya minum teh. Teh fuli ini tidak akan memabukkan, sebab zat yang terkandung dalam fuli sebagian besar sudah hilang menguap ketika dikeringkan. Berbeda dengan daging buah yang sama sekali tidak dikeringkan (Hatta, 1993). 2.5.1 Pengeringan Bunga Pala (fuli) Proses pengeringan fuli berbeda dengan proses pengeringan biji pala. Cara pengeringan fuli pala adalah sebagai berikut: fuli dijemur pada panas matahari secara perlahan-lahan selama beberapa jam, kemudian diangin-anginkan, hal ini dilakukan berulang-ulang sampai fuli itu kering. Warna fuli yang semula merah cerah, setelah dikeringkan akan menjadi merah tua dan akhirnya menjadi jingga. Dengan cara pengeringan seperti ini dapat menghasilkan fuli yang kenyal (tidak rapuh) dan berkualitas tinggi sehingga nilai ekonominya pun tinggi pula (Hapsoh dan Hasanah, 2011). Penjemuran membutuhkan waktu sekitar 2–3 hari kalau cuaca cerah. Pada keadaan cuaca yang kurang baik, pengeringan akan tertunda dan
akan
menghasilkan fuli dengan mutu yang kurang baik karena berjamur dan warnanya kusam. Untuk menghindarkan hal seperti di atas, pada waktu musim hujan pengeringan dapat dilakukan dengan memakai alat pengering dengan suhu rendah tidak lebih dari 60°C untuk menghindarkan proses pengeringan yang terlalu cepat yang akan menyebabkan rapuhnya fuli dan hilangnya sebagian minyak atsiri (Hatta, 1993). Setelah kering fuli disimpan dalam gudang yang gelap selama sekitar 3 bulan. Warna fuli yang semula merah api berubah menjadi merah tua dan akhirnya menjadi kuning tua hingga jingga. Banyaknya fuli kering rata-rata 10% dari berat biji pala. Untuk meningkatkan mutu dilakukan proses sortasi untuk
memisahkan fuli yang utuh dari yang tidak utuh, kemudian dikemas dengan kemasan yang bersih dan kering (Hatta, 1993). 2.5.2 Kegunaan Minyak Fuli Pala Minyak pala dan fuli digunakan sebagai penambah flavor pada produkproduk berbasis daging, pikel, saus, dan sup, serta untuk menetralkan bau yang tidak menyenangkan dari rebusan kubis. Pada industri parfum, minyak pala digunakan sebagai bahan pencampur minyak wangi dan penyegar ruangan. Sebagai obat, biji pala bersifat karminatif (peluruh angin), stimulan, spasmolitik dan antiemetik (anti mual). Minyak pala juga digunakan dalam industri obatobatan sebagai obat sakit perut dan diare. Pala berguna untuk mengurangi flatulensi, meningkatkan daya cerna, mengobati diare dan mual. Selain itu juga untuk obat maag, menghentikan muntah, mulas, perut kembung serta obat rematik (Librianto, 2004). 2.5.3 Penentuan Bobot Jenis Bobot jenis merupakan salah satu kriteria penting dalam menentukan mutu dan kemurnian minyak atsiri. Dari seluruh sifat fisika-kimia, nilai bobot jenis sudah sering dicantumkan dalam pustaka. Nilai BJ minyak atsiri berkisar antara 0,696-1,188 pada 20oC. Piknometer adalah alat penetapan bobot jenis yang praktis dan tepat digunakan. Bentuk kerucut piknometer bervolume sekitar 10 ml, dilengkapi dengan sebuah termometer dan sebuah kapiler dengan gelas penutup (Guenther, 1987). Nilai bobot jenis minyak atsiri pada 20oC didefinisikan sebagai perbandingan antara berat minyak atsiri pada suhu 20oC dengan berat air pada volume air sama dengan volume minyak pada suhu 20oC. Untuk penetapan nilai
bobot jenis dari minyak atsiri digunakan alat piknometer yang dilengkapi dengan termometer dan sebuah kapiler dengan karet penutup (Guenther, 1987). 2.5.4 Penentuan Indeks Bias Indeks bias merupakan perbandingan kecepatan cahaya dalam ruang hampa terhadap kecepatannya dalam suatu bahan. Suatu cahaya monokromatis apabila dilewatkan suatu bahan transparan yang satu ke dalam bahan yang lain dengan kecepatan berbeda akan direfraksikan atau diteruskan bila masuknya tegak lurus bidang kontak kedua zat tersebut. Hasil dan arah pembengkokan tergantung densitas kedua bahan. Indeks bias merupakan konstanta fisika yang sering kali digunakan untuk menentukan identitas dan kemurnian suatu bahan. Alat yang digunakan adalah refraktometer. Refraktometer yang paling baik adalah refraktometer Abbe (Guenther, 1987).