PERUBAHAN KELEMBAGAAN DAN KESEJAHTERAAN PETANI PASCA RECLAIM (Kasus Organisasi Tani Lokal Pasawahan II, Desa Pasawahan, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat)
CECEP ABDUL MUNAWAR I34062190
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
ABSTRACT CECEP ABDUL MUNAWAR. The Change of Institutional and Farmer Social Welfare Post-Reclaiming (Case OTL Pasawahan II, Desa Pasawahan, Subdistric Banjarsari, Ciamis Regency, Jawa Barat). Supervised by HERU PURWANDARI. Reclaiming is an action to get an equity of community right. Reclaiming mostly called an anarchic movement. Reclaiming divided by three step, pre reclaiming, reclaiming, and post reclaiming. The focus of this research is the post reclaiming step. The objective of this research is to analyze agricultural organization of land distribution, inter-farmer relationship, and land certification process in Organisasi Tani Lokal Pasawahan II, Ciamis. Another objective is to analyze the level of farmer social welfare who joined in Organisasi Tani Lokal Pasawahan II after they got the land. The research applied a combination of qualitative and quantitative approach. The quantitative data were collected by using survey method on 40 sample. The sample were selected by using stratified random sampling based on they extensive land. The qualitative data were collected by in-depth interview, Focus Group Discussion and observation. The respondent were selected by using snowball method. The output of this research showed that level of community health is low. This is showed by a fact that majority of farmer just have a tight land and low level of community income. In addition, there is a low of organization. Transferred of land inter member showed a weak control and rules from this organization.
Keyword: Post Reclaiming, Institutional, Social Welfare.
RINGKASAN
CECEP ABDUL MUNAWAR. PERUBAHAN KELEMBAGAAN DAN KESEJAHTERAAN PETANI PASCA RECLAIM: Kasus Organisasi Tani Lokal Pasawahan II, Desa Pasawahan, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat. (Dibawah Bimbingan HERU PURWANDARI). Menurut White dan Wiradi (2009), isu sentral dalam reforma agraria adalah pengembangan pengorganisasian produksi baru yang konsisten dan penataan hak-hak tanah pasca-reform. Oleh karena itu, penguatan kelembagaan petani menjadi sangat penting ketika mereka berhasil menguasai sumberdaya agraria karena perjuangan tidak selesai hanya sampai pada mendapatkan tanah. Menurut Wijardjo dan Perdana (2001) ada beberapa tindakan yang harus dilakukan pasca-reclaim yaitu, 1) penataan penguasaan obyek reclaiming, 2) mengembangkan penataan produksi, dan 3) mengupayakan pengakuan hukum (legalisasi). Peningkatan kesejahteraan petani merupakan agenda utama bagi semua organisasi tani, namun bagaimana upaya yang dilakukan oleh organisasi tani dalam mencapai tujuan utama tersebut menjadi hal penting yang harus diperhatikan. Tujuan dari penelitian ini adalah: 1) Untuk menganalisis bentuk dan sistem kelembagaan pertanian yang dibentuk oleh kelompok tani dalam hal distribusi penguasaan tanah, hubungan kerja, sertifikasi lahan, dan pengorganisasian produksi dalam membantu meningkatkan kesejahteraan pasca reclaiming di Desa Pasawahan khususnya OTL Pasawahan II, dan 2) Untuk menganalisis sejauhmana bentuk dan sistem kerja kelembagaan pertanian berjalan efektif dan diterima oleh masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa Pasawahan yang tergabung dalam OTL Pasawahan II pasca reclaiming. Penelitian ini dilaksanakan di Organisasi Tani Lokal (OTL) Pasawahan II, Desa Pasawahan, Kec. Banjarsari, Ciamis. Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Metode pengumpulan data yang dilakukan yaitu metode triangulasi, catatan harian, dan Focus Group Discussion. Metode FGD digunakan untuk memperoleh indikator kesejahteraan dari sejumlah anggota OTL sehingga indikator tersebut dapat dijadikan sebagai rujukan atau acuan dalam melaksanakan penelitian. Menurut data nominatif 2009, jumlah anggota OTL sebanyak 538 orang yang menggarap luas tanah yang sudah di reclaim 200 hektar, yang 10 persennya merupakan lahan basah (sawah). Unit analisis dalam penelitian ini adalah keluarga yang tergabung dalam OTL Pasawahan II, Desa Pasawahan, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis. Responden terdiri dari 40 orang yang ditentukan dengan teknik stratified random sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat yang tergabung dalam OTL Pasawahan II belum seluruhnya sejahtera. Hal ini sesuai dengan hasil lapang, bahwa 60 persen responden memililiki lahan kurang dari 4 kapling, dan 12,5 persen tinggi. Tingkat pendapatan, 80 persen tingkat pendapatannya masih rendah dan 5 persen tinggi. Tingkat pendapatan berhubungan nyata dengan kondisi tempat tinggal, sumber air, dan MCK/ kamar mandi. Namun tingkat
pendapatan tidak berhubungan nyata dengan kepemilikan aset, khususnya kendaraan sepeda motor. Hal ini karena sepeda motor bukan lagi merupakan barang mewah. Sepeda motor sudah dianggap sebagai kebutuhan utama khususnya untuk sarana transportasi. Adanya polarisasi kepemilikan tanah akibat proses oper alih garapan dan jual beli lahan garapan menunjukkan bahwa kelembagaan yang dibangun oleh petani belum kuat, dan tidak adanya aturan yang mengatur dalam kepemilikan tanah. Hal ini disebabkan karena kurangnya keseriusan dari pengurus OTL khususnya dalam melindungi kekayaan agraria yang dimiliki sehingga kesejahteraan anggota belum tercapai.
Perubahan Kelembagaan dan Kesejahteraan Petani Pasca Reclaim (Kasus Organisasi Tani Lokal Pasawahan II, Desa Pasawahan, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat)
CECEP ABDUL MUNAWAR I34062190
Skripsi Sebagai Bagian Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh: Nama
: Cecep Abdul Munawar
No. Pokok
: I34062190
Judul
: Perubahan Kelembagaan dan Kesejahteraan Petani Pasca Reclaim (Kasus Organisasi Tani Lokal Pasawahan II, Desa Pasawahan, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat)
Dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Heru Purwandari, SP. M.Si NIP. 19790524 200701 2 001
Mengetahui, Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS NIP. 19550630 198103 1 003
Tanggal Lulus Ujian:
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “PERUBAHAN KELEMBAGAAN DAN KESEJAHTERAAN PETANI PASCA RECLAIM” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.
Bogor, Agustus 2010
Cecep Abdul Munawar NRP: I34062190
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Cecep Abdul Munawar dilahirkan pada tanggal 30 November 1987 di Ciamis. Penulis merupakan anak pertama dari enam bersaudara dari pasangan Bapak Opa dan Ibu Entin. Pendidikan yang pertama kali ditempuh oleh penulis adalah Sekolah Dasar Negeri Citeureup 2 Kawali pada tahun 1994-2000. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan ke Madrasah Tsanawiyah Negeri Kawali pada tahun 2000-2003, dan Madrasah Aliyah Negeri 2 Ciamis pada tahun 2003-2006. Pada tahun 2006, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur BUD (Beasiswa Utusan Daerah) Departemen Agama dan memilih Mayor Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada tahun 2007. Selama menjadi mahasiswa di IPB, penulis selain belajar juga aktif dalam kegiatan kemahasiswaan, yakni sebagai Kepala Divisi Infokom Lingkung Sendi Sunda Gentra Kaheman 2008-2009, Anggota Dewan Kehormatan Lingkung Seni Sunda Gentra Kaheman 2009, staf divisi Pengembangan Budaya Olahraga dan Seni BEM FEMA IPB 2008-2009, dan anggota Paguyuban Mahasiswa Galuh Ciamis 2006 hingga sekarang.
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena hanya dengan Rahmat dan Karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Perubahan Kelembagaan dan Kesejahteraan Petani Pasca Reclaim (Kasus Organisasi Tani Lokal Pasawahan II, Desa Pasawahan, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat)”. Terima kasih yang setulus-tulusnya penulis ucapkan kepada pihak-pihak yang telah membantu pembutan skripsi ini. Terutama kepada Heru Purwandari, SP. M.Si, sebagai dosen pembimbing yang telah bersedia memberikan bimbingan, meluangkan waktu, dan berbagi ilmu sehingga penulis dapat lebih memahami topik bahasan dan dapat menyelesaikan skripsi ini. Selain itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada pihak Organisasi Tani Lokal Pasawahan II yaitu Abah Sa‟ud, Abah Oyon, Pak Wawan, Pak Ahmad, Pak Sunarya, Pak Jarir, Pak Epul, teman-teman dari FARMACI sebagai pendamping OTL, dan Pak Boy atas kerjasamanya sehingga penelitian ini dapat terlaksana. Skripsi ini bertujuan mengetahui kelembagaan pertanian yang dibangun oleh kelompok tani lokal pasca-reclaim dalam mewujudkan peningkatan kesejahteraan petani. Akhirnya, penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak.
Bogor, Agustus 2010
Penulis
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis menyadari skripsi ini dapat diselesaikan karena adanya bantuan dari berbagai pihak. Pihak-pihak tersebut telah membantu penulis dengan menyumbangkan pemikiran, memberikan masukan, dan mendukung penulis baik secara moril maupun materil. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang setulus-tulusnya kepada: 1.
Allah SWT, atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.
2.
Heru Purwandari, SP. M.Si sebagai dosen pembimbing, atas segala bimbingan, motivasi, saran, dan pemikirannya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
3.
Martua Sihaloho, SP. M.Si sebagai dosen penguji utama atas kesediaannya untuk menguji dan memberikan saran yang berguna bagi skripsi ini.
4.
Ratri Virianita, S.Sos. M.Si sebagai dosen penguji wakil Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat atas kesediaannya untuk menguji dan memberikan saran yang berguna bagi skripsi ini.
5.
Ibu, Bapak, Lilis, Ela, dan seluruh keluarga besar Opa Mustopa yang telah mencurahkan kasih sayang, perhatian, motivasi, dukungan do‟a, moril dan materil, serta semangat bagi penulis selama masa penyelesaian skripsi ini.
6.
Departemen Agama RI, atas segala dukungan moril dan materil serta do‟a, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dan menyelesaikan kuliah S1.
7.
Organisasi Tani Lokal Pasawahan II, temen-temen pendamping FARMACI, dan Pak Boy, atas segala bimbingan, saran dan pemikirannya, serta bantuan baik moril maupun materil sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
8.
Nur‟aini Rufaqoh, atas segala dukungan do‟a, moril, serta semangat yang telah diberikan kepada penulis.
9.
Teman-teman kontrakkan, Fajar, Azis, Andris, Rauf, Untung, Ogi, Irwan, Adha, Hendra, dan Arif atas dukungan moril yang telah diberikan kepada penulis.
10. Teman-teman KPM angkatan 43 yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terimakasih atas kerjasamanya selama ini. 11. Semua pihak yang telah memberikan dorongan, do‟a, semangat, bantuan, dan kerjasamanya selama ini. Bogor, Agustus 2010 Penulis
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ........................................................................................... xi DAFTAR TABEL ................................................................................... xiii DAFTAR GAMBAR .............................................................................. xv BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ...................................................................... 1 1.2 Perumusan Masalah .............................................................. 3 1.3 Tujuan Penelitian .................................................................. 4 1.4 Kegunaan Penelitian .............................................................. 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Reforma Agraria .................................................................... 6 2.1.1 Ruang Lingkup Reforma Agraria ................................. 6 2.1.2 Persyaratan Reforma Agraria ....................................... 8 2.2 Reclaiming ............................................................................. 9 2.2.1 Pengertian Reclaiming ................................................. 9 2.2.2 Tahapan Dalam Reclaiming ......................................... 11 2.3 Kelembagaan ......................................................................... 13 2.3.1 Definisi Kelembagaan .................................................. 13 2.3.2 Manfaat Kelembagaan ................................................. 14 2.3.3 Komponen Kelembagaan ............................................. 16 2.4 Distribusi Penguasaan Tanah ................................................ 16 2.5 Kelembagaan Hubungan Kerja Pertanian ............................. 19 2.5.1 Sistem Upah Borongan ................................................ 20 2.5.2 Sistem Upah Harian ..................................................... 21 2.5.3 Ceblokan ...................................................................... 21 2.5.4 Sambatan, Tukar Tenaga, dan Gotong Royong ........... 21 2.6 Kesejahteraan Masyarakat .................................................... 22 2.7 Kerangka Pemikiran .............................................................. 25 2.8 Hipotesis Pengarah ................................................................ 27 2.9 Definisi Konseptual ............................................................... 28 2.10 Definisi Operasional ............................................................ 28 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Pendekatan dan Strategi Penelitian ....................................... 30 3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................ 31 3.3 Metode Pengumpulan dan Jenis Data ................................... 31 3.4 Teknik Pengambilan Sampel ................................................. 32 3.5 Analisis Data ......................................................................... 33 BAB IV ARENA PERJUANGAN AGRARIA DAN ORGANISASI GERAKAN TANI 4.1 Profil Desa Pasawahan .......................................................... 35
xii
4.1.1 Letak Geografis Desa Pasawahan ............................... 4.1.2 Keadaan Penduduk dan Penguasaan Lahan ................ 4.1.3 Mata Pencaharian Penduduk ....................................... 4.1.4 Tingkat Pendidikan ..................................................... 4.1.5 Aspek Pertanian .......................................................... 4.2 Sejarah Lahan Garapan yang Diperjuangkan oleh Organisasi Tani Lokal Pasawahan II ................................. 4.3 Organisasi Pendukung Aksi Reclaim (Serikat Petani Pasundan) dan Organisasi Tani Lokal (OTL) Pasawahan II ......................................................................................... BAB V BENTUK DAN SISTEM KELEMBAGAAN PERTANIAN PASCA RECLAIM 5.1 Distribusi Penguasaan Tanah Hasil Perjuangan OTL Pasawahan II ...................................................................... 5.2 Hubungan Kerja Antar Petani ............................................ 5.3 Pengorganisasian Produksi ................................................. 5.4 Sertifikasi Lahan (Legalisasi) ............................................ 5.5 Ikhtisar ................................................................................ BAB VI TINGKAT KESEJAHTERAAN MASYARAKAT YANG TERGABUNG DALAM OTL PASAWAHAN II PASCA RECLAIM 6.1 Indikator Kesejahteraan ....................................................... 6.1.1 Tingkat Kondisi Tempat Tinggal Responden ............ 6.1.2 Tingkat Pendapatan Responden ................................. 6.1.3 Kepemilikan Aset Responden .................................... 6.1.4 Sumber Air yang Digunakan oleh Responden ........... 6.1.5 Kamar mandi/ MCK yang Digunakan Responden ..... 6.2 Hubungan Distribusi Penguasaan Tanah dengan Tingkat Pendapatan Responden ......................................................... 6.3 Hubungan Antara Tingkat Pendapatan Responden dengan Kondisi Tempat Tinggal ....................................................... 6.4 Hubungan Antara Tingkat Pendapatan Responden dengan Kepemilikan Aset ................................................................. 6.5 Hubungan Antara Tingkat Pendapatan dengan Sumber Air yang Digunakan Responden ................................................. 6.6 Hubungan Antara Tingkat Pendapatan dengan Kamar Mandi/MCK yang Digunakan Responden ........................... 6.7 Ikhtisar ................................................................................. BAB VII PENUTUP 7.1 Kesimpulan ........................................................................... 7.2 Saran ...................................................................................... DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. LAMPIRAN ............................................................................................
35 37 38 39 39 40
42
45 53 57 62 66
68 68 70 71 72 73 74 75 77 78 79 80 82 83 85 88
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman Teks
Tabel 1 Tabel 2
Tabel 3
Tabel 4 Tabel 5
Tabel 6
Tabel 7
Tabel 8
Tabel 9 Tabel 10 Tabel 11 Tabel 12 Tabel 13
Tabel 14 Tabel 15 Tabel 16
Bentuk Kebijakan Pemerintah Terhadap Penguasaan Sumberdaya alam Berikut Konflik Yang Terjadi ................. Distribusi Rumahtangga, Pendapatan, dan Rata-rata Pendapatan Per RT, Menurut Golongan Luas Tanah Sawah Di Desa Rowosari.................................................................. Luas Wilayah Desa Pasawahan Berdasarkan Tataguna Tanah Desa Pasawahan, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, tahun 2008................................................................ Jenis Pembagian Pemanfaatan Tanah di OTL Pasawahan II Jumlah Penduduk Menurut Golongan Usia, Desa Pasawahan, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, tahun 2008 ............................................................................. Jumlah dan Persentase Rumahtangga Menurut Luas Kepemilikan Lahan Di Desa Pasawahan, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, tahun 2008 ........................... Jumlah Penduduk Menurut Pekerjaan Utama, dan Jenis Kelamin Di Desa Pasawahan, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, tahun 2008 ............................................. Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin di Desa Pasawahan, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, tahun 2008........ Dasar Pembedaan Adanya Pembagian Tanah “Bagian Luar” dan “Bagian Dalam” ................................................... Ditribusi Penguasaan Lahan “Kapling Luar” dan “Kapling Dalam” di OTL Pasawahan II ............................................... Data Kepemilikan Tanah Anggota OTL Pasawahan II ........ Distribusi Penguasaan Lahan Di OTL Pasawahan II pada Tahun 2010 ........................................................................... Perbandingan Kelembagaan Produksi Pertanian Pra dan Pasca Reclaim Lahan di OTL Pasawahan II, Desa Pasawahan, tahun 2009 ......................................................... Kalender Musim di OTL Pasawahan II, Desa Pasawahan, tahun 2010 ............................................................................. Kelebihan dan Kekurangan Sertifikat Kolektif dan Individu Gambaran Profil Desa Pasawahan dan Arena Perjuangan Agraria OTL Pasawahan II ...................................................
10
17
36 36
37
38
38
39 47 48 51 52
58 60 65 66
xiv
Tabel 17 Distribusi Responden Menurut Kondisi Tempat Tinggal di OTL Pasawahan II, tahun 2010 ............................................ Tabel 18 Distribusi Tingkat Pendapatan Responden di OTL Pasawahan II, tahun 2010 ..................................................... Tabel 19 Distribusi Kepemilikan Aset Pada Responden di OTL Pasawahan II, tahun 2010 ..................................................... Tabel 20 Distribusi Sumber Air yang Digunakan Responden di OTL Pasawahan II, tahun 2010 ..................................................... Tabel 21 Distribusi Penggunaan Kamar Mandi/ MCK oleh Responden di OTL Pasawahan II, tahun 2010 ...................... Tabel 22 Distribusi Tingkat Pendapatan Menurut Luas Pemilikan Lahan di OTL Pasawahan II, yahun 2010 ............................ Tabel 23 Hubungan Antara Tingkat Pendapatan Dengan Kondisi Tempat Tinggal Responden di OTL Pasawahan II, tahun 2010 ....................................................................................... Tabel 24 Hubungan Antara Tingkat Pendapatan Responden Dengan Kepemilikan Aset di OTL Pasawahan II, tahun 2010 .......... Tabel 25 Hubungan Antara Tingkat Pendapatan Responden Dengan Sumber Air di OTL Pasawahan II, tahun 2010 ..................... Tabel 26 Hubungan Antara Tingkat Pendapatan Responden Dengan Kamar Mandi/ MCK di OTL Pasawahan II, tahun 2010 ......
Tabel 1 Tabel 2
Lampiran Jadwal Pelaksanaan Penelitian .............................................. Matriks Kebutuhan Data, Metode, dan Sumber Data ...........
69 71 71 72 73 74
75 77 78 79
103 104
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman Teks
Gambar 1
Lingkup Hubungan-hubungan Agraria ............................
6
Gambar 2
Bagan Kerangka Analisis .................................................
27
Gambar 3
Tanah Yang Diperjuangkan PetaniDari PT. Cipicung .....
36
Gambar 4
Pohon Albasia (tanaman jangka panjang) .......................
57
Gambar 5
Lahan Yang Digarap Oleh Petani ....................................
59
Lampiran Gambar 1
Kondisi Lahan Pasca Reclaim (Ditanami oleh tanaman jangka panjang, menengah, dan jangka pendek) .............
94
Tanaman kacang-kacangan dan kondisi lahan setelah ditanami tanaman kacang .................................................
94
Gambar 3
Kondisi Jalan yang berbatu dan bertanah ........................
94
Gambar 4
Kondisi sekolah yang dibangun oleh Organisasi Tani Lokal Pasawahan II, sebagai wujud kepedulian terhadap pendidikan ........................................................................
95
Kondisi pada saat mendapat pengarahan dari pendamping FARMACI (kiri) dan kondisi pada saat FGD (kanan) ....................................................................
95
Gambar 2
Gambar 5
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kurang tepatnya arah kebijakan politik agraria di Indonesia menjadi akar permasalahan yang terdapat dalam bidang agraria, baik di bidang pertanahan, perkebunan, kehutanan, serta perairan. Lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA/1960) menjadi titik awal kebangkitan petani dalam memperjuangkan haknya. Undang-undang tersebut sampai saat ini menjadi payung hukum kebijakan agraria di Indonesia. Tanah dan sumberdaya agraria1 lainnya dalam suatu masyarakat agraris merupakan faktor produksi utama yang mencakup aspek sosial maupun politik (Suhendar dan Winarni, 2000). Masalah agraria tidak hanya menyangkut hubungan antara manusia dengan tanah (hubungan teknis), tetapi juga merupakan hubungan antara manusia (hubungan sosio agraris) dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumber-sumber agraria (Sitorus dalam Wiradi, 2000). Kebijakan agraria juga diikuti oleh program landreform, yang memberikan harapan baru bagi rakyat kecil yang sebagian besar berpotensi sebagai petani. Menurut Wiradi (2009), ada dua kata kunci yang mendorong munculnya landreform di dunia, yaitu konsentrasi tanah dan marjinalisasi sebagian dari masyarakat. Bagi petani, tanah merupakan salah satu faktor produksi paling utama, sehingga ketergantungan terhadap tanah sangat tinggi. Menurut Fauzi (2003), nasib petani yang hidup dalam sistem ekonomi feodalisme berbeda dengan petani yang hidup dalam sistem ekonomi kapitalisme kolonial. Landreform menjadi strategi untuk mengatasi ketimpangan yang terjadi karena perbedaan penguasaan tanah (Fauzi, 1999). Landreform diharapkan dapat menghapuskan sistem penguasaan tanah oleh tuan tanah, sehingga masyarakat dapat memperoleh haknya untuk mengolah tanah. Proses landreform diharapkan
1
Wiradi (2004), menyatakan bahwa istilah „agraria‟ berasal dari bahasa latin „ager‟ yang berarti a) lapangan; b) pedusunan (lawan dari perkotaan); c) wilayah. Saudara kembar dari „ager‟ adalah „agger‟ yang berarti a) tunggul penahan/pelindung; b) pematang; c) tanggul sungai; d) jalan tambak; e) reruntuhan tanah; f)bukit. Oleh karena itu istilah agraria tidak hanya berarti „tanah‟. Penekanan pada tanah hanya karena tanah mewadahi semua benda yang berada di atasnya.
2
dapat memperbaiki status dan kondisi sosial petani, mengurangi kemiskinan, dan redistribusi pendapatan diantara masyarakat. Sihaloho (2004) menyatakan bahwa struktur agraria pada dasarnya menjelaskan bagaimana struktur akses pihak-pihak terkait dengan sumberdaya agraria. Pemanfaatan sumber agraria yang ada difungsikan sesuai dengan kebutuhan hidup baik menyangkut kepentingan komunal maupun kepentingan individu. Menurut Alfurqon (2009), setiap tahun penguasaan tanah oleh petani semakin menurun, jumlah petani gurem, baik pemilik maupun penyewa, semakin meningkat, begitu juga halnya dengan petani penyakap yang semuanya dapat dikategorikan sebagai masyarakat miskin. Sementara itu konsentrasi penguasaan sumber-sumber agraria oleh segelintir orang saja begitu mencuat, karena didukung oleh berbagai undang-undang sektoral baik pada bidang perkebunan, kehutanan, pertambangan, kelautan dan sebagainya. Konflik agraria merupakan kenyataan yang sering terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Menurut White dan Wiradi (2009), isu sentral dalam Reforma Agraria adalah pengembangan pengorganisasian produksi baru yang konsisten dan penataan hak-hak tanah pasca-reform. Banyak contoh kasus yang menunjukkan bahwa setelah para petani selesai me-reclaiming lahan, pengorganisasian mereka menjadi lemah. Aksi reclaiming sebagai bentuk perlawanan (resistensi) merupakan manifestasi dari akumulasi kompleksitas persoalan seperti kemiskinan, perampokan atas tanah, dan tindak kekerasan yang dilakukan oleh pengusaha (pemodal) dan penguasa (pemerintah) terhadap petani (Fermata, 2006). Ketika diantara akumulasi persoalan tersebut mereka mencoba bertahan dengan daya tahan yang semakin melemah, maka sikap radikal tidak dapat dihindari (Zubir, 2000 dalam Fermata, 2006). Petani menganggap perjuangan mereka hanya sampai pada kesuksesan me-reclaim saja, namun sebenarnya perjuangan belum selesai. Setelah berhasil me-reclaim perlu adanya tindak lanjut bersama untuk tetap menjaga kolektivitas diantara
petani
sehingga
tidak
muncul
egoisme
individu
yang
dapat
menghancurkan perjuangan bersama. Oleh karena itu perlu adanya pembentukan kelembagaan tani sebagai jalan untuk mempertahankan hidup dan peningkatan kesejahteraan. Penguatan organisasi tani sebagai modal gerakan Reforma Agraria,
3
tidak hanya sebatas peningkatan jumlah anggota atau kuantitas, akan tetapi kualitas organisasi juga harus lebih ditingkatkan. Peningkatan
pendapatan
petani merupakan
kunci
utama
menuju
peningkatan kesejahteraan petani. Peningkatan pendapatan antara lain ditempuh melalui peningkatan produktivitas usaha tani dan intensitas tanam disertai dengan peningkatan akses petani ke pasar input dan output yang efisien. Salah satu contoh upaya reclaiming yang dilakukan oleh sejumlah masyarakat yang tergabung dalam organisasi tani lokal (OTL) Pasawahan II, Desa Pasawahan, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis cukup menarik perhatian peneliti. Pengorganisasian kelompok tani setelah berhasil melakukan reclaiming dengan penguatan kelembagaan dalam upaya peningkatan kesejahteraan anggotanya menjadi agenda bersama dalam meningkatkan kesejahteraan anggota.
1.2 Perumusan Masalah Peningkatan kesejahteraan merupakan salah satu tujuan petani setelah berhasil melakukan reclaiming lahan. Peningkatan kesejahteraan tersebut perlu ditunjang dengan pembentukan suatu kelembagaan yang mengatur petani dalam hal distribusi tanah, hubungan kerja, dan pengorganisasian produksi, sehingga petani dapat meningkatkan kapasitasnya dalam memperjuangkan hak untuk mengelola tanah dan sumber daya alam lainnya. Tinjauan terhadap permasalahan agraria yang dihadapi, menunjukkan bahwa perlu adanya konsentrasi pemerintah dan tanggung jawab dari semua pihak dalam melaksanakan pembaruan agraria, sehingga tidak ada lagi petani yang merasa dijadikan sebagai objek ketidakadilan dari penguasa. Selain itu, masih lemahnya pengorganisasian petani dalam peningkatan kesejahteraan anggota menjadi salah satu faktor kelembagaan yang dibangun oleh petani tidak ideal. Penguatan kelembagaan yang ideal menjadi modal utama bagi organisasi dalam menciptakan kesejahteraan petani, dan perlu adanya dukungan dari pemerintah. Dengan demikian, permasalahan yang menarik untuk dikaji dalam penelitian dirumuskan sebagai berikut:
4
1. Bagaimana bentuk dan sistem kerja kelembagaan pertanian yang dibentuk oleh kelompok tani dalam hal distribusi penguasaan tanah, hubungan kerja antar masyarakat, sertifikasi lahan, dan pengorganisasian produksi dalam membantu meningkatkan kesejahteraan anggota pasca reclaim di Desa Pasawahan khususnya OTL Pasawahan II? 2. Bagaimana tingkat kesejahteraan masyarakat Desa Pasawahan yang tergabung dalam OTL Pasawahan II pasca reclaim?
1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk menganalisis bentuk dan sistem kelembagaan pertanian yang dibentuk oleh kelompok tani dalam hal distribusi penguasaan tanah, hubungan kerja, sertifikasi
lahan,
dan
pengorganisasian
produksi
dalam
membantu
meningkatkan kesejahteraan pasca reclaim di Desa Pasawahan khususnya OTL Pasawahan II. 2. Untuk menganalisis sejauhmana bentuk dan sistem kerja kelembagaan pertanian berjalan efektif dan diterima oleh masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa Pasawahan yang tergabung dalam OTL Pasawahan II pasca reclaim.
1.4 Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi berbagai kalangan, antara lain: 1. Akademisi, hasil penelitian ini bisa dijadikan sebagai sumber data, informasi, dan literatur bagi kegiatan-kegiatan penelitian selanjutnya dan dapat menambah atau mengakumulasikan pengetahuan tentang permasalahan hubungan antara peningkatan kelembagaan pertanian dengan tingkat kesejahteraan petani. 2. Bagi pemerintah, diharapkan dapat digunakan sebagai sarana evaluasi, informasi, dan data untuk melakukan perbaikan-perbaikan dan koreksi terhadap kebijakan-kebijakan agraria yang dikeluarkan baik secara substansial
5
maupun pelaksanaan di lapangan. Serta masukan bagi upaya pelaksanaan pembaharuan agraria yang adil. 3. Bagi masyarakat, diharapkan dapat digunakan sebagai rujukan untuk lebih memperhatikan hubungan sosial dan peningkatan kesejahteraan mereka. 4. Bagi penulis, penelitian ini berguna untuk mengaplikasikan ilmu yang dimiliki untuk diterapkan dilapangan sekaligus untuk menggali masalah di bidang agraria.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Reforma Agraria 2.1.1 Ruang Lingkup Reforma Agraria Menurut Sitorus (2002), subyek agraria dibedakan menjadi tiga, yaitu komunitas (sebagai kesatuan dari unit rumah tangga), pemerintah (sebagai representasi negara), dan swasta (private sector). Ketiga subyek tersebut memiliki ikatan dengan sumber-sumber agraria melalui institusi penguasaan/pemilikan. Dalam perjalanannya, hubungan ini akan menimbulkan bentuk-bentuk dari kepentingan
sosial-ekonomi
masing-masing
subyek
berkenaan
dengan
penguasaan dan pemilikan atas sumber-sumber agraria tersebut. Pemerintah
Sumber Agraria
Swasta
Masyarakat
Gambar 1. Lingkup Hubungan-Hubungan Agraria (Sitorus, 2002) Keterangan: Hubungan Teknis Agraria Hubungan Sosio Agraria
Berdasarkan beberapa pengertian para sumber di atas mengenai reforma agraria, maka dapat disimpulkan bahwa reforma agraria merupakan proses perubahan fungsi dan perubahan struktur kepemilikan, penguasaan, dan penggunaan sumber-sumber agraria (bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya) untuk memerdekakan dan menyejahterakan masyarakat, baik dalam aspek ekonomi, sosial, maupun politik. Struktur Agraria dapat mempengaruhi munculnya hubungan sosial agraris yang berbeda antara satu tipe struktur agraria dengan tipe struktur agraria lain. Ada lima macam struktur agraria (Iriani, 2008), yaitu: 1.
Naturalisme, sumber agraria dikuasai oleh komunitas lokal, misalnya komunitas adat secara kolektif.
7
2.
Feodalisme, sumber agraria dikuasai oleh minoritas “tuan tanah” yang biasanya juga merupakan “patron politik”.
3.
Kapitalisme, sumber agraria dikuasai oleh non-penggarap (perusahaan kapitalis).
4.
Sosialisme, sumber agraria dikuasai oleh negara/ kelompok pekerja.
5.
Populisme/ Neo-Populisme, sumber agraria dikuasai oleh keluarga/ rumahtangga pengguna (Wiradi, 1998 diacu dalam Sitorus, 2003). Sementara itu, Soetarto dan Shohibuddin (t.b.)2 mengemukakan bahwa inti
dari reforma agraria adalah upaya politik sistematis untuk melakukan perubahan struktur penguasaan tanah dan perbaikan jaminan kepastian penguasaan tanah bagi rakyat yang memanfaatkan tanah dan kekayaan alam yang menyertainya, dan yang diikuti pula oleh perbaikan sistem produksi melalui penyediaan fasilitas teknis dan kredit pertanian, perbaikan metode bertani, hingga infrastruktur sosial lainnya. Pada tahap implementasinya, istilah landreform sering dipandang sama dengan agrarian reform. Sementara itu Mocodompis (2006) mengatakan bahwa landreform hanyalah bagian dari agrarian reform. Jadi agrarian reform tidak hanya sebatas redistribusi tanah, tetapi sesuatu yang lebih besar lagi namun tidak dapat dilaksanakan tanpa adanya landreform. Pengertian agraria seperti yang tercantum dalam UUPA 1960 (UU No 5/1960) (Sitorus, 2002) adalah seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai Karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa Bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional. Menurut Tap MPR IX/2001, pasal 2, pembaharuan agraria didefinisikan sebagai “suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan sumberdaya agraria…” (Wiradi, 2000). Reforma agraria adalah restrukturisasi penggunaan, pemanfaatan, penguasaan, dan pemilikan sumberdaya agraria, terutama tanah yang mampu menjamin keadilan
2
Soetarto, E dan Moh. Shohibuddin. Konsepsi Dasar Reforma Agraria dalam Erpan Faryadi (ed.). Reforma Agraria: Prasyarat Utama Bagi Revitalisasi Pertanian dan Pedesaan. Bandung: Konsorsium Pembaruan Agraria
8
dan keberlanjutan peningkatan kesejahteraan rakyat (Badan Pertanahan Nasional, 2007). “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat” (Pasal 33, ayat 3, UUD 1945). Wiradi (2009) menyatakan bahwa esensi reforma agraria adalah restrukturisasi (penataan ulang susunan) kepemilikan, penguasaan, dan penggunaan sumber-sumber agraria (khususnya tanah). Dalam istilah Joyo Winoto (dalam Shohibuddin (ed.), 2009) Reforma Agraria dirumuskan sebagai asset reform (landreform) dan access reform (sumber-sumber keuangan, teknologi, informasi, pasar, dll). “Agrarian Reform is the offspring of Agrarian Conflict” (Christodoulou dikutip Wiradi 1990). Artinya, lahirnya gagasan tentang perombakan struktur pemilikan/ penguasaan tanah (yang kemudian dikenal dengan istilah “landreform” berkembang menjadi “agrarian reform” ,dan sekarang “Reforma Agraria”) merupakan respon terhadap situasi konflik dalam masalah pertanahan3.
2.1.2 Persyaratan Reforma Agraria Menurut Christodoulou yang dikutip oleh Wiradi (1990), yang menjadi sumber konflik agraria pada dasarnya terletak pada adanya sejumlah ketimpangan, dan ketidakselarasan. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh FAO dan beberapa pakar yang mengkaji studi tentang agraria, ada empat prasyarat penting agar program reforma agraria dapat berhasil dilakukan, yaitu4: 1.
Kemauan politik (artinya sungguh-sungguh) dari elit penguasa harus ada,
2.
Elit pemerintahan/ birokrasi harus terpisah dari elit bisnis,
3.
Partisipasi aktif dari semua kelompok sosial harus ada. Organisasi rakyat/tani yang pro-reform harus ada.
4.
3
Data-dasar masalah agraria yang lengkap dan teliti harus ada.
Gunawan Wiradi. 2009. Reforma Agraria: Perjalanan yang Belum Berakhir. Konsorsium Pembaruan Agraria-Sajogyo-AKATIGA. Jakarta-Bogor-Bandung. Hal. 43 4 Ibid., Hal. 115
9
Berdasarkan besarnya peran baik dalam hal perencanaan program maupun pelaksanaan, model Reforma Agraria dapat dibedakan menjadi dua model, yaitu5: a.
Reform by grace, yang berarti peran pemerintah sangat dominan dalam perencanaan dan pelaksanaan program agraria.
b.
Reform by leverage, berarti peran rakyat secara terorganisir melalui organisasi-organisasi tani sangat besar, dan dijamin oleh undang-undang.
2.2 Reclaiming 2.2.1 Pengertian Reclaiming Reclaiming merupakan sebuah tindakan perlawanan yang dilakukan rakyat tertindas untuk memperoleh kembali haknya secara adil (Wijardjo dan Perdana, 2001). Keberadaan gerakan reclaiming dilatarbelakngi oleh munculnya beberapa kelompok yang mendominasi, baik secara ekonomi maupun politis, berusaha mengclaim lebih tepatnya melakukan penjarahan terhadap hak sumberdaya alam yang dimiliki rakyat. Alasan pembenar dan sekaligus memotivasi lahirnya gerakan reclaiming antara lain: 1. Alasan moralitas Moral (bahasa latin, moralis: dari mos, moris, adat istiadat, cara, tingkah laku) berarti: 1) berkaitan dengan aktivitas manusia yang dipandang sebagai baik/buruk, benar/salah, tepat/tidak tepat; 2) menyesuaikan dengan kaidahkaidah yang diterima tentang apa yang dipandang baik; 3) menyangkut sikap seseorang dalam hubungannya dengan orang lain. 2. Ketidakadilan dan struktur yang menindas Proses marjinalisasi terhadap kaum miskin terus-menerus di desain menggunakan kekuatan yang menindas. Akibatnya kekuatan rakyat terreduksi dan mengalami penurunan daya tahan disebabkan oleh membungkam setiap usaha perlawanan melalui tulisan maupun lisan.
5
Ibid., Hal. 117
10
Tabel 1. Bentuk Kebijakan Pemerintah terhadap Penguasaan Sumberdaya Alam Rejim Pemerintahan Elemen Orde Lama
Masa Kolonial
Orde Baru
Orientasi kebijakan
Kemakmuran rakyat sebesar-besarnya
Eksploitasi sektor
Pengadaan tanah untuk pertumbuhan ekonomi (investasi)
Sifat
(Neo) Populis
Kapitalis
Kapitalis
Strategi
Landreform (redistribusi tanah), penataan struktur baru kemudian menuju industry
Pengambilan tanah rakyat, untuk perkebunan. Baru kemudian menuju industry.
Pengambilan tanah rakyat, pembangunan struktur industry tanpa penataan struktur.
Intervensi
Dilakukan dalam upaya reditribusi
Dilakukan melalui pemberian hak erfpacht, konsesi, dll
Diupayakan dalam rangka pengadaan tanah untuk pembangunan. Intervensi melalui pemberian izin lokasi, HGU, HPH, dll
Konflik yang terjadi
Antara rakyat (petani luas) versus rakyat dalam konteks landreform
Antara rakyat versus penguasa kolonial dan swasta asing perkebunan
Antara rakyat versus pemilik modal yang di dukung negara
Prinsip
Tanah untuk petani penggarap
Pandangan/Konsep
Politik pertanahan dipandang sebagai dasar pembangunan tanah, tidak boleh diperdagangkan
Tanah sebagai objek eksploitasi
Teknis administrative. Tanah dipandang sebagai satu sisi pembangunan. Tanah sebgai komoditi strategis.
Sumber: Ifdal Kasim dan Endang Suhendar dalam Wijardjo dan Perdana (2001)
3. Normatif (Yuridis-Konstitusional) Refleksi tentang kesejahteraan sosial justru mengundang pertanyaan, benarkah selama ini pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia telah dilaksanakan secara benar. Kenyataannya membuktikan bahwa pasal tersebut belum dilaksanakan. Negara telah gagal mengemban amanat rakyat yang tertuang dalam pasal tersebut. Kegagalan ini juga merupakan kegagalan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dalam mengemban Kedaulatan Rakyat.
11
4. Kewajban negara untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyat Rakyat yang seharusnya dilindungi dan dibela untuk mempertahankan dan memperjuangkan hak-haknya malah di intimidasi, diteror, ditangkap, dianiaya, dan ditembaki, dengan dalih atas nama pembangunan, devisa negara, serta demi persatuan dan kesatuan (stabilitas nasional), dan masih banyak stigma lainnya.
2.2.2 Tahapan dalam Reclaiming Reclaiming sering kali disamakan dengan tindakan amuk massa atau tindakan lainnya yang brutal, kejam, dan bengis. Padahal hakekat reclaiming sebenarnya jauh dari sifat anarkis karena terencana dan sistematik. Aksi-aksi reclaiming bila dilakukan tanpa persiapan matang, beberapa fakta menunjukkan, akan mengalami kegagalan yang pada akhirnya melahirkan trauma perjuangan. Oleh karena itu, penting sekali gerakan massa dilakukan secara terencana atau bertahap. Secara umum reclaiming dapat dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu6: 1. Pra Reclaiming Pada dasarnya tindakan pra reclaiming untuk mempersiapkan sebuah gerakan reclaiming secara matang. Tanpa perencanaan yang sungguh-sungguh akan mengalami kendala yang serius, bahkan bisa gagal. Berikut merupakan tindakan tahap pra reclaiming yang harus diperhatikan: a) Musyawarah kelompok, b) Melakukan pemetaan, c) Mempelajari sejarah kasus, d) Mempelajari dokumen, e) Melakukan analisis resiko, f) Melakukan analisis kawan-lawan, g) Konsolidasi organisasi, h) Menggali dasar pembenar, i) Membangun jaring kerja, j) Menyusun legal opinion, k) Sosialisasi isu reclaiming,
l)
mempersiapkan
dan
membentuk
tim
negosiasi,
m)
Mendayagunakan kekuatan lokal, n) Mempersiapkan alat atau media. 2. Pelaksanaan Reclaiming Penentuan waktu pelaksanaan reclaiming harus tepat, ada pendekatan strategi reclaiming yang harus dipenuhi terlebih dahulu secara internal, dan mengukur 6
Boedhi Wijardjo dan Herlambang Perdana. 2001. Reklaiming dan Kedaulatan Rakyat. Jakarta. YLBHI dan RACA INSTITUTE (Hal. 135-190)
12
sejauh mana perjuangan kembalinya akses sumber daya alam melalui proses negosiasi telah membuahkan hasil optimal. Pada tahapan pelaksanaan reclaiming, dapat dilakukan beberapa cara: a) menduduki obyek reclaiming, b) memberi tanda batas pada obyek, c) memelihara obyek, d) melanjutkan „serangan langit‟. 3. Pasca reclaiming Pasca reclaiming diartikan sebagai tenggat waktu yang cukup terhadap penguasaan obyek reclaiming dimana tingkat resepsi dari pihak lain yang anti reclaiming
sudah
mereda.
Tindakan-tindakan
yang
dilakukan
pasca
reclaiming: a) Menata penguasaan obyek reclaiming, berupa pembagian obyek reclaiming dan penguasaan bersama, dimana pilihan penataan penguasaan diserahkan pada mekanisme lokal, dan bukan ditentukan oleh sekelompok orang atau bahkan pihak luar; b) Mengembangkan penataan produksi, merupakan bentuk upaya manajemen produksi yang meningkatkan produktivitas hasil produksi, meliputi pengelolaan sumber daya alam, pendayagunaan hasil panen, pemasaran, akses kredit, akses penggunaan alat-alat produksi, pengairan dan konversi lahan, dan lainnya dengan perencanaan atau strategi lokal yang mandiri. c) Mengupayakan pengakuan hukum (legalisasi), dengan konsekuensi yang harus dihadapi merupakan bagian dari proses „serangan langit‟. Rakyat tidak harus terjebak untuk terus menerus berharap perubahan dari kearifan negara (reform by grace), namun menata kekuatan lokal untuk merebut kembali akses sumber daya alam berdasarkan inisiatif rakyat itu sendiri (reform by leverage). Sesungguhnya pengakuan pemerintah tidak sepenuhnya dapat menjamin kepemilikan yang telah berhasil diperoleh melalui perjuangan reclaiming. Gerakan yang dilakukan oleh petani untuk mempertahankan keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat merupakan tindakan yang manusiawi karena dijunjung oleh semangat keadilan. Penguatan organisasi menjadi sangat penting bagi keberlangsungan suatu kelompok. Penyadaran anggota kelompok terhadap
13
makna dan landasan dari organisasi serta arti perjuangan yang dilakukan akan membentuk jiwa solidaritas yang tinggi dan rasa memiliki.
2.3 Kelembagaan 2.3.1 Definisi Kelembagaan Menurut Soemardjan dan Soelaeman (1964), lembaga mempunyai fungsi sebagai alat pengamatan kemasyarakatan (social control) karena dengan mengetahui adanya lembaga-lembaga itu setiap orang dapat mengatur peri kelakuannya menurut kehendak masyarakat. Proses pembentukan suatu lembaga kemasyarakatan disebut proses institutionalization, yaitu proses yang dilewati oleh suatu norma yang baru untuk menjadi bagian dari salah satu lembaga kemasyarakatan (Pasaribu, 2007). Proses ini berasal dari perilaku masyarakat yang semakin lama menjadi perilaku masyarakat yang disebut tata kelakuan dan adat istiadat (Soekanto, 2002). Mubyarto (1989) dalam Mutaqin (2008) menyatakan bahwa yang dimaksud lembaga (institution) adalah organisasi atau kaidah-kaidah, baik formal maupun informal, yang mengatur perilaku dan tindakan anggota masyarakat tertentu baik dalam kegiatan-kegiatan rutin sehari-hari maupun dalam usahanya untuk mencapai tujuan tertentu. Lembaga-lembaga dalam masyarakat ada yang berasal dari adat kebiasaan mereka turun-temurun tetapi ada pula yang baru diciptakan baik dari dalam maupun mengadopsi dari luar. Ramli (2007) menjelaskan bahwa kelembagaan merupakan sebuah organisasi kompleks yang didalamnya terdapat struktur dan hirarki sosial yang sangat berperan penting dalam proses pengambilan keputusan terhadap penyelesaian masalah. Menurut Khan (1996), secara umum kelembagaan terdiri atas dua bagian yaitu kelembagaan sebagai aturan main dan kelembagaan sebagai sebuah organisasi. Schmidt (1987) dalam Khan (1996) mengungkapkan bahwa kelembagaan adalah sekumpulan ketentuan yang mengatur hubungan antar individu manusia yang memberikan batasan haknya dan mengenali hak individu pihak lain. North (1981) dalam Khan (1996) mendefinisikan kelembagaan sebagai sekumpulan aturan main, prosedur, norma, dan etika berperilaku yang dirancang dan disepakati. Kelembagaan sebagai sebuah organisasi umumnya merujuk pada
14
lembaga-lembaga formal yang memiliki hirarki sistem birokrasi yang jelas dan terstruktur seperti Departemen Kehutanan, Departemen Dalam Negeri dan sebagainya (Khan, 1996). Jadi kelembagaan merupakan sekumpulan aturan, etika, atau norma yang mengatur hubungan antar individu yang ada didalamnya, baik formal maupun informal. Kelembagaan dapat berupa adat istiadat, tradisi, aturan-aturan, atau hukum formal yang mengatur hubungan antar individu dalam suatu masyarakat terhadap sumberdaya. Kelembagaan inilah yang mengatur siapa yang boleh berpartisipasi dalam mengambil keputusan, mengatur siapa memperoleh apa dan berapa banyak. Kelembagaan menentukan apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Implikasinya adalah kelembagaan inilah yang menentukan distribusi pendapatan dalam suatu masyarakat.
2.3.2 Manfaat Kelembagaan Mengingat pentingnya kelembagaan dalam mengatur sumberdaya dan distribusi manfaat, maka unsur kelembagaan ini perlu memperoleh perhatian khusus dalam analisis atau upaya peningkatan potensi desa untuk menunjang pembangunan desa. Dalim (1990) dalam Mutaqin (2008) menambahkan bahwa kelembagaan pedesaan ini dapat berupa kelembagaan penguasaan tanah, kelembagaan hubungan kerja, dan kelembagaan perkreditan. Beberapa fakta yang diuraikan oleh Dalim (1990) dalam Mutaqin (2008) tentang dampak kelembagaan pemilikan tanah menunjukkan adanya perbedaan produktivitas antara status pemilikan tanah sendiri, bagi hasil dan sewa. Faktor pemilikan tersebut mempengaruhi perilaku petani dalam berbudidaya, yaitu dalam pengalokasian sumberdaya input yang dihubungkan dengan resiko usaha yang akan ditanggung sesuai status kepemilikan tanah. Petani yang menggarap tanah sendiri akan lebih nyaman dan tidak ragu mengalokasikan sumberdaya input untuk tanah mereka sendiri karena resiko kegagalan yang akan mereka tanggung hanyalah kegagalan panen itu sendiri. Begitu pula dalam sistem bagi hasil jangka panjang. Sementara bagi penyewa lahan, mereka harus berpikir lebih panjang untuk mengalokasikan sumberdaya input, karena selain resiko gagal panen
15
mereka juga harus menanggung biaya sewa sebagai tanggungan. Sehingga minimalisasi biaya bisa menjadi pilihan bagi mereka. Menurut Dalim (1990) dalam Mutaqin (2008), kelompok tani dapat dipandang sebagai suatu kesatuan sosial mandiri yang berintegrasi dengan lingkungannya, baik untuk mempertahankan hidupnya maupun untuk menyatakan identitasnya dalam karya-karya (perilaku) yang dilakukannya. Transaksi tenaga kerja dikatakan sebagai suatu bentuk hubungan kerja apabila ada suatu ketentuan yang mengikat buruh tani untuk bekerja pada seorang pemilik tanah atau pemberi pinjaman dalam waktu yang lama, biasanya beberapa musim. Dalam hubungan kerja ini tingkat upah lebih rendah dari upah yang berlaku. Hubungan kerja ini akan semakin berkembang dan tingkat upah yang dibayar akan semakin rendah, sejalan dengan makin meningkatnya angka pengangguran dan angka setengah pengangguran, atau sangat terbatasnya kesempatan kerja diluar sektor pertanian, disertai dengan distribusi penguasaan tanah yang timpang serta mobilitas tenaga kerja yang sangat terbatas (Kasryno, 1984 dalam Mutaqin, 2008). Adanya hubungan kerja, buruh tani semakin terjamin dengan adanya pekerjaan yang tersedia, dan bagi petani pemberi pekerjaan, merasa terjamin dengan adanya buruh yang dapat dipercaya. Keadaan lapangan kerja yang sangat terbatas, buruh tani didorong untuk bekerja dengan berprestasi, kalau tidak, hubungan kerja ini dapat diputuskan oleh pihak pemberi pekerjaan (Dalim, 1990 dalam Mutaqin, 2008) Kelembagaan perkreditan yang membantu petani dalam masalah permodalan memiliki pengaruh yang signifikan dalam pembangunan pertanian di Indonesia. Seperti hasil penelitian Hasan dkk. (1979) dalam Mutaqin (2008) tentang program intensifikasi padi sawah di Kabupaten Aceh Besar melalui paket kredit Bimas ternyata telah meningkatkan perekonomian petani khususnya dan masyarakat pada umumnya baik ditinjau dari segi peningkatan produksi maupun dari segi perluasan kesempatan kerja dan peningkatan pendapatan. Pada hakekatnya, program Bimas menggunakan pendekatan pengembangan delivery system dan receiving system. Guna memperkuat delivery system dibentuklah Koperasi Unit Desa (KUD) dan Supra Insus, yang merupakan program
16
intensifikasi dengan pendekatan kelompok satu hamparan, dilaksanakan dalam rangka pengembangan receiving system (Suryana, 2001 dalam Mutaqin, 2008).
2.3.3 Komponen Kelembagaan Menurut Pakpahan (1991) dalam Zakaria (2008), kelembagaan tersusun atas tiga komponen utama, yaitu batas yurisdiksi, hak kepemilikan (property rights) dan aturan representatif. Batas yurisdiksi menentukan siapa dan apa yang tercakup dalam suatu kelembagaan di masyarakat. Konsep batas yurisdiksi dapat mencakup wilayah kekuasaan atau batas otorita yang dimiliki oleh suatu institusi, atau mengandung makna kedua-duanya. Batas yurisdiksi menjelaskan tugas pokok dan fungsi dari masing-masing unsur hirarki sosial yang ada dalam struktur kelembagaan. Implikasi ekonomi dari batas yurisdiksi adalah batas bagi masyarakat adat untuk memanfaatkan areal hutan, yang selanjutnya dapat dijadikan sebagai cara untuk melestarikan hutan. Hak kepemilikan (property rights) mengandung makna sosial, muncul dari konsep hak (rights) dan kewajiban (obligation) yang didefinisikan dan diatur oleh hukum, adat dan tradisi atau konsensus yang mengatur hubungan antar anggota masyarakat dalam hal kepentingannya terhadap sumberdaya (Pakpahan, 1991 dalam Zakaria, 2008). Aturan representatif merupakan perangkat aturan yang menentukan mekanisme pengambilan keputusan organisasi. Menurut Pakpahan (1991) dalam Zakaria (2008), aturan refresentatif mengatur siapa yang berhak berpartisipasi terhadap apa yang ada dalam proses pengambilan keputusan.
2.4 Distribusi Penguasaan Tanah7 Bentuk-bentuk penguasaan tanah secara adat yang terdapat di pulau Jawa secara garis besar adalah sebagai berikut: 1) Tanah Yasan (yasa atau yoso yang berarti “membuat sendiri”), yaitu tanah yang diperoleh berkat usaha seseorang membuka hutan atau “tanah liar” untuk dijadikan tanah garapan; 7
Gunawan Wiradi dan Makali. Penguasaan Tanah dan Kelembagaan dalam Moh. Sohibuddin (ed.). 2009. Ranah Studi Agraria: Penguasaan Tanah dan Hubungan Agraria. Yogyakarta. Sekolah TInggi Pertanahan Nasional (Hal. 102-126)
17
2) Tanah Gogolan, yaitu tanah pertanian milik masyarakat desa yang hak pemanfaatannya biasanya dibagi-bagi kepada sejumlah petani; 3) Tanah Titisara, yaitu tanah pertanian milik desa yang secara berkala biasanya disakapkan atau disewakan dengan cara dilelang lebih dulu; 4) Tanah Bengkok, yaitu tanah pertanian milik desa yang diperuntukkan bagi pamong desa terutama kepala desa (lurah) sebagai “gaji” nya selama menduduki jabatan itu. Setelah disahkannya UUPA 1960, maka tanah gogolan, yasan, dan sebagainya diubah statusnya menjadi hak milik perorangan dan diberikan kepada pemegang hak pakai yang terakhir. Sedangkan tanah titisara dan bengkok tetap diakui adanya. Dilihat dari segi sosial, pemilikan tanah bukan saja merupakan harta ekonomi, melainkan mencerminkan juga status seseorang, terutama di desadesa di Jawa. Penduduk desa terbagi menjadi lapisan-lapisan yang didasarkan atas perbedaan hak atas tanah serta kewajiban-kewajiban yang menyertainya. Berikut merupakan salah satu bukti yang menyatakan bahwa yang memiliki tanah luaslah yang mempunyai jangkauan lebih besar kepada sumber non-pertanian, atau sebaliknya. Makin besar luas tanah milik, makin besar pula pendapatan rata-rata per rumahtangga. Tabel 2. Distribusi rumahtangga, pendapatan, dan rata-rata pendapatan per RT, menurut golongan luas tanah sawah di Desa Rowosari Luas Pemilikan (Ha)
Jumlah RT (%)
Pendapatan (%)
Rata-rata Pendapatan Per RT per tahun (Rp’ 000)
0
64
52
377
0,01-0,49
26
21
398
0,50-0,99
5
10
1.008
1,00+
5
18
1.547
100
100
-
106 RT
Rp. 49.017.837
462
Total (%) Total
Sumber: Wiradi dan Makali, 2009 (Hal. 126)
Dengan melihat tabel 2 di atas, bagaimanapun juga masalah pemilikan tanah tetap merupakan faktor yang penting dalam kehidupan pedesaan.
18
Selain sistem penguasaan tanah yang telah disebutkan di atas, ada juga sistem penguasaan tanah seperti berikut: a) Sistem gadai ialah menyerahkan tanah untuk menerima pembayaran sejumlah uang tunai, dengan ketentuan si penjual tetap berhak atas pengembalian tanahnya dengan jalan menebusnya kembali (Sudiyat, 1978 dalam Wiradi dan Makali, 1984). Sistem gadai dilakukan oleh petani berlahan luas untuk keperluan yang bersifat produktif seperti praktek gadai di Mariuk dan Jati, dimana masyarakat petani bertanah luas menggadaikan tanahnya kepada petani bertanah luas atau orang kaya guna menutupi kekurangannya dalam membeli sawah. Akibat dari proses tersebut terjadi akumulasi tanah pada orang kaya atau petani bertanah luas. b) Sistem sewa merupakan penyerahan sementara hak atas penguasaan tanah kepada orang lain, sesuai dengan perjanjian yang dibuat bersama (Wiradi dan Makali, 1984). Dari penelitian yang dilakukan di desa-desa Jawa, terdapat enam macam istilah sewa, yaitu motong, kontrak, sewa tahunan, setoran, jual oyodan, dan jual potongan. Di dalam motong, kontrak dan setoran harga sewa dibayar setelah panen, dan di dalam sewa tahunan, jual oyodan atau jual potongan, harga sewa dibayar sebelum penyewa menggarap sawahnya. Harga sewa tanah bagi penyewa yang langsung menggarap berbeda dengan harga sewa tanah bagi penyewa yang harus menunggu beberapa musim sebelum dapat menggarap tanah yang disewanya. c) Sistem bagi hasil atau sakap merupakan penyerahan sementara hak atas tanah kepada orang lain untuk diusahakan, dengan perjanjian si penggarap akan menanggung beban tenaga kerja keseluruhan, dan menerima sebagian dari hasil tanahnya dan si pemilik tanah turut menanggung resiko kegagalan (Wiradi dan Makali, 1984). Sistem sakap dimungkinkan apabila tanah yang luas di satu pihak, sedangkan di pihak lain banyak penggarap yang tidak mempunyai tanah sendiri (Soentoro, 1981 dalam Kanto, 1986). Dari berberapa kasus desa yang diteliti, ternyata tingkat sistem bagi hasil di Jawa jauh lebih rendah daripada di Sulawesi Selatan, yaitu di Jawa hanya 15 persen dan Sulawesi Selatan lebih dari 35 persen.
19
Berikut ini merupakan sistem bagi hasil dan sewa-menyewa di pedesaan Jawa Barat (Kroef, 1984): 1. Mertelu, pemilik tanah menanggung biaya benih dan memungut dua pertiga hasil panen, sisanya merupakan hak penyewa atau penyakap. 2. Merapat, persyaratannya sama dengan di atas kecuali bahwa pemilik tanah mendapat tiga perempat bagian hasil panen dan seperempat bagian untuk penyakap. 3. Nyeblok atau ngepak, dalam hal ini penggarap melakukan semua pekerjaan dan membajak, menyiangi sampai menanam. Kemudian pemilik tanah mengambil alih pekerjaan. Penggarap mendapat seperlima hasil panen. 4. Derep, penggarap atau buruh terutama menanam padi, tetapi dapat diminta membantu pekerjaan lain sampai panen tiba. Bagian buruh adalah seperlima padi bulir, tetapi bilamana hasilnya jelek bagiannya dapat berkurang. 5. Gotong royong, suatu kegiatan yang biasanya mengikutsertakan anggota keluarga saja. Penggarap mendapat bagian yang telah ditentukan sebelumnya sesuai dengan kebiasaan. Dalam hal bagi hasil (sakap, maro8) terdapat dua kemungkinan arti sistem hubungan kerja antara pemilik dan penyakap. Pertama, arti yang membuat penyakap sebagai pengusaha tani yang cukup kuat bertanggung jawab dan mandiri atas kesatuan unsur-unsur usahatani. Kedua, arti yang lebih mirip status borongan yang diberi upah hasil panen oleh pemilik dimana pemilik lebih banyak bertanggung jawab dan berkorban input.
2.5 Kelembagaan Hubungan Kerja Pertanian Menurut Wiradi (2000) menyatakan bahwa suatu hubungan pokok yang menandai setiap masyarakat agraris adalah hubungan antara mereka yang mencurahkan tenaga kerja secara langsung dalam berproduksi (direct producers/ produsen langsung), misal: petani pemilik, petani penyakap, buruh tani dengan mereka yang tidak berproduksi langsung tetapi mengklaim sebagian dari hasil 8
Maro adalah salah satu bentuk dari penyakapan dengan sistem dimana 50 persen hasil untuk penggarap dan 50 persen untuk pemilik (Wiradi dan Makali, 1984)
20
produksi tersebut, secara langsung atau tidak langsung, atas dasar penguasaan mereka atas berbagai macam sarana produksi (misalnya pemilik tanah/ tuan tanah melalui hubungan sewa, petani majikan melalui hubungan pengupahan, pemilik modal melalui hubungan kredit dan atau dagang serta penguasa melalui mekanisme pajak). Masalah penguasaan tanah bukan hanya menyangkut hubungan manusia dengan tanah melainkan juga menyangkut hubungan manusia dengan manusia (Nuroni, 2006). Menurut Wiradi dan Makali (1984) dalam hubungan kerja antara majikan atau penggarap dengan buruh, ditentukan sistem upah yang akan dipakai, besar dan bentuk upah, jam kerja per hari kerja, satuan kegiatan, upah per hari kerja dan upah per satuan kegiatan. Kesepakatan bersama antara majikan dan buruh tani dilakukan secara lisan saja. Di desa penelitian di Jawa ada dua macam sistem pengupahan yaitu harian dan borongan. Pembayaran upah borongan dilakukan berdasarkan satuan hasil kerja. Sedangkan pembayaran upah harian dilakukan berdasarkan pada jumlah hari buruh tani kerja. Upah borongan dan upah harian memiliki kelebihan dan kekurangan dalam hal proses pengerjaan dan waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan. Pada upah borongan, pekerjaan akan cepat selesai. Kegiatan buruh tani dalam melakukan kegiatan tidak terikat oleh waktu, namun biasanya pekerjaan dengan menggunakan sistem kerja borongan hasilnya kurang memuaskan. Sebaliknya upah dengan sistem harian tidak terikat oleh waktu, hasil kerjaan mengikuti keinginan dari majikan. Namun pekerjaan dengan sistem harian lebih lambat pengerjaannya dibandingkan dengan sistem borongan. 2.5.1 Sistem Upah Borongan Jenis pekerjaan dengan menggunakan upah borongan adalah panen, mengolah tanah dan tanam. Di Janti Jawa Barat, besar upah borongan ditentukan berdasarkan musyawarah desa tiap musim. Jenis komoditas yang ditanam sebelumnya juga berpengaruh pada besarnya upah borongan. Upah untuk membajak tanah bekas ditanami tebu lebih mahal daripada upah untuk membajak bekas tanaman padi (Wiradi dan Makali, 1984).
21
2.5.2 Sistem Upah Harian Menurut Wiradi dan Makali (1984) mengatakan bahwa jenis pekerjaan yang diupahkan dengan sistem upah harian adalah mengelola tanah, tanam, menyiang, dan memelihara tanaman. Pada umunya, buruh tani yang bekerja dengan upah harian, baik dalam pekerjaan mengolah tanah maupun tanam, selain menerima upah berupa uang juga mendapat jaminan makan. Buruh tani yang bekerja delapan jam sehari mendapat jaminan makan tiga kali, mereka yang bekerja lima atau enam jam mendapat jaminan makan dua kali sedangkan mereka yang bekerja empat jam atau kurang mendapat jaminan makan satu kali. 2.5.3 Ceblokan Ceblokan berkaitan erat dengan lembaga kerukunan desa. Mula-mula ceblokan berarti kerukunan. Dalam kehidupan masyarakat desa, seseorang yang panen dari hasil panennya secara adat diwajibkan memberi sebagian hasil panennya kepada tetangganya. Sebaliknya tetangga yang selalu menerima pemberian dari hasil panen orang lain akan merasa tidak senang kalau tidak dapat membalas pemberiannya. Karena tetangga yang selalu menerima pemberian dari orang lain itu tidak dapat memberikan apapun kecuali tenaganya, maka pada waktu panen, tetangga yang selalu menerima pemberian itu menyumbangkan tenaganya untuk panen. Bagi warga desa yang tidak memiliki tanah, ceblokan berarti jaminan pekerjaan di saat panen. Sedangkan bagi petani bertanah luas, ceblokan berarti menjamin kebutuhannya akan tenaga kerja pada waktu mengolah tanah dan tanam tanpa mengeluarkan biaya uang tunai. Menurut Wiradi dan Makali (1984), kewajiban penceblok adalah: 1) pengairan, yaitu mengatur banyaknya air pada waktu membajak atau menggaru, 2) menyangkul, 3) Menanam, 4) menyiang, 5) rabat, yaitu memotong padi untuk kemudian dirontokkan dari tangkainya, 6) menjemur, yaitu membalik-balikkan gabah di sawah setelah dirontokkan dari tangkainya sebelum pemacul menerima bawon. 2.5.4 Sambatan, Tukar Tenaga, dan Gotong Royong Sambatan adalah pertolongan seseorang berupa pekerjaan di sawah dalam usahatani padi kepada orang lain atas dasar permintaan. Dalam kegiatan
22
sambatan, petani yang menyambat orang lain untuk melakukan pekerjaan di sawahnya harus menyediakan rokok, makan, dan minum. Sambatan dilakukan oleh petani dengan tetangga sawah atau tetangga tempat tinggal. Kegiatan ini dilakukan secara bergiliran. Petani yang sudah menerima giliran sambatan akan bertanya kepada petani yang sudah ikut sambatan, kapan petani itu akan menyambatkan. Kehadiran petani tua, yang tenaga kerjanya sudah lemah, dalam sambatan hanya untuk menunjukkan kerukunannya saja (Wiradi dan Makali, 1984).
2.6 Kesejahteraan Masyarakat Menurut Suharto (2006) menjelaskan bahwa kesejahteraan sebagai kondisi sejahtera (weil being). Pengertian ini biasanya merujuk pada istilah kesejahteraan sosial (social welfare) sebagai kondisi terpenuhinya kebutuhan material dan nonmaterial. Menurut Sadiwak (1985) dalam Munir (2008), kesejahteraan merupakan sejumlah kepuasan yang diperoleh seseorang dari hasil mengkonsumsi pendapatan yang diterima, namun tingkatan kesejahteraan itu sendiri merupakan sesuatu yang bersifat relatif karena tergantung dari besarnya kepuasan yang diperoleh dari hasil mengkonsumsi pendapatan tersebut. Konsumsi itu sendiri pada hakekatnya bukan hanya sesuatu yang mengeluarkan biaya, karena dalam beberapa hal konsumsi pun dapat dilakukan tanpa menimbulkan biaya bagi konsumennya. Masyarakat yang sejahtera mengandung arti bahwa setiap anggota masyarakat dapat memperoleh kebahagiaan, tetapi kesejahteraan salah satu individu belum menjamin adanya kesejahteraan seluruh masyarakat (Agusniar, 2006). Menetapkan kesejahteraan keluarga serta cara pengukurannya merupakan hal yang sulit untuk dirumuskan secara tuntas. Hal ini disebabkan permasalahan keluarga sejahtera bukan hanya menyangkut permasalahan perbidang saja, tetapi menyangkut berbagai bidang kehidupan yang sangat kompleks. Untuk itu diperlukan pengetahuan di berbagai bidang disiplin ilmu disamping melakukan penelitian atau melalui pengamatan empirik berbagai kasus untuk dapat menemukan indikator keluarga sejahtera yang berlaku secara umum dan spesifik (Badan Pusat Statistik, 1995 dalam Munir, 2008).
23
Dimensi kesejahteraan rakyat disadari sangat luas dan kompleks, sehingga suatu taraf kesejahteraan rakyat hanya dapat terlihat jika dilihat dari suatu aspek tertentu. Berbagai aspek mengenai indikator kesejahteraan dibahas oleh BPS, 1995 (dalam Munir, 2008), antara lain: 1. Kependudukan Masalah kependudukan yang meliputi jumlah, komposisi dan distribusi penduduk merupakan masalah yang perlu diperhatikan dalam proses pembangunan. Oleh sebab itu, untuk menunjang keberhasilan pembangunan nasional dalam penanganan masalah kependudukan, pemerintah tidak saja mengarahkan pada
upaya pengendalian jumlah penduduk, tetapi juga
menitikberatkan pada peningkatan kualitas sumberdaya manusia. Selain itu, program perencanaan pembangunan nasional disegala bidang harus mendapat prioritas utama yang berguna untuk peningkatan kesejahteraan penduduk. 2. Kesehatan dan gizi Salah satu aspek penting kesejahteraan adalah kualitas fisik penduduk yang dapat dilihat dari derajat kesehatan penduduk dengan mengukur indikator utama angka kematian bayi dan angka harapan hidup. Selain itu, aspek penting lainnya yang turut mempengaruhi kualitas fisik penduduk adalah status kesehatan yang antara lain diukur melalui angka kesakitan dan status gizi. 3. Pendidikan Pendidikan merupakan proses pemberdayaan peserta didik sebagai subjek sekaligus objek dalam membangun kehidupan yang lebih baik. Faktor kemiskinan merupakan salah satu faktor yang menyebabkan belum semua anak Indonesia dapat menikmati kesempatan pendidikan dasar. Berdasarkan hal tersebut dapat diasumsikan bahwa semakin tinggi pendidikan yang dicapai suatu masyarakat, maka dapat dikatakan masyarakat tersebut semakin sejahtera. 4. Ketenagakerjaan Ketenagakerjaan merupakan salah satu aspek penting yang tidak hanya untuk mencapai kepuasan tetapi juga untuk memenuhi perekonomian rumahtangga dan kesejahteraan seluruh masyarakat.
24
5. Taraf dan pola konsumsi Jumlah penduduk miskin merupakan indikator yang cukup baik untuk mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat. Aspek lain yang perlu diperhatikan berkenaan dengan peningkatan pendapatan penduduk tersebut adalah bagaimana pendapatan tersebut terdistribusi diantara kelompok penduduk. Indikator distribusi pendapatan, walaupun didekati dengan pengeluaran, akan memberikan petunjuk aspek pemerataan yang telah tercapai. Dari data pengeluaran dapat juga diungkapkan tentang pola konsumsi rumahtangga
secara
umum
dengan
menggunakan
indikator
proporsi
pengeluaran untuk makanan dan bukan makanan. 6. Perumahan dan lingkungan Rumahtangga dijadikan sebagai salah satu indikator kesejahteraan bagi pemiliknya. Semakin baik fasilitas yang dimiliki, dapat diasumsikan semakin sejahtera rumahtangga yang menempati rumah tersebut. berbagi fasilitas yang dapat mencerminkan tingkat kesejahteraan tersebut antara lain dapat dilihat dari luas lantai rumah, sumber air minum, fasilitas buang air besar rumah tangga, dan tempat penampungan kotoran akhir (jamban). 7. Sosial dan budaya Secara umum semakin banyak seseorang memanfaatkan waktu luang untuk melakukan kegiatan sosial budaya maka dapat dikatakan bahwa orang tersebut memiliki tingkat kesejahteraan yang semakin meningkat. Pembahasan mengenai sosial budaya lebih difokuskan pada kegiatan sosial budaya yang mencerminkan aspek kesejahteraan, seperti melakukan perjalanan wisata dan akses pada informasi dan hiburan, yang mencakup menonton televisi, mendengarkan radio dan membaca surat kabar. Badan Pusat Statistik tahun 1995 (dalam Munir, 2008) kemudian memberikan gambaran tentang cara yang lebih baik untuk mengukur kesejahteraan dalam sebuah rumahtangga mengingat sulitnya memperoleh data yang akurat. Cara yang dimaksud adalah dengan mengukur pola konsumsi rumahtangga. Pola konsumsi rumahtangga merupakan salah satu indikator kesejahteraan rumahtangga/keluarga. Selama ini berkembang pengertian bahwa
25
besar kecilnya proporsi pengeluaran untuk konsumsi makanan terhadap seluruh pengeluaran
rumahtangga
dapat
memberikan
gambaran
kesejahteraan
rumahtangga tersebut. Rumahtangga dengan proporsi pengeluaran yang lebih besar untuk konsumsi makanan mengindikasikan rumahtangga yang berpenghasilan rendah. Makin tinggi tingkat penghasilan rumahtangga, makin kecil proporsi pengeluaran untuk makanan terhadap seluruh pengeluaran rumahtangga. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa rumahtangga/keluarga akan semakin sejahtera bila presentase pengeluaran untuk makanan jauh lebih kecil dibandingkan persentase untuk non makanan. Berdasarkan hasil penelitian lembaga penelitian Smeru (2005) dalam Massardy (2009) dengan menggunakan Sistem Pemantauan Kesejahteraan oleh Masyarakat dihasilkan indikator kesejahteraan sebagai berikut: 1) Konsumsi makanan dan indikator kesehatan, 2) Akses terhadap lembaga keuangan, 3) Sektor pekerjaan, 4) Anggota keluarga yang bekerja, 5) Tingkat pendidikan kepala keluarga dan pasangan, 6) Jenis kelamin kepala keluarga, 7) Status perkawinan, 8) Kepemilikan binatang ternak, 9) Kepemilikan asset.
2.7 Kerangka Pemikiran Menurut Wijardjo dan Perdana (2001) menyatakan bahwa reclaiming terdiri dari tiga tahap yaitu pra reclaiming, pelaksanaan reclaiming, dan pasca reclaiming. Fakta di lapangan seringkali ditemukan bahwa bukti-bukti tertulis milik rakyat petani dirampas, dibakar, dihilangkan oleh pihak lawan, aparat militer, ataupun birokrasi. Fakta tersebut merupakan penyebab lahirnya tindakan reclaiming yang dilakukan oleh sejumlah kelompok tani untuk mengambil alih tanah, sumberdaya alam, dan alat produksi lainnya. Pada proses ini, peneliti tidak melihat bagaimana reclaiming itu terjadi, dan pelaksanaan reclaiming, tetapi difokuskan pada kegiatan pasca reclaiming. Setelah kelompok tani tersebut berhasil melakukan reclaiming atas suatu sumberdaya agraria seperti tanah, selanjutnya bagaimana kelompok tani tersebut mengorganisir anggotanya menjadi suatu wadah organisasi tani. Melalui
26
organisasi tani, petani bersama-sama membentuk suatu kelembagaan yang dapat menjaga kekuatan organisasi dalam menciptakan kesejahteraan anggota. Karena perjuangan petani tidak hanya sebatas reclaiming, dapat tanah, sehingga dapat menyewakan
atau
menjualnya
kepada
pihak
lain.
Petani
juga
perlu
memperhatikan bagaimana sistem distribusi penguasaan tanah, hubungan kerja, dan pengorganisasian produksi antar anggota. Oleh karena itu, perlu dirumuskan bentuk kelembagaan seperti apa yang seharusnya dibentuk sehingga kesejahteraan anggota dapat terwujud. Dalam distribusi penguasaan tanah, peneliti ingin melihat kebiasaan atau cara-cara masyarakat setempat untuk mengatur penguasaan dan pengusahaan tanah yang berlaku di Desa Pasawahan. Dalam penelitian ini, kesejahteraan merupakan tujuan akhir yang ingin dilihat oleh peneliti. Menurut BPS (1995) seperti yang dikutip Munir (2008) menerangkan bahwa indikator kesejahteraan rakyat dilihat dari beberapa aspek tertentu, seperti kependudukan, kesehatan dan gizi, pendidikan, ketenagakerjaan, taraf dan pola konsumsi, perumahan dan lingkungan, sosial dan budaya. Sedangkan menurut hasil penelitian lembaga penelitian Smeru (2005) dalam Massardy (2009) menyebutkan bahwa indikator kesejahteraan masyarakat dapat dilihat dari konsumsi makan dan indikator kesehatan, akses terhadap lembaga keuangan, sektor pekerjaan, anggota keluarga yang bekerja, tingkat pendidikan, dan kepemilikan aset. Berdasarkan kedua pandangan tersebut, peneliti mengambil beberapa indikator untuk dijadikan sebagai indikator kesejahteraan dalam pelaksanaan penelitian. Namun selain indikator di atas, peneliti juga menambahkan indikator kesejahteraan berdasarkan persepsi lokal. Melalui metode FGD, diperoleh beberapa variabel indikator yang akan digunakan sebagai indikator kesejahteraan masyarakat. Sehingga indikator kesejahteraan yang digunakan dalam penelitian yaitu, kondisi tempat tinggal, tingkat pendapatan, kepemilikan aset, sumber air, dan MCK/ kamar mandi. Secara rinci kerangka pemikiran dapat dilihat pada gambar 2.
27
Pasca Reclaiming
Penguatan organisasi petani
Tindakan-tindakan yang dilakukan: 1. Kelembagaan Distribusi Penguasaan Tanah 2. Kelembagaan Hubungan Kerja 3. Kelembagaan dalam Pengorganisasian produksi 4. Kelembagaan dalam proses Sertifikasi
Kesejahteraan Petani: Kondisi tempat tinggal
Tingkat Pendapatan
Kepemilikan asset Sumber Air MCK/ Kamar mandi
Gambar 2. Bagan Kerangka Analisis Keterangan:
Hubungan
2.8 Hipotesis Pengarah Hipotesis pengarah dalam penelitian ini adalah: 1) Semakin kuat kelembagaan petani, semakin kuat juga organisasi tani nya. 2) Semakin besar luas tanah yang dimiliki, maka akan semakin tinggi tingkat pendapatan. 3) Semakin tinggi tingkat pendapatan, maka akan semakin bagus kondisi tempat tinggal. 4) Semakin tinggi tingkat pendapatan, maka akan semakin tinggi kepemilikan aset. 5) Semakin tinggi tingkat pendapatan, maka semakin besar kecenderungan untuk memiliki sumur sendiri. 6) Semakin tinggi tingkat pendapatan, maka semakin besar kecenderungan untuk membuat kamar mandi/ MCK sendiri.
28
2.9 Definisi Konseptual Beberapa definisi konseptual dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Pasca reclaiming adalah keadaan atau rentang waktu yang cukup terhadap penguasaan objek reclaiming dimana tingkat ancaman dari pihak lain sudah mereda (Wijardjo dan Perdana, 2001). 2) Kelembagaan adalah sekumpulan norma, aturan, etika, dan ketentuan yang mengatur hubungan antar individu, baik formal maupun informal. 3) Distribusi penguasaan lahan adalah penyebaran baik pemilikan maupun penguasaan sementara, dalam bentuk memakai, memanfaatkan, mengelola tanah bukan miliknya yang didapatkan melalui gadai, sewa, dan bagi hasil. 4) Hubungan kerja adalah sistem yang mengatur hubungan antara pemilik dan penggarap/penyakap dalam konteks usaha tani. 5) Pengorganisasian produksi
adalah upaya
manajemen produksi
untuk
meningkatkan produktivitas hasil produksi, meliputi pengelolaan sumberdaya alam, pendayagunaan hasil panen, pemasaran, akses kredit, akses penggunaan alat-alat produksi 6) Legalisasi/ Sertifikasi adalah tindakan yang dilakukan pemerintah untuk memberikan pengakuan atas sumberdaya alam dan menyatakan bahwa sumberdaya alam tersebut diakui merupakan bagian dari penguasaan dan pemilikan rakyat (Wijardjo dan Perdana, 2001). 7) Kesejahteraan petani adalah suatu kondisi kehidupan dimana kebutuhan dasar yang meliputi kondisi tempat tinggal, pendapatan, kepemilikan asset, sumber mata air, dan MCK/ kamar mandi.
2.10 Definisi Operasional Pengukuran variabel-variabel yang akan digunakan dalam penelitian ini akan dibatasi pada perumusan penjabaran masing-masing varaibel tersebut secara operasional. Variabel-variabel tersebut adalah: 1) Kondisi tempat tinggal adalah keadaan fisik rumah yang ditempati oleh sebuah keluarga. Pengukuran dengan penggolongan:
29
1. Tinggi: Responden yang keadaan rumahnya beratap genting, lantai keramik, dan dinding terbuat dari tembok. 2. Sedang: Responden yang keadaan rumahnya beratap genting, lantai semen, dan dinding terbuat dari anyaman bambu/bilik. 3. Rendah: Responden yang keadaan rumahnya beratap asbes, lantai tanah, dan dinding terbuat dari anyaman bambu/bilik. 2) Tingkat pendapatan adalah jumlah uang yang dihasilkan kepala rumah tangga selama satu bulan bekerja. Pengukuran didasarkan pada sebaran tingkat pendapatan petani di lokasi penelitian. Pengukuran: 1. Tinggi : Rp. 2.000.000,- < x < Rp. 3.000.000,2. Sedang : Rp. 1.100.000,- < x < Rp. 2.000.000,3. Rendah : Rp. 200.000,- < x < Rp. 1.100.000,3) Kepemilikan aset adalah banyaknya jumlah barang berharga yang dimiliki sebuah keluarga berupa barang elektronik dan kendaraan bermotor. Pengukuran: 1. Tinggi: memiliki kendaraan bermotor dan barang elektronik lebih dari dua jenis 2. Sedang: memiliki barang elektronik lebih dari dua jenis 3. Rendah: tidak memiliki kendaraan bermotor dan memiliki barang elektronik maksimal dua jenis 4) Sumber air yaitu air yang digunakan untuk kebutuhan sehari-hari khususnya kebutuhan rumahtangga seperti mandi, minum, nyuci, dll. Pengukuran: 1. Tinggi: air dari sumur milik sendiri 2. Sedang: air dari sumur milik umum 3. Rendah: air berasal dari mata air 5) MCK/ kamar mandi yaitu fasilitas rumahtangga yang digunakan sebagai tempat untuk mandi dan buang air besar. Pengukuran: 1. Tinggi: Memiliki MCK/ kamar mandi sendiri 2. Sedang: MCK/ kamar mandi umum 3. Rendah: alam terbuka.
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Pendekatan dan Strategi Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Penggabungan kedua pendekatan ini didasarkan pada kebutuhan data yang diperlukan dalam penelitian, dimana posisi keduanya saling melengkapi dalam kerangka pengumpulan data di lapangan. Pendekatan kualitatif dipilih oleh peneliti karena pendekatan ini mampu memberikan pemahaman yang mendalam dan rinci tentang suatu peristiwa atau gejala sosial, serta mampu menggali berbagai realitas dan proses sosial maupun makna yang didasarkan pada pemahaman yang berkembang dari orang-orang yang menjadi subjek penelitian. Strategi penelitian kualitatif yang digunakan pada penelitian ini adalah studi kasus. Studi kasus berarti memilih suatu kejadian atau gejala untuk diteliti dengan menerapkan berbagai metode (Stake, 1994: 236 dalam Sitorus, 1998). Pemilihan strategi tersebut terkait dengan tujuan penelitian ini yaitu eksplanatif, penelitian ini bertujuan menjelaskan penyebab-penyebab gejala sosial serta keterkaitan sebab akibat dengan gejala sosial lainnya (Sitorus, 1998). Penelitian ini dilakukan guna menerangkan berbagai gejala sosial yang terjadi di masyarakat, dalam hal ini mengenai proses kelembagaan organisasi tani lokal pasca reclaiming terhadap peningkatan kesejahteraan petani yang meliputi kelembagaan
dalam
distribusi
penguasaan
tanah,
hubungan
kerja,
pengorganisasian produksi, dan legalisasi aspek kepemilikan tanah, serta dampaknya terhadap tingkat kesejahteraan petani. Pendekatan kuantitatif dipergunakan untuk mendapatkan data dan informasi mengenai tingkat kesejahteraan rumahtangga petani setelah adanya program reforma agraria. Hal ini akan diketahui dengan melihat kondisi tempat tinggal, tingkat pendapatan, kepemilikan aset, sumber air, dan MCK/kamar mandi. Pendekatan kuantitatif menekankan pada aspek-aspek yang membutuhkan pengukuran dengan menggunakan indikator tertentu secara statistik.
31
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di lokasi pelaksanaan program reforma agraria, yaitu di Organisasi Tani Lokal Pasawahan II, Desa Pasawahan, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Lokasi ini dipilih secara sengaja (purposive) karena terdapat beberapa pertimbangan, peneliti memiliki kemudahan akses untuk masuk ke lokasi, peneliti berpeluang besar untuk memperoleh sejumlah informasi yang dibutuhkan untuk dijadikan bahan sesuai topik penelitian, dan lokasi tersebut terdapat kasus gerakan sosial yang relevan dengan topik penelitian. Penelitian ini dilakukan selama dua bulan, dimulai dari bulan Mei hingga Juni 2010. Kegiatan yang dilakukan selama rentang waktu penelitian terdiri dari kegiatan Pra-studi lapang (penyusunan instrumen penelitian), Kegiatan studilapang (survey, oberservasi, wawancara mendalam, studi dokumen, dan focus group discussion-FGD), dan Pasca studi-lapang (penulisan laporan penelitian).
3.3 Metode Pengumpulan dan Jenis Data Metode pengumpulan data yang diterapkan oleh peneliti adalah metode triangulasi, Observasi, dan Focus Group Discussion (FGD). Metode triangulasi merupakan model pengumpulan data di lapangan dengan menggunakan kombinasi beberapa metode yaitu obervasi lapang, wawancara (wawancara terstruktur dan wawancara mendalam) dan studi dokumen guna memperoleh kombinasi data yang akurat. Metode FGD ditujukan untuk memperoleh data tertentu yang dilakukan dalam bentuk diskusi kelompok terarah yang melibatkan sejumlah kelompok orang (10-15 orang) dan peneliti sebagai fasilitator. Menurut Patton (1990) dalam Sitorus (1998) data kualitatif dapat dipilah kedalam tiga kategori yaitu hasil pengamatan, hasil pembicaraan, dan bahan tertulis. Data kualitatif yang diperoleh berasal dari data primer, data sekunder, dan observasi langsung di lokasi penelitian. Data primer diperoleh dari hasil wawancara mendalam terhadap responden dan informan, sedangkan data sekunder diperoleh melalui analisis dokumen-dokumen atau data yang diperoleh dari laporan studi, kantor desa, instansi pemerintahan yang terkait, serta dokumen lain
32
yang relevan seperti data dari BPS, buku, jurnal, atau data dari internet yang memuat teori atau hasil penelitian yang terkait. Observasi lapang dilakukan dengan mengamati sejumlah realitas sosial atau kasus di lapangan berkaitan dengan kondisi kehidupan petani, baik aspek penguasaan lahan, sistem pola nafkah dan pola perubahan yang terjadi di dalamnya. Teknik pengambilan data dengan wawancara mendalam dilakukan melalui interaksi dua arah dengan prinsip kesetaraan antara peneliti dengan subjek dalam suasana yang akrab dan informal. Wawancara mendalam dilakukan untuk memahami pandangan tineliti mengenai hidupnya, pengalamannya, ataupun situasi sosial yang dihadapinya yang diungkapkan menggunakan bahasanya sendiri (Taylor dan Bogdan, dalam Sitorus, 1998). Sementara itu observasi dilakukan untuk mengamati langsung aktivitas subjek penelitian pada situasi dan kondisi relevan. Peneliti menyusun panduan pertanyaan yang berguna untuk membantu dalam proses pengumpulan data di lapangan. Panduan pertanyaan ini berkaitan dengan informasi mengenai profil dan sejarah komunitas, kehidupan sosial ekonomi, dan struktur agraria. Data kuantitatif diperoleh dengan metode survey melalui wawancara yang tersusun dalam kuesioner sebagai instrumen pengumpulan data. Metode survey digunakan untuk mengetahui data mengenai kondisi tempat tinggal, kepemilikan aset, tingkat pendapatan, sumber air, dan MCK/ kamar mandi yang digunakan oleh petani anggota OTL.
3.4 Teknik Pengambilan Sampel Berdasarkan data nominatif tahun 2009, jumlah anggota OTL Pasawahan II adalah 538 orang yang terbagi menjadi 20 kelompok di 4 blok (Ciawitali, Munggangwareng, Karang Anyar, dan Karang Tengah). Unit analisis dalam penelitian ini adalah keluarga. Penentuan jumlah sampel minimal dilakukan dengan menggunakan Rumus Slovin sebagai berikut: n=
N 1+ N e2
Keterangan: n N e
: Jumlah sampel : Jumlah populasi : Nilai kritis (batas ketelitian)
33
Nilai kritis yang digunakan dalam penelitian ini adalah 15 persen sehingga diperoleh responden sebanyak 40 orang dari jumlah populasi sampling 538 orang. Penentuan responden dipilih dengan stratified random sampling. Artinya, populasi yang tidak homogen dibagi-bagi dalam lapisan-lapisan yang seragam, dan dari setiap lapisan dapat diambil sampel secara acak. Maka dibuatlah kerangka sampling untuk masing-masing sub populasi. Dengan menggunakan metode ini, semua lapisan dapat terwakili (Singarimbun, 1989). Responden dibagi kedalam tiga kategori, yaitu responden A (yang memiliki tanah < 4 kapling), B (yang memiliki tanah 4-7 kapling), dan C (responden yang memiliki tanah > 8 kapling), sehingga diperoleh responden yang mewakili masing-masing kategori. Pemilihan terhadap informan dilakukan secara sengaja (purposive) dan jumlahnya tidak ditentukan. Penetapan responden dalam wawancara ditentukan melalui metode snowball sampling, yaitu berdasarkan informasi antar responden di lokasi penelitian.
3.5 Analisis Data Menurut Miles dan Huberman (1992) dalam Sitorus (1998), analisis data primer dan sekunder diolah melalui tiga tahapan yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Tahap reduksi data dimaksudkan untuk menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi data dengan cara sedemikian rupa sehingga kesimpulankesimpulan akhir dapat diambil. Data yang telah di reduksi disajikan dalam bentuk teks naratif maupun matriks, grafik, jaringan, dan bagan sehingga memudahkan untuk melihat apa yang sedang terjadi. Data yang disajikan diharapkan dapat menjawab perumusan penelitian yang diharapkan oleh peneliti. Data yang disajikan, dapat dibuat suatu kesimpulan akhir penelitian melalui verifikasi selama penelitian berlangsung dengan cara memikirr ulang selama penulisan, tinjauan ulang pada catatan-catatan lapangan, dan peninjauan ulang kembali. Data yang diperoleh melalui survey disajikan dalam bentuk tabel atau gambar untuk melihat tingkat kesejahteraan masyarakat Desa Pasawahan setelah bergabung dalam suatu wadah organisasi tani dalam memperoleh hak atas tanah.
34
Selain itu juga untuk melihat sejauh mana kesejahteraan anggota OTL meningkat setelah berhasil memperoleh tanah. Data kuantitatif yang diperoleh dari kuesioner dianalisis dengan menggunakan tabel frekuensi dan tabulasi silang. Tabel frekuensi disusun untuk semua variabel penelitian dan disusun secara tersendiri. Data ini diolah dengan menggunakan program komputer SPSS 16.0 for windows dan Microsoft Excel. Tabel frekuensi juga untuk mencek kembali apakah jawaban responden atas satu pertanyaan sudah konsisten dengan jawaban atas pertanyaan lainnya, mendapatkan deskripsi ciri responden, mempelajari distribusi variabel-variabel penelitian, dan menentukan klasifikasi yang paling baik untuk tabulasi silang. Tabulasi silang merupakan metode yang paling sederhana tetapi memiliki daya menerangkan cukup kuat untuk menjelaskan hubungan antara variabel (Singarimbun, 1989).
BAB IV ARENA PERJUANGAN AGRARIA DAN ORGANISASI GERAKAN TANI
4.1 Profil Desa Pasawahan 4.1.1 Letak Geografis Desa Pasawahan Desa Pasawahan merupakan desa yang termasuk dalam wilayah Kecamatan Banjarsari. Secara geografis Desa Pasawahan terletak pada koordinat 7o31‟04‟‟ 7o34‟35‟‟ LS dan 108o32‟04‟‟ - 108o36‟12‟‟ BT. Secara administratif, batas-batas Desa Pasawahan adalah sebagai berikut; sebelah utara dengan Desa Banjaranyar, Cigayam, Cikaso, dan Langkapsari; sebelah timur dengan Desa Kawasen, sebelah selatan dengan Desa Kalijati Kecamatan Sidamulih, dan sebelah barat dengan Desa Kalijaya. Desa Pasawahan terbagi atas enam dusun, enam rukun warga (RW), dan 35 Rukun Tetangga (RT). Enam dusun tersebut letaknya cukup berjauhan satu dengan yang lainnya, yaitu Dusun Ciakar, Dusun Mekarsari, Dusun Karang Anyar, Dusun Munggang Wareng, Dusun Cisarua, dan Dusun Ciawitali. Dusun Karang Anyar dan Dusun Munggang Wareng relatif mudah dicapai. Dusun-dusun di Desa Pasawahan letaknya cukup berjauhan satu sama lain sehingga dapat dikatakan batas antar dusun sangat jelas kecuali untuk Dusun Munggang Wareng dan Dusun Karang Anyar. Dari keenam dusun yang ada, Dusun Ciawitali dan Dusun Cisarua letaknya paling jauh dan akses ke tempat tersebut cukup sulit. Desa Pasawahan luasnya sekitar 2692,9 hektar dengan tata guna tanah seperti yang tersaji pada Tabel 3. Sebagian besar tanah dimanfaatkan untuk perkebunan dan tegalan yaitu seluas 1146 hektar (42,56 persen), sedangkan 894 hektar (33,19 persen) dari wilayahnya dimanfaatkan untuk sawah (lihat Tabel 3). Desa ini terletak pada ketinggian 750 meter dari permukaan air laut dengan topografi wilayah berbukit-bukit, dan suhu rata-rata harian 24oC.
36
Tabel 3. Luas Wilayah Desa Pasawahan Berdasarkan Tataguna Tanah Desa Pasawahan, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, tahun 2008 Penggunaan Lahan Luas % (Hektar) 1. Pemukiman dan Pekarangan 245,9 9,13 2. Persawahan 894 33,19 3. Perkebunan dan Tegalan 1146 42,56 4. Lainnya (prasarana umum, kebun milik swasta) 407 15,12 Jumlah 2692,9 100 Sumber: Potensi Desa tahun 2008 (diolah)
Luas lahan PT. Cipicung ± 400 hektar, dan 200 hektar berada di daerah Desa Pasawahan. Tanah yang 200 hektar tersebut merupakan tanah yang diperjuangkan oleh petani untuk digarap setelah masa HGU PT. Cipicung habis. Dari luas lahan 200 hektar yang diperjuangkan oleh petani, 10 persen diantaranya merupakan tanah lahan basah (sawah), dan 80 persen lainnya merupakan tanah lahan kering. Jika digambarkan kurang lebih seperti Gambar 3 di bawah ini. Desa Pasawahan
PT. Cipicung (400 Ha)
Tanah yang diperjuangkan oleh petani dari PT Cipicung (200 Ha) yang beririsan dengan Desa Pasawahan
Gambar 3. Tanah yang diperjuangkan petani dari PT. Cipicung Luas lahan yang 200 hektar, jika dirincikan jenis pemanfaatannya maka dapat dilihat seperti pada Tabel 4 di bawah ini. Tabel 4. Jenis Pembagian Pemanfaatan Tanah di OTL Pasawahan II No 1 2 3 4 5 6 7
Jenis Pemanfaatan Lahan Sawah Tegalan Kebun Pengairan Tambak/ Kolam/ Empang Fasilitas Umum dan Sosial Lain-lain Total
Luas Lahan (Ha) 12 180 2 5 200
Sumber: Data Kondisi Agraria Organisasi Tani Lokal Pasawahan II, tahun 2009
37
Jalan di dalam dusun adalah jalan batu yang walaupun sempit ternyata sering dilewati kendaraan berat yaitu truk-truk yang mengangkut bahan bangunan dan mengangkat kayu yang telah ditebang. Fasilitas jalan raya yang ada sangat buruk. Menurut penduduk sekitar, pada tahun 2008 telah ada perbaikan jalan dari pemerintah desa. Namun setelah terjadi musim hujan, jalan aspal kembali rusak karena terkikis oleh air hujan, sehingga jalanan menjadi aspal berbatu. Untuk beradaptasi dengan jalan yang rusak dan curam ini, masyarakat yang memiliki kendaraan bermotor, khususnya motor, harus memodifikasi kendaraan mereka.
4.1.2 Keadaan Penduduk dan Penguasaan Lahan Data monografi desa tahun 2008 mencatat jumlah penduduk Desa Pasawahan sebanyak 4631 jiwa, yang terdiri dari 49,62 persen laki-laki dan 50,38 persen perempuan. Jumlah tersebut terbagi dalam 1522 kepala keluarga dengan jumlah rata-rata tiap keluarga 4 jiwa (lihat Tabel 5). Tabel 5. Jumlah Penduduk menurut Golongan Usia, Desa Pasawahan, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, tahun 2008. Jenis kelamin Golongan umur Jumlah (Tahun) Laki-laki Perempuan 0 - 05 170 209 379 6 - 10 170 199 369 11 - 15 169 170 339 16 - 20 86 97 183 21 - 25 150 199 349 26 - 30 178 192 370 31 - 35 181 208 389 36 - 40 172 193 365 41 - 45 177 191 368 46 - 50 183 189 372 51 - 55 182 181 363 56 - 60 161 196 357 61 - 65 72 79 151 66 - 70 59 73 132 71 - 75 67 83 150 > 75 18 20 38 Total 2298 2333 4631 Sumber: Data Monografi Desa 2008
38
Berdasarkan data Potensi Desa tahun 2008, sebagian besar (52,29 persen) petani memiliki lahan yang sempit yaitu sebanyak 800 keluarga, sedangkan yang memiliki lahan luas hanya sedikit yaitu 248 keluarga (16,21 persen). Adapun keluarga petani yang tak berlahan sejumlah 482 keluarga (31,5 persen), yang jumlahnya kurang lebih dua kali dari jumlah petani yang memiliki lahan luas (lihat Tabel 6). Maksud keluarga petani yang tidak berlahan merupakan petani yang hanya memiliki lahan untuk tempat tinggal saja, tidak memiliki lahan untuk digunakan sebagai lahan pertanian. Tabel 6. Jumlah dan Persentase Rumahtangga Menurut Luas Kepemilikan Lahan di Desa Pasawahan, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, tahun 2008. Luas Kepemilikan Lahan Jumlah keluarga % 1. Keluarga tak berlahan 482 31,5 2. Pemilik lahan sempit (kurang dari 1 800 52,29 hektar) 3. Pemilik lahan luas (lebih dari 1 hektar) 248 16,21 Jumlah 1530 100 Sumber: Potensi Desa tahun/2008 (diolah)
4.1.3 Mata Pencaharian Penduduk Bertani sampai saat ini masih menjadi mata pencaharian utama penduduk Desa Pasawahan. Tabel 7 menunjukkan bahwa 31,34 persen penduduk desa (15,86 persen laki-laki dan 15,48 persen perempuan) mempunyai pekerjaan utama sebagai petani. Namun, jumlah penduduk yang mempunyai pekerjaan utama sebagai buruhtani ternyata jumlahnya lebih besar yakni 61,63 persen (30,66 persen laki-laki dan 30,97 persen perempuan). Tabel 7. Jumlah Penduduk Menurut Pekerjaan Utama dan Jenis Kelamin di Desa Pasawahan, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, tahun 2008 Jenis pekerjaan Laki-laki % Perempuan % Petani 420 15,86 410 15,48 Buruh tani 812 30,66 820 30,97 PNS 12 0,45 3 0,11 Pedagang keliling 5 0,19 10 0,39 Pengusaha kecil dan 150 5,66 0 0,00 menengah Dusun kampung 6 0,23 0 0,00 Jumlah = 2648 1405 53,05 1243 46,95 Sumber: Potensi Desa tahun 2008
39
4.1.4 Tingkat Pendidikan Berdasarkan Potensi Desa tahun 2008, sebagian besar (51,23 persen) penduduk Desa Pasawahan tingkat pendidikan akhirnya yakni tamat SD. Setelah lulus SD, biasanya anak-anak diikutsertakan dalam kegiatan pertanian. Orangtua lebih memilih mempekerjakan anak-anak mereka dengan alasan dapat membantu pendapatan keluarga dibandingkan bersekolah. Berdasarkan jenis kelamin tidak ada perbedaan yang signifikan persentase antara perempuan dan laki-laki. Hal ini memperlihatkan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki kesempatan yang sama untuk sekolah (lihat Tabel 8). Tabel 8. Jumlah Penduduk menurut Tingkat Pendidikan Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin di Desa Pasawahan, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, tahun 2008. Tingkat pendidikan Laki-laki (%) Perempuan (%) Usia 18-56 tahun tidak 111 48,05 120 51,95 tamat SD Tamat SD/ sederajat 264 50,57 258 49,43 Tamat SMP/sederajat 98 48,51 104 51,49 Tamat SMA/sederajat 30 63,83 17 36,17 Tamat D1/sederajat 0,00 1 100,00 Tamat D2/sederajat 6 75,00 2 25,00 Tamat S1/sederajat 5 62,5 3 37,5 Sumber: Potensi Desa tahun 2008
4.1.5 Aspek Pertanian Lahan pertanian yang ada di Desa Pasawahan merupakan lahan kering. Lahan yang ada berciri-ciri tanah miring, berundak-undak, tanah kering, dan produktivitas rendah. Bentuk-bentuk pertanian yang ada di Pasawahan yaitu sawah, kebun, ladang, dan pekarangan. Bentuk pertanian kebun lebih banyak dibandingkan dengan bentuk pertanian sawah. Tanaman yang ditanam di kebun yaitu jenis tanaman jangka panjang antara lain albasia, kopi, cokelat, petai, jengkol, dan lain-lain. Tipe sawah di Desa Pasawahan berupa sawah tadah hujan. Sawah di desa ini belum memakai sistem irigasi yang menyalurkan pasokan air bagi lahan mereka. Teknologi yang digunakan masih tergolong sederhana, karena lokasi yang tidak mendukung dalam penggunaan teknologi seperti penggunaan traktor dan irigasi. Hal ini mengakibatkan jadwal penanaman padi sawah disesuaikan
40
dengan musim penghujan. Sebagian besar petani menanam padi sawah sebanyak dua kali dalam setahun. Akan tetapi, ada juga yang menanam padi sawah sampai tiga kali setahun, disesuaikan dengan kondisi air di lahan masing-masing. Selain ditanami dengan padi, di samping-samping galengan sawah juga ditanami oleh tanaman kacang-kacangan, ubi jalar, dan tanaman talas. Biasanya tanaman yang ditanam tersebut merupakan tanaman yang umur panennya hampir bersamaan dengan umur padi. Alat yang digunakan untuk bertani masih menggunakan peralatan tradisional. Membajak sawah pun masih menggunakan kerbau, karena melihat kondisi daerahnya yang berundak-undak sehingga tidak memungkinkan menggunakan mesin traktor. Namun ada beberapa masyarakat yang sudah menggunakan traktor.
4.2 Sejarah Lahan Garapan yang Diperjuangkan oleh Organisasi Tani Lokal Pasawahan II Di Desa Pasawahan terdapat dua OTL, yaitu OTL Pasawahan I dan OTL Pasawahan II. Lokasi Pasawahan I terletak dibagian timur wilayah desa, sedangkan Pasawahan II terletak di bagian selatan desa. Lokasi Pasawahan II dikenal sebagai bekas tanah HGU PT. Cipicung Pasawahan. Awal sejarah dimulai setelah wilayah Pasawahan dibumihanguskan oleh Belanda, sekitar tahun 1959 wilayah tersebut berpindahtangan kepada seorang pengusaha kaya yaitu Eman Dolar, wilayah tersebut menjadi wilayah perkebunan yang ditanami oleh pohonpohon karet. Setelah perkebunan berdiri, akses masyarakat terhadap perkebunan menjadi terbatas. Masyarakat yang awalnya boleh mencari kayu dan menanam tanaman untuk kebutuhan hidup, tidak diperbolehkan lagi. Tanaman utama PT. Cipicung adalah karet. Pihak perkebunan khawatir jika masyarakat masih diberikan kebebasan untuk masuk ke perkebunan akan merusak perkebunan karet yang ada. Pada saat perkebunan masih aktif, banyak dari masyarakat yang menjadi buruh tani dan pengangguran karena tidak memiliki lahan untuk bertani. Bagi petani, tanah merupakan nyawa utama untuk menyambung hidup. Dengan tanah, petani akan memiliki pekerjaan untuk menggarap dan memetik hasil garapannya.
41
Sehingga kebutuhan hidup sehari-hari dapat terpenuhi dengan baik. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, bagi masyarakat yang tidak memiliki tanah dan tidak memiliki pekerjaan, sepenuhnya menggantungkan hidup pada perkebunan. Pekerjaan sebagai buruh tani saja tidak cukup. Oleh karena itu, masyarakat mencari pekerjaan sampingan lainnya sebagai penyadap getah karet di perkebunan. Namun, upah menjadi penyadap pun belum cukup untuk kehidupan sehari-hari. Berikut pernyataan AMD (Ketua Kelompok Karang Tengah) yang pernah bekerja sebagai penyadap karet di perkebunan PT. Cipicung: “Boro-boro lebih sejahtera, nasib kita (petani) waktu perkebunan masih aktif sama saja, karena kita hanya bekerja sebagai penyadap pohon karet saja. Yang hasilnya tidak cukup untuk kebutuhan seharihari. Tapi da kumaha deui atuh, pekerjaan nu aya waktu itu cuma jadi penyadap getah karet”
Berdasarkan pernyataan kalimat di atas, kita dapat mengetahui bahwa nasib masyarakat pada saat perkebunan, masih berada dalam kondisi serba kekurangan. Untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga sehari-hari, masyarakat Pasawahan sebagian besar harus bekerja sebagai penyadap, karena tidak ada lapangan kerja yang lain selain buruh tani. Selain menjadi penyadap, ada juga masyarakat yang menjadi mandor kebun. Pekerjaan sebagai mandor kebun dikategorikan sebagai golongan elit, karena pekerjaan seorang mandor tidak terlalu berat namun gaji yang diperoleh cukup besar dibandingkan penyadap. Kebutuhan masyarakat akan tanah pada saat itu sangat tinggi. Pemenuhan kebutuhan keluarga menjadi faktor utama bagi masyarakat untuk melakukan pengambilalihan lahan dari pihak perkebunan. Untuk menghindari hal yang tidak diinginkan, seperti penyerobotan lahan, pencurian, dan lainnya, akhirnya pihak perkebunan memberikan kelonggaran bagi masyarakat untuk mendapatkan akses ke perkebunan. Masyarakat yang awalnya tidak boleh masuk kedalam wilayah perkebunan, akhirnya pihak perkebunan memberikan izin pada masyarakat untuk masuk dan diperbolehkan menanam tanaman jangka pendek di sela-sela pohon karet. Sejak tahun 1976, masyarakat sudah ada yang menggarap di tanah HGU PT. Cipicung. Jenis tanaman yang boleh ditanam yaitu singkong, umbi-umbian dan jagung.
42
Berikut penjelasan DD (anggota OTL kelompok Karang Tengah): “Dulu juga ketika masih ada perkebunan, masyarakat sudah ada yang menggarap di lahan perkebunan. Masyarakat boleh nanam tanaman di sela-sela pohon karet seperti tanaman singkong, ubi, jagung, dan pisang. Tapi masyarakat harus membagi hasil pertaniannya dengan pembagian 80:20. Hasil pertanian sebanyak 80 buat petani, dan hasil pertanian yang 20 diserahkan kepada perkebunan lewat mandor”.
Sistem bagi hasil 80:20 merupakan mekanisme “sewa” dimana bagian 20 persen dari hasil produksi dimaksudkan sebagai biaya upeti atas digunakannya lahan perkebunan oleh petani. Nilai produksi sebesar 20 persen diserahkan ke pihak perkebunan melalui mandor. Seiring dengan perkembangan waktu, sekitar tahun 1980-an, wujud upeti yang diberikan oleh petani tidak lagi diberikan dalam bentuk barang hasil panen, tapi dapat digantikan dengan sejumlah uang yang besarnya ditentukan berdasarkan kesepakatan antara pihak petani dengan pihak perkebunan (mandor). Namun dalam pelaksanaannya tidak ada paksaan bagi petani. Bagi petani yang tidak memiliki uang, maka upeti dalam bentuk barang hasil panen masih diperbolehkan.
4.3 Organisasi Pendukung Aksi Reclaim (Serikat Petani Pasundan) dan Organisasi Tani Lokal (OTL) Pasawahan II. Serikat Petani Pasundan (SPP) adalah serikat petani yang berada di wilayah Tataran Pasundan. Secara resmi SPP dideklarasikan di Garut pada tanggal 24 Januari 2000, tetapi aktivitas menuju pembentukan SPP sudah dilakukan pada tahun 1980-an ketika mulai maraknya kembali gerakan protes petani dan pendampingan oleh kelompok mahasiswa dan pemuda. Kelahiran SPP sendiri dimotori oleh para aktivis yang tergabung dalam Forum Pemuda Pelajar dan Mahasiswa Islam Garut (FPPMIG) yang kemudian diubah menjadi FPPMG untuk membuka ruang partisipasi kalangan lain. Selain FPPMG di Kabupaten Garut, para aktivis Pemuda dan Mahasiswa membentuk Forum Pemuda dan Mahasiswa untuk rakyat (FPMR) di Tasikmalaya dan Forum Aspirasi Rakyat dan Mahasiswa Ciamis (FARMACI) pada tahun 1998-1999. Organisasi ini tidak hanya bekerja pada masalah agraria saja namun menyangkut juga masalah demokratisasi dan penguatan rakyat secara umum.
43
Sejak itu SPP identik dengan gerakan petani yang memperjuangkan pembaruan agraria di tiga kabupaten tersebut. Sampai saat ini hanya di ketiga kabupaten itulah SPP memiliki basis anggota dan kegiatan yang dilakukan oleh masing-masing Organisasi Tani Lokal (OTL) dimana OTL ini memiliki kewenangan secara otonom dalam menentukan program, kepemimpinan dan mengelola anggaran. Di daerah Kabupaten Ciamis, khususnya daerah Banjarsari telah berdiri beberapa OTL salah satunya adalah OTL Pasawahan II yang berdiri di Desa Pasawahan. Organisasi Tani Lokal Pasawahan II telah berdiri sejak tahun 2000 akhir. Pada periode tersebut, PT. Cipicung yang berlokasi di Pasawahan telah habis masa HGU nya sejak tahun 1993. Petani mengambil momentum tersebut untuk menggarap lahan. Tindakan tersebut diilhami oleh peraturan pemerintah yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan peraturan pelaksanaannya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Milik, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan ditegaskan bahwa hak-hak atas tanah yang jangka waktunya berakhir maka status tanahnya menjadi tanah Negara9. Masyarakat yang membutuhkan tanah untuk garapan mulai menduduki lahan-lahan perkebunan yang sudah habis masa HGU nya (reclaim). Aksi reclaim tersebut muncul melalui proses yang panjang dari petani. Para petani mulai mengorganisir diri, membentuk kelompok, mencari cara agar bisa memperoleh tanah yang telah habis masa HGU nya dan menjadikan sebagai sumber penghidupan bagi keluarga. Adanya dampingan dari para aktivis mahasiswa Ciamis yang tergabung dalam FARMACI semakin menguatkan perjuangan masyarakat untuk memperoleh lahan eks PT. Cipicung tersebut. Organisasi Tani Lokal Pasawahan II berhasil me-reclaim lahan seluas kurang lebih 200 hektar dengan jumlah penggarap sebanyak 538 orang10. Organisasi ini dipimpin oleh Sa‟ud Sunaryo (masyarakat memanggilnya abah Sa‟ud). Masyarakat Desa Pasawahan dapat mengajukan permohonan lahan 9
Dinamika Tata Kuasa, Tata Kelola dan Tata Produksi di DAS Citanduy: Inistaif Rakyat dalam Pembangunan Sumber-sumber Penghidupan Berkelanjutan: Sajogyo Institute dan Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional, Tahun 2009. 10 Data Nominatif Lahan Garapan SPP OTL Pasawahan II, 2009
44
sekaligus menjadi anggota OTL dengan syarat sudah berumur 17 tahun dan memiliki KTP. Pengajuan lahan ini sifatnya individual. Pada awal kepengurusan, pendamping dari FARMACI secara rutin terus dilakukan dengan memberikan informasi tentang isu-isu agraria yang sedang hangat diperbincangkan di tingkat regional maupun nasional. Upaya ini sebagai bentuk penyadaran sikap kritis petani terhadap keadaan yang dihadapi petani saat itu. Penguatan
organisasi
dilakukan
dengan
dibentuknya
susunan
kepengurusan organisasi. Selain Ketua OTL, ada wakil ketua, sekretaris, bendahara, divisi-divisi, dan satgas. Untuk memudahkan koordinasi, maka dibentuklah ketua kelompok. Berbagai macam pelatihan pun diberikan oleh para aktivis
FARMACI.
Misalnya
pelatihan
untuk
pendidikan
organisasi
(kepemimpinan rakyat, pembaruan desa dan agraria, dan landreform). Pembentukan kader-kader pejuang yang benar-benar memperjuangkan agraria dengan mengikuti pelatihan-pelatihan yang diadakan oleh SPP. Pada tahun 2004, SPP yang berada di lokasi Pasawahan berhasil mendirikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) Pertanian. Bukti keseriusan untuk pemberantasan kebodohan ditunjukkan dengan memberikan sekolah gratis bagi para siswa yang ingin belajar, khususnya pertanian. Para siswa tidak dipungut biaya masuk, maupun pungutan biaya lainnya. Harapannya, siswa tersebut nantinya mampu kembali kedaerah untuk mengembangkan daerahnya masing-masing dan memperjuangkan hak-hak petani.
BAB V BENTUK DAN SISTEM KELEMBAGAAN PERTANIAN PASCA RECLAIM Menduduki obyek reclaiming merupakan cara yang paling lazim dilakukan oleh rakyat untuk merebut kembali akses sumberdaya alam, baik menggarap atau mengerjakan lahan, mengganti tanaman yang ditanam pihak lawan menjadi tanaman rakyat, menanam tanaman di sela-sela tanaman pokok, mendirikan bangunan rumah atau fasilitas umum di lahan sengketa, dan lain sebagainya. Ada beberapa tindakan yang dilakukan oleh petani setelah berhasil merebut sumberdaya agraria, seperti penataan penguasaan obyek reclaiming, pengembangan penataan produksi, dan legalisasi (Wijardjo dan Perdana, 2001). Ketiga tindakan tersebut merupakan agenda utama perjuangan bagi kelompok tani yang ada di Pasawahan khususnya Organisasi Tani Lokal (OTL) Pasawahan II yang diatur berdasarkan bentuk dan sistem kelembagaan masyarakat setempat.
5.1 Distribusi Penguasaan Tanah Hasil Perjuangan OTL Pasawahan II Mengacu pada bentuk penguasaan tanah yang dikemukakan oleh Wiradi dan Makali (2009), tanah garapan yang dibuka oleh masyarakat Pasawahan yang tergabung dalam OTL Pasawahan II dapat dikategorikan sebagai tanah Yasan, yaitu lahan garapan yang diperoleh dengan usaha membuka lahan yang awalnya merupakan hutan karet dan merupakan lahan eks PT. Cipicung. Masyarakat menggarap lahan dengan ditanami tanaman-tanaman jangka pendek, menengah, dan panjang, seperti pohon albasia, mahoni, kelapa, pete, jengkol, pisang, singkong, cabe, kunyit, dan tanaman palawija lainnya. Hasil dari lahan garapan tersebut diharapkan dapat meningkatkan pendapatan keluarga serta mampu meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat. Kasus yang terjadi di Pasawahan khususnya OTL Pasawahan II sudah terjadi sejak tahun 2000. Masyarakat mengetahui bahwa HGU PT. Cipicung sudah habis sejak tahun 1993. Setelah mengetahui lahan tersebut diterlantarkan, sekelompok masyarakat langsung membentuk kelompok dan mengumpulkan warga yang benar-benar membutuhkan tanah. Awalnya, proses reclaiming yang
46
dilakukan oleh kelompok petani diawali dengan adanya pendidikan kesadaran politik dan hukum pada petani yang dilakukan oleh organisasi tani Serikat Petani Pasundan (SPP). SPP memberikan pendidikan kritis mengenai hak-hak petani terhadap tanah HGU yang sudah habis masa berlakunya atau diterlantarkan oleh pemiliknya. Dalam pendidikan tersebut petani mendapatkan pemahaman bahwa tanah HGU yang sudah habis masa berlakunya dan atau diterlantarkan dapat diambil alih haknya oleh petani. Hal ini lah yang menggagas ide para tokoh petani untuk mengambil kembali hak atas tanah mereka yang selama ini diduduki oleh pihak swasta (PT. Cipicung) untuk kembali digarap oleh masyarakat. Pada tahun 2001, perjuangan masyarakat berhasil me-reclaim tanah seluas 200 hektar. Menurut Wijardjo dan Perdana (2001) mengatakan bahwa pembagian dan penguasaan obyek reclaiming merupakan bentuk penataan dalam penguasaan obyek reclaiming dimana pilihan penataan penguasaan tersebut diserahkan pada mekanisme lokal, dan bukan ditentukan oleh sekelompok orang atau bahkan pihak luar. Pada kasus yang terjadi di OTL Pasawahan II, mekanisme pendistribusian lahan garapan diserahkan pada keputusan bersama melalui forum musyawarah anggota yang diadakan oleh pengurus OTL. Seluruh petani yang terdaftar dalam pengajuan lahan garapan, dikumpulkan dalam satu musyawarah. Posisi pengurus sama sekali tidak memiliki peran untuk memberikan keputusan tentang berapa jumlah dan siapa yang mendapat bagian, namun hanya berperan sebagai pihak yang
memfasilitasi
jalannya
musyawarah.
Pencapaian
mufakat
melalui
musyawarah anggota dianggap sebagai jalan yang lebih baik dan masih sering dilakukan oleh masyarakat dalam berbagai kegiatan. Pada saat awal pembukaan lahan, setiap masyarakat yang membutuhkan lahan diberikan kebebasan untuk membuka lahan sesuai dengan kemampuan mereka dalam menggarapnya. Belum ada batasan yang menentukan berapa luas lahan yang boleh digarap. Namun jika hal itu tetap dibiarkan terjadi, maka akan terjadi pengumpulan aset tanah di satu pihak. Oleh sebab itu, diadakanlah musyawarah seluruh masyarakat untuk merundingkan tentang pembagian lahan. Melalui
musyawarah
anggota,
bersama-sama
disepakati
adanya
pembedaan luas kapling bagi tanah yang berada di pinggir jalan dan di pedalaman.
47
Hal tersebut sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh OYN (Bendahara OTL Pasawahan II): “Berdasarkan kesepakatan anggota, dalam pembagian lahan kita membedakan luas kapling bagi tanah yang ada di luar dan di dalam, jadi aya istilah bagian dalam jeung bagian luar”
Maksud dari pernyataan di atas, tanah bagian luar adalah tanah yang lebih dekat ke jalan atau mudah dijangkau, sedangkan tanah bagian dalam adalah tanah yang lokasinya jauh dari jalur jalan, 1000 meter kedalam sudah termasuk tanah bagian dalam. Luas kapling antara tanah “bagian luar” dan “bagian dalam” berbeda. Untuk tanah “bagian luar” luas satu kaplingnya adalah 1050 m2, dan untuk tanah “bagian dalam” luas satu kaplingnya adalah 2500 m2. Besarnya nilai luas antara “kapling luar” dan “kapling dalam” ditentukan berdasarkan kesepakatan oleh seluruh anggota OTL dalam musyawarah dan didasarkan pada beberapa pertimbangan di bawah ini: Tabel 9. Dasar Pembedaan Adanya Pembagian Tanah “Bagian Luar” dan “Bagian Dalam” Perbedaan Tanah Bagian Luar Tanah Bagian Dalam Nilai Jual Tanah Harga tanah lebih mahal Harga tanah lebih murah karena aksesnya lebih mudah. Nilai Jual Hasil Hasil dari produksi tanah Harga dari hasil Produksi jika dijual harganya lebih produksinya lebih murah, mahal. Misalnya, harga karena: pohon albasia jika dijual 1. Faktor jauhnya akses harganya lebih mahal terhadap lokasi. dibandingkan dengan 2. Pembeli harus pohon albasia yang mengeluarkan biaya ditanam di tanah bagian dan tenaga lebih dalam. untuk membawa hasil produksi. Faktor Kemudahan Jika ingin membangun Memerlukan biaya dan rumah, pemesanan bahan tenaga lebih untuk baku akan lebih mudah, membawa bahan seperti pasir, batu bata, bangunan, karena semen, sehingga tidak jauhnya akses terhadap memerlukan biaya dan lokasi sehingga sulit tenaga lebih ditempuh oleh kendaraan. Berikut tabel distribusi penguasaan lahan “kapling luar” dan “kapling dalam” berdasarkan data nominatif lahan OTL Pasawahan II:
48
Tabel 10. Ditribusi Penguasaan Lahan “Kapling Luar” dan “Kapling Dalam” di OTL Pasawahan II. Luas (m2)
Jumlah (n)
Persentase (%)
Kapling luar (1050)
78
14,5
Kapling dalam (2500)
460
85,5
538
100
Jumlah
Berdasarkan Tabel 10 di atas, 85,5 persen dari pemohon yang mengajukan lahan garapan, mereka menggarap lahan yang berada di kapling dalam atau 1000 meter kedalam dari jalan utama. Sedangkan 14,5 persen pemohon menggarap lahan yang lokasinya berada di luar atau lebih dekat dengan jalan utama. Pada dasarnya tanah yang digarap oleh petani merupakan tanah yang subur, artinya bisa ditanami oleh tanaman apapun. Musyawarah yang dipimpin oleh Ketua OTL Pasawahan II, abah sa‟ud bersama jajarannya, bersama-sama dengan seluruh anggota membicarakan teknis pendistribusian lahan yang telah berhasil di reclaim. Melalui musyawarah tersebut diperoleh keputusan bahwa seluruh anggota OTL akan memperoleh lahan dengan bagian yang sama, tanpa adanya perbedaan atau memandang jabatan apapun. Pengambilan keputusan pun diserahkan berdasarkan kesepakatan seluruh anggota musyawarah sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Setiap anggota memiliki hak suara yang sama untuk menyampaikan idenya. Hal tersebut seperti yang diungkapkan oleh SAU (ketua OTL Pasawahan II): “Semua anggota OTL sama-sama memperoleh satu kapling. Baik pengurus maupun anggota semuanya memperoleh bagian yang sama. Lahan yang satu hektar dibagi menjadi empat kapling. Kesepakatan ini berdasarkan musyawarah seluruh anggota11”
Kutipan di atas menunjukkan bahwa dalam pendistribusian lahan hasil reclaim semua anggota OTL memperoleh bagian yang sama. Tidak ada perbedaan dalam pembagiannya. Pemilihan lokasi lahan garapan ditentukan sendiri oleh anggota. Bahkan pada saat dilakukan pendistribusian lahan, ada beberapa dari masyarakat sudah menandai lahan yang akan digarapnya nanti. Biasanya ditandai dengan kain putih, pohon hanjuang, cakra-cikri, pohon dadap, dan lainnya. Masyarakat Pasawahan boleh mengajukan permohonan garapan kepada OTL, 11
1 Hektar = 10.000 m2
49
dengan syarat harus sudah berumur 17 tahun dan sudah memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP), selain itu juga bagi masyarakat yang memohon adalah masyarakat yang benar-benar sangat memerlukan lahan untuk digarap. Selain masyarakat yang benar-benar tidak memiliki tanah, ada juga masyarakat pemohon yaitu mereka yang hanya memiliki tanah sempit, yang hasil panennya belum cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Berikut pernyataan EN (warga Karanganyar): “selain tanah perjuangan, ibu juga punya tanah 100 bata. Tapi tanah tersebut belum cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup. Makanya ibu mengajukan permohonan ke OTL. Lumayan lah, buat nambah-nambah”. Sistem pembagian seperti di atas masih disepakati dan dihormati sampai sekarang dan sudah menjadi hal yang wajar di masyarakat. Untuk menertibkan data penguasaan lahan garapan, pada tahun 2009 disusun data nominatif. Tim dari pengurus OTL, pada saat itu langsung terjun ke lapang untuk melakukan pengukuran dan pencatatan luas lahan garapan yang dimiliki oleh masing-masing anggota yang nantinya akan dibukukan dan diserahkan kepada BPN. Peralatan yang digunakan masih menggunakan peralatan sederhana seperti meteran dan alat tulis. Hal tersebut sesuai dengan ungkapan SNR (Sekertaris OTL Pasawahan II sekaligus ketua tim rombongan pengukuran lahan): “Bapa dan rombongan langsung terjun ke lokasi untuk melakukan pengukuran. Waktu itu, tim dibagi menjadi 4 blok. Kami hanya bawa meteran dan alat tulis saja, peralatan yang sangat sederhana”
Bapa Sunarya menjadi ketua tim pengukuran pada saat itu sekaligus beliau adalah sekretaris OTL. Tim pengukur dibagi menjadi empat blok, biar lebih efektif. Keempat blok tersebut adalah blok Munggang Wareng, blok Ciawitali, blok Karang Tengah, dan blok Desa. Proses penyusunan data nominatif ini hanya untuk lahan hasil perjuangan yang diperoleh dari SPP saja, tidak untuk lahan milik. Penyusunan data nominatif dimaksudkan untuk mengumpulkan data mengenai berapa luas lahan yang dimiliki (dalam hitungan kapling dan bata), batas-batas kapling, peningkatan pendapatan, dan dimana letak lahan garapan tersebut berada.
50
Pembentukan data nominatif ini merupakan salah satu upaya pengawasan atau pengontrolan yang dilakukan oleh OTL terhadap aset sumberdaya agraria yang telah diperjuangkan bersama-sama. Hal ini untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Sesuai dengan tujuan UUD 1945 pasal 33 ayat 3 bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Ini merupakan salah satu tujuan yang ingin dicapai bersama-sama oleh seluruh anggota OTL, selain ingin memberantas kebodohan, juga ingin memberantas kemiskinan. Berikut ungkapan OYN (Bendahara OTL Pasawahan II): “Setelah dapat lahan, kita ingin masyarakat menggarapnya dengan baik. Sekarang alhamdulillah sudah banyak yang memetik hasil dan keuntungan dari lahan garapan perjuangan. Cita cita “leuweung hejo rakyat ngejo” sudah mulai terasa. Jangan sampai cita-cita tersebut terbalik jadi “leuweung hejo rakyat kokoro”. Alhamdulillah, sekarang mau nanam apa saja jadi. Dulu mah boro-boro jadi, tanahna masih jelek karena bekas perkebunan karet”.
Pernyataan di atas diungkapkan oleh salah satu pengurus OTL, bahwa citacita “leuweung hejo rakyat ngejo” menjadi harapan bersama masyarakat. Maksudnya, hutan yang sekarang digarap oleh masyarakat ditanami oleh tanaman yang produktif. Dari hasil hutan tersebut, masyarakat dapat memenuhi kebutuhan hidupnya minimal buat kebutuhan hidup sehari-hari. Jangan sampai cita-cita di atas terbalik menjadi “leuweung hejo rakyat kokoro”. Maksudnya, meskipun hutan ditumbuhi oleh tanaman-tanaman yang hijau namun nasib masyarakatnya sendiri masih menghawatirkan. Seperti keadaan pada saat perkebunan, masyarakat hanya dapat makan dengan numpang di tanah perkebunan. Sekarang masyarakat sudah memiliki lahan garapan masing-masing. Lahan tersebut memiliki nilai perjuangan, karena diperoleh dengan tidak mudah. Oleh karena itu perlu kesadaran yang tinggi bagi anggota dalam menggarap dan memeliharanya. Fakta dilapangan ditunjukkan adanya “oper alih garapan”. Maskud “oper alih garapan” ini yaitu adanya tukar menukar lahan garapan antar anggota. “Oper alih garapan” terjadi sekitar tahun 2007, karena dengan alasan jauhnya akses terhadap lokasi lahan garapan. Pada saat pendistribusian lahan di awal, masyarakat tidak terlalu mementingkan jauh dekatnya akses terhadap lahan,
51
tetapi yang menjadi fokus utama pada saat itu adalah bagaimana masyarakat memperoleh lahan garapan. Tanggapan dari pihak pengurus terhadap “oper alih garapan” ini diperbolehkan, namun si aktor yang melakukan “oper alih garapan” tersebut harus melaporkannya kepada ketua kelompok dan pengurus OTL. Jika pada saat dilakukan tukar menukar lahan ini sudah ada yang menggarap lahannya sampai tahap pembenihan atau penanaman, maka salah satu pihak yang melakukan “oper alih” tersebut menggantinya dengan uang berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Berikut pernyataan bapak AMD (ketua kelompok Karang Anyar): “Anggota yang mau melakukan oper alih garapan harus melapor terlebih dahulu pada ketua kelompok. Kami salaku pengurus, tidak melarang. Asal kedua belah pihak yang mau oper garapan, kudu sama-sama setuju. Ini juga membantu kami dalam penertiban data nominatif.” Berikut kepemilikan luas lahan anggota OTL Pasawahan II berdasarkan data nominatif tahun 2009. Tabel 11. Data Kepemilikan Tanah Anggota OTL Pasawahan II Luas Lahan (m2) 0 – 9994 9995 – 19989 19990 – 29981 Jumlah
Jumlah (n) 526 11 1 538
Persentase (%) 97,77 2,04 0,19 100
Sumber: Data nominatif lahan OTL Pasawahan II tahun 2009, diolah
Masyarakat yang awalnya tidak memiliki pekerjaan sama sekali untuk memperoleh penghasilan, kini setelah memiliki lahan garapan menjadi berbeda. Penghasilan masing-masing anggota berbeda, tergantung pada hasil panen yang diperoleh. Namun setidaknya untuk pemenuhan kebutuhan rumahtangga menjadi tercukupi. Masyarakat yang serius dalam mengelola lahan garapannya tentu akan mendapatkan hasil yang maksimal dibandingkan dengan masyarakat yang menggarap lahannya secara asal-asalan. Masyarakat yang serius tentu akan memelihara lahan garapannya dengan ditanami tanaman yang produktif, namun masyarakat yang malas-malasan akan terlihat dengan tidak terpeliharanya lahan seperti banyaknya rerumputan liar yang dapat mengganggu tanaman utama.
52
Tabel 11 menunjukkan bahwa kepemilikan tanah oleh anggota OTL mulai menunjukkan perubahan. Pada awal pendistribusian, semua anggota sama-sama mendapatkan bagian satu kapling tanah. Adanya anggota yang memiliki lahan lebih dari tujuh kapling menunjukkan adanya pemusatan penguasaan aset tanah di pihak yang bermodal. Namun perubahan tersebut belum terlihat secara jelas. Anggota yang menjual atau menggadaikan lahan garapannya secara terpaksa karena kebutuhan rumahtangganya yang sangat mendesak. Hasil dari lahan garapan selama digarap belum menunjukkan hasil yang maksimal, sehingga lahan garapan tersebut dijual atau digadaikan untuk memperoleh sejumlah modal atau uang. Namun karena tidak mampu mengembalikan modalnya, terpaksa mereka menjualnya. Kebutuhan yang sangat mendesak sebelum masa panen tiba atau kurangnya pendapatan dari hasil panen merupakan salah satu penyebab utama adanya “oper alih garapan” atau “jual beli garapan”. Keberadaan OTL belum dapat membantu anggotanya terutama dalam peminjaman modal. Petani yang membutuhkan modal terpaksa meminjam kepada kerabat atau anggota lain yang memiliki modal lebih. Pada tahun 2010, perubahan kepemilikan tanah terlihat sangat jelas. Anggota yang benar-benar membutuhkan modal, terpaksa harus menjual tanahnya kepada anggota yang sanggup membeli tanahnya, tentunya anggota yang memiliki modal lebih. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 12 di bawah ini. Tabel 12. Distribusi Penguasaan Lahan di OTL Pasawahan II pada tahun 2010 Luas Lahan (m2) 0 – 9994 9995 – 19989 19990 – 29981 Jumlah
Jumlah (n) 24 11 5 40
Persentase (%) 60 27,5 12,5 100
Sumber: OTL Pasawahan II
Selain “oper alih garapan”, juga ditemui adanya “jual beli lahan garapan”, namun masih kepada sesama anggota OTL. Hal ini dikarenakan oleh beberapa alasan, seperti kebutuhan biaya untuk berobat, biaya menyekolahkan anak, biaya pernikahan, biaya selametan, dan untuk biaya kebutuhan lainnya. Hal ini harus diketahui oleh pengurus atau ketua kelompok. Berdasarkan Tabel 12 di
53
atas, 60 persen anggota OTL Pasawahan II memiliki lahan garapan rata-rata dibawah empat kapling. Adapun yang memiliki lahan garapan lebih dari empat kapling (27,5 persen) diperoleh dari hasil “oper alih garapan” atau dari hasil beli lahan garapan orang lain. Begitupun dengan anggota OTL yang memiliki lahan garapan lebih dari tujuh kapling (12,5 persen). Bagi anggota OTL yang sudah tidak memiliki lagi lahan garapan, secara otomatis dia bukan lagi anggota OTL atau secara tidak langsung dia telah mengundurkan diri dari keanggotaan OTL Pasawahan II.
5.2 Hubungan Kerja Antar Petani Menurut Wiradi dan Makali (1984), hubungan kerja antar petani dapat dilihat dari sistem upah yang dipakai, besar dan bentuk upah, jam kerja, satuan kegiatan, upah per hari kerja, dan upah per satuan kegiatan. Bentuk dan sistem upah yang selama ini berkembang di masyarakat adalah sistem upah harian, sistem upah borongan, ceblokan, sambatan, tukar tenaga, dan gotong royong. Pada saat perkebunan masih ada atau sebelum reclaiming, sistem upah yang berkembang dimasyarakat Pasawahan yaitu sistem upah harian, borongan, maro, ceblokan, dan mertelu. Bagi masyarakat yang bekerja di perkebunan mereka bekerja dengan sistem upah. Besarnya upah didasarkan pada banyak tidaknya hasil sadapan. Ada juga masyarakat yang diperbolehkan menanam tanaman di lahan perkebunan. Mereka dikenakan sistem bagi hasil 80:20. Hasil produksi yang 20 dihitung sebagai biaya sewa atau upeti atas tanah yang digunakan dan diserahkan melalui mandor. Sistem mertelu mulai ditinggalkan masyarakat karena dianggap terlalu memberatkan penggarap. Semua biaya pengolahan mulai dari pengolahan tanah, pemeliharaan tanaman, penyiangan, dan mengairi sawah, semuanya menjadi tanggungan penggarap. Pemilik lahan hanya berperan dalam menentukan waktu penanaman dan waktu panen, jenis tanam, dan menyediakan uang untuk pembelian pupuk dan bibit. Penggarap hanya memperoleh sepertiga dari hasil panen, dan dua pertiganya hak pemilik.
54
Kini setelah perkebunan tidak ada atau disebut pasca reclaim, bentuk dan sistem upah yang berkembang di masyarakat Pasawahan khususnya OTL Pasawahan II adalah sistem upah harian, borongan, gotong royong, dan ceblokan. Sistem upah harian banyak dilakukan dalam pekerjaan sektor pertanian. Buruh tani yang bekerja dengan upah harian, selain menerima upah berupa uang juga mendapat jaminan makan. Bagi hasil seperti ini mengandung pengertian pelaksanaan pola hubungan buruh dan majikan yang unsur-unsurnya tidak tertulis, tetapi berjalan seperti bagaimana mestinya. Sehingga sistem bagi hasil seperti ini menjadi hubungan kerja yang berlanjut dalam waktu lama. Berikut ungkapan menurut MMN (warga yang bekerja sebagai buruh tani): “Disini bekerja dari jam 07.00-15.00, dikasih makan 2 kali, dan rokok”
Upah antara buruh laki-laki dan perempuan berbeda. Bagi laki-laki upahnya Rp. 25.000,- per hari, sedangkan bagi perempuan Rp. 17.500,- per hari. Selain mendapat upah, pekerja juga mendapat makan sebanyak dua kali, rokok, dan makanan ringan. Kegiatan pertanian yang biasanya diburuhkan adalah kegiatan mengolah tanah (mencangkul) dan tanam. Lebih dari 50 persen anggota OTL memiliki lahan kurang dari tiga kapling. Bagi petani yang memiliki lahan satu kapling, pendapatan dari hasil lahan garapan belum cukup. Apalagi jika lahan yang dimiliki adalah lahan kering dan tanaman yang ditanam adalah tanaman musiman. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari perlu adanya penghasilan tambahan. Tidak cukup hanya dengan mengandalkan hasil dari garapan sendiri. Selain tanah dari hasil perjuangan, ada juga anggota OTL yang memiliki tanah milik atau warisan. Jika kepemilikan tanah digabungkan antara tanah perjuangan dan tanah milik maka kepemilikan tanah seseorang akan semakin luas. Berdasarkan data nominatif lahan garapan OTL Pasawahan II, ± 80 persen masyarakat yang mengajukan permohonan tanah garapan adalah masyarakat yang memiliki tanah sempit atau tidak memiliki tanah sama sekali. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Bapak WWN (Pengurus OTL): “Warga nu ngamohon tanah teh mayoritas warga miskin, nu teu gaduh tanah samasekali. Dina gaduh na oge, paling ngan 10 bata wungkul. Eta oge warisan ti orang tuana, kanggo bumi wungkul tanah sakitu mah.”
55
Terjemahan dalam Indonesia: “Warga yang mengajukan permohonan tanah mayoritas merupakan warga miskin, yang tidak punya tanah sama sekali. Meskipun punya, hanya 10 bata saja. Itu juga warisan dari orang tua, dan hanya untuk membangun rumah saja”
Hal ini lah yang menyebabkan masih adanya buruh tani. Sebelum terjadinya pemusatan aset garapan tanah, petani menggarap lahannya masingmasing tanpa melibatkan tenaga kerja dari luar karena masing-masing petani memiliki lahan garapannya sendiri. Namun setelah adanya jual beli lahan garapan, maka petani yang memiliki lahan luas meminta bantuan dari orang lain untuk bekerja dilahannya terutama dari petani yang memiliki lahan sempit, karena tidak mampu menggarap lahannya sendirian. Bagi petani kecil, kesempatan ini digunakan untuk menambah penghasilannya selain penghasilan dari lahan garapan sendiri. Para buruh tani yang dipekerjakan adalah dari tetangga atau saudara dekat yang lokasinya tidak jauh. Tidak ada yang mendatangkan buruh tani dari luar. Selain atas dasar gotong royong, dalam hal ini juga ada nilai sosialnya. Pemilik tanah dengan memberi pekerjaan, berarti telah memberikan tambahan penghasilan bagi pekerja/buruh. Sistem
upah
borongan,
pekerja
diberikan
batas
waktu
untuk
menyelesaikan pekerjaannya dan pekerjaan akan cepat selesai. Dengan sistem upah borongan, biaya yang dikeluarkannya pun cukup mahal. Misalnya, pekerjaan yang diborong adalah pekerjaan membajak sawah pakai traktor. Biaya yang dikeluarkan mencapai Rp. 300.000,-. Itu sudah termasuk uang untuk membeli solar. Pekerjanya pun dikasih makan dan rokok, namun dengan borongan pekerjaan akan cepat selesai. Selain sektor pertanian, pekerjaan yang memakai sistem upah borongan adalah pekerja bangunan dan tukang kayu. Sistem ceblokan, sudah umum dilakukan oleh masyarakat Pasawahan. Mayoritas masyarakat di Pasawahan adalah sebagai penceblok. Kewajiban penceblok yaitu babut (pembenihan), tandur (nanam benih), ngarambet (membersihkan rumput/tanaman liar/menyiangi), dan panen. Berikut pernyataan JMN (petani penceblok) mengenai sistem ceblokan. “Sistem anu masih bertahan didieu nyaeta sistem nyeblok, hampir sadayana ayeuna mah. Biasana anu diceblokeun dina pas babut, tandur, ngarambet jeung panen”
56
Terjemahan dalam Indonesia: “Sistem yang masih bertahan sampai saat ini yaitu sistem ceblokan, hampir semuanya. Biasanya yang di ceblokin yaitu ketika tabur benih, tanam benih, membersihkan tanaman/rumput, dan panen”
Bagi hasil antara pemilik dan penggarap yang diterapkan dalam sistem ceblokan yaitu sistem 5:1. Misalnya diperoleh hasil panen enam kwintal. Hasil panen yang lima kwintal menjadi milik pemilik lahan, sedangkan hasil panen yang satu kwintal diberikan kepada penggarap atau penceblok. Sistem ini sudah umum digunakan oleh masyarakat Pasawahan. Dengan sistem ini, berarti menjamin kebutuhannya akan tenaga kerja pada waktu mengolah tanah dan tanam tanpa mengeluarkan biaya uang tunai. Bagi masyarakat yang tidak memiliki sawah, pekerjaan dengan sistem upah harian, borongan, dan ceblokan menjadi alternatif usaha untuk memenuhi atau menambah penghasilan guna mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Sedangkan bagi masyarakat yang memiliki lahan pertanian yang luas, mempekerjakan seseorang sebagai bentuk kepedulian antar masyarakat dan saling membantu. Sistem borongan, harian, dan ceblokan sudah berlaku di masyarakat sejak lama. Sebelumnya pernah ada sistem mertelu, dan maro atau nyakap. Namun sekarang sistem mertelu dan maro tersebut sudah jarang diterapkan. Sistem yang digunakan oleh masyarakat sampai saat ini adalah sistem ceblokan, upah harian, dan borongan. Berikut pernyataan NNT (seorang petani perempuan yang melaksanakan sistem nyeblok): “Sistem mertelu, maro, jeung bagi hasil mah tos jarang (tos teu usum). Ayeuna mah didaerah pasawahan hampir seluruhna nganggo sistem ceblokan. Tapi masih aya keneh hiji dua mah nu sok maro atawa bagi hasil” Terjemahan dalam Indonesia: “Sistem mertelu, maro, dan bagi hasil sudah jarang (sudah tidak musim). Sekarang yang ada di daerah Pasawahan hampir semuanya menggunakan sistem ceblokan. Tapi masih ada satu, dua yang masih menggunakan sistem maro atau bagi hasil” Tidak semua pemilik tanah bergantung pada pekerja upahan. Umumnya yang banyak menggunakan tenaga pekerja ada dalam sektor pertanian. Namun luas lahan pertanian itu sendiri hanya 10 persennya saja. Bagi para petani kecil, mereka lebih
57
memilih mengerjakan sendiri tanahnya yang tidak luas itu dengan bantuan dari keluarga atau tetangga. Hanya dalam pekerjaan membajak dan meratakan tanah lah mereka menggunakan tenaga pekerja upahan karena tidak memiliki kerbau atau tidak sanggup menyewa kerbau.
5.3 Pengorganisasian Produksi Sebagaimana diketahui diawal, keadaan daerah
Pasawahan
pada
awalnya
adalah
perkebunan milik Perusahaan PT. Cipicung. Mayoritas tanamannya adalah monokultur, yaitu tanaman karet. Tanaman semusim hanya ditanam oleh petani disela-sela pohon karet saja, seperti padi,
ubi,
diperbolehkan
dan
singkong.
ditanam
Tanaman
ini
oleh perkebunan di
Gambar 4. Pohon Albasia (tanaman jangka panjang)
kawasan HGU PT. Cipicung karena dinilai tidak mengganggu tanaman karet. Hasil panen digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup rumahtangga. Pengelolaan produksi di dalam kawasan HGU perkebunan terdiri dari dua jenis pengelolaan, yaitu pengelolaan perkebunan karet oleh perusahaan perkebunan yang relatif intensif dengan mempergunakan sarana produksi yang sudah baik. Sementara di sisi lain, pengelolaan yang dilakukan oleh petani terhadap jenis tanaman yang dibagihasilkan dengan perkebunan sebagian besar dilakukan secara tradisional, memanfaatkan peralatan dan sarana produksi yang sederhana. Pasca reclaim, kelembagaan produksi dan distribusi di daerah Pasawahan mengalami perubahan yang signifikan. Tanaman karet yang sebelumnya mendominasi digantikan dengan tanaman perkebunan dan pertanian ala petani. Tanaman karet dianggap sebagai tanaman yang “haram” dibudidayakan. Hal ini disebabkan karena tanaman karet dianggap sebagai simbolisasi tanaman perkebunan, bukan tanaman petani. Kelembagaan produksi pasca reclaim diarahkan pada pemenuhan kebutuhan jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang rumahtangga petani. Kebutuhan jangka pendek rumahtangga petani direpresentasikan oleh penanaman tanaman semusim seperti jagung, kacang-kacangan, singkong, dan
58
padi. Representasi tanaman jangka menengah adalah tanaman buah seperti pisang, jengkol dan petai dan beberapa tanaman perkebunan seperti cokelat. Adapun tanaman jangka panjang adalah jenis tanaman kayu-kayuan seperti albasia dan kelapa. Tanaman jangka pendek untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang hasilnya lebih cepat didapat. Tanaman jangka menengah juga untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, namun hasilnya hanya dapat diambil pada musim tertentu. Jika ada hasil lebih, hasilnya dijual ke pasar sebagai penghasilan tambahan. Sedangkan tanaman jangka panjang lebih untuk investasi masa depan. Pada masa perkebunan, petani hanya dapat menanam tanaman singkong, pisang, kacang-kacangan, ubi, dan tanaman semusim lainnya yang tidak mengganggu tanaman utama perkebunan. Itu pun harus sesuai izin dari perkebunan, karena tanaman tersebut ditanam di lokasi perkebunan dengan sistem bagi hasil. Kini setelah berhasil mereclaim lahan, masyarakat lebih bebas dalam menggarap lahan mereka. Tanaman yang ditanam lebih beragam dan menjadi sumber utama penghasilan untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga. Berikut adalah tabel yang merangkum perbedaan kelembagaan produksi pertanian pra dan pasca reclaim lahan di OTL Pasawahan, Desa Pasawahan. Tabel 13. Perbandingan Kelembagaan Produksi Pertanian Pra & Pasca Reclaim Lahan di OTL Pasawahan, Desa Pasawahan, tahun 2009 Organisasi Produksi Pola Tanam
Jenis tanaman
Pra-Reclaim
Pasca Reclaim
Dominan tanaman karet perkebunan (monokultur). Tanaman semusim hanya ditanam petani penggarap pda sela-sela tanaman karet. Tanaman monokultur karet Tanaman semusim yang biasa dibudidayakan oleh petani antara lain: padi, ubi dan pisang
Polikultur, yaitu mengkombinasikan tanaman semusim dengan tanaman tahunan/keras dan tanaman buah.
Tanaman padi sawah Tanaman semusim: singkong, ubi, jagung. Tanaman buah: mangga, pisang, kedondong, durian, Tanaman tahunan/keras: albasia (sengon), petai, kelapa, mahoni. Tanaman perkebunan: cokelat, kopi.
Sumber: Hasil Riset Sistematis SAINS-STPN, 200912
12
Dinamika Tata Kuasa, Tata Kelola, dan Tata Produksi di DAS Citanduy: Inisiatif Rakyat Dalam Pembangunan Sumber-sumber Penghidupan Berkelanjutan. Sajogjo Institute dan Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional. 2009
59
Menurut hasil riset sistematis SAINS-STPN (2009), kelembagaan produksi pertanian yang dilakukan oleh masyarakat sudah mengarahkan mengenai perlunya tanaman yang bersifat konservatif terhadap tanah reclaim. Hal ini dilakukan dalam bentuk melakukan penanaman tanaman kayu pada kawasan yang memiliki kemiringan relatif curam. Tujuan penanaman kayu adalah untuk membentuk daerah tangkapan air di tanah-tanah yang memiliki kemiringan curam. Konseptualisasi mengenai kelembagaan produksi yang bersifat konservasi hingga saat ini masih belum banyak terealisasi dengan baik. Orientasi penataan kelembagaan produksi pasca reclaim lebih banyak diarahkan pada pemenuhan kebutuhan ekonomi rumahtangga petani. Bagi petani yang menggarap sawah, untuk bibit padi yang digunakan merupakan bibit padi lokal. Pernah ada bantuan bibit padi dari dinas pertanian, namun ada yang cocok dan ada yang tidak. Untuk penggunaan pupuk, sebagian besar petani sudah menggunakan pupuk kimia. Bagi petani yang kekurangan modal, biasanya menghutang pupuk terlebih dahulu ke toko kemudian dibayar setelah panen. Atau meminjam modal terlebih dahulu kepada tetangga yang punya modal, kemudian dibayar setelah panen. Keadaan menunjukkan
pasca perubahan
reclaim yang
telah
signifikan.
Lahan perkebunan yang digarap oleh para petani mulai ditanami tanaman-tanaman jangka pendek, menengah, dan jangka panjang untuk memenuhi kebutuhan ekonomi rumahtangga. Tidak semua rumahtangga yang melakukan reclaiming memiliki sawah, karena tidak semua
Gambar 5. lahan yang digarap oleh petani
lahan yang diredistribusikan cocok digunakan untuk sawah. Bagi rumahtangga yang memiliki sawah (hasil perjuangan), mayoritas kegiatan pertanian khususnya menanam padi hanya dapat dilakukan dua kali dalam setahun. Meskipun ada yang menanam tiga kali setahun, semua bergantung pada ketersediaan air. Berikut ditampilkan kalender musim dari OTL Pasawahan II terkait dengan kegiatan produksi pertanian berdasarkan riset sistematis yang dilakukan oleh SAINS-STPN (2009).
60
Jenis tanaman pertanian yang ditampilkan dalam kalender musim dibawah ini antara lain tanaman musiman yaitu padi, kacang panjang, jagung, ubi jalar, cengek, dan genjer. Tabel 14. Kalender Musim di OTL Pasawahan II, Desa Pasawahan, tahun 2010 Bulan
Padi
Januari Macul (2 Minggu), Tandur
Februari Maret
2 minggu setelah tandur disiangi (2 kali), Pemupukan (2 kali), penyemprot an
Kacang panjang Tanam kacang panjang, bersamaan dengan tandur
Jagung Ditanam bersamaan dengan tandur padi
Mei
10-15 Mei Panen
Juni
Tebar benih
Juli
Agustus
September
Macul (2 Minggu), tandur 2 minggu setelah tandur disiangi (2 kali), pemupukan (2 kali), penyemprot an
Mulai panen
Panen ubi jalar Tanam ubi jalar
Ditanam bersamaan dengan tandur padi
Tanam
Panen kacang panjang
Panen ubi jalar
Tanam ubi jalar
Mulai panen Panen bersamaan dengan padi
Panen Tebar benih
Tanam ubi jalar
Dilanjutkan dengan panen setiap 3-4 hari
Panen kacang panjang Tanam kacang panjang
November
Desember
Tanam (Januari akhir)
Panen bersamaan dengan padi
Tanam kacang panjang
Oktober
Ubi jalar
Panen kacang panjang
Tanam kacang panjang
April
Cengek
Genjer Ditanam bersamaan dengan tandur padi (januari akhir) Panen setelah 2 minggu, lalu dijual setiap 3 hari
Ditanam bersamaan dengan tandur padi Panen setelah 2 minggu, dijual setiap 3 hari
Panen setiap 3-4 hari
Panen kacang panjang
Panen ubi jalar
Sumber: Hasil Riset Sistematis SAINS-STPPN, 2009 (diolah)
Tanaman yang ditanam oleh petani yang menggarap lahan kering lebih beragam macamnya, yaitu tanaman jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang. Bibit tanaman-tanaman jangka pendek dapat diperoleh dari kerabat atau meminta ke tetangga. Ada juga petani yang melakukan pembibitan dengan
61
sendiri. Namun untuk bibit tanaman jangka menengah dan jangka panjang umumnya harus beli. Biasanya beli dari tukang bibit yang keliling, namun kalau untuk jumlah besar harus beli dari penjual bibit di luar desa. Umumnya petani menanam lahan mereka dengan tanaman tumpang sari. Misalnya, selain ditanamai pohon albasia, juga ditanami pohon pisang, pohon singkong, dan kacangkacangan. Tanaman yang ditanam di kebun biasanya jarang di pupuk, asalkan harus rajin dibersihkan sehingga tanaman liar tidak menganggu proses pertumbuhan tanaman utama. Meskipun ada, hanya menggunakan pupuk kandang. Alat pertanian yang digunakan mayoritas petani masih menggunakan peralatan tradisional. Misalnya cangkul, sabit, garpu, dan bedok (bahasa lokal). Namun untuk membajak sawah, sebagian petani sudah ada yang menggunakan mesin traktor, hal ini untuk mempermudah pekerjaan agar cepat selesai. Ada juga petani yang masih menggunakan jasa tenaga kerbau. Hasil
panen
umumnya
digunakan
untuk
memenuhi
kebutuhan
rumahtangga masing-masing, tapi jika ada hasil lebih, padi tersebut disimpan atau dijual untuk membayar hutang yang dijadikan modal awal tadi. Untuk menjual hasil panen, umumnya petani menjual hasil panennya melalui tengkulak, walaupun petani menyadari bahwa melalui tengkulak harga jual menjadi lebih rendah. Karena jika tidak melalui tengkulak, petani harus membawa hasil panennya tersebut ke pasar yang lokasinya sangat jauh dan mengeluarkan biaya lebih besar untuk proses transportasi. Sehingga tingkat ketergantungan petani terhadap tengkulak masih cukup besar. Hal ini diperkuat dengan penjelasan dari AMD (seorang petani): “Untuk menjual hasil panen biasanya tengkulak yang datang sendiri kepada kita. Bahkan untuk tanaman seperti petai atau kopi, sebelum matang pun mereka sudah datang untuk membelinya (ijon)” Hal ini menunjukkan bahwa posisi rakyat dalam membangun dan mengembangkan penataan produksi masih lemah. Oleh karena itu perlu dibangun dengan cara membentuk jaringan komunikasi yang efektif dan pengorganisasian yang baik. Ketergantungan rakyat terhadap pemodal dan tengkulak harus dihapus, dan diganti dengan memberdayakan kekuatan-kekuatan lokal yang terorganisir
62
serta membangun komunikasi antar organisasi rakyat. Inilah yang menjadi kelemahan petani OTL Pasawahan, belum mampu menata produksi dengan baik. Mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh petani di atas, pihak OTL memiliki inisiaif yang cukup baik. Sehingga petani tidak bergantung pada tengkulak dan pemodal. Pada tahun 2010, tepatnya bulan Maret, OTL Pasawahan II berhasil mendirikan sebuah Koperasi Tani yang bernama “Mukti Pasundan” yang diketuai oleh Pak Wawan. Keberadaan koperasi tani ini diharapkan dapat memenuhi semua kebutuhan yang diperlukan oleh petani. Menurut pernyataan salah seorang pengurus koperasi, “koperasi ini diharapkan mampu menampung hasil produksi pertanian dari para petani, tanpa petani harus menjualnya langsung ke tengkulak”. Koperasi tani yang sudah berdiri kurang lebih tiga bulan ini, baru memiliki anggota sebanyak 40 orang. Dengan uang sebesar Rp. 70.000,- sudah dapat masuk menjadi anggota koperasi. Sekretariat koperasi sementara sekarang masih menggunakan rumah salah satu pengurus, sambil menunggu sekretariat koperasi dibangun. Fasilitas koperasi belum sepenuhnya lengkap, masih dalam tahap pembenahan.
5.4 Sertifikasi Lahan (Legalisasi) Menurut Wijardjo dan Perdana (2001), pengakuan secara hukum atau dikenal pula dengan legalisasi, tidak sekedar berharap atas sertifikat hak atas tanah. Namun lebih dari itu, yakni pengakuan terhadap segala proses penguasaan dan pemilikan lokal, termasuk pengetahuan dan kearifan lokal, dan sistem sosial yang berkembang di komunitas tersebut. Mengupayakan pengakuan secara hukum, dengan konsekuensi yang harus dihadapi, merupakan bagian dari tindakan yang dilakukan pasca reclaiming. Dua kemungkinan yang mungkin bisa terjadi dan merupakan bentuk konsekuensi yang harus disikapi sebagai perjuangan reclaiming yaitu, berhasil atau gagal merebut kembali hak-hak rakyat secara legal. Sesungguhnya pengakuan hukum pemerintah, dalam penerbitan sertifikat, tidak sepenuhnya
63
dapat menjamin kelanggengan kepemilikan yang telah berhasil diperoleh melalui perjuangan reclaiming. Secara defacto, masyarakat sudah menduduki dan menggarap lahan perkebunan sejak tahun 2001. Namun secara dejure, masyarakat belum memiliki hak yang sah untuk menduduki lahan perkebunan. Dalam diri masyarakat masih ada rasa was-was karena lahan yang mereka garap belum dimiliki secara sah sepenuhnya. Berikut ungkapan DD (anggota OTL Kelompok Munggang Wareng) ketika ditanya masalah sertifikat tanah: “Bapa mah belum tenang kalau belum ada sertifikat teh, suatu hari takut ada pihak yang mengambil kembali tanah perjuangan. Mau ngegadein tanah aja susah karena belum ada sertifikat tanahnya”
Rasa was-was yang muncul dalam diri masyarakat tersebut merupakan hal yang wajar. Karena tanah yang sekarang digarap oleh masyarakat belum legal secara hukum. Oleh karena itu, upaya pengakuan secara hukum menjadi bagian dari agenda perjuangan pasca reclaim. Bersama dengan pendamping yang selama ini terus mendampingi masyarakat SPP Pasawahan dalam perjuangan tanah yaitu FARMACI, mengajukan permohonan tanah kepada pejabat pemerintah yang membidangi hak atas tanah (Kantor Kementrian, Badan Pertanahan Nasional/ BPN, Pemerintah Daerah/ Pemda). Menurut Wijardjo dan Perdana (2001) menjelaskan bahwa pengakuan legal tidak identik dengan perolehan sertifikat hak atas tanah, namun memiliki pengertian yang lebih luas, yakni kebijakan pemerintah yang mengakui penguasaan dan pemilikan sumberdaya alam, yang tidak hanya tanah dan objek reclaiming lainnya. Di luar sertifikat, dapat berupa surat keputusan (SK), rekomendasi, surat keterangan, dapat pula dikeluarkan kebijakan peraturan perundang-undangan. Masyarakat Pasawahan menganggap bahwa sertifikat hak atas tanah merupakan yang paling kuat kekuatan hukumnya dan sangat penting. Selain itu sertifikat sudah umum digunakan oleh masyarakat sebagai bukti kepemilikan tanah. Pendirian koperasi menjadi salah satu syarat dalam pengajuan sertifikat. Menurut pendapat informan, bahwa untuk diperoleh sertifikat perlu adanya lembaga yang berbadan hukum (bagi pengajuan sertifikat kolektif). Akhirnya,
64
selain berfungsi sebagai tempat untuk memenuhi kebutuhan petani, juga untuk syarat diajukannya sertifikat. Sampai tahun 2010, pengajuan sertifikat atas tanah sengketa yang berada di daerah Pasawahan masih dalam proses. Di masyarakat sendiri wacana sertifikasi ini menjadi isu yang hangat untuk diperbicangkan. Pada awalnya, pengajuan sertifikat yang diajukan kepada pemerintah adalah sertifikat kolektif. Namun, pengajuan sertifikat kolektif yang semula disetujui bersama, kini terpecah dengan adanya masyarakat yang ingin sertifikat tersebut untuk di individu kan. Adanya kedua perbedaan pendapat ini sedikit menghambat terhadap jalannya pengajuan sertifikat. Wacana sertifikat kolektif semula diusulkan oleh pendamping dalam acara musyawarah, namun kelirunya pendamping tidak menjelaskan kepada masyarakat akan kelebihan dan kekurangan dari sertifikat kolektif tersebut. Menurut ungkapan EPL (pendamping OTL dari FARMACI), alasan pengajuan sertifikat secara kolektif ini yaitu: “Kita bercermin pada kasus yang terjadi di Desa Banjaranyar, OTL Banjaranyar II. Di Banjaranyar II, sertifikat atas tanah di individu kan. Jadi semua anggota OTL memperoleh sertifikat pribadi masing-masing. Namun apa yang terjadi?.... Sekarang banyak anggota OTL yang menjual, menggadaikan tanah perjuangannya ke orang luar/ pemilik modal. Kita tidak mau hal serupa terjadi di Pasawahan”
Namun masyarakat memiliki alasan lain. Masyarakat menganggap jika sertifikat tersebut dikolektifkan, ruang gerak masyarakat akan terbatas. Selain itu, sertifikat tersebut memiliki masa berlakunya, sehingga itu sama saja dengan HGU. Jika sudah habis masa berlakunya harus diperpanjang kembali. Bagaimanapun juga masyarakat lambat laun akan bertanya-tanya. Berikut kutipan wawancara antara peneliti dengan SPN (ketua kelompok OTL) ketika ditanya tentang sertifikat: Peneliti: “Untuk sertifikat, bapa lebih memilih yang kolektif atau individu?” Jawab (Responden): “Bapa lebih memilih yang individu lah. Kan kalau individu bisa jadi lebih leluasa. Selain itu juga dimiliki seumur hidup. Bapa ingin anak cucu bapa dapat merasakan hasil perjuangannya. Bapa tidak mau anak cucu bapa mengalami hal yang sama seperti bapa”. Peneliti: “Bagaimana dengan kasus tanah yang dijual atau disewakan?, apakah bapak tidak khawatir?”
65
Jawab (Responden): “Jika sistem yang kita buat lebih kuat, insyaallah hal itu tidak akan terjadi. Pengawasan harus lebih ditingkatkan, dan koordinasi dengan ketua kelompok harus lebih sering. Penyadaran kepada anggota juga harus tetap diungkapkan, bahwa tanah perjuangan yang kita peroleh tidaklah mudah.”
Kedua alasan yang diungkapkan di atas sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing serta sama-sama memiliki alasan yang kuat. Sehingga pengkutuban diantara anggota OTL dan pendamping pun tidak dapat dihindarkan. Salah seorang tokoh OTL menjawab kekhawatiran yang di ungkapkan oleh pendamping, “Jika kelembagaan yang dibangun oleh masyarakat benar-benar kuat, insyaallah tidak akan terjadi yang namanya jual, gadai, dan penyewaan tanah. Justru itu menjadi tantangan kita kedepannya”.
Sampai saat ini, keputusan untuk sertifikat kolektif atau individu belum selesai. Pembicaraan diantara anggota OTL belum memenuhi kata sepakat. Hal ini menjadi PR bagi pengurus dan pendamping untuk dimusyawarahkan lebih lanjut lagi bersama anggota OTL lainnya sehingga diperoleh mufakat. Jika tidak, hal ini akan menimbulkan perpecahan diantara sesama anggota OTL bahkan bisa terjadi antara anggota dan pengurus atau pendamping. Berikut merupakan kelebihan dan kekurangan dari sertifikasi kolektif dan individu berdasarkan pernyataan beberapa informan: Tabel 15. Kelebihan dan Kekurangan Sertifikat Kolektif dan Individu Sertifikat Kolektif
Individu
Kelebihan
Kekurangan
Aset perjuangan lebih mudah pengawasannya
terjaga/
Ruang gerak anggota OTL terbatas
Menghindari penjualan, penggadaian, dan penyewaan tanah
Memiliki kurun waktu tertentu
Sama dengan HGU
Kepemilikan atas nama pribadi
Kepemilikan hak atas tanah seumur hidup
Lebih mudah terjadinya jual beli tanah/ gadai
Anggota OTL leluasa untuk bergerak, tanpa harus terbatas oleh kelompok.
Sumber: Informan dan Responden OTL Pasawahan II, 2010
66
5.5 Ikhtisar Secara defacto lahan seluas 200 hektar yang saat ini dikelola oleh OTL Pasawahan II sudah digarap sejak tahun 2001. Secara dejure, lahan tersebut belum sah. Proses pengajuan hak secara sah sampai saat ini masih menjadi perdebatan yang hangat karena adanya keinginan yang berbeda antar sesama anggota. Aspek penataan produksi menunjukkan bahwa ketergantungan petani terhadap tengkulak terlihat masih sangat tinggi. Hal tersebut disebabkan karena petani harus menjual hasil panennya ke pasar yang lokasinya sangat jauh dari desa. Hal ini mengakibatkan penataan produksi rakyat menjadi terganggu. Informasi mengenai lokasi dan struktur agraria Desa Pasawahan dapat di lihat pada Tabel 16: Tabel 16. Gambaran Profil Desa Pasawahan dan Arena Perjuangan Agraria No 1
Uraian Kondisi Geografis
2
Kondisi Demografis Penduduk
3
Informasi Spesifik Desa Pasawahan terletak pada ketinggian 750 meter dari permukaan laut, berbukit-bukit, dan suhu rata-rata 24ºC
Keterangan
Sebanyak 31,5 persen keluarga yang tidak memiliki lahan, 52,29 persen lahan sempit, dan sisanya memiliki lahan luas
Tidak berlahan maksudnya mereka yang tidak memiliki lahan untuk digarap dan dijadikan tempat untuk memperoleh pendapatan, lahan sempit yaitu kurang dari 1 hektar. Hanya ada 1 SMP (baru berdiri tahun 2004) dan 1 SMK (baru berdiri tahun 2008) Meskipun semuanya telah memiliki lahan garapan, pekerjaan sebagai buruh tani untuk menambah penghasilan.
Pendidikan
Mayoritas pendidikan SD dan SMP
Ketenagakerjaan
Mayoritas buruh tani
Organisasi Kemasyarakatan Kelompok Tani Koperasi
adalah
petani
dan
Terdapat 2 OTL, Pasawahan I dan II Di Pasawahan II baru berdiri pada Mei 2010
Kasus yang dihadapi berbeda. Belum memiliki sekretariat, masih menggunakan rumah salah seorang anggota OTL. Adanya Koperasi ini diharapkan dapat menghapuskan ketergantungan petani terhadap tengkulak dan pemodal.
67
4
Struktur Agraria Lokal dan Praktek Pemanfaatan Lahan Sistem Kepemilikan
Pemanfaatan
Kelembagaan pemilikan dan penguasaan tanah
Sejarah Lokal
Agraria
Belum bersertifikat
Lahan yang berhasil di reclaim yaitu 200 Ha. Sawah 12 hektar, dan kebun 180 hektar. Semua anggota yang mengajukan dapat 1 kapling dengan syarat berumur 17 tahun, KTP, dan benar-benar membutuhkan tanah untuk digarap. Bagi hasil yang dominan dilakukan di Pasawahan yaitu sistem ceblokan (sistem 5:1). Lahan yang direclaim awalnya merupakan lahan yang ditanami karet, kemudian pada tahun 2001 rakyat membuka lahan tersebut dengan mengganti tanaman karet dengan tanaman rakyat. Rakyat mulai menanam tanaman jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang.
Masih dalam tahap pengajuan, namun muncul dua kubu yaitu anggota yang ingin sertifikat kolektif dan sertifikat individu. Sisanya digunakan untuk kolam dan fasilitas umum dan sosial Ada kapling luar dan kapling dalam yang luasnya berbeda. (kapling luar = 1050 m2; kapling dalam =2500 m2). Sistem upah antara buruh dan majikan selain ceblokan, ada juga sistem upah harian dan borongan.
Sumber: Gabungan dari Data Primer dan Data Sekunder, tahun 2010
Tujuan
utama
mereclaim
lahan
dari
perkebunan
adalah
untuk
kesejahteraan rakyat. Setelah bergabung dalam OTL Pasawahan II, petani yang awalnya tidak memiliki lahan garapan, kini sudah memiliki lahan garapan sendiri. Petani yang membutuhkan modal, terpaksa harus menggadaikan atau mengoper lahan garapannya kepada pihak yang memiliki modal. Hal tersebut yang menyebabkan munculnya polarisasi kepemilikan tanah. Adanya anggota yang melakukan jual beli lahan tanpa sepengetahuan pengurus menunjukkan bahwa mekanisme kelembagaan dalam OTL belum kuat dan menguntungkan pemilik modal. Tidak adanya aturan yang mengatur tentang kepemilikan lahan, mengakibatkan anggota leluasa dalam menggunakan hak kepemilikan lahan. Mekanisme kelompok yang ada hanya sebatas wadah untuk mengontrol anggota dan untuk menampung berbagai jenis pendapat dan memberikan informasi seputar isu-isu yang berkembang khususnya terkait dengan sertifikasi lahan.
BAB VI TINGKAT KESEJAHTERAAN MASYARAKAT YANG TERGABUNG DALAM OTL PASAWAHAN II PASCA RECLAIMING Menurut Sadiwak (1985) dalam Munir (2008) bahwa kesejahteraan merupakan kepuasan yang diperoleh seseorang dari hasil mengkonsumsi pendapatan yang diterima, namun tingkat kesejahteraan merupakan sesuatu yang bersifat relatif karena tergantung dari besarnya kepuasan yang diperoleh dari hasil mengkonsumsi pendapatan tersebut. Menurut Badan Pusat Statistik tahun 1995 indikator kesejahteraan dapat dilihat dari aspek tertentu, misalnya kependudukan, kesehatan dan gizi, pendidikan, ketenagakerjaan, taraf dan pola konsumsi, perumahan dan lingkungan, serta sosial dan budaya. Namun, karena tingkat kesejahteraan bersifat relatif perlu, maka ditetapkan kembali indikator-indikator kesejahteraan berdasarkan persepsi dari masyarakat setempat, dalam hal ini berdasarkan persepsi masyarakat Pasawahan. Berikut merupakan beberapa indikator yang diperoleh berdasarkan kesepakatan masyarakat Pasawahan melalui FGD. Masyarakat menetapkan lima indikator kesejahteraan rumahtangga petani Pasawahan, yaitu kondisi tempat tinggal, tingkat pendapatan, kepemilikan aset, MCK/kamar mandi, dan Sumber air. Penetapan indikator ini berdasarkan pada situasi dan kondisi masyarakat saat ini. Responden pada penelitian ini merupakan masyarakat Pasawahan yang menjadi anggota OTL Pasawahan II yaitu sebanyak 40 orang.
6.1 Indikator Kesejahteraan 6.1.1 Tingkat Kondisi Tempat Tinggal Responden Kondisi tempat tinggal dijadikan sebagai salah satu indikator untuk mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat Desa Pasawahan karena menurut BPS, 1995 dalam Munir (2008) menerangkan bahwa semakin baik fasilitas yang dimiliki, dapat diasumsikan semakin sejahtera rumahtangga yang menempati rumah tersebut. Kondisi tempat tinggal masyarakat sebelum mereclaim sudah terbilang cukup bagus. Atap sudah terbuat dari genting, lantai sudah ada yang
69
terbuat dari semen, dan dinding sudah terbuat dari bilik bambu. Sesuai dengan pernyataan dari CNT (pemilik warung sekaligus anggota OTL): “Dulu mah rumah ibu masih “saung”, asal ada buat berteduh” Pernyataan yang singkat di atas cukup menggambarkan bagaimana kondisi tempat tinggal masyarakat sebelum reclaim. Istilah “saung” menunjukkan kondisi rumah yang masih terbuat dari bilik bambu dan pondasi rumah yang tidak kokoh. Pada penelitian ini, kondisi tempat tinggal dilihat berdasarkan kondisi atap, lantai dan dinding. Untuk atap dibedakan berdasarkan atap genting, asbes, dan daun kirai. Lantai dibedakan berdasarkan lantai keramik, semen, dan tanah. Sedangkan untuk dinding dibedakan berdasarkan dinding tembok, dan bambu/ bilik. Kondisi tempat tinggal dibedakan menjadi tiga tingkatan, yaitu: tinggi (atap genting, lantai keramik, dinding tembok), sedang (atap genting, lantai semen, dinding bilik bambu), dan rendah (atap asbes, lantai tanah, dinding bilik bambu). Kondisi tempat tinggal diukur dengan menjumlahkan skor dari hasil jawaban responden: Tabel 17. Distibusi Responden Menurut Kondisi Tempat Tinggal di OTL Pasawahan II, tahun 2010 Kondisi Tempat Tinggal Jumlah (n) Persentase (%) Atap asbes, lantai tanah, dinding bilik bambu 0 0 Atap genting, lantai semen, dinding bilik 7 17,5 bambu Atap genting, lantai keramik, dinding tembok 33 82,5 Jumlah 40 100 Tabel 16 menunjukkan bahwa sebagian besar (82,5 persen) anggota OTL Pasawahan II kondisi tempat tinggalnya sudah meningkat, namun masih ada 17,5 persen anggota OTL yang kondisi tempat tinggalnya masih sedang. Hal ini menunjukkan bahwa keadaan masyarakat setelah bergabung kedalam OTL dan memperoleh lahan garapan mengalami peningkatan. Sebagian besar anggota OTL dapat memperbaiki kondisi tempat tinggalnya menjadi lebih baik, bahkan sudah bisa dikatakan sangat meningkat. Hasil yang diperoleh dari lahan garapan masyarakat mampu memperbaiki kehidupan dengan menata kembali kondisi tempat tinggal. Berikut ungkapan NNH (anggota OTL Pasawahan II):
70
“Alhamdulillah jang, saatosna gabung SPP, ibu jadi nggaduhan lahan kanggo digarap. Tina hasil garapan eta, alhamdulillah ibu tiasa ngagentos tehel anu tadina tina semen janten keramik. Meskipun hasil panen saalit, ku ibu disimpen. Teu sadayana dianggo”. Terjemahan dalam Indonesia: “Alhamdulilah de, setelah gabung SPP, ibu jadi memiliki lahan garapan. Dari hasil garapan itu, alhamdulillah ibu bisa mengganti lantai dari semen jadi keramik. Meskipun hasil panen sedikit, ibu rajin nabung. Tidak semuanya dipakai”.
Pernyataan di atas menjelaskan, untuk memperbaiki kondisi tempat tinggal, hasil dari panen lahan garapan tidak semuanya dibelanjakan. Bagi petani yang hasil panennya sedikit, mereka tidak membelanjakan semua hasil penen tersebut, namun sebagian disimpan untuk memperbaiki tempat tinggal sedikit demi sedikit. Namun bagi petani yang hasil panennya tinggi, mereka ada yang mampu membangun kembali rumah. Misalnya, Bapak JML memanen pohon albasia yang sudah ditanamnya selama ± 5 tahun. Dari hasil panen tersebut, beliau kembali membangun rumah yang baru di lahan hasil perjuangan.
6.1.2 Tingkat Pendapatan Responden Pendapatan rata-rata per bulan responden, yaitu pendapatan per bulan yang diperoleh responden sesuai jenis pekerjaan yang digeluti. Tingkat pendapatan responden sebelum merecalim masih tergolong rendah. Karena pekerjaan yang digeluti oleh masyarakat tidak tetap. Menurut data nominatif lahan tahun 2009, tingkat pendapatan sebelum dan sesudah memiliki lahan garapan mengalami perubahan yang cukup besar. Misalnya, Cucu yang awalnya hanya memiliki pendapatan Rp. 10.000/ bulan, kini pendapatannya menjadi Rp. 300.000/ bulan. Pada penelitian ini tingkat pendapatan diukur berdasarkan selang yang diperoleh dari hasil rata-rata pendapatan responden dan dibagi menjadi tiga tingkatan yaitu tinggi (Rp. 2.000.000 < x < Rp. 3.000.000/ bulan), sedang (Rp. 1.100.000 < x < Rp. 2.000.000/ bulan), dan rendah (Rp. 200.000 < x < Rp. 1.100.000/ bulan). Distribusi responden berdasarkan tingkat pendapatan rata-rata per bulan dapat dilihat pada Tabel 18 di bawah ini:
71
Tabel 18. Distribusi Tingkat Pendapatan Responden di OTL Pasawahan II, tahun 2010 Tingkat Pendapatan (Rp/bulan) Jumlah (n) Persentase (%) 200.000 < x < 1.100.000 32 80 1.100.000 < x < 2.000.000 6 15 2.000.000 < x < 3.000.000 2 5 Jumlah 40 100 Tabel 18 menunjukkan sebagian besar pendapatan responden rendah (80 persen), yaitu antara Rp. 200.000 - Rp. 1.100.000/ bulannya. Ada juga responden yang memiliki pendapatan tinggi (5 persen) dengan pendapatan Rp. 2.000.000 Rp. 3.000.000/ bulannya. Responden yang rata-rata pendapatannya rendah karena pekerjaan utama mereka adalah bertani. Selain itu, luas lahan yang dimiliki oleh responden merupakan lahan sempit dan hasil yang diperoleh tidak besar dan tidak tetap. Sedangkan responden yang rata-rata pendapatannya tinggi karena selain memiliki lahan yang luas, mereka juga tidak bekerja pada satu jenis pekerjaan saja. Misalnya, sebagai pegawai desa, guru, dan buruh bangunan.
6.1.3 Kepemilikan Aset Responden Kepemilikan aset merupakan banyaknya barang berharga yang dimiliki oleh responden berupa barang-barang elektronik dan kendaraan bermotor. Kepemilikan aset dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu tinggi, sedang, dan rendah. Kategori tinggi yaitu bagi responden yang memiliki kendaraan bermotor dan barang elektronik lebih dari dua jenis. Kategori sedang yaitu responden yang memiliki barang elektronik lebih dari dua jenis. Sedangkan kategori rendah yaitu responden yang memiliki barang elektronik maksimal dua jenis. Distribusi kepemilikan aset responden dapat dilihat pada Tabel 19 di bawah ini: Tabel 19. Distribusi Kepemilikan Aset Pada Responden di OTL Pasawahan II, tahun 2010 Kepemilikan Aset Jumlah (n) Persentase (%) Memiliki barang elektronik maks. dua jenis 2 5 Memiliki barang elektronik lebih dari dua 8 20 jenis Memiliki kendaraan bermotor dan barang 30 75 elektronik lebih dari dua jenis Jumlah 40 100
72
Tabel 19 menunjukkan bahwa kepemilikan aset responden tinggi sebanyak 30 orang atau 75 persen dan 2 orang atau 5 persen termasuk kategori rendah. Data tersebut menunjukkan bahwa anggota OTL Pasawahan II sudah mampu memiliki kendaraan bermotor dan mampu membeli barang elektronik seperti televisi, radio, VCD/DVD, handphone, setrika, lemari es, dan lainnya. Kendaraan bermotor dianggap lebih penting karena sebagai alat transportasi masyarakat. Melihat kondisi daerah yang sulit dijangkau oleh transportasi umum, sehingga kendaraan bermotor khususnya sepeda motor menjadi alat transportasi utama yang digunakan oleh masyarakat pasawahan. Selain sebagai alat transportasi, sepeda motor juga digunakan sebagai alat pengangkut hasil perkebunan. Misalnya untuk membawa pakan ternak (rumput), membawa kayu yang sudah dipotong-potong, dan untuk menjual hasil kebun ke pasar di daerah Banjarsari
6.1.4
Sumber Air yang Digunakan oleh Responden Sumber air merupakan asal atau sumber air yang digunakan oleh
responden untuk kebutuhan sehari-hari. Sumber air dibedakan menjadi tiga, yaitu tinggi (sumber air yang berasal dari sumur sendiri), sedang (sumber air yang berasal dari sumur milik umum), rendah (sumber air yang berasal dari mata air). Ditribusi sumber air yang digunakan oleh responden dapat dilihat pada Tabel 20 di bawah ini: Tabel 20. Distribusi Sumber Air yang Digunakan oleh Responden di OTL Pasawahan II, tahun 2010 Sumber Air Jumlah (n) Persentase (%) Mata Air 19 47,5 Sumur Umum 5 12,5 Sumur Sendiri 16 40 Jumlah 40 100 Tabel 20 menunjukkan bahwa responden yang menggunakan mata air sebagai sumber air dalam kehidupan sehari-harinya sebanyak 19 orang atau 47,5 persen. Sedangkan sebanyak 16 orang atau 40 persen dari responden sudah memiliki sumur sendiri. Bagi responden yang sumber airnya berasal dari mata air, mereka harus menyiapkan saluran air untuk mengalirkan air dari mata air ke tempat penampungan di rumah masing-masing dengan menggunakan pipa plastik,
73
atau dari bambu. Di Pasawahan khususnya di daerah OTL Pasawahan II, terdapat dua mata air yang digunakan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan seharihari. Responden yang sudah memiliki sumur sendiri, umumnya mereka yang sudah memiliki kamar mandi sendiri. Kedalaman sumur yang digali tidak terlalu dalam, ± 10-15 meter sudah keluar sumber air. Mengambil air dari dalam sumur ada yang sudah menggunakan mesin pompa air, ada juga yang masih manual dengan menggunakan katrol, pakai ember kemudian ditampung di ember atau bak yang sudah disediakan. Adapun yang menjadi alasan kenapa masih banyak yang menggunakan mata air sebagai sumber air, yaitu karena tanah dekat tempat tinggal mereka tidak memiliki kadar air yang cukup bagus, sehingga untuk mendapatkan sumber air harus menggali sumur yang sangat dalam. Semakin dalam menggali sumur, maka biaya yang dikeluarkan juga semakin besar. Hal ini lah yang menyebabkan lebih dari 40 persen responden lebih baik menggunakan mata air sebagai sumber air rumahtangga mereka.
6.1.5
Kamar Mandi/MCK yang Digunakan oleh Responden Kamar mandi/ MCK merupakan fasilitas rumahtangga yang digunakan
sebagai tempat untuk mandi dan buang air besar. Penggunaan kamar mandi/MCK dibedakan menjadi tiga, yaitu: tinggi (responden yang memiliki kamar mandi/ MCK sendiri), sedang (responden yang kamar mandi/MCK nya milik umum), rendah (responden yang kamar mandi/MCK nya di alam terbuka). Distribusi kamar mandi/MCK yang digunakan oleh responden dapat dilihat pada Tabel 21 di bawah ini: Tabel 21. Distribusi Penggunaan Kamar Mandi/MCK oleh Responden di OTL Pasawahan II, tahun 2010 MCK/ Kamar mandi Jumlah (n) Persentase (%) Alam Terbuka 0 0 Milik Umum 6 15 Milik Sendiri 34 85 Jumlah 40 100
74
Tabel 21 di atas menunjukkan bahwa 85 persen dari responden sudah memiliki kamar mandi/ MCK sendiri, dan 15 persen lainnya masih menggunakan kamar mandi/MCK milik umum. Responden yang memiliki kamar mandi/MCK sendiri umumnya mereka yang mampu membuat sumur sendiri atau menampung air dari mata air dengan memakai saluran air seperti selang, pipa air (paralon), atau membuatnya sendiri dengan menggunakan bambu. Selain itu juga, dengan memiliki kamar mandi/MCK sendiri akan lebih mudah dan lebih dekat. Tidak perlu lagi mengantri atau kehabisan air.
6.2 Hubungan Distribusi Penguasaan Tanah dengan Tingkat Pendapatan Responden Berdasarkan hasil penghitungan dengan menggunakan tabulasi silang, maka hubungan antara distribusi penguasaan tanah terhadap tingkat pendapatan dapat dilihat pada Tabel 22 di bawah ini: Tabel 22. Distribusi Tingkat Pendapatan Menurut Luas Pemilikan Lahan di OTL Pasawahan II, tahun 2010 Tingkat Pendapatan Luas lahan Total 2 (m ) Rendah Sedang Tinggi 0 - 9994 24 0 0 24 9995 - 19989 7 4 0 11 19990 - 29981 1 2 2 5 Total 32 6 2 40 Pada Tabel 22 di atas menunjukkan bahwa responden yang memiliki luas lahan rendah, pendapatannya pun rendah. Sebaliknya, responden yang memiliki luas lahan tinggi, pendapatannya tinggi. Jadi semakin luas lahan yang dimiliki, maka pendapatan yang diperoleh semakin tinggi. Hal ini sesuai dengan hasil uji tabulasi silang yang menunjukkan bahwa koefisien kontingensi 0.000 < α 0.050. Artinya, luas lahan sangat berhubungan signifikan terhadap tingkat pendapatan. Pak AMD seorang petani yang memiliki lahan 8 kapling memiliki rata-rata pendapatan + Rp. 3.000.000/ bulan dibandingkan dengan SRN seorang petani yang memiliki lahan dua kapling yang hanya memiliki pendapatan rata-rata + Rp. 500.000/ bulannya. Berdasarkan luas lahan yang dimiliki, jelas terlihat bahwa AMD memiliki luas lahan empat kali lebih besar daripada luas lahan yang
75
dimiliki SRN. Sehingga pendapatan yang diperoleh oleh AMD jauh lebih besar dibandingkan SRN. Lahan yang dimiliki oleh AMD, dua kapling merupakan lahan basah atau sawah dan sisanya merupakan lahan kering. Di sawah ditanami oleh padi dan kacang-kacangan dengan dua kali panen dalam setahun. Sedangkan untuk lahan kering atau kebun ditanami oleh tanaman singkong, pisang, kopi, cokelat, pohon albasia, pohon nangka, pohon kelapa, dan banyak lagi tanaman palawija lainnya. Sedangkan lahan milik SRN yang dua kapling merupakan lahan kering yang hanya ditanami pohon albasia dan diselangi oleh tanaman pisang. AMD sudah pernah memanen pohon albasia yang ditanamnya, sedangkan SRN belum pernah memanennya. Selain dari pohon albasia, tanaman yang lainnya sudah dipanen dan hasilnya dijual ke tengkulak atau untuk konsumsi pribadi. Oleh karena itu, pendapatan AMD lebih tinggi daripada SRN.
6.3 Hubungan Antara Tingkat Pendapatan Responden dengan Kondisi Tempat Tinggal Berdasarkan hasil penghitungan dengan menggunakan tabulasi silang, maka hubungan antara tingkat pendapatan terhadap kondisi tempat tinggal dapat dilihat pada Tabel 23 di bawah ini: Tabel 23. Hubungan Antara Tingkat Pendapatan dengan Kondisi Tempat Tinggal Responden di OTL Pasawahan II, tahun 2010 Kondisi Tempat Tinggal Tingkat Total Pendapatan (Rp/bulan) Rendah Sedang Tinggi 200.000 < x < 1.100.000 0 7 25 32 1.100.000 < x < 2.000.000 0 0 6 6 2.000.000 < x < 3.000.000 0 0 2 2 Total 0 7 33 40 Tabel 23 di atas menunjukkan bahwa responden yang memiliki pendapatan rendah kondisi tempat tinggalnya sudah bagus, namun tidak semua yang pendapatannya rendah kondisi tempat tinggalnya bagus. Ada beberapa responden yang tempat tinggalnya sedang (lantai semen, dinding dari bilik bambu, dan atap genteng). Sedangkan responden yang pendapatannya sedang dan tinggi semua kondisi tempat tinggalnya sudah bagus (lantai keramik, dinding tembok, dan atap genteng). Hal ini menunjukkan bahwa tempat tinggal merupakan
76
kebutuhan utama yang harus segera dipenuhi. Sehingga tingkat pendapatan responden tidak berhubungan dengan kondisi tempat tinggal. Tidak semua responden yang tingkat pendapatannya rendah memiliki kondisi tempat tinggal yang bagus, masih ada beberapa yang kondisi tempat tinggalnya sedang. Hal ini karena pendapatan yang diperoleh tidak hanya digunakan untuk memperbaiki kondisi rumah. Masih banyak keperluan yang harus dipenuhi misalnya untuk kebutuhan pangan, beli pupuk, dan kebutuhan lainnya. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari pun tidak cukup. Berbeda dengan responden yang tingkat pendapatannya tinggi. Kondisi tempat tinggal yang mereka tinggali sudah bagus. Misalnya, ISK yang memiliki pendapatan rendah (+ Rp. 400.000/ bulan) kondisi tempat tinggalnya sedang (lantai semen, dinding dari bilik bambu, dan atap genteng), sedangkan SRT yang memiliki penghasilan sedang (+ Rp. 1000.000/ bulan) kondisi tempat tinggalnya sudah bagus (lantai keramik, dinding tembok, dan atap genteng). Hal ini diperkuat dengan pernyataan dari DSU yang memiliki mata pencaharian sebagai petani dan tingkat pendapatannya rendah (anggota OTL Pasawahan II): “Pendapatan bapa mah pas-pasan, boro-boro ngahadean „saung‟, kanggo dahar oge masih kurang. Bapa mah kudu kukumpul heula hayang nembok oge. Saeutik-saeutik, nu penting mah kasampeur” Terjemahan dalam Indonesia: “Pendapatan bapa itu pas-pasan, jangankan untuk memperbaiki rumah, untuk makan saja masih kurang. Untuk memperbaiki tembok rumah saja, bapak harus menabung dulu. Sedikit-sedikit, yang penting tercapai”.
Berdasarkan pernyataan di atas, semakin memperkuat bahwa yang memiliki tingkat pendapatan rendah kondisi tempat tinggalnya masih rendah atau sedang. Sedangkan yang memiliki tingkat pendapatan tinggi, kondisi tempat tinggalnya tinggi atau bagus.
77
6.4 Hubungan Antara Tingkat Pendapatan Responden dengan Kepemilikan Aset Berdasarkan hasil penghitungan dengan menggunakan tabulasi silang, maka hubungan antara tingkat pendapatan terhadap kepemilikan aset dapat dilihat pada Tabel 24 di bawah ini: Tabel 24. Hubungan Antara Tingkat Pendapatan Responden Kepemilikan Aset di OTL Pasawahan II, tahun 2010 Kepemilikan Aset Tingkat Pendapatan (Rp/bulan) Rendah Sedang Tinggi 200.000 < x < 1.100.000 2 7 23 1.100.000 < x < 2.000.000 0 0 6 2.000.000 < x < 3.000.000 0 1 1 Total 2 8 30
dengan Total 32 6 2 40
Tabel 24 di atas menunjukkan bahwa 23 responden yang memiliki aset tinggi merupakan responden yang pendapatannya rendah. Hal ini terlihat bahwa kepemilikan aset khususnya terhadap sepeda motor dianggap penting. Karena daerah pasawahan merupakan daerah pegunungan dan jarak antar kampung berjauhan maka sepeda motor merupakan alat transportasi yang utama. Baik mereka yang pendapatannya rendah, sedang, maupun tinggi sudah mampu membeli sepeda motor. Sehingga sepeda motor bukan lagi merupakan bawang mewah, tapi sudah menjadi kebutuhan warga untuk membantu kehidupan seharihari. Selain sebagai alat transportasi, juga untuk mengangkut hasil panen atau kayu dari kebun. Selain sepeda motor, ada juga barang-barang elektronik yang dijadikan indikator untuk mengukur tingkat kepemilikan aset seperti TV, radio, VCD, handphone, setrika, dan lemari es. Responden yang pendapatannya rendah, sedang, maupun tinggi sama-sama memiliki barang-barang elektronik yang dijadikan indikator untuk kepemilikan aset. Misalnya, ELM yang pendapatannya tinggi (+ Rp. 2.500.000/ bulan) dan WWN yang pendapatannya rendah (+ Rp. 300.000/ bulan) sama-sama memiliki sepeda motor, TV, HP, dan setrika. Berdasarkan perbandingan tersebut terlihat bahwa tingkat pendapatan tidak membuat perbedaan dalam kepemilikan aset. Artinya, tingkat pendapatan yang diperoleh responden tidak berpengaruh terhadap kepemilikan aset.
78
6.5 Hubungan Antara Tingkat Pendapatan dengan Sumber Air yang Digunakan oleh Responden Berdasarkan hasil penghitungan dengan menggunakan tabulasi silang, maka hubungan antara tingkat pendapatan terhadap distribusi sumber air dapat dilihat pada Tabel 25 di bawah ini: Tabel 25. Hubungan Antara Tingkat Pendapatan Responden dengan Sumber Air di OTL Pasawahan II, tahun 2010 Sumber Air Tingkat Total Pendapatan (Rp/bulan) Rendah Sedang Tinggi 200.000 < x < 1.100.000 18 5 9 32 1.100.000 < x < 2.000.000 1 0 5 6 2.000.000 < x < 3.000.000 0 0 2 2 Total 19 5 16 40 Berdasarkan Tabel 25 di atas, 18 responden yang tingkat pendapatannya rendah masih menggunakan mata air sebagai sumber air. Namun dua orang responden yang pendapatannya tinggi semuanya sudah memiliki sumur sendiri, tidak ada yang sumber airnya dari mata air. Berdasarkan hal tersebut, maka tingkat pendapatan dengan sumber air yang digunakan oleh responden. Responden yang tingkat pendapatannya tinggi, cenderung memiliki sumber air yang tinggi (sumur sendiri). Hasil uji statistik menggunakan tabulasi silang menunjukkan koefisien kontingensi 0.005 > α 0.050. Sehingga terdapat hubungan antara tingkat pendapatan dengan sumber air yang digunakan oleh responden. Misalnya DSU yang memiliki pendapatan rendah (+ Rp. 500.000/ bulan) menggunakan mata air sebagai sumber air. Air dari mata air dialirkan dengan menggunakan saluran air (paralon), kemudian ditampung dirumah dalam bak/ ember. Berbeda dengan ELM yang tingkat pendapatannya tinggi (+ Rp. 2.500.000/ bulan) sudah memiliki sumur sendiri. Air dari sumur ditarik dengan menggunakan pompa air (sanyo). Perbandingan kedua contoh di atas menggambarkan bahwa responden yang tingkat pendapatannya rendah belum mampu membuat sumur sendiri, namun masih menggunakan mata air sebagai sumber air. Jika membuat sumur sendiri, harus mengeluarkan biaya yang cukup besar. Biaya untuk pembuatan sumur, pembelian mesin pompa air, jika masih menggunakan katrol harus beli tali buat nimba air dari dalam sumur dan memakai ember. Tapi untuk air dari mata air
79
disalurkan dengan menggunakan saluran air yang terbuat dari bambu, selang atau saluran air plastik (paralon).
6.6 Hubungan Antara Tingkat Pendapatan dengan Kamar Mandi/ MCK yang Digunakan oleh Responden Berdasarkan hasil penghitungan dengan menggunakan tabulasi silang, maka hubungan antara tingkat pendapatan terhadap distribusi kamar mandi/ MCK dapat dilihat pada Tabel 26 di bawah ini: Tabel 26. Hubungan Antara Tingkat Pendapatan Responden dengan Kamar Mandi/ MCK di OTL Pasawahan II, tahun 2010 Kamar Mandi/ MCK Tingkat Total Pendapatan (Rp/bulan) Rendah Sedang Tinggi 200.000 < x < 1.100.000 0 6 26 32 1.100.000 < x < 2.000.000 0 0 6 6 2.000.000 < x < 3.000.000 0 0 2 2 Total 0 6 34 40 Tabel 26 menunjukkan bahwa dari 32 orang responden yang tingkat pendapatannya rendah masih ada enam orang responden yang masih menggunakan kamar mandi/MCK milik umum dan 26 lainnya sudah memiliki kamar mandi/MCK sendiri. Adapun dari 2 orang responden yang tingkat pendapatannya tinggi, semuanya sudah memiliki kamar mandi/MCK sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendapatan tidak berpengaruh terhadap kepemilikan kamar mandi/MCK. Kamar mandi/MCK merupakan fasilitas rumahtangga yang sangat penting bagi seluruh masyarakat. Karena lebih memudahkan masyarakat untuk melakukan kegiatan mandi, nyuci, atau kegiatan lainnya. Selain itu, kepemilikan kamar mandi/MCK merupakan salah satu indikator bagi pemerintah dalam mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat. Dalam penelitian ini, masih ditemukan beberapa dari responden yang masih menggunakan kamar mandi/MCK milik umum. Hal ini disebabkan oleh ketidakmampuan mereka dalam membuatnya. Pendapatan yang diperoleh tidak cukup untuk membuat kamar mandi/MCK sendiri, lebih diakumulasikan untuk kepentingan rumahtangga lainnya yang lebih penting. Namun ada juga responden yang pendapatannya rendah sudah memiliki kamar mandi/MCK sendiri, karena bagi mereka kamar mandi/MCK sangat
80
penting. Fasilitas kamar mandi/MCK umum sudah sangat jarang ditemui, walaupun ada aksesnya cukup jauh. Oleh karena itu, meskipun tingkat pendapatan rendah, pembuatan kamar mandi/MCK dipaksakan dengan pembangunan yang bertahap. Sesuai dengan pernyataan WWN (seorang ibu rumahtangga): “Sekarang ibu punya kamar mandi sendiri. Dulu ibu suka numpang ke tetangga, tapi suami ibu bilang untuk buat kamar mandi sendiri. Pake bahan saayana, karena ibu tidak kuat beli peralatannya. Yah meskipun kecil dan jelek, tapi alhamdulillah. Yang penting bisa dipakai untuk mandi, nyuci, dan lainnya. Teu kudu numpang-numpang deui ayeuna mah”.
Dari pernyataan di atas menunjukkan bahwa fasilitas kamar mandi/MCK merupakan kebutuhan yang cukup penting. Meskipun WWN tidak mampu, namun dengan bahan seadanya beliau membuat kamar mandi sendiri. Berbeda dengan OYN, sudah memiliki kamar mandi/MCK sendiri yang luas dan cukup bagus dan memiliki tempat penampungan air, karena air yang disedot dari sumur dengan menggunakan mesin pompa air sehingga air bisa terlebih dahulu ditampung.
6.7 Ikhtisar Pengukuran tingkat kesejahteraan masyarakat Pasawahan ditentukan berdasar lima indikator yaitu, tingkat pendapatan, kondisi tempat tinggal, kepemilikan aset, sumber air yang digunakan, dan kepemilikan kamar mandi/MCK. Berdasarkan lima indikator tersebut dapat disimpulkan bahwa masyarakat Pasawahan yang tergabung dalam OTL Pasawahan II belum seluruhnya sejahtera. Tapi jika dibandingkan dengan kondisi sebelum berhasil mereclaim lahan, kondisi saat ini tentu sudah lebih baik. Hal ini dapat dilihat dari tingkat pendapatan masyarakatnya. Makin luas lahan yang dimiliki, semakin besar pula tingkat pendapatannya. Makin tinggi tingkat pendapatannya, semakin besar pula keinginan masyarakat untuk memiliki sumber air dari sumur sendiri dan membuat kamar mandi/MCK sendiri. Tapi bagi masyarakat Pasawahan, kepemilikan aset khususnya sepeda motor dan tempat
81
tinggal sudah menjadi kebutuhan yang paling utama, sehingga perbedaan tingkat pendapatan tidak memiliki pengaruh yang besar. Baik petani yang tingkat pendapatannya rendah ataupun tinggi, sama-sama sudah memiliki sepeda motor. Sepeda motor merupakan alat transportasi yang utama, selain itu juga berfungsi untuk membawa hasil panen.
BAB VII PENUTUP 7.1 Kesimpulan Secara defacto tanah yang sekarang diduduki oleh anggota Serikat Petani Pasundan (dalam hal ini Organisasi Tani Lokal (OTL) Pasawahan II) sudah sejak tahun 2001. Secara dejure belum sah, artinya tanah yang mereka garap hingga saat ini belum memiliki sertifikat. Sistem hubungan kerja antar petani yang sampai saat ini digunakan yaitu sistem ceblokan, upah harian, borongan dan gotong royong. Bagi masyarakat yang memiliki lahan sempit, ceblokan, upah harian, dan borongan itu menjadi alternatif untuk menambah penghasilan, karena penghasilan dari garapan tidak mencukupi untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Rakyat menanam lahan garapannya dengan tanaman-tanaman jangka pendek, menengah, dan jangka panjang misalnya, padi, singkong, ubi, jagung, cokelat, kopi, albasia, petai, kelapa, dan mahoni. Orientasi penataan kelembagaan produksi pasca reclaim lebih banyak diarahkan pada pemenuhan kebutuhan ekonomi rumahtangga petani. Jika hasil dari panen berlebih, selain untuk kebutuhan sehari-hari, sebagian dijual langsung ke tengkulak atau disimpan. Alat yang digunakan untuk kegiatan pertanian masih menggunakan peralatan tradisional. Mendekati proses sertifikasi, anggota OTL terbagi menjadi dua kubu, yaitu anggota yang ingin sertifikasi kolektif dan anggota yang ingin sertifikat individu. Sertifikat kolektif dipilih dengan alasan untuk menghindari adanya jual beli, gadai, dan sewa tanah perjuangan. Sebaliknya, sertifikat individu dipilih agar anggota bisa bergerak leluasa dalam mempergunakan hak atas tanah serta kepemilikan atas nama pribadi. Berdasarkan hasil penelitian, terdapat 12,5 persen dari responden yang memiliki lahan lebih dari delapan kapling dan 60 persen kurang dari tiga kapling. Jika dikaitkan dengan data mengenai distribusi pendapatan menurut luas kepemilikan tanah, jelas nampak bahwa makin luas tanah yang dimiliki, semakin besar pula pendapatan rata-rata perbulannya. Makin tinggi tingkat pendapatan, petani semakin mampu untuk membuat kamar mandi/MCK dan sumur sendiri. Namun perbedaan tingkat pendapatan tidak membedakan kepemilikan aset dan
83
kondisi tempat tinggal, karena bagi anggota OTL kepemilikan aset dan tempat tinggal sudah menjadi barang kebutuhan utama untuk sarana transportasi dan tempat tinggal. Kesejahteraan anggota merupakan tujuan utama yang ingin dicapai bersama. Pencapaian tujuan tersebut tidak terlepas dari peran OTL dalam mengorganisasikan anggotanya, khususnya dalam mengontrol kepemilikan aset tanah hasil perjuangan sehingga tidak terjadinya jual, sewa, atau gadai lahan. Keberadaan OTL selama ini belum mampu memenuhi kebutuhan petani khususnya dalam peminjaman modal. Kebutuhan petani akan modal dan kepentingan yang sangat mendesak menyebabkan petani harus menggadaikan lahan atau mengoper lahannya kepada petani yang memiliki modal. Fakta menunjukkan bahwa terjadinya polarisasi kepemilikan lahan seperti adanya jual beli lahan garapan, itu mengindikasikan kalau pengurus belum mampu membangun sistem kelembagaan yang kuat dan menguntungkan pemodal. Hal tersebut disebabkan karena tidak adanya aturan yang mengatur tentang kepemilikan lahan dalam anggota. Selama tanah perjuangan masih ada ditangan anggota dan tidak dijual keluar anggota OTL, hal itu masih diperbolehkan.
7.2 Saran Merujuk kepada tujuan penelitian dan hasil penelitian serta dengan memperhatikan beberapa indikator kesejahteraan yang ditetapkan bersama-sama dengan masyarakat, maka organisasi tani lokal dan pendamping khususnya FARMACI harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: 1.
Agar tidak terjadi pemusatan aset sumberdaya agraria khususnya tanah di tangan satu orang atau ditangan orang-orang kaya, maka pengurus OTL perlu membatasi kepemilikan lahan per anggotanya.
2.
Perlu adanya keputusan yang tegas dari pengurus terkait dengan perkara sertifikasi tanah, karena jika belum ada keputusan yang tegas, maka proses sertifikasi tanah tidak akan selesai.
84
3.
Perlu dibentuk sistem kelembagaan yang kuat untuk mengatur dan mengontrol aset sumberdaya agraria agar tidak terjadi adanya gadai, sewa, atau penjualan tanah.
4.
Penataan produksi harus dibangun dan diperkuat dengan cara membentuk jaringan komunikasi yang efektif dan pengorganisasian yang baik.
5.
Mengoptimalkan peran koperasi sehingga mampu memenuhi semua keperluan petani dan mampu menampung hasil usaha dari anggota, karena sampai saat ini anggota masih kesulitan dalam memasarkan hasil usahanya. Selain itu juga koperasi diharapkan dapat berperan dalam memberikan pinjaman modal bagi petani yang membutuhkan, sehingga petani tidak harus menggadaikan lahannya atau sampai menjualnya kepada pemilik modal.
6.
Perlu adanya pendampingan yang intensif dari aktivis FARMACI agar anggota OTL memiliki tempat untuk bertanya terkait dengan kasus-kasus agraria.
DAFTAR PUSTAKA
Agusniar, A. 2006. Analisis Dampak Pemekaran Wilayah Terhadap Perekonomian Wilayah dan Kesejahteraan Masyarakat (Kasus Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam). Tesis. Bogor. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Alfurqon, A. 2009. Program Reforma Agraria dan Peningkatan Kesejahteraan Petani (Kasus Desa Pamagersari, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor). Skripsi: Bogor. Institut Pertanian Bogor Badan Pertanahan Nasional. PROGRAM PEMBARUAN AGRARIA NASIONAL (PPAN).http://groups.google.com.np/group/spora/browse_thread/thread/c 140a5a4c07060c8. Diakses pada tanggal 2 Februari 2010 Fauzi, N. 1999. Petani dan Penguasa, Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia. Yogyakarta. INSIST Press, Konsorsium Pembaruan Agraria bekerjasama dengan Pustaka Pelajar __________. 2003. Bersaksi Untuk Pembaruan Agraria: Dari Tuntutan Lokal Hingga Kecenderungan Global. Kata Pengatar: Gunawan Wiradi. Yogyakarta. INSIST Press Fermata, W. 2006. Reklaiming Lahan Sebagai Bentuk Resistensi Masyarakat Desa Hutan (Kasus Perlawanan Masyarakat Desa Margaharja, Kecamatan Sukadana, Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat terhadap Perum Perhutani). Skripsi. Bogor. Institut Pertanian Bogor Iriani, A Y. 2008. Distribusi Kepemilikan Lahan Pertanian dan Sistem Tenurial Di Desa-Kota (Kasus Desa Cibatok 1, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat). Skripsi. Bogor. Institut Pertanian Bogor Khan, A. 1996. Analisa Hubungan Kelembagaan Dalam Pengelolaan Lingkungan Kehutanan dalam Info Kehutanan. Departemen Kehutanan RI. Jakarta Kroef, Justus M. Van der. 1984. Dalam Dua Abad Penguasaan Tanah. Penyunting: Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi. Jakarta. Gramedia Massardy, E. 2009. Hubungan Antara Konversi Lahan Pertanian Dengan Tingkat Kesejahteraan Petani (Kasus Desa Kibin, Kecamatan Kibin, Kabupaten Serang, Banten). Skripsi. Bogor. Institut Pertanian Bogor Mocodompis, H. 2006. Reforma Agraria dan Upaya Mengatasi Kemiskinan Di Indonesia. http://www.mailarchive.com/
[email protected]/msg28252.html (Diakses pada tanggap 25 Februari 2010) Munir, M. 2008. Pengaruh Konversi Lahan Terhadap Tingkat Kesejahteraan Rumahtangga Petani (Kasus: Desa Candimulyo, Kecamatan Keretek, Kabupaten Wonosobo, Provinsi Jawa Tengah). Skripsi. Bogor. Institut Pertanian Bogor
86
Mutaqin, A. 2008. Analisis Kinerja Kelembagaan Agribisnis dan Efisiensi Teknik Usaha Padi (Kasus Petani Binaan Lembaga Pertanian Sehat, Kab. Bogor). Skripsi. Bogor. Institut Pertanian Bogor Nuroni, A. F. 2006. Sistem Penguasaan Tanah dan Peran Tanah Bagi Petani Miskin (Kasus Desa Bojong, Kecamatan Tenjo, Kabupaten Bogor, Jawa Barat). Skripsi. Bogor. Institut Pertanian Bogor Pasaribu, L Oc. 2007. Kelembagaan Pengelolaan Tanah Ulen Pada Masyarakat Dayak Kenyah di Pampang, Kecamatan Samarinda Utara, Kalimantan Timur. Skripsi. Bogor. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor Ramli, M. 2007. Kelembagaan Pengelolaan Sumberdaya Hutan Masayarakat Adat Baduy Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Propinsi Banten. Skripsi. Bogor. Fakultas kehutanan Institut Pertanian Bogor. Sihaloho, M. 2004. Konversi Lahan Pertanian dan Perubahan Struktur Agraria. Tesis. Program Studi Sosiologi Pedesaan. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor Singarimbun, M dan Effendi, Sofyan. 1989. Metode Penelitian Survey. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia Sitorus, M. T. Felix. 1998. Penelitian Kualitatif Suatu Perkenalan. Kelompok Dokumentasi Ilmu Sosial. Institut Pertanian Bogor Sitorus, M. T. Felix. 2002. Lingkup Agraria dalam Endang Suhendar et al (ed.) Menuju Keadilan Agraria: 70 Tahun Gunawan Wiradi. Bandung: Akatiga Soemardjan, S. dan Soelaeman S. 1964. Setangkai Bunga Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia Soekanto, S. 2002. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada Suharto, E. 2006. Peta Dinamika Welfare State di Beberapa Negara: Pelajaran apa yang bisa dipetik untuk membangun Indonesia?. http://www.policy.hu/suharto/Naskah%20PDF/UGMWelfareState.pdfv. (Diakses pada tanggal 28 Februari 2010) Suhendar, E dan Winarni, Y. B. 2000. Petani dan Konflik Agraria. Bandung: Jakarta White, B dan Wiradi, Gunawan (eds.). 2009. Reforma agraria Dalam Tinjauan Komparatif: Hasil Lokakarya Kebijakan Reforma agraria di Selabintana. Bogor. Brighten Press Wijardjo, Boedhi dan Perdana, Herlambang. 2001. Reclaiming dan Kedaulatan Rakyat. Jakarta. YLBHI dan RACA INSTITUTE Wiradi, Gunawan dan Makali. 1984. “Penguasaan Tanah dan Kelembagaan” dalam Moh. Sohibuddin (ed.). 2009. Ranah Studi Agraria: Penguasaan Tanah dan Hubungan Agraria. Yogyakarta. Sekolah TInggi Pertanahan Nasional __________. 2000. Reforma Agraria: Perjalanan yang Belum Berakhir. Yogyakarta: Insist Press
87
__________. 2004. Masalah Agraria: Masalah Penghidupan dan Kedaulatan Bangsa. Makalah Stadium General Jurusan Sosek tanggal 17 Mei 2004, Fakultas Pertanian. Bogor. Institut pertanian Bogor Zakaria, W A. 2008. Penguatan Kelembagaan Kelompok Tani Kunci Kesejahteraan Petani. Seminar Nasional “Dinamika Pembangunan Pertanian dan Perdesaan: Tantangan dan Peluang Bagi Peningkatan Kesejahteraan Petani”. Bogor. Pusat Analisis Sosial Ekonomi Dan Kebijakan Pertanian Departemen Pertanian
LAMPIRAN
89
TABEL FREKUENSI DAN HASIL UJI CROSSTABS Tabel Frekuensi Distribusi Penguasaan Lahan Cumulative Frequency Percent Valid Percent Percent Valid Rendah
24
60.0
60.0
60.0
Sedang
11
27.5
27.5
87.5
Tinggi
5
12.5
12.5
100.0
Total
40
100.0
100.0
Tingkat Pendapatan Cumulative Frequency Percent Valid Percent Percent Valid Rendah
32
80.0
80.0
80.0
Sedang
6
15.0
15.0
95.0
Tinggi
2
5.0
5.0
100.0
Total
40
100.0
100.0
Kondisi Tempat Tinggal Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid Sedang
7
17.5
17.5
17.5
Tinggi
33
82.5
82.5
100.0
Total
40
100.0
100.0
Kepemilikan Asset Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid Rendah
2
5.0
5.0
5.0
Sedang
8
20.0
20.0
25.0
Tinggi
30
75.0
75.0
100.0
Total
40
100.0
100.0
90
Sumber Air Cumulative Frequency Percent Valid Percent Percent Valid Rendah
19
47.5
47.5
47.5
Sedang
5
12.5
12.5
60.0
Tinggi
16
40.0
40.0
100.0
Total
40
100.0
100.0
MCK/Kamar Mandi Cumulative Frequency Percent Valid Percent Percent Valid Sedang
6
15.0
15.0
15.0
Tinggi
34
85.0
85.0
100.0
Total
40
100.0
100.0
Hasil Uji Crosstabs Luas lahan * Pendapatan Crosstabulation Count Pendapatan Rendah
sedang
tinggi
Total
Luas lahan rendah
24
0
0
24
sedang
7
4
0
11
tinggi
1 32
2 6
2 2
5 40
Total
Directional Measures Value Ordinal by Ordinal
Asymp. Approx. Approx. Std. Errora Tb Sig.
Somers' d Symmetric
.634
.088
3.776
.000
Luas lahan Dependent
.836
.063
3.776
.000
Pendapatan .510 .117 Dependent a. Not assuming the null hypothesis. b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis.
3.776
.000
91
Pendapatan * kondisi tempat tinggal Crosstabulation Count kondisi tempat tinggal sedang
tinggi
Total
Pendapatan rendah
7
25
32
sedang
0
6
6
tinggi
0 7
2 33
2 40
Total
Directional Measures Asymp. Approx. Approx. Value Std. Errora Tb Sig. Ordinal by Ordinal
Somers' d Symmetric
.224
.055
2.441
.015
Pendapatan Dependent
.242
.075
2.441
.015
kondisi tempat .209 .070 tinggal Dependent a. Not assuming the null hypothesis. b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis.
2.441
.015
Pendapatan * kepemilikan aset Crosstabulation Count kepemilikan aset rendah
sedang
tinggi
Total
Pendapatan rendah
2
7
23
32
sedang
0
0
6
6
tinggi
0 2
1 8
1 30
2 40
Total
92
Directional Measures Asymp. Std. Approx Approx. Value Errora . Tb Sig. Ordinal by Ordinal
Somers' d Symmetric
.123
.132
.912
.362
Pendapatan Dependent
.114
.122
.912
.362
kepemilikan aset .134 .147 Dependent a. Not assuming the null hypothesis. b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis.
.912
.362
Pendapatan * sumber air Crosstabulation Count sumber air rendah
sedang
tinggi
Total
Pendapatan rendah
18
5
9
32
sedang
1
0
5
6
tinggi
0 19
0 5
2 16
2 40
Total
Directional Measures
Value Ordinal by Ordinal
Asymp. Std. Approx Approx. Errora . Tb Sig.
Somers' d Symmetric
.399
.113
2.820
.005
Pendapatan Dependent
.311
.112
2.820
.005
sumber air .556 .142 Dependent a. Not assuming the null hypothesis. b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis.
2.820
.005
93
Pendapatan * MCK/kmr mandi Crosstabulation Count MCK/kmr mandi sedang
tinggi
Total
Pendapatan rendah
6
26
32
sedang
0
6
6
tinggi
0 6
2 34
2 40
Total
Directional Measures Asymp. Approx. Value Std. Errora Tb Ordinal by Ordinal
Approx. Sig.
Somers' d Symmetric
.203
.053
2.284
.022
Pendapatan Dependent
.235
.073
2.284
.022
2.284
.022
MCK/kmr .179 .066 mandi Dependent a. Not assuming the null hypothesis. b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis.
FOTO-FOTO
Gambar 1. Kondisi Lahan Pasca Reclaim (Ditanami oleh tanaman jangka panjang, menengah, dan jangka pendek)
Gambar 2. Tanaman kacang-kacangan dan kondisi lahan setelah ditanami tanaman kacang
Gambar 3. Kondisi Jalan yang berbatu dan bertanah
95
Gambar 4. Kondisi sekolah yang dibangun oleh Organisasi Tani Lokal Pasawahan II, sebagai wujud kepedulian terhadap pendidikan
Gambar 5. Kondisi pada saat mendapat pengarahan dari pendamping FARMACI (kiri) dan kondisi pada saat FGD (kanan)
.
96
Kuesioner Assalamu`alaikum Wr.Wb. Responden yang terhormat, saya adalah mahasiswa Institut Pertanian Bogor, Fakultas Ekologi Manusia, Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Saya sedang melakukan penelitian mengenai “Analisis Kelembagaan Pertanian Pasca-Reclaim Terhadap Tingkat Kesejahteraan Petani (Studi Kasus Organisasi Tani Lokal Pasawahan II, Desa Pasawahan, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat)” Penelitian ini dilakukan dalam rangka menyusun skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana (S1). Saya ucapkan banyak terima kasih atas kesediaan dan waktu Bapak/Ibu mengisi kuesioner ini. Wassalamu`alaikum Wr.Wb Petunjuk: Isilah jawaban pada titik-titik, serta berilah tanda (V) pada setiap tanda ( ) yang sesuai dibawah ini. Tanggal Pengisian: Nomor Responden: A.
/
/ 2010
IDENTITAS RESPONDEN
1
Nama
:
2
Tempat tinggal
:
3
Jenis kelamin
:
4
Umur
:
5
Pendidikan Terakhir
: ( ( ( ( (
) tidak sekolah ) tidak tamat SD ) tamat SD/sederajat ) tamat SMP/sederajat ) tamat SMA/sederajat
6
Pekerjaan
: ( ( ( ( ( ( (
) Petani ) PNS ) Buruh ) Wiraswasta ) Jasa transportasi ) TNI/POLRI ) Lainnya...........
97
B. No
Karakteristik Anggota Rumahtangga Nama
L/P
Umur Kedudukan Tingkat Status (tahun) dalam pendidikan perkawinan RT
1 2 3 4 5 6 7 8 Keterangan: 1) Jenis kelamin digolongkan menjadi: 1. Pria; 2. Wanita 2) Umur adalah lama hidup seseorang sejak lahir sampai saat penelitian berlangsung dalam satuan tahun. 3) Kedudukan dalam RT adalah posisi seseorang sebagai anggota rumahtangga dalam hubungan kekerabatan, misalnya suami, isteri, anak, mertua, dan menantu. 4) Tingkat pendidikan merupakan lama pendidikan yang ditempuh oleh anggota rumahtangga yang digolongkan menjadi: 1. Tidak sekolah; 2. Tidak tamat SD; 3. Tamat SD; 4. Tidak tamat SMP; 5. Tamat SMP; 6. Tidak tamat SMA; 7. Tamat SMA; 8. Perguruan tinggi. 5) Status perkawinan digolongkan menjadi 1. Belum kawin; 2. Kawin; 3. Janda; 4. Duda
C. No
13
Struktur Penguasaan Tanah Status Lahan13
Jenis Lahan14
Luas (ha)
Sumber air
Sejak kapan menggarap
Bagaimana Proses
Sistem penguasaan Sistem15
Milik siapa, hubungan antara pemilik tanah dan penggarap, misal kakak, adik Sawah irigasi, sawah tadah hujan, tegal, kebun 15 Bagi hasil, sewa, gadai, lainnya 14
Jangka waktu
98
D.
Pengeluaran Pangan Rumahtangga
Jenis Pengeluaran
Dalam satu hari
Dalam satu minggu
Dalam satu bulan
1
2
3
4
Pangan 1. Padi-padian Beras Mie 2. Umbi-umbian Singkong Ubi jalar Talas 3.Hewani Daging sapi Daging kambing Daging ayam Telur Ikan segar Ikan asin Susu 4. Kacang-kacangan Kacang tanah Kacang hijau Tempe Tahu 5. Sayur-sayuran
6. Buah-buahan
7. Lain-lain
Berat (gr)
Rp
Berat (gr)
Rp
Berat (gr)
Rp
99
E.
Kesejahteraan Petani
No
Indikator Kesejahteraan
1
Kondisi tempat tinggal
Keterangan
a. Lantai rumah
1. Keramik 2. Semen 3. Papan 4. Tanah
b. Dinding rumah
1. Tembok 2. Bambu/ Bilik
c. Atap rumah
1. Genteng 2. Asbes 3. Daun Kirai
2
Tingkat Pendapatan
1. Rp. 2.000.000,-< x < Rp. 3.000.000,2. Rp. 1.100.000,- < x < Rp. 2.000.000,3. Rp. 200.000,- < x < Rp. 1.100.000,-
3
Sumber Air Yang Digunakan
1. Sumur milik sendiri 2. Sumur milik umum 3. Mata air
4
MCK/ Kamar Mandi
1. Milik sendiri 2. Milik umum 3. Alam terbuka
5
Kepemilikan aset
1.Motor, Televisi, Radio, Telepon Seluler, VCD/DVD Player, Setrika, Kulkas 2.Televisi, Radio, Telepon Seluler, VCD/DVD Player, Kulkas, Setrika 3.Televisi dan Radio
100
Panduan Pertanyaan Informan: Dilakukan pada saat observasi awal: A. 1) 2) 3) 4) 5) 6) B.
Struktur Agraria Lokal Kapan Perusahaan tersebut masuk? Bagaimana pola penguasaan tanah sebelum perusahaan tersebut masuk? Bagaimana pola penguasaan tanah setelah perusahaan tersebut masuk? Tahun berapa masyarakat sudah mulai menggarap lahan? Adakah kesepakatan antara masyarakat dengan pihak perusahaan? Jika ada, apa saja kesepakatan itu? Sejarah OTL Pasawahan II
1) 2) 3) 4)
Tahun berapa OTL Pasawahan II didirikan? Bagaimana sejarah berdirinya OTL Pasawahan II? Apa yang melatarbelakangi berdirinya OTL Pasawahan II? Sumberdaya agraria apa yang di perjuangkan? Dari pihak mana?
1) 2) 3) 4) 5) 6) 7)
Profil OTL Pasawahan II Siapa ketua OTL sekarang? Bagaimana susunan kepengurusannya? Apa tujuan didirikannya OTL Pasawahan II? Sampai saat ini, berapa orang anggota OTL Pasawahan II? Adakah pertemuan rutin antar anggota OTL Pasawahan II? Dimana? Dalam pelaksanaannya, adakah pendampingan dari pihak luar? Jika ada, pendampingan apa saja? jelaskan!
C.
Dilakukan pada saat penelitian: A. Distribusi Penguasaan Tanah 1) Tahun berapa tanah yang diperjuangkan berhasil diperoleh? 2) Berapa luas tanah yang berhasil di reclaim? (tanah perjuangan) 3) Setelah berhasil mereclaim tanah, berapa jumlah anggota yang masih aktif? 4) Bagaimana sistem pembagian tanah perjuangan tersebut kepada anggota? 5) Apakah semua anggota organisasi memperoleh luas tanah yang sama? 6) Adakah indikator atau ketentuan-ketentuan yang menyebabkan penguasaan tanah antar anggota menjadi berbeda-beda? Jelaskan! 7) Berdasarkan kesepakatan siapa saja kah ketentuan tersebut dibuat? 8) Dalam proses pembagiannya, adakah pihak-pihak yang merasa dirugikan? 9) Bagaimana caranya pembagian tanah tersebut dapat diterima oleh semua pihak? 10) Siapa pemilik tanah terluas di Pasawahan?
101
B.
Hubungan Kerja 1) Bagaimana sistem hubungan kerja antar petani yang berkembang selama ini? 2) Setelah berhasil mereclaim tanah, adakah perbedaannya? 3) Dalam sistem hubungan kerja yang terjadi, bagaimana sistem pembagian upahnya?
C.
Sertifikasi Tanah 1) Setelah berhasil memperoleh tanah, apakah sertifikasi menjadi agenda utama organisasi? 2) Adakah kendala yang dihadapi pada saat melakukan sertifikasi? 3) Jika ada, bagaimana solusinya? 4) Bagaimana Sistem kelembagaan yang mengatur sertifikasi tersebut? 5) Apakah ada panitia khusus? 6) Siapa saja? 7) Dalam proses sertifikasi, apakah dilakukan secara kolektif atau individu? 8) Bagaimana proses pelaksanaan pengajuan sertifikasinya? 9) Adakah ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi oleh pihak yang mengajukan sertifikat? 10) Berapa biaya yang dikeluarkan oleh pihak yang mengajukan sertifikat? 11) Siapakah yang paling berperan dalam proses sertifikasi tanah ini? 12) Bagaimana antusiasme dari anggota atas proses sertifikasi tanah? 13) Apakah tanah perjuangan yang diperoleh oleh semua anggota sudah di sertifikasi?
D.
Pengorganisasian Produksi Hasil Pertanian 1) Hasil pertanian apa sajakah yang dihasilkan oleh petani? 2) Dari hasil pertanian tersebut, apakah ada lembaga yang menampung hasil pertanian tersebut? 3) Biasanya kemana para petani menjual hasil pertaniannya? Alasannya kenapa?
E.
Pelaksanaan Focus Group Discussion (FGD) 1) Pelaksanaan FGD ini untuk mencari indikator kesejahteraan masyarakat berdasarkan pandangan dari masyarakat sendiri. 2) Peneliti bertugas sebagai fasilitator 3) Diikuti oleh anggota OTL, Tokoh masyarakat, dan petani sebanyaak 10-15 orang.
102
Responden: Nomor Desa/kampung/RT/RW Nama Responden Pewawancara Hari/Tanggal
: : : : :
1) Apakah Bapak/Ibu penduduk Asli? 2) Apakah Bapak/Ibu masuk dalam Organisasi Serikat Petani Pasundan (SPP)? 3) Berapa luas lahan yang dimiliki oleh Bapak/Ibu? 4) Berapa bagian lahan yang Bapak/Ibu kelola dari Organisasi SPP tersebut? 5) Adakah lahan lain yang Bapak/Ibu kelola selain lahan yang diperoleh dari SPP? 6) Menurut Bapak/Ibu, apakah bukti kepemilikan tanah itu sangat penting? 7) Sistem penguasaan lahan yang bagaimanakah yang Bapak/Ibu kelola? 8) Apakah lahan yang Bapak/Ibu kelola dimiliki secara bersama-sama dengan beberapa orang tertentu atau dimiliki secara perseorangan? 9) Apakah Bapak/Ibu menyewa lahan kepada orang lain? Kepada siapa dan bagaimana prosesnya? 10) Apakah Bapak/Ibu menyewakan lahan milik Bapak/Ibu kepada orang lain? Kepada siapa dan bagaiaman prosesnya? 11) Apakah Bapak/Ibu bekerja pada lahan milik orang lain? Kepada siapa dan bagaimana prosesnya? 12) Apakah Bapak/Ibu melakukan sistem bagi hasil dalam mengelola lahan? Dengan siapa? 13) Sistem bagi hasil yang dilakukan dengan sistem yang bagaimana? Bagaimana cara Bapak/Ibu melaksanakan sistem bagi hasil tersebut? 14) Apakah ada jangka waktu pengelolaannya? Berapa lama? 15) Apakah Bapak/Ibu pernah melakukan sistem gadai? Mengapa? Bagaimana proses dilakukan sistem gadai tersebut? 16) Apakah Bapak/Ibu mempekerjakan buruh tani? Bagaimana caranya? 17) Komoditas pertanian apa yang Bapak/Ibu kelola? 18) Apa jenis lahan yang Bapak/Ibu kelola? Sawah irigasi atau tadah hujan? 19) Apakah Bapak/Ibu memiliki mata pencaharian lain selain bertani? Sebutkan dan mengapa?
103
Jadwal Pelaksanaan Penelitian
No
Kegiatan
1
Penyusunan draft dan revisi
2
Konsultasi proposal
3
Observasi lapang (Pra Survey Awal)
4
Pengurusan perizinan untuk pelaksanaan kegiatan penelitian
5
Kolokium
6
Pengumpulan data lapangan
7
FGD
8
Penyusunan laporan kemajuan penelitian
9
Pengolahan dan analisis data dan informasi dari lapangan
10
Penyusunan draft laporan hasil penelitian
11
Konsultasi laporan
12
Ujian Skripsi
13
Perbaikan Skripsi
Bulan Maret 1
2
3
4
Bulan April 1
2
3
4
Bulan Mei 1
2
3
4
Bulan Juni 1
2
3
4
Bulan Juli 1
2
3
4
104
Matrik Kebutuhan Data, Metode, dan Sumber Data Kebutuhan Data Profil Desa Banjaranyar
Profil Organisasi tani lokal (OTL) Struktur agraria lokal
Upaya penguatan organisasi Kelembagaan distribusi penguasaan tanah
Bentuk hubungan kerja antar petani
Sertifikasi tanah
Indikator Tingkat kesejahteraan petani berdasarkan persepsi lokal Mengukur tingkat kesejahteraan anggota OTL
Data yang diperlukan
Metode
Sumber Data
Latar belakang geografi, Studi kependudukan. Dokumen Kehidupan ekonomi: struktur Wawancara ekonomi (Jenis pekerjaan dan mendalam lembaga ekonomi) Pengamatan Pemerintahan lokal, struktur partisipasi administrasi dan fungsinya, Latar belakang sejarah lokal Latar belakang munculnya OTL Wawancara mendalam Struktur organisasi Studi dokumen Kapan masyarakat mulai masuk Wawancara mendalam Kondisi penguasaan tanah sebelum Perusahaan tersebut datang Studi dokumen Kapan perusahaan tersebut masuk Observasi lapang Kondisi penguasaan tanah setelah perusahaan tersebut datang Bagaimana dampaknya terhadap pola penguasaan tanah Ketentuan-ketentuan yang harus Wawancara ditaati anggota mendalam Kegiatan-kegiatan organisasi yang Observasi wajib diikuti oleh seluruh anggota lapang Sistem pemilikan tanah Wawancara mendalam Sistem penguasaan tanah Studi Struktur pemilikan dan penguasaan dokumnetasi tanah Diskusi Mekanisme pembagian lahan kelompok Pendataan anggota penerima lahan Hubungan kerja yang berlaku Wawancara mendalam Sistem upah kerja yang berlaku Studi Bentuk upah yang berlaku dokumnetasi Sumber tenaga kerja Diskusi kelompok Sistem pendataan anggota Wawancara mendalam Penanggungjawab sertifikasi Persyaratan sertifikasi Persepsi masyarakat lokal terhadap Wawancara indikator kesejahteraan mendalam Penentuan indikator kesejahteraan Observasi bersama masyarakat setempat lapang FGD
Informan: Aparatur tokoh desa (Ketua RT, Dusun), sekertaris dan desa. Data monografi Banjaranyar
Penyebaran kuesioner
Responden (anggota OTL)
Kuesioner, observasi lapang
Ketua masyarakat, Anggota OTL Ketua masyarakat, Anggota OTL
desa, Ketua aparat Desa
OTL/tokoh
OTL/tokoh
Tokoh OTL, sekretaris OTL, anggota OTL Informan: Tokoh OTL (Ketua OTL), anggota OTL, Petani pemilik, penggarap, penyewa, pemilik penggarap
Informan: Tokoh OTL (Ketua OTL), anggota OTL, Petani pemilik, penggarap, penyewa, pemilik penggarap Informan: Ketua OTL, dan panitia penanggungjawab sertifikasi Informan: Ketua OTL, Anggota OTL, dan petani