II. TINJAUAN PUSTAKA
A. MINYAK SAWIT Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis JACQ) merupakan tanaman berkeping satu yang termasuk dalam famili palmae. Nama genus Elaeis berasal dari bahasa Yunani yaitu Elaion yang berarti minyak, sedangkan nama spesies guineensis berasal dari kata Guinea, yaitu tempat di mana seorang ahli bernama Jacquin menemukan tanaman kelapa sawit pertama kali di pantai Guinea. Kelapa sawit dapat tumbuh dengan baik pada daerah beriklim tropis dengan curah hujan 2000 mm/tahun dan kisaran suhu 22-33 oC (Basiron 2005). Tanaman kelapa sawit baru dapat berproduksi setelah berumur sekitar 30 bulan. Buah yang dihasilkan disebut Tandan Buah Segar (TBS) atau Fresh Fruit Bunch (FFB). Produktivitas tanaman kelapa sawit meningkat ketika berumur 3-14 tahun dan akan menurun kembali setelah berumur 15-25 tahun. Setiap pohon kelapa sawit dapat menghasilkan 10-15 TBS per tahun dengan berat 3-40 kg per tandan tergantung umur tanaman. Dalam satu tandan, terdapat 10003000 brondolan dengan berat satu brondolan berkisar 10-20 g (Pahan 2010). Secara botani, buah kelapa sawit terdiri dari pericarp, mesocarp, kernel (inti sawit), dan endocarp (tempurung). Berdasarkan ketebalan tempurung dan daging buahnya, kelapa sawit terbagi menjadi empat varietas yaitu pisifera, dura, tenera, dan macrocarya. Pisifera memiliki tebal tempurung kurang dari 2 mm, tenera memiliki ketebalan tempurung 2-3 mm, dura memiliki tebal tempurung 3-5 mm, dan macrocarya memiliki tebal tempurung lebih dari 5 mm (Pahan 2010). Saat ini varietas dura merupakan varietas yang paling banyak digunakan dalam kegiatan pemuliaan kelapa sawit. Penampang melintang dari berbagai varietas kelapa sawit dapat dilihat pada Gambar 1.
(a) (b) Gambar 1. Penampang melintang buah kelapa sawit varietas dura, tenera, dan pisifera (a) dan penampang melintang varietas macrocarya (b) (Pahan 2010). Pengolahan kelapa sawit untuk menghasilkan CPO dimulai dari penanganan bahan baku pada saat pemanenan hingga sampai ke pabrik. Menurut Pahan (2010) secara garis besar urutanurutan proses pengolahan CPO dimulai dari penerimaan bahan baku, pengukusan, pemipilan, pengadukan, penempaan, dan pemurnian CPO. Sebelum diolah dalam pabrik kelapa sawit (PKS), TBS yang berasal dari kebun pertama kali diterima di stasiun penerimaan buah untuk ditimbang di jembatan timbang (weight bridge) dan ditampung sementara di penampungan buah (loading ramp). Penimbangan dilakukan dua
3
kali untuk setiap angkutan TBS yang masuk ke pabrik yaitu saat masuk dan saat keluar. TBS yang telah ditimbang selanjutnya dibongkar di loading ramp dan dimasukkan ke dalam lori. Lori yang telah berisi TBS dikirim ke stasiun pengukusan dengan cara ditarik menggunakan capstand yang digerakkan oleh motor listrik hingga memasuki sterilizer. Dalam proses pengukusan, TBS dipanaskan dengan uap pada suhu sekitar 135 °C dan tekanan 2.0-2.8 kg/cm2 selama 80-90 menit. Proses pengukusan dilakukan secara bertahap dalam tiga puncak tekanan agar diperoleh hasil yang optimal. Proses pengukusan sangat menentukan kualitas hasil pengolahan kelapa sawit. Tujuan dari proses pengukusan TBS adalah menghentikan perkembangan asam lemak bebas (ALB), memudahkan pemipilan, penyempurnaan dalam pengolahan, serta penyempurnaan dalam proses pengolahan inti sawit (Basiron 2005). TBS yang telah dikukus dikirim ke bagian pemipilan dan dituangkan ke alat pemipil dengan bantuan hoisting crane atau transfer carriage. Proses pemipilan terjadi akibat tromol berputar pada sumbu mendatar yang membawa TBS ikut berputar sehingga membanting-banting TBS tersebut dan menyebabkan brondolan lepas dari tandannya. Brondolan yang sudah terpipil dari pemipilan diangkut ke bagian pengadukan atau pencacahan (digester). Proses digester sebaiknya dilakukan pada suhu 95-100 oC selama 20 menit dengan menggunakan jaket uap atau injeksi uap langsung (Basiron 2005). Tujuan utama proses ini yaitu untuk mempersiapkan daging buah untuk penempaan sehingga minyak dengan mudah dapat dipisahkan dari daging buah dengan kerugian yang sekecil-kecilnya (Pahan 2010). Brondolan yang selesai dicacah keluar melalui bagian bawah digester sudah menjadi bubur. Hasil cacahan tersebut langsung masuk ke alat penempa yang berada persis di bagian bawah digester. Selama proses penempaan berlangsung, air panas ditambahkan ke dalam screw press. Hal ini bertujuan untuk pengenceran sehingga massa bubur buah yang ditempa tidak terlalu rapat. Massa bubur buah yang terlalu rapat akan menghasilkan cairan dengan viskositas tinggi yang akan menyulitkan proses pemisahan sehingga mempertinggi kehilangan minyak. Minyak kasar dari hasil penempaan dialirkan menuju saringan getar (vibrating screen) untuk disaring agar kotoran berupa serabut kasar tersebut dialirkan ke tangki penampungan minyak kasar (crude oil tank). Minyak kasar yang terkumpul di crude oil tank dipanaskan hingga mencapai suhu 95-100 oC. Menaikkan suhu minyak kasar berfungsi untuk memperbesar perbedaan berat jenis (BJ) antara minyak, air, dan sludge sehingga membantu dalam proses pengendapan. Selanjutnya, minyak dari proses crude oil tank dikirim ke tangki pengendap (clarifier tank). Minyak kasar akan terpisah menjadi minyak dan sludge karena proses pengendapan di clarifier tank. Minyak dari continous settling tank selanjutnya dikirim ke oil tank, sedangkan sludge dikirim ke sludge tank.
B. SIFAT FISIKO KIMIA MINYAK SAWIT KASAR Sifat fisiko kimia minyak sawit meliputi warna, bau dan flavor, kelarutan, titik cair dan polimorphism, titik didih, titik pelunakan, slipping point, shot melting point, bobot jenis, indeks bias, titik kekeruhan, titik asap, titik nyala, dan titik api (Ketaren 1986). Beberapa sifat fisiko kimia dari minyak sawit dapat dilihat pada Tabel 1. Warna minyak ditentukan oleh adanya pigmen yang masih tersisa setelah proses pemucatan, karena asam-asam lemak dan gliserida tidak berwarna. Warna oranye atau kuning disebabkan adanya pigmen karoten yang larut dalam minyak (Ketaren 1986). Bau dan flavor dalam minyak terdapat secara alami terjadi akibat adanya asam-asam lemak berantai pendek akibat kerusakan minyak, sedangkan bau khas minyak sawit ditimbulkan oleh persenyawaan beta ionone. Titik cair minyak sawit berada dalam nilai kisaran suhu karena
4
minyak sawit mengandung beberapa macam asam lemak yang mempunyai titik cair yang berbeda-beda (Ketaren, 1986). Tabel 1. Sifat fisiko kimia minyak sawit Sifat fisiko kimia Nilai
(a)
Trigliserida
94-98 %(a)
Asam lemak bebas (ALB)
5-10 %(a)
Warna (5 ¼ lovibond cell) Bilangan peroksida
Merah oranye(a) 1-5.0 (mEq/kg)(a)
Kadar β karoten
500-700 ppm(a)
Kadar fosfor
10-20 ppm(a)
Kadar besi Kadar tokoferol
4-10 ppm(a) 600-1000 ppm(a)
Digliserida
2-6%(a)
Bilangan asam
6.9 mg KOH/g minyak(a)
Bilangan penyabunan Bilangan iod (Wijs)
196-205 mg KOH/g minyak(a) 50-55(b)
Slip melting point
32-40 oC(c)
O’Brien (2009) (b)BSN (2006) (c)Lin (2002)
Menurut Naibaho (1998) tanaman kelapa sawit menghasilkan dua jenis minyak nabati, yaitu minyak sawit kasar dan minyak inti sawit. Minyak sawit kasar dan minyak inti sawit mempunyai perbedaan karakteristik walaupun berasal dari tanaman yang sama. Minyak sawit tersusun lebih banyak asam palmitat dan oleat sedangkan minyak inti sawit tersusun lebih banyak asam lemak laurat (O’Brien 2009). Perbedaan karakteristik minyak sawit dan minyak inti sawit tersaji pada Tabel 2. Minyak sawit kasar merupakan hasil ekstraksi daging buah (mesokarp) dari tanaman Elaeis guineensis yang belum mengalami pemurnian. Minyak inti sawit merupakan hasil pengepresan kernel (inti sawit) dari tanaman Elaeis guineensis. Tabel 2. Sifat minyak sawit kasar dan minyak inti sawit Sifat Minyak sawit kasar Minyak inti sawit o (a) Densitas 30 C 0.894 0.860-0.873(a) Oxidative stability index (110 oC) 16.6-19.0 jam(a) 3.0-33 jam(a) Solidification (o C) 35-429(a) 20-24(a) (a) Bilangan penyabunan 196-205 244-254(a) Bilangan iod 50-55(b) 14-21(a) (a) (b) O’Brien (2009) BSN (2006) Minyak sawit memiliki dua komponen asam lemak terbesar yaitu asam palmitat dan asam oleat. Kandungan asam palmitat pada minyak sawit sebesar 39-45%, sedangkan asam oleat sebesar 37-44% (Ketaren 2005). Kandungan asam lemak penyusun CPO dapat dilihat pada Tabel 3. Kandungan asam palmitat yang tinggi membuat minyak sawit tahan terhadap oksidasi. Kandungan asam lemak minyak sawit dan titik cairnya dapat dilihat pada Tabel 4.
5
Tabel 3. Komposisi TAG penyusun minyak sawit Jenuh 1 ikatan ganda 2 ikatan ganda 3 ikatan ganda 4 ikatan ganda [%b/b] [%b/b] [%b/b] [%b/b] [%b/b] MPP 0.29 MOP 0.83 MLP 0.26 MLO 0.14 PLL 1.08 PMP 0.22 MPO 0.15 MOO 0.43 PLO 6.59 OLO 1.71 PPP 6.91 POP 20.02 PLP 6.36 POL 3.39 OOL 1.76 PPS 1.21 POS 3.5 PLS 1.11 SLO 0.60 OLL 0.56 PSP 0.12 PMO 0.22 PPL 1.17 SOL 0.30 LOL 0.14 PPO 7.16 SPL 0.10 OSL 0.11 PSO 0.68 POO 20.54 OOO 5.38 SOS 0.15 SOO 1.81 OPL 0.61 SPO 0.63 SPO 1.86 OSO 0.81 Lainnya 0.16 0.34 0.19 0.15 0.22 Total 9.15 33.68 34.01 34.01 5.47 Keterangan : P = Palmitat, M = Miristat, S = Stearat, O = Oleat (Gee 2007) Tabel 4. Asam lemak pada minyak sawit dan titik cairnya Jenis asam lemak Komposisi (%) Titik cair (oC) Asam kaprat (C10:0) 1-3 31.5 Asam laurat (C12:0) 0-1 44 Asam miristat (C14:0) 0.9-1.5 58 Asam palmitat (C16:0) 39.2-45.8 64 Asam stearat (C18:0) 3.7-5.1 70 Asam oleat (C18:1) 37.4-44.1 14 Asam linoleat (C18:2) 8.7-12.5 -11 Asam linolenat (C18:3) 0-0.6 -9 Ketaren (1986) Selain kandungan asam lemak, terdapat komponen minor pada minyak sawit yang memengaruhi kualitasnya. Kandungan komponen minor pada CPO dapat dilihat pada Tabel 5. Kandungan komponen minor mempunyai peranan penting dalam kestabilan minyak walaupun kandungannya hanya 1%. Karakteristik fisik CPO, seperti titik leleh, SFC, dan densitas juga berperan penting dalam proses pengolahan CPO. Karakter fisik CPO dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 5. Kandungan komponen minor CPO Komponen minor Kandungan (ppm) Karoten 500-700 Tokoferol dan tokotrienol 600-1000 Sterol 326-527 Ubiquinone 10-80 Squalene 200-500 Phospolipid 5-130 Trierpene alcohol 40-80 Metil sterol 40-80 Alipatik alcohol 100-200 Lin (2002)
6
Tabel 6. Karakteristik fisik minyak sawit Karakteristik
Kisaran
Rata-rata (a)
Indeks refraktif (50 ºC) Densitas ( ºC) Slip Melting Point (ºC)
1.4544-1.4550
1.4548(a)
1.455-1.456(b)
1.4550(b)
0.8896-0.8910(a)
0.8899(a)
0.888-0.889(b)
0.8890(b)
32-40(a) 31.1-37.6(b)
34.2(b)
50.7-68(b)
60.5(b)
46.1-60.8(a)
53.7(a)
(b)
40.0-55.2
49.6(b)
33.4-50.8(a)
39.1(a)
27.2-39.7(b)
34.7(b)
21.6-31.3(a)
26.1(a)
4.7-27.9(b)
22.5(b)
21.1-20.7(a)
16.3(a)
(b)
6.5-18.5
13.5(b)
6.1-14.3(a)
10.5(a)
4.5-14.1(b)
9.2(b)
3.5-11.7(a)
7.9(a)
1.8-11.7(b)
6.6(b)
0.0-8.3(a)
4.6(a)
Solid Fat Content (SFC) 5 ºC 10 ºC 15 ºC 20 ºC 25 ºC 30 ºC 35 ºC 40 ºC
(b)
0.0-7.5 (a)
45 ºC Lin (2002) Basiron (2005)
4(b) 0.7(b)
(b)
C. REOLOGI DAN KARAKTERISTIK FLUIDA Menurut Davis dan Sanders (2007), reologi adalah ilmu untuk mengukur dan menginterpretasikan respon suatu materi terhadap input shear stress (stress) atau gaya tarik (strain) tertentu yang diberikan, dan ilmu ini merupakan dasar yang penting untuk menentukan mutu minyak nabati. Salah satu parameter reologi yang penting dalam pengaliran fluida adalah viskositas. Matuszek (1997) mengemukakan bahwa viskositas adalah ukuran bertahannya suatu fluida untuk mengalir. Gaya yang dibutuhkan untuk mengawali terjadinya aliran fluida pada kecepatan tertentu terkait dengan viskositas fluida tersebut. Tahanan suatu fluida untuk mengalir dikenal dengan stress. Shear stress () adalah stress yang terjadi saat molekul-molekul fluida bergeser satu sama lain sepanjang permukaan tertentu. Shear rate (-dV/dr atau ) adalah ukuran seberapa cepatnya suatu molekul untuk saling bergeser. Menurut Singh dan Heldman (2001), viskositas ditentukan oleh sifat fisiko kimia alami bahan dan suhu. Pada kondisi shear rate yang berbeda, maka nilai viskositas suatu fluida akan berubah (Toledo 1991). Goodrum et al. (2002) mengemukakan bahwa viskositas dinamik fluida nilainya berbanding lurus dengan rasio shear stress terhadap shear rate yang diterapkan. Pada fluida Newtonian, rasio tersebut bernilai konstan, dan nilai viskositas tidak tergantung pada shear rate.
7
Menurut Matuszek (1997), fluida yang menunjukkan peningkatan shear stress yang linier dengan peningkatan shear rate, dikenal dengan fluida Newtonian, yang dimodelkan dengan Persamaan 1.
τ= μ −
dγ dr
= μγ
(1)
Kemiringan (slope) dalam persamaan tersebut disebut viskositas yang bernilai konstan, sehingga viskositas suatu fluida Newtonian tidak dipengaruhi oleh shear rate. Fluida Newtonian memiliki kurva hubungan shear rate dan shear stress berupa garis lurus (Gambar 2a). Bila dua fluida Newtonian mengalami perubahan shear rate, nilai viskositas terukur kedua fluida tersebut akan tetap (Gambar 2b).
µ
(a) (b) Gambar 2. Hubungan shear rate dan shear stress pada fluida Newtonian (a), dan viskositas dua fluida Newtonian saat mengalami perubahan shear rate (b) (Matuszek 1997).
Fluida yang memiliki karakteristik yang berbeda dari Persamaan 1 tersebut dikenal dengan fluida non-Newtonian. Kurva hubungan shear rate dan shear stress untuk fluida nonNewtonian disajikan pada Gambar 3. Pada fluida non-Newtonian, viskositasnya merupakan fungsi dari shear rate yang diterapkan. Menurut Matuszek (1997), fluida non-Newtonian memiliki sifat semakin encer dengan semakin meningkatnya shear rate (shear thinning), atau sebaliknya semakin kental dengan semakin meningkatnya shear rate (shear thickening), dan beberapa memiliki shear stress awal (yield stress). Persamaan yang paling umum untuk karakterisasi fluida non-Newtonian adalah model power law (Persamaan 2) dan model HerschelBulkley (Persamaan 3).
τ = K(γ)n
(2)
τ = τ0 + K(γ)n
(3)
dimana n adalah indeks tingkah laku aliran (flow behaviour index), K adalah indeks konsistensi (concistency index), dan 0 adalah shear stress awal (yield stress) yang merupakan gaya yang dibutuhkan fluida untuk mulai mengalir.
8
Gambar 3. Sifat aliran fluida non-Newtonian: (a) viskositas struktural (untuk larutan dengan molekul besar); (b) aliran dilatan (untuk suspensi dengan konsentrasi tinggi); (c) viskoplastik dengan limit aliran: 1-plastik ideal, 2,3-plastik non-linear; (d) thixtotropy 1- antithixtotropy, 2-viskoelastik. Menurut Goodrum et al. (2002), nilai indeks tingkah laku alir (flow behaviour index, n) yang lebih kecil dari satu menunjukkan sifat fluida pseudoplastik, nilai n yang lebih besar dari satu menunjukkan sifat dilatan, dan nilai n = 1 merupakan sifat fluida Newtonian. Parameter K adalah indeks konsistensi yang bernilai proporsional terhadap viskositas. Pada fluida yang bersifat pseudoplastik, terjadi fenomena penurunan viskositas saat dikenai shear rate meningkat, atau dikenal dengan sifat shear thinning. Menurut Moros et al. (2002), kurva aliran fluida yang mengalami penurunan viskositas karena shear rate, akan memiliki suatu nilai viskositas pembatas yang tetap saat shear rate mencapai nilai 0 (zero-shearrate-limiting viscosity, µ0). Sifat ini disebabkan oleh terjadinya pemecahan struktur yang disebabkan adanya shear rate. Menurut Singh dan Heldman (2001), saat fluida pseudoplastik mengalami shear rate, partikel-partikel yang terdistribusi secara acak akan mengatur dirinya sejajar dengan arah aliran, sehingga viskositas menurun. Perubahan viskositas pada shear rate yang sangat rendah (<0.5 s-1) atau pada shear rate yang sangat tinggi (>100 s-1) umumnya sangat kecil, sehingga dalam pengukuran sifat fluida power law, shear rate yang diterapkan adalah antara 0.5 s-1 hingga 100 s-1.
9
Fluida non-Newtonian dapat diklasifikasikan dalam time-dependent atau timeindependent. Fluida yang sifat reologinya hanya bergantung pada shear stress (pada suhu konstan) diklasifikasikan dalam time-independent. Fluida time-dependent memiliki viskositas yang tidak hanya bergantung pada shear stress, tetapi juga bergantung pada waktu stress yang diberikan (Ibarz et al. 2005).
D. SIFAT REOLOGI MINYAK Kim et al. (2010) telah melakukan pengujian sifat reologi tujuh sampel minyak yaitu minyak kanola, jagung, grapseed, hazelnut, zaitun, kedelai, dan biji bunga matahari. Minyak nabati tersebut memperlihatkan sifat fluida Newtonian pada suhu pengukuran 25 oC (Gambar 4). Hasil penelitian Goodrum et al. (2002) pada poultry fat dan yellow grease juga menunjukkan bahwa pada shear rate yang tinggi, sifat reologi sampel menyerupai sifat fluida Newtonian, di mana viskositas tidak lagi dipengaruhi oleh shear rate. Selain itu Fasina et al. (2006) juga telah melakukan pengujian pada 12 sampel minyak nabati pada kisaran suhu 5-95 oC, dan terdapat hubungan yang linier antara shear rate dengan shear stress dengan koefisien regresi lebih besar dari 0.999, yang mengindikasikan bahwa minyak nabati tersebut memiliki sifat fluida Newtonian.
Hazelnut Jagung
Shear stress (Pa)
Greapseed Zaitun Kacang kedelai Kanola Biji bunga matahari
Shear rate (1/s) Gambar 4. Kurva hubungan shear stress dan shear rate pada beberapa jenis minyak nabati pada suhu 25 oC (Kim et al. 2010). Menurut Munson et al. (2001), pada umumnya minyak dan lemak memiliki sifat pseudoplastik yang mengalami penurunan viskositas saat shear rate meningkat (shear thinning). Geller dan Goodrum (2000) melaporkan bahwa viskositas minyak ditentukan oleh shear rate di mana pada shear rate yang sangat rendah di bawah 7 s -1, terdeteksi sifat aliran fluida nonNewtonian pseudoplastik. Sebaliknya bila shear rate >7 s-1, minyak bersifat sebagai fluida Newtonian. Selama transportasi dan penyimpanan, minyak akan mengalami proses pemanasan dan pendinginan. Bahan pangan seringkali mengalami perlakuan suhu selama pengolahan, penyimpanan, dan transportasi. Suhu sangat berpengaruh terhadap viskositas fluida, di mana
10
secara umum viskositas akan menurun dengan meningkatnya suhu (Rao 1999). Munson et al. (2001) juga mengungkapkan bahwa secara umum, viskositas suatu fluida akan menurun dengan meningkatnya suhu. Hal tersebut disebabkan oleh terjadinya penurunan gaya kohesif pada molekul-molekul fluida saat suhu mengalami peningkatan. Menurut Goodrum et al. (2002), karena viskositas merupakan fungsi dari suhu, maka nilai parameter n dan K juga dapat berubah dengan perubahan suhu. Dengan demikian, n dan K harus ditentukan melalui percobaan penentuan viskositas pada kondisi suhu tertentu (isotermal) karena model power law hanya menentukan hubungan antara viskositas dengan shear rate, dibutuhkan analisis lain untuk mengetahui pengaruh suhu terhadap viskositas. Wang dan Briggs (2002) telah melakukan pengujian pengaruh suhu (10, 20, 40, 60, dan o 90 C) terhadap sifat reologi 5 jenis minyak kedelai, dan diketahui bahwa viskositas minyak akan menurun dengan suhu yang semakin meningkat. Pengaruh suhu terhadap viskositas (µ) untuk fluida Newtonian dapat dinyatakan dalam persamaan tipe Arrhenius (Persamaan 4) yang melibatkan suhu absolut (T), konstanta gas universal (R), dan energi aktivasi (Ea):
μ = A eEa /RT
(4)
Nilai Ea dan konstanta persamaan Arrhenius (A) ditentukan menggunakan regresi linier dari data percobaan. Nilai Ea yang lebih tinggi menunjukkan perubahan viskositas yang lebih cepat akibat perubahan suhu. Kim et al. (2010) telah melakukan pengujian sifat aliran minyak pada kisaran suhu 20-70 oC (Gambar 5), di mana minyak mengalami penurunan viskositas secara non-linier dengan meningkatnya suhu. Penggunaan model Arrhenius pada sampel minyak nabati tersebut menghasilkan nilai Ea 24.6–26.9 kJ/mol dan konstanta Arrhenius 1.18 x 10 -6–2.23 x 10-6 Pa.s. Menurut Santos et al. (2005) pengaruh suhu tersebut disebabkan oleh terjadinya penurunan interaksi molekuler.
Hazelnut Jagung Greapseed Zaitun
Viskositas (Pa.s)
Kacang kedelai Kanola Biji bunga matahari
Temp (oC) Gambar 5. Pengaruh suhu pada sifat aliran beberapa minyak nabati (Kim et al. 2010). Menurut Keshvadi et al. (2011) menentukan sifat reologi minyak sawit merupakan hal sulit karena minyak sawit banyak mengandung komponen-komponen yang kompleks (minyak,
11
air, dan serat). Permodelan-permodelan untuk memprediksi pengaruh proses operasi pengolahan terhadap viskositas CPO telah banyak dilakukan namun hasilnya masih belum sempurna sehingga sampai saat ini masih terus dilakukan penelitian mengenai viskositas dan sifat reologi CPO. CPO mempunyai sifat yang mudah berubah terhadap proses-proses operasi seperti suhu dan shear rate. Marcia et al. (2002) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa suhu dan shear rate akan berpengaruh terhadap perubahan densitas dan viskositas CPO. Namun perubahan pada densitas relatif lebih kecil dibandingkan dengan perubahan viskositasnya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Keshvadi et al. (2011) CPO mempunyai sifat fluida non-Newtonian. Hal ini ditunjukkan oleh viskositas CPO yang menurun seiiring dengan meningkatnya shear rate dan suhu. Fenomena ini disebabkan berkurangnya interaksi inter molekul saat meningkatnya suhu dan shear rate. Selain itu, perubahan mikrostruktur dan penurunan (Solid Fat Content) SFC juga memengaruhi penurunan viskositas CPO (Liang et al. 2008). Minyak sawit kasar (crude palm oil/CPO) akan mengalami beberapa tahap pemurnian untuk menghasilkan minyak makan, yang terdiri atas tahap degumming, netralisasi, pemucatan, dan deodorisasi. Selama pemurnian, komponen pengotor yang dihilangkan adalah asilgliserol parsial, asam lemak bebas, lilin, logam, pigmen, komponen odor, dan gum (fosfolipida) (Verhe et al. 2006). Proses penghilangan kotoran dari minyak dapat mengubah sifat alirannya (Sathivel et al. 2003). Menurut Sathivel et al. (2003), interaksi antara minyak dan kotoran tergantung pada ukuran dan bentuk pengotor, gaya inter molekul yang terjadi, panjang rantai, keberadaan rantai samping, adanya gugus polar, dan ikatan hidrogen dalam molekul pengotor. Interaksi antara minyak dan kotoran akan menyebabkan pembentukan sistem dispersi koloid teragregasi, yang biasanya menghasilkan karakteristik shear thinning saat shear stress diterapkan pada sistem, di mana integritas struktural minyak kasar akan terganggu. Sathivel et al. (2003) mengemukakan bahwa minyak kasar dapat dianggap sebagai sistem dispersi karena campuran kompleks turunan hidrokarbon cair berperan sebagai media dispersi, dan agregat kotoran akan berperan sebagai fase terdispersi. Adanya kotoran dalam minyak kasar akan berpengaruh pada karakteristik aliran minyak. Sifat reologi minyak dipengaruhi oleh tahap pemurnian yang dialaminya, di mana nilai koefisien konsistensi (K) akan menurun pada setiap tahap pemurnian yang dialaminya. Sathivel et al. (2003) juga mengemukakan bahwa pada suhu rendah, adanya kotoran (impurities) pada minyak kasar cenderung akan mengendap pada dinding pipa. Beberapa partikel solid dalam pengaliran bulk akan meningkatkan viskositas minyak dan mengakibatkan terjadinya peningkatan pressure drop dalam jalur perpipaan. Sebagai akibat dari peningkatan viskositas, sifat-sifat aliran minyak akan menyebabkan sifat aliran non-Newtonian. Belum terdapat model yang memuaskan untuk memprediksi viskositas minyak nabati, yang sifatnya sangat tergantung pada shear rate dan dipengaruhi oleh tahap-tahap pengolahan yang berbeda.
12