Tanah dan Kelangsungan Hidup Petani: Upaya Menumbuhkan Kembali Semangat Reforma Agraria Oleh: Widiyanto1, Suwarto2, Retno Setyowati3 Abstrak Petani merupakan orang yang pekerjaannya bercocok tanam (Kamus Besar Bahasa Indonesia), rural cultivators (”pengolah tanah di pedesaan”) (Kurtz, 2000), dan orang yan hidup dari usahatani dengan mengolah tanah (Scott,1993). Beberapa pendapat tersebut, mengindikasikan bahwa petani tidak bisa dilepaskan dengan lahan (pertanian). Bahkan secara lebih dalam, Mubyarto dan Awan Santosa (2003) memandang bahwa usaha tani merupakan cara hidup (way of life). Namun demikian, dari tahun ke tahun jumlah rumahtangga petani gurem (dengan lahan garapan < 0.5 ha) semakin meningkat dari 10,8 juta pada tahun 1993 (BPS, 1993) menjadi 13,7 juta pada tahun 2003 dengan rata-rata peningkatan sekitar 2,4 % per tahun (BPS, 2003). Fakta ini menunjukkan adanya ironi yang mendalam bagi Indonesia yang menyebut dirinya sebagai Negara agraris. Tulisan ini akan berusaha mengaitkan bagaimana keterlekatan tanah dan petani dari aspek sustainable livelihood sebagai bagian dari asset penting bagi petani. Selain itu, bagaimana semangat mewujudkan “keadilan agrarian” dari kasus petani di lereng gunung merapi-merbabu dimana ada mekanisme distribusi penguasaan lahan. Sehingga paling tidak kasus kecil ini paling tidak, mampu “menggeliatkan” kembali semangat reforma agraria di Indonesia. Kata Kunci: petani, lahan, sistem penghidupan, reforma agraria
Pengantar: petani “tanpa” lahan pertanian Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), petani didefinisikan sebagai orang yang pekerjaannya bercocok tanam. Sedangkan secara sosiologis, orang yan hidup dari usahatani dengan mengolah tanah (Scott,1993). Sedangkan, Kurtz (2000: 93-124) mencoba memahami konsep petani berdasarkan dimensidimensi penting yang berkaitan dengan dunia petani. Keempat dimensi penting tersebut merupakan dasar para ahli untuk mendefinisikan petani. Keempat dimensi tersebut adalah: (1) petani sebagai “pengolah tanah di pedesaan (rural cultivator); (2) komunitas petani yang bercirikan perilaku budaya yang jelas, membedakan dari pola budaya urban; (3) petani adalah komunitas desa yang tersubordinasi oleh pihak luar; dan (4) penguasaan/pemilikan lahan yang diolah 1
Staff Pengajar pada Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo Lab. Sosiologi Pedesaan. Jl Ir. Sutami 36 A Surakarta 57126, HP. +62817109607, e-mail:
[email protected] Staff Pengajar pada Fakultas Pertanian UNS Solo Lab. Penyuluhan/Pemberdayaan masyarakat 3 Staff Pengajar pada Fakultas Pertanian UNS Solo Lab. Sosiologi Pedesaan 2
1
petani. Berdasarkan dimensi-dimensi tersebut Kurtz kemudian membedakan para ahli kedalam lima kelompok, yaitu: minimalis, anthropologi, moral ekonomi, Marxian, dan Weberian. Kelima kelompok tersebut memiliki sudut pandang yang berbeda terhadap petani (Lihat tabel 1.) Tabel 1. Dimensi Konseptual untuk memahami Petani (peasant) Dimensi 1 Pengolah tanah pedesaan 2 Komunitas petani dengan budaya yang khas 3 Komunitas tersubordinasi 4 Penguasa/pemilik lahan Banyaknya kajian Contoh
Minimalist √
Anthropologi √
Ekonomi Moral √
√
√ √
Marxian √
Weber -ian √ √
√
√
√
√
Sangat banyak
Banyak
Sedang
Sedang
Popkin (1979) Lichbach (1994) Bates (1984, 1988) Teori pilihan rasional lainnya
Redfield (1955) Kroeber (1948) Banfield (1958)
Scott (1976) Magagna (1991) Kerkvliet (1977)
Wolf (1967)* Paige (1975)
Sangat sedikit Moore (1966) Shanin (1982)
Sumber: Kurtz (2000:96) Mendasarkan diri pada berbagai definisi tersebut, menunjukkan bahwa petani tidak bisa terpisahkan dari lahan pertanian. Namun demikian, fakta menunjukkan sebuah ironi, dimana jumlah petani lahan sempit (petani gurem, petani kecil, biasa memiliki lahan kurang dari 0,5 ha) semakin meningkat, dari 10,8 juta pada tahun 1993 (BPS, 1993) menjadi 13,7 juta pada tahun 2003 dengan rata-rata peningkatan sekitar 2,4 % per tahun (BPS, 2003). Pada sisi yang lain, lahan pertanian sebagai basis penghidupan petani semakin menyusut karena telah terkonversi untuk aktivitas non pertanian, seperti: perumahan, pabrik, dan penggunaan lainnya. Menurut Menteri Agraria/Kepala BPN, secara nasional luas sawah yang beririgasi telah menyusut 30.000-50.000 hektar per tahun. Dalam buku sensus pertanian 1993, menunjukkan luas lahan sawah dalam kurun waktu 10 tahun (1983-1993) secara Nasional dari 5.716 ribu hektar menjadi 5.238 ribu hektar, sedangkan di Jawa dari 2.946 ribu hektar menjadi 2.508 ribu hektar. Khusus di Jawa Tengah dari 908 ribu hektar menjadi 780 ribu hektar. Menurut data BPS, bahwa dalam kurun waktu 5 tahun (19831988) terjadi penyusutan lahan sawah sebesar 4.785 hekter per tahun. Menurut Sumaryanto, dkk (1995) menunjukkan bahwa konversi lahan sawah di Jawa Tengah dalam kurun waktu 1989-1993 telah terjadi konversi sawah ke non pertanian sebesar 8.638 hektar per tahun. Hal inilah yang menjadi persoalan serius, dimana petani yang sangat lekat dengan lahan pertanian, namun pada sisi lain secara perlahan semakin menyusut,
2
petani “tidak” berlahan. Basis penghidupan utama petani semakin kurang mendukung system nafkah petani. Tanah dan Sistem Penghidupan Petani Menurut Conway dan Chambers (1992), kehidupan petani sangat ditentukan oleh seberapa besar asset (modal) yang dimiliki oleh petani, yaitu modal alam, modal fisik, modal sumberdaya manusia, modal finansial, dan modal sosial). Selain lima asset yang disebut sebagai pentagon asset, Odero (2007) menambahkan satu asset penting lainnya yaitu asset informasi (information capital). Terkait dengan pentagon asset tersebut, Ellis (2000) menjabarkan sebagai berikut: • Modal alam (natural capital) terdiri dari tanah, air, dan sumberdaya biologi yang di gunakan oleh manusia sebagai sarana bertahan hidup. Modal alam lebih banyak mengacu pada sumber daya lingkungan (environtmental resources) baik yang dapat diperbaharui atau tidak. • Modal Fisik (Physical Capital) menyangkut modal yang diciptakan oleh proses ekonomi produksi seperti: bangunan, irigasi, jalan, mesin, dan lainnya. • Modal sumber daya manusia (Human Capital) mengacu kepada sumber daya tenaga kerja yang ada pada rumah tangga seperti: pendidikan, keterampilan, dan kesehatan. • Modal financial (Financial Capital and substitutes) mengacu kepada persediaan uang yang telah diakses oleh rumah tangga misalnya: tabungan, akses untuk mendapatkan kredit dalam bentuk bantuan. • Modal Sosial (Social Capital) mencakup adanya kepercayaan (trust), clientization, hubungan kekerabatan, suku, daerah asal, almamater, dan lain sebagainya. Kelima modal tersebut (sering disebut sebagai pentagon asset) akan dikombinasikan melalui berbagai strategi sehingga akan menghasilkan system penghidupan bagi petani. Dari pemikiran para ahli di University of Sussex tersebut menempatkan tanah sebagai bagian penting dalam membentuk kehidupan petani pada aspek natural capital. Bahkan White (1973) yang dikutip Sajogyo (1990) mencoba menelusuri tingkat penghidupan petani berdasarkan lahan pertanian. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa sumber nafkah petani (tanah) telah mengalami penyusutan (semakin menyempit) sehingga petani mengalami berbagai goncangan yang pada akhirnya melakukan berbagai upaya untuk “menyelamatkan” system kehidupannya. Beberapa temuan White adalah adanya dua fenomena, yaitu: (1) terjadi (sebagian) proses “orang terdorong ke luar (pertanian), imbalan di luar pertanian lebih rendah, orang menjalaninya karena terpaksa; dan (2) (sebagian lain) proses “orang tertarik ke dalam (nafkah bukan pertanian)”, dimana imbalan di luar pertanian yang lebih baik. Ada kecenderungan rumahtangga di lapisan bawah (miskin) yang terkena proses “terdorong keluar” sebagai suatu strategi bertahan hidup. Sajogyo (1998) menyebut sebagai pola nafkah ganda.
3
Berdasarkan penguasaan tanah tersebut, White (1990) juga menunjukkan adanya tingkat kesejahteraan dan upaya yang dilakukan. White membedakan rumahtangga petani ke dalam tiga kelompok, yaitu: Pertama, rumahtangga yang atau mengusahakan tanah pertanian luas, yang menguasai surplus produk pertanian diatas kebutuhan hidup mereka. Surplus ini seringkali dimanfaatkan untuk membiayai pekerjaan di luar sector non-pertanian, dengan imbalan penghasilan yang relative tinggi pula. Pada golongan pertama, strategi nafkah yang mereka terapkan adalah strategi akumulasi dimana hasil pertaniannya mampu diinvestasikan kembali baik pada sector pertanian maupun non pertanian. Kedua, rumah-tangga usaha tani sedang (usahatani hanya mampu memenuhi kebutuhan subsisten). Mereka biasanya bekerja pada sektor non pertanian dalam upaya melindungi diri dari gagal panen atau memberikan sumber pendapatan yang berkelanjutan mengingat usaha pertanian bersifat musiman. Strategi mereka ini dapat disebut sebagai strategi konsolidasi. Ketiga, rumahtangga usaha tani gurem atau tidak bertanah. Biasanya mereka bekerja dari usaha tani ataupun buruh tani, dimana penghasilannya tidak dapat mencukupi kebutuhan dasar. Rumahtangga ini akanmengalokasikan sebagian dari tenaga kerja mereka-tanpa modal, dengan imbalan yang rendah-ke dalam kegiatan luar pertanian. Pada rumahtangga pada golongan ketiga ini menerapkan strategi bertahan hidup (survival strategy). Hasil penelitian Prof. Ben White tersebut menumbuhkan pemikitan, apabila hasil penelitian terkait rata-rata kepemilikan tanah petani utamanya di Jawa hanya sebesar 0.5 Ha, maka dapat dibayangkan mayoritas petani hidup pada posisi bertahan hidup (survival strategy), atau dengan kata lain hidup pada posisi sekedar memenuhi kebutuhan dasar saja. Senada dengan White, Chambers (1992) membagi system penghidupan petani kedalam tiga kelompok, yaitu desperation (keputusasaan), vulnerability (kerentanan), dan independence (kebebasan). Pertanyaanya adalah petani di Indonesia dengan lahan sempit masuk pada kelompok yang mana?. Chambers (1995) menempatkan tanah, sebagai tangible asset. Chambers menyatakan bahwa kehidupan petani sangat ditentukan oleh (1) Kapabilitas (capabilities); (2) tangible assets; dan (3) intangible assets. Tangible assets di kendalikan oleh rumah tangga dalam dua bentuk, yaitu: (1) simpanan (store), contoh: stok makanan, simpanan berharga seperti emas dan perhiasan, tabungan dan (2) dalam bentuk sumber daya (resources) seperti: lahan, air, pohon, ternak, peralatan pertanian, alat dan perkakas domestic. Intangible assets terdiri dari claims yang dapat dibuat untuk material, moral atau pendukung lainnya dan access adalah kesempatan untuk menggunakan sumberdaya, simpanan atau jasa, atau untuk memperoleh informasi, material, teknologi, kesempatan kerja, makanan atau pendapatan. Dari berbagai hasil kajian, Conway dan Chambers (1992); Ellis (2000); White (1970, 1990); Chambers (1992, 1995); dan Scoones (1998) menunjukkan bahwa tanah menempati posisi penting dalam system penghidupan petani. Hal ini memberikan pemahaman bahwa kesejahteraan petani dangat ditentukan oleh
4
penguasaan lahan oleh petani. Oleh karena itu, berbagai program untuk meningkatkan kesejahteraan petani, hal utama yang harus dilihat adalah bagaimana mengupayakan petani dalam mengakses tanah sebagai sumber penghidupan utama petani. Artinya upaya reforma agraria sangat mutlak untuk dilakukan. Reforma Agraria: Upaya meningkatkan akses petani terhadap tanah Sebelum berbicara lebih lanjut mengenai reforma agraria, akan ditelusuri terlebih dahulu secara etimologi istilah agraria, mengingat seringkali terjadi penyempitan makna, dimana agraria dianggap sekedar tanah, dan lebih sempit lagi adalah tanah pertanian. Padahal meurut UUPA 1960 bahwa lingkup agraria meliputi: bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya. Menurut Kamus Bahasa Latin-Indonesia (1969) dan World Book Dictionary yang dikutip Tjondronegoro dan Wiradi (2004), “agraria” berasal dari kata bahasa Latin “ager”, artinya: a) lapangan, b) pedusunan (lawan dari perkotaan), c) wilayah, tanah Negara. Sehingga agraria bukan hanya bermakna tanah, melainkan lebih luas termasuk tumbuhan, air, sungai, tambang, perumahan, dan masyarakat manusia. Reforma agraria (land reform plus atau agrarian reform)4, reformasi penguasaan tanah secara sederhana adalah upaya untuk menghadapi masalahmasalah struktur agraria yang timpang, dengan kata lain, upaya untuk menata kembali struktur agraria yang timpang agar tercapai suatu keseimbangan lebih baik antar pelaku (produksi) agraria dalam masyarakat. Reforma agraria merupakan penataan kembali (atau pembaruan) struktur pemilikan, penguasaan dan penggunaan tanah/wilayah, demi kepentingan petani kecil, penyakap, dan buruhtani tak bertanah. Menurut Kuhren (1993) “Man and Land: An introduction into the Problem of Agrarian Structure and Agrarian Reform” yang dikutip Fauzy (2002), ada berbagai struktur agraria dengan ragam hal pemilikan tanah, system organisasi kerja unit produksi agrarian, dan bentuk usaha pengelolaanya, yaitu: (1) pertanian suku (penggembalaan berpindah dan perladangan berpindah); (2) pertanian feodalistik (feodalisme berdasarkan sewa dan latifundia/hacienda); (3) pertanian keluarga; (4) pertanian kapitalistik; (5) pertanian kolektif; (6) pertanian sosialistik; dan (7) pertanian komunistik. Secara ekonomi, salah satu tujuan dari reforma agraria adalah untuk menciptakan unit usaha yang optimum, sehingga tercapai peningkatan kualitas penggunaan, pemeliharaan tanah, dan penggunaan teknologi sehingga panennya memuaskan. Selain itu, land reform bertujuan untuk mensinergikan pertanian dengan keuntungan ekonomi produksi, sehingga adanya upaya mengubah sector pedesaan lebih responsive terhadap kebutuhan sector industri, misalnya kebutuhan 4
Menurut Wiradi, Istilah land reform dan agrarian reform sering dipakai secara simpang siur. Gunawan Wiradi kemudian mengenalkan konsep reforma agraria=agrarian reform= land reform plus. Sehingga reforma agraria(agrarian reforma) merupakan land reform yang dilengkapi dengan paket program penunjang (perkreditan, pemasaran, pendidikan, dan lainnya).
5
tenaga kerja, bahan pokok, bahan baku industri, dan modal. Sehingga menurut Wiradi (2009), dalam proses transisi agraria semestinya dilakukan reforma agraria terlebih dahulu baru melakukan insdustrialisasi. Indonesia melakukan industrialisasi pedesaan, namun tidak diimbangi/didahului oleh pelaksanaan reforma agraria, sehingga belum bisa dikatakan telah mengalami transisi agraris. Sehingga secara sosial politik, reforma agrarian sangat berfokus pada upaya memperbaiki status dan kondisi sosial petani, pentingnya mengurangi kemiskinan, serta redistribusi pendapatan dan kekayaan diantara petani. Selain itu juga diupayakan penciptaan peluang-peluang kerja, pendidikan, pelayanan kesehatan dan redistribusi keuntungan dalam komunitas besar (Fauzy, 2002). Wiradi menyatakan bahwa landreform tidak sama dengan “redistribusi”, buruhtani yang kemudian memperoleh tanah, banyak yang tak mampu mengusahakan sendiri tanah tersebut karena kekurangan modal, kurang keterampilan, dan sebagainya, sehingga akhirnya tanahnya dijual. Landreform perlu disertai program-program penunjangnya, yaitu antara lain perkreditan, penyediaan sarana produksi, pendidikan, dan lain-lain. Landreform” plus berbagai penunjang itulah yang sekarang disebut (dengan bahasa spanyol) reforma agraria. Intinya tujuannya tetap sama, yaitu menolong rakyat kecil, mewujudkan keadilan, dan meniadakan atau setidaknya mengurangi ketidakmerataan. Reforma Agraria: Kasus di Lereng Merapi-Merbabu Salah satu Kabupaten yang berada di lereng Gunung Merapi-Merbabu adalah Boyolali. Kabupaten Boyolali terdiri dari 19 Kecamatan yang secara topografi, tersebar pada ketinggian 75-1500 mdpl. Beberapa Kecamatan dengan ketinggian 1000-1.500 mdpl antara lain Cepogo, Ampel, dan yang tertinggi adalah Selo. Lebih dari 75 % wilayah ini merupakan lahan tegalan. Sedangkan kepadatan penduduk menunjukkan beberapa wilayah yang berdekatan dengan Kota Kabupaten dengan kondisi penduduk yang kurang padat, misalnya beberapa kecamatan di ujung utara (Kemusu, Wonosegoro, Juwangi). Kecamatan Selo sebagai wilayah yang pegunungan memiliki kepadatan penduduk 1/5 dari Kota Kabupaten (Kecamatan Boyolali). Secara administratif Kecamatan Selo terdiri dari 112 dukuh, 33 dusun, 52 RW, dan 213 RT. Beberapa desa yang dilingkupi oleh kecamatan ini antara lain: Tlogolele, Klakah, Jrakah, Lencoh, Samiran, Suroteleng, Selo, Tarubatang, Senden, Jeruk. Sedangkan Luas wilayah wilayah ini adalah 5.607,8 Ha dengan penggunaan mayoritas (99,3 %) sebagai lahan kering. Hal ini dilatarbelakangi karena areanya yang merupakan wilayah pegunungan. Beberapa desa di Selo tersebar sebagian di lereng Gunung Merapi dan sebagian lainnya di lereng Gunung Merbabu. Dalam membangun sistem nafkah petani, maka beberapa upaya dilakukan sebagai bagian dari bertahan hidup atau memperbaiki kualitas hidup. Pedesaan yan dicirikan dengan petani dan pertanian nampaknya masih relevan jika dikaitkan dengan karakteristik di Kecamatan Selo, dimana sebagian besar menggeluti bidang pertanian (hampir 70 %). Beberapa komoditas pertanian yang diusahakan mayoritas adalah tanaman hortikultura dan perkebunan, seperti: 6
wortel, kubis, bawang merah, bawang putih, dan lainnya. Sedangkan tanaman perkebunan yang utama adalah tembakau. Jika dilihat dari kepemilikan asset petani seperti yang dikemukakan oleh beberapa ahli yang disebut sebagai pentagon asset, maka dapat dilihat Modal Alami yang dimiliki yaitu lahan pertanian, dapat dilihat bahwa rata-rata Rata-rata kepemilikan lahan pertanian adalah 0,3 Ha. Beberapa komoditas penting petani adalah tembakau dan tanaman hortikultura (wortel, kubis, cabe, tomat, loncang, sawi, bunga kol, dan lainnya). Pada umumnya petani menanam dengan sistem tumpangsari. Dari aspek modal fisik, maka fasilitas desa (listrik, air, jalan) terutama di wilayah-wilayah dekat dengan kota kecamatan relatif baik. Sedangkan beberapa wilayah lain yang tidak dilalui jalan utama Selo-Magelang terutama kondisi jalan cukup mengganggu sistem penghidupan petani. Hal ini berdampak pada mobilitas petani tidak hanya dalam kerangka memenuhi kebutuhan ekonomi tetapi juga pendidikan. Banyak anak-anak (misalnya di desa Jrakah-dusun Tempel, Sepi, Tumut) yang harus berjalan kaki ± 4-5 km untuk bersekolah karena kondisi jalan yang sulit dilalui kendaraan. Jauhnya fasilitas pendidikan dan kesehatan pada petani yang jauh dari kota kecamatan atau jalan utama mengakibatkan berbagai problem sosial. Sementara kondisi fisik rumah petani sebagian besar dengan dinding tembok dan lantai yag dikeraskan. Pada petani dengan lahan luas biasanya dengan kondisi dinding tembok bercat dengan lantai keramik sedangkan pada petani gurem dengan dinding tembok batu dan dengan lantai sebagian dikeraskan dengan semen sementara lainnya dengan lantai tanah. Tidak semua rumah petani memiliki MCK sendiri. Untuk kebutuhan mandi dan mencuci biasanya menggunakan fasilitas umum yang disediakan oleh dusun. Dari aspek modal financial, Akses petani terhadap keuangan (ekonomi) sangat beragam tergantung kepada jenis kebutuhan dan keterbukaan terhadap peluang untuk memanfaatkannya. Untuk kebutuhan sehari-hari petani lebih memanfaatkan tetangga, saudara, pedagang sebagai tempat berhutang. Sedangkan untuk kebutuhan modal usaha tani atau modal usaha lainnya lebih banyak memanfaatkan bank. Biasanya akses bank lebih banyak dinikmati oleh petani lahan luas. Sedangkan pada petani lahan sempit lebih banyak memanfaatkan hubungan sosial-kolektif sebagai katub penyelamat dalam sistem nafkahnya. Berdasarkan kajian modal sumberdaya manusia, tingkat pendidikan formal petani lebih dari 50 % adalah lulus SD atau tidak sekolah. Keterampilan berusaha tani lebih banyak karena faktor warisan orang tua. Sebagian keterampilan lainnya diperoleh dalam kancah pendidikan non-formal melalui interaksi petani lainya dalam komunitas atau kelompok tani. Sedangkan dari aspek modal sosial, pada petani “kaya”-lahan luas, lebih banyak menikmati social bridging atau bahkan social linking. Hal ini dapat dilihat pada fenomena “impor” tembakau (berhubungan dengan pedagang tembakau dari daerah lain: Jember, Semarang, Kendal, dll) atau dengan grader5 dari beberapa 5
Pedagang besar yang dipercaya oleh pabrik rokok untuk mengumpulkan hasil tembakau baik dari petani maupun pedagang.Tugas grader adalah menentukan kualitas tembakau (A,B,C,D,E,F,G,H, dst) sehingga tembakau yang akan disetorkan ke pabrik benar-benar dapat terjamin kualitasnya.
7
perusahaan rokok. Sedangkan pada petani lahan sempit pada umumnya menekankan pada bounding social capital, misalnya: proses perajangan dengan alat manual, ngeler, dan kegiatan lainnya dapat dilakukan secara bergantian dengan memanfaatkan hubungan social-colective. Fenomena ini tidak ditemukan pada petani lahan luas yang lebih banyak menggunakan tenaga “upahan”. Jika menganalisis kondisi tersebut menunjukkan bahwa petani memiliki berbagai keterbatasan dari dalam memenuhi pentagon aset yang dimiliki. Hal yang paling memprihatinkan adalah petani dengan “lahan yang terbatas”, sehingga sumber nafkah utama petani mengalami goncangan. Keterbatasan ini akan berdampak pada kepemilikan sumberdaya yang lain, misalnya: dari sisi sumberdaya manusia, pendidikan menjadi terbatas; dari sisi modal finansial petani tidak memiliki jaminan sebagai agunan, dan lainnya. Sehingga dalam konteks teoritis pada kondisi petani dengan berbagai keterbatasan sehingga lebih cenderung vurnerable, maka tidak mungkin dilakukan industrialisasi karena masih ada ketimpangan terhadap pemilikan dan penguasaan lahan. Namun demikian, ada fenomena yang menarik yang muncul dari kebijakan lokal yang sebenarnya menarik, yaitu adanya upaya melakukan distribusi penguasaan lahan. Harapannya, petani lahan sempit atau bahkan nirlahan sehingga bisa menguasai lahan untuk menutupi keterbatasan sumber daya alami sebagai asset sangat penting bagi petani, yaitu dengan memanfaatkan tanah kas desa (yang semula bengkok-tanah lungguh, tanah yang diberikan kepada perangkat desa sebagai insentif) dengan sistem membayar sewa yang relatif murah. Hasil sewa tersebut digunakan sebagai kas desa untuk “menggaji” aparat desa dan untuk membangun fasilitas desa. Kebijakan pemerintah desa ini menarik karena ada upaya landreform walaupun bukan distribusi kepemilikan lahan melainkan distribusi penguasaan lahan. Namun demikian, upaya ini mampu menciptakan pemerataan akses lahan pertanian kepada petani lahan sempit atau bahkan landless. Selain tanah kas desa, pemerintah desa juga memanfaatkan tanah milik desa yang “terlantar” karena tidak dimanfaatkan secara maksimal oleh pihak desa. Petani di desa tersebut juga diberi akses untuk memanfaatkan tanah tersebut (dalam bahasa lokal sering disebut sebagai tanah oro-oro). Gambaran kecil kasus di lereng merapi-merbabu ini merupakan gambaran kecil upaya keberpihakan kepada petani kecil, penyakap, atau bahkan petani tanpa lahan. Dalam konteks lebih luas, Indonesia, maka kebijakan ini harusnya menjadi semangat untuk menggelontorkan upaya reforma agraria sehingga kesejahteraan masyarakat akan lebih terjamin. Misalnya: bagaimana pemerintah memanfaatkan tanah Negara yang tidak termanfaatkan (terlantar) untuk bisa diakses oleh petani gurem. Bagaimana pemerintah mampu mewujudkan kepemilikan lahan minimum (2 hektar sesuai UUPA 1960) dan lahan maksimum yang boleh dimiliki setiap orang untuk meminimalisir ketimpangan. Contoh kasus kecil yang terjadi di lereng merapi-merbabu bisa dijadikan pelajaran menarik untuk menumbuhkan dan mengingatkan kembali semangat reforma agraria di Indonesia.
8
Penutup Pada hakikatnya, semangat reforma agraria telah lama muncul semenjak pemerintah kolonial Belanda yang telah mengambil alih sebagian tanah rakyat utamanya pada areal perkebunan. Semangat tersebut melahirkan UUPA 1960 yang merupakan turunan dari UUD 1945 pasal 33 ayat 3. Namun demikian, semenjak adanya orde baru, UUPA 1960 “di-peti-es-kan” dan baru dibuka kembali pada tahun 1979 pada saat Indonesia diundang FAO di Roma untuk mengikuti Konferensi sedunia tentang “Reforma Agraria dan Pembangunan Pedesaan” (World Conference on Agrarian Reform and Rural DevelopmentWCARRD). Hal lain yang mendorong semangat landreform muncul kembali adalah ketika pada tahun 1981, dipublikasikan “Peasant’s Charter” (piagam petani), dimana setiap negara harus melaporkan perkembangan reforma agraria dan pembangunan pedesaan. Tulisan pada artikel ini, hanya ingin mengingatkan kembali bahwa tanah dan petani tidak bisa dilepaskan satu sama lain, tanah tidak hanya bermakna ekonomi semata, namun juga sebagai Way of Life ( Mubyarto dan Awan Santosa, 2003). Namun demikian, petani dengan lahan yang sempit atau bahkan tidak bertanah di tengah-tengah sebuah Negara yang menyebut diri sebagai “negara agraris” nampaknya menjadi sebuah ironi. Kasus kecil pada petani di lereng merapi-merbabu semestinya membangun kesadaran bersama bahwa reforma agraria mutlak harus dilakukan sebagai bagian dari komitmen bersama untuk mewujudkan “keadilan agraria” bagi seluruh rakyat Indonesia.
Referensi: Chambers, Robert. 1995. Poverty and Livelihoods: Whose Reality Counts?. Journal : Environtment and Urbanization Vol. 7 No. 1 1995. Conway, G dan R. Chambers. 1991. Sustainable Rural Livelihood: Practical Concepts for 21st Century, IDS Discussion Paper 296 : IDS. Institute for Development Studies. Brighton. Ellis, Frank. 2000. Rural Livelihoods and Diversity in Developing Countries. Oxford University Press. New York. Fauzy, Noer. 2002. Land Reform: Agenda Pembaruan Struktur Agraria dalam Dinamika Panggung Politik. Bunga Rampai: Menuju Keadilan Agraria: 70 Tahun Gunawan Wiradi, Penyunting Endang Suhendar dkk. Akatiga. Bandung. Kurtz, Marcus J. 2000. Understanding Peasant Revolution: From Concept to Theory and Case. Theory and Society 29: 93-124. Mubyarto dan Awan Santosa. 2009. Pembangunan Pertanian Berkelanjutan (Kritik terhadap Paradigma Agribisnis). Jurnal Ekonomi Rakyat, Tahun II No 3 Mei 2009.
9
Odero, Kenneth K. 2007. Extending the Sustainable Livelihoods Framework. Departement of Rural and Urban Planning. University of Zimbabwe. Sajogyo. 1990. Pembangunan Pertanian dan Pedesaan dalam rangka Industrialisasi. Bunga rampai: Industrialisasi Pedesaan, Editor : Sajogyo dan Mangara Tambunan. Sekindo Eka Jaya. Jakarta. ______. 1998. Dimensi Kemiskinan: Agenda Pemikiran Sajogyo. Kumpulan Pemikiran Sajogyo dengan editor: Mukhtar Sarman. Pusat P3R-YAE. Scoones, Ian. 1998. Sustainable Rural Livelihood: A Framework for Analysis. IDS Discussion Paper 72. Institute for Development Studies. Brighton. Scott, James C. 1983. Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara. LP3ES. Jakarta. Sumaryanto, dkk. 1995. Analisis Kebijaksanaan Konversi Lahan Sawah ke Penggunaan Non pertanian. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian bekerja-sama dengan Proyek Pembinaan Kelembagaan Penelitian Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Bogor. Tjondronegoro, Sediono M.P. dan Gunawan Wiradi. 2004. Menelusuri Pengertian Istilah “Agraria”. Jurnal Analisis Sosial, Vo. 9, No. 1 April 2004. Bandung. White, Benjamin N.F. 1990. Agroindustri, Industrialisasi Pedesaan, dan Transformasi Pedesaan. Bunga rampai: Industrialisasi Pedesaan, Editor: Sajogyo dan Mangara Tambunan. PT. Sekindo Eka Jaya. Jakarta. Wiradi, Gunawan. 2009. Reforma Agraria: Perjalanan yang Belum Berakhir. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Jakarta, Sajogyo Institute Bogor, dan Akatiga Bandung.
10