5
TINJAUAN PUSTAKA
Minyak Sawit Minyak sawit berasal dari ekstraksi buah tanaman kelapa sawit. Buah kelapa sawit terdiri dari 80% bagian perikarp (epikarp dan mesokarp) dan 20% biji (endokarp dan endosperm). Dari kelapa sawit, dapat diperoleh dua jenis minyak yang berbeda sifatnya, yaitu minyak dari inti (endosperm) sawit disebut dengan minyak inti sawit dan minyak dari sabut (mesokarp) sawit disebut minyak sawit (Ketaren 2005). Perbedaan antara minyak sawit dan minyak inti sawit adalah adanya pigmen karotenoid pada minyak sawit sehingga berwarna kuning merah. Komposisi karotenoid yang terdeteksi pada minyak sawit terdiri dari α-, β, γ-, karoten dan xantofil, sedangkan minyak inti sawit tidak mengandung karotenoid. Gambar buah sawit dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Buah sawit
Pengolahan serabut kelapa sawit menjadi minyak sawit dilakukan melalui tahap ekstraksi, pemurnian, dan fraksinasi. Secara umum, ekstraksi dilakukan dengan cara pengepresan, pemurnian dilakukan dengan cara menghilangkan gum dan kotoran lain, penyabunan untuk memisahkan asam lemak bebas, pemucatan untuk menghilangkan warna merah minyak, dan selanjutnya deodorisasi untuk menghilangkan bau minyak; dan fraksinasi untuk memisahkan fraksi padat dengan fraksi cair minyak yang dilakukan melalui proses pendinginan (Ketaren 2005). Standar kualitas minyak sawit kasar (CPO) menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) dan Ooi et al. (1996) dapat dilihat pada Tabel 1.
6
Tabel 1 Standar mutu minyak sawit kasar (CPO) Karakteristik Warna Kadar air Asam lemak bebas (sebagai asam palmitat) Kadar β-karoten Kadar tokoferol
Persyaratan mutu Jingga kemerahan a) Maksimal 0,5% a) Maksimal 5 a) 500-700 ppm b) 700-1000 ppm c)
a) SNI 01-2901-2006; b) Ooi et al. 1996; c) Chow 2001.
Komponen utama dari CPO adalah triasilgliserol (94%), sedangkan sisanya berupa asam lemak bebas (3-5%), dan komponen minor (1%) yang terdiri dari karotenoid, tokoferol, tokotrienol, sterol, fosfolipid dan glikolipid, squalen, gugus hidrokarbon alifatik, dan elemen sisa lainnya. Keunggulan minyak sawit dibandingkan dengan minyak nabati lainnya yaitu memiliki komposisi asam lemak jenuh dan tidak jenuh yang berimbang, terutama asam palmitat (40-46%) dan asam oleat (39-45%) (Ooi et al. 1996). Asam lemak palmitat merupakan asam lemak jenuh rantai panjang yang memiliki titik cair (melting point) yang tinggi yaitu 64oC, sehingga pada suhu ruang minyak sawit berbentuk semi padat (Belitz & Grosh 1999). Kandungan asam palmitat yang tinggi ini membuat minyak sawit lebih tahan terhadap oksidasi (ketengikan) dibanding jenis minyak lain. Asam oleat merupakan asam lemak tidak jenuh rantai panjang dengan rantai C18 dan memiliki satu ikatan rangkap. Titik cair asam oleat lebih rendah dibanding dengan asam palmitat yaitu 14oC (Ketaren 2005). Komposisi asam lemak minyak sawit secara lengkap disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Komposisi asam lemak minyak sawit dan titik cairnya Jenis asam lemak Asam Kaprat (C 10:0) Asam Laurat (C 12:0) Asam Miristat (C 14:0) Asam Palmitat (C16:0) Asam Stearat (C18:0) Asam Oleat (C18:1) Asam Linoleat (C18:2) Asam Linolenat (C18:3) Ketaren (2005)
Komposisi (%) 1-3 0-1 0,9-1,5 39,2-45,8 3,7-5,1 37,4-44,1 8,7-12,5 0-0,6
Titik cair (oC) 31,5 44 58 64 70 14 -11 -9
7
Selain memiliki komposisi asam lemak jenuh dan tidak jenuh yang berimbang, minyak sawit juga memiliki komponen zat gizi minor yang memiliki peran fungsional, terutama yaitu karotenoid dan tokoferol (termasuk tokotrienol). Kadar karotenoid dalam CPO adalah 500-700 ppm. Sebagian besar karotenoid dalam CPO terdiri dari β-karoten dan α-karoten (jumlahnya mencapai 90% dari total karotenoid CPO); dan sejumlah kecil γ-karoten, likopen dan xantofil (Ooi et al. 1996). Komposisi karotenoid dalam CPO dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Komposisi karotenoid pada minyak sawit kasar Komponen β-karoten α-karoten γ-karoten δ-karoten ζ-karoten Cis- α-karoten Cis- β-karoten Phytoene Lycopen Basiron (2005)
Jumlah (%) 56,02 35,16 0,33 0,83 0,69 2,49 0,68 1,27 1,30
Minyak Sawit Merah Secara umum, minyak sawit merah dibuat dengan proses yang hampir sama dengan minyak goreng yaitu melalui serangkaian proses pemurnian CPO seperti tahap degumming, neutralizing, bleaching, dan deodorizing (Anderson 1996). Pada proses pemurnian CPO, terkadang satu atau lebih dari tahapan tersebut tidak dilakukan tergantung tujuan dan jenis minyak yang diinginkan. Untuk mendapatkan minyak sawit merah, proses bleaching tidak dilakukan dengan maksud untuk mempertahankan karoten secara maksimal (Riyadi 2009). Menurut Kataren (2005) arang aktif (bleacing agent) sebesar 0,1-0,2% dari berat minyak dapat menyerap zat warna sebanyak 95-97% dari total zat warna yang terdapat dalam minyak sawit kasar. Proses degumming pada pemurnian CPO bertujuan untuk memisahkan getah atau lendir-lendir yang terdiri dari fosfatida, protein dan resin tanpa mengurangi asam lemak bebas pada minyak (Allen 1997). Kemudian dilakukan proses netralisasi (deasidifikasi), yaitu proses penetralan asam lemak bebas
8
dengan menggunakan suatu alkali (Anderson 1996). Degumming perlu dilakukan sebelum proses neutralisasi, sebab sabun yang terbentuk dari hasil reaksi asam lemak bebas dengan alkali pada proses netralisasi akan menyerap gum (getah atau lendir) sehingga menghambat proses pemisahan sabun dari minyak (Ketaren 2005). Widarta (2008) melakukan proses degumming dengan memanaskan CPO hingga suhu 80oC, kemudian ditambahkan larutan asam fosfat 85% sebanyak 0,15% dari berat CPO sambil di aduk perlahan (56 rpm) selama 15 menit. Setelah proses degumming, dilakukan proses deasidifikasi. Proses yang optimum untuk deasidifikasi, yaitu pada suhu 61 ± 2oC selama 26 menit dengan penambahan larutan NaOH konsentrasi 16oBe. Dari tahap ini didapatkanlah NRPO (neutralized red palm oil). Selanjutnya NRPO yang dihasilkan dilakukan proses deodorisasi yang bertujuan untuk menghilangkan komponen volatil yang menimbulkan bau pada minyak (Anderson 1996). Penelitian yang dilakukan oleh Riyadi (2009) mendapatkan hasil bahwa proses deodorisasi NRPO yang optimum dilakukan dengan menghomogenisasikan NRPO dalam tangki deodorizer selama 10 menit pada suhu 46 ± 2oC kemudian dipanaskan dalam kondisi vakum hingga suhu 140oC selama 1 jam dan laju alir N 2 dijaga konstan pada 20 L/jam. Lalu dilakukan pendinginan sampai suhu 60oC pada kondisi vakum, maka dihasilkan NDRPO (neutralized and deodorized red palm oil). Karakteristik minyak sawit merah jenis NDRPO (Neutraliized Deodorized Red Palm Oil) hasil penelitian Riyadi (2009) yang diperoleh dari CPO yang diolah lebih lanjut melalui proses deasidifikasi dengan NaOH 16oBe pada suhu 61oC selama 20 menit dan diikuti proses deodorisasi untuk menghilangkan komponen volatil yang mengakibatkan bau yang tidak dikehendaki dengan pemanasan vakum pada suhu 140oC selama 1 jam dapat dilihat pada Tabel 4.
9
Tabel 4 Karakteristik minyak sawit merah jenis NRPO dan NDRPO Parameter Kadar air (%) Kadar asam lemak bebas (%) Kadar β-karoten (mg/kg) Bilangan peroksida (meq/kg)
NRPO 0,34±0,31 0,484±0,15 535,64±21,90 5,29±1,19
NDRPO 0 0,490±0,15 375,33±22,87 0,12±0,03
Riyadi (2009)
NDRPO yang dihasilkan masih mengandung fraksi olein dan stearin. Oleh sebab itu perlu dilakukan proses fraksinasi yaitu proses pemisahan berbagai trigliserida menjadi satu atau lebih fraksi dengan menggunakan perbedaan kelarutan trigliserida, yang tergantung pada berat molekul dan derajat ketidakjenuhan. Fraksinasi dilakukan dengan cara peningkatan suhu sampai 50oC dan penurunan suhu perlahan-lahan sampai tercapai suhu kamar sambil diagitasi. Pada suhu kamar terjadi kristalisasi fraksi stearin sehingga fraksi olein yang masih bersifat cair dapat diperoleh dengan penyaringan vakum (Weiss 1983). Asmaranala (2010) melakukan optimasi proses fraksinasi membran filter press. Kondisi proses fraksinasi yang digunakan yaitu pemanasan hingga 75oC selama 30 menit dengan kecepatan agitasi 30 rpm, holding pada 75oC selama 15 menit dengan kecepatan agitasi 30 rpm, pendinginan hingga 35oC selama 3 jam dengan kecepatan agitasi 8 rpm, holding 35oC selama 3 jam dengan kecepatan agitasi 8 rpm, pendinginan hingga 15oC selama 3 jam dengan kecepatan agitasi 8 rpm, holding pada 15oC selama 6 jam dengan kecepatan agitasi 8 rpm, dan separasi menggunakan membran filter press. Fraksinasi dengan kondisi proses ini menghasilkan olein dengan rendemen 45,15%, kadar air 0,02%, kadar asam lemak bebas 0,14%, total karotenoid 382,60 ppm, bilangan peroksida 3,94 meq O2/kg sampel, dan bilangan iod 54,85g iod/100 g sampel. Karakteristik minyak sawit merah dapat dilihat pada Tabel 5.
10
Tabel 5 Karakteristik minyak sawit merah Parameter Jumlah Kadar air (%) 0,02 Kadar asam lemak bebas (%) 0,14 Total karotenoid (ppm) 382,60 Bilangan peroksida (meq/kg) 3,94 Asmaranala (2010)
Produk-produk yang dihasilkan dari prosedur pemurnian khusus dan diberi label sebagai minyak makan merah (red cooking oil) terdapat di pasaran asia: ”Carotino Cooking Oil dan Nutrolein Golden Palm oil” merupakan produk utamanya. Nutrolein sebagai contoh (yang dihasilkan oleh Unitata Berhad di Malaysia) adalah suatu superolein yang dihasilkan lewat fraksionasi kering, CPO berkualitas tinggi yang dirafinasi secara kimia. Kadar karotenoidnya dilaporkan di atas 800 ppm, dengan konsentrasi vitamin E superior mencapai 900 ppm. Kualitas minyak yang sama juga terdapat di pasaran Amerika Latin seperti Sioma Oil (dihasilkan oleh Danec S.A. di Ekuador), yaitu minyak sawit dengan kandungan asam lemak tak jenuh yang lebih tinggi, yang diperoleh dari varietas sawit hibrida. Gambar 2 berikut memperlihatkan produk Carotino yang dihasilkan oleh Malaysia. Minyak sawit merah kaya β-karoten telah digunakan dalam studi intervensi dietary untuk meningkatkan kemungkinan peranannya dalam pencegahan defisiensi vitamin A. Di India, anak-anak 5-10 tahun dengan keratomalacia diberikan 2 kali sehari emulsi yang mengandung minyak sawit merah. Setiap dosis mengandung 0,6 ml minyak sawit merah dan terapi dilanjutkan selama 15 hari. Perlakuan minyak sawit merah menunjukkan hasil yang baik dibandingkan hasil yang diperoleh dari perlakuan kelompok pasien lain dengan menggunakan minyak hati ikan yang mengandung dosis vitamin A yang serupa. Berdasarkan hasil yang diperoleh telah direkomendasikan bahwa negara berkembang seharusnya tidak ada keraguan dalam membuat strategi untuk meningkatkan penggunaan minyak sawit merah dalam menghadapi defisiensi vitamin A (Sundram 2007).
11
Karotenoid Karotenoid merupakan kelompok pigmen yang berwarna kuning, jingga, merah jingga yang larut dalam minyak serta tersebar luas di alam (Meyer, 1982). Karotenoid mempunyai struktur alifatik, alifatik-asiklik, atau aromatik yang terdiri dari lima karbon unit isoprene, umumnya delapan, dimana kedua gugus metil yang dekat pada molekul pusat terletak pada posisi C-1 dan C-6, sedangkan gugus metil lainnya terletak pada posisi C-1 dan C-5. Struktur molekul karotenoid dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2 Struktur molekul karotenoid
Berdasarkan unsur-unsur penyusunnya, karotenoid dibagi menjadi dua golongan utama, yaitu (1) golongan karoten yang tersusun dari unsur-unsur atom C d an H, sep erti α-karoten, β-karoten, γ-karoten dan likopen, (2) golongan oksikaroten atau xantofil yang tersusun oleh unsur C,H dan OH seperti lutein, violasantin, neosamtin, zeasantin, kriptosantin, kapsantin, dan torulahordin. Berdasarkan fungsinya karotenoid dapat dibagi atas dua golongan, yaitu yang
12
bersifat nutrisi aktif seperti β-karoten dan non nutrisi aktif seperti fukosantin, neosantin, dan violasantin (Klaui dan Bauernfeind, 1981). Menurut Meyer (1982), karotenoid memiliki beberapa sifat fisika dan kimia antara lain bersifat larut dalam minyak dan tidak larut dalam air, larut dalam kloroform, benzene, karbon disulfide, dan petroleum eter, tidak larut dalam etanol dan methanol dingin, tahan dalam keadaan panas apabila dalam keadaan vakum, peka terhadap oksidasi, autooksidasi dan cahaya, dan mempunyai ciri khas absorpsi cahaya. Menurut Klaui dan Bauernfeind (1981), faktor utama yang mempengaruhi karotenoid selama pengolahan pangan dan penyimpanan adalah oksidasi oleh oksigen udara maupun perubahan struktur oleh panas. Karotenoid memiliki ikatan ganda sehingga sensitif terhadap oksidasi. Oksidasi karoten dipercepat dengan adanya cahaya, logam, panas, peroksida, dan bahan pengoksidasi lainnya. Reaksi oksidasi dapat menyebabkan hilangnya warna karotenoid dalam makanan. Panas akan mendekomposisi karotenoid dan mengakibatkan perubahan stereoisomer. Pemanasan sampai dengan suhu 60oC tidak mengakibatkan terjadinya dekomposisi karotenoid tetapi stereoisomer mengalami perubahan. Sebagian besar sumber vitamin A adalah karoten yang banyak terdapat pada bahan-bahan nabati seperti pada sayuran berwarna hijau, buah-buahan berwarna kuning dan merah serta minyak sawit. Minyak sawit merupakan sumber karotenoid terbesar untuk bahan nabati. Kadar karotenoid dalam minyak sawit yaitu 60.000 µg/100 g atau 500-700 ppm di dalam minyak sawit mutu regular. Karotenoid minyak sawit terdiri dari α-karoten (30-35%), β-karoten (60-65%), dan karoten lain seperti γ-karoten, likopen, xanthofil, γ-zeakaroten (5-10%) (Ketaren 2005 ). Tubuh mempunyai kemampuan mengubah sejumlah karoten menjadi vitamin A (retinol) sehingga karoten disebut provitamin A (Winarno 1997). Aktivitas karotenoid sebagai provitamin A berbeda sesuai jenis karotenoidnya. βkaroten memiliki aktivitas provitamin A yang paling tinggi dibandingkan dengan karoten lainnya. Beberapa jenis karoten beserta aktivitas vitamin A nya dapat dilihat pada Tabel 6.
13
Tabel 6 Aktivitas vitamin A beberapa jenis karoten Jenis karotenoid β-karoten α-karoten γ-karoten β-zeakaroten 3,4 dehidro-β-karoten Β-karoten-5,6-mono epoksida
Aktivitas vitamin A (%) 100 50-54 42-50 20-40 75 21
Dalam tu buh, sekitar 7 5 %d ari β-karoten akan diubah menjadi retinol (vitamin A) dengan bantuan enzim 15’15 β-karotenoid oksigenase sedangkan 25% dari β-karoten akan diabsorpsi dalam bentuk utuh pada mukosa usus. Fungsi utama vitamin A adalah dalam proses penglihatan (Fennema 1996). Selain itu, karoten juga berfungsi untuk mencegah kebutaan (xerophtalmia) dan penyakit katarak; mencegah penyakit kanker terkait dengan fungsinya sebagai antioksidan; mengurangi risiko penyakit jantung koroner; memusnahkan radikal bebas dan anti penuaan dini; dan meningkatkan imunitas tubuh (Sundram 2007).
Sistem Emulsi dan Emulsifier Emulsi merupakan sistem heterogen yang terdiri atas dua fase cairan yang tidak tercampur tetapi cairan yang satu terdispersi dengan baik dalam cairan yang lain dalam bentuk butiran (droplet/globula) dengan diameter biasanya lebih dari 0,1 µm atau 0,1-50 μm. Fase yang berbentuk butiran disebut fase terdispersi atau fase internal atau disebut juga fase diskontinyu, sedangkan fase cairan tempat butiran terdispersi disebut fase pendispersi atau fase eksternal atau fase kontinyu (deMan 1997). Terdapat dua tipe emulsi yaitu emulsi minyak dalam air (o/w) dan emulsi air dalam minyak (w/o). Jika fase lipolitik merupakan fase terdispersi maka emulsi yang terbentuk adalah emulsi minyak dalam air dan sebaliknya jika fase hidrofilik merupakan fase terdispersi maka emulsi yang terbentuk adalah emulsi air dalam minyak (Noerono 1990). Dispersibilitas atau daya larut emulsi ditentukan oleh medium dispersinya. Bila medium dispersinya air, emulsinya dapat diencerkan dengan air, dan sebaliknya bila medium dispersinya lemak, emulsinya dapat diencerkan dengan minyak atau lemak.
14
Suryani (2000) menyebutkan bahwa suatu sistem emulsi pada dasarnya adalah suatu sistem yang tidak stabil, karena masing-masing partikel mempunyai kecenderungan untuk bergabung dengan partikel sesama lainnya membentuk suatu agregat yang akhirnya dapat mengakibatkan emulsi tersebut pecah. Kekuatan dan kekompakan lapisan antar muka adalah sifat yang penting yang dapat membentuk stabilitas emulsi. Faktor-faktor yang mempengaruhi sistem emulsi akan berdampak apabila dilakukan perubahan atau modifikasi pada lapisan antar muka tersebut. Kerusakan atau destabilisasi emulsi terjadi melalui tiga mekanisme utama yaitu kriming, flokulasi dan koalesen. Kriming merupakan proses pemisahan yang terjadi akibat terjadi karena gerakan-gerakan ke atas/ke bawah, hal ini terjadi karena gaya gravitasi terhadap fase-fase yang berbeda densitasnya. Flokulasi merupakan agregasi dari droplet. Pada flokulasi tidak terjadi pemusatan film antar permukaan sehingga jumlah dan ukuran globula tetap, terjadinya flokulasi akan mempercepat terjadinya kriming. Koalesen adalah penggabungan globula-globula menjadi globula yang lebih besar. Pada tahap ini terjadi pemusatan film antar permukaan sehingga ukuran globula berubah. Jenis-jenis kerusakan emulsi dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3 Jenis-jenis kerusakan emulsi (McClements 2004)
Stabilitas emulsi dipengaruhi oleh beberapa faktor yang besarnya bergantung pada komposisi emulsi dan metode pengolahan. Faktor-faktor internal yang mempengaruhi stabilitas emulsi terdiri dari tipe dan konsentrasi bahan pengemulsi, jenis dan konsentrasi komponen-komponen fasa terdispersi dan fasa pendispersi, viskositas fasa pendispersi, perbandingan fasa terdispersi terhadap
15
fasa pendispersi, dan ukuran partikel. Faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi stabilitas emulsi terdiri dari pengadukan atau pengocokan, penguapan dan suhu. Emulsi merupakan sistim yang tidak stabil. Oleh karena itu dibutuhkan dua hal untuk membentuk emulsi stabil, yaitu penggunaan alat mekanis untuk mendispersikan sistem dan penambahan bahan penstabil/pengemulsi untuk mempertahankan sistem tetap terdispersi ( Bergenstahl dan Claesson 1990). Pemilihan pengemulsi atau emulsifier sangat penting dalam pembentukan emulsi. McClements (2004) menyatakan bahwa ada beberapa peranan penting emulsifier selama proses homogenisasi yakni menurunkan tegangan antar muka antara fase air dengan fase minyak sehingga mengurangi energi bebas yang diperlukan untuk mengubah dan mengacaukan droplet, serta membentuk coating yang protektif disekeliling droplet yang akan mencegah koalesen. Daya kerja emulsifier terutama disebabkan oleh bentuk molekulnya yang dapat terikat baik pada minyak maupun air. Bila emulsifier tersebut lebih larut atau terikat pada air maka dapat lebih membantu terjadinya dispersi minyak dalam air sehingga terjadilah emulsi minyak dalam air (o/w). Untuk lebih menjelaskan bagaimana kerja emulsifier akan diberikan ilustrasi sebagai berikut: bila butir-butir lemak telah terpisah karena adanya tenaga mekanik (pengocokan), maka butir-butir lemak yang terdispersi tersebut segera terselubungi oleh selaput tipis emulsifier. Bagian molekul emulsifier yang nonpolar larut dalam lapisan luar butir-butir lemak, sedangkan bagian yang polar menghadap ke pelarut (air). Emulsifier yang banyak terdapat di alam adalah fosfolipida, lesitin (fosfatidilkolina) dan fosfatidil etanolamina yang dikenal sebagai emulsifier alami. Selain itu gelatin dan albumin (putih telur) adalah protein yang bersifat sebagai emulsifier dengan kekuatan biasa dan kuning telur sebagai emulsifier yang kuat. Emulsifier
buatan
terdiri
dari
monogliserida,
misalnya
gliseril
monostearat. Emulsifier biasanya dibuat dbuat dengan cara alkoholisis atau esterifikasi secara langsung. Beberapa contoh emulsifier buatan antara lain ester dari asam lemak sorbitan yang dikenal dengan SPANS yang dapat membentuk emulsi air dalam minyak (w/o), dan ester dari polioksietilena sorbitan dengan
16
asam lemak yang dikenal sebagai TWEEN yang dapat membentuk emulsi minyak dalam air (o/w). Emulsifier tween 80 merupakan nama komersial dari polysorbate 80 atau polyoxyethylene 20 sorbitan monooleat (C 64 H 124 O 26 ). Tween 80 adalah surfaktan non ionic yang dibuat dengan mereaksikan span dengan etilen oksida. Span merupakan pengemulsi lipofilik dan ionic yang dibuat dengan mereaksikan sorbitol dengan asam lemak. Tween 80 mempunyai gugus hidrofilik yaitu grup polioksietilen yang merupakan polimer dari etilen oksida dan gugus lipofilik yaitu asam oleat. Istilah tween 80 menunjukkan bahwa emulsifier ini memiliki jumlah gugus hidrofilik 20% dan gugus lipofilik 80%. Tween 80 merupakan cairan kental dengan nilai kekentalan 300-500 centistokes, berwarna kuning, bersifat sangat larut dalam air, larut dalam minyak, dan pelarut lain seperti etnol, etil asetat, methanol dan toluene. Struktur molekul tween 80 dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4 Struktur tween 80
Tween 80 digunakan sebagai emulsifier dalam produk pangan seperti es krim untuk meningkatkan homogenitas adonan, melembutkan tekstur dan menjaga es krim agar tidak cepat meleleh [Anonim 2009]. Selain itu, tween 80 juga dapat digunakan sebagai emulsifier dalam produk minuman emulsi. Surfiana (2002) dan Sabariman (2007) menggunakan tween 80 sebagai emulsifier dalam pembuatan produk minuman emulsi dari minyak sawit merah. Tween 80 aman untuk dikonsumsi dan bersifat non karsinogenik. Masyarakat Amerika dan Eropa
17
biasanya mengkonsumsi tween 80 yang ada dalam produk pangan hingga 0,1 gram/hari.
Homogenisasi Homogenisasi merupakan proses mengubah dua cairan yang sifatnya immisible (tidak bercampur) menjadi sebuah emulsi. Homogenisasi didalam teknologi pencampuran, emulsifikasi dan suspensi dikenal sebagai operasi yang pada dasarnya terdiri dari dua tahap yaitu pertama pengecilan ukuran droplet pada fase bagian dalam dan kedua yang merupakan tahap simultan pendistribusian droplet kedalam fase kontinu (Wirakartakusumah 1992). Alat yang dirancang untuk melakukan proses emulsi disebut homogenizer (Loncin & Merson dalam McClements 2004). Menurut Widodo (2003) hal-hal yang perlu dipertimbangkan selama proses homogenisasi yaitu: (1) diameter globula lemak yang dihasilkan dari proses homogenisasi tidak boleh terlalu kecil (terlalu luas permukaan globula baru yang dihasilkan, (2) homogenisasi dilakukan pada suhu yang relatif tinggi (68-70oC). Semakin tinggi suhu homogenisasi maka akan semakin sedikit material pembentuk membran yang diperlukan untuk membentuk membran baru, (3) penambahan material pembentuk membran. Menurut McClements (2004) beberapa faktor yang mempengaruhi ukuran droplet yang dihasilkan oleh homogenisasi antara lain tipe emulsi yang digunakan, suhu, karakter komponen fasa-fasanya, dan masukan energi. Ukuran droplet yang kecil yang dihasilkan oleh homogenisasi dapat meningkatkan fasa terdispersi. Sebagai akibatnya viskositas semakin meningkat dan penyerapan emulsifier dapat meningkat. Ketidakcukupan emulsifier dalam menyelubungi permukaan droplet-droplet akan menyebabkan koalesen. Pengemulsian juga membutuhkan waktu homogenisasi yang tepat. Intensitas dan lama proses pencampuran tergantung waktu yang diperlukan untuk melarutkan dan mendistribusikannya secara merata. Pemilihan homogenizer untuk aplikasi bergantung beberapa faktor, yaitu volume sampel yang dihomogenisasi, keluaran yang diinginkan, konsumsi energi, karakteristik komponen fasanya, prediksi biaya, biaya proses. Setelah pemilihan
18
homogenizer yang cocok, kemudian dicari kondisi operasi yang optimum untuk alat tersebut, diantaranya yaitu aliran, tekanan, perbedaan kekentalan, suhu, waktu homogenisasi dan kecepatan putaran (McClements 2004). Penggunaan homogenizer untuk menyatukan fasa minyak dan air pada emulsi yang memiliki droplet diatas 2µm dapat menggunakan homogenizer highspeed blender. Untuk aplikasi industri yang menggunakan cairan berviskositas tinggi (0,1 < ᶯc < 1 Pa.s), tipe homogenizer coloid mill sangat efisien digunakan. Untuk bahan cairan yang memiliki kekentalan rendah dapat menggunakan homogenizer tipe high presure atau ultra sonic jet homogenizer. Perbandingan tipe homogenizer dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7 Perbandingan tipe homogenizer Tipe
Produksi
Energi
Viskositas sampel
Tinggi
Droplet minimum 0,1 µm
High-pressure homogenizer High-speedblender Colloid mill Ultrasonic probe Ultrasonic-jet homognizer Microfluidation Membraneprocessing
Continuous Batch Continuous Batch Continuous
Rendah Menengah Rendah Tinggi
2,0 µm 1,0 µm 0,1 µm 1,0 µm
Rendah ke sedang Sedang ke tinggi Rendah ke sedang Rendah ke sedang
Continuous Bacth/Continuous
Tinggi Tinggi
< 0,1 µm 0,3 µmm
Rendah ke sedang Rendah ke sedang
Rendah ke sedang
McClements (2004)
Menurut Wirakartakusumah (1992) rotor-stator homogenizer bekerja pada tekanan yang lebih rendah sehingga membutuhkan energi yang lebih sedikit, bila partikel ingin lebih dikecilkan ukurannya, sejumlah energi tambahan tetap harus diberikan dari luar. Energi yang dibutuhkan untuk memecah droplet atau partikel datang dari rotor yang juga memutar alat pengaduk (disc). Prinsip kerja homogenizer rotor stator adalah mengecilkan ukuran partikel emulsi dengan menggerus dan memotong partikel emulsi yang besar dengan rotor (bergerak) dan stator (diam) menjadi partikel yang lebih kecil.
Menurut
Tangsuphoom dan Coupland (2005) ukuran minimum droplet dalam emulsi yang dihasilkan oleh homogenizer tipe rotor stator ± 2µm.
19
Minuman Emulsi Minyak Sawit Merah Minuman emulsi ini diklasifikasikan sebagai emulsi minyak dalam air (O/W). Pada fase minyak terdapat komponen utama minyak, sedangkan pada fase air biasanya terdapat pengemulsi/penstabil, asam, pengawet, flavor, dan pewarna. Formula dasar untuk pembuatan minuman emulsi terdiri dari air, minyak, dan bahan pengemulsi (emulsifier), sedangkan bahan lainnya tergantung kebutuhan sesuai dengan produk emulsi akhir yang diinginkan. Produk minuman emulsi dengan bahan dasar minyak sawit merah yang kaya β-karoten telah diteliti oleh Saputra (1996), Surfiana (2002) dan Sabariman (2007). Penelitian Saputra (1996) membuat minuman emulsi dengan bahan baku CPO, dari segi penerimaan panelis rasa minuman emulsi tersebut kurang disukai. Penelitian Surfiana (2002) membuat minuman emulsi dengan bahan baku minyak sawit merah dan menghasilkan minuman emulsi yang stabil sebagai berikut : pengemulsi tween-80 1% (rasio minyak dan air 7 : 3) atau pengemulsi sukrosa ester asam lemak tipe S-1570, P-1570, dan campuran ester asam lemak ber-HLB 15 masing-masing 1% (rasio minyak dan air adalah 6 : 4); bahan tambahan lainnya adalah pengawet benzoate (0,2%), antioksidan BHT (200 ppm), pengkelat EDTA (200 ppm), pemanis sirup fruktosa (10-15%), dan flavor jeruk (1-1,5%). Penelitian Sabariman (2007) menghasilkan formulasi minuman emulsi minyak sawit merah yang terbaik sebagai berikut : pengemulsi sukrosa ester asam lemak HLB-15 baik campuran maupun tunggal (tipe S-1570 dan P-1570) dengan rasio minyak dan air 6 : 4. Bahan tambahan makanan yang ditambahkan adalah pengawet benzoate (0,2%), antioksidan BHT (200 ppm), pengkelat EDTA (200 ppm), pemanis sirup fruktosa (10%), dan flavor jeruk (1,5%). Hasil pengamatan dipasaran terdapat jenis minuman emulsi dengan bahan dasar minyak ikan kod yang kaya vitamin A dengan nama dagang “Scott’s Emulsion dan “Curcuma Plus Emulsion”.
Selain itu terdapat juga minuman
emulsi dengan nama dagang Vidoran Emulsion dan Curvit Emulsion.
20
Analisis Biaya Biaya adalah pengorbanan sumber ekonomi yang diukur dengan uang yang telah terjadi atau kelak terjadi untuk mencapai tujuan tertentu. Biaya dapat digolongkan dalam beberapa cara, antara lain penggolongan atas objek pengeluaran,
penggolongan atas dasar
fungsi pokok
pada perusahaan,
penggolongan atas hubungannya dengan pusat biaya dan penggolongan biaya berdasarkan perubahan biaya terhadap perubahan volume produk atau kegiatan (Simangunsong, 1989 dalam Revinaldo, 1992). Berdasarkan fungsi pokok dalam perusahaan, biaya digolongkan atas biaya produksi, biaya pemasaran, biaya administrasi dan umum. Biaya langsung dan biaya tidak langsung adalah penggolongan biaya berdasarkan hubungan dengan produk, sedangkan penggolongan biaya menurut perubahannya terhadap volume produksi adalah biaya tetap, biaya variabel dan biaya semi variabel. Selanjutnya William (1973) dalam Revinaldo (1992) menyatakan, bahwa biaya tetap adalah biaya yang totalnya tetap sampai batas kapasitas tertentu, meskipun volume produksi berubah. Biaya variabel merupakan biaya yang sebanding dengan perubahan volume produksi, sedangkan biaya semi variabel berubah tidak sebanding dengan volume produksi. Analisis biaya merupakan suatu kegiatan meliputi identifikasi biaya, pengukuran, alokasi dan pengendalian yang merupakan kegiatan penting dalam suatu perusahaan.
Biaya Pokok Produksi Menurut Manullang (1980) dalam Adhipratiwi (2001), biaya pokok produksi adalah jumlah biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi suatu barang, ditambah biaya lainnya sehingga barang tersebut dapat digunakan. Sedangkan menurut Wasis (1988) dalam Adhipratiwi (2001), biaya pokok adalah biaya yang tidak dapat dihindarkan yang dapat dipakai dalam proses produksi yang dapat diperhitungkan. Dari defenisi diatas dapat disimpulkan bahwa biaya pokok adalah jumlah biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi suatu barang dan jasa sampai barang tersebut dapat digunakan atau dijual di pasar. Menurut Wasis (1988) dalam
21
Adhipratiwi (2001), tujuan perhitungan biaya pokok adalah (a) menentukan harga penjualan, (b) menentukan laba atau rugi perusahaan, (c) menetapkan kebijaksanaan perusahaan, (d) memberikan penilaian di dalam neraca, dan (e) menentukan efisiensi perusahaan. Pramudya dan Dewi (1992) menyebutkan bahwa biaya pokok adalah biaya yang diperlukan untuk memproduksi tiap unit produk yang dihasilkan. Biaya poko dapat dihitung dengan menggunakan rumus:
Keterangan: BP
= Biaya Pokok (Rp/tahun)
B
= Biaya Total (Rp/tahun)
PT
= Produksi Total (Rp/tahun)
Analisis Titik Impas Titik impas (break event point) adalah suatu titik dimana terjadi keseimbangan antara dua alternatif yang berbeda. Di luar titik tersebut, kondisi alternatif tersebut berbeda sehingga akan mempengaruhi pengambilan keputusan (Pramudya dan Dewi, 1992). Titik impas disebut juga batas kritis usaha. Maksudnya adalah kapasitas atau volume produksi yang dapat menghasilkan pemasukan atau pendapatan sekedar cukup untuk menutupi biaya total.
Analisis Kelayakan Finansial Pembangunan proyek bertujuan untuk memperoleh berbagai manfaat (termasuk keuntungan) yang nilainya lebih besar dari nilai faktor produksi yang ditanamkan pada proyek tersebut. Analisis finansial dilakukan untuk kepentingan individu atau lembaga yang menanamkan modalnya dalam proyek tersebut. Menurut Gray et al. (1993) untuk mencari ukuran yang menyeluruh sebagai dasar penerimaan atau penolakan suatu proyek telah dikembangkan berbagai cara yang dinamakan kriteria investasi. Beberapa kriteria investasi yang sering digunakan adalah Break Even Point (BEP), Net Present Value NPV), Internal Rate of Return (IRR), Net Benefit Cost Ratio, dan analisis sensitivitas.
22
a. Net Present Value Net Present Value (NPV) yaitu seluruh angka net cash flow yang digandakan dengan discount faktor yang telah ditentukan. Menurut Gray et al. (1985), untuk menghitung NPV dapat digunakan rumus:
Keterangan: NPV
= Net Present Value (NPV)
n
= Umur Produksi (tahun)
t
= Tahun ke-t
B
= Manfaat (Rp/tahun)
C
= Biaya (Rp/tahun)
i
= Discount faktor (% tahun)
Jika
: NPV > 0 proyek menguntungkan NPV = 0 proyek tidak menguntungkan / merugi NPV < 0 proyek merugikan
b. Internal Rate of Return Internal Rate of Return (IRR) atau tingkat pengembalian internal, yaitu suatu tingkat pengembalian yang dinyatakan dalam persen yang identik dengan biaya investasi.
Keterangan: IRR
= Internal Rate of Return (IRR)
i1
= Tingkat bunga pada saat NPV yang didapat positif (%)
i2
= Tingkat bunga pada saat NPV yang didapat negatif (%)
IRR adalah tingkat bunga yang membuat NPV = 0 Jadi, bila IRR≥
discount factor proyek menguntungkan sehingga proyek layak untuk dikembangkan
Dan, bila IRR < discount factor proyek merugikan sehingga proyek tidak layak untuk dikembangkan
23
c. Benefit Cost Ratio (B/C) Benefit Cost Ratio (B/C), yaitu nilai perbandingan antara jumlah nilai manfaat dan nilai biaya. Nilai manfaat didapat dari hasil penjualan dan nilai sisa alat. Sedangkan nilai biaya adalah didapat dari biaya investasi dan biaya tahunan untuk perawatan dan pemeliharaan. Benefit Cost Ratio (B/C) terdiri dari dua jenis, yaitu Net B/C dan Gross B/C. Namun Gross B/C dianjurkan untuk tidak digunakan dalamanalisis benefit cost. Menurut Gray et al. (1993), untuk menghitung Net B/C dapat digunakan rumus:
Dimana:
Net B/C merupakan nilai perbandingan antara jumlah nilai sekarang (NPV) yang bernilai positif dengan jumlah nilai sekarang (NPV) yang bernilai negatif Jika:
B/C > 1 proyek menguntungkan B/C = 1 proyek tidak menguntungkan dan tidak merugikan, manfaat yang diperoleh hanya cukup untuk menutup biaya (tercapai titik impas) B/C < 1 proyek merugikan, sehingga proyek tidak layak untuk dikembangkan
Analisis Sensitivitas Analisis sensitivitas bertujuan untuk mempelajari kemungkinan terjadinya perubahan dalam penyelesaian optimal sebagai akibat adanya perubahan dari model semula. Pramudya dan Dewi (1992) menyatakan bahwa analisis ini dilakukan apabila terjadi kesalahan pendugaan suatu nilai biaya atau manfaat dan
24
kemungkinan terjadi perubahan suatu unsur harga pada saat proyek tersebut dilaksanakan. Analisis sensitivitas dilakukan untuk melihat sampai berapa persen peningkatan atau penurunan faktor-faktor tersebut dapat mengakibatkan perubahan dalam kriteria investasi yaitu dari layak menjadi tidak layak (Gittinger 1986) .