18
TINJAUAN PUSTAKA Minyak Inti Sawit Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) termasuk ke dalam famili Arecaceae dan subkelas Monocotyledoneae. Dari buah sawit yang dihasilkan oleh tanaman ini dihasilkan dua jenis minyak sawit yaitu minyak sawit kasar atau crude palm oil (CPO) dan minyak inti sawit atau palm kernel oil (PKO). Minyak sawit kasar atau CPO berupa minyak yang agak kental berwarna kuning jingga kemerah-merahan. CPO mengandung asam lemak bebas (FFA) 5% dan mengandung banyak β-carotene atau pro vitamin A (800-900 ppm). Titik leleh berkisar antara 33-34 °C. Minyak inti kelapa sawit berupa minyak putih kekuning-kuningan yang diperoleh dari proses ekstraksi inti buah kelapa sawit. Kandungan asam lemak bebasnya sekitar 5 % (http://www.agroindonesia.com/ sample_report/small.html). Sifat fisik dan karakteristik minyak inti sawit dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Karakteristik minyak inti sawit Sifat Fisik dan Kimia Berat jenis (99o/15,5 o C) Indeks bias (40o C) Bilangan iod (g Iod/100 g) Bilangan penyabunan (mg KOH/g contoh) Bahan tak tersabunkan (% b/b) Titik leleh (o C)
Minyak Inti Sawit 0,860 – 0,873 1,449 – 1,452 14 – 22 245 – 255 ≤ 0,8 24 – 26
Sumber : Swern (1979)
Baik minyak sawit kasar maupun minyak inti sawit mengandung asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh. Minyak sawit kasar mengandung asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh dengan persentase yang hampir sama. Asam palmitat (46,6%) dan asam oleat (39,3%) merupakan asam lemak yang dominan yang terkandung dalam minyak sawit kasar, sedangkan kandungan asam lemak stearatnya sedikit (4,1%). Minyak inti sawit mempunyai kandungan asam lemak tidak jenuh sekitar 21% dan asam lemak jenuh sekitar 79%. Minyak inti sawit dominan mengandung asam laurat (50%) dan asam miristat (15%), sedangkan
19
kandungan asam palmitat dan asam stearat masing-masing hanya sekitar 7% dan 2% (Matheson, 1996a).
Sebagai perbandingan, komposisi asam lemak yang
terdapat di dalam minyak sawit kasar (CPO) dan minyak inti sawit (PKO) dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Komposisi asam lemak minyak inti sawit (PKO) dan minyak sawit kasar (CPO) Asam Lemak Asam Lemak Jenuh : Kaproat (C6) [CH3(CH2)4COOH] Kaprilat (C8) [CH3(CH2)6COOH] Kaprat (C10) [CH3(CH2)8COOH] Laurat (C12) [CH3(CH2)10COOH] Miristat (C14) [CH3(CH2)12COOH] Palmitat (C16) [CH3(CH2)14COOH] Stearat (C18) [CH3(CH2)16COOH] Arakhidat (C20) [CH3(CH2)18COOH] Asam Lemak Tak Jenuh : Oleat (C18:1) [CH3(CH2)7CH=CH(CH2)7COOH] Palmitoleat (C16:1) [CH3(CH2)5CH=CH(CH2)7COOH] Linoleat (C18:2) [CH3(CH2)4CH=CHCH2CH=CH(CH2)7 COOH] Linolenat (C18:3) CH3CH2CH=CHCH2CH=CHCH2 CH=CH (CH2)7COOH
PKO (%)
CPO (%)
0,1 – 1,5 3–5 3–7 40 – 52 14 – 18 7–9 1–3 0,1 – 1
< 1,2 0,5 – 5,9 32 – 59 1,5 – 8 < 1,0
11 – 19 0,1 – 1 0,5 – 2
27 – 52 < 0,6 5,0 – 14 < 1,5
Sumber : Salunkhe et al. (1992)
Metil Ester Berdasarkan proses pembuatannya, oleokimia dapat digolongkan menjadi dua kelompok, yaitu oleokimia dasar yang terdiri dari asam lemak, gliserin, metil ester, alkohol lemak (fatty alcohol) dan oleokimia turunan yang merupakan pengolahan lebih lanjut dari oleokimia dasar, seperti metallic soap (stabilizer), alkohol sulfat, alkanolamida dan metil ester sulfonat (MES) (Libanan, 2002). Selanjutnya menurut Matheson (1996a), metil ester merupakan produk antara yang dapat digunakan sebagai bahan baku surfaktan yang berasal dari minyak dan lemak selain asam lemak (fatty acid) dan alkohol lemak (fatty alcohol). Metil ester dapat dihasilkan dengan dua cara yaitu : (1) esterifikasi asam lemak dan (2) transesterifikasi trigliserida.
Menurut Hui (1996), esterifikasi
adalah reaksi antara asam lemak dengan alkohol dengan bantuan katalis untuk
20
membentuk ester. Reaksi tersebut ditunjukkan pada Gambar 1. RCOOH Asam lemak
+
R’OH Alkohol
RCOOR’ + H2O Ester
Air
Gambar 1. Reaksi esterifikasi asam lemak (Hui, 1996) Selanjutnya menurut Hui (1996), transesterifikasi adalah penggantian gugus alkohol dari suatu ester dengan alkohol lainnya dalam suatu proses yang menyerupai hidrolisis, dalam hal ini alkohol menggantikan air.
Reaksi
transesterifikasi memisahkan ester dari alkohol. Reaksi ini biasa disebut juga alkoholisis dan ditunjukkan dalam Gambar 2. RCOOR’ + R’’OH Ester
Alkohol
RCOOR’’ + R’OH Ester
Alkohol
Gambar 2. Reaksi transesterifikasi (Hui, 1996) Proses transesterifikasi minyak nabati dan lemak hewani merupakan proses yang efektif untuk mentransformasi molekul trigliserida menjadi molekul asam lemak. Transesterifikasi meliputi reaksi antara alkohol dan molekul trigliserida dengan adanya katalis basa atau asam (Matheson, 1996a).
Pada Gambar 3
disajikan reaksi alkoholisis antara minyak atau lemak dengan metanol yang menghasilkan metil ester. O ║ R1 ⎯ C ⎯ OCH2
HOCH2
O ║ R1 ⎯ C ⎯ OCH + 3 CH3OH
O ║ HOCH + 3 R ⎯ C ⎯ OCH3
O ║ R1 ⎯ C ⎯ OCH2
HOCH2
Trigliserida
Metanol
Gliserin
Metil ester
Gambar 3. Reaksi pembentukan metil ester (Matheson, 1996a)
21
Definisi metil ester menurut SNI (1999) adalah ester lemak yang dibuat melalui proses esterifikasi asam lemak dengan metil alkohol dan produknya berbentuk cairan. Syarat mutu metil ester berdasarkan kualitas metil ester yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Syarat mutu metil ester (SNI, 1999) No
Jenis Uji
1.
Komposisi asam lemak, % b/b C6 C8 C10 C12 C14 C16 C18 C20 Bilangan asam
2. 3. 4. 5. 6.
7.
Bilangan penyabunan Bilangan iod Kadar air, % b/b Warna (lovibond) • Merah • Kuning Bahan yang tak tersabunkan, % b/b
Satuan
mg KOH/g contoh mg KOH/g contoh g Iod/100 g -
Persyaratan berdasarkan kualitas ME 1 ME 2 ME 3 maks. 6 45 – 65 30 – 55 maks. 0,5 maks. 0,5 maks. 0,5
maks. 1,0 maks. 1,0 47 - 57 15 - 19 8 - 11 18 - 25 maks. 0,5 maks. 0,5
maks. 1,0 maks. 1,0 52 - 58 19 - 23 9 - 13 10 - 15 maks. 0,5 maks. 0,5
325 - 345
225 – 245
235 – 245
maks. 0,5 maks. 0,1
16 – 20 maks. 0,1
8 – 13 maks. 0,1
-
maks. 0,5 maks. 5
maks. 0,5 maks. 5
maks. 0,5 maks. 5
-
maks. 0,5
maks. 0,5
maks. 0,5
Surfaktan Surfaktan banyak dimanfaatkan dan digunakan secara luas dalam berbagai produk yang diaplikasikan pada berbagai industri dan rumah tangga karena kemampuannya dalam mempengaruhi tegangan permukaan dan tegangan antarmuka suatu medium. Definisi surfaktan menurut IUPAC (1997) adalah suatu zat yang mempunyai kemampuan untuk menurunkan tegangan permukaan (surface tension) suatu medium dan menurunkan tegangan antarmuka (interfacial tension) antar dua fasa yang sama tetapi berbeda derajat polaritasnya dalam suatu medium yaitu dengan cara melarutkan surfaktan ke dalam medium tersebut. Menurut Perkins (1988), pengertian antarmuka (interface) adalah bidang kontak
22
antara dua senyawa dalam fasa yang sama, sedangkan permukaan (surface) adalah jika antarmuka antara dua senyawa tidak dalam fasa yang sama. Selanjutnya Perkins (1988) menambahkan tegangan permukaan dari suatu cairan adalah tekanan internal di bawah permukaan cairan yang disebabkan oleh gaya tarik-menarik antar molekul cairan itu sendiri. Gaya tarik menarik tersebut menimbulkan tekanan dari dalam cairan melawan tekanan dari atas permukaan cairan, sehingga cairan tersebut cenderung untuk membentuk lapisan antarmuka dengan zat yang lain. Surfaktan dapat mempengaruhi kemampuan dari molekul cairan tersebut agar dapat berinteraksi dengan zat yang lain dengan cara menurunkan tegangan permukaannya. Surfaktan merupakan molekul amphifilik yang memiliki dua gugus yaitu polar dan nonpolar. Gugus nonpolar bersifat hidrophobik (tidak suka air) dan mengandung rantai hidrokarbon dengan gugus alkil atau alkilbenzena. Gugus polar bersifat hidrofilik (suka air) dan mengandung heteroatom seperti O, S, P atau N yang terikat dalam gugus fungsional seperti alkohol, tiol, eter, ester, asam, sulfat, sulfonat, fosfat, amina, amida, dan lain sebagainya (Salager, 2002). Surfaktan diklasifikasikan menjadi empat kelompok besar berdasarkan muatan ion gugus hidrofiliknya (setelah terdiosiasi dalam media cair), yaitu : (1) anionik: gugus hidrofiliknya bermuatan negatif, (2) kationik: gugus hidrofiliknya bermuatan positif, (3) nonionik: gugus hidrofiliknya hampir tidak bermuatan, dan (4) amfoterik: molekul pada gugus hidrofiliknya bermuatan positif dan negatif, tergantung pH medium (Perkins, 1988).
Pada Gambar 4 disajikan struktur
molekul surfaktan, sedangkan pada Gambar 5 disajikan molekul surfaktan dalam suatu sistem emulsi. Gugus hidrofobik
Gugus hidrofilik
Gambar 4. Struktur molekul surfaktan (http://simscience.org/membranes/advanced/essay/surfactants.html)
23
Air
Air
Minyak
Minyak
(a)
(b)
Gambar 5. Molekul surfaktan dalam sistem emulsi (a) oil in water (o/w) (b) water in oil (w/o) (http://simscience.org/membranes/advanced/essay/surfactants.html) Surfaktan anionik terdisosiasi di dalam air menjadi gugus anion yang bermuatan negatif dan gugus kation yang bermuatan postif. Gugus kationnya secara umum adalah logam alkali (Na+, K+). Contoh surfaktan anionik adalah natrium lauril eter sulfat, natrium lauril sulfat, dan senyawa amonium. Surfaktan kationik terdisosiasi di dalam air menjadi gugus kation yang bermuatan positif dan gugus anion yang bermuatan negatif.
Umumnya gugus anion adalah
golongan halogen. Contoh surfaktan jenis ini adalah olealkonium klorida, distearildimonium klorida, dan isostearil etildimonium etosulfat.
Surfaktan
nonionik tidak terdisosiasi dalam cairan encer, karena gugus hidrofiliknya dari jenis yang tidak dapat terdisosiasi seperti gugus alkohol, phenol, eter, ester atau amina. Contoh surfaktan nonionik adalah poliglikol ester. Surfaktan amfoterik dalam media cair terdisosiasi menjadi gugus anionik dan kationik pada molekul surfaktan yang sama. Contoh surfaktan amfoterik dari jenis sintetis adalah betain dan sulfobetain, sedangkan dari jenis alami adalah asam-asam amino dan fosfolipid (Salager, 2002). Kelompok dan model surfaktan dapat dilihat pada Gambar 6. Diantara kelompok surfaktan, surfaktan anionik diproduksi dalam jumlah yang lebih besar. Karakteristiknya yang hidrofilik disebabkan karena adanya gugus ionik yang cukup besar, yang biasanya berupa grup sulfat atau sulfonat. Beberapa contoh surfaktan anionik yaitu alkilbenzen sulfonat linear (LAS), alkohol sulfat (AS), alkohol eter sulfat (AES), alfa olefin sulfonat (AOS), parafin (secondary alkane sulfonate, SAS), dan metil ester sulfonat (MES) (Matheson, 1996b).
24
Kelompok Surfaktan ionik
Model
Anionik Kationik Amfoterik
Surfaktan nonionik : Gugus hidrofobik
: Gugus hidrofilik
Sumber : (http://www.sdk.co.jp/shodex/english/dc080301.htm)
Gambar 6. Kelompok dan model surfaktan Surfaktan secara umum digunakan untuk menurukan tegangan antarmuka, meningkatkan kestabilan partikel yang terdispersi dan mengontrol jenis formasi emulsi. Selain itu surfaktan akan terserap ke dalam permukaan partikel minyak atau air sebagai penghalang yang akan mengurangi atau menghambat penggabungan partikel yang terdispersi.
Pada beberapa industri, surfaktan
digunakan sebagai komponen bahan adhesif, pembasah, pembusa, pengemulsi, atau bahan penetrasi (Georgiou et al., 1992; Rieger, 1985).
Metil Ester Sulfonat Metil ester sulfonat (MES) merupakan golongan surfaktan anionik. Bagian aktif permukaan (surface-active) surfaktan MES mengandung gugus sulfonat. Formula umum surfaktan MES adalah RSO3Na, dimana gugus R merupakan grup hidrokarbon yang dapat didegradasi pada struktur molekul surfaktan. Grup hidrokarbon R berupa alkil dan produk tersebut dapat dicampur secara acak dengan isomer lainnya selama isomer tersebut tidak mengandung rantai bercabang yang dapat mengganggu sifat biodegradable gugus sulfonat (Watkins, 2001). Struktur kimia metil ester sulfonat (MES) dapat dilihat pada Gambar 7. O ║ R—CH—C—OCH3 │ SO3Na Gambar 7. Struktur kimia metil ester sulfonat (Watkins, 2001)
25
Menurut Watkins (2001), jenis minyak yang dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan metil ester sulfonat (MES) adalah kelompok minyak nabati seperti minyak kelapa, minyak sawit, minyak inti sawit, stearin sawit, minyak kedelai, atau tallow.
Selanjutnya menurut Matheson (1996b), MES berbahan
minyak nabati memiliki kinerja yang sangat menarik,
diantaranya adalah
karakteristik dispersi dan sifat detergensi yang baik terutama pada air dengan tingkat kesadahan yang tinggi (hard water), tidak mengandung ion fosfat, ester asam lemak C14, C16 dan C18 memberikan tingkat detergensi terbaik, serta bersifat mudah didegradasi (good biodegradability). Metil ester sulfonat (MES) yang berbentuk concentrated pasta, solid flake, atau granula telah mulai dimanfaatkan sebagai bahan aktif pada produk-produk pembersih (washing and cleaning products). MES dari minyak nabati yang mengandung atom karbon C10, C12 dan C14 biasa digunakan untuk light duty dishwashing detergent, sedangkan MES dari minyak nabati dengan atom karbon C16-18 dan tallow biasa digunakan untuk deterjen bubuk dan deterjen cair (liquid laundry detergent) (Matheson, 1996b).
Karakteristik dari MES komersial
disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Karakteristik MES komersial Analisa Metil ester sulfonat (MES) (%)a Disodium karboksi sulfonat (%)a Metanol (%)a Air (%)a pHa Tegangan permukaan (mN/m)b Tegangan antar muka (mN/m)b Klett color, 5 % aktifa Di-metil sulfat (%)a
Nilai 83,0 3,5 0,07 2,3 5,3 39 – 40,2 8,4 – 9,7 310 7,2
Sumber : aSheats dan MacArthur, (2002), b Pore (1993)
Proses Produksi Surfaktan MES Minyak sawit yang sebagian besar terdiri dari gugus asam oleat dan palmitat merupakan sumber bahan baku potensial untuk memproduksi surfaktan anionik jenis ester sulfonat. Pembuatan ester sulfonat ini dapat dilakukan melalui proses
26
sulfonasi metil ester asam lemak minyak sawit atau inti sawit menghasilkan metil ester sulfonat tanpa melalui reaksi sementara (Hermawan dan Sadi, 1997). Umumnya surfaktan dapat disintesis dari minyak nabati melalui senyawa antara metil ester dan alkohol lemak (fatty alcohol). Beberapa proses yang dapat diterapkan untuk menghasilkan surfaktan, diantaranya yaitu proses sukrolisis untuk menghasilkan surfaktan sukrosa ester, proses amidasi untuk menghasilkan surfaktan alkanolamida, dan proses sulfonasi untuk menghasilkan surfaktan metil ester sulfonat (Sadi, 1994; Libanan, 2002). Proses sulfonasi menghasilkan produk turunan yang terbentuk melalui reaksi kelompok sulfat dengan minyak, asam lemak dan alkohol lemak. Diistilahkan sebagai sulfonasi karena proses ini melibatkan penambahan grup sulfat pada senyawa organik.
Jenis minyak yang biasa disulfonasi adalah minyak yang
mengandung ikatan rangkap ataupun grup hidroksil pada molekulnya.
Pada
industri surfaktan, bahan baku minyak yang digunakan adalah minyak berwujud cair yang kaya akan ikatan rangkap (Bernardini, 1983). Proses sulfonasi dapat dilakukan dengan mereaksikan asam sulfat, sulfit, NaHSO3, atau gas SO3 dengan ester asam lemak (Bernardini, 1983; Watkins, 2001). Menurut Foster (1996), proses sulfonasi menggunakan SO3 dilakukan dengan melarutkan SO3 secara langsung dengan udara yang sangat kering dan direaksikan secara langsung dengan bahan baku organik yang digunakan. Sumber gas SO3 yang digunakan dapat berbentuk SO3 cair ataupun SO3 yang diproduksi dari hasil pembakaran sulfur. Reaksi gas SO3 dengan bahan organik cukup cepat dan bersifat stokiometrik. Proses ini cukup rumit pada berbagai kemungkinan reaksi sehingga diperlukan kontrol proses yang ketat.
Proses sulfonasi
menggunakan gas SO3 memiliki biaya proses yang paling rendah dibandingkan dengan menggunakan bahan lainnya pada proses sulfonasi dan menghasilkan produk dengan kualitas yang tinggi. Namun hanya sesuai untuk proses yang bersifat kontinyu dengan volume produksi yang besar, selain itu dibutuhkan peralatan produksi yang mahal dengan tingkat ketepatan yang tinggi, dan disyaratkan personel pengoperasian yang terlatih. Pemilihan proses sulfonasi tergantung pada banyak faktor, diantaranya adalah : karakteristik dan kualitas produk akhir yang diinginkan, kapasitas
27
produksi yang disyaratkan, biaya bahan kimia, biaya peralatan proses, sistem pengamanan yang diperlukan, dan biaya pembuangan limbah hasil proses. Untuk menghasilkan kualitas produk terbaik, beberapa perlakuan penting yang harus dipertimbangkan adalah rasio molar reaktan, suhu reaksi, lama reaksi, jenis dan konsentrasi katalis, laju alir bahan, kecepatan pengadukan, konsentrasi grup sulfat yang ditambahkan (SO3, NaHSO3, asam sulfit), waktu netralisasi, pH dan suhu netralisasi (Foster, 1996). Reaksi sulfonasi molekul asam lemak dapat terjadi pada tiga sisi, yaitu (1) rantai tidak jenuh (ikatan rangkap), (2) bagian α-atom karbon, (3) gugus karboksil. Kemungkinan terikatnya grup sulfat disajikan pada Gambar 8.
H
H
H
C
C
H
H m
H CH
CH
C
O CH2
C
H n 1
OH 2
3
Gambar 8. Kemungkinan terikatnya grup sulfat yang digunakan dalam proses sulfonasi (Jungermann, 1979) Proses sulfonasi dapat juga dikatakan sebagai proses oksidasi. Proses sulfonasi dengan menggunakan senyawa bisulfit sangat menguntungkan karena senyawa bisulfit merupakan sulfometil agen. Natrium bisulfit (NaHSO3) merupakan sulfur padat yang mengandung gugus natrium. Natrium bisulfit tidak bersifat racun meskipun serbuknya dapat menyebabkan iritasi mata dan juga menyesakkan bila terhirup. Natrium bisulfit harus disimpan dalam kondisi sejuk, bersih, di tempat kering dan harus dijauhkan dari bahan-bahan yang bersifat korosif. Dengan penggunaan natrium bisulfit, maka produk MES yang dihasilkan telah berikatan dengan gugus natrium tanpa perlu dilakukan proses netralisasi terlebih dahulu, sehingga penggunaan natrium bisulfit dapat mempersingkat waktu proses pembentukan MES walaupun masih menghasilkan di-salt sebagai produk samping dari reaksi. Reaksi yang terjadi pada proses sulfonasi dengan menggunakan natrium bisulfit dapat dilihat pada Gambar 9.
28
O
O NaHSO3
+
CH3...CH=CH – C – OCH3
CH3...CH2 – CH – C – OCH3 SO3Na
Natrium bisulfit
Metil ester
MES
Gambar 9. Reaksi kimia antara metil ester dan natrium bisulfit untuk menghasilkan metil ester sulfonat (Pore, 1993). Terbentuknya di-salt atau disodium karboksi sulfat sebagai produk samping pada proses sulfonasi dapat menghasilkan krakteristik MES yang kurang baik seperti sensitif terhadap air sadah, menurun daya kelarutannya dalam air dingin, daya deterjensi menjadi 50 persen lebih rendah, dan umur simpan produk menjadi lebih singkat. Selain itu keberadaan di-salt ini dapat menyebabkan sifat aktif permukaan surfaktan menjadi lebih rendah (Swern, 1979). Proses terbentuknya dinatrium karboksi sulfonat (di-salt) pada saat proses netralisasi disajikan pada Gambar 10. O
O CH3..CH–CH2–C–OCH3
+ NaOH
SO3H
SO3Na Basa
+ NaOH
Air
CH3..CH–CH2–C–ONa + CH3OH SO3Na
SO3Na Metil ester sulfonat
Metil ester sulfonat
(I)
O
O CH3..CH–CH2–C–OCH3
CH3..CH–CH2–C–OCH3 + H2O
Basa
Dinatrium karboksi sulfonat (di-salt)
(II) Metanol
Gambar 10. Reaksi kimia pembentukan di-salt dan metanol (MacArthur et al., 2002)
29
Lama Reaksi Pembentukan produk dari pereaksi berhubungan dengan lama reaksi. Setiap reaksi kimia membutuhkan waktu yang berbeda dalam menyelesaikan reaksi sampai menghasilkan produk. Lama reaksi dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain karakteristik pereaksi dan produk serta kondisi reaksi yang dijalankan. Secara umum semakin lama waktu interaksi antar pereaksi maka akan menghasilkan produk yang semakin banyak, namun akan konstan pada suatu waktu tertentu. Interaksi antar pereaksi pada suatu reaksi kimia dapat dilakukan dengan cara perataan pereaksi melalui pengadukan (Ebbing dan Wrighton, 1990). Maharlika (2003) melakukan penelitian untuk melihat pengaruh kondisi rasio mol reaktan dan lama reaksi terhadap produksi surfaktan metil ester sulfonat (MES). Proses sulfonasi dilakukan pada skala laboratorium (100 ml), dengan menggunakan reaktor untuk mereaksikan metil ester minyak sawit sebagai bahan baku utama dengan natrium bisulfit. Proses produksi surfaktan dalam penelitian tersebut dilakukan secara batch, dengan mencampurkan bahan baku, pereaksi dan katalis secara langsung dalam reaktor. Setelah suhu metil ester mencapai 40 oC, natrium bisulfit dimasukkan ke dalam reaktor. Katalis Al2O3 dimasukan sesaat setelah natrium bisulfit selesai dimasukan ke dalam reaktor. ditambahkan sebanyak 1 persen (b/b).
Katalis yang
Selama proses sulfonasi berlangsung,
kecepatan pengadukan dan suhu reaksi dipertahankan stabil pada 400 rpm dengan suhu 80 oC. Kondisi proses sulfonasi yang memberikan pengaruh terbaik dari rasio mol reaktan dan lama reaksi adalah rasio mol 1 : 1,5 dengan lama reaksi 4,5 jam. Hambali et al.(2003) telah melakukan kajian pengaruh suhu dan kecepatan pada proses produksi surfaktan MES dari metil ester berbasis minyak inti sawit. Proses sulfonasi dilakukan dengan menambahkan NaHSO3 dan katalis Al2O3 sebanyak 1% ke dalam metil ester. Perbandingan metil ester dengan NaHSO3 yang ditambahkan adalah 1 : 1,2 mol. Proses berlangsung selama 3 jam. Kondisi yang memberikan pengaruh terbaik pada proses sulfonasi untuk memproduksi surfaktan metil ester sulfonat (MES) ditinjau dari suhu dan kecepatan pengadukan adalah pada suhu 100oC dengan kecepatan pengadukan 500 rpm.
30
Penelitian untuk melihat pengaruh konsentrasi katalis Al2O3 pada proses produksi metil ester sulfonat dari metil ester dominan oleat minyak inti sawit telah dilakukan oleh Safitri (2003). Proses sulfonasi dilakukan dengan menambahkan NaHSO3 dengan perbandingan metil ester dan NaHSO3 adalah 1 : 1,2. Kondisi proses ditetapkan pada suhu 80 0C, kecepatan pengadukan 400 rpm, dan lama proses selama tiga jam. Proses sulfonasi yang memberikan pengaruh terbaik didapatkan pada penggunaan katalis Al2O3 dengan konsentrasi 1,5 %. Suryani et al. (2003) telah melakukan optimasi proses produksi MES dari metil ester minyak inti sawit baik sebelum maupun sesudah proses pemurnian MES. Kondisi terbaik untuk proses sulfonasi sebelum pemurnian diperoleh pada perlakuan dengan kecepatan agitasi 300 rpm dan lama reaksi 5 jam. Titik optimasi terbaik untuk proses sulfonasi dan pemurnian MES dengan menggunakan metanol terjadi pada perlakuan kecepatan agitasi 300 rpm, lama reaksi 4,6 jam, dan penambahan metanol sebanyak 50%. Data hasil pengujian produk surfaktan MES yang dilakukan oleh beberapa peneliti disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Data hasil pengujian surfaktan MES yang diproduksi pada berbagai kondisi proses Kondisi Proses a)
Parameter
- pH - Tingkat kecerahan warna (L) - Penuruan tegangan permukaan (mN/m) - Penurunan tegangan antar muka (mN/m) - Stabilitas emulsi (menit) - Lama pembusaan (jam)
Bahan baku : Metil ester berbasis PKO Katalis : Al2O3 1% Pereaksi : NaHSO3 Rasio mol : 1 : 1,2 Suhu : 100oC Kec. pengadukan : 500 rpm Lama proses : 3 jam
b)
Bahan baku : Metil ester berbasis PKO Katalis : Al2O3 1,5% Pereaksi : NaHSO3 Rasio mol : 1 : 1,5 Suhu : 80oC Kec. pengadukan : 400 rpm Lama proses : 3 jam
c)
Bahan baku : Metil ester berbasis PKO Katalis : Al2O3 1,5% Pereaksi : NaHSO3 Rasio mol : 1 : 1,5 Suhu : 80oC Kec. pengadukan : 400 rpm Lama proses : 4,5 jam
4,7 57,72
4,1 56,91
4,67 50,86
34,9
40,30
36,16
34,4
2,1
34,75
9
5,3
4,25
14,3
-
-
Sumber : a)Hambali et al.(2003); b)Safitri (2003); c)Maharlika (2003)
31
Pengadukan Pengadukan merupakan salah satu operasi proses yang banyak digunakan secara luas dalam kegiatan produksi pada industri kimia, pangan, farmasi, dan lain sebagainya.
Pengadukan dapat dilakukan di dalam tangki berpengaduk.
Pengadukan dalam proses produksi bertujuan untuk mendapatkan homogenitas pencampuran yang tinggi, dengan waktu pencampuran yang singkat dan konsumsi energi yang rendah. Faktor yang harus diperhatikan pada proses pengadukan adalah : (1) sifat bahan yang akan dicampur, meliputi sifat fisik, kimia, biologis, maupun sifat reologi fluida; (2) faktor peralatan, seperti bentuk, ukuran tangki dan pengaduk; dan (3) kondisi pengadukan (Tatterson, 1991). Menurut Perry dan Green (1985), faktor yang perlu diperhatikan dalam memilih peralatan pengadukan adalah : 1) kebutuhan proses; 2) sifat aliran fluida; 3) konstruksi bahan yang dibutuhkan; dan 4) harga peralatan. Idealnya peralatan pengadukan yang dipilih mampu memenuhi semua kebutuhan proses yang diinginkan dan dengan total biaya peralatan yang paling rendah. Total biaya peralatan ini termasuk biaya investasi, biaya operasi dan biaya perawatan. Pencampuran dan pengadukan merupakan masalah yang sangat kompleks, yang tidak hanya tergantung dari jenis pengaduk yang digunakan, tetapi juga menyangkut beberapa faktor seperti fluida, mekanika fluida dan geometri dari reaktor (Tatterson, 1991).
Selanjutnya menurut Edwards dan Beker (1992),
terdapat tiga komponen utama peralatan yang umum digunakan pada pencampuran dengan menggunakan reaktor tangki berpengaduk.
Ketiga
komponen tersebut, yaitu tangki (vessel), pengaduk (impeller), dan sekat (baffle). Disamping itu sparger (penyemprot udara atau gas) juga biasa digunakan jika operasi proses melibatkan kontak gas-cairan. Tangki (vassel) dapat berbentuk silinder yang memanjang secara vertikal. Tangki ini akan diisi dengan fluida sampai kedalamannya sama dengan diameter tangki. Namun dalam beberapa sistem pencampuran, dimana tinggi cairan dapat mencapai tiga kali diameter tangki, dapat digunakan beberapa pengaduk pada batang pengaduk (shaft) (Edwards dan Baker, 1992). Konstruksi dari reaktor tangki berpengaduk dapat dilihat pada Gambar 11.
32
motor Pengatur kecepatan
Permukaan cairan Kaki pencelup (dip leg) Jaket Sekat (baffle)
Thermometer Batang pengaduk Bilah pengaduk
Katup pengeluaran
Gambar 11. Konstruksi tangki berpengaduk (McCabe, et al., 1993) Pada fluida yang memiliki kekentalan rendah (fluida encer), akibat pengadukan pada kecepatan yang tinggi akan menimbulkan vortex. Vortex yaitu terbentuknya cekungan permukaan media pada bagian tengah tangki (sekeliling shaft) yang disebabkan oleh adanya gaya tangensial. Vortex ini menyebabkan aliran pada tangki tersebut bersifat horizontal, sehingga pencampuran tidak dapat berlangsung dengan baik. Untuk mencegah terjadinya vortex tersebut maka pada dinding-dinding tangki dipasang bilah-bilah yang disebut baffle (Edward dan Baker, 1992). Bentuk geometri tangki standar dapat dilihat pada Gambar 12. Fungsi utama dari pengaduk adalah untuk mengaduk beberapa macam bahan sehingga dicapai homogenitas pencampuran yang baik dan menjaga kondisi lingkungan yang seragam pada seluruh isi tangki. Pada tangki berpengaduk, terdapat bermacam-macam tipe pengaduk, diantaranya adalah pengaduk tipe baling-baling (propeller), turbin, dayung atau pedal (paddle), jangkar (anchor), pita heliks (helical ribbon), dan heliks berulir (helical screw). Masing-masing jenis pengaduk tersebut memiliki penggunaan yang berbeda-beda dan menghasilkan karakteristik yang berbeda-beda pula (Edwards dan Baker, 1992). Model beberapa tipe pengaduk disajikan pada Gambar 13.
33
Da/Dt = H/Dt = J/Dt = E/Dt = W/Da = L/Da =
1/3 1 1/12 1/3 1/5 1/4
Keterangan : Dt = Diameter tangki H = Tinggi cairan dalam tangki Da = Diameter pengaduk (impeller) E = Jarak bagian dasar tangki dengan sumbu bilah pengaduk J = Lebar sekat (baffle) W = Tinggi bilah pengaduk L = Lebar bilah pengaduk Gambar 12. Geometeri tangki standar (McCabe, et al., 1993)
Gambar 13. Beberapa bentuk pengaduk : (a) Baling-baling kapal (marine propeller); (b) turbin flat-blade, W = Dt/5; (c) turbin disk flat-blade, W = Dt/5, Da=2Di/3, J=Dt/4; (d) turbin curved-blade, W = Dt/8; (e) turbin pitched-blade, W = Dt/8; (f) shrouded turbine, W = Dt/8. (Keterangan : Dt = diameter tangki; Da= diameter pengaduk; J = lebar sekat; W= lebar bilah pengaduk) (Treybal, 1985)
34
Pengaduk tipe propeller, turbin dan paddle umumnya digunakan untuk sistem yang relatif encer dengan kecepatan pengadukan yang tinggi. Pengadukan tipe propeller yang biasa digunakan adalah model baling-baling kapal berbilah tiga. Pengaduk tipe ini, banyak digunakan pada pencampuran dua atau lebih bahan dimana bahan-bahan tersebut tidak mengalami perubahan sifat. Pengaduk tipe turbin merupakan pengaduk yang banyak digunakan di industri-industri, terutama pada industri kimia. Pengaduk tipe turbin ini dapat dimodifikasi menjadi empat sampai dua belas blade.
Untuk mengaduk cairan yang kental
(kekentalannya tinggi), biasanya digunakan pengaduk tipe jangkar (Edwards dan Baker, 1992). Menurut Sailah (1993), bentuk pengaduk berpengaruh terhadap pola aliran yang dihasilkannya. Berdasarkan pola aliran yang dihasilkan, pengaduk dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu pengaduk yang menghasilkan pola radial (aliran mendatar dari bilah pengaduk ke dinding tangki dan membentuk dua daerah, daerah atas dan bawah) dan pengaduk yang menghasilkan pola aliran axial (aliran vertikal ke atas dan bawah impeller). Pola aliran cairan pada tangki berpengaduk tipe propeller dan turbin disajikan pada Gambar 14. Gambar 14 (a) menunjukkan pola aliran vortex yang timbul tanpa adanya baffle dan pola aliran aksial yang memotong ke bagian bawah tangki vertikal dengan adanya baffle yang dihasilkan oleh pengaduk tipe propeller. Gambar 14 (b) menunjukkan pola aliran vortex yang timbul tanpa adanya baffle dan pola aliran radial yang mengarah mendatar ke dinding tangki dengan adanya baffle yang dihasilkan oleh pengaduk tipe turbin. Menurut Geankoplis (2003) kekentalan cairan yang akan diaduk merupakan salah satu faktor yang harus diperhatikan dalam menentukan tipe pengaduk yang digunakan.
Pengaduk tipe propeller pada umumnya digunakan untuk cairan
dengan viskositas dibawah 3 Pa.s (3000 cp); tipe turbin digunakan untuk mengaduk cairan dengan viskositas dibawah 100 Pa.s (100000 cp); tipe paddle yang dimodifikasi seperti model jangkar dapat digunakan untuk cairan dengan viskositas 50 – 500 Pa.s (50000 – 500000 cp); tipe helical dan ribbon digunakan untuk cairan dengan viskositas di atas 25000 Pa.s (25000000 cp).
35
Gambar 14. Pola aliran pengadukan cairan pada tangki berpengaduk, dengan dan tanpa baffle: (a) baling-baling kapal (propeller) dan (b) turbin disk flat-blade (Treybal, 1985) Hakim (2005) melakukan proses produksi surfaktan dietanolamida pada skala laboratorium menggunakan asam lemak C12 minyak inti sawit pada kondisi proses lama reaksi 4 jam dan kecepatan pengadukan 150 rpm. Jenis pengaduk yang digunakan adalah marine propeller 4 blade, diameter 8 cm. Penggunaan jenis pengaduk ini memberikan pola aliran laminar (kecepatan pengadukan <150 rpm) dan merupakan pengadukan yang dapat memberikan pengaruh positif terhadap dietanolamida yang dihasilkan dalam hal kemampuannya menurunkan tegangan permukaan, menstabilkan emulsi, serta melarutkan pengotor lemak.
Peningkatan Skala Pengertian peningkatan skala (scale-up) umumnya digunakan dalam dua pengertian yang berbeda. Pertama, peningkatan skala yang menunjukkan kecenderungan umum dalam mengembangkan sistem baru yang lebih besar dari yang sudah ada. Sistem itu dapat berupa kapal, pesawat terbang, pabrik atau administrasi. Selain itu, peningkatan skala juga digunakan untuk perancangan dan penyusunan sistem yang lebih besar (prototipe) berdasarkan hasil percobaan dengan menggunakan model yang berukuran lebih kecil (Mangunwidjaja dan
36
Suryani, 2000). Selanjutnya menurut Machfud et al. (1989) pengembangan suatu proses umumnya dapat dilaksanakan dalam tiga skala, yaitu (1) skala laboratorium, merupakan tahapan penyeleksian proses; (2) skala pilot plant, dimana kondisi-kondisi operasi optimal mulai diterapkan; dan (3) skala industri, dimana proses-prosesnya dilaksanakan dengan mempertimbangkan perhitungan ekonomi (Machfud et al., 1989) Percobaan pada skala pilot plant sesungguhnya merupakan laboratorium ukuran besar yang dirancang untuk bersifat fleksibel bagi penggunaan peralatan dan penyesuaian operasi. Selama perubahan skala operasi dari skala operasi yang satu ke skala operasi yang lain, beberapa aspek tidak mengalami perubahan. Beberapa aspek berubah dengan meningkatnya skala operasi dan sebagin aspek lainnya mungkin berada dalam kondisi operasi (Smith, 1990). Penentuan kondisi proses produksi surfaktan MES yang optimal pada skala pilot plant selain dilakukan untuk mendapatkan produk yang sesuai dengan hasil percobaan pada skala laboratorium juga dilakukan untuk melihat kinerja alat yang digunakan. Pada tahap peningkatan skala produksi surfaktan MES dari skala laboratorium ke skala pilot plant, reaktor pemroses yang digunakan penting untuk diperhatikan.
Menurut Mangunwidjaja dan Suryani (2000), dalam rancang
bangun reaktor ada tiga fenomena penting yang harus diperhatikan yaitu fenomena
termodinamik,
mikrokinetik
dan
perpindahan.
Fenomena
termodinamik dan mikrokinetik tidak tergantung pada skala, sedangkan fenomena perpindahan tergantung pada skala atau ukuran.
Proses perpindahan dalam
reaktor terjadi menurut dua mekanisme perpindahan, yaitu pengaliran (konveksi) dan difusi (konduksi).
Secara prinsip perilaku reaktor tidak berubah selama
peningkatan skala, jika tetapan waktu untuk perpindahan dan konversi tetap. Untuk bejana berpengaduk, kecepatan agitasi dapat dipertahankan agar tetap selama peningkatan skala. Pengadukan yang baik ditandai oleh homogenitas fluida yang tinggi, waktu pengadukan yang singkat, dan konsumsi energi yang rendah. Faktor-faktor yang harus diperhatikan untuk menghasilkan kinerja pengadukan yang baik adalah sifat fisik, kimia, biologis dan sifat reologi bahan yang akan diaduk.
Hal ini
disebabkan tidak satupun peralatan yang tepat dan optimum yang dapat digunakan
37
untuk mengaduk semua jenis bahan, karena tiap-tiap bahan memiliki sifat yang berbeda, yang memerlukan desain peralatan yang berbeda pula, diantaranya pada penentuan pengaduk yang tepat serta geometri peralatannya (Tatterson, 1991). Lebih lanjut Tatterson (1991) menambahkan pada proses pengadukan salah satu sifat bahan yang sangat penting untuk diperhatikan adalah sifat reologinya. Sifat bahan yang diaduk berpengaruh dalam perancangan peralatan dan teknik pemrosesan yang digunakan, termasuk karakteristik proses, seperti pola aliran, waktu pengadukan dan konsumsi energinya. Menurut Geankoplis (2003), dalam suatu peningkatan skala pada tangki berpengaduk, jika kesamaan geometrik peralatan skala kecil ke skala besar dipertahankan pada kondisi proses yang sama, maka bagian-bagian yang relevan dengan perilaku cairan dalam tangki berpengaduk adalah tenaga yang digunakan untuk agitasi (P), dan kecepatan putar pengaduk (N). Konsumsi energi oleh tangki berpengaduk digambarkan dengan Bilangan Power (Power Number). Bilangan Power merupakan bilangan yang tidak berdimensi yang diperoleh dengan persamaan: Np = P / ρ N3 D5 dimana : Np = Bilangan Power (Power Number) P = Tenaga eksternal dari agitator (J/detik) ρ = Densitas cairan dalam tangki (kg/m3) N = Kecepatan agitasi (rpm) D = Diameter impeller (m) Pergerakan cairan di dalam tangki berpengaduk dapat digambarkan dengan bilangan tak berdimensi lain, yaitu bilangan Reynolds (N Re). Bilangan Reynolds merupakan rasio antara inersia dengan kekentalan. Bilangan Reynolds (N Re) didefinisikan sebagai berikut : N Re = ρ N D2 / η dimana : N Re = Bilangan Reynolds ρ = Densitas cairan dalam tangki (kg/m3) N = Kecepatan agitasi (rpm) D = Diameter impeller (m) η = Kekentalan (kg/m.detik)
38
Menurut Edwards et al. (1992), hubungan antara Bilangan Power (Np) dengan Bilangan Reynolds (N Re) biasanya digunakan untuk menggambarkan hubungan antara konsumsi energi dengan kecepatan pengadukan. Hubungan ini digambarkan dalam bentuk kurva tenaga (power-curve).
Kurva ini diperoleh
dengan cara memplotkan nilai-nilai Np dan N Re berdasarkan data hasil percobaan yang meragamkan nilai kecepatan impeller (N), diameter impeller (D), densitas (ρ) dan viskositas (η) cairan pada tiap-tiap impeller yang mempunyai kesamaan geometrik tertentu. Berdasarkan nilai Bilangan Reynolds diperoleh tiga pola aliran, yaitu : (1) Aliran laminar (viscous flow), pada N Re < 10 (aliran didominasi oleh tingginya kekentalan cairan). (2) Aliran transisi (transient), pada N Re 10 – 104 (3) Aliran turbulen (turbulent flow), pada N Re >104 (pencampuran terjadi lebih cepat) Kurva hubungan antara Bilangan Power (Np) dan Bilangan Reynolds (NRe) untuk berbagai jenis pengaduk dapat dilihat pada Gambar 15.
Gambar 15. Kurva hubungan Bilangan Power (Np) dan Bilangan Reynolds (NRe) untuk beberapa jenis pengaduk pada tangki ber-baffles; (a) propeller; (b) flat-blade turbines, (c) disk flat-blade, (d) curvedblade turbines, (e) pitched-blade turbines, (g) flat-blade turbines, tidak ber-baffles (Treybal, 1985)
39
Analisis Finansial Perancangan suatu industri memerlukan suatu rangkaian kegiatan yang ditunjang dengan sejumlah studi dan dokumen-dokumen yang mendukung untuk pengambilan keputusan (decision), apakah suatu rencana investasi dapat dilaksanakan atau tidak, analisa mengenai aspek keadaan produk (product description), keadaan pasar (market description), jenis teknologi (technology variety), ketersediaan faktor produksi, perkiraan kebutuhan biaya (cost estimate), perkiraan keuntungan (profit estimate), lokasi, dan aspek sosial (Djamin, 1984). Salah satu aspek penting dari kegiatan perencanaan proyek adalah aspek keuangan yang umumnya dijabarkan dalam analisis finansial. Analisis finansial adalah suatu analisis yang membandingkan antara biaya-biaya dengan manfaat (keuntungan) untuk menentukan apakah suatu proyek akan menguntungkan selama umur proyek. Analisis finansial dilakukan untuk memperkirakan jumlah dana yang diperlukan, baik untuk dana tetap maupun modal kerja awal (Sutojo, 1993). Analisis finansial mempelajari berbagai faktor penting, yang meliputi dana investasi (aktiva dan modal kerja), sumber-sumber pembelanjaan (modal sendiri, pinjaman jangka pendek dan panjang), taksiran penghasilan, biaya dan rugi/laba pada berbagai tingkat operasi, manfaat dan biaya dalam artian finansial (rate of return on invesment, net present value, internal rate of return, Net B/C, profitability index, pay back period, resiko proyek, analisis sensitivitas) dan proyeksi keuangan (Husnan dan Suwarsono, 2000) Menurut Umar (2000), tujuan analisis terhadap aspek finansial adalah untuk membandingkan pengeluaran dengan pendapatan, seperti ketersediaan dana, kemampuan proyek untuk membayar kembali dana tersebut dalam waktu yang telah ditentukan dan menilai apakah proyek akan dapat berkembang terus. Untuk melihat apakah proyek yang akan dijalankan layak atau tidak dapat diketahui dari kriteria-kriteria investasi berikut : 1) Net Present Value (NPV), yaitu selisih antara nilai sekarang dari penerimaan (benefit) dengan nilai sekarang dari pengeluaran (cost) pada tingkat suku bunga tertentu.
40
2) Internal Rate of Return (IRR), yaitu suatu tingkat bunga modal yang mengakibatkan nilai sekarang dari aliran uang suatu proyek sama dengan nol. 3) Net Benefit Cost Ratio (Net B/C), yaitu perbandingan antara NPV postif terhadap NPV negatif. 4) Break Even Point (BEP), yaitu suatu keadaan dimana biaya yang dikeluarkan sama dengan penerimaan yang diperoleh. 5) Pay Back Period (PBP), yaitu waktu yang dibutuhkan untuk mengembalikan investasi awal dimana keputusan yang diambil berdasarkan kriteria waktu. 6) Analisis sensitivitas, meliputi sensitivitas terhadap perubahan kenaikan biaya operasional dan perubahan harga jual produk.