TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Pala Pala (Myristica fragrans Houtt) tergolong ke dalam famili Myristicaceae yang menurut taksonomi tumbuhan terletak antara Annonaceae dan Lauraceae (Joseph 1980). Famili Myristicaceae memiliki 18 genus dan sekitar 300 spesies. Myristica adalah genus terbesar dengan 72 spesies yang diketahui banyak tersebar mulai dari India dan Sri Lanka sampai ke timur mulai dari Malaysia hingga ke Australia bagian timur laut, Taiwan dan Pasifik termasuk Kepulauan Solomon, Fiji dan Samoa (Purseglove et al. 1981). Sebagian besar spesies genus Myristica, yaitu sekitar 34 spesies, endemik ditemukan di Papua sehingga oleh beberapa peneliti Papua dipandang sebagai pusat asal dan penyebaran tanaman pala. Spesies utama pala yang telah dibudidayakan adalah M. fragrans Houtt, M. succedanea Warb, dan M. argentea Reinw. Dua spesies pertama banyak dijumpai di Maluku dan Maluku Utara, sedangkan yang terakhir banyak terdapat di Papua. 1. Myristica fragrans Houtt Tanaman pala Banda sejak tahun 1834 telah menyebar luas ke berbagai tempat seperti misalnya ke Grenada, Pinang Malaysia, Sri Lanka, dan Kerala India (GCNA 2001). Di Indonesia, jenis tersebut sudah dikembangkan secara komersial di beberapa daerah, seperti di Manado, Aceh, Makassar, Papua, dan Bogor. Spesies M. fragrans Houtt memiliki 44 kromosom somatik (2n) yang bersifat holokinetik, yaitu mempunyai berkas gelendong yang menyelimuti seluruh kromosom (Purseglove et al. 1981). Dalam taksonomi, spesies tersebut sinonim dengan M. officinalis L.f., M. moschata Thumb, dan M. aromatica Lamk (De Guzman dan Siemonsma 1999). Di Indonesia jenis tersebut lebih dikenal sebagai pala Banda dan diketahui merupakan pala yang bernilai ekonomi paling tinggi. Pala Banda berbentuk pohon yang tidak meranggas (evergreen) dengan tinggi 4 hingga 10 m, kadang mencapai 20 m (Gambar 2a). Umumnya tanaman bersifat diosius (dioecious) atau berumah dua namun kadang ditemukan yang monosius (monoecious) atau berumah satu (Purseglove et al. 1981). Seluruh bagian tanaman bersifat fragran atau beraroma khas pala. Tanaman memasuki fase gene-
ratif setelah berumur 5 hingga 7 tahun yang ditandai dengan terbentuknya bunga. Tanaman yang berbunga jantan akan berkembang menjadi pohon jantan yang tidak menghasilkan buah, sementara yang berbunga betina akan menghasilkan tanaman betina yang menghasilkan buah. Hingga kini jenis kelamin pala belum bisa diketahui sampai bunga terbentuk meskipun telah dilakukan penelitian hingga ke tingkat molekuler.
(a)
(b)
(c)
Gambar 2 Pohon pala M. fragrans Houtt (a), M. argentea Warb (b) dan M. succedanea Reinw (C). (Inzet: buah). Buah pala menghasilkan dua produk berbeda yaitu biji pala dan fuli. Biji pala adalah bagian utama buah yang menghasilkan bahan rempah. Biji mencapai umur matang setelah enam hingga sembilan bulan. Fuli pala merupakan arilus biji yang berubah warna menjadi merah darah pada saat biji atau buah berumur tujuh sampai sembilan bulan. Beberapa sifat buah M. fragrans Houtt, yaitu untuk setiap 100 g mengandung 10 g air, 7 g protein, 33 g mentega pala, 5 g minyak atsiri, 30 g karbohidrat, 11 g serat, 2 g abu (De Guzman dan Siemonsma 1999). Dalam minyak pala terdapat senyawa aromatik miristisin yang bersifat halusinogenik dan toksik. 2. Myristica argentea Warb Spesies tersebut di Indonesia lebih dikenal sebagai pala Papua atau pala Irian. Jumlah kromosom somatik atau genom diploidnya adalah 44 (De Guzman dan Siemonsma 1999). Pohonnya lebih besar dari pala Banda dan dapat mencapai
7
tinggi 15 sampai 20 m dengan daun yang tebal dan lebar (Gambar 2b). Batang berwarna gelap atau sawo kehitaman. Bunga jantan berbentuk infloresens yang terdiri atas 3 sampai 5 bunga. Bunga betina ukurannya lebih kecil bunga jantan dan biasanya tunggal. Spesies tersebut memiliki ciri khas dari buahnya yang besar dan lonjong. Begitu pula dengan biji yang dihasilkan yang dapat mencapai ukuran panjang 4 cm. Buah terbelah saat mencapai umur masak. Buah tanaman tersebut memiliki kandungan komponen atsiri safrol yang tinggi (De Guzman dan Siemonsma 1999). Daging buah yang tebal menjadikan pala Papua sesuai untuk industri manisan atau asinan pala. 3. Myristica succedanea Reinw Pala M. succedanea Reinw terdapat banyak di Maluku Utara, yaitu di Ternate, Tidore, Bacan, dan Halmahera. Di Maluku Utara spesies tersebut dikenal sebagai pala Patani. Tinggi pohon mencapai 10 sampai 20 m (Gambar 2c). Kanopi pohon M. succedanea Reinw berbentuk piramida hingga lonjong dengan percabangan yang agak teratur (Hadad 1992). Bunga jantan dalam beberapa buah atau infloresensia dan beraroma. Sementara bunga betina lebih pendek dari bunga jantan dan biasanya tunggal. Buahnya agak lonjong dengan biji yang bulat sampai lonjong. Pala jenis tersebut meskipun menghasilkan fuli yang tebal, kualitasnya lebih rendah dibandingkan dengan pala Banda. Sebagian besar spesies genus Myristica berbentuk pohon tropik yang bersifat tak meranggas, tumbuh di daerah hutan hujan tropis di dataran rendah hingga ketinggian 400 m dpl namun beberapa spesies ditemukan tumbuh di pegunungan dengan elevasi hingga 700 m dpl (Purseglove et al. 1981). Dalam penamaan spesies pala seringkali dijumpai beberapa kesamaan nama atau sinonim. Tabel berikut memuat nama-nama spesies utama pala dan sinonimnya. Nama M. fragrans Houtt misalnya, mempunyai empat sinomin, yaitu M. argentea Warb satu sinonim, dan M. Succedane Reinw tiga sinonim. Kejelasan nama spesies pala sangat penting untuk menghindari penamaan ganda bagi spesies yang secara botani adalah sama. Tabel 1 berikut memuat beberapa nama sinomim spesies pala.
8
Tabel 1 Spesies utama genus Myristica dan sinonimnya Spesies M. fragrans Houtt
M. argentea Warb M. succedanea Reinw
M. fatua Houtt
Sinonim M. officinalis L M. moschata Thunb M. aromatica Lamk M. ambeinensis Gandoger M. finschii Warb M. radja Miquel M. schefferi Warb M. speciosa Warb -
Nama umum
Sumber (1)
Pala Banda Pala Papua/pala Makassar Pala Halmahera
Pala jantan
(2) (1) (1)
(1)
Ket.: (1) Purseglove et al., 1981; (2) Groome, 1970.
Selain empat spesies di atas, dikenal pula spesies Myristica ekotipe Malabar yang disebut Myristica malabarica L, dan Virola surinamensis Rol. (Groome 1970). Spesies V. surinamensis Lamk adalah jenis pala liar yang berkembang di ekotipe Suriname dan tidak dibudidayakan karena tidak memiliki nilai ekonomi yang berarti. Studi genetik pada tanaman pala sangat sedikit dilakukan. Di Indonesia, hampir tidak ada laporan yang memadai mengenai aspek genetik maupun pemuliaan pala. Studi sitologi yang dilaporkan oleh Purseglove et al. (1981) menyatakan bahwa M. fragrans Houtt memiliki kromosom somatik 2n sebanyak 42, dengan kromoson dasar diduga sebanyak 7 buah. Penelitian lainnya melaporkan bahwa pala memiliki kromosom 2n = 44 (Peter 2001). Morfologi Tanaman Tanaman pala berbentuk pohon berukuran sedang, tajuk umumnya konikal atau semi piramida, daun agak kaku dan tak-meranggas. Tinggi rata-rata antara 4 sampai 10 m namun kadang mencapai 20 m atau lebih. Tanaman dikembangkan terutama dari biji. Di Indonesia, hampir seluruh pertanaman berasal dari biji, tetapi di Grenada sebagian besar perkebunan pala awalnya menggunakan bibit vegetatif. Pohon pala yang berumur lebih dari 30 tahun dapat mencapai lingkar batang 150 hingga 180 cm. Pohon pala di perkebunan Plaisance estate, Grenada ada yang mencapai umur hingga lebih 80 tahun dengan lingkar batang 200 sampai 250 cm (GCNA 2001).
9
Pala umumnya bersifat diosius (bunga jantan dan betina terdapat pada tanaman yang berbeda) tetapi kadang dijumpai monosius yaitu bunga jantan dan betina terletak pada pohon yang sama. Pengamatan di hutan pala Maluku dan Maluku Utara menunjukkan bahwa berdasarkan letak bunga, terdapat tiga tipe tanaman pala yaitu tanaman jantan, tanaman betina, dan tanaman hermaprodit. Tanaman jantan didominasi oleh Myristica fatua Houtt, betina oleh M. fragrans Houtt, dan hermaprodit di antara keduanya. Pada pala tidak dikenal bunga hermaprodit. Tanaman pala jantan dicirikan oleh habitus yang lebih kecil dari tanaman betina, memiliki cabang yang lebih tegak, daun lebih kecil dan menghasilkan banyak bunga jantan dalam bentuk rangkaian yang membawa 3 sampai 15 bunga per rangkaian. Jumlah bunga betina antara 1 sampai 3 per rangkaian. Bunga betina dan jantan keduanya berbentuk oval berwarna kuning gading dengan ukuran panjang sekitar 4 sampai 8 mm. Dalam perkebunan pala, umumnya rasio pohon jantan terhadap betina dipertahankan 1:10 (Hadad 1990). Struktur dan sifat tanaman pala yang menyerupai pohon menjadikan tanaman tersebut sebagai tanaman hutan yang berfungsi menghijaukan kawasan lereng pegunungan yang penting dalam mencegah erosi. Pala memiliki sistem perakaran yang dangkal namun ekstensif, satu akar tunggang dan beberapa cabang akar sekunder yang menyebar hanya beberapa cm di bawah permukaan tanah. Kedalaman akar tanaman sekitar 3,5 sampai 5 m. Pala memiliki sistem perakaran yang dangkal sehingga mudah tumbang oleh terpaan angin kencang. Pada tahun 1955 tercatat 80% populasi tanaman di perkebunan pala di Grenada rusak oleh badai angin 'Janet' (Muller et al. 1980). Pembungaan pala terjadi pada waktu yang sama antara pohon monosius dan diosius. Umumnya bunga muncul pertama kali ketika tanaman mencapai umur 5 sampai 7 tahun. Tanaman pala berbunga lebat dua kali setahun, yaitu April sampai Mei dan November sampai Desember. Di beberapa daerah di Maluku terjadi sedikit variasi dalam musim berbunga (maju atau mundur) dari dua periode yang disebut di atas. Bunga pala berkembang menjadi buah dan siap dipanen setelah 7 sampai 9 bulan. Setelah mencapai umur lebih dari 7 bulan, buah terbelah dua dan melepaskan biji sebagai pertanda kematangan. Masa berbunga dan berbuah tana-
10
man pala akan terus berlangsung silih berganti tanpa ada batas yang jelas antara musim pertama dan berikutnya. Penyerbukan bunga pada tanaman pala tidak sepenuhnya dipahami. Beberapa laporan menyebutkan penyerbukan pala dibantu oleh sejenis ngengat yang disebut 'mibone'. Pengamatan di Maluku dan Maluku Utara menunjukkan bahwa ngengat dan semut hitam kemungkinan berperan dalam penyerbukan sebab keduanya seringkali hadir pada waktu tanaman pala dalam fase pembungaan. Semut sangat tertarik oleh nektar yang dihasilkan bunga jantan maupun betina. Pendapat serupa juga disampaikan oleh Cruickshank (1973). Flach (1966) berpendapat bahwa pala tergolong ke dalam tanaman yang menyerbuk silang obligat. Kondisi Umum Ekotipe Maluku dan Maluku Utara Maluku Tengah yang mencakup Pulau Ambon, Kepulauan Banda, dan Pulau Seram terletak pada 2,50 - 7,50 Lintang Selatan dan 126,50 - 132,50 Bujur Timur. Kawasan tersebut dibatasi oleh Laut Seram di Utara, Laut Banda di Selatan, Pulau Buru di Barat, dan perairan Papua di Timur. Luas wilayah Maluku Tengah sekitar 257.890 km2 dengan luas daratan 19.594 km2. Luas Pulau Ambon, Kepulauan Banda, dan Pulau Seram dan pulaupulau sekitarnya masing-masing 761 km2, 172 km2, dan 18.679 km2. Maluku tengah juga merupakan daerah bergunung. Gunung Salahutu merupakan gunung tertinggi (1.038 m dpl) yang terletak di Pulau Ambon, gunung Api di Kepulauan Banda (667 m dpl), dan gunung Binaya di Pulau Seram (3.027 m dpl). Iklim Maluku Tengah dipengaruhi oleh iklim laut dan angin munson, dan oleh karenanya disebut beriklim tropik monsoon (BPS Maluku 2003). Suhu udara di Pulau Ambon berkisar 23,6 dan 30,1 0C; kelembaban relatif 84%, dan tingkat penyinaran sekitar 59%. Hujan banyak turun pada bulan Juni sampai Agustus dengan rata-rata 218 mm/bulan. Di Kepulauan Banda, suhu berkisar 22,6 dan 30,7 0C. Hujan banyak terjadi pada bulan April hingga Mei dengan curah hujan rata-rata 250 mm/bulan dengan pola yang tidak jelas. Penyinaran matahari sekitar 65,2% dan kelembaban relatif 80,5%. Di Pulau Seram, suhu udara berkisar 22,1 dan 31 0C, tingkat penyinaran matahari 59%, dan kelembahan udara 85,4%. Seperti di Pulau Ambon, frekuensi hujan tertinggi di Pulau Seram terjadi pada bulan Juni sampai Agustus dengan rata-rata 185 mm/bulan.
11
Wilayah Maluku memiliki areal sekitar 472.142 ha yang potensial untuk pengembangan komoditas unggulan tanaman industri seperti cengkeh dan pala. Untuk komoditas perkebunan seperti kelapa, kakao, dan kopi robusta tersedia lahan seluas 443.438 ha, dan kopi arabika serta kayu manis dengan luas 29.864 ha. Tanaman perkebunan lainnya yang dapat dikembangkan adalah jambu mete, sukun, kemiri, kapuk randu, atau kayu-kayuan dengan luas tersedia 120.442 ha. Tanaman hortikultura buah-buahan tahunan yang diunggulkan adalah manggis, salak, durian, lengkeng dengan luas tersedia 617.401 ha. Pengembangan lahan basah atau sawah diarahkan pada areal dengan luas 265.386 ha, sedangkan untuk lahan kering, komoditas yang diunggulkan adalah padi gogo, jagung, dan kacang tanah dengan luas 114.948 ha. Untuk pengembangan perikanan air payau (tambak) tersedia areal 26.466 ha. Komoditas pala di Maluku Tengah dikembangkan di atas areal lebih dari 5,2 ribu ha. Menurut data tahun 2003, luas areal pala di Pulau Ambon, Banda, dan Seram Barat masing-masing 449, 18, dan 128 ha dengan produksi berturut-turut 41, 244 dan 10 ton. Sementara itu, komoditas unggulan yang direkomendasikan untuk Maluku Utara adalah cengkeh dan pala dengan luas sekitar 498.125 ha. Maluku Utara memiliki areal pala sekitar 9.833 ha dengan produksi 5,9 ton. Pada areal yang sama juga dapat dikembangkan tanaman hortikultura buah seperti manggis, salak, durian, dan lengkeng (BPS Maluku Utara 2003). Komoditas tanaman tahunan yang diunggulkan adalah kelapa dan kakao yang dikembangkan pada daerah-daerah dataran rendah dengan luas tersedia sekitar 62.285 ha. Untuk pertanian dataran tinggi, pengembangannya diarahkan pada produksi kopi arabika atau kayu manis dengan luas sekitar 62.285 ha. Tanaman pangan lahan basah yang dapat dikembangkan di daerah Maluku Utara adalah padi sawah dengan luas 290.266 ha, dan pada lahan tersebut dapat diusahakan tanaman palawija dan atau hortikultura sayuran/buah. Untuk tanaman pangan lahan kering yang diunggulkan adalah padi gogo, jagung, dan gembili dengan luas tersedia 140.532 ha. Wilayah Maluku Utara juga direkomendasikan bagi penanaman tanaman hortikultura buah-buahan unggulan seperti jeruk dan mangga dengan luas 665.723 ha. Tanaman pangan secara terbatas juga direkomendasikan. Untuk tanaman pangan lahan basah tersedia lahan seluas
12
290.266 ha. Tanaman pangan lahan kering mencakup lahan untuk pengembangan tanaman gembili dengan luas 140.532 ha.
Pengembangan untuk perikanan
tambak tersedia areal seluas 26.466 ha. Untuk hutan produksi, lahan tersebut diarahkan peruntukannya untuk kawasan hutan dengan luas tersedia 1.888.464 ha, dan untuk kawasan konservasi seluas 805.541 ha. Minyak Pala dan Komponen Atsiri Minyak pala terutama dihasilkan melalui proses distilasi biji pala dan fuli. Distilasi uap (steam distillation) dan distilasi air (hydrodistillation) merupakan dua metode ekstraksi minyak yang bekerja berdasarkan suhu dan tekanan uap. Metode distilasi dapat menghasilkan minyak 5 sampai 15% bobot pala. Pala menghasilkan minyak yang tidak berwarna, kuning pucat atau hijau muda, peka cahaya dan suhu, dan beraroma khas pala (Peter 2001). Minyak pala larut dalam alkohol tetapi tidak larut dalam air. Dikenal dua tipe minyak pala, East Indian dan West Indian. Minyak pala East Indian dan West Indian berbeda dalam aroma dan mutu. Minyak pala East Indian, yang sebagian besar berasal dari Indonesia, lebih unggul daripada minyak pala West Indian karena memiliki aroma yang lebih disukai dan mengandung komponen eter fenil propanoid (Masada 1976) dan terpen (Lewis 1984) yang tinggi. Selain itu, minyak pala East Indian dilaporkan kaya senyawa aromatik miristisin (hingga 14%) jika dibandingkan dengan minyak pala West Indian yang kandungannya kurang dari 1%. Tabel 2 Karakteristik minyak pala East dan West Indian menurut British Standards Institution for nutmeg oil Karakteristik (pada 20 oC )
East Indian
West Indian
Warna : Bobot jenis (g/ml) : Putaran optik : Indeks bias : Kelarutan dlm etanol 90% :
Tak berwarna-kuning 0,885 - 0,915 8,00 - 25,00 1,4750 - 1,4880 3,0 volume
Tak berwarna-kuning pucat 0,860 - 0,880 25,00 - 450 1,4720 - 1,4760 4,0 volume
Minyak fuli diperoleh melalui distilasi uap arilus kering dan menghasilkan 4 sampai 17% minyak. Minyak fuli berwarna bening, merah cerah, atau merah bata
13
dengan bau dan citarasa khas pala. Selain biji dan fuli, dari daun juga dapat diperoleh minyak namun konsentrasinya lebih rendah (kurang dari 1%). Secara kimia, minyak pala sama dengan yang dari biji dan fuli, tetapi bau dan citarasanya berbeda. Ekstraksi minyak atsiri dapat dilakukan dengan beberapa metode. Ekstraksi minyak atsiri dari bahan fuli lebih baik menggunakan metode karbon dioksida cair dan pekat karena menghasilkan minyak dengan mutu dan citarasa yang lebih baik dibandingkan dengan cara distilasi uap (Naik et al. 1988). Minyak atsiri mengandung beberapa komponen atau senyawa, sebagian besar penting bagi industri. Karena aromanya yang khas, minyak atsiri pala banyak dimanfaatkan sebagai bahan dalam industri kosmetik. Selain itu, minyak atsiri juga banyak digunakan dalam industri farmasi.
Sifat-sifat farmakologi pala
ditentukan oleh senyawa yang terdapat di dalam komponen atsiri. Laporan mengenai komponen atsiri pala pertama kali disampaikan oleh Power dan Salway (1907, 1908). H 2C
CH3
H3C
H3C
H3C CH3
CH3
H3C
H3C
CH3
H 3C
α-pinen
α-felandren
CH 3
Terpinen
Sabinen
CH3
CH3 H3C CH3
CH3
HO
O H3C
Kamfor
CH3
CH2
H3C
CH2
Linalol
CH2
Kamfen
Mirsen
Gambar 3 Beberapa komponen atsiri pala Banda. Sejumlah komponen atsiri yang berhasil diisolasi dari minyak pala dan fuli tergolong hidrokarbon monoterpen, monoterpen teroksigenasi, dan eter aromatik (Purseglove et al. 1981). Senyawa utama dari kelompok hidrokarbon monoterpen adalah pinen dan sabinen, dan dari kelompok eter aromatik adalah miristisin. Eter
14
aromatik, seperti miristisin, safrol, dan elemisin merupakan komponen atsiri yang menentukan citarasa dan karakteristik farmakologis minyak pala. Analisis GC memperlihatkan terdapat 33 senyawa atsiri dalam minyak pala dan 51 dalam minyak fuli. Kedua minyak komposisinya secara kualitatif sama, perbedaannya hanya pada kuantitas. Minyak pala mengandung sekitar 76,8% monoterpen; 12,1% monoterpen teroksigenasi; dan 9,8% eter fenil propanoid, sedangkan minyak fuli mengandung 51,2% monoterpen; 30,3% monoterpen teroksigenasi; dan 18,8% eter fenil propanoid (Mallavarupu dan Ramesh 1998). Komposisi minyak atsiri bervariasi menurut lokasi geografis pala (Baldry et al. 1976; Masada 1976; Lawrence 1981; Kumar et al. 1985; Copalakrishnan 1992). Pala M. fragrans Houtt dari Indonesia dilaporkan mengandung 2% miristisin dibandingkan dengan 0,13% pada M. argentea Warb. Miristisin tidak ditemukan dalam M. muelleri L. Kadar safrol, yang diduga bersifat karsinogenik, kadarnya adalah 0,13; 0,15; dan 0,24% masing-masing dalam M. fragrans Houtt, M. argentea Warb, dan M. muelleri L. (Archer 1988). Fraksi miristisin bersama dengan elemisin menentukan sifat halusinogenik pala. Komposisi atsiri dalam minyak pala berubah pada penyimpanan jangka panjang. Selama penyimpanan dan transportasi, minyak pala harus terhindar dari cahaya langsung dan disimpan dalam wadah yang tertutup rapat pada suhu tidak lebih dari 25 oC. Penyimpanan yang lama merusak komposisi minyak. Minyak pala mengandung mentega pala.
Dalam mentega pala terdapat
sekitar 25 sampai 40% minyak lemak. Minyak lemak pala diperoleh dengan mengepres biji pala atau dengan mengekstrak menggunakan pelarut. Minyak lemak berbentuk setengah-padat, atau lemak berwarna coklat kemerahan dengan bau dan citarasa khas pala. Minyak lemak larut sempurna dalam alkohol panas tetapi larut sebagian dalam alkohol dingin. Minyak lemak juga larut bebas dalam kloroform atau larutan yang mengandung trimiristin (84%), asam oleat (3,5%), bahan resin (2,3%), asam linoleat (0,6%), asam format dan serotat dalam volume rendah. Trimirisitisin adalah trigliserida asam miristat yang berbentuk padat berwarna abu-abu kekuningan. Beberapa laporan menyebutkan bahwa mentega pala terbaik berasal dari pala East Indian.
15
Minyak lemak digunakan dalam
industri parfum dan farmasi. Dalam farmasi, jenis minyak tersebut dimanfaatkan sebagai bahan obat balsem dan rematik. Pemanfaatan Pala Pala dan fuli keduanya dimanfaatkan dalam industri farmasi. Pala dalam bentuk bubuk jarang digunakan secara tersendiri namun dicampur dengan beberapa bahan obat. Penggunaan minyak atsiri dalam aromaterapi kian meningkat. Komponen utama pala dan fuli, yaitu miristisin, elemisin dan isoelemisin jika disajikan dalam bentuk aroma akan berkhasiat sebagai penghilang stres. Di Jepang, banyak perusahaan menggunakan pengharum udara yang beraroma pala untuk memperbaiki lingkungan udara tempat bekerja. Pala sebagai obat lebih banyak digunakan di Timur daripada di Barat. Sebagai obat, pala memiliki sifat stimulatif dan karminatif. Biji pala mengandung bahan obat yang bersifat karminatif, deodoran, astringen, narkotik, aprodisiak dan baik untuk mencegah pilek, dan mual/muntah. Sifat antioksidan pala telah dilaporkan oleh beberapa peneliti (Madsen dan Bertelsen 1995; Lagouri dan Boskou 1995). Minyak pala berguna dalam pengobatan penyumbatan kandung kemih, halitosis, dispepsia, flatulens, impotensi, insomnia, dan penyakit kulit. Minyak pala juga secara eksternal berguna sebagai bahan stimulan dan penawar iritasi. Sebagian besar sifat farmakologis pala ditentukan oleh senyawa-senyawa yang terkandung di dalam minyak atsiri. Minyak atsiri fuli memiliki banyak sifat fisiologis dan organoleptik yang sama dengan minyak atsiri biji pala. Mentega pala merupakan stimulan eksternal yang bersifat sedang dan dimanfaatkan dalam bentuk lotion, minyak rambut, plaster yang dipakai mengobati rematik, kelumpuhan, dan nyeri (Mallavarapu dan Ramesh 1998). Pala dan fuli keduanya mengandung bahan aktif miristisin yang bersifat narkotik. Mentega pala mengandung elemisin dan miristisin yang juga memiliki pengaruh narkotik dan psikotropik (Masada 1976). Penggunaan mentega pala yang berlebihan menyebabkan narkosis, delirium, gejala epilepsi dan bahkan kematian. Selain itu, menimbulkan konstipasi sementara dan kesulitan buang air kecil serta meningkatkan timbunan lemak pada organ hati. Pala bubuk kadangkadang digunakan sebagai obat halusinogenik, tetapi pengunaan tersebut berba-
16
haya karena jika berlebihan dapat menimbulkan efek narkotik, gejala delirium, dan kejang-kejang epilepsi yang tampak 1 sampai 6 jam sesudah pema-kaian (Shulgin 1963). Minyak pala digunakan dalam kosmetik, yaitu untuk parfum dan pengharum ruangan karena sifat aromatiknya. Minyak fuli memiliki sifat fisiko-kimia dan organoleptik yang hampir sama dengan minyak pala. Minyak fuli dalam jumlah terbatas dimanfaatkan dalam industri parfum dan sabun . Komponen mirisitisin yang berkhasiat halusinogenik dilaporkan dapat digunakan sebagai bahan insektisida yang efektif (Ejechi et al. 1998). Kamfen yang terdapat dalam minyak atsiri pala digunakan dalam pembuatan kamfer dan senyawa lainnya yang bersifat antibakteri, anticendawan, dan antiserangga (Huang et al. 1997). Pinen, komponen atsiri lainnya, digunakan dalam pembuatan kamfer, pelarut, bahan pembantu pembentukan plastik, parfum dan minyak pinus sintetik. Dipentin dimanfaatkan dalam pembuatan resin dan dipakai sebagai bahan pembasah (wetting agent) dan perata larutan (dispersing agent). Asam miristat digunakan dalam pembuatan sabun, deterjen cair, shampoo, kream cukur, parfum, plastik; bahan pencampur pada pembuatan karet, dan cat minyak; bahan untuk pembuatan ester untuk citarasa dan parfum dan sebagai bahan aditif makanan. Sifat larvasida juga dilaporkan dimiliki oleh fuli sebagaimana dilaporkan Nakamura et al. (1988) dalam penelitiannya dengan larva Toxocara canis L. Karakteristik Tanaman: Isozim dan DNA Selain karakter morfologi, isozim dan DNA lebih banyak digunakan sebagai karakter atau penciri tanaman karena lebih stabil dan terpercaya. Isozim atau isoenzim merupakan protein enzim yang memiliki beberapa bentuk namun mengkatalisis reaksi yang sama (Adam 1983). Umumnya isozim dikendalikan oleh lokus kodominan yang diwariskan menurut kaidah Mendel dan banyak lokus isozim diekspresikan pada seluruh tahap atau siklus pertumbuhan (Hamrick 1989). Karakter DNA lebih unggul bila digunakan sebagai karakter penciri tanaman sebab memiliki kestabilan yang sangat tinggi dan bahkan variasi lingkungan hampir tidak mengubah karakteristiknya. Sistem RAPD yang menggambarkan polimorfisme DNA merupakan metode identifikasi yang memiliki kelebihan dibandingkan metode morfologi dan isozim. Metode RAPD tidak memerlukan penge-
17
tahuan latar belakang genom organisme yang dipelajari, dapat menggunakan primer universal, analisis mudah dan sederhana, hasil yang cepat dan cukup baik. Selain itu, RAPD tidak memerlukan enzim rekstriksi, menggunakan sampel DNA relatif sedikit, dan tidak menggunakan pelabelan radio aktif.
18
KAJIAN MORFOLOGI, AGRONOMI, DAN PEMBUATAN DESKRIPTOR PALA BANDA (Myristica fragrans Houtt) Abstrak Pala Banda adalah tanaman rempah yang memiliki nilai ekonomi dan ekologi. Pala tumbuh dan beradaptasi baik pada agroekologi Maluku. Penelitian bertujuan mengeksplorasi lebih jauh aspek ekologi, morfologi, dan agronomi pala di Maluku dan Maluku Utara, dan membuat deskriptor pala menurut ekotipe. Aspek ekologi yang dipelajari mencakup kondisi iklim, fisik/kimia tanah, dan fisiografi. Untuk studi morfologi, 21 sifat tanaman pala diamati dan skor/diukur lalu dianalisis dengan metode analisis klaster multivariat dan uji kesamaan ragam Bartlett-T. Untuk kajian agronomi digunakan pohon pala produktif berlingkar batang 25-50 cm dan tumbuh di dua elevasi, 0-50 m di atas permukaan laut (dpl) dan 250-300 m dpl. Pengamatan mencakup produksi, produktivitas, dan karakteristik proksimat buah. Data agronomi dianalisis dengan uji-T dan uji Dunnett. Data ekologi, morfologi, dan agronomi selanjutnya disusun menjadi suatu deskriptor dengan mengacu pada prosedur Tropical Fruit Descriptors IPGRI. Analisis komponen utama (PCA) dilakukan untuk variabel agroekologi. Hasil menunjukkan bahwa agroekologi Maluku dicirikan oleh fisiografi pegunungan, perbukitan tektonik, vulkanik, dan karst dengan kelerengan 16-40%. Wilayah Ambon dan Banda sebagian besar tersusun dari tanah yang berbahan induk vulkanik, sementara Luhu berbahan sedimen. Iklim sebagian besar wilayah Maluku bertipe IIIC kecuali kepulauan Banda yang bertipe IIB. Wilayah Maluku mendapat curah hujan 2.029-2.951 mm/tahun dengan dua pola, fluaktutif (multiple wave) dan ganda (double wave), suhu 22,1-31,0 0C, kelembaban 82,1- 85,5%, dan penyinaran matahari 57-59%. Sementara itu, Maluku Utara dicirikan oleh tanah yang berbahan induk sedimen dan plutonik dan didominasi oleh fisiografi perbukitan/pegunungan vulkan, tektonik, dan karst dengan kelerengan 25-45%. Iklim Maluku Utara tergolong tipe IIIC (Tidore dan Bacan) dan IVB (Ternate) dengan pola hujan fluktuatif dan ganda. Suhu udara 23,6-30,1 0C, kelembaban 83% dan penyinaran 58%. Di antara 21 karakter morfologi tanaman yang diamati, 17 menunjukkan stabililitas yang tinggi (90%). Sifat morfologi yang cenderung berubah menurut ekotipe adalah warna buah, bentuk pangkal buah, panjang tangkai buah, dan indeks ukuran buah (IDbuah). Analisis klaster menunjukkan pala menurut karakter morfologi mengelompok ke dalam tiga kelas, 90% menyerupai karakteristik pala Banda. Produksi buah, biji, dan fuli di dua elevasi tidak menunjukkan perbedaan berarti. Secara umum produksi pala di ekotipe Banda lebih tinggi dibandingkan produksi ekotipe lainnya. Analisis proksimat memperlihatkan kadar air daging buah pala ekotipe Banda berbeda secara nyata dengan ekotipe lainnya. Rata-rata kadar air pala ekotipe Banda 79,5%. Perbedaan juga tampak dalam kandungan pektin. Protein, lemak, dan proporsi daging buah (EP) secara statistik tidak berbeda nyata. Berdasarkan kondisi iklim, tanah, dan karakteristik tanaman pala, Maluku dan Maluku Utara dapat dikelompokkan ke dalam empat morfo-ekotipe: ekotipe Banda meliputi Ambon dan Banda, ekotipe Luhu, ekotipe Ternate yang meliputi Ternate dan Bacan, dan ekotipe Tidore. Penelitian juga menghasilkan deskriptor pala masing-masing menurut ekotipe. Kata kunci: Pala Banda, morfologi, ekotipe, deksriptor.
STUDY ON MORPHOLOGY, AGRONOMY, AND DESCRIPTOR MAKING FOR BANDA NUTMEG (Myristica fragrans Houtt) Abstract Banda nutmeg is an important spice crop economically and ecologically. The tree has long been growing and adapting well in Moluccas areas. The objectives of the study are to explore morphological and agronomic aspects of the plant in two different areas, Moluccas and North Moluccas, and to establish a descriptor as a guide for description of nutmeg characteristics. For morphology study, 21 characters of the plant were observed and analyzed using cluster method of multivariate analysis and Bartlett’T test. For agronomic study, trees with 25 to 50 cm in girth growing at two elevations, 0 to 50 m above sea level (asl) and 250 to 300 m asl were used. Agronomic observations included production, productivity, and fruit proximate characteristics. Data collected were subjected to T and Dunnett tests. Furthermore, based on ecological, morphological, and agronomic data, a nutmeg descriptor was composed according to Tropical Fruit Descriptors procedure of IBPGR. Results showed that Moluccas was characterized by mountain physiography, tectonic hilly areas, volcanic, and karst with slope of 16 to 40%. Ecotypes of Banda and Ambon mainly consisted of volcanic soils, whereas Luhu consisted of sediment. Generally, Moluccas has climate IIIC type, except Banda with IIB. Annually, the area received rainfall 2,029 to 2,951 mm with two different patterns, fluctuate (multiple wave) and bimodal or double (double wave); temperature 22.1 to 31.0 oC, relative humidity 82.1 to 85.5%, and solar radiation 57 to 59%. Meanwhile, North Mouluccas was characterized by volcanic hilly landscape, tectonic, and karst soils with slope of 25 to 45%. The area has climate IIIC (Tidore and Bacan) and IVB (Ternate) types with fluctuatiate and double rainfall patterns. Temperature regime was between 23.6 and 30.1 oC, relative humidity 83%, and solar radiation 58%. Of 21 morphological plant characters observed, 17 showed a high stability in phenotype. The altered phenotypic characters included fruit colour, shape and length of peduncles, and fruit size index. Cluster analysis revealed that nutmeg trees could be grouped into three categories according to their morphology. Ninety percent of the studied trees foolowed with Banda type. Productions (fruit, seed, and mace) were not significantly different between the two elevations in both Moluccas and North Moluccas. Generally, nutmeg production in Banda ecotype was higher than that in other five ecotypes. Moreover, proximate analysis showed that water and pectin contents of the nutmeg from Banda ecotype were significantly different from the remaining ecotypes. Protein, fat, and EP, however, were not significantly different. Based on climatic, soil, and nutmeg characteristics, Moluccas and North Moluccas can be divided into four ecotypes, i.e. Banda (covering Banda and Ambon), Luhu, Ternate (covering Ternate and Bacan), and Tidore ecotypes. In this study, four nutmeg descriptors representing each ecotype have been established. Keywords: Banda nutmeg, morphology, ecotype, descriptor.
20
PENDAHULUAN Pala (Myristica fragrans Houtt.) adalah tanaman yang penting karena menghasilkan bahan rempah dan minyak atsiri yang bernilai ekonomi cukup tinggi. Komoditas pertanian unggulan di Maluku selain cengkeh adalah pala yang keduanya banyak dibudidayakan oleh masyarakat setempat dalam bentuk perkebunan rakyat (Kaya et al. 2002). Pala dan fuli adalah dua bagian berbeda yang dihasilkan dari buah tanaman pala. Tanaman pala berasal dari kepulauan Banda, Maluku. Spesies dari genus Myristica tersebar mulai dari India dan Asia Tenggara sampai Australia bagian utara dan Kepulauan Pasifik. Sinclair (1958) mencatat ada sekitar 75 spesies pala yang ditemukan di wilayah tersebut. Daerah utama pala adalah Indonesia, daerah yang dikenal sebagai sumber pala East Indian, dan Grenada yang dikenal sebagai sumber pala West Indian. Pala juga berkembang dalam jumlah terbatas di Sri Lanka, India, China, Malaysia, Sumatera Barat, Zanzibar, Mauritus, dan Kepulauan Solomon (Peter 2001). Pala tergolong ke dalam famili primitif Myristicaceae dengan 18 genus dan 300 spesies. Myristica merupakan genus yang paling primitif dari famili Myristicaceae (Sinclair 1958). Warming (1890) dan Talbot (1902) berpendapat bahwa Myristicaceae berhubungan sangat dekat dengan Lauraceae. Tidak demikian halnya dengan pendapat Wilson dan Maculans (1967), berdasarkan studi morfologi dan anatomi, mereka berkesimpulan bahwa Myristicaceae lebih dekat dengan Annonaceae dan Canellaceae. Myristica dianggap sebagai anggota famili Magnoliales atau secara taksonomi sama (Dahlgren 1983). Tanaman pala berbentuk pohon yang tidak meranggas dengan tinggi 5 sampai 15 meter, kadang mencapai 20 m. Batang mengandung cairan sel (sap) yang berwarna coklat kemerahan, berdaun hijau berukuran panjang 5 sampai 15 cm dan lebar 2 sampai 7 cm yang tersusun secara berselang seling di sepanjang ranting. Permukaan atas daun licin mengkilap. Bunga pala umumnya diosius atau berumah dua, tetapi bunga jantan dan betina kadang dijumpai pada pohon yang sama (monosius). Pohon pala umumnya tidak berbunga sampai mencapai umur sekitar 5 sampai 7 tahun. Pohon pala yang telah memasuki tahap reproduktif akan terus mem-
21
produksi buah hingga mencapai umur sekitar 75 tahun. Puncak produksi terjadi 2 sampai 3 kali dalam setahun. Pala dipetik bila telah mencapai umur panen yang ditandai dengan terbelahnya buah. Buah yang terbelah akan segera jatuh dari pohonnya dan mengeluarkan biji berwarna coklat kehitaman yang diselimuti arilus atau fuli yang berwarna merah darah. Biji pala menjadi kering dalam seminggu dengan sinar matahari. Pohon pala umumnya bersifat diosius atau berumah dua yaitu bunga jantan dan bunga betina terletak pada pohon yang berbeda. Pala umumnya menyerbuk silang dan penyerbukannya dibantu oleh sejenis semut yang disebut Formicomum braminus L, Anthridae (Amstrong dan Drummond 1980). Buah pala berbentuk seperti pendulus, piriform, kuning gading, panjangnya sekitar 7 sampai 10 cm, terbelah menjadi dua saat masak, menghasilkan biji berbentuk seperti buahnya dan berwarna hitam kecoklatan dengan panjang 2 sampai 3 cm. Biji diselimuti arilus yang disebut fuli yang berwarna merah darah, namun ditemukan varian pala 'Holland' yang menghasikan fuli warna gading. Biji pala memiliki endosperma ruminat dan dipandang sebagai yang primitif diantara tumbuhan berbunga (Corner 1976). Biji pala dan fuli merupakan produk utama pala Banda dan secara komersial dipandang sebagai rempah. Pala dan fuli memiliki aroma khas pala yang sama. Selain pala dan fuli beberapa produk lainnya juga penting. Oleoresin atau mentega pala dan minyak atsiri adalah produk pala lainnya yang banyak dimanfaatkan dalam industri pangan, farmasi, dan parfum. Pala banyak diproduksi di daerah tropik, khususnya Indonesia dan Grenada. Produksi pala dunia sekitar 12.000 ton per tahun dengan tingkat permintaan sekitar 9.000 ton per tahun. Produksi fuli sekitar 2.000 ton. Produksi dan pangsa pasar ekspor pala dan fuli dunia 75% dikuasai oleh Indonesia dan 25% oleh Grenada. Negara lainnya yang memproduksi pala dalam jumlah relatif kecil adalah India, Malaysia, Papua Nugini, Sri Lanka, dan Kepulauan Karibia. Produksi pala banyak dihasilkan di pulau Siauw dan Sangihe, Sulawesi Utara; Ambon dan Banda di Maluku; Ternate, Tidore, dan Bacan di Maluku Utara; serta Papua. Daerah-daerah tersebut dikenal oleh dunia internasional sebagai penghasil pala yang beraroma sangat khas dan diperdagangkan sebagai
22
pala East Indian. Grenada, di lain pihak, menghasilkan pala West Indian yang dicirikan oleh aroma yang lebih rendah dari East Indian dan warna minyak pala yang dihasilkan lebih pucat. Pala 'Bombay' adalah jenis West Indian yang dalam jumlah kecil diekspor Amerika Serikat. Pasar impor utama produk pala adalah Masyarakat Ekomomi Eropa, Amerika Serikat, Jepang, dan India. Singapura dan Belanda adalah negara pengekspor-ulang utama. Amerika merupakan pasar pala terbesar dan mengimpor pala terutama jenis East Indian dari Indonesia sekitar 65% dari total impor pala per tahun. Penelitian bertujuan untuk mengkarakterisasi pala Banda dari aspek ekotipe, morfologi tanaman, dan agronomi. Selain itu penelitian dilakukan untuk menyusun suatu deskriptor yang merupakan pedoman umum pendeskripsian tanaman pala.
23
BAHAN DAN METODE Studi Morfologi dan Agronomi Studi ekotipe pala menggunakan pendekatan karakteristik ekologi yang mencakup tanah, fisiografi lahan, dan iklim; dan pendekatan karakteristik tanaman pala itu sendiri khususnya karakteristik morfologi, produksi dan buah. Sampling dilakukan di enam ekotipe di wilayah Maluku dan Maluku Utara. Di Maluku dipilih tiga ekotipe: Ambon, Luhu, dan Banda; dan di Maluku Utara, sampling mencakup tiga ekotipe: Ternate, Tidore, dan Bacan. Sampel tanah komposit di tiga titik diambil pada daerah perakaran tanaman pala di masing-masing ekotipe. Untuk kajian morfologi dan agronomi digunakan pohon pala produktif berumur lebih dari 15 tahun sebagai bahan sampling. Di Maluku, sampling untuk identifikasi morfologi tanaman dilakukan di tiga ekotipe: Ambon, Luhu, dan Banda. Di Maluku Utara, sampel tanaman juga diambil di tiga ekotipe: Ternate, Tidore, dan Bacan. Studi morfologi tanaman dilakukan pada bulan Desember 2005 bertepatan dengan waktu panen pala. Pada setiap lokasi dipilih enam pohon dan dari setiap pohon masing-masing diambil sepuluh pengamatan. Karakteristik yang dipakai sebagai penciri morfologi tanaman mengacu pada pedoman Tropical Fruit Descriptors (IPGRI 1980) yang dimodifikasi. Penciri dimaksud mencakup sifat-sifat seperti tercantum dalam Tabel 3. Pengukuran panjang, lebar, dan lingkar batang pohon memakai meteran; diameter buah, biji, dan cabang dengan jangka sorong; bobot buah, biji, dan fuli dengan neraca digital; dan warna daun, buah, biji, dan fuli dengan skala warna Munsel Color Chart. Sifat-sifat morfologi dikarakterisasi sebagai variabel nominal atau pengukuran. Variabel nominal selanjutnya diberi skor nilai untuk memudahkan kuantifikasi. Pohon-pohon pala yang produktif dan berukuran lingkar batang sekitar 25 sampai 50 cm digunakan sebagai populasi penelitian. Dalam populasi di setiap lokasi dipilih secara acak 10 pohon, dan pada setiap pohon diambil 10 sampel untuk pengamatan karakteristik tanaman. Untuk pengamatan produksi pala, sampel diambil di dua elevasi yang berbeda yaitu di ketinggian 0 sampai 50 m dpl (di atas permukaan laut) dan di 250 sampai 300 m dpl. Pengamatan produksi
24
dilakukan dua kali dalam setahun, April sampai Mei 2005 dan Desember hingga Januari 2006. Tabel 3 Sifat-sifat morfologi tanaman pala dan kategori pengukurannya Sifat Morfologi
Skor/Pengukuran
Deskripsi
Ukuran daun (indeks)
Indeks 1, 2, 3, 4
Panjang daun dibagi lebar 1= sangat tajam; 2= tajam; 3= sedang; 4= obtus 1= hijau; 2= hijau tua 3= lunak; 5= sedang; 7= keras 1= <450; 2= 450-900; 3= > 900 1= lurus; 2= bergelombang 1= <450; 2= 450-900; 3= > 900 1= kolom; 2= piramidal; 3= obovat; 4= oval Pengukuran dalam sentimeter Pengukuran dalam sentimeter Pengukuran diskret 1= ID <1,0; 2= ID 1,0-1,15; 3= ID 1,16-1,25; 4= 1,26-1,51; 5= ≥ 1,51 1= kuning; 2= kuning kehijauan; 3= kuning kecoklatan 1= tumpul; 2= bulat; 3= runcing 1= cekung; 2= cembung; 3= datar; 4= runcing Pengukuran dalam sentimeter Pengukuran dalam sentimeter 1= coklat; 2= coklat tua 1= ID <1,0; 2= ID 1,0-1,15; 3= ID 1,16-1,25; 4= 1,26-1,51; 5= ≥ 1,51 1= hitam mengkilap; 2= coklat kehitaman 1= merah darah ; 2= kuning gading
Bentuk ujung daun Warna daun tua Tekstur daun Sudut petiola Tepi daun Sudut cabang primer Bentuk pohon Panjang tangkai bunga (cm) Diameter bunga (cm) Jumlah bunga per rangkai Bentuk buah (ID) Warna buah tua Bentuk ujung buah Bentuk pangkal buah Diameter tangkai buah (cm) Panjang tangkai buah (cm) Warna diskolorisasi/getah buah Bentuk biji (ID) Warna biji tua Warna fuli
1, 2 3, 5, 7 1, 2, 3 1, 2 1, 2, 3 1, 2, 3, 4 Kuantitatif Kuantitatif Kuantitatif Oblat (1), Bulat (2), Oval (3), Agak lonjong (4), Lonjong (5) 1, 2, 3 1, 2, 3 1, 2, 3, 4 Kuantitatif Kuantitatif 1, 2 Oblat (1), Bulat (2), Oval (3), Agak lonjong (4), Lonjong (5) 1, 2 1, 2
Pengukuran karakteristik tanaman meliputi produksi buah, biji, dan fuli. Untuk mendapatkan data detail mengenai karakteristik buah, dilakukan pengujian proksimat yang meliputi kadar air, protein, lemak, pektin, dan EP (edible portion of flesh). Penentuan kadar air, lemak, dan pektin menggunakan metode AOAC (AOAC 1995); dan kadar protein dengan metode semi mikro Kjeldahl dari AOAC. Prosedur analisis proksimat buah pala adalah sebagai berikut. 1. Penentuan kadar air
25
Sekitar 5 g daging buah pala ditimbang kemudian dimasukkan ke dalam labu yang berisi 60 sampai 100 ml toluen. Campuran dipanaskan di atas pemanas listrik mulai dengan suhu rendah selama 45 menit hingga suhu tinggi selama 1 sampai 1,5 jam. Volume air yang terdistilasi kemudian dicatat. Untuk penetapan faktor distilasi caranya sama dengan penetapan sampel, namun menggunakan akuades 3 sampai 4 g. Faktor distilasi diperoleh dengan membagi berat air yang didistilasi dengan volume air yang terdistilasi. Kadar air dalam bahan dihitung dengan formula: V Kadar air (%) = ⎯⎯ x Fd x 100% W V adalah volume air yang terdistilasi, W bobot awal sampel, dan Fd adalah faktor distilasi. 2. Penentuan kadar protein dengan metode Kjeldahl Sebanyak 0,l g sampel yang telah dihaluskan dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl-30 ml kemudian ditambahkan 2,5 ml H2SO4 pekat, 1 g katalis dan batu didih. Sampel dididihkan hingga cairan berubah menjadi jernih. Campuran dipindahkan ke dalam labu destilasi yang berisi 15 ml NaOH 50% lalu dibilas dengan air suling. Labu erlenmeyer yang berisi HCl 0,02 N diletakkan di bawah kondensor yang sebelumnya telah diberi 2 tetes indikator (campuran metil merah 0,02% dalam alkohol dan metil biru 0,02% dalam alkohol dengan perbandingan 2:1). Ujung tabung kondensor diletakkan terendam dalam labu larutan HCl kemudian didistilasi sampai tersisa sekitar 25 ml destilat dalam labu erlenmeyer. Ujung kondensor dibilas dengan sedikit air destilata dan bilasannya ditampung dalam erlenmeyer selanjutnya dititrasi dengan NaOH 0,02 N sampai terjadi perubahan warna hijau menjadi ungu. Penetapan blanko dilakukan dengan cara yang sama. Kadar protein bahan ditetapkan dengan rumus sebagai berikut. (y – z) x N x 0,014 x 6,25 Kadar protein (%) = ⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯ x 100% W Pada formula di atas, y adalah volume NaOH titer blanko, z volume NaOH titer sampel, N normalitas NAOH, dan W bobot sampel.
26
3. Penentuan kadar lemak Dua gram sampel bebas air diekstraksi dengan pelarut eter dalam alat soxhlet selama 6 jam. Hasil ekstraksi diuapkan dengan cara diangin-anginkan kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 105 °C selama 1 jam. Ekstrak selanjutnya didinginkan dalam desikator hingga bobotnya tetap. Kadar lemak dihitung dengan rumus: A Kadar lemak (%) = ⎯ x 100% B A adalah bobot lemak (g), B bobot contoh awal (g). 4. Penentuan kadar pektin Sebanyak 50 g sampel yang telah diparut dimasukkan ke dalam gelas piala500 ml yang berisi 400 ml HCl 0,05 N. Sampel dibiarkan terekstrak hingga 2 jam pada suhu 80 sampai 90 °C. Campuran kemudian dipindahkan ke labu takar-500 ml dan diisi akuades sampai tanda tera lalu dikocok hingga merata. Ekstrak disaring dengan kertas Whatman nomor 4 dan filtrat dimasukkan ke labu erlenmeyer. Untuk penetapan sampel, masing-masing aliguot dipipet 200 ml dan dimasukkan ke dalam gelas piala-500 ml yang berisi 250 ml akuades. Campuran dinetralkan dengan penambahan NaOH 1 N dan 10 ml indikator PP NaOH 1 N sambil diaduk kemudian dibiarkan semalam. Sebanyak 50 ml asam asetat 1 N ditambahkan ke campuran, 5 menit kemudian ditambahkan lagi 25 ml kalsium klorida 1 N, diaduk sampai merata. Larutan dibiarkan selama 1 jam kemudian dididihkan selama 2 menit. Larutan disaring dengan kertas saring yang disegari air panas lalu dikeringkan dalam oven 102 °C selama 2 jam. Setelah didinginkan dalam desikator, ekstrak ditimbang di dalam wadah timbangan tertutup. Endapan dicuci dengan air panas yang hampir mendidih sampai bebas klorida (diuji dengan perak nitrat). Kertas saring yang berisi endapan dipindahkan ke dalam wadah timbangan, dikeringkan pada suhu 100 °C semalam selanjutnya didinginkan dalam desikator lalu ditimbang. Kadar pektin dalam bahan dihitung dengan menggunakan formula berikut.
27
(b – a) Kadar pektin (%) = ⎯⎯⎯ x 100% W Pada rumus di atas, a adalah bobot kertas saring kosong, b bobot kertas saring akhir, dan W bobot sampel awal. Dalam penyusunan deskriptor pala digunakan pedoman yang direkomendasikan oleh IPGRI dengan beberapa penyesuaian. Untuk deskripsi tanah dan karakteristiknya berpedoman pada FAO (1990), dan untuk tanaman mengacu pada pedoman Royal Horticultural Society (1986). Analisis Data Kesamaan sifat morfologi antarlokasi sampling yang didasarkan pada kesamaan ragam atau varian diuji menggunakan uji Bartlett. Statistik Bartlett dihitung dengan formula: 2 2 (Σνi) ln (ΣνiS ,i/Σνi) - ln νi lnS ,i B = ⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯ 1 + {Σ (1/νi) – 1/Σνi}/{3(k-1)} 2 S ,i = Σni ,j=1(Xij – X)2 / (ni –1); k adalah banyaknya sampel, dan νi = ni –1. Xij adalah rataan pengamatan ke-i dan sifat morfologi ke-j. Indeks kesamaan antar individu tanaman pala di enam lokasi dan di dua ekotipe digambarkan dalam dendogram menggunakan prosedur klaster dari Minitab 13. Data produksi dan sifat kuantitatif buah lainnya dianalisis menggunakan Anova SAS, dan uji nilai tengah Dunnett. Uji Dunnett dihitung dengan formula sebagai berikut. ỹi - ỹj ± |d| s √1/ni + 1/nj Pada persamaan di atas, ỹi - ỹj adalah selisih antara rataan 1 dan 2, |d| adalah batas atas titik ekuikoordinat pusat (r-1) ragam distribusi T Student, s adalah simpangan baku, serta ni dan nj adalah banyaknya pengamatan 1 dan 2.
28
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Karakteristik Umum Ekotipe Daerah Maluku secara astronomis terletak pada 2,50 sampai 7,50 Lintang Selatan (LS) dan 126,50 sampai 132,50 Bujur Timur (BT). Luas wilayah sekitar 257.890 km2 dan 19.594 km2 diantaranya adalah daratan (BPS Maluku 2003). Wilayah ekologi Maluku didominasi oleh fisiografi pegunungan, perbukitan tektonik, vulkanik, dan karst dengan kelerengan 16 sampai 40%. Wilayah Ambon yang terletak pada 3o32'37,9'' LS dan 128012'48,0" BT, dan Banda yang terletak pada 4o27'11,8" LS dan 129054'39,4" BT (Tabel 5) sebagian besar tersusun dari tanah yang berbahan induk vulkanik, sementara Luhu berbahan induk sedimen. Iklim Maluku secara umum bertipe IIIC kecuali kepulauan Banda yang bertipe IIB (deskripsi tipe iklim terdapat pada Lampiran 4). Selama 2005 wilayah Maluku menerima rata-rata curah hujan 2.029 hingga 2.951 mm dengan suhu 22,1 sampai 31,0 0C; kelembaban 82,1 sampai 85,5%; dan penyinaran 57 hingga 59%. Wilayah tersebut memiliki dua pola hujan yaitu fluaktutif (multiple wave) dan ganda (double wave). Tabel 4 Letak astronomi lokasi sampling di Maluku dan Maluku Utara Maluku 1. Ambon 2. Banda 3. Luhu Maluku Utara 4. Ternate 5. Tidore 6. Bacan
Posisi Lintang dan Bujur LS/LU 3 32'37,9'' LS 4o27'11,8" LS 3o23'01,6" LS
BT 128 12'48,0" 129054'39,4" 127058'17,4"
02023'04,6" LU 02016'04,6" LU 0030'21,4" LU
126033'23,5" 126034'23,5" 129003'01,2"
o
0
Semnetara itu, Maluku Utara yang terletak pada 30 LU dan 30 LS dan 124 sampai 1290 BT merupakan wilayah atau ekotipe yang dicirikan oleh tanah yang tersusun dari bahan induk sedimen dan plutonik. Wilayah tersebut didominasi oleh fisiografi perbukitan/pegunungan vulkan, tektonik, dan karst dengan kemiringan 10 hingga 45%. Iklim Maluku Utara tergolong tipe IIIC (Tidore dan Ba-
29
can) dan IVB (Ternate) dengan dua pola hujan, ganda dan fluktuatif. Sebagian besar wilayah Maluku dan Maluku Utara berdrainase baik dengan sistem pertanian yang didominasi hutan produksi. Gambaran kondisi iklim selama penelitian tampak pada Gambar 4 dan Tabel 6. Ekotipe Banda memiliki rata-rata jumlah curah hujan dan hari hujan per tahun masing-masing 2.541 mm dan 197 hari. Suhu udara berkisar antara 31,1 dan 23,0 0
C dengan rata-rata 28,2 0C, dan kelembaban udara sekitar 81% dengan tingkat
penyinaran matahari 57,6%. Karakteristik iklim ekotipe Ambon diwarnai dengan jumlah curah hujan dan hari hujan masing-masing sebesar 2.951 mm dan 218 hari Suhu udara antara 30,1 dan 23,6 0C dengan rata-rata 26,3 0C.
per tahun.
Sementara ekotipe Luhu memiliki iklim dengan jumlah dan hari hujan per tahun lebih sedikit daripada Banda dan Ambon, yaitu masing-masing 2.029 mm dan 165 hari.
80
15
Suhu min.
78
10
Suhu maks.
76
RH
74
0 2
3
4
5
6
7
8
20.0
Suhu maks.
15.0
Suhu min.
10.0
RH
5.0
72 1
85.0
25.0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Bulan
Bulan
Iklim Luhu, Tahun 2005 (Elevasi 0-50 m dpl)
35 30 25 20 15
Suhu maks.
10
Suhu min. RH
5 0 1
2
3 4
5
6 7 8 Bulan
89 88 87 86 85 84 83 82 81 80 79
9 10 11 12
Gambar 4 Kondisi suhu dan kelembaban di Banda, Ambon, dan Luhu tahun 2005.
30
75.0 70.0 65.0
0.0
9 10 11 12
80.0
R H (% )
82
20
30.0 Su h u (0 C )
25
90.0
35.0
RH (% )
84
Su h u (0 C )
S uhu ( 0C )
30
5
Iklim Ambon, Tahun 2005 (Elevasi 0-50 m dpl)
86
R H (% )
Iklim Banda, tahun 2005 (Elevasi 0-50 m dpl)
35
Tabel 5 Kondisi iklim lokasi penelitian di Maluku tahun 2005 Ekotipe Banda 1. Januari 2. Februari 3. Maret 4. April 5. Mei 6. Juni 7. Juli 8. Agustus 9. September 10. Oktober 11. Nopember 12. Desember Jumlah Rataan Ambon 1. Januari 2. Februari 3. Maret 4. April 5. Mei 6. Juni 7. Juli 8. Agustus 9. September 10. Oktober 11. Nopember 12. Desember Jumlah Rataan Luhu 1. Januari 2. Februari 3. Maret 4. April 5. Mei 6. Juni 7. Juli 8. Agustus 9. September 10. Oktober 11. Nopember 12. Desember Jumlah Rataan
C. Hujan (mm) H. Hujan (hari)
Suhu (0C) Penyinaran (%)
255,4 167,8 238,8 225,2 472,6 421,2 126,6 28,5 68,6 57,9 194,2 285,3 2541,8 211,8
20,0 18,0 16,3 21,0 21,0 25,3 16,3 7,5 12,3 8,0 10,0 21,5 197,2 16,4
27,8 28,0 27,7 27,4 27,6 26,6 26,1 26,1 27,0 28,1 28,4 28,2
55,0 48,7 60,3 53,0 57,0 48,5 60,3 70,3 64,5 68,6 60,3 45,0
27,4
57,6
143,7 113,6 156,1 233,1 395,0 487,2 561,4 373,4 138,1 114,8 89,3 145,2 2951,0 245,9
16,4 15,9 18,7 20,3 23,7 23,9 25,0 22,0 12,6 13,3 8,8 17,4 218,0 18,2
28,0 27,3 26,9 26,5 26,0 25,5 24,9 24,8 25,4 26,2 26,8 27,3
55,4 61,9 63,4 61,4 49,6 41,8 33,0 47,8 58,8 68,7 77,2 62,6
26,3
56,8
148,6 109,5 133,7 151,5 233,8 300,0 233,1 208,0 131,2 141,7 99,6 138,7 2029,4 169,1
15,0 14,6 15,9 15,2 18,6 21,3 17,0 14,9 12,7 11,7 12,3 15,8 185,0 15,4
31,8 32,0 31,7 31,5 31,0 30,1 29,7 29,5 30,0 31,0 31,6 31,8
63,1 60,5 66,5 60,0 57,8 40,2 48,5 56,5 61,6 64,5 67,9 60,3
31,0
59,0
31
Tabel 6 Kondisi iklim lokasi penelitian di Maluku Utara tahun 2005 Ekotipe Maluku Utara 1. Januari 2. Februari 3. Maret 4. April 5. Mei 6. Juni 7. Juli 8. Agustus 9. September 10. Oktober 11. Nopember 12. Desember Jumlah Rataan
C. Hujan (mm) H. Hujan (hari) 272,0 220,6 216,4 187,2 275,8 192,0 109,2 76,0 65,6 210,8 213,8 327,8 2.367,2 197,3
Suhu (0C) Penyinaran (%)
21,0 17,4 21,6 19,0 18,4 18,4 11,2 11,0 11,0 14,4 20,4 20,0 203,8 17,0
26,5 26,5 26,8 27,1 26,7 26,6 26,4 26,1 26,2 26,4 27,3 26,7
56,5 43,0 45,5 55,5 61,0 68,5 58,5 68,5 55,0 71,0 61,5 48,5
26,6
57,8
Kondisi iklim Maluku Utara yang diwakili oleh Ternate (Tabel 6 dan Gambar 5) dicirikan oleh hujan tahunan sebesar 2.367 mm dengan lama hujan sekitar 204 hari. Suhu udara berkisar 22,4 sampai 30,4 0C dengan rata-rata 26,6 0C. Wilayah Maluku Utara dalam setahun menerima penyinaran matahari 57,6% dan kelembaban udara 88,3%. Data iklim daerah Tidore dan Bacan diwakili pengamatan pada stasiun klimatologi Ternate, Maluku Utara.
35.0
91.0
30.0
90.0
25.0
89.0 88.0
20.0 15.0
Suhu maks.
87.0
10.0
Suhu min.
86.0
RH
85.0
5.0
RH (%)
Suhu (0C)
Iklim Ternate, Tahun 2005 (Elevasi 0-50 m dpl)
84.0
0.0 1
2
3
4
5
6 7 Bulan
8
9 10 11 12
Gambar 5 Pola suhu dan kelembaban di Ternate, Maluku Utara. Kondisi tanah/kesuburan Maluku dan Maluku Utara dicirikan oleh karakteristik fisik dan kimia seperti pada Tabel 7. Tanah di daerah Maluku tergolong lempung berpasir dan lempung berdebu dengan pH berkisar 6,53 dan 7,60.
32
Kandungan bahan organik 1,42 hingga 2,74%; N-total 0,14 sampai 0,22%; dan kadar P antara 5,3 sampai 9,8 ppm. Tanah memiliki sifat kimia kapasitas tukar kation (KTK) antara 33,77 dan 17,80 me/100 g; dan kejenuhan basa (KB) 74,2 sampai 100%. Karakteristik tanah Maluku lainnya adalah memiliki daya hantar listrik (DHL) 141,6 hingga 302,0 μS/cm dengan kandungan kation Al yang tidak terdeteksi. Sementara itu, tanah di daerah Maluku Utara memperlihatkan sifat fisik lempung berpasir dengan pH 7,02 sampai 7,76. Kandungan bahan organik berkisar 0,93 sampai 1,34%; N total berkisar 0,10 sampai 0,13%; dan kadar P sekitar 4,4 sampai 5,6 ppm. Selain itu, tanah Maluku Utara mempunyai KTK 6,78 sampai 15,89 me/100 g, dan KB 100%. Kandungan kation Al tanah tidak terdeteksi. Pengamatan lapangan selanjutnya menunjukkan bahwa areal pertanaman pala di Maluku hampir seluruhnya dikelola oleh masyarakat dalam bentuk perkebunan rakyat/tradisional. Pertanaman Pala di Kepulauan Banda dikelola secara bersama antara petani dan Pemda setempat melalui sistem bagi hasil. Pemda merupakan pihak pemilik lahan dan tanaman, sementara petani sebagai pengelola dan buruh petik. Tidak seperti di Maluku, pertanaman pala di Maluku Utara sepenuhnya dimiliki dan dikelola oleh petani dalam bentuk perkebunan rakyat dengan tingkat pengelolaan tradisional. Pengamatan lapangan lainnya menunjukkan bahwa pertanaman pala di Maluku terletak diantara pohon pelindung dengan proporsi 10 sampai 15% dari populasi pala. Pada ekotipe Banda, pohon pelindung tanaman pala terutama adalah pohon kenari dan sedikit pohon kelapa, dan durian. Sementara di Ambon dan Luhu pohon pelindung umumnya adalah pohon kelapa dan durian. Tanaman pelindung bertajuk lebar lainnya seperti mangga dan pohon kayu-kayuan juga dijumpai dalam proporsi yang kecil. Di Maluku Utara, tanaman pala umumnya terdapat di antara naungan pohon kelapa, dan sebagian kecil pertanaman pala menggunakan pohon pelindung tanaman buahbuahan yang bertajuk lebar seperti pohon durian. Pertanaman pala di Maluku dan Maluku Utara terdapat pada lanskap perbukitan hingga pegunungan dengan kemiringan lereng 10 sampai 45% dan dari ketinggian 5 hingga 500 m dpl. Areal pala di Banda, Ambon, dan Luhu sebagian
33
Tabel 7 Sifat fisik dan kimia tanah lokasi penelitian pH 1:1 Lokasi/Ekotipe
H2O KCl
C-Org.
NTotal
P
DHL
(%)†
(%)‡
(ppm)*
(uS/cm)
Ca
Mg
K
Na
KTK
(me/100 g)
KB
Al
H
(%) (me/100 g)
Pasir
Tekstur Debu Liat (%)
Kelas Tekstur
Maluku 1. Ambon
7,28 6,41
1,42
0,14
5,3
156,4
11,12 1,60 0,19 0,30 17,80 74,21
tr
0,04
62,27 22,38 15,35 Lempung Berpasir
2. Banda
6,53 5,45
2,22
0,20
9,8
141,6
14,00 4,46 1,38 0,95 13,77
100
tr
0,04
46,84 36,10 17,06 Lempung Berdebu
3. Luhu
7,60 6,83
2,74
0,22
5,9
302,0
31,54 5,81 0,76 0,50 15,89
100
tr
0,04
60,96 21,43 17,61 Lempung Berpasir
4. Ternate
7,40 6,57
0,93
0,10
4,4
143,5
6,02
1,63 0,13 0,21 6,78
100
tr
0,04
53,29 34,41 12,30 Lempung Berpasir
5. Tidore
7,76 6,83
1,10
0,10
5,6
285,0
24,44 1,42 0,76 0,30 15,89
100
tr
0,04
65,22 15,58 19,20
6. Bacan
7,02 6,30
1,34
0,13
5,3
137,3
9,61
100
tr
0,04
64,48 25,13 10,39 Lempung Berpasir
Maluku Utara
1,71 0,38 0,43 8,26
†
Walkley dan Black; Kjeldhal * Bray I. tr tidak terdeteksi. ‡
34
Lempung Berpasir
besar terletak di lereng-lereng gunung yang menghadap ke laut dan berjarak 10 sampai 400 m dari tepi pantai. Sementara areal pala di Ternate, Tidore, dan Bacan terdapat di lanskap pegunungan yang jaraknya sekitar beberapa kilometer dari tepi pantai. Pertanaman pala di Maluku Utara terletak mulai dari ketinggian 20 m hingga 500 m dpl. Maluku dan Maluku Utara adalah daerah pegunungan yang langsung menghadap ke laut sehingga pengaruh angin laut memberi kontribusi tersendiri terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman pala. Sistem pertanian perkebunan rakyat merupakan pola budidaya pala yang hampir seluruhnya dipraktekkan oleh petani baik di Maluku maupun di Maluku Utara. Di Maluku, pala ditanam di antara pohon pelindung dengan jarak tanam yang bervariasi dan relatif tidak teratur. Jarak antar baris beragam dari 5 sampai 7 m dan dalam baris antara 5 sampai 8 m. Pengelolaan perkebunan pala di Maluku dan Maluku Utara sangat minimal dan bersifat tradisional, tanpa input pupuk kimia dan tindakan pengendalian hama/penyakit.
Praktek budidaya yang diterapkan sebatas pada pembersihan
kebun dari gulma dan pemangkasan cabang pohon-pohon pelindung. Kegiatan panen dan pasca panen juga dilaksanakan menurut cara-cara tradisional petani yang telah dipraktekkan turun-temurun. Panen dilakukan dua hingga tiga kali setahun setelah buah mencapai umur 6 sampai 9 bulan setelah berbunga, tetapi tidak jelas batas antara musim panen pertama dan kedua sebab pohon pala berbunga dan berbuah sepanjang tahun. Kegiatan pasca panen mencakup pengeringan biji pala berbatok dan fuli segar di bawah sinar matahari atau pengasapan menggunakan tungku. Pengasapan terbatas untuk hasil biji pala. Biji pala tanpa batok dan fuli kering dengan kadar air sekitar 10-15% dicapai setelah penjemuran sinar matahari selama 1 sampai 2 minggu. Sebagian petani di Banda mengeringkan biji pala di atas tungku pengasapan. Pengeringan dengan pengasapan diselesaikan dalam waktu 3 sampai 5 hari. Biji pala yang dikeringkan dengan pengasapan menghasilkan pala dengan daya simpan lebih lama jika dibandingkan dengan pengeringan matahari, tetapi cara demikian memerlukan tambahan biaya untuk pembuatan tungku dan bahan bakar. Sebagian perkebunan di pulau Banda yang dikelola swasta memanfaatkan sistem pengeringan pala dengan pengasapan.
35
Karakteristik Morfologi Pala Sebanyak 21 sifat morfologi yang terdiri atas 18 variabel ordinal dan 4 variabel pengukuran diamati dan diskor/diukur pada 10 pengamatan pada 6 lokasi di Maluku dan Maluku Utara (Tabel 8). Tabel 8 Sifat morfologi tanaman pala dan skor pengukurannya Lokasi/Ekotipe Maluku:
Banda
Sifat Morfologi
Skor/Pengukuran
Ukuran daun (indeks)
2,49 2,53 2,53 2,56 2,81 2,63 2,61 2,15 2,37 2,50
Bentuk ujung daun
3
3
2
2
2
2
3
2
2
2
Warna daun tua
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
Tekstur daun
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
Sudut petiola
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
Tepi daun
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
Sudut cabang primer
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
2
2
1
3
2
2
2
2
2
2
Bentuk pohon Panjang tangkai bunga (cm)
1,2 0,8 1,9 1,5 1,8 1,6 1,8 1,7 1,4 1,8
Diameter bunga (cm)
0,43 0,41 0,39 0,46 0,51 0,42 0,46 0,5 0,44 0,48
Jumlah bunga per rangkai
1
Bentuk buah (ID)
1
3
1
2
2
2
2
3
Warna buah tua
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
Bentuk ujung buah
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
Bentuk pangkal buah
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
Diameter tangkai buah (cm)
0,25 0,24 0,25 0,25 0,3 0,2 0,25 0,2 0,15 0,11
Panjang tangkai buah (cm)
2,2 2,3
Warna diskolorisasi buah
1
Bentuk biji (ID)
1
1
2
1
1
2,5 2,3 2,7 2,7 2,2 2,3 1
1
1
1
1
1
1,25 1,30 1,29 1,13 1,14 1,23 1,25 1,63 1,35 1,05
Warna biji tua
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
Warna fuli
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
Ukuran daun (indeks)
Ambon
1
1,17 1,10 1,22 1,21 1,06 1,21 1,18 1,11 1,14 1,21
2,35 2,89 1,82 2,13 1,93 2,33 3,16 2,28 3,06 2,54
Bentuk ujung daun
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
Warna daun tua
1
1
1
1
1
2
1
1
1
1
Tekstur daun
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
Sudut petiola
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
Tepi daun
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
Sudut cabang primer
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
2
2
2
2
3
3
3
2
1
2
Bentuk pohon Panjang tangkai bunga (cm)
1,3 1,8 1,6 1,6 1,5 1,1 1,9 1,8 1,9 1,7
Diameter bunga (cm)
0,41 0,47 0,46 0,45 0,45 0,51 0,48 0,51 0,49 0,49
Jumlah bunga per rangkai
2
Bentuk buah (ID)
1
1
1
3
2
1
2
2
1
1,02 1,03 1,27 1,24 1,27 1,26 1,29 1,24 1,27 1,26
Warna buah tua
1
36
1
1
1
1
1
1
1
1
1
Lokasi/Ekotipe
Sifat Morfologi
Skor/Pengukuran
Bentuk ujung buah
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
Bentuk pangkal buah
3
3
3
3
3
4
3
3
3
4
Diameter tangkai buah (cm)
0,22 0,2 0,21 0,2 1,6 0,2 0,24 0,2 0,15 0,15
Panjang tangkai buah (cm)
1,7 2,4 1,9 2,3 1,8
Warna diskolorisasi buah
1
Bentuk biji (ID)
1
2 1
2,1 2,1 2,1 1
1
1
2 1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
Warna fuli
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
2,13 2,15 2,21 2,46 2,39 2,28 2,43 2,44 2,35 2,30
Bentuk ujung daun
1
1
2
1
2
2
2
2
1
1
Warna daun tua
1
1
1
1
2
1
2
1
1
1
Tekstur daun
5
5
5
5
5
7
5
5
5
5
Sudut petiola
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
Tepi daun
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
Sudut cabang primer
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
2
2
1
2
2
2
3
3
1
3
1
1,8
Panjang tangkai bunga (cm)
0,8 0,9 0,7 1,2 1,2 0,9 1,7 1,4
Diameter bunga (cm)
0,42 0,42 0,46 0,43 0,51 0,5 0,4 0,4 0,46 0,45
Jumlah bunga per rangkai
2
Bentuk buah (ID)
1
1
2
1
2
2
1
2
2
1,20 1,20 1,20 1,21 1,21 1,18 0,91 1,16 1,21 1,16
Warna buah tua
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
Bentuk ujung buah
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
Bentuk pangkal buah
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
Diameter tangkai buah (cm)
0,21 0,21 0,22 0,2 0,15 0,15 0,23 0,21 0,15 0,2
Panjang tangkai buah (cm)
1,9
2
Warna diskolorisasi buah
1
1
Bentuk biji (ID)
Ternate
1
Warna biji tua
Bentuk pohon
Maluku Utara:
1
1,09 1,10 1,14 1,14 1,14 1,30 1,35 1,09 1,19 1,32
Ukuran daun (indeks)
Luhu
1
1,9 1,5 1,8 1,6 1
1
1
1
2 1
1,7 1,8 2,1 1
1
1
1,14 1,16 1,17 1,10 1,18 1,15 1,14 1,18 1,14 1,18
Warna biji tua
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
Warna fuli
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
Ukuran daun (indeks)
2,86 2,89 2,80 2,84 3,03 2,78 3,14 2,70 3,04 2,70
Bentuk ujung daun
1
1
2
1
1
2
1
1
1
1
Warna daun tua
1
1
1
1
1
1
1
1
1
2
Tekstur daun
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
Sudut petiola
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
Tepi daun
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
Sudut cabang primer
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
Bentuk pohon
1
1
2
2
3
3
1
1
3
3
Panjang tangkai bunga (cm)
1,6 1,8 1,7 1,9
Diameter bunga (cm)
0,41 0,5 0,51 0,5 0,42 0,4 0,4 0,46 0,52 0,48
Jumlah bunga per rangkai
2
Bentuk buah (ID)
1
2
1
2 1
1,8 2,3 2,3 1,9 1,5 1
2
3
1
2
1,20 1,14 1,17 1,08 1,18 1,23 1,25 1,25 1,20 1,25
Warna buah tua
1
37
1
3
1
1
1
1
3
1
1
Lokasi/Ekotipe
Sifat Morfologi
Skor/Pengukuran
Bentuk ujung buah
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
Bentuk pangkal buah
3
4
4
4
3
4
4
4
4
4
Diameter tangkai buah (cm)
0,21 0,21 0,2 0,24 0,2 0,31 0,28 0,21 0,2 0,16
Panjang tangkai buah (cm)
2,2 2,3 2,5 2,3 2,7 2,2 2,5 2,5 2,3 1,7
Warna diskolorisasi buah
1
Bentuk biji (ID)
1
1
1
1
1
1
1
Warna biji tua
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
Warna fuli
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
3,12 2,96 2,63 2,88 3,18 3,02 2,93 2,81 2,84 2,74
Bentuk ujung daun
2
2
2
1
1
2
1
1
1
1
Warna daun tua
2
1
1
1
2
1
1
1
1
1
Tekstur daun
5
5
7
7
5
5
5
5
5
7
Sudut petiola
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
Tepi daun
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
Sudut cabang primer
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
2
2
2
2
3
2
2
2
3
2
Bentuk pohon Panjang tangkai bunga (cm)
0,8 1,2 1,3 0,8 1,1 1,6 1,8 1,8 1,4 1,5
Diameter bunga (cm)
0,46 0,49 0,47 0,46 0,45 0,5 0,46 0,46 0,44 0,41
Jumlah bunga per rangkai
1
Bentuk buah (ID)
2
2
1
2
1
2
1
2
1
1,08 1,18 1,23 1,25 1,25 1,20 1,24 1,25 1,25 1,25
Warna buah tua
1
1
1
2
1
1
1
2
1
1
Bentuk ujung buah
2
2
2
2
2
2
2
1
2
2
Bentuk pangkal buah
3
3
4
4
3
4
3
3
3
4
Diameter tangkai buah (cm)
0,3 0,32 0,2 0,2 0,2 0,2 0,2 0,21 0,15 0,24
Panjang tangkai buah (cm)
1,6 2,9 2,7 2,7 2,4 2,4
Warna diskolorisasi buah
1
Bentuk biji (ID)
1
1
1
1
1
2 1
2,3 1,8 2,1 2
1
1
1,43 1,39 1,41 1,39 1,37 1,40 1,31 1,50 1,30 1,52
Warna biji tua
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
Warna fuli
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
Ukuran daun (indeks)
Bacan
1
1,42 1,28 1,43 1,39 1,41 1,39 1,37 1,38 0,89 0,90
Ukuran daun (indeks)
Tidore
1
2,17 2,08 2,04 2,13 2,16 1,95 1,98 2,24 2,21 1,89
Bentuk ujung daun
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
Warna daun tua
1
1
1
1
1
2
1
1
1
1
Tekstur daun
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
Sudut petiola
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
Tepi daun
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
Sudut cabang primer
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
Bentuk pohon
2
2
2
3
3
3
3
2
3
2
2
2
Panjang tangkai bunga (cm)
0,8 0,7 0,6 1,5 1,5 1,6 1,7 2,1
Diameter bunga (cm)
0,44 0,46 0,48 0,4 0,41 0,4 0,5 0,45 0,46 0,46
Jumlah bunga per rangkai
2
Bentuk buah (ID)
2
1
2
1
2
1
2
1
1
1,16 1,23 1,24 1,29 1,31 1,12 1,09 1,19 1,09 1,15
Warna buah tua
1
38
1
1
1
1
1
1
1
1
1
Lokasi/Ekotipe
Sifat Morfologi
Skor/Pengukuran
Bentuk ujung buah
2
2
2
2
2
2
2
3
2
2
Bentuk pangkal buah
3
3
3
4
3
3
4
4
3
3
Diameter tangkai buah (cm)
0,2 0,2 0,15 0,14 0,18 0,2 0,24 0,23 0,21 0,21
Panjang tangkai buah (cm)
1,4 1,4 1,4 2,2 1,7 2,1 2,3 2,5 2,2 2,4
Warna diskolorisasi buah
1
Bentuk biji (ID)
1
1
1
2
1
1
2
1
1
1,25 1,25 1,22 1,24 1,23 1,24 1,19 1,20 1,19 1,20
Warna biji tua
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
Warna fuli
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
Berdasarkan uji ragam Bartlett skor/pengukuran sifat morfologi diketahui bahwa keragaman pala ekotipe Banda secara statistik tidak berbeda nyata dengan pala ekotipe lainnya, kecuali indeks ukuran daun, warna buah tua, bentuk pangkal buah, dan panjang tangkai buah (Tabel 9). Tabel 9 Uji ragam Bartlett karakter morfologi pala Banda Sifat Morfologi Indeks ukuran daun Bentuk ujung daun Warna daun tua Tekstur daun Sudut petiola Tepi daun Sudut cabang primer Bentuk pohon Panjang tangkai bunga Diameter bunga Jum. bunga per rangkai Bentuk buah Warna buah tua Bentuk ujung buah Bentuk pangkal buah Diameter tangkai buah Panjang tangkai buah Warna diskol. buah Bentuk biji Warna biji tua Warna fuli
Banda 0,030 0,100 0,100 0,000 0,000 0,000 0,000 0,222 0,116 0,002 0,622 0,003 0,000 0,000 0,000 0,003 0,233 0,000 0,025 0,000 0,000
Keragaman (S2) Maluku Maluku Utara Ambon Luhu Ternate Tidore Bacan 0,211 0,015 0,022 0,028 0,014 0,178 0,233 0,100 0,000 0,178 0,178 0,233 0,100 0,000 0,178 0,000 0,400 0,000 0,933 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,400 0,544 0,889 0,178 0,278 0,068 0,140 0,071 0,131 0,314 0,001 0,001 0,002 0,001 0,001 0,489 0,267 0,489 0,278 0,278 0,010 0,008 0,003 0,003 0,006 0,000 0,000 0,711 0,178 0,000 0,000 0,000 0,000 0,100 0,100 0,178 0,000 0,178 0,267 0,233 0,198 0,001 0,002 0,003 0,001 0,045 0,036 0,073 0,174 0,194 0,000 0,000 0,000 0,100 0,178 0,010 0,001 0,044 0,005 0,001 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000
Ket: * berbeda nyata pada α = 0,05; tn tidak berbeda nyata.
39
Bartlett's Test * tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn * tn * tn * tn tn tn tn
Warna biji dan fuli secara statistik tidak berubah secara nyata di semua ekotipe. Beberapa karakter seperti bentuk ujung dan pangkal buah, dan bentuk pohon cenderung bervariasi antar ekotipe. Berdasarkan analisis klaster 21 karakter morfologi pada 60 tanaman sampel diperoleh tiga varian pala Banda masing-masing dengan 54, 4, dan 2 anggota tanaman. Ketiga klaster berikut jarak sentroid masing-masing klaster tampak pada Tabel 10. Varian pertama ditemukan di enam ekotipe (90%), varian kedua di ekotipe Tidore dan Luhu (7%), dan varian ketiga di ekotipe Ternate (3%). Tabel 10 Klaster dan jarak sentroid karakter morfologi tanaman pala Banyaknya pengamatan 54 4 2
Klaster Klaster 1 Klaster 2 Klaster 3
Jarak rata-rata dari sentroid 1,384 1,097 0,919
Jarak maksimun dari sentroid 2,277 1,345 0,919
Dendogram ketiga klaster atau kelompok populasi pala menurut karakter morfologinya tampak pada Gambar 6. Jarak rata-rata klaster 1, 2, dan 3 terhadap sentroid adalah masing-masing 1,384; 1,097; dan 0,919. Indeks Kesamaan 44
63
81
33 38 26 43 44 50 15 48 3 25 41 23 1 2 28 45 37 27 39 16 40 4 7 6 9 8 42 10 36 46 20 34 32 17 35 59 19 31 29 5 30 49 12 13 14 60 22 53 47 18 11 24 21 51 52 54 57 56 55 58
100 Nomor pengamatan (pohon)
Gambar 6 Dendogram sifat morfologi tanaman pala Banda.
40
Pengamatan terhadap tinggi pohon, jumlah cabang, dan lingkar batang pala menunjukkan adanya korelasi. Pada Tabel 11 tampak tinggi pohon berkorelasi negatif dengan jumlah cabang, tetapi hubungan tersebut tidak signifikan. Korelasi serupa terjadi antara lingkar batang dan jumlah cabang. Terhadap tinggi pohon dan lingkar batang, terdapat korelasi yang signifikan pada pengamatan di Banda dan Ambon, tetapi tidak di Luhu. Pala Maluku Utara menunjukkan adanya korelasi negatif antara lingkar batang dan jumlah cabang (Ternate dan Bacan). Yang terakhir disebut korelasinya signifikan. Korelasi yang signifikan terjadi pada pengamatan di Bacan antara tinggi pohon dan jumlah cabang, dan antara lingkar batang dan jumlah cabang (keduanya korelasi negatif), serta antara tinggi pohon dan lingkar batang (korelasi positif). Tabel 11
Koefisien korelasi tinggi pohon, jumlah cabang, dan lingkar batang pohon pala Banda Maluku
Banda X2 X3
Ambon X1 -0,78 tn (0,830) 0,83** (0,003)
X2 -0,24 tn (0,506)
X2 X3
Luhu
X1 -0,04 tn (0,919) 0,98** (<1%)
X2 -0,11 tn (0,754)
X2 X3
X1 -0,44 tn (0,209) 0,89 tn (0,001)
X2 -0,63 tn (0,051)
Ket.: X1 = tinggi pohon, X2 = jumlah cabang, X3 = lingkar batang. Angka dalam kurung adalah nilai peluang nyata.
Tabel 12 Koefisien korelasi tinggi pohon, jumlah cabang, dan lingkar batang pohon pala Banda Maluku Utara Ternate
Tidore
X2
X1 0,22 tn (0,541)
X2 -
X3
0,22 tn (0,546)
-0,18 tn (0,624)
Bacan
X2
X1 0,49 tn (0,153)
X2 -
X3
0,29 tn 0,29 tn (0,406) (0,417)
X2
X1 -0,78** (0,007)
X2 -
X3
0,64* (0,048)
-0,64* (0,047)
Ket.: X1 = tinggi pohon, X2 = jumlah cabang, X3 = lingkar batang. Angka dalam kurung adalah nilai peluang nyata.
Pengamatan lainnya menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan (nilai P < 0,05) antara produksi buah dengan tinggi pohon, jumlah cabang, dan lingkar batang, kecuali pengamatan di ekotipe Ternate. Bentuk hubungan yang
41
dinyatakan dalam persamaan regresi tampak pada Tabel 13. Persamaan regresi secara umum mengindikasikan bahwa tinggi pohon dan jumlah cabang berkontribusi secara nyata dan positif terhadap produksi buah; sedangkan produksi dan lingkar batang korelasinya tidak tegas (positif atau negatif). Variasi model yang ditunjukkan oleh koefisien determinasi R2 yang nyata yang berkisar antara 71,8 dan 95,6%. Untuk pala Maluku, tinggi pohon dan lingkar batang secara signifikan tidak menentukan variasi produksi pala, tetapi jumlah cabang nyata berpengaruh. Untuk Maluku Utara, terjadi korelasi dengan pola serupa, kecuali di ekotipe Bacan yang produksi palanya dipengaruhi secara nyata oleh tinggi pohon. Berdasarkan analisis korelasi juga diketahui bahwa jumlah cabang nyata menentukan variasi produksi pala pada enam ekotipe. Tabel 13
Regresi produksi buah (Y) terhadap tinggi pohon (X1), jumlah cabang (X2), dan lingkar batang (X3) pala
Maluku
Persamaan regresi
P
R2 (%)
Banda
Ybanda = 1759 - 34,3 X1 + 14,4 X2 + 2,41 X3
0,01
74,4*
Ambon
Yambon = 2138 + 55,4 X1 + 5,68 X2 - 19,5 X3
0,004
81,6*
Luhu
Yluhu = - 598 - 8,0 X1 + 29,3 X2 + 2,17 X3
0,002
85,9*
Yternate = 811 + 25,4 X1 + 9,84 X2 - 1,01 X3
0,014
71,8*
Tidore
Ytidore = 565 + 9 X1 + 12,1 X2 + 2,73 X3
0,002
84,2*
Bacan
Ybacan = - 263 + 17,4 X1 + 23,3 X2 - 0,83 X3
< 1%
95,6*
Maluku Utara Ternate
Ket: * signifikan pada α = 0,05.
Produksi Pala Pengamatan produksi pala mencakup jumlah buah, bobot buah, dan bobot fuli di dua elevasi, 0 sampai 50 m dpl (elevasi 1) dan 250 sampai 300 m dpl (elevasi 2). Tabel 14 menunjukkan jumlah dan bobot buah pada kedua elevasi tidak berbeda nyata. Pada dua elevasi, produksi buah pala ekotipe Banda berbeda dari ekotipe lainnya, kecuali ekotipe Luhu pada elevasi 2. Pada produksi biji terdapat perbedaan terutama bobot kering antara elevasi 1 dan 2 di semua ekotipe kecuali Bacan (Tabel 15). Dalam bobot biji segar kedua
42
Tabel 14 Rata-rata produksi buah pala Banda menurut ekotipe di dua elevasi Lokasi
Ekotipe
Jumlah (buah/pohon) elev.1 elev.2 a
Banda Maluku
Ambon Luhu
Maluku Utara
2.336
a
2.648
a
167,16
,
a
,
147,67
,
a
a
a
2.145 ,* 1.820 ,* a a 2.109 ,* 2.111 ,tn a
Ternate
1.720 ,*
Tidore
1.764 ,*
Bacan
1.814 ,* 335,04
Dunnett
Bobot (kg/pohon) elev.1 elev.2
a a
100,65 ,* a
120,21 ,*
a
a
1.631 ,* a
a
a
a
118,43 ,* 69,50 ,* a
70,68 ,*
71,95 ,*
a
1.794 ,* 357,34
a
85,24 ,* a
73,35 ,*
1.795 ,*
,
a
89,17 ,* 28,24
88,11 ,* 26,37
Ket.: Angka pada elev. 1 dan elev. 2 dengan huruf sama tidak berbeda nyata dengan uji T0,05. * berbeda nyata dengan uji Dunnett 0,05 (angka-angka sekolom dibandingkan dengan Banda); tn tidak berbeda nyata.
elevasi sama, ke ekotipe Ambon. Pada tabel juga tampak bobot segar pala ekotipe Banda sama dengan ekotipe lainnya kecuali ekotipe Ambon pada elevasi 2. Dalam bobot kering, secara statistik tidak ada perbedaan antara pala ekotipe Banda dengan ekotipe lainnya kecuali Bacan. Tabel 15 Rata-rata produksi biji pala menurut ekotipe di dua elevasi Lokasi
Maluku
Maluku Utara
Dunnett
Ekotipe
Bobot segar (kg/pohon) Bobot kering kg/pohon) elev.1 elev.2 elev.1 elev.2
Banda
23,58
a
a
, a
Ambon
16,19 ,*
Luhu
15,44 ,*
Ternate
10,68 ,*
Tidore
10,59 ,*
Bacan
12,62 ,* 3,67
a a a a
20,75
b
13,80 ,* a
15,56 ,* a
10,12 ,* a
10,66 ,* a
b
a
,
12,52 ,* 3,68
13,99
, a
9,60 ,* a
9,16 ,* a
6,33 ,* a
6,28 ,* a
7,48 ,* 2,18
12,27
,
b
8,18 ,* b
9,22 ,* b
6,00 ,* b
6,34 ,* a
7,43 ,* 2,18
Ket.: Angka pada elev. 1 dan elev. 2 dengan huruf sama tidak berbeda nyata dengan uji T0,05. * berbeda nyata dengan uji Dunnett 0,05 (angka-angka sekolom dibandingkan dengan Banda); tn tidak berbeda nyata.
43
Produksi fuli antara elevasi 1 dan 2 secara statistik tidak berbeda di semua ekotipe kecuali Bacan. Di ekotipe Bacan produksi fuli (bobot kering) pada elevasi 0 sampai 50 m dpl lebih tinggi daripada elevasi 250 sampai 300 m dpl (Tabel 16). Selain ekotipe Luhu semua ekotipe lainnya memperlihatkan perbedaan dalam produksi fuli dengan ekotipe Banda. Tabel 16 Rata-rata produksi fuli pala menurut ekotipe Lokasi
Ekotipe
Bobot basah (kg/pohon) elev.1 elev.2
Banda Maluku
Maluku Utara
a
a
4,60
,
a
4,17
a
,
Bobot kering (kg/pohon) elev.1 elev.2 a
2,51
a
,
a
2,28
a
,
Ambon
2,94 ,*
2,53 ,*
1,61 ,*
1,39 ,*
Luhu
3,83 ,tn
Ternate
1,32 ,*
Tidore
1,25 ,*
3,78 ,tn a 1,26 ,* a 1,27 ,*
2,10 ,tn a 0,72 ,* a 0,69 ,*
2,07 ,tn a 0,69 ,* a 0,70 ,*
Bacan
2,10 ,*
2,07 ,*
1,15 ,*
1,13 ,*
1,39
1,287
0,63
0,64
Dunnett
a
a a a
a
a
a
a
a
b
Ket.: Angka pada elev. 1 dan elev. 2 dengan huruf sama tidak berbeda nyata dengan uji T0,05. * berbeda nyata dengan uji Dunnett 0,05 (angka-angka sekolom dibandingkan dengan Banda); tn tidak berbeda nyata.
Berdasarkan kriteria pada Lampiran 1, IDbuah dan IDbiji pala Banda tidak menunjukkan variasi yang berarti, yaitu semuanya berbentuk oval (Tabel 17). ID, yaitu nisbah antara diameter panjang terbesar dengan diameter lebar terbesar buah/biji stabil di enam ekotipe. Tabel 17 Indeks ukuran buah dan biji pala (ID) Ekotipe Maluku: 1. Banda 2. Ambon 3. Luhu Ekotipe Maluku Utara: 4. Ternate 5. Tidore 6. Bacan
Proksimat Buah
44
IDbuah 1,18 1,25 1,16
IDbiji 1,16 1,22 1,16
1,25 1,25 1,15
1,19 1,22 1,19
Tabel 18 memperlihatkan bahwa kadar air buah pala ekotipe Banda berbeda nyata dengan ekotipe lainnya kecuali Ambon. Kadar air buah pala tertinggi dijumpai pada pala Tidore, yaitu hampir 88%. Pada ekotipe Maluku, pala ekotipe Luhu mengandung air lebih tinggi dari Banda. Tabel 18 Kadar air buah pala menurut ekotipe Maluku 1. Banda 2. Ambon 3. Luhu Maluku Utara 4. Ternate 5. Tidore 6. Bacan Dunnett
76,28 83,55 86,45
Kadar air (%) 82,15 80,46 85,65
80,11 84,15 86,24
86,45 88,12 87,53
85,26 87,91 86,54
85,41 86,88 87,12
Rataan 79,51 82,72tn 86,11* 85,71* 87,64* 87,06* 3,63
Ket: * berbeda nyata dengan uji Dunnett 0,05; tn tidak berbeda nyata.
Dalam hal kandungan protein, tidak ditemukan adanya perbedaan yang nyata. Seperti tampak pada Tabel 19, kandungan protein buah pala ekotipe Banda sama dengan yang lainnya yang berkisar 0,24 hingga 0,40%. Variasi kadar protein dalam buah pala sangat kecil, baik dalam maupun antar ekotipe. Tabel 19 Kadar protein buah pala menurut ekotipe Maluku 1. Banda 2. Ambon 3. Luhu Maluku Utara 4. Ternate 5. Tidore 6. Bacan Dunnett
Kadar protein (%) 0,37 0,32 0,34 0,54 0,33 0,32 0,30 0,24 0,4
Rataan 0,34 0,40tn 0,31tn
0,32 0,33 0,25
0,34tn 0,34tn 0,24tn 0,16
0,31 0,35 0,22
0,40 0,33 0,26
Ket: tn tidak berbeda nyata dengan uji Dunnett 0,05.
Seperti hal kadar protein, pala ekotipe Banda juga memperlihatkan kadar lemak yang sama dengan pala ekotipe lainnya yang berkisar 0,18 sampai 0,28%. Variasi kandungan lemak pala kedua ekotipe juga kecil (Tabel 20).
45
Pada Tabel 21 dapat dilihat bahwa kadar pektin pala ekotipe Ambon dan Luhu secara statistik sama, tetapi tidak dengan pala dari Maluku Utara. Pala Maluku Utara mengandung pektin lebih tinggi daripada ekotipe Banda. Pada Tabel 20 Kadar lemak buah pala menurut ekotipe Maluku 1. Banda 2. Ambon 3. Luhu Maluku Utara 4. Ternate 5. Tidore 6. Bacan Dunnett
0,21 0,24 0,25
Kadar lemak (%) 0,22 0,25 0,25 0,26 0,25 0,33
0,19 0,21 0,20
0,18 0,25 0,19
0,17 0,31 0,19
Rataan 0,23 0,25tn 0,28tn 0,18tn 0,26tn 0,19tn 0,07
Ket: tn tidak berbeda nyata dengan uji Dunnett 0,05.
Tabel 21 juga menunjukkan bahwa pala ekotipe Tidore mengandung pektin 8,36% yang melebihi yang lainnya. Kadar pektin pala Banda berkisar 6,17 sampai 8,36%. Tabel 21 Kadar pektin buah pala Banda menurut ekotipe Maluku 1. Banda 2. Ambon 3. Luhu Maluku Utara 4. Ternate 5. Tidore 6. Bacan Dunnett
6,89 6,64 6,15 7,56 8,49 8,13
Kadar pektin (%) 5,98 6,66 7,12 6,84 6,11 6,25 7,77 8,25 8,22
7,54 8,33 7,98
Rataan 6,51 6,87tn 6,17tn 7,62* 8,36* 8,11* 0,56
Ket: * berbeda nyata dengan uji Dunnett 0,05; tn tidak berbeda nyata.
Edible portion (EP) yang merupakan proporsi bobot daging buah terhadap
bobot total, memperlihatkan variasi yang kecil. Tabel 22 memperlihatkan adanya Tabel 22 Edible portion buah pala Banda menurut ekotipe Maluku 1. Banda 2. Ambon 3. Luhu
Edible portion (%) 81,75 82,89 82,54 83,25 83,34 84,10 82,24 81,96 82,26
Maluku Utara
46
Rataan 82,39 83,56 tn 82,15 tn
4. Ternate 82,45 81,48 83,25 82,39 tn 5. Tidore 84,75 83,38 82,55 83,56 tn 6. Bacan 84,12 84,46 84,11 84,23 * Dunnett 1,57 kesamaan dalam sifat EP pala ekotipe Banda dengan ekotipe lainnya kecuali ekotipe Bacan.
Ekotipe Bacan memiliki pala dengan EP lebih besar bila
dibandingkan dengan ekotipe Banda. Analisis Komponen Utama Analisis komponen utama (KU) terhadap faktor iklim dan tanah memperlihatkan bahwa iklim dan tanah adalah faktor yang mencirikan kondisi ekotipe pala di Maluku dan Maluku Utara dengan menyusun tiga komponen utama (KU1, KU2, dan KU3) dengan keragaman kumulatif sekitar 88,6% (Tabel 23). Dua KU lainnya (KU4 dan KU5) tidak diperhitungkan karena tiga KU pertama sudah cukup menjelaskan keragaman. Unsur-unsur iklim dan tanah yang menjadi komponen penyusun KU terdapat pada Lampiran 5. Ketiga KU faktor iklim dan tanah masing-masing memberikan kontribusi keragaman atau penciri ekotipe sebesar 8,3; 5,0; dan 3,5% (Tabel 23). Bila dilihat dari KU1, tiga faktor lingkungan, yaitu kandungan C-organik, Mg, dan N-total tanah merupakan penciri utama ekotipe menyusul KU2 yang dicirikan secara dominan oleh pH, DHL (daya hantar listrik), dan tektur tanah, yaitu kandungan fraksi debu (Tabel 24). KU3 dengan kontribusi keragaman sekitar 18% dicirikan oleh kejenuhan basa, curah hujan, dan KTK. Tabel 23 Eigenvalues matriks korelasi KU variabel iklim dan tanah KU
Eigenvalue
Selisih
Proporsi
Kumulatif
KU1
8,30838
3,28845
0,437283
0,43728
KU2
5,01993
1,52206
0,264207
0,70149
KU3
3,49787
1,94502
0,184098
0,88559
KU4
1,55285
0,93188
0,081729
0,96732
KU5
0,62098
0,62098
0,032683
1,00000
Analisis selanjutnya menunjukkan bahwa C-organik, Mg, dan N-total tanah adalah faktor dominan yang dapat dipakai sebagai atribut keragaman ekotipe dengan kontribusi masing-masing 2,76% (hasil perkalian antara nilai eigenvektor dan eigenvalue); 2,76%; dan 2,70%, disusul faktor pH dan DHL. Faktor pH dan
47
DHL sebagai penciri dominan kedua setelah C-organik, Mg, dan N-total memberikan kontribusi keragaman pada ekotipe masing-masing sebesar 2,09% dan 1,96%.
Curah hujan, kejenuhan basa, dan KTK juga dapat dipertimbangkan
sebagai penciri ekotipe berikutnya, tetapi kontribusinya relatif kecil (<1,5%). Tabel 24 Eigenvektor empat KU variabel iklim dan tanah Variabel
KU1
KU2
KU3
KU4
Keterangan
X1 X2 X3 X4
-0,12888 -0,210890 -0,26394 -0,096560 0,277604 0,175655 -0,24840 0,106055
0,422526 0,095185 0,321636 0,088128 -0,107461 -0,324130 -0,322124 0,201158
C. hujan (mm/bln) H. hujan Suhu udara (0C) Penyinaran (%)
X5 X6 X7 X8
0,256804 -0,070114 -0,075678 0,415672 0,332629 0,001863 0,325427 -0,063293
0,307387 0,008992 0,013513 0,036385
Kelembapan (%) pH C-org N-total
X9 X10 X11 X12
0,241649 -0,255464 0,152289 0,391322 0,235369 0,321772 0,332424 -0,003043
0,021463 0,339657 -0,016358 0,132930 0,001449 0,111332 -0,079983 -0,193431
P DHL Ca Mg
X13 X14 X15 X16
0,274562 0,259843 0,170065 0,082416
-0,067324 -0,040831 0,409220 -0,499554
K Na KTK Kejenuhan basa (%)
X17 X18
-0,123210 0,342738 0,022700 -0,387945
0,115527 -0,044844 -0,179725 -0,136108
Fraksi pasir (%) Fraksi debu (%)
X19
0,211969
0,175060
Fraksi liat (%)
-0,100967 -0,255578 0,156761 0,034345
0,176662
-0,243325 -0,046879 -0,203952 -0,223708
0,439447 0,199263 0,180170 0,203493
0,417763
Berdasarkan analisis KU mengenai kontribusi masing-masing faktor iklim dan tanah dalam mencirikan ekotipe diketahui bahwa ekotipe pala terdiri atas empat ekotipe. Empat ekotipe tersebut adalah ekotipe 1 (Ambon, Bacan, dan Ternate), ekotipe 2 (Banda), ekotipe 3 (Luhu), dan ekotipe 4 (Tidore). Pada Gambar 7 tampak bahwa ekotipe Ambon, Bacan, dan Ternate berdasarkan KU1 dan KU2 merupakan ekotipe yang sekelompok dengan faktor penciri dominan (dengan urutan kontribusi terbesar ke terkecil) adalah C-organik, Mg, N-total, pH, dan DHL. Lima penciri utama ekotipe 1 didominasi oleh faktor tanah. Faktor iklim, yaitu curah hujan tergolong penciri dominan ketiga. Analisis KU selanjutnya yang me-
48
libatkan gabungan 19 faktor iklim dan tanah serta 29 karakteristik tanaman pala juga menghasilkan empat ekotipe tetapi dengan komposisi yang berbeda (Gambar 8). 3
D
L
2
KU2
1 0 T
-1
C
A
A Ambon C Bacan B Banda L Luhu T Ternate D Tidore
-2 -3
B
-4 -3
-2
-1
0
1
2
3
4
KU1 Gambar 7 Plot KU1 dan KU2 variabel iklim dan tanah. Keempat ekotipe baru tersebut adalah Ambon dan Banda (selanjutnya disebut ekotipe Banda), ekotipe Luhu, ekotipe Bacan dan Ternate (selanjutnya disebut ekotipe Ternate), dan ekotipe Tidore. Tabel 25 Eigenvalues matriks korelasi KU gabungan variabel iklim, tanah, dan karakteristik pala KU
Eigenvalue
Selisih
Proporsi
Kumulatif
KU1
19,9315
9,78393
0,415240
0,41524
KU2
10,1476
2,18117
0,211408
0,62665
KU3
7,9664
2,08381
0,165967
0,79262
KU4
5,8826
1,81076
0,122554
0,91517
KU5
4,0719
4,07186
0,084830
1,00000
Pengelompokkan enam ekotipe ke dalam empat ekotipe baru didasarkan pada kontribusi faktor iklim dan tanah, terutama N-total (kontribusi 4,15%), kelembaban udara (kontribusi 4,08%), dan penyinaran matahari (kontribusi 4,06%);
49
dan faktor karakteristik tanaman pala, terutama indeks kesamaan DNA (kontribusi 4,28%), produksi fuli (4,26%), dan kandungan senyawa aromatik (kontribusi 4,00%). Faktor iklim, tanah, dan karakteristik pala secara bersama-sama memberikan kontribusi sekitar 42% (KU1) sebagai penciri ekotipe pala di Maluku dan Maluku Utara.
5
A C B L T D
D
4
L
3
KU2
2 1
Ambon Bacan Banda Luhu Ternate Tidore
0
C
-1 -2
A
T
-3
B
-4 -5
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
5
KU1 Gambar 8 Plot KU1 dan KU2 gabungan variabel iklim, tanah, dan karakteristik pala. Setelah N-total, kelembaban udara, penyinaran matahari, indeks kesamaan DNA, produksi fuli, dan kandungan senyawa aromatik, ekotipe juga dapat dibedakan menurut DHL, kadar Ca, tektur tanah, miristisin, safrol, dan KA buah. Keenam faktor yang disebut terakhir menyusun KU2 dengan kontribusi (bersama faktor lainnya) sebesar 21%. Deskriptor Pala Menurut Ekotipe Berdasarkan data morfologi dan agro-ekologi, tipikal karakteristik tanaman pala Banda secara umum dapat digambarkan dalam sebuah deskriptor. Deskriptor merupakan pedoman pendeskripsian yang berguna dalam menggambarkan karakteristik umum dan khusus tanaman (IPGRI 1995). Selain itu, deskriptor juga sangat berguna untuk identifikasi plasmanutfah pala.
50
Tabel 26 Variabel KU1 X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 X9 X10 X11 X12 X13 X14 X15 X16 X17 X18 X19 X20 X21 X22 X23 X24 X25 X26 X27 X28 X29 X30 X31 X32 X33 X34 X35 X36 X37 X38 X39 X40 X41 X42 X43 X44 X45 X46 X47 X48
0,000844 -0,102683 0,138316 -0,204439 0,204895 -0,080980 0,203712 0,208398 0,164410 0,053337 0,113112 0,187720 0,157357 0,169782 0,145769 -0,028925 -0,075947 0,015316 0,127536 -0,143582 -0,081149 -0,162400 -0,164115 -0,098317 0,198140 0,190050 0,213973 -0,103516 0,048838 0,148106 -0,193790 0,175607 -0,088450 -0,089476 0,013859 0,115063 -0,117894 -0,169106 -0,104030 0,111957 0,146263 -0,201433 0,005060 -0,192754 -0,117328 -0,089534 0,205297 0,215069
Eigenvektor empat KU gabungan variabel iklim, tanah, dan karakteristik tanaman pala KU2 -0,162033 -0,103831 0,137791 0,055159 -0,032536 0,249944 0,044401 -0,001869 -0,104987 0,291862 0,262497 0,035609 0,012680 -0,105430 0,138323 0,059635 0,228629 -0,278995 0,165527 0,219577 0,004732 0,015102 -0,152241 -0,094079 -0,120838 -0,149659 -0,079343 0,046019 -0,049677 0,208470 0,063390 -0,051854 0,040590 0,039274 -0,119866 0,109076 0,143451 0,108822 -0,149999 0,214422 -0,029569 -0,093088 -0,294576 -0,021152 -0,266707 0,196075 0,009019 -0,047571
KU3 0,246951 0,222659 -0,190783 -0,048939 0,028835 0,039875 -0,133988 -0,128052 0,041858 0,006225 -0,024318 -0,153526 0,020347 -0,043701 0,198437 -0,191506 0,004292 -0,081512 0,183063 -0,109305 0,207893 0,074679 -0,075411 0,202608 -0,031281 0,030791 -0,051352 0,062864 0,286572 0,107419 0,054876 0,188069 -0,222353 -0,221008 -0,312375 0,241240 0,164375 -0,130513 0,195882 0,005237 -0,003569 -0,092657 0,065657 -0,169068 0,012855 0,166586 -0,120211 -0,030979
KU4 -0,204985 -0,220209 0,068109 0,090701 -0,092990 0,003052 0,029248 0,013323 0,145975 0,090924 0,079096 0,114698 0,212351 0,118283 -0,099924 0,303329 -0,243214 0,159489 0,147859 -0,024242 0,268912 0,237177 0,028517 0,255455 0,063370 0,024644 -0,010276 -0,267330 0,000345 -0,027663 0,005520 -0,111493 -0,264065 -0,264407 0,107768 -0,107595 0,174933 0,04963 0,203758 0,041132 -0,019729 0,070466 -0,111142 0,062458 -0,005640 0,139258 0,016464 -0,073224
51
Keterangan Curah hujan bulanan (mm) Hari hujan bulanan Suhu (0C) Penyinaran matahari (%) Kelembaban udara (%) pH (H2O) C-0organik (%) N-Total (%) P (ppm) DHL (uS/cm) Ca (me/100 g) Mg (me/100 g) K (me/100 g) Na (me/100 g) KTK (me/1oo g) Kejenuhan Basa (%) Fraksi pasir (%) Fraksi debu (%) Fraksi liat (%) Kadar air buah (%) Indeks ukuran daun Indeks warna buah Bentuk pangkal buah Panjang tangkai buah Produksi buah (kg/phn) Produksi biji (kg kering /phn) Produksi fuli (kg kering/phn) Edible portion (%) Kadar protein buah (%) Kadar lemak buah (%) Kadar pektin buah (%) Kadar minyak biji tua (%) Kadar air biji tua (%) Kadar air fuli (%) Bobot jenis minyak pala (g/ml) Indeks bias minyak pala Putaran optik minyak pala Sisa penguapan (%) Kadar minyak fuli (%) Hidrokarbon monoterpen (%) Monoterpen teroksigenasi (%) Senyawa aromatik (%) Miristisin (%) Elemisin (%) Safrol (%) Eugenol (%) SI DNA OPE-10 (%) SI DNA OPE-11 (%)
Komponen utama sebuah deskriptor pala adalah dekripsi tentang lingkungan dan lokasi ekologis, deskripsi tanaman pala itu sendiri, dan deskripsi evaluasi tanaman. Deskripsi tanaman mempunyai komponen atau unsur yang berfungsi menjelaskan karakteristik tertentu tanaman. Dalam penyusunan suatu deskriptor diperlukan data lapangan dan laboratorium. Penelitian sederhana kadang-kadang diperlukan untuk menghasilkan deskriptor yang lebih lengkap. Tabel 27 adalah deskriptor pala Banda tipikal empat ekotipe di Maluku dan Maluku Utara. Deskriptor disusun untuk tanaman pala spesies Myristica fragrans Houtt. Pembahasan Maluku dan Maluku Utara adalah wilayah dengan fisiografi pegunungan dengan kemiringan lahan rata-rata 40%. Berdasarkan Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Bogor, agroekologi Maluku tergolong ke dalam zona Iax, IIIax, dan IVax (Anonim 2003). Zona Iax, IIIax, dan IVax menurut Trojer (1976) adalah kawasan dengan ketinggian < 750 m dpl, rejim suhu panas (isohipertermik) dan beriklim lembab. Seperti halnya Maluku, Maluku Utara memiliki karakteristik agroekologi dengan tiga zona: Iax, IIax, dan IIIax. Secara umum, karakteristik agroekologi Maluku Utara tidak jauh berbeda dari Maluku. Pala, cengkeh, dan kelapa adalah tanaman perkebunan yang dominan di kedua daerah (Kaya et al. 2002). Kondisi iklim ekotipe Banda yang dicirikan oleh hujan tahunan lebih dari 2.500 per tahun dan kisaran suhu 23 - 31 0C serta kelembaban udara sekitar 80% sangat mendukung pertumbuhan dan perkembangan tanaman pala. De Guzman dan Siemonsma (1999) menyatakan bahwa hujan tahunan sebesar 2.000 sampai 3.500 mm tanpa periode kering yang berarti sesuai bagi perkembangan pala. Untuk menjaga pertumbuhan dan produksi, pala memerlukan naungan atau intensitas cahaya yang rendah sampai sedang (sekitar 50 sampai 70%). Naungan banyak diperlukan pada awal pertumbuhan namun semakin berkurang setelah tanaman mencapai umur produktif. Kondisi iklim Maluku Utara dengan intensitas penyinaran matahari kurang dari 60% ideal dan menguntungkan bagi pala yang memerlukan intensitas penyinaran matahari yang rendah hingga sedang.
52
Tabel 27 Deskriptor pala Banda (M. fragrans Houtt) empat ekotipe di Maluku dan Maluku Utara Deskripsilingkungan dan lokasi A. Karakterisasi/evaluasi lokasi 1. Lokasi 1.1. Letak lintang 1.2. Letak bujur 1.3. Elevasi [m dpl] 1.4. Nama tempat atau lokasi
2. Nama dan alamat evaluator 3. Waktu tanam [tahun] 4. Waktu panen [bulan] 5. Lingkungan evaluasi Lingkungan karakterisasi/evaluasi dilakukan 6. Daya kecambah benih [%] Batas waktu perkecambahan 6 minggu 7. Pertumbuhan di lapangan [%] Bibit yang tumbuh dan berkembang normal 8. Jarak tanam 8.1. Jarak antarbaris [m] 8.2. Jarak dalam baris [m] 9. Pemupukan Sebutkan jenis, dosis, frekuensi dan cara pemberian 10. Perlindungan tanaman Cara pengendalian organisme pengganggu yang diterapkan, pestisida yang digunakan, dosis, frekuensi dan pemberian B. Data karakteristik lokasi
Ekotipe Banda
Luhu
Ternate
Tidore
4032'39,7" LS 129054'39,4" BT 20 - 250 Pulau Banda dan Ambon Ilyas Marzuki, Ambon Antara 1950-1980 Maret, Juli, November Lapang
3023'01,6"LS 127058'17,4" BT 30 - 300 Luhu
02023'04,6" LU 126033'23,5" BT 25 - 300 Ternate dan Bacan
02016'04,6" LU 126034'23,5" 25 - 350 Tidore
Ilyas Marzuki, Ambon Antara 1953-1983 Maret dan Juli
Ilyas Marzuki, Ambon Antara 1960-1980 Maret dan Juli
Ilyas Marzuki, Ambon Antara 1970-1985 Maret dan Juli
Lapang
Lapang
Lapang
85
82
81
83
82
80
78
79
6-8 8 Tidak ada pemupukan
5-8 8 Tidak ada pemupukan
6-8 8 Tidak ada pemupukan
6-8 8 Tidak ada pemupukan
Tidak ada tindakan pengendalian hama/penyakit yang berarti
Tidak ada tindakan pengendalian hama/penyakit yang berarti
Tidak ada tindakan pengendalian hama/penyakit yang berarti
Tidak ada tindakan pengendalian hama/penyakit yang berarti
53
Deskripsilingkungan dan lokasi 1. Karakteristik lokasi 1.1. Topografi 1.2. Bentuk lahan dataran tinggi (sifat fisiografi umum) 2. Kemiringan [derajat] Perkiraan tingkat kemiringan lahan lokasi 3. Bentuk kemiringan Bentuk kemiringan adalah bentuk umum kemiringan pada arah vertikal dan horizontal 4. Vegetasi dominan di lokasi dan sekelilingnya 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Kekerasan tanah Drainase tanah Salinitas tanah (μS/cm) Kualitas air tanah Kedalaman tanah sampai permukaan air tanah (cm) Kelengasan tanah Kemasahan/pH Tanah Nilai pH tanah yang diukur pada kedalaman sekitar perakaran tanaman. Tingkat erosi tanah Warna matriks tanah Warna tanah di daerah perakaran dicatat pada kondisi tanah lembab memakai bagan warna Munsell Soil Color Charts
14. Kelas tekstur tanah Gunakan metode segitiga tekstur-tanah
Ekotipe Banda
Luhu
Ternate
Tidore
Berbukit Pegunungan
Bergunung Pegunungan
Bergunung, >30% Pegunungan
Bergunung Pegunungan
10-400
15-330
25-400
15-400
Tak beraturan
Tak beraturan
Tak beraturan
Tak beraturan
Kemiri dan Kelapa
Pohon buah (durian)
Pohon buah (durian)
Mudah diolah Baik 141-156 Segar > 150
Pohon buah (durian, mangga) Mudah diolah Baik 302 Segar > 150
Mudah diolah Baik 137-144 Segar > 150
Mudah diolah Baik 285 Segar > 150
Lembab 6,5 - 7,3
Lembab 7,6
Lembab 7,0 - 7,4
Lembab 7,8
Rendah Coklat kemerahan Lempung berpasir
Rendah Coklat kemerahan Lempung berpasir
Rendah Coklat kemerahan sampai hitam Lempung berpasir
Rendah Coklat kemerahan Lempung berpasir
Pasir:Debu:Liat (62,3:22,4:15,4)
Pasir:Debu:Liat (60,9:21,4:17,6)
Pasir:Debu:Liat (64,5:25,1:10,4)
Pasir:Debu:Liat (65,2:15,6:19,2)
54
Deskripsilingkungan dan lokasi
14.1.1. Kelas ukuran partikel tanah Klasifikasi taksonomi tanah (USDA, 1998) Diperoleh dari peta tinjau tanah
15. Sumber/ketersediaan air 16. Kesuburan tanah Dapat diperkirakan berdasarkan kondisi vegetasi setempat atau gunakan tanaman indikator, misalnya jagung. 17. Iklim lokasi 17.1. Suhu rata-rata [0C] 17.2. Curah hujan [mm/tahun] 17.3. Kecepatan angin [m/detik] 17.4. Kelembahan relatif (%) Nyatakan dalam kisaran per bulan 17.5. Penyinaran matahari (%) Deskripsi Tanaman C. Deskriptor tanaman 1. Pohon 1.1. Umur pohon [thn] 1.2. Jenis bibit 1.3. Vigor 1.4. Lebar kanopi (m) 1.5. Tinggi pohon (m) 1.6. Bentuk pohon 1.7. Permukaan batang 1.8. Lingkar batang [cm]
Ekotipe Banda
Luhu
Ternate
Tidore
Dystrudepts, Eutrudeptss, Hapludalfs, Hapludults, Hapludands, Hapludoxs Tadah hujan Sedang
Dystrudepts, Eutrudeptss, Hapludands, Hapludoxs
Dystrudepts, Eutrudeptss, Hapludands, Hapludoxs
Dystrudepts, Eutrudeptss, Hapludands, Hapludoxs
Tadah hujan Sedang
Tadah hujan Sedang
Tadah hujan Sedang
26,5 2500-2900 3,0 82 - 84
31,0 2000 3,1 82 - 88
26,6 2400 2,8 86 - 90
26,6 2400 2,7 86 - 90
56 - 57
40 - 68
43 - 68
43 - 68
20 - 50 Generatif (dari biji) Kekar -Sedang 3,5 - 4,5 6 - 12 Agak piramidal Sedang 30 - 50
20 - 40 Generatif (dari biji) Sedang 3,0 - 4,1 7 - 10 Agak piramidal Sedang 30 - 50
25 - 50 Generatif (dari biji) Kekar - Sedang 3,6 - 4,6 6 - 12 Agak piramidal Sedang 30 - 50
25 - 50 Generatif (dari biji) Sedang 3,5 - 4,0 6 - 12 Agak piramidal Sedang 30 - 50
55
Deskripsilingkungan dan lokasi
Diukur 50 cm di atas permukaan tanah. 1.9. Pola percabangan 1.10. Pola penyebaran percabangan 1.11. Sudut cabang utama (0) 1.12. Warna ranting muda (Termasuk daun muda di ujung ranting) 1.13. Permukaan ranting muda 1.14. Bentuk daun Dicatat setelah daun mekar sempurna 1.15. Bentuk pangkal daun 1.16. Panjang helai daun [cm] Rataan dari 10 daun tua dari 10 pohon 1.17. Indeks ukuran daun 1.18. Warna daun tua 1.19. Alur pada tangkai daun 1.20. Sudut tangkai daun 1.21. Tepi daun 1.22. Jumlah tulang daun primer 1.23. Relief pertulangan daun permukaan atas 1.24. Bentuk ujung daun 1.25. Tekstur daun 1.26. Aroma daun (Daun harus diremasremas) 2. Bunga 2.1. Lama waktu mulai berbunga sejak tanam [thn] 2.2. Musim berbunga utama 2.3. Pola pembungaan
Ekotipe Banda
Luhu
Ternate
Tidore
Ekstensif Agak horizontal Sedang (45-900) Hijau
Ekstensif Agak horizontal Sedang (45-900) Hijau
Ekstensif Agak horizontal Sedang (45-900) Hijau
Ekstensif Agak horizontal Sedang (45-900) Hijau
Licin (glabrous) Obovat
Licin (glabrous) Obovat
Licin (glabrous) Obovat
Licin (glabrous) Obovat
Runcing 12,5
Runcing 12,8
Runcing 13,5
Runcing 12,7
2,45 - 2,52 Hijau Tidak ada Sedang (45-900) Rata 14 - 20 Datar
2,31 Hijau Tidak ada Sedang (45-900) Rata 12 - 18 Datar
2,09 - 2,88 Hijau Tidak ada Sedang (45-900) Rata 14 - 18 Datar
2,91 Hijau Tidak ada Sedang (45-900) Rata 14 - 22 Datar
Runcing Agak keras Sedang
Runcing Agak keras Sedang
Runcing Agak keras Kuat
Runcing Agak keras Sedang
5-7
5-7
5-7
5-7
Desember, April Sepanjang tahun
Desember, April Sepanjang tahun
Desember, April Sepanjang tahun
Desember, April Sepanjang tahun
56
Deskripsilingkungan dan lokasi
2.4. Sifat meranggas daun Dicatat saat musim berbunga 2.5. Posisi bunga 2.6. Diameter bunga 2.7. Warna bunga 2.8. Tipe bunga 2.9. Jumlah bunga per rangkaian 2.10. Panjang tangkai bunga [mm] 2.11. Bentuk stilus bunga 2.12. Ada/tidaknya polen 2.13. Ada/tidaknya nektar bunga 2.14. Ada/tidaknya perhiasan bunga (periantium) 3. Buah 3.1. Lama waktu buah pertama terbentuk setelah tanam [thn] 3.2. Lama waktu dari pembungaan hingga buah masak [bulan] 3.3. Musim berbuah 3.3.1. Mulai berbuah [bulan] 3.3.2. Akhir berbuah [bulan] 3.4. Sifat perbuahan
Ekotipe Banda Tidak ada
Luhu Tidak ada
Ternate Tidak ada
Tidore Tidak ada
Subterminal - Aksilar
Subterminal
Aksilar
Subterminal
Kuning gading
Kuning gading
Kuning gading
Sebagian besar diosius Betina: 2-3; Jantan: 3-7 12 - 17 sangat pendek (<2 mm) Ada Ada Tidak ada
Sebagian besar diosius Betina: 1-3; Jantan: 4-8 10 - 15 sangat pendek (<2 mm) Ada Ada Tidak ada
Kuning gadingkuning kehijauan Sebagian besar diosius Betina: 1-3; Jantan: 3-5 10 - 14 sangat pendek (<2 mm) Ada Ada Tidak ada
Sebagian besar diosius Betina: 1-3; Jantan: 3-5 11 - 16 sangat pendek (<2 mm) Ada Ada Tidak ada
5
5
5
5
6-7
6-7
6-7
6-7
Februari dan Juni Tidak jelas batasnya Secara terusmenerus
Februari dan Juni Tidak jelas batasnya Secara terus
Februari dan Juni Tidak jelas batasnya menerus
Februari dan Juni Tidak jelas batasnya Secara terus
57
Deskripsilingkungan dan lokasi
3.5. 3.6. 3.7. 3.8.
Bentuk buah (IDbuah) Permukaan kulit buah Keseragaman ukuran buah Bobot buah [g] Rata-rata hasil dari 50 buah 3.9. Bentuk pangkal buah 3.10. Bentuk ujung buah 3.11. Glosi kulit buah 3.12. Panjang tangkai buah [cm] 3.13. Diameter tangkai buah [mm] Dicatat pada bagian tengah 3.14. Warna tangkai buah Dicatat pada buah matang yang ternaungi dari cahaya matahari 3.15. Warna kulit buah matang 3.16. Tingkat diskolorisasi buah setelah 1 jam 3.17. Warna diskolorisasi 4. Biji 4.1. Bentuk biji (IDbiji) 4.2. Bobot kering biji dengan batok [g] 4.3. Bobot kering biji tanpa batok [g] 4.4. Warna biji tua 4.5. Permukaan kulit biji tua 5. Arilus atau fuli 5.1. Warna fuli 5.2. Bobot basah fuli [g]
Ekotipe Banda 1,18 - 1,25 Halus Tinggi 46,98 - 63,26
Luhu 1,16 Halus Tinggi 56,00
Ternate 1,15 - 1,25 Halus Tinggi 42,65 - 49,19
Tidore 1,25 Halus Tinggi 40,07
Menonjol Bulat Sedang 2,04 - 2,22 2,2 - 3,4
Menonjol Bulat Sedang 1,83 1,9
Menonjol Bulat Sedang 0,22 - 1,96 2,0 - 2,2
Menonjol Bulat Sedang 2,29 2,2
Coklat
Coklat
Coklat
Coklat
Kuning gading Tinggi
Kuning gading Tinggi
Kuning gading Tinggi
Kuning gading Tinggi
Coklat kemerahan
Coklat kemerahan
Coklat kemerahan
Coklat kemerahan
1,19 - 1,26 6,38 - 7,13 2,28 - 4,48 Hitam kecoklatan Glosi
1,15 5,25 3,35 Hitam kecoklatan Glosi
1,22 - 1,29 5,58 - 6,11 3,68 - 4,21 Hitam kecoklatan Glosi
1,40 5,46 3,56 Hitam kecoklatan Glosi
Merah darah 2,94 - 4,78
Merah darah 1,25
Merah darah 1,32 - 2,10
Merah darah 1,25
Deskripsi Evaluasi
58
Deskripsilingkungan dan lokasi 1. Produksi 1.1. Hasil per pohon [kg per tahun] 1.1.1. Hasil buah 1.1.2. Hasil biji kering 1.1.3. Hasil fuli kering 1.2. Karakteristik produksi 1.3. Produktivitas [kg/tahun/ha] 1.3.1. Hasil biji kering 1.3.2. Hasil fuli kering 1.4. Lama buah bertahan di pohon hingga mencapai panen [bulan] 1.5. Kadar minyak [%] 1.5.1. Biji pala tua 1.5.2. Biji pala muda 1.5.3. Fuli 1.6. Kadar komponen atsiri utama (%) 1.6.1. Miristisin 1.6.2. Elemisin 1.6.3. Safrol 1.6.4. Eugenol
Ekotipe Banda
Luhu
Ternate
Tidore
100,65 - 167,16 9,60 - 13,98 1,61 - 2,51 Terus- menerus
120,21 9,16 2,10 Terus-menerus
73,35 - 89,17 6,33 - 7,48 0,72 - 1,15 Terus- menerus
70,68 6,28 0,69 Terus-menerus
711 - 1398 234 - 296 7-9
1025 291 7-9
1148 - 1313 131 - 196 7-9
1110 127 7-9
11,69 - 11,92 12,82 - 13,07 20,42 - 21,00
9,99 11,27 18,69
7,95 - 8,64 11,99 - 13,32 19,53 - 21,98
9,61 11,99 21,01
13,54 - 13,76 0,67 - 0,94 2,44 - 2,46 0,55 - 0,90
5,57 2,05 0,97 0,70
11,30 - 11,42 6,71 - 7,21 2,57 - 3,37 1,77 - 1,80
5,97 3,56 1,49 9,82
59
Penyinaran matahari bagi tanaman penting dalam pembentukan fotosintat dan akumulasi biomassa. Kondisi penyinaran rendah yang menguntungkan tersebut menjadi bertambah baik oleh curah hujan yang merata sepanjang tahun dengan rata-rata tidak kurang dari 150 mm per bulan. Buckmire (1992) menyatakan bahwa pala tumbuh baik di daerah yang beriklim lembab dengan curah hujan tahunan lebih dari 1.500 mm. Data curah hujan pada Tabel 6 menunjukkan bahwa kondisi kering (curah hujan < 75 mm/bulan) hanya berlangsung satu bulan. Selain kondisi iklim lokal, perkembangan pala juga berhubungan dengan kondisi tanah. Ekotipe Maluku dan Maluku Utara yang sebagian merupakan daerah vulkanik sangat menguntungkan bagi pala. Gunung Api di Pulau Banda yang dalam jangka waktu tertentu menyemburkan abu vulkan dan material lainnya sangat membantu dalam menggantikan hara mineral yang sekian lama digunakan oleh tanaman pala untuk pertumbuhannya. Perlu dijelaskan bahwa sebagian besar pertanaman pala di Maluku dan Maluku Utara terletak di lereng-lereng gunung yang membentuk tegakan hutan pala. Kondisi serupa terjadi di ekotipe Maluku Utara yang memiliki Gunung Gamalama yang terletak di Ternate, serta gunung vulkanik lainnya di Pulau Tidore dan Bacan sangat berperan dalam mendukung produktivitas pala. Analisis tanah menunjukkan bahwa kadar C-organik ekotipe Maluku lebih dari 2%. Kadar tersebut cukup untuk mendukung kebutuhan karbon organik tanaman pala. Kandungan bahan organik 2% bagi tanaman tahunan cukup memadai meskipun untuk pertumbuhan dan perkembangan yang optimal diperlukan bahan organik lebih dari 2%. Tidak seperti halnya di ekotipe Maluku, kadar Corganik ekotipe Maluku Utara lebih rendah, yaitu sekitar 1%. Sifat fisik lainnya yang mencirikan kedua ekotipe adalah tektur tanah lempung. Tanah bertekstur lempung umumnya baik dalam penyediaan air dan aerasi tanah bagi tanaman. Kedua daerah juga dicirikan oleh kadar P dan N yang sangat rendah. Kadar P< 10 ppm dan N< 1% tergolong sangat rendah untuk tanah jenis buah-buahan (Jones et al. 1991), dan oleh karena itu agar tanaman pala dapat tumbuh optimal, hara P dan N perlu diberikan. Faktor pendukung lainnya yang dimiliki kedua ekotipe adalah kejenuhan basa yang tinggi, pH sekitar normal, dan tidak terdapat logam berpotensi toksik, seperti Al.
60
Terhadap karakteristik morfologi, tanaman pala mengelompok ke dalam tiga klaster. Berdasarkan 21 karakter morfologi pala yang dipelajari, 54 pengamatan (90%) tergolong ke dalam satu klaster yang hampir seluruhnya mencirikan pala ekotipe Banda, Dua klaster lainnya yang masing-masing diwakili oleh 4 dan 2 pengamatan (Tabel 11) membentuk karakteristik yang berbeda. Pengamatan nomor 26 pala ekotipe Luhu dan nomor 43, 44, dan 50 pala ekotipe Tidore membentuk klaster 2; dan nomor 33 dan 38 pala ekotipe ternate menyusun klaster 3 (Tabel 10). Penyimpangan karakter morfologi, yaitu indeks ukuran daun, warna buah, bentuk pangkal buah, dan pangkal buah dari tipikal pala Banda, meskipun kecil, dapat menjadi atribut bagi suatu ekotipe. Secara umum dapat dikatakan bahwa karakteristik morfologi pala ekotipe Banda stabil di lingkungan ekotipe lainnya. Kestabilan karakter morfologi tersebut selain ditentukan oleh kemiripan faktor ekologis di antara lokasi, juga kemungkinan oleh faktor perilaku reproduksi pala yang kondisi populasi yang hampir seluruhnya adalah spesies M. fragrans Houtt. Penyerbukan silang sebagai bentuk utama persilangan seksual pala Banda hampir tidak mengubah secara berarti karakteristik morfologi. Dalam wilayah agroekolgi Maluku dan Maluku Utara, pala Banda tidak mengalami perubahan morfologi yang berarti sekalipun tumbuh di ekotipe berbeda di Maluku dan Maluku Utara. Mengacu pada kategori produktivitas pala pada Lampiran 1, pengamatan agronomi menunjukkan umumnya produksi pala per pohon di Maluku dan Maluku Utara tergolong sedang (1500 - 2500 buah/pohon). Produksi hingga 5.000 buah per pohon per tahun umum pada pertanaman pala yang berumur lebih dari 15 tahun yang mendapatkan input standar (pemupukan dua kali setahun, pengendalian hama/penyakit, dan pemangkasan pohon pelindung). Tingkat produksi demiki-an lazim dijumpai pada perkebunan-perkebunan pala Banda di Grenda (GCNA 2001).
Pada daerah tersebut, pohon pala umur delapan tahun dapat
menghasilkan 1000 buah bila diberikan pengelolaan yang standar (Rema dan Madan 2001). Pala ekotipe Banda hingga elevasi 300 m dpl menghasilkan buah sekitar 2500 per pohon yang setara dengan kira-kira 13 kg biji pala kering. Bila pertanaman pala dengan jarak tanam 8 m x 8 m diterapkan pada ekotipe Banda dengan kondisi iklim dan tanah seperti sekarang maka akan dicapai produktivitas
61
sekitar 2 ton pala kering per pohon per tahun.
Produktivitas tersebut kalau
dibandingkan dengan ekotipe lainnya masih lebih tinggi. Tingkat produksi pala yang demikian masih dapat ditingkatkan melalui perbaikan manajemen budi-daya tanaman. Secara umum tidak tampak variasi produksi (buah, biji, dan fuli) yang berarti pada elevasi 0 - 250 m dpl dan 250 - 300 m dpl, kecuali dalam bobot kering biji (Tabel 16). Bobot kering biji pala di elevasi 250 - 300 m dpl lebih rendah daripada elevasi 0 - 250 m dpl, kecuali di ekotipe Bacan. Perbedaan tersebut kemungkinan berkaitan dengan perubahan respon tanaman dengan perubahan elevasi. De Guzman dan Siemonsma (1999) berpendapat bahwa elevasi 0 - 700 m dpl sangat sesuai bagi pala. Produksi fuli pala ekotipe Banda lebih tinggi daripada ekotipe lainnya. Pohon pala ekotipe Banda menghasilkan sekitar 2,4 kg fuli kering dalam setahun atau setara 375 kg/ha. Tingkat produksi yang demikian masih memungkinkan untuk ditingkatkan dengan memberikan input teknologi pertanian. Produksi pala pada tingkat tersebut terkait dengan sistem budidaya alami yang diterapkan oleh petani. Pertanaman pala di Maluku sejak ditanam hingga tanaman berproduksi tidak mendapatkan pemupukan dan tidak diberi tindakan pengendalian hama dan penyakit yang berarti. Hama penggerek batang adalah hama utama pala, tetapi serangannya sangat rendah kurang dari 1%. Berdasarkan hasil analisis korelasi dan regresi terhadap produksi, tinggi pohon, jumlah cabang, dan diamater batang, dapat dinyatakan bahwa pala ekotipe Banda, Ambon, dan Bacan memperlihatkan korelasi positif antara tinggi dan lingkar batang. Analisis juga menunjukkan bahwa produksi buah lebih banyak ditentukan oleh jumlah cabang (Tabel 14). Hubungan yang demikian lazim karena pertambahan jumlah cabang hampir selalu diikuti dengan pertambahan jumlah buah, tetapi tidak halnya dengan tinggi pohon dan diameter batang meskipun tidak selalu demikian. Karakteristik pala lainnya yang memperlihatkan stabilitas tinggi adalah bentuk buah dan biji yang dinyatakan dalam indeks (ID). Buah dan biji pala ekotipe Banda meskipun telah berkembang dan dipengaruhi oleh kondisi agroekologi berbeda, bentuknya tetap stabil, yaitu oval. Bentuk buah/biji sebagai salah satu ka-
62
rakter kualitatif tanaman biasanya lebih stabil daripada karakter kuantitatif dari pengaruh perubahan lingkungan. Karakter kualitatif tanaman umumnya dikendalikan sederhana atau monogenik, sedangkan karakter kuantitatif seperti hasil produksi, pengendaliannya multigenik (Van Dam-Mieras et al. 1991). Isozim dan DNA pala Banda memperlihatkan pola ekspresi yang secara umum stabil, dan di ekotipe Ternate pala Banda memperlihatkan variasi tetapi sangat kecil. Berdasarkan data karakteristik morfologi dan agronomi tanaman kemudian disusun sebuah deskriptor yang berfungsi sebagai pedoman pendeskripsian pala Banda. Deskriptor pala Banda tipikal ekotipe Maluku dan Maluku Utara telah dihasilkan. Deskriptor dimaksud dapat digunakan secara nasional maupun internasional. Berdasarkan analisis proksimat, daging buah pala mengandung air cukup tinggi, yaitu sekitar 88%. Air adalah komponen yang paling banyak terdapat dalam buah yang mencapai sekitar 80% bobot segar (Fouri 1996). Pala ekotipe Banda kadar airnya sama dengan ekotipe Ambon, tetapi lebih rendah daripada ekotipe Luhu, Ternate, Tidore, dan Bacan (Tabel 19). Kadar air buah sangat pen-ting karena berhubungan dengan akseptibilitas produk. Selain kadar air, pala Banda juga memperlihatkan proporsi daging buah (EP) yang sama dengan ekotipe lainnya, kecuali Bacan (Tabel 23). Pala Bacan memiliki daging buah lebih banyak sehingga untuk tujuan industri manisan sangat baik. EP bersama-sama dengan KA penting bagi industri manisan pala. Rendahnya kadar air pala ekotipe Banda Maluku dibanding ekotipe lainnya di Maluku Utara kemungkinan terkait dengan kondisi ekologis tanah dan faktor genetik tanaman. Pengamatan lapangan menunjukkan bahwa solum tanah ekotipe Banda banyak mengandung bongkahan batuan berdiameter 25 - 50 cm. Batuan tersebut diduga merupakan material muntahan gunung api yang telah tertimbun dan menjadi bagian dari ekosistem Banda. Selain itu, di ekotipe Banda tidak ditemukan sumber air atau sungai yang menggambarkan adanya simpanan atau cadangan air lebih dalam tanah. Dengan demikian, ketersediaan cadangan air bagi tanaman pala menjadi terbatas. Karena absorbsi air oleh akar terbatas mengakibatkan penyerapan air tanah oleh tanaman juga terbatas. Dengan demikian pengaruh kondisi ekologis lahan terhadap terhadap kadar air buah tidak
63
bisa diabaikan kontribusinya. Selain itu, intensitas penyinaran matahari yang rendah (58%) dan suhu udara sedang (27 0C) juga dapat digunakan sebagai penjelasan atas karakteristik buah pala pala di ekotipe tersebut. Kadar protein dan lemak buah pala tidak berbeda di semua ekotipe. Lemak dalam buah biasanya terdapat dalam jumlah kecil. Lemak buah merupakan lemak nabati yang mengandung fitosterol dan lebih banyak mengandung asam lemak tak jenuh sehingga umumnya berbentuk cair. Secara umum, kadar lemak dalam buah < 1% dan bervariasi menurut jenis buah (Fouri 1996). Sejalan dengan keterangan Fourie (1996), kadar lemak pala Banda juga ditemukan rendah bahkan kurang dari 0,5%.
Kesamaan kadar protein dan lemak pala Banda kemungkinan terkait
dengan proses fisiologis dan faktor genetik. Seperti penjelasan sebelumnya, pala Banda memiliki identitas genetik yang sangat mirip di enam ekotipe. Pektin sebagai salah satu polisakarida banyak terkandung dalam buah karena merupakan bagian dari dinding sel primer tanaman (Fouri 1996). Hasil penelitian menunjukkan kadar pektin pala ekotipe Banda sama dengan ekotipe Ambon dan Luhu, tetapi lebih rendah daripada pala ekotipe Maluku Utara. Pektin merupakan produk dari proses metabolisme yang kompleks yang terjadi dalam tanaman. Perbedaan kadar pektin antara pala ekotipe Banda dan Maluku Utara dapat disebabkan oleh faktor genetik. Berdasarkan analisis DNA pala ekotipe Maluku Utara memperlihatkan adanya jarak genetik 0,22 dengan pala yang terdapat di ekotipe Banda. Jarak tersebut dapat dijadikan alasan bahwa faktor genetik tidak dapat diabaikan sebagai faktor yang berperan dalam perbedaan kadar pektin buah pala. Ekotipe pala yang semula ada enam, berdasarkan penciri utama faktor iklim, tanah, dan karakteristik pala, mengelompok ke dalam empat tipe. Ekotipe Ternate terletak satu ekotipe dengan Bacan dengan penciri bersama dominan adalah faktor tanah/iklim, yaitu kadar N-total, kelembaban udara, dan penyinaran matahari (faktor iklim), kemudian faktor tanaman terutama sifat DNA dan kandungan senyawa aromatik.
Nitrogen, kelembaban udara, dan penyinaran matahari
merupakan faktor penciri dominan ekotipe yang jelas pengaruhnya pada hampir seluruh tahapan pertumbuhan dan perkembangan tanaman pala. Ketiga faktor tersebut berkontribusi langsung terhadap proses metabolisme tanaman. Nitrogen
64
meskipun bukan unsur yang secara langsung berhubungan dengan pembentukan minyak dan komponen atsiri pala, tetapi penting bagi pertumbuhan vegetatif dan produksi buah. Serupa dengan nitrogen, kelembaban dan penyinaran matahari juga faktor lingkungan yang menentukan pertumbuhan tanaman. Dalam analisis komponen utama, kedua faktor tersebut, yaitu kelembaban dan penyinaran matahari memperlihatkan kontribusi yang kontras satu sama lain. Eigenvektor KU1 untuk kelembaban dan penyinaran matahari masing-masing 0,25680 dan -0,24840. Nilai komponen utama negatif pada penyinaran matahari berarti memiliki efek berlawanan dengan kelembaban. Empat ekotipe pala yang terbentuk dapat digunakan sebagai tipe ekologis pala di Maluku dan Maluku Utara. Kemiripan dalam beberapa karakteristik iklim, tanah, dan karakteristik pala antar ekotipe menjadi dasar justifikasi pengelompokkan.
65
KESIMPULAN 1. Pala Banda memperlihatkan stabilitas yang cukup tinggi pada agroekologi Maluku dan Maluku Utara yang memiliki fisiografi bergunung, tanah vulkanik dan tektonik, kemiringan lereng 16-45% dan tipe iklim IIB, IIIC, dan IVB. Selain itu memiliki suhu udara antara 22,1-31,0 0C, curah hujan 2.000-2.950 mm/tahun, kelembaban udara 82-86%, dan penyinaran matahari 57-59%. 2. Pala Banda memperlihatkan stabilitas 90% dalam karakter morfologi di enam ekotipe. Selain itu, kestabilan juga tampak dalam karakteristik buah yang meliputi kadar protein, lemak, dan EP, namun tidak pada kadar air dan kadar pektin.
Secara umum produksi pala pada ketinggian 0-250 m dpl tidak
berbeda dari produksi pada ketinggian 250-300 m dpl. 3. Berdasarkan karakteristik iklim, tanah, dan tanaman pala, agroekologi pala di Maluku dan Maluku Utara dapat dikelompokkan ke dalam empat ekotipe, yaitu ekotipe Banda yang mencakup Banda dan Ambon, ekotipe Luhu, ekotipe Ternate yang meliputi Ternate dan Bacan, dan ekotipe Tidore. 4. Telah dibuat deskriptor pala Banda untuk ekotipe di Maluku dan Maluku Utara. Deskriptor penting dan diperlukan sebagai pedoman pendeskripsian karakteristik pala.
67
KARAKTERISASI KOMPONEN ATSIRI MINYAK PALA BANDA (Myristica fragrans Houtt) Abstrak Minyak pala Banda dikarakterisasi untuk mempelajari kandungan minyak dan komponen atsiri penyusunnya. Tiga lokasi di Maluku: Banda, Ambon, dan Luhu; dan tiga lainnya di Maluku Utara: Ternate, Tidore, dan Bacan dipilih sebagai lokasi sampling. Sampel biji pala muda (umur panen 3-5 bulan; dan biji tua (umur panen >7 bulan) dan fuli digunakan sebagai bahan untuk ektraksi minyak. Ekstraksi menggunakan metode hidro-distilasi. Minyak pala hasil distilasi diidentifikasi sifat fisiko-kimianya yang mencakup bobot jenis, indeks bias, putaran optik, dan sisa penguapan. Komponen atsiri minyak pala selanjutnya dianalisis menggunakan teknik Gas Chromatography-Mass Spectrometry (GC-MS). Hasil penelitian menunjukkan pala yang berasal dari ekotipe Banda, Ambon, dan Luhu (Maluku) dan dari ekotipe Ternate dan Bacan (Maluku Utara) menghasilkan minyak berwarna bening; sedangkan pala dari ekotipe Tidore (Maluku Utara) berwarna kuning pucat. Kadar minyak pala biji tua ekotipe Banda, Ambon, dan Luhu masing-masing adalah 11,69; 11,92; dan 9,99%; sementara ekotipe Ternate, Tidore, dan Bacan berturut-turut adalah 7,9; 59,61; dan 8,64%. Kadar minyak pala biji muda ekotipe Banda, Ambon, dan Luhu adalah lebih tinggi dari pala Maluku Utara, masing-masing 13,07; 12,82; dan 11,27%; sementara kadar minyak biji muda ekotipe Ternate, Tidore, dan Bacan masing-masing adalah 13,32; 11,99; dan 11,03%. Minyak pala dari Maluku memiliki bobot jenis 0,897 sampai 0,909 g/ml; indeks bias 1,489 sampai 1,491; putaran optik +11,40 hingga +16,30; dan sisa penguapan 0,7 sampai 0,9%. Pala Maluku Utara memiliki bobot jenis 0,884 sampai 0,910 g/ml; indeks bias 1,486 sampai 1,491; putaran optik +18,2 hingga +40,0; dan sisa penguapan 0,9 sampai 1,0%. Analisis GC-MS menunjukkan pala Maluku tersusun dari 28-31 komponen atsiri, dan Maluku Utara 29-31 komponen. Pala ekotipe Banda mengandung 52,8% hidrokarbon monoterpen (HM); 21,11% monoterpen teroksigenasi (MT), dan 18,04% senyawa aromatik (SA); pala ekotipe Ambon 45,12% HM; 24,51% MT; dan 16,97% SA; dan pala Luhu 56,06% HM, 27,34% MT, dan 13,62% SA. Analisis yang sama menunjukkan pala Maluku Utara terdiri atas 29-31 komponen. Komponen atsiri pala dari ekotipe Ternate tediri atas 37,22% HM, 20,12% MT; dan 2,80% SA; pala dari Tidore 57,99% HM, 13,50% MT; dan 24,27% SA; dan pala ekotipe Bacan 50,45% HM, 11,64% MT, dan 34,15% SA. Ada empat komponen penting dalam senyawa aromatik minyak atsiri, yaitu miristisin, elemisin, safrol, dan eugenol. Pala Maluku mengandung miristisin 5,57-13,76%; Maluku Utara 5,9711,42%. Kadar safrol pala Maluku adalah 0,97-2,46% dan Maluku Utara 1,493,37%. Disimpulkan bahwa pala Banda di Maluku dan Maluku Utara stabil dalam sifat fisiko-kimia kecuali sifat putaran optik. Ekotipe Banda memiliki pala dengan kandungan senyawa aromatik miristisin tertinggi (13,76%). Kata kunci: Pala Banda, ekotipe, minyak atsiri.
CHARACTERIZATION OF THE ESSENTIAL OIL COMPONENTS IN BANDA NUTMEG (Myristica fragrans Houtt) Abstract Essential oil of Banda nutmeg was characterized in order to study the oil content and its volatile components. Banda, Ambon, and Luhu were chosen as representative samples for Moluccas, and Ternate, Tidore, and Bacan for North Moluccas. Nutmegs harvested at two maturity levels, immature (3 to 5 months of ripe) and mature (>7 months of ripe), and mace were used as materials for oil extraction using hydrodistillation method. Nutmeg oils resulted were then subjected to physico-chemical and Gas Chromatography - Mass Spectrometry (GC-MC) analyses. Physico-chemical analysis was conducted for specific gravity, refraction index, optical rotation, evaporation residue. Volatile components of the oils were then analyzed by GC-MS. Results indicated that nutmeg from Banda, Ambon, and Luhu ecotypes (Moluccas) produced uncolored nutmeg oils, whereas that from Tidore ecotype (North Moluccas) was pale yellow. Oil contents in the mature nut of Banda, Ambon, and Luhu were 11.69, 11.92, and 9.99%, respectively; meanwhile those in Ternate, Tidore, and Bacan were 7.90, 59.61, and 8,64%, respectively. Furthermore, oil content in the immature was higher. Oil contents of Banda, Ambon, and Luhu were respectively 13.32, 11.99, and 11.03%; whilst those of Ternate, Tidore, and Bacan were 13.32, 11.99, and 11.03%, respectively. Furthermore, nutmeg oil of Moluccas has specific gravity ranged from 0.897 to 0.909 g/ml; refraction index, 1.489 to 1.491; optical rotation, +11.40 to +16,30; and evaporation residue, 0.7 to 0.9%. For North Moluccas, the specific gravity was 0.884 to 0.910 g/ml, the refraction index, 1.486 to 1,491, the optical rotation, +18.2 to +40.0, and the evaporation residue, 0.9 to 1.0%. GC-MS analysis suggested that nutmegs from Moluccas composed of 28 to 31 components of essential oils, and North Moluccas 29 to 31 components. The analysis also showed that nutmeg from Banda comprised 52.8% monoterpene hydrocarbon (MH), 21.11% oxygenated monoterpene (OM), and 18,04% aromatic compound (AC); Ambon’s 45.12% MH, 24.51% OM, and 16.97% AC; and Luhu’s 56.06% MH, 27.34% OM, and 13,62% AC. The same analysis revealed that North Moluccas nutmegs contained 29 to 31 essential oil components. Ternate’s 37.22% MH, 20.12% OM, and 2.80% AC; Tidore’s 57.99% MH, 13.50% OM, and 24.27% AC; and Bacan’s 50.45% MH, 11.64% OMT, and 34.15% AC. In further analysis indicated that there were four important volatile oils fractions in nutmegs i.e miristicin, elemicin, safrole, and eugenol. In Moluccas nutmeg was 5.57 to 13.76% miristicin; whereas in North Moluccas 5.97 to 11.42%. In addition, safrole content ranged from 0.97 to 2.46% in Moluccas, and 1.49 to 3.37% in North Moluccas. In conclusion, nutmeg oil shows a high stability in all physico-chemical properties across the six ecotypes except in optical rotation feature. Nutmeg from Banda ecotype contains the highest content in miristicin (13,76%). Keywords: Banda nutmeg, ecotype, essential oil.
68
PENDAHULUAN Pala Banda (M. fragrans Houtt) merupakan tanaman rempah tahunan yang berasal dari kepulauan Banda, Maluku. Daerah Maluku juga dikenal sebagai 'spice islands'. Tanaman pala memproduksi buah yang di dalamnya terdapat biji dan fuli yang menyelimuti biji. Fuli sebagian besar berwarna merah darah, tetapi ada juga yang berwarna kuning gading yang dihasilkan dari jenis pala 'Holland'. Biji dan fuli merupakan bagian buah yang mengandung kadar minyak dalam kuantitas yang lebih banyak. Minyak pala biasanya diperoleh melalui proses distilasi uap, distilasi air atau kombinasi keduanya. Secara umum kandungan minyak dalam biji pala berkisar antara 5 sampai 15% (Peter 2001). Minyak pala berwarna bening, kuning pucat atau hijau pucat dengan aroma pala yang khas. Minyak pala peka terhadap cahaya dan suhu, larut dalam alkohol namun tidak larut dalam air. Selain minyak, dalam pala terdapat lemak minyak (fixed oil) yang juga dikenal sebagai oleoresin atau mentega pala. Oleoresin terutama tersusun dari asam trimiristin (Guenther 1952). Produk pala (biji, fuli, dan minyak atsiri) secara umum digolongkan ke dalam dua kategori, East Indian nutmeg dan West Indian nutmeg. Pala yang berasal dari Indonesia tergolong ke dalam tipe yang pertama, sedangkan pala dari Grenada masuk kelompok kedua. Kedua tipe tersebut berbeda dalam beberapa karakteristik dan aroma. Pala tipe East Indian lebih unggul daripada West Indian karena memiliki aroma yang lebih baik dan kandungan eter fenil propanoid yang lebih tinggi (Masada 1976) dan juga kadar terpen (Lewis 1984). Minyak pala East Indian dilaporkan mengandung miristisin yang tinggi hingga 13,5%, sedangkan minyak pala West Indian kadar miristisinnya kurang dari 1%. Sifat fisiko-kimia minyak biji pala secara umum berbeda antara tipe East Indian dan West Indian seperti dilaporkan oleh Guenther (1952) dalam Tabel 28. Pala tipe East Indian dan West Indian memiliki sifat bobot jenis, indeks bias yang hampir sama, tetapi cukup berbeda dalam sifat putaran optik, bilangan ester, dan kelarutan dalam alkohol 90%. Kisaran putaran optik pala East Indian lebih lebar daripada West Indian begitu pula halnya dalam bilangan ester. Minyak pala juga dapat diperoleh dengan mengekstrak fuli dan daun. Fuli dapat menghasilkan 4 sampai 17% minyak, sedangkan daun hanya menghasilkan
69
Tabel 28 Sifat fisiko-kimia minyak pala East Indian dan West Indian Sifat Fisiko-kimia Bobot jenis, 27 0C Indeks bias, 27 0C/27 0C Putaran optik Bilangan ester Kelarutan dalam alkohol 90% Sisa penguapan
Tipe East Indian
Tipe West Indian
0,865 - 0,925 1,479 - 1,488 (+80) - (+300) 2-9 0,5:3 1 - 1,5%
0,859 - 0,865 1,469 - 1,472 (+25045’) - (+38032’) 6,8 - 7,3 2:3 0,2 - 0,3%
Sumber: Guenther (1952).
minyak dalam kadar yang sangat rendah sekitar 1,7% (Sutedja 1980). Peter (2001) melaporkan bahwa kadar minyak dalam daun kurang dari 1%, dan oleh karena itu distilasi minyak pala dari daun adalah tidak ekonomis. Minyak pala yang dihasilkan dari daun meskipun secara kimia sama dengan yang dari biji dan fuli, mutu rasa dan aromanya lebih rendah (Peter 2001). Standar mutu minyak pala diatur oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN) yang menetapkan Standar Nasional Indonesia SNI dengan dengan nomor SNI 06-2388-19998 (BSN 1999). SNI merupakan pedoman persyaratan mutu yang dipakai guna menjamin kualitas minyak pala komersial. Tabel 29 Syarat mutu minyak pala Indonesia menurut SNI Komponen mutu
Satuan
Persyaratan
Bobot jenis, 20 oC g/ml 0,876 - 0,919 0 0 Indeks bias, 20 C/20 C 1,488 - 1,495 o derajat (+8) - (+26) Putaran optik, 20 C Kelarutan dalam etanol 90% % 1:3 jernih, seterusnya jernih Sisa penguapan (contoh 4,8 - 5,2 g) % Maksimum 3% Lemak negatif Alkohol tambahan negatif Minyak pelikan negatif Minyak terpentin negatif Sumber: BSN (1999).
Ekstraksi minyak pala dapat dilakukan dengan metode distilasi uap, distilasi air, atau ekstraksi dengan karbon dioksida. Ekstraksi dengan menggunakan CO2 lebih unggul dalam kualitas dan aroma minyak pala yang dihasilkan dibandingkan dengan cara distilasi (Naik et al. 1988).
70
Minyak pala hasil distilasi atau ekstraksi tidak berwarna (bening) atau kuning pucat dengan aroma dan rasa khas pala. Minyak pala tidak larut air namun larut alkohol dan memiliki bobot jenis pada suhu 25 °C sekitar 0,859 sampai 0,924, indeks bias 1.470 sampai 1.488 dan putaran optik +10° sampai +45° pada suhu 20 °C (Peter 2001). Di dalam minyak pala terkandung beberapa komponen atsiri, sebagian besar adalah senyawa bernilai industri cukup tinggi. Komponen-komponen atsiri minyak pala memiliki sifat-sifat farmakologi. Oleh karena potensi farmakologi yang dimilikinya, minyak pala dimanfaatkan lebih luas sebagai bahan antibakteri (Wendakoon dan Sakaguchi 1995; Ejechi et al. 1998; Stecchini et al. 1993; Huang et al. 1997), dan untuk uji aktivitas dan metabolisme insulin (Broadhurst et al. 2000). Berdasarkan kandungan komponen atsiri, minyak pala dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelas: monoterpen hidrokarbon, monoterpen teroksigenasi, dan eter aromatik. Monoterpen meskipun proporsinya dalam minyak pala lebih tinggi tetapi secara ekonomi lebih rendah nilainya dibandingkan dengan eter aromatik. Senyawa eter aromatik minyak atsiri pala terutama tersusun dari miristisin, elemisin, safrol, dan eugenol. Senyawa-senyawa tersebut adalah komponen atsiri utama yang bertanggung jawab atas aroma dan rasa khas pala (Purseglove et al. 1981). Selain itu, fraksi miristisin bersama-sama dengan elemisin dilaporkan bersifat halusinogenik (bersifat seperti narkotik). Komponen utama monoterpen hidrokarbon dalam minyak pala adalah pinen dan sabinen, sementara miristisin adalah penyusun terbesar komponen eter aromatik. Miristisin, elemisin, dan safrol adalah penyusun utama komponen aromatik yang secara bersama-sama menentukan sifat aroma dan farmakologi pala (Peter 2001). Identitas komponen-komponen atsiri pala dapat diketahui biasanya dengan analisis GC (gas chromatography) atau GC-MS (gas chromatographymass spectrometry). Dalam penerapan GC-MS, sampel haruslah berupa senyawa organik yang dipersiapkan dalam bentuk cair yang diinjeksi ke dalam kolom kromatografi gas. Pelarut yang digunakan harus bersifat volatil (misalnya, heksana atau diklorometana). Secara umum GC-MS dimanfaatkan dalam analisis senyawa kimia untuk:
71
•
Identifikasi dan kuantifikasi komponen volatil dan semi volatil suatu campuran senyawa;
•
Penentuan bobot molekul dan (kadang-kadang) komposisi unsur penyusun suatu senyawa organik;
•
Penentuan struktur suatu senyawa organik suatu campuran zat baik melalui persesuaian spektrum dengan referensi atau dengan interpretasi spektrum data sebelumnya. GC adalah instrumen analisis yang efektif dalam separasi atau pemisahan
senyawa ke dalam komponen-komponen penyusunnya namun tidak dapat mengidentifikasi secara spesifik identitas senyawa (Douglas 1990). Oleh karena itu, untuk identifikasi suatu senyawa secara spesifik diperlukan instrumen tambahan, yaitu MS. Dengan demikian untuk mendapatkan pemisahan senyawa berikut identitas komponen-komponen penyusunnya diperlukan gabungan antara GC dan MS yang disebut GC-MS. Analisis GC-MS dipandang sebagai instrumen yang secara lengkap dapat mengidentifikasi senyawa dan komponennya secara kualitatif. Analisis GC-MS untuk identifikasi komponen atau senyawa telah banyak dilakukan (Zuas 2004). Selain untuk analisis komponen atsiri minyak, GC-MS juga banyak diaplikasikan dalam pengujian obat, kendali mutu hasil industri, dan uji mutu lingkungan. Identitas suatu komponen senyawa atsiri dapat diketahui dari puncak (peak) kromatogram komponen tersebut setelah dicocokkan identitasnya dengan pustaka senyawa kimia (library). Dengan software Class 5k yang dijalankan secara otomatis oleh alat GC-MC QP5000, identitas senyawa yang mencakup bobot molekul dan nama senyawa dapat diketahui. Studi bertujuan mengeksplorasi lebih jauh mengenai minyak hasil ekstraksi pala Banda dan mengkarakterisasi komponen atsiri penyusunnya pada beberapa ekotipe di Maluku dan Maluku Utara.
BAHAN DAN METODE Ekstraksi minyak pala
72
Ektraksi minyak pala dilakukan di unit penyulingan minyak atsiri Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (BALITTRO), Bogor. Biji dan fuli pala yang telah dikeringkan selama dua minggu dibawah sinar matahari digunakan sebagai bahan dalam ekstraksi minyak. Ekstraksi minyak pala menggunakan biji yang diperoleh dari dua tingkat umur panen, 3 sampai 5 bulan dan lebih dari 7 bulan. Sampel biji dan fuli pala diambil dari dua daerah berbeda, Maluku dan Maluku Utara. Sampel biji dan fuli dari Maluku diambil secara acak di tiga lokasi, yaitu Ambon, Banda, dan Luhu. Untuk Maluku Utara juga diambil sampel pada tiga lokasi masing-masing di Ternate, Tidore, dan Bacan. Prosedur distilasi Distilasi minyak pala menggunakan metode distilasi air dengan labu pemanas berkapasitas 500 ml. Prosedur yang digunakan dalam distilasi minyak pala seperti yang dijelaskan oleh Ketaren (1985) dengan cara sebagai berikut. a. Sebelum masuk ke labu distilasi, biji dan fuli pala dikeringkan selama dua minggu untuk menurunkan kandungan air bahan sampai sekitar 10 sampai 15%. b. Sebanyak 300 g biji pala kering dirajang dengan mesin perajang hingga menjadi potongan-potongan kecil yang lolos saringan berukuran sekitar 0,5 cm2. Hal yang sama berlaku bagi fuli. c. Sebanyak 50 g sampel biji/fuli diambil untuk penentuan kadar air sebelum distilasi. d. Bahan pala yang telah dirajang dimasukkan ke dalam labu distilasi kemudian ditambahkan air hingga volume 1 liter. e. Labu dididihkan pada suhu sekitar 100 0C hingga seluruh minyak dalam bahan terekstrak. Dibutuhkan waktu sekitar 10 hingga 12 jam untuk menyelesaikan satu proses distilasi. f. Minyak pala yang terekstrak dipisahkan dari air ikutan distilasi dengan cara memindahkan ke botol baru yang berwarna gelap. Minyak hasil ekstraksi kemudian dilabel dan disimpan pada suhu kamar untuk analisis selanjutnya. Analisis sifat fisiko-kimia minyak pala
73
Minyak pala hasil distilasi selanjutnya dipakai sebagai bahan dalam analisis sifat fisiko-kimia. Analisis sifat fisiko-kimia dilakukan di Laboratorium BALITTRO, Bogor. Sifat-sifat fisiko-kimia minyak pala ditetapkan berdasarkan metode dan prosedur Badan Standardisasi Nasional Indonesia (BSN 1999). Prosedur analisis Prosedur standar dalam analisis sifat fisiko-kimia minyak pala mencakup bobot jenis, indeks bias, putaran optik, kelarutan dalam etanol 90%, dan sisa penguapan. 1. Pengukuran bobot jenis Bobot jenis (BJ) dihitung sebagai perbandingan antara bobot minyak dengan bobot air pada volume dan suhu yang sama. Dalam penentuan BJ diperlukan neraca analitik, penangas air, dan piknometer berkapasitas 50, 25, dan 10 ml yang dilengkapi dengan termometer. Prosedur pengukuran BJ adalah: a. Piknometer dibersihkan lalu dibasuh etanol kemudian dietil eter; b. Bagian dalam piknometer dikeringkan dengan arus udara kering kemudian dan tutupnya disisipkan; c. Piknometer dibiarkan dalam kotak timbangan selama 30 menit lalu ditimbang (m); d. Piknometer diisi air suling yang telah dihangatkan pada suhu 20 0C. Gelembung udara harus dihindari; e. Piknometer dicelup ke dalam penangas air bersuhu 20 ± 0,2 0C selama 30 menit lalu penutupnya disisipkan kemudian piknometer dikeringkan; f. Piknometer dibiarkan dalam kotak timbangan selama 30 menit kemudian ditimbang dengan isinya (m1); g. Piknometer dikosongkan lalu dicuci etanol dan dietil eter kemudian dikeringkan dengan arus udara kering; h. Piknometer diisi sampel minyak pala dan hindari terbentuknya gelembung udara; i. Piknometer dicelup kembali ke dalam penangas air bersuhu 20 ± 0,2 0C selama 30 menit kemudian tutupnya disisipkan;
74
j. Piknometer dibiarkan dalam kotak timbangan selama 30 menit lalu ditimbang kembali (m2). Bobotnya dinyatakan dalam gram; k. Bobot jenis kemudian dihitung menggunakan formula: 20 0 C m2 - m BJ = ⎯⎯⎯⎯ 0 20 C m1 - m 2. Pengukuran indeks bias Indeks bias ditetapkan melalui pengukuran secara langsung sudut bias minyak pala yang dicatat oleh alat refraktometer. Pengukuran indeks bias minyak pala dilakukan pada suhu kamar menggunakan refraktometer yang diperlengkapi lampu natrium, termometer, dan penangas air. Angka pembacaan alat selanjutnya dikalibrasi pada suhu standar 20 0C. Prosedur pengukuran indeks bias minyak pala menggunakan refraktometer adalah sebagai berikut. a. Air dialirkan melalui refraktometer agar alat berada pada suhu pembacaan; b. Variasi suhu dijaga tidak lebih dari ± 2 °C dari suhu referensi dan harus dipertahankan dengan toleransi ± 0,2 °C; c. Sebelum sampel minyak pala diukur indeks biasnya, suhunya harus disamakan dengan suhu pengukuran (t1); d. Pembacaan indeks dilakukan bila suhu sudah stabil. e. Indeks bias dihitung dengan formula: t t1 n =n + 0,0004 (t 1 – t) D D 3. Pengukuran putaran optik Putaran optik, yang menggambarkan polarisasi sinar oleh lapisan minyak pala setebal 10 cm, diukur pada suhu kamar yang selanjutnya dikalibrasi pada suhu standar 20 0C. Pengukuran tersebut menggunakan alat polarimeter yang ditempatkan dalam ruang gelap. Polarimeter diperlengkapi dengan lampu uap natrium yang menghasilkan cahaya monokromatik pada panjang gelombang 589,3 mm, dan tabung polarimeter dengan panjang 200 mm. Pada alat tersebut juga terdapat termometer pencatat suhu sampel yang diamati. Langkah-langkah pengukuran putaran optik minyak pala adalah sebagai berikut.
75
a. Sumber cahaya dinyalakan selanjutnya ditunggu sampai diperoleh kilauan penuh; b. Tabung polarimeter diisi sampel minyak pala yang sebelumnya telah ditetapkan pada suhu tertentu. Usahakan agar gelembung udara tidak terbentuk dalam tabung sampel; c. Tabung yang berisi sampel diletakkan dalam tabung polarimeter lalu baca putaran optik (+) atau (-) pada skala alat; d. Bersamaan dengan pembacaan alat, suhu sampel yang terekam termometer polarimeter juga dicatat; e. Hasil pembacaan alat dicatat dalam derajat. Prosedur a sampai d diulang sedikitnya tiga kali untuk setiap sampel. 4. Pengukuran kelarutan dalam alkohol Tingkat kelarutan minyak pala dalam alkohol (misalnya etanol) diperlihatkan oleh perubahan warna dari jernih hingga keruh. Kejernihan minyak pala dalam alkohol menunjukkan derajat kelarutannya, dan sebaliknya kekeruhan menunjukkan ketidaklarutan seluruh atau sebagian. Pengukuran sifat kelarutan dalam alkohol menggunakan etanol 90%, larutan pembanding kekeruhan perak nitrat 0,1 N dan tabung reaksi. Prosedur pengukuran kelarutan minyak pala dalam alkohol adalah sebagai berikut. a. Sebanyak 1 ml sampel minyak pala dimasukkan ke dalam tabung reaksi 10 ml; b. Ke dalam sampel ditambahkan etanol 90% tetes demi tetes sebanyak 1 ml. Campuran dikocok setiap penambahan etanol; c. Setelah semua etanol diberikan, dilakukan pengamatan kekeruhan pada campuran. Jika campuran tampak bening, penambahan etanol dihentikan; d. Setelah sampel minyak pala larut, etanol berlebih perlu ditambahkan karena beberapa minyak pala tertentu mengendap pada penambahan etanol lebih lanjut; e. Kelarutan dalam etanol 90% dinyatakan sebagai perbandingan antara volume minyak pala terhadap volume etanol yang menyebabkan warna campuran tetap jernih.
76
5. Pengukuran sisa penguapan Sisa penguapan menggambarkan keberadaan zat asing yang tidak dikehendaki dalam minyak pala. Dalam penentuan sisa penguapan diperlukan perlengkapan, yaitu bejana penguapan, penangas air, desikator, dan neraca. Prosedur pengukuran sisa penguapan minyak pala adalah sebagai berikut. a. Bejana penguapan kosong dipanaskan di atas penangas air selama 60 menit kemudian didinginkan dalam desikator selama 20 menit lalu ditimbang; b. Sebanyak 5 g sampel minyak pala dimasukkan ke dalam bejana kosong (W1) kemudian sampel panaskan di atas penangas air selama 5 jam. Sampel kemudian didinginkan dalam desikator selama 20 menit selanjutnya ditimbang bobot akhirnya (W2). Sisa penguapan dihitung dengan rumus: W2 Sisa penguapan = ⎯⎯ x 100% W1
Identifikasi komponen atsiri minyak pala Bahan dan kondisi GC-MS Identifikasi dan karakterisasi komponen-komponen atsiri dalam minyak pala menggunakan GC-MS QP500 17A Shimadzu. Sebanyak 1 μl sampel minyak hasil distilasi air pala diinjeksikan ke dalam kolom GC dan dibawa oleh gas helium. Kolom terbuat dari metil xilaksan 5% dengan diameter 0,25 μ dan panjang 30 m. Sampel bergerak dalam kolom yang dibawa oleh gas helium dengan laju aliran 1 m per menit dan tekanan 100 kPa. Analisis GC-MS dilakukan pada suhu 225 0C dengan suhu awal 50 0C. . Data GC-MS dianalisis memakai program Class 5k. Setiap puncak kromatogram yang ditampilkan merupakan representasi satu senyawa atsiri yang identitasnya dapat diketahui dengan cara membandingkannya dengan pustaka senyawa atsiri (library) yang tersedia. Setiap senyawa kemudian dicocokkan identitas kimianya dengan dua pembanding pustaka standar senyawa kimia, library #1: NISST62.LIB-20 dan #2: NIST12.LIB-20. Setelah dicocokkan dengan pustaka senyawa kimia, komponen-komponen minyak atsiri yang diperiksa akan ditam-
77
pilkan identitasnya yang meliputi indeks kesamaan, bobot molekul, dan nama senyawa. Proporsi setiap komponen atsiri dalam minyak pala yang dianalisis dinyatakan dalam persentase terhadap total luas daerah puncak kromatogram. Parameter kromatogram hasil analisis GC-MS mencakup nomor puncak (PKNO), waktu retensi (R.Time), waktu awal (I.Time), waktu akhir (F.Time), luas kurva (Area), tinggi kurva (Height), kurva (A/H), dan luas setiap kurva (%T). Luas setiap kurva menunjukkan persentase kadungan komponen atsiri dalam minyak pala. Analisis statistik Data kuantitatif sifat fisiko-kimia dan komponen atsiri pala dianalisis secara statistik dengan prosedur ANOVA dan uji signifikansi nilai tengah Dunnett menggunakan program statistik SAS (SAS 1996). Dalam uji Dunnett, semua nilai tengah dibandingkan ke Banda sebagai standar.
78
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Kadar Minyak Pala Minyak pala yang diperoleh dari proses hidrodistilasi biji pala memperlihatkan karakteristik warna fisik yang normal. Hasil memperlihatkan bahwa minyak pala dari Tidore (Maluku Utara) berwarna kuning pucat, sedangkan lainnya berwarna bening (Gambar 9).
Gambar 9 Karakteristik warna minyak pala Maluku dan Maluku Utara. Kandungan minyak biji pala tua beragam dari 7,95 sampai 11,92%. Minyak pala diperoleh melalui distilasi biji pala yang dipetik setelah berumur tujuh bulan. Tabel 30 memperlihatkan kadar minyak tertinggi diperoleh dari pala ekotipe Ambon, yaitu 11,92%. Kadar tersebut tidak berbeda nyata dengan yang dihasilkan dari ekotipe Banda, yaitu 11,69%. Kandungan minyak pala tua yang berasal dari Luhu (Maluku) dan Ternate, Tidore, dan Bacan (Maluku Utara) secara statistik lebih rendah dibandingkan dengan yang berasal dari ekotipe Banda. Kadar minyak terendah dihasilkan pala dari ekotipe Ternate, yaitu 7,95%. Secara umum, rata-rata kadar minyak pala tua dari Maluku adalah lebih tinggi, yaitu 11,20% daripada yang berasal dari Maluku Utara, yaitu 8,73%. Biji pala yang lebih muda, umur panen 3 sampai 5 bulan, menghasilkan lebih banyak minyak dibandingkan dengan biji tua (panen lebih dari 7 bulan).
79
Tabel 30 Kadar minyak biji tua pala Maluku dan Maluku Utara Maluku 1. Banda 2. Ambon 3. Luhu Maluku Utara 4. Ternate 5. Tidore 6. Bacan Dunnett
Kadar minyak biji pala tua (%) 11,54 11,98 11,55 11,86 11,75 12,16 9,89 10,25 9,84 7,85 9,55 8,87
7,87 9,68 8,61
8,12 9,60 8,44
Rataan 11,69 11,92tn 9,99* 7,95* 9,61* 8,64* 0,46
Ket: * berbeda nyata dengan uji Dunnett pada α=0,05; tn tidak berbeda nyata.
Kadar minyak tertinggi dihasilkan dari pala yang berasal dari Ternate (Maluku Utara), yaitu 13,32%. Kadar minyak pala Banda, pala Ambon secara statistik tidak berbeda, tetapi berbeda dari pala yang berasal dari Luhu (Maluku) dan Ternate, Tidore, dan Bacan (Maluku Utara). Rata-rata kadar minyak pala Maluku lebih tinggi (12,39%) daripada pala Maluku Utara (12,11%). Tabel 31 Kadar minyak biji muda pala Maluku dan Maluku Utara Maluku 1. Banda 2. Ambon 3. Luhu Maluku Utara 4. Ternate 5. Tidore 6. Bacan Dunnett
Kadar minyak biji pala muda (%) 13,22 13,11 12,88 12,56 12,44 13,45 11,54 11,56 10,72 13,33 12,11 10,25
13,76 11,65 10,42
12,86 12,22 12,42
Rataan 13,07 12,82 tn 11,27 * 13,32 * 11,99 * 11,03 * 1,70
Ket: * berbeda nyata dengan uji Dunnett pada α=0,05; tn tidak berbeda nyata.
Dibandingkan dengan biji, fuli mengandung kadar minyak yang nyata lebih tinggi. Kadar minyak fuli pala ekotipe Banda secara statistik tidak berbeda nyata dengan yang terkandung dalam fuli pala ekotipe Ambon, Ternate, Tidore, dan Bacan, tetapi lebih besar daripada Bacan (Tabel 32). Secara umum, fuli pala Maluku mengandung minyak lebih rendah (20,04%) daripada Maluku Utara (20,84%). Kadar minyak dalam fuli pala tertinggi diperoleh pada pala Tidore, dan terendah pala Luhu.
80
Tabel 32 Kadar minyak fuli pala Maluku dan Maluku Utara Maluku
Kadar minyak fuli (%)
Rataan
1.
Banda
21,44
21,23
20,34
21,00 tn
2.
Ambon
19,87
20,24
21,16
20,42 tn
3.
Luhu
18,97
19,85
17,25
18,69 *
Maluku Utara 4.
Ternate
22,35
21,42
22,16
21,98 tn
5.
Tidore
21,35
20,42
21,25
21,01 tn
6.
Bacan
20,15
19,87
18,56
19,53 tn
Dunnett
1,87
Ket: * berbeda nyata dengan uji Dunnett pada α=0,05; tn tidak berbeda nyata.
Kadar Air Pala Kadar air biji tua pala dari Banda secara statistik tidak berbeda dengan kadar air pala dari Ambon, Ternate, dan Tidore, tetapi berbeda dari pala Luhu dan Bacan (Tabel 33). Pala ekotipe Banda memiliki kandungan air yang paling rendah, yaitu 8,23%; sementara biji pala ekotipe Bacan yang tertinggi kadar airnya, 9,71%. Pala Maluku mengandung rata-rata kadar air 8,67%, namun kadarnya lebih tinggi, yaitu 9,0% untuk pala Maluku Utara. Tabel 33 Kadar air biji tua pala Maluku dan Maluku Utara Maluku 1. Banda 2. Ambon 3. Luhu Maluku Utara 4. Ternate 5. Tidore 6. Bacan Dunnett
Kadar air biji tua (%)
Rataan
8,11 8,20 8,92
8,13 9,21 8,77
8,45 9,11 9,12
8,23 8,84 tn 8,94*
8,72 8,70 9,91
8,88 8,71 9,45
8,645 8,22 9,78
8,75 tn 8,54 tn 9,71* 0,70
Ket: * berbeda nyata dengan uji Dunnett pada α=0,05; tn tidak berbeda nyata.
Kadar air pala muda ekotipe Banda secara statistik tidak berbeda dengan yang berasal dari Ambon, Luhu, ternate, Ternate dan Tidore; tetapi lebih rendah
81
daripada Bacan. Kandungan air biji pala muda berkisar dari 7,13 sampai 8,61%. Biji pala muda Maluku memiliki kandungan air yang lebih sedikit daripada pala Maluku Utara. Tabel 33 menunjukkan kadar air fuli mengikuti pola yang sama dengan kadar biji muda. Fuli pala Banda kandungan airnya secara statistik sama dengan pala Ambon, Luhu, Ternate, dan Tidore. Tabel 34 Kadar air biji muda pala Maluku dan Maluku Utara Maluku 1. Banda 2. Ambon 3. Luhu Maluku Utara 4. Ternate 5. Tidore 6. Bacan Dunnett
Kadar air biji muda (%) 6,81 7,23 7,35 6,90 8,31 8,01 7,62 7,87 8,02
Rataan 7,13 7,74tn 7,84tn
7,42 7,40 8,61
7,65tn 7,44tn 8,61* 0,91
7,98 7,81 8,55
7,55 7,12 8,68
Ket: * berbeda nyata dengan uji Dunnett pada α=0,05; tn tidak berbeda nyata.
Pada Tabel 33 juga tampak fuli pala Bacan mengandung kadar air yang lebih tinggi (9,28%) dibandingkan pala lainnya. Secara rata-rata, fuli pala Maluku mengandung kadar air 8,24%, sedangkan Maluku Utara 8,57%. Secara umum, kadar air pala antar lokasi dan ekotipe tampaknya hanya sedikit bervariasi sebagaimana tampak pada Tabel 33 sampai 35. Tabel 35 Kadar air fuli pala Maluku dan Maluku Utara Maluku Banda 1. Ambon 2. Luhu 3. Maluku Utara Ternate 4. Tidore 5. Bacan 6. Dunnett
Kadar air fuli (%) 7,91 7,63 7,85 8,00 8,71 8,51 8,72 8,27 8,52
Rataan 7,80 8,41 tn 8,50 tn
8,52 8,50 9,71
8,32 tn 8,11 tn 9,28 * 0,76
8,38 8,21 8,95
8,045 7,62 9,18
Ket: * berbeda nyata dengan uji Dunnett pada α=0,05; tn tidak berbeda nyata.
82
Sifat Fisiko-kimia Minyak Pala Sifat fisiko-kimia minyak pala yang umum dideskripsikan adalah bobot jenis, indeks bias, putaran optik, dan sisa penguapan. Pada Tabel 36 tampak pala Maluku secara statistik bobot jenisnya sama dengan pala Maluku Utara. Sifat bobot jenis minyak pala tidak mengalami perubahan yang berarti di enam lokasi yang diteliti. Bobot jenis minyak pala berkisar antara 0,884 dan 0,909 g/ml. Nilai tersebut ada dalam kisaran Standar Nasional Indonesia untuk minyak pala. Minyak pala Maluku memiliki bobot jenis rata-rata 0,904 g/ml, sementara Maluku Utara 0,901 g/ml. Tampak juga bahwa variasi nilai bobot jenis antar dan antara ekotipe sangat kecil. Tabel 36 Bobot jenis minyak distilasi pala dari Maluku dan Maluku Utara Maluku 1. Banda 2. Ambon 3. Luhu Maluku Utara 4. Ternate 5. Tidore 6. Bacan Dunnett =
Bobot jenis (g/ml) 0,907 0,899 0,911 0,908 0,878 0,906 0,908 0,909 0,910
Rataan 0,906 0,897 tn 0,909 tn
0,910 0,899 0,891
0,910 tn 0,884 tn 0,909 tn 0,03
0,921 0,876 0,918
0,900 0,877 0,919
Ket: tn tidak berbeda nyata dengan uji Dunnett pada α=0,05.
Indeks bias minyak pala Maluku dan Maluku Utara memperlihatkan variasi yang kecil. Secara statistik, indeks bias minyak pala ekotipe Banda sama dengan indeks bias pala lainnya (Tabel 37). Minyak pala Maluku memiliki indeks bias antara 1,489 dan 1,491 dengan rata-rata 1,490, sementara Maluku Utara berkisar antara 1,486 dan 1,491 dengan rata-rata 1,488. Variasi nilai indeks bias antar dan antara kedua daerah sangat kecil, hal tersebut sangat baik bagi kestabilan mutu minyak pala. Tidak seperti indeks bias, putaran optik minyak pala ekotipe Banda (16,30) secara statistik memperlihatkan perbedaan yang nyata dengan putaran optik minyak pala ekotipe lainnya. Minyak pala Maluku memiliki putaran optik antara 13,00 hingga 16,30; sementara minyak pala dari Maluku Utara, putaran optiknya berkisar 18,20 sampai 40,00.
83
Tabel 37 Indeks bias minyak distilasi pala dari Maluku dan Maluku Utara Maluku 1. Banda 2. Ambon 3. Luhu Maluku Utara 4. Ternate 5. Tidore 6. Bacan Dunnett
Indeks bias
Rataan
1,487 1,494 1,488
1,488 1,490 1,489
1,494 1,488 1,490
1,490 1,491 tn 1,489 tn
1,486 1,492 1,487
1,481 1,490 1,489
1,491 1,490 1,487
1,486 tn 1,491 tn 1,488 tn 0,01
Ket: tn tidak berbeda nyata dengan uji Dunnett pada α=0,05.
Tabel 38 juga memperlihatkan bahwa minyak pala Maluku Utara memiliki nilai putaran optik yang lebih besar daripada Maluku. Rata-rata putaran optik minyak pala Maluku dan Maluku Utara berturut-turut 13,30 dan 26,60. Tanda positif berarti putaran optik memutar ke arah kanan. Tabel 38 Putaran optik minyak pala distilasi dari Maluku dan Maluku Utara Maluku 1. Banda 2. Ambon 3. Luhu Maluku Utara 4. Ternate 5. Tidore 6. Bacan Dunnett =
Putara optik (derajat) 15,9 16,7 16,4 12,8 13,1 13,0 11,0 11,2 12,1
Rataan +16,3 + 13,0* + 11,4*
20,8 39,7 17,8
+ 21,5* + 40,0* + 18,2* 1,38
21,3 41,0 18,5
22,4 39,4 18,2
Ket: * berbeda nyata dengan uji Dunnett pada α=0,05.
Sisa penguapan, sifat fisiko-kimia penting lainnya, secara statistik menunjukkan persentase yang tidak berbeda antara minyak pala ekotipe Banda (0,7%) dan ekotipe lainnya. Minyak pala Maluku setelah diuapkan meninggalkan sisa penguapan antara 0,7 dan 0,9%; sementara minyak pala Maluku Utara berkisar 0,9 sampai 1,0%. Pada pala Maluku, sisa penguapan minyak pala rata-rata 1,1% dan dalam Maluku rata-rata 0,9%. Tabel 39 memperlihakan bahwa sisa penguapan minyak
84
pala di kedua daerah relatif kecil, hal tersebut baik bagi kualitas minyak pala itu sendiri. Tabel 39 Sisa penguapan minyak pala dari Maluku dan Maluku Utara Maluku 1. Banda 2. Ambon 3. Luhu Maluku Utara 4. Ternate 5. Tidore 6. Bacan Dunnett
Sisa penguapan (%) 0,4 0,6 1,1 0,8 0,9 0,8 0,9 0,5 1,3
Rataan 0,7 0,8 tn 0,9 tn
0,9 1,2 1,0
1,0 tn 0,9 tn 0,9 tn 0,60
1,1 0,8 1,0
1,0 0,7 0,8
Ket: tn tidak berbeda nyata dengan uji Dunnett pada α=0,05.
Komponen Minyak Atsiri: Pala Maluku Analisis GC-MS pala Maluku menunjukkan bahwa minyak pala Banda tersusun dari 28 komponen atsiri. Komponen-komponen tersebut terdiri atas 52,8% hidrokarbon monoterpen, 21,11% monoterpen teroksigenasi, 18,04% fraksi aromatik, dan 7,27% lainnya. Komponen atsiri terbanyak dijumpai dalam minyak pala ekotipe Banda adalah miristisin, yaitu 13,76% (Tabel 40, nomor puncak 26). Kromatogram hasil analisis GC-MS minyak pala ekotipe Banda pada Gambar 10 memperlihatkan 28 puncak dan setiap puncak mewakili satu komponen atsiri. Nisbah luas terhadap tinggi puncak proporsional dengan kandungan tiap komponen atsiri dalam minyak pala. Beberapa puncak tidak teridentifikasi (tidak bernomor). Puncak-puncak tak teridentifikasi tersebut merupakan pengotor, yaitu bahan ikutan yang bukan komponen atsiri. Analisis juga menunjukkan bahwa pinen (15,30%) merupakan senyawa utama penyusun fraksi hidrokarbon monoterpen menyusul osimen (10,22%) dan mirsen (3,42%). Komponen monoterpen teroksigenasi yang identitasnya terdeteksi adalah terpinolen (1,54%) dan eukaliptol (1,76%). Miristisin adalah komponen penyusun senyawa aromatik dengan kandungan tertinggi (13,76%) menyusul safrol (2,44%). Pada pala ekotipe Banda dijumpai asam miristat dalam konsentrasi 6,55%.
85
Tabel 40 Analisis GC-MS minyak atsiri pala ekotipe Banda No. Pk Rumus Kimia Nama/Komponen 1
C10H16
2 3
C10H16 C10H16
4 5
C10H16 C10H16
6 7 8
C10H16 C10H16 C10H16
9
C10H16
10 11 12 13
C10H16 C10H16 C10H16 C10H16
14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28
C10H18O C10H16 C10H18O C10H18O C10H16O2 C10H18O C10H18O C10H18O C10H1002 C10H1802 C11H1402 C10H1202 C11H1203 C12H1603 C14H28O2
α-felandren Osimen β-pinen pinen β-mirsen mirsen felandren β-osimen α-terpinen Hidrokarbon monoterpen Hidrokarbon monoterpen Hidrokarbon monoterpen γ-terpinen Hidrokarbon monoterpen Terpinolen Eukaliptol Monoterpen teroksigenasi Monoterpen teroksigenasi Monoterpen teroksigenasi Monoterpen teroksigenasi Monoterpen teroksigenasi Safrol Fraksi aromatik Fraksi aromatik Eugenol Miristisin Elemisin Asam miristat
Kons. (%) 3,06 9,53 9,55 5,75 4,21 3,24 0,64 0,69 2,73 0,83 2,40 3,87 4,71 1,89 1,54 1,76 0,74 1,11 0,78 13,35 1,48 2,44 0,72 0,83 0,90 13,76 0,94 6,55
Kromatogram hasil analisis GC-MS minyak pala ekotipe Banda pada Gambar 8 memperlihatkan 28 puncak dan setiap puncak mewakili satu komponen atsiri. Nisbah luas terhadap tinggi puncak proporsional dengan kandungan tiap komponen atsiri dalam minyak pala. Beberapa puncak tidak teridentifikasi (tidak bernomor). Puncak-puncak tak teridentifikasi tersebut merupakan pengotor, yaitu bahan lain yang bukan komponen atsiri.
86
Indeks Kromatogram Gambar 10 Kromatogram GC-MS minyak atsiri pala ekotipe Banda. Seperti minyak atsiri pala ekotipe Banda, ekotipe Ambon mengandung komponen atsiri yang hampir sama namun jumlahnya ada 31 senyawa. Analisis GC-MS menunjukkan bahwa pala ekotipe Ambon tersusun atas 45,12% hidrokarbon monoterpen, 24,51% monoterpen teroksigenasi, 16,97% fraksi aromatik, dan 11,75 senyawa asam lainnya (Tabel 41). Komponen terbanyak dalam minyak atsiri ekotipe Ambon yang teridentifikasi adalah pinen (14,70%) menyusul miristisin (13,54%). Komponen hidrokarbon monoterpen dalam pala ekotipe Ambon terutama tersusun dari pinen (17,08%), osimen (7,8%), dan terpenin (4,6%). Sementara fraksi aromatik umumnya adalah miristisin. Pala ekotipe Ambon juga kaya asam miristat (yaitu komponen penyusun asam lemak oleoresin yang penting bagi pembentukan mentega pala (fixed oil). Gambar 11 memperlihatkan hasil analisis GC-MS minyak atsiri pala ekotipe Ambon dengan 31 puncak kromatogram. Tampak puncak nomor 2, 3, dan 11 berhimpitan masing-masing dengan puncak di dekatnya. Puncak nomor 5 yang merupakan senyawa pinen adalah yang paling dominan sebagai komponen atsiri dalam minyak pala ekotipe Ambon. Minyak atsiri pala ekotipe Luhu mengandung 56,06% hidrokarbon monoterpen, 27,34% monoterpen teroksigenasi, 13,62% senyawa aromatik, dan sisanya 11,70% senyawa asam (Tabel 42). Diantara senyawa hidrokarbon, β-pinen
87
Tabel 41 Analisis GC-MS minyak atsiri pala ekotipe Ambon No. Pk Rumus Kimia Nama Komponen
Kons. (%)
1
C10H16
α-felandren
2,28
2
C10H16
Osimen
7,18
3
C10H16
β-osimen
1,03
4
C10H16
Kamfen
0,34
5
C10H16
β-pinen
14,70
6
C10H16
β-mirsen
2,94
7
C10H16
felandren
0,63
8
C10H16
β-osimen
0,62
9
C10H16
Terpinolen
3,53
10
C10H16
Pinen
2,38
11
C10H16
Hidrokarbon monoterpen
3,29
12
C10H16
γ-terpinen
4,60
13
C10H16
Monoterpen teroksigenasi
1,74
14
C10H16
Terpinolen
1,60
15
C10H18O
Monoterpen teroksigenasi
1,71
16
C10H18O
Monoterpen teroksigenasi
0,78
17
C10H16O2
Monoterpen teroksigenasi
1,20
18
C10H18O
Monoterpen teroksigenasi
0,85
19
C10H18O
Monoterpen teroksigenasi
13,70
20
C10H18O
Monoterpen teroksigenasi
1,67
21
C10H18O
Monoterpen teroksigenasi
0,40
22
C10H10O2
Safrol
2,46
23
C11H16O
Monoterpen teroksigenasi
0,93
24
C10H18O
Monoterpen teroksigenasi
0,80
25
C11H14O2
Monoterpen teroksigenasi
0,55
26
C10H12O2
Isoeugenol
1,28
27
C11H1203
Miristisin
13,54
28
C12H1603
Elemisin
0,67
29
C11H22O2
Monoterpen teroksigenasi
0,84
30
C14H28O2
Asam miristat
31
C16H32O2
Asam heksadekanoat
88
11,32 0,43
Indeks Kromatogram Gambar 11 Kromatogram GC-MS minyak atsiri pala ekotipe Ambon. adalah yang paling dominan (17,43%). Sementara dalam kelompok senyawa monoterpen teroksigenasi, C10H18O adalah yang paling tinggi kandungannya. Dalam kelompok senyawa aromatik, miristisin (5,57%) adalah komponen atsiri paling tinggi ditemukan dalam minyak pala ekotipe Luhu. Seperti ditunjukkan pada Gambar 12, minyak atsiri pala ekotipe Luhu terdiri atas 30 komponen. Puncak nomor 9 dan 23 masing-masing berhimpitan dengan puncak di dekatnnya. Juga dalam gambar tampak bahwa meskipun puncak nomor 15 adalah yang tertinggi, tetapi bukan yang menggambarkan komponen terbanyak. Pada kromatogram diketahui komponen atsiri tertinggi diperlihatkan oleh puncak nomor 3, yaitu β-pinen (17,43%).
Indeks Kromatogram Gambar 12 Kromatogram GC-MS minyak atsiri pala ekotipe Luhu.
89
Tabel 42 Analisis GC-MS minyak atsiri pala ekotipe Luhu No. Pk Rumus Kimia Nama Komponen
Kons. (%)
1
C10H16
α-felandren
2,27
2
C10H16
Osimen
5,71
3
C10H16
β-pinen
17,43
4
C10H16
β-mirsen
2,91
5
C10H16
α-tujen
0,90
6
C10H16
β-osimen
0,69
7
C10H16
Terpinolen
4,02
8
C10H16
β-pinen
3,07
9
C10H16
Hidrokarbon monoterpen
3,42
10
C10H16
γ-terpinen
6,28
11
C10H16
Hidrokarbon monoterpen
1,89
12
C10H18O
β-linalol
0,27
13
C9H14O2
Monoterpen teroksigenasi
0,85
14
C10H18O
Monoterpen teroksigenasi
0,62
15
C10H18O
Monoterpen teroksigenasi
15,23
16
C10H18O
Monoterpen teroksigenasi
1,32
17
C10H18O
Monoterpen teroksigenasi
0,32
18
C10H10O2
Safrol
0,97
19
C15H24
Farnesen
1,28
20
C11H14O2
Isoeugenol
3,91
21
C15H24
Hidrokarbon monoterpen
0,70
22
C15H24
Hidrokarbon monoterpen
1,15
23
C11H14O2
Fraksi aromatik
4,33
24
C11H12O3
Miristisin
5,57
25
C15H24
Hidrokarbon monoterpen
0,32
26
C12H16O3
Elemisin
2,05
27
C11H22O2
Monoterpen teroksigenasi
0,40
28
C15H26O
Guaiol
0,32
39
C14H28O2
Asam miristat
11,39
30
C16H32O2
Asam palmitat
0,31
90
Komponen minyak atsiri: Pala Maluku Utara Minyak pala ekotipe Ternate tersusun dari 37,22% senyawa hidrokarbon monoterpen, 20,12% monoterpen teroksigenasi, 39,81% senyawa aromatik, dan 2,80% asam pentadekanoat. Diantara kelompok hidrokarbon monoterpen, pinen adalah yang dominan (12,59%; puncak nomor 4 dan 10) menyusul osimen (7,83%; puncak nomor 2 dan 8). Dalam analisis yang sama, tampak bahwa pala ekotipe Ternate cukup tinggi dalam senyawa aromatik, seperti miristisin (17,02%) dan safrol (3,37%).
Indeks Kromatogram Gambar 13 Kromatogram GC-MS minyak atsiri pala ekotipe Ternate, Maluku Utara. Gambar 13 memperlihatkan ada 31 komponen atsiri penyusun minyak pala ekotipe Ternate. Puncak nomor 27 yang merupakan senyawa aromatik miristisin adalah yang paling luas, meskipun yang puncak tertinggi adalah nomor 17 (monoterpen teroksigenasi, C10H18O). Analisis GC-MS menunjukkan bahwa minyak atsiri pala ekotipe Tidore mengandung 30 komponen. Komponen-komponen atsiri tersebut terdiri atas 57,99% hidrokarbon monoterpen, 13,50% monoterpen teroksigenasi, 24,27% senyawa aromatik, dan 0,91% asam miristat (Tabel 44). Pinen adalah komponen terbanyak (23,36%) penyusun hidrokarbon monoterpen; sedangkan isoeugenol merupakan kelompok aromatik yang paling tinggi kadarnya (9,82%).
91
Tabel 43 Analisis GC-MS minyak atsiri pala ekotipe Ternate No. Pk Rumus Kimia Nama Komponen
Kons. (%)
1
C10H16
α-felandren
2,42
2
C10H16
β-tans-osimen
6,14
3
C10H16
Kamfen
0,31
4
C10H16
pinen
5
C10H16
β-mirsen
1,90
6
C10H16
mirsen
2,51
7
C10H16
felandren
0,83
8
C10H16
Osimen
1,69
9
C10H16
Hidrokarbon monoterpen
10
C10H16
β-pinen
0,97
11
C10H16
3-karen
5,29
12
C10H18O
Terpinolen
1,97
13
C10H18O
Monoterpen teroksigenasi
0,95
14
C10H18O
Monoterpen teroksigenasi
0,54
15
C9H14O2
Monoterpen teroksigenasi
1,18
16
C9H14O2
Monoterpen teroksigenasi
0,85
17
C10H18O
Monoterpen teroksigenasi
12,79
18
C10H18O
Monoterpen teroksigenasi
1,41
19
C10H18O
Monoterpen teroksigenasi
0,43
20
C10H10O2
Safrol
3,37
21
C12H14O3
Fraksi aromatik
0,96
22
C15H24
α-farnesen
0,34
23
C11H14O2
Fraksi aromatik
5,33
24
C10H12O2
Isoeugenol
25
C11H14O2
Fraksi aromatik
0,41
26
C11H14O2
Fraksi aromatik
0,32
27
C11H12O3
Miristisin
28
C11H12O3
Fraksi aromatik
3,05
29
C12H16O3
Fraksi aromatik
7,21
30
C11H14O3
Fraksi aromatik
0,34
31
C15H30O2
Asam pentadekanoat
2,80
92
11,62
3,2
1,8
11,42
Tabel 44 Analisis GC-MS minyak atsiri pala ekotipe Tidore No. Pk Rumus Kimia Nama Komponen 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
C10H16 C10H16 C10H16 C10H16 C10H16 C10H16 C10H16 C10H16 C10H16 C10H16 C10H16 C10H14 C10H16 C10H16 C10H16 C10H18O C10H16 C10H18O C10H16O2 C10H16O2 C10H18O C10H18O C10H10O2 C15H24 C11H14O2 C11H14O2 C11H14O2 C11H12O3 C12H16O3 C15H30O2
α-felandren β-tans-osimen β-pinen Pinen Pinen Pinen Pinen β-mirsen Felandren Osimen Hidrokarbon monoterpen Hidrokarbon monoterpen Hidrokarbon monoterpen β-felandren Hidrokarbon monoterpen Monoterpen teroksigenasi Terpinolen Monoterpen teroksigenasi Monoterpen teroksigenasi Monoterpen teroksigenasi Monoterpen teroksigenasi Monoterpen teroksigenasi Safrol Hidrokarbon monoterpen Isoeugenol Fraksi aromatik Fraksi aromatik Miristisin Elemisin Asam miristat
Kons. (%) 2,49 7,71 5,72 11,27 0,96 2,65 2,76 4,07 1,08 1,18 1,90 0,57 2,86 2,73 5,83 3,32 2,28 1,55 1,95 0,86 8,16 0,98 1,49 1,93 9,82 1,82 1,61 5,97 3,56 0,91
Gambar 14 memperlihatkan sebaran 30 puncak kromatogram komponen atsiri minyak pala Tidore. Puncak nomor 4 dan 7 sangat berdekatan satu sama lain, begitu pula nomor 2 dan 27 masing-masing puncaknya berhimpitan dengan puncak di dekatnya. Puncak nomor 4 (pinen) adalah yang terluas. Kromatogram GC-MS juga memperlihatkan beberapa puncakpuncak kecil yang tidak teridentifikasi. Puncak demikian merupakan komponen pengotor yang terkandung dalam sampel minyak pala yang terikut ke dalam analisis.
93
Indeks
Kromatogram Gambar 14 Komatogram GC-MS minyak atsiri pala ekotipe Tidore, Maluku Utara. Minyak pala ekotipe Bacan memiliki 29 komponen atsiri. Komponenkomponen terdiri atas 50,45% hidrokarbon monoterpen, 11,64% monoterpen teroksigenasi, 34,15% senyawa aromatik, dan 3,79% asam miristat. Pinen (22,38%) adalah penyusun utama komponen atsiri kelompok hidrokarbon monoterpen; sedangkan penyusun utama kelompok monoterpen teroksigenasi adalah C10H18O (7,97%).
Seperti komponen aromatik minyak pala pada ekotipe lainnya,
miristisin masih tetap merupakan penyusun utama dengan kandungan 11,30% (Tabel 45). Kromatogram komponen atsiri minyak pala ekotipe Bacan tampak pada Gambar 15.
Indeks Kromatogram Gambar 15
Kromatogram GC-MS minyak atsiri pala ekotipe Bacan, Maluku Utara.
94
Tabel 45 Analisis GC-MS minyak atsiri pala ekotipe Bacan No. Pk Rumus Kimia Nama Komponen
Kons. (%)
1
C10H16
α-felandren
1.74
2
C10H16
β-tans-osimen
6.75
3
C10H16
7.38
4 5 6 7
C10H16 C10H16 C10H16 C10H16
β-pinen Pinen Pinen Pinen
8 9 10 11 12 13 14
C10H16 C10H16 C10H16 C10H16 C10H16 C10H16 C10H16
15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
C10H18O C10H16 C10H18O C12H16O4 C10H18O C10H18O C10H10O2 C15H24 C11H14O2 C15H24
25 26 27 28 29
C15H24 C11H14O2 C11H12O3 C12H16O3 C14H28O2
β-mirsen Mirsen Felandren Osimen Hidrokarbon monoterpen Pinen Limonen γ-terpinen Monoterpen teroksigenasi Terpinolen Eukaliptol Monoterpen teroksigenasi Monoterpen teroksigenasi Monoterpen teroksigenasi Safrol Hidrokarbon monoterpen Fraksi aromatik β-farnesen Hidrokarbon monoterpen Isoeugenol Miristisin Elemisin Asam miristat
6.33 3.23 0.87 2.28 3.31 0.85 0.53 1.61 4.57 4.19 2.78 1.55 1.00 1.38 0.74 7.17 0.80 2.57 1.60 11.80 0.57 0.86 1.77 11.30 6.71 3.75
Komponen utama atsiri: Senyawa aromatik Analisis GC-MS mengungkapkan minyak pala Maluku mengandung 4 sampai 6 senyawa aromatik; sementara Maluku Utara 5 sampai 10. Diantara kompo-
95
nen aromatik pala Banda, ada empat yang paling utama, yaitu miristisin, elemisin, safrol, dan eugenol (Gambar 16).
O
H3CO
H2C
H3CO
O
OCH3
OCH3
Miristisin
Elemisin
O
H3CO
O
HO
H2C
Safrol
Eugenol
Gambar 16 Struktur kimia eter aromatik utama minyak atsiri pala Banda. Pala ekotipe Banda mengandung miristisin lebih tinggi dari ekotipe lainnya. Kandungan miristisin secara umum dalam minyak pala Maluku berkisar 5,57 sampai 13,76%; dan Maluku Utara, berkisar dari 5,97 sampai 11,42%. Elemisin, fraksi aromatik lainnya, kandungannya dalam minyak atsiri pala Maluku adalah 0,67 sampai 2,05%; dan pada Maluku Utara antara 3,56 sampai 7,21%. Pada Tabel 46 tampak kandungan elemisin minyak atsiri pala Maluku lebih rendah daripada Maluku Utara. Seperti halnya elemisin, safrol pala Maluku juga kandungannya dalam minyak atsiri lebih rendah daripada Maluku Utara. Pala dari ekotipe Ternate mengandung safrol yang paling tinggi (3,37%), sementara terendah terdapat pada pala ekotipe Luhu (0,97%). Tabel 46 Komponen atsiri utama pala Banda Maluku dan Maluku Utara Maluku 1. 2. 3.
Banda Ambon Luhu
Maluku Utara 4. Ternate 5. Tidore 6. Bacan
Komponen utama minyak atsiri (%) Miristisin Elemisin Safrol (Iso)eugenol 13,76 0,94 2,44 0,90 13,54 0,67 2,46 0,55 5,57 2,05 0,97 0,70 11,42 5,97 11,30
7,21 3,56 6,71
96
3,37 1,49 2,57
1,80 9,82 1,77
Perbedaan yang paling nyata dalam kandungan senyawa aromatik keenam ekotipe adalah kadar eugenolnya. Minyak pala ekotipe Tidore mengandung 9,82% (iso)eugenol, sedangkan ekotipe lainnya hanya berkisar 0,55 dan 1,8% (Tabel 46). Fraksi aromatik yang terkandung dalam minyak atsiri baik pada pala Maluku maupun Maluku Utara merupakan komponen kedua terbanyak setelah hidrokarbon monoterpen dan monoterpen teroksigenasi. Fraksi aromatik, terutama eter aromatik, adalah komponen yang bertanggung jawab atas aroma khas minyak pala. Pembahasan Pala menghasilkan dua tipe minyak, minyak lemak (fixed oil) yang membentuk mentega pala, dan minyak atsiri (Forrest dan Heacock 1972). Minyak lemak merupakan massa yang menyerupai mentega, berwana oranye diperoleh dengan cara mengepres pala dengan tekanan dan suhu tinggi. Minyak atsiri pala merupakan cairan tak berwarna atau kuning pucat memiliki karakteristik aroma rempah diperoleh melalui hidrodistilasi atau distilasi uap biji pala/fuli. Umumnya minyak pala distilasi bening tidak berwarna, tetapi biji pala tertentu dapat menghasilkan minyak berwarna kuning pucat, seperti hasil distilasi pala Tidore. Warna pada minyak pala terjadi oleh dua kemungkinan. Pertama, karena terjadi degradasi satu atau beberapa komponen dari minyak atsiri akibat pemanasan yang cukup tinggi yang berlangsung selama proses distilasi (Ketaren 1985). Suhu tinggi dapat menyebabkan oleoresin terurai menjadi bagian-bagian antara lain lemak dan asam miristat (Purseglove et al. 1981). Kedua, perubahan warna minyak pala menjadi kuning pucat dapat disebabkan oleh kandungan hidrokarbon monoterpen yang tinggi. Minyak atsiri pala Tidore mengandung lebih dari 57% hidrokarbon monoterpen. Senyawa tersebut lebih mudah mengalami oksidasi dan resinifikasi dibawah pengaruh cahaya dan udara, atau kondisi penyimpanan yang kurang baik, sehingga dapat mengubah warna/mutu minyak pala (Ketaren 1985). Penyimpanan jangka panjang juga dapat merusak mutu minyak pala yang ditandai oleh perubahan warna (Sanford dan Heinz 1971). Kandungan minyak pala ekotipe Banda secara statistik tidak berbeda dengan ekotipe Ambon, tetapi lebih tinggi dibanding ekotipe lainnya. Kadar minyak pala Maluku yang berkisar 9,99 sampai 11,92% tergolong lebih tinggi dibandingkan
97
kadar minyak Maluku Utara (7,95 sampai 9,61%). Kisaran kadar minyak pala kedua daerah tidak jauh berbeda dengan kadar minyak pala produksi Grenada, yaitu 6,9 sampai 12,1% (Purseglove et al. 1981). Meskipun demikian, kualitas minyak pala Banda dari Indonesia (East Indian) hingga saat ini dipandang masih yang terbaik (Masada 1976; Lewis 1984). Kandungan minyak pala secara umum ditentukan oleh spesies pala (faktor genetik), umur tanaman, kondisi ekologis (iklim dan kesuburan tanah), proses ekstraksi yang dipakai, dan tindakan budidaya yang diberikan. Kondisi ekologis termasuk faktor penentu utama produksi tanaman, termasuk produksi minyak atsiri. Flamini et al. (2002) dalam penelitian pada tanaman Rosmarinus officinalis L. pada dua ekotipe menemukan bahwa karaktersitik minyak atsiri yang dihasilkan berbeda menurut lokasi geografi atau ekotipe tanaman. Kesimpulan serupa juga diperoleh Coward et al. (1971) dan Dann et al. (1977). Riddle et al. (1996) melaporkan bahwa kadar minyak redberry lebih tinggi pada musim panas dan semi daripada musim dingin dan gugur. Selain faktor ekologi atau lokasi geografi, produksi minyak pala juga bergantung pada tindakan budidaya yang diberikan pada tanaman. Pertanaman pala di Maluku dan Maluku Utara praktis tidak pernah diberi pemupukan. Oleh karena itu, pe-ningkatan kadar minyak pala Banda melalui pemberian pupuk kimia sangat memungkinkan. Selain itu, faktor-faktor ekologis lainnya seperti kesuburan tanah juga dapat menyebabkan terjadi perbedaan kandungan dan kualitas minyak atsiri yang dihasilkan. Seperti tampak pada Tabel 8 bahwa Banda, Ambon, dan Luhu yang terletak di wilayah yang dicirikan oleh tanah dengan tingkat kesuburan tanah yang relatif lebih baik (lebih tinggi dalam C-organik, N total, dan P) daripada Maluku Utara. Perbedaan bobot biji adalah faktor lainnya yang dapat menyebabkan perbedaan dalam kandungan minyak. Secara fisik biji pala ekotipe Banda 0,8 kali lebih besar daripada pala Maluku Utara. Dalam hal karakteristik fisiko-kimia, minyak pala Maluku memenuhi kriteria atau syarat utama mutu minyak pala berdasarkan standar SNI seperti pada Tabel 27. Pala ekotipe Banda memperlihatkan stabilitas yang tinggi dalam sifat bobot jenis, indeks bias, namun tidak dengan sifat putaran optik. Minyak pala Maluku Utara putaran optiknya lebih tinggi daripada Maluku. Putaran optik yang
98
menggambarkan kemampuan memutar bidang polarisasi cahaya, pala Maluku Utara yang memiliki putaran optik lebih tinggi, terutama ekotipe Tidore, kemungkinan berkaitan dengan kadar safrol yang tinggi. Variasi komposisi atau komponen minyak atsiri ditentukan oleh beberapa faktor, misalnya seperti kondisi ekologis dan spesies pala. Kan et al. (2006) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa komposisi kimia minyak atsiri bergantung pada kondisi iklim, musim, faktor geografis dan tanah, waktu panen, dan teknik distilasi yang digunakan. Minyak atsiri umumnya terdiri atas berbagai campuran senyawa kimia yang terbentuk dari unsur karbon, hidrogen, oksigen, dan unsur lainnya seperti nitrogen dan belerang (Copalakrishnan 1992). Secara umum, ada tiga kelompok yang penyusun komponen atsiri pada minyak pala, yaitu hidrokarbon, hidrokarbon teroksigenasi, dan aromatik. Senyawa hidrokarbon sebagian besar merupakan senyawa terpen; hidrokarbon teroksigenasi tersusun terutama dari senyawa yang mengandung alkohol, keton, atau ester; sedangkan senyawa aromatik, yang merupakan komponen yang bertanggung jawab atas aroma khas pala terdiri atas senyawa eter aromatik. Pala Maluku mengandung 28 sampai 31 komponen minyak atsiri, sementara Maluku Utara 29 sampai 31. Komponen minyak atsiri pala Maluku sebagian besar tersusun dari hidrokarbon monoterpen (45,12-56,06%). Demikian pula Maluku Utara, minyak atsirinya mengandung hidrokabon monoterpen cukup tinggi (37,22-57,99%). Hasil analisis juga menunjukkan bahwa monoterpen teroksigenasi pala Maluku cukup tinggi (21,11-27,34%) jika dibandingkan dengan Maluku Utara (11,64-20,12%). Senywa monoterpen yang terkadung dalam pala merupakan komponen atsiri dominan. Forrest dan Heacock (1972) melaporkan bahwa minyak pala dapat mengandung komponen monoterpen hingga 80%. Faktor eksternal lingkungan pertumbuhan kemungkinan berkontribusi pada variasi kandungan komponen atsiri minyak pala, namun demikian tidak diketahui dengan pasti faktor penyebab perbedaan komposisi atsiri. Lokasi geografis dilaporkan berkaitan dengan variasi komposisi komponen atsiri minyak pala (Shulgin et al. 1967) dan karakteristik organoleptik (Dann et al. 1977). Temuan Riddle et al. (1996) juga menunjukkan bahwa kadar komponen atsiri mirsen meningkat dalam redberry pada musim semi dan panas.
99
Penelitian juga mendapatkan bahwa secara umum komponen aromatik miristisin pala Maluku lebih tinggi daripada Maluku Utara, tetapi sebaliknya komponen aromatik lainnya (elemisin, safrol, dan eugenol) lebih rendah (Tabel 46). Komponen aromatik, biasanya dalam bentuk senyawa eter aromatik, adalah komponen yang paling penting baik dari segi ekonomi maupun nilai industri/biofarmaka. Komponen aromatik minyak atsiri pala adalah penting. Miristisin, safrol dan elemisin memiliki sifat halusinogenik (De Guzman dan Siemonsma 1999). Karakteristik tersebut sangat berguna dalam industri farmasi. Senyawa aromatik juga sangat penting karena merupakan faktor penentu aroma dan mutu minyak atsiri. Pala Maluku Utara mengandung (iso)eugenol yang cukup rendah sehingga memberikan komposisi yang menghasil aroma khas pala yang baik (tidak terlalu tajam). Sebaliknya, pala Maluku Utara menghasikan minyak pala dengan aroma yang lebih tajam. Karakteristik aroma tajam tersebut kemungkinan berkaitan dengan kadar iso(eugenol) yang tinggi dalam minyak atsiri, terutama pala ekotipe Tidore. Komposisi dan kandungan komponen atsiri minyak pala menurut Maarse dan Kepner (1970) bergantung pada tingkat kematangan pala, spesies, dan faktor lokasi, namun keberadaan komponen atsiri tertentu biasanya konsisten. Selain itu, kadar komponen atsiri juga ditentukan oleh proses ekstraksi minyak atsiri yang digunakan. Pasaribu (1995) dalam penelitiannya menemukan bahwa kadar miristisin yang dihasilkan dari minyak atsiri pala yang melalui proses deterpenasi lebih tinggi dan memiliki mutu medisinal yang lebih baik. Komponen lain minyak atsiri adalah asam miristat. Senyawa tersebut termasuk kelompok asam lemak. Dalam proses penyimpanan minyak atsiri, biasanya terjadi penurunan pada komponen tertentu, namun ada komponen yang bertambah. Pada umumnya, kandungan asam miristat meningkat dengan bertambahnya waktu penyimpanan. Oleh karena itu, asam miristat dapat digunakan sebagai indikator mutu minyak pala kaitannya dengan penyimpanan (Sanford dan Heinz 1971).
100
KESIMPULAN 1.
Pala Maluku menghasilkan kadar minyak atsiri lebih tinggi daripada Maluku utara. Minyak pala Maluku mengandung 9,99-11,92% dan Malu-ku Utara 7,95-9,61%.
2.
Sifat fisiko-kimia minyak pala Banda relatif stabil kecuali sifat putaran optik.
3.
Sifat fisiko-kimia (bobot jenis, indeks bias, putaran optik, dan sisa penguapan) minyak pala Maluku dan Maluku Utara umumnya stabil dan memenuhi standar mutu SNI pala nasional kecuali pala ekotipe Tidore yang memiliki putaran optik yang tinggi (+40,0) menyimpang dari standar SNI.
4.
Komponen atsiri monoterpen pala Maluku lebih tinggi daripada Maluku Utara. Pinen merupakan senyawa hidrokarbon monoterpen yang paling banyak dijumpai dalam minyak atsiri pala.
5.
Komponen atsiri aromatik pala Maluku dan Maluku Utara adalah miristisin, elemisin, safrol, dan iso(eugenol). Miristisin adalan komponen aromatik tertinggi yang dijumpai dalam pala ekotipe Banda (13,76%).
6.
Pala ekotipe Ternate dicirikan oleh kadar safrol tinggi sementara pala ekotipe Tidore dengan eugenol tinggi.
101
IDENTIFIKASI ISOZIM DAN DNA PALA BANDA (Myristica fragrans Houtt) Abstrak Pala Banda adalah tanaman rempah tahunan dan merupakan tanaman asli kepulauan Banda, Maluku. Secara ekologi tanaman pala memperlihatkan beberapa variasi baik di Maluku maupun di Maluku Utara. Penelitian bertujuan untuk mengetahui eko-stabilitas pala Banda pada level isozim dan DNA. Sampel daun pala diambil dari enam ekotipe, tiga di Maluku (Banda, Ambon, dan Luhu), dan tiga di Maluku Utara (Ternate, Tidore, dan Bacan). Sampel daun beku dianalisis isozim dan DNA-nya. Dalam analisis isozim digunakan empat sistem enzim: peroksidase (PER), aspartat aminotransferase (AAT), esterase (EST), dan asam fosfatase (ACP); serta RAPD untuk analisis DNA. Dalam analisis isozim digunakan bufer Tris-HCl dengan pH 7,5. Gel elektroforesis isozim menggunakan gel pati 10% dan diruning pada arus tetap 18 mA selama 5 jam. Gel diwarnai menurut sistem pewarna masing-masing isozim lalu difiksasi dalam larutan fiksatif. Untuk analisis RAPD, DNA daun pala digerus dalam larutan bufer Tris-HCl pH 9,0. PCR amplifikasi menggunakan primer dekamer OPE 10 (GACTCTCAGG) and OPE 11 (GAGTCTCAGG). PCR dilakukan 45 siklus pada suhu 93 oC selama 1 menit, 35 °C selama 1 menit, dan 72 °C selama 2 menit kemudian 93 °C selama 4 menit untuk pre-denaturasi, dan 72 °C selama 8 menit untuk pemanjangan fragmen DNA. Produk amplifikasi dipisahkan dalam 1,5% gel elektroforesis, selanjutnya gel diwarnai dengan etidium bromida. Pita DNA divi-sualisasi dan diskor biner, 1 untuk ada pita dan 0 untuk tidak ada pita. Zimogram menunjukkan bahwa isozim AAT pala Maluku bersifat monomorfik, sedangkan Maluku Utara memperlihatkan tingkat polimorfik yang sangat rendah. Pada isozim EST, tampak bahwa pala dari Maluku dan Maluku Utara memiliki pola zimogram yang monomorfik. Pada analisis RAPD, pala dari Maluku menunjukkan pola pita DNA monomorfik, tetapi agak polimorfik pada pala Maluku Utara. Dalam analisis RAPD dengan primer OPE 11, pala Maluku memperlihatkan indeks kesamaan, SI, antara 0,83 hingga 1,00; dan pala Maluku Utara, antara 0,73 sampai 0,86. Dengan OPE 10, diperoleh SI 0,95 sampai 1,00 untuk Maluku; dan 0,78 sampai 0,83 untuk Maluku Utara. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa pala Banda memperlihatkan stabilitas yang cukup tinggi dalam pola isozim dan DNA di empat ekotipe. Kata kunci: Pala Banda, ekotipe, isozim, RAPD.
ISOZYMES AND DNA IDENTIFICATIONS FOR BANDA NUTMEG (Myristica fragrans Houtt) Abstract Banda nutmeg is a perennial spice crop that is indigenous to Banda islands, Moluccas. Ecologically, the crop shows some variations both in Moluccas and North Moluccas. The objective is to characterize eco-variability of the Banda nutmeg in terms of isozymes and DNA. Leaves of selected nutmeg trees were taken from six ecotypes, three in Moluccas i.e. Banda, Ambon, and Luhu, and another three in North Moluccas i.e. Ternate,Tidore, and Bacan. Collected leaves were kept in frozen condition for further use. Peroxidase (PER), aspartate aminotransferase (AAT), esterase (EST), and acid phosphatase (ACP) were used for isozyme analysis, and RAPD for DNA identification. Isozyme pattern was identified using a horizontal 10% gel electrophoresis. Electrophoresis was run at a constant current of 18 mA for 5 h. Gel staining using corresponding isozymes systems. For RAPD analysis, two decamer primers i.e. OPE-10 (GACTCTCAGG) and OPE-11 (GAGTCTCAGG) were used. PCR aplification was run with 45 cyc-les using ASTEC Thermal PC 707 thermocycler. Amplification products were separated on 1.5% agarose gel and were stained wih Etbr. DNA bands were scored in binary, 1 for present band and 0 for absent. Results reveal that AAT of Moluccas nutmeg shows monomorphic bands, whereas that of North Moluccas reveals a slightly polymorphic pattern. Low level of polymorphic in ACP nutmeg is also expressed in both Maoluccas’ and North Moluccas’. EST isozyme, however, shows monomorphic patterns. RAPD analysis for Moluccas nutmeg indicates monomorphic bands, whilst North Moluccas shows a low level in polymorphism. DNA amplificated with OPE-11 has similarity index (SI) 0.83 to 1.00 for Moluccas and 0.73 to 0.86 for North Moluccas. Morever, with OPE-10, SI ranges from 0.95 to 1.00 for Moluccas and 0.78 to 0.83 for North Moluccas. In summary, Banda nutmeg has relatively high stability in isozymes and DNA patterns across the four ecotypes. Keywords: Banda nutmeg, ecotype, isozyme, RAPD.
103
PENDAHULUAN Indonesia memiliki sumberdaya genetik pala yang cukup besar dengan pusat asal terletak di Kepulauan Maluku. Keragaman genetik pala tersebar di Pulau Banda, Siau, dan Papua (Hadad dan Hamid 1990). Sebagai pusat keragaman genetik (center of diversity), Indonesia harus mengambil peran yang lebih besar dalam pengelolaan, pengembangan, dan pemanfaatan tanaman pala. Tanaman pala di habitat tumbuhnya memperlihatkan variasi yang jelas dalam beberapa karakteristik morfologi. Genus Myristica dilaporkan memiliki sekitar 100 spesies (De Guzman dan Siemonsma 1999).
Beberapa laporan me-
nyebutkan bahwa spesies-spesies pala tersebar terutama di wilayah Indonesia dan Papua Nugini. Karakterisasi untuk memastikan identitas sesungguhnya pala Banda sangat perlu dilakukan untuk mencegah klaim dari pihak luar atas pala Banda itu sendiri. Untuk itu perlu penanda yang stabil bagi pala Banda yang dapat digunakan sebagai penciri yang unik.
Dua penanda yang sudah lazim dipakai untuk
identifikasi adalah isozim dan RAPD (DNA). Isozim adalah marka biokimia yang memiliki bentuk polimorfik dalam jaringan organisme atau spesies tanaman dan berperan mengkatalisis reaksi-reaksi metabolisme yang sama namun memiliki sifat-sifat fisika dan kimia protein yang berbeda. Isozim akan memperlihatkan beberapa bentuk atau isomer bila dipisahkan secara elektroforesis (Acquaah 1992). Isozim yang lazim digunakan sebagai alat identifikasi molekuler adalah ACP (acid phosphatase), ENP (endopeptidase), ADH (alcohol dehydrogenase), MDH (malate dehydrogenase), EST (esterase), PER (peroxydase), dan AAT (aspartate aminotransferase). Isozim sebagai penanda biokimia dapat digunakan sebagai identitas yang relatif stabil bagi suatu kultivar atau jenis tanaman. Isozim cukup akurat sebagai penanda biologi dalam membedakan satu individu dari individu lainnya dalam suatu populasi. Perbedaan karakteristik individu pada level biokimia (protein) ditunjukkan dalam polimorfisme isozim. Polimorfisme isozim pada tanaman ditunjukkan oleh variasi dalam molekul-molekul protein yang fenotipenya dapat tampak dalam bentuk pita elektroforesis setelah diwarnai dengan pewarna spesifik. Isozim yang akan dielektroforesis dapat diekstrak dari berbagai jaringan
104
tanaman yang pada umumnya dari bagian tanaman yang aktivitas enzim dan metabolismenya tinggi seperti daun muda, batang yang sukulen, ujung akar, kecambah atau embrio biji.
Kondisi fisiologi dan lingkungan tanaman yang
berbeda dapat mempengaruhi fenotipe isozim hasil elektroforesis. Pemisahan protein isozim dengan teknik elektroforesis memerlukan media pendukung seperti gel pati atau akrilamida. Sebagai media, gel pati lebih disukai karena lebih sederhana penyiapannya, tidak toksik, lebih murah, dan peralatan pendukungnya lebih sederhana. Selain itu, ekstrak enzim tidak perlu dimurnikan dengan sentrifugasi, lempengan gel pati dapat disayat secara horizontal menjadi dua bagian atau lebih sehingga lebih menghemat bahan dan waktu. Sebagai penciri biokimia, isozim memiliki beberapa kelebihan sebagai penanda sifat-sifat tanaman. Isozim umumnya memperlihatkan pola pewarisan Mendelian (Adam 1983), bersifat kodominan, berpenetrasi penuh, dan tidak menunjukkan pleiotropisme atau epistasis. Meskipun sifat kodominan ada pada isozim, namun tidak selalu tampak (Wendel 1989). Sebagai produk langsung dari ekspresi DNA (translasi), isozim dapat mencerminkan kalau terjadi perubahan pada level DNA melalui perubahan komposisi asam amino protein. Oleh karena itu, isozim banyak dimanfaatkan dalam menjelaskan struktur genetik populasi (Hamrick dan Godt 1989). Dengan sifat kodominan dan penetrasinya yang penuh maka isozim akan mencerminkan secara langsung kalau terjadi perubahan dalam sekuen DNA melalui perubahan komposisi asam aminonya. Suatu lokus isozim didefinisikan sebagai gen struktural yang mengendalikan sintesis protein enzim yang memiliki kemampuan mengkatalisisis suatu reaksi biokimia tertentu. Jika gen diekspresikan maka aktivitas hasil pewarnaan merupakan pertanda langsung produk dari dua alel. Dengan sifat dan kemampuan isozim seperti dijelaskan di atas sehingga isozim banyak digunakan dalam kegiatan analisis bidang biologi tumbuhan. Isozim dapat digunakan untuk memeriksa bentuk persilangan suatu tanaman apakah menyerbuk sendiri (autogami), menyerbuk terbuka (alogami), apomiksis, kombinasi dari kedua sistem tersebut, atau ketiga sistem. Isozim juga bisa dipakai dalam analisis keragaman genetik dalam dan antarpopulasi tanaman. Dalam suatu
105
populasi pohon pala yang secara morfologi tampak seragam dan berasal dari lokasi yang sama, dengan isozim kemungkinan dapat memperlihatkan keragaman. Dalam sistematika tumbuhan, isozim dimanfaat dalam membedakan spesies tanaman yang secara klasifikasi taksonomi sukar dibedakan hanya dengan berdasarkan pada morfologinya. Dalam bidang pemuliaan tanaman, isozim berguna sebagai penanda hasil silangan atau sebagai salah satu penciri varietas tanaman. Dalam pembuatan hibrida diperlukan penanda genetik untuk menjamin benih atau bibit yang dihasilkan betul-betul hasil silangan dari dua tetua yang diinginkan, dan oleh karena itu benih tersebut harus mempunyai kombinasi pola pita isozim tertentu dari kedua tetuanya (kodominan). Varietas tanaman sebaiknya mempunyai identitas atau penanda isozim agar benih yang diperjualbelikan terjamin kemurniannya. Isozim juga penting dalam perakitan sifat ketahanan terhadap suatu penyakit atau hama tertentu dari suatu varietas. Pengujian sifat ketahanan seringkali menimbulkan masalah keraguraguan, oleh karena itu pelacakan kemungkinan keterpautan antara fenotipe sifat ketahanan tersebut dengan fenotipe isozim akan membantu menghilangkan keragu-raguan dengan cara mempergunakan penanda isozim. Keterpautan fenotipe isozim dengan karakter yang mempunyai nilai ekonomi pada tanaman tahunan akan lebih cepat membantu dalam menyeleksi tanaman tersebut pada tingkat bibit atau benih. Pada tanaman yang diperbanyak secara vegetatif, misalnya okulasi dan penyambungan, penanda isozim dapat digunakan sebagai identitas batang bawah atau batang atas yang benar-benar diinginkan. Kultur jaringan membantu memperbanyak benih secara vegetatif dan diharapkan bibit yang dihasilkan seragam secara genetik. Untuk menjamin keseragaman atau kebenaran bibit vang dihasilkan dari perbanyakan secara kultur jaringan, pemeriksaan isozim sebagai penanda bisa dilakukan pada saat tanaman masih berupa bibit. Selain isozim, RAPD (Randomly Amplified Polymorphic DNA) juga lazim digunakan sebagai penanda atau penciri individu pada tingkatan DNA. RAPD dihasilkan dari amplifikasi PCR fragmen DNA genom menggunakan primer dekamer (William et al. 1990). Analisis RAPD khas dalam kesederhanaannya dan kemampuan membedakan. Dengan didukung oleh metode statistik yang tepat,
106
analisis RAPD akan sangat efektif dalam mendeteksi adanya keragaman populasi dalam berbagai jenis organisme. Dalam studi molekuler digunakan analisis isozim dan RAPD untuk mempelajari karakteristik variasi pala tipe Banda di Maluku dan Maluku Utara. Dengan penanda isozim dan RAPD diharapkan identitas pala Banda menjadi tegas.
107
BAHAN DAN METODE Analisis Isozim Ekstraksi isozim dilakukan di Laboratorium Ilmu Hayati, IPB Bogor. Sistem isozim yang dianalisis adalah PER, AAT, EST, dan ACP. Tahapan esktraksi dan isolasi isozim adalah penyiapan bahan, pembuatan larutan bufer, gel pati, ekstraksi enzim, elektroforesis, pewarnaan, dan fiksasi gel. Penyiapan bahan Pada enam lokasi (Banda, Ambon, Luhu, Ternate, Tidore, dan Bacan) dipilih enam pohon pala yang padanya diambil sampel daun untuk ektraksi isozim. Daun berumur sedang pada cabang utama kedua dari bawah dipilih sebagai sampel. Daun terpilih dibawa dari lokasi ke laboratorium dalam termos berisi es kering untuk menjaga kesegarannya. Pembuatan larutan bufer Ada tiga macam larutan bufer yang digunakan dalam ekstraksi isozim yaitu bufer pengekstrak, bufer gel, dan bufer elektroda. Bufer pengekstrak terdiri atas larutan Tris-HCl bufer pH 7,5; 7,5 mM sukrosa (w/v), dan PVP-40 (w/v). Bufer gel tersusun dari larutan 5 mM L-histidin yang diatur pH-nya dengan TrisHD hingga 6,0; sementara bufer elektroda terdiri atas asam sitrat monohidrat dan 150 mM Tris-HD bufer pH 7,5. Ekstraksi enzim Daun sekitar 1 g dipotong kecil-kecil kemudian dimasukkan ke dalam mortar yang bagian luarnya didinginkan dengan es batu. Ke dalam sampel ditambahkan 1,2 ml bufer pengekstrak. Sampel digerus sampai halus kemudian dimasukkan ke dalam tabung ependorf-1,5 ml, kemudian disentrifugasi pada 12.000 rpm selama 10 menit pada suhu 5 oC. Supernatan diambil dengan pipet mikro lalu dimasukkan ke dalam tabung ependorf kemudian disimpan dalam freezer untuk tahap berikutnya. Pembuatan gel pati Sebelum gel dibuat, cetakan gel diolesi dengan parafin cair untuk mempermudah melepas gel dari cetakan.
Pati 10% dan
larutan bufer gel
dimasukkan ke labu kemudian dididihkan di atas penangas air sambil diaduk
108
merata sampai gel matang (waktunya sekitar 10 menit). Untuk membebaskan gel dari udara terperangkap, cairan gel panas divakum segera selama 10 menit kemudian dituang dalam cetakan lalu dibiarkan pada suhu kamar hingga mengeras menjadi gel. Elektroforesis sampel Ujung kertas saring dengan lebar sesuai lebar sumur gel dicelupkan ke dalam ekstrak sampel kemudian diselipkan ke sumur gel hingga seluruh sampel mengisi sumur. Sebagai kontrol mobilitas elektroforesis digunakan bromofenol biru yang diisikan pada salah satu sisi ujung sumur gel. Gel ditutup dengan plastik dan selanjunya dielektroforesis selama 5 jam dengan kuat arus konstan 18 mA. Pewarnaan dan fiksasi Kertas saring yang ada di sumur dibuang dan gel diiris secara horizontal menjadi dua potongan untuk pewarnaan dua macam enzim. Gel elektroforesis kemudian direndam dalam larutan pewarna. Lama waktu perendaman sekitar 1 sampai 2 jam. Larutan pewarna untuk isozim tertentu bersifat spesifik dan harus dipersiapkan dalam kondisi segar. Metode pewarnaan mengikuti metode Wendel (1989). Komposisi sistem pewarna enzim PER, AAT, EST, dan ACP tampak pada Tabel 47. Tabel 47 Komposisi bahan untuk pewarnaan isozim Sistem enzim
Bahan
Jumlah
PER
3-amino-9 ethylcarbazole 0,1 M CaCl2 30% H2O2 0,05 Natrium asetat (pH 5) Asam aspartat Asam α – ketoglutarat Fast Blue BB salt Fast Garnet GBC salt Buffer Natrium asetat (pH 5) 0,1 M CaCl2 1% α – naphthyl acid phosphatse Larutan fosfat (NaH2PO4) Larutan fosfat (Na2HPO4) Fast Blue RR salt 1% α – naphthyl acetate
50 mg 2 ml 0,2 ml 95 ml 250 mg 150 mg 150 mg 100 mg 100 ml 2 ml 2 ml 250 mg 250 mg 150 mg 2 ml
AAT ACP
EST
109
Setelah pewarnaan, gel dicuci dengan air mengalir hingga bersih kemudian difiksasi menggunakan larutan yang terdiri atas etanol, akuades, asam asetat, dan gliserol dengan proporsi 5:4:2:1. Pita-pita isozim yang tampak pada gel difoto untuk analisis kuantitatif selanjutnya. Analisis RAPD Bahan tanaman. Analisis RAPD dilakukan di Laboratorium PKBT (Pusat Kajian Buah-Buahan Tropika) IPB, Bogor. Daun tanaman pala yang dikumpulkan dari enam lokasi (Ambon, Banda, Luhu, Ternate, Tidore, dan Bacan) di dua daerah (Maluku dan Maluku Utara) digunakan sebagai bahan untuk ektraksi DNA. Dua tanaman dipilih per lokasi sampling. Isolasi DNA. Total DNA pala diekstraksi menggunakan metode CTAB (Doyle dan Doyle 1987) dan konsentrasinya diukur secara spektrofotometri pada λ 260 nm. Amplifikasi DNA dilakukan mengikuti prosedur Williams et al. (1990) memakai primer OPE-10 (GACTCTCAGG) dan OPE-11 (GAGTCTCAGG). Pemurnian DNA.
Pemurnian DNA menggunakan metode Sambrook et
al. (1989). Larutan DNA ditambah 1 μl RNAse dan dibiarkan pada suhu kamar selama 2 jam, lalu ditambahkan fenol kloroform isoamilalkohol dingin sebanyak 100 μl dan disentrifus pada 12 000 rpm selama 15 menit. Supernatan dipipet ke dalam tabung baru dan ditambahkan kloroform isoamilalkohol dengan volume yang sama, selanjutnya disentrifus lagi pada 12.000 rpm selama 15 menit. Supernatan dipipet ke dalam tabung evendorf baru kemudian ditambahkan natrium asetat 3 M pH 5,2 sebanyak 1/10 volume dan isopropanol dingin sebanyak 2,5 volume. Larutan dikocok hingga homogen kemudian dalam freezer selama 60 menit atau semalam. Larutan disentrifus selama 15 menit pada 12.000 rpm, pelet yang diperoleh ditambahi etanol 70% sebanyak 100 μl dan disentrifus selama 5 menit pada 12.000 rpm. Cairan dibuang dan pelet dikeringkan dengan cara membalikkan tabung. Pelet yang sudah kering angin diberi 100 μl air bebas ion kemudian dikocok hingga larut sempurna. Uji kualitas DNA. Gel agarose 0,8% dibuat dengan mencampur 0,32 g agarosa dan 40 ml larutan TAE 1x, kemudian dipanaskan sampai mendidih. Larutan dibiarkan sampai hangat lalu dituang ke dalam cetakan gel yang telah disisipi
110
sisir untuk cetakan sumur gel. Gel dibiarkan selama 1 jam hingga memadat. Sebanyak 5 μl DNA hasil ekstraksi dicampur dengan 1 μl larutan pewarna kemudian dimasukkan ke dalam sumur gel. Elektroforesis dilakukan dengan alat elektroforesis horizontal pada tegangan 100 volt selama 30 menit. Gel yang telah dieletroforesis direndam dalam larutan ethidium bromida 0,1% kemudian dibilas dengan air. Pita DNA diamati di atas UV transiluminator. Uji kuantitas DNA. Larutan DNA sebanyak 20 μl dimasukkan ke dalam kuvet dan ditambahkan 1.900 μl akuades steril.
Nilai absorbansi larutan diukur
pada panjang gelombang 260 nm dan 280 nm. Kerapatan optik (optical density, OD) 260 menunjukkan penyerapan UV oleh nukleotida, sedangkan OD 280 menunjukkan penyerapan UV protein. Molekul DNA dikatakan murni jika ratio OD 260 terhadap OD 280 berkisar antara 1,8 sampai 2,0 (Sambrook et al. 1989). Konsentrasi DNA dihitung dengan formula: [DNA] (μg/ml) = A260 x 50 x faktor pengenceran. Amplifikasi PCR PCR (Polymerase chain reactions) dilakukan menggunakan volume reaksi 25 μl yang berisi 10 mM Tris-HCl pH 9;0; 150 mM KCl; 1,8 mM MgCl2 dan 0,1 mM masing-masing untuk dATP, dTTP, dGTP dan dCTP; 0,3 μM primer, 50 ng DNA genom dan 0,5 unit Taq polimerase. Amplifikasi menggunakan mesin PCR ASTEC Thermal PC 707. Amplifikasi PCR dimulai dengan inisiasi denaturasi DNA selama 1,5 menit. Amplifikasi selanjutnya dilakukan sebanyak 45 siklus, dimulai pada suhu 94 0C 1 menit, 37 0C 1 menit, 72 °C 2 menit, dan tahap akhir siklus pertama 72 0C 4 menit. Proses amplifikasi akan berulang hingga mencapai 45 siklus. Fragmen produk amplifikasi dipisahkan dalam gel agarosa 1,5% dan diwarnai dengan etidium bromida (Etbr) 0,5 mg per ml. Elektroforesis dilakukan pada voltase 5 v/cm selama 2,5 jam lalu gel difoto di atas UV transiluminator. Produk amplifikasi yang berupa pita-pita DNA diskor secara visual dan diberi nilai 1 untuk ada pita, dan 0 untuk tidak ada pita. Berdasarkan skor biner kemudian dihitung kemiripan pola pita DNA di antara sampel pala.
111
Analisis Data Pita-pita isozim dan DNA diberi skor biner, yaitu 1 untuk ada pita, dan 0 untuk tidak ada pita. Indeks kesamaan (SI) pola pita DNA dihitung menurut formula: SI= 2Nxy/(Nx+ Ny) Nxy adalah banyaknya pita yang muncul pada individu x dan y bersamaan, Nx adalah banyaknya pita yang muncul pada individu x dan Ny adalah banyaknya pita pada individu y (Nei 1978). Matriks korelasi (kesamaan) selanjutnya diarahkan pada analisis komponen utama untuk lebih memperjelas hubungan antara individu. Analisis statistik dilakukan menggunakan SAS (SAS 1996).
112
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Isozim AAT Zimogram atau pola pita isozim AAT pala yang berasal dari daerah Maluku tampak pada Gambar 17. Analisis isozim menunjukkan bahwa isozim AAT pala ekotipe Ambon, Banda, dan Luhu bersifat monomorfik. Sifat monomorfik dapat diartikan bahwa pala Banda Maluku tidak memperlihatkan keragaman atau variasi ekspresi pada level protein isozim AAT.
Gambar 17 Zimogram isozim AAT pala Maluku. (pita-pita di bagian bawah gel adalah interpretasi) Tidak seperti halnya pala Maluku, zimogram AAT pala Maluku Utara memperlihatkan sedikit polimorfisme. AAT pala ekotipe Tidore dan Bacan menunjukkan sifat polimorfisme yang rendah namun pala ekotipe Ternate bersifat monomorfik (Gambar 18). Dua dari enam sampel tanaman pala ekotipe Tidore mengekspresikan pita protein dimer yaitu masing-masing dua pita, sementara pala Bacan satu pita berbeda.
Gambar 18 Zimogram isozim AAT pala Maluku Utara. (pita-pita di bagian bawah gel adalah interpretasi)
113
Variasi pola pita AAT pala ekotipe Tidore dan Bacan secara kualitatif sangat kecil sehingga tidak memadai untuk dipakai sebagai penciri tanaman pada level molekuler. Isozim ACP Analisis isozim ACP menunjukkan bahwa terdapat sedikit variasi (satu pita) antara pala ekotipe Banda dengan ekotipe Ambon dan Luhu. Pala ekotipe Ambon dan Luhu memperlihatkan pola ACP yang monomorfik. Gambar 19 memperlihatkan pala sampel nomor 7 ekotipe Banda mengekspresikan protein dimer (dua pita protein).
Gambar 19 Zimogram isozim ACP pala Maluku. (pita-pita di bagian bawah gel adalah interpretasi) Analisis isozim pala Maluku Utara memperlihatkan adanya variasi ACP yang terjadi pada pala ekotipe Tidore dengan dua pita yang berbeda (Gambar 20). Dua ekotipe lainnya, Ternate dan Bacan, memperlihatkan pola ACP yang monomorfik.
Gambar 20 Zimogram isozim ACP pala Maluku Utara. (pita-pita di bagian bawah gel adalah interpretasi)
114
Isozim PER Analisis isozim menunjukkan pala Maluku dan Maluku Utara tidak memperlihatkan perbedaan PER yang berarti. Pola pita keduanya bersifat monomorfik (Gambar 21 dan 22). Tidak ada yang dapat membedakan antara pala ekotipe Banda dan ekotipe lainnya dalam karakteristik PER.
Gambar 21 Zimogram isozim PER pala Maluku. (pita-pita di bagian bawah gel adalah interpretasi)
Gambar 22 Zimogram isozim PER pala Maluku Utara. (pita-pita di bagian bawah gel adalah interpretasi) Isozim EST Seperti isozim EST, pala Maluku dan Maluku Utara juga memperlihatkan karakteristik dengan pola pita monomorfik. Keenam ekotipe pala mengekspresikan EST dengan pita protein tunggal (monomer).
115
Gambar 23 Zimogram isozim EST pala Maluku. (pita-pita di bagian bawah gel adalah interpretasi) Stabilitas karakteristik isozim EST pala Maluku dan Maluku Utara dapat dilihat pada zimogram Gambar 23 dan 24.
Gambar 24 Zimogram isozim EST pala Maluku Utara. (pita-pita di bagian bawah gel adalah interpretasi) Profil DNA Pola pita DNA genom pala yang berasal dari Maluku dan Maluku Utara tampak pada Gambar 25 dan 26. Pada kedua gambar tampak polimorfisme DNA pala Banda yang diamplifikasi dengan primer OPE-10 dan OP-11. Pola pita DNA yang diamplifikasi dengan primer OPE-11 tampak pada Gambar 26. Pola pita DNA dengan primer OPE-11 memperlihatkan bahwa pala ekotipe Banda sangat mirip dalam dua ekotipe lainnya di Maluku dengan SI masing-masing 95% terhadap Ambon dan 100% terhadap Luhu. Untuk Maluku Utara, SI pala ekotipe Banda menjadi lebih kecil, masing-masing 78, 78, dan 83% masing-masing terhadap ekotipe Ternate, Tidore, dan Bacan (Tabel 44).
116
Gambar 25 Pola pita DNA M. fragrans Houtt, dengan primer OPE-10. (lin 1 dan 2 pala Ambon, 3 dan 4 pala Banda, 5 dan 6 pala Luhu; 7 dan 8 pala Ternate, 9 dan10 pala Tidore, 11 dan 12 pala Bacan).
Gambar 26 Pola pita DNA M. fragrans Houtt, dengan primer OPE-11. (lin 1 dan 2 pala Ambon, 3 dan 4 pala Banda, 5 dan 6 pala Luhu; 7 dan 8 pala Ternate,
9 dan10 pala Tidore, 11 dan 12 pala Bacan). Dengan menggunakan primer OPE-10 menghasilkan SI 73 sampai 100%, dengan OPE-11, SI pala Banda antara 78 dan 100% (Tabel 44). Untuk Maluku, SI pala ekotipe Banda berbeda 83% dengan ekotipe Ambon dan 100% dengan ekotipe Luhu. Untuk pala Maluku Utara, SI pala ekotipe Banda berbeda 73, 79, dan 86% berturut-turut terhadap ekotipe Ternate, Tidore, dan Bacan (Tabel 44). Berdasarkan indeks original Nei (Nei 1978) diketahui bahwa jarak genetik enam ekotipe pala 0 sampai 0,271 unit; sementara identitas genetiknya 0,7626 sampai 1,0000 unit (Tabel 48). Jarak genetik terdekat (0,000 unit) terjadi antara pala ekotipe Banda dan Luhu dan antara Bacan dan Tidore, sementara jarak gene-
117
tik terjauh terjadi antara pala ekotipe Ambon dan Ternate (0,2710 unit).
Jarak
genetik 0,000 berarti tidak tidak ada perbedaan antara dua ekotipe yang dibandingkan. Identitas genetik yang paling kecil terjadi antara pala ekotipe Ambon dan Ternate dan sebaliknya yang paling besar adalah antara pala ekotipe Banda dan Luhu dan antara Tidore dan Bacan. Tabel 48 Indeks Kesamaan (SI) pola pita DNA tanaman pala Banda Primer
OPE 10
OPE 11
*)
SI∗)
Lokasi/Ekotipe Maluku: Banda Ambon Luhu Maluku Utara: Ternate Tidore Bacan Maluku: Banda Ambon Luhu Maluku Utara: Ternate Tidore Bacan
100 83 100 73 79 86 100 95 100 78 78 83
SI (dalam%) pala ekotipe Banda adalah referensi.
Pala yang berasal dari Maluku mengelompok dalam klaster yang sama, sementara pala Maluku Utara yang memperlihatkan variasi dan cenderung masuk ke dalam grup Maluku Utara. Pala ekotipe Ambon dan Luhu memiliki identitas genetik yang sama begitu pula halnya pala ekotipe Ternate dan Bacan (Tabel 49). Tabel 49 Identitas genetik dan jarak genetik pala Banda Ekotipe Ambon Banda Luhu Ternate Tidore Bacan
Ambon **** 0,0302 0,0302 0,2710 0,2504 0,2504
Banda 0,9703 **** 0,0000 0,2261 0,2080 0,2080
Luhu 0,9703 1,0000 **** 0,2261 0,2080 0,2080
Ternate 0,7626 0,7976 0,7976 **** 0,1213 0,1213
Tidore 0,7785 0,8122 0,8122 0,8858 **** 0,0000
Ket.: Identitas genetik Nei (diagonal atas) dan jarak genetik (diagonal bawah).
118
Bacan 0,7785 0,8122 0,8122 0,8858 1,0000 ****
Keenam ekotipe pala bila digambarkan menurut identitas genetik dan kedekatan jarak genetik tampak seperti pada Gambar 27. Pada Gamber 27 tampak pala Banda mengelompok ke dalam ekotipe asalnya masing-masing, yaitu Maluku dan Maluku Utara. Dendogram mengindikasikan bahwa kedekatan geografis menjadi faktor yang melatarbelakangi pengelompokan pala.
Banda Ambon Luhu Ternate Tidore 9,21
4,21
1,29
Bacan 0,0
Indeks Jarak Genetik Gambar 27 Dendogram enam ekotipe pala Banda menurut pola DNA.
Pembahasan Isozim penting dalam karakterisasi tanaman. Tanskley dan Orton (1983) menjelaskan bahwa isozim merupakan produk langsung dari gen, terdiri atas berbagai molekul aktif yang mempunyai struktur kimia yang berbeda tetapi mengkatalisis reaksi kimia yang sama. AAT merupakan salah satu isozim tanaman yang mengkatalisis reaksi transaminasi balik antara L-aspartat dan 2oxoglutarat menghasilkan oxaloacetat dan L-glutamate (Wilkie et al. 1996). Pada penelitian diketahui AAT pala Banda secara umum memperlihatkan ekspresi yang stabil di enam ekotipe. Pola pita isozim AAT pala Banda yang sebagian besar monomorfik dapat diinterpretasi sebagai gambaran stabilitas ekspresi protein enzim AAT pada beragam ekotipe. Pola isozim sebagai karakteristik atau fenotipe tanaman pada level molekuler merupakan hasil dari interaksi antara faktor genetik dan lingkungan. Eskpresi isozim dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan fase pertumbuhan tanaman. Penggunaan isozim sebagai penciri tanaman dalam beberapa hal menguntungkan. Lebeda et al. (2003) mengemukakan bahwa keuntungan
119
penggunaan isozim di antaranya adalah bentuk/pola isozim yang konstan untuk waktu yang lama selama siklus hidup tanaman, memberikan informasi struktur monomerik atau oligomerik enzim dalam keadaan homozigot atau heterozigot dari suatu gen pada suatu lokus, dan dapat diamati pada tahap pertumbuhan dini tanaman sehingga mempercepat proses identifikasi. Pada pala Maluku Utara, AAT memperlihatkan polimorfisme yang rendah. Jarak geografis yang cukup jauh antara Maluku dan Maluku Utara menciptakan kondisi berbeda yang dapat mempengaruhi secara eksternal proses pertumbuhan dan perkembangan pala termasuk dalam hal ekspresi isozim. Kondisi lingkungan yang berbeda pada Maluku Utara memberikan pengaruh yang berbeda dalam ekspresi isozim AAT. Dua pita AAT ekotipe Tidore mengekspresikan protein enzim dimer, dan satu dimer pada ekotipe Bacan. Tingkat kesamaan karakter morfologi 90% pala Banda tampaknya proporsional dengan variasi yang kecil yang ditunjukkan oleh AAT oleh pala ekotipe Tidore dan Bacan Maluku Utara. Hubungan karakter morfologi dengan ekspresi isozim tertentu tidak mudah dipahami (Lebeda et al. 2003). Menurut Premoli et al. (2001) kisaran geografis atau ekotipe yang luas merupakan prediktor yang baik mengenai tingkat variasi ekspresi enzim pada tanaman. Jarak geografis yang cukup jauh antara ekotipe Banda dengan ekotipe lainnya di Maluku Utara cukup mendukung pernyataan di atas. Premoli et al. (2001) selanjutnya menyatakan bahwa spesies yang memiliki penyebaran luas, memiliki populasi yang besar dan membentuk variasi yang tinggi kurang dipengaruhi oleh efek genetic drift yang cenderung mengurangi variasi genetik pada spesies dengan wilayah penyebaran geografisnya terbatas. Pola ekspresi yang hampir sama dengan AAT terjadi pada isozim ACP. Pala ekotipe Tidore mengekspresikan tingkat variasi isozim ACP yang rendah. Variasi isozim ACP yang terjadi pada pala Maluku Utara dapat dipandang sebagai respon adaptasi pala Banda di luar ekotipe aslinya, Pulau Banda. Variasi tersebut penting karena merupakan unsur dasar adaptasi dan juga untuk menjaga stabilitas tanaman dalam suatu ekosistem (Hamrick dan Godt 1989). Selain sebagai respon adaptasi, ekspresi isozim tertentu bersifat konstitutif yang berarti diekspresikan
120
sebagai proses metabolisme normal tanaman yang tidak bergantung pada perubahan kondisi lingkungan, seperti stres fisiologis. Isozim PER tergolong jenis konstitutif. PER adalah enzim yang diperlukan setiap saat oleh tanaman untuk menjaga agar metabolisme sel tidak terganggu oleh radikal bebas peroksida yang berbahaya. PER berperan menetralkan peroksidase melalui proses oksidasi sehingga menjadi aman bagi tumbuhan. Pada penelitian dengan isozim PER tidak memperlihatkan variasi ekspresi. Manjunatha et al. (2003) menemukan hal yang hampir sama pada tebu, yaitu PER memperlihatkan polimorfisme yang sangat rendah. Pada penelitian dengan PER memperlihatkan fenotipe monomorfik pada semua ekotipe. Pola ekspresi monomorfik PER juga sama dengan EST. Karakteristik isozim yang monomorfik dan stabil (seperti PER dan EST) bukan suatu yang tidak lazim. Penelitian dengan isozim katalase (CAT) pada tanaman kenaf juga memperlihatkan pola isozim yang serupa dengan PER dan EST (Indriani et al. 2002). Monomorfisme dalam isozim dapat dipergunakan sebagai karakteristik molekuler pala Banda. Ekspresi gen yang tergambar dalam pola pita DNA banyak digunakan sebagai penciri atau karakteristik tanaman pada tingkat molekuler. Dalam penelitian, karakteristik molekuler pala Banda dinyatakan dalam bentuk polimorfisme DNA atau RAPD. Pala Banda yang berasal dari Maluku memper-lihatkan variasi yang sangat rendah (indeks kesamaan, 83-100%). Kemiripan pala Banda di Maluku Utara menurun dengan indeks kesamaan 73-86%. Lokasi geo-grafis atau ekotipe yang cukup jauh antara Maluku dan Maluku Utara kemungkinan dapat menjelaskan variasi ekspresi DNA yang terjadi. Variasi dalam DNA pada pala Banda, seperti yang diperlihatkan pala ekotipe Ternate danTidore, dapat merupakan ekspresi atas perbedaan secara geografis/ekotipe pala Banda. Pada penelitian tampak bahwa semakin jauh jarak geografis dari ekotipe Banda, DNA cenderung bervariasi meskipun identitas genetik (0,7626 unit) dan jarak genetik (0,2710 unit) tidak cukup banyak berubah. Di luar ekotipe aslinya, pala Banda tidak cukup banyak mengalami variasi dalam level DNA. Stabilitas genetik bagi pala Banda adalah sifat yang penting terutama bila dihubungkan
121
dengan karakteristik produksi buah dan komponen minyak atsiri. Meskipun belum ada bukti yang menunjukkan perubahan karakteristik produksi dan komponen minyak atsiri atas perubahan pada struktur genetik pala Banda, namun untuk menjaga sifat khas pala Banda agar tetap dalam kondisi seperti ekotipe yang sekarang adalah hal yang penting.
122
KESIMPULAN 1. Isozim AAT pala Banda secara umum relatif stabil dalam agroekologi Maluku namun agak bervariasi dalam ekotipe Tidore dan Bacan (Makuku Utara). Hal serupa terjadi pada isozim ACP pala ekotipe Tidore. 2. Pala Banda dari Maluku dan Maluku Utara secara umum tidak dapat dibedakan berdasarkan isozim PER dan EST. 3. Terdapat 0,2710 unit jarak genetik antara pala Banda dari Maluku dan Maluku Utara. 4. Terjadi penurunan identitas genetik 0,7626 unit pada pala Banda setelah berkembang pada ekotipe Ternate, Maluku Utara.
123