DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM Direktorat Jenderal Cipta Karya
MODUL DASAR Konsultan dan Pemda
Tantangan Penanggulangan Kemiskinan
PNPM Mandiri Perkotaan
01
Modul 1
Paradigma Pembangunan
1
Kegiatan 1:
Diskusi Kelas Pemahaman Paradigma
2
Kegiatan 2:
Diskusi Paradigma dan Implikasinya pada Kemiskinan
3
Kegiatan 3:
Diskusi Kelompok Paradigma Pembangunan dan Implikasinya pada Kemiskinan
4
Modul 2
Anatomi Kemiskinan
21
Kegiatan
Diskusi Pohon Persoalan Kemiskinan
22
Modul 3
Perempuan dan Kemiskinan
43
Kegiatan
Analisa Kasus Perempuan dan Kemiskinan
44
Kemiskinan merupakan permasalahan yang kompleks dan terjadi di berbagai tempat di Indonesia. Penanggulangan kemiskinan sudah banyak dilakukan baik oleh lembaga pemerintah maupun lembaga–lembaga lainnya, akan tetapi hasilnya belum optimal. Penanggulangan kemiskinan yang dilakukan selama ini pada umumnya hanya terbatas pada gejalanya saja tidak menyentuh akar permasalahan yang sebenarnya. Perlu direnungkannya penyebab utama kemiskinan (akar masalahnya) karena implikasinya pada intervensi dan model–model penanggulangan kemiskinan yang dilakukan. mengingat apabila akarnya tidak pernah ditanggulangi maka persoalan ini tidak akan pernah selesai. Kemiskinan menggambarkan adanya ketimpangan antara berbagai kelompok dalam masyarakat, baik dalam bidang politik, ekonomi, lingkungan maupun sosial. Ketimpangan tersebut terjadi karena ada kelompok yang diuntungkan oleh kondisi atau keputusan–keputusan publik dan ada kelompok yang dirugikan sehingga mereka menjadi terpinggirkan. Kemiskinan akibat berbagai ketimpangan yang lebih mendalam akan dialami oleh kaum perempuan karena kelompok ini masih merupakan kelompok penerima informasi dan pemanfaat pembangunan nomor dua dalam masyarakat. Kondisi tersebut mencerminkan gambaran terjadinya ketidakadilan, yang disebabkan oleh ketidak-mampuan para pengambil keputusan dalam menegakkan keadilan, sehingga sistem dan struktur sosial yang ada hanya berpihak kepada golongan tertentu yang mempunyai kekuasaan dan akses pada pengambilan keputusan publik, serta menipisnya kepedulian dan meningkatnya keserakahan di masyarakat Semua itu menunjukkan adanya gejala serius terhadap lunturnya nilai–nilai kemanusiaan yang mewujud dalam sikap mental dan perilaku yang negatif dari para pelaku pembangunan. Sikap mental dan perilaku seseorang dipengaruhi oleh paradigma yang diyakininya dimana pada akhirnya akan mempengaruhi perilakunya. Orang yang mempunyai sikap mental negative, tindakannya akan cenderung merusak lingkungannya. Bisa dibayangkan dampaknya apabila sikap semacam itu masih menjadi bagian dari pengambil keputusan publik.
i
Modul 1 Topik: Paradigma Pembangunan
Peserta memahami dan menyadari: 1. Pengertian Paradigma dan implikasinya terhadap pembangunan 2. Terjadinya pergeseran paradigma pembangunan di Indonesia dan Implikasinya terhadap kemiskinan
Kegiatan 1: Diskusi kelas pemahaman paradigma Kegiatan 2: Diskusi paradigma dan implikasinya terhadap sikap dan perilaku Kegiatan 3: Diskusi kelompok paradigma pembangunan dan implikasinya terhadap kemiskinan
3 Jpl ( 135 ’)
Bahan Bacaan: 1. Paradigma Pembangunan 2. Pembangunan Manusia
• Kerta Plano • Kuda-kuda untuk Flip-chart • LCD • Metaplan • Papan Tulis dengan perlengkapannya • Spidol, selotip kertas dan jepitan besar
1
Diskusi Pemahaman Paradigma 1) Buka pertemuan dengan salam singkat dan uraikan bahwa kita akan memulai Modul Paradigma Pembangunan dan apa yang akan dicapai melalui modul ini Uraikan bahwa kita akan memulai Topik 1 Pengertian Paradigma dengan Kegiatan: Diskusi Pemahaman Paradigma, dan tujuan yang akan dicapai melalui kegiatan ini yaitu:
Peserta mampu menguraikan dengan kata-kata sendiri perbedaan yang hakiki antara paradigma dan pandangan pribadi seseorang
2) Kemudian mintalah para peserta untuk tenang mendengarkan kisah “Kecelakaan yang fatal”. Sekali lagi mintalah peserta untuk benar-benar menyimak karena setelah cerita ini akan ada pertanyaan yang harus dijawab peserta. Bacakan kisah yang telah disiapkan di lembar kerja (LK) kemudian tanyakan apakah pernyataan dalam cerita tersebut benar atau salah. Gunakan LK Paradigma Pembangunan –1 Kemudian tanyakan kepada peserta pertanyaan kritis sebagai berikut :
Apakah pernyataan-pernyataan dalam cerita tersebut benar atau salah? Jelaskan kalau salah, apa sebabnya, kalau benar, apa sebabnya. Setelah terjawab, jelaskan mengapa peserta memaknai cerita tersebut dengan cara yang berbeda –beda (mungkin ada yang menganggap cerita itu benar , dan ada yang menganggap cerita itu salah). Setiap orang akan menanggapi kejadian, cerita, atau realitas yang terjadi dalam kehidupan sangat tergantung kepada peta mental yang dipunyai oleh orang tersebut. Peta mental (sudut pandang) seseorang ditentukan oleh pengalaman, pengetahuan , tata nilai seseorang. Apabila sudut pandang (peta mental) dipercaya menjadi pandangan umum (sekelompok orang), maka pandangan – pandangan tersebut disebut dengan paradigma . Dalam kasus cerita di atas, orang yang tidak mempunyai pengalaman dan pengetahuan bahwa perempuan bisa menjadi dokter bedah akan menganggap bahwa cerita itu mustahil, apalagi pandangan seperti ini sudah menjadi pandangan umum dalam masyarakat dimana posisi atau jabatan tertentu masih didominasi oleh kaum laki – laki (banyak masyarakat yang masih mempunyai paradigma bahwa perempuan tidak harus memiliki jabatan yang tinggi, karena perempuan tugasnya menjadi ibu rumah tangga saja). Tiap orang memiliki peta mental dan sering kali berbeda satu terhadap yang lain dan bila peta mental yang sama dimiliki oleh banyak orang maka disebut paradigma. Sering kali kita membahas sesuatu dengan terminology yang sama tetapi peta mental kita berbeda sehingga tidak pernah ketemu.
2
3)
Ajak peserta untuk mendiskusikan pergeseran paradigma dengan langkah sebagai berikut :
Peragakan suatu benda kubus atau pyramid yang memiliki bidang tampilan yang berbeda warna (misal merah, hijau, biru). Ajaklah peserta untuk benar-benar memperhatikan benda yang Anda peragakan. Kemudian ajukan pertanyaan kepada peserta yang melihat dari sisi kanan (warna merah), mintalah mereka untuk mendeskripsikan benda yang mereka lihat. Tanyakan juga hal yang sama kepada peserta yang melihat dari sudut yang lain. Tentu saja tiap orang akan melihat warna yang berbeda.
Tanyakan kepada peserta mengapa walaupun semua orang mengatakan kubus tetapi mendeskripsikan (memaknai kubus tersebut dengan cara yang berbeda , misal kubus berwarna hijau). Jelaskan bahwa setiap kelompok memaknai kubus tersebut sesuai dengan sudut pandang kelompoknya.
Kemudian ajak peserta untuk pindah ke sisi kanan (sudut merah). Tanyakan kepada mereka benda apa yang mereka lihat dan berwarna apa?. Mengapa semua mengatakan hal yang sama?. Apakah bergeser deskripsi dari kelompok hijau dan kelompok biru? Jelaskan bahwa paradigma yang dianut oleh sekelompok orang bisa bergeser.
4) Uraikan apa arti paradigma dengan menggunakan Media Bantu yang sudah disediakan sebagai pengkayaan 5) Ajak peserta menyimpulkan apakah perbedaan hakiki antara paradigma dan pandangan seseorang
Diskusi Paradigma dan Implikasinya Terhadap Sikap dan Perilaku 1) Buka pertemuan dengan salam singkat dan uraikan bahwa kita memasuki topik ke dua dari Modul Paradigma Pembangunan yaitu diskusi paradigma dan implikasinya pada sikap dan perilaku masyarakat. 2) Tanyakan kepada peserta apakah tujuan pembangunan? Gali pendapat peserta sampai ketemu kata kunci proses perubahan ke arah yang lebih baik (kesejahteraan). 3) Mintalah contoh – contoh paradigma yang berkembang dalam masyarakat mengenai pembangunan, berilah satu atau dua contoh, misalnya : “Masyarakat tidak mampu memecahkan masalah sendiri”; “Kemiskinan bisa diatasi dengan pemberian uang”. Tulislah paradigma lain mengenai pembangunan menurut peserta, mintalah peserta untuk menulis dalam kertas metaplan. 4) Ajaklah peserta untuk mendiskusikan, paradigma yang sudah ditulis pada kertas metaplan , mintalah peserta untuk berdiskusi , apa tindakan yang akan dilakukan oleh seseorang (sekelompok orang) apabila mereka mempunyai paradigma – pradigma tersebut. Mintalah peserta untuk menuliskan tindakan tersebut dalam kartu metaplan dengan warna yang berbeda. (lihat contoh di bawah ini).
3
Paradigma (misal kartu berwarna kuning)
Masyarakat tidak mampu memecahkan masalah sendiri
Tindakan yang akan dilakukan (misal kartu berwarna merah)
Pembangunan ditentukan hanya oleh pemerintah atau lembaga luar (masyarakat hanya sebagai objek)
Kemiskinana bisa diatasi dengan pemberian uang
Tindakan ????
Paradigma lain ????, dan seterusnya
Tindakan ????
5) Simpulkan bahwa paradigam seseorang akan sangat mempengaruhi sikap, keputusan dan tindakan (perilaku) seseorang. Apabila penganut paradigma tersebut adalah pengambil kebijakan publik maka keputusan dan tindakannya akan mempengaruhi publik.
Diskusi Pergeseran Paradigma dan Implikasinya Terhadap Kemiskinan 1) Buka pertemuan dengan salam singkat dan uraikan bahwa kita memasuki topik ke tiga dari Modul Paradigma Pembangunan yaitu Pergeseran Paradigma Pembangunan dan Implikasinya pada Kemiskinan 2) Tanyakan kepada peserta, paradigma pembangunan di Indonesia selama ini (dari mulai PJP 1 pada jaman orde baru sampai sekarang) . Sampai ketemu kata kunci paradigma pembangunan ekonomi, paradigma pembangunan kesejahteraan sosial dan paradigma pembangunan manusia. 3) Setelah selesai menyajikan paradigma pembangunan semasa PJP 1 ajukanlah pertanyaan sebagai berikut : a) Pada saat kita menerapkan paradigma ekonomi (Repelita 2) yang lebih menekankan pertumbuhan:
4
siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan?
Mengapa demikian?
b) Pada saat kita menerapkan paradigma sosial yang lebih menekankan pemerataan (Repelita 3, 4, 5) apa yang sebenarnya terjadi?
Apakah kesenjangan menyempit atau malah melebar?
Mengapa demikian?
Siapa yang sebenarnya diuntungkan masyarakat sebagai sasaran kelompok atau justru mereka yang secara langsung memberikan pelayanan ?
Mengapa demikian?
4) Bagilah peserta menjadi 4 kelompok dan ajukan pertanyaan kritis sebagai berikut ini sebagai tugas pembahasan dalam kelompok : Kelompok 1 & 2 Pada saat kita menerapkan paradigma ekonomi (Repelita 2) yang lebih menekankan pertumbuhan:
Kelompok mana yang diuntungkan dan kelompok mana yang dirugikan ?
Siapakah yang terlibat dalam proses pembangunan? Apakah perempuan terlibat?
Apakah kesenjangan menyempit atau melebar?
Apakah mampu menjawab persoalan kemiskinan?
Paradigma pembangunan apa yang harus dianut dalam pembangunan untuk menanggulangi persoalan kemiskinan?
Kelompok 3 & 4 Pada saat kita menerapkan paradigma kesejahteraan sosial pemerataan:
yang lebih menekankan pada
Kelompok mana yang diuntungkan dan kelompok mana yang dirugikan ?
Siapakah yang terlibat dalam proses pembangunan? Apakah perempuan terlibat?
Apakah kesenjangan menyempit atau melebar?
Apakah mampu menjawab persoalan kemiskinan?
Paradigma pembangunan apa yang harus dianut dalam pembangunan untuk menanggulangi persoalan kemiskinan?
5) Mintalah tiap kelompok menyajikan hasil diskusi masing-masing dan lakukan diskusi kelas dengan bahan dari peserta tersebut. 6) Untuk penegasan sajikan MB 1 apabila diperlukan 7) Ajaklah peserta untuk mendiskusikan mengenai paradigma pembangunan manusia yang lebih menekankan memanusiakan manusia, dengan prinsip – prinsip keadilan dan kesetaraan tidak memandang golongan, jenis kelamin dan sebagainya. Tanyakan lebih jauh kepada peserta mengapa di Indonesia saat ini yang sudah memakai pembangunan manusia, pemberdayaan dan kata – kata sejenisnya akan tetapi masih tetap saja ketimpangan antara berbagai kelompok masyarakat terjadi. Beri penekanan bahwa sikap mental para pelaku pembangunan sangat mempengaruhi keputusan dan tindakan seseorang.
5
LK - Paradigma Pembangunan - 1 Pertanyaan dan tugas yang terkait dengan “Diskusi Kelas Pemahaman Paradigma” Kisah Kecelakaan yang Fatal Alkisah di Jakarta ada suatu pasangan muda dengan anaknya yang baru berumur hampir 3 tahun. Sang ayah dan ibu adalah pekerja yang rajin, khususnya sang ayah yang selalu datang ke kantor lebih awal dan pulang lebih lambat. Pada suatu hari setelah istirahat makan siang, pimpinan kantor sang ayah memanggil dia dan ujarnya : “Heee kau ini kan keluarga muda, seingat saya anakmu kan sedang lucu-lucunya”. “Benar pak, bulan depan berumur 3 tahun”. “Hari ini ada acara khusus nggak”. “Tidak pak kerja rutin saja”. “Nah kalau begitu setalah makan siang Anda boleh pulang”. Maka dengan gembira setelah makan dia buru-buru membereskan pekerjaannya dan pulanglah sang ayah. Waktu sampai dirumah hari masih siang kurang lebih pukul 4 sore dan anaknya lagi bermain-main diteras rumahnya. Berkatalah sang ayah “Ayo nak naik mobil, kita jalan-jalan”, maka berjalan-jalanlah mereka berdua, mula-mula berkeliling di kompleks dan lama-lama tanpa sadar mereka keluar kompleks masuk ke jalan besar. Mendadak ada sebuah bis kota melaju dengan pesat dari arah samping dan kecelakaan tak dapat dihindarkan. Terjadilah kecelakaan yang fatal dimana sang ayah meninggal saat itu juga tergencet bis kota dan sang anak terpelanting menabrak kaca depan mobil yang ditumpanginya. Kepalanya terantuk dengan parah sehingga pingsan. Penduduk setempat menolong anak tersebut dan membawanya langsung ke rumah sakit. Di rumah sakit anak tersebut segera dilarikan ke ruang bedah untuk dioperasi. Dokter anaestesi dan dokter bedah lari tergopoh-gopoh untuk secera melakukan tugasnya. Sampai di ruang bedah dan setelah melihat sang korban dokter bedah berkata “Maaf saya tidak dapat mengoperasi anak ini, karena anak ini anak saya” Pertanyaan 1) Apakah pernyataan-pernyataan dalam cerita tersebut benar atau salah? Jelaskan kalau salah apa sebabnya, kalau benar apa sebabnya. 2) Apakah pandangan pribadi seseorang mengenai sesuatu dapat dianggap paradigma
6
LK - Paradigma Pembangunan - 2 Pertanyaan dan tugas yang terkait dengan “Ceramah Pergeseran Paradigma dan Implikasinya Terhadap Kemiskinan Bagilah peserta menjadi 4 kelompok dan ajukan pertanyaan kritis sebagai berikut ini sebagai tugas pembahasan dalam kelompok : Kelompok 1 & 2 Pada saat kita menerapkan paradigma ekonomi (Repelita 2) yang lebih menekankan pertumbuhan :
Kelompok mana yang diuntungkan dan kelompok mana yang dirugikan ?
Siapakah yang terlibat dalam proses pembangunan? Apakah perempuan terlibat?
Apakah kesenjangan menyempit atau melebar?
Apakah mampu menjawab persoalan kemiskinan?
Paradigma pembangunan apa yang harus dianut dalam pembangunan untuk menanggulangi persoalan kemiskinan?
Kelompok 3 & 4 Pada saat kita menerapkan paradigma kesejahteraan sosial pemerataan :
yang lebih menekankan pada
Kelompok mana yang diuntungkan dan kelompok mana yang dirugikan ?
Siapakah yang terlibat dalam proses pembangunan? Apakah perempuan terlibat?
Apakah kesenjangan menyempit atau melebar?
Apakah mampu menjawab persoalan kemiskinan?
Paradigma pembangunan apa yang harus dianut dalam pembangunan untuk menanggulangi persoalan kemiskinan?
7
Sepakbola Antar-Planet Kesebelasan dunia yang beranggotakan pemain-pemain terpilih dari 5 Benua bertanding melawan kesebelasan Planet Mars. Melalui jaringan satelit pertandingan tersebut disiarkan secara langsung keseluruh jajaran bima sakti. Pertandingan berjalan dalam tempo cepat dan menarik. Permainan semakin cepat dan tiba-tiba…..gool !!! pemain kesebelasan dunia memasukkan gol. Gol ini disambut meriah oleh seluruh pemirsa di dunia. Mereka bersorak, bertepuk tangan dan bernyanyinyanyi (goll..goll..ale..ale..ale).hal yang sama juga dilakukan oleh pendukung kesebelasan planet Mars. Usai istirahat, pertandingan dilanjutkan lagi. Menjelang akhir babak II, kesebelasan dunia kembali mengulang sukses. Pekikan…goooooll membahana keseluruh jagat raya. Pendukung kesebelasan Mars juga melakukan hal yang sama. Sejauh ini semua berjalan OKE-OKE saja. Tibalah saat penganugerahan piala bagi pemenang. Terjadi keributan. Kapten team kedua kesebelasan terlibat debat yang emosional. Panitia tak dapat berbuat apa-apa. Penonton di seputar stadion juga mulai mengacung-acungkan tinjunya. Mereka berteriak dan saling mengejek apa yang terjadi. Menurut saudara berapa score terakhir Siapa pemenang dari pertandingan ini Anda mungkin sepakat dengan saya bahwa score adalah 2-0 untuk kemenangan kesebelasan dunia. Tetapi agaknya disinilah letak persoalannya. Menurut warga planet Mars, pemenang adalah kesebelasan yang merelakan gawangnya kemasukan bola. Sebab itu adalah lambang dari kesebelasan hati………..
8
Slide 1
Slide 2
Slide 3
Slide 4
9
Slide 5
Slide 6
Slide 7
Slide 8
Slide 9
Slide 10
10
Slide 11
Slide 12
Slide 13
Slide 14
Slide 15
Slide 16
11
Paradigma Pembangunan Oleh: Parwoto
Pengertian Kata paradigma berasal dari Yunani, semula lebih merupakan istilah ilmiah dan sekarang lebih lazim digunakan dengan arti model, teori dasar, persepsi, asumsi atau kerangka acuan. Dalam bahasa sehari-hari paradigma juga disebut sebagai “cara kita memandang dunia”, bukan dalam arti visual tetapi lebih dalam arti mempersepsi, mengerti atau menafsirkan (Stephen R Covey. 7 Kebiasaan Manusia yang Sangat Efektif) Lebih lanjut “paradigma” adalah kumpulan tata nilai yang membentuk pola pikir seseorang sebagai titik tolak pandangan seseorang. Konsekwensinya paradigma ini juga akan membentuk citra subyektif seseorang mengenai realita dan akhirnya akan menentukan bagaimana seseorang menanggapi realita.
Pengantar Paradigma adalah sumber dari sikap dan perilaku seseorang, berkenaan dengan tindakan mempersepsi, memahami dan menafsirkan sesuatu hal. Dengan kata lain manakala seseorang menguraikan sesuatu yang dilihat atau dialami, sebenarnya orang tersebut sedang menguraikan pandangannya/anggapannya mengenai hal tersebut atau sebenarnya dia sedang menjabarkan dirinya sendiri, citra subyektifnya, persepsinya, pandangannya yang dilandasi oleh paradigmanya. Penafsiran masing-masing orang tentang sesuatu hal menggambarkan pengalaman orang tersebut sebelumnya. Semakin sadar seseorang akan paradigmanya yang dipengaruhi oleh pengalaman hidupnya, maka semakin orang tersebut bertanggung jawab terhadap segala sesuatu yang terjadi akibat paradigma yang dianutnya. Dia akan makin terbuka dan terus menguji paradigmanya berdasarkan realita baru yang ditemuinya, mendengarkan orang lain dan bersikap terbuka terhadap persepsi orang lain, sehingga mendapatkan gambaran yang lebih besar dan pandangan yang lebih obyektif sehingga yang terjadi kemudian adalah penguatan atau justeru perubahan paradigma. Perubahan paradigma menggerakkan seseorang untuk beralih dari satu cara pandang ke cara pandang yang lain. Perubahan paradigma bersifat kuat. Paradigma seseorang, terlepas dari benar atau salah, adalah sumber dari sikap dan perilakunya, yang akhirnya akan menjadi sumber dari hubungan orang tersebut dengan orang lain. Hampir setiap terobosan penting di dalam berbagai bidang kehidupan, pada mulanya merupakan pemutusan dengan tradisi, cara berpikir dan paradigma yang lama. Perlu juga selalu diingat bahwa tidak semua perubahan paradigma memiliki arah positif dan tidak semua perubahan paradigma terjadi seketika.
Pergeseran Paradigma Pembangunan Secara singkat dan sederhana terjadinya pergeseran paradigma global didunia ini dapat diuraikan sebagai berikut di bawah ini
12
1. Paradigma Ekonomi Paradigma ekonomi merupakan yang paling tua dan paling dominan dalam menentukan pembangunan. Hal ini disebabkan oleh pengertian ekonomi itu sendiri sebagai “mengatur rumah tangga sendiri” yang dapat dipahami sebagai upaya mengatur kesejahteraan keluarga, komunitas dan bangsa dalam skala yang lebih luas. Pada awalnya ( ekonomi klasik) paradigma ini menekankan pertumbuhan dan melihat pembangunan sebagai pembangunan ekonomi (development=economic development) sehingga ukuran keberhasilan pembangunan adalah pertumbuhan produksi barang dan jasa secara nasional (Produksi Nasional Bruto/Gross National Product). Makin tinggi pertumbuhannya makin berhasil pembangunan suatu bangsa/negara. Paradigma ini juga menekankan perlunya kebebasan, pemupukan modal dan pembagian kerja (spesialisasi). Kelompok yang tidak puas dengan paradigma ini kemudian melaku pembaruan yang kemudian dikenal dgn Neo Ekonomi yang lebih menekankan pada pemerataan dgn mengukur berapa % dari PNB/GNP diraih oleh penduduk miskin. Meskipun paradigma neo-ekonomi ini masih sangat jelas dipengaruhi nilai-nilai ekonomi klasik, tetapi ada beberapa perbedaan yang fundamental dalam indikator-indikator yang digunakan untuk mengukur pembangunan dan makna pertumbuhan itu sendiri. Paradigma neo-ekonomi menggunakan indikator dalam mengukur pembangunan sebagai berkurangnya kemiskinan, pengangguran dan berkurangnya kesenjangan. Masih dalam paradigma ekonomi ini muncul juga pandangan (ekonomi politik neo klasik) yang melihat hubungan antara masyarakat maju (kapitalis) dengan masyarakat yang belum maju (pra kapitalis) yang melahirkan eksploatasi dari masyarakat maju kepada masyarakat belum maju sehingga yang terjadi adalah keterbelakangan (underdevelopment) dari masyarakat yg blm maju Meskipun sudah banyak perubahan dalam paradigma ekonomi tetapi perkara utamanya tetap pertumbuhan dan pemerataan dipercayakan melalui mekanisme penetesan (trickle down effect)
2. Paradigma Kesejahteraan Sosial Pada awalnya paradigma kesejahteraan social ini melihat pembangunan sebagai pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Indikator pembangunan diukur dari pemenuhan kebutuhan dasar, seperti antara lain MASOL (Minimum Acceptable Standard of Living) yang dikembangkan oleh Doh Joon Chien atau PQLI (Physical Quality Life Index) yang sedikit lebih maju dengan mengukur harapan hidup, kematian bayi dan melek huruf sampai dengan yang lebih canggih yang melihat pembangunan sebagai upaya terencana untuk memenuhi kebutuhan sosial yang lebih tinggi, bukan berapa banyak, tetapi berapa baik, bukan kualitas barang tetapi kualitas hidup seperti antara lain keadilan, pemerataan, peningkatan budaya, kedamaian, dsb. (Bauer, 1966; Conyers, 1986) Meskipun telah terjadi banyak perkembangan tetapi perkara utama paradigma ini masih tetap pemenuhan kebutuhan hidup sehingga sering dikritik “mendudukkan masyarakat sebagai obyek bantuan” (Freire, 1984)
3. Paradigma Pembangunan Manusia Melihat pembangunan sebagai pembangunan manusia untuk mampu berbuat dan menciptakan sejarahnya sendiri. Manusia sebagai fokus utama dan sumber utama pembangunan (Korten). Penghormatan terhadap martabat manusia, pembebasan manusia dari dominasi teknologi (Illich), pembebasan manusia dari dominasi pasar (Ramos), pembangunan manusia; kelangsungan hidup, kehormatan dan kebebasan (Goulet), pembebasan manusia dari dominasi manusia lain melalui proses penyadaran diri (Freire). Fokus pembangunan bukan lagi pada ekonomi, social atau teknologi melainkan pada manusia itu sendiri.
13
……….a sense of self worth and a personal capacity for actively participating in life’s important decision …………. ……….social development become the liberation of human being and community from passive recipients towards a developed, active citizenry, capable of participating in in choice about community issues (Thomas, 1984)
Penganut-penganut teori ini adalah Ivan Illich, Denis Goulet, Mahbub ul Haq, Freire, Guerreiro Ramos, David Korten, dsb. Pergeseran paradigma seperti tersebut di atas bergerak dari paradigma ekonomi ke paradigma kesejahteraan sosial akhirnya ke paradigma pemanusiaan. Pembangunan menurut kedua paradigma terdahulu (ekonomi dan kesejahteraan sosial) adalah pembangunan yang berkiblat ke manusia, sedangkan pembangunan menurut paradigma pemanusiaan adalah pembangunan manusia itu sendiri untuk menjadi manusia yang utuh dan merdeka atau secara ekonomi produktif dan secara sosial efektif (Soedjatmoko).
Pergeseran Paradigma Pembangunan di Indonesia Pergeseran paradigma global tersebut juga terjadi di Indonesia, dari Repelita ke Repelita sampai ke Propenas
Repelita 1 (1979-1974) Kita baru saja lepas dari musibah nasional G 30 S sehingga nuansa yang dominan mempengaruhi paradigma pembangunan adalah keamanan dimana pendekatan yang digunakan adalah pendekatan stabilitas, sehingga Trilogi Pembangunan dimulai dari Stabilitas, Pertumbuhan dan baru Pemerataan. Peran utama pemerintah adalah menciptakan suasana aman dan stabil.
Repelita 2 (1974-1979) Pada waktu itu suasana sudah cukup tenang dan stabil sehingga mulai berkembanglah paradigma ekonomi untuk memperbesar kue pembangunan dengan meningkatkan pertumbuhan. Trilogi Pembangunan dengan serta merta diubah urutannya dari Stabilitas, Pertumbuhan dan Pemerataan menjadi Pertumbuhan, Stabilitas dan Pemerataan. Dengan menerapkan pendekatan pertumbuhan ini berarti prioritas pembangunan diberikan kepada kegiatan-kegiatan yang dianggap dapat menjamin terjadinya pertumbuhan, termasuk prioritas pilihan model dan pelaku pembangunan yang akhirnya jatuh ke sector formal yang dianggap paling mampu menjadi mitra pemerintah dalam menciptakan pertumbuhan. Pada masa inilah merupakan masa kebangkitan sector formal dengan konsekwensi logic terpinggirkannya sector informal baik kegiatannya maupun pelakunya dengan akibat turutannya dari proses marjinalisasi ini adalah kesenjangan dan keterbelakangan. Pintu terjadinya kemiskinan structural terbuka lebar.
Repelita 3 (1979-1984) s/d Repelita 5 (1989-1994) Berangkat dari situasi menganganya jurang kesenjangan, keterbelakangan dan munculnya banyak OKB (orang kaya baru) dan diwarnai dengan banyak protes maka Repelita 3 dirumuskan dengan landasan paradigma yang jauh berbeda yaitu “kesejahteraan sosial” dalam rangka menutup jurang kesenjangan dan keterbelakangan sebagai upaya koreksi terhadap kesalahan pembangunan di masa sebelumnya. Pendekatan yang digunakan adalah “pemerataan”, sehingga dengan serta merta Trilogi Pembangunan urutannya juga diubah dari Pertumbuhan, Stabilitas dan Pemerataan menjadi Pemerataan, Pertumbuhan dan Stabilitas. Muncullah waktu itu “8 Jalur Pemerataan” yang harus dianut oleh semua instansi dalam
14
mengajukan anggaran biaya pembangunan. Dalam prakteknya pemerataan ini lebih diartikan sebagai pemerataan pembangunan dan pemerataan hasil pembangunan dalam bentuk pelayanan kebutuhan dasar, air bersih, SD Inpres, dsb, dimana masyarakat didudukan sebagai penerima manfaat yang pasif (obyek bantuan, Freire, 1984). Untuk mengurangi ketimpangan ini kemudian dimunculkan upaya untuk menggalakkan lagi partisipasi masyarakat melalui instruksi Menteri Dalam Negeri dan diterapkannya mekanisme perencanaan dari bawah yang dikenal sebagai P5D. Dalam prakteknya semua gagasan yang indah ini tidak diterapkan sepenuh hati. Malah pergeseran paradigma ini tidak pernah secara sistematik dibahas apa pengaruhnya terhadap pembangunan daerah, posisi masyarakat dan perubahan peran para pelaku pembangunan. Akibatnya alih-alih mengurangi kesenjangan yang terjadi justeru; (i) pemerataan terbatas pada apa yang disebut pemerataan pembangunan dan hasil pembangunan, (ii) merebaknya semangat “project oriented” yang melanda semua pelaku pembangunan, sehingga tupoksi tidak jalan karena tidak ada proyek dan tumbuhnya para konsultan maupun kontraktor yang bermental ABS (asal babak senang), (iii) merebaknya semangat apatisme dari masyarakat sebagai penerima manfaat proyek, masyarakat menjadi pasif tinggal menunggu saja, (iv) yang sangat menyedihkan adalah justeru kesenjangan makin melebar karena justeru yang menikmati pembangunan adalah pelaku pembangunan (kaum elit) dan bukan pemanfaat (rakyat jelata). Situasi tersebut menunjukkan bahwa yang sangat parah terpengaruh dengan model pembangunan repelita demi repelita dalam masa PJP I adalah mentalitas manusianya, terjadi proses pembodohan, dehumanisasi dan lunturnya nilai-nilai luhur universal (demoralisasi). Marjinalisasi makin keras dan keterbelakangan makin nyata.
Awal PJP II dan Masa Reformasi dgn Propenas (1999-2004) Hal tersebut di atas yang terjadi selama masa PJP I juga disadari dan dilakukan koreksi pada masa pembangunan jangka panjang kedua. Pada waktu Repelita 6 (1994-1999). Kesadaran akan akibat-akibat negatif dari model pembangunan sebelumnya telah membawa model pembangunan yang sangat lain yang dilandasi “paradigma pembangunan manusia” melalui pendekatan pemberdayaan. Dimana urutan prioritas Trilogi Pembangunan tetap Pemerataan, Pertumbuhan dan Stabilitas hanya maknanya berubah dari pemerataan hasil pembangunan menjadi pemerataan kesempatan membangun. Sayangnya penerapan paradigma ini dalam model-model pembangunan kurang dihayati dan kurang tulus dilaksanakan. Setelah pergantian pemerintahan maka Repilita tidak diberlakukan lagi dan disusunlah Propenas (Program Pembangunan Nasional) 1999-2004 dengan tujuan jangka panjangnya adalah : “Terwujudnya masyarakat Indonesia yang damai, demokratis, berkeadilan, berdaya saing, maju dan sejahtera, dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang didukung oleh manusia Indonesia yang sehat, mandiri, beriman, bertakwa, barakhlak mulia, cinta tanah air, berkesadaran hokum dan lingkungan, menguasai ilmu pengetahuan teknologi, serta memiliki etos kerja yang tinggi dan berdisiplin”. Prioritas Pembangunan ditetapkan sebagai berikut: 1) Membangun sistem politik yang demokratis serta mempertahankan persatuan dan kesatuan 2) Mewujudkan supremasi hokum dan pemerintahan yang baik 3) Mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat landasan pembangunan berkelanjutan dan berkeadilan yang berdasarkan system ekonomi kerakyatan 4) Membangun kesejahteraan rakyat, meningkatkan kualitas kehidupan beragama dan ketahanan budaya 5) Meningkatkan pembangunan daerah
15
Dari judul prioritas pembangunan yang dicanangkan melalui Propenas jelas prioritas pembangunan manusia menjadi kabur atau melemah padahal persoalan utama yang kita hadapi sebenarnya adalah adanya krisis moral dan kepemimpinan yang mampu menjadi teladan pelaku moral. Disisi lain secara umum terlihat pengaruh paradigma ekonomi dan kesejahteraan social sangat kuat, mungkin ini adalah dampak krisis ekonomi yang berkepanjangan, tetapi jelas tanpa pembangunan manusia dari aspek kritis manusia tidak mungkin dicapai prioritas pembangunan di atas sebab semuanya itu memerlukan pelaku yang memiliki komitmen moral yang tinggi yang mampu menjadi teladan bagi sesama.
Sumber : 1.
Parwoto, ISS 1981, Housing Paradigm
2.
Prof. DR. Paulo Freire, Pendidikan sebagai Praktek Pembebasan, 1984.
3.
Prof. DR. Moeljarto. T. MPA, Politik Pembangunan, 1993
4.
Stephen R. Covey, The Sevent Habits of Highly Effective People, 1990.
5.
A. Suryana Sudrajat, ed, Demokrasi dan Budaya MEP, 1995.
6.
Sumitro Djojohadikusumo, Perkembangan Pemikiran Ekonomi.
7.
Undang-undang Republik Indonesia No 25 tentang Program Pembangunan Nasional, Tahun 2000-2004
16
Pembangunan Manusia Marnia Nes
Manusia Sejati Apa dan siapa yang disebut dengan manusia?. Apa perbedaan yang paling hakiki antara manusia dengan hewan?. Tidak seperti hewan manusia mempunyai akal sehat, hati nurani dan pilihan bebas. Manusia bukan semata – mata makhluk intelektual yang hanya menggunakan akalnya saja, bukan juga hanya sekedar jasmaniah semata, bukan hanya memiliki hati nurani atau jiwa saja. Manusia merupakan perpaduan yang harmonis antara akal sehat, hati nurani, jasmani dan jiwa sehingga dalam menjalankan dan menemukan kemanusiaannya bisa bersikap, berbuat, berperilaku berdasarkan pilihannya yang berpangkal pada hati nurani dan akal sehat. Berbeda dengan binatang yang tidak punya pilihan bebas dan hati nurani , sehingga apa yang dia lakukan digerakan hanya oleh insting. Manusia bukan hanya sebagai makhluk biologis, tetapi juga makhluk yang bisa berfikir, merasa dan mengerti akan makna hidup. Nurani pada dasarnya adalah seperangkat nilai yang merupakan hukum moral di dalam diri manusia mengenai benar dan salah, mengenai apa yang baik dan buruk, apa yang mendukung dan mengganggu, yang bermanfaat dan merusak, kejujuran dan keadilan dimana perangkat nilai ini merupakan nilai – nilai yang universal bagi semua manusia di seluruh penjuru dunia. Kebenaran itu melekat dalam pemikiran, perkataan dan perbuatan. Orang yang menggunakan nuraninya, adalah orang – orang yang mengerti maknanya berkorban, keikhlasan, persahabatan, kesetiaan, kepedulian, kejujuran, keadilan, tidak sewenang – wenang terhadap orang lain dan nilai – nilai positif lainnya. Golongan manusia seperti ini sanggup menantang maut demi kepentingan manusia lain dan memelihara lingkungan sehingga hidupnya bermanfaat bagi keberlangsungan umat manusia. Nilai – nilai kebenaranlah yang menjadi kontrol perilaku mereka bukan pendapat lingkungan yang kadang – kadang memanipulasi kebenaran yang sesungguhnya. Manusia seperti inilah yang sudah bisa menemukan ”makna hidup” (the meaning of life) sebagai manusia sejati. Jika manusia mengunakan nurani – nilai nilai kebenaran - sebagai kontrol perilakunya, maka akan memberi ruang – ruang kepada manusia lainnya untuk mempunyai akses yang setara terhadap berbagai sumberdaya bagi kehidupan yang lebih sejahtera; memberi ruang kepada pihak lain untuk ikut mengambil keputusan bagi kehidupannya; membantu pihak lain untuk keluar dari kesulitan hidup; bertindak adil apabila dia menjadi pemimpin, tidak melakukan manipulasi dan korupsi dan sebagainya.Apabila ini terjadi dalam proses – proses pembangunan iklim yang kondusif untuk partisipasi, demokrasi, transparansi akan terjadi dan tidak akan ada kelompok minoritas yang menindas dan kelompok mayoritas yang tertindas, sehingga tidak akan terjadi dehumanisasi.
Dehumanisasi; Sistem dan Struktur Sosial Pada kenyataannya sekarang, proses – proses dehumanisasi (pengingkaran terhadap jati diri manusia) masih terus berlangsung baik pada komunitas yang paling kecil sampai kepada komunitas yang lebih besar seperti dominasi dari negara – negara adikuasa terhadap negara – negara dunia ketiga. Hal ini terjadi karena manusia berada dalam sistem dan struktur sosial yang saat ini masih 17
menguntungkan pihak – pihak tertentu yang mempunyai kepentingan bagi dirinya dan golongannya sehingga terjadi eksploitasi kelas, dominasi gender maupun karena hegemoni dan dominasi budaya lainnya. Sistem dan struktur yang ada memunculkan dan melanggengkan ketidakadilan bagi golongan – golongan yang tidak mempunyai kekuasaan dan akses terhadap pengambilan keputusan. Saat ini walaupun standar kehidupan, dalam artian materi yang dimiliki telah meningkat. Tetapi kualitas kehidupan dalam arti hakikat manusia masih dipetanyakan.Asset dan akses terhadap sumberdaya hanya dimiliki oleh kelompok tertentu saja sehingga memunculkan ketimpangan dan ketidakadilan. Menurut Paulo Freire, seorang aktivis dari Barzil, sistem kehidupan sosial, politik, ekonomi dan budaya membuat masyarakat mengalami proses ”dehumanisasi”. Freire bertolak dari kehidupan nyata, bahwa di dunia ini sebagian besar manusia menderita sedemikian rupa – sementara sebagian lainnya menikmati jerih payah orang lain dengan cara – cara yang tidak adil. Dari segi jumlah kelompok yang menikmati ini merupakan minoritas. Keadaan tersebut memperlihatkan kondisi yang tidak berimbang, tidak adil. Persoalan itu yang disebut Freire sebagai ”penindasan”. Bagi Freire kondisi ini apapun alasannya adalah tidak manusiawi , sesuatu yang menafikan harkat kemanusiaan (dehumanisasi). Dehumanisasi bersifat mendua, dalam pengertian terjadi atas diri mayoritas kaum tertindas dan juga atas diri minoritas kaum penindas. Keduanya menyalahi kodrat manusia sejati. Mayoritas kaum tertindas menjadi tidak manusiawi karena hak – hak asasi mereka dinistakan, karena mereka dibuat tidak berdaya dan dibenamkan dalam ”kebudayaan bisu”. Minoritas kaum penindas menjadi tidak manusiawi karena telah mendustai hakekat keberdaan dan hati nurani sendiri dengan memaksakan penindasan bagi manusia sesamanya.
Manusia: Memberdayakan Manusia Sejati Beberapa dekade ke belakang pembangunan berorientasi pada pembangunan ekonomi. Perencanaan ekonomi ditujukan untuk menciptakan pertumbuhan dan meningkatan standar kehidupan, dalam konteks ketersediaan barang dan jasa untuk keperluan konsumsi. Hal ini merupakan karakter dominan dalam sistem negara kesejahteraan. Pertanyaan penting untuk diajukan adalah : bagaimana dengan kesejahteraan manusia dan masyarakat pada umumnya apabila dikaitkan dengan aspek non ekonomis?. Apakah sudah terjadi pemberdayaan untuk meningkatkan kualitas hidup – baik untuk individu maupun masyarakat secara keseluruhan – dalam konteks kebenaran, keadilan, kasih sayang, dan kepedulian kepada sesama, toleransi, kerja sama, profesional dan tanggung jawab sosial, semangat demokrasi serta nilai – nilai kemanusiaan lainnya?. Barangkali,melalui refleksi sederhana akan tampak bahwa dibandingkan dengan kemajuan hebat yang telah diraih manusia untuk mencapai kemakmuran materialnya, ternyata tidak ada kemajuan yang berarti bagi martabat kualitas kehidupan manusia, padahal kemajuan aspek tersebut sangat esensial bagi kebahagiaan dan kepuasan manusia. Mahatma Gandhi,pejuang keadilan dari India, berpendapat bahwa dalam kehidupan manusia, pertumbuhan dan perkembangan aspek material dan non material harus berjalan seimbang dan harmonis. Hanya pertumbuhan yang mencakup aspek spiritual dan material inilah yang benar – benar bernilai bagi manusia. Kecenderungan atas kemajuan material yang tidak terbatas dapat menjadi rintangan bagi pencapaian kemajuan kemanusiaan. Pemenuhan kebutuhan material tanpa dibarengi dengan peningkatan kualitas akal budi akan menimbulkan keserakahan, persaingan yang tidak sehat, kesewenang – wenangan dari pihak – pihak yang dominan, ketidakadilan dan sebagainya. Pembangunan yang memberdayakan seharusnya pembangunan yang bisa memproduksi kesadaran kritis agar setiap orang berdaya untuk menjadi manusia yang sejati, artinya manusia yang merdeka yang membebaskan manusia dari proses – proses dehumanisasi. Pemberdayaan dalam hal ini 18
haruslah menumbuhkan kesadaran manusia untuk mengamalkan nilai – nilai universal berupa sikap dan perilaku dalam mengatasi berbagai persoalan manusia dalam segala aspeknya baik ekonomi, sosial maupun politik. Keadilan harus menjadi pijakan bagi manusia yang berdaya, dan mendorong jauh – jauh keinginan untuk kemanfaatan dunia yang hanya menguntungkan bagi dirinya sendiri. Sebagai manusia yang merdeka, setiap manusia haruslah otonom artinya dia adalah subjek bukan objek. Sebagai subjek setiap manusia berhak dan mempunyai kewenangan untuk menentukan pemecahan masalah yang dihadapinya, mengelola program bagi dirinya. Tidak ada satu pihakpun yang bisa mendominasi dan berhak untuk menentukan nasib orang lain, sedangkan objeknya adalah realitas kehidupan yang harus dipecahkan bersama. Akan tetapi pemenuhan hak harus seimbang dengan kemampuan untuk menjalankan kewajiban sebagai manusia dalam menjalankan peran – peran dalam hidupnya. Hak–hak setiap orang akan terpenuhi apabila orang – orang di sekitarnya menjalankan kewajibannya. Kewajiban manusia yang paling mendasar adalah melayani kelompok lainnya; pemerintah harus melayani rakyatnya; orangtua melayani anaknya dan sebaliknya; guru melayani muridnya; dokter malayani pasiennya dan seterusnya. Ekonomi harus diperuntukkan bagi kesejahteraan manusia, dan kesejahteraan manusia mustahil terwujud tanpa kepedulian yang mendalam terhadap kesejahteraan moralitas manusia. Lebret seorang tokoh cendekiawan Perancis terkemuka mengatakan bahwa Kita tidak mempercayai dan tidak bisa menerima pemisahan eknomi dari kemanusiaan maupun pembangunan, karena hanya melalui perpaduan antara ekonomi dan kemanusian lah peradaban itu bisa eksis. Apa yang paling penting bagi kita adalah manusia, setiap manusia, setiap manusia beserta kelompoknya, dan mencakup keseluruhan aspek kemanusiaannya. Lebih jauh Gandhi berpendapat bahwa dalam tatanan masyarakat harus tercipta perpaduan yang harmonis antara kemajuan moral dan material. Hanya dengan cara inilah masyarakat bisa mencapai kesejahteraan yang sesungguhnya bagi setiap warganya dalam masyarakat sendiri secara keseluruhan. Inilah yang dimaksud Gandhi dengan kesejahteraan integral. Oleh karena itu dalam mengatasi berbagai persoalan politik, ekonomi dan sosial agar tercapainya kesejahteraan diperlukan kepedulian dan semangat melayani dari semua pihak. Melayani sebagai perwujudan dari penggunaan hati nurani untuk tercapainya kebenaran. Dalam hal ini seringkali dibutuhkan kerelaan dan pengorbanan untuk melawan kezaliman dan ketidakadilan. Kesediaan untuk menderita dan berkorban sesungguhnya merupakan bagian dari perlawanan aktif dari kejahatan. Semangat pengorbanan juga menjadi dasar bagi perjuangan demi melindungi harkat dan martabat kemanusiaan. Untuk itu pandangan hidup masyarakat terhadap diri mereka sendiri harus berubah agar mempunyai kesadaran kritis dalam menjalankan peran–perannya sebagai manusia. Freire menggolongkan kesadaran manusia menjadi tiga yaitu: (1) kesadaran magis (magical consciousness), (2) kesadaran naif (naival consciousness) dan (3) kesadaran kritis (critical consciousness).
Kesadaran Magis ( magical consciousness) , yaitu kesadaran masyarakat yang tidak mampu mengetahui kaitan antara satu faktor dengan faktor lainnya. Kesadaran lebih melihat faktor di luar manusia (natural maupun supranatural) sebagai penyebab ketidak berdayaan. Kelompok yang mempunyai kesadaran ini menganggap persoalan yang terjadi dalam hidup termasuk kemiskinan terjadi secara alamiah karena nasib atau dikarenakan faktor–faktor supranatural. Kesadaran naif , keadaan yang diketegorikan dalam kesadaran ini adalah lebih melihat ”aspek
manusia” menjadi akar penyebab masalah masyarakat. Dalam kesadaran ini ’masalah etika, kreativitas, dianggap sebagai penentu perubahan sosial. Jadi dalam menganalisa mengapa suatu masyarakat miskin, bagi mereka disebabkan karena ’salah’ masyarakat sendiri, yakni mereka malas, tidak memiliki kewiraswastaan, atau tidak memiliki budaya membangun.
Kesadaran kritis, kesadaran ini lebih melihat aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah.
Pendekatan struktural lebih menghindari ”menyalahkan korban” (orang miskin) dan lebih menganalisa untuk secara kritis menyadari struktur dan sistem sosial, politik, ekonomi dan budaya
19
serta akibatnya pada keadaan masyarakat. Sedangkan struktur dan sistem politik diciptakan oleh kelompok yang mempunyai kekuasaan dan akses terhadap pengambilan keputusan. Masyarakan harus bisa menganalisa secara kritis faktor–faktor yang menjadi penyebab permasalahan yang terjadi pada dirinya serta menjalankan kewajiban dan haknya sebagai manusia yang merdeka untuk menghilangkan ketidakadilan dan kesewenang - wenangan. Oleh karena itu pembangunan kini beorientasi bukan hanya kepada perkembangan ekonomi akan tetapi berkembang paradigma baru yang disebut dengan 'pembangunan yang berorientasi pada manusia' (human centered development). Manusia dilihat sebagai tujuan utama pembangunan. Pada awalnya paradigma ini berangkat dengan menggunakan Indeks Kualitas Hidup (physical quality life index). Indeks itu ditentukan melalui tiga parameter yaitu angka kematian bayi, angka harapan hidup waktu lahir, dan angka melek huruf. Selanjutnya indikator itu berkembang hingga muncul istilah baru yakni Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Paradigma baru itu mempunyai fokus utama pada pengembangan manusia (human growth), kemakmuran, keadilan dan keberlanjutan (sustainability). Dasar pemikiran paradigma ini mengacu kepada keseimbangan ekologi manusia dan tujuan utamanya adalah aktualisasi optimal potensi manusia. Setiap manusia mesti dikembangkan menjadi manusia yang berakhlak mulia dan berkualitas. Cita-cita selanjutnya adalah mendorong setiap individu untuk membangun kesalehan pribadi maupun sosial dan bercita-cita untuk menciptakan masyarakat madani yang mandiri, beradab, maju dan bermartabat Daftar Pustaka:
.
20
•
Francis Alapatti; Welfare ”In The Gandhian Economics and The Welfare State” ; Pontificiam Universitatem, Roma 1983
•
Mansour Fakih, dkk; Pendidikan Popular Membangun Kesadaran Kritis; INSIST dan Pact; 2001
•
Paulo Freire; Pedagogy of the Oppressed; CONTINUUM New York; 1990
•
Stephen R. Covey; 7 Kebiasaan Manusia Yang Sangat Effektif; Binarupa Aksara
Modul 2 Topik: Anatomi Kemiskinan
Peserta memahami dan menyadari: 1. Dimensi – dimensi kemiskinan 2. Faktor penyebab dan pendorong kemiskinan 3. Akar Penyebab Kemiskinan
Diskusi pohon persoalan kemiskinan
3 Jpl (135 ’)
Bahan Bacaan: Anatomi Kemiskinan
• Kerta Plano • Kuda-kuda untuk Flip-chart • LCD • Metaplan • Papan Tulis dengan perlengkapannya • Spidol, selotip kertas dan jepitan besar
21
1) Buka pertemuan dengan salam singkat dan uraikan bahwa kita memulai dengan Modul Anatomi Kemiskinan. Kemudian uraikan apa tujuan modul ini yaitu : Peserta memahami:
Dimensi-dimensi kemiskinan yg banyak dialami masyarakat
Faktor-faktor penyebab dan pendorong kemiskinan
Peserta mampu menemukan:
Akar penyebab kemiskinan
2) Mintalah semua peserta megelompokkan diri ke dalam 4 kelompok kecil. Bagikan kepada setiap peserta lembar kasus ‘ Tamparan Untuk Bangsa Indonesia (Khaerunisa) ’ dan Kisah Rakyat yang Gagal. 3) Tugaskanlah kepada setiap kelompok kecil dalam waktu singkat, untuk mendiskusikan topiktopik bahasan sebagai berikut:
Kelompok 1 & 2: Apa saja yang dapat menyebabkan seseorang menjadi miskin?
Mintalah setiap kelompok untuk menulis penyebab kemiskinan dalam kartu – kartu metaplan. Satu kartu untuk satu pernyataan dan ditulis cukup besar supaya bisa terlihat jelas. Kemudian susun kartu – kartu tersebut dalam kertas besar yang menunjukkan hubungan sebab akibat antara penyebab yang satu dengan yang lainnya. Hasilnya menjadi ‘Pohon Persoalan Kemiskinan’ (lihat contoh pohon persoalan dalam LK). Catatan untuk Pemandu: a. Lakukanlah monitoring ke semua kelompok, perhatikan isyu-iyu kritis yang muncul dalam diskusi mereka dan bantulah mereka untuk menggalinya lebih dalam. b. Buatlah catatan-catatan kecil atas semua kejadian yang penting dan menarik untuk dibahas kemudian. c. Layanilah mereka apabila mereka meminta pendapat atau konsultasi pada fasilitator. d. Apabila terjadi debat kusir yang berkepanjangan, cobalah menengahi atau menunda perdebatan sehingga menjadi bahasan semua peserta (kelas). 4) Mintalah tiap kelompok melalui wakilnya menyajikan hasil kerja kelompok di depan kelas dan doronglah untuk terjadi dialog antar kelompok sehingga terjadi diskusi kelas. 5) Apabila pohon persoalan kemiskinan belum mencerminkan tingkatan penyebab kemiskinan (level 1 sampai 4) , bahas dan susun satu contoh pohon persoalan kemiskinan (gunakan panduan LK) . Pemandu membuat catatan butir-butir kesimpulan yang diperoleh selama penyajian dan diskusi kelas. 6) Pemandu menggunakan butir-butir kesimpulan yang diperoleh, memberikan pengkayaan bahwa kemiskinan lebih diakibatkan oleh lunturnya nilai-nilai luhur kemanusiaan. Gunakan MB level – level penyebab kemiskinan sebagai alat bantu. Jelaskan bahwa pohon persolan yang sudah disusun apabila dibuat sistematis sesuai dengan 4 level penyebab kemiskinan. 22
Kemiskinan disebabkan oleh faktor yang multidimensi. Pada level penyebab yang keempat terdiri dari dimensi sosial, budaya, politik, ekonomi dan lingkungan yang kesemuanya berkaitan dan seperti lingkaran setan. Banyak pihak yang mempunyai paradigma bahwa dimensi – dimensi ini merupakan faktor utama penyebab kemiskinan, paradigma seperti ini mempengaruhi tindakan seseorang dalam melakukan intervensi untuk memecahkan masalah, maka berkembanglah pemecahan masalah ekonomi, pemecahan masalah sosial secara terpisah – pisah. Apabila ditarik lebih jauh pada penyebab level ketiga, ternyata faktor kebijakan mempengaruhi kondisi kemiskinan seseorang (hubungkan dengan hasil paradigma pembangunan pada modul 1). Artinya kemiskinan yang terjadi pada level keempat hanyalah dampak dari keputusan, baik itu keputusan individu (boros misalnya menyebabkan miskin), maupun keputusan lembaga (kebijakan). Kebijakan menjadi faktor yang penting karena merupakan keputusan yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak (publik). Kebijakan yang mewajibkan siswa memakai buku tertentu yang dijual di sekolah, menyebabkan biaya pendidikan menjadi mahal dan tidak terjangkau oleh kelompok masyarakat tertentu, misalnya. Pertanyaan selanjutnya adalah siapa yang mengambil keputusan. Hal ini menyangkut kepada orang. Keputusan dalam suatu lembaga adalah produk dari kepututsan sekumpulan orang – orang. Sikap mental para pelaku pembangunan yang negatif akan menyebabkan kerusakan termasuk kemiskinan. Sikap mental ini berkaitan dengan nilai dan paradigma yang dianut oleh seseorang. Orang yang mempunyai paradigma bahwa kesuksesan sama dengan jabatan dan kekayaan dan mempunyai sikap mental negatif, otomatis akan menggunakan segala macam cara untuk mengejar jabatan dan kekayaan. Akan lebih parah apabila sikap mental negatif ini dipunyai oleh para pengambil keputusan (pemimpin) sehingga lembaga pengambil keputusan di berbagai tataran tidak mampu melahirkan keputusan-keputusan yang benar (adil, berwawasan kemiskinan, dsb). Ajaklah peserta menyimpulkan bahwa akar penyebab kemiskinan adalah lunturnya nilai-nilai luhur oleh sebab ketidak-berdayaan para pelaku pembangunan menerapkan nilai-nilai moral yang luhur (moral capability), dengan kata lain penyebab utama masalah kemiskinan adalah sikap mental dan paradigma (pola pikir) para pelaku pembangunan (lihat bahan bacaan). 7) Apabila sudah tumbuh kesadaran kritis, tanyakan kepada mereka apakah masalah kemiskinan yang terjadi dibiarkan saja atau akan dicoba untuk ditanggulangi? (pemandu harus berusaha untuk menumbuhkan kepedulian dan motivasi peserta) 8) Tanyakan kepada peserta siapa yang bertanggung jawab terhadap permasalahan kemiskinan apakah hanya orang miskin saja atau menjadi tanggungjawab bersama? Pemandu harus bisa meyakinkan peserta, agar mereka sadar bahwa permasalahan kemiskinan menjadi tanggung jawab semua pihak (bukan golongan atau jenis kelamin tertentu) termasuk mereka peserta. 9) Di akhir kegiatan pembelajaran Pemandu dapat meminta seorang peserta untuk mulai mendistribusikan bahan bacaan
23
LK - Anatomi Kemiskinan - 1 Pertanyaan dan tugas yang terkait dengan “Diskusi Anatomi Kemiskinan” Langkah – langkah umum memfasilitasi diskusi ‘pohon persoalan kemiskinan’ Bahas hasil diskusi kelompok, kemudian ambil satu penyebab kemiskinan (satu kertu) hasil diskusi kelompok , misal : tidak punya penghasilan Tanyakan lebih jauh mengapa tidak punya penghasilan ?. Lihatlah apakah sudah ada jawabannya pada kartu - kartu yang sudah ada? Apabila sudah ada, tempelkan kartu tersebut di dekat kartu sebelumnya (tidak punya penghasilan) beri tanda panah yang menunjukkan sebab akibat. Apabila jawabannya belum ada dalam kartu kartu tadi tulislah jawaban peserta pada kartu baru, tempel dekat kartu sebelumnya, dan beri tanda panah untuk menunjukkan mana yang menjadi penyebab dan akibatnya. Galilah terus dengan pertanyaan – pertanyaan ‘mengapa’ untuk setiap kartu yang muncul (lihat contoh di berikut).
Cari kerja sulit
Tidak punya penghasilan
Tidak punya pekerjaan
Kemiskinan
Tidak ada peluang
malas
Frustasi (apatis)
Biaya pendidikan tinggi
Pendidikan rendah
Kebijakan pendidikan
Tidak punya keterampilan
Kebijakan Tidak ada informasi
catatan: Pohon masalah di atas hanya sebagian saja dari pernyataan yang mungkin muncul. Galilah pernyataan dari peserta sebanyak–banyaknya dan hubungkan terus sebab akibatnya sampai menjadi pohon persolan kemiskinan seperti contoh di bawah ini.
24
Cari kerja sulit
Biaya pendidikan tinggi
Masalah Sosial Pendidikan rendah
Masalah ekonomi
Kebijakan pendidikan
Tidak punya pekerjaan
Masalah politik
Tidak punya keterampilan
Tidak punya penghasilan
Tidak ada peluang Kebijakan
Kemiskinan Kurang dipercaya
Malas Masalah Perilaku
Frustrasi (apatis)
Tidak ada informasi Masalah Akses informasi
Lembaga/pengambil keputusan tidak mampu menegakkan keadilan.
Percaya miskin = nasib Menipisnya kepedulian Meningkatnya keserakahan Lunturnya nilai nilai kemanusiaan Masalah Perilaku (akar masalah)
25
Kisah Rakyat yang Gagal1 Oleh: Lis Markus BAGIAN I Inilah kisah kehidupan yang fakir di Sukapakir. Ini sebuah “dusun” di Kota Bandung, di bagian Selatan yang hanya bisa Anda kunjungi dengan jalan kaki. Karena gang yang harus dilalui tidak mampu memuat mobil, kendaraan harus tinggalkan di jalan Pagarsih, kemudian Anda berjalan terus, terus ke selatan, masuk lorong gang sempit. Di mulut gang, gerobak, motor dan pejalan kaki terkadang harus antre, lalu bergiliran dari arah yang saling berlawanan meniti jalan yang dipersempit oleh sebuah selokan di sebelah sisi. Muatan selokan itu: air comberan hitam pekat, sampah dan kotoran dari WC. Sepanjang gang anak-anak asyik bermain, sementara para ibu mereka sibuk bekerja, berjualan makanan ringan, mencuci baju dan perabotan rumah tangga, keramas, menyikat gigi, atau mengangkut air dari MCK (mandi,cuci,kakus). Karena satu-satunya tempat yang lowong hanya gang sempit itu, hampir semua kesibukan berlangsung di kawasan ini. Ini “nadi” daerah yang dinamakan Sukapakir. Jangan berharap dapat melihat kehijauan di antara rumah yang berdempet-dempet hampir tanpa halaman. Tak perlu heran, karena kawasan ini, menurut Sensus Penduduk 1980, adalah salah satu kelurahan yang sangat padat. Penghuninya tukang-tukang bakso, tukang bubur, pengupas bawang, pedagang kaki lima, tukang becak, pelacur, dukun. Cerita tentang mereka adalah kisah orang-orang kecil yang senantiasa berikhtiar, tetapi terus menerus gagal. Lepas subuh, Ibu Samsu sudah ada di pasar Ciroyom. Pekerjaan rutin belanja untuk warungnya. Di belakangnya mengekor si Nanang gerobak, tempat ibunya menampung perbelanjaan. Ibu Samsu berdecap ngiler melihat sayuran segar. Tapi uang di balik kutangnya tak cukup lagi. Akhirnya, ia hanya melengkapi belanjaan dengan sambeleun - cabe, bawang serta tomat. Dan ketika uangnya tinggal Rp 100,- dihentikannya acara langak-longoknya. Sisa uang itu ia siapkan untuk ngaburuhan - upah si Nanang, satu-satunya anak Bu Samsu yang mau menerima uang cepek. Hari ini Ibu Samsu tidak dapat menambah jualan. Dalam beberapa bulan ini warung Bu Samsu memang nampak ngos-ngosan. Ia tak habis pikir mengapa ini bisa terjadi. Padahal tiap hari ada saja yang laku. Heran! Ada yang berkata bahwa Bu Samsu orangnya kelewat baik. Setiap orang boleh ngebon. Jumlah utang kadang ia catat, tapi lebih sering tidak – semata-mata tergantung kesadaran yang berutang. Malah kalau pengemis yang belanja, ia terkadang memberikan. Ia merasa, alhamdulillah, masih di beri rezeki berlebihan jika dibandingkan dengan nasib para peminta-minta. Ibu Samsu yakin, ada sebab lain yang “mengganggu” usahanya – sebuah gangguan aneh yang tidak dapat diidentifikasikan dengan tata buku. Di Jawa Barat, menurut kepercayaan orang, ada 1
Tulisan ini diambil dari artikel Majalah Tempo edisi 27 Oktober 1984 berdasarkan penelitian antropologi selama 10 bulan di sebuah kampung perkotaan yang paling miskin di Bandung
26
kencit atau tuyul, makhluk halus yang suka mencopet. Tentu saja piaraan orang yang ingin kaya tanpa kerja. Beberapa pedagang di daerah itu berjaga-jaga dengan isim, kemenyan atau jimat, agar kencit tidak nyelonong ke laci mereka. Mang Ikin, misalnya, pedagang bubur keliling,
mengatakan bahwa hasil jualannya baru dapat dirasakan lumayan setelah ia membeli jimat anti-
kencit dari seorang dukun.
Tetapi Bu Samsu hampir tak percaya sumber gangguan warungnya adalah “kencit”. Kalau begitu apa? Ia pernah berusaha mencari jawaban sendiri, misalnya dengan jalan bertapa di suatu gunung di Kabupaten Bandung. Dalam implengan-nya ia “melihat “ ada tiga orang yang menyiramkan air di depan warungnya – itu pasti orang-orang yang iri. Kendati begitu ia diamkan saja. Tidak membalas. Ia hanya sering tahajud – sembahyang malam – mohon perlindungan Tuhan. Tapi Pak Samsu tak sesabar ibu. Suatu hari Bapak ke dukun, berkonsultasi dengan seorang “pintar”. Orang pintar itu – yang kerap menolong keluarga ini dengan hasil yang “amat meyakinkan“ - setuju dengan penglihatan Bu Samsu dan membuat penangkal. Keluarga Bu Samsu kemudian membuat selamatan kecil, “buang sial” namanya. Dan betul, kata Bu Samsu beberapa minggu kemudian, jualannya jadi haneuteun, laris. Sayang, hal itu tak berlangsung lama - Ibu Samsu mengeluh, warung rugi terus, uang lagi kurang. Untuk menambah modal, ia mulai pinjam dari bank keliling alias rentenir. Jika ia sadar apa yang menyebabkan warungnya merosot, tentu saja ia tidak akan susah-susah pergi ke gunung segala. Sebab, sebenarnya ia juga tahu bahwa kalau ia pergi ke pengajian dan warungnya di tunggu anak gadisnya, pasti akan ada uang yang meguap dari lacinya. Belum lagi tiga anak laki-laki yang sudah doyan merokok – bolak-balik masuk warung meminta roko. Kebutuhan dapur sehari-hari juga mengambil dari warung. Semuanya tanpa perhitungan sama sekali. Memang, seharusnya warung itu merupakan tambahan pendapatan keluarga. Suaminya menerima pensiunan, dan disamping itu menerima honorarium sebagai pegawai tidak tetap. Namun pendapatan bulanan ini kadang-kadang sudah ludes pada minggu ke dua atau ke tiga. Keluarga ini keluarga besar, dan tujuh dari delapan anak masih sekolah. Yang sudah tamat STM, menganggur. Tiga lainnya di SMA, sisanya SMP dan SD. Setiap tiba masa testing atau ujian, keluarga ini mengeluh berat. Pengeluaran biaya itu jauh lebih besar dari penghasilan. Dan waktu itu, mereka pinjam lagi kepada saudara atau rentenir. Ketika anak sulungnya lulus STM, Ibu Samsu sangat bersuka cita. Tapi tak berlangsung lama; anak harapannya itu tak bisa berbuat banyak. Sebab ijazah, satu-satunya modal untuk mencari kerja, masih di tahan sekolah. Alasannya : uang tunggakan sekolah tujuh bulan dan uang ujian yang di tilep si anak sendiri. Ibu Samsu amat terpukul. Kerja kasar mana mungkin – anaknya sendiri tidak sudi mencari pekerjaan yang tidak sepadan: Masak anak sekolah jadi tukang becak ? Dua anak laki-lakinya harus segera disunat. Hajat direncanakan enam bulan sebelumnya. Rumah di permak, dan banyak tamu yang datang. Ada harapan sumbangan para tamu akan cukup mengganti biaya perhelatan. Sialnya, banyak tamu yang membawa amplop yang cuma berisi Rp 100,- sampai Rp. 200,-. Padahal biaya hajat, selain uang dari tabungan, pinjam dari rentenir plus uang warung. Namun warung Bu Samsu buka lagi dan cukup lengkap. Hanya, kali ini, isi warungnya bukan lagi milik sendiri. Bu Samsu hanya menerima titipan alias konsinyasi. Warung Bu Samsu tentu bukan kasus satu-satunya yang bernasib serupa itu. Ma Erat, misalnya, boleh di kata orang pertama yang nge-warung di Sukapakir. Kira-kira tahun 1960 Erat dan suaminya, Otong, pindah ke daerah ini. Otong cuma pedagang kecil yang – herannya – selalu gagal, meskipun sudah berusaha mati-matian. Dia sebetulnya cukup ulet; berjualan apa pun rasanya pernah ia lakukan: sayuran, loakan, perhiasan imitasi, tahu-tempe…. Dia berkeliling kota Bandung dengan pikulan. Sering juga ke Cianjur, Sukabumi, dan Tasikmalaya. Tetapi apapun yang ia jual, sejauh manapun ia melangkah,
27
hasilnya cukup pun tidak. Untunglah istrinya tidak kehilangan akal. Di rumahnya ia mulai berjualan rokok ketengan, kue-kue dan barang kelontong – dan belakangan malah nasi sayur segala. Bahkan beberapa tahun kemudian, ketika suaminya kapok berjualan keliling karena sering dikompas, Erat meyakinkan bahwa dengan warung saja mereka akan bisa hidup. Melihat usaha Erat yang cukup menguntungkan, banyak orang mulai mengikuti jejaknya. Warung bermunculan. Itu menjelang akhir 60-an. Jumlah warung tumbuh lebih cepat dari pertambahan penduduk, sehingga Erat mau tidak mau mulai merasakan tekanan persaingan. Sampai-sampai, ketika harga barang-barang grosir naik, ia sama sekali tidak berani menaikkan harga di warungnya. Dengan sendirinya keuntungannya makin berkurang. Malah kadang-kadang ia tak sanggup lagi mengisi warung. Tapi bagaimanapun warung harus dipertahankan. Untuk mempertahankan, mereka kemudian menjual separoh rumah. Dan mereka sekarang pun tinggal dalam satu ruangan sempit berdinding bilik yang berfungsi sekaligus sebagai ruang tamu, dapur, dan warung. Ruang tidur mereka bangun di langit-langit rumah. Padahal kebutuhan suami istri Erat sebenarnya sangat sederhana – mereka tidak punya anak yang harus dibiayai. Tapi untuk itu pun warung tak mencukupi. Harga terus membubung modal semakin susut. Buntutnya, beberapa bulan lalu warung kelontongnya tamat. Sekarang Erat hanya menjual nasi dan lauknya: lodeh, urab daun singkong, atau semur jengkol. Sebagian ia jual sendiri berkeliling dari gang ke gang, sebagian lain dijajakan di rumahnya ditunggui Otong, suaminya. Beberapa bulan lalu, satu-satunya barang mewah yang mereka miliki – radio kaset – terpaksa dilego. Erat sakit dan mereka perlu uang. Salah satu yang menyebabkan bermunculannya warung-warung di Sukapakir adalah semakin tidak cukupnya penghasilan keluarga, sehingga orang mencoba cari tambahan. Jangan lupa, bagian terbesar penduduk di sini pedagang kecil: kaki lima, pedagang asongan, atau orang pasar. Mereka merasakan betul turunnya volume penjualan. Tempat ini juga menjadi tempat berkumpulnya para buruh borongan. Dan sejak 1980 mereka ini cukup sulit mencari pekerjaan. Seorang buruh kadang-kadang harus menunggu sampai setengah tahun untuk mendapatkan lowongan. Dan, bila dapat dalam jangka waktu itu, proyek itu habis dalam beberapa minggu. Sukapakir pun markas tukang becak dan pedagang keliling, yang sekarang posisinya semakin sulit. Dapat di mengerti mengapa setiap keluarga berusaha dengan cara apa pun memperoleh penghasilan tambahan. Dalam dua RT saja – yang memuat 135 rumah yang menampung kurang lebih 335 keluarga – sudah ada 40 warung dan 14 orang penjaja makanan. Dan dalam jangka 10 bulan saja, beberapa warung bangkrut. Orang sering menganggap bahwa warung satu-satunya jalan yang mungkin. Tentu saja bagi yang masih memiliki sedikit modal. Bagi yang tidak, usaha menambah penghasilan adalah kerja mengupas bawang atau membungkus kerupuk – umumnya kaum ibu. Upah pengupas bawang sejak beberapa bulan yang lalu diturunkan, karena pekerjaan mereka pun memang dikurangi. Dulu upah mengupas dan mengiris Rp 60,- per kg. Kemudian menjadi Rp. 40,- per kg, karena tugas mengiris sekarang dipercayakan kepada mesin iris. Sedang upah membungkus kerupuk dalam sehari bisa mencapai Rp 250,- itu pun tak bisa dilakukan tiap hari karena pabrik kerupuk umumnya beromset kecil. Sukapakir termasuk daerah miskin, dan terdapat di Bandung. Menurut Sensus 1980, tingkat kepadatannya 900 orang lebih per hektar, berarti 90.000 orang per km2. Bandingkan: Bandung 18.061,71 orang per km2, Jakarta 11.023 per km2. Semua data 1982 berarti untuk Sukapakir sudah harus ada peningkatan. (Tentang Bandung, setidak- tidaknya Gubernur sendiri pernah menyatakan ibukota propinsi itu sebagai kota terpadat di dunia – red).
28
Dan ke “super-padat“-an Sukapakir akan segera terasa begitu orang memasuki lingkungan itu. Di sini, anak-anak berjejal di mana-mana. Satu bangunan rumah kebanyakan dihuni oleh dua, tiga bahkan empat keluarga. Bukan hal aneh bila dua keluarga – masing-masing ayah ibu, dan beberapa anak – menempati satu kamar (bukan rumah!) yang sama. Dengan sendirinya keadaan sanitasi dan kesehatan runyam. Penyakit menular cepat membaik, juga karena kebanyakan mereka belum tahu cara pencegahannya. MCK memang ada, tapi dua bangunan MCK tersedia untuk 335 keluarga. Karena penduduk harus membayar guna mendapatkan setetes air bersih, kebanyakan mereka lalu kembali menggunakan air sumur untuk mandi dan nyuci, sekalipun sebagian besar sumur sudah tercemari rembesan air selokan. Musim kemarau, selalu saja ada yang kena muntaber. Tingkat kematian anak tinggi. Jangan tanya mengapa mereka tidak pergi ke dokter – bahkan puskesmas. Menantu perempuan Bi Esih, misalnya, sakit radang usus parah. Atas perintah dokter ia dimasukan rumah sakit untuk dioperasi. Pembedahan pertama saja menguras uang mereka habis-habisan, sehingga ketika beberapa minggu kemudian direncanakan operasi lanjutan, Bi Esih dan anaknya merasa tidak sanggup lagi membiayai. Menantu Bi Esih itu kemudian dibawa pulang – dan belum sampai satu bulan, mati. Orang di sekitar malah menyesalkan mengapa penderita dibawa ke rumah sakit. Jika ada rasa sakit, begitu umumnya mereka berpendapat, beli saja obat penahan rasa sakit di warung, seperti Naspro dan sejenisya, atau mencoba obat kampung. Tak usah malu-malu pergi ke dukun. Selain murah kadang kadang malah sembuh. Cari dukun tak usah jauh-jauh – jumlah mereka di Sukapakir malah mengalahkan jumlah dukun seluruh desa. Dukun di sini ”serba bisa” : mencarikan jodoh, mengurus suami serong, mengobati anak cacingan, sampai ”mencarikan pekerjaan”.
29
Tamparan Untuk Bangsa Indonesia Muslim Sejati 07 Jun 2005, 16:09:40 Salemba, Warta Kota
PEJABAT Jakarta seperti ditampar. Seorang warganya harus menggendong mayat anaknya karena tak mampu sewa mobil jenazah. Penumpang kereta rel listrik (KRL) jurusan Jakarta? Bogor pun geger Minggu (5/6). Sebab, mereka tahu bahwa seorang pemulung bernama Supriono (38 thn) tengah menggendong mayat anak, Khaerunisa (3 thn). Supriono akan memakamkan si kecil di Kampung Kramat, Bogor dengan menggunakan jasa KRL. Tapi di Stasiun Tebet, Supriono dipaksa turun dari kereta, lantas dibawa ke kantor polisi karena dicurigai si anak adalah korban kejahatan. Tapi di kantor polisi, Supriono mengatakan si anak tewas karena penyakit muntaber. Polisi belum langsung percaya dan memaksa Supriono membawa jenazah itu ke RSCM untuk diautopsi. Di RSCM, Supriono menjelaskan bahwa Khaerunisa sudah empat hari terserang muntaber. Dia sudah membawa Khaerunisa untuk berobat ke Puskesmas Kecamatan Setiabudi. "Saya hanya sekali bawa Khaerunisa ke puskesmas, saya tidak punya uang untuk membawanya lagi ke puskesmas, meski biaya hanya Rp 4.000,- saya hanya pemulung kardus, gelas dan botol plastik yang penghasilannya hanya Rp 10.000,- per hari". Ujar bapak 2 anak yang mengaku tinggal di kolong perlintasan rel KA di Cikini itu. Supriono hanya bisa berharap Khaerunisa sembuh dengan sendirinya. Selama sakit Khaerunisa terkadang masih mengikuti ayah dan kakaknya, Muriski Saleh (6 thn), untuk memulung kardus di Manggarai hingga Salemba, meski hanya terbaring digerobak ayahnya. Karena tidak kuasa melawan penyakitnya, akhirnya Khaerunisa menghembuskan nafas terakhirnya pada Minggu (5/6) pukul 07.00. Khaerunisa meninggal di depan sang ayah, dengan terbaring di dalam gerobak yang kotor itu, di sela-sela kardus yang bau. Tak ada siapa-siapa, kecuali sang bapak dan kakaknya. Supriono dan Muriski termangu. Uang di saku tinggal Rp 6.000,- tak mungkin cukup beli kain kafan untuk membungkus mayat si kecil dengan layak, apalagi sampai harus menyewa ambulans. Khaerunisa masih terbaring di gerobak. Supriono mengajak Musriki berjalan menyorong gerobak berisikan mayat itu dari Manggarai hingga ke Stasiun Tebet, Supriono berniat menguburkan anaknya di kampong pemulung di Kramat, Bogor. Ia berharap di sana mendapatkan bantuan dari sesama pemulung. Pukul 10.00 yang mulai terik, gerobak mayat itu tiba di Stasiun Tebet. Yang tersisa hanyalah sarung kucel yang kemudian dipakai membungkus jenazah si kecil. Kepala mayat anak yang dicinta itu dibiarkan terbuka, biar orang tak tahu kalau Khaerunisa sudah menghadap Sang Khalik. Dengan menggandeng si sulung yang berusia 6 thn, Supriono menggendong Khaerunisa menuju stasiun. Ketika KRL jurusan Bogor datang, tiba-tiba seorang pedagang menghampiri Supriono dan menanyakan anaknya. Lalu dijelaskan oleh Supriono bahwa anaknya telah meninggal dan akan dibawa ke Bogor spontan penumpang KRL yang mendengar penjelasan Supriono langsung berkerumun dan Supriono langsung dibawa ke kantor polisi Tebet. Polisi menyuruh agar Supriono membawa anaknya ke RSCM dengan menumpang ambulans hitam. Supriono ngotot meminta agar mayat anaknya bisa segera dimakamkan. Tapi dia hanya bisa tersandar di tembok ketika menantikan surat permintaan pulang dari RSCM. Sambil memandangi mayat Khaerunisa yang terbujur kaku. Hingga saat itu Muriski sang kakak yang belum mengerti kalau adiknya telah meninggal masih terus bermain sambil sesekali memegang tubuh adiknya.
30
Pukul 16.00, akhirnya petugas RSCM mengeluarkan surat tersebut, lagi-lagi Karena tidak punya uang untuk menyewa ambulans, Supriono harus berjalan kaki menggendong mayat Khaerunisa dengan kain sarung sambil menggandeng tangan Muriski. Beberapa warga yang iba memberikan uang sekadarnya untuk ongkos perjalanan ke Bogor. Para pedagang di RSCM juga memberikan air minum kemasan untuk bekal Supriono dan Muriski di perjalanan. Psikolog Sartono Mukadis menangis mendengar cerita ini dan mengaku benar-benar terpukul dengan peristiwa yang sangat tragis tersebut karena masyarakat dan aparat pemerintah saat ini sudah tidak lagi perduli terhadap sesama. "Peristiwa itu adalah dosa masyarakat yang seharusnya kita bertanggung jawab untuk mengurus jenazah Khaerunisa. Jangan bilang keluarga Supriono tidak memiliki KTP atau KK atau bahkan tempat tinggal dan alamat tetap. Ini merupakan tamparan untuk bangsa Indonesia", ujarnya. Koordinator Urban Poor Consortium, Wardah Hafidz, mengatakan peristiwa itu seharusnya tidak terjadi jika pemerintah memberikan pelayanan kesehatan bagi orang yang tidak mampu. Yang terjadi selama ini, pemerintah hanya memerangi kemiskinan, tidak mengurusi orang miskin kata Wardah.
31
Slide 1
Slide 2
Slide 3
Slide 4
Slide 5
Slide 6
32
Slide 7
Slide 8
Slide 9
Slide 10
Slide 11
Slide 12
33
Slide 13
Slide 14
Slide 15
Slide 16
Slide 17
34
Anatomi Kemiskinan Oleh : Parwoto
Pemahaman Kemiskinan Latar Belakang Kemiskinan pada dasarnya bukan hanya permasalahan ekonomi tetapi lebih bersifat multidimensional dengan akar permasalahan terletak pada sistem ekonomi dan politik bangsa yang bersangkutan. Dimana masyarakat menjadi miskin oleh sebab adanya kebijakan ekonomi dan politik yang kurang menguntungkan mereka, sehingga mereka tidak memiliki akses yang memadaikan ke sumber daya-sumber daya kunci yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan hidup mereka secara layak. Akibatnya mereka terpaksa hidup di bawah standar yang tidak dapat lagi dinilai manusiawi, baik dari aspek ekonomi, aspek pemenuhan kebutuhan fisik, aspek sosial, dan secara politikpun mereka tidak memiliki sarana untuk ikut dalam pengambilan keputusan penting yang menyangkut hidup mereka. Proses ini berlangsung timbal balik saling terkait dan saling mengunci dan akhirnya secara akumulatif memperlemah masyarakat miskin. Situasi ini bila tidak segera ditanggulangi akan memperparah kondisi masyarakat miskin yang ditandai dengan lemahnya etos kerja, rendahnya daya perlawanan terhadap berbagai persoalan hidup yang dihadapi, kebiasaan-kebiasaan buruk yang terpaksa mereka lakukan dalam rangka jalan pintas mempertahankan hidup mereka yang bila berlarut akan melahirkan budaya kemiskinan yang sulit diberantas. Di sisi lain upaya-upaya penanggulangan kemiskinan lebih banyak diarahkan hanya untuk meningkatkan penghasilan masyarakat miskin melalui berbagai program ekonomi, seperti peningkatan penghasilan, pemberian kredit lunak, dsb. Semua ini tidak dapat disangkal akan meningkatkan penghasilan masyarakat miskin tetapi tidak serta merta menyelesaikan persoalan kemiskinan. Kesalahan mendasar yang saat ini terjadi adalah melihat kemiskinan sebagai ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasarnya yang disebabkan oleh rendahnya penghasilan (ekonomi) mereka, sehingga pemecahan yang logis adalah dengan meningkatkan penghasilan. Peningkatan penghasilan disini seolah-olah menjadi obat mujarab terhadap semua persoalan kemiskinan. Padahal akar kemiskinan justeru bukan pada penghasilan. Tinggi rendahnya penghasilan seseorang erat kaitannya dengan berbagai peluang yang dapat diraihnya. Jadi lebih merupakan akibat dari suatu situasi yang terjadi oleh sebab kebijakan politik yang tidak adil yang diterapkan sehingga menyebabkan sebagian masyarakat tersingkir dari sumberdaya kunci yang dibutuhkan dalam menyelenggarakan hidup mereka secara layak.
Pengertian Kemiskinan Deepa Narayan, dkk dalam bukunya Voices of the Poor menulis bahwa yang menyulitkan atau membuat kemiskinan itu sulit ditangani adalah sifatnya yang tidak saja multidimensional tetapi juga saling mengunci; dinamik, kompleks, sarat dengan sistem institusi (konsensus sosial), gender dan peristiwa yang khas per lokasi. Pola kemiskinan sangat berbeda antar kelompok sosial, umur, budaya, lokasi dan negara juga dalam konteks ekonomi yang berbeda. Lebih lanjut mereka juga memberikan 4 dimensi utama dari definisi kemiskinan yang dirumuskan oleh masyarakat miskin sendiri, sebagai berikut di bawah ini.
35
Dimensi 1: Dimensi material kekurangan pangan, lapangan kerja dengan muaranya adalah kelaparan atau kekurangan makan. Dimensi 2: Dimensi psikologi, seperti antara lain ketidakberdayaan (powerlessness), tidak mampu berpendapat (voicelessness), ketergantungan (dependency), rasa malu (shame), rasa hina (humiliation) Dimensi 3: Dimensi akses ke pelayanan prasarana yang praktis tidak dimiliki Dimensi 4: Dimensi aset/milik, praktis tidak memiliki aset sebagai modal untuk menyelenggarakan hidup mereka secara layak seperti antara lain: •
kapital fisik (physical capital), antara lain mencakup tanah, ternak, peralatan kerja, hunian, perhiasan, dsb
•
kapital manusia (human capital), antara lain menyangkut kesehatan, pendidikan dan pekerjaan. Kesehatan yang buruk sering menghalangan orang untuk bekerja apalagi bila pekerjaannya menuntut tenaga fisik yang sering ditemukan pada masyarakat yang berada pada tingkat survival, begitu juga rendahnya pendidikan sangat menghambat kemajuan seseorang.
•
aset sosial (social capital), atau sering diartikan dalam hal ini sebagai sistem kekerabatan yang mendukung kaum miskin untuk tetap bertahan hidup sebab pada umumnya kaum miskin tidak masuk jaringan formal pengamanan sosial seperti asuransi yang mampu melindungi mereka dari berbagai krisis seperti musibah, keuangan, dll
•
aset lingkungan (environmental asset), antara lain mencakup iklim dan musim yang sangat berpengaruh pada petani, nelayan dan sebagai pekerja lapangan.
Secara rinci ke empat aset tersebut dapat diuraikan sebagai berikut ini. a) Aset fisik (physical capital). Pada dasarnya masyarakat miskin memang praktis tidak memiliki benda-benda fisik yang diperlukan sebagai modal hidup mereka seperti antara lain tanah yang memadai, rumah/tempat tinggal yang layak, perabotan rumah tangga, kendaraan, peralatan kerja dan benda-benda fisik lainnya b) Aset kemanusiaan (human capital). Pada dasarnya masyarakat miskin juga tidak memiliki kwalitas sumber daya manusia yang cukup baik yang dapat menjamin keberhasilan hidup mereka, mencakup tingkat kesehatan, pendidikan, tenaga kerja, dsb belum lagi kwalitas manusia yang lain seperti etos kerja yang ulet, jiwa kewirausahaan, kepemimpinan, dsb c) Aset sosial (Social capital). Masyarakat miskin memang selalu tersisih dari pranata sosial yang ada termasuk sistem asuransi sehingga mereka harus membangun sendiri institusi mereka agar mendapatkan jaminan sosial (social security) yang dibutuhkan untuk mempertahankan hidup mereka (survival) melalui kekerabatan antar mereka, asosiasi penghuni, yang seringkali menjadi sangat kuat oleh sebab rasa senasib sepenangungan, dsb. d) Aset lingkungan (environmental asset). Pada umumnya masyarakat miskin di perkotaan memang kurang atau malah tidak memiliki sumber-sumber lingkungan sebagai modal hidup mereka seperti air baku, udara bersih, tanaman, lapangan hijau, pohon-pohon, dsb, sementara para petani dan nelayan sangat tergantung kepada aset lingkungan dalam bentuk musim dan iklim. Lebih lanjut keempat dimensi tersebut sangat dipengaruhi oleh konteks yang lebih luas yaitu tatanan ekonomi makro dan sistem politik yang berlaku di negara tersebut. Beberapa pendapat lain melihat kemiskinan dari sudut pandang yang sangat berbeda dan menyimpulkan kemiskinan sebagai berikut di bawah ini •
36
Kemiskinan absolut, yaitu bila penghasilan seseorang di bawah garis kemiskinan absolut, yaitu suatu ukuran tertentu yang telah ditetapkan dimana kebutuhan minimum masih dapat
dipenuhi, dengan kata lain penghasilannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan minimum yang ditetapkan dalam garis kemiskinan tersebut. •
Kemiskinan relatif, yaitu suatu kondisi perbandingan antara kelompok penghasilan dalam masyarakat.
Dari pola waktunya kemiskinan juga sering dibedakan sebagai berikut:
Kemiskinan menaun (persistent poverty), yaitu kemiskinan yang kronis atau sudah lama terjadi, turun temurun, misalnya masyarakat di lokasi-lokasi kritis atau terisolasi
Kemiskinan siklik (cyclical poverty), yaitu kemiskinan yang mengikuti pola siklus ekonomi secara keseluruhan
Kemiskinan musiman (seasonal poverty), yaitu kemiskinan yang terjadi secara khusus sesuai dengan musim seperti yang sering terjadi pada nelayan atau petani tanaman pangan
Kemiskinan mendadak (accidental poverty), yaitu kemiskinan yang terjadi oleh sebab bencana atau dampak oleh suatu kebijakan yang tidak adil.
Meskipun berbagai pihak melihat kemiskinan dari sudut pandangan yang berbeda dan merumuskan kemiskinan secara berbeda pula tetapi semua pihak sepakat bahwa pada dasarnya kemiskinan mengandung arti majemuk yang sering kali sulit untuk dipahami dari satu sudut pandang saja. Secara umum kemiskinan sering kali diartikan sebagai keterbelakangan, ketidakberdayaan atau ketidakmampuan seseorang untuk menyelenggarakan hidupnya sampai suatu taraf yang dianggap layak/manusiawi. Dari berbagai pandangan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa keterbelakangan/ketidakberdayaan/ketidakmampuan ini mencakup beberapa dimensi sebagai berikut:
Dimensi politik Tinjauan dari aspek politik ini, ketidakmampuan seseorang diterjemahkan dalam bentuk rendahnya tingkat kemampuan berpartisipasi secara aktif dalam pengambilan keputusan politik yang penting yang langsung menyangkut hidupnya, tidak dimilikinya sarana-sarana yang memadai termasuk kelembagaan untuk terlibat secara langsung dalam proses politik. Akibatnya kaum miskin tidak memiliki akses ke berbagai sumberdaya kunci yang dibutuhkannya untuk menyelenggarakan hidupnya secara layak. Termasuk dalam hal ini adalah sumber daya financial dan sumberdaya alam. Oleh sebab tidak dimilikinya pranata sosial yang menjamin partisipasi masyarakat miskin dalam proses pengambilan keputusan maka sering kali masyarakat miskin dianggap tidak memiliki kekuatan politik sehingga menduduki struktur sosial yang paling bawah, malah sering kali masyarakat miskin seringkali secara juridis tidak diakui sebagai warga negara. Kemiskinan politik sering kali disebut juga sebagai kemiskinan struktural.
Dimensi ekonomi Tinjauan kemiskinan dari dimensi ekonomi ini diartikan sebagai ketidak mampuan seseorang untuk mendapatkan mata pencaharian yang mapan dan memberikan penghasilan yang layak untuk menunjang hidupnya secara berkesinambungan yang terlihat dari rendahnya gizi makanan, tingkat kesehatan yang rendah, tingkat pendidikan yang rendah, pakaian yang tidak layak, dsb. Pandangan ini banyak digunakan oleh berbagai pihak untuk menetapkan garis kemiskinan. Berbagai lembaga memiliki ukuran masing-masing dalam menetapkan kemiskinan antara lain sebagai berikut : a). Prof Sayogyo menggambarkan tingkat penghasilan dengan mengukur pengeluaran setara beras per tahun untuk kategori : •
miskin di perkotaan 480 kg dan di perdesaan 320 kg
37
•
miskin sekali di perkotaan 360 kg dan diperdesaan 240 kg
•
paling miskin di perkotaan 270 kg dan perdesaan 180 kg
b). BPS menggunakan tingkat pengeluaran per kapita per hari untuk memenuhi kebutuhan pokok yang dihitung sebagai kebutuhan kalori 2100 kalori per kapita per hari dan kebutuhan dasar bukan makanan dan menetapkan pada tahun 1999 Rp 93.896/kapita/bulan di perkotaan dan Rp 73.878/kapita/bulan di perdesaan.
Dimensi Aset Tinjauan kemiskinan dari dimensi aset ini dirumuskan sebagai ketidakmampuan seseorang yang diterjemahkan sebagai rendahnya tingat penguasaan seseorang terhadap hal-hal yang mampu menjadi modal dasar seseorang dalam memenuhi kebutuhan pokoknya (basic human needs) seperti kapital manusia (pengetahuan, pendidikan, kesehatan, dsb), kapital fisik (tanah, perumahan yang layak, peralatan kerja, sarana produksi, kendaraan, dsb), kapital alam (udara, pohon, hewan, dsb), kapital sosial (jaringan sosial, tradisi, dsb), kapital dana (tabungan, pinjaman, dsb)
Dimensi budaya dan psikologi Dari dimensi budaya, kemiskinan diterjemahkan sebagai terinternalisasikannya budaya kemiskinan baik di tingkat komunitas, keluarga maupun individu. Di tingkat komunitas dicirikan dengan kurang terintegrasinya penduduk miskin dalam lembagalembaga formal masyarakat, di tingkat keluarga dicirikan dengan singkatnya masa kanak-kanak, longgarnya ikatan keluarga, dsb, sedangkan di tingkat individu terlihat seperti antara lain sifat tidak percaya diri, rendah diri, kurang mau berpikir jangka panjang oleh sebab kegagalan-kegagalan yang sering dihadapinya, fatalisme, apatis, tidak berdaya, ketergantungan yang tinggi, dsb Semua dimensi tersebut diatas bagi masyarakat miskin memiliki tingkat kerentanan yang tinggi karena sifatnya yang tidak mantap, seperti misalnya dimensi ekonomi bagi masyarakat miskin akan sangat berbeda dengan masyarakat kaya karena kebanyakan masyarakat miskin dan masyarakat yang sedikit di atas garis kemiskinan memiliki mata pencaharian yang sangat labil sehingga guncangan sedikit saja (krisis) akan menyebabkan mereka terpuruk.
Kesimpulan Dari berbagai pandangan tersebut di atas dapat disimpulkan arti kemiskinan dikaitkan dengan pembangunan masyarakat perkotaan sebagai berikut. a) Ada kelompok/lapisan masyarakat yang tidak mampu menyelenggarakan hidupnya secara layak dan tidak berdaya menghadapi tantangan pembangunan yang terjadi dengan ciri-ciri sebagai berikut:
38
Rendahnya kepemilikan aset fisik atau praktis tidak memiliki benda-benda fisik yang diperlukan sebagai modal hidup mereka seperti antara rumah/tempat tinggal yang layak, perabotan rumah tangga, kendaraan, peralatan produksi dan harta benda fisik lainnya
Rendahnya kwalitas sumberdaya manusia atau tidak memiliki kwalitas sumber daya manusia yang cukup baik yang dapat menjamin keberhasilan hidup mereka, mencakup tingkat kesehatan, pendidikan, kemampuan memproduksi tenaga kerja (labor power), dsb belum lagi oleh sebab terinternalisasinya budaya kemiskinan yang menghancurkan kwalitas manusia secara keseluruhan, seperti antara lain rendahnya etos kerja, fatalisme, apatis, hancurnya jiwa kewirausahaan dan kepemimpinan, boros, cari gampang, dsb
Tersingkir dari pranata sosial formal yang ada utamanya pranata sosial yang mampu memberikan jaminan sosial, sehingga masyarakat miskin harus membangun sendiri institusi mereka agar mendapatkan jaminan sosial (security) yang dibutuhkan untuk mempertahankan hidup mereka (survival) melalui kekerabatan antar mereka, asosiasi
penghuni, yang seringkali menjadi sangat kuat oleh sebab rasa senasib sepenangungan, dsb.
Tersingkir dari sumberdaya alam seperti pada umumnya masyarakat miskin di perkotaan memang kurang atau malah tidak memiliki akses ke sumberdaya alam sebagai modal hidup mereka seperti tanah, air baku, ternak/binatang liar, sumberdaya lingkungan seperti udara bersih, tanaman, ruang hijau, pohon-pohon, dsb. Termasuk ketergantungan terhadap musim dan iklim tanpa daya untuk menangulanginya.
Tidak memiliki akses ke pelayanan dasar yang dibutuhkan, seperti air minum, sanitasi, drainasi, kesehatan, pendidikan, penerangan, energi, transportasi, jalan akses, dsb
Tidak memiliki akses ke sumberdaya modal seperti kredit dari perbankan.
Tidak memiliki akses ke proses pengambil keputusan penting yang menyangkut hidup mereka oleh sebab tidak tersedianya pranata yang memberi peluang masyarakat miskin menyuarakan aspirasinya.
Memiliki tingkat kerentanan yang tinggi dari segi mata pencaharian sehingga dengan mudah oleh guncangan sedikit saja (kecelakaan, sakit, krisis, kemarau panjang, bencana alam, dsb) dapat masuk ke kategori kelompok yang lebih rendah/lebih miskin.
b) Hal tersebut di atas berarti:
Ada segregasi sosial dalam masyarakat
Ada ketidak adilan dalam distribusi peluang pembangunan dan sumberdaya pembangunan
Tidak berjalannya fungsi pengendalian pembangunan (matinya ketataprajaan /governance)
Tidak berfungsinya sistem perwakilan dalam proses pengambilan keputusan dan manajemen pembangunan
c) Akar penyebab kemiskinan Meskipun kemiskinan banyak dibicarakan dan identifikasi dan dirumuskan tetapi ternyata hanya terbatas pada gejala-gejalanya saja (rumusan kemiskinan). Diskusi mengenai akar permasalahan atau penyebab kemiskinan hampir selalu dihindari atau malah sering ditabukan karena akar utama penyebab kemiskinan adalah justeru tidak adanya keadilan di masyarakat dan ketidak-adilan ini jelas adalah akibat dari:
ketidak mampuan para pengambil keputusan untuk menegakkan keadilan
menipisnya kepedulian dan meningkatnya keserakahan di masyarakat
Semuanya ini menunjukkan adanya gejala serius dari lunturnya nilai-nilai luhur dari para pelaku pembangunan (pengambil keputusan dan masyarakat) sehingga sebagai manusia kita tak berdaya untuk menjadi pelaku moral (melemahnya moral capability). Situasi ini tentu saja menjadi tanggung jawab kita bersama; pemerintah sebagai pengawal dan penegak keadilan dan kita semua sebagai masyarakat warga yang saling mengasihi. Mampukah pemerintah menciptakan kebijakan yang adil yang mampu meredistribusi aset nasional secara adil dan melakukan koreksi terhadap ketimpangan sosial yang ada ? Sedihnya berbagai upaya penangulangan atau pemberantasan kemiskinan adalah justeru melestarikan ketidak adilan tersebut dengan menolong korban-korban ketidak adilan tersebut agar mampu bertahan sebagai korban dan tidak mencoba menyelesaikan akar persoalannya. Sedih tetapi nyata.
39
Refleksi Apakah yang kita lakukan selama ini:
Benarkah kita memerangi kemiskinan atau kita memerangan orang miskin?
Kemiskian yang kita perangi atau simbol kemiskinan yang kita perangi?
Contoh-contoh yang terjadi:
Pedagang kaki lima (PKL) harus diberantas Apakah yang sebenarnya terjadi PKL bersih kota tertib, tetapi pedagang kaki lima kehilangan lapangan pekerjaan dan menjadi makin miskin. Persoalan siapa yang diselesaikan sebenarnya? Apakah persoalan kemiskinan selesai?
Becak dilarang beroperasi Jalan-jalan jadi bersih becak, kesemrawutan kendaraan mobil, bis, mikrolet tetap
Tukang becak kehilangan mata pencaharian Ibu-ibu terpaksa mbonceng ojek dari lingkungan perumahan Apakah persoalan kemiskinan selesai??
Lingkungan kumuh harus diberantas Apakah yang sebenarnya terjadi ? Lingkungan kumuh menjadi ruko yang indah dan rapi, masyarakat miskin penghuni lingkungan kumuh tergusur oleh keputusan politik dan tercabut dari sumber nafkahnya. Mungkin hal tersebut tidak perlu terjadi karena masyarakat miskin tersebut dapat tinggal di rumah susun yang sengaja disediakan sebagai bagian dari program peremajaan tersebut. Yang terjadi tetap saja masyarakat miskin yang dirumahkan di rumah susun tersebut tergusur lagi oleh tekanan ekonomi dan sosial budaya. Apakah persoalan kemiskinan selesai ???
Program-program pengentasan kemiskinan Terperangkap dalam upaya meningkatkan penghasilan, pada hal orang miskin tidak berbicara penghasilan (income) kegagalan yang terjadi disadari oleh sebab tidak memiliki aset-aset utama yang dibutuhkan untuk menunjang kehidupannya (fisik, kwalitas manusia, sosial, lingkungan dan akses). Adakah program pengentasan kemiskinan yang menjamin masyarakat miskin memiliki asetaset tersebut. Akhirnya berbagai fasilitas kredit yang ditawarkan hanya dimanfaatkan oleh elit kampung/desa Apakah persoalan kemiskinan selesai ???? Selama tidak ada keadilan maka keserahan akan tetap merajalela dan kemiskinan akan tetap terjadi.
40
Beberapa Intervensi Untuk Menanggulangi Kemiskinan Dari uraian terdahulu, jelaslah meskipun ada berbagai pandangan tentang kemiskinan tetapi semua mengacu pada lunturnya nilai-nilai luhur para pelaku pembangunan yang berakibat aturan atau tatanan pengelolaan urusan publik dalam hidup berbangsa dan bernegara yang tidak adil sehingga terjadi akumulasi pemihakan justeru kepada yang tidak miskin (kaya) yang berakibat fatal terhadap upaya-upaya penangulangan kemiskinan. Dengan kata lain persoalan kemiskinan pada dasarnya adalah perkara pengelolaan urusan publik (governance issues) karena lunturnya nilai-nilai luhur universal sehingga upaya perbaikan yang harus dilakukan adalah mulai dengan membangun kembali kesadaran kritis dan moral para pelaku pembangunan baik ditataran pengambil keputusan maupun di tataran rakyat jelata sehingga pada gilirannya mampu menciptakan dan membangun tatanan pengelolaan urusan publik yang baik (good governance). Sesuai dengan sifatnya bahwa kemiskinan adalah persoalan multidimesional dan antar dimensi saling terkait (interrelated) dan saling mengunci (interlocking) maka apapun upaya yang dilakukan dalam rangka penanggulangan atau pemberantasan kemiskinan haruslah mencakup berbagai dimensi tersebut secara integratif
Beberapa Bentuk Intervensi No.
Tataran
Kemungkinan Intervensi
1
Pelaku
Membangun kesadaran kritis dan memulihkan kemampuan manusia untuk menjadi pelaku moral.
2
Kebijakan
Menetapkan program penangulangan kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja sebagai prioritas dalam strategi pembangunan kota (city development strategy) Pengembangan kebijakan yang memulihkan posisi masyarakat miskin dalam proses pembangunan dan pengambilan keputusan sebagai pelaku kunci Pengembangan kebijakan yang menjamin akses bagi masyarakat miskin ke berbagai sumberdaya kunci dan peluang pembangunan yang dibutuhkan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup mereka. Pengembangan kebijakan usaha yang memadukan dan memberikan peluang yang adil terhadap sektor formal dan informal
41
3
Pengaturan
Pengembangan berbagai peraturan yang menjamin kehidupan dan penghidupan masyarakat miskin dikota, termasuk jaminan untuk bekerja dan bermukim Penyederhanaan sistem perizinan dan penguatan hak-hak masyarakat miskin atas tanah dan lokasi usaha Pengembangan peraturan yang secara sistemik menjamin kegiatan usaha informal termasuk industri rumah tangga
4
Kelembagaan
Membangun kelembagaan masyarakat warga (civil society organization) Membangun kelembagaan antara yang mampu menjembatani antara sektor formal dan informal
5
Program
Penyediaan pelayanan publik yang lebih akomodatif terhadap kepentingan masyarakat miskin (kesehatan, pendidikan, transportasi, pelayanan prasarana, dsb) Pengembangan program-program perumahan untuk kelompok masyarakat yang tidak terlayani oleh pasar formal Pengembangan program-program pemberdayaan yang membangun dan memulihkan keberdayaan warga, keluarga dan masyarakat untuk mampu menentukan sejarahnya sendiri
6
Evaluasi
Pemutakhiran pemetaan masyarakat miskin perkotaan Pengembangan indikator keberhasilan penangulangan kemiskinan Pengembangan indikator partisipasi masyarakat banyak utamanya yang miskin dalam proses pengambilan keputusan publik
Daftar Pustaka 1) 2) 3) 4) 5)
42
Deepa Narayan, dkk ; The voice of the poor, 2000 Mubyarto ; Ekonomi dan Politik Pembangunan Regional, Kasus Propinsi Kalimantan Barat, 2000 Parsudi Suparlan (ed); Kemiskinan di Perkotaan, 1995 Badan Penanggulangan Kemiskinan Republik Indonesia & Smeru; Paket Informasi Dasar Manual Proyek Penangulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP), 1999
Modul 3 Topik: Perempuan dan Kemiskinan
Peserta memahami dan menyadari: 1. Kemiskinan yang dialami perempuan 2. Faktor penyebab kemiskinan yang dialami perempuan
Analisa kasus perempuan dan kemiskinan
2 Jpl (90’)
Bahan Bacaan: Perempuan dan Kemiskinan
• Kerta Plano • Kuda-kuda untuk Flip-chart • LCD • Metaplan • Papan Tulis dengan perlengkapannya • Spidol, selotip kertas dan jepitan besar
43
Diskusi Kelas, Analisa Kasus Perempuan dan Kemiskinan 1) Buka pertemuan dengan salam singkat dan uraikan bahwa kita akan memulai Modul Peran Perempuan dalam Nangkis dan apa yang akan dicapai melalui modul ini, yaitu : Peserta memahami dan menyadari: •
Kemiskinan yang dialami perempuan
•
Faktor penyebab kemiskinan perempuan.
2) Jelaskan kepada peserta bahwa kita akan membahas akibat kemiskinan pada kaum perempuan dengan menganalisa kasus bahan bacaan ‘perempuan dan kemiskinan’ dan “Busung Lapar : Perbaikan Gizi, Prioritas pada Perempuan”. 3) Bagikan kepada peserta kedua bahan bacaan di atas, kemudian beri kesempatan kesempatan kepada peserta untuk membaca. 4) Setelah selesai membaca tanyakan kepada peserta apa saja masalah kemiskinan yang dialami perempuan?. Mintalah masing – masing untuk menuliskan dalam kartu metaplan ( satu kartu untuk satu penrnyataan). 5) Kumpulkan kartu – kartu yang sudah ditulis oleh peserta kemudian ajak bersama – sama untuk membuat pohon persoalan, dengan metode yang sama pada anatomi kemiskinan.
Pada dasarnya kemiskinan yang lebih parah dihadapi oleh kaum perempuan bersumber pada ketidakadilan. Kebijakan – kebijakan di setiap bidang belum melihat secara lebih proporsional pada kebutuhan – kebutuhan yang dihadapi oleh kaum perempuan. Ketidakadilan ini disebabkan juga oleh paradigma – paradigma mengenai perempuan yang selama ini diyakini oleh masyarakat 6) Tanyakan kepada peserta paradigma – paradigma apa yang menyebabkan ketidakadilan bagi perempuan? Tuliskan jawaban peserta pada kertas plano dan bahas secara mendalam. Jelaskan juga kepada peserta bahwa paradigma yang berkembang menyebabkan adanya bias gender. Misal : warna pink adalah warna perempuan, warna biru warna laki – laki; Ibu memasak di dapur dan bapak membaca koran (memasak adalah kewajiban perempuan); bekerja mencari nafkah, pekerjaan domestik (rumah tangga) bukan pekerjaan yang harus diperhitungkan sehingga bapak yang mencari nafkah disediakan asupan makanan yang lebih dibanding ibu yang dari subuh sampai malam mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Bahaslah contoh – contoh lainnya.
44
Slide 1
Slide 2
Slide 3
Slide 4
Slide 5
Slide 6
45
Slide 7
Slide 8
Slide 9
Slide 10
Slide 11
46
Perempuan dan Kemiskinan Marnia Nes
Secara menyeluruh kualitas manusia Indonesia relatif masih rendah. Berdasarkan Human Development Report 2004 yang menggunakan data tahun 2002, angka Human Development Index (HDI) Indonesia adalah 0,692. Secara rinci angka indeks tersebut merupakan komposit dari angka harapan hidup saat lahir sebesar 66,6 tahun, angka melek aksara penduduk usia 15 tahun ke atas sebanyak 87,9%, kombinasi angka partisipasi kasar jenjang pendidikan dasar sampai dengan pendidikan tinggi sebesar 65%, dan Pendapatan Domestik Bruto per kapita yang dihitung berdasarkan paritas daya beli (purchasing power parity) sebesar USD 3.320. HDI Indonesia hanya menempati urutan ke 111 dari 177 negara. Ini menunjukkan kemiskinan di Indonesia masih memprihatinkan. Data tahun 2003 menunjukkan jumlah penduduk yang menggerombol di antara garis kemiskinan satu atau dua dollar AS per hari mencapai 46%, terdiri dari 10% di bawah dan 36% di atas garis kemiskinan yang berlaku sekitar 1,5 dollar per hari. Walau tingkat kemiskinan menurun 1,1 juta orang atau 0,8% antara tahun 2002 – 2003, namun tingkat kedalaman kemiskinan dan keparahan kemiskinan meningkat. Hal ini mencerminkan adanya kelompok miskin yang memprihatinkan dan ketidakmerataan sistemik. Angka – angka itu bisa dibaca keliru kalau tidak bisa memahami bahwa dampak kemiskinan (dan pemiskinan), pada perempuan dan laki – laki berbeda. Edriana dari Women’s Research Center mengatakan bahwa laki – laki dan perempuan mempunyai pengalaman yang berbeda dalam menghadapi persoalan kemiskinan.Padahal angka kemiskinan di dunia menunjukkan bahwa 2/3 perempuan di dunia termasuk ketegori miskin. Permasalahan yang mendasar selama ini adalah rendahnya partisipasi perempuan dalam pembangunan , di samping masih adanya praktik diskriminasi terhadap perempuan. Dalam aspek politik, masih rendahnya perempuan terlibat di dalam pengambilan keputusan. Dalam sejumlah data, tentang kemiskinan, kesehatan dan pendidikan masih menunjukkan ketimpangan, dimana perempuan jauh lebih tertinggal dari kaum laki – laki. Kesenjangan ini mencerminkan masih terbatasnya akses sebagian besar perempuan terhadap layanan kesehatan yang baik, pendidikan yang lebih tinggi dan keterlibatan dalam kegiatan publik. Hal ini menyebabkan rendahnya angka Indeks Pembangunan Gender (Gender – related Development Index, GDI), yaitu sebesar 59,2. Memprihatinkan bahwa dalam situasi – situasi kemiskinan, perempuan yang paling sedikit mendapat kesempatan untuk memperoleh makanan, pemeliharaan kesehatan, pendidikan, pelatihan, maupun untuk memperoleh kesempatan kerja dan lain – lain kebutuhan. (Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan).
Pendidikan dan Perempuan Dalam bidang pendidikan, kesempatan untuk mendapatkan pendidikan formal masih lebih banyak diberikan kepada laki – laki dibanding perempuan. Di seluruh dunia, 860 juta orang dewasa tidak bisa membaca atau menulis, duapertiganya adalah perempuan. Di Indonesia 65 % anak tidak sekolah adalah perempuan.
47
Dana alokasi anggaran pemerintah untuk pendidikan pada tahun 2005 sebesar 6,4 % dari total anggaran. Namun dana tersebut tidak jelas pengalokasiannya. Sementara itu kalau kita lihat angka buta huruf saja, dengan usia di atas 10 tahun untuk perempuan di pedesaan 16% dan di perkotaan 7%. Angka ini untuk laki – laki di pedesaan 8% dan di perkotaan 3%. Untuk usia 15 tahun ke atas angka buta huruf perempuan sebanyak 45% dan laki – laki sebanyak 23%. Data – data tersebut menunjukkan perbandingan yang tidak imbang antara laki – laki dan perempuan, akan tetapi alokasi anggaran tidak jelas menunjukkan pemakaiannya secara khusus. Angka GDI (Gender – related Development Index)Indonesia adalah 59,2 yang menunjukkan tingkat melek huruf perempuan lebih rendah, lebih sedikit waktu mereka untuk sekolah dan memperoleh bagian pendapatan. Pendapatan hanya 38% untuk perempuan dan 62% diterima laki – laki. Indonesia berada di urutan ke 91 dari 144 negara yang telah dihitung GDI-nya. (National Human
Development Report 2004, The Economics of Democracy Financing Human Development in Indonesia, BPS – Statistics Indonesia, Bappenas, UNDP)
Padahal perempuan merupakan separuh dari penduduk dunia menyumbangkan duapertiga dari seluruh jumlah jam kerjanya untuk mengurus hampir keseluruhan anak di dunia. Namun kesempatan pendidikan bagi mereka lebih buruk dari laki – laki. Mendidik anak perempuan akan membawa kesehatan keluarga yang lebih baik, rendahnya kematian anak dan perbaikan gizi. Dengan kata lain pendidikan bagi anak perempuan merupakan strategi yang sederhana dan mudah dicapai untuk membantu menanggulangi kemiskinan. Masalah perempuan dan pendidikan ini tidak cukup ditangani secara parsial. Sebagian dari anak – anak yang terjerumus dalam bentuk – bentuk pekerjaan terburuk adalah anak perempuan, sebagian dari mereka menjadi pekerja seks anak – anak. Perlu dorongan makro dari pemerintah dan dorongan mikro dari masyarakat untuk mengusahakan keadilan dalam bidang pendidikan.
Kesehatan dan Perempuan Selain data mengenai pendidikan yang lebih mencemaskan adalah data mengenai kesehatan. Menurut WHO (2005) di Indonesia, 2 orang ibu meninggal setiap jam karena persalinan yang buruk dan nifas, terutama ibu – ibu dari kalangan keluarga miskin. Data ini belum ditambah dengan rendahnya tingkat kesehatan perempuan akibat dari kondisi kemiskinan. Data yang dikelurakan oleh BPS (Badan Pusat Statistik) pada tahun 2002 – 2003 angka kematian ibu (AKI) adalah sebesar 307 per 100.000 kelahiran hidup , ini belum termasuk Aceh, Maluku Utara, Maluku dan Papua. Sedangkan data yang dikeluarakan oleh UNDP angka AKI adalah sebesar 380 per 100.000 kelahiran hidup. Data tersebut menunjukkan angka AKI yang masih tinggi di Indonesia. Sebagian besar kematian perempuan disebabkan komplikasi karena hamil dan bersalin, termasuk pendarahan dan infeksi, tekanan darah tinggi, dan persalinan lama. Sebagian besar dari komplikasi – komplikasi tersebut sebenarnya dapat ditangani melalui penerapan teknologi kesehatan yang ada. Dengan kata lain, sebagian besar kematian ibu sebenarnya dapat dicegah. Namun demikian banyak faktor baik politis dan teknis yang membuat teknologi kesehatan kurang dapat diterapkan mulus di tingkat masyarakat. Pada waktu kesehatan didekatkan ke masyarakat, belum tentu masyarakat memanfaatkannya karena alasan, termasuk ketidaktahuan dan hambatan ekonomis. Kemiskinan dan rendahnya status sosial ekonomi perempuan mempunyai andil. Kesempat Terbatasnya kesempatan untuk memperoleh informasi dan pengetahuan baru, hambatan membuat keputusan, terbatasnya akses memperoleh pendidikan memadai, dan kelangkaan pelayanan kesehatan yang peka terhadap kebutuhan perempuan juga turut berperan terhadap situasi ini (Safe
Motherhood: A Matter of Human Rights and Social Justice,1998).
Salah satu penyebab AKI adalah rendahnya gizi ibu hamil. Beberapa studi di Asia dan Afrika menunjukkan, asupan kalori kaum perempuan sekitar 50 – 70%. Padahal bila perempuan kurang gizi mengandung, maka mereka akan melahirkan bayi BBLR (berat bayi lahir rendah, kurang dari 2,5 kg).
48
BBLR akan mempengaruhi tingkat gizi bayi dan balita, bahkan studi pada BBLR menunjukkan, ketika dewasa mereka sangat berpotensi menderita penyakit degeneratif seperti jantung koroner, sebab tidak sempurnanya struktur darah sehingga mudah tergores dan akhirnya menyebbakan timbunan kolesterol bayi BBRL, menghambat perkembangann organ hati dan berdampak pada munculnya penyakit jantung. Di Indonesia, pada tahun 2000 , masih diperkirakan dari 4 juta anak yang lahir 300.000 di antaranya meninggal dunia sebelum mencapai 5 tahun. Angka kematian bayi dan anak ini bervariasi cukup lebar antara provinsi. Dijumpai 23 kematian bayi per 1000 lahir hidup di Jogyakarta dan 111 kematian bayi per 1000 lahir hidup di NTB, hal yang sama terjadi juga untuk kematian balita (Sumantri, 2000). Berdasarkan hasil sementara SP 2000, maka diperkirakan jumlah penderita gizi buruk pada balita adalah 1.520.000 anak. Masih tingginya prevalensi gizi kurang pada anak balita berhubungan dengan masih tingginya BBLR, yaitu berkisar antara 7 – 14% pada periode 1990 – 2000. Apabila melihat berita di koran dan televisi akhir – akhir ini barangkali angka ini menjadi lebih tinggi.
Human Development Index pada tahun 2000 yang dilaporkan oleh UNDP adalah 109 untuk
Indonesia, tertinggal jauh dari Malaysia, Filipina dan Thailand. Masih tingginya masalah gizi , akan berpengaruh nyata terhadap tingkat pendidikan dan pendapatan per kapita. Rendahnya kondisi gizi akan berakibat pada rawannya penyakit infeksi dan semakin tinggi pengeluaran terhadap kesehatan. Faktor penyebab dari tingginya angka kematian ibu, bayi dan balita menunjukkan pelayanan kesehatan masyarakat dan keadaan gizi, di luar faktor pencetus lainnya seperti keadaan ekonomi, kesadaran masyarakat dan tingkat pendidikan. Persoalan busung lapar atau gizi buruk sesungguhnya juga tidak terlepas dari pengetahuan dan keterampilan perempuan dalam merawat anak. Ibu berpendidikan tinggi akan lebih giat mencari dan meningkatkan pengetahuan keterampilan memelihara anak. Mereka juga akan menaruh perhatian lebih besar terhadap konsep hidup sehat untuk seluruh anggota keluarga sehingga anak – anak akhirnya dapat berkembang lebiih baik. Keselamatan dan kesejahtraan perempuan dan anak sangat penting tidak saja bagi pemenuhan hak hidup sehat bagi mereka, tetapi juga dalam mengatasi masalah ekonomi, sosial dan tantangan pembangunan (Pesan Kunci 2, Hari Kesehatan Dunia 2005). Ketika ibu dan anak meninggal atau sakit, maka keluarga, masyarakat dan negara mereka akan ikut merasakan penderitaan. Meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan perempuan berarti meningkatkan status kesehatan masyarakat dan mengurang kemiskinan.
Air Bersih , Sanitasi dan Perempuan Persoalan pemenuhan air bersih kian hari menjadi isu yang penting di Indonesia, karena semakin hari air bersih menjadi semakin sulit didapat terutama pada musim kemarau. Dalam pemenuhan air bersih perempuan dan laki – laki mempunyai pengalaman yang berbeda,karena mempunyai kebutuhan yang berbeda. Air bersih bagi kaum perempuan menjadi kebutuhan yang sangat penting, karena perempuan merupakan kolektor, pengangkut, pengguna dan pengelola utama air untuk keperluan rumah tangga dan sebagai promotor dalam kegiatan – kegiatan yang berkaitan dengan sanitasi di rumah dan di masyarakat. Dalam studi ADB, mengenai proyek – proyek Air Bersih dan Sanitasi, penyediaan air bersih dan sanitasi mempunyai beberapa manfaat yaitu :
Manfaat ekonomi. Akses yang lebih baik pada air akan memberi kaum perempuan waktu yang lebih banyak untuk melakukan aktivitas mendatangkan pendapatan, menjawab kebutuhan – kebutuhan anggota keluarga, atau memberikan kesejahteraan dan waktu
49
luang untuk kesenangan mereka sendiri. Perekonomian secara keseluruhan dapat pula memberikan berbagai manfaat.
50
Manfaat kepada anak – anak. Kebebasan dari pekerjaan mengumpulkan dan mengelola air yang memakan waktu dapat membuat anak – anak, khususnya anak perempuan untuk bersekolah.
Jender, Malpraktik Pembangunan, dan Kultur Penghancuran Kompas (Senin 12 April 2004) TITIN, sebut saja begitu, memulai pekerjaannya pada pukul lima petang di sebuah panti pijat di pusat bisnis di bilangan Jakarta Barat. Pulangnya sekitar pukul 22.00. Ibu tiga anak ini mulai bekerja di tempat itu pada paruh kedua tahun 1997. "Suami saya di-PHK bulan November 1997. Dulunya ia kerja di pabrik, lalu pabriknya bangkrut, ujar Titin (28) ketika ditemui di tempat kerjanya beberapa waktu lalu. "Pesangon enam bulan gaji itu tak cukup ke mana-mana. Biaya hidup makin tinggi. Anak-anak butuh gizi dan harus tetap sekolah." Suaminya memang terus berusaha mencari pekerjaan. Namun, itu bukan hal mudah bagi laki-laki lulusan SLTA. "Pada suatu malam kami berunding. Anak-anak harus makan, makanya saya harus bekerja," lanjut Titin. Suatu hari temannya mengajak Titin bekerja di panti pijat. Sang suami yang sudah separuh putus asa itu mengizinkan. Akan tetapi, setelah itu sang suami malah berhenti mencari pekerjaan. Pekerjaan utamanya kini adalah mengantar dan menjemput istrinya. "Saya heran kok dia tenangtenang saja, padahal pekerjaan saya ini berisiko sekali," ujar Titin. Ia tidak bisa menolak permintaan tamunya, karena panti pijat seperti itu bukanlah tempat untuk pijat betulan. "Sulit untuk meminta tamu pakai kondom," kata Titin, yang kini ikut aktif mempromosikan kesehatan reproduksi. Cerita Titin memperlihatkan bahwa krisis ekonomi meningkatkan kerentanan pada banyak kelompok masyarakat. Situasi itu menyebabkan pemiskinan dan membawa akibat yang berbeda pada perempuan dan laki-laki. Meski tidak bisa menggeneralisasikan situasi, namun pada banyak kasus, perempuan lah yang kemudian mengambil alih kemudi rumah tangga, melakukan apa saja, agar anak-anaknya bisa makan tiga kali sehari dan bisa terus bersekolah. LAJU penurunan kemiskinan selama 20 tahun terakhir sejak tahun 1976 memperlihatkan gejala perlambatan, meskipun pertumbuhan ekonomi berkisar antara tujuh sampai delapan persen dan tingkat kemiskinan absolut masih menurun. Tingkat kemiskinan melonjak lagi sebagai dampak krisis ekonomi sejak pertengahan tahun 1997. Data terakhir tahun 2003 menunjukkan jumlah penduduk yang menggerombol di antara batas garis kemiskinan satu dan dua dollar AS per hari mencapai 46 persen, terdiri dari 10 persen di bawah dan 36 persen di atas garis kemiskinan yang berlaku sekitar 1,5 dollar per hari. Walau tingkat kemiskinan menurun 1,1 juta orang atau 0,8 persen antara tahun 2002-2003, namun tingkat kedalaman kemiskinan dan keparahan kemiskinan meningkat. Hal ini mencerminkan adanya kelompok miskin yang memprihatinkan dan ketidakmerataan yang sistemik. Kemiskinan (dan pemiskinan) ini bersifat multidimensional, mencakup materi, deprivasi kapabilitas, dan martabat, yang terkait dengan fenomena ketidakberdayaan dan ketidakmampuan bersuara. Namun, angka-angka itu bisa dibaca keliru kalau tidak bisa memahami bahwa dampak kemiskinan (dan pemiskinan) pada perempuan dan laki-laki berbeda. "Laki-laki dan perempuan mempunyai pengalaman berbeda dalam menghadapi persoalan kemiskinan," ujar Edriana dari Women’s Research Centre.
51
"Oleh karena itu, penanggulangannya harus menyeluruh dan mempertimbangkan perbedaan tersebut," sambungnya. Ini artinya, program-program sebelumnya yang "netral jender" tak bisa dilanjutkan bila ingin akar kemiskinan dicabut. Menurut Edriana, pengetahuan yang dalam tentang dimensi jender dalam kemiskinan dapat mengubah secara nyata kebijakan dan program yang diprioritaskan dalam Poverty Reduction Strategy Papers (PRSP). Proses penyusunan PRSP sudah mendekati final, karena itu pengintegrasian perspektif dan analisis jender ke dalam dokumen PRSP harus dilakukan secara efektif dengan dua pendekatan sekaligus. Pendekatan pertama adalah memberi pemahaman tentang pengarusutamaan jender dalam PRSP kepada stakeholders yang terlibat dalam penyusunan dokumen PRSP, yang mencakup anggota gugus tugas dan para technical assistant. Pendekatan kedua adalah memasukkan perspektif jender dan analisis jender ke dalam bahan atau rumusan gugus tugas untuk dokumen PRSP. Sebenarnya data Badan Pusat Statistik (BPS) seperti dipaparkan Kepala BPS Sudarti Surbakti cukup menjelaskan terjadinya perbedaan jender yang signifikan dalam bidang pendidikan, kesehatan, upah kerja di sektor formal, jam kerja yang sangat panjang di rumah dengan beban bergandaganda, lapangan kerja, dan lain-lain. Asep Suryahadi dari Lembaga Penelitian SMERU melihat tiga hipotesis utama penyebabnya, yakni pilihan yang bersifat endogen, dipengaruhi lingkungan, sehingga tidak nyaman bagi perempuan. Misalnya, pengambilan keputusan atau kontrol produksi didominasi laki-laki, demikian juga aset produksi. Istri membutuhkan izin suami bila ingin bekerja atau berusaha dan perempuan yang bekerja tetap bertanggung jawab penuh mengelola urusan rumah tangga. Penyebab lain adalah kualifikasi yang menyebabkan lebih rendahnya kemungkinan perempuan untuk memperoleh pekerjaan dan lebih rendahnya partisipasi perempuan untuk semua tingkat pendidikan di pasar kerja. Ini menyebabkan terjadinya diskriminasi struktural yang ditunjang oleh diskriminasi kebijakan pemerintah. Dr Aida Vitayala Hubeis dari Institut Pertanian Bogor menambahkan pentingnya data terpilah jender per sektor (formal dan nonformal) yang mendukung perlunya pengintegrasian jender. Dalam sektor pertanian misalnya, 60,7 persen penduduk Indonesia tinggal di desa (BPS, 2000) dan 48 persen mencari nafkah dari sektor pertanian dengan melibatkan sekitar 50 persen tenaga kerja dan 60 juta keluarga petani. Di antara mereka, 38,2 persen adalah perempuan dan 16 persen kepala rumah tangga adalah perempuan. Dari jumlah itu, sekitar 19,7 persennya bekerja di subsektor perkebunan, 10 persen di tanaman pangan, tujuh persen di peternakan, dan 5,7 persen di perikanan laut. Sekitar 29,3 perempuan kepala rumah tangga bekerja di hutan tanaman industri (HTI), 23,3 persen di perkebunan, 16,7 persen di HPH, di subsektor perikanan 11,7 persen, dan 10,4 persen di perusahaan satwa liar dan wisata alam (BPS, 2000). Fakta ini menunjukkan dengan jelas keterlibatan aktif perempuan dalam sektor pertanian, namun pembinaan kelompok tani masih berfokus pada bapak tani, dan kalaupun ada untuk ibu tani lebih pada kebutuhan praktis jender perempuan. Perempuan penyuluh juga masih sedikit, hanya lima persen. KETUA Badan Pengurus Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita (PPSW) Nani Zulminarni memaparkan kenyataan pahit yang ia temui di lapangan. Kelompok perempuan kepala rumah tangga di Kecamatan Mawasangka, Buton, yang dia temui pada tahun 2001 mengeluh, "Kami membutuhkan air bersih, tetapi musyawarah desa memutuskan membangun gedung balai desa. Waktu itu kami tidak bisa omong karena tidak diajak bicara dan juga kami tidak bisa tulis proposal yang baik. Sampai saat ini kami selalu sulit air, harus jalan jauh untuk mendapatkan air, anak-anak juga harus bantu ambil air."
52
Perempuan kepala rumah tangga di Kelubagolit, Flores Timur, NTT, memaparkan bagaimana mereka mengelola dana bantuan. "Sebagian kami kelola untuk modal simpan pinjam yang dapat digunakan semua anggota untuk menambah modalnya. Sebagian kami kelola untuk beasiswa anakanak sekolah, untuk makanan dan pengobatan janda tua yang hidup sendiri dan bikin tempat air untuk semua warga di sini." Perempuan kepala rumah tangga di Kecamatan Pacet, Cianjur, Jawa Barat, mengeluhkan dana bantuan yang potensial digerogoti laki-laki. Mereka mengulang yang mereka katakan waktu itu. "Kalau Bapak minta bagian dari dana ini, silakan tulis di buku dan tanda tangan untuk bukti pertanggungan jawab kami. Ini kan dana orang miskin, masak sih Bapak merasa berhak juga?" Nani menggarisbawahi pentingnya partisipasi perempuan dalam pengelolaan sumber daya dalam masyarakat. "Tidak perlu riset bertahun-tahun untuk mengetahui betapa rendahnya partisipasi perempuan dalam proses pengambilan keputusan di berbagai tingkatan," katanya. Namun, Sita Aripurnami dan Women’s Reserch Center mengingatkan, kata "partisipasi" yang sangat mudah dimanipulasi. Menurut Nani, asumsi dan mitos tentang ketidakmampuan dan tidak terlatihnya perempuan dalam pengambilan keputusan menyebabkan pengabaian terhadap keberadaan perempuan. Ini didukung oleh nilai sosial budaya yang membatasi ruang gerak perempuan, kesibukan, dan beban perempuan di dalam rumah tangga, serta berkembangnya elitisme di unit terkecil masyarakat yang mengatasnamakan suara masyarakat, sehingga suara dan keberadaan mayoritas perempuan miskin terabaikan. Nalini Visvanathan dan kawan-kawan dalam The Women, Gender and Development Reader (1997) mengingatkan, perempuan miskin dan dimiskinkan sangat potensial ditiadakan keberadaannya, dibuang, dan dijajah. Oleh karena itu, memasukkan perspektif serta analisis jender menjadi sangat penting tak hanya bagi pembebasan perempuan, tapi juga menghapuskan kategori-kategori patriarkhal yang reduksionis, yang menyebabkan malpraktik dalam pembangunan. Inilah sumber kekerasan bagi perempuan dan alam di seluruh dunia. Akan tetapi, kekerasan tak hanya disebabkan oleh penerapan berbagai kebijakan yang netral jender. Kekerasan terhadap perempuan berakar pada asumsi patriarkhal mengenai homogenitas, dominasi serta sentralisasi yang menjadi model dominan dan pemikiran dari strategi-strategi pembangunan. Visvanathan menegaskan, perubahan radikal dengan berfokuskan pada perspektif serta analisis jender adalah pengakuan bahwa malpraktik pembangunan merupakan kultur penghancuran. Perspektif dan analisis jender akan menjadi kategori yang memosisikan perempuan sebagai subyek aktif, yang bersama laki-laki, dalam posisi setara, mengelola dan menciptakan proses-proses dalam kehidupan. PADA tahun 2002, Komisi Penaggulangan Kemiskinan telah menyusun Interim Poverty Reduction Strategy Papers (IPRSP), melalui proses yang partisipatif, dengan melibatkan berbagai unsur dari pemerintah, dunia usaha, dan organisasi nonpemerintah. IPRSP menggambarkan langkah-langkah dan prinsip-prinisp yang akan dilakukan dalam penyusunan PRSP. Kantor Menko Kesra kemudian membentuk Tim Koordinasi Penyiapan, Perumusan, Penyusunan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan (TKP3KPK). IPRSP mengidentifikasi empat pilar kebijakan utama dalam penaggulangan kemiskinan, yakni penciptaan kesempatan kerja dan berusaha; pemberdayaan masyarakat; peningkatan kapasitas dan sumber daya manusia serta peningkatan upaya perlindungan sosial. Untuk itu dibentuk gugusgugus tugas yang melakukan pengkajian kondisi dan permasalahan kemiskinan, mengkaji ulang kebijakan dan program, merumuskan strategi, kebijakan dan program, serta mengembangkan sistem monitoring dan evaluasi.
53
Dalam diskusi regional mengenai IPRSP September 2003 di Siamreap, Kamboja, ada catatan khusus untuk tim Indonesia. Di antara yang terpenting adalah tidak adanya pemahaman dan persepsi yang sama tentang pengarusutamaan jender. Dalam lokakarya pengarusutamaan jender dalam PRSP di Jakarta pekan lalu, tampak bahwa beberapa anggota gugus tugas tidak memahami dengan baik apa yang dimaksudkan dengan "jender". Beberapa anggota membuat kotak-kotak yang tegas antara pengarusutamaan kemiskinan, pengarusutamaan tata pemerintahan yang baik dan pengarusutamaan jender. Bahkan, dengan gagah berani seorang anggota gugus tugas menyatakan bahwa jender adalah konsep Barat; dan ia mengukuhi pembagian kerja perempuan dan laki-laki. Kenyataan ini menyebabkan tanda tanya besar: siapa yang menentukan anggota gugus tugas dan kriteria seperti apa yang harus dipenuhi? Seperti dikemukakan Ani Sumantri dari Yayasan Limpad Semarang, yang mendesak dilakukan adalah membumikan pengarusutamaan jender supaya lebih mudah dipahami oleh anggota gugus tugas dan memasukkan para fasilitator yang memang sudah terlibat dalam berbagai pekerjaan yang berkaitan dengan posisi marjinal perempuan di lapangan ke dalam gugus tugas tersebut. Ani menegaskan, "Yang paling krusial dari perumusan kebijakan untuk penanggulangan kemiskinan adalah memasukkan jender sebagai roh, bukan secara tambal sulam seperti selama ini." (MH
54
Perbaikan Gizi, Prioritas pada Perempuan (Fokus: Busung Lapar – Kompas, Sabtu 23 Desember 2006) Untuk mengatasi masalah kurang gizi, gizi buruk dan busung lapar di Nusa Tenggara Timur (NTT), pemberdayaan perempuan harus menjadi prioritas. Selama ini aspek perempuan, anak, sosial budaya, pendidikan, serta upaya menghapus ketidakadilan jender masih sangat lemah. Belum ada upaya untuk mengkaji sistem budaya ke arah yang lebih adil bagi perempuan dan kaum miskin. Rendahnya akses atas pendidikan dan belum dijadikannya pendidikan sebagai salah satu dimensi penting untuk menangani krisis pangan dan gizi menyebabkan upaya mengatasi kurang gizi, gizi buruk dan busung lapar juga terkendala. Para peneliti dari Institute for Ecosoc Rights yang secara khusus melakukan kajian terhadap pola penyediaan makanan di NTT menemukan adat budaya di NTT sendiri menempatkan suami lebih penting daripada anak dan perempuan dalam penyediaan makanan. Akibatnya jumlah anak yang menderita kekurangan gizi semakin banyak. Perempuan jelas kurang mendapat tempat dalam hal makanan, padahal beban kerja perempuan lebih tinggi daripada laki – laki. “Hampir semua pekerjaan, baik pekerjaan rumah tangga maupun pekerjaan mencari nafkah, dilakukan oleh perempuan secara sendiri atau bersama dengan anggota keluarga lainnya”, ungkap Ketua Institute for Ecosoc Rights, Sri Palupi. Pada rumah tangga dengan gizi buruk, sebanyak 13,4% ibu lebih mengutamakan suami dalam penyediaan makanan dan 38,4% mengutamakan anak – anak. Selebihnya, rumah tangga yang diteliti mengaku tidak ada yang diprioritaskan. Meskipun hanya 13,4% yang mengatakan mengutamakan suami dalam penyediaan makanan dalam keluarga, sebanyak 41,1% rumah tangga dengan anak gizi buruk memisahkan makanan untuk suami dari makanan untuk anggota keluarga lainnya. “Pemisahan ini, tidak berarti bahwa makanan untuk suami selalu lebih baik dari makanan untuk anggota keluarga lainnya. Pemisahan dilakukan agar suami tidak makan sisa makanan anggota keluarga lainnya. Pemisahan ini mengindikasikan bahwa secara kuantitas, laki – laki lebih mendapat prioritas dalam hal makanan daripada perampuan”, ujar Sri Palupi. Ia menambahkan, Laki – laki akan selalu kebagian atau mendapat jatah makan setiap hari, sedangkan perempuan mendapatkan sisanya. Dalam kondisi seperti ini, rawan pangan akan terjadi dan anak – anak serta perempuan yang pertama akan menjadi korban. Dalam kondisi rawan pangan, perempuan yang sedang hamil cenderung rentan untuk tidak terpenuhi gizinya. Kondisi ini akan berdampak pada status gizi bayi yang dikandungnya. Anak akan mengalami masalah gizi sejak dalam kandungan, dan pada akhirnya akan terlahir dengan berat badan rendah serta gizi buruk. Sebagaimana perempuan daerah lain, mayoritas perempuan di NTT, mengerjakan seluruh pekerjaan rumah tangga. Padahal pada saat yang sama, perempuan juga mengerjakan pekerjaan produksi di kebun, sawah atau berdagang.
55
Beban kerja perempuan ini memang tidak berhubungan langsung dengan status gizi anak. Namun di NTT, yang akses terhadap pangan relatif rendah, tingginya beban kerja perempuan berdampak pada kondisi kesehatan perempuan, khususnya perempuan hamil dan melahirkan. ”Cukup banyak perempuan NTT yang menderita anemia di saat hamil. Kondisi ini juga ditemukan pada rumah tangga lainnya. Tingginya beban kerja dan rendahnya akses rumah tangga atas pangan dan gizi itu pula yang membuat angka kematian ibu melahirkan di NTT tergolong tinggi” ujar Sri Palupi (PEP/TAT).
56
Perkotaan
DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM Direktorat Jenderal Cipta Karya