4
BAB II STUDI PUSTAKA 2.1 2.1.1
Tinjauan Pustaka
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) merupakan bagian dari Sistem
Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang dilakukan melalui mekanisme asuransi kesehatan sosial yang bersifat wajib. Program Jaminan Kesehatan Nasional adalah bentuk
reformasi
dibidang kesehatan yang bertujuan untuk
mengatasi
permasalahan dan pembagian jaminan kesehatan(13). Permasalahan terjadi dalam skema Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) yang mengakibatkan biaya kesehatan dan mutu pelayanan yang tidak terkendali. Program Jaminan Kesehatan Masyarakat merupakan jaminan
perlindungan
untuk
pelayanan
kesehatan
secara
menyeluruh
(komprehensif) yang mencakup pelayanan promotif, preventif serta kuratif dan rehabilitatif yang diberikan secara berjenjang bagi masyarakat/peserta yang iuran dibayar secara individu atau iuran dibayar oleh Pemerintah(14). Program JKN bertujuan untuk meningkatkan akses dan mutu pelayanan kesehatan terhadap seluruh masyrakat miskin dan tidak mampu agar dapat mencapai derajat kesehatan yang optimal secara efektif dan efisien(13). Pedoman acuan ketersediaan obat pada era JKN mengacu pada Fornas (Formularium Nasional) yang sebelumnya mengacu pada (Daftar Obat Esesnsial Nasional) dan apabila dilihat dari jumlah jenis obat, jenis obat yang terdaftar pada Fornas lebih banyak apabila dibandingkan dengan jumlah jenis obat yang terdapat pada DOEN(4,5). Perbedaan acuan pedoman ketersediaan obat mengakibatkan jumlah obat dan jenis obat yang digunakan di fasilitas kesehatan menjadi berbeda. Peran apoteker sangat penting di fasilitas kesehatan dengan adanya sistem JKN untuk mengevaluasi penggunaan obat agar terjaga ketepatan dan kerasionalan penggunaan obat(6). Salah satu fasilitas kesehatan tingkat pertama yang menerapkan sistem JKN adalah Puskesmas (Pusat Kesehatan Masyarakat).
5
2.1.2 Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Puskesmas adalah unit organisasi yang bergerak dalam bidang pelayanan kesehatan yang berada di lini pertama dan mempunyai misi sebagai pusat pengembangan pelayanan kesehatan. Puskesmas merupakan unit pelayanan kesehatan yang letaknya berada paling dekat di tengah-tengah masyarakat dan mudah dijangkau dibandingkan dengan unit pelayanan kesehatan lainya (Rumah Sakit Swasta maupun Negeri). Pembagian wilayah kerja puskesmas ditetapkan oleh Bupati atau Walikota, dengan saran teknis dari kepala Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota karena puskesmas merupakan perangkat Pemerintah Daerah II. Wilayah kerja Puskesmas meliputi satu kecamatan atau sebagian dari kecamatan. Faktor kepadatan penduduk, luas daerah, keadaan geografik dan keadaan infrastruktur lainnya merupakan bahan pertimbangan dalam menentukan wilayah kerja Puskesmas. Dengan kata lain Puskesmas mempunyai wewenang dan tanggung jawab atas pemeliharaan kesehatan masyarakat dalam wilayah kerjanya. Puskesmas perlu ditunjang dengan unit pelayanan kesehatan yang lebih sederhana yang disebut Puskesmas Pembantu dan Puskesmas Keliling untuk memperluas jangkauan pelayanan kesehatan(15). Pelayanan kesehatan di Puskesmas harus bersifat menyeluruh yang meliputi aspek promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Ketersediaan obat di Puskesmas didukung oleh banyak faktor, diantaranya kemampuan sumber daya di Puskesmas diharapkan mempunyai keterampilan dan pengetahuan dalam mengelola obat untuk penyakit-penyakit yang sering terjadi sehingga mampu meningkatkan mutu pelayanan puskesmas kepada masyarakat(3). Puskesmas bekerjasama dengan BPJS dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar kesehatan masyarakat yang layak melalui sistem JKN yang resmi beroperasi sejak 1 Januari 2014(2). Sistem asuransi yang diterapkan sebelum JKN di puskesmas yaitu ASKES dimana terdapat perbedaan ketersedian jenis obat yang tersedia pada LPLPO (Laporan Pemakaian dan Lembar Penggunaan Obat) puskesmas.
6
2.1.3
Laporan Pemakaian dan Lembar Penggunaan Obat (LPLPO) Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO) adalah suatu
format yang digunakan oleh Puskesmas untuk melaporkan keadaan obat dan pengajuan permintaan obat, selain itu LPLPO diharapkan dapat menyediakan data yang cukup dan benar yang diperlukan kapan saja oleh unit atas untuk melaksanakan fungsi-fungsi pengelolaan obat dengan baik serta pengaturan dan pengendalian terhadap unit bawah(16). LPLPO juga merupakan data laporan pemakaian dan lembar permintaan obat yang disampaikan oleh Puskesmas atau unit pelayanan kesehatan kepada unit pengelola obat di Kabupaten/Kota. Formulir ini digunakan sebagai bukti pengeluaran obat, bukti penerimaan obat di Puskesmas, surat pesanan obat dari Puskesmas kepada Dinas Kesehatan Kabupaten dan sebagai bukti penggunaan obat di Puskesmas (17). Ketepatan waktu pelaporan LPLPO Puskesmas adalah jumlah LPLPO yang diterima tepat waktu dibanding dengan jumlah seluruh LPLPO yang seharusnya diterima setiap bulan. Angka ideal pengiriman LPLPO sebaiknya paling lambat tanggal 10 tiap bulannya(18). 2.1.4
Metode ATC/DDD
2.1.4.1 Sejarah Penelitian tentang penggunaan obat semakin meningkat sejak adanya metode ATC/DDD pada tahun 1960-an. Karya ini dirintis oleh dua konsultan di Kantor WHO Regional Eropa, yaitu Engel dan Siderius (The consumption of drugs: report of a study 1966-1967, WHO regional Office for Europe, 1968). Pada studi yang mereka lakukan di enam Negara Eropa pada 1966-1967 terkait penggunaan obat menunjukkan terdapat perbedaan besar dalam penggunaan obat antar kelompok populasi. Sistem klasifikasi kemudian dikembangkan oleh para peneliti di Norwegia yang dikenal sebagai Anatomical Therapeutic Chemical (ATC), yang merupakan modifikasi dan pengembangan dari sistem klasifikasi yang sebelumnya pernah dibentuk oleh The European Pharmaceutical Market Research Association (EmpMRA), yaitu disebut Anatomical Classification (AC).(12,7)
7
2.1.4.2 Sistem ATC/DDD ATC/DDD adalah metode yang digunakan untuk evaluasi obat yang direkomendasikan oleh WHO sejak 1996 untuk membandingkan penggunaan obat. Kelebihan dari metode ATC/DDD adalah dapat digunakan di seluruh dunia karena konsumsi dosis perhari untuk seluruh dunia yang ditetapkan WHO dalam DDD dan ATC sebagai coding obat. Sistem ATC/DDD berfungsi sebagai suatu sarana dalam penelitian obat untuk meningkatkan kualitas penggunaan obat(7). Hal yang perlu digaris bawahi dari sistem ATC/DDD adalah klasifikasi dari senyawa pada sistem ATC/DDD tidak direkomendasikan untuk dijadikan acuan untuk pengambilan keputusan pembelanjaan, harga, dan substitusi terapeutik (7). Sistem ATC/DDD juga tidak direkomendasikan untuk menilai efikasi atau efikasi relatif dari suatu obat maupun kelompok obat(7). 2.1.4.3 Klasifikasi Sistem ATC/DDD Sistem klasifikasi ATC memberikan kode unik untuk setiap produk obat berdasarkan organ atau sistem aksi kimia, farmakologi, dan sifat terapi bekerja. Obat diklasifikasikan dalam lima kelompok dengan level yang berbeda. Level pertama dibagi menjadi 14 kelompok anatomi utama. Kode level pertama (7)
berdasarkan huruf, contoh: “A” untuk Alimentary tract and metabolism. A
Alimentary tract and metabolism
B
Blood and blood forming organs
C
Cardiovascular system
D
Dermatologicals
G
Genito urinary system and sex hormone
H
Systemic hormonal preparations, excl. Sex hormones and insulins.
J
Antiinfectives for systemic use
L
Antineoplastic and immunomodulating agents
M
Musculo-skeletal system
N
Nervous system
P
Antiparasitic products, insecticides and repellents
R
Respiratory system
8
S
Sensory organs
V
Various
Level kedua, subkelompok terapetik dan terdiri dari dua digit. Level ketiga, subkelompok farmakologi terdiri dari satu huruf. Level keempat, subkelomok kimia dan terdiri dari satu huruf. Level kelima, zat kimia dan terdiri dari dua digit. Contoh: ATC A10BA02 adalah kode untuk metformin. Makna untuk kode metformin yaitu Struktur ATC A
Alimentary tract and metabolism (Level 1, kelompok utama anatomi)
A10
Drugs used in diabetes (Level 2, kelompok utama terapetik)
A10B
Blood glucose lowering drugs, contoh: insulin (Level 3, kelompok farmakologi)
A10BA
Biguanides (Level 4, kelompok kimia)
A10BA02
Metformin (Level 5, kelompok zat kimia).(14)
Prinsip umum klasifikasi adalah: 1. Penggunaan terapi utama. 2. Satu kode untuk setiap sediaan. 3. Satu zat dapat mempunyai kode ATC lebih dari satu bila mempunyai kekuatan dan bentuk sediaan lebih dari satu untuk terapi yang berbeda.(14) 2.1.4.4 Unit Pengukuran DDD DDD diasumsikan sebagai dosis pemeliharaan rata-rata per hari suatu obat berdasarkan indikasi utama pada orang dewasa. DDD hanya ditetapkan untuk obat yang mempunyai ATC(14). Setiap DDD merujuk pada kode ATC spesifik dan menyediakan dosis umum untuk masing-masing obat di bawah satu jalur
9
pemberian. Nilai DDD ditentukan oleh WHO International Working Group for Drug Statistics Methodology(19). Hal yang perlu ditegaskan adalah DDD sebagai suatu unit pengukuran tidak selalu sesuai dengan dosis harian yang direkomendasikan atau diresepkan. Pada kenyataannya dosis yang diberikan kepada pasien individu akan berbeda dengan nilai DDD pada pasien yang lain, karena peresepan pada pasien tertentu harus didasarkan pada karakteristik masingmasing
individu (misalnya
usia
dan berat
badan)
dan
pertimbangan
(7)
farmakokinetik . Jumlah unit DDD direkomendasikan pada pengobatan dibuat dalam satuan miligram untuk sediaan oral pada seperti tablet dan kapsul, atau satuan mililiter untuk sediaan cair oral dan sediaan injeksi. Perubahan data penggunaan obat dapat diperoleh dari data catatan inventaris farmasi atau data statistik penjualan yang akan memperlihatkan nilai DDD untuk mengidentifikasi seberapa potensial terapi harian dari pengobatan yang diperoleh, terdistribusi, atau yang dikonsumsi(12). Penggunaan obat dapat dibandingkan dengan menggunakan unit sebagai: 1. Jumlah DDD per 1000 populasi per hari, untuk total penggunaan pada pasien rawat jalan. Penjualan atau data resep yang disajikan dalam unit DDD per 1.000 populasi per hari dapat memberikan perkiraan kasar dari proporsi studi populasi yang diberi perlakuan dengan obat tertentu atau kelompok obat per hari. Sebagai contoh, angka 10 DDD per 1.000 populasi per hari menunjukkan bahwa 1% dari populasi rata-rata mungkin menerima obat tertentu atau kelompok obat setiap harinya. Perkiraan ini sangat berguna pada penggunaan obat-obatan kronis ketika terdapat kesepakatan yang baik antara rata-rata dosis harian yang sudah ditentukan dan nilai DDD. Contoh lain, DDD dari diazepam adalah 10 mg, maka ditemukan bahwa di satu area diazepam digunakan dengan DDD 2000/1000/tahun. Ini artinya untuk 1000 orang, 2000 dosis diazepam diresepkan dalam setahun. Ini ekuivalen dengan dua dosis per orang per tahun. 2. Jumlah DDD per 100 hari rawat, untuk total penggunaan pasien rawat inap di rumah sakit. Unit perhitungan DDD dapat digunakan untuk membandingkan perbedaan pada penggunaan obat dalam kelompok terapi yang sama dan
10
mempunyai kesamaan efikasi namun berbeda dalam dosis kebutuhan, atau pengobatan dalam terapi yang berbeda. Penggunaan obat dapat dibandingkan setiap waktu untuk mengamati tujuan dan menjamin dari adanya intervensi dari terapi medik dalam meningkatkan penggunaan obat. Penggunaan obat dalam area geografi yang berbeda dapat juga dibandingkan dengan metode ini.(20) Keuntungan: 1. Unit tetap yang tidak berubah dipengaruhi perubahan harga dan mata uang serta bentuk sediaan. 2. Mudah dibandingkan dalam level institusi, nasional, regional maupun internasional(20). Keterbatasan: 1. Tidak menggambarkan penggunaan yang sebenarnya. 2. Belum lengkap untuk semua obat: topikal, vaksin, dan anastesi. Faktor kritis untuk keberhasilan penerapan ATC/DDD: 1. Mengetahui jelas prinsip ATC/DDD. 2. Perhatikan perubahan-perubahan. 3. Koleksi data yang akurat. 4. Pertimbangkan keterbatasan-keterbatasan pada saat mengevaluasi hasil. Penetapan DDD ditetapkan dengan prinsip umum sebagai berikut: 1. Dosis rata-rata orang dewasa yang digunakan untuk indikasi utama yang direfleksikan dengan kode ATC, ketika dikonversikan dosis ke berat badan maka seorang dewasa dianggap 70 kg pada keadaan yang khusus, terutama untuk anak-anak (seperti mixture, suppositoria) digunakan DDD untuk orang dewasa, kecuali obat yang dibuat khusus untuk anak-anak, seperti hormon pertumbuhan dan tablet fluoride. 2. Dosis pemeliharaan. Beberapa orang digunakan dalam dosis yang berbeda teteapi tidak direfleksikan dalam DDD. 3. Dosis terapi yang biasa digunakan. 4. DDD biasanya didasarkan pernyataan isi (kekuatan) produk. Variasi dalam
11
bentuk
gram biasanya
tidak
memberikan perbedaan DDD.
digambarkan pada guideline untuk kelompok ATC yang berbeda
Kecuali
(20)
.
Perhitungan kuantitas penggunaan obat dalam unit pengukuran dapat dilakukan sebagai berikut: 1. Dihitung data total penggunaan obat dalam unit, tablet, vial dan disesuaikan dengan ATC. 2. Dihitung total kuantitas yang dikonsumsi (unit dikalikan dengan kekuatan). 3. Dibagi total kuantitas dengan DDD definitif yang ditetapkan. 4. Dibagi kuantitas total (DDD) dengan jumlah pasien(20). 2.1.5 DU 90% Penelitian Drug Utilization (DU) atau penggunaan obat didefinisikan oleh WHO pada tahun 1977(12). Drug Utilization 90% (DU 90%) adalah suatu indikator yang digunakan untuk menilai kualitas pola penggunaan obat (12). Penelitian penggunaan obat dapat meningkatkan pemahaman tentang bagaimana obat digunakan. DU dapat memperkirakan jumlah pasien yang terpapar oleh suatu obat dalam periode tertentu dan menjelaskan jumlah penggunaan pada situasi tertentu dan/atau di suatu area tertentu. Peneliti dapat memperkirakan sampai sejauh mana obat digunakan secara tepat, overused, atau underused. DU juga dapat menentukan profil penggunaan obat hingga obat-obatan alternatif yang digunakan untuk menangani kondisi tertentu dan dapat membandingkan pola penggunaan obat untuk penyakit tertentu dengan guideline yang ada(12). Metode DU 90% merupakan metode yang sederhana, mudah di mengerti, murah, dan mudah digunakan untuk menggambarkan kualitas peresepan. Keuntungan menggunakan metode DU 90% dibanding indikator penggunaan obat lain yaitu perhitungan jumlah penggunaan obat dengan data penggunaan obat telah tersedia berdasarkan metode ATC (20). Segmen DU 90% mencerminkan jumlah obat yang terhitung dalam 90% dari peresepan obat dan kepatuhan terhadap guideline peresepan lokal atau nasional. Indikator yang umum diterapkan di tempat berbeda seperti resep individu, kelompok resep, di rumah sakit, daerah
12
atau kabupaten untuk memastikan perkiraan kasar dari kualitas resep(12). Profil dari DU90% menyediakan gambaran perubahan potensial dari studi penggunaan obat dan hubungan serta kelayakan dari WHO Essential Medicines List(20). 2.2
Landasan Teori
Mulai 1 Januari 2014 JKN resmi beroperasi dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar kesehatan masyarakat yang layak (2). Puskesmas merupakan unit pelayanan masyarakat tingkat pertama yang bekerjasama dengan JKN dan terletak di tengah-tengah masyarakat dan mudah dijangkau dibandingkan dengan unit pelayanan kesehatan masyarakat lainnya (Rumah Sakit Swasta maupun Negeri) sehingga mengakibatkan jumlah kunjungan pasien puskesmas tinggi yang berpengaruh pada peningkatan jumlah penggunaan obat di puskesmas. Sistem JKN yang diberlakukan di puskesmas merupakan pergantian dari ASKES yang mengharuskan peserta asuransi ke fasilitas kesehatan tingkat pertama terlebih dahulu sehingga
kunjungan pasien puskesmas
meningkat dan
berpengaruh pada peningkatan jumlah penggunaan obat di Puskesmas. Perubahan pola ini membutuhkan adanya perbandingan penggunaan obat sebelum dan setelah diberlakukan JKN yaitu pada tahun 2013 dan 2014 untuk melihat pengaruh JKN terhadap penggunaan obat di puskesmas sehingga dapat digunakan sebagai acuan untuk evaluasi penggunaan obat. Pada
penelitian perbandingan penggunaan obat
dengan
metode
ATC/DDD di Yogyakarta yang dilakukan oleh Destari (2015) menunjukkan perubahan penggunaan obat pada periode 2013-2014. Penelitian serupa juga dilakukan oleh Maulana, Rachmadiani, dan Azlinda yang menunjukkan terdapat perbedaan penggunaan obat sebelum dan sesudah JKN.(8,9,10,11). Dari uraian di atas dapat diduga terdapat perbedaan jumlah penggunaan obat saat sebelum dan setelah adanya JKN. Terdapat perbedaan dari penggunaan obat ini bertujuan untuk mengetahui pola penggunaan obat di puskesmas sebelum dan sesudah pelaksanaan JKN.
13
2.3
Hipotesis
Berdasarkan landasan teori di atas, maka dapat ditarik hipotesis sebagai berikut : Terdapat perbedaan secara bermakna dari segi kuantitas dari masingmasing obat setelah pelaksanaan JKN di Puskesmas Wirobrajan dan Puskesmas Mantrijeron di Kota Yogyakarta.
2.4
Kerangka Konsep Penelitian
Variabel Independen : Data Konsumsi obat sesuai kode ATC tahun
Variabel Intervening:
2013 dan 2014 1. Peresepan yang diberikan oleh tenaga medis yang berbeda. 2. Stok obat yang tersedia. 3. Pola penyakit. Variabel Dependen :
Tidak diteliti -
Metode ATC/DDD
-
DU 90%
14
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan metode cross-sectional mengumpulkan data berupa data LPLPO (Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat) di Puskesmas Wirobrajan dan Puskesmas Mantrijeron Kota Yogyakarta sebelum dan sesudah diberlakukan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) secara retrospektif pada periode 2013 – 2014. Data yang diperoleh dianalisis dengan metode ATC/DDD dan dilihat gambaran penggunaan obat DU 90% selama periode tersebut. 3.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian akan dilaksanakan pada Agustus 2016 di Puskesmas Wirobrajan dan Mantrijeron di Kota Yogyakarta. 3.3 Populasi Berdasarkan metode ATC/DDD data yang akan digunakan dalam penelitian adalah data LPLPO (Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat) sebelum dan sesudah diberlakukannya Jaminan Kesehatan Nasional periode tahun 2013 – 2014 (1 Januari 2013 – 31 Desember 2014) di Puskesmas Wirobrajan dan Mantrijeron di Kota Yogyakarta. Kriteria populasi yang digunakan pada penelitian ini yaitu: 1. Kriteria Inklusi a. Data obat yang terdapat pada LPLPO. b. Semua obat yang terklasifikasi berdasarkan pada kode ATC/DDD. 2.
Kriteria Eksklusi Sediaan obat intravena dan obat yang bekerja secara non-sistemik seperti salep, parenteral, cream, dan patch.
15
3.4 Instrumen Penelitian Instrumen penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Laporan Pemakaian dan Lembar Pemintaan Obat (LPLPO) adalah sumber data yang digunakan untuk diolah dengan metode ATC/DDD. 2. Indeks ATC/DDD. 3.5 Batasan Operasional Variabel Dalam penelitian ini akan dibatasi oleh variabel operasional yang akan membatasi proses pengambilan data dengan didasari oleh teori yang telah dipaparkan sebelumnya. Adapun batasan operasional dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Penggunaan obat yang dibandingkan adalah obat-obatan yang digunakan di Puskesmas Wirobrajan dan Mantrijeron berdasarkan data LPLPO selama priode 2013 – 2014. 2. Klasifikasi obat pada penelitian ini merupakan pengelompokan obat-obatan yang terdapat pada kode ATC dalam semua bentuk sediaan selain sediaan intravena dan sediaan yang bersifat non-sistemik seperti sediaan salep, parenteral, intravena, cream, dan patch. 3. Klasifikasi sistem ATC/DDD adalah sistem ATC/DDD yang terdapat dalam Guideline WHO Collaborating Centre tahun 2013. 4. Kuantitas penggunaan adalah kuantitas yang dinyatakan dalam satuan DDD/1000 KPRJ. 5. KPRJ adalah jumlah kunjungan pasien rawat jalan dalam pertahun yang mendapatkan obat. 6. DDD/1000 KPRJ merupakan kuantitas dalam satuan DDD dengan membagi total DDD satu tahun dengan total kunjungan pasien rawat jalan yang dibagi 1000. 7. Gambaran perubahan penggunaan obat dilihat dari penggunaan obat di Puskesmas pada tahun 2013-2014. Dikatakan penggunaan obat mengalami perubahan penggunaan apabila obat hanya digunakan pada salah satu dari dua tahun tersebut.
16
8. DU 90% adalah penggunaan obat-obat yang masuk dalam akumulasi 90% yang telah diurutkan dari persentase penggunaan paling besar ke paling kecil. 9. Gambaran perubahan penggunaan obat dilihat dari segmen DU 90% di Puskesmas pada tahun 2013-2014. Dikatakan penggunaan obat mengalami perubahan penggunaan apabila obat hanya digunakan pada salah satu dari dua tahun tersebut. 3.6 Pengumpulan Data Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian adalah data sekunder internal, yaitu data yang berasal dari data yang ada di puskesmas melalui LPLPO (Laporan Pemakaian dan Lembar Penggunaan Obat). Tahapan pengumpulan data sebagai berikut : 1. Tahap penelitian dimulai pada bulan Agustus - Oktober 2016. Dilakukan pengumpulan data melalui LPLPO yang ada di puskesmas tempat penelitian dengan melihat data penggunaan obat yang digunakan dari 1 Januari 2013 sampai 31 Desember 2014. 2. Pencatatan penggunaan obat yang terdapat di LPLPO meliputi nama obat, bentuk sedian, jumlah penggunaan dan KPRJ/tahun. Jumlah total KPRJ/tahun didapatkan dari hasil akumulasi KPRJ/bulan yang tercantum pada LPLPO di Puskesmas Wirobrajan dan Mantrijeron. 3. Pengambilan data jumlah total KPRJ/tahun dari tahun 2013-2014 yang didapatkan dari hasil akumulasi KPRJ/bulan yang tercantum pada LPLPO di Puskesmas Wirobrajan dan Mantrijeron. 3.7 Pengolahan Data 3.7.1 Data Deskriptif Dalam tiap unit bentuk sediaan disesuaikan dengan satuan dari sistem ATC/DDD untuk data total penggunaan obat. Jika dalam sistem ATC/DDD digunakan satuan mg, maka dosis sediaan obat tersebut dijadikan dalam satuan mg. Data dari LPLPO kemudian diolah dengan menggunakan menggunakan Microsoft Excel. Data disusun dalam format tabel berupa klasifikasi anatomi,
17
golongan obat, kode ATC obat, nama obat, bentuk sediaaan, kekuatan sediaan, jumlah pemakaian, total kekuatan sediaan. 3.7.2 Data Analitik Data yang dicantumkan pada Microsoft Excel merupakan data dari LPLPO berupa sediaan dengan jalur oral dan telah diklasifikasi berdasarkan kode ATC dan mempunyai nilai DDD definitif. Cara dan tahapan perhitungan dilakukan sebagai berikut : a. Total kekuatan didapatkan dari perkalian kekuatan sediaan (dalam mg) dengan jumlah pemakaian obat per tahun. b. DDD real diperoleh dari pembagian total kekuatan (dalam mg) dengan DDD definitif yang telah ditetapkan oleh WHO Collaborating Centre 2013. c. Total KPRJ satu tahun didapat dari penjumlahan KPRJ tiap bulan dalam satu tahun. d. Jumlah penggunaan obat per tahun dengan menggunakan satuan DDD/1000 KPRJ dihitung dengan rumus : DDD/1000 KPRJ = Total DDD satu tahun Total KPRJ satu tahun/1000 e. Presentase perubahan jenis obat dihitung dengan rumus: % Perubahan jenis obat = Total jenis obat yang berubah x 100% Total semua jenis obat f. Presentase perubahan kuantitas penggunaan obat dihitung dengan rumus: % Penggunaan obat =
Perbedaan DDD/1000 KPRJ tiap tahun x 100% DDD/1000 KPRJ tertinggi
g. Presentase peningkatan jenis obat dihitung dengan rumus: % Peningkatan jenis obat = Total jenis obat yang meningkat x 100% Total semua jenis obat h. Presentase penurunan jenis obat dihitung dengan rumus: % Penurunan jenis obat = Total jenis obat yang menurun x 100% Total semua jenis obat i. Persentase penggunaan obat dihitung dengan rumus :
18
% Penggunaan obat =
DDD/1000 KPRJ x 100% Total DDD/1000 KPRJ semua obat
Persentase penggunaan obat dilihat dari persentase penggunaan yang masuk dalam segmen DU 90% dan diurutkan dari yang terbesar sampai yang terkecil. j. Rata-rata penggunaan 10 obat terbanyak yang masuk dalam segmen DU 90% dihitung dengan cara menjumlahkan total kuantitas penggunaan obat setiap bulan dalam satuan DDD/1000KPRJ dibagi jumlah bulan dalam satu tahun. 3.8 Analisis Hasil 3.8.1 Analisis Deskriptif Hasil pengolahan data akan disajikan dalam tabel dan grafik. Analisis akan dilakukan untuk menilai kesesuaian secara umum antara obat-obat yang digunakan dengan kunjungan pasien rawat jalan di Puskesmas Wirobrajan dan Mantrijeron.
Hasil pengolahan data akan dibandingkan antara obat yang
digunakan sebelum dan setelah adanya JKN. Perbandingan yang akan dilakukan mencakup jenis dan kuantitas penggunaan obat yang ada. Proses analisis data untuk melihat adanya perbedaan signifikan dalam penelitian ini digunakan uji statistik. Apabila terdapat perubahan pada penggunaan obat sebelum dan setelah JKN, selanjutnya akan didiskusikan dengan apoteker di puskesmas tempat penelitian untuk menganalisis penyebab dari perubahan tersebut serta beberapa rekomendasi yang dapat diberikan agar penggunaan obat di puskesmas tersebut tetap rasional. 3.8.2 Analisis Hipotesis Jenis data yang digunakan berupa jenis data ordinal dari dua kelompok yang tidak saling berhubungan dan akan dibanduingkan antara kedua kelompok tersebut. Data yang diperoleh adalah data penggunaan obat yang masuk dalam kriteria 10 besar pada segmen DU 90%. Penggunaan obat dihitung dalam satuan DDD/1000KPRJ setiap bulan yang kemudian dirata-rata penggunaannya dalam satu tahun 2013 dan 2014. Data dua kelompok ini kemudian dilakukan uji normalitas untuk mengetahui apakah data terdistribusi normal atau tidak menggunakan uji statistik kolmorgorov smirnov. Apabila data terdistribusi normal
19
dilanjutkan dengan uji Paired Sampel T-test dengan tingkat kepercayaan 95%. Data yang tidak memenuhi persyaratan tersebut diuji menggunakan Non Parametric Wilcoxon. Hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut: Terdapat perbedaan dari segi kuantitas penggunaan dari masing-masing obat setelah implementasi JKN. terdapat perbedaan penggunaan obat secara statistik pada segmen DU 90% sebelum dan sesudah penerapan JKN. 3.9 Skema Penelitian Meminta surat pengantar dari Fakultas
Mengajukan surat pengantar ijin penelitian dari Fakultas beserta proposal ke Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta
Surat ijin dari Dinas Kesehatan diserahkan ke Dinas Perizinan Kota Yogyakarta
Membawa surat ijin penelitian ke Puskesmas yang akan dilaksanakan penelitian
Pengambilan dan pengumpulan data dari Puskesamas yang terdapat pada LPLPO dan dilaksanakan penelitian
Pengolahan data dan analisis data
Diskusi dengan Apoteker