TRANSFORMASI STRUKTUR AGRARIA DAN DIFERENSIASI SOSIAL PADA KOMUNITAS PETANI (Studi Kasus Pada Empat Komunitas Petani Kakao di Propinsi Sulawesi Tengah dan Nangroe Aceh Darussalam)
UNDANG FADJAR
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul: Transformasi Struktur Agraria dan Diferensiasi Sosial Pada Komunitas Petani (Studi Kasus Pada Empat Komunitas Petani Kakao di Propinsi Sulawesi Tengah dan Nangroe Aceh Darussalam) adalah merupakan karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing, dan belum diajukan dalam bentuk apapun ke perguruan tinggi manapun. Sumber infornasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Januari 2009
Undang Fadjar NRP: A. 162030011
ABSTRACT UNDANG FAJAR. Agrarian Structure Transformation and Social Differentiation on Peasant Community (Case Study on Four Cocoa Farmer Communities in Central Sulawesi and Nangroe Aceh Darussalam). Supervised by M.T. FELIX SITORUS, ARYA H. DHARMAWAN, SEDIONO M.P. TJONDRONEGORO This research analyses about how and how far the transformation of mode of production and agrarian structure within cacao-base peasant community imply to social differentiation and welfare status of the farmers”. The research uses a “multiple case study” approach in four cacao peasant communities, i.e.: two communities in Central Sulawesi and the other two in Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). The result shows that capitalism enters the communities by ‘permeating’ (not eliminating) through various new activities, and then produced a ‘transitional’ mode of production. In this case, farmers in those four communities operate in several but different, yet simultanously, mode of productions, i.e.: elements of non-capitalistic mode of production, elements of capitalistic mode of production, and elements of a combination between capitalist and non-capitalist mode of production. In addition, the farmers have been practicing those mode of productions with an “amphibian” strategy. This changing mode of production has paved a way for a transformation process of agrarian structure, which is from collective ownership to individual ownership. Nevertheless, a persistence of moral-traditional social relation of production (particularly takes form as ‘temporary holding’), has resulted a social differentiation in peasant community that is called as ‘unequal-stratification’ of an agrarian social structure. This social structure is differentiated in many layers, from a single status layer (land owner, tiller, and labor) to combination of layers (of those three statuses). Moreover, this emerging social structure is also accompanied by a further inequality in agrarian resource ownership. Along with such social differentiation, a differentiation in farmers’ welfare also occurs, which is signified by the emerging layer of wealthy, medium and poor farmers. This research also demonstrates that farmers with different ethnicity background possess relatively equal capacity in resisting the influence of capitalism. In this case, what happens is a formation of commodity - driven relation of production, not ethnics - driven relation of production. Key words: mode of production, agrarian structure, social structure, welfare, peasant, cocoa.
RINGKASAN UNDANG FADJAR. TRANSFORMASI STRUKTUR AGRARIA DAN DIFERENSIASI SOSIAL PADA KOMUNITAS PETANI (Studi Kasus Pada Empat Komunitas Petani Kakao di Propinsi Sulawesi Tengah dan Nangroe Aceh Darussalam). Dibimbing oleh FELIX SITORUS, ARYA H. DHARMAWAN, SEDIONO M.P. TJONDRONEGORO Tujuan utama penelitian ini adalah “menganalisis bagaimana dan sejauhmana transformasi moda produksi dan struktur agraria yang berlangsung di dalam komunitas petani kecil (peasant) berbasis usahatani kakao berimplikasi terhadap diferensiasi sosial masyarakat agraris dan kesejahteraan dalam komunitas petani”. Adapaun tujuan penelitian yang lebih rinci dirumuskan sebagai berikut : 1. Menganalisis bagaimana dan sejauhmana moda produksi kapitalis masuk ke dalam komunitas petani kakao yang sebelumnya telah mempraktekkan moda produksi nonkapitalis 2. Menganalisis bagaimana dan sejauhmana transformasi moda produksi yang terjadi dalam komunitas petani kakao tersebut memberi jalan bagi berlangsungnya perubahan struktur agraria, 3. Menganalisis bagaimana dan sejauhmana transformasi moda produksi dan struktur agraria berimplikasi terhadap diferensiasi sosial masyarakat agraris : apakah semakin terpolarisasi atau semakin terstratifikasi ? 4. Menganalisis bagaimana dan sejauhmana diferensiasi moda produksi dan struktur agraria berimplikasi terhadap diferensiasi kesejahteraan dalam komunitas petani, 5. Menganalisis lingkungan/kekuatan sosial spesifik apa saja yang secara konstekstual berperan mendorong transformasi moda produksi dan struktur agraria serta mendorong diferensiasi sosial masyarakat agraris dan kesejahteraan komunitas petani ? Penelitian dilakukan di empat komunitas petani kakao: dua komunitas di Sulawesi Tengah dan dua lainnya di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Data dan informasi yang dikumpulkan merupakan data kualitatif dan kuantitatif. Data dan informasi kualitatif dikumpulkan terutama melalui diskusi kelompok pada tingkat desa dan dusun, sedangkan data dan informasi kuantitatif dikumpulkan terutama melalui sensus dan wawancara responden (30 responden/desa). Kemudian data dan informasi yang telah terkumpul dianalisis melalui analisis kualitatif terutama untuk menjawab mengapa dan bagaimana suatu realitas berubah serta analisis kuantitatif (Cross Tabulation dan Gini Ratio) terutama untuk menjawab sejauhmana suatu realitas berubah. Dalam komunitas petani di empat desa kasus, pengaruh kapitalisme terhadap perkembangan praktek moda produksi cenderung semakin kuat. Pengaruh tersebut dimulai dengan terjadinya perubahan praktek moda produksi pertanian, khusunya perubahan dari praktek moda produksi yang menopang sistem pertanian “ladang berpindah” terutama untuk memproduksi tanaman pangan (padi ladang) menjadi praktek moda produksi yang menopang “pertanian menetap” untuk memproduksi komoditas perdagangan (kakao). Pada saat penelitian berlangsung seluruh proses produksi pertanian di empat komunitas petani kasus hanya dijalankan dengan satu sistem, yaitu “pertanian menetap”. Setelah itu, proses kapitalisme dilanjutkan dengan semakin dominannya praktek “moda produksi” yang menggunakan teknologi intensif untuk mencapai peningkatan produktivitas lahan.
Dalam komunitas petani, elemen-elemen moda produksi kapitalis masuk dengan cara “merembes” melalui aktivitas baru, yaitu melalui: 1) berbagai aktivitas penguasaan modal non lahan, khususnya pada proses produksi padi sawah (aktivitas di on farm), dan 2) berbagai aktivitas penjualan hasil produksi kebun, terutama buah kakao. Dengan cara masuk yang “merembes”, maka dalam komunitas petani yang mengusahakan beragam jenis tanaman (terutama kakao dan padi sawah) pengaruh kapitalisme tidak menghilangkan elemen-elemen moda produksi non-kapitalis. Oleh sebab itu, para petani dalam komunitas tersebut menjalankan beberapa elemen moda produksi yang berbeda secara bersamaan, yaitu: elemen moda produksi yang masih mempunyai ciri non-kapitalis, elemen moda produksi yang sudah mempunyai ciri kapitalis, atau elemen moda produksi yang mempunyai ciri keduanya. Dengan kata lain, implikasi kapitalisme terhadap praktek moda produksi yang merupakan “cara produksi” (ways of production) komunitas petani ternyata tidak “membelah” komunitas petani menjadi beberapa bagian (kelompok) yang terpisah akibat perbedaan praktek moda produksi yang mereka jalankan. Akan tetapi implikasi tersebut menjadikan para petani harus berjalan di atas dua moda produksi berbeda, kapitalis dan prakapitalis. Hal ini terjadi baik pada aktivitas yang berlangsung dalam pengelolaan usahatani padi sawah maupun usahatani kakao. Dengan demikian, temuan tersebut memberikan sumbangan terhadap pentipologian strategi praktek moda produksi yang dijalankan petani, yaitu teridentifikasinya sebuah tipe strategi praktek moda produksi yang diberi nama strategi “amphibian”. Berlangsungnya perubahan sistem pertanian dari perladangan berpindah ke pertanian menetap telah memperkuat proses transformasi struktur agraria, dimana basis penguasaan sumberdaya agraria beralih dari penguasaan kolektif ke penguasaan perorangan. Bahkan akhir-akhir ini status hukum pemilikan perorangan semakin diperkuat melalui penerapan status formal (bukti tertulis) seperti akte jual beli, surat keterangan desa, surat pembayaran pajak, dan sertifikat. Bersamaan dengan menguatnya penerapan elemen-elemen moda produksi kapitalis, transformasi struktur agraria yang terjadi membangkitkan beragam mekanisme penguasaan sumberdaya agraria yang memberi jalan pada proses diferensiasi sosial masyarakat agraris. Walaupun demikian, masih kuatnya hubungan sosial produksi yang berpijak pada ikatan moral tradisional (terutama ikatan kekerabatan, pola pewarisan, dan solidaritas lokal untuk menjaga kebutuhan minimum warga sekomunitas) turut mendorong petani untuk menerapkan pola “penguasaan sementara” atas sumberdaya agraria, terutama melalui pola bagi hasil pada usahatani padi sawah dan kakao. Keadaan ini kemudian menjembatani lahirnya bentuk struktur masyarakat agraris yang semakin terstratifikasi oleh banyak lapisan, baik lapisan berstatus tunggal maupun lapisan berstatus kombinasi. Ternyata berlangsungnya beragam mekanisme yang memberi jalan pada proses polarisasi dan stratifikasi secara bersamaan telah melahirkan bentuk struktur sosial masyarakat agraris tipe “stratifikasi “ dengan pemilikan lahan yang semakin timpang. Beragam lapisan yang menyusun struktur sosial masyarakat agraris di empat komunitas petani kasus terdiri dari : 1) petani pemilik, 2) petani pemilik + penggarap, 3) petani pemilik + penggarap + buruh tani, 4) petani pemilik + buruh tani, 5) petani penggarap, 6) petani penggarap + buruh tani, dan 7) buruh tani. Lapisan petani penggarap dan petani penggarap + buruh tani merupakan “tunakisma tidak mutlak” sedangkan lapisan buruh tani merupakan “tunakisma mutlak”. Ternyata lapisan petani tunakisma tidak mutlak maupun petani tunakisma mutlak sudah muncul di semua komunitas petani kasus. Bahkan di Desa Jono Oge Sulawesi Tengah, proporsi petani tunakisma sudah
mencapai 34,2 % (tunakisma tidak mutlak sebesar 6,9 %, tunakisma mutlak sebesar 27,3 %). Selain itu, ketimpangan pemilikan sumberdaya agraria total (seluruh sumberdaya agraria) sudah muncul dengan berbagai tingkat ketimpangan (“Tinggi” di Desa Jono Oge dan Cot Baroh/Tunong, “Sedang” di Desa Tondo, dan “Rendah” (di Desa Ulee Gunong). Bahkan, bila analisa ketimpangan diterapkan pada sumberdaya agraria produktif (hanya sumberdaya agraria yang berproduksi), ternyata sebagian besar komu-nitas petani kasus berada pada tingkat ketimpangan “Tinggi”, kecuali di Desa Cot Baroh/Tunong (tingkat ketimpangan “Rendah”). Hal ini terjadi karena di Cot Baroh/Tunong peranan pemimpin lokal (Peutua Seneubok) dalam mengatur distribusi lahan untuk seluruh warga komunitas masih kuat. Bersamaan dengan terjadinya diferensiasi sosial masyarakat agraris juga terjadi diferensiasi kesejahteraan dalam komunitas petani. Dalam hal ini, komunitas petani terbagi menjadi tiga lapisan, yaitu : petani kaya, petani sedang, dan petani miskin. Berdasarkan lapisan kesejahteraan tersebut, sebagian besar petani di desa-desa kasus di NAD berada pada lapisan miskin. Sementara itu, di desa-desa kasus di Sulawesi Tengah proporsi lapisan petani miskin dan lapisan petani sedang relatif seimbang. Munculnya lapisan petani miskin tidak hanya terjadi pada petani tunakisma tetapi juga sudah muncul pada petani pemilik, khususnya petani yang memiliki lahan relatif sempit (kurang dari dua ha). Transformasi agraria juga telah mengancaman keamanan sosial ekonomi petani (terutama bagi lapisan petani tunakisma miskin). Problema kesejahteraan akan terjadi pada saat sumberdaya agraria yang ada dalam komunitas petani tidak dapat memberikan penghasilan minimal (setara garis kemiskinan) bagi anggota komunitas dan bersamaan dengan itu tidak tersedia sumber penghasilan alternatif (non pertanian). Realitas munculnya moda produksi ”amphibian”, munculnya transformasi struktur agraria dari penguasaan kolektif ke perorangan, munculnya diferensiasi sosial masyarakat agraris dalam bentuk ”stratifikasi” dengan pemilikan lahan yang semakin timpang serta munculnya diferensiasi kesejahteraan petani ternyata terjadi di semua kasus. Perbedaan yang terjadi di antara komunitas petani lebih nampak pada perbedaan “ukuran” realitas, bukan perbedaan ”bentuk” realitas. Nampaknya, kesamaan tingkat kapitalisme yang masuk melalui jenis tanaman dan tipe sistem pertanian yang sama mendorong munculnya kesamaan bentuk transformasi struktur agraria serta diferensiasi sosial dalam komunitas petani, meskipun mereka mempunyai latar belakang etnis berbeda. Fakta ini juga menunjukkan bahwa komunitas petani yang mempunyai latar belakang etnis berbeda ternyata mempunyai kemampuan yang relatif sama dalam membendung pengaruh kapitalisme. Dengan kata lain, yang terjadi dalam komunitas petani adalah commodity-driven relation of production bukan etnics-driven relation of production Dalam hal ukuran realitas, komunitas petani kasus di Desa Jono Oge yang berlatar belakang etnis Bugis (pendatang) berbeda dengan tiga komunitas petani kasus lainnya. Dalam komunitas petani di Desa Jono Oge, intensitas proses penguasaan sumberdaya agraria yang memberi jalan pada pembentukan struktur sosial masyarakat agraris yang semakin terpolarisasi serta tingkat ketimpangan dalam penguasaan sumberdaya agraria dan dalam kesejahteraan di antara anggota komunitas sangat menonjol. Kata Kunci : moda produksi, struktur agraria, struktur sosial masyarakat agraris, kesejahteraan, petani kakao
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa idzin IPB.
TRANSFORMASI STRUKTUR AGRARIA DAN DIFERENSIASI SOSIAL PADA KOMUNITAS PETANI (Studi Kasus Pada Empat Komunitas Petani Kakao di Propinsi Sulawesi Tengah dan Nangroe Aceh Darussalam)
UNDANG FADJAR
Disertasi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Doktor Pada Program Studi Sosiologi Pedesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
Penguji Luar Komisi : Ujian Tertutup : Dr. Ir. Lala M. Kolopaking (Ketua Jurusan Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor) Ujian Terbuka : Dr. Ir. Agus Pakpahan (Deputi Bidang Usaha Agroindustri, Kehutanan, Kertas, Percetakan dan Penerbitan, Kementrian BUMN serta Anggota Dewan Penyantun Lembaga Riset Perkebunan Indonesia) Dr. Ir. Tahlim Sudaryanto (Kepala Pusat Penelitian Sosial Ekonomi - Kebijakan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian)
Judul Disertasi
:
TRANSFORMASI STRUKTUR AGRARIA DAN DIFERENSIASI SOSIAL PADA KOMUNITAS PETANI
(Studi Kasus Pada Empat Komunitas Petani Kakao di Propinsi Sulawesi Tengah dan Nangroe Aceh Darussalam) Nama Nomor Pokok
: :
Undang Fadjar A. 162030011
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. M.T. Felix Sitorus, M.S. Ketua
Dr. Ir. Arya H. Dharmawan, MSc.Agr Anggota
Prof. Dr. S.M.P. Tjondronegoro Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Sosiologi Pedesaan (SPD)
Dr. Nurmala K. Pandjaitan M.S. DEA
Tanggal Ujian: 03 Desember 2008
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.
Tanggal Lulus: .............................
RIWAYAT HIDUP Penulis, Undang Fadjar, dilahirkan pada tanggal 28 Agustus 1958 di Ciamis – Jawa Barat. Kedua orangtuanya adalah H. Amir Soleh dan H. Siti Komariah. Pendidikan Sarjana (S1) ditempuh di Jurusan Penyuluhan Pertanian - Departemen Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian IPB, dan lulus pada tahun 1983. Pada tahun 1989 penulis mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan S2 di Jurusan Sosiologi Pedesaan, Program Pascasrjana IPB dan menamatkannya pada tahun 1994.
Kesempatan melanjutkan pendidikan S3 diperoleh penulis pada
tahun 2003 di jurusan Sosiologi Pedesaan, Program Pascasrjana IPB. Selama 2,5 tahun penulis memperoleh Beasiswa Pendidikan S3 dari Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian (Proyek PHT). Penulis bekerja sebagai seorang peneliti pada Lembaga Riset Perkebunan Indonesia (LRPI). Di lingkup LRPI, penulis mulai bekerja tahun 1983 di Pusat Penelitian Karet Sembawa - Palembang sebagai peneliti sosial-ekonomi. Tahun 1994, penulis pindah tugas ke Pusat Pengkajian Agribisnis Perkebunan (P2PA) di Jakarta sampai tahun 1998, dan tetap sebagai peneliti sosial-ekonomi. Mulai tahun 1998, penulis pindah tugas lagi ke Kantor Pusat LRPI di Bogor. Selain mengerjakan tugas-tugas non penelitian, penulis tetap menjalankan tugas sebagai peneliti sosial-ekonomi.
Sejak tahun 2005 penulis telah memperoleh jenjang
fungsional peneliti “Ahli Peneliti Muda”. Selama mengikuti pendidikan Program S3, beberapa karya ilmiah yang sudah dipublikasikan adalah : “Perbaikan Struktur Usaha Perkebunan Masih Jalan di Tempat : Suatau Analisis Struktural” diterbitkan dalam Mimbar Sosek : Jurnal Sosial-Ekonomi Pertanian Vol 16 Nomor 1: April 2003; “Kemitraan
Usaha
Perkebunan: Perubahan Struktur yang Belum Lengkap” diterbitkan dalam Forum Penelitian Agro Ekonomi Volume 24 No. 1, Juli 2006. Penulis juga mengikuti Disertation Workshop on The Challenges of Agrarian Transition in Southeast Asia pada tanggal 30 Juni – 1 Juni 2008 di Los Banos, Philippina Sejak tahun 1988 penulis menikah dengan Heni Hersiani. Pada saat ini, penulis telah dikaruniani empat orang anak, yaitu : Muhammad Seta Bagja Fardhaka (Seta), Siti Rizkika Hersifa (Dita), Chairunnisa Diya Silmi (Chia), dan Muhammad Rafif Herdafa (Afif).
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga disertasi ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah “Transformasi Struktur Agraria dan Diferensiasi Sosial Pada Komunitas Petani”. Penelitian dimaksud dilaksanakan melalui studi kasus pada empat komunitas petani kakao di Sulawesi Tengah dan Nangroe Aceh Darussalam. Tema tersebut dipilih untuk mem-peroleh potret mutakhir kondisi kesejahteraan petani dan kondisi penguasaan sumber-daya agraria yang merupakan basis penghasilan petani, dimana jumlah mereka terus bertambah sedangkan ketersediaan sumberdaya agraria semakin berkurang. Secara khusus, pengumpulan data dan informasi di lapangan dilaksanakan mulai pertengahan sampai dengan akhir tahun 2007. Namun demikian, sejak dua tahun sebelumnya penulis ikut serta dalam kegiatan “kaji tindak” (Action Research) penerapan teknologi budidaya kakao di semua desa kasus, sehingga penulis memperoleh sedikit bekal dalam “mengenal masyarakat setempat”. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. MT Felix Sitorus MS, Dr. Arya H. Dharmawan, dan Prof. Sediono MP Tjondronegoro selaku pembimbing yang telah banyak memberi semangat dan saran. Disamping itu, penulis ucapkan terima kasih kepada Pimpinan Lembaga Riset Perkebunan Indonesia (LRPI) yang telah memberi penulis kesempatan meneruskan pendidikan S3 serta kepada Pimpinan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian yang telah berkenan memberikan Beasiswa Pendidikan S3 dan membiayai penelitian untuk disertasi ini. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada masyarakat di empat desa kasus yang telah bersedia memberikan data dan informasinya serta kepada teman-teman yang telah membantu penulis dalam pengumpulan data di lapangan dan dalam diskusi-diskusi. Akhirnya, ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada keluarga (terutama orang tua, istri dan anak) yang telah memberikan banyak waktu kepada penulis untuk memprioritaskan penyelesaian penulisan disertasi ini serta mendukungnya dengan doa. Bogor, Januari 2009
Undang Fadjar
DAFTAR ISI DAFTAR ISI
....................................................................................................... i
DAFTAR TABEL ................................................................................................... v DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. ix DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... xii BAB I. PENDAHULUAN ..................................................................................... 1 1.1.
Latar Belakang ...................................................................................... 1
1.2.
Perumusan Masalah .............................................................................. 3
1.3.
Pertanyaan Penelitian ............................................................................ 8
1.4.
Tujuan Penelitian .................................................................................. 9
1.5.
Kegunaan Penelitian ........................................................................... 10
BAB II. PENDEKATAN TEORI ........................................................................ 12 2.1.
Perkembangan Moda Produksi dan Petani.......................................... 12
2.1.1.
Perkembangan Moda Produksi ........................................................... 12
2.1.2.
Perkembangan Petani .......................................................................... 18
2.2.
Transformasi Struktur Agraria ............................................................ 27
2.3.
Diferensiasi Sosial Masyarakat Agraris .............................................. 33
2.4.
Kesejahteraan Petani Berbasis Sumberdaya Agraria .......................... 38
2.5.
Kerangka Teoritis ............................................................................... 45
BAB III. METODOLOGI .................................................................................... 55 3.1.
Ruang Lingkup Penelitian ................................................................... 55
3.2.
Paradigma dan Strategi Penelitian ...................................................... 57
3.3.
Lokasi Penelitian ................................................................................. 60
3.4.
Metoda Pengumpulan Data ................................................................. 64
3.5.
Analisis Data ....................................................................................... 66
3.5.1.
Analisa Kualitatif ................................................................................ 67
3.5.2.
Analisa Kuantitatif .............................................................................. 68
i
BAB IV. PROFIL EMPAT KOMUNITAS PETANI KASUS.......................... 69 4.1.
Profil Dua Komunitas Petani Kasus di Kabupaten Donggala – Sulawesi Tengah ................................................................................. 69
4.1.1.
Komunitas Petani di Desa Tondo: Kaili – Lokal ................................ 69
4.1.2.
Komunitas Petani di Desa Jono Oge: Bugis – Pendatang ................... 72
4.2.
Profil Dua Komunitas Petani Kasus di Kabupaten Pidie – Nangroe Aceh Darussalam (NAD) ..................................................... 74
4.2.1.
Komunitas Petani di Desa Cot Baroh/Tunong: Aceh - Lokal ............ 74
4.2.2.
Komunitas Petani di Desa Ulee Gunong: Aceh – Pendatang ............. 76
4.3.
Perbandingan dan Kesimpulan............................................................ 77
BAB V.
PERKEMBANGAN SISTEM PERTANIAN DI EMPAT KOMUNITAS PETANI KASUS ....................................................... 81
5.1.
Perkembangan Pertanian Menetap “Padi Sawah” dan “Tanaman Perkebunan” di Empat Komunitas Petani Kasus............... 81
5.1.1.
Perkembangan Pertanian Menetap “Padi Sawah” dan “Perkebunan” di Desa Tondo – Sulawesi Tengah ............................. 88
5.1.2.
Perkembangan Pertanian Menetap “Padi Sawah” dan “Perkebunan” di Desa Jono Oge – Sulawesi Tengah.......................... 89
5.1.3.
Perkembangan Pertanian Menetap “Padi Sawah” dan “Perkebunan” di Desa Cot Baroh/Tunong – NAD ............................. 91
5.1.4.
Perkembangan Pertanian Menetap “Perkebunan” di Desa Ulee Gunong–NAD ..................................................................................... 93
5.2.
Diversifikasi Tanaman yang Diusahakan Komunitas Petani .............. 95
5.3.
Ragam Kekuatan Produksi dalam Komunitas Petani: Teknologi Intensif di Padi Sawah dan Tidak Intensif di Kebun Kakao ............. 103
5.4.
Marginalisasi Kualitas Sumberdaya Agraria .................................... 110
5.5.
Ihtisar : Beragam “Kekuatan Produksi” dalam Komunitas Petani ................................................................................................ 115
ii
BAB VI. TRANSFORMASI STRUKTUR AGRARIA DAN DINAMIKA HUBUNGAN SOSIAL PRODUKSI DALAM KOMUNITAS PETANI ................................................................... 119 6.1.
Transformasi Struktur Agraria .......................................................... 119
6.1.1.
Transformasi Pola Pemilikan Sumberdaya Agraria : Dari Pemilikan Kolektif ke Pemilikan Perorangan .................................. 119
6.1.2.
Transformasi Pola Akuisisi Sumberdaya Agraria : Dari Buka Baru ke Transfer Sumberdaya Agraria ............................................. 123
6.2.
Dinamika Pola Hubungan Sosial Produksi Sumberdaya Agraria ..... 133
6.2.1.
Dinamika Pola Hubungan Sosial Produksi Sumberdaya Agraria Pada Tahap Pembangunan Kebun dan Pencetakan Sawah ............... 134
6.2.2.
Dinamika Pola Hubungan Sosial Produksi pada Tahap Pengelolaan Sumberdaya Agraria ..................................................... 141
6.2.2.1.
Pola Bagi Hasil.................................................................................. 143
6.2.2.2.
Pola Sewa ......................................................................................... 149
6.2.2.3.
Pola Gadai ......................................................................................... 150
6.3.
Pola Kelembagaan Produksi : Jalan Masuk Modal Non Lahan ........ 151
6.3.1.
Pola Kemitraan Antar Pihak : Hubungan Sosial Produksi yang Semakin Kompleks dan Semakin Tersubordinasi............................. 151
6.3.2.
Pola Transaksi Produksi : Sistem Yarnen dengan Alat Bayar Natura ................................................................................................ 154
6.4.
Ihtisar : Dari Pemilikan Kolektif ke Perorangan serta Hadirnya Hubungan Sosial Produksi yang Semakin Kompleks dan Subordinatif ............................................................................................. 157
BAB VII. DIFERENSIASI SOSIAL MASYARAKAT AGRARIS ................ 163 7.1.
Bertambahnya Lapisan Petani serta Meningkatnya Pemilik Sempit dan Tunakisma ...................................................................... 163
7.2.
Arah Perubahan Struktur Sosial Masyarakat Agraris : Jalan Bercabang Menuju Struktur Terstratifikasi atau Terpolarisasi ......... 172
7.3.
Peranan Program Pemerintah dan Lembaga Lokal dalam Diferensiasi Sosial Masyarakat Agraris ............................................ 179
7.3.1.
Peranan Program Pemerintah dalam Diferesiasi Sosial Masyarakat Agraris .......................................................................... 179
7.3.2.
Peranan Lembaga Lokal dalam Diferensiasi Sosial Masyarakat Agraris ............................................................................................... 185
7.4.
Ihtisar : Bentuk Stratifikasi dengan Pemilikan Lahan yang Semakin Timpang, di Persimpangan Jalan Menuju Polarisasi ......... 190
iii
BAB VIII. DIFERENSIASI KESEJAHTERAAN PETANI ............................. 194 8.1.
Sumber-sumber Penghasilan Agraria................................................ 194
8.1.1.
Menghilangnya Penghasilan dari Sumberdaya Agraria Milik Komunal ............................................................................................ 194
8.1.2.
Peranan Sumberdaya Agraria dalam Struktur Penghasilan Petani ................................................................................................. 196
8.2.
Peta Lapisan Masyarakat Agraris Berdasarkan Tingkat Kesejahteraan .................................................................................... 201
8.3.
Penerimaan dan Pengeluaran Rumahtangga Pada Berbagai Lapisan Petani ................................................................................... 205
8.4.
Distribusi Rumahtangga Petani Berdasarkan Tingkat Kesejahteraan .................................................................................... 209
8.5.
Ketimpangan dalam Penerimaan dan Pengeluaran ........................... 212
8.6.
Proses Pemiskinan Petani.................................................................. 214
8.7.
Ihtisar : Meningkatnya Diferensiasi dan Rendahnya Ketimpangan Kesejahteraan dalam Komunitas Petani ..................... 216
BAB IX. STRATEGI ”AMPHIBIAN” DALAM PRAKTEK MODA PRODUKSI, STRUKTUR AGRARIA YANG SEMAKIN TERTUTUP, DAN PROBLEMA KESEJAHTERAAN PETANI............................................................................................. 220 9.1.
Tipe Lain Komunitas Petani “Indonesia Luar” : Berbasis Kombinasi Usahatani Padi Sawah dan Perkebunan (Kakao)............ 220
9.2.
Munculnya Strategi “Amphibian” dalam Praktek Moda Produksi ............................................................................................ 222
9.3.
Perubahan Struktur Agraria: Menuju Struktur yang Semakin Tertutup ............................................................................................. 238
9.4.
Potensi Munculnya Problema Kesejahteraan Petani ......................... 242
BAB X.
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI .................................................. 246
10.1.
Kesimpulan ....................................................................................... 246
10.2.
Implikasi............................................................................................ 252
10.2.1.
Teoritis...............................................................................................252
10.2.2.
Kebijakan...........................................................................................255
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 2599 LAMPIRAN
................................................................................................ 2666
iv
DAFTAR TABEL Tabel 2.1.
Tipe-tipe Moda Produksi .............................................................. 13
Tabel 2.2.
Perbedaan Ciri-ciri Peasant dan Smallholder .............................. 21
Tabel 2.3.
Perbedaan Ciri antara Moda Produksi Subsisten, Komersial, dan Kapitalis ............................................................... 25
Tabel 2.4.
Keterkaitan antara Jenis Tanaman dengan Perkembangan Petani ............................................................................................. 26
Tabel 2.5.
Perubahan Pemilikan Lahan dalam Masyarakat Prakapitalis ......................................................................................... 28
Tabel 2.6.
Kaitan antara Perkembangan Pertanian dengan Perubahan Pola Penguasaan Lahan (Kasus Pada Masyarakat Dayak) .......... 30
Tabel 2.7.
Diferensiasi Sosial Masyarakat .................................................... 34
Tabel 2.8.
Keterkaitan antara Komersialisasi Pertanian dengan Hubungan Kelas Agraris. .............................................................. 42
Tabel 3.1.
Distribusi Masyarakat Desa Berdasarkan Rumahtangga Petani dan Non Petani, 2007 ......................................................... 61
Tabel 3.2.
Tanaman yang Diusahakan Komunitas Petani, 2007 .................... 61
Tabel 3.3.
Latar Belakang Lingkungan Spesifik Lokal Komunitas Petani di Empat Desa Kasus, 2007 ............................................... 62
Tabel 3.4.
Distribusi Rumahtangga (RT) Petani dan Distribusi Responden di Empat Desa Kasus, 2007........................................ 65
Tabel 4.1.
Profil Empat Komunitas Petani Kasus, 2007 ................................ 80
Tabel 5.1.
Luas Sumberdaya Agraria Berdasarkan Pemanfaatannya (ha), 2007 ...................................................................................... 99
Tabel 5.2.
Pola Tanam dalam Usahatani di Empat Komunitas Petani Kasus, 2007 ................................................................................. 101
Tabel 5.3.
Jenis Pola Tanam Campuran yang Diushakan Petani, 2007. ...... 102
Tabel 5.4.
Penerapan Teknologi Intensif pada Sistem Pertanian Menetap di Empat Desa Kasus di Sulawesi Tengah dan Nangroe Aceh Darussalam (NAD), 2007 ................................... 104
Tabel 5.5.
Populasi Beragam Jenis Tanaman yang Diusahakan Petani, 2007. ............................................................................................ 106
Tabel 5.6.
Produktivitas Beragam Jenis Tanaman yang Diusahakan Petani, 2007. ................................................................................ 107
Tabel 5.7.
Tambahan Biaya untuk Penerapan Teknologi Intensif, 2007 ..... 108
Tabel 5.8.
Perkembangan Sistem Pertanian Menetap di Empat Komunitas Petani Kasus, 2007. .................................................. 118
v
Tabel 6.1.
Pola Akuisisi Sumberdaya Agraria di Empat Komunitas Petani Kasus, 2007 ...................................................................... 126
Tabel 6.2.
Pola Akuisisi Sumberdaya Agraria Berdasarkan Jenis Tanaman yang Diusahakan, 2007. .............................................. 127
Tabel 6.3.
Pola Akuisisi Sumberdaya Agraria Berdasarkan Tingkat Kesejahteraan Petani, 2007 ......................................................... 129
Tabel 6.4.
Berbagai Kebutuhan yang Mendorong Petani Menjual Sumberdaya Agraria, 2007. ........................................................ 132
Tabel 6.5.
Alamat Pelaku Jual Beli Sumberdaya Agararia, 2007. ............... 133
Tabel 6.6.
Pola Hubungan Sosial Produksi pada Tahap Pembangunan Kebun dan Pencetakan Sawah, 2007 .......................................... 137
Tabel 6.7.
Bentuk Hubungan Sosial Produksi yang Dominan pada Pengelolaan Sumberdaya Agraria (Usahatani), 2007. ................ 141
Tabel 6.8.
Jumlah Rumahtangga Petani Penggarap Bagi Hasil pada Berbagai Jenis Usahatani, 2007 .................................................. 142
Tabel 6.9.
Luas Sawah Berdasarkan Tempat Tinggal Pemilik (ha), 2007. ............................................................................................ 144
Tabel 6.10.
Bentuk Hubungan Sosial Produksi Bagi Hasil yang Dominan Pada Tahap Pengelolaan Sumberdaya Agraria, 2007. ............................................................................................ 146
Tabel 6.11.
Pola Hubungan Sosial Produksi Agraria Bagi Hasil, 2007 ......... 147
Tabel 6.12.
Hubungan Sosial antara Petani Pemilik dengan Petani Pembagi Hasil, 2007. .................................................................. 149
Tabel 6.13.
Pola Transaksi Penyediaan Sarana Produksi Usahatani dan Modal Finansial di Desa Jono Oge dan Desa Tondo, Sulawesi Tengah, 2007 ............................................................... 155
Tabel 6.14.
Pola Transaski Penyediaan Sarana Produksi Usahatani di Desa Cot Baroh/Tunong dan Desa Ulee Gunong di Nangroe Aceh Darussalam, 2007 ................................................ 156
Tabel 6.15.
Pola Transaksi Penyediaan Modal Finasial di Desa Cot Baroh/Tunong dan Desa Ulee Gunong di Nangroe Aceh Darussalam, 2007 ........................................................................ 156
Tabel 6.16.
Transformasi Struktur Agraria dan Hubungan Sosial Produksi di Empat Komunitas Petani Kasus, 2007..................... 162
Tabel 7.1
Distribusi Rumahtangga Petani Berdasarkan Status Penguasaan Sumberdaya Agraria, 2007...................................... 168
Tabel 7.2.
Distribusi Rumah Tangga Petani Berdasarkan Luas Pemilikan Sumberdaya Agraria Total, 2007 ............................... 170
Tabel 7.3.
Distribusi Rumahtangga Petani Berdasarkan Luas Pemilikan Sumberdaya Agraria Produktif, 2007 ........................ 170
vi
Tabel 7.4.
Rata-rata Luas Pemilikan Sumberdaya Agraria Total dan Sumberdaya Agraria Produktif, 2007 ......................................... 172
Tabel 7.5.
Kaitan antara Pola Hubungan Sosial Penguasaan Sumberdaya Agraria dengan Arah Perubahan Struktur Sosial Masyarakat Agraris, 2007. ............................................... 174
Tabel 7.6.
Modal Finansial Untuk Membangun Kebun (1 Ha) pada Lahan Hutan di Desa Cot Baroh/Tunong dan Ulee Gunong, 2007 ............................................................................................. 176
Tabel 7.7.
Analisa Gini Ratio Terhadap Luas Pemilikan Sumberdaya Agraria, 2007. ............................................................................. 178
Tabel 7.8.
Distribusi Luas Lahan Peserta Program Pembangunan Kebun Baru di Desa Cot Baroh/Tunong, 2007 ........................... 182
Tabel 7.9.
Fasilitasi Pemerintah Melalui Program Pengembangan Perkebunan, 2007 ........................................................................ 183
Tabel 7.10.
Intervensi Pemerintah dalam Pola Berbantuan/Parsial, 2007 ..... 183
Tabel 7.11.
Petani Peserta Proyek (ADB) Pengembangan Kebun Kakao di Desa Cot Baroh/Tunong, 2007................................................ 184
Tabel 7.12.
Kelembagaan Lokal yang Berkaitan dengan Penguasaan Sumberdaya Agraria, 2007. ....................................................... 186
Tabel 7.13.
Perubahan Struktur Sosial Masyarakat Agraris di Empat Komunitas Petani Kasus, 2007 ................................................... 193
Tabel 8.1.
Perkembangan Upah Buruh di Desa Kasus di Sulawesi Tengah, 2007. .............................................................................. 196
Tabel 8.2.
Sumber Penghasilan Petani di Empat Komunitas Petani Kasus, 2007 ................................................................................. 198
Tabel 8.3.
Kaitan antara Lapisan Kesejahteraan Hasil Rekonstruksi Masyarakat dan Ukuran Sajogyo, 2007 ...................................... 203
Tabel 8.4.
Rata-Rata Penerimaan dan Pengeluaran Rumahtangga Petani pada Berbagai Lapisan Kesejahteraan, 2007. .................. 205
Tabel 8.5.
Rata-Rata Penerimaan dan Pengeluaran Rumahtangga Petani pada Berbagai Lapisan Penguasaan Sumberdaya Agraria, 2007 .............................................................................. 207
Tabel 8.6.
Hasil Analisa Gini Ratio Terhadap Pendapatan dan Pengeluaran, 2007. ...................................................................... 213
Tabel 8.7.
Perkembangan Harga Hasil Perkebunan dan Kebutuhan Pokok, 2007. ............................................................................... 214
Tabel 8.8.
Diferensiasi Kesejahteraan di Empat Komunitas Petani Kasus, 2007. ................................................................................ 219
Tabel 9.1.
Fakta Kekuatan Produksi Amphibian (Bersifat Ganda) pada Usahatani Padi Sawah dan Kakao, 2007 ..................................... 229
vii
Tabel 9.2.
Fakta Hubungan Sosial Produksi Amphibian (Bersifat Ganda) pada Usahatani Padi Sawah dan Kakao, 2007 ............... 230
Tabel 9.3.
Nilai Ekonomi yang Diperoleh Penggarap Bagi Hasil dan Buruh Bagi Hasil di Desa Tondo dan Desa Jono Oge Sulawesi Tengah, 2007 ............................................................... 232
Tabel 9.4.
Perbandingan Konsep Amphibian dalam Dua Ranah Keilmuan ..................................................................................... 233
Tabel 9.5.
Sistem Ekonomi Boeke dalam Komunitas Petani (Sebuah Perbandingan) ............................................................................. 236
Tabel 9.6.
Perbedaan Masyarkat dalam Rumusan Teori Ekonomi Ganda Boeke ............................................................................... 237
Tabel 9.7.
Distribusi Rumahtangga Petani Berdasarkan Garis Kemiskinan dan Tingkat Kesejahteraan, 2007............................ 244
Tabel 9.8.
Distribusi Rumah Tangga Petani Berdasarkan Garis Kemiskinan dan Pelapisan Petani dalam Penguasaan Sumberdaya Agraria, 2007 ......................................................... 245
viii
DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1.
Struktur Hubungan Sosial Kamunitas Petani dengan Masyarakat Supra Lokal ............................................................... 22
Gambar 2.2.
Transformasi Moda Produksi dan Struktur Agraria serta Diferensiasi Sosial Masyarakat Agraris dan Kesejahteraan Petani..............................................................................................54
Gambar 5.1.
Perkembangan Pertanian Menetap di Desa Tondo, 2007 ............. 82
Gambar 5.2.
Perkembangan Pertanian Menetap di Desa Jono Oge, 2007......... 82
Gambar 5.3.
Perkembangan Pertanian Menetap di Desa Cot Baroh/Tunong, 2007 ..................................................................... 83
Gambar 5.4.
Perkembangan Pertanian Menetap di Desa Ulee Gunong, 2007 ............................................................................................... 83
Gambar 5.5.
Peta Lokasi Pertanian Menetap di Desa Tondo dan Desa Jono Oge - Kabupaten Donggala - Sulawesi Tengah, 2007.......... 85
Gambar 5.6.
Peta Lokasi Pertanian Menetap di Desa Cot Baroh/Tunong - Kabupaten Pidie – Nangroe Aceh Darussalam, 2007 ................. 86
Gambar 5.7.
Peta Lokasi Pertanian Menetap di Desa Ulee Gunong Kabupaten Pidie – Nangroe Aceh Darussalam, 2007 ................... 87
Gambar 5.8.
Proporsi Rumahtangga Berdasarkan Jenis Tanaman yang Diusahakan, 2007 .......................................................................... 97
Gambar 5.9.
Proporsi Sumberdaya Agraria Berdasarkan Pemanfaatan, 2007 ............................................................................................. 100
Gambar 5.10. Perkembangan Asal Sumberdaya Agraria untuk Sistem Pertanian Menetap di Desa Tondo, 2007. ................................... 111 Gambar 5.11. Perkembangan Asal Sumberdaya Agraria untuk Sistem Pertanian Menetap di Desa Jono Oge ......................................... 111 Gambar 5.12. Perkembangan Asal Sumberdaya Agraria untuk Sistem Pertanian Menetap di Desa Ulee Gunong, 2007 ......................... 112 Gambar 5.13. Perkembangan Asal Sumberdaya Agraria untuk Sistem Pertanian Menetap di Desa Jono Cot Baroh/Tunong, 2007 ........ 112 Gambar 6.1.
Status Hukum Sumberdaya Agraria Milik Petani, 2007 ............. 121
Gambar 6.2.
Pola Akuisisi Sumberdaya Agraria di Desa Tondo, 2007........... 124
Gambar 6.3.
Pola Akuisisi Sumberdaya Agraria di Desa Jono Oge, 2007 ...... 124
Gambar 6.4.
Pola Akuisisi Sumberdaya Agraria di Desa Ule Gunong, 2007 ............................................................................................. 125
Gambar 6.5.
Pola Akuisisi Sumberdaya Agraria di Desa Cot Baroh/ Tunong, 2007 .............................................................................. 125
ix
Gambar 6.6.
Pola Akuisisi Sumberdaya Agraria Berdasarkan Jenis Tanaman, 2007 ............................................................................ 128
Gambar 6.7.
Pola Akuisisi Sumberdaya Agraria Berdasarkan Tingkat Kesejahteraan Petani, 2007 ......................................................... 129
Gambar 6.8.
Pola Hubungan Ssosial Produksi Terkait Penerapan Teknologi Intensif, 2007 ............................................................. 153
Gambar 7.1.
Struktur Sosial Masyarakat Agraris di Empat Desa Kasus, 2007. ............................................................................................ 166
Gambar 7.2.
Perkembangan Perkebunan Kakao Rakyat di Sulawesi Tengah Berdasarkan Pola Pengembangan (ha) ........................... 180
Gambar 7.3.
Perkembangan Perkebunan Kakao Rakyat di Nangroe Aceh Darussalam Berdasarkan Pola Pengembangan (ha), 2007 .......... 181
Gambar 8.1.
Struktur Penghasilan Petani di Empat Komunitas Petani Kasus, 2007 ................................................................................. 197
Gambar 8.2.
Struktur Penghasilan Petani Berdasarkan Lapisan dalam Penguasaan Sumberdaya Agraria, 2007...................................... 200
Gambar 8.3.
Struktur Penghasilan Petani Berdasarkan Tingkat Kesejahteraan, 2007 .................................................................... 201
Gambar 8.4.
Kaitan antara Tingkat Kesejahteraan Hasil Rekonstruksi Masyarakat dan Ukuran Sajogyo, 2007. ..................................... 204
Gambar 8.5.
Rata-Rata Penerimaan dan Pengeluaran Rumahtangga Petani pada Berbagai Lapisan Kesejahteraan (per kapita dalam juta), 2007......................................................................... 206
Gambar 8.6.
Rata-Rata Penerimaan dan Pengeluaran Rumahtangga Petani pada Berbagai Lapisan Penguasaan Sumberdaya Agraria (Rp Juta), 2007. .............................................................. 207
Gambar 8.7.
Rata-Rata Penerimaan dan Pengeluaran Rumahtangga Petani di Empat Komunitas Petani Kasus (Rp Juta), 2007 ......... 208
Gambar 8.8.
Distribusi Rumahtangga Berdasarkan Tingkat Kesejahteraan di Empat Komunitas Petani Kasus, 2007 ............ 210
Gambar 8.9.
Distribusi Rumahtangga Petani Berdasarkan Pola Penguasaan Sumberdaya Agraria dan Tingkat Kesejahteraan di Empat Komunitas Petani Kasus, 2007 ............ 211
Gambar 8.10. Dsitribusi Rumahtangga Berdasarkan Tingkat Kesejahteraan dan Luas Pemilikan Sumberdaya Agraria Produktif di Empat Komunitas Petani Kasus, 2007 .................... 212 Gambar 9.1.
Proporsi Jumlah Rumahtangga Petani yang Terlibat dalam Usahatani Kakao dan Padi Sawah di Tiga Desa Kasus, 2007 ............................................................................................. 220
Gambar 9.2.
Strategi “Amphibian” dalam Praktek Moda Produksi di Tiga Komunitas Petani Kasus, 2007 ........................................... 224
x
Gambar 9.3.
Peranan Usahatani Sawah dalam Menyerap Penggarap Bagi Hasil di Tiga Komunitas Petani Kasus, 2007.............................. 231
Gambar 9.4.
Perkembangan Hubungan Sosial Produksi Sumberdaya Agraria pada Tahap Pembangunan Kebun/Sawah, 2007 ............ 240
Gambar 9.5.
Perkembangan Hubungan Sosial Produksi Pada Tahap Pengelolaan Sumberdaya Agraria Kebun/Sawah, 2007.............. 240
Gambar 9.6.
Tangga Petani dalam Memperbaiki Status dari Buruh Tani Menjadi Pemilik Luas, 2007 ....................................................... 241
Gambar 9.7.
Pengeluaran/Kapita Rumahtangga Petani di Empat Komunitas Petani Kasus, 2007 ................................................... 243
Gambar 10.1. Transformasi Moda Produksi dan Struktur Agraria serta Implikasinya Terhadap Diferensiasi Sosial Masyarakat Agraris dan Kesejahteraan dalam Komunitas Petani. (Berdasarkan Pengalaman di Sulawesi Tengah dan NAD)................................258
xi
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1.1.
Luas Areal Perkebunan Komoditas Utama Tahun 2006 ....... 266
Lampiran 1.2.
Pola Pengembangan Perkebunan Rakyat .............................. 267
Lampiran 1.3.
Perkembangan Luas Lahan Usahatani Kakao ....................... 268
Lampiran 5.1.
Analisa Usahatani Sawah yang Umum Dilaksanakan Petani (Teknologi Intensif) ................................................... 269
Lampiran 5.2.
Analisa Usahatani Padi Sawah (semi intensif)...................... 270
Lampiran 5.3.
Analisa Usahatani Kakao dengan Teknologi Intensif (Harapan) .............................................................................. 271
Lampiran 5.4.
Analisa Usahatani Kakao yang Umum Dilaksanakan Petani (Tidak Intensif) .......................................................... 272
Lampiran 5.5.
Analisa Usahatani Cengkeh dengan Teknologi Intensif (Harapan) .............................................................................. 273
Lampiran 5.7.
Analisa Usahatani Kelapa dengan Teknologi Intensif (Harapan) .............................................................................. 275
Lampiran 5.8.
Analisa Usahatani Kelapa yang Umum Dilaksanakan Petani (Tidak Intensif) .......................................................... 276
Lampiran 5.9.
Perkembangan Lahan Pertanian Padi Sawah di Desa Cot Baroh/Tunong - Nangroe Aceh Darussalam .................. 277
Lampiran 5.10.
Perkembangan Lahan Pertanian Kakao di Desa Cot Baroh/Tunong - Nangroe Aceh Darussalam ......................... 278
Lampiran 5.11.
Perkembangan Lahan Pertanian di Desa Ulee Gunong Nangroe Aceh Darussalam.................................................... 279
Lampiran 5.12.
Luasan Plot Sumberdaya Agraria Milik Petani.................... 280
Lampiran 5.13.
Contoh Kasus Fragmentasi Sumberdaya Agraria Milik Bapak Aklin di Desa Jono Oge ............................................. 281
Lampiran 7.1.
Uji T terhadap Luas Pemilikan Sumberdaya Agraria ........... 282
Lampiran 7.2.
Daftar Anggota Kelompok Tani Pengusul Pembukaan Lahan Baru ............................................................................ 283
Lampiran 8.1.
Hasil Analisa Beda Nyata Tingkat Kesejahteraan Petani Berdasarkan Penerimaan dan Pengeluaran Rumahtangga Petani Per Kapita............................................ 284
Lampiran 8.2.
Hasil Analisa Beda Nyata Lapisan Petani dalam Penguasaan Sumberdaya Agraria Berdasarkan Penerimaan dan Pengeluaran Rumahtangga Petani Per Kapita ................ 285
Lampiran 8.3.
Hasil Analisa Beda Nyata Penerimaan dan Pengeluaran Rumahtangga Petani Per Kapita pada Desa yang Berbeda ................................................................................. 289
xii
Lampiran 8.4.
Distribusi Rumahtangga Petani Berdasarkan Pola Penguasaan Sumberdaya Agraria dan Tingkat Kesejahteraan di Desa Tondo................................................ 293
Lampiran 8.5.
Distribusi Rumahtangga Petani Berdasarkan Pola Penguasaan Sumberdaya Agraria dan Tingkat Kesejahteraan di Desa Jono Oge ........................................... 293
Lampiran 8.6.
Distribusi Rumahtangga Petani Berdasarkan Pola Penguasaan Sumberdaya Agraria dan Tingkat Kesejahteraan di Cot Baroh/Tunong ..................................... 294
Lampiran 8.7.
Distribusi Rumahtangga Petani Berdasarkan Pola Penguasaan Sumberdaya Agraria dan Tingkat Kesejahteraan di Desa Ulee Gunong..................................... 294
xiii
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkebunan kakao di Indonesia telah menjadi tumpuan masyarakat yang tinggal di pedesaan dalam “memenuhi kelangsungan hidup” (survival) dan “membuat kehidupan yang lebih baik” (a better living). Data Direktorat Jenderal Perkebunan (2007) menunjukkan bahwa luas tanaman kakao menduduki posisi ke tiga setelah tanaman sawit dan karet (lampiran 1.1.). Tanaman tersebut dikembangkan melalui dua pendekatan, yaitu “perkebunan rakyat” yang diusahakan oleh entitas petani dan “perkebunan besar” yang diusahakan oleh entitas perusahaan. Meskipun terdapat dua pendekatan, sebagian besar perkebunan kakao di Indonesia dikembangkan melalui pendekatan “perkebunan rakyat”. Pada tahun 2006, luas perkebunan kakao rakyat mencapai 1.219.633 hektar (92.3 persen dari total perkebunan kakao di Indonesia) dan jumlah petani yang mengusahakannya mencapai 1.237.119 rumah tangga (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2007). Selain itu, sebagian besar (86,34 persen) perkebunan kakao rakyat dibangun oleh petani secara swadaya atau tanpa fasilitasi pihak lain (lampiran 1.2.) Peranan tersebut akan semakin penting karena prospek pasar kakao masih terus meningkat dan sumberdaya agraria (lahan) yang dapat digunakan untuk mengusahakan tanaman kakao masih tersedia walaupun jumlahnya semakin berkurang. Hal ini ditunjukkan oleh terus bertambahnya luas sumberdaya agraria yang ditanami kakao dan jumlah petani yang mengusahakan tanaman kakao (Lampiran 1.3.). Oleh sebab itu, tanaman kakao bersama-sama dengan tanaman karet dan sawit masuk dalam program “revitalisasi perkebunan” 1. Namun demikian, di sisi lain ternyata para petani kakao (perkebunan kakao rakyat) umumnya hanya menguasai lahan yang relatif sempit. Data Direktorat 1
Revitalisasi perkebunan merupakan program pemerintah yang berupaya mempercepat pengembangan perkebunan rakyat melalui perluasan, peremajaan dan rehabilitasi tanaman perkebunan. Pelaksanaan program ini didukung adanya kredit investasi dan subsidi bunga oleh pemerintah serta dilibatkannya perusahaan perkebunan sebagai mitra pengembangan, khususnya dalam pembangunan kebun, pengolahan dan pemasaran hasil. Melalui program ini petani mendapatkan kredit dengan bunga lunak (sebesar 10 %, dimana selisih antara bunga komersial dengan bunga kredit disubsidi pemerintah). Dalam kurun waktu empat tahun (2007-2010) Direktorat Jenderal Perkebunan mencanangkan program revitalisasi perkebunan seluas dua juta ha untuk tanaman kakao, karet, dan kelapa sawit (Dirjenbun, 2007).
1
Jenderal Perkebunan (2007) menunjukkan bahwa pada tahun 2006 ternyata ratarata luas kebun kakao setiap rumahtangga petani hanya sebesar 0,98 hektar 2 . Selain itu, para petani mengusahakan tanaman kakao dalam bentuk usaha keluarga (farm household) dan hasil produksi yang mereka peroleh umumnya untuk mencukupi kebutuhan pokok (konsumsi) keluarga. Oleh sebab itu, meskipun produk yang dihasilkan petani kakao merupakan produk untuk diekspor (produk komersial/perdagangan), namun sangat mungkin mereka masih berada pada tingkat “hidup subsisten”, sehingga secara keseluruhan sebenarnya kehidupan petani kakao hanya sejajar dengan “peasant” sebagaimana dikonsepkan Shanin (1990) atau “smallholder” sebagaimana dikonsepkan Netting (1993). Sebagai komoditas komersial, sebenarnya kakao yang diproduksi para petani ditujukan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri hilir yang berada di wilayah maju/pusat, bahkan sebagian besar berada di negara maju 3. Oleh sebab itu, di dalam komunitas petani kakao terjadi pertemuan antara kekuatan moda produksi kapitalis yang datang dan diarahkan dari luar (dari aras supra lokal atau wilayah pusat/negara maju/centre) dengan kekuatan moda produksi non-kapitalis yang sebelumnya sudah tumbuh berkembang dalam komunitas petani (aras lokal atau wilayah pinggiran/wilayah terbelakang/periphery). Adanya perubahan penerapan moda produksi yang dipraktekkan oleh komunitas petani kakao akan mendorong perubahan realitas sosial lainnya, terutama realitas sosial yang proses perubahannya terkait erat dengan praktek moda produksi seperti struktur agraria, struktur sosial masyarakat agraris serta kesejahteraan dalam komunitas petani. Dugaan ini sangat mungkin terjadi karena menurut 2
Berkaitan dengan distribusi pemilikan kebun, sebagai contorh penelitian Fadjar dkk. (2006) pada Lima Desa di Kabupaten Pidie-Nangroe Aceh Darussalam menunjukkan bahwa proporsi petani kakao yang memiliki kebun kakao seluas 2 ha atau lebih sangat sedikit, yaitu hanya 11%. Padahal bila kebun tidak dipelihara secara intensif (produktivitas hanya 500 kg/ha/tahun), pendapatan dari 2 ha kebun kakao hanya cukup mencapai garis kemiskinan (untuk keluarga dengan jumlah anggota 5 orang). Sementara itu, sebagian besar petani lainnya hanya memiliki kebun kakao seluas 1 - < 2 ha (57%) dan kurang dari 1 ha (29%). Bahkan sebanyak 3% petani kakao tidak memiliki lahan atau hanya mengusahakan kebun milik petani lain. Sejalan dengan temuan tersebut, hasil penelitian D.H Penny di Desa Srihardjo (Sajogyo, 2002) mengungkapkan bahwa separuh penduduk di lapisan bawah yang tak cukup luas tanahnya masih “tergolong miskin”.
3
Pada tahun 2002 (Ditjenbun, 2003), sebanyak 78 % produksi kakao Indonesia diekspor (412.360 ton) ke berbagai negara maju seperti Amerika Serikat (40% dari total ekspor) dan negara-negara di Benua Eropa. Data Ditjenbun juga menunjukkan bahwa sebanyak 77 % dari kakao yang diekspor masih berupa bahan mentah (biji kakao).
2
Shanin (1990) dan Ray (2002) struktur sosial-ekonomi pedesaan bukan merupakan sesuatu yang stabil, dan timbulnya perubahan (tersebut) dapat dipengaruhi oleh terjadinya perubahan moda produksi. Di Indonesia, fenomena munculnya perbedaan struktur sosial masyarakat agraris yang berkaitan dengan perbedaan penerapan moda produksi sudah banyak dikaji di daerah pedesaan Jawa.
Hasil penelitian Soentoro (1980) dan Kano
(1984) di daerah pedesaan Jawa menunjukkan bahwa penggunaan moda produksi yang relatif komersial (pada usahatani tebu) telah mendorong proses perubahan penguasaan sumberdaya agraria (lahan) yang mendorong terbentuknya masyarakat agraris yang “terpolarisasi”. Sebaliknya, di daerah pedesaan Jawa lain yang hanya menggunakan moda produksi relatif subsisten (pada usahatani padi) ternyata proses perubahan penguasaan sumberdaya agraria mengarah ke bentuk masyarakat agraris yang “terstratifikasi”. Sementara itu, di daerah pedesaan luar Jawa, penelitian serupa belum banyak dilakukan. Penelitian serupa semakin perlu dilakukan di pedesaan luar Jawa mengingat : 1) Pada saat ini, para petani di luar Jawa mengembangkan usahatani dengan komposisi tanaman yang berbeda dibanding tanaman yang dikembangkan para petani di pedesaan Jawa, dan 2) Jumlah penduduk di luar Jawa terus meningkat sedangkan luas sumberdaya agraria baru yang dapat digunakan masyarakat pedesaan untuk lahan pertanian semakin berkurang sehingga perubahan struktur agraria dan struktur sosial masyarakat agraris dapat berlangsung lebih cepat. 1.2. Perumusan Masalah Menurut Taylor, 1979 dan Schuurman dalam Ray (2002) umumnya moda produksi berubah dari moda produksi non-kapitalis (komunal) menuju moda produksi kapitalis (kelas). Akan tetapi, pada masyarakat kontemporer di belahan dunia bukan Barat, perubahan moda produksi yang terjadi tidak menghasilkan moda produksi kapitalis melainkan hanya mencapai moda produksi “transisional”. Sejalan dengan pendapat tersebut, perubahan moda produksi yang terjadi pada komunitas petani kakao yang juga berada di belahan dunia bukan Barat sangat mungkin belum mencapai moda produksi kapitalis tetapi baru mencapai moda produksi “transisional”. Realitas ini dapat terjadi karena laju kekuatan moda
3
produksi kapitalis mendapat hambatan dari lingkungan/kekuatan sosial spesifik lokal yang masih memberi jalan pada praktek moda produksi non-kapitalis yang sejak lama sudah diterapkan para petani. Walaupun demikian, sejalan dengan pendapat Russel (1989) ternyata moda produksi transisional yang hadir dalam masyarakat kontemporer di belahan bukan barat tidak seragam. Secara lebih rinci ragam moda produksi transisional yang berpotensi hadir adalah seperti berikut: 1) beberapa moda produksi hadir secara bersamaan tetapi salah satu moda produksi “mendominasi” yang lainnya, 2) terdapat beberapa praktek moda produksi yang berbeda tetapi hadir secara “berdampingan”, 3) di antara bagian wilayah masyarakat terdapat praktek moda produksi yang berbeda, 4) terdapat moda produksi baru yang ciri-cirinya merupakan “gabungan” ciri-ciri dari lebih satu moda produksi Pada saat moda produksi baru yang lebih kapitalis (moda produksi transisional) semakin dominan, maka pada saat itu akan terjadi perubahan struktur agraria. Perubahan struktur agraria tersebut akan bergerak dari penguasaan kolektif (collective ownship) menuju penguasaan perorangan (private ownship). Suatu perubahan dari “hak setiap orang” untuk memanfaatkan sumberdaya agraria menjadi “hanya sebagian orang” yang berhak memanfaatkan sepenuhnya sumberdaya agraria sehingga terjadi ketidaksamaan akses petani dalam penguasaan sumberdaya agraria. Realitas tersebut kemudian akan memberi jalan pada proses diferensiasi struktur sosial masyarakat agraris (struktur sosial-ekonomi). Sebagaimana dikemukakan para pakar dan banyak hasil penelitian sebelumnya (Tabel 2.7.), secara kontekstual akan muncul dua kemungkinan bentuk struktur sosial masyarakat agraris, yaitu stratifikasi (bertambah banyaknya lapisan masyarakat) dan polarisasi (terkutubnya masyarakat dalam dua lapisan). Pada komunitas petani kakao, bentuk struktur mana yang akan muncul sangat tergantung pada hasil pertemuan antara moda produksi kapitalis yang diperkenalkan dari luar (aras supra lokal/wilayah maju/center) dengan moda produksi non-kapitalis yang sebelumnya sudah lama berkembang dalam komunitas petani (aras lokal/wilayah pinggiran/ periphery) serta tergantung pada perubahan struktur agraria yang terjadi. Lebih lanjut, transformasi struktur agraria yang diikuti oleh perubahan struktur sosial masyarakat agraris tersebut akan mendorong berlangsungnya peru-
4
bahan akses petani dalam memperoleh penghasilan dari sumberdaya agraria sehingga kemudian terjadi perubahan kesejahteraan petani. Di satu pihak perubahan tersebut diharapkan akan berimplikasi pada meningkatnya peluang berusaha petani sehingga mereka dapat meningkatkan kesejahteraan keluarganya. Akan tetapi, di pihak lain, perubahan tersebut sangat mungkin berimplikasi pada munculnya diferensiasi kesejahteraan dalam komunitas petani (terjadi ketimpangan kesejahteraan), bahkan sangat potensisial memperburuk kondisi kesejahteraan keluarga petani. Melalui proses polarisasi masyarakat agraris (berbasis penguasaan lahan), jumlah kaum tani yang terlepas atau kehilangan kontrol terhadap kekuatan produksi sumberdaya agraria akan semakin banyak. Dalam posisi tersebut mereka hanya menjadi buruh tani yang kehidupannya sangat tergantung pada pihak lain yang memiliki kekuatan produksi sumberdaya agraria. Sementara itu, melalui proses stratifikasi masyarakat agraris, meskipun tidak terjadi pengkutuban masyarakat agraris (lapisan petani pemilik sumberdaya agraria yang kaya dan lapisan buruh tani yang miskin) tetapi melalui proses tersebut sangat potensial terjadi pemiskinan petani, baik melalui proses eksploitasi sendiri (self-exploitation) yang berlangsung dalam komunitas petani atau melalui eksplotasi yang dilakukan oleh aktor dari luar komunitas petani (aras supra-lokal) terhadap komunitas petani. Oleh sebab itu, bila kekuatan produksi sumberdaya agraria yang dikuasai petani tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup minimum (setara garis kemiskinan) serta pengurangan lebih lanjut menimbulkan malnutrisi dan kematian dini, maka dalam keluarga petani sedang terjadi “problema” 4 kesejahteraan. Secara garis besar, pertanyaan utama yang perlu dijawab dalam penelitian ini adalah “bagaimana dan sejauhmana transformasi moda produksi dan struktur agraria yang berlangsung di dalam komunitas petani kecil berbasis usahatani kakao berimplikasi terhadap diferensiasi sosial dan kesejahteraan dalam komunitas petani”. Secara lebih spesifik, dalam konteks adanya perubahan praktek moda produksi dari moda produksi non-kapitalis menuju moda produksi kapitalis 4
Dalam penelitian ini istilah “problema” kesejahteraan dimaknai sejalan dengan istilah “bencana minimum” sebagaimana digunakan Scott (1989). Problema ini akan terjadi bila kekuasaan petani atas sumberdaya lahan tidak mampu memberikan penghasilan yang dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum (setara garis kemiskinan) sehingga pengurangan lebih lanjut akan menimbulkan malnutrisi dan kematian dini.
5
(penuh) namun potensial terhenti pada moda produksi transisional (moda produksi komersial) karena ditahan oleh realitas lingkungan atau kekuatan sosial spesifik, maka beberapa pertanyaan yang perlu dijawab oleh penelitian ini adalah : 1) bagaimana dan sejauhmana transformasi moda produksi memberi jalan pada transformasi struktur agraria ? 2) bagaimana dan sejauhmana transformasi moda produksi dan struktur agraria berimplikasi terhadap diferen-siasi sosial masyarakat agraris: apakah menimbulkan gejala polarisasi atau stratifikasi sosial ?, 3) bagaimana dan sejauhmana transformasi moda produksi dan struktur agraria berimplikasi terhadap diferensiasi kesejahteraan dalam komunitas petani : apakah pemerataan atau ketimpangan ?, serta 4) bagaimana dan sejauhmana realitas lingkungan/kekuatan sosial spesifik mengarahkan transformasi moda produksi dan struktur agraria serta mendorong terjadinya diferensiasi sosial masyarakat agraris dan kesejahteraan dalam komunitas petani ? Sebenarnya hasil penelitian Sitorus (2002) di komunitas petani kakao yang bermukim sekitar kawasan hutan di Sulawesi Tengah dapat memberikan jawaban atas sebagian pertanyaan tersebut. Hasil penelitian Sitorus menunjukkan bahwa perubahan moda produksi yang dijalankan petani kakao 5 telah medorong berlangsungnya perubahan struktur agraria, dan perubahan tersebut menghasilkan bentuk struktur sosial masyarakat agraris yang terpolarisasi 6 . Demikian halnya hasil penelitian Li (2002) pada komunitas petani masyarakat terasing 7 yang menempati dataran tinggi di Sulawesi Tengah menunjukkan adanya beragam mekanisme penguasaan sumberdaya agraria yang mendorong terjadinya struktur sosial masyarakat agraris yang polarisasi. 5
Menurut Sitorus (2002) moda produksi petani berubah dari moda produksi susbsisten yang berlangsung pada usahatani padi menjadi moda produksi komersial yang berlangsung pada usahatani kakao.
6
Gejala polarisasi tersebut, menurut Sitorus (2002), ditunjukkan oleh meningkatnya posisi petani Bugis (penduduk pendatang), dari petani tidak memiliki tanah menjadi petani pemilik yang tanahnya semakin luas. Sebaliknya, posisi petani Kaili (penduduk lokal) semakin melemah, dari petani pemilik menjadi petani tak bertanah. Lebih lanjut, perubahan struktur agraria tersebut mengakibatkan kondisi semakin melemahnya jaminan kesejahteraan bagi petani Kaili. Oleh sebab itu, mereka mencari alternatif jaminan kesejahteraan dengan menanam kakao di “kawasan hutan”.
7
Sebagaimana dikutip Li (2007), Departemen Sosial mendefiniskan masyarakat terasing sebagai masyarakat yang berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, punya komitmen yang kuat terhadap kebiasan dan kepercayaan lokal, kekuarangan (minim) fasilitas kesehatan; perumahan; pakaian; pendidikandan trasportasi. Kemudian definisi tersebut oleh Li dilengkapi sebagai berikut : mempunyai ciri-ciri budaya yang unik, sebagian besar menempati hutan, pegunungan.
6
Akan tetapi, di pihak lain, banyak hasil penelitian seperti Shanin dalam Hashim (1988) serta Hayami dan Kikuchi (1987) yang mengungkapkan bahwa proses perubahan stuktur agraria yang terjadi pada komunitas petani (peasant) tidak menghasilkan bentuk struktur sosial masyarakat agraris yang terpolarisasi tetapi menghasilkan bentuk struktur sosial masyarakat agraris yang terstratifikasi. Hal ini di antaranya terjadi karena laju perkembangan moda produksi kapitalis pada kaum tani ditahan oleh berbagai relaitas lingkungan atau kekuatan sosial spesifik yang sebelumnya sudah tumbuh berkembang pada komunitas petani (pada aras lokal). Berkaitan dengan masih adanya dua kemungkinan realitas yang berbeda tersebut, maka tidak tertutup kemungkinan bentuk perubahan struktur agraria dan perubahan struktur sosial masyarakat agraris komunitas petani yang akan diteliti berbeda dengan hasil penelitian Sitorus maupun Li jika realitas lingkungan atau kekuatan sosial spesifiknya berbeda. Lebih lanjut hal ini juga sangat mungkin akan menyebabkan perbedaan dalam peta kesejahteraan keluarga/komunitas petani. Pemikiran tersebut sejalan dengan pemikiran Teori Kritis (Guba dalam Denzin dan Lincoln, 2000) yang mengemukakan bahwa realitas sosial merupakan “realisme historis” atau merupakan kenyataan yang dibentuk oleh lingkungan spesifiknya, maka sangat mungkin adanya suatu realitas sosial yang berbeda bila lingkungan spesifik tersebut berbeda. Dalam penelitian yang dilaksanakan Sitorus (2002) lingkungan spesifik komunitas petani kakao yang diteliti adalah : 1) berada dekat kawasan hutan yang relatif luas sehingga para petani mempunyai peluang memperluas kebun kakao ke wilayah hutan, dan 2) pada komunitas tersebut tidak pernah ada campur tangan (fasilitasi) program pemerintah dalam pengembangan kebun kakao rakyat, 3) anggota komunitas yang diteliti mempunyai latarbelakang etnis berbeda tetapi mereka berada dalam wilayah desa yang sama. Sementara itu, dalam penelitian yang dilaksanakan Li (2002) lingkungan spesifik komunitas petani kakao adalah : 1) sumber daya agraria yang dikuasai petani hanya ditanami kakao, 2) komunitas petani berada di wilayah ekosistem dataran tinggi, dan 3) komunitas petani lokal yang diteliti termasuk kelompok masyarakat yang relatif tertinggal.
7
Sementara itu, lingkungan komunitas petani kakao yang akan diteliti berbeda dengan lingkungan komunitas petani kakao yang diteliti Sitorus maupun Li terutama dalam dua hal berikut. Pertama, di tiga komunitas petani kakao yang akan diteliti (dua komunitas di Sulawesi Tengah, dan satu komunitas di NAD), pemerintah pernah melakukan campur tangan (fasilitasi) melalui program pengembangan perkebunan kakao bagi para petani8. Kedua, setiap komunitas petani (desa) yang diteliti hampir seluruhnya merupakan warga yang berasal dari satu etnis, sehingga perbandingan realitas sosial antar etnis dilakukan dengan membanding antar komunitas yang berada di desa yang berbeda. Ketiga, komunitas etnis lokal yang berada di Sulawesi Tengah merupakan komunitas desa yang sudah lama melakukan sistem pertanian menetap, bukan masyarakat terasing atau masyarakat terpencil (menurut konsep Departemen Sosial) yang menjalankan praktek pertanian berpindah. 1.3. Pertanyaan Penelitian Secara garis besar, pertanyaan utama yang perlu dijawab dalam penelitian ini adalah “bagaimana dan sejauhmana transformasi moda produksi dan struktur agraria yang berlangsung di dalam komunitas petani kecil berbasis usahatani kakao berimplikasi terhadap diferensiasi sosial dan kesejahteraan dalam komunitas petani”. Kemudian secara lebih spesifik, dalam konteks adanya transformasi praktek moda produksi dari moda produksi non-kapitalis menuju moda produksi kapitalis (penuh) namun terhenti pada moda produksi transisi (moda produksi komersial) karena ditahan oleh realitas lingkungan/ kekuatan sosial spesifik, maka beberapa pertanyaan lebih rinci yang perlu dijawab dalam penelitian ini adalah: 1.
Bagaimana dan sejauhmana moda produksi kapitalis masuk ke dalam komunitas petani kakao yang sebelumnya telah mempraktekkan moda produksi non-kapitalis ?
8
Menurut Soentoro (1980), perbedaan pemanfaatan pelayanan pemerintah menyebabkan perbedaan kesempatan memperoleh pendapatan yang lebih baik sehingga semakin merenggangkan golongan kaya dan miskin di pedesaan.
8
2.
Bagaimana dan sejauhmana transformasi moda produksi yang terjadi dalam komunitas petani kakao tersebut memberi jalan berlangsungnya transformasi struktur agraria,
3.
Bagaimana dan sejauhmana transformasi moda produksi dan struktur agraria berimplikasi terhadap diferensiasi sosial masyarakat agraris : apakah struktur sosial masyarakat agraris semakin terpolarisasi atau semakin terstratifikasi ?
4.
Bagaimana transformasi moda produksi dan struktur agraria berimplikasi terhadap diferensiasi kesejahteraan petani : apakah dalam komunitas petani terjadi beragam status kesejahteraan petani ?
5.
Lingkungan/kekuatan sosial spesifik apa saja yang secara konstekstual berperan mendorong transformasi moda produksi dan struktur agraria serta mendorong diferensiasi sosial masyarakat agraris dan kesejahteraan dalam komunitas petani ?
1.4. Tujuan Penelitian Tujuan utama penelitian ini adalah “menganalisis bagaimana dan sejauhmana transformasi moda produksi dan struktur agraria yang berlangsung di dalam komunitas petani kecil berbasis usahatani kakao berimplikasi terhadap diferensiasi sosial dan kesejahteraan dalam komunitas petani”. Adapaun tujuan penelitian yang lebih rinci dirumuskan sebagai berikut : 1.
Menganalisis bagaimana dan sejauhmana moda produksi kapitalis masuk ke dalam komunitas petani kakao yang sebelumnya telah mempraktekkan moda produksi non-kapitalis
2.
Menganalisis bagaimana dan sejauhmana transformasi moda produksi yang terjadi dalam komunitas petani kakao tersebut memberi jalan bagi berlangsungnya perubahan struktur agraria,
9
3.
Menganalisis bagaimana dan sejauhmana transformasi moda produksi dan struktur agraria berimplikasi terhadap diferensiasi sosial masyarakat agraris: apakah struktur sosial masyarakat agraris dimaksud semakin terpolarisasi atau semakin terstratifikasi ?
4.
Menganalisis bagaimana dan sejauhmana diferensiasi moda produksi dan struktur agraria berimplikasi terhadap diferensiasi kesejahteraan dalam komunitas petani,
5.
Menganalisis lingkungan/kekuatan sosial spesifik apa saja yang secara konstektual berperan mendorong transformasi moda produksi dan struktur agraria serta mendorong diferensiasi sosial masyarakat agraris dan kesejahteraan komunitas petani ?
1.5. Kegunaan Penelitian Secara umum, hasil studi ini diharapkan akan memberikan kontribusi bagi pengembangan pengetahuan “sosial-ekonomi pertanian pedesaan”, terutama pengetahuan sosiologi pedesaan tentang “proses pertemuan antara transformasi kapitalisme yang tercakup dalam pengembangan tanaman komersial perkebunan di pedesaan dengan realitas lingkungan/kekuatan sosial spesifik lokal yang sebelumnya sudah berkembang dalam masyarakat serta implikasinya terhadap perubahan struktur agraria (struktur sosial petani) serta terhadap diferensiasi sosial dan kesejahteraan petani berbasis sumberdaya lahan atau berbasis perkebunan kecil. Berlandaskan pengetahuan tersebut, diharapkan proses perumusan kebijakan pembangunan pertanian pedesaan yang lebih cermat menjadi semakin mungkin diwujudkan. Lebih lanjut, hal tersebut akan mendukung berlangungnya proses perencanaan dan implementasi program pembangunan pertanian pedesaan yang lebih efektif dan lebih tepat sasaran. Ketersediaan data dan informsi tentang moda produksi, struktur agraria, serta diferensiasi sosial dan kesejahteraan komunitas petani yang lebih mendalam dan lebih lengkap diharapkan dapat menjadi landasan bertolak bagi pihak-pihak yang akan menjalankan peranan sebagai fasilitator dalam perumusan atau pelaksanaan program pembangunan komunitas petani. Dengan rumusan dan implementasi program secara akurat, diharapkan program tersebut tidak berdampak pada meningkatnya “kesenjangan” kesejahteraan di
10
antara keluarga petani (dalam komunitas) maupun antara komunitas petani (aras lokal) dengan pihak terkait lain (aras supra lokal) 9. Secara khusus, data dan informasi tersebut dapat dijadikan landasan bertolak dalam merumuskan program reforma agraria10 dan program revitalisasi perkebunan yang sama-sama mulai digulirkan tahun 2007. Kedua program tersebut perlu diletakkan dalam sebuah rangkaian yang tidak terpisahkan dimana reforma agraria menjadi pembuka jalan bagi pekebun (terutama pekebun miskin) untuk menguasai sumberdaya agraria dan revitalisasi perkebunan sebagai supporting system yang memberikan jalan kepada para pekebun untuk menguasai permodalan; teknologi dan input pertanian lainnya11.
9
Modernisasi pertanian dalam program “Revolusi Hijau” hanya memperbaiki nasib petani lapisan atas di desa, sedangkan petani gurem dan buruh tani belum terangkat arus pembangunan tersebut sehingga mereka tetap tertinggal (Sajogyo, 2002)
10
Presiden RI Susilo Bambang Yudoyono, menyampaikan bahwa sejak tahun 2007 pemerintah akan menggulirkan program reforma agraria, yakni pendistribusian tanah untuk rakyat Dialokasikannya tanah bagi rakyat termiskin (yang berasal dari lahan kritis, hutan produksi konversi, tanah terlantar, tanah milik negara yang Hak Guna Usahanya habis, maupun tanah swapraja) dimaknai Presiden sebagai prinsip tanah untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat (Kompas, 12 Januari 2007).
11
Berbagai studi menyimpulkan bahwa peningkatan produktifitas atau investasi kedalam sektor agribisnis dalam struktur ekonomi pertanian yang timpang tidak dapat menghapuskan kemiskinan (Morales, 2001). Dilain pihak, kebijakan pertanahan yang hanya berorientasi teknis administratif yang sempit dan terisolir dari proses pembangunan lebih luas tidak dapat memperbaiki nasib petani miskin. Misalnya penetapan hak formal terhadap tanah (sertifikat) tidak akan membantu tanpa diletakkan di dalam kerangka supporlting system yang memberikan jalan pada petani miskin untuk menguasai infrastruktur dan input pertanian (Deininger & Binswanger, 2001)
11
BAB II PENDEKATAN TEORI 2.1. Perkembangan Moda Produksi dan Petani 2.1.1.
Perkembangan Moda Produksi Secara umum, moda produksi merepresentasikan “cara” yang ditempuh
masyarakat dalam melakukan proses produksi (ways of production) guna menyediakan produk untuk memenuhi kebutuhan material (Shanin, 1990). Dengan demikian, moda produksi akan mempengaruhi keseluruhan ciri hidup sebuah masyarakat 12 (Shanin, 1990). Secara khusus, Shanin (1990) dan Russel (1989) menjelaskan bahwa moda produksi terdiri dari : 1) kekuatan/daya produksi (force of production) yang akan mempengaruhi “produktivitas”, dan 2) hubungan sosial produksi (relation of production) yang akan membentuk posisi superior dan posisi sub-ordinat sehingga hubungan sosial tersebut akan membentuk struktur sosial dalam penguasaan kekuatan produksi. Selain itu, Shanin (1990) juga menjelaskan bahwa antara kekuatan produksi dan hubungan sosial produksi saling tergantung (interdependence) 13. Lebih lanjut, Russel (1989) menjelaskan bahwa kekuatan produksi terdiri dari : kekuatan tenaga kerja manusia (human labour power), kreativitas, ide, pengetahuan, dan motivasi serta peralatan, perlengkapan, bangunan, teknologi, tanah, dan energi. Dengan kata lain, secara ringkas kekuatan produksi merupakan basis materil yang terdiri dari “keterampilan pekerja” dan “alat produksi” (means of production). Sementara itu, hubungan sosial produksi terdiri dari hu-
12
Berkaitan dengan kekuatan produksi yang akan mempengaruhi ciri hidup masyarakat, Shanin (1990) mengemukakan bahwa pendekatan pemahaman moda produksi merupakan pendekatan yang baik dalam upaya menyusun tipologi masyarakat Bahkan secara tegas dikemukakan juga bahwa penyusunan tipologi masyarakat berdasarkan pendekatan pemahaman teknologi (seperti teknik agronomi) dan/atau kebudayaan merupakan langkah yang salah arah (misleading).
13
Mosher (1976), Hayami dan Kikuchi (1987), serta Temple (1976) memberikan contoh bagaimana hubungan antara kekuatan produksi yang diwakili oleh teknologi dengan perubahan hubungan produksi dalam proses produksi pertanian. Bila seorang petani merubah penggunaan teknologi dari teknologi padat kerja menjadi teknologi padat modal (misalnya penggunaan mesin-mesin pertanian), maka hubungan sosial dan ketergantungan petani dengan buruh semakin lemah sedangkan hubungan sosial dan ketergantungan petani dengan pihak yang menguasai mesin semakin kuat. Akibatnya, ketergantungan petani terhadap kekuatan ekonomi dari pihak luar komunitas (aras makro) semakin besar sedangkan keterikatan petani untuk memenuhi kewajiban tradisional dalam komunitas (aras mikro) semakin memudar.
12
bungan antara satu aktor dengan aktor lainnya. Hubungan sosial tersebut mencakup : pemilikan (property), hubungan kekuasaan (power) dan pengawasan (control) dalam penguasaan aset produktif masyarakat, hubungan kerja bersama (cooperative work relation) serta hubungan antar kelas masyarakat Dengan acuan utama pada hubungan sosial dalam produksi, Russel (1989) mengemukakan adanya tiga tipe moda produksi yang berbeda, yaitu : 1. tipe egalitarian, 2. tipe kelas, dan 3. tipe transisi (Tabel 2.1). Pada tipe egalitarian ciri utama yang menonjol adalah hubungan sosial produksi masih setara, sedangkan pada tipe kelas ciri utama yang menonjol adalah hubungan sosial produksi bersifat eksploitatif. Sementara itu, pada tipe transisi meskipun hubungan sosial produksi mulai tidak setara tetapi belum menunjukkan sifat hubungan yang eksploitatif. Tabel 2.1.
Tipe-tipe Moda Produksi
1. Tipe Egalitarian (Egalitarian Types) 1.1. Komunal Disusun oleh kekuatan yang masih dasar dan hubungan (Communal) produksi egalitarian yang sederhana 1.2. Komunis Disusun oleh kekuatan yang maju dan hubungan (Communist) produksi egalitarian yang komplek
2. Tipe Kelas (Class Types) 2.1. Negara Didasarkan pada aturan negara yang menerapkan pajak secara eksploitatif dan upeti dari masyarakat (rest (State) society) 2.2. Budak Didasarkan pada pemilik budak yang mengeksploitasi tenaga kerja budak (Slave) 2.3. Feodal Didasarkan pada tuan tanah yang mengeksploitasi sewa dari para petani (peasant) (Feudal) 2.4. Kapitalis Didasarkan atas pemilik kapitalis yang mengeksploitasi nilai surplus dari pekerja (Capitalist) 3. Tipe Transisi (Transitional Types) 3.1. Petani Bebas Berdasarkan rumahtangga yang otonom, terisolasi atau dikelompokkan di desa, memiliki lahan sendiri (Independent peasant) 3.2. Pemilikan Berdasarkan atas rumahtangga dengan pemilikan alat sederhana (Simple produksi yang tidak setara (unequal means of production) dalam hal lahan dan ternak, tetapi Property) hubungan sosial produksi tidak mempekerja kan atau mengeksploitasi aktor lain 3.3. Sosialist Berdsarkan pemilikan oleh negara atas alat-lat produksi penting dan bermaksud mengejar keadilan sosial (Socialist) Sumber : Russel (1989)
13
Moda produksi egalitarian (komunal) terutama berkembang dalam masa berburu dan meramu. Moda produksi tersebut mempunyai ciri-ciri sebagai berikut (Russel, 1989) : 1) kekusaan setara pada seluruh area produksi dalam komunitas, 2) anggota komunitas berperan sebagai tenaga kerja kooperatif dan mereka memiliki posisi yang setara sehingga perbedaan dalam kerja hanya terjadi karena perbedaan usia tenaga kerja, 3) penguasaan alat produksi sama untuk semua anggota komunitas, dan 4) anggota komunitas menerima pangan dan kebutuhan lain dengan jumlah yang sama. Dalam perjalannya, penerapan moda produksi komunal kemudian semakin melemah. Hal ini terjadi karena tumbuhnya ”ketidaksetaraan”, terutama dalam : 1) partisipasi kerja, 2) kontrol terhadap alat produksi, dan 3) konsumsi. Namun demikian, adanya beragam ketidaksetaraan tersebut tidak merupakan kondisi yang cukup untuk melahirkan moda produksi kelas karena sebagaimana dikemukakan Russel (1989) perlu ditambah dengan berlangsungnya ”hubungan produksi yang eksploitatif”
14
. Dengan kata lain, tumbuhnya ketidaksetaraan hanya dapat
melahirkan moda produksi ”transisional”, yaitu moda produksi yang sudah meninggalkan moda produksi komunal tetapi belum sepenuhnya berlandaskan moda produksi kelas. Selain timbulnya ketidaksetaraan, tumbuhnya proses produksi yang berorientasi pasar juga menumbuhkan kondisi yang membawa pada situasi semakin menurunnya moda produksi komunal (Russel, 1989). Berbeda dengan yang terjadi pada masyarakat yang menjalankan moda produksi komunal maupun transisi, pada masyarakat yang menjalankan moda produksi kelas ketidaksetaraan kekuasaan akan muncul pada seluruh aspek kehidupan (Russel, 1989). Pengembangan moda produksi kapital akan mendorong akumulasi kapital; rasionalisasi produksi; dan industri. Proses tersebut kemudian akan menyebabkan disintegrasi dan hilangnya usaha skala kecil karena kalah 14
Menurut Marx dalam Russel (1989), eksploitasi merupakan suatu proses dimana kelas dominan menghisap surplus tenaga kerja yang berada pada posisi sub-ordinat untuk kepentingan kelas dominan. Penghisapan surplus pada petani seringkali dilakukan melalui penetapan harga output yang murah bersamaan dengan penetapan harga input dan harga kebutuhan sehari-hari yang mahal. Namun demikian, pada komunitas petani, sebagaimana dikemukakan Scott (1989), cara penentuan apakah suatu hubungan produksi termasuk eksploitatif atau tidak eksploitatif relatif sulit. Misalnya pungutan-pungutan yang jumlahnya relatif besar tetapi tidak mengganggu stabilitas subsistensi petani akan dianggap mereka sebagai “tidak eksploitatif”. Sebailknya, pungutan yang relatif kecil tetapi mengganggu stabilitas subsistensi petani akan dianggap mereka sebagai “eksploitatif”.
14
bersaing dengan usaha besar. Marx dalam Bendix dan Lipset (1966) menjelaskan bahwa tendensi yang muncul pada moda produksi kapitalis adalah terpisahnya alat produksi (means of production) dari tenaga kerja. Dalam situasi ini akan terjadi transformasi tenaga kerja menuju tenaga kerja upahan (wage-labor) dan transformasi alat produksi menuju modal (capital). Kemudian kecenderungan ini juga akan mendorong pemisahan tanah milik (land property) dari modal dan tenaga kerja. Selain itu, Marx dalam Russel (1989) menjelaskan bahwa dalam moda produksi kelas, suatu kelas 15 (minoritas) yang memiliki hak-hak istimewa (privileged class) akan menguasi atau mengontrol alat produksi penting serta akan mengeksploitasi tenaga kerja. Dalam hal ini eksploitasi dilakukan para minoritas dengan cara membayar buruh kurang dari nilai murni barang-barang yang diproduksi sehingga mereka dapat memaksa kelas pekerja berada dalam posisi subordinat dan tergantung. Meskipun secara umum perkembangan moda produksi kapitalis atau kelas semakin menguat dan meluas, tetapi pada masyarakat kontemporer (khususnya pada belahan dunia bukan Barat) seringkali beroperasi lebih dari satu moda produksi atau suatu moda produksi yang merupakan kombinasi antara moda produksi kapitalis dan non kapitalis (Taylor, 1979, dan Schuurman dalam Ray, 2002). Secara lebih rinci, ragam moda produksi yang berpotensi hadir pada masyarakat kontemporer adalah seperti berikut (Russel, 1989): 1) hadir beberapa moda produksi secara bersamaan tetapi salah satu moda produksi mendominasi yang lainnya, 2) terdapat beberapa praktek moda produksi yang berbeda tetapi hadir secara berdampingan, 3) di antara bagian wilayah masyarakat terdapat praktek moda produksi yang berbeda, 4) terdapat moda produksi baru yang ciri-cirinya merupakan gabungan ciri-ciri dari lebih satu moda produksi. Lebih lanjut Schuurman dalam Ray (2002), menjelaskan bahwa munculnya beragam moda produksi terjadi karena : 1) kehadiran moda produksi kelas (kapitalis) tidak dapat dihalangi dan semakin kuat, dan 2) keberadaan moda produksi non kapitalis masih tetap diperlukan untuk mempertahankan keberlanjutan kehi-
15
Kelas sosial dalam terminologi Marx merupakan kumpulan (agregate) orang-orang yang melakukan fungsi sama dalam sebuah organisasi produksi. Kelas-kelas tersebut dibedakan antara yang satu dengan lainnya oleh perbedaan posisi ekonomi (Marx dalam Bendix dan Lipset, 1966).
15
dupan masyarakat lokal. Selain itu, adanya moda yang berbeda dapat menghubungkan kelas sosial berbeda yang berada dalam suatu populasi 16. Untuk kasus masyarakat Indonesia, adanya keragaman moda produksi dalam sebuah masyarakat (termasuk di dalamnya petani) terjadi dalam masyarakat Minangkabau sebagaimana digambarkan oleh penelitian Kahn (1974). Dalam masyarakat tersebut hidup berdampingan tiga moda produksi berikut : 1) moda produksi subsisten (subsistence production) pada usaha pertanian tanaman pangan, terutama padi dan sayuran, 2) moda produksi komersial 17 (petty commodity production) pada usaha perkebunan rakyat, dan 3) moda produksi kapitalis (capitalist production) pada usaha perkebunan besar. Sementara itu, hadirnya moda produksi baru yang berbeda dari kedua moda produksi sebelumnya dapat terjadi sebagai hasil fusi (fusion) atau “artikulasi” (articulation) kedua moda produksi tersebut. Dengan demikian, artikulasi moda produksi (articulation of mode of production) dapat terjadi sebagai suatu artikulasi di antara moda produksi kapitalis yang mendominasi dengan moda produksi pre kapitalis yang didominasi. Dalam proses artikulasi sangat mungkin terjadi hal berikut : 1) struktur sosial salah satu moda produksi menyesuaikan diri terhadap hubungan produksi dari moda produksi lainnya, atau 2) hubungan produksi baru menyesuaikan diri terhadap struktur sosial yang sudah ada sebelumnya (tanpa merubah tetapi hanya modifikasi). Kemudian, resultan dari moda produksi tersebut akan menghasilkan : 1) moda produksi dengan ciri-ciri berasal dari kedua moda produksi lama, atau 2) moda produksi dengan ciri baru yang spesifik. Dalam paham material historis, gejala hadirnya dua moda produksi atau lebih secara bersamaan dan saling terkait namun salah satu moda produksi cenderung mendominasi moda produksi lainnya disebut ”formasi sosial” (Taylor, 1979 serta Worsley dalam Sitorus, 2000). Sementara itu, oleh Marx, konsep formasi sosial didefinisikan lebih luas karena merupakan gabungan struktur ekonomi (comprising economic structure) atau gabungan moda produksi yang menentukan 16
Misalnya, industri kapitalis kota eksis secara bersamaan (co-exist) dan saling melengkapi dengan produksi pertanian pedesaan.
17
Sitorus (1999) mengalihbahasakan petty commodity production sebagai “komersial” karena penekanannya pada “orientasi pasar” atau “orientasi komersial”, bukan pada pemenuhan subsisten (seperti pada produksi subsisten) dan juga bukan pada akumulasi modal (seperti pada produksi kapitalis)
16
superstruktur negara dan hukum serta ideologi. Kemudian Althussar dalam Taylor (1979) mengembangkan ide tersebut, dimana formasi sosial diartikan sebagai totalitas kompleks yang mengandung sejumlah praktek berbeda – ekonomi; politik; ideologi; dan teori – yang keseluruhannya membangun suatu praktek sosial (social practice).
Masing-masing praktek tersebut mempunyai struktur yang
secara umum tidak berbeda (a common invariant structure). Pengamatan pada aras makro, menunjukkan bahwa semakin dominannya peran moda produksi kapitalis akan mengikat suatu wilayah (regional dan atau nasional) pada sebuah hubungan kapitalistik (Schuurman dalam Ray, 2002). Akan tetapi, sejalan dengan pemikiran Wallerstein dan Frank dalam Hashim (1988), proses pengembangan moda produksi kapitalistik pada wilayah tersebut berlangsung tidak rata sehingga sebenarnya wilayah tersebut akan terbagi paling tidak menjadi dua bagian, yaitu sebuah formasi sosial pusat (central) yang relatif lebih maju dan formasi sosial pinggiran (peripherial) yang relatif kurang maju atau terbelakang. Walaupun demikian, keduanya tetap bekerja saling melengkapi dan saling mendukung sehingga membentuk suatu hubungan simbiosis (Amin dalam Hashim, 1988). Dalam hal ini, sektor pertanian dikembangkan secara simultan dengan sektor industri dan keduanya saling komplemen. Lebih lanjut, Wallerstein dalam Sanderson (2003) menjelaskan bahwa kapitalis pusat secara politis, ekonomis serta penguasaan teknologi sangat dominan sehingga memiliki kemampuan untuk mengambil surplus secara besar-besaran dari kapitalis pinggiran. Oleh sebab itu, sebagaimana dijelaskan Kautsky dalam Shanin (1990) transformasi moda produksi kapitalis dalam masyarakat desa akan mendorong akumulasi kapital
18
pada masyarakat industri tetapi akan mensubordi-
natkan dan merusak usaha pertanian kaum tani (peasant agriculture). Konsep tersebut juga menjelaskan bahwa perkembangan kapitalisme di pusat berbeda dengan di pinggiran. Akumulasi dan perkembangan kapitalisme di pusat merupakan proses alami yang digerakkan oleh dinamikanya sendiri (auto18
Schuurman dalam Ray (2002) menjelaskan bahwa para aktor yang bekerja berlandaskan moda produksi kapitalis dapat mengeksploitasi penyediaan tenaga kerja lokal yang murah sehingga mereka dapat melakukan akumulasi kapital dari kelebihan keuntungan. Sebaliknya, para aktor yang berada pada moda produksi lain harus bekerja keras mencari jalan agar dapat memperoleh keuntungan.
17
centric).
Sebaliknya, akumulasi dan pengembangan kapitalisme di pinggiran
tergantung dan dibatasi kapitalis pusat karena umumnya ditujukan untuk meladeni pengembangan kapitalisme di pusat. Sebagaimana dikemukakan Wallerstein dalam Sanderson (2003), kapitalisme di wilayah pinggiran dikembangkan untuk memproduksi bahan mentah yang dibutuhkan kapitalis pusat. 2.1.2.
Perkembangan Petani Mengikuti rumusan Shanin (1990), ternyata definisi peasant dimaknai cu-
kup luas.
Definisi tersebut tidak hanya dikaitkan dengan tujuan dan ukuran
produksi yang dilakukan petani dan ciri-ciri produksi pertanian yang berakar pada “ciri-ciri ekonomi peasant” tetapi juga mencakup hubungan petani dengan lahan. Namun demikian, hubungan sosial produksi antar petani maupun antara petani dengan pihak terkait lain tidak dikupas secara jelas. Dalam hal ini, Shanin merinci definisi peasant sebagai berikut : 1) produsen pertanian kecil atau sempit (small agricultural producers) yang proses produksinya dibantu peralatan sederhana dan tenaga kerja keluarga, 2) produksi usahatani ditujukan terutama untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarga sehingga mereka relatif tidak tergantung pada produsen lain maupun pasar, 3) kebutuhan lahan merupakan kebutuhan untuk memasuki lapangan kerja, 4) usahatani keluarga merupakan unit dasar pemilikan, produksi, konsumsi, dan kehidupan sosial, 5) aktivitas produksi petani dipengaruhi keseimbangan antara konsumsi, ketersediaan tenaga kerja keluarga; dan potensi produktivitas usahatani, 6) struk-tur sosial keluarga ditunjukkan oleh pembagian kerja dan hirarki status sosial, 7) keluarga merupakan tim produksi usahatani dan posisi dalam keluarga menunjukkan tugas dalam usahatani sehingga irama usahatani (hubungan sosial dan nilai) merupakan irama kehidupan keluarga, 8) solidaritas keluarga menyediakan kerangka dasar untuk saling membantu; saling mengontrol; dan sosialisasi, 9) motivasi akumulasi dan keuntungan jarang muncul Sementara itu, menurut pandangan antropologi ekonomi sebagaimana dikemukakan Netting (1993), petani kecil dikonsepkan sebagai “smallholders” atau “householders”. Lebih lanjut Netting merumuskan definisi “smallholders” sebagai berikut : 1) seorang petani pedesaan (rural cultivator) yang memiliki lahan
18
relatif kecil dan berada di wilayah pedesaan yang penduduknya relatif padat, 2) mengerjakan pertanian secara intensif; permanen; dan berdiversifikasi, 3) memiliki hak milik tanah secara berkelanjutan sehingga dapat mewariskannya, 4) hidup bersama di kebun atau dekat kebun, 5) sebagian besar hasil produksinya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi keluarga (untuk subsistensinya) dan sebagi-an kecil lainnya untuk dijual di pasar, 6) dalam pelaksanaan proses produksi berlangsung pilihan-pilihan rasional melalui alokasi waktu; serta melalui pilihan usaha; alat; tanah; dan modal yang dikaitkan dengan perubahan iklim; ketersediaan sumberdaya; dan pasar 19. Mengacu pada rumusan Shanin (1990) tentang peasant serta Netting (1993) tentang smallholders (Tabel 2.2.) nampak bahwa di antara keduanya terdapat sejumlah kesamaan dan sejumlah perbedaan pandangan. Adapun kesamaan pandangan antara pengertian peasant dan smallholder adalah : merupakan petani berlahan relatif sempit dimana hasil produksinya terutama digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, walaupun dalam pengertian smallholder para petani sudah menjual sebagian produksinya di pasar. Sementara itu, sejumlah perbedaan antara pengertian peasant dan pengertian smallholder adalah : 1) kesadaran utama hubungan sosial produksi peasant adalah untuk mempertahankan subsistensi keluarganya sedangkan kesadaran utama hubungan sosial produksi smallholder sudah memperhitungkan keuntungan dengan menggunakan pendekatan rasionalitas utilitarian (kapitalis), 2) seorang smallholder mengerjakan pertaniannya secara intensif; permanen, dan mereka melakukan diversifikasi usaha, dan 3) posisi petani sebagai sub-ordinat sangat nampak dalam pengertian peasant dimana tujuan produksi petani selain untuk memenuhi kebutuhan keluarga juga untuk
19
Chayanov dalam Wolf (1985) menjelaskan bahwa konsep ekonomi petani (pedesaan) yang khsusus adalah sebagai berikut : karakteristik mendasar ekonomi petani adalah perekonomian keluarga. Oleh sebab itu, seluruh organisasinya ditentukan oleh ukuran dan komposisi keluarga petani itu dan oleh kordinasi tuntutan konsumsinya dengan jumlah tangan yang bekerja. Dengan demikian, pengertian laba dalam perekonomian petani berbeda dengan pengertian ekonomi kapitalis sehingga pengertian laba kapitalis tidak dapat diterapkan pada perekonomian petani. Laba kapitalistik merupakan laba bersih yang diperoleh dengan cara mengurangi penghasilan total dengan semua biaya produksi. Cara ini tidak cocok untuk perekonomian petani, karena dalam perekonomian petani unsur-unsur biaya produksi dinyatakan dalam unit-unit yang tidak dapat diperbandingkan dengan apa yang terdapat dalam perekonomian kapitalis. Misalnya tenaga kerja keluarga yang telah dicurahkan tidak dapat diukur dengan banyaknya uang/upah karena merupakan jerih payah yang bernilai subjektif. Tujuan utama perekonomian petani adalah bagaimana memenuhi anggaran konsumsi tahunan keluarga.
19
memenuhi kewajiban pada pihak yang memiliki kekuasaan ekonomi dan atau kekuasaan politik 20 Selain menjelaskan definisi “peasant”, Shanin (1990) juga menjelaskan bahwa komunitas petani merepresentasikan keadaan sosial-ekonomi spesifik yang beroperasi di dalam suatu komunitas. Oleh sebab itu, ”kaum tani” (peasantry) selain merupakan pola dominan kehidupan sosial juga menunjukkan sebuah tahapan dalam perkembangan umat manusia. Khususnya, perkembangan umat manusia sejak masa non-kapitalis sampai masa kontemporer (kapitalis). Sejalan dengan pemahaman itu, sebenarnya aktivitas produksi kaum tani yang hanya dibantu oleh peralatan sederhana dan tenaga kerja keluarga, sebagaimana didefinisikan Shanin, merupakan perkembangan tahap awal komunitas petani. Dengan demikian, pada tahap ini usahatani keluarga (family farm) menjadi unit dasar dalam pemilikan, produksi, konsumsi dan kehidupan sosial. Selain itu, pada tahap ini motivasi akumulasi dan keuntungan atau maksimalisasi pendapatan jarang muncul. Motivasi yang lebih mengakar adalah strategi bertahan hidup (survival strategies). Akan tetapi, dengan menguatnya orientasi pasar, Shanin pun melihat adanya perubahan pada kaum tani. Dengan mengutip pendapat Kroeber, Shanin (1990) kemudian menjelaskan bahwa kaum tani pada tahap berikutnya menjadi bagian dari masyarakat (societies) dan kebudayaan (culture) yang lebih besar sehingga kehidupan kaum tani atau masyarakat pedesaan (rural) berhubungan erat dengan pasar kota (market town) dan secara umum kaum tani menjadi sub-ordinasi masyarakat kota. Dalam situasi ini, para petani menjadi tidak terisolasi tetapi mereka tidak sepenuhnya otonom dan kemampuan mereka memenuhi kebutuhan oleh dirinya sendiri menjadi berkurang.
20
Sitorus (2002) membedakan peasant dengan smallholder berdasarkan orientasi ekonominya, dimana peasant berorientasi domestik sedangkan smallholder berorientasi pasar. Sejalan dengan itu, Sitorus mengemukakan bahwa ekonomi desa berubah dari peasant economy menjadi smallholder economy. Kemudian LPIS dalam Billah (1984) membedakan peasant dengan farmer sebagai berikut : peasant merupakan petani kecil yang menghadapi kesulitan dalam menghadapi petani kaya sedangkan farmer merupakan petani kaya yang mempunyai kecenderungan menanam kembali modalnya di dalam kegiatan usahatani (capital oriented)
20
Tabel 2.2.
Perbedaan Ciri-ciri Peasant dan Smallholder
Peasant (Antropologi Substantif) produsen pertanian kecil yang berlahan sempit (small agricultural producers)
hasil produksi terutama untuk memenuhi kebutuhan konsumsi sendiri hasil produksi juga digunakan untuk memenuhi kewajiban kepada pemilik kekuasaan ekonomi/ politik hubungan dengan tanah dan ciri produksi pertanian terletak pada ciri khusus ekonomi “peasant” kebutuhan akan lahan merupakan kebutuhan untuk memasuki lapangan kerja, usahatani keluarga merupakan unit dasar pemilik-an, produksi, konsumsi, dan kehidupan sosial, keseimbangan antara konsumsi, ketersediaan tenaga kerja keluarga; dan potensi produktivitas usahatani mempengaruhi aktivitas petani, motivasi akumulasi dan keuntungan jarang muncul struktur sosial keluarga ditunjukkan oleh pemba-gian kerja dan hirarki status dari prestasi sosial, keluarga merupakan tim produksi usahatani, posisi dalam keluarga menunjukkan tugas dalam usaha-tani sehingga irama usaha tani merupakan irama kehidupan keluarga, yaitu hubungan dan nilai solidaritas keluarga menyediakan kerangka untuk saling membantu, mengontrol, dan sosialisasi. proses produksinya dibantu peralatan sederhana dan tenaga kerja keluarga
Smallholder (Antropolgi Pilihan Rasional) seorang penanam pedesaan (rural cultivator) pada lahan usahatani yang relatif kecil/gurem, berada di wilayah pedesaan yang penduduknya relatif padat hasil produksi untuk memenuhi kebutuhan konsumsi sendiri (untuk subsistensi) dan untuk dijual di pasar
memiliki hak milik atas tanah yang berkelanjutan sehingga dapat mewariskannya berlangsung pilihan rasional melalui pilihan waktu; usaha; alat; tanah; dan modal berkaitan dengan peru-bahan iklim; ketersediaan sumberdaya; dan pasar
mengerjakan pertanian intensif; permanen, dan berdiversifikasi,
Sumber : Diadaptasi dari Shanin (1990) dan Netting (1993)
21
MASYARAKAT SUPRA LOKAL Negara Maju (Negara Industrialis- Kapitalis yang diwakili oleh TNCs)
Masyarakat Urban Kabupaten-Nasional (Negara, Korporasi, Swasta)
Lapisan Petani Kaya
Lapisan Petani Menengah
Lapisan Petani Miskin
KOMUNITAS PETANI
Gambar 2.1.
Struktur Hubungan Sosial Kamunitas Petani dengan Masyarakat Supra Lokal
Sebagaimana dikutip Hashim (1988), Shanin mengemukakan secara tegas bahwa transformasi peasant menumbuhkan integrasi peasant pada ekonomi yang lebih luas. Hal ini diwujudkan dalam bentuk hubungan pertukaran dan produksi komoditi yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : posisi peasant menjadi tidak rata karena menjadi tergantung pada hubungan dengan pusat pertukaran seperti jaringan pasar, pelabuhan komersial (yang merupakan bagian sistem kapitalis dunia), dan jaringan komunikasi. Akibatnya sistem kapitalis dunia akan mengatur tata ekonomi dan sosial kaum tani (pedesaan) sehingga sistem
22
produksi maupun struktur sosial kaum tani sebenarnya menjadi sub-ordinasi dari sistem produksi dan struktur sosial kapitalis (Gambar 2.1.). Lebih lanjut, Meillassoux, Terray, Rey, Godelier sebagaimana dikutip Hashim (1988) mengemukakan bahwa meskipun kaum tani berada dalam subordinasi moda produksi kapitalis tetapi mereka tetap eksis atau tetap bertahan. Akan tetapi, dalam komunitas petani tersebut kemudian tumbuh artikulasi moda produksi dan mereka berada dalam kondisi terbelakang. Mengacu pada pendapat Frank dalam Sanderson (2003), keterbelakangan kaum tani sebenarnya bukan keadaan asli mereka tetapi sebagai sesuatu yang tercipta dalam masyarakat prakapitalis yang telah mengalami hubungan ekonomi dan politik dengan masyarakat kapitalis sehingga terjadi ketergantungan ekonomi, dimana masyarakat nonkapitalis menjadi subordinasi masyarakat kapitalis. Keadaan ini lebih lanjut menyebabkan surplus ekonomi dalam ekonomi dunia mengalir dari masyarakat non-kapitalis (satelit) menuju masyarakat kapitalis (pusat). Sementara itu, Russel (1989) menjelaskan bahwa meskipun terjadi perkembangan kaum tani, ternyata moda produksi yang dijalankan kaum tani tersebut bukan moda produksi kelas (kapitalis penuh) tetapi hanya sebuah moda produksi semi kelas. Dalam komunitas petani (peasant) dimaksud kemudian terjadi “jalinan” antara moda produksi kapitalis (kelas) yang datang dari luar komunitas kaum tani dengan moda produksi non-kapitalis (egaliter) yang sudah berkembang dalam komunitas kaum tani yang kemudian akhirnya jalinan tersebut menghasilkan moda produksi transisional. Lebih lanjut Russel (1989) menjelaskan bahwa beberapa ciri moda produksi “semi-kelas” yang dijalankan kaum tani adalah : 1) kontrol terhadap lahan dilakukan secara individu, 2) tidak ada kelas dalam tenaga kerja dan tidak ada orang yang bekerja untuk orang lain meskipun subsisten, 3) tidak ada sub-ordinat dalam produksi, 4) alat produksi dikuasai oleh anggota masyarakat yang berbeda sehingga masyarakat terbagi menjadi lapisan kaya dan lapisan miskin, 5) kelas sosial berlandaskan pada peranan dalam sistem ekonomi yang sudah mulai eksploitatif, 6) pemilikan peribadi mulai ada dan berperanan dalam diferensiasi sosial tetapi belum menurunkan diferensiasi kelas ekonomi, 7) kekuasaan anggota
23
masyarakat terhadap alat produksi berbeda tetapi mereka tidak dapat mengontrolnya secara eksklusif. Tentang terhambatnya perkembangan moda produksi kaum tani yang hanya sampai moda produksi transisional sejalan dengan pemikiran Kautsky (Hashim,1998). Dalam hal ini, Kautsky mengemukakan bahwa ekspansi kapitalis pada kaum tani berjalan lambat dan bentuknya berbeda bila dibanding dengan yang terjadi dalam masyarakat industri 21. Hal ini terjadi karena terdapat perbedaan mendasar antara pertanian dan industri sehingga proses kerja keduanya berbeda. Misalnya, tanah sebagai kekuatan produksi dalam usaha pertanian tidak dapat direproduksi seperti modal (finansial) yang merupakan kekuatan produksi dalam usaha industri. Dengan demikian, bila seorang petani (petani kaya) bermaksud menambah luas pemilikan lahan maka ia harus melakukan pencabutan hak pemilikan petani lain (petani kecil). Gambaran Russel (1989) tentang moda produksi transisional, menurut Sitorus (2000), mirip dengan gambaran Kahn (1974) tentang moda produksi subsisten dan moda produksi komersial karena keduanya sudah menerapkan cara produksi petani mandiri ataupun pemilikan sederhana. Lebih lanjut Sitorus (2000) merumuskan perbedaan ciri-ciri di antara ketiga moda produksi tersebut (Tabel 2.3.) berdasarkan : 1) kekuatan produksi, 2) unit produksi, 3) sumber tenaga kerja utama, 4) produk utama, 5) hubungan produksi, 6) hubungan sosial antar pekerja, dan 7) orientasi usaha. Bertolak dari ciri-ciri tersebut, khusus untuk usahatani perkebunan, moda produksi komersial berlangsung di usahatani yang dijalankan oleh para petani berlahan sempit sedangkan moda produksi kapitalis berlangsung pada usahatani yang dijalankan oleh perusahaan besar baik perusahaan negara maupun perusahaan swasta.
21
Di Jerman Kautsky meneruskan pemikiran Marx untuk menganalisa masyarakat pertanian, khususnya tentang dampak kapitalisme terhadap pertanian. Kautsky berpandangan bahwa logika moda produksi kapitalis Marx tidak dapat diterapkan sepenuhnya pada pertanian Ternyata transformasi pada kaum tani dapat ditunda (tidak sampai pada moda produksi kapitalis). Oleh sebab itu, Kautsky membuat sejumlah perbaikan atas analisa Marx tentang peranan moda produksi kapitalis pada pertanian
24
Tabel 2.3.
Perbedaan Ciri antara Moda Produksi Subsisten, Komersial, dan Kapitalis
Ciri-ciri Subsisten
Kekuatan Produksi
Tanah Sebagai Alat Produksi
Unit Produksi
Keluarga (Luas) Anggota Keluarga /Kerabat
Sumber Tenaga Kerja Utama
Cara Produksi Komersial
Tanah dan Non Tanah Sebagai Alat Produksi Individu (Keluarga Inti) Individu/Anggota Keluarga (Buruh Upahan Langka) Komoditas Ekspor
Produk Utama Hubungan produksi
Padi Terbatas Pada Keluarga Inti
Gejala Eksploitasi Surplus Melalui Ikatan Kerabat Dekat
Hubungan Sosial antar Pekerja
Egaliter (Eksploitasi Hanya Terjadi Pada Pola Bagi Hasil) Subsisten
Hubungan Sosial Antara Pekerja Egaliter tetapi Kompetitif
Orientasi Usaha
Pasar (Domestik/Internas ional)
Kapitalis
Mencakup Modal Sebagai Alat Produksi Perusahaan Buruh Upahan
Komoditas Ekspor Struktur Hubungan : Majikan (Pemilik Modal) – Buruh (Pemilik Tenaga) Surplus Diserap Pemilik Modal
Perdagangan Internasional / Ekspor
Sumber : Sitorus (2000)
Konsepsi tentang petani subsisten juga dikemukakan oleh Wharton (1969), namun pemahamannya dibedakan menjadi dua, yaitu : 1) produksi subsisten (subsistent production), dan 2) hidup subsisten (subsistent living) 22 . Dalam konsep produksi subsisten terdapat pengertian produksi subsisten penuh (pure
22
Konsep “hidup subsisten” merujuk pada pengertian tingkat hidup yang rendah. Meskipun relatif sulit didefinisikan karena sangat relatif dan merefleksikan nilai-nilai sosial dan ekonomi, subsisten paling minimum atau garis kemiskinan dapat merujuk pada standar ilmiah kemiskinan yang dirumuskan Zweig. Dalam hal ini, subsisten paling minimum merupakan suatu keadaan dimana tingkat hidup yang lebih rendah dari itu akan menimbulkan penyakit defisiensi nutrisi. Dengan menggabungkan kedua pengertian tersebut, maka akan ditemukan seorang atau satu keluarga petani yang termasuk kategori “petani produsen subsisten yang bekerja untuk mencapai tingkat hidup subisten” (susbsistence producer working for subsistence living) atau kombinasikombinasi lainnya.
25
subsistent production) yang merujuk pada proses produksi dimana seluruh produk yang dihasilkan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi keluarga (tidak ada yang dijual). Dengan kata lain, produksi subsisten penuh mempunyai ciri bebas dari komersialisasi dan monetisasi. Walaupun demikian, dalam kenyataannya petani yang termasuk kategori produksi subsisten penuh jarang ditemukan. Pada umumnya para petani memiliki ciri yang merupakan kombinasi antara subsisten dan komersial. Oleh sebab itu, meskipun secara teoritis mungkin ada tiga tipe petani yang disebut : 1) “subsisten penuh” (pure subsistence), 2) “semi subsisten” (semi-subsistence atau dual farmer), dan 3) “komersial penuh” (pure comercial), namun dalam realitasnya yang lebih banyak adalah tipe petani “semi subsisten”. Pemahaman ini sejalan dengan pemahaman berlangsungnya moda produksi transisi pada komunitas petani kontemporer. Tabel 2.4.
Keterkaitan antara Jenis Tanaman dengan Perkembangan Petani
Perkembangan Petani
Tanaman yang Diusahakan Padi-sawah Perkebunan Sayuran (karet)
Subsisten Penuh
V
Subsisten Maju Konersial
V V
Sumber : Penny (1969)
Sejalan dengan pemikiran atau konsep yang dikembangkan Wharton, Penny (1969) melakukan penelitian pada delapan desa di Sumatera Utara. Dengan menggunakan indek pikiran ekonomi (index of economic mindedness)
23
yang
dikonstruksi untuk menunjukkan ciri dan tingkat perbedaan keinginan dan kemampuan petani berpartisipasi dalam proses pembangunan, hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa setelah 50 tahun berjalan para petani berubah dari
23
Penny (1969) menggunakan 10 indikator untuk menyusun indek pikiran ekonomi (index of economic mindedness), yaitu : 1) luas penanaman tanaman komersial, 2) keinginan petani meninggalkan tanaman non komersial yang ditanam di masa lalu, 3) maksud petani memilih tanaman komersial di masa mendatang, 4) peningkatan keinginan petani untuk berhubungan dengan sumber input luar, 5) penggunaan upaya pengendalian hama dan penyakit, 7) penggunaan teknologi hemat tenaga kerja, 8) penggunaan persyaratan produksi yang dibeli, 9) penggunaan uang pinjaman, dan 10) ketergantungan petani terhadap pangan yang dibeli
26
semula (seluruhnya) merupakan petani “subsisten penuh” (pure subsistent) menjadi 3 (tiga) tipologi petani yang perubahannya berbeda tergantung dari moda produksi yang dijalankan pada tanaman yang diusahakan. Dalam hal ini, ketiga tipologi baru tersebut adalah (Tabel 2.4.) : 1) petani yang tetap tipikal “subsisten” atau “subsisten penuh” : fenomena ini terjadi di desa-desa yang tanaman utamanya padi-sawah, 2) petani yang berubah menjadi petani “subsisten maju” (expand subsisten) : fenomena ini terjadi di desa-desa yang tanaman utamanya perkebunan (karet), dan 3) petani yang berubah menjadi petani “komersial” : fenomena ini terjadi di desa-desa yang tanaman utamanya sayuran. 2.2. Transformasi Struktur Agraria Dalam kegiatan usaha pertanian, sumberdaya agraria (lahan) merupakan salah satu elemen daya/atau kekuatan produksi (force of production) yang penting karena diatas lahan kegiatan produksi komoditas penghasil “surplus” dimulai (Kautsky dalam Hashim, 1998). Terkait dengan keberadaan sumberdaya agraria sebagai elemen “kekuatan produksi”, maka muncul berbagai pola hubungan antara manusia dan sumberdaya agraria serta hubungan sosial di antara para petani atau antara petani dengan pihak lain agar para petani dapat menguasai atau memanfaatkan sebidang sumberdaya agraria. Hubungan sosial dimaksud oleh Shanin (1990), Russel (1989), dan Wiradi (1984) disebut sebagai “hubungan sosial produksi” atau “hubungan penguasaan lahan”. Sejalan dengan itu, Sitorus (2002) mengemukakan bahwa agraria mencakup dua aspek, yaitu aspek objek yang menunjuk pada sumber-sumber agraria dan aspek subjek yang menunjuk pada pelaku-pelaku yang mempunyai : 1) hubungan teknis dengan sumber agraria, dan 2) hubungan sosial antarsesamanya. Lebih lanjut Sitorus menjelaskan bahwa dalam konteks sumberdaya agraria, sosiologi akan mengkaji : 1) hubungan antara manusia dengan tanah, dan 2) hubungan antarmanusia berkaitan dengan tanah. Fokus analisis sosiologi agraria adalah struktur agraria dan dinamikanya, yaitu hubungan “sosio-agraria” antargolongan penguasaan tanah dan perubahan-perubahan dalam hubungan tersebut, baik yang direncanakan atau tidak. Secara spesifik, analisis transformasi hubungan sosial
27
tersebut akan terfokus pada gejala penajaman diferensiasi kelas berdasar akses atau penguasaan terhadap sumberdaya agraria. Secara historis, bentuk pemilikan lahan berubah bersamaan dengan perkembangan budaya umat manusia dalam usaha pertanian guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Sanderson (2003) menggambarkan bahwa perkembangan pemilikan lahan pada masyarakat pra-kapitalis (mulai masyarakat berburu dan meramu sampai masyarakat agraris) cenderung semakin memperkuat tumbuhnya pemilikan perorangan (Tabel 2.5.). Pemilikan tanah secara perorangan muncul ketika manusia telah mengenal kehidupan menetap, bertani dan berternak. Oleh sebab itu, dengan semakin berkembangnya pertanian menetap serta masuknya ekonomi uang (monetisasi), pemilikan lahan beralih dari pemilikan komunal dalam bentuk tanah adat atau tanah ulayat menjadi pemilikan perorangan. Tabel 2.5. Sistem Pertanian Berburu, Meramu (Abad IX) Hortikultura Sederhana
Hortikultura Intensif
Agraris Skala Besar (Kerajaan Romawi – Kapitalisme Modern)
Perubahan Pemilikan Lahan dalam Masyarakat Pra-kapitalis Bentuk Pemilikan Komunisme Primitif Lineage Ownership (Pemilikan Oleh Keluarga Besar) Chiefly Ownership (Pemilikan oleh Pemimpin) Pemilikan Seigneurial
Keterangan Sumberdaya penting yang menopang hidup dimiliki bersama oleh seluruh komunitas Lineage/clan memiliki kekayaan bersama (pemilikan secara komunal oleh kelompok keluarga, bukan oleh seluruh komunitas). Para anggota kelompok berpartisipasi dalam pemanfaatan tanah Seorang individu yang kuat (pemimpin keluarga besar) menyatakan pemilikan pribadi atas sebidang tanah yang sangat luas dan melakukan kontrol yang kuat atas pemanfaatan tanah tersebut. Orang lain yang memanfaatkan harus menyerahkan sebagian hasil Pemilikan oleh sekelompok kecil tuan tanah atau aparat pemerintah yang kuat yang berfungsi untuk kepentingan tuan tanah. Diatasnya hidup petani dan budak yang membayar rente, pajak, dan pengabdian tertentu. Tuan tanah mempunyai kekuasaan yang sangat besar terhadap produsen utama (buruh tani) dan memberikan beban yang berat kepada mereka.
Sumber: Sanderson (2003).
28
Dengan kata lain, pada saat moda produksi baru yang lebih kapitalis (moda produksi transisional) semakin dominan, maka pada saat itu akan terjadi transformasi struktur agraria. Transformasi struktur agraria tersebut akan bergerak dari penguasaan kolektif (collective ownship) menuju penguasaan perorangan (private ownship). Suatu perubahan dari “hak setiap orang” untuk memanfaatkan sumberdaya agraria menjadi “hanya sebagian orang” yang berhak memanfaatkan sepenuhnya sumberdaya agraria sehingga terjadi ketidaksamaan akses petani dalam penguasaan sumberdaya agraria. Sejalan dengan pendapat Wiradi dan Makali (1984), Gunawan (1986), serta Kano (1984), pada periode penguasaan perorangan, konsep hubungan penguasaan sumberdaya agraria mencakup penguasaan tetap (misalnya pemilikan perorangan) dan penguasaan sementara (misalnya bagi hasil, sewa, dan gadai) 24. Pengalaman di Jawa masa lalu pun terjadi transformasi penguasaan sumberdaya agararia (lahan) dari kolektif (komunal)25 ke perorangan (pribadi). Kejadian tersebut terutama dipicu oleh tekanan penduduk yang semakin berat serta tidak adanya cadangan tanah baru yang dapat dibuka (Kroef, 1984). Selain itu, sebagaimana hasil penelitian Soentoro (1980) ternyata transformasi hak komunal ke hak milik pribadi (melalui pelaksanaan landreform) telah mendorong makin seringnya terjadi jual beli tanah sawah. Sementara itu, sebagaimana dikemukakan Tjondronegoro (1999), di luar Jawa tidak dikenal konsep pemilikan tanah semutlak seperti di Jawa, sehingga konsep tanah kolektif (hak ulayat/ adat) lebih menguasai pengaturan tentang penguasaan (bukan pemilikan tanah). Selain itu, konsep “tanah bebas” berlaku di kalangan peladang berpindah. Mereka memaknai pemilikan komunal di tangan kepala suku (tidak ada tuan tanah). 24
Sistem sewa merupakan bentuk penyerahan sementara hak pengusahaan sebidang tanah kepada orang lain dan besarnya uang sewa ditetapkan atas dasar kesepakatan antara pemilik dan penyewa sedangkan resiko produksi ditanggung penyewa. Sistem sakap merupakan bentuk penyerahan sementara hak pengusahaan sebidang tanah kepada orang lain dan besarnya bagian hasil penggarap atau pemilik didasarkan pada perjanjian bersama yang mengacu pada perbandingan kewajiban masing-masing pihak dalam menanggung sarana produksi. Selain itu, dalam sistem ini pemilik turut menanggung resiko produksi. Sementara itu, sistem gadai merupakan bentuk penyerahan sementara hak pengusahaan sebidang tanah kepada orang lain, karena pemilik meminjam sejumlah uang secara tunai, dan pemilik dapat mengambil kembali hak atas tanahnya bila pinjamannya telah dibayar.
25
Menurut Kroef (1984), dalam sistem komunal semua tanah baik yang ditanami maupun tanah cadangan seluruhnya berda dalam pengawasan desa dan petani penggarap menerima tanah desa atas kesepakatan bersama para anggota masyarakat desa.
29
Oleh sebab itu, seseorang yang akan membuka dan mengerjakan sebidang lahan hutan akan meminta persetujuan kepada kepala suku. Dengan kata lain, sebenarnya tanah yang digarap peladang merupakan tanah milik marga/suku. Sebagaimana dikemukakan Utomo (1985), permintaan izin kepada kepala suku atau kepala marga juga harus dilakukan oleh para pendatang atau “kelompok perintis” yang akan membuka hutan untuk dijadikan lahan pertanian. Akan tetapi setelah adanya UU No, 5 Tahun 1979 tentang pemerintahan desa, peran ketua adat digantikan oleh kepala desa (Adimihardja, 1999). Adapun gambaran keterkaitan antara kemajuan budaya pertanian dengan perubahan pola penguasaan lahan yang terjadi di luar Jawa dapat dilihat pada dikajian Soetarto (2002) dalam masyarakat Dayak Kanayant di Kalimantan Barat (Tabel 2.6). Pola penguasaan yang berciri komunalistik atau kolektif (marga) hanya terjadi pada pertanian tidak intensif (ekstensif) seperti usaha hutan serta usaha perikanan di sungai dan di danau. Sementara itu, pada usaha pertanian semi intensif (transisi dari tidak intensif ke intensif) seperti ladang dan kebun buahbuahan pola penguasaannya oleh unit kerabat (pareneatn) dan/atau secara perorangan. Lebih lanjut, pada usaha pertanian yang dikelola intensif terutama kebun karet dan sawah pola penguasaan lahannya adalah perorangan. Tabel 2.6.
Kaitan antara Perkembangan Pertanian dengan Perubahan Pola Penguasaan Lahan (Kasus Pada Masyarakat Dayak)
Jenis Usaha Pertanian
Pola Penguasaan Kolektif
Keluarga
Perorangan
3. Kebun Buah-buahan
V
V
4. Ladang dan Bawas
V
V
1. Kawasan Hutan
V
2. Sungai dan Danau
V
5. Kebun Karet
V
6. Sawah
V
Sumber: Diolah dari E. Soetarto (2002)
Sejalan dengan gambaran tersebut, Geertz (1976) menjelaskan adanya perbedaan persepsi penguasaan tanah antara masyarakat di wilayah Jawa-Madura (Indonesia Dalam) dan masyarakat di wilayah Luar Jawa-Madura (Indonesia
30
Luar). Di wilayah Jawa-Madura tanah dianggap hak milik perorangan dan dipandang sebagai alat produksi, sehingga batas kepemilikan tanah biasanya jelas. Sementara itu, di wilayah Luar Jawa - Madura tanah merupakan hak ulayat dan kepemilikannya ditunjukkan oleh tanaman yang tumbuh diatas tanah (bukan pada tanah itu sendiri) sehingga batas kepemilikan tanah biasanya tidak jelas. Lebih lanjut Li (2002) menjelaskan bahwa proses transformasi struktur agraria tersebut bukan hal yang baru tetapi sudah dimulai sejak pemilihan lahan kolektif diprivatisasi menjadi pemilikan lahan perorangan. Pada waktu pemilikan lahan masih kolektif, seluruh warga mempunyai kekuasaan yang sama untuk memanfaatkan lahan. Pada saat itu, meskipun terdapat hak pribadi atas lahan (private right on land) yang diperoleh perintis pertama tetapi keturunannya tidak dapat membagi lahan berdasarkan sistem pewarisan. Lahan tersebut tetap menjadi sumberdaya kolektif sehingga para tetangga atau kerabat dapat meminjamnya secara gratis untuk penggunaan lahan (paling tidak satu musim). Pada saat itu tidak ada penduduk yang tidak menguasai lahan bila mereka bermaksud menjalankan kegiatan usahatani. Dengan kata lain, pada saat itu, sistem penguasaan lahan relatif merata. Hasil studi Li (2002) juga menunjukkan bahwa proses transformasi sistem penguasaan lahan yang terjadi di wilayah dataran tinggi adalah seperti berikut : Tahap I : Privatisasi lahan dimulai dengan adanya penanaman tanaman tahunan di lahan ladang sehingga lahan tersebut tidak lagi menjadi lahan kolektif. Pada tahap ini, petani yang memiliki modal lebih banyak (untuk ganti rugi buka lahan), tenaga kerja, dan pengetahuan genealogis tentang dimana nenek moyang mereka membuka lahan dapat mengkonsolidasikan penguasaan lahan pada areal yang luas. Sementara itu, orang-orang yang lambat memulai dan tidak memiliki klaim tanah nenek moyang akan kehilangan lahan. Tahap II :
Lahan yang telah diprivatisasi mulai diperlakukan sebagai komoditas, sehingga lahan tersebut dapat dijual kepada pihak ketiga, dan selanjutnya oleh pihak ketiga lahan tersebut diberlakukan sebagai lahan milik perorangan secara permanen.
31
Tahap III : Para elite pantai dan atau para pengusaha kota
26
yang memiliki
kapital (modal finansial) secara signifikan membeli kebun kakao di dataran tinggi untuk dikelola oleh para tenaga kerja upahan. Secara umum, berlangsungnya transformasi struktur agraria dalam suatu masyarakat akan berkaitan dengan hal-hal berikut (Wiradi, 2002) : 1) dinamika internal masyrakat, 2) intervensi pemerintah melalui berbagai kebijakannya, 3) intervensi pihak lain atau pengaruh faktor eksternal (misalnya gerakan bisnis dari perusahaan multi-nasional; kepentingan para penyedia dana internasional; serta perubahan-perubahan kondisi politik dan ekonomi dunia), dan 4) warisan sejarah. Sementara itu, Hayami dan Kikuchi (1987) mengemukakan bahwa perubahan sistem pemilikan sumberdaya lahan terjadi karena kemajuan teknologi dan bertambahnya keuntungan dari investasi. Mengacu pada kasus transformasi agraria yang terjadi pada komunitas petani kakao di Sulawesi Tengah, Li (2002) mengemukakan bahwa transformasi agraria tidak dapat dipandang hanya sebagai hasil otomatis (outomatic outcome) dari kapitalisme atau globalisasi (yang berasal dari luar komunitas). Perubahan tersebut merupakan hasil mediasi kultural aktivitas manusia (human actions) dalam waktu dan ruang tertentu melalui proses historis (yang berasal dari dalam komunitas). Sebagai contoh, sejumlah kejadian lokal yang berkaitan dengan diferensiasi agraria di antaranya adalah : 1) adanya program penempatan ulang (resettlement) dimana pemerintah memfasilitasi transfer lahan, 2) implementasi UUPA Tahun 60 27 dimaknai sebagai “tidak ada lagi lahan yang diklasifikasikan sebagai lahan adat” sehingga pemimpin desa dapat mengabaikan tuntutan atas tanah yang diajukan warga desa yang dipimpinnya, serta 3) munculnya para perantara dalam pelaksanaan penjualan tanah.
26
Pada lahan sawah pun bila yang diusahakannya tanaman komersial tebu yang relatif padat modal, ternyata usaha tersebut lebih banyak dimanfaatkan oleh pemilik uang dari kota (Soentoro, 1980)
27
Sebenarnya UUPA mengakui keberadaan hak ulayat. Akan tetapi, sebagaimana dikemukakan Tjondronegoro (1999), UUPA 1960 mengandung benih dualisme legal karena disatu pihak mengakui hak ulayat/adat tetapi sebaliknya hukum negara juga menjadi pegangan.
32
2.3. Diferensiasi Sosial Masyarakat Agraris Diferensiasi terutama digunakan dalam teori perubahan sosial serta merupakan konsep penting dalam menganalisa perubahan sosial dan dalam membandingkan masyarakat (industri dan pra industri). Konsep ini merujuk pada proses dimana seperangkat aktivitas sosial yang dibentuk oleh sebuah institusi sosial terbagi di antara institusi sosial yang berbeda. Diferensiasi menggambarkan terjadinya peningkatan spesialisasi bagian-bagian masyarakat yang diikuti terjadinya peningkatan heterogenitas di dalam masyarakat Secara spesifik, berdasarkan hubungan sosial dalam penguasaan sumberdaya agraria, diferensiasi sosial masyarakat pedesaan (masyarakat agraris) yang berlangsung akan merujuk pada gejala terjadinya penambahan kelas petani. Diferensiasi tersebut kemudian akan membentuk struktur sosial masyarakat agararis 28 yang semakin berlapis (terstratifikasi) atau struktur sosial masyarakat agraris yang terpolarisasi. Suatu struktur sosial masyarakat agraris bukanlah suatu struktur yang tetap sepanjang masa, tetapi secara dinamis struktur tersebut akan berubah mengikuti perubahan yang terjadi pada lingkungan sekitarnya, termasuk berlangsungnya transformasi moda produksi dan transformasi struktur agraria yang dijalankan kaum tani. Pada kasus masyarakat agraris, Hayami dan Kikuchi (1987) mengartikan stratifikasi 29 sebagai proses perkembangan ketidaksamaan yang melipatgandakan sub-kelas masyarakat agraris dalam rangkaian spektrum dari buruh tani tunakisma sampai tuan tanah yang tidak mengusahakan sendiri tanahnya. Sementara itu, polarisasi diartikan sebagai proses perkembangan ketidaksamaan yang mengkutubkan masyarakat agraris menjadi hanya dua lapisan, yakni lapisan “petani luas komersial yang kaya” dan lapisan “buruh tani tunakisma yang miskin”.
28
Struktur sosial masyarakat agraris dibentuk oleh kehadiran pola-pola hubungan sosial yang terkait dengan sumberdaya agraria (lahan). Dalam hal ini, struktur sosial masyarakat agraris akan menysusun peta susunan posisi-posisi sosial-ekonomi warga dalam masyarakat berbasiskan penguasaan sumber-daya agraria.
29
Secara umum, stratifikasi diartikan sebagai ketimpangan struktur (structured inequalities) di antara group orang yang berbeda, sehingga masyarakat dipandang sebagai susunan strata dalam sebuah hirarki, dimana pihak yang memiliki hak istimewa bearda pada posisi diatas dan yang tidak memiliki hak istimewa berda pada posisi di bawah (Gidens, 1997).
33
Tabel 2.7.
Diferensiasi Sosial Masyarakat
Masy./Lahan/Komoditas (Penggagas) Masyaraat Industri – German (Marx) Masyarakat Tani (Marx)
Struktur Masy. Agraria Polarisasi Polarisasi
Kaum Tani (Peasant) Rusia (Lenin)
Polarisasi
Petani Sawah – Tebu (Soentoro) Petani Lahan Kering – Kakao (Li, Sitorus) Kaum Tani (Peasant) German (Kautsky)
Polarisasi
Petani Lahan Kering - Karet Pola PIR-BUN (Undang Fadjar dkk.) Kaum Tani (Peasant) Rusia (Shanin)
Petani Sawah - Padi (Geertz) Petani Sawah-Padi (Hayami)
Petani Sawah – Padi serta Petani Lahan Kering - Karet di Malaysia (Wan Hasyim)
Polarisasi
Polarisasi, tetapi prosesnya lambat
Polarisasi vs Stratifikasi Leveling (Stratifikasi), Pemiskinan
Tidak nampak diferensiasi Stratifikasi
Tidak terbentuk kelas, yang terjadi leveling (stratifikasi)
Keterangan • Moda Produksi Kapitalis Æ(akumulasi kapital, rasionalisasi produksi, industrialisasi) Æ desitegrasi, usaha kecil hilang • Dominasi moda produksi kapitalis Æ Petani yang melakukan proses produksi sendiri secara bertahap ditransformasikan menjadi : 1) kapitalis kecil yang mengeksploitasi tenaga kerja petani lain (buruh tani), atau 2) tenaga upahan (buruh tani) yang kehilangan kekuatan produksi. • Diferensiasi Æ pemiskinan kelas menengah kaum tani Æ 2 kelas terpolarisasi : 1) kapitalis, 2) kaum miskin pedesaan • Pertanian kapitalis Æ proletar desa bergabung dengan proletar kota Æ revolusi sosial • Polarisasi terjadi karena masuknya pemodal kuat dari kota (melalui sistem sewa lahan) • Proses polarisasi berlangsung melalui mekanisme : 1) Privatisasi lahan, 2) Komoditasi lahan, 3) Masuknya elit kota • Petani Bugis menjadi “pemilik”, Petani Kaili “bukan pemilik” • Pada pertanian ekspansi kapitalis berjalan lambat, bentuknya beda karena proses kerjanya beda • Tanah sebagai kekuatan produksi tidak dapat direproduksi seperti modal finansial. Seorang kapitalis, untuk memperoleh hak atas tanah harus mencabut hak orang lain (petani miskin). • Stratifikasi : melalui pewarisan, bagi hasil • Polarisasi : Sewa kebun dan pembelian kebun oleh petani kaya, serta tenaga kerja upahan • Mobilitas kaum tani = mobilitas siklikal dan multidimensial Æ menambah lapisan (bukan mempolarisasikan) • Pengembangan kapitalis dihadang oleh proses yang muncul dari dalam kaum tani sendiri • Transformasi peasant Æ integrasi peasant pada ekonomi yang lebih luas (pertukaran, produksi komoditi) Æ posisi peasant menjadi tidak rata (tergantung pusat pertukaran) Æ sistem kapitalis dunia mengatur tata ekonomi/sosial desa • Terjadi Pemiskinan Æ Kesejahteraan ekonomi menurun • Polarisasi tidak terjadi Æ Kesadaran kelas tidak eksis • Terjadi kemiskinan berbagi • Penetrasi pasar mendorong ke polarisasi, tetapi tertahan oleh :
1) ikatan moral petani, 2) pranata tradisional (misal sakap), 3) sistem pemilikan yang tidak ekstrim Stratifikasi berevolusi ke polarisasi, jika distribusi pendapatan timpang dan penetrasi pasar sangat kuat • Beragam kelas pemilikan lahan Æ kaum tani tetap eksis • Kaum tani ditransformasikan (sebagai hasil perluasan dan dominasi moda produksi kapitalis yang berasal dari luar) dalam formasi sosial spesifik Æ perbedaan ciri penetrasi terhadap kapitalis, serta perbedaan pengembangan kapitalis di antara tipe spesifik desa Æ artikulasi moda produksi • Sebagian kaum tani menjadi tenaga kerja migrasi, sebagian lainnya tetap menjadi kaum tani yang memiliki kekuatan produksi tetapi sebagai sub-ordinat kapitalis.
Sumber : Diolah dari berbagai sumber
34
Hasil pemikiran sejumlah ahli serta hasil penelaahan pada sejumlah kasus yang terjadi di negara lain maupun di Indonesia menunjukkan munculnya kedua bentuk struktur sosial masyarakat agraris dimaksud (Tabel 2.7.). Sebenarnya berbagai pemikiran dan penelaahan tersebut bertolak dari hasil pengamatan Marx pada masyarakat industri di Jerman yang menerapkan moda produksi kapitalis. Hasil pengamatan Marx menunjukkan bahwa pengembangan moda produksi kapitalis akan mendorong akumulasi kapital, rasionalisasi produksi, industrialisasi, dan akhirnya menyebabkan desintegrasi dan hilangnya usaha skala kecil karena berkompetisi dengan usaha besar (Marx sebagaimana dikutip Hashim, 1998). Bertolak dari itu, Marx juga mengemukakan bahwa petani yang melakukan proses produksi dengan alat/kekuatan produksi sendiri secara bertahap akan ditransformasikan : 1) menjadi kapitalis kecil (a small capitalist) yang mengeksploitasi tenaga kerja petani lain (buruh tani) atau 2) menjadi seseorang yang kehilangan kekuatan produksi sehingga kemudian menjadi tenaga upahan. Pemikiran tersebut dilanjutkan oleh Lenin (Lenin sebagaimana dikutip Hashim, 1998) yang juga mengemukakan bahwa kaum tani (peasantry) merupakan suatu kelas yang akan hilang setelah melewati proses diferensiasi dan polarisasi kelas. Hal ini terjadi terutama sebagai dampak penerapan moda produksi kapitalisme. Namun demikian, pendapat Marx dan Lenin tersebut mendapat sanggahan dari Neo - Marxian (Turner, 1989). Menurut mereka perkiraan Marx tentang polarisasi masyarakat kapitalis menjadi dua kelas (borjuis yang memiliki alat produksi lawan proletar yang dieksploitasi) telah mati. Hal ini terjadi karena tumbuhnya kelas menengah yang besar dan beragam (seperti manager; tenaga ahli; pelaksana usaha kecil) serta mereka tidak nampak dieksploitasi. Selain itu, menurut Wright dalam Turner (1989), pada level mikro, posisi individu dalam sistem kelas menunjukkan gambaran yang lebih bervariasi; lebih komplek; dan kontradiktif. Apalagi bila individu memiliki lebih dari satu sumber mata-pencaharian. Khusus yang terkait dengan kaum tani, pendapat yang berbeda dengan pendapat Marx dan Lenin disampaikan oleh Kautsky dan Shanin. Kautsky dalam Hashim (1998) mengemukakan bahwa meskipun logika moda produksi kapitalis Marx dapat diterapkan pada pertanian tetapi ekspansi kapitalis pada produksi pertanian berjalan lambat dan dengan bentuk yang berbeda. Pada pertanian, tanah
35
sebagai kekuatan alat produksi tidak dapat direproduksi seperti modal (finansial) sehingga bila seorang petani (petani kaya) ingin membangun pemilikan luas maka ia harus melakukan pencabutan hak atas petani lain (petani kecil). Sejalan dengan itu, Shanin dalam Hashim (1998) megemukakan bahwa diferensiasi dan ketidaksetaraan sosial-ekonomi pedesaan berlangsung dalam bentuk mobilitas “siklikal dan multidimensial” sehingga efeknya cenderung berupa pembentukan tingkat (leveling), bukan polarisasi. Walaupun perubahan struktur agraria yang berlangsung hanya mengarah pada bentuk stratifikasi, tetapi menurut Shanin perkembangan kesejahteraan sosial ekonomi para petani terus menurun karena terjadi proses pemiskinan. Dalam komunitas petani sawah yang mengusahakan tanaman padi seperti yang terjadi di Jawa (Hayami dan Kikuchi, 1987) maupun di Malaysia (Hashim (1988), gejala perubahan struktur sosial masyarakat agraris yang lebih nampak adalah stratifikasi 30. Sebaliknya, gejala polarisasi belum nampak karena tertahan (diblokir) oleh “ikatan moral tradisional” serta bekerjanya berbagai pranata sosial yang ada (Hayami dan Kikuchi, 1987). Pendapat tersebut sejalan dengan pendapat Geertz (1976) yang mengungkapkan tidak adanya diferensiasi di antara petani serta munculnya kemiskinan berbagi dan involusi pertanian di pedesaan Jawa. Namun demikian, peneltian SAE/SDP tahun 1971 – 1981 sebagaimana dikutip Sajogyo (2002) menunjukkan kecenderungan munculnya “petani komersial paruh waktu, majikan” dan “buruh tani tunakisma (tanpa tanah) berstatus semi proletar”. Lebih lanjut, Hashim (1988) mengemukakan terjadinya stratifikasi karena kaum tani yang secara struktural ditransformasikan menjadi produsen petty commodity yang tidak sepenuhnya terpisah dari alat produksi. Selain itu, moda produksi yang dijalankan kaum tani tidak sepenuhnya eksploitatif karena kapitalisme yang dikembangkan di lingkungan kaum tani berasal dari luar dan hanya merupakan kapitalisme pinggiran (peripheral capitalism). Selain itu, walaupun di wilayah pedesaan terjadi akumulasi penguasaan lahan tetapi bentuk polarisasi cenderung tidak terjadi karena pemilikan tanah di wilayah pedesaan tidak ekstrim (Tjondronegoro, 1999).
30
Hashim (1988) menyebut proses stratifikasi dengan istilah leveling atau formal sub-sumption (pensub-kelasan secara formal).
36
Namun demikian, Hayami dan Kikuchi (1987) mengingatkan bahwa penetrasi kekuatan pasar bersamaan dengan proses semakin timpangnya distribusi pendapatan akan mendorong berubahnya proses stratifikasi ke arah polarisasi. Bahkan di desa-desa yang mengusahakan tanaman komersial tebu, sebagaimana dilaporkan Soentoro (1980) dan juga Kano (1984), ternyata proses polarisasi masyarakat berbasis penguasaan lahan sudah berlangsung. Proses ini terutama didorong oleh masuknya pemodal kuat dari kota yang menyewa lahan petani di desa. Gambaran tersebut juga memberikan rujukan bahwa dalam menelaah proses polarisasi atau stratifikasi sebaiknya tidak dibatasi hanya pada anggota komunitas yang tinggal menetap di dalam komunitas (dalam desa). Berlangsungnya perubahan-perubahan struktur sosial masyarakat agraris nampaknya tidak hanya terjadi pada komunitas petani sawah tetapi juga terjadi pada komunitas petani perkebunan. Hasil penelitian Fadjar dkk (2002) di komunitas petani PIR-BUN Tanaman Karet menunjukkan bahwa dalam komunitas tersebut sedang berlangsung perubahan struktur sosial masyarakat agraris, baik yang mekanismenya mengarah ke bentuk stratifikasi (seperti berlangsungnya sistem pewarisan dan sistem bagi hasil) maupun ke bentuk polarisasi (seperti berlangsungnya sistem pembelian kebun dan penyewaan kebun oleh petani kaya) 31. Sementara itu, hasil pengamatan Hashim (1998) dalam komunitas petani karet di Malaysia secara tegas menunjukkan bahwa perubahan struktur sosial kaum tani yang terjadi adalah stratifikasi. Adapun hasil penelitian Li (2002) dalam komintas petani kakao di beberapa desa di Sulawesi Tengah menunjukkan bahwa perubahan struktur agraria yang berlangsung mendorong pembentukan struktur sosial masyarakat yang terpolarisasi (pembentukan kelas). Kemudian Scott (1989) mengemukakan bahwa bentuk kapitalis dalam pemilikan tanah yang disertai dengan pertambahan penduduk yang pesat telah mendorong perubahan bentuk struktur sosial masyarakat agraris, terutama tumbuhnya satu kelompok besar yang terdiri dari penyewa tanah dan penggarap bagi hasil (bukan buruh upahan). Lebih lanjut Sajogyo (1985) dan Rusli (1982)
31
Hasil penelilitian Soentoro (1980) pada lahan sawah menunjukkan bahwa sistem sewa mendorong terjadinya pengumpulan tanah karena penyewa umumnya petani yang memiliki uang, sedangkan sistem sakap mendorong terjadinya penyebaran garapan karena para penggarap umumnya petani berlahan sempit atau bahkan petani tak berlahan.
37
menjelaskan bahwa pertumbuhan penduduk 32 menyebabkan makin kecilnya persediaan lahan rata-rata per orang, semakin bertambahnya penduduk tak bertanah, dan munculnya fraksionalisasi lahan. Tekanan penduduk yang kuat juga memberi peluang pada semakin berkembangnya bentuk hubungan penguasaan lahan yang kurang menguntungkan penggarap. Selain itu, tekanan penduduk yang berat mengakibatkan persaingan sesama buruh tani dalam mendapatkan pekerjaan. 2.4. Kesejahteraan Petani Berbasis Sumberdaya Agraria Bagi para petani, sumberdaya agraria (lahan) selain merupakan elemen kekuatan produksi (force of production) dan titik tolak berlangsungnya hubungan sosial produksi (relation of production) juga menjadi basis kesejahteraan (Kautsky dalam Hashim,1998). Sejalan dengan itu, Sajogyo (1985) menjelaskan bahwa sumberdaya agraria merupakan sumber nafkah yang akan menentukan seberapa jauh jangkauan para petani dalam memenuhi kebutuhan pangan, perumahan, pendidikan, dan unsur kesejahteraan lainnya. Oleh sebab itu, ketimpangan dalam penguasaan sumberdaya agraria akan menimbulkan kemiskinan di pedesaan (Soemarjan, 1980). Melalui kegiatan/usaha produktif di atas sumberdaya lahan yang dikuasai para petani, mereka berpotensi memperoleh penghasilan yang memadai dan berkelanjutan
33
sehingga tujuan utama petani untuk “memenuhi kelangsungan hi-
dup” (survival) dan “membuat kehidupan yang lebih baik” (a better living) dapat dicapai. Selain itu, menurut Scott (1989), secara sosiologis penghasilan minimum sebuah rumahtangga masyarakat non-kapitalis tidak hanya ditujukan untuk menyediakan makanan anggota keluarga secara memadai tetapi juga untuk memenuhi kewajiban sosial, misalnya untuk membiayai kegiatan seremonial.
32 Penduduk merupakan jumlah orang yang bertempat tinggal di suatu wilayah pada waktu tertentu dan merupakan hasil proses-proses demografi yaitu fertilitas, mortalitas, dan migrasi. Sementara itu, pengertian perubahan penduduk (population change) menurut Shryock dan Siegel (1976) mencakup: 1) perubahan jumlah, yang dapat diukur dengan reit pertambahan penduduk per tahun, dan 2) perubahan karakteristik, misalnya komposisi jenis kelamin, umur, dan mata pencaharian. Lebih lanjut Rusli (1992) menjelaskan bahwa pertumbuhan penduduk di suatu wilayah selain berkaitan dengan jumlah kelahiran juga berkaitan dengan jumlah migrasi masuk. 33
Menurut Haan (2000) suatu mata pencaharian dapat dikategorikan sebagai mata pencaharian berkelanjutan bila terdapat kecukupan untuk memenuhi kebutuhan dasar (self-defined basic needs) serta menjamin orang untuk dapat menghadapi goncangan (shocks) dan tekanan (stress).
38
Terkait dengan sumberdaya agraria sebagai basis kesejahteraan petani, seberapa jauh sumberdaya tersebut dapat berperan akan ditentukan oleh : 1) karakteristik sumberdaya lahan (the characteristics of interpersonal agrarian arrangements) serta, 2) keadaan hubungan sosial (state of social relationship) dalam komunitas petani (baik di antara sesama komunitas lokal maupun antara komunitas lokal dan pendatang). Dalam konteks land tenure, kesejahteraan mencakup tiga hal berikut (Fremerey dan Aminy, 2002) : 1) jalan untuk menguasai lahan (land access), 2) pengakuan tanah milik (recognition of land holding), dan 3) tipe penggunaan lahan (types of land use). Kemudian sejalan dengan perndapat Sitorus (2002) basis kesejahteraan petani yang bersumber dari lahan yang dikuasai petani berlangsung melalui : 1) pengaturan sosial “penguasaan tetap”, dalam hal ini lahan yang diusahakan petani berperan sebagai “modal ekonomi”, atau 2) pengaturan sosial “penguasaan sementara” (sistem sewa, sistem bagi hasil), dalam hal ini lahan yang diusahakan petani berperan sebagai “modal sosial” 34 Secara ringkas, uraian-uraian tersebut menunjukkan bahwa peta kesejahteraan petani yang berbasis pada sumberdaya agraria (lahan) sangat tergatung dari seberapa jauh para petani memiliki kontrol terhadap penguasaan sumberdaya agraria tersebut. Kemudian, mengingat kontrol petani terhadap sumberdaya agraria tersebut akan ditentukan oleh bentuk struktur agraria yang ada, maka berlangsungnya perubahan struktur agraria akan berimplikasi pada perubahan peta sistem kesejahteraan keluarga/komunitas petani. Pada sebuah komunitas yang masih berciri pra-kapitalis sistem kesejahteraan petani selain dapat diperoleh dari keluarga juga dapat diperoleh dari komunitas. Oleh sebab itu, pada komunitas tersebut terdapat “pengaturan sosial dimana komunitas akan menjaga kesejahteraan seluruh warganya”. Dalam hal ini pada komunitas tersebut terdapat “pengaturan sosial kesejahteraan agraria tradisional” (traditional agrarian welfare arrangements), yaitu sebuah kesejah34
Dalam konteks sosiologi, kesejahteraan seseorang (individual social-security) merupakan fungsi dari tatanan sosial dimana orang tersebut hidup (Ponsioen, 1969). Lebih lanjut Ponsioen (1969) menjelaskan bahwa lingkungan sosial akan menyediakan respon yang dipolakan (patternized respons) untuk menghadapi beragam gangguan yang dilakukan pihak lain. Dalam hal ini, masyarakat akan mengontrol pengaturan perilaku (termasuk distribusi hak dan kewajiban) dengan alat hukum/aturan, moral, dan kebiasaan sehingga memfasilitasi terbangunnya hubungan sosial (penguasaan lahan) yang saling menguntungkan.
39
teraan warga komunitas yang berbasis pada sumberdaya agraria. Beberapa bentuk pengaturan sosial tersebut adalah : hubungan patron-klien, hubungan resiprositas seperti tolong menolong di antara kerabat dan kawan, hubungan redistribusi seperti petani kaya harus dermawan, dan adanya tanah komunal yang dapat berperan sebagai katup pengaman karena dapat memberikan kekuasaan kepada semua warga komunitas yang memerlukan. Oleh sebab itu, desa atau komunitas masyarakat pra-kapitalis merupakan suatu kolektifitas yang memiliki peranan tipikal untuk menjamin “pendapatan minimum warganya” serta meratakan kesempatan dan resiko hidup warganya. Menurut Scott (1989) pengaturan sosial tersebut mengacu pada “prinsip moral” bahwa “semua orang berhak atas nafkah hidup dan sumber kekayaan yang ada di desa, meskipun tidak harus sama”. Namun demikian, meningkatnya ketidakstabilan hubungan sosial dalam komunitas lokal
35
dan melemahnya “tatanan kesejahteraan agraria tradisional”
berdampak negatif terhadap sistem kesejahteraan petani dan mendorong semakin tidak terkontrolnya pemanfaatan/penggunaan sumberdaya alam. Hasil kajian STORMA (Fremerey dan Aminy, 2002) di beberapa desa yang berdekatan dengan bagian Barat Taman Nasional Lore Lindu menunjukkan terjadinya penurunan kesejahteraan petani akibat erosi/melemahnya tatanan kesejahteraan agraria tradisional tersebut. Misalnya sistem pinjam garap (borrowing plots) telah diganti oleh sistem bagi hasil (share tenancy) yang tidak cukup memberikan jaminan kesejahteraan (less security). Dipihak lain, skema modern sistem ”berbagi” (sharing), seperti sistem bagi tanah (land sharing tenancy) atau sistem bapajak (fixed rent tenancy) kurang berkembang. Demikian halnya, Hayami dan Kikuchi (1987) mengemukakan bahwa dengan membaurnya ekonomi pasar prinsip moral untuk menjamin keperluan pokok bagi anggota komunitas telah digantikan oleh pertimbangan ekonomi untuk cari
35
Fremerey dan Aminy (2002) juga mengemukakan bahwa di desa-desa yang berada di lembah Palu dan Palolo terjadi penurunan ”iteration” antara penduduk lokal dan pendatang karena tumbuhnya ketidak pedulian dan kecemburuan dalam etnis. Pada saat yang bersamaan, rasa tidak percaya di antara penduduk lokal terus meningkat sehingga hubungan tradisional kerabat semakin melemah. Secara keseluruhan, dalam komunitas lokal terindikasi adanya gejala ”putus hubungan sosial” (social dissolution) yang terjadi karena kurangnya respon serta berkembangnya perasaan tidak aman individu.
40
untung sebanyak-banyaknya 36. Dalam situasi ini, tanah menjadi komoditas dagangan dan nilai produk yang dihasilkan petani ditentukan oleh fluktuasi harga pasar yang impersonal. Selain itu, para anggota komunitas yang tergolong kaya lebih memikirkan peningkatan pendapatan mereka dibandingkan membantu warga sekomunitas. Demikian halnya nilai/prinsip moral bahwa “komunitas” dan/atau “kerabat” berperan sebagai pemberi perlindungan dan/atau pemikul resiko secara bersama-sama ternyata mengalami erosi. Selain itu, Scott (1989) menjelaskan bahwa berlangsungnya komersialisasi pertanian menyebabkan terjadinya perubahan struktur agraria sehingga terjadi perubahan tata hubungan antara “pemilik lahan” dengan “bukan pemilik lahan”. Secara umum berkembangnya komersialisasi pertanian telah memperlemah posisi para petani yang tidak memiliki lahan (petani penggarap dan/atau buruh tani) dan kemudian akan berdampak pada berkurangnya jaminan subsistensi mereka
37
(Tabel 2.8). Dengan kata lain, hirarki dalam penguasaan lahan berimplikasi pada hirarki jaminan susbsistensi atau hirarki kesejahteraan petani yang berbasis pada sumberdaya lahan. Oleh sebab itu, dalam konteks kesejahteraan petani, petani “pemilik lahan sempit” sangat mungkin lebih tinggai statusnya dari pada “penyewa lahan luas” karena petani pemilik lahan sempit memiliki sendiri sarana subsistensi yang mereka perlukan.
36
Fenomena sebagaimana dikemukakan Hayami dan Kikuchi tersebut nampaknya mirip dengan pendapat Popkin (1986) yang mengemukakan bahwa sebenarnya pertukaran-pertukaran di antara para petani dibentuk dan dibatasi oleh konflik-konflik antara kepentingan individu dan kepentingan kelompok. Dengan demikian, sebenarnya para petani tidak tunduk pada keputusan kolektif (komunitas atau desa) tetapi mereka mengambil keputusan secara individual. Oleh sebab itu, desa-desa dimana para petani bertempat tinggal sebaiknya dipandang sebagai “korporasi-korporasi” bukan sebagai “komunal-komunal”, dan patron yang mempunyai ikatan berganda dengan para petani sebaiknya dipandang sebagai “monopolis” bukan sebagai “bapak”. Selain itu, pandangan bahwa sebuah komunitas atau sebuah desa memberikan jaminan kesejahteraan bersama bagi para petani serta adanya pasar yang membuat kesejahteraan para petani tidak terjamin semuanya merupakan pandangan yang keliru. Menurut Popkin, fenomena tersebut tidak hanya muncul pada masyarakat transisi yang terkena dampak ekonomi pasar (kapitalisme) sebagaimana dikemukakan Hayami dan Kikuchi tetapi juga terjadi pada masyarakat desa pra kapitalis seperti yang diamati Scott.
37
Scott (1989) menjelaskan bahwa dalam pandangan petani jaminan subsistensi merupakan prinsip stratifikasi yang lebih aktif dibanding jumlah penghasilan. Selain itu, jaminan subsistensi juga menjadi ukuran petani apakah suatu hubungan sosial produksi bersifat eksploitatif atau tidak.
41
Tabel 2.8.
No
Keterkaitan antara Komersialisasi Pertanian dengan Hubungan Kelas Agraris.
Perubahan terkait Komersialisasi Pertanian
Efek terhadap Hubungan Kelas Agraria
1
Ketidakmerataan yang semakin besar dalam pemilikan tanah
2
Fluktuasi harga input produksi dan barang konsumsi akibat penetapan harga pasar
3
Hilangnya sumber mata pencaharian di waktu senggang (tanah yang belum digarap, tanah umum penggembalaan ternak, kayu bakar cuma-cuma, dsb.) Memburuknya mekanisme redistribusi desa Negara kolonial yang melindungi hak milik pemilik tanah
Penguasaan tanah menjadi landasan utama bagi beroperasinya kekuasaan ; kedudukan pemilik tanah menjadi lebih kuat dalam menghadapi orangorang yang ingin menyewa tanah Kedudukan pemilik tanah semakin kuat karena penyewa semakin membutuhkan kredit untuk produksi dan konsumsi Memperlemah kedudukan penyewa dalam menghadapi pemilik tanah
4 5
Memperlemah kedudukan penyewa dalam menghadapi pemilik tanah Pemilik tanah kurang membutuhkan klien-klien setempat yang setia, karenanya ia bebas untuk mengutamakan keuntungan ekonomi.
Sumber : Scott (1989)
Bila kontrol petani terhadap penguasaan sumberdaya agraria semakin menurun sehingga luas sumberdaya agraria yang mereka kuasai dan mereka usahakan bertambah sempit atau bahkan petani tersebut terlepas dari penguasaan sumberdaya agraria dan hanya menjadi buruh tani, maka potensi penghasilan yang diperoleh petani dari sumberdaya agraria tersebut semakin kecil dan/atau semakin tidak pasti. Bila kedua keadaan tersebut kemudian menyebabkan penghasilan petani (dari sumberdaya agraria) hanya cukup untuk memenuhi persediaan pangan yang berada dekat garis kemiskinan atau tingkat minimum fisiologis maka mereka berada pada situasi “problema kesejahteraan”38 karena pengurangan lebih lanjut akan menyebabkan malnutrisi/kematian dini (Scott, 1989).
38
Istilah problema kesejahteraan digunakan sejalan dengan istilah “bencana minimum” sebagaimana digunakan Scott (1989)
42
Semakin sempitnya luas sumberdaya agraria yang dapat dikontrol petani terjadi pada perubahan struktur sosial masyarakat agraris yang mengarah pada bentuk stratifikasi, sedangkan hilangnya kontrol petani terhadap sumberdaya agraria da-pat terjadi pada perubahan struktur sosial masyarakat agraris yang mengarah pada ben-tuk polarisasi.
Oleh sebab itu, “problema kesejahteraan
petani” dapat terjadi baik pada bentuk struktur sosial masyarakat agraris yang terpolarisasi maupun pada bentuk struktur sosial masyarakat agraris yang terstratifikasi. Pada perubahan struktur masyarakat agraris yang terstratifikasi, problema kesejahteraan petani akan dipercepat dengan berlangsungnya proses pemiskinan petani, baik yang terjadi karena ber-langsung proses “eksploitasi diri sendiri” (self-exploitation) yang berlangsung di dalam komunitas petani maupun “eksploitasi dari luar komunitas” (aras supra lokal). Gambaran terjadinya eksploitasi diri sendiri di dalam komunitas ditunjukkan oleh penelitian Geertz di Jawa yang dikenal dengan istilah “involusi pertanian” 39 (Geertz, 1976). Meskipun dalam masyarakat tersebut terdapat prinsip moral dan pengaturan sosial yang menjamin kemanan sosial-ekonomi seluruh warganya, yang terjadi bukan pemerataan kemakmuran tetapi kemiskinan berbagi (shared poverty). Hal ini terutama berkaitan dengan sangat tingginya tekanan penduduk atas tanah 40 sehingga terlalu banyak orang yang harus ditampung diatas lahan yang terlalu sempit. Praktek gejala kemiskinan berbagi diwujudkan melalui ragam institusi bagi hasil agar setiap warga desa minimal berada sedikit diatas garis subsisten. Dalam situasi ini, menurut Geertz (1976) produktivitas per orang (tenaga kerja) tidak naik atau “mandek”. Kemudian menurut Sajogyo (1976) meskipun terjadi kenaikan hasil per hektar tetapi kenaikan tersebut hanya cukup untuk mempertahankan taraf penyediaan pangan per orang. Beberapa situasi yang menghasilkan shared poverty, menurut Geertz (sebagaimana dirumuskan Marzali,1991) adalah : 1) situasi kultural : suka kepada hidup tolong menolong dan rukun di antara tetangga, 2) 39
Chayanov dalam Scott (1989) menamakan involusi pertanian dengan istilah “self exploitation” atau swa – pacal. Selain itu, Sajogyo (2002) mengartikan involusi sebagai perkembangan “degeneratif” (produktifitas per orang mandeg) meskipun dalam jangka lama sebenarnya produktivitas padi sawah meningkat.
40
Tekanan penduduk yang sangat tinggi atas tanah terjadi selain karena pertambahan penduduk juga karena usaha-usaha di luar pertanian tidak dapat menampung tambahan penduduk tersebut
43
ciri ekonomi masyarakat desa : mampu menekan keperluan hidup sampai pada tingkat yang rendah, dan 3) struktur masyarakat desa : tidak terbagi atas kelas tuan tanah dan proletar. Sebenarnya gejala involusi tidak hanya muncul dalam komunitas petani padi sawah, tetapi juga pada komunitas petani perkebunan. Hasil penelitian Fadjar dkk (2002) pada komunitas petani PIR-BUN yang mengusahakan tanaman karet juga muncul gejala involusi. Beberapa indikasi yang menunjukkan gejala tersebut adalah : 1) berkembangnya ragam pemilikan sementara (terutama bagi hasil dan sewa bulanan) serta pewarisan yang dipercepat, 2) adanya keinginan para petani untuk membantu pendatang (terutama kerabat) dengan cara memberikan kesempatan bekerja. Gejala tersebut berkembang terutama karena : 1) pesatnya peningkatan jumlah penduduk dan mereka tidak dapat ditampung oleh usaha non pertanian, dan 2) meningkatnya kebutuhan tenaga kerja panen (sadap) akibat kondisi kebun yang semakin tua. Sementara itu, eksploitasi dari luar komunitas dapat terjadi dalam hubungan sosial produksi antara komunitas petani (aras lokal) yang menghasilkan bahan baku industri dengan negara maju (aras supra lokal) yang membeli bahan baku industri yang dihasilkan komunitas petani. Dalam hal ini, sebagaimana dikemukakan Marx dalam Russel (1989), eksploitasi dapat terjadi karena wilayah/negara maju (kelas dominan) menghisap surplus yang berada pada komunitas petani/ wilayah pinggiran (posisi subordinat). Upaya menghisap surplus tersebut dapat dilakukan melalui pemberian harga output yang murah bersamaan dengan penetapan harga input dan harga kebutuhan sehari-hari yang mahal. Sebagai gambaran umum, Scott (1989) juga menjelaskan bahwa problema kesejahteraan petani seringkali muncul pada situasi dimana para petani menghadapi hal-hal berikut : 1) kekurangan tanah untuk usaha pertanian, 2) jumlah anggota komunitas terus bertambah, 3) kekurangan modal untuk menjalankan usahatani (secara intensif), dan 4) kegiatan non-pertanian tidak dapat dijadikan alternatif sumber penghasilan keluarga. Sementara itu, menurut Ponsioen (1969) problem kesejahteraan petani juga akan muncul manakala institusi berubah sangat cepat. Dengan penguasaan lahan yang sempit maka upaya petani memenuhi kesejahteraan keluarganya sulit dipenuhi.
44
Dalam kondisi luas sumberdaya agraria yang dikuasai petani semakin terbatas sebenarnya mereka dapat meningkatkan produktivitas sumberdaya tersebut melalui strategi “intensifikasi” sehingga penghasilan mereka meningkat. Akan tetapi, implementasi strategi tersebut sangat tergantung pada sejauhmana penguasaan petani atas faktor produksi lain, terutama tenaga kerja, bahan dan alat, serta modal finansial (Wolf, 1985). Upaya yang paling sulit dilakukan petani kecil adalah akumulasi modal finansial karena harus bersaing dengan pemenuhan biaya kebutuhan sehari-hari keluarga dan pemenuhan biaya lainnya terutama biaya seremonial yang berperan menopang ikatan sosial tradisional dengan sesamanya. Oleh sebab itu, Scott (1989) menyangsikan dapat berlangsungnya intensifikasi oleh para petani subsisten karena perhatian utama mereka adalah bagaimana memenuhi kepentingan hari ini, bukan bagaimana mencapai cita-cita masa depan. Bahkan dalam situasi ini, upaya yang dilakukan petani cenderung menghindari kegagalan (risk aversion) atau memilih “dahulukan selamat”41 (safety first). Dengan kata lain, petani tidak dapat berjiwa wiraswasta. Namun demikian, berbeda dengan Scott, Popkin (1986) berpendapat bahwa para petani di pedesaan sebenarnya merupakan petani pemecah masalah yang rasional. Para petani terus menerus berupaya keras selain untuk melindungi diri juga untuk menaikkan tingkat subsistensi mereka. Walaupun para petani pedesaan sangat miskin dan sangat dekat dengan garis bahaya, namun mereka masih memiliki sedikit kelebihan untuk melakukan tindakan investasi yang berisiko, baik melalui investasi jangka panjang maupun jangka pendek. Logika investasi tersebut mereka aplikasikan dalam pertukaran pasar maupun bukan pasar. 2.5. Kerangka Teoritis Berdasarkan tanaman yang diusahakan, para petani kakao di luar Jawa merupakan petani yang berorientasi pasar atau petani komersial karena produk yang mereka hasilkan merupakan produk untuk dijual sebagai bahan baku “industri hilir”, baik di pasar nasional maupun internasional. Namun disisi lain, pendapatan 41
Misalnya para petani lebih memilih menggunakan beberapa jenis bibit dari pada memilih satu jenis bibit paling unggul. Dalam hal ini, para petani akan mengesampingkan suatu pilihan yang meskipun berpotensi memberi hasil bersih lebih tinggi tetapi mengandung resiko kerugian yang membahayakan subsistensinya (Scott, 1989)
45
yang mereka peroleh dari kegiatan usahatani masih terfokus untuk mencukupi kebutuhan pokok keluarga. Dengan kata lain, meskipun para petani yang berbasis usahatani kakao melakukan proses produksi komersial tetapi mereka sangat mungkin masih berada dalam kategori “peasant”. Dalam hal ini, para petani tersebut masih merupakan petani kecil (sempit) yang mengusahakan tanaman kakao sebagai usaha keluarga. Selain itu, walaupun mereka sudah terintegrasi dengan kehidupan ekonomi yang lebih luas (ekonomi global) tetapi sebagian besar dari mereka masih berada pada tingkat hidup yang belum beranjak jauh meninggalkan kondisi subsisten. Apapun kondisinya, dalam menjalankan produksi pertanian para petani (termasuk petani kakao) akan berpijak pada “cara” produksi (ways of production) yang disebut moda produksi (mode of production). Sebagaimana dikemukakan Shanin (1990) sebuah moda produksi akan mencakup : 1) kekuatan/daya produksi (force of production) yang akan mempengaruhi “produktivitas”, dan 2) hubungan sosial produksi (relation of production) yang akan membentuk struktur sosial dalam penguasaan kekuatan produksi. Lebih lanjut, Russel (1989) menjelaskan bahwa kekuatan produksi terdiri dari “keterampilan pekerja” (mencakup kreativitas, ide, pengetahuan/teknologi, dan motivasi) serta “alat produksi” (means of production). Sementara itu, hubungan sosial produksi merupakan hubungan di antara para aktor dan mencakup: hubungan dalam pemilikan (property), hubungan kekuasaan (power) dan pengawasan (control) dalam penguasaan aset produktif masyarakat, hubungan kerja bersama (cooperative work relation), serta hubungan antar kelas masyarakat Selama 25 tahun terakhir pengembangan usahatani kakao yang dilakukan para petani di luar Jawa berlangsung relatif cepat. Bahkan dalam kurun waktu 10 tahun terakhir perkembangannya sangat pesat. Tentunya, dalam kurun waktu tersebut secara bersamaan telah terjadi pertemuan antara moda produksi “kapitalis” yang datang dari luar komunitas petani (dari aras supra lokal atau wilayah pusat/ negara maju/center) dengan moda produksi “non-kapitalis” yang sebelumnya sudah tumbuh berkembang dalam komunitas petani (aras lokal atau wilayah pinggiran/periphery). Oleh sebab itu, dalam komunitas petani kakao di luar Jawa yang masih berada pada kategori peasant, proses transformasi moda produksi
46
sudah bergerak dari moda produksi non-kapitalis menuju moda produksi kapitalis, tetapi sangat mungkin proses tersebut terhenti pada “moda produksi transisional”. Bila realitas tersebut yang muncul, maka hasil penelitian Geertz pada tahun 50 an (Geertz, 1976) tentang petani luar Jawa yang “tradisional” dan hanya menerapkan moda produksi “non-kapitalis” sangat mungkin sudah tidak ada lagi. Tidak terjadinya moda produksi kapitalis (penuh) pada komunitas petani berbasis usahatani kakao diduga berkaitan dengan kenyataan bahwa pada komunitas tersebut masih terdapat realitas lingkungan/kekuatan sosial spesifik yang mampu menahan laju perkembangan moda produksi kapitalis, misalnya masih kuatnya prinsip moral dan pengaturan sosial tradisional yang mempertahankan solidaritas lokal. Selain itu, akumulasi surplus yang terjadi di kalangan petani kakao yang berada di wilayah pedesaan luar Jawa (wilayah relatif terbelakang atau wilayah pinggiran) tidak cukup besar sehingga ketidaksetaraan kemampuan dalam penguasaan sumberdaya agraria relatif kurang tajam dan hubungan sosial produksi di antara anggota komunitas petani relatif kurang eksploitatif. Menurut Russel (1989), moda produksi transisional yang hadir pada masyarakat kontemporer di belahan dunia bukan Barat ternyata tidak seragam. Beberapa bentuk moda produksi transisional yang bepotensi muncul adalah: 1) terdapat praktek beberapa moda produksi yang berlangsung secara bersamaan tetapi salah satu moda produksi mendominasi yang lainnya (dominasi), 2) terdapat beberapa praktek moda produksi yang berbeda tetapi hadir secara berdampingan (coexisten), 3) di antara bagian wilayah masyarakat terdapat praktek moda produksi yang berbeda, 4) terdapat moda produksi baru yang ciri-cirinya merupakan gabungan ciri-ciri dari lebih satu moda produksi (hibridisasi). Sejalan dengan pendapat tersebut, maka dalam komunitas petani kakao - yang juga berada di belahan dunia bukan Barat - sangat mungkin akan muncul salah satu dari bentuk moda produksi transisional tersebut atau tidak tertutup kemungkinan akan muncul bentuk moda produksi lain yang berbeda. Dalam keadaan moda produksi yang dijalankan para petani kakao berupa moda produksi transisional, sangat mungkin posisi mereka merupakan subordinasi dari pihak lain yang lebih kuat. Realitas ini sejalan dengan pendapat Shanin dalam Hashim (1988) bahwa transformasi komunitas petani (peasant)
47
yang menghasilkan produk untuk dijual menumbuhkan integrasi mereka pada ekonomi yang lebih luas, sehingga komunitas tersebut mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : posisi komunitas petani menjadi tidak rata karena menjadi tergantung pada hubungan dengan pusat pertukaran seperti jaringan pasar, pelabuhan komersial (yang merupakan bagian sistem kapitalis dunia), dan jaringan komunikasi. Akibatnya, sistem kapitalis dunia akan mengatur tata ekonomi dan sosial komunitas petani sehingga sistem produksi maupun struktur sosial komunitas petani menjadi sub-ordinasi dari sistem produksi dan struktur sosial kapitalis. Dalam proses produksi pertanian yang dilakukan petani, apapun bentuk moda produksinya, sumberdaya agraria tetap menjadi kekuatan produksi (force of production) penting karena di atas sumberdaya agraria itulah kegiatan produksi komoditas penghasil “surplus” dimulai dan kemudian sumberdaya agraria akan menjadi sumber penghasilan rumah tangga petani. Dengan kata lain, penguasaan sumberdaya agraria akan menjadi “basis kesejahteraan” keluarga petani. Oleh sebab itu, berlangsungnya transformasi moda produksi dan struktur agraria yang kemudian diikuti oleh diferensiasi sosial masyarakat agraris akan turut menentukan terjadinya diferensiasi kesejahteraan dalam komunitas petani karena transformasi dimaksud akan menentukan sejauhmana petani memiliki kontrol dalam penguasaan sumberdaya agraria. Dalam hal ini, konsep diferensiasi merujuk pada proses meningkatnya pelapisan petani sehingga dalam komunitas petani terjadi peningkatan spesialisasi dan peningkatan heterogenitas. Berkembangnya moda produksi yang semakin kapitalis akan membangkitkan transformasi struktur agraria dari penguasaan kolektif (collective ownship) menuju penguasaan perorangan (private ownship). Suatu perubahan dari “hak setiap orang” untuk memanfaatkan sumberdaya agraria menjadi “hanya sebagian orang” yang berhak memanfaatkan sepenuhnya sumberdaya agraria sehingga kemudian terjadi diferensiasi penguasaan sumberdaya agraria. Proses transformasi struktur agraria akan semakin cepat bila realitas semakin dominannya penerapan moda produksi kapitalis berlangsung bersamaan dengan realitas lain berikut : meningkatnya tekanan agraris akibat sumberdaya agraria semakin langka (terkait bertambahnya jumlah penduduk); perubahan pengaturan penguasaan sumberdaya agraria; adanya kekuatan sosial tertentu dalam mengimplementasikan perubahan
48
pengaturan penguasaan sumberdaya agraria, dan dalam komunitas petani terjadi perbedaan kemampuan akumulasi surplus yang terjadi bersamaan dengan perbedaan akses petani dalam penguasaan sumberdaya agraria. Pada masyarakat agraris yang kehidupan anggotanya berbasis pada sumberdaya agraria, transformasi tersebut tentunya akan diikuti oleh diferensiasi sosial masyarakat agraris. Mengingat laju transformasi moda produksi tidak mencapai moda produksi kapitalis (penuh) dan berhenti pada moda produksi transisisional, maka transformasi struktur agraria pun sangat mungkin tidak mendorong diferensiasi sosial masyarakat agraris menuju bentuk yang terpolarisasi (masyarakat tani terkutub hanya dalam dua lapisan) tetapi menuju bentuk stratifikasi (masyarakat tani terbagi dalam banyak lapisan). Kenyataan ke arah mana diferensiasi sosial masyarakat agraris berjalan - apakah menuju bentuk struktur yang semakin terstratifikasi atau semakin terpolarisasi - masih harus dibuktikan di lapangan. Sebenarnya, arah diferensiasi tersebut secara kontekstual akan berkaitan dengan berbagai realitas lingkungan/kekuatan sosial spesifik lain yang berlangsung secara bersama-sama (pada aras lokal maupun aras supra lokal). Berbagai realitas lingkungan/kekuatan sosial spesifik yang potensial memberi jalan terbentuknya struktur sosial masyarakat agraris yang terstratifikasi adalah : masih berjalannya prinsip moral dan pengaturan sosial tradisional yang memberikan hak nafkah hidup dan sumber kekayaan pada semua warga komunitas agar mereka dapat memperoleh jaminan kesejahteraan; berjalannya sistem pemilikan sempit dimana tingkat kemampuan maksimal sebuah rumahtangga petani relatif terbatas; lebih dominannya penerapan pengaturan sosial pemilikan sementara melalui sistem bagi hasil dan sistem pewarisan yang dapat dibagi, petani tidak terpisah penuh dari alat produksi, hubungan sosial produksi antar aktor dalam komunitas petani tidak terlalu eksploitatif, dan kekuatan produksi sumberdaya agraria tidak dapat direproduksi seperti modal finansial pada industri. Sementara itu, berbagai realitas lingkungan/kekuatan sosial spesifik yang potensial memberi jalan terbentuknya struktur sosial masyarakat agraris terpolarisasi adalah: adanya kesenjangan kemampuan modal finansial yang sangat ekstrim, masuknya para pemilik modal finansial dari luar komunitas (terutama dari kota),
49
lebih dominannya penerapan pengaturan sosial pemilikan sementara melalui sistem sewa. Walaupun arah diferensiasi sosial masyarakat agraris sangat mungkin menuju bentuk stratifikasi atau polarisasi, tetapi kedua arah tersebut sama-sama memberi jalan pada munculnya diferensiasi kesejahteraan dalam komunitas petani. Dalam hal bentuk struktur sosial masyarakat agraris terpolarisasi, jumlah kaum tani yang kehilangan kontrol atas kekuatan produksi sumberdaya agraria akan sangat banyak dan kemudian mereka hanya menjadi buruh yang kehidupannya sangat tergantung pada pihak lain yang memiliki sumberdaya agraria. Kemudian, dalam hal bentuk struktur sosial masyarakat agraris terstratifikasi, meskipun tidak terjadi pengkutuban petani (menjadi petani kaya yang menguasai lahan dan buruh tani yang tidak menguasai lahan), tetapi dalam bentuk struktur tersebut proses pemiskinan petani dapat terjadi akibat proses “eksploitasi diri sendiri” di dalam komunitas petani (aras lokal) seperti terjadinya “involusi pertanian” maupun yang terjadi akibat proses “eksploitasi dari luar komunitas” (oleh aktor yang berada pada aras supra lokal terhadap komunitas petani di wilayah pinggiran seperti penetapan harga produk yang rendah dan/atau harga input yang tinggi). Hal ini sejalan pendapat Frank dalam Sanderson (2003) bahwa keterbelakangan dalam masyarakat pra-kapitalis terjadi karena mereka mengalami hubungan ekonomi dan politik dengan masyarakat kapitalis, sehingga surplus mengalir dari komunitas pra-kapitalis menuju komunitas kapitalis. Pada akhirnya realitas sosial tersebut selain akan mendorong terjadinya diferensiasi kesejahteraan juga sangat mungkin menimbulkan “problema” kesejahteraan keluarga petani. Pada dasarnya, kesejahteraan petani akan bertumpu pada sejauhmana para petani mempunyai kekuasaan atas “kekuatan produksi” sumberdaya agraria sehingga mereka memperoleh penghasilan yang memadai dan berkelanjutan untuk “memenuhi kelangsungan hidup” (survival) dan “membuat kehidupan yang lebih baik” (a better living). Seacara teoritis, manakala basis penghasilan petani masih bertumpu pada sumberdaya agraria, maka berkurangnya kontrol petani dalam penguasaan sumberdaya agraria akan menimbulkan berkurangnya besaran sumber penghasilan petani sehingga kemudian akan menyebabkan turunnya kesejahteraan
50
petani. Realitas tersebut akan semakin menonjol manakala sumber penghasilan alternatif non pertanian belum dapat menggantikan penghasilan dari sumberdaya agraria. Kemudian basis kesejahteraan petani yang bersumber dari penguasaan sumberdaya agraria dapat berlangsung melalui : 1) pengaturan sosial “penguasaan tetap”, dalam hal ini sumberdaya agraria yang diusahakan petani berperan sebagai “modal ekonomi”, atau 2) pengaturan sosial “penguasaan sementara” (seperti sistem sewa dan bagi hasil), dalam hal ini sumberdaya agraria yang diusahakan petani berperan sebagai “modal sosial”. Sementara itu, istilah “problema” kesejahteraan petani merujuk pada istilah “bencana minimum” sebagaimana dikonsepkan oleh Scott (1989). Problema ini akan terjadi bila kekuasaan petani atas sumberdaya agraria tidak mampu memberikan penghasilan yang memadai atau yang dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum (setara garis kemiskinan) sehingga pengurangan lebih lanjut akan menimbulkan malnutrisi dan kematian dini. Realitas dimaksud sangat potensial terjadi bila kontrol petani terhadap sumberdaya agraria semakin menurun sehingga luas sumberdaya agraria yang mereka kuasai dan mereka usahakan semakin sempit atau bahkan petani tersebut terlepas dari penguasaan sumberdaya agraria dan hanya menjadi buruh tani (tunakisma mutlak). Keadaan ini kemudian akan menyebabkan potensi penghasilan petani dari sumberdaya agraria semakin kecil dan/atau semakin tidak pasti. Secara ringkas, Gambar 2.2. berikut menunjukkan alur kerangka pemikiran tentang “jalur utama” (jalur dominan) berlangsungnya transformasi moda produksi dan struktur agraria yang berimplikasi pada diferensiasi sosial masyarakat agraris dan kesejahteraan dalam komunitas petani. Jalur utama ini dirumuskan untuk memudahkan pemahaman kerangka teoritis, meskipun dalam kenyataannya (di lapangan) antara perubahan realitas sosial yang satu dengan perubahan realitas sosial lainnya akan saling mempengaruhi (tidak satu arah). Bertolak dari kesimpulan-kesimpulan teoritis yang diperoleh dalam tinjauan pustaka serta akumulasi data dan informasi lapangan, maka hipotesa utama dari penelitian ini dirumuskan sebagai berikut : “transformasi moda produksi dan struktur agraria yang berlangsung dalam komunitas petani kecil (berlahan sempit) yang berbasis usahatani komersial (kakao) berimplikasi pada diferensiasi sosial
51
dan kesejahteraan dalam komunitas petani”. Lebih lanjut, hipotesa utama tersebut dijabarkan dalam hipotesa yang lebih rinci, yaitu : 1.
Komunitas petani kakao mengalami tekanan perubahan moda produksi dari moda produksi non-kapitalis menuju moda produksi kapitalis. Akan tetapi lajunya mendapat hambatan dari lingkungan/kekuatan sosial spesifik lokal yang memberi jalan pada praktek moda produksi non-kapitalis. Oleh sebab itu, dalam komunitas petani, moda produksi kapitalis hanya “merembes” pada aktivitas baru, terutama pada penyediaan modal non lahan serta pada proses penjualan hasil produksi. Akhirnya, pada komunitas petani muncul strategi “amphibian” dalam menjalankan praktek moda produksi. Dalam hal ini, para petani menjalankan praktek moda produksi non-kapitalis dan kapitalis secara bersamaan.
2.
Bersamaan dengan itu, transformasi struktur agraria yang terjadi tidak menghasilkan diferensiasi sosial masyarakat agraris yang terpolarisasi tetapi hanya menghasilkan diferensiasi sosial masyarakat agraris yang terstratifikasi yang disertai dengan semakin timpangnya luas pemilikan sumberdaya agraria di antara lapisan petani.
3.
Berbagai mekanisme penguasaan sumberdaya agraria yang memberi jalan terbentuknya struktur sosial masyarakat agraris terstatifikasi masih dominan. Walaupun demikian, berbagai mekanisme penguasaan sumberdaya agraria yang memberi jalan terbentuknya struktur sosial masyarakat agraris terpolarisasi telah muncul dan cenderung semakin menguat
4.
Meskipun diferensiasi sosial masyarakat agraris yang terjadi tidak menghasilkan bentuk polarisasi, perubahan tersebut tetap mendorong terjadinya diferen-siasi kesejahteraan komunitas petani.
5.
Pengaman warga komunitas dari pengaruh kapitalis terjadi melalui penerapan ikatan komunal yang mapan, sehingga muncul struktur kompleks yang dirajut oleh posisi sosial yang berbeda. Misalnya petani pemilik sekaligus penggarap dan/atau buruh tani.
52
6.
Ikatan moral komunitas petani (ikatan kekerabatan, pewarisan, dan solidaritas lokal) secara konstekstual berperan mendorong transformasi struktur agraria yang kemudian memberi jalan pada proses diferensiasi sosial masyarakat agraris menuju bentuk struktur yang terstratifikasi.
7.
Di antara komunitas petani yang memiliki latar belakang etnis berbeda terjadi perbedaan transformasi moda produksi dan struktur agraria serta diferensiasi sosial masyarakat agraris dan kesejahteraan dalam komunitas petani, meskipun semua komunitas dimaksud sama-sama menerapkan sistem pertanian menetap pada jenis tanaman utama yang sama (kakao).
53
• Intervensi/fasilitasi aktor luar (pemerintah, swasta) • Nilai ekonomi tanaman & orientasi pasar • Ketidaksetaraan
Revolusi
MODA PRODUKSI SUBSISTEN (SUBSISTENCE)
• Pertumbuhan penduduk • Keterbatasan sumberdaya lahan • Perubahan pengaturan sosial (pranata) dalam penguasaan lahan • Kekuatan sosial/kekuasaan dalam imlpementasi pranata penguasaan lahan
MODA PRODUKSI “TRANSISIONAL”
STRUKTUR AGRARIA
•
Perbedaan akses warga masyarakat terhadap sumberdaya lahan • Perbedaan kemampuan akumulasi surplus • • • • • • •
Ikatan moral/pranata tradisional masih kuat Sistem pemilikan sempit (tidak ekstrim) Pranata pemilikan sementara : bagi hasil Sistem pewarisan yang dapat dibagi Petani tdk terpisah penuh dari alat produksi Hubungan produksi kurang eksploitatif Tanah tidak dapat direproduksi
• Jumlah petani yang menguasai lahan sempit bertambah • Terjadi pemiskinan petani (penurunan kesejahteraan petani) • Kemampuan pertanian intensif rendah • Peluang non farm rendah
Gambar 2.2.
DIFERENSIASI STRUKTUR SOSIAL MASYARAKAT AGRARIS
STRATIFIKASI
POLARISASI
DIFERENSIASI KESEJAHTERAAN Æ PROBLEMA KESEJAHTERAAN
Sebagian besar petani hanya mengontrol lahan yang sempit sehingga miskin
Sebagian besar petani kehilangan kontrol atas lahan sehingga miskin
MODA PRODUKSI KAPITALIS (CAPITALIST)
• Prinsip moral/pengaturan sosial tradisional masih kuat • Hubungan sosial produksi dalam komunitas tidak terlalu eksploitatif • Kekuatan produksi dalam usaha pertanian tidak dapat direproduksi • Akumulasi dan perkembangan kapitalis yang tidak rata (pusat vs perypheri) • Kemampuan modal finansial terbatas karena eksploitasi dari luar • Kesenjangan kemampuan modal financial sangat ekstrim • Masuknya pemilik modal kuat dari luar komunitas • Pranata pemilikan sementara : sewa • Privatisasi pemilikan lahan dari kolektif ke pribadi • Jumlah petani yang tidak menguasai lahan dan buruh tani bertambah • Posisi petani yang tidak menguasai lahan dan buruh tani semakin lemah • Peluang non farm rendah
54 Transformasi Moda Produksi dan Struktur Agraria serta Diferensiasi Sosial Masyarakat Agraris dan Kesejahteraan Petani
BAB III METODOLOGI 3.1. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dilakukan pada komunitas petani yang basis penghasilannya dari sumberdaya agraria, dan sebagian besar dari sumberdaya agraria tersebut digunakan untuk mengusahakan tanaman komersial kakao. Selain itu, para petani yang menjadi warga komunitas di empat desa kasus umumnya masih tergolong “peasant” dalam rumusan Shanin (1990) atau “smallholder” dalam rumusan Netting (1993). Mengikuti kedua rumusan tersebut, para petani di empat desa kasus umumnya merupakan para produsen kecil (berlahan sempit) yang selain memproduksi barang untuk dimakan juga menghasilkan barang untuk dijual tetapi penghasilan total yang diterimanya (termasuk penjualan produk pertanian komersial) terutama masih digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi keluarga42. Mengikuti pendapat Redfield dalam Koentjaraningrat (1990), komunitas petani (peasant community) yang dimaksudkan dalam penelitian ini bukan komunitas terisolasi (tribal community) karena bila ditempatkan dalam sebuah spektrum ciri-ciri komunitas petani berada pada ujung lain dari ciri-ciri komunitas terisolasi. Dalam hal ini Redfield menyebutkan bahwa ciri-ciri komunitas petani adalah : 1) masyarakat kecil yang tidak terisolasi, 2) tidak memenuhi semua kebutuhan hidup penduduknya, 3) mempunyai hubungan horizontal dengan komunitas -komunitas petani lain di sekitarnya, serta 4) mempunyai hubungan vertikal dengan komunitas-komunitas di perkotaan. Sebaliknya, ciri-ciri komunitas terisolasi adalah : 1) mempunyai identitas yang khas, 2) terdiri dari sejumlah penduduk dengan jumlah yang cukup terbatas sehingga saling mengenal sebagai individu yang berkrepibadian, 3) bersifat seragam dengan diferensiasi terbatas, 4) dan kebutuhan hidup sudah sangat terbatas sehingga semua dapat dipenuhi sendiri tanpa tergantung dari pasar. Redfield juga beranggapan bahwa suatu komunitas 42
Keluarga petani adalah sebuah rumahtangga yang merupakan satu unit bersama dalam hal pendapatan maupun pengeluaran. Keluarga tersebut merupakan keluarga inti atau keluarga luas. Menurut Wolf (1985) keluarga inti atau keluarga batih adalah keluarga yang terbentuk karena perkawinan sehingga terdiri dari suami-istri dengan anak-anak mereka. Sementara itu, keluarga luas terdiri dari beberapa keluarga inti, misalnya seorang suami dengan beberapa isteri dan anakanaknya atau keluarga inti yang tergolong beberapa generasi sehingga dalam keluarga tersebut misalnya terdapat kakek/nenek; ayah/ibu; dan anak-anak
55
kecil merupakan bagian terintegrasi dengan lingkungan alam dimana komunitas tersebut berada. Secara ringkas, realitas sosial yang menjadi lapangan studi (subject – matter) ini berpusat pada aspek berikut : 1) ciri-ciri moda produksi yang dipraktekkan para petani, 2) transformasi struktur agraria, 3) diferensiasi sosial masyarakat agraris, 3) peranan sumberdaya agraria sebagai sumber penghasilan petani dan kaitannya dengan diferensiasi kesejahteraan dalam komunitas petani, serta 4) realitas lingkungan spesifik yang secara konstektual terkait dengan perubahanperubahan dimaksud. Dalam mempelajari moda produksi, elemen kekuatan produksi yang dijadikan lapangan studi selain mengenai penguasaan sumberdaya agraria juga mengenai praktek teknologi pertanian yang dijalankan para petani, baik pada usahatani perkebunan yang menghasilkan barang “komersial” maupun pada usahatani padi sawah yang menghasilkan barang “subsisten”. Penerapan teknologi pada kedua usahatani tersebut perlu dipelajari secara bersamaan karena dalam kenyataannya sebagian besar petani mengusahakan kedua tanaman dimaksud. Sementara itu, huhungan sosial produksi yang dipelajari terutama hubungan sosial produksi dalam pengusasaan sumberdaya agraria dan modal non lahan yang terkait sangat erat dengan penguasaan sumberdaya agraria. Penelaahan transformasi struktur agraria terutama dilakukan melalui identifikasi perubahan bentuk dan mekanisme penguasaan sumberdaya agraria (lahan) yang berlangsung dalam komunitas petani, khususnya yang dialami oleh anggota komunitas petani yang masih hidup. Sementara itu, penelahaan diferensiasi sosial masyarakat agraris mengidentifikasi berkembangnya status-status sosial yang muncul dalam komunitas petani terkait dengan hubungan sosial di antara anggota komunitas dalam penguasaan sumberdaya agraria. Untuk mengetahui adanya diferensiasi kesejahteraan pada komunitas petani di lokasi penelitian dilakukan dengan mencermati tingkat kesejahteraan petani yang berada pada setiap lapisan petani berdasarkan penguasaan sumberdaya agraria. Dalam penelitian ini, ukuran tingkat kesejahteraan petani mengacu pada : 1) tingkat kesejahteraan hasil rekonstruksi yang dilakukan oleh komunitas petani, dan 2) nilai penerimaan rumahtangga petani (mencakup on farm, off farm, dan
56
non farm) serta pengeluaran rumahtangga petani (pangan dan non pangan). Selain itu, dalam penerimaan petani juga dicermati sejauhmana sumberdaya agraria masih menjadi sumber nafkah utama petani, baik on farm dalam bentuk hasil usahatani (padi sawah, perkebunan, dan ternak) maupun off farm dalam bentuk hasil agroindustri, perdagangan hasil pertanian, dan upah buruh tani. Mengacu White
43
dalam Sajogyo (2002), White dalam Li (2002), serta
Wiradi (2004), untuk menganalisa realitas lingkungan sosial spesifik yang secara konstektual terkait dengan transformasi struktur agraria dalam komunitas petani, beragam aspek yang dicermati adalah : 1) kesejarahan (historically) : tekanan transisional dalam penguasaan lahan, 2) ekonomi (economically) : strategi mata pencaharian penduduk dan tujuan yang ingin mereka capai, peranan pasar hasil dan pasar input, 3) politik (politically) : kebijakan pemerintah, serta 4) budaya (culturally) : pendirian tentang bagaimana dan mengapa para aktor melakukan hubungan sosial. 3.2. Paradigma dan Strategi Penelitian Mengikuti jalan pikiran Ritzer (1996) paradigma penelitian diartikan sebagai pandangan fundamental tentang apa yang menjadi pokok persoalan (subject matter) disiplin tertentu. Sementara itu, menurut Guba sebagaimana dikutip Denzin dan Lincoln (2000) paradigma penelitian adalah suatu set kepercayaan yang membimbing tindakan, berkaitan dengan prinsip utama, dan merupakan konstruksi umat manusia. Lebih lanjut Denzin dan Lincoln (2000) menjelaskan bahwa paradigma penelitian dibangun oleh : 1) ontology, 2) epistemology, dan 3) methodology. Melalui ontology dapat diajukan pertanyaan mendasar tentang bentuk dan sifat realitas serta tentang hal apa yang dapat diketahui mengenai realitas tersebut. Kemudian melalui epistemology dapat diajukan pertanyaan apa 43
White sebagaimana dikutip Sajogyo (2002), mengingatkan bahwa dalam melakukan penelitian “transformasi agraria” perlu juga mencermati konteks dimana diferensiasi itu terjadi, yaitu : konteks politik, budaya, aras daerah dan nasional. Kemudian White dalam Li (2002) mengemukakan bahwa pengamatan meluasnya diferensiasi agraria dapat diukur dengan indikator berikut : pemilikan lahan (land ownership) serta penguasaan atas modal, tenaga kerja, dan sumberdaya lain. Akan tetapi, analisa terhadap proses munculnya gejala tersebut memerlukan perhatian yang mendalam dan komprehensif, sehingga analisanya mencakup : hubungan sosial (social relations), makna (meaning), praktek (practies) serta stimulus dari luar seperti meningkatnya permintaan pasar atau tidak meratanya persyaratan modal dari elit melalui hubungan ”patronege” atau jaringan lokal yang sangat khusus
57
yang harus dilakukan untuk mengetahui realitas dan bagimana hubungan sosial antara peneliti dengan yang diteliti sebaiknya dibangun. Sementara itu, melalui methodology dapat dipilih peralatan dan cara terbaik untuk memperoleh pengetahuan tentang realitas. Bertolak dari pemahaman tentang paradigma penelitian tersebut, maka penelitian ini akan dilaksanakan dengan mengacu terutama pada paradigma “postpositivisme” yang memandang realitas secara kritis dan memandang realitas sebagai sesuatu yang memiliki kemungkinan untuk dapat diamati meskipun tidak sempurna. Oleh sebab itu, dalam penelitian ini dilakukan kombinasi analisa kualitatif dan analisa kuantitatif. Dalam hal ini, analisa kualitatif digunakan untuk mempelajari bagaimana dan mengapa perubahan suatu realitas sosial dapat terjadi sedangkan analisa kuantitatif digunakan untuk mempelajari sejauhmana suatu realitas sosial terjadi. Melalui analisa kualitatif, realitas sosial yang dijadikan lapangan studi dipahami sebagai realitas historis. Dalam hal ini realitas sosial dibentuk oleh nilai -nilai sosial, politik, budaya, ekonomi yang terkristalisasi dalam waktu lama. Selain itu, realitas sosial yang dijadikan lapangan studi mencakup “dimensi luar” manusia atau dimensi struktural (seperti bentuk hubungan sosial produksi dan struktur sosial) serta dimensi kesadaran atau “dimensi dalam” manusia (seperti kesadaran aktor dalam melakukan hubungan sosial produksi). Melalui peneropongan dari luar akan dilakukan upaya membandingkan, mencari kaitan, mencari sebab, menelusuri sejarah, dan hal-hal lahiriah lainnya, dan menganalisisnya dengan analisis empiris. Sementara itu, melalui pemahaman dari dalam dapat dilakukan penemuan kompleks perasaan, keinginan, atau pikiran yang merupakan realitas “batin” yang diteliti. Untuk memperoleh gambaran perubahan suatu realitas sosial dan bagaimana perubahan tersebut terjadi pada empat komunitas yang memiliki latarbelakang berbeda, maka penelitian ini menerapkan strategi “studi kasus historis” dan “studi kasus majemuk”. Sejalan dengan pendapat Newman (1997) dan Yin (2002), studi kasus menjadi pilihan strategi agar dapat memahami realitas sosial yang kompleks melalui pengumpulan data dan informasi yang lebih rinci, lebih bervariasi, lebih luas, dan lebih mendalam. Sebagai studi kasus majemuk, penelitian ini merupakan
58
gabungan dua studi kasus pada empat komunitas petani kakao yang dilaksanakan secara bersamaan dengan persoalan; tujuan; dan metoda penelitian yang sama, sehingga dapat dilakukan analisis perbandingan antar kasus-kasus tersebut. Data dan informasi yang diperoleh melalui studi kasus majemuk ini diharapkan dapat digunakan untuk merumuskan tipologi atas beragamnya realitas sosial yang berkembang di lapangan. Metoda kasus historis
44
dipilih sebagai salah satu strategi penelitian ini
karena : 1) pokok kajian dalam penelitian ini bukan suatu kejadian sosial pada suatu waktu tertentu melainkan merupakan gejala sosial atau proses sosial dalam rentang waktu tertentu, dan 2) proses sosial yang dikaji dibatasi dalam cakupan kontemporer yang sebagian pelakunya masih hidup. Selain itu, gambaran sejarah merupakan suatu titik pembanding dalam dimensi waktu (Tjondronegoro, 1999). Sumbangan pendekatan sejarah juga akan memberikan arti dalam menunjukkan kecenderungan gejala perubahan sosial karena mencakup jangka waktu yang relatif lebih lama. Sementara itu, menurut Abdullah (1996), melalui pendekatan sejarah dapat digambarkan struktur dan proses dari interaksi para petani, termasuk kesesuaian dan/atau ketidaksesuaian antara peranan yang didefinisikan dengan yang direalisasikan. Oleh sebab itu, rekonstruksi peristiwa sejarah harus memperhitungkan dan mempertimbangkan dengan baik ikatan struktural, yaitu jaringan peranan sosial yang saling bergantungan terhadap aktor sejarah. Rekonstruksi peristiwa juga harus berlangsung secara kritis ilmiah, sehingga untaian peristiwa kini dan sebelumnya terangkai dalam mata rantai sebab akibat. Sejalan dengan pemikiran Sitorus (1999), metoda kasus historis dalam penelitian ini akan memadukan dua aras, yaitu aras individu dan aras masyarakat lokal (komunitas). Secara teknis, metoda kasus historis akan dilakukan melalui : 1) studi riwayat hidup individu (petani dan keluarganya), dan 2) studi sejarah komunitas. Menurut Denzin dalam Sitorus (2002), dengan studi riwayat hidup individu pemahaman dan pengalaman individu digunakan untuk memahami hubungan sosial (produksi). Riwayat hidup individu tersebut mencakup 3 aspek, 44
John Hicks sebagaimana dikutip oleh Wiradi (2000:26), mengemukakan betapa pentingnya pendekatan sejarah bagi ilmu-ilmu sosial-ekonomi : “…..Bagi pakar-pakar ilmu alam, sejarah itu tidak ada artinya, Gagasan lama dan kontroversi kuno sudah mati dan terkubur, namun tidaklah demikian bagi ilmu-ilmu ekonomi (dan ilmu ilmu sosial lainnya). Kita tidak dapat menghindarkan diri dari masa-masa lalu kita”
59
yaitu : 1) cerita individu tersebut tentang kehidupannya, 2) situasi sosial dan kultural yang menjadi ajang hubungan sosialnya, 3) rentetan pengalaman dan situasi masa lalu dalam kehidupannya. Studi riwayat hidup individu yang akan dilaksanakan merupakan tipe riwayat hidup topikal yang hanya meliput suatu aspek kehidupan45, yaitu tentang perubahan pemilikan dan penguasaan sumberdaya agraria serta upaya pemeliharaan kesejahteraan para petani yang dilakukan keluarga petani atau komunitas petani dimana para petani tinggal menetap. 3.3. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan pada komunitas petani yang dipilih secara sengaja, yaitu pada komunitas petani yang usahataninya berbasis pada tanaman kakao dan mempunyai latar belakang spesifik lokal berbeda. Untuk itu, penelitian ini dilakukan pada empat komunitas petani. Dua komunitas petani berada di Kabupaten Donggala - Propinsi Sulawesi Tengah, yaitu di Desa Tondo dan di Desa Jono Oge. Kemudian dua komunitas petani lainnya berada di Kabupaten Pidie Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), yaitu di Desa Cot Baroh/Tunong dan Desa Ulee Gunong. Kabupaten Donggala – Propinsi Sulawesi Tengah dipilih sebagai lokasi penelitian karena wilayah tersebut merupakan salah satu sentra pengembangan kakao di wilayah Timur Indonesia (selain Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara). Kemudian, Kabupaten Pidie - Propinsi NAD dipilih sebagai lokasi penelitian karena wilayah tersebut merupakan salah satu sentra pengembangan tanaman kakao di wilayah Barat Indonesia. Selain itu, riwayat pengembangan kakao di kedua propinsi relatif berbeda, dimana pengembangan kakao rakyat di Propinsi Sulawesi Tengah sudah berjalan relatif lebih lama dibanding di wilayah Propinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD).
45
Alport (1942) dalam Denzin (1970) membedakan tiga tipe riwayat hidup : 1) riwayat hidup lengkap; mencakup keseluruhan pengalaman hidup tineliti, 2) riwayat hidup topikal; hanya berkenaan dengan suatu aspek atau suatu fase tertentu dalam kehidupan tineliti; dan 3) riwayat hidup tersunting; yaitu riwayat hidup lengkap atau topikal yang telah dibubuhi komentar atau penjelasan orang lain
60
Tabel 3.1.
Distribusi Masyarakat Desa Berdasarkan Rumahtangga Petani dan Non Petani, 2007
KecamatanKabupatenPropinsi SirenjaDonggala-Sulteng Gelumpang TigaPidie-NAD TangsePidie-NAD
Desa
Jumlah KK di Desa
Jumlah KK Petani
% KK Petani
Jono Oge
189
187
99
Tondo
318
274
86
Cot Baroh/ Tunong
205
183
89
Ulee Gunong
272
248
91
Sejalan dengan tujuan penelitian untuk mengkaji persoalan agraria, maka desa penelitian yang dipilih adalah desa pertanian. Dengan demikian, sumber mata pencaharian utama masyarakat di desa dimaksud berasal dari usaha pertanian. Data pada Tabel 3.1. menunjukkan bahwa proporsi rumahtangga petani terendah (dibanding total rumahtangga di desa) adalah sebesar 86 %, yaitu di Desa Tondo Propinsi Sulawesi Tengah. Di desa-desa penelitian lainnya, proporsi rumahtangga petani jauh lebih tinggi. Bahkan di desa Jono Oge Propinsi Sulawesi Tengah proporsi rumahtangga petani mencapai 99 %. Tabel 3.2.
Tanaman yang Diusahakan Komunitas Petani, 2007
KecamatanKabupatenPropinsi SirenjaDonggala-Sulteng
Desa
Jono Oge
Tondo Gelumpang Tiga - Cot Baroh/ Tunong Pidie-NAD Ulee Gunong TangsePidie-NAD
Tanaman yang Diusahakan Petani Kakao
Cengkeh
Kelapa
Kopi
V
V
V
V
V
V
V
V
V V
Padi Sawah
V V
Berdasarkan jenis tanaman yang diusahakan, data dan informasi pada Tabel 3.2. menunjukkan bahwa para petani di lokasi penelitian selain mengusahakan tanaman kakao juga mengusahakan tanaman lain. Di wilayah dataran rendah, tanaman lain yang diusahakan para petani umumnya padi sawah. Hal ini terjadi
61
baik pada komunitas petani kakao di wilayah Propinsi Sulawesi Tengah maupun di wilayah Propinsi NAD. Secara khusus, komunitas petani kakao di wilayah dataran tinggi di Propinsi NAD (desa Ulee Gunong) selain mengusahakan tananaman kakao juga mengusahakan tanaman kopi, sedangkan komunitas petani kakao di wilayah dataran rendah di Propinsi Sulawesi Tengah selain mengusahakan tanaman kakao juga mengusahakan tanaman cengkeh dan kelapa. Tabel 3.3.
Latar Belakang Lingkungan Spesifik Lokal Komunitas Petani di Empat Desa Kasus, 2007
Latar Belakang Ekologi dan Etnis
Bentuk Intervensi Pemerintah Ada Program
Tidak Ada Program
Dataran Rendah • Etnis Kaili –
Lokal, • Etnis Aceh – Lokal • Etnis Bugis -
Pendatang Luar
Desa Tondo (Berbantuan/Parsial/P2WK, 1990) Desa Cot Baroh/Tunong (Berbantuan/Parsial/ADB, 2006) Desa Jono Oge (Berbantuan/Parsial/P2WK, 1990)
Dataran Tinggi • Etnis Aceh –
Pendatang Lokal
Desa Ulee Gunong (Swadaya Murni)
Sebagaimana tertera pada Tabel 3.3., penentuan lebih lanjut komunitas petani berbasis usahatani kakao yang dijadikan lokasi penelitian didasarkan pada latar belakang spesifik lokal komunitas, yaitu : latar belakang etnis, latar belakang migrasi (lokal atau pendatang), latar belakang ekologis lahan (dataran rendah atau dataran tinggi), serta kehadiran program pemerintah dalam pengembangan perkebunan rakyat yang pernah dan/atau sedang dijalankan. Secara khusus, intervensi pemerintah terhadap petani yang mengusahakan tanaman kakao dapat berlangsung melalui pola swadaya berbantuan/parsial dan pola swadaya murni. Keadaan ekologi (dataran tinggi dan dataran rendah) menjadi pembeda terutama berkaitan dengan perbedaan ketersediaan sumberdaya agraria dan pola mata pencaharian petani. Perbedaan ketersediaan sumberdaya agraria terutama berkaitan dengan asal lahan (misalnya hutan primer atau sekunder, bekas ladang
62
berpindah), kualitas atau kesuburan sumberdaya agraria, dan potensi sumberdaya agraria yang masih tersedia. Sementara itu, pola mata pencaharian para petani menjadi pembeda terutama berkaitan dengan peranan sumberdaya agraria dalam penerimaan petani. Pada penelitian ini komunitas petani berbasis usahatani kakao yang berada di wilayah dataran rendah adalah komunitas petani yang berada di Desa Tondo dan Desa Jono Oge di propinsi Sulawesi Tengah serta yang berada di Desa Cot Baroh/Cot Tunong di propinsi NAD. Sementara itu, komunitas petani berbasis usahatani kakao yang berada di wilayah dataran tinggi adalah komunitas petani yang berada di Desa Ulee Gunong propinsi NAD. Perbedaan etnis menjadi pembeda terutama berkaitan dengan perbedaan kebiasaan dan motivasi para petani, terutama dalam upaya meningkatkan taraf hidupnya. Di Desa Jono Oge, etnis yang dominan adalah etnis Bugis yang merupakan pendatang dari Sulawesi Selatan, sedangkan di desa Tondo etnis yang dominan adalah Kaili yang merupakan penduduk lokal. Selanjutnya di desa penelitian di propinsi NAD, penduduk desa umumnya didominasi oleh etnis Aceh yang merupakan penduduk lokal. Namun demikian, di Desa Ulee Gunong sebagian etnis Aceh tersebut merupakan pendatang dari kecamatan lain, terutama dari kecamatan di wilayah dataran rendah yang berada dekat kota Pidie. Secara administratif, komunitas petani yang diteliti tersebut berada di wilayah desa, kecamatan, kabupaten, dan propinsi berikut : 1.
Komunitas petani berbasis usahatani kakao di Desa Jono Oge berada di Kecamatan Sirenja - Kabupaten Donggala - Propinsi Sulawesi Tengah,
2.
Komunitas petani berbasis usahatani kakao di Desa Tondo berada di Kecamatan Sirenja - Kabupaten Donggala - Propinsi Sulawesi Tengah,
3.
Komunitas petani berbasis usahatani kakao di Desa Cot Baroh/Cot Tunong berada di Kecamatan Gelumpang Tiga - Kabupaten Pidie - Propinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD),
4.
Komunitas petani berbasis usahatani kakao di Desa Ulee Gunong berada di Kecamatan Tangse - Kabupaten Pidie - Propinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD),
63
Khusus untuk komunitas petani di desa Cot Baroh dan desa Cot Tunong, meskipun mereka berada di dua wilayah administratif desa yang berbeda, tetapi para petani yang berada di wilayah desa Cot Baroh dan para petani yang berada di wilayah desa Cot Tunong seringkali membangun kebun dan sawah secara bersama-sama di lokasi yang sama. Selain itu, kedua desa tersebut merupakan desa kecil (masing-masing hanya mempunyai satu dusun). Oleh sebab itu, dalam penelitian ini para petani di kedua wilayah desa digabung dalam satu komunitas. 3.4. Metoda Pengumpulan Data Penelitian ini dilakukan dengan metoda penelitian dengan tujuan untuk merekonstruksi realitas sosial secara dialektik antara peneliti dengan aktor sosial yang diteliti (tineliti). Dengan kata lain, pemahaman tentang suatu realitas atau temuan penelitian merupakan hasil proses “interaksi assosiatif”. Oleh sebab itu, pengumpulan data dan informasi dilakukan bersama-sama antara peneliti dengan yang diteliti dan dilakukan secara dialogis atau dialektikal agar realitas hubungan sosial (produksi), kesdaran/makna dibalik hubungan dimaksud, serta proses pemaknaan hubungan sosial dapat terungkap secara tepat karena berdasarkan konsesnus bersama (mutual understanding). Dalam penelitian ini, data dan informasi yang dikumpulkan terdiri dari data kuantitatif dan data kualitatif. Data kuantitatif yang dikumpulkan terdiri dari pemilikan sumberdaya agraria, penerimaan rumahtangga petani, dan pengeluaran rumahtangga petani. Sementara itu, data kualitatif yang dikumpulkan terdiri dari proses transformasi moda produksi dan struktur agraria serta proses diferensiasi sosial masyarakat agraris dan kesejahteraan keluarga petani. Data dan informasi lapangan dikumpulkan dengan tiga cara sehingga prinsip trianggulasi metode dan sumber data terpenuhi, yaitu wawancara perorangan (responden), diskusi dalam kelompok, dan pengamatan lapangan. Wawancara perorangan dilakukan terhadap responden dengan menggunakan kesioner. Sementara diskusi dalam kelompok dilakukan dengan mengundang para aktor sosial yang diteliti, yaitu para petani, para pengurus/tokoh organisasi lokal, serta pelaku terkait lainnya.
64
Tabel 3.4.
Distribusi Rumahtangga (RT) Petani dan Distribusi Responden di Empat Desa Kasus, 2007 Status Penguasaan Sumberdaya Agraria
Desa
Jumlah
Pemilik
PemilikPenggarap
PemilikPenggarapBuruhtani
• Distribusi RT
85
9
5
133
-
1
16
249
• Distribusi Resp.
10
3
2
14
-
-
1
30
• Distribusi RT
68
53
11
11
31
1
8
183
• Distribusi Resp.
7
9
11
2
-
-
1
30
• Distribusi RT
157
26
3
35
18
3
32
274
• Distribusi Resp.
18
-
1
5
3
-
3
30
• Distribusi RT
69
44
3
8
9
3
51
187
• Distribusi Resp.
11
11
1
2
-
2
3
30
• Distribusi RT
379
132
22
187
58
8
107
893
• Distribusi Resp.
46
23
15
23
3
2
8
120
Pemilik Buruhtani
Peng garap
Penggarap Buruhtani
Buruh Tani
Ulee Gunong
Cot Baroh/Tunong
Tondo
Jono Oge
Jumlah
Wawancara terhadap responden dilaksanakan untuk pengumpulan data dan informasi tentang karakteristik rumah tangga petni, data dan informasi tentang pemilikan sumberdaya agraria oleh setiap rumah tangga petani, data dan informasi tentang sumber dan jumlah penerimaan petani, jenis dan jumlah pengeluaran rumah tangga petani, serta jenis dan jumlah fasilitas yang diterima dari program pemerintah. Pada setiap desa lokasi penelitian dipilih 30 responden rumahtangga petani sehingga jumlah responden di empat desa lokasi penelitian adalah 120 rumahtangga petani. Pemilihan responden di setiap desa diupayakan terdistribusi secara proporsional pada seluruh lapisan masyarakat terkait penguasaan sumberdaya agraria (Tabel 3.4.). Namun demikian, adanya kesulitan dalam menemui responden akhirnya basis distribusi responden hanya mengacu pada tiga lapisan
65
utama dalam penguasaan sumberdaya agraria, yaitu : petani pemilik; petani penggarap; dan buruh tani. Diskusi kelompok dilakukan untuk secara bersama-sama mendiskusikan perihal posisi dan peranan setiap kelompok aktor dalam menjalankan transformasi moda produksi dan struktur agraria serta dalam proses diferensiasi sosial masyarakat agraris dan kesejahteraan dalam sebuah komunitas. Jika wawancara perorangan cenderung memberi informasi yang bersifat "sepihak", maka diskusi kelompok dapat memberikan informasi yang bersifat "konsensus" dan yang bersifat "diametral" sekaligus. Hal ini terjadi karena diskusi kelompok memungkinkan para partisipan untuk menemukan kesamaan dan perbedaan pandangan/ pemahaman di antara mereka. Adapun studi dokumen dilakukan untuk menghasilkan data dan informasi sekunder yang tersedia dalam bentuk laporan, makalah, dan surat resmi. Data dan informasi tersebut berfungsi sebagai pelengkap data dan informasi hasil wawancara perorangan serta data dan informasi hasil diskusi kelompok. Selain itu, data dan informasi sekunder berguna untuk konfirmasi data lapangan agar pengumpulannya dapat dilakukan lebih cermat. 3.5. Analisis Data Data dan informasi yang dikumpulkan kemudian dianalisis melalui dua pendekatan, yaitu: 1. analisis kualitatif, dan 2. analisis kuantitatif. Analisa kualitatif dilakukan terhadap data dan informasi tentang proses transformasi moda produksi dan struktur agraria serta tentang proses diferensiasi sosial masyarakat agraris dan kesejahteraan dalam komunitas petani. Selain itu, analisa kualitatif juga dilakukan untuk menganalisa kesadaran yang melandasi hubungan sosial para petani dan /atau aktor lain yang berkaitan dengan petani dalam membangun/melaksanakan realitas sosial tersebut. Sebagimana dikemukakan Lewis (1988), analisa kualitatif dapat digunakan dalam mendeskripsikan pola-pola hubungan sosial, baik dimensi struktur (posisi dan peranan aktor), dimensi pengaturan (prosedur, penetapan insentif atau sanksi), serta sistem makna yang memberi pedoman terhadap pola hubungan tersebut. Sementara itu, analisis kuantitatif dilakukan terhadap data dan informasi yang dikumpulkan melalui pengukuran atau penghitungan dengan jum-
66
lah data dan informasi yang cukup banyak, sehingga mudah diklasifikasikan (dalam kategori-kategori). Dalam hal ini, analisa kuantitatif akan dilakukan untuk memperoleh gambaran tentang perkembangan penguasaan lahan (pemilikan tetap dan pemilikan sementara) dan kesejahteraan pada lapisan petani yang berbeda. 3.5.1.
Analisa Kualitatif Bertolak dari strategi penelitian yang merupakan studi kasus majemuk, ma-
ka sejalan dengan pendapat Yin (2002) analisis kualitatif dalam penelitian ini didekati dengan melakukan : 1) penjodohan pola, 2) pembuatan penjelasan, dan 3) analisis deret waktu. Penjodohan pola dilakukan dengan membandingkan antara pola atau realitas sosial hasil temuan empiris dengan pola yang diprediksikan. Penjelasan suatu realitas sosial dilakukan dengan menjelaskan serangkaian keterkaitan timbal-balik, dan penjelasan tersebut dapat dilakukan dalam bentuk naratif yang mencerminkan beberapa proposisi yang secara teoritis signifikan. Analisis deret waktu dilakukan dengan mencatat dan menganalisa waktu-waktu kejadian sehingga kemudian dapat diperoleh gambaran tentang tahapan proses pembentukan sebuah realitas sosial. Dengan demikian, data dan informasi kualitatif hasil wawancara perorangan dan hasil diskusi kelompok ditambah dengan data dan informasi dari dokumen (laporan, makalah, surat) dianalisis dengan menggunakan matriks analisis yang membandingkan ragam kategori data. Penjelasan akan dilakukan dalam dua tingkatan, yaitu : 1) penjelasan tentang realitas sosial (moda produksi, struktur agraria, struktur sosial masyarakat agraris, dan peta kesejahteraan dalam komunitas petani), dan 2) penjelasan tentang pandangan subyektif aktor mengenai kesadaran dalam mengembangkan berbagai hubungan sosial produksi. Untuk mengurangi kemungkinan salah interpretasi, digunakan beragam prosedur yang disebut triangulasi (triangulation). Menurut Stake (2000), trianggulasi merupakan proses penggunaan banyak persepsi (multi perception) dalam mengklarifi-kasi arti (meaning) dan dalam memverifikasi pengulangan pelaksanaan observasi dan interpretasi. Triangulasi dalam mengklarifikasi arti juga dilakukan melalui identifikasi cara yang berbeda dalam mengamati suatu realitas. Dalam penelitian ini, trianggulasi akan dilakukan dengan mengklarifikasi atau memban-
67
dingkan data dan informasi yang berasal dari sumber informasi dan cara pengumpulan data yang berbeda. Dengan demikian, penarikan kesimpulan tidak cukup sekedar olah pemikiran secara teoritis tetapi harus dibuktikan oleh perilaku, wacana dan hubungan sosial para aktor tineliti. 3.5.2.
Analisa Kuantitatif Analisis kuantitatif yang digunakan adalah uji Beda Nyata (uji-t) dan Indeks
Gini. Melalui uji Beda Nyata dengan selang kepercayaan 20 % akan diperoleh gambaran perbedaan rata-rata luas pemilikan sumberdaya agraria, rata-rata pendapatan rumahtangga petani, dan rata-rata pengeluaran rumahtangga petani serta perbedannya, baik antar lokasi penelitian maupun antar lapisan petani dalam komunitas yang sama. Sementara itu, melalui Indeks Gini akan diperoleh gambaran tentang distribusi (penyebaran) sumberdaya agraria serta penerimaan dan pengeluaran pada komunitas petani di lokasi penelitian, sehingga dapat diperoleh gambaran apakah distribusi pemilikan sumberdaya agararia, distribusi pendapatan, dan distribusi pengeluaran yang terjadi pada komunitas petani termasuk kategori merata atau timpang . Sebagaimana ditulis Hera Susanti, dkk (2000) indeks gini mempunyai nilai koefisien mulai dari 0 hingga 1. Bila nilai koefisien indeks gini mendekati satu, maka dapat disimpulkan bahwa distribusi dalam komunitas desa di lokasi penelitian mengalami ketimpangan. Sebaliknya, bila nilai koefisien indeks gini mendekati nol, maka dapat disimpulkan bahwa distribusi yang terjadi dalam komunitas desa di lokasi penelitian tidak timpang. Lebih lanjut Hera Susanti, dkk (2000) mengemukakan bahwa bila koefisien gini lebih kecil daripada 0,4 maka tingkat ketimpangan distribusi dikategorikan rendah, kemudian bila koefisien gini 0,4 – 0,5 maka tingkat ketimpangan distribusi dikategorikan moderat, dan bila koefisien gini lebih besar daripada 0,5 maka tingkat ketimpangan distribusi dikategorikan tinggi.
68
BAB IV PROFIL EMPAT KOMUNITAS PETANI KASUS 4.1. Profil Dua Komunitas Petani di Kabupaten Donggala – Sulawesi Tengah 4.1.1.
Komunitas Petani di Desa Tondo : Kaili – Lokal Wilayah Desa Tondo merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Sirenja.
Sebelum Indonesia merdeka, wilayah yang sekarang bernama Kecamatan Sirenja merupakan bagian dari Kerjaan Tawaili yang ibu kotanya terletak di Palu Utara. Pada zaman penjajahan Belanda kerajaan Tawaili merupakan bagian dari wilayah kekuasaan seorang Gubernur Jenderal Belanda (Dr. Andreas) yang berkedudukan di Donggala. Di wilayah Donggala terdapat dua kerajaan, yaitu Tawaili dan Benawa. Kerajaan Tawaili mencakup wilayah Pantai Barat sampai dengan ToliToli. Sebelum menggunakan istilah kecamatan, wilayah Sirenja disebut distrik dan sebelum menggunakan istilah distrik (sebelum merdeka/zaman kerajaan) disebut swapraja/magan. Pada saat itu, distrik Sirenja merupakan bagian dari wilayah Kewedanaan Donggala. Berdasarkan pengetahuan para informan yang terdiri dari para tetua desa, Pada awal tahun 1900, Raja Tawaili mengutus seseorang yang bernama Madusila untuk mengembangkan/mengatur masyarakat yang tinggal di wilayah Tawaili Utara yang dikenal dengan nama Sirenja. Beberapa kampung asli di wilayah tersebut adalah kampung Tondo, Tanjung Pandang, Boya, Sipi, Tompe, dan Lende. Sejak ditetapkannya Undang - Undang Pemerintahan Desa Nomor 5 Tahun 1979, wilayah kampung-kampung tersebut berubah menjadi wilayah sebuah desa, dan saat ini wilayah Sirenja telah berkembang menjadi 17 desa. Menurut masyarakat yang saat ini tinggal di Desa Tondo, masyarakat asli di Desa Tondo dan juga di desa-desa lain di wilayah Kecamatan Sirenja adalah masyarakat yang biasanya disebut sebagai Orang Kaili. Menurut Sabri (1992), suku ini merupakan suku terbesar di wilayah Kabupaten Donggala. Meskipun masyarakat yang disebut Orang Kaili merupakan masyarakat lokal (bukan pendatang) tetapi mereka tidak termasuk dalam kategori masyarakat atau suku
69
terasing 46. Di wilayah Desa Tondo dahulunya terdapat suku terasing yang oleh masyarakat Kaili disebut sebagai “orang hutan” atau “orang liar” dan seringkali disebut sebagai orang ”To Lare ” atau orang “Tajio” Mengingat suku terasing tersebut sampai sekarang masih menerapkan sistem pertanian ladang berpindah, maka mereka terus berpindah semakin ke arah pedalaman (pegunungan). Mereka tidak kembali ke lokasi awal karena terdesak oleh Orang Kaili dan para pendatang lainnya yang menerapkan pertanian menetap. Saat ini tempat tinggal suku Tajio berada di wilayah pegunungan yang bernama Sidunggo, Wenepuntu, dan Sibugabuga (semakin jauh dari desa Tondo menuju arah hutan). Pada tahun 80 an mereka pindah dari kampung Welente ke kampung Pura karena di wilayah Welente akan dibangun perkebunan, kemudian pada tahun 2000 mereka meninggalkan Pura menuju lokasi sekarang karena di wilayah tersebut semakin banyak pendatang yang mengusahakan kebun coklat. Bahkan, pada saat penelitian berlangsung kampung Pura sedang dipersiapkan menjadi desa sendiri. Selain penduduk asli yang berlatar belakangbelakang etnis Kaili, di desa Tondo juga terdapat pendatang spontan yang tidak berlatarbelakang etnis Kaili. Para pendatang tersebut terutama berasal dari Gorontalo. Mereka sudah datang sejak di wilayah ini dikembangkan tanaman cengkeh, dan mereka umumnya merupakan perintis pengembangan tanaman cengkeh di desa ini, baik sebagai petani pemilik, penggarap, maupun buruh tani. Seluruh etnis Kaili yang tinggal di desa Tondo beragama Islam. Penyebar agama Islam di wilayah desa Tondo dan di seluruh wilayah kecamatan Sirenja bernama “Bula Ngisi” yang berasal dari Makasar. Pada awalnya, untuk seluruh wilayah Kecamatan Sirenja yang mempunyai lima kampung hanya terdapat sebuah mesjid, yaitu mesjid yang terletak di Desa Tompe. Akan tetapi, saat ini di seluruh desa di wilayah Kecamatan Sirenja sudah terdapat mesjid. Sebelum memeluk agama Islam, orang Kaili di wilayah Kecamatan Sirenja merupakan pemeluk animisme.
46
Sebagaimana dikutip Li (2007), Departemen Sosial mendefiniskan masyarakat terasing sebagai masyarakat yang berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, punya komitmen yang kuat terhadap kebiasan dan kepercayaan lokal, kekuarangan (minim) fasilitas kesehatan; perumahan; pakaian; pendidikandan transportasi.
70
Desa Tondo terus berkembang, sehingga pada tahun 1984 desa ini dimekarkan menjadi dua desa, yaitu Desa Tondo dan Desa Ombo. Ditinjau dari jumlah rumah tangga, Desa Tondo tergolong desa yang relatif besar sehingga desa tersebut terbagi menjadi 3 (tiga) dusun, yaitu : Dusun I mempunyai warga sebanyak 315 KK, Dusun II mempunyai warga sebanyak 225 KK, dan Dusun III mempunyai warga sebanyak 175 KK. Hamparan Dusun I dan Dusun II bersambungan, sedangkan Dusun III terpisah sekitar 1-2 km. Warga komunitas tinggal berdekatan tanpa halaman yang luas dan terkonsentrasi di setiap dusun. Dalam waktu dekat, desa ini akan dimekarkan menjadi 2 desa dimana Dusun I akan menjadi desa baru. Hasil sensus semua rumahtangga menunjukkan bahwa ratarata anggota rumahtangga di dalam komunitas ini adalah 4,1 orang, sedangkan rata-rata usia kepala keluarga adalah 45 tahun. Pusat pemerintahan Desa Tondo berada di Dusun II yang dilalui jalan raya antar kabupaten dan merupakan lokasi pasar mingguan. Saat ini, Desa Tondo dipimpin oleh seorang Kepala Desa yang berasal dan tinggal di Dusun III serta merupakan keturunan campuran Etnis Kaili dan Etnis Bugis. Kejadian tersebut meruapakan yang pertama kali, karena selama ini Kepala Desa Tondo selalu berasal dari Dusun I atau Dusun II dan selalu orang Kaili. Secara umum, Desa Tondo merupakan desa yang memiliki sarana transportasi cukup baik. Desa ini (Dusun I dan Dusun II) dilalui jalan raya beraspal yang menghubungkan kota Palu dengan kota-kota kecamatan di wilayah pesisir Barat Sulawesi Tengah. Oleh sebab itu, setiap hari tersedia kendaraan umum yang dapat membawa masyarakat menuju kot Palu. Namun demikian, lokasi Dusun III agak jauh ke dalam (sekitar 2 km dari pusat desa atau jalan raya antar kabupaten). Oleh sebab itu, bila warga Dusun III akan naik kendaraan umum roda empat maka mereka terlebih dahulu harus berjalan atau naik ojek menuju Dusun II. Ditinjau dari sumber mata pencaharian penduduknya, terdapat perbedaan antara dusun yang satu dengan yang lainnya. Penduduk yang memiliki mata pencaharian petani umumnya tinggal di Dusun III dan Dusun II. Kemudian, penduduk yang bermata pencaharian sebagai pegawai umumnya tinggal di Dusun II. Sementara itu, sebagian besar penduduk di Dusun I bermata pencaharian sebagai nelayan di laut. Untuk memperluas sumber mata pencaharian, sejak tahun
71
60 an sudah ada penduduk Desa Tondo yang bermigrasi ke luar pulau (terutama Kalimantan) atau ke negara lain (Malaysia). Pada saat ini, penduduk Desa Tondo yang bermigrasi ke Malaysia /Tawao/Sandakan sekitar 30 KK. 4.1.2.
Komunitas Petani di Desa Jono Oge: Bugis – Pendatang Sebagaimana halnya Desa Tondo, Desa Jono Oge berada di wilayah Keca-
matan Sirenja. Desa Jono Oge berawal dari sebuah kampung yang dikembangkan oleh para pendatang dari Sulawesi Selatan (orang Bugis). Kampung Jono Oge tumbuh berkembang diantara kampung lain yang dihuni penduduk lokal, yaitu kampung Tondo di sebelah utara dan kampung Sipi di sebelah selatan. Meskipun merupakan pemukiman para pendatang, namun sejak awal sampai saat ini masyarakat Jono Oge dapat hidup berdampingan secara damai dengan masyarakat kampung/desa lain yang penduduknya berlatarbelakang etnis lokal (etnis Kaili). Para petani dari Sulawesi Selatan datang di wilayah kampung Jono Oge secara spontan (tanpa bantuan program pemerintah) 47 . Pada umumnya mereka datang dengan tujuan memperbaiki kesejahteraan keluarga dengan membangun sumber matapencaharian baru. Para pendatang miskin umumnya memulai kehidupan baru dengan bekerja pada petani lain, baik di sawah maupun di kebun. Kemudian mereka membangun kebun sendiri dengan cara mengganti rugi lahan milik petani lokal atau membuka hutan baru. Sementara itu, para petani sedang dan kaya umumnya langsung membangun kebun sendiri dengan cara mengganti rugi lahan petani lokal. Sebagaimana diakui warga Kaili (baik oleh warga biasa maupun para elit desa), para pendatang Bugis mampu bekerja keras dan ulet 48. Hal tersebut ditunjukkan dalam hal pengelolaan sawah dan kebun. Oleh sebab itu, umumnya orang Bugis lebih sejahtera dibanding orang Kaili. 47
Ruf dan Yoddang (2004) mengemukakan bahwa para migran Bugis dapat berkembang cepat karena mereka umumnya bermigrasi mengikuti ikatan komunal yang kuat, yaitu melalui jaringan kekerabatan dan/atau jaringan ketetanggaan di antara warga satu desa. Para kerabat atau para tetangga tersebut selain berperan sebagai sumber informasi juga berperan sebagai sumber pemberi bantuan ketika para migran spontan harus mengumpulkan modal finansial dan mencari lahan baru. Bahkan di antara para petani Bugis tersebut ada yang bertindak sebagai penyedia modal finansial dengan imbalan kebun kakao melalui mekanisme “sistem bagi kebun”. Ruf dan Yoddang juga mengemukakan bahwa migrasi besar-besaran orang Bugis ke Sabah (antara 1960 – 1970), merupakan cikal bakal berkembangnya pengembangan kakao di Sulawesi karena terbentuk jalinan perdagangan antara Sabah dan Sulawesi.
48
Menurut Mattulada (2007) orang Bugis memahami bahwa untuk maju mereka harus bekerja keras dan hemat.
72
Secara garis besar, mereka datang dalam tiga gelombang besar. Masyarakat Bugis “gelombang pertama” datang di kampung Jono Oge sebelum Indonesia merdeka. Pada periode tersebut, orang Bugis yang pertama kali datang adalah Haji Pagaro dari daerah Wajo. Kedatangan Haji Pagaro di kampung Jono Oge karena mendapat perintah dari Raja Tawaili (yang waktu itu membawahi wilayah Jono Oge) untuk mengembangkan pertanian dan membagi tanah. Tanah di daerah tersebut sebelumnya merupakan lahan alang-alang. Pertanian yang pertama dikembangkan oleh para perintis gelombang pertama adalah padi sawah. Untuk meningkatkan perkembangan padi sawah di wilayah tersebut, pada masa penjajahan Belanda dibangun sebuah bendungan irigasi (bendungan tersebut baru direhabilitasi pada tahun 1973). Kedatangan masyarakat Bugis ”gelombang kedua” terjadi pada saat terjadi pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan49, sekitar akhir tahun 50 an sampai dengan awal tahun 60 an. Pada saat itu, warga Bugis di Selatan tidak dapat bertani dengan tenang karena seringkali hasil taninya harus diserahkan kepada pemberontak. Kedatangan masyarakat Bugis ”gelombang ketiga” terjadi pada saat di lokasi ini banyak pembukaan hutan dan dilanjutkan dengan berkembangnya pertanian menetap, terutama tanaman komersial ”perkebunan” berkembang pesat. Apalagi lahan kosong yang dapat digunakan para pendatang masih cukup tersedia. Gelombang kedatangan ketiga orang Bugis ini terjadi sekitar akhir tahun 70 an sampai dengan akhir 80 an. Pada saat ini, penduduk di desa Jono Oge terdiri dari etnis Bugis dan etnis Kaili dengan komposisi sebagai berikut : etnis Bugis mencapai 80 % sedangkan etnis Kaili hanya 20 %. Penduduk desa Jono Oge yang berlatar belakang etnis Bugis umumnya berasal dari : Pangkep, Bone, Wajo, Soppeng, Sidrap, Pinrang, Maros, dan Bulukumba di Sulawesi Selatan. Sementara itu, warga desa Jono Oge yang berlatarbelakang etnis Kaili umumnya merupakan pendatang lokal dari daerah Palu Utara. Mereka umumnya berdatangan di Desa Jono Oge sekitar tahun 70 an untuk melakukan pekerjaan membuka hutan (“bakampak”). Sejak diberlakukan UU Pemerintahan Desa, kampung Jono Oge berubah menjadi sebuah desa dengan nama Desa Jono Oge dan dipimpin oleh seorang
49
Migrasi besar-besaran terakhir orang Bugis terjadi pada saat pemberontakan Kahar Muzakar terhadap negara Republik Indonesia (Matulada, 2007).
73
Kepala Desa. Sampai saat ini Kepla Desa yang memimpin Desa ini selalu orang Bugis, dan Kepala Desa Jono Oge saat ini merupakan cucu dari H. Pagaro. Pada saat ini, Desa Jono Oge terdiri dari dua dusun, yaitu Dusun I dengan jumlah rumahtangga sebanyak 73 KK dan Dusun II dengan jumlah rumahtangga sebanyak 116 KK. Meskipun nama dusunnya berbeda, tetapi hamparan pemukiman Dusun I dan Dusun II bersambungan. Warga komunitas tinggal berdekatan dan terkonsentrasi di masing-masing dusun. Adapun pusat pemerintahan Desa dan Mesjid berada di Dusun I. Hasil sensus semua rumahtangga menunjukkan bahwa ra-rata anggota rumahtangga di dalam komunitas ini lebih tinggi dibanding anggota rumahtangga komunitas Tondo, yaitu 4,7 orang. Sementara itu, rata-rata usia kepala keluarga di dalam komunitas Jono Oge sama dengan di komunitas Tondo, yaitu 45 tahun. Desa Jono Oge tidak dilalui jalan raya yang menghubungkan antar kota, tetapi hanya sekitar 2 km dari jalan tersebut. Oleh sebab itu, bila masyarakat desa ini akan bepergian dengan menggunakan kendaraan umum roda empat maka mereka terlebih dahulu harus berjalan kaki atau naik ojek menuju jalan raya tersebut. Walaupun demikian desa ini tidak terisolir karena mudah dijangkau dengan kendaraan roda dua atau roda empat milik pribadi. Selain itu, satu kali dalam sehari (pagi hari) terdapat kendaraan umum menuju kota Palu yang secara khusus melewati desa ini. 4.2. Profil Dua Komunitas Petani di Kabupaten Pidie – Nangroe Aceh Darussalam (NAD) 4.2.1.
Komunitas Petani di Desa Cot Baroh/Tunong: Aceh Lokal Lokasi penelitian Cot Baroh/Tunong terdiri dari dua desa yang lokasinya
berdampingan, yaitu Desa Cot Baroh dan Desa Cot Tunong. Kedua desa tersebut mempunyai wilayah mukim50 dan ketua mukim yang sama serta berada di wilayah kecamatan yang sama, yaitu Kecamatan Gelumpang Tiga. Desa Cot Baroh dan Desa Cot Tunong berada dalam wilayah Mukim Aron bersama tujuh desa
50
Mukim adalah suatu gabungan dari gampong-gampong (yang juga berarti desa) dan merupakan kesatuan hukum bercorak agama. Ketua mukim disebut imam mukim. Pada awalnya imam mukim merupakan pemimpin masjid (bererti pemimpin urusan agama) tetapi lambat laun ia mempunyai kekuasaan dunawiah (Sjamsuddin, 2007). .
74
lainnya. Meskipun secara administraif terpisah dalam dua wilayah desa, tetapi dalam hal mengembangkan usahatani sawah dan/atau kebun mereka bercampur di wilayah yang sama. Oleh sebab itu, kesatuan wilayah komunitas ini didekati bukan dari sisi wilayah adminitratif tetapi dari wilayah pengembangan usahatani. Ditinjau dari jumlah rumah tangga yang tinggal di desa, Desa Cot Baroh dan Cot Tunong tergolong suatu desa yang relatif kecil. Dalam hal ini, jumlah rumah tangga di Desa Cot Baroh hanya 104 KK dan jumlah rumahtangga di Desa Cot Tunong hanya 101 KK (setara dengan jumlah rumahtangga pada sebuah dusun di desa Ulee Gunong). Oleh sebab itu, wilayah kedua desa tersebut tidak lagi terbagi menjadi beberapa wilayah dusun (masing-masing desa hanya mempunyai satu buah dusun). Warga komunitas tinggal berdekatan dan terkonsentrasi di masingmasing dusun yang dalam bahasa lokal disebut gampong. Saat ini, masing-masing Desa dipimpin oleh seorang Keucik yang posisinya berdasarkan UU Pemerintahan Desa setara Kepala Desa. Hasil sensus semua rumahtangga menunjukkan bahwa ra-rata anggota rumahtangga di dalam komunitas ini adalah 3,81 orang, sedangkan rata-rata usia kepala keluarga adalah 49 tahun. Penduduk yang menghuni kedua desa ini umumnya mempunyai latar belakang etnis yang disebut masyarakat sebagai “orang Aceh”. Penduduk desa Cot Baroh/Tunong umumnya lahir di desa ini. Adapaun para pendatang yang tinggal di desa ini jumlahnya relatif sedikit, yaitu kurang dari 20 persen. Mereka umumnya datang dari sekitar (desa tetangga) sehingga para pendatang tersebut termasuk kategori pendatang lokal. Di desa ini hampir tidak ada pendatang yang memiliki latarbelakang etnis selain orang Aceh, kecuali mereka yang menikah dengan orang Aceh. Kedua desa tersebut mempunyai akses yang baik terhadap ibu kota kabupaten (kota Sigli), selain karena jaraknya relatif dekat (hanya sekitar 20 km) juga mempunyai kondisi jalan yang baik. Pusat Desa Cot Baroh berjarak sekitar tiga km dari jalan raya Banda Aceh Medan sedangkan pusat Desa Cot Tunong berjarak sekitar lima km. Kondisi jalan menuju kedua desa tersebut sebagian sudah beraspal (sekitar dua km) dan sisanya merupakan jalan batu. Sementara itu, jalan ke kebun masih merupakan jalan tanah, baik yang masih jalan setapak maupun yang sudah lebar (dapat dilalui kendaraan roda empat di musim kemarau).
75
4.2.2.
Komunitas Petani di Desa Ulee Gunong: Aceh – Pendatang Desa ini bernama Ulee Gunong yang berarti kepala Gunong. Nama ini
diberikan karena pusat desa Ulee Gunong berada di puncak Gunong. Desa Ulee Gunong merupakan salah satu desa yang termasuk wilayah Kecamatan Tangse. Desa ini berada dalam wilayah Mukim Tanjung Bungong bersama enam desa lainnya. Ditinjau dari jumlah rumah tangga, desa Ulee Gunong tergolong desa yang relatif besar sehingga desa tersebut terbagi menjadi tiga dusun. Dusun I (Dusun Alue Geupay) mempunyai warga sebanyak 82 KK, Dusun II atau (Dusun Mesjid) mempunyai warga sebanyak 104 KK, dan Dusun III (Dusun Lombo) mempunyai warga sebanyak 86 KK. Lokasi pemukiman dusun I dan Dusun II relatif bersambungan, sedangkan lokasi Dusun III relatif jauh dari dusun lainnya, yaitu berjarak sekitar 700 m dari dusun II. Walaupun demikian semua Dusun dilalui jalan raya antar kabupaten. Warga komunitas tinggal berdekatan dan terkonsentrasi di masing-masing dusun yang dalam bahasa lokal disebut gampong. Hasil sensus semua rumahtangga menunjukkan bahwa rata-rata anggota rumahtangga sebanyak 4,2 orang sedangkan rata-rata usia kepala keluarga 45 tahun. Berdasarkan latarbelakang etnis, seluruh penduduk desa Ulee Gunong merupakan warga yang nerlatarbelakang etnis Aceh. Walaupun demikian, sebagain besar dari mereka merupakan pendatang lokal dari kecamatan Mutiara dan Kecamatan Gelumpang Tiga, yang berjarak sekitar 40 km dari desa Ulee Gunong. Kedua kecamatan dimaksud berda di wilayah dataran rendah yang berpenduduk lebih padat dan lokasinya sekitar 10 - 15 km dari kota Sigli. Pada umumnya, mereka datang ke Desa Ulee Gunong dengan tujuan mencari sumber mata pencaharian, terutama sebagai pencari hasil hutan, penebang kayu dan/atau sebagai petani kebun kopi. Mereka sudah berdatangan di Desa Ulee Gunong sejak Indonesia belum merdeka, karena sejak saat itu mereka dapat mencontoh mengembangkan tanaman kopi dari kebun contoh yang dibangun Belanda di wilayah Dusun Lombo. Walaupun berada di puncak gunung, desa ini tidak terisolir karena dilewati jalan raya yang menghubungkan kota Sigli (ibu kota Kabupaten Pidie) dan kota Meulaboh (ibu kota Kabupaten Aceh Barat). Selain itu, desa ini mempunyai akses yang baik terhadap ibu kota kabupaten (kota Sigli), meskipun jaraknya relatif jauh
76
(sekitar 50 km). Kendaraan umum terbanyak yang melewati Desa Ulee Gunong adalah kendaraan umum yang mempunyai trayek dari kota Tangse menuju kota Berenun (tujuh km sebelum kota Sigli). Kendaraan tersebut sudah ada mulai jam 07 pagi dan baru berakhir jam lima sore. Ongkos trnsportasi untuk menempuh trayke tersebut (dengan menggunakan L 300) hanya Rp. 10.000,-. Berenun merupakan kota kecamatan yang lokasinya di persimpangan antara Pidie menuju Medan dan Pidie menuju Tangse - Melaboh. Dari kota Berenun menuju kota Sigli yang berjarak tujuh km dapat menggunakan Labi-labi (angkutan kota) dengan ongkos Rp. 3.000,-. 4.3. Perbandingan dan Kesimpulan Ditinjau dari segi agroekosistem, dua desa kasus di Selawesi Tengah dan satu desa kasus di Nangroe Aceh Darussalam mempunyai kesamaan, yaitu masing-masing merupakan wilayah dataran rendah yang mempunyai sumberdaya agraria lahan basah untuk usahatani padi-sawah serta lahan kering untuk usahatani perkebunan. Walaupun demikian, di ketiga desa kasus tersebut luas sumberdaya agraria lahan kering jauh lebih dominan dibanding lahan basah. Sementara itu, satu desa kasus lainnya, yaitu Desa Ulee Gunong Propinsi NAD, merupakan wilayah dataran tinggi yang hanya mempunyai lahan kering untuk usahatani perkebunan. Di semua desa kasus, rumahtangga petani merupakan bagian terbesar dari warga komunitas. Proporsi terbesar warga komunitas yang merupakan petani muncul di Desa Jono Oge (99 %), sedangkan terendah di Desa Tondo (86%). Berdasarkan riwayat pembentukan komunitas, seluruh komunitas petani di desa-desa kasus merupakan komunitas yang sudah terbentuk sejak lama dalam satuan wilayah yang disebut kampung. Namun demikian, komunitas petani di Desa Tondo dan Desa Cot Baroh/Tunong terbentuk relatif lebih awal, yaitu sejak sebelum zaman Belanda. Sementara itu, komunitas petani di desa penelitian Jono Oge dan Ulee Gunong mulai terbentuk pada akhir zaman Belanda dan kemudian berkembang pesat setelah Indonesia merdeka. Seluruh warga komunitas petani di empat desa penelitian bertempat tinggal berdekatan dan terpusat di wilayah dusun, sedangkan kebun mereka tersebar mulai dari belakang rumah sampai ke tempat yang cukup jauh (terjauh sekitar 10 km dari rumah menuju arah pegunungan).
77
Berdasarkan jumlah penduduk, komunitas petani di Desa Tondo merupakan komunitas yang tergolong relatif besar (jumlah rumahtangga di dua dusun lebih dari 300). Sebaliknya, komunitas petani di Desa Jono Oge Sulawesi Tengah dan di Desa Cot Baroh/Tunong NAD merupakan komunitas yang relatif kecil (jumlah rumahtangga sekitar 200). Sementara itu, komunitas di Desa Ulee Gunong NAD merupakan komunitas yang tergolong sedang (jumlah rumahtangga mendekati 300). Adapun jumlah anggota rumahtangga yang besar terjadi dalam komunitas petani di Desa Jono Oge (4,7 orang/rumahtangga), sedangkan di komunitas lainnya hanya sekitar empat orang/rumahtangga. Pada awalnya, komunitas petani di desa-desa kasus diketuai oleh Kepala Kampung (di Sulawesi Tengah) atau Keucik (di NAD). Selain itu, di semua komunitas tersebut terdapat Ketua Adat yang posisinya sama atau lebih tinggi dari ketua kampung. Akan tetapi, sejak diberlakukannya Undang-Undang Pemerintahan Desa No. 5 tahun 1979, di semua lokasi penelitian, pimpinan komunitas terpusat pada Kepala Desa 51. Bertolak dari latarbelakang etnis dan migrasi, keempat komunitas petani mempunyai perbedaan. Komunitas petani di Desa Tondo merupakan etnis Kaili dan komunitas petani di Desa Cot Baroh/Tunong merupakan etnis Aceh. Kedua komunitas tersebut merupakan penduduk asli atau bukan migran dari lokasi lain. Sementara itu, komunitas petani di Desa Jono Oge merupakan etnis Bugis yang bermigrasi dari propinsi Sulawesi Selatan, dan komunitas petani di Desa Ulee Gunong merupakan etnis Aceh yang bermigrasi dari kecamatan lain di kabupaten yang sama (Kabupaten Pidie). Walaupun dua komunitas petani di Desa Tondo dan Desa Cot Baroh/ Tunong dihuni oleh etnis yang tidak pernah bermigrasi, tetapi mereka tidak termasuk “masyarakat terbelakang”. Kemudian, ditinjau dari sisi ethos kerja, antara komunitas pendatang Bugis dan komunitas lokal Kaili terdapat perbedaan ethos kerja. Dalam hal ini, komunitas Bugis mempunyai kemauan dan kemampuan bekerja keras yang lebih menonjol dibanding etnis Kaili. Walaupun latar belakang
51
Fenomena tersebut sama dengan yang dikemukakan Adimiharja (1999) bawa setelah adanya UU No 5 Tahun 1979 tentang pemerintahan desa, peranan ketua adat digantikan oleh kepala desa. Keadaan tersebut menyebabkan disfungsinya pemerintahan adat dan kemudian menyebabkan split personality di kalangan masyarakat
78
etnis komunitas petani kasus berbeda, tetapi semua anggota komunitas merupakan pemeluk agama yang sama (Agama Islam). Berdasarkan ketersediaan sarana transportasi, semua desa kasus di Sulawesi Tengah maupun NAD merupakan desa-desa terbuka (relatif mudah dijangkau). Walaupun demikian, tidak semua desa kasus dilalui kendaraan umum roda empat, tetapi untuk mencapai desa tersebut dapat dicapai dengan kendaraan umum roda dua (motor ojek). Hanya desa Tondo (Dusun II) di Sulawesi Tengah dan Desa Ulee Gunong di NAD yang dilalui secara terus mene-rus oleh kendaraan umum roda empat. Bahkan Desa Ulee Gunong sangat terbuka karena semua dusun dilalui jalan raya yang menghubungkan antar kota kabupaten. Para petani yang berada di semua desa kasus sudah mengembangkan usahatani menetap sejak lama (sejak zaman Belanda). Di desa kasus dataran rendah, usaha pertanian menetap dimulai dengan tanaman padi sawah, sedangkan desa kasus dataran tinggi usaha pertanian menetap dimulai dengan tanaman kopi. Pada saat ini, di semua desa kasus, pengembangan usahatani dengan membuka lahan baru terus berlanjut, bahkan sudah mendekati hutan lindung. Meskipun sudah ada Undang-Undang Pemerintahan Desa, namun sampai saat ini penetapan batas wilayah sebuah desa belum menggunakan alat permanen (patok), dan luas wilayah desa cenderung mengikuti wilayah pengembangan areal baru yang dilaksanakan oleh masyarakat dari masing-masing desa. Kondisi ini di kemudian hari sangat potensial menimbulkan konflik yang dipicu oleh perebutan wilayah desa.
79
Tabel 4.1.
Profil Empat Komunitas Petani Kasus, 2007
Aspek Agro-ekosistem Riwayat Pembentukan Komunitas
Ukuran Komunitas/Desa
Etnis
Mata pencaharian Utama
Sarana Transportasi
Landasan Nilai dan Agama
Tondo Dataran Rendah : Lahan basah (sawah) + lahan kering (kebun) Kampung berdiri jauh sebelum akhir zaman Belanda, Tempat tinggal warga berdekatan dan terpusat di Dusun Besar (715 KK, 3 Dusun, Dusun II dan III=318 KK) Jumlah AK = 4,1 Kaili (bukan masyarakat terasing, pendatang dari sekitar Palu pada zaman Kerajaan Tawaili, awal abad 19)
Dusun 2 dan 3 = pertanian, dusun 1 = nelayan Petani dusun 2 dan 3 = 86 % Sebagian Sangat Terbuka : Dusun 1 dan 2 dilalui jalan antar kabupaten, dusun 3 dilalui jalan untuk roda empat, 2 km dari jalan antar kabupaten Islam
Cot Baroh/ Tunong
Ulee Gunong
Dataran Rendah : Lahan basah (sawah) + lahan kering (kebun) Kampung berdiri sejak akhir zaman Belanda, Tempat tinggal warga berdekatan dan terpusat di Dusun Kecil (189 KK, 2 Dusun)
Jono Oge
Dataran Rendah : Lahan basah (sawah) + lahan kering (kebun) Kampung berdiri jauh sebelum akhir zaman Belanda, Tempat tinggal warga berdekatan dan terpusat di Dusun
Dataran Tinggi: lahan kering (kebun) Kampung berdiri sejak akhir zaman Belanda, Tempat tinggal warga berdekatan dan terpusat di Dusun Sedang (272 KK, 3 Dusun)
Jumlah AK = 4,7 Bugis, Pendatang Spontan, dalam 3 gelombang : I = sebelum Indonesia merdeka, II = masa pemberontakan DI/TII (tahun 60 an), III = pembukaan hutan pertanian menetap pesat (akhir tahun 70 an – akhir tahun 80 an) Dusun 1 dan 2 pertanian
Jumlah AK = 3,8 Aceh
Jumlah AK = 4,2 Aceh (Pendatang lokal dari kecamatan sekitar kota Sigli sejak akhir zaman Belanda)
Dusun 1 dan 2 pertanian
Dusun 1 dan 2 pertanian
Petani = 99 % Terbuka : Dilalui jalan untuk roda empat, 3 km dari jalan antar kabupaten
Petani = 89 % Terbuka, Dilalui jalan untuk roda empat, 3 km dari jalan antar kabupaten
Petani = 92 % Sangat Terbuka : Semua dusun dilalui jalan antar kabupaten
Islam
Islam
Islam
Kecil (205 KK, 2 Dusun)
80
BAB V PERKEMBANGAN SISTEM PERTANIAN DI EMPAT KOMUNITAS PETANI KASUS 5.1. Perkembangan Pertanian Menetap “Padi Sawah” dan “Tanaman Perkebunan” di Empat Komunitas Petani Kasus Di semua desa kasus, baik di Sulawesi Tengah maupun NAD, sistem pertanian “perladangan berpindah” (shifting cultivation)52 di lahan kering pernah ada dan sebagian besar petani yang berusia relatif tua pernah melakukannya, kecuali para petani di Desa Jono Oge yang berlatarbelakang etnis Bugis. Sebagai petani pendatang, para petani di Desa Jono Oge umumnya hanya melakukan sistem pertanian menetap. Pola tersebut mereka mulai di lahan sawah, kemudian dilanjutkan di lahan kering dengan tanaman perkebunan. Sistem pertanian menetap sebenarnya bukan hal yang baru, karena sistem tersebut sudah dilakukan para petani sejak zaman Belanda. Di wilayah dataran rendah seperti di Desa Tondo dan Jono Oge di Sulawesi Tengah serta di Desa Cot Baroh/Tunong di NAD, sistem tersebut dilakukan para petani melalui pengusahaan tanaman padi sawah. Sementara itu, di wilayah dataran tinggi seperti di Desa Ulee Gunong di NAD sistem tersebut dilakukan para petani melalui pengusahaan tanaman komersial kopi. Pada awalnya sistem pertanian menetap hidup berdampingan dengan sistem perladangan berpindah. Akan tetapi, perkembangan sistem pertanian menetap yang mengusahakan tanaman perkebunan berkembang sangat pesat, sehingga akhirnya tidak tersedia lagi lahan yang memadai untuk melakukan sistem perladangan berpindah 53 . Oleh sebab itu, pada saat penelitian berlangsung sistem perladangan berpindah di semua desa kasus sudah tidak ada lagi. Bahkan, menu52
Gourou dalam Geertz (1976) menyebutkan bahwa ciri-ciri perladangan adalah : dijalankan di tanah tropis yang gersang, berupa teknik pertanian yang elementer tanpa menggunakan alat-alat kecuali kapak, kepadatan penduduk masih rendah, dan tingkat konsumsi masih rendah. Kemudian Pelzer dalam Geertz (1976) mengemukakan bahwa ciri-ciri perladangan adalah tidak ada pembajakan, input tenaga kerja relatif sedikit, tidak menggunakan tenaga hewan dan pemupukan, serta tidak ada konsep pemilikan pribadi.
53
Menurut Geertz (1976), pada permulaan zaman penjajahan Belanda perladangan sudah diusahakan oleh suku-suku di Indonesia Luar tetapi jumlahnya masih sedikit. Pada umumnya lahan di Indonesia Luar masih berupa hutan tropis. Setelah itu, tanaman komersial (misalnya kopi) “ditumpangkan” atau “disisipkan” pada lahan hutan atau sistem perladangan sehingga penduduk pribumi tetap dalam keadaan semula tetapi juga menghasilkan produk untuk pasaran dunia.
81
rut informasi para petani sistem perladangan berpindah sudah berakhir lama, yaitu di Sulawesi Tengah sejak awal tahun 90 an dan di Nangroe Aceh Darussalam pertengahan tahun 90 an54. Di desa-desa kasus di Sulawesi Tengah sistem perladangan berpindah di lahan kering mulai tergusur sejak berkembangnya sistem pertanian menetap yang mengusahakan tanaman “komersial” kelapa dan tanaman “komersial” cengkeh sebagai usahatani “monokultur tanaman komersial” 55 Kemudian sistem perladangan berpindah menghilang dari desa-desa kasus di wilayah Sulawesi Tengah setelah tanaman “komersial kakao” berkembang sangat pesat (Gambar 5.1 dan Gambar 5.2). 14 12 10
Kakao Cengkeh
8
Kelapa 6
Padi Campuran
4 2
Gambar 5.1.
-0 7 03
-0 2 98
-9 7 93
-9 2 88
-8 7 83
-8 2 78
-7 7 73
68
-7 2
-6 7 63
-6 2 58
52
-5 7
0
Perkembangan Pertanian Menetap di Desa Tondo, 2007 (Sumber Data : Wawancara dengan Petani Responden)
14 12 10
Kakao Cengkeh
8
Kelapa 6
Padi Campuran
4 2
Gambar 5.2.
-0 7 03
-0 2 98
-9 7 93
-9 2 88
-8 7 83
-8 2 78
-7 7 73
-7 2 68
-6 7 63
-6 2 58
52
-5 7
0
Perkembangan Pertanian Menetap di Desa Jono Oge, 2007 (Sumber Data : Wawancara dengan Petani Responden)
54
Hasil penelitian Syamsuddin (1980) melaporkan di wilayah Aceh perladangan mulai tergusur oleh berkebun sehingga istilah mugen (berkebun) lebih populer dari meuladang.
55
Meskipun pada lahan yang sama terdapat beberapa tanaman tetapi semuanya tanaman komersial.
82
14 12 10 Kakao
8
Padi 6
Campuran
4 2
Gambar 5.3.
-0 7 03
-0 2 98
-9 7 93
-9 2 88
-8 7 83
-8 2 78
-7 7 73
-7 2 68
-6 7 63
-6 2 58
52
-5 7
0
Perkembangan Pertanian Menetap di Desa Cot Baroh/Tunong, 2007 (Sumber Data : Wawancara dengan Petani Responden)
14 12 10 Kakao
8
Kopi 6
Campuran
4 2
Gambar 5.4.
-0 7 03
-0 2 98
-9 7 93
-9 2 88
-8 7 83
-8 2 78
-7 7 73
-7 2 68
-6 7 63
-6 2 58
52
-5 7
0
Perkembangan Pertanian Menetap di Desa Ulee Gunong, 2007 (Sumber Data : Wawancara dengan Petani Responden)
Sementara itu, di desa-desa kasus di NAD sistem perladangan berpindah di lahan kering tergusur oleh pengusahaan tanaman “komersial” kopi (di wilayah dataran tinggi) dan kemudian oleh tanaman “komersial” kakao (Gambar 5.3. dan Gambar 5.4.). Di NAD pengembangan tanaman kakao dimulai di wilayah dataran rendah, dan selanjutnya berkembang di wilayah dataran tinggi. Pada saat penelitian berlangsung, di semua desa kasus, baik yang berada di Sulawesi Tengah maupun di NAD, sistem pertanian menetap dengan tanaman kakao hampir menghabiskan sumberdaya agraria lahan kering, termasuk sumber-
83
daya agraria lahan kering yang dipahami masyarakat sebagai “lahan negara” yang diperuntukkan bagi pengembangan usaha perkebunan (Areal Penggunaan Lain/ APL). Bahkan, di beberapa tempat pengembangan kebun kakao rakyat sudah mendekati batas wilayah “hutan lindung” (Gambar 5.5, Gambar 5.6, dan Gambar 5.7). Nampaknya masyarakat terus membuka hutan dan/atau memanfatkan hutan yang sudah terbuka56 tanpa ada aturan lokal (adat) maupun aturan pemerintah yang dapat bekerja efektif untuk mengawasinya. Dalam sistem perladangan berpindah yang pernah dilakukan para petani, mereka memanfaatkan lahan kering dengan mengusahakan tanaman utama “pangan” padi ladang, kemudian juga diusahakan tanaman buah-buahan pisang, tanaman sayuran (terutama kacang), dan tanaman kayu-kayuan. Di desa kasus di Sulawesi Tengah, tanaman utama yang diusahakan pada sistem pertanian ladang berpindah di lahan kering adalah padi ladang, kemudian para petani juga mengusahakan tanaman palawija (khususnya jagung dan ubi kayu) serta tanaman pisang. Pada sistem perladangan berpindah di Sulawesi Tengah, padi ladang hanya ditanam satu kali/tahun dan hanya satu tahun dalam setiap periode, setelah itu para petani pindah dan membuka lahan di lokasi baru. Lahan lama diusahakan kembali setelah 3 tahun ditinggalkan (oleh orang yang membuka pertama atau orang lain). Sementara itu, di lokasi penelitian propinsi NAD, tanaman yang diusahakan pada sistem pertanian ladang berpindah di lahan kering adalah padi ladang, pisang, kacang. Tanaman-tanaman tersebut diusahakan selama 2 sampai dengan 3 tahun (3 kali penen padi ladang dan 3 kali panen kacang). Setelah itu, mereka membuka hutan lagi sebanyak 3 – 4 kali di tempat lain. Oleh sebab itu, mereka baru kembali ke lahan pertama sekitar 10 tahun kemudian. Baik di Propinsi Sulawesi Tengah maupun NAD, kayu-kayuan ditanam para petani dalam jumlah terbatas sebagai tanda bahwa lahan tersebut ada pemiliknya, sehingga meskipun lahan tersebut ditinggalkan dalam waktu cukup lama tidak akan ada petani lain yang menggarapnya.
56
Lahan bekas HPH atau lahan hutan produksi terbatas atau hutan lindung (hutan milik negara) yang kayu besarnya sudah dimabil melalui illegal logging dan yang tersisa hanya kayu-kayu kecil.
84
Gambar 5.5.
Peta Lokasi Pertanian Menetap di Desa Tondo dan Desa Jono Oge - Kabupaten Donggala - Sulawesi Tengah, 2007
85
Gambar 5.6.
Peta Lokasi Pertanian Menetap di Desa Cot Baroh/Tunong Kabupaten Pidie – Nangroe Aceh Darussalam, 2007
86
Gambar 5.7.
Peta Lokasi Pertanian Menetap di Desa Ulee Gunong Kabupaten Pidie – Nangroe Aceh Darussalam, 2007
87
5.1.1.
Perkembangan Pertanian Menetap “Padi Sawah” dan “Perkebunan” di Desa Tondo – Sulawesi Tengah Pada lahan sawah, tanaman padi merupakan awal pertanian menetap yang
dilakukan petani di Desa Tondo. Setelah itu, pada lahan kering, tanaman kelapa merupakan titik tolak berkembangnya pertanian menetap di lokasi tersebut, kemudian disusul dengan cengkeh dan tanaman kakao. Bila tanaman padi sawah sudah diusaha-kan sejak zaman Belanda, tanaman kelapa mulai diusahakan petani pada awal tahun 60 an dan cengkeh baru berkembang sekitar awal tahun 75 an. Sementara itu, tanaman kakao baru diusahakan para petani di Desa Tondo pada awal tahun 90 an. Sebenarnya, para petani di Desa Tondo sudah mulai mencoba menanam kakao pada tahun 70 an dengan menggunakan benih dari petani Bugis di Desa Jono Oge. Akan tetapi, pada saat itu, produksi buah kakao belum dapat dijual. Kemudian pada akhir tahun 80 an buah kakao sudah dapat dijual, sehingga beberapa petani di Desa Tondo membeli bibit kakao lokal dari orang Mandar di daerah Pasang Kayu (Sulawesi Selatan). Sementara itu, bibit kakao unggul diperoleh para petani di Desa Tondo melalui proyek P2WK yang pembibitannya dilakukan oleh PT Hasfarm. Proyek P2WK memfasilitasi pembangunan kebun kakao para petani pada lahan-lahan yang berada sepanjang jalan yang menghubungkan antar desa. Luas kebun kakao petani yang dibangun melalui program P2WK sekitar 100 ha dan jumlah petani Desa Tondo yang ikut serta sekitar 25 % dan luas kebun kakao yang dibangun sekitar 100 ha (umumnya satu ha/petani). Sebelum ada tanaman komersial perkebunan, sistem pertanian yang diterapkan masyarakat umumnya sistem perladangan berpindah. Dalam sistem perladangan berpindah, tanaman yang diusahakan para petani adalah padi ladang dan palawija (terutama jagung dan ubi kayu) serta tanaman pisang. Pada sistem ini, padi hanya ditanam satu kali/tahun, setelah itu petani pindah dan membuka lahan baru. Lahan tersebut diusahakan kembali para petani setelah tiga tahun ditinggalkan (umumnya diusahakan kembali oleh orang yang membuka pertama). Bila lahan tersebut diusahakan oleh orang lain, maka orang lain yang meneruskan harus membayar ganti rugi, sebagai pengganti biaya pembukaan lahan. Pada saat itu, warga komunitas yang mau membuka lahan pertama (lahan yang belum
88
pernah diusahakan) tidak perlu meminta izin karena tanah tersebut dipahami masyarakat sebagai tanah “swapraja” atau tanah negara. Meskipun tanaman kakao terus berkembang, tetapi perubahan sawah menjadi kebun kakao sangat sedikit (sekitar 20 ha), itupun hanya terjadi pada lahan sawah yang tidak lagi mendapatkan air dalam jumlah cukup, sehingga secara teknis tidak mungkin ditanami padi sawah57. Para petani di desa ini masih mempertahankan lahan padi sawah dan tidak merubahnya menjadi kebun kakao karena pertimbangan berikut : sawah menghasilkan bahan untuk makanan pokok, memiliki beras memberikan keamanan ketahanan pangan keluarga dan menjadi prestise, kakao dapat ditanam di tanah kering. Setelah berkembang pertanian menetap, maka status pemilikan lahan berubah dari pemilikan kolektif menjadi milik perorangan. Namun demikian, pada awal perubahan tersebut belum ada mekanisme pemilikan dengan bukti tertulis. Pada saat itu, satu-satunya bukti milik perorangan yang diakui masyarakat adalah “diatas lahan tersebut terdapat tanaman yang diusahakan”. Luas pemilikan lahan sebagian petani semakin sempit karena mereka menjual lahan, baik kepada petani sedesa maupun kepada penduduk luar desa. Saat ini, bila kebutuhan petani dapat diatasi dengan cara lain sebenarnya para petani enggan menjual sumberdaya agraria (lahan) karena mereka sulit untuk mendapatkan lahan lain. 5.1.2.
Perkembangan Pertanian Menetap “Padi Sawah” dan “Perkebunan” di Desa Jono Oge – Sulawesi Tengah Sebagaimana terjadi di Desa Tondo, di Desa Jono Oge pun pertanian
menetap dimulai di lahan basah sawah dimana para petani mengusahakan tanaman padi. Pengusahaan tanaman padi sawah tersebut sudah mereka lakukan sejak zaman Belanda. Setelah tahun 80 an di desa ini banyak dilakukan pencetakan sawah baru, baik melalui program pemerintah maupun swadaya masyarakat. Sampai dengan saat ini, sebagian besar sawah di Desa Jono Oge dicetak melalui swadaya masyarakat, sedangkan sawah yang dicetak melalui program pemerintah hanya 20 %. Apalagi, sebagian sawah yang dicetak oleh program pemerintah 57
Perubahan lahan sawah menjadi kebun kakao banyak terjadi di daerah persawahan orang Bali di Kabupaten Parigi Montong Propinsi Sulawesi Tengah karena rusaknya saluran irigasi (10 tahun yang lalu). Akan tetapi, akhir-akhir ini setelah irigasi diperbaiki banyak petani yang merubah kembali kebun kakao menjadi sawah (Drajat dkk., 2007)
89
(oleh kontraktor) ternyata kurang berhasil. Pada awalnya, sumberdaya agraria (lahan) yang dijadikan sawah merupakan tempat tumbuhnya tanaman sagu. Oleh sebab itu, sampai dengan awal tahun 80 an masih banyak penduduk Jono Oge yang menggunakan sagu sebagai makanan pokoknya. Pada saat penelitian berlangsung, semua sawah yang berlokasi di Desa Jono Oge tergarap dengan baik. Akan tetapi pengusahaannya dilakukan secara giliran, yaitu selama setahun hanya satu kali tanam/panen. Untuk keperluan pengaturan penanaman, lahan sawah di Desa Jono Oge dibagi tga blok. Jika penanaman padi dilakukan di blok satu, maka blok dua dan blok tiga tidak ditanami padi (diberakan). Hal ini dilakukan untuk : 1) mengatasi keterbatasan ketersediaan tenaga kerja dan air, 2) pengendalian penyakit, 3) menyediakan tempat penggembalaan ternak dan usaha palawija. Ketersediaan air irigasi semakin menyusut sejak banyaknya pembukaan hutan dan pembangunan kebun. Pada awalnya, pertanian menetap lahan kering dilakukan para petani di pekarangan rumah kemudian pada lahan-lahan yang jaraknya relatif dekat. Lebih lanjut, mereka mengembangkan pertanian menetap lahan kering di hutan yang baru dibuka. Di lahan kering, pertanian menetap dimulai dengan pengusahaan tanaman kelapa pada tahun 60 an dan kemudian cengkeh sekitar tahun 75 an. Adapun pengusahaan tanaman kakao dalam bentuk pertanian menetap baru dilakukan petani di Desa Jono Oge akhir tahun 80 an. Pada awal tahun 90 an, para petani di Desa Jono Oge membangun kebun kakao secara mandiri dengan membeli bibit dari Sulawesi Selatan atau dari pantai Timur Sulawesi Tengah. Kemudian pada awal tahun 90 an perluasa kebun kakao petani di Desa Jono Oge mendapat fasilitas pemerintah melalui proyek P2WK. Pada saat itu, para petani di Desa Jono Oge yang turut serta sebagai peserta program P2WK sekitar 50% sehingga luas lahan kakao yang dibangun melalui program dimaksud sekitar 70 ha. Melalui program P2WK, para petani memperoleh bantuan bibit, parang, pupuk, dan obat-obatan. Namun demikian, petani yang mendapat fasilitas (peserta program P2WK) adalah para petani yang memiliki tanah dekat jalan yang menghubungkan antar desa (baik lahan yang baru diolah maupun yang ada pohon kelapanya).
90
Pada tahap awal, bila para petani bermaksud membuka hutan mereka tidak perlu minta idzin kepada siapapun karena masyarakat memahami status lahan tersebut sebagai hutan bebas. Namun demikian, bila tanaman tersebut mereka usahakan pada lahan yang sudah dibuka petani lain maka mereka harus memberikan biaya ganti rugi kepada petani lain tersebut, yaitu sebagai pengganti biaya membuka lahan. Mekanisme ”permintaan idzin” dalam membuka lahan mulai muncul sekitar tahun 80 an. Sejak sat itu, untuk membuka lahan baru yang luasnya hanya sampai 2 hktar permintaan izin cukup dilakukan kepada kepala desa, sedangkan untuk membuka lahan baru dengan luas lebih dari 2 ha sampai dengan 5 ha permintaan izin harus diajukan kepada camat. Kemudian, untuk membuka lahan baru yang luasnya diatas 5 ha, maka permintaan izin harus diajukan kepada Bupati. Saat ini, sekitar 30 petani di desa Jono Oge yang tidak memiliki lahan berupaya mengembangkan kakao di wilayah yang dinamai “Pura” yang berjarak sekitar 12 km dari pusat desa. Sekitar 10 KK diantaranya tinggal menetap di kampung Pura, tetapi 20 KK lainnya tidak menentap. Di wilayah tersebut selain suku asli Kaili dan suku ”terasing” Tajio, banyak pendatang dari desa sekitar (Sipi, Tompe, Sibado, Balikutume, Tondo) yang juga bermaksud membuka kebun baru, terutama kebun kakao. Untuk mendapat tanah harus minta idzin kepada kepala kampung 5.1.3.
Perkembangan Pertanian Menetap “Padi Sawah” dan “Perkebunan” di Desa Cot Baroh/Tunong – NAD Dua tanaman utama yang merupakan cikal-bakal pertanian menetap di Desa
Cot Baroh/Tunong adalah padi sawah dan kakao. Tanaman lain yang diusahakan penduduk adalah pinang, pisang, dan buah-buahan. Akan tetapi, tanaman tersebut hanya diusahakan sebagai tanaman sela yang ditanam diantara tanaman utama kakao. Selain itu, ternak juga banyak diusahakan para petani terutama ternak sapi, lembu, kerbau dan kambing. Akan tetapi, hampir semua ternak yang diusahakan petani tidak pernah dikandangkan dan ternak-ternak tersebut berkeliaran mencari makan sendiri.
91
Meskipun di desa ini sebelumnya tidak pernah ada program pemerintah untuk pembangunan kebun kakao, tetapi sejak pertengahan tahun 80 an tanaman tersebut sudah mulai ditanam petani dan berkembang pesat setelah tahun 90 an. Para petani menanam kakao hanya dengan cara meniru dan mengambil bahan tanam dari petani lain. Pada awalnya para petani di Desa Cot Baroh dan Cot Tunong meniru dari petani-petani yang tinggal di desa lain. Oleh sebab itu, para petani di desa ini memandang Bin Bulang dan M. Ali sebagai perintis penanaman kakao di desa ini. Padahal keduanya merupakan penduduk desa lain (Desa Kurung Jangko), sebuah desa yang lokasinya bersebelahan dengan desa Cot Baroh/ Tunong. Sebenarnya kedua perintis tersebut merupakan guru SD, tetapi mereka juga aktif berusahatani dan pernah mendapat kesempatan keliling Sulawesi untuk studi banding tentang tanaman kakao (dibiayai pemerintah). Di desa Kurung Jangko hampir tidak ada petani yang tidak memiliki tanaman kakao. Para petani di desa Kurung Jangko menanam kakao di wilayah Blang Mane pada tahun awal 80 an melalui proyek PRPTE (Proyek Rehabilitasi dan Pengembangan Tanaman Ekspor) dan awal tahun 90 an melalui proyek P2WK (Proyek Pengembangan Wilayah Khusus). Sementara itu, para petani di Desa Cot Baroh Tunong mulai memperoleh bantuan pemerintah pada tahun 2000 dengan adanya program penghijauan kehutanan yang membagikan bibit kakao (tetapi bukan bibit unggul). Kemudian pada tahun 2004, terdapat Proyek Pengembangan Perkebunan Rakyat dengan biaya dari APBD Tingkat II yang dikembangkan di Blok Alue Kuno (60 ha) dan pada tahun 2006 terdapat Proyek Pengembangan Kebun dengan biaya dari ADB yang dikembangkan di Blok Cot Sintea (90 ha) dan Cot Sala (30 ha). Namun demikian tidak seluruh program tersebut ditujukan untuk masyarakat desa Cot Baroh/Tunong tetapi juga masyarakat desa sekitar. Pemilihan lahan, peserta, dan pembagian lahan diantara peserta dilakukan oleh peutua seneubok/ ketua kelompok tani setelah mendapat idzin dari ketua mukim (karena petani peserta berasal dari beberapa desa). Sebelum tanaman kakao diusahakan para petani, mereka memanfaatkan lahan kering dengan mengusahakan tanaman padi ladang, pisang, kacang, dan kayu sentong. Tanaman-tanaman tersebut diusahakan dengan cara perladangan berpin-
92
dah58. Setelah lahan hutan dibuka kemudian mereka usahakan selama dua tahun. Setelah itu, mereka membuka hutan lain, sehingga mereka baru kembali ke lahan pertama setelah 10 tahun. Pada saat itu ukuran kayu sentong sudah sebesar betis sampai paha. Penanaman kayu sentong mereka lakukan agar hak garap atas lahan yang di dalamnya ada kayu tersebut dapat dipertahankan. Dengan kata lain, lahan tersebut tidak dapat digarap petani lain kecuali dengan mekanisme “ganti rugi”. Pengembangan kebun coklat baru masih memungkikan karena masih tersedia lahan kosong dalam jumlah relatif banyak meskipun sudah jauh (jarak dari pusat desa sekitar 10 km) dan berada di wilayah kecamatan lain (Kecamatan Mutiara). Kondisi jalan menuju lahan tersebut hanya dapat dilalui dengan kendaraan motor bila tidak hujan. Sebenarnya status tanah tersebut dipahami masyarakat sebagai “tanah/hutan negara”, tetapi umumnya sudah relatif terbuka dan tidak lagi berisi kayu besar karena sudah ditebang melalui “ilegal logging”. Untuk mendapat lahan tersebut, hanya perlu meminta izin kepada kepala desa atau peutua seneubok setempat. Sebagian petani memahami bahwa hak mereka di atas tanah tersebut hanya hak garap (bukan hak milik), tetapi hak tersebut akan berlaku terus sepanjang di atas tanah dimaksud terdapat tanaman yang diusahakan. Sebenarnya di kawasan dekat pemukiman (dua km dari pusat pemukiman) banyak tanah kosong yang belum diusahakan tetapi umumnya bukan milik warga yang tinggal di desa tetapi milik orang yang tingal di kota (pejabat/pegawai/ pedagang). Oleh sebab itu, pada tahun 2006, proyek pengembangan kebun kakao baru yang dibiayai Asian Development Bank (ADB) sebagian besar (90 ha) dilaksanakan di wilayah yang relatif jauh (berjarak sekitar 8 km dari pusat desa), sedangkan di lokasi yang relatif dekat (dua km dari pusat desa) hanya 30 ha. 5.1.4.
Perkembangan Pertanian Menetap “Perkebunan” di Desa Ulee Gunong–NAD Di desa Ulee Gunong yang berada di dataran tinggi, pertanian menetap
dimulai dengan pengusahaan tanaman kopi sejak zaman Belanda, kemudian disusul dengan pengusaahn tanamn kakao sejak awal tahun 90 an. Pada saat ini,
58
Syamsudin (1980) mengemukakan bahwa penanaman padi dan palawija dilakukan para petani di Aceh dengan sistem perladangan berpindah. Mereka berpindah-pindah untuk mencari lahan yang subur tetapi kemudian mereka akan kembali ke lahan semula.
93
pertanian menetap yang diusahakan para petani umumnya merupakan kebun campuran dengan tanaman utama : kopi saja, kopi + kakao (sama banyak, dominan kopi, atau dominan kakao), atau kakao saja. Tanaman tumpangsari lainnya yang banyak ditanam petani diantara kakao dan/atau kopi adalah pinang, kelapa, buahbuahan (terutama duren, pisang dan lasam), serta tanaman sayuran seperti cabe dan kacang panjang. Kopi merupakan tanaman perkebunan yang pertama dikembangkan oleh para petani di desa Ulee Gunong, khususnya kopi robusta, arabika dan lebirika. Tanaman tersebut mulai ditanam petani sejak zaman Belanda, terutama setelah mereka melihat kebun contoh yang dibangun Belanda di Dusun Lombo seluas sekitar 3 ha (Oleh sebab itu, nama dusun Lombo diabadikan dari istilah Land Bouw yang artinya kebun Contoh). Tetapi sebagian besar tanaman kopi di Desa Ulee Gunong ditanam sekitar tahun 50 an. Terdapat dua sebab menurunnya luas tanaman kopi di desa ini, yaitu : 1) tanaman kopi mengalami seranagan penyakit (pertengahan tahun 90 an), 2) harga kopi menurun tajam (tahun 90 an). Bersamaan dengan itu, harga kakao terus naik sehingg sejak saat itu banyak kebun kopi petani berubah menjadi kebun kakao. Sebenarnya, di Desa Ulee Gunong, tanaman kakao sudah ada sejak sebelum krisis moneter. Akan tetapi, setelah krisis moneter tahun 1998, tanaman tersebut berkembang sangat pesat sehingga luasnya menjadi sekitar lima kali (menurut perkiraan para informan). Pada saat ini, tanaman kakao yang sudah berproduksi berada dekat kampung, tetapi tanaman kakao yang belum ber-produksi umumnya sudah jauh dari kampung (sekitar 5-10 km). Usaha pertanian lain yang banyak dilakukan petani adalah menanam sayuran, terutama tanaman cabe. Tanaman ini dilakukan petani satu kali/tahun. Akan tetapi, tanaman ini di-tanam dalam luasan yang relatif sempit karena hasil panen dan harganya sering tidak menentu. Istilah mencari upahan/makan gaji lebih populer di kalangan masyarakat dibanding istilah buruh. Pekerjaan ini dilakukan sebagian besar penduduk (baik petani tak berlahan maupun petani pemilik lahan), manakala hasil kebun tidak dapat mencukupi kebutuhannya. Pada umumnya mereka mencari upahan pada lapangan kerja yang tidak menentu/tidak tetap, baik di sektor pertanian (di desa), non pertanian (umumnya di kota), atau kehutanan (mengangkut kayu, atau men-
94
cari hasil hutan seperti : rotan, ijuk, damar). Oleh sebab itu, pekerjaan berburuh disebut juga ”mocok-mocok”. Mencari hasil hutan dianggap berburuh karena mereka seringkali dibiayai penampung dan kemudian diperhitungkan setelah memperoleh hasil hutan. Akan tetapi, hasil hutan pun sudah semakin sulit diperoleh dan adanya pnertiban ilegal logging menyebabkan peluang berburuh angkut kayu dari hutan tidak ada lagi. 5.2. Diversifikasi Tanaman yang Diusahakan Komunitas Petani Dalam mengembangkan sistem pertanian menetap, hasil penelitian di empat komunitas petani menunjukkan bahwa seorang petani umumnya tidak hanya mengusahakan satu jenis tanaman. Para petani beranggapan bahwa usahatani dengan “kombinasi tanaman” dapat memberikan penghasilan yang lebih aman atau dapat mengurangi resiko kegagalan serta dapat memenuhi berbagai kebutuhan hidup keluarganya. Nampaknya para petani mempunyai pengalaman tentang peran masing-masing usahatani dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka, yaitu : 1.
Padi Sawah : waktu panen relatif cepat (dalam waktu 3 - 4 bulan sudah panen), hasilnya berperan dalam memenuhi kebutuhan pangan keluarga (untuk menjalankan strategi bertahan hidup/survival strategy). Pada saat ini, setelah lahan kering hampir seluruhnya ditanami kakao, sawah menjadi satu-satunya tempat petani menghasilkan padi. Kalaupun petani menanm padi ladang tidak dilakukan terus menerus tetapi hanya ditanam sebagai tanaman sela kakao muda59.
2.
Kakao : panen sering (panen setiap minggu, selama 6 bulan dalam setahun), bagi petani lapisan bawah dan menengah hasilnya berfungsi untuk menambah kekurangan dalam pemenuhan kebutuhan pokok, terutama untuk membeli lauk pauk (strategi perbaikan kesejahteraan keluarga/concolidation strategy) dan bagi petani lapisan atas hasil kakao digunakan untuk menambah usaha (acumulation strategy)
59
Padi ladang ditanam bulan sepuluh dan dipanen bulan tiga tahun berikutnya, kakao ditanam bulan sebelas. Setelah padi dipanen kemudian para petani menanam kedelai ditanam bulan tiga dan dipanen bulan enam. Kegiatan penanam padi dan kedelai dilakukan hanya dua kali karena setelah itu pohon kakao sudah besar.
95
3.
Kelapa : panen periodik (panen satu kali setiap 4 bulan), hasilnya berperan dalam pemenuhan kebutuhan sehari hari (strategi perbaikan kesejahteraan keluarga/concolidation strategy)
4.
Cengkeh (panen 1 kali setiap 2 tahun), hasilnya memberikan “kejutan” penghasilan sehingga hasilnya dapat digunakan untuk memenuhi pengeluaran tidak rutin (bukan kebutuhan sehari-hari) dan untuk pengembangan usaha (acumulation strategy) Oleh sebab itu, meskipun terdapat salah satu tanaman yang secara ekonomi
sangat prospektif (misalnya kakao) tetapi sangat jarang petani mengganti tanaman perkebunan yang satu dengan tanaman perkebunan lainnya, kecuali bila secara teknis di lahan tersebut tidak mungkin lagi diusahakan tanaman tersebut sudah tua dan/atau rusak karena serangan hama/penyakit (misalnya tanaman kopi di Desa Ule Gunong diganti dengan tanaman kakao). Bahkan untuk lahan padi sawah, di semua desa kasus tidak ada petani yang mengganti tanaman padi sawah dengan tanaman kakao, kecuali bila di lahan padi sawah tersebut sudah tidak tersedia air yang memadai (debit air irigasi berkurang). Walaupun para petani melakukan diversifikasi tanaman yang diusahakan, tetapi tanaman kakao masih menjadi tanaman perkebunan pilihan utama sebagian besar petani. Realitas tersebut ditunjukkan oleh tingginya proporsi rumahtangga petani pemilik lahan yang mengusahakan kakao (Gambar 5.8.). Hal ini terjadi karena selain tanaman kakao memberikan harapan ekonomi (sumber penghasilan) yang lebih baik, praktek usahatani kakao juga mudah dilaksanakan dan sumberdaya lahan yang diperlukan untuk mengusahakan tanaman kakao lebih tersedia dibanding untuk mengusahakan tanaman lainnya 60. Dalam hal ini, kakao dapat ditanam mulai dari wilayah dataran rendah; menengah; sam-pai dataran tinggi, sedangkan tanaman kelapa hanya tumbuh di wilayah dataran rendah dan tanaman cengkeh hanya tumbuh di wilayah dataran menengah. 60
Menurut Ruf dan Yoddang (2004), tanaman kakao menjadi harapan baru para petani terutama karena hal-hal berikut: 1) penghasilan dari usahatani kakao relatif besar dibanding penghasilan dari usaha pangan, 2) dalam mengusahakan tanaman kakao petani tidak perlu menghabiskan tenaga terlalu banyak seperti yang terjadi pada swidden farming, 3) ketersediaan bahan konsumsi (pangan) dapat dibeli di pasar, dan 4) penghasilan dari usaha tani kakao memberikan harapan pensiun terutama untuk para petani yang tidak dapat bekerja berat karena berusia lanjut atau sakit.
96
90 80 70 Kakao
60
Kelapa
50
Cengkeh 40
Kopi
30
Padi Tan. Lain
20 10 Tondo
Gambar 5.8.
Jono
Cot
Ule
Proporsi Rumahtangga Berdasarkan Jenis Tanaman yang Diusahakan, 2007 (Sumber data : Sensus Rumahtangga Melalui Informan Kunci )
Usahatani kakao menjadi harapan ekonomi yang lebih baik bagi para petani terutama berkaitan dengan hal-hal berikut : 1) penghasilan dari usahatani kakao relatif besar dibanding dengan penghasilan dari usahatani pangan, 2) dalam mengusahakan tanaman kakao petani tidak perlu menghabiskan tenaga terlalu banyak seperti yang terjadi pada swidden farming, 3) ketersediaan bahan konsumsi (pangan) keluarga dapat dibeli di pasar, dan 4) penghasilan dari usahatani kakao memberikan harapan “pensiun” terutama untuk petani yang tidak dapat bekerja berat karena telah berusia lanjut dan/atau sedang sakit. Selain itu, tanaman kakao cepat berbuah (24 bulan sejak tanam sudah panen) dan buah kakao mudah diolah (petik - peram - kupas – jemur). Selama ini, para petani sudah mengusahakan tanaman kakao dalam sistem pertanian menetap. Akan tetapi mereka belum menggunakan teknologi intensif, sehingga teknis budidaya yang mereka lakukan masih relatif sederhana. Selain itu, sebagian besar petani masih menggunakan bahan tanam “tidak unggul” yang diambil dari kebun kakao milik petani lain (tetangga) tanpa harus membeli. Oleh sebab itu, biaya input produksi dan peralatan yang mereka perlukan dalam mengusahakan tanaman kakao juga relatif murah. Selama ini, modal utama yang mereka perlukan, selain sumberdaya lahan adalah tenaga kerja keluarga.
97
Fenomena munculnya kombinasi tanaman terjadi pada semua desa kasus, baik di Sulawesi Tengah maupun di Nangroe Aceh Darussalam (NAD). Nampaknya kemunculan fenomena usahatani dengan “kombinasi tanaman” tidak dibatasi oleh kondisi ekologis, sehingga fenomena ini tetap muncul baik pada ekologi “dataran rendah” maupun pada ekologi “dataran tinggi”. Walaupun demikian, “jenis” tanaman yang dipasangkan dalam usahatani kombinasi tersebut berbeda bila kondisi ekologi nya berbeda. Di Desa Ulee Gunong, meskipun pada saat penelitian berlangsung proporsi petani yang memiliki tanaman kakao masih sebesar 54 % tetapi dalam waktu dekat proporsi tersebut akan terus meningkat secara cepat. Hal ini dapat terjadi karena sebagian besar petani di Desa Ulee Gunong mempunyai rencana untuk mengganti tanaman kopi dengan tanaman kakao dan/atau membangun usahatani kombinasi “kakao + kopi”. Sementara itu, di ketiga desa kasus lainnya tanaman kakao sudah diusahakan oleh minimal 70 % rumahtangga petani. Di Desa Jono Oge dan Tondo di Sulawesi Tengah, yang keduanya merupakan wilayah dataran rendah, tanaman komersial perkebunan lain yang diusahakan petani adalah tanaman cengkeh dan kelapa. Sementara itu, di Desa Cot Baroh/ Tunong NAD yang merupakan dataran rendah, tanaman komersial lain yang diusahakan para petani adalah tanaman pinang. Kemudian di Desa Ulee Gunong NAD yang merupakan wilayah dataran tinggi, tanaman komersial perkebunan lain yang diusahakan para petani adalah tanaman kopi. Di semua desa kasus yang berada di wilayah dataran rendah, baik di Sulawesi Tengah maupun di NAD, sebagian besar petaninya mengusahakan tanaman padi sawah, baik di lahan milik sendiri maupun di lahan milik orang lain. Sejalan dengan jenis tanaman yang diusahakan petani, data pada Tabel 5.1. dan Gambar 5.9. juga menunjukkan bahwa sebagian besar lahan di desa-desa kasus digunakan untuk mengusahakan tanaman kakao, baik tanaman kakao yang sudah menghasilkan (TM) maupun tanaman kakao yang belum menghasilkan (TBM). Kecuali di desa Ulee Gunong Propinsi NAD, luas sumberdaya agraria yang digunakan untuk tanaman kakao sudah menyalip luas lahan yang digunakan untuk tanaman-tanaman yang sudah ada sebelumnya. Di desa Jono Oge dan Desa Tondo Sulawesi Tengah luas lahan yang digunakan untuk tanaman kakao sudah
98
menyalip luas lahan yang digunakan untuk tanaman padi sawah, kelapa, dan cengkeh. Demikian halnya, di Desa Cot Baroh/Tunong NAD luas sumberdaya agraria yang digunakan untuk tanaman kakao juga sudah menyalip luas sumberdaya agraria yang digunakan tanaman padi-sawah. Tabel 5.1.
Luas Sumberdaya Agraria Berdasarkan Pemanfaatannya (ha), 2007
Tanaman
Tondo
Cot Baroh/Tunong ha %
Jono Oge
Ulee Gunong Ha %
ha
%
ha
%
132
32.8
107
27.0
108
31.1
83
22.3
3
0.7
3
0.8
73
21.0
32
8.6
61
15.2
57
14.4
0
-
0
-
103
25.6
97
24.4
0
-
0
-
0
-
0
-
0
-
125
33.6
Padi sawah
36
9.0
69
17.4
51
14.7
0
-
Lahan kosong
67
16.7
64
16.1
115
33.1
132
35.5
402
100.0
397
100.0
347
100.0
372
100.0
Kakao - TM Kakao - TBM Kelapa Cengkeh Kopi
Total
Sumber data : Sensus Rumahtangga Melalui Informan Kunci Keterangan : TM = Tanaman Menghasilkan, TBM = Tanaman Belum Menghasilkan
Di masa yang akan datang, nampaknya tanaman kakao masih menjadi pilihan petani sehingga tanah kosong yang sudah dimiliki para petani umumnya direncanakan untuk ditanami kakao. Data pada Tabel 5.1 dan Gambar 5.13. menunjukkan bahwa tanah kosong yang dimiliki petani masih cukup luas, terutama di desa-desa kasus di NAD jumlahnya mencapai sekitar dua kali lipat dibanding di desa-desa kasus di Sulawesi Tengah. Di desa-desa kasus di Sulawesi Tengah lahan kosong tersebut umumnya merupakan lahan hutan yang sudah dibuka sekitar tiga tahun lalu tetapi belum ditanami. Sementara itu, di desa-desa kasus di NAD, lahan kosong tersebut terdiri dari : 1) lahan hutan yang sudah dibuka sekitar tiga tahun lalu tetapi belum ditanami, dan 2) kebun yang tanamannya sudah mati karena selama konflik kebun tersebut tidak terawat.
99
Walaupun kakao menjadi pilihan utama petani dan telah menggusur tanaman padi ladang, namun di semua desa kasus tidak nampak upaya besarbesaran para petani merubah lahan padi sawah menjadi kebun kakao. Hal ini hanya dilakukan petani bila di lahan padi sawah tersebut sudah tidak cukup tersedia air sehingga secara teknis lahan tersebut tidak mungkin lagi ditanami padi sawah. Akan tetapi, di masa yang akan datang dengan semakin kecilnya debet air sungai akibat semakin luasnya hutan yang gundul, maka perubahan lahan padi sawah menjadi kebun kakao diperkirakan masyarakat akan terus meningkat.
100% 17
16
90%
33
36
80%
lahankosong
70%
padisaw ah
60%
kopi
50% 40%
cengkeh 21 1
30% 20%
kelapa
1 33
9
kakao-tbm kakao-tm
27
31
10%
22
0% Tondo
Gambar 5.9.
Jono
Cot
Ule
Proporsi Sumberdaya Agraria Berdasarkan Pemanfaatan, 2007 (Sumber data : Sensus Rumahtangga Melalui Informan Kunci)
Dalam upaya memiliki usahatani yang memiliki beragam jenis tanaman, para petani di ke empat desa kasus menempuh dua cara. Pertama, para petani mererapkan “pola tanam campuran”, yaitu dalam sebuah plot lahan ditanam beberapa jenis tanaman dan jumlah pohon masing-masing tanaman tersebut relatif sama. Kedua, jika para petani sudah menerapkan “pola tanam monokultur” (dalam sebuah plot lahan hanya ditanami satu jenis tanaman), maka keragaman jenis tanaman dalam usahatani petani dilakukan dengan cara menanam jenis tanaman berbeda pada plot lahan yang berbeda.
100
Data dan informasi yang diperoleh dari para responden (Tabel 5.2.) menunjukkan bahwa meskipun pola tanam campuran masih ada tetapi secara umum sudah berkurang, yakni tinggal 26,71 %. Para petani sudah banyak menggantikan pola tanam campuran dengan oleh pola tanam monokultur. Bahkan di desa “pendatang” Jono Oge dan desa “dekat kota” Cot Baroh/Tunong pola tanam campuran sudah sangat berkurang, masing-masing hanya tinggal 9,09 % dan 21,11 %. Penerapan pola tanam campuran yang masih cukup menonjol berada di desa “lokal” Tondo (39, 34 %). Penerapan pola ini masih sangat menonjol di desa “jauh dari kota” Ulee Gunong (50,94 %). Walaupun demikian, dalam pola tanam monokultur yang diterapkan petani seringkali masih ada tanaman lain (terutama buahbuahan), namun jumlah tanam tersebut sangat sedikit. Tabel 5.2.
Pola Tanam dalam Usahatani di Empat Komunitas Petani Kasus, 2007
Pola Tanam
Tondo
Ulee Gunong N %
Jono Oge
Cot Baroh/Tunong N %
N
%
N
%
A. Monokultur
37
60.7
80
90.9
26
49.1
71
78.9
• Kakao
12
19.7
20
22.7
12
22.6
34
37.8
• Kopi
0
-
0
-
14
26.4
0
-
• Cengkeh
7
11.5
20
22.7
0
-
0
-
• Kelapa
9
14.8
7
8.0
0
-
0
-
• Padi
9
14.8
33
37.5
0
-
37
41.1
B. Campuran
24
39.3
8
9.1
27
50.9
19
21.1
Total
61
100.0
88
100.0
53
100.0
90
100.0
Sumber data : Wawancara Terhadap Responden
101
Tabel 5.3.
Jenis Pola Tanam Campuran yang Diushakan Petani, 2007.
Jenis Pola Tanam Campuran • kakao + cengkeh
Tondo
N
Cot Baroh/
Jono Oge
%
N
%
N
Ulee Gunong
%
N
%
7
30.4
0
-
0
-
0
-
12
52.2
5
100.0
0
-
0
-
• kakao + kopi
0
-
0
-
1
5.3
20
74.1
• kakao + pinang
0
-
0
-
15
78.9
2
7.4
• kakao + buah
0
-
0
-
2
10.5
0
-
• kakao+cengkeh+kelapa
2
8.7
0
-
0
-
0
-
• kakao + kopi + buah
0
-
0
-
0
-
3
11.1
• kopi + pinang
0
-
0
-
0
-
1
3.7
• cengkeh + kelapa
2
8.7
0
-
0
-
0
-
• pinang + buah
0
-
0
-
1
5.3
1
3.7
23
100.0
5
100.0
19
100.0
27
100.0
• kakao + kelapa
Total
Sumber data : Wawancara Terhadap Responden
Dalam pola tanam campuran yang diusahakan petani, nampaknya tanaman kakao masih menjadi tanaman utama yang dipasangkan dengan tanaman lain (Tabel 5.3.). Di desa-desa kasus di Sulawesi Tengah, pola tanam campuran yang menonjol adalah pola pasangan antara “kakao + kelapa”. Di Desa Tondo, pola tanam campuran “kakao + kelapa” mencapai 52,17 %. Bahkan di Desa Jono Oge pola tanam campuran “kakao + kelapa” mencapai 100 %. Sementara itu, di Desa Ule Gunong NAD pola tanam campuran yang menonjol adalah pola pasangan antara “kakao + kopi” yang proporsinya mencapai 74,07 %, sedangkan di Desa Cot Baroh/Tunong NAD pola tanam campuran yang menonjol adalah pola pasangan antara “kakao + pinang” yang proporsinya mencapai 78,95 %. Pada umumnya, pola tanam campuran yang diterapkan petani tidak beraturan dan jarak antar tanaman sangat dekat, sehingga antara tanaman yang satu dengan lainnya sangat potensial saling berebut bahan makanan.
102
5.3. Ragam Kekuatan Produksi dalam Komunitas Petani : Teknologi Intensif di Padi Sawah dan Tidak Intensif di Kebun Kakao Meskipun produk yang dihasilkan sistem pertanian menetap yang mengusahakan “padi sawah” merupakan “produk subsisten” atau produk untuk dimakan, ternyata pada sistem tersebut penerapan “kekuatan produksi” teknologi intensif lebih menonjol dibanding dalam sistem pertanian menetap yang mengusahakan “tanaman perkebunan” (kakao, cengkeh, kelapa, maupun kopi) yang hasil produksinya untuk dijual/diekspor atau “produk komersial” (Tabel 5.4). Walaupun tidak seintensif pada sistem pertanian menetap padi sawah, pengusahaan tanaman palawija juga mulai dilakukan para petani dengan teknologi yang intensif, terutama dalam hal penggunaan bibit unggul, pupuk urea, serta obat pengendali hama dan penyakit. Pada sistem pertanian menetap yang mengusahakan tanaman “subsisten” padi sawah, hasil pengamatan di tiga desa kasus menunjukkan bahwa penggunaan kekuatan produksi teknologi intensif sudah dilaksanakan sebagian besar petani, baik oleh para petani pemilik maupun oleh para petani penggarap. Penggunaan teknologi intensif tersebut dilakukan para petani khsusnya dalam bentuk penggunaan input produksi bibit unggul, pupuk dan obat-obatan untuk pengendalian hama/penyakit serta penggunaan alat bajak traktor 61. Para petani menggunakan input produksi dimaksud karena berdasarkan pengalaman mereka selama ini menunjukkan bahwa : 1) bila tanaman padi-sawah tidak dipupuk maka tanaman tersebut akan tumbuh kerdil, 2) produktivitas usahatani padi-sawah yang dipupuk dan dikendalikan hama penyakitnya mampu mencapai dua kali lipat (dari 1.500 liter beras/ha menjadi 3.000 liter beras/ha). Sementara itu, para petani memilih menggunakan traktor karena menganggap penggunaan traktor telah meringankan pekerjaan mereka dan proses pembajakan sawah berlangsung lebih cepat. Selain itu, biaya penggunaan traktor dirasakan petani tidak lebih mahal dibanding penggunaan kerbau. Apalagi, setelah lahan kering penuh dengan tanaman coklat, para petani sulit memelihara kerbau “pembajak” karena sulit mendapatkan rumput. Di desa-desa kasus di Sulawesi Tengah maupun NAD traktor pembajak sudah 61
Sebagaimana dikutip Sajogyo (2002), hasil survey di sejumlah desa kasus di Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa petani padi sawah sebagai “petani rasional” yang menerapkan teknologi baru di sawah dengan hasil yang meyakinkan.
103
dikenal sejak awal tahun 90 an tetapi penggunaan pembajak kerbau baru berakhir sekitar akhir tahun 90 an. Tabel 5.4.
Penerapan Teknologi Intensif pada Sistem Pertanian Menetap di Empat Desa Kasus di Sulawesi Tengah dan Nangroe Aceh Darussalam (NAD), 2007
Jenis Teknologi Intensif
Jenis Tanaman Padi Sawah
Palawija
Kakao Cengkeh
Kelapa
Kopi
Bibit unggul
V
V
*
Pupuk Urea
V
V
**
**
Pupuk KCL
V
Pupuk SP 36
V
Obat-obatan
V
Traktor
V
Perontok
V
Pembersihan rumput
V
***
***
***
***
Pemangkasan
X
****
X
X
****
*
V
X
Keterangan : * Bibit unggul hanya digunakan pada kebun proyek pemerintah, selebihnya menggunakan bibit dari kebun produksi petani lain ** Di Donggala waktu harga kakao dan cengkeh tinggi (awal krisis) sebagian petani memupuk kakao dan cengkeh, tetapi hanya pupuk urea *** Umumnya hanya dilakukan karena untuk memudahkan panen **** Hanya dilakukan oleh sebagian kecil petani V Dilakukan terus menerus X Tidak dilakukan karena tidak perlu dilakukan
104
Meskipun tanaman kakao termasuk tanaman “komersial”, tetapi pada tanaman kakao para petani di empat desa kasus hanya menerapkan kekuatan produksi teknologi “kurang” intensif (jauh kurang intensif dibanding pengusahaan tanaman padi sawah). Selain itu, teknologi “kurang” intensif tersebut hanya diterapkan oleh sedikit petani. Pada tanaman kakao, teknologi “kurang” intensif terutama dilakukan dalam bentuk pemangkasan; pemarasan; dan pemupukan urea. Akan tetapi, teknologi ”kurang” intensif pun pada akhirnya ditinggalkan para petani sejak tanaman kakao terserang Hama Penggerek Buah Kakao (PBK) sehingga produksi kakao turun menjadi hanya 40 %. Dalam hal ini, para petani mempunyai pandangan bahwa perawatan intensif pada kebun yang terserang hama/penyakit tidak ada untungnya. Selain itu, tanaman kakao yang diusahakan petani umumnya tidak menggunakan bibit unggul. Mereka hanya menggunakan bibit kakao asalan yang dibuat sendiri dengan cara mengambil sumber bibit dari kebun produksi yang dimiliki para tetangganya. Sementara itu, pada sistem pertanian menetap yang mengusahakan tanaman cengkeh dan kelapa teknologi “kurang” intensif pun hampir tidak dilakukan. Dalam hal ini, para petani hampir tidak pernah membersihkan dan memupuk kedua tanaman tersebut. Pemeliharaan yang kadang-kadang dilakukan para petani pada tanaman kelapa dan cengkeh hanya kegiatan ”pemarasan” (pembersihan rumput). Itu pun hanya dilakukan para petani pada saat mereka akan melakukan panen dengan tujuan agar kegiatan panen mudah dilakukan. Pada tanaman kakao, akibat penerapan teknologi yang kurang intensif tercermin pada rendahnya jumlah populasi tanaman dan jumlah produksi tanaman per satuan luas lahan (kebun). Sebagaimana tertera pada Tabel 5.5., populasi tanaman kakao yang tumbuh di kebun milik petani umumnya antara 400 - 800 pohon/hektar. Bahkan masih banyak kebun kakao petani yang jumlah tanamannya kurang dari 400 pohon/hektar. Padahal lahan-lahan tersebut sebenarnya dapat ditanami kakao dengan jumlah 1.000 pohon/hektar. Selain itu, sebagian tanaman kakao yang tumbuh tersebut dalam keadaan tidak sehat atau meranggas. Kondisi rendahnya jumlahnya populasi tanaman per ha juga terjadi pada kebun kopi, kelapa, dan cengkeh.
105
Tabel 5.5. Tanaman Kakao
Kopi
Kelapa
Cengkeh
Populasi Beragam Jenis Tanaman yang Diusahakan Petani, 2007. Populasi (phn/ha)
Tondo
Jono Oge
Ulee Gunong
Cot Baroh
N
%
N
%
N
%
N
%
< 400
3
27.3
3
15.8
3
25.0
7
25.0
400 – < 800
4
36.4
9
47.4
3
25.0
19
67.9
> 800
4
36.4
7
36.8
6
50.0
2
7.1
Total
11
100.0
19
100.0
12
100.0
28
100.0
< 400
3
21.4
400 – < 800
4
28.6
> 800
7
50.0
Total
14
100.0
< 50
1
14.3
1
14.3
50 - < 100
1
14.3
2
28.6
> 100
5
71.4
4
57.1
Total
7
100.0
7
100.0
< 50
0
-
1
5.3
50 - < 100
2
33.3
9
47.4
> 100
4
66.7
9
47.4
Total
6
100.0
19
100.0
Sumber data : Wawancara Terhadap Responden
Bersamaan dengan itu, produktivitas kebun kakao petani masih banyak yang dibawah 400 kg/hektar (Tabel 5.6.). Kondisi produktivitas yang rendah juga terjadi pada tanaman kopi, kelapa dan cengkeh. Umumnya produktivitas tanamantanaman tersebut berada dibawah potensi. Bila kondisi produktivitas tanamantanaman dimaksud dibandingkan di antara komunitas petani kasus, nampak bahwa keadaan di Desa Jono Oge (yang sebagian besar petaninya pendatang beretnis Bugis) relatif lebih baik dibandingkan dengan keadaan di komunitas petani kasus lainnya.
106
Tabel 5.6.
Produktivitas Beragam Jenis Tanaman yang Diusahakan Petani, 2007. Tondo
Tanaman
Kriteria
Kakao
< 400
Kopi
Kelapa
Cengkeh
Padi
Jono Oge
Ulee Gun
Cot
N 11
%
N
%
N
%
N
78.6
5
31.3
4
44.4
12
400 - < 800
3
21.4
11
68.8
4
44.4
5
21.7
> 800
0
-
0
-
1
11.1
6
26.1
Total
14
100.0
16
100.0
9
100.0
23
100.0
< 400
11
73.3
400 - < 800
3
20.0
> 800
1
6.7
Total
15
100.0
<1000
3
50.0
0
-
1000 - < 2000
0
-
2
100.0
2000 -< 3000
3
50.0
0
-
Total
6
100.0
2
100.0
< 400
2
50.0
2
16.7
400 - < 800
2
50.0
7
58.3
> 800
0
-
3
25.0
Total
4
100.0
12
100.0
% 52.2
< 3000
2
18.2
8
38.1
7
19.4
3000 - < 5000
7
63.6
11
52.4
13
36.1
> 5000
2
18.2
2
9.5
16
44.4
Total
11
100.0
21
100.0
36
100.0
-
Sumber data : Wawancara Terhadap Responden
Bagi para petani, pada tanaman apapun, melaksanakan usahatani dengan teknologi intensif memerlukan tambahan curahan tenaga kerja dan tambahan modal finansial (uang tunai) yang relatif besar. Tambahan tenaga kerja diperlukan karena semakin intensif teknologi yang diterapkan umumnya memerlukan perlakuan di lapangan yang lebih banyak. Tambahan modal finansial terutama diperlukan karena sebagian besar input produksi (bahan dan/atau alat) untuk menerapkan teknologi intensif tidak mereka hasilkan sendiri, tetapi harus mereka peroleh dengan cara membeli dari pihak lain. Demikian halnya peralatan pun harus mereka sewa kepada pihak lain, misalnya penggunaan alat bajak traktor.
107
Tabel 5.7.
Tambahan Biaya Untuk Penerapan Teknologi Intensif, 2007
Uraian
Padi
Kakao
Cengkeh
Kelapa
Tambahan Biaya • Tenaga Kerja : (Rp) (%) • Bahan/Alat : (Rp) (%) Tambahan Hasil (Rp) (%) Tambahan Hasil/Tambahan Biaya
1.360.000 3.550.000
2.320.000
885.000
394
64
36
575.000 1.765.000
1.020.000
1.165.500
97
190
5.400.000
6.750.000
34
140
*
5.250.000 6.000.000 100
125
67
60
2,7
1,1
2,3
3,3
Sumber data : Diolah dari data hasil wawancara dengan informan kunci Keterangan : Biaya bahan/alat sebelumnya = Rp.0,-
Berdasarkan pengalaman para petani di Desa Jono Oge dan Desa Tondo di Sulawesi Tengah (Tabel 5.7.), tambahan tenaga kerja yang harus disediakan para petani untuk menerapkan teknologi intensif pada usahatani padi relatif lebih sedikit dibanding untuk usahatani tanaman kakao dan cengkeh, tetapi relatif lebih besar dibanding untuk usahatani kelapa. Demikian halnya, tambahan biaya finansial yang harus disediakan para petani untuk menerapkan teknologi intensif pada usahatani padi relatif lebih rendah dibanding untuk menerapkan teknologi intensif pada usahatani tanaman kakao, cengkeh maupun usahatani kelapa. Sementara itu, tambahan hasil yang diperoleh petani dari usahatani padi dengan teknologi intensif lebih besar dibanding tambahan hasil yang diperoleh petani dari usahatani kakao dan cengkeh yang menggunakan teknologi intensif, tetapi lebih kecil dari pada tambahan hasil yang diperoleh petani dari usahatani kelapa. Gambaran-gambaran di atas menunjukkan bahwa penerapan teknologi intensif telah meningkatkan ketergantungan petani terhadap pihak lain, bukan hanya terhadap pihak-pihak lain yang berada dalam komunitas yang sama tetapi bahkan terhadap mereka yang berada di luar komunitas petani (masyarakat luar desa). Bersamaan dengan itu, ternyata sebagian kelebihan penerimaan petani dalam penerapan teknologi intensif tidak dapat dinimati para petani karena akan dibawa ke luar komunitas melalui transaksi jual beli bahan dan alat produksi. Fenomena lain yang ditemukan di lapangan adalah adanya perbedaan upaya petani dalam penyediaan modal financial bila tanaman yang diusahakan berbeda.
108
Untuk mengusahakan tanaman padi sawah dengan teknologi intensif, para petani akan mengadakan input produksi dan peralatan yang diperlukan dengan upaya yang maksimal, baik dengan cara mengakumulasikan kemampuan modal finansial sendiri maupun dengan cara mencari pinjaman (seringkali harus meminjam dari sumber keuangan yang tidak murah). Sebaliknya, pada usahatani tanaman perkebunan, seringkali penyediaan dana untuk pengadaan input produksi dan peralatan teknologi intensif tidak diupayakan secara maksimal. Bahkan seringkali kalah prioritas bila para petani harus memenuhi kebutuhan biaya sekolah anak-anaknya. Selain itu, sekalipun petani mempunyai modal financial yang sebenarnya dapat digunakan untuk menerapkan teknologi intensif, tetapi para petani lebih senang menggunakan modal finansial tersebut untuk membangun kebun baru. Dengan kata lain, pada pengembangan sistem pertanian menetap yang mengusahakan tanaman perkebunan (kakao, dan tanaman lainnya) “pola ektensifikasi” masih menjadi pilihan utama para petani. Selain terkait dengan persoalan kesulitan menyediakan modal finansial yang jumlahnya relatif besar, nampaknya pilihan ekstensifikasi terkait dengan beragam persoalan teknis dan persoalan sosial berikut :
Penerapan teknologi intensif mempunyai persyaratan yang sangat kompleks. Dalam hal ini untuk mencapai keberhasilan penerapan teknologi tersebut tidak dapat tercapai bila penerapannya berlangsung secara parsial. Misalnya, keberhasilan pengendalian hama Penggerek Buah Kakao (PBK) akan tercapai bilamana pelaksanaannya disertai dengan penerapan teknologi pemupukan dan pemangkasan.
Semakin intensif teknologi yang diterapkan umumnya memerlukan tambahan tenaga kerja lebih banyak. Apalagi sumberdaya agraria perkebunan milik petani umumnya terpencar dalam beberapa tempat yang berjauhan dalam luasan kecil (lampiran 5.13.).
Banyak petani lapisan menengah dan petani lapisan bawah (miskin) yang harus menyisihkan tenaga kerja keluarganya untuk menjadi buruh harian agar mereka dapat segera memperoleh tambahan penghasilan tunai. Tambahan penghasilan tersebut mereka perlukan untuk memenuhi kebutuhan
109
minimum/kebutuhan pokok (terutama makanan) anggota keluarganya yang tidak dapat ditunda karena berkaitan dengan kelangsungan hidup keluarga mereka.
Kebijakan pemerintah daerah yang tidak mengontrol penggunaan lahan baru (hutan) secara tidak langsung mendukung penerapan perluasan tanaman komersial perkebunan yang dilakukan secara ekstensif. Dalam hal ini perluasan kebun dipandang mendukung pemerintah daerah untuk pengembangan/ perluasan wilayah62 dan upaya perluasan kesempatan berusaha bagi warga pedesaan. Upaya perluasan peluang berusaha/bekerja dengan cara memperluas kebun menjadi sangat penting manakala pemerintah daerah tidak mampu memberikan pilihan lain pada sektor non pertanian.
Bagi keluarga petani, menambah luas sumberdaya agraria mempunyai makna sangat penting sebagai investasi untuk menyiapkan masa depan anak. Bila anak-anaknya juga menjadi petani, maka orang tua harus menyediakan lahan untuk dipinjamkan (petani kaya), dibagihasilkan (petani sedang), dan kemudian diwariskan. Kemudian bila masa depan anaknya diarahkan di luar sektor pertanian, maka para orang tua harus mempunyai cukup lahan untuk menyiapkan biaya sekolah dan untuk biaya mendapatkan pekerjaan.
5.4. Marginalisasi Kualitas Sumberdaya Agraria Pada awalnya, para petani megembangkan tanaman kakao dan tanaman perkebunan lainnya pada lahan-lahan pilihan “terbaik”, yaitu lahan yang tidak terlalu miring dan menghadap ke timur sehingga mendapatkan sinar matahari pagi. Berdasarkan pengalaman (pengetahuan lokal), para petani memahami bahwa kondisi lahan yang demikian akan menyebabkan musim berbuah tanaman kakao lebih panjang, sehingga secara keseluruhan produksi buah kakao yang dita62
Di Sulawesi Tengah, Kabupaten Donggala dimekarkan menjadi Kabupaten Donggala dan Kabupaten Parigi Montong. Wilayah Pura berada di perbatasan kedua kabupaten tersebut, tetapi batas tersebut belum ditetapkan secara resmi dengan pemasangan tapal batas (misalnya pemasangan patok). Oleh sebab itu, pemerintah Kabupaten Donggal memfasilitasi wilayah Pura dan sekitarnya agar menjadi desa definitif sehingga kemudian dapat masuk menjadi wilayah Kabupaten Donggala. Walaupun hal ini menjadi perdebatan karena sebagian aparat pemerintah (Dinas Kehutanan) memiliki anggapan bahwa wilayah tersebut merupakan wilayah hutan. Akan tetapi anggapan ini juga tidak kuat karena tidak didukung batas-batas resmi, hanya berdasarkan pembagian tataguna lahan warisan Belanda .
110
nam pada lahan tersebut akan lebih banyak dibanding pada lahan lainnya. Pada saat itu, sumberdaya agraria yang mempunyai kemiringan tinggi tetap dibiarkan sebagai hutan.
25
20
15
Hutan Bekas Hutan Lahan Tergarap
10
5
7 03
-0
-0
2
7 -9
98
88
93
-9
2
7 -8 83
-8
2
7 78
73
68
-7
-7
2
7 -6
-6
63
52
58
-5
7
2
0
Gambar 5.10. Perkembangan Asal Sumberdaya Agraria untuk Sistem Pertanian Menetap di Desa Tondo, 2007. (Sumber Datar : Wawancara dengan Petani Responden)
25
20
15
Hutan Bekas Hutan Lahan Tergarap
10
5
7 -0 03
98
-0
2
7 -9 93
88
-9
2
7 -8 83
78
-8
2
7 -7 73
68
-7
2
7 -6 63
-6 58
52
-5
7
2
0
Gambar 5.11. Perkembangan Asal Sumberdaya Agraria untuk Sistem Pertanian Menetap di Desa Jono Oge, 2007 (Sumber Datar : Wawancara dengan Petani Responden)
111
25
20
15
Hutan Bekas Hutan Lahan Tergarap
10
5
0 52
7 -5
58
2 -6
63
7 -6
68
2 -7
73
7 -7
78
2 -8
83
7 -8
88
2 -9
93
7 -9
98
2 -0
03
7 -0
Gambar 5.12. Perkembangan Asal Sumberdaya Agraria untuk Sistem Pertanian Menetap di Desa Ulee Gunong, 2007 (Sumber Datar : Wawancara dengan Petani Responden)
25
20
15
Hutan Bekas Hutan Lahan Tergarap
10
5
-0 7 03
-0 2 98
-9 7 93
-9 2 88
-8 7 83
-8 2 78
-7 7 73
-7 2 68
-6 7 63
-6 2 58
52
-5 7
0
Gambar 5.13. Perkembangan Asal Sumberdaya Agraria untuk Sistem Pertanian Menetap di Desa Jono Cot Baroh/Tunong, 2007 (Sumber Datar : Wawancara dengan Petani Responden)
Upaya penyediaan sumberdaya agraria untuk mendukung sistem pertanian menetap, di seluruh lokasi penelitian nampaknya mempunyai pola yang sama. Dalam hal ini, penggunaan “lahan tergarap” merupakan titik awal, kemudian dilanjutkan dengan penggunaan lahan bekas hutan, dan akhirnya untuk terus menambah luas lahan mereka juga membuka hutan (Gambar 5.10, Gambar 5.11, Gambar 5.12, dan Gambar 5.13). Secara khsusus, di desa-desa kasus di Sula-
112
wesi Tengah penggunaan lahan bekas hutan relatif lebih menonjol dibanding lahan hutan. Sebaliknya, di desa-desa kasus di NAD penggunaan lahan hutan relatif lebih menonjol dibanding lahan bekas hutan. Secara keseluruhan, penggunaan lahan hutan dan bekas hutan paling menonjol terjadi di Desa Cot Baroh /Tunong NAD. Penggunaan Lahan tergarap adalah lahan yang sebelumnya pernah diusahakan para petani, terutama lahan bekas ladang berpindah (di semua desa kasus), lahan bekas kebun kelapa dan kebun cengkeh (di Desa Tondo dan Desa Jono Oge), serta lahan bekas kebun kopi (di Desa Ulee Gunong). Lahan bekas hutan adalah lahan-lahan bekas HPH yang sudah ditinggalkan perusahaan-perusahaan yang meng-ambil kayu 63 atau lahan bekas illegal logging. Sementara itu, lahan hutan adalah lahan negara yang masih mempunyai tanaman hutan (tanaman kayukayuan). Walaupun sampai saat ini para petani masih ada yang menggunakan sumberdaya agraria lahan hutan dan/atau lahan bekas hutan, tetapi para petani (di semua desa kasus) mengemukakan bahwa mereka sudah tidak lagi dapat menemukan lahan “terbaik” sebagaimana mereka gunakan pada awal pengembangan kakao karena lahan tersebut sudah tidak ada lagi (sudah digunakan seluruhnya) 64. Bahkan pada saat ini, para petani sudah membangun pertanian menetap tanaman “komersial” kakao sampai ke wilayah dekat hutan lindung dan mereka sudah menggunakan lahan yang mempunyai kemiringan di atas 30 %. Masyarakat di desa-desa kasus umumnya tidak memahami tentang adanya berbagai status kawasan hutan yang ditetapkan oleh pemerintah, sehingga pada saat memilih lahan untuk membuka kebun yang diperhatikan hanyalah : 1) lahan tersebut memiliki kualitas yang subur, dan 2) lahan tersebut belum diusahakan petani lain. Berdasarkan aturan pemerintah, sebenarnya pembukaan kebun hanya
63
Sebagaimana dijelaskan PPL Perkebunan, lahan baru di Pura Sulawesi Tengah yang kini ramai dijadikan lahan perkebunan oleh masyarakat Desa Tondo dan Jono Oge sebetulnya bekas lahan HPH (PT Iradat Puri) yang memanfaatkan kayu hitam. Pada masa sebelum krisis, warga desa sekitar tidak ada yang membuka kebundi Pura karena tidak ada jalan menuju ke sana. Hanya ada jalan melalui sungai dengan tikungan yang tajam. Karyawan PT Iradat Puri banyak yang berasal dari Masamba (Sulsel) dan merekalah yang merintis penanamana kakao di Pura.
64
Kejadian tersebut sama halnya dengan pendapat Ricardo dalam Hayami (1987) bahwa jika penduduk terus bertambah maka batas-batas tanah yang ditanami akan meluas ke daerah-daerah yang lebih marjinal.
113
boleh dilaksanakan di luar kawasan hutan 65 atau di Areal Peng-gunaan Lain (APL). Namun demikian, menurut pengamatan aparat Sub Dinas Kehutanan di lokasi penelitian banyak petani membuka kebun sampai di walayah hutan, bahkan sampai ke wilayah hutan lindung.
Hal ini terjadi karena : 1) aparat Dinas
Kehutanan tidak mampu mengawasi kegiatan petani di lapangan karena jumlah tenaga yang ada terbatas (Jumlah Polisi Hutan dan Penyuluh Hutan terbatas), 2) meskipun penetapan kawasan hutan sudah dilakukan lama, tetapi tanda batasnya tidak jelas karena belum dilakukan pematokan atau patok dipindahkan masyarakat, 3) para petani mendapat dukungan dari aparat pemerintah lain (instansi pemda) terutama terkait dengan kepentingan mereka untuk melakukan pengembangan wilayah dan/atau perluasan lapangan berusaha masyarakat, 4) terdapat para pejabat negara (pejabat eksekutif maupun legislatif) yang juga ikut serta membuka kawasan hutan untuk membangun kebun, 5) adanya contoh perusahaan (terutama HPH) yang diperbolehkan membuka hutan. Dalam hal penggunaan lahan yang mempunyai tingkat kemiringan tinggi, pada umumnya para petani tidak menerapkan teknologi berwawasan lingkungan untuk mempertahankan kualitas sumberdaya agraria secara berkelanjutan, misalnya dengan melakukan pembuatan teras. Bagi para petani, membuat teras masih dianggap pekerjaan yang berat karena memerlukan curahan tenaga kerja yang sangat besar. Padahal pada lahan yang mempunyai kemiringan diatas 30 %, pembuatan teras diperlukan untuk mengendalikan erosi dan menyerap sumber air, sehingga dapat menciptakan kualitas sumberdaya agraria dimaksud maupun sumberdaya agraria di wilayah hilir (lahan padi sawah). Nampaknya, sampai saat ini belum ada lembaga pemerintah maupun lembaga non pemerintah (termasuk lembaga lokal) yang dapat secara efektif mengawal proses pelaksanaan sistem pertanian berkelanjutan.
65
Jenis-jenis areal hutan menurut definisi pemerintah adalah : Hutan Lindung (HL), Hutan Suaka Alam (HSA), Taman Nasional (TM), Hutan Produksi Terbatas (HPT), Hutan Produksi (HP), Hutan Produksi Konversi (HPK) dan Areal Penggunaan Lain (APL).
114
5.5. Ihtisar : Beragam “Kekuatan Produksi” dalam Komunitas Petani Bertolak dari pengalaman yang terjadi di empat komunitas petani kasus, pengaruh kapitalisme terhadap perkembangan praktek “kekuatan produksi” (force of production) sudah muncul dan cenderung semakin kuat. Pengaruh tersebut dimulai dengan terjadinya perubahan praktek kekuatan produksi : dari kekuatan produksi yang menopang sistem pertanian “ladang berpindah” (shifting cultivation) menjadi kekuatan produksi yang menopang “pertanian menetap”, sehingga seluruh proses produksi pertanian di dalam komunitas petani hanya dijalankan dengan satu sistem, yaitu “pertanian menetap” (sedentary cultivation). Di desa-desa kasus di Sulawesi Tengah, sistem perladangan berpindah tergusur sejak berkembangnya pertanian menetap yang mengusahakan tanaman “komersial” kelapa; kemudian disusul tanaman “komersial” cengkeh; dan terakhir tanaman “komersial kakao”. Sementara itu, di desa-desa kasus di NAD, sistem perladangan berpindah di lahan kering tergusur oleh pengusahaan tanaman “komersial” kopi (di wilayah dataran tinggi) dan kemudian oleh tanaman “komersial” kakao (di wilayah dataran tinggi dan dataran rendah). Di desa-desa kasus di Sulawesi Tengah sistem pertanian perladangan berpindah berakhir sekitar awal tahun 90 an, sedangkan di desa-desa kasus di NAD sistem tersebut berakhir lebih lambat, yaitu sekitar pertengahan tahun 90 an Setelah berakhirnya perladangan berpindah, proses kapitalisme dilanjutkan dengan semakin dominannya praktek “kekuatan produksi” yang menggunakan teknologi intensif untuk mencapai peningkatan produksi per satuan luas lahan (produktivitas lahan). Kekuatan produksi tersebut banyak menggunakan modal non lahan (bahan, alat, dan modal finansial) serta keterampilan yang berasal dari luar komunitas petani, sehingga untuk mendapatkannya para petani harus melakukan hubungan pertukaran di pasar melalui mekanisme jual beli. Dengan kata lain, praktek kekuatan produksi teknologi intensif telah mengintegrasikan petani pada pihak lain yang umumnya berada di luar komunitas petani, sehingga proses produksi yang dilakukan petani semakin tergantung kepada pihak lain yang menguasai modal non lahan serta keterampilan yang menopang proses produksi tersebut. Namun demikian, pada komunitas petani yang mengusahakan beragam jenis tanaman ternyata pengaruh kapitalisme tidak mendorong hadirnya kekuatan pro-
115
duksi yang seragam, tetapi sebaliknya menghadirkan beragam kekuatan produksi yang dipraktekkan secara bersamaan. Pada usahatani padi sawah yang menghasilkan produk untuk dimakan (produk subsisten), proses produksi dijalankan dengan praktek kekuatan produksi “teknologi intensif”. Sebaliknya, pada usahatani perkebunan yang menghasilkan produk untuk dijual (produk komersial), proses produksi dijalankan dengan praktek kekuatan produksi “teknologi yang tidak intensif”. Oleh sebab itu, meskipun sebagian besar kebun kakao sudah diusahakan secara monokultur tetapi produkstivitas kebun tersebut masih sangat rendah, yaitu umumnya hanya sekitar 200 – 400 kg/ha/tahun padahal potensinya dapat mencapai 900 kg/ha/tahun). Dengan kata lain, pada usahatani padi sawah kapitalisme masuk terutama melalui penyediaan modal non lahan yang diperlukan untuk menopang praktek teknologi intensif, sedangkan pada usahatani kebun (kakao) kapitalisme masuk terutama melalui penguasaan hasil produksi petani yang digunakan bahan baku industri di negara maju. Keputusan petani dalam memilih kekuatan produksi yang akan mereka praktekkan didasari oleh rasionalitas yang berbeda. Rasionalitas para petani ternyata tidak semata-mata mengacu pada jenis produk yang dihasilkan (produk untuk dimakan atau produk untuk dijual). Akan tetapi, rasionalitas mereka cenderung berkaitan dengan strategi pencapaian kesejahteraan keluarga masa kini dan masa yang akan datang. Oleh sebab itu, 1) pada usahatani padi sawah, peningkatan produksi menjadi satu-satunya jalan yang harus ditempuh petani untuk mempertahankan kepastian ketersediaan pangan keluarganya (merupakan strategi pencapaian kesejahteraan keluarga masa kini), dan 2) pada usahatani kebun, menambah luas kebun merupakan jalan yang lebih baik (dibanding peningkatan produktivitas) untuk “berinvestasi” menyiapkan masa depan keluarga, termasuk masa depan anak-anaknya. Pada saat ini, satu-satunya sumberdaya agraria yang dapat menghasilkan padi (beras) adalah sumberdaya agraria sawah karena ketersediaan sumberdaya agraria lahan kering untuk menghasilkan padi (dahulu melalui sistem perladangan berpindah) sudah tidak mungkin lagi. Bersamaan dengan itu, kemungkinan memperluas sumbedaya agraria sawah juga semakin sulit akibat ketersediaan sumberdaya air yang semakin terbatas. Padahal dipihak lain, jumlah anggota komunitas
116
yang memerlukan padi sebagai sumber pangan keluarga terus meningkat. Oleh sebab itu, satu-satunya pilihan petani untuk menghasilkan jumlah produksi padi yang lebih banyak adalah menjalankan usahatani padi sawah dengan praktek kekuatan produksi “teknologi intensif”, walaupun untuk itu mereka harus menyediakan modal finansial lebih banyak atau semakin tergantung kepada pihak lain. Sebaliknya, upaya petani untuk meningkatkan jumlah produksi dari usahatani kebun masih dapat dilakukan dengan cara memperluas penguasaan sumberdaya agraria (lahan kering) sampai ke wilayah dekat hutan dan/atau ke dalam wilayah hutan. Apalagi akuisisi sumberdaya agraria hutan dan/atau bekas hutan belum dikontrol secara efektif, baik oleh kelembagaan lokal (pada tingkat komunitas) maupun oleh aturan/kebijakan pemerintah (regional maupun nasional). Selain itu, perluasan sumberdaya agraria kebun mempunyai nilai masa depan (nilai investasi) sangat penting bagi para petani. Khususnya, sumberdaya tersebut dapat dijadikan pembuka jalan bagi upaya melepas landaskan masa depan anakanak mereka. Dalam hal ini, sumberdaya agraria kebun selain dapat dipinjamkan, dibagihasilkan, dan diwariskan kepada anak-anak mereka (bila anak-anak mereka meneruskan pekerjaan orangtuanya sebagai petani) tetapi juga dapat digunakan untuk membiayai anak sekolah atau biaya masuk sebagai pegawai (negeri). Besarnya dorongan petani untuk memperluas sumberdaya agraria “lahan kering” serta tidak adanya pengawasan yang efektif dalam tataguna sumberdaya agraria hutan dan/atau bekas hutan telah mendorong petani menggunakan sumberdaya agraria yang terletak di wilayah sekitar hutan dan/atau bahkan di wilayah hutan, meskipun lokasinya jauh dari pemukiman petani. Kemudian rendahnya kemampuan modal finansial dan tenaga kerja petani menyebabkan mereka mengelola sumberdaya agraria dimaksud tanpa menerapkan teknologi intensif dan teknologi yang mendukukng pengelolaan sumberdaya secara berkelanjutan (diantaranya tanpa terasering). Dalam jangka panjang, tata cara tersebut akan berdampak pada menurunnya kualitas sumberdaya agraria lahan kering (kebun) dan juga menurunnya luas dan/atau kualitas sumberdaya agraria padi sawah akibat terus berkurangnya persediaan air.
117
Tabel 5.8. Aspek
Perkembangan Sistem Pertanian Menetap di Empat Komunitas Petani Kasus, 2007. Tondo Jono Oge Cot Baroh/ Tunong
Ulee Gunong
Lahan Basah Bentuk Perkembangan Riwayat Perkembangan
Pertanian Menetap Padi Sawah Sejak Awal Belanda
Fasilitas
Irigasi setengah teknis dibangun Belanda, kondisi kurang baik 1 kali/tahun, sebagian kecil lahan ditanami
Intensitas Tanam Lahan Kering Bentuk Perkembangan
Riwayat Perkembangan
Fasilitas
Pola Tanam Produktivitas Kakako Dominan Sumber Utama Informasi Teknologi/Bahan Tanam Urutan Luas Penggunaan Lahan Kering
Pertanian Menetap Padi Sawah Sejak Awal Belanda + pencetakan baru tahun 80 an (pemerintah + swadaya) Irigasi setengah teknis teknis dibangun Belanda, kondisi baik 1 kali/tahun, seluruh lahan ditanami
Pertanian Menetap Padi Sawah Sejak Awal Belanda
x x
Irigasi setengah teknis dibangun Belanda kondisi baik 1 kali/tahun, seluruh lahan ditanami
x
Ladang Berpindah Æ Pertanian Menetap (kakao)
Ladang Berpindah Æ Pertanian Menetap (kopi, kakao)
Akhir Ladang Berpindah = pertengahan 90 an
x
Ladang Berpindah Æ Pertanian Menetap (kelapa, cengkeh, kakao) Akhir Ladang Berpindah = awal 90 an
Pertanian Menetap (kelapa, cengkeh, kakao)
Kelapa mulai = 60 an, cengkeh = 75 an, kakao = awal 90 an Proyek Kakao (P2WK) awal 90 an
Kelapa mulai = 60 an, cengkeh = 75 an, kakao = akhir 80 an Proyek Kakao (P2WK) awal 90 an
kakao = awal 90 an Proyek Kakao APBD setelah tahun 2000
Monokultur Kakao Dominan < 200 kg/ha
Monokultur Kakao Dominan 400 - < 600 kg/ha
Monokultur Kakao Dominan < 200 kg/ha
Akhir Ladang Berpindah = pertengahan 90 an Kopi sejak Belanda, pertengahan tahun 90 an hampir punah terkena serangan penyakit, Kakao = awal 90 an Proyek Kopi (Pembagian Bibit/Pemda), Ada Kebun percobaan yang dibangun Belanda Campuran (kopi + kakao) dominan 200 - < 400 kg ha
Proyek Kakao (P2WK)
Wilayah asal, Proyek Kakao (P2WK) Kakao > cengkeh > kelapa
Petani Perintis, Desa Tetangga
Petani Perintis, Desa Tetangga
Kakao
Kopi = kakao
Kakao > cengkeh > kelapa
118
BAB VI TRANSFORMASI STRUKTUR AGRARIA DAN DINAMIKA HUBUNGAN SOSIAL PRODUKSI DALAM KOMUNITAS PETANI 6.1. Transformasi Struktur Agraria 6.1.1.
Transformasi Pola Pemilikan Sumberdaya Agraria : Dari Pemilikan Kolektif ke Pemilikan Perorangan Sejalan dengan berlangsungnya perubahan sistem pertanian : dari sistem
pertanian ladang berpindah (shifting cultivation) ke sistem pertanian menetap (saddentary cultivation) - yang didominasi tanaman perkebunan - , maka dalam komunitas petani terjadi perubahan pola pemilikan sumberdaya agraria (lahan) : dari pemilikan kolektif (collective ownership) 66 ke ”pemilikan perorangan” (individual ownership). Dalam hal, ini terjadi perubahan dari “hak setiap orang” menjadi “hanya sebagian orang” yang berhak memanfaatkan sepenuhnya sumberdaya agraria. Ternyata, perubahan tersebut terjadi di semua komunitas petani kasus 67 . Menurut pengalaman para petani, sistem perladangan berpindah yang mengusahakan tanaman utama padi ladang telah berakhir. Di desa-desa kasus di Sulawesi Tengah sistem tersebut berakhir sekitar awal tahun 90 an dan di NAD sekitar pertengahan tahun 90 an (setelah pesatnya penanaman kakao). Pada periode penguasaan kolektif, semua anggota komunitas dapat menguasai sumberdaya agraria dengan mudah68, yaitu dengan cara meminta izin kepada pemim-pin lokal69 untuk membuka lahan yang belum ada penggarapnya (umumnya tanah hutan atau bekas hutan). Hak pengusahaan atas sumberdaya agraria tersebut hanya akan gugur bila seorang anggota komunitas yang telah membuka hutan tidak lagi mengusahakan lahan dimaksud selama kurun waktu yang ditetap66
Pelzer dalam Geertz (1976) mengemukakan bahwa dalam sistem perladangan tidak ada konsep pemilikan pribadi
67
Para petani yang berusia relatif tua (generasi tua) sangat memahami perubahan dimaksud karena sebagian dari mereka pernah menjalankan kedua sistem pertanian dan pola penguasaan sumberdaya agraria tersebut.
68
Menurut ketentuan hukum adat yang berlaku di Sulawesi Tengah, setiap anggota masyarakat mempunyai hak membuka tanah untuk dijadikan tanah pesawahan, ladang dan tempat tinggal (Humairah Sabri dan Aminuddin, 1992).
69
Di Sulawesi Tengah permintaan idzin membuka lahan baru diajukan kepada Ketua Adat, sedangkan di NAD diajukan kepada Keucik dan/atau Peutua Seneubok bila berada dalam wilayah Gampong atau kepada kepala mukim bila berada dalam beberapa wilayah Gampong.
119
kan masyarakat adat (umumnya sekitar 2 - 3 tahun). Kemudian lahan tersebut oleh para pemimpin lokal akan diserahkan kepada anggota lain yang berminat mengusahakannya. Dengan kata lain, pada periode penguasaan kolektif lahan yang tidak diusahakan oleh seorang warga komunitas dapat dipindahtangankan kepada warga lainnya yang berminat. Sebaliknya, pada periode penguasaan perorangan, anggota komunitas tidak dapat menguasai sumberdaya agraria dengan cara yang mudah karena harus mempunyai modal finansial (untuk membayar ganti rugi/membeli lahan serta untuk membiayai pembangunan kebun) atau mempunyai kedudukan sebagai penerima waris. Selain itu, peluang penguasaan lahan semakin sempit karena para petani yang sudah ditetapkan sebagai pemilik sumberdaya agraria dapat terus menguasai lahan miliknya walaupun lahan tersebut tidak diusahakan. Oleh sebab itu, pada periode ini, satu-satunya jalan bagi tunakisma untuk dapat menguasai lahan adalah melalui mekanisme pemilikan sementara, seperti bagi hasil dan sewa. Dengan kata lain, bersamaan dengan transformasi struktur agraria dari penguasaan kolektif ke perorangan terjadi perubahan akses petani terhadap penguasaan sumberdaya agraria, yaitu dari akses yang ”terbuka” ke akses yang ”semakin tertutup”. Dalam periode pemilikan kolektif, sebagaimana dikemukakan para petani, yang menjadi milik pribadi hanya tanaman yang diusahakan di atas sumberdaya agraria sedangkan sumberdaya agraria yang mereka gunakan untuk menguashakan suatu tanaman merupakan milik pihak lain yang bersifat umum (masyarakat adat) atau negara (tanah swapraja) 70. Oleh sebab itu, pada saat seorang petani harus melepaskan hak atas sumberdaya agraria yang diusahakan kepada orang lain (untuk diusahakan orang lain), maka konsep transaksi yang muncul bukan ”jual beli” tetapi ”ganti rugi”. Dalam konsep ganti rugi, yang menjadi kewajiban petani
70
Di Sulawesi Tengah, sistem pemilikan kolektif sejalan dengan sistem hukum adat lokal. Sistem ini menganut prinsip pemilikan secara terpisah, yaitu antara tanah dengan benda-benda di atas tanah tersebut, baik tanaman maupun bangunan. Jauh sebelum diberlakukan UUPA, pengaturan tanah di Sulawesi Tengah didasarkan pada hukum adat. Tanpa merubah prinsip pemilikan secara terpisah, pada zaman pemerintahan Hindia Belanda status tanah adat berubah menjadi tanah swapraja (Humairah Sabri dan Aminuddin, 1992). Sementara itu, di NAD, pemilikan kolektif sejalan dengan pemahaman masyarakat bahwa tanah, sebagaimana juga isi dunia lainnya, merupakan hasil ciptaan Allah, sehingga disebut ”Tanoh Tuhan” atau ”Tanoh Kullah”. Oleh sebab itu, pemilikan tanah oleh seseorng bukanlah hak mutlak. Pada masyarakat Aceh dikenal tanah adat (tanah masyarakat) yang dapat diusahakan masyarakat dan tanah negara yang masih berupa hutan (Dally RA dan Azwad R, 2002)
120
yang menggantikan (petani penerus) adalah memberikan ganti rugi atas biaya pembukaan lahan yang sebelumnya telah dikeluarkan petani pertama. Sementara itu, pada sistem pemilikan perorangan, para petani memahami bahwa sumberdaya agraria yang menjadi miliknya tidak hanya tanaman yang diusahakan tetapi juga sumberdaya agraria yang dijadikan tempat tanaman. Keduanya dapat menjadi milik pribadi secara mutlak sehingga seorang petani dapat memindahtangankan sumberdaya agraria dimaksud kepada orang lain melalui mekanisme pewarisan atau transaksi jual beli.
100%
80%
Milik, Bukti Pajak Milik, Sertifikat
60%
Milik, Akte/Kuitansi Milk, Surat Desa
40%
Milik, Tanpa Surat Tanah Orang Lain Tanah Adat
20%
0% Tondo
Gambar 6.1.
Jono
Ulee
Cot
Status Hukum Sumberdaya Agraria Milik Petani, 2007 (Sumber data : Wawancara dengan Petani Responden)
Pada saat penelitian berlangsung, hampir semua sumberdaya agraria di desadesa kasus sudah dikuasai anggota komunitas dengan sistem pemilikan perorangan, kecuali sumberdaya agraria yang masih berupa hutan dan sungai masih diakui masyarakat sebagai milik masyarakat/adat atau milik negara 71.
71
Bahkan akhir-
Para informan kunci di desa penelitian di NAD mengemukakan bahwa tanah yang berada dalam radius sejauh lima km dari pemukiman merupakan tanah masyarakat/tanah adat, sedangkan tanah yang berada dalam radius lebih dari lima km dari pemukiman merupakan tanah negara. Namun demikian, menurut staf Badan Pertanahan Nasional Kantor Wilayah NAD, ketentuan ini tidak tertulis dalam peraturan pemerintah pusat maupun daerah.
121
akhir ini, dalam menetapkan hak milik pribadinya berbagai tanda pengakuan formal (tertulis) menjadi acuan utama masyarakat (Gambar 6.1), misalnya : sertifikat, surat keterangan desa, akte/kuitansi jual beli lahan, dan tanda bukti bayar pajak (PBB).
Walaupun demikian, sebagian sumberdaya agraria yang
diakui para petani sebagai milik pribadi dalam kenyataannya belum mempunyai kekuatan hukum formal (tanpa surat). Di semua desa kasus, masih banyak petani yang hanya menggunakan tanaman (tertentu) sebagai tanda batas lahan miliknya. Sampai saat ini batas lahan dengan tanaman masih diakui masyarakat sehingga konflik batas lahan akibat tidak ada bukti tertulis hampir tidak terjadi. Bila pemilikan perorangan dengan “status formal” (tertulis) dibandingkan di antara empat desa kasus, ternyata fenomena tersebut muncul paling menonjol di Desa Jono Oge kemudian disusul di Desa Tondo, keduanya di Sulawesi Tengah. Sementara itu, di desa-desa kasus di NAD pemilikan perorang-an dengan status formal masih sangat kurang (Gambar 6.1.).
Pemilikan lahan dengan status
formal “sertifikat” pada umumnya hanya terjadi pada para petani yang mempunyai sumber mata pencaharian utama sebagai pegawai. Sementara itu, penetapan surat pajak sebagai tanda milik perorangan atas sumberdaya lahan selama ini lebih banyak ditentukan oleh inisiatif aparat pemerintahan desa. Dalam hal petani membuka sumberdaya agraria (lahan) yang masih berupa hutan atau bekas hutan (milik masyarakat adat dan/atau milik negara), pihak pemberi izin mulai bergeser dari Ketua Adat kepada pejabat yang memimpin sebuah desa. Hal ini berlangsung terutama sejak diberlakukannya UU Pemerintahan Desa No. 5 Tahun 1975. Di Desa Jono Oge dan Desa Tondo di Sulawesi Tengah pemberian izin membuka sumberdaya agraria baru (hutan) sepenuhnya telah menjadi kewenangan Kepala Desa 72. Sementara itu, di desa Ulee Gunong dan Desa Cot Baroh/Tunong di NAD pemberi izin membuka hutan adalah Keuchik, Peteua Seneubok atau Imam Mukim 73 . Pemberian idzin oleh Keucik sangat
72
Permintaan izin kepada Kepala Desa untuk lahan yang luasnya hanya dua ha, bila luas lahan yang diminta lebih dari 2 ha – 5 ha permintaan izin harus diajukan kepada Camat, dan bila lebih dari lima ha permintaan idzin harus diajukan kepada Bupati
73
Keuchik adalah Kepala Gampong (setara Kepala Desa) yang dipilih secara langsung oleh masyarakat untuk masa jabatan enam tahun. Ketua Mukim adalah seorang pemimpin yang berperan sebagai koordinator beberapa desa. Peutua Seneubok adalah orang yang ditunjuk anggotanya dalam memimpin pembukaan hutan dan/atau pembangunan kebun.
122
dominan pada saat pembangunan kebun difasilitasi program pemerintah, sedangkan permberian idzin oleh Peutua Seneubok sangat dominan pada saat seorang petani akan mengganti petani lain (anggota seneubok) atau akan membuka lahan baru sekitar lahan yang sudah dibuka kelompok yang dipimpin Peutua Seneubok. Kemudian, pemberian izin menjadi kewenangan Imam Mukim bila hutan yang akan dibuka berada pada wilayah beberapa desa. 6.1.2.
Transformasi Pola Akuisisi Sumberdaya Agraria : Dari Buka Baru ke Transfer Sumberdaya Agraria Untuk mendapatkan (mengakuisisi) sumberdaya agraria yang diperlukan se-
bagai tempat menjalankan usaha pertanian, para petani di empat komunitas petani kasus menempuhnya melalui dua mekanisme berikut : 1) membuka sumberdaya agraria baru (lahan hutan), dan 2) melakukan transfer sumberdaya agraria. Terkait dengan proses pembukaan lahan baru, para petani melakukannya melalui dua mekanisme berikut : a) pembangunan kebun dilakukan sendiri oleh calon petani pemilik tanpa kerjasama dengan petani lain, b) pembangunan kebun dilakukan melalui meka-nisme kerjasama dengan petani lain yang disebut “berbagi” (“bagi kebun” atau “bagi tanaman”)
74
. Sementara itu, terkait dengan proses transfer
lahan, para petani melakukannya melalui dua mekanisme berikut : a) “transaksi jual-beli/ganti rugi” lahan kosong atau kebun, dan b) “pewarisan” (umumnya berlangsung dari orangtua kepada anak). Akhir-akhir ini, dengan semakin terbatasnya sumberdaya agraria hutan yang dapat dibuka, maka akuisisi sumberdaya agraria melalui proses “buka baru” semkin berkurang. Sebaliknya, akuisisi sumberdaya agraria melalui proses “transfer” semakin agresif dilakukan para petani. Hal ini terjadi baik melalui mekanisme “jual beli/ganti rugi” maupaun mekanisme “pewarisan” 75.
74
Sistem ini berlangsung bila kebun dibangun oleh seorang petani penggarap pada lahan milik petani lain yang sudah dibuka. Petani pembagi mengerjakan seluruh rangkaian pembangunan kebun sampai dengan kebun siap dipanen (selama tiga tahun). Sebagai imbalannya, petani pembagi akan mendapat sebagian kebun (umumnya kebun dibagi dua).
75
Dalam penelitian ini, konsep pewarisan merujuk pada pemberian lahan yang diberikan orangtua kepada anaknya, baik setelah maupun sebelum orangtua meninggal. Para petani yang mempunyai status kaya seringkali memberikan lahan kepada anaknya sebagai upaya melepas landaskan anaknya agar mampu memenuhi kebutuhan hidupnya dan kemudian mampu mempunyai kebun/sawah sendiri. Sementara itu, untuk tujuan yangsama, para petani dengan status “sedang” seringkali meminjamkan lahan sawah/kebun kepada anaknya secara bergiliran.
123
30
25
20 Buka Baru
15
Transfer
10
5
0 52 - 57 58 - 62 63 - 67 68 - 72 73 - 77 78 - 82 83 - 87 88 - 92 93 - 97 98 - 02 03 - 07
Gambar 6.2.
Pola Akuisisi Sumberdaya Agraria di Desa Tondo, 2007 (Sumber data : Wawancara dengan Petani Responden)
30
25
20 Buka Baru
15
Transfer
10
5
0 52 - 57 58 - 62 63 - 67 68 - 72 73 - 77 78 - 82 83 - 87 88 - 92 93 - 97 98 - 02 03 - 07
Gambar 6.3.
Pola Akuisisi Sumberdaya Agraria di Desa Jono Oge, 2007 (Sumber data : Wawancara dengan Petani Responden)
124
30
25
20 Buka Baru
15
Transfer
10
5
0 52 - 57 58 - 62 63 - 67 68 - 72 73 - 77 78 - 82 83 - 87 88 - 92 93 - 97 98 - 02 03 - 07
Gambar 6.4.
Pola Akuisisi Sumberdaya Agraria di Desa Ule Gunong, 2007 (Sumber data : Wawancara dengan Petani Responden)
30
25
20 Buka Baru
15
Transfer
10
5
0 52 - 57 58 - 62 63 - 67 68 - 72 73 - 77 78 - 82 83 - 87 88 - 92 93 - 97 98 - 02 03 - 07
Gambar 6.5.
Pola Akuisisi Sumberdaya Agraria di Desa Cot Baroh/Tunong, 2007 (Sumber data : Wawancara dengan Petani Responden)
Oleh sebab itu, kecuali di komunitas petani Desa Cot Baroh/Tunong, secara kumulatif akuisisi sumberdaya agraria melalui mekanisme “transfer lahan” lebih menonjol dibanding buka baru (Gambar 6.2, Gambar 6.3, Gambar 6.4, Gambar 6.5. dan Tabel 6.1.). Di komunitas petani Desa Cot Baroh/Tunong akuisisi sumberdaya agraria melalui meknisme buka baru relatif seimbang dengan mekanisme transfer, masing-masing 51,7 % dan 48,3 %. Kemudian bila diamati secara lebih spesifik, akuisisi sumberdaya agraria melalui mekanisme pewarisan
125
berlangsung relatif merata di tiga komunitas petani kasus, yaitu di komunitas petani Desa Tondo (38,4 %), Ule Gunong (35,0 %) dan Cot Baroh /Tunong (26 %). Sementara itu, akuisisi sumberdaya agraria melalui mekanisme ”jual-beli/ ganti rugi” sangat menonjol dilakukan oleh para petani di Desa Jono Oge, yaitu mencapai 72,3 %. Bahkan untuk memperoleh sumberdaya agraria kosong pun para petani di Desa Jono Oge lebih memilih membeli/mengganti rugi dari pada harus membuka hutan sendiri. Awal kemunculan mekanisme jual beli sumberdaya agraria berlangsung sejak para petani mengusahakan tanaman “ko-mersial” perkebunan. Tabel 6.1.
Pola Akuisisi Sumberdaya Agraria di Empat Komunitas Petani Kasus, 2007 Tondo
Pola Akuisisi
Jono Oge
Ulee Gunong
Cot Baroh/ Tunong
N
%
N
%
N
%
N
%
A. Buka Baru
27
37.0
12
12.8
19
31.7
47
51.6
1. Buka Sendiri
19
26.0
11
11.7
17
28.3
39
42.9
2. Berbagi
8
11.0
1
1.1
2
3.3
8
8.8
B. Transfer
46
63.0
82
87.2
41
68.3
44
48.4
1. Ganti Rugi
18
24.7
68
72.3
20
33.3
20
22.0
2. Pewarisan
28
38.4
14
14.9
21
35.0
24
26.4
Jumlah
73
100.0
94
100.0
60
100.0
91
100.0
Sumber data : Wawancara dengan Petani Responden
Bila proses akuisisi sumberdaya agraria dibandingkan di antara berbagai jenis pengusahaannya (Tabel 6.2 dan Gambar 6.6.), ternyata proses transfer sumberdaya agraria melalui mekanisme jual beli/ganti rugi lahan sangat menonjol pada sumber-daya agraria yang digunakan untuk usahatani padi sawah (59,5 %), kemudian disusul pada usahatani kelapa (56,3 %) dan terakhir pada usahatani cengkeh (51,9 %). Bahkan untuk ketiga usahatani tersebut sudah lama tidak
126
terjadi pembukaan areal baru. Hal ini terjadi karena ketersediaan sumberdaya agraria yang cocok untuk melakukan pencetakan sawah baru sudah tidak ada lagi (terutama tidak mempunyai kecukupan air). Sementara itu, tanaman kelapa dan cengkeh mulai ditinggalkan petani karena petani lebih memilih menanam kakao. Sementara itu, akuisisi sumberdaya agraria melalui mekanisme pewarisan relatif merata pada semua jenis tanaman, keculai pada tanah kosong (hanya sebesar 11 %). Adapun proses akuisisi sumberdaya agraria melalui mekanisme buka baru masih relatif besar pada sumberdaya agraria untuk menjalankan usahatani tanaman kakao, kopi, dan tanaman campuran. Hal ini terjadi karena secara ekologis ketersediaan sumberdaya agraria untuk ketiga usahatani dimaksud relatif lebih tersedia, yaitu lahan baru yang terletak dekat dan/atau di dalam wilayah hutan. Tabel 6.2.
Pola Akuisisi Sumberdaya Agraria Berdasarkan Jenis Tanaman yang Diusakan, 2007.
Pola Akuisisi
Kakao
Kopi
Cengkeh
Kelapa
Padi
Campur
Kosong
N
%
N
%
N
%
N
%
N
%
N
%
N
%
A. Buka Baru
34
45
5
36
5
19
3
19
9
11
27
34
16
59
1. Buka Sendiri
29
38
5
36
2
7
2
13
1
1
25
32
16
59
2. Berbagi
5
7
0
-
3
11
1
6
8
10
2
3
0
-
42
55
9
64
22
81
13
81
70
89
52
66
11
41
1. Ganti Rugi
22
29
5
36
14
52
9
56
47
59
21
27
8
30
2.Pewarisan
20
26
4
29
8
30
4
25
23
29
31
39
3
11
Jumlah
76 100
14
100
27
100
16 100
79
100
79
100 27 100
B. Transfer Lahan
Sumber data : Wawancara dengan Petani Responden
127
100% 90% 80% 70% Pew arisan
60%
Ganti Rugi
50%
Berbagi
40%
Buka Sendiri
30% 20% 10% 0% Kakao
Kopi
Cengkeh
Kelapa
Padi
Campur
Kosong
Gambar 6.6. Pola Akuisisi Sumberdaya Agraria Berdasarkan Jenis Tanaman, 2007 (Sumber data : Wawancara dengan Petani Responden)
Lebih lanjut, bila penelusuran proses akuisisi sumberdaya agraria diantara petani dikaitkan dengan tingkat kesejahteraan mereka ternyata nampak adanya perbedaan. Para petani kaya umumnya melakukan akuisisi sumberdaya agraria melalui mekanisme jual beli/ganti rugi, bahkan mekanisme tersebut mencapai 61,8 % (Gambar 6.7. dan Tabel 6.3.). Kemudian, akuisisi sumberdaya agraria yang dilakukan para petani yang mempunyai status kesejahteraan sedang dan status kesejahteraan miskin relatif sama, yaitu dilakukan melalui tiga mekanisme berikut : buka sendiri, warisan, dan jual beli/ganti rugi. Sementara itu, mekanisme “bagi kebun” hampir merata dilakukan oleh semua lapisan petan (kaya, sedang, miskin). Akan tetapi, proporsi penerapan mekanisme bagi kebun sangat rendah dan cenderung terus menurun.
128
Tabel 6.3.
Pola Akuisisi Sumberdaya Agraria Berdasarkan Tingkat Kesejahteraan Petani, 2007 Miskin
Sedang
Kaya
N
%
N
%
N
%
A. Buka Baru
28
41.2
63
32.3
14
25.5
1. Buka Sendiri
23
33.8
52
26.7
11
20.0
2. Berbagi
5
7.4
11
5.6
3
5.5
B. Transfer Lahan
40
58.8
132
67.7
41
74.5
1. Ganti Rugi
19
27.9
72
36.9
34
61.8
2. Pewarisan
21
30.9
60
30.8
7
12.7
Jumlah
68
100.0
195
100.0
55
100.0
Pola Akuisisi
Sumber data : Wawancara dengan Petani Responden
100% 90% 80% 70% Pew arisan
60%
Ganti Rugi
50%
Berbagi
40%
Buka Sendiri
30% 20% 10% 0% Miskin
Gambar 6.7.
Sedang
Kaya
Pola Akuisisi Sumberdaya Agraria Berdasarkan Tingkat Kesejahteraan Petani, 2007 (Sumber data : Wawancara dengan Petani Responden)
129
Dalam hal petani membangun sendiri kebunnya, mereka umumnya lebih banyak mengandalkan tenaga kerja anggota keluarga (kreluarga inti). Meskipun mereka membuka kebun secara bersama-sama dalam sebuah rombongan (5 – 10 petani), tetapi sebagian besar pekerjaan dilakukan oleh masing-masing keluarga inti (suami, istri dan anak). Hanya pekerjaan membuka hutan (merintis, menebang pohon besar, membersihkan lahan) yang seringkali dikerjakan bersama melalui mekanisme gotong royong (pertukaran tenaga di antara petani). Setelah itu, lahan dibagikan kepada seluruh anggota rombongan dengan luasan yang sama dengan cara diundi (yang diundi adalah letak lahan). Adapaun kegiatan selanjutnya, yaitu : mengajir, membuat lubang tanam, membuat bibit, dan menanam dilakukan oleh anggota keluarga masing-masing petani. Bila dalam kegiatan membuka kebun diperlukan biaya sewa alat (misalnya sewa chainsaw), umumnya ditempuh dua mekanisme berikut : a) biaya ditanggung bersama oleh anggota rombongan, atau b) pemilik chainsaw akan memperoleh pembagian lahan. Beberapa pertimbangan rasional yang mendorong petani membuka lahan secara rombongan adalah : di hutan masih banyak binatang buas, jika terjadi kecelakaan ada yang menolong, mengawasi/menengok kebun dapat dilakukan secara bergantian, pagar dapat dibuat bersama sehingga biayanya lebih murah, ada saksi dalam hal penetapan status pemilikan kebun. Di desa-desa kasus di Sulawesi Tengah, akuisisi sumberdaya agraria melalui buka hutan banyak dilakukan pada akhir tahun 80 an, sedangkan di desa-desa penelitian di Propinsi NAD baru banyak dilakukan pada akhir tahun 90 an. Pada periode tersebut lahan kosong (asal hutan) masih mudah didapat, sehingga untuk membangun kebun pada umumnya petani melakukan pembukaan hutan (pada lahan yang berstatus swapraja/negara) dengan cara sebagai berikut : paras, tebas, dan bakar pada hutan sekunder atau paras, tebang, dan bakar pada hutan primer. Pada saat ini, untuk memperoleh lahan kosong asal hutan para petani di desa kasus harus menempuh perjalanan sekitar 10 – 12 km 76, sehingga mereka harus sering tinggal di lokasi lahan yang baru dibuka tersebut. Selain itu, hampir semua lahan hutan yang cocok untuk menyelenggarakan usahatani kakao sudah dibuka 76
Sebagian jalan menuju hutan masih jalan setapak dan hanya dapat dilewati kendaraan roda dua. Untuk mencapai lokasi tersebut, bila ditempuh dengan berjalan kaki diperlukan waktu 2 jam, dan bila menggunakan motor (ojek) diperlukan ongkos Rp. 50.000,-
130
dan sudah ada pemiliknya (walaupun belum semuanya ditanami)77, sehingga untuk mendapatkan lahan tersebut umumnya harus melalui mekanisme jual-beli /ganti rugi dengan harga relatif mahal (sekitar tiga sampai dengan lima juta rupiah). Sebenarnya, untuk memperoleh sumberdaya lahan yang masih hutan rimba seorang petani tidak perlu membeli atau mengganti rugi, paling-paling hanya membayar biaya administrasi ke desa setempat sebesar Rp. 150.000/ha. Akan tetapi lahan hutan rimba yang masih ada kurang cocok untuk ditanami kakao karena arealnya terlalu miring dan letaknya berada dekat jurang (tebing). Oleh sebab itu, pada saat ini persaingan mendapatkan lahan asal hutan semakin tinggi. Apalagi para pemodal dari kota (pegawai, pedagang) mulai ikut bersaing menguasai lahan 78. Pola pewarisan sumberdaya agraria di desa-desa kasus sudah mengalami perubahan. Pada saat ini, pola pewarisan sumberdaya agraria yang diterapkan para petani di lokasi penelitian Desa Tondo (komunitas beretnis Kaili) maupun di lokasi penelitian Desa Jono Oge (komunitas Bugis) adalah sama. Dalam pola pewarisan yang mereka terapkan saat ini, seorang anak laki-laki maupun anak perempuan mendapatkan hak waris sumberdaya agraria dengan jumlah yang sama. Padahal pada komunitas beretnis Bugis di Sulawesi Selatan sampai saat ini anak laki-laki mendapat dua bagian sedangkan anak perempuan hanya satu bagian, sehingga ada ungkapan ”anak laki-laki malempa (menanggung) sedangkan anak perempuan hanya majungjung (menggendong)”. Sepanjang ingatan para Kepala Desa, pola pewarisan yang lebih banyak untuk laki-laki tidak diterapkan lagi karena dianggap tidak adil. Demikian hal nya pada masyarakat Kaili sebelumnya (sekitar 30 tahun lalu lalu), seorang anak laki-laki akan mendapat warisan sebanyak dua bagian karena harus “mikul” sedangkan perempuan hanya mendapatkan satu bagian karena hanya “nanggoro”. Sementara itu di desa-desa kasus di NAD, pola pewarisan umumnya masih menerapkan pola
77
Di wilayah bukaan baru seperti Pura banyak petani kaya dan/atau pejabat yang “memagar tanah”, mereka menguasai lahan secara formal (surat dari desa) meskipun lahan tersebut belum diusahakan.
78
Para petani di Desa Tondo dan Jono Oge mengungkapkan bahwa di Pura (lokasi bukaan baru) banyak pedagang dari Pasar Inpres dan Pasar Masomba di Kota Palu membuka kebun. Kebanyakan dari mereka merupakan orang Bugis dan mereka membangun dan memelihara kebun dengan menggunakan tenaga kerja upah.harian.
131
dimana anak laki-laki memperoleh warisan yang lebih besar (mengacu pada Syariah Islam). Tabel 6.4.
Berbagai Kebutuhan yang Mendorong Petani Menjual Sumberdaya Agraria, 2007. Desa
Jenis Kebutuhan Petani 7 (78)
Jono Oge 4 (33)
Ulee Gunong 1 (25)
Cot Baroh/ Tunong 2 (100)
• Membeli motor
1
0
0
0
• Kebutuhan mendesak
3
1
1
1
• Pesta pernikahan
2
2
0
0
• Biaya naik haji
1
0
0
1
• Biaya membeli rumah Pengembangan Usaha • Perlu modal Usaha
0 2 (22) 1
1 2 (17) 1
0 3 (75) 3
0 0 (0) 0
• Membeli kebun lain
1
1
0
0
0 (0)
6 (50)
0 (0)
0 (0)
• Biaya sekolah Anak
0
4
0
0
• Biaya anak masuk kerja
0
2
0
0
9 (100)
12 (100)
4 (100)
2 (100)
Tondo Kebutuhan Konsumtif
Masa Depan Anggota Keluarga
Jumlah Kasus
Sumber data : Wawancara dengan Petani Responden Keterangan : Angka dalam kurung sama dengan %
Transfer sumberdaya agraria melalui mekanisme jual beli terus meningkat karena akhir-akhir ini semakin banyak kebutuhan petani yang hanya dapat mereka penuhi dengan cara menjual lahan 79. Secara umum, kebutuhan-kebutuhan para petani tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu : kebutuhan konsumtif, pengembangan usaha, upaya memperbaiki masa depan anak (Tabel 6.4.). Kebutuhan konsumtif petani yang dipenuhi dengan cara menjual kebun adalah membeli motor, penyelenggaraan pesta pernikahan/sunatan (umumnya sekitar 10 juta), membuat rumah, berobat, kebutuhan mendesak, dan ongkos naik haji. Adapun upaya memperbaiki masa depan anak yang dipenuhi dengan cara menjual kebun adalah biaya sekolah (kuliah) serta biaya agar anak diterima sebagai pegawai. 79
Billah (1984) mengemukakan bahwa tidak adanya peluang kerja lain dan mengecilnya pendapatan dibandingkan dengan kebutuhan yang semakin meningkat mendorong pemilik lahan melakukan transaksi jual beli lahan, gadai dan sewa lahan.
132
Sementara itu, pengembangan usaha yang dilakukan petani dengan menjual kebun diantaranya adalah membeli alat pertanian untuk disewakan atau membeli kebun yang lebih jauh dengan harga lebih murah sehingga lebih luas. Proses jual beli sumberdaya agraria yang terjadi pada komunitas petani etnis lokal (di Desa Tondo - Sulawesi Tengah dan Desa Cot Baroh/Tunong - NAD) umumnya berlangsung diantara sesama warga satu desa. Sebaliknya, proses jual beli sumberdaya agrarian yang terjadi pada komunitas petani etnis pendatang (di Desa Jono Oge - Sulawesi Tengah dan di Desa Ulee Gunong - NAD) proses jual beli sumberdaya agraria banyak berlangsung diantara warga dari desa yang berbeda tetapi mereka masih berada dalam wilayah kecamatan yang sama (Tabel 7.5.).
Fenomena tersebut menunjukkan bahwa gejala masuknya warga kota
(kabupaten sama) yang membeli lahan pertanian di desa meskipun sudah ada tetapi propor-sinya masih relatif kecil. Tabel 6.5.
Alamat Pelaku Jual Beli Sumberdaya Agararia, 2007.
N
%
N
%
Ulee Gunong N %
1. Desa Sama
13
59.1
16
44.4
2
2. Kecamatan Sama
6
27.3
19
52.8
3. Kabupaten Sama
3
13.6
1
Jumlah Kasus
22
100.0
36
Alamat Pelaku
Tondo
Jono Oge
Cot Baroh N
%
9.5
13
86.7
11
52.4
2
13.3
2.8
8
38.1
0
-
100.0
21
100.0
15
100.0
Sumber data : Wawancara dengan Petani Responden
6.2. Dinamika Pola Hubungan Sosial Produksi Sumberdaya Agraria Secara garis besar, hubungan sosial produksi sumberdaya agraria (lahan) untuk usaha pertanian diimplementasikan dalam dua tahap. Munculnya tahapan tersebut sejalan dengan proses pengembangan suatu usahatani, yaitu : 1) tahap pembuatan/pembangunan kebun dan tahap pembuatan/pencetakan sawah, 2) tahap pengelolaan/pengusahaan kebun dan tahap pengelolaan/pengusahaan sawah. Kedua tahap hubungan sosial dimaksud muncul di semua komunitas petani kasus
133
dan terjadi pada semua jenis pemnafaatn sumberdaya agraria, baik usa-ha tanaman kakao, kopi, kelapa, cengkeh, maupun padi-sawah. Namun demikian, ragam bentuk dan/atau intensitas setiap pola hubungan sosial produksi tersebut dapat berbeda. Perbedaan bentuk pola hubungan sosial produksi umumnya mun-cul dalam sebuah komunitas manakala jenis tanaman yang di-usahakan berbeda. Sementara itu, perbedaan intensitas pola hubungan sosial produksi umumnya muncul di antara komunitas petani yang berbeda meskipun jenis tanaman yang diusahakan sama. 6.2.1.
Dinamika Pola Hubungan Sosial Produksi Sumberdaya Agraria Pada Tahap Pembangunan Kebun dan Pencetakan Sawah Dalam melaksanakan pembangunan kebun dan pencetakan sawah, sebuah
keluarga petani seringkali tidak mampu menyelesaikannya hanya dengan curahan tenaga kerja keluarga inti (suami, istri, dan anak/menantu). Oleh sebab itu, para petani melakukan kegiatan tersebut melalui mekanisme pertukaran (kerjasama). Mekanisme pertukaran tersebut terutama berlangsung di antara anggota kerabat (kerabat inti dan kerabat luas). Walaupun demikian, tidak tertutup kemungkinan mekanisme tersebut berlangsung di antara warga satu komunitas yang tidak memiliki ikatan kekerabatan, misalnya di antara tetangga. Pada tahap pembangunan kebun dan pencetakan sawah, secara garis besar terdapat dua pola hubungan sosial produksi sumberdaya agraria yang umum dijalankan para petani di empat komunitas petani kasus. Pertama; pola hubungan sosial produksi sumberdaya agraria “berbagi, yang dikenal masyarakat dengan istilah “bagi kebun”, “bagi tanaman” dan/atau “bagi sawah”. Pola ini dibangun dengan tatanan yang lebih kompleks dan lebih bersifat personal serta dilakukan antara petani pemilik sumberdaya agararia 80 yang seringkali merangkap sebagai pemilik modal non lahan 81 dengan petani pembagi 82 (penggarap). Kedua; pola
80
Pada umumnya merupakan seorang petani yang menguasai lahan kosong relatif luas tetapi tidak mempunyai cukup tenaga kerja dan/atau modal financial yang diperlukan untuk membuat kebun/mencetak sawah
81
Pada umumnya seorang warga desa/luar desa pemilik modal non lahan untuk membeli sarana produksi serta untuk membiayai hidup petani penggarap selama proses pembuatan kebun/ pencetakan sawah berlangsung
134
hubungan sosial produksi sumberdaya agraria “petani pemilik lahan – buruh tani”, yaitu sebuah pola kerjasama yang tatanannya relatif sederhana dan lebih bersifat kontraktual.
Pola ini berlangsung antara petani pemilik sumberdaya agraria
dengan buruh tani, dan hak buruh tani dipenuhi melalui transaksi pemba-yaran upah harian (sebagai buruh harian lepas). Secara lebih rinci, dalam hal hubungan sosial produksi sumberdaya agraria pembangunan kebun terdapat empat bentuk yang pernah atau sedang dilakukan warga komunitas di lokasi penelitian (Tabel 6.6), yaitu : a.
Bagi Tiga. Dalam pola ini petani pemilik sumberdaya agraria mendapat satu bagian kebun dan petani pembagi mendapat dua bagian kebun. Hal ini terjadi bila semua sarana produksi untuk membangun kebun disediakan petani pembagi.
b.
Bagi Dua. Dalam pola ini petani pemilik sumberdaya agraria dan petani pembagi memperoleh bagian yang sama (masing-masing pihak/pelaku memperoleh kebun dengan luas yang sama). Hal ini terjadi bila sarana produksi untuk membangun kebun (mulai tahap penanaman sampai dengan tahap panen) disediakan oleh pihak petani pemilik sumberdaya agraria83.
c.
Bagi Tanaman Dalam pola ini tanaman yang sudah menghasilkan dibagi dua antara pemilik lahan dan penggarap sedangkan sumberdaya lahannya tidak dibagi (dua), sehingga di kemudian hari bila masa produksi tanaman kakao sudah habis (20-30 tahun kemudian), seluruh sumberdaya lahan tersebut harus dikembalikan kepada petani pemilik. Pola ini sebagai bentuk penyesuaian atas semakin langkanya lahan kosong yang cocok untuk kebun kakao. Di Aceh pola bagi tanaman dinamai “mawah” dan pola ini mulai
82
Umumnya adalah seorang petani penggarap/pemilik lahan sempit/buruh tani yang hanya mempunyai kelebihan tenaga kerja tetapi tidak mempunyai modal financial untuk membangun kebun/mencetak sawah sendiri.
83
Hasil studi Sayuti (2002) di Desa Sintuwu dan Desa Berdikari Sulawesi Tengah dan hasil studi Sutisna dkk (2005) di Desa Lambandia Sulawsi Tenggara menunjukkan bahwa sistem bagi kebun yang banyak dilakukan adalah “sistem bagi dua”. Dalam hal ini, baik pemilik lahan maupun penggarap berhak memiliki separoh kebun kakao yang dibagai pada saat kebun tersebut mulai menghasilkan (umur tanaman sekitar 4 - 5 tahun). Kewajiban pemilik adalah menyediakan lahan baru dan bibit kakao, sedangkan kewajiban penggarap adalah melakukan penanaman dan pemeliharaan sampai tanaman menghasilkan. Namun demikian, kinerja kelembagaan ini semakin menghilang sejalan dengan semakin langkanya lahan kosong yang tersedia.
135
berkembang akhir tahun 90 an serta keberadaannya mulai menggeser pola bagi kebun84. Pola ini masih menjadi pilihan banyak petani karena kebun yang dibangun melalui pola ini umumnya lebih baik dibanding kebun yang dibangun melalui pola pemilik-buruh upahan. d.
Pemilik – Buruh Tani. Dalam pola ini seluruh tanaman dan lahan kebun akan menjadi milik petani pemilik sumberdaya agraria, sedangkan pihak lain yang ikut bekerja (buruh tani) hanya akan mendapatkan upah harian.
Selain empat pola hubungan sosial produksi agraria yang umum diterapkan warga komunitas petani tersebut, sebenarnya terdapat beberapa variasi pola hubungan sosial produksi sumberdaya agraria antara pemilik lahan dengan penggarap, tetapi intensitas pola-pola dimaksud relatif jarang diterapkan. Bentuk pola-pola hubungan sosial produksi agraria tersebut sangat tergantung bentuk “kepentingan” antara pemilik lahan dan penggarap dan/atau “berat ringannya” pekerjaan yang harus ditanggung penggarap. Misalnya, di desa penelitian di Sulawesi Tengah terdapat ragam pola “bagi tanaman” pada usahatani kakao yang ditanam di antara kelapa yang sudah ditanam sebelumnya oleh pemilik lahan. Dalam pola ini yang dibagi di antara pemilik lahan (pemilik kebun kelapa) dan penggarap hanya tanaman kakaonya saja tetapi lahan dan kebun kelapanya tidak dibagi, sehingga pada saat tanaman kakao tersebut sudah tua dan mati, maka seluruh lahan dikembalikan kepada pemiliknya Pembagian haknya pun bervariasi seperti berikut : a) berbagi hasil panen : bagi dua atau bagi tiga, b) bagi masa panen; umumnya setelah kakao dipanen selama 5 (lima) tahun, tanaman kakao diserahkan ke pemilik lahan; c) seluruh hasil produksi tanaman kakao menjadi hak penggarap tetapi penggarap berkewajiban memelihara kebrsihan kebun, menjaga hasil kebun dari pencurian), meremajakan/mengganti tanaman yang mati, serta menyerahkan hasil tanaman utamanya (tanaman kelapa).
84
Pola bagi tanaman juga ditemukan dalam penelitian Fadjar (2004) pada usahatani karet di kabupaten Musi Rawas Propinsi Sumatera Selatan, khususnya di wilayah dimana ketersedian lahan baru sudah sangat terbatas dan harganya sudah relatif mahal.
136
Tabel 6.6.
Pola Hubungan Sosial Produksi pada Tahap Pembangunan Kebun dan Pencetakan Sawah, 2007
Lingkungan Konstekstual
Bentuk Hubungan Sosial Produksi
Kewajiban Petani Pemilik Lahan
Petani Pembagi/ Buruh Tani
Hak Petani Pemilik Lahan
Petani Pembagi/ Buruh Tani
Pembuatan/Pembangunan Kebun Lahan melimpah, teknologi sangat sederhana, tidak ada input produksi yang harus dibeli, tenaga kerja terbatas Lahan melimpah, teknologi semi intensif, sebagian input produksi harus dibeli, tenaga kerja terbatas
Bagi Tiga
Menyerah kan lahan
Bagi Dua
Lahan langka, teknologi semi intensif – intensif , sebagian besar input produksi harus dibeli, tenaga kerja terbatas
Bagi Tanaman
Lahan langka, teknologi semi intensif – intensif , sebagian besar input produksi harus dibeli, tenaga kerja melimpah
Pemilik – Buruh Tani
Menyerahkan lahan + ikut membiayai bahan/alat produksi dan/atau membantu biaya hidup petani pembagi Menyerahkan lahan + ikut membiayai bahan/alat produksi sedangkan membantu biaya hidup petani pembagi tidak wajib Menyediakan lahan + seluruh biaya bahan/ alat/tenaga
Membangun dan memelihara kebun sampai siap panen + menanggung sarana produksi (bibit tidak unggul) Membangun kebun dan memelihara kebun sampai siap panen
1 bagian kebun (lahan dan tanaman)
2 bagian kebun (lahan dan tanaman)
1 bagian kebun (lahan dan tanaman)
1 bagian kebun (lahan dan tanaman)
Membangun kebun dan memelihara kebun sampai siap panen
1 bagian tanaman + seluruh lahan
1 bagian tanaman (saja)
Menyediakan Tenaga Kerja
Seluruh lahan + seluruh tanaman
Memperoleh Upah Harian (bila bekerja)
Memperoleh hak mengusahakan sawah selama 5 x masa tanam sejak sawah tersebut dicetak dan seluruh hasil panen untuk petani pembagi Memperoleh Upah Harian
Pembuatan/Pencetakan Sawah Lahan langka, teknologi semi intensif – intensif , sebagian besar input produksi harus dibeli, tenaga kerja terbatas
Bagi Waktu Panen
Menyerahkan lahan yang cocok untuk dibuat sawah
Membut/Men cetak sawah
Memperoleh kembali lahan sawah miliknya setelah diusahakan selama 5 kali panen (5 tahun) oleh petani pembagi
Lahan langka, teknologi semi intensif – intensif , sebagian besar input produksi harus dibeli, tenaga kerja melimpah
Pemilik – Buruh Tani
Menyediakan lahan + seluruh biaya bahan/ alat/tenaga
Menyediakan Tenaga Kerja
Seluruh lahan + seluruh tanaman
Sumber data : Diskusi Kelompok dengan Informan Kunci
137
Sementara itu, dalam kegiatan pembangunan/pencetakan sawah terdapat dua bentuk hubungan sosial produksi sumberdaya agraria (Tabel 6.6), yaitu : 1.
Bagi Waktu Panen. Dalam pola ini, lahan sawah yang dibangun penggarap dapat mereka kelola selama tiga sampai lima kali masa panen. Setelah itu, lahan sawah diserahkan kembali kepada petani pemilik. Besar frekuensi panen yang menjadi bagian (hak) penggarap ditentukan oleh curahan tenaga kerja (berat/ ringgannya pekerjaan) yang harus mereka curahkan dalam pencetakan sawah. Semakin besar curahan tenaga kerja yang harus dilakukan petani pembagi maka akan semakin lama hak mengusahakan yang diperoleh petani pembagi.
2.
Pemilik – Buruh Tani. Dalam pola ini seluruh tanaman dan lahan sawah akan menjadi milik petani pemilik, pihak lain yang ikut bekerja (buruh tani) hanya akan mendapatkan upah harian.
Pengaturan hubungan sosial produksi agraria pada tahap pembangunan kebun maupun pencetakan sawah semuanya berlangsung secara informal. Dalam hal ini, kesepakatan tentang hak dan kewajiban di antara para pelaku tidak dilakukan dalam perjanjian tertulis dan seringkali dilakukan tanpa adanya pihak lain yang menjadi “saksi”. Oleh sebab itu, bila terjadi pelanggaran oleh salah satu pihak yang bekerjasama (pemilik lahan dan penggarap) tidak ada pihak lain yang dapat membantu menyelesaikan, termasuk aparat Pemerintahan Desa maupun Ketua Adat. Bila terjadi sengketa seringkali pihak penggarap yang dirugikan oleh petani pemilik lahan, karena umumnya posisi petani penggarap pada posisi yang sangat lemah85. Perkembangan pola-pola hubungan sosial produksi agraria tersebut justru memberi jalan pada terbentuknya “struktur agraria yang semakin tertutup”, yaitu
85
Misalnya, ada kasus petani penggarap bagi kebun dirugikan pemilik tanah (tidak mendapat bagin) dan tidak ada yang memberikan pembelaan (kasus Pak Asnar di Desa Tondo). Pada tahun 2002, Bapak Asnar bersama kawan-kawan tetangganya (lima orang) membuka kebun di Sidoli (+/- lima km dari desa), dan salah satu dari mereka menjadi ketuanya. Setelah lahan dibuka kemudian ditanami cengkeh (seluruh biaya pembukaan lahan termasuk bibit berasal dari penggarap). Lahan yang dibuka Pak Asnar milik orang lain, yaitu pegawai yang tinggal di Palu. Sebelumnya, disepakati bahwa pola bagi kebun yang akan digunakan adalah bagi dua. Akan tetapi, sejak dua tahun lalu seluruh kebun diambil pemilik tanah
138
sebuah struktur agraria yang membatasi bahkan menutup akses para petani tak berlahan (tunakisma) dalam penguasaan sumberdaya agraria. Lebih lanjut keadaan tersebut berimplikasi pada meningkatnya ancaman terhadap kesejahteraan petani (terutama bagi lapisan petani miskin). Padahal sebelumnya banyak petani yang meningkatkan kesejahteraan keluarganya melalui tangga berikut : buruh tani, penggarap bagi hasil, penggarap bagi kebun, pemilik sempit, pemilik luas. Ditinjau dari sisi pemerataan kesempatan memproleh sumberdaya agraria dalam bentuk lahan produktif 86 , kehadiran hubungan sosial agraria pola bagi kebun sangat baik. Dalam hal ini para petani miskin tanpa lahan (tunakisma) yang hanya memiliki modal tenaga kerja memperoleh kesempatan untuk menjadi petani pemilik (kebun). Tanpa melalui mekanisme bagi kebun, pada umumnya para petani miskin tidak mempunyai kemampuan membangun kebun secara swadaya/swadana. Hal ini terjadi terutama karena dua hal berikut : 1) petani miskin tidak memiliki penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari keluarganya selama petani tersebut harus bekerja membangun kebun, dan 2) tidak memiliki modal finansial yang diperlukan untuk membiayai sewa alat dan pembelian bahan produksi yang harus dibayar kepada pihak lain. Sewa alat yang harus dibayar petani terutama mesin pemotong kayu/chainsaw untuk membuka lahan hutan yang nilainya dapat mencapai satu juta/ha. Akan tetapi, patut disayangkan pada akhir-akhir ini (terutama setelah tahun 2000 an) pola hubungan sosial agraria bagi kebun/cetak sawah sudah sangat jarang terjadi. Pola bagi kebun banyak diterapkan masyarakat terutama pada awal pengembangan tanaman cengkeh, kelapa, dan coklat (akhir tahun 70 sampai dengan awal tahun 90 an). Pada saat ini, pola bagi kebun berubah menjadi bagi tanaman, tetapi pola inipun hanya terjadi bila pemilik lahan tidak mungkin melakukan sendiri pemeliharaan kebun karena : 1) lokasi sumberdaya lahan untuk pembangunan kebun jauh dari pemukiman (sekitar 10 km), 2) pemilik lahan bertempat tinggal di luar desa (bahkan tinggal di kota), dan 3) petani pemilik lahan memiliki sumber pekerjaan lain yang tidak bisa ditinggalkan (misalnya pedagang atau pegawai). Akses petani penggarap dalam menguasai tanaman
86
Sebuah plot sumberdaya lahan dimana diatas sumberdaya lahan tersebut terdapat tanaman yang menghasilkan
139
umumnya segera hilang karena seringkali tanaman hasil pola bagi tanaman tersebut kemudian dijual kepada pemilik lahan. Akhirnya petani penggarap bagi tanaman kembali menjadi petani tunakisma. Nampaknya, para petani pemilik sumberdaya agraria yang tidak melakukan sendiri pembangunan kebun cenderung memilih pola hubungan sosial produksi agraria bagi tanaman (yang dibagi dua hanya tanamannya) atau mempekerjakan buruh tani. Hal ini terjadi karena sumberdaya agraria yang baru semakin sulit diperoleh dan kalaupun ada letaknya semakin jauh dari pemukiman. Selain itu, walaupun terdapat mekanisme akuisisi sumberdaya agraria melalui transaksi jual beli, tetapi harga sumberdaya agraria tersebut sudah semakin mahal terutama setelah berlangsunya krisis moneter 87. Oleh sebab itu, para petani tidak ingin melepaskan sumberdaya agraria milikinya kepada petani lain. Pola hubungan sosial produksi sumberdaya agraria “bagi kebun” menghasilkan pembagian luas kebun (lahan dan tanaman) di antara petani pemilik lahan dan petani penggarap. Dalam hal ini pola hubungan sosial produksi sumberdaya agraria “bagi kebun” masih berujung pada sebuah bentuk “penguasaan tetap” (atas sumberdaya agraria). Sementara itu, pola hubungan sosial produksi “bagi tanaman” (pada pembangunan kebun) dan “pembagian waktu panen” (pada pencetakan sawah), sumberdaya agraria dimiliki sepenuhnya oleh petani pemilik. Dengan kata lain, pola hubungan sosial produksi sumberdaya agraria pada tahap bagi tanaman dan pencetakan sawah hanya berujung pada bentuk “penguasaan sementara”. Kedua fenomena yang berbeda tersebut menunjukkan bahwa semakin langka sumberdaya agraria yang tersedia 88 , maka besaran hak yang diperoleh petani penggarap semakin kecil. Walaupun demikian, pola tersebut masih dipilih petani pembagi karena mereka sulit memperoleh peluang berusaha/bekerja lain. 87
Di Desa Jono Oge dan Desa Tondo Sulawesi Tengah, harga kebun (kebun kakao, kebun cengkeh, dan kebun kelapa) sebelum krisis moneter hanya 1,5 juta/ha tetapi setelah krisis moneter menjadi 10 juta/ha, kemudian harga sawah sebelum krisis moneter hanya 20 juta/ha tetapi setelah krisis moneter menjadi 30 juta/ha. Pada saat ini, di daerah Pura yang berjarak sekitar 10 km dari desa Jono Oge/Tondo, biaya ganti rugi lahan kosong yang sudah ditebang dan ditebas (siap ditanami kakao) mencapai Rp 5 juta/ha. Sementara itu, Di Cot Baroh/Tunong, harga kebun kakao dengan benih unggul berumur 2 tahun yang berada sekitar 5 km dari desa berharga sekitar 17 juta rupiah
88
Pencetakan sawah baru sudah sangat jarang dilakukan karena secara teknis sangat dibatasi oleh ketersediaan air yang jumlahnya cenderung terus menurun. Di Desa Tondo pencetakan sawah yang terjadi saat ini umumnya berlangsung pada sawah yang sudah lama terlantar (pengolahan ulang).
140
6.2.2.
Dinamika Pola Hubungan Sosial Produksi Pada Tahap Pengelolaan Sumberdaya Agraria Pada tahap pemanfaatan sumberdaya agraria, baik melalui pengusahaan
tanaman subsisten padi-sawah maupun tanaman komersial perkebunan (tanaman kakao, kopi, kelapa, dan cengkeh), terdapat beragam pola hubungan sosial produksi yang menyertainya. Realitas hadirnya beragam pola hubungan sosial produksi tersebut terjadi di semua komunitas petani kasus, baik di Sulawesi Tengah maupun di NAD. Dalam sebuah komunitas petani, bentuk hubungan sosial produksi sumberdaya agraria tersebut sangat mungkin tidak sama bila tanaman yang diusahakan berbeda.
Sementara itu, bentuk hubungan sosial
produksi agraria yang dominan pada pengelolaan suatu tanaman umumnya sama meskipun komunitas petani yang menjalankannya berbeda. Gejala ini muncul baik pada pengelolaan sumberdaya agraria melalui usaha padi sawah, kakao, maupun kopi (Tabel 6.7.).
Dengan demikian, yang terjadi adalah commodity-driven
relation of production bukan etnics-driven relation of production. Tabel 6.7.
Bentuk Hubungan Sosial Produksi yang Dominan pada Pengelolaan Sumberdaya Agraria (Usahatani), 2007. Desa
Jenis Usahatani
Tondo
Jono Oge
Ulee Gunong
Cot Baroh/ Tunong
Padi
Bagi Hasil
Bagi Hasil
X
Bagi Hasil
Kakao
Bagi Hasil
Bagi Hasil
Bagi Hasil
Bagi Hasil
X
x
Bagi Hasil
x
Kopi Kelapa
Sewa Tahunan Sewa Tahunan
X
x
Cengkeh
Buruh Harian
X
x
Buruh Harian
Sumber data : Wawancara dengan Informan Kunci
141
Tabel 6.8.
Jumlah Rumahtangga Petani Penggarap Bagi Hasil pada Berbagai Jenis Usahatani, 2007
Jenis Usahatani/Pola Pemilikan Sementara
Desa Tondo
Jono Oge
Ulee Gunong
Cot Baroh/ Tunong
Bagi Hasil •
Kakao
12
6
9
1
•
Cengkeh
0
1
X
X
•
Kopi
X
X
8
X
•
Padi
32
42
X
95
Sewa •
Padi
0
2
X
2
•
Kelapa
2
3
X
X
Sumber Data : Sensus Penduduk Melalui Diskusi Informan Kunci Keterangan : x = Tidak ada tanaman
Pola hubungan sosial produksi agraria “bagi hasil”89 sangat menonjol pada pengelolaan sumberdaya agraria untuk usahatani padi-sawah. Fenomena tersebut terjadi di semua komunitas petani kasus, baik di Sulawesi Tengah maupun di NAD. Pola bagi hasil juga muncul pada pengelolaan sumberdaya agraria yang digunakan untuk usahatani kakao (di semua desa kasus) serta usahatani kopi (di desa Ulee Gunong – NAD), walaupun inten-sitas (jumlah) pola hubungan tersebut masih sedikit (Tabel 6.8.).
Pada penge-lolaan sumberdaya agraria melalui
usahatani kelapa, pola hubungan sosial produksi agraria yang menonjol adalah sewa kebun (di Sulawesi Tengah disebut “bapajak”).
Sementara itu, pada
pengelolaan sumberdaya agraria melalui usaha-tani cengkeh, pola hubungan sosial produksi agraria yang menonjol adalah pola hubungan pemilik - buruh tani (buruh upah harian). Pada usaha tanaman cengkeh, pola bagi hasil atau sewa hanya
89
Shelthema dalam Rahman (2007) sistem bagi hasil di Indonesia telah ada sejak sebelum Belanda masuk ke Indonesai. Selain itu, sistem bagi hasil merupakan kasus yang universal pada masyarakat feodal, kapitalis, dan juga masyarakat sosialis.
142
terjadi bila petani pemilik kebun bukan sepenuh-nya petani (pegawai atau pedagang) dan petani pemilik tersebut bertempat tinggal sangat jauh dari kebun (tinggal di kota). 6.2.2.1. Pola Bagi Hasil Para petani yang memiliki sumberdaya agraria sawah dengan luasan relatif besar cenderung memilih hubungan sosial produksi agraria bagi hasil dari pada mereka harus mengelola sendiri usahatani padi sawahnya. Padahal sebenarnya di lokasi tempat tinggal para petani tersedia banyak “buruh bagi-hasil tanam-panen“ 90
(di Sulawesi Tengah) atau buruh-upah tanam/panen (di NAD) yang dapat
membantu langsung para petani pemilik dalam mengelola usaha padi sawah miliknya. Sebagaimana diungkapkan para petani, pilihan tersebut terjadi karena “secara sosial” sebagian besar petani pemilik sawah luas memilih menggarapkan sawah karena mereka bermaksud mengimplementasikan “solidaritas lokal” yang mereka yakini sebagai sesuatu yang baik. Dalam hal ini, para petani pemilik sawah luas mempunyai pemahaman bahwa memberi peluang memperoleh penghasilan kepada kerabat (terutama kerabat dekat)
91
merupakan tindakan yang
wajib dijalankan dan memberi peluang memperoleh penghasilan kepada tetangga merupakan tindakan terpuji. Selain itu, terkait dengan kondisi lingkungan dan karakteristik tanaman ternyata “secara teknis” 92 usahatani padi-sawah memerlukan perawatan yang sangat intensif, terutama dalam kegiatan-kegiatan berikut : 1) mengontrol air; 2) mengontrol hama; terutama burung dan ternak, serta 3) melakukan perawatan seperti menyiang; memupuk; dan menyemprotkan obat 90
Di Desa Jono Oge dan Tondo, buruh tanam-panen (satu paket) merupakan buruh bagi hasil yang dibayar saat panen sebesar 1/5 dari hasil sawah. Sementara itu, di Desa Cot Baroh/Tunong buruh upah tanam/panen (tidak satu paket) dibayar harian
91
Pada masyarakat Bugis di Desa Jono Oge yang dimaksud saudara dekat adalah Saudara Satu yang terdiri dari anak dan saudara sekandung (adik atau kakak) serta Saudara Dua terutama ponakan.
92
Temuan tersebut sejalan dengan pendapat Steward dalam Geertz (1974) mengemukakan bahwa tantangan ekologis yang berbeda akan menyebabkan hubungan sosial beda. Steward mencontohkan bahwa masyarakat berburu dengan teknologi yang sama (panah, tombak, lubang perangkap) ternyata mempunyai cara berlainan sebagai akibat dari jenis binatang buruan. Kalau binatang buruan hidup dalam kawanan besar (misalnya bison) maka mereka berburu secara gotongroyong dalam kelompok-kelompok yang cukup besar. Sebaliknya, kalau binatang buruan itu hidup dalam kawanan kecil yang terpisah-pisah, maka mereka berburu dalam kelompokkelompok kecil.
143
untuk mengendalikan hama/penyakit. Semua kegiatan tersebut perlu dilakukan secara teliti dan tekun. Oleh sebab itu, keberadaan penggarap yang dapat melakukan pekerjaan dimaksud dengan baik masih diperlukan. Beberapa petani mengemukakan bahwa tingkat keberhasilan sawah yang dikelola petani penggarap lebih baik dari pada sawah yang mengandalkan buruh-upahan. Hal lain juga yang menyebabkan banyaknya petani pemilik yang menggarapkan sawah kepada petani lain karena banyak pemilik yang tinggal di luar desa (Tabel 6.9). Umumnya mereka adalah pemilik generasi pertama dan/atau anak pemilik generasi pertama yang sudah berusaha/bekerja di luar pertanian dan/atau tinggal desa lain yang lebih dekat ke kota. Jika data monografi desa dan/ atau data hasil diskusi kelompok dibandingkan dengan hasil sensus penguasaan sumberdaya agraria yang dilakukan dalam penelitian ini nampak bahwa luas sumberdaya agraria sawah yang pemiliknya bertempat tinggal di luar desa mencapai proporsi 61 % - 87 %. Tabel 6.9.
Luas Sawah Berdasarkan Tempat Tinggal Pemilik (ha), 2007.
Desa
Luas Sawah Di Desa *
Luas Sawah yang Pemilknya Tinggal di Desa **
Luas sawah yang Pemiliknya Tinggal di Luar Desa
Cot Baroh/ Tunong
132
51
81 (61)
Tondo
280
36
244 (67)
Jono Oge
400
69
331 (85)
Sumber Data : * = Monografi Desa/Diskusi, ** = Hasil Sensus Melalui Informan Kunci Keterangan : angka dalam kurung = %
Hubungan sosial produksi agraria “bagi hasil” juga menjadi pilihan petani dalam pengelolaan usahatani kakao. Meskipun intensitasnya tidak sebanyak yang terjadi dalam pengelolaan usahatani padi sawah tetapi relatif lebih banyak bila dibandingkan dengan yang terjadi pada usahatani tanaman “komersial” perkebunan lainnya. Menurut pertimbangan para petani, pilihan hubungan sosial produksi agraria “bagi hasil” pada pengelolaan kebun kakao terjadi karena secara teknis masa panen kakao relatif panjang (terus menerus selama 6 bulan, sekali dalam 1 –
144
2 minggu). Kondisi teknis tersebut menyebabkan para petani memerlukan tenaga kerja cukup banyak untuk melaksanakan proses pemanenan serta untuk melakukan pengawasan intensif terhadap buah yang belum dipanen, baik pengawasan dari pencurian oleh manusia maupun serangan oleh berbagai binatang (monyet, tupai, dan babi). Sementara itu, pada pengelolaan sumberdaya agaria untuk ushatani cengkeh dan kelapa umumnya petani tidak melakukan hubungan sosial produksi bagi hasil karena secara teknis kedua tanaman tersebut tidak perlu perawatan dan pengawasan yang intensif sepanjang tahun. Untuk tanaman kelapa, meskipun proses panen harus dilakukan secara intensif tetapi frekuensi panen hanya satu kali/empat bulan (satu tahun tiga kali panen). Demikian halnya pada usahatani cengkeh, proses panen hanya dilakukan satu kali dalam setahun. Oleh sebab itu, para petani yang memiliki kebun cengkeh dan kelapa relatif luas cenderung memilih tenaga mandor
93
dalam mengatasi kebutuhan tenaga koordinasi/pengawasan buruh
panen. Menurut pengamatan penduduk setempat, sekitar 30 % pohon kelapa di Desa Jono Oge dan Desa Tondo tidak dikelola sendiri oleh pemiliknya, tetapi dikontrakkan kepada petani lain. Pada saat penelitian berlangsung, pola hubungan sosial produksi bagi hasil padi sawah, kakao, dan kopi yang diterapkan para petani adalah “bagi dua” dan “bagi tiga”. Pada pengelolaan smberdaya agraria usaha padi sawah – irigasi setengah teknis pola hubungan sosial produksi yang paling banyak diterapakan petani adalah “Bagi Tiga” (Tabel 6.10).
Pola Bagi Dua tidak banyak yang
menerapkan dan hanya berlangsung di antara kerabat dekat. Pada pola “Bagi Dua“, hasil panen dibagi dua tetapi input produksi juga dibagi dua (termasuk biaya traktor). Pola ini muncul relatif baru dan kemunculannya didorong oleh “solidaritas” petani pemilik untuk membantu kerabatnya. Dalam hal ini petani pemilik merasa kasihan terhadap kondisi kerabat yang menjadi pembagi hasil, sehingga petani pemilik memberikan toleransi agar hasil panen yang dibawa pulang petani pembagi hasil tidak terlalu sedikit.
93
Biaya mandor cengkeh adalah Rp. 100,-/liter sedangkan biaya mandor kelapa Rp. 100.000,-/satu kali panen (untuk kebun kelapa yang luasnya sekitar 30 ha atau 3.000 pohon kelapa).
145
Tabel 6.10.
Jenis Tanaman
Kakao
Kopi
Bentuk Hubungan Sosial Produksi Bagi Hasil yang Dominan Pada Tahap Pengelolaan Sumberdaya Agraria, 2007. Hubungan Sosial Produksi
Desa Tondo
Jono Oge
Ulee Gunong
Bagi Dua
5
1
5
Bagi Tiga
7
Bagi Dua
3
Bagi Tiga
2
Bagi Dua Padi
1
Bagi Tiga
8
Cot Baroh/ Tunong
4
3
2
26
26
Sumber data : Wawancara dengan Petani Responden
Pilihan bagi dua atau bagi tiga terutama didasarkan terutama pada besarnya curahan bahan/alat/jasa yang dipertukarkan di antara para pelaku (petani) serta besaran potensi resiko gagal panen yang dapat muncul. Bahan/alat yang dipertukarkan terutama kualiatas atau kesuburan sumberdaya agraria (lahan), bahan/ alat produksi lain, serta modal finansial, sedangkan jasa yang dipertukarkan umumnya tenaga kerja. Semakin besar atau semakin baik bahan/alat dan jasa yang diberikan seseorang (petani), maka semakin besar bagian hasil yang diperolehnya (Tabel 6.11.). Seringkali lahan yang lokasinya jauh dari pemukiman memberikan bagian penggarap relatif lebih besar dibanding yang lokasinya dekat pemukiman. Selain itu, meskipun tidak selalu menjadi pertimbangan utama, seringkali hubungan personal diantara petani dapat menjadi pertimbangan dalam menentukan hak dan kewajiban pola bagi hasil, terutama bila petani yang berperan sebagai pembagi hasil merupakan seorang kerabat dekat petani pemilik lahan. Oleh sebab itu, meskipun dalam komunitas terdapat suatu pola bagi hasil yang dominan tetapi juga terdapat sejumlah pola lain yang berbeda. Misalnya pelasksanaan bagi dua pada pengelolaan kebun kakao, sebagian dilakukan setelah dikurangi ongkos panen tetapi sebagian lainya tidak dikurangi ongkos panen.
146
Tabel 6.11.
Pola Hubungan Sosial Produksi Agraria Bagi Hasil, 2007
Situasi Konstekstual
Pola
Kewajiban Pemilik Lahan
Penggarap/ Buruh Bagi Hasil
Hak Pemilik Lahan
Penggarap/ Buruh Bagi Hasil
1 bagian Hasil panen *
2 bagian hasil panen *
1 bagian hasil panen * 2 bagian hasil panen *
2 bagian hasil panen *, tetapi satu bagian habis untuk sewa traktor 1 bagian hasil panen *
1 bagian hasil panen *
1 bagian hasil panen *
hasil panen – upah buruh bagi hasil
1/6 bagian hasil panen
Padi Sawah Irigasi Setengah Teknis Teknologi tidak intensif, pengolahan tanah dengan kerbau, lahan milik luas
Bagi Tiga
Menyediakan sumberdaya lahan
Teknologi intenif, pengolahan tanah dengan traktor, traktor disediakan penggarap, lahan milik luas Teknologi intenif, Pengolahan tanah dengan traktor yang disediakan pemilik lahan, lahan milik luas Teknologi intenif, Pengolahan tanah dengan traktor yang dimiliki pemilik lahan, lahan milik luas Teknologi intenif, Pengolahan tanah dengan traktor yang dimiliki pemilik lahan, lahan milik sempit
Bagi Tiga
Menyediakan sumberdaya lahan
Bagi Tiga
Pemilik – Buruh Bagi Hasil
Menyediakan sumberdaya lahan + menyediakan traktor/sewa traktor Menyediakan sumberdaya lahan + menanggung biaya sarana produksi Menyediakan sumberdaya lahan + menanggung biaya sarana produksi
Persediaan air terbatas, resiko gagal panen sangat besar, lahan milik luas
Bagi Tiga
Menyediakan sumberdaya lahan
Persediaan air terbatas, resiko gagal panen sangat besar, lahan milik sempit
Pemilik – Buruh Bagi Hasil
Menyediakan sumberdaya lahan + menanggung biaya sarana produksi
Bagi Tiga
Menyediakan sumberdaya lahan
Bagi Dua
Menyediakan sumberdaya lahan
Bagi Dua
Menyediakan sumberdaya lahan
Bagi Dua
Mengusahakan sumberdaya lahan + menanggung biaya alat/bahan produksi Mengusahakan sumberdaya lahan + menanggung biaya alat & bahan produksi Mengusahakan sumberdaya lahan + menanggung biaya bahan produksi Mengusahakan sumberdaya lahan + menanggung biaya sarana produksi Melaksanakan penanaman dan pemanenan
Padi Sawah Tadah Hujan Mengusahakan sumberdaya lahan + menanggung biaya sarana produksi Melaksanakan penanaman dan pemanenan
1 bagian hasil panen *
2 bagian hasil panen *
hasil panen – upah buruh bagi hasil
1/6 bagian hasil panen
Mengusahakan sumberdaya lahan Mengusahakan sumberdaya lahan Mengusahakan sumberdaya lahan, ikut menangung bersama pembelian bahan/alat
1 bagian hasil panen 1 bagian hasil panen 1 bagian hasil panen setelah dikurangi biaya bahan/alat
2 bagian hasil panen 1 bagian hasil panen 1 bagian hasil panen setelah dikurangi biaya bahan/alat
Kebun Kakao/Kopi Teknologi tidak intensif, tanpa bahan/alat yang dibe-li, lokasi sulit dijangkau Teknologi semi intensif, tanpa bahan/alat yang dibe-li, lokasi mudah dijangkau Teknologi intensif, menggunakan bahan/alat yang dibeli, lokasi mudah dijangkau
Sumber data : Wawancara dengan Informan Kunci Keterangan : * setelah dikurangi biaya buruh bagi hasil panen (1/6 bagian)
147
Dalam memilih calon petani pembagi hasil sebagai parner kerjasama, para pemilik sumberdaya agraria akan menggunakan dua kriteria, yaitu “kriteria sosial” dan kriteria teknis. Berdasarkan kriteria sosial, prioritas pertama dalam pemberian kesempatan menggarap sumberdaya agraria ditujukan kepada keluarga inti (umum-nya anak dan/atau menantu), sedangkan prioritas kedua adalah kerabat dan prioritas berikutnya adalah tetangga. Sementara itu berdasarkan “kriteria teknis”, penggarap yang dipilih pemilik lahan adalah mereka yang memenuhi kriteria berikut : 1) mau mengikuti aturan yang diinginkan pemilik, 2) mampu melaksanakan pekerjaan dengan baik dan rajin, dan 3) berprilaku jujur. Menurut para petani pemilik, kecuali untuk keluarga inti, terpenuhinya kriteria teknis menjadi pertimbangan utama. Oleh sebab itu, kerabat yang tidak memenuhi kriteria teknis akan kalah prioritas dibanding tetangga atau orang lain yang memenuhi kriteria teknis. Data dan informasi pada Tabel 6.12. menunjukkan bahwa di semua desa kasus ternyata pemilihan petani penggarap yang didasarkan pada per-timbangan sosial masih cukup kuat. Dalam hal ini ternyata sebagian besar petani pembagi hasil yang dipilih para petani pemilik adalah ”kerabat inti” dan paling tidak adalah ”kerabat luas”. Bahkan di lokasi desa-desa penelitian di Propinsi NAD frekuensi munculnya fenomena ini lebih menonjol bila dibandingkan de-ngan yang terjadi di komunitas petani desa kasus di Propinsi Sulawesi Tengah. Untuk mengamankan hubungan kerjasama berjalan dengan benar, para petani pemilik sumberdaya agraria juga melakukan pengawasan. Pengawasan terhadap penggarap (oleh pemilik lahan) dilakukan melalui dua cara berikut : 1) “pengawasan melekat” dimana petani penggarap harus mengolah padi hasil panennya di penggilingan yang dimiliki oleh pemilik sawah, 2) ada seseorang yang ditugasi petani pemilik sebagai ”mata-mata” untuk memonitor apakah petani penggarap bertindak jujur atau tidak. Untuk tanaman selain padi dan kakao, keberadaan seorang mata-mata sangat penting karena hasil panen kebun (cengkeh atau kelapa) dapat langsung dijual di pasar (tidak perlu diolah dahulu).
148
Tabel 6.12.
Hubungan Sosial antara Petani Pemilik dengan Petani Pembagi Hasil, 2007.
N
%
N
%
Ulee Gunong N %
A. Kerabat
5
55.6
26
63.4
11
• Kerabat Inti
3
33.3
10
24.4
• Kerabat Luas
2
22.2
16
B. Orang Lain
4
44.4
• Tetangga
1
• Bukan Tetangga Jumlah Kasus
Hubungan Sosial
Tondo
Jono Oge
Cot Baroh N
%
84.6
31
77.5
5
38.5
16
40.0
39.0
6
46.2
15
37.5
15
36.6
2
15.4
9
22.5
11.1
0
-
1
7.7
4
10.0
3
33.3
15
36.6
1
7.7
5
12.5
9
100.0
41
100.0
13
100.0
40
100.0
Sumber data : Wawancara dengan Petani Responden
6.2.2.2. Pola Sewa Hubungan sosial produksi pengelolaan/pengusahaan sumberdaya agraria dengan mekanisme sewa sangat jarang dilakukan para petani dalam meng-usahakan tanaman padi sawah maupun kakao, bahkan hasil wawancara dengan responden tidak ada di antara mereka yang pernah menjalannkannya. Hubungan sosial produksi sewa sawah umumnya hanya terjadi manakala pemilik belum mengenal prestasi penggarap bagi hasil dalam mengusahakan sawah. Walaupun demikian, hubungan sosial produksi sewa sangat dominan pada pengelolaan tanaman kelapa, khususnya di desa-desa kasus di Sulawesi Tengah dengan istilah lokal “bapajak”. Beberapa kepentingan yang mendorong petani memajakkan kebunnya umumnya merupakan upaya petani untuk memenuhi kebutuhan berikut : biaya pesta pernikahan/sunatan, biaya pengobatan, biaya anak sekolah, dan berbagai keperluan lebaran. Sistem sewa yang diterapkan para petani di desa-desa kasus merupakan bentuk penyerahan sementara hak pengusahaan sebidang tanah kepada orang lain dan besarnya uang sewa ditetapkan atas dasar kesepakatan antara pemilik dan penyewa sedangkan resiko produksi ditanggung penyewa. Lama sewa biasanya ditetapkan berdasarkan jumlah uang yang diperlukan pemilik lahan dan untuk
149
usahatani perkebunan umumnya tiga sampai dengan lima tahun. Bahkan untuk kasus sewa kebun kelapa di Desa Tondo lama penyewaan lebih dari 10 tahun karena pemilik memerlukan uang tunai dalam jumlah besar untuk mem-bayar ongkos naik haji.
Sementara itu, jangka waktu sewa pada usahatani sawah
umumnya hanya satu musim tanam karena seringkali sawah tidak dapat ditanami akibat kemarau.
Kalaupun sawah “dipajakkan” dalam jangka waktu panjang
penghitungannya didasarkan pada jumlah musim dimana sawah dimaksud dapat ditanami Untuk usahatani kebun, nilai sewa ditetapkan berdasarkan jumlah pohon, kualitas/produktivitas pohon, dan lamanya penyewaan. Umumnya nilai sewa tanaman perkebunan (kakao dan kelapa) berkisar antara Rp. 1.000,- sampai dengan Rp. 1.500,- /pohon/tahun. Sementara itu, untuk usahatani sawah nilai sewa di lokasi penelitian Desa Jono Oge dan Desa Tondo sekitar satu juta rupiah setiap satu hektar dalam satu kali musim tanam, sedangkan di Desa Cot Baroh/Tunong nilai sewa sawah sekitar dua ton padi setiap satu hektar dalam kurun waktu satu kali musim tanam. 6.2.2.3. Pola Gadai Sistem gadai yang diterapkan para petani di desa kasus terjadi pada semua jenis usahatani, tetapi intensitas pola hubungan sosial produksi tersebut relatif kecil dan seringkali tidak diketahui orang lain (umumnya dirahasiakan para pelakunya). Pada umumnya transaksi gadai dilakukan para petani tanpa menggunakan surat perjanjian. Namun demikian, akhir-akhir ini petani yang melakukan transaksi gadai sudah mulai menggunakan surat perjanjian tertulis yang diketahui oleh Kepala Desa. Sebagai-mana berlaku di tempat lain, sistem gadai di desa-desa kasus merupakan bentuk penyerahan sementara hak pengusahaan sebidang tanah kepada orang lain karena pemilik meminjam sejumlah uang tunai, dan pemilik dapat mengambil kembali hak pemilikan atas tanahnya bila pinjamannya telah dilunasi. Dalam konsep sistem gadai, “pemilik kebun/sawah menyerahkan kebun/sawahnya kepada pemilik uang untuk diambil hasilnya sampai waktu dimana pemilik kebun/sawah mengembalikan uang pinjamannya. Waktu gadai tidak dibatasi
150
tetapi umumnya mempunyai batas waktu minimal, umumnya sekitar dua tahun. Kemudian kebun/sawah akan dikembalikan kepada pemiliknya pada saat pinjaman sudah dikembalikan dengan nilai sama seperti saat dipinjam. Selama pinjaman belum dilunasi, hasil kebun/sawah menjadi milik pihak yang memberikan pinjaman uang. Di desa-desa kasus di NAD konsep gadai dikenal dengan istilah “Jual Angkat”. Istilah ini digunakan karena sistem jual angkat bukan menjual yang sebenarnya dan penerapan sistem ini didasari upaya saling menolong 94. Sistem gadai dipilih petani pemilik lahan terutama pada saat mereka memerlukan pinjaman uang yang jumlahnya relatif besar (jauh diatas nilai sewa lahan dan mendekati nilai jual lahan) tetapi masih ingin mempertahankan kepemilikan lahannya. Nilai uang tunai yang dapat diperoleh petani yang menggadaikan lahannya ditentukan oleh kualitas/produktivitas kebun. Misalnya, di Desa Ulee Gunong nilai gadai kebun kopi maupun kakao yang baik sebesar 20 mayam emas/hektar atau sekitar 14 juta rupiah/hektar 95. Sementara itu, nilai gadai sawah yang terjadi di Desa Cot Baroh/Tunong jauh lebih mahal daripada nilai gadai kebun, yaitu minimal 16 manyam emas/naleh atau 64 manyam emas/hektar (Rp. 33.280.000,/hektar). 6.3. Pola Kelembagaan Produksi : Jalan Masuk Modal Non Lahan 6.3.1.
Pola Kemitraan Antar Pihak : Hubungan Sosial Produksi yang Semakin Kompleks dan Semakin Tersubordinasi Penerapan kekuatan produksi “teknologi intensif” mendorng semakin ba-
nyaknya modal non lahan yang tidak dihasilkan sendiri oleh para petani dan anggota keluarganya (umumnya merupakan hasil industri yang berada di kota), sehingga mereka harus menyediakan bahan/alat dimaksud dengan cara membeli dari pihak lain yang berada di dalam desa atau bahkan di luar desa (merupakan
94
Misalnya pada tahun 1999, Pak Hasan (bukan nama sebenarnya) di Desa Ulee Gunong menerima jual angkat kebun coklat milik adiknya seluas 0,5 ha dengan nilai 10 manyam emas murni senilai Rp. 6.000.000,- (10 x Rp. 600.000,-). Hal ini dilakukan adiknya karena perlu modal untuk membuka usaha bengkel. Sebelumnya, Pak Rani (bukan nama sebenarnya) juga pernah melakukan jual angkat kebun miliknya seluas 0,5 ha dengan nilai 8 manyam emas murni senilai Rp 4.800.000,-. Hal ini dilakukan Pak Rani untuk memenuhi kebutuhan keluarga selama konflik berlangsung.
95
Satu manyam emas = 3.3 gram emas dan harga satu manyam emas murni = Rp.720.000, sedangka harga satu manyam emas biasa = Rp 520.000,-
151
agen formal atau agen tidak formal dari industri). Selain itu, meningkatnya jumlah bahan/alat yang harus dibeli para petani menyebabkan mereka harus menyediakan modal financial lebih banyak. Manakala jumlah modal finansial yang dimiliki petani terbatas (umumnya terjadi pada petani berlahan sempit yang tingkat kesejahteraanya miskin), maka mereka harus melakukan kerjasama dengan para pemilik modal finansial yang ada di desa (warga satu komunitas) 96 maupun di luar desa. Kecuali di desa Jono Oge, umumnya para pedagang sarana produksi bertempat tinggal di kota kecamatan tetpi seringkali mereka mempunyai “orang kepercayaan” di desa. Orang tersebut bertugas menseleksi petani yang layak diberi pinjaman serta menarik pembayaran pada saat waktu panen. Dengan kata lain, hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa dalam konteks berlangsungnya hubungan sosial produksi agraria yang menerapkan praktek teknologi intensif dengan penggunaan bahan/alat produsi yang harus dibeli maka “peranan hubungan sosial produksi dalam penguasaan lahan menjadi sama penting dengan peranan hubungan sosial produksi dalam penguasaan modal non lahan (bahan, alat, modal finansial)”. Oleh sebab itu, pola kelembagaan sumberdaya agraria yang muncul semakin beragam, semakin kompleks, serta melibatkan pihak yang semakin banyak. Para petani kecil yang sebelumnya (pada saat menerapkan teknologi tidak intensif) dapat melakukan usahatani secara mandiri, kemudian menjadi tidak mandiri lagi karena mereka harus menjalin kerjasama dengan para pemilik modal finansial. Demikian halnya para penggarap pun harus menjalin kerjasama dengan pelaku yang lebih banyak. Hubungan sosial 96
Munculnya kebutuhan modal non lahan yang harus dibeli/disewa mendorong munculnya para penyedia/pedagang modal non lahan di tingkat desa. Umumnya mereka adalah para petani luas yang kaya. Keadaan ini berkembang pesat di Desa Jono Oge yang berlatar belakang etnis Bugis pendatang. Sebagai contoh, di Desa Jono Oge, usaha penyewaan traktor yang dikelola perorangan berkembang pesat, sehingga saat ini jumlahnya mencapai 20 (diusahakan oleh 8 orang, masing-masing memiliki 1 – 3 traktor). Traktor-traktor tersebut bukan hanya disewakan di dalam desa tetapi juga di luar desa. Sebaliknya, di Desa Tondo yang merupakan etnis lokal Kaili, traktor yang dimiliki perorangan hanya ada 6 buah (jumlah pemilik ada 4 orang, masing-masing memiliki 1 – 3 traktor). Di Desa Jono Oge sudah terjadi persaingan penyewaan traktor melalui penawaran biaya sewa yang lebih murah. Sementara itu, di kedua desa tersebut pengelolaan traktor bantuan pemerintah (Depsos dan KUD) tidak berkembang, bahkan pada tahun 2007 traktor bantuan pemerintah di Desa Jono Oge mendapat penolakan dari usaha perorangan. Hal ini terjadi karena diantaranya para petani tidak mampu melunasi biaya sewa. Di Desa Cot Baroh terdapat 5 traktor kecil milik perorangan, dan sebagian traktor lainnya yang digunakan warga desa berasal dari luar desa. Untuk seluruh penyewaan traktor di Desa Cot dikoordinir oleh Kejreung Blang.
152
produksi yang harus mereka jalin tidak hanya “penggarap - pemilik lahan” tetapi menjadi “penggarap–pemilik lahan–pemilik modal non lahan” (Gambar 6.8.)
Pemilik Modal Non Lahan
Pemilik Lahan Sempit
Buruh Bagi Hasil
Pemilik Lahan Luas
Pemilik Modal Non Lahan
Penggarap
Buruh Bagi Hasil
Gambar 6.8.
Pola Hubungan Sosial Produksi Terkait Penerapan Teknologi Intensif pada Usahatani Sawah, 2007
Lebih lanjut, pola hubungan sosial produksi tersebut menyebabkan surplus (hasil produksi) yang diperoleh dari usahatani akan terbagi kepada banyak pihak, bukan lagi hanya terbagi diantara petani pemilik yang mempunyai lahan dan penggarap yang mempunyai tenaga kerja tetapi juga terbagi dengan pihak yang menguasai modal non lahan (modal finansial, bahan, dan alat produksi). Dalam prakteknya, seringkali terjadi pemilik modal non lahan adalah juga para petani pemilik lahan luas (petani kaya). Kondisi tersebut kemudian akan menyebabkan surplus usahatani menjadi terakumulasi kepada petani pemilik lahan. Dalam hal ini petani pemilik lahan yang juga penyedia modal non lahan akan mendapat dua bagian hasil panen 97 sedangkan petani penggarap hanya mendapat satu bagian hasil panen. Padahal sebelumnya petani penggarap mendapat dua bagian hasil penen sedangkan petani pemilik lahan hanya mendapat satu bagian hasil penen. Perubahan tersebut, dalam proses transaksinya seringkali tidak nampak karena petani penggarap seolah-olah masih mendapat dua bagian tetapi satu bagian yang 97
Satu bagian dari hasil penen diperoleh sebagi insentif atas penyediaan lahan dan satu bagian lainnya diperoleh sebagai insentif atas penyediaan modal non lahan.
153
diperolehnya digunakan untuk membayar alat produksi (traktor) yang menggantikan cuarahan tenaga kerja. 6.3.2.
Pola Transaksi Produksi : Sistem Yarnen dengan Alat Bayar Natura Dalam upaya memenuhi kebutuhan modal non lahan, sebagian petani (ter-
utama petani pemilik sempit dan penggarap) melakukan penyedian modal non lahan melalui pola pinjaman ”yarnen”. Dalam hal ini pinjaman para petani dibayar pada waktu panen dalam bentuk natura berupa beras atau padi. Pola ini sangat umum dilakukan pada pengelolaan usahatani padi-sawah, terutama dalam penyediaan pupuk dan obat-obatan pengendali hama/penyakit serta dalam penyewaan traktor pembajak lahan. Meskipun pinjaman modal non lahan tersebut sangat mahal (sekitar 40 % selam 4 bulan/satu periode panen), para petani tetap melakukan peminjaman modal dimaksud karena mereka meyakini bahwa manfaat modal tersebut sangat penting dalam meringankan dan mempercepat proses pekerjaan petani (melalui penggunaan traktor)
98
serta dalam meningkatkan produktivitas
(melalui penggunaan pupuk dan obat-obatan) 99. Desakan keinginan untuk meningkatkan produksi beras semakin kuat karena sawah menjadi satu satunya tempat para petani menghasilkan padi (yang mereka perlukan sebagai pangan keluarga) setelah semua lahan kering tempat menanam padi ladang penuh dengan tanaman perkebunan. Saat ini, padi lahan kering hanya ditanam sebagai tanaman sela pada tanaman kakao (dua kali panen). Dalam hal terjadi transaksi peminjaman modal non lahan, mekanisme yang banyak diterapkan para petani adalah pola ”yarnen”, yaitu pinjaman para petani dibayar pada waktu panen. Pola ini sangat umum dilakukan pada pengelolaan usahatani padi-sawah, baik dalam penyediaan pupuk dan obat-obatan pengendali hama/penyakit maupun dalam penyewaan traktor pembajak lahan. Meskipun biaya sewa traktor atau biaya beli bahan dapat dihitung setara uang tunai, tetapi proses pembayaran pola ”yarnen” umumnya tidak dilakukan dengan menggunakan 98
Untuk luasan satu ha, membajak dengan kerbau perlu 40 hari sedangkan dengan traktor cukup 20 hari, dan biayanya menjadi lebih murah
99
Berdasarkan pengalamannya, para petani mengemukakan bahwa penggunaan pupuk yang optimal (Urea sebanyak 400 kg/ha) dapat meningkatkan produksi padi sawah sebanyak dua kali lipat (dari 3 ton menjadi 6 ton). Oleh sebab itu, penggunaan biaya pupuk Urea pinjaman sebesar Rp. 880.000,- (8 zak x Rp. 110.000) diyakini petani akan menambah hasil panen sebesar Rp. 6.600.000 (3.000 kg x Rp. 2.200)
154
”uang tunai”. Pembayaran tersebut dilakukan dalam bentuk “natura” dengan menggunakan ”beras” atau “padi”. Dalam hal ini, pihak pemberi pinjaman modal non lahan mengambil insentif atau keuntungan dengan menetapkan volume dan harga beras atau “padi” yang harus diserahkan sebagai alat pembayaran. Pada umumnya harga beras atau padi untuk pembayaran yarnen ditetapkan lebih rendah dari harga beras di pasar, sehingga keuntungan yang diperoleh pemberi pinjaman bertambah besar. Meskipun pola transaksi “yarnen” pada penyediaan modal non lahan terjadi di semua desa kasus, tetapi dalam implementasinya seringkali terdapat beberapa perbedaan (Tabel 6.13, Tabel 6.14, dan Tabel 6.15.). Perbedaan ter-sebut terutama terjadi pada besaran tarif imbalan. Selain itu, besaran tarif imbalan kepada penyedia modal non lahan juga banyak ditentukan oleh lamanya waktu peminjman dan kemudahan pihak penyedia pinjaman dalam mendapatkan bahan/alat yang diperlukan di lapangan. Untuk bahan yang sulit didapat tetapi peminatnya banyak seperti pupuk urea, maka biaya pinjamannya relatif mahal. Tabel 6.13.
Pola Transaksi Penyediaan Sarana Produksi Usahatani dan Modal Finansial di Desa Jono Oge dan Desa Tondo, Sulawesi Tengah, 2007
Nama Alat/Bahan
Harga Kontan (Rp)
Pupuk Urea
65.000,-/zak (50 kg)
Pupuk Organik Bonanza ***
25.000,-/liter
Obat hama/ penyakit *** Sewa Traktor Uang Tunai
Keterangan :
*
Nilai Pembayaran Pinjaman 3 bulan (Yarnen) 30 liter beras = Rp 90.000,-
Biaya Pinjaman Rp % 25.000
38
10 liter beras = Rp 30.000,-
5.000
20
50.000,-/liter
20 liter beras = Rp 60.000
10.000
20
Rp. 700.000,-
Beras dengan harga 500 lebih murah
105.000
16,5
Beras dengan harga 500 lebih murah *
20
Beras dengan harga 300 lebih murah **
10
lama pinjaman 3 – 4 bulan, ** lama pinjaman 1-2 bulan, *** biaya pinjaman lebih murah karena peminatnya sedikit
Sumber data : Wawancara dengan Informan Kunci
155
Tabel 6.14.
Pola Transaski Penyediaan Sarana Produksi Usahatani di Desa Cot Baroh/Tunong dan Desa Ulee Gunong, Nangroe Aceh Darussalam, 2007
Jenis Input
Harga Kontan
Rp
Nilai Pembayaran Pinjaman 3 bulan (Yarnen) Rp
Biaya Pinjaman
Rp
%
Cot Tunong/Cot Baroh • Urea
75.000/zak
50 kg padi = 110.000
35.000
46
• KCL
240.000/zak
340.000
100.000
41
760.000/ha
500 kg padi = 1.100.000
340.000
45
73.000
90.000
17.000
23
. Sewa Traktor Ulee Gunong • Urea
Sumber data : Wawancara dengan Informan Kunci
Tabel 6.15.
Pola Transaksi Penyediaan Modal Finasial di Desa Cot Baroh/ Tunong dan Desa Ulee Gunong, Nangroe Aceh Darussalam, 2007
Pemberi modal Bentuk
Pinjaman Satuan Nilai (Rp)
Kerabat
Emas
Manyam emas
540.000/manyam
Padi
Orang Lain
Emas
Manyam emas
540.000/manyam
Padi
Bentuk
Biaya Pinjaman Volume Nilai (Rp)
%
30 kg padi untuk pinjaman 1 manyam emas
69.000
13
75 kg padi untuk pinjaman 1 manyam emas
172.500
32
Sumber data : Wawancara dengan Informan Kunci
Secara keseluruhan, sebenarnya biaya transaksi pinjaman informal yang berlangsung di antara anggota masyarakat jauh lebih besar dari pada biaya (bunga) pinjaman yang ditetapkan lembaga keuangan bank. Apalagi untuk bahan yang seringkali sulit di dapat di pasar dan peminatnya banyak. Bahkan, di desa-desa kasus di NAD tarif imbalan transaksi yarnen relatif lebih tinggi dari pada yang terjadi di desa-desa penelitian di Sulawesi Tengah. Walaupun demikian, karena
156
desakan keinginan untuk meningkatkan produksi beras100 yang diperlukan sebagai pangan keluarga dan para petani tidak memiliki akses untuk mendapatkan modal finansial yang lebih murah (dari pemerintah maupun lembaga keuangan perbankan), maka para petani tetap memilih pola transaksi peminjaman modal finansial yang berlaku di masyarakat (pola yarnen). Di semua kasus ”ijab kabul” pemberian dan pembayaran pinjaman diwujudkan dalam bentuk barang (bukan dalam wujud uang tunai) sehingga transaksi yang berlangsung tidak mempunyai makna membungakan uang. Di desa-desa kasus di Sulawesi Tengah seluruh transaksi pinjaman dilakukan dalam bentuk beras sedangkan di desa-desa kasus di NAD transaksi pinjaman bahan/alat produksi dalam bentuk padi dan pinjaman uang dalam bentuk emas dengan imbalan padi. Pendekatan tersebut mereka lakukan agar tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam (yang mereka anut) dimana ajaran Agama Islam melarang membungakan uang. Oleh sebab itu, di NAD nilai pinjaman seringkali disetarakan dengan harga emas dan insentif pinjaman disetarakan de-ngan pemberian padi. Selain itu, pembayaran dengan beras juga dilakukan untuk memudahkan para pemodal dalam menagih pembayaran karena mereka umumnya juga pengusaha gilingan padi, sehingga pembayaran pinjaman akan mereka ambil di penggilingan padi. 6.4. Ihtisar : Dari Pemilikan Kolektif ke Perorangan serta Hadirnya Hubungan Sosial Produksi yang Semakin Kompleks dan Subordinatif Sejalan dengan berlangsungnya perubahan sistem pertanian : dari sistem pertanian ladang berpindah (shifting cultivation) ke sistem pertanian menetap (saddentary cultivation) yang didominasi tanaman perkebunan, dalam komunitas petani terjadi perubahan pola pemilikan sumberdaya agraria (lahan), yaitu dari pemilikan kolektif (collective ownership) ke ”pemilikan perorangan” (individual ownership). Dalam hal, ini terjadi perubahan hak pemanfaatan sumberdaya
100
Para petani di Sulawesi Tengah dan NAD mempunyai pengalaman bahwa pemberian pupuk dan pemeliharaan dengan obat-obtan dapat meningkatkan produksi padi sawah menjadi dua kali lipat (dari 3.000 kg padi/ha/tahun menjadi 6.000 kg padi/ha/tahun). Dengan tambahan modal membeli pupuk sebesar Rp 1.200.000 (melalui pola yarnen) untuk 1 ha sawah petani akan memperoleh tambahan produksi sebesar 3.000 kg atau 9 juta rupiah. Untuk kakao, pemupukan tidak dilakukan karena para petani masih berkeyakinan bahwa peningkatan prouksi akibat penggunaan pupuk relatif sedikit. Apalagi bila lahan yang mereka gunakan bekas hutan yang masih cukup subur.
157
agraria dari “hak setiap orang” menjadi “hak sebagian orang”. Menurut pengalaman para petani di empat desa kasus, sistem perladangan berpindah yang mengusahakan tanaman utama padi ladang telah lama berakhir. Sistem tersebut mulai sulit dilakukan sejak dikembangkannya tanaman perkebunan kelapa; cengkeh (di Sulawesi Tengah) dan kopi (terutama di NAD dataran tinggi) dan kemudian berakhir sejak pesatnya pengembangan tanaman kakao. Di lokasi penelitian Sulawesi Tengah perladangan berpindah berakhir sekitar awal tahun 90 an sedangkan di NAD sekitar pertengahan tahun 90 an. Pada periode penguasaan kolektif, semua anggota komunitas dapat menguasai sumberdaya agraria dengan mudah, yaitu dengan cara meminta izin kepada pemimpin lokal untuk membuka lahan yang belum ada penggarapnya. Hak pengusahaan sumberdaya agraria tersebut hanya akan gugur bila seorang anggota komunitas yang telah membuka hutan tidak lagi mengusahakannya maksimal dalam kurun waktu tiga tahun. Kemudian lahan tersebut oleh pemimpin lokal akan diserahkan kepada anggota komunitas lain yang berminat mengusahakannya. Dengan kata lain, pada periode ini sumberdaya agraria yang tidak diusahakan oleh seorang warga komunitas dapat dipindahtangankan kepada warga lainnya. Sebaliknya, pada periode penguasaan perorangan, anggota komunitas tidak dapat menguasai sumberdaya agraria dengan cara yang mudah karena selain harus memperoleh izin juga harus mempunyai modal finansial atau mempunyai kedudukan sebagai penerima waris. Modal finansial diperlukan terutama untuk membayar ganti rugi atau membeli lahan serta untuk membiayai pembangunan kebun (biaya bahan/alat dan biaya bekal hidup). Selain itu, peluang penguasaan lahan semakin sempit karena petani yang sudah ditetapkan sebagai pemilik sumberdaya agraria dengan legalitas formal (umumnya surat keterangan desa dan akte jual beli) dapat terus menguasai lahan miliknya walaupun tidak diusahakan. Oleh sebab itu, pada periode penguasaan perorangan, satu-satunya jalan petani tunakisma untuk dapat menguasai lahan adalah “mekanisme pemilikan sementara”, seperti bagi hasil dan sewa. Dengan kata lain, bersamaan dengan terjadinya transformasi struktur agraria dari penguasaan kolektif ke penguasaan perorangan juga terjadi perubahan akses petani terhadap penguasaan sumberdaya agraria : dari akses ”terbuka” ke akses ”semakin tertutup”.
158
Bersamaan dengan berlangsungnya pemilikan perorangan, akuisisi sumberdaya agraria yang berlangsung melalui mekanisme ”transfer” (jual beli/ganti rugi atau pewarisan) cenderung terus meningkat dan proporsinya lebih besar dari mekanisme “buka baru” (baik yang dilakukan sendiri atau melalui pola ”berbagi”). Akuisisi sumberdaya agraria melalui buka baru hanya menonjol dalam komunitas petani di Desa Cot Baroh/Tunong pada periode tahun 1997 sampai 2003 karena didorong oleh masuknya beragam program pemerintah. Sementara itu, mekanisme jual beli sumberdaya agraria sangat menonjol terjadi dalam komunitas petani di Desa Jono Oge yang merupakan komunitas pendatang berlatar belakang etnis Bugis (72,3%). Lebih lanjut, pada periode penguasaan perorangan, pola hubungan sosial produksi sumberdaya agraria (lahan) untuk usaha pertanian diimplementasikan dalam dua tahap yaitu: tahap pembangunan kebun/pencetakan sawah dan tahap pengusahaan kebun/sawah. Pada dasarnya, perubahan-perubahan hubungan sosial produksi yang terjadi menunjukkan terjadinya akses penguasaan lahan yang semakin tertutup. Pada tahap pembangunan kebun dan pencetakan sawah pola hubungan sosial produksi sumberdaya agraria berubah dari pola hubungan sosial produksi “bagi kebun/bagi sawah” ke pola “bagi tanaman/bagi waktu panen”. Bahkan pola hubungan sosial produksi “petani pemilik lahan – buruh tani” mulai menjadi pilihan sejumlah petani. Sementara itu, pada tahap pengelolaan kebun kakao/sawah pola hubungan sosial produksi yang menonjol masih tetap pola bagi hasil. Akan tetapi, pola hubungan sosial produksi yang berlangsung saat ini (terutama pada usahatani sawah) semakin kompleks sehingga pihak petani penggarap semakin tersubordinasi. Perkembangan tersebut berlangsung terkait dengan semakin sulitnya penyediaan lahan baru serta semakin intensifnya penggunaan teknologi yang menggunakan modal non lahan yang berasal dari luar komunitas petani dan harus dibeli petani sehingga kehadiran aktor yang menguasai modal non lahan menjadi penting. Dengan kata lain, dalam konteks berlangsungnya hubungan sosial produksi agraria yang menerapkan praktek teknologi intensif dengan penggunaan bahan/ alat produsi yang harus dibeli maka “peranan hubungan sosial produksi dalam penguasaan lahan menjadi sama pentingnya dengan peranan hubungan sosial pro-
159
duksi dalam penguasaan modal non lahan (bahan, alat, modal finansial)”. Para petani kecil yang sebelumnya (pada saat menerapkan teknologi tidak intensif) dapat melakukan usahatani secara mandiri, kemudian menjadi tidak mandiri lagi karena mereka harus menjalin kerjasama dengan para pemilik modal finansial. Demikian halnya para penggarap pun harus menjalin kerjasama dengan pelaku yang lebih banyak, hubungan sosial produksi yang harus mereka bangun tidak lagi hanya “penggarap - pemilik lahan” tetapi menjadi “penggarap – pemilik lahan – pemilik modal non lahan”. Dalam upaya memenuhi kebutuhan modal non lahan, sebagian petani melakukan penyedian modal non lahan melalui pola pinjaman ”yarnen”, yaitu pinjaman para petani dibayar pada waktu panen dalam bentuk natura berupa beras atau padi. Pola ini sangat umum dilakukan pada pengelolaan usahatani padisawah, baik dalam penyediaan pupuk dan obat-obatan pengendali hama/penyakit maupun dalam penyewaan traktor pembajak lahan. Meskipun pinjaman modal non lahan tersebut sangat mahal (sekitar 40 % selam 4 bulan/satu periode panen), para petani tetap melakukan peminjaman modal dimaksud karena mereka meyakini bahwa manfaat modal tersebut sangat penting dalam meringankan/mempercepat proses pekerjaan (penggunaan traktor) serta dalam meningkatkan produktivitas lahan (peng-gunaan pupuk dan obat-obatan). Desakan keinginan untuk meningkatkan produksi beras semakin kuat karena sawah menjadi satu satunya tempat para petani menghasilkan padi (yang mereka perlukan sebagai pangan keluarga) setelah semua lahan kering tempat menanam padi ladang penuh dengan tanaman perkebunan. Lebih lanjut realitas hubungan sosial produksi yang menempatkan pentingnya penguasaan modal produksi non lahan dari luar menyebabkan hasil/surplus usahatani menjadi terbagi kepada banyak pihak atau bila petani pemilik sumberdaya agraria juga menguasai modal non lahan maka surplus usahatani semakin terakumulasi pada petani pemilik sumberdaya agraria. Dengan demikian, semakin intensif teknologi pertanian yang diterapkan maka semakin banyak jalan yang dapat digunakan pemilik sumberdaya agraria untuk meraih surplus usaha tani. Dalam aktivitas di on-farm, meskipun dalam pengelolaan tanaman kakao realitas hubungan sosial produksi yang semakin tersubordinasi belum dominan
160
tetapi dalam pengelolaan tanaman ”subsisten” padi-sawah hubungan sosial produksi dimaksud sudah dominan Pada usahatani kakao hubungan sosial produksi yang tersubordinasi justru terjadi pada penjualan hasil produksi petani melalui pasar. Dalam hubungan ini petani tidak dapat menentukan harga yang diberikan pedagang. Dengan kata lain, dalam pengelolaan tanaman komersial kakao kapitalisme masuk terutama melalui pintu hubungan sosial penguasaan hasil produksi di pasar, sedangkan dalam pengelolaan tanaman subsisten padi sawah kapitalisme masuk terutama melalui pintu hubungan sosial penguasaan modal non lahan. Sementara itu, dalam hubungan sosial penguasaan sumberdaya agraria, landasan pasar dan landasan ikatan moral tradisional masih berjalan secara bersamaan. Fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa dalam komunitas petani kakao hadir beragam praktek hubungan sosial produksi yang berlangsung secara bersamaan maupun secara bergantian.
161
Tabel 6.16.
Transformasi Struktur Agraria dan Hubungan Sosial Produksi di Empat Komunitas Petani Kasus, 2007
Aspek Tondo Perubahan Struktur Agraria Pola Pemilikan Status Hukum Pola Akuisisi
Pemilikan Kolektif Æ Pemilikan Perorangan Tanpa surat dominan Transfer Lahan Lebih Menonjol dibanding Buka Baru, Pewarisan dan Jual Beli relatif imbang
Jono Oge
Cot Baroh/ Tunong
Ulee Gunong
Pemilikan Kolektif Æ Pemilikan Perorangan Tanpa surat dominan
Pemilikan Kolektif Æ Pemilikan Perorangan Tanpa surat dominan
Buka Baru dan Transfer Lahan Relatif Imbang, Pewarisan dan Jual Beli relatif imbang
Transfer Lahan Lebih Menonjol dibanding Buka Baru, Pewarisan dan Jual Beli relatif imbang
Bagi Kebun Æ Pemilik Buruh Upah (Bagi kebun pernah ada, sudah hilang)
Bagi Kebun Æ Pemilik Buruh Upah (Bagi kebun semakin hilang)
Bagi Kebun Æ Pemilik Buruh Upah (Bagi kebun semakin hilang)
Sawah : Bagi Hasil Penggarapan + Bagi Hasil Penggarapan + Buruh Bagi Hasil (Tanam + Panen) Kakao : Bagi Hasil relatif sedikit Kelapa : sewa tahunan dan buruh upahan Cengkeh : buruh upahan Sawah : Petani - Pemilik Modal Non Lahan (Hulu), Warga Komunitas sebagai penyedia modal non lahan relatif banyak
Sawah : Bagi Hasil Garapan + Buruh Upah (Tanam, Panen)
Pemilikan Perorangan Surat Dominan, terutama akte/kuitansi Transfer Lahan Sangat Menonjol dibanding Buka Baru, Jual Beli Sangat Menonjol dibanding Pewarisan
Perubahan Pola Hubungan Sosial Produksi Sumberdaya Agararia Tahap Pembangunan Kebun/Sawah
Bagi Kebun Æ Pemilik Buruh Upah (Bagi kebun semakin hilang)
Tahap Pengelolaan Kebun/Sawah
Bagi waktu panen pada pencetakan ulang sawah Sawah : Bagi Hasil Penggarapan + Buruh Bagi Hasil (Tanam + Panen)
Pola Kemitraan Antar Pihak
Pola Transaksi Produksi
Kakao : Bagi Hasil relatif banyak Kelapa : sewa tahunan dan buruh upahan Cengkeh : buruh upahan Sawah : Petani - Pemilik Modal Non Lahan (Hulu) Warga Komunitas sebagai penyedia modal non lahan sedikit dan tidak terus-terusan Kakao, Kelapa, Cengkeh : Petani Pedagang Hasil (Hilir) SistemYarnen Pembayaran natura dengan beras
Kakao, Kelapa, Cengkeh : Petani Pedagang Hasil (Hilir) Pola Yarnen Pembayaran natura dengan beras
Kakao : Bagi Hasil relatif sedikit
Sawah : Petani - Pemilik Modal Non Lahan (Hulu) Warga Komunitas sebagai penyedia modal non lahan sedikit dan tidak terus-terusan Kakao, Kelapa, Cengkeh : Petani Pedagang Hasil di Hilir Sistem Yarnen Pembayaran natura setara padi
Kakao dan Kopi : Bagi Hasil (relatif banyak)
Kakao, Kopi : Petani - Pedagang Hasil (Hilir) Sistem Yarnen Pembayaran natura setara padi
162
BAB VII DIFERENSIASI SOSIAL MASYARAKAT AGRARIS 7.1. Bertambahnya Lapisan Petani serta Meningkatnya Pemilik Sempit dan Tunakisma Sebagaimana dikemukakan Sanderson (2003), masyarakat agraris adalah masyarakat yang menyandarkan hidupnya pada pertanian, baik sebagai pemilik lahan maupun bukan pemilik lahan (tunakisma). Sumberdaya agraria (lahan) digunakan secara berkesinambungan (periode kosong penggunaan lahan sangat pendek atau bahkan tidak ada lagi). Oleh sebab itu, gambaran struktur sosial masyarakat agraris yang merujuk pada peta hubungan sosial di kalangan anggota masyarakat agraris akan bertumpu pada posisi para petani dalam penguasaan sumberdaya agraria, baik melalui mekanisme penguasaan tetap (pemilikan) maupun penguasaan sementara (seperti bagi hasil). Kemudian diferensiasi sosial masyarakat agraris merujuk pada keberadaan kelompok-kelompok dalam masyarakat yang posisinya dalam penguasaan sumberdaya agraria tidak sama. Setelah berakhirnya struktur agraria yang dibangun melalui penguasaan kolektif, ternyata struktur agraria yang dibangun melalui penguasaan perorangan tidak lagi terbuka sebagaimana periode sebelumnya. Pada periode struktur agraria berbentuk penguasaan kolektif semua warga komunitas memperoleh akses yang sama untuk dapat mengusahakan sumberdaya agraria. Sebaliknya, pada periode dimana struktur agraria sudah berbentuk penguasaan perorangan tidak semua warga komunitas dapat dengan mudah memperoleh akses untuk menguasai sumberdaya agraria. Pada periode ini seorang warga yang akan menguasai tanah harus memenuhi persyaratan atau kemampuan tertentu. Bahkan pada periode ini muncul tatanan pemilikan tetap dan pemilikan sementara. Tatanan pemilikan tetap digunakan untuk menunjuk pada hubungan sosial penguasaan sumberdaya agraria yang memberikan akses kepada seorang petani untuk dapat menguasai sumberdaya agraria secara permanen. Sementara itu, tatanan penguasaan sementara digunakan untuk menunjuk pada hubungan sosial penguasaan sumberdaya agraria yang memberikan akses seorang petani untuk menguasai sumberdaya agraria dalam kurun waktu sementara karena sumberdaya tersebut milik petani lain.
163
Dengan demikian, nampak bahwa pada periode penguasaan perorangan ini ketidaksamaan akses di antara warga komunitas dalam penguasaan sumberdaya agraria mulai muncul dan cenderung meningkat. Oleh sebab itu, bagi komunitas petani yang sumber kehidupannya berbasis pada sumberdaya agraria, maka munculnya transformasi struktur agraria tersebut akan memberi jalan pada proses berlangsungnya diferensiasi sosial masyarakat agraris, sehingga masyarakat agraris dari yang sebelumnya “egaliter” (merata) menjadi “terdifrensiasi”. Berbasis hubungan sosial dalam penguasaan sumberdaya agraria (penguasaan tetap dan penguasaan sementara), hasil sensus terhadap seluruh rumahtangga petani di empat komunitas petani kasus menunjukkan bahwa struktur sosial masyarakat agraris komunitas petani kakao yang muncul saat ini terdiferensiasi dalam banyak lapisan 101. Sebagian dari lapisan tersebut dibangun dengan status “tunggal” (status dimaksud merupakan basis dasar pelapisan masyarakat), sedangkan sebagian lapisan lainnya dibangun dengan status majemuk atau “kombinasi”. Secara lebih rinci, berbagai lapisan masyarakat agraris yang muncul dalam komunitas petani kasus adalah: 1.
Petani Pemilik. Para petani pada lapisan ini menguasai sumberdaya agraria hanya melalui pola pemilikan tetap (baik petani pemilik yang lahannya diusahakan sendiri dan/atau petani pemilik yang lahannya diusahakan oleh orang lain),
2.
Petani Pemilik + Penggarap. Para petani pada lapisan ini menguasai sumberdaya agraria tidak hanya melalui pola pemilikan tetap tetapi juga melalui pemilikan sementara (dengan cara mengusahakan lahan milik petani lain melalui sistem bagi hasil, sewa, atau gadai)
3.
Petani Pemilik + Penggarap + Buruh Tani. Para petani pada lapisan ini selain menguasai sumberdaya agraria melalui pemilikan tetap dan pemilikan sementara (dengan cara mengusahakan lahan milik petani lain melalui sistem bagi hasil, sewa, atau gadai) juga dengan cara menjadi buruh tani
101
Somadisastra (1977) mengemukakan bahwa berdasarkan penguasaan lahan, para petani di Aceh terbagi dalam tiga golongan, yaitu : golongan pemilik tanah (ureueng po tanah), golongan penggarap (ureueng mawah), dan buruh tani yang kemunculannya paling belakangan
164
4.
Petani Pemilik + Buruh Tani. Para petani pada lapisan ini menguasai sumberdaya agraria melalui pola pemilikan tetap. Selain itu, untuk menambah penghasilan keluarganya, mereka juga menjalankan peranan sebagai seorang buruh tani102
5.
Petani Penggarap. Para petani pada lapisan ini menguasai sumberdaya agraria hanya melalui pola pemilikan sementara (dengan cara mengusahakan lahan milik petani lain, umumnya melalui sistem bagi hasil). Ditinjau dari sisi pemilikan, lapisan petani penggarap termasuk tunakisma, tetapi kategori tunakisma petani penggarap menjadi tidak mutlak karena ditinjau dari sisi penggarapan sumberdaya agraria mereka termasuk petani penguasa tanah (efektif)
6.
Petani Penggarap + Buruh Tani. Para petani pada lapisan ini menguasai sumberdaya agraria melalui pola pemilikan sementara (dengan cara mengusahakan lahan milik petani lain melalui sistem bagi hasil, sewa, atau gadai). Selain itu, untuk menambah penghasilan keluarga, mereka juga menjalankan peranan sebagai buruh tani. Sebagai mana lapisan petani penggarap, lapisan ini termasuk tunakisma tetapi tidak mutlak.
7.
Buruh Tani. Para petani pada lapisan ini benar-benar tidak menguasai sumberdaya agraria, sehingga dapat dikategorikan sebagai tunakisma mutlak. Walaupun demikian, mereka masih memperoleh manfaat dari sumberdaya agraria dengan cara menjadi buruh tani. Pada umumnya buruh tani di desa lokasi penelitian juga menjadi buruh kegiatan non pertanian dan/atau mencari hasil hutan (terutama pada saat peluang berburuh tani tidak ada). Ketujuh lapisan masyarakat tersebut muncul di seluruh desa kasus, kecuali
lapisan petani penggarap tunggal tidak muncul di desa Ulee Gunong. Hal ini terjadi karena komunitas petani di Desa Ulee Gunong merupakan sebuah komunitas petani yang sumberdaya agrarianya hanya diusahakan untuk tanaman perkebunan (kakao dan/atau kopi). 102
Selain itu, banyak kebun kakao dan/atau kopi yang
Sebenarnya petani yang merangkap sebagai buruh tani sudah ditemukan Geertz dalam studi lapang yang dilakukan awal tahun 50 an (Geertz, 1976). Para buruh tebu di Jawa saat itu juga merupakan petani pemilik sehingga selain mereka sebagai petani rumahtangga yang berorientasi komunitas juga buruh upahan.
165
kondisinya kurang baik, sehingga produktivitas tanamannya sangat rendah. Oleh sebab itu, para petani penggarap kebun kakao harus menambah penghasilan-nya dengan cara menjadi buruh. Namun demikian, distribusi rumahtangga berdasarkan lapisan-lapisan tersebut berbeda antara satu komunitas petani kasus dengan komunitas petani kasus lainnya (Gambar 7.1.).
100%
80%
BT penggarap+BT
60%
penggarap pemilik+BT
40%
pemilik+penggarap+BT pemilik+penggarap pemilik
20%
0% Tondo
Gambar 7.1.
Jono
Ulee
Cot
Struktur Sosial Masyarakat Agraris di Empat Desa Kasus, 2007. (Sumber data : Sensus Rumahtangga Melalui Diskusi dengan Informan Kunci)
Munculnya tujuh lapisan masyarakat agraris di empat komunitas petani kasus menunjukkan bahwa pelapisan yang terjadi pada masyarakat agraris berbasis kombinasi usahatani padi sawah dan kakao lebih beragam dan lebih rumit dibandingkan dengan hasil temuan di sepuluh Desa padi sawah di Pulau Jawa pada Tahun 1979 dan Tahun 1981/1982. Dalam tulisan Wiradi (1984) Penduduk pedesaan di sepuluh Desa di Pulau Jawa dikelompokkan menjadi: 1) Pemilik penggarap murni : petani yang hanya menggarap tanahnya sendiri, 2) Penyewa dan Penyakap Murni : petani yang tidak memiliki tanah tetapi mempunyai tanah garapan melalui sewa dan/atau bagi hasil (tunakisma, tetapi penguasa tanah efektif), 3) Pemilik Penyewa dan/atau Pemilik Penyakap : petani yang selain menggarap tanahnya sendiri juga menggarap tanah milik orang lain, 4) Pemilik Bukan Penggarap, 5) Tunakisma mutlak : tidak memiliki tanah dan tidak mempunyai tanah garapan (umumnya buruh tani dan sebagian lainnya bukan petani).
166
Struktur sosial masyarakat agraris sebagaimana tertera pada Gambar 7.1. juga menunjukkan bahwa bentuk struktur sosial masyarakat agraris yang muncul merupakan struktur yang semakin terstratifikasi atau melipatnya sub-kelas komunitas petani menjadi banyak lapisan. Selain itu, realitas di lapangan menunjukkan bahwa dalam menjalankan pola hubungan sosial produksi sumberdaya agraria banyak rumahtangga petani yang melakukannya tidak secara ekslusif (hanya menjalankan satu pola hubungan sosial) tetapi mereka menjalankan beberapa pola hubungan sosial. Hal ini terjadi karena banyak petani pemilik yang luas sumberdaya agrarianya relatif sempit, apalagi pada pemilikan sumberdaya agraria produktif (lahan yang berproduksi). Nampaknya, pemilikan tetap yang luasnya relatif sempit menyebabkan penghasilan petani dari sumberdaya agraria yang menjadi miliknya tidak dapat mencukupi kebutuhan hidup keluarga mereka. Oleh sebab itu, untuk memperbesar akses dalam penguasaan sumberdaya agraria, para petani tidak membatasi diri hanya pada pola penguasaan tetap tetapi mereka memperluasnya dengan menjalankan pola pemilikan sementara. Secara keseluruhan, hasil sensus di empat komunitas petani kasus menunjukkan bahwa proporsi lapisan petani yang memiliki status sebagai petani pemilik (tunggal + kombinasi) masih merupakan bagian terbesar dari komunitas petani (dominan). Walaupun demikian, petani tunakisma (petani penggarap, buruh tani, dan penggarap + buruh tani) sudah muncul di semua komunitas petani kasus. Akan tetapi umumnya proporsi mereka masih merupakan bagian terkecil dari komunitas petani, kecuali di Desa Jono Oge dimana proporsi tunakisma sudah mencapai 34,2 %, dan sebagian besar (27,3 %) merupakan tunakisma mutlak. Bila lapisan-lapisan petani tersebut dibandingkan di antara desa kasus, nampak bahwa proporsi petani pemilik (tunggal + kombinasi) paling tinggi terjadi pada komunitas di Desa Ulee Gunong (93,2 %), kemudian disusul di Desa Tondo (81 %) dan di Desa Cot Baroh/Tunong (78,2 %), sedangkan proporsi petani pemilik paling rendah terjadi pada komunitas di Desa Jono Oge, yaitu hanya 65,8 % (Tabel 7.1.).
167
Tabel 7.1
Distribusi Rumahtangga Petani Berdasarkan Status Penguasaan Sumberdaya Agraria, 2007
Status dalam Penguasaan Sumberdaya Agraria
Tondo
Jono Oge
Ulee Gunong
Cot Baroh
N
%
N
%
N
%
N
%
1. Pemilik
157
57.5
68
36.4
85
34.1
68
37.2
2. Pemilik+penggarap
26
9.5
44
23.5
9
3.6
53
29.0
3. Pemilik+penggarap+BT
3
1.1
3
1.6
4
1.6
11
6.0
4. Pemilik+BT
35
12.8
8
4.3
134
53.8
11
6.0
5. Penggarap
17
6.2
10
5.3
-
-
31
16.9
6. Penggarap+BT
3
1.1
3
1.6
1
0.4
1
0.5
7. BT (Buruh Tani)
32
11.7
51
27.3
16
6.4
8
4.4
Total
273
100.0
187
100.0
249
100.0
183 100.0
A. Total Pemilik
221
80,92
123
65,8
223
93,2
143
78,2
B. Total Tunakisma • Tunakisma Tidak Mutlak (Penggarap) • Tunakisma Mutlak (Buruh Tani)
52
19,08
64
34,2
26
6,8
40
21,8
20
7,3
13
6,9
1
0,4
32
17,4
32
11.7
51
27.3
16
6.4
8
4.4
Sumber data : Sensus Rumahtangga Melalui Diskusi dengan Informan Kunci
Selain telah munculnya lapisan petani tunakisma, ternyata proporsi petani pemilik yang memiliki status “hanya sebagai petani pemilik” (status tunggal) umumnya sudah menjadi bagian kecil dari komunitas (tidak dominan lagi), kecuali di Desa Tondo. Data pada Tabel 7.1 menunjukkan bahwa di desa Tondo proporsi lapisan petani pemilik tunggal masih 57,5 %, sedangkan di desa Cot Baroh/Tunong, Jono Oge, dan Ule Gunong masing-masing hanya 37,2 %, 36,4 %, dan 34,1 %.
Sementara itu, status petani pemilik lainnya merupakan status
kombinasi (campuran dari 2 - 3 status), yaitu : 1) lapisan pemilik + penggarap, 2) lapisan pemilik + buruh tani, dan 3) lapisan pemilik + penggarap + buruh tani. Lebih lanjut, lapisan petani yang memiliki status penggarap (tunggal + kombinasi) sangat menonjol terjadi di desa-desa yang memiliki usahatani padi sawah, seperti di Desa Cot Baroh/Tunong (52,4 %), Desa Jono Oge (32,0 %), dan Desa Tondo (17,9 %). Di Desa Ulee Gunong, desa yang tidak memiliki sumberdaya agraria sawah, proporsi lapisan petani dengan status penggarap (tunggal +
168
kombinasi) hanya 5,6 %. Adapun lapisan petani dengan status buruh tani (tunggal dan kombinasi) paling banyak terjadi di Desa Ulee Gunong (62,2 %), kemudian disusul di Desa Jono Oge (34,8 %), Desa Tondo (26,7 %), dan Desa Cot Baroh/Tunong (16,9 %). Di Desa Ulee Gunong NAD status buruh tani sangat tinggi karena pada beberapa tahun terakhir banyak petani yang menjadi buruh pada proyek rehabilitasi pasca tsunami dan/atau pasca konflik. Kemudian, hasil peneltian juga menunjukkan bahwa petani pemilik yang luas sumberdaya agrarianya kurang dari dua hektar umumnya masih cukup besar, bahkan di sebagian besar komunitas petani kasus masih merupakan bagian terbesar. Realitas ini terjadi pada pemilikan sumberdaya agraria total 103. Bahkan pada pemilikan sumberdaya agraria produktif 104 realitas tersebut nampak lebih menonjol. Data pada Tabel 7.2. menunjukkan bahwa proporsi petani pemilik yang luas sumberdaya agraria totalnya kurang dari dua hektar masih cukup besar, bahkan di desa Tondo dan di Desa Ulee Gunong merupakan bagian terbesar dari komunitas petani (masing-masing 58,8 % dan 73,9 %). Kemudian data pada Tabel 7.3. menunjukkan bahwa proporsi petani pemilik yang luas sumberdaya agraria “produktifnya” kurang dari 2 hektar lebih besar dari pada proporsi petani pemilik yang luas sumberdaya agraria “totalnya” kurang dari dua hektar. Bahkan di Desa Tondo, Desa Cot Baroh/Tunong, dan Desa Ulee Gunong proporsi petani dimaksud masing-masing 60,6 %, 68,9 % dan 79,8 %.
103
Sumberdaya agraria yang berproduksi ditambah dengan sumberdaya agraria yang tidak berproduksi baik karena masih berupa lahan kosong atau karena tanamannya rusak
104
Hanya sumberdaya agraria yang sedang dikelola dan menghasilkan produk (sedang berproduksi)
169
Tabel 7.2.
Distribusi Rumah Tangga Petani Berdasarkan Luas Pemilikan Sumberdaya Agraria Total, 2007
Luas Pemilikan
Jono Oge
0 > 0 - < 0,5 O,5 - < 1 1-<2 2-<3 3-<4 >/ 4 Total 0-<1 >0-<2 Rata-rata Tertinggi (ha)
N 50 3 22 44 27 15 26 187
% 26,7 1,6 11,8 23,5 14,4 8,0 13,9 100,0
75 69
40,1 36,9 1,288 74
Cot Baroh/ Tunong N % N % 34 12,4 10 5,5 15 5,5 10 5,5 70 25,5 11 6,0 76 27,7 59 32,2 43 15,7 70 38,3 20 7,3 13 7,1 16 5,8 10 5,5 274 100,0 183 100,0
N 16 2 51 148 38 12 5 272
% 5,9 0,7 18,8 54,4 14,0 4,4 1,8 100,0
N 110 30 154 327 178 60 57 916
% 12,0 3,3 16,8 35,7 19,4 6,6 6,2 100,0
119 161
69 201
25,4 73,9 1,373 13,5
294 511
32,1 55,8
Tondo
43,4 58,8 2,168 16
31 80
16,9 43,7 1,697 8,8
Ulee Gunong
Total
74
Sumber data : Sensus Rumahtangga Melalui Diskusi dengan Informan Kunci
Tabel 7.3.
Luas Pemilikan 0 < 0,5 O,5 - < 1 1-<2 2-<3 3-<4 >/ 4 Total 0- < 1 >0-<2 Rata-rata Tertinggi (ha)
Distribusi Rumahtangga Petani Berdasarkan Luas Pemilikan Sumberdaya Agraria Produktif, 2007 Cot Baroh/ Tunong N N % % N % 64 34,2 51 18,6 41 22,4 5 2,7 17 6,2 22 12,0 23 12,3 67 24,5 33 18,0 36 19,3 82 29,9 71 38,8 28 15,0 30 10,9 10 5,5 14 7,5 14 5,1 5 2,7 17 9,1 13 4,7 1 0,5 187 100,0 274 100,0 183 100,0
N 41 7 119 91 10 2 2 272
% 15,1 2,6 43,8 33,5 3,7 0,7 0,7 100,0
N 197 51 242 280 78 35 33 916
% 21,5 5,6 26,4 30,6 8,5 3,8 3,6 100,0
92 64
167 217
61,4 79,8 1,373 10
490 573
53,5 62,6
Jono Oge
Tondo
49,2 135 49,3 34,2 166 60,6 1,069 1,813 12 71
96 126
52,5 68,9 1,697 4
Ulee Gunong
Total
71
Sumber data : Sensus Rumahtangga Melalui Diskusi dengan Informan Kunci
170
Data-data pada Tabel 7.3. dan Tabel 7.4. juga menunjukkan bahwa di desadesa kasus belum terjadi “pemusatan sumberdaya agraria” yang sangat nyata. Meskipun di semua desa kasus terdapat sejumlah petani yang oleh masyarakat sudah dikategorikan sebagai “petani luas yang kaya” tetapi luas lahan yang mereka miliki umumnya hanya sekitar 10 ha. Petani “pemilik sangat luas” hanya muncul di Desa Jono Oge yang beretnis Bugis dan petani tersebut merupakan keturunan perintis pertama. Adapun luas sumberdaya agraria (lahan) yang dimilikinya mencapai 74 ha, tetapi lahan tersebut tersebar pada 21 plot (bidang) dan sebagian besar (49,5 ha) berada di luar desa. Walaupun luas lahan milik petani tersebut sangat luas, tetapi seluruh lahan padi sawah dan kebun kakao diusahakan dengan pola bagi hasil 105. Hanya kebun kelapa dan cengkeh yang diusahakan sendiri oleh petani pemilik luas kaya dengan menggunakan buruh upahan, dan untuk mengawasi buruh upahan yang bekerja kadang-kadang petani pemilik luas kaya tersebut menggunakan mandor tidak tetap 106. Hasil sensus rumahtangga petani di empat desa kasus menunjukkan bahwa rata-rata luas pemilikan sumberdaya agraria di antara lapisan petani tidak sama. Rata-rata luas pemilikan sumberdaya agraria paling besar terjadi pada lapisan petani pemilik dengan status tunggal sebagai “petani pemilik”, sedangkan ratarata luas pemilikan sumberdaya agraria paling kecil terjadi pada lapisan petani dengan komplek, yaitu “pemilik + buruh tani” (Tabel 7.4.). Realitas tersebut muncul baik pada pemilikan sumberdaya agraria “total” maupun pada pemilikan sumberdaya agraria “produktif”.
105
Seluruh sumberdaya agraria padi sawah milik petani “sangat kaya” dalam komunitas petani di Desa Jono Oge (18 ha) dikelola oleh para petani penggarap bagi hasil (oleh 18 petani penggarap bagi hasil). Demikian halnya kebun coklat yang luasnya 10 ha dikelola petani bagi hasil (oleh 5 petani penggarap bagi hasil). Sementara itu, seluruh kebun cengkeh (8 ha) dan kebun kelapa (25,5 ha) tidak digarapkan tetapi dikelola sendiri karena tidak perlu perawatan yang intensif sepanjang tahun.
106
Dalam hal ini, mandor digunakan untuk mengawasi panen hasil. Adapun biaya mandor cengkeh adalah Rp. 100,-/liter sedangkan biaya mandor kelapa Rp. 100.000,-/satu kali penen sebanyak 3,000 pohon
171
Tabel 7.4.
Rata-rata Luas Pemilikan Sumberdaya Agraria Total dan Sumberdaya Agraria Produktif, 2007
Status Pemilikan
Sumberdaya Agraria Sumberdaya Agraria Total Produktif
• Pemilik
2,268*
1,740*
• pemilik + penggarap
2,062
1,452
• pemilik + penggarap + BT
2,152
1,474
• pemilik + BT
1,474
0,888
Keterangan
:
* berbeda pada taraf nyata 20 % dengan uji LSD
Sumber data : Diolah dari Data Sensus Rumahtangga Hasil Diskusi dengan Informan Kunci
Walaupun demikian, bila mengacu pada hasil uji statistik (uji beda nyata/uji LSD dengan selang kepercayaan 20 %) sebagaimana tertera pada lampiran 7.1. nampaknya rata-rata luas pemilikan yang dianggap “berbeda nyata” hanya terjadi antara lapisan petani dengan status tunggal “petani pemilik” dengan lapisan petani dengan status kompleks “petani pemilik + buruh tani”. Realitas ini terjadi baik pada rata-rata luas pemilikan sumberdaya agraria total maupun pada rata-rata luas pemilikan sumberdaya agraria produktif. 7.2. Arah Perubahan Struktur Sosial Masyarakat Agraris : Jalan Bercabang Menuju Struktur Terstratifikasi atau Terpolarisasi Sebelumnya, pada periode dimana sumberdaya agraria masih dikuasaai secara kolektif oleh komunitas petani, semua warga komunitas mempunyai akses yang sama untuk menguasai (dalam hal ini mengusahakan) sumberdaya agraria sebagai sumber utama pemenuhan kebutuhan hidup mereka. Oleh sebab itu, pada periode tersebut dapat diduga bahwa struktur sosial masyarakat agraris relatif merata karena dibentuk oleh struktur penguasaan sumberdaya agraria yang terbuka atau memberikan akses yang sama kepada semua lapisan warga komunitas 107 . Kalaupun terdapat perbedaan lebih banyak terkait dengan perbedaan
107
Dalam sistem pemilikan kolektif yang diatur dalam ketentuan hukum adat, setiap anggota masyarakat mempunyai hak membuka tanah untuk dijadikan tanah pesawahan, ladang dan tempat tinggal. (Humairah Sabri dan Aminuddin, 1992).
172
kemauan di antara warga komunitas petani untuk mengusahakan sumberdaya agraria yang tersedia. Kemudian setelah hampir seluruh sumberdaya agraria dalam komunitas petani dikuasai secara individual, sebagaimana yang terjadi saat ini di semua komunitas petani kasus, ternyata bentuk struktur sosial masyarakat agraris yang muncul merupakan sebuah struktur yang terstratifikasi
108
atas banyak lapisan petani.
Lapisan yang membentuk struktur tersebut dijalin oleh status yang lebih kompleks, karena selain dijalin melalui tatanan pemilikan tetap juga melalui dijalin melalui tatanan pemilikan sementara. Oleh sebab itu, lapisan-lapisan yang membentuk struktur tersebut cukup banyak, mulai dari petani pemilik luas yang sebagian sumberdaya agraria miliknya diusahakan petani lain, petani pemilik sedang yang sumberdaya agraria miliknya hanya diusahakan sendiri (keluarga inti), petani pemilik sempit yang selain mengusahakan sendiri lahan miliknya juga harus merangkap sebagai penggarap dan/atau buruh tani, serta para penggarap dan “buruh tani” yang tidak memiliki sumberdaya agraria. Bentuk struktur sosial masyarakat agraris yang terstratifikasi tersebut, meskipun dibangun melalui berbagai mekanisme/proses penguasaan sumberdaya agraria atau pola hubungan sosial dalam penguasaan sumberdaya agraria secara perorangan atau individual, tetapi mereka diikat oleh landasan moral tradisional. Walaupun mekanisme-mekanisme yang memberi jalan pada pembentukan struktur sosial masyarakat agraris yang terstratifikasi masih dominan, tetapi pada saat ini dalam komunitas petani di empat kasus juga sedang berjalan beberapa mekanisme/proses penguasaan sumberdaya agraria atau pola hubungan sosial penguasaan sumberdaya agraria individual yang cenderung mendorong/ memfasilitasi terjadinya bentuk struktur sosial masyarakat agraris yang semakin terpolarisasi 109 (Tabel 7.5.). Dalam proses ini landasan moral tradisional mulai digantikan oleh hubungan “pasar” yang tidak lagi bersifat pribadi.
108
Sebagai proses perkembangan ketidaksamaan yang melipatgandakan sub-kelas petani di dalam suatu rangkaian spektrum dari buruh tani tunakisma sampai ke pemilik luas yang tidak mengusahakan sendiri tanahnya
109
Sebagai proses perkembangan ketidaksamaan yang mengkutubkan masyarakat tani menjadi (hanya) dua lapisan, yakni petani luas komersial yang kaya dan lapisan buruh tani tunakisma yang miskin.
173
Tabel 7.5.
Kaitan antara Pola Hubungan Sosial Penguasaan Sumberdaya Agraria dengan Arah Perubahan Struktur Sosial Masyarakat Agraris, 2007.
Pemanfaatan Sumberdaya Agraria
Pola Hubungan Sosial Penguasaan Sumberdaya Agraria
Status Ekonomi Penggarap
Mekanisme Perubahan Struktur Masyarakat
Bagi Waktu Tanam
Sedang
Polarisasi
Bagi Kebun
Miskin - Sedang
Stratifikasi
Bagi Tanaman
Miskin – Sedang
Polarisasi
Tahap Pembangunan Kebun/Sawah Padi-Sawah Kakao
Tahap Pengelolaan Kebun/Sawah Padi-Sawah
Bagi 2 atau Bagi 3
Sedang
Polarisasi
Kakao
Bagi 2 atau Bagi 3
Miskin – Sedang
Stratifikasi
Kopi
Bagi 2 atau Bagi 3
Miskin – Sedang
Stratifikasi
Sewa
Kaya
Polarisasi
Buruh – Upahan
Miskin
Polarisasi
Gadai
Kaya
Polarisasi
Kelapa Cengkeh Semua Tanaman
Sumber data : Wawancara dengan Informan Kunci
Beberapa mekanisme penguasaan sumberdaya agraria yang mendorong perubahan struktur sosial masyarakat agraris menuju bentuk yang terstratifikasi adalah : pola bagi kebun (pada tahap pembangunan kebun) dan pola bagi hasil untuk kebun (baik kebun kakao maupun kebun kopi). Selain itu, pola pewarisan yang membagikan sumberdaya agraria (lahan) milik orang tua kepada semua anaknya (umumnya dalam jumlah yang sama) juga cenderung mendorong bentuk struktur agraria yang semakin terstratifikasi. Sementara itu, beberapa mekanisme penguasaan sumberdaya agraria yang mendorong perubahan struktur sosial masyarakat agraris menuju bentuk yang semakin terpolarisasi adalah : pola bagi tanaman (pada tahap pembangunan kebun), bagi waktu panen (pada saat pencetakan sawah), pola bagi hasil sumberdaya agraria sawah, sistem sewa sumberdaya agraria sawah dan kebun
174
(terutama pada sumberdaya agraria kebun kelapa), dan sistem gadai. Demikian halnya menguatnya mekanisme transfer sumberdaya agraria melalui transaksi jual - beli
110
, semakin rendahnya kemampuan petani miskin untuk memiliki
sumberdaya agraria dan/atau membangun sumberdaya agraria, semakin luasnya penggunaan buruh upahan mendorong perubahan struktur sosial masyarakat agraris menuju bentuk yang semakin terpolarisasi. Pola bagi tanaman pada tahap pembangunan kebun, penyewaan (terutama kelapa) dan gadai sumberdaya agraria pada tahap pengelolaan usahatani, serta transaksi jual-beli sumberdaya agraria maupun jual beli tanaman 111 seluruhnya cenderung mendorong struktur sosial masyarakat agraris menuju bentuk yang semakin terpolarisasi. Hal ini terjadi karena pemilik sumberdaya agraria pada pola bagi tanaman (kebun) dan pola bagi waktu panen (sawah) serta petani yang menjadi pembeli, penyewa, dan penggadai sumberdaya agraria (lahan) umumnya para petani yang termasuk dalam lapisan “petani kaya”. Berbagai mekanisme dimaksud lebih lanjut akan mengakumulasikan sumberdaya agraria pada kelompok minoritas lapisan petani kaya. Sebaliknya, para petani yang menjadi penggarap dalam pola bagi tanaman serta para petani yang menyewakan, menggadaikan, dan menjual sumberdaya agraria (kebun maupun sawah) umumnya merupakan para petani yang berada pada lapisan petani sedang dan/atau petani miskin, sehingga luas sumberdaya agraria milik mereka semakin sempit atau bahkan menjadi petani tak bertanah. Semakin banyaknya kebutuhan petani yang harus dipenuhi dengan uang tunai memperbesar proses pelepasan hak pemilikan tetap para petani miskin melalui transaksi jual/beli dan/atau melalui pelepasan hak pemilikan sementara (sewa dan gadai). Demikian halnya, pola bagi hasil pada pengelolaan padi sawah yang berjalan saat ini mendorong terbentuknya struktur sosial masyarakat agraris 110
Sebagaimana ditemukan Billah (1984) pengalaman di pedesaan Jawa Tengah menunjukkan bahwa mekanisme jual beli sumberdaya agraria memberi jalan bagi berlangsungnya pemusatan pemilikan tanah di satu pihak, sebaliknya di pihak lain jumlah orang yang tidak memiliki tanah akan terus bertambah. Sementara itu, pewarisan sumberdaya agraria yang secara adat hidup subur akan memberi jalan bagi berlangsungnya fragmentasi pemilikan sumberdaya agraria menjadi luasan-luasan yang semakin sempit.
111
Penjualan tanaman seringkali dilakukan para petani “pembagi hasil tanaman” kepada “petani pemilik tanah” yang menjadi parner kerjasamanya. Di Cot Baroh/Tunong NAD harga kebun kakao dengan benih unggul berumur 2 tahun yang lokasinya sekitar 5 km dari desa mempunyai harga sekitar 30 ribu/pohon.
175
menuju bentuk yang semakin terpolarisasi. Hal ini terjadi karena dengan semakin intensifnya teknologi yang diterapkan pada pengelolaan usahatani tersebut, maka semakin besar modal finasial yang diperlukan sehingga para petani yang menduduki posisi sebagai penggarap bukan lagi lapisan petani miskin tetapi lapisan petani menengah (sedang) yang mempunyai modal finansial atau yang dipercaya pemilik modal finasial untuk diberikan pinjaman. Tabel 7.6.
Modal Finansial Untuk Membangun Kebun (1 Ha) pada Lahan Hutan di Desa Cot Baroh/Tunong Dan Ulee Gunong, 2007
Aktivitas
Volume
Harga Jumlah Satuan
Keterangan
Tebang (sewa chainsaw)
4 hari
250.000
1.000.000,-
Merintis
15 hari
50.000,-
750.000,-
Dilakukan sendiri
Membersihkan dan bakar
15 hari
50.000,-
750.000,-
Dilakukan sendiri
1.000 buah
1.000,-
1.000.000,-
Sendiri/Buruh Upahan
Menanam
1.000 btg
1.000,-
1.000.000,-
Dilakukan sendiri
Bibit
1.000 btg
1.500,-
1.500.000,-
Sendiri/Beli
500,-
500.000,-
Menggali lubang
Ongkos bawa bibit
1.000
Jumlah
Sewa alat/jasa
Sendiri/Buruh Upahan
6.500.000,-
Sumber data : Wawancara dengan Informan Kunci
Hal lain yang membuat penguasaan sumberdaya agraria mendorong terjadinya polarisasi struktur sosial masyarakat agraris adalah semakin rendahnya akses petani miskin terhadap cadangan sumberdaya agraria baru (lahan hutan). Hal ini terjadi karena beberapa hal berikut : 1) letak sumberdaya agraria baru (lahan kosong) semakin jauh dari pemukiman petani, 2) persediaan cadangan sumber-daya agraria semakin terbatas sehingga terjadi persaingan dalam mendapatkannya, 3) program pemerintah bias kepada petani lapisan kaya dan atau lapisan petani sedang, dan 4) biaya pembangunan kebun semakin mahal. Bila seluruh input produksi dibeli (termasuk bibit) maka modal finansial yang diperlukan petani untuk membangun kebun tahun pertama sebesar Rp. 6.500.000.(Tabel 7.6.). Akan tetapi, bila petani sudah mempunyai penghasilan untuk biaya hidup selama membangun kebun dan sebagian pekerjaan dilakukan oleh anggota keluarganya, maka jumlah modal finansial yang mereka perlukan pada tahun pertama pembangunan kebun kakao hanya setengahnya (Rp. 3.250.000,-)
176
Dengan berlakunya pemilikan individual yang diperkuat status hukum formal (surat keterangan yang dikeluarkan pemerintahan desa), maka semakin banyak orang kaya yang menguasai lahan untuk investasi masa depan tetapi mereka seringkali tidak langsung mengusahakannya. Ketentuan aturan lama (aturan adat) maupun aturan baru (UU Pokok Agraria) yang menetapkan bahwa lahan kosong yang dalam kurun waktu tertentu (tiga tahun) tidak diusahakan dapat diusahakan petani lain ternyata dalam implementasinya di lapangan tidak lagi diterapkan secara sunguh-sungguh. Bersamaan dengan itu, program pemerintah dalam pembangunan kebun baru sengaja atau tidak sengaja umumnya tidak memberikan prioritas kepada para petani tak berlahan atau petani berlahan sempit. Realitas ini lebih menonjol terjadi di desa-desa kasus di Sulawesi Tengah. Selain itu, realitas dimaksud terutama berkaitan dengan beberapa praktek berikut :
Para elit lokal cenderung memilih peserta program pembangunan kebun yang mempunyai hubungan sosial dekat (umumnya yang memiliki hubungan kerabat dan/atau kolega),
Syarat peserta program masih diskriminatif, misalnya para petani harus memiliki sertifikat lahan. Padahal pembuatan sertifikat lahan memerlukan biaya yang cukup besar, sehingga hal tersebut umumnya hanya dapat dipenuhi oleh para petani yang tergolong petani kaya,
Lahan semakin jauh dari pemukiman sehingga bila petani miskin (umumnya penggarap dan/atau buruh tani) ikut sebagai peserta program pembangunan kebun, maka mereka tidak dapat bekerja untuk mendapatkan penghasilan yang diperlukan guna memenuhi biaya hidup keluarganya. Oleh sebab itu, banyak petani miskin yang tidak mau ikut menjadi peserta program tersebut. Meskipun realitas struktur sosial masyarakat agraris saat ini masih cende-
rung berada dalam bentuk yang terstratifikasi, tetapi dengan menggunakan alat analisa (statistik) “gini ratio” dapat ditunjukkan bahwa ketimpangan dalam pemilikan sumberdaya agraria di dalam komunitas petani kasus sudah mulai nampak (Tabel 7.7). Realitas ketimpangan pemilikan sumberdaya agraria tersebut umumnya semakin besar bila analisa gini ratio dilakukan pada pemilikan
177
sumberdaya agraria produktif, yaitu sumberdaya agraria yang sudah menghasilkan (berproduksi). Tingginya angka ketimpangan penguasaan sumberdaya agraria berlangsung sejalan dengan adanya proses-proses penguasaan sumberdaya agraria yang memberi jalan pada struktur sosial masyarakat agraris yang terpolarisasi. Tabel 7.7.
Analisa Gini Ratio Terhadap Luas Pemilikan Sumberdaya Agraria, 2007.
Desa Tondo
Jono Oge
Cot Baroh
Ulee Gunong Keterangan Sumber data:
:
Sumberdaya Agraria Total
Sumberdaya Agraria Produktif
0,44
0,59
M
T
0,69
0,71
T
T
0,57
0,42
T
M
0,32
0,55
R
T
Nilai Gini Ratio < 0,4 = R = Ketimpangan Rendah, 0,4 – 0,5 = M = Ketimpangan Moderat, dan > 0,5 = T= Ketimpangan Tinggi Diolah dari Data Sensus Rumahtangga Melalui Diskusi dengan Informan Kunci
Dalam hal pemilikan sumberdaya agraria total, ketimpangan yang termasuk kategori tinggi terjadi pada komunitas petani di Desa Jono Oge dan pada komunitas di Desa Cot Baroh. Bahkan ketimpangan paling tinggi terjadi pada komunitas petani di Desa Jono Oge yang berlatarbelakang etnis pendatang Bugis. Pada komunitas petani di Desa Tondo ketimpangan pemilikan sumberdaya agraria total masih termasuk kategori moderat dan pada komunitas petani di Desa Ulee Gunong ketimpangan pemilikan sumberdaya agraria total masih termasuk dalam kategori rendah. Lebih lanjut bila analisa gini ratio dilakukan hanya terhadap sumberdaya agraria produktif, ternyata ketimpangan pemilikan sumberdaya agraria pada komunitas petani di Desa Jono Oge, di Desa Tondo, dan di Desa Ulee Gunong lebih tinggi dibanding ketimpangan pada pemilikan sumberdaya agraria total, dan
178
kategori ketimpangan penguasaan sumberdaya agraria di ketiga desa dimaksud berada dalam kategori ketimpangan tinggi. Realitas tersebut terjadi karena banyak petani pemilik kebun yang tanamannya sudah rusak sehingga kebun tersebut tidak lagi berproduksi. Sementara itu, pada komunitas petani di Desa Cot Baroh/ Tunong, ketimpangan pemilikan sumberdaya agraria produktif lebih rendah dibanding ketimpangan pemilikan sumberdaya agraria total. Realitas tersebut muncul karena di desa Cot Baroh/Tunong luas sumberdaya agraria kebun kakao yang baru dibangun (belum produktif) cukup besar tetapi distribusinya relatif kurang merata sehingga berperan kuat dalam meningkatkan ketimpangan pemilikan sumberdaya agraria dalam komunitas petani tersebut. 7.3. Peranan Program Pemerintah dan Lembaga Lokal dalam Diferensiasi Sosial Masyarakat Agraris 7.3.1.
Peranan Program Pemerintah dalam Diferensiasi Sosial Masyarakat Agraris Program-program pembangunan perkebunan kakao yang dilaksanakan di
Indonesia, termasuk di kedua propinsi lokasi penelitian (Sulawesi Tengah dan Nangroe Aceh Darussalam), merupakan program yang pelaksanaanya dimasukkan ke dalam komunitas petani dan ditujukan seluruhnya untuk anggota komunitas petani. Oleh sebab itu, penentuan peserta program selain dipengaruhi pihak luar juga sangat diwarnai oleh kekuatan-kekuatan yang ada pada tingkat komunitas petani. Kebijakan yang diacu oleh komunitas petani akan menentukan apakah kesempatan menjadi peserta pembangunan kebun akan terdistribusi secara merata atau tidak. Akan tetapi, pada umumnya fasilitasi program pemerintah sangat kecil dibanding kebutuhan masyarakat, sehingga jumlah warga komunitas yang dapat difasilitasi hanya sekitar 20 % - 30 %. Selain itu, besar fasilitasi umumnya hanya cukup untuk membangun kebun dengan luas lahan per petani yang relatif sempit. Di pihak lain, data statistik perkebunan yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Perkebunan pada Tahun 2004 menunjukkan bahwa tingkat kemandirian masyarakat dalam membangun kebun kakao sangat tinggi. Hal ini terjadi baik di Propinsi Sulawesi Tengah maupun di Propinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD). Di kedua propinsi tersebut, sebagian besar kebun kakao dibangun para petani tanpa fasilitasi program pemerintah. Bahkan di Propinsi Sulawesi Tengah, yang
179
kondisi keamanannya sangat kondusif, nampak bahwa pembangunan kebun kakao yang sepenuhnya merupakan hasil swadaya masyarakat berlangsung sangat pesat, meskipun fasilitasi program pemerintah di wilayah tersebut sangat sedikit. Oleh sebab itu, pada tahun 1999 kebun kakao di Propinsi Sulawesi Tengah yang dibangun oleh para petani secara swadaya (tanpa fasilitasi pihak lain, terutama pemerintah) mencapai 97 % dari total perkebunan kakao rakyat yang ada di propinsi tersebut (Gambar 7.2.). Meskipun perkembangannya tidak sepesat sebagaimana terjadi di Propinsi Sulawesi Tengah, di Propinsi Nangroe Aceh Darussalam pun pada tahun 1999 pengembangan kebun kakao yang dibangun oleh para petani secara swadaya mencapai 96 % dari total perkebunan kakao rakyat yang ada di propinsi tersebut (Gambar 7.3.). Namun demikian, di kedua propinsi tersebut kondisi kebun yang dibangun masyarakat secara swadaya umumnya kurang baik, sehingga produktivitasnya jauh lebih rendah dibanding kebun yang dibangun dengan fasilitasi program pemerintah.
80,000 70,000 60,000 50,000 40,000 30,000 20,000 10,000 1990
1995 Berbantuan
Gambar 7.2.
sw adaya murni
1999 Total
Perkembangan Perkebunan Kakao Rakyat di Sulawesi Tengah Berdasarkan Pola Pengembangan (ha) (Sumber Data : Statistik Perkebunan (Ditjenbun, 2004))
180
80,000 70,000 60,000 50,000 40,000 30,000 20,000 10,000 1990
1995 Berbantuan
Gambar 7.3.
sw adaya murni
1999 Total
Perkembangan Perkebunan Kakao Rakyat di Nangroe Aceh Darussalam Berdasarkan Pola Pengembangan (ha), 2007 (Sumber Data : Statistik Perkebunan (Ditjenbun, 2004))
Tidak berbeda dengan gambaran makro diatas, hasil pengamatan di dalam komunitas petani kasus menunjukkan hal yang sama, dimana sebagian besar kebun kakao dibangun dengan upaya swadaya petani (tanpa bantuan/fasilitasi pihak luar desa). Di tiga desa kasus yang pernah dan/atau sedang ada program pemerintah pun proporsi kebun kakao yang dibangun melalui fasilitasi program pemerintah hanya sekitar 20 %, sedangkan sebagian besar kebun kakao lainnya dibangun secara swadaya, baik oleh petani yang pernah menjadi peserta program pemerintah maupun petani lainnya yang tidak pernah menjadi peserta program pemerintah. Misalnya pada program pembangunan kebun baru di Desa Cot Baroh/Tunong, jumlah warga komunitas yang menjadi peserta program hanya 57 petani atau hanya 28 % dari seluruh warga komunitas. Selain itu, luas lahan sebagian besar petani yang mendapat fasilitas program pembangunan kebun hanya setengah hektar (Tabel 7.8.).
181
Tabel 7.8.
Distribusi Luas Lahan Peserta Program Pembangunan Kebun Baru di Desa Cot Baroh/Tunong, 2007 Luas Kebun (ha) 0.5
N 27
% 47.37
Jumlah Luas Kebun (ha) 13.5
1
14
24.56
14
1.5
4
7.02
6
2
10
17.54
20
2.5
1
1.75
2.5
1
1
1.75
1
Jumlah
57
100.00
57
Jumlah Peserta
Sumber data: Diolah dari Data Kelompok Tani
Sebenarnya di desa Ulee Gunong, pernah ada bantuan pemerintah tetapi bukan untuk pengembangan tanaman kakao. Pada awal tahun 80 an para petani di desa ini pernah menerima bantuan bibit kopi sebanyak 800 pohon per petani. Jika dihitung berdasarkan kebutuhan tanaman kopi untuk luasan lahan 1 ha, maka jumlah bantuan bibit tersebut dapat memenuhi kebutuhan 0.5 ha lahan. Bibit tersebut diberikan oleh pemerintah melalui Dinas Perkebunan Tingkat II Kabupaten Pidie. Akan tetapi, akibat kematian pada saat penanaman serta adanya serangan hama penyakit, tanaman kopi yang bibitnya berasal dari bantuan tersebut hampir tidak ada lagi. Meskipun nama program yang pernah/sedang ada di lokasi desa penelitian berbeda (Tabel 7.9.), tetapi pola fasilitasi yang diberikan pemerintah di ketiga desa kasus realtif sama. Seacara substansial, kedua program tersebut, baik P2WK (Pengembangan Perkebunan di Wilayah Khusus) yang dilaksanakan di Desa Jono Oge dan Desa Tondo maupun Perluasan Kebun di Desa Cot Baroh/Tunong merupakan Program Berbantuan Parsial. Dalam program tersebut pemerintah atau pihak luar lainnya memberikan bantuan bahan tanam dan input produksi lain (pupuk, obat-obatan) serta sebagian biaya tenaga kerja untuk memenuhi kebutuhan pemeliharaan tanaman sampai dengan umur tanaman satu tahun di lapangan (Tabel 7.10.). Setelah itu, seluruh biaya untuk memelihara tanaman sampai tanaman tersebut menghasilkan menjadi tanggungan petani.
182
Tabel 7.9.
Fasilitasi Pemerintah Melalui Program Pengembangan Perkebunan, 2007 Program Pengembangan Perkebunan
Desa Ada Program • Desa Tondo
•
• Desa Jono Oge
•
• Desa Cot Baroh/
•
Tunong •
•
Tidak Ada Program
Berbantuan/Parsial/P2WK (Biaya APBN, 1990) Berbantuan/Parsial/P2WK (Biaya APBN, 1990) Penghijauan Kehutanan – Petani Mendapat Bibit Kakao Tidak Unggul (APBD Tingkat II, 2000) Proyek Pengembangan Perkebunan Rakyat (APBD Tingkat II, 2004) Berbantuan/Parsial/Perluasan Kebun (Biaya Grant ADB, 2006)
• Desa Ulee
Swadaya Murni
Gunong Sumber Informasi : Diolah dari berbagai sumber
Tabel 7.10.
Intervensi Pemerintah dalam Pola Berbantuan/Parsial, 2007
Intervensi Pemerintah
Swadaya Berbantuan/Parsial
Penyediaan Lahan
Penyediaan Input Lain
Pengolahan dan Pemasaran
Sepenuhnya inisiatif dan kemampuan petani secara individual/kelompok (peranan elit lokal tingkat desa dalam pengaturan pemilihan lahan dan petani peserta sangat besar) Pemerintah menyediakan input untuk penanaman dan pemeliharaan selama 1 tahun. Selanjutnya, penyediaan input tergantung inisiatif dan kemampuan petani Sepenuhnya inisiatif dan kemampuan petani
Murni Sepenuhnya inisiatif dan kemampuan petani secara individual/kelompok (peranan elit lokal tingkat desa dalam pengaturan pemilihan lahan dan petani peserta tidak terlalu besar) Sepenuhnya inisiatif dan kemampuan petani
Sepenuhnya inisiatif dan kemampuan petani
Sumber Informasi : Diolah dari berbagai sumber
183
Bagi para petani peserta, adanya program-program tersebut telah memberikan manfaat meningkatkan kemampuan mereka dalam penguasaan input produksi dan keterampilan baru, sehingga mereka dapat memperluas kebun miliknya. Sementara itu, bagi anggota komunitas petani yang tidak menjadi peserta program, adanya program-program tersebut juga telah memberikan manfaat paling tidak dalam 3 (tiga) hal berikut : 1) meningkatkan keterampilan dengan cara belajar langsung (meniru) dari petani peserta, 2) mendapatkan kebun contoh sehingga keberhasilan kebun contoh dapat mendorong minat petani lain untuk melakukan hal yang sama sebagaimana dilakukan petani peserta program, 3) menjadi sumber bahan tanam bagi kebun/petani lain sehingga mereka dapt membangun sendiri kebun miliknya. Umumnya biji kakao yang diperlukan sebagai bahan tanam dapat diminta dari kebun produksi petani lain. Kesempatan tersebut dapat mengurangi kesenjangan yang terjadi antara petani peserta yang difasilitasi program pemerintah dengan petani lain yang tidak difasilitasi program tersebut. Tabel 7.11.
Petani Peserta Proyek (ADB) Pengembangan Kebun Kakao di Desa Cot Baroh/Tunong, 2007 N
Peserta Proyek
% dari Peserta
% dari n
• Pemilik
68
16
40,0
23,5
• Pemilik + Penggarap
53
12
30,0
22,6
• Pemilik + Penggarap + BT
11
2
5,0
18,2
• Pemilik + BT
11
3
7,5
27,3
• Penggarap
32
6
15,0
18,8
• BT
8
1
2,5
12,5
183
40
100,0
21,9
• Miskin
123
27
67,5
22,0
• Sedang
52
9
22,5
17,3
• Kaya
8
4
10,0
50,0
183
40
100,0
21,9
Kriteria Status Penguasaan Lahan
• Total (N) Tingkat Kesejahteraan Petani
Total (N)
Sumber data : Sensus Rumahtangga Melalui Diskusi dengan Informan Kunci
184
Sebagaimana terjadi di desa Cot Baroh/Tunong, meskipun para petani pemilik (luas) masih mendapat kesempatan lebih besar untuk menjadi peserta program pembangunan kakao yang difasilitasi program pemerintah tetapi para petani tanpa lahan atau tunakisma (penggarap dan buruh tani) serta para petani yang memiliki lahan sempit tidak ditinggalkan (Tabel 7.11.). Data pada Tabel 7.11. menunjukkan bahwa proporsi para petani miskin yang ikut serta dalam program pemerintah masih merupakan bagian terbesar. Kondisi ini jauh lebih baik dibanding program-program pemerintah yang hanya memberikan kesempatan kepada perusahaan besar untuk mengambil lahan di desa dan menjadikan masyarakat desa hanya sebagai buruh tani. 7.3.2.
Peranan Lembaga Lokal dalam Diferensiasi Sosial Masyarakat Agraris Di semua komunitas petani kasus terdapat beragam kelembagaan lokal yang
secara langsung berperan dalam proses distribusi penguasaan sumberdaya agraria, dan lebih lanjut proses tersebut akan mempengaruhi proses diferensiasi sosial masyarakat agraris (Tabel 7.12). Peranan kelembagaan lokal tersebut dapat terjadi sejak tahap pencarian sumberdaya agraria yang cocok untuk pembangunan kebun, distribusi sumberdaya agraria di antara anggota komunitas, proses pembangunan kebun/pencetakan sawah, sampai tahap pengusahaan/pengelolaan kebun/sawah 112
. Akan tetapi, akhir-akhir ini peranan kelembagaan lokal pada seluruh tahapan
tersebut semakin berkurang, terutama sejak diberlakukannya Undang Undang Pemerintahan Desa Nomor 5 Tahun 1979. Sejak saat itu, peranan Kepala Desa semakin menggantikan peranan para pemimpin lokal.
112
Sebagaimana dikemukakan Humairah Sabri dan Aminuddin (1992), di Sulawesi Tengah, di masa lalu, Izin membuka tanah diperoleh dari Kepala Adat sebagai penguasa tanah (bukan pemilik tanah). Dalam hal memperoleh hak milik atas tanah melalui cara membuka tanah, maka Ketua Adat berperan dalam mengawal implementasi ketentuan hukum adat yang menetapkan syarat berikut : harus memperoleh izin dari ketua adat, tanah/hutan yang dibuka harus diolah/digarap secara terus menerus, mereka yang membuka tanah harus menanami tanaman keras/tanaman tahunan, tanah/hutan yang dibuka belum pernah ditandai orang lain, dan tanah yang dibuka harus diberi tanda (patok) untuk menunjukkan batas dan luasnya tanah. Bilamana patok dan tanaman diatasnya hilang maka pemilik tanah dapat kehilangan hak atas tanahnya. Demikian halnya bila tanah tersebut ditelantarkan selama 5 tahun maka hak pemilikannya gugur dan dapat diganti petani lain. Dalam hukum adat ini masih dimungkinkan adanya tanaman yang menumpang di atas tanah orang lain (Pada suku Kaili di Donggala disebut ”tana niinda”).
185
Tabel 7.12.
Kelembagaan Lokal yang Berkaitan dengan Penguasaan Sumberdaya Agraria, 2007.
Desa
Kelembagaan Lokal Kebun
Sawah
Ketua Adat
Ketua Adat
Ketua Adat
Ketua Adat, Ketua Kelompok Tani
Desa Cot Baroh/ Tunong
Peutua Senuebok Imum Mukim
-
Desa Ulee Gunong
Peutua Seneubok Imum Mukim
Kejruen Blang
Sulawesi Tengah Desa Tondo •
Desa Jono Oge
Nangroe Aceh Darussalam
Sumber Informasi : Diskusi dengan Informan Kunci
Menurunnya peran Ketua Adat yang digantikan Kepala Desa 113 dalam pengaturan penguasaan sumberdaya agraria sangat menonjol dalam komunitas petani kasus di Sulawesi Tengah (Desa Jono Oge dan Desa Tondo). Bahkan di kedua komunitas tersebut, pengaturan distribusi penguasaan sumberdaya agraria (lahan) sudah sepenuhnya berada di tangan Kepala Desa yang didukung perangkat pemerintah di atasnya 114. Sebenarnya, di Desa Tondo maupun Desa Jono Oge masih terdapat seseorang yang dipilih langsung masya-rakat sebagai Ketua Adat tetapi posisi ketua adat berada dibawah kepala desa (walaupun tidak termasuk perangkat desa). Pada saat penelitian berlangsung, peranan Ketua Adat lebih banyak berlangsung pada kegiatan upacara adat (seperti perkawinan) serta penyelesaiaan konflik rumahtangga (konflik suami istri). Pada aktivitas usaha pertanian kadang-kadang Ketua Adat diminta peranannya dalam hal-hal berikut : proses pewarisan lahan, penyelesaian sengketa lahan, dan penyelesaian sengketa antara
113
Fenomena tersebut sama dengan yang dikemukakan Adimiharja (1999) bawa setelah adanya UU No 5 Tahun 1979 tentang pemerintahan desa, peranan ketua adat digantikan oleh kepala desa. Keadaan tersebut menyebabkan disfungsinya pemerintahan adat dan kemudian menyebabkan split personality di kalangan masyarakat
114
Permintaan izin kepada Kepala Desa untuk lahan yang luasnya hanya dua ha, bila luas lahan yang diminta lebih dari 2 ha – 5 ha permintaan izin harus diajukan kepada Camat, dan bila lebih dari lima ha permintaan idzin harus diajukan kepada Bupati
186
pemilik ternak dan pemilik kebun/sawah (bila terdapat ternak yang merusak kebun/sawah). Namun demikian, pada saat ini untuk hal-hal tersebut pun masyarakat lebih banyak meminta fasilitasi/mediasi dari Kepala Desa. Kemudian, dalam menjalankan koordinasi pengelolaan usahatani sawah (pembersihan saluran air, penetapan waktu tanam), di Desa Jono Oge lebih banyak dilakukan oleh ketua kelompok tani. Berbeda dengan di Sulawesi Tengah, dalam komunitas petani kasus di Nangroe Aceh Darussalam (Desa Ulee Gunong dan Desa Cot Baroh/Tunong) peranan Kepala Desa yang dijalankan oleh seorang Keucik 115 . masih relatif berimbang dengan peranan pemimpin lokal lainnya seperti Peteua Seneubok dan Imum Mukim. Permintaan idzin melalui Keucik hanya dominan manakala pembangunan kebun difasilitasi oleh program pemerintah, sedangkan peranan Peutua Seneubok akan dominan pada saat penguasaan lahan ditempuh melalui mekanisme ganti rugi atas lahan petani lain (anggota seneubok) atau pembukaan lahan baru sekitar lahan yang sudah dibuka kelompok yang dipimpin Peutua Seneubok. Kemudian, peranan Imam Mukim akan dominan bilamana pembukaan lahan baru berada pada wilayah beberapa desa. Dalam proses pembangunan kebun, kelembagaan lokal ”Seneubok” yang diketuai oleh ”Peutua” Seneubok tidak hanya berperan dalam mendistribusikan lahan tetapi juga dalam melakukan koordinasi kegiatan yang mengupayakan agar lahan tersebut dapat diusahakan secara produktif. Dalam hal ini, Peutua Seneubok akan melakukan koordinasi aktivitas teknis (pencarian dan pembukaan lahan, pemagaran, penetapan musim tanam yang tepat) maupun aktivitas upacara adat (kenduri). Akan tetapi, peranan Peutua Seneubok umumnya sangat berkurang setelah kebun menghasilkan karena kegiatan yang perlu dilakukan bersama (di antara petani) tidak ada lagi. Pada saat itu, peranan Peutua Seneubok hanya memimpin upacara adat (kenduri) yang dilakukan sekali/tahun. Pada kegiatan pembangunan kebun yang mendapat fasilitasi pemerintah, nama Peutua Seneubok
115
Keuchik adalah Kepala Gampong (setara Kepala Desa) yang dipilih secara langsung oleh masyarakat untuk masa jabatan enam tahun. Ketua Mukim adalah seorang pemimpin yang berperan sebagai koordinator beberapa desa. Peutua Seneubok adalah orang yang ditunjuk anggotanya dalam memimpin pembukaan hutan dan/atau pembangunan kebun.
187
akan berubah menjadi Ketua Kelompok Tani, tetapi umumnya diperankan oleh orang yang sama. Dalam proses penyiapan lahan untuk tanaman perkebunan, Peutua Seneubok bersama dengan beberapa petani lain akan mencari lokasi yang dianggap baik. Lahan yang dipilih pertama adalah yang memiliki kriteria berikut :
Diutamakan tanah bekas ”orang tua” menanam padi ladang karena ”orang tua” mereka hidup sebagai peladang berpindah (dengan siklus tiga tahun).
Lahan yang dibuka bukan tempat yang terlalu miring tetapi agak miring dan menghadap ke timur (menghadap matahari terbit). Bila tanah tersebut terlalu miring musim buahnya lebih pendek Setelah itu, Peutua Seneubok beserta para petani perintis lainnya mengum-
pulkan sekitar 10 orang petani yang berminat membuka kebun. Pembukan kebun diawali dengan kenduri yang oleh penduduk lokal disebut kenduri Peusejuk Parang. Dalam kenduri disediakan nasi ketan, kelapa pakai gula (buluka). Tujuan utama melaksanakan kenduri adalah memohon doa bersama supaya dalam melaksanakan usahatani terhindar dari berbagai gangguan, termasuk gangguan hama dan penyakit tanaman. Dalam kenduri buka kebun biasanya dibacakan doa sebagai berikut : Weh kamou menjak minta rezeki bek na soe ganggu-ganggu, mudah-mudahan kamou nayre bermudah rezeki pemberi le Allah yang artinya Kalau kamu mengharapkan rezeki janganlah mengganggu kami, mudah-mudahan kamu mendapat rezeki dari Allah. Pembangunan kebun pada umumnya dilakukan secara berkelompok (dalam waktu bersamaan) tetapi sebagian besar pekerjaan dilakukan oleh masing-masing keluarga inti. Hanya pekerjaan tertentu yang dikerjakan secara tolong menolong (pertukaran tenaga) misalnya menebang kayu besar dan menggali lubang (untuk tanam coklat). Pembukaan kebun secara berkelompok menjadi pilihan petani mengingat : di hutan masih banyak binatang buas, jika terjadi kecelakaan ada yang menolong, mengawasi/menengok kebun secara bergantian, membuat pagar bersama lebih murah, ada saksi kepemilikan kebun Sementara itu, dalam usaha pertanian padi sawah, kelembagaan lokal yang berperanan adalah ”Kejruen Blang” yang diketuai oleh ”Peutua” Kejruen Blang.
188
Keberadaan kelembagaan ini terus berlanjut sejak aktivitas pencetakan sawah sampai dengan pengusahaan/pemanfatan sawah dan relatif hadir secara berkelanjutan karena kehadiran seseorang yang melakukan kordinasi selalu diperlukan (mengatur waktu tanam, penyediaan air, pelaksanaan bajak lahan). Mengingat tugasnya yang cukup berat, maka Peutua Kejruen Blang mendapat imbalan berupa : insentif pengurusan sewa traktor sebesar Rp. 5.000,-/nale (= Rp. 20.000,-/hektar) dan padi hasil panen sebesar 5 bambu/nale (= 20 bambu/ha =16 kg/ha). Peutua Kejruen Blang (juga Peutua Seneubok) dipilih dari anggota petani yang berpengalaman, dan proses pemilihan dilakukan melalui musyawarah para anggota. Pada kegiatan usahatani padi sawah tugas seorang Kejruen Blang adalah sebagai berikut : a) mengajak masyarakat untuk turun ke sawah (menanam padi sawah), b) memgkoordinir petani untuk membersihkan parit, c) memerintahkan petani untuk membajak sawah, d) mempimpin kenduri di sawah. Jenis kenduri yang dilakukan oleh petani sawah adalah : Kenduri Buka Sawah, Kenduri Tanam Bibit (di pembibitan), Kenduri Tanam Padi, Kenduri Padi Bunting (keumaweeh), dan Kenduri Panen. Kelembagaan lokal yang masih ada di empat komunitas petani kasus masih memberi kesempatan para petani miskin untuk mempunyai kebun. Akan tetapi, akses yang yang diberikan kepada para petani tunakisma miskin (tanpa lahan) lebih kecil dari pada yang diberikan kepada para petani pemilik sedang dan kaya. Manakala petani tunakisma miskin dilibatkan sebagai peserta dalam kegiatan pembukaan lahan baru, umumnya luas lahan yang diperuntukkan bagi mereka relatif sempit. Dalam hal ini, bila petani pemilik mendapat lahan minimal seluas satu hektar tetapi petani tunakisma miskin hanya memperoleh lahan seluas setengah hektar. Hal ini terjadi karena di dalam komunitas petani berkembang keyakinan bahwa kemampuan petani tunakisma miskin sangat terbatas akibat mereka harus mencurahkan sebagian waktunya untuk mencari nafkah guna memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Oleh sebab itu, kalau mereka diberikan kesempatan membangun kebun yang luas mereka tidak akan mampu membangun/memelihara kebun dengan baik sehingga kebun tersebut akan terlantar. Dengan membangun/ memlihara kebun yang tidak terlalu luas mereka masih mampu membagi waktu untuk mencari nafkah dan memelihara kebun.
189
7.4. Ihtisar : Bentuk Stratifikasi dengan Pemilikan Lahan yang Semakin Timpang, di Persimpangan Jalan Menuju Polarisasi Beradasarkan realitas hubungan sosial dalam segi penguasaan sumberdaya agraria (penguasaan tetap dan penguasaan sementara), beragam lapisan yang menyusun struktur sosial komunitas petani kakao (struktur sosial masyarakat agraris) ada-lah sebagai berikut : 1) petani pemilik, 2) petani pemilik + penggarap, 3) petani pemilik + penggarap + buruh tani, 4) petani pemilik + buruh tani, 5) petani penggarap, 6) petani penggarap + buruh tani, dan 7) buruh tani. Realitas tersebut menunjukkan bahwa bentuk struktur sosial masyarakat agrariris yang ada cenderung merupakan struktur masyarakat yang terstratifikasi atau melipatnya sub-kelas komunitas petani menjadi banyak lapisan. Pada saat ini, proporsi petani pemilik yang memiliki status tunggal hanya sebagai petani pemilik ternyata sudah sangat kecil (tidak dominan lagi). Status petani pemilik lainnya merupakan status kompleks (status kombinasi) yang dibangun oleh beragam status dalam hubungan sosial produksi agraria. Meskipun realitas bentuk struktur sosial masyarakat agraris di empat komunitas petani kasus masih terstratifikasi atas banyak lapisan, tetapi juga terdapat beberapa hubungan sosial produksi agraria yang cenderung memberi jalan terjadinya perubahan struktur sosial masyarakat agraris menuju bentuk yang semakin terpolarisasi. Akan tetapi, masih kuatnya hubungan sosial produksi yang berpijak pada ikatan tradisional melalui ikatan kekerabatan serta solidaritas di antara anggota se komunitas untuk turut menyediakan sumber penghasilan anggota lain (terutama kerabat), turut mendorong pilihan utama petani pada pola hubungan sosial produksi yang menjembatanai lahirnya bentuk struktur sosial masyarakat agraris yang terstratifikasi. Beberapa pola hubungan sosial produksi sumberdaya agraria yang memberi jalan kepada diferensiasi sosial masyarakat agraris menuju bentuk stratifikasi adalah : pola bagi kebun (pada tahap pembangunan kebun), pola bagi hasil di kebun, serta pola pewarisan. Sementara itu, beberapa pola hubungan sosial produksi sumberdaya agraria yang mendorong diferensiasi sosial masyarakat agraris menuju bentuk polarisasi adalah : pola bagi tanaman (pada tahap pembangunan kebun), pola bagi hasil sumberdaya agraria sawah, sistem sewa sumberdaya
190
agraria sawah dan kebun (terutama pada kebun kelapa), sistem gadai, dan transfer lahan melalui transaksi jual-beli dan/atau ganti-rugi, serta semakin luasnya penggunaan buruh upahan. Hal lain yang juga turut mendorong diferensiasi sosial masyarakat agraris menuju bentuk yang semakin terpolarisasi adalah : 1) semakin rendahnya akses petani miskin terhadap cadangan sumberdaya agraria baru (lahan hutan), 2) program pemerintah dalam pembangunan kebun baru seringkali memberikan akses yang lebih besar terhadap lapisan petani menengah dan lapisan petani kaya, dan 3) praktek kekuatan produksi teknologi intensif yang semakin mengakumulasikan hasil atau surplus pada pemilik sumberdaya agraria dan/atau pemilik modal finansial. Lebih lanjut, meskipun realitas struktur sosial masyarakat agraris saat ini masih cenderung berbentuk stratifikasi, tetapi ketimpangan dalam pemilikan sumberdaya agraria sudah semakin nampak. Realitas tersebut ditunjukkan oleh fakta berikut :
Petani pemilik yang memiliki status tunggal “hanya sebagai petani pemilik” umumnya sudah menjadi bagian kecil dari komunitas (tidak dominan lagi), kecuali di Desa Tondo. Di desa Tondo proporsi lapisan petani pemilik dengan status tunggal masih 57,5 %, sedangkan di desa Jono Oge hanya 36,4 %, di desa Ule Gunong hanya 34,1 %, dan di desa Cot Baroh/Tunong hanya 37,2 %.
Proporsi petani pemilik yang luas sumberdaya agrarianya relatif sempit (kurang dari dua hektar) umumnya cukup besar, bahkan di sebagian besar desa kasus masih merupakan bagian terbesar (dari komunitas petani). Realitas ini terjadi pada pemilikan sumberdaya agraria total maupun pada pemilikan sumberdaya agraria produktif. Bahkan pada pemilikan sumberdaya agraria produktif realitas tersebut nampak lebih menonjol.
Proporsi petani tunakisma yang tidak menguasai sumberdaya agaria (petani penggarap dan buruh tani) pada empat komunitas petani kasus sudah cukup besar, yaitu antara 6,8 % (Desa Ulee Gunong) sampai dengan 34,2 % (Desa Jono Oge).
191
Berdasarkan analisa gini ratio, ketimpangan pemilikan sumberdaya agraria sudah muncul di desa-desa kasus. Bahkan, realitas ketimpangan tersebut umumnya semakin besar bila analisa gini ratio dilakukan pada pemilikan sumberdaya agraria produktif. Kemudian bila ketimpangan pemilikan tersebut dibandingkan di antara komunitas petani kasus, ketimpangan tertinggi terjadi di komunitas petani di Desa Jono Oge - Sulawesi Selatan. Realitas tersebut muncul baik pada pemilikan sumberdaya agraria total maupun pemilikan sumberdaya produktif. Pada awalnya, pada saat sumberdaya agraria masih melimpah, adanya prog-
ram pemerintah dalam pengembangan tanaman kakao telah meningkatkan penguasaan bahan/alat produksi serta keterampilan para petani, sehingga para petani peserta maupun non peserta dapat memperluas kebun miliknya. Akan tetapi, program pemerintah yang dilaksanakan akhir-akhir ini semakin tidak pro petani tunaskisma miskin. Bersamaan dengan itu, meskipun di semua komunitas petani kasus terdapat beragam kelembagaan lokal yang secara langsung maupun tidak langsung berperan dalam proses pengusasaan sumberdaya agraria, tetapi kelembagaan tersebut tidak memiliki tatanan yang secara khusus pro petani tunakisma miskin. Walaupun demikian, program pemerintah yang sepenuhnya ditujukan untuk anggota komunitas petani dan proses pengambilan keputusannya banyak ditentukan komunitas petani tidak berimplikasi pada terkutubnya struktur sosial masyarakat agraris menjadi dua lapisan : petani pemilik yang kaya dan buruh tani yang miskin.
192
Tabel 7.13.
Perubahan Struktur Sosial Masyarakat Agraris di Empat Komunitas Petani Kasus, 2007
Aspek
Tondo
Jono Oge
Cot Baroh/ Tunong
Ulee Gunong
Ragam Lapisan
Pemilik, Pemilik+penggarap, Pemilik+penggarap+BT, Pemilik+BT, Penggarap, Penggarap+BT, BT
Pemilik, Pemilik+penggarap, Pemilik+penggarap+BT, Pemilik+BT, Penggarap, Penggarap+BT, BT
Pemilik, Pemilik+penggarap, Pemilik+penggarap+BT, Pemilik+BT, Penggarap, Penggarap+BT, BT
Pemilik, Pemilik+penggarap, Pemilik+penggarap+BT, Pemilik+BT, Penggarap, BT
Tunakisma
Penggarap = 7,3 % Buruh Tani = 11,7 % 16 ha
Penggarap = 6,9 % Buruh Tani = 27,3 % 74 ha
Penggarap = 17,4 % Buruh Tani = 4,4 % 8,8 ha
Penggarap = 0,4 % Buruh Tani = 6,4 % 13,5 ha
Total Produktif Total Produktif
Total Produktif Total Produktif
Total Produktif Total Produktif
Total Produktif Total Produktif
Luas Milik Maksimum Rata-rata Luas Pemilikan Ketimpangan Pemilikan Lahan (Gini Ratio) Arah Perubahan
= 1,288 ha = 1,069 ha : 0,44 (M) : 0,59 (T)
Mekanisme yang mendorong Stratifikasi Dominan
= 2,168 ha = 1,813 ha : 0,69 (T) : 0,71 (T)
Mekanisme yang mendorong stratifikasi masih dominan, tetapi mekanisme polarisasi sudah menonjol
= 1,697 ha = 0,774 ha : 0,57 (T) : 0,42 (M)
Mekanisme yang mendorong Stratifikasi Dominan
= 1,373 ha = 0,770 ha : 0,32 (R) : 0,55 (T)
Mekanisme yang mendorong Stratifikasi Dominan
193
BAB VIII DIFERENSIASI KESEJAHTERAAN PETANI 8.1. Sumber-sumber Penghasilan Agraria 8.1.1.
Menghilangnya Penghasilan dari Sumberdaya Agraria Milik Komunal Sumber-sumber penghasilan yang saat ini tersedia di desa-desa kasus ham-
pir seluruhnya berasal dari sumberdaya yang telah dimiliki secara individual, termasuk pada sumberdaya agraria. Beberapa jenis penghasilan masyarakat yang berasal dari sumberdaya agraria komunal yang sampai saat ini masih tersedia di semua desa kasus hanya hasil hutan dan hasil sungai. Bersamaan dengan itu, penghasilan dari sumberdaya komunal tersebut sudah sangat sedikit dan cara memperolehnya sudah sangat sulit karena lokasinya relatif jauh (terutama untuk hasil hutan). Oleh sebab itu, penghasilan dari sumberdaya agraria komunal tidak lagi menjadi sumber penghasilan utama masyarakat desa lokasi penelitian, tetapi hanya sebagai sumber penghasilan alternatif manakala sumber penghasilan utama mengalami penurunan tajam atau bahkan sedang tidak tersedia. Walaupun demikian, di desa-desa kasus di Nangroe Aceh Darussalam (NAD) penghasilan dari sumberdaya hutan relatif lebih tersedia dibanding di desa-desa kasus di Sulawesi Tengah. Bagi warga Desa Tondo di Sulawesi Tengah, penghasilan dari sumberdaya hutan yang masih tersedia hanya mengumpulkan rotan dan menjadi buruh angkut kayu. Bahkan saat ini warga Desa Jono Oge di Sulawesi Tengah tidak lagi mencari penghasilan dari hasil sumberdaya hutan. Sementara itu, di desa-desa kasus di Nangroe Aceh Darussalam, jenis penghasilan dari sumberdaya hutan masih relatif banyak, yaitu selain mengumpulkan rotan dan mengangkut kayu juga mengumpulkan ijuk. Walaupun demikian, penghasilan sebagai buruh angkut kayu sangat tergantung seberapa banyak warga desa dan/atau luar desa yang melakukan penebangan hutan secara liar (illegal logging). Dengan semakin giatnya pnertiban illegal logging maka peluang menjadi buruh angkut kayu dari hutan semakin menghilang. Khusus di Sulawesi Tengah, terdapat sumber penghasilan “milik komunal” yang sebenarnya berasal dari sumberdaya agraria “milik individual”, yaitu mencari kelapa jatuh di kebun milik petani lain. Nampaknya realitas sosial ini
194
merupan bentuk trnasisi dari perubahan milik komunal ke milik perorangan yang masih dapat digunakan lapisan petani miskin sebagai katup pengaman dalam upaya memenuhi kebutuhan pokok keluarganya, terutama manakala tidak ada sumber penghasilan lain. Aktivitas pengumpulan kelapa jatuh sudah berlangsung sejak lama, namun jumlahnya semakin sedikit seiring dengan terus berkurangnya luasan dan produktivitas kebun kelapa. Walaupun demikian, pada saat ini, di Desa Jono Oge dan Desa Tondo warga desa yang masih mencari penghasilan dari kelapa jatuh, masing-masing sekitar 20 % dan 35 %. Untuk memperoleh 10 butir kelapa 116 jatuh bukanlah pekerjaan yang sulit. Aktivitas tersebut umumnya dilakukan pagi hari pada saat masih agak gelap sampai dengan sekitar jam tujuh pagi. Setelah hilangnya penghasilan dari sumberdaya agraria milik komunal yang memberikan kesempatan kepada semua anggota komunitas untuk memperoleh penghasilan minimum, nampaknya pekerjaan sebagai buruh tani berperan sebagai “katup pengaman” penghasilan minimum di pedesaan. Berperannya pekerjaan buruh sebagai katup pengamanan berlangsung melalui mekanisme berikut : 1) Para pemilik lahan luas secara moral dituntut memberikan kesempatan berburuh bagi warga se komunitas dalam rangka menolong mereka memperoleh penghasilan untuk memenuhi kebutuhan pokok keluarganya, walaupun dala kenyataannya kadangkala para pemilik lahan luas tidak sepenuhnya memerlukan jasa para buruh. Desakan moral memberikan kesempatan kerja buruh semakin kuat manakala buruh yang mencari pekrjaan merupakan kerabat dan/atau tetangga, 2) Bilamana terjadi kenaikan harga-harga kebutuhan pokok, penyesuaian kenaikan nilai upah buruh di wilayah pedesaan berjalan relatif cepat dan mudah. Adanya tolerasi/solidaritas pemberi pekerjaan (petani luas) terhadap para buruh tani untuk dapat memenuhi kebutuhan pokok (untuk mempertahankan hidup keluarganya) turut memudahkan berlangsungnya proses persetujuan atas usulan para buruh tani untuk mendapatkan kenaikan upah. Data pada Tabel 8.1. merupakan contoh berlangsungnya perubahan nilai upah buruh yang terjadi sekitar dua tahun lalu akibat tingginya kenaikan harga kebutuhan pokok. 116
Dari 10 butir kelapa yang diperoleh kemudian diolah menjadi minyak goreng akan dihasilkan 2 botol minyak goreng. Kemudian bila minyak goreng tersebut dijual akan diperoleh uang sebesar Rp. 15.000,- (Rp. 7.500,-/botol).
195
Tabel 8.1.
Perkembangan Upah Buruh di Desa Kasus di Sulawesi Tengah, 2007.
Jenis Pekerjaan
Nilai Sekarang (Rp)
Menyiang Kebun
Nilai Sebelumnya (Rp)
25.000
20.000
1.500
1.000
Mengumpulkan hasil panen
15.000
7.500
Kupas-Cincang-Jemur Kopra
60.000
35.000
1.000
500
50.000
35.000
Memanjat Pohon Kelapa
Mengarungi kopra Angkut Hasil Kebun Sumber data : Diskusi Kelompok dengan Informan Kunci
8.1.2.
Peranan Sumberdaya Agraria dalam Struktur Penghasilan Petani Pada saat penelitian berlangsung, penghasilan dari sumberdaya agraria milik
komunal sudah menghilang. Walaupun demikian, sumber penghasilan anggota komunitas petani di desa-desa kasus masih mengandalkan sumberdaya agraria tetapi sumberdaya agraria tersebut sudah dimiliki secara individual.
Struktur
penghasilan petani di desa-desa kasus umumnya masih didominasi oleh penghasilan sumberdaya agraria dari on-farm dalam bentuk hasil usahatani (padi sawah, perkebunan, dan ternak).
Bahakan di Desa Jono Oge proporsi peng-
hasilan dari sumberdaya agraria on farm mencapai 85 % (Gambar 8.1.). Penghasilan sumberdaya agraria dari off farm dalam bentuk hasil agro-industri, perdagangan hasil pertanian, dan buruh tani serta penghasilan dari sumber non farm umumnya masih relatif kecil. Penghasilan non farm umumnya berasal dari gaji pegawai, tukang, pedagang non hasil tani (warung/keliling).
196
100%
80%
hutan
60%
non farm off farm
40%
on farm 20%
0% Tondo
Gambar 8.1.
Jono Oge
Ulee Gunong
Cot Baroh/Tunong
Struktur Penghasilan Petani di Empat Komunitas Petani Kasus, 2007 (Sumber Data : Rumahtangga Petani Responden)
Mengacu pada data dari responden (Tabel 8.2.), meskipun luas sumberdaya agraria yang digunakan untuk usahatani kakao paling dominan, ternyata di desadesa kasus di Sulawesi Tengah peranan penghasilan on farm dari usahatani kakao tidak dominan. Hal ini terjadi akibat serangan hama Penggerek Buah Kakao (PBK) yang telah menurunkan produksi kakao sebanyak sekitar 60 %. Sebaliknya, di desa-desa kasus di NAD peranan penghasilan on farm dari usahatani kakao masih cukup dominan karena serangan PBK di wilayah ini masih relatif lebih rendah.
Kemudian di Desa Jono Oge, meskipun luas kebun kelapa di desa
tersebut relatif kecil tetapi penghasilan dari on farm kebun kelapa cukup besar. Hal ini terjadi karena di desa tersebut banyak petani yang menguasai kebun kelapa melalui sistem sewa (bapajak). Bahkan banyak kasus penyewaan kebun kelapa yang mereka lakukan tidak terbatas hanya di dalam wilayah desa tetapi juga berlangsung sampai ke wilayah desa lain. Sebagian besar penghasilan off farm di desa-desa kasus masih relatif kecil dan umumnya tidak bersal dari agroindustri tetapi masih bertumpu pada penghasilan sebagai upah buruh tani (Tabel 8.2). Agroindustri yang ada di desa-desa kasus masih terbatas pada usaha penyewaan traktor dan alat pasca panen padi (penggilingan padi). Sampai saat ini, produk usahatani perkebunan yang dihasilkan para petani masih dijual dalam bentuk bahan mentah hasil panen dari kebun.
197
Pengolahan hasil yang dilakukan para petani masih sangat sederhana dan umumnya hanya penjemuran. Sementara itu, peluang sumber penghasilan non-farm yang tersedia bagi keluarga petani, baik yang ada di dalam desa maupun di luar desa (termasuk kiriman anak) jumlahnya masih sedikit. Pada umumnya sumber penghasilan non-farm yang ada di desa-desa kasus adalah upah tukang, hasil perdagangan kecil-kecilan (dalam bentuk warung atau pedagang keliling yang menjual kebutuhan pokok), dan gaji pegawai (terutama pegawai guru dan pegawai di lingkungan kantor kecamatan). Tabel 8.2.
Sumber Penghasilan Petani di Empat Komunitas Petani Kasus, 2007
Jenis Penerimaan On Farm • Kakao
Tondo 62.995.000
Jono Oge 74.213.000
Ulee Gunong
Cot Baroh/ Tunong
221.485.000
139.950.000
• Kopi
81.527.500
3.500.000
• Pinang
10.575.000
8.832.000
2.400.000
4.100.000
• Cengkeh
67.658.000
197.115.000
• Kelapa
58.392.500
282.389.800
480.000
50.000.000
50.435.500
189.235.000
• Buah • Padi • Sayuran • Ternak
8.825.000
123.978.742
2.750.000
8.137.500
6.620.000
32.700.000
4.725.000
51.510.000
2.000.000
• Ustan Lain
200.000
Off Farm • Agroindustri
5.200.000
36.180.000
27.000.000
750.000
• Buruh Tani
43.316.000
30.435.000
108.960.000
103.230.000
• Pegawai/Tukang
42.000.000
43.620.000
111.800.000
67.600.000
• Kiriman Anak
12.800.000
1.200.000
1.250.000
• Lainnya
57.800.000
58.950.000
98.320.000
21.660.000
3.840.000
Non Farm
Hutan
9.624.000
35.500.000
Sumber Data : Rumahtangga Petani Responden
Pekerjaan sebagai buruh tani di desa-desa kasus lebih dikenal dengan istilah “mencari upahan” atau “makan gaji”. Peluang pekerjaan berburuh tani di desadesa penelitian terutama terdapat pada berbagai kegiatan usahatani padi sawah,
198
baik pada kegiatan penanaman, pemeliharaan maupun pemanenan. Sementara itu, peluang pekerjaan berburuh pada usahatani perkebunan relatif lebih sedikit, karena kegiatan penanaman berlangsung sekali dalam kurun waktu sekitar 30 tahun. Dalam tahap pengelolaan usahatani perkebunan, peluang berburuh hanya berlangsung pada kegiatan pemeliharaan (seluruh tanaman perkebunan) dan pada kegiatan pemanenan (terutama pada tanaman kelapa dan cengkeh). Pekerjaan sebagai buruh tani seringkali dilakukan para petani bukan hanya di lingkungan desa sendiri tetapi sampai ke lingkungan luar desa. Hal ini terutama banyak dilakukan para petani di Desa Ulee Gunong Propinsi NAD dimana di desa tersebut tidak ada usahatni padi sawah. Umumnya masyarakat desa “mencari upahan” pada berbagai lapangan kerja, baik di sektor pertanian (di desa), non pertanian (di desa dan di kota), atau kehutanan (di desa). Oleh sebab itu, pekerjaan berburuh sering disebut masyarakat sebagai pekerjaan ”mocok-mocok”. Mencari hasil hutan dianggap berburuh karena mereka seringkali dibiayai penampung dan kemudian diperhitungkan setelah memperoleh hasil hutan. Di desa-desa kasus di NAD, mencari upahan berkembang pesat setelah banyak kucuran dana bantuan Tsunami. Oleh sebab itu, mencari upahan (berburuh) menjadi pilihan pekerjaan baru bagi para petani karena nilai upahnya meningkat tajam, yaitu menjadi Rp. 50.000/hari (kerja mulai jam 08,000 – 16.00). Padahal sebelumnya nilai upah buruh hanya Rp. 30.000/hari. Bila struktur penghasilan petani dikaitkan dengan pelapisan petani dalam penguasaan sumberdaya agraria, nampak bahwa peranan sumberdaya agraria dalam bentuk pengelolaan usahatani (on farm) sangat menonjol pada lapisan petani pemilik (72 %), petani “pemilik + penggarap” (78 %), dan petani penggarap (75 %). Namun demikian, peranan sumberdaya agraria dimaksud relatif rendah pada lapisan petani “pemilik + penggarap + buruh tani” dan lapisan petani “pemilik + buruh tani, yaitu masing-masing sebesar 52 % dan 43 % (Gambar 8.2.). Pada struktur penghasilan kedua lapisan tersebut peranan sumber penghasilan dari offfarm (terutama dari upah buruh tani cukup besar, yaitu masing-masing mencapai 41 % dan 42 %. Dalam hal ini penghasilan dari off-farm telah berperan menggantikan kekurangan penghasilan petani dari sumberdaya agraria on-farm.
199
100% 90% 80% 70% 60% 50%
Hutan
40%
Non-Farm
30%
Off-Farm
20%
On-Farm
10% 0%
Gambar 8.2.
Struktur Penghasilan Petani Berdasarkan Lapisan dalam Penguasaan Sumberdaya Agraria, 2007 (Sumber Data : Rumah tangga Petani Responden)
Kemudian bila struktur penghasilan petani dikaitkan dengan tingkat kesejahteraan petani hasil rekonstruksi masyarakat (kaya, sedang, dan miskin), nampak bahwa peranan sumberdaya agraria sebagai sumber penghasilan petani dalam bentuk on farm menurun sejalan dengan menurunnya tingkat kesejahteraan para petani. Pada kelompok petani dengan tingkat kesejahteraan kaya, peranan penghasilan dari sumberdaya agraria mencapai 80,2 %, sedangkan pada petani dengan tingkat kesejahteraan sedang peranan penghasilan dimaksud hanya 61,4 %. Bahkan pada kelompok petani dengan tingkat kesejahteraan miskin peranan penghasilan dari sumberdaya agraria terhadap struktur penghasilan mereka hanya sebesar 40,4 % (Gambar 8.3.).
200
100%
1.3
4.8
24.8
17.1
15.2 4.6
80% 12.5 37.7
60%
hutan non farm off farm
80.2 40%
on farm
61.4 40.4
20% 0% Kaya
Gambar 8.3.
Sedang
Miskin
Struktur Penghasilan Berdasarkan Tingkat Kesejahteraan, 2007 (Sumber Data : Rumahtangga Petani Responden)
8.2. Peta Lapisan Masyarakat Agraris Berdasarkan Tingkat Kesejahteraan Masyarakat di empat desa kasus sangat memahmi adanya perbedaan lapisan masyarakat (diferensiasi sosial masyarakat/komunitas) bila dikaitkan dengan tingkat kesejahteraan di antara mereka. Berdasarkan rekonstruksi yang dilakukan oleh masyarakat desa sendiri 117 diperoleh gambaran bahwa berdasarkan tingkat kesejahteraan rumah tangga masyarakat desa di lokasi penelitian terbagi menjadi 3 (tiga) lapisan utama, yaitu : 1) Lapisan Miskin, 2) Lapisan Sedang, dan 3) Lapisan Kaya 118. Di dalam lapisan masyarakat miskin, sebenarnya para informan di desadesa kasus menunjukkan adanya kategori yang lebih miskin dari pada orang yang termasuk dalam kategori miskin (paling miskin), yaitu mereka yang disebut masyarakat desa dengan istilah “fakir”. seseorang dimasukkan dalam kategori
Dalam pemahaman masyarakat desa “fakir” bilamana orang tersebut sama
sekali tidak memiliki penghasilan karena tidak bisa bekerja, mislanya orang tua/ jompo atau orang sakit. Namun demikian, jumlah warga komunitas petani yang tergolong “fakir” umumnya sangat sedikit. 117
Dilakukan melalui dua tahap diskusi kelompok yang diwakili para informan kunci. Diskusi kelompok tahap pertama berlangsung pada tingkat desa dan diskusi kelompok pada tahap ke dua berlangsung pada tingkat dusun
118
Koentjaraningrat dalam Billah (1984) mengemukakan bahwa masyarakat Jawa mengenal sistem pelapisan sosial yang didasarkan pada pemilikan kekayaan, dan berdasarkan sistem tersebut muncul kelompok “wong sugih” dan “wong cilik”
201
Dalam melakukan rekonstruksi keberadaan seorang warga komunitas dalam suatu lapisan kesejahteraan, masyarakat desa di empat lokasi penelitian menggunakan indikator-indikator berikut : a) rata-rata penghasilan/hari, b) penghasilan dari hasil sumberdaya agraria, c) kondisi rumah, d) kemampuan dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari, e) pemilikan alat transportasi, f) dan tingkat pendidikan anak. Berdasarkan indikator – indikator tersebut, maka masing-masing pelapisan dapat dibedakan sebagai berikut : 1.
Lapisan Miskin. Lapisan ini merupakan warga desa yang mempunyai ciri utama berikut : a) rata-rata penghasilan/hari sekitar Rp. 15.000,-, b) sumber penghasilan utama berasal dari hasil sumberdaya agraria produktif milik sendiri (kebun dan/atau sawah) tetapi luasnya sangat terbatas (kurang dari 1 ha), hasil dari sistem bagi hasil kebun/sawah milik petani lain, dan/atau hasil bekerja sebagai buruh tani, c) kondisi rumah gubuk berdinding kayu, d) untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sangat sering berutang, e) tidak memiliki alat transportasi sendiri, f) pendidikan anak maksimal SD.
2.
Lapisan Sederhana (Sedang/Cukup). Lapisan ini merupakan warga desa yang mempunyai ciri utama berikut : a) rata-rata penghasilan/hari sekitar Rp. 30.000,-, b) sumber penghasilan utama dari sumberdaya agraria produktif milik sendiri dengan luas >/ 1 – 2 ha, perdagangan (warung), dan/atau pegawai (umumnya PNS), c) kondisi rumah semi permanen (sebagian berdinding tembok), d) untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari kadangkadang berutang, e) memiliki alat transportasi motor, e) pendidikan anak minimal SMP
3.
Lapisan Mampu (Kaya). Lapisan ini merupakan warga desa yang mempunyai ciri utama berikut : a) rata-rata penghasilan/hari minimal Rp. 50.000,-, b) sumber penghasilan utama dari sumberdaya agraria produktif milik sendiri dengan luas sekitar 5 ha, pedagangan besar, dan/atau pegawai, c) kondisi rumah permanen (berdinding dan berlantai tembok seluruhnya), d) untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari tidak perlu berutang, e) mempunyai alat transportasi mobil, f) sekolah anak sudah sampai perguruan tinggi (minimal Sekolah Menengah Atas), g) sudah menunaikan ibadah haji.
202
Bila dibandingkan dengan ukuran kesejahteraan yang dirumuskan Sajogyo, nampak bahwa tingkat kesejahteraan hasil rekonstruksi masyarakat desa (yang diwakili para informan desa) relatif bersesuaian.
Data pada Tabel 8.3. dan
Gambar 8.4. menunjukkan bahwa para petani yang barada pada lapisan kesejahteraan “miskin” hasil rekonstruksi masyarakat sebagian besar berada pada lapisan “nyaris miskin” menurut ukuran kesejahteraan yang dirumuskan Sajogyo. Kemudian, para petani yang barada pada lapisan kesejahteraan “miskin” hasil rekonstruksi masyarakat sebagian besar berada pada lapisan cukup menurut ukuran kesejahteraan yang dirumuskan Sajogyo. Sementara itu, para petani yang barada pada lapisan kesejahteraan “kaya” hasil rekonstruksi masyarakat ternyata seluruhnya berada pada lapisan cukup menurut ukuran kesejahteraan yang dirumuskan Sajogyo. Tabel 8.3.
Kaitan antara Lapisan Kesejahteraan Hasil Rekonstruksi Masyarakat dan Ukuran Sajogyo, 2007
Miskin
Miskin Sekali
Paling Miskin
(320 -479 kg beras)
(240 -319 kg beras)
(180 – 239 kg beras)
(< 180 kg beras)
2
28
7
6
1
44
• Sedang
47
16
2
0
0
65
• Kaya
10
0
0
0
0
10
Total
59
44
9
6
1
119
Nyaris Miskin
kg beras) • Miskin
Cukup Tingkat Kesejahteraan
(>/ 480
Sumber Data : Rumahtangga Petani Responden
203
Total
40 35 30 25 20
Cukup Nyaris Miskin
15
Miskin Miskin Sekali
10
Paling Miskin
5 0 p T T l ik +B ara rap +B mi ap ga il ik gg r Pe n a m e ng g e e P g P P en l ik+ +P mi il ik Pe m Pe
Gambar 8.4.
BT
Kaitan antara Tingkat Kesejahteraan Hasil Rekonstruksi Masyarakat dan Ukuran Sajogyo, 2007. (Sumber Data : Rumahtangga Petani Responden)
Selain dapat merekonstruksi tingkat kesejahteraan anggota komunitas, masyarakat juga dapat menggambarkan kebutuhan minimal untuk dapat bertahan hidup atau agar tidak kelaparan. Berdasarkan hasil rekonstruksi masyarakat di lokasi penelitian, kebutuhan minimal tersebut adalah Rp. 16.000,-/keluarga/hari (dengan asumsi jumlah anggota keluarga sebanyak 4 orang) atau Rp. 4.000,/orang/hari. Uang tersebut mereka perlukan untuk memenuhi kebutuhan pokok berikut : beras 1,5 kg = Rp. 8.500,- + ikan = Rp. 5.000,- + minyak dan bumbu = Rp. 3.500,-. Jumlah tersebut hanya sedikit lebih rendah dari garis kemiskinan yang ditetapkan Biro Pusat Statistik (BPS)119.
119
Menurut data Biro Pusat Statistik (2005), Garis Kemiskinan di Kabupaten Pidie Propinsi NAD adalah Rp. 1.581.744,- kapita/tahun, sedangkan Garis Kemiskinan di Kabupaten Donggala Propinsi Sulawesi Tengah relatif lebih rendah, yaitu hanya Rp. 1.363.380,-.
204
8.3. Penerimaan dan Pengeluaran Rumahtangga Berbagai Lapisan Petani Dengan menggunakan data yang dikumpulkan dari rumahtangga petani responden, dapat diketahui bahwa penerimaan dan pengeluaran per kapita rumahtangga petani menurun sejalan dengan tingkat kesejahteraan mereka (Tabel 8.4. dan Gambar 8.5.). Kemudian, mengacu pada hasil uji beda nyata (LSD dengan tingkat kepercayaan 20 %) dapat diidentifikasi bahwa perbedaan penerimaan per kapita yang signifikan terjadi antara “lapisan kaya” dengan “lapisan sedang” dan antara “lapisan kaya” dengan “lapisan miskin”, sedangkan perbedaan yang terjadi antara “lapisan sedang” dengan “lapisan miskin” tidak signifikan. Sementara itu, dalam hal pengeluaran per kapita, perbedaan yang signifikan terjadi pada semua lapisan, yaitu antara “lapisan kaya” dengan “lapisan sedang”, antara “lapisan kaya” dengan “lapisan miskin”, dan antara “lapisan sedang” dengan “lapisan miskin” (Lampiran 8.1.). Tabel 8.4.
Rata-Rata Penerimaan dan Pengeluaran Rumahtangga Petani pada Berbagai Lapisan Kesejahteraan, 2007.
Tingkat Kesejahteraan
Penerimaan /Kapita/Tahun (Rp. Juta)
Pengeluaran/ Kapita/Tahun (Rp. Juta)
•
Kaya
19,402
5,670
•
Sedang
3,839
2,980
•
Miskin
1,835
1,666
Sumber Data : Rumahtangga Petani Responden
Sebagaimana terjadi pada pelapisan petani berdasarkan tingkat kesejahteraan, pada pelapisan petani berdasarkan status dalam penguasaan sumberdaya agraria pun penerimaan dan pengeluaran per kapita rumahtangga petani menurun dari satu lapisan ke lapisan lainnya. Penurunan penerimaan dan pengeluaran pada pelapisan ini sejalan dengan semakin kecilnya akses petani dalam penguasaan sumberdaya agraria (Tabel 8.5. dan Gambar 8.6.). Dalam hal ini penggarap dan buruh tani secara berturut-turut merupakan dua lapisan dengan tingkat penerimaan dan pengeluaran paling rendah.
205
20.000 18.000 16.000 14.000 12.000 Y / Capita
10.000
C / Capita
8.000 6.000 4.000 2.000 Kaya
Sedang
Miskin
Keterangan : Y = penerimaan, C = pengeluaran
Gambar 8.5.
Rata-Rata Penerimaan dan Pengeluaran Rumahtangga Petani Pada Berbagai Lapisan Kesejahteraan (per kapita dalam juta), 2007 (Sumber Data : Rumahtangga Petani Responden)
Kemudian, mengacu pada hasil uji beda nyata (LSD dengan tingkat kepercayaan 20 %) menunjukkan bahwa perbedaan penerimaan per kapita yang signifikan terjadi antara lapisan “pemilik” dengan lapisan “Pemilik + Buruh Tani” dan antara lapisan “Pemilik” dengan lapisan “Buruh Tani”. Sementara itu, perbedaan pengeluaran per kapita yang signifikan terjadi antara lapisan “Pemilik” dengan lapisan “Pemilik + Penggarap”, “Pemilik + Penggarap + BT”, “Pemilik + BT”, “Penggarap”, dan “Buruh Tani” serta antara lapisan “Buruh Tani” dengan lapisan “Pemilik + Penggarap”, “Pemilik + Penggarap + Buruh Tani”, dan “Pemilik + Buruh Tani “ (Lampiran 8.2.).
206
Tabel 8.5.
Rata-Rata Penerimaan dan Pengeluaran Rumahtangga Petani pada Berbagai Lapisan Penguasaan Sumberdaya Agraria, 2007
Lapisan Petani
Penerimaan/ Kapita/Tahun
Pengeluaran/ Kapita/Tahun
(Rp. Juta)
(Rp. Juta)
•
Pemilik
6,747 *
3,431 *
•
Pemilik+Penggarap
3,324
2,559
•
Pemilik+Penggarap+BT
2,807
2,345
•
Pemilik+BT
2,816
2,182
•
Penggarap
2,230
1,544
•
BT
1,467
1,424 *
Sumber Data : Rumahtangga Petani Responden
7.000 6.000
R p J u ta
5.000 4.000 Y / Capita
3.000
C / Capita
2.000 1.000 ik BT ap Pem il garap ap+B T Pem il ik+ Pen ggar + Peng ik+ Peng gar ik il m Pe Pem il
BT
Keterangan : Y = penerimaan, C = pengeluaran
Gambar 8.6.
Rata-Rata Penerimaan dan Pengeluaran Rumahtangga Petani pada Berbagai Lapisan Penguasaan Sumberdaya Agraria (Rp Juta), 2007. (Sumber Data : Rumahtangga Petani Responden)
207
Bila penerimaan petani (kapita/tahun) antar komunitas petani kasus dibandingkan nampak bahwa para petani di Desa Jono Oge mempunyai tingkat penerimaan paling tinggi. Walaupun beada di propinsi dan keadaan ekologis yang sama, keadaan tersebut sangat kontras dengan penerimaan rumahtangga petani di Desa Tondo. Bahkan penerimaan rumahtangga di desa Tondao bearada pada tingkat penerimaan paling rendah di antara empat desa kasus. Sementara itu, tingkat penerimaan rumahtangga petani di kedua komunitas petani kasus di NAD relatif sama, meskipun keadaan ekologisnya berbeda. Sejalan dengan itu, hasil uji beda nyata (LSD, dengan tingkat kepercayaan 80%) menunjukkan bahwa penerimaan rumah tangga petani yang berbeda hanya terjadi antara rumahtangga petani di Desa Jono Oge dengan rumahtangga petani di Desa Tondo.
6.43
7.00 6.00
4.18
5.00 4.00
2.89 2.40
3.00
3.98 3.17
2.82
2.41
Y/Capita C/Capita
2.00 1.00 -
Tondo
Jono Oge
Ulee Gunong
Cot Baroh/Tunong
Keterangan : Y = penerimaan, C = pengeluaran
Gambar 8.7.
Rata-Rata Penerimaan dan Pengeluaran Rumahtangga Petani di Empat Komunitas Petani Kasus (Rp Juta), 2007 (Sumber Data : Rumahtangga Petani Responden)
Secara kualitatif, munculnya realitas perbedaang penghasilan antara rumah tangga petani di desa Jono Oge dan desa Tondo sejalan dengan ungkapan yang seringkali dikemukakan oleh masyarakat Tondo maupun masyarakat Jono Oge bahwa para pendatang Bugis yang bertempat tinggal di Desa Jono Oge lebih
208
sejahtera dibanding penduduk lokal yang bertempat tinggal di Desa Tondo. Lebih lanjut mereka menjelaskan bahwa fenomena tersebut terjadi karena orang Bugis lebih rajin dalam bekerja/berusaha dari pada orang Kaili. Fenomena lebih rajinnya orang Bugis juga ditunjukkan oleh prestasi penggarapan sawah. Dalam hal ini, seluruh sumber-daya lahan sawah di desa Jono Oge diusahakan para petani, sedangkan di desa Tondo banyak sumberdaya lahan sawah yang tidak diusahakan dengan alasan tidak ada tersedia traktor. Sementara itu, dalam hal pengeluaran (pengeluaran/kapita/tahun), rumahtangga petani di desa-desa kasus di NAD mempunyai pengeluaran yang lebih tinggi dibanding rumahtangga petani di desa-desa kasus di Sulawesi Tengah. Dengan menggunakan uji beda nyata (LSD, dengan tingkat kepercayaan 80%) menunjukkan bahwa pengeluaran rumah tangga petani yang berbeda terjadi antara rumahtangga petani di Desa Cot Baroh/Tunong dengan rumahtangga petani di Desa Tondo dan Desa Jono Oge. Fenomena tersebut sejalan dengan data garis kemiskinan BPS, dimana angka garis kemiskinan di Kabupaten Pidie - NAD sekitar 15 % lebih tinggi dibanding angka garis kemiskinan di Kabupaten Donggala – Sulawesi Tengah. 8.4. Distribusi Rumahtangga Petani Berdasarkan Tingkat Kesejahteraan Berdasarkan tingkat kesejahteraan yang direkonstruksikan oleh masyarakat (Gambar 8.8.), ternyata hampir di semua komunitas petani kasus rumahtangga petani yang termasuk dalam “lapisan miskin” masih menjadi bagian terbesar, kecuali di desa Tondo dimana rumahtangga “lapisan miskin” dan “lapisan sedang” relatif sama. Bahkan di desa-desa kasus di NAD rumahtangga petani “lapisan miskin” sangat tinggi (di atas 70 %). Di desa-desa kasus di Sulawesi Tengah rumahtangga petani yang termasuk “lapisan sedang” (kelas menengah desa) mendekati 50 %. Sementara itu, proporsi rumahtangga petani yang masuk dalam “lapisan kaya” umumnya masih dibawah 10 %, kecuali di Desa Jono Oge – Sulawesi Tengah dimana lapisan tersebut telah mencapai 12 %.
209
Ulee Gunong
Cot Baroh/Tunong
Kaya Sedang Miskin
Jono Oge
Tondo
-
Gambar 8.8.
20
40
60
80
Distribusi Rumahtangga Berdasarkan Tingkat Kesejahteraan di Empat Komunitas Petani Kasus, 2007 (Sumber Data : Rumahtangga Petani Responden)
Berdasarkan pola pengusaan sumberdaya agraria, proporsi lapisan petani pemilik tetap (status tunggal maupun status kombinasi) masih merupakan bagian terbesar dari komunitas petani. Namun demikian, sebagian besar dari mereka berada pada tingkat kesejahteraan sedang, bahkan sebagian kecil lainnya masih berada pada tingkat kesejahteraan miskin (Gambar 8.9.). Secara keseluruhan, proporsi lapisan petani pemilik dan lapisan petani pemilik + penggarap yang berada dalam tingkat kesejahteraan kaya masing-masing hanya 20 % dan 5 %. Hal ini terjadi karena luas lahan produktif yang mereka miliki umumnya masih sempit (kurang dari satu hektar). Kemudian, adanya lapisan petani + penggarap yang mempunyai tingkat kesejahteraan kaya terjadi karena di desa-desa kasus di Sulawesi Tengah terdapat penggarap (penyewa) kebun kelapa yang berasal dari lapisan petani dengan tingkat kesejahteraan kaya. Para petani pemilik sempit yang berada pada tingkat kesejahteraan miskin dan/atau sedang harus berburuh dan/atau menjadi penggarap sumberdaya agraria milik petani lain agar mereka dapat mencukupi kebutuhan hidup keluarganya. Sementara itu, sebagian besar lapisan buruh tani, lapisan petani pemilik + buruh tani, dan lapisan petani penggarap berada pada tingkat kesejahteraan miskin (proporsi masing-masing 100 %, 63 %, dan 50 %), sedangkan petani lain dalam kategori dimaksud hanya berada pada
210
tingkat kesejahteraan sedang. Gambaran tentang tingkat kesejahteraan berbagai lapisan petani sebagaimana diuraikan di atas relatif sama di semua komunitas petani kasus (Lampiran 8.4. – 8.7.).
100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
kaya sedang miskin
pe p
Gambar 8.9.
mi
i em
li k g ng
ar a
p
g pe ng li k+ pe + li k mi pe
p ar a
+B
T p
i em
B li k+
T p
g en
ga
ra p
pe
ng
g
p ara
T +B
BT
Distribusi Rumahtangga Petani Berdasarkan Pola Penguasaan Sumberdaya Agraria dan Tingkat Kesejahteraan di Empat Komunitas Petani Kasus, 2007 (Sumber Data : Rumahtangga Petani Responden)
Tidak adanya lapisan petani penggarap yang masuk dalam tingkat kesejahteraan kaya sejalan dengan berbagai ungkapan yang dikemukakan para petani. Menurut para petani, selama ini tidak pernah ada penggarap sawah yang kaya, apalagi manakala alat dan bahan produksi diperoleh dengan cara meminjam dari para pemodal (orang yang memberikan pinjaman modal) yang dibayar pada saat panen (sistem yarnen). Bahkan banyak petani penggarap yang waktu panen tidak membawa hasil ke rumah karena diambil langsung di tempat penggilingan padi oleh para pemodal untuk melunasi hutang. Untuk menggambarkan situasi tersebut para petani mempunyai ungkapan berikut ”belum kering jerami sudah kering di rumah”. Kemudian, bila tingkat kesejahteraan petani tersebut dikaitkan dengan luas pemilikan sumberdaya agraria, nampak bahwa mereka yang tergolong petani dengan tingkat kesejahteraan kaya umumnya adalah petani yang memiliki sumberdaya agraria produktif lebih dari empat hektar (Gambar 8.10). Adanya sejumlah
211
petani yang pemilikan sumberdaya agrarianya kurang dari empat hektar tetapi berada dalam lapisan kesejahteraan kaya terjadi karena selain mereka memperoleh penghasilan dari sumberdaya agraria juga memperoleh penghasilan dari sumber non pertanian, misalnya dari usaha dagang dan gajih pegawai.
100% 90% 80% 70% 60%
kaya
50%
sedang
40%
miskin
30% 20% 10% 0% > 0 - < 0,5
O,5 - < 1
1- <2
2- <3
3-<4
>/ 4
Gambar 8.10. Dsitribusi Rumahtangga Berdasarkan Tingkat Kesejahteraan dan Luas Pemilikan Sumberdaya Agraria Produktif di Empat Komunitas Petani Kasus, 2007 (Sumber Data : Sensus Rumahtangga Petani Melalui Informan Kunci)
8.5. Ketimpangan dalam Penerimaan dan Pengeluaran Mengacu pada tingkat kesejahteraan yang direkonstruksi oleh masyarakat (kaya, sedang miskin) maupun pada fenomena munculnya beragam pola penguasaan sumberdaya agraria (pemilikan tetap dan pemilikan sementara), uraian-uraian yang dijelaskan sebelumnya munjukkan bahwa pada empat komunitas petani kasus telah terjadi pengelompokkan petani ke dalam banyak lapisan. Pengelompokkan yang terjadi pada komunitas petani kasus tersebut belum mengkutubkan petani hanya berada pada dua lapisan. Sejalan dengan temuan-temuan tersebut, dengan menggunakan analisa Gini Ratio (Tabel 8.6.) terhadap data rumahtangga petani responden diperoleh gambaran bahwa tingkat ketimpangan pengeluaran yang terjadi di empat komunitas petani kasus masih dalam kategori “rendah”, baik dalam hal pengeluaran total maupun dalam hal pengeluaran/kapita/tahun. Sementara itu, dengan mengguna-
212
kan alat analisa yang sama, ternyata dalam hal penerimaan rumah-tangga petani (pendapatan total maupun pendapatan/kapita/tahun) ketimpangan yang terjadi dalam komunitas petani di Desa Jono Oge - sebuah desa pendatang etnis Bugis sudah tergolong tinggi.
Tingginya tingkat ketimpangan penerimaan dalam
komunitas petani di Desa Jono Oge diduga berkaitan dengan adanya petani kaya yang kondisinya jauh lebih kaya bila dibandingkan dengan petani kaya yang muncul di desa-desa kasus lain. Tabel 8.6.
Hasil Analisa Gini Ratio Terhadap Pendapatan dan Pengeluaran, 2007.
Penerimaan Pengeluaran Penerimaan/ Total Total Kapita Kabupaten Donggala – Propinsi Sulawesi Tengah Desa
Jono Oge Tondo
Pengeluaran/ Kapita
0,70
0,37
0,69
0,30
T
R
T
R
0,38
0,31
0,37
0,28
R
R
R
R
Kabupaten Pidie – Propinsi Nangroe Aceh Darussalam Cot Tunong/ Baroh
0,29
0,25
0,30
0,22
R
R
R
R
Ulee Gunong
0,39
0,25
0,41
0,25
R
R
M
R
Keterangan : < 0,4 = Rendah (R), 0,4 - 0,5 = Moderate (M), > 0,5 = Tinggi (T)
Kemudian bila data-data ketimpangan dalam penerimaan dan pengeluaran rumahtangga petani dibandingkan dengan data-data ketimpangan dalam pemilikan (tetap) sumberdaya agraria produktif, nampak bahwa umumnya ketimpangan yang terjadi dalam pemilikan (tetap) sumberdaya agraria produktif relatif lebih tinggi dibanding ketimpangan yang terjadi dalam penerimaan dan pengeluaran rumah tangga petani. Hal ini terjadi karena upaya petani dalam memperoleh penghasilan umumnya tidak terbatas hanya dari sumberdaya agraria yang mereka miliki melalui mekanisme pemilikan tetap. Ternyata para petani memperoleh jalan lain melalui mekanisme pemilikan sementara (terutama melalui mekanisme bagi hasil dan sewa). Selain itu, para petani juga dapat memperoleh penghasilan dari sumber penghasilan off farm (terutama berburuh tani) dan dari sumber penghasilan non
213
farm. Kenyataan munculnya realitas ketimpangan distribusi penerimaan dan pengeluaran warga komunitas yang lebih rendah dari ketimpangan distribusi pemilikan warga komunitas menunjukkan bahwa distribusi penguasaan sumberdaya agraria (pemilikan tetap + pemilikan sementara) lebih penting dibanding distribusi pemilkan (tetap). 8.6. Proses Pemiskinan Petani Berdasarkan pengalaman para petani selama ini penurunan kesejahteraan sangat mungkin dan sering terjadi, terutama bila produktivitas usahatani menurun, terjadi gagal panen, dan penurunan harga-harga hasil usahatani120. Oleh sebab itu, para petani menggambarkan kesejahteraan mereka bagaikan sebuah gelombang di lautan: “kadang-kadang naik dan kadang-kadang turun”. Peningkatan kesejahteraan paling dirasakan para petani adalah pada saat awal berlangsungnya krisis moneter 121. Pada saat itu, harga-harga hasil usahatani (terutama tanaman perkebunan) melambung tinggi, sedangkan kenaikan harga kebutuhan pokok dan kebutuhan sarana produksi pertanian tidak terlampau tinggi (Tabel 8.7.). Tabel 8.7. No
Perkembangan Harga Hasil Perkebunan dan Kebutuhan Pokok, 2007.
Uraian
Masa Habibi (1998-1999)
Sekarang (2007)
Hasil Perkebunan 1
Harga Kopi
16.000/kg
13.500/kg
2
Harga Kakao
15.000/kg
14.000/kg
3
Harga Pinang
16.000/kg
2.500/kg
Kebutuhan Pokok 1
Harga Beras
3.750/kg
5.000/kg
2
Harga Minyak Goreng
3.000/kg
9.000/kg
Sumber data : Diskusi Kelompok dengan Informan Kunci 120
Pengurangan potensi harga kakao yang cukup besar terjadi pada saat transaksi antara eksportir dengan pembeli di luar negeri. Menurut Askindo dalam Misnawi (2008), pada tahun 2005 potongan harga kakao mencapai 250 US $/ton karena alasan mutu rendah. Pengurangan harga tersebut lebih lanjut akan mengurangi harga kakao di tingkat petani. Sementara itu, lonjakan harga kakao yang terjadi sejak tahun 1998 lebih banyak terjadi akibat perubahan nilai tukar rupiah terhadap US $.
121
Para petani mengingatnya sebagai zaman pemerintahan Presiden Habibie.
214
Pada komunitas petani yang mengusahakan tanaman kakao, penurunan kesejahteraan yang “drastis” terjadi akibat serangan hama penggerek buah kakao (PBK). Serangan hama tersebut telah menurunkan produksi kakao kebun petani sampai 60%, terutama di wilayah dataran rendah. Oleh sebab itu, produksi kebun kakao rakyat di desa-desa kasus hanya sekitar 400 kg/ha/tahun atau 40% dari potensinya. Secara khusus, pada saat ini para petani kakao di Propinsi NAD belum dapat memperoleh produksi yang baik karena selama konflik berlangsung kebun para petani ditinggalkan, sehingga kondisi kebun petani banyak yang tidak produktif (sebagian tanaman rusak atau bahkan mati). Selain itu, roses pemiskinan yang terjadi pada komunitas petani berkaitan dengan beberapa keja-dian berikut :
Kenaikan harga kebutuhan pokok dan input produksi yang harus dibeli petani meningkat jauh lebih besar dari pada kenaikan harga hasil pertanian yang dijual petani. Ungkapan pertani sejalan dengan data Nilai Tukar Petani 122
(NTP) yang dikeluarkan BPS, tetapi penurunan nilai tukar menurut
informasi petani lebih besar. Menurut data BPS (2007), pada tahun 2005 NTP petani di Propinsi NAD hanya sebesar 93,58 dan di Propinsi Sulawesi Tengah hanya sebesar 98,19 (dibanding Tahun 2003 yang nilainya 100).
Jumlah dan/atau ragam kebutuhan pokok sehari-hari maupun bahan dan alat produksi yang harus dibeli petani semakin banyak. Hal ini semakin terasa terutama pada periode anak petani sudah memasuki tingkat pendidikan SLA dan lokasi sekolah tersebut jauh dari rumah (harus kost).
Produktivitas sumberdaya agraria menurun akibat menurunnya kesuburan (pada sumberdaya kebun dan/atau sawah) serta berkurangnya ketersediaan air (terutama pada sumberdaya lahan padi sawah)
122
Berdasarkan definisi BPS, Nilai Tukar Petani adalah angka perbandingan antara indeks harga yang diterima petani (harga hasil produksi petani) dengan indeks harga yang dibayar petani baik untuk membayar kebutuhan konsumsi rumahtangga maupun untuk kebutuhan proses produksi pertanian. Bila NTP > 100 artinya petani memperoleh surplus karena kenaikan harga produksi lebih besar dari kenaikan harga konsumsi, sebaliknya bila NTP < 100 artinya petani mengalami defisit karena kenaikan harga produksi lebih kecil dari kenaikan harga konsumsi.
215
Kurangnya akses petani terhadap penguasaan modal finansial yang murah yang diperlukan dalam mengelola usahatani sehingga mereka harus meminjam modal kepada pemodal dengan tingkat bunga yang sangat tinggi. Keadaan ini menyebabkan surplus petani yang menjalankan proses produksi terkuras oleh pemilik modal.
Semakin hilangnya katup pengaman penghasilan minimal yang berasal dari sumberdaya agraria komunal. Penghasilan tersebut sangat diperlukan para petani miskin untuk bertahan hidup.
8.7. Ihtisar : Meningkatnya Diferensiasi dan Rendahnya Ketimpangan Kesejahteraan dalam Komunitas Petani Sumber-sumber penghasilan yang saat ini tersedia di desa-desa kasus hampir seluruhnya berasal dari sumberdaya yang telah dimiliki secara perorangan, termasuk pada sumberdaya agraria. Beberapa jenis penghasilan masyarakat yang berasal dari sumberdaya agraria komunal yang saat ini masih tersedia di semua desa kasus hanya hasil hutan dan hasil sungai. Oleh sebab itu, katup pengaman penghasilan minimum dari sumberdaya milik komunal sudah tidak ada lagi. Walaupun demikian, pada sumberdaya agraria milik perorangan masih tersisa “hak komunal” untuk bertahan hidup melalui “pemberian kesempatan menggarap dan berburuh” (di semua desa kasus) dan “kelapa jatuh” (khusus di Sulawesi Tengah). Walaupun sudah dimiliki secara individual tetapi penghasilan rumahtangga petani yang berada pada berbagai lapisan umumnya masih bertumpu pada penghasilan yang berasal dari sumberdaya agraria. Hal ini terjadi baik pada lapisanlapisan petani yang direkonstruksi berdasarkan penguasaan sumberdaya agraria (pemilik, pemilik + penggarap, pemilik + buruh tani, pemilik + penggarap + buruh tani, penggarap, penggarap + buruh tani, dan buruh tani) maupun lapisan-lapisan petani yang direkonstruksi berdasarkan tingkat kesejahteraan (kaya, sedang, dan miskin). Bersamaan dengan itu, penghasilan para petani yang berasal dari sumberdaya agraria tersebut sebagian besar masih dalam bentuk on farm, kecuali penghasilan petani yang berada pada lapisan buruh tani,.
216
Hasil kajian di empat komunitas petani menunjukkan bahwa meskipun sumberdaya agraria masih menjadi basis utama penghasilan para petani tetapi penghasilan tersebut belum dapat melepas landaskan sebagian besar anggota komunitas menuju tingkat hidup sejahtera. Sebagian besar petani pemilik (status tunggal dan status kombinasi) masih berada pada tingkat kesejahteraan sedang, bahkan sebagian kecil lainnya masih berada pada tingkat kesejahteraan miskin. Sementara itu, sebagian besar lapisan tunakisma (buruh tani, petani penggarap + buruh tani, dan petani penggarap) masih berada pada tingkat kesejahteraan miskin sedangkan petani lainnya dalam lapisan dimaksud hanya berada pada tingkat kesejahteraan sedang. Bahkan sebagian dari para petani miskin tersebut berada di bawah garis kemiskinan. Banyaknya petani pemilik sumberdaya agraria yang masih berada pada tingkat kesejahteraan miskin terjadi karena luas sumberdaya agraria yang mereka miliki relatif sempit (umumnya kurang dari dua hektar). Oleh sebab itu, untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarganya, para petani pemilik sempit yang berada pada tingkat kesejahteraan “miskin” dan/atau “sedang” harus merangkap status sebagai buruh tani dan/atau sebagai penggarap dari sumberdaya agraria milik petani lain. Pada saat ini, di desa-desa kasus peluang penghasilan dari sumber non pertanian masih sangat terbatas. Berdasarkan pengalaman para petani selama ini penurunan kesejahteraan sangat mungkin dan sering terjadi, terutama bila produktivitas usahatani menurun, terjadi gagal panen, dan penurunan harga-harga hasil usahatani. Selain itu, roses pemiskinan yang terjadi pada komunitas petani berkaitan dengan beberapa kejadian berikut :
Kenaikan harga kebutuhan pokok dan input produksi yang harus dibeli petani meningkat jauh lebih besar dari pada kenaikan harga-harga hasil pertanian yang dijual petani
Jumlah dan/atau ragam kebutuhan pokok sehari-hari maupun bahan dan alat produksi yang harus dibeli petani semakin banyak.
Produktivitas sumberdaya lahan menurun akibat menurunnya kesuburan lahan/ketersediaan air
217
Kurangnya akses petani terhadap penguasaan modal finansial yang murah yang diperlukan dalam mengelola usahatani
Semakin hilangnya katup pengaman penghasilan minimal yang berasal dari sumberdaya agraria komunal. Meskipun peningkatan ragam pelapisan petani dalam penguasaan sumber-
daya agraria dan peningkatan diferensiasi kesejahteraan petani sudah nampak, tetapi hasil analisa gini ratio terhadap pengeluaran dan penerimaan rumahtangga petani menunjukkan bahwa ketimpangan kesejahteraan dalam komunitas petani umumnya belum berada dalam kategori “Rendah”. Realitas tersebut juga mengindikasikan bahwa dalam komunitas petani di empat desa kasus sedang terjadi proses stratifikasi yang diikuti proses “berbagi kemiskinan”. Hal ini diperkuat dengan adanya fakta bahwa sebagian rumahtangga dalam komunitas petani masih tergolong miskin.
218
Tabel 8.8. Aspek
Diferensiasi Kesejahteraan di Empat Komunitas Petani Kasus, 2007. Tondo
Sumber Penghasilan Utama Hak komunal (dari Buah kelapa jatuh, milik perorangan) Memperoleh sumber penghasilan : kerabat dekat (wajib), warga se komunitas (baik) Sumberdaya Agraria On farm = 59 % Off farm = 12 % (Non Farm = 27 % Hutan = 2 %) Diferensiasi Kesejahteraan Penerimaan/Kapita 2,89 juta Pengeluaran/Kapita 2,40 juta Lapisan Kaya = 6 % Kesejahteraan Sedang = 52 % Miskin = 42 % Ketimpangan Penerimaan = 0,37/R (Gini Ratio) Pengeluaran= 0,28/R Dibawah Garis 17 % Kemiskinan Penguasaan Pemilik : K, S, M sumberdaya agraria Pemilik+penggarap: K, S, M dan kesejahteraan Pemilik+penggarap+BT: S, M Pemilik+BT : S, M Penggarap : S, M Penggarap+BT : M BT : S, M Harga Beras 4.375/kg Upah Buruh 25.000,-/hari Garis Kemiskinan Rp. 1.363.380/ Kapita/tahun
Jono Oge
Cot Baroh/ Tunong
Ulee Gunong
Buah kelapa jatuh, Memperoleh sumber penghasilan : kerabat dekat (wajib), warga se komunitas (baik)
Memperoleh sumber penghasilan : kerabat dekat (wajib), warga se komunitas (baik)
On farm = 85 % Off farm = 7 % (Non Farm = 8 % Hutan = 0 %)
On farm = 55 % Off farm = 17 % (Non Farm = 27 % Hutan = 1 %)
Memperoleh sumber penghasilan : kerabat dekat (wajib), warga se komunitas (baik) On farm = 50 % Off farm = 21 % (Non Farm = 26 % Hutan = 4 %)
6,43 juta 2,41 juta Kaya = 12 % Sedang = 43 % Miskin = 45 % Penerimaan = 0,69/T Pengeluaran= 0,30/R 20 %
3,98 juta 3,17 juta Kaya = 4 % Sedang = 20 % Miskin = 76 % Penerimaan = 0,30/R Pengeluaran= 0,22/R 7%
4,18 juta 2,82 juta Kaya = 3 % Sedang = 25 % Miskin = 72 % Penerimaan = 0,41/M Pengeluaran= 0,25/R 3%
Pemilik : K, S, M Pemilik+penggarap : K, S, M Pemilik+penggarap+BT : S, M Pemilik+BT : S, M Penggarap : S, M Penggarap+BT : M BT : M 4.375/kg 25.000,-/hari Rp. 1.363.380/ Kapita/tahun
Pemilik : K, S, M Pemilik+penggarap : K, S, M Pemilik+penggarap+BT : S, M Pemilik+BT : S, M Penggarap : M Penggarap+BT : M BT : M 5.000/kg 50.000,-/hari Rp. 1.581.744/ kapita/tahun
Pemilik : K, S, M Pemilik+penggarap : K, S, M Pemilik+penggarap+BT : S, M Pemilik+BT : S, M Penggarap+BT : M BT : M 5.00/kg 50.000,-/hari Rp. 1.581.744/ kapita/tahun
219
BAB IX STRATEGI ”AMPHIBIAN” DALAM PRAKTEK MODA PRODUKSI, STRUKTUR AGRARIA YANG SEMAKIN TERTUTUP, DAN PROBLEMA KESEJAHTERAAN PETANI 9.1. Tipe Lain Komunitas Petani “Indonesia Luar” : Berbasis Kombinasi Usahatani Padi Sawah dan Perkebunan (Kakao) Dari empat komunitas petani yang dipilih sebagai kasus daam penelitian, tiga di antaranya berada pada wilayah ekologi dataran rendah yang mempunyai sumberdaya agraria (lahan) basah dan kering serta komunitas petani tersebut merupakan komunitas petani “kombinasi” (Gambar 9.1.).
Komunitas petani
kombinasi dimaksud merujuk pada realitas dimana sebagian anggota komunitas merupakan petani yang mengusahakan tanaman padi sawah dan tanaman kakao secara bersamaan, dan mereka mengusahakan keduanya dengan menerapkan sistem pertanian menetap. Sementara itu, sebagian anggota komunitas lainnya meskipun merupakan para petani yang hanya mengusahakan tanaman padi sawah atau hanya mengusahakan tanaman kakao tetapi mereka juga menerapkan sistem pertanian menetap.
100.0 90.0 80.0 70.0 60.0
Hanya Kakao
50.0
Saw ah + Kakao
40.0
Hanya Saw ah
30.0 20.0 10.0 Tondo
Gambar 9.1.
Jono
Cot
Proporsi Rumahtangga Petani yang Terlibat dalam Usahatani Kakao dan Padi Sawah di Tiga Desa Kasus, 2007 (Sumber data : Sensus Rumahtangga Melalui Diskusi dengan Informan Kunci)
220
Bahkan di dalam komunitas petani yang bermukim di Desa Jono Oge Sulawesi Tengah dan di Desa Cot Baroh/Tunong - NAD, jumlah petani yang mengusahakan tanaman padi sawah dan tanaman kakao secara bersamaan merupakan bagian terbesar. Para petani yang tinggal di tiga desa tersebut tetap mempertahankan usahatani padi sawah sebagai usahatani keluarganya, meskipun mereka memahami bahwa tanaman kakao dapat memberi keuntungan finansial yang lebih besar dan dapat dikelola dengan cara lebih mudah (bila dibanding dengan menjalankan usahatani padi sawah). Potret tiga komunitas petani di tiga desa kasus sebagaimana dipaparkan di atas menunjukkan bahwa gambaran komunitas petani di “Indonesia Luar” sudah tidak “relevan” lagi dengan kesimpulan Geertz yang mengacu pada hasil studi lapang yang dilakukannya pada tahun 1952 – 1954, yaitu tentang tipologi komunitas petani “Indonesia Dalam” dan “Indonesia Luar” (Geertz, 1976). Dalam konsep tipologinya, Geertz membedakan sangat kontras antara komunitas petani di wilayah “Indonesia Dalam” (Pulau Jawa) dengan komunitas petani di wilayah “Indonesia Luar” (Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Nusatenggara) terutama berdasarkan sistem pertanian yang dijalankan para petani. Berdasarkan hasil penelitiannya Geertz menyimpulkan bahwa di “Indonesia Dalam” yang mempunyai penduduk padat, anggota komunitas petaninya menjalankan sistem pertanian menetap (tidak ada ladang berpindah). Sistem tersebut terbagi dalam dua kategori, yaitu: 1) lahan sawah irigasi: diusahakan untuk penanaman padi (2 kali/tahun) atau padi + palawija, dan 2) lahan tanpa irigasi: diusahakan untuk tanaman palawija dengan sistem bergiliran/tanam dan bera (crop-and-fallow regime). Sebaliknya, di “Indonesia Luar” yang berpenduduk tidak padat (kosong), anggota komunitas petaninya mengembangkan sistem pertanian perladangan (swidden agriculture), yaitu suatau cara cocok tanam berpindah -pindah (shifting cultivation) dan/atau tebang-bakar (slash and burn farming). Perladangan tradisional tersebut umumnya dikerjakan secara kekeluargaan dan meluas sampai ke hutan-hutan di pedalaman, sedangkan kebun tanaman ekspor yang diusahakan para petani hanya terpusat di beberapa daerah tertentu sebagai sebuah enclave.
221
Bersamaan dengan itu, Geertz menyebut desa “Indonesia Dalam” sebagai desa “post-tradional” 123 dan desa “Indonesia Luar” sebagai desa “tradisional”. Padahal temuan di tiga desa kasus menunjukkan bahwa desa-desa di “Indonesia Luar” tidak lagi sepenuhnya tradisional dan elemen-elemen moda produksi kapitalis sudah mulai masuk, baik dalam pengelolaan usahatani padi sawah maupun usahatani kebun kakao. Selain itu, kebun tanaman ekspor sudah menyebar di banyak desa dan diusahakan oleh sebagian besar petani yang tinggal di desa tersebut. Jadi, saat ini kebun tanaman ekspor tidak lagi merupakan “enclave” sebagaimana dikemukakan Geertz. Bahkan realitas masuknya elemenelemen moda produksi kapitalis yang diterapkan secara bersamaan dengan elemen-elemen moda produksi non-kapitalis sudah muncul pada komunitas petani lain yang hanya mempunyai sumberdaya agraria lahan kering (komunitas petani di Desa Ulee Gunong di Propinsi NAD). Para petani di desa Ulee Gunong sudah tidak lagi menjalankan sistem perladangan berpindah, tetapi mereka sudah menjalankan sistem pertanian menetap dengan mengusahakan tanaman kopi dan/atau kakao. 9.2. Munculnya Strategi “Amphibian” dalam Praktek Moda Produksi Dalam komunitas petani di desa-desa kasus di Sulawesi Tengah meupun di NAD, pengaruh kapitalisme terhadap perkembangan praktek moda produksi yang dijalankan anggota komuntas petani cenderung semakin kuat. Pengaruh yang semakin kuat tersebut nampak dari fakta telah ditinggalkannya praktek moda produksi yang menopang sistem pertanian “ladang berpindah” pada sumberdaya agraria “lahan kering”. Oleh sebab itu, pada saat penelitian berlangsung, seluruh moda produksi yang dijalankan para petani merupakan prakatek moda produksi untuk menopang berlangsungnya sistem “pertanian menetap”. Setelah itu, proses kapitalisme dilanjutkan dengan semakin dominannya praktek “moda produksi” yang menggunakan “teknologi intensif” untuk mencapai tujuan peningkatan produksi per satuan luas lahan (produktivitas lahan), terutama pada usahatani padi sawah. Oleh sebab itu, pada pengelolaan “tanaman subsisten” padi sawah,
123
Sudah kehilangan banyak unsur tradisi lama tetapi umumnya belum mencapai corak modern (Sajogyo, 1975)
222
pengaruh kapitalisme “merembes”124 terutama melalui aktivitas penguasaan modal non lahan (bahan/alat produksi, modal finansial). Sementara itu, pada pengelolaan tanaman komersial kakao pengaurh kapitalisme “merembes” terutama melalui aktivitas “penjualan hasil produksi” para petani (buah kakao). Dengan cara masuk yang “merembes” tersebut (bukan melenyapkan), maka pengaruh kapitalisme tidak menghilangkan moda produksi non-kapitalis yang sudah berjalan lama dalam komunitas petani. Sebaliknya, dalam komunitas petani hadir secara berdampingan beberapa elemen praktek moda produksi yang berbeda, yaitu elemen praktek moda produksi yang masih mempunyai ciri nonkapitalis, elemen praktek moda produksi yang mempunyai ciri kapitalis, atau elemen praktek moda produksi yang mempunyai ciri keduanya. Dengan kata lain, dalam komunitas petani sedang terjadi penggabungan elemen-elemen moda produksi. Bahkan keragaman praktek moda produksi tersebut bukan hanya hadir berdampingan di antara kelompok berbeda (dalam masyarakat yang sama) tetapi hadir berdampingan dalam setiap usahatani yang dijalankan para petani, baik pada usahatani padi sawah maupun pada usahatani kakao. Secara umum, hasil penelitian menunjukkan bahwa keterlibatan petani dalam dua moda produksi secara bersamaan berlangsung menyeluruh, baik pada petani yang hanya mengusahakan tanaman padi sawah, pada petani yang hanya mengusahakan tanaman kakao, maupun pada petani yang mengusahakan tanaman padi sawah dan kakao secara bersamaan (Gambar 9.2.). Bertolak dari realitas bahwa semua petani yang mengelola usahatani padi sawah dan/atau kakao menjalankan kombinasi praktek moda produksi non-kapitalis dan moda produksi kapitalis secara bersamaan (dalam kurun waktu yang sama), maka sebenarnya para petani di empat desa kasus (lebih menonjol di tiga desa lokasi penelitian) menerapkan strategi “amphibian” dalam praktek moda produksi yang mereka jalankan.
124
Kapitalisme masuk tidak pada seluruh elemen moda produksi yang dijalankan petani tetapi masuk sedikit demi sedikit, terutama melalui elemen tertentu yang baru diterapkan petani. Bahkan seringkali elemen moda produksi yang dipengaruhi tidak seluruhnya berubah tetapi masih mempunyai ciri pra kapitalis. Misalnya modal non lahan (elemen moda produksi kapitalis) masuk melalui mekanisme yarnen yang transaksinya dalam bentuk natura (berciri pra kapitalis)
223
STRATEGI “AMPHIBIAN” DALAM PRAKTEK MODA PRODUKSI
Gambar 9.2.
Strategi “Amphibian” dalam Praktek Moda Produksi di Tiga Komunitas Petani Kasus, 2007
Moda produksi yang dipraktekkan para petani melalui strategi “amphibian” ini sebenarnya merupakan sebuah tipe moda produksi transisional. Sejalan dengan pendapat Russel (1989), moda produksi transisioanl merupakan moda produksi yang sudah meninggalkan moda produksi komunal tetapi belum sepenuhnya berlandaskan moda produksi kelas. Oleh sebab itu, dalam komunitas petani di lokasi penelitian mulai muncul ketidaksamaan, khususnya dalam penguasaan modal produksi lahan dan non lahan. Walaupun demikian, dalam komunitas petani (di antara petani) belum terjadi hubungan sosial produksi yang bersifat eksploitatif. Selain itu, karena elemen-elemen moda produksi kapitalis diterapkan oleh hampir seluruh anggota komunitas petani, maka dalam komunitas petani tidak terjadi “formasi sosial” antara kelompok anggota komunitas yang menerapkan moda produksi non-kapitalis dengan kelompok anggota komunitas yang menerapkan moda produksi kapitalis. Melalui strategi amphibian, (Gambar 9.2.), para petani menjalankan praktek moda produksi non-kapitalis terutama pada proses produksi di on farm (aktivitas di tengah). Hal ini terjadi baik pada proses produksi kakao maupun pada
224
proses produksi padi sawah. Selain itu, praktek moda produksi non-kapitalis juga sangat menonjol pada proses pasca panen usahatani padi sawah (aktivitas di hilir). Sementara itu, praktek moda produksi kapitalis sangat menonjol dipraktekan petani pada proses penjualan hasil produksi kebun kakao (aktivitas di hilir) serta pada proses penyediaan “modal non lahan” (bahan/alat produksi, modal finan-sial) untuk pengelolaan tanaman padi sawah (aktivitas di hulu). Pada proses penjualan hasil produksi kebun kakao praktek moda produksi kapitalis menonjol karena hasil produksi petani tersebut diperlukan sebagai bahan baku bagi industri yang berada di luar komunitas petani (umumnya di kota, bahkan di negara maju). Pada usahatani padi sawah proses produksi dijalankan dengan orientasi untuk meningkatkan secara maksimal produksi per satuan luas lahan (produktivitas lahan) tetapi peningkatan produksi tersebut mereka lakukan bukan untuk memenuhi permintaan pasar melainkan karena tindakan tersebut merupakan jalan satusatunya yang dapat mereka tempuh untuk mempertahankan kepastian ketersediaan pangan keluarga. Bersamaan dengan itu, praktek kekuatan produksi yang dijalankan para petani dipandu oleh “teknologi intensif”. Untuk itu, penggunaan bahan dan alat produksi yang dihasilkan pihak lain yang umumnya berada di luar komunitas petani menjadi sangat penting, Dengan demikian, peranan modal lahan yang tersedia dalam komunitas petani dan modal non lahan yang umumnya harus “dibeli” petani dari pihak lain menduduki posisi sama penting, satu dengan yang lainnya tidak bisa dipisahkan. Sebaliknya, pada usahatani kakao yang menghasilkan produk untuk dijual atau produk komersial, proses produksi masih dijalankan dengan suatu orientasi bahwa peningkatan produksi sebaiknya dilakukan melalui perluasan kebun (pola ekstensif) karena menambah luas kebun merupakan jalan lebih baik untuk “berinvestasi” menyiapkan masa depan keluarganya (termasuk anaknya). Bersamaan dengan itu, praktek kekuatan produksi yang dijalankan para petani dipandu oleh “teknologi tidak intensif”. Untuk itu, dalam usahatani kakao penguasaan modal sumberdaya agraria (lahan) masih menduduki posisi utama (penentu). Penggunaan modal non lahan relatif sedikit dan masih dapat disediakan oleh sumberdaya yang ada dalam komunitas petani melalui mekanisme saling bantu (tidak harus dibeli).
225
Pada usahatani padi sawah yang menghasilkan produk untuk dimakan (produk subsisten), secara lebih rinci (Tabel 9.1.), hasil penelitian menunjukkan bahwa elemen-elemen kekuatan produksi kapitalis sudah merembes melalui orientasi peningkatan produksi yang mendorong upaya peningkatan peningkatan produktivitas lahan (peningkatan produksi per satuan luas lahan), modal produksi lahan dan non lahan memiliki peranan sama sebagai modal utama, bahan dan alat produksi berasal dari luar komunitas petani, penggunaan modal finansial relatif dominan, dan penggunaan keterampilan petani yang berasal dari luar komunitas petani sangat intensif. Selain itu, khusus di desa Cot Baroh/Tunong Propinsi NAD, ketergantungan terhadap buruh tani upahan sangat besar. Sementara itu, elemenelemen kekuatan produksi pra-kapitalis yang masih bertahan adalah penyediaan tenaga kerja yang umumnya anggota keluarga tidak dibayar dan buruh bagi hasil (khusus di desa-desa di Propinsi Sulawesi Tengah merupakan buruh bagi hasil “tanam + panen”), orientasi pengusahaan padi sawah untuk menghasilkan produk dimakan guna mempertahankan ketersediaan pangan keluarga (bukan untuk dijual di pasar). Kemudian, pada usahatani kakao yang menghasilkan produk untuk dijual (produk komersial), secara lebih rinci (Tabel 9.1.), elemen kekuatan produksi kapitalis “merembes” melalui jaringan pasar hasil produksi petani dan orientasi usaha petani untuk menjual hasil produksinya. Sementara itu, elemen-elemen kekuatan produksi pra-kapitalis masih bertahan pada orientasi usaha peningkatan produksi yang dilakukan dengan menambah luas lahan, lahan menjadi sumber investasi yang dikemudian hari digunakan untuk biaya pendidikan anak/mendapat pekerjaan lain, modal produksi yang masih bertumpu pada sumberdaya agraria (lahan) sehingga proses produksi hanya tergantung pada ketersediaan jumlah dan kualitas sumberdaya lahan, asal bahan dan alat produksi yang digunakan berasal dari dalam komunitas petani, pada saat pengelolaan tanaman penggunaan modal finansial kurang dominan, dan keterampilan petani yang digunakan masih bertumpu pada teknologi sederhana. Sebagaimana dalam praktek kekuatan produksi, dalam praktek hubungan sosial produksipun elemen-elemen moda produksi kapitalis dan elemen-elemen moda produksi non-kapitalis muncul secara bersamaan dalam sebuah usahatani
226
yang dikelola seorang petani, baik dalam usahatani padi sawah maupun usahatani kakao. Bahkan kemunculan kedua elemen-elemen kapitalis dan non-kapitalis pada hubungan sosial produksi sangat kompleks. Artinya, seringkali sebagian ciriciri elemen hubungan sosial produksi sudah kapitalis tetapi sebagian ciri-ciri lainnya masih pra-kapitalis, misalnya hubungan transaksi penyediaan modal finansial sudah menerapkan insentif atas modal yang dipinjamkan tetapi alat pembayaran atas pinjaman dimaksud masih dalam bentuk natura. Pada usahatani padi sawah, secara lebih rinci (Tabel 9.2), elemen-elemen hubungan sosial produksi kapitalis merembes melalui unit produksi yang sekalipun masih dikelola dan dimiliki rumahtangga petani tetapi dalam proses produksi yang dijalankannya memerlukan hubungan sosial produksi yang semakin luas sehingga ketergantungan petani dengan pihak lain (yang berada di luar komunitas petani) menjadi tinggi dan cenderung dijalin dalam hubungan sosial yang relatif eksploitatif (dibanding hubungan sosial di antara petani dalam komunitas). Hubungan sosial dalam akuisisi lahan dilaksanakan melalui mekanisme tarnsaksi jual beli, hubungan sosial dalam penyediaan modal non lahan (alat/bahan produksi, modal finansial) dijalin melalui pola “yarnen” yang cenderung ekploitatif karena insentif penyedia modal sangat tinggi (20 – 40 % untuk waktu empat bulan, lebih besar dari bunga bank), dan khusus di NAD penyediaan buruh tani dijalin melalui hubungan upah tunai. Sementara itu, elemen-elemen hubungan sosial produksi non-kapitalis yang masih bertahan adalah unit produksi dalam proses produksi masih merupakan unit usaha rumahtangga, hubungan sosial dalam akuisisi lahan melalui mekanisme pewarisan, hubungan sosial dalam penguasaan sumberdaya agraria melalui bagi hasil, hubungan sosial dalam penyediaan modal non lahan (alat/bahan produksi, modal finansial) dengan alat transaksi natura setara padi/beras, hubungan sosial dalam penyediaan tenaga buruh melalui mekanisme bagi hasil (khusus di Sulawesi Tengah: buruh tani bagi hasil “tanam+panen”), dan landasan hubngan sosial antar pelaku dalam proses produksi masih mengacu pada ikatan moral tradisional (ikatan kekerabatan dan solidaritas lokal yang berusaha menyediakan sumber penghasilan bagi kerabat dan warga se komunitas).
227
Kemudian, pada usahatani kakao, secara lebih rinci (Tabel 9.2.) elemen hubungan sosial produksi kapitalis merembes melalui unit produksi yang melibatkan mitra pembeli hasil produksi sehingga ketergantungan dengan pihak luar menjadi tinggi dan cenderung eksploitatif karena harga dan mutu ditentukan pembeli, dan hubungan sosial dalam akuisisi lahan melalui tran-saksi jual beli. Sementara itu, elemen-elemen hubungan sosial produksi pra-kapitalis yang masih tertinggal adalah unit produksi dalam proses produksi masih bertumpu pada anggota keluarga inti, hubungan sosial dalam akuisisi lahan melalui pewarisan, hubungan sosial dalam penyediaan modal non lahan (terutama alat/bahan) melalui pertukaran “tolong-menolong” dengan sesama warga se komunitas, hubungan kerjasama hasil produksi kadang-kadang bukan hanya transaksi jual beli tetapi juga pinjam-meminjam, dan landasan hubngan sosial antar pelaku dalam proses produksi masih mengacu pada ikatan moral tradisional (ikatan kekerabatan dan solidaritas lokal yang berusaha menyediakan sumber penghasilan bagi kerabat dan warga se komunitas). Nampaknya ikatan tradisional telah mampu menjaga serbuan moda produksi kapitalime. Ikatan ini akan terus bertahan sampai sumberdaya agraria masih dapat diandalkan untuk memenuhi kebutuhan minimum keluarga petani dan/atau ada altenatif sumber penghasilan di luar pertanian. Melalui praktek moda produksi “amphibian” ini usahatani kakao yang menghasilkan uang tunai dan usahatani padi sawah yang menghasilkan sumber pangan keluarga petani bahu-membahu memenuhi kebutuhan hidup keluarga petani. Bagi petani lapisan bawah yang miskin, penghasilan dari usahatani kakao banyak berperan dalam mendukung upaya “bertahan hidup”. Bagi petani lapisan menengah, penghasilan dari usahatani kakao banyak berperan dalam mendukung upaya “konsolidasi” kesejahteraan keluarga. Kemudian, bagi petani lapisan atas, penghasilan dari usahatani kakao banyak berperan dalam mendukung upaya “akumulasi” modal untuk pengembangan usaha. Sementara itu, usahatani padi selain berperan sebagai jalan untuk memenuhi kebutuhan pangan rumahtangga juga menjadi jalan bersama dalam mengimplementasikan upaya menjaga keamanan pangan komunitas petani (sebagai upaya “bertahan hidup” seluruh warga), khususnya melalui mekanisme penguasaan sementara pola bagi hasil penggarapan sumberdaya agraria (lahan) serta mekanisme bagi hasil buruh “tanam + panen”.
228
Tabel 9.1.
Fakta Kekuatan Produksi Amphibian (Bersifat Ganda) pada Usahatani Padi Sawah dan Kakao, 2007
Elemen Kekuatan Produksi
Ciri Kekuatan Produksi Padi Sawah Ciri Pra-kapitalis
• Produk Utama • Orientasi Usaha
• Sumber Tenaga Kerja Utama • Asal Bahan/ Alat Produksi •
Modal Produksi Utama
Produk (terutama) untuk dikonsumsi sendiri (subsisten), Produksi untuk mempertahankan kebutuhan pangan keluarga
Anggota Keluarga , Buruh Bagi Hasil ”Tanam+Panen” (KHUSUS DI SULTENG)
Ciri Kapitalis
Kebun Kakao Ciri Pra-kapitalis Ciri Kapitalis Produk untuk dijual di pasar (komersialisme)
Peningkatan produksi dilakukan melalui peningkatan produktivitas (produksi/luas lahan)
Ketergantungan terhadap Buruh Tani Upahan sangat besar (KHUSUS DI NAD) Ketergantungan terhadap bahan/alat yang diproduksi di luar desa sangat kuat Lahan dan non lahan (termasuk modal finansial) bersama-sama menjadi alat produksi utama,
• Modal Financial
Ketergantungan terhadap modal finansial sangat kuat
• Keterampilan
Penggunaan teknologi dari luar sangat intensif
Peningkatan produksi dilakukan dengan menambah luas lahan Lahan menjadi sumber investasi yang dikemudian hari digunakan untuk biaya pendidikan anak mendapat pekerjaan lain Anggota Keluarga (utama)
Seluruh bahan/alat produksi (termasuk bibit) berasal dari dalam komunitas petani Lahan sebagai alat produksi utama, proses produksi berjalan tanpa harus menyediakan modal finansial dalam jumlah sangat besar Pada saat pengelolaan tanaman penggunaan modal finansial kurang dominan Keterampilan teknologi intensif tidak berperan
229
Tabel 9.2.
Fakta Hubungan Sosial Produksi Amphibian (Bersifat Ganda) pada Usahatani Padi Sawah dan Kakao, 2007
Elemen Hubungan Sosial Produksi
Ciri Hubungan Sosial Produksi Padi Sawah Ciri Pra-kapitalis
• Landasan Hubungan Sosial antar Pelaku
• Hubungan sosial dalam penguasaan sumberdaya agraria • Hubungan sosial dalam penyediaan tenaga kerja • Unit Produksi • Hubungan sosial dalam akuisisi lahan • Hubungan kerjasama penyediaan modal non lahan (alat/bahan/modal finansial) • Hubungan kerjasama penjualan hasil produksi • Ketregantungan dengan pihak luar • Hubungan Eksploitatif
Ciri Kapitalis
Hubungan sosial antara pelaku dalam proses produksi dilandasi ikatan kekerabatan dan solidaritas lokal (Berusaha menyediakan sumber penghasilan bagi kerabat dan warga se komunitas lainnya) Pemilikan sementara Bagi Hasil menonjol
Kebun Kakao Ciri Pra-kapitalis Ciri Kapitalis Hubungan sosial antara pelaku dalam proses produksi dilandasi ikatan kekerabatan & solidaritas lokal (Berusaha menyediakan sumber penghasilan bagi kerabat & warga se komunitas) Pemilikan sementara Bagi Hasil ada (tetapi relatif tidak domnan bila dibandingkan sawah)
Pemilik/Penggarap - Buruh Tani Bagi Hasil Tanam+Panen, (KHUSUS DI SULTENG)
Pemilik/Penggarap - Buruh Tani Upah (KHUSUS DI NAD)
Rumahtangga inti (dalam proses produksi) Pewarisan
Petani/Penggarap + Mitra (penyedia modal non lahan) Jual Beli
Mekanisme peminjaman/ pembayaran dalam bentuk natura setara beras/padi
Pola kerjasama petani & penyedia modal non lahan : sistem ”yarnen”, pemilik modal non lahan menyerap surplus (keuntungan mitra > bunga bank)
Buruh Upahan
Rumahtangga inti Pewarisan
+ Mitra (pembeli hasil produksi) Jual Beli
Bahan/alat produksi dari kerabat/tetangga melalui mekanisme pertukaran ”tolongmenolong” (saling memberi dan/atau saling meminjam di antara petani) Pedagang selain membeli hasil petani juga menyediakan kebutuhan pokok/pinjaman uang
Hasil produksi di jual ke pedagang (pasar menyerap surplus petani)
Tinggi, melalui pasar modal non lahan
Tinggi melalui pasar hasil produksi
Oleh supra lokal (agen kapitalisme global) melalui modal non lahan
Oleh supra lokal (agen kapitalisme lobal) melalui hasil produksi
230
100%
80%
60%
Tidak Mengusahakan Hanya Penggarap
40%
Pemilik + Penggarap Hanya Pemilik
20%
0% Saw ah
Kakao
Tondo
Gambar 9.3.
Saw ah
Kakao
Jono
Saw ah
Kakao
Cot
Peranan Usahatani Sawah dalam Menyerap Penggarap Bagi Hasil di Tiga Komunitas Petani Kasus, 2007
Data dan informasi pada Gambar 9.3. menunjukkan besarnya peranan usahatani padi sawah dalam menjaga keamanan pangan komunitas petani. Hasil penelitian di tiga komunitas petani menunjukkan bahwa proporsi petani pemilik sumberdaya agraria sawah (“hanya pemilik” dan “pemilik + penggarap”) relatif rendah, dan jauh lebih rendah dari proporsi petani pemilik sumberdaya agraria kebun kakao (“hanya pemilik” dan “pemilik + penggarap”). Dengan kata lain, dari sisi pemilikan sumberdaya agraria padi sawah, proporsi petani pemilik relatif sedikit dan proporsi petani tunakisma yang tidak memiliki sumberdaya agraria relatif banyak. Namun demikian, pada usahatani padi sawah, dengan adanya “pola pemilikan sementara” maka muncul kelompok petani yang meskipun tidak memiliki sumberdaya agraria tetapi menguasai sumberdaya agraria dengan cara menggarap lahan milik petani lain, dan proporsi mereka cukup besar. Dengan demikian, proposi petani “tunakisma mutlak” yang tidak memiliki sendiri sumberdaya agraria dan tidak mengusahakan sumberdaya agraria milik orang lain menjadi berkurang. Sebagaimana yang terjadi di Jawa (Wiradi 2004), gambaran tersebut menunjukkan bahwa konsentrasi pemilikan sumberdaya agraria sawah di pedesaan luar Jawa tidak diikuti oleh adanya satuan-satuan usahatani yang luas yang dikelola sendiri oleh petani pemiliknya, tetapi justru diikuti oleh tingginya tingkat penggarapan bagi hasil pada lahan milik petani lain.
231
Gambaran tersebut juga memperkuat kesimpulan bahwa pada proses produksi padi sawah (proses di on farm), berjalannya moda produksi non-kapitalis yang diimplementasikan melalui pemilikan sementara pola “bagi hasil” maupun buruh tanam + panen pola “bagi hasil” sangat dominan. Dengan kata lain, aktivitas proses produksi padi sawah masih menjadi “wadah utama” tempat “berlangsungnya mekanisme keamanan sosial” (social security) dalam komunitas petani. Bahkan, melalui mekanisme pemilikan sementara bagi hasil, jumlah “tunakisma mutlak” dan jumlah “petani gurem” (pemilik sempit) di dalam komunitas petani (di luar Jawa) dapat dikurangi. Gambaran tersebut juga menunjukkan bahwa “pengelolaan usahatani padi sawah” menjadi jalan bagi warga komunitas di lokasi penelitian untuk mengimplementasikan solidaritas lokalnya, khususnya dalam mengimplementasikan kewajiban menolong kerabat (sebuah tindakan yang diyakini sebagian besar warga komunitas sebagai “tindakan wajib”) dan menolong warga lain se komunitas (sebuah tindakan yang diyakini sebagian besar warga komunitas sebagai “tindakan baik”). Tabel 9.3.
Nilai Ekonomi yang Diperoleh Penggarap Bagi Hasil dan Buruh Bagi Hasil di Desa Tondo dan Desa Jono Oge - Sulawesi Tengah, 2007
Uraian
Hasil Total Hasil/1 Hari Kerja
Buruh Bagi Hasil (Bagi 5)
Penggarap Bagi Tiga Bagian Penggarap
2,100,000
3,762,000
30,882
38,000
Bagian Pemilik 2,800,000
Sumber data : Diolah dari Hasil Wawancara dengan Informan Kunci
Melalui pola bagi hasil penggarapan sumberdaya agraria maupun pola bagi hasil “buruh tanam + panen” para petani pemilik luas dapat “menolong” kerabat dan warga se komunitas lain dengan cara memberi kesempatan memperoleh pendapatan yang nilainya lebih besar dari pada nilai upah harian. Di Desa Jono Oge dan Tondo Sulawesi Tengah, insentif bagi curahan tenaga penggarap bagi hasil dan buruh bagi hasil berturut-turut lebih tinggi dari nilai upah harian (Tabel 9.3.).
232
Dengan kata lain, distribusi pendapatan melalui penerapan pola bagi hasil masih lebih baik dibanding melalui penerapan pola upah buruh harian. Selain itu, di kedua komunitas petani tersebut tidak ada upaya petani pemilik luas atau petani pemilik sangat luas yang mengusahakan tanah sendiri dengan cara mengupah buruh tani. Padahal pola ini dapat meningkatkan penghasilan pemilik. Tabel 9.4. No
Perbandingan Konsep Amphibian dalam Dua Ranah Keilmuan
Unsur Pembanding
Konsep Amphibian dalam Biologi *
Konsep Amphibian dalam Sosiologi (Kakao) Ganda, terutama melalui diversifikasi usahatani : usahatani untuk mempertahankan subsistensi (pa-di sawah) dan untuk memperoleh uang tunai ( kakao) Mempraktekkan moda produksi non-kapitalis dan moda produksi kapitalis Praktek moda produksi nonkapitalis terutama pada aktivitas produksi di on farm (sawah/padi dan kebun/kakao), sedangkan praktek moda produksi kapitalis terutama pada aktivitas penyediaan modal produksi non lahan (di sawah/padi) dan penjualan hasil produksi (di kebun/kakao) Penyediaan akses memperoleh penghasilan melalui pemilikan sementara serta buruh bagi hasil dan/atau buruh tani Terjadi solidaritas lokal untuk menjaga hidup minimum, dan hubungan antar pihak dalam komunitas belum eksploitatif Untuk menjalankan moda produksi kapitalis : membangun jaringan dengan pihak luar Untuk menjalankan moda produksi non-kapitalis : mempertahanklan ikatan solidaritas lokal
1
Pola Pencarian Nafkah
Di dua alam: di air dan di daratan
2
Pola Reproduksi
Hidup di dua alam, yakni di air dan daratan
3
Pola Pemanfaatan Ruang Hidup (habitat)
Menetas di air dan larvanya (berudu) bernafas dengan insang. Setelah menjadi hewan dewasa hidup di daratan dan bernafas dengan paru-paru
4
Pola Mekanisme Survival
5
Pola Persaingan antar pihak/aktor
Memiliki peralatan khusus yang memfasilitasi kemampuan hidup di dua alam Tidak terjadi pertarungan diantara sesama amphibi sejenis
6
Pola adaptasi
Mempunyai kaki yang berselaput renang, matanya mempunyai selaput tambahan yang sangat berfungsi waktu menyelam, hidungnya mempunyai katup untuk mencegah air masuk ke dalam rongga mulut. Suhu tubuh mengikuti suhu lingkungannya
* Sumber Informasi : Wikipedia (July 2008)
233
Berdasarkan penjelasan-penjelasan yang telah diuraikan sebelumnya, Tabel 9.4. menunjukkan secara ringkas bahwa penggunaan konsep ”amphibian” dalam ranah keilmuan sosiologi kakao (konsep terapan) sejalan dengan pemahaman konsep amphibian yang digunakan dalam ranah keilmuan biologi (konsep asli). Untuk melihat adanya keselarasan penerjemahan konsep ”amphibian” dalam dua ranah keilmuan tersebut dilakukan identifikasi dengan membandingkan beberapa hal berikut : pola pencarian nafkah (subsistensi), pola reproduksi, pola pemanfaatan ruang hidup atau habitat, pola mekanisme bertahan hidup (survival), pola persaingan antar pihak/aktor, serta pola adaptasi. Munculnya strategi “amphibian” dalam praktek moda produksi di empat komunitas petani kasus menyebabkan konsep Boeke tentang “dualisme ekonomi” tidak lagi sesuai untuk digunakan dalam menggambarkan aktivitas ekonomi komunitas petani, khususnya komunitas petani yang memiliki tipologi sama dengan empat komunitas petani kasus. Kenyataan ini terjadi karena fakta sistem sosial (jiwa sosial/social spirit, bentuk organisasi sosial, dan teknologi) yang muncul di empat komunitas petani yang berada di empat desa kasus berbeda dengan sistem sosial masyarakat desa sebagaimana digambarkan Boeke. Padahal realitas sistem sosial tersebut merupakan dasar pijakan Boeke dalam merumuskan teori ekonominya, yaitu Teori Ekonomi Ganda (Economic Policy of Dual Societies). Dalam upaya merumuskan Teori Ekonomi Ganda, Boeke menguraikan perbedaan antara ciri-ciri sistem sosial non-kapitalis dengan ciri-ciri sistem sosial masyarakat kapitalis. Perbedaan tersebut muncul baik dalam jiwa sosial (motivasi/ nilai), oragnisasi sosial (struktur sosial) maupun teknologi yang mendukungnya (Tabel 9.5.). Sebenarnya Boeke juga memahami adanya kelompok masyarakat peralihan (kelompok masyarakat yang sedang mengalami perubahan) yang mana sistem sosialnya merupakan campuran antara sistem sosial non-kapitalis dengan sistem sosial kapitalis, dan Boeke menyebutnya dengan istilah masyarakat “kapitalis awal” (Tabel 9.6). Akan tetapi, dalam menggambarkan sistem sosial masyarakat desa atau komunitas petani Boeke lebih menonjolkan “antitesis desa – kota”. Bertolak dari antitesis desa – kota itulah Boeke kemudian membuat kesimpulan bahwa masyarakat desa atau “komunitas petani” merupakan sebuah masyarakat
234
yang ciri-ciri sistem sosialnya berada pada kategori masyarakat “non-kapitalis”. Bahkan secara tegas Boeke mengemukakan bahwa pada masyarakat desa atau komunitas petani tersebut tidak terdapat ciri-ciri sistem sosial masyarakat kapitalis mapun ciri-ciri sistem sosial masyarakat kapitalis awal. Sementara itu, ciri-ciri sistem sosial masyarakat kapitalis (akhir) hanya muncul pada masyarakat yang berada di kota dan ciri-ciri sistem sosial masyarakat kapitalis awal muncul pada masyarakat pendatang (India, Cina) yang berada di kota125. Berlainan dengan gambaran Boeke, ternyata hasil penelitian di empat komunitas petani yang berada di empat desa kasus menunjukkan fakta bahwa para petani di lokasi tersebut menjalankan dua sistem sosial secara bersamaan dalam sebuah sistem ekonomi desa. Dalam hal ini selain mereka menjalankan sistem sosial kapitalis juga menjalankan sistem sosial non-kapitalis atau sistem sosial tersebut diterapkan secara bergantian bila aktivitas yang mereka jalankan berbeda, yaitu aktivitas penyediaan modal produksi dan proses produksi pada usahatani padi sawah serta aktivitas penyediaan modal produksi, proses produksi, dan penjualan hasil pada usahatani kakao. Berkaitan dengan fakta bahwa sistem sosial pada empat komunitas petani berbeda dengan gambaran komunitas petani atau masyarakat desa sebagaimana dipaparkan Boeke, maka teori ekonomi ganda yang dirumuskan Boeke menjadi tidak lagi relevan untuk digunakan karena tidak berpijak pada realitas yang tepat. Sebagai alternatifnya, rumusan teori ekonomi “amphibian” yang berpijak pada strategi praktek moda produksi “amphibian” perlu dikembangkan.
125
Geertz berdasarkan studi lapang yang dilakukannya awal tahun 50 an (Geertz, 1976) menggambarkan berlangsungnya dualisme ekonomi di wilayah pedesaan yang mengusahakan tanaman padi dan tanaman tebu secara bersamaan di lahan sawah milik petani. Usahatani padi sawah yang sepenuhnya dikelola para petani dan dijalankan dengan teknologi padat tenaga kerja menggambarkan sebuah sistem sosial masyarakat pra kapitalis. Sementara itu, usahatani tebu di lahan milik petani yang dikomandoi pabrik yang dikelola orang-orang keturunan Belanda dan dijalankan dengan menggunakan teknologi padat modal menggambarkan sebuah sistem sosial masyarakat kapitalis. Kedua sistem sosial tersebut hidup bersamaan di wilayah pedesaan.
235
Tabel 9.5.
Sistem Ekonomi Boeke dalam Komunitas Petani (Sebuah Perbandingan)
Uraian
Pra Kapitalisme
Kapitalisme
Jiwa Sosial/ Motivasi (Nilai)
Muncul ciri-ciri ketidaksamaan
Muncul ciri-ciri ketidaksamaan, tetapi berupa ciri-ciri ekonomi Keasadaran akan kebebasan, demokrasi, dan tanggungjawab
Diantara masyarakat, terdapat kecenderungan kepatuhan, perhambaan Mencukupi kebutuhan pokok Tradisional, pemeliharaan status quo Komunalisme Ekonomi merupakan sub-ordinat dari kepercayaan Kerja : bukan kesenangan, waktu luang mempunyai nilai lebih tinggi Nilai-nilai desa dominan Hubungan patriarkal antara tuan dan pelayan Kebutuhan sosial dominan
Organisasi (Struktur Sosial)
Teknologi
Organisasi sosial tradisional atau alami Berbasiskan kekerabatan Pusat produksi adalah rumahtangga Berbasiskan status Solidaritas berkelanjutan secara alami Gemeinshaft Skala lokal Memenuhi kebutuhan sendiri Lalu lintas uang tidak ada atau hanya sedikit Tenaga Kerja Manual Aktivitas musiman Industri rumahtangga dan desa
Keuntungan individu Rasional, berorientasi pada pencapaian perorangan Individualisme Ekonomi dan kepercayaan terpisah Kerja : mempunyai arti dan basis kehidupan Nilai-nilai kota dominan Hubungan kontraktual dan rational antara pekerja dan pemberi kerja Kebutuhan ekonomi dari individu dominan Individual, organisasi korporasi Berbaiskan individu secara sukarela Pusat produksi adalah perusahaan Berbasiskan kontrak Solidaritas berkelanjutan secara sukarela Gesselshaft Skala lokal – Universal Penawaran pasar Uang sebagai modal, ekonomi uang (monetary economic) Mekanisasi Aktivitas berkelanjutan Korporasi
Sumber : Dharmawan (2001)
236
Tabel 9.6.
Perbedaan Masyarkat dalam Rumusan Teori Ekonomi Ganda Boeke PRA KAPITALIS
KAPITALIS AKHIR
Ikatan komunal (comunalism), ikatan sosial organis yang asli, gemeinschaft, pembagian masyarakat atas kelas-kelas tradisional (semua orang dilahirkan ke dalam kedudukan sosial tertentu dan tidak terpikir akan pindah ke kedudukan sosial lain), kebutuhan terbatas dan sederhana, jual beli terbatas, yang diproduksi barang pemuas kebutuhan/bukan barang dagangan, produksi dilakukan dalam dan untuk keperluan rumahtangga, tidak ada orang yang khusus pekerjaannya berdagang, dorongan ekonomi dan bukan ekonomi campur aduk, ekonomi menduduki tempat lebih rendah tunduk pada ketentuan agama, tat susila, dan tradisi.
Penggunaan mesin di bidang industri dan angkutan sangat maju, perusahaan tersusun rapi dan terpusat, produksi besar-besaran, transaksi melalui kontrak, jual beli dan uang
KAPITALIS AWAL Kerajinan tangan, penggunaan mesin dan angkutan belum berkembang, lalulintas bersifat setempat, kegiatan usaha perorangan dengan modal kecil, usaha bersifat setempat dan sendiri-sendiri, ekonomi kota, segala macam unsur sosial mulai bercampur dan berpadu dengan unsur-unsur kapitalis, sifat mengejar laba mulai memperoleh tempat, perorangan atas kesadaran sendiri makin mengabdikan diri pada masyarakat sambil tetap mempertahankan kebebasan jiwanya, persaingan bebas ditendang ke luar
BERSIFAT GANDA Semua ciri-ciri non-kapitalis masih dijumpai dalam masyarakat desa. Tetapi, masyarakat desa tersebut berbenturan dengan kapitalisme impor yang sudah berkembang. Antithesis : desa – kota (ekonomi desa – pasar dunia) dimana desa = pra-kapitalisme (tidak mengenal kota : industri, perdagangan dan angkutan, kredit dan bank, pasar dan ekonomi uang) Inilah yang menyebabkan dua wajah atau sifat ganda (dualism)
Sumber : Boeke dalam Sajogyo (editor), 1984
237
9.3. Perubahan Struktur Agraria: Menuju Struktur yang Semakin Tertutup Sejalan dengan perubahan sistem pertanian dari pertanian ladang berpindah ke pertanian menetap, dalam komunitas petani terjadi perubahan pola pemilikan sumberdaya agraria : dari pemilikan kolektif ke pemilikan perorangan. Bahkan pada saat penelitian berlansgung, dalam komunitas petani sudah tidak ada lagi pemilikan kolektif atas sumberdaya agraria. Bersamaan dengan itu, akuisisi sumberdaya agraria melalui mekanisme ”jual beli” yang merupakan elemen hubungan sosial produksi kapitalis terus meningkat. Bahkan, akhir-akhir ini posisi pemilikan perorangan diperkuat dengan banyaknya anggota komunitas yang menggunakan status formal pemilikan (tertulis), baik dalam bentuk akte jual beli, surat keterangan desa, bukti bayar pajak, surat keterangan camat, atau sertifikat. Dengan diterapkannya penguasaan perorangan yang disertai dengan status formal, maka sumberdaya agraria yang sudah dikuasai seorang petani tidak dapat diambil alih oleh petani lain, meskipun sumberdaya tersebut tidak diusahakan. Padahal pada masa berlakunya penguasaan kolektif, sumberdaya agraria yang tidak diusahakan seorang petani setelah batas waktu tertentu dapat diambil alih oleh petani lain. Fakta tersebut menunjukkan semakin tertutupnya akses petani tunakisma untuk memiliki sumberdaya agraria. Pada masa penguasaan perorangan ini, satu-satunya jalan yang dapat dilalui petani tunakisma untuk dapat menguasai sumberdaya agraria adalah dengan melakukan hubungan sosial produksi pemilikan sementara “bagi hasil”. Namun demikian, mekanisme inipun semakin tertutup (terutama untuk para tunakisma miskin) manakala lahan garapan harus diusahakan dengan teknologi intensif. Dalam situasi ini, untuk dapat menguasai lahan garapan petani penggarap harus menguasai modal non lahan (bahan, alat, modal finansial). Apabila seorang calon penggarap tidak memiliki sendiri modal non lahan, maka mereka harus mempunyai hubungan sosial yang baik dengan pemilik modal non lahan agar memperoleh pinjaman (umumnya melalui mekanisme yarnen). Sekalipun modal non lahan tersebut kadang-kadang juga disediakan petani pemilik lahan, tetapi hal tersebut berakibat pada menurunnya bagian penghasilan yang akan diperoleh petani penggarap bagi hasil.
238
Pada dasarnya pola-pola hubungan sosial produksi terus berubah mengikuti perubahan berbagai situasi kontekstual yang hadir pada aras komunitas petani, terutama : ketersediaan sumberdaya lahan, perkembangan teknologi intensif yang berimplikasi pada penyediaan modal non lahan (bahan, alat dan modal finansial), serta ketersediaan tenaga kerja (buruh tani). Lebih lanjut, perubahan pola-pola penguasaan sumberdaya agraria tersebut berimplikasi pada situasi semakin hilangnya akses lapisan petani tunakisma miskin (lapisan petani penggarap dan lapisan buruh tani) untuk menguasai sumberdaya agraria. Mekanisme penguasaan sumberdaya agraria pola bagi tanaman (pada tahap pembangunan kebun), bagi waktu panen (pada saat pencetakan sawah), pola bagi hasil sumberdaya agraria sawah, sistem sewa sumberdaya agraria sawah dan/atau kebun (terutama pada sumberdaya agraria kebun kelapa), serta sistem gadai cenderung menyebabkan struktur agraria yang semakin tertutup. Demikian halnya menguatnya mekanisme transfer sumberdaya agraria melalui transaksi jual - beli, semakin luasnya penggunaan buruh upahan mendorong perubahan struktur agraria menuju bentuk yang semakin tertutup. Dengan demikian, pada saat ini dalam komunitas lokal hampir tidak lagi tersedia jalan bagi petani tunakisma miskin untuk dapat naik kelas menjadi seorang petani pemilik yang lebih sejahtera. Gambar 9.4. dan Gambar 9.5. mendeskripsikan perubahan pola hubungan sosial penguasaan sumberdaya agraria, baik yang berlangsung pada tahap pembangunan kebun/sawah maupun pada tahap pengelolaan atau pemanfatan kebun/ sawah. Pada tahap pembangunan kebun/sawah, peruabahan-perubahan hubungan penguasaan sumberdaya agraria yang terjadi secara bertahap mengurangi kesempatan para petani tunakisma miskin untuk dapat menguasai sumberdaya agraria yang tersedia dalam komunitas. Sementara itu, pada tahap pengelolaan kebun/ sawah, perubahan-perubahan yang terjadi secara bertahap mengurangi bagian hasil yang diperoleh petani penggarap.
239
BAGI KEBUN (Bagi Tiga) BAGI KEBUN (Bagi Dua) BAGI TANAMAN (Bagi Dua) PEMILIK – BURUH TANI
Gambar 9.4.
Perkembangan Hubungan Sosial Produksi Sumberdaya Agraria pada Tahap Pembangunan Kebun/Sawah, 2007
BAGI TIGA (Hak Penggarap=2)
BAGI TIGA (Hak Penggarap = 1)
PEMILIK – BURUH TANI BAGI HASIL PEMILIK – BURUH TANI UPAHAN
Gambar 9.5.
Perkembangan Hubungan Sosial Produksi pada Tahap Pengelolaan Sumberdaya Agraria Kebun/Sawah, 2007
240
Perkembangan pola-pola hubungan sosial produksi agraria tersebut justru memberi jalan pada terbentuknya “struktur agraria yang semakin tertutup”, yaitu sebuah struktur agraria yang membatasi bahkan menutup akses para petani tak berlahan (tunakisma) dalam penguasaan sumberdaya agraria. Lebih lanjut keadaan tersebut berimplikasi pada meningkatnya ancaman bagi kesejahteraan atau keamanan sosial ekonomi petani (terutama bagi lapisan petani miskin). Padahal sebelumnya banyak petani yang melakukan upaya perbaikan kesejahteraan keluarganya melewati “tangga” berikut : berawal dari status “buruh tani” (tunakisma mutlak), kemudian meningkat menjadi “penggarap bagi hasil” (tunakisma tidak mutlak). Melalui tangga penggarap bagi kebun mereka beruabh status dari tunakisma menjadi pemilik sempit. Setelah itu, para petani pemilik sempit yang masih muda (belum mempunyai pengeluaran yang besar) secara bertahap dapat melakukan akumulasi modal sehingga mereka berpeluang menjadi “pemilik luas” (Gambar 9.6.).
PEMILIK LUAS
PEMILIK SEMPIT
PENGGARAP BAGI KEBUN/ TANAMAN PENGGARAP BAGI HASIL
BURUH TANI
Gambar 9.6.
Tangga Petani dalam Memperbaiki Status dari Buruh Tani Menjadi Pemilik Luas, 2007
241
Tangga-tangga tersebut dapat dilalui seorang petani dengan lebih cepat manakala mereka mempunyai orang tua yang memiliki sumberdaya agraria cukup luas. Dalam situasi ini, untuk melakukan proses “lepas landas” mereka tidak melalui status buruh tani karena memperoleh pinjaman sumberdaya agraria (lahan) dari orang tuanya. Dalam hal pengelolaan sumberdaya agraria pinjaman ini, hasil sawah/kebun tidak harus diberikan kepada orang tua mereka. Akan tetapi setelah anak tersebut dianggap mampu maka lahan pinjaman harus dikembalikan kepada orang tuanya. Biasanya sumberdaya agraria tersebut kemudian dipinjamkan lagi kepada anak yang lain agar semua anak dapat naik tangga (lepas landas) dengan cepat sebagaimana yang dialami anak pertama. 9.4. Potensi Munculnya Problema Kesejahteraan Petani Sebagaimana dijelaskan dimuka, hadirnya moda produksi kapitalis mendorong lahirnya struktur agraria yang semakin tertutup. Kemudian, tertutupnya struktur agraria dalam menyediakan akses petani lapisan bawah (terutama petani tunakisma miskin) untuk memperoleh penghasilan dari sumberdaya agraria akan semakin kuat manakala luas penguasaan sumberdaya agaria setiap rumahtangga petani semakin sempit akibat jumlah rumahtangga dalam komunitas terus bertambah, sedangkan luas sumberdaya agraria untuk usaha pertanian tidak bertambah atau bahkan berkurang. Lebih lanjut, kondisi tersebut akan menyebabkan ikatan moral tradisional yang selama ini membentengi komunitas dari serbuan kapitalisme akan melemah karena setiap rumahtangga akan cenderung mempertahankan keamanan pemenuhan kebutuh-an hidup keluarganya sendiri sehingga ketidakstabilan hubungan sosial dalam komunitas akan meningkat. Keadaan tersebut akan semakin parah manakala kegiatan non-pertanian tidak dapat dijadikan alternatif sumber penghasilan rumahtangga petani serta semakin besarnya kebutuhan rumahtangga petani yang harus dibayar tunai, misalnya biaya pendidikan lanjutan (mulai SMA hingga Perguruan Tinggi) dan biaya mencari pekerjaan anak di sektor non pertanian (pegawai). Bahkan untuk mengatasi persoalan tersebut, seringkali petani hasrus menjual sumberdaya agraria miliknya.
242
Gejala semakin sulitnya memperoleh sumberdaya agraria baru (lahan kosong), penduduk yang terus bertambah, biaya hidup yang semakin mahal, dan tidak adanya sumber penghasilan alternatif (non pertanian) semakin dirasakan petani di empat desa kasus. Lebih lanjut keadaan tersebut tidak hanya akan menimbulkan diferensiasi kesejahteraan dalam komunitas petani tetapi juga sangat potensial mendorong munculnya “problema kesejahteraan petani”.
Problema
kesejahteraan petani adalah suatu situasi dimana penghasilan petani berada dekat batas subsistensi (setara garis kemiskinan) atau dekat tingkat minimum fisiologis sehingga pengurangan lebih lanjut dari penghasilan tersebut akan menimbulkan malnutrisi dan kemudian akan menimbulkan kematian dini. Mengacu pada garis kemiskinan yang ditetapkan Biro Pusat Statistik (BPS), hasil penelitian di empat komunitas petani di empat desa kasus menun-jukkan bahwa rata-rata pengeluaran per kapita/tahun lapisan masyarakat miskin umumnya masih berada di atas garis kemiskinan (Gambar 9.7.). Akan tetapi, jumlah biaya hidup yang mereka keluarkan umumnya relatif dekat dengan garis kemiskinan. Bahkan terdapat sejumlah anggota lapisan petani miskin yang berada pada tingkat “di bawah garis kemiskinan”. Fakta tersebut menunjukkan bahwa dalam komunitas petani sebenarnya sudah mulai muncul gejala problema kesejahteraan keluarga petani. 12.000.000 10.000.000 8.000.000 6.000.000 4.000.000 2.000.000 1
8
15
22
29
36
43
50
57
64
71
78
85
92
99 106 113 120
(2.000.000) +/- Garis Kemis kinan
Gambar 9.7.
Pengeluaran/Kapita Rumahtangga Petani di Empat Komunitas Petani Kasus, 2007 (Sumber Data : Rumahtangga Petani Responden)
243
Tabel 9.7.
Distribusi Rumahtangga Petani Berdasarkan Garis Kemiskinan dan Tingkat Kesejahteraan, 2007
Desa • Tondo
• Jono Oge
• Ulee Gunong
• Cot Baroh/ Tunong
• Seluruh Desa
Lapisan Kesejahteraan • Miskin • Sedang • Kaya Total • Miskin • Sedang • Kaya Total • Miskin • Sedang • Kaya Total • Miskin • Sedang • Kaya Total • Miskin • Sedang • Kaya Total
Garis Kemiskinan Diatas Dibawah 7 5 (45) 14 0 ( 0) 3 0 ( 0) 24 5 (17) 7 6 (46) 0 ( 0) 15 0 ( 0) 2 24 6 (20) 10 1 ( 9) 0 ( 0) 16 0 ( 0) 3 29 1 ( 3) 6 2 (25) 0 ( 0) 20 0 ( 0) 2 28 2 ( 7) 30 14 (32) 0 ( 0) 65 0 ( 0) 10 105 14 (12)
Total 11 15 3 29 13 15 2 30 11 16 3 30 8 20 2 30 44 65 10 119
Keterangan : Angka dalam kurung adalah % dari masing-masing lapisan Sumber Data : Rumahtangga Petani Responden
Seluruh rumahtangga petani yang pengeluaran per kapita per tahun nya berada dibawah garis kemiskinan berasal dari lapisan petani miskin (hasil rekonstruksi masyarakat), dan proporsi mereka mencapai 32 % dari jumlah seluruh rumahtangga petani miskin (Tabel 9.7.).
Apabila rumahtangga petani yang
berada dibawah garis kemiskinan dibandingkan di antara desa-desa lokasi penelitian, ternyata petani yang berada di bawah garis kemiskinan sangat menonjol di desa-desa kasus di Propinsi Sulawesi Tengah, yaitu di Desa Jono Oge dan Desa Tondo masing-masing sebesar 46 % dan 45 % dari jumlah rumahtangga miskin di desa masing-masing. Sementara itu, di Desa Ulee Gunong dan di Desa Cot Baroh/Tunong di Propinsi NAD, proporsi rumahtangga petani miskin yang berada
244
dibawah garis kemiskinan masing-masing hanya 9 % dan 25 % dari jumlah rumahtangga miskin di masing-masing desa. Dengan kata lain tingkat kemiskinan di desa-desa kasus di Propinsi Sulawesi Tengah lebih rawan dari pada tingkat kemiskinan di desa-desa kasus di Propinsi NAD. Kemudian, apabila rumahtangga petani yang berada di bawah garis kemiskinan tersebut dikaitkan dengan pelapisan petani berdasarkan penguasaan sumberdaya agraria, ternyata rumahtangga petani yang berada di bawah garis kemiskinan menyebar pada semua lapisan petani (Tabel 9.8.). Walaupun demikian, proporsi terbesar terjadi pada lapisan Buruh Tani (40 % dari total rumahtangga lapisan Buruh Tani), kemudian disusul pada lapisan Penggarap (33 % dari total rumahtangga lapisan Penggarap). Sementara itu, pada lapisan-lapisan lainnya jumlah keluarga petani yang berada dibawah garis kemiskinan kurang dari 10 % dari total rumahtangga masing-masing lapisan. Fakta tersebut menunjukkan bahwa lapisan tunakisma tidak mutlak maupun tunakisma mutlak yang tidak memiliki lahan merupakan lapisan yang paling rawan terhadap problema kesejahteraan. Tabel 9.8.
Distribusi Rumah Tangga Petani Berdasarkan Garis Kemiskinan dan Pelapisan Petani dalam Penguasaan Sumberdaya Agraria, 2007 Status Pemilikan
Garis Kemiskinan Diatas
Dibawah
Total
•
Pemilik
43
4 (8,5)
47
•
Pemilik+Penggarap
19
2 (9,5)
21
•
Pemilik+Penggarap+BT
13
1 (7,1)
14
•
Pemilik+BT
22
2 (8,3)
24
•
Penggarap
2
1 (33,3)
3
•
BT
6
4 (40,0)
10
•
Total
105
14 (100,0)
119
Keterangan : Angka dalam kurung adalah % dari masing-masing lapisan Sumber Data : Rumahtangga Petani Responden
245
BAB X KESIMPULAN DAN IMPLIKASI 10.1. Kesimpulan Dalam cakupan masa kontemporer, menguatnya pengaruh kapitalisme terhadap komunitas petani di empat lokasi penelitian dimulai sejak terjadinya perubahan praktek moda produksi dari moda produksi yang menopang sistem pertanian “ladang berpindah” untuk menghasilkan padi ladang (produk untuk dimakan) menjadi moda produksi yang menopang sistem “pertanian menetap” untuk menghasilkan komoditas perkebunan (produk perdagangan atau produk untuk dijual). Setelah itu, pengaruh kapitalisme dilanjutkan dengan semakin dominannya praktek “moda produksi” yang menggunakan teknologi intensif pada usahatani padi sawah. Hal tersebut dilakukan para petani untuk mencapai peningkatan produksi padi per satuan luas lahan (produktivitas lahan) karena akhir-kahir ini lahan sawah menjadi satu-satunya tempat petani menghasilkan padi, terutama setelah hampir seluruh lahan kering digunakan untuk mengusahakan tanaman perkebunan (tanaman komersial). Dalam empat komunitas petani kasus, elemen-elemen moda produksi kapitalis umumnya masuk “merembes” melalui berbagai aktivitas baru, terutama aktivitas penjualan hasil produksi usahatani kebun (buah kakao sangat dominan) serta aktivitas penguasaan modal non lahan (bahan/alat produksi dan modal finansial) untuk mendukung proses produksi padi sawah (aktivitas di on farm). Dengan cara masuk yang “merembes”, maka pengaruh kapitalisme tidak menghilangkan elemen-elemen moda produksi non-kapitalis yang sudah lama dijalankan anggota komunitas petani. Oleh sebab itu, para petani di empat komunitas kasus menjalankan beberapa elemen moda produksi berbeda secara bersamaan, baik elemen-elemen moda produksi yang masih mempunyai ciri nonkapitalis, elemen-elemen moda produksi yang sudah mempunyai ciri kapitalis, maupun elemen-elemen moda produksi yang mempunyai ciri keduanya. Berlangsungnya transformasi sistem pertanian dari perladangan berpindah ke pertanian menetap juga telah memperkuat proses transformasi struktur agraria. Dalam hal ini basis penguasaan sumberdaya agraria telah beralih dari ”pemilikan kolektif” (collective ownership) menjadi ”pemilikan perorangan” (individual
246
ownership). Bahkan akhir-akhir ini status hukum pemilikan perorangan diperkuat melalui penerapan status formal (bukti tertulis) seperti akte jual beli, surat keterangan desa, surat pembayaran pajak, dan sertifikat. Bersamaan dengan menguatnya penerapan elemen-elemen moda produksi kapitalis, transformasi struktur agraria yang terjadi kemudian membangkitkan hadirnya beragam mekanisme penguasaan sumberdaya agraria yang semakin “tertutup” sehingga akses lapisan petani tunakisma miskin untuk menguasai sumberdaya agraria semakin berkurang. Hal ini terjadi baik pada mekanisme ”penguasaan tetap” (pemilikan perorangan) maupun ”penguasaan sementara”. Selain itu, bersamaan dengan praktek kekuatan produksi teknologi intensif yang banyak menggunakan modal produksi non lahan dari luar komunitas petani, muncul dua pola hubungan sosial produksi berikut : 1) pola hubungan sosial produksi agraria yang melibatkan semakin banyak pihak, yaitu munculnya pihak baru (non petani) yang menguasai modal non lahan, dan 2) pola hubungan sosial produksi agraria dua pihak yang semakin terakumulasi dan tersubordinasi, yaitu hubungan sosial produksi agraria antara petani pemilik lahan yang semakin kuat (karena selain menguasai modal lahan juga menguasai modal non lahan) dengan petani penggarap (pemilik sementara) yang semakin lemah (karena posisi petani penggarap hanya berlandaskan penguasaan tenaga kerja). Berbagai realitas tersebut kemudian memberi jalan bagi proses pembentukan struktur sosial masyarakat agraris yang semakin terpolarisasi. Namun demikian, masih kuatnya hubungan sosial produksi yang berpijak pada prinsip moral tradisional126 turut mempertahankan penerapan pola hubungan “penguasaan sementara”, terutama melalui pola “bagi hasil” pada usahatani kakao dan usahatani padi sawah. Realitas struktur agraria ini kemudian memberi jalan bagi proses diferensiasi sosial masyarakat agraris sehingga struktur sosial masyarakat tersebut terstratifikasi oleh banyak lapisan, baik lapisan yang hanya mempunyai satu status (status tunggal) maupun lapisan yang mempunyai beberapa status (status kombinasi). Nampaknya hubungan sosial produksi yang sebelumnya sudah berjalan mapan (terstruktur sejak lama) dalam komunitas petani
126
terutama ikatan kekerabatan dan solidaritas lokal untuk menjaga kebutuhan minimum warga se komunitas
247
karena diikat oleh prinsip moral tradisional telah berperan sebagai pengaman komunitas petani dari serbuan kapitalisme. Berlangsungnya beragam mekanisme penguasaan sumberdaya agraria yang memberi jalan pada proses polarisasi dan stratifikasi secara bersamaan ternyata telah melahirkan bentuk struktur sosial masyarakat agraris yang memiliki tipe “stratifikasi - timpang”. Struktur sosial masyarakat agraris tersebut terdiferensiasi dalam banyak lapisan, baik lapisan yang dibentuk oleh status tunggal maupun lapisan yang dibentuk oleh status kombinasi.
Selain itu, struktur sosial
masyarakat agraris tersebut disertai dengan semakin timpangnya luas pemilikan sumberdaya agraria. Berbasis pada penguasaan sumberdaya agraria, hasil penelitian di empat komunitas petani di Propinsi Sulawesi Tengah dan NAD menunjukkan bahwa struktur sosial masyarakat agraris disusun oleh beberapa lapisan, baik lapisan yang bertumpu pada satu status (status tunggal) dimana status dimaksud merupakan basis dasar pelapisan masyarakat maupun lapisan yang berbasiskan kombinasi beberapa status secara kompleks (status kombinasi). Secara rinci, lapisan-lapisan masyarakat agraris dengan status tunggal terdiri dari : 1) petani pemilik, 2) petani penggarap, dan 3) buruh tani. Sementara itu, lapisan-lapisan masyarakat agraris dengan status kombinasi terdiri dari : 1) petani pemilik + penggarap127, 2) petani pemilik + penggarap + buruh tani, 3) petani pemilik + buruh tani, dan 4) petani penggarap + buruh tani. Lebih lanjut, lapisan petani penggarap dan petani penggarap + buruh tani dapat dikelompokkan sebagai ”tunakisma tidak mutlak” (masih mempunyai akses untuk menguasai sumberdaya agraria meskipun hanya melalui penguasaan sementara) sedangkan lapisan buruh tani dikelompokkan sebagai ”tunakisma mutlak” (sama-sekali tidak mempunyai akses untuk menguasai sumberdaya agraria). Pada saat penelitian berlangsung, petani tunakisma tidak mutlak maupun petani tunakisma mutlak sudah muncul di semua komunitas petani lokasi penelitian. Bahkan di komunitas petani Desa Jono Oge (Sulawesi Tengah), proporsi petani tunakisma tidak mutlak sudah mencapai 6,9 % dan proporsi tunakisma mutlak
127
Penggarap adalah petani yang mengusahakan lahan milik orang lain, umumnya melalui bagi hasil (pola penggarap lain adalah gadai dan sewa)
248
sudah mencapai 27,3 % sehingga jumlah seluruh tunakisma sudah mencapai 34,2 % dari total rumahtangga petani. Selain itu, berdasarkan analisa gini ratio, ternyata ketimpangan pemilikan sumberdaya agraria total128 juga sudah muncul di semua komunitas kasus, meskipun tingkat ketimpangannya tidak sama. Tingkat ketimpangan ”Tinggi” muncul dalam komunitas petani di Desa Jono Oge dan Cot Baroh/Tunong, ”Sedang” muncul dalam komunitas petani di Desa Tondo, dan “Rendah” muncul dalam komunitas petani di Desa Ulee Gunong. Bahkan, bila analisa ketimpangan diterapkan pada sumberdaya agraria produktif
129
ternyata
sebagian besar komunitas petani di lokasi penelitian berada pada tingkat ketimpangan Tinggi, kecuali komunitas petani di Desa Cot Baroh/Tunong (tingkat ketimpangan Rendah) 130. Setelah para petani terintegrasi dengan moda produksi yang semakin kapitalis melalui pengusaahaan kakao untuk memenuhi kebutuhan pasar dan penguasaahn padi sawah yang semakin intensif yang kemudian diikuti oleh transformasi struktur agraria dan diferensiasi sosial masyarakat agraris, ternyata perubahan tersebut berimplikasi pada meningkatnya diferensiasi kesejahteraan dalam komunitas petani. Dalam hal ini, berdasarkan status kesejahteraan, komunitas petani di seluruh lokasi penelitian terbagi dalam tiga lapisan, yaitu : “petani kaya”, “petani sedang”, dan “petani miskin”. Lebih lanjut, hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan-perubahan yang terjadi belum mampu mensejahterakan sebagian besar petani. Beradasarkan lapisan kesejahteraan, ternyata sebagian besar petani di desa-desa kasus di NAD berada pada lapisan miskin. Kondisi yang relatif lebih baik terjadi di desa-desa kasus di Sulawesi Tengah, dimana proporsi lapisan petani miskin dan lapisan petani sedang dalam komunitas petani relatif seimbang, tetapi proporsi petani kaya masih relatif sedikit. Di semua komunitas petani kasus, munculnya lapisan
128
Sumberdaya agraria total adalah seluruh sumberdaya agraria milik petani, termasuk sumberdaya agraria yang tidak diusahakan (tidak ada tanamannya) atau ada tanamannya tetapi tidak berproduksi (tidak menghasilkan)
129
Sumberdaya agraria produktif adalah hanya sumberdaya agraria yang ada tanamannya dan tanaman tersebut berproduksi
130
Nilai Gini Ratio < 0,4 = Ketimpangan Rendah, 0,4 – 0,5 = Ketimpangan Moderat/Sedang, dan > 0,5 = Ketimpangan Tinggi
249
petani miskin tidak hanya terjadi pada petani tunakisma (mutlak maupun tidak mutlak) tetapi juga pada lapisan petani pemilik, terutama lapisan petani yang luas sumberdaya agraria miliknya relatif sempit (kurang dari dua ha). Dengan menggunakan analisa gini ratio, sebenarnya ketimpangan penghasilan dan pengeluaran di empat komunitas kasus umumnya masih berada pada kategori rendah, kecuali ketimpangan penghasilan di Desa Jono Oge yang tergolong Tinggi dan ketimpangan penghasilan di Desa Tondo yang tergolong Sedang.
Namun
demikian rendahnya ketimpangan tersebut tidak dapat dimaknai sebagai kondisi yang baik karena sebagian besar petani belum sejahtera. Perubahan struktur agraria dan struktur sosial masyarakat agraris juga mulai mengancam keamanan sosial ekonomi petani (terutama bagi petani tunakisma miskin). Pada saat ini, ”tangga” tempat berjalannya proses peningkatan kesejahteraan petani sudah semakin tertutup. Padahal sebelumnya banyak petani tunakisma miskin yang mampu meningkatkan status kesejahteraannya melalui tangga berikut : petani yang awalnya tunakisma mutlak (buruh tani) dapat menguasai lahan melalui tangga ”penggarap bagi hasil” (pemilik sementara) dan/atau ”penggarap bagi kebun” atau “penggarap bagi tanaman” (pemilik sempit), dan selanjutnya mereka dapat melakukan akumulasi lahan sehingga menjadi pemilik sedang dan/atau pemilik luas. Pada komunitas petani juga sedang terjadi proses pemiskinan dan mulai muncul problema 131 kesejahteraan. Beberapa situasi yang potensial mempercepat proses pemiskinan petani adalah: kenaikan harga kebutuhan pokok dan modal produksi yang lebih besar dibanding kenaikan harga-harga hasil pertanian, semakin banyaknya jumlah dan/atau ragam kebutuhan pokok sehari-hari maupun modal produksi yang harus dibeli petani, produktivitas sumberdaya agraria menurun akibat menurunnya kesuburan dan/atau ketersediaan air, hilangnya katup pengaman penghasilan minimal yang berasal dari sumberdaya agraria milik komunal, serta berkurangnya luas sumberdaya agraria per rumahtangga karena cadangan sumberdaya agraria untuk usaha pertanian tidak tersedia lagi sedangkan jumlah anggota komunitas terus bertambah. Sementara itu, beberapa situasi yang potensial mendorong terjadinya problema kesejahteraan petani adalah sumberdaya 131
Adanya warga komunitas yang jumlah pengeluarannya dibawah garis kemiskinan.
250
agraria yang ada dalam komunitas petani tidak dapat memberikan penghasilan minimal (setara garis kemiskinan) dan bersamaan dengan itu tidak tersedia sumber penghasilan alternatif (penghasilan dari sumber non pertanian). Realitas munculnya moda produksi ”amphibian”, munculnya transformasi struktur agraria dari penguasaan kolektif ke perorangan, munculnya diferensiasi sosial masyarakat agraris dalam bentuk ”stratifikasi” dengan pemilikan sumberdaya agraria yang semakin timpang, serta munculnya diferensiasi kesejahteraan petani (Gambar 10.1) ternyata terjadi di semua komunitas petani kasus. Perbedaan yang muncul di antara komunitas petani lebih nampak pada perbedaan “ukuran” realitas, bukan perbedaan ”bentuk” realitas. Nampaknya, kesamaan tingkat kapitalisme yang masuk melalui jenis tanaman dan tipe sistem pertanian yang sama mendorong munculnya kesamaan bentuk transformasi struktur agraria serta diferensiasi sosial dan kesejahteraan dalam komunitas petani, meskipun mereka mempunyai latar belakang etnis berbeda. Fakta ini juga menunjukkan bahwa komunitas petani yang mempunyai latar belakang etnis berbeda ternyata mempunyai kemampuan yang relatif sama dalam hal membendung pengaruh kapitalisme. Dengan kata lain, yang terjadi dalam komunitas petani adalah commodity-driven relation of production bukan etnics-driven relation of production. Dalam hal perbedaan ukuran realitas di antara empat komunitas petani kasus, komunitas petani yang berlatar belakang etnis Bugis (di Desa Jono Oge) mempunyai perbedaan yang sangat menonjol. Perbedaan tersebut muncul pada lebih tingginya intensitas penerapan elemen moda produksi yang berciri kapitalis, intensitas mekanisme penguasaan sumberdaya agraria yang memberi jalan pada pembentukan struktur sosial masyarakat agraris yang semakin terpolarisasi, tingkat ketimpangan dalam penguasaan sumberdaya agraria, dan tingkat ketimpangan dalam kesejahteraan warga komunitas. Di desa ini, meskipun sudah muncul ”petani sangat luas” yang memiliki lahan seluas 75 ha, tetapi dalam pengelolaan usahatani (terutama usahatani padi sawah dan kebun kakao) masih memilih menerapkan pola bagi hasil bersama petani penggarap. Padahal berdasarkan perhitungan ekonomi, bilamana ”petani sangat luas” tersebut melakukan sendiri pengelolaan usahatani miliknya dan disertai dengan penggunaan buruh tani maka petani tersebut akan memperoleh pendapatan yang lebih besar.
251
Dari empat komunitas petani yang dipilih sebagai lokasi penelitian, tiga di antaranya berada pada wilayah ekologi dataran rendah yang mempunyai komunitas petani “kombinasi”. Dalam hal ini, sebagian anggota komunitas merupakan petani yang mengusahakan padi sawah dan kakao secara bersamaan dengan sistem pertanian menetap sedangkan sebagian petani lainnya hanya mengusahakan kakao atau hanya mengusahakan padi sawah tetapi juga dengan sistem pertanian menetap. Bahkan di Desa Jono Oge (Propinsi Sulawesi Tengah) dan di Desa Cot Baroh (Propinsi NAD), petani yang mengusahakan padi sawah dan kakao secara bersamaan merupakan bagian terbesar. Potret tiga komunitas petani tersebut menunjukkan bahwa gambaran komunitas petani di “Indonesia Luar” (Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Nusatenggara) tidak “relevan” lagi dengan kesimpulan Geertz yang dibuat dari hasil studi lapang yang dilakukannya awal tahun 50 an tentang tipe komunitas petani “Indonesia Luar” yang berbeda sangat kontras dengan tipe komunitas petani “Indonesia Dalam” (Jawa). Pada saat itu, Geertz membuat kesimpulan bahwa desa-desa di “Indonesia Dalam” merupakan desa “pos-tradisional” sedangkan desa-desa di “Indonesia Luar” merupakan desa “tradisional”.
10.2. Implikasi 10.2.1. Teoritis Pada sebuah komunitas petani kecil (peasant) yang masih menerapkan hubungan sosial produksi dengan landasan “prinsip moral tradisional”, pengaruh kapitalisme masuk dengan cara “merembes” sehingga tidak melenyapkan moda produksi non-kapitalis yang sudah berjalan lama dalam komunitas petani. Oleh sebab itu, para petani dalam komunitas tersebut menjalankan beberapa elemen moda produksi berbeda secara bersamaan, baik elemen-elemen moda produksi yang masih mempunyai ciri non-kapitalis, elemen-elemen moda produksi yang sudah mempunyai ciri kapitalis, maupun elemen-elemen moda produksi yang mempunyai ciri keduanya. Proses merembesnya pengaruh kapitalisme tersebut umumnya berlangsung melalui aktivitas penguasaan modal non-lahan (bahan/alat produksi, modal finansial) serta melalui aktivitas “penjualan hasil produksi” para petani (terutama biji kakao).
252
Selain itu, pengaruh kapitalime yang berlangsung “tidak membelah” komunitas petani menjadi beberapa bagian (kelompok) yang terpisah akibat perbedaan praktek moda produksi yang mereka jalankan. Pengaruh kapitalisme tersebut justru menjadikan para petani harus berjalan di atas dua moda produksi berbeda secara bersamaan, yaitu moda produksi kapitalis dan moda produksi nonkapitalis. Bersamaan dengan itu, walaupun dalam komunitas petani dimaksud mulai muncul ketidaksamaan (khususnya dalam penguasaan modal produksi lahan dan non lahan) tetapi ketidaksamaan tersebut belum terlalu tajam. Oleh sebab itu, ketidaksamaan tersebut belum diikuti oleh hubungan sosial produksi yang bersifat eksploitatif. Selain itu, pada aras mikro (komunitas), hubungan sosial produksi yang “eksploitatif” masih tertahan oleh kuatnya ikatan moral tradisional (terutama hubungan kekerabatan dan keteanggaan) yang melandasi hubungan sosial produksi tersebut. Bertolak dari realitas hampir seluruh anggota komunitas petani menerapkan elemen-elemen moda produksi kapitalis dan pra kapitalis secara bersamaan, maka dalam komunitas petani (aras mikro) tidak terjadi “artikulasi moda produksi” yang diikuti “formasi sosial”. Dengan kata lain, dalam komunitas petani tidak terjadi dominasi moda produksi kapitalis terhadap moda produksi non-kapitalis serta tidak terjadi dominasi yang dilakukan oleh kelompok (sebagian anggota komunitas) yang menerapkan moda produksi kapitalis terhadap kelompok (sebagian anggota komunitas) yang menerapkan moda produksi non-kapitalis. Realitas terjadinya praktek moda produksi kapitalis dan non kapitalis yang dijalankan secara bersamaan oleh petani yang sama serta realitas tidak terjadinya artikulasi moda produksi dan formasi sosial dalam komunitas petani mengindikasikan bahwa dalam komunitas petani terdapat sebuah tipologi praktek moda produksi transisional tertentu yang khusus (berbeda). Dengan demikian, praktek moda produksi yang dijalankan para petani tersebut meskipun sama-sama merupakan moda produksi transisional tetapi tidak termasuk kategori artikulasi moda produksi. Oleh sebab itu, praktek moda produksi para petani tersebut diberi nama khusus, yaitu “strategi amphibian”.
253
Dalam hal perubahan struktur sosial masyarakat agraris, pengaruh kapitalisme pada sebuah komunitas petani kecil yang masih menerapkan hubungan sosial produksi dengan landasan prinsip moral tradisional telah mendorong munculnya mekanisme penguasaan sumberdaya agraria yang memberi jalan pada proses polarisasi dan stratifikasi struktur sosial masyarakat secara bersamaan. Walaupun demikian, masih dominannya mekanisme yang mendorong proses stratifikasi ternyata tidak melahirkan struktur sosial masyarakat agraris yang terpolarisasi tetapi hanya melahirkan struktur sosial masyarakat agraris dengan tipologi “stratifikasi - timpang”.
Struktur sosial masyarakat agraris tersebut terdiferensiasi
dalam banyak lapisan dengan “status tunggal” (pemilik, penggarap, buruh upahan) maupun “status majemuk” (kombinasi di antara tiga status tunggal). Bersamaan dengan itu, dalam struktur sosial masyarakat agraris yang terstratifikasi tersebut luas pemilikan sumberdaya agraria semakin timpang serta akses petani tunakisma dalam penguasaan sumberdaya agraria semakin berkurang akibat semakin dominannya peranan modal non lahan. Walaupun demikian, masih berjalannya hubungan sosial produksi tradisional “penguasaan sementara” menyebabkan jumlah warga komunitas yang secara mutlak terlepas dari penguasaan alat produksi lahan (tunakisma mutlak) masih merupakan bagian terkecil. Perubahan struktur sosial mayarakat agraris (masyarakat tani) yang terjadi dalam komunitas petani tersebut ternyata berbeda dengan hipotesa Marx yang menyebutkan bahwa pengaruh kapitalisme akan melahirkan “polarisasi” masyarakat tani menjadi hanya dua kelas yang terbelah, yaitu “kelas borjuis” yang memiliki alat produksi lawan “kelas proletar” yang tidak menguasai alat produksi sehingga kemudian dieksploitasi. Selain itu, para petani luas yang ada dalam komunitas petani tidak bertransformasi menjadi kapitalis kecil (a petty capitalist) yang mengeksploitasi tenaga kerja petani lain (buruh tani). Dalam hal ini, para petani luas masih menerapkan hubungan sosial produksi pemilikan sementara “bagi hasil” manakala mereka memerlukan kerjasama dengan petani tunakisma untuk mengusahakan lahan miliknya. Implikasi lebih lanjut dari struktur sosial masyarakat agraris yang terstratifikasi adalah tidak munculnya “kesadaran kelas” petani, sehingga kemudian tidak melahirkan sebuah “gerakan petani”.
254
10.2.2. Kebijakan Fakta di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar petani berbasis usahatani kakao masih miskin dan kemiskinan tersebut berawal dari persoalan struktur penguasaan sumberdaya agraria kemudian semakin memburuk dengan adanya persoalan dalam proses produksi. Oleh sebab itu, kebijakan pembangunan pertanian yang disusun harus mempunyai komponen yang lengkap dan ditujukan untuk mengatasi kedua fokus persoalan tersebut. Dengan kata lain, program tersebut perlu diletakkan dalam sebuah rangkaian yang tidak terpisahkan dimana pembukaan/penguatan akses petani dalam penguasaan sumberdaya agraria diperlukan sebagai “pembuka jalan” bagi petani miskin untuk menguasai lapangan berusaha. Bersamaan dengan itu, program supporting system juga diperlukan para petani miskin untuk “meyempurnakan jalan” agar mereka dapat menguasai modal non-lahan (teknologi, bahan/alat, modal finansial) sehingga mereka dapat mengusahakan sumberdaya agraria yang telah dikuasainya secara produktif. Dalam jangka pendek, persoalan kemiskinan petani yang terkait dengan “masalah struktural” dalam penguasaan sumberdaya agraria, yaitu munculnya masyarakat agraris yang “terstratifikasi” sehingga muncul lapisan “petani pemilik sempit - miskin” dan “tunakisma – miskin” perlu diatasi melalui pengaturan penguasaan sumberdaya agraria yang memberikan akses seluas-luasnya kepada mereka (bukan kepada petani kaya atau perusahaan besar). Para petani dimaksud harus menguasai sumberdaya agraria dengan luas yang memadai (minimal 2,2 hektar)
132
.
Kebijakan tersebut dapat ditempuh melalui program redistribusi
sumberdaya agraria yang terlantar dan/atau tidak diusahakan secara produktif oleh perusahaan besar serta melalui program pembukaan areal-areal baru. Dalam jangka panjang, upaya mengatasi persoalan struktural tersebut harus dibarengi dengan pembukaan lapangan berusaha dan bekerja non pertanian agar dapat menyerap pertumbuhan warga komunitas petani yang selama ini terus 132
Hasil penelitian Fadjar dkk (2006) di Pidie NAD menunjukkan bahwa bila petani mengusahakan kebun kakao dengan cara tidak intensif sehingga produktivitas kebun hanya 400 kg/ha/tahun (sebagaimana umumnya yang mereka lakukan sekarang), maka untuk mencapai tingkat sejahtera secara berkelanjutan (mampu membiayai hidup sehari-hari, menyekolahkan anak minimal sampai SMA, dan merehabilitasi kebun mereka minimal harus mempunyai kebun kakao seluas 5,99 ha). Sementara itu, bila mereka mengusahakan kebun kakao secara intensif sehingga produktivitas kebun mencapai 900 kg/ha/tahun, untuk mencapai tingkat sejahtera secara berkelanjutan mereka perlu lahan seluas minimal 2,2 ha.
255
menerus harus ditampung di sektor pertanian. Bila tidak demikian, meskipun struktur masyarakat agraris yang terstratifikasi memiliki kemampuan untuk menampung warga komunitas yang terus bertambah tetapi realitas tersebut akan diikuti dengan meningkatnya “gejala involusi”. Lebih lanjut, meningkatnya gejala involusi akan meningkatkan “problema kemiskinan” dalam komunitas petani karena tingkat kehidupan (kesejahteraan) sebagian besar warga komunitas tersebut akan berada pada garis kemiskinan (hanya mampu bertahan hidup) atau bahkan berada di bawah garis kemiskinan (kelaparan). Sementara itu, persoalan kemiskinan petani yang terkait dengan ketidakmampuan mereka dalam melaksanakan tata cara produksi yang produktif perlu diatasi dengan peningkatan akses mereka dalam penguasaan modal produksi, baik berupa bahan/alat produksi maupun modal finansial. Dalam hal penguasaan bahan /alat produksi yang umumnya tidak diproduksi oleh para petani sendiri dan mereka harus membelinya, maka pemerintah harus mempunyai kebijakan yang mampu “mengontrol” penyediaan bahan/alat produksi tersebut sehingga dapat dikuasai para petani secara tepat waktu; tepat jumlah; serta dengan harga yang murah. Kemudian dalam hal peguasaan modal finansial yang diperlukan para petani untuk menguasai baha/alat produksi non-lahan, pemerintah perlu mempunyai program penyediaan kredit dengan bunga sangat ringan atau bahkan tanpa bunga. Selain itu, penyaluran kredit tersebut harus disertai dengan persyaratan yang tidak bersifat “diskriminatif” sehingga lapisan petani pemilik-sempit miskin dapat ikut sebagai peserta. Manakala program penyaluran kredit modal finansial hanya diterima oleh para petani pemilik kaya, maka program tersebut hanya akan menyuburkan mekanisme-mekanisme penguasaan sumberdaya agraria dan/atau hubungan sosial produksi yang semakin tertutup. Lebih lanjut, diterapkannya mekanismemekanisme tersebut akan memperkuat jalan bagi berlangsungnya proses pembentukan masyarakat agraris yang semakin terpolarisasi. Selain adanya kebijakan program pembangunan perkebunan yang sungguhsungguh ditujukan bagi petani pemilik sempit - miskin dan tunakisma – miskin, sebaiknya para petani dimaksud juga memperoleh kesempatan utnuk berpartisipasi penuh dalam merencanakan dan melaksanakan program yang diperuntukkan bagi mereka. Kemudian dalam mengimplementasikan program tersebut, “peran
256
kontrol” pemerintah harus kuat. Dalam menjalankan fungsinya, para penyelenggara negara harus mengedepankan kemakmuran rakyat. Dengan demikian, program tersebut sungguh-sungguh diterima oleh para petani pemilik-sempit miskin dan tunakisma miskin, sehingga. implementasi program tersebut tidak berdampak pada peningkatan ketimpangan dalam pemilikan sumberdaya agraria.. Ditinjau dari sisi perbaikan struktur penguasaan sumber daya agraria, kebijakan pembangunan perkebunan yang memberikan prioritas penguasaan akses sumberdaya agraria kepada warga komunitas petani akan lebih baik dibanding kebijakan yang memberikan prioritas akses penguasaan sumberdaya agraria kepada perusahaan besar. Kebijakan yang terlalu memberikan prioritas kepada perusahaan besar akan melapangkan jalan bagi berlangsungnya proses “pengkutuban” komunitas petani menjadi dua lapisan yang terbelah, yaitu: “penguasa lahan” yang sangat kaya dan “buruh tani tunakisma - miskin”. Bila realitas sosial tersebut yang terjadi, maka realitas yang akan muncul kemudian adalah konflik petani yang berlangsung terus meneurus.
257
Barbaric
Ekonomi Primitif (Ekstraktif)
Perladangan Berpindah (Shifting Cultivation)
Pertanian Menetap (Sedentary Cultivation) STRUKTUR MASYARAKAT AGRARIS :
Privatisasi
Penguasaan Sumberdaya Agraria “Kolektif”
Penguasaan Sumberdaya Agraria “Kolektif”
Moda Produksi “Non-kapitalis”
Penguasaan Sumberdaya Agraria “Perorangan”
Moda Produksi Transisi
“Stratifikasi dengan Pemilikan Sumberdaya Agraria yang Semakin Timpang”
DIFERENSIASI KESEJAHTERAAN PETANI : “Kaya, Sedang, Miskin”
Moda Produksi “Kaptalis”
“STRATEGI AMPHIBIAN” DALAM PRAKTEK MODA PRODUKSI
Masa Pra Kontemporer (sebelum Indonesia merdeka)
Masa Kontemporer (sejak Indonesia merdeka)
Gambar 10.1. Transformasi Moda Produksi dan Struktur Agraria serta Implikasinya Terhadap Diferensiasi Sosial Masyarakat Agraris dan Kesejahteraan dalam Komunitas Petani. (Berdasarkan Pengalaman di Sulawesi Tengah dan NAD)
258
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Taufik. 1996. Di Sekitar Sejarah Lokal di Indonesia dalam Taufik Abdullah (editor), Sejarah Lokal di Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Adimihardja, Kusnaka. 1999. Hak Sosial Budaya Masyarakat Adat dalam Sandra Kartika dan Candra Gautama (Penyunting) Menggugat Posisi Masyarakat Adat Terhadap Negara. Prosiding Saresehan Masyarakat Adat Nusantara. Jakarta Bendix, Reinhard dan Seymour Martin Lipset. 1966. Class, Status, and Power : Social Stratification in Comparative Perspective. Second Edition. The Free Press, New York. Billah, Wijayanto, dan Krystianto. 1984. Segi Penguasaan Tanah dan Dinamika Sosial di Pedesaan Jawa dalam Tjondronegoro (penyuning) Dua Abad Penguasaan Tanah : Pola Penguasaan Tanah di Jawa dari Masa ke Masa. PT Gramedia. Jakarta Boeke, J. H. 1982. Memperkenalkan Teori Ekonomi Ganda dalam Sajogyo (Penyunting) Bungan Rampai Perekonomian Desa. Yayasan Obor Indonesia. Carswell, Grace. 1997. Agricultural Intensification and Rural Sustainable Livelihoods : A Think Piece”. Working Paper 64. Institut of Development Studies. Denzin. Norman K. dan Yvonna S. Lincoln. 2000. Handbook of Qualitative Research. Sage Publication, Inc. London. United Kingdom. Dharmawan, Arya Hadi. 2001. Farm Household Livelihoold Strategies and Socio-economic Changes in Rural Indonesia. Disertasi. Wissenschaftsverlag Vauk Kiel KG. Gottingen Direktorat Jenderal Perkebunan. 1992. Statistik Perkebunan Indonesia 1990 – 1992 : Kakako. Direktorat Jenderal BP Perkebunan. Jakarta. Direktorat Jenderal Perkebunan. 1994. Statistik Perkebunan Indonesia 1992 – 1994 : Kakako. Direktorat Jenderal BP Perkebunan. Jakarta. Direktorat Jenderal Perkebunan. 1996. Statistik Perkebunan Indonesia 1995 – 1997 : Kakako. Direktorat Jenderal BP Perkebunan. Jakarta. Direktorat Jenderal Perkebunan. 1997. Statistik Perkebunan Indonesia 1996 – 1998 : Kakako. Direktorat Jenderal BP Perkebunan. Jakarta. Direktorat Jenderal Perkebunan. 2001. Statistik Perkebunan Indonesia 1999 – 2001 : Kakako. Direktorat Jenderal BP Perkebunan. Jakarta.
259
Direktorat Jenderal Perkebunan. 2003. Statistik Perkebunan Indonesia 2000 – 2002 : Kakako. Direktorat Jenderal BP Perkebunan. Jakarta. Direktorat Jenderal Perkebunan. 2006. Statistik Perkebunan Indonesia 2003 – 2005 : Kakako. Direktorat Jenderal BP Perkebunan. Jakarta. Direktorat Jenderal Perkebunan. 2007. Perkembangan Persiapan Program Revitalisasi Perkebunan : Bahan Dukungan Badan Litbang dalam Program Revitalisasi Perkebunan. Direktorat Jenderal BP Perkebunan. Jakarta Deininger, Klaus. 2002. Land Policies for Growth and Proverty Reduction. World Bank and Oxford University Press. Drajat, B. dkk.. 2007. Laporan Kegiatan Primatani di Sulawesi Tengah. Lembaga Riset Perkebunan Indonesia. Bogor. Fadjar, Undang dkk. 2001. Pengembangan Modal Sosial dan Manajemen Sosial untuk Mengatasi Konflik Antara Perkebunan Besar dengan Perkebunan Rakyat. Laporan Penelitian. LRPI. Bogor Fadjar, Undang dkk. 2002. Penduduk, Kebun Karet, dan Kemiskinan. Lembaga Riset Perkebunan Indonesia. Bogor. Fadjar. 2004. Komunitas Petani Karet di Musi Rawas. Laporan Kajian Komunitas Calon Petani Program Rehabilitasi Karet Rakyat. FAO – ADB. Jakarta Fadjar, Undang dkk. 2006. Studi Pengembangan Kakao di Kabupaten Pidie – NAD. Laporan Penelitian. Kerjasama LRPI – CIRAD. Bogor. Fremerey, M. dan S. Amini. 2002. Socoal Organization and Processes of Ecological Stabilization and Destabilization : Comparative Analysis. Geertz, C. 1976. Involusi Pertanian, Proses Perubahan Ekologi di Indonesia. Bharatara Karya Aksara, Jakarta. Giddens, Anthony. 1997. Sociology. Blackwell Publishers Ltd. Oxford, UK. Gunawan, M. 1986. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengalihan Hak Penggunaan Lahan di Pedesaan. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang, Departemen Pertanian. Bogor. Haan, Leo J. de. 2000. Globalization, Localization, and Sustainable Livelihood. Sociologia Ruralis, Volume 40. Number 3. Blackwell Publishers. Oxford. Hasyim, Wan. 1988. Peasant under Peripheral Capitalism. Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia.
260
Hayami, Yuziro dan Masao Kikuchi. 1987. Dilema Ekonomi Desa. Suatu Pendekatan Ekonomi Terhadap Perubahan Kelembagaan di Asia. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Humairah, Sabri. 1992. Eksistensi Hak Milik AtasTanah Menurut Hukum Adat di Wilayah Provinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah Setelah 30 Tahun Kehadiran Undang-undang Pokok Agraria.Balai Penelitian Universitas Tadulako. Kahn, Joel S. 1974. Economic Integration and The Peasant Economy: The Minangkabau (Indonesia) Blacksmiths. Disertasi University of London. Kano, Hiroyoshi. 1984. Penguasaan Tanah dan Diferensiasi Masyarakat Desa dalam S.M.P. Tjondronegoro (editor) Dua Abad Penguasaan Tanah : Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa Dari Masa Ke Masa. PT Gramedia. Jakarta. Koentjaraningrat. 1990. Sejarah Teori Antropologi II. UI - Press. Jakarta. Kroef, Justus van der. 1984. Penguasaan Tanh dan Struktur Sosial di Pedesaan Jawa dalam S.M.P. Tjondronegoro (editor) Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa Dari Masa Ke Masa. PT Gramedia. Jakarta. Lewis, O. 1988. Kisah Lima Keluarga. Telaah-telaah Kasus Orang Meksiko dalam Kebudayaan Kemiskinan. Yayasan Obor. Jakarta Li, Tania Murray. 2002. Local Histories, Global Market : Cocoa and Class in Upland Sulawesi. Development and Change 33 (3); 415 – 437 (2002). Institut of Social Studies 2002. Published by Blackwell Publishers. Oxford. Li, Tania Murray. 2008. Articulating Indigenous Identity in Indonesia : Resource Politics and the Tribal Slot dalam Dove and Carpenter (editor) Enviromental Antropology : A Historical Reader. Blackwll Publishing. Hongkong Marzali, Amri. 1991. Beberapa Pendekatan Dalam Kajian Tentang Respon Petani Terhadap Tekanan Penduduk di Jawa dalam Jurnal Ilmu - Ilmu Sosial, No. 4 Mattulada. 2007. Kebudayaan Bugis-Makasar dalam Koentjaraningrat (editor) Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Djambatan. Jakarta. Misnawi, 2008. Peningkatan Pendapatan Petani Kakao Pidie Jaya Melalui Perbaikan Mutu Dan Pemasaran. Makalah Workshop Pengembangan Kakao di Kabupaten Pidie Jaya NAD Morales, Horacio R. at all. 2001. Power in The Village. Agrarian Reform, Rural Politics, Institutional Change and Globalitation. Project Development Institue and University of Philippines Press.
261
Mosher, Arthur T. 1986. Thinking About Rural Development. Agricultural Development Council, Inc. New York. Netting, Robert McC. 1993. Smallholders, Householders : Farm Families and the Ecology of Intensive, Sustainable Agriculture. Stanford University Press. California. Newman, W. Lawrence. 1997. Social Research Methods. Qualitative and Quantitative Approaches. Allyn and Bacon. Boston. Pearse, Andrew. 1975. Metropolist and Peasant : The Expansion of The UrbanIndustrial Complex and The Changing Rural Structure dalam Peasants and Peasant Societies Edited by Teodore Shanin. Penguin Books. New Zealand. Penny, D. H. 1969. Growth of “Economic-Mindedness” Among Small Farmers in North Sumatera, Indonesia dalam Clifton R. Wharton Jr. (editor) Subsistence Agriculture and Economic Development. Alding Publishing Company. Chicago. Ponsioen, J.A. 1969. The Analysis of Social Change Reconsidered. A Sociological Study. Mouton & Co. Netherlands. Popkin, Samuel L. 1986. Petani Rasional. Lembaga Penerbit Yayasan Padamu Negeri. Jakarta. Ray, Christhoper. 2002. A Mode of Production for Fragile Rural Economics: The Territorial Accumulation of Form of Capital. Journal of Studies. 18 (2002) 225-231. Ritzer, George. 1996. Modern Sociological Theory. The Mc Graw Hill Companies. Roesmanto, Joko. 1991. Kakao : Kajian Sosial Ekonomi. Aditya Media. Yogyakarta. Ruf, Francois dan Yoddang. 2005. Adopsi Kakao dalam Francois Ruf dan Frederic Lancon (editor) Dari Sistem Tebas dan Bakar ke Peremajaan Kembali : Revolusi Hijau di Dataran Tinggi Indonesia. Salemba Empat. Jakarta. Rusli, S. 1982. Pengantar Ilmu Kependudukan. LP3ES, Jakarta. Russel, James W. 1989. Modes of Production in World History. Routledge. London and New York Shanin, Teodor. 1990. Defining Peasant. Essays Conserning Rural Societies, Expolary Economies, and Learning from them in the Contemporary World. Basil Blackwell. Cambridge.
262
Sajogyo. 1985. Penduduk dan Pola Penggunaan Tanah dalam S.M.P. Tjondronegoro, S. Rusli, dan U. Tuanaya (Penyunting) Ilmu Kependudukan : Suatu Kumpulan Bacaan. Erlangga. Jakarta. Sajogyo. 2002. Struktur Agraria, Proses Lokal, dan Pola Kekuasaan dalam E. Suhendar dkk. (penyunting) Menuju Keadilan Agraria. AKATIGA. Bandung Scott, James C. 1989. Moral Ekonomi Petani. Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara. LP3ES. Jakarta. Setiawan, B. 1997. Konsep Pembaharuan Agraria: Sebuah Tinjauan Umum dalam Dianto Bachriadi, dkk. (editor) Reforma Agraria: Perubahan Politik, Sengketa, dan agenda Pembaharuan agraria. Shryock, H.S dan J.S. Siegel. 1976. The Methods and Materials of Demography. Academic Press, 1976. Sitorus, MT. Felix. 1999. Pembentukan Golongan Pengusaha Lokal di Indonesia. Pengusaha Tenun dalam Masyarakat Batak Toba. Disertasi. Fakultas Pascasarjana IPB. Sitorus, M.T. Felix dan Gunawan Wiradi. 1999. Pengantar dari Penyunting dalam Felix M.T. Sitorus dan Gunawan Wiradi (penyunting) Sosiologi Agraria: Kumpulan Tulisan Terpilih. Yayasan AKATIGA. Bandung. Sitorus, MT. Felix. 2002. “Revolusi Coklat” : Social Formation, Agrarian Structure, and Forest Margins in Upland Sulawesi, Indonesia. Storma Discussion Paper Series. Sub Program A Social and Economic Dynamics in Rain Forest Margin. Soemardjan, S. 1980. Kemiskinan Struktural dan Pembangunan dalam Alfian, et. al. (Eds.). Kemiskinan Struktural: Suatu Bunga Rampai. Yayasan Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta. Soentoro. 1980. Pengaruh Penguasaan Tanah Terhadap Keadaan Sosial Ekonomi di Pedasaan. Studi Kasus Dua Desa di Jawa Timur. Thesis. Sekolah Pasca Sarjana – IPB. Bogor. Soemadisastra, Muchtar. 1977. Kepemimpinan dalam Masyarakat Pedesaan Montasik, Aceh Besar dalam Alfian (editor) : Segi-Segi Sosial Budaya Masyarakat Aceh. Hasil-Hasil Penelitian dengan Metode ”Grounded Research”. Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial. Jakarta Stake, Robert E. 2000. Case Studies dalam Norman K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln (ed) : Handbook of Qualitative Research. Sage Publication, Inc. London. United Kingdom.
263
Stinchcombe, Arthur L. 1966. Agricultural Enterprise and Rural Class Relation dalam Bendix and Lipset (editor) Class, Status, and Power. Social Stratification in Comparative Perspective. The Free Press, New York. Sunderson, Stephen K. 2003. Makro Sosiologi. Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. Soetarto, Endriatmo. 2002. Menuju Pola Penguasaan Tanah Yang Merata dan adil: Implementasi Pemetaan Partisipatoris Hak-hak Tenurial Sumberdaya Hutan di Kalimantan Barat dalam Endang Suhendar (penyunting) Menuju Keadilan Agraria. AKATIGA. Bandung. Sutisna, dkk. 2006. Laporan PRA Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian (Prima Tani). Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara. Syahyuti. 2002. Pembentukan Struktur Agraria Pada Masyarakat Pinggiran Hutan : Studi Kasus di Desa Sintuwu dan Desa Berdikari, Kecamatan Palolo, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah. Tesis. Program Pascasarjana IPB. Sjamsuddin, T. 2007. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia dalam Koentjaraningrat (editor) Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Djambatan. Jakarta. Syamsuddin, T. 1980. Sistim Gotong Royong Dalam Masyarakat Pedesaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Departemen pendidikan dan Kebudayaan. Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya. Taylor, John G. 1989. From Modernization to Modes of Production. A Critique of Sociologist of Development and Underdevelopment. Macmillan. London. Soewadi, Herman. 1972. Respon Masyarakat Desa Terhadap Modernisasi Produksi Pertanian, Teruatam Padi, Kasus di Jawa Barat. Bandung. Universitas Padjadjaran (Thesis) Temple, G. P. 1976. Mundurnya Involusi Pertanian : Migrasi, Kerja, dan Pembagian Pendapatan di Desa Jawa dalam Majalah Prisma April 1976. LP3ES. Jakarta. Tjondronegoro, Sediono M.P. 1997. Agenda Ilmu Sosial Indonesia. Tinjauan Pribadi dalam Nico Schulte Nordhot & Leontine Visser (Editor) : Ilmu Sosial di Asia Tenggara, dari Partikularisme ke Universalisme. LP3ES Jakarta. Tjondronegoro, Sediono M.P. 1999. Sosiologi Agraria : Kumpulan Tulisan Terpilih. Akatiga.
264
Tjondronegoro, Sediono M.P. 1999. Sumbangan Pendekatan Sejarah dalam Penelitian Survey di Daerah Pedesaan dalam Tjondronegoro (penyunting) Keping Sosiologi Pedesaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Turgot, Condorcet and Emma Rothschild. 1996. The Debate on Economic and Social Security in the Late Eighteenth Century: Lesson of Road Not Taken. Development and Change Vol. 27 No. 2 April 1996. Turner, Jonathan H. 1998. The Structure of Sociological Theory. Sixth Edition. Wadsworth Publishing Company. New York. Yin, Robert K. 2002. Sudi Kasus. Desain dan Metoda. PT. Raja Grafita Persada. Jakarta. Wiradi, G. 1984. Pola Penguasaan Tanah dan Reforma Agraria dalam Tjondronegoro (editor) Dua Abad Penguasaan Tanah : Pola Penguasaan Tanah di Jawa dari Masa ke Masa.. PT Gramedia. Jakarta. Wiradi, G. 2000. Reforma Agraria. Perjalanan Yang Belum Berakhir. Insist Press. Yogyakarta.. Wolf, Eric. R. 1985. Petani : Suatu Tinjauan Antropologis. C.V. Rajawali. Jakarta. Wharton, Clifton R. (1969). Subsistence Agriculture : Concepts and Scope dalam Clifton R. Wharton. (editor) Subsistence Agriculture and Eco-nomic Development. Alding Publishing Company. Chicago.
265
LAMPIRAN Lampiran 1.1.
Luas Areal Perkebunan Komoditas Utama Tahun 2006
Komoditas
PR
PBN
Sawit
2,549,572 39 2,832,982 85 1,219,633 92 1,255,104 96 60,990 45 241,137 57
687,428 10 238,003 7 48,930 4 26,644 2 46,661 34 87,227 21
Karet Kakao Kopi The Tebu
PBS 3,357,914 51 275,442 8 52,257 4 26,983 2 27,939 21 95,338 23
Total 6,594,914 100 3,346,427 100 1,320,820 100 1,308,731 100 135,590 100 423,702 100
Sumber Data : Statistik Perkebunan Indonesia 2006 – 2008 (Dirjenbun, 2007)
266
Lampiran 1.2.
Pola Pengembangan Perkebunan Rakyat Komoditas Sawit
Pola Pengembangan
Karet
KK
%
Proyek
384.814
91,93
a. Plasma
379.724
Kelapa Dalam
Kelapa Hibrida
Kakao
Kopi Robusta
Jambu Mete
KK
KK
%
5,78
137.891
16,23
1.125.283
19,02
-
-
-
-
473.219
8,00
0,49
55.364
2,78
-
-
97.224
1,64
5.579
0,81
5.961
0,30
12.478
1,47
171.732
2,90
7,43
44.362
6,42
17.151
0,86
110.888
13,05
253.419
4,28
8.865
2,93
33.210
4,81
36.439
1,83
14.525
1,71
129.689
2,19
85,99
209.743
69,31
596.296
86,34
1.873.863
94,22
711.567
83,77
4.789.553
80,98
100,00
302.616
100,00
690.636
100,00
1.988.778
100,00
849.458
100,00
5.914.836
100,00
%
KK
%
KK
%
KK
%
288.039
18,27
12.411
14,01
92.873
30,69
94.340
13,66
114.915
90,72
74.432
4,72
-
-
11.226
3,71
7.837
1,13
b. PRTE
-
31.093
1,97
4.442
5,02
2.973
0,98
3.352
c. UPP Berbantuan
-
100.385
6,37
-
-
47.329
15,64
d. Partial
-
51.420
3,26
7.118
8,04
22.480
5.090
1,22
30.709
1,95
851
0,96
33.771
8,07
1.288.161
81,73
76.152
100,00
1.576.200
100,00
e. Swadaya Berbantuan Swadaya Murni Total
418.585
KK
88.563
%
Total
Sumber data : Direktorat Jenderal Perkebunan (2003)
267
Lampiran 1.3.
Perkembangan Luas Lahan Usahatani Kakao
7.000.000 6.000.000
Luas (Ha)
5.000.000 4.000.000 3.000.000 2.000.000 1.000.000 1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
Tahun Gula
Kakao
karet
Kopi
Saw it
Teh
Total
Sumber data : Direktorat Jenderal Perkebunan (2003)
268
Lampiran 5.1.
Analisa Usahatani Sawah yang Umum Dilaksanakan Petani (Teknologi Intensif)
Uraian A. Biaya 1. Tenaga Kerja • Bajak s/d siap tanam • Sanitasi/Rambet • Semprot Rumput • Semprot Hama • Jaga air, dll • Jemur • Pembersihan Pematang • Memupuk • Tanam dan Panen (1/5) • Angkut • Jumlah Biaya Upah 2. Bahan dan Alat • Bibit • Urea • TSP • KCl • Racun Rumput • Racun Hama & Penyakit • Jumlah Biaya Bahan/alat
Satuan
Volume
Harga Satuan
ha HOK HOK HOK HOK HOK HOK HOK liter kuintal
1 10 2 3 64 5 9 6 600 31
750.000 25.000 25.000 25.000 25.000 25.000 25.000 25.000 3.500 3.000
750.000 250.000 50.000 75.000 1.600.000 125.000 225.000 150.000 2.100.000 93.000 5.418.000
blek kg kg kg Btl Btl
6 200 100 100 4 4
17.500 1.350 1.600 2.800 20.000 25.000
105.000 270.000 160.000 280.000 80.000 100.000 995.000
Jumlah Biaya B. Hasil
liter beras
3000
Keuntungan (upah tenaga kerja keluarga dibayar) Keuntungan (upah tenaga kerja keluarga tidak dibayar) Jumlah HOK keluarga Biaya Dibayar / Hasil (%) Biaya Total / Hasil (%)
Jumlah
3.500
6.413.000 10.500.000
4.087.000 6.412.000 99 38 61
269
Lampiran 5.2.
Analisa Usahatani Padi Sawah (semi intensif)
Uraian A. Biaya 1. Tenaga Kerja • Bajak s/d siap tanam • Sanitasi/Rambet • Semprot Rumput • Semprot Hama • Jaga air, dll • Jemur • Pembersihan Pematang • Memupuk • Tanam dan Panen (1/5) • Angkut • Jumlah Upah 2. Bahan dan Alat • Bibit • Urea • TSP • KCl • Racun Rumput • Racun Hama & Penyakit • Jumlah Bahan/alat
Satuan
Volume
Harga Satuan
ha HOK HOK HOK HOK HOK HOK HOK liter kuintal
1 10 2 3 64 5 9 2 240 31
750.000 25.000 25.000 25.000 25.000 25.000 25.000 25.000 3.500 3.000
750.000 250.000 50.000 75.000 1.600.000 125.000 225.000 50.000 840.000 93.000 4.058.000
blek kg kg kg Btl Btl
6 100
17.500 1.350 1.600 2.800 20.000 25.000
105.000 135.000 80.000 100.000 420.000
4 4
Jumlah Biaya B. Hasil
liter beras
1500
Keuntungan (upah tenaga kerja keluarga dibayar) Keuntungan (upah tenaga kerja keluarga tidak dibayar) Jumlah HOK keluarga Biaya Dibayar / Hasil (%) Biaya Total / Hasil (%)
Jumlah
3.500
4.478.000 5.250.000
772.000 3.097.000 93 40 85
Tambahan Biaya • Tenaga Kerja • Bahan/Alat
1.360.000 575.000
Tambahan Hasil
5.250.000
Tambahan Hasil/Tambahan Biaya
2,7
270
Lampiran 5.3.
Analisa Usahatani Kakao dengan Teknologi Intensif (Harapan)
Uraian A. Biaya 1. Tenaga Kerja • Pembersihan Lahan • Pangkas • Pemupukan • Petik • Penyemprotan • Membungkus • Jumlah Upah 2. Bahan/Alat • Urea • TSP • KCl • Obat • Plastik • Karet • Pralon • Jumlah Bahan/alat
Satuan
Harga Satuan
Volume
HOK HOK HOK HOK HOK HOK
16 20 20 64 8 50
25.000 25.000 25.000 25.000 25.000 25.000
400.000 500.000 500.000 1.600.000 200.000 1.250.000 4.450.000
kg kg kg btl rol pak buah
400 200 300 2 56 2 1
1.200 1.600 2.800 40.000 15.000 15.000 75.000
480.000 320.000 840.000 80.000 840.000 30.000 75.000 2.665.000
Jumlah Biaya B. Hasil
7.115.000 kg
900
Keuntungan (upah tenaga kerja keluarga dibayar) Keuntungan (upah tenaga kerja keluarga tidak dibayar) Jumlah HOK keluarga Biaya Dibayar / Hasil (%) Biaya Total / Hasil (%)
Jumlah
12.000
10.800.000
3.685.000 8.135.000 178 25 66
271
Lampiran 5.4.
Analisa Usahatani Kakao yang Umum Dilaksanakan Petani (Tidak Intensif)
Uraian A. Biaya 1. Tenaga Kerja • Pemarasan • Pangkas • Pemupukan • Petik • Penyemprotan • Membungkus • Jumlah Upah 2. Bahan/Alat • Urea • TSP • KCl • Obat • Plastik • Karet • Pralon • Jumlah Bahan/alat
Satuan
HOK HOK HOK HOK HOK HOK
Volume
16
20
kg kg kg btl rol pak buah
Harga Satuan
25.000 25.000 25.000 25.000 25.000 25.000
400.000 500.000 900.000
1.200 1.600 2.800 40.000 15.000 15.000 75.000
-
Jumlah Biaya B. Hasil
900.000 kg
400
Keuntungan (upah tenaga kerja keluarga dibayar) Keuntungan (upah tenaga kerja keluarga tidak dibayar) Jumlah HOK keluarga Biaya Dibayar / Hasil (%) Biaya Total / Hasil (%)
Jumlah
12.000
4.800.000
3.900.000 1.800.000 36 19
Tambahan Biaya • Tenaga Kerja • Bahan/Alat
3.550.000 1.765.000
Tambahan Hasil
6.000.000
Tambahan Hasil/Tambahan Biaya
1,1
272
Lampiran 5.5.
Analisa Usahatani Cengkeh dengan Teknologi Intensif (Harapan)
Uraian A. Biaya 1. Tenaga Kerja • Lubang Tangga • Angkut Tangga • Petik • Cudek • Angkut • Jemur • Jumlah Upah 2. Bahan dan Alat • Bambu • Tali (utk 5 thn) • Terpal (utk 5 thn) • Urea • TSP • KCL • Jumlah Bahan/alat
Satuan
Volume
bh paket liter liter karung kg
10 1 3,000 3,000 100 500
bh gulung bh kg kg kg
15 3 2 300 150 150
Jumlah Biaya B. Hasil Keuntungan (upah tenaga kerja keluarga dibayar) Keuntungan (upah tenaga kerja keluarga tidak dibayar)
Harga Satuan
Jumlah
10,000 100,000 25,000 25,000 1,500 4,500,000 100 300,000 5,000 500,000 1,000 500,000 5,925,000 60,000 23,000 40,000 1,200 1,600 2,800
900,000 69,000 80,000 360,000 240,000 420,000 2,069,000 7,994,000
500
27,000 13,500,000 5,506,000 6,131,000 -
273
Lampiran 5.6. Analisa Usahatani Cengkeh yang Umum Dilaksanakan Petani (Tidak Intensif) Uraian A. Biaya 1. Tenaga Kerja • Lubang Tangga • Angkut Tangga • Petik • Cudek • Angkut • Jemur • Jumlah Upah 2. Bahan dan Alat • Bambu • Tali (utk 5 thn) • Terpal (utk 5 thn) • Urea • TSP • KCL • Jumlah Bahan/alat
Satuan
Harga Satuan
Volume
Jumlah
bh paket liter liter karung kg
10 1 1,800 1,800 60 300
10,000 25,000 1,500 100 5,000 1,000
100,000 25,000 2,700,000 180,000 300,000 300,000 3,605,000
bh gulung bh kg kg kg
15 3 2
60,000 23,000 40,000 1,200 1,600 2,800
900,000 69,000 80,000 1,049,000
Jumlah Biaya B. Hasil
4,654,000 300
Keuntungan (upah tenaga kerja keluarga dibayar) Keuntungan (upah tenaga kerja keluarga tidak dibayar)
27,000
8,100,000 3,446,000 3,871,000 -
Jumlah HOK keluarga
Tambahan Biaya • Tenaga Kerja • Bahan/Alat
2,320,000 1,020,000
Tambahan Hasil
5,400,000
Tambahan Hasil/Tambahan Biaya
2,3
274
Lampiran 5.7.
Analisa Usahatani Kelapa dengan Teknologi Intensif (Harapan)
Uraian A. Biaya 1. Tenaga Kerja • pemarasan • panjat • kumpul • Angkut • Kupas s/d kopra • Mengarungi • Jumlah Upah 2. Bahan dan Alat • Pasungging • Tempat Pengeringan • Urea • TSP • KCl • Jumlah Bahan/alat
Volume
Harga Satuan
HOK Phn HOK Bh Kg karung
12 450 6 18,000 18,000 54
25,000 1,500 25,000 60 60 1,000
300,000 675,000 150,000 1,080,000 1,080,000 54,000 3,339,000
Bh Bh Kg Kg Kg
1 18,000 150 90 180
50,000 50 1,200 1,600 2,800
50,000 900,000 180,000 144,000 504,000 1,778,000
Satuan
Jumlah Biaya B. Hasil Keuntungan (upah tenaga kerja keluarga dibayar) Keuntungan (upah tenaga kerja keluarga tidak dibayar)
Jumlah
5,117,000 Kg
4,500
4,000
18,000,000
12,883,000 13,183,000 -
275
Lampiran 5.8.
Analisa Usahatani Kelapa yang Umum Dilaksanakan Petani (Tidak Intensif)
Uraian A. Biaya 1. Tenaga Kerja • pemarasan • panjat • kumpul • Angkut • Kupas s/d kopra • Mengarungi • Jumlah Upah 2. Bahan dan Alat • Pasungging • Tempat Pengeringan • Urea • TSP • KCl • Jumlah Bahan/alat
Satuan
Volume
Harga Satuan
HOK phn HOK bh kg karung
12 450 3 11,250 11,250 54
25,000 1,500 25,000 60 60 1,000
300,000 675,000 75,000 675,000 675,000 54,000 2,454,000
bh bh kg kg kg
1 11,250
50,000 50 1,200 1,600 2,800
50,000 562,500 612,500
Jumlah Biaya B. Hasil
Jumlah
3,066,500 kg
2,813
Keuntungan (upah tenaga kerja keluarga dibayar) Keuntungan (upah tenaga kerja keluarga tidak dibayar)
4,000
11,250,000 8,183,500 8,483,500 -
Jumlah HOK keluarga
Tambahan Biaya • Tenaga Kerja • Bahan/Alat
885,000 1,165,500
Tambahan Hasil
6,750,000
Tambahan Hasil/Tambahan Biaya
3,3
276
Lampiran 5.9.
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Perkembangan Lahan Pertanian Padi Sawah di Desa Cot Baroh/Tunong Nangroe Aceh Darussalam (NAD)
Nama Lokasi Blang Kayei Jati Blang Kuto Tuha Blang Tanoh Merah Blang Timur Blang Calung Blang Crung Blang Turemon Blang Gle Blang Dalam Paya Baru (Dam Air) Blang Cut Blang Iboh Blang Lok Jumlah
Keterangan :
*
Mulai dibangun
Luas (ha)
Belanda, Belanda, Belanda, Belanda, Belanda, Belanda, Belanda, Belanda, Belanda,
20 20 10 25 1* 10 1* 25 5 5 5 5 122
sebanyak 4 ha telah menjadi kebun kakao
277
Lampiran 5.10. Perkembangan Lahan Pertanian Kakao di Desa Cot Baroh/Tunong Nangroe Aceh Darussalam (NAD) No
Lokasi
Jarak
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
Cut Kuta Utan Pisang Beung Utan Puteh Lhok Raya Blang Melong Bendung Paya Raoh Bendung Paya Baroh Cot Tun Dampu Alue Banue Utan Panah Batu Tiga (Ds Amud) Alue Mamplam Alue Punu Panton Cot Mataie Alue Lutong Alue Kirau Gunong Meronte Rung Gambang Rung. Puntung Peujaneng Gajah Pijut Alue Balek Panggang Alue Kreh Alue Meuh Alue Pebut Alue Buloh Cot Sinteia Cot Sala (BRR) Jumlah (ha) (%)
3 3 3 3
Mulai dibangun
TM
1985 1985 1989 1989 1990, 2005 1992 1992 1992 1994 1994
20 50 10 30 20 50 10
6 7 5 6 7 7 7 7
1996 1996 1996 1998 1998 1998 1998 1998
20 50 15 10 20 20 50 10
7 6 7 7 8 8 8 10 2
1998 1998 2000 2002 2002 2002 2002 2006 2006
10 15
2,5 5 1,5 6
10 50
20 30 25 20
Luas (ha) TR
TBM
20 5 10 30 10 20 50 10
5 5 5
10 100 10 25 120 30
573 55
245 24
220 21 1.038
278
Lampiran 5.11. Perkembangan Lahan Pertanian di Desa Ulee Gunong Nangroe Aceh Darussalam (NAD) Nama Lokasi
Jarak dari Pusat Desa
Mulai dibangun
Kebun Rimeng
3
Belanda, kopi
30
Alue Geurenfai
1,5
Belanda, kopi
60
2
Belanda, kopi
80
2,5
Jepang, kopi
45
Pantoen Kuli
7
1982, kopi
90
Kebun Lombo (Petani)
1
Belanda, kopi
65
Pantoen Brand
8
1985, kopi
60
Alue Atret
5
1984, kopi
75
Glanggang Buloeh
2
1980, kopi
25
Tanoeh Merah
1
Belanda, kopi
35
Rimeh Menapet (Ds P. Senong) Kebun Lombo (Kb.Dinas) Pantoen Rasi (Ds Blang Panda) Jumlah (ha) (%)
2
1980, kopi
15
Alue Jangak Coet Mandor Amatasha
Luas Saat Ini
Distribusi Tanaman Kopi Kakao
Perbandingan
Perintis
Seunobok
v
vv
Kecik Baldan
Tengku Johan
vv
vv
Kecik Hanafiah
Ibrahim Amia
vv
vv
Wahid Husen
Wahid Husen
1,5
vv
v
Mandor Amatasa
Wahid Husen
3
vvv
-
Wahid Husen
Wahid Husen
v
vv
vv
v
vv
v
Ibrahim Amia
Ibrahim Amia
vv
v
Kecik Baldan
Kecik Baldan
vv
vv
Toke Gani
Toke Gani
vv
vv
Tengku Johan
Tengku Johan
v
v Mandor Amatasa
Wahid Husen
1 2 2,7
2 2 2,5 1 1 0,5
1
Belanda, kopi
3 0,1
10
2007, kakao (?)
583
329
254
56
44
279
Lampiran 5.12. Luasan Plot Sumberdaya Agraria Milik Petani Tanaman Kakao
Kopi
Cengkeh
Kelapa
Campuran
Padi
Luas (ha)
Cut
Jono Oge
Tondo
Ulee Gun
Total
0,1 - < 0,5 0,5 - < 1,0 1-<2 >/2
1 9 17 4
1 7 6 0
0 6 4 0
0 6 3 1
2 28 30 5
Total
31
14
10
10
65
0,1 - < 0,5 0,5 - < 1,0 1-<2 >/2
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
2 9 2 0
2 9 2 0
Total
0
0
0
13
13
0,1 - < 0,5 0,5 - < 1,0 1-<2 >/2
0 0 0 0
2 8 3 0
0 2 1 1
0 0 0 0
2 10 4 1
Total
0
13
4
0
17
0,1 - < 0,5 0,5 - < 1,0 1-<2 >/2
0 0 0 0
0 1 0 0
2 2 0 0
0 0 0 0
2 3 0 0
Total
0
1
4
0
5
0,1 - < 0,5 0,5 - < 1,0 1-<2 >/2
4 2 12 2
1 3 0 0
7 1 4 1
6 8 8 5
18 14 24 8
Total
20
4
13
27
64
0,1 - < 0,5 0,5 - < 1,0 1-<2 >/2
12 7 5 1
2 12 8 2
3 2 0
0 0 0
17 21 13 3
Total
25
24
5
0
54
280
Lampiran 5.13. Contoh Kasus Fragmentasi Sumberdaya Agraria Milik Bapak Aklin di Desa Jono Oge
1 82 BS
0,75 90 BL-B 1 0,5 85 BL-K
l 85 BL-K
0,5 0,75 90 BL-B 0,5 0,25 03-08-K 0,2
3 03 BS
1
0,25 82 BL-B
1
0,75 82 BL-BS
1
1 822
2
0,1 00 BL-K
1
1
House 0,14 06 BL-K 2 04 00-07 - B 1 0,3 97 BL-K 2 2,5 97 BL-B 1 1 06 BL- K 1 0,26 04-07 - B 1 0,75 03-08 - K
281
1,7 04-07- K
Lampiran 7.1.
Status Pemilikan
Lahan Produktif Pemilik
Uji T terhadap Luas Pemilikan Sumberdaya Agraria
Status Pemilikan
pemilik+penggarap pemilik+penggarap+BT pemilik+BT pemilik+penggarap pemilik pemilik+penggarap+BT pemilik+BT pemilik+penggarap+BT pemilik pemilik+penggarap pemilik+BT pemilik+BT pemilik pemilik+penggarap pemilik+penggarap+BT Total Lahan pemilik+penggarap Pemilik pemilik+penggarap+BT pemilik+BT pemilik+penggarap pemilik pemilik+penggarap+BT pemilik+BT pemilik+penggarap+BT pemilik pemilik+penggarap pemilik+BT pemilik+BT pemilik pemilik+penggarap pemilik+penggarap+BT
Mean Std Difference Error (I-J)
,2881 ,2659 ,8521(*) -,2881 -,0221 ,5640 -,2659 ,0221 ,5861 -,8521(*) -,5640 -,5861 ,20653 ,11567 ,79396(*) -,20653 -,09085 ,58743 -,11567 ,09085 ,67829 -,79396(*) -,58743 -,67829
Sig
,3039 ,779 ,6740 ,979 ,2683 ,008 ,3039 ,779 ,7062 1,000 ,3414 ,350 ,6740 ,979 ,7062 1,000 ,6916 ,832 ,2683 ,008 ,3414 ,350 ,6916 ,832 ,32624 ,72346 ,28798 ,32624 ,75811 ,36643 ,72346 ,75811 ,74245 ,28798 ,36643 ,74245
,921 ,999 ,030 ,921 ,999 ,377 ,999 ,999 ,798 ,030 ,377 ,798
80 % Confidence Interval Lower Upper Bound Bound -,311 -1,062 ,323 -,887 -1,414 -,109 -1,594 -1,370 -,777 -1,381 -1,237 -1,949
,887 1,594 1,381 ,311 1,370 1,237 1,062 1,414 1,949 -,323 ,109 ,777
-,4365 -1,3102 ,2264 -,8495 -1,5850 -,1348 -1,5416 -1,4033 -,7850 -1,3616 -1,3096 -2,1416
,8495 1,5416 1,3616 ,4365 1,4033 1,3096 1,3102 1,5850 2,1416 -,2264 ,1348 ,7850
282
Lampiran 7.2.
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Daftar Anggota Kelompok Tani Pengusul Pembukaan Lahan Baru
Hubungan Kekerabatan dengan Ketua Kelompok Ketua Klp. Tani (Ex Kepala Desa) Istri Adik istri Menantu Adik (Pejabat Pemda) Adik Menantu Anak Anak Anak Anak Ponakan Besan Orang Lain Orang Lain Orang Lain Orang Lain Orang Lain Orang Lain Orang Lain Orang Lain Orang Lain Orang Lain Orang Lain Orang Lain Orang Lain Orang Lain Orang Lain Orang Lain Orang Lain
Keterangan : Masing-masing anggota mengusulkan 2 ha
283
Lampiran 8.1.
Hasil Analisa Beda Nyata Tingkat Kesejahteraan Petani Berdasarkan Penerimaan dan Pengeluaran Rumahtangga Petani Per Kapita Tingkat Kesejahteraan
Y/Capita Turkey
Miskin
Sedang Kaya
Sedang
Miskin Kaya
LSD
Kaya
Miskin Sedang
Miskin
Sedang
Mean Difference (I-J)
Std Error
Sig
80 % Confidence Interval Lower Bound Upper Bound
-2004059,101 -17566261,637(*)
1810768,406 3259383,130
,512 ,000
-5128651,16 -23190527,35
1120532,96 -11941995,92
2004059,101
1810768,406
,512
-1120532,96
5128651,16
-15562202,536(*) 17566261,637(*) 15562202,536(*)
3157182,596 3259383,130 3157182,596
,000 ,000 ,000
-21010114,95 11941995,92 10114290,12
-10114290,12 23190527,35 21010114,95
-2004059,101
1810768,406
,271
-4337830,29
329712,09
-17566261,637(*) 2004059,101 -15562202,536(*) 17566261,637(*)
3259383,130 1810768,406 3157182,596 3259383,130
,000 ,271 ,000 ,000
-21767049,79 -329712,09 -19631271,65 13365473,49
-13365473,49 4337830,29 -11493133,42 21767049,79
Sedang
15562202,536(*)
3157182,596
,000
11493133,42
19631271,65
Miskin
Sedang
Sedang
Kaya Miskin
-1314637,296(*) -4004134,973(*) 1314637,296(*)
218458,992 393226,186 218458,992
,000 ,000 ,000
-1691601,70 -4682670,90 937672,89
-937672,89 -3325599,05 1691601,70
Kaya
-2689497,677(*)
380896,268
,000
-3346757,57
-2032237,78
Miskin Sedang
4004134,973(*) 2689497,677(*)
393226,186 380896,268
,000 ,000
3325599,05 2032237,78
4682670,90 3346757,57
Sedang Kaya
-1314637,296(*) -4004134,973(*)
218458,992 393226,186
,000 ,000
-1596193,62 -4510936,36
-1033080,97 -3497333,58
Miskin
1314637,296(*)
218458,992
,000
1033080,97
1596193,62
Kaya
-2689497,677(*) 4004134,973(*) 2689497,677(*)
380896,268 393226,186 380896,268
,000 ,000 ,000
-3180407,91 3497333,58 2198587,45
-2198587,45 4510936,36 3180407,91
Kaya Sedang Kaya
Miskin Kaya Miskin
C/Capita Turkey
Kaya LSD Miskin Sedang Kaya
Miskin Sedang
* The mean difference is significant at the .20 level.
284
Lampiran 8.2. Y/Capita Tukey HSD
Hasil Analisa Beda Nyata Lapisan Petani dalam Penguasaan Sumberdaya Agraria Berdasarkan Penerimaan dan Pengeluaran Rumahtangga Petani Per Kapita
Pemilik
Pemilik+Penggarap
Pemilik+Penggarap+BT
Pemilik+Penggarap Pemilik+Penggarap+BT Pemilik+BT Penggarap
Pemilik+Penggarap+BT Pemilik+BT Penggarap BT
3423724,542 3940392,091 3931757,658 4517791,488 5279865,738 -3423724,542 516667,549 508033,117 1094066,946 1856141,196
2718657,954 3156250,756 2597767,624 6183923,854 3774468,851 2718657,954 3585259,937 3104926,185 6413507,950 4139901,580
Pemilik
-3940392,091 -516667,549
BT Pemilik
Pemilik+Penggarap Pemilik+BT
Pemilik+BT
Penggarap BT Pemilik Pemilik+Penggarap Pemilik+Penggarap+BT Penggarap
Penggarap
BT Pemilik Pemilik+Penggarap Pemilik+Penggarap+BT Pemilik+BT BT
BT
Pemilik Pemilik+Penggarap Pemilik+Penggarap+BT Pemilik+BT Penggarap
,806 ,812 ,656 ,978 ,728 ,806 1,000 1,000 1,000 ,998
-2847546,69 -3340297,47 -2060649,50 -9746990,79 -3426900,00 -9694995,78 -7753640,04 -6654263,36 -13700309,03 -7693587,43
9694995,78 11221081,65 9924164,81 18782573,76 13986631,48 2847546,69 8786975,14 7670329,59 15888442,92 11405869,83
3156250,756
,812
-11221081,65
3340297,47
3585259,937
1,000
-8786975,14
7753640,04
-8634,433 577399,397 1339473,647 -3931757,658
3494479,128 6610892,677 4439549,848 2597767,624
1,000 1,000 1,000 ,656
-8069533,16 -14672294,31 -8901469,40 -9924164,81
8052264,29 15827093,10 11580416,69 2060649,50
-508033,117
3104926,185
1,000
-7670329,59
6654263,36
8634,433
3494479,128
1,000
-8052264,29
8069533,16
586033,829 1348108,080 -4517791,488 -1094066,946 -577399,397
6363205,150 4061536,735 6183923,854 6413507,950 6610892,677
1,000 ,999 ,978 1,000 1,000
-14092306,04 -8020852,24 -18782573,76 -15888442,92 -15827093,10
15264373,69 10717068,40 9746990,79 13700309,03 14672294,31
-586033,829
6363205,150
1,000
-15264373,69
14092306,04
762074,250 -5279865,738
6927380,332 3774468,851
1,000 ,728
-15217678,17 -13986631,48
16741826,67 3426900,00
-1856141,196
4139901,580
,998
-11405869,83
7693587,43
-1339473,647 -1348108,080 -762074,250
4439549,848 4061536,735 6927380,332
1,000 ,999 1,000
-11580416,69 -10717068,40 -16741826,67
8901469,40 8020852,24 15217678,17
285
Y/Capita LSD
Pemilik
Pemilik+Penggarap
3423724,542
2718657,954
,211
-80865,77
6928314,85
Pemilik+BT Penggarap
3940392,091 3931757,658(*) 4517791,488
3156250,756 2597767,624 6183923,854
,214 ,133 ,467
-128294,00 583005,67 -3453832,74
8009078,18 7280509,65 12489415,71
BT Pemilik Pemilik+Penggarap+BT Pemilik+BT
5279865,738(*) -3423724,542 516667,549 508033,117
3774468,851 2718657,954 3585259,937 3104926,185
,165 ,211 ,886 ,870
414241,90 -6928314,85 -4105049,29 -3494491,07
10145489,58 80865,77 5138384,38 4510557,30
1094066,946
6413507,950
,865
-7173511,47
9361645,36 7192840,11
Pemilik+Penggarap+BT
Pemilik+Penggarap
Penggarap BT Pemilik+Penggarap+BT
1856141,196
4139901,580
,655
-3480557,72
-3940392,091
3156250,756
,214
-8009078,18
128294,00
Pemilik+Penggarap
-516667,549
3585259,937
,886
-5138384,38
4105049,29
Pemilik+BT
-8634,433 577399,397 1339473,647
3494479,128 6610892,677 4439549,848
,998 ,931 ,763
-4513326,78 -7944625,37 -4383498,36
4496057,92 9099424,16 7062445,66
-3931757,658(*)
2597767,624
,133
-7280509,65
-583005,67
-508033,117
3104926,185
,870
-4510557,30
3494491,07
Pemilik
Penggarap BT Pemilik+BT
Pemilik Pemilik+Penggarap Pemilik+Penggarap+BT
8634,433
3494479,128
,998
-4496057,92
4513326,78
586033,829
6363205,150
,927
-7616699,83
8788767,49
1348108,080
4061536,735
,741
-3887571,63
6583787,79
-4517791,488 -1094066,946
6183923,854 6413507,950
,467 ,865
-12489415,71 -9361645,36
3453832,74 7173511,47
Pemilik+Penggarap+BT
-577399,397
6610892,677
,931
-9099424,16
7944625,37
Pemilik+BT
-586033,829
6363205,150
,927
-8788767,49
7616699,83
762074,250
6927380,332
,913
-8167931,06
9692079,56
-5279865,738(*)
3774468,851
,165
-10145489,58
-414241,90
Pemilik+Penggarap
-1856141,196
4139901,580
,655
-7192840,11
3480557,72
Pemilik+Penggarap+BT Pemilik+BT
-1339473,647 -1348108,080
4439549,848 4061536,735
,763 ,741
-7062445,66 -6583787,79
4383498,36 3887571,63
-762074,250
6927380,332
,913
-9692079,56
8167931,06
Penggarap BT Penggarap
Pemilik Pemilik+Penggarap
BT BT
Pemilik
Penggarap C/Capita
286
Y/Capita Tukey HSD
Pemilik
Pemilik+Penggarap
Pemilik+Penggarap
871892,310(*)
370312,645
,182
17672,66
1726111,96
Pemilik+Penggarap+BT
1086180,546(*)
429917,843
,125
94466,45
2077894,64
Pemilik+BT
1248906,415(*)
353845,984
,008
432671,28
2065141,55
Penggarap
1886573,644 2007327,612(*) -871892,310(*)
842321,923 514126,295 370312,645
,228 ,002 ,182
-56454,62 821365,46 -1726111,96
3829601,91 3193289,77 -17672,66
214288,236 377014,105 1014681,334 1135435,302
488353,854 422926,843 873593,931 563902,458
,998 ,948 ,854 ,341
-912223,27 -598573,48 -1000483,72 -165348,14
1340799,75 1352601,69 3029846,38 2436218,75
-1086180,546(*) -214288,236 162725,869 800393,098 921147,066 -1248906,415(*)
429917,843 488353,854 475988,458 900480,013 604718,016 353845,984
,125 ,998 ,999 ,948 ,650 ,008
-2077894,64 -1340799,75 -935261,73 -1276791,49 -473787,77 -2065141,55
-94466,45 912223,27 1260713,47 2877577,69 2316081,91 -432671,28
Pemilik+Penggarap
-377014,105
422926,843
,948
-1352601,69
598573,48
Pemilik+Penggarap+BT
-162725,869
475988,458
,999
-1260713,47
935261,73
BT Pemilik
637667,229 758421,197 -1886573,644
866742,108 553228,260 842321,923
,977 ,744 ,228
-1361692,36 -517739,52 -3829601,91
2637026,82 2034581,91 56454,62
Pemilik+Penggarap
BT Pemilik Pemilik+Penggarap+BT Pemilik+BT Penggarap BT
Pemilik+Penggarap+BT
Pemilik Pemilik+Penggarap Pemilik+BT Penggarap
Pemilik+BT
BT Pemilik
Penggarap Penggarap
-1014681,334
873593,931
,854
-3029846,38
1000483,72
Pemilik+Penggarap+BT
-800393,098
900480,013
,948
-2877577,69
1276791,49
Pemilik+BT
-637667,229
866742,108
,977
-2637026,82
1361692,36
120753,968
943589,291
1,000
-2055873,06
2297380,99
-2007327,612(*) -1135435,302 -921147,066
514126,295 563902,458 604718,016
,002 ,341 ,650
-3193289,77 -2436218,75 -2316081,91
-821365,46 165348,14 473787,77
Pemilik+BT
-758421,197
553228,260
,744
-2034581,91
517739,52
Penggarap
-120753,968
943589,291
1,000
-2297380,99
2055873,06
871892,310(*)
370312,645
,020
394526,59
1349258,03
1086180,546(*)
429917,843
,013
531978,46
1640382,63
BT BT
Pemilik Pemilik+Penggarap Pemilik+Penggarap+BT
LSD
Pemilik
Pemilik+Penggarap Pemilik+Penggarap+BT
287
Y/Capita Pemilik+BT
Pemilik+Penggarap
Penggarap BT Pemilik Pemilik+Penggarap+BT Pemilik+BT Penggarap BT
Pemilik+Penggarap+BT
Pemilik Pemilik+Penggarap Pemilik+BT
Pemilik+BT
Penggarap BT Pemilik Pemilik+Penggarap Pemilik+Penggarap+BT Penggarap BT
Penggarap
Pemilik Pemilik+Penggarap
353845,984 842321,923 514126,295
,001 ,027 ,000
792767,68 800746,26 1344573,39
1705045,15 2972401,03 2670081,83
370312,645
,020
-1349258,03
-394526,59
214288,236 377014,105 1014681,334 1135435,302(*) -1086180,546(*) -214288,236
488353,854 422926,843 873593,931 563902,458 429917,843 488353,854
,662 ,375 ,248 ,046 ,013 ,662
-415243,03 -168175,96 -111458,43 408515,21 -1640382,63 -843819,50
843819,50 922204,17 2140821,10 1862355,39 -531978,46 415243,03
162725,869 800393,098 921147,066(*) -1248906,415(*)
475988,458 900480,013 604718,016
,733 ,376 ,130
-450865,31 -360405,20 141612,11
776317,05 1961191,40 1700682,02
353845,984
,001
-1705045,15
-792767,68
-377014,105 -162725,869 637667,229 758421,197(*)
422926,843 475988,458 866742,108 553228,260
,375 ,733 ,463 ,173
-922204,17 -776317,05 -479639,93 45261,09
168175,96 450865,31 1754974,39 1471581,30
-1886573,644(*)
842321,923
,027
-2972401,03
-800746,26
-1014681,334
873593,931
,248
-2140821,10
111458,43
Pemilik+Penggarap+BT
-800393,098
900480,013
,376
-1961191,40
360405,20
Pemilik+BT
-637667,229
866742,108
,463
-1754974,39
479639,93
120753,968 -2007327,612(*) -1135435,302(*)
943589,291 514126,295 563902,458
,898 ,000 ,046
-1095616,00 -2670081,83 -1862355,39
1337123,93 -1344573,39 -408515,21
Pemilik+Penggarap+BT
-921147,066(*)
604718,016
,130
-1700682,02
-141612,11
Pemilik+BT
-758421,197(*)
553228,260
,173
-1471581,30
-45261,09
-120753,968
943589,291
,898
-1337123,93
1095616,00
BT BT
1248906,415(*) 1886573,644(*) 2007327,612(*) -871892,310(*)
Pemilik Pemilik+Penggarap
Penggarap
* The mean difference is significant at the .20 level.
288
Lampiran 8.3.
Hasil Analisa Beda Nyata Penerimaan dan Pengeluaran Rumahtangga Petani Per Kapita Pada Desa yang Berbeda
Y Total
Desa
Tukey HSD
Tondo
Jono Oge
-18553726,667 -7963133,333 -6642722,138 18553726,667
13735060,642 13735060,642 13852960,321 13735060,642
,533 ,938 ,963 ,533
-45805136,73 -35214543,39 -34128054,17 -8697683,39
8697683,39 19288276,73 20842609,89 45805136,73
Ulee Gunong
13735060,642 13852960,321 13735060,642 13735060,642 13852960,321 13852960,321 13852960,321 13852960,321
,867 ,825 ,938 ,867 1,000 ,963 ,825 1,000
-16660816,73 -15574327,50 -19288276,73 -37842003,39 -26164920,84 -20842609,89 -39396336,56 -28805743,23
37842003,39 39396336,56 35214543,39 16660816,73 28805743,23 34128054,17 15574327,50 26164920,84
Cot Baroh/Tunong
Tondo Jono Oge Ulee Gunong
10590593,333 11911004,529 7963133,333 -10590593,333 1320411,195 6642722,138 -11911004,529 -1320411,195
Tondo
Jono Oge Ulee Gunong
-18553726,667(*) -7963133,333
13735060,642
,179
-36257622,50
-849830,84
13735060,642
,563
-25667029,16
9740762,50
-6642722,138 18553726,667(*) 10590593,333 11911004,529 7963133,333 -10590593,333 1320411,195 6642722,138 -11911004,529
13852960,321 13735060,642 13735060,642 13852960,321 13735060,642 13735060,642 13852960,321 13852960,321 13852960,321
,632 ,179 ,442 ,392 ,563 ,442 ,924 ,632 ,392
-24498585,53 849830,84 -7113302,50 -5944858,86 -9740762,50 -28294489,16 -16535452,19 -11213141,25 -29766867,92
11213141,25 36257622,50 28294489,16 29766867,92 25667029,16 7113302,50 19176274,58 24498585,53 5944858,86
-1320411,195
13852960,321
,924
-19176274,58
16535452,19
Ulee Gunong
LSD
Jono Oge Ulee Gunong Cot Baroh/Tunong Tondo Cot Baroh/Tunong Tondo Jono Oge Cot Baroh/Tunong
Cot Baroh/Tunong Jono Oge
Tondo Ulee Gunong Cot Baroh/Tunong
Ulee Gunong
Tondo Jono Oge Cot Baroh/Tunong
Cot Baroh/Tunong
Tondo Jono Oge Ulee Gunong
289
C Total Tukey HSD
Tondo
Jono Oge
Jono Oge
Ulee Gunong Cot Baroh/Tunong Tondo Ulee Gunong Cot Baroh/Tunong
Ulee Gunong
LSD
Cot Baroh/Tunong
Tondo Jono Oge Cot Baroh/Tunong Tondo
Tondo
Jono Oge Ulee Gunong Jono Oge
Jono Oge
Ulee Gunong
Ulee Gunong Cot Baroh/Tunong Tondo Ulee Gunong Cot Baroh/Tunong Tondo Jono Oge Cot Baroh/Tunong
Cot Baroh/Tunong
Tondo Jono Oge Ulee Gunong
-801973,333
2310390,272
,986
-5385964,21
3782017,54
-3065008,333 -4818260,920(*) 801973,333
2310390,272 2330222,312 2310390,272
,548 ,170 ,986
-7648999,21 -9441600,08 -3782017,54
1518982,54 -194921,76 5385964,21
-2263035,000
2310390,272
,761
-6847025,88
2320955,88
-4016287,586 3065008,333 2263035,000 -1753252,586 4818260,920(*) 4016287,586 1753252,586 -801973,333 -3065008,333(*) -4818260,920(*) 801973,333 -2263035,000 -4016287,586(*) 3065008,333(*) 2263035,000
2330222,312 2310390,272 2310390,272 2330222,312 2330222,312 2330222,312 2330222,312 2310390,272 2310390,272 2330222,312 2310390,272 2310390,272 2330222,312 2310390,272 2310390,272
,316 ,548 ,761 ,875 ,170 ,316 ,875 ,729 ,187 ,041 ,729 ,329 ,087 ,187 ,329
-8639626,75 -1518982,54 -2320955,88 -6376591,75 194921,76 -607051,57 -2870086,57 -3779965,91 -6043000,91 -7821816,14 -2176019,25 -5241027,58 -7019842,80 87015,75 -714957,58
607051,57 7648999,21 6847025,88 2870086,57 9441600,08 8639626,75 6376591,75 2176019,25 -87015,75 -1814705,70 3779965,91 714957,58 -1012732,37 6043000,91 5241027,58
-1753252,586
2330222,312
,453
-4756807,80
1250302,63
4818260,920(*) 4016287,586(*) 1753252,586
2330222,312 2330222,312 2330222,312
,041 ,087 ,453
1814705,70 1012732,37 -1250302,63
7821816,14 7019842,80 4756807,80
290
Y per capita Tukey HSD
Tondo
Jono Oge
Ulee Gunong
Cot Baroh/Tunong
LSD
Tondo
Jono Oge
Ulee Gunong
Jono Oge Ulee Gunong Cot Baroh/Tunong Tondo Ulee Gunong Cot Baroh/Tunong Tondo Jono Oge Cot Baroh/Tunong Tondo Jono Oge Ulee Gunong Jono Oge Ulee Gunong Cot Baroh/Tunong Tondo Ulee Gunong Cot Baroh/Tunong Tondo Jono Oge Cot Baroh/Tunong
Cot Baroh/Tunong
Tondo Jono Oge Ulee Gunong
-3534949,786 -1286690,225 -1085922,986 3534949,786 2248259,561 2449026,800 1286690,225 -2248259,561 200767,239 1085922,986 -2449026,800 -200767,239 -3534949,786(*) -1286690,225 -1085922,986 3534949,786(*) 2248259,561 2449026,800
2689659,761 2689659,761 2712747,392 2689659,761 2689659,761 2712747,392 2689659,761 2689659,761 2712747,392 2712747,392 2712747,392 2712747,392 2689659,761
,556 ,964 ,978 ,556 ,837 ,803 ,964 ,837 1,000 ,978 ,803 1,000 ,191
-8871440,32 -6623180,76 -6468221,14 -1801540,74 -3088230,97 -2933271,36 -4049800,31 -7584750,09 -5181530,92 -4296375,17 -7831324,96 -5583065,40 -7001804,24
1801540,74 4049800,31 4296375,17 8871440,32 7584750,09 7831324,96 6623180,76 3088230,97 5583065,40 6468221,14 2933271,36 5181530,92 -68095,33
2689659,761 2712747,392 2689659,761 2689659,761 2712747,392
,633 ,690 ,191 ,405 ,369
-4753544,68 -4582536,40 68095,33 -1218594,90 -1047586,61
2180164,23 2410690,43 7001804,24 5715114,02 5945640,21
1286690,225 -2248259,561 200767,239 1085922,986 -2449026,800
2689659,761 2689659,761 2712747,392 2712747,392 2712747,392
,633 ,405 ,941 ,690 ,369
-2180164,23 -5715114,02 -3295846,17 -2410690,43 -5945640,21
4753544,68 1218594,90 3697380,65 4582536,40 1047586,61
-200767,239
2712747,392
,941
-3697380,65
3295846,17
291
C per capita Tukey HSD
Tondo
-7649,315
393620,061
1,000
-788621,60
773322,97
Ulee Gunong Cot Baroh/Tunong Tondo Ulee Gunong
-413561,058 -769721,505 7649,315 -405911,744
393620,061 396998,836 393620,061 393620,061
,720 ,218 1,000 ,732
-1194533,34 -1557397,54 -773322,97 -1186884,03
367411,23 17954,53 788621,60 375060,54
Cot Baroh/Tunong
Cot Baroh/Tunong Tondo Jono Oge Cot Baroh/Tunong Tondo
-762072,190 413561,058 405911,744 -356160,447 769721,505
396998,836 393620,061 393620,061 396998,836 396998,836
,226 ,720 ,732 ,806 ,218
-1549748,22 -367411,23 -375060,54 -1143836,48 -17954,53
25603,84 1194533,34 1186884,03 431515,59 1557397,54
762072,190 356160,447
396998,836 396998,836
,226 ,806
-25603,84 -431515,59
1549748,22 1143836,48
Tondo
Jono Oge Ulee Gunong Jono Oge
Jono Oge
Ulee Gunong Cot Baroh/Tunong Tondo
-7649,315 -413561,058 -769721,505(*) 7649,315
393620,061 393620,061 396998,836 393620,061
,985 ,296 ,055 ,985
-515008,45 -920920,20 -1281435,74 -499709,83
499709,83 93798,08 -258007,27 515008,45
Jono Oge
Ulee Gunong
LSD
Jono Oge
Ulee Gunong Ulee Gunong
Cot Baroh/Tunong Tondo Jono Oge Cot Baroh/Tunong
Cot Baroh/Tunong
Tondo Jono Oge Ulee Gunong
-405911,744
393620,061
,305
-913270,88
101447,40
-762072,190(*) 413561,058 405911,744
396998,836 393620,061 393620,061
,057 ,296 ,305
-1273786,42 -93798,08 -101447,40
-250357,96 920920,20 913270,88
-356160,447
396998,836
,372
-867874,68
155553,79
769721,505(*) 762072,190(*) 356160,447
396998,836 396998,836 396998,836
,055 ,057 ,372
258007,27 250357,96 -155553,79
1281435,74 1273786,42 867874,68
* The mean difference is significant at the .2 level.
292
Lampiran 8.4.
Distribusi Rumahtangga Petani Berdasarkan Pola Penguasaan Sumberdaya Agraria dan Tingkat Kesejahteraan di Desa Tondo
100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
kaya sedang miskin
pem pem
Lampiran 8.5.
i li k
+ i li k
gg pen
pem
T T BT ap +B i k+ p+B gar r ap pem i l ng ara a e g g p g g pen pen
ar a
+ i li k
p
BT
Distribusi Rumahtangga Petani Berdasarkan Pola Penguasaan Sumberdaya Agraria dan Tingkat Kesejahteraan di Desa Jono Oge
100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
kaya sedang miskin i li k
T p T ra p BT k+ B ar a p+B g ga ap+ emi li n r ara e a p g p g g g i li k+ pen pen pem i li k+ m e p pe m
gg pe n
BT
293
Lampiran 8.6.
Distribusi Rumahtangga Petani Berdasarkan Pola Penguasaan Sumberdaya Agraria dan Tingkat Kesejahteraan di Cot Baroh/Tunong 100% 80% 60%
kaya
40%
sedang 20%
miskin
0% li k
T p T T r ap +B +B +B ara ga i li k gg ra p r ap m ng n a a e e e g p p p gg ng i k+ pe pen mi l li k+ pe i m pe pe
Lampiran 8.7.
mi
BT
Distribusi Rumahtangga Petani Berdasarkan Pola Penguasaan Sumberdaya Agraria dan Tingkat Kesejahteraan di Desa Ulee Gunong
100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
kaya sedang miskin
pe m
i li k
pe m
+p i li k
gg en
i p em
ar a
p
p li k+
en
ra gg a
p+
BT m pe
T T +B +B i li k ap r a g ng pe
BT
294