II. 2.1
TINJAUAN PUSTAKA
Studi Empiris Dayasaing Pada dasarnya cakupan dayasaing tidak hanya pada suatu Negara,
melainkan dapat diterapkan pada suatu komoditas, sektor atau bidang, dan wilayah. Pengembangan komoditas di daerah sesuai dengan kondisi sumberdaya alam untuk meningkatkan dayasaing memberikan banyak manfaat, selain dapat meningkatkan efisiensi, menjaga kelestarian sumberdaya alam, juga dapat meningkatkan
aktivitas
pertanian
dan
perdagangan
sehingga
mampu
meningkatkan pendapatan serta kesejahteraan masyarakat. Banyak penelitian yang berkaitan dengan penetapan komoditas di daerah tertentu untuk meningkatkan dayasaing karena banyak manfaat yang dihasilkan, terutama untuk meningkatkan perekonomian daerah berbasiskan sumberdaya lokal. Seperti daerah Sukabumi yang memiliki potensi alam dalam sektor perikanan baik perikanan tangkap maupun budidaya (Fadillah, 2011), atau daerah Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara yang memiliki potensi tanaman pangan jagung (Mantau, Bahtiar, Aryanto, 2009). Adapun metode yang dapat digunakan untuk menghitung maupun menilai dayasaing suatu komoditas pertanian antara lain Revealed Competitive Adventage (RCA), Berlian porter, dan Policy Analysis Matrix (PAM). Revealed Competitive Adventage (RCA) dapat digunakan untuk mengukur keunggulan kompetitif suatu komoditas dalam kondisi perekonomian aktual. Berbeda dengan metode Revealed Competitive Adventage (RCA), metode Berlian Porter digunakan untuk mengukur dan menganalisis keunggulan kompetitif suatu komoditas. Sedangkan Policy Analysis Matrix (PAM) merupakan metode yang menggunakan tiga analisis ukuran yakni keuntungan privat, keuntungan sosial atau ekonomi, dan analisis dayasaing berupa keunggulan komparatif dan kompetitif serta analisis dampak kebijakan pemerintah terhadap komoditas. Pendekatan untuk meningkatkan dayasaing suatu komoditas adalah tingkat keuntungan yang dihasilkan dan efisiensi dalam pengusahaan komoditas tersebut. Keuntungannya dapat dilihat dari dua hal, yakni keuntungan privat dan keuntungan sosial. Sedangkan efisiensi perusahaan dilihat dari dua indikator yakni
keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif. Dengan analisis perbedaan harga harga finansial dan ekonomi dapat diketahui nilai dayasaing suatu komoditas dan bagaimana dampak kebijakan yang dilakukan pemerintah terhadap penerimaan petani. Faktor-faktor yang menyebabkan munculnya dayasaing pada umumnya terdiri dari teknologi, produktivitas, harga, biaya input, struktur industri, kualitas permintaan domestik dan ekspor. Faktor-faktor tersebut dapat dibedakan menjadi (1) faktor yang dikendalikan oleh unit usaha, seperti strategi produk, teknologi, pelatihan, riset dan pengembangan, (2) faktor yang dikendalikan oleh pemerintah, seperti lingkungan bisnis (pajak, suku bunga, exchange rate), kebijakan perdagangan, kebijakan riset dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan, dan regulasi pemerintah, (3) faktor semi terkendali, seperti kebijakan harga input, dan kualitas permintaan domestik, dan (4) faktor yang tidak dapat dikendalikan seperti lingkungan alam (Feryanto, 2010). Penelitian tentang dayasaing bukanlah yang pertama kali, Dewanata (2011) melakukan penelitian tentang Analisis Dayasaing dan Kebijakan Pemerintah Terhadap Komoditas Jeruk Siam di Kabupaten Garut Jawa Barat. Tujuan dari penelitian ini antara lain menganalisis pengaruh teknologi terhadap keunggulan komparatif dan kompetitif jeruk siam di Kabupaten Garut, Menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap dayasaing pengusahaan jeruk siam di Kabupaten Garut, Menganalisis keunggulan kompratif dan keunggulan kompetitif jeruk siam apabila terjadi perubahan nilai tukar rupiah, harga jual jeruk siam domestik, dan kenaikan harga pupuk di Kabupaten Garut. Penelitian ini menggunakan alat analisis PAM (Policy Analysis Matrix) untuk mengukur keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif serta dampak kebijakan pemerintah terhadap komoditas jeruk siam. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa komoditas jeruk siam memiliki keunggulan kompetitif dengan menggunakan teknologi tradisional dibandingkan menggunakan teknologi modern. Hal ini ditunjukkan oleh nilai PRC dengan teknologi tradisional (0,80) lebih kecil dibandingkan nilai PRC dengan teknologi modern (0,84). Akan tetapi penggunakan teknologi tradisional tidak mempunyai keunggulan komparatif jika dibandingkan dengan teknologi modern, karena nilai
DRC teknologi modern (0,71) lebih kecil dibandingkan dengan DRC teknologi tradisional (0,76). Kebijakan pemerintah juga belum mendukung dalam hal pengembangan dan peningkatan keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif pengusahaan jeruk siam di Kabupaten Garut. Pemerintah tidak memberikan proteksi terhadap sistem produksi sehingga harga jual jeruk berada di bawah harga efisien. Selain itu kebijakan terhadap faktor input-output menyebabkan petani kehilangan keuntungan. Pupitasari (2011) meneliti tentang Analisis Dayasaing dan Dampak Kebijakan Permerintah terhadap Komoditas Belimbing Dewa di Kota Depok. Dengan tujuan antara lain, manganalisis dayasaing komoditas belimbing dewa di Kota Depok, menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap dayasaing komoditas belimbing dewa di kota depok, dan menganalisis dampak perubahan harga buah belimbing, upah tenaga kerja, harga pupuk, dan jumlah output belimbing yang dihasilkan terhadap dayasaing komoditas belimbing dewa di Kota Depok. Penelitian ini juga menggunakan PAM (Policy Analysis Matrix) sebagai alat analisis untuk mengukur dayasaing belimbing dewa melalui indikator kompetitif dan komparatif serta dampak kebijkan pemerintah pada suatu sistem komoditas. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengusahaan komoditas belimbing dewa di kota depok memiliki keunggulan kompetif dan komparatif. Hal ini ditunjukkan dengan nilai keunggulan privat dan sosial yang bernilai positif. Selain itu komoditas belimbing dewa juga memiliki peluang ekspor yang cukup besar serta mampu bersaing di pasar internasional dan pasar domestik yang dipenuihi oleh produk impor sejenis. Kebijakan output yang dilakukan pemerintah mampu meningkatkan keunggulan kompetitif yang dimiliki komoditas belimbing dewa, sedangkan kebijakan input berpengaruh negatif terhadap keunggulan komparatif belimbing dewa. Kebijakan pemerintah terhadap input output dinilai mampu mendukung pengembangan dan peningkatan dayasaing komoditas belimbing dewa di Kota Depok yang ditunjukkan oleh nilai transfer bersih yang bernilai positif. Penelitian Dewanata (2011) dan Pupitasari (2011) menggunakan metode analisis PAM, berbeda dengan Fadillah (2011) yang menggunakan metode Teori
Berlian Porter untuk menganalisis Dayasaing Komoditas Unggulan Perikanan Tangkap di Kabupaten Sukabumi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi komoditas-komoditas unggulan perikanan tangkap di Kabupaten Sukabumi, menganalisis kondisi sistem agribisnis komoditas unggulan perikanan tangkap Kabupaten Sukabumi, dan Menganalisis kondisi dayasaing komoditas unggulan perikanan tangkap Kabupaten Sukabumi. Selain menggunakan Metode Berlian Porter yang digunakan untuk analisis deskriftif kualitatif, peneliti juga menggunakan Analisis Location Quotient (LQ) untuk menganalisis data secara kuantitatif. Hasil perhitungan nilai LQ menunjukkan bahwa ikan Kuwe, Tembang, Lisong, Cakalang, Albaroka, Madidihang, Tuna Mata Besar, Layu Kakap Putih, dan Belanak memiliki keunggulan secara komparatif di Kabupaten Sukabumi. Sedangkan berdasarkan Teori Berlian Porter disimpulkan bahwa komoditas unggulan perikanan tangkap di Kabupaten Sukabumi belum memiliki dayasaing yang optimal karena masih terdapat kendala dalam tiap komponen dayasaing. Kendala tersebut dapat di atasi dengan adanya peran pemerintah dan faktor kesempatan yang mendukung kemajuan sektor perikanan. Berdasarkan analisis keterkaitan antar komponen utama disimpulkan bahwa sebagian keterkaitan antar komponen utama saling mendukung dan sebagian tidak mendukung. Sedangkan pemerintah memiliki peran yang mendukung semua komponen utama dan peran kesempatan juga mendukung semua komponen utama kecuali tidak terkait dengan struktur pasar, persaingan, dan strategi perusahaan. Dalam penelitian yang dilakukan Oguntade (2009) dengan judul penelitian Assessment Of Protection and Comparatif Advantage In Rice Processing in Nigeria, memiliki tujuan
untuk menentukan seberapa besar nilai tambah
teknologi pengolahan padi menjadi beras giling dan pengaruhnya terhadap keunggulan komparatif dan kompetitif pengolahan beras di Nigeria dengan menggunakan alat analisis Policy Analysis Matrix (PAM). Hasil analisis menunjukkan bahwa kebijakan yang dilakukan pemerintah sangat baik. Hal ini ditunjukkan dengan nilai EPC lebih besar dari satu, dengan kata lain, bahwa kebijakan untuk melindungi produsen sangat baik. Namun dari segi keunggulan bersaingnya, bahwa teknologi pengolahan padi di Nigeria ini
hanya memiliki keunggulan kompetitif, karena memiliki keuntungan privat yang lebih besar dari nol, yakni 9,445 dan didukung dengan nilai PCR yang kurang dari satu, yakni 0,78. Namun pengolahan padi ini tidak memiliki keunggulan komparatif, karena nilai keuntungan sosial yang dimiliki bernilai negatif, -26,256 dengan DRC mencapai 4,88, dengan kata lain untuk memberikan nilai tambah sebesar satu satuan dibutuhkan sumberdaya ada faktor input tambahan sebesar 4,88. tidak memiliki keunggulan komparatif. Bermula dari masalah yang terjadi yakni pasar-pasar sekunder kekurangan infrastruktur dan tidak sistematisnya pemasaran, sehingga pemasaran domba dan kambing dihadapkan dengan distorsi pasar berupa infrastruktur dan transportasi. Babiker et.al (2010) menggunakan Policy Analysis Matrix (PAM) sebagai alat analisis untuk memeriksa dayasaing domba yang dijual hidup berasal dari Sudan di Pasar Internasional. Hasil analisis PAM berdasarkan nilai NPCO domba lebih dari satu, yakni 1,023 yang menunjukkan bahwa harga pasar lebih besar daripada harga perbatasannya atau harga ekspornya. Hal ini didukung dengan Keuntungan Private (KP) domba yang bernilai lebih dari nol dan nilai Coefficient In International Competitiveness (CIC) ekspor domba hidup yang kurang dari nilai tukar (1 US $ = 256 SD), yakni sebesar 46196,74 US Dollar, dan 249, 83. Hal ini mengisyaratkan bahwa ekspor domba dan hidup menguntungkan dan kompetitif secara internasional. Policy Analysis Matrix (PAM) juga dapat menganalisis dari segi yang berkaitan dengan sumberdaya domestik. Penelitian yang dilakukan oleh World Bank (2005) dan Yao (1997) menganalisis permasalahan dari segi Faktor Sumberdaya Domestik (DRC) untuk mengetahui keunggulan komparatif. World Bank (2005), menuangkan hasil penelitiannya dalam catatan kebijakan (policy paper) agar dapat membantu pemerintah dalam meningkatkan fungsi pasar pertanian untuk meningkatkan kontribusi sektor pertanian bagi pertumbuhan ekonomi sekaligus mengentaskan kemiskinan di Moldova. Peningkatan kinerja perdagangan internasional dan investasi langsung dijadikan dasar untuk memperkuat keunggulan komparatif pertanian agar terciptanya pertumbuhan ekonomi yang signifikan, pendapatan meningkat, dan kemiskinan berkurang. Dengan tersedianya sumberdaya domestik dan tingkat ekonomi pada saat itu,
berberapa komoditas pertanian dijadikan unggulan agar dapat bersaing, seperti Gandum, Jagung, Bunga matahari, Tomat, Apel, dan Anggur. Nilai Domestic Resource Cost (DRC) dalam Policy Analysis Matrix (PAM) dijadikan dasar untuk menghitung dampak kebijakan yang berkaitan dengan sumberdaya domeestik. Tingginya distorsi pasar akibat biaya transportasi, pemerintah Moldova memutuskan untuk menanggung semua biaya transportasi dan pemasaran hingga sampai dijual di luar negeri. Hasil dari Analisis PAM yang dilakukan bahwa nilai DRC untuk Gandum, Jagung, Bunga matahari, Tomat, Apel, dan Anggur pada tahun 2004 bernilai kurang dari satu, yakni 0,34, 0,37, 0,39, 0,23, 0,21, dan 0,19. Dengan rendahnya biaya input yang harus dikeluarkan, keuntungan sosial yang diterima bernilai positif dan memiliki keunggulan komparatif. Sedangkan, Yao (1997) menggunakan matriks PAM untuk menganalisis keunggulan komparatif produksi beras dibandingkan dengan tanaman kedelai dan kacang hijau. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjawab penurunan produksi padi secara ekonomis dan menganalisis dampak kebijakan pemerintah yang menyarankan untuk mengganti tanaman beras yang tidak menguntungkan secara ekonomis dengan tanaman kedalai dan kacang hijau. Analisis PAM digunakan untuk melihat keunggulan komparatif yang dimiliki masing-masing komoditas. Penelitian dilakukan di dua lokasi yang merupakan sentra produksi padi, serta kedelai dan kacang hijau, yakni Nakonsawan dan Phitasanulok. Hasil dari penelitian ini menyebutkan bahwa padi tidak menghasilkan keuntungan ekonomis karena terjadi penurunan produksi. Penurunan produksi itu disebabkan beberapa faktor, antara lain perubahan harga yang terjadi, kelangkaan air yang meningkat, kesuburan tanah, dan efek produksi terhadap lingkungan. Sedangkan hasil analisis PAM menunjukkan bahwa padi masih memiliki keunggulan komparatif, ini dibuktikan dengan nilai Keuntungan Sosial yang lebih besar dari nol, yakni 2050,0 bath. Hal ini juga dibuktikan dengan nilai DRC padi yang lebih kecil daripada satu daripada kedelai dan kacang hijau. DRC padi di daerah Nakonsawan sebesar 0,856, lebih kecil dari DRC kedelai dan kacang hijau yang masing-masing sebesar 1,204 dan 1,1811. Hal yang sama juga terjadi di daerah Phitasanulok, DRC padi kurang dari satu, yakni 0,915, dan DRC untuk
kedelai dan kacang hijau masing-masing sebesar 1,454 dan 1,162. Hal ini menunjukkan bahwa padi masih memiliki keunggulan komparatif. Berdasarkan
perbandingan
terhadap
penelitian
terdahulu
yang
menganalisis dayasaing diperoleh kesimpulan bahwa pengukuran dayasaing dapat menggunakan PAM, selain itu dapat mengidentifikasi dampak kebijakan pemerintah terhadap sistem usahatani. Kebijakan masih sangat dibutuhkan para petani maupun konsumen domestik dan juga mengingat bahwa komoditas pertanian memiliki karakteristik yang unik dan memiliki peran yang sangat penting bagi perekonomian nasional. Dayasaing sangat erat kaitannya dengan kualitas dan produktivitas yang tidak lepas dari peranan pemerintah. Untuk menunjukkan hal tersebut, maka penelitian tentang dayasaing dan dampak kebijakan pemerintah khususnya pada komoditi kentang penting untuk dilakukan. Hasil studi empiris dayasaing yang berkaitan dengan penelitian dapat dilihat pada Tabel 6. 2.2
Studi Empiris Kentang Sunaryono (2007) menyebutkan bahwa tanaman kentang dalam taksonomi
tumbuhan termasuk dalam Divisi Spermatopyta, Subdivisi Angiospermae, Kelas Dicotyledanae, Ordo Tubiflorae, Famili Solanaceae, Genus Solanum, dan Spesies Solanum tuberesum L. Tanaman kentang termasuk jenis tanaman sayuran. Tanaman sayuran adalah tanaman sumber vitamin, garam mineral dan lain-lain yang di konsumsi dari bagian tanaman yang berupa buah, biji, bungan, daun, batang, dan umbi. Pada umunya berumur kurang dari setahun, baik ditanam di daerah dataran tinggi atau rendah maupun di ditanam di lahan sawah atau kering. Kentang termasuk jenis tanaman sayuran semusim, berumur pendek, dan berbentuk perdu atau semak. Kentang termasuk tanaman semusim karena hanya satu kali berproduksi, setalah itu mati. Tanaman kentang tergolong tanaman yang tidak dapat tumbuh di sembarang tempat. Keadaan lingkungan merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan kentang disamping teknis penanaman yang benar. Kentang dapat tumbuh di daerah pegunungan dengan ketinggian sekitar 500 – 300 meter di atas permukaan laut. Namun idealnya kentang ditanam antara 1000 – 1500 di atas permukaan laut dengan suhu udara sekitar 18 – 21 derajat Celcius dan kelembaban udara sekitar 80 – 90 persen. Suhu
dan kelembaban yang terlalu tinggi atau terlalu rendah akan menghambat pertumbuhan kentang. Curah hujan yang sesuai untuk tanaman kentang adalah 1500 milimeter per tahun dengan panjang penyinaran sekitar sepuluh jam per hari Sunaryono (2007). Budidaya kentang secara umum dimulai dari tahap persiapan bibit, persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, dan panen. Jumlah bibit yang diperlukan tergantung jarak tanam. Pengaturan waktu tanam, pengaturan jarak tanam, dan cara menaman meruapakan hal-hal yang berpengaruh selama kegiatan penanaman kentang. Kegiatan pemeliharaan meliputi pemupukan, pengairan, penyiangan, pembumbunan, pengaturan pola tanam, dan pemangkasan bunga. Pemeliharaan tanaman diperlukan untuk menjaga agar pertumbuhan tanaman kentang tetap sehat dan normal. Kentang dipanen pada usia 90 – 120 hari dengan cara menggali menggunakan cangkul dan sebaiknya dilakukan pada pagi dan sore hari saat cuaca cerah (Samadi, 2007 dalam Utami, 2011) Sailah (1999) dalam penelitiannya tentang kajian pasar kentang mendapatkan bahwa petani kentang di Pulau Jawa pada umumnya menjual hasil produksi kentangnya kepada pedagang pengumpul. Namun pedagang pengumpul yang datang ke petani, bukan petani yang membawa hasil produksi ke pedagang. Petani biasanya berhubungan dengan pedagang tertentu dan didasarkan atas dasar kepercayaan. Tidak semua petani menjual hasil produksi kepada pedagang pengumpul, beberapa petani memiliki kontrak dengan industri pengoleh seperti Indofood. Ada juga petani yang menjual kepada petani besar dengan sistem titip jual yang umumnya sudah memiliki jaringan pemasaran yang baik. Ada juga petani yang langsung menjual ke pasar tradisional namun jumlahnyaa relatif sedikit. Sunaryono (2007) juga menyebutkan bahwa perkembangan kentang di Indonesia dipengaruhi oleh beberapa faktor, yakni (1) Peluang pasar dan permintaan konsumen, (2) Lahan dan kondisi agroklimat, (3) Tingat keuntungan, dan (4) Ketersedian bibit dan modal. Andrawati (2011) dalam penelitiannya tentang Efisinesi Teknis Usahatani Kentang dan Faktor yang Mempengaruhi di Kecamatan Batur Kabupaten Banjarnegara menyebutkan bahwa usahatani yang dilakukan dilakukan secara turun-temurun dan dengan tingkat intensitas yang tinggi akan berpotensi
menurunkan tingkat produktivitas yang dihasilkan. Berdasarkan hal tersebut tujuan penelitian ini untuk mengetahui efisiensi teknis usahatani kentang dan mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi teknis usahatani kentang di Kecamatan Batur Kabupaten Banjarnegara. Analisis yag digunakan yaitu fungsi produksi Stochastic Frontier. Dari hasil Stochastic Frontier diperoleh bahwa varibel yang bernilai positif dan berpengaruh signifikan terhadap produksi kentang yakni benih dan pupuk organik. Sedangkan berdasarkan model inefisiensi teknis pengalaman usahatani, pendidikan formal, dan luas lahan merupakan faktor yang memberikan pengaruh negatif dan faktor umur merupakan satu-satunya faktor yang berpengaruh positif dan signifikan terhadap inefisiensi teknis usahatani kentang. Imamudin (2003) dan Haris (2007) menggunakan metode IFE, EFE, matriks IE, dan analisis SWOT untuk menganalisis secara kualitatif. Imamudin (2003) dalam penelitiannya yang berjudul Analisis Strategi Perusahan dan Pemasaran Bibit kentang PT Dafa Teknoagro Mandiri melihat permasalahan yang dihadapi yakni tidak tercapainya target penjualan perusahaan sehingga tujuan dari penelitian ini untuk mengidentifikasi, memformulasi, dan memilih strategi pemasaran untuk meningkatkan volume penjualan bibit kentang perusahaan. Berdasarkan analisis menggunakan metode tersebut ditetapkan prioritas operasional strategi pemasaran pada produk premium dengan meningkatkan mutu kentang, harga yang tinggi, meningkatkan promosi langsung petani kentang dan para penangkar bibit, dan distribusi dengan ketepatan waktu produksi dan service yang baik merupakan strategi positioning untuk produk bibit kentang perusahaan. Haris (2007) yang meneliti Pengembangan Usaha Benih Kentang Bersertifikat di Harry Farm, Pangalengan, Bandung, Jawa Barat bertujuan untuk menganalisis pendapatan usahatani benih kentang bersertifikat yang diperoleh Harry farm, menganalisis lingkungan internal dan lingkungan eksternal Harry Farm, dan merumuskan strategi pengembangan usaha benih kentang bersertifikat pada Harry Farm. Harry Farm merupakan perusahaan yang bergerak di bidang produksi kentang dan bibit kentang bersertifikat, untuk menemukan gambaran bisnisnya ke depan Harry Farm harus memilki strategi sehingga dapat menembangkan usahanya dengan baik. Perbedaan antara dua penelitian ini yakni
penggunaan metode Rasio Penerimaan dan Biaya (R/C) untuk menganalisis aspek usahatani. Berdasarkan Analisis Rasio Penerimaan dan Biaya (R/C) kegiatan usahatani yang dilakukan sudah efisien dan perlu ditingkatkan, sedangkan analisis SWOT menjabarkan strategi S-O antara lain mempertahankan dan meningkatkan mutu produk dan mempertahankan dan menarik pelanggan potensial, memperluas wilayah pemasaran, memberikan layanan purna jual, mempertahankan dan meningkatkan product image dan delivery on time. Strategi W-O antara lain, pembenahan manajemen SDM, mengadakan pelatihan tenaga kerja untuk meningkatkan profesionalisme, dan meningkatkan promosi secara efektif dan efisien serta kinerja divisi keamanan. Strategi S-T yaitu, meningkatkan keunggulan produk dan citra produk untuk menghadapi ancaman pesaing dan produk
subsitusi,
dan
meningkatkan
efisiensi
dengan
memanfaatkan
perkembangan teknologi. Untuk strategi W-T, mengoptimalkan kegiatan produksi, meningkatkan kerjasama dengan distributor dan pemasok untuk menjaga kontinuitas produksi. Hakim (2002) meneliti tentang Analisis Pendapatan dan Risiko dalam Diversifikasi Usaha Agribisnis Kentang di perusahaan keluarga PD Hikmah Kecamatan Pangalengan Kabupaten Jawa Barat. Perkembangan dan pola permintaan komoditas kentang yang tidak stabil serta ketersediaan sumberdaya lahan yang terbatas merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat keuntungan dan risiko usaha agribisnis kentang PD Hikmah. Berdasarkan hal tersebut penelitian ini bertujuan untuk menganlisis tingkat pendapatan dan risiko dalam usaha agribisnis kentang sayur dan kentang olahan, menghitung tingkat korelasi pendapatan antara usaha agribisnis kentang sayur dan kentang olahan, serta menentukan alternatif komposisi diversifikasi antara komoditas kentang sayur dan kentang olahan yang dapat menghasilkan tingkat pendapatan dan risiko yang optimal. Metode yang digunakan antara lain R/C, analisis risiko dan analisis portofolio. Hasil penelitian ini menyebutkan bahwa perbedaan perlakuan budidaya dan pemasaran mengakibatkan meningkatnya biaya yang harus dikeluarkan. Kentang olahan lebih efisien dibandingkan kentang sayur, karena R/C kentang
olahan (1,44) lebih besar dibandingkan kentang sayur (1,38). Selain itu kentang olahan juga memiliki risiko yang lebih rendah dibandingkan usaha kentang sayur. Namun pengusahaan kentang sayur dan olahan masih memiliki peluang kerugian, dikarenakan kedua jenis budidaya tersebut memiliki nilai batas bawah yang negatif. Dan diversifikasi yang diterapkan dengan kombinasi budidaya kentang sayur dengan olahan belum dikatakan efektif untuk menghasilkan tingkat pedapatan usaha yang aman. Hasil studi empiris kentang yang berkaitan dengan penelitian dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Studi Empiris Yang Berkaitan dengan Penelitian Studi Empiris Mengenai Kentang No. 1.
2.
3.
4 5 6
Penulis
Judul
Al Haris (2007)
Pengembangan Usaha Benih Kentang Bersertifikat di Harry Farm, Pangalengan, Bandung, Jawa Barat Andrawati Efisinesi Teknis Usahatani Kentang (2011) dan Faktor yang Mempengaruhi di Kecamatan Batur Kabupaten Banjarnegara Hakim Analisis Pendapatan dan Risiko dalam (2002) Diversifikasi Usaha Agribisnis Kentang, Kasus pada PD Hikmah, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat Imamuuddin Analisis Strategi Perusahaan dan (2003) Pemasaran Bibit Kentang PT Dafa Teknoagro Mandiri Sunaryono Petunjuk Praktis Budidaya Kentang (2007) Sailah Kajian Pasar Kentang (1999)
Alat Analisis (1) (2) (3) (1)
R/C IFE, EFE, IE SWOT Stochastic Frontier
(1) R/C (2) Analisis Risiko (3) Analisis Portofolio (1) IFE, EFE, IE (2) SWOT
Studi Empiris Mengenai Dayasaing 1.
2.
Dewanata (2011) Pupitasari (2011)
3.
Fadillah (2011)
4.
Oguntade (2007)
5. 6 7
Babiker, et.al (2010) World Bank (2005) Yao (1997)
Analisis Dayasaing dan Kebijakan Pemerintah Terhadap Komoditas Jeruk Siam di Kabupaten Garut Jawa Barat Analisis Dayasaing dan Dampak Kebijakan Permerintah Terhadap Komoditas Belimbing Dewa di Kota Depok Analisis Dayasaing Komoditas Unggulan Perikanan Tangkap di Kabupaten Sukabumi Assessment Of Protection and Comparatif Advantage In Rice Processing in Nigeria Sudanese Live Sheep and Mutton Export Competitiveness Moldova Agricultural Policy Notes: Agricultural Market Rice Production in Thailand Seen Through a Policy Analysis Matrix.
(1) PAM (2) Analisis Sensitivitas (1) PAM (2) Analisis Sensitivitas (1) Location Quotient (2) Metode Berlian Porter (1) PAM (1) PAM (1) PAM (1) PAM