1
PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP GERAKAN PETANI PEDESAAN (Analisa Karakter Forum Paguyuban Petani Jasinga Pasca PPAN)
SARI LESTARI
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
2
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
3
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul adalah PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP GERAKAN PETANI PEDESAAN (Analisa Karakter Forum Paguyuban Petani Jasinga Pasca PPAN) benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2014
Sari Lestari NIM I34100103
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
4
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
5
ABSTRAK SARI LESTARI. Perubahan Struktur Agraria dan Implikasinya terhadap Gerakan Petani Pedesaan (Analisa Karakter Forum Paguyuban Petani Jasinga Pasca PPAN). Dibimbing oleh HERU PURWANDARI
Masyarakat Desa Curug dan Desa Tegal Wangi mengalami kerugian pasca hilangnya lahan garapan. Kerugian yang dialami berupa pengurangan luas penguasaan lahan dan perubahan tingkat pendapatan. Respon yang dilakukan oleh masyarakat di dua desa tersebut adalah dengan membentuk organisasi Forum Paguyuban Petani Jasinga. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis perubahan struktur agraria dan pengaruhnya terhadap karakter gerakan petani. Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat pengaruh antara perubahan status sosial ekonomi terhadap dimensi gerakan petani. Di sisi lain, dimensi gerakan petani memberikan pengaruh terhadap karakter gerakan petani. Kata kunci : perubahan struktur agraria, gerakan petani, paguyuban petani SARI LESTARI. Agrarian Structure Change and Implicatoin for Rural Peasant Movement (Analyze of Forum Paguyuban Petani Jasinga’s Character after PPAN). Supervised by HERU PURWANDARI Curug and Tegal Wangi community are facing the problem related to the land occupation. Two aspects which changed after the decrease of land occupation are the decrease of land tenure and income level. The emerging of Forum Paguyuban Petani Jasinga is a part of their strategy to over come the problem above. This study aims to analyze the influence of agrarian structure change to the character of organization. Result of this study shows there is no influence of change of social economic status to dimensions movement of farmers. On the other side, the dimensions of movement of farmers had influence in the character of movement farmers. Keywords:agrarian structure change, peasant movemet, paguyuban petani
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
6
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
7
PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP GERAKAN PETANI PEDESAAN (Analisa Karakter Forum Paguyuban Petani Jasinga Pasca PPAN)
SARI LESTARI
Skripsi sebagai salah satu untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
8
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
9
Judul Skripsi
Nama NIM
: Perubahan Struktur Agraria dan Implikasinya terhadap Gerakan Petani Pedesaan (Analisa Karakter Forum Paguyuban Petani Jasinga Pasca PPAN) : Sari Lestari :I34100103
Disetujui oleh
Heru Purwandari, SP, M.Si Pembimbing
Dr Ir Siti Amanah M.Sc Ketua Departemen
Tanggal Lulus: _______________
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
10
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
11
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan anugerah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Perubahan Struktur Agraria dan Implikasinya terhadap Gerakan Petani Pedesaan (Analisa Karakter Forum Paguyuban Petani Jasinga Pasca PPAN)”dengan baik. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Ibu Heru Purwandari, SP, MSi. sebagai pembimbing yang telah memberikan saran dan masukan selama proses penulisan skripsi ini. Penulis juga menyampaikan hormat dan terima kasih kepada orang tua tersayang dan seluruh keluarga besar yang telah memberikan dukungan, bantuan, dan doa bagi kelancaran penulisan laporam proposal skripsi ini. Penulis juga sampaikan terima kasih kepada seluruh responden dan ketua Forum Paguyuban Petani Jasinga yang sudah banyak membantu ketika proses pengambilan data dilakukan. Terima kasih juga untuk Salis Rizka Agung Putri dan Tuti Artianingsih, teman satu bimbingan yang selalu memberkan semangat dan masukan. Juga untuk Anjas R. Pallawa serta SKPM angkatan 47 yang sudah membantu, memberi semangat, dan memotivasi penulis dalam penulisan dan penyelesaian skripsi ini. Penulis mengetahui bahwa skripsi ini belum sempurna, sehingga kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan. Semoga hasil penelitian ini nantinya dapat bermanfaat bagi banyak pihak. Bogor, Juni 2014
Sari Lestari
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
1
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
2
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Penelitian Tujuan Penelitian Kegunaan Penelitian
i ii iii iv 1 3 4 4
PENDEKATAN TEORITIS Tinjauan Pustaka Struktur Agraria Faktor-Faktor Penyebab Perubahan Struktur Agraria Status Sosial Ekonomi Gerakan Petani Faktor Penyebab Gerakan Petani Dimensi Gerakan Petani Sifat dan Bentuk Gerakan Petani Karakter Gerakan Petani Kepemimpinan Kegiatan Organisasi Kolektifitas Aksi Jaringan Kerangka Pemikiran Hipotesis Penelitian Definisi Operasional
5 5 5 7 8 9 9 10 11 13 13 14 14 15 17 18 18
PENDEKATAN LAPANG Metode Penelitian Lokasi dan Waktu Penelitian Teknik Penentuan Informan dan Responden Teknik Pengumpulan Data Teknik Pengolahan dan Analisis Data
21 21 21 22 22 23
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Profil Forum Paguyuban Petani Jasinga Desa Cakupan Organisasi Desa Curug Desa Tegal Wangi
25 25 27 27 31
PERUBAHAN STATUS SOSIAL EKONOMI PASCA PERPANJANGAN HGU Perubahan Struktur Agraria Lokal Perubahan Luas Penguasaan Lahan Perubahan Tingkat Pendapatan Pengalaman Berkelompok Ikhtisar
35 35 37 39 40 42
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
3
DIMENSI GERAKAN PETANI: TITIK AWAL PERJUANGAN Status Sosial Tingkat Kesadaran Tingkat Kolektifitas Tingkat Orientasi Instrumental Tingkat Terpenuhinya Dimensi Gerakan Petani Pengaruh Perubahan Status Sosial Ekonomi terhadap Tingkat Terpenuhinya Dimensi Gerakan Petani Ikhtisar
43 43 44 46 47 50 51
KARAKTER GERAKAN PETANI Efektivitas Kepemimpinan Intensitas kegiatan Organisasi Tingkat Kolektifitas Aksi Luas Jaringan Organisasi Pengaruh Tingkat Terpenuhinya Dimensi Gerakan Petani terhadap Karakter Gerakan Petani Ikhtisar
57 57 58 60 61 62
PENUTUP Simpulan Saran
69 69 69
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
71 73
55
68
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
4
DAFTAR TABEL 1
28
6 7 8
Jumlah orang dan persentase angkatan kerja di Desa Curug tahun 2010 Jumlah orang dan persentase berdasarkan tingkat pendidikan di Desa Curug tahun 2010 Jumlah orang berdasarkan jenis pekerjaan di Desa Curug Tahun 2010 Jumlah orang dan persentase luas kepemilikan lahan di Desa Curug Tahun 2010 Jumlah orang berdasarkan kelompok umur di Desa Tegal Wangi tahun 2011 sampai 2015 Kronologi perubahan struktur agraria lokal Persentase responden berdasarkan luas penguasaan lahan Persentase responden berdasarkan tingkat pendapatan
9
Jumlah
dan persentase responden berdasarkan pengalaman berkelompok Jumlah dan persentase responden berdasarkan status sosial Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat kesadaran Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat kolektifitas Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat orientasi instrumental Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat terpenuhinya dimensi gerakan petani Hasil uji pengaruh variabel perubahan status sosial ekonomi terhadap tingkat terpenuhinya dimensi gerakan petani Jumlah dan persentase responden menurut perubahan status sosial ekonomi dan tingkat terpenuhinya dimensi gerakan petani Jumlah dan persentase responden berdasarkan efektivitas kepemimpinan Jumlah dan persentase responden berdasarkan intensitas kegiatan Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat kolektifitas aksi Jumlah dan persentase responden berdasarkan luas jaringan organisasi Hasil uji pengaruh tingkat terpenuhinya dimensi gerakan petani terhadap karakter gerakan Organisasi Forum Paguyuban Petani Jasinga Persentase responden di Desa Curug dan Desa Tegal Wangi berdasarkan variabel-variabel karakter gerakan petani Jumlah dan persentase responden menurut tingkat terpenuhinya dimensi gerakan petani terhadap karakter gerakan petani
41
2 3 4 5
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
22 23
28 29 30 32 35 37 39
43 45 46 47 50 51 53 57 59 60 62 63
64 66
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
5
DAFTAR GAMBAR 1
Kerangka pemikiran
17
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3
4
Peta lokasi penelitian Jadwal kegiatan penelitian Responden penelitian Hasil uji statistik
74 74 75 77
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
6
PENDAHULUAN
Latar Belakang Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 mendefinisikan agraria sebagai seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Sumberdaya alam hakikatnya digunakan untuk kemakmuran rakyat sama seperti jaminan bahkan janji yang tertera dalam Undang-Undang Dasar. Namun, hal tersebut masih jauh dari kenyataan. Distribusi kepemilikan lahan yang timpang seolah menjadi pemandangan yang lazim. Tanah bukan hanya sebatas faktor produksi melainkan sebagai sumber penghidupan yang menyangkut hidup dan mati. Penguasaan tanah tidak hanya bermakna ekonomis dalam arti sebagai sumberdaya, tetapi kerap bermakna kultural, bahkan cenderung magis. Pandangan ini berkonotasi bahwa masalah pertanahan adalah masalah hubungan manusia dengan tanah. Ketika sumberdaya alam seharusnya digunakan untuk kepentingan seluruh rakyat, hal yang berbeda ditemui di lapangan. Ketimpangan kepemilikan sumber agraria menjadi pemandangan lazim. Merujuk pada Wiradi (1999) ketimpangan kepemilikan sumber agraria dapat digolongkan ke dalam empat bentuk. Ketimpangan tersebut antara lain ketimpangan dalam hal penguasaan sumber-sumber agraria, ketidakserasian dalam hal “peruntukan” sumber-sumber agraria, ketidakserasian antara persepsi dan konsepsi mengenai agraria, ketidakserasian antara berbagai produk hukum, sebagai akibat dari pragmantisme dan kebijakan sektoral. Respon yang dilakukan oleh pemerintah pusat yang bekerjasama dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) terkait ketimpangan kepemilikan lahan adalah dengan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN). Kecamatan Jasinga merupakan daerah percontohan program tersebut untuk wilayah Jawa Barat. Upaya yang dilakukan dalam program ini adalah pemerintah memberikan tanah eks Hak Guna Usaha PT. PJ yang tidak diperpanjang pada seluruh masyarakat Kecamatan Jasinga. Namun, rupanya hal bertolak belakang terjadi di lapangan. Hal ini dikarenakan, terdapat segelintir orang yang tidak mendapatkan bagian dari program tersebut. Pembagian tanah tersebut memang diperuntukan oleh para penggarap yang menggarap lahan eks perkebunan sejak tahun 2000. Segelintir orang yang tidak mendapatkan pembagian tanah tersebut padahal sedang terlilit konflik agraria dengan salah satu perusahaan yang sama-sama mengklaim kepemilikan tanah di bagian timur Kecamatan Jasinga. Konflik agraria yang terjadi antara petani dengan perusahaan terjadi pada awal tahun 2012. Konflik agraria tersebut menambah daftar kelam carut marut pertanahan nasional. Menurut data KPA (Konsorium Pembaruan Agraria) jumlah konflik agraria tahun 2011 mencapai 169 kasus. Konflik ini melibatkan 69 975 kepala keluarga dengan luas areal konflik mencapai 472 048.44 hektar. Dari 163 konflik agraria tahun 2011, rinciannya 97 kasus di sektor perkebunan, 36 kasus di sektor kehutanan, 21 kasus di sektor infrastruktur, delapan kasus di sektor pertambangan, dan satu kasus di wilayah tambak atau pesisir.
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
7
Hilangnya akses terhadap tanah yang dialami petani penggarap memicu terjadinya konflik agraria yang terjadi antara petani penggarap dengan pihak perusahaan. Konflik agraria yang terjadi di tahun 2012 antara pihak perkebunan dan petani penggarap secara langsung menyebabkan kerugian yang dialami oleh petani. Berangkat dari perubahan status sosial ekonomi yang dialami pasca kehilangan tanah garapan, memicu terpenuhinya dimensi gerakan petani. Terdapat empat dimensi gerakan petani yakni tingkat kesadaran, tingkat kolektifitas aksi, tingkat orientasi instrumental, dan status sosial. Dimensi gerakan petani dijadikan tolok ukur untuk melihat besar kepentingan seorang individu untuk tergabung dalam satu organisaasi gerakan petani. Berangkat dari kerugian yang dialami oleh mantan penggarap menyebabkan terbentuknya embrio gerakan petani yang terjadi di Desa Curug dan Desa Tegal Wangi, Kecamatan Jasinga. Gerakan petani terorganisir ketika terjadinya tumpang tindih kepemilikan lahan. Masyarakat mengklaim bahwa tanah tersebut adalah tanah yang sudah digarap secara turun temurun. Namun dilain sisi, pihak perkebunan menganggap tanah tersebut masih bagian dari HGU perusahaan tersebut. Kondisi tersebut mendorong petani untuk membentuk Forum Paguyuban Petani Jasinga untuk mempertahankan lahan milik mereka. Landsberger dan Alexandrov (1974) mengatakan gerakan petani adalah rekasi kolektif terhadap kedudukan rendah petani itu sendiri. Gerakan petani muncul sebagai reaksi terhadap tindakan eksplorasi, ekstraksi, dan ekspoitasi. Reaksi petani memang tidak selalu langsung melawan. Ada gerakan yang menghindari tekanan-tekanan dari atas dengan lari menjauhkan diri dari pusat kekuasaan dan penghisapan. Sifat gerakan setiap masa memiliki corak yang khas. Gerakan yang terjadi dapat berbentuk radikal ataupun berbentuk halus seperti penghindaran. Gerakan yang dilakukan petani semata-mata untuk menuntut haknya kembali ataupun menuntut keadilan sosial. Penelitian Purwandari (2006) membahas mengenai bentuk gerakan yang lebih “halus” dengan mengedepankan kemandirian kelompok SPPQT. Hal ini terjadi ketika ketergantungan dan kebijakan yang merugikan petani terus dilakukan oleh pemerintah menyebabkan kelompok ini berontak dan melawannya dengan menciptakan kemandirian kelompok. Potret keberhasilan ditunjukkan oleh kelompok perjuangan dua petani Jenggawah, Jember, Jawa Timur yang berhasil mendapatkan tanah mereka kembali pada era Orde Baru. Lain halnya dengan gerakan petani di Lampung yang mengalami stagnansi akibat disorientasi para aktor dalam tubuh organisasi Serikat Petani Lampung. Lebih lanjut, Hartoyo (2010) involusi gerakan agraria terjadi ketika struktur sumberdaya mobilisasi melemah (deformasi, decoupling dan stagnansi) dan sifat struktural organisasi gerakan semakin melekat pada sistem agraria yang mapan sedangkan program perjuangan belum terlembagakan. Organisasi gerakan petani dijadikan alat untuk memperjuangkan kembali hak-hak mereka yang hilang. Hartoyo (2010) menjelaskan peran organisasi gerakan petani sebagai alat untuk tercapainya transformasi agraria. Stagnansi gerakan petani terjadi karena dalam proses penguatan struktur mobilisasi sumberdaya diwarnai disorientasi perilaku para elit aktor yang konsekuensinya tidak dapat diprediksi dan dikontrol. Ketika akses atas tanah hilang akibat konfilk agraria yang terjadi, gerakan petani menjadi wujud reaksi terhadap kemerosotan status sosial ekonomi yang dialami oleh petani. Organisasi gerakan
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
8
petani dibentuk dengan harapan untuk memperjuangkan sumber-sumber agraria yang masih dipertanyakan kepemilikannya. Namun, kenyataan yang terjadi menunjukkan terjadinya stagnansi pergerakan petani dalam Forum Paguyuban Petani Jasinga. Maka penting untuk melihat pengaruh perubahan status sosial ekonomi terhadap karakter gerakan petani pedesaan terkait hubungannya dengan terpenuhinya dimensi-dimensi gerakan petani. Masalah Penelitian Tumpang tindih penguasaan lahan yang terjadi di Kecamatan Jasinga membuat petani kehilangan akses akan tanah. Hal ini dikarenakan, tanah yang mereka garap selama bertahun-tahun diklaim oleh perusahaan sebagai bagian lahan Hak Guna Usaha yang dimiliki oleh pihak perusahaan. Petani yang merasa dirugikan melakukan perlawanan. Kerugian yang dialami setiap petani pasca kehilangan akses atas tanah pun berbeda. Bagaimana perubahan status sosial ekonomi setelah perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU)? Hilangnya akses atas sumber agraria yang dialami oleh petani menjadi gaya dorong untuk melakukan perlawanan dan tergabung dalam organisasi gerakan petani. Scott dan Popkin dalam Firmansyah (1999) mengatakan bahwa terdapat empat faktor yang menimbulkan kemarahan kaum tani pedesaan di masa kolonial, yaitu perubahan struktur agraria, meningkatnya eksploitasi, kemerosotan status sosial, dan deprivasi relatif. Perubahan status sosial ekonomi yang dialami petani akibat hilangnya akses terhadap sumber agraria, menjadi prakondisi munculnya gerakan petani yang terjadi di Desa Curug dan Desa Tegal Wangi, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor. Pada akhirnya petani bersatu dan mengorganisir diri dalam Forum Paguyuban Petani Jasinga. Landsberger dan Alexandrov (1974) mendefinisikan gerakan petani sebagai reaksi kolektif terhadap kedudukan rendah petani. Lebih lanjut, Landsberger dan Alexandrov (1974) menjelaskan dimensi gerakan petani yang terdiri dari tingkat kesadaran, tingkat kolektifitas aksi, tingkat orientasi instrumental, dan status rendah menjadi dasar untuk memulainya gerakan petani. Dimensi gerakan petani menjadi tahap awal dalam suatu gerakan petani yang terjadi. Oleh karena itu, menarik untuk menganalisis bagaimana pengaruh perubahan status sosial ekonomi terhadap terpenuhinya dimensi-dimensi gerakan petani pedesaan? Stagnansi yang dialami oleh organisasi tani di Lampung berdasarkan penelitian Hartoyo (2010) disebabkan oleh tarik menarik kepentingan dan terjadinya disorientasi anggota dalam pencapain tujuan organisasi. Di sisi lain, perjuangan kelompok petani Jenggawah berdasarkan penelitian Hafidz (2001) menunjukkan keberhasilan dengan bisa menguasai kembali lahan yang dikalim oleh pihak perkebunan. Berangkat dari hasil penelitian terdahulu, menarik untuk melihat dimensi gerakan petani sebagai basis awal gerakan petani dan prakondisi pembentukan organisasi tani dan pengaruhnya terhadap karakter gerakan petani. Oleh karena itu, bagaimana pengaruh terpenuhi dimensi-dimensi gerakan petani terhadap karakter gerakan petani pedesaan?
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
9
Tujuan Penelitian Tujuan umum dari penelitian ini adalah menganalisis pengaruh perubahan struktur agraria dan implikasinya terhadap gerakan petani pedesaan. Secara khusus penelitian bertujuan untuk : 1. Menganalisis perubahan status sosial ekonomi setelah perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU). 2. Menganalisis pengaruh perubahan status sosial ekonomi terhadap terpenuhinya dimensi-dimensi gerakan petani pedesaan. Menganalisis pengaruh terpenuhinya dimensi-dimensi gerakan petani terhadap karakter gerakan petani pedesaan. Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi berbagai pihak, diantara lain ialah: 1. Akademisi. Hasil penelitian dapat menjadi salah satu sumber informasi mengenai gerakan petani pedesaan. Selain itu diharapkan dapat menambah kajian dalam ilmu pengetahuan agraria. 2. Pemerintah. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dan bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam menyusun dan mengambil kebijakan. 3. Masyarakat Lebih jauh, penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan mengenai pengaruh perubahan struktur agraria dan implikasinya terhadap gerakan petani pedesaan.
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
10
PENDEKATAN TEORITIS
Tinjauan Pustaka Struktur Agraria Struktur agraria menurut Wiradi (2009) merujuk kepada susunan sebaran atau distribusi tentang pemilikan (penguasaan formal) dan penguasaan efektif (garapan/operasional) atas sumber-sumber agraria, juga sebaran alokasi dan peruntukannya. Struktur agraria merupakan konsep besar yang didalamnya mencakup konsep penting lainnya. Konsep tersebut berkenaan dengan pemilikan tanah, penguasaan tanah, dan pengusahaan tanah. Pemilikan tanah merupakan penguasaan formal atas sebidang tanah sedangkan penguasaan tanah berkaitan dengan penguasaan formal atas sebidang tanah. Berbeda dengan hal tersebut, pengusahaan tanah adalah cara sebidang tanah diusahakan secara produktif. Struktur agraria bukan hanya sebatas menyangkut hubungan teknis antara manusia atau subjek dengan tanahnya ataut objek, melainkan juga menyangkut hubungan sosial manusia dengan manusia. Hal ini berarti mencakup hubungan orang-orang yang langsung ataut tidak langsung terlibat dalam proses produksi. Sejalan dengan hal tersebut, Fauzi (2002) menyebutkan struktur agraria adalah konfigurasi siapa-siapa yang memiliki dan tidak memiliki tanah, siapa-siapa yang berhak memanfaatkan dan memperoleh keuntungan daripadanya serta hubungan di antara kelompok-kelompok yang terpisah. Struktur agraria dibentuk melalui hubungan antar subjek agraria dan objek agraria yang saling berinteraksi. Subjek agraria terdiri dari komunitas, pemerintah, dan swasta. Subjek agraria bertindak sebagai pelaku atau pihak yang memanfaatkan dan menggunakan objek agraria untuk kepentingannya sedangkan objek agraria adalah sumbersumber agraria yang dimanfaatkan oleh subjek agraria. Merujuk pada Pasal 1 UUPA 1960, yang termasuk ke dalam objek agraria meliputi tanah, perairan, hutan, bahan tambang, dan udara. Berangkat dari dua konsep struktur agraria di atas, dapat disimpulkan bahwa struktur agraria dapat diartikan sebagai pola kepemilikan dan penguasaan atas suatu lahan. Pola tersebut terjadi karena adanya hubungan antara subjek dengan objek agraria. Struktur agraria yang terjadi secara dinamis memiliki kekhasan tersendiri di setiap masa. Struktur agraria yang khas pada masa kolonial adalah dominasi perkebunan milik Hindia Belanda. Sistem perkebunan besar ini muncul ketika pemerintah Hindia Belanda melakukan politik liberal melalui Undang-Undang Agraria 1870. Mandle dalam Wiradi (2009) menyebutkan empat atribut yang melekat pada sistem produksi perkebunan besar, yaitu: berorientasi ekspor dalam skala besar, kebutuhan tenaga kerja sangat besar dibanding dengan yang dapat tersedia oleh pasar (tenaga kerja) domestik yang bebas, diperlukan mekanisme ekstra-pasar guna memenuhi kebutuhan tersebut, dan tumbuhnya budaya tertentu yang memperkuat hubungan-hubungan sosial yang terbentuk itu. Struktur agraria yang khas pada masa Orde Baru ditandai dengan struktur agraria sisa-sisa penjajahan kolonial yang masih melekat. Perkebunan milik
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
11
kolonial terdahulu tidak “dikembalikan” kepemilikannya kepada rakyat. Semakin diperparah ketika pemerintah Orde Baru hanya berfokus pada pembangunan dan intervensi modal asing sehingga lalai dalam melaksanakan reforma agraria. Demi memfasilitasi para investor asing, pemerintah Orde Baru tidak segan-segan menggunakan tanah rakyat. Tanah dinilai sebagai komoditas yang menghasilkan banyak pundi rupiah, akibat dari situasi tersebut, rakyat kembali harus tergusur (lagi) di atas tanah miliknya sendiri. Kontrak perkebunan Belanda yang harusnya sudah jatuh tempo pada masa Orde Baru, diperpanjang kembali guna meningkatkan jumlah investasi asing di Indonesia. Hal ini tergambar dalam penelitian Chrysantini (2010) dan Hafidz (2001), Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan milik kolonial terdahulu diperpanjang hingga lebih dari sepuluh tahun lamanya yang menyebabkan para petani semakin marah karena mereka tidak bisa memiliki lagi lahan mereka. Otoritarian pemerintahan Orde Baru semakin terlihat ketika kebijakan agraria hanya dikuasai oleh pemerintah pusat. Salah satu contohnya adalah kebijakan revolusi hijau yang tidak mendahulukan reforma agraria. Hal ini semakin menunjukkan ketimpangan kepemilikan tanah kala itu. Kondisi berbeda dijelaskan dalam penelitian yang dilakukan oleh Hartoyo (2010) yang menjelaskan kondisi struktur agraria di Provinsi Lampung pada masa Orde Baru. Pada masa Orde Baru, seiring dengan berlakunya kebijakan transmigrasi ke Lampung menyebabkan perubahan fungsi hutan karena semakin sempitnya lahan yang bisa digunakan untuk lahan garapan. Semakin meningkatnya jumlah penduduk memasuki Era Reformasi tidak diimbangi dengan ketersediaan lahan yang mampu mengakomodir semua kebutuhan ditengah ancaman ledakan penduduk. Hal ini jelas berpengaruh pada struktur agraria pada saat Era Reformasi. Alih fungsi lahan pertanian ke nonpertanian menjadi pemandangan lazim saat ini. Akibat dari alih fungsi lahan tersebut adalah perubahan struktur kepemilikan. Petani pemilik yang awalnya memiliki sebidang tanah untuk digarap kini bergeger menjadi petani penggarap di lahan milik orang lain dengan sistem bagi hasil ataupun upah. Hasil penelitian Sihaloho (2007) menyebutkan bahwa konversi lahan pertanian berimplikasi pada perubahan atau struktur agraria yang menghasilkan ketimpangan struktur agraria lahan terhadap kehidupan masyarakat menyangkut perubahan pola penguasaan lahan, pola nafkah dan hubungan pola produksi. Hal berbeda ditunjukkan oleh Novelisa (2012), struktur agraria berbuah pasca masuknya program redistribusi lahan. Fakta yang diperlihatkan adalah jumlah petani tunaksima turun dari 26 orang menjadi tiga orang. Hal ini jelas menunjukkan bahwa struktur agraria dapat berubah melalui reforma agraria. Struktur agraria bukan hanya hubungan antara subjek dengan objek agraria, melainkan mengkaji pula hubungan antar subjek agraria. Bila dilihat dari pola antara subjek dengan objek agraria yang berubah maka secara langsung akan merubah hubungan antar subjek agraria atau status dari subjek agraria tersebut. Penelitian Sihaloho (2007) menunjukkan perubahan status subjek agraria yang diakibatkan oleh berubahanya struktur agraria di Kelurahan Mulyaharaja. Akibat konversi lahan yang terjadi secara besar, penduduk Kelurahan Mulyaharaja mengalami perubahan status, yang awalnya sebagai pemilik berubah menjadi penggarap atau buruh tani. Kasus berbeda ditemui dalam penelitian yang dilakukan oleh Sihaloho, Purwandari, dan Supriyadi (2008). Redistribusi tanah yang berasal dari perkebunan yang terdapat di Desa Bojong Juruh, membuat
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
12
petani yang awalnya sebagai buruh tani berubah menjadi petani berlahan sempit. Juga, petani yang awalnya berstatus penggarap akhirnya menjadi pemilik. Jelas terlihat ketika terjadi perubahan antara subjek dan objek agraria terjadi akan menyebabkan perubahan status pada subjek agraria. Faktor-Faktor Penyebab Perubahan Struktur Agraria Struktur agraria merupakan pola hubungan antara dua komponen penting agraria, yakni subjek agraria dan objek agraria. Pola hubungan tersebut mencakup hubungan antara subjek dengan objek ataupun subjek dengan subjek. Banyak hal yang menjadi faktor penyebab perubahan antar kedua komponen agraria tersebut. Zuber (2007) mengemukakan ada empat faktor yang mempengaruhi perubahan struktur agraria, diantaranya: permintaan lahan dari kegiatan non-pertanian seperti pembangunan real estate, pabrik, areal perdagangan dan pelayanan lainnya yang membutuhkan areal tanah yang luas; faktor sosial budaya, seperti adanya aturan warisan; kerusakan lingkungan seperti adanya musim kemarau panjang yang mengakibatkan kekeringan terutama pada usaha pertanian; penggunaan pestisida ataupun pupuk yang dapat mematikan predator dan kerusakan lahan pertanian; dan kelemahan hukum yang mengatur bidang pertanian, seperti harga pupuk yang tinggi, harga gabah yang rendah dan masalah pengaturan harga beras yang sampai sekarang masih sangat pelik. Para petani miskin masih sangat menderita dengan proses input pertanian yang sangat tinggi (high cost). Namun, di sisi lain penjualan outputnya masih sangat rendah. Hasil penelitian Sihaloho (2007) jelas mengatakan bahwa faktor penyebab perubahan struktur agraria adalah perubahan fungsi lahan pertanian ke non-pertanian. Lebih jauh, akibat dari perubahan fungsi lahan ini menyebabkan perubaha kepemilikan dan pola nafkah masyarakat Kelurahan Mulyaharaja. Sejalan dengan hal tersebut, hasil penelitian Sihaloho, Purwandari, dan Supriyadi (2008) menyebutkan yang menyebabkan struktur yang semakin terstratifikasi adalah sistem bagi hasil dan warisan. Bila dirunut berdasarkan rezim di Indonesia, maka akan lebih banyak lagi faktor-faktor penyebab perubahan strukur agraria yang khas sesuai masanya. Pada masa kolonial perubahan struktur agraria banyak terjadi dikarenakan perluasan perkebunan milik pemerintah kolonial Belanda yang merebut tanah milik rakyat. Rakyat banyak kehilangan tanah dan penghidupan namun sisi lain rakyat pun harus membayar pajak per kepala yang ditetapkan oleh pemerintah kolonial. Fakta di lapangan ditunjukkan oleh penelitian Kamaruddin (2012) menunjukkan gerakan petani Unra di Sulawesi Selatan diakibatkan oleh kebijakan pemerintah kolonial yang menetapkan pajak beras sebagi sumber logistik pemerintah kolonial. Pada masa Orde Baru, perubahan struktur agraria banyak disebabkan oleh masuknya konsesi swasta atas lahan hutan ataupun perkebunan. Padahal awalnya hutan atau perkebunan tersebut adalah tanah garapan masyarakat sekitar. Hal ini terjadi karena fokus pada pemerintahan Orde Baru adalah pembangunan dan penanaman modal asing secara besar-besaran. Fakta di lapangan yang mendukung adalah hasil penelitian Hafidz (2001) yang menggambarkan perluasan lahan perkebunan di Jenggawah, Jember Jawa Timur. Perluasan perkebunan ini membuat masyarakat kehilangan akses terhadap tanah
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
13
mereka. Hal ini dikarenakan, perluasan yang dilakukan mengambil paksa tanah milik masyarakat. Faktor penyebab perubahan struktur agraria pada masa Reformasi lebih disebabkan karena semakin maraknya praktek alih fungsi lahan. Berubahnya fungsi dari lahan pertanian ke non pertanian menyebabkan banyak petani kehilangan akses. Bahkan tidak sedikit petani yang awalnya berstatus pemilik lahan kini menjadi penggarap atau buruh tani. Hasil penelitian Sihaloho (2007) menyebutkan bahwa konversi lahan pertanian berimplikasi pada perubahan atau struktur agraria yang menghasilkan ketimpangan struktur agraria lahan terhadap kehidupan masyarakat menyangkut perubahan pola penguasaan lahan, pola nafkah dan hubungan pola produksi. Status Sosial Ekonomi Kondisi sosial ekonomi dapat diartikan sebagai posisi individu dan kelompok yang berkenaan dengan ukuran rata-rata yang berlalu umum tentang pendidikan, pemilikan barang, dan partisipasi dalam aktivitas kelompok dari komunitasnya (Basrowi dan Juariyah 2010). Lebih lanjut, penelitian (Basrowi dan Juariyah 2010) menggunakan luas lahan garapan dan pekerjaan yang sedang dijalanai sebagai indikator untuk mengukur status sosial ekonomi masyarakat Desa Srigading, Lampung Timur yang mayoritas penduduknya adalah petani. Kondisi sosial ekonomi adalah keadaan seseorang atau sekelompok orang yang dapat dilihat dari faktor pendidikan, status pekerjaan, tingkat pendapatan, kekayaan, kepemilikan barang berharga serta kedudukan di tengah masyarakat. Penjelasan lainnya mengenai status sosial ekonomi dijelaskan oleh Yulisanti (2000) yang menjadikan pendidikan, pekerjaan, dan penghasilan sebagai ukuran tinggi rendahnya status sosial ekonomi. Rosides 1986 dalam Lestarini (2007) menyatakan bahwa status sosial ekonomi adalah kedudukan seseorang dalam suatu rangkaian strata yang tersusun secara hierarkis yang merupakan kesatuan tertimbang hal-hal yang menjadi nilai dalam masyarakat, antara lain status, gaya hidup, kekuasaan, kekayaan, pendapatan. Soekanto (2005) menjelaskan ukuran atau kriteria status sosial ekonomi adalah ukuran kekayaan, ukuran kekuasaan, ukuran kehormatan, dan ukuran ilmu pengetahuan. Masyarakat yang memiliki kekayaan paling banyak dapat digolongkan ke dalam status yang lebih tinggi. Kekayaan tersebut bersumber dari pendapatan dan kepemilikan aset. Ukuran kekuasaan dilihat dari masyarakat yang memiliki kekuasaan atau wewenang terbesar menempati status yang lebih tinggi. Ukuran kehormatan dilihat dari masyarakat yang paling disegani dan dihormati akan menempati status yang lebih tinggi. Ukuran ilmu pengetahuan dilihat dari tingkat pendidikan yang dicapainya.
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
14
Gerakan Petani Perubahan yang senantiasa terjadi membuat para petani harus mampu beradaptasi. Perubahan yang biasa dialami petani meliputi perubahan akses pada sumberdaya, kepemilikan lahan, dan tidak stabilnya harga jual komoditas.Hal yang menjadi fokus utama adalah perubahan struktur agraria berupa perubahan status kepemilikan lahan dan akses terhadap sumberdaya. Perubahan struktur agraria memicu terganggunya kehidupan petani. Hal ini disebabkan lahan yang menjadi tumpuan hidup bagi petani dirampas dan petani sulit untuk menjangkaunya, petani akan berupaya memerjuangkan haknya kembali. Upaya yang dilakukan salah satunya gerakan petani melawan pemerintah ataupun perusahaan swasta. Landsberger dan Alexandrov (1974) mendefinisikan gerakan petani sebagai reaksi kolektif terhadap kedudukan rendah petani. Sejalan dengan yang dikemukan oleh Hartoyo (2010) gerakan petani adalah gerakan sosial terdiri atas aktor petani dan non petani yang membingkai isu atau mengusung agenda perubahan tatanan agraria dan basis masa utamanya adalah petani. Hal yang serupa pun dikemukan oleh Purwandari (2006) perlawanan petani hanya sebagai simbol protes terhadap kondisi yang ada tanpa disertai pembentukan organisasi petani sebagai basis masa. Berangkat dari ketiga definisi tentang gerakan petani diatas, dapat disarikan bahwa gerakan petani adalah reaksi kolektif yang dilakukan oleh petani dengan tujuan untuk melakukan perubahan tatanan agararia yang selama ini dinilai merugikan petani yang diwadahi oleh sebuah organisasi petani. Faktor-Faktor Penyebab Gerakan Petani Gerakan petani tidak mungkin muncul tanpa ada sulutan untuk bersatu merapatkan barisan. Kondisi yang semakin terdesak dan mengancam keberlanjutan hidup petani membuat mereka melakukan segala macam cara untuk bertahan. White dan Wiradi (2009) menjelaskan bahwa para buruh tani mengorganisir diri ketika berhadapan dengan beberapa isu tertentu. Isu-isu itu antara lain: A. Tuntutan untuk menjamin tersedianya akses ke petak tanah untuk pemukiman dan atau untuk pertanian B. Mereka yang terikat dengan pertanian bagi hasil berdasarkan kontrak lisan harus didaftar C. Tuntutan akan upah yang lebih tinggi dan implementasi aturan upah minimum D. Tuntutan untuk melakukan pekerjaan pada program borongan di pedesaan di bawah jaminan program tenaga kerja E. Tuntutan adanya kartu jatah makan. Scott dan Popkin dalam Firmansyah (1999) mengatakan bahwa terdapat empat faktor yang menimbulkan kemarahan kaum tani pedesaan di masa kolonial, yaitu perubahan struktur agraria, meningkatnya eksploitasi, kemerosotan status sosial, dan deprivasi relatif. Hal ini digambarkan dalam hasil penelitian Kamaruddin (2012) yang menjelaskan bahwa gerakan petani yang meletus di Desa Unra terjadi akibat kesewenang-wenangan Jepang dalam
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
15
menentukan pajak beras per kepala yang dinilai memberatkan penduduk hingga timbul kemarahan petani dan dominasi pemerintah Jepang yang menyebabkan mulai memudarnya hubungan patron-client antara petani kaya dengan penggarap. Rezim Orde Baru yang dikenal bengis mulai memperlambat gerakan petani di pedesaan. Gerakan petani pedesaaan pada rezim ini mulai bangkit ketika awal tahun 1980. Hal ini terjadi karena intervensi modal yang intensif di pedesaan baik untuk perkebunan atau pun perumahan. Pasca Orde Baru menjadi momentum bagi gerakan petani untuk kembali menyuarakan ketertindasan mereka. Kebebasan demokrasi pada rezim ini menjadi pintu masuk gerakan petani kembali muncul. Faktor penyebab pecahnya gerakan petani pada rezim ini lebih disebabkan akumulasi kekecewaan dan tuntutan akan kebijakan agraria yang selama dua rezim sebelumnya tidak berpihak dan hanya merugikan petani. Penelitian Purwandari (2006) membahas tentang bentuk gerakan yang lebih “halus” dengan mengedepankan kemandirian kelompok SPPQT. Hal ini terjadi ketika ketergantungan dan kebijakan yang merugikan petani terus dilakukan oleh pemerintah menyebabkan kelompok ini berontak dan melawannya dengan menciptakan kemandirian kelompok. Faktor penyebab dari gerakan tersamar ini disebabkan oleh persoalan semakin sempitnya dalam mengakses dan mengontrol sumberdaya tanah dan kepemilikan tanah, kepemilikan sumber daya menjadi milik pemodal (privatisasi) yang sebelumnya milik publik, ketergantungan petani terhadap benih, pupuk, bibit, dan obatobatan sebagai akibat revolusi hijau. Berbeda dengan yang ditunjukkan oleh gerakan petani di Lampung yang terjadi karena banyak faktor pemicu. Hartoyo (2010) memaparkan bahwa pola penguasaan lahan yang timpang dan konflik pertanahan yang semakin marak di wilayah Lampung menjadi salah satu pemicu lahirnya gerakan petani. Selain itu, kebijakan pemarintah dinilai mengabaikan nasib petani. Hal ini terjadi ketika program transmigrasi yang dilakukan ke wilayah lampung membuat praktik perebutan lahan marak terjadi. Secara tegas dalam penelitian Hartoyo (2010) menjabarkan bahwa faktor pemicu lahirnya gerakan petani di Lampung adalah penguasaan lahan milik komunitas oleh negara dan swasta yang dilakukan dengan cara tidak fair. Dimensi Gerakan Petani Sudut pandang lain yang digunakan untuk menganalisis secara lebih mendalam pada konsep gerakan petani adalah dengan menganalisis dimensi gerakan petani. Dimensi gerakan petani terdiri dari empat dimensi yaitu tingkat kesadaran, tingkat kolektifitas aksi, tingkat orientasi intrumental, dan status rendah. Dimensi gerakan petani yang pertama adalah tingkat kesadaran. Kesadaran merupakan hal yang penting dalam sebuah gerakan. Hal ini dikarenakan, gerakan dapat berjalan ketika sudah ada kesadaran dari petani akan posisi mereka saat ini. Kesadaran merupakan titik awal dari kesamaan objektif dari keadaan objektif, dan pemiskinan yang bisa diharapkan dari kompetisi kapitalis dan krisis yang makin dalam. Dimensi ini mengkaji mengenai jumlah petani yang mungkin menyadari kebersamaan persoalan mereka dan mutu dari kesadaran itu dibandingkan dengan petani yang betul-betul sadar, dan tingkat
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
16
mutu yang paling tinggi. Hal ini yang membuat petani sadar akan persamaan nasib dan musuh bersama mereka. Kolektifitas aksi merupakan dimensi kedua dalam gerakan petani. Kolektifitas aksi adalah dimana petani saling tergabung dalam kebersamaan untuk mencapai tujuan yang mereka inginkan. Puncak dari dimensi ini adalah lahirnya koordinasi pembagian tugas dan kerja serta wewenang. Ketiga ialah perilaku orientasi instrumental yang merupakan kata sifat yang diletakan bila suatu perkumpulan atau gerakan mengejar sasaran yang terletak di luar kegiatan langsung mereka. Status rendah sebagai basis gerakan merupakan dimensi keempat dari gerakan petani. Status rendah yang dialamatkan pada petani menjadi gaya dorong dalam melakukan gerakan. Perubahan yang dituntut merupakan cara untuk menyamakan kedudukan petani dengan aktor lainnya. Gerakan petani yang dilakukan bisa melalui beberapa rezim pemerintahan. Gerakan petani bisa dikatakan gerakan sosial yang abadi.Habis hanya ketika mereka kembali mendapatkan tanah yang menjadi sumber penghidupan mereka. Pertumbuhan dan perkembangan gerakan petani menyesuaikan dengan kondisi politik saat itu. Penelitian Purwandari (2006) tentang perlawanan tersamar petani, mendeskripsikan SPPQT yang pada akhirnya bermain secara halus dengan mewujudkan kemandirian dan kedaulatan petani, pada awalnya adalah sebuah organisasi Yayasan Desaku Maju yang lahir pada awal tahun 1980. Embrio gerakan petani mulai tumbuh ketika kegiatan dibidang Koperasi Candak Culak tahun 1993. Berangkat dari kegiatan tersebut, pada tahun 1998 terbentuk Nadika, sebuah forum tempat refleksi bersama para tokoh.Tahun 1999 terbentuklah SPPQT dengan strategi utama menerapkan strategi pemberdayaan masyarakat (petani). Sejalan dengan hal tersebut, penelitian Wahyudi (2009) menunjukkan pertumbuhan gerakan petani yang digolongkan ke dalam empat periode, yakni Era Jaringan Terbatas tahun 1992, Era Perluasan Jaringan tahun 1996, Era Puncak Jaringan tahun 1998, dan Era Deklanasi Gerakan tahun 2001. Begitu pun yang terjadi pada tubuh gerakan petani Omah Tani di Kabupaten Batang. Omah Tani yang menjadi induk organisasi tani di Kabupaten Kabupaten Batang, awalnya hanya organisasi tani tingkat kecamatan yang akirnya bersatu karena alasan ideologis.Berbeda dengan yang terjadi di Lampung. Hasil penelitian Hartoyo (2010) menunjukkan gerakan petani Lampung mengalami stagnansi perjuangan dikarenakan adanya disorientasi para aktor yang terlibat. Semangat perjuangan yang menggebu pada akhirnya harus hilang karena terbelah oleh kepentingan masing-masing individu.Pengentasan nasib petani dengan perubahan substantif lenyap dan terhenti di tengah jalan. Sifat dan Bentuk Gerakan Petani Suhendar (1995) mengelompokkan konteks gerakan ke dalam sifat-sifat yang dominan, yakni represif, defensif, dan reformatif. Represif adalah sifat gerakan yang merupakan gabungan dari defensif dan reformatif. Defensif adalah sifat gerakan yang diekspresikan dengan upaya penolakan. Penolakan terjadi lebih disebabkan oleh perluasan ahan perkebunan atau masuknya swasta sebagai pengembang kawasan. Tuntutan akan perubahan kebijakan agraria merupakan ekspresi dari sifat gerakan reformatif. Pada masa kolonial sifat gerakan
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
17
cenderung represif yang merupakan gabungan dari defensif dan reformatif. Hasil penelitian Kamaruddin (2012) menjelaskan kronologi gerakan petani di Unra, Sulawesi Selatan pada tahun 1943 menunjukkan bahwa gerakan yang dilakukan petani Unra tersebut represif. Hal ini dikarenakan, para petani melakukan upaya penolakan terhadap politik desa mereka dinodai oleh campur tangan Jepang yang semakin dominan.Selain itu, petani Unra melakukan protes akibat kebijakan pajak beras per kepala yang dirasa memberatkan.Petani Unra menuntut penghapusan kebijakan tersebut karena semakin menghimpit hidup petani. Pemaparan yang terdapat dalam penelitian Hartoyo (2010) menjelaskan bentuk gerakan pada masa kolonial di Lampung. Gerakan tradisional menjadi wajah khas perlawanan kala itu. Gerakan tradisional didasari oleh ikatan tradisi yang memiliki kekuatan sentimen, perasaan dan ikatan primordial serta diperkuat oleh ideologi tradisional. Gerakan ini masih berbasis lokal dan masih sangat mudah untuk dilemahkan. Pada masa Orde Baru sifat khas gerakan petani yang muncul adalah defensif. Pembanguan nasional yang gencar dilakukan pada masa ini berjalan menganggap halal berbagai cara sekalipun rakyat dirugikan. Perluasan perkebunan dan masuknya swasta sebagai pengelola “sah” menjadi salah satu dampak dari undangan pada para investor untuk menggarap tanah rakyat. Penelitian Hafidz (2001) menggambarkan perjuangan petani di Desa Jenggawah akibat dari adanya perluasan perkebunan yang dilakukan oleh PTPN X. Selain itu perpanjangan kontrak HGU dinilai membuat petani semakin sulit mengakses lahan pertanian. Sifat gerakan yang dilakukan oleh petani Jenggawah termasuk ke dalam defensif. Hal ini dikarenakan, petani Jenggawah melakukan penolakan akan perluasan dan perpanjangan kontrak Hak Guna Usaha oleh PTPN X. Selain itu, penelitian Chrysantini (2010) menjelaskan gerakan petani yang dilakukan petani Desa Keprasan diakibatkan adanya perpanjangan kontrak perkebunan NV Gunung Kelud. Petani merasa marah karena lahan yang digunakan oleh pihak perkebunan merupakan tanah garapan milik petani dan sudah disahkan dalam instruksi kepala daerah setempat. Sifat gerakan memasuki masa Reformasi cenderung bersifat reformatif. Sifat gerakan ini mengedepankan perubahan kebijakan pertanahan yang tengah berlangsung. Penelitian Wahyudi (2010) tidak berbeda jauh dengan hal tersebut. Gerakan petani yang digalang oleh petani Kalibakar terjadi ketika reforma agraria atas eks perkebunan Belanda tidak dilaksanakan. Petani menganggap jika kontrak perkebunan sudah habis tanah akan dikembalikan pada rakyat. Penelitian Yunike (2010) menggambarkan perjuangan kelompok petani yang tergabung dalam Omah Tani bersifat reformatif. Menduduki posisi strategis di pemerintahan daerah merupakan upaya dalam memperjuangkan kebijakan pembebasan lahan milik petani. Penelitian Yunike (2010) menyebutkan tiga pola gerakan petani yang dilakukan oleh Omah Tani di Kabupaten Kabupaten Batang. Pola yang pertama adalah mengakomodir masa dengan jumlah yang besar atau determinasi. Pola yang kedua adalah melakukan upaya hukum atau audiensi sedangkan pola yang ketiga adalah merebut kekuasaan dengan jalur politik. Berangkat dari kecenderungan sifat gerakan petani setiap masanya, dapat dilihat bahwa terjadi perubahan bentuk gerakan petani. Pada masa Kolonial kemarahan dan kekecewaan petani diekspresikan dengan aksi reklaiming ataupun penjarahan. Beranjak dari masa Kolonial, pada masa Orde Baru gerakan
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
18
petani yang dilakukan berupa aksi sosial yang berujung pada upaya hukum untuk kembali mendapat hak atas tanah tersebut sedangkan pada Reformasi, ketika pintu demokrasi mulai terbuka maka terbuka pula kebebasan untuk berpendapat. Pada masa ini, cara yang dilakukan lebih halus seperti menempati posisi strategis di pemerintahan ataupun perlawanan yang lebih tersamar dengan capaian kedaulatan dan kemandirian petani. Karakter Gerakan Petani Kepemimpinan Kepemimpinan dalam organisasi gerakan petani merupakan kondisi pelancar yang mutlak dibutuhkan dalam perjalanan perjuangan gerakan petani. Merujuk pada Landsberger dan Alexandrov (1974) yang menyatakan bahwa makin ekstensif dan bercorak nasional suatu gerakan petani, maka akan semakin permanen gerakan dan akan semakin memperkecil kemungkinan bagi petani untuk mengendalikan gerakan tersebut. Singkat kata, bahwa hanya sedikit petani yang menjadi pemimpin gerakan berskala besar. Hal ini dikarenakan, jika seorang petani menjadi pemimpin suatu gerakan maka ia harus mengabdikan waktunya bercocok tanam dan mencangkul di sawah untuk kepentingan organisasi. Lebih jauh Landsberger dan Alexandrov (1974) memaparkan perbedaan yang khas antara gerakan kelas buruh dengan gerakan petani. Gerakan kelas buruh mampu melahirkan pemimpinnya yang berasal dari kaum buruh. Gerakan buruh selalu menyediakan sosok pemimpin nasionalnya sendiri walaupun ditambah dengan wakil lain dalam bidang politik. Hal berbeda ditunjukkan oleh gerakan petani yang belum mampu menyiapkan pemimpinan nasionalnya dari kaum tani. Kalaupun ada, pemimpin nasional lahir dari keluarga petani bukan sebagai petani yang bercocok tanam secara langsung. Fauzi (2005) menunjukkan secara empiris seperti diperlihatkan pada tubuh organisasi gerakan petani Assembly di Thailand yang pemimpin gerakannya merupakan anak-anak petani pedesaan yang telah hidup bergelimang di pusat kota sebagai guru, pengacara dan organisator. Assembly mendapatkan bentuk organisasi dan arah strategi yang berbeda ketika para pemimpin berasal dengan asal-usul desa dan pengalaman hidup perkotaan yang mengambil alih posisi yang menentukan dalam tubuh organisasi gerakan petani. Kemampuan kaum tani melahirkan pemimpin bisa diperlihatkan pada tingkatan lokal. Tetapi, dalam banyak kasus gerakan, orang dari luar kaum tani memainkan peran penting bahkan pada tingkat lokal. Seperti intelektual lokal (guru atau pemuka agama), saudagar lokal, pengrajin, dan ataupun elit lokal yang sedang merosot statusnya. Sulitnya petani menjadi pemimpin dalam organisasi yang jelas-jelas basisnya merupakan kaum mereka adalah karena petani tidak memiliki tradisi melek huruf, kewenangan internal dan otonomi sampai kadar tertentu. Hal tersebut berimplikasi nyata pada kurang terakomodirnya kepentingan petani kelas bawah karena pemimpin yang ada bukan lahir dari kaum yang serupa seperti mereka.
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
19
Kegiatan Organisasi Purwandari (2006) berpendapat bahwa kesadaran terhadap kebutuhan organisasi berangkat dari keinginanmencapai kebutuhan di tingkat petani. Organisasi yang dibangun atas dasar basic needs dan basic interest memiliki kecenderungan untuk mempertahankan keberadaan dirinya sebagai manusia. Pembentukan organisasi tani disebabkan oleh kuatnya desakan yang ada. Perubahan akses terhadap tanah menjadi penyebab lahirnya gerakan petani yang terorganisir untuk memperjuangkan hak mereka yang hilang. Kegiatan yang ada dalam organisasi berangkat dari tipe organisasi yang dibentuk. Merujuk pada penelitian Pusat Kajian Agraria (PKA-IPB) yang dikutip oleh Purwandari (2006) yang menyatakan terdapat dua tipe organisasi yang dilatarbelakangi oleh persoalan konflik agraria dan persoalan produksi. Tipe pertama menunjuk pada organisasi yang dibentuk sebagai respon atas terjadinya konflik lahan sedangkan tipe kedua meningkatkan produksi dan gerakan pemberdayaan petani untuk mencapai kemandirian. Kegiatan yang dilakukan oleh Kelompok Perjuangan I dan II petani Jenggawah termasuk pada tipe pengorganisasian pertama. Hal ini dikarenakan, kegiatan yang dibentuk merupakan cara untuk merebut tanah yang hilang pasca konflik agraria. Kegiatan tersebut merupakan cara untuk mengembalikan hak yang hilang. Kegiatan yang terbentuk dalam tubuh organisasi ini seperti demonstrasi, aksi reclaiming, dan advokasi. Berbeda dengan yang kegiatan yang dilakukan oleh kelompok petani Jenggawah yang dibentuk sebagai respon atas terjadinya konflik agraria, kegiatan yang dibentuk oleh Paguyuban SPPQT di Salatiga, Jawa tengah mengedepankan peningkatan produksi dan pemberdayaan petani. Kegiatan tersebut meliputi bidang ekonomi, pendidikan, dan aksi sampai advokasi. Kegiatan ekonomi meliputi pemasaran produk secara mandiri, koperasi simpan pinjam, dan arisan sebagai modal internal organisasi. Kegiatan pendidikan yang dibentuk oleh Paguyuban SPPQT adalah pelatihan pertanian organik, pelatihan pemetaan partisipatif, dan pelatihan jender. Hal tersebut dilakukan guna memperbaiki kualitas SDM dalam organisasi tersebut. Kegiatan aksi sampai advokasi meliputi demonstrasi, penghijauan, pemekaran lahan pertanian, dan pembangunan sarana fisik. Kolektifitas aksi Kondisi yang terpuruk dan ketidakpastian akibat konflik lahan yang terjadi memunculkan keinginan untuk membangun kekuatan kolektif melalui ikatan yang berbasis pada kesamaan tujuan. Kekuatan kolektif diusung sebagai pengikat anggota dalam setiap perkembangan yang dilalui organisasi. Kolektifitas aksi yang ada dalam organisasi petani dalam penelitian ini dibedakan menjadi dua. Pertama, kolektifitas pra kondisi sebelum terbentuknya organisasi gerakan petani. Hal ini merupakan salah satu dimensi dalam dimensi gerakan petani yang dikemukan oleh Lansberger dan Alexandrov (1974). Kolektifitas yang terjadi pada saat pra kondisi tersebut menjadi gaya dorong untuk terbentuknya organisasi petani yang lebih kompleks. Kedua, kolektifitas aksi menjadi bagian yang turut serta memberikan ciri khas pada muara akhir suatu gerakan petani yakni keberhasilan atau kegagalan yang dialami oleh organisasi tersebut. Kolektifitas aksi yang diperlihatkan tidak hanya dalam kegiatan formal organisasi melainkan dalam kegiatan informal organisasi.
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
20
Kolektifitas aksi yang terbentuk setelah pembentukan organisasi petani merupakan hasil yang dibentuk dari kolektifitas kasi yang tumbuh saat pra kondisi pembentukan organisasi. Kolektifitas aksi diperlihatkan oleh Kelompok Petani Jenggawah yang pada akhirnya berhasil merebut tanahnya kembali dari pihak perkebunan. Lebih jauh, Lansberger dan Alexandrov (1974) menyatakan kolektifitas aksi terbentuk ketika sudah terbentuknya pembagian kerja dan penugasan wewenang. Jaringan Firmansyah et al. (1999) menjelaskan kelahiran organisasi tani pada tahun 1980-an di Indonesia merupakan sejarah panjang perjalanan kaum tani yang tidak bisa dilepaskan dari keterlibatan para tokoh yang berasal dari kaum kelas menengah, seperti aktivis mahasiswa atau LSM, yang melakukan pendampingan dan pengorganisasian. Pendampingan merupakan pilihan model yang dikembangkan para aktivis, untuk menggerakan dan menumbuhkan organisasi tani pada dekade 1980-an sebagai perjuangan petani. Lebih lanjut, gerakan-gerakan perlawanan petani mengundang simpati dari berbagai pihak untuk ikut serta atau membantu kelangsungannya. Tokoh-tokoh muda yang agresif yang peduli akan nasib petani seperti aktivis mahasiswa, pemuda setempat, dan aktivis LSM. Luasnya jaringan yang dimiliki gerakan petani menjadi satu bagian penting demi kelangsungan organisasi gerakan petani. Bukti di lapangan menunjukkan keberhasilan Omah Tani di Kabupaten Batang pada tahun 2006 yang mampu menggandakan jumlah Organisasi Tani Lokal (OTL) nya menjadi 16 cabang yang tersebebar diseluruh penjuru Kabupaten Batang. Strategi yang dilakukan oleh Omah Tani dengan menduduki posisi-posisi strategis di pemerintahan desa ataupun daerah menjadi kunci perkembangan organisasi basis tani ini. Setelah sukses menempati posisi-posisi strategis, Omah Tani berkembang bukan hanya untuk memperjuangkan hak akses atas tanah melainkan untuk melakukan suatu gerakan sosial politik. Tahun 2008, Omah Tani melebarkan sayap dengan membentuk Omah Buruh, Omah Peremuan, dan Omah Rakyat. Selain itu, the assembly di Thailand yang menuntut perbaikan nasib petani dan perhatian lebih terhadap kondisi pedesaan berhasil melakukan aksinya setelah banyaknya dukungan formal ataupun informal yang berasal dari organisasi non pemerintah. Jaringan yang dibentuk dengan pihak luar membawa keuntungan pada organisasi petani. Hal ini lebih jauh dikemukakan oleh Britt (2003) yang dikutip oleh Purwandari (2006) yang menyatakan bahwa jejaring yang dikembangkan oleh organisasi petani menguntungkan dalam beberapa hal, diantaranya adalah: 1. Jejaring yang terbina berdampak pada makin stabilnya keberadaan organisasi. Support NGO atau SLO yang berada pada aras supra struktur menjadikan organisasi lokal lebih mudah mencari bentuk organisasidan melakukan kegiatan yang dapat mendukung organisasinya. 2. Memudahkan organisasi lokal melakukan berbagai kegiatan dan melebarkan kegiatan hingga sampai pada aras yang lebih tinggi. 3. Organisasi tani dapat mendesak kepentingan mereka kepada pemerintah, dengan cara terlibat dalam proses pengambilan keputusan dan penyusunan kebijakan. Bantuan dari berbagai NGO akan makin meluaskan jaringan
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
21
organisasi petani. Melebarnya jaringan organisasi sebagai impak dari berjaringan dengan NGO dikarenakan NGO memiliki jaringan yang luas. 4. Jaringan dengan organisasi sejenis makin memantapkan arah perjuangan karena pembelajaran kasus-kasus dapat dilakukan secara bersama-sama dengan organisasi sejenis.
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
22
Kerangka Pemikiran Keadaan yang terhimpit akibat kehilangan sumber penghidupan dapat menyulut kondisi petani untuk bersatu melakukan sebuah perlawanan untuk medapatkan kembali hak mereka. Perubahan struktur agraria yang terjadi akibat perebutan lahan antara masyarakat penggarap dengan perusahaan perkebunan di Kecamatan Jasinga secara langsung berdampak pada berubahnya status sosial ekonomi penggarap. Status sosial ekonomi mencakup luas penguasaan lahan, tingkat pendapatan, dan pengalaman berkelompok. Berubahnya status sosial ekonomi petani memicu terpenuhinya dimensi gerakan petani. Dimensi gerakan petani meliputi tingkat kesadaran, tingkat kolektifitas aksi, status sosial, dan tingkat orientasi instrumental. Terpenuhinya dimensi gerakan petani dalam setiap individu yang turut berkontribusi dalam gerakan petani, menjadi tahap awal kemunculan gerakan petani yang terorganisir. Karakter yang diperlihatkan oleh suatu gerakan petani dapat dilihat dari luas jaringan yang terbentuk, efektivitas kepemimpinan, intensitas kegiatan dalam organisasi, dan tingkat kolektifitas aksi.
Perubahan Struktur Agraria Lokal
Status Sosial Ekonomi
Dimensi Gerakan Petani
• Luas lahan • Tingkat pendapatan • Pengalaman berkelompok
• Tingkat kesadaran • Tingkat kolektifitas aksi • Status sosial • Tingkat orientasi instrumental
Karakter Gerakan Petani • Efektivitas kepemimpinan • Intensitas kegiatan • Tingkat kolektifitas aksi • Luas jaringan
Gambar 1 Kerangka pemikiran Keterangan: Kualitatif Mempengaruhi
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
23
Hipotesis Penelitian Hipotesis penelitian ini disajikan sebagai berikut: 1. Diduga, perubahan status sosial ekonomi ekonomi berpengaruh terhadap terpenuhinya dimensi-dimensi gerakan petani 2. Diduga, terpenuhinya dimensi gerakan petani berpengaruh terhadap karakter gerakan petani
Definisi Operasional Status Sosial Ekonomi Variabel status sosial ekonomi terdiri dari variabel luas penguasaan lahan, tingkat pendapatan, dan pengalaman berkelompok. Variabel luas penguasaan lahan dan tingkat pendapatan dilihat berdasarkan kondisi sebelum dan setelah perpanjangan Hak Guna Usaha. Masing-masing variabel pada status sosial ekonomi diagi ke dalam dua rentang yakni tinggi dan rendah. Nilai yang diberikan untuk kedua rentang adalah sebagai berikut : 1. Tinggi: 2 2. Rendah: 0 Variabel
Pengertian
Jumlah tanah yang dimiliki dan/atau digarap oleh responden. Jumlah pemasukan Tingkat yang dimiliki oleh pendapatan responden setiap bulannya. Pengalaman Jumlah kelompok Berkelompok yang pernah atau sedang diikuti responden. Luas penguasaan lahan
Indikator Tinggi: =`9 500 m2 Rendah: < 9 500 m2
Jenis Data Rasio
Tinggi: =åRp2 250 000 Rendah: < Rp2 250 000
Rasio
Tinggi: > 1 kelompok Rendah: 1 kelompok
Rasio
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
24
Dimensi Gerakan Petani Dimensi gerakan petani adalah variabel komposit yang didapat dari sub variabel status sosial, tingkat kesadaran, tingkat kolektifitas, dan tingkat orientasi instrumental. Kategori dalam variabel ini dibedakan menjadi tiga, yakni tinggi, sedang, dan rendah. Nilai 2 diberikan pada kategori tinggi. Nilai 1 diberikan pada kategori sedang, dan nilai 0 diberikan pada kategori rendah. Rentang yang didapat untuk menentukan nilai pada variabel ini adalah sebagai berikut: 1. Tinggi: 0 sampai 10 2. Sedang: 11 sampai 21 3. Tinggi: 12 sampai 32 Variabel
Definisi Operasional
Status sosial
Kondisi eksklusif atas dasar status ekonomi dan sosial yang rendah. Kesamaan makna tentang kondisi yang dialami oleh petani yang kehilangan lahan. Kebersamaan anggota dalam persiapan pembentukan organisasi. Kesamaan visi dan misi individu dengan visi misi organisasi.
Tingkat Kesadaran
Tingkat Kolektifitas
Tingkat Orientasi instrumental
Indikator
Jenis Data
Tinggi: 6 sampai 8 Sedang: 3 sampai 5 Rendah : 0 sampai 2 Tinggi: 6 sampai 8 Sedang: 3 sampai 5 Rendah: 0 sampai 2
Ordinal
Tinggi: 6 sampai 8 Sedang: 3 sampai 5 Rendah: 0 sampai 2
Ordinal
Tinggi: 6 sampai 8 Sedang: 3 sampai 5 Rendah : 0 sampai 2
Ordinal
Ordinal
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
25
Karakter Gerakan Petani Variabel karakter gerakan petani adalah variabel yang terdiri dari variabel efektivitas kepemimpinan, intenitas kegiatan, tingkat kolektifitas aksi, dan luas jaringan organisasi. Pada setiap variabel dibedakan atas tiga kategori yakni tinggi, sedang, dan rendah. Nilai 2 diberikan untuk kategori tinggi, nilai 1 diberikan untuk kategori sedang, nilai 0 diberikan untuk kategori rendah. Variabel
Definisi Operasional Efektivitas Peran pemimpin Kepemimpinan dalam organisasi. Intensitas Kegiatan
Tingkat Kolektifitas Aksi Luas Jaringan
Berbagai bentuk aktivitas yang dilakukan oleh Paguyuban Petani dalam melakukan perlawanan. . Kebersamaan anggota dalam perlawanan. Jumlah bantuan yang diberikan oleh pihak luar organisasi.
Indikator
Jenis Data
Tinggi: 8 sampai 10 Sedang: 4 sampai 7 Rendah : 0 sampai 3 Tinggi: > 2 jenis kegiatan Sedang: 2 jenis kegiatan Rendah: 1 jenis kegiatan
Ordinal
Tinggi:11 sampai 16 Sedang:6 sampai 10 Rendah: 0 sampai 5 Tinggi: > 2 lembaga yang membantu Sedang: 2 lembaga yang membantu Rendah: 1 lembaga yang membantu
Ordinal
Ordinal
Ordinal
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
26
PENDEKATAN LAPANGAN
Metode Penelitian Pendekatan penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan penelitian kuantitatif yang didukung oleh data kualitatif untuk menjelaskan kondisi di lapangan saat pengambilan data berlangsung. Instrumen yang digunakan dalam pendekatan kuantitatif adalah kuesioner. Konsep yang diukur dengan menggunakan pendekatan kuantitatif adalah status sosial ekonomi yang meliputi luas lahan, tingkat pendapatan, dan pengalaman berkelompok. Konsep lain yang diukur dengan pendekatan kuantitatif adalah dimensi gerakan petani. Variabel yang diukur adalah status sosial, tingkat kesadaran, tingkat kolektifitas aksi, dan tingkat orientasi instrumental. Dimensi gerakan petani yang terpenuhi menjadi tahap awal terbentuknya gerakan petani yang terorganisir. Variabel yang dapat diamati lebih jauh yakni efektivitas kepemimpinan, intensitas kegiatan, kolektifitas aksi, dan luas jaringan. Data kualitatif dilakukan dengan cara wawancara mendalam, observasi, dan studi dokumentasi terkait. Data kualitatif dilakukan untuk menjelaskan mengenai konflik agraria yang terjadi sehingga menyebabkan perubahan struktur agraria yang dialami oleh petani di Desa Curug dan Desa Tegal Wangi, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor. Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di organisasi Forum Paguyuban Petani Jasinga yang sebaran anggotanya ada di Desa Curug dan Desa Tegal Wangi, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pemilihan lokasi ini dilakukan secara purposive karena beberapa pertimbangan, diantaranya ialah: 1. Konflik agraria di Desa Curug dan Desa Tegal Wangi, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor antara petani dengan pihak perusahaan yang terjadi sejak tahun 2012 dan belum menemukan titik temu. 2. Adanya gerakan petani berupa sebuah organisasi petani bernama Forum Paguyuban Petani Jasinga yang sudah melakukan berbagai aksi dan kegiatan dalam upaya melawan pihak perusahaan. Kegiatan penelitian ini dilaksanakan dalam jangka waktu lima bulan, terhitung mulai Febuari 2014 sampai dengan Juni 2014. Penelitian ini dimulai dengan penyusunan proposal penelitian, kolokium penyampaian proposal penelitian, perbaikan proposal penelitian, pengambilan data di lapangan, pengolahan data, analisis data, penulisan draft skripsi, uji petik, sidang skripsi dan perbaikan laporan skripsi.
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
27
Teknik Penentuan Informan dan Responden Informan adalah orang yang termasuk dalam kegiatan ini yang memberikan keterangan mengenai informasi ataupun data disekitar lingkungannya yang berhubungan dengan penelitian ini. Informan juga dikatakan sebagai pihak yang dapat mendukung keberlangsungan informasi penelitian secara lancar. Informan kunci dalam penelitian ini adalah pemerintah desa, ketua paguyuban dan tokoh masyarakat setempat. Populasi dari penelitian ini adalah seluruh petani yang tergabung dalam Forum Paguyuban Petani Jasinga. Unit analisis dalam penelitian ini adalah individu. Sebaran anggota organisasi ada di dua desa yakni Desa Curug dan Desa Tegal Wangi. Hal ini dikarenkan mantan penggarap di kedua desa tersebut mengalami kehilangan lahan garapan dan tergabung ke dalam organisasi Forum Paguyuban Petani Jasinga. Jumlah mantan penggarap yang terlibat dalam organisasi ini belum dapat dipetakan secara jelas. Hal tersebut menyebabkan penentuan responden dilakukan dengan teknik snow ball. Merujuk pada Rianse dan Abdi (2009) teknik snow ball merupakan teknik sampling yang dicirikan dengan tidak tersedianya data jumlah populasi, sehingga tidak dimungkinkan untuk membuat kerangka sampling. Orang pertama yang ditanyakan terkait responden di Desa Curug adalah ketua Forum Paguyuban Petani Jasinga sedangkan untuk penentuan responden yang berada di Desa Tegal Wangi, adalah salah satu anggota organisasi yang menjadi penggagas dan penggerak. Jumlah responden yang didapat dari Desa Curug adalah 30 orang dan 20 orang di Desa Tegal Wangi. Penentuan responden ditentukan dengan penilaian minimal mengikuti satu kali kegiatan dari organisasi. Hal ini dikarenakan, secara struktur organisasi ini belum dapat memetakan siapa-siapa saja yang tergabung dalam organisasi. Hal tersebut dilakukan untuk membedakan penggarap yang kehilangan lahan dan ikut memperjuangakan kembali akses garapan dengan penggarap yang kehilangan lahan tapi tidak ikut dalam perjuangan. Teknik Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam peneilitian ini terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer didapatkan langsung di lapangan dengan cara observasi, kuesioner, serta wawancara mendalam yang dilakukan langsung kepada responden maupun informan. Data sekunder diperoleh baik dari dokumendokumen tertulis di kantor desa, kantor kecamatan, dan Paguyuban Petani. Data sekunder berupa dokumen-dokumen yang terkait dengan penelitian ini, seperti dokumen sejarah penguasaan lahan, data lahan yang diperebutkan dalam konflik, data masyarakat yang menjadi anggota paguyuban petani maupun data mengenai kegiatan-kegiatan perlawanan yang dilakukan oleh paguyuban petani. Data sekunder juga diperoleh melalui berbagai literatur yang berkaitan dengan
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
28
permasalahan yang akan dibahas pada penelitian ini, yaitu buku, laporan hasil penelitian, artikel, dan sebagainya. Teknik Pengolahan dan Analisis Data Penelitian ini mempunyai dua jenis data yang akan diolah dan dianalisis, yaitu data kuantitatif dan data kualitatif. Data kuantitatif menggunakan aplikasi Microsoft Excell 2007 dan SPSS for windows 20. Pembuatan tabel frekuensi, diagram, serta tabel tabulasi silang untuk melihat data awal responden untuk masing-masing variabel secara tunggal menggunakan aplikasi Microsoft Excell 2007. Kemudian SPSS for windows 20 digunakan untuk membantu dalam uji statitistik yang akan menggunakan uji regresi. Data kualitatif dianalisis melalui tiga tahap yaitu reduksi data, penyajian data, dan verifikasi. Pertama ialah proses reduksi data dimulai dari proses pemilihan, penyederhanaan, abstraksi, hingga transformasi data hasil wawancara mendalam, observasi, dan studi dokumen. Tujuan dari reduksi data ini ialah untuk mempertajam, menggolongkan, mengarahkan, dan membuang data yang tidak perlu. Kedua ialah penyajian data yang berupa menyusun segala informasi dan data yang diperoleh menjadi serangkaian kata-kata yang mudah dibaca ke dalam sebuah laporan. Verifikasi adalah langkah terakhir yang merupakan penarikan kesimpulan dari hasil yang telah diolah pada tahap reduksi.
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
29
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
30
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Profil Forum Paguyuban Petani Jasinga Perpanjangan Hak Guna Usaha di atas lahan eks PT. PJ pada tahun 2008 menyebabkan masyarakat kehilangan akses atas tanah yang digarap selama hampir sepuluh tahun terakhir. Penebangan paksa terhadap tanaman yang ditanam di atas lahan garapan masyarakat dilakukan mendadak dan tanpa pemberitahuan. Luasan yang diperpanjang oleh PT. PJ mencapai 928 hektar sedangkan sekitar 1 200 hektar dibagikan kepada masyarakat dalam Program Pembaruan Agraria Nasional. Sempat ada penolakan dan perlawanan yang dilakukan perorangan penggarap terhadap pihak perusahaan yang didampingi oleh pihak kepolisian dan jawara. Responden di Desa Tegal Wangi yang melakukan perlawanan secara perorangan akhirnya harus dipidanakan atas sikap perlawanannya tersebut. Berdasarkan hasil wawancara, didapatkan informasi bahwa responden ini merupakan figur yang menjadi motor penggerak di Desa Tegal Wangi. “dikurung tah opat bulan di Bogor kulantaran saya ngalawan. Hasil sidang mah saya teu salah ngan opat bulan teh nuturkeun aturan cenah” (dipenjara selama empat bulan di Bogor karena perlawanan saya kemarin. Hasil sidang saya tidak bersalah tapi dipenjara karen ikut dengan aturan (S, 58)
Menurut penuturan responden tersebut, penahanan dirinya dilakukan agar proses penebangan yang belum dilakukan secara keseluruhan dapat berjalan tanpa adanya aksi protes dan gangguan dari masyarakat. Saat penahannya dilakukan tidak ada satupun rekan penggarap yang datang menjenguk karena diancam bila ada pihak yang menjenguk selain keluarga maka hukuman yang diberikan akan lebih lama. Selain itu, di Desa Curug pun terjadi hal yang serupa seperti di Desa Tegal Wangi. Menurut penuturan ketua paguyuban, sebelum terbentuknya organisasi, penggarap membantu proses hukum yang dijalani oleh salah satu masyarakat. Masyarakat ini dituduh melakukan pengrusakan atas tanaman milik perusahaan. Tahap demi tahap penyelesaian hukum dilewati dengan akhir dari kasus yang menggantung dan tidak jelas “sudah pada tahap kasasi namun belum ada putusan” (S, 40)
Tahun 2010 merupakan tahun puncak dari penebangan paksa yang dilakukan terhadap masyarakat. Perlawanan yang awalnya dilakukan secara masing-masing oleh kedua desa, akhirnya tergabung pada tahun 2012. Pembentukan organisasi ini merupakan respon dari kerugian yang diakibatkan oleh kehilangan akses lahan garapan. Sejak awal penebangan paksa pada tahun
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
31
2008, aktivitas kebersamaan sudah dilakukan oleh kedua desa. Namun, belum dalam satu payung organisasi. Ketika terdapat beberapa pihak yang dipidanakan oleh pihak perusahaan, aksi solidaritas yang dilakukan hanya sebatas pendampingan kepada penggarap tersebut. Tahun 2012, merupakan tahun dimana lahirnya Forum Paguyuban Petani Jasinga. Awal mula pembentukan organisasi ini menurut penuturan ketua paguyuban dikarenakan ada pihak yang mencoba memanfaatkan kondisi yang tengah kacau. Oknum preman tersebut mengatasnamakan sebuah Ormas bernama BPKB yang ada di kawasan Tangerang. Akhirnya perwakilan dari pihak Desa Curug dan Desa Tegal Wangi mendatangi sekretariat Ormas tersebut untuk klarifikasi. Setelah dilakukan pengecekan, ternyata pihak tersebut adalah oknum dari anggota Ormas yang sudah pisah kongsi dengan Ormas. Akibat ketidaksengajaan tersebut, pihak perwakilan bertemu dengan pimpinan Ormas yang menyatakan dukungan kepada masyarakat Desa Curug dan Desa Tegal Wangi. Forum Paguyuban Petani Jasinga dibentuk sebagai respon atas perubahan akses yang dialami masyarakat di Desa Curug, Desa Tegal Wangi, dan Desa Wirajaya. Perubahan akses terhadap lahan garapan yang terjadi pada tahun 2008 disebabkan oleh diperpanjangnya Hak Guna Usaha tanah eks PT. PJ oleh perusahaan lain. Ketika disinggung mengenai perusahaan apa yang kini menguasai lahan tersebut, masyarakat seragam mengatakan bahwa tidak ada kejelasan mengenai perusahaan yang kini mengelola tanah yang luasannya mencapai 900 hektar tersebut. Lebih jauh pembahasan mengenai sejarah agraria lokal dan proses dari perubahan akses yang dialami oleh masyarakat di ketiga desa dapat dilihat pada bab perubahan status sosial ekonomi pasca perpanjangan Hak Guna Usaha. Organisasi ini merupakan basis bagi para mantan penggarap untuk menuntut hak garap kembali atas tanah yang sejak tahun 1998 digarap oleh mereka. Secara struktur, belum bisa dipetakan siapa saja yang menjadi anggota dalam organisasi ini. Sejak pembentukannya tahun 2012 silam, organisasi ini baru memiliki ketua paguyuban yang pemilihannya dilakukan berdasarkan instruksi dari ketua Ormas yang membantu dalam proses penyelesaian sengketa lahan garapan. Sebelum terbentuknya suatu organisasi, pada tahun 2008 hingga tahun 2012, mantan penggarap sudah melakukan aktivitas kebersamaan seperti kasus penyelesaian hukum yang membelit beberapa mantan penggarap. Kasus hukum tersebut dilaporkan oleh pihak perusahaan kepada pihak kepolisian atas tuduhan pengrusakan. Dipilihnya Bapak S sebagai ketua paguyuban disambut baik oleh masyarakat dan Bapak S bersedia menjadi ketua paguyuban dengan catatan didukung oleh masyarakat dalam proses perjuangan yang akan dilakukan. Secara struktural, organisasi ini belum seperti organisasi biasanya yang sudah memiliki struktur organisasi. Selain itu organisasi ini belum memiliki daftar anggota yang jelas. Menurut penuturan ketua paguyuban, hal ini dikarenakan jumlah penggarap di setiap kegiatan berbeda. Jadi belum bisa memetakan siapa saja anggota yang tetap. Sebaran mantan penggarap yang bernaung dibawah organisasi ini tersebar di Desa Curug, Desa Tegal Wangi, dan Desa Wirajaya. Saat kejadian hilangnya akses lahan garapan masyarakat pada tahun 2008, Desa Wirajaya masih menjadi bagian atau kampung dari Desa Curug. Pemekaran yang terjadi
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
32
pada tahun 2010 mengakibatkan peta penyebaran mantan penggarap yang bernaung di organisasi ini bertambah. Lahan garapan milik responden di Desa Curug masih dikuasai secara fisik atau belum seluruh lahan mengalami pengrusakan dan penebangan seperti responden di Desa Tegal Wangi. Hal tersebut dikarenakan, banyak lokasi lahan garapan responden Desa Tegal Wangi sudah dikuasai oleh pihak perusahaan. Bantuan yang diberikan oleh pihak LBH Jakarta adalah proses advokasi dan kajian terkait sengkata lahan yang terjadi. Bantuan yang diberikan oleh pihak Komnas HAM adalah pendampingan dan advokasi juga mediasi yang pernah dilakukan. Selain itu, bantuan yang diberikan Ormas BPKB adalah pendampingan dan sokongan dana ketika membutuhkan dana untuk proses advokasi ke luar kota Desa Cakupan Organisasi Desa Curug Desa Curug merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Indonesia. Desa Curug berjarak 165 km dari ibu kota negara, 212 km dari ibu kota provinsi, 72 km dari ibu kota kabupaten, dan lima km dari Kecamatan Jasinga. Desa Curug merupakan desa terluas di Kecamatan Jasinga, dengan luasan wilayah mencapai 1265 hektar. Desa Curug berada di jalur provisi yang menghubungkan Jawa Barat dengan Banten. Menurut penggunaanya wilayah Desa Curug dibagi kedalam beberapa bagian. Areal pemukiman yang ditempati penduduk seluas 27 hektar. Areal pesawahan yang digunakan oleh penduduk yaitu seluas 104 hektar. Luas perkebunan yaitu 980 hektar merupakan penggunaan luas wilayah terbesar. Selain itu, 18 hektar digunakan untuk pemakaman, 300 hektar untuk perkantoran, dan sisanya digunakan untuk luas prasarana umum. Desa Curug secara administrartif terbagi menjadi lima kampung, yakni Kampung Ngasuh, Kampung Barangbang, Kampung Liud, Kampung Curug, dan Kampung Baru. Desa Curug terdiri dari empat rukun penduduk yang didalamnya mencakup 26 rukun tetangga. Kampung Barambang yang awalnya menjadi bagian dari Desa Curug, mengalami pemekaran menjadi Desa Wirajaya pada tahun 2009. Desa Curug berbatasan langsung dengan Desa Wirajaya sebelah barat dan selatan, Desa Jugalaya sebelah timur, dan Desa Koleang sebelah utara. Berdasarkan profil desa tahun 2010, Desa Curug memiliki jumlah penduduk sebanyak 5 110 jiwa. Jumlah ini terdiri dari 2 562 jiwa laki-laki dan 2 548 jiwa perempuan dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 1 200. Penduduk Desa Curug sebagian besar merupakan penduduk asli Jasinga, sedangkan hanya sebagian penduduk pendatang yang berasal dari Kabupaten Lebak dan Pandeglang. Angkatan kerja yang ada di Desa Curug digolongkan kedalam penduduk usia kerja, penduduk usia kerja yang bekerja, dan penduduk usia kerja yang belum bekerja. Penduduk usia kerja yang telah bekerja memiliki jumlah yang
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
33
lebih banyak dibandingkan yang belum bekerja atau tidak bekerja. Jumlah penduduk usia kerja berjumlah 3 144. Penduduk usia kerja yang bekerja berjumlah 2 709. Jumlah penduduk menurut angkatan kerja di Desa Curug dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 1 Jumlah orang dan persentase angkatan kerja di Desa Curug tahun 2010 No Angkatan Kerja 1 Penduduk usia kerja 2 Penduduk usia kerja yang bekerja 3 Penduduk usia kerja yang belum bekerja Jumlah Sumber : Profil Desa Curug Tahun 2010
Jumlah (jiwa) Persentase (%) 3 144 5000 2 709 43.1 435 6.9 6 288 1000
Berdasarkan profil Desa Curug Tahun 2010, didapatkan informasi mengenai jumah orang menurut angkatan kerja. Tabel 1 memperlihatkan bahwa komposisi penduduk Desa Curug didominasi oleh penduduk usia kerja dengan jumlah 3 144 jiwa atau 50 persen penduduk. Selain itu, penduduk usia kerja yang bekerja ada 2 709 jiwa atau 43.1 persen penduduk. Di sisi lain, terdapat 435 jiwa atau 6.9 persen penduduk yang termasuk ke dalam golongan penduduk usia kerja yang belum bekerja.
Tabel 2 Jumlah orang dan persentase berdasarkan tingkat pendidikan di Desa Curug tahun 2010 No Tingkat Pendidikan 1 2 3
Laki-laki
Tamat SD/ Sederajat 782 Tamat SMP/ Sederajat 259 Tamat SMA/ Sederajat 93 Jumlah 1 134 Sumber : Profil Desa Curug Tahun 2010
Persentase Perempuan Persentase (%) (%) 68.9 565 67.5 22.8 218 26 0 8.3 54 6.5 100 837 1000
Tingkat pendidikan penduduk Desa Curug umumnya SD atau SMP. Sebagian penduduk yang menamatkan pendidikan hingga jenjang SMA adalah penduduk usia muda. Penduduk usia tua menamatkan pendidikan sampai tingkat pendidikan SD atau SMP. Berdasarkan profil desa 2010, terdapat 1 347 penduduk yang tingkat pendidikannya tamat SD/sederajat. Bila dirinci berdasarkan jenis kelamin, 728 laki-laki atau 68.9 persen dan 565 perempuan atau 67.5 persen. Penduduk yang memiliki tingkat pendidikan tamat SMP/sederajat di Desa Curug berjumlah 477. Penduduk yang memiliki tingkat pendidikan tamat SMP/sederajat bila dirinci menurut jenis kelamin, terdiri dari 259 laki-laki atau 22.8 persen dan 218 perempuan atau 26 persen. Jumlah penduduk yang menamatkan jenjang pendidikan hingga SMA/sederajat
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
34
merupakan jumlah yang paling sedikit bila dibandingkan dengan kategori lain. Berdasarkan profil Desa Curug 2010, terdapat 93 laki-laki atau 8.3 persen dan 54 perempuan atau 6.5 persen yang menamatkan jenjang pendidikan hingga SMA/sederajat.
Tabel 3 Jumlah orang berdasarkan jenis pekerjaan di Desa Curug Tahun 2010 No
Sektor Mata Pencaharian
1
Pertanian a. Petani b. Buruh tani c. Pemilik usaha pertanian Perkebunan a. Karyawan perusahaan perkebunan b. Pemilik usaha perkebunan Perkebunan Perikanan Industri kecil dan kerajian rumah tangga a. Montir b. Tukang kue c. Pengrajin industri rumah tangga lainnya Jasa a. Pemilik usaha jasa transportasi dan perhubungan b. Pegawai negeri sipil c. Pembantu rumah tangga d. Tidak mempunyai pekerjaan tetap e. Jasaa lainnya Perdagangan
2
3 4 5
6
7
Jumlah (jiwa) 210 302 602 302 602 23 12 9 13 17 142 11 42 172 35 56
Sumber:Profil Desa Curug Tahun 2010
Tabel 3 memperlihatkan sebaran penduduk Desa Curug berdasarkan jenis pekerjaan. Jumlah terbanyak adalah pemilik usaha pertanian dan usaha perkebunan dengan masing-masing 602 orang. Selain itu, dapat terlihat bahwa jumlah orang yang bekerja di sektor pertanian dan perkebunan lebih banyak jika dibandingkan dengan yang bekerja di sektor industri dan jasa. Wilayah Desa Curug merupakan wilayah yang dikelilingi oleh perkebunan, baik perkebunan rakyat maupun yang dikelola oleh pemerintah atau swasta. Kondisi geografis ini berpengaruh terhadap mata pencaharian penduduk yang bekerja sebagai petani. Pertanian yang dilakukan oleh penduduk Desa Curug adalah pertanian tanaman kebun. Pekerjaan yang digeluti oleh para penduduk Desa Curug bukan hanya di sektor pertanian, melainkan terdapat sektor mata pencaharian lain. Mata pencaharian tambahan yang dilakukan oleh penduduk Desa Curug dimaksudkan untuk menambah penghasilan dan pemenuhan kebutuhan sehari-hari.
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
35
Desa Curug merupakan desa dengan luas lahan untuk pertanian yang besar dan didominasi dengan tanaman perkebunan. Hal ini tentunya berkaitan dengan kondisi ekonomi yang ada di Desa Curug. Kondisi ekonomi di Desa Curug sebagian besar bergantung pada hasil yang diperoleh dari pertanian, dalam hal ini termasuk di dalamnya perkebunan karet, jenjeng, bambu, dan buah manggis
Tabel 4 Jumlah orang dan persentase luas kepemilikan lahan di Desa Curug Tahun 2010 No 1. 2. 3. 4. 5.
Jumlah kepemilikan lahan Jumlah (jiwa) Tidak memiliki Memiliki <1 ha Memiliki 1.0 sampai < 5.0 ha Memiliki =Ð5.0 sampai 10 ha Memiliki =b 10 ha Jumlah Sumber : Profil Desa Curug Tahun 2010
Persentase (%) 76 722 48 11 3 860
8.8 83.9 5.6 1.3 6.4 100
Tabel 4 memperlihatkan bahwa struktur kepemilikan lahan di Desa Curug didominasi oleh penduduk yang memiliki lahan dibawah satu hektar yaitu sebanyak 722 orang atau 83.9 persen. Tunakisma yang ada di Desa Curug bahkan menempati urutan kedua dalam struktur kepemilikan tanah dengan jumah 76 orang atau 8.8 persen. Selain itu, penduduk yang memiliki lahan kisaran satu sampai lima hektar berjumlah 48 orang atau 5.6 persen. Jumlah penduduk yang memiliki lahan kisaran lima sampai sepuluh hektar hanya berjumlah 11 orang atau 1.3 persen. Letak Desa Curug yang cukup jauh dari ibu kota Kecamatan Jasinga memang kurang memberikan kemudahan terhadap beberapa sarana dan prasarana yang dibutuhkan. Namun, dilihat dari kondisi Desa Curug sendiri, dapat dikatakan bahwa Desa Curug cukup memiliki sarana dan prasarana yang tersedia di Desa Curug diantaranya sarana transportasi, pendidikan, peribadatan, kesehatan, olahraga, dan kebersihan. Mobilisasi penduduk Desa Curug tergantung pada jasa angkutan umum yang melewati jalan utama menuju wilayah Desa Curug. Angkutan umum tersebut terdiri dari angkutan pedesaan dan angkutan perkotaan yang tersedia selama 24 jam. Rute yang dilalui oleh angkutan ini yaitu Jasinga-Cipanas, Jasinga-Bogor, Jasinga-Leuwiliang. Angkutan lain yang melewati Desa Curug yakni angkutan mini bus dengan rute Pandeglang-Rangkas sampai Bogor. Angkutan tersebut akan memberikan akses sampai Desa Curug. Sarana pendidikan penting keberadaanya di desa untuk meningkatkan pengetahuan penduduk desa. Sarana pendidikan yang tersedia di Desa Curug terdiri dari dua lembaga pendidikan Taman Kanak-Kanak, empat lembaga pendidikan Sekolah Dasar dan satu lembaga pendidikan Sekolah Menengah Pertama. Selain lembaga pendidikan formal, terdapat lembaga pendidikan
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
36
informal yang berada di Desa Curug. Terdapat dua lembaga Raudhiatul Athfal, satu lembaga Madrasah Ibtidayah, dan tiga pondok pesantren. Prasarana yang juga tersedia di Desa Curug, salah satunya prasarana peribadatan yaitu lima buah masjid dan lima buah mushala. Prasarana peribadatan ini tentu menjadi penting mengingat seluruh penduduk Desa Curug beragama Islam. Ketersediaan prasarana ini menjadi pendukung jalannya kehidupan keagamaan di Desa Curug. Prasarana peribadatan tersebut tersebar di seluruh kampung di Desa Curug sehingga memudahkan akses untuk beribadat. Setiap kampung setidaknya memiliki satu mushala untuk memudahkan kebutuhan dalam beribadah bagi penduduk desa. Desa Curug saat ini telah memiliki beberapa sarana dan prasarana di bidang olahraga, kesehatan, dan kebersihan. Desa Curug memiliki prasarana olahraga yaitu lima buah lapangan sepak bola, dua buah lapangan bulu tangkis, dan satu buah meja pingpong. Desa Curug memiliki Puskesmas yang letaknya berdekatan dengan kantor desa setempat. Selain itu keberadaan Posyandu menjadi prasarana yang bergerak di bidang kesehatan. Tenaga di bidang kesehatan pun tersedia dengan jumlah dokter umum sebanyak satu orang, paramedis sebanyak empat orang, dukun bersalin sebanyak lima orang, dan bidan sebanyak satu orang. Desa curug memiliki Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sebanyak lima buah. Desa Tegal Wangi Desa Tegal Wangi merupakan desa pemekaran dari Desa Koleang yang berbatasan langsung di sebelah timur. Pemekaran dari Desa Koleang terjadi pada tahun 1987. Desa Tegal Wangi berada pada ketinggian 500 sampai 700 mdpl. Sebagian besar wilayah Desa Tegal Wangi adalah lereng gunung dengan kemiringan 20 sampai 40 di sebelah timur. Desa Tegal Wangi berbatasan langsung dengan Desa Candi di sebelah utara, Desa Koleang di sebelah timur, Desa Curug di sebelah selatan, dan Desa Lebak Asih di sebelah barat. Desa Tegal Wangi merupakan daerah terluar di Kabupaten Bogor sebelah barat. Desa Tegal Wangi berbatasan langsung dengan Kabupaten Rangkasbitung, Provinsi Banten. Luasan Desa Tegal Wangi mencapai 945 hektar. Desa Tegal Wangi terdiri dari tiga dusun dengan tujuh Rukun Penduduk (RW) dan 38 Rukun Tetangga (RT). Terdapat tujuh kampung di Desa Tegal Wangi, yakni Lengkong, Nanggung, Cimanggu, Cokrak, Curug Nanggung, dan Tegal. Peruntukan lahan di Desa Tegal Wangi adalah 82 hektar untuk sawah tadah hujan, 35 hektar untuk pekarangan pemukiman, 333 hektar untuk hutan rakyat, dan 362 hektar untuk hutan negara.
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
37
Tabel 5 Jumlah orang berdasarkan kelompok umur di Desa Tegal Wangi tahun 2011 sampai 2015 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Jenis 0 sampai 2 tahun 3 sampai 4 tahun 4 sampai 6 tahun 7 sampai 12 tahun 13 sampai 15 tahun 16 sampai 19 tahun 20 sampai 30 tahun 31 sampai 45 tahun 46 sampai 60 tahun 61 sampai 70 tahun > 71 tahun Jumlah
Jumlah (jiwa) 480 325 245 710 131 134 825 780 1 125 252 112 5 109
Sumber : Dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RJPM) Desa Tegal Wangi tahun 2011 – 2015
Berdasarkan data terakhir hasil sensus penduduk pada tahun 2011, tercatat 5 109 jiwa bermukim di Desa Tegal Wangi dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 1 292 Kepala Keluarga. Bedasarkan kelompok umur, komposisi penduduk Desa Tegal Wangi dapat dilihat pada Tabel 5. Dapat dijelaskan bahwa penduduk usia 46 sampai 60 tahun merupakan jumlah penduduk paling banyak dengan 1 125 jiwa. Setelah itu, yang menempati posisi kedua adalah penduduk dengan umur 20 sampai 30 dengan 825 jiwa. Tingkat pendidikan penduduk di Desa Tegal Wangi mayoritas adalah tidak tamat SD dengan jumlah 1 715 jiwa, lulusan SD dengan jumlah 1 675 jiwa, tamat SMP 517 jiwa, tamat SMA 174 jiwa, dan lulusan S1 sebanyak 25 jiwa. Sarana pendidikan di Desa Tegal Wangi sudah menunjang akses bagi penduduknya, terbukti dengan adanya tiga unit SD dan satu unit SMP. Bila dilihat dari Indeks Pembangunan Manusia Desa Tegal Wangi dari tahun 2009 sampai 2011, dapat dilihat pada Tabel 5. Jumlah angkatan kerja pada tahun 2011 sebanyak 870 jiwa sedangkan jumlah pencari kerja pada tahun yang sama adalah 100 jiwa dan 770 jiwa belum mendapatkan pekerjaan. Jumlah pencari kerja terdiri dari 430 jiwa laki-laki dan 440 jiwa perempuan. Jumlah kelahiran hidup dan kematian bayi di Desa Tegal Wangi pada tahun 2009 sampai 2011 tercatat penurunan jumlah kematian bayi dari 20 bayi pada tahun 2009 menjadi tujuh bayi pada tahun 2011. Mata pencaharian yang digeluti oleh mayoritas masyarakat Desa Tegal Wangi adalah petani dengan jumlah 860 jiwa. Selain itu, buruh tani di Desa Tegal Wangi tercatat ada 612 jiwa. Sektor pertanian padi sawah dan perkebunan karet menjadi andalan bagi masyarakat Desa Tegal Wangi. Namun, tercatat 1 800 jiwa yang tidak bekerja. Sistem pertanian yang digunakan oleh masyarakat Desa Tegal Wangi adalah sistem pertanian tradisional. Hal ini dikarenakan, hasil panen yang didapat bukan untuk dijual melainkan untuk konsumsi umah tangga. Untuk memenuhi kebutuhan seahari-hari, masyarakat Desa Tegal Wangi bekerja
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
38
sebagai buruh sadap karet dengan sistem bagi hasil atau maparo. Selain itu, sisi lain dari Desa Tegal Wangi adalah kondisi masyarakat yang sangat guyub. Hal ini ditandai dengan adanya sistem gacong. Sistem gacong adalah membantu tetangga atau kerabat saat tandur hingga panen dengan bayaran berupa gabah. Biasaya dilakukan leh para wanita Hasil yang didapatkan dari gacong biasanya lebih banyak dibandingkan dengan hasil panen dari tanah milik atau garapan sendiri. Sistem pertanian tradisional lain yang ada di Desa Tegal Wangi adalah dengan masih digunakannya ani-ani saat memotong batang padi. Sawah tadah hujan yang ada di Desa Tegal wangi hanya bisa ditanami dua kali dalam setahun karena memanfaatkan air hujan. Hasil panen padi yang dihasilkan setiap panennya disimpan dalam leuit. Leuit adalah bangunan yang berukuran dua kalitiga meter dengan kapasitas gabah yang dapat ditampung mencapai tiga sampai empat ton. Letaknya yang berada di paling barat Kabupaten Bogor, menjadikan Desa Tegal Wangi sebagai arus hilir mudik kendaraan dari Kabupaten Rangkasbitung, Provinsi Banten. Adanya potensi batu cadas yang berada di Kabupaten Rangkasbitung menjadikan jalan Desa Tegal Wangi rusak parah akibat muatan truk cadas yang berat dan berjumlah puluhan setiap harinya. Berdasarkan pengamatan, akses ke sumber pengobatan dari Desa Tegal Wangi memerlukan jarak tempuh yang jauh. Biasanya bila membutuhkan pertolongan medis, masyarakat Desa Tegal Wangi lebih sering untuk ke Rumah Sakit di daerah Rangkasbitung dibandingkan dengan Rumah Sakit Leuwi Liang. Waktu tempuh yang dibutuhkan untuk sampai ke Rumah Sakit Leuwi Liang kurang lebih dua jam sedangkan ke Rumah Sakit di Daerah Rangkasbitung hanya memerlukan waktu kurang dari satu jam. Mengantisipiasi hal yang tidak diinginkan, dibangunlah Puskesmas Pembantu (Pustu) yang letaknya di Desa Koleang yang jaraknya dua sampai tiga km dari Desa Tegal Wangi. Sarana pendidikan yang ada di Desa Tegal Wangi adalah tiga unit Sekolah Dasar, dua unit Madrasah Ibtidaiyah, dan satu Sekolah Menengah Pertama swasta. Selain itu, terdapat sarana peribadatan yang berada di Desa Tegal Wangi. Masjid jami berjumlah tujuh unit, mushola tiga unit, dan lima unit pondok pesantren.
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
39
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
40
PERUBAHAN STATUS SOSIAL EKONOMI PASCA PERPANJANGAN HGU
Perubahan Struktur Agraria Lokal Lahan eks Hak Guna Usaha PT. PJ yang luasnya mencapai 2 000 hektar di Kecamatan Jasinga dimanfaatkan oleh masyarakat di Desa Curug dan Desa Tegal Wangi sebagai lahan garapan. Penggarapan lahan tersebut dimulai sejak tahun 1998. Pada tahun 2008 Hak Guna Usaha lahan eks PT. PJ diperpanjang oleh sebuah perusahaan yang tidak diketahui identitasnya oleh masyarakat sekitar. Tidak semua lahan eks Hak Guna Usaha PT. PJ diperpanjang. Luasan lahan yang termasuk ke dalam zona perpanjangan Hak Guna Usaha seluas 938 hektar. Sisa lahan yang tidak termasuk ke dalam perpanjangan Hak Guna Usaha atau 1 200 hektar, diberikan kepada masyarakat pada Program Pembaruan Agraria Nasional. Kronologi yang lebih jelas ada pada Tabel 6.
Tabel 6 Kronologi perubahan struktur agraria lokal Sebelum tahun 1998 PT. PJ sudah beroperasi di Kecamatan Jasinga sejak jaman penjajahan Belanda.
Setelah Belanda pergi dari Indonesia, pengelolaan PT. PJ diberikan kepada pemerintah Inggris. Pada masa Orde Baru, pengelolaan PT. PJ dikelola oleh orang Indonesia.
Hak Guna Usaha PT. PJ Habis dan tidak diperpanjang lagi.
Setelah tahun 1998 Masyarakat di Desa Curug dan Desa Tegal Wangi mulai menggarap lahan eks Hak Guna Usaha PT. PJ Pihak desa setempat memberikan instruksi untuk mengelola lahan tersebut dengan sistem tumpang sari. Tahun 2000, pembuatan SPPT dilakukan di kedua desa sebagai izin yang legal dalam pengeloaan lahan milik negara.
Setelah tahun 2008 Perpanjangan Hak Guna Usaha lahan eks PT. PJ. Perpanjangan Hak Guna Usaha dilakukan di atas lahan seluas 938 hektar. Penebangan paksa tanaman milik masyarakat mulai dilakukan oleh pihak perusahaan yang dibantu oleh jawara. Pelaksanaan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN). Pembagian lahan eks PT. PJ yang tidak diperpanjang kepada masyarakat di Kecamatan Jasinga. Luasan lahan yang termasuk ke dalam PPAN adalah 1 200 hektar Tahun 2010, puncak dari penebangan lahan garapan masyarakat di kedua desa
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
41
Masyarakat Desa Curug dan Desa Tegal Wangi, Kecamatan Jasinga mulai menggarap lahan eks Hak Guna Usaha PT. PJ pada tahun 1998. Tidak ada penentuan berapa luasan lahan garapan untuk setiap penggarap. Penentuan pembagian lokasi lahan garapan pun tidak disepakati ketika itu. Hasil wawancara dengan responden menyatakan bahwa pemilihan lokasi lahan garapan diserahkan kepada penggarap. Biasanya penggarap memilih lahan yang aksesnya dekat dengan rumah. Hal tersebut dilakukan agar lahan garapan nantinya dapat diawasi dengan mudah. Luasan lahan garapan yang dimanfaatkan oleh penggarap berkisar dari 0.5 hektar hingga 4.5 hektar. Kemampuan modal dan tenaga yang dimiliki oleh penggarap menjadi penentunya. Ketika penggarap memiliki cukup modal, maka penggarap tersebut akan menggunakan jasa buruh tani untuk turut serta dalam proses pembukaan lahan dan penanaman. Komoditas yang umumnya ditanam oleh penggarap adalah karet, jengjeng, bambu, singkong, dan manggis. Lahan garapan yang dimanfaatkan oleh masyarakat dijadikan sebagai mata pencaharian utama. Namun, ada juga yang dijadikan sebagai mata pencaharian tambahan. Tanaman keras yang ditanam oleh para penggarap biasanya baru menghasilkan ketika umurnya sudah lebih dari lima sampai tujuh tahun. Tahun 2008, berdasarkan penuturan responden, tanaman yang sudah ditanam sejak sepuluh tahun terakhir itu ditebang tanpa permisi kepada pemiliknya. Banyak para penggarap yang sudah mendapati tanaman mereka runtuh bahkan sudah dijual oleh para jawara tersebut menurut mereka. Menurut penuturan salah satu responden, tanah garapan yang baru ditanami padi setelah dua minggu dari masa tandur, hancur diratakan dengan bidang tanah lainnya. Responden tersebut, mendapati tanah garapannya sudah kering dan rata. Penebangan paksa yang dilakukan oleh pihak perusahaan menurut sudut pandang responden hanya sebelah pihak. Menurut penuturan responden, pihak perusahaan awalnya menawarkan ganti rugi atas tanaman yang ditebang paksa tersebut. Pertemuan yang dilakukan di kantor desa tersebut menjelaskan bahwa harga ganti dari tanaman karet per pohonnya dihargai Rp7 000 dan harga per rumpun bambu dihargai Rp50 000. Namun, kenyataan yang berbeda terjadi. Ketika masyarakat sudah mendata jumlah pohon yang masing-masing mereka miliki dan berkumpul kembali di kantor desa untuk pembagian uang ganti rugi, ternyata harga ganti rugi tidak sesuai dengan harga yang dijanjikan pada pertemuan awal. Pohon karet dihargai Rp4 000 sampai Rp5 000 dan satu rumpun bambu hanya dihargai Rp7 000. “dari pada teu kapuluk pisan neng. Tos diurus salami-lami” (“dari pada gak ada hasilnya sama sekali neng. Udah saya urus dari lama”)
Uang ganti rugi yang diterima oleh penggarap berkisar Rp700 000 sampai Rp1 500 000 tergantung dari jumlah tanaman yang mereka miliki. Namun, tidak semua penggarap mau menerima uang ganti rugi tersebut. Beberapa penggarap menolak mengambil karena harga ganti rugi tidak sesuai dengan yang dijanjikan di awal pertemuan. Disisi lain, menurut penuturan Kepala Desa Curug, uang yang diberikan oleh pihak perusahaan adalah “uang kerohiman” yang diberikan kepada penggarap karena sudah menggarap lama lahan tersebut. Selain itu, penggarap boleh menjual sendiri tanaman yang
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
42
mereka tanam tersebut. Perusahaan yang menggunakan jasa para jawara membuat masyarakat ketakutan dan menerima saja keadaan yang ada. “Meunang teu meunang rek dibabad” (Boleh tidak boleh akan tetap ditebang).
Tahun 2008 pun bertepatan dengan pelaksanaan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) di Kecamatan Jasinga. Blok Ciohol merupakan zona dari pembagian lahan dari Program Pembaruan Agraria Nasional. Blok yang termasuk ke dalam zona perpanjangan Hak Guna Usaha Jilid dua adalah Blok Cikidung. Luasan lahan yang termasuk ke dalam perpanjangan Hak Guna Usaha adalah 928 hektar sedangkan luasan lahan yang termasuk ke dalam zona pembagian lahan pada Program Pembaruan Agraria Nasional adalah 1 200 hektar. Perubahan akses terhadap lahan garapan dialami masyarakat di Desa Curug dan Desa Tegal Wangi yang sejak awal menggarap lahan di Blok Cikidung. Menurut penuturan salah satu responden, pelaksanaan Program Pembaruan Agraria Nasional tidak memberikan dampak positif bagi semua masyarakat di Desa Curug dan Desa Tegal Wangi. Hal ini dikarenakan tidak semua masyarakat mendapat pembagian lahan dari program tersebut dan kehilangan lahan garapan saat perpanjangan Hak Guna Usaha. “untuk apa diberi lahan seumpama 1 meter tapi lahan 3 meter yang dahulu digarap diambil lagi oleh perusahaan”
Perubahan Luas Penguasan Lahan Luas penguasaan lahan yang dimaksud adalah total luas seluruh lahan yang dikuasai oleh responden baik itu milik, garap, bagi hasil, dan sewa. Lahan eks Hak Guna Usaha yang dimanfaatkan oleh para penggarap sebagai sumber penghidupan keluarga. Letak desa yang memang dikelilingi lahan subur dan berpotensi dijadikan perkebunan. Lahan tersebut memang cocok jika dijadikan perkebunan karena relatif kering dan tidak cocok untuk ditanami tanaman hortikultur. Jenis tanaman yang banyak ditanam oleh para penggarap adalah karet, jati, dan jengjeng. Tabel 7 Persentase responden berdasarkan luas penguasaan lahan Luas penguasaan lahan Sebelum perpanjangan HGU Setelah perpanjangan HGU
Rendah (%) 48 90
Tinggi (%) 52 10
Total (%) 100 100
Data yang ada pada Tabel 7 menunjukkan perbedaan kondisi antara sebelum dan setelah perpanjangan Hak Guna Usaha. Luas penguasaan lahan sebelum perpanjangan Hak Guna Usaha mayoritas tergolong pada luas penguasaan lahan tinggi. Sebanyak 52 persen responden menguasai lahan seluas =¶ 9 500 m2. Sebelum perpanjangan Hak Guna Usaha, luas lahan grapan
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
43
responden di kedua desa memang tergolong luas. Luas lahan garapan responden di kedua didominasi dengan luas lahan lebih besar (>) 1 hektar. Lebih jauh, jika dilihat perbedaan berdasarkan domisili responden, luas penguasaan lahan tinggi lebih banyak dimiliki oleh responden di Desa Tegal Wangi. Responden yang tergolong ke dalam luas penguasaan lahan rendah sebanyak 48 persen. Responden yang tergolong ke dalam golongan ini adalah responden yang menguasai lahan kurang dari (<) 9 500 m2. Terdapat perbedaan antara responden di Desa Curug dan Desa Tegal Wangi pada luas penguasaan lahan. Hanya sebagian kecil responden di Desa Tegal Wangi yang menguasai lahan tinggi. Hal ini dikarenakan luas lahan garapan responden di Desa Tegal Wangi sejak awal penggarapan hanya berkisar 100 sampai 5 000 m2. Kondisi berbeda terlihat setelah perpanjangan Hak Guna Usaha. Jumlah responden yang termasuk ke dalam golongan luas penguasaan lahan rendah bertambah 42 persen menjadi 90 persen. Hal bertolak belakang terjadi pada golongan luas penguasaan lahan tinggi. Responden yang tergolong pada kategori ini berkurang sebesar 42 persen menjadi 10 persen. Pasca perpanjangan Hak Guna Usaha, responden terkonsentrasi pada luas penguasaan lahan rendah. Responden yang pada awalnya tergolong pada luas penguasaan lahan tinggi mengalami perubahan ke dalam golongan luas penguasaan lahan rendah. Hal ini disebabkan oleh perubahan akses yang dialami oleh responden. Hanya 10 persen responden yang masih tergolong ke dalam luas penguasaan lahan tinggi. Hal ini dikarenakan sebagian kecil responden ini masih menguasai lahan secara fisik. Lebih jauh pasca penebangan paksa oleh pihak perusahaan, ada beberapa responden yang berdomisili di Desa Curug masih menguasai secara fisik lahan tersebut. Bagian kecil responden di Desa Curug yang masih menguasai lahan secara fisik adalah responden yan tergabung ke dalam Ormas yang membantu dalam proses penyelesaian sengketa lahan. Selain itu, responden yang kenal dekat dengan petugas keamanan perusahaan. Menurut pernyataan ketua paguyuban, hanya responden atau mantan penggarap yang berani melawan yang masih menguasai lahan secara fisik. Berbeda dengan yang terjadi di Desa Tegal Wangi. Tercatat delapan responden yang pada akhirnya memiliki lahan garapan secara legal. Hal ini dikarenakan lokasi lahan garapan mereka dahulu termasuk ke dalam zona Program Pembaruan Agraria Nasional. Hal berbeda ditunjukkan oleh 12 responden yang berdomisili di Desa Tegal Wangi. Semua responden ini sudah tidak menguasai lahan secara fisik. Hal ini dikarenakan, lokasi lahan garapan yang dahulu digarap oleh 12 responden ini sudah digunakan oleh perusahaan untuk proses produksi. Uji t-test paired dilakukan untuk melihat perbedaan kondisi sebelum dan setelah perpanjangan Hak Guna Usaha. Hasil yang didapatkan adalah terjadi penurunan mean dari 1.04 menjadi 0.2. Selain itu, nilai sig yang didapatkan adaah 0,023. Nilai t hitung yang didapat adalah 5.975. Berdasarkan hasil uji beda tersebut, dapat diartikan bahwa terjadi perbedaan antara sebelum dan setelah perpanjangan. Hal ini dibuktikan oleh nilai t hitung yang lebih besar (>) dari t tabel. T hitung bernilai 5.975 sedangkan t tabel bernilai 1.676. Mean hasil uji beda menunjukkan penurunan dari 1.04 menjadi 0.2. Hal tersebut didukung dengan fakta di lapangan yang menunjukkan luas penguasaan lahan setelah perpanjangan Hak Guna Usaha menurun dan responden terkonsentrasi pada luas penguasaan lahan rendah.
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
44
Perubahan Tingkat Pendapatan Perubahan pendapatan dirasakan ketika hilangnya akses terhadap lahan garapan di eks Hak Guna Usaha. Walaupun tanah yang responden kuasai bukan hanya tanah eks Hak Guna Usaha tersebut, responden menjadikan pendapatan dari sadapan karet sebagai pendapatan harian yang biasa digunakan untuk kebutuhan rumah tangga sehari-hari. Menurut penuturan responden, masa kejayaan dari sadapan karet yang dahulu dirasakan oleh penggarap yang bermukim di dua desa tersebut terlihat dari sisa-sisa peninggalannya. Rumah “gedong” atau rumah berdindingkan tembok dan sepeda motor yang dimiliki oleh responden menjadi hasil nyata dari sadapan karet yang memang menjanjikan kala itu. Kondisi saat ini yang dirasakan oleh responden berada di titik terendah ketika mereka menyebutkan istilah “balangsak” untuk menggambarkann kehidupan mereka. “Baheula mah nu sakola teh rame, nu masantren oge. Budak hayang jajan ge teu hese” “Dulu yang sekolah banyak, yang pesantren juga. Anak mau jajan juga ga susah ngasih uangnya” (MSN, 50)
Responden mengakui bahwa penurunan tingkat pendapatan dirasakan setelah kehilangan akses terhadap lahan garapan. Sadapan karet yang dijadikan pemasukan tiap harinya kini sudah tidak ada lagi. Pasca kehilangan lahan garapan, banyak responden yang berpindah pekerjaan sebagai buruh tani, pedagang ataupun bekerja ke Jakarta sebagai buruh. Perubahan tingkat pendapatan disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8 Persentase responden berdasarkan tingkat pendapatan Tingkat pendapatan Sebelum perpanjangan HGU Setelah perpanjangan HGU
Rendah (%) 58 86
Tinggi (%) 42 14
Total (%) 100 100
Sebelum perpanjangan Hak Guna Usaha terdapat 58 persen responden yang tergolong pada tingkat pendapatan rendah. Responden yang tergolong pada tingkat pendapatan tinggi sebanyak 42 persen. Sebelum perpanjangan Hak Guna Usaha, jumlah responden yang tergolong pada tingkat pendapatan rendah lebih banyak dibandingkan dengan responden yang memiliki pendapatan tinggi. Hal ini disebabkan hasil dari sadapan karet belum disadap secara maksimal karena umur tanaman pun baru memasuki tahun awal untuk pemanenan. Selain itu, tidak semua bagian lahan garapan ditanami oleh karet sehingga hasil sadapan karet tidak banyak. Berbeda dengan 42 persen responden yang tergolong pada tingkat pendapatan tinggi. Responden yang tergolong pada kategori ini adalah responden yang memiliki luas lahan luas dan jumlah pohon karet yang ditanam
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
45
banyak. Selain itu, responden yang ada pada kategori ini adalah responden yang memiliki usaha sampingan seperti warung sembako dengan omzet yang besar. Kondisi berbeda diperlihatkan pasca perpanjangan Hak Guna Usaha. Jumlah responden yang tergolong pada tingkat pendapatan rendah bertambah sebesar 28 persen menjadi 86 persen. Hilangnya lahan garapan berpengaruh terhadap pendapatan responden. Penurunan pendapatan akibat tidak adanya lagi hasil sadapan karet menyebabkan penambahan jumlah responden yang memiliki tingkat pendapatan rendah. Jumlah responden yang memiliki tingkat pendapatan tinggi pun berubah pasca perpanjangan Hak Guna Usaha. Sebanyak 14 persen responden yang memiliki tingkat pendapatan tinggi adalah responden yang masih menguasai lahan secara fisik dan memiliki warung sembako yang omzetnya besar. Uji t-test paired digunakan untuk melihat perbedaan tingkat pendapatan sebelum dan setelah perpanjangan Hak Guna Usaha. Hasil yang didapatkan menunjukkan penurunan mean dari 0.6 menjadi 0.24. Selain itu, nilai sig yang didapat adalah 0.037. T hitung yang didapat dari uji beda ini adalah 2.641. Berdasarkan hasil uji beda tersebut dapat diartikan bahwa tingkat pendapatan sebelum perpanjangan Hak Guna Usaha dan setelah perpanjangan Hak Guna Usaha berbeda. Hal tersebut dibuktikan dengan nilai t hitung yang lebih besar (>) dari t tabel. T hitung yang didapat bernilai 2.641 sedangkan t tabel bernilai 1.676. Dampak lanjutan yang terjadi dari perubahan tingkat pendapatan pasca hilangnya lahan garapan adalah terdapat beberapa anak responden atau anggota keluarganya yang mengalami putus sekolah. Keterbatasan pendapatan setiap bulannya berdampak pada tidak dilanjutkannya jenjang pendidikan anak atau anggota keluarga responden. Penuturan salah seorang responden menyatakan bahwa pendapatan yang dahulu didapatkan dari hasil sadapan karet ketika masih menggarap di lahan eks Hak Guna Usaha, memberikan keyakinan bahwa bisa menyekolahkan hingga jenjang SMA. Namun, kenyataan yang dihadapi responden setelah kehilangan lahan garapan menyebabkan putusnya tingkat pendidikan dari anak atau anggota keluarga responden. Yang pertama harusnya SMA Teh. Dia juga maunya ke SMK tapi da bapanya udah ga ada penghasilan. Sugan taun depan bisa lanjut lagi. (H, 40)
Pengalaman Berkelompok Pengalaman berkelompok menjadi salah satu indikator untuk melihat status sosial ekonomi responden. Selain itu, pengalaman berkelompok menjadi titik awal untuk responden tergabung ke dalam organisasi tani. Pengalaman berkelompok dilihat dari jumlah organisasi yang pernah dan/atau sedang diikuti. Pelaksanaan Program Pembaruan Agraria Nasional yang berlangsung tahun 2008 dapat terlaksana dengan perjuangan masyarakat setempat khususnya para elit desa untuk memperjuangkan tanah eks Hak Guna Usaha PT. PJ agar bisa diberikan kepada masyarakat Kecamatan Jasinga. Hal ini berkaitan dengan posisi
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
46
responden yang menjadi anggota organisasi Forum Paguyuban Petani Jasinga. Anggota yang tergabung dalam Forum Paguyuban Petani Jasinga adalah elemen masyarakat yang tidak dilibatkan dalam proses perjuangan Program Pembaruan Agraria Nasional. Lebih jauh, anggota yang tergabung dalam Forum Paguyuban Petani Jasinga adalah masyarakat yang tidak mendapatkan pembagian tanah dari Program Pembaruan Agraria Nasional. Namun, hal tersebut tidak untuk seluruh responden. Hal ini dikarenakan, terdapat delapan responden yang berdomisili di Desa Tegal Wangi yang menerima pembagian lahan dari Program Pembaruan Agraria Nasional. Pembentukan organisasi Forum Paguyuban Petani Jasinga sejak awal adalah untuk memperjuangkan hilangnya akses lahan yang dahulu digarap oleh responden.
Tabel 9 Jumlah dan Persentase responden berdasarkan pengalaman berkelompok Pengalaman berkelompok Rendah Tinggi Total
Jumlah (orang) 43 7 50
Persentase (%) 86 14 100
Pengalaman berkelompok anggota organisasi Forum Paguyuban Petani Jasinga terkonsentrasi pada pengalaman berkelompok rendah. Jumlah responden yang tergolong pada kategori ini sebanyak 86 persen. Terkonsentrasinya responden pada golongan ini dikarenakan oganisasi Forum Paguyuban Petani Jasinga merupakan organisasi pertama yang diikuti. Kondisi di lapangan menunjukkan bahwa pengalaman berkelompok yang rendah menjadi gaya dorong untuk terlibat dalam organisasi. Hasil wawancara dengan responden, mereka antusias untuk tergabung ke dalam organisasi Forum Paguyuban Petani Jasinga. Ketika ada satu organisasi yang dibentuk berdasarkan keinginan masyarakat dan berangkat dari latar belakang kondisi marjinal. Kesempatan untuk berkelompok dimanfaatkan dengan baik terlebih kelompok yang dibentuk memiliki tujuan untuk memperjuangkan tanah garapan mereka. Selain itu, anggota paguyuban di Desa Curug menyadari bahwa mereka merupakan bagian dari kelompok. Berbeda dengan anggota paguyuban di Desa Tegal Wangi yang tidak menyadari keterlibatan dalam organisasi. Hanya responden yang berperan sebagai penggagas yang menyadari keterlibatan dalam organisasi. Berbeda dengan 14 persen responden yang lain. Responden ini tergolong ke dalam pengalaman berkelompok tinggi. Hal ini disebabkan jumlah organisasi yang diikuti oleh responden ini lebih dari satu organisasi. Dua responden di Desa Curug tergabung juga ke dalam Ormas BPKB yang basisnya tersebar di wilayah Jabodetabek. Seorang responden merasa memiliki keuntungan lebih dan kebanggaan ketika bisa tergabung ke dalam organisasi tersebut. “Kalau bapak nunjukin KTA (Kartu Tanda Anggota) ini aman aja. Orang udah pada tau. Mau berangkat kemana juga aman” (R, 50)
Selain itu, responden lain yang tergabung ke dalam Ormas BPKB merasa lebih aman ketika masih mempertahankan lahan garapannya. Selain letaknya
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
47
yang cukup jauh dari jangkauan pihak keamanan perusahaan, responden ini mengatakan bahwa tidak akan ada yang berani merusak tanaman miliknya karena dia didampingi langsung oleh pihak Ormas. Rasa aman yang dirasakan oleh kedua responden ini menjadi keuntungan tersendiri ketika tergabung ke dalam Ormas tersebut. Ikhtisar Perpanjangan Hak Guna Usaha di atas lahan yang sudah digarap oleh masyarakat di Desa Curug dan Desa Tegal Wangi selama sepuluh tahun menyebabkan masyarakat kehilangan akses terhadap lahan garapan. Lahan tidur yang mulai digarap oleh masyarakat pada tahun 1998 harus kembali menjadi hak perusahaan. Hal ini dikarenakan dari 2 000 hektar luas lahan Hak Guna Usaha yang dimiliki oleh PT. PJ hanya 938 hektar yang diperpanjang kembali oleh perusahaan lain yang menjadi perusahaan alih tangan dari PT. PJ sedangkan 1 200 hektar diberikan kepada masyarakat dalam Program Pembaruan Agraria Nasional. Pelaksanaan Program Pembaruan Agraria Nasional diselenggarakan pada tahun yang sama dengan terjadinya sengketa lahan. Proses penebangan paksa atas tanaman milik masyarakat dilakukan sejak tahun 2008 dan puncaknya terjadi pada tahun 2010. Akses yang hiang terhadap lahan garapan menyebabkan perubahan status sosial ekonomi yang dialami oleh masyarakat di kedua desa tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, terjadi perubahan luas penguasaan lahan yang dialami oleh anggota paguyuban. Sebelum perpanjangan Hak Guna Usaha, luas penguasaan lahan anggota paguyuban didominasi oleh luas penguasaan lahan tinggi. Hal berbeda ditunjukkan setelah perpanjangan Hak Guna Usaha. Luas penguasaan lahan didominasi oleh luas penguasaan lahan rendah. Hasil uji t-test paired menunjukkan bahwa terjadi perbedaan luas penguasaan lahan di Desa Curug dan Desa Tegal Wangi. Hal tersebut dibuktikan dengan nilai t hitung yang lebih besar (>) dibandingkan t tabel. Variabel tingkat pendapatan pun mengalami perbedaan antara sebelum dan sesudah perpanjangan Hak Guna Usaha. Hasil penelitian di lapangan, masyarakat kehilangan karet sebagai pemasukan utama. Walaupun tidak semua responden mengalami penurunan tingkat pendapatan, penurunan tingkat pendapatan dialami oleh mayoritas responden. Variabel pengalaman berelompok menunjukkan bahwa pengalaman berkelompok responden di dua desa penelitian tergolong rendah. Hanya sedikit yang tergolong ke dalam pengalaman berkelompok tinggi. Terkonsentrasinya pengalaman berkelompok pada kategori rendah disebabkan keikutsertaan responden dalam Forum Paguyuban Petani Jasinga merupakan pengalaman pertama dalam mengikuti organisasi atau perkumpulan. Sebelumnya, anggota dari Forum Paguyuban Petani Jasinga tidak dilibatkan dalam perkumpulan saat perjuangan pelaksanaan Program Pembaruan Agraria Nasional.
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
48
DIMENSI GERAKAN PETANI : TITIK AWAL PERJUANGAN
Status sosial Status sosial merupakan tahap pertama dalam pemenuhan dimensi gerakan petani. Indikator dalam status sosial pada penelitian ini adalah frekuensi dalam kegiatan desa dan posisi responden dalam masyarakat atas penguasaan lahan sebelum dan setelah kehilangan akses lahan garapan. Hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa anggota paguyuban tidak dilibatkan dalam kegiatan desa. Hanya beberapa orang responden yang sering dilibatkan dalam kegiatan desa karena jabatannya sebagai ketua RT, RW, atau pegawai desa. Lebih jauh, pada penentuan pembagian lahan dalam Program Pembaruan Agraria Nasional, anggota paguyuban tidak ada yang dilibatkan dalam penentuan penerima dan luas lahan yang akan diterima setiap penerima. Pada kasus sengketa lahan, hanya beberapa responden yang dilibatkan dalam rapat pembagian ganti rugi atas penebangan yang dilakukan.
Tabel 10 Jumlah dan Persentase responden berdasarkan status sosial Status sosial Rendah Tinggi Total
Jumlah (orang) 33 17 50
Persentase (%) 66 34 100
Anggota paguyuban yang memiliki status sosial rendah sebanyak 66 persen. Status sosial tinggi dimiliki oleh 34 persen responden. Status sosial rendah yang dimiliki oleh anggota paguyuban dikarenakan mereka memandang posisi mereka kini pasca kehilangan lahan garapan ada pada urutan terbawah. Mereka menganggap bahwa lahan garapan menjadi aset berharga yang dimiliki. Nilai tanah bagi anggota paguyuban adalah hal yang penting. Hal ini dikarenakan anggota paguyuban secara khusus dan masyarakat di kedua desa penelitian menggantungkan hidup pada sektor pertanian dan perkebunan. Responden yang memiliki status sosial tinggi adalah anggota paguyuban yang diundang rapat untuk membicarakan ganti rugi tanaman yang mereka tanam di atas lahan eks Hak Guna Usaha PT PJ. Banyak responden yang diundang namun tidak menghadiri rapat pertemuan tersebut. Ketidakhadiran dalam rapat tersebut sebagai wujud penolakan atas penebangan paksa yang dilakukan pihak perusahaan. Rapat desa yang mengundang responden tersebut karena berkaitan dengan lahan garapan yang digarap oleh responden. Selain perihal ganti rugi tanaman milik responden, rapat desa biasanya diadakan hanya
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
49
untuk para elit desa dan tokoh. Jadi, masyarakat biasa tidak diundang dalam rapat desa. Seperti yang diungkapkan oleh salah satu responden “Yang biasanya diundang ke rapat desa mah tokoh-tokoh. Sesepuh desa Neng. Kalo bukan tokoh mah ya gak diundang”( ADM, 40)
Berangkat dari status sosial yang disandang oleh setiap responden, maka timbul satu keinginan untuk memperbaiki status sosial mereka kini. Status sosial menjadi pijakan pertama dalam proses pembentukan gerakan petani. Keinginan untuk menyamakan posisi dengan aktor atau pihak lain menjadi titik awal untuk memperjuangkan hal tersebut. Tingkat Kesadaran Kesadaran akan perubahan status sosial ekonomi pasca kehilangan akses menggarap lahan eks Hak Guna Usaha menjadi pemantik untuk membentuk suatu gerakan petani. Responden bisa memetakan siapa musuh bersama yang dihadapi dan berapa jumlah penggarap yang memiliki nasib yang sama. Berangkat dari perubahan luas penguasaan lahan dan berubahnya posisi responden terhadap tanah menjadi kunci utama untuk dapat mengorganisir diri. Kesadaran yang timbul akibat perubahan kondisi sosial ekonomi dan kerugian yang dialami menjadi latar belakang para mantan penggarap untuk megorganisir dan memperjuangkan hak akses terhadap lahan garapan. Banyak cara yang dilakukan oleh anggota paguyuban di Desa Curug sebelum terbentuknya organisasi untuk tetap menggarap. Seperti tetap menanam di pinggiran sungai dan mencoba kembali menggarap di lahan sebelumnya walaupun tetap mengalami penebangan paksa dari pihak perusahaan. Bila dilihat lebih jauh, anggota paguyuban adalah para penggarap yang sadar bahwa perubahan kondisi sosial ekonomi yang mereka alami menjadi titik awal pergerakan. Hal ini dikarenakan, tidak semua penggarap yang pernah menggarap di lahan eks Hak Guna Usaha tersebut pada akhirnya tergabung dalam organisasi ini. Menurut pemaparan yang disampaikan oleh salah satu informan, hanya yang berani yang ikut tergabung dalam organisasi pergerakan ini. Manuver pihak perusahaan yang “didampingi” oleh pihak kepolisian dan jawara lokal menjadi satu bagi penggarap untuk melawan. Banyak dari penggarap yang jumlahnya mencapai ratusan orang hanya bisa bungkam dan menerima hal tersebut.
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
50
Tabel 11 Jumlah dan Persentase responden berdasarkan tingkat kesadaran Tingkat kesadaran Rendah Sedang Tinggi Total
Jumlah (orang) 3 16 31 50
Persentase (%) 6 32 62 100
Hasil penelitian didapatkan enam persen responden berada pada kategori rendah. Responden yang ada pada kategori ini adalah anggota paguyuban yang keikutsertaanya sebatas “ikut-ikutan”. Keterlibatan dalam organisasi bukan berdasarkan kesadaran sendiri melainkan atas dasar ajakan dari anggota lain. Selain itu, tingkat kesadaran rendah yang dimiliki responden ini disebabkan oleh tidak tahu mengenai siapa musuh yang dihadapi. Sebanyak 32 persen responden tergolong ke dalam tingkat kesadaran sedang. Responden yang ada pada kategori ini adalah responden yang latar belakang tergabungnya ke dalam organisasi bukan karena kehilangan akses garap. Melainkan rasa empati yang timbul untuk membantu tetangga atau rekan. Sebanyak 62 persen responden ada pada kategori tingkat kesadaran tinggi. Responden yang tergolong pada kategori ini adalah responden yang memiliki kesadaran dari diri sendiri untuk mengorganisir diri dengan mantan penggarap. Selain itu, latar belakang dari responden pada kategori ini adalah responden yang mengalami kehilangan akses atas lahan garapan. Berbeda dengan responden yang tidak mengalami kehilangan akses atas lahan garapan. Tergabungnya ke dalam organisasi yang ditandai dengan mengikuti minimal satu kali perkumpulan, lebih karena mereka merasa empati dan ingin membantu para mantan penggarap yang mengalami penebangan paksa. Sebagian besar anggota paguyuban memiliki tingkat kesadaran tinggi karena mereka penyadari bahwa kerugian akibat kehilangan aksesnya tersebut menyebabkan perubahan status sosial ekonomi yang mereka alami kini. Hal yang sama juga terjadi pada responden di Desa Tegal Wangi. Responden yang bermukim di Desa Tegal Wangi, menyadari bahwa pihak perusahaan yang didampingi jawara menjadi musuh bersama mereka dan menjadi titik awal perubahan akses yang mereka alami kini. Lebih jauh, keinginan yang mendorong untuk terlibat dalam kegiatan organiasi tidak hanya karena keinginan sendiri melainkan karena diajak oleh penggarap lain atau rasa empati yang ditimbul ketika melihat kondisi tetangga yang terpuruk pasca kehilangan akses garapan. Tidak semua yang ikut dalam kegiatan organisasi adalah mantan penggarap yang kehilangan akses pasca perpanjangan Hak Guna Usaha, melainkan ada beberapa responden yang tidak kehilangan akses garapan karena tanah garapannya terdahulu termasuk ke dalam zona Program Pembaruan Agraria Nasional, yang ikut dalam kegiatan ini. seperti ungkapan salah satu responden di Tegal Wangi “Saya malu dan gak enak. Saya dapat bagian prona sedangkan teman lainnya tidak dapat. Makanya saya ikut kegiatan. Pengen bantu temen lainnya” (S, 58)
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
51
Tingkat Kolektifitas Prakondisi yang menjelaskan awal mula terbentuk dan terorganisirnya gerakan petani berangkat dari dimensi gerakan petani yang terdiri dari status sosial, tingkat kesadaran, tingkat kolektifitas, dan tingkat orientasi instrumental. Masing-masing merupakan bagian yang merupakan tahapan sebelum terbentuknya organisasi petani. Tingkat kolektifitas merupakan tahapan lanjutan yang harus dipenuhi sebelum teroganisirnya gerakan petani. Tingkat kolektifitas disini berarti kegiatan yang dilakukan saat proses pembentukan organisasi. Selain itu, dilihat juga peran dan bantuan serta alasan responden saat membangun kolektifitas. Tabel 12 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat kolektifitas Tingkat kolektifitas Rendah Sedang Tinggi Total
Jumlah (orang) 9 28 13 50
Persentase (%) 18 56 26 100
Hasil penelitian menunjukkan 18 persen responden yang memiliki tingkat kolektifitas rendah. Banyak alasan yang menyebabkan responden ini termasuk ke dalam tingkat koletifitas rendah. Hal tersebut seperti umur yang sudah tua sehingga kurang bisa memaksimalkan bantuan yang diberikan, memiliki pekerjaan di luar desa sehingga saat rapat pembentukan atau kegiatan tidak hadir, dan tidak mengalami perubahan akses lahan karena memang sejak awal tidak menggarap di lahan eks Hak Guna Usaha. Lebih lanjut, 56 persen responden memiliki tingkat kolektifitas sedang. Responden yang termasuk ke dalam kategori tinggi sebanyak 26 persen. Responden yang memiliki tingkat kolektifitas tinggi adalah responden yang berperan sebagai penggagas organisasi. Ikut sertanya 26 persen responden ini sejak awal perencanaan pembentukan oganisasi berbanding lurus dengan jumlah bantuan yang diberikan. Proses pendampingan hukum kepada mantan penggarap yang terkena kasus hukum sebelum pembentukan organisasi menjadi wujud bantuan yang diberikan oleh para penggagas. Hal yang menjadi penentu dalam tingkat kolektifitas adalah adanya figur yang mampu merangkul para penggarap untuk bersatu atau berperan sebagai penggagas. Lebih jauh, hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa tidak semua responden mengikuti proses pembentukan organisasi petani walaupun mereka mengalami perubahan luas penguasaan lahan. Posisi mereka hanya sebatas anggota bukan penggagas. Hal tersebut juga memperlihatkan keikutsertaan responden dalam tahap persiapan pembentukan organisasi seperti rapat dan diskusi. Singkatnya, banyak responden yang tidak mengikuti proses awal pembentukan organisasi. Bantuan yang diberikan oleh responden dalam tahap pembentukan organisasi masih minim. Hal ini dikarenakan, anggota paguyuban di Desa Tegal Wangi tidak mengetahui tentang proses pembentukan dan asal muasal organisasi
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
52
Forum Paguyuban Petani Jasinga. Hanya beberapa dari responden saja yang mengetahui dengan jelas perihal tersebut karena mereka dianggap penggagas di Desa Tegal Wangi sedangkan responden lainnya tidak mengetahui. Saat penentuan responden pun, peneliti bertolak dari mantan penggarap yang minimal pernah mengikuti kegiatan bersama dengan mantan penggarap dari Desa Curug. Bisa dikatakan, reponden lainnya hanya sebatas anggota tanpa menyadari bahwa responden tersebut terlibat dan menjadi bagian dari organisasi tersebut. Tingkat Orientasi Instrumental Orientasi instrumental merupakan muara akhir dalam suatu pergerakan petani. Hal ini dikarenakan, orientasi instrumental diartikan sebagai tujuan seseorang untuk tergabung dalam suatu gerakan petani dan apa yang ingin dicapai. Hilangnya akses tanah garapan setelah perpanjangan Hak Guna Usaha menjadi titik awal yang sama bagi para mantan penggarap untuk kembali memperjuangkan kembali akses ats tanah garapan tersebut. Tujuan dari organisasi ini adalah untuk mendapatkan akses terhadap lahan garapan lagi. Ketika anggota paguyuban tidak terdaftar dan mendapatkan tanah dari Program Pembaruan Agraria Nasional, organisasi ini mencoba memperjuangkan
Tabel 13 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat orientasi instrumental Tingkat orientasi instrumental Rendah Sedang Tinggi Total
Jumlah (orang) 5 30 15 50
Persentase (%) 10 60 30 100
Berangkat dari kondisi responden yang berbeda, tujuan dalam mengikuti gerakan petani pun berbeda. Bagi para responden yang akses tanah garapannya hilang tujuan mengikuti pergerakan petani adalah untuk memperjuangkan akses atas tanah garapan kembali. Namun, hasil penelitian menunjukkan 10 persen responden memiliki tingkat orientasi instrumental rendah. Hal ini dikarenakan 10 persen responden tersebut memiliki tujuan yang berbeda dengan tujuan organisasi. Ketika tujuan terbentuknya organisasi untuk mengembalikan hak akses terhadap lahan akibat perpanjangan Hak Guna Usaha dan tidak mendapat pembagian lahan dari Program Pembaruan Agraria Nasional, tujuan 10 persen responden ini adalah ingin mendapatkan lahan garapan jika organisasi pada akhirnya berhasil. Hal ini dikarenakan, responden pada kategori ini tidak menggarap lahan eks Hak Guna Usaha sejak awal. Responden yang memiliki tingkat orientasi instrumental sedang berjumlah 60 persen. Terkonsentrasinya responden pada tingkat orientasi instrumental sedang dikarenakan keyakinan mereka yang rendah atas
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
53
keberhasilan organisasi ini. Hal ini dikarenakan, sudah hampir enam tahun pasca penebangan paksa dan dua tahun pembentukan organisasi belum membuahkan hasil yang sesuai. Seperti penuturan salah satu responden “Ya keyakinan saya 50 persen lah. Yakin mah yakin Teh ini bisa berhasil. Tapi ga sekarang-sekarang, prosesnya lama” (AC, 32)
Sebanyak 30 persen responden tergolong pada tingkat orientasi instrumental tinggi. Responden yang ada pada kategori ini adalah anggota paguyuban yang memiliki tujuan yang sama dengan organisasi dan keyakinan tinggi atas keberhasilan organisasi. Sudah beberapa upaya ditempuh oleh masyarakat untuk dapat kembali menggarap di lahan yang dahulu mereka garap. Keyakinan atas perjuangan yang dilakukan dan bermuara pada keberhasilan untuk kembali menggarap masih cenderung rendah. Mereka menyadari bahwa lawan yang dihadapi adalah pihak perusahaan yang lebih banyak memiliki modal sedangkan masyarakat hanya memiliki tekad dan keberanian. Susuganan menjadi ungkapan responden ketika ditanya soal keberhasilan dan keyakinan dari gerakan petani yang mereka lakukan. Berikut petikan wawancara dengan salah satu responden “Ya kayakinan saya ayalah kanu 50 persenan mah. Da lawanna perusahaan tapinya susuganan weh nagara mihak ka urang akhirna ” “Ya keyakinan saya sekitar 50 persen karena lawan kami adalah perusahaan tapi ya semoga negara memihak kita pada akhirnya” (S, 60)
Harapan terbesar dari kebanyakan responden adalah agar dapat kembali menggarap lahan. Adapun responden yang sebenarnya tidak mengalami pengrusakan dan kehilangan akses pasca perpanjangan Hak Guna Usaha namun ingin melihat banyak tetangganya kembali bisa menggarap lahan tersebut. Berikut petikan pernyataannya “Saya mah pengennya masyarakat bisa garap lagi. Kasihan liat tetangga yang kebingungan nyari makan. Biar masyarakat sini makmur lagi kaya dulu” (U, 45)
Keyakinan anggota paguyuban terhdap keberhasilan organisasi masih rendah. Kisaran keyakinan mereka hanya 50 persen atas keberhasilan organisasi ini. Hal ini dikarenakan, sudah bertahun-tahun diupayakan namun belum membuahkan hasil. Banyak cara yang dilakukan oleh responden di kedua desa untuk memperjuangkan kembali akses untuk menggarap. Responden di Desa Curug mencoba mengadukan pada pihak desa atas peristiwa pengrusakan dan penebangan paksa tanaman mereka. Namun, hasilnya nihil. Masyarakat tidak ditanggapi dan merasa tidak dilindungi. “Mengadu ke pihak desa tidak ada respon, pihak kecamatan juga. Kami minta tolong ke siapa lagi” (S, 35)
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
54
Melihat kondisi seperti itu, peneliti mencoba melakukan konfirmasi dengan kepala Desa Curug. Menurut kepala Desa Curug, masyarakat Desa Curug sejak awal dihimbau kalau sistem tumpang sari yang diijinkan di atas tanah eks Hak Guna Usaha tersebut. Jika pengrusakan atau penebangan yang dialami merupakan diluar tanggung jawab pihak desa. Hal ini dikarenakan, masyarakat tidak mengikuti himbauan awal yang diperbolehkan menanam tanaman seperti singkong bukan tanaman tahunan berkayu seperti karet dan jengjeng. Upaya yang dilakukan oleh anggota paguyuban di Desa Tegal Wangi, yakni masih membayar SPPT yang dahulu mereka miliki saat menggarap lahan sebelum perpanjangan Hak Guna Usaha. SPPT milik anggota paguyuban di Desa Tegal Wangi belum dibekukan dan mereka masih membayar pajak setoran kepada negara setiap tahunnya. Bahkan untuk tahun 2014 pun masyarakat sudah membayar pajak SPPT tersebut. Pembayaran SPPT dilakukan langsung ke BRI. Salah satu responden mengatakan “nya sugan we pira mayaran 50-70 rebu sataun mah teu sabaraha. Urang diadu kakuatan, ieu mayaran SPPT unggal tahun meh aya bukti yen ieu tanah masih hak urang Tegal Wangi” (MS, 58) “Semoga dengan bayar hanya 50-70 ribu setiap tahunnyayang tidak seberapa. SPPT jadi bukti kalau ternyata tanah ini masih menjadi hak penduduk Tegal Wangi.”
Hal berbeda terjadi di Desa Curug, SPPT yang dahulu berlaku kini tidak bisa lagi dibayar setiap tahunnya oleh penggarap. Menurut pihak desa setempat, SPTT untuk penggarap di Desa Curug sudah tidak bisa dibayar dan tidak berlaku. Hal tersebutlah yang membuat masyarakat ragu bahwa yang memperpanjangan Hak Guna Usaha bukanlah perusahaan melainkan pihak perorangan yang sama-sama ingin menggarap lahan namun mengatasnamakan perusahaan tertentu. Hal ini dikarenakan, jika dikelola oleh perusahaan yang legal dan jelas, SPP di kedua desa tersebut pasti akan sama-sama tidak berlaku. Hal yang berbeda ditemukan peneliti ketika menanyakan apa sebenarnya tujuan dan harapan setelah mengikuti organisasi petani. Kecenderungan jawaban anggota paguyuban di Desa Curug menginginkan akses garap yang seperti dahulu lagi sedangkan paguyuban di Desa Tegal Wangi menginginkan tanah yang dahulu mereka garap bisa menjadi milik mereka. Hal ini dikarenakan, cukup banyak penggarap yang ada di Desa Tegal yang mendapat bagian tanah dari Program Pembaruan Agraria Nasional. Tanah garapan anggota paguyuban di Desa Tegal Wangi termasuk ke dalam zona pembagian lahan Program Pembaruan Agraria Nasional. Seperti ungkapan salah satu responden di Desa Tegal Wangi “ari disipikatan mah teu mungkin nya bisa-bisa ngagarap deui atuh” (JEN, 50) “Kalau sampai bisa dapat sertifikat ga mungkin. Ya minimal bisa ngegarap lagi”
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
55
Cara lain yang ditempuh anggota paguyuban di Desa Tegal Wangi. Salah satu informan mengatakan banyak cara yang dilakukan agar bisa menggarap di lahan tersebut kembali. Salah satunya, para tokoh desa dan ketua RT mendatangi “orang pintar” untuk mengetahui kelanjutan dan kepastian akan tanah tersebut. Para tokoh tersebut mendatangi “orang pintar” yang ada di kawasan Banten. Menurut informan, “orang pintar” tersebut meramalkan bahwa yang menjadi hak masyarakat Tegal Wangi hanya sebagian sedangkan sisanya akan dimiliki kembali oleh negara. Tingkat Terpenuhinya Dimensi Gerakan Petani Hasil pengamatan di lapangan hal yang menyebabkan terkonsentrasinya tingkat terpenuhi dimensi gerakan petani pada level sedang dikarenakan perbedaan komposisi dari sub variabel dimensi gerakan petani. Tidak semua responden menganggap bahwa petani atau penggarap yang menguasai tanah ada pada tingkat tertinggi. Selain itu, tidak semua responden memiliki latar belakang yang sama, yakni kerugian akibat kehilangan akses atas lahan garapan. Perubahan pekerjaan yang dialami pasca kehilangan lahan garapan menjadi tuntutan tersendiri bagi reponden untuk tidak dapat mengikuti kegiatan organisasi atau bersama. Berangkat dari kondisi yang berbeda, motif yang ada dari responden pun berbeda.
Tabel 14 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat terpenuhinya dimensi gerakan petani Tingkat terpenuhinya dimensi gerakan petani Rendah Sedang Tinggi Total
Jumlah (orang) 8 31 11 50
Persentase (%) 16 62 22 100
Hasil penelitian menunjukkan, 16 persen anggota paguyuban memiliki tingkat terpenuhi dimensi gerakan petani rendah. Sebanyak 62 persen responden memiliki tingkat terpenuhinya dimensi gerakan petani sedang. Selain itu, 22 persen responden memiliki tingkat terpenuhinya dimensi gerakan petani tinggi. Anggota paguyuban yang memiliki tingkat terpenuhinya dimensi rendah adalah anggota yang keikutsertaannya hanya sebatas tergabung. Berbeda dengan responden yang memiliki tingkat dimensi gerakan petani sedang. Anggota paguyuban yang ada pada kategori ini adalah anggota yang keikutsertaannya dalam organisasi berdasarkan kesadaran sendiri tetapi tidak mengikuti kegiatan awal pembentukan organisasi. Responden yang memiliki tingkat terpenuhinya dimensi gerakan petani tinggi adalah anggota paguyuban yang perannya dalam pembentukan organisasi sebagai penggagas. Perbedaan perubahan status sosial ekonomi menjadi latar belakang dan mempengaruhi terpenuhinya dimensi gerakan petani. Hal tersebut dikarenakan,
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
56
kerugian yang dialami pasca kehilangan akses atas lahan garapan menjadi dasar untuk mengorganisir diri. Sub variabel yang terdapat pada variabel terpenuhinya gerakan petani menjadi unsur yang saling berkaitan. Hasil penelitian di lapangan menunjukkan anggota paguyuban terkonsentrasi pada tingkat terpenuhinya dimensi gerakan petani sedang. Terkonsentrasinya responden di kedua desa pada tingkat sedang pada dimensi gerakan petani akan dibahas lebih lanjut pada sub bab pengaruh perubahan status sosial ekonomi terhadap tingkat terpenuhinya dimensi gerakan petani. Pengaruh Perubahan Status Sosial Ekonomi terhadap Tingkat Terpenuhinya Dimensi Gerakan Petani Sub bab ini mencoba melihat pengaruh yang diberikan oleh masingmasing variabel pada perubahan status sosial ekonomi yakni luas penguasaan lahan, tingkat pendapatan,dan pengalaman berkelompok terhadap tingkat terpenuhinya dimensi gerakan petani. Uji statistik regresi linier berganda digunakan untuk melihat pengaruh dari masing-masing variabel perubahan status sosial ekonomi terhadap variabel tingkat terpenuhinya dimensi gerakan petani.
Tabel 15 Hasil uji pengaruh variabel perubahan status sosial ekonomi terhadap tingkat terpenuhinya dimensi gerakan petani Variabel Luas penguasaan lahan Tingkat pendapatan Pengalaman berkelompok
T hitung 1.715 -0327 -0.295
sig 0.093 0.745 0.769
Hasil uji statistik dengan menggunakan regresi linier berganda menunjukkan bahwa variabel-variabel perubahan status sosial ekonomi memberikan kontribusi yang berbeda terhadap variabel tingkat terpenuhinya dimensi gerakan di setiap desa penelitian. Hasi uji statistik memperlihatkan nilai sig yang beragam dari masing-masing variabel perubahan status sosial ekonomi. Nilai sig untuk variabel luas penguasaan lahan adalah 0.093. Nilai sig untuk variabel tingkat pendapatan adalah 0.745 sedangkan nilai sig untuk variabel pengalaman berkelompok adalah 0.769. Berdasarkan uji regresi berganda variabel luas penguasaan lahan memiliki pengaruh paling kuat dibandingkan variabel lainnya terhadap tingkat terpenuhinya dimensi gerakan petani. Hal tersebut dibuktikan dengan nilai sig yang lebih kecil (<) dari taraf alpa yang digunakan yakni 0.1. Variabel tingkat pendapatan dan pengalaman berkelompok berdasarkan uji statistik tidak memiliki pengaruh terhadap tingkat terpenuhinya dimensi gerakan petani. Hal tersebut dikarenakan nilai sig untuk kedua variabel tersebut lebih besar (>) dari 0.1 Lebih jauh, kondisi di lapangan menunjukkan bahwa kerugian akibat kehilangan lahan mendorong untuk mengorganisir diri dalam organisasi tani. Hal
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
57
ini dikarenakan, kondisi yang berbeda jelas terlihat antara sebelum dan setelah perpanjangan Hak Guna Usaha. Walaupun tidak semua anggota paguyuban mengalami kehilangan akses atas lahan, hal tersebutlah yang diusung oleh organisasi ini, yakni memperjuangkan akses atas lahan garapan yang hilang. Terkonsentrasinya dimensi gerakan petani pada tingkat sedang dengan 62 persen responden dipengaruhi oleh masing-masing variabel dalam dimensi gerkan petani. Hal tersebut menunjukkan bahwa kombinasi komposisi yang berbeda antara keempat variabel dalam dimensi gerakan petani pada setiap responden yang memiliki andil dalam melihat performa dimensi secara komposit. Berangkat dari perubahan status sosial ekonomi yang berbeda menyebabkan dimensi gerakan petani responden pun ada pada tingkatan sedang. Hal ini dikarenakan, tidak semua anggota organisasi mengalami kerugian. Kehilangan akses atas lahan garapan memang dialami oleh mayoritas responden. Namun, tidak semua responden mengalami hal tersebut karena masih ada beberapa responden yang menguasai lahan garapan secara fisik dan ada juga responden yang sejak awa memang tidak menggarap di lahan perkebunan serta mendapatkan tanah dari Program Pembaruan Agraria Nasional. Berdasarkan uji statistik, variabel tingkat pendapatan tidak memiliki pengaruh terhadap tingkat terpenuhinya dimensi gerakan petani. Hal tersebut disebabkan oleh, sadapan karet yang menjadi tumpuan hidup anggota paguyuban hilang akibat hilangnya lahan garapan. Namun, setelah perpanjangan Hak Guna Usaha, ada beberapa responden yang tidak mengalami penurunan tingkat pendapatan. Hal ini dikarenakan, sumbangsih dari sektor non-pertanian lebih besar dari sektor pertanian. Hal tersebutlah yang menjadi satu fakta ketika dimensi gerakan petani terkonsentrasi di tingkatan sedang. Ketika kerugian yang dialami berbeda untuk setiap orang, maka performa dari setiap unsur dimensi pun berbeda. Tidak semua anggota paguyuban memutuskan untuk tergabung ke dalam organisasi atas dasar keinginan sendiri melainkan diajak dan merasa empati akan nasib yang dialami oleh responden lain yang mengalami kehilangan lahan garapan. Selain itu, orientasi sebagai muara akhir yang diharapkan responden pun berbeda. Semua responden memang ingin bisa kembali menggarap lahan namun bagi responden yang sejak awal tidak menggarap di lahan perkebunan, memiliki akses atas lahan garapan mejadi satu tujuan untuk terlibat. Selain itu, dengan banyaknya mantan penggrarap yang mendapatkan tanah dari Program Pembaruan Agraria Nasional, menyebabkan orientasi anggota paguyuban di Desa Tegal Wangi adalah ingin mendapatkan bagian tanah dari program tersebut. Berdasarkan hasil uji statistik pengalaman organisasi rendah yang dimiliki oleh anggota paguyuban tidak memiliki pengaruh terhadap tingkat terpenuhinya dimensi gerakan petani. Hasil penelitian di lapangan menunjukkan minimnya kontribusi yang diberikan oleh anggota paguyuban. Hal tersebut disebabkan oleh keikutsertaan anggota dalam organisasi merupakan pengalaman pertama sehingga anggota paguyuban belum paham tahapan dalam pembentukan organisasi. Namun, disisi lain dengan pengalaman oganisasi yang rendah hal tersebut menjadi faktor pendorong anggota paguyuban mau terlibat dalam organisasi. Hal berbeda ditunjukkan dari anggota paguyuban di Desa Curug dan Desa Tegal Wangi. Responden di Desa Curug secara sadar menyadari keterlibatannya dalam organisasi sedangkan responden di Desa Tegal Wangi
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
58
tidak menyadari bahwa mereka adalah bagian dari organisasi tani Forum Paguyuban Petani Jasinga. Hal ini dikarenakan, selain berangkat dari kerugian yang berbeda, mereka pun tidak menyadari bahwa mereka bagian dari organisasi. Hal tersebut jelas berdampak pada kontribusi nilai dari variabel yang mencakup tingkat terpenuhinya dimensi gerakan petani. Berdasarkan uji statistik yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa dari tiga variabel dalam perubahan status sosial ekonomi hanya satu variabel yang memiliki pengaruh paling kuat yakni luas penguasaan lahan. Hal tersebut menunjukkan bahwa hipotesis penelitian ditolak. Hal ini dikarekan tidak semua variabel memiliki pengaruh yang kuat dengan nilai sig hasil uji statistik kurang dari (<) 0.1. H0
Diduga, perubahan status sosial ekonomi tidak berpengaruh terhadap terpenuhinya dimensi-dimensi gerakan petani H1 : Diduga, perubahan status sosial ekonomi berpengaruh terhadap terpenuhinya dimensi-dimensi gerakan petani :
Hasil uji statistik didukung oleh tabulasi silang. Pengaruh antara variabel perubahan status sosial ekonomi terhadap tingkat terpenuhinya dimensi gerakan petani disajikan pada Tabel 16.
Tabel 16 Jumlah dan persentase responden menurut perubahan status sosial ekonom dan tingkat terpenuhinya dimensi gerakan petani
Tingkat Rendah terpenuhi Sedang dimensi Tinggi gerakan petani Total
Luas penguasaan lahan Rendah Tinggi n % n % 8 18.6 0 0 27 62.8 4 57.1 8 18.6 3 42.9
43
100
7
100
Tingkat pendapatan
n
Rendah % 7 16.7 25 59.5 10 23.8
42
100
n
Tinggi % 1 12.5 6 750 1 12.5
Pengalaman berkelompok Rendah Tinggi n % n % 8 17.1 0 0 30 63.8 1 33.3 9 19.1 2 66.7
8
47
100
100
3
100
Tabel 16 menunjukkan terdapat 18.6 persen responden yang ada pada kategori luas penguasaan lahan rendah dan tingkat terpenuhinya dimensi gerakan petani rendah. Anggota paguyuban yang ada pada kategori ini adalah yang keikutsertaanya dalam organisasi hanya sebatas terlibat tetapi tidak memberikan kontribusi. Singkat kata, hal tersebut bisa terjadi karena responden yang ada pada kategori ini memiliki kepentingan yang kecil. Hal ini dikarenakan, tidak semua responden mengalami kehilangan akses atas tanah dan mengalami kerugian sehingga berkurangnya total luasan lahan yang dikuasai. Selain itu, responden yang ada pada kategori ini adalah responden yang tidak mengalami kerugian dan sejak awal dan memang tidak menggarap di lahan perkebunan. Selain itu, responden yang berusia tua juga ada pada kategori ini. Hal ini dikarenakan, keikutsertaan mereka dalam organisasi tidak diikuti dengan keterlibatan. Fisik yang tidak memungkinkan membuat mobilisasi yang dilakukan organisasi tidak
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
59
dapat diikuti oleh responden berusia tua. Sebanyak 62.8 persen responden berada pada kategori luas penguasaan lahan rendah dan tingkat terpenuhinya dimensi gerakan petani sedang. Terkonsentrasinya responden pada kategori ini disebabkan oleh keikutsertaan anggota dalam proses pembentukan organisasi masih minim dan beragamnya motif yang dimiliki oleh anggota paguyuban. Berbeda dengan 18.6 persen responden yang termasuk ke dalam luas penguasaan lahan rendah dan tingkat terpenuhinya dimensi gerakan petani tinggi. responden yang ada pada kategori ini adalah yang sejak awal pembentukan berperan sebagai penggagas. Variabel tingkat pendapatan rendah terkonsentrasi pada tingkat terpenuhi dimensi gerakan petani sedang dengan 59.5 persen responden. Hal ini disebabkan oleh kontribusi variabel dimensi gerakan petani yakni tingkat kolektifitas dan tingkat orientasi instrumental rendah. Anggota paguyuban memiliki keyakinan yang tergolong sedang atas keberhasilan organisasi. Seperti pada penjelasan sub bab tingkat orientasi instrumental. Selain itu, keikutsertaan responden dalam tahap pembentukan masih minim. Terdapat 75 persen responden yang ada pada kategori tingkat pendapatan tinggi dan tingkat terpenuhinya dimensi gerakan petani sedang. Responden yang ada pada kategori ini adalah responden yang awalnya mengikuti perjuangan dalam penyelesaian sengketa namun keikutsertaannya menurun akibat perubahan pekerjaan yang dialami pasca kehilangan lahan. Hilangnya sumber penghidupan, memaksa responden untuk mencari alternatif pekerjaan. Tuntutan pada pekerjaan baru yang dimiliki responden berupa setoran setiap bulan ke bank atas pinjaman yang dilakukan membuat menurunnya kontribusi langsung yang diberikan saat itu. Pengalaman berkelompok menunjukkan bahwa tidak memiliki pengaruh terhadap tingkat terpenuhinya dimensi gerakan petani. Hal ini dikarenakan, saat pengalaman berkelompok tinggi dan tingkat terpenuhinya dimensi gerakan petani tinggi tidak menunjukkan persentase terbesar pada hubungan kedua variabel tersebut. Persentase terbesar ada pada pengalaman berkelompok rendah dan tingkat terpenuhinya dimensi gerakan petani sedang dengan 63.8 persen. Pada kategori pengalaman berkelompok rendah dan tingkat terpenuhinya dimensi gerakan petani petani tinggi terdapat 19.1 persen responden. Responden yang ada pada kategori ini adalah responden yang sebelumnya memang tidak mengikuti kegiatan organisasi mana pun. Namun, perannya dalam proses pembentukan organisasi Forum Paguyuban Petani Jasinga sebagai penggagas dan sudah ikut dalam proses penyelesaian kasus hukum yang membelit mantan penggarap jauh sebelum pembentukan organisasi.
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
60
Ikhtisar Bab ini membahas mengenai sub bab dimensi gerakan petani serta pengaruh dari perubahan status sosial ekonomi terhadap tingkat terpenuhinya dimensi gerakan petani. Variabel yang ada pada tingkat terpenuhinya dimensi gerakan petani yakni status sosial, tingkat kesadaran, tingkat kolektifitas, dan tingkat orientasi instrumental. Hasil penelitian menunjukkan bahwa status sosial anggota paguyuban paling banyak ada pada kategori rendah dengan 66 persen. Hanya 34 persen responden yang memiliki status sosial tinggi. Variabel tingkat kesadaran digolongkan menjadi tiga kategori yakni rendah, sedang, tinggi. Hasil penelitian terdapat enam persen responden yang memiliki tingkat kesadaran rendah, 62 persen responden dengan tingkat kesadaran sedang, dan 32 persen responden dengan tingkat kesadaran tinggi. Perbedaan tingkat kesadaran yang dimiliki oleh responden diakibatkan oleh perbedaan kerugian yang dialami pasca kehilangan lahan garapan. Hasil yang didapat pada variabel tingkat kolektifitas, 18 persen responden ada pada golongan tingkat kolektifitas rendah, 56 persen responden pada golongan tingkat kolektifitas sedang dan 26 persen responden dengan tingkat kolektifitas tinggi. Perbedaan tingkat kolektiftas yang dimiliki oleh anggota paguyuban disebabkan oleh perbedaan waktu tergabung dengan organisasi dan berapa banyak bantuan yang diberikan. Tingkat orientasi intrumental terkonsentrasi pada kategori sedang dengan 60 persen responden. Tingkat orientasi instrumental rendah dengan sepuluh persen responden dan 30 persen responden pada tingkat orientasi instrumental tinggi. Hasil komposit keempat variabel (status sosial, tingkat kesadaran, tingkat kolektifitas, dan tingkat orientasi instrumental) menunjukkan terkonsentrasi pada tingkat terpenuhinya dimensi gerakan petani sedang. Hal tersebut dikarenakan, kontribusi masing-masing sub variabel berada pada golongan sedang. Uji statistik linier berganda dilakukan untuk melihat pengaruh yang diberikan oleh variabel-variabel pada perubahan status sosial ekonomi (luas penguasaan lahan, tingkat pendapatan, dan pengalaman organisasi) terhadap variabel tingkat terpenuhinya dimensi gerakan petani. Hasil yang didapat menunjukkan bahwa variabel-variabel pada perubahan status sosial ekonomi tidak memberikan pengaruh pada variabel tingkat terpenuhinya dimensi gerakan petani. Hal ini disebabkan tidak semua variabel-variabel pada perubahan status sosial ekonomi (luas penguasaan lahan, tingkat pendapatan, dan pengalaman organisasi) memiliki nilai sig kurang dari (<) 0.1. Luas penguasaan lahan memiliki pengaruh paling kuat dengan nilai sig 0.093. Dapat disimpulkan bahwa hipotesis penelitian ditolak dan terima H0. H0
Diduga, perubahan status sosial ekonomi tidak berpengaruh terhadap terpenuhinya dimensi-dimensi gerakan petani H1 : Diduga, perubahan status sosial ekonomi berpengaruh terhadap terpenuhinya dimensi-dimensi gerakan petani :
Hal ini disebabkan tidak semua variabel pada perubahan status sosial ekonomi memberikan pengaruh terhadap tingkat terpenuhinya dimensi gerakan petani. Hanya variabel luas penguasaan lahan yang memiliki pengaruh paling kuat.
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
61
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
62
KARAKTER GERAKAN PETANI
Efektivitas Kepemimpinan
Peran pemimpin dalam sebuah organisasi merupakan hal yang penting. Pemimpin dijadikan penentu dari perjalanan organisasi. Penilaian efektivitas kepemimpinan terhadap ketua organisasi Forum Paguyuban Petani Jasinga dinilai dari peran pemimpin dalam organisasi dan kedekatan dengan anggota. Figur pemimpin menjadi penting ketika bisa mengorganisir anggota dan memberikan kesempatan berpendapat dalam setiap kegiatan. Distribusi pembagian peran yang harus dimiliki pemimpin menjadi mutlak untuk menyejajarkan posisi tiap anggota dalam satu organisasi. Indikator yang digunakan untuk mengetahui efektivitas kepemimpinan dilihat berdasarkan kedekatan pemimpin dengan anggota, materi pembicaraan dengan anggota, dan kesempatan anggota dalam menyampaikan pendapat.
Tabel
17
Jumlah dan persentase kepemimpinan
Efektivitas kepemimpinan Rendah Sedang Tinggi Total
responden
berdasarkan
Jumlah (orang) 11 20 19 50
efektivitas
Persentase (%) 22 40 38 100
Hasil penelitian memperlihatkan 22 persen responden menilai efektivitas kepemimpinan organisasi rendah. Reponden pada kategori ini adalah anggota paguyuban yang memiliki kedekatan rendah dengan pemimpin paguyuban. Hal tersebut dilihat dari intensitas pertemuan yang pernah dilakukan dengan paguyuban seperti kunjungan pemimpin paguyuban ke rumah anggota. Jumlah responden paling banyak ada pada efektivitas kepemimpinan sedang dengan 40 persen. Sebanyak 38 persen resonden menilai efektivitas kepemimpinan tinggi. responden yang ada pada kategori ini adalah responden yang tergabung dalam organisasi sejak awal sehingga kedekatan yang terjalin dengan pemimpin lebih sering. Lebih jauh, dua kondisi yang berbeda ditunjukkan dari penelitian di dua desa tersebut. Sosok ketua yang berdomosili di Desa Curug, memperlihatkan kedekatan ketua dengan anggota di Desa Curug lebih baik dibandingkan di Desa Tegal Wangi. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa memang anggota di Desa Curug tahu pasti performa ketua, baik dalam organisasi maupun kehidupan keseharian. Kedekatan ketua dengan anggota diperlihatkan dari jumlah kunjungan dan materi pembicaraan yang dilakukan. Kedekatan antara ketua dan
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
63
anggota yang terjalin didukung oleh jarak yang dekat antara rumah ketua organisasi dan para anggotanya. Selain itu, banyak dari responden di Desa Curug masih kerabat dekat dengan ketua organisasi. Seperti diungkapkan oleh salah satu responden di Desa Curug “Saya salut sama Bapak S. Dalam proses perjuangan ini kan pasti banyak mengeluarkan dana. Dia ikhlas buat bantu kami ini itu padahal ini kan belum berhasil. Berarti dia banyak nombok untuk sekedar ongkos rapat pun” (A, 32)
Hasil berbeda ditunjukkan dari responden di Desa Tegal Wangi. Hanya sedikit yang mengetahui sosok dari pemimpin gerakan dan bagaimana performanya dalam kegiatan organisasi maupun kehidupan keseharian. Hanya para penggagas di Desa Tegal Wangi yang mengenal baik sosok ketua karena seringnya kebersamaan dalam proses advokasi ke beberapa lembaga. Lebih jauh, responden lain mengaku hanya sebatas tahu dengan sosok ketua gerakan tetapi tidak kenal akrab mereka hanya mengatahui performa ketua gerakan dalam organisasi. Hal ini dibuktikan dengan jumlah kunjungan yang dilakukan oleh ketua kepada anggota di Desa Tegal Wangi. Jarangnya kunjungan ke anggota di Desa Tegal Wangi lebih dikarenakan jaraknya yang cukup jauh dari Desa Curug. Selain itu, bagi responden jarang mengikuti kegiatan organisasi dan latar belakang bergabung dalam organisasi karena rasa empati mengatakan efektivitas kepemimpinan rendah. Hal ini dikarenakan responden ini tidak mengetahui bagaimana iklim organisasi dan sosok pemimpin dalam organisasi. Intensitas Kegiatan Organisasi Banyak kegiatan yang dilakukan organisasi Forum Paguyuban Petani Jasinga dalam proses memperjuangkan kembali hak garap bagi masyarakat. Kegiatan yang dilakukan seperti proses pendampingan bagi masyarakat baik itu anggota organisasi ataupun masyarakat yang terkena proses hukum akibat kegiatan penggarapan yang pernah dilakukan dahulu. Selain itu, diskusi dan rapat persiapan dilakukan jika akan ada kegiatan yang dilakukan. “kalau ada panggilan ke polres atau ada acara sama LBH ditentuin dulu siapa yang mau berangkat. Ongkosnya gimana” (A, 40)
Proses advokasi yang pernah dilakukan disampaikan kepada DPRD Bogor. Kala itu, perwakilan dari dua desa mendatangi kantor DPRD untuk meminta bantuan dan penyelesaian terkait kasus ini. Selain itu organisasi Forum Paguyuban Petani Jasinga pernah melakukan kegiatan yang bernama kebon forum. Kegiatan ini dilakukan pada tahun 2012 sampai 2013. Kebon forum merupakan kegiatan membuka lahan di eks perkebunan yang menjadi sengketa. Organisasi melakukan penanaman singkong di atas lahan yang luasnya kurang lebih lima hektar. Kegiatan tersebut dilakukan sebagai aksi protes dan perlawanan serta menunjukkan bahwa masyarakat membutuhkan tanah garapan. Menurut salah satu responden di Desa Tegal Wangi, kegiatan kebon forum
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
64
sudah di lakukan sebanyak tiga kali. Namun, tidak membuahkan hasil. Hal ini dikarenakan, tanaman yang ditanam oleh masyarakat dicabut kembali oleh keamanan perusahaan. Tujuan dari dibuatnya kebon forum agar hasil tanaman yang dihasilkan nanti bisa menjadi cadangan keuangan organisasi. Namun, lebih jauh tujuan dari kegiatan ini adalah untuk menunjukkan bahwa masyarakat tetap bertahan dan membutuhkan lahan garapan. Kegiatan advokasi yang dilakukan oleh organisasi ini didampingi oleh Lembaga Bantuan Hukum Jakarta. Proses pertemuan dilakukan di Desa Tegal Wangi. Pertemuan ini membahas sengketa lahan yang terjadi. Selain itu masyarakat juga melakukan advokasi ke KomnasHAM untuk meminta perlindungan dan bantuan atas masalah yang terjadi. Sebelum terbentuknya organisasi, kegiatan yang dilakukan oleh embrio organisasi ini adalah dengan melakukan pendampingan pada para mantan penggarap yang tersandung proses hukum akibat aktivitas menggarap yang dahulu pernah dilakukan.
Tabel 18 Jumlah dan persentase responden berdasarkan intensitas kegiatan Intensitas kegiatan Rendah Sedang Tinggi Total
Jumlah (orang) 22 10 38 50
Persentase (%) 44 20 36 100
Menurut responden di kedua desa penilaian terkait kegiatan yang selama ini dilakukan tersaji pada Tabel 18. Responden yang mengatakan bahwa intensitas kegiatan organisasi rendah sebanyak 44 persen. Selain itu, 20 persen responden mengatakan bahwa intensitas kegiatan organisasi sedang. Berbeda dengan 36 persen responden yang mengatakan bahwa intensitas kegiatan tinggi. Intensitas kegiatan yang dinilai rendah oleh 44 persen responden disebabkan belum terstrukturnya anggota dan agenda kegitan setiap bulannya. Struktur keanggotaan yang belum jelas menyebabkan orang yang terlibat dalam setiap kegiatan berbeda. Lebih jauh, untuk anggota paguyuban yang tingkat keaktifannya rendah menilai intensitas kegiatan rendah. Hal tersebut dikarenakan minimnya informasi terkait kegiatan organisasi yang diterima oleh responden tersebut. Selain itu, untuk kegiatan yang dilakukan di luar kota digunakan keterwakilan. Hal ini dikarenakan jarak tempuh yang jauh dan pendanaan yang minim membuat tidak memungkinkan untuk setiap anggota terlibat langsung. Kegiatan yang pernah dilakukan di Desa Tegal Wangi diikuti oleh responden di Desa Curug dan Desa Tegal Wangi. Kegiatan kajian bersama LBH Jakarta dilakukan di Kampung Lengkong dan Cimanggu. Anggota paguyuban yang menilai intensitas kegiatan tinggi adalah anggota paguyuban yang terlibat dalam banyak kegiatan. Para penggagas organisasi menilai intensitas kegiatan tinggi karena mereka terlibat dalam banyak kegiatan di dalam desa ataupun luar desa. Pada setiap kegiatan yang dilakukan, tidak semua responden bisa hadir. Hal ini dikarenakan tidak ada tuntutan pada anggota paguyuban untuk hadir. Jika anggota paguyuban memiliki urusan lain, anggota paguyuban tersebut tidak
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
65
hadir dalam kegiatan. Selain itu, informasi yang tidak menyebar rata menyebabkan anggota paguyuban tidak mengetahui pelaksanaan kegiatan. Kegiatan informal dilakukan responden sebagai bentuk persiapan jika akan mengikuti kegiatan di luar kota. Kegiatan informal yang dilakukan biasanya berupa diskusi antar sesama penggarap terkait kelanjutan perjuangan. Tahun 2014 ini, belum ada lagi kegiatan yang dilakukan, baik itu kajian, pendampingan ataupun aksi protes. Kegiatan banyak dilakukan pada tahun awal pembentukan yakni antara 2012 sampai 2013. Ketua paguyuban mengatakan bahwa belum ada lagi informasi lanjutan dari pihak LBH terkait proses advokasi yang dilakukan. Tingkat Kolektifitas Aksi Perbedaan tingkat kolektifitas pada bab ini dengan tingkat kolektifitas pada bab dimensi gerakan petani adalah kolektifitas aksi dalam organisasi sejauh mana responden terlibat dalam kegiatan organisasi setelah pembentukan organisasi dan kebersamaan responden dengan anggota lainnya dalam kehidupan keseharian sedangkan tingkat kolektifitas pada dimensi gerakan petani berfokus pada keikutsertaan responden dalam kegiatan pembentukan organisasi.
Tabel 19 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat kolektifitas aksi Tingkat kolektifitas aksi Rendah Sedang Tinggi Total
Jumlah (orang) 15 21 14 50
Persentase (%) 30 42 28 100
Berdasarkan Tabel 19 dapat dijelaskan bahwa tingkat kolektifitas aksi rendah dimiliki oleh 30 persen anggota paguyuban. Tingkat kolektifitas aksi sedang dimiliki oleh 42 persen anggota paguyuban. Sebanyak 28 persen responden memiliki tingkat kolektifitas aksi tinggi. Tingkat kolektiftas aksi tinggi hanya dimiliki oleh 28 persen responden. Hal ini disebabkan oleh hubungan yang terjalin hanya sebatas hubungan di organisasi. Selain itu, tidak semua responden memiliki kemampuan secara finansial untuk selalu ikut dalam kegiatan respondan. Seperti yang diungkapkan oleh salah satu anggota paguyuban di Desa Curug “pan mun kumpulan teh kudu ngaluarkeun ongkos. Lamun hasil geus kumpulan teh. Jadi mending ka sawah daripada kumpulan” (M, 70)
Selain itu, responden yang sudah berusia lanjut menyatakan kesulitan untuk melakukan mobilisasi langsung. Hal ini disebabkan, jarak tempuh Desa Curug ke Desa Tegal Wangi cukup jauh. Kegiatan organisasi lebih sering dilakukan di Desa Tegal Wangi. Seperti yang diungkapkan salah satu responden
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
66
yang mengatakan bahwa dia tidak bisa membantu langsung hanya sebatas dukungan yang bisa diberikan untuk keberhasilan organisasi. Tingkat kolektifitas aksi yang terkonsentrasi di tingkat sedang disebabkan oleh antar sesama anggota paguyuban (beda desa) hanya sedikit yang saling mengenal. Selain itu, keikutsertaan anggota paguyuban pada kegiatan organisasi jarang. Responden yang memiliki tingkat kolektifitas aksi tinggi adalah responden yang keikutsertaannya dalam kegiatan organisasi tinggi. Anggota paguyuban yang ada pada golongan ini adalah para penggagas organisasi. Keikutsertaan yang tinggi pada kegiatan organisasi disebabkan oleh para penggagas tersebut menjadi wakil organisasi dalam proses advokasi baik dalam maupun luar desa. Di sisi lain, kebersamaan organisasi ini terlihat dari proses pengumpulan dana ketika harus melakukan pertemuan di luar desa. Setiap responden memberikan sumbangan seikhlasnya sebagai wujud bantuan ketika harus menghadiri pertemuan di luar desa. Tingkat kolektifitas aksi yang ada pada Forum Paguyuban Petani Jasinga belum tercermin dalam kehidupan keseharian. Hubungan yang terjalin masih sebatas hubungan organisasi. Selain itu, sebaran anggota paguyuban yang berada di dua desa menyulitkan proses interaksi antar setiap anggota. Interaksi dengan antar paguyuban hanya dilakukan dengan anggota paguyuban yang tinggal di desa yang sama sedangkan untuk interkasi antar anggota paguyuban di luar desa masih jarang. Hal tersebut dibuktikan dengan belum saling mengenalnya antar anggota paguyuban. Hanya para penggagas organisasi yang mengenal anggota paguyuban di luar desa mereka tinggal. Hal ini disebabkan oleh intensitas pertemuan pada kegiatan organisasi. Luas Jaringan Organisasi Proses penyelesian masalah sengketa lahan garapan antara masyarakat kedua desa dengan pihak perkebunan tidak dilakukan secara sendiri. Para mantan penggarap yang akhirnya mengukuhkan diri sebagai satu kesatuan dalam organisasi Forum Paguyuban Petani Jasinga selama perjalannya didampingi oleh Ormas BPKB yang berbasis di daerah Tangerang. Proses pendampingan yang diberikan oleh Ormas ini adalah dengan membantu langsung pada setiap kegiatan yang dilakukan. Selain itu, organisasi Forum Paguyuban Petani Jasinga didampingi oleh LBH Jakarta dan Komnas HAM dalam proses advokasi. Bantuan yang diberikan oleh LBH Jakarta adalah berupa pendampingan dan advokasi. Pertemuan yang dilakukan di Desa Tegal Wangi dilakukan untuk mencoba memetakan masalah yang ada dan bagaimana penyelesaiannya. Saran yang diberikan oleh pihak LBH Jakarta adalah agar masyarakat turun langsung menguasasi lahan secara fisik. Bantuan yang diberikan oleh Komnas HAM adalah berupa mediasi antara pihak masyarakat, perusahaan, dan pihak desa setempat. Namun, proses mediasi tidak berjalan lancar. Hal ini disebabkan pihak perusahaan belum pernah bertemu dengan pihak masyarakat pada setiap pertemuan. Bantuan yang diberikan oleh pihak-pihak yang menjadi jaringan organisasi dinilai berarti. Hal ini disebabkan, organisasi ini merasa tidak
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
67
mendapat bantuan dan dukungan dari pihak desa setempat. Jaringan yang dimiliki dimanfaatkan untuk menjembatani proses penyelesaian masalah sengketa lahan tersebut. Bantuan yang diberikan pada organisasi ini berlangsung sejak tahun 2012 hingga 2013. Geliat pemberian bantuan belum terlihat lagi sepanjang tahun 2014. Hal ini dikarenakan belum ada kelanjutan dari masingmasing terkait proses penyelesaian masalah sengketa lahan.
Tabel 20 Jumlah dan persentase responden berdasarkan luas jaringan organisasi Luas jaringan organisasi Rendah Sedang Tinggi Total
Jumlah (orang) 21 17 12 50
Persentase (%) 42 34 24 100
Penilaian luas jaringan organisasi menurut anggota paguyuban tersaji pada Tabel 20. Terlihat bahwa 42 persen responden yang menyatakan bahwa luas jaringan yang dimiliki rendah. Hal tersebut dikarenakan responden yang berada di golongan ini adalah responden yang jarang teribat dalam kegiatan. Sehingga tidak mengetahui jelas jaringan yang dimiliki oleh organisasi ini. Selain itu, terdapat 24 persen yang menyatakan bahwa jaringan yang dimiliki organisasi tergolong sedang. Di sisi lain, 34 persen mengatakan bahwa jaringan yang dimiliki oleh organisasi tinggi. Jumlah responden yang paling banyak ada pada kategori luas jaringan rendah. Hal ini disebabkan, responden yang jarang mengikuti kegiatan organisasi tidak tahu mengenai lembaga yang membantu dan bantuan yang diberikan oleh lembaga di luar organisasi. Anggota paguyuban yang tinggal di Desa Curug mengetahui lebih banyak jumlah lembaga yang membantu. Berbeda dengan anggota paguyuban yang tinggal di Desa Tegal Wangi yang sedikit mengetahui perihal bantuan yang diberikan oleh pihak luar. Hal ini disebabkan oleh, anggota paguyuban yang tinggal di Desa Curug menyadari keikutsertaanya dalam organisasi. Berbeda dengan anggota paguyuban di Desa Tegal Wangi yang tidak menyadari keikutsertaan dalam organisasi. Pengaruh Tingkat Terpenuhinya Dimensi Gerakan Petani terhadap Karakter Gerakan Petani Sub bab ini akan membahas mengenai pengaruh tingkat terpenuhinya dimensi gerakan petani terhadap masing-masing variabel karakter gerakan petani. Dimensi gerakan petani yang dijadikan titik totak pada prakondisi pembentukan dangat menentukan wajah perjuangan organisasi tani yang dibentuk dan kelangsungannya. Dimensi gerakan petani menjadi landasan utama ketika menilai karakter gerakan organisasi tani. Dimensi gerakan petani yang
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
68
ditunjukkan dari hasil penelitian menunjukkan hasil yang berada pada setiap variabel karakter gerakan petani.
Tabel 21 Hasil uji pengaruh tingkat terpenuhinya dimensi gerakan petani terhadap karakter gerakan Organisasi Forum Paguyuban Petani Jasinga Variabel Efektivitas kepemimpinan Intensitas kegiatan Tingkat Kolektifitas Aksi Luas jaringan
F tabel 2.894 2.894 2.894 2.894
F hitung 12.359 12.046 27.289 28.423
sig 0.001 0.001 0.000 0.000
Hasil uji statistik didapatkan nilai sig dari empat variabel karakter gerakan petani kurang dari (<) 0.1. Nilai sig untuk variabel efektivitas kepemimpinan bernilai 0.001 sedangkan untuk variabel tingkat kolektifitas aksi bernilai 0.000. Nilai sig untuk variabel luas jaringan bernilai 0.000 sedangkan nilai sig untuk variabel intensitas kegiatan 0.001. Hasil uji statistik dengan menggunakan regresi berganda menunjukkan bahwa tingkat terpenuhinya dimensi gerakan petani memberikan pengaruh kepada setiap variabel dalam karakter gerakan petani. Hal tersebut dibuktikan dengan nilai F hitung yang lebih besar jika dibandingkan dengan F tabel dan nilai sig yang kurang dari 0.1. Berdasarkan aturan, jika kedua kondisi tersebut dipenuhi maka H1 diterima atau dengan kata lain menolak H0. H0 : Diduga, terpenuhinya dimensi gerakan petani tidak berpengaruh terhadap karakter gerakan petani H1 : Diduga, terpenuhinya dimensi gerakan petani berpengaruh terhadap karakter gerakan petani Fakta di lapangan menunjukkan bahwa dimensi gerakan petani yang terkonsentrasi di level sedang memberikan pengaruh terhadap masing-masing variabel karakter gerakan petani. Dimensi gerakan petani yang dimiliki oleh setiap anggota paguyuban memberikan dampak pada karakter organisasi tani.
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
69
Tabel 22 Persentase responden di Desa Curug dan Desa Tegal Wangi berdasarkan variabel-variabel karakter gerakan petani Variabel Efektivitas kepemimpinan organisasi Intensitas kegiatan Tingkat kolektifitas aksi Luas jaringan
Desa Curug Desa Tegal Wangi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi 20% 23.33% 53.33% 25% 60% 15%
43.3%
23.3%
33.3%
45%
15%
40%
43.44%
30%
26.67% 15%
55%
30%
43.3%
26.7%
30%
20%
40%
40%
Efektivitas kepemimpinan organisasi dinilai sedang disebabkan oleh penyebaran anggota paguyuban yang tidak hanya pada satu desa. Lebih jauh, penilaian atas efektivitas kepemimpinan oleh masing-masing anggota di dua desa ada pada Tabel 22. Terlihat bahwa efektivitas kepemimpinan dinilai berbeda oleh anggota paguyuban di kedua desa penelitian. Sebanyak 53.55 persen anggota paguyuban di Desa Curug menilai efektivitas kepemimpinan tinggi sedangkan 60 persen anggota paguyuban di Desa Tegal Wangi menilai efektivitas kepemimpinan sedang. Pemimpin paguyuban yang berasal dari Desa Curug menyebabkan jarangnya intensitas pertemuan dengan anggota paguyuban di Desa Tegal Wangi. Berbeda dengan anggota yang ada di Desa Curug, kedekatan rumah tinggal dan seringnya interaksi yang dilakukan dengan pemimpin paguyuban menyebabkan anggota di Desa Curug lebih mengenal sosok pemimpin paguyuban. Anggota paguyuban di Desa Tegal Wangi sebatas mengetahui sosok pemimpin tanpa mengenal secara personal seperti responden di Desa Curug. Lebih jauh, dimensi gerakan petani yang terkonsentrasi pada tingkat sedang menunjukkan pengaruh terhadap efektivitas kepemimpinan. Penilaian mengenai efektivitas dapat dilakukan dalam setiap kegiatan yang dilakukan. Tidak terlibatnya anggota paguyuban dalam persiapan pembentukan organisasi menyebabkan informasi mengenai pemimpin paguyuban minim. Selain itu, tingkat kolektifitas aksi yang ditunjukkan dalam organisasi ini masih tergolong pada tingkatan sedang. Hal ini disebabkan oleh kedekatan belum terjalin secara menyeluruh antara anggota di Desa Tegal Wangi dan Curug. Mereka hanya sebatas mengetahui tanpa mengenal lebih jauh anggota di Desa lain. Perbedaan waktu bergabung dalam organisasi menyebabkan belum saling mengenalnya antar anggota paguyuban. Tingkat kolektifitas aksi baru terbangun setelah pembentukan organisasi. Hal ini disebabkan tingkat kolektifitas sebelum pembentukan organisasi masih rendah dikarenakan hanya sedikit responden yang terlibat dalam proses pembentukan. Berdasarkan data pada Tabel 22 terlihat perbedaan tingkat kolektifitas aksi antar anggota paguyuban di dua desa penelitian. Tingkat kolektifitas aksi di Desa Curug masih tergolong rendah dengan 43.44 persen responden sedangkan tingkat kolektifitas aksi di Desa Tegal Wangi tergolong sedang dengan 55 persen
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
70
responden. Tingkat kolektifitas aksi yang terkonsentrasi di tingkat sedang pada responden di Desa Tegal Wangi dikarenakan lokasi perkumpulan yang diadakan di Desa Tegal Wangi. Mobilisasi yang mudah dan jarak yang dekat membuat responden di Desa Tegal Wangi lebih banyak mengikuti kegiatan. Tingkat kolektiftas aksi dari kedua desa tidak menunjukkan tingkat kolektifitas aksi yang tinggi. Hal ini disebabkan oleh hubungan yang terjalin hanya sebatas hubungan di organisasi. Selain itu, tidak semua responden memiliki kemampuan secara finansial untuk selalu ikut dalam kegiatan respondan. Seperti yang diungkapkan oleh salah satu responden di Desa Curug “pan mun kumpulan teh kudu ngaluarkeun ongkos. Lamun hasil geus kumpulan teh. Jadi mending ka sawah daripada kumpulan” (M, 70)
Selain itu, responden yang sudah berusia lanjut menyatakan kesulitan untuk melakukan mobilisasi langsung karena jarak tempuh Desa Curug ke Desa Tegal Wangi cukup jauh. Seperti yang diungkapkan salah satu responden yang mengatakan bahwa dia tidak bisa membantu langsung hanya sebatas dukungan yang bisa diberikan untuk keberhasilan organisasi. Bila dilihat dalam satu lingkup organisasi, perbedaan ini disebabkan oleh tidak semua responden bisa terlibat langsung dalam kegiatan di luar desa. Perwakilan yang ditunjuk untuk mengahadiri kegiatan di luar desa memiliki tingkat kolektifitas yang tinggi karena frekuensi kegiatan yang diikuti lebih banyak dibandingkan yang lain. Di sisi lain, kebersamaan organisasi ini terlihat dari proses pengumpulan dana ketika harus melakukan pertemuan di luar desa. Setiap responden memberikan sumbangan seikhlasnya sebagai wujud bantuan ketika harus menghadiri pertemuan di luar desa. Luas jaringan organisasi Forum Paguyuban Petani Jasinga dinilai masih rendah oleh anggota paguyuban. Hal ini dikarenakan anggota paguyuban tidak selalu mengikuti kegiatan yang diberikan oleh lembaga lain. Hal tersebutlah yang menyebabkan luas jaringan masih dinilai rendah. Terlihat pada Tabel 22 bahwa luas jaringan menurut anggota paguyuban di masing-masing desa masih tergolong rendah. Sebanyak 43.3 persen anggota paguyuban di Desa Curug dan 40 persen responden di Desa Tegal Wangi mengatakan bahwa luas jaringan organisasi masih rendah. Hal ini disebabkan tidak semua responden di Desa Curug dan Desa Tegal Wangi selalu mengikuti kegiatan organisasi sehingga tidak mengetahui perkembangan bantuan yang kini diterima oleh organisasi. Kegiatan organisasi dinilai rendah intensitasnya oleh anggota paguyuban. Hal ini dikarenakan, tidak setiap kegiatan anggota yang menjadi responden penelitian ikut terlibat. Selain itu, kepentingan yang rendah bagi segelintir responden karena tidak mengalami kerugian berupa kehilangan akses lahan membuat kontribusi kehadiran dan informasi mengenai kegiatan yang dilakukan organisasi minim. Pada Tabel 22 terlihat bahwa intensitas kegiatan menurut anggota paguyuban di dua desa ada pada kategori rendah. Sebanyak 43.3 persen anggota paguyuban di Desa Curug dan 45 persen anggota paguyuban di Desa Tegal Wangi menyatakan bahwa intensitas kegiatan organisasi rendah. Hal ini disebabkan rendahnya keterlibatan anggota dalam kegiatan. Sehingga anggota paguyuban tidak mengetahui perkembangan kegiatan organisasi. Di sisi lain,
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
71
hanya beberapa perwakilan anggota paguyuban saja yang ikut dalam kegiatan luar desa. Hal ini menyebabkan anggota paguyuban yang tidak ikut terlibat menilai intensitas kegiatan organisasi rendah.
Tabel 23 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat terpenuhinya dimensi gerakan petani terhadap karakter gerakan petani
Efektivitas kepemimpinan
Rendah Sedang Tinggi
Total Luas jaringan Rendah Sedang Tinggi Total Tingkat Rendah Kolektifitas aksi Sedang Tinggi Total Intensitas Rendah kegiatan Sedang Tinggi Total
Tingkat terpenuhinya dimensi gerakan petani Rendah Sedang Tinggi n % n % n % 3 27.3 3 18.75 2 22.2 8 72.7 16 37.5 7 77.8 0 0 1 43.75 0 0 11 100 20 100 9 100 6 75 15 48.4 0 0 1 12.5 11 35.5 0 0 1 12.5 5 16.1 11 100 8 100 31 100 11 100 5 62.5 10 32.2 0 0 2 25 18 58.1 1 9.1 1 12.5 3 9.7 10 90.9 8 100 31 100 11 100 5 62.5 16 51.6 1 9.1 1 12.5 9 29.03 0 0 2 25 6 19.3 10 91.9 8 100 31 100 11 100
Tabel 23 menunjukkan pengaruh antara tingkat terpenuhinya dimensi gerakan petani dengan karakter gerakan petani yang terbangun. Jumlah responden terbanyak pada pengaruh antara tingkat terpenuhinya dimensi gerakan petani sedang dengan efektivitas kepemimpinan adalah pada kategori tinggi dengan 77.8 persen. Terdapat tujuh responden atau 100 persen yang memiliki tingkat terpenuhinya dimensi gerakan petani tinggi dan menilai efektivitas kepemimpinan organisasi sedang. Jumlah responden terbanyak pada luas jaringan ada pada tingkatan rendah dan tingkat terpenuhi dimensi gerakan petani sedang dengan delapan orang atau 50 persen. Hal ini berbeda dengan uji statistik yang menunjukkan pengaruh antara kedua variabel ini. Hubungan kedua variabel ini tidak terlihat pada tabulasi silang di atas. Selain itu, jumlah responden pada variabel tingkat kolektifitas aksi paling banyak pada tingkat rendah dan tingkat terpenuhinya dimensi gerakan petani sedang dengan delapan responden atau 50 responden. Tingkat terpenuhinya dimensi gerakan petani tidak menunjukkan pengaruh terhadap intensitas kegiatan pada tabel tabulasi silang di atas. Hal ini dikarenakan jumlah responden terbanyak ada pada tingkat terpenuhinya dimensi gerakan petani sedang dengan penilaian atas intensitas kegiatan organisasi rendah.
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
72
Tabel 23 memberikan gambaran atas pengaruh yang diberikan oleh tingkat terpenuhinya dimensi gerakan petani terhadap variabel-variabel karakter gerakan petani. Sepuluh responden atau 66.7 persen yang memiliki tingkat terpenuhinya dimensi gerakan petani sedang menilai efektivitas kepemimpinan organisasi ada pada tingkatan sedang. Selain itu, sebelas responden yang memiliki tingkat terpenuhinya dimensi gerakan petani sedang menganggap bahwa tingkat kolektifitas aksi organisasi masih ada pada tingkatan sedang. Responden terbanyak dalam hubungan tingkat terpenuhinya dimensi gerakan petani dengan luas jaringan ada pada kategori sedang dengan tujuh responden atau 46.7 persen. Selain itu, delapan orang atau 40 persen responden yang memiliki tingkat terpenuhinya dimensi gerakan petani menilai bahwa intensitas kegatan organisasi rendah. Lebih jauh, hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa menjadi satu hal yang berkesinambungan ketika unsur awal pada tahapan prakondisi pembentukan organisasi tidak dipenuhi dengan baik maka akan secara langsung mempengaruhi organisasi ketika sudah terbentuk. Terkonsentrasinya tingkat terpenuhinya dimensi gerakan petani pada tingkatan sedang membuat karakter dari organisasi Forum Paguyuban Petani Jasinga seperti saat ini. berangkat dari kondisi dan kepentingan yang berbeda menyebabkan organisasi ini belum memiliki tingkat kolektiftas aksi yang tinggi. Hal ini dikarenakan intensitas hubungan antara dua desa ini sebagai satu unti organisasi masih minim. Selain itu, efektivitas kepemimpinan tidak seragam dikatan tinggi. Hal ini dikarenakan responden di Desa Tegal wangi tidak mengenal baik pemimpin seperti responden Desa Curug. Di sisi lain, intensitas kegiatan dirasa kurang oleh responden di kedua desa. Hal ini dikarenakan setiapa responden tidak selalu ikut langsung dalam kegiatan sehingga tidak mengetahui perkembangan terkait kegiatan organisasi.
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
73
Ikhtisar Bab ini menganalisis karakter gerakan petani yang ada pada tubuh organisasi Forum Paguyuban Petani Jasinga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa efektivitas kepemimpinan organisasi dinilai rendah oleh anggota paguyuuban. Hal disebabkan oleh intensitas interaksi yang dilakukan oleh responden masing-masing desa dengan pemimpin organisasi. Sebanyak 40 persen anggota paguyuban menilai efektivitas kepemimpinan organisasi pada tingkatan sedang. Lebih jauh, jika dilihat terpisah antara dua desa penelitian yakni Desa Curug dan Desa Tegal Wangi, terlihat perbedaan dalam penilaian efektivitas kepemimpinan organisasi. Sebanyak 53.3 anggota paguyuban di Desa Curug menilai efektivitas kepemimpinan tinggi sedangkan 60 persen anggota paguyuban di Desa Tegal Wangi menilai efektivitas kepemimpinan organisasi sedang. Tingkat kolektifitas aksi organisasi ini ada pada tingkatan sedang dengan 42 persen responden. Hal ini dikarenakan masing-masing responden di desa penelitian belum saling mengenal baik dan hubungan yang terjalin hanya sebatas hubungan organisasi. Bila dilihat pada masing-masing desa cakupan organisasi, tingkat kolektifitas aksi di Desa Curug tergolong rendah dengan 43.3 persen responden sedangkan sebanyak 55 persen responden mengatakan tingkat kolektiftas aksi di Desa Curug tergolong sedang. Intensitas kegiatan organisasi dinilai masih rendah oleh 44 persen anggota paguyuban. Intensitas kegiatan organisasi menurut anggota paguyuban di Desa Curug masih dinilai rendah dengan 43.4 persen responden dan 45 persen responden di Desa Tegal Wangi pun menyatakan hal yang sama. Jaringan yang membantu organisasi ini dalam proses penyelesaian sengketa lahan dinilai masih rendah oleh 42 persen responden. Lebih jauh, hasil uji statistik menunjukkan bahwa tingkat terpenuhinya dimensi gerakan petani memiliki pengaruh terhadap karakter gerakan petani. Hal ini dibuktikan dengan nilai sig yang dihasilkan dari masing-masing uji bernilai kurang dari 0.1. Selain itu, F hitung dari masing-masing uji menunjukkan nilai yang lebih kecil jika dibandingkan dengan F tabel. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa H1 diterima. Hal tersebut dikarenakan semua variabel pada karakter gerakan petani memiliki nilai sig kurang dari (<) 0.1. H0 : Diduga, terpenuhinya dimensi gerakan petani tidak berpengaruh terhadap karakter gerakan petani H1 : Diduga, terpenuhinya dimensi gerakan petani berpengaruh terhadap karakter gerakan petani Fakta di lapangan menunjukkan bahwa dengan tingkat terpenuhinya dimensi gerakan petani sedang performa organisasi belum ada pada tingkat tinggi pada masing-masing variabel karakter gerakan petani (efektivitas kepemimpinan, luas jaringan organisasi, intensitas kegiatan, dan tingkat kolektifitas).
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
74
PENUTUP
Simpulan Simpulan dari penelitian ini adalah: 1. Perpanjangan Hak Guna Usaha di atas tanah seluas 938 hektar di Blok Cikidung pada tahun 2008 menyebabkan masyarakat kehilangan lahan garapan. Penebangan paksa terhadap tanaman milik masyarakat dilakukan oleh pihak perusahaan berdampak pada kerugian yang dialami oleh masyarakat. Perubahan struktur agraria lokal berupa hilangnya akses terhadap lahan garapan menyebabkan perubahan sosial ekonomi yang dialami oleh anggota paguyuban. Pengurangan luas penguasaan dan penurunan tingkat pendapatan terjadi setelah hilangnya akses terhadap lahan garapan. Keterlibatan dalam organisasi Forum Paguyuban Petani Jasinga menjadi pengalaman pertama berorganisasi bagi banyak anggota paguyuban. 2. Perubahan status sosial ekonomi seperti perubahan luas penguasaan lahan, perubahan tingkat pendapatan dan pengalaman berkelompok tidak berpengaruh terhadap tingkat terpenuhinya dimensi gerakan petani. 3. Tingkat terpenuhinya dimensi gerakan petani berpengaruh terhadap masing-masing variabel pada karakter gerakan petani (efektivitas kepemimpinan, luas jaringan, tingkat kolektifitas aksi, dan intensitas kegiatan). Tingkat terpenuhinya dimensi gerakan petani yang berbeda pada setiap anggota paguyuban memberikan pengaruh terhadap efektivitas kepemimpinan organisasi. Efektivitas kepemimpinan organisasi belum maksimal untuk seluruh anggota paguyuban di dua desa. Luas jaringan organisasi masih rendah karena sedikit dari anggota paguyuban yang mengetahui perkembangan organisasi. Intensitas kegiatan organisasi masih rendah karena tingkat kolektifitas aksi anggota paguyuban dalam organisasi pun rendah. Saran Beberapa saran yang diajukan penulis berdasarkan hasil penelitian ini, yaitu: 1. Pemerintah terutama Badan Pertanahan Nasional, serta instansi-instansi terkait lainnya untuk menindaklanjuti dan menyelesaikan sampai tuntas kasus sengketa tanah antara pihak perusahaan dan masyarakat di Desa Curug dan Desa Tegal Wangi. Selain itu, Pemerintah perlu melakukan koordinasi dengan pihak kecamatan, perusahaan maupun kabupaten terkait penyelesaian kasus sengketa lahan di dua desa ini 2. Upaya mengoptimalkan fungsi Organisasi Forum Paguyuban Petani Jasinga dapat dilakukan dengan mengakomodir tujuan anggota paguyuban dan
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
75
tujuan organisasi secara umum. Lebih lanjut, perlu dilakukan pembentukan serta pengukuhan atas struktur organisasi dan anggota agar dapat membentuk organisasi yang kuat. Selain itu, perlu dilakukan pembuatan agenda kegaiatan organisasi agar lebih terorganisir dan mampu mempererat kolektifitas organisasi.
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
76
DAFTAR PUSTAKA Basrowi, Juariyah S. 2010. Analisis kondisi sosial ekonomi dan tingkat pendidikan masyarakat Desa Srigading, Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur, Jurnal Ekonomi dan Pendidikan.[Internet]. [dikutip tanggal 9 Maret 2014]. 7(1): 58-82. Tersedia pada: http://journal.uny.ac.id/index.php/jep/article/view/577/434 Chrysantini P. 2010.Berawal dari Tanah (Melihat ke dalam Aksi Pendudukan Tanah). Bandung (ID): Yayasan Akatiga Fauzi N. 2005. Memahami gerakan-gerakan rakyat dunia ketiga. Yogyakarta (ID): INSIST Press Firmansyah, Aritonnang E, Terome H, Bahari Syaiful, S Hari Nanang. 1999. Gerakan dan pertumbuhan organisasi petani di Indonesia studi kasus gerakan petani era 1980-an. Jakarta (ID): YAPPIKA SEKRETARIAT BINA DESA Hafidz JOS. 2001. Perlawanan petani kasus tanah jenggaawah. Bogor (ID): Pustaka Latin Hartoyo. 2010. Involusi gerakan petani dan nasib petani [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. [Internet].[Diunduh 14 Desember 2013]. Tersedia pada: http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55023/2010har.pdf? sequence= Kammarudin SA. 2012. Pemberontakan petani unra 1943. J Makara Sosial Humaniora.[Internet].[Dikutip 10 Oktober 2013].16 (1). Tersedia pada: http://journal.ui.ac.idindex.php/humanities/article/view/1222/1127 Landsberger HA, Alexandrov YG. 1974. Pergolakan petani dan perubahan sosial (Alih bahasa oleh Aswab Mahasin). Jakarta (ID): Rajawali Pers. 138 hal. Lestarini W. 2007. Pengaruh status sosial ekonomi terhadap pemilihan moda transportasi untuk perjalanan kerja (studi kasus karyawan PT. SSSWI Kabupaten Wonosobo). [tesis]. [internet]. [dikutip tanggal 9 Maret 2014]. Semarang (ID): Universitas Diponogoro. 108 hal. Tersedia pada: http://eprints.undip.ac.id/17736/1/Wiji_Lestarini.pdf Mustapit. 2011. Perubahan struktur agraria dan harmoni semu [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Novelisa A. 2012. Pengaruh reforma agraria terhadap perubahan struktur agraria di pedesaan (kasus redistribusi tanah di desa curug, kecamatan jasinga, kabupaten bogor, provinsi jawa barat) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Purwandari H. 2006. Perlawanan tersamar organisasi petani [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. [Internet].[Diunduh 23 Oktober 2013]. Tersedia pada: http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/9424/2006hpu.pdf Scott J C. 1993. Perlawanan kaum tani. Jakarta (ID). Yayasan Obor Indonesia
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
77
Sihaloho M, Dharmawan AH, Rusli S. 2007. Konversi lahan dan perubahan struktur agraria.Sodality.01(01).[Internet]. [Diunduh 18 November 2013]. Tersedia pada: http://journal.ipb.ac.id/index.php/sodality Sihaloho M, Purwandari H, Supriyadi A. 2008. Reforma agraria di bidang pertanian: studi kasus perubahan struktur agraria dan diferensiasi kesejahteran. Sodality.03(01).[Internet]. [Diunduh 10 November 2013]. Tersedia pada: http://journal.ipb.ac.id/index.php/sodality Suhendar E. 1995. Ketimpangan penguasaan lahan di jawa barat. Bandung [ID]: Akatiga Sitorus MTF, White B, Sumardjono MSW, Marzali A, Sayogyo, Husodo SW, Bahari S, Soetarto E, Agusta I, Nasution LI dkk. 2002. Menuju keadilan agraria. Bandung (ID). Akatiga Sztompka P. 2011.Sosiologi perubahan sosial. Jakarta (ID). Prenada [UU] Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.[Internet]. [diunduh 12 Januari 2014]. Tersedia pada : http://dkn.or.id/wp-content/uploads/2013/03/Undang-Undang-RI-nomor5-Tahun-1960-tentang-Pokok-Pokok-Dasar-Agraria.pdf. Wahyudi . 2009. Formasi dan struktur gerakan sosial petani (studi kasus gerakan reklaiming/penjarahan atas tanah PTPN X XII (Persero) Kalibakar Malang Selatan. J Salam.[Internet].[Diunduh 10 Oktober 2013]. Tersedia pada: http://ejournal.umm.ac.id/index.php/salam/article/viewFile/436/443_umm_ scientific_journal.pd White B dan Wiradi G. 2009. Reforma agraria dalam tinjauan komparatif: hasil lokakarya kebijakan reforma agraria di selabintana. (Alih bahasa dari bahasa Inggris oleh Stephanus Aswar Herwinko). Bogor (ID): Brighten Press. 144 hal. [Judul asli Agrarian Reform in Comparative Perspective: Policy Issues and Research Needs] Wiradi G. 2009. Seluk beluk masalah agraria, reforma agraria, dan penelitian agraria. Yogyakarta (ID): STPN Press Yulisanti A. 2000. Status sosial ekonomi dan perilaku konsumtif kelas menengah baru. Yogyakarta (ID): APMD Yunike R. 2012. Gerakan sosial politik omah tani di kabupaten Kabupaten Batang. Politik Muda. [Internet].[Diunduh 10 Oktober 2013]. Tersedia pada: http://journal.unair.ac.id/detail_jurnal.php?id=4240&med=80&bid=8 Zuber, Ahmad. 2007. Pendekatan dalam memahami perubahan agraria di pedesaan. [Internet].[Diunduh 19 Desember 2013].Tersedia pada http://ahmad.zuber70.googlepages.com
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
78
LAMPIRAN
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
74
Lampiran 1 Peta lokasi penelitian
Desa Curug
Desa Tegal Wangi
Lampiran 2 Jadwal kegiatan penelitian Kegiatan
Maret April Mei Juni 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Penyusunan Proposal Skripsi Kolokium Perbaikan Proposal Skripsi Pengambilan Data Lapang Pengolahan dan Analisis Data Penulisan Draft Skripsi Uji Petik Sidang Skripsi Perbaikan Laporan Skripsi
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
75
Lampiran 3 Responden penelitian NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38
NAMA MR B ARM AD U JD BS MAD SRN JHA SUK MH HA OC RHN DI JHA MDS UR KM AG AC WK U MR JMN S NT AK ME MI JU RSM U N U AS J
UMUR 60 40 50 42 56 60 35 50 51 50 55 68 42 51 55 46 45 70 41 80 32 55 40 42 40 84 40 40 70 35 50 59 50 46 46 60 40 50
ALAMAT CURUG CURUG CURUG CURUG CURUG CURUG CURUG CURUG CURUG CURUG CURUG CURUG CURUG CURUG CURUG CURUG CURUG CURUG CURUG CURUG CURUG CURUG CURUG CURUG CURUG CURUG CURUG CURUG CURUG CURUG TEGAL WANGI TEGAL WANGI TEGAL WANGI TEGAL WANGI TEGAL WANGI TEGAL WANGI TEGAL WANGI TEGAL WANGI
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
76
39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50
A NU I K JDN SR SB D S M N J
40 42 80 42 50 50 63 60 60 58 50 45
TEGAL WANGI TEGAL WANGI TEGAL WANGI TEGAL WANGI TEGAL WANGI TEGAL WANGI TEGAL WANGI TEGAL WANGI TEGAL WANGI TEGAL WANGI TEGAL WANGI TEGAL WANGI
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
77
Lampiran 4 Hasil uji statistik Hasil uji pengaruh variabel perubahan status sosial ekonomi terhadap tingkat terpenuhinya dimensi gerakan petani Model
Unstandardized Coefficients
Standardized
t
Sig.
Coefficients B (Constant) Luas Penguasaan Lahan Setelah 1
Konflik tingkat pendapatan setelah perpanjangan HGU pengalaman kelompok
Std. Error
Beta
1,043
,151
6,922
,000
,218
,127
,247
1,715
,093
-,040
,123
-,048
-,327
,745
-,046
,156
-,044
-,295
,769
Hasil uji pengaruh tingkat terpenuhinya dimensi gerakan petani terhadap efektivitas kepemimpinan Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares 5,880 22,840
df 1 48
28,720
Mean Square 5,880 ,476
F 12,359
Sig. ,001b
49
Hasil uji pengaruh tingkat terpenuhinya dimensi gerakan petani terhadap tingkat kolektifitas aksi Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares 10,504 18,476 28,980
df 1 48 49
Mean Square 10,504 ,385
F 27,289
Sig. ,000b
Hasil uji pengaruh tingkat terpenuhinya dimensi gerakan petani terhadap luas jaringan organisasi Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares 14,014 23,666 37,680
df 1 48 49
Mean Square 14,014 ,493
F 28,423
Sig. ,000b
Hasil uji pengaruh tingkat terpenuhinya dimensi gerakan petani terhadap intensitas kegiatan Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares 7,961 31,719 39,680
df 1 48
Mean Square 7,961 ,661
F 12,046
Sig. ,001b
49
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer