TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Geografi Papua Daerah New Guinea, termasuk daerah Kepala Burung, relatif baru terbentuk sebagai hasil pergerakan dan tumbukan lempeng tektonik Indo-Australia ke arah utara dengan lempeng Pasifik ke arah timur, yang mencapai puncaknya sekitar akhir Miosen, yaitu sekitar 5-15 juta tahun yang lalu. Pegunungan tengah daerah kepala burung diperkirakan terpisah dari benua Australia dan dataran utama New Guinea pada pertengahan hingga akhir masa Eosen (sekitar 40 juta tahun yang lalu). Kemudian, kepala burung terhubung dengan daratan utama New Guinea dengan munculnya Lengguru Fold Belt, yaitu “bagian leher” sekitar akhir Pliosen atau awal Pleistosen (sekitar 1-2 juta tahun yang lalu). Pada saat yang sama muncul pula pulau di teluk Cenderawasih, yaitu Batanta dan Waigeo. Benua Australia kemudian terpisah dengan daratan utama New Guiena sekitar 8000 tahun yang lalu (Miedema & Reensik 2004). Berdasarkan data yang diperoleh dari studi arkeologi di Dataran Ayamaru, pada ketinggian sekitar 300–400 m, tampak bahwa sebagian besar lingkungan berubah sesudah akhir masa glasial. Penggalian yang dilakukan di dua gua dekat danau Ayamaru (Sorong) menunjukkan tiga periode yang berbeda. Periode tertua adalah periode glasial, yang diwakili oleh Gua Toe. Periode ini dimulai pada akhir masa Pleistosen, yaitu mulai sekitar 26.000 tahun yang lalu (BP, Before Present), ketika gua tersebut pertama kali dihuni. Deposit yang mewakili periode ini menghasilkan sejumlah besar peninggalan hewan Montana. Saat ini spesies Montana, seperti kuskus (Phalanger vestitus), hanya ditemukan di daerah yang lebih tinggi. Iklim pada masa itu diperkirakan lembab dan dingin. Periode kedua disebut periode transisi. Periode ini diwakili oleh Gua Toe dan Gua Kria. Laporan arkeologi menemukan fauna dataran rendah mendominasi pada periode itu, sementara fauna Montana semakin berkurang. Terakhir adalah periode modern. Pada 6.000 tahun yang lalu, kondisi dataran Ayamaru pada masa itu mirip dengan kondisi saat ini. Sedimen dari dua gua tersebut mengandung hewan vertebrata yang mirip dengan hewan vertebrata di dataran rendah kepala burung. Selama periode transisi dan modern, fauna yang mendominasi adalah fauna yang hidup di
8 hutan, seperti walabi (Dorcopsis muelleri) (Miedema & Reensik 2004; Pasveer 2007). Kolonisasi Manusia Purba di Australia Sejarah kehidupan manusia Papua berkaitan erat dengan manusia Australia. Terdapat dua pandangan utama tentang manusia pertama yang menghuni Australia yang menjelaskan munculnya variasi morfologi kranial (Brown 1987; Stringer 2002). Kedua model tersebut diusulkan sejak tahun 1960, dan masih menjadi subjek perdebatan (Curnoe 2009). Pandangan pertama menjelaskan bahwa terdapat dua atau lebih migrasi ke Australia. Kolonisasi pertama berkaitan dengan manusia Jawa (yaitu Homo erectus, namun beberapa kelompok peneliti menyebutnya H. sapien) yang memperkenalkan populasi robust sekitar 50.000 tahun yang lalu. Kejadian kolonisasi ini didukung oleh penemuan fosil manusia Willandra Lakes yang dikenal dengan istilah WLH-50 (Willandra Lakes Human 50), dan beberapa sampel berasal dari Kow Swamp, Cohuna, dan Coobol Creek. Kolonisasi kedua berasal dari Cina. Populasi ini dikenal dengan istilah manusia gracile berdasarkan fosil yang ditemukan di Lake Mungo sekitar 30.000 tahun yang lalu, dan beberapa fosil gracile juga ditemukan di Pulau King dan Keilor (Brown 1987; Stringer 2002). Berdasarkan kedua populasi ini, yaitu gracile dan robust, maka diasumsikan bahwa variasi yang muncul pada manusia modern Aborigin Australia saat ini merupakan hasil hibridisasi antara manusia gracile dan robust. Akan tetapi, pendapat lain menjelaskan bahwa manusia gracile dan robust merupakan satu populasi secara morfologi. Karakter morfologi yang relatif homogen pada manusia Aborigin Australia tersebut menunjukkan masa kolonisasi yang hanya terjadi satu kali di daerah Australia pada masa Pleistosen. Keragaman morfologi berkembang setelah masa pendudukan di Australia (Stringer 2002; Curnoe 2009). Stringer (2002) lebih menekankan bahwa keragaman morfologi pada manusia purba Australia di masa akhir Pleistosen merupakan efek dari perubahan iklim yang terjadi pada jaman es (last glacial maximum) sehingga menyebabkan terjadinya isolasi dan perubahan morfologi pada beberapa populasi Australia. Pendapat ini didukung pula oleh Stone dan Cupper (2003).
9 Penemuan terbaru dengan menggunakan serangkaian kombinasi teknik yang berbeda, merevisi kembali usia fosil manusia gracile yang diwakili oleh Lake Mungo 1 dan 3. Kedua fosil itu diperkirakan berusia sekitar 62.000 tahun yang lalu. Selain itu, manusia robust yang diwakili oleh WLH-50 diperkirakan berusia sekitar 14.000 tahun yang lalu, dan manusia robust Kow swamp berusia sekitar 19.000-22.000 tahun yang lalu (Stringer 2002; Stone & Cupper 2003). Hal ini menunjukkan bahwa manusia pertama yang menghuni Australia bukanlah manusia robust, melainkan manusia gracile. Penemuan ini juga didukung oleh studi Curnoe (2009) yang berpendapat bahwa manusia gracile WLH1 dan WLH3 merupakan manusia pertama yang menghuni Australia sekitar 50.000-70.000 tahun yang lalu. Kedua fosil ini dianggap merupakan manusia modern tertua yang berasal dari Afrika. Kemudian, kelompok kedua merupakan manusia robust yang diwakili oleh WLH-50 sekitar 14.000 BP, dan beberapa fosil dari Kow Swamp, Cohuna, dan Nacurrie diperkirakan menghuni Australia sekitar 20.000 tahun yang lalu. Selain bukti arkeologi, pandangan lain tentang migrasi ke Australia adalah bukti genetik yang menerangkan bahwa manusia modern tertua yang menghuni Australia berasal dari Afrika melalui lebih dari dua migrasi. Multiple dispersal model ini menekankan bahwa keturunan yang berasal dari migrasi yang lebih awal berasimilasi atau digantikan oleh populasi yang bermigrasi lebih akhir. Dari Afrika, nenek moyang Aborigin Australia kemudian terpisah dari populasi Eropa sekitar 62.000-75.000 tahun yang lalu, sebelum populasi Eropa dan populasi Asia terpisah sekitar 25.000-38.000 tahun yang lalu. Kemudian sekitar 50.000 tahun yang lalu, nenek moyang Aborigin Australia menghuni Australia. Penemuan ini juga menunjukkan bahwa terdapat aliran gen antara populasi Asia dan Aborigin Australia, namun tidak terdapat bukti adanya percampuran dengan populasi Eropa (Rasmussen et al. 2011). Penelitian Curnoe (2009) lebih mendukung teori asal usul manusia modern Out of Africa bahwa manusia modern Australia berasal dari manusia modern Afrika yang paling awal bermigrasi ke daerah Asia Timur/Asia Tenggara sekitar <100.000 tahun yang lalu. Hal ini berdasarkan bukti perkembangan dan fungsi morfologi kranial manusia robust yang menghuni Australia pada masa
10 Pleistosen/awal Holosen. Studi ini berbeda dari teori multiregional evolution model (Stringer 2002). Teori itu menekankan peran kontinuitas genetik yang terjadi dari waktu ke waktu di berbagai daerah dan adanya aliran gen antara populasi yang hidup pada masa yang sama. Karena itu, manusia modern tidak hanya berasal dari Afrika (seperti penjelasan teori Out of Africa), melainkan juga berasal dari Asia dan Eropa. Asal Usul Ras Papua Sejak zaman prasejarah terdapat beberapa kelompok imigran yang datang ke berbagai daerah di dataran New Guinea, kemudian menghuni daerah New Guinea dan tinggal terpisah satu dari yang lain. Karena itulah karakter morfologi fisik orang Papua saat ini beraneka ragam (Koentjaraningrat 2007). Verneau (1881) dan Lawes (1882) menjelaskan bahwa orang Papua berasal dari ras campuran. Pernyataan ini berdasarkan beberapa perbedaan pada 12 tengkorak yang ditemukan di daerah pedalaman New Guinea, Amberbaken (Manokwari), Rawak, Boni, dan Kep. Toud, dari tengkorak dari ras Negrito yang dijumpai di daerah Kepulauan Filipina, Kepulauan Sunda, Semenanjung Malaka, dan Kepulauan Andaman. Tengkorak dari ras intermediet ini sedikit lebih memanjang, dengan indeks kepala rata-rata menurun hingga 60,15; sedangkan indeks wajahnya meningkat hingga 67,17, dan maxillary prognathism lebih runcing daripada ras Negrito. Dalam beberapa hal, Negrito-Papua juga membentuk transisi antara ras Negrito asli dengan ras Tasmania. Nama Papua diberikan oleh orang Melayu yang mengacu pada ras Negrito Papua. Sebutan itu ditujukan kepada suatu kelompok orang dengan ciri rambut menyemak (keriting). Ras ini banyak dijumpai di keseluruhan Melanesia dan sebagian Australia. Tengkorak yang dipilih sebagai tipikal ras Papua berasal dari Port Dorei (sekarang Doreri, Manokwari) yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut: kepala berbentuk dolichochephalus. Indeks cephalic menurun hingga 71,03 bahkan hingga 70,32 pada tengkorak laki-laki. Diameter vertikal melebihi diameter transversal sehingga kepala bercirikan hypsistenocephalus (atau kepala lebih panjang daripada lebar). Bentuk kepala ras ini memiliki indeks horizontal 71,55 dan indeks vertikal 105,51 dengan kapasitas kranial sekitar 1,350 cm3.
11 Bentuk kepala dicirikan panjang, sempit, dan tinggi. Dahi sempit menyebabkan tulang pipi sangat menonjol. Secara keseluruhan, wajah berbentuk panjang/tinggi dan sempit, tulang hidung agak panjang dan sedikit melengkung. Prognathisme ras ini sangat tajam. Sudut fasial bervariasi antara 73o dan 76o. Perempuan Papua umumnya kurang dolichocephalus dan hypsistenocephalus daripada prianya (Verneau 1881, Morris 1900). Papua murni atau Papua campuran ditemukan hidup di Ternate, Seram Timor, dan Malaysia. Tipe murni terdapat di New Britain dan Yanikoro di New Hebrides, tetapi di bagian lain dari Melanesia terjadi percampuran dengan Negrito-Papua atau tipe Polinesia. Jejak Negrito Papua campuran dijumpai di Kep. Toud (Selat Torres), namun sebagian besar penduduk dari pulau-pulau tersebut dan daerah New Guinea adalah Papua asli (Verneau 1881). Lawes (1882) telah melihat adanya bukti variasi yang besar pada fisiognomi wajah dan bentuk tengkorak kepala orang Papua, yang didukung oleh pernyataan Prof Giglioli dari Florence. Ia mengatakan bahwa telah melihat sebagian besar koleksi tengkorak yang dibuat oleh Signor D‟Albertis dalam perjalanannya menyusuri sungai Fly (Merauke, Papua) dan Ia mengatakan adanya keragaman yang tinggi dalam bentuk cranium dari beberapa penduduk asli pedalaman. Dengan demikian, hanya satu kemungkinan penjelasan tentang hal tersebut, yaitu telah terjadi percampuran antarras di daerah tersebut. Salah satu indikasinya adalah perbedaan warna kulit yang sangat nyata. Ke arah Barat dijumpai penduduk asli dengan warna kulit hitam, sedangkan dari Teluk Redscar ke arah timur, yaitu ras yang tinggal di daerah pantai, memiliki warna kulit cokelat terang. Penduduk di daerah pegunungan dan daerah pedalaman memiliki warna kulit di antara keduanya. Ia kemudian menyimpulkan bahwa orang-orang di daerah pegunungan dan pedalaman merupakan penduduk asli Papua, sedangkan penduduk yang mendiami daerah pantai dengan warna kulit cokelat dan hitam kemungkinan adalah pendatang (Lawes 1882). Suku Arfak Masyarakat Arfak adalah penduduk asli daerah pedalaman dataran tinggi daerah Manokwari, Provinsi Papua Barat. Kata Arfak berasal dari Bahasa Biak
12 Numfor dan juga digunakan oleh orang Biak pantai untuk menyebut penduduk asli di pedalaman Pulau Biak (Craven & de Fretes 1987). Mereka terdiri atas empat subsuku, yaitu Hattam, Sougb, Moile, dan Meyah, yang dikenal dengan istilah „Suku Besar Arfak”. Hattam merupakan kelompok suku yang dominan di Pegunungan Arfak (Sumule 1994; Laksono et al. 2001). Secara geografi, asal suku keempat subsuku itu berbeda-beda. Craven & de Fretes (1987) membagi Suku Arfak menjadi tiga subsuku, yaitu Hattam, Meyah, dan Sougb. Kemudian subsuku Hattam terbagi lagi menjadi tiga kelompok (rumpun), yaitu Moile di sebelah utara dan daerah pantai; Tinam di daerah hulu sungai Ingamou dan sisi timur sungai Ransiki sampai sejauh Sower di sebelah selatannya; dan Urwam sebuah kelompok di daerah pantai sebelah utara Oransbari. Rumpun ini terbagi lagi ke dalam marga yang berbeda-beda. Suku Sougb umumnya dikenal orang luar sebagai Suku Manikion. Kata Manikion berasal dari bahasa Biak. Daerah kekuasaan suku ini terletak di sebelah barat daerah suku rumpun Tinam. Suku Meyah berlokasi di sebelah barat daerah rumpun Moile dan tanah sukunya membentang jauh sampai ke pedalaman kepala burung. Oleh orang Hattam mereka disebut orang Arfak asli (Craven & de Fretes 1987). Identitas subsuku awalnya dibedakan menurut lokasi pemukiman, bahasa dan marga, namun saat ini keempat subsuku tersebut mulai sulit untuk dibedakan. Karena itu, bahasa yang digunakan sebagai sarana komunikasi antarsuku adalah bahasa campuran sehingga umumnya setiap orang menguasai lebih dari satu dialek. Secara keseluruhan, kehidupan Suku Arfak masih jauh tertinggal dengan fasilitas air bersih, listrik, transportasi, dan sarana kesehatan yang terbatas. Di samping itu, tempat tinggal sebagian besar Suku Arfak adalah semi-permanen. Wajah Suku Arfak Berdasarkan penelusuran literatur, hanya Verneau (1881) yang secara ilmiah mendeskripsikan bentuk kraniofasial orang Arfak. Secara umum, bentuk kepalanya adalah dolicochephalus, namun bentuk kepala wanita Arfak kurang panjang bila dibandingkan dengan laki-laki Arfak. Dahinya sempit menyebabkan tulang pipi sangat menonjol, wajah berbentuk panjang dan sempit, tulang hidung
13 agak panjang dan sedikit melengkung, prognathisme sangat tajam. Untuk memperjelas dan mengupdate bentuk wajah Suku Arfak yang telah terdeskripsi secara visual, maka penelitian ini menggunakan metode yang relatif baru berdasarkan koordinat titik anatomi wajah, yaitu morfometrika geometris. Morfometrika
geometris
merupakan
suatu
metode
statistik
yang
berkembang sekitar tahun 1990. Pada tahun sebelumnya, yaitu sekitar tahun 1960 dan 1970, perangkat statistika multivariat digunakan sebagai alat dalam menggambarkan pola variasi bentuk dan kovariatnya di dalam maupun antarkelompok. Pendekatan ini dikenal dengan istilah morfometrika tradisional atau morfometrika multivariat. Mulanya, morfometrika diaplikasikan untuk menggambarkan secara kuantitatif suatu organisme. Biasanya pengukuran jarak linear, sudut, rasio, dan area yang homolog yang digunakan dalam analisis multivariat. Oleh karena itu, pengukuran ini menggambarkan ukuran suatu organisme tanpa mempertimbangkan bentuk. Melalui pendekatan ini, kovariasi dalam pengukuran morfologi dapat dikuantifikasi dan pola variasi di dalam dan di antara kelompok dapat dinilai. Sayangnya, pendekatan ini tidak mampu menggambarkan secara grafis perbedaan antara bentuk-bentuk yang ada, akan tetapi memiliki keunggulan karena mampu memetakan data individu ke ruang karakter hiper-dimensional. Analisis statistika yang termasuk dalam metode ini meliputi Analisis Komponen Utama (AKU), analisis faktor, Canonical Variat Analysis (CVA), dan analisis fungsi diskriminan (Adams et al. 2004). Pada akhir tahun 1980 dan awal tahun 1990 terjadi perubahan dalam menganalisis data kuantitatif struktur morfologi suatu organisme. Pendekatan baru ini, yang membawa paradigma baru dalam morfometrika, dikenal dengan istilah morfometrika geometris atau analisis bentuk geometri. Pada metode ini, kerangka analisis koleksi data bergeser dari pengukuran skalar menjadi pembangkitan koordinat Kartesius (x, y, dan z untuk 3 dimensi) dari titik-titik anatomis suatu bentuk biologis. Dengan jumlah titik anatomis yang optimum pada suatu bentuk, data koordinat akan mewakili bentuk tersebut secara baik. Metode ini disebut morfometrika geometris (Rohlf & Marcus 1993; Richtsmeier et al. 2002). Pada 20 tahun terakhir, penelitian dalam bidang ini banyak dipelopori oleh Bookstein dan Kendall. Bookstein (1989; 1991) menyumbangkan hasil
14 pemikirannya tentang analisis bentuk geometri, terutama aplikasinya dalam bidang biologi. Dia memperkenalkan serangkaian teknik analisis statistik dalam menganalisis variasi bentuk. Kendall (1989) mereview kembali teori tentang bentuk dan perkembangannya yang diperkenalkan olehnya pada tahun 1977. Penelitian lain yang berkaitan dengan pengembangan metode dan aplikasinya juga banyak disumbangkan oleh Rohlf (2000); Slice (2001); Richtsmeier et al. (2002); Rohlf (2003) dan Von Cramon-Taubadel et al. (2007). Selain itu, Dryden & Mardia (1998) memberikan ulasan tentang bentuk dari sudut pandang ilmu statistik. Beberapa metode dikembangkan untuk digunakan pada morfometrika geometris, yaitu perangkat superimposisi dan deformasi. Metode superimposisi mengeliminasi variasi tak sebentuk di dalam konfigurasi titik-titik anatomis dengan menumpukkan bentuk-bentuk yang ada pada sentroid umumnya menurut beberapa kriteria optimasi. Setiap koordinat kemudian diputar dengan kriteria tertentu untuk meminimalisasi variasi bentuk antara mereka. Metode ini disebut Generalized Procrustes Analysis (GPA) yang dahulu disebut Generalized Least Square (GLS). Formula ini dapat digunakan untuk menghitung bentuk rata-rata dari suatu kelompok biologis. Bentuk rata-rata ini kemudian dapat digunakan sebagai bentuk tipe kelompok tersebut, atau dapat digunakan sebagai bentuk referensi saat analisis deformasi. Beberapa metode superimposisi yang telah dikembangkan, masing-masing menggunakan protokol dan kriteria optimasi yang berbeda. Two-point registration (koordinat bentuk Bookstein) merupakan metode superimposisi sederhana yang meletakkan dasar bagi pengembangan teori bentuk Bookstein pada akhir tahun 1980 (Rohlf & Marcus 1993; Dryden & Mardia 1998; Zeldich et al. 2004) Setelah metode superimposisi, perbedaan bentuk dapat digambarkan sebagai perbedaan koordinat titik-titik anatomi di antara objek. Perbedaan ini dapat juga digunakan sebagai data dalam menganalisis variasi bentuk dengan analisis perbandingan multivariat. Formula thin-plate spline (TPS) mampu memetakan deformasi dari suatu bentuk objek (biasanya bentuk referensi) ke bentuk lainnya dengan
menggunakan
pergerakan
titik-titik
anatomis.
Proses
ini
akan
membangkitkan grid yang menggambarkan pemetaan titik-titik anatomis homolog
15 dari dua bentuk yang ada (Adams et al. 2004). Analisis deformasi bermula ketika Thompson pada tahun 1917 mengembangkan metode untuk menghasilkan grid deformasi, dimana suatu grid kotak beraturan diletakkan pada suatu bentuk. Kemudian bentuk tersebut dideformasikan ke bentuk selanjutnya secara halus. Perubahan bentuk grid menggambarkan perubahan bentuk yang ada. Thompson menggambarkan grid tersebut dengan tangan sehingga sangat subjektif. Namun Bookstein (1991) memberikan formula statistik yang memunginkan grid deformasi digambarkan secara objektif, yaitu Thin-Plate Spline. Grid deformasi yang dihasilkan dari metode TPS dapat ditransformasi melalui analisis pelekukan relatif (relative warp) (Rohlf & Marcus 1993). Parameter hasil transformasi tersebut dapat digunakan sebagai variabel dalam statistik multivariat analisis komponen utama (Principal Component Analysis, PCA). Analisis relative warp sebenarnya berkaitan dengan analisis PCA. Metode ini berguna dalam mengeksplorasi variasi di dalam sampel, dengan cara mereduksi total variasi menjadi dimensi independen dengan jumlah yang lebih kecil. Umumnya, beberapa komponen pertama (relative warp) merangkum sebagian besar variasi dari suatu sampel. Titik anatomi landmark memiliki peran penting dalam morfometrika geometris, terutama dalam analisis bentuk. Landmark merupakan lokus-lokus yang memiliki pengertian yang sama dengan koodinat kartesius. Landmark menyatakan homologi sesungguhnya (yang berkaitan dengan biologi) dari suatu bentuk ke bentuk lain. Ini berarti titik anatomi landmark tidak hanya berhubungan dengan lokasinya sendiri tapi juga berhubungan dengan lokasi dari setiap bentuk yang lain dan rata-rata dari keseluruhan bentuk. Terdapat beberapa kriteria dalam menentukan landmark sehingga semua informasi ciri biologi yang diamati terwakili. Idealnya landmark merupakan titik anatomi yang homolog, posisi tipologinya tidak berubah dengan landmark yang lain, menyediakan informasi ciri morfologi yang cukup, dapat diulang, dan dipercaya. (Adams et al. 2004; Zeldich et al. 2004). Dryden & Mardia (1998) menentukan 3 tipe landmark, yaitu (1) titik yang menghubungkan jaringan atau tulang, (2) titik yang didefenisikan berdasarkan local properties, dan (3) titik terluar. Terdapat tipe lain titik anatomi
16 yaitu semi-landmark. Pada tipe ini, sebuah titik ditempatkan di dalam sebuah bentuk kurva. Tahap-tahap Pertumbuhan Manusia Pertumbuhan dan perkembangan terjadi secara simultan, akan tetapi proses biologi keduanya berlangsung secara berbeda. Pertumbuhan merupakan peningkatan besar tubuh secara kuantitatif dalam jumlah dan massa, sedangkan perkembangan didefinisikan sebagai perubahan organik secara kualitatif dan kuantitatif dari bentuk yang belum terdiferensiasi atau belum matang ke bentuk yang matang, terorganisasi, dan terspesialisasi. Pertumbuhan manusia sesudah kelahiran (pascanatal) terbagi menjadi 5 tahap yang berbeda, yaitu fase bayi, anak-anak, yuwana, remaja, dan dewasa. Pertumbuhan dan perkembangan di masa anak, yuwana, dan remaja merupakan proses dinamis yang ditandai oleh perubahan fisik, perkembangan seksual, dan perubahan fisiologi yang berkaitan (Marshall 1978; Bogin 1999). Fase bayi merupakan fase ketika individu bergantung pada makanan dari ibunya dalam bentuk air susu. Setelah masa sapih (12 bulan hingga 36 bulan), individu memasuki masa anak-anak di mana penyiapan makanannya masih bergantung pada bantuan orang lain karena sistem pencernaanya belum matang. Ketika geraham pertamanya tumbuh, pada usia 6-7 tahun, ia memasuki masa yuwana (Bogin 1999) yang merupakan tahap seseorang mulai independen. Periode Pertumbuhan Anak-anak Fase anak dicirikan oleh pola pertumbuhan, perilaku makan, perkembangan motorik, dan kematangan kognitif yang spesifik. (Robison 1968; Malina et al. 2004). Dua kejadian penting yang berkaitan dengan perkembangan fisik pada masa anak adalah munculnya gigi permanen yang pertama dan penyelesaian pertumbuhan berat otak (Bogin 1999). Saat awal fase anak terjadi penurunan laju pertumbuhan yang drastis. Di lain pihak, kemampuan lokomosi berkembang dan matang. Selain itu, perkembangan tinggi badan anak laki-laki lebih cepat dibandingkan anak perempuan, dan struktur skeletal menjadi lebih padat. Akhir masa anak-anak ditandai oleh laju pertumbuhan yang kecil. Perkembangan otot
17 sangat cepat, terutama pertumbuhan otot yang berukuran besar lebih cepat dibandingkan otot yang mengontrol koordinasi. Sistem respirasi dan jantung menjadi lebih teregulasi dan berkembang. Pada pertengahan masa anak-anak perkembangan pertumbuhan fisik, kematangan, dan perkembangan perilaku relatif tetap (Robison 1968; Malina et al. 2004). Pertumbuhan anak merupakan indikator terbaik untuk memonitor status gizi dan kesehatan suatu populasi. Indeks antropometri yang umumnya digunakan secara internasional untuk menilai pertumbuhan dan status gizi, serta kondisi kesehatan pada anak-anak adalah berat terhadap tinggi (weight-for-height), tinggi terhadap umur (height-for-age), dan berat terhadap umur (weight for age) (de Onis & Habicht 1996; de Onis & Blossner 2003) Periode Pertumbuhan Yuwana Periode yuwana didefinisikan sebagai masa prapubertas dan anak tidak lagi bergantung sepenuhnya pada orang lain untuk bertahan hidup. Pada anak perempuan, akhir masa yuwana diperkirakan sekitar usia 10 tahun, yaitu dua tahun sebelum akhir masa yuwana pada anak laki-laki. Perbedaan ini merefleksikan anak perempuan memiliki masa remaja yang lebih awal. Masa ini ditandai oleh laju pertumbuhan yang menurun namun dalam waktu yang relatif singkat. Laju pertumbuhan yang lambat terlihat pada tinggi dan berat badan, jaringan, organ, dan sistem tubuh. Pertumbuhan pada fase yuwana dapat diprediksi karena stabil dan seimbang (Bogin 1999). Periode Pertumbuhan Remaja Masa remaja merupakan suatu periode transisi dari masa anak-anak ke masa dewasa. Pada masa ini seorang anak mengalami beberapa perubahan unik yang berkaitan dengan pertumbuhan fisik, sosial, intelektual, perkembangan seksual, dan aktivitas hipotalamus-pituitari yang berhenti pada masa anak-anak dan yuwana diinisiasi kembali untuk memproduksi hormon yang berkaitan dengan sistem gonad (Bogin 1999; Unicef 2006). Masa remaja merupakan suatu periode yang lebih sulit untuk didefinisikan dalam pengertian kronologi umur, karena terdapat variasi waktu saat awal dan
18 akhir masa remaja. WHO mendefinisikan usia remaja berkisar antara 10-18 tahun, akan tetapi kisaran usia antara 8-19 tahun pada anak perempuan dan 10-22 tahun pada anak laki-laki merupakan kisaran usia yang lebih sesuai untuk mendefinisikan usia masa remaja (Malina et al. 2004). Pada periode remaja, sebagian besar sistem tubuh menjadi dewasa secara struktural dan fungsional. Secara struktural, masa remaja diawali dengan peningkatan laju pertumbuhan besar tubuh, yang ditandai dengan lonjakan pertumbuhan masa remaja (adolescent growth spurt). Secara fungsional, masa remaja dipandang sebagai masa kematangan seksual, yaitu dimulai dengan perubahan sistem neuroendokrin sebelum terjadi perubahan fisik, dan diakhiri dengan pencapaian pematangan fungsi reproduksi (Malina et al. 2004). Secara struktural, laki-laki dan perempuan pada masa remaja menunjukkan peningkatan kecepatan pertumbuhan pada semua jaringan skeletal, massa otot, tulang, dan lemak. Perubahan kecepatan dan lonjakan pertumbuhan pada masa remaja mempengaruhi hampir semua bagian tubuh, meliputi panjang tulang, tulang belakang, tulang wajah dan tengkorak, jantung, paru-paru, dan organ visceral lain (Bogin 1999; Malina et al. 2004). Indeks antropometri yang umumnya digunakan secara internasional untuk menilai pertumbuhan dan status gizi, serta kondisi kesehatan pada remaja adalah tinggi menurut umur (height-for-age), indeks massa tubuh menurut umur (Body Mass Index, BMI, for age), serta tebal lipatan kulit trisep dan subscapula menurut umur (tricep dan subscapular skinfold thicknesses-for-age). Indeks antropometri tersebut
biasanya
ditampilkan
dalam
bentuk
kurva
persentil.
WHO
merekomendasikan kurva pertumbuhan dengan persentil antara 3,2%-97,7% yang dikembangkan oleh National Center for Health Statistics (NCHS) untuk populasi Amerika sebagai kurva referensi yang dijadikan acuan secara internasional. Usia dan laju pertumbuhan maksimum tinggi badan, berat badan, dan indeks massa tubuh, serta usia, dan laju saat take off pada masa lonjakan pertumbuhan merupakan parameter yang paling umum digunakan sebagai indikator kematangan somatik (de Onis & Habicht 1996; Abbassi; 1998; de Onis & Blossner 2003; Malina et al. 2004).
19 Secara fungsional, kematangan seksual biasanya dinilai berdasarkan perkembangan ciri-ciri kelamin sekunder. Pada anak laki-laki penanda masa pubertas adalah perubahan ukuran pada penis dan skrotum, pertumbuhan rambut pubis, rambut axilla, rambut wajah, dan perubahan suara. Pada anak perempuan ciri-ciri kelamin sekunder meliputi pertumbuhan payudara, munculnya rambut pubis dan rambut axilla, dan perkembangan uterus, vagina, dan vulva mencapai ukuran dewasa (Kulin & Muller 1996; Bogin 1999). Selain itu, usia menarke (kejadian menstruasi pertama kali) dan usia spermarke (kejadian mimpi basah pertama kali) merupakan dua parameter yang digunakan untuk menilai kematangan gonad dan secara fisiologi juga merupakan indikator pubertas pada anak laki-laki dan anak perempuan (Malina et al. 2004; Guzman 2007). Pubertas Kata pubertas berasal dari bahasa Latin pubescere artinya, “to become covered in hair”. Masa ini ditandai oleh kemampuan untuk bereproduksi dan berkembangnya ciri-ciri seksual sekunder (Rochebrochard 2000), juga ditandai oleh kejadian fisiologi yang berkaitan dengan pertumbuhan manusia (Abbassi 1998). Sering kali istilah pubertas dan masa remaja digunakan secara sinonim untuk menunjukkan masa transisi dari masa anak ke masa dewasa. Istilah pubertas berbeda dari masa remaja, karena pubertas merupakan bagian dari masa remaja yang khusus berkaitan dengan suatu proses kematangan sistem reproduksi, sedangkan pada masa remaja, tidak hanya sistem repoduksi yang mengalami kematangan, akan tetapi juga kognitif, emosi, dan sosial (Sisk & Zher 2005). Meskipun pubertas terjadi pada masa remaja, perubahan internal mulai terjadi lebih awal dibandingkan dengan perubahan eksternal (Guszman 2007). Pubertas normal pada manusia terbagi menjadi dua proses, yaitu adrenarke dan gonadarke. Adrenarke merupakan maturasi korteks adrenal yang ditandai oleh meningkatnya sekresi androgen adrenal, dan manifestasinya tampak pada munculnya rambut-rambut seksual, yang disebut pubarke. Pada masa ini sekresi androgen adrenal meningkat secara bertahap dan terus meningkat pada masa pubertas dan mencapai optimal pada akhir masa remaja. Sementara gonadarke berkaitan dengan aktivasi ovarium atau testis pada akhir fase prapubertal yang
20 menyebabkan meningkatnya produksi steroid gonad dan penyelesaian proses gametogenesis. Testosteron adalah hormon seksual laki-laki yang diproduksi oleh gonad, sedangkan estrogen dan progresteron adalah hormon seksual perempuan. Hormon ini bertanggung jawab atas perkembangan ciri kelamin sekunder (Domine et al. 2006). Menarke Menarke merupakan peristiwa menstruasi pertama yang dialami oleh seorang anak perempuan. Kejadian ini paling umum diteliti sebagai indikator kematangan seksual dan merupakan manifestasi terakhir masa pubertas pada perempuan (Parent et al. 2003; Malina et al. 2004). Umur menarke berkaitan erat dengan distribusi leptin dalam lemak tubuh. Leptin dalam darah yang diproduksi oleh sel lemak dan disandikan oleh gen ob atau gen leptin merupakan proteohormon dengan berat molekul 16 kDa (Blum et al. 1997). Nilai kritis kadar leptin sangat penting dalam merangsang kemampuan reproduktif seorang perempuan, karena leptin merupakan mediator antara jaringan adiposa dan gonadal-hypothalamic axis pada perempuan (Matcovic et al. 1997). Hormon ini berperan dalam meregulasi berat badan, dan lebih berhubungan erat dengan lemak di bagian gluteofemoral dibandingkan dengan lemak pada tubuh bagian atas. Ini menunjukkan bahwa hormon leptin membawa informasi tentang distribusi lemak ke hipotalamus selama pubertas (Lassek & Gaulin 2007). Sebelum pubertas, kadar leptin pada anak laki-laki dan perempuan tidak terdapat perbedaan yang signifikan. Akan tetapi pada masa pubertas, kadar leptin pada anak perempuan meningkat, sedangkan pada anak laki-laki menurun. Ini berarti dimorfisme seksual terhadap kadar leptin terjadi selama masa pubertas (Matkovic et al. 1997; Blum et al. 1997; Ahmed et al. 1999). Kecenderungan penurunan usia menarke banyak dilaporkan terjadi pada abad ini. Fenomena ini menunjukkan proses adaptasi terhadap kondisi lingkungan. Studi saat ini belum dapat melaporkan kecenderungan kematangan gonad yang lebih cepat pada Suku Arfak, karena usia menarke pada generasi sebelumnya belum pernah dilaporkan. Namun, sejumlah studi di beberapa negara memperlihatkan fenomena tersebut.
21 Penelitian di Maharashtra India menunjukkan rata-rata laju penurunan usia menarke sekitar 6 bulan selama tiga dekade terakhir (Bagga & Kulkarni 2000). Studi Khanna & Kapoor (2004) di New Delhi dan Aryal (2004) di Nepal (pedesaan) menunjukkan usia menarke ibu (13,3 dan 15 tahun) dan anaknya (12,8 dan 14 tahun). Hasil penelitian tersebut juga menunjukkan penurunan usia menarke, dengan rata-rata perbedaan usia menarke antara ibu dan anak sekitar 0,5 atau 1 tahun. Kejadian yang sama terjadi pada wanita Indonesia. Dalam kurun waktu 25 tahun (1973-2008), usia menarke menurun dari 13,98 tahun menjadi 12,71 tahun (Sukmaningrasa 2009). Di Perancis, usia menarke menurun sebanyak 3 tahun dari sekitar 16 tahun pada abad ke-18 menjadi sekitar 13 tahun pada abad ke-20 (Rochebrochard 2000). Penurunan usia menarke juga terjadi pada wanita di negara Israel (Chodick et al. 2005); di Cina (Graham et al.1999); Eropa, Amerika Utara, dan Jepang (Malina et al. 2004). Di Inggris (Dann & Robert 1973; Robert & Dann 1975), usia menarke menunjukkan angka yang stabil sehingga dikatakan bahwa kecenderungan penurunan usia menarke telah berhenti. Akan tetapi di Perancis, fenomena stabilisasi usia menarke masih menimbulkan perdebatan (Rochebrochard 2000). Spermarke Spermarke
didefinisikan
sebagai
kejadian
spermaturia
(ekskresi
spermatozoa dalam urin) pertama pada anak laki-laki. Peristiwa ini menandakan kematangan gonad dan merefleksikan berfungsinya eksokrin testis pada masa pubertas (Kulin et al. 1982; Schaefer et al. 1990). Umumnya usia spermarke ditentukan berdasarkan jumlah spermatozoa dalam spesimen urin dan personal interview (Kulin et al. 1989; Schaefer et al. 1990; Pedersen et al. 1993; Yan et al. 1999; Ji 2001). Studi usia spermarke berdasarkan jumlah spermatozoa dalam urin bermanfaaat untuk uji screening secara kualitatif dalam menginvestigasi potensi kerusakan pada pematangan testis, dan juga berguna dalam mendeteksi cepat atau lambatnya masa pubertas seorang anak (Schaefer et al. 1990). Penelitian tentang penentuan usia spermarke cenderung sulit dilakukan karena terhambat oleh pertimbangan kultur, sosial, dan etik. Peristiwa mimpi
22 basah masih dianggap fenomena kultur yang tidak umum untuk dibicarakan (Janssen 2007). Hal ini menyebabkan penelitian tentang usia spermarke lebih sedikit dilakukan bila dibandingkan dengan studi tentang usia menarke (Kulin et al. 1989; Schaefer et al. 1990; Papadimitriou et al. 2002). Faktor genetik dan faktor lingkungan turut berperan dalam menentukan variasi usia spermarke antarpopulasi. Studi usia spermarke secara longitudinal dan cross sectional menunjukkan rata-rata usia spermarke anak laki-laki berkisar antara 13-14 tahun (Pedersen et al. 1993). Beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi usia spermarke antara lain tingkat sosioekonomi, ekologi, tempat tinggal di daerah pedesaan dan perkotaan (Yan et al. 1999 ; Ji 2000). Namun, pengaruh kecenderungan sekuler (secular trend) terhadap usia spermarke dalam suatu populasi belum pernah dilaporkan, yang berbeda bila dibandingkan dengan efek kecenderungan sekuler terhadap usia menarke yang relatif telah banyak dilaporkan. Komposisi Tubuh Berdasarkan pengukuran antropometrik (pengukuran tubuh manusia), yang mengawali munculnya penelitian komposisi tubuh sekitar 100 tahun yang lalu, setiap orang memiliki bentuk fisik tertentu. Melalui teknik antropometri, maka ukuran, bentuk, proporsi, dan komposisi tubuh manusia dapat dievaluasi karena setiap individu memiliki biotipe atau somatotipe yang berbeda, dan dapat diklasifikasi berdasarkan bentuknya. Meskipun setiap individu memiliki komponen yang sama, proporsinya berbeda (Henche & Pellico 2005). Tubuh manusia terbagi menjadi beberapa komponen. Sekitar 35 komponen utama komposisi tubuh diorganisasikan dalam 5 tingkatan, yaitu atom, molekul, seluler, sistem jaringan, dan organ tubuh secara keseluruhan. Tingkatan tubuh secara keseluruhan berkaitan dengan karakteristik fisik, eksterior, ukuran, dan bentuk tubuh. Terdapat 10 dimensi tingkatan tubuh yang berhubungan secara keseluruhan, yaitu tinggi badan, panjang segmen, lebar tubuh, lingkar tubuh, tebal lipatan kulit, area permukaan tubuh, volume tubuh, total berat badan, indeks massa tubuh, dan densitas tubuh (Wang et al. 1992; Heymsfield et al. 2000).
23 Beberapa model komposisi tubuh telah digunakan untuk membagi massa tubuh menjadi beberapa komponen atau kompartemen, meliputi model tradisional dua komponen sampai model yang terdiri atas tiga, empat, dan lebih kompartemen. Berdasarkan model tradisional, tubuh manusia terbagi atas massa lemak dan massa bebas lemak. Model tiga komponen meliputi massa lemak, namun membagi massa bebas lemak menjadi total air dalam tubuh dan massa kering bebas lemak. Air merupakan komponen terbesar dalam tubuh dan sebagian besar berada di jaringan yang tidak berlemak. Massa bebas lemak kering meliputi protein, glikogen, mineral tulang, dan mineral jaringan lunak. Model empat komponen merupakan perkembangan dari model tiga komponen. Pengukuran volume tubuh, total air dalam tubuh, dan mineral tulang diusulkan dalam model empat kompartemen. Massa kering bebas lemak meliputi mineral tulang dan residu. Saat ini, model multikomponen lebih diterima dalam penelitian komposisi tubuh (Heymsfield et al. 2000; Henche & Pellico 2005; Malina et al. 2004). Metode yang digunakan untuk mengukur komposisi tubuh secara in vivo dapat dilakukan secara langsung (direct), tidak langsung (indirect), dan tidak langsung ganda (doubly indirect). Metode langsung dapat dilakukan dengan mengukur secara langsung komponen tubuh, misalnya pada metode in-vivo neutron activation analysis (IVNAA) yang dapat mengukur jumlah elemen kimia dalam tubuh. Metode ini cukup mahal dan hanya beberapa laboratorium yang memiliki alat ini. Metode tidak langsung, misalnya densitometri, deuterium oxide dilution, dan dual energy Xray absorptiometry (DXA). Metode doubly indirect didasarkan pada pengukuran variabel tubuh dan pengukuran komposisi tubuh. Contohnya, pengukuran antropometri (tebal lipatan kulit, lingkar pinggang, Indeks Massa Tubuh, dan persen lemak tubuh) dan bioelectric impedance analysis (BIA). Kedua metode ini dapat diaplikasikan secara langsung di lapangan (WHO 2004). Selain itu, Vehrs & Hager (2006) berpendapat, metode yang digunakan untuk menilai komposisi tubuh juga dapat dikategorikan sebagai metode laboratorium dan metode lapangan. Beberapa metode, antara lain DXA dan hidrodensitometri, biasanya digunakan secara terbatas di dalam laboratorium. Ini disebabkan oleh ukuran, biaya, portabilitas, dan penggunaan teknologi.
24 Pengukuran antropometri dan bio-electrical impedance (BIA) merupakan metode lapangan. Kedua metode ini tidak terlalu mahal, mudah dibawa, dan tidak membutuhkan keahlian khusus dalam proses pengoperasiannya. Malina et al. (2004) secara ringkas dan lengkap menyajikan beberapa metode (Tabel 1) yang digunakan dalam menilai komposisi tubuh. Tabel 1. Beberapa metode yang digunakan dalam menilai komposisi tubuh (Malina et al. 2004) Metode Underwater weighing, gas displacement 40 K whole-body counting Isotop dilution
Neutron activation analysis
Bioelectric impedance
Uptake of fat-soluble gas Ekskresi kreatin urin 24 jam Ekskresi 3-metilhistidin Dual-Energy X-ray Absorptiometry (DEXA) Magnetic Resonance Imaging (MRI) Computerized axial tomography Ultrasound Radiography Antropometri
Penggunaan Menilai volume tubuh dan densitas; dikonversi menjadi persen lemak tubuh Menilai kandungan potasium dalam tubuh; dikonversi menjadi massa lemak bebas Menilai total air dalam tubuh yang dikonversi menjadi massa lemak bebas, kompartemen total air dalam tubuh juga dapat ditentukan Menggunakan isotop nitrogen dan kalsium untuk menduga jaringan tanpa lemak dan mineral Menilai massa lemak bebas karena jaringan tanpa lemak lebih baik dalam menghantarkan elektrisitas dibandingkan lemak Menilai massa lemak Menilai massa otot Menilai massa otot Menilai mineral tulang, juga jaringan lemak, dan tanpa lemak Menilai lemak, otot, dan tulang tanpa radiasi ion dan komposisi kimia Menilai tulang, otot, dan lemak Menilai lemak, otot, dan tulang Menilai lemak, otot, dan tulang Menilai lemak subkutan dan memprediksi massa lemak dan massa lemak bebas
Indeks Massa Tubuh Indeks Massa Tubuh (BMI; dalam kg/m2) menurut umur merupakan metode yang paling umum direkomendasikan untuk mengklasifikasikan dan menentukan kelebihan berat berat badan dan obesitas pada anak-anak dan remaja (Wang et a.l
25 2000; Bielicki et al. 2000; Malina & Katmarzyk 2000; Widhalm et al. 2001; Abalkhail & Shawky 2002; Sweeting & West 2002; Halmie 2006; Toseli et al. 2006; Hermawan 2007; Sood et al. 2007; Goldani et al. 2007; Miharja 2008), bahkan BMI juga dapat memprediksi kekurangan berat badan pada anak-anak usia 2-19 tahun (Mei et al. 2002). BMI pada anak-anak mengalami perubahan menurut umur. BMI mengalami penurunan pada masa bayi sampai awal masa anak-anak, dengan nilai terendah pada umur 5-6 tahun. Selanjutnya BMI mengalami peningkatan secara linear setelah umur 6 tahun selama masa anak-anak dan masa remaja, sampai masa dewasa (Malina et al. 2004; Wang et al. 2007). Perbedaan BMI pada anak lakilaki dan anak perempuan relatif kecil pada masa anak-anak, namun meningkat pada masa remaja. Meningkatnya BMI sesudah mencapai titik terendah pada usia 5-6 tahun disebut dengan istilah “adiposity rebound”. Terdapat hipotesis yang mengatakan bahwa anak-anak yang mengalami adiposity rebound lebih awal kemungkinan mengalami kelebihan berat badan pada akhir masa remaja dan dewasa (Malina et al. 2004). Asosiasi antara BMI dan komponen komposisi tubuh pada anak-anak dan remaja mengindikasikan variabilitas yang tinggi. Meskipun BMI telah digunakan secara luas karena relatif akurat dalam pengukuran dasar, BMI cenderung memiliki spesifitas yang tinggi dan sensitivitas yang bervariasi pada anak-anak dan remaja (Malina & Katzmarzyk 2000; Malina et al, 2004). Anak-anak dengan nilai BMI yang sama memiliki persen lemak dan total lemak tubuh yang berbeda. Hal ini menunjukkan keterbatasan penggunaan BMI sebagai indikator lemak tubuh. BMI lebih sesuai sebagai indikator berat badan dan tidak secara langsung sebagai indikator lemak tubuh (Malina et al. 2004). Sood et al. (2007) menemukan nilai BMI meningkat sejalan dengan tahap kematangan seksual anak perempuan, namun nilai lemak tubuh bervariasi terutama pada anak-anak yang telah mengalami menarke. Pada orang dewasa, BMI memiliki korelasi dengan massa lemak tubuh. Akan tetapi belakangan ini, sejumlah penelitian menunjukkan perbedaan hubungan antara BMI dengan persen lemak tubuh. Sebagai contoh, Wang et al. (1994) menemukan orang Asia (China) yang tinggal di New York memiliki nilai
26 BMI lebih rendah, tetapi % lemak tubuh lebih tinggi dibandingkan dengan orang kulit putih (orang Kaukasus). Guricci et al. (1998; 1999) melaporkan bahwa orang Indonesia memiliki BMI tiga unit lebih rendah dan % lemak tubuh lebih tinggi dibandingkan dengan orang Belanda. Perbedaan BMI dan % lemak tubuh juga ditunjukkan oleh 2 kelompok etnis yang tinggal di Indonesia. Piers et al. (2003) melaporkan bahwa laki-laki Aborigin memiliki nilai BMI lebih rendah dibandingkan dengan orang Eropa Australia. Perbedaan BMI dan % lemak tubuh juga ditemukan oleh Deurenberg-Yap et al. (2000) pada populasi China Singapura, India, dan Melayu, bila menggunakan formula yang dikembangkan untuk populasi Kaukasus. Serangkaian penelitian yang dilakukan oleh WHO (2004) berkaitan dengan BMI dan % lemak tubuh juga menunjukkan variasi di antara populasi Asia. Populasi Cina Hongkong, Indonesia, Singapura, Thailand kota, dan Jepang memiliki BMI lebih rendah dibandingkan dengan populasi Eropa, sementara Beijing, Thailand perdesaan memiliki nilai BMI yang sama dengan populasi Eropa. Demikian pula di antara orang kulit putih, misalnya orang Amerika Serikat memiliki % lemak tubuh lebih rendah (dengan BMI yang sama) dibandingkan dengan orang Eropa. Laki-laki dan perempuan Asia (kecuali perempuan China dan laki-laki Thailand pedesaan) umumnya memiliki BMI lebih rendah bila dibandingkan dengan laki-laki dan perempuan kulit putih (WHO 2004) Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perbedaan hubungan antara BMI dan % lemak tubuh disebabkan oleh perbedaan jenis kelamin, etnis/ras, perbedaan gaya hidup, body build (misalnya aktivitas fisik dan massa otot), dan atau frame size, dan metode yang digunakan (Guricci 1999; Deurenberg-Yap et al. 2000; WHO 2004). Seseorang yang memiliki aktivitas fisik yang lebih tinggi menghasilkan jaringan otot yang lebih banyak dengan berat badan yang sama. Hal ini akan menghasilkan perbedaan antara BMI dan % lemak tubuh. Demikian pula, seseorang yang memiliki sedikit massa otot dan jaringan ikat menghasilkan bentuk badan yang ramping. Bentuk badan yang ramping menghasilkan nilai BMI yang sama, namun % lemak tubuh lebih tinggi. Bogin dan Beydoun (2007) menemukan bahwa perbedaan korelasi antara BMI dan % lemak tubuh juga dipengaruhi oleh rasio tinggi badan. Orang dewasa dengan kaki yang relatif lebih
27 panjang memiliki BMI dan lemak tubuh lebih rendah pada kedua jenis kelamin dan semua kelompok etnis. Norgan (1995) menemukan, nilai BMI yang tinggi berkorelasi positif dengan panjang kaki yang pendek pada penduduk Aborigin di Australia.