Wanita Pala di Amsterdam oleh Martin Aleida Saya turun di halte trem Pieter Calandlaan, Amsterdam. Mendaki tangga sebuah gedung perumahan. Mengetuk pintu di lantai 4, dan muncullah seorang ibu berkulit sawo matang dengan rambut keriting memutih yang membingkai wajahnya. Dia tertawa bahagia ketika saya memanggilnya Tante Cisca. Inilah Francisca C. Pattipilohy! Saya masih ingat, dalam usia 90 tahun, dia masih kuat berdiri, setelah melipat tongkat dan menyelipkannya ke dalam tasnya, ketika menunggu Presiden Jokowi keluar dari ruangan perundingan dengan kalangan bisnis Belanda di Den Haag April 2016. Di tangannya tergenggam sepucuk surat dari International People’s Tribunal yang meminta sang Presiden untuk menyelesaikan masalah pelanggaran berat hak-hak asasi manusia di Indonnesia tahun 1965-66. Di pintu keluar, Cisca tiba-tiba melepaskan diri dari jejeran manusia yang berdiri menyambut Kepala Negara, dan menyerahkan amplop petisi ke tangan Jokowi. Presiden menyambutnya dengan ramah dan ucapan terima kasih dengan memanggilnya “Ibu” yang membuat Ibu kita ini berlinang airmata. Awal Desember 2016 saya mengikuti dia, dan sejumlah eksil Indonesia, dari Amterdam untuk menghadiri acara yang diselengggarakan oleh Perhimpunan Pelajar Indonesia di Leiden mengenang Mintardjo (almarhum), seorang eksil, yang dikenal sebagai sosok yang punya hubungan emosional yang kuat dan sangat membantu berbagai kegiatan para mahasiswa di kota itu. Rumahnya selalu terbuka. Duta Besar Indonesia untuk Kerajaan Belanda, I Gusti Wesakapuja, hadir dalam acara itu dan memberikan kata sambutan yang merayakan kebaikan hati Pak Min dan menyebutkannya sebagai korban pergolakan politik Indonesia masa lalu. Ketika pulang dari acara itu Cisca turun di stasiun kereta-api Hemstede, di pertengahan antara Leiden dan Amsterdam. Seorang diri menempuh hari yang sudah gelap di musim rontok. Katanya, dia akan dijemput anaknya di stasiun itu. Ingatannya masih mengalir, meskipun disampaikan dalam Bahasa Indonesia yang sering mencari ancang-ancang lebih dulu untuk menemukan kata yang tepat, sebagaimana umumnya mereka yang sudah lanjut usia yang mampu berbicara dalam beberapa bahasa asing, dan menetap jauh dari Indonesia. Dia menguasai Inggris, Belanda, Perancis,
1
Jerman dan menikah dengan Zain Nasution di Praha hanya dengan menggunakan paspor dengan syarat pasangan pengantin harus menguasai bahasa Jerman. Dia pernah jatuh sakit. Dan parah. Katanya, dia diselamatkan oleh jus buah merah dari Papua yang dibawa oleh putranya yang menetap di Bali. Dari 2,9 haemoglobinnya naik menjadi 8,9, sementara kadar normal 9. Olah ragannya jalan kaki sejauh 3000 langkah setiap hari, dengan menggunakan alat pencatat yang dia sematkan di pinggang. Dia jadi hapal panjang ruangan utama rumahnya, 16 meter, dan dia berjalan bolak-balik di situ. Kalau sudah bosa dia jalan ke luar rumah. Agaknya untuk mempertahakan kerja otak dan daya ingat dia juga melukis. “Saya bukan pencari suaka politik di Belanda. Saya mengikuti Ayah yang membawa saya ke sini,” katanya. Semula sang Ayah ingin membawa cucu-cucunya untuk disekolahkan di Belanda. Tetapi, saat sudah mendekati hari keberangkatan sang Ayah memutuskan dia tidak akan berangkat bersama istrinya kecuali Cisca juga ikut. Dan syarat itu menjadi jalan terbaik bagi sang Ayah untuk menyelamat putri tertuanya dari kemungkinan ditangkap lagi oleh rezim militer Jenderal Suharto. Lebih dari satu jam saya bercakap-cakap dengan Tante Cisca, berikut ini kutipannya: Bagaimana sampai disekap di Bukit Duri? Suami saya, Zain Nasution, masih sempat mengorganisir Konferensi Internasional Anti-Pangkalan Militer Asing (KIAPMA) akhir Oktober 1965, berlangsung di Hotel Indonnesia, yang dibuka oleh Presiden Sukarno dan Nyoto, tokoh PKI dengan jabatan Menteri Negara. Zain ditangkap begitu selesai konferensi dan ditahan di Kostrad, di seberang stasiun Gambir. Saya juga ditahan sebagai saksi. Ditempatkan di satu kamar di Markas Kostrad itu, yang bersebelahan dengan kamar praktek dokter gineakologi yang kerjanya memerika kehamilan istri-istri perwira Kostrad. Saya disuruh tidur di kamar pemeriksaan itu. Pagi-pagi saya diperintahkan duduk di kamar tunggu ibu-ibu yang mau memeriksakan kehamilan. Delapan hari saya tidak makan karena teringat pada anak-anak saya yang ditinggalkan di rumah. Saya hanya mengenakan pakaian yang melekat di badan, karena ketika ditangkap, yang menangkap bilang, “Cuma sebentar.” Selama ditahan di situ, pernah dua atau tiga kali dikasi makanan yang, aduh… tidak bisa dimakan. Zain dan kawan-kawannya kemudian dipindahkan ke rumah tahanan militer. Dia diperiksa bersama teman-temannya, antara lain Chalik Arifin yang belakangan mengajar film di Institut Kesenian Jakarta. Zain
2
ditahan hanya satu malam di Kostrad, lantas dipindahkan ke rumah tahanan militer Budi Utomo. Beberapa bulan kemudian Zain dipindahkan ke penjara Salemba. Pada suatu waktu, ketika saya disekap di penjara bukit Duri, karena kepala penjaranya agak baik, kami dibawa ke penjara Salemba dan disuruh membersihkan beras di penjara itu. Karena banyak kotoran, tidak bisa langsung dimasak. Ada tiga tahanan wanita yang diambil dari penjara Bukit Duri untuk membersihkan beras di penjara Salemba, termasuk saya. Di penjara Salemba itulah untuk pertama kali saya bisa bertemu dengan Zain. Cuma lima menit. “Sejak saat ini segalanya sudah berubah, sudah tak ada yang bisa kamu percayai lagi. Kamu harus menentukan sendiri.” Itulah yang dia bilang pada waktu itu. Saya kira dia mangatakan itu untuk melindungi saya. Karena kabarnya banyak orang yang berkolaborasi dengan tentara dan mengkhianati kawan sendiri. Pertemuan itu hanya bisa terjadi karena dua polisi wanita pimpinan penjara Bukit Duri yang baik sekali. Pada hari kedelapan saya ditahan di Kostrad, saya tanya petugas, kapan saya boleh pulang? Tak tahu, Bu, nanti saja, jawabnya. Di kamar tunggu untuk ibu hamil di Kostrad itu, ada seorang ibu yang bertanya kepada gineakolog yang sedang bertugas: “Ibu ini sudah delapan hari di sini tidak diapa-apain.” Sorenya baru saya dibawa ke kamar foto untuk difoto layaknya seperti seorang kriminil saja. Saya tidak dibebaskan, tapi dititipkan di penjara Bukit Duri. Begitu masuk, saya melihat banyak orang yang saya kenal, tetapi semua menunjukkan sikap tubuh untuk jangan menunjukkan bahwa mereka dan saya saling mengenal. Wajah mereka menunjukkan dan ingin berkata, “Jangan tunjukkan bahwa kita pernah punya hubungan.” Tanti Aidit, istri D.N. Aidit, di selnya sendiri, dan banyak lagi. Pimpinan Gerwani juga ada. Masing-masing di sel sendiri-sendiri. Tetapi, saya dimasukkan ke sel yang disediakan untuk dua orang. Kami berenam di situ. Ada dua anak, satu 11 tahun satu lagi 15. Mereka hebat sekali. Yang berusia 15 anggota Pemuda Rakyat, anak tani betul-betul. Adiknya yang 11 tahun itu, aduuuh … kasihan, dia selalu duduk di pangkuan saya. Dia terus-menerus menangis minta pulang. Dia ditangkap di kantor Pemuda Rakyat, di desanya, ketika membantu kakaknya itu di situ. Dua-duanya ditangkap. Yang saya temukan di penjara itu luar biasa... Ada pula wanita dari SOBSI. Dia samasekali tidak mau bicara. Dia punya tiga baju, lantas dia berikan kepada saya satu. Karena dia tahu baju saya hanya yang lengket di badan.
3
Orangtua saya selalu berpikir bahwa saya ditahan di Kostrad. Untung saya sekeluarga tinggal di sebelah rumah orangtua saya. Kalau tidak, tak terbayangkan apa yang terjadi dengan anak-anak saya. Orangtua saya diperbolehkan mengirim makanan, tetapi saya tidak pernah menerimanya. Dimakan oleh orang Kostrad. Kurang ajar! Dua polisi wanita di Bukit Duri bilang saya tidak dikirim ke penjara itu sebagai tangkapan, tetapi sebagai titipan, jadi tidak diregistrasi sebagai tahanan. Setelah dua minggu di Bukit Duri saya tidak dapat kiriman apa-apa. Mereka tanya, apakah keluarga Ibu tidak ada yang tahu? Saya bilang, saya kira mereka tidak tahu. Rumah Ayah saya di Pegangsaan Timur, rumah yang dia bangun sendiri. Kedua polisi wanita itu kebetulan tinggal di asrama polisi Jalan Tambak, jadi dekat dengan rumah orangtua saya. Dia tanya, di mana rumah Ibu, saya bilang di Pegangsaan Timur 79. Oh, rumah yang bertingkat, kata polisi itu. Saya jawab, ya, itu rumah Ayah saya. Ketika mereka menemui Ayah saya, mereka bilang apa Bapak tahu anak Bapak ditangkap dan ditahan di Bukit Duri? Padahal orangtua saya terus kirim makanan ke Kostrad. Kurang ajar! Sesudah itu saya baru terima kiriman satu atau dua kali seminggu. Ya, bisa saya bagi dengan kawan-kawan satu sel. Selama tiga minggu saya tidak dapat kiriman. Dan berbulan-bulan saya di situ tidak perah diinterogasi. Yang diinterogasi waktu itu paling tidak disiksa dengan sundutan api rokok dan pukulan-pukulan. Kalau keluarganya adalah perwira tinggi, atau dari kelas menengah, tahanan itu tidak disiksa. Carmel Budiarjo, misalnya, dia dua tahun di Bukit Duri. Dosen Universitas Republika (Ureca) itu juga disiksa. Dia pernah jadi anggota komunis muda Inggris. Kalau baca buku Siauw Giok Tjan, ketua Baperki, Siauw sendiri tidak pernah disiksa kan? Padahal, militer tahu bahwa dia sangat penting sebagai tokoh dalam gerakan kiri. Menteri Luar Negeri Subandrio juga saya kira tidak pernah disiksa. Malahan mereka dikasi tempattidur, seperti yang saya lihat di dalam foto-foto. Sementara kami tidur di lantai semen. Karena saya makan sedikit; waktu masih bekerja dulu, saya hanya makan sekali sehari, malam. Jadi, ketika kekurangan makanan di penjara tidak saya anggap sebagai siksaan. Yang paling jelek adalah tak bisa keluar, tak bisa baca, tak bisa menulis. Yang boleh dibaca hanya Injil. Ayah mengirimkan Injil dalam bahasa Belanda, Inggris, Perancis. Tiga bulan pertama, sel dibuka satu jam sore dan satu jam pagi untuk mandi. Di dalam sel disediakan satu ember untuk tujuh orang! Luar biasa… Itu siksaan yang jelek sekali.
4
Inhumanized manusia. Kita memang terasing samasekali dari dunia luar. Tahanan kriminil, di penjara sebelah, ada yang kasi makanan dan menyelundupkan koran ke pada kami. Tidak satu koran utuh, tapi potongan koran. Sesudah tiga bulan, pintu sel dibuka mulai pukul 9 pagi sampai 5 sore. Kami bisa berkebun dengan halaman yang kecil sekali, tetapi pokoknya kita bisa keluar dari sel. Kami juga bisa merenda, entah dapat kiriman atau suruh orang belikan. Bulan kelima saya sudah bisa menulis, yang saya selipkan pada pakaian yang boleh dicuci di rumah. Saya katakan kepada Ayah saya, yang paling penting bagaimana saya bisa keluar. Lantas Ayah saya mencari keterangan untuk itu. Ada keluarga dekat yang kenal dengan seorang Indo. Dia punya kenalan orang yang dekat dengan rezim Suharto. Saya sebenarnya tak bisa dilepas karena saya dititipkan, bukan orang yang ditangkap. Ayah saya bilang bagaimana dia bisa dititipkan tapi berada di dalam penjara. Tentara yang menahan bilang bahwa saya bisa lepas, tapi harus diperiksa dulu. Sementara polisi wanita yang jaga bilang, kalau saya tidak diperiksa, saya bisa terus berada dalam penjara selamanya. Bulan kedelapan saya dikasi tahu, Ibu akan diinterogasi. Aduh… interogasinya begitu tolol! Saya tidak masuk organisasi apa-apa. Karena saya tidak ada waktu. Saya adalah orang yang mencari penghasilan untuk rumahtangga saya, karena Zain tidak ada gaji. Zain bilang: kamu ‘kan gajian. Saya memperoleh uang sebagai guru bahasa Inggris. Saya mengajar Inggris untuk istri duta Hongaria dan yang lain, dan saya dapat bayaran yang banyak dari mereka. Lewat mereka juga saya bisa membeli mesin tik dengan harga murah sekali karena lewat fasilitas kedutaan. Saya juga menerima gaji dari kementerian pekerjaan umum dan tenaga, walau tidak banyak. Interogator mau membuktikan bahwa saya kiri dan berbahaya, tapi saya bilang saya tidak masuk organisasi apa-apa. Dan bahwa saya pulang dari kementerian pekerjaam umum, sebagai asisten yang mengepalai perpustakaan, pukul 2.30, sementara pukul 3.30 sudah harus memberikan kursus bahasa Inggris kepada istri-istri duta besar. Saya katakan, saya hanya menjadi anggota Perhimpunan Pustakawan Indonesia, itu organisasi dari orang-orang kanan. Interogator-interogator yang tolol itu tidak bisa membuktikan apa-apa pun dari yang mereka dugakan pada saya. Yang jaga penjara itu polisi wanita tapi yang mengepalainya militer. Yang interogasi juga tentara. Satu bulan setelah itu saya dengar dari polisi wanita itu, Ibu sudah boleh
5
dilepaskan. Sebelumnya dikatakan untuk interogasi itu diperlukan uang untuk membeli kertas, ini dan itu, macam-macam. Ayah saya tidak pernah bilang berapa uang yang dia keluarkan untuk membebaskan saya. Dia tak tak mau membicarakan hal itu. Saya sudah tidak diterima untuk bekerja kembali di kementerian pekerjaan umum dan tenaga. Persatuan Wartawan Asia-Afrika saya kira masih ada waktu itu, tapi saya sudah tidak ke sana lagi. Saya hidup dari mengajar bahasa Inggris, Satu minggu setelah bebas saya sudah mengajar kembali. Dengan begitu, saya bisa mempertahankan dua pembantu yang baik, yang bilang, ”Tak usah Ibu, tak usah kasi gaji.” Sepanjang pengetahuan saya Zain Nasution adalah redaktur Harian Rakyat edisi Inggris kalau di Jakarta sedang berlangsung konferensi internasional. Boleh saya tahu perkenalan Tante dengannya? Pada waktu Jakarta setengahnya dikuasai Belanda dan setengahnya lagi oleh Republik, saya bisa meneruskan sekolah dan menyelesaikan sekolah Belanda. Tiba-tiba ayah saya bilang kamu boleh belajar di Eropa. Dari empat anaknya saya yang paling tinggi angkanya di sekolah, jadi saya yang dia pilih. Dia bersusah-payah untuk mendapat pendidikan yang baik, jadi dia ingin anaknya dapat pendidikan yang baik pula. Saya dikirim ke Leiden, saya ambil ilmu pasti, karena saya juga tertarik untuk menjadi arsitek. Itu untuk pertama kali saya ke Leiden -- September 1947. Saya anak perempuan satu-satunya, jadi sebenarnya saya tidak boleh pergi sendirian. Tetapi, saya toh dikrim ke Leiden. Waktu saya dikirim ke Leiden saya tanya kepada Ayah, apa saya boleh ke Delf untuk belajar menjadi arsitek? “Nee …” Tidak, jawabnya. Tidak boleh, turun-naik tangga bukan pekerjaan wanita. Itu tidak baik untuk wanita, katanya. Jadi, ijazah satu-satunya yang saya peroleh di Leidenn adalah ilmu pasti. Lantas saya mengambil fakultas hukum. Di situlah saya tahu bagaimana Indonesia dijajah, dikolonisasi oleh Belanda. Ada teman yang membujuk saya supaya menjadi anggota Rukun Pelajar Indonesia (RUPI). Dan saya masuk menjadi anggotanya. Zain datang ke Leiden tahun 1946, dan pada waktu saya bertemu dengannya dia sudah jadi kandidat sarjana. Tahun pertama saya tinggal di Den Haag. Pulang-pergi Leiden. Sering ada pertemuan, pulang malam, pulang dengan kereta api tengah malam. Lantas teman-teman bilang kenapa tidak pindah ke Leiden saja. Kemudian saya cari tempattingal di Leiden. Ketua RUPI pada waktu itu Oka Jelantik. Zain bertanya apa saya bersedia jadi bendahara. Saya menerima tawaran itu. Tetapi, kemudian saya tidak mau lagi, karena akhirnya uang saya yang sering dipakai. Juni 1948
6
saya pindah rumah ke Leiden. Desember 1948 Belanda melancarkan aksi polisionil di Indonesia. Waktu itu saya baru menghadapi ujian calon sarjana. Abang saya, yang berangkat ke Belanda tahun 1946, belajar di Delf untuk jadi insinyur. Dia mula-mula tinggal di Den Haag. Di kota itu ada kawan karib ayah saya, orang Indo-Manado. Dia punya keponakan yang juga sudah jadi insinyur lulusan Delf. Seorang komunis. Dan dia kenal baik dengan Sunan Hamzah. Dan ternyata Sunan Hamzah itu Omnya Zain. Marganya Lubis. Sunan Hamzah belajar Marxisme di Den Haag. Abang saya itu juga tertarik pada paham itu. Hidup ini memang penuh dengan kebetulan-kebetulan. Begitu saya sampai di Den Haag, abang saya membawa saya dan diperkenalkan kepada Sunan Hamzah. Saya tidak mengerti Marxisme, tetapi dalam pertemuan itu saya diperkenalkan dengan paham itu, saya disuguhkan Das Kapital. Sunan Hamzah itu juga orang penting dari Perhimpunan Indonesia. Saya hadir di konferesnsi perdamaian di Paris, yang diorgansir sendiri oleh Marie Curie, ahli fisika dan kimia Perancis berdarah Polandia, wanita pertama yang memenangkan Hadiah Nobel. Saya hadir bersama delegasi Indonesia di mana terdapat Sunan Hamzah dan istri, Go Gin Tjoan dan istri, saya dan abang saya. Pertengahan 1948 saya kira waktu itu. Banyak juga yang lain yang diajak, tetapi tidak bisa ikut karena tidak punya uang, sebab harus bayar ongkos sendiri. Picasso yang menciptakan simbol perdamaian berbentuk burung dara juga hadir. Di antara undangan ada pula seorang pilot Rusia yang cuma tinggal satu kakinya. Hebat sekali waktu itu. Saya juga ikut dengan para mahasiswa Indonesia yang mengembalikan bea-siswa sebagai protes terhadap aksi polisionil Belanda di Indonesia. Banyak mahasiswa yang demonstrasi, tetapi yang mengembalikan beas-siswa hanya 17 orang, termasuk Zain, dan dia yang memimpin. Demonstrasi itu berlangsung di Den Haag. Saya betemu Zain di situ. Tetapi, dia sendiri bilang sudah lama dia “memperhatikan” saya hehehe …. Agustus 1950 saya menikah dengan Zain di Praha. Dia rupanya menulis surat kepada ayah saya untuk mendapatkan saya. Tetapi, ayah saya tidak memberikan jawaban. Saya tanya kepada istri Sunito (ahli hukum) bagaimana kalau saya mau kawin di Belanda, apa bisa? Dia bilamg nggak bisa karena menurut hukum Belanda wanita sebelum berusia 30 tahun harus memperoleh izin dari orangtua untuk kawin. Sementara saya baru 24. Karena ayah saya tidak memberikan jawaban, tentu saja berarti dia tidak memberikan
7
izin kepada saya untuk kawin. Zain pada waktu itu memperoleh bea-siswa dari Cekoslowakia. Mei 1949 dia ke Praha. Ketujuhbelas mahasiswa yang mengembalikan beas-siswa sebagai protes terhadap Kerajaan Balanda, kemudian mendapat beas-siswa dari Perancis, Ceko, Inggris. Zain memilih Praha, karena waktu itu Budiardjo, suami Carmel, berada di sana. Zain belajar ilmu politik. Tahun 1946 Zain belajar Indologi di Leiden dan sudah sempat menempuh ujian sarjana. Dia sudah mau ambil master, tetapi dia kembalikan bea-siswa sebagai protes terhadap Belanda. Saya malah mengembalikan uang bea-siswa yang telah saya terima. Zain mengusahakan beasiswa bagi saya untuk belajar di Praha, tapi tidak berhasil. Dia bilang, kita kawin saja dan pulang ke Indonesia. Kami nikah Agustus 1950. Di Ceko ada peraturan yang menyebutkan mereka yang tinggal lebih dari satu bulan di neggara itu bisa menikah hanya dengan menggunakan paspor. Di Praha saya tinggal di rumah Carmel Budiarjo selama satu bulan lebih. Syarat yang pertama terpenuhi. Syarat lain, yang hendak kawin harus bisa berbahasa Jerman. Saksi Zain orang Ceko. Zain bisa Jerman dan dia adalah anak ningrat Mandailing, yang punya latar pendidikan Mulo dan AMS-A bagian Timur, yang juga harus belajar bahasa Timur, seperti Jawa, atau Arab, barangkali, entahlah. Belanda, Jerman, Perancis, Inggris dia pelajari. Saya yang duduk di HBS, sekalipun saya bagian eksakta, saya juga belajar empat bahasa itu dan dalam dalam ujian akhir bahasa itu diujikan. Jepang masuk, Zain sudah lulus AMS di Yogya. Saya lulus HBS Februari 1947. Saya lebih muda lima tahun dari dia. Januari 1951 kami pulang. Tanpa menyelesaikan pendidikan. Setelah kami nikah, saya tulis surat kepada Ayah, bilang saya sudah kawin, dan tanyakan apakah dia mau membayar tiket kami berdua untuk pulang ke Indonesia. Dan ayah saya bayar tiket pulang untuk saya dan Zain. Abang saya sudah pulang lebih dulu. Waktu kami sampai di Jakarta Ayah tidak menjemput. Abang saya itu juga ikut protes terhadap Belanda dan tidak melanjutkan studinya, pulang. Dan dia bekerja di perusahaan pembangunan milik Ayah saya. Waktu bertemu dengan Ayah dia tanya, kamu bahagia nggak. Kalau memang bahagia, kamu boleh pinjam mobil dua minggu untuk cari pekerjaan. Dia tanya begitu karena saya anak perempuan satu-satunya, dan saya yang paling disayang. Ketika saya dan Zain pulang ke Indonesia barangkali ayah saya masih marah. Entahlah… Kami tiba di Jakarta 21 Januari 1951. Zain dapat pekerjaan di majalah yang dipimpin Siaw Giok Tjan, sementara saya, dengan bantuan keponakan yang pernah membantu saya
8
ketika di Leiden, saya bekerja di perpustakaan kementerian pekerjaan umum dan tenaga. Itu perpustakaan peninggalan Beladan dan merupakan perpustakaan terbesar kedua setelah perpustakaan Museum Nasional waktu itu. Pada waktu itu ada 400.000 buku di perpustakaan itu. Sebagian besar berada di Bandung. Yang diperlukan oleh kementerian dipindahkan ke Jakarta. Semua arsip dalam bahasa Inggris, Belanda, Jerman, Perancis. Bisa diceritakan setelah keluarkan dari penjara Bukit Duri? Tahun 1967 ada keponakan saya, orang Ambon, yang tidak terlibat dalam politik apa pun, dan bekerja di sebuah perusahaan Swedia yang menjual macam-macam suku cadang mobil. Kepala kantornya di Jakarta, anak muda yang hanya bisa berbahasa Inggris. Dan sekretatis yang bekerja di situ kabarnya sangat jelek bahasa Inggrisnya. Padahal, dia yang harus menulis surat-menyurat, termasuk laporan penjualan. Dia tidak mampu. Kemudian keponakan saya mendengar kalau saya sudah tidak punya pekerjaan, dan bertanya apakah saya mau melamar? Saya sendiri sudah melamar ke berbagai perusahaan swasta, tetapi tak ada yang berani menerima. Ada keponakan saya yang jadi arsitek di Belanda, dia bilang kirimlah anakmu yang tertua untuk belajar ke Belanda. Anak saya itu trauma, karena waktu di SMP dia disuruh ikut demonstrasi menentang Sukarno. Dan, katanya, di belakangnya ada bayonet terhunus. Usianya waktu itu 13 tahun. Dia benar-benar trauma. Saya minta visa ke kedutaan Belanda untuk mengirimkan anak saya itu. Tidak dapat. Tanpa ada alasan, padahal adik saya yang di Belanda itu punya rumah sendiri, punya gaji. Dan dia sudah menjadi warganegara Belanda. Jadi, waktu itu Belanda juga ikut mendiskriminasi. Sewaktu bekerja di perusahaan Swedia, gaji yang saya terima lebih tinggi daripada kementerian pekerjaan umum. Saya dapat beras, dapat jaminan kesehatan. Tiap bulan, saya dapat Rp 7.000 dibandingkan dengan hanya Rp 3.000 dari kementerian. Sementara itu, di bawah meja saya dapat Rp 10.000, karena orang Swedia itu tidak bisa mengerti bagaimana kita bisa hidup dengan gaji yang kita peroleh. Lagipula, dia kagum saya bisa menguasai bahasa Inggris lebih baik daripada dia. Surat-menyurat saya pegang, jadi dia betul-betul tergantung pada saya sebagai sekretaris. Pada tahun 1967 Ayah saya sudah 74. Ibu saya 65. Ayah saya sudah memutuskan pensiun. Dia punya 14 rumah. Dia berpandangan jauh, dan punya pikiran bahwa saya pada suatu saat pasti akan ditangkap lagi. Dan, dia tak tahan melihat situasi politik di bawah kepemimpinan Suharto. Militer minta Ayah saya untuk terjun dan aktif dalam pembangunan, tetapi dia tidak mau. Ayah berusaha untuk menjual rumah miliknya yang
9
terbagus, yang bertingkat, dalam valuta asing. Dia bilang kepada saya, kalau rumah itu terjual saya dan Mama akan pergi ke Belanda. “Saya tidak tahan di sini. Negara apa ini!” Abang saya, yang mendirikan gedung CC PKI, juga ditangkap militer, tetapi karena dia kenal keponakan kami, orang Maluku yang berpangkat kolonel, dia bisa keluar. Dia sadar kalau tidak dengan segera berangkat ke Belanda bisa ditangkap lagi. Sebab nama-nama yang muncul dalam interogasi terus bertambah. Februari atau Maret 1966 dia dan istrinya berangkat ke Belanda dengan bantuan ayah dengan menjual sesuatu. Ayah dan seluruh keluarga sudah mufakat, kalau dia ke Belanda, anak saya juga akan dibawa ke sana. Tapi, dua atau tiga bulan sebelum berangkat, dia bilang kepada saya, anakmu tiak ikut kalau kamu tidak ikut berangkat bersama saya dan Mama. Saya menghadapi pilihan yang sulit. Waktu itu saya bekerja di Unesco sebagai penerjemah. Jadi, saya pikir, saya bisa mengirimkan uang kepada anak-anak saya kalau mereka sudah bertempattinggal dan belajar di Belanda. Saya harus memutuskan untuk memilih di antara pilihan yang sulit itu. Tetapi, akhirnya pilihan saya membawa kebaikan, karena anak saya kemudian memperoleh pendidikan yang bagus. Bagaimana dengn Zain Nasution, suami Tante? Tahun 1968 saya tiba di Belanda. Satu bulan kemudian saya dapat pekerjaan di perpustakaan Universitas Amsterdam. Anak-anak saya semua ikut ke Belanda sebagaimana yang disyaratkan oleh Ayah, bahwa dia hanya mau berangkat ke Belanda dengan anak-anak kalau saya ikut. Saya tidak sempat bertemu dengan Zain, karena dilarang oleh Ayah. Sebab dia takut kalau saya bertemu akan menangis, dan akan ketahuan bahwa saya masih punya hubungan dan bisa ditangkap. Saya setiap bulan kirim uang kepada saudara saya di Jakarta untuk digunakan kalau membesuk Zain. Tahun 1969 dia dipindahkan dari penjara Salemba ke Nusakambangan. Waktu itu, kabarnya, ada klasifikasi berdasarkan umur. Yang sudah lanjut usianya ditahan di Nusakambangan, yang konidisinya lebih buruk dari Pulau Buru. Zain terserang penyakit dan menderita TBC. Soal uang orang bisa menjadi jahat sekali. Uang yang saya kirimkan tidak digunakan untuk Zain. Ada famili yang pernah menceritakan, dari penjara Zain menulis surat meminta dikirimkan obat, tetapi tak pernah dia terima. Uang bisa membuat orang jahat sekali. Zain meninggal tahun 1975. Tante saya di Amsterdam dapat telegram yang mengabarkan
10
tahanan nomor sekian telah meninggal. Waktu saya membaca telegram itu saya tentu menangis, tetapi juga marah. Ada Munandar, insinyur lusan Delf, anggota lembaga patent yang disegani. Sewaktu ada delegasi dari Belanda ke Indonesia, kami menemui delegasi tersebut dan menyatakan bahwa suami saya dan banyak orang lagi, ditahan di Indonesia tanpa proses pengadilan sementara mereka bukan orang jahat. Maaf, saya tidak ingin membangkitkan kesedihan dan amarah lama. Bung Zain dimakamkan di mana? Entah! Saya samasekali tidak tahu. Anak saya yang di Jakarta dan di Bali coba untuk megetahui, tapi tidak menemukannya. Dua tahun sebelum meninggal, dari Nusakambangan Zain mengirim surat lewat seorang pendeta. Ketika itu dia sudah sakit. Saya teringat ketika bertemu dengannya, pada waktu saya diitugaskan dari penjara Bukit Duri untuk membersihakan beras di penjara Salemba. Dia bilang pada saya, jangan percaya pada siapa pun orang yang dulu kamu kenal. Pustuskan sendiri … Begitu banyak pengkhianat. Dari empat anak saya tidak ada yang pakai marga Nasution. Anak saya yang tertua pakai Pattipilohy pada namanya. Sebagai anak tertua, Zain seharusnya dihormati. Dan saya secara adat adalah Boru Lubis. Salah satu dari saudara laki-laki Zain, adalah anggota SOBSI, dari bidang telkom. Untung dia bisa lari, karena ketika G30S dia sedang menghadiri satu konferensi di Praha. Yang ketiga jadi manajer perkebunan di Sumatera Utara dan bersikap kooperatif terhadap penguasa militer dan bersedia membantu. Sikap yang sangat ditentang oleh anak saya. Tahun 1979, tiga anak saya, berangkat ke Medan. Mereka ingin menemui mertua saya yang masih hidup. Anak saya yang tertua ikut. Keluarga Zain mengira mereka datang mau menuntut warisan. Jadi, mereka dilaporkan kepada polisi, bahwa anak-anak saya itu terlibat G30S. Luar biasa kan?! Keluarga Zain sendiri. Mereka kembali ke Jakarta. Kapan terakhir pulang ke Indonesia, ke kampung halaman, pulau pala, Bandaneira? Terakhir pulang ke Indonesia tahun 1995. Dan cuma sekali itu pulang ke Bandaneira. Pada waktu itu anak saya dapat pekerjaan dari Pronk, menteri bantuan pembangunan Belanda. Dia bekerja di bidang pemberdayaan perempuan dan dapat rumah di Ambon dan Seram. Dan saya punya kesempatan berkunjung ke Bandaneira. Dari Ambon naik pesawatterbang.
11
Kecil sekali pesawatnya. Ya, kata orang kalau naik kapallaut dari Ambon, satu mil sebelum memasuki Teluk Bandaneira, dasar laut kelihatan bagus sekali, sementara Pulau Banda membentang hijau oleh hijaunya pala. Menantu saya, orang Belanda yang tak mau pulang ke negerinya, dan bekerja di Jakarta, sudah tiga kali mendaki Gunung Api yang seperti gunung yang tiba-tiba muncul di Teluk Bandaneira yang tenang seperti kaca. “Indah sekali,” kata menantu saya. Sebelumnya dia pernah jadi guide untuk turis yang tamasya ke Komodo. Waktu dia libur, dia ajak anak saya yang sudah jadi temannya ke Indonesia, karena dia tak bisa berbahasa Indonesia. Waktu saya ke Bandaneira dengan menantu saya itu, saya ziarah ke kuburan Opa-Oma, dan sepanjang jalan menuju kuburan adalah Alkatiri. Oma saya Arab, Alkatiri, banyak Arab di sana. Menyesal hidup terasing? Semakin lama saya di sini, semakin marah saya terhadap Belanda. Yang menyakitkan itu adalah bahwa Belanda begitu merusak hak-hak asasi manusia bangsa Indonesia. Negara yang begitu bagus bisa menciptakan keadaan yang begitu buruk terhadap bangsa saya. Kesalahan eksil Indonesia di sini adalah bahwa mereka tidak menyebarkan informasi yang korek, yang penting, mengenai apa-apa yang terjadi di Indonesia dan di dunia. Bahwa mereka tidak bisa berbahasa Belanda dengan baik, bahwa mereka tidak mengembangkan bahasa Inggris mereka, sehingga mereka tidak bisa mengikuti perkembagan. Sebab, di Belanda belakangan ini muncul peneliti dan penulis generasi muda Belanda yang kritis. Eksil dapat subsidi, dapat rumah, dapat macam-macam, karena itulah saya katakan “welfare corrupts”. Dan absolut! Ya, mereka seperti tertidur oleh welfare tadi. Pernah Tante katakan kepada mereka? Nee …! Tidak, saya tidak berani. Tahun 1979 saya ikut mendirikan persatuan wanita kulit berwarna, termasuk dari Suriname. Terdiri dari mahasiswa. Akhir tahun 1970-an the second feminist movement mulai berkembang. Juga berdampak pada universitas-universitas. Sepuluh bulan saya bekerja di perpustakaan Universitas Amsterdam, dan saya juga ikut dalam gerakan itu. Dan kebetulan pada waktu itu muncul iklan yang mencari pustakwan yang akan dididik Bahasa Indonesia untuk dipekerjakan di Koninklijk Instituut voor Taal – Land – en Volkunde (KITLV) di Leiden yang akan memasukkan sejarah Indonesia modern di situ. Saya ‘kan sudah tak perlu dididik bahasa Indonesia. Saya diterima dan gajinya juga lebih besar dari yang saya terima di Universitas Amsterdam.
12
Tante aktif di organisasi wanita DIAN di sini? Saya sudah tidak aktif di situ, hanya diminta sebagai penasihat. Tahun 1987 Francisca Fanggidae, Rusyati, Suci datang ke rumah saya dan minta saya ikut mendirikan DIAN. Organisasi ini tidak bekembang karena mereka tidak mengikuti tulisan-tulisan dalam bahasa Belanda, Inggris. Tulisan tentang gerakan wanita yang ditulis dengan baik. Yang jadi masalah juga kebanyakan yang belajar di Eropa Timur belajar eksakta, bukan ilmu sosial-politik. Ada beberapa buku bagus mengenai gerakan wanita, tapi mereka tidak berminat. Mereka tak punya perhatian. Padahal mereka tidak bekerja. Sekali lagi social welfare corrupts. Memperingati Hari Kartini mereka rayakan seperti rezim Suharto merayakannya, dengan acara show busana. Padahal Kartini begitu hebat. Dialah yang mengatakan bagaimana pentingnya pendidikan untuk wanita, karena merekalah yang pertama-tama mendidik anak. Bagaimana bisa mereka mendidik anaknya kalau mereka sendiri tidak terdidik. Pernyataan yang hebat sekali ‘kan?! Dan, masalahnya juga semua tulisan Kartini dalam bahasa Belanda. Dan dalam bahasa Belanda yang dipakai pada zamannya yang sudah lama. Mungkin masalahnya para eksil itu meninggalkan Indonesia dalam usia yang masih muda, tidak punya pengalaman dalam perjuangan untuk membebaskan tanah air. Angkatan terdahulu di Belanda, seperti Sunan Hamzah, Sunito dan lain-lain sangat aktif, punya studi grup. Yang sekarang tidak punya studi grup. Kalau pun ada pertemuan cuma bicara soal bagaimana mereka pulang ke Indonesia, apa yang dialami, yang dilihat di sana. Tak lebih dari itu. Tidak ada umpamanya bagaimana supaya Jowoki bisa dipertahankan lebih lama memimpin Indonesia. Kalau selama limapuluh tahun sebagai eksil mereka gunakan untuk mengembangkan penguasaan bahasa, tentu mereka akan mengerti perkembangan dunia lebih baik, lebih menyeluruh. Yang di Perancis lebih baik, walaupun grupnya kecil, tetapi di Belanda ini tidak ada. Padahal mereka orang-orang pintar kan?! Sayang kesempatan yang hilang. Dari sekitar 100 eksil yang hidup di Belanda hanya segelintir yang bisa mengikuti perkembagan dengan baik. Ada yang ingin saya ceritakan. Tahun 1947, ketika saya datang ke Belanda, saya dipelonco di sekolah. Saya mahasiswa hukum. Yang kemudian tidak tamat karena saya solider dengan tujuhbelas mahasiswa Indonesia yang keluar dari Belanda memprotes aksi polisionil Belanda di Indonesia. Saya lebih tua beberapa tahun dari kebanyakan mahasiswa. Senior saya, tingkat akhir kedokteran, dengan mengejek menanyakan kepada
13
saya, “Kalau kamu berdiri di belakang gordin, di mana kamu bisa belajar bahasa Belanda begitu baik?” Saya heran bahwa mereka tidak mengerti bahwa kita belajar bahasa Belanda di sekolah di Indonesia. Saya marah, saya bilang, “Saya belajar di kapal.” Pelayaran waktu itu 26 hari dengan kapal. Apa…? Katanya terheran-heran. Begitu tidak tahunya masyarakat Belanda tentang negara jajahan. Di sekolah, kolonialisme Belanda tidak diajarkan. Terakhir, pelajaran sejarah dihapus dari pelajaran sekolah dasar dan di sekolah menengah dikurangi. Ayah anti-komunis? Tidak anti-komunis tetapi bukan komunis. Dia orang yang jujur dan suka membantu. Banyak keluarganya yang dia bantu. Dan bagi dia keluarga itu paling penting. Jadi, apa pun yang terjdi dia harus menyelamatkan keluarga. Waktu dia sekolah dasar di Bandaneira, ada guru sekolah itu, orang Belanda, yang sayang sekali padanya dan menyayangkan kalau dia yang begitu pandai tidak bisa ke mana-mana. Dia ditanya Ayah, apa mau menempuh ujian umum, kalau berhasil bisa dikirim ke Batavia, ke sekolah yang lebih tinggi. Dia tentu saja mau. Dia ikut ujian dan berhasil. Pernah saya tanya berapa ongkos sekolah di Batavia. Dia bilang perumahan, makan, uang sekolah, semuanya 35 gulden perbulan. Opa gajinya 45 gulden. Ha…? saya berteriak. Dia bilang, ah… Laut Banda ‘kan banyak ikan. Dia hanya berdua, dengan saudara perempuannya. Lima tahun lebih muda dari dia. Ada juga keponakan yang miskin yang tinggal bersama Opa saya. Ayah menulis memoir setebal 200 halaman dalam bahasa Belanda. Tante sudah mulai menulis memoir? Wah, hahaha … pertanyaan ini sudah kesekian kali ditanyakan kepada saya. Kapan menulis memoar. Saya tidak bisa. Sekalipun hanya dengan menyediakan waktu satu jam sehari. Soalnya saya pernah menulis artikel, dan saya memerlukan duabelas kali membacanya kembali baru bisa jadi…
14