TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Sawit Buah sawit berasal dari tanaman sawit (Elaeis guineensis, Jacq) terdiri dari bagian-bagian eksokarp, mesokarp, endokarp dan inti. Bagian mesokarp buah mengandung minyak yang disebut dengan minyak sawit, sedangkan dari bagian intinya dapat di peroleh minyak inti sawit. Tanaman sawit adalah tanaman berkeping satu yang termasuk dalam famili Palmae. Nama
genus Elaeis berasal dari bahasa Yunani Elaion atau
minyak, sedangkan nama guineesis berasal dari kata Guines, yaitu nama tempat dimana seorang bernama Jaquin menemukan tanaman sawit pertama kali di pantai Guines di Afrika Selatan (Hartley 1970; PORIM 1998). Selain sebagai bahan pangan, minyak sawit juga digunakan sebagai bahan baku industri kimia. Industri pengolahan minyak nabati belum dapat digolongkan pada industri teknologi tinggi. Dasar pengolahan seperti ekstraksi, rafinasi, deodorasi, hidrogenasi, fraksionasi dan destilasi masih merupakan teknologi konvensional, terutama yang digunakan di negara maju dengan modifikasi yang relatif kecil untuk bahan olah produk sawit (Loebis 1988; Naibaho dan Tobing 1991). Berbagai ragam penggunaan produk sawit untuk tujuan bahan pangan atau bahan non pangan dapat dilihat pada gambar 1 (Pohon Industri Sawit). Dengan pertimbangan teknologis dan ekonomis, produksi sawit dapat dimodifikasi untuk digunakan sebagai produk pangan
6
Gambar 1. Pohon Industri Sawit (Dit. Jen. Bun 1987) Trigliserida Minyak sawit, selain mengandung komponen utama trigliserida (94%), juga mengandung asam lemak (3 – 5%) dan komponen yang jumlahnya sangat kecil (1%), termasuk karotenoid, tokoferol, tokotrienol, triterpen alkohol, fosfolipida, glikolipida dan berbagai komponen trace element (Hamilton dan Bhatti 1984; Muhilal 1991), dijelaskan lagi oleh Hilditch dan William (1964) serta Rousell (1985), bahwa minyak sawit juga mengandung sterol (0,03%), fosfatida (0,1%) dan tokoferol (0,03%) serta karotenoid (sekitar 0,6%) yang terdiri dari alfa, beta, gamma, delta karoten, likopen dan lutein Minyak dan lemak terdiri dari trigliserida campuran, yang merupakan ester dari gliserol dan asam lemak rantai panjang. Trigliserida dapat berwujud padat
7
atau cair, tergantung dari komposisi asam lemak yang menyusunnya. Lemak dan minyak sawit berwujud setengah padat pada suhu kamar, berwarna kuning jingga karena mengandung pigmen karoten (Naibaho 1983; Budiman 1987), sebaliknya minyak inti sawit bersifat cair pada suhu kamar. Perbedaan sifat ini disebabkan oleh perbedaan jenis asam lemak yang membentuk trigliserida dalam kedua minyak tersebut (Budiman 1987). Perbandingan komposisi asam lemak minyak sawit, minyak inti sawit dan minyak kelapa dapat dilihat pada Tabel 2, sedangkan komposisi trigliserida pada minyak sawit disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi Trigliserida pada minyak sawit (%) Jumlah Ikatan Jenis Trigliserida Kandungan (%) Rangkap Jenuh PPP 6,1 PPS 0,9 Lain 1,5 1 buah POP 25,8 POS 3,1 PPO 6,0 Lain 2,7 2 buah POO 18,9 SOO 2,6 PLP 6,8 PLS 1,9 Lain 4,8 3 buah OOO 3,2 POL 2,6 PLO 4,3 Lain 1,6 4 buah 6,9 Keterangan : P=palmitat, O= olein, S= stearat, L=linoleat Sumber : Berger 1989
Total (%)
8,5
37,7
35,0
11,7 6,9
8
Tabel 2. Komposisi asam lemak dalam trigliserida minyak sawit, minyak inti sawit dan minyak kelapa *) Asam Lemak
Atom C
Jumlah ikatan tidak jenuh dalam asam lemak
Asam lemak jenuh 0 4 Butirat 0 6 Kaproat 0 8 Kaprilat 0 10 Kaprat 0 12 Laurat 0 14 Miristat 0 16 Palmitat 0 18 Stearat Asam lemak tidak jenuh tunggal (Mono Unsaturated Fatty Acid/MUFA) 1 16 Palmitoleat 1 18 Oleat Asam lemak tidak jenuh ganda (Poly Unsaturated Fatty Acid/PUFA) 2 18 Linoleat 3 18 Linolenat *) Goh et.al. (1987)., **) PORIM (1988)
CPO
Minyak (%) Inti Kelapa Sawit
1 1-2 32 – 47 4 – 10
Sedikit 0,3 2–4 3–7 41 – 55 14 – 19 6 – 10 1–4
Sedikit 0,3 8 7 48 17 9 2
38 – 50
10 – 20
6
5 – 14 1
1–5 1–5
3 -
Hilditch dan William (1964), menemukan 95% asam lemak yang tersusun didalam molekul trigliserida, sehingga sifat kimia dan fisika minyak atau lemaknya sebagin besar ditentukan oleh sifat-sifat asam lemaknya. Gliserida yang umum terdapat dalam minyak sawit adalah oleodipaltimin dan palmitodiolein (Rousell et.al 1985). Minyak sawit dapat dibedakan
berdasarkan kandungan gliserida-
gliseridanya, yang terdapat dalam jumlah yang seimbang. Kadar asam palmitat yang tinggi, tercermin dari komposisi asam lemak dalam trigliserida pada posisi kedua. Asam palmitat dalam minyak sawit terdapat dalam jumlah yang lebih banyak daripada minyak nabati lainnya (Rousell 1985; PORIM 1988)
9
Ukuran molekul trigliserida adalah 1,5 – 2,0 nm (Patterson 1992). Reaksi esterifikasi antara gliserida dengan asam lemak membentuk molekul trigliserida dapat dilihat pada Gambar 2. H2COH HCOH + 3RCOOH H2COH Gambar 2.
H2COOCR1 HCOOCR2 + 3 H2O H2COOCR3
Reaksi Esterifikasi Gliserol Trigliserida (Ketaren, 1986)
dan
Asam Lemak
membentuk
Asam-asam lemak merupakan asam-asam monokarboksilat dengan rantai yang tidak bercabang dan mempunyai jumlah atom karbon genap. Asam-asam lemak yang ditemukan di alam terbagi menjadi dua golongan yaitu asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh. Asam-asam lemak tidak jenuh berbeda dalam jumlah dan posisi ikatan rangkapnya dan berbeda dengan asam lemak jenuh dalam bentuk molekul keseluruhannya (Winarno 1997). Beberapa karakteristik komponen lemak dan asam lemak dalam minyak sawit, dapat dilihat pada Tabel 3. Dari tabel ini ternyata stearin sawit mempunyai titik cair yang tertinggi, berat jenis dan indeks refraksi tidak banyak berbeda, bilangan iod yang tertinggi ditemukan pada olein dan bilangan penyabunan tertinggi pada minyak inti sawit. Asam lemak C6 dan C8 hanya ada pada minyak inti sawit (PORIM 1988).
10
Tabel 3. Karakteristik komponen lemak dan asam lemak minyak sawit *) Jenis Sifat M. Olein Stearin M. Inti Sawit Sawit (CPO) (PKO) 27,3 44,5 21,6 34,2 Titi cair, (0C) 0,902 0,882 0,902 0,892 Bobot Jenis (500C/air 250C) 1,451 1,477 1,459 1,455 Indeks Bias (nD, 50 0C) 17,8 21,6 58,0 53,3 Bil. Iod (wijs) 245,0 193,0 198,0 195,7 Bil. Penyabunan 0,3 0,2 0,5 0,5 Fraksi tak tersabunkan (%) Asam lemak, (%) : 0,3 C6 4,4 C8 3,7 C10 38,3 0,3 0,2 0,2 C12 15,6 1,5 1,0 1,1 C14 7,8 65,0 39,8 44,0 C16 0,2 0,2 0,1 C16=1 2,0 5,0 4,4 4,5 C18 15,1 21,3 42,5 39,2 C18=1 2,7 6,5 11,2 10,1 C18=2 0,4 0,4 0,4 C18=3 0,4 0,4 0,4 C20 *) PORIM (1988) Dari Tabel 2, komposisi asam lemak minyak sawit terdiri dari asam lemak jenuh ± 50%, MUFA ± 40%, serta asam lemak tidak jenuh ganda (PUFA) yang relatif sedikit (± 10%). Dari komposisi asam lemak yang demikian, minyak sawit dapat diklasifikasikan sebagai lemak tidak jenuh (unsaturated fat), tidak seperti lemak hewan, minyak kelapa atau PKO (PORIM 2003). Dengan kandungan asam oleat yang tinggi dan kandungan PUFA yang rendah, minyak sawit cocok digunakan untuk medium penggoreng. Minyak kaya asam oleat juga diketahui relatif stabil terhadap suhu penggorengan yang tinggi serta relatif tahan terhadap kerusakan oksidatif penyebab ketengikan minyak selama penyimpanan.
11
Minyak Sawit Merah (Red Palm Oil) Minyak sawit merah adalah minyak sawit yang masih berwarna merah. Muchtadi (1992), menyatakan bahwa sesungguhnya penyebab warna merah tersebut adalah pigmen karotenoid yang sebagian besar terdiri dari beta karoten. Menurut Naibaho (1990), minyak sawit merah mengandung karoten sebesar 600 – 1000 ppm. Karotenoid yang terdapat dalam minyak sawit merah terdiri dari alpha karoten lebih kurang 36,2%, beta karoten lebih kurang 54,4%, gamma karoten lebih kurang 3,3%, lipoken lebih kurang 3,8% dan santofil lebih kurang 2,2%. Pada masa perkembangan dimana masyarakat dengan kecerdasan dan seleranya menghendaki tampilan produk-produk yang lebih baik, maka berkembang pula teknologi proses untuk membuat minyak goreng yang tidak berwarna, tidak berbau dan tidak berasa, sehingga pada proses pembuatan minyak goreng, warna merah yang mengandung zat gizi mikro penangkal penyakit kronik degeneratif yang terdapat pada minyak sawit justru sengaja dibuang dan sebagain lagi terbuang dengan tidak sengaja (Muchtadi 1998; Muhillal 1998) Selain itu, untuk mendapatkan produk-produk akhir minyak sawit diperlukan adanya bahan kimia dan perlakuan fisik yang secara tidak langsung dapat merusak komponen-komponen aktif yang terdapat didalamnya terutama komponen karotenoid. Dalam proses pengolahan buah sawit menjadi CPO yang selanjutnya menjadi minyak goreng, selalu diawali dengan pemanasan yang kemudian dilanjutkan dengan perontokan, perebusan, pengadukan dan pengempaan, penyaringan dan pemurnian. Mengingat sifat karotenoid yang sensitif terhadap panas, cahaya maupun udara dan juga proses oksidasi, maka dalam proses pengolahannya perlu diperhatikan dan dikendalikan parameter-parameter proses yang dapat merusak komponen tersebut. Proses pemucatan (bleaching) adalah salah satu tingkat pengolahan minyak atau lemak yang bertujuan untuk memisahkan zat warna dalam minyak atau lemak. Menurut Naibaho (1979), proses pemucatan biasanya dilakukan dalam tangki hampa udara, adsorben ditambahkan sebanyak 0,5 – 5,0% dari berat minyak. Suhu diatur sekitar 250 0F atau 121 0C, setelah itu suhu minyak
12
diturunkan sekitar 71 – 80 0C kemudian minyak dipompakan melalui saringan untuk memisahkan adsorben. Untuk mendapatkan minyak sawit yang masih memiliki warna merah dikendalikan beberapa prose terutama penggunaan suhu tinggi, sehingga saat pemurnian masih diperoleh minyak sawit yang berwarna merah. Proses ekstraksi minyak menggunakan pelarut-pelarut lemak seperti heksan, petroleum eter dan sebagainya telah lama dilakukan. Dengan cara ini akan diperoleh minyak yang lebih murni dengan rendemen yang lebih tinggi dibandingkan cara konvensional. Selain itu kadar beta karoten dalam minyak dapat diperoleh dalam jumlah yang banyak karena beta karoten juga mempunyai sifat larut dalam lemak sehingga akan terbawa bersama-sama fase minyak dan pelarut, kemudian pelarutnya diuapkan kembali untuk memperoleh minyak sawit merah (Muchtadi 1992).
Fosfatida Minyak dan lemak yang telah dipisahkan dari jaringan asalnya mengandung sejumlah kecil komponen selain trigliserida yaitu fosfolipid atau fosfatida, sterol, asam lemak bebas, lilin, pigmen yang larut dalam lemak dan hidrokarbon (Ketaren 1986). Kompleks ester yang mengandung fosfor, basa nitrogen, gula-gula dan rantai panjang asam lemak disebut fosfolipid. Fosfolipid dalam minyak banyak mengandung sejumlah fosfatida yaitu lesitin dan cepalin. Fosfatida-fosfatida dalam minyak merupakan ester asam lemak dengan lemak, dimana pada saat yang sama juga membentuk ester dengan asam fosfor. Asam fosfor juga membentuk ikatan dengan basa nitrogen atau gula dan kation-kation seperti magnesium, kalsium dan sodium (Patterson 1992) Menurut Macrae et al., (1991) fosfolipid merupakan senyawa yang mengandung gliserol, sphingosin, satu atau dua rantai hidrokarbon dan fosfor. Bila yang bertindak sebagai dasar adalah gliserol maka disebut gliserofosfolipid, sedangkan bila sphingosin disebut sphingolipid.
13
O R1 – C – O – CH2 R2 – C – O – C – H O H2C – O – P – O - alkohol O
(a) H
H
H
H3C – (CH2)12 – C = C – C - OH H–N–C–H O=C
O
CH2 - O – P - kolin
R1
O
(b) Gambar 3. Struktur dasar (a) gliserofosfolipid dan (b) sphingolipid (Macrae et.al. 1991)
Jenis fosfatida tergantung dari sumber fosfatida tersebut. Fosfatida dalam minyak yang berasal dari tanaman terdiri dari lesitin dan sefalin seperti yang ditunjukkan pada gambar 3. Beberapa fosfatida utama adalah phosphatidylcholine (PC) atau yang sering disebut lesitin, phosphatidyletholamine (PE) dengan nama umum sefalin, Nacylphosphatidyethanoamine (NAPE), phosphatidyl serine (PS), phospha tidylinositol (PI), phosphatidic acid (PA), phosphatidyl glycerol (PG), plas mologen (PM), diphosphatidyl glycerol (DPG), lyso-phosphatidylcholine (LPC), lyso-phosphatidylethanolamine (LPE) (Marcrae, et. al. 1991) Lesitin mempunyai bagian yang larut dalam minyak dan bagian yang mengandung PO43+ (polar) yang larut dalam air (Winarno 1988). Lesitin merupakan substansi yang tidak berwarna, jernih seperti parafin. Apabila ada panas atau cahaya maka lesitin cepat berubah menjadi orange atau coklat gelap (Djatmiko dan Widjaja 1984). Lesitin banyak digunakan dalam produk pangan, farmasi, kosmetik dan pada produk industri lainnya (Peterson dan Johnson 1978). Sefalin merupakan padatan yang tidak berwarna, tetapi seperti halnya lesitin akan cepat berubah menjadi gelap sampai merah kecoklatan bila terkena panas atau cahaya (Djatmiko dan Widjaja 1984).
14
Menurut Torrey (1983), fosfatida terdiri dari dua golongan yaitu fosfatida hydratable dan fosfatida non hydratable. Komponen terbesar dari fosfatida hydratable adalah lesitin sedangkan fosfatida non hydratable terdiri dari sefalin, garam kalsium dan magnesium dari phosphatidic acid. Fosfatida hydratable dapat dengan mudah dihilangkan dari minyak dengan menggunakan air atau uap. Pemisahan fosfatida non hydratable biasanya lebih sulit, membutuhkan perlakuan dengan asam untuk mengubahnya menjadi bentuk yang hydratable. Fosfatida hydratable berbentuk lendir dengan berat jenis yang lebih besar dari minyak dan berwujud seperti jonjot (Brekke 1976).
Komponen Minor Minyak Sawit Komponen aktif yang terkandung dalam minyak sawit biasanya dikenal juga dengan sebutan komponen minor, karena apabila dihitung secara proposional kuantitatif jumlahnya sangat sedikit sehingga satuan yang digunkan adalah ppm (part per million) atau bagian per sejuta, tetapi apabila dihitung secara kualitatif, peranannya sangat penting bagi kesehatan tubuh meskipun dalam jumlah kecil terutama untuk mencegah penyakit degeneratif, peningkatan imunitas tubuh taupun untuk digunakan sebagai oleokimia atau produk-produk farmasi (Muchtadi 1998). Disebutkan oleh May dkk. (1996) bahwa komponen
minor yang
dikandung dalam minyak sawit lebih kurang 1%. Tabel berikut menunjukkan komponen minor yang terkandung dalam minyak sawit mentah (CPO).
15
Tabel 4. Komponen minor dalam minyak sawit mentah (CPO) Komponen Jumlah (ppm) Karotenoid Tokoferol dan Tokotrienol Sterol Fospolipid Triterpen alkohol Metil sterol Sequalen Alkohol Alifatik Hidrokarbon Alifatik Sumber : Ong dkk. (1989)
500 – 700 600 – 1000 326 – 527 5 – 130 40 – 80 (est) 40 – 80 (est) 200 – 500 100 – 200 50
Komponen intrinsik yang sangat berperan dalam minyak sawit adalah karotenoid. Karotenoid adalah suatu pigmen alami yang dapat ditemui pada tanaman, ganggang, hewan vertebrata dan mikroorganisme. Pigmen ini berwarna kuning sampai merah, mempunyai ciri tertentu, yang dapat menunjukkan sifatsifatnya yang mendasar (Rousell 1985). Warna merah kuning yang disebabkan oleh karoten minyak sawit merupakan pro vitamin A, namun kurang disenangi oleh konsumen karena mempengaruhi nilai estetika makanan. Karrer dan Jucker (1950) mendefenisikan karotenoid sebagai suatu zat warna kuning sampai merah yang mempunyai struktur alifatik atau alisiklik yang pada umumnya disusun oleh delapan unit isoprena, dimana kedua gugus metil yang dekat pada molekul pusat terletak pada posisi C-1 dan C-6, sedangkan gugus metil lainnya terletak pada posisi C-1 dan C – 5, serta diantaranya terdapat ikatan ganda terkonyugasi. Struktur dasarnya dapat dilihat pada Gambar 3. Adanya ikatan ganda yang terkonyugasi didalam molekul karotenoid menandakan adanya gugus khromofor, yaitu lokasi di dalam sel tempat terdapatnya karotenoid. Makin banyak ikatan ganda terkonyugasi akan semakin pekat warna karotenoid tersebut, artinya
semakin
mengarah
ke
warna
merah
(Wirahadikusumah
1985;
Hassan 1987). - C = CH- CH = CH- C = CH =============CH – CH = C-CH=CH-CH= C – CH3 1
CH3
CH3 1
5 molekul pusat 1 6 Gambar 4. Struktur dasar karotenoid (Lehninger 1990)
CH3 5
16
Karotenoid termasuk senyawa yang terdapat lipida yang tidak dapat disabunkan, larut dengan baik dalam pelarut-pelarut organik seperti karbon disulfida, bensena, khloroform, aseton, metanol, etanol, eter dan petroleum eter, tetapi tidak larut dalam air (Goodwin 1976 dan Hassan 1987) Golongan karotenoid yang paling penting adalah jenis alfa dan beta karoten, yang diperlukan bagi tubuh, karena selain pro vitamin A, juga dapat mencegah penyakit jantung koroner. Karotenoid golongan ini terdapat dalam jumlah banyak dalam minyak sawit. Karotenoid umum yang dikenal sebagai sumber vitamin A adalah beta karoten, alfa karoten dan gamma karoten. Beta karoten yang merupakan sumber utama vitamin A mempunyai struktur kimia seperti gambar 5 dibawah ini. CH3 CH3
CH3 CH3
C
CH3
CH3
H2C
C
CH=CH C=CH
H2C
C CH2
CH=CH C=CH
CH3
CH3
CH=CH C=CH CH=CH C=CH
C CH=CH C
CH2
H2C C
CH2
CH2
CH2
Gambar 5. Beta karoten (Erdman 1989) Beta karoten sebagai salah satu zat gizi mikro didalam minyak sawit mempunyai beberapa aktifitas biologis yang bermanfaat bagi tubuh, yang disampaikan oleh Tan (1987), Klurfield (1989) dan Muhilal (1991), antara lain untuk penanggulangan kebutaan karena xeroftalmia, mengurangi peluang terjadinya penyakit kanker, mencegah proses menua yang terlalu dini, meningkatkan imunisasi tubuh dan mengurangi terjadinya penyakit degeneratif. Minyak sawit merupakan salah satu minyak nabati yang sulit dipucatkan karena mengandung karoten dalam jumah besar (500 – 600 ppm) yang menyebabkan minyak berwarna kuning. Karoten diketahui mempunyai sifat tidak stabil terhadap panas, cahaya dan oksigen; sehingga dalam proses pemurnian minyak sawit (CPO) banyak terjadi kerusakan komponen-komponen nutrisi yang berharga seperti beta karoten yang merupakan sumber pro vitamin A.
17
Degumming Degumming (pemisahan gum) merupakan suatu proses pemisahan getah atau lendir yang terdiri dari fosfolipid, protein, residu, karbohidrat, air dan resin. Biasanya proses ini dilakukan dengan cara dehidrasi gum atau kotoran lain agar supaya bahan tersebut lebih mudah terpisah dari minyak, kemudian disusul dengan proses pemusingan (sentrifusi) (Ketaren 1986). Komponen-komponen fosfatida membentuk lendir (gum) pada CPO dan tidak dikehendaki karena trigliserida yang akan terhidrasi sehingga menimbulkan emulsi pada saat pengolahannya, mempersulit adsorbsi tanah pemucat. Fosfatida yang terlarut dalam minyak dapat dipisahkan dengan menyalurkan uap air panas ke dalam minyak sehingga terpisah dari minyak, sedangkan fosfatida yang tidak larut air dapat dipisahkan dengan penambahan Asam Phospat (H3PO4). Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk proses pemisahan gum antara lain adalah pemisahan gum dengan cara pemanasan, dengan penambahan asam (H3PO4, H2SO4 dan HCl), pemisahan gum dengan NaOH, pemisahan gum dengan cara hidrasi dan pemisahan gum dengan pereaksi khusus seperti asam fosfat, natrium chlorida (NaCl) dan Natrium Phospat (Na3PO4). Proses degumming dengan menggunakan asam an organik adalah proses lazim dilakukan, pengaruh yang
ditimbulkan
oleh
asam
adalah
terbentuknya
gumpalan
sehingga
mempermudah pengendapan kotoran. Pemberian Asam fosfat sebagai degumming agent karena dapat menurunkan bilangan peroksida minyak yang telah dipucatkan dan dapat meningkatkan kestabilan warna, akan tetapi semakin tinggi kadar asam fosfat yang digunakan maka bilangan peroksida dari minyak yang telah dipucatkan akan semakin meningkat. Proses degumming menggunakan NaOH, maka partikel yang terbentuk akan menyerap lendir dan sebagian pigmen. Kelemahan proses ini adalah terbentukknya emulsi sabun sehingga kehilangan minyak netral akan bertambah besar. Minyak sawit kasar mengandung berbagai jenis fosfatida seperti phosphatidyl choline (PC), Phosphatidyl inositol (PI), phosphatidyl ethanolamine (PE), phosphatidic acid (PA) dan phytosphingolipids. Tingkat hidrasi dari fosfatida ini bervariasi pada suhu 800C seperti yang dapat dilihat pada Tabel 5.
18
Tabel 5. Tingkat relatif hidrasi dari fosfatida *) Jenis Fosfolipid PC PI Garam Kalsium dari PI PE Garam kalsium dari PE PA Garam kalsium dari PA Phytosphingolipid *) Seger dan Sande (1989)
Tingkat Hidrasi (%) 100 44 24 16 0,9 8,5 0,6 8,5
Netralisasi Netralisasi adalah suatu proses untuk memisahkan asam lemak bebas dari minyak atau lemak, dengan cara mereaksikan asam lemak bebas dengan basa atau pereaksi lainnya sehinga membentuk sabun (soap stock).
Netralisasi dengan
kaustik soda (NaOH) banyak dilakukan dalam skala industri karena lebih efisien dan lebih murah dibandingkan dengan cara netralisasi lainnya. Selain itu penggunaan NaOH membantu mengurangi zat warna dan kotoran yang berupa getah dan lendir dalam minyak. Sabun yang terbentuk dapat membantu pemisahan zat warna dan kotoran seperti fosfatida dan protein, dengan cara membentuk emulsi. Sabun atau emulsi yang terbentuk dapat dipisahkan dari minyak dengan cara sentrifusi. Reaksi antara asam lemak bebas dengan NaOH adalah sebagai berikut : O
O
RC
+
NaOH
OH
RC
+
H2O
ONa
Asam Lemak bebas
basa
sabun
air
Dengan cara hidrasi dan dibantu dengan proses pemisahan sabun secara mekanis,
maka
netralisasi
dengan
menggunakan
kaustik
soda
dapat
menghilangkan fosfatida, protein, resin dan suspensi dalam minyak yang tidak
19
dapat dihilangkan dengan proses pemisahan gum. Komponen minor (minor component) dalam minyak berupa sterol, klorophil, vitamen E dan karotenoid hanya sebagian kecil dapat dikurangi dengan proses netralisasi. Netralisasi menggunakan kaustik soda akan menyabunkan sejumlah kecil trigliserida. Molekul mono dan digliserida lebih mudah bereaksi dengan persenyawaan alkali. Pemakaian larutan NaOH dengan konsentrasi yang terlalu tinggi akan bereaksi sebagaian dengan trigliserida sehingga mengurangi rendemen minyak dan menambah jumlah sabun yang terbentuk. Oleh karena itu harus dipilih konsentrasi dan jumlah NaOH yang tepat untuk menyabunkan asam lemak bebas dalam minyak. Dengan demikian penyabunan trigliserida dan terbentuknya emulsi dalam minyak dapat dikurangi, sehingga dihasilkan minyak netral dengan rendemen yang lebih besar dan mutu minyak yang lebih baik.
Pelarut Organik Kemampuan pelarut baik polar maupun non polar dalam melarutkan bahan dan perbandingan antar pelarut yang menghasilkan rendemen terbaik dalam suatu proses belum banyak diketahui. Menurut Ketaren (1985) masing-masing pelarut mempunyai efisiensi yang berbeda-beda. Pemilihan pelarut harus didasarkan pada sifat polaritas, stabilitas dan harga. Adapun untuk bahan pangan harus memperhatikan sifat keamanan terhadap bahan yang dilarutkan. Konsep like disolves like merupakan konsep yang menjelaskan adanya fenomena dlam proses ekstraksi, nilai kepolaran pelarut harus sedekat mungkin dengan kepolaran sampel. Konsep ini sangat berguna jika komponen yang akan diekstrak sudah diketahui kepolarannya. Untuk bahan yang bersifat polar sebaiknya menggunakan pelarut yang polar, sedangkan untuk bahan yang non polar digunakan pula pelarut yang bersifat non polar (Winarno et.al
1973).
Kemampuan pelarut untuk melarutkan suatu bahan akan meningkat dengan meningkatnya suhu pelarut (Brieger 1969). Kepolaran pelarut ditentukan oleh ada tidaknya gugus hidroksil (alkohol) dan karbonil (keton). Interaksi ion dipol, ikatan hidrogen, pembentukan kompleks dan dipol-dipol mempengaruhi kelarutan bahan dalam pelarut (Brieger 1969). Indeks polaritas beberapa pelarut organik dapat dilihat pada Tabel 6.
20
Tabel 6. Indeks polaritas dan kelarutan dalam air beberapa pelarut organik *) Pelarut Indeks polaritas Kelarutan dalam air (% w/w) Pentana Heksana Heptana Sikloheksana CCl4 Benzena Dietil eter Dikloro metana Isopropanol Tetrahidrofuran Kloroform Etil asetat Aseton Metanol Etanol Asetonitril Air Keterangan : *) Brieger (1969)
0,0 0,0 0,0 0,2 1,6 2,7 2,8 3,1 3,1 4,0 4,1 4,4 5,1 5,1 5,2 5,8 9,0
0,004 0,001 0,0003 0,01 0,08 0,18 6,89 1,60 100 100 0,82 100 100 100 100 -
Winarno et al (1973), menambahkan bahwa ada dua syarat pelarut agar dapat digunakan untuk ekstraksi, yaitu mudah dipisahkan setelah proses ekstraksi dan merupakan pelarut terbaik untuk bahan yang akan diekstraksi. Pertimbangan lain dalam pemilihan pelarut, terutama untuk keperluan industri harus memperhatikan kadar toksisitas, viskositas dan harga. Kemudian pemakaian pelarut juga
harus mempertimbangkan sifat inner, dalam arti pelarut tidak
bereaksi dengan bahan yang dipisahkan.
21
Tabel 7. Tingkat toksik beberapa pelarut organik Pelarut Etanol Aseton Dietel eter Diklorometana Dimetil sulfoksida Etil asetat Heksana Isopropanol Metanol Pentana Petroleum eter Asetonitril Karbon disulfida Tetrahidrofuran Toluen Benzen Karbon tetraklorida Kloroform Dimetil formamida Pasto et.al (1992)
Tingkat Toksik
Sangat rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi (karsinogenik) Akut dan kronik (karsinogenik) Karsinogenik Karsinogenik, iritasi
Menurut Snape dan Nakajima (1996), pada umumnya pelarut heksan lebih dapat merusak membran kemudian diikuti dengan metanol, etanol dan isopropanol yang mempunyai kemungkinan merusak lebih kecil. Ditambahkan lagi oleh Andreas (2004), bahwa dengan menggunakan heksan sebagai pelarut pada minyak goreng bekas dapat merusak seal-seal pada sambungan pipa dan pompa pada modul membran keramik.
Filtrasi membran Kaseno (1999) menyatakan bahwa bahan yang dapat memisahkan dua komponen dengan cara spesifik yaitu menahan atau melewatkan salah satu komponen lebih cepat dari pada komponen yang lain disebut dengan membran. Menurut Osada dan Nakagawa (1992), membran merupakan lapisan tipis semi permeabel yang tipis dan dapat digunakan untuk memisahkan komponen dengan cara menahan dan melewatkan komponen tertentu melalui pori-pori. Dalam penggunaan energi, pemisahan dengan membran memiliki keunggulan, tidak seperti evaporasi dan destilasi, pemisahan dengan membran
22
tidak melibatkan perubahan fase dalam prosesnya, sehingga tidak membutuhkan kalor laten. Membran berdasarkan bahan pembuatan dibagi menjadi dua golongan yaitu (1) bahan organik, dimana membran ini dibagi lagi menjadi dua bagian antara lain (a) membran alamiah, contohnya membran yang terbuat dari selulosa dan turunannya seperti selulosa nitrat dan asetat dan (b) membran sintesis, contohnya polisulfon, poliamida dan polimer sintesis yang lainnya dan (2) bahan anorganik (Mallevialle et.al 1996). Materi anorganik memiliki stabilitas kimia dan stabilitas termal lebih baik dibandingkan dengan bahan polimer. Ada empat tipe membran anorganik yang sering digunakan, yaitu membran keramik, membran gelas, membran metal (termasuk karbon) dan membran zeolit. Membran keramik dibentuk dari kombinasi metal (seperti aluminium, titanium dan zirkonium) dengan non metal dalam bentuk oksida, nitrida atau karbida. Material anorganik memiliki stabilitas terhadap bahan kimia yang lebih baik dibandingkan dengan membran organik. Secara umum membran ini dapat digunakan pada beberapa pH dan pada beberapa pelarut organik. Stabilitas material anorganik ini, material keramik, karena hasil pemadatan struktur kristal, ikatan kimia dan asosiasi antara partikel yang relatif kuat dan muatan kation yang tinggi pada keramik, sehingga material anorganik dapat digunakan pada kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan. Faktor lain yang penting dari penggunaan bahan anorganik adalah semua bahan pembersih dapat digunakan, termasuk penggunaan asam dan basa kuat. Khususnya pada aplikasi dengan fouling yang tinggi, yang menembus membran dengan cepat sehingga pembersih secara periodik dibutuhkan (Wenten 1999) Filtrasi membran memiliki arti sebagai pemisahan material dengan mengalirkan umpan melalui suatu membran dan molekul dengan ukuran besar yang tertahan pada permukaan membran (Gutman 1987). Filtrasi dengan menggunakan membran dapat dibedakan atas mikrofiltrasi, ultrafiltrasi dan dialisis. Mikrofiltrasi adalah jenis filtrasi yang bertujuan untuk memisahkan partikel. Sebaliknya ultrafiltrasi bertujuan untuk memisahkan molekul. Dialisis digunakan untuk pemisahan partikel yang lebih kecil dari molekul dan bermuatan,
23
sedangkan osmosa balik (Reverse osmosis) adalah dialisis yang dilakukan secara berlawanan arah (Brock 1983). Tabel 8. Karakteristik Membran berdasarkan ukuran pori dan perbedaan tekanan dan berat molekul Jenis Membran Ukuran Pori Perbedaan Berat Molekul (nm)a Tekanan (Dalton)b a (bar) Mikrofiltrasi (MF) 50 – 10.000 0,1 – 2,0 Ultrafiltrasi (UF) 1 – 20 1,0 – 5,0 1000 – 100000 Nanofiltrasi (NF) 2–5 5,0 – 20 1000 – 200 Reverse Osmosis (RO) < 2 10 – 100 < 200 a) Mulder (1996) b) Yuksel et.al (1996) Prinsip operasi pemisahan dengan menggunakan membran adalah memisahkan bagian tertentu dari umpan (feed) menjadi retentat (retentate) dan permeat (permeate). Umpan adalah larutan yang berisi satu atau lebih campuran molekul atau partikel yang akan dipisahkan. Permeat adalah bagian yang dapat melewati pori membran, sedangkan retentat adalah bagian yang tidak dapat melewati pori membran (Mellevialle et. al. 1996). Ketika larutan yang mengandung partikel didorong atau ditarik melalui sebuah filter, terjadi sebuah sistem aliran kompleks dimana sebagian kecil larutan berpindah dari fasa terbesar larutan tersebut, masuk ke dalam pori-pori filter dan keluar dari sisi yang lain. Aliran dari larutan akan lebih mudah melewati pori-pori yang lebih besar, oleh karena itu ukuran pori-pori sangat berpengaruh dalam proses filtrasi. Partikel yang tersuspensi akan terbawa dalam aliran larutan tersebut karena adanya kelembaman. Jika ukuran partikel cukup kecil untuk lolos melalui pori-pori, maka partikel tersebut akan keluar menjadi filtrat, atau sebaliknya bila ukurannya lebih besar dari pori-porinya maka partikel tersebut akan mengenai permukaan filter atau terperangkap diantara celah matrix filter. Untuk partikel yang memiliki lebih besar dibandingkan ukuran pori-pori jelas akan terperangkap atau tertahan oleh filter, tetapi ada juga sebagian partikel yang lebih kecil dari pada ukuran pori-pori akan terperangkap juga. Hal ini mungkin terjadi, jika ukuran partikel hanya lebih sedikit kecil dibandingkan poriporinya, ketika partikel lewat mendekati pori-pori ada kemungkinan sebagian partikel akan bersentuhan dengan matrik filter, jika gaya adhesif cukup besar,
24
maka partikel tersebut akan terperangkap, Sedangkan untuk partikel yang memiliki ukuran yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan pori-porinya, kemungkinan terperangkapnya hanya akan terjadi bila ada suatu gaya elektrostatis dari permukaan filter yang akan menarik partikel (Brock 1983). Proses filtrasi membran dengan terknik cross-flow sangat sederhana hanya memerlukan pemompaan umpan tegak lurus terhadap membran, sejajar dengan permukaan membran. Membran membagi aliran umpan menjadi dua; satu aliran sebagai permeat, yang terdiri dari komponen berukuran besar yang tertahan oleh membran. Retentat biasanya disirkulasikan kembali melalui modul membran karena komponen berukuran kecil tidak melewati pori-pori membran secara bersamaan dalam satu kali pengairan. Kecepatan aliran cross-flow merupakan kecepatan rata-rata ketika umpan dialirkan sejajar dengan permukaan membran. Kecepatan aliran memiliki pengaruh yang besar tehadap fluks permeat. Permeat fluks juga dipengaruhi membran tersebut. Penggunaan tekanan diatas batas tersebut berdasarkan hasil penelitian ternyata tekanan yang tinggi tidak berpengaruh terhadap fluks permeat, bahkan penggunaan tekanan yang terlalu tinggi menyebabkan terjadinya fouling pada membran
Masalah yang sering
timbul dalam proses membran adalah fouling. Fouling timbul karena tertahannya partikel
pada
mengakibatkan
permukaan
membran
terjadinya
penurunan
saat fluks
umpan dan
dilewatkan perubahan
sehingga selektifitas
(Henry 1988). Menurut Wenten (1999), fouling dapat diminimalkan dengan mengendalikan faktor temperatur, tekanan dan kecepatan crossflow. Salah satu faktor yang menyebabkan keterbatasan penggunaan membran berpori adalah fouling pada membran yakni perubahan yang bersifat irreversible yang disebabkan oleh interaksi secara fisik dan kimiawi antara membran dan partikel yang terdapat dalam proses pemisahan. Membran fouling diidentikkan dengan penurunan fluks permeat dan perubahan selektifitas pada membaran. Perubahan ini dapat berlangsung selama proses dan membutuhkan penanganan yang serius dan mahal termasuk penggantian membran. Filtrasi dengan menggunakan membran berdasarkan ukuran molekul solute yang tertahan dikelompokkan kedalam tiga kelas yaitu mikrofiltrasi, ultrafiltrasi, nanofiltrasi dan reverse osmosis. Membran ultrafiltrasi (UF) dan
25
mikrofiltrasi (MF) merupakan membran porous dimana rejeksi zat terlarut sangat dipengaruhi oleh ukuran dan berat zat terlarut terhadap ukuran pori membran. Membran UF memiliki struktur yang asimetrik dengan lapisan atas yang lebih dense (ukuran pori lebih kecil dan porositas permukaan rendah) sehingga tahanan hidrodinamiknya akan lebih besar. Membran UF digunakan untuk memisahkan bahan, sampai berupa molekul dari larutan. Karakteristik membran umumnya dinyatkan dalam Molecular Weight Cut Off (MWCO), atau berat molekul yang ditolak (90%-nya) oleh membran.