TINJAUAN PUSTAKA
Sejarah Nama lain dari penyakit demam Q atau Q fever di beberapa negara adalah Acute Q fever, Chronic Q fever, Coxiella burnetii fever, Coxiella burnetii borne diseases, Australian Q fever, Australian Q, Balkan influenza, Balkan Nine Mile Fever, Coxiella burnetii infection, Derrick-bunet diseases, Hibernovenal bronchopneumoni, Q fever pneumonia, Querry fever dan Puzzling fever (Acha dan Szyfres 2003). Nama Q fever berasal dari kata “Querry” (Q) yang pertama kali ditemukan oleh Edward Holbrook Derrick pada tahun 1937. Kejadian penyakit ini bermula pada pekerja rumah potong hewan di Brisbane Queensland Australia yang menderita demam namun tidak jelas penyebabnya (Baca dan Paretsky 1983). Meskipun telah dilakukan penelitian terhadap penyakit tersebut pada saat itu, namun belum berhasil menemukan penyebab utama dari Q fever, sehingga dinamakan penyakit Maladi Q (Query) fever. Pada tahun 1939 Macfarlane Burnett menyatakan bahwa penyebab Q fever adalah riketsia, dari ordo Rickettsiales, famili Rickettsiaceae dengan nama spesies Rickettsia diaporica, namun untuk mengenang jasa Macfarlane Burnett diubah menjadi Rickettsia burnetii (Maurin dan Raoult 1999). Berdasarkan analisis sekuen 168 rRNA yang dilakukan Maurin dan Raoult (1999), ternyata Rickettsia burnetii secara filogenik lebih dekat dengan Pseudomonas aeruginosa,
Francisella
tularensis,
Escherichia
coli,
dan
Legionella pneumophila dalam kelompok famili Proteobacteria subdivisi gamma. Namun demikian ternyata masih mempunyai perbedaan dengan kelompok tersebut dan akhirnya berdiri sendiri dengan nama Coxiella burnetii seperti tercantum pada Gambar 1.
8
Gambar 1 Pohon filogenetik yang menunjukkan hubungan antara Coxiella burnetii dengan spesies lain dari Proteobacteria berdasarkan analisis sekuen 16S rRNA (Maurin dan Raoult 1999). Organisme C. burnetii adalah mikroorganisme pleomorfik (bentuknya tidak tetap, batang atau kokoid), bersifat obligat intraseluler, berukuran lebar 0.2-0.4 µm dan panjang 0.4-1.0 µm, struktur menyerupai spora (spora like) (Fournier et al. 1998). C. burnetii mempunyai membran yang sama seperti bakteri gram negatif namun secara umum sulit dilihat dengan teknik pewarnaan Gram, sehingga dipakai pewarnaan Gimenez yang umum digunakan untuk pewarnaan spesimen klinik atau kultur laboratorium. Alternatif lain adalah menggunakan pewarnaan Stamps dengan pewarna 2% basic fuchsin dan counterstained methylen blue (Baca dan Paretsky 1983; Maurin dan Raoult 1999). C. burnetii mempunyai bentuk besar (large form/large cell variant) dan bentuk kecil (small form/small cell variant) seperti dilihat pada Gambar 2 (Fournier et al. 1998).
9
k b
Gambar 2 Coxiella burnetii dengan mikrograf elektron pada pembesaran 75 000 kali, (k) bentuk kecil, (b) bentuk besar (Fournier et al. 1998). Bentuk besar adalah bentuk vegetatif yang menginfeksi monosit dan sel makrofag, sedangkan bentuk kecil terdapat ekstraseluler dan diduga merupakan bentuk yang infeksius. C. burnetii memiliki 2 bentuk antigen yaitu antigen fase I dan fase II. Antigen fase I ditemukan di alam atau hewan, sedangkan fase II ditemukan setelah passage di telur tertunas atau sel kultur. Antigen fase I bersifat lebih patogenik dibandingkan dengan fase II. Perbedaan antara kedua fase antigen ini sangat penting di dalam diagnosa. Antigen fase I mempunyai susunan lipopolisakarida (LPS) yaitu L-vironosa dihidroksistreptosa dan galaktosamin uronil (1.6) glukosamin, bersifat halus dan berperan dalam menentukan patogenitasnya, sedangkan fase II terlihat kasar dan tidak ditemukan rantai sakarida vironosa dan hidroksistreptosa, seperti pada Gambar 3 (Fournier et al. 1998).
a
b
Gambar 3 Antigen fase I (a) dan fase II (b) C. burnetii (Fournier et al. 1998). Pada infeksi Q fever akut, antibodi terhadap antigen fase II lebih dominan dibandingkan dengan terhadap fase I. Namun pada kasus kronis, antibodi terhadap antigen fase I lebih memegang peran penting. Kedua antibodi ini dapat bertahan hingga berbulan-bulan setelah infeksi (Field et al. 2002; Harris et al. 2000).
10
Menurut Centers for Diseases Control (CDC 2005) pada penderita akut Q fever dapat dideteksi dengan peningkatan antibodi IgG fase II serta IgM fase I dan fase II, sedangkan pada kondisi kronis Q fever terlihat peningkatan antibodi IgG dan IgA fase I. Center for Food Security and Public Health (CFSPH 2007) menyebutkan bahwa agen penyebab tahan terhadap kondisi psikokimia, seperti lingkungan panas, kering dan tahan terhadap beberapa konsentrasi desinfektan, seperti 0.05% hipoklorit, 5% peroksida dan 1:100 larutan lisol serta glutaraldehid, etanol dan gas formaldehid. C. burnetii pada bahan pangan asal hewan dan olahannya dapat bertahan hidup 1 bulan pada daging yang disimpan dalam cold storage (suhu -18 °C sampai dengan -20 °C), 42 bulan pada susu segar yang disimpan dalam suhu 4-6 °C dan lebih dari 40 bulan pada susu skim (CFSPH 2007). C. burnetii dapat dikembangkan sebagai senjata biologis yang berpotensi sebagai ancaman terorisme (bioterrorisme) seperti halnya Bacillus anthracis (Maurin dan Raoult 1999; CDC 2005).
Epidemiologi
Q Fever pada Hewan Hewan yang dapat terinfeksi C. burnetii antara lain sapi, kambing, domba, anjing, kucing, kuda, kerbau, babi, unta, kelinci, reptil, kodok, burung merpati, kalkun, ayam, bebek, rodensia, ikan, dan caplak (Arricau-Bouvery dan Rodolaksis 2005; Parker et al. 2006; Muskens et al. 2007). Burung dan rodensia merupakan pembawa C. burnetii di alam, sedangkan sapi, kambing, dan domba merupakan reservoir utama (Acha dan Szyfres 2003; Kim et al. 2005; Van den Brom dan Vellema 2009). Penularan Q fever dapat terjadi melalui kontak langsung dengan sumber penularan, partikel debu, bahan makanan asal hewan, susu, dan luka yang terkontaminasi serta melalui transfusi darah (Baca dan Paretsky 1983; Fournier et al. 1998). C. burnetii dapat mengkontaminasi lingkungan jika ada hewan yang melahirkan, yaitu melalui cairan amnion, plasenta, feses, dan urin secara terus menerus selama beberapa bulan. Kambing sering menjadi sumber infeksi ke
11
manusia karena kejadian pada kambing lebih lama dibandingkan domba, yaitu selama dua kali masa kebuntingan (Hatchette et al. 2003; Arricau-Bouvery dan Rodolaksis 2005). Mikroorganisme C. burnetii berkembangbiak dan tumbuh subur di dalam plasenta dan cairan amnion, sehingga pada hewan bunting infeksi Q fever bersifat laten (Kloppert et al. 2004). Caplak merupakan sumber penularan antar hewan di alam, dari hewan liar ke hewan pelihara, dan diantara hewan pelihara melalui feses caplak yang terinhalasi. Caplak dapat berperan sebagai perantara pada hewan tetapi tidak pada manusia. Penyebaran antar hewan pelihara dapat juga terjadi melalui kontak seksual karena agen penyebab ditemukan pada semen sapi (Marrie 2000; Maurin dan Raoult 1999). Beberapa negara seperti Amerika, Perancis, Inggris, Italia, Jerman, Spanyol, Kanada, Jepang, Australia, Thailand, Korea, Taiwan, Malaysia, dan beberapa negara lain di Asia Tenggara, Q fever merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting. Penelitian tentang Q fever telah banyak dilakukan dan bahkan sekuensing genom dari C. burnetii telah dilakukan secara lengkap (Seshadri et al. 2003). Hal ini dilakukan karena C. burnetii berpotensi untuk dipakai sebagai senjata biologis (Raoult 2002). Hasil survei di Jepang pada tahun 1954 menunjukkan bahwa 2.5% dari sapi dan 1.7% dari kambing yang diperiksa terbukti mengandung antibodi terhadap C. burnetii (Htwe et al. 1992). Ho et al. (1995) melaporkan bahwa C. burnetii telah diisolasi pada 36 (16.8%) dari 214 sampel susu segar yang diambil dari sapi perah yang mengalami gangguan reproduksi di Jepang bagian tengah. Menurut laporan Scrimgeour et al. (2003), 9.8% dari 102 pasien anak-anak di rumah sakit di Oman terbukti seropositif terhadap C. burnetii. Pemeriksaan terhadap 54 ekor domba yang berasal dari provinsi yang berbeda di Oman ternyata 52% seropositif terhadap
C. burnetii.
Selain itu, terdapat hubungan yang nyata antara kasus infeksi C. burnetii pada hewan dan pada manusia. Setiyono et al. (2005) menetapkan kriteria baru untuk uji serologis terhadap Q fever dengan metode IFA, dan penggunaan PCR juga telah dievaluasi serta dapat dipakai untuk mendeteksi C. burnetii (Ogawa et al. 2004).
12
Q Fever pada Manusia Menurut Van den Brom dan Vellema 2009, kejadian Q fever pada manusia berhubungan erat dengan pekerjaan (occupational disease), seperti peternak, pembeli dan pengunjung yang datang ke peternakan; dokter hewan; pekerja di peternakan, rumah potong hewan, penyamakan kulit, pengolahan daging, susu dan wol; peneliti dan pegawai laboratorium serta pekerja di kebun binatang. Penularan antar manusia jarang terjadi, tetapi dapat melalui transfusi (darah, sumsum tulang belakang), saliva, dan hubungan seksual. Selain itu bisa tertular selama menangani keguguran dan otopsi pada manusia (Milazzo et al. 2001). Beberapa faktor yang mempermudah seseorang terserang Q fever yaitu tidak divaksinasi Q fever dan yang mengalami imunosupresan karena menderita penyakit tertentu, misalnya AIDS, kanker, limpoma, tumor, diabetes, hepatitis, gangguan jantung, gangguan ginjal kronis atau penerima transplan organ (Norlander 2000). Hasil penelitian Marrie (2003) menunjukkan bahwa C. burnetii dapat menimbulkan pneumonia yang fatal pada manusia. Penularan Q fever secara aerosol dapat menimbulkan lesi yang hebat pada paru-paru (Stein et al. 2005).
Q Fever sebagai Penyebab Food-borne Diseases Kim et al. 2005 menyatakan bahwa jika sapi perah terinfeksi C. burnetii maka mikroorganisme tersebut dapat ditemukan dalam susu, hal ini merupakan salah satu sumber penularan dari hewan ke manusia (Rodolaksis et al. 2009). Penelitian Hirai et al. (2005) menemukan 131 sampel (53.7%) positif DNA C. burnetii dari 244 sampel susu yang dijual di supermarket di Tokyo menggunakan metode nested PCR. Fretz et al. (2007) menemukan 17 sampel (4.7%) dari 359 sampel susu sapi positif DNA C. burnetii menggunakan metode nested PCR di Zwitzerland, tetapi tidak ditemukan pada susu domba dan kambing.
Q Fever di Indonesia Kaplan dan Bertagna (1955) melakukan penelitian tentang keberadaan Q fever di Indonesia menggunakan metode CAT terhadap 188 serum sapi yang diperiksa secara serologis dan ditemukan positif antibodi C. burnetii. Sebanyak
13
323 sampel darah sapi yang diambil dari Bogor, Bandung, Surabaya dan Semarang , didapatkan 4 sampel (1.2%) positif antibodi Q fever dengan metode CAT (Rumawas 1976). Miyashita et al. (2001) menemukan infeksi Q fever dari penderita
pneumonia
yang
pernah
tinggal
di
Indonesia.
Penelitian
seroepidemiologi terbaru terhadap spotted fever group rickettsia (SFGR) di Indonesia dilakukan oleh Richards et al. (2003) di Kepulauan Gag yang menunjukkan bahwa reaktor yang bereaksi positif sebanyak 2.1-20.4%. C. burnetii secara serologis dan molekuler telah ditemukan pada hewan ruminansia (domba, kambing, sapi) dan juga manusia, sehingga kemungkinan penularan kepada hewan lain dan bahan pangan asal hewan (susu, telur) di beberapa wilayah di Indonesia sudah terjadi. Hal ini didasarkan pada hasil seroprevalensi di kota Bogor pada domba dan kambing menunjukkan seropositif masing-masing 31.88% dan 20.29% menggunakan metode IFA. Penelitian pada sapi bali dan brahman cross ditemukan 6.12% positif DNA C. burnetii, serta pada kambing dan domba 3.64% positif C. burnetii menggunakan metode nested PCR (Mahatmi 2006).
Gejala Penyakit Hewan yang terinfeksi C. burnetii tidak selalu menunjukkan gejala klinis, bahkan lebih sering tidak ada gejala yang tampak. Fase akut C. burnetii dapat ditemukan di dalam darah, jantung, hati dan limpa hewan yang terinfeksi. Penyakit umumnya berlanjut menjadi kronis dan secara terus menerus hewan akan mengekskresikan bakteri melalui tinja dan urin (Smith 1999; Ho et al. 1995). Gejala umum pada ruminansia ditandai dengan anoreksia, rhinitis, frekuensi pernafasan meningkat, abortus, retensio plasenta, endometritis, tidak fertil dan beberapa ditemukan lahir dalam keadaan lemah, kecil dan mati (Arricau-Bouvery dan Rodolaksis 2005). Sapi perah kadang-kadang terlihat pneumonia, sedangkan pada anak domba terjadi diare dan gangguan pernafasan (Van den Brom dan Vellema 2009). Infeksi C. burnetii pada hewan umumnya bersifat subklinis, yang ditandai dengan penurunan nafsu makan, gangguan pernapasan ringan dan gangguan reproduksi berupa abortus pada domba dan sapi. Namun, pada manusia infeksi
14
C. burneii sering bersifat akut dan menahun serta dapat menimbulkan kondisi yang fatal, yaitu kegagalan fungsi hati, radang tulang, radang otak, gangguan pada pembuluh darah dan endokarditis yang berakibat kematian (Raoult 2002). Ho et al. (1995) menyatakan bahwa beberapa kasus pneumonia pada anak-anak di Jepang ternyata disebabkan oleh Q fever. Penularan pada manusia jarang terjadi, tetapi dapat melalui transfusi (darah, sumsum tulang belakang), saliva dan hubungan seksual. Selain itu dilaporkan bisa tertular selama menangani keguguran dan otopsi pada manusia (Milazzo et al. 2001). Manusia yang terserang penyakit Q fever umumnya menunjukkan gejala klinis yang tidak spesifik atau asymptomatis (60%), spesifik atau symptomatis (38%) dan beberapa penyakit lainnya (2%), sehingga sulit dibedakan dengan gejala dari penyakit lain. Gejala akut pada umumnya seperti flu (flu like syndrome), misalnya demam, sakit kepala, berkeringat, menggigil, lelah (fatigue), pegal-pegal, sakit tenggorokan, batuk, dada sakit, muntah, diare dan penurunan bobot badan. Penyakit Q fever yang tidak terobati dalam kurun waktu dua minggu, dapat berlanjut menjadi pneumonia (30-50%), hepatitis, infeksi kulit, hepatomegali, miokarditis, perikarditis, meningoencefalitis, uveitis, artritis, tromboplebitis, pleuritis dan pankreatitis. Wanita hamil yang terinfeksi C. burnetii akan mengalami keguguran pada semester pertama atau lahir prematur, bayi dengan bobot badan rendah dan plasentitis pada saat melahirkan (Arricau-Bouvery dan Rodolaksis 2005; CFSPH 2007; Maurin dan Roault 1999). Kematian pada kasus akut dapat mencapai 1-2% (CDC 2005; CFSPH 2007; Delsing dan Kullberg 2008). Kasus Q fever akut akan menjadi kronis sebanyak 2-10% jika selama 6-12 bulan tidak diberikan pengobatan yang efektif, yaitu terjadi endokarditis, infeksi osteoartikular, pneumoni fibrosis, sindrom kelelahan kronis (chronic fatique syndrome), dan masalah kehamilan (Maurin dan Roault 1999; Schimmer et al. 2008). Kematian pada penderita kasus kronis bisa mencapai 25-65% (bila mempunyai faktor imunosupresan dan atau abnormal valvular). Sindrom kelelahan kronis ditandai dengan seringnya mengalami kelelahan yang panjang disertai berkeringat pada malam hari, pegal-pegal, sakit di persendian, gelisah,
15
dan waktu tidur berubah. Sindrom ini terjadi setelah infeksi akut yang berlangsung lebih dari satu bulan (Arricau-Bouvery dan Rodolaksis 2005; CDC 2005; Delsing dan Kullberg 2008). Gambaran darah dari orang yang menderita penyakit Q fever akut ditandai dengan peningkatan laju endap darah, jumlah sel darah putih cenderung rendah sampai normal, trombositopenia serta urinalisis yang abnormal, seperti hematuria, leukosituria, proteinuria (Ergar et al. 2006). Masa inkubasi penyakit Q fever pada manusia bervariasi mulai 2-5 minggu dan beberapa kasus mencapai lebih dari 6 minggu (Maurin dan Roault 1999; CFSPH 2007; Delsing dan Kullberg 2008). Masa inkubasi dipengaruhi oleh dosis infeksi C. burnetii (Maurin dan Roault 1999). Orang yang terinfeksi 1-10 sel mikroorganisme C. burnetii dapat menimbulkan gejala klinis (CFSPH 2007).
Teknik Diagnosa Gejala dan tanda dari penyakit Q fever tidak spesifik sehingga sulit membuat diagnosa tanpa didukung dengan tes laboratorium. Diagnosa yang diperlukan untuk menegaskan Q fever adalah dengan melakukan tes darah untuk mendeteksi kehadiran antibodi terhadap C. burnetti. IFA, ELISA, dan CFT adalah uji yang dapat diandalkan dan umum digunakan di laboratorium. C. burnetii mungkin dapat diidentifikasi pada jaringan yang terinfeksi (plasenta, hati, paruparu fetus yang mati dan jaringan lain), susu, telur, kotoran, cairan vagina dengan menggunakan PCR. Pembuatan preparat histopatologi dengan pewarnaan Ziehl neelsen, Gimenez, Stamp, Giemsa, Immunohistokimia pada placenta atau jaringan lain, apabila positif akan terlihat C. burnetii yang terbentuk pleomorfik, kecil, bulat atau seperti benang. Beberapa penelitian serodiagnosa memberikan gambaran yang sangat berguna untuk mengetahui seroprevalensi Q fever di suatu daerah secara luas dalam waktu relatif singkat (Setiyono et al. 2008). Metode serodiagnosa yang telah diterapkan untuk pemeriksaan Q fever adalah capilary tube agglutination test (CAT), complement fixation test (CFT), enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) dan indirect immunofluorescent antibody (IFA) (Cetinkaya et al. 2000; Setiyono et al. 2005).
16
Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) adalah suatu metoda immunokimia yang berdasarkan reaksi spesifik antara antigen dengan antibodi yang memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dengan menggunakan enzim sebagai indikatornya. Antigen atau antibodi yang dilabel dengan enzim dan diikatkan dengan pendukung immunosorbent akan membentuk antigen-antibodi kompleks. Metoda ELISA dengan antigen kompetitif, antibodi dilapiskan pada immunosorbent (substrat padat), kemudian antigen sampel dan antigen yang berlabel enzim dimasukan kedalam immunosorbent sehingga terjadi kompetisi antara antigen sampel dengan antigen berlabel enzim untuk berikatan dengan antibodi dan terbentuk kompleks antibodi-antigen. Tambahan substrat yang spesifik terhadap kerja enzim, akan dihasilkan reaksi yang menghasilkan warna. Hasil warna tersebut dapat dilihat secara visual atau diukur dengan menggunakan kolorimeter atau spektrofotometer. Ciri utama metoda ini adalah menggunakan suatu indikator enzim untuk reaksi immunologi (Burgess 1995). Teknik ELISA dapat digunakan untuk pemeriksaan sampel dalam jumlah banyak, waktu yang singkat dan mempunyai tingkat sensitivitas yang tinggi tetapi spesifitasnya rendah. Adapun kekurangan teknik ELISA diantaranya sering menimbulkan reaksi positif palsu, hal ini disebabkan karena antigen standar yang digunakan umumnya dipropagasi dalam sel kultur, sehingga ada kemungkinan antibodi dalam serum berikatan dengan epitop-epitop lain yang ada di permukaan sel kultur. Reaksi silang yang pernah dilaporkan adalah dengan Microbacterium pneumonia dan Bordetella pertusis (Setiyono et al. 2005; Slaba et al. 2005). Field et al. (2002) membandingkan dua uji serologis untuk mendiagnosa Q fever yaitu teknik ELISA dan IFA. Hasil studi tersebut memperlihatkan bahwa teknik ELISA memberikan sensitivitas 95% dan spesifitas 88%, sedangkan menggunakan IFA sensitivitas 99% dan spesifitas 98%. Penelitian yang sama juga dilaporkan Setiyono (2003) bahwa ELISA mempunyai tingkat sensitifitas dan spesifitas masing-masing 93.8% dan 83.3%. Teknik ELISA baik digunakan untuk tes skrining dengan jumlah sampel yang banyak dan spesifitasnya dapat ditingkatkan dengan mengkombinasi IFA. Hasil penelitian yang dilakukan Kennerman et al. (2010) menunjukkan 20% seropositif dari 743 domba (42 flok)
17
yang berumur antara 10-24 bulan di Turki sejak tahun 2001-2004 dengan menggunakan uji ELISA Chekit Q fever (Idexx Laboratories, Broomfield, CO, USA). Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Cekani et al. (2008) dengan teknik ELISA menggunakan Chekit Q fever enzyme immunoassay dan memperoleh 9.8% seropositif pada domba dan kambing (dari 1085 ekor) serta 7.9% seropositif pada sapi 9 dari 571 ekor di Albania. Penelitian yang dilakukan terhadap 34 ekor domba menggunakan uji serologis (ELISA dan IFA) serta uji molekuler (PCR) didapatkan 24% positif dengan ELISA, 32% positif dengan IFA dan 44% positif dengan PCR. Tujuh ekor domba yang seronegatif, dilakukan pengujian dengan PCR dan diperoleh hasil positif, hal ini menunjukkan PCR mempunyai sensitifitas lebih tinggi dibandingkan uji serologis (Berri et al. 2001). Perbandingan uji serologis dan molekuler dalam mendiagnosa Q fever fase akut menunjukkan bahwa apabila serum sampel yang diambil satu sampai dua minggu setelah infeksi dapat didiagnosa dengan kedua metode uji. Bila diambil pada minggu ketiga sampai keempat sebaiknya menggunakan uji serologis, sedangkan uji molekuler hanya untuk mengonfirmasi hasil uji yang seronegatif (Fournier dan Raoult 2003).
Nested Polymerase Chain Reaction (PCR) Polymerase chain reaction (PCR) ditemukan pertama kali oleh Kary B. Mullis tahun 1983. PCR adalah teknik yang didasari oleh penggunaan oligonukleotida pendek sebagai primer dan taq DNA polymerase sebagai enzim untuk menggandakan sejumlah rangkaian DNA khas C. burnetii pada sampel yang diperiksa. polymerase chain reaction memiliki tingkat akurasi yang sangat tinggi untuk deteksi DNA khas C. burnetii pada serum dan leukosit manusia (Zhang et al. 1998; Ogawa et al. 2004). Mahatmi et al. 2006 melakukan penelitian dengan menggunakan sampel jantung dan hati untuk melihat C. burnetii pada fase kronis. Nested PCR adalah suatu teknik perbanyakan replikasi sampel DNA menggunakan
bantuan enzim
DNA
polymerase yang
menggunakan
dua
pasang primer untuk mengamplifikasi fragmen. Pasangan primer yang pertama akan mengamplifikasi fragmen yang cara kerjanya mirip dengan PCR pada
18
umumnya. Pasangan primer yang kedua biasanya disebut nested primers (sepasang primer tersebut terletak di dalam fragmen pertama) yang berikatan di dalam fragmen produk PCR yang pertama untuk memungkinkan terjadinya amplifikasi produk PCR yang kedua dimana hasilnya lebih pendek dari yang pertama.
Nested
PCR
adalah
PCR
yang
sangat
spesifik
dalam
melakukan amplifikasi karena jika ada fragmen yang salah diamplifikasi maka kemungkinan bagian tersebut diamplifikasi untuk kedua kalinya oleh primer yang kedua sangat rendah (Chauhan et al. 2009). Nested PCR merupakan variasi dari reaksi polymerase chain reaction biasa (PCR). Nested PCR dan PCR biasa keduanya berguna untuk memperbanyak fragmen DNA tertentu dalam jumlah banyak. Pada nested PCR digunakan 2 pasang primer sedangkan pada PCR biasa hanya menggunakan 1 pasang primer. Oleh karena itu, hasil fragmen DNA dari nested PCR lebih spesifik (lebih pendek) dibandingkan dengan PCR biasa. Waktu yang diperlukan dalam reaksi nested PCR lebih lama daripada PCR biasa karena pada nested PCR dilakukan 2 kali reaksi PCR sedangkan pada PCR biasa hanya 1 kali reaksi PCR. Selain itu, keuntungan nested PCR adalah meminimalkan kesalahan amplifikasi gen dengan menggunakan 2 pasang primer (Chauhan et al. 2009). Menurut Louise et al 2001, secara umum, PCR adalah suatu proses perbanyakan DNA secara in vitro melalui beberapa tahap, yaitu denaturasi, penempelan primer, dan pemanjangan. Prinsip kerja nested PCR tidak jauh berbeda dengan PCR biasa, namun nested PCR akan bekerja menggunakan dua pasang primer untuk mengamplifikasi fragmen DNA spesifik melalui dua proses PCR secara terpisah. Pertama-tama DNA mengalami denaturasi lalu memasuki fase penempelan, di mana sepasang primer pertama melekat di kedua utas tunggal DNA dan mengamplifikasi DNA di antara kedua primer tersebut dan terbentuklah produk PCR pertama. Kemudian produk PCR pertama tersebut dijalankan pada proses PCR kedua di mana pasangan primer kedua (nested primer) akan mengenali sekuen DNA spesifik yang berada di dalam fragmen produk PCR pertama dan memulai amplifikasi bagian di antara kedua primer tersebut. Hasilnya adalah sekuens DNA yang lebih pendek daripada sekuens DNA hasil PCR pertama.
19
Modifikasi metode Qiao untuk mendeteksi DNA C. burnetii pada telur ayam ras dan lokal dapat menghasilkan konsentrasi DNA yang cukup dan tingkat kemurnian DNA yang tinggi. Metode nested PCR mampu mendeteksi DNA C. burnetii pada konsentrasi ≥ 300 pg. Metode nested PCR mempunyai spesifitas yang tinggi (concerved) dan 50 kali lebih sensitif dibandingkan dengan PCR biasa untuk mendeteksi DNA C. burnetii (Purnawarman 2011).
Pencegahan dan Pengendalian Pencegahan pada hewan dapat dilakukan dengan menggunakan vaksin yang diproduksi dalam telur berembrio. Plasenta sapi atau domba perlu ditanam atau dibakar setelah itu di area kelahiran dibersihkan dengan desinfektan (lisol, bleach atau hidrogen peroksida) untuk mengurangi penularan di lapangan dan hewan yang bunting atau sedang melahirkan dijaga dari hewan lain. NNDSS (2003) melaporkan bahwa sejak tahun 2000-2003 dilakukan upaya pencegahan penyakit ini, yaitu melakukan program vaksinasi Q fever pada pekerja di industri pengolahan daging dan RPH. Tahun 2001-2004 dilaksanakan vaksinasi pada hewan ternak dan pekerja di peternakan (ternak potong dan perah). Penggunaan vaksin Q fever yang aman memerlukan pemeriksaan potensi vaksin dengan uji dermal, uji serologis atau proliferasi limfosit secara invitro. Kesesuaian antara strain antigen C. burnetii sebagai bahan vaksin dengan wilayah endemis sangat berperan terhadap daya perlindungan dan efektifitas vaksinasi. Vaksin Q fever (Q Vax) dibuat dengan inaktivasi antigen fase I C. burnetii strain Henzerling yang mengandung antigen kompleks LPS-protein dan disuntikan secara subkutan dengan dosis tunggal sebesar 30 mikrogram per dosis (Waag et al. 2002). Vaksin baru dapat diberikan kepada hewan atau manusia apabila hasil tes serologis tidak ditemukan antibodi terhadap Q fever.
Pengobatan Penyakit Q fever dapat disembuhkan apabila pengobatan dilakukan sedini mungkin (Maurin dan Raoult 1999). Pencegahan penyakit Q fever selain vaksinasi adalah (1) memberikan edukasi pada individu atau kelompok yang berisiko; (2) disposal (prosedur pemusnahan dengan cara pembakaran dan atau penguburan)
20
dari plasenta, sisa abortan dan fetus; (3) karantina ternak yang akan diimpor; (4) autoclave dan disinfeksi peralatan laboratorium; (5) pasteurisasi susu pada suhu lebih dari 62.7 °C selama 30 menit atau 71.6 °C selama 15 detik dan sterilisasi pada suhu 130 °C selama 5 detik serta pesteurisasi telur pada suhu lebih dari 60 °C selama 6.2 menit atau 61.1 °C selama 3.5 menit dapat membunuh mikroorganisme C. burnetii (CFSPH 2007; Marrie 2000; Mine 2008) Antibiotika yang digunakan untuk pengobatan kasus Q fever akut pada manusia adalah doksisiklin. Penyakit yang kronis pengobatan dapat berlangsung selama 2-3 tahun. Doksisiklin dan quinolon tidak boleh dipakai untuk ibu hamil. Ibu
hamil
dapat
diobati
dengan
trimethoprim-sulfametoksazol), namun
antibiotik pengobatan
co-trimoksazol ini
dapat
(kombinasi
menyebabkan
kematian fetus pada beberapa kasus. Seseorang yang sembuh dari Q fever akan tetap membawa penyakit tersebut selama hidupnya. Efektifitas pengobatan hewan dengan antibiotik hanya sedikit diketahui. Pemberian antibiotika (tetrasiklin) ke hewan diberikan melalui air minum. Antimikroba yang digunakan tidak untuk membunuh hewan yang menjadi karier tetapi untuk menekan jumlah hewan yang mengalami aborsi. Pengawasan Q fever yang terbaik di peternakan melalui vaksinasi, seleksi dan pemilihan hewan.