II.
TINJAUAN PUSTAKA
A. MINYAK SAWIT Kelapa sawit terdiri dari 80 % bagian perikarp (epikarp dan mesokarp) dan 20 % biji (endocarp dan endosperm). Dari kelapa sawit, dapat diperoleh dua jenis minyak yang berbeda sifatnya, yaitu minyak dari inti (endosperm) sawit disebut dengan minyak inti atau PKO (Palm Kernel Oil) dan minyak dari sabut (mesokarp) sawit disebut minyak sawit mentah atau CPO (Crude Palm Oil) (Ketaren 2005). Pengolahan minyak sawit dari sabut (mesokarp) kelapa sawit menjadi minyak sawit komersial (minyak goreng) secara umum melalui beberapa tahap, yaitu ekstraksi, pemurnian, dan fraksinasi. Ekstraksi adalah suatu cara untuk mendapatkan minyak atau lemak dari bahan yang diduga mengandung minyak atau lemak. Adapun cara ekstraksi lain yakni rendering, mechanical expression, dan solvent extraction. Tahapan proses selanjutnya adalah pemurnian. Pemurnian minyak kelapa sawit secara konvensional meliputi, pemisahan gum (degumming), pemisahan asam lemak bebas (deasidifikasi), pemucatan (bleaching), dan penghilangan bau (deodorisasi). Tahap terakhir yaitu fraksinasi merupakan proses pemisahan frase cair (olein) dan fraksi padat (stearin) dari minyak dengan winterisasi, proses pemisahan bagian gliserida jenuh atau bertitik cair tinggi dari trigliserida bertitik cair rendah dengan cara pendinginan (chilling) hingga suhu 5 – 70C (Ketaren 2005). Perbedaan antara minyak sawit dan minyak inti sawit adalah adanya pigmen karotenoid pada minyak sawit sehingga berwarna kuning merah. Komposisi karotenoid yang terdeteksi pada minyak sawit terdiri dari α-, β-, γ-, karoten dan xantofil, sedangkan minyak inti sawit tidak mengandung karotenoid. Perbedaan lain adalah pada kandungan asam lemaknya. Pada minyak inti sawit terdapat asam lemak kaproat, asam lemak kaprilat, dan asam lemak laurat, sedangkan pada minyak sawit tidak mengandung ketiga asam lemak tersebut (Murdiati 1992). Pada suhu di atas 600C minyak sawit mencair, sebaliknya minyak inti sawit bersifat cair pada suhu kamar. Perbedaan sifat ini disebabkan oleh perbedaan jenis dan jumlah rantai asam lemak yang membentuk trigliserida dalam kedua minyak tersebut. Minyak sawit mentah (CPO) terdiri dari komponen gliserida dan non-gliserida. Trigliserida dalam minyak sawit mengandung asam lemak jenuh dan tidak jenuh. Asam lemak jenuh meliputi asam miristat (C14:0), asam palmitat (C16:0), dan asam stearat (C18:0), sedangkan asam lemak tidak jenuhnya meliputi asam oleat (C18:1), asam linoleat (C18:2), dan asam linolenat (C18:3). Dari asam-asam lemak tersebut yang dominan adalah asam palmitat dan asam oleat dengan konsentrasi masing-masing mencapai 50,46% dan 40,35%. Asam-asam lemak dalam minyak sawit dapat juga dibedakan menjadi asam lemak esensial dan asam lemak non-esensial. Asam lemak esensial adalah asam lemak yang tidak dapat disintesis dalam tubuh, yakni linoleat (LA) dan linolenat (LNA), sedangkan asam lemak yang dapat disintesis oleh tubuh disebut asam lemak non-esensial. Dengan demikian, minyak sawit didominasi oleh asam lemak non-esensial dan hanya mengandung asam lemak esesnsial dalam jumlah kecil (6-9 % LA dan 0,21 % LNA) (Winarno 1999). Asam lemak palmitat merupakan asam lemak jenuh rantai panjang yang memiliki titik cair (melting point) yang tinggi, yaitu 640C, sehingga pada suhu ruang minyak sawit berbentuk semi padat (Belitz dan Grosh 1999). Kandungan asam palmitat yang tinggi ini membuat minyak sawit lebih tahan terhadap oksidasi (ketengikan) dibanding jenis minyak lain.
3
Menurut Bernardini (1983), wujud lemak dan minyak tergantung komposisi asam lemak penyusunnya. Minyak yang berwujud padat pada suhu kamar karena banyak mengandung asam lemak jenuh, misalnya asam palmitat dan stearat yang mempunyai titik cair tinggi pada suhu kamar. Minyak kelapa sawit adalah lemak semi padat yang mempunyai komposisi tetap. Komposisi asam lemak minyak kelapa sawit dapat dilihat di Tabel 1. Selain mengandung asam-asam lemak, minyak sawit juga mengandung lebih kurang 1% komponen minor yang terdiri dari karotenoid, tokoferol, tokotrienol, sterol, fosfolipid, dan glikokipid, terpen, dan gugus hidrokarbon alifatik, dan elemen sisa lainnya (Ong et al. 1990). Di antara komponen-komponen minor tersebut, kandungan karotenoid dan tokoferol yang tinggi merupakan keunggulan minyak sawit dibandingkan minyak nabati lainnya. Kandungan karotenoid di dalam minyak sawit berkisar antara 600-1000 µg/g (Choo 1994). Komponen kimia dalam beberapa minyak nabati diperlihatkan pada Tabel 2. Tabel 1. Komposisi asam lemak minyak sawit dan titik cairnya Jenis asam lemak Komposisi (%) Asam Kaprat (C 10:0) 1-3 Asam Laurat (C 12:0) 0-1 Asam Miristat (C 14:0) 0,9-1,5 Asam Palmitat (C 16:0) 39,2-45,8 Asam Stearat (C 18:0) 3,7-5,1 Asam Oleat (C 18:1) 37,4-44,1 Asam Linoleat (C 18:2) 8,7-12,5 Asam Linolenat (C 18:3) 0-0,6 Sumber : Ketaren (2005) Tabel 2. Komponen kimia beberapa minyak nabati Komponen dalam Minyak sawit Minyak minyak kelapa Karotenoid (ppm) 200-800 Vitamin E (ppm) 642 11 Tokoferol
Titik cair (0C) 31,5 44 58 64 70 14 -11 -9
Minyak jagung -
Minyak kedelai -
782
958
tokotrienol Asam lemak (%)
530
25
-
-
50
94
16
14
49
5,9
83
85
18
14
50
28
jenuh
tidak jenuh Fitosterol Sumber : Winarno (1999)
Tabel 3. Sifat fisika kimia minyak sawit Sifat fisika kimia Bobot jenis (400C) Indeks bias Titik cair (0C) (tergantung komponen asam lemak) Bilangan iod Bilangan penyabunan Sumber : Winarno (1999)
Nilai 0,921 – 0,923 1,453 – 1,485 25 – 50 44 – 58 195 – 205
4
Sifat fisika f dan kimia minyak saw wit meliputi warrna, bau/flavorr, kelarutan, bo obot jenis, indeeks bbias, titik cair,, titik didih (b boiling point), bilangan iod, bilangan penyyabunan (Ketaaren 2005). Nilai b beberapa sifat kimia minyak sawit dapat dillihat pada Tabeel 3.
B MINYA B. AK SAWIT MERAH Minyaak sawit merahh merupakan haasil ekstraksi seerabut daging ((mesokrap) buaah tanaman saw wit ( (Elaeis guienennsis JACQ) yaang biasanya disebut d minyakk sawit mentahh atau kasar (C Crude Palm Oil, O C CPO) yang daalam proses peengolahannya w warna merah tetap t dipertahaankan. Proses produksi p minyyak s sawit merah seecara umum saama dengan miinyak sawit meentah, hanya yyang membedaakan adalah tiddak a adanya prosess pemucatan (bleaching) pada p produksii minyak saw wit merah. Tu ujuannya adallah m mempertahank kan kandungann karotenoidnyya. Pemucatan (bleaching) menghilangkan m n sebagian bessar v vahan pewarnaa tak terlarut atau a bersifat kooloid yang mem mberi warna pada minyak (N Nagendran et aal., 2 2000). Menuru ut Helena (20003), sekitar 800% karotenoid hilang selamaa proses bleachhing. Sedangkkan m menurut Ketarren (2005), araang aktif (bleaaching agent) sebesar s 0,1 – 00,2 % dari berrat minyak dappat m menyerap zat warna w sebanyak 95 – 97 % daari total zat waarna yang terdaapat pada minyak sawit kasar.
Gambarr 1. Minyak saawit merah ut Sukarjo et al. a Minyaak sawit meraah mengandungg karoten sebeesar 600–10000 ppm. Menuru ( (1991), sebany yak kurang lebbih 800 ppm tookoferol terdap pat dalam minyyak sawit. Kellompok senyaw wa t tokoferol ini tiidak hanya pennting karena peeranannya sebaagai antioksidaan alami tetapi secara fisiologgis j juga aktif sebaagai vitamin, yaitu y vitamin E. E Minyak sawiit merah mulaii dikembangkaan seiring denggan s semakin disadaarinya peranann penting karoteenoid bagi kesehatan manusia. Minyak saw wit merah (MSM M) s ini telah diikembangkan di saat d Malaysia sebbagai produk baru, b tetapi di Inndonesia samp pai saat ini beluum a MSM yan ada ng dijual secaraa komersial. Namun, N penelittian tentang MSM M telah banyyak dilakukan di I Indonesia. Salaah satunya yaittu oleh Pusat Penelitian Kelappa Sawit (PPKS S) Medan. Jatm mika dan Guritnno ( (1997), penelitti dari PPKS Medan M memproduksi MSM melalui m proses degumming d denngan asam fosffat 8 % dan deassifidikasi deng 85 gan natrium karrbonat 20 % pada p suhu ruanng, kemudian sabun s dipisahkkan s secara penyariingan vakum. Proses yang sama s dilakukan n oleh Sirajjuddin (2003), tettapi pada prosses d deasidifikasi menggunakan m larutan natriuum karbonat 10 %. Mas’ud (2007) melakkukan penelitiian o optimasi prosees deasidifikasi dan melaporkan bahwa proses deasidifikassi menggunakaan NaOH 11,1 % %, s suhu proses 600 %, dan lama proses selama 25 menit adallah kondisi deaasidifikasi yangg paling optim mal. P Puspitasari (2008) melaporrkan bahwa proses p deasidikkasi menggunnakan NaOH 11,1 % denggan k kombinasi lam ma pengadukan 60 rpm dipilih sebagai kondissi optimum. Peerbandingan kaarakteristik MS SM y yang dihasilkaan oleh Jatmikka dan Guritnoo (PPKS) (1997), Sirajjudinn (2003), Mass’ud (2007), dan d P Puspitasari (20008) diperlihatk kan pada Tabell 4.
5
Pada umumnya pemanfaatan minyak sawit masih didominasi untuk produk pangan. Menurut Muchtadi (1997) sekitar 90% minyak sawit digunakan untuk produk-produk pangan seperti minyak goreng, minyak salad, margarin, shortening, vanaspati, dan sebagainya, sedangkan sisanya (10%) digunakan untuk produk-produk nonpangan. Berbeda dengan minyak sawit, MSM tidak dianjurkan untuk digunakan sebagai minyak goreng, karena karoten yang terkandung di dalamnya mudah rusak karena suhu tinggi. Minyak ini lebih dianjurkan untuk digunakan sebagai minyak makan dalam menumis sayur, minyak salad, dan vahan fortifikan. Kandungan karoten yang tinggi menyebabkan MSM berwarna kemerahan. Olson (1991) menganjurkan diberikannya 7 ml MSM setiap hari untuk nutrisi anak-anak sekolah di India yang mengkonsumsi makanan kaya β-karoten dari MSM, ternyata terjadi peningkatan retinol dalam hati dan serum darah. Namun, rasa dan aroma MSM kurang enak sehingga kurang disukai oleh balita. Tabel 4. Perbandingan karakteristik MSM PPKS (1997), Sirajjudin (2003), Mas’ud (2007), dan Puspitasari (2008) Parameter PPKS Sirajjudin Mas’ud Puspitasari (1997)
(2003)
(2007)
(2008)
Asam Lemak Bebas (%)
0,11
0,02
0,17
0,16
Kadar Air (%, b/b)
0,02
0,01
0,07
0,002
Bil. Iod (gl2/100g MSM)
56
55
45,8
45,6
Bil. Peroksida (meq/kg MSM)
6,1
0,86
5,9
5,8
Bil. Penyabunan (mgKOH/g MSM)
198
197
193,8
193,21
Total Karoten (ppm)
500
650
492
533
C. KAROTENOID Karotenoid merupakan kelompok pigmen yang berwarna kuning, jingga, merah jingga, serta larut dalam minyak (Winarno 1999). Sebagian besar sumber vitamin A adalah karoten yang banyak terdapat dalam bahan-bahan nabati. Sayuran dan buah-buahan yang berwarna hijau atau kuning biasanya banyak mengandung karoten. Tubuh manusia mempunyai kemampuan mengubah sejumlah besar karoten menjadi vitamin A (retinol), sehingga karoten disebut provitamin A (Winarno 1999). Karotenoid mempunyai struktur dasar delapan satuan isoprenoid yang tersusun seakan- akan dua satuan 20 karbon. Karotenoid dibagi dua golongan yaitu karoten yang merupakan hidrokarbon dan xantofil yang mengandung oksigen dalam bentuk hidroksil, metoksil, karboksil, keto, atau epoksi. Cara penggolongan lainnya, karotenoid dibagi menjadi tiga golongan: (1) asiklik seperti likopen, (2) monosiklik seperti γ-karoten, dan (3) bisiklik seperti α-karoten dan β-karoten (deMan 1997). Dari fungsinya karotenoid dibagi atas dua golongan yaitu bersifat nutrisi aktif, seperti β-karoten dan non nutrisi aktif seperti fucosantin, neosantin, dan violasantin (Tan 1990). Karotenoid termasuk senyawa lipid yang dapat larut dalam senyawa lipid lainnya sehingga disebut lipofilik, dan pelarut lemak seperti aseton, alkohol, dietil eter, dan kloroform. Karoten larut dalam pelarut non polar seperti eter dan heksana, sedangkan xantofil larut sempurna di pelarut polar
6
s seperti alcoholl. Karotenoid ju uga disebut hiddrofobik karenaa tidak dapat laarut air. Bentuuk β-karoten mempunyai m aktiivitas 100 % vitamin A, α-kaaroten memilikki aktivitas 50-54 % vitamin A, dan d γ-karoten memiliki m 40-500 % vitamin A (Klaui dan Baauerfeind 1981). Bentuk isom mer k karoten juga mempengaruhi m a aktivitas vitamiin A. Bentuk trrans memiliki dderajat aktivitass vitamin A lebbih t tinggi dari ben ntuk cis (Iwassaki dan Muraakoshi 1992). Secara alami karoten dalam m bahan panggan t terdapat dalam m bentuk all-β-k karoten. Isomerrisasi dapat sajaa berlangsung ddalam suhu kam mar, tetapi reakksi b berjalan sangatt lambat dan peengaruhnya terhhadap aktivitass vitamin A relaatif kecil (Klauui dan Bauerfeinnd 1981).
G Gambar 2. Struuktur β-karotenn (Fennema 19996)
Winarrno (1999) menyatakan m baahwa aktivitass provitamin A dinyatakan n dalam Retinnol E Equivalen (RE E, 1 RE = 1 µg retinol r = 6µg β β-karoten = 12 µg provitaminn A dari karotenn lain). β-karotten d dikonversi di dalam d tubuh meenjadi vitamin A diatur dalam m proses metaboolik. Persentasse β-karoten yanng d dikonversi mennjadi vitamin A sekitar 60-700% (Bender 20 006). Menu urut Klaui dan Bauernfeind (11981), faktor utama u yang meempengaruhi kaarotenoid selam ma p pengolahan paangan dan penyyimpanan adalah oksidasi oleeh oksigen udaara maupun peerubahan strukttur o oleh panas. Panas akan meendekomposisi karotenoid dan d mengakibaatkan perubahaan stereoisomeer. P Pemanasan sam mpai dengan suhu s 600C tidaak mengakibatkkan terjadinya dekomposisi karotenoid k tetaapi s stereoisomer mengalami m peruubahan. Menu urut Chichesterr et al. (1970), karotenoid leebih tahan disiimpan dalam lingkungan l asaam l lemak tidak jennuh jika dibanddingkan dengann penyimpanann dalam asam leemak jenuh. Hal ini disebabkkan a asam lemak lebbih mudah mennerima radikal bebas dibandingkan dengan karotenoid. Ak kibatnya, apabila a faktor yang ada g menyebabkaan oksidasi, asaam lemak akann teroksidasi terrlebih dahulu dan d karoten akkan t terlindungi leb bih lama. Faktoor penting yang g mempengaruuhi struktur kaaroten selama pengolahan dan penyimpannan p pangan adalah oksidasi oleh oksigen o (udaraa) dan pengaruh h panas. Karoteenoid mempun nyai ikatan gannda s sehingga sensitif terhadap okksidasi. Oksidaasi karoten dipeercepat dengann adanya cahay ya, logam, panaas, p peroksida, dan n bahan pengok ksidasi lainnya (Klaui dan Baauerfeind 1981)). Karottenoid yang terrdapat dalam minyak m sawit merah m terdiri darri α-karoten ±3 36,2%, β-karotten ± ±54,4%, τ-karooten ±3,3%, lik kopen ±3,8%, dan xantofil ±2,2% ± (Naibahho 1990). Menuurut Kritchevskky ( (2000), kadar karotenoid k padda minyak saw wit merah yaitu sebesar 550 ppm p (sebanyak 375 ppm adallah β β-karoten), dan n kadar tokoferol sebesar 4468 ppm. Karakkter ini membuuat minyak saw wit merah sanggat b dipandang baik g dari segi nutrrisi (Jatmika daan Guritno 199 96). Menu urut Combs (19 992), karoten daalam minyak sawit mentah teerdapat dalam bentuk b bebas dan d d dalam minyakk yang merupaakan medium pelarutnya. Di D dalam sayurran dan buah--buahan, karotten b biasanya mem mbentuk kompleek dengan protein atau teresterifikasi denggan asam lemak k sehingga lebbih s stabil dibandin ngkan dengan karoten k minyakk sawit mentahh sehingga karootenoid di dalaam minyak saw wit m merah lebih muudah diserap oleh o tubuh.
7
Menurut Gaziano (1990), karotenoid dapat berperan sebagai antioksidan karena struktur molekulnya mempunyai ikatan ganda yang sangat mudah mengalami oksidasi secara acak menurut kinetika reaksi ordo pertama. β-karoten sebagai salah satu zat gizi mikro di dalam minyak sawit mempunyai beberapa aktivitas biologis yang bermanfaat bagi tubuh, antara lain untuk menanggulangi kebutaan karena xeroftalmia, mengurangi peluang terjadinya penyakit kanker, proses penuaan yang terlalu dini, meningkatkan imunitas tubuh, dan mengurangi terjadinya penyakit degeneratif. β-karoten juga bersifat antiarterosklerosis. Kemampuan ini menyebabkan β-karoten dapat digunakan untuk mencegah penyakit kardiovaskuler. Kandungan karotenoid pada beberapa pangan nabati dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Kandungan karotenoid pada beberapa pangan nabati Jenis tanaman Kandungan karotenoid RE/ 100g Minyak sawit merah 30.000 Wortel 2.000 Daun sayur-sayuran 685 Aprikot 250 Tomat 100 Pisang 30 Air jeruk 8 Sumber : Choo 1994
D. EMULSI Emulsi merupakan sistem heterogen yang terdiri atas dua fase cairan yang tidak tercampur tetapi cairan yang satu terdispersi dengan baik dalam cairan yang lain dalam bentuk butiran (droplet/globula) dengan diameter biasanya lebih dari 0,1 µm atau antara 0,1 - 50µm. Fase yang berbentuk butiran disebut fase terdispersi atau fase internal atau disebut juga fase diskontinyu, sedangkan fase cairan tempat butiran terdispersi disebut fase pendispersi atau fase eksternal atau fase kontinyu (deMan 1989). Winarno (1999) menyebutkan bahwa pada suatu sistem emulsi biasanya terdapat tiga bagian utama, yaitu: (1) bagian yang terdispersi yang terdiri dari butir-butir yang biasanya terdiri dari minyak; (2) bagian yang disebut media pendispersi juga dikenal sebagai fase kontinyu yang biasanya terdiri dari air; (3) emulsi yang berfungsi menjaga butir minyak tersebut tetap tersuspensi dalam air. Emulsi sebagai salah satu bentuk dispersi koloid banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari dan mempunyai peranan yang besar dalam beberapa bahan pangan. Emulsi makanan digunakan secara luas dalam kehidupan sehari-hari seperti mentega, es krim, sosis, mayonnaise, dan sebagainya. Noerono (1990) menyatakan bahwa salah satu fase dalam sistem emulsi mempunyai karakter lipofilik dan fase lainnya mempunyai karakter hidrofilik. Disebut pula oleh Wijnans dan Baal (1997), setiap emulsifier mengandung dua gugus fungsional yaitu hidrofilik dan lipofilik. Kedua grup fungsional tersebut mempertemukan dua fase minyak-air, air-minyak, dan air-udara dengan mengurangi ketegangan antar permukaan. Karena emulsifier memiliki grup hidrofilik dan lipofilik dengan molekul yang sama, maka emulsifier memiliki kapasitas untuk mengemulsi campuran dari minyak dan air untuk membentuk kestabilan atau emulsi yang homogen (Wijnans dan Baal 1997).
8
McClements (2004) menyatakan bahwa ada dua peranan yang penting dari emulsifier selama proses homogenisasi yakni menurunkan tegangan antar muka antara fase air dan minyak sehingga mengurangi jumlah energi bebas yang diperlukan untuk merubah dan mengacaukan droplet, serta membentuk coating yang protektif di sekeliling droplet yang akan mencegah dari koalesen dengan lainnya. Terdapat dua tipe emulsi yaitu emulsi minyak dalam air (o/w) dan emulsi air dalam minyak (w/o). Jika fase lipofilik merupakan fase terdispersi maka emulsi yang terbentuk adalah emulsi minyak dalam air dan sebaliknya jika fase hidrofilik merupakan fase terdispersi maka disebut emulsi air dalam minyak (Noerono 1990). Dispersibilitas atau daya larut suatu emulsi ditentukan oleh medium dispersinya. Bila medium dispersinya air, emulsinya dapat diencerkan dengan air, dan sebaliknya bila medium dispersinya lemak, emulsinya dapat diencerkan dengan minyak atau lemak. Emulsi merupakan sistem yang tidak stabil. Oleh karena itu, dibutuhkan dua hal untuk membentuk emulsi stabil, yaitu pengunaan alat mekanis untuk mendispersikan sistem dan penambahan bahan penstabil/ pengemulsi untuk mempertahankan sistem tetap terdispersi (Bergenstahl dan Claesson 1990). McClements (2004) menyatakan bahwa stabilisasi emulsi menggambarkan kemampuan sebuah emulsi untuk mempertahankan sifatnya pada perubahan waktu. Emulsi pangan menjadi tidak stabil melalui berbagai macam mekanisme fisik yang meliputi kreaming, sedimentasi, flokulasi, koalesen, dan inversi fase. Kreaming dan sedimentasi merupakan bentuk pemisahan secara gravitasi. Kreaming menggambarkan gerakan ke atas droplet karena adanya suatu massa jenis yang lebih rendah dari pada cairan disekelilingnya. Sedimentasi menggambarkan gerakan ke bawah droplet karena adanya suatu massa jenis yang lebih tinggi dari pada cairan di sekelilingnya. Flokulasi dan koalesen merupakan jenis pengumpulan droplet. Flokulasi terjadi ketika dua atau lebih droplet bergabung menjadi sebuah bentuk yang droplet berkumpul dimana droplet tersebut masih mempertahankan integritasnya. Koalesen merupakan proses dimana dua atau lebih droplet bergabung bersama menjadi sebuah droplet yang lebih besar. Koalesen dapat memicu terjadinya lapisan minyak yang terpisah pada permukaan atas sebuah sampel yang dikenal sebagai oiling off. Inversi fase merupakan proses dimana sebuah emulsi minyak dalam air berubah menjadi emulsi air dalam minyak.
Gambar 3. Jenis-jenis kerusakan pada emulsi (Clements 2004) Menurut Narsimhan (1992), emulsi dibentuk oleh pemberian energi mekanis untuk mencampur dua fase cairan yang tidak saling tercampur sehingga satu cairan terdispersi dalam bentuk butiran yang baik. Energi mekanis pada awalnya mengganggu interfasa yang membentuk butiran besar,
9
kkemudian meru usaknya menjaadi butiran-butiiran lebih kecill. Noeroono (1990) mennyatakan bahw wa melalui pengggunaan energii yang amat besar dapat dicappai p pendispersian lebih jauh seebuah fase kee dalam fase lainnya, nam mun keadaan ini i hanya dappat d dipertahankan dalam waktu singkat. s Noeroono (1990) juuga mengemukkakan bahwa terdapat faktoor-faktor yang g mempengaruuhi k kestabilan emuulsi yaitu uku uran fase terdisspersi, perbedaan densitas antar a dua fase, viskositas faase p pendispersi, jennis dan jumlah h emulsifier, beesar muatan listrik, dan kondiisi penyimpanaan. Peralaatan utama yaang umum diggunakan untukk pembentukann emulsi (emuulsifikasi) adallah b berbagai tipe mixer, homoggenizer, gilinggan koloid, daan peralatan uultrasonic. Pem milihan peralattan t tersebut biasannya tergantung pengunaan em mulsinya. (Mucchtadi 1990). Selainn peralatan, pem milihan emulsiifier penting daalam pembentuukan emulsi. Seleksi S sistemaatis d dari tipe emuulsifier untuk tipe emulsi khusus seringgkali didasarkkan pada konnsep HLB yanng d dikemukakan pertama p kali olleh Griffin padda tahun 1949 (Chow ( dan Ho 1996). Griffiin (1979) menggembangkan suuatu skala yang g didasarkan attas keseimbanggan antara keddua g gugus yang beerlawanan terseebut. Skala tersebut dinyatak kan dalam angkka berkisar anttara 0 sampai 20 u untuk masing--masing pengem mulsi untuk m memberikan infformasi kelaruutannya dalam air dan minyaak. A Angka antara 0 dan 9 menunjjukan pengemuulsi bersifat larrut dalam minyyak (lipofilik), sedangkan s anggka a antara 11 dann 20 menunjuukan pengemuulsi bersifat larut dalam aiir (hidrofilik).. Keseimbanggan h hidrofilik-lipof filik yang dikennal dengan HL LB terletak padaa angka 10 yanng merupakan tengah t dari skaala. Wijnaans dan Baal (1997) ( menjelaskan bahwa nilai HLB (hidrofilik lipofillik balance) daari e emulsifier merrupakan suatu karakteristik k yaang mendefinissikan afinitas reelatif untuk minnyak dan air. Hal H i menentukann kestabilan em ini mulsi minyak dalam air atauu air dalam miinyak. Nilai HLB H memberikkan i indikasi dari kelarutan k emullsifier dalam aair atau dalam minyak. Fribeerg et al. (19990) menyebutkkan b bahwa nilai HL LB menunjukaan rasio relatif antara grup hid drofilik dan lippofilik. Emulsiifier dengan nilai H 3 sampai 6 cocok untukk emulsi air dalam minyak (w//o) dan emulsiffier dengan nilai HLB 8 samppai HLB 18 baik untuk emulsi e minyak k dalam air (o/w w).
Gamba ar 4. Struktur ttween 80 (www w.wikipedia.coom 2010) Cowlees (1998) mem mberikan caraa-cara pemilihan bahan penngemulsi: (1) tentukan t apakkah ssistem emulsi bertipe b o/w ataau w/o dengann tujuan untuk memilih m jenis emulsi berdasaarkan nilai HL LB; s secara umum jika j tipe emulssi w/o dibutuhhkan pengemullsi dengan nilaai HLB < 7 daan jika berbentuuk e emulsi o/w buttuh pengemulsii dengan nilai HLB H > 7; (2) teentukan apakahh sistem emulsi mempunyai pH p < 4 atau kadarr sodium lebihh besar dari 2 – 3 %; bila kondisinya demikian, penggunnaan emulsi yanng b bersifat amfotir tidak bermannfaat; (3) pertim mbangkan pengggunaan kombiinasi dua atau lebih l pengemuulsi b penggunaaan satu emulsi tidak berhasil dengan baik. bila Pengaaruh bahan penngemulsi terhaddap pembentuk kan emulsi adaalah menurunkan jumlah enerrgi
10
yang dibutuhkan untuk emulsifikasi dengan cara menurunkan tegangan interfasial. Tegangan interfasial tersebut tidak berada dalam nilai kesetimbangan dan akan tergantung pada laju absorpsi bahan pengemulsi (Narsimhan 1992). Menurut Noerono (1990), jika terdapat pengemulsi yang cukup maka molekul pengemulsi akan teradsorpsi pada setiap batas antar permukaan globula-globula yang terbentuk dan membentuk lapisan film yang utuh. Dengan demikian memberikan perlindungan yang cukup kepada globula-globula terhadap penggabungan antar globula. Tabel 6 menunjukan nilai HLB beberapa bahan pengemulsi. Tabel 6. Nilai HLB beberapa komponen bahan pengemulsi (surfaktan) Komponen
Nilai HLB 1,0
Asam oleat
Sorbitol tristearat
2,1
Stearil monogliserida
3,4
Sorbitol monostearat
4,7
Sorbitol monolaurat
8,6
Gelatin
9,8
Polioksietilen sorbitol stearat
10,5
Metilselulosa
10,5
Polioksietilen sorbitol stearat
14,9
Polioksietilen sorbitol monooleat (tween 80)
15,0
Sodium oleat
18,0
Potasium oleat Sumber : Belitz dan Grosch (1987)
20,0
E. HOMOGENISASI Homogenisasi merupakan proses mengubah dua cairan yang sifatnya immisible (tidak bercampur) menjadi sebuah emulsi, dan sebuah alat yang dirancang untuk melakukan proses ini disebut homogenizer (Loncin dan Merson 1979; Walstra 1993; Schubert dan Karbstein 1994; Walstra dan Smulders 1998 di dalam McClements 2004). Fellows (1990) menyatakan homogenisasi merupakan pengecilan ukuran (0.5-3.0µm) dan meningkatkan jumlah partikel padat atau cair fase terdispersi oleh aplikasi gaya/ tenaga gunting (shearing force) untuk meningkatkan kestabilan dua zat. McClements (2004) menyatakan berdasarkan sifat dasar bahan awalnya, homogenisasi dibagi menjadi 2 kategori yakni homogenisasi primer dan homogenisasi sekunder. Pembuatan emulsi secara langsung dari dua cairan yang terpisah disebut homogenisasi primer, misalnya pembuatan salad dressing menggunakan garpu atau blender. Pengecilan ukuran droplet pada emulsi yang telah terbentuk disebut homogenisasi sekunder, misalnya susu homogenisasi yang dibuat berdasarkan pengecilan ukuran globula lemak di dalam raw milk. High-speed mixers, membrane homogenizers, ultrasonic homogenizers, dan beberapa bentuk microfluidizer digunakan sebagai homogenisasi primer, sedangkan high pressure homogenizer dan colloids mills digunakan untuk homogenisasi sekunder (McClements 2004). McClements (2004) menyatakan di dalam operasi proses pangan dalam industri dan skala laboratorium akan lebih efisien untuk menyiapkan emulsi menjadi dua tahap. Fase air dan minyak yang terpisah diubah menjadi emulsi kasar yang mengandung droplet berukuran besar menggunakan satu tipe homogenizer (seperti high speed blender/mixer), selanjutnya droplet-droplet dikecilkan ukurannya menggunakan homogenizer tipe lainnya (seperti high pressure homogenizer). Emulsi hasil
11
homogenisasi sekunder biasanya mengandung droplet yang lebih kecil daripada homogenisasi primer, meskipun ini tidak selalu terjadi. Menurut McClements (1999) beberapa faktor yang mempengaruhi ukuran droplet yang dihasilkan oleh homogenisasi yaitu tipe emulsi yang digunakan, suhu, karakter fase-fasenya, dan masukkan energi. Ukuran droplet yang kecil (dihasilkan oleh homogenisasi) dapat meningkatkan fase terdispersi. Ketidakcukupan emulsifier dalam menyelubungi permukaan droplet-droplet akan menyebabkan koalesen. Intensitas dan lama proses pencampuran tergantung waktu yang diperlukan untuk melarutkan dan mendistribusikannya secara merata. Menurut Widodo (2003) hal-hal yang perlu dipertimbangkan selama homogenisasi yaitu: (1) diameter globula lemak yang dihasilkan dari proses homogenisasi tidak boleh terlalu kecil, (2) homogenisasi yang dilakukan pada suhu yang relatif tinggi (68-70°C). Semakin tinggi suhu homogenisasi maka akan semakin sedikit material pembentuk membran yang diperlukan membentuk membentuk membrane baru, (3) penambahan material membran. Pemilihan homogenizer untuk aplikasi bergantung beberapa faktor, yaitu volume sampel yang dihomogenisasi, keluaran yang dinginkan, konsumsi energi, karakteristik komponen fasenya, dan prediksi biaya proses. Setelah pemilihan homogenizer yang cocok, dicari kondisi operasi optimum alat tersebut, diantaranya yaitu aliran, tekanan, perbedaan kekentalan, suhu, waktu homogenisasi, dan kecepatan putaran (McClements 1999). Perbandingan tipe homogenisasi dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Perbandingan tipe homogenisasi Tipe Produksi High-pressure Continous homogenizer High-speed blender Batch Colloid mill Continous Ultrasonic probe Batch Ultrasonic-jet Continous homogenizer Microfluidation Continous Membrane processing Batch/Continous Sumber : McClements (2004)
Energi
Viskositas sampel
Tinggi
Droplet minimum 0.1 µm
Rendah Menengah Rendah Tinggi
2.0µm 1.0 µm 0.1 µm 1.0 µm
Rendah ke sedang Sedang ke tinggi Rendah ke sedang Rendah ke sedang
Tinggi Tinggi
< 0.1 µm 0.3 µm
Rendah ke sedang Rendah ke sedang
Rendah ke sedang
F. HIGH SPEED MIXER High speed mixer atau high speed blender sering dipakai untuk menghomogenisasi fase air dan minyak di dalam industri pangan (Loncin dan Merson 1979, Brennan et al. 1981, Fellows 2000 di dalam McClements 2004). Di dalam sebuah proses secara batch, minyak, air, dan bahan-bahan lain dihomogenisasi di dalam sebuah vessel yang cocok yang mana berukuran kecil untuk skala lab atau berukuran besar untuk skala industri. Bahan selanjutnya diagitasi oleh pencampur pada kecepatan tinggi (hingga 3600 rpm). Berbagai bahan ditambahkan pada awal proses atau ditambahkan pada saat tertentu untuk meningkatkan disperse dan atau mengurangi waktu homogenisasi. Perputaran alat pencampur yang cepat menimbulkan kombinasi gradient aliran longitudinal, rotasional, dan radial pada cairan, yang akan merusak antarmuka (interface) antara air dan minyak, yang mengakibatkan cairan-cairan tersebut menjadi bercampur baur, dan menghancurkan droplet yang besar menjadi lebih kecil (Fellows 2000 di dalam McClements 2004).
12
McClements (2004) menyatakan high speed mixer sangat berguna untuk menyiapkan emulsi pada viskositas yang rendah/ sedang. Ukuran droplet biasanya menurun seiring dengan waktu homogenisasi atau kecepatan perputaran yang meningkat, sampai pada batas terendahnya ukuran droplet bergantung pada sifat bahan dan konsentrasinya dan energi dari pencampur. Alat ini digunakan untuk membuat emulsi pangan kasar (coarse emulsion) serta untuk memastikan keefektifan dispersi dan kelarutan bahan. Droplet yang dihasilkan oleh high speed mixer berdiameter antara 2 sampai 10 µm.
Gambar 5. High speed mixer (McClements 2004) Efisiensi proses pencampuran bergantung pada keefektifan energi untuk menggerakkan aliran bahan. Hal yang sangat penting untuk diperhatikan dalam desain pencampuran adalah kecukupan input energi, desain mekanis, konfigurasi vessel, dan sifat fisik bahan (Brennan et al. 1981) Desain alat menentukan efisiensi proses homogenisasi. Perbedaan tipe desain alat tersedia untuk situasi yang berbeda, misalnya blade, propeller, dan turbin (Fellows 1988). Desain khusus alat sering digunakan untuk menghasilkan energi penghancuran yang lebih intensif dan terdistribusi sehingga tercipta droplet-droplet yang berukuran lebih kecil, waktu homogenisasi yang lebih singkat, dan pencampuran yang lebih merata (McClements 2004).
G. HIGH PRESSURE HOMOGENIZER High pressure homogenizer terdiri dari katup (valve) homogenisasi dan pompa bertekanan tinggi (Brennan 1992). Katup menghasilkan celah yang dapat diatur dengan lebar 15-300 γµm dimana emulsi kasar (crude emulsion) dipompa hingga tekanan 10000 psi (69 MNm-2). Saat sampel memasuki celah katup tersebut maka akan terjadi percepatan hingga kecepatan antara 50-200 ms-1. High pressure homogenizer mempunyai pompa yang menarik emulsi kasar (coarse emulsion) ke dalam atas bilik (chamber) lalu menekannya melalui sebuah celah sempit di ujung bilik bawahnya. Emulsi kasar melalui katup yang di dalamnya terdapat kombinasi tenaga penghancuran yang besar yang menyebabkan droplet besar dihancurkan menjadi droplet yang kecil. (McClements 1999). McClements (1999) menyatakan bahwa penurunan ukuran celah katup dapat meningkatkan laju droplet pada katup yang mengakibatkan droplet yang berukuran besar dihancurkan serta droplet yang lebih kecil dihasilkan. Di sisi lain, penurunan ukuran celah katup akan meningkatkan energi masukkan yang dibutuhkan untuk membentuk sebuah emulsi, efeknya yakni terjadi peningkatan biaya produksi.
13
Gambar 6. High pressure homogenizer TwinPanda 600 Berbagai penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang linear antara logaritma tekanan homogenisasi (P) dan logaritma diameter droplet (d), yang dihubungkan pada log d ∞ log P (Walstra 1983; Phipps 1985; Walstra dan Smulder, 1998; Stang et al. 2001). Namun hubungan tersebut juga bergantung pada dimensi/ ukuran alat homogenizer, mekansime penghancuran droplet pada alat, serta viskositas cairan sampel (Walstra dan Smuder 1998; Stang et al. 2001). Pada homogenizer yang berukuran besar dan mempunyai viskositas sampel yang kecil, hubangan antara P dan d menjadi d ∞ P-0.6. Untuk homogenizer yang berukuran besar dan mempunyai viskositas sampel yang besar, hubungan antara P dan d menjadi d ∞ P-0.75. Untuk homogenizer yang berukuran kecil yang sering digunakan pada skala laboratorium, hubungan antara P dan d menjadi d ∞ P-1.0. Homogenizer yang berukuran lebih besar akan menghasilkan penghancuran droplet yang lebih efisien dibandingkan dengan homogenizer yang berukuran lebih kecil pada tekanan homogenisasi yang sama.
Gambar 7. Proses homogenisasi pada high pressure homogenizer (McClements 2004) Beberapa alat homogenizer yang komersial menggunakan proses homogenisasi dua tahap yang mana emulsi dihancurkan melalui dua katup yang teratur. Katup yang pertama mempunyai tekanan yang tinggi dan bertanggung jawab besar pada penghancuran droplet. Katup yang kedua mempunyai tekanan yang lebih rendah dan tugas utamanya adalah menghancurkan “flocs” yang terbentuk selama tahap pertama (Phipps 1985). Tekanan tahap pertama sebesar 14-70 MPa, sedangkan tekanan pada tahap kedua sebesar 2.5-7.0 MPa. (Brennan 1992).
14
Peningkatan suhu di dalam high pressure homogenizer terjadi dalam jumlah yang kecil, tetapi hal ini dapat dicegah melalui air didalam chamber (bilik) pada jaket homogenizer. Di sisi lain, terkadang diperlukan suhu yang hangat dalam homogenizer selama proses homogenisasi, sebagai contohnya adalah untuk mencegah pembentukan kristal pada fase minyak. (Schubert et al. 2003). Menurut Brennan (1992), homogenisasi dua tahap diperlukan untuk memuaskan di beberapa produk seperti pada produk susu, krim salad, dan produk emulsi lainnya yang menggunakan protein sebagai agen pengemulsi. High pressure homogenizer digunakan secara luas di dalam industri pangan. Aplikasinya meliputi homogenisasi susu, krim rendah lemak, susu evaporasi, dan susu sterilisasi.
H. PRODUK EMULSI Produk emulsi dengan bahan dasar minyak sawit merah yang kaya β-karoten telah diteliti Saputera (1996), Surfiana (2002), dan Sabariman (2007) dengan memakai alat homogenizer jenis Ultra Turax. Penelitian Saputera (1996) telah berhasil membuat produk emulsi dengan bahan baku CPO dan bahan tambahannya adalah bahan pengemulsi/ penstabil (CMC, gum arabik, tween 80, tween 20), pengawet sodium benzoat (0,2%), antioksidan BHT (200 ppm), pengkelat EDTA (200 ppm), pemanis aspartam (200 ppm) atau sukrosa (30%), dan flavor nenas (1,5 %). Penyimpanan selama 45 hari menunjukan kadar β-karoten dan tokoferol hanya sedikit menurun dari 124 – 309 sampai 99 – 236 ppm. Parameter-parameter lain yang diukur: nilai viskositas 133 – 2525 cp, bilangan asam 4,19 – 8,90 mg KOH/g pada awal pembuatan dan menjadi 1,79 – 5,39 mg KOH/g pada minggu ke-6, kandungan β-karoten antara 99 – 236 ppm, dan α-tokeferol antara 29 – 73 ppm. Akan tetapi dari segi penerimaan oleh panelis, rasa produk emulsi tersebut kurang disukai. Penelitian Surfiana (2002) menghasilkan formulasi produk emulsi yang stabil sebagai berikut: pengemulsi tween-80 1 % (rasio minyak dan air adalah 7 : 3) atau pengemulsi sukrosa ester asam lemak tipe S-1570, P-1570, dan campuran ester asam lemak ber-HLB 15 masing-masing 1 % (rasio minyak dan air adalah 6 : 4); bahan tambahan lainnya adalah pengawet benzoat (0,2 %), antioksidan BHT (200 ppm), pengkelat EDTA (200 ppm), pemanis sirup fruktosa (10 – 15 %), dan flavor jeruk (1 – 1,5 %). Karakteristik produk emulsinya adalah viskositas antara 380 – 2100 cp, bilangan asam 1,340 – 1,401 mg KOH/g emulsi, bilangan peroksida 1,133 – 2,853 meq/1000 g emulsi, total karoten 299,104 – 414,408 ppm, kadar β-karoten 211,852 – 310,870 ppm, dan jumlah mikroba sampai 3,0 x 10 koloni mikroba/g emulsi. Penelitian Sabariman (2007) menghasilkan formulasi produk emulsi minyak sawit merah yang terbaik sebagai berikut : pengemulsi sukrosa ester asam lemak dengan HLB-15 baik campuran maupun tunggal (tipe S-1570 dan P-1570) dengan rasio minyak dan air adalah 6 : 4. Bahan tambahan makanan lain yang ditambahkan adalah pengawet benzoat (0,2%), antioksidan BHT (200 ppm), pengkelat EDTA (200 ppm), pemanis sirup fruktosa (10%), dan flavor jeruk (1,5%). Sifat reologi yang diperoleh adalah sebagai berikut: nilai indeks sifat aliran (n) 0,9149, nilai indeks konsistensi (K) 0,3566 Pa.sn, nilai tekanan luluh (τo) 3,05 Pa; aktifitas emulsi 97,3%; kestabilan 96,0%; diameter globula 1,8 µm; tegangan permukaan 51,2 mN/m; tegangan antar muka 9,5 mN/m; nilai tingkat kesukaan rasa, aroma, warna, kekentalan, dan penampakan umum antara agak suka sampai suka. Hasil pengamatan di pasaran menunjukan terdapat jenis produk emulsi dengan bahan dasar minyak ikan kod yang kaya vitamin A dengan nama dagang “Scott’s Emulsion” dan “Curcuma Plus Emulsion”. Ada dua jenis emulsi yang dikenalkan yaitu emusi original (rasa asli) dengan konsistensi kental dan emulsi rasa jeruk karena ditambah jus jeruk dengan konsistensi lebih encer dari emulsi original. Rasa amis pada jenis pertama terasa lebih kuat sedangkan pada jedua rasa amis tersebut jauh berkurang tetutupi oleh rasa jeruk.
15