7
2 TINJAUAN PUSTAKA Minyak Kelapa Pendapat keliru tentang minyak kelapa yang selama ini dianggap sebagai minyak yang tidak baik untuk kesehatan karena kandungan asam lemak jenuhnya yang tinggi telah menurunkan produksi, distribusi dan tingkat penerimaan konsumen. Tetapi saat ini, dari bukti penelitian yang panjang, diketahui bahwa lemak dalam minyak kelapa mempunyai sifat khas yang baik bagi kesehatan dan berbeda dari hampir semua lemak pada minyak-minyak lain. Menurut St-Onge (2005) dan Scrimgeour (2005), minyak kelapa dengan kandungan triasilgliserol rantai menengahnya tidak memiliki pengaruh negatif terhadap kolesterol malah memberi efek perlindungan terhadap penyakit atherosclerosis dan jantung; triasilgliserol rantai menengah atau Medium Chain Triglycerides (MCT) kurang bersifat fattening dibandingkan dengan triasilgliserol jenis lain dan tidak pernah disimpan dalam bentuk cadangan energi pada proses metabolisme lipid; MCT dicerna lebih cepat dibandingkan dengan triasilgliserol jenis lain; MCT menguntungkan secara khusus dalam hal menyediakan energi bagi jaringan limpa, hati dan sel-sel lemak; mengkonsumsi MCT dapat menstimulasi fungsi tiroid dan mendorong untuk terjadinya penurunan berat badan. Pemanfaatan minyak kelapa selain untuk produk pangan (minyak makan), banyak juga dibutuhkan untuk produk oleokimia. Minyak kelapa merupakan sumber utama asam lemak kaproat, kaprilat, kaprat dan laurat komersial. Minyak kelapa dan minyak kernel sawit karena mengandung asam laurat sekitar 50% sering juga disebut sebagai minyak laurat. Sifat dari lemak laurat minyak kelapa yang cepat meleleh dan tidak meninggalkan sensasi yang berasa ”greasy” pada permukaan lidah, sulit ditemukan kesamaannya dengan minyak atau lemak non laurat. Karakteristik khusus minyak kelapa dapat dilihat pada Tabel 2.1 (O’Brien, 2004). Minyak laurat merupakan bahan yang sangat dibutuhkan oleh industri oleokimia di seluruh dunia karena nilai penting dari fraksi lauratnya sangat dibutuhkan oleh pabrik sabun dan deterjen. Fraksi asam lemak kaproat, kaprilat dan kaprat dalam minyak kelapa sekitar 15%, merupakan bahan yang baik untuk plasticizer bagi alkohol dan juga ester-poliol. Ester-poliol yang telah diplastisasi banyak digunakan untuk membuat minyak berperforma tinggi khusus untuk mesin jet dan untuk pelumas generasi baru. Fraksi asam lemak C14–C18 dalam minyak kelapa sekitar 35%, merupakan bahan baku yang sangat baik untuk memproduksi deterjen kelompok fatty alcohol. Minyak kelapa merupakan sumber utama untuk membuat oleokimia dasar dan oleokimia turunan. Gambar 2.1 merupakan deskripsi pembentukan oleokimia dasar dan oleokimia turunan (Gervajio 2005). Setiap bagian dari asam lemak penyusun minyak kelapa dapat digunakan sebagai bahan baku awal untuk memproduksi berbagai jenis oleokimia. Asam lemak merupakan blok pembangun yang dengan proses seleksi dan aplikasi kimiawi yang tepat dapat diubah menjadi produk-produk bernilai lebih tinggi. Spesifikasi produk-produk asam lemak yang berasal dari minyak kelapa diantaranya adalah (1) destilat asam lemak kelapa utuh (C8–C18) dengan kode produk Philacid 0818; (2) asam lemak kaprilat-kaprat (C8–C10) dengan kode Philacid 0810; (3) topped coconut fatty acid (C12–C18) dengan kode produk
8
Philacid 1218; (4) asam laurat (C12) dengan kode produk Philacid 1200; (5) asam miristat (C14) dengan kode produk Philacid 1400; dan (6) asam lauratmiristat (C12–C14) dengan kode produk Philacid 1214 (United Coconut Chemicals Inc 1993 dalam Gervajio 2005). Tabel 2.1. Karakteristik fisik dan komposisi kimia minyak kelapa Karakteristik
Tipikal
Kisaran
Spesific Gravity, 30o C 0.951 – 0.920 o Indeks Refraksi, 40 C 1.4480 – 1.4490 Bilangan Iod 10.0 7.5 -10.5 Bilangan Penyabunan 248 – 264 Bilangan Taktersabunkan 0.1 – 0.8 Titer (O C) 20.0 – 24.0 Titik Leleh (o C) (MDP) 26.5 25.0 – 28.0 Titik Padat (o C) 14.0 – 22.0 Stabilitas AOM (jam) 150 30 – 250 Kandungan Tokoferol: 6 3–9 γ-Tokoferol (ppm) Kandungan Tokotrienol: 49 27 – 71 α-Tokotrienol (ppm) Komposisi Asam Lemak (%): 0.5 0.4 – 0.6 Kaproat (C-6:0) 7.8 6.9 – 9.4 Kaprilat (C-8:0) 6.7 6.2 – 7.8 Kaprat (C-10:0) 47.5 45.9 – 50.3 Laurat (C-12:0) 18.1 16.8 – 19.2 Miristat (C-14:0) 8.8 7.7 – 9.7 Palmitat (C-16:0) 2.6 2.3 – 3.2 Stearat (C-18:0) 6.2 5.4 – 7.4 Oleat (C-18:1) 1.6 1.3 – 2.1 Linoleat (C-18:2) 0.1 < 0.2 Arakhidat (C-20:0) Trace < 0.2 Gadoleat (C-20:1) Komposisi Triasilgliserol (%): 84.0 Trisaturated (GS3) 12.0 Disaturated (GS2U) 4.0 Monosaturated (GSU2) 0 Triunsaturated (GU3) β’ Jenis Umum Kristal Indeks Lemak Padat (%) pada: 54.5 10.0 oC 26.6 21.1 oC o 0 26.7 C Keterangan: G = gliserida; S = saturated (jenuh); U = unsaturated (tak jenuh); MDP = melter dropping point; AOM = active oxygen method Sumber: O’Brien (2004)
9
Gambar 2.1 Bahan baku oleokimia dan turunannya (Brackman et al. 1984 dalam Gervajio 2005) Asam lemak dari minyak kelapa banyak dibutuhkan untuk bahan baku industri sabun dan deterjen. Ester asam lemaknya banyak dibutuhkan untuk bahan pembuat pelumas, bahan pelarut flavor, ingredien kosmetik, emulsifier, agen penghilang jamur. Fatty alcohols banyak dibutuhkan untuk bahan pemlastis, bahan pelarut untuk tinta dan cat, bahan pembuat agen anti pembusaan, faktor pemberi konsistensi untuk produk-produk krim, lipstik, pasta dan pelicin, bahan pembuat deterjen, sampo dan cairan pembersih. Eter poliglikol banyak digunakan untuk bahan surfaktan, pembasah, cairan pembersih, bahan kosmetik dan industri lainnya. Fatty amide banyak digunakan untuk penghasil busa bagi produk sampo
10
dan deterjen. Fatty amine banyak digunakan untuk produk pelembut, biosida, ingredien sampo dan lain-lain (Gervajio 2005). Minyak kelapa berwujud padat keras pada suhu 70 °F (21.1 °C), tetapi akan meleleh secara cepat dan sempurna pada suhu sedikit di bawah suhu tubuh. Wujud padat dan cair dari minyak kelapa ini ditentukan oleh akumulasi sifat berat molekul dan titik cair dari masing-masing asam lemak penyusunnya. Komposisi asam lemak yang berbeda akan menghasilkan titik cair minyak yang berbeda pula. Berat molekul dan titik cair masing-masing asam lemak penyusun minyak kelapa dapat dilihat pada Tabel 2.2. Berdasarkan perbedaan titik cair ini, maka minyak kelapa dapat difraksinasi menjadi minyak atau lemak dengan sifat fisika-kimia yang berbeda. Fraksinasi dapat dilakukan dengan cara mendiamkan minyak kelapa pada berbagai tingkat suhu dingin, teknik ini sering disebut dengan istilah winterisasi (O’Brien 2004). Tabel 2.2 Berat molekul dan titik cair beberapa asam lemak penyusun minyak kelapa Nama Asam Jumlah Atom Karbon Berat Molekul Titik Cair (°C) Lemak dan ikatan rangkap Butirat 4:0 88.1 -7.9 Kaproat 6:0 116.1 -3.4 Kaprylat 8:0 144.2 16.7 Kaprat 10:0 172.3 31.6 Laurat 12:0 200.3 44.2 Miristat 14:0 228.4 53.9 Palmitat 16:0 256.4 63.1 Stearat 18:0 284.4 69.6 Arakhidat 20:0 312.5 75.3 Behenat 22:0 340.5 79.9 Sumber: O’Brien (2004) Triasilgliserol minyak kelapa sebagian besar tersusun atas trilaurin (LaLaLa) yang menempati 21% dari seluruh triasilgliserol yang ada, diikuti oleh dilauromiristin (18%), kaprodilaurin (17.4%), dikaprolaurin (12.9%) dan laurodimiristin (10.2%) (Tan and Man 2002). Data tentang komposisi dan jenis triasilgliserol yang ada pada minyak kelapa disajikan pada Tabel 2.3. Warna minyak kelapa kasar bervariasi mulai dari kuning muda hingga kuning kecoklatan, teknik pengolahan umum akan menghasilkan minyak kelapa tanpa bau dengan warna warna kuning yang sangat pucat. Rasa dan bau minyak kelapa sangat beragam tergantung pada seberapa banyak senyawa lakton terkandung di dalamnya. Karena minyak kelapa mengandung asam lemak tak jenuh yang rendah maka minyak ini sangat resisten terhadap oksidasi; akan tetapi cenderung lebih cepat 2–10 kali terhidrolisis dibandingkan dengan minyak lainnya menghasilkan bau sabun yang tak diinginkan. Minyak kelapa terhidrolisis lambat jika hanya terdapat air bebas dalam sistem, tetapi akan berlangsung cepat jika terdapat enzim lipase (O’Brien 2004).
11
Tabel 2.3 Jenis dan komposisi triasilgliserol penyusun minyak kelapa Jenis Triasilgliserol
Komposisi (%)
a b LaLaLa 21,2 ± 0,3 26.0 ± 0.8 LaLaM 18,0 ± 0,3 24.4 ± 0.9 ClaLa 17,4 ± 0,2 16.8 ± 1.2 CCLa 12,9 ± 0,2 8.2 ± 0.4 LaMM 10,2 ± 0,1 8.9 ± 0.4 LaMP 5,5 ± 0,1 6.7 ± 0.2 LaLaO 3,1 ± 0,0 0.5 ± 0.1 LaMO 2,4 ± 0,1 2.0 ± 0.1 LaPP+MMO 2,1 ± 0,3 LaPO 1,6 ± 0,2 LaOO 1,1 ± 0,0 MPO+POL 1,1 ± 0,0 2.8 ± 0.2 + 0.8 ± 0.2 MOO 0,8 ± 0,1 1.9 ± 0.2 PPO 0,7 ± 0,1 OOO 0,6 ± 0,1 ND PPP 0,6 ± 0,1 ND LaLaP 0,5 ± 0,0 POO 0,3 ± 0,0 ND MMP 0,2 ± 0,0 ND PPL 0.7 ± 0.1 CpCLa 0.2 ± 0 Keterangan: C, caprat; Cp, caprilat; La, laurat; M, miristat; P, palmitat; S, stearat; O, oleat; L, linoleat. Sumber: a: Tan and Man (2002) b: Jeyarani et al. (2009) Minyak kelapa pada kondisi suhu dingin terkontrol, dapat dipisahkan menjadi dua komponen, yaitu fraksi padat (stearin) dan fraksi cair (olein). Berbagai metode fraksinasi dan pengaturan kondisi dapat dilakukan untuk menghasilkan fraksi olein dan stearin dengan sifat fisik dan kimia sesuai dengan yang diinginkan (Zaliha et al. 2004; Timms 2005). Proses fraksinasi pada minyak secara klasik dilakukan untuk tujuan menghasilkan minyak (olein) yang cair pada suhu 24 oC dan stearin yang mempunyai titik cair antara 45-53 °C. Tetapi, sejak tahun 1990, fraksi olein telah berubah menjadi komoditi yang lebih murah karena terbuat dari proporsi yang lebih besar dalam fraksinasi tunggal dan memiliki marjin keuntungan yang lebih rendah. Untuk alasan ini, perhatian telah difokuskan pada fraksinasi kering bertingkat untuk menghasilkan produk dengan nilai tambah yang tinggi, seperti super olein/top olein dan Mid Fraction (Gibon dan Tirtiaux 2000; Deffense 2000; Kellens 2001; De Greyt et al. 2003).
12
Fraksinasi Minyak Fraksinasi adalah proses pemisahan yang membagi lemak menjadi fraksifraksi yang berbeda, yang masing-masing mempunyai sifat fisika dan kimia tertentu. Secara industri, terdapat tiga jenis proses fraksinasi yang tersedia saat ini, yaitu fraksinasi kering, basah dan menggunakan pelarut. Fraksinasi menggunakan pelarut biasanya digunakan untuk aplikasi tertentu, misalnya untuk menghasilkan pensubstitusi lemak coklat dari minyak sayur. Dari semua teknologi fraksinasi minyak yang tersedia saat ini, fraksinasi kering masih diyakini sebagai satu pengolahan yang paling sederhana, ramah lingkungan dan murah. Sederhana, karena hanya didasarkan pada pengaturan kristalisasi minyak cair, dilanjutkan dengan pemisahan secara fisik tanpa harus menambahkan atau menghilangkan bahan kimia maupun pelarut tertentu selama atau setelah proses. Murah, karena tidak memerlukan kondisi proses yang ekstrim dan seluruh prosesnya bersifat reversibel. Oleh karena itu, fraksinasi kering layak untuk dijadikan sebagai teknologi pengolahan produk berbasis lemak di masa depan (Timms 2005; Huey et al. 2009; Calliauw et al. 2010). Fraksinasi kering terdiri dari dua langkah utama, yaitu tahap kristalisasi yang menghasilkan kristal padat dalam matriks cair dan tahap pemisahan dimana fase cair dipisahkan dari kristal (Timms 2005). Faktor-faktor lain yang penting pada setiap tahap ini, terlihat pada Gambar 2.2. Pada titik ini, penting untuk diketahui bahwa kualitas dari fraksi cair hanya tergantung pada tahap kristalisasi, sedangkan kualitas dari fraksi padat tergantung pada kedua tahap tersebut. Pemisahan fraksi didasarkan atas tingkat konsentrasi triasilgliserol yang diinginkan. Kualitas biasanya diatur melalui kriteria fisik, seperti titik asap atau kandungan lemak padatnya.
Gambar 2.2 Diagram skematis proses fraksinasi dan faktor-faktor indikasi yang penting pada setiap tahap (Timms 2005)
13
Kristalisasi Minyak Ketika lemak cair didinginkan, fase padat memisah, yang komposisi dan jumlahnya tergantung terutama pada suhu yang diterapkan. Situasi ini diilustrasikan pada Gambar 2.3, yang memperlihatkan diagram fase skematik dari campuran biner dari triasilgliserol A dan B yang membentuk suatu larutan padat yang kontinyu, yang tercampur secara sempurna dalam keadaan solid. Mempertahankan campuran pada suhu T1 menghasilkan pembentukan fase padat (kristal) komposisi c dalam komposisi larutan a. Fraksi fase padat = (bc/ac) (Timms 2005).
Gambar 2.3 Diagram fase skematik sederhana yang mengilustrasikan prinsipprinsip fraksinasi (Timms 2005) Untuk mencapai kristalisasi, perlu meningkatkan konsentrasi triasilgliserol yang akan dikristalkan di atas konsentrasi larutan jenuh pada suhu yang ditetapkan. Dalam prakteknya, hal ini tidak cukup untuk menyebabkan kristalisasi, dan larutan dapat berada pada konsentrasi di atas tingkat kejenuhan tanpa membentuk kristal apa pun. Larutan serupa ini disebut ‘super jenuh’. Untuk semua sistem, ilustrasi tentang diagram jenuh-super jenuh terlihat secara skematik pada Gambar 2.4 untuk kristalisasi minyak kedelai (Kellens 2001; Timms 2005; Huey et al. 2009). Pada Gambar 2.4, garis kontinyu adalah kelarutan normal atau kurva kejenuhan. Di bawah garis ini, kristalisasi tidak mungkin terjadi karena larutan tidak jenuh dan situasi ini merupakan stabil semu (stable indefinitely). Garis putus-putus membagi zona metastabil dari satu zona tak-stabil atau zona kristalisasi. Dalam zona metastabil kristalisasi mungkin terjadi, tetapi tidak akan terjadi secara spontan atau tiba-tiba tanpa bantuan, seperti pengadukan atau ”seeding”. Kristalisasi akan terjadi secara spontan dan tiba-tiba dalam zona takstabil. Hal ini dapat dilihat bahwa posisi yang dibatasi oleh garis putus-putus
14
antara zona metastabil dan tak-stabil bervariasi dan tergantung pada variabel proses seperti laju pendinginan dan pengadukan (Timms 2005).
Gambar 2.4 Diagram jenuh-super jenuh untuk kristalisasi minyak kedelai. Pengaruh laju pendinginan terhadap batas metastable/unstable (garis putus-putus). Angka menunjukkan laju pendinginan [oF/min] (Timms 2005). Alasan bagi keberadaan zona metastabil dapat dipahami bila kristalisasi diperlakukan sebagai proses yang terdiri dari dua tahap, yaitu pembentukan inti yang diikuti oleh perkembangan kristal (Kellens 2001). Kristalisasi hanya dapat terjadi ketika konsentrasi triasilgliserol mencapai kurva kejenuhan (atau kelarutan normal). Di bawah suhu titik leleh, lemak masuk ke dalam kondisi metastabil: kristalisasi terjadi secara tidak spontan. Pada suhu yang lebih rendah, lemak memasuki kondisi tak-stabil dan segera membentuk kristal (Gambar 2.5). Inti kristal akan terbentuk ketika energi panas kristalisasi melebihi energi permukaan; yang terbentuk pada kondisi metastabil, misalnya ketika suhu telah menurun di bawah batas yang dibutuhkan untuk membeku guna menghasilkan kristal yang kecil (kondisi supercooling) (Kellens 2001; Timms 2005; Huey et al. 2009). Inti kristal adalah kristal terkecil yang terdapat dalam larutan lemak atau minyak pada konsentrasi dan suhu tertentu. Agregat-agregat molekul yang lebih kecil dari inti kristal ini disebut dengan embrio dan akan kembali melarut jika terbentuk (Kellens 2001; Timms 1997; Timms 2005; Boistelle 1998).
15
Gambar 2.5 Diagram jenuh dan superjenuh dalam proses kristalisasi minyak sawit (Timms 1997) Saat molekul-molekul bersatu membentuk kristal, akan terbentuk dua jenis energi yang saling berlawanan. Energi yang pertama terbentuk akibat adanya panas kristalisasi, merupakan energi yang menyokong proses. Energi yang kedua adalah energi yang dibutuhkan untuk mengatasi tekanan atau tegangan permukaan sejalan dengan peningkatan luas permukaan kristal akibat dari menyatunya agregat-agregat molekul. Kristal stabil akan terjadi hanya ketika energi jenis pertama dalam keadaan berlebih yang dibutuhkan untuk mengatasi energi jenis kedua (Timms 2005). Energi permukaan sebanding dengan luas permukaan kristal yang terbentuk, maka terhadap ukuran (yang dalam hal ini dimensi linier kristal, misalnya diameter untuk kristal-kristal berbentuk bulat) diperhitungkan dalam dimensi pangkat dua (ukuran2). Sedangkan panas kristalisasi diukur berdasarkan volume, maka terhadap ukuran akan diperhitungkan dalam dimensi pangkat tiga (ukuran3). Jadi jelas bahwa kelarutan kristal pasti sangat tergantung pada ukurannya. Menggunakan data-data triasilgliserol tertentu, dapat dihitung pengaruh ukuran kristal terhadap kelarutan, seperti terlihat pada Tabel 2.4 (Timms 2005). Tabel 2.4 Berbagai kelarutan dan “supercooling” dengan radius kristal-kristal triasilgliserol Radius of crystal Supercooling [°C) Peningkatan kelarutan [μm] [Å] 10 100,000 0.004 1.001 1 10,000 0.036 1.007 0.1 1,000 0.36 1.1 0.01 100 3.6 2.1 0.001 10 7.2 1380 Sumber: Timms 2005 Supercooling adalah penurunan suhu di bawah suhu kelarutan untuk mengkristalkan larutan superjenuh yang ada dalam sistem. Ukuran kristal adalah
16
ukuran minimum suatu kristal yang stabil pada suhu kristalisasi secara umum. Kristal-kristal kecil mempunyai kecenderungan untuk meningkatkan kelarutan dengan sangat kuat dan memerlukan supercooling yang sangat besar untuk membuatnya mengkristal (Timms 2005). Pembentukan kristal dapat terjadi disebabkan adanya difusi sekeliling molekul yang akan menetap pada inti yang terbentuk. Laju pembentukan kristal berbanding lurus dengan derajat supercooling yang diterapkan dan berbanding terbalik dengan viskositas minyak (Wainwright 1999). Untuk menghasilkan proses kristalisasi dengan ukuran kristal yang terbentuk relatif besar, biasanya bisa dicapai dengan menerapkan derajat supercooling yang sedang. Pada derajat supercooling yang berlebihan, molekul-molekul tidak sempat terbawa pada kondisi pembesaran yang baik untuk terjadinya discolation dalam lattice kristal atau untuk pembentukan ko-kristal. Penerapan derajat supercooling yang terlalu tinggi berarti memaksa kristalisasi terjadi lebih intens, akibatnya viskositas minyak akan meningkat secara cepat sehingga laju difusi dan pembesaran kristal menjadi tertunda (Wainwright 1999; Kellens et al. 2007). Kristal-kristal minyak terbentuk menghasilkan inti utama di awal proses kristalisasi, selanjutnya pembentukan inti sekunder dapat juga segera terjadi. Pembentukan inti sekunder terjadi saat irisan-irisan kecil kristal hilang dari permukaan kristal yang membesar. Jika irisan tersebut lebih kecil dari ukuran kritisnya, maka akan terlarut kembali tetapi jika lebih besar, maka akan bertindak sebagai inti dan berkembang menjadi kristal. Pembentukan inti sekunder ini tidak diinginkan dalam proses fraksinasi, karena proses ini menghalangi terbentuknya kristal minyak berukuran besar. Pengadukan atau pengocokan adalah penyebab utamanya, oleh karena itu pengadukan biasanya dijaga agar tetap minimum hanya untuk memfasilitasi terjadinya pindah panas (Kellens et al. 2007; Timms 2005). Peningkatan suhu secara lokal dikarenakan oleh panas kristalisasi merupakan suatu kondisi yang tidak diinginkan. Pada kondisi ini, pembentukan inti dan atau urutan pembesarannya menjadi terganggu sehingga pembentukan kristal yang berukuran besar berjalan tidak sempurna. Jika peningkatan suhu selama kristalisasi tidak terkontrol, akan menyebabkan terjadinya pelarutan kembali bagian-bagian yang telah terkristalisasi, dan struktur lamellar dapat terbentuk. Pada keadaan terburuk, hasilnya adalah pembentukan massa seperti susu dari mikro-partikel di semua ukuran, yang sangat sulit untuk dipisahkan (Gibon dan Tirtiaux 2000). Pengawasan sempurna terhadap penghilangan panas dan kecepatan pengadukan selama proses kristalisasi sangat diperlukan untuk menghindari keadaan yang tidak diinginkan tersebut. Inti kristal akan segera membesar dengan adanya inkorporasi dari molekul-molekul lain, sesaat setelah terbentuk. Molekul-molekul ini berasal dari lapisan larutan yang saling berdekatan; yang secara kontinyu mengalami ”pengisian ulang” (replenished) dari sekelilingnya, larutan superjenuh dengan cara difusi. Laju pembesaran inti ini sebanding dengan besarnya supercooling dan berbanding terbalik dengan viskositas, yang mempengaruhi kecepatan difusi (Timms 2005). Secara parsial, pembentukan inti dan pembesarannya terjadi secara simultan. Laju pembentukan inti meningkat lebih cepat daripada laju pembesarannya, pada kondisi supercooling yang berlebihan. Hasilnya adalah pembentukan kristal yang sangat kecil dan tidak sempurna yang sangat sulit untuk
17
dipisahkan. Oleh karena itu, proses kristalisasi secara industri harus dirancang untuk beroperasi pada laju pendinginan yang lambat selama siklus kristalisasi. Beberapa model pendinginan (Gambar 2.6) dapat digunakan, yang akan sangat tergantung pada penyedia teknologi fraksinasi kering (Krishnamurthy dan Kellens 1996).
Gambar 2.6 Representasi skematis dari (a) profil hubungan suhu minyak dan (b) profil air pendingin secara terpisah, pada pelaksanaan fraksinasi kering (Krishnamurthy dan Kellens 1996). ∆T1 sampai ∆T5: perbedaan tetap suhu minyak dengan suhu air pendingin, T1 sampai T4: suhu tetap air pendingin Saat pembesaran inti sedang berjalan, akan ada evolusi panas yang besar. Khususnya dalam keadaan tanpa pengadukan, suhu lokal akan meningkat secara signifikan. Akibatnya, pertambahan volume antar batas yang tersedia untuk perkembangan permukaan kristal akan terhenti menjadi jenuh dan atau inti yang ada dapat terlarut kembali, karena ukuran kritis telah meningkat dengan adanya peningkatan suhu. Pembentukan inti dan urutan pembesarannya dapat saja bersifat erratic (tidak menentu), mengakibatkan pembentukan ukuran kristal yang tidak sempurna atau bervariasi. Dalam industri fraksinasi lemak, yang menjadi tujuan penting dari proses adalah untuk membatasi eksotermis ini dengan cara memvariasikan laju penghilangan panas dan pengadukan (Timms 2005; Kellens et al. 2007).
Miscibility, Intersolubility dan Polimorfisme Keberhasilan fraksinasi lemak bergantung pada tingkah laku fase konstituen TAG. Konsep tingkah laku fase ini tidak hanya merujuk pada titik leleh dari TAG atau karakter polimorfisnya saja, tetapi juga melibatkan pengaruh variasi campuran TAG yang berbeda dalam keadaan cair dan yang terpadatkan, dan hal ini banyak dijelaskan di berbagai publikasi. Jika hanya merujuk pada perubahan sifat fisik yang mungkin terjadi selama proses pendinginan, seharusnya TAG dengan titik lebur tinggi yang pertama kali akan mengkristal sebagai nuclei
18
(inti), kemudian TAG dengan titik lebur lebih rendah akan bersatu dan seterusnya, hingga terciptanya “fluida” yang terdiri dari kristal-kristal “stearin”, dalam cairan “olein”. Tetapi kenyataannya tidaklah sesederhana itu, tetapi melibatkan proses eksotermik yang sangat rumit, dengan polimorfisme kristalisasi yang sangat labil, di mana dinamika kristalisasi tidak sepenuhnya berhubungan dengan titik-titik lebur, melainkan sangat ditentukan oleh daya larut (miscibility dan intersolubility) triasilgliserol penyusunnya, dan semua faktor tersebut sangat mempengaruhi urutan, jalur dan cara dari pembentukan inti kristal dan perkembangannya lebih lanjut (Timms 1984; Sato dan Ueno 2001). Miscibility, intersolubility dan juga polimorfisme dari TAG dalam bentuk padat adalah masalah tersendiri yang terkait erat dalam proses fraksinasi. Miscibility dan intersolubility berkaitan erat dengan kemampuan pengikatan yang kuat dari kristalisasi molekul-molekul yang memiliki kejenuhan sama seperti SSS, SUS, SUU dan UUU dalam kristal-kristal campurannya. Polimorfisme adalah kemampuan untuk mengkristal menurut 3 bentuk crystalline: α, ß', ß. Kristalα dengan bentuk heksagonal, memiliki sedikit susunan ikatan hidrokarbon, sehingga titik leburnya rendah; kristal ß' dengan bentuk orthorhombik, memiliki susunan ikatan hidrokarbon lebih tebal/padat; kristal ß dengan bentuk triklinik, memiliki susunan ikatan hidrokarbon paling tebal/padat, sehingga titik leburnya sangat tinggi. Polimorfisme berpengaruh sangat kuat terhadap ketidakstabilan, tekstur dan rupa dari produk kristalisasi yang dihasilkan. Pada minyak, umumnya kristalisasi pertama kali terjadi menurut bentuk α yang tidak stabil dan berkembang secara cepat menjadi bentuk ß', kemudian secara perlahan menjadi bentuk ß. Pada minyak kelapa sawit, di mana triasilgliserol berbentuk simetris, transisi bentuk a ß' ß lebih mudah terjadi, akan tetapi bentuk akhir lebih sulit diperoleh. Ilustrasi bentuk folimorfisme kristal minyak dapat dilihat pada Gambar 2.7. Pemisahan yang baik antara olein dan stearin diperoleh sebagian besar pada kristal-kristal bentuk ß' (Timms 2005; Kellens et al. 2007; Mazzanti et al. 2008).
Gambar 2.7 Skema moleculer packing pada sistem lemak triasilgliserol, ilustrasi α, β’, dan β (Mazzanti et al. 2008) Intersolubility ditentukan oleh sifat alami dari TAG itu sendiri, sedangkan polimorfisme lebih ditentukan oleh rezim pendinginan yang diterapkan pada minyak. Pada umumnya, pendinginan terkendali minyak cair menyebabkan yang lebih banyak terkristalisasi adalah senyawa jenuh sedangkan TAG tak-jenuh tetap cair. Polimorfisme juga berpengaruh terhadap intersolubility dari TAG dan secara
19
umum diasumsikan bahwa bentuk kristal yang kurang stabil berkaitan erat dengan tingginya intersolubility (Mazzanti et al. 2008). Intersolubility dari TAG dapat menjelaskan mengapa, pada minyak sawit, pendinginan yang cepat dapat mengakibatkan pembentukan kristal campuran yang mengandung lebih banyak TAG tidak jenuh, dengan kualitas produk padat yang dihasilkan lebih rendah setelah filtrasi (Deffense 1989). Lebih jauh lagi, tahap pemisahan juga dipengaruhi oleh tahap kristalisasi awal, sebagaimana komposisi dan morfologi kristal juga mempengaruhi efisiensi proses filtrasi. Pemisahan kristal-kristal secara optimal dari cairannya secara umum akan dicapai ketika kristal mempunyai ukuran, morfologi dan komposisi yang seragam (Kellens 1994; Calliauw et al. 2005).
Pengaruh Suhu dan Lama Proses Kristalisasi Penelitian mengenai pengaruh suhu terhadap proses kristalisasi dalam fraksinasi minyak/lemak cukup banyak. Seperti laporan Abidin et al. (2009) yang mengamati pengaruh suhu dan waktu terhadap prosentase, rata-rata ukuran dan kemurnian kristal yang dihasilkan. Seperti yang diharapkan, prosentase kristal yang terbentuk dari larutan asam dihidroksi stearat (DHSA) meningkat sejalan dengan lama proses dan lebih banyak dihasilkan pada suhu yang lebih rendah. Pada suhu 24, 26 dan 28 oC masing-masing dihasilkan kristal sebanyak 35.8, 28.8, dan 7.3 persen yang diperoleh setelah 12 jam (Gambar 2.8). Untuk setiap peningkatan suhu 2 oC akan menunda masa perkembangan kristal DHSA sekitar 1 jam dan jumlah kristal yang akan diperoleh akan semakin rendah dan terbentuk lebih lambat pada suhu yang lebih tinggi.
Gambar 2.8 Prosentase kristal DHSA pada tiga tingkat suhu kristalisasi (Abidin et al. 2009) Penelitian serupa tentang pengaruh suhu terhadap fraksinasi minyak dilakukan pula oleh Miskandar et al. (2004). Profil kandungan lemak padat campuran minyak sawit utuh dengan fraksi oleinnya pada berbagai suhu (Gambar
20
2.9) mengindikasikan bahwa minyak sawit akan mengalami melting secara perlahan pada kisaran suhu 5–35 oC. Pada suhu 5 oC kandungan lemak padat minyak sawit berada pada kisaran 55.3–59.9 persen dan secara perlahan menurun sejalan dengan peningkatan suhu. Pada suhu 20 oC kisaran kandungan lemak padat minyak sawit berada pada 10.2–15.2 persen dan menjadi cair sempurna pada suhu 35 oC.
Gambar 2.9 Profil kandungan lemak padat campuran minyak sawit dengan fraksi oleinnya sebagai fungsi dari temperatur (Miskandar et al. 2004) Umumnya, jumlah fraksi olein yang dihasilkan akan menurun dan fraksi stearin akan meningkat ketika suhu kristalisasi diturunkan. Sejalan dengan suhu diturunkan, kristal akan terbentuk dan dihasilkan lebih banyak dan fraksi padat akan lebih banyak diperoleh daripada fraksi cairnya. Ramli et al. (2008) melaporkan bahwa olein yang dihasilkan menurun jumlahnya sejalan dengan semakin rendahnya suhu kristalisasi tetapi kandungan asam oleat akan meningkat, sebaliknya jumlah stearin yang dihasilkan akan semakin banyak (Gambar 2.10 dan 2.11). Hal ini berhubungan dengan profil kandungan lemak padat pada slurry. Pada suhu kristalisasi tertinggi, massa kristal yang terbentuk lebih sedikit, bahkan beberapa TAG yang memiliki titik leleh rendah atau sedang belum terkristal sama sekali. Pembentukan kristal terjadi secara ekstensif pada suhu 4 oC seiring dengan mulai terkristalnya TAG yang memiliki titik leleh rendah atau sedang. Oleh karenanya, peningkatan jumlah fase padat minyak yang nyata tercatat pada suhu 4 oC.
21
Gambar 2.10 Minyak sawit tinggi oleat yang dihasilkan dan kandungan lemak padat campuran olein dan stearin pada berbagai suhu fraksinasi (Ramli et al. 2008)
Gambar 2.11 Kandungan lemak padat minyak sawit tinggi oleat dan produkproduk fraksinasinya, (A) fraksi padat, (B) fraksi cair, St = stearin, Ol = olein, angka menunjukkan suhu fraksinasi (Ramli et al. 2008) Percobaan terhadap pengaruh dari laju pendinginan awal pada sifat kristal yang dihasilkan, dilakukan oleh Abidin et al. (2009) dengan membandingkan dua perlakuan, yaitu pendinginan terkontrol dan pendinginan alami dengan suhu awal
22
yang sama yaitu 65 oC. Pada pendinginan terkontrol, pencapaian suhu 24 oC terjadi pada menit ke 200, sedangkan untuk pendinginan alami terjadi pada menit ke 100, setelah itu suhu dipertahankan 24 oC hingga menit ke 750. Pada awalnya, sangat sedikit kristal yang terbentuk untuk kedua model pendinginan, peningkatan yang substansial terjadi pada pendinginan terkontrol yang terlihat setelah jam ke6. Perbedaan nyata terlihat hanya pada awal proses, tetapi sejalan dengan bertambahnya waktu, hasil yang diperoleh hampir sama untuk kedua model pendinginan ini (Gambar 2.12). Demikian pula halnya dengan distribusi ukuran kristal yang dihasilkan, pada jam ke 6 terlihat perbedaan ukuran dan volume kristal yang sangat nyata, tetapi pada jam ke 8, 10 dan 12 perbedaannya sudah tidak signifikan lagi (Gambar 2.13).
Gambar 2.12 Perbandingan jumlah kristal yang dihasilkan dari dua model pendinginan (Abidin et al. 2009) Pengamatan terhadap pengaruh laju penurunan suhu selama pendinginan pada proses fraksinasi, dilakukan oleh Arnaud et al. (2007) dengan membandingkan dua perlakuan pendinginan, yaitu pendinginan cepat dan pendinginan dengan suhu datar. Siklus pendinginan cepat merupakan program yang terdiri dari dua tahap. Pada tahap pertama, sirkulasi air pendinginan dalam dinding ganda reaktor didinginkan pada tingkat 0.9oC/menit hingga mencapai suhu 13 oC. Pada tahap kedua, pendinginan dipertahankan pada tingkat suhu ini selama 380 menit. Program pendinginan yang kedua melibatkan langkah tambahan, yaitu perlakuan suhu datar selama proses pembentukan inti. Air didinginkan pada tingkat/laju 0.9 oC/menit hingga mencapai suhu 25 oC. Selanjutnya, tingkat pendinginan 0.03 oC/menit hingga mencapai suhu 16 oC. Pada tahap akhir, suhu air dikurangi dari 16 oC menjadi 12 oC pada tingkat 0.1 o C/menit dan dipertahankan pada suhu 12 oC selama 110 menit. Pada program pendinginan cepat, kristalisasi dimulai pada suhu 18 oC setelah 80 menit pemrosesan dengan laju pendinginan yang tinggi. Pada program kedua, nukleasi dimulai pada suhu yang lebih tinggi dan setelah waktu proses yang lebih lama (masing-masing, 23 oC dan 110 menit), sehingga laju pendinginan menjadi lebih lambat. Jadi, derajat supercooling (selisih suhu titik leleh minyak, 25.7 oC, dengan
23
interval suhu pembentukan inti, 18 oC) tinggi (7.7 oC) dengan pendinginan cepat tetapi hanya 2.7 oC di bawah regim pendinginan lambat.
Gambar 2.13
Kurva distribusi ukuran kristal untuk pendinginan alami dan terkontrol pada jam ke-6 (a), jam ke-8 (b), jam ke-10 (C) dan jam ke-12 (d) pada suhu 24 oC, median ukuran kristal untuk model terkontrol dan alami masing-masing adalah 167 dan 348 μm (Abidin et al. 2009)
Kristalisasi lemak susu terjadi pada suhu yang lebih tinggi dan setelah waktu proses yang lebih lama ketika didinginkan pada laju pendinginan 0.2 o C/menit dibandingkan jika dilakukan pada laju pendinginan 5 oC/menit (Herrera dan Hartel 2000). Gambar kristal lemak selama fase pembentukan inti dan pada akhir siklus pendinginan di bawah dua program pendinginan Arnaud et al. (2007), memperlihatkan bahwa jumlah inti yang terbentuk berbeda nyata pada kedua regime. Dengan pendinginan cepat, lebih banyak inti yang terbentuk. Supercooling tinggi dari lemak pada titik nukleasi memicu pembentukan dalam jumlah banyak, yang dihasilkan dalam pembentukan magma kristalin pada akhir tahap kristalisasi. Pembentukan inti-inti kristal ini menyebabkan peningkatan yang cepat dalam hal viskositas lemak. Karena adanya sifat kekentalan larutan alami, pengikatan lebih sulit pada molekul-molekul yang paling kurang mobil dan inti sedikit sekali mengalami peningkatan ukuran, selanjutnya akan memfasilitasi pembentukan kristal berukuran kecil (Deffense 1989). Sedikit inti yang terbentuk ketika derajat supercooling rendah diterapkan selama nukleasi, keadaan ini menyokong pembentukan kristal-kristal besar yang mudah memisah. Ukuran kristal rata-rata (yang diukur dengan spectrofotometer) menurun sejalan dengan laju pendinginan (Wang dan Lin 1995). Herrera dan Hartel (2000) menunjukkan
24
kesimpulan yang sama dalam studi mengenai lemak susu menggunakan mikroskop cahaya terpolarisasi. Karakteristik fraksi stearin dan olein yang dihasilkan pada dua program pendinganan Arnaud et al. (2007) diantaranya adalah jumlah stearin yang dihasilkan dari pendingan cepat (26.0 %) lebih tinggi daripada pendinginan dengan suhu datar (14.0 %). Stearinnya juga lebih tidak jenuh dengan bilangan iod lebih tinggi (73.5 berbanding 64.1) dan titik leleh yang lebih rendah (37.8 oC berbanding 45.0 oC). Perbandingan selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.5. Tabel 2.5 Perbandingan jumlah stearin yang dihasilkan; bilangan iod, titik leleh dan viskositas masing-masing fraksi, waktu filtrasi dan kandungan lemak padat stearin pada dua jenis program pendinginan yang diterapkan Rapid cooling Cooling program program with temperature plateau a Stearin yield (%) 26.0 (± 0.8) 14.0 (± 0.8)b a Stearin IV 73.5 (± 0.5) 64.1 (± 0.5)b Olein IV 88.4 (± 0.3)a 88.0 (± 0.3)a Stearin MP (°C) 37.8 (± 1.1)a 45.0 (± 1.1)b a Olein MP (°C) 12.8 (± 0.8) 14.6 (± 0.8)a Viscosity (cps) 500 (± 54)a 147 (± 54)b Filtration time (min) 9.3 (± 0.6)a 3.6 (± 0.6)b a Stearin SFC (%) 25.0 (± 0.8) 45.3 (± 0.8)b Keterangan: IV = bilangan iod; MP = titik leleh; standar deviasi dalam kurung (n = 3) Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama = tidak berbeda nyata pada α = 5% Sumber: Arnaud et al. (2007) Kinetika Kristalisasi Lemak Teknik eksperimen dalam rangka melakukan studi kinetika kristalisasi lemak harus cukup sensitif untuk mendeteksi proses pembentukan inti kristal dan perkembangannya (Cerdeira et al. 2004). Teknik umum yang biasa digunakan dalam analisis model adalah dengan cara memantau perilaku kristalisasi isotermal suatu lemak sebagai fungsi dari waktu menggunakan DSC (Kellens et al. 1990; Toro-Vazquez et al. 2000; Vanhoutte et al. 2002), NMR (Ng and Oh, 1994; Kloek et al. 2000; Wright et al. 2000) dan turbidimetri (Herrera et al. 1999; ToroVazquez et al. 2002; Cerdeira et al. 2003). Kinetika kristalisasi dievaluasi dengan cara mencocokkan model matematika terhadap data hasil percobaan dan parameter-parameter penting yang berhubungan dengan pembentukan inti (nukleasi) dan perkembangannya (kristalisasi). Sejauh ini, ada berbagai model yang telah digunakan untuk mengkarakterisasi kinetika kristalisasi suatu lemak, misalnya Model Gompertz (Kloek et al. 2000; Vanhoutte et al. 2002) atau Model Avrami (Herrera et al. 1999; Foubert et al. 2002). Model Gompertz dilaporkan menghasilkan plot yang cocok untuk kurva-kurva kristalisasi tunggal dan ganda (Kloek et al. 2000; Vanhoutte et al. 2002). Model Avrami hanya cocok untuk digunakan memplot kurva-kurva kristalisasi tunggal (MacNaughtan et al. 2006).
25
Model Avrami dikembangkan pada tahun 1940-an, Marangoni (1998) menuliskan dalam bentuk persamaan: 𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆(𝑡𝑡) = 𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆(∞) [1 − exp(−𝑘𝑘𝑡𝑡 𝑛𝑛 )]............................................ (2.1) Dimana SFC t dan SFC ∞ masing-masing adalah kandungan lemak padat pada waktu t dan kandungan lemak padat maksimum setelah kristalisasi selesai, k adalah konstanta laju kristalisasi pada suhu (T) tertentu sedangkan n menggambarkan mekanisme nukleasi dan perkembangan kristal. Marangoni and Rousseau (1999) menuliskan Model Avrami dalam bentuk persamaan yang agak berbeda: 1 − 𝐹𝐹 = exp(−𝑧𝑧𝑡𝑡 𝑛𝑛 ) ........................................... (2.2)
Ln[-ln(1 – F)] = ln(z) + n[ln(t)] ……………… (2.3)
Dimana F menunjukkan kristalisasi fraksional sebagai fungsi dari waktu kristalisasi isotermal (t), z adalah konstanta laju kristalisasi sedangkan n merupakan indeks Avrami yang menunjukkan mekanisme pertumbuhan kristal. Jika n = 4 berarti mekanisme pertumbuhan kristal berbentuk tiga dimensi, jika n = 3 berarti mekanisme dua dimensi, jika n = 2 pertumbuhan kristal satu dimensi. Nilai n yang tidak bulat menunjukkan perkembangan inti kristal sekunder yang bersifat heterogen. Bentuk asli dari persamaan Model Gompertz seperti yang digunakan untuk menjelaskan perkembangan mikrobial, dapat dituliskan sebagai berikut: Y = A x exp[-exp(B – D x t)] ………………………… (2.4) Dimana Y merupakan logaritma dari ukuran populasi relatif mikroba dan A adalah ukuran populasi mikroba maksimal. Model Gompertz yang lain ditulis oleh Zwietering et al. (1990) dan telah diadopsi untuk kristalisasi lemak oleh Kloek et al. (1998) seperti pada persamaan (2.5). ….........……… (2.5) Parameter S max2 dihubungkan dengan persentase kandungan lemak padat akhir yang terukur oleh pNMR atau panas kristalisasi total (J/g) yang terukur oleh DSC. Parameter µ 2 (J/g/menit atau %/menit) berkaitan dengan laju pertumbuhan kristal, sedangkan λ 2 (menit) adalah waktu induksi kristalisasi. Sebagai ilustrasi, dalam menentukan parameter-parameter ini, dapat dilihat pada Gambar 2.14.
Gambar 2.14 Ilustrasi penentuan parameter dalam Model Gompertz (Kloek et al. 1998)
26
Penggunaan model ini untuk menerangkan mekanisme kristalisasi lemak diadopsi atas dasar pertimbangan bahwa pertumbuhan mikroba bersifat analog dengan perkembangan inti kristal pada proses kristalisasi lemak. Produksi bakteri sebanding dengan proses nukleasi dan pertumbuhan kristal, konsumsi nutrien sebanding dengan penurunan jumlah supersaturation (Kloek et al. 2000; Vanhoutte et al. 2002). Untuk mendapatkan titik infleksi (pada t = ti) dalam kurva, maka digunakan nilai turunan kedua dari fungsi, pada kondisi t diatur bernilai nol (d2y/dt; t = 0), sehingga dihasilkan: t i = B/D ……………………………………. (2.6) Persamaan untuk laju pertumbuhan spesifik maksimum dapat diturunkan dengan cara menghitung nilai turunan pertama pada titik infleksi tertentu, sehingga: 𝜇𝜇 =
𝐴𝐴−𝐷𝐷 𝑒𝑒
𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑒𝑒 𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏 2.718281.................................... (2.7) μxe
Parameter D selanjutnya dapat disubstitusi dengan selanjutnya untuk A mendapatkan persamaan bagi waktu tunggu (lag time), garis tangen melalui titik infleksi tersebut dihitung dan intersep dengan aksis-t dideduksi sebagai:
Parameter B dapat disubstitusi dengan:
𝜇𝜇 𝑥𝑥 𝑒𝑒 𝐴𝐴
𝜆𝜆 =
𝐵𝐵− 1
𝜆𝜆 + 1
𝐷𝐷
............................................... (2.8)
Nilai a G sebanding dengan nilai A karena nilai Y akan mendekati A saat t mendekati tak berhingga. Parameter A dapat disubstitusi dengan a G , menghasilkan persamaan Gompertz yang telah diparameterisasi ulang seperti yang dituliskan Kloek et al. (2000) dan Vanhoutte et al. (2002), sebagai berikut: ..................................... (2.9) Model tersebut disajikan oleh Chaleepa et al. (2010) sebagai berikut: 𝐹𝐹(𝑡𝑡) = 𝐴𝐴𝑒𝑒 −𝑒𝑒
(�𝜇𝜇
𝑒𝑒(𝜏𝜏−𝑡𝑡) �+1) 𝐴𝐴
.....……………… (2.10)
Dimana F(t) adalah persen relatif fraksi padat yang terkristalisasi pada waktu t, A adalah fraksi padat maksimum dalam persen, µ adalah laju peningkatan kristalisasi maksimum (nilai tangen titik infleksi dari kurva kristalisasi) dan τ adalah waktu induksi (nilai intersep dari tangen pada titik infleksi dengan sumbu x yang berupa waktu). Nilai F(t) dihitung dengan mengintegrasikan puncak kristalisasi isotermal menurut persamaan yang telah dipakai oleh Chaleeva et al. (2010) yang nilainya sama dengan persen perbandingan nilai SFC di suatu waktu dengan SFC total, sebagai berikut: ∆𝐻𝐻𝑡𝑡
𝐹𝐹(𝑡𝑡) = ∆𝐻𝐻
𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡
𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑡𝑡
𝑥𝑥100 = 𝐹𝐹(𝑡𝑡) = 𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆
𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡
𝑥𝑥100 ………..…. (2.11)
Dimana ∆Ht adalah luas daerah parsial dibawah puncak kristalisasi DSC pada waktu t dan∆H total adalah luas daerah total di bawah kurva kristalisasi. Fraksi pada komulatif diplotkan dengan waktu. Waktu induksi pembentukan inti
27
dan laju pertumbuhan kristalisasi maksimum dapat diperoleh dengan cara mencocokkan data hasil pengamatan dengan model Gompertz. Filtrasi Fraksi Padat-Cair Hasil Fraksinasi Triasilgliserol padat yang diinginkan dalam bentuk kristal perlu dipisahkan dari triasilgliserol yang cair pada suhu kristalisasi dalam rangka melengkapi proses fraksinasi. Triasilgliserol cair ini terdistribusi dalam tiga lokasi, yaitu: (1) dalam larutan padat dengan triasilgliserol padat, (2) dalam minyak utuh yang tidak terkristalkan, dan (3) dalam minyak yang tak terkristalkan yang secara fisik terjerap dalam kristal (Timms 2005). Tingkat dan jenis larutan padat yang terbentuk terutama ditentukan oleh tingkah laku dasar fase dari lemak yang mengkristal, walaupun derajat supercooling yang tinggi akan cenderung meningkatkan tingkat pembentukan larutan padat. Meskipun dapat dicapai, sekali larutan padat terbentuk dalam bentuk kristal, tahap pemisahan tidak akan merubah komposisi dari fase padat kristalnya (Kellens et al. 2007; Timms 2005). Minyak utuh yang tidak terkristalkan relatif lebih mudah dipisahkan dari kristal tetapi perlu diperhatikan bahwa beberapa minyak cair akan selalu tetap berada di lapisan permukaan. Retensi (tahanan) minyak permukaan sebanding dengan luas permukaan total dari kristal, yang tergantung pada ukuran dan bentuk, semakin kecil kristal semakin besar luas permukaannya. Minyak yang terjerap lebih sulit untuk dipisahkan. Tahap pemisahan harus mempertimbangkan masalah pengurangan tingkat minyak terjerap dalam fraksi padat akhir. Tiga metode yang dapat dikembangkan untuk mencapai ini adalah sentrifugasi, filtrasi vakum dan pengempaan (Kellens et al. 2007; Timms 1997; Timms 2005). Pemisahan fase olein dan stearin hasil fraksinasi kering dapat dilakukan secara langsung menggunakan press dan filtrasi. Efisiensi pemisahan pada fraksinasi kering sangat ditentukan oleh kualitas kristalisasinya: alat pemisah terbaik sekali pun tidak akan sempurna memisahkan kedua fraksi (olein dan stearin) pada kristal yang buruk. Metode pendinginan adalah hal yang paling penting dalam menjaga pembentukan inti dan pembesarannya; kontrol yang sempurna akan menghasilkan kristalisasi yang lebih selektif dalam artian kokristal. Tetapi, pada beberapa kondisi operatif, pertambahan besar kristal dapat menjerap cairan dalam partikel padat; fenomena ini menjadi kritis pada sistem dengan viskositas tinggi (Weber et al. 1998). Kristalisasi yang dilakukan secara hati-hati akan menghasilkan jumlah olein yang terperangkap secara fisik pada kristal relatif rendah dan pemerasan dengan tekanan 5-10 bar (pneumatic design) saja telah dapat menghasilkan pemisahan dengan baik. Olein secara normal tidak dipengaruhi oleh tekanan filtrasi, kecuali stearin yang melewati filter penyaring. Hal ini dapat terjadi jika ukuran dan ketebalan kristal tidak cukup besar; ketidaksempurnaan kristalisasi adalah alasannya. Akan tetapi, beberapa minyak menghasilkan kristal yang lemah, apapun cara penanganan selama fase kristalisasi; kristal pecah dan akan mencair selama pengepresan. Untuk kasus seperti ini, dianjurkan untuk melakukan proses pengepresan dengan tekanan rendah (Weber et al. 1998).