ABSTRAK HARTOYO. Involusi Gerakan Agraria dan Nasib Petani: Studi Tentang Dinamika Gerakan Petani di Provinsi Lampung. Dibimbing oleh ENDRIATMO SOETARTO (Ketua), ARYA HADI DHARMAWAN dan ROBERT M.Z. LAWANG (Anggota). Salah satu elemen masyarakat Lampung yang mengalami ketidakadilan baik dalam dimensi politik, ekonomi maupun kultural adalah petani. Pada era orde baru, petani tidak bisa memperjuangkan kepentingan dan hak-haknya atas sumberdaya agraria (tanah) yang setara dan adil karena mendapat tekanan kuat dari negara. Pada era demokratisasi struktur peluang politik sudah terbuka dan petani berpeluang untuk meneruskan perjuangannya. Pada awal reformasi terjadi aksi-aksi kolektif petani terorganisir hingga pada level provinsi. Tetapi hingga saat ini kondisinya kembali melemah. Masalahnya adalah: “Bagaimana gerakan petani yang muncul dan berkembang di dalam struktur politik yang sudah terbuka di era demokratisasi saat ini tidak mampu memperkuat dirinya dan dalam melakukan perubahan substantif nasib petani ?” Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan: (1) kondisi-kondisi hubungan agraria yang menjadi pemicu utama terjadinya gerakan petani; (2) menjelaskan saling keterkaitan di antara unsur-unsur yang mendukung dilancarkannya aksiaksi kolektif dalam gerakan petani; dan (3) menjelaskan arah perkembangan gerakan petani (yang direpresentasikan oleh organisasi gerakan petani) dalam melakukan perubahan struktural agraria di era demokratisasi saat ini. Penelitian ini sengaja dilakukan di provinsi Lampung berdasarkan kriteria tertentu, menggunakan paradigma konstruktivisme, dengan desain studi kasus terhadap organisasi gerakan petani level provinsi (DTL, IPL, SPL, dan Mirak Nadai). Sebagai konsekuensinya adalah digunakan metodologi kualitatif. Data dikumpulkan dengan wawancara mendalam, dokumentasi, observasi dan data sekunder. Sumber data diperoleh dari NGO, aktivis gerakan petani, perusahaan, instansi pemerintah, universitas, dan petani basis. Proses dan analisis data mengikuti tahapan reduksi data dan klasifikasi berdasarkan kategori yang dibangun oleh konsep, dan kemudian dibuat hubungan antar konsep. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, pertama, ketegangan struktural agraria menjadi prakondisi utama munculnya gerakan petani. Kondisi ini dipicu oleh kebijakan pembangunan yang tidak responsi terhadap kepentingan petani. Kedua, betapapun tertutupnya peluang politik masih ada celah-celah keterbukaan untuk petani melakukan perjuangan. Ketiga, struktur sumberdaya integratif petani dan non petani menjadi ciri utama gerakan petani skala provinsi. Keempat, cepatnya penguatan struktur mobilisasi sumberdaya gerakan petani dan respon positif petani terhadap peluang politik (dekonstruksi struktur politik negara sebagai momentum) karena telah tersedia sumberdaya mobilisasi potensial yang berkembang dalam sub kultur oposisi petani. Kelima, stagnasi gerakan petani terjadi karena dalam proses penguatan struktur mobilisasi sumberdaya diwarnai disorientasi perilaku para elit aktor yang konsekuensinya tidak dapat diprediksi dan dikontrol. Keenam, involusi gerakan agraria terjadi ketika struktur sumberdaya mobilisasi melemah (mengalami deformasi, decoupling dan stagnasi) dan sifat struktural organisasi gerakan semakin melekat pada sistem agraria yang mapan, sedangkan program perjuangan belum terlembagakan. Kata kunci: Gerakan, agraria, petani, stagnasi, involusi.
iii
ABSTRACT HARTOYO. Involution of Agrarian Movement and The Fate of Peasants: A Study of Peasant Movement Dynamics in Lampung Province. Under direction of ENDRIATMO SOETARTO, ARYA HADI DHARMAWAN, and ROBERT M.Z. LAWANG. One of the elements of Lampung community which suffer political, economic and cultural injustice is peasant. In the New Order era, peasant were not able to fight for a fair and equal right and need of agrarian (land) resource due to state oppression. At the era of democratization, the structure of political opportunity is widely opened and peasants have their chance to continue their assertion. In the early reformation era, collective actions have been organized up to provincial level. Up to this moment their condition tend to weaken. The researh question was: “How peasant movement which occur and grow during the already opened democratic era cannot strengthen itself and make substantial change for peasants’ life ?” The purpose of this research was: (1) to clarify the conditions of agrarian relations which become the main trigger of peasant movement; (2) to explain interrelationship between the elements that support the collective actions of peasant movement; (3) and to explain the course of the peasant movement development (which is represented by peasant movement organizations) in making structural agrarian changes in democratic era. This research was intentionally conducted in Lampung Province due to some criteria, made use of constructivism paradigm, with a case study design on the provincial level peasant movement organization (Dewan Tani Lampung, Ikatan Petani Lampung, Serikat Petani Lampung and Mirak Nadai). As the consequence, used qualitative method. Data was obtained through in-depth interviews, documentations, observations and secondary data. The data source was NGO, peasant movement activists, enterprises, government agencies, researh agencies, and peasants. Data were processed and analyzed using qualitative methode. The results of this research indicate, first, strained agrarian structural situation was the main precondition of the emergence of peasant movement. This condition was triggered by development policy that was not responsive to peasant interests. Second, no matter how exclusive the political opportunity was, there were always spaces for peasants to struggle. Third, integrative resource structure of peasants and non-peasants was the main characteristic of provincial scale peasant movement. Fourth, the strengthening speed of resource mobilization structure of the peasant movement and positive response of peasants to political opportunity (national political structure deconstruction as a momentum) were due to potential availability of resource mobilization which grown within sub-cultural peasant opposition. Fifth, the stagnation of peasant movement occured because the strengthening process of resource mobilization structure was depraved by behavioural disorientation of elite actors which cause unpredictable and uncontrolable consequences. Sixth, the agrarian movement involution toak place when resource mobilization structure weaken (deformed, decoupled, and stagnant) and structural properties of movement organization adhered to proper agrarian system, while the movement program has not been institutionalized by it self. Key words : Movement, agrarian, peasant, stagnation, involution.
iv
RINGKASAN
HARTOYO. Involusi Gerakan Agraria dan Nasib Petani: Studi Tentang Dinamika Gerakan Petani di Provinsi Lampung. Dibimbing oleh ENDRIATMO SOETARTO, ARYA HADI DHARMAWAN, dan ROBERT M.Z. LAWANG.
Sebagai suatu gerakan sosial maka munculnya gerakan petani tidak terlepas dari kondisi-kondisi yang mendasarinya, berlangsung dengan segenap faktor pengaruh dan berkembang secara dinamis. Pada era orde baru gerakan petani sulit bekembang karena tidak diberi ruang dan ditekan kuat oleh negara. Pada era reformasi dan demokratisasi peluang politik terbuka lebar. Pada awalnya marak terjadi aksi-aksi kolektif petani dan berkembang organisasi gerakan petani skala provinsi. Tetapi dalam perjalanannya kemudian gerakan petani semakin menurun dan mengendur sehingga secara substantif tetap tidak mampu melakukan perubahan agraria yang dapat mengentaskan nasib petani. Masalahnya adalah’ “Bagaimana gerakan petani yang muncul dan berkembang di dalam struktur politik yang sudah terbuka di era demokratisasi saat ini juga tidak mampu memperkuat dirinya dan dalam melakukan perubahan substantif terhadap nasib petani ?” Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan kondisikondisi hubungan agraria yang menjadi pemicu utama terjadinya gerakan petani; menjelaskan saling keterkaitan di antara kondisi-kondisi yang mendukung dilancarkannya aksi-aksi kolektif dalam gerakan petani; dan menjelaskan arah perkembangan gerakan petani dalam melakukan perubahan sistem agraria di era demokratisasi. Penelitian kualitatif ini menggunakan paradigma konstruktivisme dengan desain studi kasus. Provinsi Lampung dipilih sebagai wilayah penelitian karena selain banyak sengketa dan konflik pertanahan struktural juga muncul dan berkembang gerakan petani skala provinsi. Data dikumpulkan dengan teknik trianggulasi melalui wawancara mendalam, dokumentasi, observasi dan data sekunder. Sumber data diperoleh dari LSM, aktivis gerakan petani, perusahaan, instansi pemerintah, perguruan tinggi, dan para petani basis. Unit analisis kasus adalah organisasi gerakan petani skala provinsi, yakni DTL, IPL, SPL, dan Mirak Nadai. Pengolahan dan analisis data mengikuti tahapan reduksi data dan klasifikasi berdasarkan kategori yang dibangun oleh konsep, dan kemudian dibuat hubungan antar konsep. Hasil penelitian membuktikan bahwa ketegangan struktural agraria dipicu oleh kebijakan pembangunan yang tidak responsif terhadap kepentingan petani. Dalam praktik pembangunan di pedesaan banyak komunitas petani yang sangat terganggu kelangsungan hidupnya karena tanah yang mereka kuasai diambil-alih atau dibebaskan dengan cara tidak fair. Realitas ini mengakibatkan meningkatnya jumlah petani yang mengalami deprivasi (absolut dan relatif) dan merasa diperlakukan tidak adil. Kondisi ini ditambah dengan berkembangnya ideologi egalitarian yang dapat menjadi arah perjuangan petani. Semua secara bersama-sama menjadi prakondisi utama yang mendorong munculnya gerakan petani. Betapapun tertutupnya struktur peluang politik orde baru di dalamnya tetap masih terdapat celah–celah keterbukaan. Negara menutup rapat perjuangan petani baik melalui jalur institusional maupun non institusional, tetapi mereka
v
tetap berjuang mereproduksi strategi aksi kolektif (protes, gerakan konsensus dan gerakan lokal-tradisional). Aksi-aksi kolektif mengalami stagnasi karena biaya yang mesti ditanggung jauh dari sebanding dengan keberhasilan yang dicapai. Kegagalan perjuangan petani berjalan seiring dengan meningkatnya persoalan pertanahan yang berkembang secara akumulatif dan menyebar. Realitas ini pendorong berkembangnya sub kultur oposisi petani, yang di dalamnya terdapat akumulasi sumberdaya mobilisasi potensial petani. Sub kultur oposisi petani selalu diaktifkan dan selalu berada pada kondisi siap diaktualisasikan dalam aksi-aksi kolektif selanjutnya. Struktur sumberdaya integratif petani dan non petani menjadi ciri utama gerakan petani skala provinsi. Kemunculan secara dramatis aksi-aksi kolektif petani di Lampung pada awal reformasi dalam memanfaatkan momentum peluang politik tidak dapat dipisahkan dari peran sinergis di antara kedua elemen sumberdaya tersebut. Oleh karena itu gerakan petani muncul dalam dualitas orientasi, yakni material (tujuan petani basis) dan postmaterial (tujuan non petani). Sebagai gerakan moderen berbasis pada kesadaran bersama untuk melakukan aksi-aksi kolektif, didesain dengan struktur organisasi dan pembagian tugas yang jelas, dan memiliki daya tekan kuat dan posisi tawar seimbang. Perlunya penyadaran dan pengorganisasi petani basis didasarkan pada fakta bahwa selain petani masih belum memiliki kesadaran politik (masih berada pada kesadaran konfliktual), terbukanya peluang politik pada tataran praksis ternyata tetap tidak bebas dari tekanan-tekanan. Realitas ini juga berpengaruh terhadap keragaman sikap partisipatif petani terkait dengan respon mereka terhadap peluang politik. Cepatnya penguatan struktur mobilisasi sumberdaya gerakan petani dan respon positif petani terhadap peluang politik (dekonstruksi struktur politik negara sebagai momentum) karena telah tersedia sumberdaya mobilisasi potensial (sub kultur oposisi petani). Berkembangnya sub kultur oposisi petani menunjukkan bahwa persoalan pertanahan di lingkungan komunitas petani terus-menerus diaktifkan. Terbukanya peluang politik mendorong kesadaran konfliktual petani secara cepat dapat dirubah ke dalam kesadaran politik. Disini proses pembingkaian kolektif menjadi penting dalam menjembatani keterkaitan antara sub kultur oposisi petani, respon terhadap peluang politik dan kekuatan sumberdaya mobilisasi untuk sampai pada aksi-aksi kolektif dalam gerakan sosio-politik petani. Dalam dinamika gerakan petani terjadi stagnasi, karena dalam proses penguatan organisasi gerakan diwarnai dengan disorientasi perilaku para elit aktor yang akibat negatifnya tidak dapat dikontrol. Pasca reklaiming terjadi perubahan drastis motivasi partisipasi di antara kelompok aktor gerakan dari keinginan untuk membela kepentingan substantif petani berubah menjadi keinginan untuk memenuhi kepentingan kelompoknya masing-masing. Disini terjadi perebutan kuasa atas organisasi gerakan petani dan sumberdaya mobilisasi petani basis yang mengarah pada konflik dan fragmentasi. Terjadi deformasi antar kelompok aktor gerakan, terjadi decoupling antara persoalan substantif petani dan kepentingan para elit aktor, dan akhirnya gerakan agraria mengalami stagnasi. Stagnasi gerakan petani mengarah pada kesimpulan telah terjadi “involusi gerakan agraria”. Ini terjadi ketika struktur sumberdaya mobilisasi semakin melemah, sifat-sifat strukturalnya semakin tunduk pada sistem agraria dominan, sedangkan program-programnya belum terlembagakan. Dilihat secara umum dari sisi perkembangan struktur sumberdaya gerakan petani, disimpulkan bahwa berkembangnya perjuangan petani dari protes sampai pada gerakan sosio-politik menunjukkan peningkatan kualitas struktur sumberdaya mobilisasi. Tetapi pada
vi
akhirnya, pertama, struktur gerakan berada pada titik kulminasi, mengalami krisis legitimasi dan kredibilitas, diskonstinuitas, destrukturasi dan deinstitusionalisasi. Kedua, dilihat secara historis hubungan integratif antara elemen petani dan non petani terjadi dalam tiga tahap, yakni dari yang belum terintegrasi (unintegrated), menjadi struktur mobilisasi sumberdaya yang kuat (integrated) dan kemudian (hingga saat ini) antar elemen struktur gerakan terbelah dan belum dapat disatukan (disintegrated). Ketiga, perkembangan struktur gerakan tidak menghasilkan perubahan substantif bagi pengentasan nasib petani sesuai dengan tujuan perjuangan semula. Sedangkan dilihat dari perkembangan organisasionalnya disimpulkan bahwa perkembangan organisasi gerakan petani mengarah pada bentuk gerakan konsensus. Organisasi gerakan seperti ini tidak dapat dipakai sebagai instrumen transformasi agraria. Karakternya yang semula cenderung berada pada posisi countercultural telah bergeser cenderung berada pada posisi akomodasionis (subcultural). Kata kunci: Gerakan, agraria, petani, stagnasi, involusi.
vii