46
REFORMA AGRARIA DAN PENINGKATAN KESEJAHTERAAN PETANI Kesejahteraan Petani Reforma agraria merupakan suatu alat untuk menyejahterakan rakyat. Akan tetapi, tidak serta merta begitu saja kesejahteraan meningkat setelah dibagikannya lahan. Perlu ada peningkatan kapasitas dari petaninya agar dapat memanfaatkan aset dan akses terhadap reforma agraria tersebut. Alfurqon (2009) menyatakan meningkatnya kapasitas petani sebagai komponen penting dalam produksi pertanian berpengaruh terhadap pemanfaatan sumber daya alam secara optimal. Kondisi ini akan mendorong peningkatan hasil produksi. Selanjutnya, keterampilan yang diperoleh dari pelatihan maupun penyuluhan akan dimanfaatkan untuk membuat suatu produk olahan yang lebih bernilai. Jika sasaran program dapat mendistribusikan (memasarkan) hasil produksi olahan tersebut dengan baik, maka ini akan berdampak pada kondisi perekonomian rumah tangganya. Indikator kesejahteraan petani dalam penelitian ini merujuk pada penelitian sebelumnya, yaitu terdiri dari peningkatan kepemilikan aset dan kemampuan menyekolahkan anak. 1. Tingkat Kepemilikan Aset Tingkat kepemilikan aset yaitu jumlah barang berharga yang dimiliki responden sebelum dan sesudah diadakannya reforma agraria. Terdiri dari luas kepemilikan lahan, kondisi tempat tinggal, kepemilikan kendaraan bermotor, kepemilikan barang elektronik, kepemilikan hewan ternak, kepemilikan tabungan, dan investasi berupa emas. Tabel 17 Jumlah dan persentase responden berdasarkan luas kepemilikan lahan sebelum dan sesudah reforma agraria di Desa Sipak tahun 2012 Luas kepemilikan lahan Rendah Sedang Tinggi Total
Sebelum reforma agraria Persentase Jumlah (n) (%) 20 62.5 4 12.5 8 25.0 100.0 32
Sesudah reforma agraria Persentase Jumlah (n) (%) 5 15.6 8 25.0 19 59.4 32 100.0
Kategori rendah dalam penelitian ini yaitu petani yang sebelum dan sesudah reforma agraria memiliki luas lahan 0 m 2 (tunakisma) hingga memiliki lahan 500 m2. Kategori sedang yaitu petani yang memiliki luas lahan lebih dari 500 m 2 hingga 1 000 m2. Kategori tinggi yaitu petani yang memiliki luas lahan lebih dari 1 000 m2. Tabel 14 menunjukkan jumlah petani yang berada pada kategori rendah sebelum dilaksanakannya program sebanyak 62.5% kemudian berkurang setelah diadakannya program menjadi 15.6%. Petani yang berada pada kategori sedang
47
sebelum diadakannya program sebanyak 12.5% dan meningkat setelah diadakannya program menjadi 25%, sedangkan petani yang berada pada kategori tinggi sebelum diadakannya program sebanyak 25% dan meningkat menjadi 59.4% setelah diadakannya program. Petani yang telah memilki lahan dari sebelum dilaksanakan program mengaku mendapatkan lahan dari pemberian orang tua dan telah menggarapnya sebagai hak milik, sedangkan petani yang belum memiliki lahan sama sekali hanya bergantung pada lahan orang dengan menjadi buruh tani. Melihat tabel di atas, dapat dikatakan bahwa pelaksanaan program reforma agraria telah cukup berhasil mengatasi ketimpangan kepemilikan lahan dan mengurangi tunakisma. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Bapak SW (50 tahun): “Perasaan Bapak gembira diberi tanah sama pemerintah, soalnya dulu Bapak sama sekali ngga punya tanah. Ngga pernah mimpi bakalan dikasih tanah walaupun cuma 125 meter (persegi) aja. Yah Alhamdulillah atuh lah neng, buat nyambung hidup” (SW, 50 tahun). Pernyataan serupa juga diungkapkan oleh ibu ER (45 tahun) dan beberapa responden lainnya yang mengaku senang menerima tanah redistribusi meskipun sebelumnya telah memiliki tanah dari orang tuanya. Beliau mengatakan penghasilan dari tanahnya itu sangat membantu perekonomian keluarganya. Tabel 18 Jumlah dan persentase responden berdasarkan kondisi tempat tinggal sebelum dan sesudah reforma agraria di Desa Sipak tahun 2012 Kondisi tempat tinggal Rendah Sedang Tinggi Total
Sebelum reforma agraria Persentase Jumlah (n) (%) 10 31.2 15 46.9 7 21.9 100.0 32
Sesudah reforma agraria Persentase Jumlah (n) (%) 5 15.6 14 43.8 13 40.6 32 100.0
Kategori rendah dalam penelitian ini yaitu petani yang sebelum dan sesudah reforma agraria memiliki tempat tinggal gubuk. Kategori sedang yaitu petani yang memiliki tempat tinggal semi permanen (atap seng, dinding triplek, lantai semen atau tanah). Kategori tinggi yaitu petani yang memiliki tempat tinggal permanen (atap genteng, dinding tembok, lantai berkeramik). Tabel 15 menunjukkan jumlah petani yang berada pada kategori rendah sebelum dilaksanakannya program sebanyak 31.2% kemudian menurun setelah diadakannya program menjadi 15.6%. Petani yang berada pada kategori sedang sebelum diadakannya program sebanyak 43.8% dan menurun setelah diadakannya program menjadi 25%, sedangkan petani yang berada pada kategori tinggi sebelum diadakannya program sebanyak 21.9% dan meningkat menjadi 40.6% setelah diadakannya program. Sebagian besar responden mengaku merasa terbantu dengan adanya program ini. Mereka dapat mengumpulkan uang sedikit
48
demi sedikit untuk memperbaiki rumah mereka. Hal ini seperti yang diutarakan oleh Bapak NN (46 tahun): “Adanya tanah ini bisa dibilang cukup membantu perekonomian rumah tangga Bapak. Kan Bapak udah pernah nebang dua kali, uangnya dikumpulin sedikitsedikit buat benerin rumah, makanya sekarang rumahnya mah bisa dibilang udah enak gitu, nggak kayak dulu” (NN, 46 tahun). Bapak NN ini memiliki kondisi rumah yang sudah permanen dua lantai dengan atap genteng, dinding tembok, dan lantai keramik. Beliau mengaku dulunya rumah beliau belum seperti sekarang ini. Adanya tanah yang dibagikan membuat Bapak NN bisa mengumpulkan uang untuk memperbaiki rumah secara bertahap. Awalnya dari dinding, kemudian lantai, hingga akhirnya memiliki dua lantai. Hal serupa juga dituturkan oleh Ibu AS (70 tahun). Meskipun tempat tinggal beliau masih dalam kondisi semi-permanen, beliau mengaku uang hasil menjual kayu dari kebunnya dapat membantu untuk memperbaiki rumah beliau sedikit demi sedikit, dari yang tadinya gubuk menjadi seperti sekarang ini. Tidak selamanya program reforma agraria ini memberikan pengaruh pada kondisi tempat tinggal penerimanya. Kenyataannya tetap ada saja yang kondisi rumahnya masih memprihatinkan, hanya bilik bambu seadanya. Kondisi seperti ini yang dialami oleh Bapak SW (50 tahun) salah satunya. Bapak SW menyatakan bahwa dirinya hingga kini masih menggarap tanah tersebut tapi belum menikmati hasil apa-apa dari tanah tersebut. Menurutnya, jangankan untuk memperbaiki rumah, untuk makan saja masih susah. Tabel 19 Jumlah dan persentase responden berdasarkan kepemilikan kendaraan bermotor sebelum dan sesudah reforma agraria di Desa Sipak tahun 2012 Kepemilikan kendaraan bermotor Rendah Sedang Tinggi Total
Sebelum reforma agraria Persentase Jumlah (n) (%) 24 75.0 7 21.9 1 3.1 32 100.0
Sesudah reforma agraria Persentase Jumlah (n) (%) 19 59.4 10 31.2 3 9.4 32 100.0
Kategori rendah dalam penelitian ini yaitu petani yang sebelum dan sesudah reforma agraria tidak memiliki kendaraan bermotor sama sekali. Kategori sedang yaitu petani yang memiliki satu buah kendaraan bermotor. Kategori tinggi yaitu petani yang memiliki lebih dari satu buah kendaraan bermotor. Tabel 19 menunjukkan bahwa sebesar 75% petani berada pada kategori rendah sebelum reforma agraria dan menurun menjadi 59.4% setelah reforma agraria. Dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan pada kategori sedang dan tinggi dari sebelum diadakannya program dan setelah diadakannya program. Seorang responden bernama Ibu ER (45 tahun) mengaku bahwa keluarganya sebelum mendapat
49
tanah redistribusi hanya memiliki satu buah kendaraan bermotor dan kini telah memiliki sembilan kendaraan bermotor, terdiri dari enam buah sepeda motor dan tiga buah mobil. Beliau mengaku kendaraan tersebut digunakan untuk usaha rental sepeda motor maupun mobil. Tabel 19 secara langsung juga menyiratkan jumlah pemilik kendaraan bermotor terbilang lebih sedikit daripada yang tidak memiliki kendaraan. Ini karena mereka menganggap benda tersebut bukanlah sesuatu yang penting. Mereka beranggapan kalau kaki mereka masih mampu untuk berjalan ke lahan garapan mereka jadi tidak perlu motor. Alasan lainnya mengapa mereka tidak memiliki kendaraan adalah karena tidak mampu membeli. “Boro-boro untuk beli kendaraan, untuk makan aja pas-pasan,” kata salah seorang responden. Kepemilikan aset selanjutnya dilihat dari kepemilikan barang elektronik sebelum dan sesudah diadakannya reforma agraria. Kategori rendah untuk kepemilikan barang elektronik yaitu untuk petani yang hanya memiliki 0-3 jenis barang elektronik di rumahnya, sedang untuk petani yang memiliki 4-6 jenis barang elektronik, dan tinggi untuk petani yang memiliki lebih dari enam jenis barang elektronik. Tabel 20 Jumlah dan persentase responden berdasarkan kepemilikan barang elektronik sebelum dan sesudah reforma agraria di Desa Sipak tahun 2012 Kepemilikan barang elektronik Rendah Sedang Tinggi Total
Sebelum reforma agraria Persentase Jumlah (n) (%) 29 90.6 1 3.1 2 6.3 32 100.0
Sesudah reforma agraria Persentase Jumlah (n) (%) 11 34.4 14 43.7 7 21.9 32 100.0
Tabel 20 menunjukkan terjadi peningkatan pada kepemilikan barang elektronik. Sebesar 90.6% petani yang berada pada kategori rendah sebelum program menurun menjadi hanya 34.4% setelah program, dan paling banyak berada pada kategori sedang yaitu 43.7%. Ukuran kepemilikan aset lainnya dilihat dari kepemilikan terhadap hewan ternak, ada atau tidaknya uang tabungan, dan ada atau tidaknya investasi berupa emas. Dalam hal kepemilikan ketiga aset ini tidak terlihat perbedaan yang signifikan antara sebelum dan sesudah program. Informasi mengenai ketiga aset tersebut disajikan dalam Tabel 21.
50
Tabel 21 Jumlah dan persentase responden berdasarkan kepemilikan hewan ternak, tabungan, dan emas sebelum dan sesudah reforma agraria di Desa Sipak tahun 2012
Kepemilikan aset 1. Hewan ternak a. Rendah b. Tinggi 2. Tabungan a. Rendah b. Tinggi 3. Emas a. Rendah b. Tinggi
Sebelum reforma agraria Persentase Jumlah (n) (%)
Sesudah reforma agraria Persentase Jumlah (n) (%)
21 11
65.6 34.4
21 11
65.6 34.4
29 3
90.6 9.4
26 6
81.2 18.8
25 7
78.1 21.9
22 10
68.8 31.2
Tabel 21 menunjukkan bahwa sebelum adanya program reforma agraria jumlah petani yang memiliki tidak memiliki investasi berupa hewan ternak sebanyak 65.6% dan hanya 34.4% yang memiliki. Sesudah dilaksanakan reforma agraria, angka tersebut tetap tidak berubah. Jumlah petani yang memiliki tabungan hanya sebesar 9.4%, sisanya sebanyak 90.6% tidak memiliki tabungan sebelum diadakan reforma agraria. Angka ini sedikit berubah setelah diadakan reforma agraria, menjadi 18.8% memiliki tabungan dan 81.2% tidak memiliki tabungan. Jumlah petani yang berinvestasi emas sebelum reforma agraria sebanyak 21.9% dan meningkat setelah reforma agraria menjadi 31.2%. Tinggi rendahnya tingkat kepemilikan aset para petani penerima program reforma agraria dilihat dari hasil perhitungan skor dari kepemilikan luas lahan yang dimiliki, kondisi tempat tinggal, kepemilikan kendaraan bermotor, barang elektronik, hewan ternak, tabungan, dan investasi berupa emas. Hasil perhitungan skor tersebut digolongkan menjadi rendah dan tinggi. Rendah apabila selang skor antara 7-12 dan tinggi apabila selang skor antara 13-18. Hasil perhitungan skor tersebut disajikan dalam tabel 22. Tabel 22 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat kepemilikan aset di Desa Sipak tahun 2012 Tingkat kepemilikan aset Rendah Tinggi Total
Sebelum reforma agraria Persentase Jumlah (n) (%) 28 4 32
87.5 12.5 100.0
Sesudah reforma agraria Persentase Jumlah (n) (%) 19 13 32
59.4 40.6 100.0
Tabel 22 menunjukkan terdapat perbedaan antara sebelum pelaksanaan program reforma agraria dengan sesudah pelaksanaan program reforma agraria. Terlihat dalam Tabel 22 bahwa tingkat kepemilikan aset para petani meningkat
51
sesudah dilaksanakannya program. Meskipun demikian, tidak sedikit responden yang mengaku bahwa kepemilikan aset mereka bertambah bukan dari hasil mengolah tanah redistribusi mereka, tetapi dari hasil pekerjaan lainnya, seperti berdagang, supir, buruh bangunan dan proyek, dan lainnya. Mereka yang mengaku demikian mengatakan bahwa kebun mereka yang berasal dari pemerintah belum menghasilkan apa-apa. Ini karena jenis tanaman yang ditanam merupakan tanaman kayu yang hanya bisa dipanen jika sudah berumur 5 tahun atau lebih. Program reforma agraria ini berlangsung tahun 2007 dan pada saat penelitian berlangsung tahun 2012 banyak tanaman yang belum dipanen atau baru satu kali memanen. Jenis tanaman lain seperti pisang dan singkong hanya sebagai sampingan saja, jika dijual pun tidak memberikan pengaruh yang berarti. 2. Kemampuan Menyekolahkan Anak Kemampuan menyekolahkan anak yaitu yaitu lama jenjang pendidikan yang mampu ditempuh oleh anak-anak petani dengan biaya dari sebelum program reforma agraria dan sesudah program reforma agraria. Kemampuan menyekolahkan anak dikategorikan menjadi rendah apabila SD/sederajat sampai SMP dan tinggi apabila SMA/sederajat sampai perguruan tinggi. Tabel 23 menunjukkan jumlah dan perentase responden berdasarkan tingkat kemampuan menyekolahkan anak. Tabel 23
Jumlah dan persentase responden berdasarkan menyekolahkan anak di Desa Sipak tahun 2012
Kemampuan menyekolahkan anak Rendah Tinggi Total
Sebelum reforma agraria Persentase Jumlah (n) (%) 24 8 32
75 25 100
kemampuan
Sesudah reforma agraria Persentase Jumlah (n) (%) 13 19 32
40.6 59.4 100.0
Sama halnya dengan tingkat kepemilikan aset, tingkat kemampuan menyekolahkan anak juga mengalami peningkatan dari sebelum dan sesudah pelaksanaan reforma agraria. Tabel 23 memperlihatkan sebanyak 75% responden yang memiliki kemampuan menyekolahkan anak kategori rendah sebelum reforma agraria berkurang menjadi 40.6% sesudah reforma agraria. Beberapa responden mengaku kehidupan mereka dulu bisa dikatakan sangat sulit. Pendidikan menjadi salah satu yang terpaksa harus dikorbankan demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Sekitar 50% responden mengatakan bahwa mereka tidak mampu menyekolahkan anak-anak mereka sampai ke sekolah menengah. “Sudah lulus SD saja itu sudah Alhamdulillah,” begitu kata salah satu responden. Lebih miris lagi mereka lebih rela mengorbankan anak perempuan mereka untuk berhenti sekolah daripada anak laki-lakinya. Oleh sebab itu, banyak perempuan di Desa Sipak yang sudah menikah meskipun usianya masih tergolong sangat muda. Peningkatan kemampuan menyekolahkan anak bukan karena seluruh biaya untuk menyekolahkan anak yang berhasil ditutupi dari hasil mengolah tanah redistribusi, tetapi dari hasil pekerjaan lain yang dilakukan responden. Selain itu
52
juga karena kesadaran mereka akan pentingnya pendidikan sudah mulai meningkat dibandingkan sebelumnya. Seorang responden bernama UJ (42 tahun) bercita-cita menyekolahkan anak-anaknya hingga ke perguruan tinggi, bagaimanapun kondisi keuangannya nanti Bapak UJ akan selalu berusaha demi menyekolahkan anak-anaknya. 3. Peningkatan Kesejahteraan Peningkatan kesejahteraan dalam penelitian ini diukur dari jumlah skor tingkat kepemilikan aset dan tingkat kemampuan menyekolahkan anak sebelum dan sesudah reforma agraria. Hasil perhitungan tersebut dikategorikan menjadi rendah dan tinggi. Jumlah dan persentase responden berdasarkan peningkatan kesejahteraan sebelum dan sesudah reforma agraria ditunjukkan pada Tabel 24. Tabel 24
Jumlah dan persentase responden berdasarkan peningkatan kesejahteraan sebelum dan sesudah reforma agraria di Desa Sipak tahun 2012
Peningkatan kesejahteraan Rendah Tinggi Total
Sebelum reforma agraria Persentase Jumlah (n) (%) 28 4 32
87.5 12.5 100
Sesudah reforma agraria Persentase Jumlah (n) (%) 20 12 32
62.5 37.5 100.0
Tabel 24 menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan kesejahteraan responden sebelum dan sesudah reforma agraria meskipun tidak terlalu signifikan. Jumlah responden yang meningkat kesejahteraannya hanya sebesar 37.5%, meningkat dari sebelumnya yang hanya 12.5%. Data tersebut didukung oleh pernyataan kepala Desa Sipak yang mengatakan hal sebagai berikut. “Alhamdulillah, terjadi peningkatan kesejahteraan warga di sini karena sekarang untuk bertanam di situ (tanah redistribusi) jadi ngga setengah-setengah karena udah mutlak punya dia.” Peningkatan kesejahteraan yang terjadi bisa dikatakan tidak terlalu signifikan. Hal ini karena kebun mereka belum menghasilkan apa-apa, paling hanya singkong, pisang, petani, dan jengkol, yang tidak terlalu berpengaruh terhadap perekonomian mereka. Peningkatan aset dan kemampuan menyekolahkan anak diperoleh dari hasil lain, seperti berdagang dan menjadi buruh proyek dan bangunan. Mereka mengatakan uang yang diperoleh dari hasil menjadi buruh lebih besar daripada bertanam, tetapi pekerjaannya juga lebih berat dan mereka harus tinggal jauh dari keluarga dan baru pulang satu minggu sekali setiap hari jumat setelah bekerja setengah hari.
53
Pelaksanaan Reforma Agraria dan Hubungannya dengan Peningkatan Kesejahteraan Petani Reforma agraria pada hakikatnya bertujuan untuk menyejahterakan petani kecil. Bachriadi (2007) mengungkapkan bahwa penataan ulang struktur penguasaan tanah (land reform) bukan saja akan memberikan kesempatan kepada sebagian besar penduduk yang masih menggantungkan hidupnya pada kegiatan pertanian untuk meningkatkan taraf kehidupannya. Lebih dari itu, land reform bukan hanya akan menjadi suatu dasar yang kokoh dan stabil bagi pembangunan ekonomi dan sosial, melainkan juga menjadi dasar bagi pengembangan kehidupan masyarakat yang demokratis. Program ini akan membuka kesempatan untuk terjadinya proses pembentukan modal (capital formation) di perdesaan yang akan menjadi dasar bagi proses industrialisasi yang kokoh. Selain itu, ia juga akan memberikan sejumput kekuasaan pada kelompok-kelompok petani miskin di pedesaan di dalam ikatan-ikatan sosial pada masyarakatnya. Penelitian yang dilakukan di Desa Sipak ini mencoba mencari tahu hubungan atara pelaksanaan reforma agraria dengan peningkatan kesejahteraan petani. Dengan menggunakan teknik tabulasi silang, diperoleh informasi mengenai hubungan pelaksanaan reforma agraria dengan peningkatan kesejahteraan petani. 1. Hubungan Reforma Agraria dengan Tingkat Kepemilikan Aset Informasi mengenai hubungan pelaksanaan reforma agraria dengan tingkat kepemilikan aset disajikan dalam Tabel 25. Tabel 25 Jumlah dan persentase responden menurut hubungannya antara pelaksanaan reforma agraria dengan tingkat kepemilikan aset di Desa Sipak tahun 2012 Tingkat kepemilikan aset Rendah Tinggi Total
Pelaksanaan reforma agraria Rendah Tinggi Jumlah (n) Persen (%) Jumlah (n) Persen (%) 10 66.7 9 52.9 5 33.3 8 47.1 15 100.0 17 100.0
Tabel 25 memperlihatkan jumlah petani yang mendapatkan reforma agraria tinggi sebesar 47.1% mengalami peningkatan aset, sedangkan jumlah petani yang mendapatkan reforma agraria tinggi tetapi tidak mengalami peningkatan aset sebesar 52.9%. Analisis korelasi Rank Spearman digunakan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara reforma agraria dengan peningkatan kapasitas petani. Berdasarkan uji korelasi Rank Spearman, didapatkan nilai koefisien korelasi sebesar 0.139 lebih kecil dari nilai koefisien korelasi pada tabel r (0.3494) dan nilai signifikansi sebesar 0.447 lebih besar dari nilai kritis (0.05). Angka-angka mengindikasikan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pelaksanaan reforma agraria dengan tingkat kepemilikan aset.
54
Tidak adanya hubungan yang signifikan tersebut karena aset yang dimiliki oleh warga tidak sepenuhnya berasal dari hasil pengolahan tanahnya. Ini karena waktu tanam yang baru 5 tahun sehingga belum ada pencapaian yang signifikan, sedangkan tanaman hortikultura semacam singkong tidak memberikan arti pada peningkatan kesejahteraan warga. 2. Hubungan Pelaksanaan Reforma Agraria dengan Kemampuan Menyekolahkan Anak Kemampuan menyekolahkan anak merupakan salah satu indikator dari kesejahteraan petani yang digunakan peneliti dalam penelitian ini. Pada Tabel 23, terlihat kemampuan petani dalam menyekolahkan anaknya meningkat pada saat sesudah dilaksanakan reforma agraria. Menurut warga, secara tidak langsung tanah redistribusi yang dimiliki membuatnya lebih mampu menyekolahkan anakanaknya. Oleh karena tanaman yang ditanam di kebun mereka merupakan tanaman tahunan, maka ketika panen hasilnya penjualannya bisa digunakan untuk menyekolahkan anak-anak mereka, berbeda dengan sebelum memiliki lahan redistribusi. Akan tetapi, tidak semua warga yang kemampuan menyekolahkan anaknya meningkat disebabkan oleh hasil mengolah tanah redistribusi. Alasannya adalah karena sudah adanya Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang membebaskan biaya pendidikan. Selain itu, warga yang tidak bergantung pada hasil panen membiayai sekolah anak-anaknya dengan melakukan pekerjaan lainnya. Tabel 26 Jumlah dan persentase responden menurut hubungannya antara pelaksanaan reforma agraria dengan tingkat kemampuan menyekolahkan anak Tingkat kemampuan menyekolahkan anak Rendah Tinggi Total
Pelaksanaan reforma agraria Rendah Tinggi Persen (%) Jumlah Persen (%) Jumlah (n) (n) 5 33.3 8 47.1 10 66.7 9 52.9 15 100.0 17 100.0
Tabel 26 memperlihatkan 52.9% yang termasuk mendapat reforma agraria tinggi memiliki kemampuan yang tinggi untuk menyekolahkan anaknya, sedangkan yang mendapat reforma agraria rendah tetapi memiliki kemampuan menyekolahkan anak tinggi justru lebih banyak, yakni sekitar 66.7%. Angkaangka ini mengindikasikan bahwa antara pelaksanaan reforma agraria dengan kemampuan menyekolahkan anak tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan alasan yang telah dibahas sebelumnya. Hasil uji korelasi Rank Spearman diperoleh nilai koefisien korelasi sebesar (-0.139) dan nilai signifikansi sebesar 0.447. Hasil ini jelas menunjukkan bahwa hipotesis penelitian yang berbunyi “diduga pelaksanaan reforma agraria berhubungan dengan tingkat kemampuan menyekolahkan anak” ditolak.
55
3. Hubungan Pelaksanaan Kesejahteraan Petani
Reforma
Agraria
dengan
Peningkatan
Tabel 25 dan 26 masing-masing memperlihatkan hubungan antara pelaksanaan reforma agraria dengan tingkat kepemilikan aset dan kemampuan menyekolahkan anak. Dari kedua tabel tersebut memperlihatkan tidak terdapat hubungan yang signifikan dengan pelaksanaan reforma agraria. Apabila secara keseluruhan kedua variabel tersebut dianalisis, maka didapat hasil seperti pada Tabel 27. Tabel 27 Jumlah dan persentase responden menurut hubungannya antara pelaksanaan reforma agraria dengan peningkatan kesejahteraan
Tingkat kesejahteraan Rendah Tinggi Total
Pelaksanaan reforma agraria Rendah Tinggi Persen (%) Jumlah Persen (%) Jumlah (n) (n) 10 66.7 10 58.8 5 33.3 7 41.2 15 100.0 17 100.0
Tabel 27 menunjukkan bahwa 41.2% petani yang termasuk dalam kategori pelaksanaan reforma agraria tinggi mengalami peningkatan kesejahteraan, sedangkan 58.8% sisanya tidak mengalami peningkatan kesejahteraan. Uji korelasi Rank Spearman dengan nilai kepercayaan 0.05 (α = 5%) juga dilakukan untuk menguji apakah ada hubungan antara pelaksanaan reforma agraria dengan peningkatan kesejahteraan petani. Hasil uji korelasi Rank Spearman menunjukkan nilai koefisien korelasi sebesar 0.081 lebih kecil dari nilai koefisien korelasi pada tabel r (0,3494) dan nilai signifikasni sebesar 0.660 lebih besar dari nilai kritis (0.05). Jadi, ini berarti hipotesis yang berbunyi “diduga pelaksanaan reforma agraria berhubungan dengan tingkat kesejahteraan petani” dinyatakan ditolak. Artinya, tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pelaksanaan reforma agraria dengan peningkatan kapasitas petani. Hipotesis penelitian ini ditolak karena peningkatan kesejahteraan yang dialami oleh warga di Desa Sipak, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, tidak sepenuhnya berasal dari hasil implementasi reforma agraria. Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan responden, warga Desa Sipak banyak yang melakukan pekerjaan lain selain bertanam saja. Pekerjaan tersebut di antaranya berdagang dan buruh proyek. Faktor lain yang menyebabkan reforma agraria ini tidak berhubungan dengan peningkatan kesejahteraan secara signifikan karena tidak terdapat pola pembentukkan dan ekstraksi surplus desa seperti di Desa Dangiang dan Sukatani, Garut (Yusuf et al. 2010). Menurut Yusuf et al. (2010), proses pembentukkan modal dapat dipandang sebagai seperangkat proses penciptaan, penguasaan, dan penempatan atau penanaman surplus yang secara bersama-sama menghasilkan pola-pola khusus pemilikan, penguasaan, penumpukan (akumulasi), dan penggunaan modal dalam masyarakat. Hal tersebut dapat terjadi melalui sebuah
56
mekanisme sistem perbankan dan perkreditan. Melalui mekanisme inilah surplus yang diciptakan oleh seseorang atau suatu kelompok, atau badan usaha, dapat beralih menjadi modal bagi orang lain, kelompok lain, atau badan lain, baik dalam sektor dan lokasi yang sama maupun berbeda. Mekanisme ini dapat dikatakan sebagai mekanisme mobilitas modal. Mekanisme semacam ini belum tercipta di Desa Sipak karena tidak adanya sumber perkreditan sebagai dukungan permodalan warga Sipak.