KESEJAHTERAAN DAN PEMIKIRAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN PETANI FARMER’S WELFARE AND THOUGHTS ON POVERTY ALLEVIATION
I Wayan Rusastra, Mewa Ariani dan Handewi P.S. Rachman Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161
ABSTRACT The state of development and nature of poverty in developing countries differs to that in developed countries. In Indonesia, poverty is divided into two categories: chronic and transient poverty, each requiring a different intervention. Social-safety net programs should be devoted to the chronically poor, while a sustainable community development approach is more appropriate for the transient poor, aimed at empowering them within a finite time frame. This paper proposes holistic community empowerment and development as an alternative approach to poverty alleviation. This can be done in the following ways: (a) changing individual- or partial-sector programs to multi-sector community development; (b) mainstreaming informal employment and promoting gender equality; (c) legally empowering poor people; and (d) to provide support to minimize negative impacts of trade liberalization on income and employment of the poor. The implementation of this approach is hoped to transform the rural-urban structure which further help the government’s focus on macroeconomic growth and social-safety net programs devoted to the elderly, infirm and the chronically poor. Key words : poverty, transient poverty, chronic poverty ABSTRAK Tingkat perkembangan dan sifat kemiskinan di negara berkembang berbeda dengan di negara maju. Kemiskinan di Indonesia terdiri atas kemiskinan kronis dan temporer (sementara). Program-program jaring pengaman sosial seharusnya ditujukan kepada masyarakat dengan kemiskinan kronis, sedangkan pendekatan pemberdayaan masyarakat secara berkelanjutan lebih tepat bagi kelompok miskin temporer. Makalah ini mengajukan pemberdayaan dan pengembangan masyarakat sebagai salah satu alternatif upaya pengentasan kemiskinan. Hal tersebut dapat dicapai dengan jalan sebagai berikut: (i) mengubah program pengembangan kemasyarakatan dari pendekatan individu ke multi-sektor, (ii) pengembangan tenaga kerja informal dan kesetaraan gender, (iii) pemberdayaan kelompok miskin, dan (iv) menyediakan dukungan untuk meminimalisir dampak negatif perdagangan bebas terhadap pendapatan dan kesempatan bekerja kelompok miskin. Implementasi pendekatan ini diharapkan mampu mentransformasi struktur desa-kota, yang selanjutnya membantu pemerintah memusatkan perhatian pada pertumbuhan mikro-ekonomi, serta pengembangan program jaring pengaman sosial yang dikembangkan untuk kelompok manula, cacat atau sakit, dan kelompok miskin kronis. Kata kunci : kemiskinan, kemiskinan temporer, kemiskinan kronis
PENDAHULUAN
persepsi dan antisipasi penanggulangannya di lapangan.
Kompleksitas penanganan masalah kemiskinan mencakup beberapa dimensi pokok, yaitu (a) bersifat lintas dan multi-sektoral, (b) eksistensi kendala internal dan eksternal, (c) koordinasi dan variasi kinerja pelaksanaan penanggulangan sejalan dengan pelaksanaan desentralisasi pembangunan, (d) keterbatasan
Banyak pihak yang berpendapat bahwa penanggulangan kemiskinan hanya dapat dilakukan melalui fasilitasi kebijakan/program terhadap aktivitas sumber peningkatan pendapatan. Dalam Millenium Development Goals (MDG) (UNESCAP, 2006), secara tegas dinyatakan bahwa terdapat delapan dimensi yang bersifat komplementer dan inklusif dalam pencapaian sasaran
114
pengentasan kemiskinan. Delapan dimensi MDG tersebut adalah (a) pengentasan kemiskinan dan kelaparan; (b) perolehan pendidikan dasar secara universal, (c) kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan; (d) penurunan angka kematian bayi (dibawah lima tahun); (e) perbaikan kesehatan ibu melahirkan; (f) pemberantasan HIV/AIDS, malaria, dan jenis penyakit menular lainnya; (g) adanya kepastian kelestarian lingkungan; dan (h) pengembangan kerja sama global dalam pembangunan. Keberhasilan program penanggulangan kemiskinan juga dipengaruhi oleh perubahan kondisi lingkungan strategis, seperti pelaksanaan desentralisasi dan globalisasi ekonomi. Berbagai kritik terhadap perencanaan dan kinerja program pengentasan kemiskinan selama ini menunjukkan keterbatasan pemahaman dan persepsi terhadap kompleksitas permasalahan penanggulangan kemiskinan. Terdapat indikasi kuat perubahan kebijakan/program pengentasan kemiskinan kearah berbasis masyarakat, bersifat partisipatif dan pemberdayaan, melalui pendekatan multisektoral. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka tujuan penulisan paper ini adalah (a) mendiskripsikan tingkat kesejahteraan dan kemiskinan masyarakat pedesaan, (b) membahas karakteristik dan kritik terhadap pendekatan penanggulangan kemiskinan, (c) membahas alternatif strategis keluar dari kemiskinan, (d) menganalisis kinerja program dan pembelajaran penanggulangan kemiskinan, serta (e) merumuskan kebijakan strategis penanggulangan kemiskinan TINGKAT KESEJAHTERAAN DAN KEMISKINAN MASYARAKAT PEDESAAN Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Pedesaan Terdapat empat indikator yang digunakan untuk menampilkan dinamika kesejahteraan masyarakat pedesaan, yaitu pangsa pengeluaran pangan, nilai tukar petani (NTP), proporsi rumah tangga rawan pangan, dan indeks pembangunan SDM (HDI). Berdasarkan pada pangsa pengeluaran pangan nampak bahwa krisis ekonomi berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat (Rusastra et al., 2005). Dalam periode 19962002, pangsa pengeluaran pangan masyarakat
pedesaan meningkat dari 63,3% menjadi 66,6%, sementara di perkotaan meningkat dari 48,1% menjadi 52,8%. Dengan mengacu pada pengeluaran pangan > 60% (indikasi rawan pangan), nampak bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat pedesaan dalam kondisi kurang menggembirakan. Dalam periode 2001-2004, NTP di Jawa meningkat dari 112,8 menjadi 122,3, sementara di luar Jawa stagnan pada tingkat 107,3 (Hermanto, 2005). NTP beberapa daerah seperti NAD, Sumut, Sumbar, Lampung, dan NTB nilai umumnya dibawah 100. Nampak bahwa kesejahteraan petani, khususnya di luar Jawa kurang menggembirakan, dan tidak ada perbaikan yang berarti dalam empat tahun terakhir ini. Menarik untuk dikemukakan, yaitu perkembangan rumah tangga rawan pangan dengan menggunakan dua indikator inklusif pangsa pengeluaran pangan > 60% dan konsumsi energi < 80% standar kebutuhan 2150 kalori/kapita/hari (Bourgeois et al., 2006). Secara agregat (total rumah tangga desa dan kota), selama periode 1996-2002, rumah tangga rawan pangan mengalami penurunan cukup signifikan dari 30,74% menjadi 10,8%. Bagi kelompok rumah tangga dengan 40% pendapatan terendah di pedesaan, proporsi rumah tangga rawan pangan mencapai 51,4% (1996), menurun menjadi 35,6% tahun 2002, dan bagi masyarakat perkotaan menurun dari 42,4% menjadi 19,7%. Walaupun terjadi perbaikan tingkat kesejahteraan selama enam tahun terakhir ini (1996-2002), tetapi sekitar sepertiga masyarakat pedesaan berpendapatan rendah mengalami kondisi rawan pangan. Indeks pembangunan SDM (HDI) merupakan indikator kesejahteraan yang secara inklusif mempertimbangkan empat indikator utama, yaitu tingkat harapan hidup, tingkat melek huruf, tingkat pendidikan, dan pengeluaran per kapita (Rusastra et al., 2005). Terdapat empat kategori kinerja pencapaian HDI, yaitu rendah (<50), menengah kebawah (50-65,91), menengah keatas (66 – 79,99), dan tinggi (> 80). Hasil analisis menunjukkan bahwa selama periode 1999-2002, secara agregat nasional, pertumbuhan HDI Indonesia relatif lambat, yaitu dari 64,3 menjadi 65,8 (0,8%/th). Disamping itu, terdapat variasi yang relatif besar dalam pencapaian kinerja HDI antarprovinsi. Sebagai ilustrasi pada tahun 1999, variasi HDI antarprovinsi adalah 54,2 – 72,5, dan pada tahun 2002 adalah
115
57,8 – 75,6. Secara agregat, HDI Indonesia termasuk kategori kedua terendah (menengah kebawah), dan variasi antarprovinsi dari kategori menengah kebawah sampai dengan menengah keatas. Masih banyak upaya yang perlu ditempuh untuk meningkatkan indeks pembangunan sumberdaya manusia Indonesia. Tingkat Kemiskinan Masyarakat Pedesaan Bahasan ini mengungkap tiga hal penting terkait dengan perkembangan kemiskinan di pedesaan yaitu (a) perkembangan kemiskinan absolut dan relatif selama periode 1993-2006, (b) perkembangan lima indikator utama indeks kemiskinan (HPI) selama periode 1999-2002, dan (c) perkembangan HPI nasional dan provinsi selama periode 1999-2002. Kondisi sebelum krisis (1993-1996), tingkat kemiskinan absolut menurun sebesar 13,1%, dari 25,9 juta menjadi 22,5 juta orang. Tingkat penurunan kemiskinan di pedesaan nampak lebih besar dibandingkan dengan di perkotaan (1,9 juta vs. 1,5 juta orang) (BPS, 2004; Pasaribu, 2006). Karena krisis ekonomi yang terjadi sejak pertengahan 1997, tingkat kemiskinan nasional meningkat menjadi 49,5 juta, dimana sekitar 64,4% (31,9 juta orang) ada di pedesaan. Dalam periode 1998 – 2004, kemiskinan relatif menurun cukup tajam, dari 24,2% menjadi 16,7%, namun kemiskinan absolut tahun 2004 tetap tinggi, yaitu 36,1 juta, dimana 68,7% tinggal di pedesaan (Pasaribu, 2006). Fakta empirik menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan di pedesaan secara konsisten lebih tinggi dibandingkan di perkotaan. Daerah pedesaan mengalami keterbatasan pengembangan infrastruktur (fisik dan kelembagaan). Disamping itu, kebijakan pembangunan bias pada daerah perkotaan, khususnya untuk sektor industri, perdagangan, dan jasa (Sajogyo, 2002). Fakta terakhir, berdasarkan data BPS, menunjukkan bahwa kemiskinan meningkat dari 15,97% (Februari 2005) menjadi 17,75% Maret 2006, atau meningkat sebanyak 3,95 juta (11,3%) menjadi 39,05 juta orang (Kompas, 15 November 2006). Penyebabnya adalah karena adanya kenaikan harga minyak (Oktober 2005 129%) dan tekanan inflasi sektoral. Lebih spesifik, Bank Dunia memperkirakan sekitar 3,1 juta (75,0%) menjadi miskin sebagai akibat kenaikan harga beras yang mencapai 33,0%. Dasar perhitungannya, 75% orang miskin adalah konsumen bersih beras (rice net-consumer), dan 116
menggunakan 25% pendapatannya untuk membeli beras. Indeks kemiskinan (HPI) memberikan gambaran keragaan kemiskinan dengan lebih komprahensif. HPI secara inklusif mempertimbangkan lima indikator utama, yaitu harapan hidup tidak sampai 40 tahun, tingkat buta huruf, tidak akses air bersih, tidak akses fasilitas kesehatan, dan malnutrisi anak dibawah lima tahun. Dalam periode 1999-2002, empat indikator mengalami penurunan dengan kisaran 0,62% (harapan hidup tidak sampai 40 tahun) s/d 2,45%/th (tidak akses air bersih). Sementara itu, indikator ”tidak akses fasilitas kesehatan” meningkat sebesar 1,24%/th yang akan menyumbang pada peningkatan HPI. HPI dibedakan menjadi empat kategori, yaitu rendah (< 10), menengah kebawah ( 10 - 25), menengah keatas (25,1 - 40,0), dan tinggi ( > 40). Perkembangan HPI nasional dan provinsi selama periode 1999-2002 menunjukkan beberapa indikasi sebagai berikut: (a) HPI nasional mengalami penurunan sebesar 1,5%/th, dari 25,2 menjadi 22,7; (b) pada tahun 1999 kisaran HPI 26 provinsi adalah 15,5–38,7, dimana 12 provinsi termasuk kategori menengah kebawah dan sisanya (14 provinsi) termasuk kategori menengah keatas; (c) pada tahun 2002 kisaran HPI 30 provinsi adalah 13,2 – 38,0, dimana masingmasing 15 provinsi termasuk kategori menengah kebawah dan menengah keatas. Nampak bahwa secara agregat nasional, Indonesia termasuk kategori menengah kebawah, tetapi sebagian besar provinsi termasuk dalam kategori menengah keatas. Jadi, masih banyak upaya yang perlu dilakukan untuk menurunkan indeks kemiskinan di tanah air. KARAKTERISTIK DAN PENDEKATAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN Karakteristik Penduduk Miskin Dimensi kemiskinan, secara dinamis mengalami perubahan dengan mempertimbangkan aspek nonekonomi masyarakat miskin. Sedikitnya terdapat sembilan dimensi kemiskinan yang perlu dipertimbangkan (Sudaryanto dan Rusastra, 2006), yaitu (a) ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar (papan, sandang, dan perumahan); (b) aksessibilitas ekonomi yang rendah terhadap kebutuhan dasar lainnya (kesehatan,
pendidikan, sanitasi yang baik, air bersih, dan transportasi); (c) lemahnya kemampuan untuk melakukan akumulasi kapital; (d) rentan terhadap goncangan faktor eksternal yang bersifat individual maupun masal; (e) rendahnya kualitas sumberdaya manusia dan penguasaan sumberdaya alam; (f) ketidak terlibatan dalam kegiatan sosial kemasyarakatan; (h) terbatasnya akses terhadap kesempatan kerja secara berkelanjutan; (i) ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental; dan (j) mengalami ketidak mampuan dan ketidak beruntungan sosial. Karakteristik penduduk miskin secara lebih spesifik, diantaranya dicirikan oleh beberapa hal (Pasaribu, 2006) sebagai berikut: (a) masyarakat miskin sebagian besar tinggal di pedesaan dengan mata pencaharian dominan berusaha sendiri di sektor pertanian (60,0%), (b) sebagian besar (60%) penduduk berpenghasilan rendah mengkonsumsi energi kurang dari 2.100 kkal/ hari, (c) berdasarkan indikator silang proporsi pengeluaran pangan (> 60%) dan kecukupan gizi (energi <80%), diperoleh proporsi rumah tangga rawan pangan nasional mencapai sekitar 30,0%, dan (d) penduduk miskin dengan tingkat SDM yang rendah, umumnya tinggal di wilayah dengan karakteristik marjinal, dukungan infrastruktur terbatas, dan tingkat adopsi teknologi rendah. Dalam konteks karakteristik kemiskinan masyarakat petani pedesaan, menarik untuk dikemukakan keterkaitan penguasaan lahan dengan tingkat kemiskinan. Terdapat korelasi kuat antara skala penguasaan lahan terhadap indeks kemiskinan dan indeks rumpang kemiskinan (poverty gap). Semakin luas penguasaan lahan, semakin rendah tingkat kemiskinan (LPEM-FEUI, 2004). Bagi tuna kisma (petani tanpa lahan) tingkat kemiskinan mendekati 31,0%, dan bagi petani dengan penguasaan lahan kurang dari 0,10 ha, tingkat kemiskinan mencapai 28,3%. Tingkat kemiskinan mengalami penurunan secara konsisten menjadi 5,6% bagi rumah tangga petani yang menguasai lahan antara 2,0 dan 5,0 ha. Kritik Penanggulangan Kemiskinan Kritik umum terhadap penanggulangan kemiskinan selama ini adalah kurangnya pemahaman karakteristik penduduk miskin, tidak mengacu pada permasalahan riil yang dihadapi
masyarakat miskin, berbasis individu dan tidak berkelanjutan. Koreksi pendekatan penanggulangan kemiskinan hendaknya mengacu kepada beberapa indikator penting (Mubyanto, 2002; Santosa et al., 2003), berikut ini: (a) indikator keberhasilan individu perlu dikomplemen dengan kemajuan/ prestasi kelompok dan masyarakat; (b) indikator kemiskinan konvensional, perlu dikoreksi dengan kondisi lokal yang bersifat lokasi spesifik; (c) paradigma penanggulangan kemiskinan dengan pengakuan terhadap potensi partisipatif dan pemberdayaan kaum miskin sebagai aktor utama dalam perang melawan kemiskinan; (d) kinerja penanggulangan kemiskinan bukan ditentukan oleh ketepatan kriteria/indikator, tetapi oleh kepedulian dan komitmen pelaku program; (e) ketidak berlanjutan program yang dinilai baik dan berhasil menyebabkan program penanggulangan kemiskinan tidak efektif dan kurang efisien; (f) Program penanggulangan kemiskinan akan ditentukan oleh basis partisipatif masyarakat desa, dengan memperhatikan modal sosial kaum miskin untuk mengembangkan diri. Secara lebih spesifk, Adiyoga dan Hermiati (2003) mengemukakan langkah strategis pemberdayaan penduduk miskin dan penanggulangan kemiskinan berbasis masyarakat sebagai acuan kedepan. Langkah pemberdayaan penduduk miskin hendaknya didasarkan pada reorientasi fokus dan pendekatan berikut: (a) fokus pemberdayaan keluarga miskin pada kebutuhan pangan, pendidikan, dan pelayanan kesehatan; (b) fokus kebijakan pada transformasi struktural sektor pertanian ke sektor nonpertanian; (c) menumbuhkan keswadayaan penanggulangan kemiskinan melalui pemberdayaan komunitas penduduk miskin; (d) melakukan reposisi peran pihak-pihak luar desa dari agen pembangunan menjadi fasilitator pemberdayaan. Landasan praktis operasional di lapangan dalam penanggulangan kemiskinan berbasis komunitas dapat mengacu pada beberapa landasan pokok sebagai berikut: (a) kewenangan menentukan sendiri aktivitas penanggulangan kemiskinan (aktivitas relevan, sesuai kebutuhan dan kontekstual, optimalisasi pemanfaatan sumberdaya lokal), dan meniadakan ego sektoral yang bersifat tumpang-tindih, tidak efektif dan kurang efisien; (b) pelaksanaan penanggulangan kemiskinan oleh masyarakat sendiri dengan fasilitasi pihak luar (teknis, informasi, teknologi,
117
dan lain-lain); (c) menumbuhkan sendiri prinsip transparansi dan akuntabilitas (kontrol publik) ditingkat masyarakat desa dalam aktivitas penanggulangan kemiskinan. STRATEGI KELUAR DARI KEMISKINAN Bank Dunia (2006) dalam studinya ”Revitalizing the Rural Economy: an Assessment of the Rural Investment Climate in Indonesia” menyatakan ada dua jalan utama dan dua masa transisi keluar dari kemiskinan (Gambar 1). Dua jalan utama keluar dari kemiskinan tersebut adalah : (a) Transformasi pertanian subsisten ke pertanian modern. Transformasi pertanian ini memungkinkan adanya peningkatan produktivitas melalui intensifikasi pertanian, diversifikasi pertanian, dan peningkatan tingkat upah di sektor pertanian. (b) Transformasi aktivitas nonpertanian subsisten (di pedesaan maupun di perkotaan) kepada usaha formal yang lebih produktif dan menguntungkan. Transformasi sektoral ini memungkinkan diperolehnya stastus formal (dimensi kualitatif ketenagakerjaan), serta tingkat upah dan pendapatan yang lebih tinggi. Masa transisi keluar dari kemiskinan mencakup dua pola, (Gambar 1), yaitu : (a) Transformasi pertanian subsistem ke usaha
informal nonpertanian di pedesaan. Dalam masa transisi ini, dalam jangka pendek peningkatan pendapatan mungkin akan tidak signifikan. (b) Migrasi (lebih tepat integrasi) desa-kota. Pada masa transisi ini rumah tangga petani subsistem dan rumah tangga usaha informal nonpertanian di pedesaan akan mencari kesempatan kerja dan berusaha (paruh waktu atau permanen) di perkotaan. Kedua masa transisi ini membutuhkan fasilitasi dari pemerintah dalam memantapkan masa transisi dengan sasaran menjaga stabilitas pendapatan dan minimisasi keresahan temporer praintegrasi dengan ekonomi perkotaan. Dari Gambar 1 di atas dapat dipetik pembelajaran penting keluar dari kemiskinan di pedesaan, yaitu (a) strategi keluar dari kemiskinan bersifat multisektoral, dan secara kontektual peranan sektor pertanian dinilai dominan; (b) kemandegan investasi dan pengembangan sektor riil di luar sektor pertanian, sehingga masa/strategi transisi dalam jangka pendek merupakan sektor pengaman dan perlu difasilitasi; (c) pengembangan pertanian modern/ komersial dan sektor formal nonpertanian (di pedesaan dan perkotaan) merupakan strategi jangka panjang keluar dari kemiskinan; (d) karena sifatnya yang multisektoral, maka dibutuhkan kelembagaan koordinasi oleh institusi yang memiliki otoritas koordinatif secara struktural di pusat maupun di daerah. Perkotaan
Pedesaan
Produktivitas tinggi
Pertanian komersial 1
Produktivitas tinggi
Aktivitas informal nonpertanian
Produktivitas rendah
Aktivitas formal nonpertanian 2 B
Produktivitas rendah
Aktivitas formal nonpertanian 2
Pertanian subsisten A
Aktivitas informal nonpertanian
Pangsa pendapatan nonpertanian Sumber : Revitalizing the Rural Economy (World Bank, 2006)
Gambar 1. Pendorong Utama Perubahan Pedesaan dan Transisi Keluar dari Kemiskinan
118
McCulloch et al. (2006) dalam penelitiannya dengan menggunakan data IFLS (Indonesia Family Life Survey) periode 1993-2000 melalui pengamatan pergerakan masuk dan keluar dari kemiskinan dalam usaha nonpertanian pedesaan (Rural Non-Farm Enterprise/RNFE), mendapatkan bahwa: (a) Perbaikan produktivitas pertanian dinilai tetap relevan/penting dalam strategis keluar dari kemiskinan. Sekitar 80% responden petani kecil tetap bekerja di sektor pertanian dan sepenuhnya mampu keluar dari perangkap kemiskinan. (b) Aktivitas nonpertanian di pedesaan adalah sebagai batu loncatan keluar dari kemiskinan. Kelompok ini memiliki tingkat mobilitas yang relatif tinggi dibandingkan dengan kelompok miskin yang bekerja di pertanian. Dapat dinyatakan hampir separuh dari mereka dapat keluar dari perangkap kemiskinan dan tetap tinggal di pedesaan. (c) Aktivitas nonpertanian di perkotaan adalah yang paling stabil. Hampir 90% dari mereka dalam kategori ini tetap dalam sektor yang sama di perkotaan. Ada dua kemungkinan akan hal ini yaitu tingkat pendapatan yang lebih tinggi atau ada kesulitan untuk kembali ke desa. Dapat disimpulkan bahwa diversifikasi aktivitas ekonomi di pedesaan memiliki keterkaitan dengan dinamisasi aktivitas nonpertanian. Pemerintah perlu mendorong proses transformasi ini. Pada tingkat pusat dan daerah, kebijakan pemerintah yang selama ini dinilai kurang kondusif, perlu diarahkan untuk mendorong iklim investasi di sektor nonpertanian di pedesaan maupun di perkotaan. Dalam pemahaman proses dan tahapan finalisasi pencapaian sasaran pengentasan kemiskinan dan kaitannya dengan antisipasi isu penanganan kemiskinan kedepan, menarik untuk diacu pendapat Gardner (2002) dan Timmer (2005) sebagai berikut: (a) tahapan final transformasi struktural pedesaan akan diindikasikan oleh integrasi penuh rumah tangga pedesaan dengan sektor ekonomi modern di perkotaan; (b) proses tahapan dan pemantapan integrasi desakota ini membutuhkan eksistensi kinerja fasilitasi fungsi pasar modal dan tenaga kerja yang kondusif; (c) tahapan final transformasi dicirikan oleh hilangnya karakteristik spesifik spasial dan sektoral seperti perbedaan pendapatan dan tingkat kemiskinan antarsektor serta antardaerah pedesaan dan perkotaan; (d) pada tahap finalisasi transformasi struktural ini, isu kemiskinan akan fokus pada pelaksanaan program jaring
pengaman sosial (JPS), khususnya bagi lanjut usia, orang cacat, dan masyarakat ekonomi lemah (in-firm). Dengan demikian, kebijakan pembangunan ekonomi dapat difokuskan pada pencapaian efisiensi dan produktivitas dengan sasaran pencapaian pertumbuhan ekonomi yang tinggi. KINERJA PROGRAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN Program Raskin Operasi pasar khusus beras (OPK beras) yang dilaksanakan pemerintah tahun 1998 (sebagai respon dari krisis ekonomi), merupakan cikal bakal dari program Raskin (beras untuk rakyat miskin). Program Raskin melakukan perubahan mendasar dari subsidi harga umum menjadi subsidi harga beras langsung bagi kaum miskin (Suryana dan Hermanto, 2004). Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2002 merupakan payung hukum yang memberikan jaminan penyediaan dan pelaksanaan program Raskin. Dalam periode 1998-2003, melalui OPK beras dan program Raskin, pemerintah mendistribusikan tidak kurang dari sepuluh juta ton beras (rata-rata 1,7 juta ton/th) kepada sekitar 7,1 juta rumah tangga miskin secara nasional. Rusastra dan Saliem (2006) dalam evaluasinya terhadap perencanaan, pelaksanaan dan antisipasi penyempurnaan program Raskin kedepan menyatakan bahwa: 1.
Peningkatan kesejahteraan penduduk miskin (termasuk petani) perlu dilihat secara holistik dan inklusif dimana program Raskin, JPS, dan BLT perlu disinerjikan dengan program peningkatan ketahanan pangan dan program pencapaian sasaran MDG’s yang dilaksanakan pemerintah. Selama ini, perencanaan dan implementasinya masih bersifat parsial, sehingga efektifitasnya belum berjalan secara maksimal.
2. Berbagai pihak terkait (Bulog, DPR-RI, Pemda, dan Perguruan Tinggi) sepakat melanjutkan dan memantapkan program Raskin. Program Raskin telah dipahami sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari program Ketahanan Pangan dan perlu dijaga konsistensi komitmen dan perencanaannya, serta dilakukan koreksi dalam implementasinya. Kapasitas dan konsistensi program Raskin ini 119
akan dimantapkan dalam rangka memberikan dukungan operasional bagi pelaksananya di lapangan. 3. Program Raskin pada hakekatnya adalah strategi preventif dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh kelompok miskin rawan pangan. Program ini sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari paradigma ketahanan pangan rumah tangga berkelanjutan (SHFSP). Sebelum akar permasalahan kemiskinan/rawan pangan dapat dipecahkan dan pemberdayaan serta kemandirian masyarakat pedesaan belum dapat diwujudkan, maka program Raskin perlu tetap dilaksanakan. Raskin ini perlu dilakukan secara inklusif dan sinergis dengan program pengentasan kemiskinan lainnya dan program peningkatan ketahanan pangan. Inklusifitas ini dapat diwujudkan dalam bentuk ”Kartu Miskin” sebagai instrumen pelayanan integratif bagi kaum miskin, yang dapat dinilai sebagai cikal bakal ”Food Stamps” di negara maju. 4. Dari sisi penguasaan infrastruktur dan pengalaman, Bulog merupakan institusi yang memiliki kapasitas dalam perencanaan dan implementasi program raskin ini. Berdasarkan pada permasalahan operasional di lapangan, perlu terus dilakukan penyempurnaan Panduan Umum dan Petunjuk Pelaksanaan Raskin oleh Bulog. Instansi terkait dari pusat sampai ke daerah (Bulog, Depdagri, Deptan, dll) perlu terus meningkatkan keterkaitan fungsional dan institusionalnya dengan target memantapkan pencapaian sasaran Raskin ini. Dalam rangka transparansi pelaksanaan Raskin, tahap perencanaan sampai dengan pelaksanaan dan pemantauan perlu mengikutsertakan perguruan tinggi dan atau LSM daerah, maupun kelembagaan masyarakat lainnya. Mereka perlu dilibatkan dalam tahap pengawasan dari titik distribusi sampai ke penerima manfaat dari Raskin. 5. Secara lebih spesifik, diperlukan penyempurnaan pelaksanaan program Raskin sebagai berikut: (a) melakukan evaluasi kriteria penetapan rumah tangga penerima Raskin dan memberi kesempatan yang luas kepada masyarakat setempat untuk menentukan rumah tangga penerima Raskin secara obyektif; (b) mensinergiskan program Raskin dengan program peningkatan produktivitas rumah tangga melalui perluasan program food for
120
work dan bantuan pinjaman modal usaha khususnya pada kelompok rumah tangga rawan pangan transien; (c) meningkatkan partisipasi Pemda dalam mendukung pelaksanaan program Raskin yang diwujudkan dalam pengalokasian anggaran untuk transportasi beras dari titik distribusi sampai ke rumah tangga penerima; (d) menyusun perencanaan target waktu akhir bantuan bagi rumah tangga dengan merumuskan kriteria dan indikator pada saat kapan rumah tangga tersebut sudah termasuk tidak miskin, sehingga bantuan pangan dapat dihentikan; (e) terkait dengan terminasi program Raskin perlu disusun data base tentang kinerja rumah tangga penerima raskin dan melakukan monitoring dan evaluasi secara baik, konsisten, dan berkesinambungan tentang keragaan tingkat pendapatan, konsumsi, dan dampak dari bantuan pangan yang diterima. Program dan Kebijakan UMKM Pada tahun 2005, pemerintah mengimplementasikan program aksi pengentasan kemiskinan melalui pemberdayaan usaha mikro/ kecil dan menengah (UMKM) sejalan dengan pelaksanaan ”Indonesia Micro Finance Year of 2005”. Tahun 2005 terdapat 41,3 juta unit UMKM dengan target penyaluran kredit Rp 60,44 triliun (Jakarta Post, June 2, 2004). Sumber pembiayaan UMKM lainnya adalah dari alokasi keuntungan BUMN sebesar 1 – 3% (senilai Rp 1,47 triliun), dan dana kompensasi kenaikan harga BBM 2005 sebesar Rp 250 milyar. Total alokasi dana tersebut didedikasikan untuk pemberdayaan UMKM dalam rangka peningkatan lapangan kerja dan pengentasan kemiskinan. Tingkat pengembalian kredit UMKM 2004 mencapai 96,7%, dan dinilai sukses dalam pengentasan kemiskinan. Kebijakan iklim investasi dalam rangka mendorong pengembangan UMKM di Indonesia yang perlu dipertimbangkan, diantaranya (World Bank, 2006) adalah (a) kebebasan pergerakan barang antardaerah dalam rangka memperoleh manfaat keunggulan komparatif dan keuntungan ekonomi perdagangan regional (trade policy), (b) menjaga keseimbangan kepentingan buruh dan perluasan kesempatan kerja (labor policy); (c) peningkatan akses, tingkat, dan kualitas pendidikan dalam rangka pengembangan potensi dan kualifikasi SDM-UMKM (educational policy), (d)
perbaikan infrastruktur jalan, listrik, telekomunikasi, pelabuhan, dll di tingkat kabupaten (infrastracture policy), (e) memfasilitasi dan mendorong kompetisi secara bebas dan sehat (competition policy); (f) perbaikan perencanaan dan implementasi bantuan teknis dan manajemen (participative and more client-driven’s technology policy), (g) komplementasi sistem informasi, pelayanan, dan subsidi bunga program kredit bagi UMKM (Credit policy), (h) revitalisasi pertanian dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi dan pemberdayaan UMKM di pedesaan (agricultural policy), dan (i) kecukupan alokasi anggaran pembangunan daerah sebagai insentif pertumbuhan di tingkat lokal. Program Bantuan Langsung Tunai (BLT) Pada tahun 2005, pemerintah mengalokasi nilai BLT sebesar Rp 7,3 triliiun (US$ 784 juta), dengan sasaran mengurangi beban masyarakat miskin sebagai dampak dari peningkatan harga BBM (Hudiono, 2005). Dana BLT tersebut merupakan sebagian dari total dana Rp 17,8 triliun sebagai hasil dari pengurangan subsidi (kenaikan harga 29,0%) BBM di dalam negeri. Program bantuan bagi kelompok miskin mencakup bantuan pendidikan, kebutuhan pangan (beras), pelayanan kesehatan, dan pengembangan infrastruktur pedesaan. Sejak sepuluh bulan terakhir (s/d 4 September 2006), nilai BLT telah mencapai US$ 1,500 juta, yang mencakup 19 juta rumah tangga miskin atau sekitar 76 juta orang (Jakarta Post, 4 September 2006). Belakangan ini efektivitas program BLT dipertanyakan berbagai pihak dengan adanya peningkatan jumlah penduduk miskin sebesar 39,05 juta (periode Februari 2005-Maret 2006), dimana sekitar 19,2 juta orang adalah kemiskinan transiten (the brink of proverty). Penyebabnya adalah adanya kenaikan harga minyak (BBM) dan tekanan inflasi sektoral. Disamping itu, juga terkait dengan perencanaan dan efektifitas pendekatan program penanggulangan kemiskinan yang diterapkan selama ini. Program Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat Secara nasional terdapat dua proyek terkait dengan program ini, yaitu Proyek Pengembangan Kecamatan (Kecamatan Development Project/KDP) dan Proyek Penanggulangan
Kemiskinan di Perkotaan (Urban Poverty Alleviation Proyect/UPAP). Berbeda dengan BLT dan JPS dengan fokus pemenuhan kebutuhan primer (harian) masyarakat miskin (peoples daily needs), maka KDP dan UPAP memiliki karakteristik sebagai berikut (Jakarta Post, 2006): (a) berbasis masyarakat, bersifat partisipatif dan pemberdayaan; (b) orientasi investasi dengan pendekatan program pengembangan dari bawah; (c) bersifat demokratis, serta menumbuhkan transparansi dan akuntabilitas peserta program; (d) program ini dinilai efektif, efisien, tingkat kebocoran rendah, dengan tingkat keberlanjutan yang relatif tinggi. Program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat KDP dan UPAP dimulai sejak tahun 1998/1999 dengan antisipasi 10 tahun. Pendanaannya bersumber dari APBN dikomplementasi dengan dana bantuan/pinjaman luar negeri senilai US$ 1,5 milyar. Dana disalurkan secara transparan melalui kompetisi ketat antardesa dengan sistem ”block grant” Rp 500 juta s/d Rp 1.500 juta/kecamatan. Pengambilan keputusan dalam perencanaan dan implementasi proyek bersifat partisipatif dan relevan kontekstual sesuai dengan permasalahan dan prioritas penanganan di lapangan. Aktivitas bersifat multisektoral, yang mencakup pengembangan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, air bersih, agribisnis, dan ramah lingkungan. PEMBELAJARAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN Pengalaman dari Kawasan Cina Seperti negara berkembang pada umumnya, Cina juga mengalami sejarah panjang, hampir satu dasawarsa (1986-1996), dalam mencari bentuk yang tepat dalam perumusan dan implementasi program pengentasan kemiskinan. Dalam periode tersebut, pemerintah Cina mengimplementasi program parsial-sektoral, mulai dari tingkat pusat-provinsi dan daerah pada tingkatan yang lebih rendah. Pendekatan ini dinilai gagal dan tidak memberikan hasil yang optimal (UNESCAP, 2005). Dalam sepuluh tahun terakhir ini, sejak 1996, pemerintah Cina membangun kelembagaan khusus pengentasan kemiskinan di pusat dan daerah, yang disebut dengan Leading Group Office for Poverty Reduction (LGPR). Lembaga 121
ini membangun jaringan kelembagaan di lapangan sebagai badan pelaksana yang disebut PADO (Poor Area Development Office). Pada setiap tingkatan secara spasial, sasaran LGPR adalah (a) melakukan koordinasi dan kohesi program lintas sektoral, (b) percepatan pertumbuhan ekonomi di daerah miskin, (c) melakukan koordinasi pendanaan program pengentasan kemiskinan. Pendekatan baru pengentasan kemiskinan di Cina ini mencakup beberapa elemen pokok, seperti (a) pendekatan berbasis proyek multisektoral, (b) program investasi terpadu pertanian dan nonpertanian, (c) fasilitasi akses pendidikan dasar dan kesehatan sebagai kebutuhan dasar membangun kapasitas dan potensi sumberdaya manusia, dan (d) fasilitasi kredit mikro dan kelembagaan keuangan pedesaan. Dampak Liberalisasi dan Komplementasi Kebijakan Dampak liberalisasi ekonomi terhadap kinerja sektor pertanian dan ekonomi pedesaan, khususnya bagi negara berkembang (Wilson Center, 2006) adalah (a) petani kecil di daerah terpencil dengan kondisi infrastruktur marginal dan efisiensi pemasaran rendah akan menerima dampak negatif liberalisasi; (b) pelaksanaan liberalisasi akan berdampak buruk terhadap tenaga kerja tidak terdidik yang bekerja pada usahatani padat tenaga kerja dengan orientasi ekspor, tetapi memiliki tingkat keunggulan komparatif yang rendah; (c) kaum perempuan di negara berkembang yang memikul tanggung jawab ekonomi keluarga dan mengalami ketidaksetaraan status sosial dan ekonomi, akan mengalami keterbatasan kemampuan dalam menghadapi dampak liberalisasi; (d) secara umum dinyatakan bahwa dalam jangka panjang, perdagangan bebas nampaknya akan mampu mengurangi tingkat kemiskinan, tetapi analisis data lintas negara tidak memberikan fakta empiris yang menyakinkan dalam jangka pendek. Beberapa kebijakan komplementasi dalam mengantisipasi dampak negatif liberalisasi terhadap kemiskinan dan perekonomian pedesaan (Wilson Center, 2006) adalah (a) minimisasi dampak transisi kehilangan kesempatan kerja dan pendapatan bagi penduduk miskin, melalui instrumen perbaikan pendidikan, investasi infrastruktur, fasilitasi penelitian dan penyuluhan pertanian, dan pengembangan JPS yang efektif; 122
(b) pengembangan kebijakan perdagangan yang berpihak bagi kelompok miskin antarnegara berkembang, melalui penurunan tarif dan peningkatan kerja sama perdagangan selatan-selatan; (c) bagi negara berkembang yang mengalami keterbatasan kinerja perdagangan komoditas pertanian dan keterbatasan kemampuan petani dalam merealisasikan marketable surplus, disarankan untuk meningkatkan investasi dalam bidang R dan D melalui pengembangan bioteknologi (NHYV) dalam rangka peningkatan potensi hasil dan produktifitas komoditas pertanian; (d) dampak positif liberalisasi terhadap pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan dapat ditempuh melalui pengembangan sistem perdagangan yang berbasis regulasi, terbuka dan adil, serta pengembangan SDM yang handal untuk perolehan dampak positif yang maksimal; (e) negara berkembang perlu secara konsisten melakukan upaya peningkatan perdagangan dan akses pasar global komoditas pertanian, serta menetapkan trade sebagai basis agenda pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan. Pengarustamaan Gender dan Kesempatan Kerja Informal Dalam kondisi tidak adanya kompensasi penggunaan dan terbatasnya jaring pengaman sosial, tidak ada pilihan lain bagi kaum miskin kecuali bekerja, betapa pun kecil tingkat upah yang mereka terima. Sebagian besar penduduk miskin yang bekerja di sektor informal, tidak mampu keluar dari perangkap kemiskinan, karena besarnya risiko finansial dan keterasingan sosial, serta rendahnya kapasitas SDM dan tingkat upah yang diterima. Selama ini permasalahan yang dihadapi pekerja informal kelompok miskin kurang mendapatkan perhatian dalam perumusan strategi pengentasan kemiskinan. Chen et al. (2004), dalam studinya tentang pengarustamaan gender dan kesempatan kerja sektor informal dalam konteks pengentasan kemiskinan, mengemukakan ada tiga hal yang perlu mendapat perhatian, yaitu pendekatan kebijakan strategis, basis pencapaian sasaran kebijakan, dan proses perumusan kebijakan. Pemahaman pendekatan kebijakan strategis perlu mempertimbangkan tiga aspek: (a) urgensi dan eksistensi dampak kebijakan (sosial ekonomi) terhadap sektor informal; (b) diferensiasi dampak kebijakan yang berbeda menurut status
pekerjaan (formal atau informal), dan menurut gender (pria dan wanita); (c) pengakuan kebutuhan pengembangan, penguatan, pengakuan organisasi dan hak pekerja informal dalam perumusan kebijakan yang menentukan perjalanan hidupnya. Basis pencapaian sasaran kebijakan perlu mempertimbangkan aspek berikut: (a) promosi dan fasilitasi kesetaraan peluang yang mencakup dukungan modal, teknologi, pelatihan, dan intervensi kebijakan; (b) jaminan hak dan kesetaraan atas dukungan legislasi, organisasi dan fasilitasi kebijakan sistem insentif dengan sektor formal/ modern; (c) proteksi tenaga kerja informal melalui jaminan asuransi yang mencakup bidang kesehatan, melahirkan, cacat (disability), jaminan hari tua/kematian, dengan melakukan pembentukan skema baru dan pengembangan skema yang telah ada. Berdasarkan pada pendekatan dan basis kebijakan tersebut diatas, maka proses perumusan kebijakan kesetaraan gender dan kesempatan kerja informal dalam penanggulangan kemiskinan perlu mempertimbangkan dimensi berikut: (a) Pemahaman urgensi peranan ekonomi pekerja informal, melalui dukungan statistik tentang skala, komposisi, kontribusi ekonomi sektor informal. (b) Mempertimbangkan sensitifitas peranan dan tanggung jawab gender dalam ekonomi sektor informal. Pekerja wanita cenderung memperoleh pendapatan dan proteksi sosial yang lebih rendah, sehingga perlu mendapatkan dukungan kebijakan yang lebih besar. (c) Perlu mempertimbangkan aspek spesifik kontektual menurut kategori pekerja informal. Secara faktual terdapat diferensiasi pekerja informal menurut lokasi dan jenis industri serta pelaku industri (self- employed) dan pekerja (paid worker) dalam ekonomi sektor informal. (d) Bersifat inklusif dan partisipatif, dimana perumusan kebijakan mengikutsertakan dan mempertimbangkan pendapat pekerja informal. Pembentukan organisasi pengusaha/pedagang dan pekerja sektor informal dalam bentuk kelembagaan asosiasi dan koperasi perlu didorong dan didukung oleh berbagai pihak terkait. Pemberdayaan Legalitas Penanggulangan Kemiskinan Menurut Singh (2006), Direktur Eksekutif ”The Commission for Legal Empowerment of the Poor”, terdapat empat faktor kunci secara hukum
yang perlu mendapat perhatian khusus dalam pemberdayaan kaum miskin dan membantu mereka keluar dari kemiskinan. Keempat faktor tersebut adalah : (a) Penegakan hukum dan perbaikan akses terhadap peradilan formal. Sistem peradilan nampaknya tidak berpihak pada kaum miskin, yang pada akhirnya mereka mengambil pilihan solusi informal yang cenderung merugikan. (b) Kelompok miskin membutuhkan sistem hak kepemilikan yang bersifat inklusif. Dalam kenyataannya masyarakat miskin dihadapkan pada ragam pemilikan aset yang relatif tinggi, dan membutuhkan jaminan proteksi dalam penggunaan aset tersebut. Sistem dan payung hukum hak pemilikan dibutuhkan dengan antisipasi agar dapat digunakan sebagai dasar membangun kepercayaan, akses kredit, akses pasar, dan kepentingan usaha/bisnis lainnya. (c) Pengembangan dan promosi sistem tenaga kerja formal bagi masyarakat miskin. Transformasi kesempatan kerja ini, mereka butuhkan untuk memperoleh jaminan penerapan upah minimum, asuransi, dan kepastian santunan keamanan kerja, (d) Pengembangan dan pengakuan kewirausahaan kaum miskin. Kemampuan kewirausahaan masyarakat miskin ini merupakan faktor riil yang perlu dihargai dan didorong. Mereka memiliki kemampuan yang tinggi dalam memanfaatkan setiap kesempatan ekonomi, dan mereka tetap eksis, walaupun tantangan yang mereka hadapi relatif besar dengan fasilitasi minimal, PENUTUP Negara-negara berkembang, seperti Indonesia, dihadapkan pada kenyataan kompleksitas permasalahan dan tingginya tingkat, ragam, dan karakteristik penduduk miskin. Kompleksitas tersebut diindikasikan oleh beberapa hal, yaitu (a) kontradiksi kebijakan makro ekonomi vs program penanggulangan kemiskinan, (b) sulitnya melakukan pilihan secara tegas dan eksklusif dalam kebijakan ekonomi apakah berbasis efisiensi (growth) atau pemerataan (equity), (c) pilihan program penanggulanan kemiskinan antara JPS yang menyebabkan ketergantungan 123
vs pendekatan investasi dengan sasaran pemberdayaan, (d) pilihan program berbasis pendekatan individu vs pemberdayaan kelompok/komunitas. Berdasarkan komplektisitas tersebut perlu dipertimbangkan reorientasi kebijakan strategi dalam penanggulangan kemiskinan dengan mempertimbangkan beberapa aspek berikut: (a) ketegasan segmentasi sasaran kelompok miskin, yaitu target sasaran JPS vs pemberdayaan/pendekatan investasi; (b) reorientasi pendekatan parsial sektoral kepada pendekatan yang bersifat holistik multisektoral berbasis komunitas dan bersifat partisipatif; (c) dukungan komplementasi kebijakan untuk mengeliminir dampak transisi globalisasi khususnya bagi penduduk miskin; (d) fokus pada kesempatan kerja (informal) dan kesetaraan gender, disamping program revitalisasi pertanian dan UMKM; (e) pengembangan aspek legalitas kaum miskin dan penanggulangannya. Berdasarkan reorientasi kebijakan strategis di atas, antisipasi program penanggulangan kemiskinan yang perlu dipertimbangkan adalah (a) JPS dengan pendekatan individu dengan target kelompok sasaran lansia/orang cacat/ infirm (kemiskinan kronis); (b) pendekatan investasi melalui pemberdayaan kelompok dan bersifat partisifatif dengan target keluarga miskin di luar JPS (kemiskinan transient); (c) antisipasi program ke depan (di luar JPS) adalah program pemberdayaan berbasis masyarakat yang dinilai berhasil (best practice), adalah Program Pembangunan / Pemberdayaan Pertanian Terpadu (PIDRA, Desa Mandiri Pangan, dan sejenisnya); Proyek Pengembangan Kecamatan (KDP); Proyek Pengentasan Kemiskinan Perkotaan (UPHP); dan Proyek Program Gerdu Taskin (Gerakan Terpadu Pengentasan Kemiskinan); (d) pemantapan posisi Badan Pemberdayaan Masyarakat (BAPEMAS, Depdagri sebagai koordinator program multisektoral pengentasan kemiskinan (pusat, provinsi, kabupaten); (e) revitalisasi sektor pertanian/aktivitas informal nonpertanian (di pedesaan + perkotaan) dinilai strategis ke luar dari kemiskinan. DAFTAR PUSTAKA Adiyoga, IDBM, dan E. Hermiati. 2003. Pola Nafkah Local : Acuan Mengkaji Kemiskinan di Era Otonomi Daerah (Kasus Provinsi Nusa
124
Tenggara Timur). Jurnal Ekonomi Rakyat. Artikel Tahun I No. 12 Februari 2003. Jakarta. www.ekonomirakyat.org. Bourgeois, R., IW. Rusastra, and T.A. Napitupulu. 2006. The Impact of Export Suport on Food Security in Indonesia. UN-CAPSA and CIRAD, 2006 Chen,
M.A., J. Vanek, and M. Carr. 2004. Mainstreaming Informal Employment and Gender in Poverty Reduction : A Hand book for Policy Makers and Other Stakeholders. Commonwealth Secretariat, Marlborugh House, Pall Mall, London. www.thecommonwealth.org/gender; 8 October 2006.
Gardner, B.L. 2006. American Agriculture in the Twentieth Century: How it Flourished and What it Cost. Cambridge, MA: Harvard University Press. Hermanto. 2005. Pengentasan Kemiskinan Melalui Pemberdayaan Masyarakat dalam Program Ketahanan Pangan. Badan Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian, Jakarta. Hudiono, U. 2005. Government to Start Disbursing Funds for the Poor. The Jakarta Post, March 8, 2005. Jakarta. Jakarta Post, 2006. Poverty Increase 11 Percent. The Jakarta Post, September 4, 2006. Jakarta Jakarta Post. 2004. Proverty Reduction Strategy. The Jakarta Post. Wednesday, June 2, 2004. Jakarta. Kompas. 2006. Kemiskinan Akibat Beras. Harian Kompas, Rabu, 15 November 2006. Jakarta. Mc Cullock, N., J. Weisbroad and C.P. Timmer. 2006. The Pathways out of Rural Poverty in Indonesia. Paper for the Indonesia’s Poverty Assessment, World Bank, Jakarta. Mubyarto. 2002. Penanggulangan Kemiskinan di Jawa Tengah dalam Era Otonomi Daerah. Jurnal Ekonomi Rakyat. Artikel Thn. I No. 7, November 2002. Jakarta. www.ekonomirakyat.org. Pasaribu, B. 2006. Poverty Profile and the Alleviation Programme in Indonesia. Paper Presented on “Asian Regional Seminar on Poverty Alleviation”, Held by AFPPD and IFAD, 5-6 April 2006, Hanoi, Vietnam. Rusastra, IW, Sumaryanto, and P. Simatupang. 2005. Agricultural Development Policy Strategies for Indonesia : Enhancing the Contribution of Agriculture to Poverty Reduction and Food Security. Paper presented in “ The Workshop on Linking Agricultural Policies with Food Security and Poverty Reduction”, FAO Hg., Rome, June 1-2, 2005.
Rusastra, IW., dan H.P. Saliem. 2006. Kebijakan dan Perlindungan Petani (Padi) Menghadapi Panen Raya dan Peningkatan Kesejahteraan Petani Miskin. Mimeo. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor. Rusastra, IW., Supriyati, E. Suryani, K.M. Noekman, M. Suryadi, dan R.Elizabeth. 2005. Analisis Ekonomi Ketenagakerjaan Sektor Pertanian dan Pedesaan di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Santosa, A., D.G. Hidayat, dan P. Indroyono. 2003. Program Penanggulangan Kemiskinan Bersasaran di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Ekonomi Rakyat. Artikel Tahun II. No.2 April 2002, Jakarta. www. ekonomirakyat.org. Sayogyo, 2002. Pertanian dan Kemiskinan. Jurnal Ekonomi Rakyat. Artikel Tahun 1 No. 2, Jakarta. Singh, N. 2006. Legally Empower the Poor, Unlock Human Capital. Jakarta Post, 25 September 2006, Jakarta. Sudaryanto, T. dan IW. Rusastra. 2006. Kebijakan Strategis Usaha Pertanian dalam Rangka Peningkatan Produksi dan Pengentasan Kemiskinan. Seminar Internasional Multifungsi Pertanian. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Per-
tanian, 27-28 Juni 2006. Lido Lake Resort & Conference, Bogor. Suryana dan Hermanto. 2005. Kebijakan Ekonomi Perberasan Nasional. Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. Timmer, C.P. 2005. Operationalizing for Poor Growth: A Country Case Study of Indonesia. PREM/World Bank, Washington, D.C. USA. UNESCAP, 2005. Income Generation and Proverty Reduction : Experiences of Selected Asian Countries. Development Paper No. 26. United Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific (UN-ESCAP), New York, 2005. UN-ESCAP. 2006. Technical Cooperation. Yearbook, 2005..United Nation –ESCAP, Bangkok. Wilsoncenter. 2005. Summary of Proceedings of a Conference on “The Impact of Trade Liberalization on Poverty” Organized on 15 April 2005. USAID and Woodron Wilson International Center for Scholars, W.W. Washington, D.C. [www.wilsoncenter.org/ tradeand poverty] World Bank. 2006. Revitalizing the Rural Economy: An Assessment of the Rural Investment Climate in Indonesia. The World Bank Office, Jakarta.
125