II. TINJAUAN PUSTAKA A. PALA PAPUA 1. Botani Pala Papua Pala merupakan tanaman daerah tropis yang termasuk dalam kelas Angiospermae, subkelas Dicotyledonae, ordo Ranales, family Myristiceae serta Myristica. Tanaman ini terdiri dari 15 genus dan 250 species. Seluruh spesiesnya tersebar di daerah tropis. Dari 15 genus, 5 genus terdapat di daerah tropis Amerika, 6 genus di daerah tropis Afrika, dan 4 genus di daerah tropis Asia (Rismunandar 1992). Salah satu jenis pala yang ada di Indonesia adalah Pala papua. Pala ini memiliki nama latin Myristica argentea Warb. Pala papua adalah jenis pala yang khas Irian Jaya dengan nama daerahnya “henggi” atau “saya”. Di daerah jawa, pala ini sering disebut “pala lelaki”. Pala ini memiliki buah lonjong, begitu juga dengan bentuk bijinya (Rismunandar 1992). Pengolahan fuli dan buah pala papua tidak berbeda dengan pala banda (M. fragrans). Fulinya kurang mengandung minyak atsiri, hanya 6.5%, kualitas dan baunya tidak sebaik fuli banda, namun aromanya cukup menarik. Hingga saat ini masih dapat dinyatakan sebagai rempahrempah yang diakui dalam pasaran dunia internasional (Rismunandar 1992). Tanaman pala secara umum (termasuk pala papua) memiliki lingkungan hidup yang sama. Pala dapat tumbuh baik pada tanah dengan struktur gembur dan penuh humus, derajat keasaman tanah 5.5-6.5, pada dataran rendah hingga ketinggian ± 700 m dari permukaan laut, dengan curah hujan antara 2000-3000 mm/tahun. Di sekitar Teluk Bintuni, pala papua (Myristica argentea Warb) tumbuh sebagai tanaman liar di hutan-hutan. Banyak tumbuh dilereng-lereng gunung dengan ketinggian dibawah 700 meter dari permukaan laut. Walaupun demikian, ada juga penduduk asli yang memelihara pala ini sebagai tanaman peliharaan dipekarangan rumah (Rismunandar 1992). Tanaman pala merupakan tanaman berumah dua (deoceous) yang berarti bunga jantan dan betina tidak terletak pada satu pohon. Ada juga pohon yang berkelamin dua atau hermafrodit, namun jarang sekali terjadi. Tanaman pala mulai berbunga setelah berumur 6-10 tahun tergantung dari keadaan tanah dan iklim. Bunganya berwarna pucat, kecil, lunak dan berbau harum serta malai. Malai bunga jantan terdiri dari 1-10 bunga dan malai bunga betina 1-3 bunga. Jangka waktu pertumbuhan buah dari mulai persarian hingga masak petik tidak lebih dari sembilan bulan (Rismunandar 1992). Daun pohon Pala berwarna hijau mengkilat dengan panjang 5 - 15 cm dan lebar 3 - 7 cm serta panjang tangkai daun 0.7 -1.5 cm (Deptan 1986). Tanaman pala dapat tumbuh dengan tinggi 10-20 meter, mahkota pohon yang bervariasi antara bentuk piramidal (kerucut), lonjong (silindris), dan bulat. Pala mulai berbuah setelah berumur 8-9 tahun, hasil maksimum pada umur 25 tahun, dan dapat bertahan sampai umur 60 tahun. Pohon pala yang telah berumur 10-12 tahun menghasilkan buah sekitar 800-2000 buah per tahun dari 2-3 kali panen (Hadad 2001). Buah pala berbentuk seperti buah pir, ujungnya meruncing, kulitnya licin, berdaging, dan cukup banyak mengandung air (Rismunandar 1992). Bunga pala terdapat di dalam tandan bewarna kuning yang berbentuk seperti buah peach. Tandan ini ketika sudah matang memiliki tiga bagian, yaitu kulit luar dan daging, arrilus (membran) yang bewarna jingga tua sampai merah, dan bagian paling dalam berupa biji (Farrell,
1990). Membran pala dapat diambil dan dijemur selama enam sampai delapan minggu sehingga menjadi rempah-rempah bewarna jingga yang disebut mace. Menurut Hadad (2001), buah pala mempunyai daging buah keras, berwarna keputihputihan, mengandung getah putih, dan rasanya kelat. Diameter buah pala bervariasi dari 3-9 cm. Bila buah pala masak, daging buahnya akan terbuka sehingga terlihat biji yang berwarna coklat dan tertutup oleh arillus berwarna merah cerah seperti jala berlubang-lubang. Selaput merah ini jika telah kering disebut fuli (mace). Buah pala terdiri atas daging pala (pericarp) dan biji pala yang terdiri atas fuli, tempurung, dan daging biji. Gambar bagian-bagian buah pala dapat dilihat pada Gambar 1. Buah pala dapat dipanen setelah enam sampai sembilan bulan dari masa pembentukan bunga. Buah pala papua (Myristica argentea Warb) dipanen setiap dua kali dalam setahun, pertama mulai buan Maret hingga Juni, dan kedua pada bulan Oktober hingga Desember. Pemanenan dapat dilakukan dengan menggunakan galah atau menunggu sampai jatuh. Fuli dari buah pala yang belum cukup masak berwarna kuning pucat. Bila dikeringkan, akan mengalami perubahan warna menjadi coklat muda. Fuli yang sudah tua berwarna merah api, apabila dikeringkan akan berwarna merah coklat, dan bila disimpan dalam waktu yang lama akan berubah menjadi kuning tua hingga kuning oranye seperti warna jerami (Rismunandar 1992).
Biji
Fuli Daging buah Gambar 1. Bagian-bagian buah pala papua Fuli yang berasal dari Indonesia (East India) mempunyai aroma yang lebih kuat dan warna yang lebih terang dibanding fuli yang berasal dari Genada (West India). Hal ini disebabkan karena minyak fuli East India mempunyai kandungan safrol dan myristicin yang lebih tinggi dibandingkan minyak pala West India, disamping itu juga terdapat perbedaan komponen penyusun monoterpen. Safrol dan myristicin merupakan senyawa eter aromatis yang menimbulkan flavor yang kuat pada fuli (Purseglove et al. dalam Nurdjannah 2007). Secara langsung biji pala dan fuli dapat dimanfaatkan sebagai bumbu masak dan obat-obatan. Bagian biji pala berwarna coklat keabuan dengan ukuran panjang sekitar 3 cm dan lebar 2 cm. Biji pala mempunyai cangkang luar yang sangat keras, namun mudah dipecahkan dan dipisahkan. Biji lalu digiling menjadi rempah-rempah yang disebut nutmeg. Bagian pala yang umum digunakan di Indonesia adalah biji pala. Biji pala mempunyai karakteristik rasa pahit, pedas, hangat, dan bau yang manis, menyengat namun hangat (Farrell, 1990).
2. Komposisi Fisik dan Kimia Menurut Somaatmadja dalam Nurdjannah (2007), buah pala terdiri atas daging buah (pericarp) dan biji yang terdiri dari fuli, tempurung dan daging biji. Dari buah pala segar dapat
4
dihasilkan daging buah sebanyak 83.3%, fuli 3.22 %, tempurung biji 3.94 %, dan daging biji 9.54%. Purseglove et al. dalam Nurdjannah (2007) mengemukakan perbandingan biji pala kering terhadap fuli kering adalah 20 : 3. Perbandingan berat biji kering dengan fuli dalam praktek ratarata 4 : 1. Perbandingan berat pala banda (Myristica fragrans Houtt) dari keempat bagian buah pala dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Persentase berat bagian-bagian buah pala banda (Rismunandar 1992) Bagian Buah
Basah (%)
Kering (diangin-anginkan)
Daging
77.8
9.93
Fuli
4
2.09
Tempurung
5.1
-
Biji
13.1
8.4
Komposisi kimia fuli hampir sama dengan biji pala. Berdasarkan analisis proksimat, sebagian besar biji pala dan fuli pala terdiri atas pati, minyak lemak dan ekstrak alkohol. Selain itu biji pala dan fuli juga mengandung minyak atsiri, protein dan mineral-mineral lainnya (Somaatmadja dalam Nurdjannah 2007). Berdasarkan penelitian Hustiany (1994), daging buah pala (M. fragrans) mengandung 29 komponen volatil dengan 23 komponen yang teridentifikasi dan 6 komponen lainnya yang belum teridentifikasi. Komponen-komponen yang paling banyak terkandung dalam minyak atsiri daging buah pala adalah α-pinen (8.7%), β-pinen (6.92%), ∆-3-karen (3.54%), D-limonen (8%), αterpinen (3.69%), 1,3,8-mentetrien (5.43%), γ-terpinen (4.9%), α-terpineol (11.23%), safrol (2.95%), dan myristisin (23.37%). Komposisi penyusun minyak atsiri M. fragrans pada fuli terdapat 5 komponen utama yaitu β-linalool (10.3%), safrol (1.18%), miristisin (20.05%), isoeugenol (32.80%), dan etil-9heksa dekanoat (6.56%), serta 8 komponen minor. Biji mempunyai 5 komponen utama yaitu, βterpeneol (40.20%), bergamol (13.40%), miristisin (24.90%), citronelil butirat (8.04%), safrol (7.04%) serta 12 komponen minor (Chairul dan Sulianti 2000).
B. MINYAK ATSIRI PALA Minyak atsiri pala atau minyak pala merupakan cairan yang tidak berwarna/warna bening pucat dan jika kontak dengan udara dalam jangka waktu yang lama akan bersifat resin, sehingga minyak akan bersifat lebih kental. Sifat minyak ini tergantung dari asal daerah, jenis tanaman penghasil, umur buah, mutu biji pala dan ”mace” serta metode penyulingan. Oleh karena itu sifat fisik dan kimia minyak pala yang berasal dari Banda dan Pandang berbeda, begitu pula dengan minyak pala dan fuli yang berasal dari east India berbeda dengan minyak pala dan fuli yang berasal dari west India (Ketaren 1985). Minyak yang berasal dari biji pala mempunyai bau dan flavor yang sama dengan minyak yang berasal dari fuli. Akan tetapi, biaya produksi minyak fuli jauh lebih mahal daripada minyak biji maka minyak atsiri yang berasal dari biji pala yang umum digunakan (Ketaren 1985). Minyak biji pala dan minyak yang berasal dari fuli banyak dipergunakan sebagai flavoring agent pada minuman beberapa jenis bahan pangan seperti biskuit, cake, pudding, makanan yang dipanggang serta makanan dari
5
daging dan sosis. Minyak pala juga digunakan dalam industri parfum dan pasta gigi. Dalam bidang farmasi, minyak pala dgunakan sebagai analgesik dan dalam jumlah kecil digunakan dalam industri kosmetik dan sabun (Ketaren 1985). Pala yang mempunyai mutu terbaik dalam dunia perdagangan adalah pala dari jenis Myristica fragrans. Biji pala yang dimanfaatkan adalah biji pala yang telah masak dan kering, sedangkan bagian fuli adalah arillde yang menutupi kulit biji pala (Ketaren 1985). Minyak atsiri pala banda (M. fragrans) menjadi satu diantara 15 komoditi ekspor yang sudah di produksi secara kontinyu (Gunawan 2009). Minyak atsiri pala dapat diperoleh dari penyulingan biji pala, sedangkan minyak fuli dari penyulingan fuli pala. Minyak atsiri dari biji pala maupun fuli mempunyai susunan kimiawi dan warna yang sama, yaitu jernih, tidak berwarna hingga kuning pucat. Minyak fuli baunya lebih tajam daripada minyak biji pala. Rendemen minyak biji pala berkisar antara 2–15 % (rata-rata 12 %), sedangkan minyak fuli antara 7-18 % (rata-rata 11 %). Bahan baku biji dan fuli pala yang digunakan biasanya berasal dari biji pala muda dan biji pala tua yang rusak (pecah) (Somaatmaja 1984). Biji pala muda menghasilkan rendemen minyak yang lebih besar dibandingkan dengan biji pala tua. Biji pala menghasilkan minyak atsiri sekitar 7-16%, sedangkan bagian fuli menghasilkan minyak sekitar 4-16% (Ketaren 1985). Rendemen dan mutu minyak dipengaruhi oleh beberapa faktor yang dapat digolongkan menjadi dua yaitu pra panen dan pasca panen. Faktor pra panen meliputi jenis (varietas) tanaman, cara budidaya, waktu dan cara panen. Faktor pasca panen meliputi cara penanganan bahan, cara penyulingan, pengemasan dan transportasi. Biji pala yang akan disuling minyaknya, sebaiknya dipetik pada saat menjelang terbentuknya tempurung yaitu berusia sekitar 4 - 5 bulan. Pada umur tersebut warna fuli masih keputih-putihan dan daging buahnya masih lunak. Fuli yang tua dan sudah merah warnanya, kandungan minyak atsirinya relatif rendah dan dimanfaatkan untuk ekspor (Somaatmaja 1984). Penyulingan dapat dilakukan dengan cara penyulingan uap (kohobasi) pada tekanan rendah, sedangkan penyulingan dengan tekanan tinggi dapat menyebabkan terbawanya minyak lemak sehingga akan menurunkan mutu minyak atsiri (Guenther 2006). Selain mengandung minyak atsiri, biji pala dan fuli mengandung lemak (trigliserida), pati dan serat kasar. Lemak (trigliserida) pala terdiri dari trimiristin, palmitin, olein, dan linelein serta fraksi tidak tersabunkan misalnya miristin (Ketaren 1985).
1. Komponen Minyak Atsiri Pala Minyak pala biasa diperoleh dengan cara destilasi uap dari biji atau fuli pala. Minyaknya tidak berwarna atau kuning dengan odor dan rasa seperti pala, tidak larut dalam air, tetapi larut dalam alkohol dan mempunyai bobot jenis pada 25 oC antara 0.859 – 0.924, refraktif indeks pada 20 oC antara 1.470–1.488 dan putaran optik pada 20 oC sekitar +10o-+45o (Marcelle dalan Nurdjannah 2007). Sedangkan karakteristik minyak pala banda dan fuli menurut Furia dan Bellanga dalam Rismunandar (1992) disajikan pada Tabel 2. Aroma minyak pala yang khas merupakan akibat dari kandungan beberapa komponenkomponen kimiawi, seperti monoterpen hidrokarbon ± 88 % dengan komponen utama camphene dan pinen, myristicin, dan monoterpen alkohol seperti geraniol, lonalol, terpineol, serta komponen lain seperti eugenol dan metil eugenol (Rismunandar 1992). Menurut Dorman et al dalam Jukic et al (2006) komponen utama minyak biji pala adalah terpen, terpen alkohol, dan fenolik eter.
6
Komponen monoterpen hidrokarbon yang merupakan komponen utama minyak pala terdiri atas βpinen (23.9%), α-pinen (17.2%), dan limonen (7.5%). Sedangkan komponen fenolik eter terutama adalah myristicin (16.2%), diikuti safrol (3.9%) dan metil eugenol (1.8%). Tabel 2. Karakteristik minyak atsiri biji dan fuli pala banda* Minyak Fuli Karakteristik Minyak Pala India Timur India Barat Bobot Jenis 20o/20o
0.866-0.929
0.883-0.917
0.862-0.882
o
1.475-1.479
1.474-1.488
1.469-1.480
Indeks refraksi 20
o
o
o
o
Putaran optik
(-9 )-(+41 )
(+20 )-(+30 )
(+20o)-(+45o)
Kelarutan dalam etanol 90%
-
1:3
1:4
*Sumber : (Furia dan Bellanga dalam Rismunandar 1992) Selanjutnya Dorman et al. (2004) menyatakan terdapat 25 komponen yang teridentifikasi dalam minyak pala banda (sejumlah 92.1% dari total minyak) yang diperoleh dengan cara penyulingan (hydrodistillation) menggunakan sebuah alat penyuling minyak menurut British Pharmacopeia. Pada prinsipnya komponen minyak tersebut teridentifikasi sebagai α-pinen (22,0%) dan β– pinen (21.5%), sabinen (15.4), myristicin (9.4), dan terpinen-4-ol(5.7). Minyak fuli mengandung lebih banyak myristicin daripada minyak pala. Produksi minyak pala per tahun sekitar 300 ton, produsen utamanya adalah Indonesia dan Sri Lanka, dengan pasar terbesar adalah USA sekitar 75 %. Beberapa minyak pala yang diekspor ke Eropa didestilasi dari pala genada dengan cara penyulingan uap pada umumnya rendemennya sebesar 11 %. Hasil analisis minyak tersebut dengan GC-MS menunjukkan minyak tersebut terdiri dari α-pinen, sabinen, β-pinen, myrcen, limonen, α-terpinen dan terpinen–4–ol (Lancashire 2002). Bahkan hasil penelitian barubaru ini terhadap minyak pala dari St Catherine, Jamaika, dan West Indian lain menunjukkan adanya perbedaan jumlah komponen yang nyata yang dapat digunakan untuk membedakan asal minyak.
2. Kegunaan Minyak Atsiri Pala Secara garis besar kegunaan minyak pala adalah sebagai berikut: (1) Zat penyedap (flavoring agent), (2) zat pewangi (fragance), (3) zat pengawet, dan (4) zat penghilang rasa sakit. Industri yang memerlukan penggunaan minyak pala umumnya adalah industri makanan dan minuman, industri kosmetik dan parfum, dan industri farmasi (Asyik 2005). Dalam industri makanan dan minuman, banyak pala diperlukan sebagai zat penyedap, pewangi, dan pengawet. Penggunaan minyak pala sebagai zat penyedap dalam industri tersebut adalah untuk memberikan rasa dan aroma yang sedap pada produk makanan dan minuman. Untuk pewangi makanan, penggunaan minyak pala terutama pada makanan-makanan yang dipanggang seperti cake, cokies, pudding, dan sebagainya. Penggunaan minyak pala secara bersama-sama dengan minyak cengkeh, vanili dan cassia adalah sebagai pencampur aroma tembakau pada industri rokok kretek. Sedangkan penggunaan minyak pala sebagai bahan pengawet makanan disebabkan oleh kandungan myristicin dalam minyak tersebut. Herman (1976) menjelaskan bahwa
7
dalam dosis tertentu myristicin dapat bersifat racun, sehingga penggunaan minyak pala dalam industri makanan dan minuman diperbolehkan dalam jumlah yang terbatas. Dalam industri kosmetika dan parfum yang memproduksi aneka produk kosmetik dan parfum, sabun, pasta gigi, dan sebagainya, penggunaan minyak pala adalah sebagai zat pewangi (fragances), karena sifat wangi dari minyak pala tidak kalah dengan minyak atsiri yang berasal dari bunga. Pada industri parfum, minyak pala digunakan sebagai bahan pencampur minyak wangi atau eau de cologne dan penyegar ruangan. Minyak pala juga digunakan untuk penyegar pasta gigi bersama dengan minyak permen peppermint oil (Asyik 2005).
C. METODE EKSTRAKSI MINYAK ATSIRI 1. Penyulingan (Guenther 2006) Salah satu cara untuk memproduksi minyak atsiri adalah dengan cara penyulingan. Cara ini yang banyak dilakukan oleh para industri kecil di bidang penyulingan minyak atsiri. Ada beberapa macam proses penyulingan untuk mendapatkan minyak atsiri antara lain:
a. Penyulingan dengan Air (Water Distillation) Pada metode ini, bahan yang akan disuling kontak langsung dengan air mendidih. Bahan tersebut mengapung diatas air atau terendam secara sempurna tergantung dari bobot jenis dan jumlah bahan yang disuling. Ciri khas dari metode ini adalah kontak langsung antara bahan dan air mendidih. Jenis bahan yang biasa disuling dengan metode ini adalah bahan berbentuk bubuk seperti bubuk buah badam, bunga mawar, dan orange blossom. Bahan tersebut tidak dapat disuling dengan metode uap langsung karena akan melekat dan membentuk gumpalan besar dan kompak sehingga uap tidak dapat berpenetrasi kedalam bahan.
b. Penyulingan dengan Air dan Uap (Water and Steam Distillation) Pada metode ini, bahan diletakkan pada rak-rak atau saringan berlubang. Ketel suling diisi dengan air sampai permukaan air tidak jauh dibawah saringan. Air dapat dipanaskan dengan berbagai cara yaitu dengan uap basah dan bertekanan rendah. Selain itu pemanasanya dapat juga menggunakan panas langsung seperti pada pemanasan air. Ciri khas dari metode ini adalah (1) Uap selalu dalam keadaan jenuh dan tidak terlalu panas, (2) Bahan yang disuling hanya berhubungan dengan uap dan tidak dengan atau mengenai air panas, (3) Bahan olah biasanya dari jenis daun, akar, dan batang.
bahan Plat berpori Uap masuk
Gambar 2. Penyulingan dengan uap dan air
8
c. Penyulingan Uap Langsung (Steam Distillation) Metode ketiga disebut dengan penyulingan uap atau penyulingan uap langsung. Uap yang digunakan adalah uap jenuh atau uap kelewat panas pada tekanan lebih dari 1 atmosfir. Pembentukan uap yang digunakan untuk memanasi bahan biasanya menggunakan peralatan tersendiri yaitu boiler. Uap dialirkan melalui pipa uap melingkar berpori yang terletak dibawah bahan, kemudian uap bergerak ke atas melewati bahan yang terletak di atas saringan.
cerobong
uap
bahan
Plat berpori Api Pipa uap Gambar 3. Skema alat penyulingan dengan uap dengan boiler lorong api
2. Enfleurasi Metode enfleurasi adalah metode pengambilan minyak atsiri dengan lemak dingin (fase padat) sebagai adsorben. Lemak tersebut digunakan untuk menyerap aroma yang keluar dari sampel. Metode ini sangat cocok untuk ekstraksi minyak atsiri pada bunga. Lemak yang digunakan harus tidak berbau dan memiliki konsistensi tertentu. Jika lemak terlalu keras maka kontak bahan dengan lemak akan relatif sulit. Hal ini akan mengurangi daya absorbsi dan rendemen minyak atsiri yang dihasilkan. Sebaliknya, jika lemak terlalu lunak maka bahan yang disebarkan pada permukaan lemak akan masuk kedalam lemak, sehingga absorbsi akan terganggu karena lemak akan melekat pada bahan. Waktu proses enfleurasi pada setiap bahan (bunga) berbeda-beda. Ekstraksi minyak bunga melati menggunakan enfleurasi dilakukan sekitar 24 jam, sedangkan untuk bunga mawar lebih lama. Lemak yang telah menyerap aroma dilarutkan ke dalam alkohol dan dilanjutkan dengan proses destilasi vakum untuk mendapatkan minyak atsiri pekat yang disebut absolute (Guenther 2006). Proses enfleurasi mengakibatkan penyusutan berat lemak kira-kira 10 %. Penyusutan ini disebabkan karena masih terdapat lemak yang melekat pada bunga layu yang telah dipisahkan (Guenther 2006). Proses ekstraksi selesai bila lemak relatif jenuh dengan minyak atsiri yang disebut pomade. Pomade lalu diekstraksi dengan alkohol sehingga melarutkan minyak atsiri dalam pomade tersebut. Hasil ekstraksi minyak dalam pomade dengan menggunakan alkohol menghasilkan larutan minyak atsiri dalam alkohol yang disebut ekstrait. Selanjutnya ekstrait didestilasi secara vakum pada suhu 47-50°C. Minyak yang dihasilkan dari destilasi ini disebut absolut enfleurasi (Guenther 2006). Pomade dan absolut enfleurasi mudah tengik dan bersifat asam. Hal ini disebabkan karena adanya komponen FFA yang larut dalam alkohol dan ikut terekstraksi pada saat pembuatan absolut. Ini dapat dicegah dengan penambahan benzoin ke dalam absolut enfleurasi terutama bila pomade diekstraksi dengan alkohol absolut (Ketaren, 1985).
9
3. Ekstraksi Dengan Pelarut Menguap (Guenther 2006) Ekstraksi dengan menggunakan pelarut menguap merupakan suatu fenomena perpindahan komponen-komponen pembentuk bahan ke dalam cairan lain (pelarut). Metode paling sederhana untuk mengekstrak padatan adalah dengan mencampurkan seluruh bahan dengan pelarut, lalu memisahkan larutan dengan padatan tidak terlarut. Cara kerja ekstraksi dengan pelarut menguap cukup sederhana, yaitu dengan merendam sampel dalam pelarut menguap, seperti petroleum eter. Pelarut akan berpenetrasi kedalam bahan dan melarutkan minyak atsiri, beberapa jenis lilin, dan alumin serta zat warna. Pelarut kemudian dipisahkan dengan menguapkannya pada evaporator vakum maka akan diperoleh minyak atsiri yang pekat. Suhu harus tetap dijaga rendah selama proses berlangsung agar uap aktif yang terbentuk tidak akan merusak persenyawaan minyak atsiri.
4. Maserasi Menurut Larsen dan Poll (1990), maserasi merupakan metode ekstraksi dengan pelarut yang paling mudah dan cepat. Prinsip metode ini adalah sampel dihancurkan, direndam dalam pelarut dan campuran dibekukan. Air dan komponen makro membeku, sedangkan pelarut tidak sehingga kedua bahan dapat dipisahkan. Metode ini merupakan cara yang baik untuk sempel yang sensitif terhadap suhu tinggi. Kerugian dari metode ini adalah terikutnya komponen non volatil lainnya yang dapat mengganggu analisis menggunakan Gas Chromatogaphy (Wijaya et el. 2001). Salah satu faktor penting dalam ekstraksi menggunakan metode maserasi adalah pelarut yang digunakan. Menurut Kumara (1998), pelarut terbaik dari hasil uji rangking berturut-turut yaitu diklorometana, dietil eter, diklorometana:pentana (1:1), dan pentana. Pemilihan pelarut juga berdasarkan indeks kepolaran yang dimiliki. Selain itu, Cronin (1982) menyatakan bahwa pelarut yang digunakan untuk mengekstraksi komponen flavor harus memiliki titik didih rendah agar memudahkan penguapan pelarut dari hasil ekstraksi dan tidak merusak komponen yang terekstrak. Ekstraksi menggunakan metode maserasi dilakuakan dengan menggunakan pelarut dietil eter. Sampel dihancurkan dan direndam pelarut dietil eter dengan perbandingan (1:2) sampai sampel terendam. Kemudian digoyang-goyang sekitar 15 menit dan disimpan semalam pada suhu refrigasi (5-10°C). Campuran sampel dan pelarut dipisahkan dengan kertas saring, lalu ditambahkan Na2S2O4 anhidrat ke dalam ekstrak solven sebanyak dua sudip agar terbebas dari air. Setelah itu dipekatkan dengan menggunkan kolom vigreux dengan suhu kira-kira lebih tinggi 510°C diatas titik didih pelarut yang digunakan, sampai kira-kira 1 ml. untuk meyakinkan kepekatan hasil ekstraksi, ekstrak dihembus dengan N2 dan selanjutnya hasil ekstraksi digunakan dalam analisis komponen volatil dengan disuntikan pada alat GC-MS.
5. Destilasi Metode Likens-Nickerson (Simultaneous Distillation Extraction) (Self 2005) Metode ekstraksi yang menggunakan uap dan distilasi pelarut organik secara bersamaan ini diperkenalkan oleh S.T. Likens dan G.B. Nickerson di tahun 1964. Metode ini biasa disebut "Simultaneous Steam Distillation–Extraction (SDE)".
10
Gambar 4. Alat ekstraksi Likens–Nickerson simultaneous steam distillation–extraction. Matriks bahan pangan yang bercampur dengan air diletakkan pada labu dan dipasang pada labu A, sedangkan pelarut organik (memiliki berat jenis lebih rendah dari air) diletakkan dalam labu destilasi dan disisipkan pada labu B. Kondesor dingin C dipasang dalam tabung D sehingga kondensat akan kembali kedasar dari D, sedangkan air akan mengalir kembali ke labu A dan pelarut akan berkumpul dipermukaan air sehingga sewaktu-waktu akan kembali ke labu B. Proses ekstraksi dilakukan selama satu jam terhitung setelah sampel mendidih. Dalam memilih metode pengisolasian komponen volatil dari produk makanan, beberapa parameter harus dipertimbangkan secara cermat. Kehilangan komponen penting disebabkan oleh selektivitas yang tidak tepat atau efisiensi yang rendah. Faktor-faktor yang menyebabkannya diantaranya konsentrasi, rentang titik didih dan polaritas, stabilitas (dekomposisi dan pembentukan artefak) komponen, dan kemudahan pengoksidasian. Alat Likens-Nickerson pada prinsipnya adalah mengekstraksi sampel (hancuran bahan) dalam air secara terus-menerus dengan proses penyulingan dan penguapan. Senyawa volatil akan ikut terkondensasi sedangkan pelarut akan kembali ke labu semula. Keuntungan dari metode ini adalah penggunaan pelarut yang relatif sedikit, namun dengan kuantitas bahan (sampel) yang cukup banyak. Alat ini pada mulanya diaplikasikan untuk ekstraksi volatil dari keripik kentang, sayuran, dan produk unggas. Metode ini ditemukan dalam berbagai aplikasi dalam analisis flavor. Destilat dari komponen volatil bahan akan ikut menguap bersamaan dengan menguapnya pelarut organik. Pemisahan campuran kondensat terjadi karena perbedaan masa jenis sehingga air dan pelarut organik akan kembali pada labu awal masing-masing. Setelah proses ekstraksi selesai, komponen volatil bahan akan berada pada labu pelarut organik. Metode ini sangat cocok dan populer dalam bidang analisis pangan dan kimia falvor. Meskipun komponen volatil secara terus menerus terdestilasi dan dipanaskan sehingga meningkatkan kemungkinan kerusakan, namun metode ini tetap popular saat ini. Menurut Sudjadi (1985), dalam proses ekstraksi harus digunakan pelarut yang sesuai. Pelarut yang digunakan merupakan pelarut organik yang mempunyai titik didih rendah, tidak beracun, dan tidak mudah terbakar. Pelarut organik yang umum digunakan untuk memproduksi minyak atsiri dari bunga, daun, biji, akar, dan bagian lain dari tanaman adalah etil asetat, heksan,
11
petroleum eter, benzen, toluen, etanol, isopropanol, aseton, dan air (Mukhopadhyay 2002). Nilai polaritas beberapa pelarut tersebut dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Titik didih dan polaritas pelarut organik (Mukhopadhyay 2002) No
Pelarut
Titik didih (°C)
Polaritas (E°C)
1
Etanol
78.3
0.68
2
Aseton
56.2
0.47
3
Etil asetat
77.1
0.38
4
Heksan
68.7
0
5
Penten
36.2
0
6
Diklorometana
40.8
0.32
7
Isopropanol
82.2
0.63
8
Air
100
>0.73
9
Propilen glikol
187.4
0.73
10
Dietil eter
34.6
-
11
Karbondioksida
-56.6
0
D. GAS CROMATOGAPHY-MASS SPECTROMETRY (GC-MS) Gas chromatogaphy–mass spectrometry (GC–MS) adalah kombinasi dari dua peralatan analitik yang sangat baik. Dua peralatan itu adalah gas chromatography (GC) sebagai alat pemisahan fase gas yang efektif untuk campuran senyawa dan mass spectrometry (MS) sebagai alat konfirmasi identitas dari komponen-komponen sehingga baik untuk identifikasi senyawa yang tidak diketahui (Niessen 2001). GC adalah metode pemisahan fisik. Komponen di dalam campuran senyawa disalurkan diantara fase gerak (berupa gas inert) dan fase stasioner yang melapisi partikel pembungkus kolom atau dinding kolom bagian dalam. Proses chromatogaphis terjadi sebagai hasil dari pengulangan langkah sorpsi/desorpsi selama gerakan analit sepanjang fase diam oleh gas pembawa. Pemisahan ini disebabkan oleh perbedaan koefisien distribusi komponen individu dalam campuran. Sebagai metode pemisahan fase gas, GC mengharuskan analit menjadi uap sebelum pemisahan. Dengan demikian, penerapan GC hanya terbatas pada komponen dengan volatilitas yang cukup dan memiliki stabilitas termal (Niessen 2001). GC merupakan teknik analisis utama dalam pemisahan komponen volatil. GC mengkombinasikan kecepatan analisis, resolusi, kenyamanan pengoperasian, hasil kuantitatif yang baik, dan biaya yang tidak terlalu mahal. Sayangnya, sistem GC tidak dapat mengkonfirmasi identitas atau struktur dari peak yang ada. Data GC saja tidak bisa digunakan untuk identifikasi peak (McNair dan Miller 1998). Dilain pihak, MS adalah salah satu detektor yang kaya informasi. MS hanya membutuhkan mikro gram dari sampel dan menyediakan data untuk identifikasi kualitatif dari senyawa yang tidak diketahui (struktur, komposisi elemen, dan bobot molekul). Sehingga MS mudah untuk digabungkan dengan sistem GC (McNair dan Miller 1998). Pada prinsipnya, MS adalah pemisahan produksi ion fase gas menurut perbandingan massa terhadap muatan senyawa (m/z) yang terdeteksi. Spektrum
12
massa yang dihasilkan adalah plot dari kelebihan (relatif) dari ion yang dihasilkan sebagai fungsi dari rasio m/z. Selektivitas yang tinggi dapat diperoleh dalam analisis ini yang merupakan hal paling penting dalam analisis kuantitatif (Niessen 2001). Keuntungan dua teknik dari kombinasi GC-MS adalah kemampuan pemisahan komponen yang tinggi dan kecepatan analisis GC terjaga, sedangkan MS menyediakan identifikasi positif dan analisis kuantitatif hingga mencapai level ppb (McNair dan Miller 1998). Kombinasi GC dan MS secara langsung telah membangkitkan minat dalam riset flavor, teknik ini menjadi teknik instrumentasi utama dalam identifikasi komponen volatil. Untuk menjadi bermanfaat dalam kombinasi dengan GC, MS harus memiliki kemampuan membaca dengan sensitifitas yang cukup untuk mendapatkan hasil spektrum massa kira-kira 1 sampai 10 ng komponen saat dioperasikan pada mode electron ionization (EI) (Niessen 2001).
13