Seminar Nasional DINAMIKA PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN PERDESAAN: Tantangan dan Peluang bagi Peningkatan Kesejahteraan Petani Bogor, 19 Nopember 2008
PENGUATAN KELEMBAGAAN KELOMPOK TANI KUNCI KESEJAHTERAAN PETANI oleh
Wan Abbas Zakaria
PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN DEPARTEMEN PERTANIAN 2008
PENGUATAN KELEMBAGAAN KELOMPOK TANI KUNCI KESEJAHTERAAN PETANI1 Oleh: Wan Abbas Zakaria Dosen dan Dekan Fakultas Pertanian Universitas Lampung
ABSTRAK Di Era Globalisasi ini, hanya pelaku bisnis yang efisienlah yang akan memenangkan persaingan. Sebagian besar pelaku bisnis di Indonesia adalah para petani dan pengusaha kecil yang bila berhimpun dalam organisasi ekonomi yang kuat maka akan memperoleh manfaat (kesejahteraan) tidak hanya bagi dirinya melainkan juga bagi masyarakat dan bangsanya. Pemberdayaan kelembagaan kelompok tani merupakan serangkaian upaya yang sistematis, konsisten dan berkelanjutan untuk meningkatkan daya adaptasi dan inovasi petani guna memanfaatkan teknologi secara optimal dalam bingkai aturan main yang ada untuk mencapai tujuan bersama secara lebih efisien. Terdapat tiga tahap (fase) dalam mewujudkan kesejahteraan petani, tahap pertama: pemberdayaan organisasi petani yakni tahap pemberdayaan kelembagaan petani (pengembangan SDM, pengembangan teknologi dan rekayasa aturan main organisasi), tahap kedua: pengembangan jaringan kemitraan bisnis (network business), dan tahap ketiga: peningkatan daya saing (competitiveness). Daya saing produk pertanian di tingkat lokal (daya saing lokal) yang dihasilkan melalui pemberdayaan kelembagaan/organisasi ekonomi petani pada masing-masing lokasi akan meningkatkan kesejahteraan dan daya saing petani dan dan daya saing wilayah yang pada akhirnya akan membentuk daya saing bangsa. Kata kunci: Kelembagaan, petani, kesejahteraan
PENDAHULUAN
Pada RPJM Nasional 2004-2009 dinyatakan bahwa terciptanya kesejahteraan rakyat merupakan salah satu tujuan utama pendirian Negara Republik Indonesia. Sejahtera merupakan keadaan sentosa dan makmur yang diartikan sebagai keadaan yang berkecukupan atau tidak kekurangan baik dimensi fisik atau materi maupun dimensi rohani (BAPPENAS, 2008). Kesejahteraan rakyat (petani) tidak akan terwujud tanpa adanya pembangunan (pembangunan pertanian). Pembangunan merupakan suatu proses multidimensional yang melibatkan perubahan-perubahan besar dalam struktur sosial, sikap mental dan kelembagaan nasional, termasuk pula akselerasi pertumbuhan ekonomi, pemerataan pendapatan, pengurangan pengangguran dan pemberantasan kemiskinan absolut dengan memperhatikan kelestarian lingkungan. Agenda meningkatkan kesejahteraan rakyat diarahkan untuk mencapai 5 (lima) sasaran pokok (BAPPENAS, 2008): (1) pengurangan kemiskinan dan pengangguran dengan strategi pembangunan ekonomi yang mendorong pertumbuhan berkualitas dan berdimensi pemerataan melalui penciptaan lingkungan usaha yang sehat, (2) 1
Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional dengan tema “Dinamika Pembangunan Pertanian dan Perdesaan : Tantangan dan Peluang bagi Peningkatan Kesejahteraan Petani. Tanggal 19 Nopember 2008 di Bogor.
1
berkurangnya kesenjangan antarwilayah dengan prioritas pada pembangunan perdesaan, (3) meningkatnya kualitas manusia yang tercermin pada terpenuhinya hak sosial rakyat (pendidikan, kesehatan, kehidupan beragama), (4) membaiknya mutu lingkungan hidup dan pengelolaan sumberdaya alam dengan prinsip pembangunan berkelanjutan, dan (5) meningkatnya dukungan infrastruktur. Struktur masyarakat Indonesia sangat diwarnai oleh masyarakat pedesaan yang bercorak agraris yang ditunjukkan oleh sebagian besar pendapatan mereka berasal dari produk pertanian seperti tanaman pangan, perkebunan, peternakan, perikanan, dan kehutanan. Sejak kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan selama Orde Baru hingga Orde Reformasi kini, tingkat kesejahteraan dan pendidikan mereka masih rendah dan memprihatinkan. Banyak kebijakan pembangunan yang dibuat oleh suatu rezim baik yang berskala nasional, regional maupun daerah untuk memperbaiki kondisi mereka, namun belum juga menampakkan hasil yang memuaskan. Peningkatan pendapatan petani merupakan kunci utama menuju peningkatan kesejahteraan petani. Peningkatan pendapatan antara lain ditempuh melalui peningkatan produktivitas usahatani dan intensitas tanam disertai dengan peningkatan akses petani ke pasar input dan output yang efisien. Sangat disayangkan dalam 10 tahun terakhir peningkatan produktivitas usahatani di tingkat petani relatif stagnan dan kapasitas produksi pertanian secara nasional semakin terbatas. Terbatasnya kapasitas produksi pertanian ini disebabkan oleh beberapa faktor (Siregar dan Masyitho, 2008; Mulyana, 1998, Yustika, 2006): (1) berlanjutnya konversi lahan dari pertanian ke non-pertanian dengan laju 5,23% per tahun selama 1995-2005, lahan sawah menyusut dari 8.464.678 ha menjadi 7.696.161 ha atau menurun seluas 768.526 ha; (2) menurunnya kualitas dan kesuburan lahan akibat kerusakan lingkungan, (3) perubahan iklim yang mengakibatkan fluktuasi dan penurunan produktivitas pertanian, (4) lambatnya penemuan dan pemasyarakatan teknologi, (5) rendahnya insentif finansial untuk menerapkan teknologi secara optimal, dan (6) penguasaan lahan yang sempit. Hasil penelitian Departemen Pertanian tahun 2000 menunjukkan bahwa 88% rumah tangga petani hanya menguasai lahan sawah kurang dari 0,5 ha dan sulitnya akses terhadap sumber kapital, informasi dan teknologi. Kondisi itu semua menyebabkan masyarakat petani menjadi miskin, tidak berdaya dan tertinggal. Di Pasar Internasional, globalisasi ekonomi berimplikasi kepada semakin ketatnya persaingan antarpelaku bisnis, antarnegara dan antarmanusia yang tidak hanya pada level keunggulan komparatif tetapi juga pada level politik dan diplomasi yang kesemuanya itu merupakan komponen daya saing global (Arifin, 2000). Barang (dan jasa) dapat secara bebas keluar dan masuk tanpa memperoleh hambatan yang berarti, baik berupa hambatan tarif dan kuota maupun hambatan non-tarif yang berupa kebijakan atau aspek diskriminatif lainnya (Hasyim dan Arifin, 2002). Keputusan Indonesia untuk meratifikasi dan mengikatkan diri dengan ketentuan dan skema perdagangan dunia (WTO) telah membawa konsekuensi tantangan persaingan dunia yang semakin keras. Studi terbaru yang dihimpun oleh Bhagwati (2001 dalam Hasyim dan Arifin, 2002) menujukkan betapa Washington (representasi Blok Barat yang juga menunjukkan IMF dan Bank Dunia) telah melakukan kesalahan dalam mengelola dan melaksanakan gerakan globalisasi. Krisis ekonomi yang melanda Asia pada akhir 1990-an itu jelasjelas disebabkan oleh kongkalikong tingkat tinggi antara Wall Street di New York, IMF dan Departemen Keuangan Amerika Serikat di Washington D.C. yang terlalu prematur
2
memaksakan liberalisasi pasar modal dan sektor perbankan kepada negara-negara Asia, termasuk Indonesia. Dosa kongkalikong tersebut harus dibayar mahal dengan hancurnya pasar modal dan sektor perbankan di Amerika Serikat (AS) yang klimaksnya terjadi mulai awal bulan Oktober 2008 sehingga membuat AS sebagai negara adidaya dengan PDB tahun 2007 sebesar 23.808 miliar dolar AS (bandingkan dengan India yang PDBnya 1.101 miliar dolar AS) berubah menjadi negeri yang cemas dan panik (M Chatib Basri, Kompas 20 Oktober 2008 Hlm 1 dan 17). Mekanismenya dimulai dari munculnya tekanan pada neraca di satu lembaga keuangan yang high leverage berdampak terhadap neraca di negara lain. Kekurangan modal akan mendorong mereka menarik uangnya keluar dari berbagai negara di seluruh dunia termasuk Indonesia akibatnya likuiditas mengering. Kondisi ini akan berdampak kepada daya tahan sektor keuangan domestik dan perkembangan sektor riil terutama yang memiliki kandungan impor tinggi dan/atau berorientasi ekspor yang ditunjukkan oleh jatuhnya harga tandan buah segar (tbs) sawit dari Rp 1.750,00/kg tbs pada bulan Mei 2008 menjadi Rp 750,00/kg tbs begitu pula harga komoditas ekspor lainnya seperti karet dan kopi di tingkat petani yang harganya mengalami penurunan secara drastis. Kita patut bersyukur punya pemerintah yang antisipatif dengan segera mengeluarkan PERPU untuk menjaga stabilitas sektor keuangan yang mencakup pemberian fasilitas pembiayaan/pinjaman, penyertaan modal sementara, dan jaminan simpanan serta menjaga stabilitas nilai mata uang rupiah terhadap dolar AS. Oleh karena itu sambil menunggu dan tumbuh bersama dengan evolusi dari fenomena perdagangan internasional dan gerakan globalisasi, energi bangsa sebaiknya diarahkan untuk mempersiapkan diri menghadapi tuntutan persaingan yang lebih keras dan mencarikan tempat terhormat bagi beberapa komoditas penting Indonesia di arena Internasional. Konsep perdagangan adil (fair trade) adalah kondisi ideal yang mungkin tidak begitu saja dapat tercipta dari konsep pedagangan bebas, namun memerlukan upaya non-ekonomi lain, berupa langkah pembenahan institusi di tingkat domestik (termasuk yang utama dan terpenting adalah pemberdayaan kelembagaan ekonomi petani) dan upaya diplomasi di tingkat internasional. Oleh karena itu pemihakan yang sunggguh-sungguh terhadap dunia pertanian dan masyarakat petani pada khususnya merupakan suatu keharusan. Kesejahteran petani dan daya saing komoditas pertanian akan ditentukan oleh keseriusan seluruh pelaku ekonomi, akademisi dan pemerintah dalam meningkatkan efisiensi, mutu produk pertanian dan intelijen pasar yang memang amat dibutuhkan di era keterbukaan. PEMBANGUNAN PERTANIAN BERWAWASAN AGRIBISNIS Teori Pembangunan Pertanian Mungkin kita harus mengkaji kembali Teori Pembangunan Pertanian yang sangat mendasar yang selama ini hampir terlupakan. Teori tersebut dikemukakan oleh Mosher (1966), seorang professional konsultan Agricultural Development Council untuk pembangunan pertanian di negara-negara berkembang. Menurut Mosher (1966), untuk menjamin suksesnya pembangunan pertanian dibutuhkan dua syarat yaitu (1) syarat pokok dan (2) syarat pelancar. 3
Syarat pokok adalah syarat yang harus dipenuhi, kalau tidak pembangunan pertanian tersebut tidak ada sama sekali. Syarat-syarat tersebut meliputi: (1) adanya pasaran untuk produk-produk pertanian, (2) teknologi yang selalu berubah, (3) tersedianya sarana produksi dan peralatan secara lokal, (4) perangsang produksi bagi petani, dan (5) tersedianya sarana transportasi yang baik. Syarat pelancar adalah syarat yang dibutuhkan agar pembangunan pertanian dapat berjalan dengan baik, yaitu (1) pendidikan pembangunan, (2) kredit produksi, (3) kegiatan bersama, (4) perbaikan dan perluasan tanah pertanian, dan (5) perencanaan nasional pembangunan pertanian. Beberapa syarat pokok yang diajukan oleh Mosher tersebut untuk beberapa segi nampaknya telah dilaksanakan dengan baik sekali. Bahkan syarat pelancar seperti tersedianya kredit produksi, pengembangan kelompok-kelompok tani, pengembangan lahan pertanian, dan sebagainya telah dijalankan dengan cukup jauh. Namun bagaimanakah hasilnya? Dalam kurun waktu yang panjang pembangunan pertanian selalu diidentikkan dengan kegiatan produksi usahatani semata (proses budidaya atau agronomi), sehingga hasil pertanian identik dengan komoditas primer. Kegiatan pertanian masa lalu lebih berorientasi kepada peningkatan produksi komoditas primer dan kurang memberi kesempatan untuk memikirkan pengembangan produk hilir (Tim LPM Unila, 2007). Dari sisi kebijakan, pembangunan pertanian cenderung terlepas dari pembangunan sektor lain, kebijakan di bidang pertanian tidak selalu diikuti oleh kebijakan pendukung lain secara sinergis. Pembinaan pembangunan pertanian tersekat-sekat oleh banyak institusi, sehingga kebijakan sering tidak sinkron antar lembaga terkait akibat perbedaan kepentingan dari masing-masing sektor. Selama ini kontribusi sektor pertanian terhadap penerimaan devisa lebih banyak diperoleh dari produk segar (primer) yang relatif memberi nilai tambah kecil dan belum mengandalkan produk olahan (hilir) yang dapat memberikan nilai tambah lebih besar, walaupun pada akhir-akhir ini ekspor produk olahan telah semakin besar. Dengan mengespor produk primer, maka nilai tambah yang besar akan berada di luar negeri, padahal sebaliknya bila Indonesia mampu mengekspor produk olahannya, maka nilai tambah terbesarnya akan berada di dalam negeri. Belajar dari kelemahan tersebut, sejak Pelita VI pembangunan pertanian dilakukan melalui pendekatan agribisnis, yang pada hakekatnya menekankan kepada tiga hal, yaitu: (1) pendekatan pembangunan pertanian ditingkatkan dari pendekatan produksi ke pendekatan bisnis, dengan demikian aspek usaha dan pendapatan menjadi dasar pertimbangan utama, (2) pembangunan pertanian bukan semata pembangunan sektoral, namun juga terkait dengan sektor lain (lintas/inter-sektoral), (3) pemba-ngunan pertanian bukan pengembangan komoditas secara parsial, melainkan sangat terkait dengan pembangunan wilayah, khususnya perdesaan yang berkaitan erat dengan upaya peningkatan pendapatan petani. Menyadari nilai tambah yang diperoleh dari pengembangan produk olahan (hilir) jauh lebih tinggi dari produk primer, maka pendekatan pembangunan pertanian ke depan diarahkan pada pengembangan produk, dan bukan lagi pengembangan komoditas dan lebih difokuskan pada pengembangan nilai tambah produk melalui pengembangan industri yang mengolah hasil pertanian primer menjadi produk plahan, baik produk antara (intermediate product), produk semi akhir (semi finished product) dan yang utama produk akhir (final product) yang berdayasaing.
4
Kini Pemerintah sedang melakukan Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. Visi pembangunan pertanian yang ingin dicapai adalah “terwujudnya sistem pertanian industrial berdaya saing, berkeadilan dan berkelanjutan guna menjamin ketahanan pangan dan kesejahteraan masyarakat pertanian”. Isu strategis dalam Revitaslisasi pertanian tersebut antara lain: (a) revitalisasi penyuluhan pertanian, (b) pengendalian penyakit hewan dan tanaman yang merugikan petani, keamanan dan pengamanan dampaknya terhadap kesehatan manusia, (c) penurunan hambatan perdagangan antar daerah dan (d) konversi lahan pertanian (Bappenas, 2006). Sejak dicanangkannya Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan pada tanggal 11 Juni 2005, pemerintah dari pusat sampai daerah terus menyusun kebijakan, memfasilitasi, mengatur dan menggerakkan serta mengevaluasi pembangunan pertanian. Namun demikian, petani dan pembangunan pertanian masih terpuruk yang ditunjukkan oleh indeks pembangunan manusia (IPM) dan nilai tukar petani (NTP) yang rendah dan cukup banyak produk pertanian penting yang masih diimpor. Perlu dicari terobosan-terobosan yang dapat mempercepat pembangunan pertanian sehingga peningkatan kesejahteraan petani dan daya saing produk pertanian kita dapat cepat terwujud. Terobosan itu harus dilakukan oleh semua stakeholder sektor pertanian, termasuk perguruan tinggi pertanian bersama petani. Salah satu strategi pembangunan pertanian ke depan adalah pengembangan agroindustri perdesaan. Pengembangan agroindustri perdesaan merupakan pilihan strategis dalam meningkatkan pendapatan dan sekaligus membuka lapangan pekerjaan. Selama ini masyarakat perdesaan cenderung menjual produk dalam bentuk segar (primer), karena lokasi industri umumnya berada di daerah urban (semi-urban). Akibatnya, nilai tambah produk pertanian lebih banyak mengalir ke daerah urban, termasuk menjadi penyebab terjadinya urbanisasi. Tujuan yang ingin dicapai dalam pengembangan agroindustri perdesaan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan melalui upaya peningkatan nilai tambah dan dayasaing hasil pertanian. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, pengembangan agroindustri perdesaan diarahkan untuk: (a) mengembang-kan kluster industri, yakni industri pengolahan yang terintegrasi dengan sentra-sentra produksi bahan baku serta sarana penunjangnya, (b) mengembangkan industri pengolahan skala rumah tangga dan kecil yang didukung oleh industri pengolahan skala menengah dan besar, dan (c) mengembangkan industri pengolahan yang punya daya saing tinggi untuk meningkatkan ekspor dan memenuhi kebutuhan dalam negeri. Langkah strategis tersebut ditujukan untuk secara terus menerus meningkatkan keunggulan komparatif dan kompetitif (daya saing) antara lain melalui pemberdayaan organisasi ekonomi rakyat (petani). Disinilah peran strategis perguruan tinggi pertanian sebagai pusat keunggulan (center of excellence), baik dalam penyiapan SDM Pertanian maupun dalam pengembangan dan penerapan IPTEKS. Konsep Agribisnis Pembangunan pertanian tidak bisa berdiri sendiri melainkan tergantung kepada subsistem-subsistem yang ada dalam sistem bisnis pertanian (Agribisnis). Pembangunan pertanian yang tidak berwawasan agribisnis akan menimbulkan paradoks, peningkatan produksi dan produktivitas tidak serta merta akan diikuti dengan peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani melainkan justru menurunkan pendapatan karena jatuhnya harga yang diterima petani.
5
Nilai tukar petani cenderung turun, pasar produk pertanian yang tidak kompetitif (monopoli atau monopsoni atau bentuk lainnya), kemitraan usaha yang tidak transparan, biaya transaksi produk pertanian sangatlah tinggi dan cenderung tidak efisien; sistem transportasi bahan baku, produk dan input yang tidak efisien dan sebagainya yang kesemuanya itu disebabkan oleh sistem pembangunan pertanian yang tidak berbasis agribisnis. Agribisnis adalah keseluruhan kegiatan produksi dan distribusi sarana produksi usahatani, kegiatan produksi usahatani (pertanian primer), kegiatan penyimpanan, pengolahan dan distribusi komoditas pertanian dan seluruh produksi-produksi olahan dari komoditas pertanian (Gambar 1).
PEMASARAN PELAYANAN PEMERINTAH
JASA LAIN : PERBANKAN
PENGOLAHAN
PENYIMPANAN
(Agroindustri)
ASURANSI ANGKUTAN DAN LAIN-LAIN
PRODUKSI KOMODITAS PERTANIAN (USAHATANI)
PENELITIAN PENYULUHAN PENGATURAN KEBIJAKAN PERTANIAN
PENGADAAN DAN PENYALURAN SARANA PRODUKSI DAN ALSINTAN Gambar 1. Keterkaitan antar Subsistem dalam Agribisnis (Diadopsi dari Tahlim Sudaryanto dan Effendi Pasandaran. 1993. Sistem Agribisnis di Indonesia. Badan Agribisnis, Departemen Pertanian. Jakarta).
Agribisnis merupakan bentuk modern dari pertanian primer, merupakan sistem yang mencakup bidang-bidang atau subsistem yang sangat luas yang pada dasarnya mencakup lima subsistem yaitu (1) subsistem yang menyediakan dan menyalurkan sarana produksi dan alsintan, (2) subsistem produksi komoditas pertanian, (3) subsistem industri pengolahan hasil pertanian (agroindustri), (4) subsistem usaha pemasaran hasil-
6
hasil pertanian, dan (5) subsistem pelayanan seperti perbankan, angkutan, asuransi, penyimpanan, dan lain-lain. Berdasarkan Gambar 1 tersebut, pengembangan agribisnis dan pembangunan pertanian dalam arti luas berarti serangkaian upaya untuk mengembangkan masingmasing subsistem dalam sistem agribisnis yang disertai dengan penyediaan fasilitas pelayanan dan kebijakan pemerintah baik dalam bidang pembangunan sektor pertanian dalam arti luas maupun dalam bidang pembangunan daerah dan nasional. Keseluruhan subsistem tersebut di atas merupakan satu kesatuan yang satu sama lain saling mempengaruhi. Apabila salah satu subsistem mengalami goncangan atau tidak berjalan sebagaimana mestinya, maka akan berdampak terhadap subsistem yang lain. Pengembangan agribisnis secara keseluruhan sangatlah ditentukan oleh pengembangan masing-masing subsistem dalam sistem agribisnis tersebut. Karakteristik Komoditas Pertanian Beberapa karakteristik penting produk pertanian akan diuraikan sebagai berikut: Pertama, bersifat musiman. Produk pertanian dihasilkan melalui proses biologis yang sangat tergantung pada iklim dan alam menyebabkan volume produksi berfluktuasi antar musim, terutama antara musim panen dan paceklik. Fluktuasi harga yang disebabkan oleh fluktuasi produksi merupakan sumber risiko dan ketidakpastian pada proses transaksi antar partisipan dalam sistem agribisnis. Disinilah fungsi terpenting dari aktivitas pemasaran yaitu menjaga dan memanfaatkan kegunaan waktu (time utility) melalui aktivitas penyimpanan. Kedua, mudah rusak. Produk pertanian yang dihasilkan umumnya dalam bentuk segar yang siap untuk dikonsumsi dan/atau diolah lebih lanjut. Apabila produk pertanian tidak segera dikonsumsi atau diolah, maka volume dan mutu produk cepat menurun seiring dengan bertambahnya waktu. Akibatnya, nilai ekonomi produk pertanian cepat anjlok, bahkan tidak berharga sama sekali dan menjadi sumber kerugian terbesar bagi petani produsen. Disinilah fungsi pemasaran untuk mem-pertahankan atau mengu-bah kegunaan bentuk (form utility) menjadi sangat penting, seperti melakukan proses pengolahan yang memiliki nilai tambah tinggi. Ketiga, makan tempat atau amba. Produk pertanian umumnya ber-massa besar dan makan tempat alias amba, walaupun mungkin bobotnya ringan. Proses pemasaran produk-produk pertanian juga amat bergantung pada kepiawaian para pelaku ekonomi dalam mengelola karakteristik amba ini, yang antara lain ditunjukkan oleh besarnya biaya pengangkutan dan pergudangan (Falcon, Jones, Pearson, dkk., 1984). Disinilah fungsi pema-saran yang menyangkut kegunaan tempat (place utility) dan waktu sangat berperan dalam menentukan tingkat kesejahteraan petani dan pelaku pema-saran lainnya. Keempat, amat beragam. Volume dan mutu produk pertanian amat beragam antar waktu dan antar daerah atau antar sentra produksi yang ditentukan oleh faktor genetik dan lingkungan (Wargiono dan Barret, 1987). Faktor penguasaan teknologi juga turut menentukan tingkat keberagaman volume dan mutu produk pertanian di beberapa tempat dan waktu tertentu. Karakteristik ini sangat menentukan besarnya biaya transaksi yaitu biaya informasi, biaya negosiasi, dan pengamanan kontrak.
7
Semakin besar variabilitas dalam volume dan mutu produk, maka akan semakin rumitlah proses transaksi ekonomi yang menyertainya. Akibatnya, biaya transasksi yang ditimbulkan juga menjadi semakin mahal. Kelima, transmisi harga rendah. Produk pertanian memiliki elastisitas transmisi harga yang rendah dan kadang searah. Kenaikan harga produk pertanian di tingkat konsumen tidak serta merta dapat meningkatkan harga di tingkat petani. Namun sebaliknya, penurunan harga di tingkat konsumen umumnya lebih cepat ditransmisikan pada harga tingkat petani. Petani lebih banyak ditempatkan pada posisi yang lemah. Implikasinya adalah bahwa aktivitas pemasaran harus mampu berkontribusi dalam meningkatkan kesejahteraan para petani. Keenam, struktur pasar yang monopsonis. Produk pertanian umum-nya harus menghadapi struktur pasar yang monopsonis. Petani produsen senatiasa lemah saat dihadapkan pada kekuatan pembeli, yang terdiri dari pedagang pengumpul dan pedagang besar yang cukup besar dan membentuk satu kekuatan yang dapat “menentukan” harga beli. Proses terciptanya kegagalan pasar (market failures) tersebut amat berhubungan dengan faktor ekonomi dan nonekonomi (sosio-psikologis) yang menyertai seluruh proses pemasaran. SISTEM KELEMBAGAAN PETANI Pembangunan ekonomi petani berarti pemberdayaan berjuta-juta unit usaha milik para petani sehingga mampu melakukan transaksi dengan sesama mitra bisnis baik skala kecil, sedang maupun besar antar subsistem dalam sistem agribisnis guna meningkatkan kesejahteraan petani. Di sini hubungan fungsional antara pengusaha kecil, menengah dan besar harus dibangun secara sinergis, konsisten, saling menguntungkan secara berkelanjutan. Konsep Kelembagaan/Organisasi Petani Organisasi adalah kesatuan yang memungkinkan orang-orang (para petani) mencapai satu atau beberapa tujuan yang tidak dapat dicapai individu secara perorangan. Pakpahan (1990) menyatakan bahwa sistem organisasi ekonomi petani terdiri dari beberapa unsur (subsistem): (1) unsur kelembagaan (aturan main), (2) partisipan (sumberdaya manusia), (3) teknologi, (4) tujuan, dan (5) lingkungan (alam, sosial, dan ekonomi). Kelompok para petani yang berada di suatu kawasan dapat dipandang sebagai suatu sistem organisasi ekonomi petani, hubungan antara unsurunsur organisasi dan keragaan terlihat pada Gambar 2. Gambar 2 menunjukkan bahwa kelima unsur atau subsistem organisasi ekonomi petani saling berinteraksi dan pada akhirnya akan menghasilkan keragaan organisasi. Unsur lingkungan merupakan bagian dari sistem organisasi yang menen-tukan keragaan organisasi, namun berada di luar kendali organisasi. Terdapat dua jenis pengertian kelembagaan yaitu kelembagaan sebagai aturan main dan kelembagaan sebagai organisasi. Sebagai aturan main, kelembagaan merupakan perangkat aturan yang membatasi aktivitas anggota dan pengurus dalam mencapai tujuan organisasi. Dari sudut pandang ekonomi, kelembagaan dalam arti organisasi biasanya menggambarkan aktivitas ekonomi yang dikoordinasikan bukan oleh mekanisme pasar
8
tetapi melalui mekanisme administrasi atau komando (Arkadie, 1989 dan Pakpahan, 1990). Keputusan tentang produksi dan alokasi penggunaan sumberdaya ditentukan oleh organisasi. KELEMBAGAAN: -
Batas wilayah produksi Hak pemilikan Pengambilan keputusan Penegakan hukum
TEKNOLOGI:
TUJUAN:
- Spesifikasi teknis produk - Metode operasi - Alat produksi - Lay out/desain
- Produksi dan pendapatan meningkat - Keberlanjutan usaha - Sejahtera
KERAGAAN: - Produksi dan pendapatan meningkat - Keberlanjutan usaha - Sejahtera
PARTISIPAN: - Karakteristik partisipan (SDM)
FAKTOR LINGKUNGAN (ALAM, SOSEKBUD) Gambar 2. Esensi organisasi ekonomi petani Alasan pembentukan kelompok tani atau koperasi secara ekonomi dapat dipandang sebagai upaya menghindari biaya transaksi tinggi yang harus dikeluarkan oleh para anggotanya (karena adanya masalah free rider, komitmen, loyalitas dan faktor eksternal) (Arkadie, 1989). Menurut Pakpahan (1991), kelembagaan dicirikan oleh beberapa hal berikut: (1) batas yurisdiksi, (2) property rights (hak pemilikan) dan (3) aturan representasi. Batas yurisdiksi menentukan siapa dan apa yang tercakup di dalam organisasi. Implikasi ekonomi dari hal tersebut adalah batas yurisdiksi berarti batas suatu organisasi dapat melakukan perluasan aktivitas ekonomi seperti batas wilayah kerja, batas skala usaha yang diperbolehkan, jenis usaha yang diperkenankan dan sebagainya. Dengan demikian, perubahan batas yurisdiksi berimplikasi terhadap kemampuan organisasi menginternalisasikan manfaat atau biaya. Sepanjang tambahan manfaat melebihi tambahan biaya maka organisasi akan memperluas batas yurisdiksi. Performa yang dihasilkan sebagai akibat dari perubahan batas yurisdiksi ditentukan oleh beberapa faktor: (1) perasaan sebagai suatu masyarakat atau sense of community, (2) eksternalitas, (3) homogenitas (preferensi), dan (4) skala ekonomis. Perasaan sebagai suatu kelompok tani merupakan variabel psikologis penting yang perlu diperhatikan. Hal ini karena organisasi terdiri dari orang-orang yang saling berhubungan, berkomunikasi, dan berinteraksi satu sama lain. Hak pemilikan merupakan aturan (hukum, adat, tradisi) yang mengatur hubungan antar anggota organisasi dalam hal kepentingannya terhadap sumberdaya, situasi atau kondisi (Pakpahan, 1990). Tidak seorangpun yang dapat menyatakan hak milik tanpa 9
pengesahan dari masyarakat di mana dia berada. Hak pemilikan juga merupakan sumber kekuatan untuk akses dan kontrol terhadap sumberdaya. Hak tersebut dapat diperoleh melalui pembelian, pemberian atau hadiah atau melalui pengaturan administrasi pemerintah seperti subsidi. Bentuk pemilikan secara umum dibagi atas empat jenis: (1) hak milik yang bersifat umum, (2) hak milik umum yang terbatas, (3) hak pakai atau status tenure, dan (4) hak milik penuh. Bentuk kepemilikan ini harus ditata sedemikian rupa sehingga mampu memberikan akses lebih besar lagi kepada petani dalam hubungan dengan kebutuhan permodalan untuk usahatani atau agribisnis yang dijalankannya. Aturan representasi merupakan perangkat aturan yang mengatur mekanisme pengambilan keputusan organisasi. Dalam proses pengambilan keputusan organisasi ada dua jenis ongkos yang mendasari keputusan yakni (1) ongkos membuat keputusan sebagai produk partisipasi dalam membuat keputusan dan (2) ongkos eksternal yang ditanggung oleh seseorang atau sebuah organisasi sebagai akibat dari keputusan organisasi tersebut. Aturan representasi akan mempengaruhi struktur dan besarnya ongkos tersebut. Aturan representasi yang sederhana untuk mengatasi masalah ini adalah meminimumkan kedua ongkos tersebut. Aturan representasi mengatur siapa yang berhak berpartisipasi terhadap apa dalam proses pengambilan keputusan. Hal ini tercermin dalam struktur organisasi. Keputusan apa yang diambil dan apa akibatnya terhadap performa akan ditentukan oleh kaidah representasi yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan. Agar kelembagaan dapat melaksanakan fungsinya maka diperlukan adanya enforcement atau penegakan dan penaatan hukum dalam bentuk sanksi atau insentif yang memberikan gairah kepada partisipan dalam berperilaku sesuai dengan harapan. Dalam hal inilah lomba antar kelompok tani, antar gabungan kelompok tani, dan antar koperasi pertanian dilaksanakan. Perubahan kelembagaan (rekayasa kelembagaan) mengandung makna pengaturan dalam batas yurisdiksi, hak pemilikan, dan aturan representasi yang memiliki implikasi pada kemampuan kelembagaan tersebut dalam menjalankan enforcement guna mengatasi permasalahan free rider, komitmen, loyalitas dan tuntutan faktor eksternal yang ada pada suatu organisasi petani sehingga mampu menghasilkan performa yang sesuai dengan harapan (Arkadie, 1989). Menurut Pakpahan (1990), situasi sebagai sumber interdependensi meliputi: inkompatibilitas, ongkos eksklusi tinggi, skala ekonomis, joint impact goods, ongkos transaksi dan interdependensi antar generasi. Rekayasa kelembagaan harus mampu mengontrol sumber-sumber interdependensi tersebut agar mampu menghasilkan performa yang diharapkan. Tujuan merupakan sesuatu yang ingin dicapai oleh serangkaian aktivitas individu, kelompok atau organisasi. Tujuan memiliki tingkatan (hirarki). Tujuan yang satu bisa merupakan prasyarat dalam mencapai tujuan yang lain dan seterusnya sehingga mencapai tujuan akhir dari suatu aktivitas. Tujuan organisasi bisnis adalah untuk memperoleh keuntungan secara berkelanjutan. Tujuan inilah yang memandu aliran sumberdaya dalam organisasi dan aliran output ke luar organisasi. Demikian pula dengan tujuan individu dalam berbisnis yakni mendapatkan keuntungan secara berkelanjutan.
10
Teknologi adalah seperangkat alat, ide, prosedur dan cara untuk meng-hasilkan produk secara lebih efisien. Penggunaan sumberdaya yang sama baik dalam jumlah maupun mutu dengan teknologi yang lebih baik akan diperoleh hasil yang lebih banyak dan keuntungan yang lebih besar. Rekayasa teknologi berarti perbaikan dalam alat, ide, prosedur dan cara pengelolaan sumberdaya untuk menghasilkan keuntungan yang lebih tinggi secara berwawasan lingkungan sehingga dicapai kondisi pertumbuhan ekonomi, pemerataan dan pelestarian lingkungan hidup. Teknologi yang diterapkan seyogyanya kompati-bel dengan karakteristik partisipan dan lingkungan agar teknologi tersebut dapat memberikan manfaat secara berkelanjutan. Faktor lingkungan, merupakan faktor yang menentukan performa organisasi namun berada di luar kendali organisasi. Faktor lingkungan ini meliputi lingkungan alam (curah hujan, kemiringan lereng, kesuburan tanah), lingkungan ekonomi (pasar saprodi dan produk), infrastruktur wilayah, kebijakan pemerintah (makro dan mikro), lingkungan sosial (adat dan budaya, dan sebagainya). Keragaan organisasi merupakan hasil interaksi yang kompleks antara sub-sistem partisipan, aturan main, teknologi dan lingkungan dalam mencapai tujuan organisasi. Indikator keragaan diturunkan dari tujuan organisasi yang bersangkutan. Pemberdayaan organisasi ekonomi rakyat (petani) tidak lain adalah rangkaian upaya pengembangan daya adaptasi dan inovasi petani terhadap perubahan teknologi dan aturan main dalam rangka mencapai tujuan bersama dalam situasi, kondisi, dan lingkungan tertentu. Asumsi Dasar dan Tahapan Pengembangan Ekonomi Petani Asumsi dasar pada pengembangan ekonomi rakyat (petani) adalah bahwa pembangunan ekonomi harus melalui berbagai tahapan proses sebagai berikut (Bantacut, 2000): (a) pembentukan institusi baru atau pemantapan institusi yang telah ada, (b) pembangunan unit usaha atau industri alternatif, (c) perbaikan kapasitas tenaga kerja, (d) identifikasi pasar-pasar baru, (e) alih ilmu pengetahuan dan tekno-logi, dan (f) pengembangan perusahaan baru. Pengembangan ekonomi petani dicapai melalui strategi: (1) pemberdayaan organisasi atau kelembagaan, (2) pengembangan jaring kemitraan bisnis, dan (3) peningkatan daya saing. Strategi itu dilakukan secara bertahap, konsisten dan berkelanjutan sesuai tingkat keragaan ekonomi masyarakat. Pemberdayaan berarti memanfaatkan secara optimal berbagai kemampuan, nilai atau norma serta kelembagaan yang ada dalam masyarakat termasuk juga menumbuhkankembangkan daya usaha kelompok masyarakat yang tidak mempunyai kemampuan untuk melakukannya sendiri. Organisasi atau lembaga yang terlebih dahulu dikembangkan adalah lembaga musyawarah masyarakat sekawasan atau setempat tinggal (domisili). Setelah lembaga musyawarah tersebut terbentuk dan berdaya baru dibentuk dua lembaga ekonomi rakyat sebagai pilar ekonomi yang kokoh yakni lembaga keuangan yang mengelola tentang keuangan (sektor finansial) dan kelompok usaha ekonomi produktif (sebagai sektor riil). Hubungan sinergis antara kedua lembaga ini akan menentukan tingkat kesejahteraan masyarakat tani (Gambar 3).
11
Berdasarkan uraian terdahulu (Gambar 2), pemberdayaan organisasi ekonomi petani ditempuh melalui: (a) pengembangan sumberdaya manusia, (b) pengembangan kelembagaan (aturan main), (c) rekayasa teknologi, dan (d) perbaikan lingkungan sosial dan ekonomi. Pengembangan sumberdaya manusia ditempuh melalui: pelatihan manajemen organisasi dan usaha ekonomi produktif, kursus dan magang. Pengembangan kelembagaan organisasi ditempuh melalui: revitalisasi aturan main organisasi penyempurnaan struktur dan fungsi organisasi, dan penegakan aturan main serta menjalin kemitraan usaha. Adapun pengembangan teknologi ditempuh melalui: penyediaan peralatan, mesin, sarana dan prasarana produksi, penyusunan tahapan atau prosedur opera-sional, pemilihan dan penerapan teknologi tepat guna, penyediaan perangkat pem-bukuan usaha dan formulir serta kelengkapan administrasi organisasi yang disertai dengan pendampingan teknis.
MASYARAKAT SEJAHTERA,LINGKUNGAN LESTARI
LEMBAGA KEUANGAN
USAHA EKONOMI BERWAWASAN LINGKUNGAN
LEMBAGA MUSYAWARAH MASYARAKAT PETANI Gambar 3. Fase pemberdayaan kelembagaan masyarakat
Pada fase ini peran perguruan tinggi dan/atau LSM cukup besar dalam pendampingan dan peran pemerintah cukup besar dalam hal pendanaan sedangkan peran dunia usaha umumnya masih relatif kecil. Setelah masing-masing lembaga berdaya yakni mampu menjalankan fungsi organisasi secara efektif dan efisien maka tahap selanjutnya adalah pengembangan jaring kemitraan bisnis. Kemitraan berarti kerjasama dengan memanfaatkan kelebihan atau kemampuan masing-masing pihak untuk mencapai tujuan bersama. Tujuan bermitra secara ekonomi adalah untuk menangkap manfaat dari adanya skala usaha ekonomi yang dihasilkan oleh usaha berkelompok. Skala usaha ekonomi ditunjukkan oleh semakin rendahnya biaya produksi seiring dengan semakin banyak
12
output. Hal ini berarti proses transaksi dilakukan oleh dan melalui organisasi (Gambar 4). Pada fase ini peran organisasi ekonomi rakyat dan dunia usaha mulai dominan baik dari segi pembiayaan maupun pendampingan, peran perguruan tinggi masih cukup besar namun peran pemerintah mulai berkurang. UUE1 + LK1
MOU UUE2 + LK2
PERUSAHAAN
KOPERASI PRIMER KEMITRAAN
UUE3 + LK3 Gambar 4. Fase pengembangan kemitraan usaha masyarakat Keterangan: UUE1 = unit usaha ekonomi produktif ke 1 (sektor riil) LK
= lembaga keuangan (sektor finansial)
Daya saing adalah kemampuan organisasi ekonomi petani untuk memenang-kan persaingan atau menjadi lebih baik. Secara ekonomi, daya saing ditunjukkan oleh biaya produksi yang jauh di bawah harga produk yang diwujudkan melalui pengembangan teknologi dan efisiensi produksi. Di sinilah pentingnya peningkatan sumberdaya manusia sehingga memiliki daya adaptasi dan inovasi yang cepat terhadap perkembangan iptek dan lingkungan (pasar input dan output). Peran dunia usaha dan organisasi ekonomi petani mulai dominan, perguruan tinggi mulai memasuki tahap penelitian dan pengembangan IPTEK yang lebih dalam lagi atas inisiatif pengusaha dan organisasi ekonomi petani, sedangkan Pemerintah perannya mulai berkurang cukup dalam bentuk fasilitasi dan regulasi. Kontribusi dunia usaha dan organisasi ekonomi petani pada pendapatan daerah akan semakin besar (Gambar 5). Gambar 5 menunjukkan bahwa daya saing organisasi ekonomi rakyat ditumbuhkan oleh suatu kerja sama tripartite antara Pemerintah, Perguruan Tinggi dan Dunia usaha. Keterlibat ketiganya dilakukan mulai dari fase pertama hingga ke fase ke tiga. Setelah fase ke tiga maka roda ekonomi rakyat akan berputar secara dinamis dengan akselerasi yang kian semakin cepat. Di sini, peran pemerintah sebagai fasilitasi, pengawasan dan pengendalian sedangkan peran perguruan tinggi lebih ditekankan kepada rekayasa teknologi dan rekayasa kelembagaan. Organisasi ekonomi petani dikatakan berdaya bila organisasi tersebut memiliki daya adaptasi dan inovasi yang kuat terhadap perubahan faktor internal dan eksternal dalam mencapai tujuannya.
13
P. tinggi
Daya saing usaha dan masyarakat
Good Governance
Pemerintah
Konsep : Mutua l Partnership Untuk menyelesaikan common problems Kelompok Usaha Koperasi
Perusahaan Industri
Kerjasama Tripartit Kemitraan Usaha Gambar 5. Fase peningkatan daya saing
Hasyim dan Zakaria (2002) menyatakan bahwa masyarakat petani merupakan komponen yang sangat penting mengingat jumlahnya sangat banyak dan umumnya bergerak dibidang usahatani (on farm). Tanpa adanya petani, maka agribisnis tidaklah mungkin berkembang dan tentu saja produk-produk pertanian juga tidak cukup tersedia bagi kita. Untuk meningkatkan taraf hidup petani, mereka harus berperan aktif dan tidak hanya semata-mata menanti uluran tangan pihak lain. Diharapkan masyarakat petani tersebut dapat berperan: Pertama, berusaha dengan penuh kesadaran yang tinggi untuk meningkatkan kualitas pengetahuan dan ketrampilan agar kualitas hidup lebih baik. Di samping itu petani harus berusaha memupuk budaya kewirausahaan (entrepreneur) dan mengedepankan rasionalitas dalam berusahatani Kedua, meningkatkan tindakan bersama secara efisien dalam menangkap manfaat ekonomi dari adanya skala usaha baik dalam proses produksi, pemasaran maupun dalam memperoleh sarana produksi melalui pemberdayaan kelembagaan petani, kelompok tani dan koperasi. Ketiga, menjalin kemitraan usaha dengan pihak swasta yang saling memperkuat, saling membutuhkan, dan saling menguntungkan serta mampu menekan biaya transaksi dan menjamin keberlanjutan usaha. Kemudian agar proses kemitraan itu berjalan dengan baik, petani harus berusaha konsisten memenuhi ketentuan-ketentuan dalam bermitra. Keempat, bersama pihak swasta menciptakan suasana usaha yang harmonis sehingga skala usaha optimal pada masing-masing pihak dapat dicapai. Kelima, meningkatkan penerapan teknologi budidaya dan prosessing secara berkelanjutan, sehingga dapat memanfaatkan nilai tambah untuk meningkatkan pendapatan. Keenam, melakukan diversifikasi usaha guna mengantisipasi adanya gejolak eksternal (pasar luar negeri).
14
Ketujuh, bersama swasta berupaya menguasai informasi pasar dalam rangka memperluas jangkauan pasar dan meningkatkan pangsa pasar.
BEBERAPA CONTOH KASUS
Pengembangan Ekonomi Lokal Gula Kelapa Dalam rangka meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat petani, Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan (BAPPEDA Lampung Selatan) bekerja sama dengan UNILA (LPM Unila) untuk melaksanakan Pengembangan Ekonomi Lokal (PEL). Berdasarkan hasil survei, tim mencoba mengembangkan agribisnis berbasis kelapa yakni industri gula kelapa di Kecamatan Palas dan Sidomulyo pada tahun 2000/2001 dengan pertimbangan: 1. Pasarnya cukup kompetitif baik di tingkat pasar lokal maupun pasar regional 2. Usaha tersebut melibatkan rakyat banyak yang pendapatannya masih rendah 3. Cepat hasil (quick yielding) 4. Memiliki pohon industri yang berspektrum luas lagi dalam 5. Memiliki nilai tambah tinggi 6. Modal usaha tidak terlalu besar Unila menyediakan tenaga pendamping dan tenaga ahli guna melakukan pendidikan dan latihan serta pengembangan teknologi prosessing, pembentukan dan pemberdayaan kelembagaan bisnis dan pengembangan SDM pengrajin serta pasar. Manfaat kegiatan adalah rata-rata produktivitas pengrajin gula kelapa meningkat dari 20 kg/KK/hari menjadi 25 kg/KK/hari (sekitar 20%), standarisasi dalam ukuran dan mutu ditingkatkan sehingga harga jual meningkat dari Rp 1.600,00 menjadi Rp 2.000,00/kg gula merah atau meningkat sebesar Rp 400,00/kg (25%), para pengrajin telah mampu mengurangi beban hutang kepada pedagang besar. Pendapatan unit usaha gula merah per haripun meningkat dari Rp 40.000,00/hari/KK menjadi Rp 50.000,00/hari/KK atau meningkat 25%. Di bidang kelembagaan, telah dicapai kesepakatan mutu dan harga jual antara kelompok pengrajin gula kelapa dengan para pedagang pengumpul dan pedagang besar. Perguliran BLM diatur oleh kelompok pengrajin yakni setiap penjualan hasil para pengrajin wajib menyetorkan uang sebesar Rp 25,00/kg produk yang dijual kepada KMP. Uang yang terkumpul tersebut selanjutnya digunakan untuk keperluan manajemen kelompok dan perguliran. Sayangnya program PEL dari pemerintah pusat tersebut terhenti karena terbatasnya dana yang disediakan oleh IMF untuk Pemerintah Indonesia sehingga program PEL terbatas pada tahap pemberdayaan kelompok pengrajin belum kepada pengembangan kemitraan dan peningkatan daya saing. Pengembangan Ekonomi Lokal (PEL) Cassava Chips Atas inisiatif Pemerintah Kabupaten dan DPRD Lampung Selatan disepakati bahwa program PEL di Lampung Selatan harus dilanjutkan dengan dana dari
15
Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan (APBD II). Program dipusatkan pada ubikayu yang harganya jatuh sangat rendah sehingga petani enggan memanennya.. Oleh karena itu pada tahun 2001/2002, kerja sama Unila dan Pemda Lampung Selatan di bidang pemberdayaan ekonomi rakyat dilanjutkan dan ditingkatkan lagi dengan mengembangkan agribisnis berbasis ubikayu melalui pembangunan unit usaha industri cassava chip di Kecamatan Natar dan Tegineneng masing-masing pada dua desa. Satu bulan setelah konstruksi, industri cassava chip mulai menghasilkan dan uang hasil keuntungan usaha mulai dikumpulkan. Dari empat unit yang telah beroperasi selama enam bulan terdapat satu kelompok yang berkembang pesat yakni Kelompok Negeri Jaya, Desa Banjar Negeri Natar. Kelompok tersebut telah mampu menjual hasil produksi baik ke pasar lokal yakni di sekitar Kecamatan Natar dan Tegineneng serta mampu menjual hasil produksi hingga ke Jakarta. Setiap kg cassava chip membutuhkan bahan baku ubikayu makan (singkong kuning) sebanyak 3 kg dengan harga beli Rp 200,00/kg. Singkong makan tersebut selanjutnya dikupas yang melibatkan sekita 10 orang laki-laki dan perempuan. Kapasitas operasi dalam sehari adalah 1,5 ton singkong makan. Hasil cassava chip yang telah dicetak dijemur dengan menggunakan pelastik cetak di halaman rumah atau halaman dapur produksi. Jika sinar matahari terang diperlukan waktu selama tiga jam, jika kurang cerah diperlukan sekitar 6 jam. Selanjutnya cassava chip yang telah kering diremas sehingga berukuran kecil sesuai ukuran mesin cetak kemudian dimasukkan ke karung untuk siap dijual ke Bekasi atau Tangerang dengan harga jual sebesar Rp 1.800,00/kg atau Rp 2.000,00/kg terima ditempat. Adapun manfaat dari program ini adalah harga ubikayu meningkat dari Rp 125Rp 150/kg menjadi Rp 200/kg umbi basah, sejak April sampai September 2002 (enam bulan operasi) Kas kelompok mencapai Rp 8 juta. Jumlah tenaga kerja yang telibat sebanyak 30 orang yang terbagi dalam dua kelompok kerja masing-masing 15 orang. Sebagian besar pekerja adalah wanita yang umumnya melaksanakan pekerjaan mengupas kulit singkong, mencetak, menjemur dan sortir hasil, banyak lahan tidur yang kini telah ditanami singkong kuning (singkong makan) sebagai bahan baku bagi industri cassava chip, kesempatan kerja meningkat, upah kerja berkisar Rp 10.000 sampai Rp 15.000 per hari tergantung jenis pekerjaan, serta pendapatan masyarakat bertambah. Kini kelompok sedang merencanakan untuk menambah satu unit pabrik lagi sebagai bentuk realisasi perguliran program PEL Cassava Chip di Desa Banjar Negeri yang berguna untuk memenuhi permintaan pasar yang masih cukup besar. Kemitraan bisnis dengan jaringan pemasaran tingkat regional Propinsi Lampung telah dimasuki oleh kelompok ini. Hal ini berarti program telah mampu melahirkan wirausahawan baru dari desa tersebut. Pada tahap pengembangan selanjutnya (Kemitraan atau Fase II), product development ditingkatkan dengan menembus pasar lokal ke super market dan mini market di Bandar Lampung. Kendala yang masih dihadapi KMP dalam mengembangkan sekala usahanya adalah terbatasnya modal operasi dan untuk stok bahan baku. Modal operasi untuk meningkatkan volume perdagangan diperkirakan mencapai Rp 50 juta per minggu. Jika KMP berhasil mendapatkan sumber modal dengan bunga rendah maka pengembangan skala usaha tersebut dapat dipastikan akan berhasil.
16
Mulai bulan Juli 2003 seluruh unit usaha cassava chips di Lampung mengalami hambatan pemasaran hal ini karena adanya “kecurangan” yang dilakukan oleh oknum pengusaha cassava chip dalam bermitra dengan pengusaha di Jakarta. Beberapa pengusaha cassva chips di Lampung menggunakan singkong racun sebagai bahan baku guna memenuhi target produksi sesuai permintaan pengusaha di Jakarta. Tidak adanya lembaga yang melakukan manajemen pengendalian mutu di tingkat pabrik menyebabkan produk ditolak konsumen. Pada bulan April 2004 telah dilakukan pertemuan koordinasi seluruh pengusaha cassava chip se Kabupaten Lampung Selatan di LPM Universitas Lampung guna memecahkan masalah macetnya pemasaran produk. Akhirnya disepakati bahwa masingmasing pengusaha harus memenuhi ketentuan mutu produk berikut ukurannya dengan harga sesuai kesepakatan. Kini pemasaran produk ke perusahaan mitra di Jakarta telah dimulai kembali. Pengembangan Model Kemitraan Agroindustri Ketan di Kabupaten Subang dan Garut Pada tahun 2006/2007 Universitas Lampung mendapat tugas dari Ditjen P2HP Departemen Pertanian RI untuk melakukan Pengembangan Model Kemitraan Agroindustri Ketan di Kabupaten Subang dan Garut dalam suatu Program Pengembangan Komoditi Strategis Nasional (PKSN). Kemitraan agroindustri ketan dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku ketan bagi industri pengolahan bahan makanan di dalam negeri yang selama ini diperoleh melalui impor. Di Kabupaten Subang dikembangkan ketan putih sedangkan di Garut dikembangankan ketan hitam. Tahap pertama dimulai dengan pemberdayaan kelembagan Kelompok Tani dan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan), proses ini berjalan selama tiga bulan pertama yang secara bersamaan dilakukan pelatihan pengelolaan administrasi dan keuangan Gapoktan, pengembangan unit penangkar benih ketan, serta teknik budidaya ketan yang baik dan benar (Fase I yakni pemberdayaan kelembagaan/organisasi petani). Menjelang masa panen dilakukan upaya pengembangan kemitraan usaha (Fase II yaitu pengembangan kemitraan bisnis) yang diawali dengan pertemuan-pertemuan antara Pengurus Gapoktan dan Pengusaha Agroindustri Ketan (BB) serta PERPADI Tingkat Pusat dan Provinsi Jawa Barat. Melalui proses yang cukup panjang akhirnya dicapai kesepakatan mutu, jumlah dan harga transaksi ketan yang menguntungkan masing-masing pihak dan dituangkan di dalam suatu naskah MOU dan Kontrak Pemasaran. Dalam hal ini para petani memperoleh kepastian pasar dan harga serta mutu yang dikoordinir oleh Gapoktan sedangkan PERPADI Kabupaten Subang dan Perusahaan BB memperoleh kepastian pasokan bahan baku ketan. Kini ada pihak eksportir ketan yang siap untuk bermitra dengan Gapoktan guna mengembangkan pasar Ekspor Ketan. Oleh karena itu program tersebut sedang dalam proses untuk ditindaklanjuti agar mampu menembus pasar ekspor (Fase III yakni peningkatan daya saing). Program Fasilitasi Percepatan Pemberdayaan Ekonomi Daerah (FPPED) Program Fasilitasi Percepatan Pemberdayaan Ekonomi Daerah merupakan suatu program pemberdayaan masyarakat dalam rangka mempercepat pertumbuhan ekonomi
17
desa terutama petani. Program ini merupakan kerjasama antara BI Bandar Lampung dengan Fakultas Pertanian UNILA pada tahun 2008. Pemberdayaan masyarakat dilakukan melalui suatu wadah yang disebut kelompok tani yang kemudian menghimpun diri menjadi gabungan kelompok tani (Gapoktan). Program FPPED ini mendapatkan respon yang sangat positif dari kelompok tani, hal ini dapat dibuktikan dengan keseriusan kelompok tani yang tergabung dalam Gapoktan guna mengikuti rencana kegiatan yang telah disepakati bersama. Saat ini program ini telah berlangsung selama delapan bulan sejak Februari 2008 sampai Oktober 2008. Pendamping dan pemberdayaan kelompok tani pada tahap awal program (Februari 2008) diikuti oleh dua kelompok tani di Desa Bandar Agung, Kecamatan Bandar Sribawono, Lampung Timur. Kini jumlah kelompok tani yang mengikuti program ini meningkat menjadi 23 Kelompok Tani yang tergabung dalam suatu wadah organisasi petani yakni Gapoktan Harapan Jaya dengan luas wilayah 770 Ha dan jumlah anggota 537 KK. Sebanyak enam kelompok tani pada bulan Mei 2008 berhasil bermitra dengan Lembaga Keuangan (BPR) dan memperoleh dana pinjaman senilai Rp 96 juta yang kini telah dilunasi oleh masing-masing kelompok dan pada musim tanam kedua kali ini sedang dalam proses pengusulan pinjaman baru. Kelompok tani lainnya masih dalam taraf negosiasi dengan pihak lembaga keuangan serta stekeholder lainnya terutama dengan pihak distributor dan pengecer sarana produksi pertanian. Kelangkaan pupuk serta tingginya harga jual pupuk non-subsidi menjadi penghambat lancarnya kemitraan. Oleh karena itu kesepakatan yang telah dibangun antara Gapoktan dengan Pihak Lembaga Keuangan dan Perusahaan dikaji ulang untuk disempurnakan disertai dengan peningkatan rasa kebersamaan, komitmen dan loyalitas anggota kelompok tani terhadap kesepatan yang telah dibuat. Kondisi ini meruapakan tahap awal dari fase II Pemberdayaan Ekonomi Petani. Kendala lain yang dihadapi para petani adalah lemahnya status kepemilikan lahan petani sehingga pagu kredit yang diperkenan pihak perbankan relatif amat kecil dibandingkan dengan potensinya (Zakaria, 2008). Beberapa contoh di atas merupakan suatu bukti bahwa daya saing produk pertanian dapat diwujudkan melalui pemberdayaan kelembagaan/organisasi ekonomi rakyat (petani). Melalui pemberdayaan kelembagaan/organisasi ekonomi rakyat (petani) tersebut efisiensi produksi yang dihasilkan oleh adanya manfaat skala ekonomi dari organisasi ekonomi petani dapat dicapai, keuntungan usahatani, pendapatan dan kesejahteraan petani, pengusaha dan daerah (penerimaan devisa) akan meningkat, daya saing lokal dan regional terwujud yang semuanya itu merupakan modal dasar daya saing bangsa. PENUTUP Membangun daya saing global di era Milenium III merupakan upaya serius yang harus dimulai dengan membangun daya saing lokal sedini mungkin untuk kesejahteraan petani. Upaya tersebut ditempuh melalui pemberdayaan organisasi ekonomi rakyat (petani) yang dilakukan sungguh-sungguh, konsisten dan berkesimbangunan dalam tiga fase mulai dari pemberdayaan kelembagaan, pengembangan jaring kemitraan bisnis hingga ke fase peningkatan daya saing. Mobilisasi dan pemanfaatan sumberdaya ekonomi rakyat pada tahap awal (pemberdayaan masyarakat) perlu disponsori oleh pemerintah agar masyarakat lokal mampu meningkatkan aksesnya kepada sumberdaya ekonomi lokal yang langka 18
sehingga mampu menciptakan dan meningkatkan nilai tambah melalui pembukaan unit usaha ekonomi produktif secara menguntungkan dan berdaya saing. Pada tahap selanjutnya peran pemerintah semakin berkurang sedangkan peran masyarakat dan dunia usaha (pengusaha) semakin besar seiring dengan semakin mandirinya kelompok usaha ekonomi produktif. Adapun peran perguruan tinggi lebih terfokus pada upaya pendampingan, pengembangan dan penerapan IPTEK yang mampu meningkatkan daya saing produk, daya saing organisasi, daya saing daerah di pasar global. DAFTAR PUSTAKA Arifin, Bustanul. 2000. Pembangunan Pertanian: Paradigma, Kinerja dan Opsi Kebijakan. Jakarta: Pustaka Indev. Anonim. 2007. Proposal Roadmap Pendidikan Tinggi Pertanian (masih dalam proses) Arkadie, B.V. 1989. The Role of Institution in Development. Proceedings of The Worl bank, Annual Conference on Development Economics. World Bank: 153-191. Bantacut, T. 2000. Konsep dan Strategi Pengelolaan PEL. Makalah disampaikan pada Sarasehan Pelaku Bisnis di Hotel Buki Karsa, Jakarta, 4-5 Desember 2000. Basri, MC. 2008. Mengurangi “Multiplier” Kecemasan. Kompas 20 Oktober 2008. Hlm 1 dan 17. Hasyim, A dan B. Arifin. 2002. Strategi dan Antisipasi Kebijakan Tarif Palawija Menghadapi Era Perdagangan Bebas. Makalah disampaikan pada Seminar Palawija, 7 Oktober 2002 di Bogor, Jawa Barat Hasyim, A dan Zakaria, WA (2004). Tinjauan Akademik tentang Kondisi dan Potensi Pemasar Produk Pertanian Lampung menghadapi Pasar Bebas Asean. Makalah disampaikan pada Seminar Pengembangan Ekspor Produk Pertanian Lampung di Hotel Marcopolo. Bandar Lampung pada tanggal September 2004 Mosher, A.T. 1966. Getting Agriculture Moving. F.A. Praeger Inc. New York. Mulyana, A. 1998. Keragaan Penawaran dan Permintaan Beras Indonesia dan Prospek Swasembada Menuju Era Perdagangan Bebas: Suatu Analisis Simulasi. Disertasi Program Pascasarjana IPB. Bogor. Pakpahan, A. 1990. Permasalahan dan Landasan Konseptual dalam Rekayasa Institusi (Koperasi). Makalah disampaikan sebagai bahan seminar pada Pengkajian Masalah Perkoperasian Nasional, Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Koperasi di Jakarta, 23 Oktober 1990. PSE-Balitbang Deptan. Bogor, 26 halaman. Pakpahan, A. 1991. Perspektif Ekonomi Institusi dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam. Ekonomi dan Keuangan Indonesia: Vol. No.: 445-464. Saragih, B. 2001. Suara dari Bogor. PT Loji Grafika Sarana dan Pustaka Wirausaha Muda. Bogor. Tahlim Sudaryanto dan Effendi Pasandaran. 1993. Sistem Agribisnis di Indonesia. Badan Agribisnis, Departemen Pertanian. Jakarta.
19
Tim LPM Unila. 2007. Pengembangan Model Kemitraan Agroindustri Ketan di Kabupaten Subang dan Garut (Laporan Akhir). Kerjasama Ditjen P2HP Deptan RI dan LPM Universitas Lampung. Bandar Lampung Yustika, AE. 2006. Perdesaan, Pertanian, dan Modal: Tinjauan Ekonomi Kelembagaan. Makalah disampaikan dalam Kongres ISEI XVI di Manado dengan tema: ”Meletakkan Kembali Dasar-dasar Pembangunan Ekonomi yang Kokoh”. 18-20 Juni 2006 dalam Jurnal Ekonomi Indonesia No. 2, Desember 2007, halaman: 1-14 Siregar, H dan S. Masyitho. 2008. Dinamika Harga Pangan, BBM, Inflasi serta Kemiskinan, dan Implikasinya Bagi Ketahanan Pangan. Makalah disajikan pada Sidang Pleno XIII dan Seminar Nasional ISEI di Senggigi Lombok, 16-18 Juli 2008 Zakaria, WA. 2008. Laporan Pelaksanaan Kegiatan Fasilitasi Percepatan Pemberdayaan Ekonomi Daerah (FPPED) Bulan September 2008. Kerjasama dengan BI Bandar Lampung.
20